Pelanggaran%yang Disengaja:% -...
-
Upload
nguyenthuy -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of Pelanggaran%yang Disengaja:% -...
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru No. 01.a/WP-‐KAPPOB/I/2017
Yudi Bachrioktora Hilma Safitri
Dianto Bachriadi
Pelanggaran yang Disengaja: Maladministrasi di Bidang Pertanahan Warisan Orde Baru
Agrarian Resources Center
2017
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru Vol. 1 editor seri, Dianto Bachriadi Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru menyajikan hasil-‐-‐-‐ hasil penelitian yang dilakukan oleh ARC terkait dengan kebijakan agraria dan pembangunan di Indonesia paska otoritarianisme Orde Baru. Seri ini menampilkan tulisan-‐-‐-‐tulisan hasil penelitian yang terbaru maupun tulisan lama dalam tema terkait yang belum pernah diterbitkan maupun yang sudah pernah dipublikasi dalam kesempatan lain tetapi relevan dijadikan bagian dari seri working paper ini. Seri working paper ini dipersembahkan untuk mengenang (Alm.) Tri Agung Sujiwo (1975-‐2015). Penerbitan seri ini didukung oleh CCFD – Terre Solidaire, Perancis Tulisan ini pernah diterbitkan dengan judul “Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang: Mal Administrasi di Bidang Pertanahan”, Jurnal Pembaruan Agraria dan Desa 2: 60-‐-‐-‐90 (2005). Tulisan ini dan satu buku dengan judul yang sama dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh para penulis bersama Ombudsman Republik Indonesia (ORI), yang sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional (KON), pada tahun 2002. Untuk penerbitan ulang dalam bentuk working paper sekarang ini ada beberapa perbaikan seperlunya pada teks asli dan daftar rujukan, yang dilakukan oleh penulis, dengan tidak mengubah sama sekali makna dari kalimat-‐-‐-‐kalimat yang diperbaiki, apalagi mengubah makna isi paragraf yang terkait.
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD)
Bachrioktora, Yudi, Hilma Safitri dan Dianto Bachriadi Pelanggaran yang Disengaja: Maladministrasi di Bidang Pertanahan Warisan Orde Baru Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru, Vol. 1, No. 01.a/WP-‐-‐-‐KAPPOB/I/2017 Cetakan 1, Bandung: ARC, 2017 [2005] 25 hlm; 21 x 29,5 cm ISSN 2541-‐-‐-‐0121
layout & setting: penkee
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA +62 – 22 – 7237799 [email protected] www.arc.or.id
Yudi Bachrioktora
Hilma Safitri Dianto Bachriadi
Pelanggaran yang Disengaja: Maladministrasi di Bidang Pertanahan Warisan Orde Baru
Working Paper ARC 01.a/WP-‐KAPPOB/I/2017
Agrarian Resources Center 2017
Daftar Isi
Maladministrasi dan Penelitian tentang Maladministrasi dalam Bidang Pertanahan 1
Sektoralisme Hukum yang Pro pada Kepentingan Pengusaha dan Pengabaian Aturan Hukum yang Pro pada Kepentingan Rakyat 7
Tipologi Maladministrasi Pelayanan Publik Pertanahan di Kawasan Non Kehutanan 12
8 Sumber Penyebab terjadinya Mal Administrasi di Bidang Pertanahan 18
Keharusan untuk Perubahan/Perbaikan dalam Administrasi Pelayanan Publik Bidang Pertanahan 21
Rujukan 24
Tabel-‐tabel
Pengelompokan Kasus (Pengaduan) yang Diterima Komisi Ombudsman Nasional, 2000-‐2001 15
Tingkat Kekerapan Tindakan dan Keputusan Pejabat Publik yang Mengindikasikan adanya Maldministrasi di Bidang Pertanahan 16
Perbandingan Maladministrasi Pelayanan Publik yang terjadi di BPN/KP dan Pemda 17
Kekerapan Maladministrasi Pelayanan Publik yang terjadi di BPN/KP dan Pemda 18
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
1
Apakah yang hendak dikatakan jika ternyata 46,2% dari aparat pemerintah yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan pelayanan publik di bidang pertanahan melanggar sejumlah ketentuan hukum yang ada? Apa pula yang hendak dikatakan jika ternyata di dalam sistem hukum dan perundang-‐undangan pertanahan di negeri ini tersedia sejumlah legitimasi bagi bekerjanya pendekatan kekuasaan dalam penyelenggaraan administrasi pertanahan? Apa pula yang hendak dikatakan jika ternyata para aparat penyelenggara administrasi pertanahan selama ini bekerja tanpa memiliki pegangan kerja operasional yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan? Bagaimana publik (masyarakat) bisa mengontrol mereka jika ukuran-‐ukuran keberhasilan atau standar-‐standar pemberian pelayanan pun tidak tersedia? Apakah cukup menganggap semua keluhan dan pengaduan masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil ketika berurusan dengan lembaga-‐lembaga penyelenggara adinistrasi pertanahan sebagai pegangan pokok untuk mengatakan telah terjadi mal administrasi pelayanan publik di bidang ini?
Maladministrasi dan Penelitian tentang Maladministrasi dalam Bidang Pertanahan1
Pertanyaan-‐pertanyaan di atas muncul dari sejumlah temuan dan kesimpulan
mengkaji dan menganalisa 85 kasus keluhan masyarakat (complaints) yang berhubungan
dengan administrasi pertanahan yang diterima oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON)
hingga tahun 2002. Penelitian dilakukan dengan tujuan menemukan titik pangkal dan sebab-‐
sebab serta sumber maladministrasi yang terjadi dalam penyelenggaraan administrasi
pertanahan.
Tujuan ini mengemuka karena masalah administrasi dan pelayanan publik di bidang
pertanahan merupakan salah satu masalah yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat ke
Komisi Ombudsman Nasional. Bahkan jumlah keluhan dan laporan masyarakat yang merasa
dirugikan dengan penyelenggaraan administrasi dan pelayanan publik di bidang pertanahan
berada pada peringkat lima besar dibanding dengan keluhan-‐keluhan lain yang juga diterima
oleh Komisi ini. Dengan mengkaji keluhan-‐keluhan dan pengaduan yang diterima Komisi
tersebut, diharapkan dapat ditemukan sejumlah kelemahan dalam sistem administrasi
pelayanan publik dan administrasi pemerintahan yang berhubungan dengan pertanahan,
selain tentunya juga dapat dilihat gambaran bagaimana sistem hukum pertanahan dan agraria
1 Penelitian dilakukan pada Juli-Desember 2002 dengan mempelajari secara mendetail 85 berkas pengaduan masyarakat yang terkait dengan pelayanan publik di bidang pertanahan berikut dokumen-dokumen penyertanya yang diterima oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON) sepanjang tahun 2000-2001. Selain itu, penelitian ini juga merekonstruksi ulang peraturan-peraturan hukum di bidang pertanahan dan sejumlah peraturan yang terkait dengan administrasi pertanahan.
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
2
di negeri ini bekerja. Hingga dari sejumlah keluhan dan ketidakpuasan itu bisa ditelusuri letak
dari sumber ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat (publik). Apakah ketidakadilan itu
akibat dari sikap para aparat yang bertugas langsung dengan pelayanan, atau akibat dari sistem
administrasi itu sendiri yang tidak memberikan ruang bagi terciptanya kepuasan publik atas
layanan pemerintah terhadap kepentingan mereka? Atau mungkin letaknya lebih jauh lagi,
yaitu pada sistem hukum dan peraturan pertanahan yang mengandung muatan-‐muatan
ketentuan yang tidak adil?
Meminjam pada pengertian yang dikembangkan oleh Ombudsman Pemerintahan
Lokal di Inggris, maladministrasi merupakan suatu konsepsi yang merujuk pada suatu keadaan
dimana ‘telah terjadi kesalahan di lembaga pemerintahan, baik dalam rangka menjalankan
tugasnya atau tidak dijalankannya tugas yang seharusnya dikerjakan’ (How to Complaint to the
Local Government Ombudsman, Local Government Ombudsman in England, tt: 4). Dengan
kata lain, jika di satu lembaga pemerintahan atau orang-‐orang yang bertugas di sana telah: (1)
mengerjakan sesuatu yang menjadi tugasnya terlalu lama, (2) tidak mengikuti aturan atau
hukum yang berlaku, (3) melanggar janjinya, (4) memperlakukan anggota masyarakat secara
tidak adil, (5) memberikan informasi yang tidak benar, atau (6) tidak membuat keputusan
secara benar; maka itu semua adalah petunjuk telah terjadi maladministrasi (lihat: How to
Complaint to the Local Government Ombudsman, hal. 4; dan The Ombudsman in Your File,
edisi revisi, 1997, hal. 4).
Maladministrasi itu sendiri merefleksikan adanya ketidakadilan di dalam sistem yang
bekerja untuk mengatur hubungan antara warga dengan lembaga-‐lembaga yang memiliki
kewenangan untuk memerintah atau menjalankan administrasi publik. Dalam konteks ini,
ketidakadilan itu dapat ditelusuri dari keluhan-‐keluhan dan pengaduan (complaints) yang
disampaikan oleh warga khususnya ketika mereka harus berhadapan dengan lembaga-‐lembaga
pemerintah atau yang menjalankan administrasi publik untuk mendapatkan pelayanan.
Menurut Komite Ombudsman dari American Bar Association, ada 33 hal yang berhubungan
dengan pemerintahan yang akan menimbulkan keluhan dan pengaduan dari masyarakat,
yaitu: ketidakadilan; kesalahan dalam menerjemahkan hal-‐hal yang telah ditetapkan oleh
hukum/aturan; keterlambatan yang tidak masuk akal; kesalahan administratif;
penyalahgunaan kekuasaan dalam mengambil kebijakan; ketidaksopanan atau tiadanya rasa
hormat; kesalahan dalam pekerjaan klerikal (teknis); penindasan atau penganiayaan; kelalaian;
sembrono; penyelidikan yang tidak benar; kebijakan yang tidak adil; berpihak; kesalahan
komunikasi; bertindak kasar; maladministrasi; ketidakadilan; tidak dapat diterima oleh akal;
sewenang-‐wenang; arogan/sombong; tidak efisien; pelanggaran hukum atau peraturan;
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
3
penyalahgunaan kewenangan; diskriminatif; ketidakmampuan bertindak; kesalahan atau
ketidakhati-‐hatian dalam bertindak; ketidaksetujuan terhadap keputusan yang telah diambil;
tidak konsisten dengan petunjuk umum atas fungsi lembaga; kesalahan dalam menerapkan
hukum atau kesewenangan dalam penetapan fakta-‐fakta; mendasari diri pada hal-‐hal yang
tidak relevan; ketidakjelasan atau ketidaktepatan penjelasan; hasil kerja yang tidak efisien; dan
tindakan-‐tindakan lain yang mengarah pada ketidakadilan yang seringkali dilakukan oleh
pemerintah, baik yang disengaja maupun tidak disengaja (Gottehner dan Hostina 1998: 12-‐13).
