Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

38
Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung: Suatu Tinjauan Kritis terhadap Pemisahan Ruang dan Partisipasi Anak dalam Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol) Oleh: Indah Mardilah 712014116 FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2020

Transcript of Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

Page 1: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak

di GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung:

Suatu Tinjauan Kritis terhadap Pemisahan Ruang dan Partisipasi Anak dalam

Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari

persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol)

Oleh:

Indah Mardilah 712014116

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2020

Page 2: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

ii

Page 3: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

iii

Page 4: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

iv

Page 5: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

v

Page 6: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

vi

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena kasih dan anugerah-Nya

penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir yang berjudul, “Pelaksanaan Ibadah dan

Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung: Suatu

Tinjauan Kritis terhadap Pemisahan Ruang dan Partisipasi Anak dalam Ibadah dan Sakramen

Perjamuan Kudus.” Penulis juga tak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada beberapa

pihak yang mendukung dan memberi bantuan selama proses penyelesaian Tugas Akhir ini, yaitu

terkhusus kepada:

1. Kedua orang tua saya yang mendukung saya dalam hal materi maupun moril selama berkuliah

di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana.

2. Kedua Dosen Pembimbing saya, Pdt. Dr. Ebenhaezer Nuban Timo dan Pdt. Nimali Fidelis

Buke yang telah membimbing selama penulisan Tugas Akhir ini.

3. Dosen-dosen Fakultas Teologi, UKSW yang telah memberikan ilmu dan didikan kepada kami

selama masa perkuliahan.

4. Seluruh anggota jemaat GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung dan secara khusus

Pdt. Krishermawan Santoso selaku Pendeta jemaat GKSBS Semuli jaya, Pnt. Darsono, Dkn.

Kukuh Walyudi, Dkn. Guritno, Ibu Sunarsih selaku Guru sekolah minggu, dan Ibu Sri Mulyani

selaku anggota jemaat, yang telah bersedia untuk diwawancarai.

Tugas Akhir ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca, terkhusus bagi GKSBS

Semuli jaya Kelompok Sumber Agung untuk menjadi bahan pertimbangan terkait pelaksanaan

Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak.

Penulis menyadari bahwa penulisan Tugas Akhir ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena

itu penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan Tugas Akhir ini. Penulis

juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga Tugas Akhir ini dapat lebih baik.

Penulis

Page 7: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

vii

Abstrak

GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung menerima anak-anak yang telah dibaptis

menjadi bagian dalam Sakramen Perjamuan Kudus bersama anggota jemaat dewasa, yang

berlandaskan pada keputusan Sidang Sinode di Bengkulu pada tahun 2005. Dalam pelaksanaan

ibadah dan Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung memunculkan kontroversi, sebab pihak

“empunya Gereja” memisahkan ruang bagi anak-anak dari perkumpulan orang dewasa, dan

anak-anak tidak mendapat kesempatan yang sama dalam partisipasi mereka di ibadah dan

Sakramen Perjamuan Kudus. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan jemaat

GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung mengenai pemisahan ruang anggota jemaat

dewasa dan anak-anak pada saat berlangsungnya ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus, serta

meninjau partisipasi anak-anak terhadap pemisahan ruang di ibadah dan Sakramen Perjamuan

Kudus bersama Anak-anak di GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan penulisan artikel secara

deskriptif. Hasil penelitian ini ialah Gereja belum menerima anak-anak secara penuh, termasuk

tingkah laku mereka yang dirasa mengganggu orang dewasa dalam beribadah dan melaksanakan

Perjamuan Kudus. Ditambah lagi, Gereja mendiskreditkan kemampuan anak-anak pada ranah

kognitif dan iman, sehingga menutup akses mereka berpartisipasi secara penuh bersama anggota

jemaat dewasa. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu Gereja dimaknai sebagai komunitas iman

yang di dalamnya terdapat orang dewasa dan anak-anak, maka kebijakan apapun semestinya

untuk kebaikan bersama dan memiliki landasan yang jelas supaya tidak merugikan salah satu

pihak.

Kata Kunci: Perjamuan Kudus bersama Anak, Pemisahan Ruang, Partisipasi Anak, GKSBS

Sumber Agung.

Page 8: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

1

1. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Gereja bukan hanya menunjuk pada gedung ibadah umat Kristen Protestan dan Khatolik,

melainkan persekutuan umat Allah. Secara etimologi, istilah “gereja” berasal dari kata bahasa

Portugis yaitu “igreja” yang gilirannya berasal dari Bahasa Latin “ecclesia” yang merupakan

transkripsi dari kata Bahasa Yunani “ekklesia” berarti “rapat rakyat”, “perkumpulan rakyat” dan

dalam konteks keagamaan berarti “perkumpulan orang beriman”. Perkumpulan ini bukanlah

sesuatu yang kebetulan, melainkan para peserta berkumpul karena dipanggil keluar (ek-kalein)

dari urusan mereka masing-masing.1

Dalam rangka pemeliharaan iman, Gereja melaksanakan sakramen-sakramen. Sakramen

dalam ritus keagamaan Gereja Khatolik berjumlah tujuh sakramen yaitu Sakramen Baptis,

Krisma, Ekaristi, Perkawinan, Tahbisan, Rekonsiliasi, dan Pengurapan Orang Sakit.2 Sedangkan

dalam Gereja Protestan hanya ada dua Sakramen yang diberlakukan hingga saat ini yaitu

Sakramen Baptisan Kudus dan Sakramen Perjamuan Kudus. Kata sakramen sendiri berasal dari

kata Latin sacramentum, yang sudah dilazimkan oleh Tertullianus (sekitar tahun 200) menjadi

istilah theologia. Di kalangan ketentaraan Romawi, kata itu telah digunakan untuk sumpah-setia.

Timbulnya selaku istilah Theologia mungkin, dapat dimengerti dengan mengingat kepada

penggunaannya di lapangan hukum dan pengadilan. Misalnya dalam bidang hukum, kata

“sacramentum” telah dipakai untuk barang atau kepunyaan yang menjadi petaruh atau jaminan,

pada waktu dua pihak mengadakan perjanjian. Lebih jelas lagi: bila dua orang berselisih, lalu

membawa perkaranya ke hadapan pengadilan, maka kedua pihak wajib terlebih dahulu

menyetorkan uang jaminan; uang kepunyaan orang yang kalah, kemudiannya disita. Uang

jaminan itulah yang disebut “sacramentum”, sebab orang harus menyetorkannya kepada

perbendaharaan sebuah kuil (Latinnya: “sacrum”). Dengan mengingat latar belakang ini, maka

kedua sakramen yang dibicarakan di sini adalah sebagai petaruh atau jaminan yang diberikan

Allah dalam mengadakan perjanjianNya!3

Secara khusus penelitian ini membahas mengenai Sakramen Perjamuan Kudus, yang

menurut JL. CH. Abineno diistilahkan dengan nama Perjamuan Malam. Istilah Perjamuan

1 Nico Syukur, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 209.

2 Syukur, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, 314.

3 G.C. Van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 437.

Page 9: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

2

Malam digunakan untuk menekankan aspek pengenangan kembali akan perjamuan perpisahan

yang Yesus rayakan bersama murid-muridNya pada malam sebelum Ia dihukum mati.4 Menurut

beliau, Perjamuan Malam yang Kudus adalah perjamuan yang Allah “asingkan” (kuduskan) dan

pakai sebagai alat dalam karya penyelamatanNya. Roti dan anggur adalah makanan dan

minuman rakyat- khususnya di pesta-pesta- di Palestina pada waktu itu. Roti dan anggur ini

Allah “asingkan” (= kuduskan) sebagai alat atau wahana yang Ia pakai untuk memberitakan

karya penyelamatanNya dalam Yesus Kristus.5 Dalam arti yang demikian, maka Perjamuan

Kudus bukanlah perjamuan yang penuh dengan misteri dan bernuansa magis, karena pada

dasarnya Perjamuan Kudus adalah perjamuan biasa yang Allah kuduskan.

Gereja-gereja Protestan di Indonesia memiliki ketentuan dan ketetapannya masing-masing

dalam mempraktekkan Sakramen Perjamuan Kudus. Secara umum, Gereja-gereja protestan di

Indonesia masih memberlakukan syarat-syarat khusus untuk menerima Sakramen Perjamuan

Kudus yaitu hanya kepada anggota jemaat dewasa yang telah menerima Sakramen Baptisan

Dewasa atau sidi dan tidak dalam siasat Gereja. Mereka yang dikatakan belum layak yaitu

mereka yang belum Baptis Dewasa atau sidi dan masih dalam siasat Gereja tidak diperkenankan

ambil bagian dalam sakramen ini. Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir di Gereja-gereja

tertentu, Sakramen Perjamuan Kudus ini juga diberikan kepada mereka yang belum Baptis Sidi.

Sakramen Baptisan sudah cukup menjadi syarat bagi mereka untuk menerima Sakramen

Perjamuan Kudus, sehingga anak-anak yang telah dibaptis pun dapat menerima sakramen

Perjamuan Kudus. Salah satu gereja yang melaksanakan Sakramen Perjamuan Kudus bersama

Anak ialah Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS). Gereja Kristen Sumatera Bagian

Selatan (GKSBS) merupakan gereja yang terletak di Sumatera Bagian Selatan, yang wilayah

pelayanannya meliputi empat provinsi yaitu Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan

Jambi.6

GKSBS telah mensahkan secara sinodal Sakramen Perjamuan Kudus bagi anak-anak yaitu

pada saat Sidang Sinode VIII Sinode GKSBS tanggal 23-26 September 2005 di Bengkulu pada

Artikel 12: Liturgi Kontektual.7 Kemudian keputusan tersebut dirumuskan dalam Tata Gereja

GKSBS 2015 yang merupakan pengganti Tata Gereja Tahun 1996. Dalam Tata Gereja GKSBS

4 George Kirchberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus (Flores, NTT: Nusa Indah, 1991), 195.

5 J.L. CH. Abineno, Perjamuan Malam (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1982), 9.

6 “Profil”, Sinode GKSBS, diakses pada tanggal 27 Mei 2018 pukul 16.45, http://gksbs.org/?page_id=2.

7 Sinode GKSBS, “Profil.”

Page 10: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

3

2015 Bab IV bagian C, Sakramen Perjamuan adalah perayaan pengenangan anggota GKSBS

dalam perjumpaannya dengan Kristus. Pada prinsipnya sakramen Perjamuan Kudus dilaksanakan

pada saat Firman dilayankan dan dilayankan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali setahun dan

peserta sakramen perjamuan ialah anggota baptisan.8 Dengan demikian, Sakramen Perjamuan

tidak hanya untuk mereka yang telah baptis dewasa atau sidi, tetapi juga bagi anak-anak yang

telah dibaptis dan telah menjadi anggota jemaat GKSBS, dapat menerima Sakramen Perjamuan

Kudus. Ketetapan ini menunjukkan bahwa Sinode GKSBS tidak memisahkan kedua sakramen

Gereja yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus.

