MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
-
Upload
agung-dwi-laksono -
Category
Documents
-
view
323 -
download
4
description
Transcript of MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
1/104
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
2/104
MENGENAL FILARIASIS
DI JAWA BARATPenyakit Tropis yang Terabaikan
Endang Puji Astu
Mara Ipa
M. Umar Riandi
Tri Wahono
Lukman Hakim
(editor)
Penerbit PT Kanisius
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
3/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat
1014000024
2014 PT Kanisius
PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
Website : www.kanisiusmedia.com
E-mail : [email protected]
Cetakan ke 3 2 1
Tahun 15 14 13
Desain Isi : Nael
Desain Sampul : Yudi
ISBN 978-979-21-3969-3
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Kanisius Yogyakarta
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
4/104
iii
Kata Pengantar
Semangat Pagi!
Filariasis (penyakit kaki gajah) yang ditularkan melalui
vektor nyamuk, telah lama menjadi ancaman bagi masyarakat.Namun, hal itu dianggap dak penng dan dak menjadi
target utama pengendalian penyakit menular karena dak
menimbulkan kemaan. Padahal, sebenarnya penyakit ini
menimbulkan kecacatan, sgma sosial, hambatan psikososial,
serta penurunan produkvitas bagi penderita, keluarga, dan
masyarakat sehingga berujung pada kerugian ekonomi.
Buku ini hadir untuk mengenalkan lariasis di JawaBarat dengan tujuan agar seluruh pihak terkait dapat
mengenal lebih jauh serta mendapatkan informasi dan
semoga dapat menunjang program eliminasi. Namun, buku
ini tentulah masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan sumbang saran guna melengkapi dan
memperbaikinya.
Terima kasih kepada m penulis yang telah memberikan
kontribusi, serta kepada semua pihak yang telah membantu
dan memberi dukungan sehingga buku ini dapat diterbitkan.
Salam
Lukman Hakim
(editor)
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
5/104
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
6/104
v
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................ iii
Daar Isi...................................................................... v
Bab 1 FILARIASIS PENYAKIT YANG TERABAIKAN ...... 1
M. Umar Riandi, Tri Wahono
Bab 2 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS ............................. 19
Endang Puji Astu, Mara Ipa
Bab 3 UPAYA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN
FILARIASIS ...................................................... 45 Tri Wahono, M. Umar Riandi
Bab 4 DUA PILAR ELIMINASI FILARIASIS .................. 65
Mara Ipa, Endang Puji Astu
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
7/104
Daftar Tabel
Tabel 4.1. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan ......... 68
Tabel 4.2. Dosis Obat Berdasarkan Umur ................... 68
Tabel 4.3. Pengobatan Filariasis di Indonesia
Tahun 1970 - Sekarang ............................... 69
Tabel 4.4. Rencana Cakupan POMP Filariasis
Kabupaten/Kota Tahun 2010 - 2014
di Indonesia ................................................ 72
Tabel 4.5. Pelaksanaan POMP Filariasis di Provinsi ....
Jawa Barat Tahun 2013 .............................. 74
Tabel 4.6. Stadium Limfedema ................................... 81
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
8/104
vii
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Penyebaran Filariasis Limfak Dunia
pada Tahun 2006 ............................................ 2
Gambar 1.2. Mikrolaria a) W. brancoi, b) B. malayi, dan
c) B. mori....................................................... 3
Gambar 1.3. Cacing; a) Loa loadi jaringan mata;
b) O. volvulus, dan c) M. streptpcerca............. 4
Gambar 1.4. Mikrolaria; a) Mansonella perstansdan
b) M. ozzardi, sedikit patogen terhadap
manusia. .......................................................... 5
Gambar 1.5. Jan Huyghen van Linscheton (1563-1611) ....... 6
Gambar 1.6. Gejala akut penyakit lariasis limfak............. 7
Gambar 1.7. Siklus Hidup Cacing Filariasis (W. bancroi) .... 10
Gambar 1.8. Nyamuk-nyamuk yang Bisa Menjadi Vektor
Penyakit Filariasis............................................. 11
Gambar 1.9. Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia
Tahun 2009 ...................................................... 12
Gambar 2.1. Kasus Klinis Filariasis di Indonesia
Tahun 2000 2009 .......................................... 21
Gambar 2.2. Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi
di Indonesia Tahun 2009 .................................. 22
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
9/104
Mengenal Filariasis di Jawa Baratviii
Gambar 2.3. Distribusi Kasus Kronis dan Kemaan Filariasis
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 23
Gambar 2.4. Distribusi Kasus Posif Microlaria PerKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
per tahun, 1999 - 2005 .................................... 24
Gambar 2.5. Distribusi Kasus Posif Microlaria Per
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat,
2006 - 2010 ...................................................... 25
Gambar 2.6. Siklus Penularan Filariasis
(Wuchereria bancroi) .................................... 28
Gambar 2.7. Distribusi Posif Mikrolariadi Provinsi
Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013 .................. 30
Gambar 2.8. Morfologi Wuchereria bancroi...................... 31
Gambar 2.9. Larva Culexspp. ............................................... 37
Gambar 2.10 Nyamuk Culex quinquefasciatus ...................... 38
Gambar 2.11. Breeding PlacesNyamuk di Desa
Panumbangan, Kabupaten Ciamis ................... 40
Gambar 2.12. Breeding PlacesNyamuk di Desa Jalaksana,
Kabupaten Kuningan ........................................ 40
Gambar 3.1. Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging ....... 48
Gambar 3.2. Abate 1G (Temephos 1%) ................................ 49
Gambar 3.3. Berbagai Tanaman yang Bisa Digunakan
sebagai Larvasida ............................................. 50Gambar 3.4. Repellent Bahan Kimia Buatan. ........................ 51
Gambar 3.5. Berbagai tanaman yang bisa digunakan
sebagai repellent .............................................. 52
Gambar 3.6. Berbagai ikan pemakan larva/jenk................ 53
Gambar 3.7. Bacillus Thuringiensis ...................................... 54
Gambar 3.8. Pengendalian Vektor secara Fisik ..................... 55
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
10/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat ix
Gambar 3.9. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
melalui Program 3M (Menguras, Menutup,
Mengubur) ....................................................... 56Gambar 4.1. Obat Filariasis (DEC,Albendazoledan
Paracetamol) ................................................... 71
Gambar 4.2. Peta Sebaran Mf Rate dan Kegiatan POMP
Filariasis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 .... 73
Gambar 4.3. Cakupan Pengobatan POMP Filariasis Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012 .................................... 78
Gambar 4.4. Limfedema Stadium 1 ...................................... 82
Gambar 4.5. Limfedema Stadium 2 ...................................... 82
Gambar 4.6. Limfedema Stadium 3 ...................................... 83
Gambar 4.7. Limfedema Stadium 4 ...................................... 83
Gambar 4.8. Limfedema Stadium 1 ...................................... 84
Gambar 4.9. Limfedema Stadium 1 ...................................... 85
Gambar 4.10. Limfedema Stadium 1 ..................................... 85
Gambar 4.11. Lymp Scrotum ................................................. 86
Gambar 4.12. Hidrokel ........................................................... 86
Gambar 4.13. Gambar Rapor Perkembangan Penderita
Filariasis Kronis Terapi LDR di Kabupaten
Bandung, Jawa Barat ....................................... 88
Gambar 4.14. Penderita Filariasis di Kabupaten Bandung ..... 88
Gambar 4.15. Penderita Filariasis di Kabupaten Kuningan .... 89
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
11/104
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
12/104
1
Bab1
FILARIASIS PENYAKIT
YANG TERABAIKAN
M. Umar Riandi
Tri Wahono
Pendahuluan
Keka kata Filariasis atau penyakit kaki gajah diucapkan
kepada Anda, apa yang terlintas di benak Anda? Apakah
bayangan seseorang dengan deformasi tungkai kaki? Lalu,apalagi? Jika dikatakan bahwa penyakit kaki gajah memiliki
ancaman yang sama besar dengan penyakit demam berdarah
dengue, apa yang terlintas dipikiran Anda? Mungkin sebagian
dari Anda berpikir bahwa Filariasis bukan penyakit yang
berbahaya, dak menimbulkan kemaan. Namun, kecacatan
seumur hidup yang jika dipikirkan kembali, lebih banyak
menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial.
Tahukah Anda, bahwa Filariasis merupakan penyakit
yang mudah menular, semudah penyebaran DBD atau
malaria. Di seluruh dunia, ada 120 juta orang terinfeksi
limfak lariasis dan 1,3 milyar orang berada pada risiko
terinfeksi. Penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi lariasis,
terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis,
seper Asia, Afrika, dan Pasik Barat. Dari 1,3 milyar
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
13/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat2
penduduk tersebut, 851 juta di antaranya nggal di Asia
Tenggara. Indonesia menjadi negara dengan kasus lariasis
paling nggi. Pada komunitas di daerah endemis lariasis,sekitar 10% wanita dapat mengalami pembengkakan tungkai
dan 50% pria dapat mengalami kelainan kaki dan organ
genitalia akibat penyakit ini (WHO, 2010; Juriastu et al.
2010). Kondisi tersebut berpengaruh dalam kehancuran masa
depan dan kualitas hidup korban, bukan hanya memengaruhi
sik saja, tetapi juga emosional dan ekonomi.
Filariasis merupakan penyakit parasit (umumnya di-sebut penyakit infeksi tropis) yang disebabkan oleh cacing
nematoda yang berasal dari superfamili Filarioidea atau
dikenal juga dengan Filariae. Cacing parasit ini disebarkan
oleh anthropoda pengisap darah, umumnya lalat hitam dan
nyamuk.
Gambar 1.1
Penyebaran Filariasis Limfak Dunia pada Tahun 2006Sumber: WHO, 2008
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
14/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 3
Ada delapan nematoda laria yang menggunakan ma-
nusia sebagai inang denifnya. Parasit tersebut dibagi da-
lam ga kelompok berdasarkan relung cacing dalam tubuhmanusia (www.jurnalmedika.com) sebagai berikut.
Filariasis Limfak1.
Filariasis ini disebabkan oleh cacing Wuchereria bancroi,
Brugia malayi, dan B. mori. Cacing-cacing ini menempa
sistem limfak tubuh, termasuk nodus limfa. Pada kasus
kronis, cacing ini menyebabkan penyakit elephanasis (kaki
gajah).
Gambar 1.2
Mikrolaria
a) W. brancoi,
b) B. malayi, dan
c) B. moriSumber: www.dpd.cdc.gov; www.
stanford.edu
Filariasis Subkutan2.
