Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

18
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus 122 MENUMBUHKAN KEMAMPUAN EVALUASI DARI MASYARAKAT: PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN TATA RUANG KECAMATAN KEMBANG TANJONG, KABUPATEN PIDIE, NANGGROE ACEH DARUSSALAM Agung SUGIRI 1 Staf Pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang; email: [email protected] Abstrak Keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan semakin dirasakan penting akhir- akhir ini, tidak terkecuali dalam proses perencanaan tata ruang di Indonesia. Hal ini telah diperkuat melalui beberapa undang-undang, termasuk UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Tulisan ini mengetengahkan pengalaman dari proses penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tahun 2007. Pendekatan partisipatif RDTR Kecamatan Kembang Tanjong berusaha menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengevaluasi rencana tata ruang berdasarkan hasil-hasil pembangunan yang mereka rasakan, sesuatu yang mungkin belum banyak dilakukan di Indonesia sebelumnya. Melalui serangkaian pengamatan lapangan bersama dan FGD (Focus Group Discussion), masyarakat dikenalkan kepada metoda sederhana seperti forcefield approach. Langkah awalnya adalah menyerap aspirasi masyarakat mengenai visi atau keadaan yang mereka cita- citakan untuk 5 tahun ke depan. Masyarakat kemudian difasilitasi untuk dapat menjabarkan dan menilai secara kuantitatif keadaan tersebut melalui serangkaian indikator, yang tentunya disederhanakan sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai keadaan sekarang yang mereka rasakan, dan dapat pula merumuskan visi ke depan yang realistis. Selanjutnya, masyarakat juga diajak untuk menyadari bahwa untuk dapat terwujudnya visi tersebut diperlukan serangkaian tujuan (misi), dan bahwa saat ini telah ada kekuatan pendukung dan kekuatan penghambat bagi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Maka selanjutnya, masyarakat dapat diajak untuk menyusun strategi-strategi yang dapat menghilangkan atau meminimalkan kekuatan penghambat dan memaksimalkan kekuatan pendukung. Dari serangkaian strategi inilah, implikasi kebijakan pembangunannya akan terlihat jelas. Masyarakat akhirnya akan menyadari pula bahwa kebijakan-kebijakan tata ruang berikut indikasi program-program pembangunannya yang merupakan hasil dari RDTR ini, meskipun merupakan bagian sangat penting, tapi bukan segala-galanya, dalam pembangunan di kecamatan mereka. Kemampuan masyarakat untuk melakukan evaluasi keadaan pada tahun-tahun mendatang pun akan tumbuh, karena mereka mampu melakukan penilaian terhadap indikator-indikator keadaan tersebut. Maka, kiranya hal ini akan membantu dalam keberlanjutan proses partisipatif dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan di Kecamatan Kembang Tanjong di tahun-tahun mendatang. Kata kunci (Keywords): partisipasi masyarakat, perencanaan tata ruang, evaluasi pembangunan Pendahuluan Peranserta masyarakat dalam pembangunan, termasuk pada tahap perencanaannya, merupakan hal yang sangat penting meskipun baru diterapkan sejak beberapa dekade terakhir ini saja di Indonesia, terutama selama satu dekade era reformasi ini. Kiranya hal ini sejalan dengan pesatnya perkembangan demokratisasi yang meliputi semua aspek sejak 1998, tidak saja pada kehidupan politik tapi juga sosial ekonomi. Beberapa undang-undang telah pula diterbitkan untuk memfasilitasi pelaksanaannya, dan yang terbaru di antaranya adalah UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

description

This paper has been presented at the URDI-GTZ Seminar on the Sustainability of People Participation in Development, Yogyakarta, 25-26 July 2008. It is based on the author's experience in introducing an innovative approach to build and to encourage community capability in monitoring and evaluating the implementation of RDTR (Detailed Spatial Plan) of Kembang Tanjong district in Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Through converting academic planning language into the daily life one, with certainly some consequences of simplification, it is finally proven that the people of Kembang Tanjong can properly participate not only in the planning process, but also in the monitoring and evaluation stages.Keywords: Aceh, development evaluation, Indonesia, participatory approach, urban and regional planning

Transcript of Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Page 1: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

122

MENUMBUHKAN KEMAMPUAN EVALUASI DARI MASYARAKAT: PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN TATA RUANG KECAMATAN KEMBANG TANJONG, KABUPATEN PIDIE, NANGGROE

ACEH DARUSSALAM

Agung SUGIRI1

Staf Pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang; email: [email protected]

Abstrak

Keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan semakin dirasakan penting akhir-akhir ini, tidak terkecuali dalam proses perencanaan tata ruang di Indonesia. Hal ini telah diperkuat melalui beberapa undang-undang, termasuk UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Tulisan ini mengetengahkan pengalaman dari proses penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tahun 2007. Pendekatan partisipatif RDTR Kecamatan Kembang Tanjong berusaha menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengevaluasi rencana tata ruang berdasarkan hasil-hasil pembangunan yang mereka rasakan, sesuatu yang mungkin belum banyak dilakukan di Indonesia sebelumnya. Melalui serangkaian pengamatan lapangan bersama dan FGD (Focus Group Discussion), masyarakat dikenalkan kepada metoda sederhana seperti forcefield approach. Langkah awalnya adalah menyerap aspirasi masyarakat mengenai visi atau keadaan yang mereka cita-citakan untuk 5 tahun ke depan. Masyarakat kemudian difasilitasi untuk dapat menjabarkan dan menilai secara kuantitatif keadaan tersebut melalui serangkaian indikator, yang tentunya disederhanakan sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai keadaan sekarang yang mereka rasakan, dan dapat pula merumuskan visi ke depan yang realistis. Selanjutnya, masyarakat juga diajak untuk menyadari bahwa untuk dapat terwujudnya visi tersebut diperlukan serangkaian tujuan (misi), dan bahwa saat ini telah ada kekuatan pendukung dan kekuatan penghambat bagi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Maka selanjutnya, masyarakat dapat diajak untuk menyusun strategi-strategi yang dapat menghilangkan atau meminimalkan kekuatan penghambat dan memaksimalkan kekuatan pendukung. Dari serangkaian strategi inilah, implikasi kebijakan pembangunannya akan terlihat jelas. Masyarakat akhirnya akan menyadari pula bahwa kebijakan-kebijakan tata ruang berikut indikasi program-program pembangunannya yang merupakan hasil dari RDTR ini, meskipun merupakan bagian sangat penting, tapi bukan segala-galanya, dalam pembangunan di kecamatan mereka. Kemampuan masyarakat untuk melakukan evaluasi keadaan pada tahun-tahun mendatang pun akan tumbuh, karena mereka mampu melakukan penilaian terhadap indikator-indikator keadaan tersebut. Maka, kiranya hal ini akan membantu dalam keberlanjutan proses partisipatif dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan di Kecamatan Kembang Tanjong di tahun-tahun mendatang.

Kata kunci (Keywords): partisipasi masyarakat, perencanaan tata ruang, evaluasi pembangunan

Pendahuluan

Peranserta masyarakat dalam pembangunan, termasuk pada tahap perencanaannya, merupakan hal yang sangat penting meskipun baru diterapkan sejak beberapa dekade terakhir ini saja di Indonesia, terutama selama satu dekade era reformasi ini. Kiranya hal ini sejalan dengan pesatnya perkembangan demokratisasi yang meliputi semua aspek sejak 1998, tidak saja pada kehidupan politik tapi juga sosial ekonomi. Beberapa undang-undang telah pula diterbitkan untuk memfasilitasi pelaksanaannya, dan yang terbaru di antaranya adalah UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Page 2: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

123

Nasional, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.

