PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK ATAS NAFKAH...

111
i PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA (Studi Kasus Putusan Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: Muhamad Hajir Hikmawan 21113040 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2018

Transcript of PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK ATAS NAFKAH...

i

PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK ATAS

NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA

SALATIGA (Studi Kasus Putusan Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal)

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Muhamad Hajir Hikmawan

21113040

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2018

ii

iii

PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK ATAS

NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA

SALATIGA (Studi Kasus Putusan Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal)

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Muhamad Hajir Hikmawan

21113040

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERISALATIGA

2018

iv

Lutfiana Zahriani, S.H., M.H.

Dosen IAIN Salatiga

PENGESAHAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

KepadaYth.

Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah

skripsi mahasiswa:

Nama : Muhamad Hajir Hikmawan

NIM : 211-13-040

Judul : PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK ATAS

NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN

AGAMA SALATIGA(Studi Kasus Putusan Nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal)

Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang

munaqosyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan

sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 09 Juli 2018

Pembimbing,

Luthfiana Zahriani, S.H., M.H.

NIP.19760827 200003 2 007

v

PENGESAHAN

Skripsi Berjudul:

PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK ATAS NAFKAH ISTRI DAN

ANAK DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA

(Studi Kasus Putusan Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal)

Oleh:

Muhamad Hajir Hikmawan

NIM 211-13-040

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum

Keluarga Islam, Fakultas Syari‟ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada

tanggal 14 Agustus 20186dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh

gelar Sarjana Hukum (SH).

Dewan Sidang Munaqosyah:

Ketua Penguji : Muh. Hafidz, M.Ag.

Sekretaris Penguji : Luthfiana Zahriani, S.H., M.H.

Penguji I : Drs. Badwan, M.Ag.

Penguji II : Dr. Ilyya Muhsin, M. Si.

Salatiga, 14 Agustus 2018

Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN

Salatiga,

Dr. Siti Zumrotun, M.Ag

NIP. 19670115 199803 2 002

KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS SYRI’AH Jl. Nakula Sadewa V No. 9Telp (0298) 3419400 Fax. 323423Salatiga5022

Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail:[email protected]

vi

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Muhamad Hajir Hikmawan

NIM : 211-13-040

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

Fakultas : Syari‟ah

Judul : PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK ATAS NAFKAH

ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA

SALATIGA(Studi Kasus Putusan Nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang

lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 09 Juli 2018

Yang menyatakan,

Muhamad Hajir Hikmawan

NIM: 211-13-040

vii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang

tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan

saat mereka menyerah

PERSEMBAHAN

Untuk orang tua tercintaku

viii

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama tidak lupa saya mengucap puji syukur

kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan kepada kita nikmat berupa

kesehatan yang tiada tara tandingannya ini.

Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Agung

Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jaman kebodohan menuju

zaman yang terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan, sehingga dapat

menjadikan kita bekal hidup kita baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis menyadari

bahwa tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi merupakan tugas yang

berat.Akhirnya dengan berbekal kekuatan, kemauan dan bantuan semua pihak, maka

penyusunan skripsi dengan judul: “PELAKSANAAN PUTUSAN CERAI TALAK

ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA

SALATIGA(Studi Kasus Putusan Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal)” ini bisa

terselesaikan.

Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terima kasih yang

tiada taranya kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga;

2. Ibu DR. Siti ZumrotunM.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah;

3. Bapak Sukron Ma‟mun, S.H.I.,M.Si., selaku kaprodi Hukum Keluarga Islam;

4. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua/Hakim Madya Utama PA Salatiga;

ix

5. Bapak Drs. H. Salim, S.H, M.H. selaku hakim di Pengadilan Agama Salatiga;

6. Ibu Luthfiana Zahriani, S.H., M.H.selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

dengan ikhlas dan sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu,

tenaga dan pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan;

7. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang telah memberikan

ilmunya yang sangat bermanfaat;

8. Orang tua tercinta dan semua saudara-saudaraku yang telah memberikan dan

mencurahkan segala kemampuan dan segala kemampuannya secara material dan

immaterial hingga saat ini. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah

ada;

9. Para pihak dan keluarga yang mendapat putusan dari Pengadilan Agama Salatiga

pada nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal;

10. Sahabat-sahabat dan teman-teman seangkatan di Hukum Keluarga Islam

angkatan 2013 atas segala bantuan, semangat, dan hiburannya sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini;

11. Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang

telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Atas segala hal tersebut, penulis tidak mampu membalas apapun selain hanya

memanjatkan doa, semoga Allah SWT mencatat sebagai amal sholeh yang akan

mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Aamiin yaa robbal „aalamiin.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya,

x

untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna

kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat

bermanfaat, khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang membutuhkannya.

Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Salatiga, 09 Juli 2018

Penulis

xi

ABSTRAK

Hikmawan, Muhamad Hajir. 2018.Pelaksanaan Putusan Cerai Talak Atas Nafkah

Istri dan Anak Di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Kasus Putusan Nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal).Skripsi. Program Studi Hukum Keluarga Islam.Fakultas

Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Luthfiana

Zahriani, S. H., M.H

Kata Kunci:Pelaksanaan, Putusan Cerai Talak, Nafkah Istri, Nafkah Anak

Perceraian yang terjadi karena adanya talak dari suami terhadap istrinya, maka

sesuai dengan ketentuan pasal 41 (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban kepada mantan istrinya. Dalam

hal ini, walaupun tidak adanya suatu tuntutan dari istri, majelis hakim dapat

menghukum mantan suami membayar kepada mantan istri untuk memenuhi nafkah.

Namun kenyataannya setelah istri dicerai, pemenuhan nafkah tersebut ada yang

belum terpenuhi sesuai dengan keputusan Majelis Hakim. Pertanyaan utama yang

ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pertimbangan majelis hakim

dalam menentukan putusan atas penentuan nafkah bagi istri dan anak pada putusan

nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal dan bagaimana pelaksanaan putusan pemenuhan

nafkah oleh suami terhadap mantan istri dan anak pada putusan nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan

pendekatan yuridis sosiologis. Dengan pendekatan ini diharapkan penulis bisa

mengetahui bagaimana pemenuhan nafkah dalam keluarga yang mendapatkan

putusan dari pengadilan. Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif

yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan

prosedur analisis statistic atau cara kuantifikasi lainnya.

Berdasarkan penelitian, maka dapat disimpulkan pertimbangan Majelis Hakim

dalam menentukan putusan atas penentuan nafkah bagi istri dan anak pada putusan

nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal adalah melalui: rekonvensi berdasarkan Pasal 132a

HIR; pengakuan berdasarkan Pasal 174 HIR dan Kitab Muinul Hukkam. Sedangkan

pelaksanaan putusan pemenuhan nafkah oleh suami terhadap mantan istri dan anak

pada putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal tidak dilaksanakan sebagaimana

mestinya oleh Pemohon. Termohon sudah berupaya untuk menagih nafkah anak

kepada Pemohon secara langsung dan juga melalui jalur kekeluargaan, namun tidak

membuahkan hasil. Berkaitan dengan eksekusi tidak diajukan oleh Termohon karena

biaya perkara yang tinggi.

xii

DAFTAR ISI

JUDUL ..................................................................................................................... i

LEMBAR BERLOGO ............................................................................................ ii

JUDUL ..................................................................................................................... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................................. v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................................................. vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vii

KATA PENGANTAR ............................................................................................. viii

ABSTRAK ............................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5

D. Kegunaan Penelitian....................................................................... 6

E. Penegasan Istilah ............................................................................ 7

F. Telaah Pustaka ............................................................................... 8

G. Metode Penelitian........................................................................... 11

H. Sistematika Penulisan .................................................................... 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Perceraian ....................................................................................... 18

1. Pengertian Perceraian ............................................................... 18

2. Bentuk-bentuk Perceraian ........................................................ 20

3. Proses Hukum Cerai Talak....................................................... 28

4. Akibat Hukum Perceraian terhadap Bekas Istri ....................... 29

5. Akibat Hukum Perceraian terhadap Anak................................ 31

B. Putusan ........................................................................................... 35

xiii

1. Pengertian Putusan ................................................................... 35

2. Kekuatan Putusan ..................................................................... 36

3. Susunan dan Isi Putusan ........................................................... 37

C. Pelaksanaan Putusan ...................................................................... 41

1. Pengertian Eksekusi ................................................................. 41

2. Macam-macam Eksekusi ......................................................... 43

3. Tata cara Eksekusi.................................................................... 43

BAB III HASIL PENELITIAN

A. Putusan Cerai Talak Pengadilan Agama Salatiga Nomor

0785/Pdt.G/PA.Sal ......................................................................... 48

1. Duduk Perkara Pada Putusan Cerai Talak Pengadilan Agama

Salatiga Nomor 0785/Pdt.G/PA.Sal ......................................... 48

2. Penyelesaian Permohonan Putusan Cerai Talak Pengadilan

Agama Salatiga Pada Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal .......... 50

3. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Cerai Talak Pengadilan

Agama Salatiga Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal ................... 55

B. Pelaksanaan Putusan Pemenuhan Nafkah Oleh Suami Terhadap

Mantan Istri dan Anak Pada Perkara Nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal ................................................................ 59

BAB IV ANALISIS PUTUSAN CERAI TALAK PENGADILAN AGAMA

SALATIGA NOMOR 0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal

A. Analisis Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Menentukan Nafkah

Bagi Istri dan Anak Pada Putusan Nomor 0785/Pdt.g/2017/PA.Sal 62

B. Analisis Pelaksanaan Putusan Pemenuhan Nafkah Oleh Suami

terhadap Mantan Istri dan Anak Pada Putusan Nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal di pengadilan Agama Salatiga ............... 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 69

B. Saran ............................................................................................... 69

xiv

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 71

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................................... 73

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan dengan tujuan

adanya ketenangan, kesenangan, kedamaian dan kebahagiaan. Hal ini

menjadikan semua laki-laki dan perempuan menginginkan pasangan hidup

yang dapat membentuk suatu keluarga. Dasar dari keluarga mempengaruhi

kualitas pada unit yang lebih besar, ketika dasar tersebut kokoh maka unit

selanjutnya pun akan menjadi kuat. Pengaruh yang akan dirasakan secara

nyata adalah dalam keberhasilan pembentukan sumber daya manusia.

Perkawinan merupakan sunnah rosul, islam mensyariatkan dijalinnya

pertemuan antara lelaki dan perempuan, selanjutnya mengarahkan pertemuan

tersebut sehingga terlaksananya suatu perkawinan.

Menurut Mathlub (2005 : 1) Secara etimologis, Perkawinan adalah

pencampuran, penyelarasan, atau ikatan. Ikatan tersebut terjadi diantara

seorang lelaki dan wanita, dengan adanya kerelaan menyelaraskan dan

berdampingan bersama pasangannya. Sementara nikah secara etimologis

digunakan untuk mengungkapkan makna dari persetubuhan, akad, dan

pelukan (Mathlub, 2005:2). Sedangkan menurut hukum islam, pernikahan

adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati

2

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Allah ta‟alla

berfirman dalam surat Ar-ruum (30): 21 :

نكم مودة ورحمة ومن آياته أن خلق ها وجعل ب ي لكم من أن فسكم أزواجا لتسكنوا إلي

رون لك ليات لقوم ي ت فك إن في ذ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Kementrian Agama

Republik Indonesia, 2012:324).