Sebagai perbandingan, Crossman membuat beberapa kategori tindakan, perlakuan,
atau keputusan lembaga pemberi pelayanan publik atau orang-‐orang yang mengatasnamakan
lembaga tersebut (para aparat/pejabat publik) yang dapat dikategorikan sebagai
maladministrasi, yaitu: berpihak atau berlaku berat sebelah (bias), mengabaikan (neglect),
kurang perhatian (inattention), keterlambatan (delay), tidak mampu (incompetence), bertindak
tidak pantas (ineptitude), berbuat tidak wajar (perversity), berbuat jahat (turpitude), sewenang-‐
wenang (arbitrariness), dan sebagainya yang sejenis dengan tindakan-‐tindakan ini (The
Ombudsman in Your File, hal. 26). Sedangkan Parliamentary Commissioner for Administration
atau Parliamentary Ombudsman di Inggris menguraikan sejumlah tindakan atau keputusan
berikut yang dapat disebut sebagai maladministrasi, yaitu: bertindak kasar (rudeness);
keengganan untuk memproses keluhan dari seseorang yang memiliki hak untuk itu; menolak
untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang memiliki alasan kuat untuk disampaikan;
mengabaikan penyampaian informasi kepada orang yang menyampaikan keluhan atau
bertanya padahal orang tersebut memiliki hak untuk itu; memberikan petunjuk yang sudah
jelas diketahui ketidaktepatan atau ketidakbenarannya; tidak mengindahkan petunjuk yang
sah atau mengeluarkan putusan yang akan menghasilkan suatu hasil tidak menyenangkan atau
merugikan pihak yang terkena putusan tersebut; tidak memberikan penggantian atau
memberikan penggantian yang tidak pada tempatnya (semestinya); bertindak diskriminatif
karena bias tertentu (gender, warna kulit, dan alasan lainnya); tidak melakukan
pemberitahuan kepada pihak-‐pihak yang kemudian jadi kehilangan haknya untuk memohon;
menolak memberikan informasi yang benar mengenai hak-‐hak untuk memohon; kesalahan
dalam menjalankan prosedur yang telah ditetapkan; kesalahan pimpinan dalam memonitor
pemenuhan prosedur yang semestinya; kesombongan untuk mengabaikan petunjuk yang
seharusnya diikuti dalam rangka perlakuan yang adil kepada para pengguna jasa (layanan);
memihak; dan kegagalan untuk mencegah atau mengurangi akibat dari kekakuan bersikap taat
kepada teks hukum yang mengandung ketidakaslian (The Ombudsman in Your File, hal. 26-‐27).
Secara khusus, penelitian ini menggunakan 7 kategori tindakan dan keputusan dari
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
4
pejabat publik atau aparat pemerintah untuk menunjukan adanya tindakan-‐tindakan atau
keputusan-‐keputusan pejabat publik yang mengindikasikan terjadinya mal administrasi dalam
bidang pertanahan di Indonesia (lihat juga Masduki 2002; dan Sujata dan Surachman 2002:
189). Ketujuh kategori itu adalah keputusan-‐keputusan atau tindakan-‐tindakan dari instansi
maupun para pejabat publik (aparat) yang: (1) mengandung keganjilan, (2) menyimpang, (3)
sewenang-‐wenang, (4) melanggar ketentuan, (5) menyalahgunakan kekuasaan, (6) melanggar
kepatutan, dan (7) mengalami keterlambatan yang tidak perlu.
Mengikuti uraian di atas, bisa disimpulkan pengertian maladministrasi itu bekerja di
dua tataran. Tataran pertama adalah kebijakan dan peraturan perundang-‐undangan yang
menjadi bagian dari bekerjanya suatu pemerintahan. Tataran kedua adalah perilaku dan
prosedur dalam melayani kepentingan publik yang sesungguhnya merupakan satu aspek dari
pemerintahan. Pada tataran pertama terkandung pengertian yang merujuk pada kegagalan
pemerintahan untuk mengembangkan suatu sistem administrasi pemerintahan secara umum
atau yang berhubungan dengan satu bidang tertentu yang kemudian menimbulkan
ketidakadilan atau terganggunya rasa keadilan masyarakat. Kegagalan ini bisa menimbulkan
jatuhnya korban-‐korban atau pihak-‐pihak yang dirugikan secara langsung dari pemberlakuan
suatu aturan hukum, kebijakan atau tata cara dalam menjalankan pemerintahan, termasuk
pemberian pelayanan kepada masyarakat (publik). Jadi di dalam pengertian ini termasuk
segala hukum, peraturan perundang-‐undangan, maupun kebijakan-‐kebijakan pemerintah yang
dijadikan pegangan dalam menjalankan pemerintahan yang berpotensi atau secara langsung
telah menimbulkan ketidakadilan di tengah masyarakat. Sedangkan dalam tataran kedua
terkandung pengertian yang merujuk kepada penyimpangan atau kesalahan di dalam
menjalankan suatu prosedur operasi pelayanan publik yang mengakibatkan adanya kerugian
atau ketidakadilan pada anggota masyarakat (publik).
Dengan kata lain, pengertian yang kedua adalah pengertian sempit dari konsep
maladministrasi. Sedangkan yang pertama adalah pengertian yang lebih luas dari konsep
tersebut. Meskipun demikian, keduanya bukan dua hal yang terpisah, melainkan berhubungan
erat satu sama lain. Kaitan pengertian administrasi sebagai ‘tata laksana penyelenggaraan
suatu kegiatan tertentu’ dan ‘pemerintahan’ terlihat lebih jelas dalam pengertian administrasi
publik. Menurut Greenwood dan Wilson (1989), sebagaimana yang dirujuk oleh Pollitt (2000),
pengertian administrasi publik berkaitan dengan: (1) aktivitas pelayanan publik; dan (2)
struktur pemerintahan eksekutif. Jadi dalam prakteknya administrasi publik berhubungan
dengan ‘pekerjaan sehari-‐hari dari pejabat publik maupun dengan proses penataan berbagai
variasi dari institusi negara’ (Pollitt 2000: 870). Jadi, di dalam administrasi pelayanan publik
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
5
ada dua hal yang berkaitan satu sama lain. Pertama adalah proses atau tata laksana pemberian
pelayanan kepada masyarakat luas atau publik yang menjadi fungsi dari suatu lembaga yang
dibentuk khusus untuk tugas itu. Kedua adalah proses bekerjanya suatu pemerintahan yang
menjadi wadah yang lebih luas dari tata laksana pemberian pelayanan kepada publik tadi.
Menurut Komisi Pemerintahan Lokal di Inggris, ada 42 prinsip yang terkandung di
dalam sistem administrasi atau pemerintah yang baik, yang kalau dikategorikan meliputi 8
aspek, yaitu: hukum, kebijakan, keputusan, tindakan akibat diambilnya suatu keputusan,
proses administratif, hubungan dengan penerima layanan, keadilan dan ketidakberpihakan
(impartiality and fairness), dan hal-‐hal yang berkaitan dengan keluhan masyarakat (The
Commission for Local Administration in England 2001: 3).
Dengan memperhatikan kedelapan aspek ini, maka dengan sendirinya perhatian
terhadap praktek administrasi dan pemerintahan yang tidak baik juga harus melihat kenyataan
pada hukum, peraturan perundangan dan kebijakan yang berlaku. Tidak hanya dalam konteks
apakah hukum dan peraturan yang tersedia sekarang telah dipenuhi atau dijalankan dengan
baik oleh para pelayan publik (aparat) tetapi justru meninjau juga apakah hukum dan
peraturan yang berlaku itu telah memenuhi rasa keadilan masyarakat atau tidak memberikan
ruang bagi terjadinya tindakan-‐tindakan atau keputusan aparat yang berakibat munculnya
ketidakadilan.
Dengan demikian, memperhatikan bekerjanya suatu administrasi pelayanan publik
tidak harus berhenti pada tataran tindakan dan perilaku para pejabat publik yang
bersangkutan serta keberadaan dari sistem operasi dari administrasi pelayanan itu sendiri.
Tetapi karena berhubungan dengan suatu sistem pemerintahan, memperhatikan sistem
administrasi pelayanan publik mau tidak mau harus juga memperhatikan keberadaan
seperangkat hukum, kebijakan dan peraturan yang dengan sengaja dibentuk dalam konteks
menjalankan suatu pemerintahan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan tadi.
Berangkat dari konsepsi di atas, cara pandang yang digunakan dalam penelitian ini
menempatkan tindakan atau keputusan dari pejabat publik yang mengindikasikan terjadinya
maladministrasi sebagai sesuatu yang tampak di permukaan. Di bawah permukaan dari
tindakan maupun keputusan sang aparat ada dua lapisan sistem yang sesungguhnya bekerja
menjadi wadah bagi ‘keberlangsungan hidup’ tindakan-‐tindakan dan keputusan-‐keputusan
yang mengindikasikan adanya maladministrasi. Sehingga upaya-‐upaya untuk memperbaiki
perilaku dari aparat atau pejabat tersebut tidak akan terlalu berarti jika tidak disertai dengan
upaya-‐upaya mengubah dua lapisan yang berada di bawahnya, yaitu: (1) sistem administrasi
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
6
pelayanan dimana pejabat tersebut memperoleh tugas dan kewenangannya, dan (2) peraturan-‐
peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum bagi pembentukan sistem administrasi
dimaksud.
Cara pandang seperti ini harus dikembangkan khususnya dalam konteks kehidupan
bernegara seperti Indonesia yang mengalami masa cukup panjang berada dalam keadaan tidak
berkembangnya demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemerintahan,
lembaga-‐lembaga negara lainnya, dan lembaga-‐lembaga yang berfungsi melayani publik.
Dalam kerangka hubungan negara dan masyarakat yang kaku dan searah serta didominasi oleh
kekuasaan pemerintah, maka lembaga-‐lembaga pelayanan publik dan segala peraturan
perundangan yang menjadi dasar bagi hukum bekerjanya sistem pelayanan dan lembaga
tersebut kurang mengalami perbaikan-‐perbaikan berdasarkan keluhan-‐keluhan ataupun
kritisisme yang datang dari masyarakat. Bahkan sebaliknya, segala keluhan dan kritisisme
tersebut akan ditenggelamkan oleh represi atau perilaku sebagai ‘penguasa’ dari para pejabat
publik. Di dalam kerangka hubungan seperti ini, birokrasi telah menjelma menjadi suatu
mesin yang bekerja sendiri atas kepentingannya sendiri (lihat juga: Collier, 1979; Albrow, 1989;
Blau dan Meyer, 2000; dan Nelson, 2000). Karena itu, di dalam sistem seperti ini dapat
dikatakan maladministrasi akan berkembang menjadi suatu sistem, bukan lagi suatu perilaku-‐
perilaku, tindakan-‐tindakan atau keputusan-‐keputusan pejabat tertentu dalam kasus-‐kasus
tertentu saja.
