PARONIKIA.docx
-
Upload
marhama-fitriani -
Category
Documents
-
view
304 -
download
25
Transcript of PARONIKIA.docx
PARONIKIA
I. PENDAHULUAN
Paronikia adalah suatu reaksi peradangan mengenai lipatan kulit dan
jaringan di sekitar kuku. Biasanya disebabkan oleh trauma karena maserasi pada
tangan yang sering terkena air. Paronikia akut paling sering diakibatkan oleh
infeksi bakteri, umumnya Staphylococcus aureus atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan, paronikia kronis disebabkan oleh jamur Candida
albicans.1
Paronikia ditandai dengan jaringan kuku menjadi lunak dan membengkak
serta dapat mengeluarkan pus (nanah), kuku bertambah tebal dan berubah warna.
Bila infeksi telah kronis, maka terdapat celah horizontal pada dasar kuku
biasanya menyerang 1-3 jari. Penyakit ini selain diderita pada orang-orang yang
tangannya lama terendam air, juga berkembang pada penderita diabetes dan
kekurangan gizi.1,2
Kasus paronikia lebih banyak terjadi pada wanita, pekerjaan bar, tukang
cuci dan kadang-kadang penyakit ini muncul pada anak-anak, khususnya yang
gemar menghisap jari tangannya. Setiap jari tangan dapat terkena, tetapi yang
lebih sering adalah jari manis dan jari kelingking.1,2
Gambar 1 – Anatomi Kuku.3
1
Keterangan :
a. lempeng kuku (nail plate)
b. lunula
c. eponikium
d. lipatan kuku posterior
e. lipatan kuku lateral
f. dasar kuku (nail bed)
g. lempeng kuku
II. ETIOLOGI
Gejala pertama karena adanya pemisahan lempeng kuku dari
eponikium, biasanya disebabkan oleh trauma karena maserasi pada tangan
yang sering kena air. Celah yang lembab itu kemudian terkontaminasi oleh
coccus pyogenic atau jamur. Jamur yang tersering adalah Candida
albicans, sedang bakteri adalah Staphylococcus atau Pseudomonas
aeruginosa.3
III. EPIDEMIOLOGI
Paronikia merupakan infeksi yang sering terjadi pada tangan,
memiliki angka kejadian sekitar 35% dari seluruh infeksi yang ada. Infeksi
ini terjadi khususnya pada orang-orang yang memiliki pekerjaan kontak
langsung dengan air dalam jangka waktu yang lama seperti pada pekerja
bar, tukang kebun dan ibu rumah tangga. Individu dengan keadaan
imunitas yang menurun seperti pada infeksi HIV, penderita diabetes dan
kekurangan gizi berpotensi mengalami paronikia. Infeksi ini lebih sering
ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dengan perbandingan 3:1 dan
dapat dialami oleh semua golongan umur serta semua ras.1,3,4
IV. PATOGENESIS
Faktor predisposisi utama yang dapat diidentifikasi adalah
pemisahan dari eponikium terhadap lempeng kuku. Pemisahan ini
biasanya disebabkan oleh trauma sebagai dampak dari kelembaban
maserasi pada lipatan-lipatan kulit terhadap keseringan tangan dalam
keadaan basah. Alur yang lembab pada kuku dan lipatan kuku menjadi
2
daerah serbuan oleh coccus pyogenic dan ragi. Bakteri kausatif biasanya
berupa Staphylococcus Aureus, Streptococcus pyogenes, Pseudomonas sp.,
Proteus sp., atau bakteri anaerob lainnya. Dapat juga disebabkan oleh
Candida Albicans.5
Sebagaimana yang diketahui, faktor risiko yang paling banyak pada
paronikia akut adalah trauma ringan pada kutikula atau lipatan kuku
seperti pada saat cuci piring, onycopagia (menggigit kuku), memotong
kuku, keadaan kuku yang mengalami pertumbuhan kedalam, dan proses
manicure. Dengan adanya trauma dapat menyebabkan inokulasi bakteri
sehingga terjadi infeksi.6
Hal ini sesuai dengan laporan kasus Riesbeck Christian yang
menunjukkan bahwa paronikia disebabkan oleh bakteri Prevotellabivia
yang merupakan bakteri anaerob gram negatif, dimana infeksi oleh bakteri
ini dihubungkan dengan infeksi pada saluran genital wanita dan khususnya
pada infeksi oral. Sedangkan pada kronik disebabkan oleh bakteri patogen
dan jamur yaitu Candida albicans. Paronikia akut sering terjadi pada
pekerja laundry, pekerja rumah tangga, cleaning service dan perenang.
