MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

download MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

of 104

description

Filariasis (penyakit kaki gajah) yang ditularkan melalui vektor nyamuk, telah lama menjadi ancaman bagi masyarakat. Namun, hal itu dianggap tidak penting dan tidak menjadi target utama pengendalian penyakit menular karena tidak menimbulkan kematian. Padahal, sebenarnya penyakit ini menimbulkan kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial, serta penurunan produktivitas bagi penderita, keluarga, dan masyarakat sehingga berujung pada kerugian ekonomi.Buku ini hadir untuk mengenalkan filariasis di Jawa Barat dengan tujuan agar seluruh pihak terkait dapat mengenal lebih jauh serta mendapatkan informasi dan semoga dapat menunjang program eliminasi. Namun, buku ini tentulah masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan sumbang saran guna melengkapi dan memperbaikinya.

Transcript of MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    1/104

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    2/104

    MENGENAL FILARIASIS

    DI JAWA BARATPenyakit Tropis yang Terabaikan

    Endang Puji Astu

    Mara Ipa

    M. Umar Riandi

    Tri Wahono

    Lukman Hakim

    (editor)

    Penerbit PT Kanisius

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    3/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat

    1014000024

    2014 PT Kanisius

    PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)

    Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281

    Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011

    Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349

    Website : www.kanisiusmedia.com

    E-mail : [email protected]

    Cetakan ke 3 2 1

    Tahun 15 14 13

    Desain Isi : Nael

    Desain Sampul : Yudi

    ISBN 978-979-21-3969-3

    Hak cipta dilindungi undang-undang.

    Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan

    dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis

    dari penerbit.

    Dicetak oleh Percetakan PT Kanisius Yogyakarta

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    4/104

    iii

    Kata Pengantar

    Semangat Pagi!

    Filariasis (penyakit kaki gajah) yang ditularkan melalui

    vektor nyamuk, telah lama menjadi ancaman bagi masyarakat.Namun, hal itu dianggap dak penng dan dak menjadi

    target utama pengendalian penyakit menular karena dak

    menimbulkan kemaan. Padahal, sebenarnya penyakit ini

    menimbulkan kecacatan, sgma sosial, hambatan psikososial,

    serta penurunan produkvitas bagi penderita, keluarga, dan

    masyarakat sehingga berujung pada kerugian ekonomi.

    Buku ini hadir untuk mengenalkan lariasis di JawaBarat dengan tujuan agar seluruh pihak terkait dapat

    mengenal lebih jauh serta mendapatkan informasi dan

    semoga dapat menunjang program eliminasi. Namun, buku

    ini tentulah masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu,

    kami mengharapkan sumbang saran guna melengkapi dan

    memperbaikinya.

    Terima kasih kepada m penulis yang telah memberikan

    kontribusi, serta kepada semua pihak yang telah membantu

    dan memberi dukungan sehingga buku ini dapat diterbitkan.

    Salam

    Lukman Hakim

    (editor)

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    5/104

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    6/104

    v

    Daftar Isi

    Kata Pengantar ............................................................ iii

    Daar Isi...................................................................... v

    Bab 1 FILARIASIS PENYAKIT YANG TERABAIKAN ...... 1

    M. Umar Riandi, Tri Wahono

    Bab 2 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS ............................. 19

    Endang Puji Astu, Mara Ipa

    Bab 3 UPAYA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN

    FILARIASIS ...................................................... 45 Tri Wahono, M. Umar Riandi

    Bab 4 DUA PILAR ELIMINASI FILARIASIS .................. 65

    Mara Ipa, Endang Puji Astu

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    7/104

    Daftar Tabel

    Tabel 4.1. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan ......... 68

    Tabel 4.2. Dosis Obat Berdasarkan Umur ................... 68

    Tabel 4.3. Pengobatan Filariasis di Indonesia

    Tahun 1970 - Sekarang ............................... 69

    Tabel 4.4. Rencana Cakupan POMP Filariasis

    Kabupaten/Kota Tahun 2010 - 2014

    di Indonesia ................................................ 72

    Tabel 4.5. Pelaksanaan POMP Filariasis di Provinsi ....

    Jawa Barat Tahun 2013 .............................. 74

    Tabel 4.6. Stadium Limfedema ................................... 81

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    8/104

    vii

    Daftar Gambar

    Gambar 1.1. Penyebaran Filariasis Limfak Dunia

    pada Tahun 2006 ............................................ 2

    Gambar 1.2. Mikrolaria a) W. brancoi, b) B. malayi, dan

    c) B. mori....................................................... 3

    Gambar 1.3. Cacing; a) Loa loadi jaringan mata;

    b) O. volvulus, dan c) M. streptpcerca............. 4

    Gambar 1.4. Mikrolaria; a) Mansonella perstansdan

    b) M. ozzardi, sedikit patogen terhadap

    manusia. .......................................................... 5

    Gambar 1.5. Jan Huyghen van Linscheton (1563-1611) ....... 6

    Gambar 1.6. Gejala akut penyakit lariasis limfak............. 7

    Gambar 1.7. Siklus Hidup Cacing Filariasis (W. bancroi) .... 10

    Gambar 1.8. Nyamuk-nyamuk yang Bisa Menjadi Vektor

    Penyakit Filariasis............................................. 11

    Gambar 1.9. Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia

    Tahun 2009 ...................................................... 12

    Gambar 2.1. Kasus Klinis Filariasis di Indonesia

    Tahun 2000 2009 .......................................... 21

    Gambar 2.2. Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi

    di Indonesia Tahun 2009 .................................. 22

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    9/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Baratviii

    Gambar 2.3. Distribusi Kasus Kronis dan Kemaan Filariasis

    di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 23

    Gambar 2.4. Distribusi Kasus Posif Microlaria PerKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

    per tahun, 1999 - 2005 .................................... 24

    Gambar 2.5. Distribusi Kasus Posif Microlaria Per

    Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat,

    2006 - 2010 ...................................................... 25

    Gambar 2.6. Siklus Penularan Filariasis

    (Wuchereria bancroi) .................................... 28

    Gambar 2.7. Distribusi Posif Mikrolariadi Provinsi

    Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 .................. 30

    Gambar 2.8. Morfologi Wuchereria bancroi...................... 31

    Gambar 2.9. Larva Culexspp. ............................................... 37

    Gambar 2.10 Nyamuk Culex quinquefasciatus ...................... 38

    Gambar 2.11. Breeding PlacesNyamuk di Desa

    Panumbangan, Kabupaten Ciamis ................... 40

    Gambar 2.12. Breeding PlacesNyamuk di Desa Jalaksana,

    Kabupaten Kuningan ........................................ 40

    Gambar 3.1. Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging ....... 48

    Gambar 3.2. Abate 1G (Temephos 1%) ................................ 49

    Gambar 3.3. Berbagai Tanaman yang Bisa Digunakan

    sebagai Larvasida ............................................. 50Gambar 3.4. Repellent Bahan Kimia Buatan. ........................ 51

    Gambar 3.5. Berbagai tanaman yang bisa digunakan

    sebagai repellent .............................................. 52

    Gambar 3.6. Berbagai ikan pemakan larva/jenk................ 53

    Gambar 3.7. Bacillus Thuringiensis ...................................... 54

    Gambar 3.8. Pengendalian Vektor secara Fisik ..................... 55

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    10/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat ix

    Gambar 3.9. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

    melalui Program 3M (Menguras, Menutup,

    Mengubur) ....................................................... 56Gambar 4.1. Obat Filariasis (DEC,Albendazoledan

    Paracetamol) ................................................... 71

    Gambar 4.2. Peta Sebaran Mf Rate dan Kegiatan POMP

    Filariasis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 .... 73

    Gambar 4.3. Cakupan Pengobatan POMP Filariasis Provinsi

    Jawa Barat Tahun 2012 .................................... 78

    Gambar 4.4. Limfedema Stadium 1 ...................................... 82

    Gambar 4.5. Limfedema Stadium 2 ...................................... 82

    Gambar 4.6. Limfedema Stadium 3 ...................................... 83

    Gambar 4.7. Limfedema Stadium 4 ...................................... 83

    Gambar 4.8. Limfedema Stadium 1 ...................................... 84

    Gambar 4.9. Limfedema Stadium 1 ...................................... 85

    Gambar 4.10. Limfedema Stadium 1 ..................................... 85

    Gambar 4.11. Lymp Scrotum ................................................. 86

    Gambar 4.12. Hidrokel ........................................................... 86

    Gambar 4.13. Gambar Rapor Perkembangan Penderita

    Filariasis Kronis Terapi LDR di Kabupaten

    Bandung, Jawa Barat ....................................... 88

    Gambar 4.14. Penderita Filariasis di Kabupaten Bandung ..... 88

    Gambar 4.15. Penderita Filariasis di Kabupaten Kuningan .... 89

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    11/104

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    12/104

    1

    Bab1

    FILARIASIS PENYAKIT

    YANG TERABAIKAN

    M. Umar Riandi

    Tri Wahono

    Pendahuluan

    Keka kata Filariasis atau penyakit kaki gajah diucapkan

    kepada Anda, apa yang terlintas di benak Anda? Apakah

    bayangan seseorang dengan deformasi tungkai kaki? Lalu,apalagi? Jika dikatakan bahwa penyakit kaki gajah memiliki

    ancaman yang sama besar dengan penyakit demam berdarah

    dengue, apa yang terlintas dipikiran Anda? Mungkin sebagian

    dari Anda berpikir bahwa Filariasis bukan penyakit yang

    berbahaya, dak menimbulkan kemaan. Namun, kecacatan

    seumur hidup yang jika dipikirkan kembali, lebih banyak

    menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial.

    Tahukah Anda, bahwa Filariasis merupakan penyakit

    yang mudah menular, semudah penyebaran DBD atau

    malaria. Di seluruh dunia, ada 120 juta orang terinfeksi

    limfak lariasis dan 1,3 milyar orang berada pada risiko

    terinfeksi. Penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi lariasis,

    terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis,

    seper Asia, Afrika, dan Pasik Barat. Dari 1,3 milyar

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    13/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat2

    penduduk tersebut, 851 juta di antaranya nggal di Asia

    Tenggara. Indonesia menjadi negara dengan kasus lariasis

    paling nggi. Pada komunitas di daerah endemis lariasis,sekitar 10% wanita dapat mengalami pembengkakan tungkai

    dan 50% pria dapat mengalami kelainan kaki dan organ

    genitalia akibat penyakit ini (WHO, 2010; Juriastu et al.

    2010). Kondisi tersebut berpengaruh dalam kehancuran masa

    depan dan kualitas hidup korban, bukan hanya memengaruhi

    sik saja, tetapi juga emosional dan ekonomi.

    Filariasis merupakan penyakit parasit (umumnya di-sebut penyakit infeksi tropis) yang disebabkan oleh cacing

    nematoda yang berasal dari superfamili Filarioidea atau

    dikenal juga dengan Filariae. Cacing parasit ini disebarkan

    oleh anthropoda pengisap darah, umumnya lalat hitam dan

    nyamuk.

