PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

19
183 PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS POLITIKA DI PROVINSI SULAWESI TAHUN 1950-1953 MASYUMI PARTY AND UTOPIA: THE IMPLEMENTATION OF POLITICAL TRIAS IN SULAWESI IN 1950-1953 Khaerul Amri, Ilham Daeng Makkelo, Bambang Sulistyo Edi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10, Kota Makassar, 90245 Pos-el: [email protected] ABSTRACT This paper focuses on the application of Political Trias in Sulawesi Province after re-declaring as a part of NKRI. Method used in this research is historical method, which explains research problem based on historical perspective. Its procedure includes four steps, finding and collecting data (heuristic), critique source (selecting data), interpretation, and historiography. The result of this study indicates that the application of Political Trias in Sulawesi had underground various governance adjustments as a form of power sharing. The formulation of power distribution changed in the early days of independence, then colored by the presence of political parties’ interests at the local level. One of the parties that succeeded in playing political arena in Sulawesi was the Masyumi Party Keywords: politic, government, Masyumi, power. ABSTRAK Tulisan ini fokus pada penerapan Trias Politika di Provinsi Sulawesi setelah menyatakan kembali sebagai bagian dari NKRI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang menjelaskan persoalan penelitian berdasarkan perspektif sejarah. Prosedurnya meliputi empat tahapan, yaitu pencarian dan pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber (seleksi data), interpretasi (penafsiran), dan penyajian atau penulisan sejarah (historiografi). Hasil kajian ini menunjukkan bahwa penerapan Trias Politika di Sulawesi telah mengalami berbagai penyesuaian tata kelola pemerintahan sebagai bentuk pembagian kekuasaan. Perumusan pembagian kekuasaan mengalami perubahan pada masa awal kemerdekaan, kemudian diwarnai dengan kehadiran kepentingan partai-partai politik di tingkat lokal. Salah satu partai yang berhasil memainkan percaturan politik di Sulawesi adalah Partai Masyumi. Kata kunci: politik, pemerintahan, Masyumi, kekuasaan. PENDAHULUAN Negara merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya. Secara umum negara setidaknya memiliki tiga unsur pokok yaitu wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat atau dengan kata lain suatu negara dapat dikatakan dapat berjalan dengan baik, apabila negara tersebut memiliki suatu wilayah atau daerah teritorial yang sah. Yang mana di dalamnya terdapat pemerintahan yang sah dan diakui dan berdaulat serta diberi kekuasaan atas kehendak rakyatnya (Kaelan, 2010: 78). Pembagian atau pemisahan kekuasaan sering dikenal dengan istilah “Trias Politica” yang dikonsepsikan oleh Montesqueie. Konsep Trias Politica adalah suatu prinsip normatif mengenai konsep bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan akan saling lepas dalam kedudukan sehingga dapat saling mengimbangi satu sama lain. Pemikiran tentang pemilahan kekuasaan dan juga pemisahannya di antara lembaga-lembaga yang berbeda ditemukan dalam pemikiran abad XVII dan XVIII seperti yang dikemukakan

Transcript of PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

Page 1: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

183

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS POLITIKA DI PROVINSI SULAWESI TAHUN 1950-1953

MASYUMI PARTY AND UTOPIA: THE IMPLEMENTATION OF POLITICAL TRIAS IN SULAWESI IN 1950-1953

Khaerul Amri, Ilham Daeng Makkelo, Bambang Sulistyo EdiFakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin

Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10, Kota Makassar, 90245 Pos-el: [email protected]

ABSTRACTThis paper focuses on the application of Political Trias in Sulawesi Province after re-declaring as a part of NKRI. Method used in this research is historical method, which explains research problem based on historical perspective. Its procedure includes four steps, finding and collecting data (heuristic), critique source (selecting data), interpretation, and historiography. The result of this study indicates that the application of Political Trias in Sulawesi had underground various governance adjustments as a form of power sharing. The formulation of power distribution changed in the early days of independence, then colored by the presence of political parties’ interests at the local level. One of the parties that succeeded in playing political arena in Sulawesi was the Masyumi Party

Keywords: politic, government, Masyumi, power.

ABSTRAKTulisan ini fokus pada penerapan Trias Politika di Provinsi Sulawesi setelah menyatakan kembali sebagai bagian dari NKRI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang menjelaskan persoalan penelitian berdasarkan perspektif sejarah. Prosedurnya meliputi empat tahapan, yaitu pencarian dan pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber (seleksi data), interpretasi (penafsiran), dan penyajian atau penulisan sejarah (historiografi). Hasil kajian ini menunjukkan bahwa penerapan Trias Politika di Sulawesi telah mengalami berbagai penyesuaian tata kelola pemerintahan sebagai bentuk pembagian kekuasaan. Perumusan pembagian kekuasaan mengalami perubahan pada masa awal kemerdekaan, kemudian diwarnai dengan kehadiran kepentingan partai-partai politik di tingkat lokal. Salah satu partai yang berhasil memainkan percaturan politik di Sulawesi adalah Partai Masyumi.

Kata kunci: politik, pemerintahan, Masyumi, kekuasaan.

PENDAHULUAN

Negara merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya. Secara umum negara setidaknya memiliki tiga unsur pokok yaitu wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat atau dengan kata lain suatu negara dapat dikatakan dapat berjalan dengan baik, apabila negara tersebut memiliki suatu wilayah atau daerah teritorial yang sah. Yang mana di dalamnya terdapat pemerintahan yang sah dan diakui dan berdaulat serta diberi kekuasaan atas kehendak rakyatnya (Kaelan, 2010: 78).

Pembagian atau pemisahan kekuasaan sering dikenal dengan istilah “Trias Politica” yang dikonsepsikan oleh Montesqueie. Konsep Trias Politica adalah suatu prinsip normatif mengenai konsep bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan akan saling lepas dalam kedudukan sehingga dapat saling mengimbangi satu sama lain. Pemikiran tentang pemilahan kekuasaan dan juga pemisahannya di antara lembaga-lembaga yang berbeda ditemukan dalam pemikiran abad XVII dan XVIII seperti yang dikemukakan

Page 2: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

184

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

kepala daerah dan anggota dewan daerah seringkali dikondisikan oleh afiliasi partai dan diimbangi preferensi lokal sehingga menambah ketidakpuasan di luar ibu kota dan menambah dorongan untuk mendapat otonomi yang lebih besar (Wertheim, 1999: 267-268).

Pergelokan yang terjadi setelah NIT dibubarkan dan Provinsi Sulawesi kembali ke pangkuan NKRI. Berbagai macam dinamika dan intrik politik yang terjadi di Provinsi Sulawesi mulai dari awal pembentukannya. Organisasi lokal dan partai politik mengambil peran penting terhadap masalah ini. Hampir setiap pengambilan keputusan penting dalam sejarah panjang Provinsi Sulawesi yang kemudian terpecah menjadi beberapa provinsi terdapat peran penting partai di dalamnya. Begitu pun dengan Partai Masyumi di Sulawesi yang menjadi objek kajian ini tak luput dari hal tersebut. Terpilihnya A.D. Sjahruddin yang merupakan fungsionaris Partai Masyumi sebagai walikota Makassar pertama misalnya. Bahkan, pemilihan anggota DPRD untuk “Kota Besar Makassar” tahun 1952. Partai Masyumi selalu menjadi partai terdepan dalam memenangkan persaingan. Hal ini menunjukkan betapa besar peran Partai Masyumi di Sulawesi Selatan setelah bubarnya NIT.

Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan pokoknya adalah “Bagaimana dinamika dan intrik politik Partai Masyumi khusunya dalam penataan pemerintahan di Provinsi Sulawesi 1950-1953?”. Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, diajukan beberapa pertanyaan sekaligus sebagai rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: (1) Bagaimana dinamika Provinsi Sulawesi setelah bubarnya NIT?; (2) Bagaimana Masyumi memainkan peranan dalam penataan administrasi di Sulawesi setelah menjadi bagian dari NKRI?; (3) Bagaimana percaturan politik Masyumi dalam memenangkan pemilu pertama 1952 di Kota Besar Makassar? Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk: (1) mengetahui proses dinamika Provinsi Sulawesi setelah bubarnya

oleh John Locke. John Locke membedakan tiga macam kekuasaan politik yaitu: (1) kekuasaan legislatif; (2) kekuasaan eksekutif; (3) kekuasaan yudikatif, yang meletakkan masing-masing kekuasaan tersebut dalam kewenangan lembaga yang berbeda. (Budiardjo, 2005: 152)

Konsep ini diterapkan pada hampir seluruh negara yang ada. Meski tidak sepenuhnya, Indonesia juga menerapkan konsep ini secara implisit. Pembagian kekuasaan di Indonesia juga terbagi menjadi tiga fungsi, yakni fungsi eksekutif, fungsi legislatif, dan fungsi yudikatif atau kehakiman. Hal-hal mengenai peraturan kekuasaan telah diatur dalam UUD 1945. Namun, yang menjadi fokus pada tulisan ini hanya membahas kekuasaan legistalif oleh DPRD Provinsi dan Kota Besar (setingkat kabupaten) dan eksekutif oleh gubernur di Provinsi Sulawesi yang baru saja kembali menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sebelumnya merupakan bagian dari Negara Indoseia Timur (NIT).

