BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Generasi · TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Konsep Generasi . ......

12
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Generasi Generasi adalah sebuah kelompok yang terdiri atas individu dengan kisaran umur yang sama yang telah mengalami peristiwa sejarah yang sama dalam periode waktu yang sama (Ryder, 1965). Borodin, Smith dan Bush (2010); Schullery (2013) menyatakan pula bahwa orang- orang yang berasal dari generasi yang sama mempunyai kesamaan pengalaman seperti kultur, politik, ekonomi, persitiwa dunia, bencana alam dan teknologi sehingga membentuk pandangan, nilai, pilihan dan kepercayaan yang sama. Hal serupa dinyatakan oleh Kupperschmidt (2000) bahwa generasi merupakan orang yang lahir di kisaran waktu sama yang berbagi pengalaman sejarah dan/atau kehidupan sosial yang signifikan yang membentuk pandangan dan perspektif. Sejarah, kejadian, fenomena budaya dan berbagai hal yang muncul pada era para generasi ini hidup ternyata mempengaruhi memori individu-individu pada generasi terkait, sehingga menimbulkan perkembangan sikap, nilai, perspektif dan kepribadian tertentu (Costanza, et a;., 2012). Oleh karena itu, karena setiap generasi menjalani berbagai pengalaman yang berbeda, perspektif, seperti nilai, ekspektasi dan sikap dalam bekerja yang ditimbulkan pun jadi berbeda (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Dewasa ini terdapat beberapa generasi yang masih aktif bekerja dalam organisasi, antara lain silent generation atau traditionalists (1925- 1945), baby boomers (1946- 1964), generasi X (1965- 1981), dan millennials atau generasi Y (1982-1999) (Schoch, 2012; Hillman, 2013; Schullery, 2013). Adapun berbagai penjabaran lebih lanjut mengenai generasi- generasi tersebut adalah sebagai berikut.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Generasi · TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Konsep Generasi . ......

  • 10

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Konsep Generasi

    Generasi adalah sebuah kelompok yang terdiri atas individu dengan kisaran

    umur yang sama yang telah mengalami peristiwa sejarah yang sama dalam

    periode waktu yang sama (Ryder, 1965). Borodin, Smith dan Bush (2010);

    Schullery (2013) menyatakan pula bahwa orang- orang yang berasal dari

    generasi yang sama mempunyai kesamaan pengalaman seperti kultur, politik,

    ekonomi, persitiwa dunia, bencana alam dan teknologi sehingga membentuk

    pandangan, nilai, pilihan dan kepercayaan yang sama. Hal serupa dinyatakan

    oleh Kupperschmidt (2000) bahwa generasi merupakan orang yang lahir di

    kisaran waktu sama yang berbagi pengalaman sejarah dan/atau kehidupan sosial

    yang signifikan yang membentuk pandangan dan perspektif.

    Sejarah, kejadian, fenomena budaya dan berbagai hal yang muncul pada era

    para generasi ini hidup ternyata mempengaruhi memori individu-individu pada

    generasi terkait, sehingga menimbulkan perkembangan sikap, nilai, perspektif

    dan kepribadian tertentu (Costanza, et a;., 2012). Oleh karena itu, karena setiap

    generasi menjalani berbagai pengalaman yang berbeda, perspektif, seperti nilai,

    ekspektasi dan sikap dalam bekerja yang ditimbulkan pun jadi berbeda

    (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013).

    Dewasa ini terdapat beberapa generasi yang masih aktif bekerja dalam

    organisasi, antara lain silent generation atau traditionalists (1925- 1945), baby

    boomers (1946- 1964), generasi X (1965- 1981), dan millennials atau generasi

    Y (1982-1999) (Schoch, 2012; Hillman, 2013; Schullery, 2013). Adapun

    berbagai penjabaran lebih lanjut mengenai generasi- generasi tersebut adalah

    sebagai berikut.

