PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

26
PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA Oleh : Sylvester SS., M.Pd. Bandnng, .Juni 2005 Tulisan ini dibuat sebagai scbuah kajian pustaka / penclitian pribadi mengenai Konvensi Internasional mengenai pcrlindungan Ham dalam Statuta Roma.

Transcript of PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

Page 1: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A

MENURUT STATUTA ROMA

Oleh : Sylvester K:tn~~~, SS., M.Pd.

Bandnng, .Juni 2005

Tulisan ini dibuat sebagai scbuah kajian pustaka / penclitian pribadi mengenai Konvensi Internasional mengenai pcrlindungan Ham dalam Statuta Roma.

Page 2: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNI..¥~ ..... , \~A$JI~

1. PENDAHULlJAN

1.1. Latar Belakang

MENURUT STAT UTA ROMA<I'~\.\ "f i

Oleh : Sylvester Kanisius Laku, SS., M.Pd. .. >'1' _:,!;-.'i$

Sudah tidak asing Jagi bagi kita mendengar berita tentang kasus pelanggaran Hak

Asasi Manusia (HAM), entah ringan entah beraL Perhatian manusia terhadap realitas

penegakan kemanusiaan secara gJobal semakin gencar justru ketika hak-hak kemanusiaan

secara sengaja diabaikan atall bahkan disisihkan dengan aJasan politik, sosial, mallplln

ekonomi. Bahkan di negara-negara, seperti Asia pada umumnya, yang menoJak konsep Hak

Asasi Munusiu kurcnu diunggup scbugui produk Bamt dan bahwa konscp HAM hanya

rasional berlaku secara reJatif sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan lokal mulai menaruh

perhatiannya yang amat besar terhadap realitas hak asasi manusia ini (Geom·ey Robertson

QC, 2000 • xvi)

Harus kita akui bahwa pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia tidak dapat

dibenarkan dengan alasan apa pun. Hal ini terutama karena hak-hak asasi tersebut

merupakan hak dasar manusia yang dibawanya sejak lahir dan bahkan secara teologis

ditafsirkan bahwa hak-hak asasi tersebut secara kodrati merupakan anugcrah Tlihan (F.

Magnis Suseno, 2000 14-21). Maka dapat dikatakan bahwa, hormat terhadap bak-hak asasi

manusla, yang menentukan martabat seseorang sebagai manusia, berarti juga hormat

terbadap Allah sang pencipta-Nya. Dengan dell1ikian dari sudut pandang teoJogi,

pelanggaran terhadap kemanllsiaan berarti juga peJanggaran terhadap niJai hormat dan taat

pada TlIhan sebagai sang Pencipta hidllp manusia.

Dewasa ini telah banyak refleksi tentang kell1anusaian dituangkan secara konseptual

dalam beragam teori, baik t1losotls maupun teologis, dan dirumuskan dalam bcrbagai

kesepakatan dan kovcnan internasional Il1cngcnai perlindungan tcrhadap hak azasi ll1anllsia

sebagai sesuatu yang sangat pcrll! dan ll1endesak. Tapi sayangnya, sebagaimana terekam

daJall1 tulisan Geoffrcy Robertson (2000 xix), bahwa ll1asih banyak ncgara yang belull1

melakllkan ratifikasi terhadap konvensi internasional tentang kemanusiaan tersebllt dan

bahkan ada yang ll1enoJak untuk ikllt Il1cndandatanganinya seperti Amerika serikat, Cina,

maupun Lybia

Page 3: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

Pelanggaran HAM berat tentu akan dikategorikan sebagai kejahatan dan sebuah

tindakan yang biadab bagi mereka yang punya hati nurani karena tindakan-tindakan tersebut

meniadakan nilai-nilai kemanusiaan yang melekat dalam diri manusia sehingga ia layak

disebut manusia dan mengabaikan harkat dan martabat manusia yang ada secara kodrati

dalam diri manusai sejak ia lahir. Pelanggaran HAM bera! tentu tidak dapat ditoleransi olch

siapapunjuga dan bangsa manapun juga. Konsep HAM tidak dapat lagi dilihat secara relatif

partikular, tetapi mempakan sebuah horizon yang diperluas yang dapat mencakup aspek­

aspek kemanusaian secara fundamental dan universal. Kefundamentalannya itulah yang

menjadikan manusia sebagai menusia perlu dilindungi secara legal-formal, baik melalui

hukum maupun Undang-Undang, nasional maupun Internasional.

Kejahatan terhadap kemanusiaan selalu mengundang kutuk dan amarah bagi mcreka

yang merasa bahwa nilai-nilai kemanusaiaan hams dihormati dan dilindungi, tetapi tidak

sedikit mereka yang mengutuk dan marah itu justm menjadi biang dari segala perlakuan keji

terhadap kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa secara teoretis-konseptual semua manusia

mengakui bahwa hak-hak dasar kemanusiaan hams dilindungi dan dijaga, tetapi secara

praksis-kontekstual kerap kali rnanusia lebih dibimbing oleh ego dan keserakahannya

sehingga membutakan tidak saja mata lahir, tetapi juga mat a hati, yang sehumsnya menjadi

penuntun dan panduan segal a tindakan dan prilaku manusia. Sejak pengadilan Nuremberg'

pelanggaran terhadap HAM disebut kejahatan terhadap Kemanusiaan

Tulisan ini hendak mengangkat dan mengkaji persoalan pelanggaran HAM berat

yang dilakukan temtama oleh para pejabat, baik sipil maupun militer, terhadap warga sipil

dalam sebuah negara atau terhadap sebuah ncgara oleh negara lain sebagaimana yang

dimaksudkan dalam Statuta Roma sebagai sebuah konvensi internasional mcngenai

pembentukan Mahkamah Pidana internasional yang berwcnang mengadili para pclaku

kejahatan pelanggaran HAM, sebagai sebuah upaya global perlindungan terhadap

kemanusiaan dalam segala aspek hidupnya yang paling dasariah. ini menunjukkan sliatu

I JcJTrey Robertson QC dalmn bukunya Kcjahatan Tcrhadap Kcmanllsiaaan, 2000, him. Xiv menjeiaskan bahwll Pcngadilan Nuremberg adalah scbuah pcngadilan intcmasional y<l1lg dibcntuk sccara kondisional untuk mcngadili dan mcnjatuhkan hukuman bagi para tokok Nazi atas kebiadaban mcrcka tcrhadap bangsa Yahudi. Untuk pcrt<lm<l kalinya cia lam pcngadilan Nuremberg terscbut pelanggaran tcrhadap kcmanusiaan dikatcgorikan scbagai bcntnk kcjahalan tcrhadap kcmanusiaan (crims against humani~"Y'). Tuduhan kejahatan tcrhadap kcmanusian eli sini bcrbcda dcng<)fl kcjahatan pcrang yang di1akukan olch ncgara-ncgara poros non-sckutu dan para tawanan pen-mg. Logjka dan k~jahatan tcrhadap kcmanusian yang clidcfinisikan dalam pasal 6 (c) Piagam Nuremberg adalah alat negara yang mengesahkan siksaan atau pembuI1uhan massal (genocide) alas rak~:al mereka sendiri, yang hams dipcrt~lI1ggungjawabkan secara krimjnal dalam hukum intcrnasional dan clapa{ clikcnakan hukuman olch pcngadilan manapun y:mg clapat menangkap mercka.