Proses pembentukan NIT, sejak awal telah diwarnai oleh konflik politik antara yang menghendaki bentuk negara kesatuan dengan yang menghendaki bentuk negara federal, yang kemudian lebih dikenal dengan konflik politik antara kelompok unitaris dan federalis. Bagi kelompok unitaris, pembentukan negara-negara federal merupakan taktik dan strategi pemerintah Belanda untuk menguasai kembali wilayah bekas Hindia Belanda dan sekaligus menghancurkan Republik Indonesia. Kelompok federalis memandang bahwa bentuk negara federal merupakan sistem kenegaraan yang tepat untuk Indonesia mengingat keadaan geografis, dan corak kebudayaan yang beraneka ragam. Konflik politik antara kedua kelompok itu terus berlanjut hingga berakhirnya riwayat NIT, yang kemudian melebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kegagalan pemerintah pusat pada tahun 1950-an melaksanakan desentralisasi kekuasaan telah membantu terjadinya kecenderungan eksternal yang dalam jangka panjang akan menjadi destruktif. Penunjukan

183 — 201

Page 3: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

185

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

NIT; (2) mengetahui dinamika politik Masyumi dalam penataan administrasi pemerintahan Propinsi Sulawesi setelah menjadi bagian dari NKRI; dan (3) untuk mengetahui percaturan politik Masyumi memenangkan pemilu pertama di Kota Besar Makassar.

Bertolak dari permasalahan tersebut, hal ini perlu diungkapkan dan dijelaskan secara utuh yang tidak hanya patut untuk direnungkan dan dipahami, tetapi juga bijaksana untuk berdialog dengan masa lampau itu; membuka diri secara jujur dan penuh toleransi agar kita dapat menjadi lebih arif dan bijaksana dalam membangun kekinian dan hari esok.

METODE

Metode penelitian yang dipakai dalam menyusun tulisan ini diperlukan analisis sejarah kritis yang mengonstruksi kembali kejadian masa lalu melalui metode kerja yang sistematis dari ilmu sejarah. Seperangkat asas dan kaidah sistematis yang diubah untuk membantu secara efektif dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan dalam bentuk narasi sejarah.

Penelusuran awal data penelitian ini menggunakan studi arsip dan kepustakaan (library research). Kemudian pengumpulan sumber primer berupa arsip-arsip yang berhubungan dengan Partai Masyumi di Sulawesi Selatan. Sumber primer berupa arsip yang digunakan adalah dokumen-dokumen pemerintah pada periode 1950-an. Sumber yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis melalui tahapan kritik sumber. Setelah kritik sumber, dilakukan interprestasi data. Data yang telah diinterpretasi menjadi kumpulan fakta sejarah kemudian direkonstruksi menjadi narasi sejarah dinamika politik regional Sulawesi.

PEMBAHASAN

Napak Tilas Badan Legislasi Provinsi Sulawesi

Sejarah pembentukan daerah Sulawesi dengan status provinsi tidak dapat dipisahlan

dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia seluruhnya. Bagaimanapun juga Provinsi Sulawesi telah terbentuk sejak 17 Agustus 1945 di bawah pimpinan Dr. Ratulangi sampai April 1946. Namun pada dasarnya secara de jure dan de facto, Sulawesi baru terbentuk pada 17 Agustus 1950 ketika Sulawesi kembali menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejalan dengan terbentuknya negara kesatuan sebagai hasil perundingan segitiga antara pemerintah Republik Indonesia, pemerintah NIT dan pemerintah Negara Sumatera Timur (NST) maka oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Serikat Anak Agung Gede Agung yang waktu itu masih mempunyai tugas untuk menyelenggarakan penyusunan pemerintah di daerah-daerah telah mengangkat B.W. Lapian untuk memimpin Provinsi Sulawesi sebagai gubernur sejak tanggal 15 Agustus 1950. Pertama kali sejak diangkatnya B.W. Lapian sebagai akting gubernur, perhatian utama dititikberatkan pada pembentukan DPRD di seluruh Provinsi Sulawesi sesuai dengan program kabinet negara kesatuan yang mendahulukan pemilihan umum (Kementrian Penerangan, 1953: 177).

Provinsi Sulawesi pada waktu itu telah ada DPRD yang bersifat sementara atau darurat. Ada pula yang telah melalui pemilihan baik secara langsung maupun secara bertingkat. Misalnya, di Minahasa telah dilakukan pemilihan umum secara langsung sejak bulan Maret 1948. Di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah telah dilakukan pemilihan secara bertingkat (Kementrian Penerangan, 1953: 177). Waktu itu di Sulawesi seluruhnya kita telah mengenal adanya lima DPRD yaitu:

1. DPRD Sulawesi Selatan yang melingkupi bekas daerah administratif residensi Sulawesi Selatan

2. DPRD Sulawesi Tengah yang melingkupi bekas Afdeling Poso dan afdeling Donggala.

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul

Page 4: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

186

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

3. DPRD Sulawesi Utara yang melingkupi bekas di Afdeling Gorontalo termasuk Buol dan Bolaang Mongondow.

4. DPRD Minahasa yang melingkupi bekas afdeling Manado.

5. DPRD Sangir Talaud yang melingkupi bekas onderafdeeling Sangir Talaud.

Bentuk DPRD ini jika ditinjau dengan pembagian daerah di seluruh Sulawesi tidaklah sesuai dengan hasrat atau keinginan rakyat yang mengadakan tindakan-tindakan di bawah daerah provinsi sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948.1 Oleh karena itu pemerintah pusat dituntut untuk melaksanakan desentralisasi kekuasaan. Suatu bentuk pemerintahan kedaulatan dan kekuatan politik dibagi antara pemerintah pusat dan daerah otonom yang merupakan ciri dari Negara Republik yang didambakan pada awal tahun 1950-an.

Format politik yang baku hingga terbentuknya NKRI sebagai “republik baru” belum dapat dihasilkan, begitu pun di Sulawesi. Format politik yang hendak dibangun dengan menggunakan campuran antara elemen “lama” dan “baru” hanya menghasilkan konflik dan persaingan, sehingga dapat dikatakan bahwa secara sosial dan politik, periode 1950-an adalah periode ketika semua kemungkinan mobilitas sosial maupun politik terbuka lebar. Oleh karena itu, dinamika politik pasca-NIT justru tampak jauh lebih rumit lagi dibanding periode sebelumnya.

Demokrasi baru Indonesia mungkin saja menjadi dambaan bagi semua kalangan termasuk

1 Undang-undang No. 22 tahun 1948, Bab I, Pasal 1 berbunyi:1). Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Propinsi, Kabupaten (Kota Besar) dan desa (Kota Ketjil, negeri, marga dan sebagainja), jang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. 2). Daerah-daerah jang mempunjai hak-hak usul-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunjai pemerintahan sendiri jang bersifat istimewa dengan undang-undang pembentukan termasuk dalam ajat, 3). Dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa jang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, jang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganja sendiri.

di Provinsi Sulawesi, tetapi permasalahan yang muncul berkaitan dengan kebijakan baru ini adalah keanekaragaman peraturan pemerintahan daerah saat itu. Untuk menerapkan demokrasi, undang-undang desentralisasi khususnya di bekas NIT pemerintah terbentur pada masalah perundang-undangan. Selain Undang-undang No. 22 tahun 1948 yang diberlakukan di daerah bekas Republik Indonesia Yogyakarta, kemudian di daerah-daerah Indonesia Timur diterapkan UU No. 44 tahun 19502 tentang pemerintahan daerah Indonesia Timur (Djohan, 2005: 78).

Kesulitan untuk menerapkan desentaralisasi di bekas Indonesia Timur berhubungan dengan adanya Undang-undang No. 44 tahun 1950 dari NIT yang sah dan Undang-undang No. 22 tahun 1948 yang menurut hukum tidak berlaku di NIT. (Pedoman Rakjat, 11 Agustus 1952, hlm.2). Akan tetapi, kedua produk hukum tersebut seringkali digunakan di wilayah ini, sehingga menimbulkan kekacauan-kekacauan dalam penerapannya.

Berbeda dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1948 yang mengenal daerah-daerah otonom tingkat provinsi, kabupaten, kota besar, dan kota kecil. Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950 tidak mengenal tingkatan-tingkatan tersebut, tetapi hanya mengenal tingkat daerah, daerah bagian dan daerah anak bagian.

Permasalahan kemudian adalah apakah tingkat provinsi dapat disamakan dengan tingkat daerah? karena melihat sejarahnya keduanya berbeda. Daerah bekas negara bahagian NIT memang dimaksudkan sebagai tingkat tertinggi, tetapi menilik isinya daerah di NIT tersebut tidak

2 Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950, Bab I, Pasal 1 berbunyi: 1). Negara Indonesia Timur un-tuk sementara disusun dalam 2 atau 3 tingkatan, ialah Daerah-daerah dan Daerah-daerah bahagian atau Daer-ah-daerah anak bahagian. 2). Daerah- daerah sebagai ter-maksud dalam ajat (1) adalah sama sebagaimana ditetap-kan dalam “Peraturan Pembentukan Negara Indonesia Timur” (Staatsblad 1946 No. 143). 3). Daerah-daerah bahagian atau Daerah anak bahagian akan ditetapkan da-lam peraturan presiden.

183 — 201

Page 5: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

187

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

dapat dipersamakan dengan provinsi di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. karena perbedaan tingkat dan sistem ini, sulit untuk menerapkan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1948 di wilayah bekas NIT.

Sebaliknya, dalam wilayah bekas NIT tidak dapat dibentuk daerah-daerah otonom tingkat provinsi, karena Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950 tidak menyebut adanya kemungkinan untuk membentuk daerah tersebut. Padahal, pemerintah tetap memberlakukan Undang-Undang NIT No. 44 tahun 1950 yang tidak memungkinkan untuk membentuk daerah otonom tingkat provinsi. Kesulitan untuk membentuk daerah otonom di bekas wilayah NIT tergambar dalam tajuk rencana sebuah koran lokal di Makassar:

“Perkawinan antara UU Pokok 22/48 dengan UU Darurat NIT 44/50 buat wilayah NIT memang suatu pegangan, lepas daripada isi dan tjara pelaksanaannya. Maklumlah sekian lama ini berhubungan dengan adanya UU Darurat NIT 44/50 jang tidak mengenal daerah propinsi otonom, maka setiap usaha untuk mengotonomikan Sulawesi atau Sulawesi Selatan dan Utara, terpaksa tertumbuk kepada soal2 juridis.” (Marhaen, 15 Februari 1954, hlm. 2).

