Part 1 Hawa Dingin Kota Malang · PDF filemenyeru-Ku, maka Aku akan menjawab untuknya; ... 5...

359
1 ۞ Part 1 Hawa Dingin Kota Malang Suasana Subuh di kota ini terasa begitu hikmat, lembut, dan begitu syahdunya menyentuh kalbu. Meski suasana dingin senantiasa menyelimuti kehidupan kota ini, tapi semangat-semangat baja dan tekad-tekad membara punggawanya tak pernah urung. Dari balik

Transcript of Part 1 Hawa Dingin Kota Malang · PDF filemenyeru-Ku, maka Aku akan menjawab untuknya; ... 5...

1

۞

Part 1 Hawa Dingin Kota Malang

Suasana Subuh di kota ini terasa begitu hikmat, lembut, dan begitu syahdunya menyentuh kalbu. Meski suasana dingin senantiasa menyelimuti kehidupan kota ini, tapi semangat-semangat baja dan tekad-tekad membara punggawanya tak pernah urung. Dari balik

2

gang-gang kecil, dari rumah-rumah kecil di daerah padat penduduk, para hamba-hamba yang menyerahkan semua urusan mereka kepada Rabb-nya mulai menyebar mencari rezeki yang telah dijanjikan Tuhan atas mereka.

Sebelum Subuh menyingsing, para Aremania1 sudah sibuk berkeliaran menyisiri setiap sudut kota ini untuk mencari setungkup bekal hidup hari ini. Di jalanan sepanjang pesisir Tlogomas, satu dua wanita perkasa yang sedang mengayuh sepeda-sepeda mereka di bawah naungan lampu jalanan dengan sekarung sayur-mayur yang akan mereka jajakan di Pasar Dinoyo, cukup menjadi pemanda-ngan haru sekaligus bangga dengan kegigihan mereka. Haru karena mereka adalah para wanita yang seharusnya jam-jam Subuh seperti ini berada di rumah untuk mengurusi anak-anak mereka. Urusan mencari nafkah selayaknya dikerjakan oleh tangan-tangan kasar para lelaki. Dan juga bangga, karena tanpa menyalahkan siapapun, mereka berusaha dengan begitu gigih berjuang untuk anak-anak mereka, dengan peluh keringat yang senantiasa mengucur tanpa mereka sadari demi kehidupan masa depan.

Tapi, bagi kebanyakan hamba-hamba yang lain, di tengah dingin yang menyelimuti, memang lebih nyaman rasanya berada di pelukan selimut tebal dan menghangatkan diri sambil menelan-tarkan badan di kasur yang empuk bersama kemalasan. Terlelap puas,

1 Panggilan untuk orang-orang Malang

3

hingga sang surya pun kembali bersua dengan alam. Mengumbar senyum, sembari menyapa dengan hangat pertemanannya. Menyapa gunung, menyapa rerumputan, menyapa pepohonan, menyapa burung-burung yang mulai berkeliaran ke peraduan rezeki mereka. Menyapa embun yang sejenak saja datang bertamu. Menyapa langit, menyapa mega, menyapa udara, menyapa semua yang ada di alam. Menyapa setiap jiwa yang bangkit dari lelapnya kelam, dan menyapa para kesatria-kesatria wanita yang sibuk dengan sepeda-sepeda tua mereka, yang setiap kayuhan dari sepeda itu adalah kucuran keringat yang menjadi saksi akan ampunan dari Allah ‘Azza wa Jalla di hari akhir kelak. “Barang siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang telah dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT”.2

Hanya mereka yang memang benar-benar memiliki komitmen kepada Rabb-nya, yang senantiasa berada dalam zikirnya; zikir lisan, hati, dan pikiran. Yang senantiasa bertafakur, yang senantiasa berpijak di atas bumi dengan Sirat Al-Mustaqim. Hanya mereka yang merasakan betapa setiap perbuatan akan dimintai pertanggung-jawaban. Hanya mereka yang senantiasa menjaga taqwa, yang menyadari bahwa di keheningan malam itu, Allah turun ke dunia untuk mengijabah semua permintaan dari hamba-hamba-Nya yang

2 HR. Thabrani

4

bersimpuh. “Tuhan kita Yang Maha Luhur dan Maha Agung turun setiap malam kepada langit dunia ketika sepertiga malam terakhir, seraya menyeru: Adakah yang menyeru-Ku, maka Aku akan menjawab untuknya; adakah yang memohon pada-Ku, maka Aku akan memberinya; adakah yang beristighfar pada-Ku maka akan Ku-ampuni untuknya”.3

Hanya saja, manusia kadang lalai dan lebih menyenangi urusan dunia mereka saja. Begitu banyak orang yang mengabaikan shalat Subuh dengan hati tak bersalah. Apakah mereka tidak menyadari bahwa ketika hati merasa tak bersalah dengan kezaliman yang mereka perbuat, maka sesungguhnya Allah telah mengambil hidayah yang ada di dalam hati mereka?. Mungkin itulah balasan dari sikap manusia yang ketika disampaikan suatu kebaikan, mereka mengabaikannya. Ketika diajak untuk melakukan kebaikan, mereka mengindah-kannya. Maka Allah menjadikan mereka buta, tuli, bisu, dan mereka tidak bisa kembali kepada kebenaran. Na’udzubillah.

Tapi, heningnya malam itu rasanya tidak menjadikan hening hati pemuda itu. Semenjak percakapannya dengan Pak Haji tempo silam, ia benar-benar jadi tak karuan rasa. Tak karuan hati, hingga tidur pun tak bisa nyenyak. Sejak dini hari ia sudah terjaga dan tak bisa tidur kembali. Padahal, lampu

3 HR. Shahih Bukhari

5

kamar sudah sengaja ia matikan, gelap gulita. Ia berharap bisa memejamkan matanya di tengah gelap gulita. Selimut jua sudah ia hamparkan ke sepenjuru tubuh, biar dingin udara di luar sana tak menerobos kulit hingga ke dalam tulang. Sudah pula ia mengucap istighfar, shalawat Nabi, dan menghaturkan do’a, tapi tak jua ia bisa tenang.

Akhirnya, ia terpaksa jua bangkit dengan bola mata yang ingin sekali memejam, sedang hati dan akal pikirannya sudah tak lagi nyaman. Matanya begitu berat. Anggota tubuhnya serasa saling menuntut, berontak. Matanya ingin sekali rasanya tidur, sedang hatinya melalah gundah. Kepalanya pula terasa pusing. Sejurus ia putuskan untuk mengambil wudhu, menyucikan diri, menyucikan hati, dan bertafakur hingga Subuh menjelang. Ia membuka mushaf dan membacanya dalam-dalam dengan penuh penghayatan.

Tiga jam sudah berlalu dalam lantunan ayat demi ayat, tapi rasanya tak kunjung jua ia menjadi tenang. Tanpa ia minta, tiba-tiba pikirannya memutar-mutar kembali memori yang telah lalu ke beberapa malam silam. Sejurus ia kembali ingat percakapan dengan Haji Syamsuddin.

“Begini, Nak… Sebelumnya, jauh sebelum hari ini, aku sudah bicara empat mata dengan kakekmu di rumahnya, di Keraton4. Aku telah meminta beliau

4 Sebuah Kecamatan di daerah Kab. Banjar

6

untuk menjodohkanmu dengan putriku, Amelia. Sebenarnya ini adalah amanah orang tuaku, almarhum kakeknya Amelia. Beliau ingin sekali menyatukan keluarga kita. Mungkin kamu tau, Nak, kalau ini bukan sebuah wasiat atau amanah yang wajib dijalankan menurut agama. Tapi, kupikir permintaan dari kakeknya Amelia itu ada bagusnya jua. Beliau ingin keluarga kita ini dipersatukan dan menjadi sebuah keluarga besar. Keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Apalagi mengingat kakekmu dan kakek Amelia itu merupakan sahabat karib sejak masih menuntut ilmu di Madinah dulu.

“Aku pikir sekaranglah saat yang sangat tepat untuk menjodohkanmu dan Amelia. Aku jua sudah bicara dengan keluargamu, acil5 dan juga paman-pamanmu. Dan Insya Allah, mereka menye-tujui perkara ini. Jadi, tinggal aku menanyakan langsung kepada dirimu si empu diri, apakah kamu bersedia untuk dijodohkan dengan putriku atau tidak?” ucap Pak Haji panjang lebar dan serius.

Pemuda kurus itu terdiam tanpa suara. Ia berusaha berpikir tapi tak bisa lama. Ia masih tak percaya dengan yang baru saja didengarnya dari mulut Pak Haji. Bagaimana tidak. Pak Haji Syamsuddin yang notabene merupakan salah satu orang terkaya di tanah Antasari, secara tiba-tiba meminta dirinya untuk dijodohkan dengan putri kesayangannya. Apalagi

5 Tante (adik dari ibu/bapak)

7

terdengar sekali bahwa Pak Haji menyampaikannya dengan sangat sopan tapi serius. Tanpa sedikit pun ada tergambar kesom-bongan dari cakap beliau sebagai orang yang kaya kepada dirinya si miskin. Ia jadi merasa sangat terhormat dan jua segan dengan permintaan Pak Haji perihal dirinya. Ia jadi tak enak hati sendiri kepada Pak Haji.

Pemuda itu benar-benar bingung harus menjawab apa dengan pertanyaan yang sangat mendadak dan pula sangat berat itu.

“Pak Haji yakin dengan ulun6?” ia balik ber-tanya setengah ragu.

“Aku sangat yakin, Nak… Jadi, tinggal dirimu saja yang menentukan…” mantap Pak Haji.

Mendengar jawaban itu, ia semakin ragu bercampur bingung. Ia tak tahu apa yang saat ini dipikirkan saudagar itu. Sejenak ia terdiam. Dan beberapa saat, ia pun mulai berusaha memberanikan diri untuk bicara.

“Mmm… Ulun boleh minta sesuatu sebelum-nya, Pak Haji?” ucapanya dengan suara merendah.

6 Saya (Bahasa Banjar yang lebih sopan, sering digunakan untuk orang yang lebih tua)

8

“Silakan, Nak…? Katakan saja kepadaku. Apa yang kau minta?” balas pak haji.

“Ulun cuma minta waktu beberapa hari untuk memikirkan perkara ini. Mohon maaf, Pak Haji. Bukannya ulun sok, sombong, atau berbelit-belit untuk menjawab pertanyaan dari Pak Haji, apakah ulun bersedia atau kada7 untuk dijodohkan dengan putri Pak Haji. Tapi, ulun pikir Pak Haji bisa mengerti bahwa masalah ini bukan masalah sepele. Masalah perjodohan adalah masalah masa depan kita sekeluarga. Sebab itu, ulun minta waktu dulu untuk berpikir. Dan saat itu pula, Pak Haji jua bisa lebih memikirkan lagi matang-matang semuanya. Apa Pak Haji kada salah meminta ulun untuk nanti menikah dengan putri Pak Haji? Apa Pak Haji kada supan8 dengan keadaan ulun? Orang-orang tahu Pak Haji ini siapa dan ulun ini siapanya Pak Haji? Ter-lebih, apa putri Pak Haji bisa menerima ulun nanti sebagai suaminya, sedangkan kami belum pernah saling kenal. Jadi, alangkah baiknya masalah ini kita pikirkan sama-sama lagi, Pak Haji…” jawabnya agak ragu. Ia takut kalau orang yang sangat ia hormati itu merasa digurui dan tersinggung hatinya.

“Baiklah kalau begitu, Nak. Perkataanmu ada benarnya juga. Tapi, yang jelas aku tak me-maksamu. Itu semua hakmu untuk menentukan. Tapi, kalau kita renungkan bersama, rencana untuk menjadikan

7 Tidak 8 Malu

9

keluarga ini bersatu ada hikmah dan manfaatnya jua. Jadi, aku serahkan kepadamu sebagai si empu diri untuk memikirkan dan memutuskannya. Semoga Allah selalu bersama langkah kita semua.” Ucap pak haji Syamsuddin demokratis.

“Amin… Terimakasih banyak atas penger-tiannya, Pak Haji…” balas pemuda itu dengan suara merendah.

“Sama-sama. Kuliah yang rajin lah, Nak? Assalamu’alaikum?”

“Wa’alaikumsalam, Pak Haji…”

Dan saudagar Tanah Banua9 itu menutup teleponnya.

Begitu cepat rasanya pembicaraan itu. Tapi, terasa begitu berat baginya untuk menimbang. Betapa tidak. Ini adalah permintaan seorang saudagar kaya. Seorang pengusaha intan yang sangat berpengaruh di Tanah Patih Masih, Tanah Banjar.

Sejatinya, siapalah kira-kira yang tak mau dijodohkan dengan putri orang kaya di Banjar itu. Kalau bicara kekayaan, kurang apa lagi keluarga pemilik lima buah toko intan di Martapura dan Banjarmasin itu. Ditambah lagi keluarga itu terkenal

9 Tanah Banjar

10

sangat ramah dan dermawan. Di sisi lain, ia tak begitu yakin dengan permintaan Pak Haji. Walaupun ia sangat senang, ia jua harus mawas diri. Ia mencoba berkaca kepada dirinya sendiri, siapa ia dan siapa keluarga Haji Syamsuddin. Dirinya hanyalah seorang pemuda yang karena rasa kasihan saudagar kaya itu ia dikirim ke sini, ke Tanah Banua urang10 untuk kuliah dengan tanggungan biaya kuliah oleh beliau sepenuhnya.

Ia mencoba membuang kebingungannya. Ia pejamkan mata dalam-dalam dan berharap ada sesuatu yang bisa memberikannya jawaban tegas atas pertanyaan itu. Pertanyaan yang sangatlah sederhana, “Apakah ia bersedia dipertunangkan dengan Putri Saudagar itu, ataukah tidak?”

Dan jawabannya pun sederhanalah pula sebenarnya, “Ya ataukah Tidak”. Tapi, tak semudah itu sebuah keputusan baginya. Ia malah semakin bingung tak tau arah. Tak tahu apa yang harus ia katakan kelak jika sudah tiba waktunya Pak Haji menanyainya kembali perihal jawaban keputusan akhir darinya.

***

Angin semilir musim dingin yang secara tiba-tiba membelai lembut lehernya semakin mengigilkan

10 Tanah perantauan

11

dirinya yang tengah terpojokkan oleh perasaannya sendiri. Ia buka matanya sekejap dengan perlahan, sembari menoleh ke arah pintu masjid yang berada di ujung sebelah kiri tempatnya berduduk. Ia dapati pintu memang tak tertutup rapat hingga angin bisa berleha masuk. Ia tak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya. Tanpa menghiraukan angin dan pintu masjid yang terbuka itu, ia kembali memejamkan mata seraya menghalungkan sorban kasmirnya ke seluruh tubuh, menutupi dirinya dari kedinginan.

Kembali lagi tak ia tuani, angannya terbang sendiri ke silam waktu, mengingat sejarah hidupnya ketika di Banjar sebelum diberangkatkan ke kota ini. Di depan matanya seolah tengah berdiri layar LCD yang sangat besar menggambarkan jejak rintang hidup silamnya.

Ia teringat peristiwa saat ibu kandungnya meninggal setelah seminggu melahirkan dirinya beserta saudara kembarnya. Tak lama setelah itu, abahnya pergi madam11 tak tahu kemana bersama saudara kembarnya. Ia pun dititipkan kepada seorang bujang lapok yang mengharapkan seorang putra. Orang kampung akrab memanggilnya dengan panggilan Julak12 Basun. Ia dan Julak Basun tinggal di desa kecil-memencil yang tak terkenal berantahnya bagi orang kota, tepatnya di desa

11 Pergi tanpa memberi tahu 12 Kakak dari orang tua/ panggilan orang Banjar untuk orang yang lebih tua dari orang tua kita

12

bernama Muara Durian. Sebelah barat jauh Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Kehidupannya bersama Julak Basun adalah kehidupan yang penuh dengan tangis haru. Ia ingat betul, setiap hari, sebelum fajar menjelang, ia sudah sibuk berhadapan dengan tungku dapur untuk membuat kue bersama Julak Basun. Ya, Julak Basun adalah seorang bujang lapok pembuat Kue Amparan Tatak13 di desanya. Hanya itu kebisaan yang ia miliki untuk ia jadikan pegangan menopang hidupnya.

Bila kue sudah matang dan dingin, iapun disuruh Julak Basun segera menjajakan kue itu di sepanjang Desa Muara Durian, dan menitipkannya sebagian di warung-warung desa. Setelah pulang sekolah, ia turun ke sawah untuk menjadi tenaga upahan pembajak sawah. Jika orang lain melihat dirinya yang masih berusia sepuluh tahun kala itu, mungkin sebenarnya tak kan pernah tega. Tapi, bagaimana lagi? Mungkin inilah sudah aturan dari skenario kehidupan. Ia dan Julak Basun tak memiliki keahlian lain selain mengandalkan otot dan tenaga untuk mencari penghasilan.

Saat usianya menginjak empat belas tahun, Julak Basun yang manggaduhnya14 meninggal dunia karena sakit. Beliau lumpuh dimakan lekangnya usia. Ia pun

13 Nama Kue tradisional di Banjar 14 Memeliharanya, membesarkannya

13

lalu dipindahtangankan kepada kakek kandungnya sendiri untuk diasuh, abah kandung dari ibunya, Kakek Abdul Ja’far. Kakek Ja’farlah yang menceritakan kepadanya bahwa dirinya mem-punyai saudara kembar. Tapi, hingga sekarang ia tak tahu saudara kembarnya itu berentah dimana. Menurut kabar terakhir yang ia dengar, Ridha –panggilan saudara kembarnya– sekarang telah merantau pergi kuliah ke Yogyakarta. Namun, sudah lebih empat tahun di Yogyakarta, Ridha tak pernah pulang ke Banjar dan tak diketahui lagi kabar beritanya.

Baginya, Kakek Ja’far adalah sosok teladan yang sangat bijak. Kakek selalu mengajarkannya tentang makna sebuah hidup dan kehidupan. Kakek Ja’far benar-benar menjadi sosok yang tak hanya sekedar kakek, tapi jua orang tua yang selalu membimbing langkah kakinya agar tak terjerumus kepada jalan kemaksiatan. Sayang, ketika menginjak remaja, ia harus berpisah dengan kakek tercintanya. Saat itu, Kakek Ja’far menitipkannya ke sebuah pondok pesantren di Desa Cindai Alus Martapura, Darul Hijrah (DH). Di sana, ia diasuh oleh seorang Kiai kharismatik yang sekaligus pula pimpinan pondok pesantren itu, Kiai Muhammad Karim Mubarak. Beliau akrab disapa Kiai Karim. Di pesantren itulah ia digodok dan ditempa benar-benar dengan disiplin yang super ketat dan dengan ilmu-ilmu agama. Berawal dari pondok pesantren itulah akhirnya ia berhasil memperoleh beasiswa pertukaran santri ke Hadramaut selama tiga tahun.

14

Ia sempat berpikir, sepulang dari Hadramaut ia akan menjadi seorang Kiai atau ‘Alim ulama. Minimal sekali menjadi seorang Da’i di kecamatan. Tapi, rupanya prinsip hidup yang ditanamkan oleh Kakek Ja’far menjadikan niatnya itu ia batalkan. Ia ingat betul kata-kata Kakek Ja’far dalam nasihatnya.

“Kamu, jangan pernah bercita-cita jadi Da’i, Cucuku…”

“Kenapa, Kek?”

“Godaannya berat…”

“Berat? Berat bagaimana, Kakek?”

“Aku takut jika seandainya kamu bercita-cita menjadi Da’i, itu justru malah menjatuhkan dan menghinakan dirimu. Memang aku ingin Cucuku ini menjadi ulama dan mendakwahkan ajaran agama Islam. Tapi, untuk urusan dunia atau untuk menghidupi penghidupanmu, kamu harus bekerja. Untuk itu, kamu harus jadi orang yang mapan, baru kemudian berdakwah. Karena, kakek khawatir jika kamu lebih dulu berdakwah sebagai seorang Da’i, dan kamu memperoleh penghasilan dari sana, kamu jadi lupa kewajibanmu untuk berusaha dengan peluh keringatmu sendiri. Aku khawatir kamu akan menggantungkan dirimu dengan profesi itu. Kau malah tidak terlihat sebagai ulama, malah menjadi public figure yang

15

menghibur/entertainer15 seperti orang-orang yang ada di TV itu. Rasulullah itu pedagang. Abu Bakar dan Umar pula demikian. Maka carilah penghidupan dengan penghidupan pula, Cucuku, bukan dari Syi’ar.

“‘Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu; seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya.’ 16

“‘Dan, Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah ‘Azza wa-Jalla.’ 17

“‘Dan Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri.’18

“Dan satu hal yang harus kamu camkan baik-baik, Cucuku. Kita tak usah bercita-cita jadi seorang Da’i. Tapi ingat, menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar19 itu adalah kewajiban.”

Karena petuah kakek yang sangat ia cintai itulah akhirnya ia putuskan untuk mengurungkan cita-citanya

15 Penghibur/pemain 16 HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi 17 HR. Ahmad 18 HR. Bukhari 19 Mengajak kepada kebaikan dan menjauhi atas kemungkaran

16

menjadi seorang Da’i sebagai ‘Profesi mutlak’. Ia sangat mafhum bahwa Kakek Ja’far memang memiliki cara berpikir yang kadang berbeda dengan kebanyakan orang. Tapi, ia meyakini bahwa apa yang kakeknya ucapkan itu tidak lain untuk kebaikan dirinya. Setelah kesana-kemari mencari pekerjaan, ia pun diterima di sebuah toko intan milik saudagar kaya asal Kota Berintan, Kota Martapura, Haji Syamsuddin.

Ia teringat awal dari jejak kakinya di Kota Malang ini. Itu bermula dari sebuah amanah yang diembankan oleh Pak Haji Syamsuddin. Kala itu ia ditempatkan bekerja sebagai salah satu penjaga toko intan milik Pak Haji yang ada di Martapura. Semen-jak Haji Syamsuddin mengetahui bahwa ia adalah cucu dari H. Abdul Ja’far, yang tak lain adalah teman akrab abah dari Haji Syamsuddin sendiri, maka berubahlah hubungan antara bos dan karya-wan itu menjadi kekerabatan layaknya paman dan keponakan.

Seiring berjalannya waktu, Pak Haji melihat jiwa entrepreneur20, kegigihan pemuda itu dalam bekerja dan pula kepiawaiannya dalam menarik pelanggan. Dan yang paling membuat Pak Haji kagum dengan pemuda itu adalah sikap amanahnya yang tak diragukan.

Pak Haji paham betul, dalam menjalankan bisnisnya bukan modal uang yang paling utama dibutuhkan. Bukan juga kerupawanan wajah yang

20 Wirausaha

17

diharapkan. Tidak pula sekedar tingkat pendidikan yang diperlukan. Bukan itu. Sekali lagi, tidak sekedar itu. Melainkan kejujuran. Karena kejujuran-lah Muhammad Saw. mampu menjalankan bisnis-nya tumbuh dengan begitu cepat. Karena kejujuran-nyalah seorang saudagar kaya, Khadijah, berani mengamanahkan perniagaannya kepada pemuda dari Tanah Mekkah itu. Karena kejujuranlah Rasulullah menjadi seorang yang dikenal terper-caya, disenangi, dipuji, dihormati, dan disegani, baik oleh kaum muslimin, maupun oleh musuh-musuhnya para kafir Quraisy. Karena kejujuran, sesuatu yang kadang terabaikan di zaman seperti sekarang, tetapi memiliki makna yang sangat besar, hingga bahkan Allah mengabadikannya dalam Kalam. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”21

Ya, dari kejujuran pemuda itulah timbul keinginan saudagar kaya itu untuk menguliah-kannya ke Tanah Jawa ini. Hingga akhirnya jadilah ia seperti sekarang ini. Menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Malang. Dan itulah sebab mengapa ia jadi bimbang dan bingung antara menerima atau menolak permintaan orang yang sangat berjasa menyekolahkannya itu. Yang ia pikir saat ini adalah, ia benar-benar tak pantas untuk menerima perjodohan itu.

21 QS. Al Anfal: 27a

18

Sebab, ia rasa masih banyak orang-orang yang lebih pantas untuk menjadi suami dari putri Pak Haji itu ketimbang dirinya. Apalagi ia dengar sudah sangat banyak orang yang badatang22 ke rumah Haji Syamsuddin untuk melamar putrinya itu. Namun, masih tak ada satu pun yang beliau terima pinangan mereka. Entah karena apa. Setiap ada pinangan yang ditolaknya, Pak Haji hanya bilang kalau ia masih belum pas dengan pemuda-pemuda yang melamar Amelia. Ia sendiri tak tahu pemuda seperti apa yang diinginkan Pak Haji. Dan permintaan Pak Haji akan dirinya, semakin menambah tanda tanya di dalam benaknya.

“Apakah gerangan yang sebenarnya diingin-kan Pak Haji dari pemuda sepertiku?”

Ia membuka matanya perlahan setelah seseorang memegang bahunya dengan lembut. Pak Zaini. Beliau adalah takmir masjid ini, Masjid Al-Azizah.

“Assalamu’alaikum?” sapa Pak Zaini dengan senyum hangat yang senantiasa menghiasi kesehariannya.

“Wa’alaikumsalam…” ia mengangguk sambil membalas senyum ramah dari Pak Zaini.

22 Melamar anak perempuan

19

Dan lelaki paruh baya itu berlalu dari pandangannya. Kebiasaan lelaki yang selalu mengenakan peci putih itu memang menyalami setiap orang yang ada di dalam masjid kala ia akan pulang dari masjid ini.

Ia pun bangkit dari duduknya, sambil membenarkan posisi sorban kasmir yang ia kenakan. Ia berjalan keluar masjid. Matanya masih terasa berat. Sepertinya ia kurang tidur beberapa hari ini. Kemarin, ia berada di tempat rental komputer sejak jam empat sore hingga jam sepuluh malam. Ia dituntut oleh pemilik rental untuk harus menyelesaikan pesanan ketikan dari pelanggannya yang katanya ingin berangkat kerja ke Saudi sebagai TKI besok lusa. Sehingga berkas yang dilimpahkan kepadanya harus segera selesai kemarin.

Sudah satu tahun lebih ia bekerja sebagai tenaga upahan pengetikan di Rental Rahayu yang berada tak jauh dari kampus UIN Maliki. Sebelum-nya ia bekerja di Warnet Dinoyo, seberang Universitas Brawijaya. Meski ia mendapat tang-gungan hidup oleh Pak Haji Syamsuddin selama kuliah di sini, tapi ia tak ingin jika terus memberatkan Pak Haji kala ia butuh tambahan uang untuk keperluan lain. Maka yang ia harus lakukan tak lain adalah kuliah sambil bekerja. Ia juga bekerja di Dinoyo Printing, di bagian penyablonan. Alhamdulillah, hasil dari peker-jaan itu cukup untuk menutupi biaya hidup dan kuliahnya di Malang.

20

Ia hanya menggunakan uang yang dikirimi Pak Haji di saat ia benar-benar membutuhkannya. Selama tak ada keperluan mendesak, uang itu ia biarkan diam di dalam rekening tabungan miliknya. Ia berniat jika nanti memang uang itu tak ia gunakan, ia akan kembalikan uang itu kepada Pak Haji. Ia tak nyaman jika harus terus bergantung hidup kepada orang lain yang bukan siapa-siapa baginya.

Ia mempercepat langkah kakinya. Ia harus segera pulang dan mengganti pakaiannya. Hari ini ia harus pergi ke Bazar Kuliner Nusantara yang diadakan di Universitas Brawijaya. Kemarin lusa, ia dimintai bantuan oleh temannya, Ghufran untuk mendesain tata ruang stand sate Madura milik temannya yang memang asli keturunan Madura itu. Dengan dingin yang terus mengepung, ia mengeratkan sorban kasmirnya, mencegah agar hawa dingin tak masuk menusuk raganya yang terus menggigil sejak tadi. Tanpa mempedulikan pasukan kuning, para petugas sampah kota Malang yang mulai bergerak membereskan kumpulan sampah di sepanjang Jalan MT Hariono, ia melarikan diri dari hawa dingin yang terus menyerang kulitnya.

***

21

۞ Part 2

Sebuah Insiden

Matahari semakin merangkak naik ke atas menuju ufuk. Itu artinya waktu Dzuhur sudah hampir tiba. Ia terus mempercepat langkah kakinya. Hawa di atas aspal jalanan menjadi kian panas dan terasa benar-benar tak mengenakkan. Nampak jalanan di sekitar simpang empat yang berhadapan langsung dengan pintu gerbang Universitas Brawijaya itu macet total. Untungnya segera ada petugas yang menangani masalah itu.

“Syukurlah tak ada insiden yang terjadi” pikirnya.

Baru saja ia mengucap dalam hati seperti itu, tiba-tiba,

“Sreeeeet, Dekkk…”

22

Terdengar suara tabrakan tak jauh dari dirinya berjalan. Ia menoleh segera dan bergerak menuju tempat kejadian. Kontan, ia segera mempercepat langkah kakinya.

Ia lebih dulu sampai di tempat kejadian daripada Polantas yang berada di tengah ramainya jalan karena terjebak kemacetan.

Mobil pelaku tabrakan terus berusaha menerobos kemacetan. Dari pos polisi, seorang petugas lain berusaha mengejar mobil pelaku.

Segera ia mengamankan barang-barang korban yang pingsan. Ia sontak teringat kejadian tabrakan yang hampir sama dengan yang ia alami sekarang, dimana ada orang-orang yang mencuri-curi kesempatan di balik sebuah kejadian dengan berpura-pura ingin menolong, padahal mencuri barang si korban.

Ia lihat korban tabrakan itu tengah pingsan. Mungkin ia shock dengan apa yang baru saja dialaminya. Gadis muda, lebih muda darinya. Ia lihat di samping korban yang pingsan itu ada gadis lain yang nampak sangat cemas.

“Mbak, temennya?” tanya ia kepada gadis yang tadi sempat berteriak minta tolong itu.

Gadis itu tak menjawab. Ia hanya meng-anggukkan kepalanya dengan mimik cemas.

23

“Cepat amankan tas Mbak ini dan barang-barang lainnya!!!” ia setengah berteriak melawan suara klakson-klakson mobil yang entah kenapa tiba-tiba bersahutan.

Gadis itu langsung mengambil tas sahabat-nya yang pingsan beserta alas kaki sahabatnya yang sempat terlepas sebelum pingsan. Ia langsung menggendong gadis itu dan membawanya ke tepian jalan. Awalnya ia sempat ragu untuk menggendong tubuh gadis yang tengah pingsan itu, sebab baginya, mereka berdua bukan muhrim23. Tapi, karena ini keadaan darurat, mau bagaimana lagi.

Tak lama setelah menggendong gadis itu ke tepian, ia lihat sebuah taksi yang tengah lewat. Taksi itu pun berhenti sesaat setelah ia melambaikan isyarat. Sejurus ia mengangkat perempuan pingsan itu ke dalam taksi.

“RSI Dinoyo, Pak?” ucapnya kepada si sopir.

“’Geh, Mas…” Balas Pak Sopir.

Sang sopir sepertinya paham dengan keadaan yang sedang terjadi. Ia langsung tancap gas melaju menerobos kemacetan.

23Muhrim = orang yang tidak boleh dinikahi, bersentuhan hukumnya mubah (bukan muhrim = Boleh dinikahi, maka bersentuhan hukumnya haram)

24

Ia nampaki, gadis yang kini tengah bersama-nya di dalam taksi itu nampak gusar. Wajahnya menandakan kalau ia sangat cemas. Mungkin ia takut sahabatnya yang pingsan itu kenapa-napa. Ia turut bisa merasakan kecemasan gadis yang duduk di kursi belakang taksi sambil memangku sahabat-nya yang tengah pingsan itu.

“Apa gadis itu tidak apa-apa? Semoga saja ia baik-baik saja.” gumamnya.

Tak lama berselang, mereka sampai di depan Rumah Sakit Islam UNISMA Dinoyo. Ia segera membuka pintu mobil lalu turun dan mengangkat kembali gadis pingsan itu. Ia yakin, sahabat dari gadis yang pingsan itu tak sanggup mengangkatnya seorang diri. Pak sopir pun jua tak ketinggalan peran. Sopir separuh baya yang mengenakan baju dinas kebanggaannya itu pun ikut turut serta membantu mereka.

“Jangan lupa barang bawaan kalian.” ucap-nya sambil mengangkat gadis yang pingsan itu.

Gadis itu mengangguk, tak berucap sepatah pun. Ia segera mengambil tas dan kantong plastik hitam bawaan mereka berdua.

Di depan pintu masuk RSI, nampak dua orang petugas perempuan muda berseragam serba putih menyambut mereka. Gadis pingsan itu langsung diangkat dan dibaringkan di atas ranjang beroda, lalu

25

dibawa masuk ke sebuah ruangan untuk diperiksa. Ia dan sahabat gadis itu turut menggiring. Saking cemasnya, gadis yang bersamanya itu tak sadar lagi dengan sopir yang menggiring mereka. Ia paham kalau si sopir itu menunggu haknya dipenuhi. Dengan cakap ia mengambil dompetnya di saku belakang celana, lalu menyerah-kan selembar uang kertas di antara dua lembar uang kertas lima puluh ribuan yang masih tersisa di dompetnya secara diam-diam, tanpa sepengetahuan gadis yang tengah cemas itu. Sopir berwajah agak seram dengan jabis tebal dan kumis hitam yang berkelebat tak rapi itu segera pamit setelah menerima uang darinya.

Di tempat itu, kini hanya tersisa ia dan seorang gadis yang tengah cemas menunggu kabar dari dokter tentang sahabatnya yang tengah pingsan. Sesekali gadis itu menatap ke arahnya. Wajah gadis itu mengisyaratkan hati yang dipenuhi sejuta tanya. Gadis itu melihat ke arah jam tangan-nya sambil selayang menatap kembali ke arahnya, pemuda yang baginya tentu asing. Mereka berdua tak saling bicara. Hanya diam, terpaku, sambil menunggu kabar gadis yang sedang berada di dalam ruang periksa.

Tak lama berselang, dokter yang menangani gadis pingsan itu pun keluar dari ruangan. Gadis muda berkerudung biru tua yang tengah cemas itu langsung mendekat menghampiri Bu Dokter. Wajahnya nampak masih lusuh karena cemas yang teramat. Bu Dokter yang meski dengan kerudung putih sederhana namun tetap memancarkan aura ayu-nya itu memegang bahu

26

gadis yang masih nampak cemas itu, berusaha menenangkan sang gadis.

“Bagaimana keadaan sahabat saya, Dokter?” gadis itu bicara dengan nada cemas. Raut mukanya layu, suaranya bergetar, dan gerak tubuhnya mengisyaratkan kegundahan besarnya.

“Alhamdulillah, ia tidak apa-apa. Cuma luka lecet dan sedikit shock, sehingga dia pingsan. Kalau boleh tau, Mas ini suaminya, ya?” tanya Dokter sambil menatap ke arahnya.

Ia tersentak kaget. Gadis yang berdiri di sebelahnya itu ikut menatap ke arahnya.

“Bukan, Dok. Kita temannya.” jawab ia sekenanya.

“Ooo… Nanti kalau sudah siuman, dia bisa langsung keluar.” ucap Dokter itu tenang.

“Terima kasih ya Dok, atas bantuannya?” sahut gadis berkerudung biru itu.

“Sama-sama, Mbak…” jawab Dokter dengan ramah sambil tersenyum.

“Mmm… Sekarang boleh kami masuk, Dok?” tanya gadis itu lagi.

27

“Oh iya… Silakan, Mbak…!” balas Bu Dokter sebelum berlalu dari hadapan mereka.

Gadis itu pun bergegas masuk ke dalam ruangan tempat sahabatnya yang tengah pingsan itu diperiksa. Entah kenapa ia jadi turut penasaran dengan keadaan gadis yang ia tolong itu. Ia berjalan masuk mengikuti langkah gadis yang mulai luluh rasa cemasnya setelah mendapat kabar baik dari dokter barusan.

Di tempat tidur, nampak seorang gadis yang masih tak sadarkan diri. Matanya masih terpejam. Kerudung gadis itu sedikit tak karuan. Peluh keringatnya bercucuran. Mungkin karena kepanasan dan suasana di ruangan ini memang cukup pengap. Ia mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Hatinya ragu untuk menatap gadis itu berlama-lama.

“Gadis itu bukan muhrim-ku…” hatinya berucap.

Iapun menghidupkan kipas angin yang tersedia di ruangan itu dan mengarahkannya kepada gadis yang tengah pingsan itu.

Sesaat berlalu, gadis cemas itu berucap sesuatu, “Terima kasih banyak ya Mas, udah menolong kami…” Suaranya masih terdengar sayu.

Mendengar ucapan gadis itu, iapun tersentak dari lamunannya.

28

“Iya, sama-sama…” jawabnya singkat.

Gadis itu kembali terdiam. Diam. Mereka saling terdiam. Beberapa saat, baru gadis yang mengenakan gelang kayu fuqah24 di tangan kanan-nya itu kembali bersuara.

“Mmm… Maaf, Mas… Kalau boleh tahu, Mas ini namanya siapa, ya? Maaf, kita belum saling kenal kan?” Gadis itu setengah menunduk, mungkin ia malu dengan pertanyaannya barusan.

“Oh, maaf…” Ia jadi sedikit salah tingkah. Ia tak berpikir kalau gadis itu akan menanyainya soal nama. Itu karena baginya mungkin hanya kali ini mereka bertemu. Toh, nanti mereka akan berpisah dan tak tahu lagi siapa aku dan kalian. Lalu apalah arti sebuah nama?

“Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Rasyid. Mbak?” Ia tersenyum sambil menyedekapkan tangannya ke dada. Gadis itu turut pula menyedekapkan tangannya ke dada.

“Saya Rahma Wati, dan yang terbaring ini teman saya, namanya Fatimah Az-Zahra. Sekali lagi terima kasih ya, Mas… Udah nolongin kami. Kami jadi ngerepotin Mas…” ucap gadis itu pelan. Wajahnya dipenuhi keringat. Suaranya masih terdengar bergetar.

24 Jenis kayu yang biasa dijadikan bahan kerajinan perhiasan

29

“Ndak apa kok, Mbak Wati. Kebetulan tadi saya pas mau pulang, jadi sekalian bantu Mbak…” ucapnya mengimbangi volume suara gadis itu dengan pelan.

“Kalau boleh tahu, bagaimana kejadian sebenarnya sehingga Mbak itu keserempet mobil?” Kali ini ia yang penasaran tentang peristiwa yang sebenarnya tengah terjadi.

Gadis bernama Wati itu membenarkan letak kerudungnya. Dengan menghela nafas panjang terlebih dahulu, ia menceritakan kejadian yang baru saja menimpa mereka berdua.

“Tadi, sehabis dari Bazar itu, rencananya kita mau pulang. Jadi, kita berdua berjalan menyisir pinggiran trotoar sambil mencari angkot. Kemudian, tak sengaja teman saya ini melihat seorang pengamen, anak perempuan, mungkin lima tahunan umurnya. Pengamen itu jalannya terlalu ke tengah. Lalu tiba-tiba, teman saya ini melihat ada mobil yang datang dari belakang. Sepertinya anak kecil itu tak menyadari keberadaan mobil itu. Lantas teman saya ini langsung bergegas memeluk dan menyelamatkan anak kecil itu. Dan akhirnya, ya... seperti ini lah Mas jadinya…” ucapan gadis itu terhenti. Rasyid tak menyahut, hanya diam.

“Mudah-mudahan teman saya baik-baik saja…” lanjut gadis itu lirih.

30

“Amin… Seperti apa kata Bu Dokter tadi, mungkin Mbak ini cuma shock ringan dan pingsan. Nampaknya tak ada luka yang parah. Insya Allah dia akan baik-baik saja.” balas Rasyid mencoba mene-nangkan perasaan gadis berkerudung biru tua itu.

“Amin… Mmm… Kata Mas tadi, sekalian mau pulang ya? Memangnya rumah Mas dimana?” Wati bicara dengan suara pelan. Ia khawatir jika suaranya nyaring akan mengganggu temannya yang tengah pingsan itu.

Rasyid tersenyum tipis. ”Sebenarnya, saya bukan asli orang Malang. Jadi, saya tidak punya rumah di sini. Saya tinggal di asrama.” balas Rasyid sambil menatap kipas angin yang dari tadi menggeleng-gelengkan lehernya di hadapannya.

“Asrama? Asrama pondok pesantren? Dimana?” Gadis yang memperkenalkan namanya Wati itu nampak penasaran.

“Bukan pesantren. Tempatnya di belakang Rumah Sakit ini, dekat dari sini kok. Tepatnya di seberang SDN 4 Dinoyo itu lho, Mbak. Asrama Mahasiswa Kalimantan.”

Gadis bernama Wati itu nampak mengeluar-kan ekspresi setengah kaget.

“Ooo... Maksudnya Asrama Mandastana itu? Mas orang Banjar ya?” Gadis bernama Wati itu lalu

31

tersenyum gemilang. Ia tidak menyangka orang yang menolongnya itu adalah orang Banjar. Orang satu daerah dengan dirinya.

“Iya, Mbak. Mbak orang Banjar juga ya?” balasnya.

“Geh… Wah, kebetulan banget ya…” Wati pun tersenyum.

“Iya… Mmm, tapi sepertinya saya harus pulang dulu ya, Mbak? Soalnya ada urusan lain sedang menunggu. Tak apa kan saya tinggal?” balas Rasyid.

“Tak apa, Bang… Sekali lagi, terima kasih banyak sudah menolong kita. Maaf sudah merepotkan? Hati-hati di jalan lah, Bang?”

Wati memanggil Rasyid dengan panggilan Abang setelah ia tahu kalau pemuda itu orang satu daerah dengannya.

“Iya… Sama-sama… Assalamu’alaikum?” Rasyid melangkah keluar dan berlalu.

“Wa’alaikumussalam…” balas Wati dengan mata terpana. Ia benar-benar tak mengira pemuda yang menolong mereka itu adalah orang satu daerah dengan dirinya.

32

Sejurus Rasyid meninggalkan kedua gadis itu. Ia melangkahkan kakinya keluar, menuju pulang. Hari ini ia harus segera merevisi naskah skripsinya sebagaimana yang telah diarahkan Ibu Sri Wahyuni, dosen pembimbingnya.

***

Tak berapa lama setelah pemuda asing yang memperkenalkan dirinya ‘Rasyid’ itu menghilang, gadis pingsan itu mulai siuman. Tubuhnya masih terasa sedikit kaku. Lututnya terasa agak perih kala hendak digerakkan. Ia buka sesaat roknya yang berwarna cokelat tua itu hingga lutut. Rupanya ada luka lecet yang mengiris di bagian depan lutut kanannya.

“Dimana kita, Ti?” gadis itu berusaha bersuara dengan seraknya. Kepalanya terasa agak berat.

Wati tiba-tiba tersentak dari lamunannya. “Kamu sudah siuman, Dang25? Kita ada di RSI UNISMA, di daerah Dinoyo.” jawab Wati.

Ia segera mendekati temannya yang tengah mulai sadar. Wati segera duduk di samping temannya yang terbaring lemah itu.

25 Dang (singkatan dari kata “Idang”) = Sapaan orang Banjar untuk anak kesayangan

33

“Apa yang terjadi, Ti? Kok kita bisa ada di Rumah Sakit?” Peluh gadis itu masih membasahi sebagian wajahnya. Penglihatannya terasa sedikit kabur.

“Tadi kamu pingsan setelah terserempet mobil. Tapi, untungnya ada pemuda yang nolongin kita dan membawa kamu ke sini.”

“Ooo…” Gadis itu berusaha bangkit dari tempat tidurnya, tapi kakinya masih sedikit sakit saat akan digerakkan.

“Kamu jangan gerak-gerak dulu, Dang!? Kakimu masih sakit.” cegah Wati melihat temannya itu yang berusaha bangkit dari tempat tidurnya.

”Pemuda? Siapa?” Gadis itu malah bertanya.

“Namanya Rasyid, dan tau tidak, Dang? Ternyata dia juga orang Banjar. Ia tinggal di Asrama Mandastana, belakang Kantor Polisi Dinoyo itu lho? Dari tampangnya, sepertinya sih dia mahasiswa senior.”

“Mmm… Trus, anak kecil tadi bagaimana?”

“Alhamdulillah, dia tak apa-apa. Udahlah, Dang… Kamu pikirkan keadaanmu aja dulu. Kamu ini sedang di Rumah Sakit, tapi masih sempat-sempatnya mikirin orang lain, sedang kamu sendiri saja tadi baru habis pingsan.” Wati menggelengkan kepalanya.

34

“Syukurlah, Ti… Kalau anak kecil itu baik-baik saja. Tapi, sekarang mana pemuda itu? Siapa namanya tadi?” Ia berusaha mendudukkan dirinya di atas kasur Rumah Sakit itu.

“Abang Rasyid. Dia sudah pulang. Katanya ada urusan lain. Dari gelagatnya, sepertinya dia orang yang sangat sibuk.”

“Ooo…” balas sahabatnya itu dingin.

Setelah benar-benar merasa nyaman, gadis yang tadi pingsan itu minta izin check out dari RSI.

Mereka berdua ingin cepat-cepat pulang karena khawatir orang rumah sudah menunggu mereka berdua. Kini gadis yang barusan shock itu terlihat sudah lebih baik dan sudah mulai bisa menggerakkan anggota badannya dengan bebas. Setelah beberapa saat berada di Rumah Sakit itu, Wati lantas melapor kepada dokter yang menangani sahabatnya bahwa mereka ingin segera pulang. Wati segera membawa sahabatnya itu beranjak dari Rumah Sakit.

“Mbak, ini kita mau check out. Jadi, berapa biaya perawatannya tadi, Mbak?” tanya Wati kepada seorang perawat penjaga bagian Administrasi Rumah Sakit.

“Mbak yang pingsan korban kecelakaan ringan tadi ya?” tanya penjaga itu tersenyum sembari melihat catatan administrasi di tangannya.

35

“Iya Mbak, atas nama Fatimah Az-Zahra.” jawab Wati. Zahra hanya diam dan berdiri di samping Wati.

“Sudah dibayar, Mbak, sama Mas yang tadi…” Perempuan penjaga bagian administrasi Rumah Sakit itu kembali tersenyum dengan menampakkan manisnya lesung pipi yang menghiasi wajah cantiknya.

“Oh gitu ya, Mbak? Kalau gitu, makasih banyak ya, Mbak…” balas Wati.

Wati menoleh ke arah Zahra. Zahra seolah memberikan ekspresi penasaran. Tapi, Wati hanya menggelengkan kepalanya tanda tak tahu apa-apa. Gadis dengan tahi lalat di ujung alis kanannya itu kini jadi penasaran dengan pemuda yang menolongnya dan membawanya ke RSI itu, bahkan sampai membiayai Rumah Sakit segala. Siapa sebenarnya pemuda yang menolongnya itu? Ia belum pernah menemukan pemuda sebaik itu. Dan ia belum sempat menyampaikan terima kasih kepada pemuda itu.

“Subhanallah…” bisiknya.

***

36

۞

Part 3

Ngalor Ngidul

Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Ia masih sibuk dengan kertas-kertas yang berhamburan ke sana ke mari di dalam kamar-nya sejak habis Isya tadi. Besok lusa adalah hari dimana ia harus mempresentasikan proposal skripsinya. Hari ini ia sudah harus segera menyelesaikan proposal itu agar target lulus bulan Februari tahun depan bisa ia capai.

Beberapa hari ini ia tak memiliki banyak waktu untuk merampungkan revisian-revisian skripsi yang dimintakan oleh Bu Sri Wahyuni. Waktunya sepenuhnya ia habiskan di Rental Rahayu dan di Dinoyo Printing untuk memenuhi semua permintaan pelanggan. Beberapa saat, kertas-kertas print out yang berisi tulisan dengan coretan-coretan tinta revisian itu ia kumpulkan jadi satu. Perlengkapan tulis dan buku-buku yang berserakan di sekelilingnya mulai ia rapikan

37

dan ia letakkan ke rak-rak buku. Rasyid keluar kamar, berjalan menuju keran ledeng asrama untuk mengambil wudhu. Ia mengambil Al-Qur’an lalu membacanya beberapa ayat, lalu shalat witir tiga rakaat.

Usai shalat, ia merebahkan diri di atas kasur sambil membaca ayat kursi dan do’a sebelum tidur. Waktu berjalan, dua jam telah berlalu. Entah mengapa hingga jam dua belas malam ini ia masih tak bisa memejamkan matanya. Dan tak lama, tiba-tiba saja perutnya terasa keroncongan. Hari ini ia sangat sibuk dengan pekerjaan hingga melupakan hak perutnya. Ia lupa kalau sejak siang sepulang dari menolong orang yang tak ia kenal, ia belum makan. Terakhir ia makan adalah pagi tadi di Warung Nasi Pecel Tumpang milik Bu Sri langganannya yang berada di depan komplek MT Hariono XVII.

Ia jadi teringat suasana Warung Pecel Bu Sri yang tadi pagi padat diserbu langganannya. Warung Pecel Bu Sri adalah salah satu warung pecel yang paling terkenal di daerah Jalan Dinoyo. Selain harganya yang sesuai dengan saku mahasiswa, seperti dirinya, memang nasi pecel buatan Bu Sri itu juga beda daripada yang lain. Sambal khas tumpangnya terasa pedas dan juga gurih. Hampir setiap hari Warung Bu Sri itu dikerumuni pengunjung. Warung itu buka dari pagi jam setengah delapan sampai dagangan habis, biasanya sekitar jam sepuluh pagi. Tadi pagi saja hampir ia kehabisan nasi pecel kesukaannya itu. Untungnya Bu Sri sudah paham kalau Senin pagi itu Rasyid pasti ke

38

warungnya. Sehingga beliau sengaja menyisihkan satu porsi untuknya.

Sesaat lama ia berpikir, iapun akhirnya beranjak dari pembaringannya. Ia putuskan ia harus pergi keluar untuk membeli makan dengan berjalan kaki. Ia segera mengambil jaketnya dan menge-nakan celana training-nya yang tebal supaya ia tak kedinginan ketika berjalan di luar sana. Ia khawatir jika tak memakai jaket dan celana training-nya yang tebal itu, ia akan terserang demam dan flu.

Dan, “Buussshhh…!!!”

Angin semilir melalu tanpa sopan santun di wajahnya sesaat setelah ia membuka pintu kamarnya. Udara di luar memang sangat dingin. Tak salah dugaannya. Dari depan kamarnya, ia bisa melihat dari balik kaca besar yang menjadi dinding ruang utama asrama, tiga sosok punggawa yang masih terjaga. Nazwar, Anshar, dan Khairi, mereka nampak masih asyik menonton acara sepak bola. Entah tim apa yang sedang bertanding. Ia hanya bisa melihat kostum merah dan kuning dari salah seorang pemain masing-masing tim.

Ia diam sesaat sambil memerhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan tepat dugaannya. Ketiga temannya itu nampak mengeluarkan ekspresi keke-cewaan secara serempak karena bola yang ditendang oleh salah seorang pemain melenceng dan tak bisa berbuah gol.

39

“Pemainnya yang salah, malah mereka yang kecewa berjuta ampun.” gumamnya.

Rasyid tersenyum sendiri melihat keakraban ketiga orang temannya itu. Dari semua penduduk asrama, memang mereka bertigalah yang paling tergila-gila dengan yang namanya sepak bola. Hingga sering mereka bertiga semalaman suntuk tak tidur, begadang bertemankan kopi dan kue kering di meja ruang utama sambil menunggu acara sepak bola yang akan disiarkan dekat dengan Subuh. Apalah yang mereka pikirkan. Rasyid sendiri tak tahu. Padahal, sebenarnya bisa saja jika mereka tidur dulu, baru nanti bangun untuk shalat Tahajjud, sekalian menonton acara kegemaran mereka itu.

Tak lama berselang dari kekecewaan mereka, tiba-tiba terdengar teriakan gembira mengu-mandang dari ketiga orang yang asyik menonton bola itu. Bisa ia tebak, ketiga orang yang asyik menonton sepak bola itu menjagokan tim yang sama. Hingga saat baru saja gol tercipta, ketiga orang itu bersorak kegirangan bersama-sama.

“Hey, Anak Muda…!!! Jangan terlalu keras teriaknya. Nanti Bu Marli sama Mas Parjo di rumah sebelah marah…!!!” tegur Rasyid agak keras.

Sontak ketiga orang yang sedang asyik menonton pertandingan sepak bola itu menoleh ke arahnya. Rupanya mereka baru menyadari keberadaan

40

Rasyid yang berdiri di balik jendela kaca ruang utama sejak tadi.

Rasyid jadi teringat saat digelar piala dunia 2006 silam. Kala itu asrama jadi sangat ramai dengan euphoria acara empat tahunan itu. Bahkan, yang tak senang menonton acara sepak bola juga ikut-ikutan berumbuk di ruang utama asrama untuk menonton ajang sepak bola terakbar sedunia itu. Mata mereka menatap serempak semuanya ke arah televisi, sambil menyaksikan tim-tim yang mereka jagokan bermain. Demam sepak bola itu tak luput jua menyerang dirinya. Kala itu Rasyid menjagokan Argentina sebagai kandidat juara. Namun sayang, tim yang dijagokannya itu tumbang akibat kalah pinalti dengan tuan rumah, Jerman. Hendra yang kala itu mendukung Jerman senangnya bukan main. Anak itu berteriak-teriak meluapkan eskpresi kegembiraannya karena telah merasa menang melawan Rasyid.

Kala itu pula, saat Hendra berteriak kegira-ngan karena timnya masuk semi final, tanpa sadar ia telah lepas kendali. Rupanya suaranya terlampau sangat nyaring hingga terdengar oleh Mas Parjo, pemilik rumah sebelah. Apalagi kala itu pertandi-ngan disiarkan di atas jam dua belas malam. Seketika itu terdengar benturan di genteng asrama karena ada yang melempari dengan batu tiga kali berturut-turut, diiringi suara teguran dengan nada serak.

41

“Menneng woy...!!! Iki wes tengah malem…!!! Ora mikir ah kon…!!!”26

Sontak semuanya terdiam dan lari ke kamar masing-masing. Tanpa melihatpun, penduduk asra-ma sudah tahu dan kenal betul pemilik suara serak kasar itu. Itu pasti suara Mas Parjo. Pemilik rumah yang tepat bersebelahan dengan asrama. Semua penghuni asrama sempat gugup waktu itu. Sebab mereka kenal betul siapa Mas Parjo, mantan preman terminal yang badannya sangat besar, tinggi, dan bertato naga di lengan kanannya. Kumisnya kering mengeriting, membuat takut orang yang baru mendapat kesan pertama bertemu dengannya. Untungnya saat besoknya, Mas Parjo senyum-senyum saja sambil menyapa Rasyid di depan pagar asrama, kala ia ingin berangkat ke kampus. Sambil berucap, “Timnya kalah ya tadi malam?” sapa Mas Parjo dengan senyum mengembang. Senyum yang memudarkan kesan seram di wajahnya.

“Inggih, Mas… Hehe... Sepurane yo Mas, sing maeng bengi…?”27 Balas Rasyid ramah.

“’Ra popo, Le… Biasa iku, arek-arek enom...”28 sahut Mas Parjo.

26 Tenang woy...!!! Ini sudah tengah malam…!!! Tidak berpikir ya kamu itu…!!! 27 Iya, Mas… Hehe… Maaf ya mas yang tadi malam.

42

Untunglah mantan preman itu tak marah kepada dirinya dan kawan-kawan seasrama. Tapi, berkat kejadian itu, si Hendra terpaksa harus mengganti genteng-genteng yang pecah akibat lemparan batu Mas Parjo, sebagai hukuman ia terlalu nyaring berteriak tadi malam. Akhirnya si Hendra kena batunya sendiri.

“Mau kemana, Bang? Kok pakai jaket segala?” tanya Anshar dari ruang utama.

“Cari makan…” jawab Rasyid sambil merasuk kedua sandal jepitnya di teras asrama.

“Aku nitip ya, Syid?’’ sahut Nazwar.

“Tak mau aku… Kalau mau, ikut aku saja temani keliling Dinoyo, cari keringat…” jawab Rasyid sambil mengeratkan kancing jaketnya.

“Jalan kaki?” sahut Nazwar.

“O yi…” jawab Rasyid.

“Nanggung nih, lagi seru…” sahut Nazwar lagi.

“Yo wes lah...” balas Rasyid dan beranjak dari tempatnya berdiri.

28 ‘Gak papa, Le… Biasa itu, anak-anak muda…

43

“Eh tunggu… Aku ikut, Syid… Sekalian aku mau bicara sama kamu…” Nazwar setengah berlari menghampiri Rasyid. Akhirnya, temannya itu mau juga menemani dirinya jalan-jalan mencari makan ke luar komplek di tengah malam dingin seperti ini.

“Kita makan dimana, Syid?” tanya Nazwar.

“Di Nasi Goreng Endud aja ya? Soalnya Nasi Goreng Bata Merah sedang tutup. Orangnya pulang kampung” jawab Rasyid menyebut dua warung nasi goreng langganannya.

Orang-orang yang tinggal di Asrama Mandastana memang sudah menjadi langganan tetap dua warung nasi goreng Dinoyo. Kalau tidak Endud, ya Bata Merah. Hanya sebagian yang suka membeli nasi goreng AE yang mangkal dekat Apotik Dinoyo.