2

Page 4: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

kemajuan yang sangat pesat di bidang perlindungan terhadap HAM di saat dimana harapan

akan masa depan manusia yang baik dan terhormat semakin diragukan.

Deflnisi tentang pelanggaran berat HAM mengikuti definisi yang dikemukakan

dalam Statuta Roma ini dapat dipahami bahwa kategori sebuah kejahatan dipandang sebagai

kejahatan terhadap kemanusiaan atau sebagai pelanggaran berat HAM bila tindakan

kejahatan itu melibatkan sekelompok orang tertentu, yang atas perintah atasan, pimpinan,

komandan, atau orang tertentu berupaya secara sistematis untuk melenyapkan sekelompok

manusia lainnya terutama karena alasan politik.

Karenanya, dalam tulisan ini fokus permasalahan yang akan kami kemukakan dan

menjadi dasar pijakan pembahasan dan anal isis kami berkisar di seputar permasalahan

pelanggaran terhadap HAM sebagaimana yang dimaksud dalam Stauta Roma, yaitu keempat

masalah serius yang menyangkut kejahatan terhadap kemanusiaan di atas.

1.2. Statuta Roma; Mahkamah Pidana Intemasional.

Tanggal 17 Juli 1998, dalam konfrensi Diplomatik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)

telah menghasilkan satu langkah penting dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu

disetujuinya Statuta Roma (Jerry Fowler dalam £Isam, 2000:viii) Statuta Roma, sebuah

perjanjian untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal COllrt)

untuk mengadili tindak kejahatan kemanusiaan dan memutus rantai kekebalan hukum

(impunity) Dari 148 negara peserta konfi'ensi; 120 mendukung, 7 menentang dan 21

Abstain.

Statuta Roma sebenarnya adalah sebuah dokumen yang panjang dan rinci yang terdiri

dari 128 pasa!. Statuta tersebut tidak akan berlaku efekif sampai diratifikasi oleh 60 negara

(£Isam, 2000ix). Ini jelas merupakan suatu prosedur yang panjang dan mustahil dapat

tercapai dalam beberapa tahun saja. Menurut catatan GefTrey Robertson (2000 : 399) hingga

Maret 2000, telah terkumpul 93 tanda tangan dan baru 7 negara yang meratifikasinya. Tetapi

mcnurut informasi dari sumber £Isam, hingga September 2002 telah ada negara yang

meratifikasi Statuta ROll1a dan itu tidak terll1asuk Indonesia. Amerika Serikat yang dikenal

sebagai salah 5atu negara yang menjllnjung nilai kemanllsiaan merupakan salah satu negara -

bersama dengan China dan Irak- yang mcnolak disahkannya statuta roma

Statuta ROll1a telah menjadi momentum penting di akhir milenium II clan mcnjadi

sebuah titik pergerakan baru terhadap upaya penegakkan Hak Aasi Manusai di awal

" .l

Page 5: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

milenium III yang membangkitkan kembali harapan masyarakat dunia akan pengakuan

terhadap hak-hak dasar individu sebagai manusia.

Menurut Get1fey RobcI1son (2000 400), sebetulnya gagasan untuk membentuk

sebuah Pengadilan Pidana Intemasional sudah dimulai pada tahun 1937 oleh Liga Bangsa­

Bangsa (LBB). Ketika itu dibuat konsep rancangan statuta untuk mengadili para teroris

internasionaL Setelah Konvensi Genosida tahun 1948 rancangan statuta mulai dipersiapkan

oleh Komisi Hukum Intemasional, namun proyek tersebut dibekukan ketika tetjadi perang

dingin dan banI digulirkan lagi ketika Gorbachev mengusulkan agar rancangan statuta

tersebut dijadikan sebagai Undang-Undang anti terorisme.

Pada tahun 1993 majclis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Intemasional

untuk meneruskan proyek tersebut dan mcnyelesaikan rancangan mengenai stat uta. Baru

pad a tahun 1998 kesepakatan komunitas internasionaL yang diwakilkan oleh 148 negara

yang hadir, meskipun 7 menolak dan 2 I abstain, untuk membentuk scbuah pengadilan

pidana internasional telwujud dan membuka lagi keran penghormatan, pengakuan, dan

penegakkan terhadap nlai-nilai kcmanusiaan secara universal dan mendasar.

Dalam stat uta ini juga menjelaskan beberapa hal tentang struktur mahkamah, jenis

pelanggaran, penyelidikan dan penuntutan, persidangan dan hukuman serta beberapa hal

penting lainnya. Beberapa mahkamah yang telah dibentuk untuk berbagai kasus pelanggaran

berat HAM:

I. International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY), dibentuk pada tahun 1993

2. International Criminal Tribunal for Rwanda (lCTR), dibentuk oleh Dewan Keamanan

1994.

1.3 Daftar Negara Pe-I'atifikasi Statuta Roma (sid 05 Mei 2003)

Memang sengaja kami menampilkan daftar peserta atau negara yang sudah

meratifikasi Statuta Roma sebagai suatu bentuk partisipasi internasional untuk ikut terlibat

secara aktif dengan mengikatkan diri dalam ketentuan yang berlaku dalam statuta. Indonesia

sebagai salah satu negara penandatangan statuta, yang pada waktu itu dclegasi Indonesia

dipimpin oleh Prof Muladi, S11, yang pad a waktu itu menjabat mentcri Kehakiman tidak

termasuk dalam danar terscbut. Bahkan rencana Indonesia untuk meratilikasi Statuta Roma

sampai akhir 2007 ini belum terlaksana. Itu berarti Indonesia belum menjadi negara pihak

yang secara hukum wajib mcnaati ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam statuta.

4

Page 6: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

Dalam tabel di bawah ini kami sertakan negara-negara peratifikasi Statuta Roma dan

didalamnya tidak termasuk Indonesia. Tampilan ini sekedar sebagai sebuah informasi dan

sekaligus gambaran bahwa dari banyak negara peserta penandatangan Statuta masih sangat

scdikit yang mau mcngikatkan diri secara penuh dnegan ketentuan-ketentuan yang ada

dalam statuta tersebut Ini menunjukkan bahwa negara-negara lainnya masih

rnernpertirnbangkan seeal-a hati-hati segala aspek yang memungkinkan mereka menjadi

negara pihak.