Pengesahan dalam Sidang Sinode dan Tata Gereja GKSBS 2015 merupakan keseriusan

GKSBS untuk melaksanakan Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak di gereja-gereja

GKSBS. Hal ini berlandaskan pada sikap dan perbuatan Yesus terhadap anak-anak yang terdapat

dalam teks Injil Matius 19:14, Lukas 18:16, “Biarlah anak-anak itu, janganlah menghalangi-

halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya

kerajaan sorga.” Serta yang terdapat dalam teks Injil Markus 10:15, yang berbunyi “…Aku

berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti anak

kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Dari kesaksian Injil ini, GKSBS menafsirkanya bahwa

Yesus menerima anak-anak untuk datang beribadah kepada-Nya serta mengapresiasi mereka

untuk menjadi bagian dalam anugerah keselamatan Allah. Keteladanan itu terlihat dari

pernyataan Yesus yang demikian, “sebab orang-orang (anak-anak) yang seperti itulah yang

empunya Kerajaan Sorga.” Atas landasan teologis yang demikian, maka siapapun anggota

Gereja Allah berhak untuk beribadah dan menerima berbagai ritus gerejawi, salah satuya

Sakramen Perjamuan Kudus yang tidak terikat pada kondisi-kondisi tertentu, seperti harus

dewasa, harus mengerti atau paham, apalagi harus pandai.9 Dengan demikian anak-anak yang

notabene-nya dianggap tidak mengerti apapun dalam paradigma orang dewasa, pada akhirnya

bisa menjadi bagian dalam meja Perjamuan Tuhan karena setiap umat dihadapan Tuhan adalah

sama. Sikap anti-diskriminatif inilah yang ditunjukkan pada praktek Perjamuan Kudus bersama

anak.

Akan tetapi sikap yang demikian menurut penulis tidak tercermin dalam ibadah dan

Sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung. GKSBS Sumber Agung merupakan

salah satu kelompok jemaat GKSBS Semuli Jaya yang merupakan bagian dari Klasis Kotabumi,

8 Tata Gereja GKSBS 2015, 78.

9 GKSBS, “Tentang Perjamuan Kudus Anak.”

Page 11: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

4

Lampung. Pelaksanaan ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung

menuai kontroversi. Bahwasannya Gereja tersebut membuat kebijakan pemisahan ruang antara

anggota jemaat dewasa dan anak-anak. Pemisahan ruang yang dimaksud ialah pengaturan tempat

duduk bagi anggota jemaat dewasa dan anak – anak, sehingga anak-anak tidak duduk bersama

orang tua ataupun anggota jemaat dewasa yang lain.

Terjadinya pemisahan ruang antara anak-anak dan orang dewasa dikarenakan Gereja

lebih mengutamakan kepentingan orang dewasa dengan mengesampingkan esensi Perjamuan

Kudus bersama anak. Keheningan, kekhusyukan, jauh dari gangguan tingkah-laku anak-anak

itulah yang hendak didapatkan anggota jemaat dewasa selama berlangsungnya ibadah dan

Sakramen Perjamuan Kudus. Mereka “sang empunya gereja” mengatur tempat duduk anak-anak

supaya terpisah dari tempat perkumpulan orang-orang dewasa berada. Gedung gereja yang

berbentuk L (memanjang ke depan dan menyamping) memungkinkan anggota jemaat dewasa

ditempatkan di ruang utama gedung gereja, sedangkan anak-anak ditempatkan di ruang samping

(bukan ruang utama) yang merupakan ruang yang biasa digunakan untuk sekolah minggu.

Kebijakan ini diambil karena bagi anggota jemaat dewasa, ketika anak-anak duduk bersama

dengan anggota jemaat dewasa, kehadiran mereka cukup mengganggu konsentrasi dan

kekhusyukan mereka dalam beribadah.

Pada hari Minggu dilayankan Sakramen Perjamuan Kudus, di pagi hari pada waktu sekolah

minggu, anak-anak telah menerima pembekalan oleh Majelis setempat mengenai hal-hal

berkaitan dengan Perjamuan Kudus. Meskipun dengan tujuan yang sama dengan anggota jemaat

dewasa, yaitu mengikuti Perjamuan Kudus, tetapi anak-anak tidak mengikuti rangkaian liturgi

ibadah di Gereja secara penuh. Mereka diarahkan dan dipimpin oleh para guru sekolah minggu

untuk melakukan aktivitas yang telah didesain sedemikian rupa sembari para anggota jemaat

dewasa menyelesaikan ibadah. Biasanya mereka melakukan aktivitas seperti menggambar,

mewarnai, dan lain sebagainya. Baru kemudian ketika Pendeta hendak melangsungkan Sakramen

Perjamuan Kudus, anak-anak diberhentikan dari aktivitas mereka dan kemudian menyantap roti

dan meminum anggur bersamaan dengan anggota jemaat dewasa.

Memang anak-anak dan orang dewasa makan roti dan minum anggur bersamaan pada saat

Sakramen Perjamuan Kudus. Namun, anak-anak tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi

secara penuh. Jika semua umat berhak menerima warta anugerah keselamatan yang sama,

mengapa anak-anak harus dibedakan dari orang dewasa dalam pelaksanaan ibadah dan Sakramen

Page 12: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

5

Perjamuan Kudus? Penulis melihat pelaksanaan ibadah dan sakramen Perjamuan Kudus di

GKSBS Sumber Agung menunjukkan bahwa Gereja tidak menerima sepenuhnya anak-anak

untuk berada di tengah-tengah orang dewasa. Hingga ada upaya penyingkiran anak-anak dengan

memisahkan ruang antara anak-anak dan orang dewasa, serta adanya pembedaan perlakuan

gereja terhadap anak-anak pada saat ibadah sebelum Perjamuan Kudus, yang mengakibatkan

anak-anak kehilangan kesempatan untuk mendengarkan khotbah sebagaimana orang dewasa

melakukannya.

Maka timbul pertanyaan oleh penulis yang menjadi rumusan masalah: 1. Bagaimana

pandangan anggota jemaat dewasa maupun anak-anak di GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber

Agung mengenai kebijakan pemisahan ruangan untuk anggota jemaat dewasa dan anak-anak

pada saat berlangsungnya ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak di GKSBS

Semuli Jaya kelompok Sumber Agung. 2. Mengapa anak-anak tidak perlu berpartisipasi secara

penuh bersama dengan anggota jemaat dewasa dalam ibadah bersama dan Sakramen Perjamuan

Kudus di GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung?

Tujuan dari penelitian ini ialah: 1. Mendeskripsikan pandangan jemaat GKSBS Semuli Jaya

Kelompok Sumber Agung mengenai pemisahan ruang anggota jemaat dewasa dan anak-anak

pada saat berlangsungnya ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus. 2. Mendeskripsikan

kelebihan dan kekurangan anak-anak tidak berpartisipasi secara penuh bersama anggota jemaat

dewasa dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak-anak di GKSBS Semuli

Jaya Kelompok Sumber Agung.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Jenis penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi lapangan dengan teknik pengumpulan data yaitu

wawancara (interview). Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih

mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi.10

Jenis wawancara yang akan dilakukan ialah wawancara semiterstruktur (Semistrucktur

Interview). Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara

terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya.11

Penulis akan

mewawancarai narasumber yaitu Pendeta Jemaat GKSBS Semuli Jaya (1 orang), majelis gereja

10

Prof. Dr. H. Kaelan, M.S, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni,

Agama dan Humaniora (Yogyakarta : Paradigma,2012), 111. 11

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2012),

318.

Page 13: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

6

setempat (Penatua: 1 orang, Diaken: 2 orang), serta anggota jemaat (2 orang), dan guru sekolah

minggu (2 orang).

GKSBS telah mensahkan Perjamuan Kudus bagi anak-anak sejak tahun 2005 secara sinodal,

namun dalam pelaksanaannya, hingga saat ini gereja belum benar-benar menunjukkan

penerimaan sepenuhnya terhadap kehadiran anak-anak dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan

Kudus di GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung. Hal ini menjadi urgensi penulis untuk

perlunya peninjauan kembali pelaksanaan Perjamuan Kudus bersama anak ini. Sehingga

diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi gereja

mengenai pelaksanaan ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS Semuli

Jaya kelompok Sumber Agung.

Sistematika penulisan Tugas Akhir ini terbagi menjadi lima bagian. Pertama, berisi tentang

latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, urgensi dan manfaat penelitian, metode

penelitian, lokasi penelitian, dan sistematika penulisan. Kedua, berisi tentang landasan teori

berkaitan dengan pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak. Ketiga, berisi tentang

data hasil penelitian di lapangan. Keempat, berisi tentang analisa dari teori terhadap data hasil

penelitian di lapangan. Kelima, berisi tentang kesimpulan dan penutup.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Sakramen dan Perjamuan Kudus

Sakramen tidak hanya dapat didefinisikan sebagai simbol religius, keagamaan. Sebab

tidak semua simbol religius disebut sakramen. Pada umumnya dibedakan dua macam simbol

atau lambang religius. Simbol religius yang satu ialah simbol ekspresif. Artinya: sebuah realita

fisik (benda atau perbuatan) menjadi ekspresi atau ungkapan dari suatu pengalaman subjektif

batiniah (keyakinan, perasaan dan sebagainya) terhadap Yang Transenden. Misalnya saja, tanda

salib dan lilin yang merupakan simbol suatu keyakinan, perasaaan dan pengalaman orang

Kristen. Dengan membuat tanda salib dan memasang lilin seorang Kristen mengekspresikan

kebatinannya.12

Jenis simbol religious yang kedua ialah simbol representatif, yaitu sebuah

lambang yang menunjuk dan menghadirkan suatu realitas yang melampaui segala pengalaman

biasa dan hanya tercapai melalui dan dalam simbol itu. Sebab realitas itu justru memperlihatkan

12

C. Groenen OFM, Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah, Wujud, Struktur

(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 20-21.

Page 14: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

7

diri dalam simbol dan berupa simbol saja.13

Suatu simbol representatif berdasarkan pengalaman

dan bermaksud untuk mencetuskan pengalaman. Mula-mula salah satu realitas fisik (benda,

perbuatan, kejadian) langsung dialami oleh seseorang atau kelompok sebagai penampakan dari

Yang Transenden. Tetapi kemudian realitas itu dijadikan sebuah simbol sosial dan ditetapkan

guna mengantar lain-lain orang (anggota-anggota kelompok social itu) kepada pengalaman

religius yang sama, sehingga melalui dan dalam simbol itu Yang Transenden menjadi dialami.

Yang Transenden (ilahi) itu tidak hanya nampak berupa simbol, tetapi ia pun nampak, teralami

sebagai realitas dinamis, suatu kekuatan atau daya yang menyentuh orang yang mengalaminya

berupa simbol.14

Maka dalam hal ini „sakramen‟ merupakan simbol/lambang representatif, yaitu

benda/barang atau perbuatan religius yang menjadi simbol (sosial) dari Yang Transenden, yang

Ilahi.15

Gereja-gereja Protestan di Indonesia melaksanakan dua sakramen, yaitu Sakramen

Baptisan Kudus dan Sakramen Perjamuan Kudus.

Sakramen Perjamuan Kudus memiliki beberapa nama lain, yaitu diantaranya: Ekaristi,

Misa, Pemecahan roti, Perjamuan Tuhan, Perjamuan Malam, Kurban dan Persembahan, Liturgi

Ilahi, Komuni Suci, dan lainnya. Meskipun ada beberapa nama untuk sakramen Perjamuan

Kudus, namun semuanya menunjuk pada sakramen yang sama dan menggunakan elemen yang

sama yaitu roti dan anggur. Dalam kalimat pengantarnya, Cornelis P. Venema mengartikan

Perjamuan Tuhan sebagai sarana rahmat, yang Kristus gunakan oleh Roh-Nya untuk memelihara

iman orang-orang percaya dan untuk memperkuat persekutuan mereka denganNya dan dengan

mereka yang menjadi anggota tubuh-Nya, Gereja.16

Sakramen Perjamuan Kudus memiliki makna, yang menurut Dr. J.L.CH. Abineno ada

lima arti atau makna untuk Perjamuan Malam (Perjamuan Kudus). Pertama, perjamuan

pengucapan syukur. Perjamuan Malam –sama seperti Paskah Israel− adalah suatu pesta: suatu

pesta kemenangan. Dalam pesta itu kita diundang sebagai “tamu” untuk turut merayakannya.

