Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan...

109

Transcript of Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan...

Page 1: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.
Page 2: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan

Page 3: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.
Page 4: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Penerbit IPB PressJalan Taman Kencana No. 3,

Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2018

Penulis:DR. Fitrah Ernawati, MSc.

Dr. Yessi Octaria, MIH.Prof. DR. Ir. Ali Khomsan, MS.

Page 5: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Judul Buku:Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta

Penulis:DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir. Ali Khomsan, MS.

Penyunting Bahasa:Dwi Murti Nastiti

Penata Isi:Alfyandi

Desain Sampul:Makhbub Khairul Fahmi

Korektor:Atika Mayang Sari

Jumlah Halaman: 92 + 16 halaman romawi

Edisi/Cetakan:Cetakan 1, Desember 2018

PT Penerbit IPB PressAnggota IKAPIJalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected]

ISBN: 978-602-440-599-1

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2018, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 6: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Prakata

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, hanya dengan rida-Nya kami dapat menyelesaikan buku kami tentang Anemia pada anak Bawah dua tahun (Baduta). Anemia adalah kondisi yang menunjukkan jumlah atau kualitas sel darah merah (pembawa oksigen) tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia sering ditandai dengan badan lemah, letih, lesu, dan kurang semangat, pada anak Balita atau anak Baduta sering kali tampak anak berwajah pucat dan kurang ceria.

Anemia pada Baduta ini kurang mendapat perhatian oleh masyarakat, pengambil kebijakan, atau bahkan pemerhati anak. Luputnya dari perhatian tersebut karena anak yang menderita anemia tidak tampak sakit dan tidak menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan secara medis. Hal ini juga hampir mirip dengan masalah stunting yang tidak menunjukkan gejala penyakit yang berat. Saat ini, Pemerintah dan masyarakat sudah mulai memberikan perhatian besar terhadap stunting, namun belum menyentuh dengan saksama terhadap anemia terutama anemia pada anak Baduta.

Secara besaran masalah, anemia pada anak Baduta lebih besar dari pada stunting. Sekali lagi anak Baduta dengan anemia nyaris tidak terlihat mengalami gangguan kesehatan karena mereka masih dapat beraktivitas meski dengan badan letih, lesu, lemah dan hampir kurang bergairah untuk bermain.

Page 7: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

viPeluang Generasi Bangsa yang Terabaikan:Anemia Baduta

Anemia pada Baduta dapat berpengaruh pada perkembangan kognitif dan motorik anak, tidak hanya selama masa kanak-kanak tetapi dapat berlanjut hingga usia dewasa dan dalam skala luas akan mempengaruhi sumber daya manusia di masa depan. Hal ini karena usia Baduta merupakan usia emas bagi perkembangan anak, usia ini masuk dalam periode 1000 Hari Pertama Kehidupan, dalam periode ini, terjadi pertumbuhan otak yang sangat pesat untuk menopang kehidupan anak di usia selanjutnya. Salah satu penyebab anemia yang banyak dijumpai di negara berkembang adalah anemia karena kurang zat besi atau ADB (anemia defisiensi besi).

Buku ini diperuntukkan bagi para peneliti, mahasiswa ataupun pemangku kebijakan dan pemerhati anak serta masyarakat untuk dapat mengenali lebih dini anemia pada anak Baduta. Buku ini membahas apa itu anemia, bagaimana anemia pada Baduta, gejala, identifikasi anemia dengan kekurangan besi atau anemia non kekurangan besi, pemeriksaan laboratorium yang sederhana, penyebab anemia, dampak anemia pada anak Baduta, serta bahan makanan sumber zat besi.

Kami menerima dengan senang hati segala saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Harapan kami, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca, terutama para pengambil kebijakan kesehatan.

Penulis

Page 8: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Isi

Prakata .............................................................................................. v

Daftar Isi ......................................................................................... vii

Daftar Tabel ..................................................................................... ix

Daftar Gambar ................................................................................. xi

Daftar Singkatan ............................................................................ xiii

Sistematika Buku ............................................................................ xv

Bab I Pendahuluan .......................................................................1

Bab II Jenis Anemia dan Determinannya ......................................7A. Anemia ...............................................................................7B. Anemia Defisiensi Besi ........................................................9C. Anemia, Malaria, dan Kecacingan ....................................14

Bab III Pemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi ......................................................19

A. Pemeriksaan Klinis Anemia Defisiensi Besi .......................19B. Pemeriksaan Laboratorium Darah Tepi pada Anemia

Defisiensi Besi ...................................................................24

Page 9: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

viiiPeluang Generasi Bangsa yang Terabaikan:Anemia Baduta

B.1. Hemoglobin (Hb) .....................................................24B.2. Hematocrit ................................................................30B.3. Mean Cell Volume (MCV) .........................................32B.4. Mean Cell Hemoglobin (MCH) ..................................34B.5. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) .........35

C. Pemeriksaan Defisiensi Zat Besi ........................................36

Faktor-faktor yang Memengaruhi Serum Ferritin .............38

Bab IV Epidemiologi dan Dampak ADB pada Baduta ..................45A. Epidemiologi Anemia Defiensiensi Besi pada Baduta ........45B. Dampak Anemia Defisiensi Besi pada Baduta ...................48

Bab V Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi ..................................................................53

Bab VI Pangan Sumber Zat Besi ...................................................65

Bab VII Penutup ............................................................................71

Daftar Pustaka ................................................................................73

Tentang Penulis ..............................................................................89

Page 10: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Tabel

Tabel 1 Klasifikasi anemia berdasarkan patofisiologi ......................8

Tabel 2 Status anemia berdasarkan kelompok umur ....................27

Tabel 3 Penyesuaian acuan kadar Hb normal berdasarkan ketinggian tempat tinggal................................................28

Tabel 4 Penyesuaian acuan kadar Hb normal pada perokok ........29

Tabel 5 Penyesuaian acuan kadar Hb normal berdasarkan etnisitas .......................................................29

Tabel 6 Kadar Normal Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Hct) menurut kelompok umur ...................32

Tabel 7 Nilai Acuan MCV berdasarkan kelompok umur (NHANES III) ...............................................................34

Tabel 8 Nilai MCV, MCH, dan MCHC untuk prediksi status besi ..........................................................36

Tabel 9 Hubungan antara jumlah besi dalam tiap kompartemen, tahapan anemia, dan pemeriksaan darah ...................................................37

Tabel 10 Kadar Ferritin menurut kelompok umur ........................43

Page 11: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

xPeluang Generasi Bangsa yang Terabaikan:Anemia Baduta

Tabel 11 Kategori Prevalensi Anemia sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat .....................................................47

Tabel 12 Prevalensi anemia anak usia 0,5–12 tahun di Indonesia ....................................................................48

Tabel 13 Angka Kecukupan Gizi (AKG) Besi Balita ......................53

Tabel 14 Pedoman suplementasi zat besi untuk anak-anak usia 6–24 bulan..............................................55

Tabel 15 Kebutuhan zat besi harian pada ibu hamil dan menyusui ................................................................57

Tabel 16 Pedoman suplementasi besi untuk ibu hamil ..................58

Tabel 17 Sumber pangan dan hasil olahannya kaya zat besi ...........65

Page 12: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Gambar

Gambar 1 Ilustrasi heme, hemoglobin, dan sel darah merah ..........10

Gambar 2 Kerangka Kerja Mengatasi Malnutrisi ..........................15

Gambar 3 Defisiensi besi, anemia defiensi besi, dan anemia ..........20

Gambar 4 Ilustrasi spektrum kontinyu status besi .........................20

Gambar 5 Ilustrasi komponen darah dan pembacaan Hematokrit (Hct) .........................................................31

Gambar 6 Ilustrasi ukuran sel darah merah normal, mikrositik, dan makrositik ..............................................................33

Page 13: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.
Page 14: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Singkatan

AAP : American Association of PediatricianADB : Anemia Defisiensi BesiBADUTA : Bawah Dua TahunBALITA : Bawah Lima TahunBBLR : Berat Badan Lahir RendahCDC : Center for Disease Control and PreventionCRP : C-reaktif ProteinDDST : Denver Developmental Screening TestDSS : Dried Serum SpotEDTA : EthylenediaminetetraaceticELISA : Enzime-Linked Immunosorbent AssayFEP : Free erythrocytes protoporphyrinGAIN : Global Alliance for Improving NutritionHB : HemoglobinHCT : HematocritHPK : Hari Pertama KehidupanICHS : International Committee for Standardization in HematologyID : Iron deficiency

Page 15: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

xivPeluang Generasi Bangsa yang Terabaikan:Anemia Baduta

IDAI : Ikatan Dokter Anak IndonesiaIRMA : Immunoradiometric assayMCH : Mean Corpuscular HemoglobinMCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin ConcentrationMCV : Mean Corpuscular VolumeMNP : Micronutrient PowdersMPASI : Makanan Pendamping ASI NHANES : National Health and Nutrition Examination SurveyPCV : Packed Cell VolumeQEEG : Quantitative electroencephalographyRASKIN : Beras untuk Rumah Tangga MiskinRBC : Red Blood CountRCOG : Royal College of Obstetricians and GynecologistsRDW : Red Blood Cell Distribution WidthSF : Serum FerritinSKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga SNI : Standar Nasional IndonesiaSTFR : Soluble Transferin ReceptorTIBC : Total Iron Binding CapacityUNICEF : The United Nations International Children’s Emergency FundWHO : World Health OrganizationYLD : Years Lived in DissabilityZPP : Zinc Protoporfirin

Page 16: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Sistematika Buku

Buku ini disusun dengan perspektif bahwa anemia defisiensi besi pada anak usia di bawah dua tahun (Baduta) merupakan masalah kesehatan masyakarat yang penting dicermati. Kondisi anemia pada usia ini dapat merupakan akibat dari anemia lintas generasi yang diturunkan dari tidak teratasinya masalah anemia pada ibu hamil. Di sisi lain masa Baduta adalah periode emas yang sangat penting untuk kejar tumbuh kembang anak dan dikenal dengan 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Oleh karena itu, untuk dapat menyajikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai anemia pada anak Baduta, buku ini akan dimulai dari penjelasan mengenai anemia secara umum, anemia gizi dan kemudian mengerucut pada anemia defisiensi besi, metode pengukuran, penetapan status anemia dan anemia defisiensi besi, penyebab, dan dampak serta penanggulangannya dalam konteks 1000 HPK.

Bab 1 berisikan pendahuluan yang di dalamnya kami mencoba menjelaskan besar masalah anemia pada anak Baduta mengapa dan bagaimana anemia pada anak khususnya anak Baduta di Indonesia. Selain itu, kami juga menjelaskan masalah anemia pada anak Baduta dengan menunjukkan berbagai bukti ilmiah mengenai tingginya prevalensi kejadian anemia pada usia ini sehingga sudah dikategorikan sebagai masalah kesehatan masyarakat, dan juga sekilas mengenai dampaknya bagi tumbuh kembang anak.

Page 17: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

xviPeluang Generasi Bangsa yang Terabaikan:Anemia Baduta

Bab 2 dalam buku ini akan menyajikan informasi mengenai patofisiologi anemia dan anemia defisiensi besi atau ADB, dan anemia non gizi besi serta keterkaitannya dengan malaria dan kecacingan.

Bab 3 menekankan pada faktor teknis mengenai definisi, metode pengukuran, dan batas normal kejadian anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat, sehingga dapat diaplikasikan dan dipahami oleh masyarakat atau tenaga kesehatan di tingkat Puskesmas atau Polindes.

Bab 4 akan menyoroti lebih mendalam mengenai epidemiologi dan dampak ADB pada anak Baduta dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Bab 5 dalam buku ini membahas tentang pencegahan dan penanggulangan anemia jangka pendek, menengah, dan panjang. Pada bagian ini dibahas secara sistematis berbagai pemikiran dan alternatif solusi agar Indonesia dapat bebas dari anemia pada anak khususnya anak Baduta sebagai kelompok rentan.

Bab 6 menyajikan pangan sumber zat besi yang diharapkan dapat membantu pembaca untuk mendapatkan informasi terkait konsumsi pangan kaya zat besi.

Bab 7 Penutup.

Semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan dapat membantu memahami permasalahan anemia defisiensi besi di Indonesia, khususnya pada kelompok anak Baduta.

Page 18: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab I Pendahuluan

Anemia adalah kondisi yang menunjukkan jumlah atau kualitas sel darah merah (pembawa oksigen) tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis setiap orang bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, ketinggian lokasi tempat tinggal, kondisi kesehatan, dan fase kehamilan (WHO, 2011). Prevalensi anemia secara global pada tahun 2010 adalah 32,9% yang menyebabkan 68,4 juta tahun hidup dengan disabilitas (Years Lived in Dissability–YLD). Ini berarti anemia menyumbang 8,8% dari total disabilitas dari semua kondisi pada tahun tersebut. Anak-anak di bawah usia lima tahun (Balita) dan perempuan masih menanggung beban tertinggi akibat anemia (Kassebaum et al. 2014).

Secara geografis, beban penyakit akibat anemia sebagian besar berasal dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di Asia dan Afrika, dengan beban tertinggi masih di wilayah Sub Sahara Afrika (S. R. Pasricha, 2014). Prevalensi anemia digunakan sebagai salah satu indikator kesehatan penting secara global karena kejadian anemia dapat menyajikan gambaran tentang kualitas kesehatan kelompok rentan secara geografis maupun sosial ekonomi terutama perempuan dan anak yang dapat menjadi cerminan kualitas kesehatan masyarakat suatu negara. Secara global, kekurangan zat besi dianggap

Page 19: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta2

sebagai penyebab anemia paling umum, sebab separuh perbaikan kondisi anemia dapat dikaitkan dengan pemberian zat besi (Stoltzfus, Mullany, & Black, 2004).

Sebagaimana telah disebutkan bahwa negara-negara dengan penghasilan menengah dan rendah menanggung beban anemia terbesar dan di antara berbagai negara dengan beban anemia tinggi tersebut Indonesia adalah salah satunya. Hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 2001 menunjukkan bahwa bayi usia 0–6 bulan menderita anemia defisiensi besi 61,3%, bayi usia 6–12 bulan 48%. Hasil penelitian di Meksiko, prevalensi anemia pada anak Baduta mencapai 50% (Villa pando Salvador, et al. 2003). Hasil penelitian gizi mikro di 7 provinsi di Indonesia (Sumbar, Sumsel, Banten, Bali, NTB, Kalsel, Sultra) prevalensi anemia anak usia 6–23 bulan sebesar 53,3% (Herman Susilowati, 2006). Data tahun 2007 menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi anemia anak usia 1–4 tahun sebesar 27,7% (Riskesdas, 2007). Hasil penelitian di Brazil menunjukkan bahwa Prevalensi anemia anak usia 6–23 bulan dua kali lebih besar dibandingkan anak usia 24–59 bulan, yaitu 61,8% vs 31,0% (chi 2 = 77,9, P <0,001) (MM. Osoko et al. 2011). Data Seanuts (2013) menunjukkan kondisi yang hampir sama yaitu sebanyak 55,5% anak usia 0,5–1,9 tahun menderita anemia. Data pemeriksaan hapusan darah menunjukkan bahwa jenis anemia terbanyak pada orang dewasa dan anak-anak adalah anemia mikrositik hipokromik (60,2%) yang identik dengan gambaran anemia defisiensi besi. Data yang sama menunjukkan bahwa jenis anemia pada ibu hamil sebagian besar adalah juga mikrositik hipokromik (59% dari ibu hamil yang anemia), dan pada anak- anak anemia mikrositik hipokromik bahkan mencapai 70,1% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008).

Secara konsisten, dari data-data tersebut di atas menunjukkan bahwa anak usia di bawah 2 tahun (Baduta) memiliki prevalensi anemia cukup tinggi yaitu sekitar 50%, bahkan di Brasil prevalensi dua kali lebih tinggi pada anak usia 6–23 bulan dibandingkan anak 24–59 bulan, 61,8% vs 31,0% (chi 2 = 77,9, P <0,001).

Page 20: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IPendahuluan 3

Hal ini menunjukkan tidak banyak perubahan yang terjadi dalam penanganan anemia pada kelompok rentan ini karena prioritas penanganan anemia secara nasional masih berfokus pada kelompok rentan lain yaitu ibu hamil. Hal ini tentunya bukan tanpa alasan, berdasarkan hasil Riskesdas 2013 anemia pada populasi ibu hamil adalah sebesar 37,1% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013), data terbaru prevalensi anemia pada Ibu Hamil mencapai 48,9 persen (Riskesdas, 2018). Meskipun anemia pada ibu hamil seringkali bersifat relatif karena meningkatnya volume plasma darah dan kebutuhan besi bagi kehamilan dan janin, anemia pada ibu hamil memiliki efek domino bagi kesehatan janin yang dapat dilihat dari kejadian dari berat badan lahir rendah, kadar hemoglobin bayi yang rendah, dan kemungkinan keguguran (Gogoi & Prusty, 2013). Seiring dengan meningkatnya pemahaman tentang paradigma gizi untuk siklus hidup serta bertambahnya bukti dan informasi mengenai dampak negatif anemia bagi tumbuh kembang anak dan masa depannya, maka perhatian penanganan hendaknya mulai memperhatikan anemia pada anak-anak terutama Baduta sebagai periode emas kejar tumbuh pada anak. Anemia pada kelompok usia ini juga merupakan cerminan tidak teratasinya anemia pada ibu hamil. Efek domino ini semakin tampak jelas bahwa anemia anak Baduta tidak dapat dipisahkan dari status kesehatan ibu hamil terutama status anemia ibu hamil.

Dampak negatif anemia defisiensi besi pada anak-anak sangatlah luas termasuk terhadap perkembangan neurologis, fungsi kognitif, toleransi terhadap aktivitas fisik, fungsi kekebalan tubuh, serta prestasi belajar di sekolah (Walter, de Andraca, Chadud, & Perales, 1989). Dampak negatif ini bahkan menetap dalam jangka panjang sehingga memengaruhi tumbuh kembangnya di kemudian hari (Betsy Lozoff, Jimenez, & Wolf, 1991); Lozoff, Jimenez, Hagen, Mollen, & Wolf, 2000). Analisis kohort bayi dari Malawi menunjukkan bahwa penurunan hemoglobin sebesar 10g/L pada saat bayi berusia 6 bulan memiliki risiko kematian 1,72 kali lebih tinggi (Oppenheimer, 2001). Berbagai dampak negatif terkait tumbuh kembang anak ini selain

Page 21: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta4

karena kurangnya pasokan oksigen untuk metabolisme jaringan adalah juga karena peran penting zat besi bagi pertumbuhan. Besi diperlukan untuk mielinisasi neuron, neurogenesis, dan diferensiasi sel-sel otak yang dapat memengaruhi sistem sensorik, bahasa, memori, dan perilaku. Besi juga merupakan ko-faktor untuk enzim yang menyintesis neurotransmiter dan oleh karena itu anemia defisiensi besi (ADB) pada bayi dan anak-anak telah lama menjadi perhatian besar bagi komunitas pediatrik karena prevalensinya yang relatif tinggi (R. D. Baker & Greer, 2010; Wang, San, & Diego, 2016).

Periode puncak kejadian anemia defisiensi besi pada anak secara global adalah pada usia 6 sampai 24 bulan atau di bawah dua tahun. Usia 6 bulan adalah saat transisi pemberian makanan tambahan (B Lozoff, 2007). Di Indonesia, data SEANUTS menunjukkan sekitar 55,5% anak usia 0,5–1,9 tahun mengalami anemia dengan kejadian anemia lebih tinggi di daerah perdesaan dibandingkan perkotaan (Sandjaja et al. 2013). Sementara penelitian dalam skala yang lebih kecil terhadap bayi dengan usia lebih muda yaitu 0–6 bulan di Banjarbaru Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) mencapai 38,5% (Ringoringo & Windiastuti, 2006). Penelitian berikutnya yang dilakukan di daerah yang sama menunjukkan bahwa secara keseluruhan kejadian ADB adalah 40,8% pada bayi usia 0–6 bulan di lokasi penelitian, sedangkan pada pemantauan 6 bulan selanjutnya kejadian ADB justru semakin meningkat menjadi 47,4% (Ringoringo, 2009). Penelitian lain yang dilakukan di Jakarta Timur menunjukkan bahwa 38,2% bayi usia 4–12 bulan yang menjadi subjek penelitian mengalami anemia dan 71,4% di antaranya menderita ADB. Dalam penelitian yang sama ditemukan bahwa prevalensi ADB (73,3%) lebih besar pada bayi 8–12 bulan daripada bayi yang lebih muda (Sekartini, Rini; Soedjatmiko; Wawolumaya, Corry; Yuniar, Irene; Dewi, 2005)

Dapat disimpulkan bahwa Anemia dan ADB pada anak di bawah dua tahun adalah masalah kesehatan yang penting di Indonesia karena prevalensinya yang tinggi. Selain itu, dampak negatif ADB pada

Page 22: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IPendahuluan 5

tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun kognitif sangatlah luas dan beragam bahkan dapat menetap sampai jangka panjang. Usia di bawah dua tahun adalah periode emas yang dikenal dengan periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Pada periode ini perbaikan status gizi dapat dilakukan secara lebih optimal. Salah satunya adalah dengan mengatasi masalah ADB pada usia Baduta sebagai periode kejar tumbuh di satu sisi dan sebagai indikator masalah anemia lintas generasi yang diturunkan dari status anemia ibu hamil. Masalah anemia dan ADB pada anak adalah masalah yang kompleks dan membutuhkan pendekatan multisektoral yang terarah dengan memberikan perhatian pada Ibu Hamil.