Mereka menyebutnya Nasi Goreng Endud karena memang pedagang nasi goreng itu berbadan bulat, gemuk, dan kulitnya hitam legam. Sebab, pedagang nasi goreng itu adalah orang daerah timur Indonesia. Kalau tak salah, ia orang Maluku. Sepertinya cuma Mas Endud itu yang satu-satunya pedagang nasi goreng asal Maluku. Biasanya banyak sekali orang-orang Timur yang datang tengah malam ke gerobak nasi gorengnya. Kalau mendengar pedagang nasi goreng bercakap kepada pelanggannya dengan bahasa Jawa, itu sudah biasa. Tapi, dengan bahasa Maluku, sepertinya cuma ada di Jalan Dinoyo ini, di sudut

44

selatan lampu merah simpang tiga Jalan Gajayana, di kedai Nasi Goreng Endud.

Sedang dinamakan penghuni asrama dengan sebutan Nasi Goreng Bata Merah, karena memang penjual nasi goreng itu berdagang di depan toko milik orang penjual bata merah yang buka saat siang. Sedang malam hari, barulah pedagang nasi goreng itu yang mengisi lokasi itu. Kedua warung nasi goreng itu memang warung nasi goreng yang paling enak menurut Rasyid, di sepanjang jalan Dinoyo ini. Dan yang paling penting juga, harganya tentu murah, khas kantong mahasiswa seperti dirinya.

“Apa yang ingin kamu bicarakan, Naz?” lanjut Rasyid. Kedua pemuda itu berjalan keluar dari pintu gerbang asrama yang masih belum dikunci.

“Aku cuma mau minta tolong, Syid, tentang undangan rapat acara Aruh Ganal29 Kerukunan Keluarga Kalimantan yang akan diadakan di UIN, tiga bulan lagi. Jadi, aku minta tolong kamu sebarkan sebagian undangan itu kepada Ormada-Ormada Kaltim, dan Kalteng. Kan kamu yang punya link30 sama mereka? Aku sudah tanya sama yang lain. Tapi, mereka tak tahu kontak kawan-kawan dari Kaltim dan Kalteng itu. Jadi, untuk masalah ini, aku minta tolong sama kamu, ya?”

29 Halal Bihalal 30 Kontak/hubungan

45

jawab Nazwar sembari memasukkan kedua tangan-nya ke dalam saku celana.

Sebenarnya Nazwar adalah mahasiswa S2. Namun, usianya masih sangat muda bahkan lebih muda dari dirinya. Nazwar menyelesaikan S1-nya di FISIP Universitas Brawijaya cukup dengan empat tahun. Ia memang tergolong mahasiswa yang paling cerdas di antara mahasiswa yang tinggal di asrama. Ia juga seorang asisten dosen, sama sepertinya. Dan sekarang, ia kembali melanjutkan S2-nya di Brawijaya langsung setelah ia lulus S1.

“Iya kah? Ok… Tapi, ngomong-ngomong, memangnya tahun ini yang jadi panitia kita, Naz?” Rasyid menutup kepalanya dengan topi jaket yang ia kenakan. Udara Malang di malam hari memang terasa begitu dingin.

“Iya, Syid. Masa kamu ‘gak tau?”

“Yaa mana sempat aku tau… Aku kan sekarang sedang fokus sama kuliahku, jadi ‘gak ada waktu lagi buat ikut di organisasi kayak dulu…”

“Ooo begitu ya? Jadi, gini… Karena acaranya akan diadakan di Malang, maka yang jadi tuan rumah itu Perhimpunan Mahasiswa Kalimantan Selatan bekerja sama dengan Perhimpunan-perhimpunan yang dari Kalteng, Kaltim, dan Kalbar. Dan kali ini yang

46

ambil bagian sebagai Ketum31-nya, adalah aku, Syid.” Nazwar menjelas-kan.

“Ooo… Baguslah kalau begitu. Bisa jadi penambah pamor Mandastana di mata mahasiswa lain. Jangan malu-malauin ya, Naz? Hehe…” balas Rasyid sambil terus melangkahkan kakinya ke depan.

***

Angin semilir berlalu dengan lembay menyapa langkah kaki kedua pemuda yang tengah berjalan di kesunyian Jalan Dinoyo itu. Nazwar nampak kedinginan. Ia lupa mengenakan jaketnya. Ia beranjak dari asrama hanya dengan celana Levis seperempat kakinya.

“Kamu ‘gak bawa jaket, Naz?” tanya Rasyid.

“Lupa… He… Dingin sekali ternyata…” Nazwar menyedekapkan kedua tangannya ke dada, mencoba melawan rasa dingin yang menyerbu ke permukaan kulitnya.

Mereka berdua terus melangkah keluar dari komplek. Jalanan Dinoyo nampak melingai. Ruko-ruko

31 Ketua Umum

47

dan kios-kios yang buka sejak pagi tadi sudah tutup. Sangat berbeda dengan suasana di siang hari.

Jalanan sepanjang Jalan Dinoyo bisa diibaratkan jantung daerah Kecamatan Lowokwaru. Segala macam aktivitas dan mobilitas penduduk terjadi di sepanjang jalan ini. Sepertinya tak ada yang tidak tersedia di jalan penghubung Universitas Brawijaya dan Universitas Muhamma-diyah Malang ini. Mulai dari distro-distro, kios, apotek, klinik dokter spesialis, toko baju, toko tas, toko jahit, mini market, warnet, pedagang buah, lalapan, toko elektronik, travel, bank, ATM, dealer kendaraan, toko grosir handphone termurah se-Malang Raya, gereja, masjid-masjid, kantor polisi, pasar, pedagang jamu, bengkel, bahkan Rumah Sakitpun ada di jalan yang tidak begitu lebar ini. Semuanya lengkap dan tersedia di sepanjang pinggiran jalan. Tak heran jika sepanjang jalanan ini selalu ramai oleh manusia.

Berbeda sekali dengan suasana sekarang, waktu mulai menjajaki jam dua belas malam. Semua aktivitas mati total. Semuanya sudah menutup toko-toko mereka. Sepanjang pinggiran komplek MT Hariono XIII, mulai dari toko Sport Mania, Distro The Reds, Spyder Blues, Bandung Sport, toko Eiger, semua sudah tak bernyawa. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana. Pedagang Soto Lamongan yang berada tepat di seberang komplek MT Hariono XIII itu juga sudah mulai menutup warungnya. Diiringi pedagang keripik singkong yang mulai mendorong gerobaknya menuju pulang. Tapi, di warung sebelah barat Soto Lamongan itu, tepatnya bersebelahan dengan toko cuci cetak foto FUJI FILM,

48

kian ramai saja dikunjungi para Aremania. Warung Kopi AGP milik Cak Somad itu memang buka bila di atas jam sepuluh malam hingga Subuh.

Seperti malam biasanya, banyak merebak orang-orang yang datang ke warung kopi itu. Halaman warung itu nampak dipenuhi kendaraan-kendaraan roda dua. Dan sebagian manusianya menggelar tikar di trotoar pesisir Jalan Dinoyo, karena warung tak mampu lagi menampung manusia yang datang. Warung Kopi Cak Somad itu memang enak, tapi bukan warung kopi yang paling mantap di Malang hingga banyak diserbu pelang-gannya. Tapi, karena memang budaya orang Jawa suka dengan yang namanya Ngalor Ngidul. Mereka biasanya mendiskusikan berbagai macam hal, hingga kadang tak ada kaitannya antara pembicaraan sebelumnya dengan yang sesudahnya. Orang-orang itu bahkan mampu bertahan hingga Subuh, sambil ditemani kopi manis, sisha, gorengan, atau bila tidak roti bakar sebagai pelengkap obrolan hangat mereka. Rasyid dan Nazwar terus berjalan. Mereka tak menghiraukan keramaian di Warkop AGP.

Di dekat lampu merah, hanya Apotek Andhika, Warnet Extreme, dan kios kecil dua puluh empat jam milik Pak Karso yang masih buka. Bersebelahan tepat dengan gerobak Nasi Goreng Endud. Ia lihat gerobak si pedagang Cenil juga sudah tak ada lagi. Lampu merah di pertigaan juga nampak sudah tak lagi menggilir lampu merah, kuning kemudian hijau. Hanya nampak lampu kuning saja sekarang yang berkelap kelip.

49

Lampu lalu lintas itu memang sudah diatur sedemikian rupa. Pertanda ini sudah lebih jam dua belas malam.

“Oh iya Syid, kamu kenal dengan mahasiswi Banjarmasin yang sekarang kuliah di UIN?” Nazwar membuka wacana baru obrolannya.

“Siapa? Mahasiswi Banjarmasin yang kuliah di UIN itu banyak, Naz... ‘Gak cuman satu orang saja…” Rasyid mengernyitkan dahinya sambil memandangi Nazwar.

Nazwar tersenyum. “Ya, biasanya dia selalu berdua dengan temannya. Namanya kalau tidak salah Zahra. Tau kamu?”

“Yah, Nazwar… Mana tau aku soal perempuan, Naz? Coba tanya Anshar tuh, atau bila tidak si Hendra. Kok kamu malah tanya sama aku?” Rasyid memeluk badannya dengan kedua tangan-nya untuk menahan udara dingin yang membelai tubuhnya.

“‘Gak begitu juga, Syid. Sekarang kan si Zahra itu jadi buah bibir di kalangan mahasiswa kita. Siapa tahu aja kamu juga mengetahui dan ikut nge-fans sama Zahra. He… Memang sih, ku akui gadis itu beda dari yang lain. Dari penampilannya aja, Syid, jelas terlihat kalau dia itu ‘alim, shalehah. Pokoknya beda deh dari cewek-cewek zaman sekarang. Baru kali ini Syid, aku

50

melihat gadis sebungas32 itu. Subhanallah…” Wajah Nazwar nampak sumringah. Ia seolah membayangkan sesuatu.

“Istighfar, Naz…!!! Tak usahlah sampai berlebihan seperti itu kamu nih…!!!” Rasyid meng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu.

“Astaghfirullahal’adziiim… Maafkan aku ya Allah yang terlena dengan ciptaan-Mu yang cantik rupawan itu…” Nazwar menelungkupkan kedua tangannya ke depan mulut. Wajahnya menge-luarkan mimik seakan menyesali tingkahnya barusan. Rasyid kembali menggelengkan kepalanya.

“Tapi benar, Syid… Dia itu memang sangat cantik. Jujur saja, Syid, aku akui kalau aku jatuh hati sama gadis itu. Perangainya yang ramah, tutur katanya yang lembut, santun dan sopan, juga gaya berpakaiannya yang benar-benar berbeda dari yang lain, muslimah dan cantik buuaaanget… Sumpah, baru kali ini aku yang benar-benar mau melirik seorang gadis semenjak dua tahun lalu…”

Rasyid tersenyum melihat tingkah polah temannya itu. Baru kali ini ia lihat teman sebelah kamarnya itu mulai bicara masalah perempuan semenjak ditinggal pergi kekasihnya, Inna, yang kuliah di Bandung dua tahun silam yang belakangan ia

32 Secantik

51

ketahui kalau gadisnya itu selingkuh dengan laki-laki lain.

“Jujur, Syid… Aku sangat kagum dengan gadis itu… Apalagi aku dengar, ia putri seorang Kiai.” sambung Nazwar.

Tiba-tiba kening Rasyid mengernyit dengan sendirinya. Ia menatap ke arah Nazwar. Nazwar melanjutkan omongannya.

“Tapi, aku lupa mencari tahu dari pesantren mana? Baru kali ini aku melihat gadis secantik dia di Malang. Dan baru kali ini ada gadis yang bisa menggetarkan hatiku, semenjak ditinggal pergi Inna…” lanjut Nazwar.

“Kamu sudah kenal dengan gadis itu?” Rasyid penasaran.

“Belum, Syid, aku belum kenalan. Waktu itu ia pulang duluan di acara Muzakarah Mahasiswa Banjarmasin, saat pertama kali aku melihat dia.”

“Lha, lalu tahu bahwa dia ituuu… Siapa nama kedua gadis itu tadi?”

“Zahra dan Wati…” jawab Nazwar seketika dengan penuh semangat.

“Yang kamu suka?” tanya Rasyid lagi.

52

“Zahra…”

“Ya, Zahra… Tahu darimana kalau dia itu putri Kiai di Banjar?” Rasyid masih dengan ekspresi penasarannya.

“Dari Farda, ketua Himpunan Mahasiswi Banjarmasin…”

“Ooo…” balas Rasyid singkat. Ia meng-anggukkan kepalanya.

“Doa’akan aku ya, Syid… Semoga aku bisa mendapatkan gadis itu. Aku ingin serius dengan gadis itu. Sudah lama aku tak menemukan gadis yang bisa membuka hatiku yang sudah lama tertutup ini. Lagi pula, S2-ku kan sudah hampir rampung… Jadi, ya selanjutnya nanti langsung pulang ke Banjarmasin, cari kerja, dan menikah. Do’akan aku ya, Syid?”

“Jadi, kamu sudah semantap itu?” tanya Rasyid. Nazwar hanya mengangguk dengan mata yang berbinar penuh harapan.

“Insya Allah. Asal niatmu baik, aku selalu mendoakanmu… Sama-samalah kita saling men-do’akan…” Sambung Rasyid.

“Amin…” sahut Nazwar dengan tersenyum girang. Kedua pemuda itu sudah sampai di tujuan mereka. Rasyid langsung memesan dua nasi goreng dengan telur dadar.

53

“Agak pedas, Mas Endud ya?” pinta Rasyid.

Pedagang Nasi Goreng dari Maluku itu hanya mengangguk dengan senyum mengembang di wajahnya. Tangannya cepat dan piawai memainkan senjata yang digunakan untuk membuat nasi goreng spesial.

***

Rasyid dan Nazwar sudah selesai makan. Setelah membayar nasi goreng kepada Mas Endud, mereka berdua langsung bergegas pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30am.

Mereka sudah berada di depan pagar asrama. Sebelum masuk ke kamarnya, Rasyid mengeluarkan bak sampah yang ada di pekarangan asrama, biar besok pagi sampah-sampah itu dibuang oleh Laskar Kuning, petugas kebersihan kota Malang yang bergerak Subuh hari.

Selesai mengunci pagar, ia segera masuk ke dalam asrama, melarikan diri dari halauan udara dingin yang mencekam sepanjang perjalanannya. Matanya sudah sangat mengantuk setelah merasa kenyang. Ia segera masuk ke kamar, mematikan lampu, dan mengambil selimut hangatnya dan langsung ia halungkan ke seluruh tubuhnya. Rasyid berbaring dan memejamkan mata sambil kembali berzikir sebelum

54

terlelap. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Siapa tahu besok tak tentu ia kan kembali bangun. Siapa sangka ia dipanggil Tuhan seraya sedang nyenyaknya melelap.

Di tengah zikir, tasbih dan tahmid yang ia panjatkan dengan tsir33, tiba-tiba saja percakapan-nya dengan Nazwar saat makan tadi meraupkan pikirannya kepada gadis yang ia tolong tadi siang. Ia baru ingat kalau kedua gadis itu juga mahasiswi asal Banjar, sama seperti dirinya. Saat di Rumah Sakit itu, ia tak begitu menghiraukan kalau mereka bertiga dari daerah yang sama. Bahkan nama kedua gadis itu saja ia sudah lupa. Mungkin karena saat itu banyak sekali hal yang ia pikirkan, lantas ia tak begitu merespon dengan jelas setiap ucapan gadis itu.

Tiba-tiba saja timbul rasa penasaran tentang kedua gadis itu di hatinya.

“Sepertinya mereka berdua gadis yang berbeda dari mahasiswi pada umumnya, terutama dari gaya berpakaiannya. Tak pernah sebelumnya aku temui mahasiswi dari daerah yang sekarang kuliah di Malang ada yang terlihat seagamis itu. Apa kedua gadis itu yang dimaksud Nazwar? Apa mereka berdua itu dari alumni pesantren, sama seperti diriku? Kalau benar mereka yang Nazwar maksud? Lalu, yang manakah

33 Dalam hati

55

gadis bernama Zahra itu? Entahlah” gumamnya dalam hati.

Rasyid mengeratkan selimutnya dan menghamparkannya hingga ke seluruh tubuh. Malam kian larut. Suara jangkrik kian bersahut. Suara alam kembali mengiramakan lantunan musim dinginnya. Semoga saja besok lebih baik daripada hari ini. Allah ma’ana.

***

56

۞

Part 4

Sebuah Keputusan

Embun pagi senantiasa mengakrabi keheningan di Subuh hari Kota Malang. Dari keheningan alam itu terdengar kumandang syahdu hewan-hewan yang bertasbih dan senantiasa mengalun bersahutan mengagungkan kebesaran Rabb-nya. Hanya Rabb-nyalah yang mengerti bahasa mereka. Hanya Ia Yang Maha Mengetahui, yang paham dengan bahasa makhluk yang beraneka ragam, dan cara bertasbih hamba-hamba-Nya yang berbeda-beda.

“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masingnya telah

57

mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”34

Tak lama dari kumandang tasbih alam, adzanpun berkumandang memayungi penjuru Kota Malang dengan segenap rahmat Rabb-nya. Seketika gema takbir, tahmid, dan tahlil bersahutan dari pucuk masjid ke pucuk masjid yang lain. Zikirpun menggema. Asma-Nya berkumandang menggem-parkan kesunyian alam, melengkapi kemeriahan suasana Subuh di kota yang baru saja tertidur itu. Dari kelam Subuh yang dingin, satu persatu terdengar ayam-ayam jago berteriak menyambut kumandang pengagungan atas Rabb-nya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Shalat Subuhpun didirikan dengan semarak. Masjid-masjid diramaikan Malai-kat Rahmat yang datang menyambut para hamba yang bangun di Subuh hari dan memasrahkan diri mereka atas titah Rabb-nya.

Gemilir sang fajar perlahan merangkak dari ufuk timur. Hujan tadi malam serasa semakin memberikan kesan dingin pada kota sejuk ini. Sungai Berantas yang berada di sebelah utara Jalan Dinoyo nampak meluap setengah dari mulanya. Udara dingin memang selalu

34 QS. An-Nur: 41

58

akrab dengan arek-arek35 Malang, tak terkecuali bagi seluruh mahasiswa perantauan yang datang ke kota ini.

Pagi-pagi sekali ia sudah dikejutkan oleh bunyi hand phone-nya yang berdering tepat di samping telinganya. Ia memang sengaja menaruh-nya di samping tempat tidurnya supaya alarm itu terdengar jelas dan ia bisa segera bangun.

Kali ini ia hampir kesiangan. Rupanya ia sangat lelap tertidur. Mungkin karena kecapekan setelah kemarin banyak sekali orderan pengetikan yang harus ia selesaikan dalam minggu-minggu ini.

Tapi, rupanya itu bukan bunyi alarm dari hand phone-nya. Melainkan itu bunyi dering hand phone karena sebuah panggilan, telepon dari Pak Haji Syamsuddin. Ia bangun segera setelah melihat nama siapa yang meneleponnya.

“Pasti beliau ingin menanyakan tentang pembicaraan tempo lalu” pikirnya.

Ia mengucek kedua matanya cepat. Padahal dirinya masih belum sempat memikirkan dan mendiskusikan perihal pertanyaan Pak Haji tempo lalu dengan orang yang ia anggap bisa diajak berdiskusi. Itu karena akhir-akhir ini ia sangat sibuk, mulai dari mengetik ratusan naskah pelanggan Rental Rahayu,

35 Orang-orang

59

menyelesaikan sablonan dari pesanan pelanggan di Dinoyo Printing, hingga membimbing para santri mengaji yang menjadi permintaan sekaligus amanah Pak Zaini, takmir Masjid Al-Azizah.

Saat ini ia benar-benar bingung harus mengatakan apa kepada Pak Haji. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap. Ia pegang hand phone-nya dengan keraguan. Ia tekan tombol hijau di hand phone-nya dengan lambat. Dengan nada tidak begitu yakin ia menghaturkan salam, “Assalamu’alaikum, Pak Haji?”

“Wa’alaikumsalam, Nak Rasyid. Bagaimana kabarmu, Nak?” Pak Haji menjawab dengan suara santai.

“Alhamdulillah baik, Pak Haji… Pak Haji sendiri bagaimana kabarnya, jua Ummi Zulfa?”

Ia mencoba berbasa-basi dulu dengan Pak Haji, biar ia sedikit tenang menghadapai saudagar itu. Ia takut sikapnya akan menyinggung orang kharismatik itu.

“Alhamdulillah, kami juga baik-baik saja di sini dan senantiasa dalam rahmat Allah. Langsung saja ya, Syid? Jadi, bagaimana dengan perkara yang kutanyakan kepadamu tempo lalu? Apakah sudah kau pikirkan dan kau tentukan?” Pak Haji langsung mengarahkan ke inti pembicaraan.

60

Suara Pak Haji terdengar santai namun sangat serius. Dan benar dugaannya, Pak Haji pasti akan mempertanyakan masalah perjodohan itu. Rasyid sempat sebentar gugup. Tapi, ia mencoba untuk terus tenang agar bisa berpikir jernih. Dari balik telepon, ia mendengarkan setiap kata-kata Pak Haji dengan seksama.

“Ee…ee… Terus terang, ulun36 akhir-akhir ini banyak kesibukan, Pak Haji. Jadi, ulun minta maaf belum sempat memikirkannya. Tapi, bukan berarti jua kada37 pernah memikirkannya sama sekali, Pak Haji…

“Mungkin sebelumnya, yang ingin ulun tanyakan dulu kepada Pak Haji, apa putri Pak Haji mengetahui dengan rencana ini? Apa putri Pak Haji bersedia untuk dijodohkan dengan ulun? Masalah-nya, ulun khawatir jika putri Pak Haji akan kecewa nantinya setelah mengetahui keadaan calon suami-nya yang seperti ulun ini, yang tak sesuai dengan harapannya. Di samping itu, ulun jua masih belum sempat mengirim surat kepada Kakek Ja’far untuk membicarakan masalah ini dengan beliau…

“Mohon maaf, Pak Haji… Bukannya ulun berbelit-belit atau banyak tingkah. Tapi, ulun cuma tidak ingin keluarga Pak Haji nantinya kecewa sama

36 Saya (Bahasa Banjar halus) 37 Tidak

61

ulun…” ucap Rasyid yang takut akan membuat saudagar itu marah.

“Begini, Nak Rasyid. Untuk masalah putriku kamu kada usah khawatir. Ia sudah tahu betul siapa kamu dan dia juga sudah pernah melihat dirimu. Aku sudah membicarakannya sekeluarga dan tentu dengan Amelia, putriku. Dan katanya, ia bersedia dengan senang hati jikalau dijodohkan dengan kamu. Apalagi aku sendiri juga sangat percaya kepadamu, Syid… Dan kalau urusan keluargamu, Kakek Ja’far, aku juga sudah sempat bicara dengan beliau. Kata beliau, lebih baik bicara langsung sama kamu. Nah, maka karena itulah, aku membicara-kannya kepadamu. Walaupun hanya lewat telepon.”

“Kalau ulun boleh tahu, apa tanggapan Kakek Ja’far, Pak Haji?” Tanya Rasyid sambil terus menggenggam handphone di tangannya erat..

“Beliau mengatakan kalau beliau sebenarnya sangat setuju. Karena memang ini adalah rencana sekaligus keinginan kakekmu dan almarhum abah-ku, kakeknya Amelia, yang merupakan sahabat karib Kakek Ja’far. Tapi, beliau tetap menyerahkan keputusan yang paling haq itu ada di tanganmu…” ungkap pak haji.

Rasyid menarik nafas panjang. Ia menunduk sesaat lamaanya dengan tangan masih memegang hand phone di telinga kirinya.

62

“Sebenarnya ulun cuma kada handak38 Pak Haji yang sangat berjasa kepada ulun dan jua putri Pak Haji, nantinya bakal kecewa dengan ulun. Tapi, jika seandainya semua pihak sudah sepakat dan ridha, maka bagi ulun, kadada39 jalan lagi untuk menolaknya.” balas Rasyid merendah.

“Jadi, kamu setuju, Syid??? Setuju untuk dijodohkan dengan putriku, Amelia Aulya Rahmi?” suara pak haji setengah berteriak karena gembira.

“Insya Allah ulun bersedia, Pak Haji…” jawab Rasyid dengan suara lirih.

Ia benar-benar terharu dengan dirinya yang diminta untuk masuk lingkup sebuah keluarga besar kaya raya, seperti keluarga Haji Syamsuddin.

“Barakallahulana… Insya Allah ini adalah jalan yang dirahmati Allah, Syid. Baiklah kalau begitu, aku cuma ingin menanyakan jawaban itu darimu. Sekarang, aku ingin melanjutkan pekerjaanku dan kamu melanjutkan fokus kuliahmu. Aku minta maaf jika karena ini sempat mengganggu kuliahmu. Cepat selesai lah, Syid…??? Dan sukses…! Aku menunggumu untuk menjadi menantuku.” ucap Pak Haji dengan suara sumringah di telinga Rasyid.

38 Kada handak = tidak ingin 39 Kadada = tidak ada

63

“Amin, Pak Haji…” balas Rasyid tanpa bisa berkata-kata lagi.

“Amin… Assalamu’alaikum?” Pak Haji me-nyudahi percakapan dengannya.

“Wa’alaikumsalam…” Rasyid menutup tele-ponnya.

Ia benar-benar masih tak mengerti apa kehendak Pak Haji atas dirinya. Tapi, tanpa dipungkiri, ada secercah perasaan bahagia yang muncul dari dalam lubuk hatinya.

Seketika ia langsung bersujud menghaturkan rasa syukurnya. Ia merasa kalau benar-benar menjadi manusia paling beruntung di muka bumi ini. Beruntung karena dijodohkan dengan seorang putri saudagar kaya, yang tidak ada benih kesombongan di hati orang itu. Benar-benar sebuah karunia yang tiada terkira bagi pemuda kurus itu.

“Mudah-mudahan ini adalah pilihan terbaik…” ucapnya menutupi keraguan, meyakin-kan hatinya.

“Amelia…???” lirihnya, bertanya pada dirinya sendiri. Putri Haji Syamsuddin itu, bahkan tak pernah sekalipun ia berjumpa dengannya.

Rasyid bersegera bangkit dan mengambil wudhu. Ia langsung melaksanakan shalat Subuh-nya yang hampir kesiangan. Ia berdo’a kepada Allah ‘Azza

64

wa Jalla agar perjodohan ini bisa mendatangkan manfaat dan benar-benar diridhai oleh Allah.

“Semoga kami sekeluarga senantiasa berada dalam naungan Rahmat-Mu.” lirih Rasyid dalam sembah sujudnya.

***

Entah mengapa insiden kemarin lusa itu masih saja teringat di benaknya. Bukan tentang rasa sakit yang ia rasakan, atau karena pingsan yang ia alami. Melainkan, penasaran hatinya akan pemuda yang datang bak malaikat penolong, dan pergi begitu saja tanpa ia sempat menampaki wajah pemuda itu. Entah siapa sebenarnya dia.

Tak tahu kenapa, beberapa hari ini ia jadi merasa begitu penasaran akan seseorang.

“Apa mungkin karena sikap pemuda itu yang begitu misterius? Entahlah…” gumamnya dalam hati sambil memeluk kitab Riyadhussalihin yang sedari tadi ia simak.

Ada sebongkah rasa kagum menelisik ke dalam relung hatinya akan pemuda yang tak sempat ia mendapati wajahnya itu. Tanpa pernah bertemu, hatinya merasa bahwa ia memang pemuda yang baik dan shaleh. Itu karena tidak hanya mengantar ke

65

Rumah Sakit, tapi pemuda misterius itu juga membayar semua biaya perawatannya.

“Siapakah ia yang begitu ikhlas hatinya?” bisiknya kagum. Beberapa saat ia termenung.

Dan, “Tek…” ia tersentak.

Ia dapati sahabatnya sudah datang dan berdiri di sampingnya yang tengah duduk di atas dipan.

“Jangan melamun, nanti kesambet lho…” canda sahabatnya yang lalu tersenyum sendiri.

Ia ikut tersenyum. Dilihatnya, wajah sahabat-nya itu nampak begitu sumringah. “Mungkin ada berita baik” firasatnya.

“Tumben kamu nampak cerah sekali hari ini, Wati?” ucapnya penasaran.

Sahabatnya yang ia panggil Wati barusan itu kembali tersenyum.

“Iya, Dang… Aku baru saja tadi ketemu Abang Rasyid, yang tempo lalu menolong kita pas kejadian tabrakan itu.” ucap Wati masih dengan ekspresi sumringahnya.

“Rasyid…” bisiknya.

66

Ya, ia baru ingat, nama pemuda itu Rasyid. Kemarin Wati memang sempat menyebut-nyebut nama pemuda itu. Tapi, ia lupa dan gengsi untuk menanyakan kembali.

“Abang Rasyid?” ucapnya lirih, tanpa sadar.

“Iya, Zahra. Masa kamu lupa?” ucap Wati menimpali ucapan tanpa sadar yang dilontarkan Zahra barusan.

“Tadi aku ketemu dia di acara diskusi ilmiah Forum Mahasiswa Banjarmasin di Asrama Kaliman-tan Selatan Mandastana Malang. Dan kebetulan, dia yang jadi pembicara. Orangnya emang baik, smart pula, dan kayaknya dia mahasiswa paling senior di kalangan mahasiswa Banjar.” jelas Wati bersema-ngat.

“Ooo…” balas Zahra singkat.

Ia tak tahu kenapa Wati begitu bahagia hari ini. Apakah karena pertemuannya dengan pemuda yang tempo lalu menolong mereka itu, atau apa? Entahlah. Tapi, ia tak tahu mengapa hatinya merasa rugi tidak ikut ke acara forum diskusi ilmiah itu. Mungkinkah hatinya merasa rugi karena dengan ia tak ikut acara itu, ia jadi tak bertemu dengan pemuda bernama Rasyid itu?

“Astaghfirullah…” lirihnya. Hatinya mene-gur. Kenapa ia jadi selalu memikirkan pemuda itu? Beberapa hari ini rasanya ia selalu dibisikkan berjuta tanya

67

tentang pemuda yang bahkan ia belum tahu rupanya itu.

Ia nampaki Wati yang selalu tersenyum sejak datang tadi. Entah mengapa ia merasa iri kepada Wati yang hari ini bertemu Rasyid di forum diskusi itu. Hatinya mengundang tanya, apakah ekspresi sahabatnya yang nampak sumringah itu karena pertemuannya dengan Abang Rasyid di forum itu? Beberapa lama ia terdiam, hanya memandangi Wati yang nampak begitu sumringah.

“Dang, gimana Mas Muhaimin yang sudah menyatakan cintanya kepadamu? Sudah kamu kasih jawaban?” tanya Wati mengalihkan wacana baru.

Pertanyaan Wati itu mengembalikan inga-tannya akan pemuda yang satu minggu lalu meyakinkan diri untuk meminangnya. Entah mengapa rasanya ia sangat tak berselera untuk menanggapi dan memikirkan orang-orang di kampusnya yang mencoba pedekate40 kepadanya.

Ia menghentikan sebentar bacaannya, lalu menggelengkan kepalanya pelan sambil menatap ke arah Wati.

40 Pendekatan (Bahasa Gaul)

68

“Kenapa? Masih belum masuk kriteria ya? Kasian dia selalu menanyakan perihal jawaban hatimu setiap bertemu aku, Dang.” Wati menatap-nya serius.

“Entahlah, Ti… Aku mau fokus untuk menyelesaikan kuliah dulu…” jawab ia sekenanya.

Ia sadar, sejatinya apa yang dikatakan Wati ada benarnya. Iapun sebenarnya kasian dengan orang-orang yang mencoba mendekati dirinya. Tapi, ia tak bisa mendustai hatinya sendiri. Ia memang tak ada hati sedikitpun dengan mereka yang datang mendekat. Entah karena apa. Ia tak tahu.

“Astaghfirullah… Maafkan hamba bila ini semua kesalahan hamba, ya Allah…” lirihnya dalam hati.

***

69

۞ Part 5

Pulang kampung,

Pertemuan di Bandara Juanda

Kota Malang, di bulan menghadapi musim libur Ramadhan nampak begitu ramai daripada biasanya. Para mahasiswa dari luar Malang yang menempuh pendidikan di sini mulai sibuk berkeli-ling kota mencari oleh-oleh khas Kota Apel ini untuk dibawa pulang ke kampung halaman. Fenomena seperti ini memang sering sekali terjadi. Apalagi memasuki Bulan Ramadhan dimana para mahasiswa itu mulai berencana untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Tak terkecuali mahasiswa asal Desa Malintang Baru itu. Rasanya sudah sangat rindu sekali hatinya kepada seluruh keluarga. Mungkin Firdaus, adik sepupunya itu sudah makin mahir membawakan tilawah setelah digodok oleh abahnya, yang tak lain paman kandungnya, Paman Sulaiman, guru di Pondok

70

Pesantren Darul Hijrah. Ia pula jadi teringat kakeknya yang kian hari kian udzur. Ia tahu bahwa kakeknya itu belakangan ini sering sakit-sakitan. Terakhir ia dapat kabar dari Pak Haji Syamsuddin kalau keadaan Kakek Ja’far semakin hari kian memburuk. Hatinyapun terus merindu dan me-nanya, “Bagaimana kabar kesehatan Kakek Ja’far?” Hanya itu yang ingin ia ketahui.

Sayang, tak satupun anggota keluarganya bisa dihubungi karena tak satupun di antara mereka yang memiliki alat komunikasi/handphone. Kasihan sekali memang keluarganya itu. Di zaman secanggih dan semodern ini, masih ada saja yang tak memiliki yang namanya handphone. Padahal harga alat bantu komunikasi jarak jauh itu sudah lumayan terjang-kau. Namun, itulah keadaannya sekarang. Masih banyak keperluan lain yang lebih penting ketimbang membeli benda yang dianggap keluarganya masih sebagai barang mewah itu.

Hatinya benar-benar ingin pulang dan ingin bertemu Kakek Ja’far. Hanya beliaulah di dunia ini yang masih ia anggap sebagai orang tua kandung-nya. Sekian lama ia hidup, sejak kecil hingga beranjak dewasa tak sedikitpun pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Tak pernah merasakan belaian hangat dan penjagaan dari seorang ayah. Dan tak pernah merasakan nikmatnya air susu ibu yang diminum sebagai tanda kasih dari orang tua kandungnya. Kadang terbesit di hatinya rasa kecewa kepada abah kandungnya yang meninggalkan dirinya dan menyerahkannya kepada bujang tua di desanya. Pernah ia merasa kesal dan

71

bahkan benci dengan apa yang abahnya lakukan itu. Namun, berkat nasihat dari Kiainya sewaktu di pondok dulu, berkat nasihat dari Kakek Ja’far yang ia sangat cintai pula, kini ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh abahnya itu untuk kebaikan dirinya sendiri. Karena waktu itu memang abahnya terjepit masalah ekonomi. Usahanya bangkrut dan akhirnya terlilit banyak hutang, hingga ia harus menitipkan salah seorang di antara putra kembarnya itu kepada seorang perempuan yang sangat mendambakan seorang anak. Ia tak sanggup harus membesarkan keduanya. Tapi, ia bersyukur hingga saat ini ia masih bisa menghirup udara segar dunia. Masih bisa tertawa ria, bercanda, bersenda gurau, teriak, menangis, sedih, murung, dan berbagi cerita dengan sesamanya. Alhamdulillah. Nikmat apalagi yang datang dari Tuhan yang harus ia dustakan.

Namun kali ini ia ingin pulang, dan sekali lagi hatinya berkata ingin pulang. Tapi, apa daya. Ia sampai di Tanah Jawa ini juga berkat kemurahan hati saudagar kaya yang memberinya kesempatan untuk menjalankan amanah menuntut ilmu di tanah seberang kampung halamannya, jauh dari tanah kelahiran yang sangat dicintainya. Sudah tiga tahun lebih ia tak pulang ke rumah. Tak pernah mende-ngar petuah bijak dan nasihat jiwa dari tutur bijak Kakek Ja’far. Ia khawatir ketika pulang nanti tak sempat bertemu Kakek Ja’far mengingat keadaan beliau yang ia dengar kian hari kian memburuk.

“Astaghfirullah…” tiba-tiba saja hatinya meminta ampun. Ia sudah melakukan hal yang tak benar dengan

72

berkhayal sesuatu yang belum tentu terjadinya. Ia telah mendahului prasangka daripada takdir Allah. Tak sepantasnya ia berpayah durja seperti itu. Tapi, tak bisa dipungkiri pemuda kurus itu berharap ada sebuah keajaiban yang bisa menerbangkannya kembali pulang untuk bertemu barang sebentar dengan kakek tercinta.

“Andai saja ketika aku terbangun dari lelapku, aku berada di samping Kakek Ja’far. Tapi, entah kekuatan apa yang menjadikan hal itu bisa terwujud???”

Rasyid memejamkan matanya. Ia menenang-kan kobaran rasa iri yang merasuk di hatinya melihat Anshar yang tadi malam sudah membeli tiket pulang ke Banjar.

“Kapaaaan aku bisa pulang?” Ia meratapi dirinya sambil berbaring termenung di atas tempat tidurnya dan meletakkan tangannya di atas wajah yang sudah berlinang. Kali ini ia benar-benar tak berdaya merasakan gejolak kerinduan untuk sang kakek.

Entah terkena angin apa tiba-tiba pemuda keras itu menjadi lemah seperti itu dan seolah menyalahkan dirinya sendiri.

Ia tersentak, “Astaghfirullahal’adziiim…”

Ia kembali tersadar bahwa ia tak boleh berputus asa seperti ini. Ia tak boleh memurungkan wajahnya karena ujian ini.

73

Bukankah setiap ada ujian selalu ada jalan keluar? Dan setiap ada kesusahan pasti ada kemu-dahan? Inna ma’al ‘usri yusra. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.41

Ia tersadar bahwa keluh kesah hatinya itu salah. Ia ingat bahwa ia tak boleh berputus asa tatkala mendapatkan kesulitan atau cobaan. Karena Allah telah memberi janji bahwa di balik kesulitan, pasti ada jalan keluar yang begitu dekat.

Rasyid segera mengambil air wudhu dan membaca Al-Qur’an. Ia berusaha menenangkan hatinya yang tengah bergejolak. Karena hanya mengingat Allah sajalah hati bisa tenteram. Mudah-mudahan dengan bacaan yang ia persembahkan untuk kakeknya itu, kakek bisa menjadi lebih baik di sana. Ia menetapkan niat.

Dan di tengah khusyuk jiwanya menyelami samudera Al-Qur’an, “Kriing…Kriing…Kriing!” hand phone-nya berdering membuyarkan penghaya-tannya.

“Telepon dari Pak Haji? Ada apa beliau menghubungiku?” tanya Rasyid dalam hati.

Tanpa pikir panjang ia langsung mengangkat telepon dari Pak Haji. “Assalamu’alaikum, Pak Haji?” ia menghatur salam duluan.

41 QS. Alam Nasyrah: 5

74

“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Nak Rasyid?” sapa Pak Haji. Itu adalah pertanyaan pertama yang selalu keluar dari mulut Pak Haji, menanyakan kabar.

“Alhamdulillah baik, Pak Haji. Tumben Pak Haji menelepon ulun di akhir bulan? Ada apa lah, Pak Haji? Ada yang perlu ulun bantu kah?” tanya Rasyid mengusap bening hangat matanya yang sempat menetes.

“Aku cuma mau tanya, kamu sudah libur kuliah, Nak Rasyid?” suara Pak Haji terdengar tergesak-gesak dan begitu lugas.

Ia berusaha menjawab sesantun mungkin “Alhamdulillah, sudah. Kenapa memangnya, Pak Haji?”

“Aku ingin kamu cepat pulang ke Martapura. Kemarin aku bertamu ke rumah kakekmu karena aku dapat kabar kalau beliau sakit keras. Dan ketika kutemui, memang beliau sudah sangat udzur. Bahkan dengan diriku saja beliau sudah tak kenal. Dan kala itu yang beliau ingat cuma kamu. Beliau selalu menyebut-nyebut namamu, Nak Rasyid… Jadi, sekarang aku ingin kamu cepat pulang. Karena kupikir, beliau sangat ingin bertemu denganmu, Syid. Untuk masalah biaya pulang, kamu jangan khawatir, aku sudah mengirimkannya ke rekeningmu. Jadi, sekarang kamu bisa cek di rekeningmu. Insya Allah sudah masuk transfer dariku itu.” ucap Pak Haji.

75

Tanpa sadar pemuda kurus itu meneteskan air matanya. Ia benar-benar seolah mendapatkan keajaiban yang dibayangkannya itu. Pak Haji seolah menjadi malaikat penolong baginya. Di saat ia benar-benar rindu dengan tanah kelahirannya, Pak Haji datang dan memberikannya seuntai harapan untuk segera bertemu sang kakek tercinta.

“Terima kasih, Pak Haji… Insya Allah ulun segera pulang. Terima kasih banyak, Pak Haji. Terima kasih banyak atas semua kebaikan Pak Haji…” ucap Rasyid, bahagia.

“Sama-sama, Nak Rasyid. Mungkin cuma itu yang ingin kusampaikan kepadamu. Aku tunggu di Martapura lah, Nak Rasyid? Assalamu’alaikum?” Pak Haji menutup teleponnya dengan salam.

Setelah menjawab salam itu, Rasyid menutup telepon dari Pak Haji dan langsung bersujud, bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas segala karunia-Nya. Ternyata Tuhan benar-benar mengabulkan do’anya. Tuhan mendengar do’anya. Apa yang Ia janjikan memang benar adanya. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Ia akan segera pulang, ia akan segera bertemu kakek.

Tanpa membuang waktu, ia langsung berangkat ke travel terdekat mencari tiket pesawat untuk segera pulang ke Banjar hari ini juga. Ia tak ingin menunda-nunda kepulangannya, karena khawatir sudah tak ada waktu lagi bagi kakeknya menunggu kedatangannya.

76

Pujian dan salam senantiasa ia panjatkan selama di perjalanan mencari tiket. Tahun ini, liburan kali ini, akhirnya ia bisa merasakan manisnya pulang ke kampung halaman bersama mahasiswa-mahasiswa perantau-an lainnya.

Bagi Rasyid, ini adalah kali pertama ia pulang dari Kota Malang ke kampung halaman setelah tiga tahun lebih lamanya ia menuntut ilmu di sini, di kota dingin ini. Baginya perjalanan menuju tanah kelahirannya adalah sesuatu yang sangat berharga dan luar biasa jika dibanding dengan teman-temannya yang hampir tiap semester pulang ke Banjar.

***

Sudah hampir dua jam lamanya kedua gadis itu menunggu keberangkatan pesawat mereka yang ditunda karena cuaca buruk. Salah seorang dari gadis itu nampak sudah terlihat bosan dan suntuk. Ia juga sudah bosan bicara dengan teman di sebelahnya yang dari tadi lebih asyik ditemani mushaf kecil di tangan kanannya ketimbang berbicara dengan dirinya. Ia segera mengambil mp3-

nya dari balik saku tasnya dan memutarnya keras-keras di telinga sambil membaca koran yang ia beli dari loper koran eceran di depan bandara tadi. Gadis itu berusaha menghilangkan kebosanan suasana hatinya.

77

“Padahal aku udah ‘gak sabar ketemu Abi sama Ummi.” gumam gadis itu dalam hati seraya menahan kerinduannya kepada kedua orang tuanya di kampung halaman.

“Yah, tapi mau bagaimana lagi? Demi keselamatan, terpaksa penerbangan ini ditunda dulu. Ya sudahlah. Paling ‘gak aku udah check in duluan. Aku ‘gak mau duduk paling belakang dekat dengan mesin pesawat. Bikin telinga jadi sakit.” lanjutnya dalam hati menasihati dirinya sendiri.

Tak perlu waktu lama, gadis muda itu nampak sudah asyik dengan koran yang saat ini ia pegang. Gadis belia itu memang seperti itu, gemar membaca. Ia selalu menyempatkan diri untuk mencari bahan bacaan di saat ada waktu luang. Dan sesaat setelahnya, maka ia akan melupakan hal lain yang ada di sekelilingnya. Bahkan kadang teman-teman satu rumah kost-nyapun sering kesal dibuatnya.

“Pembobolan ATM marak terjadi di Surabaya dan Bali…”

Ia menggelengkan kepalanya. Hatinya berucap, “Yang namanya maling, secanggih apapun

alat transaksi perbankan, tetap saja mereka berusaha untuk membobolnya. Seandainya saja, keahlian mereka dan usaha keras para maling itu disalurkan untuk sesuatu yang baik, tentu akan sangat berguna. Daripada menjadi penipu ulung, hanya akan menikmati harta

78

haram yang tak berkah, alih-alih nanti bakal masuk penjara kalau ketahuan.”

Ia menoleh ke sekeliling, memantau keadaan sekitar. Tiba-tiba saja terbesit di hatinya rasa curiga dengan para calon penumpang yang berada di ruang tunggu keberangkatan pesawat.

“Jangan-jangan, dari ribuan orang ini, ada pelaku pembobolan ATM di majalah ini… Mungkin saja itu terjadi.” gumamnya dalam hati.

Ia menoleh ke segala penjuru sudut ruang tunggu keberangkatan dengan penuh curiga. Tak sengaja ia melihat seorang perempuan muda, mungkin seumuran dengan dirinya berjalan ke arah tempat ia duduk. Perempuan yang mengenakan baju sasirangan42 merah dengan corak kejingga-jinggaan itu nampak bersama seorang nenek tua.

“Pasti dia juga orang Banjar yang ingin pulang ke kampung halaman, sama seperti diriku.” pikirnya sekilas melihat pakaian yang dikenakan perempuan itu.

Perempuan dan sang nenek itu mengambil duduk tepat di bangku kosong yang berhadapan dengannya. Perempuan itu duduk dengan tenang sambil melemparkan senyum kepadanya dan temannya

42 Jenis motif kain khas Banjar (lebih dikenal dengan batik Kalimantan Selatan)

79

yang duduk di sebelahnya. Sejak tadi, teman yang duduk di sebelahnya itu asyik dengan pekerjaannya, membaca Al-Qur’an hingga tak sempat memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Ia tak sadar kalau ada seorang perempuan yang sekarang duduk di hadapannya sambil melempar-kan senyum kepadanya.

“Mau pulang ke Banjar juga, ya?” Gadis yang tadinya mendengarkan musik lewat mp3 mininya itu melepaskan headset dari telinganya, lalu menyapa lebih dulu kepada gadis yang baru saja datang itu.

“Iya… Pian43 juga mau pulang ke Banjar?” sahut perempuan muda berwajah putih bersih itu. Nenek yang bersamanya hanya nampak tersenyum sambil meletakkan tas jinjingnya di samping tempatnya duduk.

Ia mengangguk seraya tersenyum dan menyodorkan tangan kanannya kepada gadis itu. “Nama saya Wati.”

“Saya Amelia. Abis liburan kah?” Kedua gadis itu nampak saling bersalaman. Kemudian Wati bersalaman dengan nenek yang sejak tadi bersama gadis yang bernama Amelia itu.

Gadis yang sedari tadi duduk di samping Wati itu langsung menghentikan bacaannya, dan menyimpan mushaf kecilnya ke dalam tas jinjing. Rupanya ia baru

43 Anda (Bahasa Banjar halus)

80

saja sadar kalau ada orang yang datang dan duduk tepat di hadapannya.

“Enggak, kebetulan kita sudah memasuki masa liburan kuliah, jadi mau pulang ke Banjar.” jawab Wati.

“Ooo… Kalau yang ini, namanya siapa?” Gadis bernama Amelia itu menyodorkan tangannya kepada gadis yang sedari tadi duduk bersama Wati. Gadis bernama Amelia itu kembali mengembangkan senyumnya yang manis dan khas kepada Wati dan teman di sampingnya.

“Saya Zahra.” sambut gadis itu seraya membalas senyum gadis bernama Amelia. Zahra lalu menyalami pula kepada sang nenek.

“Kuliah kah? Di Surabaya? Di kampus mana?” tanya Amelia. Suara gadis itu terdengar sangat lembut dan halus. Dari gayanya berbicara dan bertutur kata, gadis itu sangat ramah dan berpendidikan.

“Iya, kita kuliah, tapi bukan di Surabaya. Kita kuliah di Malang. Tepatnya di UIN Maliki. Kalau pian sendiri? Habis liburan kah sama neneknya?” Zahra menjawab pertanyaan gadis itu

dan balas bertanya.

“Tidak, saya juga kuliah. Tapi, bukan di Surabaya, melainkan di Yogyakarta, di UIN Sunan

81

Kalijaga. Kebetulan saya jemput nenek dulu di sini, di rumah paman saya di Surabaya.”

“Ooo… Begitu… Jogja lah…? Kirain kuliah di IAIN Sunan Ampel. Sudah semester berapa?” balas Wati.

“Alhamdulillah, minggu lalu saya baru saja diwisuda. Kalau kalian?” balas Amelia, gadis itu memegang sebuah buku dengan judul berbahasa Inggris, entah apa judulnya.

“Ooo… Alhamdulillah, sudah lulus. Lebih senior dari kami lah, Kak? Kalau kami masih semester lima…” jawab Wati sambil memanggil Amelia dengan sebutan kakak karena merasa ia lebih muda dari Amelia.

Dari tadi sang nenek nampak diam saja. Rupanya kini giliran beliau yang sibuk dengan bacaan Al-Qur’annya, ditemani mushaf kecil di tangan kanan beliau. Orang Banjar dari kalangan fanatik memang sering seperti itu, membaca Al-Qur’an di setiap ada sela waktu. Entah itu di mobil, halte, bandara, dan tempat-tempat yang meng-haruskan kita untuk berdiam atau menunggu sesuatu.

”Mmm… Begitu… Oh iya, saya juga punya kenalan di Malang. Dia kuliah di UMM sekarang.” ucap Amelia.

“Kenalan? Kalau boleh tahu, siapa?” sahut Wati.

82

“Dia mahasiswa angkatan 2006. Jadi, sudah semester tujuh juga. Mungkin kalian kenal sama dia…”

“Kuliah di UMM? Jurusan apa? Mungkin kami kenal. Soalnya kita sering ada pertemuan untuk perkumpulan mahasiswa Banjar. Kalau boleh tahu, siapa namanya?” balas Zahra.

“Kalau tidak salah jurusan Akuntansi. Namanya Rasyid, kalau nama lengkapnya, Rasyid Khairuzzaman. Kalian kenal lah?” jawab Amelia.

“Ooo… Abang Rasyid??? Siapa yang tak kenal dia di Malang. Dia itu kan salah satu tetuha44 mahasiswa Banjar di Malang. Tinggalnya di Asrama Mandastana, kan? Orangnya tinggi, perawakannya agak kurus dan item kan? Jadi, pian kenal juga kah? Kok bisa kenal? Teman sekolah?” balas Wati antusias sambil memandang ke arah Zahra yang duduk di sampingnya.

“Bukan teman sekolah. Cuma kenal aja. Atau mungkin, lebih dari kenal…” Amelia tersenyum. Wajah gadis itu seperti membayangkan sesuatu.

Entah mengapa Zahra yang baru saja mendengar ucapan Amelia itu langsung tersentak. Hatinya langsung merespon kata-kata dari Amelia. “…atau mungkin, lebih dari kenal…”

44 Senior

83

“Apa maksud Amelia, gadis yang baru kukenal ini dengan perkataannya? Apa gadis ini kekasih pemuda itu?” Hatinya menyimpan berjuta tanya.

“Pian kekasih Abang Rasyid kah?” tanya Zahra refleks. Ia seolah tak kuasa memendam rasa ingin tahunya.

Gadis bernama Amelia itu nampak sedikit kaget. Wati juga tak kalah kaget melihat sikap Zahra yang tak seperti biasanya. Wati mencium sesuatu dari sikap Zahra barusan. Amelia yang tengah kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Zahra itu berusaha agar tetap tenang dengan tersenyum elegan. Pertanyaan yang Zahra lontarkan itu baginya terlalu mengarah kepada privacy untuk dipertanyakan dan dijawab.

“Bukan, cuma temenan aja…” jawab Amelia santai. Ia bisa mengendalikan emosinya.

Mendengar jawaban Amelia, Zahra merasa tidak puas. Apalagi rona wajah Amelia nampak sangat lain ketika menyebutkan nama Rasyid. “Tak ada asap kalau tak ada api.”

Tapi, secara tiba-tiba ia sadar kalau pertanyaannya tadi kurang sopan ia pertanyakan, sebab terlalu mengarah ke hal pribadi seseorang. Apalagi mereka baru kenal di sini. Zahra mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya tentang hubungan gadis bernama Amelia itu dengan Rasyid. Ia berusaha memendam berjuta pertanyaan itu.

84

Seraya berdiam, ia kembali teringat peristiwa tempo silam saat ia ditolong seorang pemuda bernama Rasyid itu. Entah mengapa setelah kejadian itu ia jadi terasa sering mempertanyakan tentang pemuda itu di dalam hatinya. Padahal, ia sama sekali tak pernah mendapati wajah pemuda itu barang sekalipun. Entah mengapa, tak ia pungkiri hatinya seolah memendam bara cemburu. Ia cemburu dengan kecurigaan hatinya tentang hubungan Amelia dengan pemuda bernama Rasyid Khairuzzaman itu.

Tiba-tiba dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam, nuraninya seolah berkata kepada dirinya sendiri. “Ada apa dengan dirimu, Zahra? Kenapa kamu menanyakan hubungan gadis itu lebih jauh dengan Rasyid? Bukankah kamu bukan siapa-siapa Rasyid? Untuk apa kamu mencampuri urusan orang lain?”

Ia tersadar kalau dirinya bukanlah siapa-siapa Rasyid. Dan ia tak ada hak untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan gadis yang baru dikenalnya itu dengan pemuda yang tempo lalu menolong dirinya. Meski, hati tak pernah bohong

dan selalu menyiratkan apa yang ia rasakan. Ia benar-benar merasa tidak nyaman dengan apa yang dikatakan Amelia itu, “…Mungkin lebih dari kenal…”. Ia tak tahu kenapa hatinya jadi begini. Meskipun terdengar sederhana, tapi bagi seorang gadis yang sangat halus perasaannya seperti Zahra, kata-kata itu benar-benar mengganggu pikiran dan rasa ingin tahunya.

85

“Teng…teng…teng...teng...!!?”

“Kepada penumpang pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan G5-50 tujuan Banjarmasin, dipersilakan memasuki ruang pesawat sekarang juga melalui pintu empat…!!!”

Hujan lebat yang disertai angin ribut di luar sana sudah mulai reda. Penerbangan sudah bisa dilanjutkan. Seketika para penumpang yang sudah terlihat bosan karena lama menunggu langsung berlomba-lomba bergerombol menuju pintu empat. Kebanyakan dari mereka itu juga orang-orang Banjar yang menuju pulang seusai liburan di Tanah Jawa.

“Kenapa sih harus rebutan seperti itu? Bikin malu aja. Ini nih, budaya kurang baik yang dimiliki penduduk negeri ini.” uceh Wati.

Amelia dan Zahra hanya tersenyum men-dengar ucehan Wati. Tapi, apa yang dikatakan Wati itu ada benarnya juga. Buat apa berdesak-desakkan masuk ruang pesawat, toh pesawat juga tak kan berangkat jika seluruh penumpang pesawatnya yang telah terdata belum masuk secara keseluruhan. Kalau bisa masuk secara tertib kenapa harus berdesak-desakan seperti itu.

Setelah para penumpang yang berkompetisi itu sudah mulai terlihat selesai dengan perlombaan mereka, barulah mereka berempat beranjak dari tempat duduk mereka. Zahra dan Wati segera menarik koper mereka

86

diikuti Amelia dan neneknya. Mereka masuk ke dalam pesawat dengan santai.

Tapi, yang namanya orang Indonesia, di dalam pesawat masih saja ada yang rebutan menuju tempat duduk. Padahal sudah jelas kalau kursi penumpang itu ada jatahnya masing-masing. Amelia menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tak paham dengan masyarakat negerinya ini. Ditambah lagi, ketika pesawat akan berangkat, masih ada saja yang menelepon, mengirim pesan sms, dan berfoto ria. Padahal berkali-kali pramugari mengingatkan untuk mematikan hand phone selama berada di dalam perjalanan. Karena sinyal hand phone akan mengganggu sinyal radar pesawat yang mungkin akan berakibat fatal bagi mereka semua. Rupanya tidak cukup tragedi kecelakaan-kecelakaan pesawat yang kerap terjadi di Negeri Indonesia ini menjadi pelajaran bagi sekalian ummatnya. “Apakah gerangan yang terjadi pada penduduk di Negeri ini? Apakah mereka tak berpikir?”

Zahra dan Wati duduk bersebelahan. Tanpa sebuah kesengajaan, tempat duduk mereka berada tepat berseberangan dengan Amelia dan neneknya. Diam-diam Zahra mengamati laku Amelia. Gadis itu tengah membaca buku yang sejak tadi ada di tangannya dengan tenang. Para pramugari pesawat nampak mulai melakukan aksinya, memberikan instruksi keselamatan dalam penerbangan, dan memastikan semuanya sesuai prosedur.

87

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore tepat waktu Surabaya. Itu artinya sudah jam lima sore di Banjarmasin.

“Seandainya tadi tidak ada penundaan, mungkin saat ini aku sudah berada di rumah.” gumam Wati.

Sejak tadi sahabat dekat Zahra itu masih tak lepas dari mp3-nya. Entah apa yang didengar-kannya. Sedang Zahra, ia masih menyimpan berjuta pertanyaan perihal gadis itu, tentang hubungan gadis yang baru ia kenal di Bandara Juanda tadi, gadis bernama Amelia.

“Ada hubungan apakah gerangan Amelia dengan pemuda bernama Rasyid itu? Apa mereka sepasang kekasih? Ataukah mereka adik dan kakak? Entahlah, dan sudahlah…”

Lagipula itu tak ada hubungannya dengan dirinya. Yang penting baginya saat ini adalah, semoga saja pesawat bisa mendarat sampai tujuannya, di Bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru dengan selamat. Dan ia bisa bertemu kembali bersama abah dan ummi di Banjarmasin, yang sudah menunggu kedatangannya dengan cemas sejak tadi siang.