Filariasis ini disebabkan oleh cacing Loa loa(cacing mata
Afrika), Mansonella streptocerca, dan Onchocerca volvulus.
Cacing ini mendiami lapisan subkutan kulit, pada lapisan
lemak. Cacing L. loa menyebabkan loiasis, sedangkan O.vulvulusmenyebabkan river blindness.
a b
c
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
15/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat4
Gambar 1.3Cacing a)Loa loadi jaringan mata, b)O. volvulus,
dan c) M. streptocerca
Sumber: www.stanford.edu; www.dpd.cdc.gov; www.icp.upl.ac.be
Filariasis Rongga Serosa3.
Filariasis ini disebabkan oleh cacing M. perstansdan M.
ozzardi, yang mendiami rongga serosa dan abdomen. Cacingdewasa yang biasanya mendiami pada satu jaringan, menge-
luarkan larva stadium awal yang dikenal sebagai mikrolaria
ke dalam peredaran darah inang. Mikrolaria yang beredar
dalam aliran darah ini dapat terbawa bersama darah yang
diisap oleh vektor arthropoda, seper nyamuk dan lalat pe-
ngisap darah. Dalam tubuh vektor, mikrolaria berkembang
menjadi larva yang infekf dan dapat ditransmisikan ke inangyang baru.
a b
c
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
16/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 5
Gambar 1.4
Mikrolaria a)Mansonella perstansdan b)M. ozzardi,
sedikit patogen terhadap manusia.
Sumber: www.phsource.us
Individu yang terinfeksi oleh cacing laria dapat dika-
takan mengidap microlaraemic atau amicrolaraemic ber-
gantung ada atau daknya miklorilaria pada darah tepi.
Filariasis didiagnosa dari kasus microlaraemic melalui
observasi langsung sediaan darah tepi atau survei darah jari(SDJ). Occultlariasis (lariasis tersembunyi/ asymptomas)
didiagnosa dari kasus amicrolaraemic melalui observasi
klinis, dan dalam beberapa kasus, dengan menemukan
angen yang beredar dalam darah.
Sejarah Filariasis
Filariasis diduga telah menginfeksi manusia sejak 4000
tahun yang lalu. Artefak dari Mesir Kuno (2000 SM) dan dari
Peradaban Nok di Afrika Barat (500 SM) memperlihatkan
kemungkinan gejala penyakit kaki gajah. Referensi yang jelas
mengenai penyakit ini terdapat pada literatur Yunani Kuno,
dimana para pelajar membedakan gejala yang sering dialami
penderita limfak lariasis mirip dengan gejala penyakitkusta.
a b
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
17/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat6
Dokumentasi pertama mengenai gejala lariasis didapat
pada abad ke-16, keka Jan Huyghen van Linscheton menulis
mengenai hal tersebut dalam ekspedisinya ke Goa India.
Gejala yang mirip juga dilaporkan dari beberapa eksplorasi
setelahnya di wilayah Asia dan Afrika. Meskipun demikian,
pemahaman mengenai penyakit ini dak berkembang hingga
satu abad kemudian.
Pada tahun 1866, Timothy Lewis, berdasarkan hasil
temuan dari Jean-Nicolas Demarquay dan Oo Henry
Wucherer, membangun pemahaman mengenai hubungan
mikrolaria dan elephanasis (kaki gajah). Hal ini menjadi
landasan bagi penelian yang akhirnya dapat menjelaskanpenyakit elephanasis. Pada tahun 1876, Joseph Bancro
menemukan bentuk dewasa cacing penyebab lariasis.
Pada tahun 1877, siklus hidup yang melibatkan
arthrophoda dikemukakan oleh Patrick Manson, yang
selanjutnya menjadi awal penemuan keberadaan cacing
tersebut di nyamuk. Meskipun pada saat itu, Manson salah
menyimpulkan hipotesis bahwa cacing tersebut ditransmisikanmelalui kontak kulit dengan air dimana nyamuk tersebut
Gambar 1.5
Jan Huyghen van Linscheton
(1563-1611)
Sumber: www.linschoten-vereeniging.nl
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
18/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 7
meletakkan telurnya. Hingga pada tahun 1900, George
Chamichael Low menemukan metode penularan sebenarnya
karena menemukan keberadaan cacing di probosis nyamukvektor (lariasis.org.uk).
Gejala dan Tanda Infeksi
Gejala kronis lariasis limfak adalah elephanasis atau
kaki gajah edema dengan penebalan kulit dan jaringan di
bawahnya merupakan penyakit pertama yang ditemukan
karena transmisi oleh gigitan nyamuk. Elefanasis terjadi
keka parasit sampai ke sistem limfak.
Gambar 1.6
Gejala akut penyakit lariasis limfak
Sumber: magelangimages.wordpress.com
Spesies cacing laria cenderung memengaruhi bagiantubuh yang berbeda. Spesies W. brancoidapat memengaruhi
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
19/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat8
kaki, lengan, vulva, payudara, dan skrotum (menyebabkan
formasi hidrokel), sementara B. mori jarang memengaruhi
organ genitalia. Uniknya, seseorang yang terinfeksi lariakronis dan menjadi elefanasis, biasanya amikrolaremik dan
sering kali memiliki reaksi imunologi terhadap mikrolaria
serta cacing laria dewasa.
Diagnosis
Diagnosis lariasis umumnya dengan idenkasi mikro-
laria secara mikroskopis. Dengan bantuan pewarnaan
Giemsa sediaan darah apus pis dan tebal, menggunakan
gold standar yang disebut sediaan darah jadi (SDJ) dengan
mengambil darah dari kapiler ujung jari. Pembuluh vena yang
lebih besar dapat digunakan untuk mengeluarkan darah,
namun harus memperhakan waktu pengambilan darah.
Darah harus diambil pada waktu yang sama dengan akvitasmakan serangga vektor. Misalnya, W. bancroi ditularkan
oleh nyamuk yang akf mengisap darah pada malam hari
(nokturnal). Waktu pengambilan darah harus malam hari.
Tes provokasi diethyl carbamazine (DEC provocaon
test) dapat dilakukan untuk memperoleh jumlah parasit pada
sampling siang hari dan mengatasi kekurangan survei darah
jari. Tes ini memprovokasi mikrolaria agar bermigrasi ke
darah tepi dalam waktu sekitar 1 jam setelah pemberian DEC
sehingga dapat dideteksi dengan SDJ.
Metode diagnosis lain dapat pula menggunakan metode
Polymerase chain reacon (PCR) dan analisis angen yang
mendeteksi angen laria dalam darah. Analisis angen
juga dapat digunakan untuk mendeteksi kasus amikrolaria.Spot survey untuk pemeriksaan angen melalui ELISA jauh
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
20/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 9
lebih sensif dan dapat dilakukan seap waktu. Saat ini
telah tersedia dan ditawarkan berbagai alat diagnosk baru
dan telah banyak digunakan untuk alat diagnosis. Salahsatunya yang sangat sederhana tanpa memerlukan fasilitas
laboratorium yaitu card testuntuk mendeteksi angen parasit
yang bersirkulasi, cara kerjanya hanya perlu tetesan darah dari
ujung jari. Pada dasarnya teknik tersebut berbasis serologis
yang secara riil lebih lemah sensivitas dan spesisitasnya
dibanding ELISA (Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004).
Aspirasi nodus limfak dan cairan limfa juga dapatmendeteksi kehadiran mikrolaria. Pengindraan medis,
seper Computerized Tomography (CT-scan) dan Magnec
resonance imaging (MRI) juga dapat menemukan tanda
tarian laria pada cairan limfa. Pemindaian sinar-X
dapat mendeteksi adanya cacing dewasa yang mengalami
pengapuran di sistem limfak.
Siklus Hidup Cacing Filaria
Cacing laria memiliki siklus hidup yang rumit, dapat
dibedakan menjadi lima tahap. Setelah cacing dewasa me-
lakukan perkawinan, laria bena menghasilkan ribuan
mikrolaria. Cacing mikrolaria terbawa oleh vektor serangga
(host perantara) seper nyamuk, keka mengisap darah
manusia. Di dalam host perantara, mikrolaria melakukan
molng(bergan kulit) dan berkembang menjadi larva infekf
(tahap kega). Saat mengisap darah lainnya, serangga vektor
menyunkkan larva ke dalam lapisan dermis kulit. Setelah
sekitar satu tahun, larva melakukan molng hingga dua tahap
dan berkembang menjadi cacing dewasa.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
21/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat10
Spesies W. bancroi, B. malayi, dan B. mori sebagai
penyebab lariasis limfak hidup eksklusif dalam tubuh
manusia. Cacing berada pada sistem limfak antara pembuluhlimfe dan pembuluh darah yang memelihara keseimbangan
cairan tubuh dan merupakan komponen yang essensial untuk
sistem pertahanan imun tubuh. Cacing hidup selama 4-6
tahun menghasilkan larva (mikrolaria) yang akan ikut dalam
sirkulasi darah (Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004).
Gambar 1.7
Siklus hidup cacing lariasis (W. bancroi)
Sumber: suryapurnama.student.umm.ac.id
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
22/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 11
Penularan
Diperkirakan kurang lebih 77 spesies nyamuk dari genus
Anopheles spp, Aedes spp, Culex spp, dan Mansonia spp.
dapat mendukung perkembangan W. bancroi, tetapi secara
alami hanya sebagian kecil yang dapat berlaku sebagai vektor.
Nyamuk Culex spp. dan Anopheles spp. merupakan vektor
utama bentuk periodik nocturnal, sedang bentuk subperiodik
ditransmisikan nyamukAe. polynesiensis.
Pada B. malayi, bentuk periodik nocturnal ditemukanpada area dengan banyak sawah sedangkan bentuk sub-
periodik nocturnal ditemukan di desa terpencil, perkebunan
dan hutan-hutan disekitar sungai. Nyamuk yang menjadi
Gambar 1.8
Nyamuk-nyamuk yang bisa menjadi vektor penyakit lariasisSumber: arali2008.wordpress.com
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
23/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat12
vektor B. malayi adalah nyamuk malam dari genus Man-
sonia, Aedes dan Culex. Spesies An. barbirostris yang ber-
kembang biak pada area persawahan diketahui sebagai vek-tor B. mori (Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004).
Endemisitas di Indonesia
Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh
Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari kega jenis cacing
laria penyebab lariasis, B. malayi mempunyai penyebaran
paling luas di Indonesia. Spesies B. mori hanya terdapat di
Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor, dan
beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur; sedangkan W.
bancroi terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan Papua.
