Patient Safety

35
1 TUGAS FARMASI RUMAH SAKIT PERAN FARMASIS DALAM PATIENT SAFETY Disusun Oleh: Kelompok 4 Whisnu Dhani H. 07/250522/FA/07754 Jou Vera Irine R. 08/264666/FA/08029 Ulima Rahma T. 08/264952/FA/08057 Tristy Vidya Lintang 08/265180/FA/08078 Anisa 08/265284/FA/08091 Dheny Cahyo S. 08/268339/FA/08129 Eva Nurinda 08/268539/FA/08177 Fatimah Nur Istiqomah 08/272719/FA/08204 Masita Wulandari 12/338596/FA/09337 Nicky Aisyah 12/339364/FA/09348 Okky Puspitasari S. 12/339822/FA/09356 Endah Nurrohwinta D. DD-MFK-115 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

Transcript of Patient Safety

Page 1: Patient Safety

1

TUGASFARMASI RUMAH SAKIT

PERAN FARMASIS DALAM PATIENT SAFETY

Disusun Oleh:Kelompok 4

Whisnu Dhani H. 07/250522/FA/07754Jou Vera Irine R. 08/264666/FA/08029Ulima Rahma T. 08/264952/FA/08057

Tristy Vidya Lintang 08/265180/FA/08078Anisa 08/265284/FA/08091Dheny Cahyo S. 08/268339/FA/08129Eva Nurinda 08/268539/FA/08177Fatimah Nur Istiqomah 08/272719/FA/08204Masita Wulandari 12/338596/FA/09337Nicky Aisyah 12/339364/FA/09348Okky Puspitasari S. 12/339822/FA/09356

Endah Nurrohwinta D. DD-MFK-115

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2012

Page 2: Patient Safety

2

A. LATAR BELAKANG

Keputusan penggunaan obat selalu mengandung pertimbangan antara manfaat dan

risiko. Tujuan pengkajian farmakoterapi adalah mendapatkan luaran klinik yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan risiko minimal.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya perubahan paradigma pelayanan kefarmasian

yang menuju ke arah pharmaceutical care. Fokus pelayanan kefarmasian bergeser dari

kepedulian terhadap obat (drug oriented) menuju pelayanan optimal setiap individu pasien

tentang penggunaan obat (patient oriented) (Muchid, 2008).

Peran farmasi yang telah disetujui secara klinik adalah untuk meningkatkan berbagai

hasil mengenai kesehatan pasien termasuk menigkatkan keselamatan pasien, peningkatan

kondisi penyakit dan manajemen terapi obat, pengeluaran perawatan kesehatan yang efektif,

meningkatkan kepatuhan, dan menigkatkan kualitas hidup. Definisi konsep baru dari WHO

tentang keselamatan pasien adalah pengurangan risiko bahaya yang tidak perlu terkait dengan

kesehatan ke resiko minimum yang dapat diterima. Risiko minimum dapat diterima mengacu

pada pengertian kolektif saat ini dari pengetahuan yang diberikan. Untuk mewujudkan

pharmaceutical care dengan risiko yang minimal pada pasien dan petugas kesehatan perlu

penerapan manajemen risiko (Shah, 2010).

Manajemen risiko adalah bagian yang mendasar dari tanggung jawab apoteker. Dalam

upaya pengendalian risiko, praktek konvensional farmasi telah berhasil menurunkan biaya

obat tapi belum menyelesaikan masalah sehubungan dengan penggunaan obat. Pesatnya

perkembangan teknologi farmasi yang menghasilkan obat-obat baru juga membutuhkan

perhatian akan kemungkinan terjadinya risiko pada pasien (Muchid, 2008).

Meledaknya fokus terhadap pasien berawal dari laporan Amerika tahun 1999 yang

berjudul “membangun sistem kesehatan yang lebih aman”, laporan ini berisi tentang biaya

dari kesalahan pengobatan ternyata lebih besar dari meninggal karena AIDS, kecelakaan

kendaraan bermotor, kanker payudara dan gabungannya. Sepuluh tahun berlalu setelah

laporan ini dipublikasikan ternyata organisasi di Amerika masih sulit mengidentifikasi,

menggabungkan, dan memanfaatkan langkah-langkah untuk membantu meningkatkan

keselamatan pasien dan mnegurangi kesalahan. Kata “salah” itu sendiri mengarah kepada aksi

untuk mencegah dan mengalihkan perhatian dari tujuan utama untuk mendapatkan ketepatan

obat, ketepatan dosis, ketepatan rute, ketepatan waktu, dan ketepatan pasien, yang dikenal

sebagai “lima ketepatan” (Shah, 2010).

Berdasarkan analisis kejadian berisiko dalam proses pelayanan kefarmasian, kejadian

obat yang merugikan (adverse drug events), kesalahan pengobatan (medication errors) dan

Page 3: Patient Safety

3

reaksi obat yang merugikan (adverse drug reaction) menempati kelompok urutan utama

dalam keselamatan pasien yang memerlukan pendekatan sistem untuk mengelola, mengingat

kompleksitas keterkaitan kejadian antara ”kesalahan merupakan hal yang manusiawi” dan

proses farmakoterapi yang sangat kompleks. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya risiko

obat tersebut adalah multifaktor dan multiprofesi yang kompleks; jenis pelayanan medik,

banyaknya jenis dan jumlah obat per pasien, faktor lingkungan, beban kerja, kompetensi

karyawan, kepemimpinan dan sebagainya (Muchid, 2008).