Beberapa kasus menunjukkan adanya kolonisasi Candida albicans atau
bakteri lainnya pada lesi. Paronikia kronik juga merupakan suatu
komplikasi dari paronikia akut pada pasien yang tidak mendapatkan
pengobtan yang adekuat.7
Proses patologis inflamasi di daerah kuku terutama mempengaruhi
matriks, dasar kuku, hyponychium, dan lipatan kuku. Perubahan lempeng
kuku terjadi setelah inflamasi di daerah kuku tersebut. Karena anatomi
yang unik dari kuku, ada sejumlah pola reaksi yang memungkinkan untuk
terjadinya proses inflamasi. Pola-pola reaksi mungkin memiliki fitur yang
berbeda dari yang terlihat di kulit, karena kuku menghasilkan produk
berupa lempeng kuku. Beberapa proses inflamasi dari matriks kuku dapat
menyebabkan kerusakan irreversible. Di sisi lain, proses yang
mempengaruhi dasar kuku dan hyponychium yang tidak mempengaruhi
pembentukan plat, dapat mempengaruhi bentuk atau kelengketan pada
3
kuku. Bantalan kuku yang mengalami cedera sehingga terjadi metaplastik,
yaitu dengan beralih dari keratinisasi onycholemmal (tanpa butiran
keratohyalin) untuk keratinisasi epidermoid. Kemudian menjadi
hiperplastik, hiperkeratosis, parakeratosis, hipergranulosis, spongiosis, dan
pembentukan krusta eksudat. Proses ini mengarah pada berubahnya bentuk
dan pola lempeng kuku yang umum untuk beberapa penyakit yang
mempengaruhi dasar kuku, seperti psoriasis, onikomikosis dan paronikia.8
V. GEJALA KLINIS
Pasien datang dengan riwayat memotong kuku terlalu pendek,
pernah trauma, memiliki kebiasaan menggigit kuku, menghisap jari atau
sering terendam air. Pasien yang memiliki penyakit diabetes akan lebih
sulit perawatannya. Keluhan tersering adalah pasien merasa nyeri dan
bengkak di sekitar kuku.1,2,3
Paronikia dapat dibagi:
Paronikia akut
Paronikia akut merupakan infeksi akut pada lipatan kuku.
Patogenesis dari paronikia akut ini paling sering adalah infeksi oleh
bakteri, difasilitasi oleh kerusakan kutikula, sering pada herpes
simpleks, jarang pada iatrogenik. Dari pemeriksaan, akan tampak
pinggir kuku kemerahan, bengkak dan nyeri. Kutikula biasa tidak
ditemukan. Pada saat kuku ditekan bisa keluar nanah. Bengkak dan
kemerahan pada tepi kuku disebabkan oleh penumpukan nanah di
bawah kulit.9
Trauma minimal merupakan salah satu penyebab terbanyak dari
paronikia akut dan perlu dilakukan penatalaksanaan berupa operasi.
Infeksi mungkin saja menimbulkan retakan pada kulit (sebagai contoh:
jika bintil kuku terkoyak), serpihan dibawah tepi kuku, tusukan dari
duri pada pinggir lekukan atau terkadang berasal dari infeksi sekunder
subungual sampai perdarahan.10
4
Infeksi dimulai pada bagian pinggir area paronikia dengan
kemerahan disekitarnya, bengkak dan nyeri. Pada fase ini, pengobatan
dilakukan: kompres basah (contohnya dengan menggunakan larutan
aluminium asetat Burrow) dan pengobatan antiobiotik sistemik yang
tepat juga diberikan. Karena pemberian antibiotik secara terus menerus
dapat menyembunyikan proses patologis yang semakin berkembang
sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktur kuku, jika paronikia
akut tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas berupa respon yang
baik selama 2 hari, maka tindakan operasi harus dilakukan dengan
menggunakan anastesi lokal. Reaksi purulen dapat memakan waktu
beberapa hari utnuk melokalisir dan selama waktu tersebut nyeri yang
berdenyut sering menjadi gejala utama. Kumpulan pus dapat dengan
mudah terlihat pada kuku atau pada lipatan paronikial. Terkadang pus
dapat tumbuh pada bagian lekukan periungual. Dengan tidak
terlihatnya pus, kumpulan tersebut akan meningkatkan tekanan dan
lesinya di insisi pada daerah dengan nyeri yang hebat, tidak dilakukan
pada daerah dengan pembengkakan yang besar. 10
Gambar 2 - Paronikia akut kausa bakteri. 10
5
Gambar 3 - Paronikia akut kausa bakteri, tamapak pus disepanjang lipatan kuku lateral. 10
Gambar 4 - Lipatan kuku proksimal memerah dan edema disertai pus pada paronikia
akut.11
Paronikia kronik
Paronikia kronik adalah penyakit inflamasi pada bagian proksimal
lipatan kuku, khususnya pada tangan yang terus menerus terpapar
dengan lingkungan yang lembab atau basah dan diikuti dengan trauma
minimal sehingga menyebabkan kerusakan pada lapisan kutikula.
