Pemanasan Global
-
Upload
januar-fitri -
Category
Documents
-
view
53 -
download
0
description
Transcript of Pemanasan Global
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Latar belakang disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
yang telah diberikan oleh dosen pengajar. Makalah ini membahas tentang Peranan
Indonesia dan negara-negara maju dalam mengurangi laju pemanasan global.
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata
atmosfer, laut dan daratan Bumi. Pemanasan global hanya sebuah wacana sekitar
sepuluh tahun yang lalu. Akan tetapi sekarang pemanasan global adalah suatu
kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh umat manusia. Sudah banyak fakta-
fakta yang menunjukkan bahwa pemanasan global telah terjadi. Pada saat ini,
Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuan dianggap
disebabkan aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran
bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas
karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke
atmosfer. Dan juga diantaranya banyaknya beruang kutub yang mati kelaparan di
kutub utara, hal ini terjadi dikarenakan menipisnya lapisan es sehingga
mengakibatkan mereka kesulitan mencari makanan. Penelitian menunjukkan
bahwa banyak beruang kutub yang tidak memiliki cukup banyak lapisan lemak
tubuh untuk bertahan hidup. Selain itu, Suku Inut juga telah melihat banyaknya
bongkahan es besar bahkan gunung es menghilang secara tiba-tiba. Akan tetapi,
hal yang tak kalah mengerikan adalah terjadinya berbagai bencana alam di seluruh
bagian bumi.
Makalah ini disusun berdasarkan tentang perbincangan yang sedang
hangat dibicarakan oleh dunia. Pemanasan global belum menemukan titik terang
dalam penanggulangannya. Disini penulis berusaha menerangkan materi yang
dibutuhkan sebagai referensi agar dapat menyempurnakan topik yang akan
diperbincangkan.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 1
1.2 Batasan Masalah
Karena berdasarkan latar belakang tersebut kami mencoba menuliskan
makalah tentang peranan Indonesia dan negara-negara maju dalam mengurangi
laju pemanasan global.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Menyelesaikan tugas yang telah diberikan oleh dosen pembimbing.
2. Semoga dengan adanya makalah ini para pembaca tersadar akan adanya
lingkungan hidup yang harus dilestarikan.
3. Kita dapat menimalkan dampak pemanasan global.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengurangi laju pemanasan
global.
2. Makalah ini bermanfaat sebagai referensi bagi pembaca ataupun bahan
bacaan semata.
3. Makalah ini dapat memberikan wawasan yang luas mengenai pemanasan
global.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 2
BAB II
PEMBAHASAN
Peranan Indonesia dan Negara-Negara Maju dalam Mengurangi Laju
Pemanasan Global
Seperti yang kita diketahui pemanasan global adalah meningkatnya suhu
rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi Gas Rumah Kaca di
atmosfer. Pemanasan Global akan diikuti dengan Perubahan Iklim, seperti
meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan
banjir dan erosi. Sedangkan, di belahan bumi lain akan mengalami musim kering
yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu. Bumi ini sebetulnya secara alami
menjadi panas karena radiasi panas matahari yang masuk ke atmosfer. Panas ini
sebagian diserap oleh permukaan Bumi lalu dipantulkan kembali ke angkasa.
Karena ada gas rumah kaca di atmosfer, di antaranya karbon dioksida (CO2),
metana (CH4), nitro oksida (N2O), sebagian panas tetap ada di atmosfer sehingga
bumi menjadi hangat pada suhu yang tepat (60ºF/16ºC) bagi hewan, tanaman, dan
manusia untuk bisa bertahan hidup. Mekanisme inilah yang disebut efek gas
rumah kaca. Tanpa efek gas rumah kaca, suhu rata-rata di dunia bisa menjadi -
18ºC. Sayangnya, karena sekarang ini terlalu banyak gas rumah kaca di atmosfer,
terlalu banyak panas yang ditangkapnya. Akibatnya, Bumi menjadi semakin
panas.
Adapun penyebab pemanasan global yaitu pemanasan global terjadi ketika
ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca, yang terus
bertambah di udara, hal tersebut disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan
industri, khususnya CO2 dan chlorofluorocarbon. Yang terutama adalah karbon
dioksida, yang umumnya dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas
dan penggundulan hutan serta pembakaran hutan.
Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi
metan disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian. Chlorofluorocarbon CFCs
merusak lapisan ozon seperti juga gas rumah kaca menyebabkan pemanasan
global, tetapi sekarang dihapus dalam Protokol Montreal. Karbon dioksida,
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 3
chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi
di udara dan menyaring banyak panas dari matahari. Sementara lautan dan
vegetasi menangkap banyak CO2, kemampuannya untuk menjadi “atap” sekarang
berlebihan akibat emisi. Ini berarti bahwa setiap tahun, jumlah akumulatif dari gas
rumah kaca yang berada di udara bertambah dan itu berarti mempercepat
pemanasan global.
Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia bertambah secara
spektakuler. Sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju; dan 78% dari
energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan
yang lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk
pemanfaatan energi yang tak dapat habis (matahari, angin, biogas, air, khususnya
hidro mini dan makro), yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,
baik di negara maju maupun miskin tetaplah rendah, dalam perbandingan dengan
bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar fosil dan
energi nuklir.
Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon,
menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro
lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah.
Pemanasan global ini mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi
lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,
perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya
flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan
dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi :
a. gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai,
b. gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan,
pelabuhan dan bandara,
c. gangguan terhadap permukiman penduduk,
d. pengurangan produktivitas lahan pertanian,
e. peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb).
Dampak-dampak lainnya :
a. Musnahnya berbagai jenis keanekragaman hayati
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 4
b. Meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan badai, angin topan, dan
banjir
c. Mencairnya es dan glasier di kutub
Gambar 2.1 Beruang kutub akan hilang habitatnya
d. Meningkatnya jumlah tanah kering yang potensial menjadi gurun
karena kekeringan yang berkepanjangan
e. Kenaikan permukaan laut hingga menyebabkan banjir yang luas. Pada
tahun 2100 diperkirakan permukaan air laut naik hingga 15 - 95 cm.
f. Kenaikan suhu air laut menyebabkan terjadinya pemutihan karang
(coral bleaching) dan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia
g. Meningkatnya frekuensi kebakaran hutan
h. Menyebarnya penyakit-penyakit tropis, seperti malaria, ke daerah-
daerah baru karena bertambahnya populasi serangga (nyamuk)
i. Daerah-daerah tertentu menjadi padat dan sesak karena terjadi arus
pengungsian.
j. Menipiskan lapisan ozon.