Tabel I

No. Nama Negara 'ranggal Tanda-tangan I Senegal 2 F ebruari 1999 2 Trinidad and Tobago 6 April 1999 3 San Marino 13 Mei 1999 4 Italia 26 Juli 1999 5 Fiji 29 November 1999 6 Ghana 20 Desember 1999 7 Norwcgia 16 F cbruari 2000 8 Belize 5 April 2000 <) Tajikistan 5 Mei 2000 10 Iceland 25 Mei 2000 11 Venezuela 7 Juni 2000 12 Perancis 9 Juni 2000 13 Belgia 28 Juni 2000 14 Kanada 7 Juli 2000 15 Mali 16 Agustus 2000 16 Lesotho 6 September 2000 17 New Zealand 7 September 2000 18 Botswana 8 September 2000 19 Luxembourg 8 September 2000 20 Sierra Leone 15 September 2000 21 Gabon 20 September 2000 22 Spanyol 24 October 2000 23 Afrika Selatan 27 November 2000 24 Kepulauan Marshall 7 Desember 2000 25 erman 11 Desember 2000 26 Austria 28 Desember 2000 27 Finlandia 29 Desember 2000 28 Argentina 8 Februari 2001 29 Dominica 12 F ebruari 2001 30 Andorra 30 April 2001

5

Page 7: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

31 Paraguay 14 Mei 2001

32 Kroasia 21 Mei 2001

33 Costa Rica 7 Juni 2001

34 Antigua & Barbuda 18 Juni 2001

35 Denmark 21 JlIni 200 I

36 Swedia 28 Juni 200 I

37 Belanda J7 Juli 200]

38 Yugoslavia 6 September 200 I

39 Nigeria 27 September 2001

fcI0 I jechtenstein 2 October 2001

41 Republik Afrika Tengah 3 October 2001

42 Inggris f4 October 200 I

43 Swiss 12 October 200 I

44 Peru 10 November 200 I

45 Nauru 12 November 200 I

46 Polandia 12 November 200 I

47 Hungary 30 November 2001

f:\8 Slovenia 31 Desember 200 I

f:\9 Benin 22 Januari 2002

50 Estonia 30 Janllari 2002

51 POItugal 5 Februari 2002

52 Ekuador 5 Februari 2002

53 Mauritius 5 Maret 2002

54 Macedonia, FYR 6 Maret 2002 55 Cyprus 7 Maret 2002

56 Panama 2 I Maret 2002 57 Bosnia-Herzegovina II April 2002 58 Bulgaria II April 2002

59 Kamboja II April 2002

60 Republik Demokratik Kongo I I April 2002

61 Irlandia I I April 2002 62 Yordania 11 April 2002 63 Mongolia II April 2002

64 Niger I I April 2002 65 Romania I I April 2002

66 Slovakia ] I April 2002

67 Yunani 15 Mei 2002 68 Ugall(Ja 14 JUlli 2002

69 Brazil 20 Juni 2002 70 Namibia ?5 Juni 2002 71 Bolivia 27 Juni 2002 72 Uruguay 28 Juni 2002 73 Gambia 28 Juni 2002

6

Page 8: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

74 Latvia 128 Juni 2002

75 Australia 1 Juli 2002

76 Honduras 1 Juli 2002 77 Colombia 5 Agustus 2002 78 fianzania 120 Agustus 2002 79 Timor Leste ki September 2002 80 Samoa 16 September 2002

81 Malawi 19 September 2002

Sumber, Eisam, 2003.

III. Pelanggaran ham berat berdasarkan Statuta Roma dan Undang-Undang RI No

26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM

3.1 Pelanggaran HAM Berat Mellurut Statuta Roma

Ada empat jenis tindak pelallggaran serius yang menjadi perhatian internasional,

dengan indikasi dan ciri-cirinya masing-masing. Keempat jenis kejahatan tersebut adaJah

I. Kejahatan Genosida (Genocide)

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity)

3. Kejahatan Perang (War crimes)

4. Kejahatan Agresi (Aggression)

Kami akan membahasnya satu-persatu di bawah i ni

3.1.1 Gellosida (Genocide).

Genosida adaJah kejahatan yang paling pertama menarik pcrhatian dunia

internasional, yaitu dengan dibentuknya Konvensi Genosida pada tahun 1948 sebagai

implikasi dari pengadilan Nuremberg yang mengadili para pemimpin Nazi yang menyerang

secara sistematis kelompok masyarakat Yahudi (Geoftfey Robertson, 2000281). Pasal I

konvensi tersebut menyatakan bahwa genosida yang di lakukan pada masa damai alau perang

adaJah kejahatan yang dilakukan dibawah hukum internasionaL

Definisi genosida menuru( konvensi ini , lanju( Geoffrey (2000 : 281-282), adalah

suall! tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok

nasional, etnis, ras, at au agama, atas salah satu clari lima tindakan berikut ini, yaitu:

(a) membunuh anggota kclompok;

(b) menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius lerhadap anggota kelompok;

7

Page 9: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

(e) Seeara sengaja dan tereneana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehaneuran

fisik seeara kesclurllhan atall sebagian;

(d) Memaksakan langkah-langkah yang ditujllkan untuk mcncegah kelahiran di dalam

kelompok tersebut

(e) Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain

Definisi ini menccrminkan pemikiran kontemporer dengan kebijakan genosida Nazi

terhadap kaum Yahlldi sebagaimana terungkap dalam pengadilan Nuremberg Definisi ini

menu rut Geot1i'cy (2000 282) cllkup luas untuk melingkupi pcmbersihan ctnis dan

pcmbersihan massal agama,

Pada pasal 6 Statuta Roma genosida didefinisikan dengan istilah yang sama yang

dipakai pada Konvensi Gcnosida tahun 1948, Unsur penting yang harus dibuktikan adalah

adanya 'tujuan untuk menghancurkan baik sebagian meupun seluruhnya dari suatu negara,

kelompok etnis, kelompok ras atau agama, atau kelompok semacamnya (Elsam, 2000 • 5)

Selain melalui pembunuhan alau penyiksaan, aksi penghancuran yang dilakukan

yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM adalah upaya untuk membuat

penderitaan hidup yang berakhir dcngan kematian dan 'secm'a paksa' mcmindahkan anak­

anak dari datu kelompom ke kelompok lainnya. Kelompok yang dimaksudkan menurut

Geoffrey (2000 A I 0) tidak termasllk dalam pengelompokan sosial at au politik. Karenanya,

ia mencontohkan dalam kasus lendral Videla, yang secar keji mcmerintahkan untuk

menculik bayi-bayi dari ibu-ibu anggota sayap kiri di Argentinadan menyerahkan mcreka

kepada anggota tcntara yang setia, tidak dapat didakwa atas genosida. Pcnckanannya

terutama pada tujuan dari pcnghancuran tersebut adalah untuk meusnahkan umat manusia

berdasarkan ras mereka alau perbedaan mendasar yang terdapat dalam kelompok tersebllt.

3.1.2 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Againts Humanity)

Istilah kejahatan terhadap kemanusian (Crime Againls HIJmaniZv) peJ1ama kali

digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merllpakan pCljanjian multilateral antara

Amerika Serikat dan sekutunya setelah Perang Dlinia II berakhir. Mereka (Amcrika Serikat

dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bCJ1anggung jawab terhadap

kejahatan terhadap kemanllsiaan pada rnasa tersebut.

Detinisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 7 ayat I statuta roma berisi

definisi tentang kejahatan tcrhadap kemanusiaan, Aksinya scndiri sebagaian besar adalah

8

Page 10: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan,

penyiksaan, pemerkosaan, dan bentuk lain dari pelecehan seksual, perbudakan, penyiksaan,

dan pengasingan lndikasi ataupun ciri-ciri dari kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalab

bahwa kejahatan itu dilakukan secara sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan

sistematis, yang melibatkan banyak pihak, dan ditujukan kepada setiap penduduk dengan

mengikuti dorongan kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam

itu.