Page 23: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.
Page 24: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab II Jenis Anemia dan

Determinannya

A. AnemiaTubuh manusia membutuhkan oksigen untuk sebagian besar

metabolisme energinya, oksigen ini dibawa ke seluruh tubuh oleh sel darah merah atau eritrosit. Sel darah merah mengandung hemoglobin yaitu protein yang berfungsi membawa oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh (Krakovsky, 2013). Ketika jumlah sel darah merah berkurang atau jumlah hemoglobin di dalamnya rendah, darah tidak dapat membawa pasokan oksigen yang cukup. Pasokan oksigen yang tidak adekuat dalam jaringan menyebabkan gejala anemia (Braunstein, 2015). Kata anemia sendiri berasal dari bahasa Yunani “an-haemia” atau tanpa darah (Krafts, 2010).

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat penting di negara berkembang termasuk di Indonesia terutama pada populasi wanita muda, wanita hamil, populasi geriatrik, dan Balita. Menurut WHO (2001) apabila prevalensi anemia di suatu populasi melebihi 20%, maka hal itu sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Page 25: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta8

Anemia terjadi melalui tiga mekanisme (patofisiologi) utama, yaitu: 1) adanya masalah produksi dan maturasi sel darah merah atau eritropoiesis yang tidak efektif sehingga sel darah merah yang dihasilkan sedikit atau tidak berkualitas, kondisi ini disebut hipoploriferatif, 2) adanya peningkatan penghancuran atau lisis sel darah merah, ini disebut kondisi hemolisis, dan 3) kehilangan darah melalui perdarahan akut (segera) atau kronis (menahun) (Peterson & Cornacchia, 2018). Klasifikasi anemia berdasarkan patofisiologinya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi anemia berdasarkan patofisiologi

PerdarahanAkut, misalnya pada pasca melahirkan Kronis, misalnya pada pasien dengan tukak saluran cernaHipoploriferative – Masalah ProduksiAnemia pada penyakit kronis, misalnya pada pasien dengan gagal ginjalAnemia Aplastik , baik sejak lahir maupun akibat kerusakan sumsum tulang misalnya karena kemoterapiAnemia Gizi (Nutritional Anemia); Mikrositik - kekurangan zat besi; Megaloblastic - kekurangan asam folat atau vitamin B12MyelodisplasiaMyelophthisic (Inflitrative)Hemolytic – Masalah DestruksiEkstrinsik, kelainan terjadi bukan pada sel darah merah: penyakit autoimmune atau isoimmune, infeksi, bahan kimia atau paparan fisik misalnya karena radiasi. Intrinsik, kelainan sel darah merah: enzyme deficiencies (metabolik), hemoglobinopathies (chain synthesis defects misalnya pada thalassemias atau kombinasi), membrane defects

Sumber: (Peterson & Cornacchia, 2018)

Tanda dan gejala klinis anemia terjadi akibat hipoksia jaringan karena penurunan pasokan oksigen. Gejala anemia bervariasi bergantung pada tingkat keparahan anemia dan seberapa cepat anemia terjadi.

Page 26: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIJenis Anemia dan Determinannya 9

Banyak kasus anemia awalnya asimtomatik atau tidak menunjukkan gejala. Diagnosis mungkin tidak terduga karena anemia berkembang pelan dan dalam waktu yang begitu lama sehingga tubuh pasien telah beradaptasi dengan kondisi anemianya sehingga sudah terbiasa dan tidak menyadari gejala yang dialaminya. Tidak jarang pasien dengan anemia kronis menolak diobati karena merasa tidak mengalami gangguan kesehatan. Gejala parah justru terlihat ketika anemia terjadi dengan cepat, seperti ketika terjadi pendarahan akut atau mendadak misalnya pada kasus perdarahan pasca melahirkan.

Anemia didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai turunnya massa sel darah merah yang salah satunya dapat dinilai melalui dari kadar hemoglobin (Hb) kurang dari nilai acuan pada kelompok demografi tertentu. Satu hal yang penting dipahami tentang anemia adalah bahwa anemia bukanlah suatu penyakit, anemia adalah kondisi patologis yang disebabkan oleh masalah kesehatan tertentu. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui apa penyebab anemia tersebut sebelum memutuskan cara mengatasinya. Defisiensi zat gizi, penyakit dan kelainan genetik pada haemoglobin merupakan kontributor utama penyebab anemia di dunia (WHO, 2017). Di berbagai negara berkembang anemia akibat kekurangan zat gizi utamanya zat besi menyumbang lebih dari separuh kasus anemia di mayarakat.

B. Anemia Defisiensi BesiAnemia dapat didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi

hemoglobin di bawah acuan nilai normal karena pasokan nutrisi haemopoietik atau zat gizi yang dibutuhkan untuk produksi dan pematangan sel darah merah tidak memadai. Bagi individu yang sehat yang mencerna dan menyerap jumlah nutrisi haemopoietik yang cukup, konsentrasi hemoglobin akan berada pada tingkat optimal atau tidak akan meningkat lebih lanjut akibat meningkatnya konsumsi

Page 27: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta10

nutrisi haemopoietik (S. J. Baker, 1978). Anemia gizi atau nutritional anaemia dapat disebabkan oleh rendahnya asupan gizi tertentu untuk memenuhi kebutuhan sintesis hemoglobin dan eritrosit terutama pada kelompok demografi dengan peningkatan kebutuhan gizi misalnya pada wanita hamil atau anak di bawah dua tahun. Kekurangan zat besi adalah penyebab paling umum anemia gizi, tetapi kekurangan vitamin A, B2 (riboflavin), B6 (pyridoxine), B12 (cobalamin), C, D dan E, folat, dan tembaga juga dapat menyebabkan anemia non gizi besi, karena peran spesifik mereka dalam produksi hemoglobin atau eritrosit (WHO, 2017).

Zat besi merupakan komponen esensial dalam molekul hemoglobin (protein pembawa oksigen dalam sel darah merah). Masing-masing molekul hemoglobin terdiri atas protein (globin) yang berikatan dengan empat molekul heme, sebagaimana secara sederhana diilustrasikan dalam Gambar 1. Pengukuran konsentrasi hemoglobin dalam darah sering digunakan untuk menapis adanya anemia defisiensi besi dalam populasi tertentu.

Gambar 1 Ilustrasi heme, hemoglobin dan sel darah merah(Sumber: Miller, 2018)

Page 28: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIJenis Anemia dan Determinannya 11

Terdapat beberapa kelompok populasi yang paling rentan terhadap anemia gizi besi. Kelompok tersebut di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun, terutama bayi dan anak-anak di bawah usia 2 tahun, remaja, wanita usia reproduksi (15–49 tahun), dan wanita hamil serta lansia.

Berikut adalah empat mekanisme dasar mengapa dapat terjadi kekurangan besi di dalam tubuh: 1) rendahnya asupan besi dari makanan, 2) meningkatnya kebutuhan besi akibat perubahan fisiologis dalam tubuh, 3) rendahnya absorbsi atau penyerapan besi di saluran cerna, dan 4) meningkatnya kehilangan zat besi (Haematology, 2014).

Pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun anemia defisiensi besi umum terjadi karena tingginya kebutuhan zat besi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang cepat pada usia ini. Selain itu, makanan pendamping ASI yang diberikan kepada anak-anak usia ini sering memiliki kandungan besi (dalam kuantitas dan bioavailabilitas) yang rendah dan memiliki kandungan inhibitor besi yang tinggi sehingga dapat menganggu penyerapan zat besi yang pada dasarnya sudah rendah ketersediaannya. Berat lahir rendah dan prematuritas, terutama di negara-negara yang masyarakatnya banyak mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin juga berdampak negatif pada simpanan besi yang ada saat lahir, sehingga semakin memperburuk status zat besi pada anak-anak (WHO, 2017). Individu dengan status gizi yang baik memiliki cadangan nutrient haemopoietic yang memadai di tubuhnya, ketika kehilangan atau kebutuhan terhadap gizi melebihi penyerapan maka cadangan ini akan dipakai dan ketika cadangan menipis barulah terjadi anemia gizi. Oleh sebab itu anemia sebenarnya adalah manifestasi akibat defisiensi gizi yang berkepanjangan (S. J. Baker, 1978).

Page 29: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta12

Sebagian besar zat besi dalam tubuh (2,6 g dari 3–4 g) beredar sebagai haemoglobin (Hb) yang didaur ulang ketika sel darah merah dihancurkan. Sebagian kecil (1 g) disimpan di hati, sebagian lagi (0,4 g) disimpan dalam myoglobin dan cytochromes sementara sekitar 3 mg bersirkulasi dalam tubuh berikatan dengan plasma transferrin. Laki-laki dan perempuan dewasa kehilangan sekitar 1 mg besi tubuh per hari. Dalam kondisi menstruasi terdapat tambahan kehilangan sekitar 1 mg lagi per harinya. Bayi yang lahir cukup bulan, dilahirkan dengan 180 mg besi, tetapi harus meningkatkan massa sel darah merah mereka dua kali lipat dalam waktu 12 bulan saja. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah tentunya membutuhkan lebih banyak lagi zat besi untuk meningkatkan massa sel darah merahnya menjadi dua kali lipat.

Besi dalam diet terdiri atas besi haem yang bersumber dari pangan hewani dan besi nonhaem yang berasal dari pangan nabati (serealia dan sayuran). Besi haem yang berikatan dengan Hb dan mioglobin lebih mudah diserap tubuh dibandingkan besi nonhaem. Besi nonhaem diserap oleh sel luminal usus melalui transporter spesifik yaitu sebuah transporter logam divalent yang berada pada membran apikal enterocytes usus, besi ini kemudian dilepaskan ke dalam sistem peredaran darah dan berikatan dengan transferrin. Reseptor transferrin pada erythroblasts menangkap kompleks besi-transferrin melalui endocytosis dan besi ini akhirnya dipergunakan dalam pembentukan Hb. Untuk penyerapan besi haem mekanismenya masih belum jelas (S.-R. S. Pasricha et al. 2010).

Peningkatan penyerapan besi atau up regulation terjadi ketika terjadi defisiensi besi dan peningkatan erythropoiesis atau pembentukan sel darah merah. Penurunan penyerapan besi atau down regulation terjadi pada kondisi inflamasi dan kelebihan zat besi yang dimediasi regulator homeostasis besi yaitu hepcidin. Hepcidin memblok pelepasan besi dari enterocytes dan macrophages. Cadangan besi tubuh diregulasi melalui penyerapan zat besi. Besi nonhaem paling bagus penyerapannya dalam

Page 30: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIJenis Anemia dan Determinannya 13

bentuk ferrous (Fe2+). Reduksi besi ferric (Fe3+) oleh asam lambung, asam askorbat, dan enzim reductase mengoptimalkan absorbsi. Besi nonhaem penyerapannya dihambat oleh konsumsi fitat yang terdapat pada sereal dan kacang-kacangan, tanin pada teh, dan kalsium (S.-R. S. Pasricha et al. 2010).

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kurangnya nutrient eritropoietik berupa zat besi, anak usia di bawah dua tahun rentan mengalami kekurangan zat besi karena belum sempurna dalam mengunyah makanan kaya zat besi seperti daging merah, hati dan ikan. Selain itu, di negara berkembang seperti Indonesia akses terhadap pangan hewani masih rendah. Keseimbangan negatif zat besi berkepanjangan sampai menimbulkan anemia ini terjadi karena rendahnya kuantitas dan kualitas zat besi dalam pangan. Di sisi lain terdapat peningkatan pesat kebutuhan tubuh terhadap zat besi ditambah lagi adanya penyakit infeksi yang memperburuk kondisi anemia. Oleh sebab itu, masalah anemia gizi besi pada anak usia di bawah dua tahun tidak hanya membutuhkan solusi kesehatan terapeutik tetapi juga membutuhkan pendekatan pencegahan melalui budaya makan dan pola asuh serta edukasi gizi. Misalnya adanya mitos di masyarakat bahwa tidak baik memberikan ikan pada anak karena akan berakibat kecacingan. Hal ini memperberat kejadian anemia pada anak Baduta. Selain itu, pengetahuan orang tua dalam memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) juga masih rendah dan ditambah lagi keberadaan MPASI kemasan yang dalam peredarannya belum dikenai regulasi ketat mengenai kandungan gizi serta volume takar sajinya.

Anemia nongizi besi diduga juga menyumbang kejadian anemia pada Baduta, tetapi prevalensinya belum banyak dilaporkan sebagai masalah kesehatan masyarakat. Kekurangan vitamin A, B2 (riboflavin), B6 (pyridoxine), B12 (cobalamin), C, D dan E, folat dan tembaga dapat menyebabkan anemia nongizi besi karena peran spesifik dari zat

Page 31: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta14

gizi mikro tersebut dalam produksi hemoglobin atau eritrosit (WHO, 2107). Oleh karena itu, pola makan bergizi seimbang dan beragam sangat penting diberikan sejak anak berusia lebih 6 bulan yaitu pada saat anak menerima MPASI.

C. Anemia, Malaria, dan Kecacingan Penyebab langsung anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang

tidak cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu, infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah-daerah tertentu terutama daerah perdesaan (Husaini, 1989). Penyebab tidak langsung anemia adalah terbatasnya akses terhadap pangan berkualitas dan kaya zat besi, pola makan yang tidak sehat serta kondisi lingkungan hidup yang menyebabkan anak menjadi rentan terhadap infeksi misalnya diare atau malaria. Selain itu, keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas menjadi kendala untuk memperoleh pelayanan pencegahan, pengobatan, maupun pemulihan yang baik. Jadi, akar masalah ADB pada anak Baduta adalah kebijakan kesehatan, ekonomi, pendidikan, maupun pangan yang menimbulkan ketimpangan akses dan utilisasi pangan berkualitas dan kaya zat besi serta pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia utamanya pada ibu hamil.

Sebagaimana masalah gizi lainnya, Anemia Defisiensi Besi dapat dipotret dengan kerangka kerja UNICEF yang melihat bahwa permasalahan gizi terjadi akibat interaksi berbagai faktor penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan akar masalah sebagaimana digambarkan dalam Gambar 2.

Page 32: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIJenis Anemia dan Determinannya 15

Gambar 2 Kerangka Kerja Mengatasi Malnutrisi Sumber: (UNICEF, 2013)

Kurang asupan sebagai penyebab langsung anemia pada Balita kemungkinan besar bersumber dari sejak dalam kandungan ketika ibu hamil menderita anemia. Beberapa sumber menemukan bahwa ibu hamil pada trimester ketiga yang menderita anemia akan melahirkan anak dengan anemia (Souganidis et al. 2012). Analisis regresi logistik multipel pada pasangan ibu dan anak di Indonesia menunjukkan bahwa anak dengan berat badan lahir normal yang lahir dari ibu yang anemia memiliki risiko lebih besar untuk menderita anemia (OR 1,81; CI 95%) (de Pee et al. 2002). Kekurangan asupan zat besi juga dapat terjadi karena setelah anak lepas dari ASI eksklusif kuantitas maupun kualitas pangan (MPASI)-nya tidak mencukupi atau karena ada faktor lain yang mengganggu penyerapan zat besi. Di India penyebab anemia terbesar disebabkan oleh asupan besi yang sangat kurang, rendahnya

Page 33: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta16

bioavailabilitas besi dari bahan pangan, kehilangan darah karena infeksi malaria, infeksi cacing, dan kekurangan vitamin B12 (Kaur et al. 2014).

Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang sangat erat hubungannya dengan anemia. Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang mengandung plasmodium di dalamnya. Plasmodium ini kemudian akan hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah yang terinfeksi pada semua stadium sel darah merah yang kemudian menyebabkan lisis atau kerusakan pada sel darah merah. Bahkan salah satu penelitian menyebutkan parasit malaria yang menempel pada sel darah merah dapat memengaruhi ekspresi gen (polimorposm) dan dapat mengubah perkembangan normal sel darah merah yang kemudian akan merusak fungsi dari sel darah merah yang telah matang (Haldar & Mohandas, 2009; Kai & Roberts, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah endemis malaria banyak ditemukan anak anak dengan anemia. Angka kejadian anemia pada anak dengan daerah endemik malaria di Kamerun mencapai 62% (Sumbele et al. 2016). Anemia berat merupakan penyebab kematian terbesar setelah serebral malaria yang diakibatkan infeksi plasmodium falciparum pada hampir 86% populasi di Afrika (Quintero et al. 2011). Dari 200.000 pasien rawat inap dan rawat jalan dengan malaria di Indonesia Timur kejadian anemia berat mencapai 30,4% (Gosling & Hsiang 2013). Frekuensi anemia karena penyakit malaria bahkan mencapai 80% pada anak-anak dan remaja di Amazon Brazil (Castro-Gomez et al. 2014). Ibu yang mengalami malaria juga berdampak pada kejadian anemia pada anak. Pada ibu hamil yang tidak terinfeksi malaria, tetapi mempunyai riwayat malaria kejadian anemia mencapai 90,5%, 41,5% mengalami penurunan kadar Total Iron Binding Capacity (TIBC), dan 17% mengalami penurunan kadar Fe serum. Ibu hamil yang terinfeksi malaria vivax selain terjadi penurunan kadar hemoglobin juga disertai dengan penurunan kadar Fe serum dan kadar TIBC (Flora, Melvia dan Purwanto, 2013)

Page 34: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIJenis Anemia dan Determinannya 17

Selain malaria, infeksi lain yang berkaitan dengan tingginya prevalensi anemia pada suatu populasi adalah kecacingan yang menyebabkan terganggunya penyerapan zat gizi. Penyakit kecacingan masih merupakan masalah yang besar untuk kasus anemia defisiensi besi karena diperkirakan cacing menghisap darah 2–100 cc setiap harinya (Sirajuddin & Masni, 2015). Infeksi parasit pada usus halus dapat meyebabkan ADB. Hasil penelitian membuktikan bahwa kecacingan memengaruhi status anemia anak sekolah. Prevalensi kecacingan pada anak sekolah mencapai 28,12% (Kemenkes RI, 2017). Pada beberapa daerah prevalensi kecacingan pada anak beragam. Sirajuddin dan Masni (2015) menyebutkan di Kota Makassar prevalensi anak dengan kecacingan sebesar 37,6%. Prevalensi kecacingan pada anak sekolah di Cihanjuang-Bandung mencapai 15,5% (Silitinga, Sudharmono & Hutasoit, 2009).

Cacing sebagai parasit selain mengambil zat gizi dalam usus anak juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat-zat gizi yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak (Sumolang & Chadijah, 2012). Anak-anak yang terinfeksi cacing secara klinis tampak lesu, pucat (karena anemia), berat badan turun, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, dan terkadang disertai batuk-batuk (Mardiana, 2008). Meskipun penyakit cacing usus tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini akan berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia. Pada orang dewasa kecacingan akan menurunkan produktivitas kerja, sedangkan pada anak-anak akan berdampak pada gangguan kemampuan untuk belajar (Suwarni, Ilahude & Marwoto, 1991).

Survei kesehatan di Amerika Serikat yang dilakukan antara tahun 1999 sampai 2002 menemukan bahwa prevalensi ADB pada anak bervariasi berdasarkan ras, etnis, dan keadaan sosial ekonomi. Bayi dan anak anak adalah kelompok yang rentan terhadap anemia dengan

Page 35: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta18

risiko tertinggi pada: 1) anak yang lahir prematur atau memiliki berat badan lahir rendah (BBLR), 2) bayi yang diberi minum susu sapi sebelum berusia 12 bulan, 3) bayi atau anak yang disusui tetapi tidak mendapatkan makanan pendamping ASI yang kaya zat besi, 4) bayi yang minum susu formula, tetapi tidak difortifikasi dengan zat besi, 5) Anak usia 1–5 tahun yang diberi minum susu sapi, susu kambing atau susu kedelai lebih dari 3 gelas sehari, serta 6) anak berkebutuhan khusus, anak dengan masalah kesehatan kronis, dan anak dengan diet ketat (Kazal, 2002).