Gambar 1.9
Peta Endemisitas Filariasis di Indonesia Tahun 2009
Sumber: Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2 (2010)
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
24/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 13
Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah
endemis lariasis, wilayah Indonesia Timur memiliki pre-
valensi lebih nggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 dilaporkankasus kronis lariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar
di 401 kabupaten/kota. Laporan yang dindaklanju dengan
survey endemisitas lariasis, sampai dengan tahun 2009,
adalah 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/
kota nonendemis (Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat
P2B2., 2010).
Di Provinsi Jawa Barat, sepanjang tahun 2004-2005telah dilaporkan kasus lariasis lebih dari 17 kabupaten,
di antaranya adalah Bogor (5 kasus), Sukabumi (6 kasus),
Cianjur (6 kasus), Garut (7 kasus), Tasikmalaya (7 kasus),
Ciamis (7 kasus), Kuningan (4 kasus), Cirebon (4 kasus),
Majalengka (1 kasus), Subang (6 kasus), Purwakarta (5
kasus), Karawang (2 kasus), Bekasi (61 kasus), kota bekasi (18
kasus), Kota Sukabumi (4 kasus), dan kota Bandung (1 kasus)
(Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004).
Pencegahan dan Pengobatan
Mengeliminasi lariasis secara cepat dan ekstrim relaf
sulit dilakukan. Meskipun parasit dapat dideteksi secara
mikroskopis di dalam darah, penyebaran lariasis cukup sulit
dikendalikan karena nyamuk sebagai vektor lariasis sulit
untuk dikendalikan. Menurut Haryuningtyas, DS dan Didik
Subek (2004), pencegahan utama yang dapat dilakukan
adalah melindungi diri dari gigitan nyamuk pada daerah
endemis. Hal ini tentunya sama dengan pencegahan beberapa
penyakit yang ditularkan oleh vektor nyamuk, semisal malaria,chikungunya, dan DBD.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
25/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat14
Pada tahun 1993, Internaonal Task Force for Disease
Eradicaon mendeklarasikan bahwa limfak lariasis sebagai
salah satu dari tujuh penyakit infeksi yang potensial untukdapat diberantas. Beberapa penelian telah memperlihatkan
bahwa transmisi infeksi cacing laria dapat diputuskan keka
satu dosis obat oral kombinasi diberikan secara berkala
selama kurang lebih tujuh tahun. Dengan pengobatan yang
konsisten akan terjadi pengurangan mikrolaria, sehingga
penyakit dak akan ditularkan, cacing dewasa akan ma dan
siklus cacing dapat diputuskan.Oleh karena itu, strategi untuk eliminasi penularan
limfak lariasis adalah pemberian obat masal yang dapat
membunuh mikrolaria dan menghenkan penularan parasit
oleh nyamuk pada komunitas endemis lariasis. Pemberian
obat ini dikenal dengan Pemberian Obat Massal Pencegahan
(POMP) Filariasis. Pertama kali dilakukan di Nigeria pada
tahun 2009. Pada tahun 2012 dilakukan survei pada 7.100
anak-anak dan 173 sekolah, didapat hasil yang memuaskan.
Program POMP mengombinasikan obat albendazole (donasi
oleh Glaxo Smithkline) dengan obat ivermecn (donasi
Merck & Co) untuk mengoba lariasis (Anon n.d., 2013). Di
China, lariasis telah dieliminasi menggunakan garam yang
diperkaya dengan diethylcarbamazine (DEC) (WHO, 2007).Obat DEC menghambat metabolisme asam arachidonic pada
mikrolaria yang merusak sistem imun parasit. Pencegahan
lariasis lainnya dengan menghindari gigitan nyamuk, dur
menggunakan kelambu berinseksida.
Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat du-
nia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA)
tahun 1997. Program eleminasi lariasis di dunia dimulaiberdasarkan deklarasi WHO tahun 2000, yaitu The Global
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
26/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 15
Goal of Eliminaon of Lymphac Filariasis as a Public Health
Problem by the Year 2020. Program eliminasi lariasis di
Indonesia dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2010 telahdilaksanakan pemetaan penyakit lariasis seluruh kabupaten/
kota di Indonesia dan didapatkan prevalensi laria rata-rata
19%. Ini berar 40 juta penduduk Indonesia bisa menderita
lariasis di masa mendatang apabila dak dilaksanakan POMP
dan kegiatan-kegiatan yang terencana menuju eliminasi
lariasis di Indonesia tahun 2020. Diperkirakan kerugian
ekonomi mencapai 43 trilyun rupiah, jika dak dilakukanPOMP lariasis.
Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua
pilar yang akan dilaksanakan memutuskan rantai penularan
dengan POMP lariasis di daerah endemis; dan mencegah
atau membatasi kecacatan karena lariasis. (Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Penutup
Filariasis limfak merupakan salah satu penyakit tropis
terabaikan tertua dan paling melemahkan; disebabkan oleh
3 spesies utama cacing laria: W. bancroi, B. malayi, dan B.
mori.
Diperkirakan 120 juta manusia di 81 negara saat ini
terinfeksi dan 1,34 milyar manusia berisiko terinfeksi karena
hidup di wilayah endemis. Diperkirakan juga sekitar 40 juta
orang menderita akibat cara pandang yang salah mengenai
penyakit ini sehingga menghalangi manifestasi klinis ter-
hadap lariasis. Hal ini termasuk sekitar 15 juta orang yang
menderita limfodema (elefanasis) dan 25 juta laki-lakiyang mengalami pembengkakan urogenital (WHO, 2010). Di
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
27/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat16
Indonesia kasus lariasis telah dilaporkan terjadi di berbagai
daerah antara lain di Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
Papua, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Tangerang, dan lebihdari 17 Kabupaten di Jawa Barat.
Diduga lebih dari 73 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Aedes, Culex, dan Mansonia dapat mendukung
perkembangan cacing laria. Pengendalian lariasis perlu
segera dilaksanakan mengingat kasusnya terus meningkat
seap tahunnya. Salah satu kontrol yang dilakukan melalui
deteksi dini pada orang di daerah endemis dan pengobatandengan segera bagi orang yang sudah terinfeksi.
Daar Pustaka
Anonim, Lymphac Filariasis Eliminaon Program. Tersedia
di hp://www.cartercenter.org/health/lf/index.html
[diakses August 6, 2013].
Haryuningtyas S., D. & Subek, D.T., 2004. Dinamika
lariasis di Indonesia. In Lokakarya Nasional Penyakit
Zoonosis. Bogor. pp. 242250. Tersedia di: hp://digilib.
litbang.deptan.go.id/repository/index.php/repository/
download/6099/5969.
Juriastu, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di
Kelurahan Ja Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14,
No. 1, Juni 2010: 31-36.Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian
Kesehatan RI, 2010. BulenJendela Epidemiologi:
Filariasis di Indonesia. Volume 1 Juli 2010.
Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2, 2010.
Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis
di Indonesia, Jakarta: Ditjen PP & PL Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
28/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 17
WHO, 2007. Bullen of The World Health Organizaon.
Volume 85, Number 7, July 2007, 501-568.
WHO, 2010. Progress report 2000-2009 and strategic plan2010-2020 of the global programme to eliminate
lymphac lariasis: halfway towards eliminang
lymphac lariasis.
WHO. Lymphac Filariasis (internet) 2008 [diakses 15 Agustus
2013]. Tersedia di: hp://www.who.com.
Wikipedia. Filariasis (internet) 2013 [diakses 2 Juli 2013].
Tersedia di hp://en.wikipedia.org.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
29/104
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
30/104
19
Bab2
EPIDEMIOLOGI FILARIASIS
Endang Puji AstuMara Ipa
Pendahuluan
Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit tular
vektor yang disebabkan oleh cacing laria dengan perantara
nyamuk. Penyakit ini hampir tersebar di semua pulau besardi Indonesia, penyakit ini awalnya banyak ditemukan di
daerah terisolir, namun saat ini sudah banyak di laporkan di
daerah perkotaan (urban). Di daerah tropis dan subtropis,
kejadian lariasis meningkat, diantaranya disebabkan oleh
perkembangan kota sehingga menimbulkan perkembangbiak-
an nyamuk vektor (Depkes, RI., 2008).
Secara epidemiologis, laria terjadi karena ada interaksiantara hospes/host denive, yaitu manusia, dan hospes/
host reservoir, nyamuk yang membawa cacing laria serta
lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup vektor.
Filariasis ditularkan oleh nyamuk vektor, baik dari genus
Aedes, Culex, Armigeres, Anopheles dan Mansonia melalui
gigitan nyamuk yang membawa cacing laria infekf
(mikrolaria) dari orang yang sakit/terdapat mikrolaria dalam
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
31/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat20
darahnya ke orang yang sehat/dak terdapat mikrolaria.
Cacing laria penyebab laria di Indonesia terdiri dari dua
genus yaitu Wuchereria dan Brugia. Host yang terinfeksimikrolaria dak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini
merupakan penyakit kronis (menahun) dengan gejala umum
adalah terjadinya pembengkakan (edema). Walaupun dak
memakan, penyakit ini menimbulkan masalah sgma sosial
dan psikologis penderita.
Pengamatan terhadap penularan lariasis terkait de-
ngan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah host (ma-nusia), agent (mikrolaria), nyamuk vektor, lingkungan serta
faktor-faktor risiko lainnya perlu dilakukan untuk kegiatan pe-
ngendalian serta penurunan kasus lariasis.
Penyebaran Filariasis di Jawa Barat
Di Indonesia, lariasis hampir menyebar di seluruhprovinsi. Berdasarkan data tahun 2000, tercatat bahwa la-
riasis tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten, 26 provinsi
sebagai wilayah endemis. Hasil survei darah jari (SDJ) meng-
hasilkan microlaria rate (Mf rate) sebanyak 3,1%. Dapat
disimpulkan bahwa sebanyak 6 juta orang telah terinfeksi
dan sekitar 100 juta orang mempunyai risiko nggi untuk
tertular (WHO, 2000). Kasus lariasis mengalami peningkatan
mulai dari tahun 2000 - 2009 dilaporkan kasus klinis lariasis
sebanyak 11.914 kasus pada tahun 2009 yang tersebar di
308 kabupaten/kota di 33 provinsi endemis (Gambar 2.1).
Berdasarkan kondisi tersebut, diesmasikan bahwa prevalensi
microlaria rate (Mf rate) sebesar 19%, dengan prevalensi
ternggi adalah wilayah Indonesia bagian mur (Anonim,2010).
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
32/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 21
Gambar 2.1
Kasus Klinis Filariasis di Indonesia Tahun 2000 2009
Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009
Pada tahun 2009, kasus lariasis di Provinsi Jawa Barat
merupakan ternggi keenam dengan 474 kasus dan paling
nggi dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa (Gambar 2.2.).
