PATIENT SAFETY SEBAGAI MASALAH GLOBAL,...
-
Upload
truongdang -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of PATIENT SAFETY SEBAGAI MASALAH GLOBAL,...
PATIENT SAFETY SEBAGAI MASALAH GLOBAL,
REGIONAL, DAN LOKAL DI BIDANG PELAYANAN
KESEHATAN
Iwan Dwiprahasto
Bagian Farmakologi & Toksikologi/CE&BU
Fakultas Kedokteran UGM/RS. DR. Sardjito, Yogyakarta
Abstract
Previous work by the IOM categorized quality problems into misuse (avoidable
complications that prevent patients from receiving full potential benefit of a
service), overuse (potential for harm from the provision of a service exceeds the
possible benefit) and underuse (failure to provide a service that would have
produced a favorable outcome for the patient).2 Within this framework, issues of
misuse are most likely to be addressed under safety concerns. Issues of overuse
and underuse are most likely to be addressed under the domain of practice
consistent with current medical knowledge.
A general model of the influence of the environment on quality contains two
primary dimensions. The first dimension identifies domains of quality. These
include: safe care, practice that is consistent with current
medical knowledge and customization. The second dimension identifies forces in
the external environment that can drive quality improvement in the delivery
system. These have been grouped into two broad categories: regulatory/legislative
activities, and economic and other incentives.
This article describes patient safety concept as a focus for continuous health care
improvement
Key words: patient safety – quality – clinical negligence – harm reduction
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi kedokteran yang demikian pesat akhir-akhir ini telah
menjadikan proses pelayanan kesehatan semakin kompleks. Sayangnya, sebagian
besar kemajuan teknologi ini tidak dibarengi dengan perubahan budaya pelayanan
kesehatan yang memadai. Dalam berbagai situasi, pasien justru sering menjadi
korban, meskipun dalam kenyataannya tidak pernah ada unsur kesengajaan di
dalamnya.
Masalah medical error yang dalam 10 tahun terakhir ini banyak menghiasi berbagai
media massa, baik cetak maupun elektronik menjadi salah satu bukti bahwa
pelayanan kesehatan memiliki potensi tersembunyi untuk terjadinya adverse event,
yang dampaknya sangat bervariasi mulai dari yang ringan dan reversible hingga
menimbulkan kecacatan tetap (permanent disability) atau bahkan kematian.
Masalah patient safety ini bukan hal yang baru bagi praktisi kesehatan. Meskipun
fokus masyarakat umum, media dan pembuat kebijakan terhadap masalah patient
safety baru mencuat sejak diterbitkannya laporan Institute of Medicine (IOM), To Err
Is Human: Building a Safer Health System (2000), tetapi perhatian terhadap
masalah patient safety ini sudah ada sejak jaman Yunani kuno. Satu bagian dari
sumpah Hipokrates , yang juga sumpah semua dokter di dunia adalah ”First, do no
harm”. Salah satu penelitian terdahulu dalam bidang patient safety sudah
dipublikasikan pada tahun 1954, oleh Beecher dan Todd, yang berjudul ”A study of
the deaths associated with anesthesia and surgery”. Sebagai respon dari publikasi
ini, berbagai penelitian dan inovasi dalam bidang anesthesi mulai menjadi prioritas.
Antara lain dengan diterbitkannya standarisasi dan safety control untuk alat-alat
anestesi, sistem monitoring dan pipa sirkuit. Sepuluh tahun setelah intervensi
dimulai, angka mortalitas akibat tindakan anesthesi berhasil diturunkan dari 25-50
per satu juta menjadi 5.4 per satu juta. Salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari
contoh ini adalah bahwa sejak awal konsep patient safety digunakan untuk
mencegah mortalitas akibat tindakan anesthesia, tidak ada satupun individu atau
aktor dalam praktik anesthesia yang disalahkan. Pendekatan yang digunakan adalah
dengan mengidentifikasi celah-celah kemungkinan terjadinya error dan mengubah
sistem untuk mencegah terjadinya error tersebut.