  • 11

    2.1.1. Generasi Traditionalist

    Traditionalist merupakan generasi yang lahir pada kisaran tahun 1925-

    1945 (McCrindle & Wolfinger, 2010). Generasi ini hidup pada zaman

    Great Depression, The New Deal, World War II dan Rise of Labor Unions,

    dimana terdapat krisis, kesulitan ekonomi, para pria pergi berperang, para

    wanita dipaksa bekerja di pabrik untuk menopang keluarga mereka (Cates,

    2014), dan keluarga dibangun pada umur muda setelah perang berakhir

    (McCrindle & Wolfinger, 2010). Pengalaman dan situasi mereka tumbuh

    membentuk para traditionalist menjadi individu yang disiplin, mau

    mengorbankan diri, pekerja keras, mudah menyesuaikan diri, dan patuh

    pada kekuasaan (Cates, 2014).

    2.1.2. Generasi Baby Boomers

    Baby boomers lahir pada kisaran tahun 1946-1964 (Roebuck, Smith, &

    Haddaoui, 2013). Generasi ini hidup pada masa stabil, makmur, adanya hak

    asasi, kemunculan teknologi baru seperti televisi, air panas, bahkan alat-

    alat rumah tangga dan pertumbuhan yang menyenangkan karena sang ibu

    tidak perlu dipaksa untuk bekerja di pabrik demi menopang hidup keluarga,

    namun di rumah untuk mengurus mereka (Cates, 2014). Oleh karena itu,

    generasi ini memiliki optimisme, kepuasan personal, berhasrat dan

    workaholic, namun juga memiliki stress atau tekanan (Roebuck, Smith, &

    Haddaoui, 2013; Cates, 2014)

    2.1.3. Generasi X

    Generasi ini mendapat pengalaman challenger disaster, perceraian,

    pertumbuhan teknologi dan personal computer (PC), serta perubahan peran

    gender dalam keluarga (Cates, 2014). Di samping itu, mereka merupakan

    generasi pertama yang tumbuh di sistem keluarga yang baru yang

    diciptakan oleh baby boomers (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Oleh

    karena itu, generasi ini lebih individualitas, pragmatis, sinis, bertoleransi

  • 12

    pada berbagai gaya hidup dan perbedaan kultur. (Cates, 2014). Di samping

    itu sebagian besar generasi X tumbuh menjadi individu yang bersikap dan

    berperilaku dewasa diusia yang masih muda serta memiliki tanggung jawab

    besar walau masih berada pada masa remaja (Cates, 2014). Hal ini

    disebabkan karena mereka tumbuh dengan mempertanyakan kekuasaan

    yang dialami oleh para orang tua mereka, baby boomers, sehingga mereka

    lebih senang untuk terlibat, bertanggung jawab dan memiliki kontrol

    (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Roebuck, Smith, dan Haddaoui

    (2013) juga menyatakan bahwa generasi X bahkan senang mengambil

    resiko dengan melakukan kalkulasi resiko terlebih dahulu dan tidak dapat

    diintimidasi oleh kekuasaan.

    2.1.4. Generasi Y

    Idrus, Ng dan Jee (2014) menyatakan bahwa yang lahir setelah tahun

    1980 memasuki kelompok generasi Y. Young et al. (2014) secara lebih

    spesifik menyatakan bahwa generasi Y merupakan generasi yang lahir pada

    kisaran tahun 1981-2000. Generasi Y juga memiliki nama lain, seperti Net

    Generation, Echo Boomers, N-Geners, Nexters, Internet Generation,

    Millennials (Dimitriou & Blum, 2015), GenerationMe, dan Digital Natives

    (Schullery, 2013). Generasi ini merupakan anak dari para Baby Boomers

    dan generasi X, dimana mereka lahir di era yang berteknologi tinggi dan

    diasuh oleh orang tua yang sangat komunikatif dan berorientasi partisipatif

    (Domitriou, 2015). Generasi ini bahkan dapat menggunakan kemajuan

    teknologi untuk melakukan komunikasi di samping melalui tatap muka,

    seperti melalui pengirim pesan atau email dan melalui berbagai media

    sosial (Young et al., 2014), sehingga memungkinkan mereka memiliki

    pergaulan yang luas dengan beragam orang dari seluruh dunia (Roebuck,

    Smith & Haddaoui, 2013). Oleh karena itu pula lah generasi ini memiliki

    toleransi keberagaman manusia yang lebih tinggi dibanding generasi

  • 13

    lainnya (Domitriou, 2015). Young et al. (2014) bahkan menyatakan bahwa

    generasi Y merupakan genersi yang paling beragam dan yang paling dapat

    menerima keberagaman.