B. TUJUAN PATIENT SAFETY

1. Terlaksananya program keselamatan pasien bagi apoteker di rumah sakit dan

komunitas secara sistematis dan terarah (Muchid, 2008)

2. Terlaksananya pencatatan kejadian yang tidak diinginkan akibat penggunaaan obat

(adverse drug event) di rumah sakit dan komunitas (Muchid, 2008)

3. Menurunnya tingkat kesalahan pengobatan dan peningkatan kualitas hidup pasien

(Shah, 2010).

C. PATIENT SAFETY

1. Definisi dan Regulasi Terkait

Keselamatan pasien (patient safety) secara sederhana didefinisikan sebagai

suatu upaya untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai

definisi yang sangat sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di

fasilitas kesehatan sangatlah kompleks dan banyak hambatan. Konsep keselamatan

pasien harus dijalankan secara menyeluruh dan terpadu (Depkes, 2008).

Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 3 menyataan bahwa seorang apoteker

harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia,

serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam

melaksanakan kewajiban (ISFI, 2009). Kode Etik Apoteker menjadi salah satu

standar bahwa dalam praktek pelayanan kefarmasian apoteker harus mengutamakan

keselamatan pasien atas dasar prinsip kemanusiaan.

Sedangkan pasal 9 Kode Etik Apoteker Indonesia menyatakan bahwa seorang

apoteker dalam melakukan praktek kefarmasian harus mengutamakan kepentingan

masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insani

(ISFI, 2009). Hal tersebut salah satunya dapat diimplementasikan seperti obat yang

diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, dan khasiat

Page 4: Patient Safety

4

cara pakai obat yang tepat. Hal tersebut dapat menjadi jaminan sebagai upaya

keselamatan pasien yang ditangani oleh apoteker tersebut.

Manajemen risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk

mengidentifikasi, menganalisis, mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan

mengkomunikasikan risiko yang ada pada suatu kegiatan. Pengendalian risiko

melalui sistem manajemen dapat dilakukan oleh pihak manajemen pembuat

komitmen dan kebijakan, organisasi, program pengendalian, prosedur pengendalian,

tanggung jawab, pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu

dapat mendukung terlaksananya pengendalian secara teknis (Depkes, 2004).

Manajemen risiko dalam pelayanan kefarmasian terutama medication error

meliputi kegiatan:

o koreksi bila ada kesalahan sesegera mungkin

o pelaporan medication error

o dokumentasi medication error

o pelaporan medication error yang berdampak cedera

o supervisi setelah terjadinya laporan medication error

o sistem pencegahan

o pemantauan kesalahan secara periodik

o tindakan preventif

o pelaporan ke tim keselamatan pasien tingkat nasional (Depkes, 2004).

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit (RS) menyatakan bahwa

upaya pelayanan kesehatan di RS tak dapat dipisahkan dari standar pelayanan

kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Rumah sakit yang merupakan salah satu

dari sarana kesehatan, merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama

menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi

pasien. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi,

mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama drug oriented ke

paradigma baru patient oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care (pelayanan

kefarmasian) (Depkes, 2004). Berdasarkan standar pelayanan kefarmasian tersebut

jelas bahwa regulasi atau aturan yang ada telah disusun sebagai pedoman apoteker

dalam menjalankan pelayanan kefarmasian yang berupaya untuk menjamin

keselamatan pasien.

Page 5: Patient Safety

5

Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan

tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan

masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Dalam praktek pelayanan kefarmasian

tersebut berdasrkan mutu pelayanan farmasi rumah sakit, yaitu pelayanan farmasi

yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan dalam menimbulkan kepuasan

pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata masyarakat, serta

penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan profesi yang ditetapkan serta

sesuai dengan kode etik profesi farmasi (Depkes, 2004).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Penerapan Keselamatan

Pasien

Dalam penerapannya, keselamatan pasien harus dikelola dengan pendekatan

sistemik yang dapat dilihat sebagai suatu sistem terbuka di mana sistem terkecil akan

dipengaruhi, bahkan tergantung pada sistem yang lebih besar. Sistem terkecil disebut

mikrosistem, terdiri atas petugas kesehatan dan pasien itu sendiri, serta proses-proses

pemberian pelayanan di ujung tombak, termasuk elemen-elemen pelayanan di

dalamnya. Mikrosistem dipengaruhi oleh makrosistem yang merupakan unit yang

lebih besar, misalnya rumah sakit dan apotek. Mikrosistem dan makrosistem

dipengaruhi oleh sistem yang lebih besar lagi yang disebut megasistem (Anonim,

2008).

a. Faktor-faktor Mikrosistem yang Mempengaruhi Keselamatan Pasien

Seorang apoteker yang berperan dalam mikrosistem, dalam membangun

keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-elemen dalam

mikrosistem tersebut yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori,

keuangan dan teknologi informasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan

pasien dalam mikrosistem antara lain adalah adanya kesalahan-kesalahan yang

disebabkan oleh petugas kesehatan termasuk apoteker (Anonim, 2008).

Page 6: Patient Safety

6

Gambar 1. Teori Kesalahan Manusia

Teori kesalahan manusia terdiri dari (Anonim, 2008):

1. Kegagalan tersembunyi (latent failures):

o penyebabnya jauh dari insiden,

o refleksi dari kegagalan manajemen,

o terjadi bila dikombinasikan dengan faktor lain.

Kegagalan tersembunyi dapat dikelola dengan memperbaiki proses pelayanan

(redesign). Contoh: peninjauan kembali beban kerja dan jumlah SDM.

