Problematika Ekonomi Kreatif dari Perspektif...

28
Problematika Ekonomi Kreatif dari Perspektif Kelembagaan Hak Kekayaan Intelektual Budi Agus Riswandi Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta [email protected] Abstrak Pengembangan ekonomi kreatif dibutuhkan melalui penciptaan iklim yang kondusif untuk pengembangan kreatifitas dan inovasi. Sejalan dengan itu, perlindungan HKI menjadi isu strategis dalam pengembangan ekonomi kreatif dikarenakan perlindungan HKI dapat menciptakan iklim berkreatifitas dan berinovasi yang baik. Penelitian ini mengangkat masalah, pertama, bagaimanakah kelembagaan HKI yang berperan dalam perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi creative city? Kedua, bagaimanakah peran kelembagaan HKI dalam praktek perlindungan HKI terhadap produk-produk ekonomi kreatif selama ini bagi creative city? Penelitian ini akan diselenggarakan dengan menggunakan metode penelitian normatif dan empiris. Hasil penelitian menyimpulkan, Pertama, kelembagaan dan Tata Kelola HKI dalam rangka pengembangan ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hanya mengacu kepada ketentuan UU dalam bidang HKI, namun juga dapat mendasarkan diri pada UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Di dalam undang-undang ini secara tegas didorongnya lembaga perguruan tinggi atau lembaga penelitian termasuk yang ada di daerah memiliki lembaga HKI yang disebut dengan sentra HKI. Ketentuan ini tentunya berlaku juga bagi Creative City yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang sangat tinggi. Namun demikian, landasan hukum ini dalam kenyataannya tidak memberikan suatu gambaran yang lengkap mengenai model kelembagaan HKI berikut tata kelolanya. Oleh karenanya, kelembagaan HKI yang diatur di dalam UU No. 18 Tahun 2002 masih sangat sederhana. Selanjutnya, manakala Creative City menghendaki melakukan pembentukan kelembagaan HKI, maka selain ketentuan UU No. 18 Tahun 2002 sebagai landasaannya dapat juga mendasarkan diri pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bagaimanapun, diakui bahwa Creative City tidak dapat melepaskan diri dari aturan mengenai pemerintahan daerah. Kedua, kelembagaan dan tata kelola HKI di Creative City dalam hal ini Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali nampaknya wilayah-wilayah ini memiliki kelembagaan dan tata kelola HKI sangatlah beragam. Keragaman ini tidak saja dalam hal kelembagaannya, namun termasuk dalam tata kelolanya. Sebagaimana diketahui Jawa Barat yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang besar, dalam hal penanganan HKI di daerah masih sangat lemah dari segi prakteknya, namun dari sisi regulasi sudah cukup kuat dengan diterbitkannya Perda, sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal penanganan HKI terlihat lebih serius daripada Creative City yang lainnya, meskipun dari sisi regulasi perlindungan dan kelembagaan masing lemah. Keseriusan itu terlihat ketika Daerah Istimewa Yogyakarta telah memiliki satu lembaga khusus di bidang HKI yang dikenal dengan Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual. Dengan adanya kelembagaan khusus ini Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah memapu menjalankan tata kelola cukup baik dalam bidang HKI. Di mana tata kelola tersebut meliputi, sistem edukasi HKI, dokumentasi HKI, fasiltiasi HKI dan Promosi serta advokasi HKI Kata Kunci: Ekonomi Kreatif – Kelembagaan – Hak Kekayaan Intelektual

Transcript of Problematika Ekonomi Kreatif dari Perspektif...

Problematika Ekonomi Kreatif dari Perspektif Kelembagaan Hak Kekayaan Intelektual

Budi Agus Riswandi

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta [email protected]

Abstrak

Pengembangan ekonomi kreatif dibutuhkan melalui penciptaan iklim yang kondusif untuk pengembangan kreatifitas dan inovasi. Sejalan dengan itu, perlindungan HKI menjadi isu strategis dalam pengembangan ekonomi kreatif dikarenakan perlindungan HKI dapat menciptakan iklim berkreatifitas dan berinovasi yang baik. Penelitian ini mengangkat masalah, pertama, bagaimanakah kelembagaan HKI yang berperan dalam perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi creative city? Kedua, bagaimanakah peran kelembagaan HKI dalam praktek perlindungan HKI terhadap produk-produk ekonomi kreatif selama ini bagi creative city? Penelitian ini akan diselenggarakan dengan menggunakan metode penelitian normatif dan empiris. Hasil penelitian menyimpulkan, Pertama, kelembagaan dan Tata Kelola HKI dalam rangka pengembangan ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hanya mengacu kepada ketentuan UU dalam bidang HKI, namun juga dapat mendasarkan diri pada UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Di dalam undang-undang ini secara tegas didorongnya lembaga perguruan tinggi atau lembaga penelitian termasuk yang ada di daerah memiliki lembaga HKI yang disebut dengan sentra HKI. Ketentuan ini tentunya berlaku juga bagi Creative City yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang sangat tinggi. Namun demikian, landasan hukum ini dalam kenyataannya tidak memberikan suatu gambaran yang lengkap mengenai model kelembagaan HKI berikut tata kelolanya. Oleh karenanya, kelembagaan HKI yang diatur di dalam UU No. 18 Tahun 2002 masih sangat sederhana. Selanjutnya, manakala Creative City menghendaki melakukan pembentukan kelembagaan HKI, maka selain ketentuan UU No. 18 Tahun 2002 sebagai landasaannya dapat juga mendasarkan diri pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bagaimanapun, diakui bahwa Creative City tidak dapat melepaskan diri dari aturan mengenai pemerintahan daerah. Kedua, kelembagaan dan tata kelola HKI di Creative City dalam hal ini Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali nampaknya wilayah-wilayah ini memiliki kelembagaan dan tata kelola HKI sangatlah beragam. Keragaman ini tidak saja dalam hal kelembagaannya, namun termasuk dalam tata kelolanya. Sebagaimana diketahui Jawa Barat yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang besar, dalam hal penanganan HKI di daerah masih sangat lemah dari segi prakteknya, namun dari sisi regulasi sudah cukup kuat dengan diterbitkannya Perda, sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal penanganan HKI terlihat lebih serius daripada Creative City yang lainnya, meskipun dari sisi regulasi perlindungan dan kelembagaan masing lemah. Keseriusan itu terlihat ketika Daerah Istimewa Yogyakarta telah memiliki satu lembaga khusus di bidang HKI yang dikenal dengan Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual. Dengan adanya kelembagaan khusus ini Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah memapu menjalankan tata kelola cukup baik dalam bidang HKI. Di mana tata kelola tersebut meliputi, sistem edukasi HKI, dokumentasi HKI, fasiltiasi HKI dan Promosi serta advokasi HKI Kata Kunci: Ekonomi Kreatif – Kelembagaan – Hak Kekayaan Intelektual

Pendahuluan

Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan pengembangan produk kreatif

dan inovatif. Suatu produk yang dapat diberikan perlindungan HKI, maka produk

tersebut haruslah kreatif dan inovatif. Suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif dalam

perspektif HKI hendaknya produk itu dapat memenuhi kriteria dari masing-masing

rezim HKI. Untuk hak cipta suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila

memenuhi kriteria orisinalitas, fiksasi dan kreativitas, untuk paten, maka suatu produk

dikatakan kreatif dan inovatif apabila produk tersebut memenuhi kriteria kebaruan,

langkah inventif dan dapat diterapkan dalam kegiatan industri, untuk desain industri,

maka kriterianya harus baru dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya, dan

untuk rahasia dagang kriteria yang harus dipenuhi adalah adanya upaya menjaga

informasi yang bernilai ekonomi untuk tidak diketahui oleh umum. Melihat pada

kriteria-kriteria tersebut, maka tegaslah produk yang dimintakan HKI sudah seharusnya

produk itu kreatif dan inovatif. Namun sayangnya, saat ini masih ada para pelaku

ekonomi kreatif tidak memperhatikan kriteria-kriteria yang ada. Alhasil, produk yang

ada, tidak baru bahkan merupakan tiruan/bajakan dari yang sudah ada sebelumnya.

Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan sistem pendaftaran HKI berupa

prosedur pendaftaran yang dianggap rumit, berbiaya “mahal” dan waktu yang

cenderung tidak pasti, sehingga akhirnya tidak didaftarkan. Hal ini tentunya

memperlemah perlindungan hukum dan berimplikasi pada tidak dilindunginya produk-

produk ekonomi kreatif tersebut. Realitas perlindungan HKI lainnya berhubungan

dengan penegakan hukum HKI. Penegakan hukum HKI hingga kini dirasa masih tebang

pilih dan kurang mendapatkan penanganan yang baik dan professional. Minimnya,

aparat penegak hukum yang memiliki pemahaman baik atas HKI juga menjadi realitas

nyata dalam penegakan hukum HKI. Alhasil, produk-produk ekonomi kreatif yang telah

terdaftar HKI-nya tidak serta merta dapat dilindungi, meskipun telah dilakukan proses

hukum yang seharusnya.

Mencermati realitas perlindungan HKI yang lemah1 atas produk-produk ekonomi

kreatif, maka harus dicarikan solusinya. Solusi untuk hal ini tentunya dapat dilakukan

1 Dalam bahasa Insan Budi Maulana salah satu pakar HKI, realitas ini mengambarkan bahwa

Indoensia lemah dalam hal politik dan manajemen HKI. Menurutnya, Indonesia masih terlihat kelabu karena tidak ada tindakan politik HKI yang bersifat strategis, preventif, terprogram dan terkoordinasi yang mampu memberikan nilai tambah HKI bagi pengembangan ekonomi Indonesia baik di tingkat

dengan memperhatikan terlebih dahulu realitas kelembagaan yang berperan dalam

perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku bagi creative city. Selanjutnya, penelitian juga

difokuskan pada peran kelembagaan HKI dalam praktek perlindungan HKI terhadap

produk-produk ekonomi kreatif selama ini bagi creative city (Jawa Barat, Bali dan

DIY).

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan dua permasalahan,

yakni: Pertama, bagaimanakah kelembagaan HKI yang berperan dalam perlindungan

HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku bagi creative city? Kedua, bagaimanakah peran kelembagaan HKI dalam

praktek perlindungan HKI terhadap produk-produk ekonomi kreatif selama ini bagi

creative city?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini disusun dan diusulkan guna mencapai dua tujuan khusus yang

hendak dicapai, yakni: Pertama, untuk mengkaji kelembagaan HKI yang berperan

dalam perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku bagi creative city. Kedua, untuk mengkaji peran

kelembagaan HKI dalam praktek perlindungan HKI terhadap produk-produk ekonomi

kreatif selama ini bagi creative city.

Metode Penelitian

Penelitian ini akan diselenggarakan dengan menggunakan metode penelitian

normatif dan empiris. Dalam proses penelitian normatif akan digunakan bahan hukum

primer, yakni berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan untuk

mengkaji bidang kelembagaan HKI di Indonesia. Selain itu, juga digunakan bahan-

bahan sekunder seperti, hasil penelitian, jurnal, artikel-artikel dan referensi lain yang nasional maupun internasional. Selama ini manajemen HKI tidak dilakukan secara profesional dengan menggunakan sistem manajemen HKI modern sebagaimana yang diterapkan di negara-negara lain, terutama Asia Timur misal Jepang dan Korea Selatan. Lihat Insan Budi Maulana, Politik dan Manajemen Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2009, hlm. V.

berhubungan dengan pengembangan ekonomi kreatif melalui perlindungan HKI. Untuk

menajamkan kajian penelitian, maka akan dilihat juga pengembangan ekonomi kreatif

melalui perlindungan HKI ini pada tataran empirisnya. Hal ini difokuskan juga pada

praktek kelembagaan HKI dalam menunjang pengembangan ekonomi kreatif di

Indonesia khsusunya di beberapa kota yang dijadikan sebagai creative city, seperti:

Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Bali. Metode

pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara bebas

terpimpin. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan metode induktif dan deduktif

dalam proses penarikan kesimpulannya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

HKI dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif

Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat HKI2 merupakan hasil terjemahan dari

istilah intellectual property rights. Bambang Kesowo mendefinisikan HKI sebagai hak

atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.3 Jill Mc

Keough dan Andrew Stewart mendefinisikan HKI sebagai sekumpulan hak yang

diberikan oleh hukum untuk melindungi investasi ekonomi dari usaha-usaha yang

kreatif. Sementara Dirjen HKI bekerjasama dengan ECAP mendefinisikan HKI sebagai

hak yang timbul dari hasil olah fikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses

yang berguna untuk manusia.4

Klasifikasi HKI pasca Putaran Uruguay tertuang dalam suatu persetujuan yang

disebut TRIPs Agreement. Hal ini lebih khusus lagi diatur pada Part II tentang

Standards Concerning the Availability Scope and Use of Intellectual Property Rights.

Lebih lengkapnya lagi klasifikasi HKI berdasarkan TRIPs Agreement terdiri dari: 1)

copyrights and related rights; 2) trademarks; 3) geographical indications; 4) industrial

iesigns; 5) patent; 6) layout Designs (Topographies) of Integrated Circuits; 7)

2 Pendapat Robert M Sherwood, Intellectual Property and Economic Development, Sherwood

mengememukakan ada dua pengertian yang terkandung dalam konsep HKI. Pertama, kreativitas pribadi (private creativity). Kedua, perlindungan oleh negara terhadap hasil dari kreativitas (public protection for the result of creativity). Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Alumni, Bandung, 2011, hlm. 105.

3 Bambang Kesowo, GATT, TRIPs dan Hak Atas Kekayaan Intelektual, Mahkamah Agung, Jakarta, 1998, hlm. 160.

4 Tomy Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 2.

Protections of Undisclosed Information; 8) Control of Anti-Competitive Practices in

Contractual Licenses.

Di Indonesia, dalam pengklasifikasian HKI tidak sepenuhnya mengadaptasi pada

pembagian seperti yang ada pada TRIPs Agreement, meskipun dari segi norma telah

disesuaikan dengan standar yang ada pada TRIPs Agreement. Klasifikasi HKI yang ada

di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut: 1) hak cipta dan hak terkait; 2) paten; 3)

merek; 4 ) desain industri; 5) desain tata letak sirkuit terpadu; 6) rahasia dagang; 7)

perlindungan varietas tanaman.

Secara konseptual masing-masing bagian HKI di atas dapat diuraikan secara

terinci sebagai berikut. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak

untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu

dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Lingkup hak cipta meliputi hasil-hasil karya intelektual dalam

bentuk karya seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Hak cipta diperoleh secara otomatis

tatkala karya tersebut telah diwujudkan secara nyata. Namun demikian, untuk

kebutuhan pembuktian hak cipta dimungkinkan utnuk didaftarkan ke Direktorat

Jenderal HKI.

Masa waktu perlindungan hak cipta yang diatur di dalam ketentuan hukum hak

cipta di Indonesia cukup variatif, yakni; Pertama berlaku selama hidup pencipta dan

terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia,

umtuk jenis ciptaan berupa buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain, drama atau

drama musikal, tari, koreografi, segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat

dan seni patung, seni batik, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, arsitektur, ceramah,

kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain, alat peraga, peta, terjemahan, tafsir, saduran, dan

bunga rampai. Kedua, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali

diumumkan ciptaan berupa program komputer, sinematografi, fotografi, database, dan

hasil pengalihwujudan dan ketiga, ciptaan yang dikuasai negara berlaku tanpa batas

waktu.

Paten mengandung arti hak eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas

hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan

sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk

melaksanakannya.

Lingkup paten5 ada pada invensi dalam bidang teknologi yang sifatnya

memecahkan masalah. Invensi ini ada yang bentuknya produk atau proses atau dapat

juga pengembangan/ penyempurnaan produk atau proses. Syarat suatu invensi dapat

dipatenkan secara substantif ada tiga, yakni; syarat kebaruan (novelty), syarat langkah

inventif (inventive step) dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable).