Sampai tahun 2010 terdapat 11 kabupaten/ kota endemis
dengan Mf rateyang bervariasi antara 1,0 % - 5,25 %, yaitu
Kabupaten Subang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, Bogor,
Tasikmalaya, Kuningan, Bandung, Kota Bekasi, kota Bogor, dan
Kota Depok. Sedangkan jumlah kumulaf kasus kronis padaperiode tahun 2002 sampai dengan bulan Juni 2013, tercatat
886 penderita dengan jumlah kemaan 51 orang, tersebar di
25 kabupaten/kota melipu 135 kecamatan dan 221 desa/
kelurahan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012).
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
33/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat22
Gambar 2.2
Jumlah Penderita Filariasis per Provinsi di Indonesia Tahun 2009
Sumber: Ditjen PP dan PL, Depkes RI., 2009
Kasus kronis laria dan kemaan ternggi tahun sampaiJuni tahun 2013 adalah di Kabupaten Sukabumi, kemudian
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bekasi
mempunyai jumlah kasus yang sama dan berada di urutan
kega ternggi di Provinsi Jawa Barat. Kasus klinis dengan
Microlaria rate(Mf rate) posif sudah dak ditemukan di 25
kabupaten Provinsi Jabar pada tahun 2010 - 2013, sedangkan
Mf rate posif tahun 2009 hanya ditemukan di dua lokasiyaitu kabupaten Bandung (1,16%) dan Kuningan (1,75%)
(Tabel 2.1).
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
34/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 23
Gambar 2.3
Distribusi Kasus Kronis dan Kemaan Filariasisdi Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013
Sumber : Data kasus Filariasis Dinas Kesehatan Provinsi Jabar
Kasus klinis periode tahun 1999 2008 hasil SDJ,
ditemukan di 12 wilayah dari 25 kabupaten/kota di Jawa
Barat.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
35/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat24
Gambar 2.4
Distribusi Kasus Posif Microlaria Per Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat per tahun, 1999 - 2005Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar
Berdasarkan data kasus lariasis tahun 1999 2005,
ditemukan 10 kabupaten/kota yang posif microlaria. Survey
sediaan darah jari (SDJ) di Kota Bekasi ap tahun menemukan
posif microlaria, sedangkan di kabupaten Bekasi, Cianjur,
Bogor, Tasikmalaya, Karawang, Purwakarta, Kota danKabupaten Bogor hanya ditemukan satu kali di periode tahun
1999 2005. Beberapa kabupaten/kota yang sebelumnya
belum ditemukan kasus lariasis, pada tahun 2006 2010
ditemukan posif, yaitu: Kabupaten Bandung, Majalengka
dan Kuningan, sedangkan Kabupaten Cianjur ditemukan
posif lagi di periode tahun 2006 2010. Pemeriksaan SDJ di
beberapa kabupaten/kota Jawa Barat yang dilakukan setelahtahun 2010, hasilnya adalah negaf mikrolaria.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
36/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 25
Gambar 2.5
Distribusi Kasus Posif Mikrolariaper Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat, 2006 - 2010Sumber: Laporan Filariasis Dinkes Provinsi Jabar
Transmisi Filariasis
Penularan atau transmisi lariasis/kaki gajah dapat
ter-jadi apabila ada interaksi ga faktor, antara lain sebagai
berikut.
Host1) atau sumber penularan, yakni manusia atau hospes
reservoir yang mengandung mikrolaria dalam darahnya
dan manusia yang rentan.
Vektor, yaitu nyamuk yang mempunyai kapasitas sebagai2)
vektor untuk menularkan mikrolaria infekf ke manusia
rentan (host).
Agent,3) yaitu mikrolaria yang infekf.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
37/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat26
WHO menyatakan seseorang dapat tertular atau
terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit
nyamuk yang infekf yaitu nyamuk yang mengandung larvacacing mikrolaria (mf) stadium III (L
3). Nyamuk menjadi
infekf karena mengisap darah penderita yang mengandung
mikrolaria atau binatang reservoir yang juga mengandung
mikrolaria. Penularan kaki gajah berbeda dengan penularan
penyakit tular vektor lainnya, seper: malaria, demam
berdarah dengue (DBD), atau chikungunya. Seseorang dapat
terinfeksi/sakit kaki gajah apabila orang tersebut mendapatgigitan dari nyamuk vektor infekf sampai ribuan kali.
Siklus penularan penyakit kaki gajah melalui dua tahap,
yaitu:
perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor,1)
perkembangan dalam tubuh manusia2) (hospes) dan
reservoir.
Dengan demikian manusia atau hewan yang mengan-
dung mikrolaria merupakan sumber penularan penyakit.
Perkembangan dalam tubuh nyamuk vektor (ekstrinsik)
Pada saat nyamuk vektor mengisap darah penderita la-
riasis, beberapa mikrolaria akan ikut terhisap bersama darah
dan masuk ke dalam lambung nyamuk. Beberapa saat setelahberada dalam lambung nyamuk, mikrolaria yang bersarung
akan melepaskan sarungnya kemudian dalam waktu satu jam
akan menembus dinding lambung nyamuk dan bermigrasi ke
dalam otot dada atau thoraxnyamuk (Anonim, 2012).
Dalam thorax, mikrolaria menjadi lebih pendek dan
gemuk dibandingkan dengan larva yang ada di lambung, dan
disebut larva stadium 1 (L1). Ukurannya berkisar antara 244
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
38/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 27
- 296 m x 7.5 - 10 m (Anonim, 2012). Larva stadium 1
selanjutnya akan bergan kulit dan berkembang menjadi
larva stadium 2 (L2) yang ukurannya 200 - 300 m x 15 30m (Depkes, 2006). Larva stadium 2 ini juga akan bergan
kulit lagi dan berkembang menjadi larva stadium 3 (L3) yang
merupakan larva infekf yang akf dan akan bermigrasi ke
dalamproboscisnyamuk.
Pada saat nyamuk infekf mengisap darah manusia
untuk kebutuhan pematangan telurnya, larva cacing L3 akan
jatuh atau keluar dari probosis dan nggal beberapa saat dikulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Nyamuk yang telah
mengisap darah manusia akan menarik proboscis, kemudian
larva cacing L3 merayap masuk melalui luka bekas gigitan
nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe manusia
(Anonim, 2012). Masa inkubasi ekstrinsik spesies W. bancroi
antara 10 - 14 hari, sedangkan B. malayidan B. moriantara
8 - 10 hari (Depkes RI, 2006).
Perkembangan dalam tubuh manusia (intrinsik)
Larva cacing L3,
selanjutnya bergerak menuju sistem
limfe dan nggal dalam waktu 9 - 10 hari. Selanjutnya akan
bergan kulit dan berkembang menjadi larva stadium 4
(L4) yang merupakan stadium larva paling akhir, yang akan
berkembang menjadi cacing dewasa atau makrolaria
atau larva stadium 5 (L5). Cacing dewasa bena berukuran
dengan panjang 80 - 100 mm dan diameter 0.24 - 0.30 mm,
sedangkan ukuran yang jantan panjang sekitar 40 mm dan
diameter 0.1 mm (Anonim, 2012).
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
39/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat28
Gambar 2.6
Siklus Penularan Filariasis (Wuchereria bancroi)Sumber: Centers for Disease Control and Prevenon World HealthOrganizaon
(CDC-WHO) (www.cdc.gov)
Stadium larva 3 (L3) mikrolaria disebut stadium imma-
ture. Perkembangan dari stadium immaturesampai menjadi
dewasa membutuhkan waktu sangat lama, sekitar 6 12
bulan. Cacing dewasa dapat bertahan hidup di dalam tubuh
manusia serta berkembang biak 5 10 tahun. Apabila dalam
saluran limfe terdapat cacing bena dan jantan, akan terjadiperkawinan. Setelah kopulasi, cacing bena secara periodik
menghasilkan mikrolaria. Satu cacing bena dewasa akan
menghasilkan kurang lebih 30.000 mikrolaria seap harinya
(Depkes RI, 2006). Mikrolaria dak hidup dalam saluran
atau kelenjar limfe, tetapi akan bermigrasi ke dalam saluran
darah dan saluran darah tepi (Anonim, 2012). Mikrolaria
yang beredar di saluran darah tepi akan terisap kembali oleh
nyamuk vektor dan akan ditularkan ke manusia lainnya.
30
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
40/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 29
Agent
Cacing kecil penyebab lariasis termasuk dalam cacing
nematoda. Di dunia, sebagian besar kasus lariasis dise-
babkan oleh cacing W. bancroi (90%), kemudian B. Malayi,
dan B. mori (Das et al. 2002). Agent lariasis di Indonesia
juga terdiri atas ga jenis cacing tersebut (Haryuningtyas
et al. 2013). Cacing W. bancroi banyak ditemui di daerah
tropis seluruh dunia, B. malayi terbatas di Asia sedangkan
B. mori terbatas di beberapa kepulauan Indonesia. Di Jawa
Barat, ditemukan dua agentlariasis yaitu W. bancroidan B.
malayi, tetapi yang dominan ditemukan adalah W. bancroi
(Rusmarni et al.2008).
Dari hasil SDJ di 22 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Barat yang terdapat penderita kronis lariasis, spesies
mikrolaria posif yang ditemukan tahun 1999 sampai tahun
2008 adalah W. bancroi dan dak menemukan spesiesmikrolaria lainnya. Di Kabupaten Cianjur, Mf ratekurang dari
1%, maka belum dinyatakan sebagai daerah endemis. Jumlah
kumulaf kasus klinis posif mikrolaria hasil SDJ, ternggi di
Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, kemudian di Kabupaten
Subang dan Kabupaten Kuningan (Gambar 2.7). Di wilayah
ini sudah dilakukan pengobatan massal, kecuali Kabupaten
Kuningan pengobatan hanya dilakukan selekf pada penderita
dan masyarakat sekitar penderita.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
41/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat30
Gambar 2.7
Distribusi Posif Mikrolaria
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - Juni 2013
Sumber: Data Kasus Filariasis Dinas Kesehatan Jawa Barat Tahun 2013
Ukuran tubuh mikrolaria W. bancroi yang banyak
ditemukan di Jawa Barat, lebih besar dibandingkan Brugia
malayi dan B. mori yaitu 244 296 M dan 7,5 10
M, ekornya berbentuk pita dan mengerucut. In sel di
tubuh cacing tergambar jelas dan mudah dihitung secara
mikroskopis, namun cacing ini dak mempunyai in sel di
ekornya (McCarthy, James. 2000).