Begitu juga rasulullah telah berkata :

عليه وأث نى, الله حمد وسلم عليه اهلل صلى النبي أن عنه اهلل رضي مالك بن أنس وعن

سنتي عن رغب فمن , النساء وأت زوج , وأفطر وأصوم , وأنام أصلي أنا لكني: وقال ,

فق ( مني ف ليس )عليه مت

Dari Anas Ibnu Malik bahwa Nabi Shallallaahu „alaihiwa

Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda:

“Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini

perempuan. Barang siapa membenci sunnahku, ia tidak

termasuk ummatku (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim nomor

994).

Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan

suatu perjanjian yang mengikat lahir batin dengan dasariman.Dari segi ibadah,

perkawinan merupakan suatu kejadian yang penting dan sakral dalam

kehidupan manusia yang mengandung nilai ibadah. Salah satu hal yang

diinginkan dengan adanya pernikahan adalah hidup bersama.

3

Kerjasama yang baik antara suami dan istri dalam hal menjalankan

hak dan kewajiban masing-masing pihak sangat diperlukan dalam

mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan. Hak adalah sesuatu yang

seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi kewajibannya, sedangkan

kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk

mendapat hak. Suami istri wajib saling setia dan mencintai, hormat

menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami wajib

melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan

kemampuannya.

Pernikahan bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, namun

tujuannya juga dapat menyambung keturunan yang baik dalam naungan

rumah tangga yang penuh dengan kedamaian, cinta dan kasih sayang. Ini

sesuai dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yakni:

“perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah mawaddah warahmah” (Departemen Agama RI, 2000: 14).

Melindungi keselarasan pasangan suami-istritidaklah semudah

membalikkan telapak tangan, namun memerlukan pengorbanan. Prinsip

perkawinan sendiri adalah untuk membentuk suatu keluarga yang tentram,

damai dan langgeng, namun dalam perjalanannya kehidupan tidak selalu

sesuai dengan keinginan manusia. Perceraian dapat terjadi oleh berbagai

faktor dalam suatu perkawinan.

4

Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila

kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaiannya, apabila

belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak bisa melanjutkan keutuhan

keluarga maka kedua belah pihak bisa membawa permasalahan ke pengadilan

untuk dicari jalan keluar yang terbaik.

Sesuai dengan ketentuan pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.

Secara umum alasan perceraian dalam masyarakat adalah tidak ada

lagi kecocokan di antara suami dan istri. Perceraian merupakan suatu

perbuatan hukum yang tentunya akan membawa akibat-akibat hukum tertentu,

perceraian hanya dapat dilakukan atas dasar putusan hakim di depan sidang

Pengadilan Agama (Pasal 115 KHI).

Perceraian yang terjadi karena adanya talak dari suami terhadap

istrinya, maka sesuai dengan ketentuan pasal 41 (c) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk

memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban kepada

mantan istrinya.

Dalam hal ini, walaupun tidak adanya suatu tuntutan dari istri, majelis

hakim dapat menghukum mantan suami membayar kepada mantan istri untuk

memenuhi nafkah. Namun kenyataannya setelah istri dicerai, pemenuhan

5

nafkah tersebut ada yang belum terpenuhi sesuai dengan keputusan majelis

hakim.

Berdasarkan uraian diatas, fenomena pemenuhan nafkah setelah

adanya putusan Majlis Hakim sangat menarik untuk diteliti. Hal tersebut

menimbukan pertanyaan apakah telah dilaksanakan suatu putusan atau hanya

sebagai formalitas belaka, maka penulis membuat skripsi dengan judul

“Pelaksanaan Putusan Cerai Talak Atas Nafkah Istri Dan Anak Di

Pengadilan Agama Salatiga (Studi Kasus Putusan Nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal)”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan putusan atas

penentuan nafkah bagiistri dan anak pada putusan nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal?

2. Bagaimana pelaksanaan putusan pemenuhan nafkah oleh suami terhadap

mantan istri dan anak pada putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam menentukan

putusan atas penentuan nafkah bagi istri dan anak pada putusan nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan pemenuhan nafkah oleh suami

terhadap mantan istri dan nafkah anakpada putusan nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal.

6

D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih memperdalam dan

menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya pada hukum Keluarga

di Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Instansi

Membantu memberikan masukan bagi para pihak yang

berkompeten terhadap masalah-masalah keluarga, juga menjadi tolak

ukur atas keberhasilan selama ini dalam mendidik dan membekali

ilmu bagi peneliti sebelum masuk ke dalam kehidupan

bermasyarakat.

b. Bagi Masyarakat

Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang

perceraian dan pelaksanakan putusan pengadilan mengenai nafkah.

c. Bagi Peneliti

Digunakan sebagai bahan awal bagi penelitian selanjutnya

yang memiliki pokok permasalahan yang sama.

7

E. Penegasan Istilah

Agar didalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda

dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah didalam judul

ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah:

1. Putusan pengadilan

Putusan menurut Mukti Arto(1998 : 245) adalah pernyataan

hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim

dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan

perkara gugatan (kontentius). Jadi putusan adalah kesimpulan akhir yang

diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam

menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa/perkara, yang dituangkan

dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan

yang terbuka untuk umum.

2. Perceraian

Perceraian menurut Subekti (1985 : 42) adalah penghapusan

perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam

perkawinan itu. Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti adalah

penghapusan perkawinan, baik dengan putusan hakim atau tuntutan

suami atau istri.

3. Nafkah

Nafkah adalah tanggung jawab utama seorang suami dan hak

utama istrinya. Apabila diberikan kepada istri dengan lapang dada, tanpa

8

unsur kikir, merupakan kontribusi utama yang dapat mendatangkan

keseimbangan dan kebahagiaan rumah tangga(Hamid, 2006:71).

F. Telaah Pustaka

Setelah melaksanakan penelusuran literatur yang membahas mengenai

eksekusi putusan majelis hakim atas nafkah mantan istri dan anak, peneliti

telah menemukan beberapa reverensi khususnya dari skripsi dan buku.

Diantaranya yang dapat dijadikan sumber telaah pustaka adalah sebagai

berikut:

Pertama adalah Skripsi Agung Windiarto yang berjudul “Pelaksanaan

Putusan (Eksekusi) Terhadap Sengketa Harta Bersama di Pengadilan Agama

Ambarawa (Studi Analisis Putusan Nomor:0224/Pdt.G/2010/PA.Amb)”.

Dalamskripsi ini memiliki dua rumusan masalah yaitu apa yang menjadi dasar

Ketua Pengadilan Agama Ambarawa dalam menjalankan eksekusi terhadap

sengketa harta bersama setelah adanya kesepakatan perdamaian harta bersama

di Pengadilan Agama Ambarawa nomor: 0224/Pdt.G/2010/PA.Amb dan apa

yang menjadi keabsahan berita acara eksekusi tanpa tanda tangan salah satu

pihak. Penulis menjelaskan bahwa yang menjadi dasar putusan yaitu adanya

beberapa asas yang harus dipenuhi dalam sebuah pelaksanaan putusan

(eksekusi), yaitu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang

diatur dalam pasal 195 HIR atau pasal 206 R.Bg. penulis juga menjelaskan

bahwa tidak bersedianya pihak II / Termohon tanda tangan dalam berita acara

9

tidak menghalangi sahnya eksekusi, hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi

perkara nomor tersebut tetap sah secara hukum.

Kedua, skripsi dari Aina Sufya Fuaida yang berjudul “Pelaksaan

Putusan Dalam Pembagian Waris di Pengadilan Agama (Studi Analisis

Putusan Nomor:632/Pdt.G/2007/PA.Amb)”. Dalam skripsi ini memiliki tiga

rumusan masalah yaitu bagaimana pembagian waris dalam perkara nomor

632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa, bagaimana dasar

pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Ambdan

bagaimana pelaksanaan putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Penulis

menjelaskan bahwa pembagian waris dalam perkara nomor

632/Pdt.G/2007/PA.Amb di Pengadilan Agama Ambarawa telah mengacu

pada Kompilasi Hukum Islam dalam menetapkan hukum waris. Penulis juga

menjelaskan dasar pertimbangan hakim pembagian waris putusan nomor

tersebut adalah dari keterangan saksi dan bukti yang diajukan serta pengakuan

dari para pihak dan pelaksanaan putusan nomor tersebut oleh pihak keluarga

telah dilaksanakan pembagian sesuai dengan putusan.

Kemudian yang ketiga adalah skripsi Muhamad Latif yang berjudul

“Pemberian Nafkah Anak Oleh Ayah Kandung Setelah Perceraian (Studi

Kasus Keluarga Broken Home Pada siswa di MAN Salatiga)”.Dalam skripsi

ini memiliki dua rumusan masalah yaitu bagaimanakah pemberian nafkah

oleh orang tua laki-laki (Ayah) kepada anak setelah terjadinya perceraian pada

siswa-siswa broken home di MAN Salatiga dan upaya apa yang harus

10

ditempuh oleh ibu agar (ayah) melaksanakan kewajibannya dalam memberi

nafkah kepada anaknya setelah terjadinya perceraian pada siswa-siswa broken

home di MAN Salatiga. Penulis menjelaskan bahwa pemberian nafkah anak

oleh ayah kandung setelah perceraian yang terjadi di MAN Salatiga sangat

bervariasi, yaitu dilakukan secara sukarela, secara berbelitbelit, dan tidak

pernah dilakukan. Penulis juga menjelasakan upaya ibu untuk mengingatkan

mantan suami memberikan nafkah anak setelah perceraian yang terjadi di

MAN Salatiga sangat bervariasi dalam tindakannya, yaitu tindakan ibu untuk

mengingatkan mantan suami tidak perlu dilakukan, tindakan ibu untuk

mengingatkan mantan suami dengan memintanya secara langsung dan

tindakab ibu untuk mengingatkan mantan suami tidak pernah dilakukan.

Perbedaan penelitian yang akan dilakukan peneliti dengan penelitian

terdahulu terletak pada fokus masalah yang akan diteliti. Dimanapenelitian

akan dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga dan kepada keluarga atau

perorangan yang menjadi subyek daripada putusan. Kajiian utama pada

penelitian terdahulu fokus pada pelaksanaan putusan tentang sengketa harta

bersama, waris dan pemberian nafkah kepada anak. Sedangkan penelitian

peneliti berfokus pada pelaksanaan pemenuhan nafkah kepada istri ataupun

anak, mengapa terjadi perceraian, cara pemenuhan nafkah, pelaksanaan

nafkah dalam islam, dan implikasi terhadap keseharian istri ataupun anak

dalam keluarga yang memperoleh putusan dari Pengadilan Agama Salatiga.