Salah satu tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional, seperti disebutkan dalam UU 25/2004 (Pasal 2 (4)d), adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Dalam UU ini juga ditekankan mengenai perlunya musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat desa hingga nasional pada semua tingkatan rencana, mulai dari rencana jangka panjang hingga jangka tahunan. Sementara dalam UU 32/2004 yang merupakan pengganti UU 22/1999, pentingnya partisipasi (dan pemberdayaan) masyarakat ditekankan antara lain pada Pasal 199 (6), Pasal 200 (2), Pasal 209, dan Pasal 215. Demikian pula dengan UU 26/2007 yang menggantikan undang-undang sebelumnya, UU 24/1992, pentingnya partisipasi masyarakat terlihat antara lain pada Pasal 48 dan Pasal 55. Bahkan Bab VIII secara khusus mengatur mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat, dengan Pasal 65 memberikan penekanan pada partisipasi.

Asal mula dirasakan perlunya partisipasi masyarakat sebenarnya berawal dari terpinggirkannya peran masyarakat dalam pengambilan keputusan oleh para elit penguasa, padahal keputusan-keputusan itu menyangkut kesejahteraan masyarakat luas. Arnstein (1969) misalnya, sekitar 40 tahun yang lalu mengkritisi bahwa partisipasi masyarakat di Amerika Serikat pada masa itu lebih bersifat ritual kosong belaka. Mayoritas masyarakat tidak mendapatkan kekuasaan (power) yang cukup, baik di ranah politik maupun mekanisme sosial ekonomi yang ada, untuk dapat berperan dalam menentukan dan merubah nasib mereka sendiri ke arah yang lebih baik. Maka pelibatan aktif masyarakat luas dalam pembangunan hakikatnya merupakan suatu langkah yang berpihak kepada mayoritas penduduk yang kurang beruntung (worse off), melalui redistribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan mereka sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) karena menunjang tercapainya keadilan di dalam generasi (intragenerational equity)2.

Arnstein mengidentifikasi adanya delapan tingkat anak tangga partisipasi yang terbagi dalam tiga kategori, mulai dari kategori non-partisipasi, tokenism (penghargaan), hingga kekuasaan masyarakat (citizen power). Gambar 1 memperlihatkan hal ini. Pada tingkat partisipasi yang tertinggi, maka masyarakat tidak hanya menjadi partner bagi para pemegang kekuasaan (power holders), tapi masyarakat benar-benar mengontrol dalam arti mampu menjamin bahwa aspirasi mereka tidak hanya tertulis dalam kebijakan, tapi juga terlaksanakan dengan baik. Inilah yang diistilahkan dengan kontrol masyarakat (citizen control), ketika masyarakat mendapatkan kekuasaan manajerial penuh (full managerial power). Level ini berada dua tingkat di atas partnership (Arnstein 1969), meskipun keduanya sudah termasuk dalam kategori kekuasaan masyarakat.

Page 3: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

124

Keterangan Gambar:

Anak tangga

1. Manipulation: Manipulasi

2. Therapy: Terapi

3. Informing: Pemberitahuan

4. Consultation: Konsultasi

5. Placation: Penempatan

6. Partnership: Kemitraan

7. Delegated Power: Kekuasaan Terdelegasi

8. Citizen Control: Kontrol Masyarakat

Kategori

• Nonparticipation: Non-partisipasi; pada kategori ini boleh dikatakan tidak ada partisipasi masyarakat

• Tokenism: Penghargaan; masyarakat cukup dihargai melalui pemberian informasi, diajak konsultasi, dan ditempatkan wakilnya dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan

• Citizen Power: Kekuasaan Masyarakat; masyarakat mendapatkan kekuasaan manajerial, mulai dari kemitraan hingga kekuasaan penuh

Gambar 1 Delapan Tingkatan dalam Anak Tangga Partisipasi (Arnstein 1969: 217)

Praktek partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia secara umum, kiranya belum sampai pada anak tangga tertinggi itu. Meskipun upaya-upaya serius telah dan sedang dilakukan baik oleh pemerintah dari semua tingkatan, organisasi-organisasi non-pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri, kebanyakan perencanaan pembangunan umumnya, dan tata ruang khususnya, agaknya masih berada di sekitar anak tangga pertengahan dan belum masuk kategori kekuasaan masyarakat. Beberapa perencanaan yang menyangkut masyarakat terbatas seperti perencanaan pemukiman kembali bagi penduduk yang terkena bencana, atau perencanaan desa (village planning), mungkin sudah ada yang mencapai tingkat kemitraan atau bahkan kontrol masyarakat3. Namun untuk perencanaan yang menyangkut wilayah yang cukup luas dan berpenduduk besar seperti kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi, dapat dipastikan bahwa masyarakat belum mencapai tingkat partisipasi yang mendapatkan kekuasaan manajerial penuh.

Keadaan di Indonesia ini, jika menggunakan ukuran relatif, sebenarnya tidak terlalu buruk mengingat di Amerika Serikat saja, sebuah negara yang telah ratusan tahun menerapkan demokrasi secara politik, partisipasi masyarakat dalam pembangunannya baru dimulai tahun 1949 dan baru meningkat pesat pada era 1970-an (Roberts 2004). Dengan kecenderungan (trend) kesadaran yang meningkat dari semua pelaku pembangunan akan pentingnya partisipasi masyarakat, dan kemauan yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, Indonesia mungkin termasuk beruntung. Maka keberlanjutan trend ini menjadi penting, tidak saja untuk memperbaiki tingkat partisipasi

Page 4: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

125

masyarakat dalam pembangunan, tapi juga untuk mempertahankan momentum yang baik ke arah terjaminnya pembangunan berkelanjutan. Dalam kaitan dengan inilah mendukung partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan umumnya, dan penataan ruang khususnya, menjadi penting, dan ini seyogyanya sudah dipersiapkan sejak tahap perencanaan.

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM EVALUASI PEMBANGUNAN

Seperti dimaklumi bersama, evaluasi memegang peranan penting dalam pembangunan mengingat hasil evaluasi akan menjadi masukan penting bagi perencanaan pembangunan periode berikutnya. Evaluasi memungkinkan seorang perencana mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan rencananya yang lalu dengan baik, dalam arti menemukan faktor-faktor apa saja yang berhasil dan apa saja yang gagal serta hubungan sebab akibat yang terjadi selama periode perencanaannya. Dapat dipastikan bahwa jika ingin menghasilkan perencanaan yang baik, hasil evaluasi yang baik dari pelaksanaan pembangunan yang lalu seyogyanya menjadi prasyarat pertamanya. Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang baik inilah pelibatan aktif masyarakat diperlukan pula, karena tanpa partisipasi masyarakat dalam evaluasi maka bentuk redistribusi kekuasaan kepada masyarakat –yang menjadi syarat partisipasi- tidaklah sempurna.

Evaluasi ini, secara tidak disadari sebenarnya telah dan selalu dilakukan masyarakat melalui apa yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara individual, setiap orang bisa merasakan apakah hasil-hasil pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan harapan orang tersebut atau tidak. Hanya saja, aspirasi ini ketika dikumpulkan pada tingkat kemasyarakatan mungkin kurang tertangkap oleh pihak-pihak yang berwenang melakukan evaluasi perencanaan dan pembangunan, terutama dikarenakan masyarakat kesulitan menstrukturkan penilaian mereka sementara format evaluasi yang cenderung dari atas (top down) mungkin kurang menyediakan ruang untuk menampung perasaan dan aspirasi masyarakat. Demikian pula agaknya yang terjadi dengan perencanaan-perencanaan tata ruang di Indonesia, terutama dengan wilayah perencanaan kecamatan dan yang lebih luas.