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
42/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 31
Gambar 2.8
Morfologi Wuchereria bancroi
Sumber: www.stanford.edu.(Lymphac Filariasis Introducon)
Morfologi cacing W. bancroi dewasa berbentuk silin-dris, halus seper benang dan berwarna puh susu. Cacing
laria dewasa atau yang lebih dikenal makrolaria, baik yang
jantan maupun bena, hidup pada saluran dan kelenjar limfe.
Makrolaria bena ukurannya kurang lebih dari 65-100 mm x
0.25 mm, sedangkan makrolaria jantan ukurannya 40 mm x
0,1 mm. Makrolaria bena akan mengeluarkan larva laria
yang disebut mikrolaria yang bersarung dengan ukuran
berkisar antara 250-300 m x 7-8 m (Spicer, W.J. 2000).
Berbeda dengan induknya, mikrolaria hidup pada aliran
darah, dan pada waktu-waktu tertentu ditemukanpada aliran
darah tepi, sehingga mikrolaria ini memiliki periodisitas
tertentu. Umumnya, periodisitas mikrolaria W. bancroi di
Jawa Barat adalah nokturna atau malam hari, arnya mikro-
laria hanya terdapat dalam peredaran darah tepi pada
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
43/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat32
malam hari. Pada siang hari mikrolaria berada pada kapiler-
kapiler organ dalam seper paru-paru, jantung, ginjal dan
lain-lain. Namun, di beberapa wilayah W. bancroi jugabersifat diurnal (siang hari) (McCarthy, James. 2000).
Host
Di dalam darah manusia terdapat mikrolaria. Arnya,
manusia rentan tertular lariasis. Tidak semua manusia/
individu yang terinfeksi mikrolaria menunjukkan gejala
klinis, walaupun dalam tubuhnya telah terjadi perubahanpatologis. Proses penularan lariasis membutuhkan waktu
yang lama dengan kemungkinan tertular/terkena infeksi kecil,
tetapi keberadaan seseorang di daerah endemis dalam waktu
yang lama akan memperbesar risiko penularan. Berikut ini
beberapa faktor determinan yang mempengaruhi terjadinya
penularan pada manusia.
Sosiodemograf
Faktor-faktor sosiodemogras dapat mempengaruhi pe-
nularan lariasis. Berikut ini adalah faktor-faktor tersebut.
Jenis kelamin1.
Dalam penelian Juriastu et al. 2010 di Depok Jawa
Barat, jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko penularan
4,7 kali lebih besar dibandingkan wanita. Hasil ini sejalan
dengan penelian terhadap kejadian lariasis di Indonesia
yang menunjukkan penderita lariasis lebih banyak
berjenis kelamin laki-laki (Santoso et al, 2010). Hal ini
terkait dengan perilaku masyarakat baik akvitas maupun
mobilitas, laki-laki lebih sering melakukan akvitas di
luar rumah pada malam hari seper melakukan kegiatanronda, pengajian, serta mempunyai mobilitas yang nggi.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
44/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 33
Kondisi seper ini mendukung terjadinya kontak antara
nyamuk vektor dengan manusia.
Umur2.Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur.
Berdasarkan analisa lanjut Riskesdas tahun 2007 terhadap
967 penderita lariasis di Indonesia, proporsi umur
terbanyak adalah 31 - 46 tahun, sebanyak 256 orang
(26,7%).
Pekerjaan3.
Kegiatan akf yang dilakukan pada malam hari keka
nyamuk akf mencari pakan darah mempunyai risiko
yang nggi terhadap penularan lariasis. Penelian di
Pekalongan tahun 2006 melaporkan bahwa pekerjaan
pada malam hari mempunyai korelasi dengan kejadian
lariasis (p = 0,003) (Febrianto et al, 2006).
Pendidikan4.
Variabel ini dak mempunyai pengaruh langsung terhadap
kejadian lariasis. Berdasarkan penelian yang dilakukan
Nasrin (2008), dapat dikatakan bahwa pendidikan
memengaruhi jenis pekerjaan, pengetahuan, sikap dan
perilaku (PSP) seseorang.
Tindakan/Prakk
Tindakan merupakan bagian dari perilaku. Dalam kasus
penyakit tular vektor seper lariasis, ndakan berkaitan
dengan kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Hasil
penelian menunjukkan responden yang memiliki kebiasaan
keluar rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali
lebih besar untuk menderita penyakit lariasis (Juriastu etal. 2010). Hal ini terkait bionomik nyamuk vektor yaitu Cx.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
45/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat34
quinquefasciatus, seper penelian yang dilakukan Astu
et al., 2012 di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan, yang
memperoleh hasil bahwa puncak kepadatannya hasil umpanorang dalam dan luar terjadi pada pukul 23.00 dan 01.00
- 02.00 dengan nilai MHD 0,014. Oleh sebab itu, responden
yang memiliki kebiasaan untuk keluar pada malam hari lebih
berisiko dibandingkan dengan responden yang dak memiliki
kebiasaan tersebut.
Upaya masyarakat untuk menghindari atau memutus
kontak dengan nyamuk vektor juga mempunyai pengaruhterhadap kejadian lariasis, antara lain sebagai berikut.
Pemakaian kelambu sangat efekf untuk mencegah1)
kontak dengan nyamuk. Hasil penelian yang dilakukan
oleh Anshari (2004), menyatakan bahwa kebiasaan dak
menggunakan kelambu waktu dur sebagai faktor resiko
kejadian lariasis (OR= 8,09) (Nasrin, 2008).
Pemakaian kawat kassa yang dipasang di bagian venlasi2)
rumah berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk ke
dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk
sehingga mengurangi risiko terkena lariasis (Febrianto,
2006).
Penggunaan inseksida seper obat an nyamuk dapat3)
membunuh atau mengurangi populasi nyamuk sedangkanpenggunaan losio an nyamuk, dapat mngurangi kontak
atau menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor.
Menurut Febrianto (2006), diketahui bahwa kebiasaan
dak menggunakan obat an nyamuk malam hari ada
hubungan dengan kejadian lariasis (p= 0,004) (Rufaidah,
2004).
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
46/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 35
Vektor
Nyamuk vektor lariasis W. bancroi, berbeda genus
dan spesies di beberapa wilayah dan tergantung padageograsnya. Nyamuk vektor di dunia yang telah dite-
mukan diantaranya adalah Culex (Cx. annulirostris, Cx.
bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, dan Cx. pipiens);
Anopheles (An. arabinensis, An. bancroi, An. farau, An.
funestus, An. gambiae, An. koliensis, An. melas, An. merus,
An. punctulatus dan An. wellcomei); Aedes (Ae. aegyp,
Ae. aquasalis, Ae. bellator, Ae. cooki, Ae. darlingi, Ae. kochi,
Ae. polynesiensis, Ae. pseudoscutellaris, Ae. rotumae, Ae.
scapularis, dan Ae. vigilax); Mansonia (Ma. pseudollans,
Ma. uniformis); Coquilledia (C. juxtamansonia) (Anonim,
2012).
Nyamuk vektor yang telah teridenkasi di Indonesia,
sebanyak 23 spesies antar lain: Mansonia (Ma. uniformis,Ma. indiana, Ma. dives, Ma. bonneae, Ma. annulifera,
Ma. annulata, Ma. dives, Ma. nigerimus), Anopheles (An.
nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An.
vagus, An. dives, An. maculatus, An. farau, An. koliensis, An.
punctulatus, An. bancroi), Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx.
annulirostris, Cx. whitmorei, Cx.bitaeniorhynchus),Aedes(Ae.
subalbatus) dan Armigeres(Depkes, 2006).Nyamuk Anopheles spp. yang teridenkasi sebagai
vektor W. bancroi termasuk pe pedesaan, sedangkan
Cx. quinquefasciatus merupakan vektor pe perkotaan.
Nyamuk Mansoniamerupakan vektor B. malayi, sedangkan di
Indonesia bagian mur, nyamuk vektor yang penng adalah
Mansonia dan An. barbirostris.Beberapa spesies Mansonia
dapat menjadi vektor B. malayi pe subperiodik nokturna.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
47/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat36
Nyamuk An. barbirostrismerupakan vektor penng B. mori
yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku
Selatan
(Depkes RI, 2006).Nyamuk vektor di Provinsi Jawa Barat adalah Cx.
quinquefasciatus dan Ma. indiana (Depkes, 2006). Nyamuk
Ma. Indiana juga ditemukan dalam penelian Hoedojo et al.
(1972), yang mempelajari penyakit kaki gajah selama kurang
lebih 10 tahun (1960 1970) di pedesaan Banten, yaitu desa
Kresek. Tempat pengembangbiakan larva yang ditemukan di
desa tersebut adalah rawa-rawa seluas 125 hektar. PenelianDharma et al. 2004 di desa Margamulya Tangerang juga
berhasil menemukan ga spesies Mansonia antara lain: Ma.
indiana, Ma. Longipalpis,dan Ma. uniformis. Wilayah Banten
masih dilaporkan sebagai wilayah Provinsi Jawa Barat. Pada
saat penelian tersebut, Banten belum menjadi provinsi
tersendiri.
Penelian di desa Jalaksana Kabupaten Kuningan
Jabar, mendapatkan populasi nyamuk terbanyak di luar
maupun di dalam rumah adalah Cx. siens, kemudian Cx.
quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus. Penelian dila-
kukan di daerah yang terdapat penderita kronis, dengan
kondisi pemukimannya padat dan dekat dengan jalan
utama dan merupakan pe perkotaan. Sedangkan di DesaPanumbangan Kabupaten Ciamis yang merupakan pe
pedesaan, nyamuk yang tertangkap sebanyak 9 spesies (666
nyamuk), spesies yang dominan adalah Cx. siens (386 ekor)
dan Cx. tritaeniorhynchus (222 ekor). Hasil pembedahan
nyamuk secara massal maupun individu, dak ditemukan
adanya mikrolaria (negaf) (Astu et al., 2012).
Berdasarkan literatur Depkes RI, nyamuk Cx. siensbelum ditentukan sebagai vektor lariasis, namun karena
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
48/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 37
berjumlah dominan dan ada penderita lariasis, nyamuk
tersebut dikategorikan sebagai tersangka vektor. Selain dite-
mukan di Ciamis dan Kuningan, berdasarkan penelian ten-tang populasi nyamuk oleh Nusa et al. 2007, nyamuk Cx.
siens juga ditemukan di Kabupaten Bekasi yang merupakan
wilayah endemis lariasis.
Gambar 2.9
Larva Culexspp.