11

G. Metode Penelitian

1. JenisPenelitian dan Pendekatan

Untuk membantu dan memudahkan peneliti dalam melakukan

penelitian, peneliti akan menggunakan jenis penelitian secara kualitatif

dan menggunakan beberapa pendekatan sebagai acuan dalam

penulisanini. Secara jelasnya penulis paparkan sebagai berikut:

a. Penelitian Kualitatif

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif

yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis, yang tidak

menggunakan prosedur analisis statistic atau cara kuantifikasi lainnya

(Moleong, 2002: 6). Dari pengertian tersebut, sudah tentu sesuai

dengan judul penelitian yang telah ada ini, peneliti akan berada pada

latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah

dengan melakukan observasi, catatan lapangan dan wawancara

dengan hakim dan pihak istri serta keluarga yang mendapatkan

putusan dari Pengadilan Agama Salatiga.

b. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan

yuridis sosiologis. Dengan pendekatan ini diharapkan penulis bisa

mengetahui bagaimana pemenuhan nafkah dalam keluarga yang

mendapatkan putusan dari pengadilan. Hal ini dilakukan dengan

12

tinjauan pada pihak istri dan keluarga yang mendapatkan putusan

dari Pengadilan Agama Salatiga.

2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian

Peneliti dalam melaksanakan observasi telah melaksanakan

wawancara pra penelitian di Pengadilan Agama Salatiga, sehingga sudah

tentu peneliti berada pada lapangan bersama nara sumber yang ada.

Penelitian dilaksanakan di Pengadilan Agama Salatiga. Alasan peneliti

memilih lokasi tersebut dikarenakan jaraknya yang terjangkau dan dekat

dengan tempat tinggal peneliti.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling

penting dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah

untuk mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan

diperoleh dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data,

yaitu:

a. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara

(Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

(Interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,

2002: 186). Peneliti akan melakukan wawancara dengan hakim dan

13

pihak istri serta keluarga yang mendapat putusan dari Pengadilan

Agama Salatiga.

b. Dokumen

Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film

(Moeloeng, 2002 : 161). Sumber tertulis dapat terbagi atas sumber

buku dan majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi dan

dokumen resmi (Moeloeng, 2002 : 113). Dalam hal ini penulis

mengambil dokumentasi berupa data tentang putusan cerai talak oleh

Majelis Hakim di Pengadilan Agama Salatiga pada nomor

0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal.

4. Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis

seperlumya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam

penganalisisan data tersebut penulis menggunakan analisa kualitatif

yaitu: analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian disajikan

dalam bentuk uraian (Moeloeng, 2011 : 288).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data

model Miles dan Huberman (1984) atau yang sering disebut dengan

analisis alur (Flow) dimana aktivitas dalam analisis data kualitatif

dilakukan secara interaktif dan berlangsug secara terus menerus sampai

tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan

tidak diperolehya lagi data atau informasi baru(Emzir, 2011 : 128).

14

Aktivitas dalam analisis ini meliputi tiga tahap yaitu tahap

reduksi data (data reduction), tahap penyajian data (data display) serta

tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion/ verification).

5. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam rangka informasi yang faktual dan terperinci maka penulis

menggunakan beberapa teknik pengecekan data yang diuraikan sebagai

berikut:

a. Triangulasi

Triangulasi adalah sebuah teknik pemeriksaan keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Artinya melalui teknik

ini data pokok yang ada akan dibandingkan dengan data pendukung

lainnya, baik berdasarkan sumber, metode, dan teori. Dalam hal ini

peneliti membandingkan antara data-data yang didapatkan peneliti

melalui wawancara dengan dokumentasi serta hasil observasi

lapangan. Selain itu penulis juga membandingkan antara metode

yang dilaksanakan dengan apa yang menjadi dasarnya.

b. Uraian Rinci

Dalam teknik ini penulis telah melaporkan hasil penelitiannya

sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin.

c. Auditing

Auditing adalah proses pemeriksaan kebergantungan dan

kepastian data dalam penelitian. Segala bentuk informasi yang

15

didapatkan peneliti, baik berbentuk catatan ataupun data lainnya

dimanfaatkan dalam proses auditing.

6. Tahap-Tahap Penelitian

Pada tahapan ini penulis membagi dalam tiga tahap, yaitu:

a. Tahap Pra Lapangan

Dalam tahap pertama ini ada lima hal yang telah dilengkapi

oleh peneliti yaitu:

1. Menyusun rancangan penelitian

2. Mengurus perizinan

3. Menjajaki dan menilai lapangan

4. Memilih dan memanfaatkan informan

5. Menyiapkan perlengkapan penelitian

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan, dibagi atas tiga

bagian yaitu:

1. Memahami latar penelitian

2. Adaptasi peneliti dilapangan

3. Berperan serta mengumpulkan data

c. Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis

seperlumya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam

penganalisisan data tersebut penulis menggunakan analisa kualitatif

16

yaitu: analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian

disajikan dalam bentuk uraian (Moeloeng, 2011 : 288).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis

data model Miles dan Huberman (1984) atau yang sering disebut

dengan analisis alur (Flow) dimana aktivitas dalam analisis data

kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsug secara terus

menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan

data ditandai dengan tidak diperolehya lagi data atau informasi baru

(Emzir, 2011 : 128).

Aktivitas dalam analisis ini meliputi tiga tahap yaitu tahap

reduksi data (data reduction), tahap penyajian data (data display)

serta tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion/

verification).

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian yang penulis susun mencakup berbagai subtansi

diantaranya adalah sebagai berikut:

Bab satu adalah pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menguraikan

tentang: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian , dan

sistematika penulisan penelitian.

17

Bab dua adalah kajian teori tentang perceraian, putusan dan

pelaksanaan putusan (eksekusi) dalam penentuan nafkah terhadap mantan istri

dan anak berdasarkan undang-undang.

Bab tiga yang berisi putusan perkara nomor: 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal

dan pelaksanaan putusan (eksekusi) dalam penentuan nafkah terhadap mantan

istri dan anak.

Bab empat adalah analisis dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim

dalam menentukan nafkah bagi istri dan anak pada putusan nomor

0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal dan analisis pelaksanaan putusan pemenuhan nafkah

oleh suami terhadap mantan istri dan anak pada putusan nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal di Pengadilan Agama Salatiga.

Bab lima yang berisi kesimpulan dan saran. Dalam bagian akhir

termuat daftar pustaka, lampiran-lampiran dan riwayat hidup penulis.

18

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian menurut pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah

“Putusnya perkawinan”. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan

adalah menurut pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, perceraian adalah

putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan

berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri

tersebut.

Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspekstif

hukum berikut.

a) Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal

38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam

PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut;

1) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang

diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami

kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku

19

beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu

dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama (vide

Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No.9 Tahun 1975).

2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang

diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada

Pengadiilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta

segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan

Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide

Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).

b) Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah

pula dipositifkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam

PP No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya

diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan

Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya

terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh

Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34

ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975).

Perceraian menurut Subekti (1985 : 42) adalah penghapusan

perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam

perkawinan itu. Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti adalah

penghapusan perkawinan, baik dengan putusan hakim atau tuntutan

suami atau istri. Dengan adanya perceraian, maka perkawinan antara

20

suami dan istri menjadi hapus. Namun, Subekti tidak menyatakan

pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan

kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai mati”. Jadi,

pengertian perceraian menurut Subekti lebih sempit daripada pengertian

perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana telah

diuraikan di atas.

2. Bentuk-bentuk perceraian

Bentuk-bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya

perkawinan yang diatur dalam hukum islam, yang dapat menjadi alasan-

alasan hukum perceraiannya dan bermuara pada cerai talak dan cerai

gugat yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun

1975, dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Talak

Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya

kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan, karena

antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing

sudah bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis,

ulama mengemukakan rumusan yang berbeda, namun esensinya sama,

yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz

talak dan sejenisnya (Anshori, 2011 : 105-106).

21

b) Syiqaq

Menurut Muhammad Syaifuddin (2013 : 128) konflik antara

suami istri itu ada beberapa sebab dan macamnya. Sebelum konflik

membuat suami mengalami keputusan berpisah yang berupa thalaq,

maka konflik-konflik tersebut antara lain adalah syiqaq.

c) Khulu‟

Bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan jatuhnya

talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari

pihak istri yang menginginkan cerai dengan khulu‟ itu (Soemiyati,

1982 : 110).

d) Fasakh

Secara etimologi, fasakh berarti membatalkan. Apabila

dihubungkan dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan

perkawinan atau merusakkan perkawinan. Kemudian, secara

terminologis fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh

Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat

dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah

terlanjur menyalahi hukum pernikahan (Anshori, 2011 : 141).

e) Fahisah

Fahisah menurut Alquran Surah An-Nisa‟ (4): 15 ialah

perempuan yang melakukan perbuatan keji atau perbuatan yang

22

memalukan keluarga, seperti perbuatan mesum, homo seksual,

lesbian dan sejenisnya.

Firman Allah QS An-Nisa‟ (4): 15

تي يأتين الفاحشة من نسائكم فاستشهدوا عليهن أرب عة منكم فإن والل

شهدوا فأمسكوهن في الب يوت حتى ي ت وفاهن الموت أو يجعل الله لهن سبيل

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,

hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang

menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi

persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam

rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah

memberi jalan lain kepadanya. (An-Nisa' ayat 15)

f) Ta‟lik talak

Pada prinsipnya ta‟lik talak menurut penjelasan Sudarsono

(1994 : 135) adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya talak

terhadap peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat

sebelumnya antara suami istri.

g) Ila‟

Ila‟ menurut bahasa berasal dari kata aala, yu‟lii, dan iilaa‟

(bersumpah). Sementara ila‟ menurut syara‟ adalah bersumpah untuk

tidak menggauli istri. Dasar adanya ila‟ adalah firman Allah:

فإن فاءوا فإن الله غفور للذين ي ؤلون من نسائهم ت ربص أرب عة أشهر

رحيم

23

kepada orang-orang yang mengila‟ istrinya diberi tangguh 4

bulan (lamanya). (QS. Al Baqarah (2): 226).

Ayat ini turun untuk menggugurkan tradisi jahiliah yang

memperlama masa ila‟ hingga satu atau dua tahun. Lalu, Allah

menganulir dan menetapkan jangka waktu ila‟ yang paling lama

adalah 4 bulan (Hasan Ayub, 2002 : 349).

h) Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟.

Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu

baginya sama dengan punggung istrinya. Ibarat seperti ini erat

kaitannya dengan kebiasaan masyarakat Arab, apabila masyarakat

Arab marah, maka ibarat/penyamaan tadi sering terucap. Apabila ini

terjadi berarti suami tidak akan menggauli istrinya (Sudarsono, 1994 :

141).

i) Li‟an

Perkawinan dapat putus karena li‟an. Li‟an diambil dari kata

la‟n (melaknat), karena pada sumpah kelima, suami mengatakan

bahwa ia menerima laknat Allah bila ia termasuk orang-orang yang

berdusta. Perkara ini disebut li‟an, ilti‟an (melaknat diri sendiri) dan

mula‟anah (saling melaknat) (Muhammad Syaifuddin, 2013 : 158).