2. Kegagalan aktif (active failures), terjadi oleh pelaku yang berhubungan langsung

dengan pasien. Beberapa bentuk active failures adalah: kurang perhatian (slips),

kegagalan memori, lupa (lapses), serta pelanggaran prosedur (mistake and

violation).

Kegagalan aktif dapat dikelola dengan memperbaiki alur kerja, SOP, deskripsi

kerja yang jelas, training, pengawasan terhadap pelanggaran SOP, mengurangi

interupsi dan stress, dan membina komunikasi yang lebih baik antar staf dan

dengan pasien.

b. Faktor-faktor Makrosistem yang Mempengaruhi Keselamatan Pasien

Makrosistem merupakan sistem di atas mikrosistem yang menyediakan

sumber daya, proses pendukung, struktur, dan kebijakan-kebijakan yang berlaku di

rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang secara tidak langsung akan

mempengaruhi pelaksanaan program-program yang menyangkut keselamatan pasien.

Kebijakan-kebijakan itu antara lain sistem penulisan resep, standardisasi bahan

medis habis pakai (BMHP), dan rekam medis. Selain itu, kultur atau budaya yang

dibangun dan diterapkan di lingkungan rumah sakit juga akan sangat mempengaruhi

kinerja unit-unit yang bertanggung jawab terhadap keselamatan pasien. Faktor-faktor

Page 7: Patient Safety

7

yang mempengaruhi kegiatan keselamatan pasien yang berasal dari makrosistem

antara lain (Anonim, 2008):

o budaya tidak saling menyalahkan (no blame culture),

o sistem informasi manajemen rumah sakit,

o kerja sama tim,

o kepemimpinan,

o alur koordinasi,

o komite/Panitia Farmasi dan Terapi (KFT/PFT) RS,

o formularium RS,

o komite-komite serta program rumah sakit.

c. Faktor-faktor Megasistem yang Mempengaruhi Keselamatan PasienMegasistem adalah kebijakan kesehatan nasional yang berlaku, misalnya

kebijakan-kebijakan menyangkut obat dan kesehatan yang dikeluarkan oleh

Departemen Kesehatan (kebijakan tentang akreditasi, obat rasional, infeksi

nosokomial), termasuk juga sistem pendidikan dan pendidikan berkelanjutan yang

berlaku. Hal lain yang juga mempengaruhi keselamatan pasien yang memerlukan

intervensi dari megasistem adalah pembenahan fenomena kemiripan “look alike”

(obat-obat dengan rupa atau kemasan mirip) atau “look alike sound alike-LASA”

(obat-obat dengan rupa dan nama mirip), misalnya:

o Mefinter (asam mefenamat) dengan Metifer (mecobalamin),

o Leschol (fluvastatin) dengan Lesichol (lesitin, vitamin),

o Proza (ekstrak echinacea, vitamin C, Zn) dengan Prozac (fluoxetine).

Dalam mengelola keselamatan pasien di level mikrosistem, makrosistem, maupun

megasistem, seorang apoteker harus melakukan pendekatan sistemik. Masalah

keselamatan pasien merupakan kesalahan manusia (human error) yang terutama

terjadi karena kesalahan pada level manajemen atau organisasi yang lebih tinggi

(Anonim, 2008).

D. PERAN FARMASIS DALAM MEWUJUDKAN PATIENT SAFETY

Saat ini di negara-negara maju sudah ada apoteker dengan spesialisasi khusus

menangani medication safety. Peran Apoteker Keselamatan Pengobatan (Medication Safety

Pharmacist) meliputi :

1. Mengelola laporan medication error

• Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk

Page 8: Patient Safety

8

• Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi

2. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication

safety

• Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error

• Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan

• Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden yang sering

terjadi atau berulangnya insiden sejenis

3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk menggalakkan praktek pengobatan

yang aman

• Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication safety dan

kepatuhan terhadap aturan/SOP yang ada

4. Berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication safety

• Komite Keselamatan Pasien RS

• Dan komite terkait lainnya

5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat

6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien yang ada

Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek

manajemen dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi,

pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian

(misalnya memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik meliputi skrining permintaan obat

(resep atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi

obat, konseling, monitoring dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama

pada pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim

pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi

klinik terbukti memiliki konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan.

Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :

1. Pemilihan

Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan

dengan pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obatobat sesuai formularium.

2. Pengadaan

Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan sesuai peraturan

yang berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.

3. Penyimpanan

Page 9: Patient Safety

9

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan

pengambilan obat dan menjamin mutu obat:

a. Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike

medication names) secara terpisah.

b. Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan

cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya :

o menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin,

kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan

agonis adrenergik.

o kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara

alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah

c. Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.

4. Skrining Resep

Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error

melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien.

a. Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor

rekam medik/ nomor resep,

b. Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep

dokter. Untuk mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep,

singkatan, hubungi dokter penulis resep.

c. Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam

pengambilan keputusan pemberian obat, seperti :

Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi,

diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui

tinggi dan berat badan pasien yang menerima obat-obat dengan indeks

terapi sempit untuk keperluan perhitungan dosis.

Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda

vital dan parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data

laboratorium yang penting, terutama untuk obat-obat yang memerlukan

penyesuaian dosis dosis (seperti pada penurunan fungsi ginjal).

d. Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.

e. Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan

penggunaan otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-

prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.

Page 10: Patient Safety

10

f. Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan

itupun harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta

benar, dengan mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat

yang penting harus diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat

tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus menulis dengan jelas

instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.

