PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5033/1/Skripsi...
Transcript of PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5033/1/Skripsi...
PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR
KURANG DARI ENAM BULAN
(STUDI KASUS DI KUA KEC. BANJARSARI KOTA SURAKARTA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Adhika Rahman Nugroho
21110014
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SALATIGA
2018
PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR
KURANG DARI ENAM BULAN
(STUDI KASUS DI KUA KEC. BANJARSARI KOTA SURAKARTA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Adhika Rahman Nugroho
21110014
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SALATIGA
2018
i
ii
PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR
KURANG DARI ENAM BULAN
(STUDI KASUS DI KUA KEC. BANJARSARI KOTA SURAKARTA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Adhika Rahman Nugroho
21110014
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SALATIGA
2018
iii
vii
MOTTO
Hidup ini seperti sepeda. Agar tetap seimbang,kau harus
terus bergerak
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Ibuku (Suparti) dan Bapakku (Mudzakir) sebagai wujud baktiku padanya,
yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan doanya.
Keluarga besarku yang selalu mendukung dan mendoakanku.
Sahabat – sahabatku yang selalu mendukung
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun skripsi dengan judul
“Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari Enam Bulan di
KUA Kecamatan Banjarsari” ini dengan baik dan lancar.
Shalawat dan Salam semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan
kepada Rasulullah Muhammad Saw yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan yang dapat menjadi bekal hidup kita di dunia dan akhirat kelak.
Suatu kebanggan tugas ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Bagi penulis,
penyusunan skripsi ini merupakan tugas yang tidak ringan. Penulis sadar banyak hambatan
yang menghadang dalam proses penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan
kemampuan penulis sendiri. Kalaupun akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan, tentunya
karena beberapa pihak yang membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu
penulis ucapkan banyak terimakasih setulusnya kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan IAIN Salatiga Fakultas Syari’ah
3. Sukron Ma’mun, S. HI, M.Si., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam
IAIN Salatiga.
4. Heni Satar Nurhaida, M. Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar dan
telah memberikan pengarahan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini
x
5. Segenap dosen Fakultas Syari’ah di IAIN Salatiga yang telah menyampaikan ilmu
dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah.
6. Drs. Basir, selaku kepala KUA Kecamatan Banjarsari beserta staf-stafnya yang sudah
memberi izin dan membantu ketika melakukan penelitian di KUA Kecamatan
Banjarsari.
7. Orang tua tercinta Bapak Mudzakir dan Ibu Suparti yang dengan penuh kesabaran
dalam memberikan dorongan sehingga dapat terselesaikan skripsi ini dengan
sempurna.
8. Saudara kandung penulis Alfi Fajri Kusumadani yang sudah memberi motivasi dalam
penyusunan skripsi.
9. Sahabat-sahabatku yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang telah membantu dan
memotivasi demi terselesaikannya penelitian skripsi ini.
Semoga amal kebaikan mereka telah di ridhoi oleh Allah SWT, Seiring do’a dan
ucapan terimakasih penulis mengharapkan tegur sapa, kritik, dan saran yang membangun
demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi para
pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT memberikan ridha-Nya. Amin Ya Rabbal
Alamin.
Boyolali, 14 Desember 2017
Penulis
xi
ABSTRAK Nugroho, Adhika Rahman. Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan
yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan (Studi Kasus di KUA Kec. Banjarsari Kota Surakarta). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Heni Satar Nurhaida, M.Si.
Kata Kunci: Penentuan Wali Nikah, Perempuan Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan, KUA Kecamatan Banjarsari
Perwalian dalam perkawinan merupakan merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena keberadaan seorang wali sangat menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Wali dalam perkawinan ini terbagi menjadi dua macam yaitu wali nasab dan wali hakim. Perwalian dalam perkawinan ini tidak dapat dipisahkan dengan masalah nasab atau keturunan, karena dengan perkawinan yang sah bertujuan untuk menjaga nasab yang baik, teratur dan tidak terputus.
Masalah nasab ini berarti juga membicarakan mengenai anak sah dan anak tidak sah. Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia kehamilan adalah 6 bulan, dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan, ini terdapat beberapa hal yang tidak sejalan dengan ketentuan anak sah menurut Undang-undang Perkawinan maupun KHI, yang nantinya akan berpengaruh terhadap proses penentuan status wali nikah bagi anak atau calon mempelai perempuan yang dimana pihak KUA memiliki wewenang terhadap permasalahan tersebut. Berlatarbelakang dari masalah tersebut penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh bagaimana pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Penulis memilih KUA Kecamatan Banjarsari sebagai tempat penelitian.
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penulis mengambil lokasi di KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta sebagai tempat penelitian. Dengan objek kajian adalah pada permasalahan bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA dan dasar hukum yang di gunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta. Analisis yang digunakan adalah deskriptif analisis. Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan Banjarsari tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Karena sampai saat ini Kementerian Agama belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempuan sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahirannya dan juga memeriksa buku pernikahan orang tuanya untuk mengetahui asul usul anak tersebut, dan untuk menetukan wali. Karena status anak sudah diatur dalam UUP No 1 tahun 1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 (a). Dan dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari tidak sesuai dengan Undang- undang yang berlaku, karena KUA Kecamatan Banjarsari dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan menggunakan dasar fiqih.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………….. i
LEMBAR BERLOGO ……………………………………………………………….. ii
JUDUL ……………………………………………………………………………….. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………………. iv
PENGESAHAN KELULUSAN ……………………………………………………… v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……………………………. vi
MOTTO ……………………………………………………………………………….. vii
PERSEMBAHAN …………………………………………………………………….. viii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………… ix
ABSTRAK ……………………………………………………………………………. xi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ..................................................................................
4
C.
Tujuan Penelitian ...................................................................................
4
D.
Manfaat Penelitian .................................................................................
5
E.
Penegasan Istilah....................................................................................
5
F.
Tinjauan Pustaka ....................................................................................
7
G.
Metode Penelitian ..................................................................................
9
H.
Sistematika Penulisan.............................................................................
12
xii
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Perwalian ............................................................................................... 14
B.
Wali Nikah.............................................................................................
35
C.
Asal Usul Anak ......................................................................................
47
D.
Kedudukan Anak Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan.........................
54
E.
Kawin Hamil..........................................................................................
60
BAB III : HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum KUA Kecamatan Banjarsari ...................................... 63
B.
Struktur Organisasi KUA Kecamatan Banjarsari ....................................
68
C.
Tugas Dan Fungsi Pokok KUA Kecamatan Banjarsari ...........................
68
D.
Tugas Kepala KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta .............................
70
E.
Program Kerja Dan Realisasi..................................................................
70
F.
Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan
79
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN
YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN
A. Analisis Terhadap Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan Yang
Lahir Kurang Dari Enam Bulan Di KUA Kecamatan Banjarsari
Kota Surakarta ....................................................................................... 89
B. Analisis TerhadapDasar Hukum Yang Digunakan Oleh KUA
Kecamatan Banjarsari Dalam Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan
Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan .................................................... 97
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 108
xiii
B. Saran...................................................................................................... 109
C. Penutup .................................................................................................. 111
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS
xiiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang umum berlaku
pada semua makhluk Allah. Semua yang diciptakan Allah adalah
berpasang-pasangan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling
sempurna yaitu manusia. Dalam surat Al-Dzariat ayat 49, Allah berfirman:
Artinya :” Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Dalam undang-undang perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan hal
penting dalam kehidupan manusia, melalui perkawinan yang sah,
pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat. Tanpa perkawinan,
manusia tidak dapat melanjutkan sejarah hidupnya, karena keturunan dan
perkembangan manusia disebabkan oleh adanya perkawinan.
Namun di era sekarang banyak peraturan yang dilanggar oleh
manusia, tidak terkecuali dalam hal meneruskan keturunan yakni
hubungan antara laki-laki dan perempuan diluar hubungan pernikahan
2
hingga menyebabkan hamilnya sang perempuan dan sering mengakibatkan
lahirnya seorang anak yakni anak diluar nikah.
Menurut ajaran islam, bila terjadi hubungan antara laki-laki dan
perempuan di luar nikah dan melahirkan seorang anak, maka anak tersebut
bisa disebut sebagai anak zina, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang
tidak sah.
Di dalam hukum agama islam tidak ada ketentuan khusus yang
mengatur tentang kedudukan anak dalam ikatan perkawinan, namun dari
tujuan perkawinan dalam islam sudah dijelaskan bahwa tujuan dari adanya
perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah, islam
menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang/ jelas
nasabnya hal ini berarti anak tersebut harus tahu siapa bapak dan ibunya.
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari
perkawinan yang sah (Hadikusuma, 1990:137).
Sementara disisi lain perkawinan yang menyimpang dari tujuan
dan azas-azas ialah perkawinan yang semata-mata bertujuan untuk
memuaskan hawa nafsu belaka, dan akibatnya adalah terjadinya kehamilan
di luar nikah. Kebanyakan bila telah terjadi hal seperti ini pasangan
tersebut akan segera dinikahkan sebagai jalan keluar agar keluarga tidak
lebih dipermalukan karena sang wanita melahirkan anak tanpa seorang
suami. Namun banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa hal ini
akan menimbulkan masalah kembali, yakni menyebabkan kelahiran anak
dengan tenggang waktu kurang dari enam bulan terhitung dari pelaksanaan
3
perkawinan tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa kehamilan
dibagi atas 3 fase ( trisemester) yaitu usia kehamilan 0-12 minggu disebut
semester pertama, usia kehamilan 12-28 minggu, dan triwulan ke tiga
adalah usia kehamilan 28-40 minggu. Menurut hukum islam kelahiran
seorang anak perempuan yang tenggang waktunya kurang dari enam bulan
akan menibulkan permasalahan yang berhubungan dengan anak tersebut
antara lain bagaimana hubungan antara ayah dalam hal nasabnya, kepada
siapa anak tersebut dinasabkan, siapa yang wajib memberi nafkah, dan
dari mana anak tersebut akan menerima warisan.
Dalam hal penentuan wali nikah anak perempuan yang lahir kurang
dari enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya ini juga akan
berpengaruh ketika yang anak akan melangsungkan pencatatan pernikahan
di KUA, sebagaimana kita ketahui, KUA (Kantor Urusan Agama) adalah
instansi Kementrian Agama yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat, maka dalam hal penentuan aturan-aturan yang dijalankannya
pun harus sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa menimbulkan konflik
di masyarakat. Termasuk di dalamnya tentang penentuan wali nikah bagi
anak(calon pengantin wanita) yang lahir kurang dari enam bulan masa
perkawinan kedua orang tuanya. Terkhusus bagi KUA yang berada di kota
kecamatan yang masyarakatnya tergolong sebagai masyarakat yang
majemuk, seperti KUA Banjarsari Kota Surakarta.
Untuk mengkaji lebih lanjut tentang penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari enam bulan, khususnya di KUA Kec.
4
Banjarsari Kota Surakarta maka penulis akan paparkan ke dalam Skripsi
yang berjudul: “Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan
Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan (Studi Kasus di KUA Kec.
Banjarsari Kota Surakarta)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan di atas, ada
beberapa pokok masalah yang akan dikaji yaitu:
1. Bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan
yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kec Banjarsari Kota
Surakarta?
2. Apakah dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec Banjarsari Kota
Surakarta dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan
yang lahir kurang dari enam bulan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kec Banjarsari
Kota Surakarta.
2. Untuk menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec
Banjarsari Kota Surakarta dalam pelaksanaan penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan.
5
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritik
Hasil pemelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
penelitian lebih lanjut mengenain penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari enam bulan dari perkawainan kedua
orang tuanya.
2. Secara praktik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru
lebih komprehensif mengenai penentuan wali nikah bagi perempuan
yang lahir kurang dari enam bulan dari perkawinan kedua orang
tuanya.
E. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu
memberikan penegasan dan batasan terhadap istilh yang ada. Istilah
tersebut adalah:
1. Pelaksanaan
Cara, perbutaan melaksanakan pernikahan bagi perempuan yang
lahir kurang dari enam bulan.
2. Wali Nikah
Dalam literatur fiqih klasik dan kontemporer, kata al-waliyah
digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan
mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-
waliyah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita
6
dimana hak itu dipegang oleh wali nikah (Summa, 2004:35). Adapun
yang dimaksud dengan perwalian di sini adalah perwalian terhadap
jiwa seorang wanita dalam hal perwalian.
3. Perempuan yang lahir kurang dari enam bulan
Yang dimaksud dengan perempuan yang lahir kurang enam
bulan di sini adalah bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan
kekerabatanya dengan bapaknya walaupun lahir dari perkawinan yang
sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
4. KUA (Kantor Urusan Agama)
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari system
Departemen Agama, sedangkan Departemen Agama mempunyai tugas
pokok yaitu : menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan
dan pembangunan di bidang agama.
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari unsure
pelaksana sebagaian tugas pokok Departemen Agama, yang
berhubungan langsung dengan masyarakat dalam suatu wila yah
kecamatan. Sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agama
Nomor 517 tahun 2001 bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) bertugas
melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten /
Kota dibidang Urusan Agama Islam di wilayah Kecamatan.
7
Berasal dari penegasan judul diatas maka dapat diperoleh
suatu kesimpulan bahwa maksud dari judul skripsi ini adalah pelaksanaan
penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan.
F. Tinjauan Pustaka
Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik
penelitian ini yaitu wali nikah bagi anak kawin hamil,maksudnya saat
orang tuanya menikah, sang pengantin perempuan telah hamil terlebih
dahulu. Penelitian tersebut dilakukan oleh Imam Mahfud Fauji (2009).
Ulya (2008), dalam skripsi yang berjudul Praktik Perwakilan
Perwaliam Dalam Akad Perkawinan di Kecamatan Mranggen Kabupaten
Deak, menghasilkan kesimpulan bahwa praktik akad pernikahan yang
terjadi diwilayah tersebut terdapat perbedaan dalam hal pelaksanaan
prosesinya, yaitu wali dari pihak mempelai wanita melakukan ijab qobul
dengan calon suami tidak secara langsung dalam arti mengunakan jasa
wakil dalam akad nikah dengan mewakilkannya kepada orang yang
dianggap lebih cakap untuk melakukan perbuatan hukum seperti
Kyai/ulama, atau kepada petuga PPPN dari KUA. setelah mewakilkan
perwaliannya, wali meninggalkan majelis akad nikah sehingga dia tidak
dikatakan hadir dalam majelis akad nikah tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Fatachudin Latif (2010) dengan
judul Analisis Hukum Islam Terhadap Wali Nikah Bagi Anak
Perempuan Hasil Nikah Hamil (Studi Kasus Di KUA Kec.Semarang
TengahKota Semarang). Dalam penelitiannya berisikan tentang
8
bagaimana KUA Kec. Semarang menentukan wali nikah dan apa dasar
hukumnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam
menyelesaikan kasus penentuan wali nikah terhadap wanita yang lahir
akibat nikah hamil, ada dua model/cara yang dikembangkan oleh KUA
(penghulu) kota Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali hakim;
(2) Wali nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab).
Baroroh(2010) dalam skripsi yang berjudul Studi analisis terhadap
pelaksanaan perkawinan dengan wali hakim, dikarenankan pengantin
wanita lahir kurang dari 6 bulan setelah perkawinan orang tuanya studi
kasus di KUA talung Klaten,yang menghasilkan sebuah kesimpulan
bahwa pelaksanaan wali hakim di KUA tersebut sudah sesuai dengan
syariat Islam dan sesuai dengan Undang-undang, penelitian ini hanya
sampai pada pelaksanaan wali hakim secara umum, apa penyebab
masyarakat mengajukan pernikahan dengan wali hakim, dan bagi anak
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan ditinjau dari perspektif beberapa
pendapat ulama, penelitian ini belum membahas penentuan wali bagi anak
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA setempat dan
menganalisisnya dari Undang-Undang Perkawinan dan KHI.
Berdasarkan atas pustaka yang ada, penelitian yang akan penulis
lakukan berbeda dengan penelitian terdahulu di atas yang dipaparkan,
maka dalam skripsi ini akan lebih difokuskan tentang pembahasan tentang
penentuan wali nikah terhadap perempuan yang lahir kurang dari enam
bulan di KUA Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.
9
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian lapangan(field research), yang dilakukan di KUA
Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Dengan objek kajian adalah
pada permasalahan pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan
yang lahir kurang dari enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya
dan dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari
Kota Surakarta.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris
sosiologis. Untuk itu diperlukan penelitian yang merupakan suatu
rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan
yuridis empiris sosiologis yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum
(hukum tidak tertulis), dimaksud untuk mengetahui hukum yang tidak
tertulis berdasarkan hukum yang berlaku dalam masyarakat (
Zainuddin Ali, 2009: 30).
Dengan menggunakan pendekatan ini penulis akan
mendeskripsikan tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kec Banjarsari
dan praktiknya di dalam masyarakat, khususnya di Kecamatan
Banjarsari, dan untuk mengetahui respon dari masyarakat dengan
adanya ketentuan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir
kurang dari enam bulan kemudian menganalisisnya.
10
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi
yang dicari.
Adapun sumber data primernya adalah hasil wawancara
tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang
lahir kurang dari enam bulan di KUA Kecamatan Banjarsari dan
dokumen-dokumen, arsip proses perkawinan yang relevan.
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak
langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. Peneliti
menggunakan data ini sebagai data pendukung yang berhubungan
dengan pelaksanaan yang dilakukan oleh KUA Kecamatan
Banjarsari Terhadap penentuan wali nikah bagi perempuan yang
lahir kurang dari 6 bulan, data ini diperoleh dari peraturan
perundang-undangan, buku, artikel, pendapat para ahli, dan sumber
lain yang dianggap relevan dan berhubungan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis menggunakan
metode sebagai berikut :
11
a. Metode wawancara/ interview
Wawancara adalah sebuah percakapan antara dua orang
atau lebih yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada
subyek atau sekelompok subyek penelitian untuk dijawab. (Danim,
2002:130).
Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi yang
terkait dengan penelitian, wawancara antara lain dilakuakn dengan:
1. Kepala KUA yang meliputi pelaksanaan penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan, dan dasar
hukum yang digunakan oelh KUA Kecamatan Banjarsari.
2. Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N) tentang proses
pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir
kurang dari enam bulan.
3. Pengantin perempuan yang melaksanakan perkawinan dengan
wali hakim dikarenakan ia lahir kurang dari enam bulan usia
pernikahan kedua orang tuanya.
4. Orang tua/ wali dari pengantin perempuan.
5. Tokoh masyarakat.
b. Dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat,
dan lain sebagainya. (Arikunto, 1999:206).
12
Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh dokumen-
dokumen yang terkait dengan pelaksanaan penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA
Banjarsari Surakarta.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah dengan analisis data deskriptif
kualitatif, yaitu memberikan predikat yang variable yang ditelit sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya. Predikat yang diberikan tersebut
dalam bentuk peringkat yang sebanding dengan atau atas dasar kondisi
yang diinginkan (Mustofa, 2009: 31)
Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan tentang
pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang
dari enam bulan usia perkawinan kedua orang tuanya, dan
menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Banjarsari Surakarta.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dalam penulisan
skripsi ini, maka disusun dalam lima bab. Antara bab satu dengan bab
lainnya sangat berkaitan. Adapun rincian dari kelima bab tersebut adalah
sebagai berikut :
BAB I :Latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian,
penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
13
BAB II :Konsep-konsep pernikahan dan perwalian, yang terdiri dari
pengertian, dasar hukum wali, rukun dan syarat wali, asal-usul
anak menurut perspektif fiqih.
BAB III :Sekilas tentang KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta, yang
meliputi gambaran umum Kecamatan Banjarsari, Kedudukan,
tugas dan fungsi KUA Kecamatan Banjarsari, Kegiatan KUA,
sarana dan prasarana, struktur organsasi serta pelaksanaan
penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari
enam bulan dari usia pernikahan orang tuanya di KUA
Kecamatan Banjarsari.
BAB IV :Analisis terhadap pelaksanaan penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari enam bulan usia pernikahan
orang tuanya di KUA Kecamatan Banjarsari, dan analisis
terhadap dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan
Banjarsari.
BAB V :Penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan secara
keseluruhan serta saran.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. PERWALIAN
1. Pengertian Perwalian
Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali , dan
jamak awliya. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien,
sanak, atau pelindung. Dalam literatur fiqih islam perwalian itu disebut
dengan “Al-Walayah” (Orang yang mengurus atau yang menguasai
sesuatu), sedangkan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan.
(Summa, 2001: 134).
Menurut Subekti bahwa perwalian adalah “pengawasan terhadap anak
– anak yang di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana
diatur oleh Undang – Undang”. (Subekti, 1953: 35).
Sedangkan menurut Ali Afandi, bahwa “perwalian atau voogdij
adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan
seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua.” (Afandi, 1997: 151).
Menurut R. Sarjono bahwa “perwalian adalah suatu perlindungan
hukum yang diberikan seseorang kepada anak yang belum mencapai usia
dewasa atau belum pernah kawin yang tidak berada di bawah
kekuasaannya”. (Sarjono, 1979: 36).
15
Menurut Arif Masdoeki bahwa “perwalian adalah pengawasan
terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut,
sebagaimana diatur dalam Undang – undang. (Hamidjaja, 1963: 156).
Wali merupakan orang selaku pengganti orang tua yang menurut
hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau yang belum
akil baliq dalam melakukan perbuatan hukum atau “orang yang
menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap sianak”. (Lihat
pasal 1 angka 5 Undang –Undang nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak).
Menurut Hukum Indonesia, “Perwalian didefinisikan sebagai
kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan,
atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak
mampu melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan hukum
yang diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa
atau tidak pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua.” (Sjarif, 2004: 147).
Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun
harta kekayaan anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua. “Dalam hal pengurusan dimaksud juga dapat
diartikan sebagai pemeliharaan, baik itu dalam pemberian pendidikan,
nafkah terhadap anak yang masih di bawah umur, sehingga dengan
16
demikian perwalian itu sendiri dapat juga diartikan sebagai suatu lembaga
yang mengatur tentang hak dan kewajiban wali.”
Apabila salah satu orang tua anak tersebut meninggal dunia maka
anak tersebut menurut undang – undang, orang tua yang lain menjadi wali
dari anak – anaknya.
Sedangkan menurut Undang – Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 :
bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.(Lihat Pasal 50 ayat
1 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Perwalian itu
mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.(Lihat
Pasal 50 ayat 2 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.)
Ketentuan ini adalah bertujuan untuk menghindarkan adanya dua
perwalian, yaitu : Perwalian mengenai pribadi si anak dan perwalian
mengenai harta bendanya, yang mana hal itu ada dikenal dalam hukum
islam.
Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Manan Hasyim, yaitu
perwalian terhadap anak menurut Hukum Islam meliputi perwalian
terhadap diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta
bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk
mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara,
serta memberikan pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga
mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua
17
pembiayaan tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara
itu, perwalian terhadap harta bendanya, adalah dalam bentuk mengelola
harta benda anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika
dimulai perwalian, mencatat perubahan – perubahan hartanya selama
perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai
masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus
diri sendiri.
Pada umumnya dalam tiap perwalian hanyalah ada seorang wali saja.
Pengecualian terdapat apabila seorang wali (moedervoodges) berkawin
lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd.
Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali harus menerima
pengangkatan itu, kecuali jikalau ia seorang istri yang berkawin atau
jikalau ia mempunyai alasan – alasan menurut undang – undang untuk
minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan – alasan itu ialah
diantaranya jikalau ia untuk kepentingan Negara harus berada di luar
negeri, jikalau ia seorang anggota Tentara dalam dinas aktif, jikalau ia
sudah berusia 60 tahun, jikalau ia sudah menjadi wali untuk seorang anak
lain atau jikalau ia sendiri sudah mempunyai lima orang anak sah atau
lebih.
Ada golongan orang – orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali.
Mereka itu ialah orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa,
orang yang dibawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaannya
sebagai orang tua, jikalau pengangkatan sebagai wali ini untuk anak yang
18
menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari pada itu juga Kepala dan
anggota – anggota Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) tidak dapat
diangkat menjadi wali, kecuali dari anak – anaknya sendiri. (Subekti,
1953: 35-36).
Secara garis besar, menurut KUH Perdata perwalian itu dibagi atas 3
macam yaitu :
a. Perwalian oleh orang tua yang hidup terlama.
Terhadap anak sah ditentukan bahwa orang tua yang hidup terlama
dengan sendirinya di bawah menjadi wali. Jika pada waktu bapak
meninggal dan ibu saat itu mengandung, maka Balai Harta
Peninggalan (BHP) menjadi pengampu (kurator) atas anak yang
berada dalam kandungan tersebut. Kurator yang demikian disebut
“Curator Ventris”. Apabila bayi lahir, maka ibu demi hukum menjadi
wali dan Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengawas. Apabila
ibu tersebut kawin lagi maka suaminya demi hukum menjadi wali
peserta dan bersama istrinya bertanggung jawab tanggung renteng
terhadap perbuatan – perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan itu
berlangsung. Bagi wali menurut undang – undang (Wetterlijk
Voogdij) dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan
perwalian itu, misalnya kematian salah satu orang tua. Bagi anak luar
kawin yang diakui dengan sendirinya di bawah perwalian bapak/ibu
yang mengakuinya, maka orang tua yang lebih dahulu
mengakuinyalah yang menjadi wali (Pasal 352 ayat 3 KUH Perdata).
19
Apabila pengakuan bapak dan ibu dilakukan bersama – sama maka
bapaklah yang menjadi wali.
b. Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan surat wasiat atau
dengan akta autentik.
Pasal 355 (1) KUH Perdata menentukan bahwa orang tua masing –
masing yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas
seorang anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas anak –
anaknya itu bilamana sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak
ada pada orang tua yang baik dengan sendirinya ataupun karena
putusan hakim seperti termaksud dalam Pasal 353 (5) KUHPerdata.
Bagi wali yang diangkat yang diangkat oleh orang tua (Terstamentaire
Voogdij/wali wasiat) dimulai dari saat orang tua itu meninggal dunia
dan sesudah wali menyatakan menerima pengangkatannya.
c. Perwalian yang diangkat oleh hakim.
Pasal 359 KUHPerdata menentukan bahwa semua orang yang di
bawah yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang
perwaliannya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri
harus mengangkat seorang wali setelah mendengar atau memanggil
dengan sah keluarga sedarah dan semenda (periparan). Bagi wali yang
diangkat oleh hakim (datieve voogdij) dimulai dari saat pengangkatan
jika ia hadir dalam pengangkatannya. Bila tidak hadir perwalian
dimulai sejak diberitahukan kepadanya. (Komariah, 2001: 68-70).
20
Sedangkan menurut Undang – Undang No.1 Tahun1974
tentang perkawinan perwalian itu hanya ada karena penunjukan oleh
salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua
sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan
dihadapan dua orang saksi (Pasal 51 (1) UU No.1/74).
2. Asas-asas Perwalian
Asas – asas hukum itu merupakan jantungnya peraturan hukum. Hal
ini dikarenakan ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya
suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan – peraturan hukum itu
pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas – asas tersebut. (Rahardjo,
2006: 45).
Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang
bisa dipahami tanpa mengetahui asas – asas hukum yang ada di
dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan
sebaik – baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan hukumnya saja
melainkan harus melihat sampai kepada asas – asas hukumnya. Asas –
asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan – peraturan
hukum serta tata hukum. (Rahardjo, 2006: 47).
Dalam hal ini asas – asas perwalian terdapat pada sistem KUH
Perdata, yakni:
a. Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid)
21
Pada tiap – tiap perwalian hanya ada satu wali (Pasal 331
KUHPerdata). Asas tak dapat dibagi – bagi (Ondeelbaarheid). Asas ini
mempunyai pengecualian dalam 2 hal yaitu :
Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup
paling lama (langslevende ouder) maka kalau ia kawin lagi suaminya
menjadi medevoogd (wali serta/ wali peserta) berdasarkan Pasal 351
KUHPerdata.
Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan (bewindvoerder) yang
mengurus barang – barang minderjarige di luar Indonesia berdasarkan
Pasal 361 KUHPerdata
b. Asas Persetujuan dari Keluarga
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal
keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga
itu. Sedang pihak keluarga, kalau tidak datang sesudah diadakan
panggilan, dapat dituntut berdasarkan Pasal 524 KUHP. (Safioedin,
1972: 188).
3. Dasar Hukum Perwalian
a. Perwalian Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perwalian bagi orang – orang beragama Islam di Indonesia diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 107-111. Pasal 107
mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum
pernah melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan tersebut, dapat
22
dipahami usia dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
adalah 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah kawin.
Perwalian menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri dan
harta kekayaan.
Apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan
tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah
seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali. Pembatalan perwalian
lama dan penunjukan perwalian baru ini adalah atas permohonan
kerabat tersebut. Untuk menjadi wali sedapat – dapatnya diambil dari
keluarga anak tersebut, atau orang lain. Syarat menjadi wali adalah
harus sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Disamping orang perorangan, Badan Hukum juga dapat menjadi wali.
(Prinst, 2003: 122).
Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengangkatan wali
dapat juga terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak, yang
mewasiatkan kepada seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk
melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak – anaknya
sesudah ia meninggal dunia. (Lihat Pasal 108 Kompilasi Hukum
Islam)
Selanjutnya pasal 109 menentukan, bahwa Pengadilan Agama
dapat mencabut hak perwalian seseorang atau Badan Hukum dan
memindahkannya kepada Pihak lain.(Lihat Pasal 109 Kompilasi
Hukum Islam) Permohonan untuk itu diajukan oleh kerabatnya,
23
dengan alasan wali tersebut; pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan
atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai
wali demi kepentingan yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110 mengatur kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta
orang yang berada di bawah perwaliannya, wali wajib memberikan
bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya kepada anak
yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut
menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.(Lihat Pasal
110 Kompilasi Hukum Islam) Untuk itu wali bertanggung jawab
terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau
kelalaiannya.
Dalam menjalankan tugasnya wali wajib membuat daftar harta
benda anak yang berada di bawah perwaliannya pada waktu memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan – perubahan harta benda
anak atau anak – anak itu.
Apabila anak yang berada di bawah perwalian telah mencapai usia
21 (dua puluh satu) tahun, maka wali berkewajiban menyerahkan
seluruh hartanya kepadanya.(Lihat Pasal 111 Kompilasi Hukum Islam)
Dan setelah masa perwalian ini berakhir, Pengadilan Agama
berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di
bawah perwaliannya, tentang harta yang diserahkan kepadanya.
24
Namun, wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut
kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir. (Lihat Pasal 112
Kompilasi Hukum Islam )
b. Perwalian Menurut Hukum Syariat
Al – Quran dan Hadist dalam menetapkan hukum dan ketentuan
mengenai perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT
mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama
pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh
orang tuanya. Dalam hal ini Allah berfirman :
“ Dan berikanlah kepada anak – anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. (QS.An-Nisa; ayat 2)
Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak
yatim yang telah ditinggalkan orang tuanya atau ahli warisnya. Dimana
dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan
dan perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam
pengelolaannya (dewasa). Artinya jika anak – anak yatim tersebut
belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan
dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana kemudian dijelaskan
pada ayat berikutnya.
25
Allah Berfirman :
“Dan ujilah anak – anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu tergesa – gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu ) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka,maka hendaklah kamu adakan saksi – saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”.(QS An-Nisa; ayat 6)
Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik
dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga
penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang
yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan orang – orang
yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala – nyala (neraka).
Selain itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan
mengenai ketentuan dan dasar hukum mengenai perwalian, Nabi Saw
bersabda : Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang
membinasakan yaitu : mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa
yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak,
memakan riba, memakan harta anak yatim,lari dari medan perang,
26
menuduh berzinah wanita mukmin yang memelihara kehormatannya.
(Nashiruddin Al- Bani, Dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim ,
Jilid III, 2008.)
Di dalam hadis lain Rasulullah SAW juga menyatakan tentang
kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi Saw bersabda :
“Sesungguhnya tidak putus wali bagi anak perempuan Hamzah kepada
saudara perempuan ibunya. Saudara perempuan ibu menepati
kedudukan ibu (HR.Bukhari).
c. Perwalian Menurut Hukum Adat
Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,
salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari
abad ke abad. (Wignjodipuro, 1973: 1).
Adat mengacu pada serangkaian kepercayaan, norma atau
kebiasaan yang biasanya di terapkan di komunitas – komunitas
penduduk Indonesia. Isinya termasuk deskripsi tentang apa yang
dilakukan oleh komunitas, seperti serangkaian perintah tentang apa
yang harus dilakukan oleh anggota komunitas tersebut. Oleh karena
itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri yang
satu dengan yang lainnya tidak sama.
Menyangkut perwalian yang tidak berdasarkan pada hukum formal
melainkan berdasarkan kepada kebiasaan masyarakat tertentu yang
menunjuk wali berdasarkan komunitas masyarakat setempat sehingga
penunjukan wali tidak memiliki kepastian hukum. Menurut hukum
27
adat, perceraian ataupun meninggalnya salah satu dari kedua orang tua
tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di
dalam perceraian, anak – anak masih berada pada salah satu dari kedua
orang tuanya. Demikian juga pada situasi meninggalnya salah satu dari
kedua orang tuanya. Dengan demikian, yang lebih memungkinkan
terjadinya perwalian, adalah apabila kedua orang tua dari anak tersebut
meninggal dunia, dan anak yang ditinggalkan itu belum dewasa.
Dengan meninggalnya kedua orang tua, anak – anak menjadi yatim
piatu dan mereka semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua.
Pada masyarakat yang matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia,
maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhadap anak – anaknya yang
masih belum dewasa itu. Jika ibunya meninggal dunia, maka anak –
anak tersebut berada dalam pengasuhan keluarga ibunya.
Sedangkan pada masyarakat yang patrilineal pemeliharaan anak
yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena meninggal dunia,
berada di tangan kerabat dari pihak ayah (laki-laki).(Soerjono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2008,hal. 257-258.) Di Tapanuli misalnya, jika bapaknya
meninggal dunia, ibunya meneruskan memelihara anak –anaknya
dalam lingkungan keluarga bapaknya. Jika janda itu ingin pulang ke
lingkungan sendiri ataupun ingin kawin lagi, maka ia dapat
meninggalkan lingkungan keluarga almarhum suaminya tetapi anak –
28
anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum suaminya.
(Muhammad, 2006 : 11).
Pada dasarnya dalam hukum adat Indonesia tidak ada perbedaan
dalam hal mengatur pemeliharaan si anak di satu pihak dan hal
mengurus barang – barang kekayaan si anak di lain pihak.
Pemeliharaan anak tidak hanya sebagai kewajiban si ibu atau si bapak
saja, melainkan juga sebagai kewajiban sanak saudaranya yang lebih
jauh. Oleh karena itu tidak tampak suatu peraturan hukum adat tertentu
siapa yang menggantikan orang tua si anak dalam hal memelihara anak
tersebut apabila orang tuanya telah tiada ataupun bercerai.
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro: Penyelesaian soal-soal
pemeliharaan si anak pada umumnya erat hubungannya dengan tiga
macam corak kekeluargaan dan perkawinan yang ada di Indonesia.