Pemahaman akan determinan (faktor penyebab) anemia defisiensi besi pada anak di bawah dua tahun ini sangat penting untuk dapat merumuskan intervensi yang disarankan baik dalam jangka pendek untuk mengatasi faktor penyebab langsung yaitu kurangnya asupan dan utilisasi zat besi, jangka menengah untuk mengatasi faktor penyebab tidak langsung yaitu akses pangan tinggi zat besi, edukasi perbaikan pola asuh, serta fasilitas higiene sanitasi dan pelayanan kesehatan. Solusi jangka panjang dapat meliputi dukungan kebijakan dan kelembagaan yang mendukung eradikasi ADB pada anak di bawah dua tahun.

Page 36: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab III Pemeriksaan Klinis dan

Laboratorium Anemia Defisiensi Besi

A. Pemeriksaan Klinis Anemia Defisiensi Besi

Kekurangan besi tidak selalu disertai anemia demikian juga halnya anemia tidak selalu berarti terjadi kekurangan zat besi. Hubungan antara anemia dan defisiensi zat besi dalam populasi diilustrasikan pada Gambar 3. Terdapat adanya tumpang tindih antara populasi dengan defisiensi besi dan populasi dengan anemia defisiensi besi dan populasi anemia akibat sebab lain, besarnya tumpang tindih ini bervariasi.

Page 37: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta20

Gambar 3 Defisiensi besi, anemia defiensi besi, dan anemia(Sumber: WHO, 2001)

Status besi dapat dilihat sebagai kontinum mulai dari defisiensi besi dengan anemia, defisiensi zat besi tanpa anemia, lalu status besi normal dengan variasi jumlah cadangan besi mulai yang rendah sampai yang tinggi hingga pada kelebihan zat besi yang dapat menyebabkan kerusakan organ ketika mencapai tingkat serius sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4.

Gambar 4 Ilustrasi spektrum kontinyu status besi

Page 38: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 21

Seseorang bisa saja kekurangan zat besi tapi belum menderita anemia, akan tetapi pada akhirnya ketika kadar zat besi semakin berkurang maka terjadilah ADB. Jadi dapat dikatakan bahwa anemia defisiensi besi adalah akibat dari keseimbangan negatif zat besi yang sudah berlangsung dalam jangka panjang. Secara perlahan eritron-kumpulan sel darah merah pada semua tahap pematangan yang meliputi sel prekursor yang berkembang di sumsum tulang dan eritrosit matang yang beredar dalam darah perifer atau singkatnya eritron adalah keseluruhan sel eritroid dalam tubuh-mengalami “kelaparan” besi.

Kira-kira 1 mg zat besi hilang setiap harinya dari tubuh terutama di mitokondria kulit dan epitel usus (Hallberg, 1981). Ketika asupan zat besi secara terus-menerus tidak mampu mengimbangi daur pergantian besi ini maka seiring waktu simpanan besi tubuh menjadi terkikis. Ketika simpanan zat besi dalam bentuk haemosiderrin dan ferritin semakin menyusut dan tidak lagi mencukupi kebutuhan normal untuk daur pergantian zat besi, pasokan zat besi ke protein transportasi apotransferrin juga menjadi terganggu. Kondisi ini menghasilkan penurunan saturasi transferin dan peningkatan reseptor transferin dalam sirkulasi dan di permukaan sel, termasuk erythron. Dalam jangka panjang kualitas dan produksi sel darah merah menjadi menurun akibat ketidakmampuan untuk menghasilkan hemoglobin (Hb) yang membutuhkan zat besi sebagai salah satu komponen utamanya.

Anemia defisiensi besi berkembang perlahan melalui tahapan yang secara fisiologis saling berkaitan satu dengan yang lain. Pembagian dalam bentuk tahapan-tahapan ini berguna untuk memahami perkembangan penyakit (Suominem et al. 1998), sehingga dapat dipahami metode pengukuran untuk penilaian ADB.

Di dalam tubuh besi didistribusikan di antara tiga kompartemen yaitu: 1) kompartemen cadangan, terutama dalam bentuk ferritin di sumsum tulang, makrofag dan sel-sel hati serta limpa serta otot, 2) kompartemen transportasi berupa serum transferin, dan

Page 39: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta22

3) kompartemen fungsional berupa Hb, mioglobin, dan sitokrom. Hampir 95% total distribusi zat besi adalah dalam bentuk Hb dan ferritin intra sel (Andrews, 2003).

Untuk mengatasi kekurangan cadangan zat besi, pertama-tama tubuh akan beradaptasi dengan mempercepat penyerapan zat besi melalui usus untuk memenuhi permintaan besi yang meningkat secara relatif, akan tetapi kondisi ini belum menimbulkan gejala dan belum tergambarkan dalam tes laboratorium, tahapan ini disebut defisiensi besi tahap 1. Pada tahap ini defisiensi besi ditandai dengan menurunnya cadangan besi secara progresif akan tetapi cadangan ini masih cukup untuk mempertahankan keseimbangan pada kompartemen transportasi dan kompartemen fungsional. Sel darah merah masih normal, tidak ada bukti defisiensi besi pada gambaran darah perifer dan pasien tidak mengalami gejala anemia, tetapi jika kadar ferritin diukur maka nilainya akan rendah.

Bergerak pada ke tahap 2, defisiensi besi didefinisikan sebagai kondisi kegagalan cadangan besi. Pada tahap ini untuk sementara produksi sel darah merah berlanjut seperti biasa, bergantung pada besi yang tersedia di kompartemen transportasi. Kadar Hb yang dibandingkan secara relatif terhadap referensi mungkin belum jelas menunjukkan terjadinya anemia karena variasi individu, akan tetapi kadar Hb absolut individu terhadap kadar Hb sebelumnya mulai menurun. Jaringan lain yang bergantung pada besi seperti otot mungkin mulai terpengaruh, tetapi gejalanya mungkin tidak spesifik, besi serum rendah, sedangkan kapasitas pengikatan zat besi total (Total Iron Binding Capacity TIBC, yaitu transferin) meningkat, protoporphyrin bebas sel darah merah (Free erythrocytes protoporphyrin - FEP) -porfirin adalah tempat besi diikat untuk membentuk heme meningkat, reseptor transferin meningkat pada permukaan sel yang kekurangan zat besi karena mereka mencoba untuk menangkap besi sebanyak mungkin.

Page 40: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 23

Akhirnya, pada tahap 3 atau fase anemia klinis telah terjadi penurunan kadar Hb dan hematocrit (HCT) dibandingkan dengan rentang referensi normal. Cadangan besi telah menipis bahkan habis, zat besi pada kompartemen transportasi menurun drastis, sel darah merah tidak dapat berkembang secara normal. Jumlah divisi sel prekursor meningkat karena akumulasi hemoglobin dalam sel melambat sehingga memungkinkan lebih banyak waktu untuk pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah yang lebih kecil atau mikrositik. Pada awalnya konsentrasi Hb pada sel sel darah merah yang kecil ini masih memadai, tetapi lama kelamaan menjadi semakin berkurang, maka terdapatlah gambaran sel darah merah yang mikrositik dan hipokromik.

Seseorang dengan defisiensi besi biasanya baru diketahui saat telah berada pada tahap 3 yaitu anemia defisiensi besi yang ditandai dengan Hb yang rendah, gambaran darah tepi sel darah merah mikrositik hipokromik dan juga kadar ferritin yang sangat rendah. Pemeriksaan besi tubuh lainnya juga abnormal sebagai contoh adalah kadar FEP dan transferin yang meningkat. Pada fase ini, pasien telah mengalami gejala anemia tidak spesifik, misalnya lelah, letih, lesu terutama saat beraktivitas dan tanda-tanda pucat lebih jelas. Mulai muncul pula gejala lebih khas yaitu peradangan pada lidah (glossitis), atrofi papil lidah yaitu permukaan lidah menjadi licin dan berkilap karena papil lidah menghilang, stomatitis angularis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak seperti pucat keputihan, disfagia atau nyeri menelan karena kerusakan hipofaring. Koilonychia atau gambaran kuku sendok di mana kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung seperti sendok juga dapat muncul jika anemia gizi besi ini berkelanjutan.

Page 41: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta24

B. Pemeriksaan Laboratorium Darah Tepi pada Anemia Defisiensi Besi

Terdapat beberapa pemeriksaan atau tes untuk mendeteksi anemia defisiensi besi, pelbagai tes ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori umum yaitu: tes untuk penapisan atau skrining, tes diagnostik, dan tes khusus. Tes skrining untuk anemia defisiensi besi berfokus pada indikator kompartemen perifer dengan eritropoiesis yang terganggu akibat defisiensi besi berupa tes darah untuk menunjukkan bukti mikrositosis dan hipokromia. Tes ini meliputi Hb yang menurun dan luasnya keberagaman ukuran sel darah merah atau Red Blood Cell Distribution Width (RDW) lebih besar dari 15% yang umumnya terjadi mendahului penurunan Hb (Thompson et al. 1988). Untuk pasien dalam kelompok berisiko tinggi, peningkatan RDW dapat menjadi indikator awal yang sensitif untuk menentukan adanya defisiensi besi (Mcclure et al. 1985). Ketika Hb terus turun, mikrositosis dan hipokromia menjadi lebih menonjol yang dapat dinilai dari rata rata volume sel darah merah – Mean Corpuscular Volume (MCV), rata-rata hemoglobin sel Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan rata-rata konsentrasi hemoglobin sel Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) yang juga menurun dan pada akhirnya terjadi penurunan hitung sel darah merah atau RBC (Red Blood Count) yang dapat juga dinilai dari penurunan hematocrit. Berikut akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai berbagai pemeriksaan tersebut.

B.1. Hemoglobin (Hb)Nilai kadar hemoglobin (Hb) pada kelompok populasi dipengaruhi

oleh beberapa hal: 1) Variasi biologis. Kadar hemoglobin pada sore hari cenderung lebih rendah daripada saat pagi hari dengan jumlah mencapai hingga 1g/dl; 2) Umur dan jenis kelamin. Hemoglobin

Page 42: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 25

meningkat selama 10 tahun pertama masa anak-anak dengan peningkatan selanjutnya pada saat pubertas. Perbedaan jenis kelamin terlihat pada usia 6 bulan, anak laki-laki memiliki hemoglobin lebih rendah daripada perempuan. Pada dekade kedua, perempuan memiliki hemoglobin lebih rendah. Kadar hemoglobin pada pria selama remaja sangat dipengaruhi oleh testosterone dan usia pematangan seksual. Pada dewasa muda, hemoglobin pria rata-rata sekitar 2 g/dl lebih tinggi daripada wanita. Perbedaan yang berhubungan dengan jenis kelamin ini berkurang secara bertahap seiring bertambahnya usia. 3) Etnisitas. Individu keturunan Afrika memiliki nilai hemoglobin 0.5–0.1 g/dl lebih rendah dibandingkan dengan Kaukasia, tanpa memandang umur, pendapatan atau status defisiensi besi. Hal ini kemungkinan karena faktor genetik. Oleh karena itu, diperlukan cut off yang spesifik dalam mendiagnosis anemia untuk keturunan ras Afrika. WHO/UNICEF/UNU (2001) merekomendasikan penurunan cut off hemoglobin 1 g/dl untuk individu keturunan Afrika, tanpa melihat umur. Di sisi lain cut off anemia untuk Kaukasia lebih sesuai untuk orang Thailand dan Indonesia. 4) Kehamilan. Kondisi kehamilan menyebabkan meningkatnya volume plasma dan sel darah merah secara masif. Besarnya peningkatan volume plasma menyebabkan hemoglobin menjadi terdilusi sehingga kadar hemoglobin menjadi turun. Hal ini sering terjadi pada akhir trimester kedua kehamilan, setelah itu selama trimester ketiga kadar hemoglobin meningkat kembali secara bertahap. 5) Ketinggian tempat tinggal. Ketinggian tempat menghasilkan respons adaptasi tubuh pada rendahnya tekanan oksigen dan penurunan saturasi oksigen dalam darah. Hal ini signifikan terutama pada ketinggian di atas 1000 m dengan kadar hematocrit dan hemoglobin yang meningkat secara bertahap dengan ketinggian. Konsekuensinya dilakukan penyesuaian cut off hemoglobin dengan ketinggian dan telah diterbitkan oleh Center for Disease Control and Prevention (CDC, 1989). 6) Kebiasaan Merokok. Merokok berhubungan dengan tingginya kadar hemoglobin (0.3–0.7 g/dl) pada dewasa. Hal ini

Page 43: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta26

terjadi karena menurunnya kapasitas angkut oksigen oleh hemoglogin akibat meningkatnya carboxyhemoglobin level yang disebabkan oleh peningkatan karbonmonoksida dalam darah perokok.

Menentukan kadar hemoglobin paling baik dengan darah dari pembuluh vena, dan menggunakan antikoagulan EDTA. Alternatif lain adalah darah dari pembuluh arteri di bagian tumit (heel), telinga (ear), atau ujung jari yang dikumpulkan dalam heparinized capillary tubes. Penentuan konsentrasi hemoglobin dengan menggunakan darah dari pembuluh kapiler memiliki presisi yang lebih rendah dibandingkan pengukuran dari pembuluh vena. Hal tersebut terutama karena cairan interstisial dapat mengencerkan sampel darah kapiler.

Metode cyanmethemoglobin yang direkomendasikan oleh International Committee for Standardization in Hematology (ICHS, 1987) paling dapat diandalkan dengan syarat spesimen darah telah diencerkan secara akurat. Pengenceran sampel yang tidak benar adalah salah satu sumber utama kesalahan dalam metode ini. Metode ini mengonversi semua bentuk hemoglobin yang biasa ditemukan (oxyhemoglobin, methemoglobin, dan carboxyhemoglobin) menjadi cyanmethemoglobin. Analisis ini biasanya dilakukan dengan spektrofotometer. Koefisien variasi analitik dan biologis untuk hemoglobin dengan metode cyanmethemoglobin menggunakan darah vena biasanya kurang dari 4%. Standar internasional WHO dapat digunakan untuk menilai keakuratan pengujian. Alternatif lain, hemoglobin dapat diukur secara elektronik pada penghitung otomatis misalnya Coulter Counter System dengan menggunakan EDTA sebagai antikoagulan darah.

Fotometer hemoglobin portabel dapat digunakan untuk penilaian populasi di daerah terpencil. "HemoCue" dioperasikan dengan baterai dan menggunakan reagen kering (sodium azide) dalam microcuvette untuk pengumpulan dan pengukuran darah secara langsung. Keakuratan dan presisi nilai hemoglobin berdasarkan “HemoCue” sebanding

Page 44: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 27

dengan yang diperoleh menggunakan metode cyanmethemoglobin dengan mengikuti prosedur standar untuk pengumpulan dan analisis sampel. Rincian prosedur standardisasi untuk meningkatkan akurasi dan keandalan pengukuran konsentrasi hemoglobin dengan “HemoCue” terdapat dalam Burger dan Pierre-Louis (2003). Untuk survei skala lapangan WHO telah merekomendasikan menggunakan alat portabel ini karena alatnya ringan, kalibrasi mudah, dan metode yang digunakan menggunakan prinsip yang sama dengan Cyanmethemoglobin (WHO 2001).

Pada wanita dewasa yang tidak hamil kadar Hb kurang dari 12 g/dl dapat dinyatakan mengalami anemia, sedangkan untuk wanita hamil kurang dari 11 g/dl baru dikatakan mengalami anemia. Hb kurang dari 13 g/dl pada pria dewasa disebut anemia, sedangkan pada anak anak usia 6–59 bulan dikatakan tidak anemia jika memiliki kadar Hb di atas 11 g/dl (WHO, 2011). Definisi ini juga mencakup apa yang disebut sebagai anemia semu (kehamilan, gagal jantung dan hiperproteinemia) yang disebabkan konsentrasi Hb turun sebagai akibat dari peningkatan volume plasma (Lambert & Beris, 2009). Acuan nilai Hb bagi kelompok usia dan jenis kelamin yang dikeluarkan WHO dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Status anemia berdasarkan kelompok umur

Populasi Non Anemia (g/dL)

Anemia (gr/dl)Ringan Sedang Berat

Anak usia 6–59 bln ≥11 10–10.9 7–9.9 ≤7Anak usia 5–11th ≥11.5 11–11.4 8–10.9 ≤8Anak usia 12–14 th ≥12 11–11.9 8–10.9 ≤8Wanita Dewasa >15th ≥12 11–11.9 8–10.9 ≤8Wanita Hamil >15 th ≥11 10–10.9 7–9.9 ≤7Laki – laki Dewasa >15th ≥13 11–12.9 8–10.9 ≤8

Sumber: WHO (2011)

Tabel 2. Status anemia berdasarkan kelompok umur

Populasi Non Anemia (g/dL)

Anemia (g/dL)

Ringan Sedang Berat

Anak usia 6–59 bln

≥ 11 10–10.9 7–9.9 ≤7

Anak usia 5–11th

≥ 11.5 11–11.4 8–10.9 ≤8

Anak usia 12–14 th

≥12 11–11.9 8–10.9 ≤8

Wanita Dewasa >15th

≥12 11–11.9 8–10.9 ≤8

Wanita Hamil >15 th

≥11 10–10.9 7–9.9 ≤7

Laki – laki Dewasa >15th

≥13 11–12.9 8–10.9 ≤8

Sumber : WHO,2011

Page 45: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta28

Nilai acuan kadar Hb yang lebih rendah pada wanita hamil disebabkan adanya perubahan konsentrasi Hb akibat meningkatnya volume plasma dan kebutuhan besi fetus. Konsentrasi Hb ini mulai menurun sejak trimester pertama tetapi mencapai puncak penurunan pada trimester kedua. Ketinggian tempat tinggal dan kebiasaan merokok dapat meningkatkan konsentrasi hemoglobin yang menyamarkan adanya anemia jika penilaian dilakukan menggunakan acuan Hb normal yang sama, sehingga untuk kelompok populasi ini dilakukan penyesuaian acuan konsentrasi Hb normal yang dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Penyesuaian acuan kadar Hb Normal berdasarkan ketinggian tempat tinggal

Ketinggian (dalam meter di atas permukaan laut) Penyesuaian Kadar Hb*

< 1000 01000 -0.21500 -0.52000 -0.82500 -1.33000 -1.93500 -2.74000 -3.54500 -4.5

Sumber: WHO (2011)

* kadar Hb diukur dikurangi penyesuaian, misalnya pada populasi yang tinggal di ketinggian lebih dari 1500 meter di permukaan laut diperoleh pengukuran Hb senilai 12 g/dL maka Hb yang disesuaikan adalah 12–0.5 = 11.5g/dL

Page 46: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 29

Tabel 4 Penyesuaian acuan kadar Hb normal pada perokok

Status Merokok Penyesuaian Kadar HbBukan Perokok 0

Perokok -0,03½–1 pak per hari -0,031–2 pak per hari -0,05≥ 2 pak per hari -0,07

Sumber: WHO (2011)

Selain ketinggian tempat tinggal dan kebiasaan merokok, beberapa ahli menyarankan penyesuaian kadar Hb berdasarkan kelompok etnisitas. Misalnya pada kelompok populasi keturunan Afrika yang cenderung memiliki kadar Hb yang lebih rendah dari orang keturunan Eropa maka WHO menyarakan adanya penyesuaian kadar Hb berdasarkan etinisitas sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Penyesuaian acuan kadar Hb normal berdasarkan etnisitas

Etnis Penyesuaian (g/l)African American -1,0

East Asian American 0Hispanic American 0Japanese American 0American Indian 0

Jamaican girls (13–14 years) -1,07Indonesian from West Indonesia 0

Thai 0Vietnamese -1,0

Greenland men -0,8Greenland women -0,6

Sumber: WHO (2017)

Page 47: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta30

Saat ini WHO sedang melakukan evaluasi terhadap bukti-bukti ilmiah untuk menetapkan nilai acuan Hb dalam setting yang berbeda. Hal ini penting untuk menentukan secara tepat diagnosis anemia terhadap seseorang dan juga menentukan intervensinya.

B.2. HematocritWhole blood atau darah secara keseluruhan terdiri dari eritrosit

(sel darah merah atau sel darah merah yang terlibat dalam transportasi oksigen), trombosit dan leukosit (sel darah putih yang terlibat dalam pertahanan kekebalan tubuh). Sel-sel ini tersuspensi dalam medium cair yaitu plasma. Dalam darah individu yang sehat, sel darah sebagian besar adalah eritrosit yang mengandung hemoglobin (Hb). Hemoglobin memberi darah warna merah dan memiliki kemampuan untuk pengikatan oksigen, sedangkan plasma terdiri atas air (sekitar 93%) dan sisanya adalah garam, berbagai protein, lipid serta konstituen lain misalnya glukosa.

