pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

81
LAPORAN PENELITIAN STUDI HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH KERJASAMA DPD-RI DENGAN PERGURUAN TINGGI DI DAERAH Judul : PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH Oleh : Tim Peneliti Fakultas Hukum Unsrat UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2009

Transcript of pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Page 1: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

LAPORAN PENELITIAN STUDI HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

KERJASAMA DPD-RI DENGAN PERGURUAN TINGGI DI DAERAH

Judul :

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Oleh :

Tim Peneliti Fakultas Hukum Unsrat

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO 2009

Page 2: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

DAFTAR ISI

 DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................7

A. Konsep Negara Hukum ...........................................................................................7

B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi....................................................................10

1. Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pemerintahan.......................10

2. Hubungan Desentralisasi Dengan Otonomi...................................................22

3. Beberapa Jenis Sistem Otonomi.......................................................................24

C. Desentralisasi dan Kewenangan.........................................................................30

1. Kewenangan dan Urusan..................................................................................30

2. Sumber-sumber Kewenangan ..........................................................................33

3. Kewenangan Daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004...........................35

D. Dinamika Ketatanegaraan dan Kehadiran DPD RI .........................................35

1. Perubahan UUD 1945..........................................................................................35

2. Dua Kamar atau Satu Kamar............................................................................37

E. Fungsi dan Peran DPD RI sebagai Alat Kelengkapan Negara .......................39

1. Keanggotaan DPD – RI.......................................................................................39

2. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD – RI ..........................................................39

3. Hak dan Kewajiban Anggota DPD – RI ...........................................................40

4. Alat Kelengkapan DPD RI ..................................................................................41

5. Penyerapan Aspirasi Masyarakat.....................................................................43

6. Proses Penyaluran Aspirasi Masyarakat...........................................................43

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...............................................................45

BAB IV METODE PENELITIAN ..........................................................................................46

A. Pendekatan Penelitian..........................................................................................46

B. Bahan Penelitian .....................................................................................................47

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................................48

A. Kondisi Hubungan Pusat dan Daerah terkait Peran dan Fungsi DPD RI ....48

ii

Page 3: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

B. DPD RI dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif baru di Indonesia. .....................................................................................................................50

C. Pentingnya Keberadaan DPD-RI Sebagai Representasi Daerah Di Tingkat Pusat ..............................................................................................................................53

E. Dinamika Tuntutan Pemerataan Pembangunan (Kesejahteraan Masyarakat) .................................................................................................................54

G. DPD dan Harapan Masyarakat di Daerah........................................................54

G. Rekaman Beberapa Usulan terhadap Keberadaan DPD-RI .........................58

BAB VI PENUTUP ..............................................................................................................74

A. KESIMPULAN.............................................................................................................74

B. SARAN .......................................................................................................................75

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................77

.

iii

Page 4: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

BAB I PENDAHULUAN

Perubahan sistem pemerintahan daerah melalui pemberlakuan Undang-

undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan

Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, telah

memberikan kewenangan kepada daerah berupa kekuasaan penyelenggaraan

otonomi daerah yang sangat luas, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota.

Dalam implementasinya ternyata memunculkan banyak permasalahan

dari aspek kewenangan, kelembagaan, keuangan, kepegawaian, hubungan antar

pusat, propinsi dan kabupaten/kota, dikarenakan munculnya eforia otonomi

daerah yang berkonotasi federal dan memunculkan etnosentrisme dalam

pemekaran wilayah yang lebih bersifat politis dari pada tehnis serta adanya

kemampuan daerah-daerah yang variatif dan juga penafsiran hukum yang

berbeda sehingga dipandang perlu pengenalan/pemetaan dan kajian lebih jauh

bagaimana sebaiknya masalah-masalah itu dilihat dari aspek penyelenggaraan

otonomi daerah dalam kerangka bentuk Negara Kesatuan

Sejak awal reformasi dalam pembahasan perubahan UUD 1945 telah

disepakati bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan dan tidak

perlu dirubah lagi. Prinsip utama bentuk negara kesatuan adalah semua

kekuasaan ada pada pemerintah pusat sedangkan daerah-daerah mendapatkan

kekuasaan melalui peraturan perundang-undangan. Dengan adanya UU Nomor

22 Tahun 1999 karena berkonotasi federal memunculkan berbagai persoalan

sebagaimana telah disebutkan diatas. Dalam hal kewenangan persoalan yang

muncul adalah munculnya eforia kewenangan pemerintah daerah, tumpang

tindih antara kewenangan yang diatur dalam UU pemerintahan daerah dan UU

sektoral seperti pertanahan dan kehutanan serta munculnya berbagai peraturan

daerah yang menghambat investasi. Oleh karena itu UU tersebut digantikan

dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mempertegas

pengawasan pemerintah pusat kepada daerah seperti terhadap pengesahan

peraturan daerah dan khususnya tentang APBD, yang dikesankan terjadi

Page 5: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

resentralisasi. Tetapi belum menyelesaikan persoalan kewenangan antar

tingkatan dan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah propinsi serta

dengan pemerintah Kabupaten/Kota serta persoalan kewenangan pengelolaan

sumber daya alam dan kepentingan masyarakat adat.

Selain itu, persoalan berikutnya berkaitan dengan fakta bahwa hubungan

antara pusat dengan daerah bukanlah identik dengan hubungan antara kawasan

dominan dengan kawasan satelit sebagaimana dikritik oleh Dos Santos

(1973;1976) dalam struktur ketergantungannya yang menggambarkan hubungan

yang tidak adil dan tidak seimbang (unfair and unbalanced relationship) pada

tingkat internasional, antara negara Kapitalis Barat dengan negara Dunia Ketiga,

dan pada tingkat nasional, antara Pusat dengan Daerah, yang menciptakan

ketergantungan struktural. Juga masalah lainnya dalam pelaksanaan otonomi

daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi

Pemerintah daerah tetapi juga otonomi bagi rakyat didaerah sehingga ada

komitmen dari Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah untuk mensejahterakan

rakyat di daerah dan pengakuan serta pengertian dari Pemerintah pusat tentang

keberagaman kelompok etnis dan kelompok sosial lainnya serta keberagaman

budaya.

Sebagaimana yang ditulis dalam Business News, Senin, 29 Agustus

2005; Di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono mengakui kelemahan pelaksanaan otonomi daerah

secara terus terang. Untuk mencapai bentuk otonomi daerah yang ideal

dikatakannya masih diperlukan jalan yang panjang. Pengakuan dari kepala

pemerintah ini sangat penting karena sampai sekarang ini masalah mencapai

bentuk otonomi daerah yang "ideal" masih mendominasi permasalahan

pemerintah, sedangkan jalan keluar yang terbaik juga belum ada.

Dalam tulisan itu Presiden mengakui bahwa proses desentralisasi dan

otonomi daerah yang telah berjalan beberapa tahun itu, pada awalnya diliputi

keraguan dan kekhawatiran akan berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa,

karena desentralisasi dilakukan secara progresip, terlalu cepat, bahkan tanpa

melalui masa transisi. Penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme dari pusat

merebak ke daerah-daerah. Unsur-unsur masyarakat madani (civic society) yang

harus menjalankan checks-and balances pada proses demokrasi politik di daerah

2

Page 6: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

belum berkembang secara efektif. Mental aparat pemerintah belum sepenuhnya

berubah.

Sebagaimana contoh, sejak lama dua provinsi yang kaya SDA tidak

merasa keuntungannya sebagai bagian dari NKRI sehingga memunculkan

gerakan separatisme. Sentralisme dalam urusan pemerintahan juga menyebabkan

bahwa kekayaan alam dari daerah tersedot ke pusat, dan Jawa mendapat bagian

yang jauh lebih besar daripada hasil penerimaannya ketimbang daerah penghasil

seperti Riau dan Kalimantan Timur. Riau adalah provinsi yang terkaya akan

tetapi tingkat kemiskinan penduduk (asli) cukup besar, demikian juga di Papua

dengan penghasilan dari pertambangan (Free Port).

Beberapa karakteristik legal yang tampaknya perlu dipahami oleh

masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah antara lain adalah : (Desi

Fernanda, 2002)

1. Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat

sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan

memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat

setempat.

2. Daerah Otonom Kabupaten dan Kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah

administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan Kepala

Daerah dan sekaligus Kepala Wilayah.

3. Menempatkan seluruh kewenangan pemerintahan pada Daerah Kabupaten

dan Kota yang lebih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-

kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan Propinsi dan

kewenangan Pusat. Kewenangan Propinsi terbatas pada bidang-bidang yang

bersifat lintas Daerah Kabupatan/Kota, atau kewenangan yang belum dapat

dilaksanakan oleh Daerah/Kota. Kewenangan Pusat antara lain meliputi lima

bidang strategis, yaitu politik luar negeri, agama, ekonomi moneter,

pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan .

4. Tidak ada hubungan hirearki antara daerah otonom Kabupaten dan Kota

dengan daerah otonom Propinsi. Jadi Daerah otonom Kabupaten/Kota

bukanlah bawahan daerah otonom Propinsi.

3

Page 7: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

5. Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya Kepala Daerah

wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada

setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.

6. Kedudukan keuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya

desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan

keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memilki

otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah, dengan kewajiban

melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.

7. Struktur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh

bervariasi sesuai dengan potensi dan keanekaragaman daerah. Sedangkan

Kecamatan dan Kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan

wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.

8. Pengawasan oleh Pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga

terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otonominya tanpa

campur tangan Pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang

bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.

Berdasarkan laporan-laporan tertulis maupun lisan, ternyata semangat

reformasi yang di dalamnya adalah juga pelaksanaan otonomi daerah, masih

belum sepenuhnya bisa diterjemahkan menjadi tindakan yang harmonis antara

pusat dan daerah. Dalam salah satu laporannya Ahmad Subagya (2002) salah

satu anggota Dewan Konsultasi Otonomi Daerah Kabupaten Bantul

mengemukakan beberapa kendala pelaksanaan otonomi daerah, yang antara lain

adalah :

1. Partisipasi masyarakat rendah.

Sebagian besar masyarakat kabupaten/kota mempunyai persepsi bahwa

otonomi daerah merupakan persoalan pemerintah daerah. Kondisi seperti ini

berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat terhadap kebijakan-

kebijakan pemerintah daerah menjadi rendah. Salah satu akibatnya adalah,

dalam perencanaan dan persiapan lainnya pemerintah kabupaten sibuk

sendirian, dan kurang mendapat dukungan atau kontrol dari masyarakat.

Masyarakat tidak perduli pemerintah siap atau tidak, cenderung menunggu

dan melihat apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Bagi

4

Page 8: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga

masyarakat memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Sikap

menunggu ini akan sangat mengganggu pelaksanaan otonomi daerah karena

sesungguhnya pelaksanaan otonomi daerah akan sangat diuntungkan dengan

adanya partisipasi masyarakat.

Permasalahan ini juga ditemukan oleh penelitian yang dilakukan oleh

SMERU, yang antara lain berbunyi :“The implementation of regional

autonomy must include the involvement of wider circle of participation

outside the boundary of government and the bureaucracy. The responsibility

of local communities in each autonomous region must also taken into

account, so that government and the community share responsibility for

successful implementation of regional autonomy. This implies that the

implementation of regional autonomy will be a long-term process, which

must be widely understood not only by local government but also by civil

society”

2. Sikap dan mentalitas aparatur Pemerintah Daerah

Sikap mentalitas aparatur pemerintahan daerah merupakan salah satu kunci

penting keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, karena

merekalah ujung tombak dan eksekutor program tersebut. Ada gejala cukup

menonjol pada hampir semua pemerintah kabupaten bahwa sikap dan

mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan

pengaruh pemerintah yang sentralistik, sehingga mereka lebih baik

menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk

melaksanakan fungsi keotonomian daerahnya. Kondisi ini sudah tentu tidak

menguntungkan pelaksanaan otonomi daerah, karena kepeloporan aparatur

pemerintahan daerah mutlak diperlukan.

Di samping itu, ada dua pandangan lain yang tampaknya juga

mendukung dua hasil penelitian tersebut di atas, yang datangnya dari Muadim

Bisri, SH, Sag. Dalam makalahnya yang berjudul “Melacak Problematika Otda”.

Pertama, otonomi daerah dicurigai sebagai proses transformasi kolusi, korupsi,

dan nepotisme ke tingkat daerah, ini juga ternyata terbukti. Banyaknya anggaran

belanja daerah yang tidak jelas serta melimpahnya permintaan fasilitas

5

Page 9: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

kesejahteraan para eksekutif maupun legislatif tingkat daerah merupakan bukti

yang nyata. Kedua, kendala yang muncul berikutnya adalah rendahnya kualitas

dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perda-perda yang ditelorkan

sebagai konsekuensi dari perubahan pola anggaran proyek dan program telah

menimbulkan kekhawatiran baru, karena ternyata di daerah tingkat I dan II

masih minim staf akhli di bidang keuangan dan manajemen yang diperlukan

(Bisri, 2002)

Mencermati permasalahan di atas, maka apa yang sekiranya harus

dilakukan oleh daerah dalam menghadapi otonomi ini. Adhitya Wardono dan

Asep Mulyana dalam makalah yang disampaikan di Frankrut, berjudul

“Sumberdaya Padat Otak dan Otonomi Daerah” mengutip buah pikiran seorang

ekonom Friedrich List yang mengemukakan konsep Pendekatan Tenaga

Produktif. Rekomendasinya adalah kemakmuran suatu daerah (bangsa) bukan

disebabkan oleh akumulasi harta dan kekayaan, melainkan dengan cara

membangun lebih banyak tenaga yang produktif. Dengan pendekatan ini akan

terjadi kekuatan swadaya setempat yang mampu menunjang kemakmuran

ekonomi suatu daerah atau bangsa. Yang dimaksud oleh Friedrich List dengan

Tenaga Produktif adalah karya kreatif, inovatif, pemahaman atas kekuasaan dan

hukum, hak dan kewajiban masyarakat, efektivitas penyelenggaraan pemerintah,

ilmu dan kebudayaan, dan sikap terhadap hak asasi manusia serta mentaati

norma agama. (Wardono dan Mulyana, 2001).

6

Page 10: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Negara Hukum Konsep negara hukum, pertama dikemukakan oleh Plato dan kemudian

dikembangkan dan dipertegas oleh Aristoteles. Dalam buku Plato berjudul

Politea, dikemukakan betapa penguasa di masa itu, masa Plato hidup (429 SM –

346 SM) penguasa sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan serta

sewenang-wenang dan sama sekali tidak memperdulikan nasib rakyatnya.

Dalam uraiannya di buku tersebut, Plato dengan gamblang menyampaikan pesan

moral, agar penguasa berbuat adil, menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan

kebijaksanaan dan senantiasa memperhatikan kepentingan/nasib rakyatnya.

Demikian pula halnya dalam bukunya yang berjudul Politicos, Plato

memaparkan suatu konsep agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar

hukum (rule of the game), demi warga negara yang bresangkutan.Sedangkan

buku ketiga dari Plato yang berjudul Nomoi, lebih menekankan pada para

penyelenggara negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya

dengan hukum agar tidak bertindak sekehendak hatinya.

Kemudian meuncullah Aristoteles dengan karya bukunya, Politica.Di

dalam buku tersebut Aristoteles mengemukakan gagasannya, bahwa suatu

negara yang baik adalah negara yang diperintah/dikelolah atas dasar suatu

konstitusi sehingga didalam negara tersebut hukumlah yang berdaulan (Sobirin

Malian, 2001).Dalam perkembangannya kemudian mulai abad ke 19, dikenal

konsep negara hukum yakni suatu konsep negara yang kemudian diidentifikasi

sebagai konsep negara hukum Eropa Kontinental (rechtstaat) dan konsep negara

hukum Ango Saxon (rule of law).

Konsep-konsep tersebut muncul tidak terlepas dari adanya beberapa

bentuk sistem hukum di dunia. Menurut Satjipto Rahardjo, (2000), bahwa di

dunia ini tidak dijumpai satu sistem hukum saja, melainkan terdapat lebih dari

satu bentuk sistem hukum. Dalam kaitan itulah dikenal sistem hukum Eropa

Kontinental (sistem hukum Romawi – Jerman, civil law system) dan sistem

7

Page 11: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

hukum Inggris (common law). Selanjutnya sebaga akibat negara kita, Indonesia

pernah menjadi koloni Belanda, maka dengan serta merta pula sistem hukum

yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang sama berlaku di negara

Belanda yang kebetulan berada di Benua Eropa yang dikenal dengan sistem

hukum Etopa Kontinental atau Civil Law System.

Dalam kaitan dengan konsep negara hukum tersebut, Freidrich Julius

Stahl (Ridwan. HR, 2002), menegaskan, bahwa unsur-unsur negara hukum

Eropa Kontinental (rechtstaat)yaitu :

a. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia;

b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak

itu;

c. Adanya pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, dan;

d. Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan.

Teori Negara Hukum menurut Hirsch Ballin (Bovens, 1987);

a. Penguasa harus terikat pada hukum;

b. Negara harus menghormati hak-hak mengenyam kebebasan;

c. Setiap kebijakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang;

d. Mengupayakan terwujudnya keadilan sosial;

e. Hukum harus jelas dan stabil.

Teori Negara Hukum menurut Reuters (Bovens, 1987):

a. Pemisahan kekuasaan (separation of power);

b. Kebijakan negara yang bersifat strategis harus dputuskan dalam lembaga

perwakilan rakyat (DPR).

Teori Negara Hukum menurut C.J.M. Schuyt (1983):

a. Menganut asas legalitas;

b. Perlindungan hukum bagai warga;

c. Pemerintah harus tunduk pada hukum;

d. Adanya akuntabilitas publik.

Teori Negara Hukum menurut Rosenthal )Bovens, 1987):

a. Desentralisasi kekuasaan;

b. Primat dalam politik;

c. Keterbukaaan pemerintahan;

8

Page 12: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

d. Pertimbangan yang cermat tentang kepentingan rakyat dalam setiap

keputusan pemerintah.

Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula suatu konsep negara

hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang secara kebetulan juga konsep

tersebut lahir di bawah bayang-bayang sistem hukum Anglo Saxon.

Unsur-unsur negara hukum (rule of law) menurut A.V Dicey dalam

bukunya berjudul An Introducion to the Study of the Law of the Constitution,

(1973) adalah :

a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (absence of orbitary power), bahwa

seseorang hanya boleh dihukum kalau terbukti melanggar atura hukum

yang ada.

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the

law)

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-

keputusan pengadilan.

Teori Negara Hukum menurut Berman (Bovens, 1987):

• Rule of Law, yaitu mengadakan pengaturan dengan hukum atau menetapan

hukum secara teratur;

• Rule under law, yaitu mengadakan pengaturan di bawah kewenangan hukum

atau mengadakan perubahan sebagaimana yang diatur hukum;

• Rule of Law, yang mencakup separation of power, checks and balances, dan

equality before the law.

Teori Fungsi Negara menurut L.A. Geelhoed (1983):

a. Fungsi membuat peraturan (de regulende);

b. Fungsi menyelenggarakan layanan publik (de presterende);

c. Fungsi mengendalikan aktivitas warga (de stuurende).

d. Fungsi menyelesaikan sengketa (de arbiterende).

Kedua konsep tersebut, rule of law dan rechtstaat, oleh (Philipus M.