5. Dispensing

a. Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.

b. Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali : pada saat

pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat

mengembalikan obat ke rak.

c. Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.

d. Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai,

pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.

6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-hal yang penting

tentang obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan

didiskusikan pada pasien adalah :

a. Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana

menggunakan obat dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama

pengobatan, kapan harus kembali ke dokter

b. Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan

c. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat lain

dan makanan harus dijelaskan kepada pasien

d. Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR) yang

mengakibatkan cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai

bagaimana cara mengatasi kemungkinan terjadinya ADR tersebut

e. Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah

rusak atau kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker

mempunyai kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin

terlewatkan pada proses sebelumnya.

7. Penggunaan Obat

Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di

rumah sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas

kesehatan lain. Hal yang perlu diperhatikan adalah :

Page 11: Patient Safety

11

Tepat pasien

Tepat indikasi

Tepat waktu pemberian

Tepat obat

Tepat dosis

Tepat label obat (aturan pakai)

Tepat rute pemberian

8. Monitoring dan Evaluasi

Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,

mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan

evaluasi didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan

mencegah pengulangan kesalahan.

Peran apoteker dalam mewujudkan Patient Safety di Canadian Society of Hospital

Pharmacist

1. Perawatan langsung kepada pasien

Penggunaan obat merupakan proses yang kompleks, multidisiplin yang dimulai

dan diakhiri dengan pasien. Apoteker di banyak rumah sakit secara rutin berlatih

pelayanan farmasi di mana mereka bekerja dengan pasien, sebagai bagian dari tim

perawatan pasien multidisiplin, untuk mengidentifikasi, mengatasi dan mencegah

masalah yang berhubungan dengan obat. Apoteker mengkhususkan diri dalam

farmakoterapi dan dengan demikian dapat membuat dampak yang signifikan dalam

optimalisasi pilihan pengobatan pasien. Bekerja dengan dokter dan profesional

kesehatan lainnya, tujuan dari apoteker adalah untuk memastikan keputusan resep aman

dan tepat yang dibuat, hasil pasien dipantau, dan efek samping dicegah.

2. Pemilihan

Apoteker bekerja dengan tenaga kesehatan profesional lainnya di komite rumah

sakit bertanggung jawab untuk pemilihan obat, kebijakan dan keselamatan (misalnya

Komite Farmasi dan Terapi, Obat dan Komite Terapi), apoteker rumah sakit

menerapkan klinis, terapi, informasi keuangan dan pharmacoeconomic dalam proses

manajemen formularium. Selain biaya, formularium dapat berperan dalam mencegah

terjadinya resiko terhadap pengobatan.

3. Kebijakan dan Pedoman Obat

Apoteker rumah sakit berperan penting dalam pengembangan kebijakan fasilitas /

daerah, protokol dan pedoman yang berkaitan dengan penggunaan obat-obatan. Standar

Page 12: Patient Safety

12

kebijakan, protokol, dan pedoman berguna agar konsisten, akurat dan obat yang tersedia

lengkap - terkait proses sekaligus mengurangi ketergantungan pada variabilitas indiidu.

Contoh meliputi :

a. Kebijakan dan pedoman untuk standarisasi resep (misalnya menghindari

singkatan berbahaya, memerlukan penggunaan sistem metrik, menggunakan

lembaran urutan cetakan).

b. Standarisasi yang berhububgan dengan proses obat (misalnya pemberian dosis,

kmasan dan pelabelan).

c. Protocol intuk penggunaan dan penyimpanan obat dengan peringatan khusus

(misilnya penyimpanan larutan kalium terkonsentrasi) dan ;

d. Pedoman pemberian obat (misalnya obat monografi parenteral).

4. Memeriksa obat yang ada di resep

Pada kebanyakan kasus, obat akan di periksa oleh farmasis sebelum obat di racik.

Sembilan puluh empat persen dari rumah sakit pendidikan dan 83% non pendidikan

melaporkan bahwa, seorang farmasis melihat resep sebelum obat di racik. Dimana obat

diperiksa, farmasis mengaplikasikan pengetahuan tentang terapi obat dan menambahkan

informasi kepada pasien (contohnya diagnosis, alergi, berat badan pasien dll) untuk

mengevaluasi urutan obat pada pasien tertentu. Jika berpotensi ada masalah pada saat

identifikasi, maka farmasis akan mengklarifikasi resep dan atau berdiakusi. Proses

pemeriksaan ini membantu mencegah terjadinya masalah sebelum obat diterima oleh

pasien, menambahkan pemeriksaan untuk keamanan penting pada penggunaan obat.

5. Sisitem distribusi obat

Instalasi farmasi kanada menggunakan bar code untuk proses distribusi obat, pada

dasarnya untuk memeriksa stock obat yang ada di lemari secara otomatis. Lebih luas

lagi variasi teknologi untuk mengatur sistem penggunaan obat (meliputi pengaturan

pengobatan) yang berpotensi untuk meningkatkan ketepatan, meningkatkan efektifitas,

dan meningkatkan keselamatan pada sistem pengobatan.

6. Teknologi komputer

Tekhnologi komputer telah di gunakan oleh farmasis di rumah sakit canada untuk

mendukung pemeriksaan obat, monitoring dan dokumentasi administrasi agar proses

peracikan berjalan lancar. Selain itu teknik komputer untuk memberi informasi tentang

alergi, terapi ganda dan interaksi obat.