    Gambar 1.1

    Penyebaran Filariasis Limfak Dunia pada Tahun 2006Sumber: WHO, 2008

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    14/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 3

    Ada delapan nematoda laria yang menggunakan ma-

    nusia sebagai inang denifnya. Parasit tersebut dibagi da-

    lam ga kelompok berdasarkan relung cacing dalam tubuhmanusia (www.jurnalmedika.com) sebagai berikut.

    Filariasis Limfak1.

    Filariasis ini disebabkan oleh cacing Wuchereria bancroi,

    Brugia malayi, dan B. mori. Cacing-cacing ini menempa

    sistem limfak tubuh, termasuk nodus limfa. Pada kasus

    kronis, cacing ini menyebabkan penyakit elephanasis (kaki

    gajah).

    Gambar 1.2

    Mikrolaria

    a) W. brancoi,

    b) B. malayi, dan

    c) B. moriSumber: www.dpd.cdc.gov; www.

    stanford.edu

    Filariasis Subkutan2.

    Filariasis ini disebabkan oleh cacing Loa loa(cacing mata

    Afrika), Mansonella streptocerca, dan Onchocerca volvulus.

    Cacing ini mendiami lapisan subkutan kulit, pada lapisan

    lemak. Cacing L. loa menyebabkan loiasis, sedangkan O.vulvulusmenyebabkan river blindness.

    a b

    c

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    15/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat4

    Gambar 1.3Cacing a)Loa loadi jaringan mata, b)O. volvulus,

    dan c) M. streptocerca

    Sumber: www.stanford.edu; www.dpd.cdc.gov; www.icp.upl.ac.be

    Filariasis Rongga Serosa3.

    Filariasis ini disebabkan oleh cacing M. perstansdan M.

    ozzardi, yang mendiami rongga serosa dan abdomen. Cacingdewasa yang biasanya mendiami pada satu jaringan, menge-

    luarkan larva stadium awal yang dikenal sebagai mikrolaria

    ke dalam peredaran darah inang. Mikrolaria yang beredar

    dalam aliran darah ini dapat terbawa bersama darah yang

    diisap oleh vektor arthropoda, seper nyamuk dan lalat pe-

    ngisap darah. Dalam tubuh vektor, mikrolaria berkembang

    menjadi larva yang infekf dan dapat ditransmisikan ke inangyang baru.

    a b

    c

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    16/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 5

    Gambar 1.4

    Mikrolaria a)Mansonella perstansdan b)M. ozzardi,

    sedikit patogen terhadap manusia.

    Sumber: www.phsource.us

    Individu yang terinfeksi oleh cacing laria dapat dika-

    takan mengidap microlaraemic atau amicrolaraemic ber-

    gantung ada atau daknya miklorilaria pada darah tepi.

    Filariasis didiagnosa dari kasus microlaraemic melalui

    observasi langsung sediaan darah tepi atau survei darah jari(SDJ). Occultlariasis (lariasis tersembunyi/ asymptomas)

    didiagnosa dari kasus amicrolaraemic melalui observasi

    klinis, dan dalam beberapa kasus, dengan menemukan

    angen yang beredar dalam darah.

    Sejarah Filariasis

    Filariasis diduga telah menginfeksi manusia sejak 4000

    tahun yang lalu. Artefak dari Mesir Kuno (2000 SM) dan dari

    Peradaban Nok di Afrika Barat (500 SM) memperlihatkan

    kemungkinan gejala penyakit kaki gajah. Referensi yang jelas

    mengenai penyakit ini terdapat pada literatur Yunani Kuno,

    dimana para pelajar membedakan gejala yang sering dialami

    penderita limfak lariasis mirip dengan gejala penyakitkusta.

    a b

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    17/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat6

    Dokumentasi pertama mengenai gejala lariasis didapat

    pada abad ke-16, keka Jan Huyghen van Linscheton menulis

    mengenai hal tersebut dalam ekspedisinya ke Goa India.

    Gejala yang mirip juga dilaporkan dari beberapa eksplorasi

    setelahnya di wilayah Asia dan Afrika. Meskipun demikian,

    pemahaman mengenai penyakit ini dak berkembang hingga

    satu abad kemudian.

    Pada tahun 1866, Timothy Lewis, berdasarkan hasil

    temuan dari Jean-Nicolas Demarquay dan Oo Henry

    Wucherer, membangun pemahaman mengenai hubungan

    mikrolaria dan elephanasis (kaki gajah). Hal ini menjadi

    landasan bagi penelian yang akhirnya dapat menjelaskanpenyakit elephanasis. Pada tahun 1876, Joseph Bancro

    menemukan bentuk dewasa cacing penyebab lariasis.

    Pada tahun 1877, siklus hidup yang melibatkan

    arthrophoda dikemukakan oleh Patrick Manson, yang

    selanjutnya menjadi awal penemuan keberadaan cacing

    tersebut di nyamuk. Meskipun pada saat itu, Manson salah

    menyimpulkan hipotesis bahwa cacing tersebut ditransmisikanmelalui kontak kulit dengan air dimana nyamuk tersebut

    Gambar 1.5

    Jan Huyghen van Linscheton

    (1563-1611)

    Sumber: www.linschoten-vereeniging.nl

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    18/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 7

    meletakkan telurnya. Hingga pada tahun 1900, George

    Chamichael Low menemukan metode penularan sebenarnya

    karena menemukan keberadaan cacing di probosis nyamukvektor (lariasis.org.uk).

    Gejala dan Tanda Infeksi

    Gejala kronis lariasis limfak adalah elephanasis atau

    kaki gajah edema dengan penebalan kulit dan jaringan di

    bawahnya merupakan penyakit pertama yang ditemukan

    karena transmisi oleh gigitan nyamuk. Elefanasis terjadi

    keka parasit sampai ke sistem limfak.

    Gambar 1.6

    Gejala akut penyakit lariasis limfak

    Sumber: magelangimages.wordpress.com

    Spesies cacing laria cenderung memengaruhi bagiantubuh yang berbeda. Spesies W. brancoidapat memengaruhi

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    19/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat8

    kaki, lengan, vulva, payudara, dan skrotum (menyebabkan

    formasi hidrokel), sementara B. mori jarang memengaruhi

    organ genitalia. Uniknya, seseorang yang terinfeksi lariakronis dan menjadi elefanasis, biasanya amikrolaremik dan

    sering kali memiliki reaksi imunologi terhadap mikrolaria

    serta cacing laria dewasa.

    Diagnosis

    Diagnosis lariasis umumnya dengan idenkasi mikro-

    laria secara mikroskopis. Dengan bantuan pewarnaan

    Giemsa sediaan darah apus pis dan tebal, menggunakan

    gold standar yang disebut sediaan darah jadi (SDJ) dengan

    mengambil darah dari kapiler ujung jari. Pembuluh vena yang

    lebih besar dapat digunakan untuk mengeluarkan darah,

    namun harus memperhakan waktu pengambilan darah.

    Darah harus diambil pada waktu yang sama dengan akvitasmakan serangga vektor. Misalnya, W. bancroi ditularkan

    oleh nyamuk yang akf mengisap darah pada malam hari

    (nokturnal). Waktu pengambilan darah harus malam hari.

    Tes provokasi diethyl carbamazine (DEC provocaon

    test) dapat dilakukan untuk memperoleh jumlah parasit pada

    sampling siang hari dan mengatasi kekurangan survei darah

    jari. Tes ini memprovokasi mikrolaria agar bermigrasi ke

    darah tepi dalam waktu sekitar 1 jam setelah pemberian DEC

    sehingga dapat dideteksi dengan SDJ.

    Metode diagnosis lain dapat pula menggunakan metode

    Polymerase chain reacon (PCR) dan analisis angen yang

    mendeteksi angen laria dalam darah. Analisis angen

    juga dapat digunakan untuk mendeteksi kasus amikrolaria.Spot survey untuk pemeriksaan angen melalui ELISA jauh

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    20/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 9

    lebih sensif dan dapat dilakukan seap waktu. Saat ini

    telah tersedia dan ditawarkan berbagai alat diagnosk baru

    dan telah banyak digunakan untuk alat diagnosis. Salahsatunya yang sangat sederhana tanpa memerlukan fasilitas

    laboratorium yaitu card testuntuk mendeteksi angen parasit

    yang bersirkulasi, cara kerjanya hanya perlu tetesan darah dari

    ujung jari. Pada dasarnya teknik tersebut berbasis serologis

    yang secara riil lebih lemah sensivitas dan spesisitasnya

    dibanding ELISA (Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004).

    Aspirasi nodus limfak dan cairan limfa juga dapatmendeteksi kehadiran mikrolaria. Pengindraan medis,

    seper Computerized Tomography (CT-scan) dan Magnec

    resonance imaging (MRI) juga dapat menemukan tanda

    tarian laria pada cairan limfa. Pemindaian sinar-X

    dapat mendeteksi adanya cacing dewasa yang mengalami

    pengapuran di sistem limfak.

    Siklus Hidup Cacing Filaria

    Cacing laria memiliki siklus hidup yang rumit, dapat

    dibedakan menjadi lima tahap. Setelah cacing dewasa me-

    lakukan perkawinan, laria bena menghasilkan ribuan

    mikrolaria. Cacing mikrolaria terbawa oleh vektor serangga

    (host perantara) seper nyamuk, keka mengisap darah

    manusia. Di dalam host perantara, mikrolaria melakukan

    molng(bergan kulit) dan berkembang menjadi larva infekf

    (tahap kega). Saat mengisap darah lainnya, serangga vektor

    menyunkkan larva ke dalam lapisan dermis kulit. Setelah

    sekitar satu tahun, larva melakukan molng hingga dua tahap

    dan berkembang menjadi cacing dewasa.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    21/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat10

    Spesies W. bancroi, B. malayi, dan B. mori sebagai

    penyebab lariasis limfak hidup eksklusif dalam tubuh

    manusia. Cacing berada pada sistem limfak antara pembuluhlimfe dan pembuluh darah yang memelihara keseimbangan

    cairan tubuh dan merupakan komponen yang essensial untuk

    sistem pertahanan imun tubuh. Cacing hidup selama 4-6

    tahun menghasilkan larva (mikrolaria) yang akan ikut dalam

    sirkulasi darah (Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004).

    Gambar 1.7

    Siklus hidup cacing lariasis (W. bancroi)

    Sumber: suryapurnama.student.umm.ac.id

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    22/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 11

    Penularan

    Diperkirakan kurang lebih 77 spesies nyamuk dari genus

    Anopheles spp, Aedes spp, Culex spp, dan Mansonia spp.

    dapat mendukung perkembangan W. bancroi, tetapi secara

    alami hanya sebagian kecil yang dapat berlaku sebagai vektor.

    Nyamuk Culex spp. dan Anopheles spp. merupakan vektor

    utama bentuk periodik nocturnal, sedang bentuk subperiodik

    ditransmisikan nyamukAe. polynesiensis.