Penekanannya adalah pad a kejahatan yang dilakukan secara sistematis dengan

mengikuti kebijakan yang disusun, baik oleh aparat negara (seperti kepolisian atau tentara)

maupun oleh suatu entitas organisasi, dan bukan pada kejahatan yang terjadi secara spontan

yang merupakan sebuah kriminal biasa.

Pasal 7 ayat I Statuta Roma dan pasal 9 UlJ No. 26 Pengadilan HAM th. 2000

terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum memuat prinsip bahwa kejahatan terhadap

kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang

meluas at au sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara

langsung terhadap penduduk sipil, berupa

a. Pembunuhan;

b. Pemusnahan;

c. Perbudakan;

d. Pengusiran at au pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang­

wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,

pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain

yang

h. setara;

r Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu at au perkumpulan yang didasari

persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau

alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut

hukum internasional;

J. Penghilangan orang secant paksa; atau

9

Page 11: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

k. Kejahatan apartheid.

Pelaku kejahatan terhadap kcmanusiaan bisa jadi aparat / instansi ncgara, atau pclaku non

negara.

Detinisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa

perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini

istilah tersebut masih mcnimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan.

Pengertian sistematik (systematic) dan meluas (wide.lf)read) menurut M. Cherif Bassiouni

dalam bukunya yang berjudul Crime AgainlS Humanity Oil International Crimillal loCTW;

sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan

kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk

pad a sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau

targetnya acak. Karban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi,

politik, ras, etnis, atau gender.

Yang memisahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, batik dalam kelicikannya atau

dalam kebutuhannya akan peraturan-peraturan khusus tentang penolakan terhadapnya adalah

suatu fakta yang sederhana, yaitu bahwa kcjahatn itu merupakan suatu aksi brutal yang

nyata-nyata dilakukan oleh pemerintah atau setidak-tidaknya oleh orgamsasI yang

melaksanakan atau mcmaksakan kekuasaan politiknya. Yang menjadikan kejahatan itu

sangat mengerikan dan menempatkan kejahatan ini dalam dimensi yang berbeda dari

kejaghatan biasa adalah bukan apa yang ada dalam pikiran si pelaku penyiksaan, meJainkan

kenyataan bahwa individu yang melakukan tindakan kejahatan tersebut merupakan 'bagian

dari aparat ncgara' (Geot1i-ey Roberson, 2000 • 416).

3.1.3 Apartheid

Apartheid adalah sebuah sistem pemisahan berdasarkan ras, agama dan kepercayaan,

diskriminasi etnis dan pemisahan kelas sosial, dimana kelompok mayoritas mcndominasi

kelompok minoritas. Karakteristik yang muncul ada lab pemisahan secara fisik serta wilayah

setiap ras, kemudian diskriminasi terhadap distribusi servis dan jasa publik. Apartheid

mcmaksakan sebuah praktek yang mirip dcngan pcrbudakan dalarn bcrbagai bagian

kebidupan berdasarkan karakteristik berbeda, seperti ras. Apartbeid adalab pelanggaran

terbadap hak asasi manusia dan merupakan kejahatan lnternasional.

10

Page 12: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

3.1.4 Kejahatan Perang

Pasal 8 Statuta Roma mcmiliki dcfinisi yang panjang tcntang kejahatan perang, yaitu

bahwa scbuah kejahatan dikatcgorikan sebagai kcjahatan perang apabila 'dilakukan sebagai

bagian dari suatu rencana atau kebijakan, atau bagian dari skala besar perintah untuk

melakukan tindak pidana tersebut.

Geoffrey Robertson (2000 • 416) membagi pasal 8 Statuta Roma ini menjadi empat

kategori, yaitu

1). Kategori pertama rasal 8 (2)(a) yang melipllti semua pelanggaran berat terhadap

Konvensi Gcnewa2 1949

2). Kategori kedlla, yaitu pasal 8 (2) (b) yang meliputi pelanggaran yang berat terhadap

hllkulll dalam kerangka hukum internasional. Kategori ini saat ini Illeliputi juga serangfan

at as pasukan perdamaian atau mereka yang memberikan bantuan kemanusiaan di bawah

naungan PBB (sub-paragraf ii), serangan yang dilakukan dengan sengaja dan mengetahui

bahwa serangan itu Illenimbulkan kematian atau cidera terhadap penduduk sipil, atau

mengakibatkan kerusakan sangat berat dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan

nasional yang secara tegas melampaui batas dan kaitan dengan tujuan militer manapun (sub­

paragraf iv), serangan secara sengaja terhadap target non-mil iter seperti, tClllpat ibadah,

sekolah, museum, rUlllah sakit, dan tempat-tempat bersejarah, atau yang memiliki nilai

keblldayaan (sub-paragraf ix), dan penggunaan gas-gas beracun untuk memllsnahkan

sekelolllpok orang (sub-paragrafxviii)

Kejahatan baru yang masllk dalam kategori kejahatan perang adalah menggunakan warga

sipil at au orang-orang yang dilindungi untuk Illcmbuat sualu wilayah militer at au atau

pasukan Illiliter kebal dari operasi mililer (sub-paragraf xxiii) dan pelibatan anak-anak di

bawah umur 15 tahun ke dalalll angkatan bersenjata atau menggunakan Illcreka untuk ikut

secara aktif dalalll pertelllpuran (sub-paragraf xxvi)

3). Kategori ketiga adalah pasal 8 (2)(c) berkaitan dengan seluuh pelanggaran serius

Konvcnsi Gellewa, 1949, pasal 3, yaitu yang mcliputi serangan tidak manusiawi tcrhadap

Konvcnsi Gcncwa, sebagaimana dicatat olch Geoffrey Robertson, 2000, hIm. 218, diadakan pada tahun 1949 scbngai suatu llpaya UI1tuk JllcnlInusk~l11 hukulll humanitcr yang dapat bcrlaku sccara intcrnasiomll. Ada cmpat asas pCIlting yang ditctapkan dalam konvcnsi ini mcngcnai hubungan dan pcrlakulln tcrhadap individu, yaitu (1) Pcrlakuan tcrhadar orang sakit dan tcrluka akibat pcrtempuran darat (II) Pcri<lkuan Icrhadap orang sakit dan tcrluka akibat pcrtcmpuran laut, (III) PcrIakuan tcrhadap tawanan pcrang, dan (IV) Pcrlaku;m tcrhadap warga sipil yang mcnjadi tawanan perang. Konvcnsi ini mc\vajibkan scmua ncgara pcnancia tangan untuk patuh, I11cskipun Jl1usuhnya tidak atau bchlln mcnandatangi kanvensi. Jadi tidak ;:lda ncgara yang balch mclanggar konvensi karcna aJasan pcrtahanan nasjonal, misalnya.

I 1

Page 13: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

warga sipil atau orang yang sedang sakit atau prajurit yang sudah menyerah (termasuk

mengadili mereka secara tidak adil).