Hematokrit (hemato dari Bahasa Yunani haima = darah; crit dari kata krinein = untuk memisahkan) adalah rasio volume sel darah merah yang dipadatkan dengan volume darah total dan oleh karena itu juga dikenal sebagai Packed Cell Volume (PCV). Hematokrit dilaporkan sebagai persentase atau rasio. Pada individu dewasa yang sehat volume fraksi sel darah merah sekitar 40–54% pada pria dan 36–48% pada wanita dari total volume darah (Billett, 1990), sedangkan pada bayi yang baru lahir mungkin memiliki hematokrit hingga 60%.

Hematokrit dapat diukur secara manual dengan mensentrifugasi sejumlah darah dalam tabung kapiler heparinisasi dalam hitungan menit hingga sel-sel darah merah tereduksi menjadi packed cell volume yang konstan. Hematokrit dihitung dengan membandingkan tinggi kolom packed red cell dengan tinggi seluruh kolom (sel darah merah dan plasma). Alternatifnya, hematokrit dapat diukur secara elektrik menggunakan penghitung otomatis. Perlu dicatat bahwa ketika hematokrit ditentukan secara manual seperti yang dijelaskan di atas,

Page 48: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 31

nilainya sekitar 1% lebih rendah daripada yang dihasilkan secara elektronik dari penghitung otomatis. Ilustrasi komponen darah dan pembacaan hematocrit ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Ilustrasi komponen darah dan pembacaan Hematokrit (Hct)

Sumber: https://acutecaretesting.org

Pada kondisi defisiensi zat besi, hematokrit menurun setelah pembentukan hemoglobin terganggu sehingga jumlah maupun volume sel darah merah turun. Oleh karena itu, pada kasus-kasus awal defisiensi zat besi moderat dengan nilai hemoglobin yang belum turun terlalu jauh mungkin menunjukkan nilai hematokrit normal. Pada kondisi anemia defisiensi besi yang lebih berat, hemoglobin dan hematokrit menurun. Hematokrit seperti hemoglobin, biasanya ditentukan melaui sediaan darah venipuncture atau kapiler dengan menggunakan EDTA-antikoagulan. Pengukurannya relatif mudah, cepat dan sering digunakan untuk skrining anemia defisiensi besi, meskipun kesalahan teknis dalam pengukuran hematokrit lebih besar daripada hemoglobin.

Page 49: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta32

Penelitian telah menunjukkan bahwa pemeriksaan hematokrit dengan pemutaran memberi nilai kira-kira 1,5–3,0% lebih tinggi karena adanya plasma yang terperangkap di lapisan sel darah merah. Jika terdapat sel darah merah abnormal misalnya pada sel darah merah individu dengan anemia defisiensi besi, maka bias ini bisa lebih besar karena akan lebih banyak plasma yang terperangkap. Selain itu dapat pula terjadi kesalahan teknis misalnya antikoagulan yang berlebihan pada tabung pengumpul ataupun pengenceran oleh alkohol yang dipergunakan sebagai antiseptik saat pengambilan sampel. Selain itu, alir darah intermitten pada lokasi pengambilan sampel juga dapat menyebabkan variasi Hematokrit (Hct). Untuk menentukan adanya anemia digunakan acuan (%) hematokrit sesuai kelompok usia sebagaimana tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6 Kadar Normal Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Hct) menurut Kelompok Umur

Umur Acuan nilai Hb normal Acuan nilai hematocrit normal (%)

6–60 bulan 11 335–11 tahun 11,5 3412–13 tahun 12 36Laki-laki Dewasa 13 39Perempuan tidak Hamil 12 36Ibu Hamil 11 33

Sumber: WHO (1999)

B.3. Mean Cell Volume (MCV)MCV adalah ukuran rata-rata sel darah merah yang dinyatakan

dalam femtoliters (fL). Pada kondisi anemia gizi ukuran sel darah merah menjadi abnormal, sel darah merah dapat lebih besar (macrocytosis), seperti pada defisiensi vitamin B12 dan asam folat, atau kecil (microcytosis) seperti pada defisiensi besi dan vitamin B6 (ilustrasi ukuran sel darah merah dapat dilihat pada Gambar 5). Penentuan MCV

Page 50: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 33

yang terbaik adalah dengan cara menghitung langsung menggunakan penghitung elektronik karena hasil yang diperoleh dengan cara ini dapat direproduksi. Apabila tidak tersedia alat penghitung elektronik, MCV dapat dihitung dari hematokrit dan jumlah sel darah merah yang dihitung secara manual (Sarma, 1990).

MCV (fL) =hematocrit (PCV)/L darah

Jumlah sel darah merah (1012/L)

MCV tidak begitu terpengaruh oleh kesalahan pengambilan sampel dibandingkan dengan penentuan kadar hemoglobin, karena ukuran sel darah merah tidak terpengaruh walaupun sampel diencerkan dengan cairan interstitial. Nilai MCV yang rendah hanya terjadi ketika defisiensi zat besi sudah dalam kategori berat/parah dan ini adalah indeks yang relatif spesifik untuk anemia defisiensi besi, asalkan sampel dengan anemia akibat peradangan kronis, hemoglobinopati tertentu, dan keracunan timbal (lead poisoning) dikeluarkan dari populasi.

Gambar 6 Ilustrasi ukuran sel darah merah normal, mikrositik dan makrositik

Sumber: http://whataboutblood.com

Pada anemia makrositik yang terkait dengan defisiensi vitamin B12 atau folat, maka nilai MCV-nya tinggi. Tingginya nilai MCV secara palsu mungkin saja terjadi saat ditentukan secara elektronik yang diakibatkan konsekuensi dari hiperglikemia atau hipernutremia.

Page 51: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta34

MCV meningkat secara progresif dari usia 6 bulan hingga awal masa dewasa. Perbedaan menurut jenis kelamin sangat kecil, MCV sedikit lebih tinggi pada wanita dewasa muda daripada laki-laki. Individu keturunan Afrika memiliki nilai MCV yang lebih rendah daripada orang Kaukasia. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan genetik, sama seperti yang dijelaskan untuk hemoglobin.

Nilai acuan MCV untuk menentukan adanya mikrositosis yang digunakan selama survei National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III – USA yang merupakan survei nasional kesehatan dan gizi di Amerika Serikat, sedikit lebih tinggi daripada yang digunakan untuk NHANES II dan sesuai dengan persentil ke-5 dari sampel referensi NHANES III. Nilai acuan ini dapat dilihat pada Tabel 7, termasuk nilai untuk anak-anak dalam empat kelompok umur. Nilai MCV yang lebih besar dari 98 fL menunjukkan makrositosis.

Tabel 7 Nilai Acuan MCV berdasarkan Kelompok Umur (NHANES III)

Umur (th) MCV (fl)1–3 <773–5 <796–11 <8011–14 <8215–74 <85

Sumber: Gibson (2005 Chapter 17)

B.4. Mean Cell Hemoglobin (MCH)Jika MCV mengukur rata-rata dari volume sel, maka MCH

mengukur rata-rata kandungan hemoglobin dalam sel darah merah. MCH dihitung berdasarkan rasio hemoglobin terhadap jumlah sel darah merah (Sarma, 1990).

Page 52: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 35

MCH (pg) =hemoglobin (g/L)

Jumlah sel darah merah (1012/L)

MCH berubah secara progresif sejak bayi hingga dewasa, dengan nilai berkisar antara 29 + 2 pg (pikogram) per sel (Sarma, 1990). Perubahan MCH akibat anemia defisiensi besi serupa dengan MCV. MCH akan rendah jika terjadi anemia defisiensi besi, tetapi tinggi pada anemia makrositik baik karena defisiensi vitamin B12 maupun folat. Pada defisiensi besi yang parah, penurunan pada MCH relatif lebih besar daripada penurunan MCV pada kondisi yang sama.

B.5. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC)

MCHC atau rata- rata konsentrasi hemoglobin dalam sel darah merah biasanya ditentukan dengan menggunakan penghitung elektronik, akan tetapi dapat juga ditentukan dengan cara manual jika kadar hemoglobin dan hematokrit diketahui. Konsentrasi MCH dihitung dengan rumus sebagai berikut (Sarma, 1990):

MCHC (g/L) =hemoglobin (g/L)

Hematocrit (vol.Fraksi)

Setelah beberapa bulan pertama kehidupan, MCHC sangat sedikit dipengaruhi oleh usia dibandingkan indeks sel darah merah lainnya. Meskipun demikian indeks ini manfaatnya lebih sedikit karena MCHC adalah yang paling terakhir mengalami penurunan selama defisiensi besi. MCHC nilainya rendah pada anemia defisiensi besi, tetapi normal pada anemia makrositik baik defisiensi vitamin B12 maupun folat, serta pada anemia akibat penyakit kronis. Nilai normal untuk dewasa berkisar dari 320 hingga 360 g/L (Sarma, 1990), nilai <300 g/L menunjukkan hypochromia dan berhubungan dengan defisiensi besi tingkat lanjut.

Page 53: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta36

Jadi, dapat dilihat dan dilakukan pengukuran kompartemen fungsional yang dinilai dari Hb, Hct, dan indeks sel darah merah (MCV, MCH, dan MCHC) untuk menentukan ada atau tidaknya anemia dan status besi. Pada anemia dengan gambaran sel mikrositik hipokromik (kecil dan pucat) seperti pada anemia defisiensi besi maka nilai MCV, MCH, dan MCHC semua menurun, akan tetapi pada anemia normositik normokromik (gambaran sel dengan ukuran dan warna normal) misalnya pada peradangan kronis maka ketiga indikator ini menunjukkan nilai normal. Pada anemia makrositik (gambaran ukuran sel besar) misalnya pada defisiensi folat atau B12, maka MCV dan MCH akan tinggi, sedangkan MCHC normal. Secara ringkas kaitan antara gambaran sel darah merah dalam berbagai jenis anemia dan hasil pengukuran indeks sel darah merah dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Nilai MCV, MCH dan MCHC untuk Prediksi Status BesiIndeks cell

darah merahIDA-Microcytic

hypochromicMacrocytic

anemiaAnemia karena inflamasi kronik

normocytic normochromic

MCV Rendah Tinggi NormalMCH Rendah Tinggi Normal

MCHC Rendah Normal Normal

C. Pemeriksaan Defisiensi Zat BesiUntuk penegakan diagnosis defisiensi besi dibutuhkan pemeriksaan

kadar besi tubuh atau iron studies yang termasuk di dalamnya uji kadar besi serum, kapasitas pengikatan besi total (TIBC), transfer dan saturasi besi serta kadar ferritin. Penting bahwa studi besi dilakukan saat puasa dan pagi-pagi. Besi serum dan saturasi transferin menunjukkan variasi diurnal dengan nilai yang menurun sepanjang hari (Sinniah et al. 1969). Selain itu besi yang diserap dari makanan dapat meningkatkan level secara relatif (Crosby & O’Neil-Cutting, 1984) dan demikian juga pada kondisi penyakit kronis (WHO, 2007). Kadar serum ferritin (SF) berbanding lurus dengan cadangan besi pada individu

Page 54: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 37

yang sehat. Metode pengukurannya tersedia secara luas dan terstandar dengan baik. SF dapat membedakan orang dengan iron deficiency (ID) dalam populasi (Zimmerman, 2008; Yang, Dewey, Lönnerdal et al. 2008). Namun, SF adalah protein fase akut yang peningkatannya tidak bergantung pada status cadangan zat besi saja, akan tetapi juga terpengaruh oleh peradangan akut atau kronik (Brugnara, Zurakowski, DiCanzio et al. 1999).

Sementara untuk diagnosis laboratorium, dapat juga dilakukan penilaian akumulasi protophorphyrin bebas eritrosit (FEP) untuk identifikasi kekurangan besi. Ketika zat besi tidak tersedia maka porphyrin tidak berikatan dengan heme atau bebas, jika kekurangan zat besi berlanjut, terjadi penumpukan porphyrin bebas ini. Dalam kondisi ketiadaan zat besi, FEP akan berikatan (chelated) dengan seng membentuk protoporfirin zinc (ZPP) (Lamota et al. 1975). FEP dan Zinc chelate dapat diuji secara fluorometric. Reseptor transferin serum (STFR) juga dapat diuji menggunakan immunoassay. Hubungan antara jumlah besi dalam tiap kompartemen, tahapan anemia dan pemeriksaan darah diilustrasikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Hubungan antara jumlah besi dalam tiap kompartemen, tahapan anemia dan pemeriksaan darah

Status Besi

Normal Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

Penurunan cadangan besi (cadangan besi

rendah)

Kegagalan cadangan besi (defisiensi besi fungsional ringan)

Defisiensi besi fungsional (anemia

defisiensi besi)

Kompartemen Cadangan besi

Kompartemen transportasi

Kompartemen Fungsional

Perubahan Hematologi Normal Ferritin ↓ Ferritin ↓, ST ↓

TIBC ↑Ferritin ↓, ST↓, Hct ↓

Hb ↓, MCV ↓, MCH ↓

*Semakin gelap warna semakin tinggi zat besi

Sumber: WHO (2017)

Page 55: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta38

Terlepas dari kelemahannya, pemeriksaan zat besi yang dinilai cukup baik dan sederhana adalah pemeriksaan ferritin serum atau SF (WHO, 2007). Cadangan besi di tubuh terutama disimpan dalam bentuk ferritin. Molekul ferritin adalah protein intraseluler menyerupai cangkang berongga yang terdiri dari 24 subunit mengelilingi inti besi dan kurang lebih mengandung atom besi sebanyak 4000–4500. Di dalam tubuh, sejumlah kecil ferritin disekresikan ke dalam plasma. Konsentrasi ferritin plasma (atau serum) ini berkorelasi positif dengan ukuran total penyimpanan besi tubuh tanpa adanya peradangan. Nilai ferritin serum yang rendah mencerminkan penyimpanan besi yang menipis, tetapi belum tentu menggambarkan tingkat keparahan penipisan (Lam, 2013).

Serum ferritin pertama kali diidentifikasi pada serum manusia oleh Addison et al. (1972). Serum ferritin adalah satu-satunya ukuran status zat besi yang dapat mencerminkan kekurangan, kelebihan atau status besi normal. Menerjemahkan nilai ferritin serum ke dalam jumlah simpanan besi harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat masih terbatasnya pengetahuan tentang hubungan ini serta adanya faktor perancu yang memengaruhi konsentrasi ferritin serum, misalnya saja adanya peradangan atau infeksi akut maupun kronis. Untuk negara yang masih banyak kasus infeksi maka pemeriksaan ferritin perlu disaring lebih dahulu dengan pemeriksaan C-reaktif protein (CRP) untuk menyatakan ada tidaknya infeksi. Oleh karena itu, pada subjek sehat konsentrasi ferritin serum normal dari 20 hingga 300 µg/L dan konsentrasi ferritin serum 1 µg/L dikatakan setara dengan sekitar 10 mg simpanan besi (WHO, 2011).

Faktor-faktor yang Memengaruhi Serum Ferritin

Feritin tidak sama dengan zat besi di tubuh, ferritin adalah protein yang menyimpan zat besi dan melepaskannya ketika tubuh membutuhkannya. Ferritin biasanya berada di dalam sel dan sangat sedikit yang benar-benar bersirkulasi dalam darah. Ferritin yang

Page 56: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 39

bersirkulasi dalam darah ini yang dinilai dalam pemeriksaan serum ferritin. Konsentrasi feritin terbesar biasanya dalam sel-sel hati (dikenal sebagai hepatosit) dan sistem kekebalan (dikenal sebagai sel retikuloendotelial). Ferritin disimpan di dalam sel tubuh sampai saat diperlukan untuk pembuatan sel darah merah. Ketika jumlah sel darah merah menurun maka tubuh akan memberi sinyal pada sel untuk melepaskan feritin. Seperti halnya pengukuran Hb, kadar serum ferritin dalam pengukuran dapat bervariasi karena berbagai hal antara lain:

- Variasi biologis: variasi biologis dalam kadar ferritin serum kurang terlihat dibandingkan dengan besi serum. Secara keseluruhan koefisien variasi untuk ferritin serum pada subjek yang sehat selama periode satu minggu adalah sekitar 15%, dibandingkan dengan serum besi sekitar 30%. Variasi analisis untuk pengujian serum ferritin juga lebih besar daripada untuk serum besi.

- Usia: perubahan yang berkaitan dengan usia memengaruhi konsentrasi ferritin serum demikian pula perbedaan jenis kelamin. Saat lahir, konsentrasi ferritin tinggi karena persediaan besi di hati berlimpah. Selama dua (2) bulan pertama, kadar ferritin serum meningkat karena besi dilepaskan dari sel-sel darah merah janin disertai dengan laju eritropoiesis yang masih lambat. Konsentrasi ferritin serum kemudian menurun di sepanjang masa bayi. Selama masa remaja, tren konsentrasi ferritin serum berbeda menurut jenis kelamin. Kadar ferritin pada laki-laki meningkat tajam dan kemudian mencapai maksimum antara usia 30 dan 39 tahun yang kemudian kadarnya tetap konstan sebelum mulai menurun pada usia 70 tahun. Pada wanita kadar ferritin serum tidak berubah-ubah, relatif rendah sampai menopause, setelah itu mulai naik tajam.

- Jenis kelamin: ada perbedaan konsentrasi ferritin serum berdasarkan jenis kelamin. Bayi laki-laki usia 4, 6, dan 9 bulan memiliki nilai ferritin lebih rendah daripada bayi perempuan, dan nilai ini tidak responsif terhadap suplementasi zat besi. Oleh karena itu, mungkin diperlukan pengembangan cut off untuk

Page 57: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta40

serum ferritin pada masa bayi yang spesifik sesuai jenis kelamin. Selama masa remaja, perempuan memiliki nilai ferritin yang lebih rendah daripada laki-laki, kecenderungan ini bertahan hingga sepanjang masa dewasa.

- Ras: ras diketahui memengaruhi konsentrasi serum ferritin. Pada NHANES III pria dewasa Afrika-Amerika memiliki nilai serum ferritin yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kaukasia dan Hispanik. Pada wanita dewasa nilai serum ferritin lebih tinggi hanya pada Afrika-Amerika setelah menopause. Secara umum nilai serum ferritin sekitar 7%–8% lebih tinggi untuk orang Afrika-Amerika dibandingkan dengan Kaukasia. Perbedaan seperti itu tidak berkaitan dengan peningkatan asupan zat besi, tetapi mungkin disebabkan oleh faktor genetik.

- Defisiensi besi: defisiensi besi menyebabkan rendahnya simpanan besi, serum ferritin turun berangsur-angsur mengikuti penurunan simpanan besi. Pada kondisi benar-benar anemia defisiensi besi, ketika anemia hipokromik mikrositik terjadi, kadar ferritin serum menjadi sangat rendah atau bahkan nol yang mencerminkan habisnya simpanan besi. Hal ini penting untuk dicatat bahwa rendahnya konsentrasi serum ferritin hanya merupakan karakteristik dari defisiensi besi.

- Kelebihan zat besi: kelebihan zat besi mengakibatkan peningkatan simpanan besi dalam tubuh. Hal ini berhubungan dengan bertambahnya sintesis ferritin dan menyebabkan meningkatnya serum ferritin. Pengukuran ferritin serum memberikan informasi yang serupa dengan besi serum dalam kondisi kelebihan zat besi dan untuk diagnosis kelebihan zat besi, pemeriksaan ferritin serum dilengkapi dengan pemeriksaan saturasi transferrin.

- Peradangan kronis dan akut: inflamasi, penyakit neoplastic tertentu dan gangguan liver meningkatkan serum ferritin karena ferritin merupakan acute-phase protein. Gangguan ini dapat menyebabkan peningkatan kecepatan sistesis ferritin di dalam

Page 58: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 41

system reticulo-endhothelial yang dicerminkan oleh meningkatnya konsentrasi ferritin di dalam serum. Oleh sebab itu, pada kondisi ini serum ferritin bukan indikator yang tepat untuk menentukan status zat besi karena nilainya kemungkinan pada rentang normal meskipun pada kenyataannya defisiensi besi.

- Penurunan erythropoiesis: ini mungkin berhubungan dengan defisiensi dari zat gizi tertentu misalnya vitamin B12 dan asam folat dan beberapa obat dan racun tertentu. Kondisi ini menyebabkan penurunan penggunaan zat besi untuk sintesis hemoglobin. Oleh sebab itu, kadar serum ferritin mungkin normal atau sedikit di atas normal.

- Peningkatan erythropoiesis: kondisi ini menyebabkan penurunan simpanan besi karena digunakan untuk sintesis hemoglobin sehingga kadar serum ferritin juga menurun.