Hadjon, 1987), dijelaskan bahwa konsep reschtstaat bertumpu pada sistem

hukum Eropa Kontinental yang disebut dengan Civil Law System. Sedangkan

9

Page 13: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut Common Law

System.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sistem hukum Romawi-

Jerman berjalan dan bertumbuh atas dasar peraturan perundang-undangan.

Sedangkan Common Law System, tidak dikembangkan dalam universitas atau

melalui penulisan doktrinal, melainkan oleh para praktisi dan proseduralis.

Keadaan ini kemudian menjelaskan mengapa sistem common law tidak dimulai

dengan prinsip—prinsip hukum, melainkan langsung mengenai kaidah-kaidah

untuk kasus-kasus konkrit (Sutjipto Rahardjo, 2000).

Karakteristik Civil Law adalah administratif, sedangkan karakteristik

Common Law adalah judicial.Perbedaan karakteristik yang demikian,

disebabkan lebih karena latar belakang kekuasaan raja.Pada zaman Romawi,

kekuasaan yang menonjol dari seorang raja adalah membuat peraturan melalui

dekrit.Kekuasaan tersebut kemudian, didelegasikan kepada pejabat-pejabat

administratif yang membuat pengarahan-pengarahan yang dalam bentuk tertulis

bagi hakim tentang bagaimana memutus atau menyelesaikan suatu sengketa.

Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan apabila

dalam sistem kontinental pada mula pertama muncul cabang hukum baru yang

disebut “droit administrative” dan inti dari droit administrative adalah

hubungan antara administrasi dengan rakyat.

B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi 1. Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pemerintahan

Masalah otonomi daerah merupakan hal yang hidup dan berkembang

sepanjang masa sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Lagi

pula tuntutan global menempatkan isu demokrasi dalam pemerintahan,

menempatkan rakyat pada kedudukan yang penting dan strategis, karena itu

lembaga pemerintahan harus mencari cara terbaik untuk memberikan pelayanan

publik yang optimal kepada masyarakat. Oleh karena itu masalah otonomi

daerah senantiasa menjadi perhatian untuk dibicarakan baik dikalangan

akademik, para praktisi maupun para pengamat.

Hampir semua bangsa di duania ini menghendaki adanya otonomi, yaitu

hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal itu sesuai

10

Page 14: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

dengan arti kata otonomi itu sendiri yang secara etimologis berasal dari bahasa

latin ‘auto’ yang berarti sendiri dan ‘nomein’ yang berarti peraturan atau

undang-undang. Menurut Winarsa Surya Adisubrata, (2003), otonomi berarti

“mengatur sendiri atau memerintah sendiri, atau dalam arti luas adalah hak

untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri”

Dalam literatur Belanda yang dikutip S.H. Sarundayang (1999) otonomi

berarti ‘pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoeven dibagi

atas zelwegeving (membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering

(melaksanakan sendiri), zelfrehtspraak (mengadili sendiri) dan selfpolitie

(menindaki sendiri). Menurut Winarsa Surya Adisubrata (2003), otonomi daerah

itu mencakup 3 pengertian yaitu : Pertama, Hak untuk mengatur dan mengurus

rumah tangga sendiri; Kedua, Wewenang untuk mengatur daerah sendiri;

Ketiga, Kewajiban untuk mengatur rumah tangga sendiri.

Logeman (dalam Sunindhia, 1987), mengatakan “bahwa istilah otonomi

mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan

kemerdekaan.Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah

wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan”.Hal senada

juga disampaikan Wajong (1975) yang mengatakan otonomi adalah “kebebasan

untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan

sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri”.

Jadi otonomi merupakan pemberian kebebasan untuk mengurus rumah

tangga sendiri, tanpa mengabaikan kedudukan pemerintah Daerah sebagai aparat

Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan tugas-tugas yang ditugaskan

kepadanya.Dengan demikian kebutuhan otonomi dalam pemerintah daerah

dimaksudkan untuk memperbesar keawenangan mengatur dan mengurus rumah

tangga sendiri dan memperkecil intervensi pemerintah Pusat dalam urusan

rumah tangga daerah.

Pemberian otonomi kepada daerah adalah mengutamakan kepentingan

rakyat di daerah tetapi juga memperhatikan kepentinga seluruh rakyat dan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.Jadi pemberian otonomi daerah bertujuan

untuk pengembangan daerah berupa peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah

dalam rangka pembangunan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia. Dari

11

Page 15: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

pemahaman otonomi daerah tersebut maka pada kahikatnya otonomi daerah

adalah :

a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonomi. Hak

tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan

pemerintah yang diserahkan kepada daerah.

b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah

tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang

otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya.

c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah

tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang

diserahkan kepadanya.

d. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan

megurus rumah tangga sendiri bukan merupakan sub ordinasi hak

mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.

Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh

Pemerintah Pusat (central government), sedangkan Pemerintah Daerah hanya

menerima penyerahan dari Pemerintah Pusat.Hal ini berbeda dengan otonomi

daerah di negara federal dimana otonomi daerah telah melekat pada negara-

negara bagian, sehingga utusan yang dimiliki pemerintah federal pada

hakikatnya adalah urusan yang diserahkan oleh negara bagian.Konstelasi

tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan kecenderungan

kewenangan yang besar berada di Pemerintah Pusat, sedangkan dalam negara

federal kecenderungan kewenangan yang besar berada pada Pemerintah

Daerah/pemerintah federal.Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah dalam

negara kesatuan seperti Indonesia lebih banyak menggantungkan onotominya

pada political will Pemerintah Pusat yaitu sampai sejauh mana Pemerintah Pusat

mempunyai niat baik untuk memberdayakan Pemerintah Daerah melalui

pemberian kewenangan yang lebih besar.

Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah demikian luas

dengan keanekaragaman yang sangat kompleks, pemberian otonomi kepada

daerah merupakan sesuatu yang mutlak. Kesadaran akan mutlaknya otonomi

daerah tersebut dimulai oleh para pendiri dan pembentuk Republik ini

12

Page 16: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diikuti

dengan berbagai undang-undang yang sesuai dengan perkembangan situasi dan

kondisi masyarakat / negara pada waktu tersebut.

Sebagaimana dikemukakan Soepomo (dalam Winarsa Surya Adisubrata :

2003), bahwa “otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan

regional menurut riwayat, adat, sifat-sifat sendiri-sendiri dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karenanya pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang

bermaksud menyeragamkan seluruh daerah menurut satu model”.

Oleh karena itu pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.Sedangkan

daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah “Kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas-baatas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setepmat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistemm Negara

Kesatuan Republik Indonesia”.

Dari konsep otonomi yang dikemukakan di atas maka dapat

dikemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah setidaknya

meliputi empat aspek sebagai berikut :

a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi

dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun

untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka

pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah.

b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya

guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam

memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-

jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.

c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta

menumbuhkan kemandirian masyarakat sehingga makin mandiri dan

tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta

memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhannya.

13

Page 17: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

d. Dari segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan pelaksanaan

program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang

semakin meningkat.

Otonomi merupakan peberian kebebasan untuk mengurus rumah tangga

sendiri, tanpa mengabaikan kedudukan Pemerintah Daerah sebagai aparat

Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan tugas-tugas yang ditugaskan

kepadanya.Oleh sebab itu usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan

dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.Oleh sebab itu

usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan

kekuasaan antara pusat dan daerah.Artinya daerah harus dipandang dalam dua

kedudukan, yaitu sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi

dan sebagai agen pemerinta Pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di

daerah.

Otonomi Daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan pada

hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Dengan dekimian pemberian otnomi mempunyai sifat mendorong atau memberi

stimulasi untuk berusaha mengembangkan kemampuan sendiri yang dapat

membangkitkan oto aktivitas dan mempertinggi rasa harga diri dalam arti yang

sebaik-baiknya.

Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang

pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Menurut Inu Kencana

Syafie (2002) bahwa :

“Desentralisasi adalah lawan kata dari Sentralisasi karena pemakaian kata “de” dimaksudkan untuk menolak kata sebelumnya.Desentralisasi adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang-undangan maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri, dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga Pemerintah Daerah tersebut”.

Pengertian tersebut adalah sesuai etimologis asal kata desentralisasi dari

bahasa Latin, de berarti lepas dan centrum berarti pusat.Oleh karena itu, menurut

Dharma Setyawan Salam (2004) desentralisasi berarti “melepaskan dari pusat”.

14

Page 18: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Sementara itu, Koswara (1996) mengemukakan bahwa pengertian

desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses

desentralisasi urusan-urusan pemrintahan yang semula termasuk wewenang dan

tanggung jawab Pemerintah Pusat sebagian diserahkan kepada badan/lembaga

Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan

tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah

Daerah. Prakarsa untuk menentukan prioritas, memilih alternatif dan mengambil

keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal

menentukan kebihaksanaan, perencanaan maupun pelaksanaan sepenuhnya

diserahkan kepada daerah.Demikian pula hak yang menyangkut pembiayaan dan

perangka pelaksanaannya, baik personel maupun alat perlengkapan sepenuhnya

menjadi kewenangan dan tanggungjawab daerah yang bersangkutan.

Cohen and Petterson (1999) melihat formulasi dan pelaksanaan reformasi

dan progam desentralisasi melalui tiga fase:

“In the early 1960s proponents of decentralization focused on using the intervention to assist colonies in beginning a transition to independence, achieving political ewuity, and responding to rising demand for public goods and services. The second phase in decentralization occurred form the mind – 1970s to the early 1980s. aid agencies urged government of both long independent and newly emerging countries introduce decentralization reforms and programs in order to promote development objectives, such as improved management and sustainability of funded programs and projects, egable distribution og ecenomic growth, and facilitation of grassroots participation in development processes. Finally, since the mid-1980s aid agencire have use structure adjustment coonditionalities to pressure government to adopt administrative decentralization reform and program. In part, this is being done to promote the emergence of civil societie, to support the growth of democratic institutions, and to respond to ethnic, religious, or nationalist demands for regional self gobernment and greater autonomy”. (pada awal 1960-an pendukung desentralisasi memusatkan perhatian untuk membantu negara jajahan menuju kemerdekaan, keberhasilan hak-hak politis, dan menangani masalah meningkatnya permintaan untuk barang-barang public dan jasa. Tahap yang kedua, desentralisasi terjadi dari pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an. Para pendukung menghimbau pemerintah yang mandiri dengan memperkenalkan negara-negara desentralisasi dengan reformasi dan programnya dalam rangka memproomosikan hasil pembangunan, seperti peningkatan dan

15

Page 19: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

kelanjutan dari proogram biaya dan proyek, kesamaan kemampuan, distribusi pertumbuhan ekonomi, dan pemberian kemudahan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Terkahir, sejak pertengahan 1980-an, bantuan para pendukung menggunakan penyesuaian keadaan struktur dengan memaksa pemerintah untuk mengadopsi perubahan dan program desentralisasi administratif.Pada tahap ini adalah mempromosikan kemunculan masyarakat sipil, untuk mendukung pertumbuhan lembaga demokrasi, dan merespon terhadap adanya berbagai hal yang berkaitan dengan kesukuan, keagamaan, kebangsaan atau tuntutan swapraja dan otonomi yang lebih besar).

Dari phase-phase yang diungkapkan oleh Cohen dan Paterson tadi

memberikan pembuktian bahwa perjuangan untuk mengembangkan konsep atau

teori desentralisasi sampai ke tingkat yang sempurna membutuhkan waktu yang

cukup lama dan dilengkapi dengan penataan struktur dan manajemen.Selain itu

tidak diragukan lagi bahwa desentralisasi merupakan salah satu bentuk strategi

dalam rangka memperkuat lembaga demokrasi yang berbasis pada adanya

heterogenitas suku, agama dan lain sebagainya.

Begitu pula keberadaan dan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia

mejadi penting ketika kekuasaan pusat menyadari semakin sulit untuk

mengendalikan sebuah negara secara penuh dan efektif, ataupun dipandang

terlalu mencampuri urusan-urusan lokal.Dalam kedua hal tersebut, desentralisasi

menjadi penting untuk pemerintahan yang bertanggungjawab dan efektif.

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka strategi

menerapkan desentralisasi sebagai sendi negara kesatuan Republik Indonesia

merupakan kebutuhan primer untuk menjawab dan menyelesaikan berbagai

masalah yang akan timbul. Namun pengembangan dan pelaksanaannya tetap

disesuaikan dengan ideologi dan sistem perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai konsekuensi pelaksanaan asas desentralisasi menciptakan “local

self government” atau fielf administration”.(Brian C. Smith, 1967). Pentingnya

“local government”, Dilys M. Hill, (1974) mencontohkan di Inggris “In

England local government has long been defended as a vital and integral part of

democracy, local self government is valued because it is just; it safeguard and

enchances the siotizen’s right, and it is an important setting for political

education”. (Di Inggris pemerintahan daerah telah lama dianggap sebagai hal

16

Page 20: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

yang pokok dan bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi, pemerintahan

daerah otonomi mempunyai makna yang penting karena dapat melindungi dana

memperjuangkan hak-hak warga negara dan juga dalam membangun pendidikan

warga negara).

Bagi bangsa Indonesia sendiri keperluan atas Pemerintah Daerah seperti,

Provinsi, Kabupaten, dan Kota setidaknya untuk meningkatkan akuntabilitas.

Pemerintahan lokal secara global semakin dilihat sebagai suatu agen

pembangunan yang penting, dan seharusnya juga diketahui bahwa tingkat ini

merupakan yang paling penting bagi partisipasi “akar rumput” karena ia yang

paling dapat menanggapi kondisi dan kebutuhan setempat. Dalam alur pikir

yang tidak jauh berbeda, Ateng Syafrudin, (1982) menegaskan,

“zelfgovernment”atau“zelfbestuur”di daerah adalah merupakan suatu

keharusan, yakni bagi suatu daerah yang telah mendapatkan otonomi.

Dalam kontek demokrasi, keberadaan government menurut B.C. Smith

(1985) :

“Mainly two categories; there are that claim local government is good for national democracy; and there are those where the major concern is with the benefits to the locality of local democracy. Each can be futher subdivided into three sets of interrelated values. At the national lebel these balues relate to political education, training in leadership and political stability. At the local level the relevant values are equality, Liberty and responsiveness. (ada dua kategori yang penting dalam pemerintahan daerah, Pertama, untuk membangun demokrasi di tingkat nasional, kedua, memberikan keuntungan untuk demokrasi pada tingkat lokal atau daerah. Setiap tingkat selanjutnya dibagi ke dalam tiga hal yang saling berkaitan.Pada tingkat nasional hal-hal tersebut berkaitan dengan pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, dan stabilitas politik.Pada tingkat lokal atau daerah berkaitan dengan kesamaan, kemerdekaan dan tanggungjawab).

Mengingat betapa pentingnya Pemerintah Daerah tersebut dalam suatu

negara, maka tidak heran hal itu dianggap menjadi suatu kebutuhan dan

keharusan bagi setiap negara dengan tidak melihat bentuk negara apakah negara

federal atau negara kesatuan. Hal itu telah dikemukakan oleh Rod Haque dan

Martin Harrop (2001):

“Local government is universal, found in federal and unitary states alike. It is the lowest level of elected teritorial

17

Page 21: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

organization within the state. Variously called communes, municipalities or parishes, local government is constitutionally subordionate to provincial authority (in federations) or national government (in unitary states)”.(Pemerintah Daerah adalah hal yang universal, karena dapat ditemukan baik pada negara berbentuk federal maupun negara kesatuan.Beragam sebutannya Kota Besar, Kotapraja, atau Daerah, pemerintahan daerah secara konstitusional di bawah kewenangan Provinsi (dalam negara federasi) atau dibawah pemerintahan nasional (dalam negara kesatuan))”.

Pendapat dari Rondinelli dan Cheema (1992) merumuskan definisi

desentralisasi dengan lebih merujuk pada perspektif yang lebih luas namun

tergolong perspektif administrasis, bahwa desentralisasi :

“the transfer of planning, decisions – making, or administrative authoritu form central goernment to its field organizations, local administrative units, semu autonomous and parastatal organizations, local government, or non government organizations (perpindahan perencanaa, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari Pemerintah Pusat ke organisasi bidangnya, unit administratif daerah, semi otonomi dan organisasi parastatal, Pemerintah Daerah, atau organisasi – organisasi non pemerintah).

Definisi Rondinelli dan Cheema terlihat lebih luas daripada definisi

Parson dan Mawhood, karena definisi tersebut tidak saja mencakup penyerahan

dan pendelegasian wewenang di dalam struktur pemerintahan, tetapi juga telah

mengakomodasi pendelegasian wewenang kepada organisasi non pemerintah,

atau organisasi swasta. Bahkan Rondenelli dan Cheema membagi empat tipe

desentralisassi, yaitu :deconcentration, delegation, devolution, danprivatization.

(Lihat S.S. Menaksisundaran, dalam S. N. Jha and P. C. Mathur, 1999).

Lengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut : Pertama, dekonsentrasi

diartikan distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan;

Kedua, delegasi adalah pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan

keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-

organisasi yang secara langsung tidak dibawah kontrol pemerintah; Ketiga,

devolusi adalah penyerahan fungsi dan otoritas dari Pemerintah Pusat kepada

daerah otonom; Keempat, swaastanisasi adalah penyerahan beberapa otoritas

18

Page 22: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

dalam perencanaan dan tanggung jawab adinistrasi tertentu kepada organisasi

swasta.

Di kalangan sarjana Indonesia Amrah Muslimin (1982) membedakan

desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan

desentralisasi kebudayaan.Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan

dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah

tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh

rakyat dalam daerah-daerah tertentu.Desentralisasi fungsional adalah pemberian

hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau

golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu

daeah tertenu, umpama mengurus kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam

suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; subak Bali).

Desentralisasi kebudayaan (cultured decentralization) memberikan hak

pada golonga-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk

menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama).

Irawan Soejito (1990) membagi bentuk desentralisasi ke tiga macam, yaitu

desentralisasi territorial, desentralisasi fungsional termasuk desentralisasi

menurut dinas atau kepentingan, dan desentralisasi administratif atau lazim

disebut dekonsentrasi.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian kewenangan Pemerintah

Pusat kepada alat perlengkapan atau organnya sendiri di daerah, sedangkan yang

dimaksud dengan desentralisasi territorial adalah desentralisasi kewenangan

yang dilakukan oleh pemerintah kepada suatu badan umum (openbaar lichaam)

seperti persektutuan yang berpemerintahan sendiri.Desentralisasi fungsional,

yaitu pemberian kewenangan dari fungsi pemerintahan negara atau daerah untuk

diselenggarakan atau dijalankan oleh suatu organ atau badan ahli yang khusus

dibentuk untuk itu.Tresna (dalam Irawan Soejito, 1990) mengikuti

penggolongan desentralisasi menjadi ambtelijke decentralisatie atau

deconcentratie dan staatkundige decentralisatie, yang dibedakan menjadi

territoriale decentralisatie dan funtionale decentralisatie.