Berangkat dari sinilah, maka tulisan singkat ini menguraikan pengalaman pendekatan partisipatif dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang berusaha menumbuhkan kemampuan evaluasi dari masyarakat. Kembang Tanjong termasuk daerah yang terkena kerusakan yang cukup parah ketika tsunami tahun 2004 yang lalu, meskipun korban jiwa tidaklah terlalu banyak dibandingkan dengan daerah Meulaboh atau Banda Aceh. RDTR Kecamatan Kembang Tanjong disusun oleh BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) NAD-Nias pada tahun 2007 bekerjasama dengan sebuah konsultan perencanaan. Harus dicatat bahwa menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk dapat melakukan evaluasi pembangunan tidaklah dituntut dalam KAK (Kerangka Acuan Kerja) pekerjaan RDTR ini, sehingga hal ini boleh dianggap sebagai sebuah inovasi dan pekerjaan ekstra oleh perencana.

Satu hal yang menjadi pertanyaan awal ketika memulai penyusunan RDTR ini adalah: “Apakah muatan isi dari rencana-rencana tata ruang –dengan pendekatan partisipatifnya - selama ini sudah cukup memberikan arahan bagi masyarakat untuk melakukan evaluasi keadaan?” Studi literatur yang dilakukan dalam penyusunan RDTR itu menemukan jawaban negatif atas pertanyaan tersebut, sehingga timbul pertanyaan berikutnya: “Apakah dimungkinkan untuk memberikan arahan kepada masyarakat untuk dapat melakukan evaluasi oleh mereka sendiri dalam muatan RDTR ini tanpa harus bertentangan dengan dan/atau mengurangi kuantitas dan kualitas muatan isi yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku?” Ternyata, dengan mengajukan proposisi dalam penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong, jawaban dari pertanyaan ini adalah positif.

Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan menguraikan lebih jauh jawaban atas pertanyaan kedua tersebut dan juga jawaban atas pertanyaan ketiga berikut ini: “Bagaimana arahan

Page 5: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

126

dan dukungan kepada masyarakat Kembang Tanjong untuk dapat melakukan evaluasi itu menyatu dalam satu kesatuan muatan RDTR dan bagaimana saran pelaksanaannya?”

Menumbuhkan Kemampuan Masyarakat untuk Mengevaluasi: Kasus RDTR Kecamatan Kembang Tanjong

Meskipun belum banyak dilakukan dalam perencanaan tata ruang di Indonesia, penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong berusaha membantu masyarakat untuk mampu mengevaluasi pembangunan umumnya, dan penataan ruang khususnya, di wilayah mereka. Pengalaman ini akan dituangkan dalam tiga bahasan berikut. Bagian pertama membahas mengenai berdasarkan apa masyarakat akan mengevaluasi penataan ruang di wilayah mereka. Bagian kedua menguraikan bagaimana proses partisipasi masyarakat dalam penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong, dan bagian ketiga membahas proposisi perencana dan konfirmasinya dari masyarakat.

EVALUASI OLEH MASYARAKAT KEMBANG TANJONG: BERDASARKAN APA?

Hal mendasar pertama yang harus diketahui adalah berdasarkan apa masyarakat Kembang Tanjong bisa mengevaluasi pembangunan secara umum, dan khususnya penataan ruang di wilayahnya. Mengharapkan masyarakat Kembang Tanjong mampu mengevaluasi penataan ruang berdasarkan pembandingan rencana tata ruang dengan hasil perwujudan ruangnya adalah suatu harapan yang terlalu tinggi agaknya. Hal ini bukan saja karena masyarakat Kembang Tanjong tidak memiliki kemampuan dasar perencanaan tata ruang, tapi bahkan istilah penataan ruang itu sendiri belum terlalu populer di sebagian masyarakat, terlihat dari tanggapan seorang pemuka kecamatan yang sempat mengira tim penyusun RDTR ini akan mengatur ruangan Kantor Kecamatan Kembang Tanjong4. Maka yang paling mungkin untuk difasilitasi di Kembang Tanjong adalah agar masyarakat mampu mengevaluasi berdasarkan apa yang mereka dapatkan dan rasakan dari proses pembangunan dan penataan ruang di wilayah mereka itu. Ibarat seorang penyantap makanan yang awam dalam hal masak memasak, dia tidak akan peduli apakah hidangan yang dimakannya itu sudah sesuai bahan dan bumbunya dengan resep yang baik hasil perencanaan seorang ahli masak. Yang dia pedulikan tentunya adalah apakah makanan itu enak dan menyehatkan atau tidak.

Persepsi masyarakat terhadap hasil pembangunan tentunya datang langsung dari apa yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang telah bekerja keras setiap harinya tapi mendapatkan penghasilan yang hanya cukup untuk menghidupi keluarganya secara pas-pasan saja dan ini sudah berlangsung cukup lama tanpa peningkatan berarti, tentu orang seperti ini akan mempunyai persepsi bahwa pembangunan belum dapat membawa kesejahteraan (welfare) yang baik bagi penduduknya. Contoh seperti ini adalah evaluasi dari seorang rakyat yang kurang beruntung terhadap pembangunan di daerahnya, dan kiranya dengan cara seperti inilah masyarakat secara umum menilai keberhasilan (atau kegagalan) pembangunan.

Keinginan masyarakat pada umumnya adalah sederhana saja, yaitu mendapatkan kesejahteraan pada tingkat yang baik dalam kehidupan mereka dan berharap anak cucu mereka nantinya pun akan menikmati kesejahteraan yang minimal sama. Kesejahteraan yang dirasakan masyarakat tentunya adalah dalam arti luas. Masyarakat umumnya tidak menyadari bahwa banyak komponen-komponen yang bekerja dan saling terkait sehingga menghasilkan apa yang mereka rasakan sebagai kesejahteraan tersebut. Masyarakat juga umumnya akan kesulitan untuk menilai secara kuantitatif dari apa yang mereka rasakan. Maka hal-hal tersebut menjadi tugas perencana, yaitu untuk membuat masyarakat sadar akan adanya komponen-komponen tersebut dan kemudian mampu menilainya secara kuantitatif walaupun sederhana sekalipun. Untuk inilah diperlukan proposisi dari perencana dalam memulai penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong, yang kemudian akan dikonfirmasikan kepada masyarakat. Namun sebelum itu, perlu kiranya diulas bagaimana pendekatan partisipatif dilaksanakan dalam penyusunan

Page 6: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

127

RDTR Kecamatan Kembang Tanjong sehingga akan menjadi jelas pada tahap mana proposisi perencana itu diajukan dan dikonfirmasikan kepada masyarakat.

PROSES PARTISIPATIF DALAM PENYUSUNAN RDTR KECAMATAN KEMBANG TANJONG

Alur proses perencanaan partisipatif dalam RDTR Kecamatan Kembang Tanjong dapat dilihat pada Tabel 1. Masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan meliputi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pendataan dan analisis, serta tahap perumusan rencana.

Tabel 1 Proses Partisipatif dalam RDTR Kembang Tanjong 2008-2017

TAHAP PARTISIPASI YANG

DIHARAPKAN CARA

Persiapan: Penyatuan Pemahaman terhadap Rencana Tata Ruang

Masyarakat diharapkan paham akan pentingnya kedudukan dan peran rencana tata ruang dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan, utamanya di Kembang Tanjong. Selanjutnya, masyarakat diharapkan antusias dan berpartisipasi atas kesadaran sendiri dalam proses perencanaan tata ruang, tentu sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Sosialisasi rencana tata ruang yang ada sebelumnya (RTRW Kabupaten Pidie).

Pendekatan personal dari tim penyusun RDTR kepada tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat, utamanya para geuchik dan imam mukim.

FGD (Focus Group Discussion) I yang diikuti para geuchik dan imam mukim.

Persiapan: Penyatuan Pemahaman tentang Hirarki Rencana-rencana Tata Ruang

Masyarakat dapat memahami perlunya hirarki dalam perencanaan tata ruang, dan pentingnya kedudukan dan peran masing-masing hirarki rencana tata ruang tersebut.