Pesawat mulai bergerak. Para pramugari sudah menempati posisi mereka masing-masing. Tak lama kemudian pesawat yang mereka tumpangi mulai lepas landas meninggalkan Tanah Pahlawan, Kota Surabaya. Dengan tegasnya pesawat menem-bus awan kelabu

88

yang kini mulai berlalu silih berganti dengan datangnya sang mentari yang sempat hilang.

“Semoga perjalanan ini mendapatkan perlindungan dari Allah… Ya Allah, lindungilah hamba. Bismillah….”

***

89

۞

Part 6

Negeri Burniau

Sudah hampir lima puluh menit pesawat mengudara dari Bandara Juanda, dan sekarang pesawat sudah mulai memasuki kawasan langit Pulau Burniau45. Dari balik jendela kaca pesawat, di matanya nampak sungai-sungai besar yang meliuk-liuk bak ular besar melintasi kawasan lahan pulau terbesar ketiga di dunia itu yang begitu memesona. Ada sebuah rasa bangga dalam hati pemuda itu melihat pemandangan tanah kelahirannya. Bumi Antasari yang sungguh nampak begitu menawan dengan sungai yang saling bersambung, memukau.

45 Burniau = Borneo = Kalimantan

90

Banjarmasin, dulu memang bergelar Kota Seribu Sungai. Banjarmasin adalah daerah yang memiliki ketinggian lebih rendah dari permukaan laut. Dulunya memiliki sangat banyak sekali sungai, baik sungai besar, maupun sungai-sungai kecil. Ladang-ladang sawah di sana sengaja dibuat sedemikian rupa dengan bantuan sistem pengairan berupa irigasi. Menurut Manakib46 Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, ulama besar Tanah Burniau, sistem irigasi ini diprakarsai oleh pemikir-an beliau yang mengetahui keadaan geografis Banjarmasin yang berada beberapa meter di bawah permukaan laut. Sehingga, dengan dibuat lahan-lahan berhandil47 dan irigasi yang sambung-menyambung itu, arus air dapat berjalan dengan baik dan lancar. Sehingga air tidak akan mampet, yang nantinya akan dapat menyebabkan banjir.

Tidak hanya itu. Dulu orang-orang desa berjualan ke kota cukup dengan mengendarai jukung48 yang melintas di sungai-sungai. Peman-dangan dari sebuah kearifan lokal yang sangat indah dan mengesankan. Hanya saja, keistimewaan itu tidak dijaga dan dikelola dengan baik. Seiring berjalannya waktu, jumlah sungai-sungai itu kian hari, kian tahun, kian berkurang. Semuanya kini berubah menjadi warung, ruko, ditembok untuk jalan, dan lain

46 Cerita sejarah ulama besar 47 Salah satu pola pengaturan arus air yang ada di Kalimantan

48 Sampan atau perahu kecil khas masyarakat Banjar

91

sebagainya. Akhirnya, sistem perair-an Kota Banjarmasin menjadi kacau. Banjarmasin-pun selalu kebanjiran setiap tahunnya. Warga yang sering menggunakan jukung-pun pada akhirnya menjadi semakin sangat sedikit. Itu karena sungai-sungai itu telah beralih fungsi. Mungkin, tak lama lagi, tak akan ada lagi sesuatu yang menarik hati seperti dulu. Tak ada lagi kebanggaan mendalam ketika terdengar seseorang menyebut Banjarmasin, Kota Seribu Sungai. Semuanya hanya tinggal nama, dan tinggal kisah lama. Mungkin nenek moyang zaman dulu yang telah meninggal menangis dan sangat kecewa melihat warisan mereka yang kini ditelantarkan oleh anak cucunya. Padahal, untuk mengembalikan Kota Banjarmasin seperti dulu, rasanya sangat sulit dan mungkin memerlukan waktu yang sangat lama.

Jam tangan di tangannya sudah menunjuk-kan tepat pukul enam petang-WITA. Pesawat mulai mendekati Bandara Syamsuddin Noor, Kota Banjarbaru. Dari atas sini, ia juga bisa menyimak beberapa daerah yang dulunya semak belukar kini berubah menjadi perumahan warga yang cukup ramai.

Udara terasa lembab. Sepertinya Banjarbaru baru saja disiram hujan lebat. Ia lihat dari balik kaca pesawat, jalan aspal bandara masih terlihat basah karena guyuran air hujan. Cuaca juga sedikit dingin dari cuaca Banjarbaru biasanya.

Tak berapa detik berselang, pesawatpun mendarat.

92

“Alhamdulillah… Akhirnya sampai juga di tanah kampung kelahiran.” gumam Rasyid dalam hati sembari menahan rasa harunya. Matanya tanpa sadar meneteskan butiran bening yang menyeruai membasahi pipi.

“Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Kakek Ja’far. Aku sudah sangat rindu dengan kakek.” lirih Rasyid.

Ia benar-benar sudah tak sabar lagi ingin cepat-cepat keluar dari pesawat. Aroma semerbak tanah kelahirannya mulai terasa merasuk kelam ke dalam lubang hidungnya. Aroma kebanggaan bisa kembali ke kampung halaman tercinta. Tanpa pikir panjang, setelah keluar dari pesawat, ia langsung berjalan dengan cepat, keluar dari bandara yang penuh dengan kerumunan manusia itu. Ia cepat saja. Tak ada yang harus ia ambil dari ruang tunggu barang yang dititipkan di bagasi pesawat. Yang dibawanya hanya sebuah tas ransel yang ia sandang di bahunya.

“Pak, mancari’i taksi kah? Capati babuat nah, nyaman lakas?!”49 Seseorang menepuk bahunya tak lama setelah keluar dari pintu kedatangan bandara.

Rupanya dari tadi langkahnya diikuti beberapa bapak-bapak yang menawarkan jasa taksi Argo. Tapi,

49 Pak, cari taksi ya? Silakan cepat masuk ke taksi saya saja, biar cepat?!

93

tentu saja ia tolak. Ia tahu betul berapa harga jasa Argo itu, sangat mahal. Lagi pula, ia pernah mengalami kesan tak mengenakkan dari taksi Argo bandara. Waktu itu, ia baru datang dari Jakarta, sehabis menempuh perjalanan pulang dari Hadramaut. Ia ingat betul, kala itu ia dijemput oleh Paman Sulaiman, dan pulang dengan naik taksi Argo bandara. Sudah biayanya mahal, sang sopir tak mau pula mengantarkan mereka sampai ke depan rumah. Sopir taksi itu bilang kalau ia ingin cepat kembali ke bandara, karena ada penumpang lain yang ingin ia jemput. Dan kata sang sopir, “Rumah pian talalu ka padalaman. Jadi, mutur ngalih masuk, kaina kada kawa kaluar…!”50

“Benar-benar tidak professional” pikirnya.

Ia terus menolak semua tawaran setiap sopir taksi yang menawarinya. Tapi, sayang sekali ia tak punya orang yang bisa ia hubungi menjemputnya. Rasyid bingung harus kemana. Ia putuskan untuk mencari ojek. Tapi, hingga beberapa menit menolah-noleh kiri kanan, ia tak melihat ada seorang tukang ojekpun di sekelilingnya. Bapak-bapak sopir taksi Argo itu masih membujuknya untuk menerima jasa mereka. Rasyid hanya tersenyum sambil meno-laknya seramah mungkin. Ia bingung harus minta antar ke rumah dengan siapa.

50 Rumah Anda terlalu jauh masuk ke dalam komplek. Jadi, mobil sulit untuk masuk. Nanti takutnya tidak bisa keluar…!

94

“Kenapa tadi pesawat sempat ditunda penerbangannya hingga aku tiba tepat waktu Maghrib?” bisiknya kecewa menyendiri.

Jam-jam Maghrib seperti ini ternyata para tukang ojek dan angkutan kota sedang sibuk menghadap sang Pencipta, tak ada satupun yang tersisa di pangkalan. Ia putuskan untuk berjalan ke masjid yang ada di seberang bandara terlebih dahulu. Tiba-tiba suara seorang laki-laki menyapa-nya.

“Rasyid…?!”

Ia langsung menoleh mencari asal suara.

“Heey... Lukman?!”

Ekspresi wajah Rasyid setengah kaget bercampur dengan senyum sumringah. Itu Lukman, sahabatnya sewaktu masih bekerja sebagai penjaga toko intan milik Pak Haji Syamsuddin dulu. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan sahabatnya itu, sejak ia tinggalkan untuk menimba ilmu di Malang.

“Syid…?! Wah, lama kita tak jumpa. Kamu makin kurus aja lah, Syid...?!” Lukman melempar-kan senyum kebahagiaan dari wajahnya bertemu sahabat lama yang tengah pulang dari merantau menimba ilmu ke pulau seberang. Lukman lekas menyalami dan memeluk sahabat lamanya itu dengan penuh rindu.

95

“Lukman… Lukman… Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kamu mau kemana, Luk?!” Wajah Rasyid menampakkan rona bahagianya. Ia tak menduga bisa bertemu dengan Lukman di Bandara Syamsuddin Noor.

“Ya jemput kamu lah, Syid…?! Udah tiga jam aku setia di sini menunggu kedatanganmu. Aku diminta Pak Haji untuk menjemputmu di bandara. Kata beliau, kamu akan pulang hari ini jam tiga. Tapi, ternyata jam setengah tujuh baru tiba. Tapi, aku tetap setia untuk menunggumu sahabatku, Rasyid…” jawab Lukman.

Ia kembali memeluk Rasyid. Ia benar-benar ingin meluapkan kerinduannya dengan sahabat yang ia anggap sudah sebagai dangsanak51 sendiri itu.

“Terima kasih banyak lah, Luk? Tadi pesa-watku ditunda penerbangannya. Soalnya, cuaca sangat buruk di Surabaya tadi siang, saat pesawat yang aku tumpangi mau berangkat. Makanya jadi telat aku datangnya. Maafkan aku lah, Luk?” ucap Rasyid.

“Ah… Tak apa-apa, teman. Enjoy52 aja… Itu bukan salahmu. Yang penting sekarang, kamu sudah selamat dan kita bisa bertemu kembali di sini. Alhamdulillah. Rupanya kamu semakin kurus saja,

51 Saudara 52 Santai

96

Syid… Sudah lama kita tidak bertemu, sudah tiga tahun lebih. Kamu tak pernah memberi kabar.” Pemuda berjambang lebat itu masih dengan rona haru akan pertemuannya dengan sahabat lama, Rasyid.

“Maafkan aku, Luk… Soalnya aku tak tahu bagaimana cara menghubungimu. Nomor hand-phone-mu saja aku tak punya. Ternyata kamu masih setia lah bekerja di tempat Pak Haji?”

“Alhamdulillah, Syid… Tadi aku juga lupa minta nomor kontakmu sama Pak Haji. Aku terlalu bersemangat ingin cepat bertemu denganmu. Jadi, sampai-sampai aku lupa menanyakan nomormu.” balas Lukman sambil menepuk-nepuk pundak Rasyid, hangat. Rasyid membalas kehangatan itu dengan senyum.

“Aku senang sekali bekerja di tempat Pak Haji. Soalnya, beliau itu benar-benar perhatian sama semua anak buahnya. Aku benar-benar salut, ternyata masih ada ya orang kaya sebaik dan serendah hati keluarga Pak Haji. Makanya, aku betah sekali bekerja sama beliau. Kemarin saja, waktu ummi sakit, beliau yang menyuruhku mem-bawa ke Rumah Sakit. Dan semua biaya Rumah Sakit, beliau yang menanggung. Gimana aku tak betah bekerja sama beliau, Syid? Kamu saja sampai dikuliahkan ke Malang berkat biaya dari beliau? Ya kan, Syid?” sambung Lukman.

“Iya, Luk. Alhamdulillah. Aku juga sangat kagum dan bangga bisa mengenal sosok setawadhu Pak Haji

97

Syamsuddin itu. Ini saja, aku pulang dari Malang beliau yang kasih ongkos. Alhamdulillah… Yuk, kita jalan sekarang saja. Nanti keburu malam. Tapi, kita mampir dulu di masjid seberang pintu gerbang bandara ini lah? Kita shalat Maghrib dulu. Ok?” ajak Rasyid.

“Ok, Bos… Kamu tunggu di sini dulu lah? Aku mau ambil motorku dulu di parkiran.”

“Ok…!” balas Rasyid.

Lukman beranjak sebentar mengambil mo-tornya ke parkir kendaraan roda dua. Tak lama bersela ia kembali ke hadapan Rasyid.

“Mana barang lainnya yang kamu bawa, Syid?” tanya Lukman.

“Tak ada, Luk… Aku cuma bawa tas ransel ini. Maaf lah, Luk? Aku tak bawa oleh-oleh apa-apa untukmu…”

“Iya, tak apa-apa… Kamu kan ke Malang bukan buat jalan-jalan, tapi menuntut ilmu. Jadi, tak perlu bawa macam-macam. Bisa melihatmu kembali dengan selamat, sudah cukup bagiku, Syid.” Balas Lukman.

“Syukurlah kamu mengerti keadaanku, Lukman… Kamu memang sahabatku yang paling pengertian.”

98

“Ooo… Jelas. Ayo berangkat…!”

Lukman langsung meluncur dengan mem-bonceng Rasyid yang duduk di belakang. Usai shalat Maghrib di Masjid At-Taqwa yang ada di seberang pintu gerbang bandara, kedua pemuda itu kembali melanjutkan perjalanan mereka.

Motor yang dinaiki kedua sahabat itu sejurus melaju melintasi jalan raya Bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru. Di matanya, Banjar tak begitu banyak berubah. Entah mengapa tanah kelahirannya ini tak begitu banyak mengalami pembangunan, kecuali beberapa komplek perumahan yang kini mulai banyak dibangun di beberapa kecamatan. Apakah karena masyarakat kota ini yang tidak berusaha, ataukah memang masyarakat kota ini yang sudah merasa cukup puas dengan keadaan yang sudah dianugerahkan keadaan yang sebegini? Entahlah.

Rasyid melemparkan pandangannya ke setiap sudut kota. Pikirannya melamun memikirkan nasib kampung halamannya.

“Oh iya, Syid, kalau tidak salah, tadi Pak Haji bilang kalau putrinya juga pulang ke Banjar hari ini. Kamu ketemu lah sama putri Pak Haji itu, Syid?” Pertanyaan Lukman barusan membuyarkan lamunannya.

“Bukannya Putri Pak Haji kuliah di Jogja, Luk? Ya jelaslah aku tak bertemu.” jawab Rasyid sekenanya.

99

Entah kenapa tiba-tiba perutnya terasa mual. Mungkin efek dari perjalanan dengan pesawat. Ia masih tak begitu terbiasa dengan suasana di dalam pesawat. Setiap kali ia melakukan penerbangan, entah mengapa ia selalu merasa mual.

Lukman terus menatap ke depan sambil mengemudikan motornya.

“Tidak, Syid. Pak Haji bilang, putri beliau pulangnya dari Surabaya, karena harus menjemput neneknya Amelia dulu di rumah pamannya, adik Pak Haji yang jadi dosen di sana…”

Rasyid mendengarkan dengan serius setiap ucapan Lukman.

“Ooo… Mungkin beda pesawat kali, Luk… Makanya ‘gak ketemu…” balas Rasyid sambil kembali memandangi setiap pinggiran jalan menuju keluar dari kawasan Bandara. Ia berusaha melupa-kan rasa mual di perutnya.

“Mungkin. Tapi tadi kulihat ada mobil Honda CRV warna putih, milik adiknya istri Pak Haji, adiknya Ummi Zulfa yang nangkring di bandara. Kupikir beliau jemput putri Pak Haji itu. Pas bersamaan dengan kita tadi. Mungkin kamu satu pesawat, Syid, hanya saja tak sampai berjumpa dengan putri Pak Haji itu… Wah, sayang sekali kamu, Syid…” bahas Lukman menyayangkan.

100

“Eh… Sayang sekali? Memangnya kenapa, Luk? Kok jadi sampai segitunya kamu nih?” tanya Rasyid yang kini jadi penasaran karena ucapan Lukman.

“Beeeh… Kamu belum pernah melihat putri juragan kita itu kah, Syid…? Beeeeh, rugi sekali kamu, Syid. Aku saja, baru sekali pernah melihat putri Pak Haji.” balas Lukman. Rasyid mengernyitkan dahi-nya, penasaran bercampur bingung.

“Waktu itu, aku juga tak tahu kalau dia itu putri Pak Haji yang kuliah di Jogja itu. Saat itu, gadis itu menemani Pak Haji ke toko milih-milih cincin, Syid, sepasang, entah untuk siapa dan siapa. Kamu tau tidak, Syid, putri Pak Haji itu?” Lukman sangat bersemangat menjelaskan kepada Rasyid. Ia terus memegang setir kendaraannya dengan cekatan.

“Ya tak tau lah aku, Lukman?! Kamu ini cerita sama aku malah jadi bikin penasaran aja… Pake nanya-nanya aku yang tak tahu-menahu soal ceritamu itu.” jawab Rasyid yang semakin bertambah penasaran.

“Putri Pak Haji itu… Beeeeh… Cantiknyaaa... Kayak bidadari yang turun dari kayangan saja lah, Syid. Aku saja sempat terkagum-kagum meman-dangi Putri Kiai itu. Pokoknya cantik, manis, langkar53, bungas54, TOP abiiiezz lah, lengkap semuanya… Aku saja sempat

53 Indah 54 Cantik

101

mengira kalau sedang bermimpi. Tapi, pas ku injak kaki kiri dengan kaki kananku, ternyata sakit, Syid. Aku tak mimpi.” ungkap Lukman, semangatnya menggelegar-gelegar di atas motor tuanya.

“Pasti sangat beruntung orang yang men-dapatkan gadis secantik dan sekaya putri Pak Haji itu, Syid… Makanya itu… Kamu rugi kalau tak sempat bertemu dengan putri bos kita itu…” sambung Lukman.

Rasyid hanya diam. Ia hanya bisa tersenyum mendengar cerita sahabatnya itu. Saat ini yang ada di pikirannya adalah, ia benar-benar senang bisa kembali menghirup udara tanah kelahirannya, dan menampaki setiap pemandangan kota yang kini jauh berbeda dari sebelumnya.

Tak lama, hatinya jadi dipenuhi berjuta tanda tanya dan rasa penasaran karena ucapan Lukman barusan.

“Apa benar yang dikatakan sahabatku Lukman? Benarkah sangat beruntung orang yang bisa mempersunting putri saudagar kaya itu? Jika ucapan Lukman itu benar-benar dapat dipegang, Aduhai beruntungnya diriku yang dijodohkan oleh Pak Haji dengan putri tercintanya itu.” gumamnya dalam hati dengan wajah tersipu.

***

102

۞

Part 7

Wasiat Terakhir Kakek

Sudah empat puluh menit lebih mereka berdua menempuh perjalanan menuju Kota Martapura. Rumah Kakek Ja’far sudah semakin dekat. Kini mereka berdua sudah memasuki kawasan Kota Berintan, Martapura. Kelap-kelip lampu jalanan seolah menyambut kedatangan Rasyid, si putra asli Banua Baintan. Di pinggiran ruas jalan tertampak begitu anggunnya pijar-pijar lampu yang menghiasi kelamnya pinggiran-pinggiran jalan menuju Kota Serambi Mekkah Kalimantan itu.

Martapura adalah ibukota dari Kabupaten Banjar yang kerap diidentikkan Kota Berintan. Itu karena Kota Martapura memang memiliki banyak tempat pendulangan dan tempat pemolesan intan. Di

103

kota ini, tak sulit menemukan para pengrajin manik-manik dan kerajinan lain yang berkaitan dengan perhiasan. Tak hanya di Kalimantan julukan Kota Intan ini menyebar, tapi juga terkenal hingga ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Selain terkenal dengan julukan Kota Intan, kota ini juga terkenal sangat kental dengan kehidupan penduduknya yang agamis dan bersahaja.

Kota Martapura juga terkenal memiliki banyak tokoh-tokoh ulama besar Kalimantan seperti K.H. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datuk Sanggul, Datuk Nuraya, Syaikh Zaini bin Abdul Ghani, dan masih banyak lagi ulama besar yang lahir dan dibesarkan di tanah Martapura ini. Bahkan nama Martapura itu sendiri ada yang mengartikan-nya sebagai slogan perjuangan masyarakatnya, “Mari Taqwa Para Umat Rasulullah” yang disingkat menjadi MARTAPURA, yang mengisyaratkan masyarakatnya agar senantiasa patuh pada perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya serta menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Di samping itu, kota ini juga menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Mulai yang paling terkenal, penghasil intan terbesar di Kalimantan, hingga perkebunan sawit, karet, dan budidaya tambak ikan. Sehingga banyak penduduknya yang berprofesi sebagai pengusaha dari hasil sumber daya alam itu. Sebab itulah, banyak orang-orang Martapura yang berhasil menjadi pengusaha-pengusaha kaya seperti halnya Haji Syamsuddin.

104

Kendaraan terus melaju melewati simpang empat Sekumpul. Sebuah kecamatan yang sangat terkenal di Kalimantan Selatan, dimana di sana terdapat sebuah makam ulama besar yang sering diziarahi oleh para peziarah dari berbagai pelosok negeri. Mulai peziarah dari Kalimantan, Jawa, Sumatera, Lombok, bahkan ada yang dari Malaysia, Brunei, dan negara tetangga lainnya. Itu adalah Makam Syaikh Zaini bin Abdul Ghani atau yang akrab disapa oleh warga Martapura dengan sebutan “Abah Guru Sekumpul”. Beliau adalah salah satu tokoh Wali Kuttub55, atau yang dipercaya masya-rakat Banjar sebagai Walinya dari Wali Allah. Ada pula yang mengibaratkannya sebagai ketua para wali Allah. Tak tahu yang mana yang benar. Yang pasti, orang Banjar, baik kalangan tua, muda bahkan anak-anak sangat menghargai dan menghormati beliau.

Semasa hidupnya, beliau memang terkenal dengan sosok yang shaleh, alim, dan rendah hati. Beliau senantiasa memperhatikan lingkungan sekitarnya, dan selalu berbaik hati untuk membantu sesamanya. Beliau juga adalah tokoh yang memprakarsai terbentuknya sistem ekonomi mikro di daerah tempat beliau tinggal, dengan mem-bangun Pasar Sekumpul. Berbagai macam aktivitas perdagangan terjadi di sana. Sehingga, di sekitar daerah Sekumpul itu, warganya menjadi makmur dengan aktivitas perdagangan itu. Hal itu tak lepas dari berkat keberadaan pasar yang beliau bangun

55 Pemimpin para wali, Wallahu a‘lam

105

tersebut. Ya, itulah esensi ajaran Islam yang senan-tiasa beliau jalankan dalam kehidupannya, menjadi sosok yang Rahmatan lil ‘alamin, menjadi sumber kasih sayang/manfaat bagi sekeliling kita. Hanya saja, sedikit orang yang memahami keilmuan beliau dari sudut pandang ekonomi. Orang Banjar lebih memahami beliau dari sisi Ilmu Fiqh, Tauhid, Tasawwuf, dan sifat-sifat keshalehan, kealiman, dan ketawadhuan yang beliau miliki. Panggilan “Abah Guru Sekumpul” itu sendiri diambil dari nama daerah tempat beliau tinggal semasa hidup dulu, yaitu Kecamatan Sekumpul.

Tak berapa lama mereka mulai mengitari pusat kota. Dari sini sudah mulai terlihat Taman Al-Fatihah. Di tengah-tengahnya ada tembok besar berwarna putih berbentuk seperti menara bangunan Romawi Kuno berpadu dengan nuansa Timur Tengah. Di dindingnya bertuliskan surat Al-Fatihah. Sesuai dengan namanya sendiri, Taman Al-Fatihah. Di samping taman, tertampak Pasar Martapura yang menjadi pusat perekonomian dan mencari nafkah sebagian besar penduduk kota ini. Kelihatannya malam ini Kota Martapura sangat ramai. Hingga malam tiba, pemandangan masih dipenuhi peda-gang dan pengunjung yang berdatangan melakukan jual beli.

Tak jauh dari Pasar Martapura, nampak sebuah bangunan megah dan bersejarah yang menjadi kebanggaan kota ini. Sebuah bangunan yang menjadikan icon penting keberadaan kota ini. Masjid Al-Karamah. Bangunannya yang kental dengan nuansa Timur Tengah, terutama pada bentuk kubah masjid itu

106

menjadikannya begitu terlihat anggun dan memesona dipandang dari sudut manapun.

Rasyid dan Lukman sudah memasuki daerah Kecamatan Keraton. Kendaraan yang mereka tunggangi mulai melambat. Keraton adalah daerah perkampungan yang lumayan padat penduduk. Sehingga tidak sopan jika berkendara dengan kecepatan di atas tiga puluh kilometer perjam di tempat ini. Dan tak lama, tiba sudah ia di depan rumah sederhana, rumah dengan cat biru. Di matanya jelas sekali rumah itu nampak sudah begitu lapuk dan tua, hingga terlihat jelas kelupas-kelupas catnya yang mulai berguguran. Rumah itu tidak lain adalah rumah Kakek Ja’far.

Setelah motor berhenti, Rasyid langsung berlari ke dalam rumah. Pintu rumah itu terbuka lebar. Ia melihat ke sekeliling rumah, ada banyak sekali orang-orang yang datang,

“Apakah mereka ini warga yang datang untuk melihat keadaan kakek?”

Entahlah. Ia tak mempedulikan itu. Yang ada di pikirannya saat ini adalah, ia ingin bertemu kakek. Ia ingin melampiaskan segala kerinduan, segala kecemasan, dan segala kecintaannya kepada kakeknya yang sedang sakit keras itu.

Wajah Rasyid nampak mencerminkan ketidaktenangannya. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya tanpa suara, Paman Sulaiman. Beliau

107

memeluk Rasyid dan membawanya ke kamar tempat Kakek Ja’far direbahkan.

Rasyid terdiam. Ia melepaskan tas ranselnya dan meletakkannya sembarangan. Ia terpana. Ia dapati sang kakek nampak terkulai lemah tak berdaya di atas pembaringannya. Kakek Ja’far terlihat sangat kurus, tak ada lagi daging yang membungkus bagi badan beliau. Yang ada hanya tulang dan kulit tua yang menyelimutinya. Kakek Ja’far tampak tak seperti yang ia kenal. Wajah kakek pucat, menggambarkan bahwa beliau sedang menahan beban yang begitu berat.

“Ra… Ra… Rasyid kah itu yang datang?” seru Kakek Ja’far dengan nada suara yang sangat rendah bahkan tak terdengar. Suaranya terdengar terbata-bata, antara berusaha menarik nafas dan mengeluarkan ucapan dari mulutnya yang mulai terasa sangat kaku.

Rasyid segera memeluk kakeknya yang terbaring lemah tak berdaya. Rasyid menggengam erat-erat tangan kakeknya itu.

“Inggih, Kai ay. Ini Rasyid. Cucu pian nang kuliah di Malang. Cucu pian nang Kai sayangi banar. Cucu pian nang lawas madam kada babulik-bulik ka banua. Ni nah cucu pian ni bulik, ada di sia. Handak badapatan wan Kainya, nang

108

ulun sayangi banar di sia.”56 Rasyid berusaha bicara dengan isak tangisnya yang tak tertahankan.

“Alhamdulillah… Kayapa kuliah ikam tu ti57, Syid?” Wajah Kakek Ja’far nampak tersenyum. Tangannya membelai lembut kepala Rasyid sebagaimana yang sering ia lakukan saat menemani Rasyid kecil dulu akan tidur.

“Alhamdulillah bagus haja, Kai ay. Kai kada usah mahatiakan kuliah ulun hulu... Insya Allah ulun kawa haja mahimungakan hati Kai wan kulawarga barataan…” 58 Rasyid semakin tak kuasa menahan gejolak batinnya. Ia tak tega melihat keadaan kakeknya yang semakin tak berdaya. Bulir hangat dari matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia mencium tangan kakeknya.

Rasyid kembali memandangi wajah kakek-nya. Kakek Ja’far nampak kembali tersenyum.

“Kai handak bapadah sabuting ni banaray nah… Tulung, ikam daham hampai kalumpanan, wan jangan

56 Iya, Kek. Ini Rasyid. Cucumu yang kuliah di Malang. Cucumu yang Kakek sangat sayangi. Cucumu yang lama tak pulang ke kampung halaman. Inilah, sekarang cucumu ini telah pulang, ada di sini. Ingin bertemu dengan kakeknya, yang sangat saya sayangi di sini. 57 Bagaimana dengan kuliahmu? 58 Alhamdulillah, baik saja, Kek. Kakek tak perlu dulu memikirkan masalah kuliah saya. Insya Allah saya bisa membanggakan kakek dan seluruh keluarga.

109

ampih-ampih, atawa munyak, maamalakan sabarataan ilmu nang hudah ikam ulihi. Inya bila kada ikam amalakan, ilmu tu kaya puhun nang kada sing adaan buahnya. Kadada artinya… Sia-sia haja ikam bajauh-jauh sakulah ka Arab wan ka Jawa. Lawan jua, daham hampai tapasalah malihat dunia ini nah. Inya dunia ni satumatan haja. Kada salawasan, Cucuku way… Kai himung banar lawan ikam ni ti. Himung banar maitihi ikam nang bakulih paharatan ni ti. Insya Allah… Ini ti banaray nang handak ku padahakan lawan ikam, Cucuku way, nang bauntung batuah ni ti.”59

Tangan Kakek Ja’far terangkat, memegangi bahu Rasyid. Kakek Ja’far tersenyum kepada Rasyid. Bening mata Rasyid terus menyeruai melihat kakeknya yang jua meneteskan air mata. Air mata bahagia karena akhirnya ia bisa berjumpa dengan Rasyid, cucu tercintanya setelah sekian lama tak bertemu.

59 Kakek cuma ingin berkata satu hal. Tolong, kamu jangan sampai lupa, dan jangan pernah berhenti, atau jenuh, mengamalkan semua ilmu yang telah kamu peroleh. Karena, bila tidak kamu amalkan, maka ilmu itu seperti pohon yang tak berbuah. Tak ada artinya… Sia-sia saja jadinya kamu jauh-jauh sekolah ke Tanah Arab dan ke Tanah Jawa. Dan juga, jangan sampai tertipu daya oleh dunia ini. Karena dunia ini hanya sebentar saja. Tidak selamanya, wahai Cucuku… Kakek sangat bangga dengan dirimu. Sangat bangga melihat prestasi yang kau raih sejauh ini. Insya Allah. Hanya ini yang ingin aku katakan kepada dirimu, Cucuku yang beruntung…

110

Dengan begitu beratnya Rasyid berusaha untuk berucap. “Inggih, Kai ay. Ulun maasi tarus, lawan napa haja nang jar pian sambat lawan ulun…”60

“Alhamdulillah…” balas Kakek Ja’far.

Beliau diam. Mulut Kakek Ja’far tak bersuara beberapa saat. Rasyid turut terdiam. Bening matanya tak sanggup ia tahan. Air matanya terus menyeruai membasahi pipinya. Rasyid tak sempat lagi menghiraukan keberadaan pamannya yang sedari tadi berada di belakangnya.

Beberapa saat, mulut Kakek Ja’far kembali bergetar. Beliau seperti mengucapkan sebuah kalimat. Rasyid hampir tak mendengarnya. Suara Kakek Ja’far terdengar sangat pelan. Rasyid mencoba mendekatkan telinganya ke mulut Kakek Ja’far. Dan baru ia bisa mendengar kakeknya mengucapkan kalimat, “Laailaaha illallaah… Wa Muhammad Rasuulullaah…” dengan suara lirih.

Rasyid terdiam, mendapati kakeknya melafalkan kalimat syahadat yang terdengar parau di telinganya. Rasyid terus memegangi tangan kakeknya. Ia terpana tanpa suara. Pikirannya kosong. Air matanya terus berlinang tanpa ia sadari. Tangannya terus menggenggam erat tangan Kakek Ja’far yang kini terasa

60 Baik, Kakek. Saya akan selalu patuh dengan setiap yang kau katakan kepada saya.

111

berubah menjadi sangat dingin. Ia terpaku sesaat lamanya. Ia menatap ke langit-langit rumah. Getar jiwanya seolah merespon kehadiran sosok yang tak nampak oleh mata, yang datang menjemput kakeknya. Ia tertunduk. Beberapa saat, Rasyid mulai melepaskan tangan kakeknya. Ia mencium kening kakeknya dengan lembut.

Ia menghela nafas panjangnya. Wajahnya kembali tertunduk. Pikirannya kosong. Hampa. Tangannya ikut bergetar. Ia menghembuskan nafasnya yang terisak. Ia mencoba menerima. Ia mencoba menerima bahwa Kakek Ja’far telah sampai kepada waktu yang ditentukan oleh-Nya. Rasyid menoleh ke belakang. Ia berdiri lalu menghampiri pamannya. Ia memeluk pamannya yang jua terpana. Diam. Erat.

Detik ini, malam Jum’at, tepat jam delapan WITA, Kakek Ja’far telah sampai pada usia yang ditetapkan oleh-Nya. Kakek Ja’far meninggal dunia. Meninggalkan dirinya dan keluarga tercinta.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya semuanya milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah semuanya akan dikembalikan.61

Dan jiwa yang tenang itupun kembali ke hadirat-Nya. Kullu nafsin dzaaiqatul mauut…62

61 QS. Al-Baqarah: 156

112

***

62 Tiap-tiap jiwa pasti akan merasakan kematian

113

۞ Part 8

Gemuruh Takbir

Kakek Ja’far seolah punya keinginan terakhir sebelum meninggalkan semuanya, yaitu ingin ber-temu dengan cucu tercintanya yang merantau menuntut ilmu di tanah seberang. Rasyid berusaha menguatkan hatinya untuk membuka mata dan menatap ke wajah sang kakek. Rasyid kembali mencium kening kakeknya itu dengan lembut untuk yang terakhir kalinya.

Paman Sulaiman langsung memegangi pundak Rasyid. Rasyid menoleh ke wajah paman-nya. Rupanya Paman Sulaimanpun tak sanggup menutupi kesedihannya. Beliau juga melinangkan air mata. Air mata kesedihan atas kematian orang tua yang dicintainya. Beliau menganggukkan kepalanya kepada Rasyid, seolah memberi isyarat agar tetap tabah, sabar, dan ikhlas menerima kepergian Kakek Ja’far.

114

Tiap-tiap berjiwa pasti akan merasakan mati63. Dan itulah sudah ketentuan Allah. Tidak peduli siapa, apa, dimana, kapan, dan dengan cara bagaimana. Semua yang bernyawa pasti akan merasakan maut/kematian. Tak peduli apakah dia presiden, raja, perdana menteri, pengemis, penga-men, maling, perampok, polisi, dan lain sebagainya. Tidak memandang apakah dia si kaya, si miskin, si terhormat, ataukah si hina. Tak hirau apakah berada di rumah, Rumah Sakit, di laut, di udara, bahkan di dalam tanah sekalipun. Tak menunggu apakah sekarang atau nanti. Hari ini ataukah besok, atau lusa. Dan tak mungkir entah oleh karena sakit, kecelakaan, atau secara tiba-tiba, tanpa alasan sekalipun. Entah dengan cara yang sangat kasar atau sangat halus. Allah pasti mengutus malaikat-malaikat-Nya untuk mencabut ruh-ruh dari raga-raga hamba-Nya di dunia, untuk kembali meng-hadap ke hadirat-Nya. Maka, apakah kita sudah siap dengan kejadian yang tak pernah bisa diprediksi dan diduga kedatangannya itu?

“Jadi, kakekmu ini akan dikuburkan dimana, Syid?” tanya Pak Haji Syamsuddin yang juga datang untuk melayat ke rumah Kakek Ja’far, sekaligus untuk melihat kali terakhirnya sahabat abahnya itu dimakamkan.

63 QS. Ali-Imran: 185

115

“Insya Allah akan dikuburkan di alkah64 keluarga, di dekat Langgar Darussa’adah, Pak Haji. Tapi, nanti kata Paman Sulaiman, kakek dishalatkan dulu di Masjid Al-Karamah sebelum shalat Jum’at.” jawab Rasyid dengan mencoba bersikap hangat kepada orang yang begitu berjasa bagi hidupnya itu.

“Baguslah kalau begitu. Lebih cepat maka lebih baik, Nak Rasyid. Aku juga berharap kepada-mu untuk selalu tabah. Karena kiranya kau sendiri sudah mengetahuinya. Kematian adalah hal yang dipastikan akan menimpa setiap makhluk yang bernyawa. Jadi, tak ada yang harus disesalkan, karena itu sudah menjadi ketentuan Allah.” Pak Haji menepuk pundak Rasyid, mencoba memberikan semangat dan motivasi kepada pemuda yang ia minta menjadi calon suami putrinya itu.

“Inggih, Pak Haji. Insya Allah…” balas Rasyid serak.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh lima WITA. Kakek Ja’far sudah selesai dimandikan dan dikafankan. Selanjutnya jenazah beliau dibawa dengan mobil jenazah ke Masjid Al-Karamah

64 Pemakaman

116

Martapura oleh syarikat kematian Kecamatan Keraton untuk dishalatkan sebelum acara shalat Jum’at dimulai.

Rasyid tak mengira sebelumnya, para jama’ah yang datang ke masjid itu sangat banyak. Para pedagang pasar yang mendapat kabar bahwa Kakek Ja’far baru saja meninggal, segera menutup toko-toko mereka dan bersegera menuju Masjid Al-Karamah. Mereka tak ingin ketinggalan untuk menshalatkan ulama kecintaan mereka itu. Perasaan Rasyid sedikit lebih baik saat melihat kobaran semangat para jama’ah yang ikut berduka atas meninggalnya Kakek Ja’far. Ia bangga dengan diri sang Kakek, dan bangga kepada dirinya sendiri karena pernah hidup dekat bersama Kakek Ja’far, ulama tercinta warga Martapura.

Matahari sudah bercokol tepat di atas ufuk. Jam sudah menunjukkan tepat pukul dua belas siang. Rasyid sudah siap berada di dalam masjid untuk menshalatkan kakeknya. Kali ini ia sendiri yang diminta oleh Paman Sulaiman untuk mengimami shalat jenazah, sesuai dengan yang pernah diwasiatkan sang kakek.

Rasyid maju ke depan. Para jama’ah segera berdiri dan merapatkan barisan. Rasyid berusaha menenangkan dirinya terlebih dahulu. Ia mencoba mencari kekhusyukkan hati dalam mengimami shalat untuk kakeknya. Dengan perlahan ia mengangkat takbir pertama. Dan seketika suara takbirpun bergemuruh dari dalam hingga keluar masjid mengiringi takbir pertama Rasyid. Jantung Rasyid bergetar. Ia merasakan dahsyatnya satu kekuatan tak terkira yang seolah

117

datang dengan cepat menghampirinya. Jenazah kakeknya yang tepat berada di hadapannya seolah dikitari cahaya putih terang. Namun, hanya Rasyid yang bisa merasakannya. Perlahan ia angkat takbir kedua. Seketika gemuruh itu kembali muncul. Jantung-hatinya semakin berdebar kencang. Suasana kala itu serasa benar-benar luar biasa. Hanya ia yang bisa merasakannya. Rasyid terus dengan khusyuk-nya memimpin shalat fardhu kifayah itu hingga selesai.

Selesai shalat jenazah untuk Kakek Ja’far, sang bilal65 langsung mengumandangkan adzan. Suasana masjid kembali seperti semula. Para jama’ah yang tadinya merapat untuk memakmumi shalat kifayah, kembali ke shafnya masing-masing dengan teratur.

Rasyid kembali ke tempatnya. Ia duduk bersampingan seorang lelaki tua yang berpakaian serba putih. Sorban hijau di bahunya nampak berkalung dengan begitu pasti. Lelaki tua itu menoleh ke arah Rasyid. Beliau nampak tersenyum kepada dirinya. Beliau kemudian berdiri dan segera naik ke atas mimbar. Rasyid baru saja sadar bahwa lelaki tua itu adalah orang yang disebut-sebut sebagai Kiai Guru Abdussyukur, sahabat karib kakeknya yang juga merupakan guru, dan ulama besar dari pondok pesantren Darussalam Martapura. Ia tahu karena tadi ia sempat melihat nama khatib yang mengisi khutbah hari ini adalah Kiai Abdussyukur.

65 Petugas Adzan (Muadzin)

118

Rasyid menundukkan kepalanya. Ia menu-tupi air matanya yang kembali melinang di wajahnya. Ia pejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam seraya berzikir kepada sang Pencipta agar tak kembali meratapi kepergian kakeknya. Ia berusaha untuk menegarkan hati. Ia tak boleh goyah. Ia berusaha untuk mulai berkonsentrasi dengan sidang Jum’at yang akan segera dimulai.

Selesai menyampaikan khutbahnya, Kiai Abdussyukur yang menjadi khatib pada kala itu segera turun dari mimbar. Beliau meletakkan tongkatnya di sisi mimbar masjid, lalu menghampiri Rasyid yang masih nampak sayu.

Beliau memegang pundak Rasyid dengan lembut. Rasyid segera tersadar. Rupanya bilal sudah mengumandangkan Iqamat. Kiai Abdussyukur menarik tangan Rasyid untuk maju ke shaf paling depan. Rasyid hanya diam dan menurut saja isyarat dari Kiai Abdussyukur. Seorang lelaki berjubah coklat segera maju ke sajadah perimaman. Nampak di setiap beberapa barisan shaf seorang petugas masjid sesegeranya merapihkan barisan shaf para jama’ah shalat. Sang imam mulai mengangkat takbir, diiringi para jama’ah yang ikut dalam shalat Jum’at berjama’ah itu.

“Allahu Akbar… Allah Maha Besar…!!!”

Siang itu gema takbir serentak bergemuruh hingga menggetarkan ‘Arsy.

119

***

120

۞

Part 9

Nostalgia di Pondok Pesantren

Seminggu sudah setelah Kakek Ja’far meninggalkan semuanya. Kini perasaan di hatinya sudah mulai bisa dikendalikan. Rasyid sudah mulai bisa menerima kepergian sang kakek meski kadang sedih itu kembali datang. Sejak hari meninggalnya Kakek Ja’far, tak henti-hentinya pamannya, Sulaiman, menenangkan Rasyid dan menghibur keponakan tersayangnya itu. Selama seminggu ini, tak ada satu hal apapun yang Rasyid kerjakan. Ia hanya berdiam diri di rumah almarhum kakeknya yang kini ditempati pamannya, Sulaiman.

Ia tak banyak bicara dan tak banyak ber-aktivitas. Untuk menjalani haripun rasanya sangat malas sekali. Hatinya hampa. Bahkan, di awal-awal kepergian Kakek Ja’far, Rasyid terlihat begitu lesu, tak

121

bersemangat. Wajahnya pucat pasi. Ia bahkan tak mandi hingga dua hari. Pekerjaannya hanya melamun, makan, shalat, dan tidur. Untuk diajak bicarapun agak sulit. Untunglah dengan keberadaan Paman Sulaiman, nampaknya semangat hatinya untuk kembali menapaki roda kehidupan kini sudah mulai bersinar kembali.

Dari dalam rumah, Paman Sulaiman berjalan perlahan mendekati Rasyid yang sejak tadi duduk sendirian di teras depan rumah sambil asyik memandangi anak-anak kecil, mungkin masih TK, sedang asyik bermain di halaman mushalla yang berseberangan dengan rumah Kakek Ja’far.

Pamannya datang dari belakang, dan mengambil duduk di samping kanan Rasyid.

“Kamu suntuk kah, Syid?” sapa Paman Sulaiman sambil menepuk bahu kanan Rasyid.

“Eh, Paman… Inggih, kadada yang ulun kerjakan.66 Sebenarnya ulun handak67 melakukan sesuatu. Soalnya selama berada di Malang, ulun terbiasa sibuk dengan kuliah. Jadi, saat kadada68 pekerjaan seperti ini, ulun jadi merasa bosan. Handak ada hal yang dikerjakan, Paman…” jawab Rasyid sambil menoleh ke

66 Iya, tidak ada yang saya kerjakan. 67 Handak = ingin 68 Kadada = tidak ada

122

wajah pamannya. Wajah Rasyid masih nampak sayu di mata Paman Sulaiman.

Paman Sulaiman tersenyum. Matanya ikut memerhatikan anak-anak kecil yang masih asyik dengan canda gurau mereka di seberang jalan sana.

“Kota Malang. Aku kada69 pernah pergi ke sana, Syid. Cuma tahu namanya dan kabarnya dari berita di TV saja. Kamu jua kada pernah bercerita tentang kota itu. Sekarang, ayo ceritakan kepadaku tentang kota tempatmu menimba ilmu itu.” Paman Sulaiman membuka wacana. Wajahnya masih tak bergeser sedikitpun dari anak-anak kecil itu.

Rasyid tersenyum. Pikirannya seketika membayangkan kota yang kini menjadi tempatnya menuntut ilmu itu.

“Ayolah kisahkan70 kepadaku, Syid?” pinta Pamannya untuk kedua kalinya.

Rasyid menghela nafas panjangnya. Bibirnya tersenyum mendengar pamannya yang tengah memaksa dirinya untuk bercerita.

“Seperti anak kecil saja” gumamnya lalu kembali tersenyum.

69 Tidak 70 Kisah = cerita

123

“Wah… Ngalih71 Paman kalau dikisahkan. Pokoknya, Malang itu hawanya sejuk, dan banyak pepohonan di tengah kota. Kemudian, banyak ber-diri universitas-universitas, tempat para mahasiswa menimba ilmu. Dan juga, banyak tempat rekreasi yang kadada di sini. Mungkin secara umum seperti itu.” Rasyid tersenyum.

“Berarti,,, Malang itu kota yang indah lah, Syid?” Pamannya mengikuti senyum Rasyid yang tengah mengembang.

“Yaaa… Bisa dikatakan seperti itu… “

“Alhamdulillah… Beruntung sekali kamu mendapat kesempatan bersekolah ke sana, Syid. Aku sangat iri padamu, karena kada pernah sama sekali menginjakkan kaki ke kota indah itu. Aku jua bangga kepadamu, yang mendapatkan amanah oleh Haji Syamsuddin untuk menimba ilmu di sana. Dulu kamu juga pernah dikirim ke Hadramaut untuk menimba ilmu agama. Aku benar-benar bangga kepadamu, Syid. Kakek jua pernah berucap kepadaku bahwa beliau sangat bangga dan cinta kepadamu. Kamu adalah cucunya yang paling ia banggakan.”

Kata-kata pamannya itu mengingatkannya kembali kepada Kakek Ja’far. Ia terdiam sesaat lamanya sambil menundukkan pandangannya. Kemudian

71 Sulit

124

Rasyid menoleh ke dalam rumah, ke arah lemari buku berwarna hitam lapuk tua.

“Kitab kakek itu, boleh ulun melihatnya? Sudah lama sekali rasanya ulun kada membaca kitab-kitab kakek itu. Semenjak ulun pergi ke Malang, ulun kada pernah lagi menyentuh kitab-kitab kuning72 milik kakek…” ucap Rasyid. Hatinya teringat kembali saat ia dididik Kakek Ja’far dulu.

“Boleh… Siapa yang melarang?” jawab Pamannya tersenyum.

Rasyid bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati lemari kitab-kitab itu. Ia ambil satu kitab milik kakeknya, sebuah kitab Fiqh Klasik karangan Imam Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin. Ia buka dengan perlahan lembar demi lembar kitab itu. Kitab itu jelas sekali nampak tertutup debu tebal karena lama tak disentuh oleh orang lain. Dalam hatinya, ia ingin menjadikan kakeknya bangga kepadanya. Ia ingin bisa menguasai apa yang ada di dalam kitab-kitab itu agar ia bisa seperti kakeknya.

“Ulun handak memperdalam kitab-kitab ini, Paman. Bolehkah ulun meminjamnya sampai ulun selesai mempelajarinya? Ulun handak seperti kakek.

72 Kitab kuning = kitab gundul-kitab dengan bahasa arab tanpa harakat

125

Ulun handak kakek bangga.” ucap Rasyid sambil memegang kitab milik kakeknya itu erat.

Pamannya kembali tersenyum. Ia mendekati Rasyid dan berdiri di sampingnya.

“Kamu boleh meminjamnya, dan kamu boleh membacanya sesuka hatimu. Bahkan kamu boleh mewarisi kitab-kitab kakek itu. Tapi, kamu harus ingat satu hal, Rasyid…!” Paman Sulaiman memegang pundak Rasyid, memberi semangat.

“Ingat satu hal? Apa itu, Paman?” Rasyid mengernyitkan dahinya.

“Kamu saat ini masih memegang amanah seseorang yang menguliahkanmu di Malang. Jadi, kamu harus menyelesaikan dulu amanah dari Pak Haji itu. Kamu harus benar-benar tuntas dan bisa membuat bangga Pak Haji si pemberi amanah. Kamu harus fokus dengan kuliahmu dulu. Baru setelah itu kamu boleh mempelajari kitab-kitab kakekmu itu. Ingat, kamu harus fokus pada satu hal agar hasilnya bisa maksimal. Jika kamu hanya ingin menurutkan ambisi sesaatmu ini, itu tak akan ada gunanya. Malah akan membuat sesuatu yang lain jadi terbengkalai. Dan tugasmu saat ini, adalah menyelesaikan kuliahmu, sebagaimana amanah Pak Haji.” nasihat paman Sulaiman.

Rasyid diam. Ia tersadar setelah mendengar petuah dari pamannya itu. Hingga saat ini, ia masih berstatus sebagai mahasiswa. Ia masih punya satu

126

kewajiban yang harus dituntaskannya sebagaimana yang pamannya ucapkan. Ia harus menyelesaikan bangku kuliahnya yang sudah memasuki semester akhir.

Ia baru sadar kalau ia sudah menggarap skripsinya, dan ia baru sadar bahwa ia harus kembali ke Malang untuk menuntaskan semua urusan-urusannya. Urusannya dengan teman-teman di asrama, urusannya di Rental Komputer Rahayu sebagai tenaga upah pengetikan, urusannya di Dinoyo Printing sebagai karyawan bagian pe-nyablonan, urusannya menjadi guru mengaji para santri di Masjid Al-Azizah, dan masih banyak lagi urusan lain yang harus ia selesaikan yang sempat terlupakan. Ia harus kembali ke Malang. Ia harus kembali melanjutkan misi-misinya yang belum selesai itu.

“Paman benar… Ulun masih punya urusan-urusan yang harus ulun selesaikan di Malang. Ulun harus berkonsentrasi dulu dengan kuliah dan semua urusan di Malang. Baru setelah itu ulun bisa dengan khusyuk mengkaji kitab-kitab peninggalan kakek ini. Ulun handak membahagiakan kakek yang ada di surga sana, Paman…” ucapnya menyadari.

“Ya… Kamu benar, Anakku. Hendaknya sesegeranya kamu kembali ke Malang dan menyele-saikan urusan-urusan itu. Kamu harus menunaikan amanah yang dibebankan oleh Pak Haji kepadamu.” sahut Paman Sulaiman.

127

“Inggih, Paman. Tapi, kebetulan sekarang lagi musim libur semester. Dan masuk kuliah masih tiga mingguan lagi. Ulun handak di sini dulu. Ulun handak mengunjungi keluarga-keluarga yang lain. Paman Jumberi, dan Acil73 Jamar. Mumpung ulun ada di Banjar. Ulun handak bersilaturrahim dulu dengan mereka.”

Pamannya mengangguk. Ia merasa kalau keponakannya itu sudah mulai bangkit dari keterpurukannya setelah ditinggal kakek tersayang-nya.

“Ucapanmu itu benar. Alangkah baiknya kamu bersilaturrahim ke rumah mamarina-mamarina74mu itu. Biar nanti kamu mendapatkan pelajaran bersama mereka, Syid…”

Rasyid mengangguk. “Inggih, Paman. Renca-nanya besok ulun handak ke rumah Acil Jamar. Oh iya Paman, rumah Acil Jamar sekarang ada dimana lah?”

“Acil-mu itu sekarang tinggal di Tanjung Rema. Dan dia sekarang berjualan beras di Pasar Martapura. Mending kamu bantu dia berjualan di pasar. Kata Pak Haji kamu kan pinter jualan. Hitung-hitung bantu Acil-mu itu, mumpung kamu ada di sini. Ya kan…?!”

“Inggih, Paman, Insya Allah…” balas Rasyid tersenyum.

73 Tante (adik dari ibu/bapak) 74 Adik atau kakak dari orang tua (paman atau tante)

128

Sejak kakek meninggal, baru hari ini pamannya melihat Rasyid kembali tersenyum. Pamannya itu ikut tersenyum seraya menampakkan kegembiraannya melihat sang surya telah bersinar setelah dirundung awan kelabu.

*** Pagi itu, ia tengah di perjalanan menuju pondok

pesantren tempat ia menimba ilmu dulu. Memang hari ini tak ada yang ia kerjakan di rumah. Dan daripada menganggur sendiri sepi, lebih baik ia menemani abahnya ke pesantren. Ia ingin mengusir sunyi yang belakangan menemani dirinya. Sekalian, ia ingin melihat-lihat suasana pesantren saat ini. Ia dengar kabar, kini pesantren sangat berbeda dengan dulu. Padahal baru sekitar dua setengah tahun ia tinggalkan. Ia jadi penasaran dengan keadaan pondoknya itu. Hatinya juga tak memungkiri, ia sangat rindu dengan pondok pesantren yang membesarkannya itu. Begitu banyak kenangan dan cerita yang terukir di balik dinding-dinding rumah kedua baginya itu. Hatinya jadi rindu ketika teringat saat-saat dulu. Ia jadi kangen semua sahabat-sahabatnya yang kini sudah terpisah dengan dirinya. Ia teringat beberapa teman satu angkatan-nya yang mengabdikan dirinya mengajar di pesantren, Siti, Khusnul, dan Nurkamalia. Tak sabar lagi rasanya ingin bertemu teman-teman lamanya itu.

Kini laju mobil Kijang Innova yang mereka tumpangi terus melejit mewah di atas jalanan

129

Kecamatan Gambut. Mobil melaju menembus terik mentari yang sejak tadi menerpa langit Banjar. Tanpa ia minta, pikirannya kembali teringat tentang perte-muannya dengan gadis bernama Amelia di Bandara Juanda seminggu lalu, ketika hendak pulang ke Banjar.

Ia masih penasaran dan bertanya-tanya, apa hubungan gadis itu dengan Abang Rasyid? Ia tak kuasa menahan rasa penasarannya itu. Ia memang gadis yang tak kuat menahan diri untuk bertanya ketika rasa penasaran datang pada dirinya. Cepat-cepat ia mengeluarkan hand phone-nya, dan mengirim pesan kepada temannya.

Pesan dikirim :

Pesan diterima :

Pesan dikirim :

Wati…? Menurutmu siapa sebenarnya Amelia itu ya?

Ketemenehe75, kenapa emang? cemburu ya…?

Tak lah… cuma want to know aja. he…

75 Mana aku tahu (bahasa gaul anak muda zaman sekarang)

130

Ia memasukkan hand phone-nya kembali ke dalam tas yang sejak tadi di pangkunya. Ia merasa tak puas dengan jawaban dari temannya barusan. Pandangannya terus mengamati langit kelam yang mulai datang beriring gerimis di langit Kota Banjarbaru. Tanpa menghiraukan perasaannya, mobil terus melaju menembus gerimis-gerimis kecil itu hingga memasuki kawasan Kota Banjarbaru. Pondok pesantrennya sudah semakin dekat. Hatinya mulai merasakan haru kerinduan kepada pondok pesantren tercinta. Dan tak selang lama mobil memasuki kawasan Pondok Pesantren Putri Darul Hijrah, Desa Cindai Alus. Begitu mobil berhenti, tanpa menunggu apapun ia langsung keluar. Cuaca Cindai Alus cukup cerah. Rupanya hujan di Banjarmasin tak mengiringinya hingga ke sini.

“Syukurlah…” gumamnya.

Gadis itu langsung berjalan meninggalkan abahnya yang masih berada di dalam mobil. Ia ingin segera melampiaskan kerinduannya akan pondok pesantren tercintanya. Ia menikmati setiap nostalgia akan cerita lama tentang kenangan indahnya di sini, Pondok Putri Darul Hijrah. Wajahnya tersenyum. Hatinya berbunga-bunga. Ia menapaki setiap jalur jalan pondok pesantren, melintasi setiap bangunan-bangunan tua yang menjadi saksi bisu semua cerita tentang dirinya.

Ia berhenti sejenak seraya menatap ke arah sebuah ruang kelas. Ia berjalan pelan menaiki anak tangga satu persatu hingga ke teras ruangan itu. Dari

131

balik jendela kaca, matanya seolah melihat kembali kejadian-kejadian indah di dalam kelas itu, ruang kelasnya dulu, kelas tiga bahasa. Sejurus ia melanjutkan langkahnya ke setiap sudut tempat. Ke masjid, ke Laboratorium Bahasa, Laboratorium Biologi, perpus-takaan, dan beberapa tempat yang menaruh perha-tiannya. Ia dapati banyak sekali santriwati yang berkumpul mengelompok di dalam perpustakaan. Ia tersenyum melihat suasana ramai, namun sangat bersahaja.

“Kak Zahra…??!” Tiba-tiba terdengar teriak seorang gadis muda dari depan sebuah kelas.

Ia tersentak sambil menoleh ke asal suara.

“Hey… Azizah??” sambutnya sambil me-lemparkan senyumnya.