Corak keibuan, garis kekeluargaan si ibu dan dalam corak kebapaan
garis kekeluargaan si bapak, yang ada peranan penting dalam hal
memelihara si anak, sedang dalam corak keibu bapaan garis
kekeluargaan si ibu dan si bapak keduanya pada hakikatnya ada
peranan yang sama kuatnya. (Prodjodikoro, 1960: 85).
d. Perwalian Menurut KUH Perdata
Landasan hukum tentang perwalian dalam KUH Perdata telah
disebutkan pada Bab XV dalam Pasal 331 sampai dengan Pasal 418.
Dalam KUH Perdata juga mengatur tentang perwalian bagi seorang
perempuan. Dalam Pasal 332 b (1) ditentukan bahwa : “perempuan
29
bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin
tertulis dari suaminya.” Namun jika suami tidak memberikan izin,
maka bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan
kekuasaan dari hakim.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 332 b ayat 2 KUH
Perdata :
“Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin atau apabila ia
kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun
apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal 114 dengan
kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali
perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala
tindakan – tindakan perdata berkenaan dengan perwalian tanpa
pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan –
tindakan itupun bertanggung jawab pula”.
Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUHPerdata juga
mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam
pasal 355 ayat 2
KUH Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat
menjadi wali.
Tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang
dilaksanakan oleh badan hukum harus diperintahkan oleh pengadilan.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 365 a (1) KUH
Perdata bahwa dalam hal badan hukum diserahi perwalian maka
30
panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu memberitahukan
putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan.
Akan tetapi jika pengurus badan hukum tersebut tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai wali, maka badan tersebut dapat
dicabut kewenangannya sebagai wali. Selain itu, pasal 379 KUH
Perdata mengatur tentang golongan orang tidak dapat menjadi wali
yaitu :
1) Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen);
2) Mereka yang belum dewasa (minderjarigen);
3) Mereka yang berada di bawah pengampuan (curatele);
4) Mereka yang telah dipecat, baik dari kekuasaan orang tua,
maupun dari perwalian, namun yang demikian hanya anak –
anak yang belum dewasa, yang mana dengan ketetapan hakim
mereka telah kehilangan kekuasaan orang tua atau perwalian;
Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti,
bendahara, juru buku dan agen Balai Harta Peninggalan, kecuali
terhadap anak – anak atau anak tiri mereka sendiri.
e. Menurut Fatwa Ulama
Terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang sah tidaknya
pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina: Para
ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi tidak
memperbolehkan pernikahannya itu sebelum dia melahirkan, tidak
dengan lelaki ang menzinahinya atau tidak juga dengan lelaki yang
31
lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah saw: ”Seorang wanita yang
sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu
Daud)
Sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa seorang laki-
laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita
itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka
beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi).
Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hanafi membolehkan
pernikahannya dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, berdasarkan
sabda Nabi saw,” Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang
bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu
Daud).
Markaz al Fatwa didalam fatwanya—setelah menyebutkan
perbedaan ulama diatas—menyebutkan bahwa adapun anak—dari
pernikahan itu—maka dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya
dengan penasaban sar’iy yang benar yang meneguhkan kemahraman
yang berlanjut kepada perwalian secara syar’i, ashobah dan warisan
dan selainnya dari hukum-hukum seorang anak karena pada
hakikatnya ia adalah anak darinya (ibunya yang mengandungnya itu)
dan tidaklah ada perselisihan dalam hal ini.
Adapun penasaban seorang anak kepada ayahnya yang berzina dan
menisbatkannya kepadanya maka dibolehkan oleh Ishaq bin Rohuyah,
‘Urwah, Sulaiman bin Yasar dan Abu Hanifah. Abu Hanifah
32
mengatakan,”Aku tidak melihat suatu permasalahan jika seorang lelaki
yang berzina dengan seorang wanita lalu wanita itu hamil kemudian
lelaki itu menikahinya dan menutupi aibnya itu dan anak ang terlahir
adalah anak darinya (lelaki itu).”
Markaz al Fatwa lebih memilih pendapat jumhur ahli ilmu yang
menyatakan bahwa apabila seorang lelaki menikah dengan wanita
hamil karena perzinahannya maka anak yang terlahir dinasabkan
kepada ibu dan keluarga ibunya itu. Adapun suaminya adalah
pemelihara bagi anak tersebut. (Markaz al Fatwa no 6045)
Adapun pendapat bahwa jika si ayah biologis dan ibunya yang
telah terlanjur hamil ini kemudian menikah. Jika setelah menikah, si
ibu masih menjalani kehamilan selama 6 bulan atau lebih sampai
kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti garis keturunan sang ayah
dan bisa menjadi wali nikahnya. tapi jika si ibu menjalani kehamilan
kurang dari 6 bulan sampai saat kelahirannya, maka sang anak hanya
bisa mengikuti garis keturunan sang ibu..
Pernyataan ini bisa ditemukan didalam “al Fatawa al Hindiah”
didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan : jika seorang lelaki
berzina dengan seorang wanita dan wanita itu menjadi hamil kemudian
lelaki itu menikahinya dan melahirkan maka jika wanita itu
mengandung selama 6 bulan atau lebih maka nasab anak itu
terkokohkan dan jika wanita itu mengandung selama kurang dari 6
bulan maka nasab anak itu tidak terkokohkan kecuali hanya sebatas
33
pengakuannya, bahwa anak itu adalah anaknya, selama dia tidak
mengatakan,”Sesungguhnya anak itu dari perzinahan.” Adapun jika dia
mengatakan,”Sesungguhnya dia adalah dariku dari perzinahan.” Maka
nasabnya tidak terkokohkan dan dia tidaklah mewariskan hartanya.”
Pendapat yang paling kuat adalah bahwa anak zina tidaklah
terkokohkan nasabnya dari seorang lelaki pezina baik dirinya menikahi
wanita yang dizinahinya lalu wanita itu mengandung anak itu kurang
dari enam bulan sejak waktu akad nikah atau tidak menikahi wanita itu
lalu wanita itu melahirkannya.
Akan tetapi jika anak itu dinisbatkan kepadanya dengan
pengakuannya dan dia tidak mengatakan bahwa anak itu dari hasil
perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia.
Demikian pula jika lelaki itu menikahi wanita yang dizinahinya dan
dia mengandung anak dari hasil perzinahannya lalu melahirkan
seorang anak dalam masa kurang dari waktu minimal suatu kehamilan
sementara orang itu terdiam atau mengakuinya dan tidak mengatakan
bahwa anak itu adalah dari hasil perzinahan maka nasabnya
terkokohkan didalam hukum-hukum dunia.” (Fatawa al Islam Sual wa
Jawab juz I hal 591)
Dengan mengambil pendapat jumhur ahli ilmu bahwa seorang anak
zina tidaklah dinasabkan kecuali kepada ibunya dan ketika anak zina
tersebut kelak ingin menikah maka tidaklah bisa diwalikan oleh ayah
yang berzina dengan ibunya akan tetapi perwaliannya dilakukan oleh
34
penguasa atau hakim. Karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak
memiliki wali, sebagaimana sabda Rasulullah saw: ”Penguasa adalah
wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad dan Abu
Daud).
Dan seandainya seorang anak zina dinikahkan oleh ayah yang
menzinahi ibunya maka pernikahan yang dilakukannya itu batal
sehingga kedua pasangan tersebut haruslah dipisahkan. Adapun cara
pemisahan antara keduanya adalah dengan cara si suami menjatuhkan
talak (cerai) terhadapnya jika memang dirina rela untuk melakukannya
sendiri namun jika dirinya tidak ingin melakukannya sendiri maka
pemisahan itu dilakukan oleh hakim.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qudamah bahwa apabila
seorang wanita dinikahkan dengan pernikahan yang rusak (batal) maka
tidaklah boleh dirinya denikahkan dengan selain orang yang telah
menikahinya sehingga orang yang menikahinya itu menceraikannya
atau dipisahkan pernikahannya. Apabila suaminya itu tidak mau
menceraikannya maka hakimlah yang harus memisahkan
pernikahannya, dan nash ini dari Ahmad. (al Mughni juz IX hal 125)
Setelah suaminya menceraikan istrinya atau keduanya dipisahkan
oleh hakim lalu si lelaki ingin kembali menikahinya maka hendaklah
dengan akad yang baru dengan diwalikan oleh penguasa atau hakim,
yang dalam hal ini adalah KUA.
35
B. WALI NIKAH
1. Pengertian wali nikah
Istilah perwalian berasal dari bahasa arab waliya, dalam literature
fiqih islam disebut dengan al-walayah (al-waliyah). Secara etimologis wali
mempunyai beberapa arti diantaranya adalah cinta (al-mahabbah) dan
pertolongan (an-nashrah), juga berarti kekuasaan atau otoritas seperti
dalam ungkapan al-waly yaitu orang yang mempunyai kekuasaan (Summa
2004: 134).
Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminologi para
fuqaha seperti diuraikan oleh wahbah al zuhayli ialah kekuasaan atau
otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan
sesuatu tindakan tanpa harus bergantung atas izin orang lain. Dalam
literatus fiqih klasik dan kontemporer kata al-wilayah digunakan sebagai
wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang
yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali
bagi anak yatim dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-
wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita dimana
hal itu dipegang oleh wali nikah (Summa 2004: 135). Adapun yang
dimaksud dengan perwalian disini adalah perwalia terhadap jiwa seorang
wanita dalam hal perkawinannya.
Masalah perwalian dalam hal perwalian mayoritas ulama berpendapat
bahwa wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak pula
menikahkan wanita lain karena akad perkawinan tidak dianggap sah
36
apabila tanpa seorang wali, pendapat ini dikemukakan oleh imam maliki
dsn syafi’I bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali dan wali merupakan
syarat syah pernikahan (aminuddin 1999: 82).
Sedangkan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974, tidak jelas
mengatur tentang wali nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin dari
orangtua bagi yang akan melangsungkan pernikahan dan apabila belum
berumur 21 tahun disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan pada
persetujuan kedua calon mempelai (Ramulyo, 2006: 12).
Dalam kompilasi hukum islam masalah konsep perwalian dalam
perkawinan diatur dalam pasal 14 dan pasal 19-23 (Munti, 2005:61).
Selanjutnya akan dikutip dibawah ini:
Pasal 14:
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calom istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi dan
e. Ijab qabul
Pasal 19:
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Pasal 20:
37
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum islam yaitu muslim aqil dan baliqh.
(2) Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.
Pasal 23:
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau ghoib atau adlal atau enggan.
2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama
tentang wali tersebut.
Di Indonesia kebanyakan yang menganut Madzab syafi’I wali
merupakan syarat syahnya pernikahan, jadi apabila pernikahan tanpa wali
maka pernikahannya tidak sah.
2. Dasar Hukum Wali Nikah
Dasar hukum yang dipakai dalam keharusan adanya wali bagi seorang
wanita yang hendak menikah, para ulama berpedoman dengan dalil-dalil
diantaranya: Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32.
Artinya: Dan nikahlah orang-orang yang masih membujang diantara
kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan, kepada mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), maka mengetahui. (QS. An-nur.32).
38
Oleh sebagian ulama fiqih kedua ayat ini, ditafsirkan bahwa yang
diberi perintah untuk mengawinkan adalah kaum lelaki bukan kaum
perempuan. Dan Allah SWT menyeru untuk menikahkan itu pada laki-laki
(wali) bukan kepada wanita, Allah berfirman: “Wahai para wali (laki-laki)
janganlah kalian menikahkan (wanita) yang dalam perwalianmu kepada
orang-orang (laki-laki musyrik).
Dan dalam hadis riwayat dari Abu BURDAH, Ibn Abu Musa dari
bapaknya mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: tidak sah nikah kecuali (dinikahkan) oleh wali (Riwayat
Ahmad dan Imam Empat).
Dari penjelasan Al-Qur’an dan hadits diatas Jumhur Ulama’
berkesimpulan bahwa akad nikah tidak bisa terjadi (tidak sah) tanpa
adanya seorang wali yang menikahkan. Dan apabila seorang wanita
menikahkan dirinya sendiri atau diwakilkan pada orang lain selain
walinya, nikahnya dipandang tidak sah meskipun telah mendapat restu
untuk melangsungkkan pernikahan. (Yasid, 2009:95).
At-tirmidzi menambahkan bahwa para ulama dari kalangan sahabat
Nabi seperti Umar bin Khatab, Ali bin Abi thalib, Abu hurairah,
berpegang pada hadits ini , demikian juga para fuqha dari kalangan
Tabi’in dimana mereka mengatakan Pernikahan tidak sah dengana adanya
wali. (Muhammad, 2006:386).
39
Dalam Kompilasi Hukum Islam menerangkan wali nikah merupakan
rukun dalam perkawinan. Sebagaimana tercantum pada pasal 19: “Wali
nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahinya”. (Aulia, 2011:6).
Keberadaan wali sebagai rukun nikah seperti terdapat dalam
pemikiran Malikiyyah, S yafi’iyyah maupun Hanabilah. Oleh karena itu,
dalam prosesi akad nikah diwajibkan adanya seorang wali karena
merupakan rukun yang harus dipenuhi. Sudah selayaknya wali ada dalam
perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang karena akan menginjak dunia baru untuk membentuk keluarga
sehingga diperlukan partisipasi dari pihak keluarga untuk merestui
perkawinan tersebut. Oleh orang yang yang masih berada dibawah usia 21
tahun (pria atau wanita) maka diperlukan izin dari orang tua. Dalam
keadaan orang tua tiada maka izin tersebut diperoleh wali.
(Sosroatmodjo, 2004:25).
3. Syarat Menjadi Wali
Seseorang boleh menjadi wali, apabila dia laki-laki merdeka, berakal,
dewasa, beragama Islam, mempunyai hak perwalian dan tidak terhalang
untuk menjadi wali. Dalam pasal 20 KHI (ayat) 1 dirumuskan sebagai
berikut: “yang berhak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki, yang
memenuhi hukum Islam, yakni muslim, aqil, baliqh. Dalam pelaksanaan
akad nikah atau yang bisa disebut ijab qobul (serah terima) penyerahannya
40
dilakukan oleh wali mempelai perempuan atau yang mewakilinya, dan
qobul (penerimaan) dilakukan oleh mempelai laki-laki.”
a. Laki-laki
Maka seorang perempuan tidak bisa menjadi wali dan tidak boleh
berakad untuk menikahinya menurut selain madzhab hanafi walaupun
dia sudah diberi izin, baik ijab atau qabul tidak untuk dirinya dan tidak
untuk orang lain.
b. Merdeka
Seorang hamba sahaya tidak bisa menjadi wali (menurut semua
madzhab) begitu juga hamba sahaya yang sudah membayar sebagian
harga dirinya. Hal ini menurut kami (madzhab Syafi’i), madzhab Maliki
dan menurut madzhab Hambali karena keberadaannya tidak utuh.
Tetapi jika hamba sahaya itu memiliki hamba sahaya perempuan,
dia bisa menikahkan hamba sahaya perempuan menurut kami (madzhab
Syafi’i) seperti yang telah dikatakan oleh Al Bulqini karena berpegang
kepada pendapat yang paling benar, bahwasanya dia menikahkan
karena kepemilikan bukan karena kekuaaan.
Dan hamba sahaya yang sedang mengangsur membayar dirinya
dengan sungguh-sungguh, dia juga bisa menikahkan hamba sahaya
perempuan menurut kami (madzhab Syafi’i) dan madzhab Hambali
tetapi dengan izin dari tuannya, dan jika tuannya tidak memberi izin,
maka dia tidak sah menikahkannya.
c. Berakal
41
Tidak berhak menjadi wali orang yang idiot dan orang yang gila
terus menerus (menurut semua madzhab), karena dia tidak isa
membedakan. Jika wali itu kadang-kadang sadar, tetapi yang paling
seringnya, dia dalam keadaan gila, maka hendaklah wali ab’ad (wali
yang jauh) menikahkan anaknya waktu gilanya sebentar, tidak perlu
menunggu sadarnya.
Orang yang ayan tidak termasuk dalam kategori gila. Menurur
madzhab Syafi’i, apabila ayannya kurang dari tiga hari, maka dia bisa
ditunggu. Tetapi jika ayannya lebih dari tiga hari, maka kewaliannya
dipindahkan kepada wali yang jauh, bukan kepada hakim.
Menurut madzhab Hambali, jika wali itu kadang-kandang gila atau
ayan atau kurang akalnya karena sakit atau karena sudah lanjut usia,
maka dia bisa ditunggu dan dia bisa mewakilkan walaupun keadaannya
seperti tadi.
d. Dewasa
Tidak berhak menjadi wali seorang anak kecil (menurut semu
madzhab), karena dia sendiri tidak menguasai urusan dirinya,
bagaimana mungkin dia menguasai urusan orang lain.
e. Beragama Islam
Maka seorang yang kafir tidak memiliki kekuasaan untuk
menikahkan orang yang muslim (menurut semua madzhab) karena
firman Allah SWT:
42
‘’Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (Qs. An-Nisaa’: 141). (Dairabi, 2003: 154-158).
4. Macam-macam Wali
Wali nikah dibagi menjadi tiga kategori, yaitu wali nasab, wali
hakim dan wali muhakam.
a. Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon
mempelai wanita yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai
berikut:
1) Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria
murni (yang berarti dalam garis keturunan itu tidak ada
penghubung wanita) yaitu: ayah, kakek dan seterusnya ke atas.
2) Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis murni yaitu:
saudara kandung, anak dari saudara seayah, anak dari saudara
kandung, anak dari saudara seayah dan seterusnya ke bawah.
3) Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu:
saudara kandung dari ayah, saudara sebapak dari ayah, anak
saudara kandung dari ayah, dan seterusnya ke bawah.
