Patogenesis Dermatitis Seboroik
-
Upload
olhaapriella1047 -
Category
Documents
-
view
21 -
download
0
description
Transcript of Patogenesis Dermatitis Seboroik
1. Patogenesis dermatitis seboroik
Etiologi dari penyakit ini belum terpecahkan. Faktor predisposisinya adalah
kelainan konstitusi berupa status seboroik (seborrhoic state) yang rupanya diturunkan,
bagaimana caranya belum dipastikan. Ini merupakan dermatitis yang menyerang daerah–
daerah yang mengandung banyak glandula sebasea, bagaimanapun bukti terbaru
menyebutkan bahwa hipersekresi dari sebum tidak nampak pada pasien yang terkena
dermatitis seboroik apabila dibandingkan dengan kelompok sehat. Pengaruh hormonal
seharusnya dipertimbangkan mengingat penyakit ini jarang terlihat sebelum puberitas. Ada
bukti yang menyebutkan bahwa terjadi status hiperproliferasi, tetapi penyebabnya belum
diketahui.
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktivan glandula sebasea.
Glandula tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 8-12
tahun akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi
terjadi pada umur bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan
insidennya mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur tua.
Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor timbulnya
dermatitis seboroik, tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan
kelenjar tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik. Dermatitis
seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasis.
Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis seboroik dapat
disebabkan oleh faktor kelelahan, stres emosional, infeksi, atau defisiensi imun.
Penelitian–penelitian melaporkan adanya suatu jamur lipofilik, pleomorfik,
Malasssezia ovalis (Pityrosporum ovale), pada beberapa pasien dengan lesi pada kulit kepala.
P. ovale dapat didapatkan pada kulit kepala yang normal. Ragi dari genus ini menonjol dan
dapat ditemukan pada daerah seboroik pada tubuh yang kaya akan lipid sebasea, misalnya
kepala dan punggung. Pertumbuhan P. ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi
inflamasi, baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena
sel jamur itu sendiri melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Hubungan yang erat
terlihat karena kemampuan untuk mengisolasi Malassezia pada pasien dengan DS dan
terapinya yang berefek bagus dengan pemberian anti jamur.
Bagaimanapun, beberapa faktor (misalnya tingkat hormon, infeksi jamur, defisit
nutrisi, dan faktor neurogenik) berhubungan dengan keadaan ini. Adanya masalah hormonal
mungkin dapat menjelaskan mengapa keadaan ini muncul pada bayi, hilang secara spontan,
dan muncul kembali setelah puberitas. Pada bayi dijumpai hormon transplasenta meninggi
beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun.
Juga didapati bahwa perbandingan komposisi lipid di kulit berubah. Jumlah kolesterol,
trigliserida, parafin meningkat dan kadar sequelen, asam lemak bebas dan wax ester
menurun. Keadaan ini diperparah dengan peningkatan keringat. Stres emosional memberikan
pengaruh yang jelek pada masa pengobatan. Obat–obat neuroleptik seperti haloperidol dapat
mencetuskan dermatitis seboroik serta faktor iklim. Lesi seperti DS dapat nampak pada
pasien defesiensi nutrisi, contohnya defesiensi besi, defesiensi niasin, dan pada penyakit
Parkinson. DS juga terjadi pada defesiensi pyridoxine.
2. Patogenesis psoriasis
Faktor genetik dan imunologik berperan dalam psoriasis. Defek genetik pada psoriasis dapat
diekspresikan pada salah satu dari 3 jenis sel yakni limfosit T, sel penyaji antigen dan keratinosit.
Keratinosit psorisis membutuhkan stimuli untuk mengaktivasinya. Lesi psoriasis matang umumnya
penuh dengan sebukan limfosit T pada dermis yang terutama terdiri dari limfoist T CD 4 dengan
sedikit sebukan limfosit dalam epdermis.sedangkan pada lesi baru umumnya lebih banyak didominasi
oleh limfosit T CD 8. Sela langehans juga berperan dalam imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya
proliferasi epidermis diawali dengan adanya pergerakan antigen, baik eksogen maupun endogen oleh
sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis lebih cepat, hanya 3 sampai 4 hari. Sedangkan
pada kulit normal lamanya 27 hari. Nickoloff (1998) berkesimpulan bahwa psoriasis merupakan
penyakit autoimun. Lebih 90% kasus dapat mengalami revisi setelah diobati dengan imunosupresif.
Berbagai faktor pencetus psoriasis diantaranya stres psikis, infeksi lokal, trauma, gangguan
metabolik, obat, alkohol dan merokok. Stres psikis merupakan faktor pencetus utama. Infeksi
umumnya disebabkan oleh streptococcus.