Paten sendiri diperoleh dengan cara pendaftaran (first to file principle). Akan tetapi, di

beberapa negara seperti Amerika Serikat paten diperoleh dengan berlandaskan pada

penemu pertama (first to invent principle). Indonesia sendiri menganut sistem

pendaftaran (first to file principle). Pendaftaran dilakukan ke Direktorat Jendral HKI

Departemen Hukum dan HAM RI.

Jenis paten ada dua, yakni paten dan paten sederhana. Masa waktu perlindungan

untuk paten adalah 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka

waktu itu tidak dapat diperpanjang. Paten sederhana diberikan untuk jangka waktu 10

(sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat

diperpanjang.

Lingkup merek6 adalah tanda berupa gambar, nama, huruf-huruf, angka-angka, kata

dan susunan warna atau kombinasi dari semuanya yang memiliki daya pembeda dan

digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Hak atas merek dapat

diperoleh melelui sistem pendaftaran (first to file principle) bukan didasarkan pada

sistem penggunaan pertama (first to use principle). Di Indonesia untuk memperoleh hak

atas merek harus melalui sistem pendaftaran.

Apabila merek telah terdaftar, maka timbul hak atas merek. Hak atas merek adalah

hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam

5 Sejarah penerapan paten di Indonesia dapat dilihat pada Insan Budi Maulana,”Penerapan Paten

Sejak UU Paten No. 6 Tahun 1989 hingga UU Paten No. 13 Tahun 1997: Pengalaman Indonesia Selama Ini,” Ridwan Khairandy, dkk, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Pusat Studi Hukum Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, Yogyakarta, 2000, hlm. ...??? Lihat juga Endang Purwaningsih, Perkembangan Intellectual Property Rights Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. ...?

6 Merek memiliki fungsi pembeda, fungsi jaminan, fungsi promosi dan fungsi rangsangan invenstasi dan pertumbuhan ekonomi. Untuk hal ini dapat dilihat pada Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Bandung: Mandar Maju, 2012, hlm. 53. Lihat juga Dwi Rezeki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, Bandung; Alumni, 2009, hlm. ...?

Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek

tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Jenis merek ada dua, yakni merek dagang dan jasa. Merek dagang adalah merek

yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang

secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang

sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan

hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Jangka waktu perlindungan

merek adalah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu

perlindungan itu dapat diperpanjang.

Desain Industri lingkupnya mencakup pada aspek kreasi berupa bentuk, konfigurasi

dan komposisi yang mengandung unsur estetika yang biasanya digunakan dalam

kegiatan industri dan kerajinan. Hak atas desain industri sendiri diperoleh dengan

menggunakan sistem pendaftaran.

Setelah dilakukan pendaftaran desain industri, maka timbul hak atas desain industri.

Hak atas desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik

Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu

melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk

melaksanakan hak tersebut. Masa waktu perlindungan desain industri adalah jangka

waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan.

Lingkup rahasia dagang mencakup pada informasi yang bersifat pribadi, memiliki

nilai ekonomi dan dijaga kerahasiaannya. Untuk memperoleh hak atas rahasia dagang

didasarkan pada pemenuhan syarat-syarat dari rahasia dagang itu sendiri.

HKI apabila dihubungkan dengan pengembangan ekonomi kreatif memiliki relasi

yang sangat kuat. Relasi tersebut terletak pada; Pertama, HKI dapat menjadi insturmen

dalam menghasilkan produk-produk ekonomi kreatif yang lebih inovatif dan

mengandung unsur kebaruan (novelty). Pemahaman ini diperoleh, dimana di dalam HKI

dikenal adanya sistem database HKI yang berguna dan bermanfaat bagi upaya

pengembangan suatu produk termasuk produk-produk ekonomi kreatif; Kedua, HKI

dapat dijadikan instrumen bagi upaya mendokumentasi suatu produk ekonomi kreatif

secara teratur dan efektif. Dalam pendokumentasian produk ekonomi kreatif melalui

HKI biasanya yang didokumentasi tidak saja berkaitan dengan produk itu sendiri, akan

tetapi meliputi juga pada dokumentasi penghasil produk yang disertai dengan bukti-

bukti hukumnya; dan Ketiga, HKI dapat dijadikan sarana dalam hal perlindungan

hukum atas suatu produk ekonomi kreatif. Dalam sistem HKI ini setiap orang yang

berhasil membuat suatu produk, maka dengan menempuh prosedur tertentu, maka ia

dapat dianggap sebagai pemegang hak eksklusif. Dengan dimilikinya hak eksklusif,

maka ia dapat mempertahahankan dari pihak lain yang menggunakannya dengan cara

melawan hukum.

Kelembagaan dan Tata Kelola HKI berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Dalam hal kelembagaan dan tata kelola HKI sebagai salah satu faktor penyebab

permasalahan perlindungan HKI tidak dapat membawa dampak positif bagi

pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia, terutama di wilayah creative city

dikarenakan pengaturan yang ada masih sangat lemah. Hal ini sebagaimana dapat dilihat

pada Pasal 13 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2002 bahwa : “dalam meningkatkan

pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib

mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan kapasitas dan

kemampuannya.”

Pasal 13 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2002 sebagai dasar pembentukan

kelembagaan HKI, nampaknya mengatur kelembagaan dan tata kelola HKI ini masih

sangat sederhana sekali. Pengaturan hukum terhadap kelembagaan dan tata kelola HKI

sebenarnya dapat dilakukan terhadap setiap jenis HKI yang terdapat di creative city

sebenarnya dapat juga dilandaskan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Aturan ini menjadi relevan dikarenakan creative city yang saat

ini memiliki potensi dan komitmen untuk mengembangkan ekonomi kreatif ini pada

dasarnya terikat juga dengan ketentuan undang-undang tersebut. Adapun beberapa

wilayah yang dapat dikategorisasikan sebagai creative city itu adalah Jawa Barat, DIY

dan Bali. Wilayah-wilyah yang telah disebutkan ini pada dasarnya merupakan satuan

pemerintah daerah apabila melihat pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2002, tepatnya

pemerintahan Provinsi atau setingkat Provinsi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa creative city sebagai wilayah provinsi berdasarkan UU No. 32

Tahun 2004 telah mempunyai hak untuk menyelenggarakan pemerintah daerah. Dalam

hal penyelenggaraan pemerintah daerah creative city ini memiliki urusan pemerintah.

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, maka diatur juga mengenai urusan

pemerintah daerah. Mencermati hal ini, jelaslah bahwa urusan pemerintah daerah itu

dapat dibedakan menjadi dua yakni urusan wajib pemerintahan provinsi dan urusan

wajib pemerintahan kabupaten/kota. Urusan wajib provinsi mencakup pada urusan-

urusan sebagai berikut: a) perencanaan dan pengendalian pembangunan; b)

perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c) penyelenggaraan ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat; d) penyediaan sarana dan prasarana umum; e)

penanganan bidang kesehatan; f) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya

manusia potensial; g) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h)

pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota, antara lain melingkupi; i)

fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas

kabupaten/kota; o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Untuk urusan wajib pemerintahan kabupaten/kota

yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 meliputi: i) fasilitasi pengembangan

koperasi, usaha kecil dan menengah.

Di samping ada urusan wajib, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota

juga memiliki urusan pilihan. Untuk urusan pilihan pemerintah provinsi dapat dilihat

pada ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi:” Urusan

pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara

nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.” Untuk urusan

piliha pemerintah kabupaten/kota, maka hal tersebut diatur di dalam Pasal 14 ayat (2)

UU No. 32 Tahun 2004 yang selengkapnya berbunyi: “Urusan pemerintahan

kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata

ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.”

Apabila memperhatikan pada urusan pemerintah pusat dan urusan-urusan

pemerintah daerah memang HKI tidak secara eksplisit menjadi bagian dari urusan

pemerintah pusat dan urusan-urusan pemerintah daerah. Namun demikian, apabila

dicermati kembali tentang dua hal ini, maka dapat ditemukan peluang menjadikan HKI

sebagai asset tidak berwujud dikelola oleh pemerintah daerah melalui pemahaman atas

urusan-urusan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota, yakni mengacu

kepada urusan wajib provinsi bahwa ada dua urusan wajib provinsi apabila ditafsirkan

dapat memberikan peluang bagi kebutuhan melakukan pengelolaan HKI sebagai asset

tidak berwujud, yakni urusan wajib pemerintah provinsi yang berhubungan dengan

fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas

kabupaten/kota; dan penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Untuk pemerintah kabupaten/kota urusan wajib

yang memiliki peluang bagi pengelolaan HKI sebagai asset tidak berwujud yakni

fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah.