Gambar 2.2 Gas buangan yang membuat lapisan ozon menipis
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 5
Dalam makalah ini, fokus diberikan untuk peranan Indonesia dan negara-
negara maju dalam mengurangi laju pemanasan global.
2.1 Peranan Indonesia dalam mengurangi laju pemanasan global
a. Menanggulagi permasalahan kabut asap di Palembang
Bulan Juni 2006 di Palembang, Sumatra Selatan, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengatakan dia lebih baik tidak ditanya mitra
ASEAN soal merembesnya kabut asap pada Pertemuan Puncak ASEAN di
Filipina. Presiden agaknya menunjukkan ketidaknyamanannya membahas
asap dengan mitra ASEAN. Namun, Indonesia merupakan negara yang
rawan terkena kebakaran hutan dan polusi asap yang tidak meratifikasi
Perjanjian ASEAN tentang Asap Lintas Batas.Ahmad Farial, wakil ketua
Komisi VII DPR RI, mengatakan parlemen masih menyosialisasikan
Perjanjian itu ke daerah-daerah sebelum meratifikasinya.
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution disetujui
oleh 10 negara pada Juni 2002 dan mulai berlaku efektif pada November
2003 ketika enam negara meratifikasinya. 10 Hingga Juli 2005, tujuh
negara telah meratifikasinya (Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura,
Thailand, Vietnam dan Laos), namun tidak dengan negara paling penting,
Indonesia. Begitu banyak perjanjian dan pertemuan yang diadakan oleh
negara-negara di kawasan ini dalam rangka mengakhiri kebakaran hutan
dan polusi asap. ASEAN Transboundary Haze Agreement pada Pasal 3
nomor 5 tentang Prinsip menegaskan bahwa “Pihak-pihak, dalam
mengatasi polusi asap lintasbatas, harus melibatkan, sepantasnya, semua
stakeholder, termasuk masyarakat lokal, kalangan LSM, petani dan
perusahaan swasta.” Tak pelu dipertanyakan kalau kalangan LSM
mendesak Pemerintah Indonesian untuk segera meratifikasi Perjanjian itu.
Pemerintah dan parlemen seharusnya tidak mengulur-ulur waktu.
Bagaimanapun, kebakaran hutan dan polusi hutan masih menghantui
kawasan itu, yang tampaknya gagal menghentikan banyak praktek tebang-
dan-bakar sejak 1997. Asap pada 1997 melewati kawasan ini diperkirakan
merugikan hampir 10 miliar dolar AS untuk kerugian ekonomi saja, dan
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 6
banyak lagi kerusakan dalam hal kesehatan manusia dan
ketidaknyamanan. Kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan di
tahun-tahun mendatang jelas akan meningkat selagi tidak ada tindakan
mendesak yang diambil. “Visi Riau untuk menjadi daerah bebas asap
tahun ini, nol besar,” keluh Wan Abu Bakar, wakil gubernur Riau,
menyalahkannya pada sedikitnya kesadaran masyarakat dan antisipasi
lemah pada tingkat kabupaten dan kota serta pemilih lahan.
Dapat dikatakan kepedulian bangsa Indonesia khususnya dalam
menghadapi perubahan iklim yang terjadi saat ini sangat tinggi, banyak
sekali hal-hal yang dilakukan pemerintah Indonesia. Misalnya, wakil
presiden Jusuf Kalla, pada 11 April 2007 meminta pemerintah Malaysia
serius mengambil tindakan terhadap pelaku yang memasukkan kayu ilegal
dari Indonesia untuk mengurangi permasalahan kabut asap. Pernyataan
wakil presiden tersebut menanggapi kasus pembalakan liar di Kalimantan
Barat yang baru-baru ini terungkap. Dari penyidikan yang dilakukan
Mabes Polri, terungkap kayu ilegal tersebut dimasukkan ke Malaysia.
Wakil presiden menyatakan Indonesia meminta pertemuan bilateral untuk
mengusut kasus tersebut dan Jusuf Kalla juga mengucapkan selamat atas
kinerja Polri yang berhasil mengungkap ilegal loging yang terjadi.
Rapat paripurna DPR RI yang mengesahkan RUU tentang
pengelolaan sampah menjadi undang-undang, pada April 2007 di Jakarta
juga merupakan salah satu bukti keseriusan Indonesia dalam
penanggulangan masalah perubahan iklim. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk yang berakibat bertambah pula jumlah sampah dan pandangan
sebagian masyarakat Indonesia bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak
dapat di manfaatkan kembali menjadi latar belakang pengesahan undang-
undang ini.
Pemerintah Indonesia tidak hanya aktif mengkampanyekan
penanggulangan dampak perubahan iklim secara nasional namun
pemerintah Indonesia juga turut andil di dalam kegiatan internasional, di
antaranya pemerintah Indonesia melalui Departemen Kelautan dan
Perikanan RI, siap menyelenggarakan Konferensi Laut Internasional pada
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 7
11-15 Mei 2009 mendatang, konferensi ini akan di selenggarakan di
Manado, Sulawesi Utara. Presiden Yudhoyono sebagai wakil Indonesia
dalam keanggotaan RI dalam Organisasi Se-Asia Tenggara, ASEAN, juga
mau meratifikasi dan bersedia menjalankan piagam ASEAN pada 15
Desember 2008 lalu yang memiliki tiga dokumen penting yang
diantaranya memuat pembangunan lingkungan secara berkelanjutan,
terutama mengenai perubahan iklim.
b. Indonesia mengadakan WOC di Manado, Sulawesi Utara
World Ocean Conference (WOC) yang berlangsung 11–15 Mei di
Manado, Sulawesi Utara, telah mengingatkan kita bangsa-bangsa di dunia,
khususnya bangsa Indonesia, betapa pentingnya kelestarian dan keasrian
lingkungan laut untuk menjaga kestabilan iklim dan mencegah terjadinya
global warming (kenaikan suhu bumi.
Hutan laut yang meliputi berbagai jenis kehidupan laut yang
membutuhkan karbondioksida sebagai bahan makanannya––seperti halnya
tumbuhan di hutan––berjumlah amat banyak,mulai dari jasad renik bersel
satu sampai yang bersel banyak. Biota laut “penyerap”karbondioksida
inilah yang mampu mengurangi pemanasan suhu bumi.
Salah satu biota laut yang paling banyak menyerap gas
karbondioksida adalah berbagai ganggang hijau (algae).Organisme yang
mudah hidup di laut ini punya kemampuan besar menyerap
karbondioksida dan itu dapat diolah menjadi biofuel, bahan bakar ramah
lingkungan.