Yang mengundang kita ialah Kristus sebagai “tuan” pesta. Ia mau, supaya kita melakukan hal itu

dengan gembira. Itu yang mau diberitakan oleh Perjamuan Malam kepada kita. Oleh karena

kematian dan kebangkitanNya, Allah mendamaikan kamu dengan diriNya (bnd II Kor 5:18).

Sebagai anak-anakNya yang diperkenankan lagi dalam persekutuan dengan Dia. Maka harus

13

C. Groenen OFM, Sakramentologi, 21. 14

C. Groenen OFM, Sakramentologi, 22. 15

C. Groenen OFM, Sakramentologi, 24. 16

Cornelis P. Venema, Children at the Lord’s Table? : Assessing the Case for Paedocommunion (Grand Rapids:

Reformation Heritage Books, 2009), vii.

Page 15: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

8

bergembira dan mengucap syukur kepadaNya atas kasih dan anugerahNya itu.17

Kedua,

Perjamuan Malam merupakan peringatan akan Yesus. Peringatan yang dimaksud ialah

mempresentir kembali dan menghayati sekarang juga keselamatan yang Yesus kerjakan oleh

kematian dan kebangkitanNya.18

Ketiga, Perjamuan Malam merupakan pemberian Roh Kudus.

Elemen roti dan anggur yang digunakan dalam Perjamuan tetaplah secara fisik roti dan anggur,

tidak berubah menjadi tubuh dan darah Yesus. Tetapi oleh pekerjaan Roh Kudus kita beroleh

persekutuan dengan Kristus (= dengan kematian dan kebangkitanNya) yang benar-benar hadir

dalam Perjamuan Malam.19

Keempat, Perjamuan Malam adalah perjamuan persekutuan.

Pertama-tama persekutuan dengan Kristus. Ia memberikan “koinonia” (= persekutuan) tubuh dan

darahNya kepada kita. Dalam koinonia Perjamuan Malam ada distansi, ada jarak: kristus tetap

Kristus dan kita tetap kita. Tidak ada perpaduan fisik dan mistik. Semua oleh karena pekerjaan

Roh Kudus beroleh persekutuan dengan tubuh dan darahNya.20

Persekutuan dalam Perjamuan

Malam kita tidak hanya mendapat persekutuan dengan Kristus tetapi juga seorang dengan yang

lain sebagai satu tubuh Tuhan. Maka dari itu koinonia (= persekutuan) Perjamuan Malam

bertentangan dengan perbedaan (diskriminasi) ras, suku, bahasa, golong dan lain-lain. Perjamuan

Malam terbuka untuk semua orang: yang kaya, yang miskin, yang berkuasa, yang lemah, dan

sebagainya.21

Kelima, Perjamuan Malam dan Perjamuan Agung di masa depan. Perjamuan

Agung merupakan perjamuan yang dinantikan dalam Kerajaan Allah (bnd Mat 8:11, Luk 13:28

dyb; 14:13 dyb). Tetapi hadirnya Yesus Kristus (dalam diri, perkataan, dan perbuatanNya),

Kerajaan Allah itu telah mendobrak masuk ke dalam dunia. Karena itu Perjamuan Malam bukan

hanya lambang saja! Ia bukan berfungsi sebagai jari, yang menunjuk pada keselamatan yang

akan datang. Perjamuan Malam − sebagai berita tentang kematian dan kebangkitan Kristus−

adalah benar-benar representasi dari keselamatan yang Allah berikan dalam Kristus. Aspek

eskatologis ini dapat memelihara kita dari rupa-rupa anggapan magis dalam Perjamuan Malam,

tetapi dapat juga mendorong dan “merangsang” kita untuk merayakan Perjamuan Malam dengan

gembira dan dengan penuh harapan.22

17

J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1982), 22. 18

J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 26. 19

J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 27. 20

J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 29. 21

J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 30. 22

J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 32.

Page 16: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

9

2.2 Praktek Paedocommunion (Perjamuan Kudus untuk Anak)

Meskipun terbilang suatu gagasan yang baru di lingkungan gereja - gereja protestan di

Indonesia, Perjamuan Kudus Anak atau Paedocommunion (Paedo (bahasa Yunani) = anak;

Communion = Komuni/ Perjamuan) sudah dipraktekkan sejak Gereja mula-mula. Seperti yang

dikemukakan oleh bapa-bapa Gereja seperti Cyprianus, Augustinus dan Leo Agung.

1. Cyprianus

Cyprianus (Uskup Carthage, sekitar tahun 250) menulis tentang paedocommunion di

dalam On the Lapsed (9, 25-26) dan Epistle (58.3, 5). Tulisannya di dalam On the Lapsed berikut

ini merupakan kesaksiannya sendiri:

Learn what occurred when I myself was present and a witness. Some parents who by chance were escaping,

being little careful on account of their terror, left a little daughter under the care of a wet-nurse. The nurse

gave up the forsaken child to the magistrates. They gave it, in the presence of an idol whither the people

flocked (because it was not yet able to eat flesh on account of its years), bread mingled with wine, which

however itself was the remainder of what had been used in the immolation of those that had perished.

Subsequently the mother recovered her child. But the girl was no more able to speak, or to indicate the

crime that had been committed, than she had before been able to understand or to prevent it. Therefore it

happened unawares in their ignorance, that when we were sacrificing, the mother brought it in with her.

Moreover, the girl mingled with the saints, became impatient of our prayer and supplications, and was at

one moment shaken with weeping, and at another tossed about like a wave of the sea by the violent

excitement of her mind; as if by the compulsion of a torturer the soul of that still tender child confessed a

consciousness of the fact with such signs as it could. When, however, the solemnities were finished, and the

deacon began to offer the cup to those present, and when, as the rest received it, its turn approached, the

little child, by the instinct of the divine majesty, turned away its face, compressed its mouth with resisting

lips, and refused the cup. Still the deacon persisted, and, although against her efforts, forced on her some of

the sacrament of the cup. Then there followed a sobbing and vomiting. In a profane body and mouth the

Eucharist could not remain; the draught sanctified in the blood of the Lord burst forth from the polluted

stomach. So great is the Lord‟s power, so great is His majesty. The secrets of darkness were disclosed

under His light, and not even hidden crimes deceived God‟s priest. This much about an infant, which was

not yet of an age to speak of the crime committed by others in respect of herself.23

Meskipun kita meragukan validitas penafsiran Cyprianus tentang kejadian ini atau

setidaknya aspek-aspek signifikan darinya, akan tetapi tidak ada alasan untuk meragukan

23

Cyprian, Treatises, “On the Lapsed,” ch. 25-26, p. 444;

Page 17: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

10

peristiwa yang sebenarnya atau praktek komuni anak-anak yang kecil (bayi) yang jelas tersirat.24

Tulisannya yang lebih prinsipal terdapat di dalam Epistle 58:3, 5 sebagai berikut:

Moreover, belief in divine Scripture declares to us, that among all, whether infants or those who are older,

there is the same equality of the divine gift. . . . But in that is expressed the divine and spiritual equality,

that all men are like and equal, since they have once been made by God; and our age may have a difference

in the increase of our bodies, according to the world, but not according to God; unless that very grace also

which is given to the baptized is given either less or more, according to the age of the receivers, whereas the

Holy Spirit is not given with measure, but by the love and mercy of the Father alike to all. For God, as He

does not accept the person, so does not accept the age; since He shows Himself Father to all with well-

weighed equality for the attainment of heavenly grace. . . . But if anything could hinder men from obtaining

grace, their more heinous sins might rather hinder those who are mature and grown up and older. (Epistle

58:3,5)

Cyprianus menegaskan bahwa ia menolak apa yang secara implisit dilakukan oleh kita secara

modern: membuat anak-anak perjanjian sebagai orang kristen kelas kedua. Melainkan sama

dengan orang dewasa berhak menerima rahmat Ilahi di kedudukan yang sama.25

Menurutnya

justru anak-anak yang lebih layak dibandingkan orang dewasa, karena orang dewasa memiliki

dosa yang jauh lebih banyak. Maka Cyprianus menerima anak-anak bukan sebagai kelas bawah,

tetapi sama kedudukannya dengan anggota jemaat dewasa pada umumnya.

2. Augustinus

Bapa gereja yang sangat kaliber yaitu St. Augustinus (354-430) juga menulis tentang

paedocommunion. Dalam tulisannya di Sermon 174, 7, ia berkata, “Mereka adalah anak-anak

kecil, tetapi mereka menjadi para anggota-Nya. Mereka adalah anak-anak kecil, namun mereka

menerima sakramen-sakramen-Nya. Mereka adalah anak-anak kecil, tetapi mereka menjadi

peserta dalam meja perjamuan-Nya sehingga mereka dapat memiliki hidup di dalam dirinya

sendiri.”26

Dari tulisan Agustinus ini menjadi sangat jelas bahwa paedocommunion dipraktekkan

pada masa bapa-bapa gereja.

24

Tim Gallant, Feed My Lambs: Why the Lord’s Table Should Be Restored to Covenant Children (Canada: Pactum

Reformanda Publishing, 2002), 113-114. 25

Gallant, Feed My Lambs, 114-115. 26

Agustinus, “Sermons”, no. 174, bag. 7 sebagaimana dikutip Urban, Op. Cit., 356. Bnd. McGrath, Op. Cit., 12-13,

514-517. Berkhof, Op. Cit., 27, 67. Reinhold Seeberg, Text-book of the History of Doctrines (Grand Rapids,

Michigan: Baker Book House, 1958), 312-328. Martasudjita, Op. Cit., 256-258.

Page 18: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

11

3. Leo Agung

Menambah referensi praktek paedocommunion pada abad ketiga dan keempat, saksi Leo

1 (440-461) sebagai uskup Roma pada waktu itu menjawab pertanyaan: apa yang semestinya

dilakukan kepada mereka yang telah ditangkap oleh orang-orang kafir setelah dibesarkan di

rumah-rumah Kristen. Jika mereka tidak yakin apakah mereka telah dibaptis, tetapi dapat

mengingat menghadiri gereja, haruskah mereka dibaptis sekarang, untuk berjaga-jaga, atau

tidak? Kemudian Uskup Roma itu menjawab berdasarkan pengamatannya bahwa mereka yang

ingat pergi ke gereja bersama orang tua mereka dapat mengingat apakah mereka menerima apa

yang biasa diberikan kepada orang tua mereka. Lanjutnya ia mengakui bahwa mungkin saja ini

juga luput dari ingatan mereka. Dengan kata lain anak-anak itu dapat diyakinkan akan baptisan

mereka jika mereka telah ambil bagian dalam komuni (karena komuni tidak akan diberikan

kepada mereka yang belum dibaptis).27

Pada masa itu, komuni dilakukan oleh seseorang yang

telah dibaptis termasuk yang masih anak-anak. Komuni menjadi bukti yang meyakinkan

seseorang sudah menjadi bagian dari anggota gereja atau belum, karena pembaptisan selalu

diikuti dengan komuni. Sehingga, mereka yang telah menerima komuni tentu sudah dibaptis dan

menjadi anggota gereja.

