Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

8
8 9 PASANG SURUT PEMBANGUNAN PERKEBUNAN

description

Chapter 1 of "Tetes Lateks Untuk Kehidupan" ( A Book of Rubber Industry In Indonesia)

Transcript of Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

Page 1: Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

8 9

PASANG SURUT PEMBANGUNAN

PERKEBUNAN

Page 2: Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

10 11

Sir Henry Wickham, adalah nama yang tak bisa dilepaskan dari sejarah tanaman karet jenis Hevea brasilien-sis. Dari petualangannya di hutan

Amazon ia berhasil mengumpulkan 70 ribu biji Hevea brasiliensis, yang kemudian men-jadi cikal bakal berkembangnya perkebunan karet di Asia. Kini, Hevea brasiliensis telah melahirkan ratusan turunan klon karet yang dibudidayakan secara luas dan komersial di seluruh dunia.

Di Indonesia, hampir satu setengah abad lampau Hevea brasilien-sis pertama ditanam. Tepatnya pada tahun 1876, di Cultuurtuin Bogor yang kini dikenal seba-gai Kebun Raya Bogor, ditanam dua benih yang selamat dari 18 benih yang dikirim dari Kew Gardens, London. Kemudian, biji-biji yang lahir dari dua po-hon yang tumbuh di Cultuur-tuin Bogor tersebut ditanam di Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat, bersama biji lainnya yang didatangkan dari Sri Lanka.

Awal Mula Perkebunan Karet Indonesia Hevea brasiliensis cepat menjadi populer di ka-langan para pengusaha perkebunan. Banyak ke-unggulan Hevea brasiliensis dibanding penda-hulunya Ficus elastica. Dengan keunggulan itu, pemerintah Belanda yakin bahwa perkebunan

karet dapat dikembangkan dalam skala besar di Nusantara dan akan memberikan hasil yang sa-ngat baik bagi perekonomian Belanda kala itu.

Pada waktu itu perdagangan karet du-nia sedang marak, sehingga membuat para pengusaha bersemangat berinventasi untuk membangun perkebunan karet di Nusantara. Diawali dengan dibukanya perkebunan ka-ret komersial tahun 1902 di Sumatera dan tahun 1906 di Jawa, beberapa investor asing mulai berdatangan ke Nusantara. Harrison & Crossfield Company tercatat sebagai perusa-

haan pertama yang membuka kebun karet komersial di Nu-santara, setelah sebelumnya mereka berinvestasi di tanah Malaya (Malaysia). Disusul ke-mudian perusahaan dari Belgia (Societe Financiere des Caou-thouc) pada tahun 1909 dan per-usahaan joint venture Amerika-Belanda (Amerikaanse Plantage

Maatschappij) pada tahun 1910. Keinginan menggebu para investor ter-

paksa berhenti sementara akibat penurunan harga dunia di tahun 1921-1922. Harga karet melorot cukup tajam. Banyak pengusaha yang kemudian meninggalkan bisnis ini. Kebun-ke-bun besar tidak berproduksi lagi.

Namun krisis ini tak berlangsung lama. Keadaan menjadi lebih baik di saat industri otomotif di Amerika mulai berkembang. Per-mintaan karet alam kembali menguat berkat

meningkatnya kebutuhan dari industri oto-motif. Hasilnya pada tahun 1923-1926 harga karet dunia kembali menguat. Kebun-kebun kembali dibuka, pengusaha kembali bergiat menghasilkan getah-getah komersial ini.

Namun, kenaikan harga pada tersebut tak bisa dinikmati lama oleh para pebisnis ka-ret alam. Depresi ekonomi yang dikenal de-ngan sebutan ‘Malaise Ekonomi’ pada tahun 1931, telah menghancurkan perekonomian dunia saat itu. Harga berbagai komoditas per-kebunan anjlok di pasar dunia, tak terkecuali harga karet alam dunia.

Setelah resesi ekonomi berlalu pada tahun 1933, perdagangan karet alam dunia

kembali menggeliat. Pemerintah Belanda se-bagai penguasa pada waktu itu memberikan banyak kemudahan bagi para investor. Sarana dan prasarana diberikan untuk memfasilitasi pembukaan kebun-kebun baru. Mulai dari pe-nyediaan lahan, tenaga kerja, jalur pemasaran hingga teknologi. Biaya yang dibebankan pe-merintah Belanda untuk tanah konsesi sangat murah, hanya 1-2% dari biaya pembukaan la-han. Pemerintah Belanda juga tidak mewajib-kan perkebunan besar milik asing untuk mem-bina kebun rakyat.