Apabila wali di atas tidak beragama islam sedangkan calon
mempelai wanita beragama islam atau wali-wali di atas belum baligh,
atau tidak berakal, atau rusak pikirannya, atau bisu yang tidak bisa
43
diajak bicara dengan isyarat dan tidak bisa menulis, maka hak menjadi
wali pindah kepada wali berikutnya. Umpamanya, calon mempelai
wanita yang sudah tidak mempunyai ayah atau kakek lagi, sedang
saudara-saudaranya yang belum baligh dan tidak mempunya wali yang
terdiri dari ketuuna ayah (misalnya keponakan) maka yang berhak
menjadi wali adalah saudara kandung dari ayah (paman). Secara
sederhana urutan wali nasab dapat diurutkan sebagai berikut:
1. Ayah kandung,
2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalam garis laki-
laki,
3. Saudara laki-laki sekandung,
4. Saudara laki-laki seayah,
5. Anak laki-laki saudara laki-laki saudara sekandung,
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman),
10.Sauadara laki-laki ayah seayah (paman seayah),
11.Anak laki-laki paman sekandung,
12.Anak laki-laki paman seayah,
13.Saudara laki-laki kakek sekandung,
14.Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung,
15.Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.
44
b. Wali Hakim
Wali hakim dalam sejarah hukum perkawinan di indoneesia,
pernah muncul perdebatan. Hal ini bermula dari sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra. Bahwa Nabi Muhammad bersabda sultan
adalah wali bagi wanita ang tidak memiliki wali.
Pengertian sultan adalah raja atau penguasa, atau pemerinatah.
Pemahaman yang lazim, kata sultan tersebut diartikan hakim, namun
dalam pelaksanaanya, kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan
atau pegawai pecatat nikah, yang bertindak sebagai wali hakim dalam
pelaksaan akad nikah bagi mereka yang tidak mempunyai wali atau,
walinya adhol. Asal masalah yang utama seperti termaktub dalam pasal
1 huruf b KHI, adalah persoalan tauliyahal-amri. Apakah cukup
legistimasi yang di pegang oleh penguasa Indonesia, dalam
pendelegasian wewenang tersebut, sehingga dengan adanya
kewenangan yang dimaksud, berarti sultan sebagai wali hakim
pelaksanaanya sesuai hakikat hukum.
Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah orang yang di
angkat oleh pemerintah (Menteri Agama) untuk bertindak sebagai wali
dalam suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita
dalam kondisi:
1. Tidak mempunya wali nasab sama sekali, atau
2. Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya). Atau
45
3. Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh
perjalanan yang memolehkan sholat-sholat qasar yaitu 92,5 km) atau
4. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai
5. Wali adhol, artina tidak bersedia atau menolak untuk menikahkannya
6. Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umrah atau
Apabila kondisinya salah satu dari enam point di atas, maka yang
berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim.
Tetapi di kecualikan bila, wali nasabnya telah mewakilkan kepada
orang lain untuk bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan
itu yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut.
Dalam peraturan menteri agama republik indonesia nomor 11
tahun 2007 tentang pencatatan nikah, masalah perwalian diterangkan
dalam BAB IX tentang akad nikah pasal 18, untuk lebih jelasnya akan
dikutip sebagai berikut:
Pasal 18
(1) ‘’Akad nikah dilakukan oleh wali-wali nasab.
(2) ‘’Syarat wali nasab adalah:”
a. Laki-laki
b. Beragama islam
c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun
d. Berakal
e. Merdeka dan
f. Dapat berlaku adil.
46
(3) ‘’Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan
kepada PPN, Penghulu, pembantu PPN atau orang lain yang
memenuhi syarat.’’
(4) ‘’Kepala KUA Kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila
calon istri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak
memenuhi syarat, berhalangan atau adhal.
(5) “Adhalnya wali sebagaimana di maksud pada ayat (4) ditetapkan
dengan keputusan pengadilan.”
Adapun dalil yang berkaitan dengan wali hakim, adalah hadis dari
Aisyah ra.:
artinya: Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya,
nikahnya batal. Maka dia menerima mahar sekedar untuk menghalalkan
farjinya. Apabila walinya enggan atau menolak menikahkannya, maka
sultan (hakim)lah yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang tidak
memiliki wali. (Riwayat Imam Empat kecuali Nasa’i)
c. Wali Muhakam
Yang dimaksud wali muhakam yaitu wali yang diangkat oleh
kedua calon pengantin untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah
mereka. Kondisi ini terjadi apabila suatu pernikahan yang seharusnya
dilaksanakan oleh wali hakim, padahal di sini wali hakimnya tidak ada
maka pernikahannya dilaksanakan oleh wali muhakam. Ini berarti
bahwa kebolehan wali muhakam tersebut harus terlebih dahulu
dipenuhi salah satu syarat bolehnya menikah dengan wali hakim
47
kemudian ditambah dengan tidak adanya wali hakim yang semestinya
melangungkan akad pernikahan di wilayah tersebut. Adapun caranya
yaitu dengan kedua calon pengantin mengangkat seorang yang mengerti
tentang agama untuk menjadi wali dalam pernikahannya. Apabila
direnungkan secara seksama, maka masalah wali muhakam ini
merupakan hikmah yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya, di
mana Dia tidak menghendaki kesulitan dan kemudaratan.
C. Asal Usul Anak
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikianlah yang diyakini dalam fiqih
sunni. Kerena para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an hanya
mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya, penentuan nasab
merupakan salah satu hak seorang anak yang terpenting dan merupakan
susuatu yang banyak memberikan dampak terhadap kepribadian dan masa
depan anak. Seorang anak harus mengetahui tentang keturunannya, sebab asal
usul yang menyangkut keturunan dan sangat penting untuk menempuh
kehidupan dalam masyarakat (Fauzan,2008:175).
Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan
hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Ulama
fiqih mengatakan bahwa nasab merupakan salah sat fondasi yang kokoh dalam
membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi
berdasarkan kesatuan darah (Fauzan, 2008:175). Di Indonesia masalah asal
usul anak terdapat beberapa ketentuan hukum yang berbeda-beda. Hal ini
48
dapat dimengerti, karena pluralitas bangsa, utamanya dari segi agama dan adat
kebiasaan, maka ketentuan hukum yang berlaku pun bervariasi, setidaknya ada
dua hukum yang berlaku yaitu hukum islam dan hukum perdata yang termuat
dalam KUH perdata, sedangkan hukum islam termat dalam kitab-kitab fiqih
dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
a. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Fiqih
Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti
yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat di ketahui
hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Walaupun pada
hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan
sejatinya harus manjadi ayahnya, namun hukum islam memberikan
ketentuan lain untuk permasalahan ini (Akmal. 2006:276).
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan
ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, dan
biasanya disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah
dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian
membicarakan asal-usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.
Dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan
bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama
perkawinan. Jadi, selama dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang
sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan
49
melekat padannya serta berhak untuk memakai nama belakang untuk
menunjukan keturunan dan asal usulnya (Manan, 2008:78-79).
Adapun fiqih islam menganut pemahaman yang cukup tegas
berkenaan dengan anak sah. Walaupun tidak ditemukan definisi yang jelas
dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi
ayat- ayat Al-Qur’an dan Hadis, dapat diberikan batasan. Anak sah adalah
anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah (Akmal,
2006:277).
Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia
kehamilan adalah 6 bulan, di hitung dari saat akad nikah dilangsungkan.
Ketentuan ini di ambil dari firman Allah: Surat Al -Ahqaf ayat 15.
Artinya: ...masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh
bulan … (Qs. Al-ahqaf, 46:15).
Dan surat Al-Luqman ayat : 14
Artinya: Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah - tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun ( selambat- lambat waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun ) (QS. Luqman, 31:14 )38
Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakti oleh para ulama, di
tafsirkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat pertama menunjukan tenggang
waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua
50
menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi di susukan secara
sempurna membutuhkan waktu 2 tahun atau 24 bulan. Berarti bayi
membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan.
Dalam tafsir Ibnu Katsir kedua ayat ini dijadikan dalil oleh Ali bin Abi
Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan
cara pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan valid. Pendapat
tersebut di setujui oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa sahabat lainya
(Furi, 2006: 317).
Menurut Imamiyah, jika ada fakta dan petunjuk-petunjuk yang
mendukung ucapan isteri atau suami Maka yang diberlakukan adalah
pendapat pihak yang mempunyai bukti atau petunjuk tersebut. Tetapi
apabila tidak ada petunjuk- petunjuk yang ditemukan sehingga
persoalannya menjadi tidak jelas, maka hakim memenangkan ucapan si
isteri sesudah disumpah dulu bahwa suaminya telah mencampurinya sejak
6 bulan yang lalu, lalu anak tersebut dinyatakan sebagai anak sah
suaminya itu (Mugniyah, 1999 :102).
Sedangkan batas maksimal usia kandungan menurut pendapat Ulama,
Abu Hanifah berpendapat bahwa batas maksimal kehamilan adalah 2
tahun, berdasar hadis Aisyah yang menayatakan bahwa, kehamilan
seorang wanita tidak melebihi 2 tahun. Imam Malik, Syafii dan Hambali
berpendapat bahwa masa kehamilan maksimal seorang wanita adalah
empat tahun. Para Ulama Madzhab ini menyandarkan pendapatnya
pada riwayat bahwa isteri Ajlan hamil selama empat tahun. Anehnya isteri
51
anaknya, Muhammad, juga hamil selama empat tahun. Bahkan semua
wanita suku Ajlan hamil selama empat tahun pula. Ibad bin Awan
mengatakan batas maksimal kehamilan adalah lima tahun, sedangkan Al-
zuhri mengatakan tujuh tahun, dan Abu Ubaid menyatakan bahwa,
kehamilan itu tidak mempunyai batas maksimal.
Para Ulama Madzhab Imamiyah berbeda pendapat tentang batas
maksimal usia kehamilan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa, batas
maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang lain mengatakan
sepuluh bulan, dan yang lain mengatakan satu tahun penuh. Tetapi mereka
seluruhnya sepakat, bahwa batas maksimal usia kehamilan itu tidak boleh
lebih dari satu jam dari satu tahun. Oleh karena itu apabila bayi lahir
kurang dari 6 (enam) bulan menurut fiqih dengan berpedoman pada
Al-qur’an, maka tidak bisa di hubungkan kekerabatanya kepada
bapaknya, walaupun dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya
memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja.
Jika di analisis pandangan fiqih berkenaan dengan anak sah ini
dapat di pahami bahwa anak sah di mulai sejak terjadinya pembuahan sel
telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan
konsepsi ini harus lah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari
sininlah penetapan anak sah tersebut dilakukan .
Dengan dimikian hukum islam menegaskan bahwa seorang anak
supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu
harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di
52
dalam tenggang “iddah” selama empat bulan sepuluh hari sesudah
perkawinan terputus.
Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan
kekerabatanya dengan bapaknya walaupun lahir dari perkawinan yang sah.
Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya (Akmal,2006 :280).
b. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Undang-undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974.
Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak
dalam Pasal 42, 43 dan 44. selengkapnya akan dikutip di bawah ini:
Pasal 42:
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.” Pasal 43:
1. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.
2. Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44:
1. Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh
istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.”
2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan yang bersangkutan (2005:18-19).
53
Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi
hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun
jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal
usia kandungan seperti yang akan dijelaskan kemudian. Jadi Selama bayi
yang di kandung tadi lahir pada ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah,
maka anak tersebut adalah anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur
batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam
penjelasanya.
c. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam kompilasi hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur
dalam Undang-undang perkawinan.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Pasal 100:
a. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dalam kompilasi Hukum Islam, anak sah yang dimaksud dalam pasal
99 (a) adalah. Anak sah dari kedua orang tuanya, seperti yang dijelaskan
dalam pasal 53 dalam BAB VIII tentang Kawin Hamil, selengkapnya
akan dikutip dibawah ini:
Pasal 53:
1. “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
54
yang yang menghamilinya.”
2. “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut ppada ayat (1)
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.”
3. “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.”
Jadi, anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam KHI
pasal 99 (a) apabila dikaitkan dengan pasal 53, adalah anak sah dari
pernikahan kedua oramg tuanya dan apabila pernikahanya pada saat hamil,
maka anak tersebut anak sah dari pria yang menghamilinya.
Pasal 101:
“Seseorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li’an. Pasal
102 kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi
dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak
yang di lahirkan istrinya.”
D. Kedudukan Anak Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan
a. Pengertian Anak dan Statusnya Menurut Hukum Islam
Yang dimaksud dengan anak adalah (Ar: Walad: Jamak Aulad). Turunan
kedua manusia yang masih kecil. (Basuki, 1993:143).
55
Dalam Al-Qur’an, anak disebut sebagai berita baik hiburan pada
pandangan mata dan perhiasan hidup, sebagaimana firman Allah SWT:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan- amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46).
“Anak” menurut segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil
dari hubungan antara pria dan wanita. Adapun istilah kata “Anak Adam”
itu membawa arti umum yaitu seluruh manusia. Karena “Adam”lah
manusia pertama yang diciptakan Allah. Dengan mengakui asal mulanya
itu manusia dinamakan “Anak Adam” yang memberi arti pula, bahwa
manusia itu sama di dalam segala hal sekalipu telah didapatkan perbedaan-
perbedaan ang ditimbulkan oleh suasana hidup, tanah. Air dan lingkungan.
Anak merupakan amanat dari Allah SWT. Sebagai amanat, ia harus
dipelihara, diberi bekal hidup dan di didik agar kelak menjadi manusia
yang dewasa secara fisik dan mental. Ia berhak memperoleh perlindungan
dari semua yang dapat menghambat, apalagi merusak perkembangan
secara jasmani maupun rohani. Orang tua dan masyarakat berkewajiban
memberi perlindungan tersebut; ibunya misalnya wajib menyusui selama
dua tahun, dan menjaga kesehatannya dengan memberi makanan bergizi.
Dibawah kasih sayang ibu dan bapaklah pertumbuhan jasmani dan
rohani anak dapat berkembang dengan baik. Pertumbuhan anak diluar
lingkungan keluarga dan jauh dari kasih saang ibu dan bapak
56
menimbulkan problem bagi dari anak. Tidak asing lagi bahwa salah satu
sebab bagi timbulnya kenakalan remaja yang sampai membawa kepada
problem narkotika dalam masyarakat adalah kegagalan keluarga dalam
menjalankan tugasnya untuk mengasuh dan mendidik anak. (Nasution,
1995: 435).
Menjadi orang tua merupakan peran yang diharapkan dan dihargai,
suatu pemenuhan kebutuhan manusiawi yang telah ada sejak usia dini,
yakni ketika anak-anak menujukkan bayi-bayi dan boneka. Bagi orang
muslim, anak adalah harta yang amat berharga. Suatu pemberian dari
Allah dan kecintaan para muslim terhadap anak-anak telah dikenal luas.
(Hanneef, 1993: 265).Dari beberapa pengertian pengertian anak tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah anak
yang dilahirkan oleh seorang ibu dari suami yang sah berdasarkan
perkawinan yang memnuhi syarat.
Setelah melihat dan mengetahui tentang pengertian anak, hal demikian
akan menentukan status anak, statusnya menurut hukum islam ada dua
macam yaitu:
1) Anak sah: yaitu anak ang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
2) Anak luar kawin: yaitu anak yang lahir akibat hubungan antara laki-laki
dengan perempuan yang tidak berada dalam ikatan perkawinan yang
sah, anak tersebut hana mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
saja.
57
b. Status Anak Yang Lahir Sebelum Enam Bulan Dari Perkawinan Menurut
Hukum Islam
Islam mengatur dalam menentukan status anak memperhatikan
beberapa unsur permasalahan dilihat dari perkawinan yang tidak sah
dengan laki-laki yang menghamilinya. Para ulama memperselisihkan
tenggang waktu enam bulan dihitung sejak akad nikah atau berkumpul.
1. Imam Malik dan Imam Syafi’I serta Jumhur Ulama berpendapat wanita
yang hamil kemudian melahirkan anak setelah enam bulan dari akad
perkawinan bulan dari masa berkumpulnya tidak dapat dinasabkan.
2. Imam Abu Hanifah berpendapat wanita ang melahirkan tetap berada
diranjang suaminya mak anak tersebut dapat dipertalihkan kepada
ayahna yang sah.
Mengenai anak yang diluar perkawinan hanya mempunyai hak nasab
dengan ibunya atau keluarganya yang dikuatkan dalam kompilasi hukum
Islam di Indonesia. Untuk mengetahui secara hukum apakah kelahiran
ditentukan masa kehamilan, maka yang terdapat adalah enam bulan dan
masa terpanjang galibnya adalah satu tahun. Dengan demikian apabila
seorang perempuan melahirkan dalam keadaan perkawinan sah dengan
seorang laki-laki tetapi jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan
saat melahirkan kurang dari enam bulan, maka anak yang dilahirkannya
bukan sah bagi suami ibunya.
Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat jika seorang laki-laki
mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah
58
pernah, dalam waktu kurang dari enam bulan, kemudian wanita tersebut
melahirkan anak setelah enam bulah dari akad perkawinannya, bukan dari
masa berkumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat
dipertalikan nasabnya kepada orang laki-laki yang menyebabkan
perkawinan, perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul,
bukan dari anak nikah. (Rahman, 1994: 221).
Ulama fikih mengemukakan persoalan yang muncul dari perzinaan
yaitu :
1. Dalam masalah perkawinan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan
bahwa orang mukmin tidak boleh mengawini orang yang telah
melakukan perzinaan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam
surat An Nur ayat 3.