Ia tak menduga akan bertemu dengan Azizah, adik kelasnya waktu masih nyantri di pondok dulu. Sekarang Azizah sudah menjadi pembina santriwati di pondok pesantren.

Azizah menghampirinya dengan wajah senangnya.

“Kak Zahra kapan datang?” tanya Azizah kepadanya yang sejak tadi berdiri di depan perpustakaan.

132

Ia menyambut Azizah dengan senyumnya. Zahra meletakkan jari telunjuk kanannya di depan mulut, seraya memberikan Azizah isyarat agar adik tingkatnya itu tak sampai membuat gaduh suasana dan mengganggu konsentrasi para santri yang tengah belajar di dalam kelas.

Azizah langsung memeluk Zahra dengan berjuta perasaan rindunya. Dua gadis muda itu nampak berpelukan.

“Kak Zahra kapan datang ke Banjar?” tanya Azizah untuk kedua kalinya penasaran. Wajah Azizah menampakkan rona bahagia karena bertemu dengan Zahra, sosok santriwati idolanya kala masih nyantri di sini dulu.

“Kakak datang kemarin lusa. Kamu me-ngabdi di pesantren kah?” balas Zahra dengan antusias dan perasaan rindu kepada Azizah.

“Inggih… Udah hampir satu tahunan malah. Lama tak ketemu lah, Kak? Kak Zahra sekarang kuliah kah? Dimana? Denger-denger kabar, katanya kuliah di luar Kalimantan? Makanya gak terlihat lagi di Banjar. Biasanya kan kak Zahra selalu berkunjung ke pesantren kalau memang ada di Banjar?” ucap Azizah. Kedua gadis itu masih dengan senyum bahagianya.

“Iya, Alhamdulillah. Kak Zahra kuliah di Malang, tepatnya di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.”

133

Zahra merasa sangat senang melihat Azizah yang nampak sangat ceria bertemu dengan dirinya.

“Ooo… Zizah tau, di Jawa Timur kan? Zizah pernah lihat di TV. Kuliahnya besar sekali. Waahhh… Kak Zahra hebat lah?”

Zahra tersenyum mendengar perkataan adik kelasnya itu.

“Apanya yang hebat, Zizah?” balas Zahra pelan. Ia tak ingin suaranya mengganggu para santriwati yang sedang khusyuk belajar di ruang kelas mereka masing-masing.

“Yaaa… Hebat, kuliah di Jawa. Seorang putri Kiai menimba ilmu di perantauan dan di sebuah kuliah yang besar.” jawab Azizah mengimbangi suara Zahra.

“Bukan kuliah yang besar, Zizah… Tapi, Universitas yang besar.” Zahra kembali tersenyum.

“Sebenarnya Zizah juga ingin kuliah kayak Kak Zahra. Gak usah jauh-jauh sampai ke Jawa, di Banjarpun sudah lebih dari cukup. Tapi, apa boleh dikata, nasib Kak Zahra kan beda dengan Zizah. Kak Zahra putri seorang Kiai. Sedangkan Zizah, hanya putri seorang petani.” Azizah menampakkan rasa irinya kepada Zahra.

Zahra jadi terharu mendengar ucapan adik tingkatnya itu. Ia tahu betul, Azizah adalah sosok yang

134

tekun dan pekerja keras. Ia juga adalah santriwati yang cerdas. Sayangnya, ia hanya putri seorang petani Cindai Alus yang tak mampu menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Dari raut wajahnya, Zahra bisa menampaki sebuah cita-cita besar yang ingin diraih gadis itu. Beruntung sekali rasanya ia yang bisa sekolah sampai perguruan tinggi, bahkan di luar Kalimantan, di perguruan tinggi negeri ternama seperti Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

“Insya Allah, kalau kamu punya keinginan, kamu pasti bisa meraihnya. Asal… terus berusaha dan pantang menyerah lah… Ok??!!” Zahra men-coba memberikan motivasi kepada Azizah.

“Amin… Oh iya, Kak… Zizah mau ke kelas dulu lah? Mendampingi santriwati-santriwati me-ngaji. Assalamu’alaikum??”

Azizah kembali memeluk Zahra dan mencium pipinya. Zahra setengah kaget dengan ulah Azizah yang mencium pipinya barusan. Tapi, ia paham, itu karena Azizah begitu bahagia karena bisa bertemu dengannya hari ini.

“Wa’alaikumsalam…” balas Zahra.

Zizah meraih tangan Zahra dan menciumnya. Zahra kembali kaget melihat tingkah adik kelasnya itu. Ia merasa kalau tangannya tak pantas untuk dicium. Ia merasa bukan seorang yang alim atau punya derajat

135

lebih tinggi sehingga tangannya patut untuk dicium oleh orang lain.

Azizah berlalu dan masuk kembali ke sebuah ruangan kelas. Zahrapun kembali melanjutkan berkeliling pondok pesantren. Sehabis berkeliling, ia kembali untuk menemui abahnya di ruang pimpinan pondok pesantren.

“Oh iya, Dang… Insya Allah akhir bulan nanti, pesantren akan mengadakan Reuni Akbar, mulai dari angkatan 2002, sampai dengan angkatan 2008 baik tingkat MTs dan MA dulu.” ucap abahnya.

“Benar kah itu, Bah? Wah bakal seru tuh. Zahra bisa ketemu temen-temen Zahra dulu. Acaranya dimana?” Wajah Zahra nampak sumringah mendengar kabar baik dari abahnya.

“Insya Allah di pondok putra.” Kiai Karim nampak tersenyum melihat ekspresi kebahagiaan putri kesayangannya.

“Mmm… Asyik dong, Bah… Zahra jadi tak sabar lagi ingin bisa ketemu sama temen-temen Zahra waktu masih nyantri dulu…” balas Zahra.

Kiai Karim hanya diam dan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum melihat keceriaan putri kesayangannya itu. Tangannya nampak tak henti-hentinya sejak tadi mengetik tasbih sambil terus berzikir.

136

Sesaat kemudian, abah dan putrinya itu nampak berbincang sambil berkeliling mengitari seluk beluk pesantren. Suasana pesantren kini benar-benar berbeda dibandingkan saat ia masih nyantri di sini dulu. Padahal hanya dua setengah tahun ia tinggalkan. Rupanya pondok pesantren berkembang dengan pesat.

“Sudah cukup lama aku meninggalkan pondok ini…” bisik Zahra dalam hatinya sambil tersenyum.

“Reuni Akbar, ya? Rasanya sudah tak sabar lagi untuk menghadiri acara itu”. Angannya memba-yangkan bagaimana acara reuni nanti akan digelar.

***

137

۞ Part 10

Reuni Akbar

Zahra nampak sudah rapi. Ia terlihat begitu menawan dengan pakaian yang ia kenakan. Putri Kiai itu mengenakan baju jubah berwarna hitam berhiaskan sulaman bermotif bunga mawar merah nan tersulam rapi dari atas hingga kaki.

“Subhanallah… Cantik benar kamu, Dang? Wah… Pasti banyak yang titip salam nih sama putri Kiai.” canda Wati. Ia setengah tak percaya melihat sahabatnya itu nampak begitu anggun hari ini.

Hari ini kedua dara muda itu memang sengaja berpenampilan lebih istimewa dari biasa-nya. Pasalnya, hari ini keduanya akan menghadiri Reuni Akbar pondok pesantren dari angkatan 2002-2008. Kedua dara itupun nampak sudah tak sabar lagi dengan acara yang diselenggarakan lima tahun sekali itu.

138

“Biasa aja, Wati… Ini kan Ummi yang beliin.

Kata beliau sih emang khusus buat acara hari ini…” balas Zahra yang tengah merapikan jilbabnya. Kini ia merasa yakin dengan penampilannya.

“Baik sekali lah Ummi. Sampai pakaianmu hari ini aja diperhatikan dengan baik sama Ummi. Iri jadinya aku nah sama kamu, Dang?” balas Wati.

“Jangan begitu lah, Wati. Tak ada bedanya lah aku sama kamu, sama saja?”

“Iya sih… Hehe…” Wati tersenyum men-dengar ucapan Zahra. Tak hanya penampilannya yang nampak lebih memesona dari biasanya. Gaya bicara Zahrapun terdengar begitu lembut dan menawan hati hari ini.

“Udah, kamu siap-siap aja sana. Setelah itu kita segera berangkat. Paman Mahdi kasian tuh dari tadi sudah menunggu di bawah…” ucap Zahra menyuruh Wati agar segera menyiapkan dirinya.

“Iya, Putri Kiai…” balas Wati sambil mencubit kedua pipi Zahra. Zahra membalasnya dengan tersenyum seraya langsung mencubit pinggang sahabatnya itu.

***

139

Pondok Putera Darul Hijrah nampak sudah mulai ramai. Satu persatu para tamu alumni mulai berdatangan. Langkah kaki kedatangan mereka disambut oleh alunan musik kasidah yang diputar cukup keras oleh panitia pelaksana. Tak hanya dari Kalimantan saja, para alumni yang sekarang tinggal di luar daerah Kalimantanpun ada yang ikut hadir.

Di depan pintu gerbang nampak spanduk dan janur kuning yang sengaja sudah dipajang sejak kemarin untuk menyambut para tamu yang datang. Sejak jam delapan tadi kerumunan manusia semakin membludak.

Zahra dan Wati sudah tiba di pesantren putra sepuluh menit yang lalu. Kedatangan kedua dara cantik itu bak sebuah kedatangan seorang putri raja didampingi sang dayang pundi. Orang-orang yang menyadari kedatangan mereka nampak tertegun, seolah dunia berhenti berputar.

Angin yang berhembus nampak mengiringi langkah kaki kedua dara cantik itu. Aura keanggunannya semakin nampak ketika angin sepoi mengibaskan jubah hitam yang Zahra kenakan, menerbangkan aroma wangi dari sang putri alam. Angin bertiup menyapu jalanan, menerbangkan dedaunan yang menghalangi langkah Zahra. Seolah tak ingin sedikitpun alam mengotori kesucian sang bidadarinya.

140

Di depan masjid, nampak seseorang gadis berkerudung biru muda melambaikan tangannya kepada Zahra dan Wati. Wati sontak membalas dengan lambaian tangan pula. Gadis yang melambaikan tangan di seberang sana nampak tersenyum. Itu Khusnul, teman satu kelasnya dulu. Khusnul berdiri ditemani tiga orang temannya. Wati menarik tangan Zahra dan menggiringnya.

“Itu Khusnul, Dang?” ucap Wati seraya mengarahkan telunjuk kanannya.

“Mana?” Zahra menoleh ke arah yang ditunjukkan Wati.

“Oh iya, sama Nurkamalia jua? Trus, di sampingnya ada Siti dan Khumaira juga?” balas Zahra.

Wati dan Zahra mempercepat jalannya. Ia ingin sekali sekejapnya memeluk sahabat-sahabat lamanya itu.

“Assalamu’alaikum, Putri Kiai???” Khusnul menyapa lebih dulu kepada Zahra dengan wajah riangnya. Gadis itu memeluk Zahra dan Wati.

“Wa’alaikumsalam… Lama tak jumpa kalian. Aku kangen sekali sama kamu, Khusnul?” balas Zahra haru.

“Wah… Putri Kiai nampak makin cantik aja neh hari ini…” Khumaira menimpali pembicaraan itu. Zahra tersipu mendengar ucapan Khumaira barusan.

141

Menurutnya tak ada yang istimewa hari ini. Ia merasa berpenampilan biasa-biasa saja. Zahra menyalami dan memeluk semua sahabat lamanya dengan penuh kehangatan.

“Kamu juga kelihatan makin cantik, Khumaira..” balas Zahra tersenyum.

“Emang dari dulu kan putri Kiai kita ini selalu yang paling cantik.” sela Nurkamalia.

Zahra langsung memeluk sahabatnya itu. “Kamu, Lia… Selalu saja begitu. Sama aja kayak Wati. Hehe…” balas Zahra.

“Haaah? Kok bawa-bawa aku sih?” sela Wati.

“Sama apanya, Zahra?” tanya Nurkamalia.

“Ya… Sama aja. Hehe…” Zahra menjawab sekenanya.

“Gimana Zahra, kuliahmu di Malang?” tanya Khusnul.

“Alhamdulillah, baik…. Do’akan lah, moga sukses kita semua…?” balas Zahra dengan senyum yang masih mengembang.

142

“Amin…” sahut semua temannya ber-barengan. Zahra makin mengembangkan senyum kebahagiaannya.

“Gimana, Ti?? Sahabatmu ini? Udah punya kekasih orang Malang kah?”

Pertanyaan Siti sontak membuat Zahra tersipu untuk yang kedua kalinya. Nampak teman-temannya yang lain ikut tersenyum dengan memasang wajah penasaran menunggu jawaban dari Wati.

“Mmm… Ada sih… Tapi………”

Wati menghentikan bicaranya. Zahra me-noleh ke arah Wati seketika dengan mata melotot. Teman-temannya antusias menunggu kata berikut-nya yang keluar dari mulut Wati.

“Tapi, apa Wati?” Humaira sudah tak sabar menunggu Wati.

“Tapi… Masih rahasia. Hehe…” jawab Wati. Ia melirik Zahra dengan lirikan nakalnya. Ia merasa menang telah mengerjai teman-temannya dan membuat mereka penasaran.

“Dari dulu kamu memang begitu Wati. Suka bikin penasaran aja…” ucap Khumaira.

143

“Alhamdulillah, masih belum ada… Kita fokus kuliah aja di Malang…” sela Zahra, seraya mencubit pinggang Wati diam-diam.

Sontak Wati setengah berteriak. Sahabat-sahabatnya yang melihat kejadian itu spontan tersenyum. Tingkah polah dua sahabat yang mereka kenal tak pernah bisa pisah itu membuat mereka jadi semakin hangat.

Mereka semua yang hadir di situ adalah teman lama, teman seperjuangan waktu nyantri di DH dulu. Hari ini mereka bertemu kembali, saling bercengkrama dan berbagi cerita. Terlihat Wati begitu antusias menceritakan kembali kisah Zahra waktu di pesantren dulu. Tentang Zahra yang sewaktu sekolah dulu banyak disukai santri putera. Karena itu sempat ada santri yang nekat datang ke pondok putri hanya untuk menyampaikan surat cinta kepada putri Kiai, tanpa mengindahkan bahaya ketahuan Kiai. Tentang dirinya yang dulu pernah dihukum berdiri karena tidak mengerjakan tugas Ustadzah. Tentang Zahra dan Wati yang sekarang kuliah di Malang. Mereka nampak sangat akrab. Begitu hangat bersuka ria mengenang kisah-kisah indah masa silam. Tapi sepertinya, kali ini Zahralah yang jadi bintang utaman yang banyak diperbincangkan teman-temannya. Terutama tentang kisah dirinya yang banyak ditaksir santri putra dulu.

“Itu dulu… Jadi, jangan diungkit-ungkit lagi, lah…?” ucap Zahra ketika Khusnul menceritakan Zahra

144

dulu sempat ditaksir oleh salah seorang santri dari pesantren lain.

Dari pintu gerbang pesantren, mobil CRV hitam Kiai Karim baru saja tiba. Orang yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya itu, sejurus turun dari mobilnya. Sosok itu benar-benar menebarkan aura kharisma.

Kiai Karim keluar dari mobil, lalu berjalan diiringi rombongan pengikutnya. Mereka itu adalah anggota keluarga Kiai Karim. Kiai Pondok Pesantren DH itu nampak sangat berwibawa. Rombongan keluarga besar itu nampak seragam dengan pakaian putih mereka.

“Zahra, tuh Abahmu udah datang.” bisik Wati.

“Iya, tau…” balas Zahra.

Kiai Karim menoleh ke arah Zahra yang bersua dengan teman-teman lamanya. Abahnya itu seolah memberikan isyarat kepada Zahra. Tanpa diberitahupun Zahra mengerti maksud pandangan abahnya itu. Zahra segera mendekati abahnya.

“Ummi…?! Kok lama?” Zahra mencium tangan ummi dan abahnya.

“Tadi jalanan sedikit macet di Banjarmasin.”

145

“Ummi, Abah dan yang lain kok janjian baju putih? Zahra malah dikasih baju hitam? Gak adil ih, Ummi…”

“Biar beda aja. Ummi sengaja biar kamu terlihat lebih cantik dari yang lain. Soalnya abahmu mau mempertemukan kamu dengan seseorang, hari ini di acara ini.”

“Seseorang? Siapa? Jangan main rahasia-rahasian nah, Mi…” balas Zahra.

“Liat nanti aja lah…” bisik umminya sambil tersenyum.

“Siapa?” lirih Zahra.

Ia penasaran dengan perkataan umminya. “Apa lagi-lagi ia akan dijodohkan dengan seseorang?” Firasatnya merasa demikian.

“Kenapa sih harus dicarikan perihal jodoh untukku?” hatinya bertanya-tanya.

Padahal dalam hatinya ia ingin punya sebuah kebebasan untuk memilih orang yang kelak menjadi pendamping hidupnya. Tak harus dicarikan oleh orang tuanya seperti ini.

“Siapa sih, Ummi…” Zahra memelas sambil memeluk tangan umminya dengan manja.

146

“Ada deh… Nanti juga tau…” Umminya tersenyum melihat putrinya yang mulai penasaran.

“Ummi naaah…”

Tanpa ia ketahui, rupanya sejak tadi para alumni santri putera melirik gadis berjubah hitam itu. Mereka tak bisa menahan diri dari memandang paras cantik sang gadis. Rasanya inilah bukti kebesaran yang tak terhingga dari Sang Maha Pencipta yang menciptakan dunia ini dengan keindahan. Salah seorang dari mereka bertanya-tanya kepada yang lain, “Siapakah gerangan gadis dengan baju jubah berwarna hitam itu?”

“Itu putri Kiai Karim, si Zahra. Sekarang makin bungas mancarunung76.” jawab yang lain.

***

Suasana hening. Acara Reuni Akbar dimulai dengan petuah dari Kiai Karim kepada seluruh alumni pesantren agar tidak melupakan semua ilmu yang telah mereka peroleh selama menimba ilmu di pondok pesantren. Seusai petuah itu, Kiai Karim melanjutkan dengan bercerita tentang santri yang dulu ia banggakan.

76 Cantik sekali

147

“Alhamdulillah, dulu, pernah ada lima orang santri yang membawa harum nama pondok ini, bahkan nama Indonesia dalam pertukaran santri internasional.” tuturnya bangga.

“Dan Alhamdulillah, saat ini salah seorang dari lima santri tersebut sudah berhadir pada acara ini. Dengan bangga, kepada Ananda Muhammad Rasyid Khairuzzaman kami mintakan untuk memberikan sepatah petuah untuk membangun motivasi kepada generasi-generasi muda pesantren, supaya bisa sukses dan berprestasi seperti mereka ini.” ucap Kiai Karim membuka wacananya.

Dari lantai dua masjid pesantren, Wati yang sejak tadi duduk tenang mendengarkan semua petuah Kiai Karim, mengernyitkan dahinya men-dengar sebuah nama yang baru saja ia dengar dari mulut Kiai Karim. Firasatnya berucap kalau nama itu tak asing lagi baginya. Zahra yang melihat Wati dengan wajah heran, langsung menoleh ke arah Wati dengan isyarat. Wati hanya terdiam sambil mengarahkan telunjuk kanannya kepada seorang pemuda yang namanya baru saja disebut.

“Ada apa, Ti…?” ucap Zahra makin penasaran.

Wati masih tertegun dengan berjuta tanya. Zahra memegangi tangan Wati agar tersadar dari ketertegunannya.

148

“Dang, kok Abang Rasyid ada di…?” ucapannya terputus entah mengapa.

“Abang Rasyid??? Siapa maksudmu?” tanya Zahra bingung.

“Itu lho, yang membawakan petuah dari santri alumni itu, namanya Rasyid Khairuzzaman. Orang yang menolong kamu waktu terserempet mobil ketika pulang dari Bazar di Universitas Brawijaya itu… Kok dia ada di sini???” Wati menjelaskan dengan sangat antusias sambil balik bertanya.

Sontak, Zahra seketika melayangkan panda-ngannya kepada pemuda yang dibicarakan Wati itu. Ia tertegun sesaat lamanya. Ia benar-benar tak mengira kalau pemuda yang menjadi bahan pengundang tanda tanya besar di benaknya selama ini ada di acara ini, dan memberi petuah pula untuk santri-santri di pondok ini.

“Apa dia alumni Pondok Pesantren Darul Hijrah juga ya, Dang?” sambung Wati, menoleh ke arah Zahra.

Pandangan Zahra masih tak bergeser sedikit-pun dari sang pemuda.

“Mungkin… Aku juga baru tahu, Ti. Bahkan baru kali ini aku melihat wajahnya. Kok dia bisa ada di sini?” balas Zahra sambil berbisik pelan. Wajah-nya masih menyimpan berjuta kebingungan.

149

Zahra kembali terdiam. Ia terkesima tak bersuara. Ia sangat terkejut, tapi berusaha perasaan itu ia sembunyikan. Ia benar-benar tak mengira akan bertemu dengan pemuda yang pernah menolongnya itu. Bahkan ia juga tak mengira kalau pemuda itu pernah jadi santri di sini.

Rasa kagum rupa-rupanya menyelinap masuk ke relung hati Zahra. Entah mengapa ada sebuah perasaan yang berbeda mengetuk pintu hati dan mencoba masuk ke dalamnya, hingga ia lalai dengan seruan Wati. “Orang yang dulu pernah menolongnya itu, kini duduk bersebelahan dengan abahnya, Kiai Karim.”

Selayang tiba, ia kembali teringat peristiwa di Malang tempo lalu, saat peristiwa kecelakaan di Bazar Kuliner dan Budaya di Unibraw.

“Waduh… Waduh… Walaupun tak begitu tampan dibandingkan Muhaimin yang juga naksir sama kamu di kampus, aku lebih setuju kalau kamu bersanding dengan Bang Rasyid itu, Dang?” bisik Wati ke telinga Zahra, menggoda.

Seketika Zahra menatap wajah Wati.

“Watiii… Jangan mulai lagi godain aku nah…” Wajah Zahra langsung berubah. Ia memang sangat sensitif jika disinggung tentang hubungan-nya dengan lawan jenis.

150

“Gitu aja kok marah… Goda Wati sambil mencubit Zahra manja. Zahra tak menghiraukan cubitan dari tangan Wati.

“Apa mungkin Abang Rasyid ini orang yang ingin dikenalkan ummi kepada dirinya?” bisik Zahra dalam hati dengan sebuah tanda tanya besar di benaknya.

***

151

۞ Part 11

Sebuah Pinangan

Siang di Kota Banjarmasin. Seorang gadis muda nan cantik nampak menunggu-nunggu seorang pemuda yang dikatakan akan meminang-nya hari ini. Pemuda dari pulau seberang. Ia sempat kaget dengan hal itu, karena ummi dan abahnya tidak memberitahukan lebih dahulu. Tapi, sebenar-nya, ia sudah terbiasa menghadapi acara pinangan seperti itu. Ia sudah sering dipinang oleh banyak pemuda, mulai dari santri abahnya, putra Kiai, sampai pengusaha kaya. Namun, tak satupun yang ia terima.

“Aku masih ingin sendiri dan menyelesaikan kuliah, baru setelah itu akan memikirkan untuk berumah tangga…” ucapnya setiap kali menolak.

Abahnya memang orang yang demokratis. Ia selalu menyerahkan kepada putrinya hal-hal yang menyangkut masa depan putrinya itu. Tapi, tidak jua

152

abahnya membiarkan begitu saja akan putrinya itu dalam menentukan keputusan. Walaupun memberikan pilihan, tapi Kiai Karim juga turut mengawasi dan memberi arahan dalam mengambil keputusan itu. Apalagi untuk perihal menjalani hidup di masa depan.

“Sebentar lagi orang yang akan dipertemu-kan dengan kamu itu akan datang. Kamu cepat siap-siap sana…!” pinta umminya.

Putrinya itu sejak tadi asyik membaca kitab Bulughul Maram di atas tempat tidurnya sambil duduk bersila. Ada rasa bangga di hati seorang ibu melihat putrinya yang tumbuh menjadi pribadi yang shalehah dan berbakti kepada kedua orang tuanya.

“Iya, Ummi sayaaang… Ini orang yang mau dipertemukan di Darul Hijrah tempo lalu tapi batal itu ya, Mi…?” tanya Zahra, teringat perkataan umminya saat di Pondok Pesantren DH tempo lalu.

“Iya… Ayo bersiap-siap yang rapi, biar tidak malu-maluin Ummi sama Abah.” pinta umminya dengan membelai lembut kepala putri tercintanya itu.

Zahra menutup kitab di tangannya. Ia beranjak dan segera berjalan ke kamar mandi. Seusai mandi, ia berhias diri ditemani sang ummi tercinta. Di hatinya, hingga saat ini, ia masih sangat penasaran dengan gerangan pemuda nan hendak datang itu. Ia sudah tak sabar lagi ingin bertemu dengan orang yang akan melamar dirinya.

153

“Siapakah gerangan dirinya? Apakah pemuda yang ada di pesantren tempo silam itu?” hatinya menanya.

“Semoga saja… Kenapa hati ini selalu bertanya-tanya sejak di acara Reuni itu?” ucapnya mengharap dalam hati.

Hari ini perasaannya sedikit lebih bersema-ngat. “Apa hari ini aku akan dilamar orang yang aku cintai?” pikirannya terus bertanya-tanya.

***

Entah apa yang Kiai Karim pikirkan, iapun tak tahu. Jika bukan karena paksaan Kiai waktu di acara reuni pondok pesantren minggu lalu untuk menemani beliau saat menyambut tamu kehormatan beliau dari Solo, tak mungkin ia berada di rumah Kiai saat ini.

Tak lama berselang, dari pembicaraan Kiai Karim, Ummi Khadijah, dan dirinya, terdengar suara mobil yang baru saja datang. Ada dua buah mobil berhenti dan parkir di depan rumah Kiai Karim.

“Sepertinya itu rombongan Kiai Abdus-samad yang datang dari Solo itu…” gumamnya.

154

Para rombongan terlihat keluar dari mobil. Dan benar, itu adalah rombongan Keluarga Kiai Abdussamad yang datang dari Solo. Kiai Karim bilang kalau keluarga itu datang dalam rangka silaturrahim. Tapi, firasatnya mengatakan kalau kedatangan rombongan itu ada maksud lain.

Sejurus Kiai Karim berjalan keluar menyambut sang tamu kehormatan. Tanpa diminta, Rasyid turut mengikuti langkah Kiai. Hanya Ummi Khadijah yang berjalan masuk ke dalam untuk menemui putrinya itu.

Setelah semua tamu masuk, terdengar pembicaraan senda gurau antara kedua tokoh tua yang nampak sama-sama berwibawa itu. Rasyid memerhatikan orang yang paling tua di antara rombongan itu. Di benaknya, “Mungkin beliau ini yang dimaksud Kiai Karim sebagai Kiai Abdussamad, pimpinan pondok pesantren yang ada di Solo itu. Logat Jawa beliau terdengar begitu kental di telinga.”

Tak lama berselang, pembicaraan mulai terdengar serius. Rupanya tadi hanya senda gurau yang berperan sebagai pembukaan. Sebentar lagi pertunjukan inti akan segera dimulai.

“Jadi, maksud kedatangan kami kesini mungkin keluargamu sudah tau sendiri kan, Karim…? Kami memiliki niat baik untuk menjalankan sunnah Rasulullah.” ucap Kiai Abdussamad kepada Kiai Karim serius. Rombongan yang lain hanya diam dan turut mendengarkan, sama seperti dirinya.

155

“’Geh, Kiai. Saya sudah tahu perihal semua itu…” balas Kiai Karim tersenyum.

“Jadi… Kami ingin melamar putri Andika, Fatimah Az-Zahra, untuk anak kami tercinta, Umar Al-Bukhary ini.” Kiai Abdussamad menepuk pundak salah seorang pemuda yang duduk di sampingnya.

Mungkin itu adalah anak beliau yang beliau maksud bernama Umar. Kiai Karim hanya berdiam dan menganggukkan kepala.

“Lantas bagaimana Andika menanggapi pinangan dari kami ini?” sambung Kiai Abdus-samad.

“Terus terang, Alhamdulillah kami sekeluarga sangat senang mendapat sebuah kehormatan didatangkan oleh Allah pinangan untuk putri kami, dari keluarga besar Kiai. Tapi, saya rasa Kiai juga sudah mengetahui bahwa setiap insan itu, memiliki hatinya masing-masing. Benar kan, Kiai?”

Kiai Abdussamad tersenyum sambil mengangguk.

“Nah, saya pribadi sebenarnya sudah menye-rahkan masalah ini kepada anak saya untuk menentukan pilihan siapa yang bakal menjadi suaminya kelak. Maka dari itu, saya minta kesudian dari keluarga Kiai untuk mendengar langsung keputusan yang akan diambil langsung dari putri saya perihal pinangan ini.” jawab Kiai Karim diplomatis.

156

“Ya… Besar harapan kami sekeluarga untuk dapat bersatu bersama keluarga Kiai Karim menjadi satu keluarga yang utuh dan mulia di hadapan Allah Swt. Namun, yang namanya jodoh itu memang benar Allah SWT jualah yang mengaturnya. Kedatangan kami ke sini hanya sebatas ikhtiar untuk mendapatkan apa yang kami rasa baik, dan semoga memang benar-benar baik adanya” sahut Kiai Abdussamad dengan bijak.

“Amin…” jawab Kiai Karim sembari tersenyum mendengar kebijaksanaan yang keluar dari mulut Kiai asal Solo itu.

Rasyid yang mendengar pembicaraan kedua Kiai itu sempat berdecak kagum. Sebuah pembi-caraan yang didasari pengetahuan ilmu agama mendalam. Sebuah kearifan Allah yang tercermin dari perangai kedua Kiai itu.

“Subhanallah. Jika kelak keluarga ini bersatu, maka memang benar apa yang dikatakan Kiai Abdussamad tadi. Insya Allah keluarga ini akan menjadi keluarga besar yang mulia di hadapan Allah SWT.” ucapnya dalam hati.

Kiai Karim mendekat ke arah Rasyid yang sejak tadi hanya duduk dan diam di samping Kiai sambil mendengarkan apa yang dibicarakan. Kiai Karim berbisik pelan, “Tolong jemputkan Zahra di dalam, di ruang utama bersama umminya lah, Syid?” pinta Kiai.

157

“Baik, Kiai…” Rasyid membalas dengan berbisik pula sambil mengangguk.

Sejurus kemudian Rasyid beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam ruang utama rumah Kiai untuk menjemput Zahra yang sedang menunggu bersama umminya.

Nampak di ruang keluarga rumah itu tengah duduk seorang gadis cantik dengan mengenakan baju hitam bermotif bunga mawar merah sedang menanti penjemputan. Gadis itu didampingi umminya yang tidak lain adalah istri Kiai Karim. Rasyid menundukkan pandangannya. Hatinya tak berani menatap langsung tepat ke wajah gadis itu. Namun, rasa penasaran di hatinya mengalahkan segalanya. Ia sangat penasaran, secantik apakah putri Kiai Karim yang sempat jadi buah bibir di kalangan para santri putera dulu. Rasyid mengangkat wajahnya dan memantapkan panda-ngannya ke arah gadis itu dengan setengah ragu. Baginya wajah gadis itu seperti tak asing lagi. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, dimana ia pernah bertemu dengan gadis yang kini ada di hadapannya itu.

Rasyid terdiam dan terpana. “Benarkah ini yang bernama Fatimah Az-Zahra itu?” tanya ia dalam hati.

Dan tak lama, ia mulai teringat sesuatu. Ia teringat pertanyaan Nazwar tentang dua gadis UIN yang jadi buah bibir di kalangan Mahasiswa Banjar di Malang. Kala itu Nazwar menyebut dua nama, Zahra dan Wati. Secara otomatis, pikirannya terbang kembali

158

bak mesin waktu menyusuri beberapa masa yang telah berlalu. Ia teringat saat peristiwa di Bazar Kuliner Universitas Brawijaya. Ia teringat gadis yang dulu pernah ditolongnya. Apakah gadis yang saat ini berada di hadapannya merupakan gadis yang dulu Nazwar tanyakan? Apakah ia gadis yang tempo lalu pernah ia tolong? Ia bergumam dalam hati.

Melihat siapa yang kini ada di hadapannya, gadis yang tak lain adalah Zahra itu tak kalah rasa terkejutnya.

“Abang Rasyid…???” lirih Zahra terbata.

Bibirnya merekah menyunggingkan senyum bahagia melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya.

“Jadi, orang yang datang melamarnya adalah Abang Rasyid?” ucap Zahra dalam hati. Hatinya merekah bahagia.

“Ternyata firasatku benar. Orang yang datang melamarku adalah orang yang selama ini aku tunggu-tunggu. Orang yang benar-benar aku harapkan kedatangannya, dan orang yang benar-benar aku cintai, Abang Rasyid.” ucap Zahra dalam hati.

Rasyid dan Zahra saling bertatapan. Mereka terdiam sejenak dengan mata saling bertemu. Kedua insan itu seolah terbius oleh bunga cinta yang menjadikan mereka buta rasa. Jantungpun terasa berhenti berdetak. Waktupun tak lagi berjalan. Yang

159

ada hanya tinggal dirinya, dan pemuda yang kini ada di hadapannya.

Rasyid tertegun dengan kecantikan putri Kiai Karim itu. “Benarkah ini putri Kiai yang jadi idaman itu, ataukah bidadari yang turun dari kayangan dan terjebak di rumah Kiai?” tanya Rasyid dalam hati.

Tiba-tiba Rasyid tersadar. Ia segera menga-lihkan pandangannya dari Zahra.

“Astaghfirullahal’adzim… Maafkan aku ya Allah yang telah menikmati kecantikan gadis yang tak halal bagiku, sedang ia sedang dipinang oleh saudaraku seiman. Maafkan aku ya Allah atas kecerobohanku ini” lirih Rasyid dalam hati. Ia berusaha untuk tak menatap lagi kepada Zahra.

“Ummi Khadijah dan Zahra dipersilakan untuk keluar. Para keluarga yang meminang sudah menunggu…” ucap Rasyid. Suaranya bergetar. Ia berusaha untuk menguasai dirinya dengan sedikit tersenyum.

Tiba-tiba, Zahra yang tadinya sempat merasa senang berbalik bingung mendengar apa yang Rasyid ucapkan.

“Menunggu…?” tanya Zahra dalam hati. Ia terdiam sejenak sambil memandangi umminya.

160

“Apa maksudnya keluarga yang meminang sudah menunggu?” tanya batin Zahra.

Setelah beberapa saat, barulah ia sadar akan maksud perkataan Rasyid itu. Ia baru mengerti kalau orang yang akan melamarnya bukanlah Rasyid dan keluarganya, melainkan orang lain yang kini sedang menunggu dirinya di luar sana.

Perasaan gadis itu seketika berubah menjadi benar-benar galau. Tak sadar air matanya berlinang menyeruai di pipi. Zahra segera menghapus air mata itu dengan kerudung merah yang ia kenakan.

“Kenapa, Zahra…?” tanya umminya lembut.

“’Gak, Ummi. Zahra cuma sedikit gugup, Ummi…” Zahra berusaha menyembunyikan pera-saannya.

Ternyata ia salah sangka. Bukan orang yang ia cintai yang meminangnya. Melainkan orang asing yang ia jua masih belum mengenalnya. Sebenarnya ia ingin berucap kepada umminya, tapi ia tidak berani mengungkapkan bahwa orang yang sebenarnya ia inginkan untuk menjadi pendamping hidup-nya selama ini adalah orang yang saat ini berada di hadapannya, yaitu Abang Rasyid.

Semenjak kejadian kecelakaan yang ia alami, sejatinya ia benar-benar ingin sekali bertemu dengan orang yang menolong dirinya. Ia merasa yakin bahwa

161

orang yang menolong dalam peristiwa itu adalah pemuda yang bakal menjadi imam baginya. Tanpa ia sadari sebenarnya ia jatuh hati kepada Rasyid. Dan kini orang itu ada di hadapannya. Berdiri dengan tegap sambil menyerahkan dirinya kepada orang lain.

“Ummi maklum kok kalau kamu gugup… Yuk, kita keluar…” ajak umminya.

Zahra hanya diam. Ia tak menyangka akan seperti ini. Dia pikir orang yang ingin dipertemukan dengan dirinya itu adalah Abang Rasyid, pemuda yang jadi idamannya selama ini, pemuda yang ia cari-cari selama ini. Sosok yang benar-benar ia kagumi. Pemuda misterius yang pernah ia mimpikan dalam tidurnya. Zahra sangat kecewa, namun ia tidak berani meluapkan perasaannya. Ia juga tidak berani berkata kepada abahnya kalau Rasyidlah yang ia inginkan.

Ketiga orang itu berjalan menuju ruang tamu rumah. Zahra mengambil tempat duduk di antara Kiai Karim dan Ummi Khadijah.

“Zahra, keluarga ini adalah keluarga Kiai Abdussamad yang datang dari Solo. Beliau adalah teman abah waktu di Madinah dulu saat masih menuntut ilmu di sana. Sekarang maksud kedata-ngan beliau kemari adalah ingin melamar kamu untuk anaknya, Umar. Sekarang apa tanggapan darimu, Nak?” ucap Kiai Karim dengan bijak.

162

Zahra menunduk. Ia menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Perlahan ia menjawab per-tanyaan abahnya itu. Rasyid dan Ummi Khadijah ikut terdiam sambil menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut Zahra.

“Alhamdulillah… Zahra sangat senang Bah, atas lamaran ini. Namun, Zahra masih ingin fokus dengan kuliah Zahra dulu.” jawab Zahra dengan bijak. Ia masih menunduk tanpa menatap rombo-ngan keluarga Kiai Abdussamad sedikitpun. Hatinya masih diselimuti kesedihan. Ia melirik ke arah Rasyid, kemudian ia menundukkan panda-ngannya lagi.

“Saat ini Zahra masih menempuh semester lima. Jadi, Zahra rasa masih sangat dini untuk membina rumah tangga, Zahrapun masih merasa sangat belum siap. Jadi, Zahra mohon maaf kepada semuanya dan terima kasih atas kehormatan ini.” Zahra menyudahi ucapannya.

“Nah, saudara sekalian, itulah tadi jawaban dari Zahra, anak saya. Saya harap semua pihak mau menerimanya dengan ikhlas…” ucap Kiai Karim.

Kiai Abdussamad menarik nafasnya dalam-dalam. Beliau tersenyum.

“Alhamdulillah, jika memang itu keputusan Nak Zahra, Insya Allah dari pihak kami semuanya menerima dengan lapang dada. Mungkin mereka berdua bukan

163

jodoh yang ditentukan oleh Allah SWT.” jawab Kiai Abdussamad dengan sangat bijaksana.

Kiai Karim mengangguk melihat kebesaran hati keluarga Kiai Abdussamad. Keluarga Kiai Abdussamadpun tak lagi berlama. Mereka minta diri dari rumah Kiai Karim. Zahra minta izin untuk masuk ke dalam. Ia berlari masuk ke kamarnya dan menguncinya. Ia menangis sesedih-sedihnya. Diam-bilnya bantal dan dibenamkannya wajahnya ke bantal itu. Ia mengadukan semua itu kepada Allah SWT. Ia sangat sedih. Awalnya ia mengira Rasyid-lah orang yang akan melamar dirinya, tapi ternyata dugaannya itu keliru. Malah orang lain yang datang untuk meminang dirinya, sedang lelaki yang ia inginkan itu malah menjadi pembantu abahnya.

Zahra meraung namun suaranya tak terdengar karena ia membenamkan wajahnya ke dalam bantalnya. Naluri keibuan dari Ummi Khadijah mengatakan ada hal aneh dengan putrinya itu. Beliau segera menyusul Zahra ke kamarnya. Sayang, kamar putrinya itu terkunci dari dalam. Beberapa kali ia ketuk pintu itu, tapi tak ada tanggapan dari Zahra. Hatinya bertanya-tanya. Firasat seorang ibu membisikinya bahwa putrinya itu sedang bersedih.

***

164

“Ulun77 pikir tugas ulun sudah selesai kan, Kiai? Jadi, ulun pamit dulu, Kiai.” ucap Rasyid minta diri.

“Iya, Syid… Terima kasih banyak lah sudah membantu menerima kedatangan Kiai Abdussamad tadi. Walaupun hasilnya tak begitu menggem-birakan.” jawab Kiai.

“Inggih, Kiai… Sama-sama. Mungkin putri Kiai masih belum menemukan yang benar-benar menjadi pilihan Allah, Kiai…” balas Rasyid yang lalu berjalan keluar mengambil motornya.

“Mungkin benar, Syid. Hati-hati di jalan lah, Syid?”

“Inggih, Kiai… Assalamu’alaikum?” ucap Rasyid mohon diri.

“Wa’alaikumsalam…” balas Kiai.

“Oh iya, Syid…??” suara Kiai menghentikan gerak Rasyid yang sudah menunggang motornya.

“Iya, Kiai…??” balas Rasyid sembari menoleh.

“Sekali lagi terima kasih lah? Sudah mau membantuku. Hati-hati di jalan…” ucap Kiai setengah ragu dengan apa yang sebenarnya ingin ia utarakan.

77 Saya (Bahasa Banjar halus)

165

“Geh, Kiai… Sama-sama. Saya pamit, Kiai Assalamu’alaikum?”

“Wa’alaikumsalam…” balas Kiai Karim.

Rasyid pulang dan hilang dari pandangan Kiai. Kiai Karim masuk ke dalam rumah. Ia mengadukan perihal Zahra yang sudah lima kali menolak lamaran orang kepada istrinya, Ummi Khadijah.

***

Sepeda motor terus melaju kencang melintasi jalanan Kota Banjarmasin yang bersampingan dengan sungai besar, Sungai Martapura.

“Sayang sekali putri Kiai itu menolak lamaran dari Kiai Abdussamad” ucapnya dalam hati. Dengan mengacuhkan awan kelabu itu, ia mengencangkan laju sepeda motornya.

“Jadi, dia ya yang bernama Zahra? Gadis yang pernah jadi buah bibir di pondok dulu. Bahkan, ia jua sempat mendengar nama itu jadi buah bibir di kalangan mahasiswa Banjar di Malang. Pantas saja, putri Kiai itu memang sangat cantik.” gumam Rasyid dalam hati sambil terus memegang setir motornya.

166

“Dari tutur katanya juga tercermin kalau dia memiliki pribadi yang sopan dan berwawasan. Subhanallah… Seandainya aku bisa bersama putri Kiaiku itu, tentu aku menjadi orang yang sangat bahagia di dunia ini. Bisa bersanding dengan bidadari yang datang dari syurga.” pikir Rasyid. Ia tersenyum sendiri sambil membayangkan semuanya.

“Tidak… Tidak mungkin aku bersanding dengan putri Kiaiku itu. Memangnya siapa aku ini hingga berani-berani mencita-citakan hal yang mustahil itu? Lamaran Kiai Abdussamad yang pimpinan pondok pesantren di Solo saja Zahra tolak, apalagi diriku yang hanya seorang rakyat biasa yang tak punya kedudukan apa-apa. Tak pantas bagiku untuk melamar putri kesayangan Kiaiku itu. Bagai pungguk yang merindukan bulan” Hatinya mencoba menasehati dirinya sendiri.

“Lagipula, saat ini aku sudah dijodohkan dengan seorang gadis muda asal Martapura, Amelia. Pasti saat ini kau sedang menikmati indahnya perjalanan di Tanah Mekkah, Amelia.” Hatinya memutar haluan kepada gadis yang dijodohkan dengan dirinya itu.

“Aku dengar saat ini kau sedang Umroh sekeluarga. Benarkah wajahmu secantik yang aku dengar? Benarkah perangaimu seindah kabar yang pernah mereka katakan kepadaku? Amelia, seandainya sekali saja aku boleh melihat parasmu, tentu aku takkan

167

bingung dengan semua ini. Sekali saja Amelia, cukup sekali…” Rasyid bergumam dalam hati.

Motornya terus melesat kencang meninggal-kan kota Banjarmasin. Awan cerah di atas sana kini berubah menjadi kelabu. Sepertinya hujan sebentar lagi akan turun setelah panas yang teramat sangat menyinari kota ini.

“Cuaca cepat sekali berubah. Apakah alam kini mulai sulit untuk ditebak dan diajak kompromi?” tanya Rasyid dalam hati.

Ia memulas78 gas motornya kuat-kuat agar segera cepat sampai ke rumah, di Martapura.

“Semoga saja tak kehujanan di jalan… Ya Allah berilah keselamatan kepada hamba-Mu yang lemah ini. Bismillah…”

***

78 Memutar

168

۞

Part 12

Ketidaksengajaan

Kota Martapura. Matahari secara perlahan mulai merangkak naik dari ufuk timur. Sehabis shalat Subuh, Rasyid sudah mulai sibuk dengan segala aktivitasnya. Hari ini ia membantu acil-nya berjualan di pasar. Daripada ia tak ada guna, lebih baik ia putuskan untuk ikut bekerja. Apalagi hari ini hari Ahad, orang Banjar menyebutnya Hari Pasar bagi Pasar Martapura, atau hari dimana semua pedagang dan pembeli dari segala penjuru daerah Kabupaten Banjar, mulai dari Kecamatan Gambut, Sungai Tabuk, Mataraman, Sungkai, Dalam Pagar, Mandiangin, dan daerah lainnya yang biasanya tidak berjualan, hari Ahad ini mereka berdatangan ke pasar ini. Toko Acil Jamar padat diserbu langganannya. Hari ini ia benar-benar memang perlu tambahan tenaga pekerja. Dan untunglah keberadaan Rasyid benar-benar menolongnya.

169

Sejak tadi, Rasyid sibuk memilah-memilah dan menyusun karung beras yang baru tiba dari pemasok.

“Syid, sepertinya ada orang di depan yang mau beli beras, coba kamu yang keluar menemui pelanggan itu…” ucap Acil Jamar membuyarkan konsentrasinya pada pekerjaan yang tengah dilakukannya.

Rasyid keluar dari dalam toko. Memang benar, ada dua orang pelanggan di depan toko. Dari wajah mereka, Rasyid menduga kalau mereka pasti kakak dan adik. Di matanya, gadis Martapura memang benar-benar menawan. Sejak kemarin, terlebih hari ini, rasanya ia selalu melihat gadis berkerudung yang cantik melalu lalang di sekitar pasar ini. Sebagian dari mereka adalah santriwati Darussalam yang mencari kitab-kitab pelajaran. Dari wajah mereka semua, tertampak pancaran rona keshalehaan muslimah sejati.

“Mau beli beras kah, Bu?” Seperti biasa, Rasyid menaruh senyum kepada setiap pelanggan-nya.

Entah karena apa, gadis berjilbab hitam yang ada di hadapannya itu tiba-tiba saja terdiam tak bersuara.

Rasyid kembali menanyainya, “Bu…? Beli beras kah? Beras apa?”

Ia tersentak. Gadis itu membalas ucapan Rasyid, “Oh iya, Bang, lima belas liter lah, Bang…?” jawab gadis

170

itu setelah sadar dari ketertegunannya. Gadis itu tersenyum sambil menatap Rasyid.

“Oh, iya, beras apa Bu yang mau dibeli?” tanya Rasyid.

“Siam unus79, ada?” Gadis itu menjawab sambil menoleh-noleh beberapa jenis beras yang sengaja dipamerkan di depan toko.

“Ada, Bu. Tapi, ‘gak murni, sedikit cam-puran sama beras lain. Masalahnya sekarang susah sekali cari yang ‘gak campuran, Bu. Walaupun ada penjual lain yang bilang murni, tapi setelah diperiksa tetap saja campuran. Sepertinya udah dari waktu menanamnya dicampurnya, Bu. Jadi, gimana…? Mau…?” Rasyid menjelaskan kepada pelanggannya, jujur. Bibir gadis itu menyungging-kan senyum mendengar penjelasan dari Rasyid barusan.

“Iya… ‘Gak apa. Tapi, manggilnya jangan Ibu dong, Bang… Ading aja, gen lah80? Kan umur saya masih 20-an. Pasti lebih muda dari Abang…” jawab gadis itu.

Rasyid balas tersenyum, “Baru kali ini ada pelanggan yang memikirkan panggilan untuk dirinya…” pikirnya sambil menggelengkan kepala.

79 Salah satu nama jenis beras kualitas nomor satu di Tanah Banjar 80 Adik aja, ya?

171

‘’Iya, Bu, eh Ding81…” balas Rasyid.

Gadis di hadapannya itu kembali tersenyum. Entah kenapa ia jadi heran melihat gelagat gadis yang saat ini bernegosiasi dengannya. Ia merasa gadis itu nampaknya terus memerhatikan dengan seksama setiap gerak darinya.

“Tunggu sebentar, Ding lah? Berasnya kurang. Saya ambil ke belakang sebentar…” Rasyid berjalan ke dalam toko untuk mengambilkan beras yang dipesan gadis itu. Dan tak lama berselang, Rasyid keluar diiringi acil-nya.

“Eh, Bu Nisa… Mau bikin acara lagi kah?” sapa Acil Jamar kepada perempuan yang agak lebih tua daripada gadis yang bicara dengan Rasyid barusan. Dari gelagatnya Acil Jamar sepertinya sudah sangat akrab dengan kedua gadis itu.

“Iya, Bu. Cuma acara kecil-kecilan, kebetulan keluarga baru pulang Umroh.” Perempuan yang dipanggil Acil Jamar ‘Bu Nisa’ itu terlihat bersalaman dengan Acil Jamar.

Rasyid menyerahkan beras itu kepada gadis yang bicara dengannya tadi. “Ini, Bu, eh Ding…” Lagi-lagi ia salah ucap.

81 Ding (ading) = ‘dik (adik)

172

“Oh iya, terima kasih lah, Bang…?” Gadis itu menyerahkan sejumlah uang sambil tersenyum. Rasyid kembali heran. Sejak tadi gadis itu selalu menghaturkan senyum kepada dirinya. Ia merasa aneh, tapi ia buang saja perasaannya itu jauh-jauh. Tak terlalu penting, pikirnya. Tapi, jika diperhatikan, manis memang gadis itu. “Astaghfirullahal’adziiim…” Ia mengalihkan panda-ngannya seketika.

“Sama-sama, Ding…” balas Rasyid meneri-ma uang itu dengan tangan kanannya. Ia masih menundukkan pandangannya.

Gadis itu kembali dengan senyum manisnya. Dan ketika gadis itu mencoba mengangkat karung berisi beras lima belas liter yang baru saja Rasyid serahkan, tiba-tiba beras di tangan gadis itu langsung terlepas. Rupanya ia tak cukup kuat me-ngangkatnya. Rasyid dengan refleksnya langsung bergerak memapah beras di tangan gadis itu. Tak sengaja tangan mereka saling bersentuhan. Rasyid sontak menatap ke wajah gadis itu, rupanya gadis itupun menatap ke dirinya.

“Astaghfirullah…”

Cepat-cepat Rasyid mengalihkan panda-ngannya dan beristighfar. Seketika Rasyid mem-benarkan posisi karung beras, dan segera menjauhkan tangannya dari tangan gadis yang berada di hadapannya itu. Ia merasa seolah ada sengatan listrik yang menjalar di sekujur tubuhnya saat tangannya dan tangan gadis itu bertemu.

173

“Afwan82, tak sengaja, Ding ay…” ucap Rasyid setengah malu.

“Tak apa, Bang… Terima kasih lah?” Gadis itu lagi-lagi tersenyum dengan tenangnya.

“Sama-sama…” Rasyid menundukkan pan-dangannya, pertanda dia masih malu dengan kejadian barusan.

“Ternyata berat lah…” ucap gadis itu. Rasyid paham jika gadis itu perlu bantuannya mengangkat karung beras itu.

“Kalau ‘gak kuat ngangkat, biar saya yang antar sampai ke parkiran. Tadi ke sini naik apa?” tanya Rasyid.

“Naik motor. Kalau gitu, titip di sini aja dulu, nanti waktu mau pulang baru akan kami ambil lagi ke sini lah, Bang? Ini mau belanja yang lain dulu…”

“Iya, Bu, eh Ding. Kalau gitu, saya tunggu sampai Ading ke sini untuk mengambil beras…” balas Rasyid.

Rasyid kembali ke belakang untuk memilah-milah dan menyusun karung-karung beras. Tak berselang lamanya, kedua gadis itu kembali datang ke

82 Maaf

174

toko beras Acil Jamar untuk mengambil beras yang masih mereka titipkan di toko.

Lagi-lagi gadis berkerudung hitam yang menghampiri dan bercakap dengan dirinya tadi yang datang menghadap kepadanya. Dan lagi-lagi, ia datang dengan kembang senyumnya yang manis. Rasyid tak banyak basa-basi. Ia langsung saja mengangkat beras itu dan mengantarkannya sambil mengiringi langkah kedua gadis itu hingga ke parkiran sepeda motor.

“Mmm… Terima kasih banyak lah, Bang Rasyid? Jangan jera lah nolongin kita…’’ ucap gadis itu bersipu senyum.

“Iya, Bu… Tak apa…” balas Rasyid.

Ia tak sadar gadis itu barusan menyebutkan namanya padahal mereka berdua belum pernah saling kenal sebelumnya.

“Tu kan, Ibu lagi…?!” canda gadis itu.

Gadis berkerudung coklat yang menemani gadis itu tak banyak bicara. Ia sibuk mengatur tempat meletakkan belanjaannya di gantungan sepeda motor.

175

“Eh, maaf, Ding. Sudah lah? Saya harus ke toko lagi… Banyak gawian pang83…” balas Rasyid dan lalu meninggalkan kedua gadis itu.

***

Tak lama berselang, adzan di Masjid Al-Karamah mulai berkumandang. Ia cepat-cepat membersihkan diri dan mengganti pakaiannya, lalu turun menuju masjid.

Seusai dari masjid dan mengisi perut, Rasyid kembali ke toko. Ia harus mengantarkan beberapa pesanan dari langganan-langganan acil-nya.

“Kamu udah makan, Tuh84? Nanti kamu antar lah beras-beras ini? Ini Acil tuliskan dulu alamat-alamat tujuannya di karung berasnya…” pinta acil-nya.

“Geh, Cil…” jawab Rasyid.

“Kamu itu hebat lah, Syid… Sejak jualan sama Acil, toko Acil jadi laku terus… Kamu berbakat lah Syid jadi pedagang sukses.” puji Acil Jamar.

83 Soalnya lagi banyak kerjaan. 84 Panggilan untuk anak laki-laki (Bahasa Banjar)

176

“Amin… Karena do’a Acil juga kan…” balas Rasyid tersenyum. Ia senang acil-nya berkata demikian.

Tiba-tiba saja ia teringat dua gadis yang tadi pagi membeli beras di tokonya. Entah mengapa kali ini hatinya memiliki rasa ingin tahu yang teramat sangat. Apalagi gelagat gadis berjilbab hitam yang selalu tersenyum melihat dirinya. Padahal tak pernah ia begitu memerhatikan pelanggan yang belanja di toko acil-nya. Hanya kali ini ia dibuat begitu penasaran.

“Oh iya, Cil,, tadi itu siapa lah, Cil…?” tanya Rasyid.

“Siapa?” balas acil-nya yang sibuk mengikat karung beras yang mau dikirimkan hari ini.

“Langganan Acil yang dua orang tadi itu…”

“Yang bawa anak kecil tadi itu?” tanya balik acil-nya.

“Bukan, tapi yang dua orang perempuan tadi. Yang tadi minta antarkan berasnya ke parkiran. Yang satu pakai jilbab coklat dan yang satu lagi jilbab hitam…”

“Ooo… Yang tadi minta antarin berasnya ke parkiran itu kah…?”

177

“He eh… Siapa mereka? Kok sepertinya kenal baik sama Acil?”

“Ooo… Itu Bu Nisa, langganan Acil, adiknya Bu Zulfa yang baru datang Umroh.”

“Kalau yang satunya?” Rasyid menyan-

darkan badannya di dinding sambil melihati acil-nya yang sibuk menulis alamat di karung beras yang mau diantarkan.

“Itu keponakannya Bu Nisa, anaknya Bu Zulfa.”

“Namanya?”

“Kenapa sih kamu ini, kok tanya-tanya terus sih? Tumben… Kamu suka ya sama gadis itu?” tanya acil-nya sambil tersenyum. Rasyid jadi sedikit malu. Ia ikut tersenyum, berusaha menutupi rasa malunya.

“Iya ya…? Kok di hatiku jadi timbul berjuta pertanyaan tentang gadis itu?” gumam Rasyid dalam hati. Ia tersenyum sendiri.

“Cantik lah, Cil…? Hehe…” ucap Rasyid sekenanya.

Acil-nya menatap wajah Rasyid. Rasyid jadi salah tingkah. Acil-nya mengalihkan pandangannya dari wajah Rasyid lalu tersenyum.

178

“Tidak hanya cantik, tapi juga anak orang kaya lho…”

“Masalah kaya atau enggak, tidak terlalu penting, Cil. Yang penting, namanya siapa?” tanya Rasyid tambah penasaran.

“Namanya Amelia…” jawab acil-nya.

“A.M.E.L.I.A.A.A.A…???” Rasyid setengah berteriak, kaget.

“Iya… Amelia Aulya Rahmi, anak Haji Syamsuddin… Masa kamu tak kenal sama anak pengusaha intan itu? Bukannya kamu pernah kerja di tempat Pak Haji Syamsuddin untuk menjaga toko intan beliau dulu?” jelas acil-nya.

Rasyid tersentak. Ia benar-benar terkejut mendengar perkataan acil-nya itu. Tak sadar mulutnya yang dari tadi asyik mengunyah sepotong roti jadi terhenti. Ia tak percaya dengan yang dikatakan acil-nya barusan. Perasaannya langsung campur aduk, bingung, bahagia, aneh, dan tidak percaya bercampur jadi satu dalam hatinya. Rasyid tertawa sendiri. Ia benar-benar masih tak percaya tentang apa yang baru saja ia dengar.