Diskusi personal dengan tokoh-tokoh masyarakat, baik itu formal seperti Camat dan stafnya, maupun para geuchik dan imam mukim.

FGD II yang diikuti para geuchik dan imam mukim.

Masyarakat berpartisipasi dalam menyampaikan persepsi mereka mengenai permasalahan pembangunan yang ada di Kembang Tanjong, dan potensi pembangunan yang dimiliki.

Diskusi personal melalui pengamatan lapangan bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat, baik itu formal seperti Camat dan stafnya, maupun para geuchik dan imam mukim.

FGD III yang diikuti para geuchik dan imam mukim.

Data, Informasi dan Analisis

Masyarakat menyampaikan aspirasi menyangkut cita-cita, tujuan, dan strategi Kembang Tanjong 2012, termasuk keinginan-keinginan spesifik mereka menyangkut pembangunan di wilayahnya, baik itu mengenai persetujuannya dengan usulan-usulan perencana, maupun keberatannya juga.

Diskusi personal melalui pengamatan lapangan bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat, baik itu formal seperti Camat dan stafnya, maupun para geuchik dan imam mukim.

FGD IV yang diikuti para geuchik dan imam mukim.

Page 7: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

128

Rencana Masyarakat berpartisipasi dalam mengusulkan dan menilai usulan rencana-rencana detail tata ruang di wilayahnya. Dengan demikian, rencana yang dihasilkan akan mencerminkan kebutuhan mereka, dan mereka akan merasa memiliki (sense of belonging) terhadap rencana tata ruang, sehingga akan mendukung proses pelaksanaannya nanti.

Diskusi personal, sejauh memungkinkan, dengan tokoh-tokoh masyarakat, baik itu formal seperti Camat dan stafnya, maupun para geuchik dan imam mukim.

FGD V yang diikuti para geuchik dan imam mukim.

Sumber: BRR NAD-Nias 2007

Pada tahap persiapan dilakukan penyamaan persepsi terhadap perencanaan tata ruang melalui pendekatan personal kepada tokoh-tokoh kunci masyarakat (utamanya para geuchik dan imam mukim5) dan dua kali FGD (Focused Group Discussion). FGD dilakukan dengan sedapat mungkin memanfaatkan forum Musyawarah Kecamatan.

Sementara pada tahap data dan analisis dilakukan penjaringan aspirasi masyarakat menyangkut cita-cita masyarakat Kembang Tanjong untuk tahun 2012, tujuan-tujuan dan strategi pencapaian tujuan, serta implikasi kebijakan tata ruangnya. Demi kemudahan bagi masyarakat, meskipun periode perencanaan ini hingga tahun 2017, visi masyarakat diarahkan hanya sampai lima tahun saja (hingga tahun 2012), untuk kemudian visi ini ditarik lebih jauh hingga akhir tahun perencanaan oleh tim penyusun RDTR.

Pada tahap inilah proposisi perencana didiskusikan kepada masyarakat dan mendapatkan konfirmasinya. Proposisi yang berdasarkan pengamatan tim penyusun dan juga teori-teori perencanaan ini, tentu saja, sangat mungkin tidak bersesuaian dengan pendapat dan aspirasi masyarakat. Untuk itulah, penjaringan aspirasi masyarakat sangat diperlukan agar rencana tata ruang yang dihasilkan benar-benar dirasakan sebagai sesuatu yang dari, oleh, dan untuk mereka.

Kemudian, pada tahap rencana dilakukan penyerapan aspirasi masyarakat menyangkut kebijakan tata ruang dan program pembangunan yang akan diterapkan di Kembang Tanjong hingga tahun 2017. Rancangan kebijakan tata ruang yang berdasarkan hasil olahan tim penyusun RDTR, meskipun telah mengakomodasi aspirasi masyarakat dalam prosesnya, sangat mungkin masih belum sesuai benar dengan pendapat dan aspirasi masyarakat. Hal ini karena masyarakat, melalui keunikan sosial budaya mereka, bisa saja mempunyai pendapat dan aspirasi tersendiri menyangkut program-program pembangunan yang mereka inginkan untuk mencapai cita-cita Kembang Tanjong 2017. Hal-hal yang mungkin terlewatkan dalam proses analisis hingga rancangan rencana ini bisa saja terungkap dalam penjaringan aspirasi masyarakat.

PROPOSISI PERENCANA DAN KONFIRMASINYA

Pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek mitigasi bencana serta partisipasi masyarakat menjadi landasan dasar perencanaan. Secara garis besar, pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang mampu mensejahterakan seluruh masyarakat generasi sekarang tanpa harus mengurangi potensi seluruh masyarakat generasi-generasi mendatang untuk meraih kesejahteraan yang minimal sama (WCED 1987). Maka di sini terlihat berperannya aspek keadilan (equity), baik yang berlaku dalam satu generasi maupun antar generasi.

Gambar 2 memperlihatkan proposisi perencana. Proposisi perencana ini berperan pula sebagai acuan bagi pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, sekaligus memberi pembelajaran bagi mereka yang merupakan bagian penting dari proses partisipatif (Forester 1999). Dengan pendekatan analisis medan gaya (forcefield analysis), semacam

Page 8: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

129

analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang sering digunakan dalam perencanaan strategis (lihat misalnya Piercy dan Giles 1990), masyarakat diharapkan tidak terlalu kesulitan mengikuti alur logika perencanaan, karena masyarakat didukung untuk menyadari posisi mereka saat ini, cita-cita mereka ke depan, dan bagaimana mencapai cita-cita itu dengan menyadari kekuatan pendukung dan penghambat yang ada.

Kiranya, hanya yang penting dan sesuai dengan pokok bahasan makalah ini sajalah yang perlu diuraikan dari proposisi dan konfirmasinya ini. Pertama adalah menjaring aspirasi masyarakat mengenai cita-cita atau visi mereka untuk lima tahun ke depan. Sementara yang tak kalah pentingnya adalah menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk menilai secara kuantitatif keadaan yang merupakan hasil dari pembangunan di wilayahnya. Karena itu, pembahasan mengenai visi akan agak panjang, sementara untuk tujuan, strategi dan implikasi kebijakannya akan dibahas secara ringkas.

Visi Kembang Tanjong Jangka Panjang

Dalam perencanaan dengan pendekatan partisipatif, visi ke depan haruslah sesuai dengan aspirasi dan menjadi milik masyarakat (Kurtz 2007; Krohe Jr. 2006). Hal ini akan memudahkan pula dalam pelibatan masyarakat untuk evaluasi nanti. Mengingat acuan ideal pembangunan berkelanjutan, yang nampaknya belum bisa tercapai dalam jangka lima atau sepuluh tahun ke depan, maka penyerapan aspirasi masyarakat mengenai visi pembangunan Kembang Tanjong yang realistis haruslah dibagi dua tahap, yaitu untuk jangka panjang (visi ideal) dan untuk jangka lima tahun ke depan.

Page 9: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

130

Gambar 2 Proposisi Perencana dalam Penyusunan RDTR Kembang Tanjong (BRR NAD-Nias 2007)

Page 10: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

131

Visi Jangka Panjang Kecamatan Kembang Tanjong (yaitu nilai 10 dalam skala 10), adalah ketika keadilan di dalam dan antar generasi benar-benar teraplikasikan secara penuh sehingga pembangunan berkelanjutan benar-benar terjamin, atau dengan kata lain adalah keadaan Kembang Tanjong yang makmur, sejahtera dan berkelanjutan. Hal ini boleh dicerminkan oleh lima keadaan utama berikut:

A- Keadaan terbaik adalah ketika lingkungan (natural dan binaan) benar-benar lestari, sehat dan menyehatkan – yang dapat disebut keadaan Kelestarian Lingkungan (disingkat Kel). Sebaliknya, hal terburuk adalah ketika kondisi lingkungan sangat terganggu sehingga tidak dapat berfungsi untuk mendukung kehidupan.

Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:

1. Kondisi kawasan pesisir; keadaan kawasan pesisir pantai Kembang Tanjong sangat menentukan kelestarian lingkungan. Keberadaan tumbuhan pantai seperti bakau (mangrove) ataupun cemara laut dengan intensitas tertentu sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian. Selain itu, tingkat polusi pantai juga merupakan indikator yang perlu diperhatikan.

2. Kondisi sungai; keadaan sungai di Kecamatan Kembang Tanjong juga merupakan indikator penting kelestarian lingkungan. Hal ini tentunya akan menyangkut kualitas air, apakah terpolusi atau tidak, karena salah satu fungsi sungai adalah sebagai habitat ikan dan hewan-hewan sungai lainnya. Yang kedua adalah kuantitas air, yaitu debit alirannya. Debit sungai turut menentukan baik tidaknya fungsi ekologis sungai tersebut. Yang ketiga adalah keadaan sepanjang pinggiran sungai, menyangkut kawasan penyangga agar fungsi sungai tetap terjaga kelestariannya.

3. Kondisi udara; secara umum, keadaan udara harus dijaga agar tingkat polusinya tidak melebihi kapasitas asimilatifnya (assimilative capacity).

4. Kondisi pemanfaatan lahan (land use) lainnya; selain kawasan pantai dan sungai, keadaan penggunaan lahan lainnya pun boleh menjadi indikator kelestarian lingkungan. Kawasan budidaya misalnya, sebaiknya peruntukannya adalah yang paling cocok (feasible) menurut kriteria kesesuaian lahan secara fisik.

5. Ketersediaan dan mutu air tanah; ketersediaan air tanah dan kualitasnya juga merupakan indikator penting kelestarian lingkungan. Hal ini karena siklus hidrologi akan terganggu jika keadaan air tanahnya terganggu.

B- Demikian pula, mengingat bencana alam adalah isu yang sangat penting di wilayah Aceh, maka keadaan terbaik tercapai ketika lingkungan (natural dan binaan) benar-benar adaptif terhadap bencana alam kecil maupun besar - untuk selanjutnya disebut keadaan Ketahanan Lingkungan (Ket). Hal sebaliknya adalah ketika adaptabilitas lingkungan terhadap bencana kecil maupun besar sangat rendah.

Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:

1. Kondisi kawasan pesisir; keadaan kawasan pesisir pantai yang baik, dengan keberadaan bakau atau cemara laut yang cukup, akan ikut berperan dalam meminimalkan dampak bencana, terutama tsunami.

2. Keberadaan bukit-bukit (high hills); bukit-bukit alami, terutama yang tidak terlalu jauh dari pemukiman penduduk akan sangat membantu sebagai tempat pelarian sementara ketika datangnya tsunami.

3. Keberadaan bangunan tinggi (high buildings); fungsi bangunan tinggi dalam meminimalkan dampak tsunami akan serupa dengan bukit-bukit alami.

4. Keadaan jaringan jalan; jaringan jalan yang memadai sangat diperlukan sebagai prasarana menyelamatkan diri ketika terjadi gempa dan tsunami.

5. Keadaan sistem peringatan dini (early warning system); ini juga boleh menjadi indikator, mengingat adanya sistem peringatan dini yang baik sangat diperlukan untuk mencegah jatuhnya banyak korban ketika bencana terjadi.

Page 11: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

132

C- Keadaan ideal selanjutnya adalah ketika kesejahteraan (welfare) sosial dan ekonomi penduduk terjamin sepenuhnya - selanjutnya disebut keadaan Kesejahteraan Penduduk (Wel). Sebaliknya, ketika kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat sedemikian rendahnya sehingga untuk mendapatkan kebutuhan dasar saja susah, hal ini adalah keadaan terburuk.

Keadaan tersebut akan terukur oleh indikator-indikator berikut ini:

1. Keadaan penghasilan penduduk; jelas, meskipun bukan satu-satunya, penghasilan turut menentukan kesejahteraan penduduk. Hal ini boleh diukur melalui pendapatan perkapita, baik secara sensus ataupun perkiraan.

2. Keadaan perumahan penduduk; tak pelak lagi, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar penduduk, sehingga semakin puas penduduk dengan keadaan perumahannya akan meningkatlah kesejahteraan mereka.

3. Sistem jaminan sosial (pensiun, hubungan-hubungan sosial, dll.); banyak hal dari jaminan sosial (social security) sebenarnya merupakan kebutuhan dasar pula. Hak mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik, misalnya, adalah termasuk hak-hak dasar masyarakat.

4. Kondisi perangkutan umum; mobilitas (pergerakan) adalah juga merupakan kebutuhan penduduk sejak dahulu sampai sekarang. Karena itu, semakin baik keadaan perangkutan umum akan semakin tinggi pula kesejahteraan penduduknya.

D- Keadaan terbaik keempat adalah ketika fasilitas sosial dan fasilitas umum serta infrastruktur yang tersedia adalah lengkap dan dapat dinikmati sepenuhnya (fully affordable) oleh penduduk – yang dapat disebut keadaan Fasilitas (Fas). Keadaan sebaliknya adalah ketika prasarana dan fasilitas tidak tersedia atau sangat minim sekali, atau kalaupun ada tidak dapat dinikmati oleh penduduk.

Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:

1. Kondisi dan ketersediaan jalan, prasarana lainnya, dan utilitas (air bersih, saluran drainase dan limbah, dll.).

2. Kondisi dan ketersediaan fasilitas umum dan sosial (sekolah, puskesmas, dll.).

E- Selanjutnya, keadaan terbaik adalah ketika seluruh penduduk sangat siap dalam menghadapi dan meminimalisasi dampak bencana besar maupun kecil - untuk selanjutnya disebut keadaan Ketahanan Penduduk (KetP). Sebaliknya adalah ketika penduduk tidak mempunyai kesiapan sama sekali jika bencana alam datang sewaktu-waktu.

Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:

1. Keadaan sistem peringatan dini (early warning system); sistem peringatan dini yang baik tidak hanya akan memperbaiki ketahanan lingkungan terhadap bencana alam, tapi juga meningkatkan ketahanan penduduk, sehingga jumlah korban jiwa dapat diminimalkan ketika terjadi bencana.

2. Kondisi pendidikan mitigasi bencana; pendidikan untuk siap menghadapi bencana tidak kalah pentingnya dari sistem peringatan dini yang baik. Pendidikan bisa dilakukan melalui jalur formal melalui kurikulum sekolah, maupun informal melalui mekanisme hubungan sosial penduduk.

3. Kondisi psikologi sosial penduduk; keadaan ini memang agak sukar mengukurnya, tapi sebetulnya sangat penting dalam menghadapi bencana alam besar. Mental penduduk yang kuat akan turut membantu minimalisasi dampak bencana. Juga tingkat spiritualitas yang tinggi, seperti ketakwaan dalam beragama, akan menambah ketahanan penduduk dan membuat mereka dengan tidak frustrasi dan segera bisa bangkit kembali setelah ditimpa musibah.

Untuk mendapatkan proposisi terhadap visi lima tahun mendatang, perlu diperkirakan terlebih dulu kondisi saat ini Kembang Tanjong jika dibandingkan dengan visi idealnya.