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”
2. Dalam masalah akidah ulama fikih berbeda pendapat tentang kewajiban
idah bagi wanita yang melakukan perzinaan karena salah satu hikmah
idah adalah untuk mengetahui Rahim wanita tersebut berisi atau tidak
meskipun wanita yang berzina itu tidak mempunyai suami. Ulama
madzhab Hanafi, Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa wanita yang
59
melakukan perzinaan tidak berhak mempunyai idah karena idah
merupakan syariat yang ditetapkan bagi wanita yang dikawini secara
sah.
3. Status anak yang lahir karena perzinaan ulama fikih sepakat
menyatakan bahwa anak yang lahir dari perzinaan adalah anak yang
suci tidak menanggung beban dari kedua pasangan tersebut. (Dasuki,
1996: 2032).
Adapun ulama yang membolehkan perkawinan antara perempuan
yang sedang hamil diluar nikah dengan pria yang menghamilinya
beralasan bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan firman Allah
SWT.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang- orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nur: 32).
Dari ayat-ayat tersebut diatas para ulama masih terdapat perbedaan
pendapat didalam memahaminya, yaitu tentang boleh dan tidaknya wanita
hamil itu melakukan perkawinan, Imam Ahmad, Ibnu Hasyim, dan Imam
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa laki-laki dengan perempuan yang
hamil tidak boleh melakukan perkawinan sebelum mereka bertaubat.
Imam Ahmad menambah syarat lain, yaitu perempuan tersebut harus
60
menunggu sampai habisnya masa idah. Imam Syafi’I, Imam Hanafi dan
Imam Malik berpendapat bahwa perempuan berzina dapat dikawini oleh
laki-laki yang berzina menurutnya zina itu mengalangi sahnya perkawinan.
(Sabig, 1999: 132).
Setelah menentukan pandangan dalam hal bolehnya perkawinan antara
wanita yang hamil dengan laki-laki tesebut, maka tenggang waktu antara
pelakanaan perkawinan dengan lahrnya anak, ulama sepakat bahwa
tenggang waktu tersebut adalah enam bulan, namun masih berbeda dalam
menentukan awal perhitungannya. Imam Malik dan Imam Syafi’I
berpendapat bila seorang anak lahir enam bulan dari perkawinannya, buka
dari berkumpulnya maka anak tersebut tidak dapat dinaabkan kepada laki-
laki sebagai ayahnya yang sah.
E. Kawin Hamil
Yang dimaksud dengan “kawih hamil” disini ialah kawin dengan
seseorang wanita yang hamil diluar nikah baik dikawini oleh laki-laki yang
menghamilinya maupun oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-
laki yang menghamilinya. Hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar
nikah para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut :
1) Para ulama Madzhab Hanafi, Maliki, S yafi’i berpendapat bahawa
perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri,
dengan ketentuan bila pria itu yang menghamilinya dan kemudian ia
mengawininya.
61
2) Ibnu Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan
boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan
menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina.
Selanjutnya, mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh
orang lain, terjadi perbedaan pendapat para Ulama:
1. Abu Yusuf, mengharamkan yakni tidak membolehkan mengawini wanita
hamil akibat zina, karena hamil akibat zina mencegah persetujuan, maka
mencegah akadnya juga, seperti pencegahan terhadap nasab, dan bila
dikawinkan perkawinanya batal.
2. Ibnu Qudamah sependapat dengan dengan Imam abu Yusuf dan
menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang
diketahui berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan 2 syarat:
a. Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil
ia tidak boleh kawin.
b. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk) terlebih
dahulu, apakah ia hamil/ tidak.
3. Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa
perkawinanya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang
dikandungnya belum lahir. Pendapat ini berdasarkan hadist:
Artinya: Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir (kandunganya) (Ghozali, 2008:127).
62
4. Imam Abu Hanifah dan Imam S yafi’i berbendapat bahwa perkawinan itu
dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada
masa iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab
(keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya.
Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu
(anak diluar nikah).
Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila
pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang mengawini ibunya itu
bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya
itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
1. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia
kandunganya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka
bayi itu adalah anak suaminya yang sah.
2. Bayi itu termasuk anak zina, Karena anak itu adalah anak diluar nikah,
walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena
hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu (Ghozali, 2008:128)
63
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum KUA Kecamatan Banjarsari
1. Letak Geografis
Kecamatan Banjarsari bagian dari 5 Kecamatan yang berada di wilayah
Kota Surakarta bagian utara dari kota Surakarta dengan batas-batas wilayah
Kecamatan Banjarsari Surakarta:
- Sebelah Utara :Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten
Karanganyar
- Sebelah Selatan :Kecamatan Serengan dan Laweyan Kota
Surakarta
- Sebelah Timur : Kecamatan Jebres Kota Surakarta
- Sebelah Barat :Kecamatan Colomadu Kabupaten
Karanganyar
Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari Surakarta menempati
tanah Hak Milik Kementerian Agama seluas 314 m2 yang beralamat di
Jalan Ahmad Yani Nomor 275, Telepon (0271) 717001 Surakarta Kode Pos
57134.
Kecamatan Banjarsari dengan luas wilayah 14,81 km2 didiami penduduk
sebanyak 175.379 juta jiwa. Penduduk tersebut tersebar dalam 13
kelurahan, antara lain:
1. Kelurahan Kadipiro
64
2. Kelurahan Nusukan
3. Kelurahan Gilingan
4. Kelurahan Setabelan
5. Kelurahan Kestalan
6. Kelurahan Keprabon
7. Kelurahan Timuran
8. Kelurahan Ketelan
9. Kelurahan Punggawan
10. Kelurahan Mangkubumen
11. Kelurahan Manahan
12. Kelurahan Sumber
13. Kelurahan Banyuanyar
2. Visi dan Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari
a. Visi KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta
“ Unggul dalam pelayanan dan bimbingan umat Islam berdasarkan Iman,
taqwa dan akhlak mulia. “
b. Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari Surakarta
1. Meningkatkan pelayanan bidang organisasi dan ketatalaksanaan.
2. Meningkatkan pelayanan teknis dan administrasi nikah dan rujuk.
3. Meningkatkan pelayanan teknis dan administrasi kependudukan dan
keluarga sakinah, kemitraan umat dan produk halal.
4. Meningkatkan pelayanan teknis dan administrasi kemasjidan, zis dan
wakaf.
65
5. Meningkatkan pelayanan informasi tentang Madrasah, Pondok
Pesantren, Haji dan Umroh.
6. Meningkatkan pelayanan lintas sektoral.
3. Jumlah Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan
Informasi tentang jumlah penduduk berdasarkan agama diperlukan
untuk merencanakan penyediaan sarana dan prasarana peribadatan serta
merencanakan suatu program kegiatan yang berkaitan dengan kerukunan
antar umat beragama. Penduduk Kecamatan Banjarsari termasuk majemuk,
jumlah penduduk Kecamatan Banjarsari 175.379 jiwa, dengan rincian
pemeluk agama sebagai berikut:
Islam : 134.626 jiwa
Kristen : 28.239 jiwa
Katholik : 11.976 jiwa
Hindu : 160 jiwa
Budha : 349 jiwa
Konghucu : 19 jiwa
Aliran Kepercayaan : 10 jiwa
4. Mata Pencaharian
Profil penduduk menurut jenis pekerjaan menginformasikan jenis-jenis
sektor pekerjaan yang heterogen dan sangat berkontribusi terhadap
perekonomian Kecamatan Banjarsari. Adapun jenis pekerjaan di
Kecamatan Banjarsari meliputi PNS, Karyawan BUMN, Karyawan
BUMD, Kepolisian RI, Dokter, Dosen, Guru, Wiraswasta, dll.
66
5. Data keagamaan di wilayah Kecamatan Banjarsari Surakarta
Untuk membangun sektor sumber daya manusia baik fisik aupun
mental, Kecamatan Banjarsari Surakarta memiliki fasilitas pendidikan
formal maupun non formal dengan jumlah sebagai berikut:
a. Jumlah Perkawinan, Talak, Cerai dan Rujuk :
- Nikah : 1043 peristiwa
- Talak : 48 peristiwa
- Cerai : 101 peristiwa
- Rujuk : -
b. Jumlah Tempat Ibadah :
- Masjid : 199 buah
- Langgar : 36 buah
- Mushalla : 45 buah
- Gereja Katholik : -
- Gereja Protestan : 68 buah
- Pura : 1 buah
- Wihara : 2 buah
c. Pendidikan Formal
- TK Negeri : 1 buah, TK swasta : 65 buah, SLB : 5 buah
- SDN : 58 buah, SD swasta : 14 buah, M I N : 1
buah
- SMPN : 8 buah, SMP swasta : 12 buah, MTs N :
1 buah
67
- SMAN : 5 buah, SMA swasta : 10 buah, MAN : 1 buah
- PTN : - buah, PTS : 4 buah
d. Pondok Pesantren
Jumlah Pondok Pesantren di wilayah Kecamatan Banjarsari
Surakarta ada 2 Pondok Pesantren yaitu:
- Pondok Pesantren Al Abidin di Kelurahan Banyuanyar Surakarta
- Pondok Pesantren Budhi Utomo di Kelurahan Kadipiro Surakarta.
e. Lembaga Keagamaan
Adapun lembaga keagamaa yang ada di wilayah Kecamatan
Banjarsari antara lain sebagai berikut: Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, MTA, Al Hidayah, LDII, Majlis Taklim, Remaja
Masjid, TPA/TPQ.
f. Penghulu
Penghulu fungsional pada KUA Kecamatan Banjarsari ada 2 (dua)
orang yaitu:
- Penghulu pertama: H. Muh. Khaerudin, SHI
- Penghulu Muda : Nasyith Ahmadi, S. Sy
g. Pembatu Pegawai Pencatat Nikah
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah berjumlah 10 orang, kelurahan
yang tidak ada P3N adalah kelurahan Timuran, Punggawan, Kestalan
h. Penyuluh Agama Islam
Penyuluh Agama Islam ada dua kategori yaitu penyuluh madya
yaitu Arif Yudi Asmara, S. Ag.,MSI. dan penyuluh pelaksana yaitu May
68
Hidayah Isnaini serta penyuluh honorer yang berjumlah 26 orang yang
terebar di seluruh kelurahan di wilayah Kecamatan Banjarsari Surakarta.
(Profil KUA Kecamatan Banjarsari)
B. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Banjarsari
Struktur Organisasi KUA Kecamatan Banjarsari (Data Struktur
Organisasi KUA Kecamatan Banjarsari)
KEPALA Drs. Basir
PENGHULU Muh.Kaerudin, S.H.I
PENYULUH Arif Yudi A, M.Si
PENGHULU Nasyith A, S.Sy.
PENGOLAH DATA Desi R, S.E
ADMINISTRASI M. Yunan H, S.Ag
PENYULUH May Hidayah I
C. Tugas dan Fungsi Pokok Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari
Surakarta
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari system Departemen
Agama, sedangkan Departemen Agama mempunyai tugas pokok yaitu :
menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di
bidang agama.
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari unsur pelaksana
sebagaian tugas pokok Departemen Agama, yang berhubungan langsung
dengan masyarakat dalam suatu wila yah kecamatan. Sebagaimana
69
ditegaskan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa :
1. Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut KUA
adalah instani Kementrian Agama ang bertugas melaksanakan sebagian
tugas Kantor Kementrian Agama kabupaten/ Kota di bidang urusan
agama Islam dalam wilayah kecamatan.
2. Kepala Seksi adalah kepala seksi yang ruang lingkup tugasnya meliputi
tugas kepenghuluan pada kantor kementrian agama kabpaten/kota.
3. Penghulu adalah penjabat fungsional pegawai negeri sipil yang diberi
tugas, tanggungjawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan
nikah/ rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.
4. Pembatu Pegawai Pencatat Nikah adalah anggota masyarakat tertentu
yang diangkat oleh kepala kantor kementrian agama kabupaten/kota
untuk membantu tugas-tugas PPN di desa tertentu.
Dalam penjabarannya Kantor Urusan Agama berkewajiban menjalankan
fungsinya sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan statistikdan kegiatan perkantoran.
2. Menyelenggarakan surat-menyurat, pengurusan surat, kearsipan,
pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan.
3. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina
masjid, zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah social, kependudukan dan
pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan
70
Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Data Monografi KUA Kec. Banjarsari)
D. Tugas Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari Surakarta
Dalam Bab II Pasal 2 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 menyebutkan bahwa :
1. Pengawas Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat
yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan
peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat dan melakukan
bimbingan perkawinan.
2. PPN dijabat oleh Kepala KUA.
3. Kepala KUA sebagaimana dimaksud pada ayat 2 menandatangani akta
nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipn akta nikah) dan kutipan akta rujuk.
(Data Monografi KUA Kec. Banjarsari)
E. Program Kerja dan Realisasi
1. Peningkatan Pelayanan di Bidang Administrasi dan Pengelolaan Data
yang Akurat
Tugas pokok KUA adalah melaksanakan sebahagian tugas Kepala
Kantor Kementrian Agama Kabupaten / Kota di Bidang Bimbingan
Masyarakat Islam dalam Wilayah Kecamatan sesuai dengan KMA No.
18/1975, kemudian disempurnakan dengan KMA Nomor 73/1996. Tugas
tersebut disusun dalam bentuk program dan dijabarkan dalam bentuk
pelayanan, bimbingan dan pembinaan kepada masyarakat di bidang
keagamaan.
71
Dalam menjalankan organisasi baik organisasi formal maupun non
formal sesuai KMA No. 517 tahun 2001 Bab II Pasal 7 tentang Tata
Kerja menyebutkan bahwa “dalam melaksanakan tugasnya, Kepala
Kantor Urusan Agama (KUA) wajib menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi baik di lingkungan Kementrian Agama maupun
unsur Kementrian di Kecamatan dengan unsur Pemerintah Daerah.”
a. Tata Usaha
Bidang ketatausahaan merupakan proses kerja yang sangat vital
pada suatu perkantoran. Ketata usahaan yang telah dilakukan di KUA
Kecamatan Banjarsari adalah dengan melaksanakan arsip dinamis,
melayani masyarakat dengan pelayanan yang prima, melaksanakan
pembinaan pada staf dan Pembantu PPN untuk tertib administrasi
dalam pengisian blangko-blangko pernikahan dalam aplikasi
SIMKAH.
Dengan tenaga yang terbatas, Kantor Urusan Agama Kecamatan
Banjarsari berusaha melaksanakan proses kegiatan ketatausahaan
secara maksimal.
b. Pendataan
Pendataan merupakan kegiatan yang mengumpulkan data atau
arsip-arsip untuk melksanakan suatu program. Bahkan juga sebagai
bahan untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan suatu
program.
72
Adapun pendataan yang dilaksanakan di KUA Kecamatan
Banjarsari adalah :
1. Data penduduk enurut Pemeluk Agama
2. Data dan Statistik NTCR
3. Data Tempat Ibadah
4. Data Infaq, Zakat Fitrah dan Ibadah Qurban
5. Data TPA / TPSA
6. Data Tanah Waqaf
7. Data Jama’ah Haji
8. Data Lembaga-lembaga Keagamaan
c. Pelaporan
Pelaporan dari setiap kegiatan adalah suatu hal yang harus
dilaksanakan berguna untuk menyampaikan perkembangan suatu
program yang dilaksanakan untuk mengetahuitingkat keberhasilan
yang dicapai. Pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari,
pelaporan dilaksanakan secara berurutan, yang meliputi:
1. Laporan Bulanan
2. Laporan Triwulan
3. Laporan Tahunan / LAKIP
Perlengkapan administrasimerupakan hal yang penting dalam
sebuah ketatausahaan di suatu lembaga. Tanpa perlengkapan
administrasi yang memadai, lembaga itu tidak akan berjalan baik di
setiap program dan tugas pelayanan terhadap masyarakat.
73
Pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari, perlengkapan
administrasi sudah ada walapun sederhana seperti: 3 unit computer
yang sangat sederhana, 2 buah laptop, sebuan printer PLQ untuk
mencetak buku nikah dan sebuah printer canon.
d. Tata Laksana Keuangan
Salah satu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal
dari kanwil kementrian agama prof. Jawa Tengah adalah biaya Nikah
dan Rujuk bagi umat Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dana yang bersal dari
pungutan biaya nikah dan rujuk harus mengikuti ketentuan yang
berlaku dengan mempedomani:
1. Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1980, tentang keseragaman
sistem anggaran pendapatan dan belanja Negara.
2. Keputusan Menteri Agama No. 16 Tahun 1980, tentang
Keseragaman Sistem Pembukuan di Lingkungan Departemen
Agama.
3. Keputusan Menteri Agama No 47 / 2004 tentang Biaya
Pencatatan Nikah / Rujuk.
4. Peraturan Menteri Agama No 71 Tahun 2009, tentang
Pengelolaan Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk.
5. Peraturan Presiden No 48 Tahun 2014, tentang Perubahan Atas
PP No. 47 Tahun 24 tentang Tarif Jenis Peneriamaan Negara
Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama.
74
2. Peningkatan Pelayanan di Bidang NR dan Keluarga Sakinah
KUA Kecamatan Banjarsari sudah menerapkan pencatatan nikah
sesuai dengan PMA No. 11 tahun 2007, serta sejak bulan oktober 2013
sudah menerapkan aplikasi SIMKAH dalam peristiwa NR.
3. Peningkatan Pemahaman UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam
Dalam peningkatan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
KUA Kecamatan Banjarsari memuali disaat melaksanakan Suscatin, dan
wawncara langsung dengan setiap calon pengantin pada saat pemeriksaan
nikah. Apabila ditemui kasus-kasus wanita yang sudah hamil sebelum
nikah, maka kebijakan kantor urusan agama Kecamatan Banjarsari
memberikan pemahaman kalau calon pengantin laki-laki tidak dapat
menjadi wali apabila kehamilannya sudah lebih dari 4 bulan.