MASALAH PATIENT SAFETY DI TINGKAT GLOBAL
Berbagai studi telah secara gamblang menggambarkan betapa besarnya masalah
medical error yang ada di sekitar sistem pelayanan kesehatan yang ada (Tabel 1).
Penelitian Harvard menemukan bahwa sekitar 4% pasien mengalami adverse event
selama dirawat di rumah sakit, yang 70%nya berakhir dengan kecacatan sementara,
sedangkan 14%nya berakhir dengan kematian1,2. Laporan yang disusun oleh the
Institute of Medicine (IOM) bahkan menggoreskan kisah yang lebih dramatik karena
setiap tahunnya di Amerika Serikat diduga ada sekitar 44.000 hingga 98.000 pasien
yang meninggal akibat tindakan medik selama menjalani perawatan di rumahsakit.
Angka ini jauh melebihi angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas maupun
kanker payudara ataupun AIDS.3
Tabel 1. Kejadian adverse event yang dilaporkan oleh berbagai studi di rumah sakit Nama studi Tahun Jumlah n % adverse event
1. USA (New York State) (Harvard Medical Practice
Study)1,2
2. USA (Utah-Colorado Study (UTCOS)10
3. Australia (Quality in Australian Health Care
Study -QAHCS)5
4. Australia (QAHCS)2 10
5. UK4
6. Denmark12
7. New Zealand7, 8
8. Canada9
1984
1992
1992
1992
„99-„00
1998
1998
2001
30 195
14 565
14 179
14 179
1 014
1 097
6 579
3 720
3.8
3.2
16.6
10.6
11.7
9.0
12.9
7.5
Dalam dokumen berjudul An organisation with memory, yang diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan Inggris pada tahun 2000 dilaporkan bahwa adverse event
dialami oleh 10% pasien di rumah sakit atau sekitar 850.000 kejadian per tahun.4
Studi lain yang dilakukan oleh the Quality in Australian Health Care Study (QAHCS)
pada tahun 1995 menorehkan angka kejadian adverse event yang lebih tinggi lagi di
rumah sakit, yaitu 16,6%.5 Suatu lembaga the Hospitals for Europe’s working Party
on Quality Care in Hospital memperkirakan bahwa satu di antara 10 pasien yang
dirawat di rumah sakit di seluruh Eropa mengalami adverse event yang sebenarnya
dapat dicegah (preventable) jika pelayanan kesehatan dilakukan secara ekstra hati-
hati.6 Sementara itu baik studi di New Zealand maupun Canada juga memperkirakan
kejadian adverse event yang hampir sama.7, 8, 9
Dampak ekonomi dari adverse event ini ternyata juga sangat tinggi. Di Inggris
misalnya, biaya tambahan yang harus dikeluarkan akibat perpanjangan lama rawat
inap pada penderita yang mengalami adverse event sekitar £ 2000 juta per tahun11
yang ini belum termasuk biaya ganti rugi yang diklaim ke National Health Service,
yaitu mendekati angka £ 400 juta per tahunnya ditambah sekitar £ 2400 biaya
lainnya.
Di Amerika Serikat perkiraan biaya nasional yang harus ditanggung akibat
preventable adverse event bahkan lebih tinggi lagi, yaitu US$ 17.000 juta dan US$
29.000 juga per tahun, termasuk hilangnya penghasilan akibat kecacatan, biaya
medik tambahan dan perawatan pasca adverse event.3 Hal ini berdampak lebih
lanjut pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang ada.