Daerah dalam Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950 merupakan satuan wilayah otonom yang tingkatannya paling atas. Di bawahnya terdapat “daerah bagian” dan selanjutnya adalah “anak bagian”. Setiap daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga tersebut telah ditetapkan dalam undang-undang khususnya pasal 18. Selanjutnya, pada pasal 19 menyebutkan bahwa daerah atau daerah bagian/anak bagian dapat diserahkan dengan Undang-undang Pemerintah Negara Indonesia Timur atau Peraturan Dewan Pemerintah Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat atau kepada Dewan Pemerintah di bawahnya untuk dijalankannya.

Jaminan kelangsungan daerah-daerah di wilayah NIT setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, Pemerintah NIT menetapkan Undang-undang Pemerintah Daerah-daerah Indonesia Timur. Walaupun UU ini meniru UU No. 22 tahun 1948 dan sebagian besar pasalnya berbunyi sama, UU No. 44 tahun 1950 untuk Negara Indonesia Timur mengandung perbedaan asasi dengan UU No. 22 tahun 1948. Perbedaan antara UU NIT No.44 tahun 1950 dengan UU. No. 22 tahun 1948 ialah menyangkut istansi pengawasan. Dalam UU. No. 22 tahun 1948 pengawasan dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk tingkat provinsi, sedangkan bagi tingkatan-tingkat daerah lainnya dilaksanakan oleh DPD (Dewan Pmemerintah Daerah) dari daerah yang setingkat lebih atas. Pasal-pasal dalam UU NIT No. 44 tahun 1950 menetapkan bahwa pengawasan dijalankan oleh Pemerintah Pusat bagi “daerah”, selanjutnya oleh “daerah” bagi “daerah bagian”/”daerah anak bagian”. Jadi instansi pengawasan terhadap “daerah anak bagian” bukanlah daerah setingkat di atasnya. Pengawasan terhadap daerah tingkat ke-2 dan ke-3 itu disatukan pada Dewan Pemerintah dari “daerah” (Gie, 1993: 241-242).

Salah satu bukti kekacauan penerapan terutama UU. No. 22 tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950, yakni ketika pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri menyatakan DPRD Minahasa dibubarkan. Kritik dan penentangan yang keras disuarakan oleh anggota-anggota DPRD Minahasa. Mereka berpendapat bahwa langkah pemerintah pusat membubarkan DPRD Minahasa bertentangan dengan demokrasi. Menurut mereka pemerintah pusat tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk membubarkan DPRD Minahasa. Anggota DPRD Minahasa berpegang teguh pada ketentuan Undang-undang Dasar NIT No. 44 Tahun 1950, pasal 20 yang sama sekali tidak mengatur hal tersebut, malah sebaliknya dengan tegas disebutkan dalam pasal 17 desentralisasi beslit bahwa dewan-dewan daerah tidak boleh

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul

Page 6: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

188

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

dibubarkan (Marhaen, 18 Juni 1953, hlm. 2).Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950 tidak mempunyai ketentuan peralihan seperti pasal 46 alinea 4 UU. No.22 tahun 1948. Pasal peralihan UU No. 22 tahun 1948 ditetapkan bahwa untuk sementara waktu pengangkatan Kepala Daerah yang dijalankan menyimpang dari ketentuan pasal 18 ayat 1-3. Pasal ini menetapkan bahwa Kepala Daerah diangkat antara 2-4 calon yang diajukan oleh DPRD.

Munculnya masalah yang begitu rumit di Sulawesi Selatan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dibubarkan kecuali beberapa anggotanya diganti karena tidak disukai oleh rakyat. Walaupun anggota-anggotanya telah dipilih dengan jalan pemilihan diganti oleh DPRD sementara yang bertugas untuk mengadakan persiapan ke arah pemilihan umum. Demikian pula halnya di Sangir Talaud, berhubung dengan soal-soal keamanan pada waktu itu, DPRD yang ada sejak tahun 1948 diganti dengan panitia yang bekerja sama dengan Angkatan Perang untuk stabilitas pemerintahan. Di Sulawesi Utara, Gorontalo DPRD dibubarkan dan diganti dengan KNIP yang kemudian menjadi DPRD yang representatif sampai Oktober 1951. Di Sulawesi Tengah beberapa anggota diganti dengan anggota-anggota baru yang terdiri dari wakil-wakil partai (Kementrian Penerangan, 1953: 178).

Menjalankan tugas Acting Gubernur pada waktu itu, di seluruh pemerintahan dijalankan melalui Badan-badan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pemerintah Daerah walaupun masih bersifat darurat. Di Sulawesi Selatan Dewan Perwakilan Rakyat diketuai oleh N. Sjahadat dan Dewan Pemerintah Daerah diketuai oleh I.A Saleh Daeng Tompo sebagai kepala daerah. Di Sulawesi Tengah DPRD diketuai oleh A.J. Binol dan Dewan Pemerintah Daerah diketuai oleh R.M. Pasundan sebagai kepala daerah. Di Sulawesi Utara (Gorontalo), DPRD diketuai oleh Us. Hadju. Dewan Pemerintah Daerah diketuai oleh M. Niode, Nani Wartabone sebagai Kepala Daerah. Di Minahasa DPRD diketuai oleh K. Supit dan Dewan pemerintah

daerah diketuai oleh P.M Tangkilisan sebagai kepala daerah. Di Sangir Talaud berhubung dengan keadaan maka pemerintah dijalankan oleh suatu panitia dengan kerjasama Angkatan perang (Kementrian Penerangan, 1953: 178).

Keadaan politik di Sulawesi pada waktu itu sedang memuncak, terutama dalam menuntut pembubaran DPRD yang ada diganti dengan DPRD yang representatif. Masyumi sebagai partai terbesar di Sulawesi Selatan memelopori adanya pembubaran DPRD dan menginginkan adanya penetapan seperti sedia kala. Sebelumnya, Muhammad Noor selaku ketua Masyumi di Sulawesi Selatan telah menyerukan pencabutan dewan terdahulu dan menggantinya dengan komposisi yang baru. Menurut pendapat Masyumi, demokrasi dan rakyat harus dijadikan sebagai standar karena suara itu datang dari mereka yang berbicara atas nama mereka sendiri (de Vrije pers, edisi 19 Desember 1950, hlm.1).

Dewan Direksi Masyumi Sulawesi Selatan, telah membuat keputusan konkret pada pertemuan 14 Desember 1950. Keputusan ini menyiratkan usulan untuk menghapus dewan saat ini dan menggantinya dengan dewan yang lebih representatif. Masyumi akan memulai misinya dengan mengundang semua partai politik dan organisasi rakyat di Makassar dalam sebuah pertemuan untuk menetapkan posisi bersama, karena telah ada indikasi yang ditunjukkan oleh banyak organisasi dan partai yang sepakat untuk menghapuskan dewan tersebut. Masyumi dan partai-partai lain serta organisasi-organisasi di berbagi pelosok Sulawesi akan menindaklanjuti ke Pemerintah Pusat di Djakarta untuk meminta bertindak berdasarkan keputusan bersama peremajaan Dewan Celebes ini (DE LOCOMOTIEF, edisi 19 Desember 1950, hlm. 2).

Salah satu usaha yang dijalankan oleh Acting Gubernur pada waktu itu adalah dengan mengadakan sesegera mungkin pemilihan anggota anggota DPRD yang tetap di Minahasa dan anggota DPRD Kota Besar Makassar. Usaha pertama yang telah

183 — 201

Page 7: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

189

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

dilakukan di Minahasa adalah telah disusunnya “peraturan pemilihan dewan perwakilan rakyat daerah Minahasa” tanggal 4 Desember 1950 nomor: R.12/1/23/51 oleh DPRD sementara. Kemudian disetujui oleh Menteri Dalam Negeri melalui surat keputusan tertanggal 6 November 1950 nomor: Pem.9/2/53 dictum yang ke 4. Keputusan ini kemudian disahkan oleh Kepala Daerah Minahasa tanggal 16 Februari 1951 dan seterusnya disahkan oleh Acting Gubernur 23 Februari 1951 (Kementrian Penerangan, 1953: 178).

Selain itu, di Makassar untuk pemilihan anggota-anggota DPRD Kota Besar Makassar Acting Gubernur telah mengeluarkan pula suatu peraturan pemilihan darurat Dewan Perwakilan Rakyat Kota Praja Makassar pada 9 Mei 1951 nomor 225. Sebelum pemilihan umum dijalankan, terlalu banyak kesulitan yang dihadapi di Sulawesi Selatan pada waktu itu. Di samping penyelesaian keamanan tiba-tiba dewan perwakilan rakyat daerah Sulawesi Selatan dalam sidangnya tertanggal 1 Maret 1951 telah mengambil suatu keputusan menggantikan anggota-anggota dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan yang lama (Kementrian Penerangan, 1953: 178).