4). Kategori kecmpat adalah pasal 8 (2)(e) yang menambahkan sejumlah 12 kejahatan

perang yang terdapat dalam pasal 8(2)(b) sebagai pendorong munculnya kontlik

internasional. Keduabelas kejahatan tersebut mencerminkan hukum kebiasaan internasional

yang telah berkembang dari konflik internal, yang secat'a spesifik didetinisikan sebagai .

konflik bersenjata yang berlangsung dalam wilayah sebuah negara dimana konflik bersenjala

tersebut terjadi secara berkepanjangan antara otoritas pcmerintah dengan kelompok

bersenjata yang terorganisir, atau antara kelompok tersebut.

Kejahatan agresi belum dimmuskan secara eksplisit dalam statuta karena bclum ada

kcscpakatan soal definisi mengenai kejahatan agresi tersebut. Kejahatn agresi bam akan

dibicarakan lagi pada saat dilakukan peninjauan kembali terhadap statuta setelah tujuh tahun

masa berlakunya (pasal 123 (l )), yaitu menjelang akhir tahun 2010. Pada saat itu l1lahkamah

akan melakukan upaya amandemen terhadaop statuta, termasuk di dalal1lnya l1lendefinisikan

kejahatan agresi dan menetapkan kondisi-kondisi dimana mahkamah menjalankan jurisdiksi

berkenaan dengan kejahatan agresi tesebut (pasal 5 ayat 2).

3.2 I'elanggaran HAM berat menurul UU RI No. 26 tahun 2000 ten tang Pengadilan

HAM.

Dalam UU RI No. 26 tahun 2000 tcntang pcmbentukan pengadilan HAM di

Indonesiia, yaitu pad a pasal 7, menyebutkan bahwa kejahatan terhadap HAM yang bera! ada

dua, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Memang definisi tentang

kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian ini mengikuti definsi yang

dikemukakan dalam Statuta Roma pasal 6 dan 7. Pembentukan UlJ ini menunjukkan slIatu

keserillsan pemerintah untuk melakukan ratifikasi Statuta ke dalam berbagai produk, baik

Undang-Undang maupun Peraturan Pcmcrintah, scbagai suatu bentuk partisipasi global

dalam perlindungan dan penegakkan HAM.

3.2.1 Kejahatan Gcnosida

j"j!

12

Page 14: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

, , {Pill., \ I i

, , .I I: Ii

; . '..' ; . ~; .: ) i , t i : :

'·,:iL'

J3

Page 15: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

IV. Penyelesaian pelanggaran HAM berat secara konseptnal

Ada tiga dokumen penting yang harus dipertimbangkan dalam menyelesaikan kasus

pelanggaran berat Ham, yaitu tentang pengadilan pidana internasional (International

Criminal Court), pembuktian (Rules of Evidence), dan unsur-unsur kejahatan (Elements of

Crime) agar tidak terdapat kekeliruan dalam penyelesaian kasus pelnggara barat HAM

tersebut.

4.1 Penyelesaian Berdasarkan Statuta Roma

Berdasarkan Statuta Roma dalam peradilan kasus pelanggaran HAM berlaku asas

non-retroaktif. Tetapi banyak kalangan berpendapat bahwa bila tidak diberlakukan asas

retroaktif, banyak pelaku kejahatan berat dimasa lalu yang tidak tersentuh oleh hukum.

Untuk penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM jaksa penuntut harus

membuktikan bahwa aksi kejahatan dilakukan dengan mens rea, yaitu dilakukan secara

sengaja dan telah diketahui konsekuensinya (Geotlrey Robertson, 2000 420) Terdakwa

akan belianggung jawab atas kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama atau dengan

tujuan yang sam a , untuk tindakan membantu atau memerintahkan kejahatan, melakukan

kejahatan, dan berusaha melakukan kejahatan dengan mengambil langkah-Iangkah penting

untuk menyelesaikannya Statuta ini diberlakukan bagi kepala negara, wakil-wakil yang

terpilih, dan mereka yang telah melakukan aksi dalam kapasitas resmi, sebagai orang

memegang jabatan dalam sebuah organisasi resmi ataqu pemerintahan Prinsip ini sekaligus

meruntuhkan atau menghapus implll1itas yang kerap melekat pada mereka yang punya

kekuasaan.

Pad a pasal 64 (2) Statuta memberikan mandat kepada pengadilan untuk agar berjalan

dengan adil dan penuh penghargaan terhadap hak-hak terdakwa. Salah satunya menurut

pasal 67(c) harusnya diadili 'tanpa penundaan'. Apabila penundaan itu tidak sab dan

merugikan, selia disebabkan oleh ketudakmampuan jaksa penuntllt atau faktor-faktor lain

diluar kekuasaan terdakwa, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh pengadilan

untllk mel11enuhi prinsip tersebllt adalab membatalkan tuntutan dan membebaskan terdakwa.

Pasal 66 Statuta mengabadikan prinsip praduga tak bersalah dan menempatkan

bebannya pada jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang

meyakinkan. Pasal 67(i) menyarankan bahwa bukti-bukti dan bantahan tidak dapa!

dibebankan kepada terdakwa. Masalah beban dan standar bukti akan menjadi faktor yang

14

Page 16: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

sangat penting dlam persidangan di pengadilan. Pada prakteknya pada saat tuntutan telah

membuktikan tanpa keraguan adanya tindakan kejahatan pelanggaran terhadap HAM yang

berat, tugas yang berat yang membuat pcmbuktian yang tidak bersalah, seperti adanya

paksaan atau kieadaan tidak sadar at au kesalahan, akan berpindah pada terdakwa.

4,2 Hukumall

Pasal 70 Statuta memberikan kekuatan khusus kepada pengadilan untuk menghukum,

dengan hukuman penjara sampai 5 tahun, para saksi dan tertuduh yang dengan sengaja

bersumpah palsu at au memasukkan dokumen-dokumen dalam presentasi pembuktian.

Kejahatan yang paling berat akan mendapatkan hukuman yang paling berat. Pasal 77

statuta menyatakan bahwa hllkllman bagi pelanggaran terburuk adalah hukuman penjara

seumur hid up. Dalam kasus lain mampunyai masa hukuman sampai 30 tahun, dan hukuman

yang dibebankan secara berturut-turut lIntuk sejllmlah kejahatan tidak boleh melebihi batas

maksimllm tersebut.

Dalam pasal 77(2)(b) disebutkan bahwa selain huklll1lan penjara, terdakwa yang

terbukti melakllkan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan bi lamana perlu sesuai dengan

keputllsan pengadilan, harus melakukan penebllsan hasil, kekayaan dan aset yang berasal

lagsung atau tidak langsung dari kejahatan itu. Hal ini lebih dijeaskan lagi dalam pasal 109

dengan menegaskan bahwa negara-negara pihak harus bekerja sama dalam pembekuan dan

penyitaan aset yang berada dalam Yllridiksi mereka

Perkembangan paling pesat adalah bahwa dalam statuta ini sunggllh sangat dihindari

dijatllhkannya hllkllman mati. Pasal-pasal dalam Statuta Roma menyediakan bllkti lebih jauh

akan upaya hukum internasional untuk menghapuskan hukuman mati (Geffrey, 2000 : 440).

Tetapi meskipun demikian, dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masih

banyak negara yang menerapkan hllkuman mati bagi para pelaku kejahatan Ini tenlu saja

tidak bertentangan secara hukum karena statuta menginjinkan setiap negara untuk

memberlakukan hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku dalam wilayah negara

tersebllt.