“Tak salah kah itu, Cil...?” Rasyid meya-kinkan kebenaran ucapan acil-nya penuh semangat sambil memegang kedua bahu acil-nya itu.

179

“Ada apa sih kamu ini? Kesurupan kah?” Kali ini Acil Jamar yang jadi bingung melihat polah keponakannya itu.

“’Gak, Cil… Tapi, yang tadi itu Acil tak bohong kan? Beneran kalau dia itu anak Haji Syamsuddin, si pengusaha intan? Beneran nama gadis itu Amelia? Amelia Aulya Rahmi?” Rasyid semakin bersemangat.

“Iya, Syiiiid… Memangnya kenapa sih? Kamu ini kok tiba-tiba jadi kaya orang kena gangguan jiwa sih?” Acil Jamar semakin bingung dan bertambah bingung.

“Subhanallaaah… Benarkah itu gadis yang bernama Amelia, Cil? Memangnya Acil tidak tahu?” jawab Rasyid dengan wajah gembiranya.

“Tahu apa? tanya acil-nya heran.

“Nanti ulun85 ceritakan lah, Cil… Sekarang ulun handak86 mengantar semua beras ini dulu. Mumpung lagi bersemangat… Hehe…”

Rasyid bergegas mengantarkan semua pesanan itu kepada para langganan. Sejak men-dengar perkataan acil-nya itu, ia jadi sangat bahagia.

85 Saya (Bahasa Banjar halus) 86 Hendak = mau

180

“Akhirnya aku melihat jua dirimu, Amelia. Subhanallah… Itukah dirimu yang selama ini tak bisa kulihat. Pantas saja kamu tadi selalu tersenyum, kenapa kamu tak bilang? Kenapa kamu tak bilang dan mengaku kepadaku kalau kamu itu putri Pak Haji Syamsuddin? Ya Allah… Terima kasih atas semua nikmat yang Engkau berikan selama ini kepada hamba-Mu ini. Alhamdulillahirabbil’alamin…” hati Rasyid berbunga-bunga.

Sepanjang jalan ia senyam-senyum sendiri. Ia benar-benar seperti orang yang sedang kena gang-guan jiwa. Wajah gadis itu terus terbayang di pikiran-nya.

“Amelia… Subhanallah, cantiknya…” Rasyid kembali tersenyum sambil menyebut nama gadis itu berulang kali dalam hati.

“Amelia… Amelia… Amelia…” Lidahnya tak hentinya menyebut nama gadis itu.

Ia teringat cerita Lukman. Benar kata Lukman. Seandainya kala itu ia bertemu di pesawat dengan Amelia, tentulah ia adalah pemuda yang sangat beruntung. Beruntung melihat paras Amelia yang Masya Allah cantiknya. Rupanya Tuhan punya kehendak lain. Tuhan punya skenario lain tentang jalan pertemuannya dengan Amelia yang begitu mengesankan.

“Amelia… Amelia… Amelia…”

181

***

182

۞

Part 13

Permintaan Terakhir

“Kriing… Kriing… Kriing…!!!”

Suara hand phone berdering tepat di dekat telinga kirinya. Ia terbangun seketika. Ia lihat jam kamarnya, masih jam tiga dini hari. Shalat Subuh di Banjar masih dua jam lagi. Ia pikir itu alarm yang ia set untuk membangunkannya jam empat lewat empat puluh menit. Tapi, rupanya itu bukanlah alarm, melainkan sebuah panggilan dari sebuah nomor tanpa nama. Dengan mata yang masih berat dan lampu kamar yang menggelap, ia segera mengangkat telepon itu.

Belum sempat ia mengucap salam, suara di seberang sana sudah meneriaki dirinya.

183

“HALO… RASYID, INI AKU LUKMAN…!” Rasyid setengah kaget mendengar suara Lukman di

seberang sana berteriak-teriak. Batinnya bertanya ada apa Lukman meneleponnya sebelum Subuh begini.

“Iya, Luk. Ini aku. Ada apa, kok telepon Subuh-Subuh begini?” tanya Rasyid. Suaranya terdengar masih berat.

“Pak Haji Syamsuddin masuk Rumah Sakit. Ini aku sedang ada di Rumah Sakit bersama keluarga beliau. Cepat kesini lah…?!” balas Lukman. Suaranya terdengar tergesak.

Mendengar berita barusan, mata Rasyid yang tadinya terasa berat, seketika membelalak.

“Di RS mana, Luk?” tanya Rasyid setengah berteriak. Perasaannya kini ikut menjadi cemas.

“Beliau dimasukkan ke ICU RS Ratu Zaleha. Cepetan lah?” balas Lukman.

“Iya, tunggu ya. Aku segera ke sana…” balas Rasyid terburu-buru.

Tanpa pikir panjang, Rasyid segera berlari keluar kamar dan mencuci mukanya. Ia berangkat diam-diam tanpa sepengetahuan Paman Sulaiman.

184

Sejurus ia mengambil jaket, bergegas menghidupi motor dan langsung meluncur ke RS Ratu Zaleha.

Udara Martapura terasa amat dingin di kala Subuh. Lembayan angin yang berjalan pelan serasa menusuk-nusuk kulit sampai merasuk ke dalam tulang. Ia terus menancap gas motornya tanpa menghiraukan rasa dingin yang terus menyerang. Tak lama, Rasyid tiba di RS Ratu Zaleha Martapura. Rupanya ada Lukman yang menunggu keda-tangannya di depan tempat pelayanan pasien rawat jalan. Lukman mengajak Rasyid ke sebuah ruangan yang ia tak sempat tahu namanya. Rupanya keluarga Pak Haji nampak hadir semuanya. Tak terkecuali gadis yang tempo lalu bertemu dengan-nya di Pasar Martapura, Amelia.

Suasana menghening. Semuanya kompak dengan satu bahasa, diam. Tanpa diminta, semua orang di sana memiliki keinginan yang sama, berharap Pak Haji akan baik-baik saja. Keringat dingin menjalar di sekitar wajah Rasyid. Suasana ini benar-benar menegangkan baginya. Ia menatap pada sebuah wajah kemerah-merahan cemas karena menanti kabar akan abahnya yang kini ada di dalam ruangan tepat di hadapannya.

Gadis itu mengeluarkan butiran bening dari kedua matanya. Secepatnya gadis itu mengusapnya dengan tangannya dan berpaling dari tatapan Rasyid. Seorang perempuan separuh baya berjalan menghampiri dirinya.

185

“Ini Rasyid kah?” tanya beliau.

Tanpa diberi tahu Rasyid sudah kenal siapa orang yang menanyai dirinya, Ummi Zulfa, istri Haji Syamsuddin.

“Inggih, Ummi…” jawab Rasyid seraya meraih tangan Ummi Zulfa kemudian menciumnya layaknya seorang anak kepada ibunya.

“Ummi mohon do’anya lah, semoga abah baik-baik saja…” pinta Ummi Zulfa. Suaranya bergetar mencoba tegar. Hati Rasyid ikut bergetar.

“Inggih, Ummi. Kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.” ucap Rasyid pelan.

Jam menunjukkan pukul 5.30 WITA. Sudah sekitar satu jam Pak Haji diperiksa di kamar ICU itu. Sang dokter masih belum keluar. Semua orang yang menunggu masih dengan raut cemas mereka.

“Astaghfirullah, aku belum shalat Subuh.” gumam Rasyid.

Ia baru ingat dengan kewajibannya yang sempat terlalaikan karena begitu seriusnya me-nunggui Pak Haji. Rasyidpun berjalan mendekat ke Ummi Zulfa dan Amelia.

186

“Maaf Ummi, Amelia, berhubung kita belum shalat Subuh, alangkah baiknya kalau kita shalat dulu dan berdo’a kepada Allah agar keadaan abah akan baik-baik saja. Urusan di Rumah Sakit, biar tim ahli yang menangani.” ajak Rasyid dengan nada pelan.

“Oh iya, tapi kita gantian aja lah? Ummi di sini dulu, siapa tahu nanti dokternya keluar dan perlu bicara sama pihak keluarga. Kamu, Lukman, Amelia, Paman Hadi, dan yang lain shalat duluan saja…” balas Ummi Zulfa.

Rasyid menatap wajah Amelia yang ketika itu juga menatap kepada dirinya. Gadis itu mengangguk tanpa suara ketika diminta umminya untuk shalat duluan bersama Rasyid dan yang lain. Mereka sejurus beranjak.

Setelah menemukan mushalla di Rumah Sakit itu, Rasyid langsung mengambil air untuk berwudhu. Sentuhan air segar sedikit membuat urat syarafnya kembali rileks, setelah baru saja meng-hadapi saat-saat yang menegangkan.

“Semoga saja Pak Haji akan baik-baik saja…” harapnya.

Mereka berenam, Rasyid, Amelia, Paman Hadi, Lukman, dan dua orang sepupu Amelia, Haris dan Juneidi segera shalat Subuh berjama’ah. Rasyid maju ke depan untuk jadi imam. Amelia dan yang lain ikut sebagai makmum bersama beberapa orang pegawai RS.

187

Para pegawai RS itu sepertinya juga terlambat untuk shalat Subuh.

Amelia nampak begitu khusyuk dalam sujudnya. Gadis itu melinangkan air matanya seraya meminta kepada yang Maha Kuasa agar abahnya baik-baik saja.

***

Selesai shalat, Rasyid dan yang lain berjalan menuju ruang ICU dimana Pak Haji ditangani. Dari kejauhan, Ummi Zulfa nampak sudah menunggu mereka dengan wajah cemasnya. Rasyid mem-percepat jalannya.

“Bagaimana Ummi, keadaan Pak Haji?” tanya Rasyid penasaran.

Dengan suara pelan Ummi Zulfa mem-bisikkan ke telinganya bahwa suaminya, Pak Haji ingin bicara kepada dirinya dan Amelia di dalam kamar, hanya bertiga; ia, Amelia dan abah Amelia, Haji Syamsuddin.

“Ada apa, Ummi…?” sela Amelia cemas.

Umminya tak menjawab. Hanya memberi-kan isyarat kepada Rasyid dan Amelia untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa banyak bertanya, Rasyid dan

188

Amelia masuk ke dalam ruangan Pak Haji. Sejurus Ummi Zulfa menutup pintu ruang ICU itu.

Amelia mengambil posisi berdiri di sebelah kiri abahnya. Sedang Rasyid duduk di sebuah kursi sebelah kanan dari Pak Haji yang tengah berbaring. Di ruangan itu hanya ada mereka bertiga, Haji Syamsuddin, Rasyid, dan Amelia. Dokter yang baru saja menangani Pak Haji sudah tak ada. Sepertinya beliau keluar dan entah kemana. Mereka bertiga terdiam beberapa saat.

“Sy…Sy…Syiiid…” Suara Pak Haji parau dan sangat pelan. Rasyid hampir tak bisa mendengar suara Pak Haji. Ia mendekatkan telinganya ke mulut Pak Haji. Amelia nampak memegangi abahnya dengan lembut. Air matanya masih berlinang.

Dengan pelan Rasyid menyahut, “Inggih, Pak Haji…?”

“Aku merasa kalau aku sudah semakin dekat dengan Allah. Aku merasa kisah hidup yang telah aku lalui mulai aku kecil, dewasa, dan kini sudah tua akan berakhir…” Suara Pak haji terhenti. Ia berusaha menarik nafasnya yang mulai berat.

Perlahan Pak Haji kembali berucap, “Tak ada yang aku cita-citakan selain dari Ridha Allah dan perjumpaan atas kerinduanku kepada Baginda Rasulullah… Tapi, sebenarnya aku ingin melihat putriku ini segera menikah dengan lelaki yang bisa ku percaya mampu menjadi imam, menjadi pembimbing

189

akan hidupnya. Amelia adalah putriku satu-satunya yang aku cintai. Kakak-kakaknya semuanya laki-laki dan sudah mandiri. Kini, Amelia sudah selesai kuliah dan sudah waktunya untuk membina rumah tangga. Kamu pasti tahu kenapa aku menjodohkannya dengan dirimu…

“Aku selalu bangga melihat akhlak muliamu, Anakku. Mendengar bijaknya tutur katamu, dan melihat lembutnya kasih sayangmu akan sesama, Anakku… Aku sangat percaya bahwa

kau akan menjadi bagian dari keluarga dan kehidupanku. Untuk itu…” Suara Pak Haji terpotong oleh batuk yang ia lontarkan.

Sesaat lama, beliau mencoba melanjutkan ucapannya. Meski dirundung sedih, cemas, gundah yang bercampur menjadi satu, Amelia terus membelai lembut abahnya dengan penuh kasih sayang. Matanya kembali berlinang. Hidungnya nampak semakin merah menahan tangisnya. Putri Pak Haji itu hanya diam tanpa suara.

“Anakku Rasyid… Aku punya satu permin-taan terakhir untukmu…” lanjut Pak Haji.

“Inggih, Pak Haji… Sebutkan saja, Insya Allah bila bisa ulun lakukan, ulun akan lakukan untuk Pak Haji…” balas Rasyid lembut.

190

“Maukah engkau aku nikahkan dengan putriku, Amelia di tempat ini dan waktu ini juga?” ucap Pak Haji.

Amelia dan Rasyid tersentak seketika. Amelia sontak menatap ke arah Rasyid dengan wajah kaget bercampur sedih. Kedua mata insan itu saling bertemu. Rasyid membisu. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan kali ini. Rasyid menatap wajah Pak Haji yang dari tadi nampak me-ngeluarkan air mata. Rasyid tertunduk.

Dengan lirih ia berusaha berkata, “Inggih, Pak Haji. Ulun bersedia menikahi Amelia sekarang.” Tak kuasa lagi, akhirnya air mata lelaki itu menetes dari balik matanya.

Amelia ikut menunduk sambil memegang erat tangan abahnya. Ia tak habis pikir, baru beberapa hari mereka sekeluarga datang dari ibadah Umroh ke tanah suci, kini abahnya divonis gagal ginjal oleh dokter. Ia tak tau harus berkata apa lagi. Pikirannya terasa buntu, serasa tak ada jalan keluar akan penyakit yang sudah diidap abahnya selama empat tahun ini. Dan permintaan abahnya barusan, semakin membuat dirinya tak karuan rasa. Sedih, bahagia, haru, cemas, dan semua perasaan bercampur jadi satu.

Pak Haji melepas cincin perak dengan mata Zamrud ungu bening dari jari manisnya.

191

“Gunakan pemberianku ini sebagai mahar bagi calon istrimu…” ucap Pak Haji seraya menyerahkan cincin itu kepada Rasyid.

Amelia tak kuasa dengan kesedihannya. Ia berjalan keluar dan memanggil Lukman, sepupunya Haris dan Juneidi beserta umminya dan Paman Hadi.

“Aku ingin kalian menjadi saksi pernikahan ini…” ucap Pak Haji Syamsuddin dengan suaranya yang semakin parau kepada Lukman, Haris, Juneidi, istri dan adik iparnya, Hadi.

Ummi Zulfa dan paman Hadi tak sanggup untuk bersuara lagi. Mereka sama-sama diam, membisu.

Suasana hening sesaat. Tak lama, Rasyid memegang tangan Pak Haji. Dengan suara yang semakin parau dan rasa sakit teramat sangat yang beliau rasakan, Pak Haji mengucapkan akad nikah kepada Rasyid.

“Wahai Rasyid, dengan ini aku nikahkan kamu dengan putriku, Amelia Aulya Rahmi binti Syamsuddin, dengan mas kawin sebuah cincin, dibayar tunai…” Suara Pak Haji kian parau, hampir tak terdengar.

Rasyid menarik nafasnya dalam-dalam. Dengan penuh haru, ia mengucap basmalah dan shalawat dalam hatinya, lalu mengucapkan ijab qabul atas akad nikah

192

yang diikrarkan Pak Haji Syamsuddin atas putrinya yang disaksikan istri Pak Haji Syamsuddin, Ummi Zulfa, Lukman, haris, Juneidi dan adik ipar Pak Haji Syamsuddin, Paman Hadi.

Sesaat lamanya, suasana kembali hening. Dan perlahan terdengar lirih Amelia mengucapkan dua kalimat syahadat di telinga abahnya dengan lembut. Haji Syamsuddin mengikuti apa yang Amelia lafadzkan dengan terbata. Suaranya parau. Suasana semakin hening, membisu, tanpa suara.

Amelia mengecup kening abahnya dengan lembut, dan kemudian memeluk umminya seerat-eratnya. Ia meminta ketegaran pada umminya. Rasyid hanya bisa tertunduk tanpa suara dengan air mata yang mengalir deras meski tanpa suara.

Waktu terasa berhenti. Suara seperti hilang entah kemana. Apa yang terjadi tak ia hiraukan. Suara ribut para perawat yang kini berdatangan dan sibuk di ruangan itu ia acuhkan. Orang yang baru saja menikahkan dirinya, sekaligus orang yang menjadi mertuanya kini telah pergi meninggalkan.

Innalillahi wa innaa ilaihi raji’uun. Dan maut-pun datang dan pergi hingga menutup zaman.

***

193

۞

Part 14

Jejak Terakhir

Semenjak Pak Haji Syamsuddin meninggal, suasana kediaman almarhum saudagar itu memang terkesan berbeda. Tak ada lagi canda tawa abah yang selalu ceria di mata Amelia seperti ketika pagi mulai menjelang. Ia tak habis pikir abahnya akan pergi meninggalkannya begitu cepat setelah ia baru menyelesaikan kuliahnya di Jogja.

Empat bulan telah berlalu. Kini Paman Hadi ikut tinggal di kediamannya, di Jalan Sekumpul bersama Ummi dan Akmal, adik kandung Amelia. Keberadaan Paman Hadi, adik kandung Ummi Zulfa tidak lain pengganti peran Pak Haji sebagai wali keluarga, dan penjaga bagi mereka bertiga di rumah. Sebenarnya, Amelia memiliki tiga orang kakak laki-laki. Namun,

194

ketiga kakaknya itu sudah bekeluarga dan tinggal di luar Martapura.

Di awal-awal kepergian almarhum Pak Haji, Rasyid yang kini telah menjadi suami Amelia sempat tinggal untuk beberapa waktu di rumah keluarga almarhum Pak Haji, sebelum akhirnya lelaki yang amat dicintai Amelia itu mening-galkannya sementara waktu. Rasyid harus kembali ke Malang untuk menyelesaikan skripsinya yang tinggal sedikit lagi.

Selama sebulan, Rasyid dan Amelia harus berpisah. Dan hari ini, adalah saat-saat terakhir ia berada di Malang. Rasyid sudah selesai menunaikan amanah dari almarhum Pak Haji untuk menye-lesaikan jenjang kuliahnya di Malang. Ia sudah diwisuda dan meraih gelar sarjananya. Sebenarnya, Amelia sangat ingin datang di acara penting bagi kehidupan suaminya, wisuda Rasyid. Tapi, karena psikologi Ummi Zulfa, Ibu Amelia yang sempat labil, jatuh bangun, trauma karena ditinggal pergi oleh suaminya, almarhum Haji Syamsuddin, Amelia akhirnya mengurungkan niatnya untuk pergi ke Malang dan hadir di acara wisuda itu. Ia tak tega meninggalkan ummi tercintanya hanya bertiga dengan Paman Hadi dan Akmal di rumah. Apalagi Amelia tahu umminya sangat khawatir bila dirinya pergi meninggalkannya walau hanya sesaat. Ummi-nya kini menjadi sangat takut orang-orang terdekat-nya akan meninggalkannya.

Besok, ia akan pulang kembali ke Banjar. Ia tidak tahu apakah akan meninggalkan Malang untuk

195

selamanya ataukah hanya untuk sementara saja. Dalam beberapa hari ini, ia telah manfaatkan waktu luangnya untuk mengemas semua barang-barang yang akan ia bawa pulang ke Banjar. Buku-buku, semua pakaian, dan berbagai macam barang miliknya sudah ia kirimkan lewat Agen Ekspedisi penitipan barang ke Banjar. Jadi, hanya tinggal barang-barang yang bisa dibawa tangan saja yang akan ia giring pulang ke Banjar.

Dari sini, di lantai teratas Fakultas Ekonomi UMM, di bawah pancaran sinar matahari sore kota Malang, di matanya gunung Puteri Tidur nampak begitu menawan. Sore ini nampaknya seluruh mahasiswa sudah pulang. Hanya anak-anak jurusan teknik yang masih terlihat ramai menunggu masuk kelas. Biasanya mereka memang kuliah sampai jam delapan malam.

Rasyid termenung sendiri sambil berdiri menghadap masjid kampus, A.R. Fachruddin dan Gunung Puteri Tidur. Ia teringat masa-masa saat masih kuliah di UMM. Waktu yang telah berlalu itu benar-benar merupakan saat yang paling menge-sankan bagi dirinya.

Ia teringat saat ia baru menginjakkan kakinya di Malang, sendirian tanpa teman, dan hanya dipandu secarik kertas bertuliskan alamat Asrama Mandastana yang menemaninya sebagai penunjuk arah. Ia teringat waktu kali pertama

196

melihat megahnya kampus putih ini. Bibirnya tersenyum mengenang masa lalu itu. Ia membiarkan angin semilir lembay nan sejuk menerpa dirinya.

Dan kini waktu itu tak terasa telah berlalu. Ia sudah selesai menyelesaikan gelar S1 Akuntansinya. Banyak sekali torehan kenangan yang telah ia buat di kampus ini. Berat rasanya meninggalkan kampus putih ini baginya. Tapi, apalah daya, tempat ini hanya persinggahan sementara untuk menuntut ilmu, dan kini ia harus kembali ke daerah asalnya, ke kampung halaman tercinta untuk membangun tanah kelahirannya.

“Amelia…”

Rasyid jadi teringat wanita yang telah menjadi istrinya itu. Ia terkenang saat pertemuan pertama dengan istrinya di Pasar Martapura, di toko beras Acil Jamar. Sebuah pertemuan yang sangat mengesankan, dan akhirnya berujung pada per-nikahannya dengan putri kesayangan almarhum Haji Syamsuddin itu dengan penuh keharuan.

“Rasyid…?” Suara seseorang mengagetkannya yang tengah bersua dengan masa lalu. Kenangan yang tadi hinggap bersamanya itu seolah terbang kembali meninggalkan dirinya.

Rasyid menoleh, “Dewi…?” sahut Rasyid.

197

Ternyata itu Dewi, mahasiswi jurusan Sosiologi yang pernah minta bantuannya untuk menceritakan kehidupan masyarakat Banjar dan Dayak tempo lalu di Masjid A. R. Fachruddin.

“Sedang apa kamu di sini?” tanya Dewi dengan beberapa buku yang ia peluk di dadanya.

“‘Gak, cuman mau lihat-lihat aja…” Rasyid menjawab beserta senyumnya.

“Aku lihat di buletin kampus kamu jadi wisudawan terbaik tahun ini ya?”

Rasyid tersenyum mendengar pernyataan Dewi, “Alhamdulillah, Wi…” balasnya.

“Boleh dong minta bimbing kamu biar jadi yang terbaik juga… Hehe…”

Rasyid jadi salah tingkah. “Hehe… Wah, kayaknya ‘gak bisa, Wi….” jawab Rasyid sekenanya.

“Kenapa? Kok ‘gak bisa?”

“Besok aku sudah harus pulang ke Banjar.”.

“Beneran? Wah… Bakal ketemu sama keluarga dong. Tapi, kan bisa lewat telepon konsultasinya?” Dewi melemparkan senyumnya kepada Rasyid. Kedua insan

198

itu berdiri ditemani lembayan sendu angin musim dingin.

“Yah, sulit, Wi… Tapi, terserah kamu lah… Kamu mau kemana nih?” Rasyid mengalihkan wacana.

“Mau pulang. Tapi, tadi kebetulan liat kamu, jadi ya aku samperin aja. Sekarang mau pulang juga ta?”

“Iya, aku mau siapin barang-barang yang mau ku bawa pulang dulu di asrama.”

“Kalau gitu, yuk bareng???” ajak Dewi.

“Hayooo….!” sahut Rasyid.

Mereka berdua berjalan mengitari setiap ruang kampus UMM yang kini mulai sepi.

Sepertinya mahasiswa FE sudah tak ada sama sekali, hanya tinggal para Cleaning Service yang bertugas membersihkan ruangan-ruangan kampus.

“Jadi, rencananya sekarang apa nih? Cari kerja, nikah atau jadi pengacara? Pengangguran banyak acara? Hehe…” tanya Dewi bergurau.

Rasyid tersenyum sebelum menjawab pertanyaan dari Dewi. “Bisa aja kamu. Masih belum tahu. Mungkin akan cari kerja, atau mau bikin kerjaan di Banjar.”

199

“Kenapa ‘gak nikah dulu aja? Sudah ada calon kan?” tanya Dewi.

Rasyid kembali mengumbar senyumnya. Ia baru sadar Dewi tak tahu kalau dirinya sudah menikah. Tak sempat ia berkata satu patahpun, Dewi kembali bertanya dengan cepatnya sambil tersenyum bergurau, “Udah ada calonnya belum?”

Rasyid menoleh ke arah Dewi kemudian tersenyum. Dewi jadi salah tingkah. Gadis itu rupanya tak bisa mengontrol perasaannya. Selama ini dia memang mengagumi Rasyid dan selalu berusaha ingin tahu apakah Rasyid sudah punya calon istri atau tidak. Kali ini ia keceplosan. Rasyid menyadari ada yang aneh dari Dewi.

“Kamu, gimana skripsinya?” Rasyid menga-lihkan pembicaraan.

“Masih ngajukan proposal. Kemarin sempat ditolak beberapa kali. Jadi, harus bikin baru lagi…” Wajah Dewi mengeluarkan ekspresi cemberut. Rasyid tak banyak bicara. Ia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Tak terasa mereka sudah sampai di parkiran UMM.

“Ya udah kalau gitu, sampai jumpa lain waktu ya, Syid? Senang bisa mengenal orang sepertimu.” ucap

200

Dewi menyunggingkan senyum-nya. Rasyidpun membalas senyum Dewi dengan salam perpisahan.

***

Tadi malam Rasyid sudah menemui semua orang sekitar asrama yang ia kenal untuk berpamitan sebelum pulang ke kampung halaman. Bahkan tak lupa ia mampir ke rumah Mas Bagus dan Mas Ifunk, teman main badminton-nya.

“Alhamdulillah, sudah sarjana kamu ya, Syid? ‘Gak terasa sekarang kamu akan meninggalkan Malang.” ucap Mas Ifunk saat Rasyid katakan mungkin tak akan kembali lagi ke Malang.

Rasyid kembali sibuk menyiapkan barang-barangnya, lalu memasukkannya ke dalam tas berukuran besar. Ia sudah yakinkan kalau kali ini hanya akan membawa satu tas besar itu supaya lebih aman dan mudah menjaganya. Sebab, ini adalah perjalanan yang sedikit berbeda dari per-jalanan sebelumnya. Ia akan pulang dengan naik kapal laut. Dan sekitar jam 7.00 petang waktu Surabaya kapal akan berangkat dari Tanjung Perak.

“Serius kamu naik kapal, Syid?” tanya Nazwar yang ikut menemani Rasyid menyiapkan barang-barangnya.

201

“Iya, Naz. Mau cari suasana baru nih, lagian tiket pesawat lagi mahal-mahalnya. Sedangkan aku harus cepat-cepat pulang karena istriku sudah pasti menunggu kedatanganku…”

“Kamu sama siapa pulang, Syid? Ada teman bareng?” ucap Rusdi yang ikut masuk ke dalam kamar Rasyid.

“Sendiri aja. Kamu kapan pulang, Rusd?” Rasyid balik menanya.

“Mungkin bulan depan. Soalnya aku mau ke Madura dulu, ke pesantren Al-Amin untuk me-nemui Kiaiku. Katanya beliau sedang sakit keras jadi aku mau menjenguknya.” jawab Rusdi.

“Ooo…” balas Rasyid singkat sambil mengangguk.

***

“Ok, sudah beres… Barang yang lain sudah aku kirim lewat pengiriman barang. Untuk yang masih tersisa aku dedikasikan untuk asrama aja.” Ucap Rasyid kepada dirinya sendiri, sambil mengusap peluh yang menetes di keningnya.

202

Selesai mandi, Rasyid shalat Dzuhur dan shalat sunnat sebelum bepergian. Ia minta perlindungan kepada Allah untuk diberi kemu-dahan dan keselamatan hingga sampai di tujuan. Selesai shalat, tibalah saat yang paling mengharukan bagi dirinya dan keluarganya satu asrama. Ia harus berpamitan dengan semuanya.

Semua keluarganya satu asrama sudah berkumpul di ruang utama. Rasyid menyalami mereka satu persatu. Ia sekalian minta do’a supaya bisa sampai ke tanah kelahirannya dengan selamat.

Setelah empat tahun lamanya berada di Malang, akhirnya Rasyid harus meninggalkan Asrama Mahasiswa Kalimantan Selatan (AMKS) Mandastana yang selama ini ia anggap sebagai rumah keduanya, kampung halaman setelah Tanah Banua – Banjar. Begitu banyak kenangan yang ia tinggalkan di bangunan tua hijau ini, juga kenangan yang ia torehkan di Tanah Jawa ini. Rasyid melangkahkan kakinya tanpa menoleh ke belakang. Ia meneteskan air matanya sembari meninggalkan Tanah Malang, tanah ia menuntut ilmu.

“Bismillah...” batinnya berzikir, sedang raganya melangkah dengan pasti.

***

203

۞

Part 15

Sebuah Peristiwa

Sudah dua jam lamanya Rasyid duduk tertib di dalam bus yang berangkat dari Kota Malang. Kini bus sudah hampir tiba di Terminal Bungurasih, Surabaya. Setelah ia turun, ia harus menaiki sebuah angkot untuk sampai Pelabuhan Tanjung Perak. Untunglah tak begitu lama menunggu, ia sudah menemukan angkot tujuan Tanjung Perak. Memang, kali ini ia sengaja pulang dengan naik kapal laut. Selain karena harga tiket pesawat pas lagi mahal-mahalnya, ia tak ingin merepotkan Amelia meski sudah menjadi istrinya untuk membelikan tiket pesawat. Ia masih malu kepada keluarga Ummi Zulfa. Selama ini ia merasa sudah sangat banyak merepotkan keluarga itu. Mulai dari mengiriminya uang saku dan biaya kuliah di Malang, hingga membiayai almarhum Kakek Ja’far selama beliau sakit dulu. Ia tak nyaman hati jika kali ini harus

204

kembali minta budi, meski Amelia sendiri sudah bukan siapa-siapa lagi baginya.

Angkot sudah memasuki kawasan Tanjung Perak. Dari kejauhan, aroma pelabuhan sudah bisa tercium. Aroma bau busuk, asap motor, ikan asin, dan lainnya bercampur jadi satu. Dari balik kaca angkot, nampak pemandangan yang super sibuk di luar sana. Ada yang sedang berjualan, ada yang sibuk memasukkan barang ke dalam truk kontainer, ada juga orang yang nampak sibuk mengantri untuk membeli tiket kapal. Untung ia sudah beli tiket lebih dulu di Malang, jadi ia tak perlu ikut mengantri dengan sesak seperti mereka, para penumpang lain.

Rasyid keluar dari angkot dan membayar ongkos angkut tersebut. Ia lalu mencari tempat beristirahat sejenak. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Itu artinya setengah jam lagi kapal akan berangkat, tepat ba’da Maghrib. Rasyid memutuskan untuk shalat di dalam kapal saja. Daripada nanti ketinggalan kapal, kan mesti menunggu keberang-katan berikutnya, besok pagi. Rasyid memandangi pantai pelabuhan dari kejauhan sambil merenung akan dirinya yang sebentar lagi benar-benar kembali pulang, dan mungkin takkan kembali lagi ke Malang. Sudah tak sabar lagi rasanya ia untuk bertemu dengan seluruh keluarganya, khususnya bertemu Amelia. Pulang, membangun daerah dengan ilmu yang ia dapat selama ini, dan menjadi putera daerah yang berbakti pada tanah kelahiran-nya, itulah cita-citanya. “Biar Kakek

205

Ja’far dan semuanya bangga…” Rasyid berangan sendiri.

“Tuuuuuuuuuut… Tuuuuuuuuuut…!”

Dari tempatnya duduk, terdengar teriak sirine pelabuhan nan berkumandang jauh hingga ke ujung langit. Sepertinya ada sebuah kapal yang datang. Tak begitu lama berselang, ada pengumuman bahwa kapal yang akan ia tumpangi sudah siap untuk dimasuki. Sekejap para penumpang yang tadinya duduk lesehan langsung berlarian dan berdesak-desakan untuk masuk ke dalam kapal. Tidak tahu apa yang mereka pikirkan, mungkin takut ketinggalan kapal. Tapi yang jelas, waktu check in kapal masih satu jam lagi. Jadi, tak perlu baginya untuk berdesak-desakan seperti itu. Rasyid berdiam sejenak di tempat duduknya. Ia tidak ikut ber-gerombol dengan para penumpang lain. Ia memilih sabar saja untuk menunggu beberapa saat.

Tak lama berselang, para penumpang yang berdesakan tadi mulai sepi. Rasyid beranjak dari duduknya. Ia berjalan dengan santai masuk ke dalam kapal. Tak berapa lama, kapal mulai meninggalkan pelabuhan. Rasyid berdiri menyen-diri di moncong kapal yang cukup gagah itu. Ia memanjatkan do’a kepada Allah Swt agar diberi keselamatan di perjalanan ini hingga tujuan. Ia berharap, ia bisa bertemu kembali dengan keluarga-nya di Banjar. Ia hanyut dengan kesendiriannya di ujung moncong kapal bagian belakang.

206

Dari sini, pelabuhan Kota Surabaya yang sangat sibuk itu semakin kecil, menghilang di kejauhan. Tak berapa lama kapal mulai menyisir, melewati tepi sebuah pulau. Itu adalah Pulau Madura yang berada tepat di sebelah utara Jawa Timur. Pulau itu nampak elok dari kejauhan, ditambah dengan terpaan senja kuning yang menawan. Pemandangan yang benar-benar menge-sankan. “Subhanallah…”

“Ternyata enak juga ya naik kapal laut. Sudah lama aku tak menaiki alat transportasi ini…” pikirnya.

Angannya kini terbang membayangkan wajah istrinya, Amelia. Di tengah asyiknya ia bersua dengan lamunan, Suara seorang laki-laki dengan nada serak terdengar menghaturkan salam kepadanya dari arah belakang. Suara itu seketika membuyarkan pengamatannya akan indahnya Pulau Madura itu. Seketika Rasyid menoleh ke asal suara seraya menjawab salam dari orang itu. Rupanya ada seorang kakek tua datang berjalan menghampirinya. Mungkin ia juga penumpang yang akan pulang atau entah pergi ke Banjar. Orang itu nampak melemparkan senyumnya kepada Rasyid sambil menyodorkan tangan kanannya. Rasyid meraih tangan lelaki tua itu.

“Maaf, Kek… Apa kita sebelumnya saling kenal?” tanya Rasyid. Ia merasa sangat familiar dengan orang tua itu. Tapi, entah dimana ia pernah bertemu dengan Pak tua itu, ia tak tahu.

207

“Mungkin… Hehe…” jawab lelaki tua itu dengan bergurau.

“Baru pertama naik kapal ya, Dek?” Gelagat orang tua itu terasa renyah dan bersahabat.

“Ndak, Kek. Ini ketiga kalinya naik kapal. Tapi, ya, bisa dikatakan jarang. Kenapa memang-nya, Kek?” balas Rasyid akrab.

“Ooo… Pantas. Aku sering naik kapal dan hampir semua jenis kapal sudah pernah aku naiki. Tapi, tak pernah bertemu denganmu, Dek. Hehe…”, Tawa lelaki tua itu terdengar dingin.

“Mau pergi ke Banjarmasin atau pulang ke Banjarmasin, Dek?” sambung lelaki tua itu. Logat orang itu terdengar aneh di telinga Rasyid. Sepertinya bukan orang Indonesia, entah darimana asalnya.

“Mau pulang, Kek, dari Malang. Kalau Kakek mau kemana? Pulang juga? Atau pergi ke Banjarmasin?” balas Rasyid bertanya.

“Aku cuma jalan-jalan, Le’87. Sampean kuliah ya?”

“Inggih, Kek…”

87 Nak = Anak laki-laki (Bahasa Jawa)

208

“Ooo… “ Sejenak lelaki tua diam. Rasyid juga ikut diam.

Dan beberapa saat, ia kembali bersuara, “Aku cuma ingin berpesan kepadamu ya, Le’… Segala ilmu yang kau dapatkan itu jangan sampai kau sia-siakan. Kau harus amalkan dengan baik, dan kemudian kau ajarkan kepada orang lain supaya bermanfaat. Betapa banyak ummat-ummat yang hancur karena mereka tahu tetapi tak mengamal-kannya. Karena ujian untuk menjalani hidupmu ke masa yang akan datang itu lebih berat dari yang sebelumnya pernah kau alami.” ucap kakek tua itu serius.

Tanpa sadar Rasyid langsung mengernyitkan dahinya. Ia merasa heran mendengar ucapan lelaki tua itu. Kenapa orang tua itu tiba-tiba berkata demikian kepada dirinya, seolah beliau tahu tentang dirinya. Iapun merasa ada yang aneh dengan orang yang kini bersamanya itu. Dari gaya bicara, hingga cara berpakaian, sepertinya beliau bukan orang dari negeri ini.

“Insya Allah, Kek…” Rasyid membalas jawa-ban lelaki itu dengan tersenyum. Ia mengabaikan kejanggalan hatinya.

“Kamu sudah shalat?” Tanya sang kakek.

“Belum, Kek… Astaghfirullah… Saya hampir saja kelupaan, Kek. Terima kasih ya Kek, sudah mengingatkan saya…” Rasyid menepuk keningnya.

209

Kakek itu mengangguk sambil tersenyum. “Yuk, kita shalat dulu… Siapa tahu nanti tak sempat lagi… Umurmu keburu dijemput oleh Allah…” ucap kakek tua itu.

Rasyid tersentak. Ia kaget mendengar ucapan si kakek yang tiba-tiba saja berbicara seperti itu. Tapi, apa yang beliau katakan barusan memang ada benarnya jua. Kita harus selalu mawas diri. Ia teringat pepatah orang tua Banjar, ‘Umur kada babau’ – ‘Kematian tak bisa ditebak kapan datangnya’.

Rasyid langsung menuju mushalla kapal itu bersama si kakek tua yang ia temui barusan. Setelah berwudhu dan masuk ke mushalla kapal, kakek itu langsung mengumandangkan Iqomat dan mendo-rong badan Rasyid supaya maju menjadi imam shalat. Awalnya Rasyid menolak, tapi kakek itu memaksanya. Rasyid mengangkat takbir. Satu-persatu para penumpang lain mengikuti langkah mereka. Selesai shalat, Rasyid membalikkan badannya ke arah makmum. Ia tak menemui lelaki tua itu di barisan makmum. Ia toleh kiri kanan, tapi tak ada.

“Mungkin beliau ke belakang.” pikirnya.

Satu jam ia menunggu di mushalla, lelaki tua itu tak kunjung kembali. Hingga waktu Isya telah tiba, ia masih tak menjumpai lelaki tua itu. Satu persatu penumpang kembali berdatangan untuk shalat Isya. Rasyid kembali jadi imam. Selesai pula shalat Isya, lelaki tua itu tak kunjung muncul.

210

“Mungkin ia ke kantin untuk makan, atau ke moncong kapal lagi melihat pemandangan laut malam.” pikirnya.

Rasyid segera ke kantin kapal. Tapi, tak ia temukan lelaki tua itu. Kemudian ia ke moncong belakang kapal, tak ada pula. Ia berkeliling ke seluruh penjuru kapal, tapi tak kunjung lelaki tua itu ia temukan.

“Sudahlah… Mungkin lelaki tua itu asyik dengan aktivitasnya sendiri. Lebih baik aku istirahat, karena sudah letih aku naik turun ke sana kemari mencari lelaki tua itu.” pikir Rasyid.

Ia berjalan ke ruang lesehan para penum-pang. Matanya sudah agak berat. Ia ingin istirahat sejenak. Siapa tahu ketika bangun nanti ia sudah sampai di Banjarmasin. Perlahan gempita malam semakin gulita. Bintang di atas sana nampak semakin terang. Udara mulai terasa dingin. Rasyid memanjatkan sebuah do’a, “Dengan Namamu Ya Allah, Yang Maha Menghidupkan dan Yang Maha Mematikan…” Ia berusaha memejamkan matanya untuk tidur.

***

Sudah sekitar lima belas jam kapal beranjak dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Jam di tangannya sudah menunjukkan hampir pukul 9.00 pagi WITA.

211

Kini ia mulai merasakan sesuatu yang mengolek-olek dalam perutnya. Perutnya terasa sangat mual dan ingin muntah. Itu karena ia mabuk laut. Rasyid segera keluar dari ruang kapal dan menuju ke arah tepi.

Ia melemparkan pandangannya ke sekeliling kapal. Yang ada hanya lautan luas dan langit yang ditutupi awan kelabu. Tiba-tiba saja perasaan tidak enak dari dalam hatinya muncul. Bukan karena perutnya yang mual itu. Tapi, sepertinya ini adalah suatu pertanda yang akan ia alami.

Tak lama kemudian awan hitam di sekeli-lingnya semakin terlihat tebal. Dari kejauhan nam-pak kilat-kilat menyambar. Suaranya menggelegar sembari menghantam lautan luas. Suasana mulai tegang. Lautan mulai bergejolak. Laut yang tadinya tenang kini seolah mengamuk memperlihatkan kemarahannya. Ombak-ombak semakin tinggi dan mengobok-obok kapal diiringi hujan lebat, angin ribut, dan sambaran petir yang menggetarkan kapal. Suasana sangat mencekam. Orang-orang yang tadinya berada di luar kapal kini masuk ke dalam. Begitu juga dengan dirinya.

Dilihatnya ke sekeliling, nampak wajah-wajah pucat pasi para penumpang yang ketakutan, semakin membuat suasana tak nyaman. Ombak di luar sana terus menghantam kapal. Sesekali kapal terasa sangat miring, seolah ingin terbalik. Di sebelah kanannya nampak seorang nenek membaca Al-Qur’an dengan suara serak tapi agak nyaring. Wajah nenek itu nampak begitu tenang-tenang saja, seperti tak terjadi apa-apa. Di

212

kerumunan sana juga nampak orang-orang yang membaca Al-Qur’an dan berdo’a sambil mengangkat kedua belah tangan mereka dengan wajah mereka yang nampak pucat. Mungkin mereka takut dengan keadaan ini. Anak kecil yang ada di gendongan ibunya nampak menangis dengan sekeras-kerasnya. Kapal kembali oleng karena diterpa ombak yang sangat tinggi dan begitu kencang. Suara guntur dan petir tak henti-hentinya bersahutan, seolah menyambar seseorang yang diincarnya.

“DARRRRRRRRRR………….!!!”

Suara guntur berteriak menggelegar me-nyambar diiringi kilat yang menyilaukan. Itu adalah suara guntur ternyaring yang pernah ia dengar. Tak hanya telinganya yang sakit mendengar betapa nyaringnya guntur itu, jantungnya terasa hampir copot. Tak lama dari suara guntur itu, terdengar suara benturan sesuatu di luar kapal dengan sangat keras. Apakah itu akibat sambaran petir tadi atau apa? Ia tidak tahu. Dari jendela kapal suara riuh angin yang begitu menakutkan masih saja terdengar di telinganya. Tak ada tanda-tanda keadaan ini akan berakhir. Hujan di luar juga semakin lebat.

Ombakpun kembali menerjang kapal yang mereka tumpangi dengan sangat kencang. Kapal miring ke sebelah kiri, dan semakin miring. Dari luar, seorang petugas membuka pintu kapal dan memberitahu kepada penumpang untuk cepat keluar dan pergi ke arah sekoci, karena kapal akan segera tenggelam.

213

Para penumpang semakin cemas setelah mendengar penyampaian petugas kapal. Mereka langsung berdesakkan untuk berebut jalan menuju arah sekoci, berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Mereka seolah tak tahu lagi dengan keadaan saudara mereka. Yang mereka pikirkan hanyalah diri mereka sendiri. Rasyid sendiri masih termenung sembari mengamati apa yang akan diperbuat oleh nenek yang berada di sampingnya, yang dari tadi sedang khusyuk membaca Al-Qur’an. Para penumpang sudah hampir keluar semua. Hanya tersisa sedikit yang ada di dalam, mereka semua sudah menuju sekoci. Nenek yang ada di samping Rasyid tak beranjak dari tempatnya. Beliau terus membaca Al-Qur’an, ayat demi ayat. Hatinya ingin menegur nenek itu, tapi ia ragu karena takut menggangu si nenek.

Akhirnya Rasyid mencoba memberanikan dirinya untuk menegur nenek itu. Dengan ragu ia bertanya kepada sang nenek.

“Maaf, Nek… Apa Nenek tidak mendengar pemberitahuan dari petugas kapal tadi? Nenek tidak ikut ke kapal penyelamatan ya?” ucapnya dengan suara berteriak melawan riuh angin yang terus bertiup kencang.

Nenek itu tersenyum dengan hangat kepada-nya seraya menjawab pertanyaan dari Rasyid.

“Aku ini sudah tua, Nak… Seandainya aku harus menutup umurku di sini, maka aku ikhlas kepada

214

Allah… Kamu sendiri, kenapa tidak menuju ke kapal penyelamatan? Bukankah perjalanan hidupmu masih panjang, Nak? Kamu masih muda…” balas nenek itu dan kembali tersenyum.

Rasyid terdiam sejenak mendengar perka-taan nenek itu. Ia berpikir, “Benar apa yang dikatakan nenek. Aku tidak boleh menyerah begitu saja mengarungi perjalanan hidup ini. Umurku masih muda, perjalananpun masih panjang. Masih banyak hal yang belum dan harus aku kerjakan. Masih banyak kewajiban dan urusan yang me-nungguku. Dan di kampung halaman sana, ada keluarga yang selalu menanti kedatanganku kembali. Ada Amelia yang kini menjadi istriku, yang senantiasa menunggu kedatanganku.”

Di benaknya tergambar wajah lembut Amelia yang senantiasa tersenyum kepadanya. Tanpa pikir panjang, Rasyid berlari keluar menuju sekoci yang disiapkan oleh petugas kapal. Suasana di luar nampak begitu menakutkan. Suara petir masih terus bergemuruh bergantian. Angin kencang menyebabkan langkahnya sulit untuk berjalan menuju sekoci. Dan…

“Brusshhh………!!!”

Ombak kencang kembali menerjang kapal dan akhirnya kapalpun semakin karam. Dilihatnya badan kapal sepertinya sudah sangat rusak. Di ujung kanan kapal terlihat ada bagian yang nampak hangus, sepertinya itu bekas sambaran petir yang sangat nyaring beberapa waktu yang lalu. Rasyid terus berlari

215

menuju petugas yang menunggunya di sekoci sambil melambai-lambaikan tangan kepada-nya.

Tiba-tiba, tanpa sengaja, kaki Rasyid terpe-leset, dan iapun terjatuh. Sebuah tiang kapal roboh dan mengenai kepalanya. Ia hampir pingsan dan tak mampu untuk bergerak. Kapal semakin karam dan tenggelam ditelan ganasnya perairan. Ia tak sempat lagi untuk bangkit dan mencapai sekoci. Ia teng-gelam bersama kapal yang ditumpanginya.

***

216

۞

Part 16

Kabar Duka

Di sebuah rumah sederhana di Kecamatan Sekumpul Martapura, wanita yang sudah cukup lama ditinggal pergi oleh suaminya itu sudah tidak sabar lagi menunggu-nunggu kedatangan kekasih hatinya. Semestinya suaminya sudah tiba di rumah sekarang. Sebab, suaminya itu bilang padanya kalau ia akan datang sekitar jam sembilan malam ini. Tapi hingga jam dindingnya sudah menunjukkan jam satu malam, tak ada batang hidung suaminya itu muncul. Dengan wajahnya yang mulai cemas, wanita itu terus memandangi ke arah jam di dinding rumahnya. Ia masih terjaga dan tak bisa tidur. Sesaat ia mencoba untuk tidur, tapi entah mengapa matanya tak mau terpejam. Ia selalu teringat suaminya. Perasaan di dadanya tak tenang, seolah merasakan ada sesuatu yang terjadi pada suaminya itu.

217

Tak berapa lama, seorang wanita yang lebih tua terbangun dari lelapnya tidur. Ia lihat lampu ruang tamu masih menyala. Dan ketika ia periksa, ia dapati putri kesayangannya itu masih kuat terjaga. Putrinya itu belum tidur dan tengah terduduk sendiri di sofa ruang tamu. Dari raut wajahnya, jelas sekali terlihat pertanda kalau putri kesayangan-nya itu sedang gundah.

“Kenapa, Sayang? Rupanya kamu masih tak tidur juga?” Ia mendekat dari belakang sambil memegangi pundak putrinya lembut.

“Amel lagi menunggu Bang Rasyid, Ummi… Amelia takut Abang Rasyid kenapa-napa…” Mata putrinya itu nampak berkaca-kaca karena cemas.

“Memangnya Rasyid pulang malam ini kah?” tanya Ummi Zulfa itu setengah kaget mendengar putrinya berucap sedang menunggu kedatangan suaminya, Rasyid.

“Inggih, Ummi. Abang Rasyid malam ini pulang dari Malang. Ia sengaja tak bilang ke Ummi kalau akan pulang dengan naik kapal. Katanya, ia tak ingin merepotkan Ummi. Karena kalau Ummi tau, Ummi pasti akan membelikan tiket pesawat untuk pulang agar lebih cepat. Ia malu, sudah jadi menantu masih minta apa-apa sama Ummi. Jadi, Ameliapun tak bilang ke Ummi. Makanya, Abang pulang naik kapal.” Amelia menatap wajah ummi-nya sendu.

218

“Ada-ada saja kalian ini. Harga tiket itu berapa sih? Kok dibilang merepotkan… Insya Allah suamimu juga sebentar lagi akan pulang…” Ummi Zulfa mencoba menenangkan Amelia.

“Mudah-mudahan, Ummi…” Amelia mere-bahkan kepalanya ke pangkuan ibunya.

Detik terus berjalan. Suara jam dinding di ruangan itu terdengar begitu jelas di telinganya. Detik itu serasa kian lambat baginya yang tak sabar menanti kedatangan suami tercinta. Jam sudah menunjukkan pukul empat Subuh tepat. Amelia masih di ruang tamu, berpangku di paha umminya yang sudah tertidur, sedang ia masih kuat terjaga.

Waktu terus berjalan. Tak terasa Subuh sudah menjelang. Umminya itupun terbangun. Mereka berdua shalat Subuh berjama’ah bersama paman dan adiknya pula.

Seusai shalat Subuh, Amelia kembali ke ruang tamu. Ia kembali menunggu kedatangan lelaki yang dicintainya itu. Tak bosan-bosannya ia menunggu, kini ia turun ke pelataran dan duduk sambil menyandarkan kepalanya di tiang pelataran88 rumahnya. Tak sengaja pamannya melihat Amelia yang nampak duduk termenung. Rupanya perasaan Amelia kian gundah.

88 Teras

219

“Kamu menunggu suamimu kah, Dang?’’ tanya Paman Hadi lembut.

Amelia menoleh, “Inggih, Paman… Tapi, sudah hampir jam tujuh pagi ini, Abang Rasyid tak kunjung datang. Padahal kata Abang Rasyid, ia akan pulang jam sembilan malam tadi.” Suara Amelia sendu dan wajahnya mulai pucat.

“Mmm… Mungkin kamu salah, Dang. Bukan jam sembilan malam tadi. Tapi, jam sembilan pagi ini…” jawab pamannya mencoba menenangkan.

“Tidak, Paman… Bang Rasyid bilangnya jam sembilan malam tadi. Kan kapal berangkat sekitar jam 17.30 waktu Surabaya.”

“Sudah coba kamu telepon?’’

“Sudah, Paman. Tapi, hand phone-nya tak aktif. Amelia juga bingung. Semoga saja tak terjadi apa-apa sama Abang Rasyid…”

“Insya Allah, suamimu baik-baik saja, Dang… Kamu jangan berpikir yang macam-macam lah?” Pamannya mencoba menghibur Amelia yang nampak gusar.

Amelia terus menunggu dan menunggu kedatangan Rasyid. Hingga matahari sudah berada di ufuknya, adzan dzuhur di Mushalla Sekumpul mulai berkumandang. Amelia mengambil wudhu dan shalat

220

di tengah hati yang gundah. Ia berdo’a semoga saja suaminya tak kenapa-napa. Setelah shalat, ia kembali duduk menunggu di ruang tamu. Kali ini rasanya ia sudah mulai bosan menunggu. Ia beralih ke ruang keluarga sambil menonton televisi. Ia jadi tak berselera hari ini. Perasaan di dadanya masih saja tak nyaman. Tak sengaja ia memencet channel berita siang. Dan tiba-tiba, Amelia langsung jatuh pingsan setelah melihat berita yang baru saja dilihatnya di televisi.

“Sebuah kapal, KM Kumala yang berlayar dari Tanjung Perak Surabaya pukul 17.30 WIB, menuju Tri Sakti Banjarmasin kandas terbalik diterjang badai di perairan Laut Jawa, sekitar pukul 9.00 pagi WITA. Dan diperkirakan hanya ada lima orang selamat. Hingga kini evakuasi tetap terus dilakukan.”

Daftar nama orang yang selamat.

1. Hendarto (awak kapal 35 th) 2. Marianti Sri Astuti (penumpang 20 th) 3. Joko Wardoyo (penumpang 43 th) 4. Mukhlis Zainal (penumpang 27 th) 5. Sulaiman (penumpang 52 th)

Paman Hadi yang melihat Amelia terjatuh pingsan langsung berlari memangku keponakannya itu. Ia juga sempat sesaat melihat berita itu. Ummi Zulfa yang juga melihat berita di TV langsung menutup mulut dengan kedua belah tangannya. Ia seolah tak percaya dengan berita yang baru saja dilihatnya. Ia tak percaya kejadian itu menimpa pada Rasyid, suami

221

Amelia. Pemuda yang baru lima bulan menikahi Amelia.

Paman Hadi segera mengangkat Amelia ke kamarnya. Ia membaringkan Amelia di tempat tidurnya. Beberapa saat kemudian, Amelia mulai sadarkan diri. Tapi, tatapan matanya terlihat kosong. Ia masih belum benar-benar sadar. Dari mulutnya terdengar suara menyebut-nyebut “Abang Rasyid… Abang Rasyid…” hingga berulang kali.

Ummi Zulfa memegang erat tangan Amelia. Paman Hadi bungkam dan tak dapat bertutur sama sekali. Ia menoleh ke wajah kakaknya, Ummi Zulfa, sambil menganggukkan kepalanya tanpa berkata-kata, pertanda agar mereka menerima apa yang sedang terjadi. Beberapa saat kemudian, Amelia benar-benar tersadar dari pingsannya. Ia kembali menyebut-nyebut nama “Rasyid”.

Umminya yang tak kuasa melihat semua itu langsung mengharu biru, meneteskan air mata. Ia memeluk Amelia. Paman Hadi nampak memegangi pundak Ummi Zulfa yang telah tenggelam dalam kesedihan. Umminya yang sangat peka akan perasaan putri tercintanya itu tentu bisa merasakan apa yang Amelia rasakan. Paman Hadi terus memegang pundak kakaknya itu dengan lembut

“Kak Zulfa, jangan terlalu berkabung seperti itu. Tidak baik. Allah tak suka dengan yang

222

demikian…”Adiknya itu mencoba menasehati kakaknya dengan lembut.

Ummi Zulfa tersadar dan segera mengusap air matanya. Tangannya mencengkeram erat tangan putrinya. Badan Amelia gemetar. Bibirnya terus bergerak menyebut-nyebut nama Rasyid. Tatapan-nya kosong. Air matanya jatuh begitu saja dari bilik matanya. Umminya itupun kembali ikut menangis melihat Amelia yang meneteskan air mata kesedihannya.

“Bang Rasyid tak apa-apa kan, Ummi?” tanya Amelia dengan tatapan keputusasaan.

“Insya Allah, Idang. Abang Rasyid baik-baik saja… Itu kan beritanya masih sekilas. Katanya kan hingga saat ini masih dilakukan pencarian? Insya Allah suamimu Rasyid selamat. Insya Allah… Percayalah kepada kekuatan Allah…” Umminya mencoba menguatkan hati putrinya.

“Amel percaya, Ummi… Amel percaya Bang Rasyid, suami Amel tak apa-apa. Amel percaya kalau Bang Rasyid masih hidup. Amel percaya…” suara Amelia setengah berteriak.

Psikologisnya down total. Apa yang terjadi pada Amelia sontak menjadikan pamannya ikut mengharu biru. Ia tak kuasa melihat keponakannya yang seolah tak menerima kepergian suaminya, suami yang ia nikahi baru lima bulan yang lalu.

223

***

Sudah dua hari ini berita tetang kecelakaan Kapal KM Kumala tersebar di seluruh saluran TV dan media cetak. Tidak hanya Amelia, seluruh teman-teman Rasyid yang kuliah di Malang dan yang berada di Banjar juga sudah mengetahui tentang kecelakaan itu. Keluarga pemuda itu, Paman Sulaiman dan Acil Jamar juga sudah mengetahui bahwa keponakan mereka, Rasyid, adalah salah seorang korban dari kecelakaan itu. Dikabarkan hingga kini, hanya ada lima orang korban yang selamat dari peristiwa itu. Namun, sayangnya nama Rasyid tidak tercantum dalam lima orang yang diberitakan sebagai korban selamat.