    Pada B. malayi, bentuk periodik nocturnal ditemukanpada area dengan banyak sawah sedangkan bentuk sub-

    periodik nocturnal ditemukan di desa terpencil, perkebunan

    dan hutan-hutan disekitar sungai. Nyamuk yang menjadi

    Gambar 1.8

    Nyamuk-nyamuk yang bisa menjadi vektor penyakit lariasisSumber: arali2008.wordpress.com

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    23/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat12

    vektor B. malayi adalah nyamuk malam dari genus Man-

    sonia, Aedes dan Culex. Spesies An. barbirostris yang ber-

    kembang biak pada area persawahan diketahui sebagai vek-tor B. mori (Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004).

    Endemisitas di Indonesia

    Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh

    Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari kega jenis cacing

    laria penyebab lariasis, B. malayi mempunyai penyebaran

    paling luas di Indonesia. Spesies B. mori hanya terdapat di

    Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor, dan

    beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur; sedangkan W.

    bancroi terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan Papua.

    Gambar 1.9

    Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia Tahun 2009

    Sumber: Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2 (2010)

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    24/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 13

    Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah

    endemis lariasis, wilayah Indonesia Timur memiliki pre-

    valensi lebih nggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 dilaporkankasus kronis lariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar

    di 401 kabupaten/kota. Laporan yang dindaklanju dengan

    survey endemisitas lariasis, sampai dengan tahun 2009,

    adalah 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/

    kota nonendemis (Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat

    P2B2., 2010).

    Di Provinsi Jawa Barat, sepanjang tahun 2004-2005telah dilaporkan kasus lariasis lebih dari 17 kabupaten,

    di antaranya adalah Bogor (5 kasus), Sukabumi (6 kasus),

    Cianjur (6 kasus), Garut (7 kasus), Tasikmalaya (7 kasus),

    Ciamis (7 kasus), Kuningan (4 kasus), Cirebon (4 kasus),

    Majalengka (1 kasus), Subang (6 kasus), Purwakarta (5

    kasus), Karawang (2 kasus), Bekasi (61 kasus), kota bekasi (18

    kasus), Kota Sukabumi (4 kasus), dan kota Bandung (1 kasus)

    (Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004).

    Pencegahan dan Pengobatan

    Mengeliminasi lariasis secara cepat dan ekstrim relaf

    sulit dilakukan. Meskipun parasit dapat dideteksi secara

    mikroskopis di dalam darah, penyebaran lariasis cukup sulit

    dikendalikan karena nyamuk sebagai vektor lariasis sulit

    untuk dikendalikan. Menurut Haryuningtyas, DS dan Didik

    Subek (2004), pencegahan utama yang dapat dilakukan

    adalah melindungi diri dari gigitan nyamuk pada daerah

    endemis. Hal ini tentunya sama dengan pencegahan beberapa

    penyakit yang ditularkan oleh vektor nyamuk, semisal malaria,chikungunya, dan DBD.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    25/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat14

    Pada tahun 1993, Internaonal Task Force for Disease

    Eradicaon mendeklarasikan bahwa limfak lariasis sebagai

    salah satu dari tujuh penyakit infeksi yang potensial untukdapat diberantas. Beberapa penelian telah memperlihatkan

    bahwa transmisi infeksi cacing laria dapat diputuskan keka

    satu dosis obat oral kombinasi diberikan secara berkala

    selama kurang lebih tujuh tahun. Dengan pengobatan yang

    konsisten akan terjadi pengurangan mikrolaria, sehingga

    penyakit dak akan ditularkan, cacing dewasa akan ma dan

    siklus cacing dapat diputuskan.Oleh karena itu, strategi untuk eliminasi penularan

    limfak lariasis adalah pemberian obat masal yang dapat

    membunuh mikrolaria dan menghenkan penularan parasit

    oleh nyamuk pada komunitas endemis lariasis. Pemberian

    obat ini dikenal dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan

    (POMP) Filariasis. Pertama kali dilakukan di Nigeria pada

    tahun 2009. Pada tahun 2012 dilakukan survei pada 7.100

    anak-anak dan 173 sekolah, didapat hasil yang memuaskan.

    Program POMP mengombinasikan obat albendazole (donasi

    oleh Glaxo Smithkline) dengan obat ivermecn (donasi

    Merck & Co) untuk mengoba lariasis (Anon n.d., 2013). Di

    China, lariasis telah dieliminasi menggunakan garam yang

    diperkaya dengan diethylcarbamazine (DEC) (WHO, 2007).Obat DEC menghambat metabolisme asam arachidonic pada

    mikrolaria yang merusak sistem imun parasit. Pencegahan

    lariasis lainnya dengan menghindari gigitan nyamuk, dur

    menggunakan kelambu berinseksida.

    Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat du-

    nia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA)

    tahun 1997. Program eleminasi lariasis di dunia dimulaiberdasarkan deklarasi WHO tahun 2000, yaitu The Global

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    26/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 15

    Goal of Eliminaon of Lymphac Filariasis as a Public Health

    Problem by the Year 2020. Program eliminasi lariasis di

    Indonesia dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2010 telahdilaksanakan pemetaan penyakit lariasis seluruh kabupaten/

    kota di Indonesia dan didapatkan prevalensi laria rata-rata

    19%. Ini berar 40 juta penduduk Indonesia bisa menderita

    lariasis di masa mendatang apabila dak dilaksanakan POMP

    dan kegiatan-kegiatan yang terencana menuju eliminasi

    lariasis di Indonesia tahun 2020. Diperkirakan kerugian

    ekonomi mencapai 43 trilyun rupiah, jika dak dilakukanPOMP lariasis.

    Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua

    pilar yang akan dilaksanakan memutuskan rantai penularan

    dengan POMP lariasis di daerah endemis; dan mencegah

    atau membatasi kecacatan karena lariasis. (Pusat Data dan

    Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010).

    Penutup

    Filariasis limfak merupakan salah satu penyakit tropis

    terabaikan tertua dan paling melemahkan; disebabkan oleh

    3 spesies utama cacing laria: W. bancroi, B. malayi, dan B.

    mori.

    Diperkirakan 120 juta manusia di 81 negara saat ini

    terinfeksi dan 1,34 milyar manusia berisiko terinfeksi karena

    hidup di wilayah endemis. Diperkirakan juga sekitar 40 juta

    orang menderita akibat cara pandang yang salah mengenai

    penyakit ini sehingga menghalangi manifestasi klinis ter-

    hadap lariasis. Hal ini termasuk sekitar 15 juta orang yang

    menderita limfodema (elefanasis) dan 25 juta laki-lakiyang mengalami pembengkakan urogenital (WHO, 2010). Di

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    27/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat16

    Indonesia kasus lariasis telah dilaporkan terjadi di berbagai

    daerah antara lain di Sumatera Selatan, Bangka Belitung,

    Papua, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Tangerang, dan lebihdari 17 Kabupaten di Jawa Barat.

    Diduga lebih dari 73 spesies nyamuk dari genus

    Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia dapat mendukung

    perkembangan cacing laria. Pengendalian lariasis perlu

    segera dilaksanakan mengingat kasusnya terus meningkat

    seap tahunnya. Salah satu kontrol yang dilakukan melalui

    deteksi dini pada orang di daerah endemis dan pengobatandengan segera bagi orang yang sudah terinfeksi.

    Daar Pustaka

    Anonim, Lymphac Filariasis Eliminaon Program. Tersedia

    di hp://www.cartercenter.org/health/lf/index.html

    [diakses August 6, 2013].

    Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004. Dinamika

    lariasis di Indonesia. In Lokakarya Nasional Penyakit

    Zoonosis. Bogor. pp. 242250. Tersedia di: hp://digilib.

    litbang.deptan.go.id/repository/index.php/repository/

    download/6099/5969.

    Juriastu, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di

    Kelurahan Ja Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14,

    No. 1, Juni 2010: 31-36.Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian

    Kesehatan RI, 2010. BulenJendela Epidemiologi:

    Filariasis di Indonesia. Volume 1 Juli 2010.

    Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2, 2010.

    Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis

    di Indonesia, Jakarta: Ditjen PP & PL Kementerian

    Kesehatan Republik Indonesia.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    28/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 17

    WHO, 2007. Bullen of The World Health Organizaon.

    Volume 85, Number 7, July 2007, 501-568.

    WHO, 2010. Progress report 2000-2009 and strategic plan2010-2020 of the global programme to eliminate

    lymphac lariasis: halfway towards eliminang

    lymphac lariasis.

    WHO. Lymphac Filariasis (internet) 2008 [diakses 15 Agustus

    2013]. Tersedia di: hp://www.who.com.

    Wikipedia. Filariasis (internet) 2013 [diakses 2 Juli 2013].

    Tersedia di hp://en.wikipedia.org.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    29/104

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    30/104

    19

    Bab2

    EPIDEMIOLOGI FILARIASIS

    Endang Puji AstuMara Ipa

    Pendahuluan

    Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit tular

    vektor yang disebabkan oleh cacing laria dengan perantara

    nyamuk. Penyakit ini hampir tersebar di semua pulau besardi Indonesia, penyakit ini awalnya banyak ditemukan di

    daerah terisolir, namun saat ini sudah banyak di laporkan di

    daerah perkotaan (urban). Di daerah tropis dan subtropis,

    kejadian lariasis meningkat, diantaranya disebabkan oleh

    perkembangan kota sehingga menimbulkan perkembangbiak-

    an nyamuk vektor (Depkes, RI., 2008).

    Secara epidemiologis, laria terjadi karena ada interaksiantara hospes/host denive, yaitu manusia, dan hospes/

    host reservoir, nyamuk yang membawa cacing laria serta

    lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup vektor.

    Filariasis ditularkan oleh nyamuk vektor, baik dari genus

    Aedes, Culex, Armigeres, Anopheles dan Mansonia melalui

    gigitan nyamuk yang membawa cacing laria infekf

    (mikrolaria) dari orang yang sakit/terdapat mikrolaria dalam

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    31/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat20

    darahnya ke orang yang sehat/dak terdapat mikrolaria.

    Cacing laria penyebab laria di Indonesia terdiri dari dua

    genus yaitu Wuchereria dan Brugia. Host yang terinfeksimikrolaria dak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini

    merupakan penyakit kronis (menahun) dengan gejala umum

    adalah terjadinya pembengkakan (edema). Walaupun dak

    memakan, penyakit ini menimbulkan masalah sgma sosial

    dan psikologis penderita.

    Pengamatan terhadap penularan lariasis terkait de-

    ngan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah host (ma-nusia), agent (mikrolaria), nyamuk vektor, lingkungan serta

    faktor-faktor risiko lainnya perlu dilakukan untuk kegiatan pe-

    ngendalian serta penurunan kasus lariasis.

    Penyebaran Filariasis di Jawa Barat

    Di Indonesia, lariasis hampir menyebar di seluruhprovinsi. Berdasarkan data tahun 2000, tercatat bahwa la-

    riasis tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 provinsi

    sebagai wilayah endemis. Hasil survei darah jari (SDJ) meng-

    hasilkan microlaria rate (Mf rate) sebanyak 3,1%. Dapat

    disimpulkan bahwa sebanyak 6 juta orang telah terinfeksi

    dan sekitar 100 juta orang mempunyai risiko nggi untuk

    tertular (WHO, 2000). Kasus lariasis mengalami peningkatan

    mulai dari tahun 2000 - 2009 dilaporkan kasus klinis lariasis

    sebanyak 11.914 kasus pada tahun 2009 yang tersebar di

    308 kabupaten/kota di 33 provinsi endemis (Gambar 2.1).