Amtelijke decentralisatie (dekonsentrasi) diartikan sebagai “pemberian

(pemasrahan) kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna

kelancaran pekerjaan semata-mata”.Staakundige decantralisatie diartikan

19

Page 23: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

sebagai “pemberian (pemasrahan) kekuasaan mengatur kepada daerah-daearh di

dalam lingkungannya, guna mewejudkan asas demokrasi di dalam pemerintahan

negara”. Mengenai pengertian territoriale decentralisatie danfunctionale

decentralisatie tidak berbeda dengan pengertian yang diajukan di muka. Lebih

lanjut Tresna mengemukakan bahwa desentralisasi mempunyai dua wajah yaitu

autonomie dan medebewind atau zelfbestuur.

Desentralisasi ketatanegaraan menurut RDH Koeseomahatmadja, (1979)

dapat dibagi lagi dalam 2 macam :

a. Desentralisasi territorial (territorial decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonomi)

b. Desentralisasi fungsional (functionale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu tadi diselenggarakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan itu sendiri.

The Liang Gie (1993) mengemukakan alasan dianutnya desentralisasi

adalah sebagai berikut :

a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi

dimaksudkan untuk mencegah pemupukan kekuasaan pada satu pihak saja

yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

b. Dalam bidang poilitik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai

tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam

pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi

c. Dari sudut teknik organisatoris, alasan mengadakan pemerintahan daerah

(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan

yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah

setempat pengurusannya diserahkan kepada daera. Hal-hal yang lebih tepat

ditangani pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat.

d. Dari sudut kultural desentralisasi [perlu didadakan suapaya perhatian dapat

sepenuhnya ditumphkan pada kekhususan suatu daerah, seperti geografi,

keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan, atau latar

belakang sejarahnya.

20

Page 24: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi desentralisasi diperlukan

karena Pemerintah Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung

membantu pembangunan tersebut.

Secara terminology terdapat beberapa pengertian dan deginisi dari

desentralisasi yang dapa disimpulkan oleh Dharma Setyawan Salam (2004),

yaitu :

a. Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi

pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari

sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.

b. Secara administratif diartikan sebagai pemindahan beberapa kekuasaan

administratif departemen Pemerintah Pusat ke daeah dan dikenal dengan

nama “dekonsentrasi”

c. Secara politik diartikan sebagai pemberian wewenang pembuatan keputusan

dan kontrol terhadap sumber-sumber daya kepada pejabat regional dan lokal

dikenal dengan nama “devolusi”.

d. Ditinjau dari segi privatisasi diartikan sebagai pemindahan tugas-tugas yang

bersifat mencari untuk ataupun tidak kepada organisasi sukarela.

e. Dipahami sebagai delegasi diartikan pemindahan tanggungjawab manajerial

untuk tugas-tugas tertentu kepada organisasi-organisasi yang berada di luar

struktur Pemerintah Pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh

Pemerintah Pusat.

f. Ditinjau dari jabatan diartikan sebagai pemencaran kekuasaan dari atasan

kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan dengan

maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja dan termasuk dalam

dekonsentrasi juga.

g. Ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagai penyerahan untuk mengatur

daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan rasa

demokrasi dalam pemerintahan negara. Desentralisasi ini ada dua macam

yaitu desentralisasi territorial (penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri) dan desentralisasi fungsional

(pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu).

h. Penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya

kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

21

Page 25: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

2. Hubungan Desentralisasi Dengan Otonomi

Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang

berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara

demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi, menurut Bagir Manan (2001)

dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan

(spreiding can bevoedheid) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan

(sceiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan

pemerintah negara antara Pemerintah Pusaat dan satuan-satuan pemerintah

tingkatan lebih rendah. Hal ini dikarenakan desentralisasi senantiasa berkaitan

dengan status mandiri atau otonom, maka setiap pembicaraan mengenai

desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti

membicarakan otonomi.

Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan

otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan

otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Gerald S. Maryanow

(2003), menurut pakar ini, desentraliasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi

dari satu mata uang.

Istilah otonomi atau “autonomy” secara etimologis berasal dari kata

Yunani “áutos” yang berarti sendiri dan “nomous” yang berarti hukum atau

peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam

pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual

independence.Jadi ada dua ciri hakekat dari otonomi, yakni legal self sufficiency

dan actual independence.Dalam kaitan dengan politik atau pemerintahan,

otonomi daerah berarti self government atau condition of living under one’s own

laws.Dengan demikian otonomi daerah, yang memiliki legal self sufficiency

yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own

laws.Koesoemahatmadja berpendapat bahwa menurut perkembangan sejarah di

Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling) juga

mengandung arti pemerintah (bestuur).

Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintah sendiri

(zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat

undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak

(mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri.(Sarundayang,

22

Page 26: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

1999).Menurut Bagir Manan (2001) otonomi bukan sekedar pemencaran

penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas

pemerintahan.Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk),

bukan haya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk).Sebagai

tatanan ketatanegaraan otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan

susunan organisasi negara.

Menurut Rasyid (2000), desentralisasi dan otonomi daerah mempunyai

tempatnya masing-masing. Istilah otonomi lebih pada political aspect (aspek

politik-kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada

administrative aspect (aspek administrasi negara).Namun jika dilihat dari

konteks sharing of power (berbagi kekuasaan), kedua istilah tersebut

mempunyai keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan.

Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian

(zelfstanddigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid).Kebebasan

yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang

harus dipertanggungjawabkan. Dalam pemberian tanggungjawab, menurut

Ateng Syafrudin (1982) terkandung dua unsur yaitu :

1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta

kewenangan untuk melaksanakannya;

2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untukmemikirkan dan

menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.

Pada bagian lain Bagir Manan (1993) menyatakan,otonomi adalah

kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) satuan pemerintahan

lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan.

Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu

menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih

rendah tersebut.Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.

Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan kemerdekaan

(onafhankelijkheid), independency).Kebebasan dan kemandirian itu adalah

kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar.Otonomi

sekedar subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata

negara khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari negara

kesatuan (unitary state, ennheidstaat). Otonomi adalah fenomena negara

23

Page 27: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

kesatuan.Segala pengertian (begriip) dan isi (materiel) otonomi adalah

pengertian dan isi negara kesatuan.Negara kesatuan merupakan landasan atas

dari pengertian dan isi otonomi.

Sementara Bhenyamin Hoessein (1993), mengartikan otonomi hampir

paralel dengan pengertian “demokrasi”, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk

rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga

pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat. Bahkan

otonomi dapat diberi arti luas atau dalam arti sempit.Dalam arti luas, otonomi

mencakup pula tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan

kemandirian. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik

asas maupun cara menjalankannya, sedangkan pada tugas pembanguan,

kebebasan dan kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankan. Dari

pengertian tersebut terlihat antara otono I dan demokrasi merupakan satu

kesatuan semangat sebagai bentuk pemerintahan yang menempatkan rakyat

sebagai penentu yang utama dalam negara.

Ditinjau dari mekanisme pemberian otonomi dalam negara kesatuan

(unitarisme) otonomi diberikan oleh Pemerintah Pusat (central government),

sedangkan Pemerintah Daerah hanya menerima penyerahan dari Pemerintah

Pusat.Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, dimana otonomi

daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang dimiliki

oleh pemerintah federal pada hakikatnya adalah urusan yang diserahkan oleh

negara bagian.

Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan

kecenderungan kewenangan yang besar berada di central government,

sedangkan dalam negara federal kecenderungan kewenangan yang besar pada

local government. Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah dalam negara

kesatuan seperti Indonesia lebih banyak menggantungkan otonominya pada

political will Pemerintah Pusat, yaitu sampai sejauh mana Pemerintah Pusat

mempunyai niat baik untuk memberdayakan local government melalui

pemberian wewenang yang lebih besar.

3. Beberapa Jenis Sistem Otonomi

Dalam pelakanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di setiap

negara, terdapat berbagai urusan di daerah, dimana suatu urusan tetap menjadi

24

Page 28: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

urusan Pemerintah Pusat dan urusan lain menjadi urusan tumah tangga daerah

sendiri, sehingga harus ada pembagian yang jelas. Dalam rangka melaksanakan

cara pembagian urusan dikenal adanya sistem otonomi yang dikenal sejak dulu,

yakni cara pengisian rumah tangga daerah atau sistem rumah tangga daerah.

Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan

cara membegi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Salah satu penjelmaan pembagian

tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan

pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang

dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.

Bila otonomi diartikan sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau

dengan kata lain apa yang harus dikerjakan oleh Pemerintah Daerah, maka di

dalamnya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht;

bevoegdheiden), hak (recht) atau kewajiban (plicht) yang diberikan kepada

daerah dalam menjalankan tugasnya. Masalahnya kewenangan mana yang diatur

oleh Pemerintah Pusat dan kewenangan mana yang diatur Pemerintah Daerah.

Sehubungan dengan itu, secara teoretik dan praktik menurut Sarundayang (1999)

dijumpai lima jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga yaitu :

a. Otonomi organis (rumah tangga organik)

b. Otonomi formal (rumah tangga formal)

c. Otonomi material (rumah tangga materiil/substantif)

d. Otonomi riil (rumah tangga riil)

e. Otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis.

Kelima jenis otonomi (rumah tangga) tersebut diuraikan satu persatu

oleh Sarundayang (1999), sebagai berikut :

Pertama, otonomi organik atau rumah tangga organik; otonomi bentuk

ini pada dasarnya menentukan bahwa urusan—urusan yang menyangkut

kepentingan daerah diibaratkan sebagai orgran-organ kehidupan yang

merupakan suatu sistem yang menentukan mati hidupnya manusia, misalnya

jantung, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Tanpa kewenangan untuk mengurus

berbagai urusan vital, akan berakibat tidak berdayanya atau matinya daerah;

Kedua, otonomi formal atau rumah tangga formal; otonomi bentuk ini

adalah apa yang menjadi urusan otonomi tidak dibatasi secara positif. Satu-

25

Page 29: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh

mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi

tingkatannya. Dengan demikian daerah otonom lebih bebas mengatur urusan

rumah tangganya, sepanjang tidak memasuki “area” urusan Pemerintah

Pusat.Otonomi seperti ini merupakan hasil dari pemberian otonomi berdasarkan

teori sisa, dimana Pemerintah Pusat lebih dulu menetapkan urusan-urusan yang

dipandang lebih layak diurus pusat, sedangkan sisanya diserahkan kepada

Pemerintah Daerah.

Ketiga, otonomi materiil atau rumah tangga materiil; dalam otonomi

bentuk ini kewenangan daerah otonom dibatasi secara positif yaitu dengan

menyebutkan secara limitatif dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak

diatur dan diurusnya. Dalam otonomi materiil ini ditegaskan bahwa untuk

mengetahui apakah suatu urusan menjadi rumah tangga sendiri, harus dilihat

pada substansinya. Artinya bila suatu urusan secara substansial dinilai dapat

menjadi urusan Pemerintah Pusat, maka pemerintah lokal yang mengurus rumah

tangga sendiri pada hakekatnya tidak akan mampu menyelenggarakan urusan

tersebut. Sebaliknya apabila suatu urusan secara substansial merupakan urusan

daerah, maka Pemerintah Pusat meskipun dilakukan oleh wakil-wakilnya yang

berada di daerah (Pemerintah Pusat di daerah), tidak akan mampu

menyelenggarakannya. Kemudian untuk penyelenggaraan rumah tangga itu

objek tugas yang dikuasakan wewenang satu demi satu atau dirinci secara

enumeratif;

Keempat, otonomi riil atau rumah tangga riil; otonomi bentuk ini

merupakan gabungan antara otonomi formal dengan otonomi materiil. Dalam

Undang-undang pembentukan otonomi, kepada Pemerintah Daerah diberikan

wewenang sebagai wewenang pangkal dan kemudian dapat ditambah dengan

wewenang lain secara bertahap, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-

perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Atau dengan kata lain, otonomi riil

ini pada prinsipnya menentukan bahwa pengalihan atau penyerahan wewenang

urusan tersebut didasarkan pada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan

daerah yang menyelenggarakannya;

Kelima, otonomi nyata, bertanggungjawab, dan dinamis, artinya : nyata,

artinya pemberian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada Pemerintah

26

Page 30: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Daerah memang harus disesuaikan dengan faktor-faktor tertentu yang hidup dan

berkembang secara objektif di daerah. Hal tersebut harus senantiasa disesuaikan

dalam arti diperhitungkan secara cermat dengan kebijaksanaan dan tindakan-

tindakan, sehingga diperoleh suatu jaminan bahwa daerah itu secara nyata

mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam praktik bahwa

isi otonomi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya tidaklah sama, baik

mengenai jumlah maupun jenisnya. Hal itu wajar karena setiap daerah memiliki

perbedaan baik letak geografis, kondisi geologis, maupun budaya, adat istiadat,

serta potensi yang dimilikinya.

Bertanggung jawab, artinya pemberian otonomi kepada Pemerintah

Daerah senantiasa diupayakan supaya selaras atau sejalan dengan tujuannya

yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara.Ini

untuk menjamin hubungan antara pusat dan daerah dalam suasana yang

harmonis dan lebih dari itu untuk menjamin perkembangan dan pembangunan

antar daerah yang serasi sehingga laju pertumbuhan antar daerah dapat

seimbang.

Dinamis, artinya otonomi ini menghendaki agar pelaksanaan otonomi

senantiasa menjadi sarana untuk memberikan dorongan lebih baik dan maju atas

segala kegiatan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan yang

semakin meningkat mutunya.Menurut Josep Riwu Kaho (1991) menyatakan

bahwa prinsip ini merupakan salah satu variasi dari system otonomi riil.

Dari kelima jenis sistem otonimi itu, secara umum yang dipraktekkan

hanya 3 (tiga) jenis, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga

materiil dan sistem rumah tangga nyata atau riil dengan beberapa

varian.Sementara RDH Koesoematmadha (1979) menggunakan istilah ajaran

rumah tangga (huishoudingsleer) terbagi tiga jenis yang terkenal yakni;

pengertian rumah tangga secara materiil (materiele hushoudings bergrip),

pengertian rumah tangga secara formil (formele hushoudings bergrip),

pengertian rumah tangga secara riil (reele hushoudings bergrip).

Dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, beberapa

jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga daerah yang disebutkan di atas

mengalami perubahan dalam penerapannya.Oleh Caltin dalam bukunya “the

Prinsiple of Politics” yang dikutip oleh Ateng Syarifudin (1983) hal itu disebut

27

Page 31: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

dengan istilah “eksperimental”.Begitu pula yang terjadi sejak berdirinya negara

RI memang bersifat eksperimental, kiranya dapat disimpulkan dari bergantinya

perundang-undangan yang mengatur materi itu dengan berlandaskan asas

otonomi yang berubah-udah pula.

Kesimpulan tersebut menurut RDH Koesoemaatmadja (1979) dapat

diajukan dengan beberapa bukti, yakni; UU No. 1 Tahun 1945 cenderung

menganut sistem otonomi formal, UU No. 22 Tahun 1948 menganut sistem

rumah tangga materiil dengan pola keseragaman (uniformitas). Sementara

dengan penafsiran yang aga berbeda, ada juga yang menyatakan bahwa UU No.

22 Tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950 menggunakan sistem campuran

antara pengertian rumah tangga materiil dan pengertian rumah tangga formal.

Selanjutnya Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960

mengikuti dan mempertahankan sistem rumah tangga seluas-luasnya dan sistem

rumah tangga daerah nyata sebagaimana yang dianut oleh UU No. 1 Tahun

1957. UU No. 18 Tahun 1965 yang dicurigai berbau komunis secara

keseluruhan meneruskan politik otonomi yang diatur dalam Penpres No. 6

Tahun 1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960 yaitu menganut sistem otonomi

seluas-luasnya dan sistem rumah tangga daerah nyata. Undang-Undang ini

diperkuat dengan TAP MPRS No.XXI/MPRS/1996 tentang pemberian otonomi

yang seluas-luasnya kepada daerah.Namun sebelum UU dan TAP MPRS itu

dilaksanakan ada peristiwa.

Dari sistem otonomi di berbagai peraturan perundang-undangan

pemerintah daerah di atas, ternyata semua jenis sistem rumah tangga daerah

yang dikenal telah dicoba untuk diterapkan.Namun sistem otonomi nyata (riil)

yang dianggap paling memadai. Sistem otonomi ini pertama kali dicantumkan

dalam UU No. 1 Tahun 1957 sebagai pelaksana Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS

1950 memuat beberapa asas otonomi antara lain pemberian otonomi seluas-

luasnya. Asas pemberian otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan dalam UU

No. 18 Tahun 1965 meskipun Undang-Undang ini dibuat setelah UUDS 1950

tidak berlaku lagi dan kembali ke UUD 1945.

Semboyan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen

kehendak melaksanakan otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan pada masa

orde baru, tetapi dasar politik otonomi tidak dipertahankan oleh UU No. 5 Tahun

28

Page 32: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

1974 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut

dinyatakan bahwa pemberian otonomi seluas-luasnya “dapat menimbulkan

kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan

dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada

daerah”.Dari penjelasan ini dapat ditangkap bahwa otonomi luas secara intrinsik

mengandung ancaman tertentu terhadap keutuhan negara kesatuan. Namun

demikian tidak perna ada kejelasan mengenai bagaimana sesungguhnya isi

otonomi yang dikehendaki UUD 1945 (sebelum amandemen) dan apakah

mungkin menyebut otonomi seluas-luasnya mengandung bahaya, sedangkan hal

tersebut belum pernah dilaksanakan atauada pengalaman lain yang dapat

dipergunakan sebagai petunjuk.

Dengan beragamnya sistem otonomi yang terdapat dalam beberapa UU

Pemerintah Daerah yang bersumber pada UUD 1945 yang asli, maka UUD 1945

pasca amandemen telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dalam

menghadapi perkembangan otonomi di masa datang yaitu secara tegas

merumuskan di dalam Pasal 18 ayat (5) “Pemerintahan daerah menjalankan

otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-

Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.

Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi di dalam UUD 1945,

secara yuridis memberikan landasan dan pedoman yang kuat bagi Undang-

Undang organik di bidang pemerintahan daerah dimasa mendatang.Pengaturan

yang demikian ternyata telah diakomodir oleh TAP MPR RI No.XV/MPR/1998

dan Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Semangat untuk mewujudkan otonomi semacam itu tergambar tidak

hanya di dalam konsiderannya, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan Pasal

dan Penjelasannya. Seperti, Pasal 10 yang pada intinya menyebutkan “urusan

pemerintahan” adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan pertahanan

keamanan, urusan politik luar negeri, urusan moneter dan fiskal, urusan agama

dan peradilan. Juga Pasal 13 mengatur ada urusan (bidang) pemerintahan yang

wajib dijalankan Provinsi yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,

pekerjaan umum, perhubungan, dan lain-lain.Disamping itu ada urusan pilihan

sektor unggulan. Untuk Provinsi ditemukan secara umum yaitu urusan (bidang)

pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota urusan pemerintahan

29

Page 33: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

tertentu serta urusan (bidang) pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan

kabupaten dan kota. Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkandung suatu

prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disusuaikan dengan potensi

daerah yang berbeda-besa. Oleh karena itu, menurut Bagir Manan (2001) dalam

penentuan isi otonomi daerah minimal ada dua hal yang penting untuk

diperhatikan yaitu :

1. Pemberian otonomi seluas-luasnya mengandung arti kemandirian

daerah. Betapapun banyak urusan yang diserahkan, apabila daerah

tidak mandiri tidak akan mewujudkan otonomi yang sebenarnya.