    Akan tetapi, selain hidup di era peningkatan bidang ekonomi dan

    teknologi, generasi Y juga hidup pada era dimana terjadi peningkatan

    kejahatan, sehingga mendorong para orang tua untuk terjun langsung

    melindungi anak-anak mereka dari kejadian berbahaya atau kejadian yang

    sekedar mengecewakan, misalnya seperti turunnya nilai di sekolah

    (Schullery, 2013). Perlindungan yang diberikan oleh para orang tua

    generasi Y adalah seperti mendorong generasi Y untuk bermain di dalam

    rumah dengan media teknologi yang ada, cepat memberi pujian bila sang

    anak mencapai sesutu (Schullery, 2013), mengabulkan sebagian besar

    permintaan mereka, memanjakan, dan memberi tahu bahwa mereka dapat

    mencapai apapun yang mereka inginkan (Cates, 2014).

    Hidup di zaman yang berteknologi maju dan diasuh dengan cara

    tersebut membuat generasi ini memiliki ekspektasi tinggi, menuntut

    mendapat jawaban secara instan, lebih menyukai distribusi sumber

    pengetahuan dan informasi, berpikiran terbuka, memiliki keterampilan yang

    beragam, mampu mengerjakan pekerjaan yang banyak secara simultan,

    tidak sabar (Idrus, Ng & Jee, 2014), partisipatif, tidak menganut paham

    hierarki atau level kekuasaan, yang berarti semua orang memiliki level

    yang setara, sehingga mereka bersikap sama baik kepada atasan maupun

    rekan kerja, sosialis, optimis, bertalenta, kolaboratif, dan berorientasi pada

    kesuksesan (Cates, 2014).

    2.2. Konsep Berbagai Perspektif

    Dalam melakukan analisis perilaku individu dalam organisasi, terdapat tiga

    level analisis yang dapat digunakan, yaitu individu, kelompok dan organsisasi.

    Pada level individu terdapat perspektif terhadap nilai individu saat berada di

  • 14

    organisasi, pada level kelompok adalah perpsektif terhadap hubungan kerja,

    yaitu bagaimana individu tersebut berinteraksi dengan individu atau kelompok

    atau organisasi, dan pada level organisasi adalah perspektif pada sistem kerja,

    yaitu bagaimana sistem organisasi dijalankan di organisasi. Oleh karena itu,

    konsep berbagai perspektif generasi Y pada penelitian ini akan dikelompokan ke

    dalam tiga kelompok tersebut.

    2.2.1. Nilai Individu

    2.2.1.1. Kreatifitas

    Kreatifitas telah mendapat perhatian belakangan ini karena

    merupakan satu langkah awal menuju inovasi dan sangat penting untuk

    kinerja bisnis (Fujii, 2015). Kreatifitas mencakup originalitas dan

    inovasi (Fletcher dalam Murad & West, 2004). Selain itu kreatifitas

    adalah kemampuan untuk menghasilkan ide baru dan keinginan untuk

    terus berusaha memproduksi ide atau produk baru (Fujii, 2015).

    Kreatifitas juga digambarkan sebagai berpikir kreatif atau kemampuan,

    pemecahan masalah, imajinasi atau inovasi (Murad & West, 2004).

    2.2.1.2. Etika

    Etika didefinisikan sebagai, “bagian filsafat yang berhubungan

    dengan tindakan moral” (Capilla & Jose, 2012). Etika juga merupakan

    dilema moral tentang bagaimana memilih untuk melakukan tindakan

    (Stys, 2006). Walaupun etika kerap dinyatakan sebagai penentu hitam

    dan putih atau apa yang benar dan tidak secara kaku dan dianggap

    universal, sebenarnya etika bersifat lebih personal karena setiap tempat

    memiliki nilai atau standar etikanya masing-masing (Pasztor, 2015).

    2.2.1.3. Adaptasi

    Adaptasi merupakan kemampuan yang secara alami berada dalam

    diri manusia untuk menyesuaikan diri dengan berabagi situasi dan

    lingkungan yang berbeda (Berggren et al., 2016). Maka dari itu, setiap

  • 15

    individu seharusnya memiliki kemampuan beradaptasi (Graen &

    Grace, 2015). Karena perubahan merupakan suatu aspek kehidupan,

    termasuk bisnis yang selalu ada, perlu ada kemampuan untuk

    menyesuaikan diri secara terus menerus (Dukic, 2015). Oleh karena itu,

    karyawan yang memiliki kemampuan beradaptasi merupakan aset yang

    berharga bagi organisasi (Nambiyar, 2014).