Page 12: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

133

Harus diingat bahwa lintasan keberlanjutan (sustainability trajectory) dari pembangunan wilayah Aceh umumnya dan Kecamatan Kembang Tanjong khususnya sangat terganggu oleh bencana gempa dan tsunami Desember 2004 yang lalu. Kerugian fisik maupun nonfisik sangat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Hal ini membuat nilai kelima keadaan di atas boleh jadi cukup jauh dari ideal. Dalam skala 10, proposisi perencana memperkirakan nilai kelima keadaan di atas adalah sbb.:

A- Kelestarian Lingkungan (Kel); potensi lingkungan alam dan binaan kawasan Kembang Tanjong untuk mendukung cita-cita pembangunan berkelanjutan adalah cukup baik, mengingat belum terlihat adanya kerusakan ekosistem yang berarti, kecuali kurangnya bakau di sepanjang garis pantai. Tapi di sisi lain ada hambatan atau tantangan yang kelihatannya sama kuatnya. Maka boleh dikatakan bahwa nilai Kel = 5.

B- Ketahanan Lingkungan (Ket); potensi ketahanan lingkungan terhadap bencana alam, terutama yang besar seperti gempa bumi dan tsunami, adalah cukup rendah. Kurangnya ruang hijau yang dapat berfungsi sebagai buffer di sepanjang garis pantai, ketiadaan bangunan tinggi (baik publik maupun privat), dan kurang baiknya prasarana jalan yang boleh menjadi pelarian jika terjadi bencana, agaknya membuat nilai parameter Ket = 3.

C- Kesejahteraan Penduduk (Wel); seperti kita ketahui bersama, tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh umumnya dan Kembang Tanjong khususnya telah menurun tajam akibat bencana tsunami 2004. Hal ini sejatinya hanya memperparah keadaan ketidakadilan (inequity) dalam proses distribusi hasil pembangunan yang telah terjadi sebelumnya. Maka, jika secara nasional pun tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia adalah jauh dari ideal, boleh dikatakan bahwa untuk Kecamatan Kembang Tanjong nilai Wel = 4.

D- Keadaan Prasarana, Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (Fas); Seperti dimaklumi bersama, kerusakan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas di Kembang Tanjong tidak hanya dikarenakan bencana tsunami yang lalu, tapi juga diakibatkan konflik yang berkepanjangan di masa Orde Baru. Beberapa fasilitas memang telah mengalami perbaikan selama periode pasca tsunami, tapi keadaan ideal terpenuhinya kebutuhan prasarana dan fasilitas agaknya masih belum tercapai, sehingga nilai Fas = 4.

E- Ketahanan Penduduk terhadap bencana (KetP); secara umum dapat dikatakan bahwa kesiapan penduduk untuk menghadapi bencana besar masih jauh dari ideal. Hal ini terlepas dari belum memadainya fasilitas peringatan dini (early warning system) yang ada. Terlihat misalnya dari timbulnya korban kecelakaan akibat paniknya masyarakat Banda Aceh ketika alarm tsunami berbunyi karena kesalahan teknis (false alarm) pada 4 Juni 2007. Jika kesiapan penduduk kota sebesar Banda Aceh saja demikian, maka apalagi Kembang Tanjong, sehingga boleh dibilang nilai KetP = 3.

Visi Kembang Tanjong 2012

Pembangunan dengan jangka lima tahun mendatang hampir dipastikan belum bisa mendapatkan hasil yang ideal. Bagaimanapun, pandangan yang cukup optimistis akan mendukung visi 2012 berikut: keadaan Kembang Tanjong yang meningkat secara berarti kesejahteraan penduduknya dan keberlanjutannya (sustainability), dengan rincian lima keadaan berikut:

A- Kelestarian Lingkungan (Kel); Mengingat permasalahan yang boleh dipandang paling serius adalah konflik antara kegiatan ekonomi masyarakat yang berorientasi pantai (nelayan dan tambak) dengan kebutuhan menghijaukan garis pantai sebagai antisipasi terhadap tsunami dan mendukung kelestarian lingkungan, maka menghilangkan sama sekali kegiatan ekonomi rakyat ini dan mengarahkan mereka untuk beralih ke jenis kegiatan lainnya belum mungkin diwujudkan dalam lima tahun. Maka nilai Kel = 6 agaknya sudah merupakan visi yang cukup baik. Ini berarti peningkatan perbaikan 20% terhadap keadaan kelestarian lingkungan di Kembang Tanjong.

Page 13: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

134

B- Ketahanan Lingkungan (Ket); Meskipun disadari bahwa lingkungan alami belum bisa secara signifikan ditingkatkan ketahanan terhadap bencana alamnya dalam lima tahun ke depan, mengingat konflik kepentingan dengan ekonomi rakyat seperti diuraikan sebelumnya, tapi ketahanan lingkungan binaan boleh ditingkatkan dengan pesat, antara lain melalui penyediaan bangunan tinggi, jalur pelarian, dan sistem peringatan dini yang memadai. Maka nilai Ket = 6, meskipun ini artinya adalah peningkatan 100% dari keadaan sekarang, agaknya bukanlah merupakan visi yang berlebihan.

C- Kesejahteraan Penduduk (Wel); meskipun peningkatan kesejahteraan masyarakat lebih memerlukan perencanaan pembangunan komprehensif yang multidimensi, tapi gairah dan sumberdaya pembangunan yang meningkat di wilayah Aceh pasca tsunami bolehlah menjadi potensi yang seyogyanya dimanfaatkan maksimal. Tak terlepas dari perencanaan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial yang ada, maka nilai Wel = 7, yang berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat Kembang Tanjong sebesar 75% dari keadaan eksisting boleh menjadi visi lima tahun mendatang.

D- Keadaan Prasarana, Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (Fas); peningkatan penyediaan infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang memadai dan terjangkau bagi seluruh masyarakat bukanlah cita-cita yang muluk. Karena itu, nilai Fas = 7, yang berarti peningkatan 75% dari keadaan sekarang, agaknya merupakan visi yang cukup beralasan untuk lima tahun ke depan.

E- Ketahanan Penduduk terhadap bencana (KetP); membuat seluruh lapisan penduduk waspada dan siap jika sewaktu-waktu datang bencana alam besar, agaknya memang bukan pekerjaan mudah. Tapi sejalan dengan dikembangkannya sistem peringatan dini yang baik dan tata ruang yang mampu meminimalkan dampak bencana alam, maka nilai KetP = 6, yang berarti peningkatan 100% dari keadaan sekarang, boleh menjadi visi lima tahun mendatang.

Visi-visi di atas adalah estimasi perencana berdasarkan pengenalan awal terhadap permasalahan dan potensi wilayah Kembang Tanjong.

Tujuan-tujuan, Strategi dan Implikasi Kebijakan Tata Ruang

Untuk mencapai keadaan yang lebih baik di Kembang Tanjong sesuai visi tahun 2012 tersebut, maka ada lima tujuan (misi) yang harus dipenuhi, sebagai berikut:

1. Meningkatkan kelestarian lingkungan di Kecamatan Kembang Tanjong hingga 20% lebih baik dari sekarang.

2. Meningkatkan keadaan lingkungan alami dan binaan yang dapat meminimalkan dampak bencana-bencana besar, terutama gempa dan tsunami, hingga 100% lebih baik dari sekarang.

3. Meningkatkan kesejahteraan penduduk Kembang Tanjong hingga 75% lebih baik dari sekarang.

4. Meningkatkan ketersediaan infrastruktur, utilitas, fasilitas sosial dan fasilitas umum hingga 75% lebih baik dan lebih terjangkau daya beli penduduk Kembang Tanjong.

5. Meningkatkan ketahanan penduduk Kembang Tanjong terhadap bencana alam, sehingga mereka 100% lebih siap dibanding sekarang.

Masing-masing tujuan akan memerlukan strategi pencapaian yang membawa implikasi kepada salah satu jenis kebijakan pembangunan yang menjadi porsi bahasan RDTR, yaitu kebijakan tata ruang (lihat kembali Gambar 2).