Tidak hanya Amelia, Zahra dan Kiai Karim yang juga mengetahui kabar tragis itupun turut bersedih mendengar Rasyid telah menjadi salah satu korban hilang dalam kecelakaan Kapal KM Kumala naas itu. Sangat jelas terpampang di daftar korban hilang nama “Rasyid Khairuzzaman” sebagai korban hilang dalam insiden KM Kumala itu.

Sekarang, apalah daya jika orang yang mereka cintai telah tiada. Mereka harus bisa menerima semuanya. Mereka harus bisa meng-ikhlaskan kehendak Tuhan yang Maha Berkehendak atas segala peristiwa di muka bumi ini. Karena lewat peristiwa itu, Tuhan ingin menguji hamba-Nya, siapakah yang lebih mereka cintai? Apakah suami mereka? Istri mereka?

224

Anak mereka? Atau harta-harta mereka? Ataukah Allah yang Maha atas Segala Sesuatu?”

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.89

Waktupun terus bergulir. Lima bulan telah berlalu setelah kejadian kecelakaan kapal KM Kumala yang tenggelam diterjang badai di perairan Laut Jawa itu. Tak ada kabar berita lagi dari peristiwa itu. Berita di TV sudah tak lagi me-nyinggung masalah peristiwa naas itu. Mungkin itu hanya sekilas berita kecil bagi stasiun televisi untuk meliputnya dibanding isu-isu hangat tentang pergolakan politik dan ekonomi negeri ini. Seiring tak tersiar lagi berita kapal tenggelam itu, tak terdengar lagi pula cerita tentang Rasyid. Harapan Amelia untuk bertemu kembali dengan suami yang ia cintai kini menjadi layu dan kering.

Tak ada kunjung kabar berita. Bahkan tak ada jasad yang ia temui dari suaminya. Kini ia hanya tinggal pasrah menerima semua yang ia alami. Ia mulai berusaha untuk tetap sabar dan ikhlas dan terus berusaha untuk menjalani hidup-nya seperti dulu lagi. Apalagi kini kandungannya sudah mulai berat. Ia sudah menginjak hamil tua sembilan bulan. Terakhir ia

89 QS. At-Taghaabun: 11

225

periksakan, dokter bilang tak lebih dua minggu lagi mungkin ia akan melahirkan.

Selesai shalat Dzuhur sendirian di kamarnya, tiba-tiba perut Amelia terasa sangat sakit. Ia merasa perutnya seakan ditusuk-tusuk dengan duri tajam. Ia tak kuasa menahannya dan segera berlari ke tempat tidurnya. Ia menelepon dokter spesialis kandungannya. Segera Paman Hadi yang mende-ngar Amelia menjerit kesakitan masuk ke kamar Amelia dan datang menghampirinya. Tak berapa lama, sang dokter ditemani seorang bidan sudah datang, dan segera melihat kondisi Amelia. Amelia terus menjerit kesakitan.

“Gimana, Bu Dokter?” tanya Paman Hadi yang nampak begitu khawatir. Peluh dingin di wajahnya keluar dengan derasnya.

“Sepertinya sudah dekat sekali, sudah mau keluar, Pak. Kita tak punya banyak waktu untuk membawanya ke Rumah Sakit.” jawab Bu Dokter.

“Jadi, bagaimana?”

“Kandungannya sehat. Insya Allah bisa kita usahakan di sini bersama Bidan Irma. Bapak mohon keluar sebentar lah?” pinta Bu Dokter.

Paman Hadi segera keluar dari kamar. Ia menunggu dengan cemas bersama kakaknya, Ummi Zulfa yang datang belakangan. Dari luar, ia bisa

226

mendengar betapa beratnya perjuangan Amelia yang berteriak berusaha melahirkan anaknya. Beberapa saat waktu berselang, dan akhirnya terdengarlah teriakan tangis dari seorang bayi. Dokter dan bidan yang menangani proses persalinan Amelia tak lama kemudian keluar dari kamar. Wajah Dokter itu nampak berseri-seri.

“Cucu Bu Haji, laki-laki. Dan Alhamdulillah lahir dengan selamat tanpa cacat sedikitpun.” ucap Ibu Bidan kepada Ummi Zulfa.

Ummi Zulfapun langsung bersujud, bersyu-kur atas kelahiran cucunya itu. Mata Ummi Zulfa nampak berkaca-kaca karena haru dan bahagia. Beliau tak mampu lagi untuk berkata-kata.

“Saya boleh masuk lah, Bu Dokter?” pinta Ummi Zulfa.

“Silakan, Bu Haji. Saya mau mengambilkan tambahan air hangat dulu untuk membersihkan badan si bayi.” jawab Bu Dokter itu ramah.

Ummi Zulfa segera mencium kening anak Amelia itu dengan wajah bercampur haru. “Alhamdulillah anakmu laki-laki, Dang. Ganteng. Kulitnya putih, mirip kamu. Dan wajahnya tampan mirip abahnya.” ucap Ummi Zulfa yang menatap bahagia wajah dari putra pertama Amelia.

227

Amelia meneteskan air matanya mendengar ucapan umminya itu. Ia kembali teringat suaminya. Rasanya ia ingin sekali membesarkan buah hatinya itu dengan suami tercintanya. Tapi, inilah kehendak Allah. Ia harus melahirkan putra tercintanya tanpa sosok Rasyid di sampingnya. Tanpa kehadiran seorang pemuda yang dicintainya.

Setelah dimandikan, bayi mungil buah cinta Amelia dan Rasyid itu ditidurkan dan diletakkan oleh bidan yang menangani proses persalinan Amelia di pelukan Amelia. Amelia menatap haru akan wajah putra pertamanya itu. Apa yang dikatakan umminya benar. Kulitnya putih bersih seperti dirinya, dan matanya galak serta beralis tebal seperti Rasyid. Ia jadi kembali teringat sosok Rasyid. Amelia mencium anaknya dengan lembut.

“Kamu beri nama siapa putramu ini kelak, Dang?” tanya umminya. Wajah beliau nampak tersenyum sangat bahagia.

“Terserah Ummi sama Paman saja lah…”

“Paman inginnya diberi nama Umar, karena paman suka dengan sosok Umar Bin Khattab, Dang…” ucap pamannya dengan gembira sambil menatap cucunya yang tertidur pulas di pelukan Amelia.

“Amelia kurang suka nama itu, Paman. Umar itu kan berwatak keras, sedangkan Abang Rasyid kan

228

sangat lembut kepada Amelia…” jawab Amelia dengan nada manja sambil mencium buah hatinya.

“Kalau Ummi, pengennya dikasih nama Muhammad Ali Nur Husain Al-Banjary.” sahut umminya.

“Terlalu panjang, Ummi. Melebihi panjang nama abahnya. Nanti malah merasa lebih hebat dari abahnya. Bagaimana kalau kita beri nama Muhammad Zaki Khairuzzaman? Mirip dengan nama abahnya, Rasyid Khairuzzaman” balas Amelia.

“Paman sepakat… Nama yang bagus dan terdengar berwibawa.” sela Paman Hadi.

“Ummi juga sepakat… Nama yang indah dan harum…” sahut Ummi Zulfa.

Suasana di ruangan itu begitu cerah bersama kelahiran anggota keluarga baru mereka. Amelia kembali meneteskan bulir hangat dari bola matanya. Ia benar-benar bahagia melihat wajah bayinya yang begitu memesona. Wajah yang mengingatkannya kepada suaminya, Rasyid, lelaki yang dicintainya.

***

229

Dan waktupun terus berputar menggulir meninggalkan masa lalunya. Tanpa mereka sadari, mereka dalam keadaan yang merugi dengan berlalunya waktu ini. Kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, serta saling mengajak kepada kebaikan dan kesabaran.90

Kini, Amelia sudah bisa menerima kepergian Rasyid. Ia sudah bisa menatap lagi masa depannya. Ia tak ingin lagi berpikir murung. Yang ia pikirkan saat ini adalah membesarkan buah hatinya, Zaki, dengan sepenuh kasih sayang, sebesar cintanya kepada suaminya, Rasyid. Baginya, hanya putra tercintanya itulah warisan satu-satunya yang tertinggal dari suaminya.

Tak terasa sudah semakin jauh hari berjalan. Semakin lama dan semakin terlupa. Roda kehidu-pan terus berputar seiring detik waktu yang ber-ganti secara teratur. Rasyid kini hanya tinggal nama saja. Jenazahnya tak pernah ditemukan hingga sekarang. Tahun sudah berganti. Dan bumi terus berputar mengelilingi garis revolusinya atas matahari. Mungkin inilah sudah goresan pena hidup untuk sejarah bagi dirinya. Goresan cintanya yang hilang ditelan ombak lautan. Wallahu a’lam…

***

90 Surat Al-‘Ashr

230

۞

Part 17

Bulik Madam

Hampir dua tahun setelah kepergian Rasyid dan kecelakaan Kapal Laut KM Kumala di perairan Laut Jawa yang berlayar menuju Banjarmasin dari Pelabuhan Perak, Surabaya. Tak ada lagi kabar berita dari pemuda itu. Kini lembaran sejarah kisah hidupnya tak terbuka lagi. Pemuda itu semakin hari semakin terlupa. Tertutup bersama ombak dan riuh angin laut yang silih berganti menerpakan pantai. Tanpa pemuda itu, kehidupan kembali memutar roda kesehariannya seperti tahun-tahun silam.

Sudah sepekan kiranya hujan tak kunjung turun menyirami Bumi Antasari yang mulai gersang. Musim panas tahun ini terasa seperti kemarau siam. Sungai-sungai di sekitar dataran Banjar, seperti Sungai Martapura dan Marabahan nampak berubah coraknya

231

menjadi kekuning-kuningan. Begitulah kiranya jika sungai itu menjadi surut. Anak-anak sungai di Malintang Baru bahkan sudah tak bergenangan lagi. Semuanya kering membangkangkan tanah-tanah kasar. Sebagian warga tak jadi turun ke lumbung. Mereka memilih mangacal91 ikan di barisan genangan yang tersisa di anak-anak sungai, dan di sumur-sumur mereka.

Tak berujung lama terik hari ini, perlahan namun berpasti jua, suasana langit yang tadinya lapang tak bermega, kini mulai berubah menjadi mendung. Tak lama berselang, awan-awan kelabu bertamu di atas sang jagad biru, merangkak, dan kian menebal hingga semakin mendung. Tak kurun lama menanti mendung di atas langit, akhirnya menyeruai jua menjadi bintik-bintik gerimis yang berjatuhan. Bintik-bintik itu berlari cepat dari balik sang mega hitam, seolah menerjunkan diri-diri mereka secara bebas ke ufuk dunia. Membasahi tanah gersang beserta padi yang sebagian mulai me-ngering. Sedikit demi sedikit gerimis itupun akhirnya berubah menjadi hujan yang lebat.

Semakin lama menunggu, sepertinya hujan semakin lebat. Tak ada pertanda hujan ini akan berhenti cepat. Seluruh langit masih nampak ter-tutupi awan kelam.

91 Menangkap ikan dengan tangan kosong

232

Ummi Zulfa mendudukkan dirinya di ruang keluarga menyeorang. Ia berhadap langsung dengan jendela yang membuka. Wanita tua itu mengurung-kan niatnya untuk memantau toko hari ini. Hatinya terpincut menjadi malas keluar dari rumah. Ia ingin menikmati barang sebentar hujan yang bertamu hari ini sembari menyimak benar-benar setiap butir air yang turun dari langit bersama riuh angin dan petir yang sesekali datang beriring. Sejenak ia rasakan deruan angin yang berlalu menerpa dirinya bersama tempias bening yang menyerta.

Ummi Zulfa menutup matanya dan meresa-pinya dalam-dalam. Ia benar-benar coba rasakan biasan dan butiran terpaan air hujan yang menyentuh kulitnya yang sudah tak muda lagi. Rasa ngilu tiba-tiba masuk menyelinap ke dalam tulang-tulangnya. Ia memang sudah tua dan tak bisa lagi menikmati indahnya hujan di luar sana, seingat kisah hidupnya sewaktu kecil dulu yang bila hujan tiba maka ia akan berlarian mengelilingi sepenjuru kampungnya di desa Balimau Kandangan.

Tiba-tiba adiknya datang dan tanpa ia minta langsung menutup jendela ruang keluarga yang sengaja dibukanya lebar untuk melihat suasana di luar. Adiknya itu segera memakaikannya selimut tebal. Seketika ruang menjadi gelap gulita. Listrik padam. Adiknya yang sangat berbakti itu segera menyalakan lilin kecil untuk jadi pelita menemani kakak kandungnya yang paling tua itu.

233

“Kak Zulfa jangan di depan jendela. Tempiasnya tidak baik untuk kesehatan Kakak nanti. Lagipula, si kecil Zaki nanti ingin ikut. Ulun92 takut kalau nanti dia lepas ke pekarangan dan main ujan-ujanan. Kan jadi sakit lagi kayak minggu-minggu kemarin.” ucap adiknya lembut.

Ummi Zulfa hanya diam tak menjawab. Ia menghening dengan senyuman di bibirnya. Senyum haru mendengar nama cucunya yang kini sudah beranjak besar disebut oleh adiknya. Ia teringat cucu kesayangannya itu. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Kini, sudah dua tahun berlalu semenjak ia ditinggal pergi menantunya, dan Zaki kecil, cucunya sudah beranjak dua tahun pula. Cucu kesayangan-nya itu sudah bisa berjalan dan melafalkan namanya sendiri, “Aa-kki…” ucap malaikat kecil itu ketika Paman Hadi menanyai namanya. Tak terkira pula bangganya saat cucunya itu sudah bisa melafalkan nama neneknya, “Ul-fa…”

Hujan semakin lebat di luar sana. Kini ia hanya bisa melihatnya dari balik jendela kaca ruangan ini. Dua adik-kakak itu menikmati suasana ini berdua. Paman Hadi adalah adik paling kecil dari Ummi Zulfa. Sebenarnya Ibunda Amelia itu lima bersaudara. Namun, kini mereka semua berpisah. Paman Hadi adalah bujang lapok yang sampai usianya yang sudah menginjak empat puluhan masih belum berkeluarga.

92 Saya (Bahasa Banjar halus)

234

Semenjak Pak Haji, Abah Amelia meninggal, ia memutuskan untuk menemani kakak kandungnya yang kini hanya tinggal bertiga bersama Amelia dan adiknya Amelia, Akmal.

“Hadi…?” tegur Ummi Zulfa kepada adik-nya dengan mata tetap menatap ke arah hujan yang tak kunjung reda.

“Iya, Kak Zulfa?” Adiknya itu menjawab dengan lembut.

“Nanti, sehabis hujan reda, kakak mau ke rumah Amelia. Katanya kan besok lusa mereka mau berangkat ke Jogja lagi…” ucap Ummi Zulfa pelan. Tenggorokannya terasa sedikit sakit. Ia sudah dua hari terkena flu dan batuk.

“Iya, Kak Zulfa. Tadi ulun sudah minta kepada suaminya supaya mereka yang datang ke sini. Sekalian menjemput Zaki.” balas adiknya.

“Ooo… Kakak pikir mereka sibuk. Makanya kakak yang ingin bertamu ke rumah mereka. Zaki mana, Di?”

“Dia lagi tidur ditemani Hindun. Mungkin kecapekan habis begaya93 seharian. ” balis adiknya

93 Bermain

235

menyebut Hindun, orang sebelah rumah yang diminta Ummi zulfa untuk menjaga Zaki kecil.

“Akhir-akhir ini kakak teringat Rasyid, Di ay. Tak tahu kenapa. Lama sudah, mungkin lebih dua tahun menantuku itu meninggal dalam kejadian itu. Tapi, kakak merasa masih tak percaya bahwa ia meninggal. Kakak rasa ia selamat dan masih hidup dalam peristiwa itu.” Ummi Zulfa menatap adiknya dengan binar matanya yang sudah tak muda lagi.

“Kakaak, jangan terlalu berangan dengan sesuatu yang digariskan oleh Allah. Kita harus terima dengan lapang dan ikhlas…” Adiknya mengingatkan Ummi Zulfa dengan santun.

“Iya, Di. Kakak lihat Amelia jua sudah melupakan kejadian itu. Ia sudah bahagia dengan Mujahid.”

“Mudah-mudahan saja seperti itu, Kak. Kita do’akan yang baik-baik aja, ya?” ucap adiknya bijak.

“Iya, Di… Kakak selalu do’akan mereka dengan yang baik-baik…” Ummi Zulfa menghela nafas panjangnya.

Tak lama berselang dari pembicaraan itu, tiba-tiba pintu depan rumah mereka terdengar ada yang mengetuk. “Mungkin itu Amelia dan Mujahid sudah datang, seperti yang dikatakan adiknya.” pikir Ummi Zulfa.

236

Ummi Zulfa segera bangkit dan berjalan ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Ia masih berteman selimut hangatnya. Ia ingin menyambut langsung kedatangan putrinya, Amelia. Rasanya ia sudah sangat rindu dengan putrinya itu.

Perlahan kunci pintu ia putar dengan jemari tuanya. Pintu terbuka. Dan, rupanya bukan Amelia yang datang, melainkan seorang pemuda kurus, berkulit coklat, berambut agak gondrong dan ber-jabis94 tebal. Pemuda kurus itu nampak mengenakan baju kemeja polos abu-abu yang basah kuyup. Ia tak kenal dengan pemuda itu.

“Assalamu’alaikum, Ummi…?”sapa pemuda itu setengah tersenyum.

Ia bisa menatap mata pemuda itu yang berkaca-kaca. Setelah beberapa lama, ia mulai mengenali sosok di hadapannya itu. Ummi Zulfa mengedip-ngedipkan matanya yang sudah agak kabur. Ia mencoba melihat lebih jelas sosok yang berdiri di hadapannya untuk lebih meyakinkan dugaannya. Perlahan barulah ia yakin dan mengenal benar-benar siapa pemuda yang kini ada di hadapannya sekarang.

“Ra… Rasyid…?!”lirih suara Ummi Zulfa.

94 Jenggot/brewok

237

“Ummi…” balas pemuda itu lirih.

Wajah Ummi Zulfa berubah mengharu biru. Ia seolah tak percaya, “Apakah ini hanya mimpi, bukankah Rasyid telah meninggal?” bisiknya dalam hati.

Ia meraba wajahnya sambil terus memandangi pemuda yang berdiri di hadapannya. Ia bisa merasakan dengan jelas raba kasar tangannya di wajah. Ia tak bermimpi. Ummi Zulfa mendekati Rasyid dan meraba wajah coklat legam yang ada di hadapannya itu. Rasyid diam dengan haru hatinya. Ia membiarkan saja Ummi Zulfa yang tengah meraba wajahnya. Sejurus Rasyid meraih tangan mertuanya itu dan lalu menciumnya. Mata Ummi Zulfa nampak berkaca-kaca seraya menatap ke wajah Rasyid.

Adiknya, Paman Hadi yang menunggu lama di ruang keluarga rumah jadi heran karena kakaknya itu tak kunjung kembali masuk ke dalam rumah. “Apa mereka sedang bercakap di luar?” pikirnya.

Ia lekas berjalan menyusul ke ruang tamu. Adiknya itu langsung mencuat kagetnya melihat siapa yang saat ini sedang bersama kakaknya. Iapun segera ikut membaur bersama kakaknya dan Rasyid. Air matanya mengucur dari balik matanya tak tertahankan.

“Rasyiiid…? Sudah lama sekali kamu tak pulang? Kami kira kamu sudah tiada…” ucap Ummi Zulfa.

238

“Inggih, Ummi… Maafkan ulun atas semua-nya…” Rasyid ikut haru mendengar ucapan Ibu mertuanya itu. Perlahan, ia melepaskan pelukan Ibu mertuanya.

“Kamu nampak sangat berbeda, Rasyid. Ummi hampir saja tak mengenalimu tadi…” ucap Ummi Zulfa menatap wajah Rasyid dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Inggih, Ummi…” sahut Rasyid singkat haru.

“Bagaimana ceritanya, Nak Rasyid? Bagai-mana kisah hingga kamu masih selamat dalam kejadian itu? Kami tak mengira ternyata kamu masih hidup. Sudah dua tahun kamu menghilang.” tanya Paman Hadi.

“Ceritanya panjang, Paman…” jawab Rasyid.

“Bisakah kamu ceritakan kepada Ummimu ini, Nak?” pinta Ummi Zulfa. Mereka bertiga segera masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga duduk di ruang keluarga.

Rasyid memulai kisahnya, “Kala kejadian itu……”

Rasyid menarik nafasnya dalam-dalam, seruai memutar kembali memori silamnya yang sempat terlupa, mengarung dan membaur dalam peristiwa itu.

239

“Sebelum berangkat naik kapal itu, dari Surabaya menuju Banjar, awalnya ulun tak merasakan sesuatu akan terjadi. Tapi, ketika kapal sudah hampir sampai di Pelabuhan Banjarmasin, kejadian itu menimpa kami. Kapal yang kami tumpangi karam setelah hampir dua puluh jam lebih berlayar. Kapal diterjang badai laut. Kala itu, ada beberapa penumpang yang dinaikkan ke kapal kecil untuk diselamatkan. Ulun-pun pula berusaha mencapai kapal kecil itu. Namun, sewaktu ulun berlari ingin meraih kapal kecil itu, kaki ulun tersandung sesuatu dan akhirnya terjatuh. Ketika akan bangkit, tiang kapal jatuh menimpa kepala ulun, hingga ulun tak dapat bergerak lagi. Padahal kala itu kapal kian karam dan terbalik. Ulunpun pingsan. Bersamaan dengan itu kapal sudah semakin karam dan akhirnya ulun ikut tenggelam bersama kapal…”

Rasyid kembali menarik nafas. Ummi Zulfa dan Paman Hadi nampak begitu serius mendengar kisah yang Rasyid ceritakan.

“Namun kemudian, antara sadar dan tidak, ulun merasakan ada seseorang yang menarik tangan ulun dengan perlahan ke permukaan dan menem-patkan tubuh ulun yang terkulai lemas di sebuah kayu yang terapung. Akhirnya, ulun terus berpe-gang di kayu itu. Selama tiga hari mengapung, ulun hanya makan sisa-sisa makanan yang mengapung di laut setelah kapal itu tenggelam. Ulun juga minum dari tetes hujan yang turun. Baru setelah itu, ulun ditemukan oleh nelayan tua dalam keadaan tak sadarkan diri. Dan Subhanallah, berkat kebesaran Allah, ulun-pun selamat dan masih

240

hidup hingga saat ini.” Rasyid bercerita dengan panjang lebar.

“Lalu, kenapa kamu tak langsung pulang ke rumah setelah selamat? Dan dimana kamu berada selama ini?” potong Paman Hadi. Wajah beliau terlihat begitu penasarannya.

Rasyid melanjutkan ceritanya, “Setelah ulun diselamatkan orang itu, ulun kemudian dirawat beberapa hari di rumah kakek nelayan yang menemukan ulun. Orangnya baik, ramah dan pemurah, walaupun sebenarnya dia bukan dari orang yang punya. Tapi, dia mau menanggung hidup ulun selama ulun dirawat di rumahnya yang sederhana. Nelayan itu sudah sangat tua, lebih tua dari Paman. Ia hidup seorang diri. Istrinya sudah meninggal dan sang anak pergi merantau ke Saudi sebagai TKI. Dan hingga sekarang, putranya itu tak pernah kembali lagi, tak ada kabar beritanya.

“Karena peristiwa itu, ulun sempat mengala-mi hilang ingatan. Mungkin entah karena kepala ulun yang sempat tertimpa tiang kapal hingga ulun tak ingat apapun, tak tahu dari mana berasal, dan mau kemana hendaknya pergi. Karena itulah, ulun tinggal beberapa tahun bersama kakek nelayan tua itu. Setelah beberapa bulan, ingatan ulun mulai kembali. Walau hanya sedikit, ulun mulai ingat beberapa memori yang ada dalam benak ulun. Ulun ingat kembali tentang Hadramaut, dan saat-saat ulun menuntut ilmu di Malang. Beberapa bulan ulun habiskan waktu untuk mengabdikan diri

241

pada masyarakat sekitar. Mengajarkan anak-anak menga-ji, shalat, dan ilmu-ilmu agama yang pernah ulun peroleh.”

Paman Hadi dan Ummi Zulfa nampak mengangguk dan masih terdiam, menunggu-nunggu kata berikutnya yang akan keluar dari mulut Rasyid dengan penuh rasa penasaran.

“Huft…!!” Rasyid mengela nafasnya.

“Begitulah kiranya Paman, Ummi, cerita ulun dalam peristiwa itu. Ulun memang sempat tahu tentang peristiwa kapal tenggelam itu. Tapi sayangnya, kala itu ulun sendiri tak tahu nama sendiri. Sehingga yang ulun lakukan saat itu adalah, berusaha bangkit dan memulihkan ingatan dulu, sambil membantu si kakek tua yang menolong ulun itu untuk ikut menelayan mencari ikan ke laut.”

Rasyid kembali menarik nafas. Paman Hadi dan Ummi Zulfa masih terpukau dengan ceritanya.

“Kisah yang lumayan panjang…” ucap Paman Hadi.

“Ulun juga sudah mencari di internet tentang peristiwa kecelakaan itu. Dan ulun sempat melihat pada daftar korban selamat, nama ulun tak ada. Dan akhirnya ulun temukan nama ulun termasuk dalam daftar korban hilang dari peristiwa itu. Ulun juga sempat berpikir, mungkin orang-orang mengira ulun telah tiada. Tapi,

242

berkat kasih sayang Allah, ulun bisa kembali bertemu Paman dan Ummi. Dan kembali menjalani hidup bersama keluarga ulun yang sangat ulun cintai.

“Ulun sangat bersyukur atas rahmat Tuhan yang masih memberikan kesempatan kepada ulun untuk tetap hidup. Ulun ingat, sebelum kejadian kapal tenggelam, ulun sempat bertemu dengan seorang lelaki tua yang tak ulun kenal. Dari raut wajah, logat orang itu, hingga gaya bahasa yang beliau gunakan, nam-paknya dia bukan orang negeri ini. Ulun juga tidak tahu siapa dia dan dari mana pastinya. Tapi, yang jelas beliau sempat berpesan bahwa ‘Semua ilmu agama yang pernah ulun peroleh harus senantiasa diamalkan dan diajarkan kepada orang lain, karena ujian hidup ulun ke depan akan semakin sulit’. Hingga saat ini, ulunpun masih ingat pesan beliau itu. Tapi, hingga saat ini pula, ulun tak tahu siapa gerangan beliau itu. Apakah dia itu jelmaan malaikat yang diutus Tuhan untuk menasihati ulun atau Wali Allah? Entahlah… Wallahu A‘lam, Paman…” Rasyid menghela nafasnya.

Paman Hadi dan Ummi Zulfa ikut menarik nafas panjang mendengar cerita Rasyid. Mata mereka berkaca-kaca, membiru karena haru. Haru, melihat orang yang selama ini hilang kembali pulang. Mereka setengah tak percaya tentang apa yang dialami Rasyid. Tapi, itulah adanya kenyataan. Kini, Rasyid benar-benar telah kembali setelah dua tahun lebih lamanya menghilang dari pandangan mereka. Hilang tak berpamit pula.

243

Hujan di luar nampaknya mulai mereda dan tak terdengar lagi tamparan air menerjang atap rumah. Angin dingin yang sejak tadi berlalu juga tak lagi terasa. Tapi, sinar matahari masih belum terpuai. Awan tebal terlihat masih tak bergerak dari tumpuannya. Ketiga orang itu masih hanyut dalam kebersamaan mereka.

***

244

۞

Part 18

Pertemuan

Rasyid terus bercerita. Hujan nampak kembali turun, namun hujan itu tak menjadi hirauan ketiga orang itu. Ia menceritakan tentang si kakek tua yang menyelamatkan dirinya dengan panjang lebar. Ummi Zulfa sangat bahagia Rasyid kini telah kembali. Rupanya, apa yang ada di hatinya benar. Tak disangka dan tak berduga bila Rasyid selamat dalam peristiwa dua tahun silam. Sebuah karunia Allah yang tak terhingga. Subhanallah.

Di matanya, Rasyid kini nampak semakin kurus. Rawutan di garis wajahnya semakin me-nampak. Wajahnya seperti lebih menua dari umur-nya yang masih dua puluhan. Ia yakin, begitu berat pemuda itu mengarungi rodanya setelah peristiwa silam itu.

245

“Ummi? Kalau ulun95 boleh tahu, Amelia mana, ya? Kok ulun tak melihatnya dari tadi?” tanya Rasyid tiba-tiba.

Ummi Zulfa spontan tersentak mendengar pertanyaan Rasyid itu. Ummi Zulfa terdiam sambil menggelengkan kepalanya, pelan.

“Amelia ke Jogja lagi ya, Mi?” Amelia jadi melanjutkan studi S2-nya di Jogja?” sambung Rasyid penasaran.

Ummi Zulfa semakin terdiam. Ia bingung harus menjawab apa tentang keadaan yang sebenarnya telah terjadi. Rasyid menoleh kepada Paman Hadi. Paman Hadi tak sanggup berkata-kata. Beliau tertunduk tanpa suara.

“Ada apa, Ummi? Ada apa dengan Amelia?” sambung Rasyid. Di benaknya, ia khawatir kalau Amelia kenapa-napa.

Ummi Zulfa semakin bingung. Ia ragu harus bercerita atau berbohong tentang keadaan Amelia. Ia memegangi dadanya, mencoba untuk menguat-kan hati dan bercerita apa yang sebenarnya telah terjadi selama Rasyid tiada. Ia harus menyampaikan kebenaran ini, meskipun pahit adanya.

95 Saya (Bahasa Banjar halus)

246

“Begini, Anakku…” Ummi Zulfa mencoba berkata, tapi akhirnya terdiam sesaat. Ia tak begitu yakin dengan apa yang ingin ia katakan. Ia berusaha melanjutkan ucapannya.

“Setelah kepergianmu, Amelia kala itu sangat terpukul. Baru lima bulan kalian menikah, ternyata kamu hilang tak berantah. Sedang kala itu Amelia sudah hamil menjalani tiga bulan.” ungkap Ummi Zulfa dengan air mata mengenang begitu beratnya cobaan hidup yang dulu pernah dialami putri kesayangannya itu.

Rasyid tak kuasa untuk tidak meneteskan air matanya mendengar cerita mertuanya itu. Ia bisa merasakan betapa beratnya Amelia menjalani hidupnya setelah dirinya tiada.

“Hari berganti hari, minggu berujung bulan, dan kandungan Amelia semakin tua. Hingga akhirnya, iapun melahirkan putra pertamanya. Putramu juga, Nak Rasyid.” lirih Ummi Zulfa.

Ia seolah tak kuasa melanjutkan bicaranya. Paman Hadi hanya duduk terdiam. Ia jua tak kuasa membayangkan semuanya.

Rasyid semakin merana seraya mendengar cerita ummi mertuanya.

“Tahunpun ikut berganti. Dan putramu, Zaki, kian tumbuh besar dan menjadi anak yang pintar,

247

cerdas sepertimu, Nak Rasyid. Dan kala itu, Amelia juga tak bisa lagi terus menjadi orang tua tunggal. Akhirnya, seiring pengadilan agama memvonis dirimu telah meninggal, maka Amelia dianggap sudah tak bersuami dan boleh untuk menikah lagi. Pada itu pula, tak lama, datang seorang pemuda yang melamar Amelia, putra dari teman dekatku. Nama pemuda itu Mujahid. Ia kakak kelas Amelia waktu sekolah dulu dan sama-sama pernah kuliah di Jogja.”

Rasyid semakin mengharu biru. Ia seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan Ummi Zulfa selanjutnya. Ia diam dan hanya mendengarkan. Tak sanggup tutur katanya mengeluar dari mulutnya karena menahan kepiluan.

“Ummi minta maaf, Nak Rasyid.” Ummi Zulfa tak kuasa menahan keharuannya. Ia terisak sesenggukan.

“Ummi minta maaf atas semua ini. Kami tak tahu kalau dirimu masih hidup. Tak ada kabar yang kami dapat. Tak ada berita tentang dirimu hingga sekarang. Dan akhirnya Amelia menikah lagi, dan sekarang tinggal bersama suaminya, di Banjarmasin. Ummi minta maaf, Nak Rasyid…?!” Ummi Zulfa tak kuasa menahan linangan air matanya yang terus menyeruai.

Rasyid terdiam. Mereka bertiga terdiam, menghening sesaat. Rasyid menarik nafasnya dalam-dalam. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

248

“Tak ada yang harus dimaafkan, Ummi… Tak ada. Justru ulun yang minta maaf atas kejadian itu. Mungkin, inilah sudah jalannya. Jalan yang ditentukan oleh Allah SWT. Dan kita harus ikhlas serta sabar menerimanya…” ucap Rasyid lirih, tertunduk.

Ummi Zulfa terdengar semakin terisak. Rasyid jua tak kuasa menahan air matanya yang perlahan jatuh ke pangkuan tangannya.

“Jadi, artinya ulun sudah bukan lagi suami Amelia, dan bukan pula menantu Ummi…” sambung Rasyid lirih.

Ummi Zulfa tak kuasa lagi untuk menyahut. Ia hanya menundukkan kepalanya. Ia merasa bersalah telah menikahkan Amelia dengan Mujahid. Tapi, ia tak tahu kala itu kalau sebenarnya suami Amelia, Rasyid, masih hidup.

“Ulun minta maaf ya, Ummi, Paman, atas semua kekhilafan ulun kepada Ummi, Paman, Almarhum Abah, dan jua Amelia. Dan ulun berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada Ummi dan keluarga yang menguliahkan ulun dulu ke Malang, yang membiayai setiap keperluan ulun, dan semuanya. Ulun sangat berterima kasih kepada Ummi. Ulun tentu tak bisa membalas semua jasa-jasa Ummi.

“Dan sekarang, ulun sudah bukan lagi menantu Ummi. Dan Ummi bukan lagi mertua ulun. Sedang Amelia, sudah jadi istri orang. Maka tak ada lagi

249

perlunya ulun di sini. Ulun minta izin pulang ya, Ummi…?” Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Kaku. Tanpa rona.

Sekali lagi, ulun berterima kasih atas semua-nya. Ulun minta halal, minta ikhlas, dan minta ridho sama Ummi, Paman, dan semuanya. Dan ulun harap, biarkan Amelia menganggap ulun benar-benar telah tiada. Telah meninggal di laut sana bersama kecelakaan kapal itu. Biar selamanya Amelia menganggap Rasyid, suaminya itu telah meninggal. Biar ia tak lagi mengenang ulun. Ya, Ummi…?” Suara Rasyid terdengar bergetar karena haru. Ummi Zulfa tak lagi mampu berucap. Ia hanya mengangguk tanpa suara.

“Kalau begitu ulun minta diri pulang… Assalamu’alaikum…?” ucap Rasyid sambil meraih tangan Ummi Zulfa lalu menciumnya dengan lembut.

Hujan di luar kembali deras. Awan kelam rupanya kembali mengiringi langkah Rasyid seolah mengerti perasaan hatinya yang jua kelam. Ummi Zulfa tak kuasa mencegah langkah mantan menantunya itu. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan Rasyid. Di hati pemuda itu hanya ada satu rasa, ‘sedih’. Sedih karena ia telah merasa segala yang ada di dirinya lenyap menghilang meninggalkannya.

Rasyid melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Tiba-tiba, sebuah mobil CRV berwarna coklat berhenti di pekarangan rumah Ummi Zulfa. Rasyid tak

250

lagi menghiraukan apapun, termasuk mobil itu. Tapi, tiba-tiba orang di dalam mobil itu memanggil namanya.

“Bang Rasyid…!?”

Sejurus Rasyid langsung menoleh. Seorang perempuan membuka pintu mobil dan keluar. Seorang laki-laki seketika ikut keluar dari pintu sebelahnya dan memegangkan payung di atas kepala perempuan itu.

Ummi Zulfa yang tak sanggup melihat apa yang bakal terjadi pada kedua insan itu segera masuk ke dalam rumah. Ia tak ingin melihat kesedihan Rasyid, dan ia tak mampu melihat Amelia yang pasti pilu mengetahui suaminya yang dulu ia kira telah tiada kini ada di hadapannya.

“Assalamu’alaikum, Bang Rasyid…?” Pe-rempuan itu tersenyum, ekspresi raut mukanya menandakan berjuta keheranan di benaknya.

“Wa’alaikumsalam, Amelia…” lirih Rasyid, semakin terharu. Ia tak habis pikir akan bertemu dengan Amelia di sini.

“Abang Rasyid dari mana?” tanya Amelia. Air mata Amelia mengalir seketika melewati pipinya. Rasyid tak menjawab. Ia hanya diam dan tersenyum dingin.

Jantung Amelia berdebar begitu kecang. Perasaannya tiba-tiba bercampur antara haru, senang,

251

dan pula sedih. Ia senang karena Rasyid, orang yang ia cintai itu, ternyata kembali setelah menghilang dua tahun lebih lamanya. Dan ia sedih karena ia kini sudah tak lagi berstatus istri Rasyid. Matanya nampak berkaca-kaca. Ingin rasanya ia memeluk Rasyid, namun tak halal sudah baginya. Ia sekarang sudah menjadi istri orang. Ia hanya bisa menatap pemuda yang pernah ia cintai itu.

Rasyid hanya terdiam dan tak kuasa berucap. Ia hampir saja mengeluarkan air mata, tapi ia coba sekuat-kuatnya untuk tak menangis di hadapan Amelia. Ia berusaha menutup kesedihan-nya dengan tersenyum, agar terlihat seolah ia sudah mengetahui semuanya dan menerima semua yang terjadi. Ia harus cepat-cepat pergi. Ia tidak ingin keberadaannya di sini akan mengganggu rumah tangga orang lain. Rumah tangga Amelia dan Mujahid, suami Amelia.

Laki-laki di samping Amelia itu tersenyum seraya menyodorkan tangannya kepada Rasyid. “Kenalkan, saya Mujahid…” ucap laki-laki itu.

Rasyid terpaku sesaat. Kemudian ia lang-sung tersadar dan menyambut tangan Mujahid. “Rasyid” jawabnya singkat.

“Antum96 temannya Amelia?” tanya Mujahid.

96 Anda

252

“Iya, Pak.” jawab Rasyid sekenanya. Ia mencoba menatap ke wajah Amelia, tapi tak kuasa. Rasyid mencoba menutup kepiluan hatinya dengan terus tersenyum.

“Bapak ini suaminya Amelia, ya?” balas Rasyid serak berbasa-basi.

“Iya. Bapak ini baru datang atau mau pulang? Masih hujan lho…” balas Mujahid.

Rasyid tersenyum.

“Mau pulang, Pak. Kebetulan ini lagi ada kerjaan mendadak. Jadi, walaupun hujan, saya harus pulang… Assalamu’alaikum…?”

Rasyid berusaha agar secepatnya meng-hindar dari pandangan Amelia.

“Hati-hati ya, Bang… Wa’alaikumsalam…” sela Amelia dengan mata yang masih berkaca-kaca.

Rasyid segera memakai jas hujan dan menaiki motornya. Ia ingin sekali sesegeranya meninggalkan rumah Ummi Zulfa dan menjauh dari hadapan Amelia beserta suaminya. Di pikirannya, pemuda yang kini menjadi suami Amelia itu memang nampak begitu tampan. Memang tak salah jika bersanding dengan Amelia yang cantik menawan, jauh bila ditimbang Amelia dengan dirinya. Lagipula tadi Mujahid datang dengan menggunakan mobil. Itu artinya suami Amelia

253

itu juga dari kalangan orang kaya, setara dengan keluarga Amelia. Tak seperti dirinya, yang hanyalah anak kampung biasa, tak tampan, dan tak pula kaya seperti Amelia dan Mujahid. Maka pantaslah dua insan itu untuk hidup bersama. Rasyid bergumam dalam hatinya sendiri. Ia minder dengan dirinya.

“Wah, gitu ya…? Hati-hati ya, Akhi97… Wa’alaikumsalaam…” jawab Mujahid sembari tersenyum kepada Rasyid.

Rasyid menghidupkan motornya. Ia mulai beranjak meninggalkan Amelia dan Mujahid bersa-ma iringan hujan yang kian menderu deras.

“Hati-hati ya, Bang Rasyid.” ucap Amelia setengah berteriak memberikan perhatiannya.

Dari tadi Amelia hanya terpana, tak percaya bahwa sebenarnya orang yang ia cintai selama ini belum meninggal. Ada sedikit rasa penyesalan dan kesedihan di hatinya, tapi ia harus melupakan pemuda yang pernah mengisi relung hatinya itu. Kini ia adalah istri Mujahid, maka ia harus benar-benar mencintai Mujahid dan menyerahkan segala hidupnya kepada suaminya. Dan itu adalah Mujahid, bukan lagi Rasyid.

97 Saudaraku

254

***

Sepanjang jalan menuju pulang Rasyid tak kuasa menahan tangisnya. Apakah gerangan yang dikehendaki oleh Allah hingga orang yang ia cintaipun kini telah diambil orang? Apakah ini ujian yang dikatakan kepada dirinya oleh lelaki tua misterius yang ia temui di kapal dulu? Entahlah… Yang jelas, perasaannya kini hancur ber-keping. Remuk. Ia bingung harus mengadu kepada siapa. Ia juga tak bisa menyalahkan Amelia atau siapapun. Sebab, semua ini memang sudah digaris-kan oleh yang Maha Penentu.

Hujan kembali mereda. Perlahan hujan menyusut berganti gerimis. Ia nampaki awan kelabu sudah berlalu dan berganti dengan mega putih kencana nan bertengger megah di langit yang sekali lagi cerah. Mega putih itu terlihat begitu menawan bak singgasana-singgasana malaikat. Cahaya terang kian kembali menyalami alam. Perlahan merimis sudah tak bertebaran. Air sisa hujan kini terlihat menggenang di sekitar halaman rumah Ummi Zulfa. Sang surya kembali bercokol di tahtanya. Para petanipun ikut kembali turun melanjutkan peker-jaan mereka yang sempat tertunda. Beriringan langkah mereka, biang lala yang menyusup di balik mega-mega putih mulai berkilau kembali menyapa.

Hari gelap bersilih terang. Tapi, tidak bagi pemuda kurus yang terus memutar tarikan gas motornya sekencang-kencangnya itu. Meski cuaca berangsur cerah, hatinya masih terasa gelap dirundung

255

mendung. Seolah ia berada seorang diri di dunia nan terasa begitu hampa ini. Tiba-tiba terpikir olehnya akan sesuatu. Ia tak sempat menemui putra tercintanya, Zaki Khairuzzaman.

***

256

۞ Part 19

Keikhlasan

Amelia masih tak kuasa menahan gejolak jiwanya. Sejak pertemuan seminggu yang lalu dengan orang yang dikiranya telah meninggal, orang yang pernah dekat bahkan berdamping dengan dirinya, mantan suaminya, Rasyid, hatinya kini semakin bertambah penasaran tentang apa yang selama ini terjadi. Berjuta pertanyaan terus melayang di benaknya. Hatinya benar-benar ingin tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi. Bagaimana bisa suaminya di masa lalu itu masih hidup dan berada di depan matanya beberapa hari yang lalu?

Selesai shalat Ashar bersama umminya di mushalla rumah, Amelia dengan perlahan mende-kati umminya. Ia ingin sekali mempertanyakan perihal Rasyid. Ia yakin umminya pasti mengetahui suatu hal.

257

Kala pertemuannya di depan rumah umminya tempo lalu itu, pasti Rasyid menceritakan sesuatu kepada umminya.

Amelia memantau ke sekitar. Sesuai hara-pan, tak ada Mujahid ia dapati. Ia tak ingin suami-nya itu mengetahui dirinya yang mencari tahu kabar tentang mantan suaminya, Rasyid.

Amelia datang dari belakang dengan mata berbinar. Umminya nampak memejam sembari mengkhusyukkan nuraninya.

“Mi…?” sapa pelan Amelia dari belakang kepada umminya yang tengah khusyuk dengan wiridnya. Beliau nampak tersentak sesaat mendengar suara Amelia.

“Ada apa, Dang…?” Umminya membuka mata sambil membalikkan badan menghadap Amelia.

“Ummi belum cerita sama Amel tentang Abang Rasyid…” ucap Amelia. Umminya menga-lihkan wajahnya seraya mengela nafas panjang. Ameliapun semakin mendekati umminya.

“Apa yang terjadi padanya, sehingga Amel temui ia di depan rumah pas hendak pulang kemarin? Tak mungkin ia bangkit lagi dari kubur kan, Mi? Dan tak mungkin pula itu si Ridha, saudara kembar dari Abang Rasyid. Sebab, perasaan Amel sangat kuat begitu bertatapan dengannya semalam, Ummi…” Amelia

258

mendesak. Tangannya memegang tangan umminya yang sibuk dengan tasbih.

Umminya menunduk. Ia tak menjawab apa-apa dari pertanyaan Amelia.

“Ummi …? Ceritalah Ummi…? Amel cuma sekedar ingin tahu yang sebenarnya. Ummi jangan khawatir tentang ini, tentang Amel yang sekarang sudah bersama Abang Mujahid. Kasihan Amel, Mi… Kasihan Amel kalau tak tahu sama sekali kabar benarnya. Amel jadi merasa bersalah, Ummi…” desak Amelia. Binar matanya menyeruai menjadi bening mata nan jatuh mengulai.

Ummi Zulfa menatap wajah putrinya itu lekat-lekat. Ia tak kuasa melihat putrinya yang memelas dengan air mata. Akhirnya, luluh jua hati seorang ummi oleh bujukan putri tercintanya itu. Ummi Zulfa bercerita dengan suara pelan perihal semua yang terjadi pada Rasyid. Ia lihat mata Amelia. Dari bening lembut yang menyeruai itu, ia seolah bisa melihat perasaan yang begitu besar dari hati putrinya itu kepada Rasyid.

“Jadi, selama ini Abang Rasyid diselamatkan seorang nelayan? Dan karena ingatannya hilang, maka ia tak tahu jalan pulang?” tanya Amel me-mastikan.

Umminya mengangguk sambil berkata “Ya…” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

259

Amelia diam sejenak. Sesaat lamanya ia terdiam. Ia seketika merapihkan mukenanya dan bergegas turun dari rumah, pergi ke rumah Paman Sulaiman di Keraton. Ia yakin Rasyid ada di sana.

Ia mengambil motornya, dan pergi seorang diri tanpa berpamitan kepada ummi, paman, dan juga suaminya, Mujahid. Tapi rupanya, tanpa sepengetahuan Amelia pula, suaminya, Mujahid melihat Amelia yang turun tak berdamping itu. Suaminya itu merasa ada yang lain dari istrinya itu. Sudah seminggu ini Amelia terasa mambuang perangai98 baginya. Dan diam-diam, Mujahid mengi-kuti langkah Amelia.

Tak lama, Amelia telah tiba di rumah kediaman Rasyid, rumah almarhum Kakek Ja’far. Dari tempatnya berdiri, ia lihat seorang yang tak lagi asing baginya. Orang itu duduk sambil memegang sebuah kitab di pelataran rumah. Matanya khusyuk bertuju hanya pada kitab di tangannya. Amelia menaruh motornya di depan mushalla seberang rumah. Ia tak ingin mengganggu kekhusyukkan Rasyid. Ia berjalan perlahan ke tempat Rasyid. Rasyid tak sadar dengan kedatangan Amelia. Rupanya pemuda itu benar-benar khusyuk dengan i’tibarnya.

“Assalamu’alaikum…?” salam Amelia de-ngan lirih sayu.

98 Bertingkah aneh

260

Pemuda itu menengadah seraya menyahut salam dengan bercampur kaget, “Wa’alaikum-ssalam… Amelia…?”

Amelia tertunduk sesaat.

“Abang Rasyid, Abang Sibuk kah?” Amelia

sayu menahan gejolak jiwanya. Tatapan Amelia mulai mengaca. Rasyid berusaha tak menghiraukan ekspresi mantan istrinya itu, supaya tak ikut ter-bawa perasaan.

“Tak jua. Ada perlu apa ya, kok Amelia ke sini? Ada perlu sama Paman Sulaiman?” tanya Rasyid berbasa-basi. Ia berusaha bersikap sebiasa mungkin kepada Amelia.

“Bukan. Tapi Amel perlunya sama Abang.” jawab Amelia.

“Amel ingin…”

“Maaf Amelia…” potong Rasyid sebelum Amelia melanjutkan ucapannya. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Ia sudah menduga Amelia pasti mendatanginya ke kediamannya dan meminta semua penjelasan tentang semua perihal yang telah terjadi.

“Bukannya Abang tak sudi, Amelia… Tapi, Abang tak enak berduaan dengan istri orang, tak bermahram pula kita ni…’’ Rasyid beralasan untuk tak

261

berlama-lama bicara dengan Amelia. Ada sesuatu yang dikhawatirkannya dengan Amelia. Khawatir kalau Amelia teringat masa silamnya. Sedang Rasyid sangat sadar kalau Amelia sekarang sudah bersuami dengan yang lain.

“Amelia cuma ingin menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi…” Amelia mulai menetes-kan air matanya. Kata-katanya terputus oleh isakan tangis yang tak kuasa lagi ia tahan.

“Amelia tak bermaksud meninggalkan Abang. Amelia tak tahu kalau Abang masih hidup. Tak ada kabar berita yang Amelia dengar. Tak ada informasi yang Amelia lihat di TV. Amelia mengira Abang sudah meninggal. Amelia tak kuasa menahan kesendirian dan harus membesarkan Zaki yang mulai menginjak besar seorang diri. Sebab itulah Amelia menikah lagi… Amelia tak bermak-sud, Bang… Amelia bahkan masih mencintai Abang…”

Amelia meluapkan semua hal yang selama ini menjadi rahasia hatinya. Suaranya terdengar keras seraya mengeluarkan luapan emosinya di hadapan Rasyid.

“Amelia tidak……”

“Cukup Amelia…!?” potong Rasyid.

Amelia terdiam tak jadi melanjutkan ucapannya. Kedua insan itu terdiam sesaat lamanya.

262

“Cukup… Sudah cukup kamu berkeluh kesah seperti itu… Abang sudah menerima dengan semua keadaan ini. Tak ada guna kita bersedih hati dan memikir berat masalah ini. Amelia sudah bukan lagi istri Abang. Yang Amelia mesti lakukan sekarang adalah membahagiakan suami Amelia yang sekarang, Abang Mujahid. Sudahlah… Kita terima sajalah ini semua… Mungkin inilah sudah goresan tinta yang diukirkan Allah di Lauh Mahfudz.” ucap Rasyid.

Amelia terdiam mendengar perkataan dari Rasyid. Ia tertunduk, tak kuasa menahan tetes air matanya. Segera ia hapus air mata itu dengan lengan bajunya. Ia tak ingin ketahuan bermurung durja di hadapan Rasyid meski hal itu sudah terlanjur diketahui oleh Rasyid.

“Inggih, Abang… Amelia mengaku salah… Insya Allah Amelia menerima semua ini. Amelia hanya hendak menjelaskan semuanya, biar Abang tak marah dengan Amelia.” ucap Amelia.

“Aku tak marah, Amelia. Dan memang tak ada yang harus dijadikan sebab aku marah…” sahut Rasyid.

“Inggih, Bang. Amelia cuma ingin menje-laskan itu. Tak lebih… Amelia pamit, Assala-mu’alaikum…?” suara Amelia parau diiringi tangis kecut di wajahnya. Mantan istrinya itu berlalu pergi dari pandangan Rasyid.

263

Amelia kembali pulang ke rumah membawa tangis penyesalan di hatinya yang tak terbendung lagi. Ia tak bisa mendustai nurani bahwa dia masih begitu mencintai Rasyid, dan perasaan itu sangat besar.

Rupanya, tanpa Rasyid dan Amelia sadari, Mujahid sedari tadi mengintip mereka berdua di balik tirai kios kecil yang tak jauh dari rumah Rasyid. Setelah Amelia pergi, Mujahid berjalan seraya mendapati Rasyid yang nampak duduk termenung. Matanya kembali tertuju ke kitab, tapi ia tak bisa lagi untuk khusyuk membacanya. Tak bisa dipungkirkan oleh hatinya, kedatangan Amelia barusan menjadikan hatinya kembali pilu. Pilu karena Amelia yang ia cintai kini telah diambil orang.

Mujahid mendekat perlahan seraya meng-haturkan salamnya. Kembali ucapan salam itu menyentakkan Rasyid yang tengah sibuk dengan perenungannya.

Melihat siapa yang datang, Rasyid kaget bercampur bingung. Ia tak tahu apa yang sebenar-nya telah terjadi. Hatinya bertanya banyak, “Kenapa Amelia dan Mujahid bertamu kepadanya dengan beriringan? Apakah keberadaannya menjadikan masalah pada keluarga Amelia dan Mujahid?” Rasyid terdiam memandam.

Apa yang ia khawatirkan ternyata benar terjadi. Percakapannya dengan Amelia barusan akan menjadi

264

pengganggu rumah tangga Amelia dan Mujahid. Ia jadi merasa bersalah.

“Pian99 Rasyid yang dulu pernah dijodohkan dengan Ading100 Amelia kan?” tanya pemuda itu santun.

Rasyid setengah heran. Pemuda itu tak mengeluarkan ekspresi marah ataupun membentak kepada dirinya. Bahkan, ia tak melihat raut kebencian dari pemuda itu. Tak ada ciri murka kepada dirinya karena terbakar api cemburu, sebab istri pemuda itu yang datang kepadanya baru saja.

“Inggih. Iya benar… Dangsanak101 tahu darimana?” balas Rasyid. Pemuda di hadapannya itu nampak tersenyum, semakin membuat hati Rasyid heran.

“Dulu ulun102 pernah dengar tentang nama pian yang selalu disebut-sebut oleh Amelia saat kami masih sama-sama kuliah di Jogja. Dulu, Amelia sempat berkata kalau ia sudah dijodohkan dengan orang yang saat itu sedang kuliah di Malang, yang namanya Rasyid. Itu yang saya dengar” ucap Mujahid.

99 Anda (Bahasa Banjar halus) 100 Adik 101 Saudaraku 102 Saya (Bahasa Banjar halus)

265

Rasyid tersenyum mendengar Mujahid menceritakan kisah manis masa silamnya seraya mempersilakan pemuda di depannya itu untuk duduk.

“Aku minta maaf bila membuat dirimu marah atau tak senang dengan kejadian barusan.” ucap Rasyid.

“Tak apa. Semestinya ulun yang minta maaf dengan pian. Mungkin Amelia sedang labil, sehingga tak bisa mengontrol emosinya untuk bertemu dengan pian…” balas Mujahid bijak.

Rasyid hanya membalasnya dengan mengangguk pelan.

“Ulun memang sudah merasakannya sejak pertemuan kita tempo lalu, di depan rumah Ummi. Ulun rasakan ada yang lain dengan diri Amelia. Lalu ulun teringat tentang kisah masa lalunya yang sempat dijodohkan dan dinikahkan dengan seorang pemuda bernama Rasyid.”

Rasyid mendengarkan ucapan Mujahid dengan seksama.

“Tapi, sekarang aku bukanlah suaminya lagi, Dangsanak. Sekarang suaminya yang sah adalah Andika103. Maka dari itu, aku tak ingin bertemu dengan Amelia. Dan aku pula meminta kepada ummi supaya

103 Adikku

266

tak dikisahkan perihal aku yang masih hidup. Aku takut ia akan mengingat masa lalunya. Tapi ternyata, Tuhan yang berkehendak lain dan mempertemukan kita di depan rumah Ummi Zulfa semalam itu.” sahut Rasyid.

“Seperti yang pian katakan, Bang. Mungkin sudah garis ketentuan Allah. Tapi, yang membuat ulun jadi heran, setahu ulun Abang itu meninggal dalam kecelakaan kapal. Dan itulah yang menjadi-kan Amelia yakin kalau pian sudah meninggal. Lantas, apa yang terjadi sehingga pian bisa selamat dan hingga sekarang bisa berada di hadapan ulun ini?”

Rasyid tersenyum. “Ceritanya cukup panjang, Andika…” Rasyid menarik nafas panjangnya dan mulai bercerita kepada Mujahid. Ia menceritakan semua perihal yang telah terjadi pada dirinya. Mujahid men-dengarkannya dengan khusyuk. Tak sepatah katapun yang ia lewatkan keluar dari mulut Rasyid.

“Itulah… Kisah hidup yang digariskan oleh Allah kepadaku. Mungkin, ada sebuah skenario yang besar di balik semua kejadian ini.” ucap Rasyid.

“Insya Allah ada banyak hikmah yang sangat besar dan begitu berharga dari semua peristiwa ini. Ulun jadi terharu dengan Abang dan Amelia. Ya, Insya Allah ke depan kita bisa menjadi lebih baik dengan ujian ini…”

267

“Amin… Andika tak marah kah kepadaku?’’ balas Rasyid.

“Marah? Marah atas apa, Bang? Karena Amelia menemui Abang ke sini tadi? Atau karena Amelia tak bisa melupakan Abang, dan masih mencintai Abang?”

Rasyid hanya diam sembari menatap mata Mujahid yang begitu teduh di matanya.

“Tidak, Abang. Ulun tidak marah. Insya Allah ulun bisa memahami perasaan halus perempuan seperti Amelia. Apalagi Amelia mungkin hanya sedang labil. Mungkin inilah pula ujian untuk ulun dan Amelia atas rumah tangga kami. Ulun tak marah kepada Abang ataupun Amelia. Ulun meng-hormati Abang sebagai orang yang ia cintai. Ulun tahu itu. Dan ulun tak marah kepada Amelia, karena ulun sangat mencintai Amelia.” lanjut Mujahid dengan bijak.