MASALAH PATIENT SAFETY DI TINGKAT REGIONAL
Meskipun data konkritnya belum pernah secara komprehensif dikemukakan,
masalah medical error dan adverse event di negara sedang berkembang juga sangat
besar. Buruknya infrastruktur dan fasilitas, keterbatasan obat, minimnya upaya
pencegahan dan pengendalian infeksi, kinerja yang buruk dari petugas pelayanan
kesehatan yang juga tidak trampil akibat lemahnya sistem penggajian dan motivasi
kerja yang jauh dari memadai sebenarnya menjadi indikator yang baik untuk
menunjukkan besarnya potensi adverse event yang ada. Menurut data WHO, 77%
laporan mengenai obat palsu dan substandard berasal dari negara sedang
berkembang.12 Selain itu juga dilaporkan bahwa hampir separuh peralatan medik
yang ada di negara-negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, ataupun jika
berfungsi, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Ini tentu saja lebih meningkatkan
risiko terjadinya adverse event atau membahayakan tidak saja pasien tetapi juga
petugas kesehatan. Penggunaan teknologi medik yang sudah usang (obsolete) atau
bahkan sudah tidak boleh lagi digunakan (abandoned), masih sangat sering
dilakukan, tidak saja di pusat pelayanan kesehatan primer, tetapi juga di rumah
sakit-rumah sakit rujukan.
PATIENT SAFETY SEBAGAI KOMPONEN UTAMA DARI MUTU
Model umum dari pengaruh lingkungan terhadap Mutu dapat dilihat pada Gambar 1.
(11)
Gambar 1. Model umum untuk melihat pengaruh lingkungan eksternal terhadap mutu
Dalam model ini terdapat 2 dimensi utama. Dimensi yang pertama mencakup
domain Mutu. Domain ini meliputi safe care, yang mengindikasikan bahwa setiap
tindakan medik harus didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaru dan valid serta
dilaksanakan menurut standar yang terbaik dan menjamin pasien terhindar dari
risiko akibat tindakan medik. Sedangkan dimensi yang kedua mencakup dorongan
yang terdapat dalam lingkungan eksternal yang memberi andil besar dalam
peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Komponen ini dikelompokkan dalam 2
kategori besar, yaitu aktivitas regulasi/legislasi, dan ekonomi serta insentif lainnya.
Safety, yang merupakan domain pertama dari Quality dapat diartikan sebagai
“freedom from accidental injury.” Dalam definisi ini jelas bahwa safety dilihat dari
perspektif pasien. Hal ini menjelaskan betapa pentingnya kita peduli kepada
keselamatan pasien karena pelayanan kesehatan saat ini harus berfokus pada
pasien.
Domain kedua menunjukkan bahwa penyediaan pelayanan kesehatan harus
menjamin terlaksananya upaya medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang
terbaru dan valid. Tidak dipungkiri bahwa dalam kenyataannya pelayanan kesehatan
yang ada umumnya belum menerapkan current best evidence sebagai referensi
utama dalam pengambilan keputusan klinik. Variabilitas dalam penanganan pasien
masih sangat lebar, baik antar petugas dalam satu pelayanan maupun antar unit
pelayanan kesehatan. Lagi pula, seandainya rumah sakit telah memiliki standar
pelayanan medik, ketaatan para dokter dan petugas terhadap standar yang ada
masih jauh dari yang diharapkan.
Domain ketiga menegaskan perlunya memahami nilai-nilai tertentu yang ada pada
diri pasien termasuk harapan-harapan pasien pada pelayanan kesehatan. Pelayanan
Faktor ekonomi & bentuk insentif lainnya
Faktor Regulasi & legislasi
Domain mutu (proses pelayanan)
Pengaruh
external
Safe Customization
Praktek konsisten dengan current medical knowledge
kesehatan seyogyanya memberikan ruang yang luas untuk menghargai nilai-nilai
individu termasuk berbagai pilihan yang dimiliki masing-masing pasien serta
menempatkan pasien sebagai subyek bukannya obyek dari tindakan medik. Sebagai
contoh, informasi adalah hak pasien. Oleh sebab itu diminta ataupun tidak diminta,
informasi yang berkaitan dengan kondisi pasien, rencana tindakan, prosedur medik
hingga probabilitas keberhasilan atau kegagalan setiap tindakan medik harus
diinformasikan secara memadai kepada pasien. Dalam kaitan ini selanjutnya pasien
memiliki kesempatan untuk bertanya, memperoleh informasi lanjut dan bahkan
berhak untuk memilih salah satu tindakan yang paling sesuai dengan harapannya.