Disamping kegiatan struktural yang wajib dilaksanakan pada KUA
Kecamatan Banjarsari, ada juga kegiatan yang harus dilaksanakan, yang
berbentuk non structural, kegiatan non strukturan KUA Kecamatan lebih
banyak bersifat pembinaan kehidupan keagamaan dalam masyarakat.
Adapun bentuk kegiatan non struktural KUA Kecamatan Banjarsari
adalah:
1. Badan Kesejahteraan Masjid (BKM)
2. Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Agama (LP2A)
3. Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ)
4. Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI)
5. Badan Amil Zakat Kecamatan
75
6. Majlis Ulama Indonesia Kecamatan
4. Peningkatan Pembinaan Kemasjidan
Pembinaan kemasjidan dilaksanakan dengan mengadakan turun
langsung kesetiap masjid yang ada di Kecamatan Banjarsari sesuai
jadwal yang dibuat oleh penyuluh agama, sehingga setiap informasi baik
yang datang dari pemerintah sampai kepada masyarakat, dan masukan-
masukan dari masyarakat dapat diterima langsung untuk dibicarakan
ditingkat kecamatan.
5. Peningkatan Pembinaan Zakat, Wakaf dan Haji
Bidang wakaf juga telah di upayakan pendataan tanah wakaf baik
yang sudah bersertifikasi maupun yang belum, serta mengupayakan
menyegerakan sertifikat tanah wakaf dengan koordinasi dengan BPN
Kota Surakarta.
Bidang Haji KUA Kecamatan Banjarsari melaksanakan manasik haji
mandiri di tingkat kecamatan dan meningkatkan penyuluhan kepada
masyarakat tentang perlunya ibadah haji bagi yang mampu.
6. Kegiatan Lintas Sektoral
KUA Kecamatan Banjarsari di samping menjalankan kegiatan
structural, juga membangun kegiatan non structural. Dalam hal ini KUA
Kecamatan Banjarsari selalu mengacu kepada tugas pokok KUA itu
sendiri yaitu melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementrian Agama
Kabupaten/kota di bidang bimbingan masyarakat Islam dalam yuridiksi
76
wilayah kecamatan. Unsur-unsur mitra kerja lintas sektoral KUA
Kecamatan Banjarsari adalah:
a. Camat Kecamatan Banjarsari
b. Koramil Banjarsari
c. Kapolsek Banjarsari
d. Dinas Sosial
e. Puskesmas di seluruh Kecamatan Banjarsari
f. Kelurahan se-Kecamatan Banjarsari
g. Lembaga-lembaga Keagamaan ditingkat Kecamatan melalui
hubungan yang baik dengan mitra lintas sektoral kecamatan Banjarari
seiring sejalan serta selaras bekerja sama memacu pembangunan yang
saling menguatkan di wilayah kecamatan banjarsari.
7. Program Kerja
Bertumpu pada Visi dan Misi Kementrian Agama, tugas pokok dan
fungsi kantor kementrian Agama Kota Surakarta serta Visi dan Misi
KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta, maka dalam pelaksanaannya
supaya berdaya guna dan berhasil guna (efektif dan efiaien), maka
disusunlah suatu perencanaan kegiatan yang tertuang dalam Program
Kerja Tahun 2015.
8. Pelaksanaan Tugas
Untuk merealisasikan perencanaan yang tertuang dalam program
kerja tahun 2015, maka dalam kesempatan ini kami sampaikan kegiatan-
kegiatan yang terlaksana selama tahun 2015 adaah sebagai berikut :
77
a. Fisik
- Mengadakan perbaikan / pengecatan kantor
- Mengadakan perawatan / perbaikan inventaris kantor
- Penjilidan berkas NB setiap bulan
- Melengkapi data-data dan statistik kantor
- Pembangunan gedung baru KUA melalui dana SBSN di lokasi
yang baru
b. Non Fisik
1. Bidang Administrasi
- Menertibkan administrasi surat menyurat, perkawinan,
kemasjidan, perwakafan, ibadah sosial dan kearsipan
- Mengintensifkan laporan kegiatan, baik bulanan, triwulan
maupun tahunan serta mengolah dan menyajikan data
- Meningkatkan kualitas pelayanan secara prima dan
professional kepada masyarakat
2. Bidang Kepenghuluan
- Mengadakan penyuluhan tentang UU Nomor 1 Tahun 1974
- Mengadakan sosialisasi PP 48 Tahun 2014 melaui rapat lintas
sektoral
- Melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan
pencatatan nikah/rujuk
- Mengadakan bimbingan dan pelayanan kepenghuluan
78
- Melaksanakan pencatatan cerai gugat dan cerai talak dari
pengadilan agama kedalam buku register talak/cerai
- Menertibkan administrasi dan pelaporan kepenghuluan
- Mengadakan pembinanaan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
3. Bidang Kemasjidan, Wakaf, Zakat dan Ibadah Sosial
- Mengadakan pebinaan dan pendataan ulang tempat ibadah dan
kepengurusannya
- Melaksanakan administrasi dan prosesi perwakafan dan
pensertifikan tanah wakaf serta menertibkan
administrasi/arsipnya
- Mengadakan penyuluhan UU nomor 41 tahun 2004 tentang
wakaf
- Mengadakan penyuluhan UU No. 33/1999 tentang pengelolaan
zakat
- Mengirimkan peserta penataran wakaf ke semarang
- Mengirimkan diklat hisab dan rukyat ke semarang
- Melaksanakan pendataan ibadah sosial (Penerimaan dan
pengeluaran zakat dan penembelihan hewan kurban).
- Membuat laporan kemasjidan, wakaf, zakat dan ibadah sosial
4. Bidang Bimbingan Perkawinan
- Melaksanakan penasihatan keluarga bermasalah yang
berkonsultasi dengan BP 4.
- Membuat laporan pernikahan, perceraian, talak dan rujuk
79
- Melaporkan peristiwa nikah ke kantor dinas kependudukan dan
catatan sipil kota Surakarta
5. Kegiatan Lintas Sektoral
- Ikut aktif mengikuti kegiatan lintas sektoral di Kecamatan
seperti lomba desa, kegiatan PIN, P2W KSS, dan lain-lain.
- Ikut aktif dalam pelaksanaan tarawih keliling tingkat kota dan
hari-hari besar Islam
- Bekerjasama dengan Muspika, LP2A dan MUI Kecamatan
Banjarsari, mengadakan tarawih keliling tingkat Kecamatan
Banjarsari sebanyak 4 kali putaran selama sebulan
- Ikut aktif menjadi rohaniawan / doa ditingkat kota Surakarta
- Ikut aktif mengisi khutbah jum’at dan siaran di RRI Surakarta.
6. Bidang Urusan Haji
- Membentuk panitia manasik haji tahun 2015/1436 H dan
melaksakan manasik pada tanggal 05-08 Agustus 2015 di Aula
Kemenag Kota Surakarta
- Jumlah jamaah Haji di wilayah kecamatan Banjarsari tahun
2015 / 1436 H berjumlah 114 jamaah. (Data Monografi KUA
Kecamatan Banjarsari)
F. Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6
Bulan
1. Kasus di KUA Kecamatan Banjarsari
80
Pernikahan yang mengunakan wali hakim dari bulan Januari
sampai Oktober 2017 di KUA kec. Banjarsari Kota Surakarta.
NO
BULAN
JUMLAH PERNIKAHAN
WALI
NASAB HAKIM 1. Januari 59 44 15 2. Februari 57 45 12 3. Maret 73 42 21 4. April 103 76 27 5. Mei 74 53 21 6. Juni 16 12 4 7. Juli 134 108 26 8. Agustus 85 62 23 9. September 140 106 34 10 Oktober 54 44 10
Jumlah 795 592 193
Tabel 1 (Data di catatan Buku Pernikahan KUA Kec. Banjarsari
tahun 2017)
Selama tahun 2017 dari bulan Januari sampai Oktober, jumlah
pernikahan yang menggunakan wali hakim ada 193 pasangan di KUA
Banjarsari. Adapun Jumlah pernikahan yang menggunakan wali hakim
karena perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan ada 40 pasangan.
Namun dari peneliti, penulis hanya dapat menyertakan 14 pasang. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam daftar tabel nama-nama pasangan
pengantin yang menggunakan wali hakim di bawah ini.
81
NO
NAMA TANGGAL
MENIKAH
ALAMAT
1 Danik Setyaningsih dengan
Supriyanto
19 Juli 2017
Rejosari, Rt 08/XIII, Gilingan
2 Latifa Alvia Lita dengan Muhammad Dziya Ulkhaq
21 Juli 2017 Nayu Timur, Rt
01/18, Nusukan 3 Niken Kumala Prihasti
dengan udi Nur Cahyo
31 Juli 2017 Sudiroprajan, Rt 2/I, Jebres
4 Marselina Dewi Wijiastuti dengan Sholikhin
Abdurahman
31 Juli 2017
Blibis Kulon, Rt 01/18, Gilingan
5 Senja Utami dengan Ali Prasetyo Utomo
1 Agustus 2017 Depok, Rt 02/
IV, Manahan 6
Narati Putri Ayuningrum dengan Bogi Bela Arifadani
9 Agustus 2017
Turisari, Rt 01/VI,
Mangkubumen 7 Devi Adriana Sari dengan
Tomi Kurniawan 9 Agustus 2017 Mbakalan, Rt 06/XI,
Sumber 8 Ika Erna Yunita
dengan Andriyas Topo
30 Agustus 2017 Sekip, Rt 04/VIII, Kadipiro
9 Giyanti dengan Heru Purwanto
21 Agustus 2017 Ngangkruk, Rt 04/I, Gondangrejo
10 Ita Wulandari dengan Puguh Prasetyo
4 September 2017 Sumber, Rt 05/VII,
Banjarsari 11 Muna Fathi’a dengan Agus
Wahyudi
3 Oktober 2017 Dukuhan Nayu, Rt 5/II, Kadipiro
12 Airy Mindia dengan Indra
Kurniawan
27 Oktober 2017 Perum Seniman
Gebang, Rt 01/24, Kadipiro
13 Anindiya Agustina Kusumayanti dengan Ferdy
Ardian
30 Oktober 2017
Jl. Selayar 3/15, Rt
1/VI, Kestalan
14 Amalia Susanti dengan
Ferdy Ardian
30 Oktober 2017 Jl. Selayar 3/15Rt.
01/06 Kestalan, Banjarsari
Tabel 2 (Data dari Dokumen Pernikahan KUA Kec. Banjarsari tahun 2017)
2. Respon dari Para Pihak yang Bersangkutan.
82
Respon dari para pihak yaitu dengan mempelai perempuan dan
dari wali mempelai perempuan, untuk mengetahui respon dari para
wali dan mempelai perempuan tentang pelaksanaan wali hakim bagi
prempuan yang akan menikah, di karenakan kelahiran anaknya kurang
dari 6 bulan di wilayah Kecamatan Banjarsari.
a. Wawancara dengan Bapak Murti Handoyo Bapak dari
Anindiya Agustina Kusumayanti.
Bapak Murti Handoyo menikah dengan Ibu Eka Sari Darmayanti
pada tanggal 13 Maret 1996, sedangkan Anindiya Agustina
Kusumayanti lahir pada tanggal 16 Agustus 1996. Dengan demikian
Anindiya harus menggunakan wali hakim, disebabkan karena
Anindiya lahir kurang dari enam bulan setelah pernikahan orang
tuanya.
Bapak Murti Handoyo menyatakan bahwa dalam masalah
perwalian dalam pernikahan dia belum mengetahui betul, karena
masih awam dalam masalah agama. Sehingga untuk masalah
perwalian dia menanyakan kepada bapak modin setempat dan dalam
hal pernikahan anaknya yang menggunakan wali hakim dikarenakan
anaknya lahir kurang dari 6 bulan.
Sebenarnya bapak murti ingin sekali menjadi wali bagi anak
perempuanya saat menikah, karena menurut sepengetahuanya yang
paling afdol menjadi wali adalah bapaknya sendiri, tetapi karena di
dalam islam tidak membolehkan. Karena anaknya lahir kurang dari
83
6 bulan sehingga dia tidak bisa menjadi wali, sehingga beliau
menerima dengan lapang dada walaupun perasannya sangat berat
sekali dan kecewa dengan adanya ketentuan ini.
Sedangkan Anindiya dalam masalah Perwalian dia sama sekali
tidak mengetahui karena dalam masalah agama dia sangat minim
sekali pengetahuanya. Dan tentang masalah pernikahanya yang
menggunakan wali hakim dikarenakan kelahiranya kurang dari 6
bulan, dia secara kebetulan mengetahui penyebab bapaknya tidak
bisa menjadi wali.
Karena pada saat mendaftar di KUA dia ikut bersama ibunya,
ketika itu bapaknya keluar kota, setelah mendengarkan penjelasan
dari bapaknya tentang sebab-sebab bapaknya tidak bisa menjadi
wali, dia sangat kecewa sekali dengan orangtuanya karena tidak
bisa menjadi wali dia sempat menolak dan keberatan dengan
ketentuan itu karena dia menginginkan ayahnya yang menikahkan
sendiri, tetapi karena peraturanya seperti itu dia menerima dengan
ikhlas. (Wawancara dengan bapak Murti Handoyo, pada tanggal 30
Oktober 2017, jam 11.00 wib di rumahnya)
b. Wawancara dengan Bapak Sutimin Bapak dari Airy Mindia
Swastuti
Bapak Sutimin menikah dengan Ibu Diyah Indriyati pada tanggal 2
Agustus 1989, sedangkan Airy Mindia Swastuti lahir pada tanggal 9
November 1989. Dengan demikian Airy harus menggunakan wali
84
hakim, disebabkan karena Airy lahir kurang dari enam bulan setelah
pernikahan orang tuanya.
Bapak Sutimin menyatakan dalam masalah perwalian beliau tidak
tahu-menahu. Karena beliau masih awam dalam masalah agama dan
dalam masalah perwalian bagi anak perempuan yang lahir kurang
dari 6 bulan dia pun tidak mengetahuinya, dan ketika anaknya
saudari airy dinikahkan dengan wali hakim karena kelahiranya
kurang dari 6 bukan, sebenarnya dia merasa keberatan, karena dia
menganggap dirinya masih ada dan bisa menjadi wali bagi
anaknya, tetapi setelah mendapat penjelasan dari tokoh masyarakat,
dan dari pihak KUA, bahwa anaknya harus menikah dengan wali
hakim. Karena peraturanya seperti itu, dia menerima dengan
ikhlas karena ketidakpahaman tentang masalah perwalian.
Airy Mindia Swastuti dalam masalah perwalian dia tidak tahu-
manahu dan ketika dirinya menikah dia hanya mengetahui bahwa
yang menikahkan adalah bapaknya sendiri, jadi saudara Airy tidak
tahu-menahu ketika pernikahanya menggunakan wali hakim. Yang
dia ketahui dia yang menikahkan adalah bapaknya sendiri.
Jadi dapat di simpulkan bahwa respon dan pendapat dari para
pihak yang terkait dalam pernikahan yang menggunakan wali
hakim bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, baik
itu dari pihak wali dan dari pihak mempelai perempuan itu sendiri.
Mereka mengingkan menjadi wali, begitupun dari mempelai
85
perempuan itu sendiri, mereka menginginkan ayahnya menjadi wali.
Tetapi karena keterbatasan dari mereka tentang pengetahuan agama
khususnya tentang perwalian, maka mereka menyerahkan
sepenuhnya kepada Bapak Penghulu dari KUA setempat.
(Wawancara dengan bapak Sutimin, pada tanggal 27 Oktober 2017,
jam 16.00 wib di rumahnya).
3. Respon dari Tokoh Masyarkat tentang Pernikahan bagi Perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan.
Wawancara dengan tokoh masyarakat bertujuan untuk mengetahui
pendapat mereka tentang pernikahan bagi anak perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan, dan pendapat masyarakat sekitar dengan adanya
ketentuan ini.
a. Wawancara dengan Bapak Drs. Andang Wahyu Wibowo
Salah Satu Tokoh Masyarakat di Kelurahan Keprabon
Menurut bapak A n d a n g apabila ada pernikahan kemudian di
ketahui anak perempun yang lahir kurang dari 6 bulan, adalah
dengan menggunakan wali hakim. Karena menurutnya di
dalam kitab-kitab fiqih, yang pernah beliau pelajari apabila ada
anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, maka a yahnya
tidak bisa menjadi wali, dan itu salah satu sebab pernikahan
mengunakan wali hakim.
Di kelurahan Keprabon jarang sekali terjadi kasus semacam ini
tapi pernah ada, sedangkan respon dari masyarakat apabila ada
86
kasus semacam ini, masyarakat di kelurahan Keprabon kurang
begitu mengerti tentang masalah ini, sehingga masyarakat tidak
bisa membedakan pernikahan mana yang mengunakan wali
nasab maupun wali hakim, karena yang menikahkan sama-sama
dari pihak KUA, walupan tidak menggunakan wali hakim
biasanya masyarakat di Keprabon sebagian besar mewakilkan
kepada pihak KUA setempat. (Wawancara dengan bapak Drs.
Andang Wahyu Wibowo Salah Satu Tokoh Masyarakat di
Kelurahan Keprabon, pada tanggal 2 November 2017, jam 16.00
di rumahnya)
b. Wawancara dengan Bapak KH Sujatmoko Salah Satu Tokoh
Masyarakat di Kelurahan Gilingan
Menurut Bapak KH. Sujatmoko apabila ada pernikahan
sedangkan anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, itu
mengunakan dasar fiqih dan juga di zaman modern seperti ini
harus melalui keterangan dokter untuk memastikan anak tersebut
anak sah atau tidak. Di Kelurahan Gilingan kasus semacam ini
pernah terjadi tapi sangat jarang sekali, sedangkan respon dari
masyarakat Gilingan sendiri kurang begitu paham tentang
masalah ini karena kurangnya pengetahuan soal perwalian dalam
agama islam, sehingga mereka apabila ada permasalahan seperti
ini langsung diserahkan kepada bapak modin setempat.