24

j) Murtad (Riddah)

Syaikh Hasan Ayyub (2002 : 227) menjelaskan bahwa apabila

salah seorang suami istri murtad sebelum terjadi persetubuhan, maka

nikah terkena fasakh menurut pendapat mayoritas ulama.

Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan klasifikasi

bahwa perkawinan putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan

pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian

dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah

Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak. Macam-macam dan cara pemutusan hubungan

perkawinan karena perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum

Islam, adalah sebagai berikut.

1) Talak

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan

Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (vide

Pasal 117). Macam-macam talak, yaitu sebagai berikut.

a) Talak raj‟I, adalah talak kesatu atau kedua, dalam talak ini suami

berhak rujuk selama istri dalam masa iddah (vide Pasal 118).

b) Talak ba‟in, adalah talak yang ketiga kalinya atau talak sebelum

istri dicampuri atau talak dengan tebusan istri kepada suami.

25

c) Talak sunny, adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang

dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri

dalam waktu suci tersebut (vide Pasal 121).

d) Talak bid‟I, adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang

dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam

keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada waktu tersebut (vide

Pasal 122).

Perceraian karena talak terjadi terhitung pada saat perceraian

itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.

2) Khuluk

Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri

dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan

suaminya (vide Pasal 1 huruf i). khuluk harus berdasarkan atas alasan

perceraian sesuai dengan ketentuan Pasal 116, yaitu :

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuannya;

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

26

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain;

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau

istri;

f) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga;

g) Suami melanggar taklik talak;

h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

3) Taklik talak

Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai

pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa

janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang

mungkin terjadi di masa yang akan datang (vide Pasal 1 huruf e). Isi

taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Apabila

keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi

kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak

sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke

Pengadilan Agama. Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian

yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik

27

talak sudah diperjanjikan, tidak dapat dicabut kembali (vide Pasal

46).

4) Li‟an

Li‟an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri

untuk selama-lamanya (vide Pasal 125). Li‟an terjadi karena suami

menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam

kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri

menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut (vide Pasal 126).

Menurut Pasal 127, tata cara li‟an adalah sebagai berikut.

a) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau

pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-

kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau

pengingkaran tersebut didusta”.

b) Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan

sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran

tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata

“murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran

tersebut benar”.

Tatacara tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan. Apabila tatacara pertama tidak diikuti dengan tatacara

kedua, maka dianggap tidak terjadi li‟an. Menurut Pasal 128, li‟an

hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.

28

Selanjutnya menurut Pasal 162, bilamana li‟an terjadi, maka

perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung

dinasabkan kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban

memberi nafkah.

3. Proses hukum cerai talak

1) Pengajuan permohonan cerai talak

Seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan

istrinya, menurut pasal 66 jo. Pasal 67 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU

No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 tahun 2009, mengajukan

permohonan kepada Pengadilan Agama untuk mengadakan sidang

guna menyaksikan ikrar talak. Jadi, dalam proses hukum cerai talak

suami berkedudukan hukum sebagi pemohon, sedangkan istri

berkedudukan hukum sebagai termohon.

Permohonan yang memuat nama, umur, dan tempat kediaman

suami sebagai pemohon dan istri sebagai termohon, dengan alasan-

alasan hukum perceraian yang menjadi dasar cerai talak, diajukan

kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman istri sebagai Termohon, kecuali apabila istri sebagai

Termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang

ditentukan bersama tanpa izin suami sebagai pemohon.

Dalam hal istri sebagai Termohon bertempat kediaman di luar

Negara, permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama yang

29

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman suami sebagai Pemohon.

Dalam hal suami sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon

bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan

kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat

perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama

Jakarta Pusat.

Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri

dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan

permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Jadi,

sengketa perkawinan yang dapat diselesaikan di Pengadilan Agama,

tidak hanya perkara perceraian (cerai talak dan cerai gugat) saja,

tetapi juga sengketa penguasaan anak, sengketa nafkah anak,

sengketa nafkah istri, dan sengketa harta bersama suami dan istri,

yang merupakan akibat-akibat hukum dari putusnya perkawinan

karena perceraian, termasuk cerai talak dan cerai gugat (Muhammad

Syaifuddin, 2013 : 242).

4. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Bekas Istri

Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban

mantan suami/istri menurut pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ialah

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri. Ketentuan normative dalam pasal tersebut mempunyai kaitan

30

dengan Pasal 11 UU No.1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan normative

bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu, yang kemudian pasal ini telah dijabarkan dalam Pasal 39 PP No.9

Tahun 1975 yang memuat ketentuan imperative bahwa bagi seorang

janda yang perkawinannya putus karena perceraian, maka waktu tunggu

bagi janda yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak datang

bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus,

sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu

ditetapkan sampai ia melahirkan.

Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban

mantan suami/istri menurut Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974

selaras dengan hukum Islam. Apabila terjadi perceraian antara suami dan

istri menurut hukum Islam, maka akibat hukumnya adalah dibebankannya

kewajiban mantan suami terhadap mantan istrinya untuk memberi mut‟ah

yang pantas berupa uang atau barang dan memberi nafkah hidup, pakaian

dan tempat kediaman selama mantan istri dalam masa iddah, serta

melunasi mas kawin, perjanjian ta‟lik talak dan perjanjian lain.

Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban

mantan suami/istri yang diatur dalam hukum Islam, telah dipositivisasi

dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya Pasal 149 yang memuat

31

ketentuan imperative bahwa bilamana perkawianan putus karena talak,

maka bekas suami wajib:

1) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla aldukhul;

2) Memberikan nafkah, mas kawin dan kiswah kepada bekas istri

selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau

nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

3) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila

qabla aldukhul;

4) Memberikan hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai

umur 21 tahun.

5. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak

Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan perlindungan

hak-hak anak menurut Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 ialah baik

bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana

terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan

yang memberikan keputusannya. Akibat hukum perceraian terhadap anak

ini tentu saja hanya berlaku terhadap suami dan isrti yang mempunyai

anak dalam perkawinan mereka, tetapi tidak berlaku terhadap suami dan

istri yang tidak mempunyai anak dalam perkawinan mereka.

32

Menurut Soemiyati (1982 : 126) jika terjadi perceraian dimana

telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak

mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke

atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu,

termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab ayahnya.

Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat ditanya

kepada siapa dia akan terus ikut. Kalau anak tersebut memilih ibunya,

maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut

bapaknya, maka hak mengasuh ikut pindah pada bapak.

Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati (2006 : 126) menguraikan

pendapatnya mengenai akibat hukum perceraian terhadap “nafkah anak”

secara lebih rinci, sebagai berikut:

1) Kewajiban “membiayai” anak tidak hilang karena putusnya

perkawinan akibat adanya perceraian;

2) Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayah (sampai anak

dewasa atau berdiri sendiri, bekerja/mendapat penghasilan atau

anak menikah). Kewajiban membiayai tetap menjadi tanggung

jawab ayah walaupun pemeliharaan anak tidak padanya. Artinya

ayah tetap mempunyai kewajiban untuk membiayai penghidupan

anak walaupun hak pemeliharaan anak berada pada ibu, kakek,

nenek, bibi, dan sebagainya;

33

3) Bila ayah tidak dapat memberi biaya pemeliharaan

(penghidupan), maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu

ikut memikul biaya hidup anak;

4) Bila ayah tidak melaksanakan putusan pengadilan untuk

membiayai pemeliharaan anak, maka seorang (mantan) istri dapat

melakukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan

Agama atau Pengadilan Negeri dimana proses perceraiannya

dilakukan. Selanjutnya, Pengadilan akan memanggil (mantan)

suami. Jika suami tidak memenuhi surat panggilan dari

pengadilan tanpa alasan yang patut, maka Ketua Pengadilan akan

mengeluarkan Surat Penetapan yang memerintahkan untuk

melakukan eksekusi kepada Panitera atau Juru Sita. Namun,

apabila (mantan) suami datang memenuhi panggilan dari

Pengadilan, maka Ketua Pengadilan akan mengeluarkan

peringatan pengadilan yang ditujukan kepada mantan suami agar

memenuhi kewajibannya. Lama waktu peringatan tidak boleh

lebih dari 8 hari. Setelah lebih 8 hari,mantan suami tidak

melaksanakan/memenuhi putusan Pengadilan, maka akan

dikeluarkan surat penetapan oleh Ketua Pengadilan yang

memerintahkan eksekusi kepada Panitera atau Juru Sita.

Memperhatikan penjelasan beberapa ahli hukum perceraian

sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dipahami bahwa Pasal 41

34

huruf a UU No. 1 Tahun 1974 adalah wujud normative dari upaya Negara

untuk melindungi hak-hak anak setelah terjadi perceraian dari kedua

orang tuanya, berlandaskan fungsi Negara hukum mengaku dan

melindungi HAM.

Hak- hak anak yang dilindungi oleh pasal 41 huruf a UU No 1

Tahun 1974 dijelaskan secara lebih mendalam oleh Sudarsono (1994 :

188) hak untuk mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan dari kedua

orang tuanya. Baik ibu atau bapak si-anak berkewajiban untuk

memelihara dan mendidik anak yang mereka peroleh selama pernikahan.

Ketika bercerai antara suami istri akan ada status baru, yaitu janda (bagi

Istri) dan duda (bagi suami) serta ada istilah mantan/ bekas istri dan

mantan/ bekas suami, tetapi istilah ini tidak berlaku untuk anak dan orang

tua. Tidak ada istilah mantan anak atau mantan orang tua.Untuk itu,

perceraian terjadi status anak dan orang tua tidak akan berubah untuk

memelihara dan mendidik anaknya sampai anak itu kawin atau dapat

berdiri sendiri. Hak untuk dipelihara ini lebih mengacu kepada

pemenuhan kebutuhan secara lahiriah, anak berhak untuk mendapatkan

pemeliharaan anggota jasmaninya dari kedua orang tuanya. Peran kedua

orang tua dalam menjaga anak mereka dapat berupa pemenuhan

kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang merupakan kebutuhan

primer hingga jika memungkinkan pemenuhan kebutuhan tertier.

Sedangkan hak untuk mendapatkan pendidikan ini lebih mengacu kepada

35

pembinaan kejiwaan atau rohaniah si anak, pemenuhan kebutuhan ini

dapat berupa memberikan pendidikan atau pengajaran ilmu pengetahuan

yang terdapat di jenjang sekolah, pendidikan agama, pendidikan

kepribadian dan berbagai pendidikan lainnya yang berkaitan dengan

pembinaan dari kejiwaan si anak. Baik pemeliharaan maupun pendidikan,

keduanya harus mendapatkan perhatian serius oleh kedua orang tua si

anak, walaupun disaat putusan cerai di bacakan oleh hakim di depan

sidang pengadilan menjatuhkan hak asuh kepada salah satu pihak, bukan

berarti pihak yang tidak diberikan hak asuh tersebut dapat lepas bebas

tanpa tanggung jawab. Keduanya tetap bertanggung jawab dalam hal

pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka.