    Berdasarkan kondisi tersebut, diesmasikan bahwa prevalensi

    microlaria rate (Mf rate) sebesar 19%, dengan prevalensi

    ternggi adalah wilayah Indonesia bagian mur (Anonim,2010).

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    32/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 21

    Gambar 2.1

    Kasus Klinis Filariasis di Indonesia Tahun 2000 2009

    Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009

    Pada tahun 2009, kasus lariasis di Provinsi Jawa Barat

    merupakan ternggi keenam dengan 474 kasus dan paling

    nggi dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa (Gambar 2.2.).

    Sampai tahun 2010 terdapat 11 kabupaten/ kota endemis

    dengan Mf rateyang bervariasi antara 1,0 % - 5,25 %, yaitu

    Kabupaten Subang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, Bogor,

    Tasikmalaya, Kuningan, Bandung, Kota Bekasi, kota Bogor, dan

    Kota Depok. Sedangkan jumlah kumulaf kasus kronis padaperiode tahun 2002 sampai dengan bulan Juni 2013, tercatat

    886 penderita dengan jumlah kemaan 51 orang, tersebar di

    25 kabupaten/kota melipu 135 kecamatan dan 221 desa/

    kelurahan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012).

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    33/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat22

    Gambar 2.2

    Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi di Indonesia Tahun 2009

    Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009

    Kasus kronis laria dan kemaan ternggi tahun sampaiJuni tahun 2013 adalah di Kabupaten Sukabumi, kemudian

    Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bekasi

    mempunyai jumlah kasus yang sama dan berada di urutan

    kega ternggi di Provinsi Jawa Barat. Kasus klinis dengan

    Microlaria rate(Mf rate) posif sudah dak ditemukan di 25

    kabupaten Provinsi Jabar pada tahun 2010 - 2013, sedangkan

    Mf rate posif tahun 2009 hanya ditemukan di dua lokasiyaitu kabupaten Bandung (1,16%) dan Kuningan (1,75%)

    (Tabel 2.1).

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    34/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 23

    Gambar 2.3

    Distribusi Kasus Kronis dan Kemaan Filariasisdi Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013

    Sumber : Data kasus Filariasis Dinas Kesehatan Provinsi Jabar

    Kasus klinis periode tahun 1999 2008 hasil SDJ,

    ditemukan di 12 wilayah dari 25 kabupaten/kota di Jawa

    Barat.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    35/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat24

    Gambar 2.4

    Distribusi Kasus Posif Microlaria Per Kabupaten/Kota di Provinsi

    Jawa Barat per tahun, 1999 - 2005Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar

    Berdasarkan data kasus lariasis tahun 1999 2005,

    ditemukan 10 kabupaten/kota yang posif microlaria. Survey

    sediaan darah jari (SDJ) di Kota Bekasi ap tahun menemukan

    posif microlaria, sedangkan di kabupaten Bekasi, Cianjur,

    Bogor, Tasikmalaya, Karawang, Purwakarta, Kota danKabupaten Bogor hanya ditemukan satu kali di periode tahun

    1999 2005. Beberapa kabupaten/kota yang sebelumnya

    belum ditemukan kasus lariasis, pada tahun 2006 2010

    ditemukan posif, yaitu: Kabupaten Bandung, Majalengka

    dan Kuningan, sedangkan Kabupaten Cianjur ditemukan

    posif lagi di periode tahun 2006 2010. Pemeriksaan SDJ di

    beberapa kabupaten/kota Jawa Barat yang dilakukan setelahtahun 2010, hasilnya adalah negaf mikrolaria.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    36/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 25

    Gambar 2.5

    Distribusi Kasus Posif Mikrolariaper Kabupaten/Kota di Provinsi

    Jawa Barat, 2006 - 2010Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar

    Transmisi Filariasis

    Penularan atau transmisi lariasis/kaki gajah dapat

    ter-jadi apabila ada interaksi ga faktor, antara lain sebagai

    berikut.

    Host1) atau sumber penularan, yakni manusia atau hospes

    reservoir yang mengandung mikrolaria dalam darahnya

    dan manusia yang rentan.

    Vektor, yaitu nyamuk yang mempunyai kapasitas sebagai2)

    vektor untuk menularkan mikrolaria infekf ke manusia

    rentan (host).

    Agent,3) yaitu mikrolaria yang infekf.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    37/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat26

    WHO menyatakan seseorang dapat tertular atau

    terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit

    nyamuk yang infekf yaitu nyamuk yang mengandung larvacacing mikrolaria (mf) stadium III (L

    3). Nyamuk menjadi

    infekf karena mengisap darah penderita yang mengandung

    mikrolaria atau binatang reservoir yang juga mengandung

    mikrolaria. Penularan kaki gajah berbeda dengan penularan

    penyakit tular vektor lainnya, seper: malaria, demam

    berdarah dengue (DBD), atau chikungunya. Seseorang dapat

    terinfeksi/sakit kaki gajah apabila orang tersebut mendapatgigitan dari nyamuk vektor infekf sampai ribuan kali.

    Siklus penularan penyakit kaki gajah melalui dua tahap,

    yaitu:

    perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor,1)

    perkembangan dalam tubuh manusia2) (hospes) dan

    reservoir.

    Dengan demikian manusia atau hewan yang mengan-

    dung mikrolaria merupakan sumber penularan penyakit.

    Perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor (ekstrinsik)

    Pada saat nyamuk vektor mengisap darah penderita la-

    riasis, beberapa mikrolaria akan ikut terhisap bersama darah

    dan masuk ke dalam lambung nyamuk. Beberapa saat setelahberada dalam lambung nyamuk, mikrolaria yang bersarung

    akan melepaskan sarungnya kemudian dalam waktu satu jam

    akan menembus dinding lambung nyamuk dan bermigrasi ke

    dalam otot dada atau thoraxnyamuk (Anonim, 2012).

    Dalam thorax, mikrolaria menjadi lebih pendek dan

    gemuk dibandingkan dengan larva yang ada di lambung, dan

    disebut larva stadium 1 (L1). Ukurannya berkisar antara 244

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    38/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 27

    - 296 m x 7.5 - 10 m (Anonim, 2012). Larva stadium 1

    selanjutnya akan bergan kulit dan berkembang menjadi

    larva stadium 2 (L2) yang ukurannya 200 - 300 m x 15 30m (Depkes, 2006). Larva stadium 2 ini juga akan bergan

    kulit lagi dan berkembang menjadi larva stadium 3 (L3) yang

    merupakan larva infekf yang akf dan akan bermigrasi ke

    dalamproboscisnyamuk.

    Pada saat nyamuk infekf mengisap darah manusia

    untuk kebutuhan pematangan telurnya, larva cacing L3 akan

    jatuh atau keluar dari probosis dan nggal beberapa saat dikulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Nyamuk yang telah

    mengisap darah manusia akan menarik proboscis, kemudian

    larva cacing L3 merayap masuk melalui luka bekas gigitan

    nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe manusia

    (Anonim, 2012). Masa inkubasi ekstrinsik spesies W. bancroi

    antara 10 - 14 hari, sedangkan B. malayidan B. moriantara

    8 - 10 hari (Depkes RI, 2006).

    Perkembangan dalam tubuh manusia (intrinsik)

    Larva cacing L3,

    selanjutnya bergerak menuju sistem

    limfe dan nggal dalam waktu 9 - 10 hari. Selanjutnya akan

    bergan kulit dan berkembang menjadi larva stadium 4

    (L4) yang merupakan stadium larva paling akhir, yang akan

    berkembang menjadi cacing dewasa atau makrolaria

    atau larva stadium 5 (L5). Cacing dewasa bena berukuran

    dengan panjang 80 - 100 mm dan diameter 0.24 - 0.30 mm,

    sedangkan ukuran yang jantan panjang sekitar 40 mm dan

    diameter 0.1 mm (Anonim, 2012).

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    39/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat28

    Gambar 2.6

    Siklus Penularan Filariasis (Wuchereria bancroi)Sumber: Centers for Disease Control and Prevenon World HealthOrganizaon

    (CDC-WHO) (www.cdc.gov)

    Stadium larva 3 (L3) mikrolaria disebut stadium imma-

    ture. Perkembangan dari stadium immaturesampai menjadi

    dewasa membutuhkan waktu sangat lama, sekitar 6 12

    bulan. Cacing dewasa dapat bertahan hidup di dalam tubuh

    manusia serta berkembang biak 5 10 tahun. Apabila dalam

    saluran limfe terdapat cacing bena dan jantan, akan terjadiperkawinan. Setelah kopulasi, cacing bena secara periodik

    menghasilkan mikrolaria. Satu cacing bena dewasa akan

    menghasilkan kurang lebih 30.000 mikrolaria seap harinya

    (Depkes RI, 2006). Mikrolaria dak hidup dalam saluran

    atau kelenjar limfe, tetapi akan bermigrasi ke dalam saluran

    darah dan saluran darah tepi (Anonim, 2012). Mikrolaria

    yang beredar di saluran darah tepi akan terisap kembali oleh

    nyamuk vektor dan akan ditularkan ke manusia lainnya.

    30

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    40/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 29

    Agent

    Cacing kecil penyebab lariasis termasuk dalam cacing

    nematoda. Di dunia, sebagian besar kasus lariasis dise-

    babkan oleh cacing W. bancroi (90%), kemudian B. Malayi,

    dan B. mori (Das et al. 2002). Agent lariasis di Indonesia

    juga terdiri atas ga jenis cacing tersebut (Haryuningtyas

    et al. 2013). Cacing W. bancroi banyak ditemui di daerah

    tropis seluruh dunia, B. malayi terbatas di Asia sedangkan

    B. mori terbatas di beberapa kepulauan Indonesia. Di Jawa

    Barat, ditemukan dua agentlariasis yaitu W. bancroidan B.

    malayi, tetapi yang dominan ditemukan adalah W. bancroi

    (Rusmarni et al.2008).

    Dari hasil SDJ di 22 kabupaten/kota di Provinsi Jawa

    Barat yang terdapat penderita kronis lariasis, spesies

    mikrolaria posif yang ditemukan tahun 1999 sampai tahun

    2008 adalah W. bancroi dan dak menemukan spesiesmikrolaria lainnya. Di Kabupaten Cianjur, Mf ratekurang dari

    1%, maka belum dinyatakan sebagai daerah endemis. Jumlah

    kumulaf kasus klinis posif mikrolaria hasil SDJ, ternggi di

    Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, kemudian di Kabupaten

    Subang dan Kabupaten Kuningan (Gambar 2.7). Di wilayah

    ini sudah dilakukan pengobatan massal, kecuali Kabupaten

    Kuningan pengobatan hanya dilakukan selekf pada penderita

    dan masyarakat sekitar penderita.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    41/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat30

    Gambar 2.7

    Distribusi Posif Mikrolaria

    di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013

    Sumber: Data Kasus Filariasis Dinas Kesehatan Jawa Barat Tahun 2013

    Ukuran tubuh mikrolaria W. bancroi yang banyak

    ditemukan di Jawa Barat, lebih besar dibandingkan Brugia

    malayi dan B. mori yaitu 244 296 M dan 7,5 10

    M, ekornya berbentuk pita dan mengerucut. In sel di

    tubuh cacing tergambar jelas dan mudah dihitung secara

    mikroskopis, namun cacing ini dak mempunyai in sel di

    ekornya (McCarthy, James. 2000).