Penelitian dalam skala laboratorium yang dilakukan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membuktikan algae di laut
mampu tumbuh 20–25 kali hanya dalam 15 hari dengan diberi makan
karbondioksida (CO2).
Ganggang dari jenis chaetoceros sp dengan jumlah sel awal 40.000
sel per mililiter setelah diberi CO2 menjadi sebesar 780.000 sel per ml
dalam 15 hari, bahkan chlorella sp dengan jumlah sel awal 40.000 sel per
ml menjadi 1 juta sel per ml dalam 15 hari,kata Kepala BPPT Dr Marzan
Aziz Iskandar dalam seminar “Implementasi Pengurangan Emisi
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 8
Karbondioksida sebagai Upaya Mitigasi Global Warming” belum lama ini
di Jakarta.
Hal ini bisa menjadi konsep awal penghitungan penyerapan karbon
di laut.Indonesia memiliki potensi laut sangat luas sehingga pemerintah
bisa mengambil peran besar dalam upaya mengurangi global warming. Di
lain pihak, ganggang juga bisa dipanen sebagai bahan baku biofuel yang
prosesnya memiliki efisiensi 40% lebih tinggi dibandingkan membuat
biofuel dengan bahan baku minyak kelapa sawit (CPO).
Ke depan, penangkapan dan penyerapan karbon dengan algae bisa
diterapkan pada pembuangan emisi karbon dari pembangkit listrik tenaga
uap (PLTU) yang biasanya dibangun di pinggir laut. Pengurangan emisi
karbon dari industri selain dengan penggunaan carbon capture
sequestrationseperti ini, juga bisa dengan pemanfaatan energi terbarukan
dan perbaikan teknologi yang mampu melakukan efisiensi energi serta
memperbaiki proses produksi menjadi lebih hemat bahan bakar.
Indonesia menyumbang 7% pencemaran dunia yang berasal dari
karbondioksida atau setara dengan 2,5 miliar ton CO2.Jumlah
karbondioksida sebanyak itu berdampak cukup serius terhadap laju
pemanasan suhu bumi (global warming). Besarnya polutan karbondioksida
ini antara lain disebabkan besarnya laju dan tingkat penggundulan hutan di
Indonesia yang mencapai 1–2 juta hektare per tahun. Tentu saja sumber
pencemar di darat ini harus segera dihentikan.
Pemerintah harus berani melakukan “moratorium” penebangan
hutan sampai batas waktu tertentu sehingga hutan yang gundul tersebut
tumbuh dan pulih kembali.Jika hutan itu sudah pulih kembali, pemerintah
harus bisa menerapkan peraturan penebangan kayu yang ketat dan
konsisten sehingga jumlah kayu yang ditebang tidak mengganggu ke-
lestarian hutan.
Indonesia, negara yang memiliki hutan cukup luas di dunia, sangat
memainkan peran penting untuk bisa menjaga paru-paru dunia dalam
rangka mengatasi pemanasan global. Namun, kita sering tak menyadari
bahwa sesungguhnya Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan juga
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 9
memiliki fungsi dan peran cukup besar dalam mengikat emisi karbon,
bahkan dua kali lipat dari kapasitas penyerapan karbondioksida (carbon
sink) oleh hutan.
Emisi karbon yang sampai ke laut ini diserap oleh fitoplankton
yang jumlahnya sangat banyak di lautan, yang kemudian ditenggelamkan
ke dasar laut atau diubah menjadi sumber energi ketika fitoplankton
tersebut dimakan oleh ikan dan biota laut lainnya. Selain berbagai jenis
fitoplankton, Indonesia juga kaya dengan terumbu karang yang bisa
menyerap karbondioksida.
Terumbu karang yang hidup di dasar laut dan menyerupai hutan ini
tak kalah fungsinya dibandingkan hutan dalam rangka penyerapan
karbondioksida. Sayangnya,kita tahu,pemanasan global juga membawa
ancaman terhadap terumbu karang Indonesia, yang merupakan jantung
kawasan segi tiga karang dunia (heart of global coral triangle).
Coral triangle ini meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor
Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon yang merupakan kawasan
dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, khususnya terumbu
karang. Pemanasan global telah meningkatkan suhu air laut sehingga
terumbu karang menjadi stres dan mengalami pemucatan/ pemutihan
(bleaching).
Jika kondisi ini terus berlangsung, terumbu karang tersebut akan
mengalami kematian. Di sisi lain coral triangle memiliki fungsi penting
bagi kehidupan manusia. Lebih dari 120 juta orang bergantung hidupnya
pada terumbu karang dan perikanan di kawasan tersebut. Coral triangle
dua dekade belakangan ini juga menjadi pusat penelitian para ahli kelautan
dunia.
c. Lembaga The Nature Conservancy Coral Triangel Center (TNCCTC)
membuat kegiatan untuk melestarikan terumbu karang akibat pemanasal
global
The Nature Conservancy Coral Triangle Center (TNCCTC),
sebuah lembaga konservasi internasional yang juga menjalankan
programnya di Indonesia dan negara-negara Pasifik,telah mengadakan
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 10
sebuah workshop internasional di Bali yang dihadiri para pakar kelautan
dunia dengan tujuan untuk menetapkan batas cakupan wilayah coral
triangle.
Pada akhir workshop,para pakar kelautan berhasil memetakan coral
triangle yang mencakup negara-negara tersebut di atas dengan luas total
terumbu karang 75.000 km2. Indonesia sendiri memiliki luas terumbu
karang sekitar 51.000 km2 yang menyumbang lebih dari 21% luas
terumbu karang dunia.
Melihat peran dan posisinya yang strategis,Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan APEC di Sidney
telah mengumumkan dan mengajak negara-negara di dunia, khususnya di
kawasan Asia Pasifik, untuk menjaga dan melindungi kawasan coral
triangle.
Indonesia bersama lima negara lain, yaitu Filipina, Malaysia,Timor
Leste,Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon, menyepakati inisiatif
perlindungan terumbu karang yang disebut Coral Triangle Initiative (CTI).
Inisiatif ini juga telah mendapatkan dukungan dan respons positif dari
negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia.
Dari perspektif itulah kita mengetahui betapa pentingnya posisi
Indonesia dalam upaya penyelamatan manusia dari kenaikan suhu bumi.