Kebijakan yang terakhir ini menuai kritik tajam karena dinilai sebagai tindakan eksploitasi tanpa adanya perhatian terhadap

Page 3: Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

12 13

ekonomi masyarakat pribumi di sekitar kebun. Masyarakat pribumi pada waktu itu hanya ber-peran sebagai kuli kasar. Bahkan pengusaha di Sumatera banyak yang mendatangkan pekerja dari Jawa. Inilah yang kemudian melahirkan keturunan dengan sebutan Pujakesuma (Pu-tra Jawa Kelahiran Sumatera). Mereka dise-but kuli kontrak, bekerja sebagai pekerja kasar yang dibayar sangat murah. Mereka jelas tidak ikut menikmati keuntungan dari melambung-nya popularitas karet yang mereka sadap se-tiap hari.

Namun masyarakat pribumi tidak diam begitu saja. Bagaimanapun prospek ekonomi perdagangan karet sampai ke telinga mereka. Perlahan mulai tumbuh kebun-kebun kecil milik rakyat di sekitar perkebunan besar. Para kuli kasar itu mengantongi satu dua biji dari kebun tuannya, lalu diam-diam membuka la-han kecil di pinggiran hutan dan menanam biji karet di sana. Perlahan kebun-kebun kecil itu mulai terasa dalam perdagangan karet Nusan-

tara. Bagi petani perawatan pohon karet jauh lebih mudah daripada berkebun palawija atau tanaman pangan. Rakyat meyakini potensi pasar getah putih ini dan percaya akan masa depannya yang begitu cerah. Motif ekonomi inilah yang membuat rakyat berlomba-lomba membuka lahan untuk bertanam karet.

Biji karet tidak hanya mereka ambil dari perkebunan besar seperti pada masa awal dulu. Banyak biji-biji yang diperoleh dari Ma-laysia atau Singapura melalui para jemaah haji yang baru pulang dari tanah suci dan jalur per-dagangan Sumatera-Malaysia. Jalur ini sangat berpengaruh pada perkembangan karet rakyat di Indonesia, khususnya Sumatera Timur dan Selatan.

Perkembangan perkebunan rakyat yang sangat pesat ternyata menyebabkan laju produksi karet Nusantara tidak terkendali. Harga menjadi tidak stabil karena produksi yang berlebihan. Laju pertumbuhan kebun karet rakyat pada waktu itu mencapai 10,78%

Page 4: Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

14 15

Meski hingga sepanjang tahun 1950-an kebijakan negara tidak kunjung memulihkan kondisi ekonomi makro, kebun karet rakyat justru memberikan kemajuan yang signifikan. Hal ini terlihat pada angka produksi di tahun 1957 yang mencapai dua kali lipat angka pro-duksi di tahun 1940. Kebun-kebun rakyat ma-sih tegak berdiri dan hanya sedikit limbung akibat ketidakstabilan kondisi politik. Euforia kemerdekaan justru berdampak lebih nyata pada semangat petani untuk berkebun dengan lebih giat.

Pada September 1950, Perusahaan Perkebunan Ne-gara (PPN) dibentuk sebagai ganti dari Government’s Land-bouw Bedrijven (GIB). Setidak-nya ada 40 eks perkebunan a-sing diambil alih pemerintah Indonesia. Pada tahap ini PPN yang dibentuk dikenal dengan sebutan “PPN Lama”. Pada ta-hun 1952, sekitar 98 persen perkebunan karet sudah beroperasi kembali.

Menyusul pembatalan secara sepihak kesepakatan KMB dan pembubaran Uni Indo-nesia-Belanda, hubungan dengan Belanda se-makin memburuk, terutama dipicu oleh seng-keta Irian Barat. Pada tanggal 10 Desember 1957, pemerintah Indonesia mengambil alih sekitar 500 perusahaan perkebunan Belanda yang dikenal dengan istilah nasionalisasi. Ke-bijakan pemerintah Indonesia ini dilegitimasi

dalam UU 86/1958 perihal nasionalisasi. Ini-lah tahun monumental bagi sektor perke-bunan Indonesia. Bahkan, kini tanggal 10 De-sember diperingati sebagai Hari Perkebunan Indonesia.