Berhubungan dengan pemilihan umum anggota DPRD Kota Besar Makassar terlebih dahulu Acting Gubernur telah mengangkat Sampara Dg. Lili sebagai Acting Walikota yang akan menyelenggarakan pemilihan umum tersebut. Sampara Dg. Lili diangkat menjadi Acting Walikota pada hari sabtu Maret 1951. (De nieuwsgier, 12 Maret 1951, hlm.1) Sedang Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan sejak diadakannya timbang terima antara I. A. Saleh Dg. Tompo dan H. A. Patoppoi cs, maka nampak bahwa usaha untuk menstabilkan pemerintahan di Sulawesi Selatan dari pihak DPD yang baru terus digiatkan (Kementrian Penerangan, 1953: 179).

Tanggal 9 Mei berturut-turut sampai tanggal 10 Mei 1951 yakni sebulan sebelum pemilihan di Minahasa, DPD Sulawesi Selatan di bawah pimpinan H.A. Patoppoi telah

mengadakan suatu pertemuan dengan Acting Gubernur Sulawesi Selatan dan stafnya telah mengemukakan rencana-rencana dari DPD Sulawesi Selatan yang baru sebagai berikut:

“DPD S.S adalah lahir dari pada suatu keputusan DPRD Sulawesi Selatan tanggal 1 Maret 1951 jang timbul dari sebuah mosi yang mempunyai maksud sedjalan dengan tjita-tjita dan keinginan Rakyat Sulawesi Selatan ialah menghapuskan ikatan daerah Sulawesi Selatan yang mana telah disetujui oleh pemerintah pusat. Djalan jang ditempuh oleh DPD dalam hal ini ialah melalui djalan juridis dan wettelijk, memenuhi sjarat-sjarat hukum sesuai dengan negara Republik Indonesia. Membubarkan ikatan daerah Sulawesi Selatan menurut saluran hukum itulah maka DPD sekarang menjalankan tugasnja sebagai berikut:

1. Mendjalankan pekerdjaan sehari-hari dari pemerintah Sulawesi Selatan;

2. Mempersiapkan suatu konsepsi pemben-tukan kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan jang kelak akan bertanggung jawab langsung kepada Provinsi Sulawesi jang ber otonomi;

3. Memadjukan konsep tersebut kepada pemerintah pusat dalam hal ini sebagai perantara gubernur provinsi Sulawesi untuk dipertimbangkan,

4. Di saat konsep itu dimajukan DPD S.S. telah mempersiapkan pula usul pengangkatan seorang acting bupati atau seorang pegawai pusat jang sederadjat dengan itu untuk menjalankan pekerdjaan pemerintahan administratief kabupaten kelak, sesudah ada penetapan dari pemerintah pusat mengenai pembentukan kabupaten-kabupaten tersebut;

5. Pada saat pemerintah pusat telah menetapkan suatu konsep serentak dengan pengangkatan acting bupati yang dimaksud tadi maka DPD menyerahkan alat-alat pemerintahan Sulawesi Selatan

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul

Page 8: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

190

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

kepada mereka yaitu acting bupati-bupati untuk dipergunakan selandjutnja dalam kabupaten-kabupaten yang administratief telah dibentuk itu. (Kementrian Penerangan, 1953: 180)

Rencana pekerjaan ini tidak mengganggu gugat kedudukan kepala kepala afdeling, kepala kepala pemerintahan negeri demikian pula kedudukan swapraja di seluruh Sulawesi Selatan yang ada sekarang di sini dapat ditekankan bahwa rencana ini diharapkan akan dijalankan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Demikian bunyi pengumuman dari DPD Sulawesi Selatan yang sekaligus sebagai pertanda berakhirnya tugas DPD Sulawesi Selatan pada saat itu. Ishaq Tjokrohadisurjo selaku Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1951 tentang Pembekuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, Persiapan Pembubaran Daerah Sulawesi-Selatan dan Pembagian Wilayah dalam Lingkungan Daerah Otonom Provinsi Sulawesi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1951 tersebut dijelaskan bahwa:

1. Menurut peraturan pembentukan “Gabungan Selebes Selatan” tanggal 18 Oktober 1948, yang disahkan oleh Residen Selebes Selatan dahulu dengan penetapan tanggal 12 Nopember 1948, maka pemerintahan “Gabungan Selebes Selatan” terdiri dari Hadat Tinggi dengan Majelis Hariannya dan Dewan Selebes Selatan, yang terdiri dari sebanyak-banyaknya 39 anggota.

2. Susunan Pemerintahan Daerah Selebes Selatan tersebut, yang anggotanya pada dasarnya ditunjuk oleh Pemerintah, tidak dapat diterima oleh masyarakat. Maka untuk menyalurkan ketatanegaraan Sulawesi Selatan menurut hukum dan atas dasar-dasar demokrasi, setelah diadakan pembicaraan antara semua partai-partai

politik dan organisasi-organisasi rakyat di Makasar pada tanggal 29 April 1950, telah diadakan susunan baru berupa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, susunan mana dengan beberapa perobahan kemudian disahkan oleh Menteri Urusan Dalam Negeri Negara Indonesia Timur menurut keputusan tanggal 24 Juni 1950 No. UPU 1/9/37.

3. Segala perobahan tersebut ternyata belum mempenuhi kehendak masyarakat; suara partai-partai politik dan organisasi-organisasi rakyat segera timbul, yang menghendaki dibubarkannya Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Selatan, terutama terdorong oleh terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat ke arah suatu Negara Kesatuan, yang melahirkan daerah Provinsi Sulawesi menurut Peraturan Pemerintah tanggal 14 Agustus 1950 No. 21/1950.

Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Selatan sendiripun mendesak kepada Pemerintah Pusat dalam sidangnya tanggal 27 Nopember 1950 untuk mengadakan koreksi atas susunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut.

4. Sementara itu, dengan berlakunya “Undang-undang Pemerintahan Daerah-daerah Indonesia Timur”, tertanggal 15 Juni 1950 (Staatsblad Indonesia Timur dahulu No. 44 tahun 1950), Daerah Sulawesi Selatan itu ditetapkan lanjut sebagai daerah otonom atas dasar Undang-undang itu, sedang alat-alat perlengkapan pemerintahannya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, yang ada pada waktu itu, dengan ketentuan peralihan dalam pasal 34 ayat 2 jo. ayat 3 ditetapkan berjalan terus.

5. Kemudian, terutama karena tidak mendapat kepuasan atas susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Selatan dengan Dewan Pemerintahnya, 31

183 — 201

Page 9: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

191

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

(tiga puluh satu) anggota mengundurkan diri, dan selanjutnya dalam rapatnya tanggal 1 Maret 1951, yang dikunjungi oleh 27 anggota, Dewan Perwakilan Rakyat itu memutuskan untuk membubarkan ikatan Daerah Sulawesi Selatan, supaya daerah itu dibagi dalam kabupaten-kabupaten, langsung di bawah Provinsi, begitu juga membubarkan Dewan Pemerintah Daerahnya dengan mengangkat buat sementara waktu satu Dewan Pemerintah baru, yang diberi tugas menjalankan likwidasi pemerintahan di daerah Sulawesi Selatan.

6. Tindakan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut telah menimbulkan keraguraguan dan ketegangan pada golongan pegawai Balai Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan.Demikian pula dikalangan Pamong Praja, sedangkan oleh beberapa partai politik dan organisasi rakyat dalam rapatnya tanggal 9 Maret 1951 diambil sebuah mosi, yang menolak segala putusan yang diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Selatan tersebut.

7. Pemerintah pada pokoknya dapat menyetujui pembubaran ikatan Daerah Sulawesi Selatan sebagai suatu daerah otonom menurut pasal 1, ayat 1 dan 2 dari “Undang-undang Pemerintahan Daerah-daerah Indonesia Timur” tersebut, supaya segera diadakan pembagian daerah itu ke arah uniformiteit buat seluruh Republik Indonesia, yang dibagi dalam daerah-daerah Provinsi dan daerah-daerah otonom lainnya.

8. Untuk mengatasi segala kesulitan yang telah timbul, seperti diutarakan di atas dan untuk dapat mencapai maksud Pemerintah Pusat termuat dalam sub 7 di atas, dan dengan demikian menjamin lancarnya penyelenggaraan pemerintahan dan penyusunan daerah-daerah otonom baru yang dikehendaki, perlu diadakan tindakan-tindakan yang tepat berdasarkan

perundang-undangan, yaitu dengan membekukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, serta membebankan penyelenggaraan tugas kewajiban dewan-dewan tersebut likwidasi daerah itu dan persiapan pembentukan daerah-daerah otonom baru, untuk sementara waktu langsung kepada gubernur, dibantu oleh suatu badan penasehat terdiri dari sebanyak-banyaknya sepuluh anggota yang diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas usul gubernur, satu dan lain pada azasnya sesuai dengan pendapat Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, seperti pada waktu yang terakhir ternyata dari maklumatnya tanggal 2 Agustus 1951.

9. Secara formil perlu diatur dalam pasal 1, bahwa jangka waktu pembekuan itu ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Akan tetapi hasrat Pemerintah ialah supaya waktu pembekuan itu selekas mungkin dapat disambung dengan pembentukan daerah-daerah otonom baru dalam lingkungan daerah otonom Propvinsi Sulawesi.

10.Di samping menjalankan tugas kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, kepada Gubernur diberi tugas istimewa yang menjadi inti dari pada peraturan pemerintah ini, ialah mengadakan segala persiapan untuk pembubaran daerah Sulawesi Selatan dan pembagian wilayahnya dalam daerah-daerah otonom lain supaya segera dapat disusun daerah otonom Propinsi Sulawesi (Pasal 3).

11.Dalam menjalankan tugas kewajibannya seperti dimaksud dalam pasal 2 dan 3, gubernur dibantu oleh suatu badan penasehat. Cara menjalankan tugas itu akan diatur lebih lanjut dalam instruksi-instruksi, yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri (pasal 4 ayat 1) (Lembaran Negara Dan Tambahan Lembaran Negara

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul

Page 10: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

192

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

Tahun 1951 Yang Telah Dicetak Ulang, nomor: LN 1951/82; TLN NO. 148).