Dalam statuta terdapat juga pasal-pasal yang mengatur reparasi terhadap korban

kejahatan. Pasal 75 mcnyebutkan secara tegas mengenai sliatu upaya untuk memberikan

ganli rugi kepada korban, tennasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Karenanya

pengadilan harus menentukan Illasnya keruasakan atau luka yang diderita dan besarnya

15

Page 17: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

kerugian yang dialami oleh korban dan menyatakan hal apa saja yang harus dilakukan untuk

rnengatasi semuanya itu. Perincian terhadap segala kerusakan dan kerugian korban bisa juga

dilakukan oleh seseorang yang dihukum dan apabila sesuai maka pengadilan dapat

memutuskan bahwa pemberian ganti rugi dapat dilakukan melalui trust fil/ui. Hal ini

dimungkinkan apabila dana perwalian tersebut menarik minat dan perhatian para dermawan

yang kaya untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban maupun keluarga korban.

4.3 Penyelesaian berdasal'kan UU RI No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa perangkat hukum sebagai

ratifikasi terhadap Statuta Roma. Ini dimulai dengan dibentuknya UU No. 26 tahun 2000

tentang Pengadilan HAM, PP No. 2 tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap

korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, dan PP No. 3 tahun 2002 tentang

Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM yang berat. Hal

ini menunjukkan ada upaya serius dari pemerintah untuk menegakkan dan menjamin HAM

di Indonesia secara khusus dan dunia secara global.

Pada pasal 36 UU No 26 Tahun 2004 tcntang Pengadilan HAM discbutkan bahwa

Pasal-pasal selanjutnya menyebutkan mengenai hukuman yang diberikan kepada

pelanggaran khusus seperti pasal 38 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan

perbuatan kejahatan perbudakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, akan

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5

(lima) lahun .

., Trust fund adalah dana pcnvalian yang dibuat olch ncganl-llcgara pih;:lk ulltuk tujuan I1lcmbcrikan ganti mgi atau kompcnsasi kcpada korban apabila si kriminal tidak sanggup mcmbcrikan gallti mgi dalam jumlah yang cukup bcsar. Jni scsnai dcngan isi pasal 79 Statut:l Roma.

16

Page 18: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

Pasal 39 menvebutkan bahlVa Setiap orang yang me1akukan perbuatan pCl1lii<s;"ll1

sebagailllana dilllaksud dalam Pasal 9(f), dipidana dengan pi dana penjara paling lama 15

(lima belas) tabun dan paling singkat 5 (lima) tahun ..

Pasal 40 mengatuf bahwa setiap orang yang melakllkan perbuatan sebagaimana

dimakslId dalam Pasal 9(g, 11, at au i), yaitu ,"«li1. pt.'rh\!~!;-d";'il1 st'ksu;d !'leLkUr;il! ~~,'(·:H:'

pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 41 meneg{lsknn bahw{l Percobaal1, permufakatan jahat, atnu pemhantU(l1l untuk

lllelakukan pelanggaran terhadap kejahatan genosida maupun kejahatan terhadap

kemanusiaanm akan dihukum dengan pi dana penjara minimal 5 tahun atau maksimum 30

'tahun dan bisa dikenai pi dana penjara seumur hidup sesuai dengan kejahatan yang

dilakukan.

Pasal 42 mengatur proses peradilan yang harus dilakukan kepafda komandan militer

yang terlibat atau yang menjadi pelakui kejahatan genosida dan kejahatan terhadap

kemanuisaan. Ketentuan-ketentuannya adalah sebagai beriku1:

(I) Komandan militer atau scseorang yang secara efektifbertindak sebagai komandan militer

dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi

Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah

komando dan pengendaliannya yang cfcktif, atau di bawah kekuasaan dan

pengendaliannya yang efektif dan tindak pi dana tersebut merupakan akibat dari tidak

dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaltu •

a), komandan militcr atau scscorang tcrscbut lllcngctahui atau at as dasar keadaan saat itu

seharusnya mcngetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan

pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

b) komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan

diperlukan dalam ruang lingkup kckuasaannya untuk mencegah atau menghcntikan

perbuatan tersebut alau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk

dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan pcnuntutan.

17

Page 19: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pi dana

terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang

berada eli bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang cfcktif, karena atasan tersebut tidak

melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni

a). atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas

menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak

asasi manusia yang berat; dan

b). atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup

kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan

pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan.

(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) dan ayat (2) diancam dengan pidana

yang sam a sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal

40.

Dalam UU No. 26 ini mengatur juga tentang pemberian kompensasi, restitusi, dan

rehabilitasi terhaclap korban pelanggran HAM berat terseilut Pasal y; menyeblltKan 11,1111\<1

Ii I ('! I;) i·'" .

18

Page 20: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

4.4 Pellyelesaiall Mellllrnt UU No 27 tahull 2004 telltang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi

UU No 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disetujui

DPR untuk menjadi undang-undang, walaupun terdapat beberapa kekurangan, namun ada

hal positifnya. Di dalamnya masib terkandung rnaksud untuk mengungkapkan kebenaran di

masa lalu. Hal ini akan menerangkan hal-hal yang kabur dan bahkan gelap dalam

pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

Beberapa kasus yang dapat ditangani dengan pembentukan Komisi Kebenaran di

antaranya kasus 1965, termasuk pulau Buru, kasus Papua sejak 1967, kasus Aceh mulai

daerah operasi militer (DOM), Talangsari, Haur Koneng Bandung, Kedung Ombo, dan kasus

27 Juli. Pengungkapan kebenaran dalam peristiwa tersebut belum pernah dilakukan oleh

pernerintah.

Pembentukan komisi ini mernberikan titik tekan yang berbeda dengan kinerja

mekanisme hukum yang terbatas. Titik tekannya ada pada korban. Penjelasan korban akan

menjadi dasar penyusunan laporan pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini berbeda dengan

mekanisme yang dijalankan Pengadilan ad hoc HAM yang beljalan selama ini.

Komisi Kebenaran yang akan terbentuk ilu terbagi menjadi tiga sub komisi, yaitu

Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi, Komisi Rehabilitasi dan Komisi Amnesti. Kornisi ini

mempunyai kewenangan penyelidikan dari tahun 1945 sampai 2000. Panjangnya batas

waktu akan membuat kerumitan penelusuran dokumen, saksi serta korban.

Pengaturan mcngenai amnesti juga banyak rnenirnbulkan perdebatan. Dalarn UU

tersebut secara eksplisit mengatakan bahwa kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan

setelah dikabulkannya amnesti. Ada tidaknya arnnesti, masyarakat yang menjadi korban

tetap menderita. Oleh karen a itu, seharusnya mereka tetap mendapat kompensasi dan

rehabilitasi. Namun, sebaliknya korban yang telah mendapat kornpensasi dari pengadilan,

mereka tidak boleh mendapat kompensasi lagi.

Ada tiga kcmungkinan yang terjadi sekaitan kata "saling memaatkan": Pertama,

dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi pemberian amnesti wajib

diberikan sub Komisi (amnesti), yaitu Pasal 29 ayat I.