7. Memberikan informasi obat dan pengetahuan

Menyediakan informasi kepada pasien dan penyedia perawatan kesehatan lainnya

terus menjadi tanggung jawab utama apoteker di rumah sakit.

Page 13: Patient Safety

13

8. Laporan tentang kejadian obat dan pemeriksaan sistem

Di rumah sakit kanada farmasis berperan dalam kejadian pengobatan dan laporan

kejadian pengobatan.

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Apoteker harus memberikan informasi kepada pasien mengenai hal-hal penting tentang

obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan kepada pasien adalah :

1. Memberikan pemahaman yang jelas, dan singkat mengenai indikasi penggunaan

bagaimana menggunakan obat yang baik, tujuan menggunakan obat, lama pengobatan

dan kapan harus kembali ke dokter bila perlu.

2. Peringatan yang berkaitan dengan obat.

3. Menjelaskan ADR (Adverse Drug Reaction) yang mungkin terjadi yang berpotensi

terjadinya interaksi obat, baik dengan obat lain maupun makanan.

4. Memberikan edukasi mengenai bagaimana cara mengatasi kemungkinan terjadinya

ADR (Adverse Drug Reaction) tersebut.

5. Penyimpanan yang baik dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang

sudah rusak atau kadaluarsa.

Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi merupakan kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap

pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait dengan keselamatan pasien. Tujuan dilakukan

monitoring dan evaluasi adalah agar pelayanan kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan

kaidah keselamatan pasien, mengetahui efek terapi, dan mencegah terjadinya kejadian yang

tidak diinginkan dan mencegah pengulangan kesalahan.

Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap :

1. Sumber daya manusia (SDM)

2. Pengelolaan perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan, penerimaan,

penyimpanan dan distribusi/penggunaan)

3. Pelayanan farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian informasi

obat, konseling obat, rekonstitusi obat kanker, iv.admixture, total parenteral nutrition,

therapeutic drug monitoring)

4. Laporan yang didokumentasikan.

Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan intervensi berupa rekomendasi dan tindak

lanjut terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki seperti perbaikan kebijakan, prosedur,

Page 14: Patient Safety

14

peningkatan kinerja SDM, sarana dan prasarana ataupun organisasi. Hasil dari rekomendasi

dan tindak lanjut ini harus diumpan balikkan ke semua pihak yang terkait dengan program

keselamatan pasien rumah sakit.

E. MEKANISME PENCATATAN DAN PELAPORAN PATIENT SAFETYDi rumah sakit dalam rangka pelayanan kefarmasian perlu dilakukan pencatatan dan

pendokumentasian semua kejadian untuk keselamatan pasien. Pencatatan kejadian tersebut

meliputi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan kejadian

sentinel yang masih sangat langka. Pencatatan dan pelaporan berfungsi untuk mencegah

kesalahan yang sama. Prosedur pelaporan meliputi :

a. Pelaporan insiden yang sudah terjadi, potensial terjadi dan nyaris terjadi.

b. Pelaporan dari staf farmasi siapa saja yang pertama kali menemukan kejadian

c. Pelaporan dilakukan dengan mengisi “Formulir Laporan Insiden” yang bersifat rahasia

Alur Pelaporan Insiden kepada Tim Keselamatan Pasien (KP) di Rumah Sakit ditunjukkan

oleh gambar dibawah ini.

Page 15: Patient Safety

15

Analisa grading risiko yang dilakukan oleh apoteker perlu melakukan penilaian matriks

risiko yang bertujuan untuk menentukan derajat risiko suatu insiden. Analisis matriks grading

risiko ini didasarkan pada dampak dan probabilitas.

a. Berdasarkan dampak adalah seberapa besar akibat yang ditimbulkan pada pasien:

Tingkat risiko Deskripsi Dampak1 Tidak Signifikan Tidak ada cedera2 Minor Cedera ringan (luka lecet)

Dapat diatasi dengan pertolongan pertama

3 Moderat Cedera sedang (luka robek) Berkurang fungsi motorik/

sensorik/psikologis/ intelektual (reversible) tidak berhubungan dengan penyakit.

4 Mayor Cedera luas (cacat/ lumpuh) Berkurang fungi motorik/ sensorik/

psikologis/ intelektual (ireversible) tidak berhubungan dengan penyakit.

5 Katastropik Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit

(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)

b. Berdasarkan probabilitas adalah seberapa seringnya insiden tersebut terjadi pada pasien :

Tingkat Risiko Deskripsi1 Sangat jarang/ Rare ( >5 tahun sekali)2 Jarang / Unlikely (2-5 tahun sekali)3 Mungkin/ Possible (1-2 tahun sekali)4 Sering / Likely (beberapa kali pertahun)5 Sangat sering/ Almost certain (tiap

minggu/bulan)

Setelah nilai dampak dan probabilitas diketahui maka akan membantu dalam menghitung skor

risiko dan mencari warna brands risiko seperti pada tabel dibawah ini.

Page 16: Patient Safety

16

Probabilitas Tdk signifikan1

Minor2

Moderat3

Mayor4

Katastropik5

Sangat sering (tiap

minggu/bulan)5

Moderat Moderat Tinggi Ekstrim Ekstrim

Sering (beberapa kali

pertahun)4

Moderat Moderat Tinggi Ekstrim Ekstrim

Mungkin (1-2 tahun sekali)

3

Rendah Moderat Tinggi Ekstrim Ekstrim

Jarang (2-5 tahun sekali)

2

Rendah Rendah Moderat Tinggi Ekstrim

Sangat jarang ( >5 tahun

sekali)1

Rendah Rendah Moderat Tinggi Ekstrim

Skor risiko akan menentukan prioritas risiko. Jika pada penilaian risiko terdapat dua

insiden dengan hasil skor risiko yang sama, maka untuk memilih prioritasnya dapat

menggunakan warna bands risiko.