(Wawancara dengan bapak KH Sujatmoko Salah Satu Tokoh
87
Masyarakat di Kelurahan Gilingan, pada tanggal 2 November
2017, jam 14.00 di rumahnya)
c. Wawancara dengan Bapak KH. Ali Salah Satu Tokoh
Masyarakat di Kelurahan Kadipiro
Apabila ada kasus pernikahan sedangkan anak prempuan
diketahui lahir kurang dari 6 bulan, beliau sependapat dengan
tokoh masyarakat lainya. Yaitu dengan meggunakan dasar fiqih,
dan respon dari masyarakat Kadipiro sendiri ada dari sebagian
mereka dari kalanagan tertentu saja mengetahui masalah ini, tapi
kebanyakan tidak tahu manahu tentang masalah perwalian dalam
prenikahan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendapat dari para tokoh
masyarakat di Kec. Banjarsari sama dengan pihak KUA, mereka
sepakat, apabila ada kasus pernikahan sedangkan anak prempuan
diketahuai lahir kurang dari 6 bulan, yaitu dengan meggunakan
dasar fiqih, sedangkan respon dari masyarakat apabila ada kasus
semacam ini masyarakat kurang begitu mengerti tentang masalah
ini sehingga masyarakat tidak bisa membedakan pernikahan mana
yang mengunakan wali nasab maupun wali hakim, karena yang
menikahkan sama-sama dari pihak KUA, walaupun tidak
menggunakan wali hakim, tapi masyarakat di Kecamatan
Banjarsari sebagian besar mewakilkan kepada pihak KUA
setempat. (Wawancara dengan bapak KH. Ali Salah Satu Tokoh
88
Masyarakat di Kelurahan Kadipiro, pada tanggal 5 November
2017, jam 09.00 di rumahnya)
89
BAB IV
ANALISI TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI
PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN DI KUA KEC.
BANJARSARI KOTA SURAKARTA
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah bagi
Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan di KUA Kecamatan
Banjarsari
Masalah perwalian dalam arti perkawinan, mayoritas ulama
berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan
tidak pula mengawinkan wanita lainya karena akad perkawinan tidak di
anggap sah apabila tanpa seorang wali (Junaidi, 2003: 104) pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Maliki dan Imam Syafi’i bahwa tidak ada
pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan.
(Aminudin dan Abidin, 1999: 82).
Menurut madzhab hanafi, wali tidak merupakan syarat untuk sahnya
suatu pernikahan, tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh
tidak ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua
pada waktu akan menikah baik dia pria maupaun wanita.Sedangkan
menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, tidak jelas mengatur
tentang wali nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin dari orang tua bagi
yang akan melangsungkan pernikahan dan apabila belum berumur 21
(dua puluh satu) tahun.
90
Di Negara Indonesia yang kebanyakan menganut Madzhab Syafi’i wali
merupakan syarat sahnya pernikahan, jadi apabila pernikah tanpa wali,
maka pernikahanya tidak sah, dan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
wali dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi, oleh
calon mempelai wanita yang bertindak menikahkanya (Pasal 19 KHI),
wanita yang menikah tanpa wali berarti pernikahanya tidak sah. (Ali, 2006:
15).
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya yang berhak
menjadi wali adalah wali nasab, yaitu wali dari pihak keluarga mempelai
perempun dan apabila wali nasab sama sekali tidak ada, maka yang berhak
menikahkan adalah wali hakim.
Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah orang yang diangkat
oleh pemerintah (Menteri Agama) untuk bertindak sebagai sebagai wali
dalam suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita
dalam kondisi:
1. Tidak mempunyai wali nasab sekali,
2. Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya).
3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang
sederajat dengan dia tidak ada
4. Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh
perjalanan yang membolehkan sholat qasar yaitu 92,5 km)
5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai
91
6. Wali adhol, artinya tidak bersedia atau menolak untuk
menikahkanya
7. Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umroh.
(Departemen Agama RI, 2003: 34).
Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas, maka yang
berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Tetapi
di kecualikan bila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk
bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak
menjadi wali dalam pernikahan tersebut. (Departemen Agama RI, 2003:
113).
Tentang pelaksananan penentuan wali bagi anak perempuan yang
lahir kurang dari 6 bulan, sebenarnya sampai saat ini Kementerian Agama
belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak
perempun sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahirannya
dan juga memeriksa buku pernikahan orang tuanya. Dalam Peraturan
Menteri Agama Yang terbaru Yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2007 Tentang Pencatatan Nikah tidak mengatur mengenai permasalahan
tersebut.
Karena status seorang anak sudah di tentukan di dalam Undang-
Undang NO. 1 tahun 1974 Pasal 42, 43 dan 44. Selengkapnya sebagai
berikut:
Pasal 42:
92
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.”
Pasal 43:
1. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.”
2. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya
akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.”
Pasal 44:
1. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan
oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya
telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.”
2. “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak
atas permintaan yang bersangkutan.” (Undang-Undang
Pernikahan di Indonesia, 2005: 18).
Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi
hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak
antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia
kandungan seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Jadi selama bayi yang di kandung tadi dilahirkan oleh ibunya dalam
ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah.
Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam
pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya. Dalam kompilasi Hukum
93
Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang
perkawinan.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah
a. “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah.”
Pasal 100:
a. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dalam kompilasi Hukum Islam anak sah dan perkawinan yang sah
yang dimaksud dalam pasal 99 (a) adalah anak sah dari kedua orang
tuanya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 53 dalam BAB VIII Kawin
Hamil, selengkapnya akan dikutip dibawah ini:
Pasal 53:
1. “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang yang menghamilinya.”
2. “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut ppada ayat
(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya.”
3. “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.”
94
Jadi, anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam KHI
pasal 99 (a) apabila dikaitkan dengan pasal 53, adalah anak sah dari
pernikahan kedua oramg tuanya dan apabila pernikahanya pada saat hamil,
maka anak tersebut anak sah dari pria yang menghamilinya.
Pasal 101:
“Seseorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.”
(Departemen Agama RI, 2003: 38).
Pasal 102 kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal
usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya
anak yang dilahirkan isterinya.
Pasal 102:
1. “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari
istrinya, mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama dalam
jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari
sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui
bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan
Agama.”
2. ”Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat
di terima.”
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas
minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas
95
maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu
untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
Sebagaimana diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah hasil
kesepakatan para ulama seluruh Indonesia yang perumusanya sudah melalui
diskusi-diskusi yang sangat panjang, dengan mempertimbangkan pendapat
pendapat yang ada.
Oleh karena itu menurut penulis seharusnya Kantor Urusan Agama
(KUA) sebagai lembaga pencatat pernikahan, di bawah Kementerian
Agama seharusnya berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam. karena
sejak di tetapkan pada tahun 1991 dan dilaksanakan oleh Menteri Agama
menetapkan seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah
lainnya, yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di
bidang Hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk
digunakan oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya
untuk menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. (Departemen
Agama RI, 2003: 6).
Dan tujuan utama dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam, adalah
menyiapkan pedoman (unifikasi) bagi Hakim Peradilan Agama dan menjadi
Hukum Materiil yang berlaku di Pengadilan Agama yang wajib di patuhi
oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama islam. (Rofiq, 2001: 85).
96
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di KUA Kecamatan Banjarsari
Surakarta dalam pelaksanaannya menggunakan dasar fiqih, yaitu apabila
anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka anak tersebut hanya
mampunyai hubungan nasab dengan ibunya saja, secara otomatis bapaknya
tidak bisa menjadi wali, maka anak tersebut apabila akan melaksanakan
pernikahan harus menggunakan wali hakim.
Di KUA Kecamatan Banjarsari dalam pelaksanaan penentuan wali
nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Yaitu dengan cara
memeriksa akta kelahiran calon mempelai wanita dengan buku nikah
orangtuanya, kemudian dihitung untuk mengetahui asal usul anak
tersebut dan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wali. Apabila
kemudian di ketahui kurang dari 6 bulan, maka pernikahannya tidak bisa
menggunakan wali nasab, karena anak tersebut hanya mempunyai nasab
dengan ibunya saja dan apabila akan melaksanakan pernikahan harus
menggunakan wali hakim.
Apabila dari pihak wali merasa keberatan dengan ketetentuan ini, maka
mereka disuruh menikahkan sendiri, dan dari pihak KUA hanya mencatat
secara administrasi saja, karena dari pihak KUA mempunyai ke yakinan
bahwa tanggung jawab menikahkan bukan hanya dengan manusia tapi juga
dengan Allah SWT. Jadi mereka dalam permasalahan ini menggunakan
dasar fiqih munakahat sebagai acuan. (Wawancara dengan Bapak Drs.
Basir (Kepala KUA Kec. Banjarsari pada hari jum’at tanggal 20 Oktober
2017 jam 09.00 di KUA Banjarsari)
97
Jadi menurut penulis bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan Banjarsari
tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.
Karena tidak ada Undang-undang yang mengatur tentang penentuan
wali nikah bagi perempuan yang akan menikah dan kelahirannya kurang
dari 6 bulan. Dan sampai saat ini Kementerian Agama belum pernah
memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempun sulung
yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahiranya dan juga memeriksa
buku pernikahan orang tuanya, untuk mengetahui asul usul anak tersebut
dan untuk menetukan wali bagi mempelai perempuan.
Karena asal usal anak sudah diatur dalam pasal 42 Undang-undang
perkawinan No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Ketentuan demikian juga terdapat dalam
pasal 99 (a). Kompilasi Hukum Islam.
B. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Digunakan Oleh KUA
Kecamatan Banjarsari dalam Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan.
Dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan, di KUA Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta,
menggunakan Wali hakim. Yaitu dengan cara memeriksa akta kelahiran
anak perempuan dan memeriksa buku nikah kedua orang tunya, kemudian
di hitung untuk mengetahui asal-usul anak tersebut dan untuk menentukan
98
siapakah yang berhak menjadi wali. Apabila kemudian diketahui kelahiran
anak tersebut kurang dari 6 bulan di hitung dari akad nikah orang
tuanya maka yang berhak menjadi wali adalah wali hakim karena
bapaknya tidak bisa menjadi wali.
KUA Kecamatan Banjarsari menggambil dasar hukum dari kitab Al-
Muhazzab juz II. Halaman 130.
Bila calon mempelai wanita itu anak pertama dan walinya wali a yah,
perlu dipertanyakan tanggal nikah dan tanggal lahir anak pertamanya itu,
bila terdapat ketidakwajaran, seperti, baru 5 bulan nikah anak pertama lahir,
maka anak tersebut, termasuk katagori anak ibunya, dengan demikian perlu
diambil jalan tahkim (wali hakim).
Di dalam fiqih munakahat yang sudah menjadi kesepakatan para Imam
Madzhab bahwa waktu yang sependek-pendeknya untuk kandungan adalah
6 bulan, jadi apabila anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan (Rachman,
1981: 201), maka menggunakan wali hakim. Ketentuan ini berdasarkan Al-
qur,an, dalam Firman Allah surat Al-Ahqaf ayat 15
Artinya: masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan (Qs. Al-ahqaf, 46:15) (Departemen Agama RI, 2008: 504).
Dan surat Al-Luqman ayat 14
99
Artinya: Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun ( selambat- lambat waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun ) (QS. Luqman, 31:14 ). (Departemen Agama RI, 2008: 412).
Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakati para ulama,
ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukan tenggang waktu mengandung
dan menyampih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa
menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan 2
tahun atau 24 bulan, berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6
bulan di dalam kandungan. (Rofiq, 1995: 224).
Dalam Tafsir Ibnu Kasir kedua ayat ini di jadikan dalil oleh Ali bin Abi
Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan
cara pengambilan hukum (istinbath) yang kuat dan valid. Pendapat
tersebut disetujui oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa sahabat lainya.
(Furi, 2006: 317)
Dari pernyataan tersebut di atas Munculah beberapa pendapat hukum
Ulama:
1. Apabila seorang Wanita dan Laki-laki kawin, lalu melahirkan
seorang anak dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya
sebelum 6 bulan, maka anak tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya)
dengan suaminya. Syaikh Al-mufid dan Syaikh Al-Thusi dari
madzhab Imaniyah, dan Syaikh Muhyidin Abd Al-Hamid dari
Hanafi, mengatakan bahwa, nasib anak tersebut tergantung pada
suami (wanita tersebut). Kalau dia mau, dia bisa menolaknya, dan
100
bisa pula mengakuinya sebagai anaknya dan mengaitkan nasabnya
dengan dirinya.
2. Kalau kedua suami istri bersengketa tentang lamanya waktu bergaul
mereka, misalnya si isteri mengatakan (kepada suaminya), “Engkau
telah bergaul denganku sejak 6 bulan atau lebih, karena itu anak ini
adalah anak mu,” lalu suaminya menjawab, “Tidak, aku baru
menggaulimu kurang dari 6 bulan, karena itu anak ini bukan anakku.”
(Mugniyah, 1999: 100).
Menurut Imam Hanafi: Isterinya itu yang benar, dan yang diberlakukan
adalah ucapanya tanpa harus disumpah lebih dulu.
Menurut Imamiyah: Kalau ada fakta dan petunjuk-petunjuk yang
mendukung ucapan isteri atau suami, maka yang diberlakukan adalah
pendapat pihak yang mempunyai bukti atau petunjuk tersebut. Tetapi
apabila tidak ada petunjuk-petunjuk yang ditemukan sehingga persoalannya
menjadi tidak jelas, maka hakim memenangkan ucapan si isteri sesudah
disumpah dulu bahwa suaminya telah mencampurinya sejak 6 bulan yang
lalu, lalu anak tersebut dinyatakan sebagai anak sah suaminya itu.
(Mugniyah, 1999: 102).
Sedangkan batas maksimal usia kandungan menurut pendapat Ulama:
Abu Hanifah berpendapat: Batas maksimal kehamilan adalah 2 tahun,
berdasar hadis Aisyah yang mena yatakan bahwa, kehamilan seorang
wanita tidak melebihi 2 tahun.
101
Para Ulama Madzhab Imamiyah berbeda pendapat tentang batas
maksimal usia kehamilan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa, batas
maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang lain mengatakan
sepuluh bulan, dan yang lain mengatakan satu tahun penuh. Tetapi mereka
seluruhnya sepakat, bahwa batas maksimal usia kehamilan itu tidak boleh
lebih dari satu jam dari satu tahun.
Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan menurut
fiqih dengan berpedoman pada Al-qur’an Surat Al-Ahqof ayat 15 da Surat
Luqman ayat 14 yang menjadi kesepakatan para Imam Mazhab, maka tidak
bisa di hubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, walaupun dalam ikatan
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan
keluarga ibunya saja.
Jika dianalisis pandangan fiqih yang berkenaan dengan anak sah ini
dapatlah dipahami bahwa anak sah, dimulai sejak terjadinya pembuahan sel
telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan
pembuahan ini haruslah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari sinilah
penetapan anak sah tersebut dilakukan. (Rahman, 2003: 45).
Dengan demikian hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak
supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu
harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di
dalam tenggang masa iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah
perkawinan terputus.
102
Jadi, apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa perkawinan,
maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan kekerabatanya dengan
bapaknya walaupun lahir dari dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya
memiliki hubungan nasab dengan ibuya (Nuruddin dan Taringan, 2003:
280), sedangakan dalam Undang undang perkawinan No 1 tahun 1974
Pasal 42 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 (a) dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam
penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang 6 bulan KUA
Kecamatan Banjarsari adalah dasar hukum fiqih.
Dengan ketentuan seperti ini menurut penulis akan berimplikasi pada
status anak tersebut. Di satu sisi anak tersebut diakui oleh Negara sebagai
anak sah, karena dalam menentukan asal usul anak menggunakan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam dan anak tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah.
Ketentuan Akta Kelahiran di atur dalam pasal 103 Kompilasi Hukum
Islam dan UUP Nomor 1 Tahun 1974 pasal 55, selanjutnya akan di kutip di
bawah:
1. “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran atau alat bukti lainya.”
2. “Bila akta kelahiran atau bukti lainnya tersebut dalam ayat (1)
tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan
103
asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.” (Departemen Agama RI,
2003: 52).
3. “Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.”
Di sini sangat jelas sekali asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran, di KUA Kecamatan Banjarsari akta
kelahiran tidak difungsikan sebagai pembuktian asal-usul anak, karena
pembuktian asal usul anak menggunakan dasar Fiqih. Jadi walupun anak
tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah, anak tersebut tetap tidak bisa
menikah dengan wali nasab tetapi menggunakan wali hakim. karena di
KUA Kecamatan Banjarsari dalam perhitungan anak sah menggunakan
dasar fiqih.
Dengan mengunakan ketentuan semacam ini menurut penulis akan
menimbulkan permasalah di kemudian hari, tentang kejelasan status anak
tersebut dan juga permasalahan waris anak perempuan tersebut karena
terdapat standar ganda dalam penentuan asal-usul anak yaitu menggunakan
Undang-Undang Perkawinan dan fiqih munakahat.
Di dalam Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,pasal 42,
dan di dalam kompilasi hukum Islam pasal 99 (a) disebutkan bahwa:
104
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari
perkawinan yang sah.”
Di sini sangat jelas bahwa menurut Undang-undang perkawinan
maupun Kompilasi Hukum Islam, apabila ada anak perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan, maka menggunakan wali nasab, karena di dalam
Undang-undang perkawinan dan kompilasi tidak ada batasan minimal
tentang usia kandungan.