Begitupun dengan birokrasi dalam pelayanan publik bidang pertanahan. Sebagai suatu
sistem pelayanan, perilaku atau tindakan aparat (pejabat publik) yang mengindikasikan
adanya maladministrasi telah berkembang menjadi sesuatu yang melekat pada sistem itu
sendiri. Jika dilakukan pemeriksaan, maka di bawah segala perilaku dan tindakan aparat yang
mengindikasikan adanya maladministrasi tersebut akan terlihat satu jaringan sistem
administrasi pelayanan publik yang memang memberikan ruang bagi kemungkinan terjadinya
penyimpangan-‐penyimpangan. Jaringan sistem administrasi yang amat terbuka yang
memungkinkan terjadinya penyimpangan tersebut merupakan bentukan dari kombinasi dua
kekuatan yang saling menopang, yakni sistem hukum agraria/pertanahan dengan segala watak
sektoralisme-‐nya dan lebih mengabdi kepada kepentingan kapital serta corak birokrasi yang
menjadi wadah dari sistem administrasi di bidang pertanahan itu sendiri.
Maladministrasi pelayanan publik dapat terjadi tidak hanya pada instansi pemerintah
selaku eksekutif negara, tetapi juga lembaga-‐lembaga negara dalam cabang-‐cabang kekuasaan
lainnya, maupun lembaga yang bekerja atas nama pemerintah atau menjadi kontraktor dari
lembaga pemberi pelayanan publik (lihat The Ombudsman in Your File, 1997: 6). Di Indonesia,
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
7
secara tegas Keppres No. 44/2000 menyebutkan bahwa Komisi Ombudsman Nasional dapat
‘melakukan klarifikasi atau monitoring dan pemeriksaan terhadap petugas atau pejabat
(aparatur) pemerintahan, peradilan serta pihak lain terkait atas dugaan adanya penyimpangan
dalam pelaksanaan umum, tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban
hukumnya’ (pasal 9).
Maladministrasi itu sendiri menjadi satu persoalan serius karena anggota masyarakat
yang seharusnya memperoleh pelayanan dari lembaga pemerintahan atau lembaga yang
memberikan layanan publik akan mengalami kerugian atau merasa diperlakukan tidak adil
atau dihilangkan haknya sebagai warga akibat adanya praktek administrasi yang tidak
seharusnya. Karena itu, secara umum pengertian maladministrasi berkonotasi pada adanya
ketidakdilan yang dialami oleh anggota masyarakat atau publik akibat perlakuan para pejabat
publik atau aparat/petugas pemberi layanan publik atau karena bekerjanya suatu sistem
pelayanan yang memang mengidap suatu potensi bagi terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan
atau perlakuan yang tidak adil yang mengakibatkan adanya kerugian materi maupun moril ini
lah yang menjadi kata kunci dari adanya maladministrasi.
Sektoralisme Hukum yang Pro pada Kepentingan Pengusaha dan Pengabaian Aturan Hukum yang Pro pada Kepentingan Rakyat
Pada tataran sistem hukum agraria/pertanahan ditemui sejumlah kenyataan yang
menunjukan aturan-‐aturan hukum dan perundang-‐undangan yang ada banyak yang tumpang
tindah, sectoral oriented, terfragmentasi (tidak terintegrasi), lebih mementingkan investasi
ketimbang kepentingan publik (orang banyak), serta pada umumnya berwatak sentralistik dan
berpusat pada Negara yang diwakili oleh pemerintah pusat. Kecenderungan-‐kecenderungan
baru di dalam desentralisasi pemerintahan dan politik otonomi daerah belum tampak di dalam
sistem hukum dan perundang-‐undangan itu.
Dengan watak yang sectoral oriented, sentralistik dan mengedepankan investasi, maka
departmentalism atau munculnya pusat-‐pusat kekuasaan di departemen terkait yang
kemudian menjadi jaring-‐jaring kekuasaan dengan instransi-‐instansi di bawahnya merupakan
ciri utama dari kelembagaan (birokrasi) dalam sistem administrasi pelayanan publik di bidang
agraria/pertanahan.
Sistem hukum agraria di Indonesia telah menempatkan paling tidak kewenangan tiga
instansi sebagai pihak yang memiliki kuasa untuk mengatur peruntukan hak atas tanah
sekaligus mengatur pemanfaatannya dan pemanfaatan kekayaan alam. Pertama adalah
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
8
Departemen Kehutanan yang menguasai sekitar (lebih-‐kurang) 70% dari seluruh daratan di
Indonesia yang dinyatakan sebagai kawasan hutan negara. Berdasarkan Undang-‐undang
Kehutanan segala hak yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan negara
berada dalam kewenangan Departemen Kehutanan. Hak atas tanah kehutanan memang tidak
diatur oleh undang-‐undang ini, tetapi penguasaan tanah hutan dengan sendirinya menyertai
setiap hak untuk mengelola hutan.2
Selain itu juga ditetapkan bahwa kawasan hutan hanya meliputi dua kategori, yaitu:
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dan konservasi. Dengan orientasi lebih
mengedepankan kepentingan bisnis eksploitasi dan pengelolaan hutan dalam skala besar,
maka hutan-‐hutan produksi dikapling-‐kapling untuk para pengusaha yang diberikan
HPH/HPHTI.3 Itu artinya, di dalam kawasan hutan negara tidak ada ruang untuk tempat
tinggal (pemukiman), aktivitas pertanian, dan aktivitas lainnya yang tidak berkaitan dengan
fungsi hutan.4 Padahal kenyataannya tidak lah demikian. Ada kelompok-‐kelompok masyarakat
yang telah tinggal dan memanfaatkan tanah, baik untuk pemukiman maupun lahan-‐lahan
pertanian dan untuk kegiatan sosial-‐budaya lainnya, yang kemudian diklaim sebagai kawasan
hutan negara. Atau ada kelompok-‐kelompok masyarakat yang tinggal di dalam kawasan yang
ekosistemnya berbentuk bukan hutan lagi akibat proses pembukaan hutan yang telah
berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun, tetapi masih dinyatakan oleh pemerintah sebagai
kawasan hutan. Akibatnya tentu saja yang terjadi adalah konflik. Konflik yang didasari pada
sengketa klaim atas tanah yang dinyatakan sebagai kawasan hutan negara.
Aparat pemerintah atau pejabat publik di lingkungan departemen kehutanan dan
instansi bawahannya, termasuk unit kerja di pemerintahan daerah yang terkait, akan bekerja
menurut peraturan perundang-‐undangan yang ada. Kalaupun segala keputusan dan tindakan
mereka tidak menyalahi aturan yang ada, rasa keadilan masyarakat tetap saja terganggu
dengan kenyataan ini.
Kedua, pihak yang memiliki kewenangan dalam soal penetapan hak atas tanah adalah
2 Catatan tambahan (2017): Pada waktu tulisan ini dibuat, peraturan perundang-undangan yang mengatur soal kehutanan masih UU Kehutanan No. 41/1999 yang merupakan pengganti dari UU Pokok Kehutanan No. 5/1967. Pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1/2004 yang mengubah isi UU No.41/1999. Beberapa bulan kemudian DPR menerbitkan UU No. 19/2004 yang mengesahkan Perpu No. 1/2004 menjadi undang-undang. 3 Catatan tambahan (2017): Berdasarkan UU Kehutanan No. 41/1999, hak pengelolaan hutan diubah menjadi Izin Usaha Kehutanan, yang meliputi Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Hutan, Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan, dan Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. 4 Catatan tambahan (2017): Perubahan terjadi dengan terbitnya Perpu No. 1/2004 yang memberikan izin untuk kegiatan pertambangan besar di sejumlah kawasan hutan lindung.
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
9
Kementrian Agraria dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang dalam prakteknya hanya
berwenang atas tanah yang dinyataan sebagai tanah non-‐kehutanan yang jumlahnya sekitar
30% dari seluruh daratan Indonesia. Dalam operasinya BPN bekerja berdasarkan tetapan-‐
tetapan di dalam Undang-‐undang Pokok Agraria (UUPA). Pada dasarnya UUPA berlandaskan
pada pandangan ‘tanah untuk penggarap’ (land to the tillers). Tetapi di dalam prakteknya
ditemui kenyataan bahwa dalam melayani kepentingan publik, BPN dan aparat birokrasi di
dalam lingkungannya lebih mendahulukan kepentingan kegiatan investasi dan pemberian hak
kepada pengusaha untuk menguasai tanah dalam skala besar daripada memberikan
kesempatan kepada masyarakat luas – terlebih lagi kepada para penggarap tanah atau
kelompok tuna kisma (landless) – untuk untuk memproses haknya. Bahkan untuk kepentingan
pengusaha tersebut, BPN sering bertindak menegasi hak-‐hak masyarakat atas tanah yang telah
dikuasainya dengan menyatakan penguasaan tersebut tidak memiliki dasar hukum atau tidak
berkekuatan hukum. Jika ditelusuri lebih jauh, seringkali BPN bertindak berdasarkan klaim
dan kesimpulan sepihak yang mengabaikan alasan-‐alasan kultural, sosial, maupun hukum
yang dikemukakan oleh masyarakat setempat yang mengakui adanya hak mereka atas
sebidang tanah. Selain sikap berkuasanya aparat (pejabat publik) yang berhubungan dengan
soal penetapan hak atas tanah itu, masalah terletak pada diabaikannya perintah-‐perintah
pokok di dalam UUPA yang hendak mendahulukan kepentingan masyarakat luas, lebih khusus
lagi rakyat kecil dan kaum tani. Pengabaian tersebut, sejak Orde Baru berkuasa, muncul akibat
orientasi politik agraria yang menempatkan tanah lebih sebagai komoditas ketimbang hajat
hidup orang banyak (lihat juga: Suhendar dan Kasim 1996; Bachriadi 1999; Bachriadi dan Lucas
2000; Bachriadi dan Wiradi 2004; Wiradi, 2000).
Kewenangan ketiga berada pada Departemen Pertambangan dan Energi yang bekerja
dengan mengacu pada Undang-‐undang Pokok Pertambangan.5 Undang-‐undang ini memberi
ketetapan jika di satu areal/kawasan telah ditetapkan sebagai areal penambangan, maka
kegiatan tersebut harus diprioritaskan. Dengan lain perkataan, aktivitas-‐aktivitas masyarakat
lainnya harus di-‐nomor-‐dua-‐kan. Memang, undang-‐undang ini mengatur soal keharusan
pemberian ganti kerugian terhadap tanah-‐tanah dan bangunan (tetapi tidak untuk tumbuhan
dan lainnya) yang akan dijadikan areal penambangan. Tetapi ketika barang tambang
merupakan suatu komoditas yang sangat bernilai, maka pemberian hak untuk mengeksplorasi
maupun mengeksploitasinya dilakukan dengan cara sewenang-‐wenang. Luas konsesi
pertambangan besar yang sekarang ini jika dijumlahkan keseluruhannya sudah mencapai lebih
5 Catatan tambahan (2017): UU Pokok Pertambangan No. 11/1967 telah diubah dengan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan dan Batubara.