Berdasarkan bukti catatan sejarah menunjukkan bahwa paedocommunion (komuni anak-

anak) sudah dipraktekkan sejak Gereja Mula-mula baik di Gereja Barat maupun Timur. Selama

tiga abad pertama, komuni bayi bukan menjadi pertanyaan sentral pada waktu itu. Orang dewasa

yang percaya dibaptis, ternyata bayi dan anak-anak juga dimasukkan ketika keluarga mereka

dibaptis. Oleh karena pola inisiasi Kristen yang berkembang selama tiga abad pertama termasuk

pemandian air (didahului atau diikuti oleh pengurapan) yang diakhiri oleh ekaristi, maka semua

yang dibaptis, termasuk bayi, menerima komuni.28

Namun praktek ini bertahan kurang lebih selama 1200 tahun saja di Gereja Barat (Katolik

dan Protestan) karena pada tahun 1215 diadakan Konsili Lateran Keempat yang mengesahkan

doktrin Transubtansiasi. Doktrin Transbutansiasi adalah doktrin yang menandaskan bahwa

hakikat roti dan anggur berubah menjadi hakikat tubuh dan darah Yesus. Maka dari itu,

menjatuhkan roti dan anggur dapat berakibat pada penistaan tubuh dan darah Yesus. Itulah

27

Gallant, Feed My Lambs, 120. 28

Ruth A. Meyers, “Infant Communion: Reflections on the Case from Tradition,” Anglican and Episcopal History,

Vol. 57, No. 2 (June 1988): 162, diakses January 14, 2016,

https://www.jstor.org/stable/42610259?seq=1#page_scan_tab_contents.

Page 19: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

12

sebabnya anak-anak tidak diperkenankan lagi menerima roti dan anggur perjamuan karena

dikhawatirkan mereka menjatuhkannya, yang itu artinya mereka menista tubuh dan darah

Yesus.29

Oleh karena penekanan teologis ini maka terjadi pemisahan sakramen Baptisan dan

Ekaristi. Di Gereja Roma Ekaristi tidak diberikan kepada anak-anak orang percaya, tetapi bagi

mereka yang memenuhi syarat yaitu telah dibaptis dan juga melakukan konfirmasi. Konfirmasi

umumnya diberikan kepada mereka yang sudah mencapai usia kebijaksanaan, kecuali jika anak

tersebut sakit parah. Gereja Lutheran dan Reformed seperti halnya Gereja Roma, mereka yang

memiliki akses ke meja Perjamuan haruslah terlebih dahulu melakukan pengakuan iman

(konfirmasi), terlebih di Gereja Protestan yang membaptis Bayi. Akses ke meja, dalam arti

tertentu, merupakan hak istimewa yang harus diperoleh dengan artikulasi iman evangelis, yang

melibatkan pemahaman intelektual dan komitmen.30

Seperti halnya juga sebagian besar gereja-

gereja di Indonesia hingga saat ini, baik yang beraliran Calvinis maupun Lutheran, masih

memberlakukan pengakuan iman (sidi) untuk melayakkan seseorang datang ke meja Perjamuan

Tuhan.

2.3 Anak-anak dalam Perjamuan Paskah

Partisipasi anak-anak juga ditunjukkan dalam perjamuan Paskah Yahudi atau seder yang

diadakan pada malam 15 Nisan. Dalam perjamuan tersebut, setiap keluarga yang merayakan

paskah melibatkan anak-anak dalam perjamuan makan mereka. Seperti yang tercatat dalam

Misnah 10: 4.31

Anak-anak diberi tempat dan berpartisipasi di dalamnya dengan mengajukan

pertanyaan kepada ayahnya (kepala keluarga). Meskipun dalam dokumen tersebut Perjamuan

Paskah tidak ditulis secara rinci bagaimana tempat duduk anak-anak tesebut. Akan tetapi kita

dapat menangkap suatu gambar, jika ada komunikasi yaitu tanya-jawab antara anak dan orang

tuanya, masakah anak-anak itu duduk terpisah dari orang tua mereka? Tentulah anak-anak

berkomunikasi dan menerima jamuan makan paskah di meja yang sama dengan orang tua

mereka. Hal ini sepakat dengan suatu ilustrasi dalam buku The Origin of Seder: Sebuah keluarga

berpartisipasi dalam perjamuan makan paskah.32

Tergambar bahwa anak-anak duduk bersama

orang tua mereka melingkari meja yang sama dan terdapat hidangan makanan khas paskah di

atas meja. Gambar ilustrasi tersebut juga menunjukkan anak-anak berkomunikasi dengan

29

Joas Adiprasetya, Labirin Kehidupan: Spritualitas Sehari-hari Bagi Peziarah Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2016), 147-148. 30

Gallant, Feed My Lambs, 17. 31

Baruch M. Bokser, The Origins of The Seder: The Passover Rite and Early Rabbinic Judaism (Berkeley:

University of California Press, 1984), 30. 32

Bokser, The Origins of The Seder: The Passover Rite and Early Rabbinic Judaism, xix.

Page 20: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

13

anggota keluarga lainnya yang barangkali menggambarkan tradisi tanya-jawab antara anak dan

kepala keluarga.

Tradisi tanya-jawab tersebut tercatat juga dalam teks Perjanjian Lama Keluaran 12: 26–

27. Setelah menerima perintah Allah tentang merayakan Paskah, Musa berkata kepada orang-

orang, “Dan ketika anak-anakmu bertanya kepadamu, 'Apa arti ibadah ini bagimu?' Kemudian

katakan kepada mereka, 'Itu adalah korban Paskah untuk TUHAN, yang melewati rumah-rumah

orang Israel di Mesir dan menyelamatkan rumah kami ketika ia membinasakan orang-orang

Mesir.'” Ada dua cara untuk menafsirkan teks ini. Pertama, anak-anak yang berpartisipasi dalam

perjamuan Paskah harus menunjukkan pemahaman dengan mengajukan pertanyaan tentang

makna Paskah. Pada saat yang sama, pertanyaan ini mengungkapkan bahwa partisipasi dalam

perjamuan Paskah adalah kesempatan untuk mengajar dan mempelajari makna Paskah dan

keselamatan Allah (Keidel, 1975; Stuart, 2006).33

Dengan demikian, tradisi Perjamuan Paskah

menunjukkan bahwa anak-anak berada di tempat yang sama dengan orang tua mereka. Tidak ada

pemisahan ruang khusus untuk anak-anak atau pun orang dewasa. Semua anggota keluarga

berkumpul dan berpartisipasi dalam perjamuan makan Paskah itu.

2.4 Anak- anak dalam Pemecahan Roti di Jemaat Perdana

Partisipasi anak dalam Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus (pemecahan roti)

terdapat juga dalam teks Perjanjian Baru. Kisah Para Rasul 10: 1-48 mengisahkan seorang

perwira pasukan di Kaisarea bernama Kornelius. Ia adalah seorang pemimpin romawi.

Tampaknya Ia adalah tokoh yang berpengaruh.34

Kornelius dan seisi rumahnya tergolong orang

yang takut akan Allah atau orang saleh (Ay. 1-2). Kemudian karena tidak ada yang keberatan

untuk membaptis mereka, mereka pun dibaptis (ay.47-48), yaitu Kornelius dan seisi rumahnya.

Jika dikatakan seisi rumah seorang tokoh penting atau bangsawan, maka yang dimaksud seisi

rumah itu ialah keluarganya (istri dan anak-anaknya, kerabat yang tinggal bersama barangkali)

dan para hambanya.35

Dengan demikian, Baptisan Kornelius dan seisi rumahnya adalah Baptisan

bagi semua orang yang ada di rumah itu, termasuk di dalamnya anak-anak.

Keterlibatan anak-anak tidak hanya dalam sakramen Baptisan, melainkan juga dalam

Sakramen Perjamuan Kudus (pemecahan roti). Teks Kisah Para Rasul 2:41-42, “Orang-orang

33

Hwarang Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord‟s Supper?: A Perspektif From

Developmental Theory,” Christian Education Journal 10, no. 1 (2013): 40. 34

St. Darmawijaya, Pr, Kisah Para Rasul (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 135. 35

C. Van den Berg, Sungguh Merekalah Umat-Ku (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 139-140.

Page 21: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

14

yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka

bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam

persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Mereka yang

telah menerima diri dibaptis, kemudian mengadakan persekutuan dan memecahkan roti.

Pemecahan roti itu biasanya dilakukan di rumah masing-masing secara bergiliran dan makan

bersama (Kis 2:46b). Pelayanan persekutuan jemaat yang begitu besar pasti tidak mudah, tetapi

dalam Bait Allah ada tempat yang lapang, yaitu di Serambi Salomo. Perjamuan Kudus mereka

rayakan di rumah. Di samping itu, acara makan sehari-hari dipandang sangat sesuai untuk

menunjukkan rasa kasih dan suka cita secara murni dan tulus hati.36

Selain alasan diatas, bisa

jadi karena di jemaat perdana biasanya Baptisan dilakukan bukan hanya perorangan melainkan

kepada seluruh anggota keluarga dan para hambanya (jika memiliki) seperti halnya yang terjadi

pada Kornelius. Maka pemecahan roti itu pun dapat dilakukan di rumah, karena semua anggota

keluarga merupakan anggota Baptisan, sehingga tidak ada yang keberatan. Maka, perayakan

pemecahan roti pun seperti halnya acara makan bersama dengan keluarga. Semua yang hadir

termasuk anak-anak merayakan pemecahan roti itu pun di meja yang sama untuk makan

bersama.

Memecahkan roti atau makan bersama memang secara alamiah menjadi tanda

persaudaraan yang amat mendalam. Bukan makannya yang penting melainkan kumpul dan

makan apa yang menjadi hasil keluarga itu, jerih payah dan kegembiraan yang mereka alami,

dirasakan bersama dalam pemecahan roti atau makan bersama. Tampaknya istilah memecahkan

roti bukan hanya sekedar menunjuk makan bersama biasa, melainkan sambil mengenang apa

yang dulu pernah dibuat Yesus bersama para murid-Nya. Lebih dari itu, makan bersama lalu juga

menjadi tanda persatuan mereka dengan Dia yang telah menyerahkan hidupnya. Pemecahan roti

adalah ungkapan syukur mereka bersama yang kemudian menjadi perjamuan Ekaristi yang

dikenal jemaat masa kini.37

Oleh karena pemecahan roti atau makan bersama itu dilakukan

sebagai ungkapan syukur dan tanda persaudaraan seluruh anggota Baptisan. Maka tidak ada

pembedaan antar sesama anggota Baptisan yang anak-anak dan dewasa. Semua berbaur

menikmati makanan yang sama dan berkumpul di tempat yang sama.

Seperti halnya perjamuan makan Paskah dan pemecahan roti, orang tua berperan penting

untuk mengikutsertakan anak-anak mereka. Dalam perjamuan paskah, anak-anak diberi

36

Berg, Sungguh Merekalah Umat-Ku, 52. 37

St. Darmawijaya, Pr, Kisah Para Rasul, 46.