Jika hal itu disadari dan pemerintah bisa memanfaatkan kondisi tersebut
dengan cerdas,bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat
perhatian “pembangunan ekosistem”global untuk mencegah pemanasan
suhu bumi yang dampaknya akan menambah lapangan kerja, memperluas
pendidikan masyarakat, dan meningkatkan perekonomian bangsa
Indonesia.
d. Kearifan lokal suku badui dalam mengurangi laju pemanasan global
Kearifan Lokal Suku Badui adalah tanpa perubahan apapun, atau
perubahan sesedikit mungkin. Hal ini tercermin dalam mendayagunakan
hutan dengan semangat melestarikan. Garna (1993) membedakan Hutan
Suku Badui menjadi empat jenis meliputi : leuweung kolot (hutan tua),
leuweung ngora (hutan muda), leuweung reuma (semak belukar lebat
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 11
bekas huma), dan jami (semak belukar). Sedangkan, Adimihardja : 2000
membaginya menjadi tiga zona yang meliputi : Zona I terletak di kaki
bukit umumnya digunakan sebagai daerah permukiman dan dukuh lembur.
Zona II terletak di lereng-lereng yang digunakan sebagai wilayah pertanian
atau huma. Sedangkan, Zona III terletak di puncak perbukitan atau disebut
hutan tua yang diperuntukan sebagai hutan suci atau hutan lindung.
Suku Badui melarang warganya menebang pohon sembarangan.
Hal tersebut berlaku di seluruh wilayah di Suku Badui, terutama untuk
wilayah leuweung kolot (hutan suci). Penebangan pohon dilingkungan
leuweung kolot dilarang dengan alasan apapun. Dimana, hutan suci atau
hutan lindung dibutuhkan untuk menjada keseimbangan dan kejernihan
sumber daya air. Hal tersebut telah menjadi wisdom dan sangat dipahami
oleh seluruh warga Suku Badui. Apabila, warga Suku Badui melakukan
pelanggaran maka akan diberikan sanksi atau hukuman sesuai aturan Suku
Badui. Sehingga dengan demikian, hutan lindung dilingkungan Suku
Badui tidak akan pernah berubah fungsinya menjadi ladang, kebun sayur,
kebun buah dan lainnya.
Kelestarian hutan badui sangat tergantung oleh faktor eksternal dan
internal. Faktor eksternal yakni masyarakat di luar wilayah badui,
pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah provinsi. Sedangkan, faktor
internalnya adalah komitment masyarakat badui dalam melestarikan hutan.
Ancaman faktor ekternal meliputi penyerobotan, penjarahan, dan
penggundulan yang dilakukan oleh masyarakat diluar Suku Badui.
Sedangkan ancaman internal antara lain pelanggaran masyarakat badui
terhadap peraturan-peraturan adat dalam memelihara alam.
Wilayah Suku Badui berdasarkan hasil penelitian Purnomohadi,
dalam Permana (2001), seluas 5.101 hektar. Wilayah tersebut terbagi
untuk permukiman, lahan pertanian dan hutan lindung. Wilayah yang
digunakan sebagai permukiman seluas 24,5 ha atau 0,48 persen. Lahan
pertanian seluas 2.585 ha atau 51persen yang terbagi 709 ha sebagai lahan
produktif dan sisanya 1.876,25 ha sebagai lahan tidur (bera). Sedangkan,
wilayah hutan lindung atau hutan suci seluas 2.492 ha atau 49 persen.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 12
Hutan lindung telah menyumbangkan pengurangan CO2 yang
cukup besar. Jika, setiap m³ hutan memproduksi sekitar 2,5 Kg karbon per
tahun, maka minimal Hutan lindung 2.630 sampai 186.900 Kg karbon per
tahun. Sisi lain yang juga menyumbangkan karbon yakni pohon bamboo
diperkampungan Suku Badui yang cukup luas. Setiap satu juta are akan
mengurangi hingga 4,8 juta ton emisi CO2 per tahun.
Kelestarian hutan Suku Badui perlu dipertahankan oleh pihak
internal dan pihak eksternal. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Banten telah
menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Badui. Hal ini merupakan langkah
penting untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap
wilayah Suku Badui.
e. Mahasiswa Indonesia mengurangi emisi dengan Smart Exhaust
Padatnya volume kendaraan setiap hari di perkotaan membuat udara
lingkungan semakin memburuk. Menurut catatan pengendalian Dampak
Lingkungan atau Bapedal, kendaraan bermotor menjadi penyumbang terbesar
yaitu 75% bagi polusi udara. Tertantang untuk mengatasi masalah ini Dian
Prayogi Susanto mahasiswa ITB jurusan teknik Mesin berinisiatif
menciptakan teknologi Smart Exhaust. Smart Exhaust adalah suatu paket
teknologi berupa tabung yang didalamnya terdapat absorber emisi gas buang
berupa karbon aktif dan TiO2. Prinsip kerja alat ini adalah memanfaatkan
sifat karbon aktif yang mampu memberi absorsi gas emisi kendaraan
bermotor dan gas tersebut akan terperangkap. Dan hasilnya gas emisi itu
berkurang menjadi 75%. Berkat inovasi ini Dian Prayogi Susanto berhasil
diakui internasional karena karyanya yang membantu mengurangi laju
pemanasan global akibat gas emisi. Inovasi tepat guna dan efisien dapat
menjadi satu solusi mengurangi polusi udara yang menjadi beban
lingkungan.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 13
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2.3 (a) Smart Exhaust, (b) dan (c) Smart Exhaust pada kenalpot motor,
(d) Karbon fktif dan TiO2 .
2.2 Peranan negara-negara maju dalam mengurangi laju pemanasan global
a. Dua peneliti lingkungan dari Universitas Princeton dan Universitas
Brown, Michael Oppenheimer dan Brian O’Neill, di AS dalam suatu
kajian yang dimuat Journal Science .
Sebuah laporan yang dikeluarkan di Cina pada tahun yang sama
menyatakan ramalan, suhu global Bumi bisa meningkat sampai 5,8 derajat
Celcius sedikitnya pada akhir abad ini. Pernyataan ini diperkuat pula oleh
laporan lain dari NASA Goddard Institute for Space Studies yang
mengatakan, ambang CO2 meningkat dari angka satuan 280 ppmv (/parts
per million by volume/) pada tahun 1850 menjadi 360 ppmv pada tahun
2001. Padahal, dalam kajian yang lain dikatakan, ambang CO2 di atmosfer
harus dicegah untuk tidak melebihi ambang 450 ppmv.
Para ilmuwan mempelajari cara-cara untuk membatasi pemanasan
global. Kunci utamanya adalah:
- Membatasi emisi CO2.