Menurut IOM masalah mutu pelayanan kesehatan dapat dikategorikan sebagai: (1)
misuse, dalam hal ini pasien tidak mendapat pelayanan yang memadai karena telah
terjadinya komplikasi yang sebenarnya dapat dihindari; (2) overuse, yaitu jika risiko
yang akan diterima pasien jauh lebih besar dari manfaatnya; (3) underuse, yaitu
gagal untuk menyediakan pelayanan yang seharusnya dapat lebih memperbaiki
outcome pasien (2). Dalam kerangka ini isu-isu seputar misuse tampaknya yang
paling sering mengemuka dalam pembahasan patient safety.
Adapun kegiatan di lingkup external environment dapat dikelompokkan dalam dua
kategori utama yaitu (1) regulasi dan legislasi; dan (2) ekonomi dan insentif lainnya.
Regulasi dan legislasi mencakup setiap bentuk kebijakan publik atau aspek legal
seperti lisensi atau sistem hukum. Ekonomi dan insentif lain mencakup kategori
yang luas seperti misalnya tindakan individu atau kolektif dari konsumen, norma dan
nilai-nilai yang dimiliki oleh tenaga profesional kesehatan, dan nilai sosial dari
komunitas atau suatu bangsa.
Regulasi dan legislasi dapat mempengaruhi mutu dari organisasi pelayanan
kesehatan dalam dua cara. Pertama, akan mendorong CEO dan tata pamong dalam
organisasi untuk senantiasa mengedepankan peningkatan mutu pelayanan. Melalui
regulasi dan legislasi maka setiap defisiensi harus direspons secara tepat oleh
institusi yang bersangkutan. Apabila tidak maka institusi tersebut (misalnya rumah
sakit) dapat dikenai sangsi sesuai dengan yang tertulis dalam perundang-undangan
yang berlaku. Sebagai contoh, dalam UU Praktek Kedokteran no 20 tahun 2004
disebutkan bahwa setiap dokter atau dokter gigi wajib memiliki catatan medik dari
semua pasien. Jika hal ini tidak dipenuhi maka yang bersangkutan dapat dikenanan
kurungan selama 1 tahun atau denda sebesar Rp 50 juta.
Kedua, adanya regulasi dan legislasi ini akan mendorong organisasi pelayanan
kesehatan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan minimal yang dapat menjamin
terlaksananya pelayanan yang bermutu. Di samping itu dengan legislasi dan regulasi
juga dapat disusun model-model disinsentif yang tepat sehingga siapapun yang
terlibat dalam proses pelayanan kesehatan harus tunduk pada regulasi yang ada.
Di negara-negara maju pengaturan pelayanan kesehatan tidak saja dipengaruhi oleh
regulasi dan legislasi yang ada, tetapi juga sangat ditentukan oleh institusi asuransi.
Kuatnya institusi asuransi dalam ikut mengatur, mengendalikan, dan bahkan
mewajibkan institusi pelayanan kesehatan untuk menerapkan konsep mutu,
memegang peran yang tidak kecil dalam terselenggaranya pelayanan kesehatan
yang bermutu dan berpihak pada pasien. Melalui domain ini juga akhirnya dokter
dan petugas pelayanan kesehatan mau tidak mau harus tunduk pada ketentuan
mengenai mutu pelayanan dan patient safety.