B. Putusan

a. Pengertian Putusan

Putusan menurut Mukti Arto(1998 : 245) adalah pernyataan

hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim

dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan

perkara gugatan (kontentius). Jadi putusan adalah kesimpulan akhir yang

diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam

menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa/perkara, yang dituangkan

dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan

yang terbuka untuk umum.

36

Disamping produk dalam bentuk putusan dikenal juga produk

dalam bentuk penetapan. Pengertian penetapan sama dengan pengertian

putusan hanya saja dari segi fungsi keduanya memiliki perbedaan yaitu

penetapan untuk menyelesaikan perkara volunteer (permohonan)

misalnya permohonan dispensasi nikah, sedangkan putusan untuk

menyelesaikan perkara kontentius.

Setiap putusan atau penetapan harus dibuat oleh hakim dalam

bentuk tertulis dan ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim-hakim

anggota yang ikut memeriksa perkara sesuai dengan penetapan Majelis

Hakim yang dibuat oleh ketua Pengadilan Agama, serta ditanda-tangani

oleh panitera pengganti sesuai dengan penunjukan panitera. Apa yang

diucapkan oleh hakim dalam persidangan harus benar-benar sama dengan

apa yang tertulis dalam putusan. Oleh karena itu, putusan atau penetapan

harus sudah siap sebelum diucapkan di persidangan.

b. Kekuatan Putusan

1) Kekuatan Mengikat

Penggugat dan tergugat terikat pada putusan hakim, dan harus

dihormati oleh para pihak dan tidak boleh bertindak bertentangan

dengan putusan (Pasal 1917 BW). Kekuatan mengikat mempunyai

pengertian :

Arti positif yaitu apa yang telah diputuskan oleh hakim harus

dianggap benar (Pasal 1917, 1910 BW).

37

Arti negative yaitu hukum tidak dibolehkan memutus sesuatu

yang telah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama (nebis in

idem), umpama perkara malwaris yang sudah diputus tidak boleh

diputus lagi apabila pihak-pihak berperkara sama dan terhadap harta

warisan yang sama.

2) Kekuatan Pembuktian

Artinya putusan hakim telah memperoleh kepastian hukum,

bukti kebenaran hukum, dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta

dapat dijakdikan bukti dalam sengketa perdata yang sama

(Mardani,2009 : 122).

3) Kekuatan Eksekutorial

Mempunyai kekuatan eksekutorial, maksudnya adalah

mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa terhadap

pihak yang tidak mrlaksanakan putusan tersebut secara suka rela.

Putusan pengadilan mempunyai kekuasaan eksekutoroial karena

peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang

Maha Esa. “Kata-kata” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa” inilah yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan-

putusan pengadilan (Chatib Rasyid, 2009 : 120).

c. Susunan dan Isi Putusan

1) Kepala putusan

a) Judul

38

b) Nomor putusan

c) Irah-irah

2) Identitas

Identitas dalam putusan sama dengan identitas yang terdapat dalam

surat gugatan atau permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 67

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

yaitu sekurang-kurangnya memuat nama, umur dan alamat para pihak

yang berperkara. Kalau terjadi perubahan para pihak disebabkan

meninggal dunia, misalnya atau diwakili oleh kuasanya, maka

identitas dalam putusan tersebut harus disesuaikan dengan identitas

yang ada setelah terjadi perubahan identitas para pihaknya.

3) Tentang Duduk Perkara

Dalam bagian tentang duduk perkara sebuah putusan harus mengacu

kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 195 R.Bg/Pasal 184 HIR

dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

kekuasaan kehakiman, yaitu memuat hal-hal sebagai berikut:

a) Gugatan yang diajukan Penggugat

b) Jawaban dan tanggapan yang diajukan Tergugat, termasuk

didalamnya eksepsi, jawaban terhadap pokok perkara, tuntutan

provisi dan rekonvensi

c) Fakta kejadian dalam persidangan, hal ini dapat berupa sikap

para pihak yang berperkara di persidangan, keterangan saksi dan

39

keterangan yang diperoleh dari para pihak tentang alat bukti yang

diajukan para pihak

d) Pada bagian duduk perkara tidak dimulai dengan kata

menimbang, karena duduk perkara adalah menguraikan seluruh

fakta yang terakumulasi mulai dari fakta yang terdapat dalam

surat gugat sampai kepada kesimpulan.

4) Tentang Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hukum adalah suatu tahapan dimana Majelis Hakim

mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan

berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban dan eksepsi dari Tergugat

yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil

dan materil yang mencapai batas minimal pembuktian. Dengan

berdasar kepada fakta yang dikemukakan oleh Penggugat dan

Tergugat yang didukung oleh alat bukti yang mencapai batas minimal

pembuktian, Majelis Hakim menarik kesimpulan tentang terbukti

atau tidaknya gugatan Penggugat.

5) Amar/Diktum putusan

Amar atau diktum putusan adalah jawaban atas petitum yang

dimintakan oleh Penggugat, sama ada petitum dalam bagian eksepsi,

provisi, konvensi maupun dalam rekonvensi. Menurut ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) R.Bg, hakim dilarang mengabulkan

lebih dari yang diminta. Tetapi khusus dalam perkara cerai talak,

40

Majelis Hakim karena jabatannya dapat memberikan yang tidak

diminta oleh Termohon apabila perceraian itu tidak semata-mata

kesalahan Termohon.

6) Penutup

Dalam bagian penutup disebutkan kapan perkara tersebut diputuskan

dan kapan diucapkan dengan menyebutkan susunan Majelis Hakim

yang hadir pada saat putusan diucapkan dengan tidak boleh

melupakan pencantuman Panitera yang ikut bersidang sebagai

pembantu Majelis Hakim. Selain hal tersebut diatas, harus juga

dicantumkan tentang hadir atau tidaknya Penggugat dan Tergugat

pada saat putusan diucapkan.

Hal yang perlu mendapat perhatian dalam kaki putusan adalah

tentang adanya musyawarah Majelis Hakim dalam menjatuhkan

putusan tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal

19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Tanggal dijatuhkannya putusan adalah sama dengan tanggal

musyawarah Majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut.

Tanggal diputus bisa bersama-sama dengan tanggal diucapkan

putusan dan bisa juga tidak bersamaan. Tanggal putusan yaitu tanggal

hari pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum oleh

ketua sidang dengan dihadiri oleh hakim anggota dan panitera yang

41

turut bersidang, dengan pembubuhan materai Rp. 6.000,- (enam ribu

rupiah) pada tanda tangan (Chatib rasyid, 2009 : 125).

C. Pelaksanaan putusan

a. Pengertian Eksekusi

Secara etimologi eksekusi berasal dari bahasa Belanda executie

yang berarti pelaksanaan putusan pengadilan. Sedang eksekusi menurut

terminoogi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah

berkekuatan hukum tetap, mengandung perintah membayar sejumlah

uang, atau menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah

uang, atau pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan

benda tetap, sedang pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan

itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan

untuk melaksanakannya.

Pengadilan dalam mengeksekusi harus memperhatikan asas-asas

pelaksanaan putusan, yaitu sebagai berikut :

1) Putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

putusan provisional, putusan perdamaian eksekusi grose akta dan

pelaksanaan putusan voerbar bij vooraad.

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah

putusan final, tidak ada lagi upaya hukum, tidak bisa lagi

disengketakan oleh pihak-pihak yang berperkara,mempunyai

kekuatan hukum mengikat para pihak yang berperkara.

42

2) Putusan tidak dilaksanakan secara suka rela, maksudnya pihak yang

kalah dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut, bila perlu

dapat dengan cara paksa melalui proses eksekusi oleh pengadilan.

3) Putusan mengandung amar condemnation.

Ciri putusan condemnation mengandung salah satu amar yang

menyatukan: Pengadilan mennhukum atau memerintahkan untuk :

a) Menyerahkan;

b) Pengosongan;

c) Membagi;

d) Melaksanakan;

e) Menghentikan;

f) Membayar;

g) Membongkar;

h) Tidak melakukan sesuatu.

4) Eksekusi dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.

Sebelum melaksanakan eksekusi Ketua Pengadilan Agama

terlebih dahulu mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada

panitera/juru sita untuk melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan

eksekusi dipimpin oleh Ketua Pengadilan Agama yang berwenang

mengeksekusikan adalah Pengadilan Agama yang menjatuhkan

putusan tersebut atau Pengadilan Agama yang diberi delegasi

43

wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya (Mardani,

2009 : 143).

b. Macam-macam eksekusi

1) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk

membayar sejumlah uang;

2) Eksekusi putusan menghukum orang untuk melakukan suatu

perbuatan (Pasal 225 HIR dan Pasal 259 RBg);

3) Eksekusi riil, yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan

pengosongan benda tetap kepada orang yang dilaksanakan (Pasal RV

1033);

4) Eksekusi riil dengan penjualan lelang (Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal

218 ayat (2)RBg).

c. Tata cara eksekusi

1) Eksekusi riil

Secara procedural pelaksanaan eksekusi riil adalah sebagai berikut.

a) Permohonan eksekusi oleh pihak yang kalah tidak bersedia

melaksanakan putusan Pengadilan Agama secara sukarela untuk

dilaksanakan secara paksa (Pasal 207 ayat (1) Rbg/Pasal 196

HIR).

b) Penaksiran biaya eksekusi oleh petugas meja pertama.

Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi,

saksi, pengamanan, dan biaya lainnya yang diperlukan. Setelah

44

biaya tersebut dibayar barulah didaftarkan dalam register

eksekusi.

c) Telah dilaksanakan teguran (aan maning)

Pengadilan Agama menegur kepada pihak yang kalah agar

melaksanakan putusan dan memanggil kedua belah pihak yang

berperkara datang di depan Ketua Pengadilan Agama pada hari

dan tanggal yang sudah ditetapkan. Pihak yang kalah diberikan

tenggang waktu 8 (delapan) hari untuk berpikir, jika dalam

waktu tersebut pihak yang kalah tidak mau melaksanakan

putusan, maka Pengadilan Agama dapat melaksanakan eksekusi

putusan (Pasal 196 HIR).

d) Perintah eksekusi

Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat penetapan yang

intinya memerintahkan panitera/juru sita untuk melaksanakan

sita eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi.

e) Pelaksanaan eksekusi riil

Eksekusi hanya dilaksanakan oleh panitera/juru sita dan dibantu

oleh 2 (dua) orang saksi, dan panitera/juru sita wajib hadir ke

tempat objek barang yang akan dieksekusikan. Eksekusi

dilaksanakan sesuai dengan amar putusan, serta dibuatkan Acara

Eksekusi.