Tehnik yang efektif untuk membatasi emisi karbon ada dua
yakni mengganti energi minyak dengan sumber energi lainnya
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 14
yang tidak mengemisikan karbon dan yang kedua penggunaan
energi minyak sehemat mungkin.
- Menyembunyikan karbon yang juga membantu mencegah
karbon dioksida memasuki atmosfer atau mengambil CO2 yang
ada. Menyembunyikan karbon dapt dilakukan dengan dua cara:
Di bawah tanah atau penyimpanan air tanah.
Bawah tanah atau air bawah tanah bisa digunakan untuk
menyuntikkan emisi CO2 ke dalam lapisan bumi atau
ke dalam lautan. Lapisan bumi yang dapat digunakan
adalah penyimpanan alami minyak dan gas bumi di
tambang-tambang minyak. Dengan memompakan CO2
kedalam tempat-tempat penyimpanan minyak di perut
bumi akan membantu mempermudah pengambilan
minyak atau gas yang masih tersisa. Hal ini bisa
menutupi biaya penyembunyian karbon. Lapisan garam
dan batubara yang dalam juga bias menyembunyikan
karbon dioksida.
Penyimpanan di dalam tumbuhan hidup.
Tumbuhan hijau menyerap CO2 dari udara untuk
tumbuh. Kombinasi karbon dari CO2 dengan hidrogen
diperlukan untuk membentuk gula sederhana yang
disimpan di dalam jaringan. Mengingat pentingnya
tumbuhan dalam menyerap CO2 , maka perlunya
memelihara pepohonan dan menanam pohon baru lebih
banyak lagi
b. Prokol Kyoto
Pemanasan global sudah menjadi isu internasional. Bahkan,
keresahan dunia ini terwujud dalam konferensi Kyoto pada Desember
1997. Persetujuan konferensi itu berlaku mulai 16 Februari 2005. Protokol
Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), yakni sebuah persetujuan
internasional mengenai pemanasan global.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 15
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk
mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca
lainnya. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan
mengurangi rata-rata pemanasan global antara 0,02°C dan 0,28°C pada
tahun 2050.
Hingga Februari 2005, 141 negara telah meratifikasi protokol
tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia,
25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Untuk
mencapai protokol Kyoto ini, semua negara terus menciptakan teknologi
yang ramah lingkungan, terutama negara maju. Karena, negara maju yang
banyak mengeluarkan CO2 penyebab rumah kaca.
Dengan mengedepankan Protokol Kyoto, industri-industri stategis
seperti industri migas, industri transportasi, industri minyak dan gas
didorong untuk menggunakan energi alternatif yang ramah lingkungan.
Artinya, sedapat mungkin meninggalkan penggunaan migas yang
merupakan sumber utama emisi gas karbon.
Lima besar negara penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar
adalah :
1. Amerika Serikat
2. Tiongkok
3. Rusia
4. India
5. Jepang
Sejumlah negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) dan
Australia hingga kini belum menandatangi protokol ini. Mereka
beranggapan, kesepakatan ini akan mengancam masa depan industi
mereka. Padahal, AS tercatat sebagai salah satu negara penyumbang emis
gas karbon terbesar di dunia.
Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama
dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-
perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil.
Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 16
untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS,
terutama disebabkan oleh biaya energi.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada
38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam
melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat
5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai
paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan
diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan
pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa,
yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen;
dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara
berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi
gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru
terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk
pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia
juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang
tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini.
Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apabila negara-negara industri yang
bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca
pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi
ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian
ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16
Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan
jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi
bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan
yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara
berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan
separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini
memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini
di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 17
batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung
pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya
ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat
menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi.
Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang
diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi
serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke
peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat,
ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah
dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit
dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga
pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi
gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon
dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol
Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum
terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan
pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para
negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program
pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual
hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini
disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit
meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi
di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia,
merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini
diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas
rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong
emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi
untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama
mereka yang ada di Uni Eropa.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 18
c. Perjanjian Baru Pemanasan Global
Kurang dari sebulan menjelang Konferensi Internasional
Pemanasan Global di Kopenhagen, Denmark, namun masih belum ada
rencana jangka panjang yang jelas mengenai kesepakatan baru demi
mencegah semakin panasnya bumi. Sejak dua tahun lalu dalam konferensi
internasional di Bali, Indonesia telah dilakukan penjajakan luas mengenai
penandatangan perjanjian baru pemanasan global. Akhir penjajakan soal
ini telah dilakukan pekan lalu dalam pertemuan internasional di kota
Barcelona, Spanyol. Sekitar 4 ribu wakil dari 180 negara di dunia dan para
aktivis lingkungan hidup melakukan perundingan demi mendekatkan
pelbagai pandangan soal draft perjanjian baru pemanasan global.
Dua tahun lewat Perserikatan Bangsa Bangsa dan para aktivis
lingkungan hidup berusaha keras menciptakan kesepakatan internasional
demi menghadapi bahaya pemanasan global, namun semua usaha itu
tampaknya belum berhasil. Kegagalan ini terjadi pada kondisi di mana
selama dua tahun lalu terjadi banyak bencana alam luas dan perubahan
tiba-tiba iklim global. Perubahan iklim global dan dampak merusaknya
tampak jelas bagi semua negara dan masyarakat internasional.
Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan, negara-negara kepulauan
seperti Republik Maladewa yang berada di Samudera Hindia bakal lenyap
bila permukaan air laut naik satu meter. Presiden Maladewa beberapa
waktu lalu memperingatkan soal kondisi bahaya yang akan menimpa
negaranya dan dalam gerakan simbolik ia menyelenggarakan sidang
kabinet di bawah air.
Filipina sejak sebulan lalu menyaksikan banjir dahsyat yang
menimpa hampir semua daerahnya. Banjir itu diakibatkan hujan lebat yang
diprediksi para pakar merupakan dampak dari fenomena pemanasan
global. Para ilmuwan mengatakan, hingga 30 tahun ke depan, es di Kutub
Selatan akan mencair dan orang sudah tidak akan menyaksikan lagi
puncak es di pegunungan Alpen di Eropa dan Kalimanjaro di Afrika. Sejak
sekarang sungai-sungai mulai kering akibat kekeringan berturut-turut yang
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 19
menimpa dan hanya menjadi sungai di musim-musim tertentu. Perubahan
model iklim yang ada bakal mengancam kehidupan hewan-hewan.