Merujuk pada penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, maka tergambar penerapan konsep Trias Politica yang masih jauh dari harapan. Gubernur definitif belum ada di Provinsi Sulawesi begitu pun dengan Dewan Perwakilan Rakyat juga belum terlaksana secara menyeluruh sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Badan legislasi daerah memang telah ada di berbagai wilayah di Provinsi Sulawesi meskipun dengan berbagai bentuk dan penamaan. Oleh karena itu, tugas dan tantangan gubernur selanjutnya adalah sistem dan tatanan pemerintahan.

Gubernur Soediro: Antara Kontrovesi dan Keyakinan

Berdasarkan tuntutan partai-partai yang telah dijelaskan pada penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1951 tersebut yang mendesak adanya seorang gubernur permanen di Provinsi Sulawesi, pada tanggal 28 Juni 1951 telah ditetapkan T. Sudiro3 sebagai Gubernur Sulawesi terhitung sejak 1 Juli 1951 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 1951 yang ditantangani oleh Menteri Dalam Negeri Ishaq Tjokrohadisurjo yang ditetapkan di Djakarta menggantikan Acting Gubernur B.W. Lapian (ANRI, Keputusan Presiden RI No. 111, 1951)

Kebijakan politik pemerintah pusat ini menuai banyak protes dari sejumlah kalangan. Salah satu alasan mendasar pemerintah pusat mengangkat Soediro yaitu untuk menghindari

3 Soediro lahir di Yogyakarta, 24 April 1911. Pendidikan HIS, Kweekschool, Hogere Kweekschool dan mengikuti berbagai kursus-kursus. Tahun 1925-1928 sebagai Anggota Pengurus Jong Java Cabang Yogyakarta. Komisaris PB Serikat Sekerja Partai Indonesia untuk daerah Jawa Tengah Bagian Selatan. 1931-1933 Direktur MULO Kweekschool B.O. Madiun. Tahun 1944-1945, Bekerja (Pemimpin Harian Barisan Pelopor di Jawa Hookookai). 1945- 1948. Wakil Pimpinan Umum Barisan Banteng. 1950-1951 Residen Madiun, dan selama 4 bulan merangkap sebagai Residen Besuki. Tahun 1951-1953 Gubernur Sulawesi.

persaingan kesukuan di Provinsi Sulawesi. (Harvey, 1989: 39) Meskipun demikian, kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat kurang sensitif terhadap “perasaan daerah”. Sebaliknya dikalangan orang-orang daerah, tuntutan akan gubernur “putera daerah” kurang melihat unsur senioritas jabatan, maupun permainan politik di Jakarta yang sangat rumit (Magenda, Prisma, No. 4 tahun 1990)

Partai Masyumi mendapat tudingan memainkan politik terselubung dengan mendukung pengangkatan gubernur tersebut. Namun, Ketua lingkaran Masyumi Celebes menyatakan bahwa partai tidak pernah mengeluarkan pernyataan tentang pengangkatan Sudiro sebagai Gubernur Sulawesi karena pengangkatan ini termasuk dalam wewenang pemerintah pusat. Lembaga Indonesia Sulawesi Selatan, di sisi lain mengirim telegram kepada Presiden, Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, Ketua Parlemen dan Anggota Parlemen Andi Lolo pada hari Sabtu yang mengatakan bahwa “kami tidak menerima penunjukan Sudiro sebagai Gubernur Sulawesi tetapi berharap Lanto Daeng Pasewang yang menempati jabatan tersebut” (Niew Courant, edisi 2 Juli 1951, hlm. 2).

Keputusan ini menuai kekecewaan yang luas dari masyarakat di Provinsi Sulawesi. Pada “tajuk rencana” sebuah surat kabar yang terbit di Makassar memberitakan:

“...ketika pemerintah dengan kuasa jang ada padanja menetapkan Sudiro sebagai Gubernur Sulawesi, sedang tjalon2 jang dikemukakan oleh daerah atas permintaan pemerintah pusat, dikesampingkan begitu sadja. Politik kepegawaian pemerintah jang demikian ternjata berlaku bukan sadja terhadap Sulawesi, melainkan djuga terhadap daerah2 lain. Bukan sadja politiknja dilapangan kepegawaian, melainkan banjak hal jang lain djuga, terasa benar tendens 2 Java-Centries...” (Pedoman Rakjat, 21 Agustus 1951, hlm. 1).

183 — 201

Page 11: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

193

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

Protes terhadap pemerintah pusat tidak hanya disuarakan di daerah, hal serupa juga disuarakan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) pusat. Organisasi ini menilai “keadaan psikologi di Sulawesi tidak dapat menerima pengangkatan Soediro”. GPII melihat keputusan pemerintah tersebut mencerminkan bahwa pemerintah pusat belum memahami keadaan daerah Sulawesi. GPII kemudian berkesimpulan “memerintah dalam negara demokratis, bukan untuk memerintah saja, tetapi memerintah dalam negara demokratis adalah pimpinan rakyat ke arah taat perintah yang sesuai dengan kemauan mereka” (Pedoman Rakjat, 21 Agustus 1951, hlm.1).

Keputusan pemerintah mengangkat Soediro terus-menerus dipermasalahkan, bahkan keputusan “kontroversial” ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit di tingkat parlemen. Sebuah mosi yang dipelopori oleh Bebasa Daeng Lalo dari PRN (Partai Rakyat Nasional) mempermasalahkan proses dan prosedur pengangkatan Soediro menjadi Gubernur Sulawesi. Sidang DPR tanggal 16 Agustus 1951 membahas “Mosi Bebasa Daeng Lalo dan kawan-kawannja”. Selengkapnya isi mosi tersebut sebagai berikut:

Menimbang: Mendesak kepada pemerintah pusat agar supaya:

1. Menindjau kembali pengangkatan saudara Soediro mendjadi Gubernur Sulawesi.

2. Mengangkat seorang Gubernur untuk Sulawesi jang benar-benar didukung oleh masarakat terbesar di daerah tersebut (Sekretariat DPR-GR, 1970: 541; lihat juga Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia. Risalah Perundingan 1951 Djilid XIII (Rapat Ke-CVI S/D Ke-CXXIV): 6011)

Amandemen telah diajukan untuk memperkuat mosi tersebut di Parlemen yang ditandatangani bersama oleh Pitei (PIR), Langkai (PRN), Ibrahim Sedar (non-partisan), dan Laoh (PRN). Mosi itu mendesak pemerintah untuk mencabut penunjukan Sudiro

sebagai gubernur Sulawesi dan menunjuk seseorang yang memang bisa mengandalkan dukungan rakyat Sulawesi. Mosi perubahan itu menyatakan bahwa, secara umum, partai dan organisasi di Sulawesi dan Jawa Barat berhak menghadirkan orang lain untuk fungsi gubernur selain yang ditunjuk oleh pemerintah. Selain itu, penunjukan tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang membingungkan orang-orang di daerah bersangkutan. Mosi perubahan ini ditandatangani oleh Djoko Prawiro (PIR), Ngeradjai Moliala (Fraksi Demokrat), Djaelai (Katolik), Mohran Ali (Parindra) dan Achsien (Masjumi). (Java Bode, Edisi 16 Agustus 1951, hlm.2).

Mengenai banyaknya protes terkait dengan pengangkatan Soediro menjadi Gubernur Sulawesi, dalam sebuah wawancara dengan wartawan Pedoman Rakjat, Menteri Dalam Negeri, Mr. Ishaq Tjokrohadisurjo (PNI) menjelaskan bahwa pengangkatan Soediro itu telah sesuai dengan prosedur. Prosedur pengangkatan seorang gubernur di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1950. Telah dijelaskan secara mendetail dalam undang-undang tersebut, bahwa bagi seseorang yang akan diangkat menjadi gubernur di suatu daerah di wilayah Indonesia terlebih dahulu diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri kepada kabinet, setelah calon yang diusulkan tersebut disetujui melalui sidang kabinet, selanjutnya calon diangkat oleh presiden (Pedoman Rakjat, 30 Agustus 1951, hlm. 2).

Menanggapi berbagai kritikan dan protes yang berkaitan dengan pengangkatannya, Soediro sangat memakluminya, ia kemudian menambahkan bahwa di dalam sebuah negara yang demokratis perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja:

“Dan saya hargai reaksi yang timbul ini, karena semua tidak ada yang ditujukan kepada persoon saya, tetapi kepada pemerintah pusat…sebagai seorang pegawai negeri saya harus disipliner terhadap Pemerintah pusat serta harus

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul

Page 12: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

194

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya” (Soebagijo I. N, 1981: 233).