Ketika kutikula rusak atau terkikis, pelindung epidermal pada lipatan
kuku proksimal melemah dan lipatan kuku kemudian akan lebih
mudah terpapar pada bahaya atau resiko lingkungan. Iritan dan alergen
akan dengan mudah penetrasi kebagian proksimal lipatan kuku dan
menimbulkan dermatitis kontak yang akan menuju pada inflamasi
6
kronik. Jenis dari reaksi hipersensitivitas cepat (tipe I) pada bahan-
bahan makanan dapat terjadi. Terkadang dapat didahului oleh reaksi
iritan.10
Paronikia kronik sangat umum terjadi, utamanya pada pasien
wanita dengan usia 30-60 tahun. Faktor utama dari penyakit ini adalah
karena sering terkena air dan kerusakan kutikula. Agen kausatif yang
sering ditemukan adalah candida albicans. Pasien dengan gejala yang
menetap lebih dari 6 minggu perlu dicurigai sebagai paronikia kronik.
Kuku cenderung kering, bengkak dan kemerahan tidak begitu nyata
pada paronikia kronik. Kuku tampak menebal dan berwarna pucat dan
bisa terpisah sehingga tampak ada ruang diantara kuku dengan nail
bed. 9
Gambar 5 - Paronikia kronik akibat paparan air terus menerus.10
Gambar 6 - Candida albicans pada paronikia kronik.12
7
Gambar 7 - Perubahan warna pada lempeng kuku akibat Pseudomonas pyocyanea.2
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang tepat untuk paronikia antara lain
pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan potassium hydroxide (KOH),
merupakan pemeriksaan yang cepat dan mudah dilakukan untuk
menemukan adanya jamur yang menyebabkan infeksi. Bila dalam infeksi
terdeteksi adanya spesies jamur maka dianjurkan untuk melakukan kultur
jamur. Jika infeksi jamur dicurigai tanpa adanya faktor mikologi maka
untuk mengetahui spesies dari jamur potongan kuku yang terinfeksi,
kerokan Nail bed (bantalan kuku), atau biopsi kuku dapat dikirim untuk
dilakukan histopatologi dan pewarnaan dengan PAS. Namun bila dicurigai
terinfeksi oleh bakteri, kultur bakteri dan sensifitas harus dilakukan
sehingga dapat mengidentifikasi bakteri yang ada kemudian memberikan
antibakteri yang sesuai.13
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram-positif, nonmotile
dan fakultatif anaerob yang membentuk karakteristik seperti kelompok
cocci terlihat dalam warna ungu pada pewarnaan gram.1
8
Gambar 8 - Pewarnaan gram pada bakteri Staphylococcus Aureus.