- Penyakit liver kronis dan akut: penyakit ini mungkin menyebabkan tinggginya konsentrasi serum ferritin yang abnormal. Hal ini dapat disebabkan oleh pelepasan ferritin dari sel liver yang rusak. Kerusakan liver juga dapat menganggu proses clearance ferritin dalam sirkulasi. Kerusakan tersebut merupakan salah satu faktor yang berkontribusi dalam peningkatan konsentrasi serum ferritin yang diamati pada anak-anak malnutrisi defisiensi energi-protein. Peningkatan kadar serum ferritin tersebut tidak mencerminkan tingginya konsentrasi ferritin intraselular.

- Leukemia dan penyakit Hodgkin’s: penyakit ini menyebabkan peningkatan konsentrasi serum ferritin. Pada leukemia mungkin dapat berhubungan dengan: a) peningkatan pengendapan zat besi dalam sel dari system reticulo-endhotelial, b) sirkulasi sel leukemia yang mengandung kadar ferritin yang tinggi, c) peningkatan pelepasan ferritin dari sel-sel yang rusak seperti pada penyakit liver. Pada penyakit Hodgkin’s peningkatan ferritin dalam serum dapat berasal dari lymposit.

Page 59: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta42

- Faktor lain seperti tingginya konsumsi alkohol meningkatkan konsentrasi glukosa plasma dan tingginya indeks massa tubuh berhubungan dengan peningkatan konsentrasi serum ferritin.

Serum ferritin sering kali ditentukan dengan metode two-site immunoradiometric assay (IRMA). Prosedur ini digunakan untuk NHANES II, HANES, NHANES III dan survey nasional United Kingdom terkini. Sampel darah vena maupun kapiler dapat digunakan meskipun sampel darah kapiler cenderung menghasilkan variasi yang lebih besar daripada sampel dari vena. Pengujian ini relatif cukup mahal karena memerlukan gamma counter dan teknisi terlatih. Variasi koefisien analisis within- and between- assay untuk ferritin serum yang dianalisis dari darah vena menggunakan IRMA adalah berturut-turut sekitar 3% dan 7%.

Enzime-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dengan colorimetric fluorescent atau chemiluminescent akhir-akhir ini semakin sering digunakan. Metode ELISA ini menghapus kebutuhan gamma counter dan hanya perlu sedikit µL plasma serum yang diperoleh dari satu tabung microhematocrit. Hasil pengujian dengan metode IRMA dilaporkan sebanding dengan ELISA. Namun demikian perbedaan di antara kit dapat ditandai terutama pada nilai rendah dan dapat mengubah prevalensi defisiensi besi. Sampel Dried Serum Spot (DSS) juga dapat digunakan. Ini sangat menguntungkan terutama untuk studi lapangan karena serum dapat dipipet langsung ke kertas saring, dan bintik-bintik dapat dikeringkan dengan udara dan ditempatkan dalam kantong plastik kedap udara untuk disimpan di ruang kamar selama dua (2) minggu, dan tidak perlu menggunakan desicant. Sebelum dianalisis DSS harus dicerna selama enam (6) jam menggunakan selulase yang berasal dari Trichoderma reesei.

Serum maupun plasma dapat digunakan untuk uji ferritin. Sample yang disimpan pada suhu lemari pendingin 2–8oC bertahan setidaknya selama lima (5) hari. Untuk penyimpanan lebih lama hingga enam

Page 60: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IIIPemeriksaan Klinis dan Laboratorium Anemia Defisiensi Besi 43

(6) bulan sampel harus disimpan pada suhu beku -20oC. Hindari pengulangan thawing dan freezing. Kadar serum ferritin menurut kelompok umur diringkas dalam Tabel 10.

Tabel 10 Kadar Ferritin menurut Kelompok UmurUmur < 5 tahun Umur >= 5 tahun

Laki-laki Perempuan Laki-laki PerempuanCadangan besi menurun <12 <12 <15 <15Cadangan besi menurun dengan adanya infeksi <30 <30 - -

Resiko besar lebih besi (Severe risk of iron overload) - - >200 >150

Sumber: WHO (2001)

Jadi, ketika seseorang mengalami kekurangan zat besi, belum tentu ia mengalami anemia, demikian juga sebaliknya. Kembali ditekankan bahwa anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi merupakan dampak keseimbangan negatif zat besi yang berkepanjangan sehingga telah terjadi masalah pada kompartemen fungsional zat besi. Terdapat berbagai macam metode untuk menilai status besi seseorang dalam kaitannya dengan anemia. Untuk kepentingan penapisan terkait upaya kesehatan masyarakat di negara yang terjadinya kekurangan zat besi dan anemia memiliki tumpang tindih yang besar, pemeriksaan yang umum dilakukan adalah pemeriksaan kompartemen fungsional yaitu Hb, Hct, MCV, MCH, dan MCHC serta untuk konfirmasi kadar zat besi dilakukan pemeriksaan kompartemen cadangan besi berupa serum ferritin yang telah terbukti dapat menunjukkan adanya ADB pada berbagai populasi.

Page 61: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.
Page 62: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IV Epidemiologi dan Dampak

ADB pada Baduta

A. Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi pada Baduta

Ketika terjadi iron-deficient erythropoiesis, konsentrasi hemoglobin berkurang hingga di bawah tingkat optimal. Ketika kadar hemoglobin individu berada di bawah dua standar deviasi (-2SD) dari rata-rata distribusi untuk hemoglobin pada populasi normal, maka dapat dinyatakan bahwa individu tersebut mengalami anemia defisiensi besi. Dalam populasi normal, 2,5% dari populasi diprediksi berada di bawah ambang batas ini. Oleh karena itu, anemia defisiensi besi akan dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat hanya ketika proporsi individu yang memiliki konsentrasi hemoglobin di bawah 2 SD melebihi 5% dari populasi dan telah membutuhkan penanganan yang serius jika prevalensi ini telah melebihi 40% (lihat Tabel 11).

Page 63: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta46

Prevalensi anemia defisiensi besi dalam suatu populasi lebih bersifat statistik daripada konsep fisiologis karena bertujuan untuk mencerminkan proporsi populasi yang memiliki iron-deficient erythropoiesis (proses pembentukan sel darah merah dengan zat besi yang kurang). Anemia defisiensi besi harus dilihat sebagai bagian dari continuum defisiensi zat besi yang menggambarkan keadaan ekstrem kekurangan besi. Karena anemia adalah indikator yang paling umum digunakan untuk penapisan kekurangan zat besi, maka istilah anemia, defisiensi zat besi, dan anemia defisiensi besi kadang-kadang digunakan secara bergantian. Namun, dalam kondisi defisiensi besi ringan sampai sedang, meskipun belum terjadi anemia tentunya jaringan sudah terganggu secara fungsional. WHO mengestimasi kejadian defisiensi zat besi jumlahnya 2,5 kali lipat dari kejadian anemia (WHO, 2001).

Selain itu, meskipun anemia defisiensi besi menyumbang sebagian besar anemia yang terjadi di lingkungan sosio-ekonomi yang kurang mampu, ada beberapa penyebab lain yang mungkin harus diperhatikan. Penyebab lain ini termasuk hemolisis yang terjadi karena malaria, kekurangan glukosa-6-fosfat dehidrogenase, cacat bawaan dalam sintesis hemoglobin, dan defisit dalam nutrisi lain, misalnya vitamin A, B12 dan C, dan asam folat. Kehilangan darah yang berhubungan dengan schistosomiasis, hookworm infestation (infestasi cacing), perdarahan pascapersalinan dan trauma, juga dapat menyebabkan defisiensi besi dan anemia.

Status besi maternal ini adalah salah satu faktor penentu kejadian kekurangan besi pada anak di bawah usia dua tahun. Pemetaan prevalensi epidemiologis membutuhkan tingkatan cut off, atau kategori untuk menilai tingkat masalah kesehatan masyarakat. Tabel 11 menunjukkan tingkat klasifikasi masalah kesehatan masyarakat terkait dengan anemia.

Page 64: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IVEpidemiologi dan Dampak ADB pada Baduta 47

Tabel 11 Kategori Prevalensi Anemia sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat

Klasifikasi status kesehatan masyarakat Prevalensi anemia (%)Berat ≥40

Sedang 20–39,9Ringan 5,0–19,9Normal ≤4,9

Sumber WHO (2011)

Prevalensi anemia lebih tinggi pada masa bayi dan anak usia dini daripada pada rentang usia lain dalam siklus hidup, termasuk kehamilan (Yip & Ramakrishnan, 2002). Cadangan besi pada bayi cukup bulan, lahir normal yang lahir dari ibu yang memiliki cukup zat besi harusnya mencukupi untuk mencegahnya jatuh pada anemia. Oleh karena itu, kejadian anemia lebih sering pada bayi prematur dan bayi yang lahir dari ibu dengan anemia. Prevalensi ibu hamil dengan anemia di Indonesia mencapai 37,1% (Riskesdas, 2013) maka tidak mengherankan jika prevalensi anemia pada anak terutama anak usia bawah dua tahun (Baduta) di Indonesia mencapai lebih dari 50% (Sanjaja, 2013). Prevalensi ini cenderung lebih tinggi terjadi di wilayah perdesaan dibanding perkotaan dan diketahui usia 0,5–2 tahun adalah yang paling rentan untuk terjadinya anemia, lebih dari separuh anak laki-laki dan perempuan usia 0,5–2 tahun (Baduta) mengalami anemia, baik di perkotaan maupun perdesaan seperti digambarkan dalam Tabel 12.

Page 65: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta48

Tabel 12 Prevalensi Anemia Anak Usia 0,5–12 tahun di Indonesia

VariabelPerkotaan Perdesaan

Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total0,5–1,9 tahunAnemia 54,4 52,9 53,7 58,1 56,7 57,42,0–4,9 tahunAnemia 10,3 11,4 10,8 16,9 16,2 16,6Defisiensi Besi 10,1 10,5 10,3 14,0 16,8 15,35,0–12 tahunAnemia 11,8 14,0 12,9 11,3 12,0 11,7Defisiensi Besi 2,4 1,4 1,9 5,4 5,2 5,3TotalAnemia 16,7 18,3 17,6 18,2 18,8 18,5Defisiensi Besi 4,7 4,4 4,6 8,5 9,2 8,8

Sumber: BJN (2013)

Dapat dikatakan bahwa anemia pada kelompok usia Baduta di Indonesia menjadi masalah yang penting karena sudah dikategorikan sebagai masalah kesehatan masyarakat (WHO, 2001). Hal ini tentunya akan mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan anak-anak di usia dewasa. Hasil penelitian Ahmad Arifin (2014) menemukan 46,7% anak Baduta anemia dan 36.2% menderita defisiensi besi (Ahmad Arifin et al. 2014).

B. Dampak Anemia Defisiensi Besi pada Baduta

Anemia Defisiensi Besi (ADB) memiliki dampak negatif bagi kinerja kognitif, perkembangan motorik, perilaku dan pertumbuhan fisik pada bayi dan anak usia prasekolah. Laporan klinis American Association of Pediatrician (AAP) (2010) menyatakan pentingnya meminimalkan ADB dan kekurangan zat besi pada bayi dan Balita mengingat dampak negatif yang mungkin disebabkan oleh kondisi ini (Baker & Greer, 2010). Usia 6–18 bulan adalah usia kritis keseimbangan zat besi karena

Page 66: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IVEpidemiologi dan Dampak ADB pada Baduta 49

meningkatnya kebutuhan tubuh (Baker, 1978). Pada bayi-bayi yang menerima ASI eksklusif hal ini dapat terhindarkan karena meskipun ASI mengandung sedikit zat besi tetapi dalam bentuk yang mudah diserap. Namun hal ini juga dengan syarat bahwa kadar besi ibu baik saat mengandung maupun melahirkan adalah cukup (Dewey & Chaparro, 2007).

Penelitian kohort di Costa Rika mengikuti anak-anak sehat sejak usia 12 hingga 23 bulan selama 19 tahun. Status besi anak dengan Hb ≤12,0 g/dL diperiksa, jika ditemukan adanya ADB maka diberikan terapi besi. Dalam studi tindak lanjut pada anak anak tanpa ADB (Hb Hb ≤12,0 g/dL) pada usia 5 tahun memiliki aktivitas fisik dan interaksi ibu dan anak yang lebih baik. Anak-anak dengan ABD kronis kurang responsif selama melaksanakan tugas terstruktur, baik di dalam laboratorium maupun selama interaksi sehari-hari di rumah. (Corapci, Radan, & Lozoff, 2006). Hal serupa juga ditemukan dalam studi di India terhadap anak-anak prasekolah di New Delhi (Lozoff, Corapci, & Burden, 2007).

Studi lanjutan pada kohort di Costa Rika juga menilai perkembangan motorik sebelum dan sesudah satu minggu dan tiga bulan terapi besi, dan kemudian pada usia 5 tahun dan 11–14 tahun. Anak-anak dalam kelompok ADB kronis atau berat memiliki skor motorik yang lebih rendah pada awal penelitian dan berlanjut rendah tanpa terjadinya catch-up selama masa tindak lanjut (Shafir et al. 2006). Pada usia 19 tahun, individu yang memiliki ADB kronis atau berat menunjukkan kinerja fungsi eksekutif yang kurang baik termasuk kontrol penghambatan, set-shifting (pengalihan tugas) dan perencanaan, serta menunjukkan penurunan pada tugas memori atau fungsi hippocampus (Lukowski et al. 2010). Dampak buruk ini lebih terasa pada anak yang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah. Pada partisipan dengan status sosial ekonomi menengah, perbedaan antara skor kognitif anak-anak yang memiliki ADB berat atau kronis pada usia 12–23 bulan dan mereka dengan status zat besi yang baik adalah

Page 67: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta50

8–9 poin di usia 19 tahun, mirip dengan perbedaan pada saat awal studi. Namun, pada peserta dengan status sosial ekonomi rendah, kesenjangan melebar dari 10–25 poin (Lozoff, Jimenez, & Smith, 2006)

Change et al. (2011) menilai perkembangan sosioemosional pada tiga kelompok anak di Cina berusia 4 tahun yang tidak anemia, anak-anak yang memiliki ADB yang tidak terkoreksi sebelum 24 bulan (ADB kronis), anak-anak yang memiliki ADB selama masa bayi tetapi dikoreksi sebelum 24 bulan dan anak-anak yang tidak pernah anemia. Hasil penelitian menyebutkan bahwa anak-anak yang memiliki ADB kronis pada masa bayi memiliki toleransi frustrasi yang rendah, perilaku yang lebih pasif, dan menarik diri terhadap orang asing serta kontrol penundaan kepuasan yang kurang pada usia 4 tahun dibandingkan dengan anak anak yang ADB-nya dikoreksi (Chang et al. 2011). Sebuah studi longitudinal prospektif pada anak-anak dengan ADB di India menemukan bahwa anak-anak dengan ADB memiliki skor perkembangan yang kurang optimal. Pemberian terapi besi oral pada anak anak ini menunjukkan bahwa anak anak dengan anemia parah Hb ≤7g/dL dan diberikan terapi saat usia >24 bulan menunjukkan hasil suboptimal (Gupta et al. 2010). Oleh sebab itu, pencegahan anemia dan intervensi sebelum usia 2 tahun menjadi krusial.

Ayala et al. (2008) meneliti perkembangan psikomotor 20 bayi usia 3–15 bulan dengan ADB dan 20 tanpa ADB dengan menggunakan quantitative electroencephalography (qEEG) dan menemukan bahwa pada bayi dengan ADB mempunyai skor kognisi, motorik halus dan sosial/emosional yang lebih rendah. Santos et al. (2009) meneliti perkembangan bahasa dan pendengaran pada 19 anak usia 3–6 tahun yang menderita ADB dan membandingkannya dengan 38 kontrol sehat. Hasilnya menunjukkan bahwa anak anak dengan ADB memiliki reflek akustik dan kemampuan bahasa yang lebih rendah. Pala et al. (2010) meneliti perkembangan psikomotor anak usia 6 sampai 72 bulan dengan menggunakan skor DDST II. Ditemukan bahwa

Page 68: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab IVEpidemiologi dan Dampak ADB pada Baduta 51

pada anak dengan ADB sebanyak 67,3% subjek menunjukkan skor yang abnormal dibandingkan hanya 15,0% pada kelompok kontrol (p<0,01).

Selain dampak kognitif dan psikomotor, terdapat beberapa penelitian yang menyoroti fungsi imunitas dan masalah kesehatan lain. Sebuah penelitian longitudinal membandingkan respons neutrofil dan monosit-apoptosis (bunuh diri terprogram sel monosit yang terjadi saat proses peradangan untuk menurunkan akumulasi sel radang pada lokasi sehingga peradangan dapat dikendalikan) dengan aliran cytometry pada 49 anak dengan ADB dan 26 kontrol sehat yang berusia antara 6 bulan dan 12 tahun. Pasien ADB diberikan suplementasi zat besi oral. Respons neutrofil dan monosit-apoptosis secara signifikan lebih rendah pada pasien ADB dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, respon apoptosis membaik pada kelompok kontrol setelah 15 hari terapi besi (Berrak et al. 2007)

Beberapa penelitian juga menemukan frekuensi stroke yang lebih tinggi pada Balita dengan ADB (Maguire, deVeber, & Parkin, 2007; Kavadas et al. 2008; Munot et al. 2011). Bayi yang mengalami defisiensi besi selama 6–12 bulan pertama dalam kehidupannya cenderung mengalami efek defisiensi yang berkelanjutan sampai memengaruhi kondisinya di masa dewasa. Ada dua masa penting dalam siklus hidup manusia saat kebutuhan besi cenderung melebihi ketersediaan di dalam tubuh, yaitu pada usia 6 sampai 18 bulan dan pada saat pubertas pada perempuan. Kurangnya asupan zat besi dapat secara signifikan menghambat perkembangan sistem saraf pusat sebagai akibat dari perubahan dalam morfologi, neurokimia, dan bioenergetika pada otak. Mengingat hampir separuh anak usia di bawah dua tahun di Indonesia mengalami ADB, semakin jelaslah potensi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat di masa mendatang yang tentunya berujung pada dampak negatif bagi pembangunan nasional. Ada peluang untuk membalikkan efek yang merugikan ini, akan tetapi bukti juga menunjukkan bahwa keberhasilan upaya penanggulangan

Page 69: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta52

sangat bergantung pada waktu intervensi, semakin cepat dimulainya intervensi akan semakin besar kemungkinan keberhasilannya. Oleh karena itu, usia anak di bawah dua tahun adalah periode yang tepat untuk pemberian intervensi untuk perbaikan status besi anak.

Page 70: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab V Pencegahan dan

Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi

Kebutuhan zat besi pada bayi dan anak relatif lebih tinggi dibandingkan dewasa jika dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur di bawah 1 tahun dan anak berumur 6–16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama banyaknya dengan laki-laki dewasa. Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang dibutuhkan ini, maka bayi hingga remaja harus dapat mengabsorbsi zat besi yang lebih banyak per 1000 kkal yang dikonsumsi. Angka kecukupan zat besi perhari untuk anak Balita dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Angka Kecukupan Gizi (AKG) Besi Balita

Kelompok Umur Besi2 (mg)/hari0-5 bulan 0,36-11 bulan 111-3 tahun 74-6 tahun 10

Sumber: Widyakarya Pangan dan Gizi XI.2018

Page 71: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta54

Tabel 13. menunjukkan Angka Kecukupan Besi anak Balita tahun 2018 (WNPG, 2018). Bayi membutuhkan asupan zat besi yang relatif tinggi karena mereka tumbuh sangat cepat. Bayi biasanya lahir dengan simpanan zat besi yang banyak. Namun, di atas usia 6 bulan, kandungan zat besi dari air susu ibu maupun susu lain yang tidak ditambahkan zat besi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi. Selain itu, makanan pendamping biasanya rendah zat besi. Bayi dengan berat lahir rendah (kurang dari 2500 g) dilahirkan dengan lebih sedikit simpanan besi sehingga berisiko tinggi untuk kekurangan besi setelah usia 2 bulan.