Jika disimak lebih jauh lagi maka UU tentang Praktik Kedokteran no 29 tahun 2004
juga telah mengisyaratkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan
prakteknya wajib mengikuti standar pelayanan yang ada. Ini mengandung arti bahwa
di setiap rumahsakit harus memiliki standar pelayanan medik yang baku yang harus
dapat dijadikan pedoman bagi para dokter dan dokter gigi dalam mengambil
keputusan klinik serta menentukan tindakan medik secara adekuat.
Kelompok-kelompok profesional seperti ikatan dokter dan asosiasi para spesialis
memiliki peran yang juga besar dalam mendefinisikan norma dan standard of
practice serta mulai menerapkannya melalui berbagai kegiatan continuing medical
education. Jika hal ini diterapkan secara benar maka diharapkan akan memenuhi
pula harapan dari konsumen.
National Patient Safety Foundation mendefinisikan Keselamatan Pasien sebagai
pencegahan dan perbaikan dari kejadian yang tidak diinginkan dalam proses pelayanan
kesehatan. Keselamatan pasien bukan merupakan fungsi individu, peralatan atau unit
tertentu, melainkan merupakan hasil dari interaksi antar komponen dalam suatu sistem.
Dalam menjamin keselamatan pasien, kita melibatkan pembentukan proses dan sistem
operasional yang dapat meningkatkan asuhan pasien yang bermutu.
Di Indonesia, Departemen Kesehatan RI (2006) juga telah mendefinisikan dan menyusun
standard keselamatan pasien. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem di
rumah sakit yang membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi: penilaian
risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan
dan analisis kejadian yang tidak diinginkan, pembelajaran dari kejadian yang tidak
diinginkan (KTD) dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya KTD yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan.
Siklus kegiatan keselamatan pasien dapat digambarkan sebagai berikut:
REKOMENDASI
Berbagai studi telah membuktikan bahwa pelayanan kesehatan ternyata masih
dekat dengan berbagai kemungkinan risiko yang sewaktu-waktu dapat saja
mengancam jiwa pasien. Oleh sebab itu beberapa upaya berikut perlu dijadikan
rekomendasi dalam rangka mengedepankan konsep Patient safety sebagai fokus
pelayanan kesehatan yang bermutu. Adapun beberapa rekomendasi tersebut antara
lain adalah:15
1. Menetapkan leadership untuk menjamin terlaksananya patient safety di
pelayanan kesehatan
a. Setiap rumah sakit hendaknya berinisiatif untuk mensosialisasikan,
melaksanakan dan memantau pelaksanaan konsep patient safety, antara
lain dengan mengukur kinerja petugas,
b. Investasi, baik sumber daya manusia maupun pembiayaan harus dilakukan
termasuk diantaranya peningkatan/perbaikan teknologi, baik medik maupun
informasi yang menjamin dilaksanakannya tindakan medik yang paling
efficacious berdasarkan bukti ilmiah yang terbaru dan valid.
c. Setiap rumah sakit perlu melakukan pembenahan sistem manajemen yang
lebih berorientasi pada prinsip-prinsip patient safety dengan lebih
mengedepankan upaya pencegahan atau meminimalkan risiko di setiap lini
pelayanan kesehatan.
2. Membangun dan mengembangkan budaya safety
a. Setiap rumah sakit perlu secara sistematik memperkuat prinsip pelayanan
kesehatan yang tidak saja hanya bermutu tetapi juga aman bagi pasien
maupun petugas pelayanan kesehatan. Jika perlu dapat dimulai dengan
mengubah perilaku petugas dari menghindar atas kejadian medical error
menjadi suatu proses pembelajaran yang harus dihindari di masa-masa
mendatang.