April 1958, perkebunan yang diambil alih pada tahun 1957 digabung menjadi satu dan disebut PPN baru. Dengan semakin ba-nyaknya perkebunan yang dikelola oleh ne-gara, pemerintah Indonesia melakukan reor-ganisasi perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada. Langkah awalnya adalah melaku-

kan penggabungan antara PPN lama dan PPN Baru menjadi BPU-PPN. Secara keseluruhan terdapat 88 PPN dan 16 PPN di antaranya adalah BPU-PPN Ka-ret. Inilah cikal bakal lahirnya perusahaan perkebunan negara yang kini dikenal dengan nama PT Perkebunan Nusantara.

Hingga akhir 1960-an perkebunan tetap menjadi sektor penting da-lam perekonomian Indonesia. Lebih kurang 70% dari nilai total ekspor Indonesia bera-sal dari sektor perkebun an. Dari seluruh eks-por perkebunan Indonesia, karet merupakan penghasil devisa terbesar. Pada akhir tahun 1960-an karet menyumbang lebih dari 50 per-sen dari nilai ekspor hasil pertanian.

Pertengahan tahun 1960-an keadaan politik dalam negeri Indonesia tidak kondusif, ditandai dengan pecahnya peristiwa G-30-S

setiap tahunnya, sedangkan perkebunan besar hanya 2,95%. Di tahun 1937, kebun karet Nu-santara mampu menghasilkan 650.000 ton ka-ret alam. Namun harga justru menurun akibat suplai berlebihan ini. Harga karet terus melo-rot sampai meletusnya perang dunia II.

Tapi hebatnya perkebunan karet rakyat tidak lantas mati, karena sekalipun harga karet menukik turun, para petani masih dapat me-menuhi kebutuhan hidup minimal. Petani ka-ret terus bertahan menyadap karetnya sedikit demi sedikit. Meski pertumbuhan kebun tidak bertambah, kebun-kebun yang ada masih terus melanjutkan produksinya.

Hal ini tidak terlepas dari peran pedagang perantara atau pengumpul. Merekalah pe-nyambung mata rantai perda-gangan karet rakyat yang men-jaga kelangsungan produksi. Pengumpul hasil, para Tauke, begitu panggilan mereka, selalu siap menam-pung atau membeli produksi karet rakyat. Jadi para petani tak pernah kehilangan pasar. Se-lalu ada yang membeli produk mereka. Kemu-dahan seperti inilah yang merangsang petani senantiasa memproduksi karet. Keberadaan tauke dan kesederhanaan pola pikir petani yang tidak muluk-muluk, membuat para pe-tani karet ini tetap merasa aman berkebun karet meski harga karet di pasar dunia terus berfluktuasi.

Situasi perdagangan karet semakin memburuk saat Jepang ekspansi ke Indonesia. Jepang tak terlalu tertarik dengan komoditas perkebunan. Akibatnya banyak perkebunan besar terbengkalai tanpa perawatan, sehingga produksi karet saat itu mengalami penurunan. Situasi ini berlangsung hingga perang dunia II, saat Jepang menyerah kepada tentara sekutu dan meninggalkan Indonesia.

Nasionalisasi, Orde baru dan ReformasiTahun 1945 menjadi tahun terpenting dalam

sejarah berdirinya Republik ini. Namun baru menjelang akhir tahun 1949, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Belanda bersedia menyerahkan sepenuhnya tampuk kekuasaan pada Republik Indonesia.

Salah satu hasil dari KMB adalah pengalihan ke-pemilikan perusahaan besar

termasuk perkebunan besar baik milik pe-merintah Belanda maupun swasta asing ke pe-merintah Indonesia.

Kondisi politik dan ekonomi yang sa-ngat tidak stabil pasca penyerahan kekuasaan penuh kepada Indonesia, membawa dampak terhadap angka produksi perkebunan nasio-nal. Hampir semua komoditas mengalami pe-nurunan produksi yang cukup drastis. Angka produksi di tahun 1950 berada di bawah angka produksi di tahun 1940.

Page 5: Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

16 17

PKI. Keadaaan ini berpengaruh pada segala sektor. Ekonomi nyaris lumpuh. Hingga ter-bentuk pemerintahan baru di awal tahun 1967 sebagai jawaban dari kisruh politik kala itu. inilah masa kelahiran Orde Baru.