    2.2.1.4. Kecepatan Kerja

    Kecepatan kerja dilihat dari kemampuan untuk dapat segera

    mengambil tindakan dibanding dengan menunggu untuk melakukan

    proses berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan

    (Nambiyar, 2014). Tekanan organisasi pada karyawan agar bekerja

    lebih cepat kerap menjadi penyebab, sebab banyak pekerjaan yang

    perlu dikerjakan, sehingga karyawan cepat mengambil tindakan bila

    tidak ingin bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut

    (Munawaroh, Riantoputra, & Marpaung, 2013). Agar dapat memiliki

    kecepatan kerja, karyawan cenderung menyiasatinya dengan

    melakukan kerja pintar dan cepat agar pekerjaan dapat segera

    diselesaikan (Nambiyar, 2014).

    2.2.1.5. Makna Pekerjaan

    Menjalani pekerjaan yang bermakna adalah bagaimana pekerjaan

    dapat mengambil tempat sebagai makna pribadi dan bagaimana

    pekerjaan dapat menyelesaikan sesuatu (Casey & Robbins, 2012).

    Fokus makna pekerjaan adalah situasi pada literatur organisasi secara

    lebih luas yang menggambarkan reaksi kepada organisasi yang mampu

    menyedia kepuasan dalam bekerja (Kuchinke et al., 2010). Mereka

    yang menjalani pekerjaan yang bermakna bagi diri mereka akan

    menganggap bahwa pekerjaan adalah suatu hal yang penting, bernilai

    dan bermanfaat (Casey & Robins, 2012). Menjalani pekerjaan yang

  • 16

    bermakna bahkan dapat membawa karyawan kearah peningkatan

    keterikatan dengan tempat kerja, mau menjalani banyak tantangan dan

    permintaan organisasi (Kuchinke et al., 2010).

    2.2.1.6. Learning style

    Learning merupakan suatu proses dimana pengetahuan diciptakan

    melalui transformasi pengalaman (Kolb dalam Purwanti, Rizky, &

    Handriyanto, 2013). Learning style adalah bagaimana cara individu

    terkait belajar (Mhatre & Conger, 2011). Learning style juga

    merupakan pola atau kebiasaan ilmiah individu dalam memperoleh dan

    memproses informasi dalam situasi belajar (Purwanti, Rizky, &

    Handriyanto, 2013).

    2.2.2. Hubungan Kerja

    2.2.2.1. Teamwork

    Banyak aktivitas individu yang dapat mendapatkan keuntungan

    dari kolaborasi bersama individu lainnya (Galashin & Popov, 2016).

    Selain itu dibutuhkan kemampuan untuk secara efektif merespon

    lingkungan yang dinamis dan kompleks, yaitu dengan cara bekerja

    dalam tim atau yang disebut dengan teamwork (Hu & Liden, 2012).

    Karyawan yang senang bekerja dalam tim memiliki orientasi untuk

    terkoneksi pada orang lain atau bekerja di dalam tim (Clare, 2009;

    Vanmeter et al., 2013). Disamping itu, mereka yang senang bekerja

    dalam tim juga ingin melihat dampak dari tindakan yang ditimbulkan

    pada rekan kerja mereka (Welsh, 2010).

    2.2.2.2. Metode komunikasi

    Komunikasi didefinisikan sebagai proses transmisi informasi dan

    pengetahuan umum dari satu orang ke orang lainnya (Keyton dalam

    Lunenburg, 2010). Banyak metode komunikasi yang digunakan, yaitu

    misalnya melalui media internet, e-mail, telepon, dan handphone, atau

  • 17

    menggunakan cara langsung yaitu melalui proses tatap muka (Young,

    2009). Bila mengetahui metode komunikasi yang cocok digunakan

    pada setiap individu, dampak positif akan muncul, seperti

    menghilangkan kesalahpahaman, konflik yang tidak menyenangkan

    dan meningkatkan motivasi dan etika, serta moral karyawan (Dimitriou

    & Blum, 2015).