Selanjutnya, yang berhubungan dengan urusan pilihan provinsi dan

kabupaten/kota ternyata memiliki relevansi bagi kemungkinan dilakukannya

pengelolaan HKI sebagai asset tidak berwujud. Jika dicermati urusan pilihan provinsi

menyatakan:” Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan

daerah yang bersangkutan.” Sedangkan urusan pilihan kabupaten/kota menyatakan:

““Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan

daerah yang bersangkutan. Dari urusan-urusan pilihan provinsi maupun

kabupaten/kota dibuka peluang untuk mengembangkan sesuatu yang khas dan unggul di

daerahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk kekhasan berkaitan

dengan ekonomi kreatif. Dari pemahaman ini, membentuk kelembagaan dan tata kelola

HKI pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembembangkan kekhasan dan

unggulan daerah (baca: ekonomi kreatif) guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat

di daerah.

Berdasarkan kajian tersebut, maka Kabupaten/Kota/Provinsi sebuah wilayah yang

penyelenggaraannya berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, maka pada

dasarnya memiliki peluang juga untuk melakukan pembentukan kelembagaan dan tata

kelola HKI guna mengembangkan ekonomi kreatif sebagai sebuah kekhasan dari

potensi wilayah.

Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Wilayah Creative City

Relasi antara kelembagaan dan tata kelola HKI bagi, maka pengembangan

ekonomi kreatif diharapkan dapat dioptimalisasikan. Untuk melihat hal ini dapat

diungkapkan beberapa data di beberapa kota dalam hal ini Jawa Barat, Yogyakarta dan

Bali.

1. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Jawa Barat

Kelembagaan dan tata kelola HKI di Jawa Barat dilaksanakan oleh beberapa

kelembagaan. Kelembagaan tersebut dilakukan oleh Kanwil Hukum dan HAM

Jawa Barat, Klinik HKI Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Sentra-

sentra HKI di beberapa perguruan tinggi di Jawa Barat. Dalam penelitian ini secara

kelembagaan difokuskan pada kelembagaan dan tata kelola HKI di Kanwil Hukum

dan HAM dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat.

a. Kelembagaan dan Tata Kelola di Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat

Kawnil Hukum dan HAM Jawa Barat dalam melaksanakan tugasnya ini

dijabarkan dalam beberapa kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup

pada:7

1). Sistem dokumentasi

Sistem dokumentasi di Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat lebih dimaknai

sebagai sistem administrasi pelayanan HKI kepada masyarakat. Dengan

pemaknaan ini sistem dokumentasi sudah teroganisir dengan baik karena

Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat telah membuat urutan penerimaan

pendaftaran dan penanganan surat menyurat yang sudah terstruktur. Adapun

urutan dan penanganan surat menyurat ini sebagai berikut: (1) konsultasi

HKI sebelum pendaftaran (Konsultasi dijadwal setiap hari jumat pukul

09.00 – selesai) kenapa dilakukan konsultasi agar mempersempit usulan

penolakan dari Ditjen HKI; (2) pendaftaran (korektor berkas/kelengkapan);

(3) penginputan data (efilling); (4) tanda tangan penerima (kasubbid

Pelayanan Hukum); (5) pengiriman (bagian surat menyurat dll).

Dalam perihal surat menyurat sudah ada bagiannya agar terkordinasi dengan

baik, untuk pelaksanaannya bisa melalui surat pemberitahuan atau via

telepon, dalam hal usulan penolakan pihak Kanwil Hukum dan HAM

7 Hasil Wawancara dengan Bapak Dona Prawisuda pada tanggal 19 Agustus 2013.

membantu untuk mengarahkan pemohon untuk membuat sanggahan di

bagian konsultasi.

2). Database

Data base yang dipakai sementara masih data base yang di gunakan dari

pusat yaitu e-filling, tapi Kawnil Hukum dan HAM mempunyai data base

tersendiri berkas yang sudah di scan untuk penginputan e-filling disimpan

sebagai data base Kanwil Hukum dan HAM.

3). Fasilitasi Pendaftaran UKM

Fasilitasi Pendaftaran HKI untuk UKM, Kanwil Hukum dan HAM hanya

menjadi penghubung saja manakala Direktorat Jenderal HKI memberikan

fasilitasi pendaftaran HKI untuk UKM melalui APBN. Sementara, untuk

fasilitasi APBD Kanwil Hukum dan HAM tidak terlebiat.

Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen HKI HKI-09.OT.03.01 Tahun 2013

tentang insentif HKI bagi Sekolah menengah umum, Usaha Mikro dan kecil,

Perguruan tinggi, dan Warga binaan, maka mempermudah masyarakat untuk

lebih giat mendaftarkan hasil olah piker intelektualnya dan Kanwil Hukum

dan HAM telah mensosialisasikannya dengan kerjasama universitas,

KADIN, dan beberapa lembaga bisa dilihat di web

kemenkumham.jabar.go.id tentang sosialisasi insentif HKI

4). Jumlah Pendaftaran

Pendaftaran HKI yang tercatat di Kanwil Hukum dan HAM berdasarkan

kepada praktek selama ini dapat dikemukakan sebagai berikut: hak atas

merek berjumalh 200-250/tahunnya, hak cipta berjumlah 100 –

150/tahunnya, paten berjumlah 1-5/tahunnnya.

5). Advokasi HKI

Tingkat pelanggaran HKI sangat marak, tetapi untuk proses penegakan

hukum hal tersebut menjadi tugas dari pihak Kepolisian, sementara Kanwil

Hukum dan HAM berperan sebagai saksi ahli guna mencari data kebenaran

dan data pelimpahan ke kejaksaan.

6). Komersialisasi HKI

Tidak memiliki data dan informasi berkenaan dengan praktek komersialisasi

HKI

7). Koordinasi antar lembaga

Sejauh ini lembaga-lembaga yang terkait dengan HKI masih berjalan

sendiri-sendiri.

Terkait dengan kelembagaan dan tata kelola HKI, Kanwil Hukum dan

HAM Jawa Barat mempunyai kendala-kendala sebagai berikut: Pertama,

kendala anggaran atau pembiayaan di Kanwil Hukum dan HAM, di mana

anggaran sangat terbatas, sehingga dalam beberapa hal seperti pengiriman

dokumen, pihak Dirjen HKI tidak menyediakan anggaran tersebut. Akibatnya,

pelayanan HKI di Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat menjadi terkendala;

Kedua, informasi dari pihak Ditjen HKI yang masih belum terbuka, sehingga

hal ini menyulitkan apabila ada hal berkaitan dengan penolakan permohonan

HKI; dan Ketiga, kegiatan sosialisasi HKI yang belum dapat dilaksanakan

secara maksimal. Selama ini masih sangat tergantung dengan kerjasama sub

bidang penyuluhan dan bantuan hukum, di mana anggaran yang ada di DIPA

dikombinasikan.

b. Kelembagaan dan Tata Kelola di Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Jawa Barat

Kelembagaan dan tata kelola HKI di Jawa Barat tidak terlepas dari peran

dan fungsi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat. Apabila

memperhatikan dasar hukum Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat

berlandaskan pada Perda No. 21 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat Jo Peraturan Gubernur No. 69 Tahun 2009

tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas dan Tata Kerja Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat.

Melihat pada tugas pokok dan fungsi dari Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Jawa Barat secara eksplisit tidak mengatur mengenai

pengelolaan kekayaan intelektual. Namun demikian, dengan diterbitkannya

Perda No. 5 Tahun 2012 tentang Perlindungan kekayaan Intelektual, maka

Provinsi Jawa Barat sangatlah maju dalam melakukan pengaturan dan

perlindungan Kekayaan Intelektual dan/atau Hak Kekayaan Intelektual.