Adapun konfirmasi yang dilakukan mendapatkan hasil berikut:

1. Setelah dibekali dengan peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya penataan ruang, dan dilanjutkan dengan peninjauan lapangan bersama untuk memetakan permasalahan (lihat kembali Tabel 1), masyarakat dengan tanpa kesulitan berarti akhirnya bisa mengikuti paparan proposisi perencana. Mereka bisa

Page 14: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

135

mengerti mengapa pembangunan haruslah berkelanjutan dan tidak hanya untuk kesejahteraan generasi sekarang. Pengalaman bencana tsunami yang lalu misalnya, menyadarkan mereka bahwa jika penataan ruang kawasan pesisir lebih baik dan jalur-jalur pelarian sudah disiapkan, tentu korban jiwa maupun harta tidaklah sebesar itu. Akhirnya masyarakat bersetuju dengan proposisi lima keadaan utama yang ideal yang hendak dicapai untuk jangka panjang. Indikator-indikator untuk menilai keadaan pun dapat mereka pahami dan terima dengan baik. Hal ini agaknya karena indikator-indikator tersebut memang sudah merupakan penyederhanaan yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.

2. Masyarakat akhirnya dapat melakukan penilaian secara kuantitatif dari keadaan sekarang yang mereka rasakan. Meskipun pada awalnya agak kesulitan, namun dapat teratasi setelah semua permasalahan dan potensi wilayah yang telah didaftar kemudian diarahkan untuk disistematisasikan mengacu kepada lima keadaan dan indikator-indikator di atas. Kemudian untuk mengkuantitatifkannya diberikan panduan pembobotan sederhana berskala 1 hingga 5. Sebagai contoh, untuk keadaan utama ketersediaan infrastruktur dan fasilitas (Fas), hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Terlihat bahwa untuk parameter Fas ini proposisi perencana dengan nilai 4 agak lebih rendah dari estimasi masyarakat, yaitu 5.

3. Dengan berbekal nilai keadaan sekarang dan visi keadaan ideal, maka masyarakat juga mampu menetapkan visi lima tahun mendatang dan tujuan-tujuannya yang mengkonfirmasi visi dan tujuan yang diproposisikan oleh perencana. Meskipun ada beberapa penyesuaian oleh masyarakat dalam visi 2012 dan tujuan-tujuannya, namun hal itu tidak sampai merubah implikasi strategi dan kebijakan tata ruangnya (lihat kembali Gambar 2).

Tabel 2 Contoh Penilaian Keadaan Saat Ini oleh Masyarakat Kembang Tanjong

KEADAAN INDIKATOR SKOR KETERANGAN Jaringan Jalan 1 Jalan sempit (3 meter),

Tidak ada pedestrian Sebagian besar kondisi perkerasannya buruk

Sistem Drainase 1 Belum ada sistem drainase yang baik

Sistem Persampahan

1 Persampahan masih dikelola oleh masyarakat secara onsite, dan sebagian membuang sampah ke sungai

Sistem Irigasi 3 Ada sistem jaringan, tetapi belum menjangkau ke seluruh areal persawahan

Sistem Sanitasi 2 Sistem sanitasi bersifat onsite dan kurang memperhatikan aspek perlindungan lingkungan dan kesehatan lingkungan (septic tank terlalu dekat dengan sumur)

Sistem Air Bersih 1 Belum ada sistem perpipaan, masih mengandalkan air tanah dangkal

Sistem Energi dan Ketenagalistrikan

3 Sudah mampu memenuhi kebutuhan minimum masyarakat

Infrastruktur, Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial (Fas)

Sistem Telekomunikasi

3 Sudah ada sistem jaringan selular

Page 15: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

136

Fasilitas Pendidikan

4 Tersebar secara merata di setiap desa

Fasilitas Peribadatan

5 Tersebar secara merata di setiap desa

Fasilitas Perekonomian

3 Sudah mencukupi, pada beberapa desa sudah tersedia pasar desa, dan fasilitas penunjang, misalnya TPI pada kawasan pesisir

Fasilitas Kesehatan

2 Secara kuantitatif mencukupi, tapi keluhan terbesar adalah pada kualitas pelayanan dan keterjangkauannya/affordability

Pemerintahan 4 Tersebar di setiap desa Olah Raga dan Ruang Terbuka Hijau

2 Ada, tapi jumlahnya sangat terbatas

35 (70) Nilai = 5 dalam skala 10 Sumber: Hasil FGD 3 dan FGD 4 (BRR NAD-Nias 2007)

4. Dalam mengkonfirmasi strategi pencapaian tujuan, masyarakat sangat dibantu oleh pemetaan potensi dan masalah yang telah mereka lakukan, dengan memilahnya menjadi kekuatan pendukung dan penghambat. Masyarakatpun menyadari bahwa strategi pada dasarnya dibutuhkan untuk meminimalkan kekuatan penghambat dan memaksimalkan kekuatan pendukung. Dapat diuraikan kiranya contoh untuk tujuan pertama di bawah ini.

Tujuan 1: Meningkatkan kelestarian lingkungan di Kecamatan Kembang Tanjong hingga 20% lebih baik.

Pada saat ini di Kembang Tanjong tentunya ada kekuatan yang mendukung (supporting) pencapaian tujuan dan ada pula kekuatan yang boleh menjadi penghambat (obstructing), yang bisa merupakan potensi dan mekanisme dari dalam (internal) kawasan Kembang Tanjong sendiri, maupun yang berasal dari luar kawasan (external).

Kekuatan pendukung:

A. Intensitas kegiatan polutif masih rendah. Kegiatan polutif yang patut diperhatikan saat ini adalah kegiatan sosial ekonomi masyarakat di kawasan pantai, terutama usaha tambak dan permukiman yang terlalu dekat ke laut.

B. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pembangunan berkelanjutan makin meningkat. Hal ini sejalan dengan sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan meningkatnya pendidikan masyarakat secara umum, di samping belajar dari pengalaman tsunami yang lalu.

C. Tekad pemerintah Provinsi NAD dan jajarannya untuk menjaga keberlanjutan pembangunan makin meningkat. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran dunia, terutama sejak tahun 1980-an, Pemerintah Republik Indonesia dan Provinsi NAD khususnya pun berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.

Kekuatan penghambat:

A. Pemanfaatan lahan kawasan pantai kurang memenuhi syarat-syarat keberlanjutan (sustainability). Hal ini karena kurangnya tumbuhan pesisir seperti bakau ataupun cemara laut.

B. Pembuangan sampah di tepi sungai masih terjadi, terutama di kawasan pusat kota Kecamatan Kembang Tanjong.

Page 16: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

137

Strategi:

Strategi 1, menangani segera kawasan alami yang dikuatirkan sudah terganggu fungsi ekologisnya, terutama kawasan pesisir.

Strategi 2, menekan seminimal mungkin terjadinya eksternalitas negatif kegiatan ekonomi terhadap lingkungan alam.

Implikasi kebijakan tata ruang:

Kebijakan 1 adalah pengaturan fungsi lindung yang cukup untuk kawasan pantai, sungai, sekitar potensi mata air, dan hutan.

Kebijakan 2 adalah pengaturan fungsi penyangga (buffer) antara kegiatan polutif dan non-polutif.

Kebijakan 3 adalah penetapan mengenai, dan pengaturan lokasi pengolahan limbah (waste treatment plants) dari kegiatan-kegiatan polutif.

5. Masyarakat juga akhirnya menyadari bahwa kebijakan tata ruang sangat diperlukan dalam pembangunan wilayah mereka. Dengan konfirmasi ini, maka ketika nantinya membaca Buku RDTR Kecamatan Kembang Tanjong, masyarakat menjadi tahu pentingnya masing-masing item rencana tata ruang yang ada terkait dengan pencapaian cita-cita mereka pada akhir periode rencana.

