PATOFISIOLOGI.docx
-
Upload
naanthini-dilly-kannan -
Category
Documents
-
view
278 -
download
6
Transcript of PATOFISIOLOGI.docx
PATOFISIOLOGI
1. Dispepsia Fungsional
Proses patofisiologis yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan
dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori,
dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.1
(a) Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia non
ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula
pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi
hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawab
terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik
saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan
makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur
oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak
berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.1,2
(b) Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi gaster
atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi
seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau
distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.1,2
(c) Stres dan faktor psikososial
Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal,
berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster. 1,2
(d) Sekresi asam lambung
Umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun
dengan stimulasi pentagastrin, yang rata – rata normal. Diduga adanya peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut.1,2
(e) Ambang Rangsang Persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanin, dan nociceptor. Pada dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral
terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Penelitian menggunakan balon
intragastrik mendapatkan hasil pada 50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah
timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada pada inflasi balon dengan volume
yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi
kontrol.1,2
(f) Disfungsi Autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal
pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.1,2
(g) Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan
adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan mtilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin
mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.1,2
(h) Diet dan Faktor Lingkungan
Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap makanan
berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung
yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum. Gejalanya pada umumnya
adalah mual dan perut kembung.1,2
(i) Helicobacter pylori
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui,
tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus masih
kontroversi. Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa
lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada lingkungan
dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat.
Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi ammonia
sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi “awan amoniak” yang dapat
melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella Helicobacter
pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang
menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang
disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid
yang terdapat di dalam epitel. Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain
misalnya katalase, oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase,
protease, dan musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein
dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin
yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.1,2
Gambar Infeksi Helicobacter Pylori2
2. Dispepsia Organik
(a) OAINS
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa
mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai
pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor
defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat
merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam
dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa.
Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh
lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.
(b) Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,
lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel.
Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi,
walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Prostaglandin yang terdapat
dalam jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting
dalam pertahanan mukosa lambung. Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat
lain yang merosak mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar epitel,
sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerosakan
jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi
asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap
protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang.
Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan
perdarahan.
(c) Ulkus Duodenum
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat fungsi
kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus) yang
memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk
menetralkan kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam
berlebihan.
PATHWAY DISPEPSIA
Perubahan pola makan, pengaruh obat-obatan alkohol, nikotin, rokok, tumor/kanker saluran pencernaan, stres,
Erosi dan ulcerasi mukosa lambung
Pelepasan mediator kimia (bradikinin,
histamin, prostaglandin)
Nosiceptor
Saraf afferen
Thalamus
Corteks cerebri
Peningkatan
produksi HCL
Impuls ke fleksus meissner ke nervus vagus
Merangsang medulla oblongata
Impuls kefleksus miesenterikus pada dinding lambung
Anoreksia, mual
Intake kurang muntah
Nutrisi KurangPerubahan
kesimbangan cairan dan elektrolit
Nyeri
MANIFESTASI KLINIK
Klasifikasi didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi tiga
tipe : 3
1. Dispepesia dengan keluhan seperti ulkus (tipe like ulcer), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (tipe dysmotility), dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepesia nonspesifik (tidak ada gejala seprti kedua tipe di atas)
Sindroma dyspepsia dapat bersifat rigan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka
waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin dsertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,makan
dapat memperburuk nyeri, pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala
lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut
kembung).3
DAFTAR PUSTAKA1. Ringerl Y.,2005. Functional Dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology.
2005;1:1-3.
2. Tack J., 2004. Pathophysiology and Treatment of Functional Dyspepsia. In : Gastroenterology 2004;
127 : 1239-1255.
3. Jupriansyah, 2012. Laporan Pendahuluan Askep Gawat Darurat dengan Klien Dispepsia di Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Muhammadiyah PLG. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Husada,
Palembang.