Pertimbangan diterbitkannya Perda ini didasarkan pada dua hal, yakni;

pertama, Jawa Barat memiliki berbagai hasil cipta, karsa dan karya masyarakat

baik yang bersifat benda maupun tak benda yang harus dilestarikan, dilindungi

dibina, dan dikembangkan; kedua, dalam upaya melindungi hasil cipta karsa

dan karya masyarakat sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf a dari

pengakuan oleh pihak lain, perlu dilakukan upaya strategis melalui

perlindungan kekayaan intelektual sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Dalam Perda ini secara substantif diatur beberapa hal, seperti ruang

lingkup perlindungan kekayaan intelektual, fasilitasi pendaftaran HKI,

perlindungan, perlindungan kebudayaan, pemanfaatan, sistem informasi, peran

masyarakat, sentra HKI, sosialisasi dan bimbingan teknis, insentif dan

disinsentif, dewan dan Duta HKI, koordinasi, larangan dan penegakan

peraturan daerah.

Dalam kenyataannya, fungsi pengelolaan kekayaan intelektual di

Provinsi Jawa Barat yang tidaklah dianggap sebagai tugas dari Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, dalam

prakteknya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat

terkadang melaksanakan tugas yang berhubungan dengan Hak Kekayaan

Intelektual.8 Hal ini dapat terungkap dari hasil wawancara dengan Ibu Ira

Rahmayanti dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat pada

tanggal 18 Agustus 2013 yang menyatakan: “Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Jawa Barat tidak memiliki kewenangan menangani HKI. Dengan

demikian semua hal terkait HKI tidak dapat diputuskan di Disperindag Jawa

Barat. Adapun hal yang telah dilakukan adalah mengasistensi pelaku usaha

yang mendapatkan fasilitasi sertifikasi HKI.

Meskipun demikian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat

telah melakukan beberapa kegiatan, yakni; pertama, melakukan pengarsipan

HKI yang terbatas pada pelaporan dokumen untuk pertanggungjawaban

kegiatan, sementara itu, pengarsipan HKI secara terstruktur dan sistematis

8 Kegiatan ini dilaksanakan oleh Klinik HKI, akan tetapi saat ini klinik HKI dalam melaksanakan

kegiatannya mengalami kevakuman. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh M.Khairi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat

belum dilaksanakan; kedua, penyusunan database HKI masih sebatas

kebutuhan saat mendata calon penerima, biasanya peserta pelatihan atau

Industri Kecil dan Menengah Binaan; ketiga, asistensi pada program

fasilitasi HKI pada 2013 sebanyak 6 permohonan. 9

Dalam hal kegiatan-kegiatan yang lainnya seperti edukasi HKI,

dokumentasi HKI, Promosi HKI dan Advokasi HKI serta Koordinasi

penanganan HKI bersifat linas SKPD Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Jawa Barat tidak melaksanakannya.

2. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Daerah Istimewa Yogyakarta

Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Yogyakarta dilakukan oleh beberapa

lembaga. Lembaga-lembaga itu terdiri dari: Kanwil Hukum dan HAM, Balai

Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual, Sentra-sentra HKI

Perguruan Tinggi. Dalam penelitian ini dapat disajikan kelembagaan dan tata kelola

HKI di Yogyakarta yang terdapat di Kanwil Hukum dan HAM dan Balai Pelayanan

Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual.

a. Kelembagaan dan Tata Kelola di Kanwil Hukum dan HAM Daerah

Istimewa Yogyakarta

Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan

institusi pemeritahan pusat yang berada di bawah Kementerian Hukum dan

HAM Republik Indonesia. Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa

Yogyakarta sendiri memiliki unit kerja yang terdiri dari empat divisi. Adapun

devisi-divisi tersebut adalah; 1). Divisi adminstrasi; 2). Divisi Pemasyarakatan;

3). Divisi imigrasi dan 4). Divisi Pelayanan Hukum.

Khusus Divisi Pelayanan Hukum dibagi menjadi beberapa bidang, yakni;

bidang pelayanan hukum, bidang hukum, dan bidang hak asasi manusia.

Berkaitan dengan kelembagaan HKI di Kanwil Hukum dan HAM Daerah

Istimewa Yogyakarta tidaklah diatur secara khusus pada satu divisi atau

bidang, namun hal ini masuk dalam tugas dan fungsi di divisi pelayanan

hukum dan khususnya di bidang pelayanan hukum.

9 Hasil wawancara dengan M Khairi dan Ira Rahmayanti

Dalam konteks pelayanan hukum terutama berhubungan dengan HKI,

maka Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta telah

melaksanakan beberapa aktivitas, di antaranya;10 1) memberikan konsultasi dan

sosialisasi hak kekayaan intelektual kepada masyarakat. Kanwil Hukum dan

HAM DIY memberikan layanan berupa kegiatan konsultasi HKI yang

diselenggarakan setiap hari sejak tahun 1990 hingga sekarang. Adapun cara

yang dilakukan dengan menerima konsultasi langsung di Kanwil Hukum dan

HAM DIY apabila yang melakukan konsultasi HKI terdiri dari satu orang saja,

sedangkan apabila pihak yang akan konsultasi dalam jumlah yang banyak

pihak Kanwil Hukum dan HAM DIY melakukan pemberian konsultasi HKI

dengan cara datang kepada pihak tersebut. Untuk kegiatan sosialisasi HKI

Kanwil Hukum dan HAM DIY tidak memberikan secara khusus, namun

biasanya dilakukan bekerjasama dengan pihak instansi terkait lainnya di

lingkungan DIY. 2) memberikan fasilitasi HKI melalui anggaran APBN Ditjen

HKI. Kanwil Hukum dan HAM DIY dalam menjalankan pelayanan hukum

dalam bidang HKI dilakukan dengan memprogramkan fasilitasi HKI melalui

anggaran APBN Ditjen HKI. Di samping itu, Kanwil Hukum dan HAM DIY

juga menerima permohonan HKI yang diajukan langsung oleh masyarakat

DIY.

Berdasarkan penelitian diperoleh data-data permohonan HKI di Kanwil

Hukum dan HAM DIY sebagai berikut: pada tahun 2009 hak atas merek 100

permohonan, hak cipta 78 permohonan dan desain industri 6 permohonan. Pada

tahun 2010 hak atas merek 152 permohonan, hak cipta 39 permohonan dan

desain industri 6 permohonan. Pada tahun 2011 hak atas merek 206

permohonan, hak cipta 172 permohonan dan desain industri 8 permohonan.

Pada tahun 2012, hak atas merek 242 permohonan, hak cipta 78 permohonan

dan desain industri 8 permohonan. 3) melakukan dokumentasi HKI. Kanwil

Hukum dan HAM melakukan dokumentasi permohonan HKI secara manual

dengan cara menyimpan dokumen permohanan HKI dalam bentuk

paperdocument. 4) melakukan koordinasi dalam melaksanakan program

10 Wawancara dilakukan dengan ibu Widyawati Kepala Bidang Pelayanana Hukum Kanwil

Hukum dan HAM pada Hari Kamis, 5 September 2013.

berkaitan dengan HKI. Kanwil Hukum dan HAM DIY dalam melaksanakan

kegiatan HKI senantiasa berkoordinasi dengan instansi yang ada di lingkungan

DIY, baik dengan pemerintah daerah atau dengan lembaga perguruan tinggi.

Koordinasi ini dilakukan dalam rangka mensinergikan kegiatan HKI yang ada

di wilayah DIY.

b. Kelembagaan dan Tata Kelola di Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan

Kekayaan Intelektual Daerah Istimewa Yogyakarta.

Peluang DIY untuk dapat memanfaatkan HKI sebagai alat

mensejahterakan masyarakatnya terlihat semakin menguat tatkala pada akhir

tahun 2010 Gubernur DIY telah menandatangani kesepakatan bersama

dengan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) DIY dan Direktur Jenderal

Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI tertuang dalam

Kesepakatan Bersama No: HKI.01.HM.03.02, No. 1/KSP/IV/2009, No.