Biopsi Kuku
Ketika anamnesis dan pemeriksaan fisis saja tidak menghasilkan
diagnosis yang pasti, maka biopsi kuku harus dipertimbangkan untuk
dilakukan. Lokasi untuk dilakukan biopsi kuku tergantung pada bagian
mana dari struktur kuku yang terlihat patologis. Proses patologis pada
lempeng kuku paling sering terjadi di matrix kuku atau terdapat ruang lesi
pada lipatan kuku (Nail fold).13
Pemeriksaan mikrobiologi dapat juga membantu dalam
menegakkan diagnose pada penyakit ini. Kultur dari sampel yang diambil
dari tempat infeksi dapat membantu mengidentifikasi jenis bakteri yang
menyebabkan infeksi pada pasien tersebut dimana pada kasus paronikia
biasanya ditemukan bakteri Staphylococcus aureus.3,5
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Untuk
menentukan penyebabnya, dilakukan pembiakan pus di laboratorium. Pada
pasien dengan infeksi berat atau abses, dilakukan pengambilan spesimen
untuk mengidentifikasi bakteri patogen penyebab infeksi.6
9
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Herpetik whitlow
Herpetik whitlow biasa terjadi pada perawat sebagai akibat inokulasi
topikal. Kondisi ini juga dapat terjadi pada anak-anak yang sudah sembuh
setelah terinfeksi herpes oral. Pada penyakit terlihat adanya lepuhan
seperti sarang lebah di sekitar kuku. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
melakukan Tzanck test. Herpetik whitlow sangat kontraindikasi untuk
dilakukan insisi dan drainase.2
Gambar 9 - Herpetik withlow.14
Onikomikosis
Infeksi jamur pada kuku meningkat sering dengan umur- anak-
anak jarang terkena. Kuku ibu jari, terkhusus pada jari yang besar akan
berkembang lebih dari jari yang lain. Prosesnya selalu dimulai dari distal
kuku dan mengenai sampai batas proksimal sampai keseluruhan kuku.
Kuku terpisah dari dasar kuku, lempeng kuku menebal, bergelombang dan
kekuningan, tampak subungual keratosis. Beberapa dari kuku jari kaki
mungkin berkembang. Sering terdapat tinea pedis dan jika kuku jari
tangan terkena infeksi tinea rubrum biasanya terlihat.12
10
Gambar 10 - Onikomikosis pada kuku.12
Liken Planus Kuku
Liken planus pada kuku dapat timbul tanpa kelainan kulit.
Perubahan pada kuku berupa belah longitudinal, lipatan kuku yang
mengembung (pterigium kuku), kadang-kadang anonikia. Lempeng kuku
menipis dan papul liken planus dapat mengenai lempeng kuku. Pada
pemeriksaan histopatologik terdapat : hiperkeratosis, degenerasi sel basal,
dan infiltrat limfosit dan histiosit yang seperti susu.3
Gambar 11 & 12 – Liken Planus.1
Psoriasis Kuku
Gejala berupa adanya pits, terowongan, dan cekungan yang
transversal (Beau’s line) leukonikia dengan permukaan yang kasar atau
licin. Pada dasar kuku terdapat perdarahan dan berwarna merah. Hiponikia
berwarna hijau kekuningan pada daerah onikolisis. Karena adanya
keratosis subungual zat tanduk di bawah lempeng kuku dapat menjadi
medium untuk pertumbuhan bakteri atau jamur. 3
11
Gambar 13 & 14 – Psoriasis Kuku.10
IX. PENATALAKSANAAN
Paronikia akut
Pada kondisi ini dapat digambarkan sebagai kondisi lipatan kuku
yang menebal dan juga nyeri. Penatalaksanaan dari paronikia akut adalah
tergantung pada derajat peradangan yang terjadi, jika tidak terjadi abses,
cukup kompres dengan menggunakan air panas kemudian olesi dengan
12
Burrow’s solution (aluminium asetat). Acetaminophen atau obat anti
inflamasi non-steroid harus dipertimbangkan untuk digunakan bila
keadaan sudah menunjukkan gejala yang nyata. Pada kasus yang ringan
cukup diberikan antibiotik topikal, contohnya salep mupirocin (bactroban)
2-4 kali sehari selama 5-10 hari, salep gentamicin 3-4 kali sehari selama 5-
10 hari, bacitracin/neomycin/polymicin B (Neosporin) 3 kali sehari selama
5-10 hari, atau dapat juga dikombinasikan dengan kortikosteroid seperti
betamethason 0,05% 2 kali sehari selama 1-2 minggu merupakan
pengobatan yang aman dan efektif untuk paronikia akut. Untuk lesi yang
parah, pemberian antibiotik oral yang digunakan setelah dikompres pada
lesi. Pasien yang memiliki kebiasaan menghisap jari atau menggigit kuku
harus ditangani dengan antibiotik oral spectrum seperti amoxicillin 500 mg
3x1 selama 7 hari atau clavulanate 125 mg 2x1 selama 7 hari, clindamysin
150-450 mg 3-4x1 selama 7 hari, karena tidak menutup kemungkinan
bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya resisten terhadap
penicillin dan ampicillin.6
Paronikia kronik
Paronikia kronik dapat ditangani dengan perlindungan yang ekstra
pada bagian lesi. pengobatan anti jamur topikal yang berspektrum luas
bisa digunakan untuk mengatasi kondisi ini dan mencegah rekurensi.