Meskipun ASI memberikan kontribusi yang besar bagi asupan nutrisi anak, ASI memiliki kandungan mineral penting yang rendah, misalnya saja besi dan zinc jika digunakan sebagai satu- satunya sumber mineral bagi anak di atas usia enam bulan. Oleh karena itu, pemberian makanan pendamping ASI dan penambahan zat besi menjadi penting pada anak setelah usia 6 bulan. Sebuah studi yang mengevalusi 23 resep tradisional MPASI di berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa meskipun MPASI ini dapat memenuhi kebutuhan protein harian tetapi tidak untuk besi, zinc dan kalsium (Gibson, Ferguson, & Lehrfeld, 1998). Produk susu juga merupakan sumber mineral, khususnya kalsium yang baik tetapi tidak untuk besi kecuali jika produk tersebut difortifikasi. Kazal (2002) menemukan bahwa pemberian susu sapi pada tahun pertama kehidupan adalah faktor risiko terpenting terjadinya ADB pada Baduta. Selain itu, pemberian susu, baik segar maupun susu bubuk, harus dicampur dengan air. Pada situasi higiene dan sanitasi yang kurang baik, hal ini justru akan menimbulkan masalah baru berupa diare yang akan semakin mengikis cadangan besi. Jika makanan pelengkap yang kaya zat besi maupun diperkaya dengan zat besi tidak dikonsumsi secara luas dan teratur oleh anak-anak, maka anak-anak harus secara rutin menerima suplemen zat besi pada tahun pertama kehidupannya (Tabel 14). Ketika prevalensi anemia pada anak-anak (6–24 bulan) mencapai 40% atau lebih, suplementasi harus berlanjut sampai tahun kedua kehidupan.

Page 72: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VPencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi 55

Tabel 14 Pedoman suplementasi zat besi untuk anak-anak usia 6–24 bulan

Prevalensi anemia pada anak usia 6-24 bulan Dosis harian Berat lahir Durasi

<40%12,5 mg besi + 50 µg asam

folat

Normal Usia 6–12 bulan

BBLR (<2500 g) Usia 2–24 bulan

>40%12,5 mg besi + 50 µg asam

folat

Normal Usia 6–24 bulan

BBLR(<2500 g) Usia 2–24 bulan

Sumber: WHO (2016)

WHO. Guideline daily iron supplementation in infants and children. Geneva; 2016

Jika prevalensi anemia pada anak 6–24 bulan tidak diketahui, dapat diasumsikan sama dengan prevalensi anemia pada wanita hamil dalam populasi yang sama. Dosis zat besi didasarkan pada 2 mg besi / kg berat badan / hari. Ikatan Dokter Anak Indonesia juga merekomendasikan suplementasi zat besi yang diprioritaskan untuk anak usia 0–5 tahun, terutama untuk bayi berusia 0–24 bulan dengan dosis yang sedikit berbeda. Pada bayi cukup bulan dan anak usia di bawah 2 tahun, suplementasi besi diberikan jika prevalens ADB tinggi (di atas 40%) atau tidak mendapat makanan dengan fortifikasi. Suplementasi ini diberikan mulai usia 6–23 bulan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan kemudian tidak mendapat besi secara adekuat dari makanan, dianjurkan pemberian suplementasi besi dengan dosis 1 mg/kg/hari. Untuk mencegah terjadinya defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan, pada bayi yang mendapatkan ASI perlu diberikan suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan (IDAI, 2011).

Laporan klinis Asosiasi Dokter Anak Amerika Serikat (AAP) memberikan beberapa rekomendasi untuk pencegahan defisiensi besi dan ADB pada bayi dan anak usia 1–3 tahun. Bagi bayi lahir cukup bulan yang disusui boleh diberi suplementasi besi oral 1 mg/kg per hari selama 4 bulan sampai dapat diperkenalkan makanan dengan

Page 73: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta56

kuantitas dan kualitas zat besi yang mencukupi. Bayi prematur yang mendapatkan susu formula, hendaknya minum susu yang difortifikasi dengan zat besi sampai usia diperkenalkannya makanan kaya zat besi. Bayi lahir prematur disarankan mendapatkan 2 mg/kg per hari sampai usia 12 bulan. Untuk anak usia 1–3 tahun, disarankan mendapatkan asupan besi sebanyak 7 mg/day, ini harus dapat dipenuhi dari makanan ataupun suplementasi jika diperlukan.

Selain itu, US CDC juga merekomendasikan beberapa hal: 1) pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, 2) ASI atau susu formula yang difortifikasi dengan zat besi dipergunakan sebagai bahan untuk membuat diet berbasis susu, 3) memperingatkan bahwa susu rendah besi seperti susu sapi murni, susu kambing atau susu kedelai harus dihindari untuk bayi berusia di bawah 12 bulan, 4) bayi harus diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI yang kaya zat besi saat berusia 6 bulan, dan 5) selain itu disarankan mengenalkan makanan yang kaya vitamin C untuk membantu penyerapan zat besi. Bagi anak usia 1–5 tahun juga disarankan untuk tidak minum lebih dari 3 gelas susu rendah besi seperti susu sapi murni, susu kambing atau susu kedelai per hari. Komposisi susu formula dan makanan pendamping ASI instan juga harus mematuhi syarat- syarat kandungan gizi termasuk zat besi.

Systematic Review dari Cochrane (2001) menyimpulkan bahwa dari lima trial intervensi dengan pemberian besi selama 5–11 hari pada anak usia di bawah 5 tahun tidak menunjukkan ada perubahan pada perkembangan psikomotor dalam jangka pendek. Akan tetapi, suplementasi zat besi pada bayi usia 3 hingga 6 bulan terbukti meningkatkan pertumbuhan dan penambahan berat badan pada anak-anak yang kekurangan gizi dan anemia di negara berkembang

Tinjauan Cochrane (2011) telah mengevaluasi 33 studi percobaan acak atau quasi acak di Amerika Latin, Afrika, dan Asia yang mengukur efektivitas suplementasi besi intermiten terhadap status gizi dan perkembangan pada anak-anak kurang dari 12 tahun dibandingkan

Page 74: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VPencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi 57

dengan suplementasi harian. Ditemukan bahwa suplementasi besi intermiten sama efektifnya dengan suplementasi harian dalam meningkatkan konsentrasi Hb dan SF, tetapi kurang efektif dalam mencegah atau mengendalikan anemia.

Penting untuk diingat bahwa salah satu faktor risiko terjadinya ADB pada bayi dan Balita adalah kondisi prenatal dan perinatal berupa cadangan besi ibu. Oleh karena itu penanggulangan anemia gizi pada Balita tidak bisa dipisahkan dari penanggulangan anemia pada ibu hamil dan menyusui. Kebutuhan fisiologis besi pada saat kehamilan sulit dipenuhi hanya dari konsumsi makanan yang tidak diperkaya zat besi. Oleh karena itu, wanita hamil harus secara rutin menerima suplemen zat besi. Angka kecukupan zat besi pada ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Kebutuhan zat besi harian pada ibu hamil dan menyusui

Umur Ibu (Tahun)Kebutuhan Zat Besi Harian (mg/hari)

Hamil Menyusui ≤ 18 24 15

19-29 27 1830-49 27 18

Sumber: WNPGXI (2018)

Terlepas dari tinggi rendahnya prevalensi anemia dalam populasi suplementasi besi pada ibu hamil harus dilakukan untuk memungkinkan wanita memperoleh simpanan zat besi yang cukup (Tabel 16).

Page 75: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta58

Tabel 16 Pedoman suplementasi besi untuk ibu hamil

Prevalensi Anemia pada Kehamilan Dosis Harian Durasi

<40% 30–60 mg besi + 400 µg asam folat selama kehamilan

≥40% 60 mg besi + 400 µg asam folat

6 bulan selama kehamilan

Mengalami anemia secara klinis

120 mg besi + 400 µg asam folat

Sampai Hb normal lalu mengikuti regimen umum yang digunakan

pada populasiSumber: WHO (2012)

Penundaan penjepitan tali pusat juga merupakan strategi yang disarankan (McDonald & Middleton, 2008). Dua kajian ilmiah telah menemukan efek menguntungkan terhadap status hematologi dan status zat besi dan risiko anemia terkait dengan penundaan penjepitan tali pusat (Maguire et al. 2010; Hutton & Hassan, 2007). Sebuah penelitian di Swedia menemukan bahwa penjepitan tali pusat yang ditunda (≥3 menit setelah melahirkan) mengakibatkan status besi membaik dan mengurangi prevalensi defisiensi besi pada usia 4 bulan dan mengurangi prevalensi anemia neonatal pada usia 2 hari (Andersson et al. 2011). Pada bulan April 2011 Royal College of Obstetricians and Gynecologists (RCOG) menyatakan bahwa "tali pusat seharusnya tidak dijepit lebih awal dari yang diperlukan, berdasarkan penilaian situasi klinis" (RCOG, 2011).

Selain pemberian suplementasi dalam bentuk tablet besi atau sirup besi pada anak, dalam jangka pendek dapat juga dilakukan fortifikasi pangan rumah dengan multi mikronutrien termasuk zat besi. Sebuah systematic review penggunaan micronutrient powders (MNP) memiliki efektivitas sebanding dengan besi sirup tetes dengan efek samping yang lebih rendah (Dewey, Yang, & Boy, 2009). Sebuah review oleh Cochrane (2011) menilai dampak fortifikasi di rumah dengan

Page 76: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VPencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi 59

menggunakan micronutrient powders (MNP) pada status gizi dan kesehatan pada anak usia di bawah dua tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa MNP menurunkan risiko ADB dan kekurangan zat besi di Asia, Afrika dan kepulauan Karibia (De-Regil et al. 2011)

Sebuah uji efikasi acak semu placebo-kontrol menunjukkan bahwa pemberian suplementasi zat besi dalam kombinasi dengan dua atau lebih mikronutrien hanya sedikit meningkatkan kadar Hb dibandingkan dengan suplementasi besi saja (Gera, Sachdev, & Nestel, 2009). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa efek suplementasi besi pada anak usia 4 hingga 9 bulan yang disusui menunjukkan adanya peningkatan status zat besi (Ziegler, Nelson, & Jeter, 2009).

Upaya untuk mengurangi ADB pada anak usia Balita memerlukan kebijakan yang menyeluruh dan panduan terprogram dari pembuat keputusan tentang apa saja intervensi yang tepat dan bagaimana intervensi ini harus dilakukan, serta kapan waktu melakukannya. Sebagian besar kebijakan intervensi ADB pada anak usia Balita luput memperhitungkan intervensi pada masa perinatal. Pemberian suplemen besi pada ibu hamil seringkali tidak dilihat sebagai titik awal upaya pencegahan ADB sebelum anak dilahirkan. Intervensi yang dapat melindungi status besi saat lahir dan selama 6 bulan pertama kehidupan, seperti penundaan penjepitan tali pusat dan promosi pemberian ASI eksklusif jarang dipertimbangkan. Di beberapa kondisi, pemberantasan cacingan juga merupakan intervensi yang penting untuk dipertimbangkan.

Penanganan jangka menengah adalah memperbaiki akses rumah tangga terhadap pangan kaya zat besi. Penggunaan MPASI komersial siap saji atau siap makan terfortifikasi telah menjadi bagian dari pola makan Balita di Indonesia. Sebuah studi di Pati, Jawa Tengah misalnya menunjukkan 86,2% anak berusia 12 sampai dengan 36 bulan diberikan MPASI komersial terfortifikasi baik pada kelompok stunting maupun non stunting (Anugraheni, 2012). Di Subang, Jawa Barat, sebuah studi

Page 77: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta60

KOHORT menunjukkan 91,7% anak berusia 6 bulan mendapatkan MPASI fortifikasi komersial terlepas dari kondisi sosial-ekonomi rumah tangga. Hal penting lainnya adalah bahwa pemberian MPASI ini meskipun menurunkan keragaman diet ternyata memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan linier anak tersebut (Diana et al. 2017). Temuan tersebut sejalan dengan hasil review internasional bahwa pemberian MPASI dengan fortifikasi menunjukkan pengaruh positif terhadap status asupan micronutrient terutama zat besi dan pertumbuhan linear anak (Dewey & Adu-afarwuah, 2008). Studi GAIN juga menunjukkan pola serupa, sejumlah 68% bayi dan anak mendapatkan MPASI fortifikasi sebagai bagian dari pola makannya (GAIN, 2015). Berbagai kenyataan ini menunjukkan bahwa peran makanan pendamping ASI fortifikasi komersial tidak dapat diabaikan dalam integrasi strategi penanggulangan masalah gizi di Indonesia.

Banyak hal yang perlu dilakukan untuk memastikan akses dan utilisasi MPASI komersial yang kaya energi dan micronutrients, khususnya besi, zinc, kalsium, zat besi, vitamin A, vitamin B1, B2, B6, B12, vitamin C, dan folat. Produk MPASI tersebut juga hendaknya tinggi densitas energinya, aman, bebas dari kontaminasi patogen, toksin dan bahan kimia berbahaya. MPASI juga harus rendah gula, garam dan bumbu akan tetapi diterima dengan baik oleh anak, mudah dijangkau oleh keluarga dan mudah disiapkan. Oleh karena itu, diperlukan hadirnya regulasi yang tegas dan penegakan aturan secara lintas sektor antar pemangku kepentingan sebagai kunci. Harus dipastikan juga peran aktif produsen dan distributor produk pangan untuk turut serta memastikan bahwa produk mereka telah memenuhi regulasi yang ada ketika menyentuh pasar. Maka sekali lagi, peran pemerintah menjadi sangat penting lewat fungsi regulasi, pengawasan dan pembinaan.

Selain MPASI komersial fortifikasi pangan juga hendaknya ditingkatkan. Global Alliance for Improving Nutrition (GAIN-2006) melaporkan hasil fortifikasi di berbagai negara. Fortifikasi terigu dengan zat besi di Chile cukup berhasil “menghapus” anemia karena

Page 78: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VPencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi 61

kurang zat besi, sehingga anemia tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Fortifikasi adalah upaya meningkatkan mutu gizi bahan makanan dengan menambahkan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu pada bahan makanan atau makanan. Perbaikan gizi keluarga sehari-hari atas dasar gizi seimbang dapat digunakan untuk menanggulangi masalah anemia, namun tidak semua masyarakat dapat memenuhi gizi seimbang karena faktor kemiskinan yang membatasi daya beli terhadap bahan makanan terutama bahan makanan yang mengandung ketersediaan zat gizi yang mudah diserap oleh tubuh seperti pangan hewani.

Fortifikasi sebagai upaya untuk menurunkan ADB pada Balita, merupakan terobosan teknologi untuk menanggulangi kekurangan zat gizi mikro yang dapat dilakukan menjangkau masyarakat luas. Fortifikasi tepung terigu dengan zat besi sudah lama dilakukan di negara maju seperti di Amerika yang dimulai tahun 1938 dan di Swedia tahun 1965. Fortifikasi vitamin A pada mentega, susu dan lain-lain di Eropa dan Amerika dimulai sejak perang dunia kedua. Program fortifikasi di negara barat telah berhasil menuntaskan berbagai masalah kurang gizi, sementara di negara berkembang berbagai masalah gizi masih banyak dijumpai (Soekirman, 2008). Strategi global dalam mengatasi kekurangan zat gizi mikro termasuk zat besi memang diawali dengan pemberian suplemen dan pengobatan infeksi penyerta, tetapi perlahan digantikan dengan intervensi berbasis pangan lewat fortifikasi yang dibarengi perbaikan higiene dan sanitasi sebagai upaya pencegahan infeksi (Mannar, 2004). Sebagai langkah jangka panjang adalah mengurangi fortifikasi secara perlahan dengan terus menerus memberikan edukasi pada masyarakat untuk mengonsumsi makanan seimbang, beragam, dan memilih sumber pangan kaya zat besi.

Program fortifikasi tepung terigu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1980-an dengan sebuah studi mengenai kelayakan fortifikasi tepung terigu. Pada tahun 1998, Departemen Kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri mengenai fortifikasi tepung terigu yang mengatur

Page 79: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta62

tentang dosis dan zat-zat gizi yang diperlukan untuk fortifikasi tepung terigu di Indonesia. Perbaikan gizi dengan fortifikasi, khususnya pada terigu didukung pemerintah yaitu dengan dikeluarkannya: 1) SK Menteri Kesehatan No.632/MENKES/SK/VI/1998 tentang Fortifikasi Tepung Terigu Tanggal 16 Juni 1998, 2) SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 323/MPP/MPP/Kep/11/2001 tentang Penerapan Secara Wajib Sni Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan, dan 3) SK Dirjen IKAH No.03/DIRJENIKH/SK/II/2002 tentang standar Prosedur Operasional Kewajiban SNI.

Pada bulan Januari 2008 Departemen Perindustrian sempat mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang dikeluarkan pada tahun 2001 mengenai Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan Secara Wajib. Pencabutan ini bertujuan untuk menurunkan harga tepung terigu di pasar dengan membolehkan impor tepung terigu yang tidak difortifikasi. Namun demikian, analisis ekonomi menunjukkan bahwa fortifikasi merupakan investasi yang berprioritas sangat tinggi dan melindungi rakyat Indonesia dari impor tepung terigu yang tidak difortifikasi, dan fortifikasi juga merupakan bagian penting dari upaya penanganan kekurangan zat gizi mikro. Akhirnya, tanggal 14 Juli 2008 Departemen Perindustrian menyatakan bahwa kebijakan wajib fortifikasi tepung terigu diberlakukan kembali dan akan berlaku efektif sejak tanggal 14 Agustus 2008 sampai saat ini. Sementara fortifikasi beras untuk keluarga miskin (Raskin) dengan zat besi, asam folat, zinc dan beberapa micronutrient lain sedang diuji coba di beberapa daerah (Martianto, 2012).

Senyawa besi untuk fortifikasi makanan yang diperkenankan juga diatur, WHO menyatakan bahwa besi pirofosfat dan ortofosfat tidak boleh digunakan karena bioavailabilitasnya yang buruk (WHO, 2001). Hurrell (2010) menyatakan bahwa besi fumarat saat ini direkomendasikan untuk digunakan dalam fortifikasi makanan untuk bayi dan anak usia dini. Namun, mereka mengatakan bukti

Page 80: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VPencegahan dan Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi 63

menunjukkan bahwa penyerapan besi fumarat pada bayi yang kekurangan zat besi dan anak-anak usia dini kurang baik dibandingkan besi sulfat. Percobaan prospektif dari dua senyawa besi yang berbeda, besi glukonat dan kompleks polymaltose besi sebagai suplemen oral, menunjukkan bahwa besi glukonat lebih efektif tetapi kurang ditoleransi dengan baik (Jaber, 2010).

Sementara itu sebagai upaya menurunkan ADB pada Balita untuk program jangka panjang adalah dengan kembali pada gaya hidup sehat yang membiasakan konsumsi pangan seimbang dan beragam. Ini merupakan solusi jangka panjang yang ideal. Seimbang komposisi karbohidrat, protein, lemak, serat dan vitamin mineral sesuai piramida makanan sehat. Bentuk piramida yang mengecil ke atas digunakan untuk mewakili gambaran jumlah/porsi dari masing-masing tingkat kelompok kebutuhan.

Pendidikan gizi sebagai salah satu upaya menurunkan ADB pada Balita dalam jangka panjang adalah edukasi pada orang tua terutama pada ibu atau pengasuh anak. Pemilihan bahan pangan yang kaya zat besi merupakan alternatif untuk program jangka panjang, misalnya pada piramida paling bawah kita harus bisa memilih sumber karbohidrat yang banyak mengandung sumber zat besi seperti labu kuning, ubi ungu, dan beras merah. Piramida tingkat kedua yaitu kelompok zat pengatur, meliputi sayur-sayuran dan buah-buahan. Untuk mencegah anemia pilih sayur berdaun hijau seperti bayam, kangkung, cesin, daun labu, daun singkong, daun ubi jalar, dan buah-buahan yang berwarna merah seperti buah anggur, buah pepaya, dan buah jeruk. Piramida tingkat ketiga yaitu kelompok zat pembangun berupa produk makanan nabati dan hewani berupa lauk-pauk juga susu. Kelompok zat pembangun ini merupakan sumber protein bagi tubuh dan untuk memilih protein yang kaya zat besi masyarakat perlu diedukasi untuk mengonsumsi sumber protein hewani. Pemilihan produk protein hewani ini memang menjadi kendala bagi masyarakat ekonomi lemah maka dari itu pemerintah setempat melalui kegiatan masyarakat seperti

Page 81: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta64

Posyandu dan PKK mulai menggalakkan kembali budidaya ikan atau ternak ayam di pekarangan untuk konsumsi keluarga. Puncak piramida adalah minyak dan lemak yang dikonsumsi seperlunya. Minyak dan lemak tetap diperlukan bagi tubuh untuk melarutkan zat gizi tertentu yang larut dalam lemak misalnya vitamin A, D, E, dan K.

Pendidikan gizi merupakan kunci perubahan pola asuh termasuk pola makan. Sebuah studi yang meneliti faktor-faktor yang memengaruhi asupan zat besi pada anak-anak sehat berusia satu tahun di Swedia menemukan bahwa anak-anak yang orangtuanya menerima informasi tentang makanan kaya zat besi secara signifikan memiliki tingkat reseptor transferin yang lebih rendah, menunjukkan status zat besi yang lebih baik, daripada anak-anak yang orang tuanya tidak menerima informasi tentang makanan kaya zat besi (p = 0,01) (Bramhagen et al. 2011). Penanggulangan jangka panjang anemia dapat memandirikan masyarakat untuk mengonsumsi makanan sumber zat besi yang banyak dijumpai di sekitar tempat tinggal dan harganya dapat dijangkau. Hal ini harus didukung oleh kebijakan yang kuat serta kelembagaan yang baik sehingga pangan sumber zat besi bagi masyarakat akan semakin tersedia dengan mudah.