Page 22: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

15

kesempatan untuk menanyakan hal-hal terkait makan paskah kepada kepala keluarga untuk

mengingatkannya kembali makna perjamuan makan paskah di tengah keluarga. Ini menunjukkan

bagaimana orang tua juga berperan pada pemberian pengertian kepada anak. Selain itu, praktek

perjamuan makan paskah dan pemecahan roti itu pun tidak memisahkan ruang antara anak-anak

dan orang tua mereka. Maka di zaman sekarang ini, praktek Sakramen Perjamuan Kudus pun

semestinya tidak memisahkan ruang. Seperti yang diungkapkan oleh Pdt. Aris Windaryanto

bahwa dalam pelayanan sakramen perjamuan tersebut sebaiknya anak-anak tidak dipisahkan dari

orang tua mereka. Supaya peran orang tua yang harus bertanggung jawab membimbing dan

menghantar anak-anak mereka untuk dapat memahami dan menerima sakramen perjamuan

dengan baik dapat lebih dioptimalkan. Apabila perlu para orang tua dapat mengambilkan roti dan

anggur sakramen perjamuan untuk anak-anak mereka sambil menjelaskan secara singkat makna

sakramen perjamuan itu.38

2.5 Partisipasi anak dalam Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus

Partisipasi anak dalam Perjamuan Kudus seringkali dikaitkan dengan kemampuan

kognitif dan kapasitas iman anak. Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya

knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (pengetahuan) ialah perolehan,

penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya,

istilah kognitif menjadi sanggat popular sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis

manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,

pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan.39

Seorang pakar dalam bidang ilmu psikologi, Jean Piaget mengemukakan empat tahap

perkembangan kognitif seorang anak. Tahap paling awal ialah tahap sensorimotor (0-2 tahun),

tahap praoperasi (umur 2-7 tahun), tahap operasi konkret (8-11 tahun), dan tahap operasi formal

(11 tahun keatas). Tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi

anak pada lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau, dan lain-

lain.40

Tahap praoperasi dicirikan dengan perluasaan penggunaan pemikiran simbolis, atau

kemampuan representasional, tetapi belum mampu menggunakan pemikiran logis.41

Ciri lain

anak pada tahap praoperasi ialah egosentrisme, anak belum dapat melihat pandangan orang

38

Aris Windaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak: Telaah Atas Keikutsertaan Anak –anak Dalam Perjamuan

Kudus (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), 107. 39

Yudrik Jahja, Psikologi perkembangan (Jakarta: Kencana, 2011), 56. 40

Dr. Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 26. 41

Diane E. Papalia, Human Development: Psikologi Perkembangan, ed. A.K.Anwar (Jakarta: Kencana, 2008), 323.

Page 23: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

16

lain.42

Tahap operasi konkret, anak dapat berpikir logis ketimbang sebelumnya karena pada saat

ini mereka dapat mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam pertimbangan.

Walaupun demikian, mereka masih dibatasi untuk berpikir tentang situasi yang sebenarnya pada

saat itu saja.43

Tahap operasi formal, seorang remaja dapat berpikir logis, berpikir dengan

pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil

kesimpulan lepas dari apa yang diamati saat itu (Piaget & Inhelder, 1969; Piaget 1981). Pada

tahap ini, logika remaja mulai berkembang dan digunakan. Cara berpikir yang abstrak mulai

dimengerti.44

Piaget menjelaskan ada berbagai macam hal yang memengaruhi perkembangan

kognitif anak, setidaknya ada empat faktor, yaitu perkembangan organik dan kematangan sistem

saraf, latihan dan pengalaman, interaksi sosial, dan ekuilibrasi45

dan mekanismenya.46

Faktor-

faktor tersebut memengaruhi kemajuan kognitif tiap individu, sehingga meskipun urutan tahapan

tersebut tetap, namun umur individu mengalami tahap-tahap tersebut bisa jadi tidak selalu sama

atau bervariasi.

Mengenai perkembangan iman individu, James Fowler menyajikan teorinya dalam enam

tahap perkembangan iman (Fowler & Keen, 1978). Pada tahap pertama (2-7 tahun), “anak-anak

memperhatikan dan meniru suasana hati, gerakan, dan praktik nyata dari . . . orang pertama”

(Fowler, 1976, hlm. 192). Kemudian, pada tahap kedua (7-12 tahun) yaitu tahap kepercayaan

mitos-literal, anak-anak mulai berpikir operasional konkret. Ini adalah tahap, Fowler (1981)

mengatakan, “yang mana orang mulai mengambil untuk cerita dirinya sendiri, kepercayaan dan

ketaatan yang melambangkan kepemilikan komunitasnya.” Pada tahap ini, orang “dapat sangat

terpengaruh sangat kuat dan dalam oleh bahan simbolis dan dramatis dan dapat menggambarkan

dalam narasi tanpa akhir yang terperinci apa yang telah terjadi.” (hlm. 149)47

Menurut Fowler,

hal yang mendasari semua tahap iman itu adalah pengalaman dasar iman sebagai kepercayaan,

kapasitas yang hadir saat lahir, dan yang mulai berkembang segera setelah seorang anak mulai

berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, yaitu, juga saat lahir.48

Dengan demikian ada

42

Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget, 62. 43

Papalia, Human Development: Psikologi Perkembangan, 435. 44

Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget, 88. 45

Ekuilibrasi merupakan proses untuk menjadi ekuilibrium (kesetimbangan). Ekuilibrasi juga sering disebut

motivasi dasar seseorang yang memungkinkannya selalu berusaha memperkembangkan pemikiran dan

pengetahuannya. (Suparno, 2001, hlm.108) 46

Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget, 104. 47

Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord’s Supper?,” 33-34. 48

Meyers, “Infant Communion: Reflections on the Case from Tradition,” 173.

Page 24: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

17

kesamaan pandangan Piaget dan Fowler, bahwa pengalaman dan interaksi sosial berpengaruh

terhadap perkembangan kognitif maupun iman anak.

Oleh karena itu, dengan anak berpartisipasi dan turut berperan serta dalam Ibadah dan

Sakramen Perjamuan Kudus dapat menunjang perkembangan kognitif maupun iman anak,

karena pada dasarnya anak mengalami pengalaman secara langsung dan berinteraksi dengan

anggota jemaat. Partisipasi berulang dalam ibadah umum serta hubungan interpersonal

mempromosikan perkembangan keagamaan (Streib, 2001).49

Vygotsky juga berpendapat hal

yang sama, menurutnya dengan berpartisipasi dalam ibadat umum atau sakramen, anak-anak

kecil dapat mempelajari isi dan karakter iman Kristen dan dapat mengalami perkembangan batin.

Dengan berpartisipasi dengan orang tua dan anggota keluarga mereka, mengajukan pertanyaan

tentang makna ibadah dan iman, dan pada saat yang sama menerima instruksi dari orang dewasa,

mereka dapat mengalami ibadah yang mendalam di luar status pemahaman mereka.50

Dengan

demikian meskipun anak-anak belum memiliki kapasitas kognitif dan iman seperti orang dewasa,

berpartisipasi dalam ibadah umum dan sakramen akan mendorong perkembangan kognitif dan

iman anak-anak kearah kemajuan. Joyce Mercer menambahkan, bahwa penting bagi anak-anak

untuk berpartisipasi dalam praktek inti jemaat, jika anak-anak hanya berpartisipasi dalam praktek

yang kurang inti, kurang mendefinisikan identitas, maka anak-anak memiliki sedikit kesempatan

untuk belajar dan dibentuk dan diubah dalam identitas melalui partisipasi mereka dalam praktek.

Partisipasi yang kurang inti misalnya paduan suara anak-anak yang tampil dalam ibadah jemaat.

Maka penting bagi anak-anak untuk memiliki akses ke praktek-praktek utama jemaat, seperti

kegiatan misi, sakramen, cara menafsirkan Alkitab, dan pola-pola doa. Supaya anak-anak

menjadi murid dalam kehidupan dan iman Kristen, maka mereka harus memiliki kesempatan

untuk berpartisipasi dengan anggota jemaat lainnya dalam “praktek inti” yang menentukan

kehidupan dan imannya.51

Namun seringkali partisipasi anak dalam ibadah umum dan sakramen menimbulkan

masalah bagi komunitas iman. Tingkah laku anak yang aktif dan dirasa mengganggu orang

dewasa pada saat ibadah, membuat adanya upaya untuk menyingkiran anak-anak dari

perkumpulan komunitas iman yang sedang beribadah. Tentu saja ini menyangkut kepentingan

orang dewasa yang menginginkan suasana ibadah yang hening, khusyuk dan tanpa gangguan.

49

Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord’s Supper?,” 39. 50

Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord’s Supper?,” 40. 51

Joyce Ann Mercer, Welcoming Children: A Practical Theology of Childhood (St. Louis, MO: Chalice, 2005), 201-

202.

Page 25: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

18

Mercer berpendapat bahwa komunitas Kristen yaitu segenap jemaat perlu mengembang diri

sebagai komunitas yang terlibat dalam pengasuhan bersama, khususnya pertemuan mereka

dalam ibadah. Setiap orang dewasa yang disekitarnya terdapat anak, dapat bertanggung jawab

atas perawatan, disiplin, dan pengasuhan anak itu sesuai kebutuhan, sehingga komunitas iman

bertanggung jawab untuk menghadiri dan melatih anak-anak orang lain selama ibadah dan di

waktu lain. Dengan melakukan ini, komunitas mewujudkan komitmen pembaptisan dari anak-

anak tersebut yaitu komunitas membantu membesarkan anak-anak gereja dalam iman dengan

cara yang sangat nyata. Sehingga beban pengasuhan tidak hanya berlaku bagi orang tuanya

saja.52

3. HASIL PENELITIAN

3.1 Sejarah singkat GKSBS

Sinode GKSBS merupakan hasil dari usaha pelayanan yang dilakukan oleh Gereja

Kristen Jawa yang prihatin akan nasib para warga-pindah yang mengikuti program kolonisasi

oleh Pemerintah Hindia-Belanda di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Sejak tanggal 5 Juli 1938,

ikatan Gereja-gereja Jawa di Jawa Tengah bagian Selatan meresmikan pekabaran Injil di

Lampung.53

Oleh karena pelayanannya itu, maka gereja semakin bertumbuh dan berkembang di

wilayah Sumatera Bagian Selatan. Jemaat yang semakin terorganisir hingga diputuskan untuk

membentuk klasis baru yaitu Klasis Sumatera Selatan. Tertuang dalam Akta Sinode GKJ IV

Tahun 1953 artikel 31, bahwa Klasis Sumatera Selatan meliputi wilayah propinsi Sumatra

Selatan waktu itu yaitu wilayah Palembang, Jambi, Bengkulu dan Lampung.54

Adanya usulan

untuk membentuk sinode sendiri di wilayah tersebut, maka GKJ membentuk Deputat Sinode

Wilayah. Wilayah Sumatera Bagian Selatan merupakan bagian dari Deputat Wilayah 1 Sinode

GKJ. 55

Deputat Wilayah ditingkatkan menjadi Sinode Wilayah dalam rangka melatih dan

membina Gereja di Sumbagsel untuk bersinode sendiri. Maka Deputat Wilayah 1 Sinode GKJ

menjadi Sinode Wilayah 1 GKJ sejak tahun 1974.56

Setelah mempersiapkan kemandirian Gereja,

sinode GKJ memutuskan kemandirian Sinode Wilayah 1 GKJ menjadi Sinode Gereja-gereja

Kristen Sumatera Bagian Selatan (Sinode GKSBS). Maka pada tanggal 6 Agustus 1987

52

Joyce Ann Mercer, Welcoming Children: A Practical Theology of Childhood, 232. 53

E. Hoogerwerf, Gereja di tanah seberang: Lahirnya dan Berkembangnya Gereja Kristen Jawa di Sumatera

Selatan, ed. S.L. Tobing (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 30. 54

GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 6. 55

GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 7. 56

GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 8.