    2.2.2.3. Tipe kepemimpinan

    Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain

    untuk melaksanakan tugas (Montana & Petit, 2008). Terdapat berbagai

    macam tipe kepemimpinan, misalnya seperti tipe kepemimpinan

    partisipatif (Young, 2009), otoritatif yang kaku (Mhatre & Conger,

    2011). Bila mengetahui tipe kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi

    organisasi, organisasi dapat mengelola karyawannya dengan lebih

    optimal (Mekraz & Gundala, 2016).

    2.2.2.4. Loyalitas

    Loyalitas adalah komitmen yang disengaja untuk menarik

    ketertarikan seorang karyawan, bahkan ketika melakukan banyak

    permintaan yang menuntut pengorbanan atas beberapa aspek

    ketertarikan pribadi di atas apa yang disarankan oleh ketentuan dan

    tugas yang ada (Elegido, 2013). Adapun loyalitas dalam organisasi

    adalah perasaan terikat dari karyawan terhadap organisasi (Buchanan,

    1974). Hal ini berarti perasaaan ingin selalu berada dalam organisasi

    dimana individu tersebut bekerja (Kumar & Shekhar, 2012).

    2.2.3. Sistem Kerja

    2.2.3.1. Pelatihan

    Pelatihan merupakan salah satu hal yang penting untuk dilakukan

    (Tremblay et al., 2013). Dalam melakukan pelatihan, setiap generasi

    memerlukan pengelolaan yang berbeda sesuai dengan perspektifnya

  • 18

    (Tremblay et al., 2010). Terdapat berbagai macam metode, misalnya

    metode konvensional seperti membaca buku pelatihan atau

    kesimpulan- kesimpulan pelatihan tertentu (Purwanti, Rizky, &

    Handriyanto, 2013) dan metode yang memanfaatkan kemajuan

    teknologi seperti menggunakan media belajar audio visual (Young et

    al., 2013).

    2.2.3.2. Feedback

    Feedback merupakan hasil observasi penilaian kinerja karyawan

    agar dapat memberi pelajaran bagi karyawan, sehingga dapat

    meningkatkan kinerja karyawan terkait (Pelgrim et al., 2012).

    Feedback di tempat kerja merupakan sejauh mana karyawan

    melaksanakan kegiatan kerja yang mendatangkan hasil seperti yang

    dikehendaki organisasi dan informasi yang jelas tentang keefektifan

    kinerja (Casey & Robbins, 2012). Dalam menyampaikan feedback,

    konten dan cara penyampaiannya merupakan suatu hal yang sangat

    penting agar dapat mendatangkan hasi yang optimal (Pelgrim et al.,

    2012).

    2.2.3.3. Job enrichment

    Job enrichment merupakan sebuah program dimana karyawan

    diberikan berbagai macam pekerjaan, diberikan tanggung jawab yang

    lebih tinggi dan diberikan tambahan otonomi serta kontrol terhadap

    pekerjaan yang diberikan (Pan & Werblow, 2012). Davoudi (2013)

    turut menambahkan bahwa job enrichment adalah suatu metode

    manajerial untuk memotivasi karyawan dengan memberikan mereka

    kesempatan yang cukup untuk menggunakan seluruh kemampuan

    mereka. Terkait job enrichment, terdapat karyawan yang cenderung

    ingin lebih santai dan tidak ingin terlalu serius bekerja (Stenley, 2010).

    Namun banyak pula karyawan yang cenderung berbeda, dimana

  • 19

    mereka ingin ditantang kemampuannya, serta ingin mengerjakan tugas

    yang lebih sulit dan lebih penting (Ng & Schweitzer, 2010; Bristow et

    al., 2011).

    2.2.3.4. Promosi

    Promosi merupakan kebijakan dimana karyawan melakukan

    perubahan arah ke hierarki tingkat atas atau pindah ke tempat yang

    lebih tinggi tanggung jawabnya (Dessler, dalam Naveed, Usma, &

    Bushara, 2011). Bila mendapatkan promosi, karyawan akan mengalami

    peningkatan jabatan dan kompensasi, sehingga banyak karyawan yang

    akan berusaha meningkatkan kinerja demi mendapatkan promosi

    (Manove, 1997). Oleh karena itu, promosi kerap digunakan sebagai

    penghargaan karena dapat mencapai tujuan organisasi dan memiliki

    kemampuan untuk menyesuaikan tujuan organisasi dengan tujuan

    pribadi (Naveed, Usma, Bushara, 2011).