Tanda-tanda perubahan iklim berdampak pada meningkatnya suhu
bumi dan tidak ada yang ragu pentingnya tekad global untuk mencegah
femonena global ini. Satu dari faktor utama meningkatnya suhu bumi
kembali pada kehidupan urban, industri dan pemakaian bahan bakar fosil
yang semakin meningkat. Penyebaran gas karbon dioksida juga telah
merusak lapisan ozon. Patut diketahui lapisan ozon berfungsi mencegah
pancaran sinar matahari yang berbahaya ke bumi dan berperan penting
dalam menyeimbangkan suhu bumi dan musim-musim. Satu-satunya cara
untuk mencegah kerusakan lebih besar lapisan ozon dan peningkatan suhu
bumi dengan mengurangi penyebaran gas karbon dioksida dan mengurangi
konsumsi bahan bakar fosil.
Sementara negara-negara dunia tengah menuju industrisasi,
kehidupan urban dan pemanfaatan berlebihan bahan bakar fosil. Negara-
negara maju sejak seabad lalu telah mengambil langkah-langkah jauh demi
pengembangan industri dan ekonomi. Pada hakikatnya negara-negara maju
yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lapisan ozon. Dengan
mengkonsumsi bahan bakar fosil tanpa batas mereka berhasil mencapai
tahapan industri dan bahkan post-industri. Mereka kini mampu mengontrol
perkembangan populasi penduduk dan mampu memanfaatkan teknologi
modern guna menjamin bahan bakar yang dibutuhkannya.
Kenyataannya, mayoritas negara-negara yang rendah tingkat
pendidikan dan budayanya menghadapi masalah pertambahan jumlah
penduduk. Sebagian negara-negara hanya dalam jangka waktu 15 atau 20
tahun jumlah populasinya telah meningkat dua kali lipat. 90 persen
pertumbuhan penduduk dunia terkait dengan kelompok negara-negara ini.
Pertumbuhan ekonomi demi menjamin kebutuhan ekonomi dan
pendidikan tengah terus bertambah dan kini menjadi hal yang harus
dilakukan oleh negara-negara miskin. Negara-negara ini membutuhkan
produksi dan konsumsi energi yang besar guna membangun infrastruktur
ekonomi dan industri.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 20
Jurang ekonomi yang lebar antara negara-negara maju dan negara-
negara miskin termasuk masalah utama dalam mencapai kesepakatan
internasional soal perjanjian baru pemanasan global. Dalam Perjanjian
Kyoto, ada 37 negara maju yang berjanji akan mengurangi 5 persen
tingkat penyebaran emisi gas rumah kaca dari tahun 1990. Perjanjian ini
diterapkan tahun 1997 dan akan berakhir tahun 2012. Namun Amerika
sebagai negara terbesar pemakai bahan bakar fosil dan penyebar emisi gas
rumah kaca tidak bersedia melaksanakan janjinya dalam Perjanjian Kyoto
dan akhirnya keluar dari perjanjian ini.
Presiden Bill Clinton di akhir masa jabatannya menandatangani
Perjanjian Kyoto, tapi Presiden George W. Bush menyatakan negaranya
keluar dari perjanjian itu dengan alasan industri negaranya bakal merugi
bila melaksanakannya. Keluarnya negara terbesar penyebar gas karbon
dioksida dari Perjanjian Kyoto praktis melumpuhkan upaya mencegah
pemanasan global yang berujung pada pentingnya membuat perjanjian
baru soal pemanasan global. Sikap ambigu Amerika soal pemanasan
global saat ini menjadi masalah utama penyusunan perjanjian baru
pemanasan global.
Pemerintah Barack Obama mengambil sikap yang berbeda dengan
pemerintah Bush. Sekaitan dengan masalah ini, Obama telah menyerahkan
sebuah draft kepada Kongres yang berisikan upaya mengurangi
penyebaran gas karbon dioksida hingga tahun 2050. Namun masalah
aslinya kembali pada tidak adanya tekad yang serius dari pemerintah untuk
berusaha bersama negara-negara di dunia. Kongres Amerika sendiri sangat
lambat menyikapi dan membahas draft yang diajukan Barack Obama.
Kelambanan ini berkat lobi-lobi yang dilakukan kelompok penekan di
Amerika. Menurut mereka, bila Amerika melaksanakan janji-janjinya
untuk mengurangi penyebaran gas karbon dioksida sama artinya
membebani biaya besar kepada para produsen.
Kenyataannya, di Amerika sendiri pemikiran yang mendominasi
adalah memprioritaskan kepentingan ekonomi ketimbang melindungi
lingkungan hidup. Satu dari faktor yang membuat Ban Ki-moon, Sekjen
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 21
PBB dan sebagian pejabat PBB lainnya menyatakan pupusnya harapan
mereka bakal dicapai kesepakatan dalam Konferensi Internasional
Pemanasan Global di Kopenhagen dan akar masalahnya adalah
ketidakjelasan politik Amerika.
Masalah lain yang menjadi penghalang tercapainya kesepakatan
global soal perjanjian baru pemanasan global adalah bantuan kepada
negara-negara yang sedang berkembang. Negara-negara Barat yang kaya
tidak punya pilihan lain harus membantu negara-negara sedang
berkembang bila ingin berperan serta bersama mereka dalam program
pengurangan penyebaran gas karbon dioksida. Pemilikan teknologi
modern dan pemanfaatan energi secara tepat guna yang diiringi eskalasi
pertumbuhan ekonomi negara-negara miskin membutuhkan penanaman
modal asing.
Uni Eropa menyatakan, negra-negara berkembang sejak tahun
2013 hingga 2020 setiap tahunnya membutuhkan bantuan finansial sebesar
100 juta euro demi berperan serta dalam program global pengurangan suhu
bumi. Uni Eropa siap menjamin setengah dari anggaran dana bantuan
kepada negara-negara sedang berkembang dan miskin. Namun UE
mensyaratkan akan menyerahkan bantuan ini bila setengah dari anggaran
lainnya dibayar oleh negara-negara kaya dan berkembang lainnya.
Sementara di Uni Eropa sendiri muncul friksi hebat antara negara-negara
anggota terkait saham setiap negara dalam menyerahkan anggaran ini.
Polandia dan delapan negara anggota UE di Eropa Timur menyatakan
ketidakbersediaannya menerima saham apa pun demi membantu negara-
negara sedang berkembang.