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    42/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 31

    Gambar 2.8

    Morfologi Wuchereria bancroi

    Sumber: www.stanford.edu.(Lymphac Filariasis Introducon)

    Morfologi cacing W. bancroi dewasa berbentuk silin-dris, halus seper benang dan berwarna puh susu. Cacing

    laria dewasa atau yang lebih dikenal makrolaria, baik yang

    jantan maupun bena, hidup pada saluran dan kelenjar limfe.

    Makrolaria bena ukurannya kurang lebih dari 65-100 mm x

    0.25 mm, sedangkan makrolaria jantan ukurannya 40 mm x

    0,1 mm. Makrolaria bena akan mengeluarkan larva laria

    yang disebut mikrolaria yang bersarung dengan ukuran

    berkisar antara 250-300 m x 7-8 m (Spicer, W.J. 2000).

    Berbeda dengan induknya, mikrolaria hidup pada aliran

    darah, dan pada waktu-waktu tertentu ditemukanpada aliran

    darah tepi, sehingga mikrolaria ini memiliki periodisitas

    tertentu. Umumnya, periodisitas mikrolaria W. bancroi di

    Jawa Barat adalah nokturna atau malam hari, arnya mikro-

    laria hanya terdapat dalam peredaran darah tepi pada

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    43/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat32

    malam hari. Pada siang hari mikrolaria berada pada kapiler-

    kapiler organ dalam seper paru-paru, jantung, ginjal dan

    lain-lain. Namun, di beberapa wilayah W. bancroi jugabersifat diurnal (siang hari) (McCarthy, James. 2000).

    Host

    Di dalam darah manusia terdapat mikrolaria. Arnya,

    manusia rentan tertular lariasis. Tidak semua manusia/

    individu yang terinfeksi mikrolaria menunjukkan gejala

    klinis, walaupun dalam tubuhnya telah terjadi perubahanpatologis. Proses penularan lariasis membutuhkan waktu

    yang lama dengan kemungkinan tertular/terkena infeksi kecil,

    tetapi keberadaan seseorang di daerah endemis dalam waktu

    yang lama akan memperbesar risiko penularan. Berikut ini

    beberapa faktor determinan yang mempengaruhi terjadinya

    penularan pada manusia.

    Sosiodemograf

    Faktor-faktor sosiodemogras dapat mempengaruhi pe-

    nularan lariasis. Berikut ini adalah faktor-faktor tersebut.

    Jenis kelamin1.

    Dalam penelian Juriastu et al. 2010 di Depok Jawa

    Barat, jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko penularan

    4,7 kali lebih besar dibandingkan wanita. Hasil ini sejalan

    dengan penelian terhadap kejadian lariasis di Indonesia

    yang menunjukkan penderita lariasis lebih banyak

    berjenis kelamin laki-laki (Santoso et al, 2010). Hal ini

    terkait dengan perilaku masyarakat baik akvitas maupun

    mobilitas, laki-laki lebih sering melakukan akvitas di

    luar rumah pada malam hari seper melakukan kegiatanronda, pengajian, serta mempunyai mobilitas yang nggi.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    44/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 33

    Kondisi seper ini mendukung terjadinya kontak antara

    nyamuk vektor dengan manusia.

    Umur2.Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur.

    Berdasarkan analisa lanjut Riskesdas tahun 2007 terhadap

    967 penderita lariasis di Indonesia, proporsi umur

    terbanyak adalah 31 - 46 tahun, sebanyak 256 orang

    (26,7%).

    Pekerjaan3.

    Kegiatan akf yang dilakukan pada malam hari keka

    nyamuk akf mencari pakan darah mempunyai risiko

    yang nggi terhadap penularan lariasis. Penelian di

    Pekalongan tahun 2006 melaporkan bahwa pekerjaan

    pada malam hari mempunyai korelasi dengan kejadian

    lariasis (p = 0,003) (Febrianto et al, 2006).

    Pendidikan4.

    Variabel ini dak mempunyai pengaruh langsung terhadap

    kejadian lariasis. Berdasarkan penelian yang dilakukan

    Nasrin (2008), dapat dikatakan bahwa pendidikan

    memengaruhi jenis pekerjaan, pengetahuan, sikap dan

    perilaku (PSP) seseorang.

    Tindakan/Prakk

    Tindakan merupakan bagian dari perilaku. Dalam kasus

    penyakit tular vektor seper lariasis, ndakan berkaitan

    dengan kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Hasil

    penelian menunjukkan responden yang memiliki kebiasaan

    keluar rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali

    lebih besar untuk menderita penyakit lariasis (Juriastu etal. 2010). Hal ini terkait bionomik nyamuk vektor yaitu Cx.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    45/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat34

    quinquefasciatus, seper penelian yang dilakukan Astu

    et al., 2012 di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan, yang

    memperoleh hasil bahwa puncak kepadatannya hasil umpanorang dalam dan luar terjadi pada pukul 23.00 dan 01.00

    - 02.00 dengan nilai MHD 0,014. Oleh sebab itu, responden

    yang memiliki kebiasaan untuk keluar pada malam hari lebih

    berisiko dibandingkan dengan responden yang dak memiliki

    kebiasaan tersebut.

    Upaya masyarakat untuk menghindari atau memutus

    kontak dengan nyamuk vektor juga mempunyai pengaruhterhadap kejadian lariasis, antara lain sebagai berikut.

    Pemakaian kelambu sangat efekf untuk mencegah1)

    kontak dengan nyamuk. Hasil penelian yang dilakukan

    oleh Anshari (2004), menyatakan bahwa kebiasaan dak

    menggunakan kelambu waktu dur sebagai faktor resiko

    kejadian lariasis (OR= 8,09) (Nasrin, 2008).

    Pemakaian kawat kassa yang dipasang di bagian venlasi2)

    rumah berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk ke

    dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk

    sehingga mengurangi risiko terkena lariasis (Febrianto,

    2006).

    Penggunaan inseksida seper obat an nyamuk dapat3)

    membunuh atau mengurangi populasi nyamuk sedangkanpenggunaan losio an nyamuk, dapat mngurangi kontak

    atau menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor.

    Menurut Febrianto (2006), diketahui bahwa kebiasaan

    dak menggunakan obat an nyamuk malam hari ada

    hubungan dengan kejadian lariasis (p= 0,004) (Rufaidah,

    2004).

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    46/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 35

    Vektor

    Nyamuk vektor lariasis W. bancroi, berbeda genus

    dan spesies di beberapa wilayah dan tergantung padageograsnya. Nyamuk vektor di dunia yang telah dite-

    mukan diantaranya adalah Culex (Cx. annulirostris, Cx.

    bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, dan Cx. pipiens);

    Anopheles (An. arabinensis, An. bancroi, An. farau, An.

    funestus, An. gambiae, An. koliensis, An. melas, An. merus,

    An. punctulatus dan An. wellcomei); Aedes (Ae. aegyp,

    Ae. aquasalis, Ae. bellator, Ae. cooki, Ae. darlingi, Ae. kochi,

    Ae. polynesiensis, Ae. pseudoscutellaris, Ae. rotumae, Ae.

    scapularis, dan Ae. vigilax); Mansonia (Ma. pseudollans,

    Ma. uniformis); Coquilledia (C. juxtamansonia) (Anonim,

    2012).

    Nyamuk vektor yang telah teridenkasi di Indonesia,

    sebanyak 23 spesies antar lain: Mansonia (Ma. uniformis,Ma. indiana, Ma. dives, Ma. bonneae, Ma. annulifera,

    Ma. annulata, Ma. dives, Ma. nigerimus), Anopheles (An.

    nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An.

    vagus, An. dives, An. maculatus, An. farau, An. koliensis, An.

    punctulatus, An. bancroi), Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx.

    annulirostris, Cx. whitmorei, Cx.bitaeniorhynchus),Aedes(Ae.

    subalbatus) dan Armigeres(Depkes, 2006).Nyamuk Anopheles spp. yang teridenkasi sebagai

    vektor W. bancroi termasuk pe pedesaan, sedangkan

    Cx. quinquefasciatus merupakan vektor pe perkotaan.

    Nyamuk Mansoniamerupakan vektor B. malayi, sedangkan di

    Indonesia bagian mur, nyamuk vektor yang penng adalah

    Mansonia dan An. barbirostris.Beberapa spesies Mansonia

    dapat menjadi vektor B. malayi pe subperiodik nokturna.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    47/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat36

    Nyamuk An. barbirostrismerupakan vektor penng B. mori

    yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku

    Selatan

    (Depkes RI, 2006).Nyamuk vektor di Provinsi Jawa Barat adalah Cx.

    quinquefasciatus dan Ma. indiana (Depkes, 2006). Nyamuk

    Ma. Indiana juga ditemukan dalam penelian Hoedojo et al.

    (1972), yang mempelajari penyakit kaki gajah selama kurang

    lebih 10 tahun (1960 1970) di pedesaan Banten, yaitu desa

    Kresek. Tempat pengembangbiakan larva yang ditemukan di

    desa tersebut adalah rawa-rawa seluas 125 hektar. PenelianDharma et al. 2004 di desa Margamulya Tangerang juga

    berhasil menemukan ga spesies Mansonia antara lain: Ma.

    indiana, Ma. Longipalpis,dan Ma. uniformis. Wilayah Banten

    masih dilaporkan sebagai wilayah Provinsi Jawa Barat. Pada

    saat penelian tersebut, Banten belum menjadi provinsi

    tersendiri.

    Penelian di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan

    Jabar, mendapatkan populasi nyamuk terbanyak di luar

    maupun di dalam rumah adalah Cx. siens, kemudian Cx.

    quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus. Penelian dila-

    kukan di daerah yang terdapat penderita kronis, dengan

    kondisi pemukimannya padat dan dekat dengan jalan

    utama dan merupakan pe perkotaan. Sedangkan di DesaPanumbangan Kabupaten Ciamis yang merupakan pe

    pedesaan, nyamuk yang tertangkap sebanyak 9 spesies (666

    nyamuk), spesies yang dominan adalah Cx. siens (386 ekor)

    dan Cx. tritaeniorhynchus (222 ekor). Hasil pembedahan

    nyamuk secara massal maupun individu, dak ditemukan

    adanya mikrolaria (negaf) (Astu et al., 2012).

    Berdasarkan literatur Depkes RI, nyamuk Cx. siensbelum ditentukan sebagai vektor lariasis, namun karena

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    48/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 37

    berjumlah dominan dan ada penderita lariasis, nyamuk

    tersebut dikategorikan sebagai tersangka vektor. Selain dite-

    mukan di Ciamis dan Kuningan, berdasarkan penelian ten-tang populasi nyamuk oleh Nusa et al. 2007, nyamuk Cx.

    siens juga ditemukan di Kabupaten Bekasi yang merupakan

    wilayah endemis lariasis.