2. Penyelenggaraan otonomi riil (nyata) tidak menghendaki prinsip

uniformitas dalam penyerahan dengan kenyataan yang ada pada

daerah tersebut.

C. Desentralisasi dan Kewenangan 1. Kewenangan dan Urusan

Salah satu permasalahan yang menonjol dalam konteks kebijakan

desentralisasi adalah perbedaan persepsi mengenai pengertian “kewenangan”

(authority) dan “urusan” (functions). Istilah “urusan pemerintahan” pada masa

lalu banyak digunakan dalam pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan

daerah seperti dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, khsusnya dalam konteks

pembagian tugas antara Pusat dan Daerah.Dewasa ini istilah tersebut tidak

digunakan lagi dan diganti dengan istilah “kewenangan” dan “bidang

pemerintahan”. UU Nomor 22 Tahun 1999 menggunakan istilah “kewenangan”

dan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan istilah “urusan pemerintahan”.

Secara konseptual, istilah kewenangan tidak bisa disamakan dengan

istilah urusan pemerintahan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan

atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen

(pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan, pengawasan) atas

suatu obyek tertentu yang ditangani oleh pemerintah. Cheema dan Rondinelli

(1983), mengatakan bahwa kewenangan lebih tepat diartikan dengan authority,

sedangkan Hans Antlov (1998) menggunakan istilah power, Peter A. Watt

(dalam Aziz dan Arnold, 1996) berpendapat bahwa istilah urusan pemerintahan

dapat disamakan dengan istilah bidang pemerintahan seperti government

30

Page 34: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

taskataupun istilah government function. Dalam praktek secara internasinal

penggunaan istilah tersebut belum seragam antara satu negara dengan negara

lain ataupun antara satu ahli dan ahli lainnya.

Dari literatur tentang desentralisasi yang sudah dikemukakan terlihat

bahwa istilah urusan pemerintahan lebih melekat kepada pengertian public

functions. Namun dalam berbagai hal, istilah urusan pemerintahan sering

digunakan secara bersamaan dengan istilah kewenangan. Dalam UU Nomor 22

Tahun 1999, konsep kewenangan digunakan untuk urusan pemerintahan yang

pengertiannya mengarah kepada bidang/sektor, sedangkan UU Nomro 32 Tahun

2004, konsep urusan pemerintahanmerupakan pelaksanaan hubungan

kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan daerah Provinsi, kabupaten

dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan

sinergissebagai satu sistem pemerintahan, yang terdiri atas urusan wajib dan

urusan pilihan.

Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum

Administrasi Negara.Prajudi, (1994) menyatakan bahwa pengertian kewenangan

dan wewenang (competence, bevoegdheid) walaupun dalam praktek

pembedaannya tidak selalu dirasakan perlu. Selanjutnya dikatakan adalah apa

yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal darikekuasaan legislatif

(diberikan oleh UU) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang

(rechtsbevoegdheven). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu

tindakan hukum publik,misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-

surat izin dari seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap

berada di tangan menteri (delegasi wewenang).

Dengan demikian kewenangan tidak bisa didelegasikan kepada orang

lain, sedangkan wewenang-wewenang tersebut semuanya dapat didelegasikan

kepada orang lain. Semua urusan pemerintahan yang termasuk dalam bidang

perguruan tinggi, adalah kewenangan Menteri Pendidikan Naisonal. Jika di

dalam kementerian terdapat sub ordinat tertentu seperti urusan kepegawaian,

kesejahteraan, dan lain-lain, maka wewenang itu dapat didelegasikan kepada

pejabat bawahannya,termasukkepada satuan pemerintahan yang lebih rendah di

daerah.

31

Page 35: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk bertindak atas

inisiatif sendiri itu dikenal dengan istilah freies Ermessen atau discretionari

power; yaitu suatu istilah yang di dalamnya mengandung kewajiban dan

kekuasaan yang luas.Nata Saputra (dalam Ridwan HR, 2006), mengartikan

freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat

administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenalkan alat

administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari

pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.Atau kewenangan untuk turut

campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas untuk

mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga

negara.Pemberian freies Ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara

mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi.Dengan bersandar pada

freies Ermessen, administrasi negara memiliki kewenangan yangcukup untuk

melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan

masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan

tindakan itu diperlukan istrumen hukum. Artinya, bersaman dengan pemberian

kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula kewenangan untuk

membuat instrumen hukumnya. Pembentukan organisasi perangkat daerah, juga

merupakan diskresi dariPemerintah Daerah.Diskresi untuk menjaga fleksibilitas

Pemerintah Daerah dalam menentukan organisasi perangkat daerah.

Wewenang menurut Stout (Ridwan, 2000) adalah pengertian yang

berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai

keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan

wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum

publik.

Toonaer (Ridwan, 2000) pula mengemukakan bahwa kewenangan

pemerintahan adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, sehingga

dengan demikian dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan

warga negara.

Menurut Bagir Manan dalam Ridwan, (2000), wewenang dalam bahasa

hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya

menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Dalam hukum, wewenang

sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en pelichten).Dalam kaitan dengan

32

Page 36: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasan untuk mengatur sendiri

(zelfregelen) dan mengelola sendiri (Zelfbesturen). Sedangkan kewajiban terdiri

kewajiban horisontal dan kewajiban vertikal.

Kewajiban secara horisontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan

pemerintahan sebagaimana pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan

negara secara keseluruhan.Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan

berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Sumber-sumber Kewenangan

Menurut Suwoto Mulyosudarmo, (1997), pada dasarnya pemberian

kekuasaan dapat dibedakan mejadi dua macam :

a. Perolehan secara atributif;

b. Perolehan secara derivatif (delegasi dan mandat)

Perolehan kekuasaan secara atributif, menyebabkan terjadinya

pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi

ada.Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan

menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Perolehan kekuasaan secara

derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada

dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan ini adalah

pelimpahan kekuasaanyang diturunkan.

Sementara itu, menurut HD van Wijk dan Willen Konijnenbelt dalam

Marcus Lukman, (1997), terdapat 3 (tiga) model penyerahan wewenang, yaitu

secara atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang

pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan

(toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een

bestuursorgaan).Kewenangan yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang

berasal dari pembentukan undang-undang orisinil.Pada model ini, pemberian

dan penerimaan wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas

wewenang yang ada.

Tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang

didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima

wewenang.Pertanggungjawaban internal diwujudkan dalam bentuk laporan

pelaksanaan kekuasaan, sedangkan aspek eksternal adalah pertanggungjawaban

33

Page 37: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksanakan kekuasaan melahirkan derita

atau kerugian.

Sedangkan kewenangan delegasi adalahpelimpahan wewenang

pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya

(Delegatie; overdracht van een bevagheid van het ene bestuurorgan aan een

ander). Pada konsep delegasi, tidak ada penciptaan wewenang dari pejabat yang

satu kepada yang lainnya, atau dari badan administrasiyang satu pada yang

lainnya.Penyerahan wewenang harus dilakukan dengan bentuk peraturan hukum

tertentu.Pihak yang menyerahkan wewenang disebut “delegans”, sedangkan

pihak yang menerima wewenang disebut “delegataris”.Setelah delegans

menyerahkan wewenang kepada delegataris,maka tanggung jawab inern dan

ekstern pelaksanaan wewenang, sepenuhnya berada pada delegataris.

Dengan demikian, menurut Suwoto, (1997), pendelegasian kekuasaan,

delegataris adalah melaksanakan kekuasaan atas nama sendiri dan dengan

tanggung jawab sendiri. Oleh sebab itu, pelimpahan itu disebut pelimpahan

kekuasaan dan tanggungjawab. Sementara mandat terjadi ketika organ

pemerintahanmengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas

namanya (mandaat; een bestuursorgaan hat zijn bevogheid namens hem

uitoefenen door een ander). Pada konsep mandat, mandataris hanya bertindak

untuk dan atas nama pemberi mandat, sehingga tanggung jawab akhir dari

keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat.

Adanya pembagian wewenang secara vertikal dari Pemerintah Pusat

kepada Pemerintah Daerah baik dalam bentuk atribut maupun delegasi

dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat mengurus sendiri rumah tangganya

berdasarkan kewenangan yang sudah dimilikinya.

Dengan demikian daerah otonom pada negara kesatuan, kewenangannya

diperoleh melalui cara delegasi, yaitu kewenangan yang dimiliki oleh organ

pusat didelegasikan kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya

sendiri.

Berdasarkan uraian di atas maka prinsip utama negara hukum yaitu asas

legalitas (wetmatigheid van bestuur) yang menyatakan secara tegas adanya suatu

wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,

yang perolehannya melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi dan mandat.

34

Page 38: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

3. Kewenangan Daerah menurut UU Nomor32 Tahun 2004

Konsep otonomi daerah di Indonesia, yaitu otonomi dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dapat dikemukakan pendapat dari

Strong (2004), yang mengatakan bahwa dalam negara kesatuan (Unitaris),

kedaulatan negara tidak dibagi-bagi, karena itu dalam negara kesatuan,

pendistribusian kewenangan merupakan suatu hal yang sangat penting yang

harus dilakukan secara cermat dan didasarkan pada asas desentralisasi, asas

dekonsentrasi, dan asas pembantuan (medebewind).

Dari perspektif hubungan struktur kelembagaan, implikasi politik dari

kewenangan urusan pemerintahan adalah adanya divergensi atau pembagian

urusan, yang kemudian urusan yang dibagi ini menjadi kewenangan dari setiap

struktur pemerintahan.Filosofi yang mendasari diperlukan adanya pembagian

atau pemencaran urusan pemerintahan adalah karena wilayah negara terlalu luas

untuk diurus olehPemerintah Pusat saja; oleh karena itu diperlukan desentralisasi

dengan pembentukan daerah otonom dan pembagian urusan.

Penerapan konsep pendistribusian kewenangan seperti yang

dikemukakan Strong, juga terlihat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

republik Indonesia, yang secara vertikal memberikan kewenangankepada daerah

baik pada daerah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Pada prinsipnya

kewenangan yang diberikan tersebut bukan dalam bentuk kewenangan untuk

membentuk daerah berdaulat, melainkan otonomi daerah dalam kerangka NKRI.

D. Dinamika Ketatanegaraan dan Kehadiran DPD RI 1. Perubahan UUD 1945

Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 telah menyebabkan

banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik

ketatanegaraan kita. Setiap gagasan akan perubahan tersebut sudah dituangkan

dalam Amandemen pertama sampai keempat dari UUD’45. Apabila dilihat ke

belakang, setidaknya ada empat gagasan fundamental berkaitan dengan proses

amandemen di atas, yaitu Pertama, anutan prinsip pemisahan kekuasaan

(separation of power) dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip

pembagian kekuasaan (distribution of power). Kedua, diterapkannya kebijakan

nasional yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah yang seluas-

35

Page 39: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

luasnya. Ketiga, gagasan pemilihan Presiden secara langsung, dan Keempat,

gagasan pembentukan DPD yang akan melengkapi keberadaan DPR selama ini.1

Jika melihat ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 dan

dijabarkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum membuat

upaya perubahan UUD 1945 hampir mustahil dilakukan. Wacana perubahan

UUD 1945 baru muncul setelah memasuki era reformasi.Bermula dari krisis

moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 yang tidak berhasil diatasi,

bangsa Indonesia terjerembab ke dalam krisis

multidimensional.Ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis dinilai oleh

banyak kalangan sebagai akibat dari penerapan sistem sosial, politik, dan

ekonomi yang tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan

rakyat.Akibatnya, pada tahun 1998 terjadi gejolak politik, saat itu Presiden

Soeharto didesak untuk mundur karena sebagian besar rakyat Indonesia

menghendaki dilakukannya reformasi secara total.

Pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan

oleh B.J. Habibie yang semula menjabat Wakil Presiden.

Kemudian disusul dengan dinamika ketatanegaraan sampai pada

momentum memungkinkan perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada waktu

yang tepat saat hampir seluruh elemen masyarakat menghendaki adanya

perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara2.

Terdapat beberapa materi strategis/pokok yang telah disempurnakan

MPR pada saat melakukan perubahan UUD 1945, antara lain aturan keempat,

aturan dasar mengenai penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern,

antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling

mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan

transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara baru untuk

mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman3.

1 Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, 2005, h. 160, 161, 162. 2Mahkamah Konstitusi RI, (2008), Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku I, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. – hal 545. 3Ibid

36

Page 40: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Dalam tahapan perubahan, penegasan mengenai pelaksanaan otonomi

daerah seluas-luasnya dilakukan pada perubahan kedua, khususnya terdapat

pada perubahan pada Pasal 18 ayat (5).

Tapi sebelumnya isu penting dalam proses perubahan salah satunya

adalah terjadi satu-satunya pemungutan suara untuk memutuskan Pasal 2 ayat

(1) UUD 1945 yang pada akhirnya menghapus eksistensi Utusan Golongan dan

Utusan Daerah di dalam keanggotaan MPR sehingga anggota MPR terdiri atas

anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu.

Perubahan ketiga tahun 2001, Pasal 22 UUD 1945 ditambah dua Bab

yaitu Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah yang terdiri dari 2 (dua)

pasal dan Bab VIIB tentang Pemilihan Umum.

2. Dua Kamar atau Satu Kamar

Jika ditelusuri secala kelembagaan sulit untuk dipahami, karena tampak

seperti ada dua lembaga perwakilan rakyat (MPR dan DPR).Padahal

sesungguhnya lembaga perwakilah rakyat seperti ini tidak dapat disebut

sebaggai sistem perwakilan rakyat dua kamar, dan sebaliknya, tidak pula dengan

mudah disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat satu kamar.Hal ini

disebabkan oleh keberadaan masing-masing lembaga pada posisi yang tidak

sejajar.4

Begitu pula dengan DPR dan DPD, dengan dilakukan Amandemen

keempat UUD 1945 memberi kesan terhadap DPR dan DPD dua kamar,

walaupun jumlahnya beda, lingkup tugas dan kewenangan beda. Padahal

kenyataannya DPR lebih besar dalam kewenangan, sedangkan DPD terkesan

kewenangannya terbatas dengan kekuatan kewenangan yang melekat pada DPR,

sehingga beberapa pendapat mengatakan DPD hanya sebagai pelengkap, bahkan

dalam penelusuran proses penelitian ini ada beberapa responden yang

mengatakan sebaiknya DPD ditutup saja.

Kelahiran DPD bukan sama seperti model bicameral system dalam sistim

politik negara federal tetapi karena pengalaman Indonesia sendiri selama tahun

1945 (model Indonesia sesuai dinamika yang dialaminya).

4Dr. Eddy Purnama, SH.,MH., (2007), Negara Kedaulatan Rakyat; Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain.

37

Page 41: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Ishak Pulukadang5 dalam makalahnya mengatakan : “Agar terjadi Icek and balance of power, tidak saja antara lembaga legislatif dan eksekutif tetapi juga antar lembaga legislatif yaitu DPR dan DPD.Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa DPR baik secara individu maupun kelompok ternyata bukan melakukan fungsi pengawasan dalam pembahasan terhadap kebijakan pemerintah menyangkut proyek-proyek APBN dan lahirnya peraturan perundang-undangan, tetapi yang terjadi adalah kolusi antara eksekutif dan legislatif dan antara anggota legislatif sendiri.Sehingga mengakibatkan tidak hanya citra eksekutif buruk tetapi juga lembaga legislatif”.

Kelemahan atau keuntungan sebenarnya dapat dilihat dari perbedaan

antara DPR dan DPD dilihat dari perwakilan, dimana DPR kental dengan

muatan politik karena didominasi kepentingan keterwakilan parpol, kepentingan

parpol terwakili dalam wadah legislatif (DPR). DPD tidak memiliki kekuatan

posisi tawar untuk penguatan kendaraan politik, karena DPD tidak memiliki

kendaraan politik.

Pada sisi lain bila kita mencermati UUD yang mengatur tentang DPR RI,

dimana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR RI setiap

provinsi sama dan tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Dalam UU tentang

susunan kedudukan dimana anggota DPR RI itu hanya 550, anggota DPD RI

33x4 hanya sekitar 134. Bila kita bandingkan dengan DPD RI yang

maksimalnya 1/3 maka jumlahnya ini masih terlalu rendah bahkan ¼. UU yang

baru menyebutkan, UU Pemilu DPR RI jumlahnya bertambah 10 menjadi 560

sementara DPD RI tetap 4 setiap provinsi.

Untuk mengukur efektifitas fungsi dan peran daripada lembaga ini

sebenarnya juga dapat digunakan metode “4T” yaitu : Terdengar, Terlihat,

Terasa dan Terukur. Dari kedua institusi negara ini, tidak terpenuhi semuanya,

sehingga tujuan daripada cit-cita negara untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, serta keamanan dan stabilitas nasional masih

perlu perjuangan keras.

5Prof. Drs. Ishak Pulukadang, (2009), Beberapa Catatan tentang Strategi Memperjuangkan Posisi dan Peran DPD-RI setara dengan DPD-RI., Makalah disampaikan pada FGD DPD RI di Fakultas Hukum Unsrat, pada tanggal 29 Juli 2009.

38

Page 42: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

E. Fungsi dan Peran DPD RI sebagai Alat Kelengkapan Negara 1. Keanggotaan DPD – RI

Keanggotaan DPD RI untuk pertama kalinya dipilih pada Pemilihan

Umum Tahun 2004, tepatnya di bulan April, yaitu berjumlah 128 orang yang

terdiri atas 4 orang dari setiap provinsi pada sebanyak 32 provinsi. Propinsi

Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda yang secara resmi berdiri pada bulan

Juli 2004, belum terwakili secara tersendiri tetapi masih diwakili oleh anggota

dari provinsi asalnya (sebelum pemekaran wilayah provinsi tersebut, yaitu

Provinsi Sulawesi Selatan) dan baru akan terwakili melalui Pemilihan Umum

legislative 2009 yang akan datang.

DPD RI memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil

daerah dari setiap propinsi dan tidak ada pengelompokan anggota (semacam

fraksi di DPR RI). Anggota DPD RI merupakan orang-orang independen yang

bukan berasal dari partai politik, tetapi berasal dari berbagai latar belakang

misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh organisasi

kemasyarakatan atau Lembaga Swadaya Masyarakat, serta beberapa anggota

DPD RI dengan latar belakang birokrat seperti mantan menteri, gubernur,

bupati/walikota dan lain-lain.

2. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD – RI

Fungsi, tugas, dan wewenang DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal

22D UUD 1945 adalah mencakup :

a. Fungsi Legislasi

Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

b. Fungsi Pertimbangan

Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan

daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan

39

Page 43: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran

pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

c. Fungsi Pengawasan

Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat

dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,

pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu

kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk

ditindaklanjuti.

d. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari

jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

3. Hak dan Kewajiban Anggota DPD – RI

Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD

bahwa anggota DPD mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:

Hak anggota DPD RI :

1. Menyampaikan usul dan pendapat

2. Memilih dan dipilih

3. Membela diri

4. Imunitas

5. Protokoler

6. Keuangan dan administratif

Kewajiban anggota DPD RI :

1. Mengamalkan Pancasila;

2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan menaati segala perturan perundang-undangan.

3. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

40

Page 44: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

4. Mempertahankan dan memelihara kerukukan nasional dan keutuhan Negara

kesatuan Republik Indonesia.

5. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.

6. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat dan daerah.

7. Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok

dan golongan.

8. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih

dan daerah pemilihannya.

9. Menaati kode etik dan Peraturan tata Tertib DPD

10. Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.

Berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu mempertegas fungsi politik

Anggota DPD RI yang meliputi representasi, legislasi dan pengawasan yang

dicirikan oleh sifat mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat “otoritatif” atau

mandate rakyat kepada anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau “binding”

yaitu ciri melekatnya pemikiran dan langkah kerja Anggota DPD RI yang

semata-mata didasarkan pada kepentingan dan keberpihakan pada rakyat daerah

4. Alat Kelengkapan DPD RI

Alat kelengkapan DPD RI terdiri dari Pimpinan DPD RI, merupakan

kesatuan yang bersifat kolektif yang terdiri dari satu orang ketua dan dua orang

wakil ketua, Pimpinan DPD RI mencerminkan wilayah barat, tengah dan timur

Indonesia yang dipilih dari dan oleh Anggota DPD RI dalam Sidang Paripurna.

Pimpinan DPD RI mempunyai tugas antara lain memimpin sidang, menyusun

rencana kerja, menjadi juru bicara DPD RI, serta melaksanakan dan

memasyarakatkan putusan DPD RI. Untuk periode 2004 – 2009, DPD RI

dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. H. Ginandjar Kartasasmita sebagai Ketua yang juga

merupakan anggota DPD – RI Propinsi Jawa Barat dan La Ode Ida, PhD yang

mewakili propinsi Sulawesi Tenggara danH. Irman Gusman, SE, MBA yang

merupakan anggota DPD – Ri dari Sumatra Barat, sebagai Wakil Ketua.

DPD RI memiliki empat Panitia Ad Hoc yang ruang lingkup tugasnya

mencakup bidang legislasi, pertimbangan dan pengawasan. Seluruh anggota,

kecuali Pimpinan DPD RI, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc

( PAH ). Ruang lingkup tugas keempat Panitia Ad Hoc tersebut meliputi:

41

Page 45: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Panitia Ad Hoc I : Otonomi Daerah; Hubungan Pusat dan Daerah;

Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah.

Panitia Ad Hoc II : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya

Ekonomi lainnya

Panitia Ad Hoc III : Pendidikan dan Agama.

Panitia Ad Hoc IV : RAPBN, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,

Memberikan Pertimbangan Hasil Pemeriksaan

Keuangan Negara dan Pemilihan Anggota BPK, serta

Pajak.

DPD RI juga memiliki alat kelengkapan yang secara fungsional

mendukung pelaksanaan tugas DPD RI, Yakni:

1. Badan Kehormatan ( BK ) yang bertugas antara lain menegakkan Peraturan

Tata Tertib dan Kode Etik Anggota DPD RI;

2. Panitia Musyawarah ( Panmus ) yang bertugas antara lain menyusun agenda

persidangan DPD RI;

3. Pantia Perancang Undang-Undang ( PPUU ) yang bertugas antara lain

merencanakan dan menyusun program Legislasi DPD RI;

4. Panitia Urusan Rumah Tangga ( PURT ) yang bertugas antara lain

membantu Pimpinan DPD RI dalam menentukan kebijakan

kerumahtanggaan DPD RI;

5. Panitia Kerja Sama Antar Lembaga Perwakilan ( PKALP ) yang bertugas

antara lain membina, mengembangkan dan meningkatkan hubungan

persahabatan dan kerjasama antara DPD RI dengan lembaga Negara sejenis,

baik secara bilateral maupun multilateral.

Apabila dipandang perlu DPD RI dapat membentuk alat kelengkapan

berupa Panitia Khusus yang bersifat sementara dengan tugas tertentu yang

diberikan oleh Sidang Paripurna. Di samping alat kelengkapan tersebut DPD RI

membentuk Kelompok Anggota DPD di MPR RI yang bertugas antara lain

mengkoordinasikan kegiatan anggota DPD RI dan meningkatkan kemampuan

kinerja DPD RI dalam lingkup sebagai Anggota MPR RI.

42

Page 46: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

5. Penyerapan Aspirasi Masyarakat

Sebagai alat artikulasi kepentingan daerah maka penyerapan aspirasi

merupakan kegiatan Anggota DPD RI yang paling penting. Dalam

pelaksanaannya, penyerapan aspirasi masyarakat ini bisa dilakukan dalam dua

bentuk, yaitu secara langsung maupun tak langsung. Penyerapan aspirasi secara

langsung dilakukan dalam berbagai kegiatan di daerah melalui dialog tatap

muka, seminar atau lokakarya. Kegiatan yang dilakukan pada saat kunjungan

kerja, baik pada masa sidang maupun ketika anggota DPD RI memasuki masa

kegiatan di daerah pemilihannya masing-masing (reses) pada intinya bertujuan

untuk menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi masyarakat daerah.

Aspirasi masyarakat daerah harus diserap sebanyak-banyaknya setelah

itu kemudian dipilah ke dalam tingkat prioritas persoalan, mulai dari persoalan

yang paling urgen, yang harus segera ditindaklanjuti melalui mekanisme

konstitusional sampai hal-hal yang lebih bersifat sekunder. Persolan-persoalan

tersebut juga dapat dikategorikan berdasarkan tugas dan wewenang apakah

merupakan subyek yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas legislatif ataukah

merupakan subyek yang menjadi kompetensi lembaga eksekutif.

Sementara itu, mekanisme penyerapan aspirasi secara tidak langsung dilakukan

melalui konsultasi dengan lembaga pemerintahan local (DPRD/Pemda). Dalam

hal ini, DPD RI menampung aspirasi yang sudah disalurkan ke DPRD/Pemda.

Mekanisme ini sebenarnya bisa dilakukan setiap saat dan tidak perlu menunggu

reses ataupun kunjungan kerja. Model penyerapan tak langsung ini di samping

lebih efisien juga dapat menguatkan kemitraan di daerah.

6. Proses Penyaluran Aspirasi Masyarakat

Setelah para wakil daerah melakukan proses penyerapan aspirasi, tentu

realisasi kongkret atau tindak lanjut atas berbagai persoalan daerah atau

permasalahan rakyat di daerah sebagaimana dimaksud akan ditunggu-tunggu

oleh masyarakat. Untuk itu aspirasi yang masuk harus mendapat perhatian serius

dan diproses sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan. Dalam hal ini ada

tahapan yang meliputi:

a. Menyusun laporan hasil kunjungan kerja dalam bentuk resume aspirasi

masyarakat yang telah dipisahkan berdasarkan persoalan masing-masing.

b. Melakukan identifikasi persoalan sehingga menjadi jelas dan spesifik.

43

Page 47: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

c. Melakukan pemilahan atau kategorisasi berdasarkan tugas, kewenangan

lembaga legislatif dan eksekutif. Persoalan yang diluar kewenangan DPD RI

selanjutnya disampaikan melalui mekanisme rapat kerja di daerah yang

disarakan atas skala prioritas persoalan.

d. Persoalan yang menjadi kewenangan DPD RI kemudian dibawa ke Pusat

untuk disusun bersama-sama anggota DPD RI provinsi masing-masing dan

dipilah berdasarkan wilayah kerja PAH untuk dibawa kepada Sidang

Paripurna. Laporan yang disampaikan pada paripurna kemudian disalurkan

kepada PAH berdasarkan wilayah kerja masing-masing untuk dibahas

bersama dengan pemerintah, dalam hal ini menteri atau LPND yang relevan

dengan masing-masing persoalan.

e. Terkait dengan masukan dari berbagai kalangan masyarakat mengenai peran

ideal DPD ke depan dan peningkatan peran DPD RI dalam menjembatani

hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang konstruktif dan sinergis,

maka Kelompok DPD di MPR RI akan menyampaikan masukan tersebut

kepada Pimpinan MPR RI untuk dapat diproses lebih lanjut.

Perbedaan Dua Macam Perwakilan

DPR DPD Menggunakan Organisasi Kepartaian Tidak Menggunakan Organisasi

Kepartaian Dengan organisasi : Tanpa organisasi Memerlukan dana besar Tidak memerlukan dana organisasi Terjadi konsentrasi masa yang dapat terjadi gesekan

Tidak ada konsentrasi masa

Idiologi partai Idiologi visi dan misi

44

Page 48: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

BAB III.

TUJUANDAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini ialah:

1. Mendeskripsikan lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih

selaras dengan cita-cita UUD 1945

2. Mmendesain hubungan pusaat dan daerah dan mendefinisikan ulan

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah

terutama pada bidang-bidang sektoral.

3. Mendeskripsikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah yang telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan

UU No. 33 Tahun 2004 serta berbagai UU sektoral.

4. Mereview berbagai peraturan Per-UU-an yang tidak sesuai dengan

prinsip pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah darah

yang selaras dan adil sesuai dengan asas otonomi luas

5. Memaparkan dampak yang terjadi di lapangan terkait dengan

permasalahan yang timbul akibat pembagian kewenangan yang tidak

seimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

6. Merumuskan konsep dan prinsip-prinsip yang adil dan selaras sesuai

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya sebagai dasar pembagian

kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

7. Untuk mengetahui tentang hak masyarakat adat dan pengaturannya di

Indonesia.

Manfaat penelitian pada kesempatan ini untuk memberi pandangan terhadap

pentingnya kehadiran DPD RI serta penguatan yang perlu dilakukan dengan

membentuk Law Center pada tiap provinsi.

45

Page 49: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

BAB IV

METODEPENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian Untuk menjawab pertannyaan diatas, penelitian ini menggunakan

pendekatan ilmu hukum yang mengenal tiga lapisan ilmu hukum (rechtleer),

yaitu dogmatic, teori hukum, dan filsafat hukum.

Dogmatik hukum dalam arti sempit bertujuan untuk memaparkan dan

mensistematisir serta menjelaskan hukum positif yang berlaku baik secara

deskriptif maupun preskriptif yang bersifat normative.

Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan antara dogmatic hukum dan

filsafat hukum.

Sedangkan Filsafat Hukum bertujuan menjawab obyek yang dibahas

dalam hubungan dengan makna konstitualisme atau cita hukum dari suatu

kenyataan. (Abdul Latief, 2006).

Selain menggunakan penelitian hukum, dalam studi ini juga digunakan

pendekatan hukum normatie atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

Penelitian hukum normative atau kepustakaan tersebut mencakup penelitian

terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap semantic hukum, penelitian

terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum, dan

sejarah hukum. (Soerjono Soekanto, 2006).

Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan cara menafsirkan

kaidah-kaidah hukum yang dirumuskan di dalam peraturan perudang-undangan

yang terkait dengan Pemerintahan Daerah, dimulai sejak jaman kolonial sampai

sekarang termasuk UU OTSUS Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001), dan UU

Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006).

Penelitian terhadap sistematik hukum bertujuan untuk menelaah

pengertian-pengertian pokok atau dasar dari system hukum yang terdapat di

dalam UU yang berkaitan dengan Hubungan Pusat dan Daerah, tujuannya adalah

untuk menelaah indikasi kebijakan hubungan pusat dan daerah terutama

46

Page 50: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

terhadap undang-undang bidang sektoral yang tidak sejalan dengan asas-asas

desentralisasi dan demokratisasi

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal dilakukan

untuk menelaah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal bertujuan untuk menelaah

keserasian peraturan perundang-undangan secara hirarki peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Metode ini tidak terlepas dari penetapan obyek material

dan obyek formal penelitian.

Penelitan terhadap taraf sinkronisasi horizontal bertujuan untuk

menelaah keserasian peraturan perudang-undangan yang sederajat yang

mengatur substansi materi yang sama.

Penelitian sejarah hukum mengkaji latar belakang tujuan pembentukan

peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang menjadi

obyek materiil dari studi ini, yaitu UU bidang sektoral dan UU tentang

Pemerintahan Daerah; juga untuk mengetahui perkembangan muatan

desentralisasi dalam setiap kebijakan pemerintahan daerah yang perna berlaku di

Indonesia.

B. Bahan Penelitian 1) Bahan Hukum Primer, yakni peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan substansi studi ini

2) Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan bacaan atau literatur yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil-hasil

penelitian, hasil aspirasi masyarakat oleh Anggota DPD, dan literatur

yang berkaitan dengan bidan hukum Tata Negara, Hukum Administrasi

Negara, Ilmu Pemerintahan, dan Ilmu Politik.

3) Bahan Hukum Tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,

anotasi perundang-undangan, dan sebagainya.

47

Page 51: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Hubungan Pusat dan Daerah terkait Peran dan Fungsi

DPD RI Dalam analisis logika, hasil penelitian “dapat saja” dikatakan bahwa

ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah salah satu indikatornya yang

sangat berpengaruh yang tidak disadari selama ini adalah karena para

pengambil kebijakan penentu; tidak tinggal dan hidup di daerah (tertinggal) tapi

(ada kecenderungan) hidup dan tinggal di pusat ibukota (jiwanya ada di pusat

ibu kota), sehingga secara psikologis,insting kepekaan batinia untuk membangun

daerah (membangun rumah sendiri) tidak ada, kalaupun ada hanya karena

tuntutan atas dorongan formalitas jabatannya saja, bukan timbul dari dorongan

kepekaan bathin, tapi timbul dari sekedar retorika sehingga yang terjadi

berbagai macam konsep-konsepan‘membangun’ yang karena pemenuhan syarat

administrasi semata sebagai wakil rakyat.

Kalau DPR konsentrasi kehidupannya di ibukota negara, seharusnya

DPD harus memili lebih banyak hidup dan bergaul di daerah utusannya.Anggota

DPD dengan kehidupannya sehari-hari di daerah dapat langsung merekam

keberadaan daerah tersebut dan dibawah dalam sidang DPD tanpa melalui

mekanisme tawar menawar untung rugi partai politik seperti yang terjadi lewat

perwakilan partai politik.

Dalam penelitian ini, gambaran yang dapat diungkapkan mengenai

keberadaan DPD RI sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah

bahwa dengan kehadiran DPR RI, hubungan pusat dan daerah secara struktur

kelembagaan dipandang dapat menjangkau semua aspirasi dan kebutuhan

seluruh daerah di wilayah NKRI. Tetapi menjadi kendala adalah

egoisme/egosentris kelembagaan yang sesungguhnya hal itu datang dari

kesadaran personal (mentalitas SDM) internal DPD itu sendiri dan lembaga lain

yang menganggap DPD hanya sebagai pemeran “figuran”.

48

Page 52: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Sebagaimana kutipan dari Ruslan Andy Chandra6dengan judul :Irman

Gusman: Banyak Anggota DPR Tidak Mendukung Peranan DPD, seperti

kutipan berikut:

“…… banyak teman-teman anggota DPR yang tidak mendukung penguatan DPD tetapi banyak pula di antara mereka yang ingin bergabung di DPD.” …lanjut Imran, banyak pihak yang pro-kontra. Bagi pengamat, misalnya, keberadaan orang-orang partai politik dengan agenda-agendanya tidak sesuai dengan semangat kelahiran DPD. Tetapi, bagi partai politik, kehadiran pengurus dan atau anggota mereka justru akan memperkuat keberadaannya. Menurutnya, kehadiran mereka harus dicermati. “Sejauh mana teman-teman dari partai politik tersebut bisa menanggalkan atribut-atribut partai politiknya. Kita harus mengawasi ketat.” Sebab, Irman mengkhawatirkan, kalau mereka tetap di partai politik padahal telah terpilih sebagai anggota DPD maka aspirasi dan ideologi partai politiknya akan lebih kuat daripada aspirasi daerah yang diwakilinya. Karena ketentuan telah membolehkan mereka menjadi anggota DPD, Irman menghimbau mereka secara moral untuk menanggalkan atribut-atribut partai politiknya. “Supaya mereka bisa menaungi aspirasi dari berbagai kelompok dan aliran yang berkembang di daerah masing-masing. Dengan itulah kita bisa mendapat jaminan.”

Konsep DPD sebagai organ negara dalam membangun daerah setelah

reformasi merupakan jawaban atas tuntutan masyarakat terutama di daerah-

daerah yang terkesan belum terpenuhi akan tuntutan pembangunan daerah

(tertinggal). Aplikasi dari konsep menunjukkan belum terlihat efektifitas dari

kehadiran dan fungsi DPD RI karena DPD RI (yang disebut Senator) tidak

berfungsi sebagaimana yang diinginkan dalam reformasi.

Penelitian menunjukkan sejumlah pakar menganalisis ada keterbatasan

dari peraturan perundang-undangan terhadap kehadiran “Senator” tidak sesuai

konsep yang diinginkan/diharapkan mampu menyelesaikan ketimpangan

pembangunan di daerah.

DPD dapat memposisikan institusinya sebagai lembaga negara yang

rumahnya di daerah, sehingga ikatan emosional ada di daerah, sehingga naluri

membangun daerah itu ada. Tetapi barangkali dengan kondisi seperti itu dapat

6http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=28&jd=Irman+Gusman%3A+Banyak+Anggota+DPR+Tidak+Mendukung+Peranan+DPD&dn=20080806133338

49

Page 53: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

saja DPD terlupakan oleh Pemerintah Pusat (Eksekutif dan Legislatif) karena

tidak kelihatan.

Hubungan pusat dan daerah terlihat sudah bagus tapi itu masih berlaku di

seputaran ibu kota RI. Peran DPD sebenarnya salah satu tuntutan reformasi agar

institusi DPD dapat mewadahi hubungan Pusat dan Daerah yang selama ini

putus. DPD sesuai dengan substansi tuntutan reformasi dapat menjadi alat dari

daerah-daerah yang cukup jauh dari Pemerintah Pusat untuk membawa kondisi

kemajuan, ketertinggalan, dari daerah. Selain itu DPD yang notabene perwakilan

daerah merupakan stand body (pasang badan) dalam memperjuangkan usulan-

usulan rencana pembangunan didaerah untuk dapat diterima oleh legislatif dan

eksekutif.

Reformasi menginginkan wadah penyeimbang terhadap DPR yang

belum berhasil memperjuangkan daerah-daerah yang sudah cukup lama

tertinggal dan jauh dari gaung pemerataan pembangunan sejak Kemerdekaan

oleh karena itu banyak suara masyarakat yang mengatakan bahwa sesungguhnya

ada bagian-bagian tertentu diwilayah kita NKRI belum menikmati kemerdekaan.

B. DPD RI dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif baru di Indonesia.

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah sebuah

lembaga yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Para Anggota DPD RI

tersebut terdiri atas wakil-wakil daerah propinsi yang dipilih melalui pemilihan

umum.Anggota DPD-RI periode 2004 – 2009 adalah individu yang independen

dan bukan merupakan anggota dari partai politik. Dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD

RI disebutkan bahwa DPD RI dapat mengajukan kepada DPR RI rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, dan sumber daya ekonomi lain

serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Penugasan konstitusi ini menunjukkan bahwa DPD RI berkewajiban untuk

merancang pembangunan daerah dalam kerangka pembangunan nasional.

Fungsi, tugas dan wewenang DPD RI sebagaimana tercantum dalam

pasal 22D UUD 1945 adalah :

50

Page 54: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang – undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan

dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan

keuangan pusat dan daerah. Ini merupakan fungsi legislasi dari DPD RI.

2. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah;

hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya

serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan

pertimbangan kepada DPR atas RAPBN dan RUU yang berkaitan dengan

pajak, pendidikan dan agama. Ini merupakan fungsi pertimbangan dari DPD

RI.

3. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai :

otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabngan daerah,

hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama,

serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan

pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Ini merupakan fungsi pengawasan dari

DPD RI.

4. Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat – syarat dan

tata caranya diatur dalam UU.

Terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya tersebut, ada beberapa

argumen rasional yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai betapa

pentingnya keberadaan DPD sebagai representasi daerah di tingkat pusat, yaitu :

1. Agar keterkaitan antara keterwakilan penduduk dengan daerah dan adanya

penyebaran penduduk Indonesia yang tidak merata disetiap wilayah dimana

saat ini 60% penduduk tinggal di sekitar 10% wilayah Indonesia,

tercerminkan dalam sistem perwakilan dan proses legislasi.

2. Dalam rangka mewujudkan mekanisme checks and balances.

Mekanisme ini dianut oleh negara yang demokratis untuk menghindari diri

dari dominiasi salah satu lembaga dalam pembuatan perundang undangan,

sehingga undang–undang yang dihasilkan oleh lembaga legislatur menjadi

51

Page 55: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

lebih baik dan mengacu kepada kepentingan rakyat yang diwakilinya, bukan

pada kepentingan kelompok.

3. Adanya keadilan dalam kebijakan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa

secara berkesinambungan. Jika representasi politik hanya diwakili oleh DPR

– RI, dapat dipastikan arah pembangunan hanya memusat di pulau Jawa atau

hanya untuk kepentingan politik atau kalangan tertentu, mengingat bahwa

anggota DPR merupakan anggota partai politik dan itu sudah terbukti

dengan banyaknya kasus korupsi oleh anggota DPR – RI yang terbongkar

saat ini.

DPD RI mempunyai empat Panitia Ad Hoc (PAH) dengan ruang lingkup

yang berbeda – beda dimana PAH I membidangi otonomi daerah; hubungan

pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah. PAH II

membidangi pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.

PAH III membidangi pendidikan dan aggama. Sedangkan PAH IV membidangi

RAPBN, perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan pertimbangan

hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan anggota BPK serta pajak.

Sehubungan dengan fungsinya sebagai wakil rakyat dari daerah, yang

dipilih, dan sebagai alat artikulasi kepentingan daerah, maka penyerapan aspirasi

merupakan kegitan anggota DPD RI yang terpenting. Dalam pelaksanaannya,

penyerapan aspirasi masyarakat bisa dilakukan dalam dua bentuk, secara

langsung dan tidak langsung. Secara langsung dilakukan dalam berbagai

kegiatan di daerah melalui dialog tatap muka, seminar, atau lokakarya, yang

dilakukan saat kunjungan kerja, baik pada masa sidag maupun masa reses.

Intinya adalah untuk menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi

masyarakat daerah.

Sedangkan penyerapan aspirasi secara tidak langsung dilakukan melalui

konsultasi dengan DPRD/Pemda. DPD RI menampung aspirasi yang sudah

disalurkan ke DPRD/Pemda. Mekanisme ini dapat dilakukan setiap saat dan

tidak perlu menunggu reses atau kunjungan kerja.

Aspirasi masyarakat sebagai sumber input inilah yang menjadi bahan

pertimbangan utama bagi DPD – RI dalam penyusunan kebijakannya.

52

Page 56: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

C. Pentingnya Keberadaan DPD-RI Sebagai Representasi Daerah Di Tingkat Pusat

Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan

masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas

partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, maka dalam rangka pembaharuan

konstitusi, MPR membentuk sebuah lembaga perwakilan baru yaitu Dewan

Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pembentukan ini dilakukan melalui perubahan

ketiga UUD 1945 pada bulan Nopember 2001.

Namun demikian proses pembentukan lembaga DPD – RI yang ideal

belum dapat terlaksana. Gagasan dasar pembentukan DPD – RI adalah

keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus

memberikan peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan

keputusan politik untuk hal – hal terutama yang berkaitan langsung dengan

kepentingan daerah. Dengan adanya DPD – RI, maka Indonesia tidak lagi

menjadi negara dengan sistem legislasi unikameral, melainkan memasuki

barisan negara – negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam

lembaga perwakilannya. Walaupun sistem bikameral berbeda penerapannya

antara negara yang satu dengan lainnya, namun semua berpijak di atas landasan

yaitu memaksimalkan keterwakilan (representation) dan membangun sistem

checks and balances dalam lembaga perwakilan serta membuka peluang

pembahasan yang berlapis (redundancy) untuk memperluas dan memperdalam

proses pengambilan keputusan–keputusan politik yang berdampak besar bagi

rakyat. Namun sistem bikameral di Indonesia termasuk lemah, berdasarkan

kewenangan legislasi yang dimilikinya.

Oleh sebab itu, DPD-RI, khususnya melalui Panitia Ad Hoc ( PAH ) 1

dan Kelompok DPD di MPR, harus terus memperjuangkan amandemen UUD

45 khususnya pasal 22 yang menyangkut fungsi, tugas dan wewenang DPD –

RI, demi tercapainya penguatan fungsi DPD agar aspirasi masyarakat daerah

dapat diperjuangkan dengan semestinya.

53

Page 57: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

E. Dinamika Tuntutan Pemerataan Pembangunan (Kesejahteraan Masyarakat)

Kita tidak sepenuhnya dapat menyalahkan Pemerintah Pusat dengan

perkembangan sistim ketatanegaraan sekarang yang, karena ada beberapa hal

yang menghambat pembangunan selama ini, sehingga Indonesia tertinggal jauh

dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya. Model yang

berkembang seiring dengan reformasi dimana diantaranya telah ada DPD RI

merupakan lembaga negara yang telah ditetapkan dengan dasar negara. Hal ini

memberi peluang untuk mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini belum

terpecahkan khususnya ketertinggalan pembangunan yang berada di daera-

daerah tertentu.

Kalau DPR belum secara spesifik di atur dalam UUD untuk

memperjuangkan daerah tetapi DPD memang spesifik untuk itu, kenapa

dibentuk DPD karena keluhan yang kurang diperhatikan oleh daerah-daerah, dan

itu muncul dalam tuntutan-tuntutan pada rentetan sejarah reformasi. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa Efektifitas dalam memperjuangkan selama

ini belum teratasi melalui DPR. Dalam pemilihan umum (PEMILU) warga

memilih DPR menurut daerah pemilihan (DAPIL), tetapi masih banyak DAPIL

yang belum merasakan pemerataan pembangunan. Oleh warga setempat

bertanya bahwa sesunggunya DPR terpilih pada dapil itu apa yang sudah dibuat.

Hal ini memberi kesan sesungguhnya anggota DPR pada DAPIL tertinggal telah

melakukan apa. Daerah sampel pulau-pulau bagian Utara Sulawesi masih sangat

tertinggal, kecenderungan kedekatan warga setempat bukan pada Indonesia

tetapi pada negara tetangga. Kita dapat saja berkata bahwa di negara maju ada

juga daerah tertinggal, tetapi dinegara maju daerah tertinggal tidak terlintas

untuk memisahkan diri. Perhatian Pemerintah Pusat sangat penting, diharapkan

DPD menjadi telingah, mata, hati untuk mendengar, melihat, merasakan dan

memperjuangkan kebutuhan masyarakat di daerah pada pemerintah pusat.

G. DPD dan Harapan Masyarakat di Daerah Sejak diperkenalkan kepada publik pada perubahan ketiga UUD 1945

tahun 2001, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah menjadi perdebatan publik

yang mengarah pada fungsi dan kewenangan DPD; sejauh mana DPD sebagai

lembaga baru di dalam tubuh lembaga parlemen berperan dalam

54

Page 58: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

mengartikulasikan suara-suara dari daerah di pusat dan seluas mana

kewenangannya dalam pengambilan keputusan soal legislasi di parlemen7.

Ada banyak harapan, terutama dari suara-suara daerah yang sekian lama

tenggelam di hadapan kepentingan pemerintah pusat, ketika lembaga DPD

diciptakan. Dengan merombak struktur perwakilan Indonesia menjadi dua kamar

(bikameral) - dengan posisi DPD sebagai kamar kedua (second chamber) di

tubuh parlemen Indonesia - dan meradikalisasi proses pemilihan anggota secara

langsung, lembaga DPD diharapkan lebih dari sekedar lembaga perwakilan

“pura-pura”. Harapan lain dari kemunculan DPD, terlepas dari kuat atau

lemahnya fungsi yang diembannya, adalah kontribusinya dalam menstimulasi

secara positif kemajuan demokrasi di Indonesia, terutama keterwakilan suara

daerah dalam kebijakan yang berpihak pada warga negara, yang lebih banyak

berada di daerah.

Namun dalam perkembangannya, harapan yang diemban kepada para

“senator” tidak bisa terwujud karena terbentur oleh berbagai yang diciptakan

oleh anggota lembaga perwakilan dari partai politik, yang “terkesan” oleh

beberapa penulis tidak akan merelakan kewenangannya diambil begitu saja oleh

para wakil rakyat dari non partai ini.

Ada Beberapa pasal dalam UUD yang tak memberi ruang gerak politik

bagi anggota DPD untuk memposisikan diri sebagai wakil rakyat secara

sempurna. Pertama, pasal 22C UUD 1945, jumlah anggota DPD didesign tidak

bisa melebihi sepertiga jumlah anggota DPR. Dalam ketentuan UUD 1945,

jumlah anggota DPR 550 orang, maka maksimal anggota DPD 183 orang.

Kenyataannya, dengan 128 anggota DPD (empat orang per provinsi), kekuatan

suara DPD kurang dari seperempat anggota DPR. Secara kuantitatif, mereka

telah didesign untuk “kalah” secara politik dari DPR.

Pertanyaannya adalah, apa filosofi politik yang berada di balik ketentuan

anggota DPD berjumlah 1/3 anggota DPR? Jika di masa depan ada penambahan

jumlah provinsi di Indonesia, dengan asumsi tiap daerah diwakili 4 orang

anggota, masih berlakukah ketentuan 1/3 dari anggota DPR? Kedua, setiap

anggota DPR dilengkapi dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi

7Muhammad Syihabuddin dalam http://syihabasfa.wordpress.com/category/artikel/

55

Page 59: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

pengawasan sebagaimana diamanatkan pasal 20A UUD 1945. Untuk

menjalankan fungsi-fungsi tersebut, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket,

dan hak menyatakan pendapat, ditambah dengan hak mengajukan pertanyaan,

menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Sedangkan DPD, ”hanya”

boleh mengajukan dan ikut membahas RUU yang relevan dengan urusan daerah

dan dapat melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait dengan

daerah, seperti uraian pada pasal 22D UUD 1945. Kendati boleh mengajukan

RUU untuk dibahas, sesuai dengan Pasal 43 UU 22/2003 tentang Susduk, DPD

tidak memiliki kekuasaan untuk mengawalnya hingga ke tingkat persetujuan.

Ketiga, merujuk pasal 22D UUD 1945, masalah yang bisa ditangani DPD

dibatasi pada masalah daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Memang, untuk kegiatan

pengawasan, selain masalah daerah, cakupannya diperluas ke masalah

pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Celakanya, hasil

pengawasan itu harus diteruskan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan

untuk ditindaklanjuti. Dari uraian pasal-pasal di atas, sangat layak diduga bahwa

DPD dari awal telah diformat sebagai lembaga yang secara politis tak bergigi

menghadapi wakil-wakil dari partai politik. DPR adalah lembaga parlemen yang

memiliki wewenang lengkap, sementara DPD hanya diposisikan sebagai

pendamping tugas konstitusional DPR. Dalam hal legislasi, fungsi DPD hanya

bersifat penunjang bagi DPR. DPD tidak dapat disebut sebagai legislator

seutuhnya. Paling jauh DPD bisa disebut co-legislator. Atau bisa jadi malah

bukan co-legislator, karena sifat otonom, sebagai prasyarat menjalankan fungsi

legislasi, juga tak dimiliki DPD.Dengan posisi politik yang tak berdaya itu,

wajar jika muncul satire bahwa DPD RI hanyalah “aksesori politik” semata di

dalam parlemen Indonesia. Kewenangan politik yang berbanding terbalik antar

kedua lembaga perwakilan; kewenangan konstitusional yang begitu kuat dan

luas di tangan DPR, sementara DPD RI tak memiliki bergaining politik sama

sekali, menggambarkan bahwa DPD tak berperan apa-apa di dalam proses

legislasi di parlemen. Sering kita saksikan acara-acara DPD hanyalah seremoni

politik yang tak memiliki imbas apapun terhadap kualitas suatu produk

56

Page 60: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

legislasi.Jika di awal sekali perancangan DPD dimaksudkan untuk memperkuat

lembaga perwakilan dengan menerapkan sistem bikameral, maka dalam

perjalannya bisa dikatakan bahwa bikameralisme di Indonesia hanyalah bungkus

semata. Kenyataan ini juga mengetengahkan bahwa adanya sebuah anomali

dalam sistem parlementariat Indonesia. Hal ini layak ditegaskan karena

Indonesia merupakan satu-satunya negara di mana lembaga ”semacam” senatnya

dipilih secara langsung, tetapi kewenangannya terbatasi. DPD RI merupakan

potret paling relevan dari ketidaklaziman praktek bikameral karena memiliki

legitimasi tinggi namun dengan kewenangan yang terbatas. Sebuah lembaga

parlementer disebut menganut sistem bikameral, apabila - ini merupakan ciri

fundamentalnya - kedua kamar perwakilan tersebut menjalankan fungsi legislasi

yang seimbang. Dan hampir semua negara di dunia yang menerapkan sistem ini

memberi kewenangan yang hampir-hampir tak beda di setiap kamar di

parlemen, atau bahkan kewenangan perwakilan daerah di parlemen lebih kuat,

seperti di Amerika Serikat. Jika diperhatikan di Indonesia, DPD RI sama sekali

tidak mempunyai wewenang legislasi yang penuh dan otonom. DPD hanya

memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran, dan DPR tetap memegang

kendali pengambilan keputusan. Karena itu, posisi DPD yang bersanding dengan

DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang wajar. Secara

teoritik, sifat bikameralisme terbagi menjadi dua, ‘strong bicameralism’, jika

keberadaan dua kamar perwakilan itu relatif sama kuat, dan ‘soft atau weak

bicameralism’, jika keduanya tidak sama kuat.

Fristian Humalanggi menulis dengan Judul “Eksistensi Dewan

Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” menyatakan8:

Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang sering diplesetkan menjadi “Dewan Penasehat DPR”, atau “Dewan Pertimbangan DPR”. Betapa tidak, lembaga ini seolah - olah adalah subordinasi DPR jika dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya. Dalam perancangan suatu produk hukum/undang - undang DPD hanya memberikan pertimbangan, dapat mengajukan dan ikut membahas, serta melakukan pengawasan atas undang - undang tertentu, dengan demikian dapatkah DPD dikatakan memiliki wewenang?. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. dalam buku ” Bikameral bukan Federal ” menyebut Dewan Perwakilan Daerah sebagai ” auxiliary agency “ oleh karena sifat tugasnya di bidang

8http://revitriyoso.multiply.com/journal/

57

Page 61: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

legislasi hanya menunjang, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini sama sekali tidak sebanding dengan persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD, dengan kata lain kualitas legitimasi anggota DPD tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya. Kedudukan DPD sebagai auxiliary body semakin diperkuat dengan adanya pasal 20 ayat (1) dan pasal 20A ayat (1) yang menyebutkan secara eksplisit bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang - undang serta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan sedangkan dalam UUD tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa DPD mempunyai kewenangan, sebab dalam konteks politik “KEWENANGAN” berarti dapat mengambil keputusan politik. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. menyebut DPD sebagai co-legislator dan Dr. Kuntana Magnar S.H. M.H dalam tulisannya yang dipaparkan dalam Focus Group Discussion menyebutkan secara tegas bahwa DPD termasuk dalam kategori “lembaga Negara yang melayani”. Selain itu DPD juga sering disebut - sebut sebagai lembaga Negara dengan wewenang terbatas, namun sebagaimana diungkapkan oleh Bivitri Susanti; “adalah tidak tepat mengatakan” DPD dengan wewenang terbatas “sebab sebenarnya DPD tidak mempunyai wewenang apapun, sebab dalam konteks politik, kewenangan selalu diartikan sebagai wewenang dalam mengambil keputusan politik”.

G. Rekaman Beberapa Usulan terhadap Keberadaan DPD-RI

Berikut ini beberapa rekaman tim peneliti dalam kegiatan Focus Group

Discussion (FGD) :

1. Bpk. Victor Mailangkay(Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara selama 5

periode berturut-turut)

Mencermati UUD yang mengatur tentang DPR RI, dimana salah satu

pasalnya menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR RI setiap provinsi sama dan

tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Dalam UU tentang susunan kedudukan

dimana anggota DPR RI itu hanya 550 anggota DPR RI atau 33x4 hanya sekitar

134. Bila kita bandingkan dengan DPD RI yang maksimalnya 1/3 maka

jumlahnya ini masih terlalu rendah bahkan ¼ dibandingkan UU yang baru

menyebutkan, UU Pemilu DPR RI jumlahnya bertambah 10 menjadi 560

sementara DPD RI tetap 4 setiap provinsi. Kami ingin menyampaikan bahwa

kalau boleh jumlahnya minimal 5-lah setiap provinsi. Kalau toh 5 cuma 165

58

Page 62: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

itupun belum mencapai 1/3 dari jumlah DPR RI, dalam catatan kecil kami

mengenai jumlahnya.

Yang kedua tentang eksistensi DPD RI, tapi jika dilihat bahwa eksistensi

DPD perlu kita kaji secara cermat. Saya menawarkan 3 opsi tentang eksistensi

DPD RI:

1. Kalau disebutkan DPD mempunyai fungsi legislasi, pertimbangan dan

pengawasan, sesungguhnya DPD RI ini hanya ada fungsi pertimbangan.

Kalau legislasi, kuasi legislasi, seolah-olah mempunyai fungsi legislasi tapi

sesungguhnya DPD RI tidak mempunyai fungsi legislasi. Sebagian tidak

membuat UU yang buat DPR RI, jadi kuasi seolah-olah mempunyai fungsi

tapi sesungguhnya tidak, kemudian fungsi pengawasan juga, DPD RI ini

kuasi pengawasan, karena apa kalau suatu lembaga parlemen mempunyai

fungsi pengawasan maka melekat padanya dua hak parlementer yaitu hak

interpelasi seperti ada pada DPR RI, mengoreksi kebijakan pemerintah dari

hasil pengawasannya kalau ada yang tidak benar, atau hak angket jika terjadi

indikasi penyimpangan misalnya, tapi yang punya hak ini cuma DPR RI,

DPD RI tidak punya hak interpelasi dan juga tidak punya angket. Jadi kuasi

pengawasan dia cuma mengawasi, menyerahkan kepada DPR RI, jadi bukan

fungsi pengawasan, seolah-olah mengawasi tapi tidak punya kekuatan, kuasa

pengawasan, berbeda dengan DPR RI karena dia dilengkapi dengan hak

interpelasi, kalau dia awasi dan ternyata kebijakan pemerintah ini keliru, itu

kuasanya, atau dia gunakan hak angket, jika ternyata kebijakan dan unsur

pelanggarannya. Nah dalam kaitan dengan peran atau fungsi DPD RI ini

kami tawarkan 3 opsi untuk didiskusikan :

1) Dibubarkan saja DPD RI ini, karena sesungguhnya dia tidak

menjalankan fungsi sebagai suatu lembaga parlemen, kalau kita lihat ini

dengan sistem bicameral sebetulnya historisnya kalau kita lihat, DPD RI

ini pengembangan dan utusan daerah dalam MPR. Tetapi kalau kita

telesuri sejarah pembuatan UUD 1945, pemikiran dimasukkan dengan

utusan daerah ini, kelompok-kelompok fungsional yang belum terkafer

dalam utusan DPR yang menjadi anggota MPR dari partai politik,

mengapa? agar supaya ada pemikiran-pemikiran dalam dua hal,

pembuatan UUD dan perubahan bisa diakomodir dan kelompok non

59

Page 63: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

partai politik dan yang kedua dalam pembuatan GBHN, karena

dibanding partner kita menganut dalam UUD 1945 dan Pancasila sila ke-

4, indirect demokrasi dan direct demokrasi, nah ketika kita masuk pada

indirect demokrasi, maka fungsi pembuatan GBHN tidak relevan lagi,

sehingga kalau tidak relevan lagi karena presiden dipilih langsung dan

presiden bertanggung jawab kepada rakyat, di mana visi-misi presiden

itulah yang menjadi pedoman presiden dalam 5 tahun kedepan.