Skala prioritas bands risiko adalah :

o Bands biru : rendah/ low

o Bands hijau : sedang/ moderat

o Bands kuning : Tinggi/ high

o Bands merah : Sangat tinggi/ Ekstreme

Bands risiko akan menentukan tingkat investigasi yang akan dilakukan :

o Bands biru dan hijau : Investigasi sederhana

o Bands kuning dan merah : Investigasi komprehensif /RCA

Dibawah ini adalah tabel tindakan sesuai tingkat dan bands risiko :

Level/ Bands TindakanEkstrim (sangat tinggi) Dilakukan Root Cause Analysis (RCA) paling

lama 45 hari, membutuhkan tindakan segera dan perhatian sampai direktur.

High (tinggi) Dilakukan Root Cause Analysis (RCA) paling lama 45 hari kaji dengan detil dan membutuhkan tindakan segera, perhatian top manajemen.

Moderat (sedang) Dilakukan investigasisederhana paling lama 2 minggu. Manajer/ pimpinan klinis sebaiknya menilai dampak terhadap biaya dan keola risiko.

Low (rendah) Dilakukan investigasi sederhana, paling lama

Page 17: Patient Safety

17

1 minggu, diselesaikan dengan prosedur rutin.(Sumber : Pedoman Pelaporan IKP PERSI)

Peran Apoteker dalam penyusunan laporan

Apoteker perlu mengkaji dahulu setiap terjadinya KTD/KNC/ kejadian sentinel terkait

penggunaan obat sebelum diserahkan pada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Kategori

kesalahan dalam pemberian obat adalah :

1. Pasien mengalami rekasi alergi

2. Kontraindikasi

3. Obat kadaluwarsa

4. Bentuk sediaan yang salah

5. Frekuensi pemberian yang salah

6. Label obat salah/ tidak ada/ tidak jelas

7. Informasi obat kepada pasien tidak ada/ tidak jelas

8. Obat diberikan kepada pasien yang salah

9. Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah

10. Jumlah obat yang tidak sesuai

11. ADR ( tidak digunakan berulang)

12. Ruute pemberian yang salah

13. Cara penyimpanan yang salah

14. Penjelasan petunjuk penggunaan yang salah kepada pasien

Permasalahan dalam pencatatan dan pelaporan

Yang bertanggung jawab dalam pencatatan laporan adalah :

o Staf IFRS/ sarana pelayanan kesehatan lainnya yang pertama menemukan kejadian

atau supervisornya

o Staf IFRS/ sarana pelayanan kesehatan lainnya yang terlibat dengan kejadian atau

supervisornya

o Staf IFRS/ sarana pelayanan kesehatan lainnya yang pertama menemukan kejadian

atau supervisornya

o Staf IFRS/ sarana pelayanan kesehatan lainnya yang perlu melaporkan kejadian.

Masalah yang dihadapi dalam pencatatan dan pelaporan kejadian :

o Laporan dipersepsikan sebagai ”pekerjaan perawat”

o Laporan sering tidak diuraikan secara rinci karena takut disalahkan

Page 18: Patient Safety

18

o Laporan terlambat

o Laporan kurang lengkap (cara mengisi formulir salah, data kurang lengkap)

Hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan

1. Jangan melaporkan insiden lebih dari 24 jam.

2. Jangan menunda laporan insiden dengan alasan belum ditindaklanjuti atau

ditandatangani.

3. Jangan menambah catatan medis pasien bila telah tercatat dalam laporan insiden.

4. Jangan meletakan laporan insiden sebagai bagian dari rekam medikpasien.

5. Jangan membuat salinan laporan insiden untuk alasan apapun.

6. Catatlah keadaan yang tidak diantisipasi.

Hambatan dalam pencatatan dan pelaporan

o Pandangan bahwa kesalahan adalah suatu kegagalan dan kesalahan dibebankan pada

satu orang saja.

o Takut disalahkan karena dengan melaporkan KTD, KNC, dan Kejadian sentinel akan

membeberkan keburukan dari personal atau tim yang ada dalam rumah sakit/sarana

pelayanan kesehatan lain.

o Terkena risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.

o Laporan disebarluaskan untuk tujuan yang merugikan

o Pelaporan tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor

o Kurangnya sumber daya

o Kurang jelas batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat

o Sulitnya membuat laporan dan menghabiskan waktu

Page 19: Patient Safety

19

CONTOH KASUS

A. Gambaran Umum Instalasi Bedah Sentral (IBS) RS PKU Muhammadiyah YK

Salah satu indikator dari patient safety di rumah sakit adalah terjadinya Kejadian

yang Tidak Diharapkan (KTD). Salah satu cara untuk mengetahui safety culture di suatu

rumah sakit adalah dengan mengetahui hubungan penggunaan antibiotika profilaksis pra

bedah di Instalasi Bedah Sentral (IBS) dengan penurunan KTD akibat tindakan

pembedahan.