Page 82: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VI Pangan Sumber Zat Besi

Berikut kami sajikan informasi bahan pangan dan hasil olahannya yang mengandung zat besi tinggi. Informasi ini dapat digunakan bagi pembaca untuk memilih dan meningkatkan asupan zat besi. Mengonsumsi makanan beragam dapat meningkatkan asupan zat besi bagi tubuh. Memberikan makanan tambahan yang terbuat dari pangan kaya zat besi akan dapat menghindarkan anak dari anemia.

Tabel 17 Sumber Pangan dan Hasil Olahannya Kaya Zat Besi

No Bahan Pangan dan Hasil Olahannya

Kandungan Zat Besi mg per 100 g BDD

1 Bagea 7,62 Gatot 17,13 Tepung mocaf 15,84 Tepung tales 10,75 Tiwul instan 5,86 Kacang kecipir kering 6,87 Kacang hijau kering 7,58 Kacang kedelai kering 10,0

Page 83: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta66

No Bahan Pangan dan Hasil Olahannya

Kandungan Zat Besi mg per 100 g BDD

9 Kacang kuning kering 5,810 Kacang mentega kering 6,711 Kacang merah/banda kering 6,812 Kacang merah tua, kering 6,413 Kacang merah, kering 10,314 Kacang panjang, biji, kering 6,915 Kacang tanah kering 5,716 Kacang tolo/tunggak, kering 13,917 Kacang tunis, kering 6,918 Kacang urei, kering 5,117 Kenari, kering 7,718 Komak polong, segar 13,119 Koro andong, kering 6,220 Lamtoro gung, tanpa kulit 23,321 Saga merah, terkupas 14,222 Wijen, mentah 9,523 Kacang mete, goreng 8,024 Kacang negara 10,325 Pepes oncom 12,526 Keripik oncom 27,027 Keripik tempe 6,928 oncom 27,029 Oncom kacang tanah 34,430 taoco 6,031 Bayam merah, segar 7,032 Daun bangun bangun, segar 13,633 Daun bluntas, segar 5,634 Daun gelang, segar 11,935 Daun jambu mete muda, segar 8,9

Tabel 17 Sumber Pangan dan Hasil Olahannya Kaya Zat Besi (lanjutan)

Page 84: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VIPangan Sumber Zat Besi 67

No Bahan Pangan dan Hasil Olahannya

Kandungan Zat Besi mg per 100 g BDD

36 Daun jonghe, segar 9,537 Daun kecipir, segar 6,238 Daun kedondong, segar 6,239 Daun kelor segar 6,040 Daun koro, segar 6,241 Daun leunca, segar 6,142 Daun mengkudu, segar 6,943 Daun selasih, segar 13,944 Daun sintrong, segar 9,345 Daun ubi merah, segar 6,446 Jamur kuping, kering 6,747 Komak, segar 13,148 Tekokak, kering 22,249 Botok lamtoro 26,050 Buntil daun talas 14,551 Gudeng, sayur 12,852 Belibis, daging, segar 9,653 Domba, ginjal, segar 9,254 Sapi, ginjal, segar 7,955 Sapi, hati, segar 6,654 Rusa daging dendeng, mentah 13,455 Sapi, abon 12,354 Ayam goreng, dada 7,555 Lawar, penyu 6,056 Rending sapi 14,957 Kerang segar 15,658 Lokan segar 10,959 Ikan calo/peda, mentah 22,660 Ikan mas pepes 6,1

Tabel 17 Sumber Pangan dan Hasil Olahannya Kaya Zat Besi (lanjutan)

Page 85: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta68

No Bahan Pangan dan Hasil Olahannya

Kandungan Zat Besi mg per 100 g BDD

61 Ikan teri, tawar, mentah 23,462 Rebon, kering, mentah 21,463 Teripang, dendeng, mentah 96,464 Dendeng belut, goring, masakan 15,465 Dendeng mujair, goring, masakan 7,466 Telur ayam ras, bagian kuning, segar 7,267 telur bebek alabio, segar 6,068 Telur bebek, bagian kuning, segar 7,069 Telur bebek dadar, masakan 9,270 Ikan, telur, asin, mentah 15,171 Lemak ikan 32,772 Coklat bubuk 11,673 Teh hijau daun kering 18,974 Teh hitam daun kering 24,375 Teh melati daun kering 31,676 Daun salam, bubuk 44,177 Ketumbar, kering 17,978 Merica, kering 16,479 Terasi 78,580 Terasi dobo 22,9

Sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesia, Kementerian Kesehatan RI (2017).

Pemberian sumber pangan kaya zat besi tidak boleh hanya dipandang secara parsial karena paduan dengan sumber pangan lain yang menghambat penyerapan zat besi dapat menurunkan ketersediaan biologis besi yang dikonsumsi. Empat zat penghambat utama penyerapan zat besi adalah phytat, kalsium, tanin dan oksalat. Phytat, umumnya ditemukan pada biji-bijian, padi-padian dan kacang-kacangan. Selain menghambat penyerapan besi phytat juga menghambat penyerapan

Tabel 17 Sumber Pangan dan Hasil Olahannya Kaya Zat Besi (lanjutan)

Page 86: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VIPangan Sumber Zat Besi 69

zinc, magnesium, dan calcium. Tannin adalah sebuah antioksidan polyphenols yang dapat menganggu pencernaan berbagai macam gizi. Kalsium oksalat adalah bentuk umum kalsium dalam pelbagai sayuran, misalnya bayam. Secara terpisah kalsium dan oksalat dapat menghambat penyerapan zat besi karena kecenderungannya untuk saling berikatan dengan besi.

Keempat zat tersebut sering kali disebut sebagai antinutrients. Antinutrients adalah zat yang terdapat pada tumbuhan yang dapat menurunkan kemampuan tubuh menyerap nutrients. Pada kondisi normal antinutrients ini bukanlah masalah besar, akan tetapi pada kondisi khusus di saat kebutuhan zat besi meningkat dan sumber pangan yang digunakan sebagian besar berasal dari tumbuhan, maka pengetahuan mengenai bagaimana mengurangi konsentrasi antinutrients ini menjadi penting. Berbagai cara yang dinilai efektif untuk menurunkan kadar antinutrients ini adalah 1) phytat – direndam, dijadikan kecambah atau difermentasi (tempe), 2) Tannin - dapat dikurangi kadarnya dengan perendaman atau perebusan, dan 3) Kalsium oksalat - dapat dikurangi dengan perendaman dan perebusan. Secara umum disarankan untuk merendam dan merebus kacang- kacangan yang akan dicampurkan ke dalam MPASI.

Page 87: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.
Page 88: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Bab VII Penutup

Masalah anemia merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dijumpai di beberapa negara berkembang di antaranya di Indonesia. Masalah anemia di Indonesia sering menimpa kelompok rentan seperti Ibu hamil dan anak Balita (bawah lima tahun) utamanya anak bawah dua tahun (Baduta). Salah satu penyebab anemia yang paling banyak dijumpai di Negara berkembang adalah anemia kurang besi atau Anemia defisiensi besi (ADB). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi anemia ibu hamil cukup tinggi yaitu 48,9 persen artinya 5 dari 10 ibu hamil menderita anemia. Sejalan dengan anemia ibu hamil, prevalensi Anemia pada anak usia Baduta juga tinggi. Demikian pula hasil penelitian South East Asian Nutrition Surveys (Seanuts) di Indonesia tahun 2011 menunjukkan bahwa 5 dari 10 anak Baduta menderita anemia. Pentingnya memberikan perhatian anemia pada Baduta karena dampak pada perkembangan anak di masa yang selanjutnya. Di samping itu usia Baduta adalah termasuk dalam masa 1000 HPK (hari pertama kehidupan) dimana waktu yang paling baik untuk melakukan perbaikan gizi. Dampak dari anemia ini bergantung pada lamanya, dan seberapa parah anemia yang diderita. Anemia, jika tidak di cegah atau ditangani dapat menyebabkan masalah perilaku maupun kemampuan kognitif. Berbagai dampak

Page 89: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta72

ini mungkin tidak reversible jika intervensi diberikan terlambat. Tetapi, pada dasarnya anemia dapat dicegah dengan beberapa cara; misalnya suplementasi zat gizi mikro, fortifikasi pangan, edukasi yang dirancang khusus untuk pengasuh baduta termasuk dalam pemberian ASI dan MPASI yang dapat dilakukan melalui pelbagai saluran baik secara langsung maupun dari media massa dan media sosial. Edukasi dengan memperkenalkan bahan pangan kaya zat besi sebagai salah satu bahan campuran MPASI merupakan cara yang paling baik untuk mencegah anemia, karena banyak hasil penelitian maupun kajian menunjukkan kekurangan zat besi menduduki proporsi baling besar sebagai penyebab anemia di Negara berkembang. Hanya saja, harus juga diingat bahwa intervensi spesifik gizi bukan satu–satunya faktor yang dapat mencegah dan memperbaiki keadaan anemia pada Baduta. Kondisi sosial ekonomi, akses terhadap pelayanan kesehatan serta hygiene dan sanitasi juga merupakan faktor penting yang menentukan kualitas tumbuh kembang anak. Oleh sebab itu perencanaan program gizi untuk mengatasi anemia pada baduta harus juga memperhatikan pelbagai masalah ini, yang dikenal dengan intervensi sensitive.

Anemia, termasuk anemia pada baduta adalah sebuah masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. Sebuah masalah dengan penyebab multi faktor yang saling berinteraksi di tingkat individu. Anemia pada anak baduta dan anak yang lebih tua memiliki prevalensi dan faktor risiko yang sangat berbeda. Pada Baduta pemberian ASI dan MPASI serta pola asuh sangat berperan penting. Determinan sosial tidak hanya soal kondisi sosial ekonomi orang tua tapi termasuk juga masalah lingkungan antara lain akses air bersih dan sarana kesehatan. Oleh karena itu, mengingat besarnya prevalensi dan beratnya dampak jangka panjang dari kejadian anemia pada kelompok usia ini maka surveillance anemia gizi besi dan berbagai program untuk mencegah dan mengatasi anemia pada kelompok usia ini harus terus dilakukan agar anak baduta kita tidak menjadi generasi harapan yang hilang.

Page 90: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Pustaka

Addison GM, Beamish MR, Hales CN, Hodgkins M, Jacobs A, Llewellin P.(1972), An immunoradiometric assay for ferritin in the serum of normal subjects and patients with iron deficiency and iron overload. J Clin Pathol. 1972 Apr;25(4):326-9

Andrews N (2003); Disorders of iron metabolism. In Handin et al (Edns): Blood: Principles and practice of hematology 2nd edn Philadelphia Williams 8 wilkins: 1399

Angka Kecukupan Gizi. (2018). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI. Jakarta.

Alli, N., Vaughan, J., & Patel, M. (2017). Anaemia: Approach to diagnosis. South African Medical Journal, 107(1), 23–27.

Ahmad A, Zulfah S, Wagustina S.(2014) Defisiensi Besi dan Anemia pada anak usia Bawah Dua Tahun (Baduta) (6-23 BULAN) DI Kabupaten Aceh Besar. Gizi Indon, 37(1):63-70.

Ayala R, Otero GA, Porcayo Mercado R et al. (2008) Delayed CNS maturation in iron-deficient anaemic infants. Nutr Neurosci. 2008:11(2):61-8.

Andrews N (2003); Disorders of iron metabolism. In Handin et al (Edns): Blood: Principles and practice of hematology 2nd edn Philadelphia Williams 8 wilkins: 1399

Page 91: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta74

Andersson O, Hellstrom-Westas L, Andersson D et al (2011). Effect of delayed versus early umbilical cord clamping on neonatal outcomes and iron status at 4 months: a randomised controlled trial. BMJ. 2011;343:d7157.

Anugraheni D E (2012). Hubungan antara anemia dan luaran persalinan pada ibu hamil yang menggunakan kelambu berinsektisida dan tidak menggunakan kelambu berinsektisida di daerah endemis malaria vivax, Jurnal Media Kesehatan Poltekkes Kemenkes Bengkulu Volume 5 Nomor 1 Juni Tahun 2012

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2008). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Laporan Nasional 2007, 1–384.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013, 1–384.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.(2018). Perkembangan status gizi Balita dan determinannya,Riskesdas tahun 2018. Disampaikan pada Simposium Nasional, Hari Kesehatan Nasional 2018. Badanlitbang Kesehatan.

Balarajan YS, Fawzi WW, Subramanian SV (2013). Changing patterns of socialinequalities in aemia among women in India: cross-sectional study usingnationally representative data. BMJ Open. 2013;3(3):e002233.

Baker RD, Greer FR. Diagnosis and Prevention of Iron Deficiency and Iron-Deficiency Anemia in Infants and Young Children (0-3 Years of Age). Pediatrics. 2010;126(5):1040–50. Available from: http://pediatrics.aappublications.org/cgi/doi/10.1542/peds.2010-2576

Baker, S. J. (1978). Nutritional anaemia--a major controllable public health problem. Bulletin of the World Health Organization, 56(5), 659–75.

Page 92: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Pustaka 75

Beard JL (2008). Why iron deficiency is important in infant development. J Nutr. 2008;138:2534–6.

Berrak SG, Angaji M, Turkkan E et al. (2007) The effects of iron deficiency on neutrophil/monocyte apoptosis in children. Cell Prolif. 2007;40(5):741-54.

Best C, Neufingerl N, Del Rosso JM et al. (2011) Can multi-micronutrient food fortification improve the micronutrient status, growth, health, and cognition of schoolchildren? A systematic review. Nutr Rev. 2011;69(4):186-204.

Billett, H. (1990). Hemoglobin and hematocrit. In Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. (pp. 718–719).

Blazsek I, Farabos C, Quittet P, Labat ML et al,(1996) Bone marrow stromal cell defects and 1 alpha, 25-dihydroxyvitamin D3 deficiency underlying human myeloid leukemias. Cancer DetectPrev 20:31–42

Bothan K.M., Mayes P.A. (2006). In Harper’s Illustrated Biochemistry. Seventh edition. The McGraw-Hill Companies, Inc, USA

Brugnara C, Zurakowski D, DiCanzio J et al (1999). Reticulocyte hemoglobin content to diagnose iron deficiency in children. JAMA. 1999;281(23):2225-30.

Bramhagen AC, Svahn J, Hallstrom I et al.(2011) Factors influencing iron nutrition among oneyear-old healthy children in Sweden. J Clin Nurs. 2011;20(13-14):1887-94.

Braunstein, E. M. (2015). Overview of Anemia. Merck Consumer Manual.

Burden MJ, Westerlund AJ, Armony-Sivan R et al (2007). An event-related potential study of attention and recognition memory in infants with iron-deficiency anemia. Pediatrics. 2007;120(2):e336-e345.

Page 93: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta76

Castro-Gomes T, Mourão L.C, Melo G.C et al (2014), Potential Immune Mechanisms Associated with Anemia in Plasmodium vivax Malaria: a Puzzling Question; Infection and Immunity p. 3990–4000 October 2014 Volume 82 Number 10

Chang S, Wang L, Wang Y, Brouwer I.D et al (2011), Iron-Deficiency Anemia in Infancy and Social Emotional Development in Preschool-Aged Chinese Children; Pediatrics april 2011, volume 127 / issue 4

Crosby WH, O’Neil-Cutting MA (1984). A small-dose iron tolerance test as an indicator of mild iron deficiency, JAMA. 1984 Apr 20;251(15):1986-7.

Corapci F, Radan AE, Lozoff B. (2006) Iron deficiency in infancy and mother-child interaction at 5 years. J Dev Behav Pediatr. 2006;27(5):371-8.

Cogswell M, Egli I, Wojdyla D, de Benoist B. Worldwide prevalence of anaemia, WHO Vitamin and Mineral Nutrition Information System, 1993–2005. Public Health Nutr. 2008 May 23:1–11 [Epub ahead of print]. 13.

Dallman PR et al (1980); iron deficiency in infancy and child hood. Am J clin nutr 33:86

de Pee, S., Bloem, M. W., Sari, M., Kiess, L., Yip, R., & Kosen, S. (2002). High prevalence of low hemoglobin concentration among Indonesian infants aged 3–5 months is related to maternal anemia. Journal of Nutrition, 132, 2115–2221.

Dewey KG, Chaparro CM (2007). Mineral metabolism and body composition. Iron status of breast-fed infants. Proc Nutr Soc. 2007;66: 412–22.

Dewey KG, Yang Z, Boy E. Systematic review and meta-analysis of home fortification of complementary foods. Matern Child Nutr. 2009;5(4):283-321.

Page 94: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Pustaka 77

De-Regil LM, Jefferds ME, Sylvetsky AC et al. (2011). Intermittent iron supplementation for improving nutrition and development in children under 12 years of age. Cochrane Database Syst Rev. 2011;(12):CD009085.

De-Regil LM, Suchdev PS, Vist GE et al (2011). Home fortification of foods with multiple micronutrient powders for health and nutrition in children under two years of age. Cochrane Database Syst Rev. 2011;(9):CD008959.

Diana A, Mallard S.R, Haszard J.J, Purnamasari D.M et al (2017), Consumption of fortified infant foods reduces dietary diversity but has a positive effect on subsequent growth in infants from Sumedang district, Indonesia; PLOS-one, April 20, 2017 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0175952

Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat,Direktorat Gizi Masyarakat.(2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAH) (2002); Surat Keputusan Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil hutan nomor : 03/Dirjen-IKAH/SK/II/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerapan SNI tepung terigu sebagai bahan makanan (SNI 01.3751-2000/rev.1995 dan revisinya)

Domellof M (2010). Benefits and Harms of Iron Supplementation in Iron-Deficient and Iron Sufficient Children. Nestle Nutr Workshop Ser Pediatr Program. 2010;65:153-65.

Flora R, Melvia B, Purwanto S (2013) Profil Zat Besi Ibu Hamil di Daerah Endemis Malaria, Kesmas: National Public Health Journal Vol. 8 No. 5 Desember 2013

Gahagan S, Yu S, Kaciroti N et al (2009). Linear and ponderal growth trajectories in well nourished, iron-sufficient infants are unimpaired by iron supplementation. J Nutr. 2009;139(11):2106-12.

Page 95: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta78

Gera T, Sachdev HPS, Nestel P (20019). Effect of combining multiple micronutrients with iron supplementation on Hb response in children: Systematic review of randomized controlled trials. Public Health Nutr. 2009;12(6):756-73.

Gibson, R. S., Ferguson, E. L., & Lehrfeld, J. (1998). Complementary foods for infant feeding in developing countries: their nutrient adequacy and improvement. European Journal of Clinical Nutrition, 52(10), 764–770. https://doi.org/10.1038/sj.ejcn. 1600645

Gibson. Rosalind S (2005) Principle of Nutritional Assessment, Chapter 17 Assessment of Iron Status pg 443 - 470, Oxford University Press, 2005, New York

Gogoi, M., & Prusty, R. K. (2013). Maternal Anaemia, Pregnancy Complications and Birth Outcome: Evidences from North-East India, 3(1), 74–85.

Gomber S, Agarwal KN, Mahajan C, Agarwal N (2002). Impact of daily versus weekly hematinic supplementation on anaemia in pregnant women. Indian Pediatr.2002;39(4):339-46.

Gupta SK, Bansal D, Malhi P et al (2010). Developmental profile in children with iron deficiency anemia and its changes after therapeutic iron supplementation. Indian J Pediatr. 2010;77(4):375-9.

Gosling RD, Hsiang MS. Malaria and severe anemia: thinking beyond Plasmodium falciparum. PLoS Med. 2013;10(12):e1001576

Haider BA, Olofin I, Wang M, Spiegelman D, Ezzati M, Fawzi WW, et al. Anaemia,maternal iron use, and risk of adverse pregnancy outcomes: systematic review and meta-analysis. Bmj. 2013;346:f3443.

Haldar K, Mohandas N. Malaria, erythrocytic infection, and anemia. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2009;87-93.

Page 96: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Pustaka 79

Hallberg L (1981); Bioavailability of dietary iron in man. Annu Rev Nutr 1:123

Husaini M.A. 1989. Study Nutritional Anemia, An Assessment of Information. Compilation for Supporting and Formulating National Policy and Program. Jakarta: Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi

Hutton EK, Hassan ES. Late vs early clamping of the umbilical cord in full-term neonates: systematic review and meta-analysis of controlled trials. JAMA. 2007;297(11):1241-52.