Sejumlah masalah yang dihadapi ini membuat para aktivis
lingkungan hidup dan para pejabat PBB sampai pada satu keyakinan, bila
Konferensi Kopenhagen berhasil mencapai kesepakatan pun, maka
kesepakatan itu hanya terkait masalah-masalah umum. Dengan demikian,
dibentuknya sebuah perjanjian baru bakal diundur sekali lagi untuk masa
yang belum dapat ditentukan.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 22
d. Salah satu masjid di Inggris mengupayakan bebas karbon
Sebuah masjid di South Woodford, sebelah timur laut kota London
menyatakan diri sebagai tempat ibadah pertama yang bebas zat karbon. Masjid
ini mengurangi pemakaian gas dan listrik dan menggantikannya dengan
penanaman pohon-pohon. Organisasi sosial Tolerance Internasional telah
melakukan kalkulasi atas emisi karbon masjid tersebut, untuk membantu
seberapa besar pengurangan energi yang harus dilakukan Masjid South
Woodford.
Ketua masjid Dr. Muhammad Fahim mengatakan, ajaran Islam
mewajibkan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan tempat mereka
hidup. Kita tidak bisa hanya memanfaatkannya, tanpa menjaga dan
melindungi alam. Ketika pohon-pohon memberikan memberikan buah, buah
itu bukan untuk pohon itu sendiri tapi juga untuk umat manusia yang
mendapat keuntungan darinya. Fahim ingin setiap Muslim seperti pohon itu,
yang memberikan manfaat bukan buat dirinya sendiri, tapi juga untuk orang
lain.
Masjid ini menjadi masjid pertama di Inggris yang bebas karbon dan
kami berusaha menjadi pelopor untuk masjid-masjid lainnya. Sementara itu,
Ketua Eksekutif Tolerance International, Hamid Bayazi mengatakan, inisiatif
yang dilakukan Masjid South Woodford akan mempercepat upaya untuk
mengatasi masalah pemanasan global.
Para ilmuwan dunia memprediksikan, suhu dunia rata-rata akan
rmeningkat antara 1, 8 sampai 3 derajat Celsius pada abad ini karena efek
emisi gas rumah kaca, terutama dari hasil pembakaran bahan bakar minyak.
Peningkatan suhu berdampak pada kekeringan, kelaparan, banjir yang bisa
membahayakan kelangsungan hidup manusia.
Lembaga Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyebutkan, pada tahun 2080 kemungkinan ada 3, 2 milyar penduduk dunia-
sepertiga penduduk bumi-yang akan kekurangan air, 600 juta orang akan
mengalami kelaparan dan 7 juta orang akan mengalami kebanjiran karena
permukaan air laut yang terus naik.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 23
Organisasi pemerhati lingkungan hidup World Wildlife WWF
menuding AS menjadi negara yang paling besar kontribusinya dalam
pemanasan global dan telah mengesampingkan peringatan dari para ilmuwan
agar ikut mengatasi masalah itu.
e. Jepang ikut berpatisipasi dalam mengurangi laju pemanasan global
Sejalan dengan makin mudah dan nyamannya kehidupan modern,
berkembang kecenderungan orang membuat barang yang digunakan satu
kali saja, lalu membuangnya. Hal ini menyebabkan timbulnya banyak
macam masalah lingkungan, seperti pencemaran udara dan air, perusakan
lingkungan alam, pemanasan global, dan jumlah limbah yang luar biasa.
Perlindungan lingkungan merupakan tugas vital tidak saja bagi Jepang tapi
juga bagi seluruh dunia. Di bawah pimpinan pemerintahnya, masyarakat
Jepang dewasa ini sibuk melakukan usaha-usaha perlindungan lingkungan
dalam lingkup luas.
Harga yang harus dibayar bagi kenyamanan kehidupan modern
adalah timbulnya generasi penyebab banyak limbah. Bila limbah dibawa
begitu saja untuk menimbun tanah, maka akan timbul gunungan-gunungan
sampah yang terus membesar. Sekarang kita harus membangun
masyarakat daur-ulang di mana barang digunakan secukupnya saja dan
dapat digunakan berulang kali, dan bukan terus dibuang. Jepang telah
mencapai kemajuan besar dalam mengurangi volume sampah dan dalam
mendaur-ulang produk-produk bekas, khususnya daur-ulang kaleng dan
botol plastik telah berjalan dengan mantap di Jepang.
Kehidupan yang nyaman memerlukan banyak energi, termasuk
listrik, gas, dan bensin. Karbon dioksida dan gas-gas lainnya terlepas ke
udara ketika orang membangkitkan listrik dan mengoperasikan mesin
dengan membakar bahan bakar seperti minyak dan batubara. Gas-gas
tersebut menimbulkan berbagai masalah seperti pemanasan global dan
pencemaran udara. Pemanasan global merupakan masalah di mana suhu di
seputar dunia meningkat. Untuk mencegahnya, jumlah karbon dioksida
serta gas-gas rumah-kaca lainnya harus dikurangi. Pada kesempatan
COP3, sebuah konperensi besar mengenai pencegahan pemanasan global
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 24
yang diselenggarakan di kota Kyoto, Jepang pada tahun 1997, banyak
negara berjanji akan mengurangi jumlah gas-gas rumah-kaca yang
diproduksinya.
Gambar 2.4 Barang-barang bekas
Salah satu jalan untuk menanggulangi pemanasan global adalah
menggunakan bentuk-bentuk energi yang ‘bersih’ yang tidak
mengeluarkan gas buangan. Energi sinar surya, angin dan geothermal
(panas bumi) adalah beberapa di antara jenis energi bersih yang tersedia.
Jepang aktif mengembangkan dan menerapkan energi bersih sebagai
bagian dari usaha-usahanya untuk mengatasi masalah pemanasan global
dan mengurangi pencemaran.
Gambar 2.5 Energi sinar surya, angin, dan geothermal
Jepang berusaha membantu negara-negara di berbagai penjuru
dunia dalam mengatasi masalah-masalah lingkungan dengan, misalnya,
memberikan mereka teknologi daur-ulang, teknologi untuk mengurangi
emisi gas-gas rumah-kaca, dan berbagai teknologi lingkungan lainnya.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 25
f. Inggis ikut berpartisipasi dalam mengurangi laju pemansan global
Pemerintah Inggris telah menekankan pentingnya untuk segera
bertindak sekarang juga guna mengatasi emisi pemanasan gas rumah kaca
karena manfaat jangka panjangnya akan jauh lebih murah daripada tidak
melakukan apapun.
Nicholas Stern, seorang ilmuan pemerintah Inggris dan
sebelumnya adalah ketua ahli ekonomi Bank Dunia, menyatakan dalam
suatu pertemuan di Meksiko bagian utara bahwa ditinjau dari segi
ekonomi maupun lingkungan maka sudah saatnya untuk menggali sumber
energi hijau. Dia juga mengingatkan semua orang bahwa semakin lama
tindakan ini di tunda, maka bianya akan semakin mahal.