    Gambar 2.9

    Larva Culexspp.

    Sumber: hp://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/culex_

    quinquefasciatus_larvgroup.jpg

    Periodisitas mikrolaria dan perilaku nyamuk mengisap

    darah berpengaruh terhadap risiko penularan sehingga untuk

    memberantas vektor lariasis, perilaku vektor harus diketahui

    melipu perilaku reproduksi, menggigit, dan israhat

    (Nutman dan Waller, 2000).

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    49/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat38

    Gambar 2.10

    Nyamuk Culex quinquefasciatus

    Sumber: apni-news.blogspot.com

    Lingkungan

    Lingkungan sangat berpengaruh terhadap penularan

    lariasis. Daerah endemis W. bancroi pe perkotaan

    (urban) adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat pen-

    duduk dan banyak terdapat genangan air kotor seper

    saluran pembuangan air limbah terbuka yang dapat

    dijadikan sebagai habitat nyamuk Cx. quinquefasciatus.

    Kondisi lingkungan pe pedesaan (rural) secara umum yang

    cocok untuk perkembangbiakan vektor W. bancroi adalah

    perkebunan, hutan rawa, sepanjang sungai atau badan

    air lain yang ditumbuhi tanaman air (Depkes RI, 2006).

    Keadaan lingkungan, seper daerah hutan, persawahan,

    rawa-rawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air dan saluran

    air limbah dan parit adalah salah satu habitat yang baik

    untuk pertumbuhan nyamuk spesies tertentu (Sigit SH dan

    Hadi UK, 2006). Penelian lain oleh Astu et al, 2012 yangmelaksanakan survei tempat perkembangbiakan nyamuk di

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    50/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 39

    dua lokasi di Provinsi Jawa Barat, melaporkan bahwa lokasi

    yang berisiko sebagai tempat perkembangbiakan vektor

    lariais yaitu di Desa Panumbangan Kabupaten Ciamis adalahpersawahan, kolam, dan sungai; sedangkan di Desa Jalaksana

    Kabupaten Kuningan adalah kolam terbengkalai dan selokan

    terbuka sekitar rumah penduduk.

    Lingkungan sik berpengaruh terhadap munculnya

    tempat perkembangbiakan dan berisrahatnya nyamuk

    (Notoatmodjo S., 1997). Hasil penelian di Kabupaten Bekasi

    menunjukkan adanya hubungan bermakna antara konstruksiplafon, keberadaan kawat kassa, dan barang-barang ber-

    gantung dengan kejadian lariasis (Juriastu et al, 2010).

    Sedangkan lingkungan pemukiman berpengaruh terhadap

    terjadinya penularan lariasis.

    Analisis riskesdas oleh Santoso et al. menunjukkan

    sebagian besar penderita lariasis (39,2%), dak memiliki

    tempat penampungan air limbah, jadi hanya dibuang/

    mengalir begitu saja di pekarangan dan dibiarkan terbuka.

    Kondisi ini dapat meningkatkan munculnya tempat

    perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga meningkatkan

    risiko terjadinya penularan lariasis karena jaraknya ke

    pemukiman kurang dari 100 meter yang masih dalam

    jangkauan terbang nyamuk, karena sesuai dengan teoribahwa nyamuk pada umumnya mempunyai daya terbang

    sejauh 50 - 100 meter.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    51/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat40

    Gambar 2.11

    Breeding PlacesNyamuk di Desa Panumbangan, Kabupaten Ciamis

    Sumber: Astu et al., 2012

    Gambar 2.12.

    Breeding PlacesNyamuk di Desa Jalaksana, Kabupaten Kuningan

    Sumber: Astu et al., 2012

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    52/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 41

    Penutup

    Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan secara

    epidemiologi bahwa penularan lariasis di Provinsi Jawa

    Barat merupakan interaksi dari mulfaktor. Faktor risiko yang

    ditemukan di Jawa Barat dan mendukung terjadinya kasus

    lariasis adalah host(manusia) posif mikrolaria, agent (W.

    bancroi), nyamuk vektor (Cx. quinquefasciatus), dan faktor

    lingkungan sekitar tempat nggal (rawa, kolam terbengkalai,

    persawahan, selokan terbuka, dan sungai). Di samping itu,jumlah kasus lariasis di Jawa Barat didukung oleh perilaku

    masyarakat yang berisiko, seper: kebiasaan keluar pada

    malam hari, dur tanpa kelambu, dak menggunakan kawat

    kasa pada venlasi rumah, dan dak menggunakan repellent

    atau inseksida.

    Daar Pustaka

    Anonim. 2010. Filariasis di Indonesia [Topik Utama]. Bulen

    Jendela Epidemiologi. Vol. I Juli 2010 hal. 1 - 8. ISSN 2087

    1546. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi.Kementerian

    Kesehatan RI.

    Anonim. 2012. Filariasis. [Last modied: 10/05/2012 00:58:21].

    www.dpd.cdc.gov/.../Filariasis/

    Anshari, Rudi. 2004. Analisis Faktor Risiko Kejadian Filariasis diDusun Tanjung Bayur Desa Sungai Asam Kecamatan Sungai

    Raya Kabupaten Ponanak. [Tesis]. Semarang: Universitas

    Diponegoro.

    Febrianto, Bagus, Asri Maharani, Sapto P, Widiar. 2006. Studi

    Faktor Resiko Filariasis Di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto

    Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Bullen of Health

    Research. DOAJ. 2012 Volume 36 issue 2 Juni.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    53/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat42

    Astu, Endang Puji, Mara Ipa, Tri Wahono, M. Umar Riandi. 2012.

    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Filariasis di Daerah

    Endemis Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambaran

    Epidemiologi Filariasis di Kabupaten Ciamis, Kabupaten

    Kuningan dan Kabupaten Serang). [Laporan Penelian]. Loka

    Litbang P2B2 Ciamis.

    Das, P.K., S.P. Pani and K. Krishnamoorthy. 2002. Prospects of

    Eliminaon of lymphac Filariasis in India. Indian Council

    Med. Res. 32: 5-6.

    Depkes RI. 2006. Epidemiologi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di

    Indonesia. Ditjen PP & PL. Jakarta. DEPKES RI.Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis. Direktorat

    Jenderal PPM & PL. DEPKES RI. Jakarta.

    Dharma, Wirya, Hoedojo et al. 2004. Survei Nyamuk di Desa Marga

    Mulya, Kecamatan Mauk Tangerang. J. Kedokteran Triksak.

    April Juni 2004 ; Vol. 23 No. 2.

    Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012. Situasi P2 Filariasis

    Provinsi Jawa Barat tahun 2007 - 2011. Dinas Kesehatan

    Provinsi Jawa Barat. Bandung. Kemenkes RI.Haryuningtyas, Dyah dan Subek, Didik. Dinamika Filariasis.

    [Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis]. [disitasi Mei 2013].

    Balai Penelian Veteriner Bogor. www.digilib.litbang.deptan.

    go.id/

    Hoedojo, Oemija S. Environmental control of the vektor of

    malayan lariasis in Kresek, West Java. Vektor Control in

    Southeast Asia. Proceedings of the First SEAMEO Workshop

    Singapore. 1972: August 17 - 18: 176 82.

    Juriastu, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di

    Kelurahan Ja Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14, No. 1,

    Juni 2010: 31 - 36.

    Maharani, Asri., Bagus Febrianto et al. 2006. Studi Faktor Risiko

    Filariasis di Desa Sambirejo, Kecamatan Tirto Kabupaten

    Pekalongan Jateng. [Laporan Risbinkes]. BPVRP Salaga.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    54/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 43

    McCarthy, James. 2000. Diagnosis of Lymphac Filarial Infecons.

    Bab 6 hlm. 133. dalam Nutman, Thomas B. Lymphac

    Filariasis. Tropical Medicine: Science and Pracce.

    Nasrin. 2008. Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku yang

    Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka

    Barat. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Kesehatan Lingkungan.

    Universitas Diponegoro Semarang.

    Notoatmodjo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka

    Cipta. Jakarta.

    Nusa, Roy RES. 2007. Populasi Nyamuk yang Berpotensi sebagai

    Vektor Japanese Encephalis di Kabupaten Bekasi JawaBarat. Inside. Vol. II No. 2/Des. 2007. Loka Litbang P2B2

    Ciamis. Balitbangkes Kemenkes RI.

    Nutman dan Waller, 2001. Lymphac Filariasis. Tropical Medicine:

    Science and Pracce.Imperial College Press, 2000 : 283 hal.

    Oemija S Kurniawan A. Epidemiologi Filariasis dalam

    Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (penyunng)

    Parasitologi Kedokteran. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit

    Fakultas Kedokteran UI, 2006. H 42 44.Rufaidah, Y. Hubungan Lingkungan Rumah danKarakterisk

    Responden yang Berhubungan dengan Kejadian lariasis di

    Wilayah KerjaPuskesmas Bantar Gebang II Kota Bekasi Tahun

    2004. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas

    Indonesia, Indonesia, 2004.

    Rusmarni, Tinni dan Yulianna, Fitri. 2008. Prevalence Study of

    Re-Emerging Lymphac Filariasis in West Java Indonesia.

    Departmen Parasitology. Universitas Padjadjaran. Bandung.

    Proc ASEAN Congr Trop Med Parasitol. 2008; 3: 125 - 9.

    Santoso, Aprioza Yenni, Rika Mayasari. 2010. Faktor Risiko Kejadian

    Penyakit Filariasis pada Masyarakat di Indonesia. Bulen

    Spirakel. Loka Litbang P2B2 Baturaja. ISSN 2086-1346.

    Sigit SH, Hadi UK, Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi

    dan Pengendalian. Fakultas Kedokteran Hewan, Instut

    Pertanian Bogor. 2006: 27 - 33.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    55/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat44

    Spicer, W.J. 2000. Tissue Nematodes. In: Clinic al Bacteriology,

    Mycology, and Parasitology. Churchill Livingstone: London.

    WHO. 2000. Lymphac Filariasis. World Health Organizaon (WHO)

    mediacentre. hp://www.who.int/mediacentre/

    WHO. Lymphac Filariasis. [disitasi Mei 2013]. www.who.int/

    lymphac_lariasis.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    56/104

    45

    Bab3

    UPAYA PENCEGAHAN &

    PENGENDALIAN FILARIASIS

    Tri WahonoM. Umar Riandi

    Pendahuluan

    Pemberantasan suatu penyakit perlu dilakukan apabila

    mempunyai dampak yang jelas, misalnya mempunyai angka

    kemaan yang nggi, angka kesakitan dan prevalensi yangnggi, dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan

    wabah, serta menimbulkan kerugian yang besar. Filariasis

    adalah penyakit yang dak menyebabkan kemaan, tapi

    menyebabkan penderitaan dan kerugian yang besar karena

    penderita menjadi dak produkf akibat kecacatan permanen

    (Oemija, 1990).