Langkah pertama yang ia lakukan untuk menjalankan tugas selaku Gubernur Sulawesi, adalah mengganti sebutan kantor gubernur yang semula disebut Istana menjadi Gubernuran. Kemudian ia juga mengganti nama jalan di depan kantor gubernur dari Jalan Istana menjadi Jalan Goa. Langkah seperti ini dilakukannya untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat Sulawesi secara luas. Sebutan Istana baginya terkesan angker yang seolah-olah menjaga jarak antara pemerintah dengan masyarakatnya (Soebagijo I.N, 1981: 233)

Langkah yang dijalankan oleh Gubernur Sudiro berhubungan dengan perkembangan politik dan ketatanegaraan di Sulawesi adalah membekukan koordinator di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Gubernur mengeluarkan surat penetapan nomor 395 pada tanggal 2 Agustus 1951 dengan mencopot jabatan koordinator Sulawesi Selatan sembari menunggu pengesahan dari Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya dengan surat penetapan nomor 396 terhitung mulai 2 Agustus 1951 kedudukan koordinator di Manado untuk wilayah utara Provinsi Sulawesi yang melingkupi daerah daerah Sangir Talaud, Minahasa, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah dihapuskan. Bertepatan dengan itu pula, sidangnya tanggal 2 Agustus 1951 DPRD Sulawesi Selatan telah mengambil suatu keputusan sebagai berikut:

a. Mengingat tugas dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan yang diberikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah Sulawesi Selatan dengan putusnya tertanggal 1 Maret 1951;

b. Mengingat pula werkprogram dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan tertanggal 10 Mei 1951;

c. Memperhatikan pedoman cara menjalankan kekuasaan dan kewajiban dewan pemerintah daerah Sulawesi

Selatan pasal 8 ayat 1 tertanggal 5 September 1950;

d. Persiapan persiapan menuju pembubaran ikatan daerah Sulawesi Selatan secara hukum dan pembentukan daerah-daerah otonomi setingkat dengan kabupaten di seluruh daerah Sulawesi Selatan telah mencapai tingkat terakhir;

e. Pembubaran daerah Sulawesi Selatan secara hukum demikian pula pembubaran dewan perwakilan rakyat daerah Sulawesi Selatan dan dewan perwakilan daerah Sulawesi Selatan adalah kompetensi pemerintah pusat di Jakarta persetujuan pemerintah pusat di Jakarta;

f. Mengingat adanya persetujuan pemerintah pusat Jakarta dalam prinsip terhadap pembubaran ikatan daerah Sulawesi Selatan dan pembagian daerah ini dalam daerah-daerah otonom setingkat dengan kabupaten langsung di bawah daerah otonom Provinsi Sulawesi yang segera akan dibentuk pembagian daerah ini dalam daerah daerah otonom setingkat dengan kabupaten langsung di bawah daerah otonom Provinsi Sulawesi yang segera akan dibentuk;

g. Mengingat pula bahasa baik pembubaran ikatan daerah Sulawesi Selatan maupun pembentukan daerah daerah otonom setingkat dengan kabupaten secara yuridis harus dilaksanakan dengan suatu undang-undang atau peraturan pemerintah dari pemerintah pusat Jakarta;

h. Berpendapat bahasa pada saat ini pembubaran ikatan daerah Sulawesi Selatan dan pembentukan daerah daerah otonom setingkat dengan Kabupaten sesudah selesai tugas-tugas persiapan yang telah dilaksanakan oleh dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan ke arah itu sekarang terletak sepenuhnya dalam tangan pemerintah pusat;

i. Berhubungan Oleh karena itu, mulai hari ini di ambil keputusan menyerahkan tugas pemerintahan sehari-hari atas

183 — 201

Page 13: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

195

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

daerah Sulawesi Selatan kepada gubernur provinsi Sulawesi;

j. Tentang tugas penyelenggaraan dalam pembubaran ikatan Sulawesi Selatan dan pembentukan daerah-daerah otonom setingkat dengan kabupaten sesuai dengan keputusan dewan perwakilan rakyat daerah Sulawesi Selatan tertanggal 1 Maret 1951 anggota dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan tetap ikut bertanggungjawab (Kementrian Penerangan, 1953: 185).

Pernyataan ini kemudian disampaikan kepada Gubernur Sudiro. Sehari setelah pernyataan itu dikeluarkan, Sudiro kemudian mengeluarkan suatu maklumat nomor 397 tanggal 3 Agustus 1951. Maklumat tersebut berisi:

“Kemarin tanggal 2 Agustus 1951 dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan menyatakan bahwa tugasnya telah berakhir. Pernyataan yang tegas itu pantas kami sambut pula dengan kesediaan yang tegas. Kami berharap agar supaya perpecahan yang telah timbul pada waktu yang lampau dengan jalan ini telah berakhir, karena dengan pernyataan yang suportif dari dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan kemarin akan timbul suasana baru ialah bersatunya kembali partai partai dan organisasi organisasi rakyat pemerintah-pemerintah afdeling, dari dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan para pegawai negeri, khususnya pamong praja. Guna memenuhi hal-hal yang bersifat yuridis formal, akan segera mendesak kepada pemerintah pusat agar keadaan yang ditimbulkan oleh pencernaan ini diberikan baking dengan dikeluarkannya suatu Peraturan Pemerintah termasuk pula beberapa instruksi kepada kami guna melaksanakan peraturan tersebut. Sambil menunggu peraturan dari pemerintah pusat yang kami maksudkan

di atas guna menghindari suatu vakum kami perintahkan kepada dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari menurut petunjuk-petunjuk dan intruksi kami. Mulai hari ini tanggal 3 Agustus 1951 pemerintahan di Sulawesi Selatan untuk sementara waktu Sampai saat datangnya peraturan pemerintah mengenai pembekuan atau pembubaran dewan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Selatan berada di bawah pertanggungan pertanggungjawaban kami mulai hari ini tanggal 3 Agustus 1951 pemerintah di Sulawesi Selatan untuk sementara waktu sampai saat datangnya peraturan pemerintah mengenai pembekuan atau pembubaran dewan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi Selatan berada dibawa pertanggungjawaban kami.”

Sebulan setelah pernyataan tersebut diajukan, maka pada 6 September 1951, pemerintah pusat telah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 56 tahun 1951 yang diundangkan pada tanggal 10 September 1951 tentang pembekuan DPRD dan DPD Sulawesi Selatan, persiapan pembubaran daerah Sulawesi Selatan dan pembagian wilayahnya dalam lingkungan daerah otonom Provinsi Sulawesi. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 ini maka pada tanggal 22 September 1951, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan pula suatu intruksi yang memutuskan:

1. Mencabut putusan Menteri Dalam Negeri sebagai termuat dalam telegram tanggal 16 Maret 1951 nomor: Pem 14/1/19 dengan penjelasan tanggal 21 April 1951 nomor: Des. 1/1/28;

2. Menetapkan instruksi Gubernur Provinsi Sulawesi dalam melakukan pemerintahan di daerah Sulawesi Selatan dan mengadakan persiapan-persiapan

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul

Page 14: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

196

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

yang diperlukan untuk pembubaran daerah Sulawesi Selatan dan pembagian wilayahnya dalam daerah-daerah otonom lain dalam lingkungan daerah otonom Provinsi Sulawesi yang segera akan dibentuk menurut bab-bab yang telah ditentukan dalam surat keputusan itu (Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 22 September 1951 No. Des. 1/14/4).

Dikeluarkannya peraturan pemerintah dan surat keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, mulai pada saat itu dewan-dewan perwakilan rakyat dan dewan pemerintah daerah di Sulawesi Selatan telah dibekukan, sedangkan dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan pada waktu itu tinggal bertugas melikwideer daerah Sulawesi Selatan atas nama gubernur Sulawesi. Untuk melakukan tugas kewajiban yang dibebankan kepada gubernur sejak adanya pembekuan DPRD dan DPD Sulawesi Selatan sebagaimana tercantum dalam bab 1 dan bab 2 instruksi Menteri Dalam Negeri maka gubernur dibantu oleh suatu badan penasehat yang dibentuk menurut pasal 4 dari dari Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 1951.

Meskipun demikian pada waktu hendak membentuk badan penasehat tersebut masih banyak pula kesulitan yang dihadapi berhubungan dengan adanya pertentangan ataupun silang pendapat antara beberapa partai dengan dewan pemerintah daerah Sulawesi Selatan yang telah dibekukan. Partai politik yang dipelopori oleh Masyumi, PKR, Front Pemuda Indonesia, PSII, Parindra, dan GPI yang menghendaki pembentukan badan penasehat itu berpendapat sebagai berikut:

a. Badan penasehat tersebut harus mempunyai suara yang menentukan;

b. Anggota DPD Sulawesi Selatan yang telah dibekukan tidak turut dalam badan penasehat itu, sesuai dengan pertimbangan pada ayat C dari PP Nomor 56 itu;

c. Para anggota badan penasehat tersebut terdiri dari wakil-wakil partai dan

organisasi yang mempunyai program politik;

DPD Sulawesi Selatan yang telah dibekukan menghendaki:

a. Mempertahankan Peraturan Pemerintah Nomor 56 tertanggal 6 September 1951;

b. Memegang teguh Pengumuman itu kita sebagai pedoman keputusan dewan perwakilan rakyat daerah Sulawesi Selatan per tanggal 1 Maret 1951 yang di partai-partai dan organisasi tertanggal 2 Agustus 1951 letter j. yang berbunyi sebagai berikut:

c. Berkeyakinan bahwa jiwa instruksi Menteri Dalam Negeri tertanggal 22 September 1951 nomor: Des. 1/14/4, mengandung isi maksud pengumuman kita tersebut diatas dengan dasar perundingan-perundingan antara kami dengan saudara-saudara gubernur provinsi Sulawesi dan menteri dalam negeri yang kami pegang sebagai gentlemen-agreement;

d. Sekiranya pemerintah membentuk suatu badan penasehat gubernur untuk itu yang tidak sesuai dengan maksud pengumuman kami tersebut diatas, maka anggota-anggota dewan pemerintah daerah seluruhnya yang di bekukan bersedia tidak akan mengambil kedudukan dalam badan penasehat tersebut;

Silang pendapat di antara kedua kubu ini ditengahi oleh Gubernur Sudiro yang akhirnya dapat membentuk badan penasehat tersebut yang anggota-anggotanya terdiri atas:

1. Jusuf Bauti dari Parindra2. A.N. Hadjarati dari Biro PPRI3. Chairuddin Sjahadat dari PNI4. A. Achmad dari PIR5. Pijo dari Perwakilan Buru6. Denso dari Parkindo7. M.D. Kartawinata dari PSII (Kementrian

Penerangan, 1953: 188).