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
10
dari 3 kali luas daratan Indonesia itu sendiri adalah gambarannya (lihat: Indonesian Mining
Directory & Map, 1996; Indonesian Minerals Exploration & Mining Directory, edisi 1999/2000;
Bachriadi dan Wiradi 2004). Bersamaan dengan itu, secara umum konsesi pertambangan besar
lebih banyak dilakukan di dalam areal yang dinyatakan sebagai Tanah Negara atau di dalam
kawasan hutan. Maka, proses pemberian ganti kerugian jika ternyata di dalam areal tersebut
telah dikuasai oleh masyarakat merupakan satu persoalan besar. Artinya, hak-‐hak masyarakat
akan lebih banyak diabaikan. Akibatnya lagi-‐lagi terjadi konflik dan dirugikannya sejumlah
anggota masyarakat untuk keuntungan dan kepentingan pihak pengusaha.
Keberadaan ketiga instansi dengan segala kepentingan dan aturan hukum yang ada di
belakangnya juga telah menimbulkan konflik di antara mereka sendiri. Meskipun demikian,
konflik antar departemen itu pada akhirnya dapat diselesaikan dan malah berubah menjadi
persekutuan yang berdampak negatif pada masyarakat banyak sebagai pihak yang dirugikan.
Contoh terbaru dalam hal ini adalah konflik yang diakhiri dengan persekutuan antara
Departemen Kehutanan dan Departemen Pertambangan yang mengeluarkan ijin/konsesi
sejumlah pertambangan besar di dalam kawasan-‐kawasan lindung dan konservasi (lihat:
Bachriadi 2004; dan Kirom 2004).
Berlawanan dengan kenyataan sektoralisme peraturan perundang-‐undangan yang
dalam prakteknya tidak berpihak pada kepentingan orang banyak, sesungguhnya ada sejumlah
peraturan hukum dan perundang-‐undangan agraria yang secara tegas menunjukkan
keberpihakannya kepada rakyat. Misalnya adalah peraturan-‐peraturan tentang pelaksanaan
Land Reform dan Redistribusi tanah negara, larangan penguasaan tanah secara guntai, dan
pengawasan pemanfaatan tanah yang telah diberikan hak. Tetapi dalam praktek
penyelenggaraan negara, khususnya sejak Orde Baru berkuasa, amanah undang-‐undang yang
pro pada kepentingan kaum tani tersebut lebih kerap diabaikan atau tidak dijalankan
sebagaimana mestinya.
UUPA 1960 mengamanatkan dijalankannya land reform agar terbentuk dasar yang
kokoh bagi kegiatan pertanian rakyat dari sebagian besar penduduk pedesaan yang hidupnya
bergantung pada kegiatan pertanian. Salah satu bagian terpenting dalam program land reform
adalah redistribusi tanah kepada para petani penggarap dan petani tak bertanah. Dalam
kenyataannya, program land reform dan redistribusi tanah secara sistematik terhenti sejak
memasuki tahun 70-‐an, menyusul peristiwa pergantian rezim kekuasaan dari Orde Lama ke
Orde Baru. Akibatnya persoalan ketimpangan penguasaan tanah dan ketunakismaan
(landlessnes) yang diwariskan pemerintahan kolonial tidak terselesaikan, bahkan terus
bertambah dari tahun ke tahun. Di sisi lain, terhentinya program ini juga telah menghentikan
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
11
kesempatan bagi para petani penggarap yang telah menguasai dan menggarap tanah-‐tanah
perkebunan eks milik perusahaan asing yang ditinggalkan pemiliknya akibat perang
kemerdekaan untuk memiliki tanah-‐tanah tersebut. Padahal menurut ketentuan yang berlaku
dan dalam batas-‐batas tertentu penguasaan tanah-‐tanah eks perkebunan asing tersebut akan
dan harus mendapat pengakuan dari pemerintah. Dalam kenyataannya banyak tanah-‐tanah
eks perkebunan asing yang dikuasai rakyat tidak/belum memperoleh pengakuan, baik dalam
bentuk SK Penggarapan atau SK Redistribusi apalagi sertifikat Hak Milik. Masalah yang
muncul kemudian adalah ketika tanah-‐tanah yang sudah dikuasai secara de facto oleh rakyat
tersebut di atasnya diterbitkan HGU yang diberikan kepada perusahaan-‐perusahaan
perkebunan – baik swasta maupun pemerintah – sebagai bagian dari proses konversi hak barat
maupun perpanjangan hak (HGU) setelah hak-‐hak erpacht yang bersangkutan habis masa
berlakunya. Kelanjutannya adalah merebaknya konflik-‐konflik agraria di dalam areal tanah-‐
tanah perkebunan (Bachriadi 1999; Bachriadi 2001; Bachriadi dan Lucas 2001; Bachriadi dan
Lucas 2002).
Seiring dengan berjalannya waktu dan terhentinya pelaksanaan program land reform
secara sistematik, maka larangan penguasaan tanah-‐tanah pertanian secara guntai seolah tidak
menemukan ruang dalam penerapannya, walaupun tujuan dari larangan tersebut terurai
sangat jelas dalam peraturan perundang-‐undangan yang mengaturnya. Ketiadaan ruang sosial
dan ruang politik untuk menerapkan ketentuan hukum ini yang diperkuat pula dengan
kebijakan yang menempatkan tanah sebagai komoditas, membuat pemilikan tanah secara
guntai menjadi suatu fenomena yang biasa di tengah kehidupan masyarakat desa, khususnya
di Jawa. Memang sulit untuk mengemukakan data-‐data tentang kasus kepemilikan tanah
guntai, namun pernyataan Kepala Kantor Pertanahan Bekasi yang dimuat dalam Harian
Umum Kompas (21 Oktober 1996) yang menyatakan ada sekitar 20% tanah di wilayah kerjanya
merupakan tanah-‐tanah guntai dapat merefleksikan kenyataan bahwa kasus-‐kasus semacam
ini ada dan cukup banyak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Collier et al. juga
menggambarkan situasi yang kurang lebih sama. Di sejumlah desa yang mereka teliti di Jawa,
persentase tanah guntai rata-‐rata sekitar 13,8%. Sebaliknya, persentase keluarga petani tak
bertanah di desa-‐desa tersebut adalah sekitar 51,78% (Collier et al. 1996). Padahal, tingginya
kepemilikan tanah guntai (absenteeisme) di satu wilayah akan selalu berhubungan dengan
tingginya angka ketunakismaan (landlessnes) di wilayah tersebut. Fenomena absenteeisme ini
sebenarnya dapat ditekan jika fungsi pengawasan dan pengendalian tanah dijalankan dengan
baik, serta diberikannya perhatian yang lebih besar terhadap kepentingan mayoritas penduduk
yang memerlukan tanah untuk keberlanjutan dan perbaikan kehidupannya. Sistem
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
12
pengendalian kepemilikan tanah jika dijalankan dengan baik dapat mengurangi ketimpangan
penguasaan tanah, karena selain mencegah terjadinya konsentrasi penguasaan tanah, tanah-‐
tanah guntai yang sudah terlanjur ada merupakan objek land reform yang hak penguasaan dan
kepemilikannya kemudian dapat diredistribusi kepada sejumlah rumah tangga petani tak
bertanah.
Bentuk pengabaian yang lain adalah pengabaian terhadap amanah untuk mengawasi
pemanfaatan tanah yang telah diberikan haknya. Hal ini sejalan dengan adanya sejumlah
persyaratan dan ketentuan tertentu yang menyertai terbitnya hak-‐hak atas tanah yang
mengatur ketentuan-‐ketentuan tentang kewajiban-‐kewajiban pemegang hak selama
memegang hak tersebut dan tentang sangsi yang diberikan jika terjadi pelanggaran yang
dilakukan oleh pemegang hak. Meskipun demikian, proses pengawasan pemanfaatan tanah
sesuai dengan hak yang telah diberikan tidak selalu seperti yang dikehendaki oleh ketentuan
hukum yang berlaku. Kewajiban-‐kewajiban dari pemegang hak seringkali tidak menjadi
perhatian instansi pemerintah untuk mengevaluasi pemberian hak yang telah dilakukan.
Karena itu, dalam beberapa kasus, penyimpangan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai
dengan peruntukannya sebagaiamana dinyatakan dalam keputusan pemberian haknya
menjadi hal yang biasa. Misalnya, tanah tidak diusahakan/dikerjakan sendiri tetapi disewakan
kepada pihak lain, padahal aturan yang menyertai pemberian ha katas tanah tersebut adalah
menghendaki pemegang hak untuk menggarap/menggunakannya sendiri. Seringkali pula
pihak penyewa kemudian mengembangkan usaha yang berlainan/tidak sesuai dengan tujuan
pemberian hak atas persil tanah tersebut.
Dengan uraian-‐uraian di atas, jelas terlihat administrasi di bidang pertanahan yang ada
tidak menjawab kebutuhan sebagian besar anggota masyarakat yakni keadilan. Dalam hal ini,
bukan berarti ketentuan hukum untuk tegaknya keadilan itu dan kesejahteraan itu tidak ada.
Dalam banyak kasus kebijakan pertanahan yang diterapkan oleh pemerintah dan praktek
administrasi pertanaha justru yang telah mengabaikan ketentuan hukum (undang-‐undang)
yang ada.
Tipologi Maladministrasi Pelayanan Publik Pertanahan di Kawasan Non Kehutanan
Menurut peraturan-‐peraturan yang berlaku, ada beberapa lembaga yang berhubungan
langsung dalam soal administrasi pertanahan di dalam kawasan non kehutanan. Pertama
adalah BPN dan Kantor-‐kantor Pertanahan. Kedua adalah pemerintah daerah, dan ketiga
adalah lembaga peradilan yang berhubungan dengan persoalan penyelesaian sengketa. Dengan
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
13
keterbatasan yang ada, maka penelitian yang dilakukan hanya memusatkan perhatian pada
perilaku, tindakan dan keputusan-‐keputusan aparat (pejabat publik) yang berada di dalam
lingkungan BPN/Kantor Pertanahan (KP) dan Pemda saja. Sementara tindakan dan perilaku
aparat yang berada di dalam lembaga peradilan tidak disentuh oleh penelitian ini.