Aplikasi dari emollient lotion yang diolesi pada daerah kutikel di tangan
yang terhadi peradangan, biasanya sangat berguna. Suatu percobaan pada
orang dewasa umur 45 tahun dengan paronikia kronik yang dialaminya,
melakukan pengobatan dengan kelompok antifungal sistemik seperti
Itraconazole (Sporanox) 200 mg 2x1 selama 7 hari atau terbinafen
(Lamisin) atau krim topikal steroid seperti metylprednisolon dalam 3
minggu, setelah 9 minggu dampak dari pengobatan topikal steroid baru
mulai terlihat. Kortikosteroid sistemik dapat digunakan pada paronikia
yang sudah terjadi inflamasi pada beberapa kuku jari.6
13
Pengobatan steroid pada paronikia kronik yang disebabkan oleh
jamur (Candida) sangat tidak efektif, sedangkan dengan topikal steroid
menjadi pilihan utama pada infeksi paronikia akut mengingat risiko dan
harga yang murah dibandingkan dengan pengobatan antifungal sistemik,
atau pengobatan kombinasi topikal steroid dengan kelompok antijamur
dapat juga digunakan pada pasien dengan paronikia kronis yang sederhana
walaupun belum ada data yang akurat tentang ini. Penggunaan
kortikosteroid dapat juga digunakan pada kasus-kasus intralesi. Apabila
tindakan terapi yang diberikan tidak responsif, maka alternatid terakhir
dapat dilakukan dengan pembedahan.4,7
Gambar 15 - Tindakan insisi pada paronikia.15
X. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis paronikia baik dengan penanganan yang
tepat dan menghindari komplikasinya.
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah infeksi yang makin meluas,
bila bakteri masuk ke dalam aliran darah bisa menimbulkan sepsis yang
sukar ditangani, walaupun hal ini jarang terjadi. Bakteri dapat menembus
tulang menimbulkan infeksi tulang atau osteomyelitis.9
DAFTAR PUSTAKA
1. Tosti A, Piraccini BM, Biology of Nails and Nails Disorders, in: Wolff K,
Goldsmith AL, Katz IS, Gilchrest AB, Paller SA, Leffel JD editors.
14
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medecine 8th Edition. New York:
Mc Grew Hill Medical; 2010. p.1016-30
2. Berker D.A.R. D, Baran R, Disorders of Nails, in: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C editors. Rook’s Textbook of Dermatology 8th Edition.
United Kingdom: Willey-Blackwell; 2010. p.65.21-2
3. Budimulja U. Paronikia, Kelainan Kuku, in: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin 5th Edition. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI Jakarta. p.312-6
4. Paronychia. (online). 2009. [cities 2013 02 14]. [screens]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1106062-overview
5. James DW, Berger GT, Elston MD. Andrew’s Disease of The Skin 10th
Edition. United Kingdom: Elsvier Saunders; 2006. p.254
6. Rigopaulus D, Larios G, et al. Acute and Chronic Paronychia; et
American Family Physician. Athens: 2008. p.339-46
7. Raflizar, Paronikia Gambaran Klinis dan Penatalsanaannya. (online).
2001. [cited 2013 02 14]. [screens]. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/10paronikiagambaranklinisdanpenatalaksanaa
nnya.html
8. Elder D, et al. Inflammatory Disease of The Nail. In: Lever’s
Histopathology of The Skin. Chief: 2005. p.158
9. Stery W, Paus R, Burgdorf W. Dermatology. Germany: Thieme Clinical
Companions; 2006. p.85-6
10. Baran R, Periungual Tissue Disorders, in: Baran R, Dawber RP, Haneke E,
Tosti A, Bristow I. Nail Disorder 3rd edition. London, New York: Martin
Dunitz; 2003. p.114-22
11. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology 6th edition. New York: McGraw-Hill;2009. p. 1002-7,1014-5
12. Gawkrodger DJ. Dermatology 3rd edition. United Kingdom: Churchill
Livingstone; 2002. p.64-5
13. Nail Anatomy and Basic Science. In: Rich, Phobe, Rhicard K. An Atlas of
Disease of Nail. 2003. p.178
15
14. Habif, Thomas P. Nail Disease. In: Clinical Dermatology 4th edition. 2003.
25.12-20
15. Rockwell P. Acute and Chronic Paronychia. University of Michigan
Medical School: 2001. p.1113-5
16
LAMPIRAN
17