Rasyid tersenyum haru melihat ketulusan hati dari seorang Mujahid. Ia bisa merasakan hangatnya hati yang mencintai Amelia dengan begitu tulus dan begitu ikhlas dari hati Mujahid. Tak nampak dari wajah pemuda itu marah dan mendengki. Ia nampak tersenyum menandakan keikhlasan hatinya.

“Aku bangga melihatmu, Andika…” Rasyid mengeluarkan isi hatinya.

“Aku iri dengan dirimu yang begitu tulus-nya mencintai Amelia. Sangat jauh berbeda dengan diriku.

268

Aku sibuk dengan urusanku sendiri hingga bahkan aku bisa dikatakan bukan laki-laki yang perhatian kepada Amelia. Seandainya bukan karena

keluarga yang menjodohkan kami, mungkin dulu aku tak bertemu dan menikah dengan Amelia.

Mungkin aku tak mencintai Amelia. Aku merasa, memang benar kamulah yang lebih pantas, Andika. Kamulah yang lebih pantas untuk mendampingi hidup Amelia.” ucap Rasyid tertunduk.

“Amin, Bang. Mmm… Sebenarnya ulun punya satu permintaan sama Abang. Dan itulah alasan ulun datang kemari… Tapi, itupun kalau pian tak berberat hati memenuhinya…”

“Apa itu, Andika? Insya Allah kalau aku bisa, akan aku kabulkan hajatmu itu…” balas Rasyid.

“Ulun hanya sekedar ingin meminta kepada pian, untuk saat ini, pian tidak dulu bertemu dengan Amelia. Ulun khawatir dengan perasaannya yang masih labil itu. Ulun takut ia tak bisa melupakan masa silamnya tentang pian.” pinta Mujahid.

“Insya Allah, aku juga mempunyai pemikiran yang sama denganmu, Andika… Aku juga tak ingin bertemu dengan Amelia. Aku paham benar sifat dan perasaan Amelia yang halus. Aku khawatir akan mengganggu hubungan keluargamu yang kudengar

269

baru satu tahun terbina. Insya Allah aku tak akan menemui Amelia lagi…”

“Alhamdulillah, bila pian mau mengerti… Cuma itu yang ingin ulun minta kepada pian. Ulun minta do’anya dengan pian…”

“Barakallahulak wa ahlika birahmatillahi. Wa Insyallahu yaj’allaka ahlika bi-Sakinah mawaddah wa rahmah, wa khusnul khatimah…104” balas Rasyid seraya mendo’akan Mujahid.

“Amin… Terima kasih, Bang Rasyid, atas kebesaran hati Abang. Kebetulan hari sudah senja. Ulun pamit. Sampai berjumpa lain masa. Assala-mu’alaikum…?” ucap Mujahid.

“Wa’alaikumsalam warahmah…” balas Rasyid membiarkan Mujahid berlalu pergi dari pandangannya. Mujahid, lelaki berhati besar itu pergi meninggalkan dirinya seorang diri di teras rumahnya.

Rasyid tersenyum. Pembicaraannya dengan Mujahid barusan memberikannya titik terang. Ia tak lagi merasakan kepiluan hatinya. Ia yakin, Mujahid adalah lelaki yang baik dan begitu mencintai Amelia dengan

104 Semoga Allah memberikan barokah kepadamu dan keluargamu dengan beserta rahmatnya. Dan dengan izin Allah menjadikanmu dan keluargamu sakinah, mawaddah, warahmah wa khusnul khatimah.

270

setulus hatinya. Lelaki yang pantas untuk mendampingi Amelia. Dan ia yakin Mujahid bisa membahagiakan Amelia.

“Insya Allah ulun ikhlas ya Allah atas semua ini… Maka bukalah pintu hati Amelia untuk ikhlas dengan ini semua… Amin…” lirih Rasyid, tulus.

***

271

۞

Part 20

Sebuah Cerita Cinta

Amelia menghempaskan dirinya di kamar. Ia masih teringat pertemuannya siang tadi di ke-diaman Rasyid. Pikirannya masih kacau tak tau arah. Ia tak tahu lagi atas pilihan hatinya, siapa sebenarnya orang yang ia cintai dan harus ia cintai. Dari raut mimik wajahnya, terlihat begitu nampak pilu itu datang bertamu. Mujahid yang melihat istrinya nampak tak tenang itu seketika mendekati-nya dengan perlahan. Ia mencoba terus menghibur istrinya itu dengan segenap upaya kasih sayangnya. Tak lelah ia mendampingi Amelia sambil terus berusaha agar istrinya itu tetap tak tersinggung hatinya.

Mujahid memegangi pundak Amelia yang berbaring membelakanginya. Ia paham apa yang terjadi

272

pada Amelia. Ia mencoba menenangkan perasaan istrinya.

“Abang tahu semuanya, Ding105…” ucap Mujahid lirih kepada istrinya. Amelia hanya diam.

“Abang tahu semua tentang Abang Rasyid, dan tentang masa lalu Ading dengan beliau.” ucap Mujahid pelan. Istrinya itu masih diam tak berucap apa-apa.

Mujahid bisa mendengar isak tangis Amelia yang bertutup bantal. Tangan Mujahid perlahan membelai pundak Amelia supaya istrinya itu merasa lebih tenang. Dengan lembut ia berusaha bercakap dengan istrinya.

“Abang boleh bercerita kepada Amelia ten-tang sebuah kisah lama, legenda urang106 Banua Banjar, manakib Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datuk Kalampayan. Sebuah kisah yang men-ceritakan tentang putri pertamanya yang bernama Syarifah…”

Amelia masih membelakanginya. Tak ada suara darinya yang terucap. Mujahid terus menyapih pundak Amelia sembari meneruskan ceritanya.

“Kisahnya demikian adanya. Suatu ketika, Sultan Banjar yang mengutus Syaikh Muhammad

105 Ding, diambil dari kata Ading = Adik = Adinda 106 Orang

273

Arsyad ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama, kala itu resah dan gundah hatinya. Ia gundah sebab Syaikh Muhammad Arsyad tak lagi memberi kabar beritanya. Hati Sultan jadi takut jikalau telah terjadi apa-apa pada dangsanak107 sejak kecilnya itu. Hingga akhirnya, diutuslah seseorang untuk mencari Syaikh Muhammad Arsyad ke Mekkah, untuk mengetahui kabar yang terjadi, apakah Syaikh Muhammad Arsyad masih hidup, ataukah sakit, atau telah meninggal dunia. Kala lama itu, pergilah utusan itu yang tak lain adalah adik dari Syaikh Muhammad Arsyad sendiri, yang bernama Nasir.

“Empat bulan lamanya Nasir berlayar membelah samudera ke negeri Timur Tengah. Berkelana ke sana kemari, hingga di suatu masa akhirnya iapun bertemu dengan Syaikh Muhammad Arsyad di sebuah masjid di Madinah. Kala itu pecahlah keharuan saudara sejak kecil di dalam masjid itu karena lama tak jumpa. Hampir saja Nasir tak mengenal kakaknya itu. Tapi, untunglah Syaikh Muhammad Arsyad tetap mengenali Nasir.

“Kala itu, Nasir mengisahkan keadaan sebenarnya yang terjadi di tanah Banua. Nasir mengisahkan alasan dirinya diutus ke negeri Timur Tengah oleh Sultan, yaitu untuk meminta Syaikh Muhammad Arsyad pulang kembali ke Tanah Burniau, Banua Banjar. Kala itu Nasir juga tak lupa menyerahkan

107 Saudara

274

sebuah amanah yang dititipkan istri Syaikh Muhammad Arsyad, sebuah cincin dari mahar perkawinan Syaikh Muhammad Arsyad bersama istrinya. Rupanya cincin itu mempunyai sebuah makna, yaitu, jika cincin demikian tersam-paikan kepada Syaikh Muhammad Arsyad, maka itu artinya putri semata wayang mereka yang bernama Syarifah telah menginjak bujang, dan sudah layak untuk dinikahkan.

“Syaikh Muhammad Arsyad yang tau makna cincin itu, segera mengabarkan berita gembira itu kepada teman sejawat perjuangannya, Syaikh Abdul Wahab dari tanah Bugis, dan Syaikh Abdusshamad dari tanah Palembang. Hingga singkat cerita, Abdul Wahab dan Abdusshamad timbul niat hati mereka untuk menikahi Syarifah, padahal kala itu mereka tak benar-benar kenal dan tahu tentang siapa Syarifah. Bahkan sempat melihatpun tak pernah dengan putri Syaikh Muhammad Arsyad itu. Hanya bermodal ke-percayaan bahwa Syarifah adalah putri dari karib mereka yang shaleh, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

“Karena Abdusshamad dan Abdul Wahab itu bersikeras ingin menikahi Syarifah berdasarkan firasat hati mereka, maka Syaikh Muhammad Arsyad, akhirnya mengambil keputusan untuk beristikharah, meminta petunjuk Allah tentang siapa yang berhak menikah dengan Syarifah, putri menyaurangannya108 itu.

108 Putri semata wayang

275

“Singkat cerita, beliau mendapat petunjuk dari Allah SWT. tentang pilihan kepada siapa putrinya akan ia nikahkan. Dan akhirnya Syarifah-pun dinikahkan dengan Abdur-rahman Palembang di depan Baitullah dengan saksi Abdul Wahab dan Nasir, pilihan yang beliau yakini datang dari Allah SWT.

“Sementara itu, di Banua Banjar, di Desa Lok Gabang, istri Syaikh Muhammad Arsyad yang melihat putrinya, Syarifah, sudah menginjak bujang, dan banyak sekali orang yang badatang109 kepadanya untuk melamar Syarifah, maka akhirnya ia putuskan untuk menikahkan Syarifah dengan seorang pemuda shaleh di kampung Lok Gabang itu, yang bernama Utsman.

“Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahunpun menyalin usia. Akhirnya, Syarifah dikaruniai tiga orang anak dari pernikahannya dengan Utsman. Sementara kala itu, tersirat kabar bahwa rombongan Syaikh Muhammad Arsyad sudah tiba di muara Sungai Martapura. Mereka akan tiba di Desa Lok Gabang besok pagi.

“Besok harinya, akhirnya tibalah rombongan yang dimaksud itu, rombongan Syaikh Muhammad Arsyad yang datang dari tanah suci, Mekkah, setelah kurang lebih 30 tahun lamanya mening-galkan tanah air Banua Banjar untuk menuntut ilmu agama di bumi Anbiya. Akhirnya Syarifahpun bertemu dengan abah

109 Meminang (Banjar)

276

tercintanya. Dengan hati senang, Syarifah mengenalkan suaminya, Utsman, dan tiga orang buah hatinya kepada abahnya, Syaikh Muhammad Arsyad. Dan seketika itu pula Syaikh Muhammad Arsyad terkejut. Sebab, ia sudah menikahkan putrinya, Syarifah, dengan temannya, yaitu Syaikh Abdusshamad Palembang.

“Syaikh Muhammad Arsyad akhirnya mem-bicarakannya kepada Syarifah dan Utsman. Kedua insan itu nampak sangat terkejut. Terlebih Syarifah yang tak tahu menahu dirinya telah dinikahkan dengan teman karib abahnya itu, karena memang kala itu tak ada alat bantu komunikasi. Suratpun menunggu enam-tujuh bulan tibanya atau bahkan bertahun-tahun.

“Akhirnya dipertemukanlah ketiga orang itu yang bertalian nikah secara tak diketahui, Syaikh Abdusshamad Palembang, Utsman, dan Syarifah. Setelah itu, Syaikh Muhammad Arsyad memutus-kan untuk menghitung hari pernikahan Syarifah dengan Ustman dan hari ia menikahkan Syaikh Abdusshamad dengan Syarifah, dengan ilmu Falaq yang ia kuasai.

“Akhirnya, ditarik kesimpulan bahwa Syaikh Abdusshamad lebih dulu dinikahkan dengan Syarifah di depan Baitullah dibandingkan Utsman. Utsman terlambat beberapa hari dinikahkan dengan Syarifah. Syarifahpun akhirnya harus me-mutuskn tali pernikahannya dengan Utsman. Itu karena ia sudah lebih dulu dinikahkan abahnya dengan Syaikh Abdusshamad, dan dalam Islam seorang perempuan hanya boleh bersuami satu orang. Sehingga, cerailah

277

Utsman dengan Syarifah, dan Syarifah harus menjalani kehidupannya dengan Syaikh Abdusshamad.

“Pilu hatilah Syarifah. Pilu karena harus menerima bersanding dengan orang yang baru ia kenal, yaitu sahabat abahnya, Syaikh Abdusshamad. Dan pilu karena ia harus bercerai dari suaminya yang sangat ia cintai, Utsman. Rasanya semua itu begitu tak adil bagi dirinya. Sebab, ia sudah memiliki tiga buah hati bersama Utsman, sedang orang yang bernama Abdusshamad itu, baru saja ia kenal.

“Syarifah sempat berpikir ingin kembali kepada Utsman. Namun, dengan kebesaran hatinya, Utsman mengatakan kepada Syarifah untuk tetap setia kepada suaminya yang sekarang, dan tetap membesarkan ketiga buah hati mereka. Sebab, setelah perceraiannya itu, Utsmanpun sudah beristri lagi. Syarifahpun akhirnya berusaha melupakan Utsman di tengah tiga orang anaknya dan mencoba menjalani hidup bersama Syaikh Abdusshamad serta membesarkan ketiga buah hatinya hasil pernikahannya dengan Utsman.

“Dan lambat laun berganti masa, cerita masa lalunya itu akhirnya terlupa dari dirinya dan Utsman karena termakan oleh lekang zaman. Kini Utsman telah beristri dan beranak pula. Syarifah juga demikian. Hingga akhirnya mereka tak lagi saling jumpa. Syarifah sadar benar bahwa pernikahan itu adalah sebuah tanggung jawab, tak hanya cinta semata. Mungkin, Allah sudah menetukan garis hidup mereka yang sedemikian untuk menguji kesabaran, ketaqwaan dan

278

keimanan hamba-Nya. Terlebih kecintaan hamba-Nya kepada sang Khalik.

“Tuhan mungkin cemburu kepada Syarifah yang terlalu mencintai suaminya, Utsman, dan para buah hati mereka, hingga sampai melebihi cintanya kepada Tuhannya sendiri. Mungkin Allah cemburu, sehingga ia jadikan mereka tak lagi bersama. Mungkin Tuhan ingin menjadikan kejadian itu sebagai sebuah ujian besar bagi keimanan sang hamba dan jua sebagai sebuah hikmah, pelajaran bagi kehidupan seorang muslim agar mereka mencintai Allah melebihi cinta kepada siapapun dan apapun.

“Akhirnya, mereka semua menyadari hik-mah dari kejadian itu. Syarifah bisa melupakan semua ambisi cintanya kepada Utsman dan menjalani hidup dengan bahagia bersama Abdur-rahman. Hingga akhirnya, mereka memiliki anak-anak yang shaleh, yang berguna bagi negeri Kerajaan Banjar kala itu. Dan rupanya, Allah lebih tahu perihal apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya, walau terkadang sang hamba mengira itu adalah jalan yang buruk yang harus ia lalui.

“Itulah cerita lama tentang kisah cinta yang dijalankan atas dasar cinta kepada Allah. Cinta yang tulus ikhlas, tanpa ada sebuah tuntutan, dan tanpa ada sebuah keinginan untuk mendapat balasan. Semuanya tulus, ikhlas, dan murni karena cinta mereka kepada Allah SWT.”

279

Mujahid menyudahi ceritanya. Bulir bening dari bilik mata Mujahid tak mampu ia tepis. Air mata itu menetes seketika dan melunglai di pipinya. Seketika itu pula, Amelia membalikkan badannya dan memeluk Mujahid erat-erat. Mujahid terdiam. Ia rasakan cengkraman yang begitu kuat dari pelukan Amelia. Air matanya kian menyerebak, semakin haru. Tadinya Mujahid sudah pasrah dengan perasaan cinta Amelia yang masih begitu besar terhadap Rasyid. Perasaan Amelia yang membuat dirinya cemburu. Tapi, ternyata cerita yang ia kisahkan tadi mampu menggetarkan hati sanubari Amelia. Amelia terus memeluk suaminya dengan erat.

Dari isak harunya Amelia mengucap lirih, “Ading sayaaaang banar lawan Abang Mujahid…110 Ading tak mau kehilangan Abang… Ading cinta sama Abang…”

Mujahid semakin mengharu biru. Dirasakan-nya benar-benar cengkraman pelukan dari jemari Amelia yang kian menggerta. Mujahid bisa merasa-kan perasaan Amelia saat ini. Bahkan ia seolah mampu mendengarkan hati kecil dari Amelia yang berucap bahwa Amelia tak ingin kehilangan dirinya. Tak ingin lagi merasakan kehilangan orang yang dicintainya untuk yang kedua kalinya.

110 Adik sangat sayang sama Abang Mujahid

280

Mujahid terdiam. Ia pula tak kuasa menahan tangis haru kebahagiaannya. Perlahan tangannya juga turut menyedekap ke pelukan Amelia. Ia benar-benar merasakan perasaan cinta yang begitu besar dari istrinya. Perasaan cinta yang menghangatkan raga dan relung hatinya. Cinta yang berdasar kepada cinta akan Rabb-nya, ‘Azza wa Jalla.

***

281

۞

Part 21

Benih Cinta

Tak terasa waktu terus bergulir, detik demi detik. Dengan detiknya yang silih berganti itu, manusiapun lalai jika waktu sudah semakin tua. Sudah dua bulan semenjak dirinya menghadapi kenyataan bahwa Amelia sudah dimilik orang. Kini ia mulai mencoba kembali menjalani kehidupannya sebagaimana biasa. Ia kembali membantu Acil Jamar berdagang di Pasar Martapura. Ia berusaha agar kisah masa lalunya tenggelam bersama lekang masa yang menyilam.

Hingga suatu ketika, Ummi Zulfa datang bertamu ke rumah almarhum Kakek Ja’far, tempat Rasyid tinggal. Mantan mertuanya itu memintanya untuk kembali bekerja di toko intan miliknya, di Pasar Martapura.

282

“Bukan sebagai penjaga toko lagi. Melainkan menjadi penasihatku. Atau dalam istilahmu itu, Konsultan Bisnis. Bagaimana Nak Rasyid, kamu kan tahu sendiri, bisnis Ummi kian maju dan pesat. Sedang kini abah sudah tak ada lagi. Sebagian bisnis ummi sudah ummi mintakan kepada Amelia dan suaminya, Mujahid, untuk menanganinya. Tapi, ternyata itu masih belum cukup. Ummi perlu tangan lain untuk menangani bisnis-bisnis itu.” pinta Ummi Zulfa kepada Rasyid.

Sebenarnya Rasyid ingin menerima tawaran itu. Tapi, ia kembali teringat Amelia.

“Ulun111 takut kalau ulun bekerja di tempat Ummi Zulfa, nantinya ulun akan bertemu dengan Amelia, Ummi… Maaf, bukan ulun bermaksud menyinggung masa lalu. Tapi, Ummi Zulfa tahu sendiri kan? Ulun hingga saat ini masih belum berpendamping. Nanti akan terkesan bahwa ulun masih menyimpan hati kepada putri Ummi Zulfa. Nanti, pas ketemu sama Amelia, ulun khawatir akan menjadi pengganggu rumah tangga Amelia dan Mujahid, Ummi.” ungkap Rasyid menjelaskan alasan penolakannya.

“Untuk itu kamu tak perlu khawatir… Mujahid dan Amelia kan sekarang tinggal di Jogja. Mereka mengurus bisnis rumah makanku yang ada di Sleman. Jadi, yang ini bisnisnya ada di Banjar-masin. Tak

111 Saya (Bahasa Banjar halus)

283

mungkin kamu bertemu dengan Amelia dan Mujahid. Setidaknya, untuk beberapa waktu ini, hingga kamu menemukan pengganti Amelia. Bagai-mana, Nak Rasyid…?” Ummi Zulfa terus mencoba membujuknya.

“Kalau boleh tahu, bisnis apa, Ummi Zulfa?”

“Sama seperti yang Amelia tangani sekarang, bisnis rumah makan… Bagaimana, Nak Rasyid?” tanya Ummi Zulfa terus membujuk Rasyid.

“Ulun pikir-pikir dulu, ya Ummi. Ulun minta izin dari Acil Jamar dulu. Masalahnya, beliau sepertinya masih memerlukan tenaga ulun untuk membantu berdagang di warung.” jawab Rasyid diplomatis.

“Baiklah kalau begitu… Aku tunggu kabar darimu. Aku harap, kamu bersedia, Nak. Aku percaya dengan dirimu. Dan aku sangat kagum dengan caramu menjalin bisnis. Aku melihat kamu sangat potensial dalam berusaha. Itulah salah satu alasan kenapa almarhum abah dan ummi menguliahkanmu dulu ke Malang.” balas Ummi Zulfa.

Ucapan Ummi Zulfa demikian terasa menyindir dirinya. Seolah beliau minta balas budi, karena telah menguliahkan dirinya hingga ke tanah seberang. Tapi, kata-kata Ummi Zulfa itu ada jua benarnya. Ia sadar benar, jika bukan karena ke-dermawanan keluarga saudagar itu, ia tak mungkin bisa kuliah ke Malang, dan tak bisa ia seperti sekarang ini, beberkat ilmu pengetahuan.

284

“Insya Allah, Ummi… Ulun cuma tak enak saja sama Ummi. Kita kan bukan lagi menantu dan mertua. Ulun hanya seorang pemuda yang pernah mendapatkan kedermawanan Ummi Zulfa… Insyallah ulun usahakan untuk bisa menerima tawaran ini, Ummi…” ucap Rasyid.

“Amin…” balas Ummi Zulfa.

Di tengah pembicaraannya dengan Ummi Zulfa itu, tiba-tiba saja seorang anak laki-laki berlari masuk ke dalam rumah mendekati Ummi Zulfa. Ia baru sadar, rupanya Ummi Zulfa membawa cucunya yang sedari tadi asyik bermain di halaman rumah, bersama anak-anak orang sekitar Kampung Keraton.

“Ini cucu Ummi? Bukannya Ummi Zulfa bilang Amelia dan Mujahid ada di Jogja? Kok si utuh112 yang seorang ini ditinggal di Banjar?” tanya Rasyid heran.

“Iya, ini cucuku, Zaki namanya. Putra Amelia, tapi bukan dari Mujahid. Sengaja aku bawa ke sini supaya bertemu abahnya.” ucap Ummi Zulfa seolah memberi isyarat kalau itu adalah putra Rasyid.

Seketika itu Rasyid tersentak. Tangannya cepat bergerak meraih Zaki, lalu mengangkatnya ke pelukannya. Rasyid membelai buah hatinya itu dengan penuh kehangatan kasih sayangnya. Ia cium lembut-

112 Anak laki-laki

285

lembut pipi Zaki kecil sambil menggendongnya dengan wajah kegirangan.

“Ibung113 namanya siapa?” tanya Rasyid sumringah seraya bercanda dengan Zaki kecil.

“Aa-kki…” jawab lucu dari mulut Zaki kecil yang masih tak begitu fasih menyebutkan namanya.

“Tau ini siapa…? tanya Rasyid sambil mengarahkan jari telunjuk ke dadanya.

Zaki kecil menggelengkan kepalanya “Pian114 capa?” tanya ia dengan lucunya.

Rasyid ragu untuk menjawab pertanyaan Zaki kecil itu. Ia masih tak sanggup untuk berkata jujur kalau ia adalah abah kandung dari Zaki. Rasyid mengindahkan pertanyaan Zaki kecil itu, dan menganggapnya angin lalu saja. Ia semakin gemas dan lalu mencium pipi si kecil itu dengan cintanya.

“Tak apa si Zaki tidak bersama Amelia, Ummi?” tanya Rasyid.

“Tak apa. Dia sudah terbiasa bersama Ummi dan Paman Hadi. Makanya, Zaki sering dititipkan oleh Amelia sama Ummi. Supaya Amelia cepat untuk

113 Panggilan lembut untuk anak kecil 114 Anda (Bahasa Banjar halus)

286

melupakan masa silamnya. Kamu tahu sendiri kan siapa Zaki kecil ini…”

“Kasiaaan, anak ini tak pernah merasakan hangatnya kasih sayang orang tua seperti teman-teman sejawatnya… Padahal masa-masa seperti ini adalah masa-masa indahnya kasih sayang seorang abah dan ummi…” ucap Rasyid lirih menyayang.

“Mungkin, inilah ujian untuk si kecil ini, Nak. Tapi, Alhamdulillah dia tak pernah merasa murung murai. Sebab, di rumah kan ada cucu ummi yang lain yang jadi temannya, juga keluarga Laila dan suaminya, Rafik, kakaknya Amelia yang kini tinggal bersama Ummi, dan sudah Zaki pikir adalah orang tua kandungnya sendiri…” ucap Ummi Zulfa.

“Tapi, mungkin masih belum waktunya dia mengetahui kisah sejatinya, Ummi Zulfa… Dia masih tak mengerti apa-apa…” balas Rasyid seraya memandangi Zaki. Malaikat kecil itu tak paham apa yang sedang ia dan Ummi Zulfa bicarakan.

“Kamu benar, Nak Rasyid… Rencanya minggu depan Ummi akan ajak dia ke Jogja untuk bertemu umminya. Dan mungkin, selanjutnya ia akan bersama umminya, Amelia. Ummi lihat Amelia sudah mulai bisa menerima semuanya. Di sana dia juga sudah punya seorang putri. Jadi, Ummi pikir Zaki kecil ini ada temannya nanti.”.

287

“Mudah-mudahan akan baik-baik saja, Ummi.” ucap Rasyid.

Setelah beberapa waktu, Ummi Zulfa berjalan keluar rumah dan minta diri. Sebelum Ummi Zulfa dan cucu lucunya itu pergi, seketika Zaki kecil meraih tangan Rasyid tanpa malu dan lalu menciumnya. Rasyid tersenyum seraya mem-belai kepala Zaki kecil. Ia membacakan shalawat serta mendo’akan putera tercintanya itu, kemudian mencium pipi dan kening putera kesayangannya itu.

“Baik-baik sama Nining lah, Toong115…?” ucap Rasyid kepada Zaki kecil.

“He eh…” jawab Zaki kecil sambil meng-angguk.

Rasyid tersenyum mendengar pengiyaan dari puteranya itu. Ia membelai kepala Zaki untuk kesekian kalinya.

“Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu, ya. Ummi tunggu kabar darimu, Nak… Assala-mu’alaikum…?” ucap Ummi Zulfa dengan Zaki yang kini sudah ada di gendongannya.

Rasyid membalas dengan tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya kepada Zaki kecil. Buah hatinya itu nampak melambai-lambaikan

115 Baik-baik sama Nenek ya, Nak…?

288

tangannya sambil tersenyum kepada Rasyid. Tanpa sadar air mata Rasyid menyeruai.

Ummi Zulfa turun dari pelataran116 rumah dan langsung masuk ke mobil yang diparkir di samping mushalla seberang rumah. Perlahan, mobil itu berjalan melenyap dari pandangan Rasyid. Rasyid kembali tersenyum tipis. Ini kali pertamanya ia bertemu dengan putera tercintanya, Zaki. Putera yang ia peroleh dari pernikahannya bersama putri Ummi Zulfa, Amelia Aulya Rahmi.

***

116 teras

289

۞ Part 22

Pertemuan di Pasar Martapura

“Tu kan, Syid… Kalau ada kamu yang bantu Acil berdagang, mesti banyak yang datang… Kian hari kian jadi tambah rame toko Acil ini, Syid?” ucap Acil Jamar memuji Rasyid. Rasyid hanya tersenyum mendengar ucapan Acil Jamar yang juga diikuti Iwan, karyawan acil-nya.

“Iya, Bang, benar itu… ” sahut Iwan sembari menepuk pundak Rasyid.

“Yah, Alhamdulillah kalau ketu117…” balas Rasyid singkat.

Ketiga orang itu nampak sangat sibuk melayani para pembeli yang datang bejibun. Itu karena hari ini

117 Begitu

290

hari Ahad, harinya dimana Pasar Martapura ramai didatangi pengunjung dari pelosok sekitar daerah Martapura, Simpang Empat, Pengaron, Mataram, dan lain pula.

Para pembeli yang bertandang ke tokonya itu tak lain adalah para ibu-ibu yang memiliki warung nasi bungkus dan rumah makan. Mereka memang sudah jadi langganan tetap di toko beras Acil Jamar. Mereka sangat puas dan percaya dengan pelayanan dan kualitas beras yang ditawarkan Acil Jamar.

Tak hanya di toko acil-nya yang bergerom-bol, di beberapa toko lain, dan pinggiran-pinggiran jalan, juga nampak pemandangan para pedagang dan pembeli bertransaksi. Keramaian pasar ini tak berhenti hingga sepanjang pagar pembatas Masjid Al-Karamah. Hingga pengurus masjid kadang memarahi mereka yang berjualan dan mengotori lingkungan masjid.

Jalan di depan toko acil-nya nampak dijejali oleh lautan manusia. Beginilah kiranya suasana pasar ibukota Kabupaten Banjar ini di kala hari Ahad.

“Permisi ya Bang, tolong berasnya satu karung ya…?” pinta seorang pembeli perempuan kepada Iwan.

“Waduh, satu karung…?” sahut Iwan de-ngan ekspresi kaget mendengar ada yang mau membeli beras sebanyak itu. Seketika Rasyid yang tadinya asyik menakar beras ke karung langsung menoleh, ikut kaget.

291

Rasyid terdiam. Bibirnya terkesima seketika ketika mendapati siapa pembeli yang akan membeli beras sebanyak itu.

“Za… Zahra…??!” lirih Rasyid. Ia meng-hentikan tangannya yang tadinya sibuk menakar. Pandangannya terpana sesaat kepada sosok yang berdiri di hadapan Iwan.

Melihat sosok yang ada di hadapannya saat itu, wajah Zahra juga tak kalah menampakkan keterkejutannya.

“Abang Rasyid…?” lirih Zahra pula ber-campur dengan decak keheranannya. Tanpa sadar kedua mata muda-mudi itu saling terpana.

“Astaghfirullahal’adzim…” ucap keduanya serentak berbarengan. Mereka langsung sama-sama mengalihkan pandangan dari masing-masingnya.

“Serius satu karung ya, Zahra…?” tanya Rasyid. Ia menyerahkan tugasnya menakar beras kepada Iwan. Kali ini ia yang melayani pelanggan spesialnya itu.

“Iya, Bang…” Zahra menundukkan panda-ngannya. Selayang, tertampak wajah Zahra yang bingung melihat sesosok pemuda yang ia kira sudah meninggal beberapa tahun yang lalu itu, kini ada di depan matanya.

292

Rasyid menyadari kebingungan Zahra, tapi ia tak menghiraukan perihal itu. Ia biarkan saja putri Kiai Karim itu dengan kebingungannya.

“Ada acara apa nih, kok jadi sebanyak ini beli beras?” tanya Rasyid berbasa-basi.

“Ada acara di Pesantren, Bang. Jadi, Zahra ke sini untuk berbelanja. Kebetulan Zahra ingat Pasar Martapura lagi rame hari ini, kan hari Ahad… Abang kerja di sini ya, sekarang?” balas Zahra sambil tersipu dan tetap menundukkan pandangan-nya.

“Iya, tapi untuk sementara mengisi waktu luang saja… Daripada nganggur tak ada kerjaan di rumah… Oh ya, tadi sama siapa ke pasar? Sendiri saja?” balas Rasyid.

“‘Gak, Bang, tadi sama yang lain. Sebentar lagi juga menyusul ke sini. Tak mungkin kan Zahra mengangkat beras seberat ini sendirian? Abang gimana sih?” Zahra tersenyum. Rona merah di pipinya menambah kesan cantik dara manis itu.

Di balik rasa penasarannya tentang Rasyid yang masih hidup sampai saat ini, wajah Zahra seolah memberikan kesan berbeda. Ada perasaan senang dari gadis itu melihat pemuda yang dulu pernah menolong dirinya itu masih hidup. Wajah merah malunya itu seolah menjadi pertanda bahwa ia sangat senang bisa bertemu dengan Rasyid di sini.

293

“Iya juga ya…? Hehe… Oh iya, beras apa?”

Rasyid tersenyum mendengar pernyataan Zahra barusan. Zahra juga nampak ikut tersenyum. Di mata Rasyid, putri Kiainya itu selalu nampak begitu mempesona.

“Pesan abah, maunya beras Siam unus… Ada?” tanya Zahra.

“Ada sih… Tapi, tak murni…” jawab Rasyid.

“Tak murni? Maksudnya?” Zahra menger-nyitkan keningnya. Wajah gadis itu kian mem-pesona ketika menampakkan ekspresi penasaran-nya.

“Maksudnya, ya ‘gak murni beras Siam unus. Tapi, bercampur dengan siam-siam yang siam-siaman118. Hehe… Soalnya sekarang sulit cari yang murni… Sepertinya memang dari sononya, Zahra.” Rasyid menjelaskan sambil memperlihatkan segeng-gam beras di tangan kanannya kepada Zahra.

“Dari sononya?” balas Zahra semakin pe-nasaran. Alisnya yang tebal hitam itu mengernyit seketika.

“Iya, dari sononya… Dari waktu menanam sudah dicampur. Sehingga saat berbenihpun sudah

118 Beras siam yang tidak asli

294

bercampur, makanya tak murni lagi… Jadi, bagaimana? Mau?” ucap Rasyid.

“Tapi, rasanya gimana?’’ Zahra mengambil beberapa beras yang ada di dalam wadah dengan tangan kanannya sambil mengamati beberapa saat.

“Yaaaa… Gitulah. Kurang lebih aja kok, namanya juga sama-sama beras.” canda Rasyid. Tanpa dipungkiri, hati pemuda itu terasa begitu senang bertemu dengan Zahra saat ini.

“Oh iya, Zahra pernah makan di Nasi Itik Gambut yang terkenal itu? Yang di seberang Pom bensin, dekat Pasar Kindai Limpuar?’’ lanjut Rasyid.

“Ooo… Yang rame itu?”

“Naaaaa… Mungkin kurang lebih seperti di sanalah rasa nasinya. Soalnya warung itu kan berasnya stok dari sini…”

“Ooo… Tapi, Zahra telepon abah dulu ya? Ingin menanyakan dulu. Zahra takut nanti salah memutuskan…” Zahra mengambil hand phone yang ada di tas jinjingnya.

“Boleh… Silakan...” balas Rasyid, tersenyum.

Zahra menelepon abahnya, Kiai Karim. Tiba-tiba saja Rasyid teringat sesuatu. Ia merasa pernah

295

mengalami hal yang saat ini ia alami. Ya, saat itu ia melayani pembeli perempuan yang juga ingin membeli beras Siam unus. Waktu itu gadis itu pula bertanya perihal pertanyaan serupa yang ditanya-kan Zahra. Ia ingat. Itu adalah pertama kalinya ia bertemu dengan Amelia, di Pasar Martapura ini, di toko beras Acil Jamar ini pula. Kini, Rasyid hanya bisa tersenyum mengenang masa lalu itu.

“Kata abah, karena pedagangnya jujur, Abah beli dua karung.” ucap Zahra membuyarkan lamunan Rasyid.

“Oh iya. Baiklah kalau begitu… Tunggu sebentar, ya? Abang ambilkan dulu berasnya ke belakang…” pinta Rasyid sejurus berjalan ke belakang toko.

Tak mungkir, hati Rasyid merasakan adanya secercah rasa bahagia yang bertamu ke relung nuraninya. Bagaimana tidak, kini ia bertemu kembali dengan putri Kiai Karim, gadis yang pernah ia bersimpati rasa kepadanya. Ia kembali mener-bangkan ingatannya beberapa tahun silam. Ia jadi teringat saat kejadian kecelakaan di depan gerbang Universitas Brawijaya, saat pertama kali ia bertemu Zahra. Ia juga teringat sahabatnya Nazwar yang berencana melamar Zahra, kala waktu itu.

Sekarang, timbul pertanyaan di hatinya, “Bagaimana dengan lamaran Nazwar itu? Apa Kiai

296

Karim menyetujuinya, atau tidak? Apa Zahra sudah bersuami sekarang?”

Sayang, Rasyid tak cukup berani untuk menanya langsung kepada putri Kiainya itu. Rasyid melanjutkan pekerjaannya sambil melupakan masa lalu itu. Rasyid kembali ke hadapan Zahra sambil membawa sekarung beras. Kemudian ia kembali ke belakang kali keduanya, untuk mengambil sekarung lagi.

“Naaah, dua karung kan?” tanya Rasyid.

Zahra mengangguk.

“Zahra yang angkat nih keduanya?” sam-bung Rasyid bergurau.

Zahra tersenyum. “Emang Abang sendiri kuat ngangkat beras dua karung sekaligus?” tanya Zahra.

Gadis manis itu tersenyum diiringi dua lesung pipi yang menghiasi wajah cantiknya. Rasyid baru sadar kalau putri Kiai Karim itu punya sepasang lesung pipi yang manis menghias senyumnya. Rasyid tertegun sesaat, lalu tersadar seketika dan melanjutkan pekerjaannya.

“Abang juga enggak kuat kalau ngangkatnya sekaligus, hehe…” balas Rasyid sekenanya.

297

“Yee… Apalagi Zahra, Bang…” jawab Zahra yang kembali menyipu senyumnya. Kedua lesung pipi manis itu kembali menghiasi wajah si pemiliknya.

Dari wajahnya, Rasyid nampak sangat menikmati perasaan riangnya yang mencuat. Rasa senang berjumpa Fatimah Az-Zahra, si cantik putri Kiai Karim.

“Bang Rasyid, boleh, Zahra tanya sesuatu ‘gak?” tanya Zahra.

“Boleh… Apa, Zahra?”

“Tapi, maaf ya, bila Abang jadi tersing-gung…”

“Iya, mboten nopo-nopo119 Zahra. Tanya apa, ya?” balas Rasyid.

“Mmm… Setahu Zahra, Abang dulu adalah salah seorang korban karamnya sebuah kapal, sekitar dua tahun yang lalu. Tapi, kok sekarang ada di sini? Maaf ya, Bang, kalau Abang jadi ter-singgung…” tanya Zahra setengah tak enak. Ia takut hati Rasyid jadi merajuk.

Rasyid menarik nafasnya dalam-dalam, lalu mengikatkan sehelai tali ke karung beras.

119 Tidak apa-apa

298

“Hufh, panjang ceritanya, Zahra. Nanti saja ya, kapan-kapan Abang ceritakan. Kalau sekarang, kayaknya Abang tak bisa. Zahra bisa liat sendiri kan? Abang lagi sibuk…”

“Gitu ya, tapi janji ya, Abang akan menceritakannya kepada Zahra?” pinta Zahra.

Rasyid tersenyum mendengar perkataan Zahra. “Iya janji, Insya Allah… Nah, sekarang sudah selesai. Tadi ke sini naik apa? Mobil?”

“Iya… Sebentar lagi mungkin Abang Fajar akan menyusul ke sini.”

“Aa… Abang Fajar?” tanya Rasyid setengah menahan perasaannya. Entah mengapa ada sebutir rasa kecewa muncul di relung hatinya mendengar bahwa ternyata Zahra sudah memiliki pendamping hidup. Itu ia yakini karena putri Kiai itu mengatakan bahwa, ia datang ke sini bersama seseorang yang ia sebut ‘Abang Fajar’.

“Iya, Abang Fajar.” sahut Zahra.

Dan tak lama berselang dari obrolan itu, datanglah seorang pemuda yang dimaksud Zahra ‘Abang Fajar’ itu.

Rasyid mandam terdiam. Ia memperhatikan lekat-lekat laki-laki itu. Badannya tegap, putih, dan

299

berwajah rupawan, tentunya lebih tampan dari dirinya. Rasyid merasa jadi minder sendiri.

“Rupanya Zahra sudah menikah dengan orang ini. Orang yang memang pantas dipersan-dingkan dengan Zahra…” pikirnya terpana.

Apalagi Zahra dan orang yang ia sebut ‘Abang Fajar’ itu memang nampak mesra di hadapan Rasyid. Hatinya yang tadi hampir merekah dan berujung semi, kini tak jadi berbunga, dan kembali mengecut mengindahkan angan tingginya kepada Zahra.

“Bang…???” sapa Zahra beberapa kali, menyadarkan Rasyid dari buai keterpanaannya.

“Oh, iya?” sahut Rasyid dengan ekspresi setengah tersentak.

“Jadi, berapa semuanya?” ucap Zahra.

“Semuanya jadi… Rp 700.000,00.” balas Rasyid sambil beberapa kali melirikkan matanya ke arah pemuda bernama Fajar itu.

Zahra mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan uang sejumlah yang disebutkan Rasyid.

“Biar Abang saja yang mengangkatkannya ke mobil?” Rasyid menawarkan diri.

300

“Boleh, tapi tunggu abah ke sini dulu, ya…? Soalnya kunci mobilkan ada sama abah.” sahut Zahra.

“Iya…” balas Rasyid singkat. Ia segera berjalan ke belakang. Tak tahan rasanya melihat Zahra bersama orang bernama Fajar itu di depan matanya. Rasanya itu justru akan menjadikan pilu hatinya.

Tiba-tiba, dengan tak ia tuani hatinya seolah bicara sendiri kepada dirinya.

“Rasyid… Bangun Rasyid… Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu harus bersedih melihat Zahra bersama orang lain? Memangnya ada sejarah apa yang kamu toreh? Kenangan indah apa yang membuat kamu tak rela Zahra bersama laki-laki lain, apalagi lelaki itu pula suaminya? Aneh sekali kamu ini Rasyid… Masih banyak di luar sana gadis lain yang bisa kau persunting… Bangun Rasyid... Bangun dari tidurmu…”

Rasyid tersentak dan tersadar. Apa yang dikatakan hatinya memang benar. Dari awal, Zahra memang bukan siapa-siapa baginya. Jadi, tak ada alasan untuk menyesali dan berpilu hati melihatnya bersama laki-laki lain.

Tak lama berselang, datanglah seseorang yang tak asing lagi bagi Rasyid. Dia adalah Kiai Karim, abah kandung Zahra. Kiai Karim nampak begitu terkejut mendapati Rasyid yang ada di depannya saat ini.

301

“Rasyid? Masih hidup ternyata kamu, Nak? Aku kira kamu sudah meninggal ketika kecelakaan itu?” Kiai Karim tanpa ragu langsung memeluk Rasyid, santri kesayangannya saat masih nyantri di pesantrennya dulu. Rasyid seketika meraih dan mencium tangan Kiai Karim.

“Alhamdulillah, Kiai… Ulun120 masih diberi kesempatan untuk melangkahkan kaki di muka bumi ini, atas rahmat Allah SWT, Kiai…” balas Rasyid.

“Alhamdulillah… Coba ceritakan padaku, apa yang telah terjadi? Kami dengar kamu adalah salah satu dari korban yang hilang dalam peristiwa itu…” pinta Kiai.

“Wah… Kalau di sini, bisa lama, Kiai. Soalnya ceritanya panjang. Lagi pula ulun sedang sibuk melayani para pembeli. Kiai bisa lihat sendiri kan? Nanti… Insya Allah akan ulun ceritakan kepada Kiai. Tapi, di lain kesempatan, Kiai…”

“Baiklah… Kamu telah berjanji kepadaku, Syid… Dan akan aku tagih janjimu itu…” ucap Kiai sambil tersenyum.

“Insya Allah, Kiai… Oh ya Kiai, biar berasnya ulun saja yang angkatkan ke mobil Kiai?” balas Rasyid.

120 Saya (Bahasa Banjar halus)

302

“Oh iya, terima kasih, Nak… Silakan, kita sama-sama ke mobil…” balas Kiai Karim memper-silakan.

Rasyid langsung mengangkat dua karung beras yang sudah dibeli Zahra dibantu Iwan, dan lalu mengiringi langkah kaki Kiai, Zahra, dan Fajar menuju mobil Kiai yang diparkir tak jauh dari toko acil-nya.

“Oh iya, Syid… Besok malam pesantren ada acara peringatan Maulid Rasul. Maka dari itu, aku beli beras sebanyak ini. Kamu datang ya? Ba’da Maghrib harus sudah ada di pesantren.” ucap Kiai.

“Besok ya, Kiai? Insya Allah, Kiai. Ulun akan datang. Tapi, pembawa tilawahnya sudah pasti ada kan, Kiai?” tanya Rasyid bergurau.

Kiai Karim jadi tersenyum mengingat peris-tiwa di rumah beliau, saat acara Tasmiah dan Batampung Tawar121 cucu pertamanya. Kala itu, orang yang mestinya membawakan tilawah tiba-tiba saja jatuh sakit. Hingga Rasyid dipaksa Kiai Karim untuk menggantikan orang itu sebagai pembawa tilawah.

“Insya Allah sudah ada, si Miftah, teman lamamu sewaktu di pesantren dulu… Sekalian aku mau mendengar ceritamu, yang ternyata hingga saat ini

121 Perayaan kegembiraan warga Banjar atas kelahiran seorang anak.

303

masih hidup. Aku pikir kamu punya dua nyawa, atau dihidupkan kembali oleh Allah. Hehe…” canda Kiai.

“Kiai bisa saja…” Rasyid tersenyum. Ia melirik ke wajah Zahra. Perempuan itu juga tersenyum kepada Rasyid setelah mendengar ucapan abahnya barusan. Senyum yang seolah memberi sebuah isyarat kepada dirinya. Tapi, hati Rasyid langsung berubah rasa ketika menampaki sosok pemuda yang berada di samping Zahra, Fajar, suami Zahra yang sejak tadi memang tak banyak bicara.

Ia kembali ke toko bersama Iwan. Hari masih sore. Tapi, beras acil-nya nampak sudah habis. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan baginya. Berarti harus menunggu stok beras datang lagi untuk bisa berjualan. Berarti besok acil-nya tidak berjualan dulu hingga beras yang dikirim dari Anjir, Kandangan dan Nagara tiba di toko.

“Siapa tadi itu, Bang?” tanya Iwan kepada Rasyid, wajahnya penasaran karena melihat Rasyid begitu akrab dengan pelanggannya itu.

“Ooo… tadi ya, Wan? Beliau itu Kiai pondok pesantrenku dulu, Darul Hijrah. Dan yang perem-puan tadi itu puterinya, namanya Zahra bersama suaminya namanya Abang Fajar.”

“Kiai Pondok Pesantren Darul Hijrah? Maksudnya Kiai Karim?” ucap Iwan terkaget-kaget.

304

“Wah, kenapa ‘gak bilang-bilang dari tadi, Bang Rasyid? Kalau tahu dari tadi, ulun ingin sekali mencium tangan Kiai itu. Soalnya orangnya shaleh, Bang.” Iwan menunjukkan ekspresi menyayang.

“Yaah, telat kamu, Wan…” balas Rasyid.

“Abang siiih…” sahut Iwan.

“Ooo, jadi yang tadi itu puterinya Kiai Karim ya, Syid? Cantik sekali ya, Syid? Kalah anak Bu Haji Zulfa yang paling cantik di Martapura ini” sahut acil-nya seolah menyindir dirinya.

“Acil nah… Jangan berlebihan… Ia itu sudah bersuami. Acil tak pandang kah tadi itu ada lelaki yang mendampinginya?” balas Rasyid.

“Ooo… Sudah menikah rupanya. Tapi, memang benar kan, dia itu lebih cantik dan nampak jauh lebih shalehah…? Dari sikapnya yang menanyakan dulu tentang beras yang akan dibelinya, kemudian berizin kepada abahnya lewat telepon, itu membuktikan dia itu gadis yang shalehah, Syid… Orangnya cantik sekali pula.” Acil Jamar semakin menggoda dirinya.

“Ya iyalah, Cil… Kan dia putrinya Kiai Karim.” sahut Iwan memantapkan.

“Ya juga ya, Wan… Baru sadar aku, Wan… Tapi, baru hari ini toko Acil didatengin tokoh ulama besar kota ini, seperti Kiai Karim. Semenjak ada kamu Syid,

305

toko jadi semakin berkah. Malaikat Rahmat sepertinya selalu ada bersama kamu, Syid…” ucap acil-nya.

“Acil jangan berlebihan…” sahut Rasyid.

“Nah, Abang… Kalau dibilang yang bagus-bagus, ucapkan amin nah, Bang…!!?” sahut Iwan.

“Iya, Amin Yaa Rabbal ‘Aalamiiin…” jawab Rasyid sambil tersenyum mendengar percakapan dua orang yang nampak polos itu.

“Oh iya, Cil… Kemarin Ummi Zulfa datang ke rumah, menemui ulun. Beliau mau supaya ulun menangani sekaligus jadi penasihat bisnis beliau…”

“Trus???”

“Yaaa, bagaimana menurut Acil?”

“Bagus… Itu namanya kesempatan, Syid… Kamu jawab apa?”

“Ulun minta penundaan waktu untuk berpikir, Cil…”

“Kamu itu banyak mikirnya, Syid… Ya kenapa tak langsung terima saja semalam itu… Kan jarang ada kesempatan ditawari kerja? Sama Ummi Zulfa pula…”

306

“Bukannya ulun lamban mikir-mikir banyak pertimbangan, tapi ulun mau mendiskusikan dulu sama Acil. Nanti kalau ulun mengurus bisnis Ummi Zulfa, siapa yang nemenin jaga toko Acil?”

“Kan Acil bisa cari asisten lagi… Si Malik, atau Ambrun noh yang nganggur… Kamu tak usah lah mikirkan Acil. Kalau ada peluang untuk dirimu sendiri supaya lebih maju dan berkembang, ya ambil saja… Acil selalu ridho dan mendoakanmu, Tong122…”

“Iya, Bang, secepatnya saja. Itu lebih baik… Abang enak jadi orang pinter banyak tawaran kerja. Coba ulun, Bang… Yang cuma tamat SMA. Susah hidup karena susah cari kerja.” sahut Iwan.

“Naah… Kalau semua pihak sudah ridho, ulun tak ada keraguan lagi.” Balas Rasyid dengan senyumnya.

“Alhamdulillah…” sahut Iwan.

“Baguslah bilanya ketu123… Tapi, memang bisnisnya apa?” tanya acil-nya.

“Bisnis rumah makan di Banjarbaru. Deketnya Lapangan Murjani. Jadi, Acil mungkin Rasyid

122 Nak = anakku 123 Baguslah kalau begitu…

307

masukkan sebagai pemasok beras untuk rumah makan itu.”

“Naaah, bagus lamun ketu124. Ada Bang Rasyid memang selalu berkah. Abang nih memang orang yang selalu diiringi Malaikat Rahmat…” sahut Iwan.

“Jangan berlebihan, Wan… Itu kan masih rencana. Allah jua yang menentukan.” jawab Rasyid.

“Iya… Tapi, paling tidak, ada kabar bagus untuk jaringan bisnis Acil, Syid…” sahut Acil Jamar.

“Amin…” jawab Rasyid singkat.

Mereka bertiga segera menutup toko. Stok beras yang mereka jual kebetulan sudah habis sama sekali. Hari sudah semakin sore. Sebentar lagi Ashar tiba. Mereka bertiga segera membersihkan diri karena tak lama berselang akan menyambut seruan Tuhan Semesta Alam.

***

124 Naaah, bagus kalau begitu…

308

۞ Part 23

Petuah

Tepat esok hari, setelah pertemuan di Pasar Martapura dengan Zahra dan Kiai Karim. Sebagaimana undangan Kiai, Rasyid diminta hadir ke pondok pesantren dalam rangka memperingati Maulid Rasul. Seusai acara, ia segera diajak Kiai Karim ke ruangannya.

“Jadi, begini, Syid… Selain aku mengun-dangmu dalam acara ini, aku juga perlu bantuanmu. Sekaligus ini tawaran menarik untukmu…” ucap Kiai.

“Tawaran menarik? Apa itu, Kiai?” Rasyid balik bertanya.

“Begini, aku kan punya tambak ikan di daerah Banjarbaru, tepatnya di desa Sungai Sipai. Nah, aku mau minta bantuanmu untuk mengelola tambak itu.”

309

“Memberi pakan ternak ikan, maksud Kiai?” balas Rasyid.

“Bukan… Bukan jadi pemberi makan ikan atau yang membersihkan tambak. Kalau urusan itu sudah ada yang mengerjakannya. Aku minta kamu jadi menejernya.” ujar Kiai.

“Manajer tambak?” balas Rasyid, ia tersenyum mendengar Kiai Karim menyebutkan kata “Manajer” yang diucapkannya dengan “Menejer” dengan logat Banjar Pahuluan yang kental.

“Iya… Kenapa? Ada yang salah dengan menejer? Kata Zahra sih istilahnya itu menejer… Apa aku salah sebut ya, Syid, sehingga kamu tersenyum?” tanya Kiai.

“Tidak, Kiai, Kiai sudah benar… Sebutannya memang manajer…” Rasyid tersenyum sendiri.

“Tapi, kenapa Kiai menunjuk ulun125? Ulun kan belum tau betul seluk beluk pengelolaan tambak?” sambung Rasyid.

“Kamu ini, Syid, jangan merendah seperti itu. Aku tahu kapasitasmu sebagai intelek muda yang cerdas dan ulet. Pokoknya, aku mau kamu yang tangani semua tambakku. Masalah gaji, kita mainnya profesional. Hehe…” jawab Kiai.

125 Saya (Bahasa Banjar halus)

310

Rasyid berpikir sejenak. Masalahnya, ia sendiri masih belum menjawab tawaran dari Ummi Zulfa untuk mengelola bisnis rumah makan beliau yang ada di Banjarbaru.

“Sepertinya ulun perlu waktu untuk memikirkannya, Kiai…” ucap Rasyid.

“Insya Allah, aku sanggupi permintaanmu untuk berpikir. Dan mudah-mudahan saja kamu menerimanya. Sebab, aku mengharapkanmu, Syid…” ucap Kiai Karim mengangguk.

“Inggih, Kiai… Mungkin ulun perlu dua tiga hari untuk berpikir…” balas Rasyid.

“Baiklah, nanti akan aku tanyakan kembali kepadamu, setelah tiga hari ini…” ucap Kiai.

“Kemudian… Ada lagi satu hal yang ingin aku tanyakan padamu…” sambung Kiai Karim. Wajah beliau mulai serius.

“Satu hal? Apa lagi itu, Kiai?” tanya Rasyid heran.

“Janjimu kemarin, soal kisahmu yang selamat hingga sekarang. Padahal menurut berita yang beredar, hanya ada lima orang yang selamat. Dan di sana tidak termasuk kamu, makanya banyak orang yang mengira kalau kamu tenggelam ditelan lautan dan meninggal?”

311

“Ooo… iya, Kiai… Ulun hampir tak ingat lagi… Jadi, ceritanya begini……”

Rasyid menceritakan apa yang telah menim-pa dirinya di laut yang dahsyat sekitar dua tahun yang lalu kepada Kiai Karim. Kiai nampak sangat serius mendengarkan cerita Rasyid.

“Mungkin orang itu orang saleh yang diutus Allah untuk memperingatkanmu dan menye-lamatkanmu dari kejadian maut itu, Syid…” komentar Kiai tentang orang misterius yang diceritakan Rasyid.

“Mungkin, Kiai. Atau seorang Wali Allah yang diutus untuk menolong ulun.” balas Rasyid.

“Mungkin. Tapi yang jelas, itu artinya kamu adalah golongan orang-orang yang shaleh yang disayangi oleh Allah dan makhluk-makhluk-Nya…”

“Amin, Kiai…” Rasyid tersenyum.

Usai dengan cerita hidupnya yang pernah menghilang untuk beberapa lama, Rasyid dan Kiai terus bercakap berbagai macam topik hingga larut malam. Mereka membahas berbagai masalah pemahaman ummat yang sedikit keliru tentang berbagai hal. Tentang pesantren, bahkan sosial politik negeri ini. Kedua orang itu memang nampak sangat rujuk kalau sudah berdiskusi perihal masalah ummat Islam sekarang. Bahkan kadang kedua lelaki itu bisa lupa waktu.

312

Tak berapa lama, terdengar pintu ruangan Kiai diketuk. Seseorang masuk dengan balutan jilbab merahnya. Gadis yang tak asing lagi di matanya itu adalah putri Kiai Karim, Zahra. Tak berselang lama, seorang pemuda yang kemarin disebut Zahra sebagai “Abang Fajar” jua turut masuk. Rasyid dan Fajar nampak bersalaman. Fajar melemparkan senyumnya kepada Rasyid yang dibalas Rasyid dengan senyum hangat pula.

“Mas ini yang kemarin jualan beras itu kan?” sapa Fajar.

“Iya, Mas, nama ulun Rasyid.” sahut Rasyid.

“Ooo… Nama yang sangat bagus. Nama saya Fajar. Senang bisa berkenalan dengan anda…” balas Fajar.

Rasyid menampaki kedua muda-mudi yang baru masuk itu. Di matanya, kedua insan itu selalu nampak serasi. Timbul berlalu rasa iri di hatinya dan rasa sesal karena ia tak sempat meminang Zahra. Apalah upaya kalau bunga sudah dipetik orang.

Ketika masuk tadi, Zahra sempat berucap “Eh, ada Abang Rasyid rupanya…” Gadis itu nampak tersenyum. Tapi baginya, senyum gadis itu sudah hambar, tak ada rasanya sama sekali. Rasyid tak berucap apapun. Ia hanya membalas pula dengan senyum kecut bercampur sesal kecewa di hatinya.

“Abah, kita kapan pulang? Ini Zahra sudah ngantuk mau pulang. Kalau Abah masih lama, Zahra pulang duluan aja ya, sama Ummi dan Abang Fajar?” ucap Zahra kepada abahnya.