Tahun 1966 tercatat luas kebun karet nasional mencapai 2.102.983 Ha dengan pro-duksi 736.675 ton. Namun menjelang jatuh-nya Orde Lama, sempat tercatat adanya pe-nurunan luas areal kebun karet dan angka produksinya. Ketika memasuki era Orde Baru dan situasi nasional mulai stabil, komoditas karet mulai mendapat perha-tian yang cukup serius.

Bila masa Orde Lama masih banyak ditandai oleh berbagai gejolak terkait dengan pembenahan RI sebagai sebuah negara baru, masa Orde Baru bisa dibilang sebagai periode Indonesia mulai menjalani ke-hidupannya sebagai sebuah negara. Sistem dalam segala sektor mulai ter-bangun. Ada banyak catatan kemajuan yang cukup signifikan di sektor perkebunan dalam periode ini.

Kondisi ini kembali meningkatkan mi-nat masyarakat untuk menanam karet. Tum-buhnya industri crumb rubber di awal tahun 70-an merupakan salah satu faktor penting peningkatan luas areal kebun. Pabrik-pabrik pengolah bahan olah karet (bokar) ini tumbuh dengan cepat, menyerap setiap bahan baku ka-

ret alam yang dihasilkan kebun-kebun karet rakyat.

Pada tahun 1977/1978 pengembangan perkebunan karet dilakukan pemerintah me-lalui empat pola yaitu Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP), Pola Bantuan Parsial, dan Pola Pe-ngembangan Perkebunan Besar (PPB).

Tahun 1981-1988, dilaksanakan progam pengembangan seperti Smallholder Rubber Development Project (SRDP, 1981-1988), Tree Crops Smallholder Development  Project (TC-

SDP, 1989-1997) dan program Nucleous Estate for Smallhold-er (NES/PIR) untuk wilayah transmigrasi serta beberapa proyek   skala kecil seperti Pro-gram Pengembangan Wilayah Khusus (P2WK) dari Dinas Per-kebunan atau Program Pengem-bangan Karet Rakyat (PKR-GK) oleh Gabungan Pengusaha Ka-

ret Indonesia (GAPKINDO)  sejak tahun  1993. Melalui pemerintah, Perkebunan Be-

sar Negara (PBN) selama 10 tahun (1968-1978) memperoleh bantuan kredit lunak dari Bank Dunia untuk penguatan perusahaan, terutama aspek permodalan. Penguatan permodalan ini memung kinkan pemerintah memberikan kepada PBN tugas pemerataan pembangun-an yaitu pe ngembangan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Setelah program penguatan per-usahaan dilakukan, terpilih tujuh PBN yang

Page 6: Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

18 19

dinilai cukup kuat secara finansial, sebagai perusahaan inti dalam program PIR. Maka pada tahun 1977/78 digulirkan program PIR untuk pertama kalinya. Pola PIR menempat-kan perkebunan besar sebagai perusahaan inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma.

Program PIR adalah program yang ber-gaung besar pada sektor perkebunan di masa Orde Baru dan merupakan langkah penting dalam kebangkitan sektor perkebunan nasio-nal kala itu.

Pola UPP berbantuan yang cukup fe-nomenal dan berhasil pelak-sanaannya adalah Smallholder Rubber Development Project (SRDP). Pola ini sebagian besar dilaksanakan di Provinsi Suma-tera Selatan. Proyek ini diang-gap berhasil sehingga sering menjadi percontohan bagi para petani tradisonal.

Berbagai pola pengem-bangan ini telah meningkatkan luas perke-bunan karet rakyat secara signifikan. Pertum-buhan mencapai di atas angka 1 % di awal tahun 1980-an. Walaupun secara keseluruhan bukan semata hasil dari proyek pengembangan, na-mun perluasan perkebunan karet terus me-ningkat sepanjang pemerintahan Orde Baru, yang semula 2,1 juta Ha di tahun 1966 menjadi 3,4 juta Ha di tahun 1994. Sejalan dengan itu, angka produksi karet pun terus meningkat, produksi 1 juta ton ditembus pada tahun 1983.