6. Namun selain dari itu, mereka juga menyadari bahwa RDTR ini bukanlah segala-galanya, karena pembangunan membutuhkan keselarasan dan integrasi semua aspek jika benar-benar ingin berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Pada contoh mengenai tujuan pertama hingga implikasi kebijakan tata ruangnya di atas, masyarakat bisa mengerti bahwa untuk meningkatkan kelestarian lingkungan Kembang Tanjong, kebijakan bidang lainnya pun diperlukan. Misalnya, diperlukan pula kebijakan ekonomi untuk memberikan reward bagi kegiatan yang ramah lingkungan dan punishment bagi kegiatan polutif, yang bisa dilakukan dengan pendekatan instrumen pasar (market based instruments) seperti pajak polusi, ataupun pendekatan regulasi pengendalian (command and control) seperti pencabutan izin bagi kegiatan polutif yang melebihi ambang batas (lihat misalnya Tietenberg 1996).

Kesimpulan

Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari pengalaman penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong ini:

1. Membantu masyarakat untuk menumbuhkan kemampuan mengevaluasi pembangunan umumnya, dan penataan ruang khususnya, dapat dilakukan sejak tahap perencanaan tata ruang. Meskipun tidak dituntut dalam KAK, penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong telah membuktikan bahwa hal ini bisa dilakukan, sekaligus sebagai bagian dari pendekatan partisipatif dalam perencanaan. Untuk ini, perencana harus menyiapkan suatu proposisi berdasarkan studi literatur dan pengenalan awal terhadap wilayah perencanaannya. Proposisi ini tidak hanya bermanfaat sebagai kerangka perencanaan, tapi juga menjadi arahan bagi penyerapan aspirasi masyarakat yang bisa sangat beragam, dan juga arahan untuk pembelajaran kepada masyarakat yang merupakan bagian penting dari perencanaan partisipatif.

2. Pendekatan partisipatif yang mampu menumbuhkan kemampuan evaluasi dari masyarakat ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, masyarakat mendapatkan rasa memiliki rencana tata ruang, karena aspirasi mereka tertampung dalam visi ke depan yang hendak dicapai dari RDTR tersebut. Hal ini akan sukar didapat melalui pendekatan nonpartisipatif yang cenderung kurang memberi tempat kepada aspirasi masyarakat. Kedua, masyarakat mampu memahami bagaimana setiap item rencana tata ruang yang ada dalam RDTR mempunyai andil dalam

Page 17: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

138

pencapaian cita-cita mereka itu. Ketiga, masyarakat sadar bahwa RDTR ini harus dilaksanakan, dan secara kapabilitas mereka mampu mengawal pelaksanaannya melalui evaluasi keadaan yang bisa dilakukan setiap tahun6. Ini suatu hal yang mungkin tidak bisa didapat pada perencanaan partisipatif yang tidak menumbuhkan kemampuan evaluasi dari masyarakat.

3. Mekanisme evaluasi penataan ruang oleh masyarakat Kembang Tanjong sementara ini bisa melalui mekanisme pembangunan yang sudah ada, yaitu melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan setiap tahunnya. Masyarakat bisa mengajukan hasil evaluasi mereka atas keadaan wilayah pada Musrenbang dan menilai apakah hasil ini masih sesuai dengan arah pembangunan menuju visi lima tahun mendatang, untuk kemudian mengusulkan penyesuaian dan perbaikan pada program-program pembangunan tahunan.

Meskipun demikian, kembali lagi kepada hakikat tujuan partisipasi masyarakat, yaitu agar masyarakat memiliki kekuasaan manajerial, maka masyarakat Kembang Tanjong harus difasilitasi agar kemampuan evaluasinya dapat dilaksanakan dalam mekanisme pembangunan yang ada. Mekanisme perencanaan tata ruang dan Musrenbang dengan formatnya yang ada saat ini agaknya belum dapat menjamin kekuasaan menajerial penuh masyarakat. Pendampingan lembaga-lembaga nonpemerintah untuk pemberdayaan masyarakat kiranya boleh membantu, dan akan lebih baik kalau bisa dititipi misi ini. Demikian pula, perbaikan kualitas dari mekanisme yang sudah berjalan dapat terus diupayakan untuk meningkatkan kadar partisipasi masyarakat menuju ke arah yang lebih baik, termasuk mekanisme lokal yang spesifik seperti dalam sistem kepemimpinan geuchik-imam mukim yang ada di Aceh ini.

Catatan: 1 Penulis adalah Pimpinan Tim (Team Leader) penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan

Kembang Tanjong 2008-2017. Penulis ingin secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Dr. Erwin Fahmi selaku Direktur Penataan Ruang, BRR NAD-Nias yang pernah mendorong penulis untuk menuangkan ini dalam bentuk artikel. This is it. Adapun semua kesalahan dan kekurangan dalam artikel ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.

2 Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang menerapkan keadilan (equity) sedemikian hingga baik hasil maupun kesempatan terdistribusikan secara berkeadilan (equitably) di dalam generasi sementara tetap menjaga kemampuan dan kapabilitas generasi-generasi mendatang untuk melakukan hal yang sama (Sugiri 2005).

3 Pengalaman pemukiman kembali para korban bencana tsunami 2004 di Geunteng Timur dan Geunteng Barat, Kabupaten Pidie, dengan pendekatan gerakan masyarakat (community driven) menunjukkan hal ini. Ketika itu masyarakat memegang kontrol manajerial penuh terhadap pembangunan perumahan mereka sendiri (Manaf 2007).

4 Wawancara dan diskusi penulis dengan para tokoh masyarakat Kembang Tanjong, 14 September 2007.

5 Di Aceh, desa disebut gampong dan dipimpin oleh seorang geuchik. Beberapa gampong membentuk suatu mukim (semacam subkecamatan) dan dikepalai oleh seorang imam mukim.

6 Antusiasme masyarakat Kembang Tanjong agar RDTR ini dapat benar-benar terlaksana terlihat jelas bukan saja dalam kegiatan diskusi, pengamatan lapangan bersama dan FGD, tapi juga dari kehadiran sebagian besar tokoh masyarakat dan keaktifan mereka dalam Seminar Draft RDTR di Kota Sigli (ibukota Kabupaten Pidie).

Page 18: Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

139

Bibliography

Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation, Journal of American Institute of Planners, 35(4), 216-24.

BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) NAD-Nias, 2007. Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, Laporan Akhir.

Forester, J. 1999. The Deliberative Practitioner: Encouraging Participatory Planning Processes, Massachusetts: The MIT Press.

Krohe Jr., J. 2006. The People’s Plan, Planning, 72(3), 8-9.

Kurtz, H.E. 2007. Environmental Justice, Citizen Participation and Hurricane Katrina, Southeastern Geographer, 47(1), 111-3.

Manaf, A. 2007. Enhancing Sustainability through Community Driven Development Approach: Lessons Learned from Post Disaster Reconstruction Activities in Pidie District, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, Makalah Seminar, International Summer School 2007: “Techniques and Technologies for Sustainability”, 19-31 Agustus, Berlin, Jerman.

Piercy, N. dan W. Giles. 1990. The Logic of Being Illogical in Strategic Marketing Planning, The Journal of Services Marketing, 4(3), 27-37.

Roberts, N. 2004. Public Deliberation in an Age of Direct Citizen Participation, American Review of Public Administration, 34(4), 315-53.

Sugiri, A. 2005. Equity Failure Issues in Natural Resource-Rich Regions: Sustainability, Globalisation and Decentralisation in East Kalimantan, Makalah Seminar, 27 Agustus, School of Geography, Planning and Architecture, the University of Queensland, Australia.

Tietenberg, T. 1996. Environmental and Natural Resource Economics, fourth edition, New York: Harper Collins.

WCED, 1987. Our Common Future, Oxford: Oxford University Press.