Kedua, dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta,

menyatakan penyesalan atas perbuatannya dan bersedia meminta maar kepada korban atau

keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban at au keluarga korban yang

19

Page 21: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

mernpakan ahli wansnya tidak bersedia memaafkan maka komisi me mutus pemberian

rekomendasi amnesti harns mandiri dan objektif (Pasal 29 ayat 2)

Ketiga, dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya sena

tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang

berat tersebut kehilangan hak mengajukan amnesti dan diajukan kepengadilan HAM ad hoc.

Pasal 29 ayat 1 dan 2 terang-terangan "memaksakan" rekonsiliasi yang berujung

pemberian amnesti atau pengampunan kepada pelaku dan bukannya mengungkapkan

kebenaran. Dalam konteks ini terjadi tubrnkan logika yang sara!. Atas nama persatuan

nasional dan masa depan bangsa, rckonsiliasi dijadikan kata kunei. Sebagaimana termaktub

dalam Pasal 3 hurnf b, "Tujuan pembentukan Komisi adalah meneiptakan persatuan dan

rekonsiliasi nasional dalam jiwa saling pengertian".

Padahal, sine qua /lone dari proses rekonsiliasi suatu bangsa bermula dari meneari,

menemukan, dan menyingkap kebenaran. Dari sana keadilan akan menyingsing di tengah

kabut misteri peristiwa yang melibatkan pelaku dan korban. Adanya keadilan akan

l11enghasilkan kOl11pensasi, rehabilitasi, restitusi pada korban. Pelaku juga akan dianugerahi

amncsti berdasarkan fakta-fakta objektif; perlimbangan yang proporsional (tidak memihak)

sena selektif

Kita tidak ingin amnesti membuka kotak pandora bagi para pelaku untuk lari dari

tanggungjawab. Dalam Undang-Undang ini al11nesti berarti pengal11punan yang dibcrikan

oleh presiden kepada pelaku peianggaran hak asasi manusia yang berat dengan

memperhatikan penimbangan Dewan Pcrwakilan Rakyat

Celakanya, rekonsiliasi dalam skenario Undang-Undang ini dinisbahkan untuk

"mengganti" proses peradilan atas sebuah kasus pelanggaran HAM bera!. Seluruh kasus

pelanggaran HAM berat bisa dimajukan kc komisi tanpa menel11puh jalur peradilan. Kasus­

kasus seperti pembantaian Teungku Bantaqiah di Beutong Atcuh, Aceh atau kasus Tanjung

Priok yang sudah diputus, tidak dapat diajukan ke komisi.

Demikian pula, kasus yang diajukan ke kOl11isi tidak dapat dibawa kc Pcngadilan

I-lAM ad hoc jika sudah tereapai kesepakatan antara peJaku dan korban. Katanya, ini sebagai

penegasan berlakunya asas Ne Bis 117 Idem--·sebuah cara berkclit untuk l11cnutup pcluang

adanya upaya pcnuntutan. Kalau presiden menolak l11cmberikan amnesti, tentu saja tidak

terjadi rekonsiliasi dan kasllsnya telap bisa dibawa kc pengadilan HAM.

20

Page 22: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

Bagaimana jika seorang pelaku langsung mengakui perbuatannya, tapi "kebenaran"

peristiwa yang membuat dia dituding sebagai pelaku tidak diungkap? Bukankah ini

menyederhanakan persoalan, sementara duduk perkara kasus tersebut tidak disingkap? Alih­

alih bangsa ini belajar dari kesalahan yang terjadi di masa lalu, kita tak akan memiliki

rujukan untuk memulai langkah baru tanpa meniru masa lalu yang gelap-gulita itu.

Adalah fakta objektit; kalau kata kebenaran tetap melekat dalam Undang-Undang ini.

Akan tetapi waktu tempuh UU KKR membuat hasil jerih payah OPR dan pemerintah ini jadi

kurang greget. KKR akan dibentuk ketika negeri ini berada di persimpangan sejarahnya;

kekuatan demokratis mendapatkan tentangan kuat dari kubu konservatif yang ingin

mengembalikan negeri ini ke fase otoritarianisme kembali. KKR jadinya diragukan bisa

mengambil peran besar untuk mengantar negeri ini keluar dari transisi demokrasi.

Oua kemungkinan yang bakal terjadi menyaksikan penolakan beberapa pihak

Pertama, Komisi Kebenaran Rekonsiliasi yang bakal dilahirkan Undang-Undang ini diboikot

publik. Eksistensi KKR barangkali akan disahkan oleh presiden, tapi publik~khususnya

korban--mengacuhkannya. Benih-benih sikap boikot ini mulai terlihat dari serangkaian

statement korban di berbagai media massa. Bila tidak mcmboikot pihak-pihak illi akall

menempuhjudicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Kedua, publik akan menerima keberadaan KKR, dcngan syarat ada semacam lampu

hijau dari anggota OPR yang baru untuk menyegerakan revisi terhadap UU KKR. Sejauh

mana peluang yang terakhir ini tergantung besamya lobi politik dari kelompok-kelompok

kepentingan (ornop, pers, organisasi korban HAM, dJl) serta masyarakat warga (civil

society).

Misalkan kondisi kedua mengedepan, KKR tetap menghadapi soal yang problematis

terkait kasus pelanggaran HAM berat yang mesti diprioritaskan. Undang-Undang ini tidak

memberi mandat jelas mengenai batasan waktu sebuah kasus pelanggaran HAM dapat diusut

KKR. Yang ada, itu pun implisit, KKR diminta mengurus kasus pelanggaran HAM sejak

1945 sampai lllasa sebeilim terbilnya UU No 26 Tahun 2000 Tcntang Pengadilan HAM.

Lalu, alas dasar apa KKR mcndahulukan sebuah kasus dan "mengemudiankan" kasus

pelanggaran HAM yang lain? Apakah sebab korbannya yang bersifat massal seperti

peristiwa 1965 dan DOM Aceh (1989-1998) at au kasus-kasus terdekat yang 1l1asih dalam

jangkauan ingatan publik se1l1acam kasus Trisakti, Semanggi Ill!, kasus 27 Juli 1966,

peristiwa Talangsari Lampung alau serangkaian pe1l1bantaian di Aceh pasca DOM?

21

Page 23: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

V. Kesimpulan dan rekomendasi

5.1 Kesimpulan ; Ratifikasi Statuta Roma

Stat uta Roma adalah sebuah statuta badan internasional untuk membentuk sebuah

Mahkamah Pidana Internasional (lCC/international Criminal Court). Mahkamah ini bersifat

permanen dan berwenang mengadili para pclaku pclanggaran berat hak asasi manusia,

seperti pemusnahan ctnik (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against

humanity), dan kejahatan perang (war crime).