Pembagian kewenangan di antara ketiga instansi di atas dalam administrasi
pertanahan adalah sebagai berikut: BPN/KP memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan
pengukuhan hak atas tanah sesuai aturan hukum formal yang berlaku, dan penyediaan
infrastruktur pelayanan bagi pengukuhan hak tersebut. Pada fungsi yang pertama termasuk di
dalamnya adalah penyediaan peta-‐peta dasar penguasaan dan pendaftaran tanah serta
informasi pertanahan yang terkait. Pada fungsi yang kedua meliputi pelayanan dalam
permohonan, pendaftaran, pengalihan, perpanjangan/pembaruan, perubahan, dan
pembatalan/ pencabutan hak-‐hak atas tanah. Pemerintah Daerah (pemda) memiliki tugas dan
kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan/atau penguatan atas bukti-‐bukti
penguasaan tanah dalam rangka seseorang atau subyek hukum lainnya memperoleh
pengukuhan hak atas tanah dari BPN/KP. Sementara lembaga peradilan berwenang
menangani perkara pengaduan pada saat terjadi sengketa hak atas tanah, atau memeriksa
kebenaran bukti-‐bukti hukum yang dijadikan dasar dari pemberian hak atas tanah. Keputusan
pengadilan diperlukan manakala suatu sengketa tidak dapat diselesaikan dengan cara-‐cara
lainnya yang masih berada dalam koridor hukum yang berlaku. Penyelesaian sengketa
pertanahan juga menjadi tugas dan kewenangan BPN/KP dan Pemda, tanpa harus menunggu
adanya perintah/putusan pengadilan, selama hal itu berkaitan dengan prosedural administrasi
pemberian atau penetapan hak.
Di dalam proses kerjanya, baik BPN/KP maupun Pemda memiliki sandaran hukum
pada sejumlah peraturan perundang-‐undangan. Selain itu para aparat di kedua lembaga ini
juga bersandar kepada sejumlah keputusan maupun instruksi dari pejabat yang lebih tinggi
posisinya. Meskipun ada ratusan peraturan atau keputusan pemerintah yang berkenaan
dengan pelayanan di bidang pertanahan saat ini, tidak ditemukan adanya suatu standar
prosedur operasi pelayanan yang dapat dijadikan pegangan/pedoman dalam bertindak dan
mengambil keputusan dari para aparat dalam melayani masyarakat.6 Memang sejumlah
peraturan telah mengatur tata cara yang berkaitan dengan pendaftaran dan pemberian hak
atas tanah, seperti PP No. 24/1997 dan Permen Agraria No. 9/1999 misalnya. Tetapi sebagai
satu pegangan kerja, peraturan itu masih umum sifatnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
6 Catatan tambahan (2017): setelah penelitian selesai dilakukan dan masukan-masukan disampaikan kepada BPN, lembaga ini memperbaiki pelayanannya dengan menyusun SOP yang baku.
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
14
Standar Prosedur Operasi Pelayanan adalah satu ketentuan atau pedoman yang mengikat ke
dalam (para aparat pemberi layanan) yang berisikan tata cara, mekanisme, dan batas-‐batas
kewenangan yang dimiliki oleh setiap bidang kerja atau mata rantai di dalam proses
pemberian layanan ke pihak luar – dalam hal ini masyarakat – yang terkait dengan hak atas
tanah. Di dalamnya juga harus termaktub apa saja persyaratan dan nilai nominal pembiayaan
yang harus diberikan oleh pemohon yang seharusnya dimintakan oleh para aparat yang
berwenang untuk itu di dalam mata rantai pelayanan tersebut.
Ketiadaan Standar Prosedur Operasi Pelayanan yang berkekuatan hukum itu membuat
setiap aparat (pejabat publik) dapat memberikan intepretasi dan penetapan prosedur yang
berbeda-‐beda atau didasari kepada kepentingannya sendiri dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Ruang besar kekosongan standar pelayanan ini menjadi salah satu
penyebab pokok terjadinya sejumlah tindakan yang mengindikasikan adanya maladministrasi
di dalam pelayanan publik di bidang pertanahan. Penyebab lainnya adalah sikap para aparat
itu sendiri yang masih menempatkan dirinya sebagai pihak yang lebih memiliki kuasa di
hadapan publik yang menghendaki pelayanan dari yang bersangkutan. Di dalam kasus-‐kasus
dimana pihak pemohon memiliki kepentingan ekonomi yang besar dan sekaligus juga
memiliki kemampuan untuk memberikan pembayaran (baik yang resmi maupun yang tidak
resmi) atas jasa pelayanan yang memang seharusnya diberikan oleh para aparat yang bertugas,
maka kekosongan prosedur tetap dan sikap berkuasa dari para aparat tadi akan
memudahkannya untuk memperoleh pelayanan. Hal yang sebaliknya justru dialami oleh
kelompok-‐kelompok masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan
pembayaran melebihi nilai yang sudah ditentukan: Mereka akan memperoleh pelayanan yang
tidak semestinya.
Ketiadaan Standar Prosedur Operasi Pelayanan juga membuat para aparat pemberi
pelayanan bekerja seenaknya, sesuai dengan kepentingan dan keinginannya, bukan sesuai
dengan aturan atau kepatutan yang seharusnya di dalam melayani publik sebagaimana
ditugaskan kepadanya. Dari kasus-‐kasus keluhan masyarakat yang diterima Komisi
Ombudsman Nasional yang dikaji di dalam penelitian ini terungkap bahwa ketiadaan Standar
Prosedur Operasi Pelayanan dan sikap lebih berkuasanya para aparat birokrasi telah membuat
munculnya sejumlah kasus-‐kasus sengketa pertanahan, seperti: penyerobotan tanah, adanya
sertifikat ganda di atas tanah yang sama, pemberian ganti kerugian yang tidak memadai
(sesuai dengan tuntutan), dan pembebasan tanah yang disertai dengan tindak kekerasan.
Khusus di dalam kasus-‐kasus pembebasan tanah yang disertai dengan tindak kekerasan,
penelitian ini juga menemukan digunakannya aparat-‐aparat militer dan kepolisian di dalam
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
15
upaya untuk membebaskan tanah dari pihak-‐pihak yang menguasai sebelumnya tanpa
memperhatikan hak-‐hak mereka, baik hak-‐hak atas tanah itu sendiri maupun hak-‐hak mereka
sebagai warga negara untuk memperoleh keamanan dan kehidupan yang layak.
Penelitian ini telah mengelompokan kasus-‐kasus yang dikeluhkan oleh masyarakat
kepada Komisi Ombudsman Nasional sepanjang tahun 2000-‐2001 sebagai berikut:
Pengelompokan Kasus (Pengaduan) yang Diterima Komisi Ombudsman Nasional,
2000-‐2001
Kelompok Kasus %
Penyerobotan Tanah dan Sertifikat Ganda 64,7% Pengalihan Hak dengan alasan Transaksi Ekonomi 10,6% Sengketa Waris dan Pengalihan Hak akibat Waris 4,7% Pembebasan Tanah dan Pengosongan Rumah 10,6% Penolakan Permohonan Hak 3,5% Memperlembat Proses Administrasi dan Mengabaikan Tugas 4,7% Manipulasi Penetapan Biaya 1,2%
Jumlah: % N
100% 85
Diolah dari data-‐data primer yang tersedia di Komisi Ombudsman Nasional
Dari tabel ini terlihat, ternyata pengaduan mengenai penyerobotan tanah dan
penerbitan sertifikat ganda mendominasi keluhan masyarakat atas kinerja para aparat
pelayanan publik di bidang pertanahan. Meskipun demikian, dari penelahaan atas 85 kasus
pengaduan yang diterima Komisi Ombudsman Nasional, ternyata pada 12 kasus pengaduan
tidak ditemukan adanya indikasi maladministrasi pelayanan publik, baik di BPN maupun di
Pemda. Dari penelaahan berkas-‐berkas di 12 kasus tersebut, diduga 5 diantaranya memiliki
kemungkinan telah terjadi maladministrasi di lembaga peradilan.
Dari berkas-‐berkas pengaduan yang telah jelas ada indikasi maladministrasi (: 73
bundel kasus atau berkas-‐berkas pengaduan), tabel di bawah ini menunjukan jenis-‐jenis
perilaku, tindakan dan keputusan para aparat (pejabat publik) yang mengindikasikan adanya
maladministrasi tersebut berikut tingkat kekerapannya.
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
16
Tingkat Kekerapan Tindakan dan Keputusan Pejabat Publik yang Mengindikasikan adanya Maldministrasi di Bidang Pertanahan
Jenis Tindakan dan Keputusan %
Ganjil (inappropriate) 6,7% Menyimpang (deviate) 5,9% Sewenang-‐wenang (arbitrary) 18,5% Melanggar ketentuan (irregular/illegitimate) 46,2% Menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) 10,1% Keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) 7,6% Melanggar kepatutan (equity) 5,0% Diolah dari data-‐data primer yang tersedia di Komisi Ombudsman Nasional
Temuan penelitian ini menunjukan sekitar 46,2% tindakan dan keputusan para aparat
(pejabat publik) merupakan tindakan dan keputusan yang melanggar ketentuan (hukum dan
peraturan yang berlaku). Peringkat selanjutnya adalah tindakan dan keputusan yang
sewenang-‐wenang (18,5%), yang disusul oleh penyalahgunaan kekuasaan (10,1%). Maka yang
dapat disimpulkan dari kenyataan ini adalah rusaknya sistem administrasi pelayanan di bidang
pertanahan. Ini menguatkan asumsi awal yang menyatakan bahwa maladministrasi di bidang
pertanahan itu telah menjadi suatu sistem tersendiri yang bekerja untuk kepentingan para
aparatnya sendiri atau pun kepentingan sekelompok orang tertentu yang difasilitasinya
ketimbang memberikan pelayanan kepada publik (masyarakat luas) secara merata dan
berkeadilan.
Kesimpulan ini bisa diambil dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa keluhan-‐
keluhan dari masyarakat dan diterima oleh Komisi Ombudsman Nasional hanya merupakan
gambaran dari puncak gunung es masalah maladministrasi di negara ini. Belum
tersosialisasinya keberadaan Komisi ini dengan baik dan kenyataan masih rendahnya derajat
kewenangan dan intervensi lembaga ini di dalam mendorong perubahan membuat jumlah
pengaduan yang diterimanya belum banyak.7 Tetapi jika disandingkan dengan fenomena-‐
fenomena sejenis yang juga ditangani oleh sejumlah lembaga Negara lainnya seperti Komisi
Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),
maupun pengaduan yang diterima oleh sejumlah koalisi organisasi masyarakat sipil seperti
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), maka
pengaduan-‐pengaduan yang diterima dan ditangani oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON)
7 Catatan tambahan (2017): Komisi Ombudsman Nasional (KON) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No, 44 Tahun 2000. Sejak tahun 2008 kedudukan dan kewenangan lembaga ini diperkuat melalui UU No. 37/2008 dan namanya diubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
17
yang baru berusia 2 tahun ketika penelitian ini dibuat dapat merefleksikan fenomena gunung
es tersebut.