    Pencegahan lariasis merupakan upaya mencegah

    penularan dengan menghindarkan dari gigitan nyamuk

    yang membawa larva cacing laria. Dapat dilakukan dengan

    pemberantasan parasit pada semua hospes (menghilangkan

    agent penyakit), pengendalian vektor, pengendalian hospes

    reservoirserta manajemen lingkungan.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    57/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat46

    Pemberantasan Parasit pada Semua Hospes

    Pengobatan seluruh hospes yang mengandung parasit,

    selain untuk menyembuhkan infeksi, juga untuk memberantas

    parasit sehingga dak menjadi sumber penularan. Tapi untuk

    mencapai seluruh hospes sangat sulit dilakukan karena

    lingkupnya yang sangat luas. Upaya yang dapat dilakukan

    adalah pengobatan massal terhadap semua hospes yang

    berpotensi.

    Program eliminasi lariasis di dunia dimulai berdasarkandeklarasi WHO tahun 2000. Di Indonesia, untuk mencapai

    eliminasi lariais, ditetapkan dua pilar kegiatan yaitu memu-

    tuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal

    pencegahan alriasis (POMP lariasis) di daerah endemis

    serta mencegah atau membatasi kecacatan karena lariasis.

    Pengobatan massal dilakukan dengan menggunakan obat

    Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan denganalbendazol sekali setahun selama 5 - 10 tahun. Pelaksanaan

    kegiatan POMP di lapangan, mendapatkan beberapa kendala

    terutama adalah efek samping yang dimbulkan obat dan

    cakupan (coverage) yang rendah. Rendahnya cakupan

    salah satunya dikarenakan mobilitas penduduk yang nggi,

    bepergian untuk sementara atau jangka waktu lama karena

    alasan pekerjaan atau pendidikan. Dalam POMP, obat

    diberikan kepada sasaran, tetapi karena dak bisa diawasi

    sehingga dak dapat diketahui apakah obat diminum atau

    dak.

    Pengendalian Vektor

    Pengendalian vektor adalah upaya menurunkanfaktor risiko penularan yang disebabkan oleh vektor yaitu

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    58/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 47

    dengan cara meminimalkan habitat perkembangan vektor,

    menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi

    kontak antara vektor dan manusia serta memutus rantaipenularan penyakit (PP&PL, 2012). Pengendalian vektor

    laria di Indonesia belum dilakukan secara khusus dan

    spesik. Vektor laria yang sekarang ini diketahui ada 23 jenis

    nyamuk dari 5 genus berbeda merupakan kendala tersendiri

    dalam upaya pengendalian vektor ini. Pengendalian vektor di

    Indonesia yang telah dilakukan adalah pengendalian vektor

    DBD, malaria, dan chikungunya. Karena persamaan vektorDBD, malaria, dan chikungunya dengan laria maka secara

    dak langsung pengendalian vektor penyakit tersebut juga

    mempunyai efek terhadap pengendalian vektor laria.

    Secara garis besar ada empat cara pengendalian vektor

    yaitu dengan cara kimiawi, biologis, mekanik, dan radiasi

    (Soegijanto, 2006).

    Pengendalian vektor secara kimiawi

    Dalam pengendalian vektor secara kimiawi meng-

    gunakan berbagai bahan kimia untuk menghindari gigit-an

    nyamuk, membunuh nyamuk, atau menghambat pertum-

    buhan nyamuk. Bahan kimia yang digunakan mulai dari

    inseksida, larvasida maupun repellent.

    Inseksida merupakan senyawa kimia yg digunakan

    untuk membunuh serangga (biasanya dengan cara meng-

    usapkan atau menyemprotkannya) (KBBI Depdiknas). Peng-

    gunaan inseksida ini mungkin yang paling cepat terlihat

    efeknya walaupun memiliki efek samping yang dak kalah

    bahayanya. Penggunaan inseksida yang umum dilakukanadalah penyemprotan yang bertujuan untuk membunuh

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    59/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat48

    nyamuk dewasa. Penyemprotan seharusnya dilakukan pada

    tempat menggigit dan tempat israhat vektor. Pada prak-

    knya, hal ini sering dak mencapai sasaran karena yangdisemprot biasanya hanya rumah nggal dan pemukiman

    sedangkan vektor laria ini juga terdapat di berbagai macam

    lingkungan misalnya di ladang atau tepi hutan. Beragamnya

    vektor lariasis yang ada di Indonesia juga menjadi kendala

    yang besar karena membutuhkan data bionomik yang lengkap

    agar penggunaan inseksida tepat sasaran (Oemija CDK,

    1990).Masalah lain yang mbul adalah resistensi vektor

    terhadap inseksida yang digunakan. Penentuan jenis insek-

    sida, dosis dan metode aplikasi merupakan syarat yang

    penng untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vek-

    tor. Bila penggunaan inseksida secara berulang-ulang dapat

    menimbulkan resistensi pada serangga sasaran.

    Jenis inseksida kimiawi yang digunakan untuk pengen-

    dalian vektor nyamuk dewasa ada dua, yaitu organophosphat

    (Malathion, Methylpirimiphos) dan golongan pyretroid

    (Cypermethrine, Lamda-cyhalotrine, Cyutrine, Permethrine,

    dan S-Bioalethrine). Inseksida ini ditujukan untuk stadium

    Gambar 3.1Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    60/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 49

    dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/

    Foggingdan pengabutan dingin/ULV (PP&PL, 2012).

    Larvasida adalah bahan kimia yang digunakan untukmembunuh larva/stadium pradewasa serangga. Penggunaan

    larvasida bertujuan untuk membunuh larva atau membuat

    larva dak bisa menjadi nyamuk dewasa. Bahan kimia larva-

    sida yang digunakan bisa merupakan bahan kimia buatan

    atau kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan).

    Bahan kimia buatan yang digunakan sebagai larvasida

    adalah inseksida jenis organophosphat (Temephos) (PP&PL,2012). Di Indonesia, larvasida ini lebih dikenal dengan islah

    Abate 1G yang mengandung Temephos 1%. Aplikasinya adalah

    dengan menaburkan abate ke dalam tempat penampungan

    air.

    Gambar 3.2

    Abate 1G (Temephos 1%)

    Selain larvasida bahan kimia buatan, sekarang banyak

    dilakukan penelian menggunakan larvasida dengan zat

    kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan). Bahan ini lebih

    dianjurkan karena dak menimbulkan efek samping terhadap

    lingkungan. Penggunaan ekstrak tanaman ini terbuk efekf

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    61/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat50

    sebagai larvasida pada berbagai penelian seper: ekstrak

    tumbuhan zodia dan tembakau (Susan, 2012), daun sirih

    (Parwata , 2011), akar wangi (Laelatul K., 2010), jarak pagar(Atu, 2011), dan lain-lain. Walaupun terbuk efekf dalam

    penelian tetapi penggunaan dan produksi massal ekstrak

    tanaman ini belum diterapkan di masyarakat.

    Repellent merupakan bahan kimia yang mempunyai

    kemampuan untuk menjauhkan serangga sehingga dapat

    digunakan untuk menghindari gigitan serangga. Repellent ini

    digunakan dengan cara menggosokkan atau

    Gambar 3.3

    Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai larvasida

    menyemprotkan pada kulit atau pakaian. Bahan kimia

    yang digunakan bisa bahan kimia buatan atau kimia bahan

    alam (ekstrak tumbuhan).

    Bahan kimia buatan yang digunakan untuk repellentnyamuk antara lain: DEET (N,N-diethyl-m-toluamide),

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    62/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 51

    Permethrin, IR 3535 (3-[N-butyl-N-acetyl]-aminopropionic

    acid (MDPH, 2008). Repellent dengan bahan DEET dak

    boleh digunakan untuk bayi yang berumur kurang dari duabulan. Bayi yang berumur kurang dari dua bulan memiliki

    rasio luas permukaan tubuh terhadap masa tubuh yang lebih

    besar sehingga mudah menyerap bahan kimia dan mencapai

    konsentrasi plasma yang nggi. Bahan repellent ini bersifat

    korosif dan walaupun ditambahkan dengan zat-zat lain yang

    berfungsi sebagai pelembap, zat ini tetap berbahaya.

    Gambar 3.4

    Repellent Bahan Kimia Buatan.

    Selain bahan kimia buatan terdapat berbagai ekstrak

    tumbuhan yang bisa digunakan sebagai repellent yang relaf

    lebih aman daripada menggunakan bahan kimia buatan.

    Balai Penelian Tanaman Obat dan Aromak telah

    melakukan penelian terhadap potensi tanaman aromak

    sebagai penghalau nyamuk dan lalat. Hasil penelian

    menunjukkan bahwa tanaman serai wangi yang mengandung

    sitronela dan geraniol; zodia yang mengandung evodiame,

    rutaecarpine, dan linool; serai dapur yang mengandung

    citrat; nilam yang mengandung patchouli alkohol; adas yang

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    63/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat52

    mengandung anetol, berpotensi sebagai penghalau (repellent

    terhadap nyamuk Ae. Aegypdengan daya proteksi berkisar

    antara 60 80% selama 2 4 jam (Kardinan, 2008).

    Gambar 3.5

    Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai repellent

    Pengendalian vektor secara biologis/haya

    Pengendalian vektor secara biologis/haya adalah

    pengendalian yang dilakukan dengan cara menggunakanmakhluk hidup (Soegijanto, 2006). Tiga peran utama pengen-

    dalian vektor biologis adalah sebagai predator, patogen, dan

    parasit. Pengendalian secara biologis ini secara biologis/haya

    ini memiliki berbagai keuntungan antara lain aman, dak

    menimbulkan pencemaran lingkungan, dak menyebabkan

    resistensi, relaf murah, dan bersifat jangka panjang.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    64/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 53

    Predator adalah binatang yang hidupnya memangsa

    hewan lain (KBBI, 2005). Ada beberapa jenis ikan seper: ikan

    kepala mah, gabus, cupang, tampalo, dan guppy merupakanpredator pemakan larva/jenk nyamuk. Ikan jenis ini banyak

    dimanfaatkan oleh manusia untuk dipelihara dalam kolam,

    bak mandi atau tempat penampungan air lainnya. Cara ini

    terbuk efekf dalam mengendalikan dan menekan jumlah

    larva/jenk nyamuk.

    Gambar 3.6

    Berbagai ikan pemakan larva/jenk

    Selain ikan ada larva capung, Toxorchyncites, Mesocylops

    yang juga dapat berperan sebagai predator walaupun bukan

    sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor (PP &

    PL, 2012). Nimfa capung (Labellulla)yang hidup di dalam air

    telah lama diketahui sebagai predator larva nyamuk baik di

    laboratorium maupun di alam (Suwasono, 1997).

    Patogen adalah parasit yang mampu menimbulkan

    penyakit pada inangnya; bahan yang menimbulkan penyakit(KBBI, 2005). Pengendalian vektor menggunakan patogen

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    65/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat54

    contohnya adalah pemanfaatan bakteri Bacillus thuringiensis

    dan bakteri yang bersifat kinolik.

    Bacillus thuringiensis bersifat toksik terhadap larvanyamuk. Bakteri ini memproduksi toksin yang dapat meng-

    hancurkan sel-sel epitel inangnya sehingga menyebabkan

    kemaan inangnya (Blondine, 2004).

