Patogenesis Dermatitis Seboroik

3
1. Patogenesis dermatitis seboroik Etiologi dari penyakit ini belum terpecahkan. Faktor predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik (seborrhoic state) yang rupanya diturunkan, bagaimana caranya belum dipastikan. Ini merupakan dermatitis yang menyerang daerah–daerah yang mengandung banyak glandula sebasea, bagaimanapun bukti terbaru menyebutkan bahwa hipersekresi dari sebum tidak nampak pada pasien yang terkena dermatitis seboroik apabila dibandingkan dengan kelompok sehat. Pengaruh hormonal seharusnya dipertimbangkan mengingat penyakit ini jarang terlihat sebelum puberitas. Ada bukti yang menyebutkan bahwa terjadi status hiperproliferasi, tetapi penyebabnya belum diketahui. Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktivan glandula sebasea. Glandula tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 8-12 tahun akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada umur bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan insidennya mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur tua. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor timbulnya dermatitis seboroik, tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan kelenjar tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasis.

description

tugas

Transcript of Patogenesis Dermatitis Seboroik

Page 1: Patogenesis Dermatitis Seboroik

1. Patogenesis dermatitis seboroik

Etiologi dari penyakit ini belum terpecahkan. Faktor predisposisinya adalah

kelainan konstitusi berupa status seboroik (seborrhoic state) yang rupanya diturunkan,

bagaimana caranya belum dipastikan. Ini merupakan dermatitis yang menyerang daerah–

daerah yang mengandung banyak glandula sebasea, bagaimanapun bukti terbaru

menyebutkan bahwa hipersekresi dari sebum tidak nampak pada pasien yang terkena

dermatitis seboroik apabila dibandingkan dengan kelompok sehat. Pengaruh hormonal

seharusnya dipertimbangkan mengingat penyakit ini jarang terlihat sebelum puberitas. Ada

bukti yang menyebutkan bahwa terjadi status hiperproliferasi, tetapi penyebabnya belum

diketahui.

Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktivan glandula sebasea.

Glandula tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 8-12

tahun akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi

terjadi pada umur bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan

insidennya mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur tua.

Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.

Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor timbulnya

dermatitis seboroik, tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan

kelenjar tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik. Dermatitis

seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasis.

Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis seboroik dapat

disebabkan oleh faktor kelelahan, stres emosional, infeksi, atau defisiensi imun.

Penelitian–penelitian melaporkan adanya suatu jamur lipofilik, pleomorfik,

Malasssezia ovalis (Pityrosporum ovale), pada beberapa pasien dengan lesi pada kulit kepala.

P. ovale dapat didapatkan pada kulit kepala yang normal. Ragi dari genus ini menonjol dan

dapat ditemukan pada daerah seboroik pada tubuh yang kaya akan lipid sebasea, misalnya

kepala dan punggung. Pertumbuhan P. ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi

inflamasi, baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena

sel jamur itu sendiri melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Hubungan yang erat

terlihat karena kemampuan untuk mengisolasi Malassezia pada pasien dengan DS dan

terapinya yang berefek bagus dengan pemberian anti jamur.

Bagaimanapun, beberapa faktor (misalnya tingkat hormon, infeksi jamur, defisit

nutrisi, dan faktor neurogenik) berhubungan dengan keadaan ini. Adanya masalah hormonal

mungkin dapat menjelaskan mengapa keadaan ini muncul pada bayi, hilang secara spontan,

Page 2: Patogenesis Dermatitis Seboroik

dan muncul kembali setelah puberitas. Pada bayi dijumpai hormon transplasenta meninggi

beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun.

Juga didapati bahwa perbandingan komposisi lipid di kulit berubah. Jumlah kolesterol,

trigliserida, parafin meningkat dan kadar sequelen, asam lemak bebas dan wax ester

menurun. Keadaan ini diperparah dengan peningkatan keringat. Stres emosional memberikan

pengaruh yang jelek pada masa pengobatan. Obat–obat neuroleptik seperti haloperidol dapat

mencetuskan dermatitis seboroik serta faktor iklim. Lesi seperti DS dapat nampak pada

pasien defesiensi nutrisi, contohnya defesiensi besi, defesiensi niasin, dan pada penyakit

Parkinson. DS juga terjadi pada defesiensi pyridoxine.

2. Patogenesis psoriasis

Faktor genetik dan imunologik berperan dalam psoriasis. Defek genetik pada psoriasis dapat

diekspresikan pada salah satu dari 3 jenis sel yakni limfosit T, sel penyaji antigen dan keratinosit.

Keratinosit psorisis membutuhkan stimuli untuk mengaktivasinya. Lesi psoriasis matang umumnya

penuh dengan sebukan limfosit T pada dermis yang terutama terdiri dari limfoist T CD 4 dengan

sedikit sebukan limfosit dalam epdermis.sedangkan pada lesi baru umumnya lebih banyak didominasi

oleh limfosit T CD 8. Sela langehans juga berperan dalam imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya

proliferasi epidermis diawali dengan adanya pergerakan antigen, baik eksogen maupun endogen oleh

sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis lebih cepat, hanya 3 sampai 4 hari. Sedangkan

pada kulit normal lamanya 27 hari. Nickoloff (1998) berkesimpulan bahwa psoriasis merupakan

penyakit autoimun. Lebih 90% kasus dapat mengalami revisi setelah diobati dengan imunosupresif.

Berbagai faktor pencetus psoriasis diantaranya stres psikis, infeksi lokal, trauma, gangguan

metabolik, obat, alkohol dan merokok. Stres psikis merupakan faktor pencetus utama. Infeksi

umumnya disebabkan oleh streptococcus.