Sumber: hp://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/culex_
quinquefasciatus_larvgroup.jpg
Periodisitas mikrolaria dan perilaku nyamuk mengisap
darah berpengaruh terhadap risiko penularan sehingga untuk
memberantas vektor lariasis, perilaku vektor harus diketahui
melipu perilaku reproduksi, menggigit, dan israhat
(Nutman dan Waller, 2000).
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
49/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat38
Gambar 2.10
Nyamuk Culex quinquefasciatus
Sumber: apni-news.blogspot.com
Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap penularan
lariasis. Daerah endemis W. bancroi pe perkotaan
(urban) adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat pen-
duduk dan banyak terdapat genangan air kotor seper
saluran pembuangan air limbah terbuka yang dapat
dijadikan sebagai habitat nyamuk Cx. quinquefasciatus.
Kondisi lingkungan pe pedesaan (rural) secara umum yang
cocok untuk perkembangbiakan vektor W. bancroi adalah
perkebunan, hutan rawa, sepanjang sungai atau badan
air lain yang ditumbuhi tanaman air (Depkes RI, 2006).
Keadaan lingkungan, seper daerah hutan, persawahan,
rawa-rawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air dan saluran
air limbah dan parit adalah salah satu habitat yang baik
untuk pertumbuhan nyamuk spesies tertentu (Sigit SH dan
Hadi UK, 2006). Penelian lain oleh Astu et al, 2012 yangmelaksanakan survei tempat perkembangbiakan nyamuk di
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
50/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 39
dua lokasi di Provinsi Jawa Barat, melaporkan bahwa lokasi
yang berisiko sebagai tempat perkembangbiakan vektor
lariais yaitu di Desa Panumbangan Kabupaten Ciamis adalahpersawahan, kolam, dan sungai; sedangkan di Desa Jalaksana
Kabupaten Kuningan adalah kolam terbengkalai dan selokan
terbuka sekitar rumah penduduk.
Lingkungan sik berpengaruh terhadap munculnya
tempat perkembangbiakan dan berisrahatnya nyamuk
(Notoatmodjo S., 1997). Hasil penelian di Kabupaten Bekasi
menunjukkan adanya hubungan bermakna antara konstruksiplafon, keberadaan kawat kassa, dan barang-barang ber-
gantung dengan kejadian lariasis (Juriastu et al, 2010).
Sedangkan lingkungan pemukiman berpengaruh terhadap
terjadinya penularan lariasis.
Analisis riskesdas oleh Santoso et al. menunjukkan
sebagian besar penderita lariasis (39,2%), dak memiliki
tempat penampungan air limbah, jadi hanya dibuang/
mengalir begitu saja di pekarangan dan dibiarkan terbuka.
Kondisi ini dapat meningkatkan munculnya tempat
perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga meningkatkan
risiko terjadinya penularan lariasis karena jaraknya ke
pemukiman kurang dari 100 meter yang masih dalam
jangkauan terbang nyamuk, karena sesuai dengan teoribahwa nyamuk pada umumnya mempunyai daya terbang
sejauh 50 - 100 meter.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
51/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat40
Gambar 2.11
Breeding PlacesNyamuk di Desa Panumbangan, Kabupaten Ciamis
Sumber: Astu et al., 2012
Gambar 2.12.
Breeding PlacesNyamuk di Desa Jalaksana, Kabupaten Kuningan
Sumber: Astu et al., 2012
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
52/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 41
Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan secara
epidemiologi bahwa penularan lariasis di Provinsi Jawa
Barat merupakan interaksi dari mulfaktor. Faktor risiko yang
ditemukan di Jawa Barat dan mendukung terjadinya kasus
lariasis adalah host(manusia) posif mikrolaria, agent (W.
bancroi), nyamuk vektor (Cx. quinquefasciatus), dan faktor
lingkungan sekitar tempat nggal (rawa, kolam terbengkalai,
persawahan, selokan terbuka, dan sungai). Di samping itu,jumlah kasus lariasis di Jawa Barat didukung oleh perilaku
masyarakat yang berisiko, seper: kebiasaan keluar pada
malam hari, dur tanpa kelambu, dak menggunakan kawat
kasa pada venlasi rumah, dan dak menggunakan repellent
atau inseksida.
Daar Pustaka
Anonim. 2010. Filariasis di Indonesia [Topik Utama]. Bulen
Jendela Epidemiologi. Vol. I Juli 2010 hal. 1 - 8. ISSN 2087
1546. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi.Kementerian
Kesehatan RI.
Anonim. 2012. Filariasis. [Last modied: 10/05/2012 00:58:21].
www.dpd.cdc.gov/.../Filariasis/
Anshari, Rudi. 2004. Analisis Faktor Risiko Kejadian Filariasis diDusun Tanjung Bayur Desa Sungai Asam Kecamatan Sungai
Raya Kabupaten Ponanak. [Tesis]. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Febrianto, Bagus, Asri Maharani, Sapto P, Widiar. 2006. Studi
Faktor Resiko Filariasis Di Desa Sambirejo Kecamatan Tirto
Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Bullen of Health
Research. DOAJ. 2012 Volume 36 issue 2 Juni.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
53/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat42
Astu, Endang Puji, Mara Ipa, Tri Wahono, M. Umar Riandi. 2012.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Filariasis di Daerah
Endemis Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambaran
Epidemiologi Filariasis di Kabupaten Ciamis, Kabupaten
Kuningan dan Kabupaten Serang). [Laporan Penelian]. Loka
Litbang P2B2 Ciamis.
Das, P.K., S.P. Pani and K. Krishnamoorthy. 2002. Prospects of
Eliminaon of lymphac Filariasis in India. Indian Council
Med. Res. 32: 5-6.
Depkes RI. 2006. Epidemiologi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di
Indonesia. Ditjen PP & PL. Jakarta. DEPKES RI.Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis. Direktorat
Jenderal PPM & PL. DEPKES RI. Jakarta.
Dharma, Wirya, Hoedojo et al. 2004. Survei Nyamuk di Desa Marga
Mulya, Kecamatan Mauk Tangerang. J. Kedokteran Triksak.
April Juni 2004 ; Vol. 23 No. 2.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012. Situasi P2 Filariasis
Provinsi Jawa Barat tahun 2007 - 2011. Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Barat. Bandung. Kemenkes RI.Haryuningtyas, Dyah dan Subek, Didik. Dinamika Filariasis.
[Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis]. [disitasi Mei 2013].
Balai Penelian Veteriner Bogor. www.digilib.litbang.deptan.
go.id/
Hoedojo, Oemija S. Environmental control of the vektor of
malayan lariasis in Kresek, West Java. Vektor Control in
Southeast Asia. Proceedings of the First SEAMEO Workshop
Singapore. 1972: August 17 - 18: 176 82.
Juriastu, Puji et al. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di
Kelurahan Ja Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14, No. 1,
Juni 2010: 31 - 36.
Maharani, Asri., Bagus Febrianto et al. 2006. Studi Faktor Risiko
Filariasis di Desa Sambirejo, Kecamatan Tirto Kabupaten
Pekalongan Jateng. [Laporan Risbinkes]. BPVRP Salaga.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
54/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 43
McCarthy, James. 2000. Diagnosis of Lymphac Filarial Infecons.
Bab 6 hlm. 133. dalam Nutman, Thomas B. Lymphac
Filariasis. Tropical Medicine: Science and Pracce.
Nasrin. 2008. Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku yang
Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka
Barat. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Kesehatan Lingkungan.
Universitas Diponegoro Semarang.
Notoatmodjo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
Nusa, Roy RES. 2007. Populasi Nyamuk yang Berpotensi sebagai
Vektor Japanese Encephalis di Kabupaten Bekasi JawaBarat. Inside. Vol. II No. 2/Des. 2007. Loka Litbang P2B2
Ciamis. Balitbangkes Kemenkes RI.
Nutman dan Waller, 2001. Lymphac Filariasis. Tropical Medicine:
Science and Pracce.Imperial College Press, 2000 : 283 hal.
Oemija S Kurniawan A. Epidemiologi Filariasis dalam
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (penyunng)
Parasitologi Kedokteran. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, 2006. H 42 44.Rufaidah, Y. Hubungan Lingkungan Rumah danKarakterisk
Responden yang Berhubungan dengan Kejadian lariasis di
Wilayah KerjaPuskesmas Bantar Gebang II Kota Bekasi Tahun
2004. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, Indonesia, 2004.
Rusmarni, Tinni dan Yulianna, Fitri. 2008. Prevalence Study of
Re-Emerging Lymphac Filariasis in West Java Indonesia.
Departmen Parasitology. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Proc ASEAN Congr Trop Med Parasitol. 2008; 3: 125 - 9.
Santoso, Aprioza Yenni, Rika Mayasari. 2010. Faktor Risiko Kejadian
Penyakit Filariasis pada Masyarakat di Indonesia. Bulen
Spirakel. Loka Litbang P2B2 Baturaja. ISSN 2086-1346.
Sigit SH, Hadi UK, Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi
dan Pengendalian. Fakultas Kedokteran Hewan, Instut
Pertanian Bogor. 2006: 27 - 33.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
55/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat44
Spicer, W.J. 2000. Tissue Nematodes. In: Clinic al Bacteriology,
Mycology, and Parasitology. Churchill Livingstone: London.
WHO. 2000. Lymphac Filariasis. World Health Organizaon (WHO)
mediacentre. hp://www.who.int/mediacentre/
WHO. Lymphac Filariasis. [disitasi Mei 2013]. www.who.int/
lymphac_lariasis.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
56/104
45
Bab3
UPAYA PENCEGAHAN &
PENGENDALIAN FILARIASIS
Tri WahonoM. Umar Riandi
Pendahuluan
Pemberantasan suatu penyakit perlu dilakukan apabila
mempunyai dampak yang jelas, misalnya mempunyai angka
kemaan yang nggi, angka kesakitan dan prevalensi yangnggi, dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan
wabah, serta menimbulkan kerugian yang besar. Filariasis
adalah penyakit yang dak menyebabkan kemaan, tapi
menyebabkan penderitaan dan kerugian yang besar karena
penderita menjadi dak produkf akibat kecacatan permanen
(Oemija, 1990).
Pencegahan lariasis merupakan upaya mencegah
penularan dengan menghindarkan dari gigitan nyamuk
yang membawa larva cacing laria. Dapat dilakukan dengan
pemberantasan parasit pada semua hospes (menghilangkan
agent penyakit), pengendalian vektor, pengendalian hospes
reservoirserta manajemen lingkungan.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
57/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat46
Pemberantasan Parasit pada Semua Hospes
Pengobatan seluruh hospes yang mengandung parasit,
selain untuk menyembuhkan infeksi, juga untuk memberantas
parasit sehingga dak menjadi sumber penularan. Tapi untuk
mencapai seluruh hospes sangat sulit dilakukan karena
lingkupnya yang sangat luas. Upaya yang dapat dilakukan
adalah pengobatan massal terhadap semua hospes yang
berpotensi.