183 — 201

Page 15: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

197

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pemilihan anggota anggota DPRD Kota Besar Makassar Acting Gubernur B.W. Lapian telah mengeluarkan suatu peraturan pemilihan darurat Dewan Perwakilan Rakyat Kota Praja Makassar pada 9 Mei 1951 nomor 225. Oleh karena itu, tugas Soediro adalah menindaklanjuti surat keputusan tersebut dan sesegera mungkin melaksanakan pemilihan umum DPRD dan DPD di wilayah Kota Makassar Besar.

Pemilihan DPRD dan DPD Kota Besar Makassar

Salah satu kendala utama dalam sistem pemerintahan daerah saat itu adalah keberadaan daerah-daerah swapraja. Melihat kenyataan ini tentu saja banyak kalangan mengharapkan supaya daerah-daerah swapraja dihapus saja guna menjamin pelaksanaan pemerintah daerah yang lebih demokratis. Mempertahankan daerah swapraja, berarti mempertahankan simbol-simbol kolonialisme yang sudah ketinggalan zaman, alasan-alasan seperti inilah yang mendorong masyarakat mengambil bagian dengan menuntut daerah-daerah swapraja di Sulawesi Selatan segera dihapus.

Berdasarkan pertimbangan dalam peraturan pemerintah No. 34 tahun 1952, bahwa untuk memenuhi keinginan rakyat untuk mengadakan perbaikan dalam susunan alat-alat dan penyelenggaraan pemerintahan, sambil menunggu adanya suatu peraturan mengenai daerah-daerah swatantra (otonom) yang uniform bagi seluruh Indonesia, perlu segera membubarkan Daerah Sulawesi Selatan dan membagi wilayahnya dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut, Soediro berhasil menyelesaikan dualisme sistem pemerintahan di Sulawesi dengan menarik kembali Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 1951 dan selanjutnya membatalkan gabungan Sulawesi Selatan atau daerah Sulawesi Selatan

tanggal 18 Oktober 1948 yang telah disahkan oleh Residen Sulawesi. Demikian pula dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal, 22 Desember 1951 No. 1/14/4. Dengan demikian Daerah Gabungan Sulawesi Selatan dibubarkan dan selanjutnya wilayahnya dibagi ke dalam tujuh daerah swatantra.4

Soediro berhasil membentuk DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan DPD (Dewan Pemerintah Daerah) di tujuh daerah swatantra di Sulawesi Selatan. Hal tersebut merupakan rentetan dari usaha-usaha untuk menghapuskan pemerintahan tunggal di seluruh Provinsi Sulawesi, di samping DPRD

4 Ketujuh Daerah Swatantra tersebut, antara lain: 1). Daerah Makassar yang meliputi Gowa, Takalar, Jeneponto, Maros dan Pangkajene. Tempat kedudukan pemerintahannya adalah di Sungguminasa, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdiri dari 35 orang anggota, sedangkan Dewan Pemerintahan Daerahnya terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang, tidak termasuk Kepala Daerah. 2). Daerah Bonthain yang meliputi Bontain, Bulukumba, Selayar dan Sinjai. Tempat kedudukan pemerintahannya di Bonthain. Dewan Perwakilan Daerahnya terdiri dari 21 orang anggota. Dewan Pemerintah Daerahnya terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang anggota, tidak termasuk Kepala Daerah. 3). Daerah Bone, yang meliputi Bone, Wajo dan Soppeng. Tempat kedudukan pemerintahannya di Watampone. Dewan perwakilan Rakyat Daerahnya terdiri dari 35 orang anggota. Dewan Pemerintahan Daerahnya terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang anggota, tidak termasuk Kepala Daerah. 4). Daerah Pare-pare yang meliputi Barru, Pare-pare, Sidenreng Rappang, Pinrang dan Enrekang. Tempat kedudukan pemerintahannya di Pare-pare. Dewan perwakilan Rakyat Daerahnya terdiri dari 26 orang anggota. Dewan Pemerintahan Daerahnya terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang anggota, tidak termasuk Kepala Daerah. 5). Daerah Mandar yang meliputi Majene, Polewali Mamasa dan Mamuju. Tempat kedudukan pemerintahannya di Majene. Dewan perwakilan Rakyat Daerahnya terdiri dari 20 orang anggota. Dewan Pemerintahan Daerahnya terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang anggota, tidak termasuk Kepala Daerah. 6). Daerah Luwu yang meliputi seluruh Luwu dan Tana Toraja. Kedudukan pemerintahannya di Palopo. Dewan perwakilan Rakyat Daerahnya terdiri dari 25 orang anggota. Dewan Pemerintahan Daerahnya terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang anggota, tidak termasuk Kepala Daerah. 7). Daerah Sulawesi Tenggara meliputi seluruh darah Sulawesi Tenggara. Lihat Lembaran Negara Nomor: LN 1952/48; TLN NO. 263.

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul

Page 16: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

198

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

yang bersifat permanen, maka sesuai dengan peraturan pemerintah No. 34 tahun 1952 terlebih dahulu Soediro mengadakan pertemuan dengan partai-partai politik yang ada di Makassar. Pertemuan tersebut berlangsung pada tanggal 11-12 September 1952 (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991: 328).

Usaha selanjutnya sambil menanti pengesahan keputusan-keputusan yang telah diambil maka usaha Gubernur Sulawesi ditujukan pada pemilihan umum anggota-anggota DPRD kota Makassar besar yang sebagai diketahui rencana pemilihannya telah dibuat sejak Acting Gubernur menjalankan tugasnya. (surat keputusan Acting Gubernur Provinsi Sulawesi tanggal 9 Maret 1951 nomor 225).

Adapun mekanisme dari jalannya pemilihan tersebut sebagai berikut:

a. Berdasarkan keputusan Acting Gubernur Sulawesi tertanggal 9 Mei 1951 nomor 25 mengenai pemilihan anggota DPR Kota Makassar besar maka pada tanggal 3 Februari 1952 di kota ini telah dilangsungkan pemilihan anggota DPRD Kota Praja secara langsung;

b. Pendaftaran yang dilakukan pada kepala kampung Sesuai dengan pasal 2 dari peraturan tersebut yaitu bagi orang-orang yang sudah tinggal dalam kota selama sekurang-kurangnya 6 bulan membawa hasil pendaftaran sebanyak 10833 orang; (Kementrian Penerangan, 1953: 192)

Pendaftaran dilanjutkan dengan pemberian kesempatan kepada partai-partai dan organisasi untuk mengajukan calon dimulai pada 6 dan berakhir pada 19 Desember 1951. Kesempatan dan hak yang diberikan oleh pemerintah kota kepada rakyat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh partai serta organisasi dengan berbagai jalan dan usaha. Beberapa partai nampak antusias dengan mengadakan rapat-rapat pemenangan dan kampanye demi menarik perhatian dan mempengaruhi para pemilih. Beberapa tempat yang dianggap strategis

juga dipasang slogan serta sejumlah pamflet (Kementrian Penerangan, 1953: 195).

Berbagai tafsiran atau interpretasi bermuculan setelah pemilihan dilakukan. Sebagian menyatakan “kekecewaan” tetapi meskipun demikian DPRD Kota Makassar telah terbentuk. Hasil pemilihan yang diadakan pada hari Rabu 6 Februari 1952 ini, memberikan gambaran yang jelas tentang kekuatan rasio partai dan organisasi di Makassar. Dari 25 kursi yang akan ditempati, 7 diraih oleh Masyumi, 2 oleh Parkindo, 2 Partai Katholik, dan 1 oleh PSSI sehingga kelompok-kelompok pengakuan agama memperoleh 12 kursi. Dari partai-partai murni politik, Partai Kedaulatan Rakjat memperoleh 4 kursi, diikuti oleh Lembaga Indonesia Maluku dengan 2 kursi, Lembaga Indonesia Sulawesi Selatan dengan 2 kursi, Parindra, PIR, PSI, Pemuda Demokrat dan Partai Buruh masing-masing dengan 1 kursi (Java Bode, edisi 8 Februari 1952, hlm. 2).

Pada 4 Maret 1952 diadakan pelantikan anggota DPRD5 Kota Besar Makassar yang dilakukan oleh Gubernur Sudiro yakni sesudah pelantikan kepala daerah Minahasa. Sebagai ketua DPRD ini adalah Sultan Muhammad Jusuf Samah, sedangkan Dewan Pemerintah Daerah diketuai oleh A.D. Sjahrudin dari Masyumi, wakil ketua CH Salawati dari PKR, sedangkan anggotanya terdiri dari Muhammad Noor dari Masyumi, Latuperrisa dari LIM Syamsuddin Dg. Mangawin dari partai buruh.