Dalam DPD yang ada hanya fungsi pertimbangan, nah kalau

pertimbangan rakyat biasapun bisa memberikan pertimbangan, soal

didengar dan tidak didengar oleh DPR RI itu soal lain, tapi torang pun

boleh memberikan pertimbangan, kirim ke DPR RI, soal di dengar atau

tidak itu soal lain, yang penting sah.

2) Amandemen UUD 1945 kita jadikan DPD RI dalam sistem strong

bicameral system, jadi fungsi DPD RI membicarakan tentang

kepentingan daerah, dia punya hak legislasi juga, dia punya hak

pengawasan, maka harus dilengkapi.

3) Yang sama-sama kita upayakan, yaitu mengoptimalkan peran DPD RI

sesuai dengan UUD 1945 dan UU lainnya. Maka 3 opsi ini yang pas

untuk kita lakukan dari 3 pilihan ini, mungkin kita lebih cenderung

mengambil langkah kompromi yaitu mengoptimalkan peran DPD RI

sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku sekarang.

Kemudian DPD RI ini, kami melihat dan membaca bahwa DPD RI hanya

bersidang di ibukota negara, kalau dia tidak bersidang, kemana dia akan kembali

ke daerah? Kami usulkan tolong didiskusikan supaya DPD RI ini ada kantor di

ibukota provinsi, nah mungkin kantor ini juga bersamaan juga ada semacam

bagian dari law center antara pusat dan daerah, provinsi ibukota provinsi untuk

menerima berbagai aspirasi dari masyarakat. Gunanya untuk membantu suatu

rapat bersama dengan DPR provinsi secara periodik dengan DPRD kabupaten

kota dengan gubernur dan dengan Bupati, walikota, dalam rangka menyerap dan

memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudian keberadaan DPD RI dalam

memperjuangkan aspirasi daerah ini, seperti kepada semangat besar tenaga

kurang, karena apa dia sampai saja memberikan pertimbangan. Barangkali

60

Page 64: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

mengoptimalkan perjuangan dia untuk aspirasi daerah dalam hal anggaran, lewat

APBN sehingga ada pertambahan, kalau sekarang cuma 25% dana APBN itu

didistribusikan menjadi belanja untuk provinsi dan kabupaten kota. Mungkin ke

depan kita bisa memperjuangkan lewat DPD RI supaya dia dapat menambah

bukan cuma 25%, bisa 30-35% dari pendapatan ini menjadi bagian dari belanja

untuk provinsi dan kabupaten kota dalam bentuk DAU, disamping ada DAK dan

anggaran-anggaran tugas pembantuan dan anggaran dekonsentrasi.

Bagaimana ini bisa diperjuangkan? Kita harapkan agar pertumbuhan-

pertumbuhan berkala periodik, antara DPD dan DPRD, DPD dan gubernur, juga

wakil walikota dan DPRD kabupaten kota untuk menyerap aspirasi yang

diperjuangkan.

Kemudian, dalam hal memperjuangkan pemanfaatan SDA, yang kita

rasakan selama ini bahwa pemanfaatan SDA, limbahnya ditampung oleh daerah,

manfaatnya disedot ke pusat. Nah bagaimana kalau ini bisa diperjuangkan,

memang ada UU No. 33 tentang perimbangan, porsinya diperbesar, inipun

diharapkan dapat diperjuangkan, hanya kalau ini diperjuangkan maka fungsi

DPD perlu ditingkatkan, pemberian pertimbangan DPD pada pembahasan

APBN tidak saja pada pembahasan tahap I tapi kalau boleh sampai pada

pembahasan tahap II, tahap III, dan tahap IV supaya dia dapat mengawal terus

apa yang diaspirasikan oleh daerah untuk diperjuangkan. Jika hanya sekedar ikut

dalam pembahasan tahap I, dia tidak tahu dalam pembahasan RAPBN tahap II,

III bahkan tahap IV, satu masuk dua tercecer, akhirnya dia tidak bisa mengawal

perjuangan aspirasi daerah.

Dalam kaitan dengan pembuatan UU yang berkaitan dengan fungsinya,

SDA, sumber daya ekonomi lainnya, UU otonomi daerah, berikutnya aspirasi-

aspirasi pemekaran sebaiknya pandangan ini didiskusikan, jangan langsung ke

DPR RI Komisi 2, lewat DPD RI diberikan kajiannya, kalau DPRD, DPD RI

merasa perlu bahwa itu dapat diteruskan ke DPR RI, yang terjadi sekarang

Pemekaran-pemekaran wilayah memang ada dampak positifnya, tapi sulit, ini

hanya mengejar target-target politik, sementara pemekaran wilayahnya ini

diharapkan boleh memberikan percepatan, pelayanan yang lebih dekat dengan

masyarakat, tentunya dengan pertumbuhan ekonomi di sana, tetapi jika kita lihat

PAD-PAD asli dari kota yang dimekarkan ternyata tidak naik secara signifikan,

61

Page 65: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

mungkin daerah Pemekaran ini PAD-nya paling tinggi 15% dari seluruh

pendapatan yang ada di kabupaten kota. Diharapkan dengan Pemekaran ini bisa

membuat ekonomi daerah lebih maju, lewat DPD ini.

Yang terakhir tentang peran DPD dalam melakukan pengawasan, dalam

pelaksanaan aspirasi daerah. Jadi aspirasi daerah bisa disampaikan, tapi

bagaimana dia mengawasi agar itu bermuara dalam bentuk UU itu menjadi

kewajiban dia. Nah pelaksanaan juga UU itu di daerah, DPD perlu mengawasi,

pengawasan ini dalam pelaksanaannya kami ingin kalau boleh dilibatkan DPR di

provinsi, DPRD kabupaten kota, juga kepala daerah provinsi dan pemerintah

kabupaten kota. Saya kira ini catatan kecil yang perlu disampaikan sehubungan

dengan peran DPD RI dalam memperjuangkan dan mengawasi daerah, baik

dalam penerangan, pelaksanaan penerangan dan pengawasan. Demikian, terima

kasih.

2. Bpk. Prof. Dr. Drs. Madjid Abdullah, SH, MH(Mantan Wakil Gubernur

Maluku Utara)

Judul Materi :Tinjauan DPD menurut UU yang berlaku.

Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem DPD ini

menyangkut kewenangan DPD ini saya bagi dalam 4 kewenangan.

1. Dapat mengajukan

2. Ikut membahas

3. Memberi pertimbangan

4. Dapat melakukan pengawasan

Bahasa dalam UU ini, kata dapat kalau kita terjemahkan bisa laksanakan,

bisa tidak. Kemudian ikut membahas, tidak ikut juga tidak apa-apa. Nah ini

kata-kata dalam UU. Kemudian yang berhubungan dengan rencana UU yang

berkaitan dengan otonomi daerah, DPD mempunyai kewenangan, dapat

mengajukan, ikut membahas, tidak memberikan pertimbangan. Dia tidak

memberikan pertimbangan, tapi ikut membahas dan dapat melakukan

pengawasan. Hubungan pusat dan daerah demikian juga sama, kemudian

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan juga sama, sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi juga sama, dapat ikut mengajukan, dapat ikut

membahas, dapat melakukan pengawasan sedangkan yang memberikan

62

Page 66: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

pertimbangan adalah berhubungan dengan rencana UU dan RAPBN pada

pendidikan agama. Dan pemilihan anggota BPK, itu yang memberikan

pertimbangan, ikut membahas, juga dapat mengajukan.

Saya melihat bahwa peran DPD itu sangat lemah, karena tadi sudah

dikemukakan bahwa hanya memberikan pertimbangan. Posisi DPD ini

menyangkut kepentingan daerah, bukan hanya kepentingan politik negara

sedangkan DPD sifatnya hanya memberikan pertimbangan saja. Nah inilah

sehingga posisi DPD dalam UU No. 22 tahun 2003 sangat lemah.

Kemudian DPD ini tidak punya posisi original power, jadi dia mau

berbuat tidak dapat mengajukan, tidak punya hak tolak, inilah yang

menyebabkan posisinya lemah, sehingga saya melihat peran DPD ini perlu harus

diberdayakan melalui amandemen UUD 1945.

3. Bpk. Drs. Roy Tumiwa (Mewakili Gubernur Sulawesi Utara)

Judul Materi : Peran DPD RI dalam memantapkan hubungan pemerintah

provinsi dan kabupaten sesuai dengan potensi daerah

Kita melihat sebagaimana dalam konspilasi ketatanegaraan kita dengan

aktivitas setelah dimunculkannya DPD dalam satu lembaga legislasi sama

dengan MPR, DPR RI.

Untuk pemekaran-pemekaran daerah, mekanismenya rata-rata mereka

lebih masuk kepada DPR atau kepada Depdagri melalui pemerintah provinsi.

Kenapa tidak dimanfaatkan? Nah inilah fungsi dan peran DPD. Kalau DPD mau

itulah yang harus mereka perankan. Bagaimana mereka mengoptimalisasikan

itu, mungkin melalui diskusi ini akan memberikan suatu kontribusi, suatu

sumbangan yang positif dalam rangka memantapkan peran daripada DPD itu

sendiri, kalau tidak image dari DPD itu tetap akan sama seperti yang

disampaikan tadi, bisa saja dibubarkan atau mungkin melalui amandemen UU

dulu, UUD 1945 atau bagaimana dia akan menciptakan citra bahwa DPD itu

bisa dimanfaatkan oleh daerah dalam rangka meningkatkan potensi-potensi dan

mengoptimalisasi guna memantapkan hubungan antara pemerintah provinsi dan

kabupaten demi kesejahteraan rakyat. Dan inilah DPD yang harus berperan

mengatur, memberikan pertimbangan-pertimbangan yang cerdas di DPR bahkan

memerankan secara bersama-sama menjaga, menfasilitasi hubungan antara

63

Page 67: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

kabupaten kota sebagai lembaga representasi daripada daerah untuk

mempertahankan kearifan lokal, memantapkan, mengembangkan, menggali

segala potensi daerah untuk kepentingan daerah itu sendiri.

4. Bpk. Prof. Drs. Ishak Pulukadang(Mantan DPRD Sulawesi Utara, Mantan

DPR RI)

Judul Materi :Strategi Memperjuangkan Posisi dan Peran DPD Setara dengan

DPR RI

Dari statement-statement yang kita dengar dari narasumber sebelumnya

Bpk. Victor, bahwa sebaiknya DPD dibubarkan saja, tapi menurut saya, DPD ini

sudah tidak dapat dibubarkan lagi. Kalaupun DPD sekarang dianggap sebagai

pembantu DPR itu bagi kami ketika menjadi fraksi sudah merupakan satu

langkah maju, daripada tidak diterima oleh DPR pada waktu itu memang

sebagian besar tidak setuju.

Ada 3 alasan, mengapa DPD ini hadir :

1. Sebagai pengganti fraksi ke DPR raya akan dibubarkan karena ada

amandemen UUD 1945, menghapus adanya fraksi-fraksi utusan golongan,

dsbnya. Dimaksudkan sebagai keterwakilan dari daerah, kepentingan parpol

terwakili dalam DPR, tapi tidak semata-mata aspirasi tentang adanya DPD

ini mencontoh dari barat.

2. Kehadiran DPD ini sebagai solusi dalam sistem politik Indonesia, karena

sering terjadinya penyimpangan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang

dominannya salah satu lembaga negara, apakah eksekutif, maupun legislatif.

Kehadiran DPD ini bukan meniru bicameral sistem, tetapi karena

pengalaman Indonesia sendiri selama tahun 1945-2004, sering bergantinya

dominasi legislatif, eksekutif yang mengakibatkan histabilitasi pemerintahan

dan membawa akibat KKN, Kolusi dan Nepotisme.

3. Alasan ketiga, agar terjadi prinsip take and balance, tidak saja antara

lembaga legislatif dan eksekutif tetapi juga antar lembaga. Hal ini didasarkan

pada pernyataan bahwa sementara DPR baik secara individu maupun

kelompok ternyata bukan melakukan fungsi pengawasan dalam pembahasan

terhadap kebijakan pemerintah menyangkut proyek-proyek APBN dan

64

Page 68: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

lahirnya perundang-undangan tetapi yang terjadi adalah kolusi antara

eksekutif legislatif dan antara anggota legislatif sendiri.

Perlu ditegaskan di sini problematik demokrasi kita sekarang yang kita

kenal dengan demokrasi substansial, jadi ketika 5 tahun pertama era reformasi

kita mengenal demokrasi prosedural, bahwa pemerintah itu dibentuk melalui

pemilu sudah tercapai. Tetapi KKN bukannya berkurang bahkan makin meluas,

muncullah sekarang 2004 sampai sekarang apa yang disebutkan demokrasi

substansial yang mengutamakan prinsip balance of power, keseimbangan antara

eksekutif dan legislatif dimana kedua-duanya dipilih langsung oleh DPR oleh

rakyat, tapi yang muncul adalah kolusi, kolusi antara DPR sementara anggota

DPR dan eksekutif. Pertanyaan adalah siapa yang memonitor mereka? Dalam

suatu demokrasi memang kita mengharapkan peran apa yang disebut civil

society, apakah itu ormas, LSM dan lain sebagainya, tapi civil society

mengalami 3 faktor kelemahan.

1) Kurang profesionalnya SDM-nya. Kemampuan LSM yang mudah

direkayasa dari segala macamnya.

2) Tidak mempunyai akses dan efektivitas untuk memperjuangkan keputusan

politiknya.

3) Tidak mempunyai dana operasional untuk kegiatan-kegiatan itu, sehingga

mereka gampang direkayasa.

Itulah problematiknya sehingga civil society kita tidak mampu mengontrol

kolusi yang terjadi sekarang ini.

Secara lugas, DPD ini hanya pembantu DPR bisa kita lihat di dalam

UUD dan UU yang sudah disebutkan, hanya mempunyai 4 fungsi saja, dapat

melakukan, dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang, ikut

membahas rancangan undang-undang, ikut memberikan pertimbangan kepada

DPR atas rancangan undang-undang APBN yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan dan agama dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU

mengenai kewenangan dan melaporkan pengawasannya kepada DPR.

Langkah-langkah strategis dalam mempertahankan posisi dan peran DPD

agar setara dengan posisi DPR.

65

Page 69: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

1. Memilih pimpinan DPD yang mempunyai apa yang disebut political collage,

dan punya komitmen terhadap pentingnya prinsip cek and balance of power,

antar lembaga legislatif.

2. Membangun persepsi yang sama antara anggota DPD satu dengan yang lain

untuk memperjuangkan kepentingan daerah melalui penguatan posisi dan

peran DPD setara dengan DPR, dengan kata lain perlu apa yang disebut

syarat kekompakan di dalam DPD sendiri.

3. Menyusun agenda kegiatan dalam upaya memperjuangkan kepentingan

daerah melalui perubahan pasal yang mengibiri DPD untuk mendapat posisi

dan peran DPD.

4. Melibatkan anggota fraksi partai politik dalam kegiatan DPD dengan

memberikan fasilitas yang memperlancar keterlibatannya.

5. Membuat strategi melalui forum-forum pertemuan internal DPD untuk

memperjuangkan aspirasi DPD tentang posisi dan peran DPD.

6. Membuat strategi untuk membuat jalannya sidang MPR dan kalau perlu

melakukan tekanan yang sifatnya rasional.

7. DPD perlu menentukan apa yang disebut floor leader, yang mampu

memperjuangkan gagasan DPD tentang perlunya perubahan posisi dan peran

DPD untuk meyakinkan dan memperjuangkan dalam forum-forum resmi di

MPR maupun di fraksi-fraksi.

Untuk itu diperlukan pimpinan DPD dalam mengarahkan dan

memfasilitasi, sebab itu adalah salah satu faktor yang penting, karena tanpa

keberanian dan fasilitas ini suatu perjuangan tidak akan berhasil.

5. dr. Elly E. Lasut, ME (Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud)

Judul Materi : Peran DPD-RI Dalam Memperjuangkan Pembangunan

Pulau-Pulau Kecil, Wilayah Pesisir dan Perbatasan

Ada beberapa hal yang menjadi persoalan dalam daerah perbatasan atau

pulau-pulau kecil dari Kepulauan Talaud, yang harus diambil oleh DPD.

Kepulauan Talaud, adalah remote areal, sehingga apabila dikaitkan

dengan kebijakan pemerintah, antara lain UU No. 32 tentang Pemerintashan

Daerah, yang secara konkrit bisa dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Beberapa

66

Page 70: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

slogan yang tidak terealisasi dalam peraturan pemerintah maupun uu di

Indonesia ini.

1. Kep. Talaud sebagai daerah perbatasan atau pulau-pulau kecil yang

dinyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai beranda terdepan. Sehingga

perlu ada penataan-penataan oleh pemerintah pusat yang dikonkritkan

sebagai beranda terdepan, sehingga DPD RI bukan hanya dimasukkan

sebagai slogan-slogal tetapi harus diwujudknyatakan.

2. Konsep satu pulau

– Masalah transportasi, antara satu pulau dengan pulau yang lain tidak

ada masalah tentang hubungan antara satu desa dengan desa yang

lain atau antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. Alokasi

keuangan politik oleh pemerintah pusat seharusnya memperhatikan

pola-pola seperti ini.

– Persoalan pulau miagas yaitu tentang perbatasan dimana tentang

masalah transportasi yang tidak memadai untuk menunjang tentang

konsep satu pulau. Sehingga begitu pentingnya DPD RI untuk

memperhatikan konsep ini.