11/REK/01 REK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 Kemudian hal tersebut

ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 54

Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur No. 43 Tahun 2008

tentang Rincian Tugas dan Fungsi Dinas dan UPT – LTD pada Dinas

Perindagkop dan UKM DIY. Kebijakan ini antara lain berisi pembentukan

lembaga pengelola kekayaan intelektual di lingkungan Pemerintahan DIY,

yang kedudukannya berada di bawah Dinas Perindustrian. Perdagangan,

Koperasi dan UKM DIY, yaitu Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan

Kekayaan Intelektual (BPBPKI). Lembaga ini dapat dikatakan sebagai

embrio untuk pengelolaan sistem HKI yang lebih baik dan efektif kedepan.

Untuk itu, maka dibutuhkan suatu upaya terencana dan sistematis dalam

kurun waktu tertentu agar kelembagaan HKI dapat dikembangkan secara

optimal dan berkelanjutan.

Tugas BPBPKI adalah menyelenggarakan pelayanan, dan

pengembangan bisnis dan pengelolaan kekayaan intelektual. Adapun fungsi

BPBPKI meliputi: 1) pengembangan sistem informasi bisnis dan kekayaan

intelektual; 2) Pelayanan informasi bisnis dan kekayaan intelektual; 3)

pengelolaan data informasi bisnis dan kekayaan intelektual; 4) pelayanan

bimbingan konsultasi dan pengembangan usaha; 5) Pelayanan pengelolaan

kekayaan intelektual.

Strategi dalam mengoptimalisasi lembaga BPPKI, maka dapat

dikemukakan sebagai berikut: 1) menyelenggarakan pembinaan, pelatihan

dan konsultasi HKI secara berkelanjutan dan terstruktur; 2) membangun

kluster bisnis yang saling menguatkan melalui sistem HKI; 3) bekerjasama

dengan stakeholders yang memiliki komitmen terhadap pengembangan UKM

yang telah terlindungi HKI-nya; 4) memediasi dan mengadvokasi mitra bisnis

dalam rangka mempromosikan produk yang telah terlindungi HKI-nya.

Setelah memahami aspek kelembagaan HKI di Balai Pelayanan

Bisnis dan Pengelolaan HKI, maka aspek tata kelola HKI mencakup pada

beberapa aspek di bawah ini.

a. Edukasi HKI

Balai Pelayanana Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual dalam hal

menjalankan tugas edukasi HKI selama ini telah menjalankan sistem

edukasi cukup baik. Sistem edukasi HKI diberikan dengan memberikan

tema-tema HKI dari mulai pengenalan hingga pada isu-isu HKI yang actual

dan terkadang pada persoalan-persoapan teknis berkaitan dengan HKI

Sistem pelatihan yang dilakukan diformulasikan dalam bentuk – bentuk

sebagai berikut:

1). Konsultasi HKI

Konsultasi HKI dilaksanakan secara offline dengan hadir ke kantor

Balai langsung dan secara online melalui saluran handphone, email dan

media-media digital lainnya. Konsultasi HKI diberikan baik dalam

rangka pengenalan HKI hingga kepada hal-hal yang berkaitan dengan

proses teknis pendaftaran dan pengelolaan HKI. Konsultasi HKI yang

dilakukan secara offline secara tetap dijadwalkan setiap hari Jumat dari

jam 09.00 – 14.00.

2). Workshop/Diskusi Terbatas

Workshop HKI merupakan sistem edukasi HKI yang dikembangkan

dengan menghadirkan jumlah terbatas kurang lebih 20-30 orang.

Workshop HKI ini diberikan biasanya berkaitan dengan persoalan

teknis dalam bidang HKI untuk lebih dapat diefektifkan lagi

pemahamannya. Biasanya workshop HKI ini diberikan apabila kegiatan

sosialisasi HKI dianggap belum efektif dalam memberikan pemahaman

HKI kepada sasaran pokok dari kegaitan tersebut.

3). Sosialisasi

Sosialisasi HKI adalah bentuk edukasi HKI yang sifatnya kolosal, di

mana peserta yang dihadirkan dalam jumlah yang banyak kira-kira 50-

100 orang peserta. Sosialisasi HKI biasanya diselenggarakan untuk

memberikan pemahaman awal mengenai suatu persoalan dalam bidang

HKI.

4). Bimbingan Teknis

Bimbingan teknis merupakan sistem edukasi HKI yang dihadiri oleh

jumlah terbatas 20-30 orang dan pesertanya pun terseleksi dan biasanya

kelompok sasaran yang diharapkan dapat melakukan program-program

HKI yang diberikan. Kegiatan bimbingan teknis ini diselenggarakan

dalam satu tahun 1 kali secara rutin.

b. Dokumentasi HKI

Dokumentasi HKI di Balai Pelayananan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan

Intelektual dilakukan dengan model konvensional melalui paperdocument

dan belum paperless document. Dokumentasi HKI sendiri mencakup pada

aspek-aspek sebagai berikut: dokumentasi konsultasi HKI dan dokumentasi

produk HKI.

c. Fasilitasi Pendaftaran HKI

Balai Pelayanana Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual

melaksanakan fasilitasi pendaftaran HKI dibuat dalam dua jalur, yakni; jalur

fasiltiasi pendaftaran HKI melalui Jalur APBD dan fasilitasi pendaftaran

HKI melalui Jalur APBN. Untuk fasilitasi Jalur APBN dilakukan melalui

insentif HKI dari Dirjen HKI, Kemenristek dan Kementerian Perindustrian.

Saat ini fasilitasi pendaftaran HKI melalui Jalur APBD diorentasikan untuk

fasilitasi HKI bagi HKI komunal seperti indikasi geografis dan merek

kolektif. Data hasil fasilitasi pendaftaran HKI pada tahun 2011 hak merek

22 permohonan, hak atas merek kolektif 2 permohonan, indikasi geografis 1

permohonan dan paten 1 permohonan. Tahun 2012 hak atas merek 78

permohonan, hak atas merek kolektif 2 permohonan dan hak cipta 2

permohonan.

d. Promosi/Komersialisasi HKI

Balai Pelayanana Bisnis dna Pengelolaan Kekayaan Intelektual memiliki

tugas melakukan promosi dan komersialisasi HKI. Namun demikian dalam

konteks tugas ini Balai Pelayanan Binis dan Pengelolaan Kekayaan

intelektual belum secara optimal melaksanakan tugas tersebut. Promosi

yang dilakukan untuk saat ini dalam bentuk news letter.

e. Advokasi HKI

Advokasi HKI yang dilaksanakan oleh Balai Pelayanan Bisnis dan

Pengelolaan Kekayaan Intelektual telah dijalankan cukup baik. Sebagai

contoh; balai pelayanana bisnis dan pengelolaan kekayaan intelektual

melakukan advokasi terhadap pelanggaran merek ayam ungkep. Hasil yang

diperoleh kasus dapat diselesaikan dengan upaya damai.

3. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Provinsi Bali

Sisi pelayanan HKI di Bali ada beberapa hal yang menarik dikemukakan,

yakni:

a Diidentifikasi oleh sebagian masyarakat, sebanyak 1.800 hasil karya

pengrajin Bali telah didaftarkan oleh pihak ketiga (asing) dan 600 siap

didaftarkan, informasi ini diperoleh saat open house Gubernur Bali tanggal

28 Sepember 2008;

b Adanya sengketa HKI di pengadilan antara perajin Bali dengan perusahaan

asing, menyebabkan perajin merasa takut berkarya karena takut terlibat

dalam sengketa yang menyangkut HKI;

c Pengurusan pendaftaran Desain Industri memakan waktu yang cukup lama,

sedangkan Desain Industri untuk produk kerajinan yang dimintai pasar

sesuai selera konsumen cepat berubah, sehingga produk desain industri yang

didaftarkan sampai memperoleh sertifikat tidak lagi diminati pasar.