Di awal tahun 1990-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi. Skim kre-dit lunak jangka panjang, yang hampir meru-pakan penopang bagi program pengembangan perkebunan, tidak lagi tersedia. Akibatnya perkebunan rakyat harus menggunakan kre-dit komersial. Ini jelas memberatkan petani. Sebagai langkah penanganan terhadap per-soalan tersebut, tahun 1992/1993 dimulai pro-gram kegiatan Pengembangan Perkebunan Rakyat di Wilayah Khusus (P2WK) pada wila-yah terpencil atau ter tinggal. Kemudian lahir-

lah pola UPP berbantuan baru. Perbedaan dengan UPP lama, pada pola ini skim kredit meru-pakan kombinasi antara hibah dan kredit. Tahun pertama me-rupakan hibah dan tahun selan-jutkan adalah kewajiban petani untuk melunasi kredit.

Perubahan dalam hal akses dana yang relatif kian su-

lit bagi petani, menjadikan PIR berkurang gaungnya di akhir tahun 1990-an, kebun karet rakyat banyak yang hidup secara mandiri. Di-tambah kondisi politik yang kembali tergun-cang di tahun 1998 yang kemudian melahirkan era reformasi. Kebijakan-kebijakan Orde Baru menjadi tidak populer lagi.

Di tahun 2004, pemerintah orde refor-masi mulai memikirkan secara serius peranan sektor riil bagi pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang nyata bagi Repu-

blik ini. Pertanian, dengan sektor perkebunan di dalamnya adalah salah satu sektor riil de-ngan kontribusi PDB tertinggi bagi negara ini. Maka lahirlah Program Revitalisasi Perke-bunan, sebagai bagian dari Revitalisasi Perta-nian, pada tahun 2005.

Program ini adalah upaya percepatan, pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi ta-naman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan dibidang usaha perkebunan se-bagai mitra pengembang dalam pembangunan kebun, peng-olahan dan pemasaran hasil.

Pada awal pencanang-annya, program revitalisasi perkebunan karet ditargetkan untuk 300.000 Ha lahan yang harus dicapai di tahun 2010. La-han revitalisasi itu terdiri atas 250.000 Ha peremajaan kebun dan 50.000 Ha perluasan.

Pendekatan pengembangannya dilaku-kan dalam berbagai upaya, di antaranya mela-lui kemitraan dan pola PIR yang sempat ber-daya di masa Orde Baru. Untuk wilayah yang tidak tersedia mitra, pengembangan langsung dapat dilakukan oleh petani/pekebun atau melalui koperasi.

Bunga kredit yang diberikan tidak lebih dari 10% yang sisa bunganya disubsidi oleh pe-

merintah. Subsidi tersebut diberikan sampai masa tanaman menghasilkan/produktif yaitu tujuh tahun untuk karet.

Persoalan paling mendasar yang harus dibenahi pada sektor hulu industri karet ada-lah produktivitas. Dengan langkah revitalisasi, diharapkan produktivitas karet nasional da-pat meningkat signifikan, mengejar keterting-galan dengan laju produktivitas karet alam ne-gara-negara tetangga.

Namun, pada pelaksanaannya, revitali-sasi ini ternyata menghadapi cukup banyak

kendala. Oleh karena itu, pe-merintah memperpanjang pro-gram revitalisasi ini hingga tahun 2014 dengan harapan se-luruh target dapat tercapai.

Kini posisi Indonesia adalah produsen terbesar ke-dua karet alam di dunia setelah Thailand. Sejak tahun 1990-an, Indonesia berhasil meningkat-

kan laju produksinya mengalahkan Malaysia. Namun Thailand telah melaju lebih dulu, dan langsung menggeser posisi Malaysia. Indone-sia tetap di posisi nomor dua saat itu dan Thai-land yang merajai produksi karet alam dunia. Meski secara luasan lahan, Indonesia masih tetap nomor satu.

Memasuki tahun 1990-an, luas lahan perkebunan karet Indonesia mencapai lebih dari tiga juta Ha dan 80% adalah kebun karet rakyat. Pertumbuhannya melaju dengan ce-

Page 7: Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

20 21

pat, lebih dari 1%. Oleh karena itu dinamika produksi karet nasional sangat tergantung dari perkembangan luas areal dan produksi perke-bunan karet rakyat. Sementara perkebunan be-sar, baik nasional maupun swasta, nyaris tidak memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan jika di banding dengan luasan kebun rakyat.