Page 26: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

19

ditetapkan lahirnya Sinode GKSBS, atas keputusan Sinode GKJ XVIII di Yogyakarta.57

Pada

sidang IV Sinode GKSBS tanggal 26-29 Agustus 1996 di Bandar Lampung, nama “Gereja-

gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan” menjadi “Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan”.58

Oleh karena sejarah GKSBS yang sangat dekat dengan GKJ, maka dalam Akta Sinode GKJ

XVIII tahun 1987, Artikel 119 bagian keputusan Sidang no. 3 menyatakan bahwa hubungan GKJ

dan GKSBS terjalin sebagai Gereja Saudara.59

3.2 Landasan Teologis Perjamuan Kudus untuk Anak di Sinode GKSBS

Sebelum Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak diputuskan dalam Sidang Sinode,

tentu Sinode GKSBS sudah memiliki landasan teologis yang jelas. GKSBS meyakini bahwa

Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah sakramen yang ditetapkan oleh Allah. Kedua Sakramen

ini mendapat tempat yang setara dalam kehidupan Gereja. Sulit untuk mempertanggungjawabkan

secara teologis jika gereja membolehkan seseorang untuk dibaptis tetapi tidak memperbolehkan

untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Anak-anak yang telah layak dibaptis, maka pada saat yang

sama juga layak untuk ikut dalam Perjamuan Tuhan. Perjamuan Kudus bagi anak-anak dalam

gereja mula-mula (hingga abad 12) adalah hal yang biasa. Pada abad 11, Imam memasukkan

jarinya ke dalam cawan minuman, lalu menaruhnya di bibir atau mulut bayi. Namun di Barat,

kemudian tradisi ini menghilang. Hal yang menyebabkan adalah penekanan secara ekstrim pada

ke-sakral-an dan ke-mistis-an Perjamuan Kudus. Bahkan sampai kepada hal yang sekecil-

kecilnya, misalnya saat minum anggur jangan sampai anggur tumpah, karena akan

mendatangkan dosa dsb. Pada saat itu, anggota Jemaat semakin takut untuk ikut Perjamuan

Kudus.60

Selain daripada itu, GKSBS menilai bahwa perjamuan kudus yang hanya dilakukan oleh

anggota jemaat dewasa (anggota sidi) merupakan warisan tradisi semata. Biasanya anak-anak

tidak diperbolehkan dengan alasan: “mereka „kan belum dewasa jadi belum mengerti atau

“ketika dibaptis, iman mereka „kan masih ikut iman orang tuanya” atau “bagaimana

pendadarannya bagi anak-anak, kan mereka belum mudheng (mengerti, paham)”.61

Menurut

GKSBS itu artinya gereja menancapkan pagar diskriminasi terhadap siapa yang boleh atau tidak

57

GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 12-13. 58

“Profil”, Sinode GKSBS, diakses pada tanggal 9 November 2019 pukul 12.32 http://gksbs.org/?page_id=2. 59

GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 12. 60

Dokumen Dalam Rangka Sosialisasi Liturgi baru hasil keputusan Sidang VII Sinode GKSBS di Bengkulu, 4. 61

GKSBS, “Tentang Perjamuan Kudus”, diakses tanggal 13 November 2019 pukul 12.42,

https://gksbs.org/2015/10/27/tentag-perjamuan-kudus-anak/.

Page 27: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

20

boleh menerima anugerah keselamatan lewat tanda sakramen. GKSBS kemudian menyoroti

bagaimana sikap Yesus terhadap anak-anak dalam Kitab Injil. Di dalam teks Matius 19:14,

Lukas 18: 16: “Biarlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku;

sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan sorga” dan teks Markus 10: 15:

“Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barang siapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti

anak kecil, ia tidak akan masuk di dalamnya.” Sikap penerimaan Yesus terhadap anak-anak

dalam teks itu dengan tegas dan jelas mengungkapkan, bahwa syarat seseorang untuk bisa

menjadi bagian dalam anugerah keselamatan Allah (KERAJAAN ALLAH) bukan kondisi-

kondisi tertentu seperti harus dewasa, harus mengerti/paham, apalagi harus pandai. 62

Orang dewasa sering menciptakan batasan, menurut alur pikirnya sendiri. Menafikan

pikiran anak-anak. Menurut kita bahwa bentuk keber-iman-an adalah adanya pengertian-

pengertian dan kepercayaan tertentu yang dimiliki. Iman memang butuh pengertian, untuk

bertumbuh, tapi pasti bukan pra-syarat. Iman juga ada di dalamnya soal kepercayaan. Tapi iman

juga bukan hanya soal percaya atau tidak percaya. Dengan batasan tentang iman yang

mensyaratkan soal kepercayaan dan pengertian, maka anak-anak di anggap belum beriman.

Alangkah sombongnya para orang dewasa!!!63

Orang dewasa biarlah beriman bersama dengan

kepercayaan dan pengertian-pengertian sendiri sebagai orang dewasa. Maka, biarlah anak-anak

juga beriman dengan pengertian-pengertiannya sendiri. Masing-masing beriman dengan

pengertiannya (sesuai dengan tingkat perkembangannya sendiri). Tingkat perkembangan

psikologi yang semakin tinggi bukan otomatis tinggi pula imannya. Dalam tingkat

perkembangan kejiwaan yang bagaimanapun: bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, lanjut usia,

semua diundang oleh Yesus. Semua dapat duduk atau berdiri sejajar menyambut anugerah

keselamatan Allah. Sebagaimana setiap orang mendapat anugerah keselamatan dari Allah yang

ditandai dengan Sakramen Baptis Kudus, maka layak dan boleh pula ia mendapat dan merasakan

anugerah Allah yang dinyatakan dalam Perjamuan Kudus. Setiap orang yang sudah dibaptis,

layak pula ikut Perjamuan Kudus.64

Atas landasan itulah GKSBS mantap untuk melaksanakan Perjamuan Kudus bersama

anak. Sakramen Perjamuan Kudus tidak menuntut pemahaman iman yang baik, tetapi meyakini

bahwa setiap anggota tubuh-Nya berhak menerima anugerah keselamatan yang sama. Semangat

62

GKSBS ,“Tentang Perjamuan Kudus” 63

GKSBS, “Tentang Perjamuan Kudus” 64

Tentang Perjamuan Kudus, diakses tanggal 13 November 2019 pukul 12.42, https://gksbs.org/2015/10/27/tentag-perjamuan-kudus-anak/.

Page 28: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

21

kesetaraan dan anti-diskriminasi menjadi pilar penting Perjamuan Kudus bersama Anak di

GKSBS.

3.3 Gambaran Umum GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung

Lokus penelitian ini adalah GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung yang

berlokasi di Desa Tanjung Iman, Kecamatan Blambangan Pagar, Kabupaten Lampung Utara,

Provinsi Lampung. Gereja ini merupakan pepanthan atau kelompok jemaat yang termasuk dalam

jangkauan wilayah pelayanan jemaat GKSBS Semuli Jaya. GKSBS Semuli Jaya sendiri memiliki

12 kelompok jemaat yang menyebar di beberapa daerah di Lampung Utara, diantaranya:

kelompok Semuli Jaya, Sumber Agung, Keramat Teluk, Trimodadi, Tata Karya, Semuli Raya,

Bumi Rahayu, Karya Sakti, Papan Asri, Sidorahayu, Bumi Jaya, dan Semuli Jaya RK 4. GKSBS

Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung memiliki warga jemaat 72 KK65

dengan 6 orang majelis

yang terdiri dari 2 penatua dan 4 diaken, 1 Pendeta jemaat aktif yang melayani di 12 kelompok

jemaat dan 1 Pendeta Emiritus. Ibadah minggu di GKSBS Sumber Agung diadakan satu kali

kebaktian yaitu pukul 11.00 WIB. Gereja ini memiliki 4 kelompok PA yang pembagiannya

bergantung pada lokasi tempat tinggal warga jemaat dan masing-masing memiliki jadual PA

sesuai kesepakatan tiap-tiap kelompok. Komisi sekolah minggu melakukan ibadah sekolah

minggu pada pukul 8.00 WIB dan ketika minggu itu bertepatan dengan dilaksanakannya

Perjamuan Kudus, maka kegiatan sekolah minggu itu adalah persiapan untuk anak-anak

menerima Perjamuan Kudus.66

3.4 Pemahaman dan Pelaksanaan Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS Semuli jaya

Kelompok Sumber Agung

Disahkannya Perjamuan Kudus bersama anak secara sinodal memang sejak tahun 2005,

namun setelah pihak sinode melakukan sosialisasi ke jemaat-jemaat masih terdapat pro-kontra,

termasuk di jemaat GKSBS Semulijaya Kelompok Sumber Agung. Menurut penuturan Dkn.

Kukuh Walyudi, anggota jemaat di Sumber Agung yang tidak setuju ialah karena anak-anak

membuat suasana gaduh dan anak-anak belum mengerti dengan baik apa itu Perjamuan Kudus,

sehingga orang tua (anggota jemaat dewasa) melaksanakan Sakramen Perjamuan Kudus merasa

terganggu. Meskipun begitu, mayoritas anggota jemaat GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber

65

Wawancara dengan Dkn. Guritno pada tanggal 13 November 2019, pukul 19.00 WIB. 66

Wawancara dengan Ibu Sunarsih (Guru Sekolah Minggu) pada tanggal 14 November 2019, pukul 18.30 WIB.

Page 29: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

22

Agung menyetujui dilaksanakannya Perjamuan Kudus bersama Anak ini dan bersepakat

mempraktekkan Perjamuan Kudus bersama anak pada sekitar tahun 2009.67

Dipraktekkannya Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS

Sumber Agung menunjukkan penerimaan gereja terhadap kehadiran anak-anak di meja

Perjamuan Tuhan. Gereja memahami bahwa anak-anak yang telah dibaptis itu telah disatukan

dalam Kristus dan dalam teks kitab Matius 19:14 dan Lukas 18: 16 juga tertulis, “Biarlah anak-

anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang

seperti itulah yang empunya kerajaan sorga” sehingga ini mendasari bahwa anak-anak tidak

boleh dihalangi untuk menerima Perjamuan Kudus.68

Selain itu Perjamuan Kudus bersama anak

didasari pada praktek perjamuan Paskah dalam teks Perjanjian Lama yang dilakukan oleh

segenap keluarganya. Dalam melaksanakan ritual hal-hal terkait Paskah itu orang tua

mengajarkan hal-hal tersebut kepada anak-anaknya, apa maknanya, apa simbolnya, dan lain

sebagainya. Maka jika ditarik dari perjamuan Paskah orang tua berperan penuh menjelaskan dan

mengarahkan anak bagaimana Perjamuan Kudus itu. Maka disinilah peran orang tua

mengajarkan kepada anak-anaknya apa makna dan bagaimana sikap anak-anak dalam

melaksanakan Perjamuan Kudus.69

Akan tetapi di dalam prakteknya, hadirnya anak-anak di tengah perkumpulan komunitas

iman mendapat masalah terkait dengan apa yang ada dalam diri anak yaitu tingkah laku dan

kemampuan kognitif mereka. Untuk mensiasati terganggunya anggota jemaat dewasa dalam

beribadah, GKSBS Sumber Agung menerapkan pemisahan ruang untuk anak-anak dan orang

dewasa. Sehingga anak-anak tidak duduk bersama dengan orang tua mereka, melainkan duduk

bersama anak-anak yang lain di ruang sekolah minggu. Pemisahan ruang itu dilakukan sejak

dilaksanakannya Perjamuan Kudus bulan 6 tahun 2018.70

Ruang khusus untuk anak-anak itu

dimungkinkan karena gedung gereja GKSBS Sumber Agung cukup luas dan memiliki gedung

sekolah minggu sendiri yang berada di samping gedung utama. Bentuk bangunan menyerupai

huruf L dengan susunan ruang sebagai berikut: ruang utama yang lurus yang terdiri dari mimbar

gereja, tempat duduk majelis dan tempat duduk warga jemaat. Sedangkan ruang yang

menyamping digunakan untuk pastori dan gedung sekolah minggu. Pastori berhadapan langsung

dengan mimbar gereja yang dibatasi tembok. Sedangkan gedung sekolah minggu bersampingan

67

Wawancara dengan Dkn. Kukuh Walyudi pada tanggal 14 November 2019, pukul 19.00 WIB 68

Wawancara dengan Pnt. Darsono pada tanggal 14 November 2019, pukul 18.00 WIB 69

Wawancara dengan Pdt. Krishermawan Santoso pada tanggal 28 November 2019, pukul 13.00 WIB 70

Wawancara dengan Ibu sunarsih.