Dari hal-hal tersebut di atas, maka timbul sejumlah permasalahan terkait

dengan pengembangan pelayanan HKI. Permasalahan tersebut di antaranya;

perajin yang belum mengerti manfaat HKI, kurangnya informasi tentang HKI,

kurang bersemangat mendaftarkan karyanya, di nilai biaya pendaftaran cukup

mahal dan proses pendaftaran dirasakan cukup lama, pengambilan sertifikat ke

Ditjen HKI di Jakarta.

a. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Kanwil Hukum dan HAM Bali

Kelembagaan dan tata kelola HKI di Kanwil Hukum dan HAM Bali

diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor

M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Hukum dan HAM RI. Berdasarkan aturan ini, maka Kanwil

Hukum dan HAM telah melakukan pelayanan HKI, khususnya berkaitan dengan

administrasi HKI.

Kegiatan pelayanan HKI yang diselenggarakan oleh Kanwil Hukum dan

HAM mencakup beberapa kegiatan, yakni;

1). Sosialisasi HKI

Kegiatan sosialisasi HKI dilaksanakan dengan memberikan informasi yang

seluas-luasnya kepada masyarakat mengenai HKI. Kegiatan sosialisasi ini

ada yang diselenggarakan oleh Kanwil Hukum dan HAM Bali ada yang

sifatnya Kanwil Hukum dan HAM sebagai narasumber. Dari data yang

tersaji, Kanwil Hukum dan HAM pada tahun 2013 ini telah

menyelenggarakan kegiatan sosialisasi sebanyak 1 kali, sedangkan sebagai

narasumber sudah melaksanakan sebanyak 3 kali11.

2). Dokumentasi HKI

Dalam hal dokumentasi HKI, Kanwil Hukum dan HAM Bali telah

menyelenggarakan dokumentasi HKI, akan tetapi sebatas pada penyimpanan

dokumen permohonan12. Sementara itu, itu hal-hal lain tidak

dilakukan.Artinya, pelaksanaan dokumentasi hanya berhubungan dengan

dokumen administrasi, sementara untuk dokumentasi produk yang telah

berHKI tidak dilaksanakan.

3). Pengurusan pendaftaran HKI

11 Hasil Wawancara dengan Isya Natalegawa bagian pelayanana HKI Kanwil Hukum dan HAM

Bali pada hari Selasa 10 September 2013 12 Hasil Wawancara dengan Isya Natalegawa bagian pelayanana HKI Kanwil Hukum dan HAM

Bali pada hari Selasa 10 September 2013

Kanwil Hukum dan HAM Bali selain menjalankan sosialisasi dan

dokumentasi administrasi HKI juga melakukan pengurusan pendaftaran

HKI. Untuk tahun 2013, tercatat dari Januari sampai September 2013,

Kanwil Hukum dan HAM telah melakukan pengurusan pendaftaran HKI

sebanyak 36 permohonan. Untuk jumlah demikian, tidak diketahui apakah

36 itu meliputi semua jenis HKI atau tidak.

Di samping menjalankan kegiatan rutin dalam hal pelayanan HKI,

Kanwil Hukum dan HAM Bali melakukan sosialisasi mengenai fasilitasi HKI

dari Ditjen HKI. Adapun sosialisasi tersebut dilakukan dengan mengirim surat

kepada Kab/Kota. Akan tetapi, hasilnya dari proses mengirim surat ini tidak

diperoleh respon dengan baik.

Selanjutnya, hubungan Kanwil Hukum dan HAM dengan jajaran

pemerintah Provinsi Bali sangat erat, yang mana dari tahun 2009 sampai dengan

tahun 2011 Kanwil Hukum dan HAM Bali telah menjadi tim HKI Provinsi Bali

yang regulasi tersebut diprakarsai oleh Gubernur Bali dengan sekretariat di

Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa

kelembagaan dan tata kelola HKI di Kanwil Hukum dan HAM Bali telah

terlembagakan dan memiliki beberapa fungsi. Akan tetapi, kelembagaan dan tata

kelola HKI yang saat ini dijalankan nampaknya masih belum maksimal

dikarenakan keberadaannya tidak bersifat khusus akan tetapi, masih bersifat

umum. Oleh karena itu, fokus perhatian lembaga tidak sepenuhnya berfokus

pada HKI. Sementara itu, dilihat dari fungsi lembaga nampaknya, kelembagaan

HKI di Kanwil Hukum dan HAM cenderung dalam menjalankan fungsinya

masih sangat administratif dan normatif. Alhasil, fungsi-fungsi kelembagaan

HKI tidak mendukung kepada upaya pengelolaan HKI sebagai sebuah asset

tidak berwujud. Oleh karena itu, dengan realitas ini, maka tidak mengherankan

apabila hingga saat ini HKI belum mampu dijadikan sebagai instrumen guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Bali.

b. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Bali

Strategi pengembangan HKI di Provinsi Bali telah dikembangkan

sedemikian rupa. Secara umum strategi pengembangan HKI ini mencakup pada

beberapa hal, yakni; Pertama, pembentukan dan pemberdayaan klinik

konsultasi HKI, Kedua, identifikasi hasil karya milik masyarakat Bali (folklor),

Ketiga, peningkatan prekuensi sosialisasi tentang HKI, Keempat, fasilitasi

pendaftaran HKI, Kelima, fasilitasi advokasi baik tingkat nasional maupun

internasional terhadap hasil karya seni yang merupakan milik masyarakat Bali.

Khusus berhubungan dengan pembentukan dan pemberdayaan klinik

HKI, maka kelembagaan dan tata kelola HKI di Provinsi Bali dilakukan

dengan berlandaskan kepada dua payung ketentuan hukum, yakni; Pertama,

Keputusan Gubernur Bali No. 462/03-P/HK/2010 tentang Pembentukan dan

Susunan Keanggotaan Tim Pengelola Klinik Konsultasi Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) Industri Kecil dan Menengah Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Bali dan Kedua, Keputusan Gubernur Bali No. 519/03-

P/HK/2012 tentang Pembentukan dan Susunan Kenaggotaan Tim Khusus Hak

Kekayaan Intelektual (HKI) Provinsi Bali. Khusus, untuk SK Gubernur yang

kedua ini, biasanya dilakukan perubahan setiap tahun.

Apabila memperhatikan pada dua ketentuan hukum di atas, maka jelas

bahwa ketentuan pertama lebih minitkberatkan pada pengelola HKI-nya secara

administratif, sedangkan SK kedua lebih menitikberatkan kepada para

fasilitatornya yang langsung berhubungan dengan urusan HKI.

Terkait dengan SK Gubernur yang berhubungan dengan pengelolaan

HKI secara administratif. SK gubernur No. 462/03-P/HK/2010 berisi tentang

pembentukan tim pengelolaan klinik hak kekayaan intelektual (HKI) industri

kecil dan menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali

dengan terdiri dari 7 orang staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi

Bali. Adapun tugas-tugas tim mencakup hal-hal sebagai berikut: a)

memberikan layanan konsultasi dan bimbingan hak kekayaan intelektual serta

proses pendaftaran hak kekayaan intelektual kepada pengusaha kecil dan

menengah di wilayah Provinsi Bali; b) membantu proses pendaftaran hak

kekayaan intelektual kepada pengusaha industri kecil dan menengah di wilayah

Provinsi Bali melalui klinik hak kekayaan intelektual industri kecil dan

menengah Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah Direktorat

Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM; c)

melaksanakan sosialisasi/penyebarluasan informasi hak kekayaan intelektual

baik secara langsung maupun tidak langsung; dan d) melaporkan hasil kegiatan

kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Provinsi DIY.

Untuk SK Gubernur dengan No. No. 519/03-P/HK/2012 berisi

pembentukan Tim Khusus hak kekayaan intelektual (HKI) Provinsi Bali

dengan susunan tim terdiri dari, penasehat; Gubernur Bali, Koordinator; Sekda

Daerah Provinsi Bali, Penanggung Jawab; Asisten Perekonomian,

Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Provinsi Bali, Sekretaris

Kepala Bidang Aneka Industri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi

Bali, Anggota terdiri dari Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala, Dinas

Kebudayaan Provinsi Bali, Kepala Sub Bagian HAM, Biro Hukum dan HAM

Setda Provinsi Bali, Kanit I Subdit I Dit Reskrim Polda Bali, Kepala Bidang

Ekonomi Bapedda Provinsi Bali, Kepala Seksi Pengawasan, Pengendalian dan

Hak Kekayaan Intelektual, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali,

Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, Dosen

bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Anggota UPT

Sentra HKI Universitas Udayana, PPNS HKI Kanwil Hukum dan HAM

Provinsi Bali, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga Provinsi Bali, Staf

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali.