Oleh karena itu menurut penulis seharusnya Kantor Urusan Agama
sebagai lembaga pencatat pernikahan di bawah Kementerian Agama yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat. dalam melaksanakan tugasnya,
seharunya berpedoman pada perundang undangan yang berlaku yaitu pada
Kompilasi Hukum Islam dan juga Undang-undang perkawinan Nomor 1
Tahun 1974. (Sasrowirjono, 2010: 26).
Karena setelah penulis mengadakan penelitian respon dan pendapat dari
para pihak yang terkait dengan adanya ketentuan ini para pihak merasa
keberatan, baik dari pihak wali itu sendiri dan anak perempuanya, dari
pihak wali menginginkan menjadi wali karena kebangaaan tersendiri bisa
menikahkan anak perempuannya dan dari pihak mempelai perempunaan
pun menginginkan yang menjadi wali adalah bapakanya sendiri, dan karena
keterbatasan pengetahuan mereka dalam masalah perwalian maka mereka
meneyerahakan permasalahan tersebut sepenuhnya kepada pihak KUA.
Di sini tampaknya UUP dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berkenaan
dalam asal usul anak melakukan sebuah inovasi hukum dan mencoba
105
memberikan solusi kepada kebutuhan masyarakat. oleh karena itu, dalam
konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat
tanpa kehilangan prinsip-prisip dasarnya (Syaukani, 2006: 23), yaitu
secara metodologis dengan menggunakan mashlahah mursalah.
Maslahah mursalah menurut para ahli Ushul fiqih ialah: suatu
kemaslahatan dimana syar’i tidak mensyariatkan suatu hukum merealisir
kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya
atau pembatalanya, bahwasanya pembentukan hukum tidaklah
dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak.
(Khallaf, 1994: 116).
Di dalam usul fiqih mashlahah mursalah digunakan oleh para sebagian
mujtahid untuk merealisasikan kemaslahatan dan kebutuhan umat manusia,
kebutuhan umat manusia selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya
dirinci dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Namun secara umum syariat
Islam telah memberi petunjuk, Bahwa tujuanya adalah untuk memenuhi
kebutuhan umat manusia. (Efendi dan Zein, 2005: 151).
Pensyariatan suatu hukum terkadang mendatangkan manfaat.
Kemanfaatan pada suatu masa dan pada masa yang lain ia mendatangkan
mudharat, pada saat yang sama, kadang kala suatu hukum mendatangkan
manfaat dalam suatu lingkungan tertentu, namun ia justru mendatangkan
mudharat dalam lingkungan yang lain.(Khallaf, 1994: 116). Oleh sebab itu
apa-apa yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan dengan Al-
Qur’an dan sunah Rasul, sah dijadikan landasan hukum.(Efendi dan Zein,
106
2005: 151). Jadi di sini yang di pertimbangkan adalah kemaslahatan anak
tersebut.
Karena Hukum islam sangat memperhatikan kemaslahatan dan
perlindungan terhadap anak yang lahir secara sah, demikian juga terhadap
anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dan patut diberi perlindungan
karena semua anak yang baru dilahirkan suci dan tidak mempunyai dosa,
yang berdosa adalah kedua orang tuanya. (Manan, 2008: 80).
Jadi anak tersebut seharusnya tidak menangung kesalahan yang
dilakukan oleh kedua orang tuanya di masa lalu karena apabila
menggunakan dasar hukum fiqih, maka anak tersebut akan menanggung
akibatnya baik dari status anak tersebut dan juga masalah kewarisan. Dari
segi status anak tersebut mempunyai status ganda yang pertama status
anak sah, karena mempunyai akta kelahiran yang sah, yang kedua anak
tidak sah karena pada saat menikah, menggunakan wali hakim.
Sedangkan dalam masalah kewarisan anak tersebut tidak bisa mewarisi
dari garis a yahnya karena anak tersebut dinyatakan anak tidak sah,
karena kelahirannya kurang dari 6 bulan.
Jadi menurut penulis sebaiknya Kantor Urusan Agama, menghindari
mengambil suatu masalah yang sudah ada ketentuanya dalam peraturan
perundang undangan yang berlaku, seharusnya Kantor Urusan Agama
(KUA) sebagai lembaga pencatat perkawinan dibawah Kementerian Agama
dalam menjalankan tugas tugasnya harus berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
107
Dan seharusnya dasar Hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan
Banjarsari dalam penetuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang 6
bulan, harus menggunakan Undang-undang yang berlaku. yaitu Undang-
undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sebagai landasan
dalam menjalankan tugas-tugasnya.
108
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian beberapa bab diatas, maka penulis
akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban tentang permasalahan
penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di
KUA Kecamatan Banjarsari. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari
apa yang telah penulis paparkan di atas adalah sebagai berikut :
1. Pelaksanaaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang
dari 6 bulan di KUA Kecamatan Banjarsari, yaitu dengan cara
memeriksa akta kelahiran calon mempelai wanita dengan buku nikah
orangtuanya, kemudian dihitung untuk mengetahui asal usul anak
tersebut, apabila kemudian di ketahui kelahiranya kurang dari 6 bulan,
maka pernikahannya tidak bisa menggunakan wali nasab. Karena anak
tersebut hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja, dan apabila akan
melaksanakan pernikahan harus menggunakan wali hakim, apabila dari
pihak wali merasa keberatan dengan ketetentuan ini, maka mereka
disuruh menikahkan anaknya sendiri, dan dari pihak KUA hanya
mencatat saja, karena di KUA Kecamatan Banjarsari menggunakan dasar
fiqih munakahat sebagai acuan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penentuan wali
nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA
Kecamatan Banjarsari tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, karena
109
tidak ada Undang-undang yang mengatur tentang penentuan wali nikah
bagi perempuan yang akan menikah dan kelahiranya kurang dari 6 bulan.
Dan sampai saat ini Kementerian Agama juga belum memberikan
petujuk tentang masalah penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan. Asal- usal anak sudah diatur dalam pasal 42
Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam
pasal tersebut dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketentuan demikian
juga terdapat dalam pasal 99 (a). Kompilasi Hukum Islam.
2. Dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari dalam
pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari
6 bulan, adalah menggunakan dasar hukum fiqih munakahat yang
mengambil dasar hukum dari Kitab Al-Muhadzdzab Juz II Halaman 130.
Dengan menggunakan ketentuan fiqih KUA Kecamatan Banjarsari telah
melanggar Undang-undang yaitu Undang-undang Perkawinan No 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, karena didalam kedua
Undang-undang tersebut sudah diatur tentang asal usul anak, dan
seharusnya KUA Kecamatan Banjarsari sebagai lembaga Negara di
bawah Kementerian Agama. Yang tugas pokoknya mencatat perkawinan
dalam menjalankan tugas-tugasnya harus berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B. SARAN
Adapun saran dari penulis ialah:
110
1. Dalam hal perkawinan dengan wali hakim sebaiknya dari pihak KUA
lebih tegas dalam hal administrasi dengan memberikan keterangan wali
melalui surat keterangan dan kolom yang kosong harus diisi sesuai
dengan alasan wali hakim yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan,
mengenai urutan wali harus disesuaikan dengan urutannya, dan
melakukan pengecekan langsung kepada mempelai yang hendak menikah
apakah alasan wali hakim tersebut sudah tepat atau belum.
2. Bagi mempelai perempuan yang akan melangsungkan akad nikah
hendaknya tidak mudah memutuskan menggunakan wali hakim sebagai
wali nikah dalam perkawinan karena begitu eratnya hubungan orang
tua dengan anak. Wali hakim dimungkinkan menjadi wali nikah apabila
memang perempuan tersebut dalam keadaan memang benar-benar
darurat.
3. Kepada Pemerintah. Khusunya Kementerian Agama pusat yang
membawahi Kantor Urusan Agama, agar memberikan peraturan dan
petunjuk yang tegas dan khusus tentang pelaksanaan penentuan wali
nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Agar dapat
dilaksanakan oleh Kantor Urusan agama dan mensosialisaikan kepada
Kantor Urusan Agama di seluruh Indoneseia. Dan dalam menjalankankan
tugasnya Kantor Urusan Agama harus berpedoman kepada peraturan-
perundang undangan yang berlaku. Dan memberikan sanksi yang tegas
kepada KUA apabila dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak
berpedoman kepada perundang-undangan yang berlaku.
111
C. PENUTUP
Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT. penulis ucapkan sebagai
ungkapan rasa syukur karena telah menyelesaikan skripsi ini. Meskipun telah
berupaya secara optimal, penulis meyakini masih ada kekurangan dan
kelemahan dalam skripsi ini dari berbagai sisi. Walaupun demikian penulis
berdo’a dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca pada umumnya dan semoga skripsi ini dapat
menambah ilmu pengetahuan kita.
Atas saran dan kritik yang konstruktif untuk kebaikan dan kesempurnaan
tulisan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis. Wallahu a’lam bish shawab
DAFTAR PUSTAKA
Abidin-Slamet, Aminudin. 1999. Fiqih munakahat. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Habsyi, Bajir. 2002. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan.
Al- Jaziri, Abdurahman. Al- Fiqh ‘Al Madzahi Al ‘arbaah, Juz VII. Maktabah At
Tajirriyah Al Kubro, Mesir, t,th.
As Saerozi, Abi Ishak. Al Muhazzab, Juz II, Dar Al Fikr, t.th.
Al-Mabaruk Furi, Shafiyurihman.2006. Shahih Tafsir Ibun Kasir, Bogor: Pustaka Ibnu
Kasir.
Al-Sa’any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo: Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby,
1379H/1960M
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Amin, Summa Muhammad.2004. Hukum Keluarga Islam di dunia Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Amirudin,Asikin Zaenal. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Arikunto, Suharsimi.1990. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta:
Rineka Cipta.
Ashofa, Burhan.2004. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Basyir, Ahmad Azhar.2004. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Uii Press.
Batara Munti Ratna dan Hindun Anisah. 2005. Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta.
Bisri, Mustofa.2009. Pedoman Menulis Proposal Penelitian Skripsi dan Tesis. Yogyakarta:
Panji Pustaka.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Departemen Agama RI. 2008. Al-Qur’an dan Terjamahanya. Lajnah Pentshih Al-qur’an,
Depok: caha ya Al-qur”an.
Ghozali, Abdul Rahman.2008. Fiqh munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hasan, Ali M.1995. Masail Fiqhiyah al-Hadistah.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Efendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2005
Imron, Ali. 2007. Kedudukan Wanita Dalam Hukum Keluarga (Perspektif Al-qur’an
melalui pendekatan Ilmu Tafsir). Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Junaidi, Dedy. 20003. Bimbingan Perkawinan. Jakarta: Akademi Pressindo.
Kemantrian Agama RI.2007. Profil Kantor Urusan Agama, Teladan Se-Indoneisa. Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Kemantrian Agama.
Khallaf, Abdul Wahab.1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang (Toha
Putra Grup).
Manan, Abdul. 2008.Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media Grup.
Mugniyah, Jawad Muhammad.1994. fiqih lima madzhab.Jakarta: Basrie Prees.
Nuruddin, Amiur dkk.2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Laporan Tahunan KUA Kecamatan Banjarsari, Tahun 2005
Rachman, Fatur. 1981. Ilmu Waris. Bandung: PT Al-maarif.
Rahman, Mustafa.2003. Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya. Jakarta:
Atmaja.
Ramulyo, Idris M. 2006. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan
Agama, dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad.2001. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Gama Media.
Saebani, Beni Ahmad. 2 0 0 8 . Metode Penelitian Hukum. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Syamsu, Andi Alam-M. Fauzan.2008. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.
Jakarta: Pena Media.
Syaukani, Imam. 2006.Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di indonesia dan
Relevansinya bagi pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zainudin, Ali.2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Zhuaili, Wahbah.1997. Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, Juz IX, Dar Al Fikr.
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
,Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Undang-Undang Perkawinan
di Indonesia, Surabaya: Arkola, 2005
,Kompilasi Hukum Islam (KHI), Departemaen Agama RI, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta: 2003
,Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, Tentang Wali Hakim Proyek
Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Jakata: 2003
,Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Departeman Agama
Republik Indonesia Tahun 2007.
DAFTAR JURNAL
Sasrowirjono, Kadi, Perkawinan & Keluarga, Majalah Bulanan BP4 Edisi No.
451/XXXVII/2010, Badan Penasehat, Pembinaan dan pelestarian Perkawinan (BP4)
Pusat.
WAWANCARA DENGAN KEPALA KUA KECAMATAN BANJARSARI
Wawancara dengan Kepala KUA Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, dengan Bapak Drs. Basir
WAWANCARA DENGAN PIHAK YANG BERSANGKUTAN
Wawancara dengan Bapak Murti Handoyo dan putrinya Anindiya Agustina Kusumayanti
Wawancara dengan Bapak Sutimin dan putrinya Airy Mindia Swastuti
WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT
Wawancara dengan Bapak Drs. Andang Wahyu Wibowo salah satu tokoh masyarakat di
Kelurahan Keprabon
Wawancara dengan Bapak KH. Sujatmoko salah satu tokoh masyarakat di Kelurahan Gilingan
Wawancara dengan Bapak KH. Ali salah satu tokoh masyarakat di Kelurahan Kadipiro
DAFTAR NILAI SKK
Nama : Adhika Rahman N Fakultas/Jurusan : Syariah/ HKI
Nim : 21110014 Dosen PA : Moh. Khusen, M.Ag., M.A.
NO NAMA KEGIATAN PELAKSANAAN STATUS SKOR 1 Piagam Penghargaan OPAK STAIN
Salatiga 2010 25-27 Agustus 2010 Peserta 3
2 Sertifikat UPT Perpustakaan STAIN Salatiga
20-25 September 2010
Peserta 2
3 Piagam National Workshop Of Entrepreneurship And Basic Cooperation 2010
19 Desember 2010 Peserta 6
4 Piagam penghargaan Seminar Nasional Pilar-pilar Penanggulangan Korupsi di Indonesia Prespektif Agama, Budaya, dan Negara HMJ Syariah STAIN Salatiga
22 Juni 2011 Peserta 2
5 Sertifikat Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII Komisariat Joko Tingkir Salatiga
23 Oktober 2011 Peserta 3
6 Seminar Nasional “ Berpolitik untuk Kesejahteraan Mahasiswa, Reorientasi Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi” SEMA STAIN Salatiga.
15 Mei 2012 Peserta 6
7 Surat Keputusan Ketua STAIN Salatiga tentang Pengangkatan Pengurus Dewan Mahasiswa (DEMA) STAIN Salatiga Tahun 2013
31 Januari 2013 4
8 Seminar Nasional “HIV/AIDS Bukan Kutukan Dari Tuhan” DEMA STAIN Salatiga
13 Maret 2013 Panitia 6
9 Seminar Nasional “ Ahlussunah Waljamaah dalam Perspektif Islam Indonesia” DEMA STAIN Salatiga
26 Maret 2013 Panitia 6
10 Surat Keputusan Ketua STAIN Salatiga tentang Pengangkatan Panitia Orientasi Program Akademik dan Kemahasiswaan(OPAK) STAIN Salatiga Tahun 2013
1 Agustus 2013 Panitia 2
11 Sertifikat Praktikum Mediasi Upaya Penyelesaian Perkara di Luar
12 Desembar 2013 Peserta 2
Pengadilan” Program Studi Ahwal Al- Syakhshiyah (AS) STAIN Salatiga
12 Sertifikat Pelatihan Administrasi “ Menciptakan Keseragaman dalam Management Administrasi dan Keuangan Demi Menuju Tertib Organisasi” PMII Komisariat Joko Tingkir Salatiga
24 Januari 2014 Peserta 3
13 Surat Keputusan Ketua STAIN Salatiga tentang Pengangkatan Pengurus Dewan Mahasiswa (DEMA) STAIN Salatiga Masa Bakti 2014
17 Februari 2014 Pengurus 4
14 Piagam Penghargaan Workshop Khotbah Tingkat Kota Salatiga, MUI Salatiga dan Ta’mir Masjid Raudlatul Muttaqin
24-25 Mei 2014 Panitia 3
15 Surat Keputusan Ketua STAIN Salatiga tentang Penyelenggaraan Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan(OPAK) STAIN Salatiga Tahun 2014
6 Agustus 2014 Panitia 2
16 Sertifikat Stadium Generale Pemukaan Kongres VIII HIKMAHBUDHI “ Penguatan peran civil society dalam mewujudkan pembangunan bangsa yang berkeadilan”
21 November 2014 Peserta 2
17 Sertifikat PERBASIS (Perbandingan Bahasa Arab Bahasa Inggris)/CEA (Comparison English Arabic), CEC dan ITTAQO
27 November 2014 Peserta 2
18 Sertifikat Training and TOEFL Tests Himpunan Mahasiswa Program Studi Perbankan Syariah S-1 STAIN Salatiga
8-9 November 2014 Peserta 3
19 Sertifikat Pendidikan Mental dan Orasi PMII “Revolusi Mental yang Tertidur dalam Pergerakan” PMII Komisariat Djoko Tingkir Salatiga
1-2 Desember 2015 Panitia 3
20 Seminar Nasional “Hak Gender Kaum Difabel dalam Perspektif Sosiologi dan Hukum Islam Himpunan Mahasiswa Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah” IAIN Salatiga
24 Desember 2015 Peserta 8
21 Sertifikat Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Komisariat Djoko Tingkir Salatiga
25-27 Maret 2016 Panitia 3
22 Seminar Nasional Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia “Menghidupkan Nasionalisme dalam Keseharian”
2 April 2016 Peserta 6
23 Seminar Nasional “Penguatan Jati Diri 28 April 2016 Peserta 6