Meski pasar karet alam dunia cen-derung stagnan, terutama untuk industri berbahan baku karet alam di Amerika dan Eropa, harga karet alam tetap memiliki kecen-derungan meningkat. Hingga harga karet men-capai puncak yang cukup feno-menal di tahun 1995. Ketika itu, industri otomotif China mulai bangkit. Harga karet menembus angka lebih dari US$ 1,2.

Memasuki milienium baru, harga karet sempat menu-run, kembali di bawah level satu dollar US per kilogram. Akibat harga yang sempat melambung tinggi dan suplai yang meningkat, maka para negara produsen besar karet mulai mengkaji dengan serius fluktuasi harga tersebut. Diben-tuklah International Tripartite Rubber Corpo-ration oleh tiga negara produsen karet, yakni Indonesia, Thailand, dan Malaysia.

Kemudian lahirlah sebuah kesepakatan untuk melakukan stockholding dengan me-ngurangi ekspor sebesar 10% dan pengu-rangan produksi sebesar 4% pada tahun 2002-2003. Hal ini berpengaruh signifikan pada

luas perkebunan karet. Praktis, sejak tahun 2002, tidak lagi tercatat adanya penambahan luas areal perkebunan karet di tiga negara ini. Harga perlahan membaik dan berfluktuasi de-ngan lebih stabil.

Dalam data terakhir, saat perjanjian Tripartite dijalankan, Indonesia mencatat luas kebun karet pada angka 3,4 juta Ha, dengan 2,7 juta Ha diantaranya adalah kebun karet rakyat. Lebih dari 3,5 dekade, areal perkebunan karet nasional meningkat 4,8% per tahun. Dengan pertumbuhan yang nyata terjadi pada areal ke-

bun karet rakyat. Dari seluruh luas perke-

bunan karet rakyat, lebih dari 90% adalah kebun yang diba-ngun dengan swadaya murni oleh tangan rakyat. Sisanya, me-rupakan kebun-kebun yang di-bangun melalui program peme-rintah.

Sampai saat ini Suma-tera masih merupakan pulau dengan luas la-han dan produksi karet terbesar di tanah air. Total luas kebun karetnya mencapai lebih dari satu juta Ha yang tersebar di semua provinsi. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan luas 109.671 Ha, Sumatera Utara 304.650 Ha, Sumatera Barat 144.717 Ha, Riau 501.055 Ha, Kepulauan Riau 46.068 Ha, Bengkulu 13.628 Ha, Bangka Belitung 39.485, Jambi 465.109 Ha. Yang terluas adalah provinsi Sumatera Se-latan yang mencapai 901.991 Ha.

Di pulau Jawa kebun karet terbesar ada di provinsi Jawa Barat dengan luas 52.237 Ha. Sebagian besar merupakan kebun-kebun milik negara dan swasta. Sementara di Jawa tengah hanya terdapat di Cilacap dengan luas sekotar 700 Ha. Di Jawa Timur terdapat sekitar 25.337 Ha kebun karet. Sebagian besar terdapat di Kabupaten Jember. Terdapat juga lahan-lahan kebun yang relatif kecil di beberapa kabupaten lain, seperti Banyuwangi, Kediri , Blitar, dan Madiun.

Kalimantan hampir menyamai Suma-tera, perkebunan karet tersebar di seluruh provinsinya dan yang terluas di Kalimantan Tengah sekitar 346.510 Ha. Di Sulawesi Sela-tan tidak terlalu besar, sekitar 5.762 Ha. Per-kebunan karet yang paling luas terdapat di Kabupaten Bulukumba. Juga ada sedikit lahan di Kabupaten Sinjai sekitar 85 Ha. Sementara di provinsi Sulawesi Tengah hanya terdapat di satu Kabupaten, yaitu Kabupaten Morowali dengan total luas lahan 3.500 Ha.

Provinsi Papua mulai ikut menanam karet, di antaranya Kabupaten Asmat, Kabu-paten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, dan Kabupaten Merauke. Total luas lahan karet di provinsi ini mencapai 4.263 Ha.

Seakan tak terpengaruh oleh berbagai peristiwa dunia maupun dalam negeri, tak terpengaruh adanya pergantian pemerintah, tak terpengaruh dengan fluktuasi harga, para petani terus meningkatkan luas areal perke-bunannya dan juga produksi karetnya. l

Page 8: Pasang Surut Pembangunan Perkebunan Karet Indonesia

22 23