Program eliminasi lariasis di dunia dimulai berdasarkandeklarasi WHO tahun 2000. Di Indonesia, untuk mencapai
eliminasi lariais, ditetapkan dua pilar kegiatan yaitu memu-
tuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal
pencegahan alriasis (POMP lariasis) di daerah endemis
serta mencegah atau membatasi kecacatan karena lariasis.
Pengobatan massal dilakukan dengan menggunakan obat
Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan denganalbendazol sekali setahun selama 5 - 10 tahun. Pelaksanaan
kegiatan POMP di lapangan, mendapatkan beberapa kendala
terutama adalah efek samping yang dimbulkan obat dan
cakupan (coverage) yang rendah. Rendahnya cakupan
salah satunya dikarenakan mobilitas penduduk yang nggi,
bepergian untuk sementara atau jangka waktu lama karena
alasan pekerjaan atau pendidikan. Dalam POMP, obat
diberikan kepada sasaran, tetapi karena dak bisa diawasi
sehingga dak dapat diketahui apakah obat diminum atau
dak.
Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkanfaktor risiko penularan yang disebabkan oleh vektor yaitu
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
58/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 47
dengan cara meminimalkan habitat perkembangan vektor,
menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi
kontak antara vektor dan manusia serta memutus rantaipenularan penyakit (PP&PL, 2012). Pengendalian vektor
laria di Indonesia belum dilakukan secara khusus dan
spesik. Vektor laria yang sekarang ini diketahui ada 23 jenis
nyamuk dari 5 genus berbeda merupakan kendala tersendiri
dalam upaya pengendalian vektor ini. Pengendalian vektor di
Indonesia yang telah dilakukan adalah pengendalian vektor
DBD, malaria, dan chikungunya. Karena persamaan vektorDBD, malaria, dan chikungunya dengan laria maka secara
dak langsung pengendalian vektor penyakit tersebut juga
mempunyai efek terhadap pengendalian vektor laria.
Secara garis besar ada empat cara pengendalian vektor
yaitu dengan cara kimiawi, biologis, mekanik, dan radiasi
(Soegijanto, 2006).
Pengendalian vektor secara kimiawi
Dalam pengendalian vektor secara kimiawi meng-
gunakan berbagai bahan kimia untuk menghindari gigit-an
nyamuk, membunuh nyamuk, atau menghambat pertum-
buhan nyamuk. Bahan kimia yang digunakan mulai dari
inseksida, larvasida maupun repellent.
Inseksida merupakan senyawa kimia yg digunakan
untuk membunuh serangga (biasanya dengan cara meng-
usapkan atau menyemprotkannya) (KBBI Depdiknas). Peng-
gunaan inseksida ini mungkin yang paling cepat terlihat
efeknya walaupun memiliki efek samping yang dak kalah
bahayanya. Penggunaan inseksida yang umum dilakukanadalah penyemprotan yang bertujuan untuk membunuh
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
59/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat48
nyamuk dewasa. Penyemprotan seharusnya dilakukan pada
tempat menggigit dan tempat israhat vektor. Pada prak-
knya, hal ini sering dak mencapai sasaran karena yangdisemprot biasanya hanya rumah nggal dan pemukiman
sedangkan vektor laria ini juga terdapat di berbagai macam
lingkungan misalnya di ladang atau tepi hutan. Beragamnya
vektor lariasis yang ada di Indonesia juga menjadi kendala
yang besar karena membutuhkan data bionomik yang lengkap
agar penggunaan inseksida tepat sasaran (Oemija CDK,
1990).Masalah lain yang mbul adalah resistensi vektor
terhadap inseksida yang digunakan. Penentuan jenis insek-
sida, dosis dan metode aplikasi merupakan syarat yang
penng untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vek-
tor. Bila penggunaan inseksida secara berulang-ulang dapat
menimbulkan resistensi pada serangga sasaran.
Jenis inseksida kimiawi yang digunakan untuk pengen-
dalian vektor nyamuk dewasa ada dua, yaitu organophosphat
(Malathion, Methylpirimiphos) dan golongan pyretroid
(Cypermethrine, Lamda-cyhalotrine, Cyutrine, Permethrine,
dan S-Bioalethrine). Inseksida ini ditujukan untuk stadium
Gambar 3.1Penyemprotan Nyamuk Dewasa/Fogging
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
60/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 49
dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/
Foggingdan pengabutan dingin/ULV (PP&PL, 2012).
Larvasida adalah bahan kimia yang digunakan untukmembunuh larva/stadium pradewasa serangga. Penggunaan
larvasida bertujuan untuk membunuh larva atau membuat
larva dak bisa menjadi nyamuk dewasa. Bahan kimia larva-
sida yang digunakan bisa merupakan bahan kimia buatan
atau kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan).
Bahan kimia buatan yang digunakan sebagai larvasida
adalah inseksida jenis organophosphat (Temephos) (PP&PL,2012). Di Indonesia, larvasida ini lebih dikenal dengan islah
Abate 1G yang mengandung Temephos 1%. Aplikasinya adalah
dengan menaburkan abate ke dalam tempat penampungan
air.
Gambar 3.2
Abate 1G (Temephos 1%)
Selain larvasida bahan kimia buatan, sekarang banyak
dilakukan penelian menggunakan larvasida dengan zat
kimia bahan alam (ekstrak tumbuhan). Bahan ini lebih
dianjurkan karena dak menimbulkan efek samping terhadap
lingkungan. Penggunaan ekstrak tanaman ini terbuk efekf
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
61/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat50
sebagai larvasida pada berbagai penelian seper: ekstrak
tumbuhan zodia dan tembakau (Susan, 2012), daun sirih
(Parwata , 2011), akar wangi (Laelatul K., 2010), jarak pagar(Atu, 2011), dan lain-lain. Walaupun terbuk efekf dalam
penelian tetapi penggunaan dan produksi massal ekstrak
tanaman ini belum diterapkan di masyarakat.
Repellent merupakan bahan kimia yang mempunyai
kemampuan untuk menjauhkan serangga sehingga dapat
digunakan untuk menghindari gigitan serangga. Repellent ini
digunakan dengan cara menggosokkan atau
Gambar 3.3
Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai larvasida
menyemprotkan pada kulit atau pakaian. Bahan kimia
yang digunakan bisa bahan kimia buatan atau kimia bahan
alam (ekstrak tumbuhan).
Bahan kimia buatan yang digunakan untuk repellentnyamuk antara lain: DEET (N,N-diethyl-m-toluamide),
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
62/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 51
Permethrin, IR 3535 (3-[N-butyl-N-acetyl]-aminopropionic
acid (MDPH, 2008). Repellent dengan bahan DEET dak
boleh digunakan untuk bayi yang berumur kurang dari duabulan. Bayi yang berumur kurang dari dua bulan memiliki
rasio luas permukaan tubuh terhadap masa tubuh yang lebih
besar sehingga mudah menyerap bahan kimia dan mencapai
konsentrasi plasma yang nggi. Bahan repellent ini bersifat
korosif dan walaupun ditambahkan dengan zat-zat lain yang
berfungsi sebagai pelembap, zat ini tetap berbahaya.
Gambar 3.4
Repellent Bahan Kimia Buatan.
Selain bahan kimia buatan terdapat berbagai ekstrak
tumbuhan yang bisa digunakan sebagai repellent yang relaf
lebih aman daripada menggunakan bahan kimia buatan.
Balai Penelian Tanaman Obat dan Aromak telah
melakukan penelian terhadap potensi tanaman aromak
sebagai penghalau nyamuk dan lalat. Hasil penelian
menunjukkan bahwa tanaman serai wangi yang mengandung
sitronela dan geraniol; zodia yang mengandung evodiame,
rutaecarpine, dan linool; serai dapur yang mengandung
citrat; nilam yang mengandung patchouli alkohol; adas yang
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
63/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat52
mengandung anetol, berpotensi sebagai penghalau (repellent
terhadap nyamuk Ae. Aegypdengan daya proteksi berkisar
antara 60 80% selama 2 4 jam (Kardinan, 2008).
Gambar 3.5
Berbagai tanaman yang bisa digunakan sebagai repellent
Pengendalian vektor secara biologis/haya
Pengendalian vektor secara biologis/haya adalah
pengendalian yang dilakukan dengan cara menggunakanmakhluk hidup (Soegijanto, 2006). Tiga peran utama pengen-
dalian vektor biologis adalah sebagai predator, patogen, dan
parasit. Pengendalian secara biologis ini secara biologis/haya
ini memiliki berbagai keuntungan antara lain aman, dak
menimbulkan pencemaran lingkungan, dak menyebabkan
resistensi, relaf murah, dan bersifat jangka panjang.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
64/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 53
Predator adalah binatang yang hidupnya memangsa
hewan lain (KBBI, 2005). Ada beberapa jenis ikan seper: ikan
kepala mah, gabus, cupang, tampalo, dan guppy merupakanpredator pemakan larva/jenk nyamuk. Ikan jenis ini banyak
dimanfaatkan oleh manusia untuk dipelihara dalam kolam,
bak mandi atau tempat penampungan air lainnya. Cara ini
terbuk efekf dalam mengendalikan dan menekan jumlah
larva/jenk nyamuk.
Gambar 3.6
Berbagai ikan pemakan larva/jenk
Selain ikan ada larva capung, Toxorchyncites, Mesocylops
yang juga dapat berperan sebagai predator walaupun bukan
sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor (PP &
PL, 2012). Nimfa capung (Labellulla)yang hidup di dalam air
telah lama diketahui sebagai predator larva nyamuk baik di
laboratorium maupun di alam (Suwasono, 1997).
Patogen adalah parasit yang mampu menimbulkan
penyakit pada inangnya; bahan yang menimbulkan penyakit(KBBI, 2005). Pengendalian vektor menggunakan patogen
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
65/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat54
contohnya adalah pemanfaatan bakteri Bacillus thuringiensis
dan bakteri yang bersifat kinolik.
Bacillus thuringiensis bersifat toksik terhadap larvanyamuk. Bakteri ini memproduksi toksin yang dapat meng-
hancurkan sel-sel epitel inangnya sehingga menyebabkan
kemaan inangnya (Blondine, 2004).