H.Billett, H. (1990). Hemoglobin and hematocrit. In Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. (pp. 718–719).

Hurrell R (2010). Use of ferrous fumarate to fortify foods for infants and young children. Nutr Rev. 2010;68 (9):522-30. UK NSC External Review

IDAI (2011). Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Suplementasi Besi Untuk Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011.

Institute of Medicine.(2003). Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington, DC: National Academies Press

Jaber L, Rigler S, Taya A et al (2010). Iron polymaltose versus ferrous gluconate in the prevention of iron deficiency anemia of infancy. J Pediatr Hematol Oncol. 2010;32 (8):585-8.

Kai OK, Roberts DJ. The pathophysiology of malarial anaemia: where have all the red cells gone?. BMC Med. 2008;6:24. Published 2008 Aug 21. doi:10.1186/1741-7015-6-24

Page 97: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta80

Kassebaum, N. J., Jasrasaria, R., Naghavi, M.et al (2014). A systematic analysis of global anemia burden from 1990 to 2010. Blood Journal, 123(5), 615–625.

Kathryn Doig (2007); Disorders of iron and heme metabolism: In Rodak BF et al edns: Hematology clinical principles & Applications. Third edn Elsevier

Kaur K (2014), Anaemia ‘a silent killer’ among women in India: Present scenario; European Journal of Zoological Research, 2014, 3 (1):32-36

Krafts, K. (2010). Top 10 Anemias to Know for Boards.

Krakovsky, M. (2013). Just the facts - Anemia. Communications of the ACM, 56(1), 25. https://doi.org/10.1145/2398356.2398365

Kavadas FD, Moharir MD, Brandao LR et a (2008)l. Iron-deficiency anemia is associated with cerebral sinovenous thrombosis: a case-series. Pediatrics. 2008;121 suppl 2:S146-S147

Kementerian Kesehatan, RI. (2017) Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI), Jakarta; 2017.

Kalaivani K (2009). Prevalence & consequences of anaemia in pregnancy. Indian J Med Res. 2009;130(5):627-33.

Kazal LA Jr (2002); Prevention of iron deficiency in infants and toddlers. Am Fam Physician. 2002 Oct 1;66(7):1217-24.

Lam, Q. (2013). Interpreting serum ferritin. Australian Doctor, (10), 1–8. Retrieved from https://www.rcpa.edu.au/getattachment/c047c27e-c67a-470f-bb6b-e4084de22d97/Interpreting-Serum-Ferritin.aspx

Lambert, J.-F., & Beris, P. (2009). Pathophysiology and differential diagnosis of anemia. In The Iron Handbook (Vol. 4, pp. 108–141).

Page 98: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Pustaka 81

Lamota AA et al (1975); Zinc protoporphyrin (ZPP): a simple, sensitive fluorometric screening test for lead poisoning. Clin chem. 21: 93 – 7

Lone FW, Qureshi RN, Emanuel F (2004). Maternal anaemia and its impact on perinatal outcome. Trop Med Int Health. 2004;9(4):486-90.

Lozoff, B., Jimenez, E., & Wolf, A. W. (1991). Long-term developmental outcome of infants with iron deficiency. The New England Journal of Medicine, 325(10), 687–694.

Lozoff B, Corapci F, Burden MJ. et al (2007) Preschool-Aged Children with Iron Deficiency Anemia Show Altered Affect and Behavior J. Nutr. 137: 683–689, 2007

Lozoff, B., Jimenez, E., Hagen, J., Mollen, E., & Wolf, A. W. (2000). Poorer Behavioral and Developmental Outcome More Than 10 Years After Treatment for Iron Deficiency in Infancy. Pediatrics, 105(4), 1–11.

Lozoff, B., Jimenez, E., & Wolf, A. W. (1991). Long-term developmental outcome of infants with iron deficiency. The New England Journal of Medicine, 325(10), 687–694.

Lozoff B, Jimenez E, Smith JB (2006). Double burden of iron deficiency in infancy and low socioeconomic status: a longitudinal analysis of cognitive test scores to age 19 years. Arch Pediatr Adolesc Med. 2006;160(11):1108-13.

Lozoff, B. (2007). Iron deficiency and child development. Food Nutr Bull, 28(4), S560-71. https://doi.org/10.1177 /15648265070284S409

Lozoff B, Smith JB, Clark KM et al (2010). Home Intervention Improves Cognitive and SocialEmotional Scores in Iron-Deficient Anemic Infants. Pediatrics. 2010;126(4):E884-E894.

Page 99: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta82

Lukowski AF, Koss M, Burden MJ et al (2010). Iron deficiency in infancy and neurocognitive functioning at 19 years: evidence of long-term deficits in executive function and recognition memory. Nutr Neurosci. 2010;13(2):54-70.

Maguire JL, Birken CS, Jacobson S et al (2010). Office-based intervention to reduce bottle use among toddlers: TARGet Kids! Pragmatic, randomized trial. Pediatrics. 2010;126(2):e343-e350.

Mannar V, Shankar R. Micronutrient fortification of foods—rationale, application and impact. Indian J Pediatr 2004; 71:997–1002

Mardiana, Djarismawati (2008), Prevalensi cacing usus pada murid Sekolah Dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta, Jurnal ekologi kesehatan vol 7 no 2 Agustus 2008; 769 – 774

Martianto D (2012); Fortifikasi Pangan Untuk Pencegahan dan Penanggulangan Kurang Zat Gizi Mikro: Beberapa Isu Penting, Departemen Gizi Masyarakat ¨C Fakultas Ekologi Manusia IPB, Maret 2012

Melbourne Hematology (2014). Iron Deficiency Anaemia - Patient Information Booklet - Melbourne Haematology.

Mcclure S et al (1985); Improved detection of early iron deficiency in non anemia subjects. Jama 253: 1021

Miller, P. (2018). Iron Metabolism. Personal blog of dr Philip Lee Miller https://blog.antiaging.com

Maguire JL, deVeber G, Parkin PC (2007). Association between iron-deficiency anemia and stroke in young children. Pediatrics. 2007;120(5):1053-7.

McCann JC, Ames BN (2007). An overview of evidence for a causal relation between iron deficiency during development and deficits in cognitive or behavioral function. Am J Clin Nutr. 2007;85(4):931-45.

Page 100: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Pustaka 83

McDonald SJ, Middleton P (2008). Effect of timing of umbilical cord clamping of term infants on maternal and neonatal outcomes. Cochrane Database Syst Rev. 2008;(2):CD004074.

Monga M, Walia V, Gandhi A et al (2010). Effect of iron deficiency anemia on visual evoked potential of growing children. Brain Dev. 2010;32(3):213-6.

Munot PA, De Vile C, Hemingway C et al (2011). Severe iron deficiency anaemia and ischaemic stroke in children. Arch Dis Child. 2011;96 (3):276-9.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (1998); SK Menteri Kesehatan No.632/MENKES/SK/VI/1998 tentang fortifikasi tepung terigu, tanggal 16 Juni 1998, Jakarta, 1998.

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia (2001); SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 323/MPP/MPP/Kep/11/2001 tentang Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 153/mpp/kep/5/2001 tentang penerapan secara wajib SNI tepung terigu sebagai bahan makanan (SNI .01-3751-2000/rev.1995 dan revisinya)

Oppenheimer, S. J. (2001). Iron-deficiency anemia: reexamining the nature and magnitude of the public health problem. The Journal of Nutrition, 131(June), 616–635.

Pasricha, S. R. (2014). Anemia: A comprehensive global estimate. Blood, 123(5), 611–612. https://doi.org/10.1182/blood-2013-12-543405

Pasricha, S.-R. S., Flecknoe-Brown, S. C, Allen, K. J., Gibson, et al (2010). Diagnosis and management of iron deficiency anaemia: a clinical update. The Medical Journal of Australia, 193(9), 525–532.

Peterson.P, & Cornacchia, M. F. (2018). Anemia : Pathophysiology , Clinical Features , and Laboratory Evaluation, (May).

Page 101: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta84

Pala E, Erguven M, Guven S et al. (2010) Psychomotor development in children with iron deficiency and iron-deficiency anemia. Food Nutr Bull. 2010;31(3):431-5.

Peirano PD, Algarin CR, Garrido MI et al.(2007) Iron deficiency anemia in infancy is associated with altered temporal organization of sleep states in childhood. Pediatr Res. 2007;62(6):715-9

Quintero JP, Siqueira AM, Tobón A, et al. Malaria-related anaemia: a Latin American perspective. Mem Inst Oswaldo Cruz. 2011;106 Suppl 1(Suppl 1):91-104.

Ringoringo, H.P, & Windiastuti, E. (2006). Profil Parameter Hematologik dan Anemia Defisiensi Zat Besi Bayi Berumur 0-6 Bulan di RSUD Banjarbaru. Sari Pediatri, 7.

Ringoringo, H. P. (2009). Insidens defisiensi besi dan anemia defisiensi besi pada bayi berusia 0-12 Bulan di Banjarbaru Kalimantan Selatan: studi kohort prospektif. Sari Pediatri, 11(1), 8–14.

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Prevention and Management of Postpartum Haemorrhage. Green-top Guideline No.52. London: Royal College of Obstetricians and Gynaecologists; 2011.

Saarinen Um et al (1977); Iron absorption in infants: High bioavailability of breast milk iron as indicated of the extrinsic tag method of iron absorption and by the concentration of serum ferritin. J pediatr 91: 36-39

Sachdev HP, Gera T, Nestel P (2006). Effect of iron supplementation on physical growth in children: systematic review of randomised controlled trials. Public Health Nutr. 2006;9(7):904-20.

Sandjaja, S., Budiman, B., Harahap, H., Ernawati, F., Soekatri, M., Widodo, Y., … Khouw, I. (2013). Food consumption and nutritional and biochemical status of 5-12-year-old Indonesian children: The SEANUTS study. British Journal of Nutrition, 110(SUPPL.3). https://doi.org/10.1017/S0007114513002109

Page 102: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Pustaka 85

Santos J.N, Rates S.P.M, Lemos S.M.A, Lamounier J.A,(2009) Consequences of anemia on language development of children from a public day care center, Rev. paul. pediatr. vol.27 no.1 São Paulo Mar. 200

Sarma, P. R. (1990). Red Cell Indices. In Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations (pp. 720–723). Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK260/

Shafir T, Angulo-Barroso R, Calatroni A et al (2006). Effects of iron deficiency in infancy on patterns of motor development over time. Hum Mov Sci. 2006;25(6):821-38.

Sekartini R, Oedjatmiko O, Wawolumaya C et al, (2005) Prevalensi Anemia Defisiensi Besi pada Bayi Usia 4 – 12 Bulan di Kecamatan Matraman dan Sekitarnya, Jakarta Timur. Sari Pediatri, 1, 2–8.

Siimes MA et al (1979); Breast milk iron: a declining concentration during the course of lactation. Acta pediatr Scand 68: 29-31

Silitonga M.M, , Sudharmono U, Hutasoit M (2009), Prevalensi kecacingan pada murid Sekolah Dasar Negeri di desa Cihanjuang Rahayu Parongpong Bandung Barat Majalah Kedokteran Bandung Vol 41, No 2 (2009)

Sinniah R, Doggart JR, Neill DW. Diurnal variations of the serum iron in normal subjects and in patients with haemochromatosis. Br J Haematol. 1969;17:351-358.

Singla PN, Tyagi M, Kumar A, Dash D, Shankar R (1997). Fetal growth in maternal anaemia. J Trop Pediatr. 1997;43(2):89-92.

Sirajuddin S, Masni M (2015) Kejadian Anemia pada Siswa Sekolah Dasar; Kesmas: National Public Health Journal Vol 9 No 3 April 2015 Halaman 264-269

Page 103: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta86

Souganidis, E.S., Sun, K., de Pee, S. et al. Relationship of maternal knowledge of anemia with maternal and child anemia and health-related behaviors targeted at anemia among families in Indonesia, Matern Child Health J (2012) 16: 1913. https://doi.org/10.1007/s10995-011-0938-y

Sumbele IU, Sama SO, Kimbi HK, Taiwe GS. Malaria, Moderate to Severe Anaemia, and Malarial Anaemia in Children at Presentation to Hospital in the Mount Cameroon Area: A Cross-Sectional Study. Anemia. 2016;2016:5725634

Sumolang P.P.F, Chadijah S (2012), Prevalensi Kecacingan Usus Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Palu, Sulawesi Tengah Jurnal Vektor Penyakit Vol 6, No 2 (2012)

Suominen P et al (1998); Serum transferring receptor and transferrin receptor-ferritin index identify healthy subjects with subchinical iron deficits. Blood 92: 2934

Survei Kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001. Dalam: Ringoringo, H.P, Wahidayat I, Sutrisna B et al (2008), Saat terbaik pemberian suplementasi zat besi pada bayi 0 bulan sampai 6 bulan; Sari Pediatri Vol 10 No 3. Oktober 2008.

Suwarni, Ilahude H, Marwoto H.M Penelitian Parasit Usus di Sungai Ciliwung 2. Angka Pencemaran Cacing Usus (1991) Cermin Dunia Kedokteran, 072 Sanitasi Dan Kesehatan, 1991

Ezzati, Majid, Lopez, Alan D, Rodgers, Anthony A & Murray, Christopher J. L. (2004). Comparative Quantification of Health Risks Global and Regional Burden of Disease Attributable to Selected Major Risk Factors (First, pp. 163–205). Geneva: World Health Organization.

Telatar B, Comert S, Vitrinel A, Erginoz , Akin Y (2009). The effect of maternal anaemia on anthropometric measurements of newborns. Saudi Med J. 2009;30(3):409-12.

Page 104: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Daftar Pustaka 87

The Commission of European Communities (2006). Commission Directive 2006/125/EC of 5 December 2006 on processed cereal-based foods and baby foods for infants and young children. [Brussels]: EUR-Lex; 2006.

Thompson WG et al (1988); Red cell distribution width, mean corpuscular volume, and transferring saturation in the diagnosis of iron deficiency. Arch intern med 148: 2128

UNICEF. (2013). Improving Child Nutrition - The achievable imperative for global progress. United Nations Children’s fund. New York. https://doi.org/978-92-806-4686-3

Walter, T, de Andraca, I, Chadud, P & Perales, C. G. (1989). Iron deficiency anemia: adverse effects on infant psychomotor development. Pediatrics, 84(1), 7–17.

Wang. M, San. C, & Diego. S. (2016). Iron Deficiency and Other Types of Anemia in Infants and Children, 93(4), 270–278. https://doi.org/d12425 [pii]

World Health Organization - WHO. (2011). Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. VMNIS | Vitamin and Mineral Nutrition Information System, (WHO/NMH/NHD/MNM/11.1), 1–6. https://doi.org/2011

World Health Organization - WHO. (2017). Nutritional Anaemias : Tools for Effective Prevention. World Health Organization.

World Health Organization - WHO (2001). Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention and Control: A Guide for Programme Managers. Geneva: WHO; 2001.

World Health Organization - WHO (2016). Guideline: Daily iron supplementation in infants and children. Geneva: World Health Organization; 2016.

Page 105: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta88

World Health Organization - WHO. (1999). Prevention and Control of Iron Deficiency Anaemia in Women and Children, Geneva: World Health Oranization (February), 120.

World Health Organization - WHO Centers for Disease Control and Prevention - CDC. Assessing the iron status of populations (2007). Second Edition. Geneva: World Health Organization; 2007.

World Health Organization - WHO. Guideline: Daily iron and folic acid supplementation in pregnant women. Geneva, World Health Organization, 2012.

Yang Z, Dewey KG, Lönnerdal B et al (2008). Comparison of plasma ferritin concentration with the ratio of plasma transferrin receptor to ferritin in estimating body iron stores: results of 4 intervention trials. Am J Clin Nutr. 2008;87(6):1892-9.

Yip R, Ramakrishnan U (2002). Experiences and challenges in developing countries. Forging effective strategies to combat iron deficiency. J Nutr. 2002;132:S827–30. 12.

Ziegler EE, Nelson SE, Jeter JM (2009). Iron status of breastfed infants is improved equally by medicinal iron and iron-fortified cereal. Am J Clin Nutr. 2009;(1):76-87.

Ziegler EE, Nelson SE, Jeter JM (2009). Iron supplementation of breastfed infants from an early age. Am J Clin Nutr. 2009;89(2):525-32.

Zimmermann MB (2008). Methods to assess iron and iodine status. Br J Nutr. 2008;99 suppl 3:S2-S9

Page 106: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Tentang Penulis

DR. Fitrah Ernawati, M.Sc.Dilahirkan di Sampit 23 maret 1962. Setelah lulus dari Analis Medis Unair (1984), penulis memulai meniti karir (1992) di Puslitbang Gizi dan Makanan, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Pada tahun 1999, meraih gelar Magister of Science dari University Of The Philippines Los Banos, di bidang Applied Nutrition. Gelar Doktor di Bidang Gizi Masyarakat diperoleh pada tahun 2009

dari IPB. Ibu tiga putra ini pernah menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Teknologi Gizi dan Makanan, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Kesehatan, kemudian Kepala Bidang Teknologi Terapan kesehatan dan kepala Bidang Teknologi Dasar Kesehatan, Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan litbang kesehatan. Jabatan saat ini adalah sebagai Peneliti Madya di Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan.

Page 107: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Peluang Generasi Bangsa yang TerabaikanAnemia Baduta90

Selain melakukan kegiatan penelitian, ia juga sering sebagai pembimbing dan penguji mahasiswa doktoral di beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Ia banyak menulis artikel ilmiah tentang masalah stunting dan gizi mikro termasuk tentang Anemia di jurnal nasional. Tahun 2018, ia menerima Penghargaan Riset Kementerian Kesehatan 2018 dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Buku ini merupakan buku perdana yang ia tulis sebagai apresiasinya terhadap dunia keilmuan yang digelutinya.

dr. Yessi Crosita MIHdr. Yessi Crosita MIH dilahirkan di Denpasar pada tanggal 18 Oktober 1980. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (2004), penulis bekerja asisten peneliti pada Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK), Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pada tahun 2007 penulis memperoleh gelar Master of International Health dari The Royal Tropical Institute (KIT)

- Amsterdam dengan beasiswa dari program STUNED. Saat ini penulis sedang melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor di bidang gizi masyarakat. Penulis bekerja sebagai konsultan tetap Center for Public Health Innovation (CPHI) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan merupakan research affiliate dari South East Asia Ministers of Education Regional Centre for Food and Nutrition (SEAMEO – RECFON).

Dalam perjalanan karirnya, penulis telah menulis berbagai artikel ilmiah populer, opini, dan artikel ringan lainnya di berbagai media massa. Selain itu penulis juga menjadi pembicara seminar tentang gizi, dan kesehatan. Pada tahun 2018 penulis baru saja menyelesaikan tiga penelitian tentang anemia dan intervensi gizi di kalangan remaja yaitu mengenai pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri di

Page 108: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.

Tentang Penulis 91

Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur bekerjasama dengan Nutrition International (NI), penerimaan produk biopeptida dengan fortifikasi zat besi di Banten bekerjasama dengan BPPT dan Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), serta perumusan intervensi gizi remaja berbasis sekolah bekerjasama dengan (SEAMEO – RECFON)

Prof. Dr. Ir. Ali KhomsanProf. Dr. Ir. Ali Khomsan dilahirkan di Ambarawa pada tanggal 2 Februari 1960. Setelah lulus dari Fakultas Peternakan IPB (1983), penulis bekerja sebagai dosen di Departemen Gizi Masyarakat IPB. Pada tahun 1987 penulis memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Pascasarjana IPB. Penulis melanjutkan studi di Iowa State University –

AS untuk program doktor bidang ilmu Home Economics Education dengan supporting courses mata kuliah ilmu gizi untuk mendukung riset disertasinya. Gelar doktor diperoleh pada tahun 1991; setelah itu kembali aktif mengajar, meneliti, dan membimbing mahasiswa di IPB. Pada tahun 1999-2007 penulis menjadi Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Pascasarjana IPB. Jabatan guru besar (profesor) bidang pangan dan gizi diraih pada tahun 2001.

Dalam perjalanan karirnya, penulis telah menghasilkan lebih dari 300 artikel ilmiah populer, opini, dan artikel ringan lainnya di berbagai media massa. Selain itu penulis juga sering menjadi pembicara seminar populer tentang pangan, gizi, dan kesehatan. Pada tahun 2018 penulis baru saja menyelesaikan penelitian tentang anemia di kalangan remaja SMA di Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.

Page 109: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan fileJudul Buku: Peluang Generasi Bangsa yang Terabaikan Anemia Baduta Penulis: DR. Fitrah Ernawati, MSc. Dr. Yessi Octaria, MIH. Prof. DR. Ir.