    2.2.3.5. Rotasi kerja

    Rotasi kerja merupakan sebuah metode manajemen SDM dimana

    karyawan diberi kesempatan untuk menempati posisi pekerjaan yang

    berbeda (Cuesta et al., 2011). Bobbitt et al. dalam Song, Bij, dan

    Weggeman (2006) turut menyatakan bahwa rotasi kerja adalah

    perpindahan pekerja yang direncanakan dari suatu tugas atau

    departemen ke tugas atau departemen lainnya. Rotasi kerja ini

    diberikan kepada individu di dalam organsasi untuk menghindari

    tekanan karena melakukan tugas yang sama secara terus menerus

    (Cuesta et al., 2011; Comper & Padula, 2014).

    2.2.3.6. Kompensasi

    Kompensasi kerap digunakan untuk memacu karyawan

    meningkatan kinerja dan kompetensi diri (Manove, 1997). Bahkan

    kompensasi dianggap sebagai salah satu aspek penting atau elemen

  • 20

    kunci dalam organisasi yang dapat memiliki dampak besar pada hasil

    pengelolaan organisasi karena terkait erat dengan kinerja bisnis

    (Ingram, 2015). Kompensasi merupakan salah satu hal yang utama

    dalam organisasi, sebab terkait dengan rekrutmen, motivasi,

    mempertahankan karyawan, dan mempertahankan keunggulan lainnya

    dalam organisasi (Boyd & Salamin, 2001). Kompensasi yang

    disediakan oleh organisasi antara lain adalah gaji pokok, pelayanan

    kesehatan, dan tunjangan lainnya.

    2.2.3.7. Instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan

    Dalam organisasi terdapat karyawan yang cenderung ingin

    diberikan instruksi pekerjaan secara berkala, satu per satu (Keegan,

    2011). Adapula karyawan yang cenderung senang mengerjakan

    berbagai instruksi pekerjaan dalam waktu singkat atau yang disebut

    dengan multitasking (Keegan, 2011).

    2.2.3.8. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan manajemen

    Ketika berada di dalam organisasi, terdapat karyawan yang ingin

    mempunyai peran dan pengaruh dalam organisasi (Dai & Goodrum,

    2012). Bahkan mereka kerap berpikir bahwa ide mereka sama baik dan

    bahkan terkadang lebih baik daripada ide atasan, sehingga mereka

    merasa layak turut terlibat dalam pengambilan keputusan manajemen

    (Trends Magazine, 2009). Namun di sisi lain terdapat karyawan yang

    cenderung tidak terlalu terlibat ketika ada pengambilan keputusan

    manajemen (Stanley, 2010).

    2.2.3.9. Work - family balance

    Work- family balance merupakan keseimbangan antara kehidupan

    di tempat kerja dan keluarga di rumah (Welsh, 2010). Karyawan yang

    senang dengan work family balance akan memilih memiliki

    keseimbangan kehidupan di tempat kerja dan keluarga di rumah (Ng,

  • 21

    Schweitzer, & Lyons, 2010). Sebab mereka ingin membangun keluarga

    dan memiliki anak (Tremblay et al., 2010), sehingga tidak ingin

    menghabiskan semua waktu untuk bekerja.

    2.2.3.10. Fleksibilitas jam kerja

    Dewasa ini organisasi menghadapi berbagai macam tantangan,

    dimana para pekerja kerap merasa tertekan karena jam kerja mengikis

    waktu yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas di luar

    pekerjaan (Kossek, Thompson, & Lautsch, 2015). Apalagi ketika

    dikaitkan dengan karyawan yang cenderung lebih mengutamakan

    kehidupan di luar pekerjaan dibanding kehidupan di tempat kerja

    (Trends E-Magazine, 2009). Oleh karena itu, banyak karyawan yang

    mengharapkan jam dan jadwal kerja yang lebih fleksibel (Bristow et

    al., 2011). Bahkan diantaranya terdapat yang menganggap

    kefleksibilitas jam kerja lebih penting dibandingkan materi (Bristow et

    al., 2011).