Menurut hasil studi yang dilakukan Mahkamah Agung, sejak didirikannya PTUN dan
PT-‐TUN, perkara-‐perkara yang mendominasi adalah masalah pertanahan. Sementara Komnas
HAM, sejak didirikan pada tahun 1993 hingga tahun 2001, menerima pengaduan masyarakat
yang didominasi oleh masalah-‐masalah yang bersumber pada persoalan pertanahan.
Sedangkan data dari Data-‐base Konflik Agraria yang dikembangkan KPA, merekam adanya
sekitar 1.573 kasus sengketa/konflik agraria yang terjadi sejak Orde Baru berkuasa.
Membandingkan dua instansi yang terkait dengan administrasi pertanahan, yakni
BPN/KP dan Pemda, maka porsi dan kualitas maladministrasi lebih sering terjadi di BPN/KP,
yakni 85,7% terjadi di BPN/KP dan 14,3% terjadi di Pemda. Detail dari bentuk-‐bentuk tindakan
dan keputusan para aparat yang mengindikasikan terjadinya maladministrasi di kedua instansi
itu terlihat dalam tabel berikut.
Perbandingan Maladministrasi Pelayanan Publik yang terjadi di BPN/KP dan Pemda
Jenis Tindakan dan Keputusan BPN/KP Pemda
Ganjil (inappropriate) 87,5% 12,5% Menyimpang (deviate) 100% 0% Sewenang-‐wenang (arbitrary) 86,0% 14,0% Melanggar ketentuan (irregular/illegitimate) 98,2% 1,8% Menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) 38,5% 61,5% Keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) 75,0% 25,0% Melanggar kepatutan (equity) 60,0% 40,0% Diolah dari data-‐data primer yang tersedia di Komisi Ombudsman Nasional
Sedangkan jika diperbandingkan di kedua instansi ini, maka tingkat kekerapan
terjadinya berbagai tindakan dan keputusan yang mengindikasikan adanya maladministrasi
seperti di atas dapat dilihat pada tabel berikut.
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
18
Kekerapan Maladministrasi Pelayanan Publik yang terjadi di BPN/KP dan Pemda
Jenis Tindakan dan Keputusan BPN/KP Pemda
Ganjil (inappropriate) 6,9% 5,8% Menyimpang (deviate) 6,9% 0% Sewenang-‐wenang (arbitrary) 18,6% 17,6% Melanggar ketentuan (irregular/illegitimate) 53,9% 5,9% Menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) 4,9% 47,1% Keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) 5,9% 11,8% Melanggar kepatutan (equity) 2,9% 11,8%
Diolah dari data-‐data primer yang tersedia di Komisi Ombudsman Nasional
Yang menarik untuk diperhatian dari tabel ini adalah perilaku/ tindakan sewenang-‐
wenang dan penyalahgunaan kekuasaan ternyata lebih banyak terjadi/dilakukan oleh aparat
pemerintah daerah di banding dengan yang terjadi di BPN/KP. Hal ini menunjukan,
pendekatan kekuasaan memang masih dominan dianut oleh pemerintah daerah dalam
mengelola wilayahnya dan penduduk yang tinggal di dalamnya. Dengan kata lain, jelas terlihat
bagaimana masyarakat lebih ditempatkan dalam posisi subordinat dari kepentingan para
penguasa itu sendiri.
Perilaku dan tindakan aparat yang melanggar ketentuan, ganjil dan melakukan
keterlambatan yang tidak perlu lebih sering terjadi di BPN/KP ketimbang di Pemerintah
Daerah. Sedangkan intensitas maladministrasi yang tertinggi di BPN/KP adalah perilaku,
tindakan dan keputusan para aparatnya yang melanggar ketentuan dan sewenang-‐wenang.
Dengan kata lain, selaku lembaga paling akhir dalam pelayanan administrasi pertanahan yang
terkait dengan pengukuhan hak atas tanah secara formal, aparatnya sangat terbiasa bekerja
dalam gelimangan maladministrasi termasuk terbiasa bertindak sewenang-‐wenang dan
melakukan pelanggaran hukum.
8 Sumber Penyebab terjadinya Mal Administrasi di Bidang Pertanahan
Dengan merujuk pada pengertian administrasi pertanahan di awal tulisan ini, maka
maladministrasi di bidang pertanahan dapat dimaknai sebagai terjadinya penyimpangan atau
kesalahan administrastif yang dilakukan oleh aparat pemerintahan baik di bagian hulu
maupun hilir dari proses administrasi maupun di tingkat yang paling bawah hingga yang
teratas di dalam hirarki pemerintahan yang berhubungan dengan penetapan, pemberian, atau
pembatasan hak untuk menguasai, mengelola, menggunakan, maupun memanfaatkan tanah
yang dapat menimbulkan ketidakadilan serta kerugian materi maupun non material pada
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
19
seseorang atau sekelompok orang.
Dengan demikian, tinjauan tentang maladministrasi di bidang pertanahan dalam
penelitian ini selain melihat terjadinya sejumlah penyimpangan dan kesalahan administratif
yang dilakukan oleh sejumlah aparat pemerintahan di bidang ini dalam melayani permohonan
langsung dari publik (masyarakat), juga melihat bagaimana sejumlah amanah undang-‐undang
dan ketentuan perundang-‐undangan yang ditujukan untuk kepentingan publik (masyarakat
luas) diabaikan secara sistematik oleh instansi yang berwenang untuk menjalankan
pemerintahan di bidang pertanahan. Maksudnya, di sini hendak dikatakan bahwa
maladministrasi juga terjadi manakala hak-‐hak seseorang atau sekelompok orang untuk
mendapatkan pengakuan hukum dari penguasaannya atas tanah tertentu maupun hak
seseorang atau sekelompok orang untuk menguasai tanah seperti yang telah diamanatkan oleh
undang-‐undang tidak berikan dengan berbagai alasan oleh instansi/lembaga yang berwenang
untuk melakukannya. Tetapi sebaliknya, pada saat yang sama ada pihak lain yang memperoleh
kemudahan untuk memperoleh pengakuan dan/atau hak tersebut. Dengan demikian,
maladministrasi itu telah terjadi sejak kebijakan pertanahan dijalankan yang secara langsung
memperlihatkan pemihakan yang tidak adil.
Maladministrasi di bidang pertanahan itu terjadi pada dua aras. Pertama adalah
maladministrasi yang terjadi akibat diabaikannya sejumlah ketentuan perundang-‐undangan
yang dilakukan secara sistematik oleh lembaga penyelenggara pemerintahan di bidang
pertanahan sebagai konsekuensi logis dari pilihan orientasi ekonomi-‐politik yang dianut oleh
rezim pemerintahan tersebut. Kedua adalah maladministrasi yang terjadi akibat perilaku
individual, baik seorang-‐seorang maupun secara berkelompok, dari aparat instansi
pemerintahan (pejabat publik) di bidang pertanahan yang dengan sengaja melakukannya
untuk memperoleh keuntungan pribadi atau keuntungan sekelompok orang tertentu.
Dari hasil pengkajian terhadap bentuk-‐bentuk maladministrasi, dapat disimpulkan ada 8
blok sumber persoalan yang saling terkait satu sama lain yang menyebabkan terjadinya mal
administrasi di bidang pertanahan di negeri ini, yaitu: (1) adanya peraturan perundang-‐
undangan yang tumpang tindih, kompleks, terfragmentasi (tidak terintegratif) yang dibuat
untuk lebih memenuhi, mendahulukan, atau memfasilitasi kepentingan dan kegiatan-‐kegiatan
investasi ketimbang memberikan sandaran hukum bagi keadilan di tengah masyarakat; (2)
keberadaan sistem hukum seperti ini jelas berkorelasi dengan orientasi politik dan ekonomi
yang tidak mendahulukan kepentingan orang banyak atau kepentingan publik secara
berkeadilan; (3) perangkat administrasi untuk melayani publik yang tidak lengkap yang
berakibatnya terjadinya multi tafsir terhadap penjabaran tugas, wewenang, dan proses
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
20
administrasi itu sendiri; (4) sikap “berkuasa” dari aparat yang lebih dominan ketimbang
melayani masyarakat (publik); (5) rendahnya inisiatif para aparat (pejabat publik) yang
membuat mereka enggan untuk memperbaiki kesalahan maupun meningkatkan kualitas
pelayanan; (6) lemahnya fungsi kontrol, pengawasan serta sistem punishment and reward; (7)
tidak adanya keterbukaan informasi, khususnya kepada masyarakat (publik); dan (8)
organisasi pelayanan atau penyelenggara administrasi yang tidak efektif, termasuk di dalamnya
proses koordinasi kerja internal maupun koordinasi kerja antar lembaga. Untuk poin nomor
tujuh, penelitian ini mengungkap bahwa 23,3% dari maladministrasi yang terjadi berkaitan
dengan ketertutupan informasi pertanahan atau tidak tersedianya informasi yang memadai di
bidang pertanahan. Sebagian besar (47,1%) dari pengaduan masyarakat yang diterima Komisi
Ombudsman Nasional berkaitan dengan ketidaktahuan masyarakat mengenai administrasi
pertanahan yang kemudian diperparah oleh lembaga yang berwenang dengan tidak
memberikan/menyediakan informasi yang memadai.
Dari bentuk-‐bentuk maladministrasi dan kekerapan terjadinya sebagaimana
digambarkan pada tabel pertama di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem administrasi
pelayanan publik di bidang pertanahan telah rusak. Bahkan dapat dikatakan maladministrasi
itu telah menjadi bagian dari sistem pelayanan publik di bidang pertanahan. Indikasinya
adalah, pertama, lebih dari 45% maladministrasi pelayanan terjadi karena para pejabat (aparat)
melakukan tindakan-‐tindakan atau membuat keputusan-‐keputusan yang melanggar ketentuan
atau melanggar hukum dan aturan yang ada/berlaku. Kedua, rendahnya pemberian sangsi atas
tindakan-‐tindakan melanggar ketentuan hukum tersebut.
Ketika maladministrasi lebih banyak diakibatkan oleh tindakan atau keputusan para
pejabat publik (aparat) yang melanggar ketentuan, tindakan sewenang-‐wenang dan
penyalahgunaan kekuasaan, maka dapat dikatakan maladministrasi itu telah menjadi suatu
sistem tersendiri yang bekerja untuk kepentingan para aparatnya sendiri atau pun kepentingan
sekelompok orang tertentu yang difasilitasinya ketimbang memberikan pelayanan kepada
publik (masyarakat luas) secara merata dan berkeadilan. Maladministrasi bukan lagi menjadi
persoalan kapasitas personil pemberi layanan publik, tetapi sudah melekat pada sistem itu
sendiri.