IBS RS PKU Muhammadiyah mempunyai 26 staf yang meliputi doker bedah,

perwat bedah, perawat anatesi, dan petugas dari instalasi farmasi bedah sentral. Jenis

operasi yang dilakasanakan di IBS meliputi operasi GI, Orthopedik, urologi, bedah saraf

dan lain-lain. Sebagian besar operasi yang dilkaukan adalah operasi yang terencana,

namun operasi yang bersifat cito juga tidak jarang terjadi. Penggunaan antibiotika

profilaksis harus dilakukan secara safety baik dari sisi keseusaian jenis obat, dosis, rute

administrasi serta durasi pemakaian. Oleh karena itu pemberian antibiotika tersebut

kepada pasien di IBS harus benar-benar menerapkan aspek patient safety dengan tujuan

untuk meminimalisir terjadinya KTD setelah operasi. Salah satu caranya adalah dengan

membentuk individu dan sistem yang sudah ada di IBS untuk memiliki tingkat safety

culture yang baik.

B. Jalannya Penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional, sedangkan perancangan penelitian

adalah cross sectional. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

kesesuaian penggunaan ab profilaksif baik dari aspek ketepatan jenis obat, dosis, waktu

pemberian, rute administrasi durasi pemakaian, catatn medik pasien, serta kuesioner

safety culture pada staff IBS. Analisis hasil berupa perhitungan risiko relatif penggunaan

antibiotika profilaksis pra bedah disertai dengan gambaran tingkat safety culture terhadap

risiko terjadinya kejadian yang tidak diharapkan akibat tindakan pembedahan.

Subjek penelitiannya adalah semua staf medis yang ada di IBS yang akan

melakukan pengisian kuesioner safety culture. Sedangan subjek penelitian pasisen adalah

pasien yang menjalani bedah mayor dengan kriterian inklusi :

- Pasisen dewasa (18-60 tahun) baik program umum maupun askes

Page 20: Patient Safety

20

- Menjalani bedah mayor

- Menjalani rawat inap mayor minimal 3 hari (3x24 jam)

Indikator yang akan menunjukkan terabaikannya aspek keselamatan pasien akibat

pembedahan yang dipergunakan adalah terjadinya infeksi luka operasi. Sedangkan

analisa terhadap hasil jawaban safety culture dari staf IBS dilakukan pada aspek dan tiap

item pertanyaan yang kemudian dilakukan kategorisasi penilaian terhadap jawaban

kuesioner.

C. Gambaran dan Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pasien IBS di RS

PKU Muhamadiyah

Pada tindakan bedah mayor, hampir semua pasien memperoleh antibiotic sebelum

dilaksanakannya prosedur operasi. Pemberian antibiotic dilaksanakan 30 menit sebelum

operasi dimulai dan adapula yang diberikan di bangsal beberapa jam sebelum

operasi.Berikut ini data penggunaan antibiotic periode 17 desember 2008 sampai 21

januari 2009.

No Jenis antibiotik Jumlah kasus persentase1 Ceftriakson 53 41,73%2 Cefotaksim 47 37,003 Ceftazidim 10 7,874 Amoksisilin 5 3,935 Kedacilin 3 2,366 Gentamisin 2 1,577 Ciprofloksasin 2 1,578 Metronidazole 2 1,579 Cefradroxil 1 0,7810 Ampisilin 1 0,7811 Doksisiklin 1 0,78

127* 100*= jumlah kasus dihitung berdasarkan kasus penggunaan, bukan dari jumlah kasus

operasi

Dalam penelitian ini, dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis pada

pasien IBS RS PKU muhamadiyah yang meliputi ketepatan pemilihan jenis obat, dosis,

rute administrasi, waktu pemberian, serta durasi pemakaian. Dari data tersebut diketahui

bahwa pola penggunaan antibiotika profilaksis di RS PKU Muhamadiyah ditetapkan

berdasarkan kebijakan lokal rumah sakit dengan tetap memperhatikan ketersediaan obat,

tingakt resistensi, dan kesesuaian dengan standar pengobatan di rumah sakit. Hal tersebut

dikarenakan cefalosporin generasi pertama, yaitu cefazolin yang merupakan first line

terapi dalam pemberian antibiotika profilaksis malah jarang digunakan. Dalam

Page 21: Patient Safety

21

praktiknya, pola peresepan didominasi oleh penggunaan golongan cefalosporin generasi

ke-3, seperti ceftriakson, ceftazidim, dan cefotaksim.

Besarnya insidensi kejadian yang tidak diharapkan yaitu terjadinya infeksi pada

luka operasi akibat tindakan pembedahan sebanyak 10 kasus (10,47%) dari total 118

kasus operasi mayor yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan dalam

penelitian ini. Angka tersebut tergolong kecil dan ini hanya didasarkan pengamatan

dalam jangka waktu pendek pasca operasi. Pengukuran infeksi yang akan diamati

seharusnya dilakukan hingga 30 hari pasca pasien menjalani operasi. Hal ini dikarenakan

peneliti hanya bisa mengamati pasien selama menjalani rawat inap di rumah sakit dan

pengamatannya hanya dapat menggunakan data rekam medik (tidak bisa dilakukan

sendiri). Sedangkan paramater yang digunakan untuk menyatakan infeksi adalah :

- terjadinya nyeri setelah operasi,

- terjadi inflamasi,

- demam pada 24 jam pertama setelah operasi

- keluarnya pus pada luka operasi, atau

- telah dinyatakan oleh dokter bahwa pasien mengalami infeksi paska operasi

Dari evaluasi ketepatan tersebut akan diamati kejadian yang tidak diharapkan

khususnya pada kejadian infeksi luka operasi sehingga nantinya akan diperoleh nilai

resiko relative penggunaan antibiotik terhadap terjadinya infeksi luka operaasi.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa nilai risiko relatif

penggunaan antibiotika terhadap kejadian infeksi luka operasi ditinjau dari ketidaktepatan

jenis ab sebesar 1,12 (95% CU : 0,138-9,1), aspek ketidaktepatan dosis sebesar 1,58