Gambar 3.7
Bacillus Thuringiensis
Sumber: Blondine (2004)
Bakteri kinolik juga berpotensi sebagai pengendali
haya nyamuk. Hal ini didasarkan bahwa komponen eksos-
keleton nyamuk tersusun dari bahan kin sehingga secara
logika dapat didegradasi oleh enzim kinase yang dihasilkan
oleh bakteri kinolik. Kerusakan struktur eksoskeleton larva
nyamuk dapat berakibat pada gangguan pertumbuhan dan
kemaan (Pujiyanto, 2008).
Parasit adalah organisme yang hidup dan mengisap
makanan dari organisme lain yang ditempelinya (KBBI, 2005).
Romanomermis iyengari merupakan organisme jenis cacing
Nematoda yang bersifat parasit pada larva nyamuk. Cacing
tersebut tumbuh dan berkembang menjadi dewasa di dalam
tubuh larva yang menjadi inangnya. Setelah dewasa cacingtersebut keluar dari tubuh inangnya dengan jalan menyobek
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
66/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 55
dinding tubuh inang sehingga menyebabkan kemaan
inangnya (Suwasono, 1997). Tidak seper ikan pemangsa
larva yang sudah banyak diterapkan masyarakat luas,penggunaan bakteri patogen maupun parasit belum terlalu
dikenal dan masih dalam tahap penelian laboratorium.
Pengendalian vektor secara fsik/mekanik
Pengendalian vektor secara sik dapat dilakukan dengan
cara mencegah kontak antara vektor dengan manusia.
Pengendalian ini dapat dilakukan dengan menggunakan
kelambu, memasangan kasa nyamuk di rumah atau meng-
gunakan net/raket nyamuk.
Gambar 3.8
Pengendalian Vektor secara Fisik
Selain itu ada Program Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) melaui program 3M (Menguras, Menutup, Mengubur)
merupakan upaya pengendalian yang dilakukan secara sik
dan dijadikan program pengendalian utama oleh pemerintah.
Program 3M yang dimaksud adalah menguras dan menyikat
tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-rapat
tempat penampungan air, dan mengubur atau mendaurulang
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
67/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat56
barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
Gambar 3.9
Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui Program
3M (Menguras, Menutup, Mengubur)
Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode
komunikasi/penyampaian informasi/pesan yang berdampak
pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui
pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Commu-nicaon for Behavioral Impact (COMBI). Metode ini pernah
dilakukan di beberapa kota antara lain: Jakarta Selatan, Jakarta
Timur, Padang, dan Yogyakarta pada tahun 2007; sedangkan
pada tahun 2008 dilaksanakan di lima kota, melipu: Jakarta
Selatan, Bandung, Tangerang, Semarang, dan Surabaya.
Kegiatan PSN dengan metode pendekatan COMBI tersebut
menjadi salah satu prioritas kegiatan dalam program P2DBDdi masa yang akan datang. Dari tahun 1994 2008 diperoleh
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
68/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 57
angka ABJ masih di bawah di bawah target. Tampaknya upaya
PSN belum berjalan dengan baik di masyarakat, sehingga
kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mobilisasi masyarakatuntuk PSN perlu lebih dingkatkan (Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Pengendalian vektor secara radiasi
Pengendalian vektor ini menggunakan teknik jantan
mandul. Nyamuk dewasa jantan diradiasi menggunakan
bahan radioakf dengan dosis nggi sehingga menjadi
mandul. Nyamuk jantan yang telah diradiasi ini kemudian
dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nannya terjadi
perkawinan dengan nyamuk bena di alam tapi nyamuk
bena tersebut dak dapat menghasilkan telur yang ferl
(Soegijanto, 2006).
Pengendalian Hospes Reservoir
Pengendalian hospes reservoir ini mungkin pengenda-
lian yang paling sulit dilaksanakan saat ini. Seper yang kita
ketahui ada dua hospes reservoirlaria yaitu kera dan kucing.
Pemberantasan terhadap kedua spesies ini dak mungkin
dilakukan karena kera merupakan hewan yang dilindungi danpemberantasan suatu spesies akan merusak keseimbangan
ekologi.
Pendekatan yang mungkin dilakukan adalah
menjauhkan habitat kera dari manusia sehingga dak
menimbulkan penularan. Sedangkan untuk kucing bisa
dilakukan pengobatan massal tapi akan susah dilakukan
karena pengobatan massal pada hewan biasanya mempunyaijangkauan yang rendah (Oemija, 1990). Hal ini dikarenakan
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
69/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat58
dak semua kucing dipelihara dan banyak yang liar sehingga
untuk monitoringsangat susah untuk dilakukan.
Manajemen Lingkungan
Pengendalian vektor yang paling efekf adalah mana-
jemen lingkungan, termasuk perencanaan, organisasi, pe-
laksanaan dan akvitas monitoring untuk memanipulasi
atau memodikasi faktor lingkungan dengan maksud untuk
mencegah atau mengurangi vektor penyakit manusia dan
perkembangan vektor patogen (WHO, 1997). Pengendalian
melalui manajemen lingkungan ini dinilai paling aman
karena selain dak merusak keseimbangan alam tapi juga
dak menimbulkan pencemaran lingkungan. Manajemen
lingkungan ini juga bersifat jangka lama karena biasanya
dilakukan sekali dan dilakukan pemeliharaan secara berkala.
WHO membagi manajemen lingkungan menjadi ga
jenis, yaitu: modikasi lingkungan, manipulasi lingkungan,
dan mengubah perilaku atau tempat nggal manusia.
Manajemen lingkungan ini bertujuan untuk menghilangkan
atau menghambat kelestarian lingkaran hidup parasit
dengan cara menghilangkan tempat perindukan, mengurangi
potensi tempat perindukan, dan mengurangi kontak antara
vektor dan manusia. Manajemen lingkungan ini hanya akanberhasil dengan baik jika dilakukan oleh seluruh masyarakat,
lintas sektor, pemenang kebijakan dan lembaga swadaya
masyarakat melalui program kemitraan.
Modifkasi lingkungan
Modikasi lingkungan mempunyai tujuan utama untuk
menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan. Hal inidapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain: penim-
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
70/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 59
bunan tempat perkembangbiakan, pengeringan tempat
perkembangbiakan atau pengaturan pengairan/irigasi (Boesri,
2010).Penimbunan tempat perkembangbiakan ini dilakukan
dengan cara menimbun tempat-tempat yang mempunyai
potensi membuat genangan air seper cekungan tanah,
bekas kolam, atau kontainer. Cara lain yang bisa ditempuh
yaitu pengeringan tempat perkembangbiakan yang melipu:
bekas kolam ikan, genangan-genangan air ataupun saluran/
selokan air yang mampet. Pengaturan pengairan/irigasi dapatdilakukan dengan mengalirkan air secara cepat sehingga
nyamuk dak dapat berkembangbiak.
Manipulasi lingkungan
Manipulasi lingkungan merupakan kegiatan yang
bertujuan menghasilkan keadaan sementara yang dak
menguntungkan bagi vektor untuk berkembang biak. Khususuntuk vektor nyamuk manipulasi yang bisa dilakukan antara
lain: pembersihan dan pengangkatan lumut dari lagoon,
pengubahan kadar garam air menjadi tawar, dan pemutusan
pengairan secara berkala dibidang pertanian.
Pembersihan dan pengangkatan lumut dari lagoon
pernah dilakukan di Cibalong Kecamatan Pameungpeuk Jawa
Barat pada tahun 1980 1981, dengan cara mengangkat
lumut yang merupakan tempat perkembangbiakan An.
sundaicus. Hasil dari pengamatan sebelum dan sesudah
pembersihan lumut menunjukkan penurunan densitas
nyamuk baik dewasa, larva maupun pupa (Ditjen P3M, 1982).
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
71/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat60
Mengubah perilaku atau tempat nggal manusia
Tujuannya untuk mencegah atau membatasi per-
kembangan vektor dan mengurangi kontak antara vektor danmanusia. Pendekatan ini bisa dilakukan dengan penempatan
dan pemukiman kembali penduduk jauh dari sumber
vektor, perlindungan perorangan, pembersihan tempat
perkembangbiakan, pemasangan rintangan-rintangan dan
menyediakan fasilitas untuk menyalurkan air dan kotoran/
sampah (Boesri, 2010).
Perubahan perilaku dapat dilakukan dengan cara men-
sosialisasikan perilaku untuk mengurangi kontak dengan
vektor penyakit seper dur dengan kelambu, mengurangi
kebiasaan keluar malam, menggunakan obat nyamuk, pe-
masangan kasa nyamuk, menggunakan repellent atau mem-
bersihkan tempat-tempat yang dapat untuk berkembang
biak nyamuk. Sedangkan untuk penempatan dan pemukiman
kembali dengan lokasi yang jauh dari vektor susah untuk
dilakukan karena membutuhkan biaya yang besar, tapi upaya
ini dapat dilakukan terhadap penduduk/peladang liar dekat
hutan. Hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi risiko gigitan
nyamuk/vektor malaria dan laria yang habitatnya di hutan.
Pengendalian Vektor di Jawa BaratPengendalian vektor lariasis sampai saat ini belum
ada yang spesik. Untuk memutus transmisi penularan
program yang dilakukan adalah dua pilar eliminasi lariasis,
yaitu pengobatan massal dan pembatasan kecacatan pada
penderita. Namun demikian, bukan berar dak dilakukan
pengendalian vektor. Pengendalian vektor dilakukan secara
lintas program mengingat vektor lariasis juga merupakan
vektor DBD dan malaria.
-
5/21/2018 MENGENAL FILARIASIS DI JAWA BARAT ; Penyakit Tropis yang Terabaikan
72/104
Mengenal Filariasis di Jawa Barat 61
Vektor lariasis yang ditemukan di Provinsi Jawa Barat
adalah C. quinquefasciatus dan Ma. Indiana. Pengendalian
vektor yang sudah dilakukan di beberapa kabupaten/kotayang endemis lariasis masih belum spesik dan masih
tergabung kegiatannya dengan penyakit tular vektor yang
disebabkan oleh nyamuk lainnya, yaitu malaria dan demam
berdarah dengue (DBD). Berdasarkan hasil wawancara de-
ngan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, pengendalian
untuk lariasis belum terfokus pada vektornya. Selama ini
pengendalian yang dilakukan masyarakat adalah membersih-kan lingkungan atau tempat perkembangbiakan potensial
nyamuk berupa genangan air terbuka, pesawahan, dan ko-
lam terbengkalai. Selain itu, beberapa pengendalian yang
dapat mengurangi kontak antara manusia dengan nyamuk
adalah pemakaian kasa, kelambu berinseksida, dan raket
listrik. Hal ini didukung denga