313

Entah karena alasan apa, rasanya hati Rasyid semakin pilu saat mendengar ucapan Zahra baru-san. Ia tak sanggup membayangkan bahwa rupanya mereka datang ke pesantren ini bersama Kiai dan Ummi Khadijah, ditambah Zahra dan Fajar, berempat dalam satu mobil. Benar-benar suasana keluarga yang harmonis dalam pelupuk angannya.

“Ini abah juga mau pulang…” sahut Kiai Karim.

“Syid, kami mau pulang dulu. Yang lain sepertinya sudah menunggu. Kita sambung lain waktu sajalah lagi, ya?” ucap Kiai kepada Rasyid.

“Inggih, Kiai. Ulun juga sudah mengantuk…” sahut Rasyid yang sempat terdiam beberapa saat.

“Kalau begitu ulun pamit duluan ya Kiai, Zahra, Mas Fajar?” Rasyid menoleh kepada semua orang yang ada di ruangan itu.

“Iya… Hati-hati ya, Syid?” jawab Kiai.

“Inggih, Kiai. Ulun duluan… Assala-mu’alaikum?” ucap Rasyid.

“Wa’alaikumsalam wr wb…” jawab Kiai, Zahra dan Fajar serentak.

Rasyid keluar ruangan dan cepat-cepat mengambil motornya meninggalkan kawasan pondok pesantren bersama ketidaksanggupannya melihat

314

keakraban yang timbul dari Zahra dan Fajar. Entah mengapa ia jadi begitu. Entah mengapa…

***

Dari tempat ini, bintang di langit sana nampak berkelap-kelip indah bak mutiara di lautan. Bintik-bintik embun perlahan mulai bermunculan di sekitar pohon-pohon akasia yang terkena sinaran lampu jalanan. Dinginnya Banjar di musim kemarau seperti ini tak menjadikan dirinya menggigil. Malah badannya masih terasa hangat berselimut cinta yang datang malam ini.

Benar-benar indah. Zahra. Kenapa gadis itu selalu ada dan masuk di benaknya? Sejak perte-muan di pesantren tadi, ia selalu saja terpikirkan puteri Kiai Karim itu. Jam sudah menunjukkan tepat pukul dua belas malam WITA. Tapi, rasanya matanya tak kunjung mengantuk. Ia tak bisa melelap karena pikirannya terbius khayalan kepada gadis muslimah yang cantik dan rupawan itu. Rasyid terus melamun merenung di pelataran, seraya membayangkan putri Kiai itu.

Tiba-tiba saja Rasyid kembali mendengar bisikan hatinya, “Astaghfirullahal’adziiim… Rasyid…

Rasyid… Apa lagi yang kamu lakukan?, Zahra itu sudah bersuami. Apa kamu tidak melihat waktu Zahra ke toko itu bersama seorang lelaki?”

315

Rasyid tersentak dan membuang jauh-jauh pikirannya dari Zahra. Entah mengapa ia merasa jika dirinya adalah orang yang paling tak beruntung di sepanjang ufuk jagad ini. Tak ada lagi rasanya orang yang bisa ia cintai. Setelah Amelia menikah lagi, dan terakhir Fatimah Az-Zahra yang telah berpinang dengan yang lain, rasanya tak ada lagi harapan akan cinta di hatinya.

“Aduhai malangnya nasibku ini…” hati kecil Rasyid mengeluh kesah. Baru kali ini ia mera-sakan benar-benar rasa pilunya mencuat dalam, hingga ia berkata demikian karena jatuhnya asa di hatinya.

Tiba-tiba, Paman Sulaiman berjalan mendekati Rasyid dari dalam rumah.

“Kenapa lagi kamu nih, Syid, kok terlihat memurung? Merajuk kah kamu nih?” tanya pamannya. Beliau lalu duduk tepat di sebelah Rasyid.

“Tidak Paman. Ulun cuma santai aja nih, sambil menatap bintang di langit, melihat-lihat malam. Soalnya hari ini ulun sangat letih. Tadi di pasar bukan main ramainya pembeli yang datang.” sahut Rasyid sambil terus menatapi kelip bintang di angkasa raya, mencoba menyembunyikan perasaan-nya.

“Kamu tak mendusta kan, Syid?” balas Paman Sulaiman seolah tahu perasaan keponakan-nya itu.

316

“Eh, tidak. Ulun cuma sepi, Paman…” balas Rasyid.

“Sepi tanpa pendamping hidup maksud-mu?” ucap pamannya.

Rasyid terdiam sesaat lamanya. Ia tak bisa lagi mengelak dari ucapan Paman Sulaiman. Ia meluapkan isi hatinya kepada Paman Sulaiman. Ia menceritakan apa yang selama ini ia alami begitu terasa berat baginya.

“Kadang ulun merenungi, apa yang salah pada diri ulun hingga harus mengalami kisah hidup yang pahit, sepahit ini. Tertimpa musibah kapal yang berbalik diterpa badai lautan. Istri ‘dah diambil orang. Dan terakhir, gadis yang ulun mulai jatuh hati padanya sudah bersuami pula. Rasanya tak ada lagi ada perempuan yang bisa ulun cintai, Paman…” Rasyid mengeluhkan perasaannya.

“Syid… Syid… Paman paham apa yang kau pikirkan. Kau teringat Amelia yang kini sudah dimiliki orang, bukan? Kau pasti merasa sepi. Kini kau inginkan orang lain di luar sana menjadi milikmu, sedang ia jua sudah ada empunya… Iya kan?” Rasyid hanya diam. Ia menoleh ke arah pamannya.

“Rasyid, masih ingatkah kau akan cerita Syarifah, putri tercinta Guru Besar tanah ini, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang dulu harus berpisah dengan suaminya demi ajaran Allah. Padahal, kala itu Syarifah sudah memiliki tiga orang buah hati

317

dari cintanya dengan Utsman. Syarifah menerima apa yang Allah telah gariskan kepadanya. Syarifah sadar bahwa Allah sedang bicara kepada-nya akan arti cinta yang hakiki.”

Rasyid terdiam haru. Ia benar-benar paham cerita yang pamannya bicarakan. Ia pernah mendengar cerita itu dari almarhum Kakek Ja’far.

“Kau masih belum cukup tulus menjalani ujian ini, Syid…” ucap Paman Sulaiman. Rasyid mulai menyeruaikan air mata mendengar sindiran Paman Sulaiman yang benar-benar mengena di hatinya.

“Kamu tahu, itu semua adalah ujian dari Allah, Syid?” tanya Paman Sulaiman tegas. Rasyid mengangguk tanpa suara.

“Kalau kamu tahu, harusnya kamu jua tahu bagaimana mestinya kamu bersikap…”

Rasyid tak lagi mengangguk dan tak pula menggelengkan kepalanya. Ia bingung dengan sikap yang semestinya ia lakukan. Ia tak ada kemantapan hati untuk menjawab ucapan dari Paman Sulaiman itu.

“Kamu harus tabah dan ikhlas, Anakku. Kamu harus menerima ditinggal pergi mereka semua. Harus ridha menerima ujian-ujian ini dengan lapang dada… Mungkin, Tuhan sengaja. Tuhan sengaja mengujimu dengan perasaanmu agar kamu sadar bahwa di alam jagad ini, siapa yang semestinya kamu cintai melebihi

318

cinta kepada apapun dan siapapun…” ucap Paman Sulaiman.

Rasyid semakin tak kuasa menahan haru air matanya yang menetes. Petuah dari Paman Sulaiman seketika menggetarkan hati Rasyid. Ucapan pamannya itu benar-benar menyadarkan-nya bahwa semua itu adalah ujian dari Allah yang tentu perihal jalan keluarnya pula berujung pada kehendak Allah.

“Kamu harus ikhlas dan sabar. Kamu harus tulus mengikhtiarkan setiap ujian ini, tanpa harus meminta timbal balik langsung di dunia ini. Karena Allah, pasti akan menjawab semua ikhtiarmu di akhirat kelak… Semoga kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yang sabar, Anakku… Bukankah demikian wasiat Kakek Ja’far yang kau cintai? Amalkan setiap ilmu yang sudah kamu raih… Amalkan, Anakku…” Paman Sulaiman mengakhiri petuahnya.

Hati kecil Rasyid kembali menyerta kata. “Benar, Syid… Ikhlas dan Sabar… Itulah kunci keislaman…”

Seketika Rasyid mencium tangan pamannya yang masih tak bergeming dari tempat duduknya. Paman Sulaiman telah menyadarkan dirinya tentang makna hidup dan segala ujian yang menimpanya. Semuanya atas izin Allah dan nantinya kembali lagi kepada Allah. Semuanya adalah untuk menjadi dasar, sampai batas mana keimanan seorang hamba, dan besarnya kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya.

319

Malam kian larut. Bintang dan rembulan yang menaungi i’tibar Rasyid dan Paman Sulaiman seolah tersenyum melihat kedua insan yang ber-sadar dalam zikir kepada Allah, Sang Penguasa Jagad, Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.

***

320

۞

Part 24

Dua Hati Satu Jiwa

Di sebuah rumah, di daerah Kayu Tangi, Kota Banjarmasin, perempuan muda itu masih tak bisa tidur hingga larut malam ini. Ia masih terjaga bersama diary biru kesayangannya di atas tempat tidurnya. Harapan-nya yang dulu pernah hilang kini telah kembali datang. Harapan dengan pemuda yang dulu dikiranya telah meninggalkan dunia untuk selamanya itu bertamu kembali. Perasaan di masa lalu itupun kini turut datang kembali.

Gadis itu tersenyum malu kala membayang-kan pertemuannya dengan pemuda itu di toko beras Pasar Martapura, tempat pemuda itu bekerja. Di matanya, pemuda itu benar-benar gigih dan ulet. Ia sangat menyukai tipikal pemuda yang demikian. Pemuda yang nampak tegar dan penuh tanggung jawab. Namun, tiba-

321

tiba saja perasaan ragu muncul mencuat dari lubuk hatinya. Entah mengapa hatinya berkata bila pemuda itu sudah menikah. Sangat masuk akal. Bukankah bisa saja pemuda itu bekerja untuk menghidupi keluarganya. Batinnya berucap.

Kegalauan di hatinya kini kembali datang. Rasanya ia ingin sekali menanyakan langsung kepada sang pemuda, tapi tak mungkin. Ia pasti akan merasa sangat malu jika itu ia lakukan. Karena dalam prinsip yang ia pegang, dirinya adalah seorang perempuan yang hanya bisa menunggu dan pantang bagi dirinya untuk memulai bercakap-cakap dengan seorang pemuda. Sampai saat ini, iapun masih memegang teguh prinsip itu.

Benaknya terus bertanya-tanya. “Abang Rasyid… Apakah engkau benar-benar sudah dengan yang lain?”

Angin malam kembali bertiup sendu menye-linap masuk ke dalam bilik putri Kiai itu. Di luar sana, nampak daun-daun akasia yang jatuh karena layu, menari-nari di pelupuk rindu hati seorang gadis bersama rayuan angin kemarau.

Tiba-tiba umminya mengetuk pintu kamar-nya dan masuk ke dalam.

“Idang…? Masih belum tidur kah?” ucap umminya memanjakan.

322

“Belum, Ummi…” Zahra nampak manja di hadapan umminya sambil memeluk boneka kesa-yangannya.

“Besok siang, ummi ingin mengajak kamu ke pesantren. Kata abah kepada ummi, ada yang ingin bertemu denganmu. Kali ini ummi harap kamu mau menerimanya. Abah jua berpesan demikian. Abah dan ummi tak ingin putri kesayangannya ini jadi bujang lapok. Selalu dan selalu saja menolak lamaran dari pemuda mana saja…” ucap umminya lembut.

“Ummi,,, yang namanya perasaan kan tak bisa dipungkiri?” Zahra berkelit.

“Iya, Sayaaang… Tapi, yang ini ummi yakin, kamu pasti suka. Soalnya pemuda itu jauh lebih baik daripada orang yang Zahra suka, si Abang Rasyid yang Zahra kenal di Malang…” Ummi Khadijah membelai kepala putri kesayangannya itu dengan penuh sayang.

Perkataan umminya barusan itu menja-dikannya tak bergirah. Sejatinya, walau bagaimana-pun bagusnya, ia tak ada rasa lagi dengan pemuda manapun. Rasanya hanya ada Rasyid di dalam hatinya. Tak perlu bertemu dengan pemuda pilihan umminya itupun, ia berani mengucap “Tidak”. Tapi, untuk formalitas dan menghargai keluarga yang melamar, ia mencoba mengiyakan permintaan umminya itu.

“Jadi, bagaimana? Ikut ya, ke pondok pesantren besok?” pinta umminya.

323

“Inggih, Ummi… Apa sih yang tidak buat Ummi tersayang…??!” jawab Zahra memanja.

“Baguslah kalau demikian…”

“Ummi… Abang Rasyid kemarin di dalam ruangan abah itu lagi ngapain?” tanya Zahra yang tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.

“Naaah… Ummi tak tahu itu, Idang… Kenapa kamu menanyakan tentang pemuda itu? Kamu masih menyimpan harap ya sama Abang Rasyid?” ucap umminya.

Zahra tersentak mendengar apa yang diucapkan oleh umminya itu barusan. Zahra mencoba membuang wajah salah tingkahnya.

“Kok Ummi berkata seperti itu?” balas Zahra yang berusaha menutupi perasaanya.

“Ummi ini orang tuamu, Sayaaang… Apa sih yang Ummi tidak tahu tentang perasaan yang kamu pendam selama ini kepada pemuda itu?”

Zahra terdiam. Ia sudah tak bisa lagi mengelak. Ia juga tak mungkin berbohong kepada umminya akan perasaannya itu. Ia bukanlah tipikal orang yang mudah untuk berdusta.

324

“Iya. Zahra memang suka sama Abang Rasyid. Tapi, Ummi janji ya jangan cerita sama abah. Zahra malu, Ummi…” wajah Zahra memelas manja.

Ummi Khadijah tersenyum, dan lalu mencium kening putri kesayangannya itu.

“Apa Abang Rasyid sudah menikah ya, Mi?” tanya Zahra polos.

“Ummi tidak tahu, Idaang… Tapi, setahu Ummi, dulu dia menikah dengan putri teman abah, almarhum H. Syamsuddin. Nama istri Abang Rasyid kalau tidak salah Amelia.” ucap Ummi Khadijah.

Sontak Zahra kaget dan teringat perihal pertemuannya dulu dengan gadis bernama Amelia itu di Bandara Juanda Surabaya kala akan berangkat pulang menuju Banjarmasin. Pantas saja Amelia bilang “lebih dari kenal” dengan pemuda bernama “Rasyid”. Rupanya mereka berdua sudah memiliki ikatan waktu itu.

Zahra terdiam. Itu artinya Rasyid memang sudah berkeluarga. Dan itu artinya pula, tak mungkin ia bersama pemuda yang dulu pernah menolongnya dalam sebuah insiden itu.

“Oh iya, kalau menurut ummi sendiri sih mungkin saja dia sudah menikah. Kan Idang bilang ke ummi kalau tempo lalu Idang ketemu Abang Rasyid di toko beras, di Pasar Martapura? Yaaa, menurut ummi

325

mungkin saja dia berdagang untuk menghidupi keluarganya.” Perkataan umminya semakin membuat kecewa hatinya.

Batinnya berujar, “Mungkin benar kata Ummi. Akupun merasa memang seperti itu. Abang Rasyid bekerja untuk keluarganya.”

“Jangan terlalu mengingat Abang Rasyid terus Zahra… Siapkan dirimu untuk besok saja… Jadi, sekarang kamu istirahat dulu, biar besok kamu terlihat segar… ” bisik umminya.

“Tapi, Ummi, Zahra masih penasaran dengan Abang Rasyid yang hingga sekarang masih hidup… Ummi tau, ceritanya?” tanya Zahra.

“Tauu laah…” balas umminya dengan nada yang membuat penasaran.

“Trus? Gimana ceritanya…?” tanya Zahra.

“Nanti saja ummi ceritakan… Soalnya cerita-nya panjang… Sekarang tidur dulu ya, Sayang…?” pinta umminya sambil kembali mengecup kening Zahra dengan lembut.

“Ya sudah, lagian Zahra sudah ngantuk… Tapi, Ummi janji ya akan menceritakannya…?” pinta Zahra masih penasaran.

326

“Insya Allah…” sahut umminya seraya beranjak dari kamarnya dan mematikan lampu kamar Zahra, lalu menggantinya dengan lampu remang-remang kesukaan Zahra.

“Abang Rasyid… Mungkin sudah takdirku tak berjodoh...” lirih Zahra sembari menutup matanya.

***

“Jadi, Kiai Karim itu meminta ulun126 untuk mengurus tambak beliau… Ulun jadi bingung antara menerima tawaran Ummi Zulfa dan Kiai Karim, Cil?” ucap Rasyid seraya menyusun karung-karung beras yang baru saja datang pagi ini di toko acil-nya.

“Yang kamu bingungkan tu apa, Tong127…?” sahut acil-nya.

“Yaaa… Kalau menurut Acil, yang mana yang harus ulun terima? Ulun masih tak yakin dengan Ummi Zulfa. Soalnya Acil tau sendiri kan, antara ulun dan keluarga saudagar kaya itu punya sejarah silam yang kurang mengenakkan… Sedangkan Kiai Karim, ulun merasa berat untuk menolaknya. Tapi, ulun jua merasa tak pantas untuk mengelolanya. Kenapa tidak sama

126 Saya (Bahasa Banjar halus) 127 Nak = anakku

327

orang yang lebih berpengalaman dari ulun saja?” Rasyid menjelaskan kepada acil-nya.

“Kamu itu terlalu mendramatisir kisah masa silammu, Tong… Toh, padahal mereka sudah melupakannya. Kamunya saja yang merasa tak enak seperti itu. Jangan su’udzon… Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. Kalau sama Kiai Karim, kalau beliau memintamu, itu artinya beliau mempercayaimu sepenuhnya… Kamu kok malah bingung dipercaya sama orang?” balas acil-nya yang terlihat sibuk menakar beberapa beras ke dalam karung.

“Iya juga sih, Cil… Tapi, kalau menurut Acil, gimana baiknya?” Rasyid kembali bertanya.

“Kamu shalat Istikharah saja dulu. Minta petunjuk sama Allah Swt… Mudahan diberikan petunjuk, mana jalan yang lebih bijaksana…” jawab acil-nya bijak.

“Benar tu, Bang, apa kata Acil Jamar. Serahkan semuanya kepada Allah…” sahut Iwan yang ikut mendengarkan percakapan Rasyid dan Acil Jamar. Rasyid dan Acil Jamar nampak tersenyum, mendengar ucapan Iwan.

“Benar kata Acil Jamar dan Iwan… Aku harus minta petunjuk kepada Allah…” pikirnya.

Rasyid, Acil Jamar, dan Iwan kembali melanjutkan pekerjaan. Hari ini Pasar Martapura

328

nampak tak seramai hari Ahad. Tapi, syukurlah, selalu ada pembeli yang berkunjung ke toko. Allah memang senang dengan hamba-Nya yang berusaha, hingga ketetapan rizkinya senantiasa dilimpahkan bagi hamba-Nya yang berikhtiar.

“Hari ini panas sekali kayaknya, Cil lah?” Rasyid berbasa-basi.

“Iya, baru pagi aja sudah cerah sekali matahari. Oh iya, tadi sebelum kamu datang, ada seorang perempuan yang mengaku santriwati Kiai Karim ke sini. Ia menyampaikan pesan. Katanya kamu diminta datang ke pondok putra siang ini. Habis Dzuhur.” ucap Acil Jamar.

Ia diam dan berpikir sejenak. “Ada apa lagi, Kiai memintaku ke pondok? Apa beliau minta jawaban atas tawaran tempo lalu? Secepat ini kah beliau meminta jawaban dariku?” tanya Rasyid dalam hati.

“Habis Dzuhur ya? Trus, Acil bagaimana?”

“Kan ada Iwan, kamu temui saja Kiai Karim itu… Siapa tahu penting sekali hingga beliau mengutus santriwatinya ke sini… Atau mungkin tentang tawaran itu, Syid…” balas acil-nya.

“Iya, Bang… Kalau masalah toko dan Acil, serahkan saja sama Iwan.” sahut Iwan sambil menepukkan tangan ke dadanya. Rasyid tersenyum

329

mendengar ucapan orang Banjar Muara yang tak sempurna mengucapkan huruf “R” itu.

“Kalau begitu… Insya Allah ulun datang, Cil…” balas Rasyid.

***

Matahari nampak begitu cerah menyinari Kota Martapura siang ini. Tepat sehabis shalat Dzuhur di Masjid Al-Karamah, Rasyid langsung meluncur menuju Pondok Pesantren Putera Darul Hijrah. Ia mengambil jalan pintas lewat perkampu-ngan Sungai Sipai. Dan kurang lebih tiga puluh menit dari toko, ia sudah sampai di Pondok Putra Darul Hijrah.

Di matanya, Pondok Pesantren Darul Hijrah itu kian menjadi terasa asing baginya. Sekarang, pondok putera itu nampak semakin banyak sekali berubah. Kawasan yang dulunya adalah lahan kosong dan hanya semak belukar, kini berubah menjadi bangunan-bangunan dan kelas-kelas, tempat para santri belajar. Jauh sangat berbeda saat Reuni Akbar yang pernah digelar dulu, sewaktu dirinya diperkenalkan di depan khalayak undangan tamu.

“Rasyid…?”

Seseorang memanggil namanya. Rasyid menoleh ke arah suara itu berasal. Ternyata itu Kiai Karim yang

330

sedang berdiri di depan teras kantor pondok. Rasyid mendekati Kiai Karim seraya menghaturkan salam kepada Kiai dan mencium tangan beliau.

“Wa’alaikumsalam… Sudah lama kamu datangnya?” sambut Kiai Karim.

“Barusan ulun datang, Kiai. Mmm… Ada apa ya Kiai meminta ulun datang ke pondok ini?” Rasyid masih dengan tanda tanya besar di kepalanya, kenapa ia dipanggil ke pondok pesan-tren siang ini.

“Kita ngobrol di dalam aja, ya?” ajak Kiai.

“Baik, Kiai…” sahut Rasyid. Mereka berdua masuk ke dalam kantor Kiai Karim.

Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara pintu ruang Kiai Karim diketuk dari luar, diiringi ucapan salam.

“Assalamu’alaikum…?”

Sepertinya itu suara perempuan. Rasyid sempat heran, kenapa ada perempuan di pondok santri putra? Sebab, di pondok putera terdapat aturan yang tidak memperkenankan santriwati untuk datang berkunjung, begitu pula sebaliknya.

“Wa’alaikumsalam… Masuk, pintunya tidak dikunci.” sahut Kiai dari dalam.

331

Rasyid bertambah heran, “Kenapa Kiai mempersilakan perempuan masuk ke dalam ruang khususnya”

Perlahan, dari balik pintu ruang Kiai, nampak berjalan masuk perempuan setengah baya. Ternyata Ummi Khadijah, istri Kiai.

“Sudah ada di sini ya?” tanya Ummi Khadijah, seraya menatap ke arah Rasyid. Ia merasa sepertinya itu pertanyaan untuknya.

“Inggih, Ummi…” sahut Rasyid sambil menghaturkan senyum kepada istri Kiai itu.

“Sebenarnya maksud utama kamu aku minta ke sini, bukan untuk membicarakan masalah tawaranku tempo lalu, yang tentang tambak ikan itu. Melainkan janjimu yang masih belum kau penuhi…” Kiai membuka wacananya.

Dahi Rasyid mengernyit dengan sendirinya. Ia merasa semua janjinya kepada Kiai Karim sudah ia penuhi.

“Janji??? Perihal apa lagi, Kiai??? Tempo lalu kan ulun sudah memenuhi dua janji dari Kiai. Pertama, janji untuk datang dalam acara peringatan Maulid, dan yang kedua, janji bercerita tentang peristiwa kecelakaan kapal itu kan, Kiai?” jawab Rasyid.

332

“Bukan yang itu, Nak Rasyid.” sahut Ummi Khadijah.

“Lalu tentang apa, Ummi?” tanya Rasyid, wajahnya nampak sangat penasaran.

“Kamu sudah lupa, ya?” ucap Kiai.

“Lupa??? Perihal apa itu, Kiai?” Kiai Karim semakin menjadikannya bingung bertanya-tanya.

“Dulu, waktu kamu masih di pondok ini, saat akan berangkat ke Hadramaut untuk menuntut ilmu, masih ingatkah kamu ketika aku pernah memintamu untuk mengkhitbah puteriku?” tanya Kiai.

Rasyid terdiam. Ia bahkan sudah melupakan permintaan Kiai Karim itu. Ya, ia memang pernah diminta Kiai Karim untuk menikah dengan putri Kiai Karim, Maryam, sebelum berangkat ke Hadramaut. Ia bahkan sudah tak ingat lagi. Jika memang Kiai masih menginginkannya, apa itu mungkin? Bukankan setahunya Maryam kini sudah bersuami?

“Bukankah Maryam putri Kiai itu sudah menikah, Kiai?” tanya Rasyid meyakinkan.

“Dan bukankah Kiai jua tahu, ulun jua dulu sudah menikah dengan putri almarhum Haji Syamsuddin, Amelia, teman Kiai sendiri?” Rasyid melanjutkan ucapannya.

333

“Iya, Syid, aku mengerti maksudmu. Tapi, aku tahu sekarang kau tak lagi beristri Amelia. Bukan begitu?” ucap Kiai seolah tahu segalanya. Rasyid terdiam dengan berjuta tanda tanya.

“Dari mana Kiai tahu semuanya?” gumamnya.

Belum sempat ia menanyakan, Kiai Karim menjelaskan lebih dulu kepada Rasyid.

“Aku tahu karena aku yang menikahkan Amelia dengan pemuda bernama Mujahid ketika kamu menghilang dan dikira meninggal oleh semua orang. Maaf Syid, bukan aku bermaksud menying-gung masa lalumu…” ucap Kiai.

“Inggih, Kiai. Tak apa. Tapi, maksud Kiai tentang janji ulun itu, apa ya, Kiai?” tanya Rasyid.

“Nah, maksudku memintamu ke sini bukan untuk memintamu menikahi Maryam.” Kiai melanjutkan wacananya.

“Lantas apa, Kiai?” tanya Rasyid bingung.

“Sekarang sudah hampir mendekati tiga tahun lamanya waktu berjalan sejak hari itu, hari dimana terjadi sebuah insiden di Malang yang membuat gadis itu begitu terkagum dengan sosok pemuda yang pernah menolongnya dengan penuh keikhlasan. Dan sekira kamu tahu, gadis itu masih memegang pendiriannya dengan istiqomah hingga sekarang. Bahkan ketika

334

banyak pinangan orang lain datang kepadanya, ia tetap menjaga perasaan-nya.”

Rasyid mengerti apa yang Kiai Karim maksud. Itu adalah cerita saat ia bertemu dengan Zahra di Malang, di sebuah insiden yang terjadi tepat di depan Universitas Brawijaya Malang.

“Jadi, maksud, Kiai?” tanya Rasyid setengah ragu, mencoba meyakinkan.

“Gadis itu masih istiqomah menunggumu. Menunggu untuk engkau datang kepadanya sebagaimana permintaan yang aku lontarkan dulu. Memang sudah tak bisa kau menikahi Maryam karena ia sudah bersuami. Akan tetapi, aku ingin menjadikanmu suami dari putriku yang lain, yaitu Zahra.

“Tahukah kamu Rasyid, bahwa siang malam gadis itu selalu memikirkanmu. Ia menangis kala mendengar dirimu sudah tiada ditelan samudera. Ia bersimpuh dan berdo’a demi kesucian hatinya.” ucap Kiai.

Rasyid terdiam. Ia bingung dengan ke-inginan Kiai. Di pikirannya, “Bukankah Zahra sudah berempu dengan pemuda yang ia sebut ‘Abang Fajar’, yang tempo lalu bertemu dengannya di toko beras Acil Jamar?”

335

“Bukannya Zahra sudah menikah, Kiai?” Rasyid meyakinkan dugaannya.

“Menikah?” Kiai nampak kaget.

“Sejak kapan kamu tahu Zahra menikah? Dengan siapa pula?” tanya Kiai yang berbalik bingung.

Rasyid jadi semakin tidak mengerti dengan maksud ucapan Kiai yang justru menanyainya balik.

“Inggih, Kiai. Bukannya Zahra sudah menikah dengan orang yang disebut Zahra ‘Abang Fajar’? Laki-laki yang ulun lihat bersama Kiai dan Zahra di toko beras tempo lalu?” ucap Rasyid meminta penjelasan.

“Fajar??? Hehehe…” Kiai Karim dan Ummi Khadijah tiba-tiba tertawa berbarengan. Rasyid semakin bingung.

“Rasyid… Rasyid… Dia itu bukan suami Zahra, Syid… Dia itu keponakanku, kakak sepupunya Zahra. Anak dari kakakku yang berdiam di Bogor. Kebetulan dia sedang berkunjung ke sini. Dia itu sedang mengadakan penelitian tentang tesis

studi S2-nya di Universitas yang ada di Riyadh… Jadi, kamu pikir dia itu suaminya Zahra?” tanya Kiai Karim. Dari balik mulut Kiai terurai tawa tak menyangka.

336

“Ja… Jadi… Bukan suami Zahra, Kiai…?” Rasyid meyakinkan sangkaannya. Ia pula menoleh kepada Ummi Khadijah.

Kiai Karim nampak mengangguk sambil tersenyum, beriring Ummi Khadijah.

“Dia itu sepupu Zahra sejak kecil. Kebetulan mereka berdua sama-sama dibesarkan di pesantren uwa128-nya Zahra, ummi dari Fajar itu di Bogor.” sahut Ummi Khadijah, seraya masih menuai senyum.

“Ulun pikir Fajar itu suaminya, Kiai… Sebab, ulun lihat mereka berdua nampak sangat akrab.” ucap Rasyid salah tingkah.

“Maklumlah akrab… Mereka berdua kan bersepupu dekat, dan sudah lama tak bejumpa.” jawab Kiai.

Entah mengapa tiba-tiba saja perasaan senang tak terkira menyusup masuk ke relung hati Rasyid.

“Itu artinya, Zahra masih sendiri dan belum menikah dengan siapapun…” ucapnya dalam hati.

Kiai Karim dan Ummi Khadijah nampak tersenyum mendengar perkataan dan ekspresi wajah Rasyid.

128 Kakak dari orang tua

337

“Jadi, bagaimana dengan kamu sendiri?”. ucap Kiai.

“Ulun…? Maksud Kiai…?” Rasyid balik menanya. Ia sudah lupa dengan pembicaraannya bersama Kiai Karim barusan.

“Yang tadi kita bicarakan lho, masa kamu sudah lupa, Syid? Masih tentang janjimu untuk menjawab permintaanku itu… Maukah tidak kamu nih, aku jodohkan dengan putriku itu, Zahra?”

Rasyid terdiam dan tersipu malu kepada Kiai Karim, juga Ummi Khadijah yang saat ini duduk di hadapannya.

Ummi Khadijah keluar dari ruangan. Rupanya beliau tak ingin mengganggu pembicaraan yang mulai serius antara sesama lelaki itu.

Rasyid jadi mandam terdiam. Namun, di balik hatinya, siapa tahu kalau betapa ia sangat gembira. Rupanya Kiai Karim masih mengingat janji itu, janji meminta dirinya melamar Maryam.

“Kiai yakin dengan ulun?” Rasyid mulai kembali berucap. Ia merasa mulai gugup.

“Bukan aku yang yakin dengan kamu, Syid… Tapi, perempuan yang sedang duduk di luar itulah yang sangat yakin kepada dirimu untuk menjadi pembimbing hidupnya.” jawab Kiai.

338

Rasyid terkaget mendengar perkataan Kiai Karim. “Zahra ada di luar?” gumamnya dalam hati.

Rasyid lekas beranjak dari duduknya, keluar dari ruangan Kiai.

“Permisi sebentar, Kiai…” ucap Rasyid dengan tergesa-gesa. Rasyid langsung membuka pintu, melihat siapa gerangan yang sedang duduk menunggu di pelataran luar ruangan Kiai Karim.

“Tidak ada, Kiai.” ucap Rasyid, wajahnya sedikit kecewa.

Kiai Karim mendekati Rasyid sembari menepuk bahu sebelah kanannya. “Kamu ini, Syid… Diisyaratkan ada Zahra di luar saja langsung meloncat kamu… Tak sopan itu, Syid…” canda Kiai Karim sambil tersenyum.

“Maaf, Kiai… Ulun terlalu bersemangat…” sahut Rasyid. Wajahnya memerah karena menyim-pan berjuta rasa malu.

“Itu siapa? Yang ada di teras depan masjid?” Kiai menunjuk ke arah seberang, ke depan masjid pesantren.

Rasyid melayangkan pandangan matanya ke arah tunjukkan tangan Kiai, tepat ke masjid pondok pesantren yang berada di seberang ruangan Kiai.

339

Dari pelataran ruang Kiai itu, ia dapat menampaki empat orang perempuan yang sedang duduk sambil bercanda di teras masjid. Ia kenal benar keempat perempuan itu. Itu Zahra ditemani Ummi Khadijah, dan kakaknya, Maryam, beserta seorang anak perempuan yang berpangku di asuhan Zahra, Keyla, putri Maryam.

Rasyid menatap jauh ke arah Zahra yang ada di seberang sana. Dari seberang sana, Zahra juga nampak melihat jauh ke arah Rasyid. Di matanya, gadis itu selalu terlihat anggun. Dari tempatnya berdiri, Rasyid bisa melihat Zahra yang tengah tersenyum kepada dirinya. Perasaan Rasyid segera mencuat, melayang, terbang mengudara bersama sipaan angin harum yang membawanya.

Ia menatap ke arah Kiai dengan wajah penuh kebahagiaan, seraya meraih tangan Kiai Karim dan menciumnya.

“’Geh, Kiai… Ulun bersedia menikah dengan putri Kiai, Fatimah Az-Zahra… Ulun bersedia, Kiai… Alhamdulillah…” ucap Rasyid kegirangan. Tanpa sadar bening matanya keluar begitu saja menahan keharuannya.

“Alhamdulillah, kalau begitu. Besok malam kita bicarakan lebih lanjut di rumahku. Sekalian kamu aku undang untuk memperingati Maulid Baginda Rasul, sehabis shalat Isya. Masih ingatkan rumahku, Syid?”

340

ucap Kiai Karim menatap bahagia begitu melihat kebahagian yang mencuat dari wajah Rasyid.

“’Geh, Kiai. Insya Allah masih ingat, Kiai.” Rasyid lagsung bersujud sebagai rasa syukurnya atas do’a yang ia panjatkan selama ini. Allah benar-benar mendengar dan mengabulkan pengaduannya selama ini.

Sementara itu di seberang sana, tepat di depan masjid pondok, Zahra masih tak percaya dengan sosok yang ia lihat bersama abahnya di seberang sana. Ia masih ingat tadi malam umminya bergelut bahwa pemuda yang akan dipertemukan kepadanya dan ingin melamarnya itu lebih baik daripada Rasyid. Tapi, kenapa sosok yang keluar itu adalah Rasyid. Benaknya terus berputar menanya-kan kebenaran itu.

“Ummi…? Itu orangnya? Yang kata Ummi ingin melamar Zahra?” tanya Zahra meyakinkan dugaannya.

“Iya, Idang… Gimana pilihan ummi? Sudah ummi bilang kan, kamu pasti suka… Orangnya lebih baik daripada Rasyid yang kamu kenal di Malang. Karena, pemuda yang ini bukan Rasyid Malang, tapi, Rasyid Banjar…” balas umminya seraya tersenyum bersama Maryam.

“Ummi jahat… Ummi bohong sama Zahra…” ucap Zahra seraya mencubit pergelangan tangan umminya dengan manja.

341

“Ummi sengaja… Itu ide kakakmu sama ummi…” sahut umminya.

“Iiih… Semuanya sama, sekongkol bohongin Zahra…” Wajah Zahra memerah, merekah semakin manja.

“Tapi, suka kan?” sahut kakaknya, Maryam. Wajah Zahra kembali tersipu merona merah jambu.

Ia segera memeluk umminya melampiaskan kebahagiaannya. Ia segera menghatur sujud meng-ekspresikan rasa syukurnya di masjid pondok. Ia begitu bergembira, karena do’a yang ia simpan selama ini, do’a yang ia istiqomah-kan selama ini benar-benar dijawab oleh Allah Swt. Subhanallah…

***

Malam ini benar-benar malam yang membahagiakan hatinya. Rasanya seluruh alam menyampaikan salam rindu dari Zahra untuknya. Sejak tadi, Rasyid terus mengkhayal di depan teras rumah Acil Jamar. Acil-nyapun dibuat bingung melihat tingkah keponakannya itu.

342

“Tong129, sedang apa kamu senyam-senyum sendiri di sana? Kamu kesambet ya?” tanya acil-nya dengan penuh keheranan.

“Tak lah, Cil, lagi senang saja… Soalnya Rasyid lagi dapat anugerah yang tak ternilai dari Allah SWT.” jawab Rasyid. Tatapannya terpaku kepada keindahan bintang dan bulan sabit yang terlukis di langit Banjar.

“Dapat rejeki kamu? Kalau gitu kamu harus bersyukur, Syid.” balas acil-nya.

“Iya, Cil. Makanya Rasyid sekarang sedang asyik menatap langit, menyimak kebesaran Allah, bertafakur kepada Tuhan semesta alam.” jawab Rasyid mempujangga.

“Ah kamu itu, laganya kaya penyair saja… Kamu lagi jatuh cinta ya, Syid?” tanya acil-nya sambil tersenyum.

Rasyid tersenyum. Pandangannya masih tak lepas dengan bintang yang berkelap-kelip di atas langit, ditemani bulan sabit sang Dewi malam. Rasanya ia benar-benar sudah dimabuk kepayang oleh cinta.

“Tidak jatuh cinta, Cil… Tapi, cinta yang datang menghampiri ulun.” jawab Rasyid yang nampak masih melayang bersama angan titan-nya.

129 Nak = anakku

343

Acil-nya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Aci-lnya itu kembali masuk ke dalam rumah.

“Dasar anak muda…” ucapnya sambil terus tersenyum melihat polah keponakannya itu.

Rasyid kembali teringat saat pertemuan pertamanya dengan gadis itu, saat Zahra terserempet mobil dan lalu pingsan, dan ia yang mengantarkannya ke Rumah Sakit.

Sementara di kejauhan sana, Zahra memba-

ringkan dirinya di atas tempat tidurnya sambil memeluk diary biru muda kesayangannya. Bahagia benar hari ini dirinya. Ingin sekali rasanya ia berteriak memberitahukan kepada seluruh alam bahwa dirinya akan menikah dengan pemuda yang dicintai dan diinginkannya. Pemuda yang selama ini mengisi relung hatinya.

Malam itu, hati kedua insan yang terpisah sebab jarak dan ruang itu seolah menyatu. Hati mereka sama-sama tak sabar lagi untuk menjalin tali pernikahan. Apalagi sudah lama sekali Zahra tak bertemu Rasyid, begitu pula Rasyid. Patah hati pemuda itu kini terobati sudah. Sebab, ia akan menikah dengan gadis yang sangat ia cintai saat ini, gadis dari putri Kiai Karim, Fatimah Az-Zahra.

344

***

345

۞ Part 25

Langit Burniau

Jingga keemasan itu begitu memukau hatinya di Subuh yang syahdu ini. Dari sini, dari dekat pintu gerbang Masjid Al-Karamah, matahari nampak kian di masa-masa indahnya. Dari sini ia bisa menyaksikan terpaan binar cahaya yang bergerak naik beriring rangkakan empunya di ufuk timur sana. Benderang, mengilhami ruh para pejuang sabilillah di pagi kota para ‘Ulama, Martapura.

Batinnya serasa berangan seandainya gadis yang akan menikah dengannya hari ini jua shalat di Masjid Kota Berintan ini. Seusai shalat Subuh tadi, ia sengaja keluar lebih awal dari jama’ah lain. Memang, dari awal ia berniat hati untuk menampaki pemandangan ini, pemandangan yang mampu menerangi hatinya, berselimut embun pagi yang lemah gemulai, lembut, menyerebak ke pangkuannya.

346

Pemuda itu terus saja berdiam diri seraya mengucap kalimah zikir di bibirnya. Dipandangi-nya jauh-jauh ke ujung menara masjid. Langit yang tadinya kelam, kini kian bersilih menjadi terang. Bintang-bintang nampak sudah mulai pulang. Malu karena sinarnya dikalahkan cahaya sang surya pagi. Hanya ada satu bintang yang masih tertinggal di ufuk. Mungkin itulah kiranya yang sering dibilang Kakek Ja’far sebagai malaikat Subuh.

Kakek Ja’far pernah bercerita kepadanya tentang bintang nan jauh itu. “Setiap hari, selalu ada malaikat yang diperintahkan Allah memantau gerak-gerik manusia di Subuh hari. Maka dari itu, jika kamu ingin beruntung, bangunlah di sepertiga malam, dan beribadahlah hingga dhuha. Setelah itu turunilah pekerjaanmu. Insya Allah Allah yang Maha Pemurah akan mengasihimu.”

Tapi, setelah ia dewasa, paham itu sudah berubah. Ia lebih sering mendengar bahwa yang dimaksud Kakek Ja’far malaikat Subuh itu adalah bintang yang sering disebut para ilmuwan dengan bintang kejora. Atau pula ada jua yang mengatakan bahwa itu planet Mars yang paling dekat dengan bumi. Entahlah, yang mana yang haq, ia tak begitu mementingkannya. Tapi, mungkin ia lebih percaya kata-kata Kakek Ja’far. Kata-kata dari kakek tercintanya itu bukanlah kata-kata berbuang belaka. Kata-kata beliau itu mengandung makna bahwa, “Manusia hendaknya mengawali harinya dengan mengingat

347

Allah, dan berikhtiar di bumi Allah dengan gigih seraya selalu mengingat-Nya pula.”.

Mungkin kata-kata Kakek Ja’far sama dengan istilah orang Jawa, “Bangun mesti cepat-cepat. Jangan sampai kesiangan, nanti rezeki kita dipatok ayam…”

Rasyid tersenyum sendiri mengenang masa lalunya.

“Hari ini, ulun130 bakal menikah lagi, Kek… Menikah dengan seorang gadis yang ulun cintai, dan ia pula mencintai ulun. Gadis yang Insya Allah shalehah. Mudah-mudahan Kakek di alam sana merestui langkah yang ulun ambil ini.” lirihnya dalam hati.

***

130 Saya (Bahasa Banjar halus)

348

Ukiran Kehidupan

Cinta…

Apa itu Cinta…?

Sebuah kata yang mudah diucap, tapi sulit untuk

digambarkan,…

Hanya mereka yang jatuh Cinta, yang bisa merasakan

begitu dahsyatnya Cinta…

***

Dinginnya udara malam ini membuatku menggigil. Musim kemarau di kampung memang begitu dingin jika dibandingkan di kota. Di sini, di kampung nenek, kehidupan terasa sangat jauh berbeda dengan kehidupan di Jakarta yang penuh dengan hiruk pikuk mobilitas metropolitan. Malah bagiku, ini mengalahkan dinginnya suasana di puncak Bogor atau di kota Batu Malang.

349

Aroma padi yang menguning diterpa angin sepoi malam ini terasa semakin menambah nuansa kelam desa menjadi begitu lekat. Apalagi jangkrik di semak taman samping rumah nenek terdengar tak bosannya untuk bernyanyi.

“Apakah yang mereka katakan? Apa yang mereka sampaikan? Entahlah… Yang jelas, semua itu benar-benar mejadikan jiwaku yang lelah bercampur penat ini menjadi sedikit lebih tenang. Hening dan kelam. Larut bersama rayuan-rayuan siulan merdu irama mereka. Irama alam yang dianugerahkan Tuhan bagi manusia yang memikir-kan tentang penciptaan alam jagad raya ini. Tasbih alam yang hanya dimengerti segelintir orang. Hanya mereka yang bertafakurlah yang senantiasa bisa merasakan keberadaan Tuhannya, tanpa harus melihatnya.” Itulah selalu yang Rasyid ucapkan kepadaku.

Mungkin, karena udara dingin ini badanku jadi terasa sedikit panas, meriang. Mungkin aku mulai terkena pengaruh dari masuk angin akibat berkendara di malam hari. Hidungku rasanya sedikit flu. Benar-benar tak enak.

“Kamu kedinginan di jalanan tadi ya, Cucuku?” ucap nenek yang muncul seketika dari belakang tanpa sepengetahuanku. Aku hampir saja menjatuhkan hand phone di tanganku karena kaget.

350

“Iya, Nek… Badan ulun131 terasa sedikit panas dan hidung ulun sedikit tersumbat. Mungkin lagi kena flu.” balasku memeluk diriku sendiri.

“Ini barusan nenek buatkan jahe untuk-mu…” Beliau menyerahkan secangkir wedang jahe hangat kesukaanku.

“Makasih, Nek…” jawabku menyambut wedang jahe hangat yang tersaji di cangkir itu.

“Bagaimana tulisanmu itu, Cucuku? Sudah selesai kah?” tanya nenek lagi.

“Sedikit lagi, Nek. Tinggal menulis bagian akhirnya saja.”

Aku menyeruput jahe yang masih panas yang baru saja disuguhkan nenek. Segar betul rasanya. Badanku jadi terasa lebih hangat dan nyaman. Rupanya nenek paham benar minuman kesukaanku.

“Kamu ini jauh-jauh kuliah mendalami Ekonomi Islam sampai ke Jakarta dan Riyadh, kok malah sibuk jadi penulis…???” Suara nenekku itu terdengar sedikit serak. Maklum, mungkin karena beliau sudah sangat udzhur.

131 Saya (Bahasa Banjar halus)

351

“Ya, cuma mengisi waktu luang, Nek. Sementara ulun tak ada kerjaan di Banjar… Masalahnya, kisah perjalanan hidup orang yang ulun tulis ini begitu mengesankan ulun, Nek…” jawabku dan kembali menyeruput wedang jahe buatan Nenek. Kesegarannya kian terasa menyentuh tenggorokan dan menghangatkan badan.

“Terserah kamu lah… Tapi, nanti kalau sudah selesai, Nenek ingin kamu menceritakannya kepada nenek ya, Cucuku?”ucap nenek.

“Insya Allah, Nek… Sepertinya malam sudah larut. Nenek sebaiknya tidur aja duluan. Ulun biar belakangan… Soalnya masih mau menyelesaikan tulisan ini…?” balasku tersenyum.

“Iya… Tapi, jangan begadang lagi kamu, ya? Apalagi kamu kelihatan tidak begitu sehat.” sahut nenek.

“Inggih, Nenek ulun yang ulun sayaaang… Nenek juga harus jaga kesehatan Nenek…” balasku.

Beliau tak menjawab lagi. Hanya memeluk badannya dengan sedekap tangan beliau sendiri, lalu tersenyum kepadaku dan kemudian berjalan meninggalkanku sendiri bersama laptop yang ikut duduk sejak tadi bersamaku. Kerutan di wajah nenek begitu nampak di mataku yang mengantuk ini. Kerutan di wajahnya itu adalah bukti prasasti hidup yang terukir meng-gambarkan perjuangan beliau yang begitu

352

besar dalam membesarkan aku yang tergolong anak nakal ini.

Memang semenjak kakek meninggal, beliau nampak menjadi sedikit lebih pendiam. Tatapan matanya kadang terlihat kosong tanpa makna. Aku hanya bisa mendo’akan semoga beliau senantiasa di-ridhai oleh Allah SWT. Kupikir, hanya itu yang bisa aku lakukan. Sebab, untuk membalas semua kebaikan beliau semenjak aku kecil hingga sekarang, aku tak akan pernah bisa, dan tak akan pernah bisa.

Roda hidup kian berputar. Delapan belas tahun telah berlalu semenjak pernikahan Rasyid dan Zahra. Sejak hari itu, tak ada kejadian besar yang terjadi pada diri Rasyid. Yang ada hanya lekang zaman yang sudah melupakan setiap detik dari ukiran kisah hidup yang pernah dipahatkannya dengan tinta kesabaran.

Kini Rasyid sudah menemukan kesuksesan-nya. Sekarang ia tinggal di salah satu perumahan di Banjarbaru bersama istri tercintanya, Zahra, dan bersama empat orang buah hati yang ia cintai. Zulkarnain, Siti Rahmah, Muhammad Mujahidin Baihaqi, dan terakhir Nurul Rizky Amelia.

Setelah menjadi manajer tambak Kiai Karim, ia mulai memiliki banyak relasi bisnis. Sekarang ia pula menjadi penggerak bisnis-bisnis yang ditinggal meninggal oleh H. Syamsuddin, bekerja sama dengan Mujahid yang pula menjalankan bisnis ummi mertuanya, Ummi Zulfa, di kota Gudeg, Yogya-karta.

353

Semakin tahun, aku lihat kepesatan bisnis-nya itu kian mencuat. Dan sekarang ku dengar Rasyid mulai mencoba untuk terjun ke bisnis lain, bisnis intan, meubel, dan bisnis kue tradisional. Pengetahuan yang ia dapat ketika duduk di bangku kuliah dulu benar-benar menjadi bekal yang sangat berguna untuk mengarungi hidupnya.

Dan akhirnya, sekarang ia lebih terkenal dengan pengusaha sukses ketimbang sebagai guru di Pondok Pesantren Darul Hijrah. Namun, aku perhatikan demikian telitinya, rupanya ia pula masih meluangkan waktunya untuk mengajar para santri di Pesantren Darul Hijrah. Wabil khusus perihal kewirausahaan dan pelajaran motivasi. Sekarang ia jua menjadi ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) pondok pesantren modern itu. Ia benar-benar bisa memetik hasil yang telah ia usahakan selama ini.

Tiba-tiba saja pikiranku terbang, teringat saat tiga jam yang lalu aku berkunjung ke rumah Rasyid, bertamu ke kediaman keluarga yang kini nampak begitu harmonis itu. Percakapan keluarga itu seolah tak bisa terhapus dari memori ingatanku.

“Zulkarnain…? Barang-barangmu sudah siap semua? Besok apa sudah siap berangkat ke Solo?” ucap Zahra, sembari mengingatkan anaknya Zulkarnain yang akan berangkat ke Solo. Zahra nampak semakin dewasa dan memesona di mata Rasyid.

354

Zulkarnain, anak pertama Rasyid yang sudah menginjak tujuh belas tahun itu besok akan berangkat ke Solo untuk melanjutkan pendidikan-nya ke Pesantren As-Salam Solo. Putera pertama Rasyid itu bersikeras bilang kalau ia tak mau nyantri di pesantren kakeknya. Ia malu jika ketahuan kalau ia cucu seorang Kiai Pesantren Darul Hijrah.

“Iya, Ummi… Semua sudah beres…” sahut Zul, panggilan Zulkarnain, yang sibuk menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa besok.

“Abang…? Abang…?” Zulkarnain me-manggil-manggil sambil menepuk bahuku karena ia datang dari belakang.

“Menurut Abang, rame mana antara Solo sama Malang?” sambung Zulkarnain menanyaiku.

“Yaa… Sejujurnya sih menurut abang, kayaknya lebih rame Malang deh daripada di Solo… Tapi, sebetulnya setiap tempat itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, Zul…” jawabku sambil sibuk membolak-balik sebuah majalah di tanganku.

“Kamu ini pergi ke Solo mau menuntut ilmu atau rame-rame sih, Zul?” sahut Rasyid kepada anaknya itu.

“‘Gak, Bah… Kalau sepi kan Zul ‘gak betah buat menuntut ilmu… Kalau rame kan Zul jadi bersemangat.

355

Hehehe… Kalau di Malang, apa yang menarik, Bah?” balas Zulkarnain.

“Di Malang kah? Di Malang banyak sejarah yang pernah abah ukir. Tanyakan saja sama penduduk sana, pasti tahu tentang abah… He…” sahut Rasyid bercanda dengan Zulkarnain. Wajahnya menandakan kerinduannya akan masa lalunya. Sorot matanya seolah menerawang, me-nembus waktu ke masa silam.

“Yah, Abah…!? ‘Gak nyambung…” sahut Zulkarnain.

Rasyid tak menghiraukan ucapan anaknya itu. Ia masih nampak tersenyum, asyik bersua dengan kenangannya.

“Kalau Solo, Jogja, Malang, dibanding dengan Prancis atau Riyadh, lebih rame mana, Bang?” tanya Zulkarnain sambil menoleh ke wajahku. Wajah bocah itu nampak dipenuhi hasrat ingin tahunya.

“Sama aja, Zul. Dimanapun kamu berada, yang penting, junjung tinggi nilai-nilai Islam yang selama ini kau peroleh. Insya Allah setiap jalan, setiap langkah, dan setiap tempat, akan menjadi selalu menarik…” jawabku sambil sibuk membuka lembaran majalah Islami di tanganku.

“’Geh, Abangku yang baik hati… Kaya sastrawan aja jawabnya” jawab Zul dengan suara bernada pelan kepadaku.

356

Rasanya, aku benar-benar sangat menikmati suasana di rumah itu. Kadang kalau mengingat masa kecilku, aku sendiri merasa iri dengan Zulkarnain, Siti Rahmah, Muhammad Mujahidin Baihaqi, dan Nurul Rizky Amelia. Aku iri karena masa kecilku, aku tak pernah bisa berkumpul dengan ummi dan abahku.

Sejak kecil, aku tinggal bersama Nenek Zulfa. Baru setelah lulus Madrasah Ibtidaiyah, aku diseko-lahkan di Pesantren As-Salam Solo. Ketika aku mondok di sanalah aku jadi lebih sering bertemu dengan Ummi Amelia, yang tinggal di Jogja. Kadang bila pesantren sedang libur, aku pulangnya ke Jogja, bukan ke Banjar. Kalau tidak, Kakek Hadi dan Nenek Zulfa yang berkunjung ke Jogja. Atau bila tak jua libur, maka Ummi yang sering menjengukku ke pesantren.

Barulah setelah lulus Tsanawiyah, aku kembali ke Banjar. Aku diminta abahku untuk sekolah di pesantren yang kini ia bina, Pondok Pesantren Darul Hijrah, yang tak lain adalah pondok binaan kakekku jua, Kiai Karim, yang pula sudah almarhum. Dan kini, pesantren DH itu ditangani oleh abahku sendiri, Rasyid.

Sering pula aku melamun sendiri dan pula tertawa sendiri dengan khayalku. Mungkin di dunia ini hanya aku orang yang pernah menghadiri perkawinan kedua orang tuaku bersanding dengan orang lain. Hingga aku sempat bingung, aku ini anak siapa? Anak Amelia kah? Anak Rasyid kah? Namun, aku selalu tersenyum kala mendapat jawaban dari keempat orang, Amelia, Mujahid, Rasyid, dan Zahra yang mengatakan

357

kalau aku anak mereka berempat. Keadaan yang benar-benar membuatku istimewa. Punya dua orang ummi dan dua orang abah. Tapi, meski demikian, aku merasa sangat bahagia menjalani ini semua.

“Drrreeettt… Drrreeettt…!!!”

Lamunanku tersentak. Hand phone yang sejak tadi aku taruh di sebelah laptop nampak bergetar. Ada sebuah pesan masuk. Nomor yang tak kukenal, tak ada namanya di phonebook hand phone-ku. Tak sengaja ku lihat jam di hand phone-ku sudah menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit malam.

Kubuka pesan masuk itu dengan sedikit penasaran, “Siapakah gerangan yang mengirim pesan hampir tengah malam begini?” pikirku.

“Assalamu’alaikum? Maaf mengganggu. Terima kasih ya, sudah mengembalikan dompetku yang hilang. By: Elisa Khumaira…”

“Elisa Khumaira?” Dahiku mengernyit tan-pa sadar. Aku tak tahu nama itu. Aku mencoba mengingat-ingat nama itu. Tanpa sengaja, pikiranku tiba-tiba terbang melayang kepada kejadian yang kualami sekitar dua hari yang lalu, kala aku menemukan sebuah dompet di jalan raya, dekat Masjid Al-Karamah.

Dan hari ini tadi aku kembalikan dompet itu kepada pemiliknya yang tinggal di daerah Jalan Pendidikan, tepatnya komplek Citra yang mengarah ke

358

daerah Gunung Ronggeng. Kalau tak salah, pemilik dompet itu perempuan. Apa mungkin gadis itu yang barusan mengirim pesan ke handphone-ku?

Sms itu tak aku balas. Kupikir sudah terlalu larut untuk membalasnya. Tapi, rasanya ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Sesuatu yang menjadi bahan pertanyaan di benakku.

Darimana perempuan itu tahu nomor hand phone-ku, padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya. Pula mengirim pesan di malam selarut ini?

“Siapakah gerangan? Entahlah…”

***

Alhamdulillah....

Malang, 10 Dzulhijjah 1432 Hijriah

359

Tentang Penulis…

Hafiez Sofyani Lahir di Desa Muara Durian (sekarang bernama Desa Malintang Baru) Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Masa kecilnya dihabiskan dengan bermain, turun ke sawah, berenang, memancing, dan mencari ikan. Ia merupakan alumni dari Jurusan S1 Akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Malang dan juga alumni jurusan S2 Akuntansi salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Selagi kuliah, ia aktif sebagai penulis majalah kampus, peneliti, asisten laboratorium Akuntansi, dan aktivis mahasiswa Kalsel di Malang. Selain Novel berjudul “Bulan Sabit di Langit Burniau”ia juga menulis novel dengan judul “Kakamban Habang” dan “Negeri 1000 Sungai”. Saat ini ia bekerja sebagai dosen program studi akuntansi di salah satu perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Kontak kepada penulis dapat dilakukan via E_mail: [email protected].