– Konsep dana alokasi/pendanaan. Sumber pembangunan untuk satu

daerah kabupaten kota berasal dari dana perimbangan yang terdiri

dari dana alokasi umum (DAU) diserahkan langsung kepada

pemerintah daerah untuk dikelola, dana alokasi khusus (DAK) yang

dikelola langsung oleh pusat, dana perbantuan yaitu sumber dana

APBN yang dialokasi oleh kabupaten kota/provinsi yang dikelola

langsung oleh pemerintah pusat, sehingga perbantuan betul-betul

ditentukan oleh kemampuan kita melakukan lobi, dana dekonsentrasi

yaitu dana yang dari pemerintah provinsi yang sebenarnya ini

menjadi persoalan karena dana ini kadang-kadang tumpah tindih,

dengan yang menjadi kebijakan pemerintah daerah, ketika

pemerintah provinsi menetapkan berdasarkan kebijakannya sendiri,

kadang-kadang alokasi menjadi double, dana ini harus dikelola oleh

human resources yang jelas. Kadang-kadang alokasi dana yang

begitu tinggi sedangkan pengelolaan tidak berkesusaian dengan SDM

sehingga menjadi hambatan, padahal kondisi ini bisa dibalik karena

67

Page 71: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

ada dana perbantuan dari pemerintah pusat, alokasi umum dan

otonomi daerah. dana bagi hasil, dana atau pendapatan asli daerah

yang dihasilkan oleh pemerintah daerah itu sendiri.

Perhitungan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

Dana alokasi umum yang terdiri dari: Konstruksi bangunan, kondisi

daerah, indeks kemahalan konstruksi.

Indeks kemahalan konstruksi, sebagai contoh 266. Kalau harga

Perhitungan Indeks kemiskinan (IK)

Dalam memberikan alokasi dana (dana perimbangan) kadang tidak

melihat dari perhitungan indeks kemiskinan.

Konsep perhitungan luas laut dalam alokasi dana DAU, DAK,

perbantuan sangat penting. Talaud merupakan daerah terluas di

SULUT yakni 27.000 km2, tujuh kali lipat dari Bolmong Raya.

Karena itu faktor transportasi, komunikasi, perlu diterobosi lagi agar

luas laut itu diperhitungkan secara full, karena begitu pentingnya hal-

hal ini agar kabupaten kota di kep. Talaud bisa cepat terbangun

Status perbatasan sebagai kawasan ekonomi khusus

Dalam aturan UU No. 32 Tahun 2003 bahwa daerah perbatasan ini

akan dimasukkan dalam kawasan daerah khusus. Sehingga boleh

menjadi konsep border trade area seperti di Batam, hal yang sama

akan diperjuangkan di Bitung. Kep. Talaud memperjuangkan terlebih

dahulu yaitu SDM dulu baru infrastrukturnya.

Regulasi bidang keuangan

UU No. 1 tentang keuangan bahwa satu-satunya auditor resmi

pemerintah adalah BPK. Untuk menentukan korupsi tidaknya

seorang pejabat, yang berhak memberikan statement atau opini

adalah auditor yakni BPK.

68

Page 72: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Oleh karena itu DPD dan DPR RI kiranya dapat memberikan suara yang optimal

untuk memberikan masukan bahkan memperjuangkan Pembangunan Pulau-

Pulau Kecil, Wilayah Pesisir dan Perbatasan di Kep. Talaud

SESI TANYA JAWAB

Pertanyaan untuk Bpk. Majid dan Pulukadang

1. Ibu Rieke Mononimbar

Masukan dalam rangka DPD-RI

1) Dalam melakukan segala sesuatu harus ada dasar atau payung hukum

Bagaimana peran DPD dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat

atau memperjuangkan ke pusat tentu ada aturannya? Jadi

sebagaimana disampaikan oleh Bpk. Prof. Majid bahwa peran DPD

sangat lemah, sedangkan menurut Bpk. Prof. Pulukadang sangat

terbatas, karena itu kira perlu merubah UUD 1945 dan UU

Pemerintah. Kalau kita mengamanden sehingga apa yagn menjadi

tugas fungsi pokok dari DPD harus dimasukkan dalam pasal-pasal

sehingga mereka ada kekuatan ketika memperjuangkan aspirasi

rakyat.

2) Sebagaimana yang disampaikan oleh kepala biro pemerintahan

bahwa mereka harus masuk di dalam memperjuangkan segala

program dan kegiatan yang ada di daerah kita. Tidak hanya di pusat

tetapi apa yan kita programkan di daerah harus ada program,

sehingga aspirasi, anggaran diketahui sehingga perlu untuk

diperjuangkan ke pusat. Bagaimana bisa diperjuangkan kalau tidak

ada anggaran.

2. Bpk. Jolly Sualang

Peran DPD RI bisa dikatakan bahwa sebagai akademisi DPD bisa

dikatakan mandul, oleh karena perannya sangat dibatasi oleh DPD RI

sehingga kurang menarik, mereka yang duduk di DPD hanya sebagai

pelengkap saja dalam ketatanegaraan Indonesia. Kalau ada payung

hukum maka demokrasi bisa benar-benar jalan. Mengapa lembaga tinggi

lain seperti DPR bisa mengatur pemerintah padahal sistem pemerintahan

69

Page 73: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

kita sistem presidensil, tapi dalam faktanya sistemnya telah berubah

parlementer, semua kebijakan-kebijakan pemerintah selalu harus

bertanya atau minta persetujuan DPR. Ini perlu adanya perubahan sistem

ketatanegaraan kalau dibeda-bedakan atau siapa yang berperan DPR atau

eksekutif nampak sekali, untuk mengangkat seorang pejabat harus

ditanyakan kepada DPR, apalagi peran DPD sangat tidak kelihatan,

sehingga perlu adanya sistem ketatanegaraan dalam kedudukannya.

Kalau hanya sebagai pelengkap sebaiknya dihilangkan saja.

3. Hendra

Berkaitan dengan masukan dan pertanyaan dari 2 orang tadi, sehubungan

dengan peran DPD, sangat lemah tugas dan fungsinya, karena dilihat dari

UUD 1945 disitu DPD tidak mempunyai wewenang untuk mengambil

suatu kewenangan. Dimana sebetulnya posisi dalam DPD?

4. Bpk. Edwin Moniaga

DPD sebagai langkah maju, untuk itu tidak perlu dibubarkan, karena

dilihat dari fungsi dan kewenangannya sebagai representasi regional.

Sehingga dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya mempunyai

sistem yang kuat. Pasal 42, 43 UU No. 23 Tahun 2003. Yang perlu

dimaksimalkan adalah fungsi pengawasan yakni menempatkan DPD

sebagai legislator.

Law center sebenarnya bisa menjadi posisi bargaining daerah, sebagai

data-data dan kajian sebagai masukan bagi DPD untuk melaksanakan

fungsi dan kewenangannya secara maksimal, misalnya Pemekaran atau

pembentukan daerah.

5. Bpk. Jemmy Sondakh

Pengaruh DPD dalam paradigma otonomi daerah. Dulu dikenal sebagai

paradigma dan sekarang DPD. Kira-kira adakah pengaruh paradigma

otonomi daerah dalam DPD? Apakah dengan pemberlakuan otonomi

daerah peran DPD semakin menguat atau semakin melemah? Apakah

solusi dalam memaksimalkan peran DPD terutama dalam menunjang

optimalitas sistem desentralisasi pemerintahan?

Jawaban: Bpk. Majid

70

Page 74: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Kewenangan DPD dibatasi, tidak mempunyai original power dalam UU,

karena itu bagaimana kita memberdayakan DPD ini bukan

membubarkan, dengan pertama-tama kita memperkuat landasan

hukumnya.

Jawaban: Bpk. Pulukadang

Kewenangan DPD yang terbatas, maka perlu adanya balance power antar

legislatif. Problemnya bagaimana menyetarakan antara DPD dan DPR.

Fungsi pengawasan tidak menjadi koleslator tapi legislator, karena itu

pentingnya DPD dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi rakyat.

Solusinya adalah dengan merubah pasal 22 dengan 8 langkah yang sudah

disampaikan.

Pertanyaan untuk Bpk. Elly Lasut

6. Jefferson Petonengan

Untuk membangun Kep. Talaud DPD harus lebih optimal

Menghadirkan dana untuk kep. Talaud dan untuk apa dana tersebut

sehingga terkelola dengan baik.

7. Christian Poae

Secara hukum perlu dikaji UUD 1945

Optimalkan tugas dan fungsi DPD sesuai dengan peraturan yang ada

Buat DPD sebagai lembaga pusat dan daerah.

8. Ibu Altje Musa

Peran DPD, ketentuan perundang-undangan mengenai peran DPD

sebetulnya sudah bagus, kalaupun DPD tidak hadir untuk membawa

aspirasi kita ke pusat, yang perlu kita pertanyakan apakah DPD akan

mampu memberikan aspirasi kita ke pusat untuk berbuat secara

maksimum dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, khususnya yang ada

di daerah.

Jawaban Bpk. Elly Lasut

Faktor yang mempengaruhi product domestic bruto yang paling banyak

adalah investasi pemerintah sedangkan untuk investasi swasta sangat

sulit.

71

Page 75: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Tingkat pertumbuhan kep. Talaud sudah sangat membalik, dimana

tingkat kemiskinan sangat drastis pada tahun 2005 baru 5,4%, 2006

menjadi 5,8%, sedangkan pada tahun 2008, menjadi 6,1%.

TANGGAPAN/MASUKAN dan PERTANYAAN

Prof. Moniaga

Apakah dewan perwakilan daerah ini representatif rakyat atau representatif

daerah? Kedua-duanya dipilih oleh rakyat, yang pertama rakyat memilih yang

satu DPR-RI dipilih oleh partai dan orang.

Dari segi kedudukannya baik menurut UUD maupun UU 22/23 yang saat ini

sebagai tahap finalisasi untuk perubahannya, baik DPD dan DPR-RI sebagai

lembaga negara. Untuk itu DPD mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi

legislasi, fungsi kontrol/pengawasan dan fungsi budget. Jika kita lihat dari cara

kerjanya maka DPD hanya sebagai alat pelengkap DPD-RI saja karena secara

kolektif segala sesuatu harus diserahkan atau bergantung kepada DPD-RI,

sehingga fungsi dan perannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Bpk. Michael Jacobus

Dalam sistem kelembagaan negara kita yakni sistem kelembagaan korup, di

mana uang negara rugi secara besar-besaran. Karena itu DPD yang tidak

berfungsi sebagaimana mestinya maka lembaga DPD perlu untuk dibubarkan.

Bpk. Godlieb Mamahit

Dalam hal peningkatan SDM, di Talaud banyak yang ingin S1 maka Fak.

Hukum membuka kesempatan dan peluang untuk bekerjasama, terlebih saat ini

punya kelas reguler sore.

Sdr. Susanto Ambisan

Peran DPD, pada prinsipnya penciptaan atau pendirian lembaga DPD hanya

akan menimbulkan banyaknya korupsi, karena itu sebaiknya lembaga DPD ini

dibubarkan saja.

Yang perlu dikritisi saat ini yakni dalam Kep. Talaud pemberdayaan SDM untuk

pembangunan Talaud lebih ditingkatkan. Untuk masalah korupsi sebaiknya

ditindak lanjuti agar tercipta pemerintahan yang jujur dan bersih.

72

Page 76: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Jawaban: Bpk. Elly Lasut

Soal kerjasama pendidikan nanti akan diupayakan, satu hal keinginan saya yaitu

ingin menjadi mahasiswa fak. Hukum, nanti akan diupayakan untuk pegawai

dapat belajar di fak. hukum.

Kerjasama untuk kuliah di Australia, dimana 20 orang yang ingin belajar di

sana, ketika selesai kuliah harus menetap dan membangun pulau Miangas.

Salah satu langkah yang diambil yaitu informasi korupsi yang berbau

menyudutkan pemerintah daerah yakni dengan korupsi, namun kami sebagai

pemerintah akan berusaha untuk dapat berbuat lebih banyak agar tercipta

pemerintahan yang baik, bersih dan jujur.

73

Page 77: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

BAB VI PENUTUP

A. KESIMPULAN Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah demikian luas

dengan keanekaragaman yang sangat kompleks, pemberian otonomi kepada

daerah merupakan sesuatu yang mutlak. Kesadaran akan mutlaknya otonomi

daerah tersebut dimulai oleh para pendiri dan pembentuk Republik ini

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diikuti

dengan berbagai undang-undang yang sesuai dengan perkembangan situasi dan

kondisi masyarakat / negara pada waktu tersebut.

Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi di dalam UUD 1945,

secara yuridis memberikan landasan dan pedoman yang kuat bagi Undang-

Undang organik di bidang pemerintahan daerah dimasa mendatang.Pengaturan

yang demikian telah diakomodir oleh TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 dan

Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Semangat untuk mewujudkan otonomi semacam itu tergambar tidak

hanya di dalam konsiderannya, tetapi juga di dalam ketentuan-ketentuan Pasal

dan Penjelasannya. Seperti, Pasal 10 yang pada intinya menyebutkan “urusan

pemerintahan” adalah semua urusan pemerintahan kecuali urusan pertahanan

keamanan, urusan politik luar negeri, urusan moneter dan fiskal, urusan agama

dan peradilan. Juga Pasal 13 mengatur ada urusan (bidang) pemerintahan yang

wajib dijalankan Provinsi yaitu pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,

pekerjaan umum, perhubungan, dan lain-lain.Disamping itu ada urusan pilihan

sektor unggulan. Untuk Provinsi ditemukan secara umum yaitu urusan (bidang)

pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota urusan pemerintahan

tertentu serta urusan (bidang) pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan

kabupaten dan kota. Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkandung suatu

prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disusuaikan dengan potensi

daerah yang berbeda-beda.

74

Page 78: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Dalam analisis hasil penelitian “dapat saja” dikatakan bahwa

ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah salah satu indikatornya yang

sangat berpengaruh yang tidak disadari selama ini adalah karena para pengambil

kebijakan/penentu; tidak tinggal dan hidup di daerah (tertinggal) tapi (lebih ber-

kecenderungan) hidup dan tinggal di pusat ibukota (jiwanya ada di pusat ibu

kota), sehingga secara psikologis, insting kepekaan batinia untuk membangun

daerah (membangun rumah sendiri) tidak ada, kalaupun ada hanya karena

tuntutan atas dorongan formalitas jabatannya saja, bukan timbul dari dorongan

kepekaan bathin, sehingga gaungnya timbul sekedar retorika dan yang

dihasilkan adalah berbagai macam konsep-konsepan ‘membangun’ dan tidak

teraktualisasi karena hanya dokemen ‘laporan’ sebagai pemenuhan syarat

administrasi semata sebagai wakil rakyat.

Kalau DPR konsentrasi kehidupannya di ibukota negara, seharusnya

DPD harus memili lebih banyak hidup dan bergaul di daerah utusannya.Anggota

DPD dengan kehidupannya sehari-hari di daerah dapat langsung merekam

keberadaan daerah tersebut dan dibawah dalam sidang DPD tanpa melalui

mekanisme tawar menawar dan untung rugi partai politik seperti yang terjadi

lewat perwakilan partai politik.

Dalam penelitian ini, gambaran yang dapat diungkapkan mengenai

keberadaan DPD RI sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah

bahwa dengan kehadiran DPR RI, hubungan pusat dan daerah secara struktur

kelembagaan dipandang dapat menjangkau semua aspirasi dan kebutuhan

seluruh daerah di wilayah NKRI. Tetapi menjadi kendala adalah

egoisme/egosentris kelembagaan yang sesungguhnya hal itu datang dari

kesadaran personal (mentalitas SDM) internal DPD itu sendiri dan lembaga lain

yang menganggap DPD hanya sebagai pelengkap tuntutan reformasi tanpa

fungsi (pemeran “figuran”).

B.SARAN DPD harus diadvokasi dan “diberdayakan” di dalam tubuh parlemen.

Harus ada advokasi dari semua komponen untuk menghentikan pengebirian

terhadap fungsi dan kewenangan DPD dan mewacanakan kepada publik bahwa

realitas politik ini jangan sampai dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

75

Page 79: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Advokasi ini juga harus pada level aksi mendorong secara kuat

terjadinya perubahan di level perundangan yang mengatur fungsi dan

kewenangan DPD dalam kerangka penguatan DPD RI. DPD RI yang kokoh

akan berarti memperkuat legitimasi lembaga perwakilan di hdapan publik.

Memperkuat DPD adalah pilihan paling masuk akal, bahkan suatu

kelaziman agar lembaga perwakilan kita bisa sesuai dengan napas dan gerak

demokrasi di negeri ini.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa DPD harus diperkuat. Pertama,

persoalan fundamental dalam berbangsa dan bernegara, integrasi bangsa.

Hampir semua negara yang memiliki wilayah begitu luas, dengan jumlah

penduduk besar, serta di dalamnya terdapat dinamika dari aneka suku dan

agama, lembaga perwakilannya menganut sistem dua kamar. Apakah Negara

tersebut bentuk kesatuan atau federal, dengan sistem pemerintahan presidensial

atau parlementer, itu bukan soal utama. Bikameralisme tidak melulu dipakai

oleh negara berbentuk federal, tetapi negara kesatuan yang menerapkan

desentralisasi, seperti Indonesia, juga sangat penting menerapkannya.

Bikameralisme harus dimaknai sebagai instrumen untuk memperkuat kesatuan

negara.

76

Page 80: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1982.

Arief Muljadi, Landasan dan Prinsip Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, Pustaka, Jakarta, 2005.

Ateng Syafrudin, Memantapkan Pemerintahan Yang Bersih, Kuat dan Berwibawah, Tarsito, Bandung, 1982.

----------. Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Tarsito, Bandung, 1982.

Baban Sobandi, dkk, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, Humaniora, Bandung, 2005.

Bagir Manan., Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Bhenjamin Hoessein, Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Makalah Bappenas, Jakarta.

Deddy Supriady Bratakusuma dan Dandang Solichin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2004.

Filler, Ewal (ed), Children in Touble United Nations Expert Group Meeting, Austrian Federal Manistry For Youth and Family, Austria, 1995.

Gautama, C, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Bekerjasama Dengan The Asia Foundation, Jakarta, 2000.

Gosita Arif, MasalahPerlindunganAnak, AkademikaPresindo, Jakarta, 1983.

Irwanto, Perlindungan Anak, prinsip dan Persoalan Mendasar, Makalah pada Seminar Kondisi dan Penaggulangan Anak Jermal, LAAI, 1997.

Katjasungkana, Nursahbani, LembagaPerlindunganAnak, Prospek dan Permasalahan, Plan Indonesia, Edisi No. 9. Jakarta, 1996.

Krisnawati Emeliana, AspekHukumPerlindunganAnak, CV. Utomo, Bandung, 2005.

Levin Leah Hak Asasi Anak-Anak, Dalam Hak Asasi Manusia (Human Rights) (Penterjemah) A. RahmanZainudin (Penyunting) dan PeterDavies, YayasanOborIndonesia, Jakarta, 1994.

Mohammad, J, AspekHukumPerlindunganAnak, CitraAdityaBakti, Jakarta, 1999.

77

Page 81: pelaksanaan otonomi daerah_UNSRAT

Salam FaisalMoch, Pengadilan HAM Di Indonesia, Pustaka, Bandung, 2002.

St. Sularto, SeandainyaAkuBukanAnakmu, PT.Kompas, Jakarta, 2002.

Suseno FranzMagnis, Kuasa & Moral, PT. GramediaPustakaUtama, Jakarta. 2001.

Syamsuddin, M.S, NormaPerlindunganDalamHubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004.

Wahyono Agung, Tinjauan tentang Peradilan Anakdi Indonesia, SinarGrafika, Jakarta, 1993.

Sumber-sumber lain

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasiManusia Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Web Site : http://revitriyoso.multiply.com/journal/ http://syihabasfa.wordpress.com/category/artikel/ http://www.kabarindonesia.com/berita

78