    Gambar 3.7

    Bacillus Thuringiensis

    Sumber: Blondine (2004)

    Bakteri kinolik juga berpotensi sebagai pengendali

    haya nyamuk. Hal ini didasarkan bahwa komponen eksos-

    keleton nyamuk tersusun dari bahan kin sehingga secara

    logika dapat didegradasi oleh enzim kinase yang dihasilkan

    oleh bakteri kinolik. Kerusakan struktur eksoskeleton larva

    nyamuk dapat berakibat pada gangguan pertumbuhan dan

    kemaan (Pujiyanto, 2008).

    Parasit adalah organisme yang hidup dan mengisap

    makanan dari organisme lain yang ditempelinya (KBBI, 2005).

    Romanomermis iyengari merupakan organisme jenis cacing

    Nematoda yang bersifat parasit pada larva nyamuk. Cacing

    tersebut tumbuh dan berkembang menjadi dewasa di dalam

    tubuh larva yang menjadi inangnya. Setelah dewasa cacingtersebut keluar dari tubuh inangnya dengan jalan menyobek

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    66/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 55

    dinding tubuh inang sehingga menyebabkan kemaan

    inangnya (Suwasono, 1997). Tidak seper ikan pemangsa

    larva yang sudah banyak diterapkan masyarakat luas,penggunaan bakteri patogen maupun parasit belum terlalu

    dikenal dan masih dalam tahap penelian laboratorium.

    Pengendalian vektor secara fsik/mekanik

    Pengendalian vektor secara sik dapat dilakukan dengan

    cara mencegah kontak antara vektor dengan manusia.

    Pengendalian ini dapat dilakukan dengan menggunakan

    kelambu, memasangan kasa nyamuk di rumah atau meng-

    gunakan net/raket nyamuk.

    Gambar 3.8

    Pengendalian Vektor secara Fisik

    Selain itu ada Program Pemberantasan Sarang Nyamuk

    (PSN) melaui program 3M (Menguras, Menutup, Mengubur)

    merupakan upaya pengendalian yang dilakukan secara sik

    dan dijadikan program pengendalian utama oleh pemerintah.

    Program 3M yang dimaksud adalah menguras dan menyikat

    tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-rapat

    tempat penampungan air, dan mengubur atau mendaurulang

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    67/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat56

    barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.

    Gambar 3.9

    Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui Program

    3M (Menguras, Menutup, Mengubur)

    Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode

    komunikasi/penyampaian informasi/pesan yang berdampak

    pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui

    pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Commu-nicaon for Behavioral Impact (COMBI). Metode ini pernah

    dilakukan di beberapa kota antara lain: Jakarta Selatan, Jakarta

    Timur, Padang, dan Yogyakarta pada tahun 2007; sedangkan

    pada tahun 2008 dilaksanakan di lima kota, melipu: Jakarta

    Selatan, Bandung, Tangerang, Semarang, dan Surabaya.

    Kegiatan PSN dengan metode pendekatan COMBI tersebut

    menjadi salah satu prioritas kegiatan dalam program P2DBDdi masa yang akan datang. Dari tahun 1994 2008 diperoleh

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    68/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 57

    angka ABJ masih di bawah di bawah target. Tampaknya upaya

    PSN belum berjalan dengan baik di masyarakat, sehingga

    kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mobilisasi masyarakatuntuk PSN perlu lebih dingkatkan (Pusat Data dan Surveilans

    Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010).

    Pengendalian vektor secara radiasi

    Pengendalian vektor ini menggunakan teknik jantan

    mandul. Nyamuk dewasa jantan diradiasi menggunakan

    bahan radioakf dengan dosis nggi sehingga menjadi

    mandul. Nyamuk jantan yang telah diradiasi ini kemudian

    dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nannya terjadi

    perkawinan dengan nyamuk bena di alam tapi nyamuk

    bena tersebut dak dapat menghasilkan telur yang ferl

    (Soegijanto, 2006).

    Pengendalian Hospes Reservoir

    Pengendalian hospes reservoir ini mungkin pengenda-

    lian yang paling sulit dilaksanakan saat ini. Seper yang kita

    ketahui ada dua hospes reservoirlaria yaitu kera dan kucing.

    Pemberantasan terhadap kedua spesies ini dak mungkin

    dilakukan karena kera merupakan hewan yang dilindungi danpemberantasan suatu spesies akan merusak keseimbangan

    ekologi.

    Pendekatan yang mungkin dilakukan adalah

    menjauhkan habitat kera dari manusia sehingga dak

    menimbulkan penularan. Sedangkan untuk kucing bisa

    dilakukan pengobatan massal tapi akan susah dilakukan

    karena pengobatan massal pada hewan biasanya mempunyaijangkauan yang rendah (Oemija, 1990). Hal ini dikarenakan

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    69/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat58

    dak semua kucing dipelihara dan banyak yang liar sehingga

    untuk monitoringsangat susah untuk dilakukan.

    Manajemen Lingkungan

    Pengendalian vektor yang paling efekf adalah mana-

    jemen lingkungan, termasuk perencanaan, organisasi, pe-

    laksanaan dan akvitas monitoring untuk memanipulasi

    atau memodikasi faktor lingkungan dengan maksud untuk

    mencegah atau mengurangi vektor penyakit manusia dan

    perkembangan vektor patogen (WHO, 1997). Pengendalian

    melalui manajemen lingkungan ini dinilai paling aman

    karena selain dak merusak keseimbangan alam tapi juga

    dak menimbulkan pencemaran lingkungan. Manajemen

    lingkungan ini juga bersifat jangka lama karena biasanya

    dilakukan sekali dan dilakukan pemeliharaan secara berkala.

    WHO membagi manajemen lingkungan menjadi ga

    jenis, yaitu: modikasi lingkungan, manipulasi lingkungan,

    dan mengubah perilaku atau tempat nggal manusia.

    Manajemen lingkungan ini bertujuan untuk menghilangkan

    atau menghambat kelestarian lingkaran hidup parasit

    dengan cara menghilangkan tempat perindukan, mengurangi

    potensi tempat perindukan, dan mengurangi kontak antara

    vektor dan manusia. Manajemen lingkungan ini hanya akanberhasil dengan baik jika dilakukan oleh seluruh masyarakat,

    lintas sektor, pemenang kebijakan dan lembaga swadaya

    masyarakat melalui program kemitraan.

    Modifkasi lingkungan

    Modikasi lingkungan mempunyai tujuan utama untuk

    menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan. Hal inidapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain: penim-

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    70/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 59

    bunan tempat perkembangbiakan, pengeringan tempat

    perkembangbiakan atau pengaturan pengairan/irigasi (Boesri,

    2010).Penimbunan tempat perkembangbiakan ini dilakukan

    dengan cara menimbun tempat-tempat yang mempunyai

    potensi membuat genangan air seper cekungan tanah,

    bekas kolam, atau kontainer. Cara lain yang bisa ditempuh

    yaitu pengeringan tempat perkembangbiakan yang melipu:

    bekas kolam ikan, genangan-genangan air ataupun saluran/

    selokan air yang mampet. Pengaturan pengairan/irigasi dapatdilakukan dengan mengalirkan air secara cepat sehingga

    nyamuk dak dapat berkembangbiak.

    Manipulasi lingkungan

    Manipulasi lingkungan merupakan kegiatan yang

    bertujuan menghasilkan keadaan sementara yang dak

    menguntungkan bagi vektor untuk berkembang biak. Khususuntuk vektor nyamuk manipulasi yang bisa dilakukan antara

    lain: pembersihan dan pengangkatan lumut dari lagoon,

    pengubahan kadar garam air menjadi tawar, dan pemutusan

    pengairan secara berkala dibidang pertanian.

    Pembersihan dan pengangkatan lumut dari lagoon

    pernah dilakukan di Cibalong Kecamatan Pameungpeuk Jawa

    Barat pada tahun 1980 1981, dengan cara mengangkat

    lumut yang merupakan tempat perkembangbiakan An.

    sundaicus. Hasil dari pengamatan sebelum dan sesudah

    pembersihan lumut menunjukkan penurunan densitas

    nyamuk baik dewasa, larva maupun pupa (Ditjen P3M, 1982).

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    71/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat60

    Mengubah perilaku atau tempat nggal manusia

    Tujuannya untuk mencegah atau membatasi per-

    kembangan vektor dan mengurangi kontak antara vektor danmanusia. Pendekatan ini bisa dilakukan dengan penempatan

    dan pemukiman kembali penduduk jauh dari sumber

    vektor, perlindungan perorangan, pembersihan tempat

    perkembangbiakan, pemasangan rintangan-rintangan dan

    menyediakan fasilitas untuk menyalurkan air dan kotoran/

    sampah (Boesri, 2010).

    Perubahan perilaku dapat dilakukan dengan cara men-

    sosialisasikan perilaku untuk mengurangi kontak dengan

    vektor penyakit seper dur dengan kelambu, mengurangi

    kebiasaan keluar malam, menggunakan obat nyamuk, pe-

    masangan kasa nyamuk, menggunakan repellent atau mem-

    bersihkan tempat-tempat yang dapat untuk berkembang

    biak nyamuk. Sedangkan untuk penempatan dan pemukiman

    kembali dengan lokasi yang jauh dari vektor susah untuk

    dilakukan karena membutuhkan biaya yang besar, tapi upaya

    ini dapat dilakukan terhadap penduduk/peladang liar dekat

    hutan. Hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi risiko gigitan

    nyamuk/vektor malaria dan laria yang habitatnya di hutan.

    Pengendalian Vektor di Jawa BaratPengendalian vektor lariasis sampai saat ini belum

    ada yang spesik. Untuk memutus transmisi penularan

    program yang dilakukan adalah dua pilar eliminasi lariasis,

    yaitu pengobatan massal dan pembatasan kecacatan pada

    penderita. Namun demikian, bukan berar dak dilakukan

    pengendalian vektor. Pengendalian vektor dilakukan secara

    lintas program mengingat vektor lariasis juga merupakan

    vektor DBD dan malaria.

  • 5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan

    72/104

    Mengenal Filariasis di Jawa Barat 61

    Vektor lariasis yang ditemukan di Provinsi Jawa Barat

    adalah C. quinquefasciatus dan Ma. Indiana. Pengendalian

    vektor yang sudah dilakukan di beberapa kabupaten/kotayang endemis lariasis masih belum spesik dan masih

    tergabung kegiatannya dengan penyakit tular vektor yang

    disebabkan oleh nyamuk lainnya, yaitu malaria dan demam

    berdarah dengue (DBD). Berdasarkan hasil wawancara de-

    ngan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, pengendalian

    untuk lariasis belum terfokus pada vektornya. Selama ini

    pengendalian yang dilakukan masyarakat adalah membersih-kan lingkungan atau tempat perkembangbiakan potensial

    nyamuk berupa genangan air terbuka, pesawahan, dan ko-

    lam terbengkalai. Selain itu, beberapa pengendalian yang

    dapat mengurangi kontak antara manusia dengan nyamuk

    adalah pemakaian kasa, kelambu berinseksida, dan raket

    listrik. Hal ini didukung denga