45

2) Eksekusi pembayaran sejumlah uang

Eksekusi pembayaran sejumlah uang ialah suatu eksekusi yang

intinya agar pihak yang kalah dalam perkara membayar sejumlah

uang yang telah ditetapkan pihak pengadilan kepada pihak yang

dimenangkan. Dalam Pengadilan Agama hal ini terjadi pada

sengketa nafkah anak, nafkah beban istri selama masa iddah dan/atau

sengketa lain yang dapat dinilai dengan uang.

Apabila pihak yang sudah tidak melunasi pembayaran

sejumlah uang, maka dapat dilakukan secara paksa dengan cara

menjual lelang harta kekayaan tergugat. Hal ini berdasar Pasal 225

ayat (1) HIR prosedur eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Dalam praktik peradilan agama eksekusi pembayaran sejumlah

uang mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut.

a) Permohonan eksekusi dari pihak yang menang

Permohonan eksekusi tersebut ditujukan kepada Ketua

Pengadilan Agama yang memutuskan perkara tersebut.

b) Pengadilan mengeluarkan penetapan sita eksekusi

Setelah Pengadilan Agama menerima surat

permohonan eksekusi dari pihak yang menang,

Pengadilan Agama segera memanggil pihak yang kalah

untuk mengikutu sidang dan aan maning (teguran), agar

pihak yang kalah segera melaksanakan putusan secara

46

sukarela (Pasal 207 ayat (1) dan (2) RBg dan Pasal 196

HIR).

c) Ketua pengadilan Agama mengeluarkan perintah

eksekusi

Surat perintah eksekusi tersebut berisi tentang perintah

penjualan lelang barang-barang yang telah diletakkan

sita eksekusinya dengan menyebut objek yang

dieksekusi dan menyebutkan putusan yag menjadi dasar

eksekusi tersebut.

d) Pengumuman lelang

Pengumuman lelang tersebut melalui surat kabar atau

massa media terhadap barang-barang yang akan

dieksekusi.

e) Ketua Pengadilan Agama meminta bantuan kantor

lelang Negara untuk menjual lelang barang-barang

yang telah diletakkan sita eksekusi.

f) Kantor lelang mendaftarkan permintaan lelang tersebut

dalam buku khusus.

g) Kepada kantor lelang menetapkan waktu pelaksanaan

lelang.

h) Penentuan syarat lelang dan floor price (patokan harga)

47

Penentuan syarat lelang menjadi kewenangan Ketua

Pengadilan Agama yang bertindak sebagai penjual

untuk dan atas nama termohon eksekusi.

i) Tata cara penawaran

Pihak-pihak yang ikut dalam lelang harus mengajukan

penawaran secara tertulis dengan menyebutkan nama

dan alamat penawar, menyebut harga yang

disanggupinya dan ditandatangani oleh pihak-pihak

penawar.

j) Menentukan pemenang

Pemenang lelang adalah penawar tertinggi.

k) Pembayaran harta lelang

Pengadilan Agama berhak menetukan syarat-syarat

pembayaran lelang.

48

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Putusan Cerai Talak Pengadilan Agama Salatiga Nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal

1. Duduk Perkara Pada Putusan Cerai Talak Pengadilan Agama Salatiga

Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal

Perkara nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal berawal dari pengajuan

permohonan cerai talak pada tingkat pertama Pengadilan Agama Salatiga

pada tanggal 08 Agustus 2017 yang diajukan oleh seorang yang dalam

pemaparan ini ditulis namanya dengan inisial CA bin MH, umur 31

tahun, agama islam, pekerjaan karyawan pabrik, pendidikan SMA, tempat

kediaman di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang yang selanjutnya

disebut sebagai Pemohon melawan SZ binti J,umur 29 tahun, agama

Islam, pekerjaan karyawan pabrik, pendidikan SMA, tempat kediaman di

Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang selanjutnya disebut sebagai

Termohon.

Berkas perkara yang diajukan CA bin MH yang telah terdaftar di

kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga kemudian diperiksa oleh

Majelis Hakim dan selanjutnya dikemukakan tentang duduk perkaranya.

Dalam permohonannya, pemohon (CA bib MH) mengemukakan posita

yang secara ringkas dapat penulis sampaikan bahwa Pemohon (CA bin

49

MH) menikah dengan Termohon (SZ binti J) pada tanggal 03 Maret 2008

kemudian Pemohon dan Termohon hidup bersama sebagai suami istri

selama kurang lebih 9 tahun dan telah dikaruniai 2 orang anak

yangbernama NAW dan ZP.

Kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon pada awalnya

dalam keadaan harmonis, namun sejak bulan Juni tahun 2008

ketentraman rumah tangga Pemohon dan Termohon mulai goyah, antara

Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan meskipun bukan

pertengkaran besar yang penyebabnya karena masalah ekonomi, saat itu

Pemohon belum mempunyai pekerjaan yang mapan untuk mencukupi

kebutuhan rumah tangga, namun setelah Pemohon bekerja dan

mempunyai penghasilan ternyata masalah demi masalah bukan semakin

reda malah semakin runcing sehingga rumah tangga Pemohon dan

Termohon tidak harmonis lagi.

Perselisihan dan pertengkaran tidak mereda namun justru semakin

memuncak sehingga pada bulan maret 2017 Pemohon dan Termohon

pisah tempat tinggal yakni Pemohon pulang ke rumah orang tua Pemohon

di desa Karangtengah Kecamatan Tuntang, sedangkan Termohon tetap

tinggal di rumah orang tua Termohon di wilayah yang sama, hingga kini

sudah 5 bulan lamanya. Dan Pemohon telah berusaha mengajak

Termohon untuk rukun kembali dan memperbaiki rumah tangga namun

tidak berhasil. Berdasarkan pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 jo Pasal 116

50

Kompilasi Hukum Islam telah cukup alasan bagi Pemohon untuk

mengajukan permohonan cerai talak melalui pengadilan Agama Salatiga.

Pada hari yang telah ditentukan Pemohon dan Termohon masing-

masing datang menghadap sendiri, kemudian Majelis Hakim telah

menjelaskan kepada para pihak sebelum sidang dilanjutkan wajib

melakukan mediasi dan memilih mediator yang sudah tersedia dalam

daftar mediator yang tersedia di Pengadilan Agama Salatiga, kemudian

kedua belah pihak telah sepakat menyerahkan kepada Majelis untuk

menentukan mediatornya. Selanjutnya Pemohon dan Termohon telah

melakukan mediasi melalui mediator hakim yang ditunjuk oleh Majelis

Hakim yang bernama Drs. Silachudin Hakim Pengadilan Agama Salatiga,

yang dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 2017 di ruang mediasi

Pengadilan Agama Salatiga, akan tetapi tidak berhasil.

2. Penyelesaian Permohonan Putusan Cerai Talak Pengadilan Agama

Salatiga Pada Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal

Berdasarkan duduk perkara tersebut diatas Pemohon memohon

agar ketua Pengadilan Agama Salatiga berkenan memeriksa dan

mengadili perkara tersebut dan menjatuhkan putusan yang amarnya

berbunyi sebagai berikut:

Primair:

a) Mengabulkan permohonan Pemohon

51

b) Memberikan ijin kepada Pemohon (CA bin MH) untuk

menjatuhkan talak satu roj‟I kepada termohon (SZ bin J) di

depan sidang Pengadilan Agama Salatiga

c) Membebankan biaya perkara menurut hukum

Subsidair:

Dan atau jika Pengadilan berpendapat lain mohon putusan seadil-

adilnya (ex aequo et bono)

Pada hari sidang yang telah ditentukan pemohon dan Termohon

masing-masing datang menghadap sendiri. Majelis hakim telah

menjelaskan kepada para pihak sebelum sidang dilanjutkan wajib

melakukan mediasi dan memilih mediator yang sudah tersedia dalam

daftar mediator yang tersedia di Pengadilan Agama Salatiga. Para pihak

telah sepakat menyerahkan kepada Majelis untuk menentukan

mediatornya. Pemohon dan Termohon telah melakukan mediasi melalui

mediator hakim yang ditunjuk Majelis Hakim yang bernama Drs.

Silachudin hakim Pengadilan Agama Salatiga yang dilaksanakan pada

tanggal 30 Agustus 2017 diruang mediasi Pengadilan Agama Salatiga

akan tetapi tidak berhasil. Kemudian dibacakan permohonan Pemohon

dan isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon.

Bahwa atas permohonan Pemohon tersebut Termohon telah

mengajukan jawaban secara lisan sebagai berikut:

52

a) Bahwa posita 1 dan 2 benar

b) Bahwa dalil Pemohon angka 3 tidak benar,yang benar bukan

masalah ekonomi melainkan Pemohon telah menjalin cinta

dengan perempuan lain asal Ambarawa sehingga perempuan

tersebut hamil karena perbuatan Pemohon

c) Bahwa posita 4 benar. Sedang posita 5 tidak benar. Yang benar

belum ada upaya merukunkan dari pihak keluarga Pemohon

d) Bahwa saya bersedia dicerai dengan permintaan:

1) Mut‟ah berupa gelang emas 24 karat dari toko mas

gajah seberat 5 gram

2) Nafkah iddah berupa uang sebesar Rp 1.500.000,00

(satu juta lima ratus ribu rupiah)

3) Nafkah anak sebesar Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu

rupiah) setiap bulan hingga anak-anaknya tumbuh

dewasa dan mandiri.

Bahwa atas jawaban dan permintaan Termohon tersebut diatas

Pemohon menyampaikan replik secara lisan sebagai berikut:

Bahwa Pemohon membenarkan jawaban Termohon dan

menyanggupi permintaan Termohon.

Untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya dalam persidangan

Pemohon mnegajukan bukti-bukti sebagai berikut:

53

a) Bukti surat

Fotocopy kutipan akta nikah nomor 68/03/III/2008 tanggal 3

Maret 2008 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama

Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Bukti surat tersebut

telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya

yang ternyata sesuai, lalu oleh ketua majelis diberi tanda P1.

b) Bukti saksi

1) FN bin S, umur 33 tahun, agama Islam , pekerjaan

swasta tempat kediaman di Kecamatan Tuntang

Kabupaten Semarang, dibawah sumpah memberikan

keterangan sebagai berikut:

Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon

karena saksi sebgai tetangga dekat Pemohon

Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri

yang menikah pada tahun 2008 dan setelah

menikah tinggal bersama dirumah orang tua

Termohon dan dikaruniai dua orang anak

Bahwa pada awalnya rumahtangga Pemohon dan

Termohon dalam keadaan rukun namun kemudian

sejak satu tahun yang lalu rumahtangga Pemohon

dan Termohon tidak harmonis seiring terjadinya

54

perselisihan dan pertengkaran karena Pemohon

menjalin cinta dengan perempuan lain

Bahwa puncaknya sejak enam bulan yang lalu

Pemohon pulang kerumah orangtua Pemohon

sehingga pisah dengan Termohon

Bahwa sejak Pemohon pergi tersebut sampai

sekarang antara Pemohon dan Termohon tidak ada

tanda-tanda rukun kembali

2) S bin Y, umur 57 tahun, agama Islam, pekerjaan

swasta, tempat kediaman di Kecamatan Tuntang

Kabupaten Semarang, dibawah sumpah memberikan

keterangan sebagai berikut:

Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon

karena saksi sebagai tetangga dekat Pemohon

Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami istri

yang menikah pada tahun 2008 dan setelah

menikah tinggal bersama dirumah orang tua

Termohon dan dikaruniai dua orang anak

Bahwa pada awalnya rumahtangga Pemohon dan

Termohon dalam keadaan rukun namun kemudian

sejak satu tahun yang lalu rumahtangga Pemohon

55

dan Termohon tidak harmonis seiring terjadinya

perselisihan dan pertengkaran karena Pemohon

menjalin cinta denggan perempuan lain

Bahwa puncaknya sejak enam bulan yang lalu

Pemohon pulang kerumah orangtua Pemohon

sehingga pisah dengan Termohon

Bahwa sejak Pemohon pergi tersebut sampai

sekarang antara Pemohon dan Termohon tidak ada

tanda-tanda rukun kembali

Kemudian setelah diperdengarkan keterangan para saksi,

Pemohon dan Termohon menerima dan membenarkannya dan tidak

mengajukan sesuatu apapun lagi dan tetap pada permohonannya.

3. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Cerai Talak Pengadilan Agama

Salatiga Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal

Dalam mengadili permohonan Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal,

bahwa ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang

menyidangkan permohonan tersebut telah menggunakan ketentuan-

ketentuan atau peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia yang

berfungsi untuk memperkuat alasan-alasan tersebut.

56

Setelah melihat bukti-bukti yang diajukan dan mendengarkan

keterangan para saksi yang dihadirkan Majelis Hakim menemukan

beberapa fakta yaitu:

a) Pemohon menikah dengan Termohon pada 3 Maret 2008 dan

dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama

Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang

b) Setelah menikah pemohon dan termohon tinggal bersama

dirumah orangtua Termohon selama 9 tahun dan telah

diakruniai 2 orang anak

c) Pada awalnya rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam

keadaan harmonis, namun kemudian sejak bulan Juni 2008

sering terjadi perselisihan dan pertengkaran karena pemohon

menjalin cinta dengan perempuan lain dan akibatnya sejak

bulan Maret tahun 2017 Pemohon dan Termohon telah pisah,

Pemohon pulang kerumah orangtua Pemohon,

d) Sejak pisah tersebut antara Pemohon dan Termohon sudah

tidak pernah rukun lagi sampai sekarang saat permohonan ini

diajukan tanggal 8 Agustus 2017 pisah selama 5 bulan

e) Selama itu Pemohon dan Termohon tidak pernah bersama lagi

f) Pihak keluarga telah mendamaikan agar Pemohon dengan

Termohon tetap hidup rukun dalam rumahtangga akan tetapi

tidak berhasil.

57

Berdasarkan hasil wawancara pada hari senin tanggal 5 Maret

2018 dengan Bapak Drs. H. Salim, SH, MH selaku anggota Majelis

Hakim dalam putusan cerai talak nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal dasar

pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan putusan atas penentuan

nafkah bagi Termohon yang telah dicerai adalah atas permintaan

terhomon secara lisan dan dijawab langsung oleh pihak Pemohon yang

menyanggupi permintaan Termohon, berarti dasar kesanggupan itulah

Majelis Hakim untuk memutuskannya.

Lebih lanjut Majelis Hakim menimbang bahwa selama dalam

proses persidangan Pemohon menunjukan sikap dan tekadnya akan

menceraikan Termohon dan pihak mediator telah berusaha mendamaikan

keduanya agar tetap rukun membina rumahtangga namun tidak berhasil,

hal itu menunjukan bahwa Pemohon dan Termohon merasa tidak ada lagi

kecocokan dalam rumah tangganya karena telah terjadi perselisihan dan

pertengkaran yang sifatnya terus menerus dan tidak ada harapan lagi

untuk kembali rukun dalam rumah tangganya. Maka mawadah warahmah

dan tujuan perkawinan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1 UU No 1

Tahun 1974 tidakbisa diwujudkan sehingga perkawinan tersebut tidak

bermanfaat lagi. Apabila tetap dipertahankan akan mendatangkan

penderitaan lahir batin antara Pemohon dan Termohon. Oleh karena itu

sudah saatnya perkawinan itu diakhiri dengan perceraian.

58

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan

Majelis Hakim menyimpulkan fakta dipersidangan bahwa Pemohon dan

Termohon dapat membuktikan dalil permohonannya sehingga patut untuk

dikabulkan. Setelahmelakukan musyawarah Majelis Hakim memutuskan:

a) Mengabulkan permohonan pemohon;

b) Memberi izin kepada pemohon (CA bin MH) untuk

menjatuhkan talak satu raj‟I terhadap termohon (SZ binti J) di

depan sidang pengadilan agama salatiga;

c) Menghumkum pemohon untuk membayar termohon:

1) Mut‟ah berupa gelang emas 24 karat dari toko mas

gajah seberat 5 gram

2) Nafkah iddah berupa uang sebesar Rp 1.500.000,00

(satu juta lima ratus ribu rupiah)

3) Nafkah anak sebesar Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu

rupiah) setiap bulan hingga anak-anaknya tumbuh

dewasa dan mandiri.

d) Memerintahkan panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk

mengirimkan salinan penetapan ikrar talak kepada pegawai

pencatat nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tuntang

Kabupaten Semarang untuk dicatat dalam daftar yang

disediakan untuk itu;

59

e) Memebebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya

perkara sejumlah Rp 391.000,00 (tiga ratus sembilan puluh

satu ribu rupiah).

Putusan ini dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama

Salatiga pada hari Rabu tanggal 13 September tahun 2017 M bertepatan

dengan tanggal 22 Zulhijah 1438 H dalam permusyawaratan Majelis

Hakim Pengadilan Agama Salatiga oleh kami Drs. H. Anwar Rosidi

sebagai Hakim Ketua Majelis, Drs. H. Salim, S.H., M.H. dan Drs. Moch.

Rusdi, M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana pada

hari itu juga dibacakan dalam persidangan untuk umum oleh Ketua

Majelis Hakim tersebut di dampingi oleh para Hakim Anggota dan

dibantu oleh Dra. Hj. Siti Zulaikhah sebagai Panitera Pengganti dengan

dihadiri Pemohon dan Termohon.

B. Pelaksanaan Putusan Pemenuhan Nafkah Oleh Suami Terhadap Mantan Istri

dan Anak Pada Perkara Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal

Ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai, wanita yang

dulunya menjadi istri kini berubah status menjadi mantan istri. Tali

pernikahan sudah putus, bukan lagi suami istri. Sehingga dia tidak wajib

dinafkahi oleh mantan suaminya. Namun hak nafkah bagi anak tidak akan

putus sehingga ayah berkewajiban menanggung semua kebutuhan anak,

sekalipun anak tinggal bersama mantan istri.

60

Seorang mantan suami memiliki kewajiban untuk memberi nafkah

anak menurut kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak tersebut

dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (telah berusia 21 tahun). Hal tersebut

ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menurut Pasal 149 huruf d

jo Pasal 156 huruf d KHI berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang

menyatakan bahwa:

“semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab

ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak

tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun”

Dalam amar putusan Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal Majelis Hakim

menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon:

1. Mut‟ah berupa gelang emas 24 karat dari toko mas gajah seberat 5

gram

2. Nafkah iddah berupa uang sebesar Rp 1.500.000,00 (satu juta lima

ratus ribu rupiah)

3. Nafkah anak sebesar Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) setiap

bulan hingga anak-anaknya tumbuh dewasa dan mandiri.

Berdasarkan amar putusan diatas Pemohon telah melaksanakan amar

putusan nomor 1, 2 dan 3yang dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama

Salatiga bersamaan dengan pengucapan talak satu roj‟I terhadap termohon.

Akan tetapi pada nomor 3 dilaksanakan hanya satu bulan pertama saja dan

pada bulan selanjutnya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam amar

61

putusan Majelis Hakim. Hal ini berarti bentuk pembangkangan Pemohon atas

putusan Pengadilan Agama Salatiga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Termohon pada hari sabtu

tanggal 17 Februari tahun 2018, Termohon menerangkan bahwa Pemohon

telah melaksankan amar putusan berupa nafkah anak sebesar Rp 700.000,00.

Akan tetapi pada bulan berikutnya Pemohon hanya membayar Rp

1000.000,00 untuk 2 bulan sekaligus yang seharusnya 1.400.000 dan untuk

bulan berikutnya Pemohon tidak memberikan nafkah kepada anaknya.

Termohon menambahkan bahwa sudah ada usaha untuk menagih

nafkah anak kepada Pemohon secara langsung dan juga melalui jalur

kekeluargaan, namun dalam hal ini tidak membuahkan hasil. Setelah itu

Termohon mencoba untuk melakukan konsultasi dengan salah satu pegawai

Pengadilan Agama Salatiga yang mana pihak pegawai tersebut menjelaskan

bahwa perbuatan Pemohon yang tidak melaksanakan amar putusan tersebut

bisa di eksekusi, hanya saja biaya operasional untuk mengurusnya lebih besar

dari nafkah anak yang diminta oleh Termohon. Sehingga Termohon

memutuskan untuk tidak mengajukan eksekusi melalui Pengadilan Agama

Salatiga.

62

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN CERAI TALAK PENGADILAN AGAMA SALATIGA

NOMOR 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal

A. Analisis PertimbanganMajelis Hakim Dalam Menentukan Putusan Atas

Nafkah Bagi Istri Dan Anak Pada Putusan Nomor

0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal

Putusnya ikatan perkawinan tidak serta merta putus juga kewajiban

suami untuk tetap menafkahi bekas istri dan anak sampai batas tertentu.

Dalam peraturan dan ketentuan hukum islam juga mengatur masalah nafkah

akibat perceraian. Berkaitan dengan hal ini, Majelis Hakim mempunyai peran

yang sangat penting dalam memutuskan masalah perceraian, hal itu sesuai

dengan Pasal 39 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu

perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak.

Hasil wawancara yang penulis peroleh dengan Bapak Drs. H. Salim,

SH, MH selaku Hakim Pengadilan Agama Salatiga mengenai cara penentuan

nafkah bagi istri dan anak pada putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal akibat

cerai talak ditempuh dengan jalur karena ada permintaan secara lisan dari

pihak Termohon dengan mengajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama

63

dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya/rekonvensi dan pengakuan

oleh pihak Pemohon.

Dari keterangan di atas, pertimbangan hakim dalam menentukan

nafkah terhadap istri dan anak pada putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal

berdasarkan rekonvensi dari pihak Pemohon yang meminta mut‟ah berupa

gelang emas 24 karat dari toko mas gajah seberat 5 gram, nafkah iddah berupa

uang sebesar Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan nafkah

anak sebesar Rp. 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) setiap bulan hingga

anak-anaknya dewasa dan mandiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 132a HIR.

“tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan

melawan kecuali kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu

sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan

sebaliknya;kalau Pengadilan Negeri yang memeriksa surat gugat

penggugat tidak berhak memeriksa melawan itu berhubung dengan

pokok perselisihan; dalam perkaraperselisihan tentang menjalankan

keputusan; jikalau dalam pemeriksaan tingkat perama tidak dimajukan

gugat melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan

gugatan itu”.

Oleh karena bagi Termohon diberi kesempatan untuk memajukan

gugatan melawan, artinya untuk menggugat kembali Pemohon maka

Termohon tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan

memajukan gugatan pembalas itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap

gugatan lawannya. Gugatan melawan ini dapat diajukan baik secara tertulis

maupun secara lisan. Dengan diberikannya kesempatan untuk gugat

64

menggugat ini maka jalannya berperkara menjadi lebih lancar, oleh karena

dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.

Selanjutnya pertimbangan hakim dalam menentukan nafkah terhadap

istri dan anak pada putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal

berdasarkanpengakuan oleh Pemohontanpa mempertimbangkan kemampuan

dan kepatutan, hal ini sesuai dengan Pasal 174 HIR yang berbunyi

“pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim cukup menjadi bukti

untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkannya

sendiri maupun dengan pertolongan orang lain yang istimewa

dikuasan untuk itu.”

Adapun dari kitab Muinul Hukkam halaman 125 yang berbunyi

إعلم أن اال قر ارمن أقوي ا أل حكا م واشد ها و هوأقوى من ا لبينةKetahuilah bahwa pengakuan itu adalah sekuat-kuat (seberat-berat)

alasan hukum dan sekuat-kuat alat pembuktian

Dari keterangan diatas, terdapat kesesuaian antara ketentuan menurut

Pasal 132a HIR, Pasal 174 HIR dan kitab Muinul Hukkam halaman 125

dengan putusan yang ditetapkan oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga di

dalam putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal yang mana dalam putusannya

membebankan kepada suami terhadap istrinya untuk memberikan mut‟ah

berupa gelang emas 24 karat dari toko mas gajah seberat 5 gram, nafkah iddah

berupa uang sebesar Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan

nafkah anak sebesar Rp. 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) setiap bulan

hingga anak-anaknya dewasa dan mandiri.

65

Bahwa dalam perkara ini ada kesepakatan diantara Pemohon dan

Termohon, maka besaran kadarnya tidak ditetapkan oleh MajelisHakim.

Menurut penulis, Majelis Hakim dalam menentukan nafkah bagi istri dan

anak pada putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal tanpa mempertimbangkan

kemampuan dan kepatutan dari pihak Pemohon.

Jika ada kesepakatan antara Pemohon dan Termohon masalah nafkah,

maka Majelis Hakim tidak perlu memutuskan diluar kesepakatan tersebut.

Karena kesepakatan itu merupakanbentuk bahwa suami mampu membayar

nafkah sesuai dengan kesepakatan tersebut. Akan tetapi jika kesepakatan tidak

tercapai maka hakim menggunankan kewenangan ex officio dalam penentuan

nafkah akibat perceraian dengan pertimbangan-pertimbangannya.

B. Analisis Pelaksanaan Putusan Pemenuhan Nafkah oleh Suami terhadap

Mantan Istri dan Anak Pada Putusan Nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal

Sebuah rumah tangga yang mengalami perceraian sudah dapat

dipastikan akan menimbulkan beberapa akibat yang merugikan semua pihak

tanpa terkecuali. Dalam hal ini tentunya akan membawa akibat hukum

terhadap anak. Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena

hubungan hukum akan membawa konsekuensi hukum, berupa hak dan

kewajiban secara timbal balik antara orangtua dengan anaknya. Artinya anak

mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi oleh orang tuanya sebagai

kewajibannya dan sebaliknya orangtua juga mempunyai hak yang harus

dipenuhi oleh anaknya sebagai kewajibannya.

66

Berdasarkan hasil penelitian penulis pada putusan cerai talak nomor

0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal menghukum pemohon untuk membayar kepada

termohon:

1. Mut‟ah berupa gelang emas 24 karat dari toko mas gajah seberat 5

gram

2. Nafkah iddah berupa uang sebesar Rp 1.500.000,00 (satu juta lima

ratus ribu rupiah)

3. Nafkah anak sebesar Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) setiap

bulan hingga anak-anaknya tumbuh dewasa dan mandiri.

Berdasarkan amar putusan diatas, Pemohon hanya melaksanakan amar

putusan pada nomor 1 dan 2 diatas, sedangkan pada nomor 3 hanya

dilaksankan pada bulan pertama dan untuk dua bulan sesudahnya hanya

memeberi Rp 1000.000,00 (satu juta rupiah) saja, yang seharusnya berjumlah

Rp 1.400.000,00 (satu juta empat ratus ribu rupiah). Setelah memasuki bulan

keempat dan seterusnya Pemohon tidak melaksanakan putusan tersebut.

Padahal putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan harus

dilaksankan secara sukarela oleh pihak Pemohon.

Terkait dengan kasus diatas berarti Pemohon tidak menjalankan amar

putusan sebagaimana mestinya, maka hal itu merupakan bentuk

pembangkangan atas putusan pengadilan. Terkait hal ini, Pasal 196 HIR

menyebutkan bahwa:

67

“jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi

keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan

permintaan, baik dengan lisan maupun dengan surat, kepada ketua

pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat

menjalankan keputusan itu ketua menyuruh memanggil pihak yang

dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi putusan itu

didalam tempo yang ditentukan oleh ketua yang selama-lamanya

delapan hari”.

Jadi pada kasus perkara putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal yang

mana Pemohon dalam kenyataanya tidak mau memenuhi kewajiban untuk

memeberi nafkah anak sebesar Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) tiap

bulan, maka Termohon dapat mengajukan permintaan kepada Ketua

Pengadilan Agama agar Ketua Pengadilan memanggil dan memperingatkan

Pemohon agar memenuhi isi putusan tersebut.

Selain itu mantan istri dapat mengajukan permohonan sita eksekusi.

Pengadilan tingkat banding tidak diperkenankan melaksanakan eksekusi.

Sebelum melaksanakan eksekusi, Ketua Pengadilan Agama terlebih dahulu

mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada panitera atau juru sita untuk

melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi tersebut dibawah

Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam Pasal 196 HIRmengenai eksekusi

untuk menghukum salah satu pihak untuk membayarkan sejumlah uang.

Termohon menambahkan bahwa sudah ada usaha untuk melakukan

konsultasi dengan salah satu pegawai Pengadilan Agama Salatiga yang mana

pihak pegawai tersebut menjelaskan bahwa perbuatan Pemohon (mantan

suami) yang tidak melaksanakan amar putusan tersebut bisa dieksekusi, hanya

68

saja biaya operasional untuk mengurusnya lebih besar dari nafkah anak yang

diminta oleh Termohon, sehingga Termohon memutuskan untuk tidak

mengajukan eksekusi melalui Pengadilan Agama Salatiga.

Menurut penulis secara teoritis eksekusi atau pelaksanaan putusan

tampak sangat sederhana dan mudah untuk dilaksanakan, namun dalam

prakteknya biaya operasional tinggi dan kadang lebih besar dari amar putusan

tentang nafkah sehingga menjadi hambatan bagi Termohon (mantan istri)

untuk mengajukan eksekusi. Adapun biaya operasional eksekusi pelaksanaan

nafkah anak di Pengadilan Agama Salatiga pada putusan nomor

0785/Pdt.G/2017/PA.Sal yaitu sebesar Rp 2.175.000 sedangkan amar putusan

pada putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Sal biaya anak hanya sebesar Rp

700.000.

69

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan putusan atas

penentuan nafkah bagi istri dan anak pada putusan nomor

0785/Pdt.G/2017/Pa.Sal akibat cerai talak adalah melalui:Rekonvensi

berdasarkan Pasal 132a HIR; Pengakuan berdasarkan Pasal 174 HIR

dan kitab Muinul Hukkam halaman 125.

2. Pelaksanaan putusan pemenuhan nafkah oleh suami terhadap mantan

istridan anak pada putusan nomor 0785/Pdt.G/2017/PA.Saltidak

dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh Pemohon (mantan suami).

Termohon (mantan istri) sudah berupaya untuk menagih nafkah anak

kepada Pemohon (mantan suami) secara langsung dan juga melalui

jalur kekeluargaan, namun tidak dipenuhi oleh Pemohon.Berkaitan

dengan eksekusi tidak diajukan oleh Termohon (mantan istri) karena

biaya perkara yang tinggi.

B. SARAN

Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:

1. Kepada Pengadilan Agama Salatiga

a. Memberikankeringanan panjar biaya eksekusi bagi masyarakat

yang kurang mampu.

70

b. Melaksanakaneksekusi dengan biaya negara terhadap putusan yang

Pemohon eksekusinya tidak mampu untuk membayar biaya

eksekusi.

2. Kepada Pemohon (mantan suami), agar melaksanakan kewajibannya

untuk memberi nafkah kepada anak sebagai mana amar putusan

Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga secara sukarela.

71

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan

Hukum Positif). Yogyakarta: UII Press.

Arto, Mukti. 1998. Praktek Perkara Perdata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ayyub, Syaikh Hasan. 2002. Panduan Keluarga Muslim. Jakarta: Cendikia Sentra

Muslim.

Departemen Agama RI. 2000. Alqur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV.

Diponegoro.

Ernaningsih, Wahyu dan Samawati, Putu. 2006. Hukum Perkawinan Indonesia.

Palembang: PT Rambang Palembang.

Fuaida, Aina Sufya. 2012. “Pelaksanaan Putusan Dalam Pembagian Waris di

Pengadilan Agama”.

Kementerian Agama Republik Indonesia. 2012. Al-Qur’an Qordoba. Jakarta:

PT.Qordoba Internasional Indonesia.

Kusuma, Nana Sujana. 1995. Proposal Penelitian Di Perguruan Tinggi. Bandung:

PT. Sinar Baru Alqosindo.

Latif, Muhamad. 2015. “Pemberian Nafkah Anak Oleh Ayah Kandung Setelah

Perceraian”.

Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah.

Jakarta: Sinar Grafika.

Matlhub, Abdul Majid Mahmud. 2005. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Solo: Era

Intermedia.

Moleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Rasyid, Chatib. 2009. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada

Pengadilan Agama. Yogyakarta: UII Press.

72

Soemiyati. 1982. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Yogyakarta:

Liberty.

Subekti. 1985. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Internusa.

Syaifuddin, Muhammad. 2016. Hukum Perceraian. Jakarta Timur: Sinar Grafika.

Sudarsono. 1994. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Windiarto, Agung. 2015. “Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) Terhadap Sengketa

Harta Bersama di Pengadilan Agama Ambarawa”.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam

Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)