Sejumlah maladministrasi yang dicirikan oleh tindakan-‐tindakan atau keputusan pejabat
publik seperti yang disebut di atas menunjukan di dalam mekanisme pemberian pelayanan
publik di bidang pertanahan tidak ada suatu standar prosedur pemberian pelayanan yang
dapat dijadikan pegangan bersama, baik oleh para pelaku pemberi pelayanan itu sendiri
maupun oleh publik (masyarakat) yang memperoleh pelayanan. Padahal dari “standar
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
21
prosedur pemberian pelayanan” ini lah kinerja suatu organisasi pemberi pelayanan publik
dapat dinilai tingkat keberhasilannya.
Sejumlah ketentuan dan peraturan yang ada yang mengatur administrasi hak atas tanah
ternyata tidak mencukupi untuk dijadikan pedoman bagi para aparat pelaksana pemberi
pelayanan administratif kepada masyarakat (publik). Umumnya ketentuan-‐ketentuan tersebut
disusun untuk lebih memenuhi pemberian justifikasi atau dasar hukum dalam bertindak dan
menjalankan suatu tugas tertentu. Isi aturan-‐aturan tersebut lebih banyak disusun
berdasarkan topik dan subyek tindakan, yang tidak disertai dengan tata cara pelaksaaan
pemberian pelayanan atau tata cara aparat administrasi dalam menjalankan tindakan yang
telah diatur seturut dengan logika proses kerja yang kemudian dapat menjadi pedoman kerja
yang terukur, baik dari segi proses maupun hasilnya. Tanpa adanya tata cara untuk bertindak
atau pemberian layanan yang jelas, maka proses dan kontrol kerja serta hasil yang dicapai oleh
setiap posisi dalam instansi terkait sulit untuk diukur. Tanpa adanya tata cara yang baku itu
pula publik sulit untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pelayanan administrasi di bidang
pertanahan.
Di sisi lain, jika peraturan perundang-‐undangan dan ketentuan yang ada hanya dibuat
sesuai atau memenuhi logika dan prinsip-‐prinsip hukum tetapi tidak diperjelas atau
diterjemahkan menjadi dokumen teknis untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahan
dan memberikan pelayanan terhadap publik, maka kecenderungan munculnya intepretasi
yang beragam atas isi peraturan tersebut sangat besar. Apalagi jika intepretasi tersebut
menyangkut mekanisme, persyaratan, proses dan waktu kerja. Kecenderungan intepretasi
yang berbeda ini kemudian tentu sangat dipengaruhi oleh lingkungan internal maupun
eksternal dari instansi/lembaga yang menjadi wadah dari para aparat tersebut menjalankan
tugas dan kewenangannya.
Keharusan untuk Perubahan/Perbaikan dalam Administrasi Pelayanan Publik Bidang Pertanahan
Dengan melihat pada kenyataan-‐kenyataan seperti tergambar di atas, upaya-‐upaya
untuk memperbaiki sistem administrasi dan mutu pelayanan publik di bidang pertanahan
tampaknya tidak cukup dengan menggunakan pendekatan perbaikan pada tataran perilaku
para aparat atau pejabat publik saja. Ada tiga arah perbaikan yang mesti dilakukan. Pertama
adalah perbaikan di tataran sistem hukum agraria dan pertanahan. Perubahan harus diarahkan
pada integrasi peraturan perundang-‐undangan yang ada dan perubahan orientasi dari seluruh
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
22
peraturan perundang-‐undangan tersebut.
Orientasi utama yang harus dikedepankan saat ini adalah mendahulukan
(mengedepankan akomodasi) kepentingan yang berimbang antara kepentingan pemberian
dan pengukuhan hak-‐hak rakyat atas tanah dan pengelolaan sumberdaya yang terkait
dengannya dan kepentingan pengadaan tanah dan pengelolaan sumberdaya alam yang terkait
untuk kegiatan investasi. Khusus dalam rangka transisi masyarakat dan kehidupan bernegara
ke arah kehidupan yang lebih demokratis, maka perubahan orientasi kebijakan dan peraturan
perundangan-‐perundangan di bidang harus memberikan perhatian khusus pada upaya-‐upaya
penyelesaian konflik yang telah terjadi dan berkembang selama ini secara berkeadilan. Jika
dalam penyelesaian sengketa dan konflik ini harus ditempuh jalan pengembalian dan
pengakuan kembali hak-‐hak masyarakat (rakyat) atas tanah yang telah terambil atau
teralihkan karena adanya kebijakan dari pemerintah, maka jalan penyelesaian yang
mengakomodasi prinsip-‐prinsip restitusi hak atas tanah dapat ditempuh.
Perubahan di dalam tataran hukum dan peraturan perundang-‐undangan ini menjadi
bagian tidak terpisahkan dari perbaikan di dalam sistem administrasi pertanahan yang telah
rusak seperti sekarang. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan ‘pengertian
maladministrasi tidak sekedar bersifat formal dalam arti tidak sesuai dengan kewajiban
sebagaimana telah ditulis dalam peraturan perundangan, namun juga mencakup kepatutan
(equity)’ (Sujata, 2002: 16-‐17). Maksudnya perubahan hukum dan kebijakan yang diawali
dengan memeriksa adanya kenyataan maladministrasi tidak sekedar bertujuan mengubah
perilaku formal para aparat (pajabat publik) agar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku
tetapi juga bertujuan untuk mengubah substansi hukum tertulis yang dirasa tidak adil oleh
masyarakat (Sujata, 2002: 17).
Perbaikan kedua adalah pada tataran sistem administrasi pelayanan di bidang
pertanahan itu sendiri. Kekurangan pokok pada saat ini adalah ketiadaan suatu Standar
Prosedur Operasi Pelayanan (SPOP) yang dapat dijadikan pegangan bersama baik oleh para
penyelenggara pelayanan itu sendiri juga oleh masyarakat/publik. Dengan adanya SPOP
tersebut masyarakat (publik) akan memiliki pegangan dan standar yang diketahuinya untuk
memperoleh pelayanan, sekaligus dapat memberikan penilaian atas kinerja instansi pemberi
layanan terkait. Karena itu, salah satu unsur yang harus dikembangkan di dalam standar
pelayanan itu agar masyarakat dapat memberikan penilaian juga masukan atas pelayanan
adalah transparansi, baik yang menyangkut persyaratan, pembiayaan, maupun prosedur
pelayanannya.
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
23
Sehubungan dengan temuan-‐temuan bentuk tindakan dan keputusan yang
mengindikasikan adanya maladministrasi di dalam tubuh lembaga pemberi pelayanan publik
di bidang pertanahan, maka selain harus diadakan SPOP untuk setiap fungsi layanan yang ada,
lembaga birokrasi ini secara khusus tampaknya harus mengembangkan suatu kode etik
perilaku administratif yang secara umum akan menjadi pegangan nilai bersama dalam
memberikan pelayanan dan mengukur tingkat efektivitas kerja pemberian pelayanan yang
ditugaskan kepadanya.
Perbaikan ketiga adalah upaya-‐upaya untuk mengubah perilaku para pejabat publik
(aparat) yang sekarang masih banyak berpendirian lebih berkuasa ketimbang masyarakat yang
harus dilayaninya. Cara yang efektif adalah dengan mengembangkan sistem monitoring, baik
terhadap sistemnya maupun proses kerjanya, serta pemberian penghargaan dan sangsi kepada
para pelaksana pemberi pelayanan atas kinerja capaian mereka yang kemudian disampaikan
terbuka kepada publik. Pengembangan sistem monitoring pelaksanaan pemberian pelayanan
yang sudah ada di dalam sistem administrasi sekarang harus dipertegas dengan suatu proses
evaluasi yang terbuka. Masyarakat harus diberi tahu kalau di dalam sistem itu sendiri telah
dilakukan upaya-‐upaya perbaikan dan pemberian sangsi kepada pejabat publik yang terkait
dengan maladministrasi. Sehingga sangsi yang akan diperolehnya tidak hanya sangsi
administratif atau pun sangsi hukuman berdasarkan putusan pengadilan tetapi juga sangsi
sosial yang datang dari masyarakat itu sendiri.
Sementara itu, di dalam masyarakat sendiri harus dikembangkan upaya-‐upaya untuk
menumbuhkan kemampuan menjadi pengawas yang efektif dari kerja-‐kerja instansi yang
berkaitan dengan soal pelayanan publik di bidang pertanahan ini. Sebagai contoh, kemampuan
Komisi Ombudsman Nasional saat ini sudah selayaknya ditingkatkan menjadi lembaga yang
dapat melakukan investigasi dan memiliki kemampuan untuk terlibat di dalam penanganan
perkara atau penyelesaian kasus mal dministrasi di bidang pertanahan secara langsung.
§
Pelanggaran yang Disengaja = Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017
24
Rujukan
Albrow, Martin (1989), Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (1999), Pembaruan Agraria (Reforma Agraria): Urgensinya bagi Indonesia Baru, makalah dalam Seminar Pembaruan Agraria ‘Mendesakkan Agenda Pembaruan Agraria dalam Sidang Umum MPR 1999’, Jakarta 22 September 1999.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (2001), Pemetaan Pola-‐pola Sengketa dan Konflik Agraria di Indonesia, Makalah yang Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya ‘Arah Kebijakan Nasional tentang Tanah dan Sumberdaya Alam Lainnya’, Bandung, 20-‐23 Agustus 2001.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (2004), “Mining in a state forest? This is Indonesia!”, INSIDE INDONESIA edisi Oktober-‐Desember 2004, hal. 4-‐5.
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas (2001), Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (2002), “Hutan Milik Siapa: Upaya-‐Upaya Mewujudkan Forestry Land Reform di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah”, dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (ed.). Yogyakarta: INSIST Press, hal. 79-‐158.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (2000), Loosing Rights to Land: the fate of Land Reform in Five Villages in West Java, unpublished research paper in Land Tenure Law and Livelihood in Indonesia research project.
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi (2004), Land Tenure Problems in Indonesia, unpublished research paper in Land Tenure Law and Livelihood in Indonesia research project.
Blau, Peter M. dan Marshall W. Meyer (2000), Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Collier, David (1979), ‘Overview of the Bureaucratic-‐Authoritarian Model’, dalam The New Authoritarianism in Latin America, David Collier(ed.). Princeton-‐New Jersey: Princeton University Press, hal. 19-‐32.
Collier, William L. et al. (1996), Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa, Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Complaint about the Council. How to Complaint to the Local Government Ombudsman, Local Government Ombudsman in England.
Essential Characteristics of a Classical Ombudsman, United State Ombudsman Association.
Effendi, Sofyan (penghimpun) (1984), Hukum Agraria Indonesia: Kumpulan Lengkap Undang-‐undang dan Peraturan-‐peraturan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Effendi, Sofyan (penghimpun) (1985), Himpunan Undang-‐undang Pokok dengan Penjelasan dan Peraturan Pelengkap. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Gottehrer, Dean. M dan Micahel Hostina (1998), Essential Characteristics of a Classical Ombudsman, dalam www.usombudsman.org/Referencess.