David Millband, Sekretaris Lingkungan Inggris menambahkan
peringatan Stern dengan penting sekali untuk mengambil tindakan untuk
mencegah perubahan cuaca lebih lanjut karena biaya ekonomi belum lagi
biaya manusia dan biaya lingkungan akan jauh lebih berat dari pada biaya
mitigasi.
Peserta yang hadir dalam pertemuan yang berlangsung di
Monterrey, Meksiko diantaranya adalah para menteri energi dan
lingkungan hidup dari 20 negara penghasil gas rumah kaca terbesar
Amerika Serikat. Tema utama dari pembahasan ini adalah tentang
peralihan ke konsep yang ilmiah dan juga dialog tentang perubahan iklim.
g. Perancis ikut berpartisipasi dalam mengurangi laju pemanasan global
dengan Pakta Nasional bagi Lingkungan Hidup
Dominique de Vellepin, perdana menteri Perancis mengumumkan
suatu “Pakta Nasional bagi Lingkungan Hidup. Ia menawarkan dana
kepada rumah tangga dan perusahaan di Perancis sebesar 10 juta euro
dalam bentuk pinjaman lunak guna membiayai proyek penghematan
energi. Pakta ini adalah sebuah dorongan kepada bangsa Perancis untuk
mulai memperhatikan lingkungan hidup. Dalam pakta ini sudah termasuk
janji untuk menambah sejumlah stasiun pengisian bahan bakar di Perancis
yang menyediakan minyak berbasis ethanol pada pompa bensin mereka
sebagai bagian dari gerakan melepaskan ketergantungan Perancis terhadap
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 26
minyak bumi dan untuk mengurangi emisi. Selain itu disediakan 100 juta
euro untuk membiayai penelitian motor hybrid lebih lanjut. Dana senilai
10 miliar euro untuk program penghematan energi diambil dari rekening
tabungan Codevi dari warga negara Perancis, yang membayar 2,75%
bunga per tahun dan sejauh ini dipatok sekitar 4.600 euro per orang.
h. Pemerintah Norwegia mengurangi emisi
Suatu komite yang ditunjuk oleh pemrintah mengatakan bahwa
Norwegia sebagai negara pengekspor minya terbesar ketiga di dunia bisa
mengurangi emisi as rumah kacanya hingga 80 persen sebelum tahun 2050
tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Komite tersebut mengajikan 15 cara untuk memotong emisi gas
rumah kaca hingga 50-80 persen pada tahun 2050 untuk mengatasi
perubahan iklim. Negara-negara maju lainnya juga berupaya untuk
mengurangi emisi dari sumber pembangkit tenaga listrik, industri, dan
mobil di tahun-tahun mendatang.
Usaha pengurangan jangka panjang tersebut akan dilakukan dari
tahun 2008-2012 yang akan melampaui 5,2% pengurangan tingkat emisi
tahun 1990, sebagaimana yang telah disetujui oleh 35 negara industri,
termasuk Norwegia, di bawah Protokol Kyoto PBB.
Sebagai tambahan, penghematan energi disektor lain, termasuk
pemanasan gedung yang lebih efisien, akan mengurangi beban biaya
tersebut. Perkembangan pengendalian karbon dari sumber tenaga listrik
juga bisa menciptakan tonggak baru dalam bidang teknologi bagi
Norwegia.
Kelompok lingkungan hidup dari “Yayasan Satwa Liar Dunia
( World Wildlife Fund – WWF)” meminta pemerintah Norwegia untuk
menerapkan saran-saran komite ini, dengan mengatakan bahwa
perusahaan minyak di Norwegia seperti Statoil dan Norsk Hydro bahkan
mendesar agar pemerintah mengambil tindakan untuk mengurangi
pemanasan global.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemanasan global telah menjadi permasalahan yang menjadi sorotan
utama umat manusia. Fenomena ini bukan lain diakibatkan oleh perbuatan
manusia sendiri dan dampaknya diderita oleh manusia itu juga. Untuk mengurangi
pemanasan global diperlukan usaha yang sangat keras karena hampir mustahil
untuk diselesaikan saat ini sehingga juga diperlukannya peranan Indonesia dan
negara-negara maju untuk meminimalisir dampak yang terjadi. Pemanasan global
memang sulit diatasi, namun kita bisa mengurangi efeknya. Penanggulangan hal
ini adalah kesadaran kita terhadap kehidupan bumi di masa depan. Apabila kita
telah menanamkan kecintaan terhadap bumi ini maka pemanasan global hanyalah
sejarah kelam yang pernah menimpa bumi ini.
3.2 Saran
Kehidupan ini berawal dari kehidupan di bumi jauh sebelum makhluk
hidup ada. Maka dari itu untuk menjaga dan melestarikan bumi ini harus beberapa
dekade kah kita memikirkannya. Sampai pada satu sisi dimana bumi ini telah tua
dan memohon agar kita menjaga serta melstarikannya. Marilah kita bergotong
royang untuk menyelematkan bumi yang telah memberikan kita kehidupan yang
sempurna ini. Stop global warming.
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 28
DAFTAR PUSTAKA
1. http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/06/pemanasan-global-global-
warming.html
2. http://baskoro06.wordpress.com/2009/01/22/makalah-pemanasan-global/
3. http://kontaktuhan.org/news/news175/eLetter/gv_37.htm
4. http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_16.html#
5. http://www.planethijau.com/mod.php?
mod=publisher&op=viewarticle&cid=47&artid=1406
6. http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/02/1001-cara-untuk-mengatasi-
pemanasan-global-dapat-dimulai-dari-rumah/
7. http://ijodaoen.blogspot.com/2008/09/peduli-pemanasan-global-masjid-
di.html
8. http://www.gema-nurani.com/2012/04/pemanasan-global-indonesia-dan-
arogansi-negara-negara-maju/
9. http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/07/05052156/pemanasan.global
10. http://indonesian.irib.ir/en/sosialita/-/asset_publisher/QqB7/content/id/
4895683/pop_up?_101_INSTANCE_QqB7_viewMode=print
11. http://dikikezper.blogspot.com/2012/02/makalah-pemanasan-global-global-
warming.html
12. http://pramudyasikumbang.wordpress.com/2012/06/08/peran-fibre-optic-
dalam-mengatasi-global-warming/
KELOMPOK III / REKAYASA LINGKUNGAN 29