Page 30: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

23

dengan pastori, berhadapan langsung ruang kosong jarak antara mimbar dan kursi warga jemaat.

Gedung sekolah minggu dilengkapi pintu besar yang dapat dibuka ketika ibadah dan Sakramen

Perjamuan Kudus sehingga anak-anak masih bisa mendengarkan.71

Menurut Pnt. Darsono, Dkn. Guritno, Dkn. Kukuh Walyudi pemisahan ruang itu

dilakukan semata-mata untuk menciptakan kenyamanan bagi orang dewasa dalam beribadah.72

Orang dewasa mendambakan suasana hening dan sakral,73

serta kekhusyukan dalam beribadah

dan Perjamuan Kudus.74

Oleh karenanya pemisahan ruang itu dilakukan agar anak-anak tidak

mengganggu anggota jemaat dewasa, sehingga mereka dapat fokus beribadah dan melaksanakan

Sakramen Perjamuan Kudus dengan baik.75

Sebelumnya gereja melaksanakan Perjamuan Kudus

bersama anak tanpa ada pemisahan ruang. Akan tetapi beberapa orang tua mengeluh kepada

majelis setempat bahwa ketika anak-anak bersama orang tua, suasana menjadi gaduh dan kurang

khusyuk beribadah. Kemudian bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung sekolah

minggu, maka pemisahan ruang itu dilakukan dan tanggung jawab pengasuhan anak-anak

dilakukan oleh guru sekolah minggu.76

Pemisahan ruang ini tidak memiliki pertimbangan lain,

selain daripada hal-hal teknis demi kepentingan orang dewasa.

Praktek pemisahan ruang bagi anak-anak dan orang dewasa di GKSBS Sumber Agung

berdampak pada aspek partisipasi anak-anak dalam liturgi ibadah dan Sakramen Perjamuan

Kudus. Bahwasannya, anak-anak tidak berpartisipasi secara penuh pada keseluruhan ibadah yang

disediakan gereja. Di awal ibadah anak-anak mengikuti liturgi yang disediakan gereja,

menyanyikan lagu PKJ/KJ yang biasa dinyanyikan pada saat ibadah umum. Oleh karena lagu-

lagu tersebut tidak terlalu akrab di telinga anak-anak sekolah minggu, maka sebagian besar anak-

anak menjadi pendengar saja dan ada yang sibuk sendiri. Kemudian ketika memasuki pelayanan

firman, anak-anak diberi kegiatan khusus oleh guru sekolah minggu mereka. Anak-anak dibagi

menjadi dua kelompok atau kelas yaitu kelas kecil dan kelas besar. Kelas kecil terdiri dari anak-

anak usia TK sampai kelas 3 SD (4-8 tahun) dan kelas besar terdiri dari anak-anak kelas 4 SD

sampai 1 SMP (9 -13 tahun). Kelas kecil diberi aktivitas mewarnai atau menggambar, sedangkan

yang kelas besar biasanya diberi pertanyaan-pertanyaan reflektif untuk mereka jawab. Kegiatan

71

Wawancara Ibu Srimulyani pada tanggal 13 November 2019, pukul 18.00 WIB 72

Wawancara dengan Dkn. Guritno pada tanggal 13 November 2019, pukul 19.30 WIB. 73

Wawancara dengan Pnt. Darsono. 74

Wawancara dengan Dkn. Kukuh Walyudi. 75

Wawancara dengan Ibu Sri Mulyani. 76

Wawancara dengan Dkn. Kukuh Walyudi.

Page 31: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

24

atau aktivitas tersebut diberikan kepada anak-anak pada saat pelayanan firman karena anak-anak

dianggap belum mengerti apa yang disampaikan Pendeta pada saat berkhotbah dan untuk

menghindari mereka dari kejenuhan. Pendeta menggunakan bahasa formal dan memakai istilah

yang terlalu tinggi bagi anak-anak. Terkadang pun untuk anggota jemaat dewasa ada yang tidak

paham atau tidak nyambung dengan khotbahnya. Memasuki Sakramen Perjamuan Kudus anak-

anak dihentikan dari segala aktivitas mereka, kemudian menerima roti dan anggur bersamaan

dengan anggota jemaat dewasa. Setelah itu anak-anak mengikuti kembali liturgi yang ada yaitu

bagian penutup ibadah.77

Dengan demikian anak-anak tidak berpartisipasi secara penuh dalam

ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus, oleh karena Gereja membatasi partisipasi anak dengan

pertimbangan kemampuan kognitif anak yang belum mampu menerima khotbah yang

disampaikan Pendeta/ pelayan Firman.

4. ANALISA TEORI TERHADAP HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis melihat GKSBS Sumber Agung

memahami Perjamuan Kudus adalah sakramen yang diperuntukkan bagi mereka yang telah

menjadi bagian dari tubuh Kristus melalui Baptisannya, sehingga anak-anak yang telah dibaptis

pun dapat berpartipasi di dalamnya. Akan tetapi, Sakramen Perjamuan Kudus merupakan

sakramen sakral yang memerlukan suasana yang hening dan khusyuk. Hal ini bertolak belakang

dengan landasan teologis Sinode GKSBS yang menerima Perjamuan Kudus bersama Anak.

Sinode GKSBS mengkritisi pelaksanaan Perjamuan Kudus di Gereja Barat yang menekankan ke-

sakral-an dan ke-mistis-an Perjamuan Kudus yang dapat menyebabkan perasaan takut sampai

pada hal-hal kecil. Misalnya saat minum anggur jangan sampai anggur tumpah, karena akan

mendatangkan dosa dsb.78

Justru GKSBS Sumber Agung masih melanggengkan aspek

kesakralan dan keheningan dalam ibadah dan Perjamuan Kudus yang kemudian berdampak pada

penyingkiran anak-anak di tengah perkumpulan jemaat. Menurut Abineno, Perjamuan Kudus

atau Perjamuan Malam yang Kudus adalah perjamuan yang Allah “asingkan” (kuduskan) dan

pakai sebagai alat dalam karya penyelamatanNya. Roti dan anggur adalah makanan dan

minuman rakyat- khususnya di pesta-pesta- di Palestina pada waktu itu. Roti dan anggur ini

Allah “asingkan” (= kuduskan) sebagai alat atau wahana yang Ia pakai untuk memberitakan

karya penyelamatanNya dalam Yesus Kristus.79

Dengan demikian semestinya Perjamuan Kudus

77

Wawancara dengan Ibu Sunarsih. 78

Dokumen Dalam Rangka Sosialisasi Liturgi baru hasil keputusan Sidang VII Sinode GKSBS di Bengkulu, 4. 79

J.L. CH. Abineno, Perjamuan Malam (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1982), 9.

Page 32: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

25

dipahami sebagai Perjamuan biasa yang Allah kuduskan. Oleh karenanya tidak memerlukan

sikap yang terlalu mensakralkan Perjamuan Kudus itu sendiri.

GKSBS menerima Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak juga berlandaskan pada

sikap dan perbuatan Yesus terhadap anak-anak (Matius 19:14, Lukas 18: 16 dan Markus 10: 15)

yang kemudian dimaknai sebagai sikap anti-diskriminatif antar sesama tubuh Kristus. Namun,

dalam pelaksanaan ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung, justru

jemaat membuat kebijakan yang cenderung menunjukkan sikap diskriminatif terhadap anak-

anak. Kebijakan pemisahan ruang merupakan pembedaan antara anak-anak dan orang dewasa,

alih-alih untuk kepentingan anak karena anak dapat belajar bersama teman sebayanya, namun

menurut penulis ini merupakan sikap diskriminatif dengan menyingkirkan anak-anak di tengah

perkumpulan jemaat demi kepentingan orang dewasa.

Seperti halnya dalam tradisi perjamuan Paskah, semsetinya pelaksanaan Perjamuan

Kudus anak duduk bersama orang tuanya. Sependapatan dengan itu, menurut Pdt. Krishermawan

Santoso di dalam pelaksanaan perjamuan Paskah itu dihadiri oleh seluruh anggota keluarga.

Ketika anak-anak duduk bersama orang tuanya, maka itu menjadi kesempatan bagi orang tua

mengajarkan hal-hal terkait Paskah, seperti apa maknanya, menjelaskan simbol yang digunakan,

dan sebagainya. Maka ibadah dan Perjamuan Kudus seharusnya anak-anak bersama orang tuanya

dan orang tua pun berperanan dalam menjelaskan makna Perjamuan Kudus pada anaknya. Teks

Perjanjian Lama Keluaran 12: 26–27 mencatat salah satu tradisi dalam Perjamuan Paskah itu.

Setelah menerima perintah Allah tentang merayakan Paskah, Musa berkata kepada orang-orang,

“Dan ketika anak-anakmu bertanya kepadamu, 'Apa arti ibadah ini bagimu?' Kemudian katakan

kepada mereka, 'Itu adalah korban Paskah untuk TUHAN, yang melewati rumah-rumah orang

Israel di Mesir dan menyelamatkan rumah kami ketika ia membinasakan orang-orang Mesir.'”

Maka berpartipasi dalam Perjamuan Paskah adalah kesempatan untuk mengajar dan mempelajari

makna Paskah dan keselamatan Allah (Keidel, 1975; Stuart, 2006).80

Dengan demikian,

berlandaskan pada praktek perjamuan Paskah maka seharusnya praktek Perjamuan Kudus juga

merupakan kesempatan orang tua untuk mengajarkan kepada anak-anaknya. Adanya pemisahan

ruang bagi orang tua dan anak-anak di GKSBS Sumber Agung, akan sulit untuk proses

pengajaran itu terjadi.

80

Hwarang Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord‟s Supper?: A Perspektif From

Developmental Theory,” Christian Education Journal 10, no. 1 (2013): 40.