5 Nama-nama anggota DPRD kota besar Makas-sar dari masing-masing partai dan organisasi yang baru dipilih itu adalah sebagai berikut: (1) Masjumi: 1. Ach-mad Dara Sjahruddin, 2. Abbas Dg. Mallawa, 3. Muham-mad Noor, 4. Sitti Ebong, 5. Abd. Rachim Munier, 6. Rafiuddin, 7. Ismail Nappu; (2) PKR: 1. Ch. Salawati, 2. M. Towoliu, 3. M. Zajad, 4. Supangat; (3) Partai Katho-lik: 1. Ngantung, 2. Niapali; (4) L.I.S.S: 1. Sjamsuddin Qadar, 2. Salim Dg. Sitaba; (5) Parkindo: 1. Caunang, 2. Sumbung; (6) L.I.M: 1. Latupeirissa, 2. Manusama; (7) P.S.I.I: Sultan Muhammad Jusuf Samah; (8) Partai Bu-ruh: Sjamsuddin Dg. Mangawing; (9) Parindra: Haeba Dg. Situju; (10) P.S.I: Jusuf Mawengkang; (11) Pemuda Demokrat: La Side; (12) P.I.R: Intje Ibrahim Dg. Mile; Lihat (Kementrian Penerangan, 1953: 196)

183 — 201

Page 17: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

199

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

Selanjutnya, DPRD mengusulkan kepada pemerintah pusat empat calon walikota yang terdiri atas A.D. Sjahruddin dari Masyumi, Abd. Radjab Dg. Masikki dari Masyumi yang dicalonkan oleh Parindra dan LISS, Abdul Hamid Dg. Magassing dari PIR, dan H. A. Patoppoi dari Partai Buruh. Pemerintah pusat kemudian menetapkan Ahmad Dara Sjahrudin sebagai walikota Makassar dan pada 30 Juni 1952. Gubernur Sudiro atas nama Menteri Dalam Negeri sesuai dengan protokol pelantikan kepala daerah 4 Januari 1947 nomor: A. 10/I/2, melantik Ahmad Dara Sjahruddin sebagai walikota Makassar (Kementrian Penerangan, 1953: 195).

Meskipun kinerja Soediro sebagai gubernur tergolong baik, ada saja pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan kepemimpinannya, bahkan mereka menghen-daki Soediro meletakkan jabatannya. Misalnya, Masyumi wilayah Sulawesi pada 18 Januari 1952 mengeluarkan suatu pernyataan yang ditandatangani oleh Dewan Pengurus antara lain: Ismail Napoeh, A. Makkarausu dan Mukdan. Dalam pernyataannya itu Masyumi mendesak pemerintah pusat agar segera mengganti Soediro. Keputusan ini diambil oleh Masyumi Sulawesi dengan alasan Gubernur Soediro tidak mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh rakyat Sulawesi, bahkan Masyumi menilai pekerjaan pemerintah di bawah nahkoda Soediro terbengkalai dan tidak dapat berjalan lancar, rakyat yang berada di pedalaman merasakan seolah-olah tidak ada lagi pemerintahan ( Pedoman Rakjat, edisi 22 Januari 1952, hlm. 4).

Tuntutan serupa juga dikemukakan oleh (Panitia Penuntutan Provinsi Sulawesi Selatan) Nuruddin Sjahadat. Sebuah pernyataan pada 16 Januari 1953 mendesak Menteri Dalam Negeri segera menarik kembali Soediro dan mengangkat seseorang yang berasal dari Sulawesi Selatan yang lebih mengetahui keadaan Provinsi Sulawesi yang sebenarnya. PPPSS mendesak agar Soediro diganti berdasarkan satu pertimbangan bahwa “janji-janji yang

telah dikemukakan, baik oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Ishaq Tjokrohadisurjo maupun oleh Gubernur Soediro hingga saat ini tidak ada yang terbukti, malahan sebaliknya”. Dalam hubungan ini dikatakan bahwa kegagalan Gubernur Soediro ternyata karena ia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dan tidak disukai oleh rakyat (Pedoman Rakjat, edisi 7 Januari 1953, hlm. 1).

Pemerintah pusat kemudian memutuskan untuk mengangkat Lanto Daeng Pasewang sebagai gubernur meskipun dalam keadaan sakit karena banyaknya desakan-desakan yang ditujukan kepada pemerintah pusat untuk mengganti Soediro dengan pertimbangan untuk mengakomodasi tuntutan naiknya “putera daerah”. Pada 24 November 1953 dengan disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri, pembesar Militer dan Sipil serta Kepala-kepala Jawatan lainnya, telah berlangsung timbang terima pimpinan Pemerintahan Provinsi Sulawesi dari tangan Soediro ke tangan Acting Gubernur Winarno yang oleh Pemerintah Pusat ditugaskan menjalankan pemerintahan selama Gubernur Lanto Daeng Pasewang masih dalam keadaan sakit (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991: 338).

PENUTUP

Membayangkan reformasi birokrasi sampai pada tujuan hakikinya memperbaiki tata kelolah pemerintahan adalah hal yang lumrah. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 memungkinkan hal tersebut terjadi. Tata kelolah pemerintahan ditingkat daerah menjadi perhatian khusus. Penerapan otonomi daerah atau desentralisasi pemerintahan daerah merupakan sebuah langkah penting yang diambil pemerintah pusat untuk meredam segala bentuk ketidakpuasan terhadap segala kebijakan pemerintah di daerah. Tidak salah jika desentralisasi telah menjadi bahan perdebatan politik yang terus-menerus di tahun 1950-an. Partai politik ditingkat lokal memamfaatkan hal itu untuk kepentingan politik masing-masing.

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul

Page 18: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

200

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

Partai Masyumi di Sulawesi Selatan menjadi corong terdepan pemanfaatan berbagai kebijakan pemerintah pusat melalui undang-undang atau pun peraturan pemerintah demi kepentingan politiknya. Pucuk kepemimpinan atau pun badan legislasi mengisyaratkan kepiawaian Partai Masyumi menggelindingkan “mata dadu” kekuasaan. Tata kelolah pemerintahan yang berasal dan atau mengatas namakan rakyat dengan menaruh perhatian pada persoalan kelembagaan eksekutif dan legislatif di Provinsi Sulawesi yang diidam-idamkan rakyat jauh dari kenyataan. Tantangannya adalah pembentukan struktur kelembagaan yang adaptif dan kolaboratif di tengah kondisi politik dengan ego sektoral masing-masing. Dengan demikian, tata kelolah pemerintahan tanpa road map yang jelas seolah menjadi utopia Trias Politica Provinsi Sulawesi.

Daftar Pustaka

Arsip Nasional Republik Indonesia. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 22 September 1951 No. Des. 1/14/4). Jakarta: Menteri Dalam Negeri

Arsip Nasional Republik Indonesia. 1951. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1951 tentang Pembekuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi-Selatan, Persiapan Pembubaran Daerah Sulawesi-Selatan dan Pembagian Wilayahnya dalam Lingkungan Daerah Otonom Propinsi Sulawesi. Jakarta: Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1959 yang Telah Dicetak Ulang. Lembaran Negara nomor: LN 1951/82; TLN NO. 148

Arsip Nasional Republik Indonesia. 1952. Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan dan Pembagain Wilayahnya dalam Daerah-Daerah Swatantra. Jakarta: Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1959 yang Telah Dicetak Ulang. Lembaran Negara Nomor: LN 1952/48; TLN NO. 263.

Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

DE LOCOMOTIEF. “Masjumi wil Zd.-Celebesraad opheffen”, edisi 19 Desember 1950.

de Vrije pers, “De Zuid Celebes Raad”, edisi 19 Desember 1950.

Djohan, Hermansyah. 2005. “Otonomi Daerah Masa Kemerdekaan Hingga Demokrasi Terpimpin,” dalam Soetandyo Wignosubroto, dkk., Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institute for Local Development dan Yayasan Tifa.

Harvey, S. Barbara. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Java Bode, “Ondemocratische benoemingen”, edisi 16 Agustus 1951.

. “Politieke Krachtsverhondingen in Makassar”, edisi 8 Februari 1952.

Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.

Kementrian Penerangan. 1953. Republik Indonesia Propinsi Sulawesi. Indonesia: Kementrian Penerangan.

Magenda, Burhan Djabir. “Perubahan dan Kesinambungan dalam Pembelahan Masyarakat Indonesia” Prisma (No. 4 tahun 1990).

Marhaen, “Belum Terlambat,” edisi 15 Pebruari 1954.

- “Anggota2 DPRD Minahasa Memprotes Pemerintah Pusat karena Pembubaran DPRD,” edisi 18 Juni 1953.

Pedoman Rakjat. “Daerah-Isme,”edisi 21 Agustus 1951.

- “Pencalonan dg. Pasewang dan pengangkatan Sudiro. Djawaban Menteri Dalam Negeri,” edisi 30 Agustus 1951.

- “Pendjelasan Kedjapen Prosul Terhadap Mosi PKR Bertentangan dengan Kenyataan”, edisi 16 Januari 1952.

- “Masjumi wilayah Sulawesi Minta Gub. Sudiro diganti”, edisi 22 Januari 1952.

183 — 201

Page 19: PARTAI MASYUMI DAN UTOPIA: IMPLEMENTASI TRIAS …

201

WALASUJI Volume 11, No. 2, Desember 2020:

- “Sudiro Sudah Tidak Disukai oleh Rakjat”, edisi 7 Januari 1953.

- “Dari Konp. Gubernur (Penutup): Soal agraria, otonomi, desentralisasi dan desa”, edisi 11 Agustus 1952.

Niew Courant, “Sudiro Gouverneur Sulawesi”, edisi 2 Juli 1951.

Niewsgier, “Zaterdagmorgen heeft de aftredende”, edisi 12 Maret 1951.

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. 1991. Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Propinsi Sulawesi Selatan. Indonesia: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Sekretariat DPR-GR. 1970. Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Djakarta: Sekretariat DPR-GR.

Soebagijo, I.N. 1981. Sudiro: Pejuang Tanpa Henti. Jakarta: PT. Gunung Agung.

The, Liang Gie. 1993. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia Jilid I. Yogyakarta: Liberti.

Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial (terj.) Misbah Zulfah Ellizabet. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Undang-Undang No. 22 tahun 1948Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950

Partai Masyumi dan Utopia: ... Khaerul