Keterlibatan
pasien/
komunikasi Pelaporan insiden 1
Implementasi dan
Pengukuran
6
Pelatihan Seminar 5
Analisis/Belajar
Riset
2
Panduan Pedoman
Standar
4
Pengembangan
Solusi
3
Matriks penilaian risiko
Analisis risiko: RCA, FMEA
RS yang lebih
aman
b. Upaya peningkatan mutu berkelanjutan hendaknya dibarengi dengan
penyadaran akan pentingnya rasa aman bagi setiap pengguna pelayanan
kesehatan.
c. Patient safety seharusnya menjadi bagian integral dari penilaian kinerja dan
akuntabilitas petugas pelayanan kesehatan.
d. Setiap rumah sakit perlu mengkomunikasikan berbagai persyaratan patient-
safety serta menetapkan standar-standar safety yang diperlukan
3. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan medik berkelanjutan
a. Setiap rumah sakit harus menjamin standar dan protokol patient safety yang
selalu up to date.
b. Pendidikan untuk meminimalkan risiko medik harus dimulai sejak pendidikan
di universitas
c. Perhimpunan profesi dan perumahsakitan harus senantiasa mempromosikan
konsep patient safety melalui diseminasi informasi tentang best pratices dan
memberikan pelatiah berkelanjutan untuk manajemen risiko
4. Memperbaiki sistem pelaporan medik
5. Menetapkan strategi nasional untuk terciptanya patient safety.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brennan TA, Leape LL, Laird N et al. Incidence of adverse events and negligence in
hospitalised patients: results of the Harvard Medical Practice Study. New England
Journal of Medicine, 1991, 324 (6):370-7.
2. Leape LL, Brennan TA, Laird N et al. The nature of adverse events in hospitalized
patients. Results of the Harvard Medical Practice Study II. New England Journal of
Medicine, 1991, 324 (6):377-84.
3. Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS Eds. To err is human: Building a safer health
system.1999, Institute of Medicine, National Academy Press.
4. Department of Health. An organisation with a memory: Report of an expert group on
learning from adverse events in the NHS chaired by the Chief Medical Officer.
Crownright. Department of Health. HMSO. 2000.
5. Wilson RM, Runciman WB, Gibberd RW et al. The Quality in Australian Health Care Study.
Medical Journal of Australia, 1995, 163:458-71.
6. Berk, Marc L and Schur, Claudia L. Measuring Access to Care: Improving Information for
Policymakers. Health Affairs. 17(1):180–186, 1998.
7. Davis P, Lay-Yee R, Briant R et al. Adverse events in New Zealand public hospitals I:
occurrence and impact. New Zealand Medical Journal, 2002, 115 (1167):U271.
8. Davis P, Lay-Yee R, Briant R et al. Adverse events in New Zealand public hospitals II:
occurrence and impact. New Zealand Medical Journal, 2003, 116 (1183):U624.
9. Baker GR, Norton PG, Flintolf V, et al. The Canadian Adverse events Study: the incidence
of adverse events among hospital patients in Canada. Canadian Medical Association
Journal, 2004, 179(11):1678 - 1686.
10. Thomas EJ, Studdert DM, Runchiman, WB et al. A comparison of iatronic injury studies in
Australia and the USA I: context, method, casemix, population, patient and hospital
characteristics. International Journal of Quality in Health Care, 2000, 12 (5):371-378.
11. Chassin, Mark R., Galvin, Robert W., and the National Roundtable on Health Care Quality.
The Urgent Need to Improve Health Care Quality. JAMA, 280(11):1000–1005, 1998.
12. Kronick, Richard and Gilmer, Todd. Explaining the Decline in Health Insurance Coverage,
1979–1995. Health Affairs. 18(2):30–47, 1999.
13. Leape, Lucian; Lawthers, Ann G.; Brennan, Troyen A., et al. Preventing Medical Injury.
Qual Rev Bull. 19(5):144–149, 1993.
14. McNutt RA, Abrams R, Aron DC. Patient safety efforts should focus on medical errors.
JAMA, 2002;287(15):1998-2001
15. Wong J and Beglarya H. Strategies for Hospitals to Improve Patient Safety:A Review of
the Research. The Change Foundation, 2004.