Page 33: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

26

Persoalan pokok terjadinya pemisahan ruang di GKSBS Sumber Agung ialah unsur

kepentingan satu pihak yaitu orang dewasa yang tidak menginginkan adanya gangguan dari

anak-anak sehingga bersepakat untuk memisahkan ruang dan membebankan tanggung jawab

pengasuhan anak-anak pada guru sekolah minggu. Mercer memberikan solusi yang menurut

penulis relevan terhadap persoalan tersebut. Bahwa komunitas Kristen yaitu segenap jemaat

perlu mengembang diri sebagai komunitas yang terlibat dalam pengasuhan bersama, khususnya

pertemuan mereka dalam ibadah. Sehingga beban pengasuhan tidak hanya untuk orang tuanya

saja (khususnya ibu) dan guru sekolah minggu, akan tetapi setiap orang dewasa yang

disekitarnya terdapat anak, dapat bertanggung jawab atas perawatan, disiplin, dan pengasuhan

anak itu sesuai kebutuhan, sehingga komunitas iman bertanggung jawab untuk menghadiri dan

melatih anak-anak orang lain selama ibadah dan di waktu lain. Dengan melakukan ini, komunitas

mewujudkan komitmen pembaptisan dari anak-anak tersebut yaitu komunitas membantu

membesarkan anak-anak gereja dalam iman dengan cara yang sangat nyata. Sehingga beban

pengasuhan tidak hanya berlaku bagi orang tuanya saja.81

. Gereja yang di dalamnya terdapat

orang tua dan anak-anak, mestinya tidak hanya mementingkan kepentingan satu pihak saja. Oleh

karena itu, ketika Gereja menerima anak-anak dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus

maka Gereja juga menerima dan bertanggung jawab bersama pada beban pengasuhan anak-anak,

bukan hanya orang tua dan guru sekolah minggu saja.

Pemisahan ruang ketika ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber

Agung berdampak pada partisipasi anak-anak dalam liturgi Gereja. Anak-anak tersebut tidak

sepenuhnya berpartisipasi dalam ibadah dikarenakan Gereja telah memberikan aktivitas khusus

bagi anak-anak pada saat pelayanan firman berlangsung. Pemberian aktivitas bertujuan untuk

menghindarkan mereka dari kebosanan yang dapat memunculkan keributan dan karena mereka

pun dianggap belum memahami apa yang dikhotbahkan. Pemberian aktivitas tersebut memiliki

dampak positif yaitu membuat anak-anak menjadi lebih senang, tidak bosan, meningkatkan

kreativitas dengan anak-anak mewarnai atau menggambar, dan juga mengolah daya pikir anak-

anak, khususnya anak-anak kelas besar yang mana mereka diberi pertanyaan-pertanyaan. Akan

tetapi disisi lain, kebijakan pemberian aktivitas dengan alasan diatas, dapat mendiskreditkan

anak-anak dalam komunitas Kristen. Alih-alih untuk kebaikan anak, kebijakan ini justru

membuat anak-anak tidak menerima apa yang semestinya didapatkan sebagai anggota komunitas

Kristen. Anak-anak tidak menerima kesempatan yang sama dengan orang dewasa untuk

81

Joyce Ann Mercer, Welcoming Children: A Practical Theology of Childhood (St. Louis, MO: Chalice, 2005), 232.

Page 34: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

27

menerima Firman yang disampaikan oleh pelayan Firman. Dengan demikian, penulis melihat

anak-anak menjadi bagian yang terpisah dari komunitas Kristen dan kehadirannya sebagai

pelengkap dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus itu.

Menerapkan pemisahan ruang dan partisipasi yang tidak penuh anak-anak kehilangan

kesempatan untuk menghayati dan memaknai ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama

anggota komunitas iman lainnya. Gereja perlu mempertimbangkan pendapat Piaget dan Fowler

yang menyarankan agar anak-anak perlu memiliki pengalaman dan interaksi sosial karena dapat

berpengaruh terhadap perkembangan kognitif dan iman anak-anak. Jika Gereja mengharapkan

anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan identitas komunitas imannya, maka

semestinya anak-anak tidak dijauhkan dari perkumpulan komunitas imannya itu sendiri.

Vygotsky berpendapat bahwa dengan berpartisipasi dalam ibadat umum atau sakramen, anak-

anak kecil dapat mempelajari isi dan karakter iman Kristen dan dapat mengalami perkembangan

batin. Dengan berpartisipasi dengan orang tua dan anggota keluarga mereka, mengajukan

pertanyaan tentang makna ibadah dan iman, dan pada saat yang sama menerima instruksi dari

orang dewasa, mereka dapat mengalami ibadah yang mendalam di luar status pemahaman

mereka.82

Maka, Gereja perlu membuka kesempatan bagi anak-anak bersama orang tua dan

anggota jemaat lainnya untuk berpartisipasi penuh dalam ibadah dan sakramen. Sebab pemisahan

ruang dan partisipasi yang berbeda bagi anak-anak, tidak hanya membuat mereka menjadi kaum

marginal di komunitas imannya, tetapi juga Gereja kehilangan kesempatan untuk mendorong

pembentukan identitas anak karena anak-anak tidak memiliki pengalaman langsung untuk belajar

dan menghayati imannya bersama komunitas iman pada umumnya. Selain itu, Gereja

menghilangkan kesempatan bagi para orang tua untuk membimbing dan mengajarkan iman

Kristen kepada anak-anaknya. Seperti yang disampaikan oleh Vygotsky, dengan melibatkan

orang tua dan keluarganya, anak-anak akan dapat mengalami pengalaman beribadah yang

mendalam. Sebab orang tua dan keluarga dari anak-anak itu lebih memiliki kedekatan batin dan

biasanya lebih orang tua lebih mengerti bagaimana menyampaikan penjelasan hal-hal terkait

ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus kepada anak-anak mereka.

82

Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord’s Supper?,” 40.

Page 35: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

28

5. PENUTUP

5. 1 Kesimpulan

Gereja adalah milik semua orang yang telah menjadi bagian dalam tubuh Kristus, baik

mereka yang sudah dewasa maupun anak-anak. Kebijakan apapun dalam Gereja mestinya untuk

kepentingan bersama, bukan kepentingan sepihak. Pemisahan ruang untuk anak-anak dalam

ibadah dan sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung merupakan upaya

marginalisasi anak-anak dalam komunitas iman mereka, yang berlandaskan pada kepentingan

orang dewasa. Pemisahan ruang juga menunjukkan bahwa komunitas iman tersebut melepaskan

tanggung jawab atas pengasuhan anak-anak dengan membebankan tanggung jawab itu pada guru

sekolah minggu. GKSBS Sumber Agung belum menerima sepenuhnya anak-anak dan apapun

yang melekat pada mereka, termasuk kemampuan kognitif dan pemahaman iman mereka yang

masih dalam tahap perkembangan. Sehingga membuat anak-anak tidak diberi kesempatan untuk

berpartisipasi secara penuh dalam ibadah dan sakramen Perjamuan Kudus. Berbeda pandangan

dengan para ahli seperti Piaget, Fowler, dan Vygotsky dan Mercer, bahwa justru dengan

berpartisipasi dalam praktek inti jemaat dan dengan bimbingan oleh orang tua dan anggota

jemaat lainnya mendorong perkembangan iman yang lebih mendalam dan menentukan

identitasnya sebagai orang Kristen.

5.2 Saran

1. GKSBS Sumber Agung perlu memaknai ulang dari kehadiran anak-anak dalam Perjamuan

Kudus bersama anak di GKSBS. Sehingga diharapkan dapat mengubah mindset atau cara

berpikir orang dewasa di jemaat terhadap kehadiran anak-anak dalam ibadah dan Sakramen

Perjamuan Kudus.

2. GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung semestinya tidak memisahkan ruang antara

anak-anak dan orang dewasa dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus, karena merupakan

tindakan yang tidak mencerminkan penerimaan atas kehadiran anak-anak dalam ibadah dan

Sakramen Perjamuan Kudus.

3. Seluruh anggota jemaat dewasa perlu bertanggung jawab atas pengasuhan anak-anak,

membimbing dan mengajarkan mereka sebagai proses pembentukan identitas Kristen. Sehingga

tanggung jawab ini, tidak hanya dibebankan pada orang tua atau guru sekolah minggu saja.

Page 36: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

29

4. Gereja perlu membuka kesempatan yang sama bagi anak-anak untuk berpartisipasi aktif dalam

praktek inti jemaat, sehingga tidak melulu didominasi oleh anggota jemaat dewasa.

Page 37: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Syukur, Nico. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

2. Van Niftrik, G.C. dan B.J. Boland. Dogmatika Masa kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

3. Kirchberger, George. Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus. Flores, NTT: Nusa Indah,

1991.

4. J.L. CH. Abineno. Perjamuan Malam. Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1982.

5. “Profil”, Sinode GKSBS, diakses pada tanggal 27 Mei 2018 pukul 16.45,

http://gksbs.org/?page_id=2.

6. “Tentang Perjamuan Kudus Anak”, GKSBS, diakses pada tanggal 27 Mei 2018 pukul 17.30,

https://gksbs.org/?p=2340

7. Tata Gereja GKSBS 2015.

8. Prof. Dr. H. Kaelan, M.S. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya,

Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora. Yogyakarta: Paradigma, 2012.

9. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods).

Bandung: Alfabeta, 2012.

10. C. Groenen OFM, Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah,

Wujud, Struktur. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

11. Venema, Cornelis P. Children at the Lord’s Table? : Assessing the Case for

Paedocommunion. Grand Rapids: Reformation Heritage Books, 2009.

12. Gallant, Tim. Feed My Lambs: Why the Lord’s Table Should Be Restored to Covenant

Children. Canada: Pactum Reformanda Publishing, 2002.

13. Meyers, A. Ruth. “Infant Communion: Reflections on the Case from Tradition,” Anglican

and Episcopal History, Vol. 57, No. 2 (June 1988): 162.

14. Adiprasetya, Joas. Labirin Kehidupan: Spritualitas Sehari-hari Bagi Peziarah Iman. Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2016.

15. Bokser, Baruch M. The Origins of The Seder: The Passover Rite and Early Rabbinic

Judaism. Berkeley: University of California Press, 1984.

Page 38: Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama ...

31

16. Moon, Hwarang. “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord‟s

Supper?: A Perspektif From Developmental Theory,” Christian Education Journal 10, no. 1

(2013): 40.

17. St. Darmawijaya, Pr, Kisah Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

18. Berg, C. Van den. Sungguh Merekalah Umat-Ku. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,

2011.

19. Windaryanto, Aris. Sakramen Perjamuan bagi Anak: Telaah Atas Keikutsertaan Anak –anak

Dalam Perjamuan Kudus. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012.

20. Jahja, Yudrik. Psikologi perkembangan. Jakarta: Kencana, 2011.

21. Suparno, Paul. Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

22. Papalia, Diane E. Human Development: Psikologi Perkembangan. Diedit oleh A.K.Anwar.

Jakarta: Kencana, 2008.

23. Mercer, Joyce Ann. Welcoming Children: A Practical Theology of Childhood. St. Louis,

MO: Chalice, 2005.

24. E. Hoogerwerf. Gereja di tanah seberang: Lahirnya dan Berkembangnya Gereja Kristen

Jawa di Sumatera Selatan. Diedit oleh. S.L. Tobing. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.

25. GKSBS. Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan.

26. GKSBS. Dokumen Dalam Rangka Sosialisasi Liturgi baru hasil keputusan Sidang VII

Sinode GKSBS di Bengkulu.