(95% CI : 0,22-11,90), aspek ketidaktepatan rute sebesar 6,44 (95% CI : 1,024 – 32,26)

aspek ketidaktepatan waktu pemberian sebesar 5,8 (95% CI : 1,043 – 9.9). tingkat safety

culture yang diperoleh dari jawaban repsponden pada aspek area kerja sebesar 82,16%

(tinggi), aspek atasan sebesar 68,57% (sedang), aspek komunikai 71,62% (sedang), aspek

frekuensi pelaporan kejadian 64,13% (sedang) dan aspek lingkungan RS 74,98%

(sedang).

Secara ideal, penentuan tepat tidaknya antibiotik didasarkan pada guideline yang

tepat serta tingkat sensitifitas terhadap kuman yang kemungkinan akan menginfeksi

pasien. Evaluasi yang dilakukan bedasarkan pada beberapa literature yaitu guideline dari

American Society Hospital Pharmacist (ASHP) Therapeutical Guideline tahun 2004,

Pedoman penggunaan Antibiotik Nasional 1992 yang dikoreksi dengan pemetaan pola

kuman rumah sakit.

Berikut adalah data ketepatan jenis antibiotik profilaksis yang digunakan :

Page 22: Patient Safety

22

Keterangan Jumlah kasus PersentasePenggunaan antibiotic profilaksis yang sesuai

13 11,01%

Penggunaan antibiotic profilaksis yang tidak sesuai

105 88,98%

Total 118 100%

Bedasarkan data, dapat diketahui bahwa penggunaan antibiotic yang sesuai

sekitar 13 kasus, dan yang tidak sesuai 105 kasus. Banyaknya jenis antibiotik yang

tidak sesuai lebih didominasi oleh penggunaan cephalosporin generasi 3 sebagai

pengganti cephalosporin generasi 1 yang seharusnya sesuai guideline, cephalosporin

generasi 1 adalah first line untuk semua kasus bedah. Alasan penggunaan

cephalosporin generasi 3 adalah karena spectrumnya lebih luas, lebih banyak tersedia

dalam bentuk generik ataupun branded dan faktor pola pemakaian obat oleh dokter

lebih cenderung menggunakan cephalosporin generasi 3.

KTD yang didefinisikan dalam penelitian ini adalah KTD yang terkait dengan

kejadian infeksi paska operasi. Salah satu penyebab KTD tersebut adalah penggunaan

antibiotika yang tidak tepat. Berikut adalah tabel perhitungan nilai resiko relative terkait

dengan ketepatan penggunaan jenis antibiotic profilaksis terhadap resiko terjadinya

infeksi pada luka operasi.

Terjadinya SSI Tidak terjadi SSIPenggunaan antibiotika yang tidak tepat

9 kasus 96 kasus

Penggunaan antibiotika dengan tepat

1 kasus 12 kasus

RR (95%CI) 1,12 (0,138-9,10)Keterangan:

SSI:surgical site infectionCI: Confidence interval RR: Risiko relative

Bedasarkan tabel diketahui bahwa resiko terjadinya infeksi luka operasi akibat

penggunaan antibiotik yang tidak tepat 1,12 kali lebih besar dari pada jika menggunakan

antibiotik dengan tepat, tetapi ini tidak bermakna secara statistik (95%CI= 0,138-9,10).

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotika

profilaksis yang disertai dengan tingkat safety culture sangat berhubungan dengan

penurunan KTD akibat pembedahan (infeksi paska operasi). Adapun beberapa saran yang

dapat diberikan kepada RS PKU tersebut adalah untuk menyesuaikan penggunaan

antibiotik profilaksis dengan guideline yang ada dan agar pihak manajemen rumah sakit

Page 23: Patient Safety

23

lebih mensosialisasikan aspek safety culture sebagai pelaksanaan dari patient safety pada

seluruh pimpinan dan staf di unit-unit kerja rumah sakit.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008, Buku Saku Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient Safety), Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Halaman 33-39.

Anonim, 2008, Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient Safety), Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Dithen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Anonim, 2008, Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient Safety), Jakarta, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Depkes, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Depkes, 2008, Tanggung Jawab Apoteker terhadap Keselamatan Pasien, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan ALat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008, Buku Saku Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient Safety), Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

ISFI, 2009, Kode Etik Apoteker Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XVIII ISFI No. 006/KONGRES XVIII/ISFI/2005, Denpasar.

Jones, R, M., & Rospond, R, M., 2008, Pengkajian Pasien dan Peran Farmasis, diterjemahkan oleh Yohan, B., & Lyrawati, D.,  Lippincott Williams & Wilkins., California.

Muchid, A., dkk., 2008, Tanggung jawab apoteker terhadap keselamatan pasien,1-4, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Prima, P., 2012, Kasus Malpraktek Ismi, DPRD Sesalkan Tindakan RS, http://www.inilahjabar.com/read/detail/1849781/kasus-malpraktek-ismi-dprd-sesalkan-tindakan-rs, diakses tanggal 20 September 2012.

Shah, A., 2010, Pharmacy intervention in the medication use process: The role of Pharmacist in improving patient safety, 3, International Pharmaceutical Federation, Den Haag.

Page 24: Patient Safety

24