Adapun tugas-tugas dari Tim khusus ini adalah: Pertama, melakukan

koordinasi, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan hak kekayaan intelektual;

Kedua, mensosialisasikan penerapan hak kekayaan intelektual bagi

masyarakat, ketiga, memberikan advokasi kepada masyarakat bali terkait

masalah hak kekayaan intelektual, pengetahuan tradisional bali dan ekspresi

budaya tradisional (folklore) Bali; dan Keempat, melaporkan hasil pelaksanaan

kegiatan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Bali.

Dalam prakteknya, menurut Ir. Ni Made Dewiratni Pejabat Pelaksana

Teknis Kegiatan Pengembangan Pelayanaan HKI telah dilakukan beberapa

kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut::

1. Konsultasi dan Bimbingan Teknis HKI

Unit ini telah melaksanakan kegiatan konsultasi secara rutin mengenai

HKI. Konsultasi dapat dilakukan setiap saat tanpa jadual secara khusus.

Konsultasi HKI dibeirkan biasanya kepada IKM yang telah memiliki

kesadaran HKI dan mau melakukan pendaftaran HKI. Di samping

konsultasi HKI setiap hari, unit ini juga memberikan bimbingan teknis

tentang HKI. Bimbingan teknis ada yang berupa pendampingan secara

khusus bagi IKM yang akan mendaftar HKI. Sosialisasi HKI merupakan

kegaitan lainnya dari unit ini. Pada tahun 2012, unit ini telah

menyelenggarakan kegiatan sosialisasi HKI di 4 kab/kota dan 9 kab/kota.

Pelatihan HKI bagi aparatur pemda kab/kota yang dilaksanakan 9 kab/kota

telah menjadi angenda program di tahun 2013 dari unit ini.

2. Inventarisasi dan Pengurusan HKI

Unit ini telah melaksanakan program inventarisasi HKI bagi produk-

produk tenun khas dan tradisional Bali. Kegiatan ini dilaksanakan

bekerjasama dengan perguruan tinggi Universitas Udayana Bali dan

Institut sSeni Indonesia Denpasar.

Di samping itu, unit ini juga telah menyelenggarakan kegiatan pengurusan

HKI melalui program fasilitasi HKI melalui APBD. Data menunjukan

untuk program ini tahun 2011 fasilitasi pendaftaran HKI Bali berjumlah 94

yang mana terdiri dari. Merek sebanyak 61 unit, hak cipta 22 unit dan

desain industri 11 unit. Tahun 2012 difasilitasi sebanyak 28 pengrajin.

Berdasarkan data yang diperoleh pendaftaran HKI langsung oleh

masyarakat ke Ditjen HKI sampai 2011 terdiri dari merek berjumlah 342

unit, desain industri berjumlah 370 unit dan paten berjumlah 17 unit.

3. Advokasi HKI

Dalam hal advokasi HKI, unit ini melakukannya dengan berkolabarasi dari

sisi sumber daya manusianya dari pihak Polda Bali, Lembaga Bantuan

Hukum Unud, PPNS HKI Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Bali. Akan

tetapi, dari sisi data unit ini belum dapat memberikan data mengenai

kegiatan ini.

Dari penelitian yang dilaksanakan saat ini Provinsi Bali sedang

merencanakan untuk melakukan pembentukan lembaga HKI secara khusus

berkedudukan di bawah Gubernur, di mana. Untuk pelembagaan HKI

seperti ini sedang direncanakan untuk diterbitkan Peraturan Gubernur Bali.

Penutup

Kelembagaan dan Tata Kelola HKI dalam rangka pengembangan ekonomi kreatif

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hanya mengacu kepada

ketentuan UU dalam bidang HKI, namun juga dapat mendasarkan diri pada UU No. 18

Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi. Di dalam undang-undang ini secara tegas didorongnya

lembaga perguruan tinggi atau lembaga penelitian termasuk yang ada di daerah

memiliki lembaga HKI yang disebut dengan sentra HKI. Ketentuan ini tentunya berlaku

juga bagi Creative City yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang sangat tinggi.

Namun demikian, landasan hukum ini dalam kenyataannya tidak memberikan suatu

gambaran yang lengkap mengenai model kelembagaan HKI berikut tata kelolanya. Oleh

karenanya, kelembagaan HKI yang diatur di dalam UU No. 18 Tahun 2002 masih

sangat sederhana. Selanjutnya, manakala Creative City menghendaki melakukan

pembentukan kelembagaan HKI, maka selain ketentuan UU No. 18 Tahun 2002 sebagai

landasaannya dapat juga mendasarkan diri pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Bagaimanapun, diakui bahwa Creative City tidak dapat

melepaskan diri dari aturan mengenai pemerintahan daerah.

Kelembagaan dan tata kelola HKI di Creative City dalam hal ini Jawa Barat,

Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali nampaknya wilayah-wilayah ini memiliki

kelembagaan dan tata kelola HKI sangatlah beragam. Keragaman ini tidak saja dalam

hal kelembagaannya, namun termasuk dalam tata kelolanya. Sebagaimana diketahui

Jawa Barat yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang besar, dalam hal penanganan

HKI di daerah masih sangat lemah dari segi prakteknya, namun dari sisi regulasi sudah

cukup kuat dengan diterbitkannya Perda, sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta

dalam hal penanganan HKI terlihat lebih serius daripada Creative City yang lainnya,

meskipun dari sisi regulasi perlindungan dan kelembagaan masing lemah. Keseriusan

itu terlihat ketika Daerah Istimewa Yogyakarta telah memiliki satu lembaga khusus di

bidang HKI yang dikenal dengan Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan

Intelektual. Dengan adanya kelembagaan khusus ini Daerah Istimewa Yogyakarta juga

telah memapu menjalankan tata kelola cukup baik dalam bidang HKI. Di mana tata

kelola tersebut meliputi, sistem edukasi HKI, dokumentasi HKI, fasiltiasi HKI dan

Promosi serta advokasi HKI.

Daftar Pusataka

Antariksa, Basuki, Konsep Ekonomi Kreatif: Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan di Indonesia, Bagian Hukum, Kepegawaian, dan Organisasi, Sekretariat Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Budi Maulana, Insan, Politik dan Manajemen Hak Kekayaan Intelektual, Bandung:

Alumni, 2009.

______,”Penerapan Paten Sejak UU Paten No. 6 Tahun 1989 hingga UU Paten No. 13 Tahun 1997: Pengalaman Indonesia Selama Ini,” Ridwan Khairandy, dkk, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, 2000.

Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

Ghelfi, Donna, Understanding the Engine of Creativity in a Creative Economy: An Interview with John Howkins,” Creative Industries Division, Office of Strategic Use of Intellectual Property for Development, WIPO.

Joedo, Hanintianto, “Manfaat Hak Kekayaan Intelektual bagi Pelaku Ekonomi Kreatif”,

disampaikan dalam Sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual bagi UKM, Disperindag dan UKM DIY, Yogyakarta, 11 April 2012.

Kemenekraf dan Pariwisata, “Ekonomi Kreatif dan Peran Pendidikan Tinggi dalam Pengembangannya,” disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dit. Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kemendikbud, 21 Januari 2012.

Kesowo, Bambang, GATT, TRIPs dan Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Mahkamah Agung, 1998.

Khairandy, Ridwan, dkk, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Pusat Studi Hukum

Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, Yogyakarta, 2000.

Purwaningsih, Endang, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Bandung: Mandar

Maju, 2012.

_________________, Perkembangan Intellectual Property Rights Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.

Rezeki Sri Astarini, Dwi, Penghapusan Merek Terdaftar, Bandung; Alumni, 2009.

Slamet Kurnia, Titon, Perlindungan Hukum Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Bandung; Alumni, 2011.

Suryo Utomo, Tomy, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2010.

United Nation, Creative Economy: A Fesable Development Option, UN Report 2010.