Dcngan memperhatikan prinsip yang terkandung dalam Statuta Roma, sistem

pengadilan di Indonesia akan lebih mampu menangani kasus pelanggaran HAM. Dengan

demikian, berbagai tindak kejahatan pelanggaran I-lAM juga dapat dilakukan di Indonesia

dan tidak peflu diambil alih oleh Mahkamah Pidana Internasional. Selain itu, Statuta Roma,

akan semakin memperkaya penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia, apalagi setelah

pemerintah sendiri telah melakukan ratifiksai Statuta Roma dalam bentuk Undang-Undang

dan beberapa Peraturan Pemerintah. Memang rumusan tentang kejahatan masih sangat

global, sehingga menyulitkan jaksa untuk membuktikan suatu perkara. Scmentara, di Statuta

Roma, rumusan kejahatan sudah didefinisikan dengan ukuran-ukuran yang jclas dan tidak

tcrlalu bcrsifat kualitatifsebagaimana dalam Undang-Undang HAM.

Saat ini tclah ada lebih dari 70 negara meratifikasi Statuta Roma itu berarti mulai

diberlakukannya Statuta tersebut dinegara-negara pihak dan ratifikasi tersebut harus diikurti

dengan pcmbentukan Undang-Undang HAM atau Peraturan Pemerintah di setiap negara

penanda tangan. Mcngingat pcntingnya Statuta Roma ini dalam pcncgakan hukum di

Indoncsia, kita berharap statuta ini dapat berlaku secara efektif di Indonesia.

5.2 Rekomendasi; Posisi UU No 26/2000 ten tang Pcngadilan HAM.

Bergesernya komunitas internasional tampaknya sejalan dengan pcmikiran bahwa

scbuah pelanggaran berat terhadap kemanusiaan, merupakan permasalahan dunia sccara

global. Pelanggaran khusus ini membuat tidak saja semua ncgara mcmpunyai hak untuk

menuntut dan menghukum pelaku kejahatan ini, tetapi sekaligus diwajibkan un/uk menuntu/

dan menghukum mcrcka-mcrcka yang tclah melakukan kejahatan scrius tadi. Lantas

bagaimana posisi Indonesia dalam menanggapi trcnd intcrnasionalisasi konflik internal ini?

Indonesia, pad a dasarnya, meletakkan pelanggaran serius dalam konflik internal ini,

pada kebijaksanaan serta aturan yang terdapat dalam hukum domestik. Niat Indonesia untuk

22

Page 24: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

"mengatur" sendiri permasalahan konflik bersenjata internal ini, dapat dilihat dari tidak

dimasukkannya "war crimes" dalam Undang-Undang No. 26 talmn 2000 tentang Pengadilan

Hak Asasi Manusia. 1'adahal UU ini dilihat dari bentuk tekstual legalnya dapat dikatakan

sebagai bentuk "ratifikasi" dari Statuta Roma. Bedanya 00 domestik kita ini hanya

mcngadopsi 2 dari 4 kejahatan internasional yang diatur dalam Statuta Roma. Kedua

kejahatan tersebut adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Genosida serta minus war

crimes dan aggression Meskipun UU ini secara eksplisit menghormati kaidah hukum

internasional dalam pengklasifikasian tindak pidananya atas kemcrdekaan alau kebebasan

fisik seseorang (1'asal 9 (e)), peniadaan klausul war crimes menjadi problem tersendiri bagi

UU ini. Terutama, dalam hubungannya dengan kejahatan serius yang mungkin ditemukan

dalam sebuah konflik internal bersenjata. Padahal "roh" internasionalisasi kejahalan serius

terhadap kemanusiaan dalam bentuk kriminalisasi konflik internal bersenjata melalui Statuta

Roma hanya bisa diwujudkan dengan instrumen klausul yang terdapat dalam provisi war

crimesnya. Untuk itu, penerapan operasi militer di Aceh yang sedikit banyak bersinggungan

dengan korban-korban sipil ataupun combatant yang telah menyerah, jelas tidak masuk

dalam kategori pelanggaran serius menurut undang-undang domestik kita.

Kekhawatiran aktivis pro HAM dalam negeri ten tang tidak diadopsinya war crimes

dalam UU domestik kita sebelum penerapan operasi militer di Aceh tampaknya mulai

teljawab kini. Mayoritas, untuk tidak mengatakan semua, kejahatan dalam konflik di Aceh

pasca-operasi militer tidak dikatagorikan sebagai pelanggaran berat terhadap kemanllsiaan.

Yang konsekuensinya "bebas" dari jerat UU No. 26 tahun 2000.

Sebenarnya, berbicara dalam tataran semangat terhadap penanganan kejahatan

terhadap kcmanusiaan, 011 terhadap kejahatan kcmanusiaan yang dimiliki repuhlik ini boleh

dikatakan maju selangkah, minimal bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.

Australia, misalnya, sampai saat ini masih belum memiliki special Bill ()f RighI. Bahkan Uni

Eropa, sebagai ncgara yang dikenal cukup gigih dalam memperjllangkan HAM,

membutuhkan waktu 38 tahun sebelum akhirnya berhasil membentuk pcngadilan HAM

secara kolektif pad a tahun 19981. Bahkan, at as nama penghormatan terhadap kemanusiaan,

Undang-undang domestik kita secara tegas mengabaikan asas NU//lIm lJelicllIm dalam

kOllscp penuntlltan tindak pidananya Artinya, UU No. 26/2000 dapat dipakai dalam

penuntutan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang teljadi sebclum UU tersebllt

dikeluarkan.

?~ --)

Page 25: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

Sayangnya, semangat pro HAM dalam ULJ No. 26/2000 kurang mewarisi spirit asal

penghormatan terhadap kaum sipil noncombatant, scbagaimana yang tercantum dalam

Statuta Roma. Untuk itu, pcmberlakuan asas retroaktif atas UU No. 26/2000 tampak lebih

pada euphoria politis akan hak asasi manusia daripada aplikasi legalnya

Akhirnya, beranjak dari trend global serta kondisi disefisiensi hukum domcstik kita

terhadap kejahatan serius pad a kemanusiaan khususnya pada kontlik bersenjata internal ada

baiknya keinginan mengamandemen instrumen hukum domestik dapat menjadi euphoria

yang lain bagi para legislator. Adapun mengenai trend internasionalisasi serta kriminalisasi

konflik internal bersenjata, sebenarnya clap at kita sikapi dengan tetap menjaga kedaulatan

negara. Untuk itu, pengusungan ide meratifikasi Konvensi Geneva dan Statuta Roma disertai

reservasi pad a beberapa ketentuannya, bisa menjadi salah satu alternatifuntuk dilakukan

24

Page 26: PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA

DAFTAR REFERENSI

Kasim, lfdhal, 2000, Sialuia Roma; Mahkamah Pidana JnlerbnClsional, Jakarta, Lembaga Studi clan Aclvokasi Masyarakat (Eisam)

Robertson, Geffrey, 2000, Kejahalan Terhadap Kemanllsiaan, jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Magnis Suseno, Frans, 2000, Kliasa dan Moral, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Bertens, K, 200 I, Per,lpekl!( Etika; Emi-esai lentang Masalah Aklllal. Y ogyakarta, Kanisius.

Hup://www.google.co!T!, 2004, PP No 2 lahun 2002 lenlang Perlindllngan lerhadap saksi dan korban da/am pelanggaran HAM berel/,

J:ittpl,iyvww.googlecQt1J, 2004, PI' No.3 lahlll1 2003 len lang Kompensasi, Reslilllsi, dan Rehabililasi lerhadap Korban Pelanggaran HAM bera!.

25