Guidance on Codes of Practise for Board Members of Publics Bodies (1997), Cabinet Office.
Harsono, Boedi (1995), Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-‐Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Djambatan.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (1996), Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-‐peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Djambatan.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (2002), Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-‐peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Himpunan Peraturan di Bidang Pertanahan-‐Perumahan Tahun 2000. Jakarta: Cipta Jaya, 2000.
Himpunan Peraturan di Bidang Pertanahan dan Perumahan 1997-‐1998. Jakarta: BP Cipta Jaya, 1998.
= Bachrioktora, Safitri dan Bachriadi
25
Informasi Peraturan Perundang-‐undangan Pertanahan, Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi (SJDI) Hukum No. 1 tahun ke-‐1 Semester 1 tahun 2002. Jakarta: Direktorat Hukum Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional.
Indonesian Mining Directory & Map. Jakarta: PT Capricorn Indonesia Consult Inc, 1996.
Indonesian Minerals Exploration & Mining Directory, edisi 1999/2000. Jakarta: Gold Group’s Asian Journal of Mining.
Kirom, Aminuddin A., et.al. (2004), Mengapa Perpu No.1/2004 Harus Dibatalkan?, Jakarta: Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan menjadi Pertambangan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional. Jakarta: CV Mini Jaya Abadi, 2000.
Laporan Tahunan 2000 Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Ombudsman Nasional, 2000.
Nelson, Michael (2000), ‘Bureaucracy’ dalam Ensiklopedi Ilmu-‐ilmu Sosial, Kuper dan Kuper (ed.), hal. 74-‐75.
Pollitt, Christopher (2000), ‘Public Administration’, dalam Ensiklopedi Ilmu-‐ilmu Sosial, Kupper dan Kupper (ed.), hal. 870-‐872.
Public Sector Ombudsman, United State Ombudsman Association.
Suhendar, Endang dan Ifdhal Kasim (1996), Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru. Jakarta: ELSAM.
Sujata, Antonius (2002), “Rekomendasi Ombudsman: Akhir Suatu Investigasi”, dalam Ombudsman Indonesia, Sujata dan Surachman, hal. 184-‐203.
Tindak Lanjut Pedoman Tata Cara Hak Atas Tanah tahun 2000. Jakarta: CV Novindo Pustaka Mandiri, 2000.
Tindak Lanjut Pedoman Tata Cara Hak Atas Tanah tahun 2000. Jakarta, CV Novindo Pustaka Mandiri, 2002.
The Ombudsman In Your File, The Machinery of Government and Standards Groups, Cabinet office of UK, 1997.
The Commission for Local Administration in England (2001), Good Administrative Practice, Guidance on Good Practice 2, re-‐print edition.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (2002), Running a Complaints System, Guidance on Good Practice 1.
Wiradi, Gunawan (2000), Reforma Agraria – Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: INSIST Press – KPA – Pustaka Pelajar.
Penulis
Yudi Bachrioktora
Peneliti Agrarian Resource Center (ARC). Staf pengajar Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Anggota Perkumpulan ARC. Pernah menjadi volunteer dan peneliti di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan PERGERAKAN – People-‐centered Advocacy Institute. Meminati kajian sejarah agraria dan sejarah sosial gerakan tani. Menyelesaikan pasca sarjana di Departemen Sejarah, Leiden University, Belanda. Saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral di Institute of Social Anthropology, Bern University, Switzerland.
Hilma Safitri
Pendiri dan Peneliti Agrarian Resource Center (ARC). Pernah menjadi staf di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan PERGERAKAN – People-‐centered Advocacy Institute. Saat ini selain menjadi peneliti juga Koordinator ARC. Meminati kajian agraria dan pembangunan, serta sejarah perdagangan komoditas pertanian. Menulis buku ‘Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan EKonomi Indonesia’ (MP3EI)” (ARC Books, 2014). Menyelesaikan pasca sarjana di Program Studi Pembangunan, International Institute of Social Studies (ISS) The Hague, Belanda.
Dianto Bachriadi
Pendiri dan Peneliti Senior Agrarian Resource Center (ARC). Pada tahun 1995 ikut mendirikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan pernah menjadi Ketua (1998-‐2002) serta anggota Dewan Pakar (2002-‐2005). Menjadi Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk Tim Kerja Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumberdaya Alam (2011-‐2012), dan menjadi Anggota/Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI (2012-‐2017). Menyelesaikan program doktoral di Flinders University, Australia (2010) dengan disertasi berjudul “Between Discourse and Action: Agrarian Reform and Rural Social Movements in Indonesia Post-‐1965”. Menulis sejumlah buku dan artikel ilmiah dalam topik konflik dan masalah-‐masalah agraria serta gerakan sosial pedesaan, beberapa diantaranya adalah: ‘Mainstreaming Land Right as Human Rights in Southeast Asia’ (ANGOC, 2017), ‘Six Decades of Inequality: Land Tenure Problems in Indonesia’ (bersama Gunawan Wiradi, ARC Books, 2011), ‘Dari Lokal ke Nasional, Kembali ke Lokal: Perjuangan Hak atas Tanah di Indonesia’ (ARC Books, 2012), ‘Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan’ (bersama Anton Lucas, Kepustakaan Populer Gramedia, 2001).
Agrarian Resources Center (ARC)
Lembaga kajian sosial independen yang dibentuk tahun 2005 oleh sejumlah aktivis-‐pemikir agraria di Indonesia. Lembaga ini dibentuk untuk mengisi kekosongan kerja-‐kerja penelitian dan kajian kritis di bidang agraria, khususnya yang dilakukan oleh peneliti-‐peneliti muda. Juga dimaksudkan untuk menjadi tempat bagi aktivis-‐aktivis gerakan sosial melakukan refleksi atas kerja-‐kerja mereka dalam mendorong perubahan sosial. Hasil kajian ARC terutama didedikasikan sebagai masukan kritis untuk kelompok-‐kelompok gerakan sosial baik di pedesaan maupun perkotaan, selain untuk memberikan sumbangan kepada kajian-‐kajian agraria kritis. Publikasi hasil-‐hasil kajian ARC disebarkan dalam berbagai bentuk, seperti: working paper, position paper, buku, dan artikel-‐artikel lepas untuk tujuan publikasi di jurnal-‐jurnal ilmiah maupun untuk diskusi, seminar dan konferensi. Selain melakukan sejumlah kajian dan refleksi, ARC juga menyelenggarakan pelatihan kajian agraria kritis secara reguler yang dikhususkan untuk mahasiswa dan peneliti-‐peneliti muda. Program pelatihan ini dinamakan “Pelatihan Kajian Agraria Kritis Indonesia” atau “Critical Agrarian Studies of Indonesia” (CASI). Pelatihan dilakukan secara intensif dengan skema dukungan penuh lembaga dalam bentuk fellowship dan disusun berjenjang dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Di luar pelatihan terstruktur, ada program Peneliti Tamu (visiting researcher) ARC yang diselenggarakan untuk memberi kesempatan khususnya kepada para aktivis gerakan sosial untuk melakukan refleksi dan menuliskan pengalamannya, serta memberi kesempatan kepada peneliti muda dari berbagai latar belakang ilmu sosial untuk mengembangkan minat dan memperluas pengalamannya dalam mengkaji masalah-‐masalah agraria di Indonesia. Peneliti tamu akan bekerja bersama peneliti-‐peneliti ARC untuk mendalami gagasan-‐gagasan dan ide-‐ide penelitian dan penulisan yang akan digarapnya selama berada di ARC. ARC memiliki perpustakaan yang menyimpan koleksi ribuan buku dan jurnal ilmiah dalam bidang agraria, gerakan sosial, antropologi, sosiologi, politik, geografi, ekologi, ekonomi-‐politik, hukum, hak asasi manusia, sejarah, filsafat dan lainnya yang terbuka untuk umum. Perpustakaan ini juga menyimpan koleksi data-‐data hasil penelitian serta dokumen-‐dokumen yang sesuai dengan perhatian dan minat lembaga. Di perpustakaan ARC secara rutin juga dilakukan diskusi-‐diskusi dalam tema-‐tema tertentu, baik untuk menyikapi dinamika sosial-‐ekonomi-‐dan politik yang terkait dengan pembangunan dan masalah-‐masalah agraria maupun untuk mendalami isu-‐isu ekonomi-‐politik lainnya. ARC terbuka untuk kerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, selama dapat berpegang pada prinsip-‐prinsip bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan sosial, pembebasan, anti penindasan, independensi, dan kesetaraan. Alamat: Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA Telepon/fax.: +62 – 22 – 7237799 Email: [email protected] www.arc.or.id
Buku
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Six Decades of Inequality: Land Tenure Problems in Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaaan Tanah di Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto (editor). Dari Lokal ke Nasional, Kembali ke Lokal: Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia . 2012.
Safitri, Hilma. Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) . 2014.
Bachriadi, Dianto dan Henry Bernstein. Kedaulatan Pangan: Pandangan Skeptikal . 2014.
Working Paper dan Kertas Posisi Bachriadi, Dianto dan Meidi Pratama. Dijual Tanah! yang Berminat Si lahkan Hubungi
Pemil ik, Seratus Persen Dijamin oleh Pemerintah: Krit ik dan Implikasi Pelaksanaan Land Management Policy and Development Project (LMPDP) di Indonesia , Kertas Posisi ARC No. 001/2006 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2006.
Sujiwo, Tri Agung. Perubahan Penguasaan Tanah di Atas Lahan Pendudukan Pasca Reformasi (Studi Kasus Tanah Cieceng, Desa Sindangasih Tasikmalaya) , Working Paper ARC No. 1/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Suryana, Erwin. Struktur Agraria dan Dinamika Gerakan Sosial Pedesaan di Karawang , Working Paper ARC No. 2/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
ARC, Tim. Kecenderungan Advokasi Gerakan dan Kebijakan Agraria Nasional Pasca Reformasi , Working Paper ARC No. 3/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Baihaqi. Redistr ibusi Lahan di Cipari Kabupaten Cilacap , Working Paper ARC No. 4/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Rohman, Lina M. dan Rahmi Indriyani. Pembangunan DAM Jatigede: Beberapa Catatan Awal , Working Paper ARC No. 001 – Agustus 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016
Qoriah, Sityi M. Masyarakat Dusun Bonto, Desa Kompang, Kec. Sinjai Tengah, Sulawesi Selatan: Catatan Awal , Working Paper ARC No. 002 – September 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016.
Publikasi-‐publikasi ARC (terbaru)
01.a/WP-‐KAPPOB/I/2017
ISSN: 2541-‐0121
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA
+62 – 22 – 7237799 [email protected]
www.arc.or.id