Paraparese Spastik

72
LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP PARAPARESE SPASTIK Disusun Oleh: Nama : dr. Erlinda Nerini Madarina Silon Wahana : RSUD Ungaran Tanggal : Dokter Staf Ahli Bagian Syaraf: dr. Sri Sumarni Sp. S 1

description

ta

Transcript of Paraparese Spastik

Page 1: Paraparese Spastik

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

PARAPARESE SPASTIK

Disusun Oleh:

Nama : dr. Erlinda Nerini Madarina Silon

Wahana : RSUD Ungaran

Tanggal :

Dokter Staf Ahli Bagian Syaraf:

dr. Sri Sumarni Sp. S

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNGARAN

KABUPATEN SEMARANG

2015

1

Page 2: Paraparese Spastik

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr. Erlinda Nerini Madarina Silon

Judul Portofolio : Paraparese Spastik

Topik : syaraf

Ungaran,

Dokter Pembimbing I Dokter Pembimbing II

dr. Widuri dr. Windi Artanti

Mengetahui,

Dokter Staf Ahli Bagian Syaraf

dr. Sri Sumarni Sp. S

2

Page 3: Paraparese Spastik

BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS

Pada hari Selasa, telah dipresentasikan laporan kasus oleh

Nama peserta : Erlinda Nerini Madarina Silon

Judul Kasus : Paraparese Spastik

Nama Wahana : RSUD UNGARAN

NO NAMA TANDA TANGAN

1 dr. Sri Sumarni Sp. S 1.

2 dr. Widuri 2.

3 dr. Windi Artanti 3.

4 dr. Putih Nurani H 4.

5 dr. Erlinda NMS 5.

6 dr. Saidatunnisa 6.

7 dr. Nita 7.

8 dr. Femmy widya S 8.

9 dr. Ariesta 9.

10 dr. Nimas ASP 10.

11 dr. Okky 11.

12 dr. Medika 12.

13 dr.cholid 13.

14 Dr. Dwi Tiara 14.

15 Dr. Nina 15.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Dokter Pembimbing I Dokter Pembimbing II

dr. Widuri dr. Windi ArtantiMengetahui,

Dokter Staf Ahli Bagian Saraf

dr. Sri Sumarni Sp. S

BAB I

3

Page 4: Paraparese Spastik

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. N

Umur : 49 tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Alamat : Candirejo1/3, Ungaran Timur

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Waktu Masuk : 30 Agustus 2016

No. CM : 467427

B. DATA DASAR

1. Anamnesis

Amannesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 30 januari 2016 di IGD

RSUD Ungaran dan keterangan tambahan dibangsal Bougenvil tgl 31 januari

2016.

Keluhan utama : kedua tungkai tidak bisa digerakkan mendadaak

Keluhan tambahan : nyeri punggung

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang diantar keluarga karena tiba-tiba kedua tungkainya tidak bisa

digerakkan. Hal ini dirasakan sejak tadi pagi pukul 01.00 WIB (8 jam SMRS).

Pasien merasa kedua tungkainya tidak terasa saat disentuh. Keluhan ini baru

dirasakan pertama kali.

Pasien juga mengalami nyeri punggung yang kumat kumatan. Nyeri bersifat

tumpul dan tidak dipengaruhi aktifitas. Beberapa hari sebelumnya pasien

merasakan kadang kesumutan pada kedua tungkai dan lengan namun tidak

dihiraukan pasien. Sebelumya pasien sering mengalami batuk kering. Pasien juga

merasakan ulu hati nyeri tajam perih sejak 1 hari yang lalu. Nyeri tidak menjalar

dan bersifat terus menerus walaupun sudah meminum obat lambung. BAK (N),

BAB normal . Sakit kepala, mual, muntah dan penurunan kesadaran disangkal

oleh pasien.

Pada hari ketiga perawatan dibangsal, pasien merasa nyeri jika disentuh

dikakinya , walaupun kaki kiri sudah bisa digeraakan sedikit, namun terasa sangat

4

Page 5: Paraparese Spastik

kaku dansangat nyeri pada telapak kakinya. Nyeri punggung dan ulu hati masih

dirasakan dan pasien juga mengalami diare cair sedangkan BAK normal.

Trauma sebelumnya disangkal, riw. Radiasi (-), penurunan BB (-) , sesak

nafas (-) , demam (-) Pasien memiliki riwayat limfadenopati TB dan sudah

dioperasi oleh Sp.B 11tahun yang lalu dan dinyatakan sembuh dari TB. Endoskopi

dan pengangkatan massa di usus 10 tahun yang lalu di Malaysia. Pasien juga

mengaku pernah dilakukan aspirasi dari tulang belakangnya karena keluhan nyeri

punggung di RSUD Ungaran 6 tahun yang lalu. 5 tahun yang lalu operasi Caesar

dan histrektomi di RSUD Ungaran.

1. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat Hipertensi :disangkal

- Riwayat Penyakit Jantung: disangkal

- Riwayat Penyakit Paru : disangkal

- Riwayat DM : disangkal

- Riwayat Stroke : disangkal

- RiwayatKejang : disangkal

- Riwayatpenyakit maag : didapat (sejak remaja)

- Riwayat alergi obat : disangkal

- Riwayat trauma kepala : disangkal

- Riwayat kecelakaan : disangkal

2. Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat Hipertensi : disangkal

- Riwayat Penyakit Jantung: disangkal

- Riwayat Penyakit Paru : disangkal

- Riwayat DM : disangkal

- Riwayat Stroke : disangkal

- RiwayatKejang : disangkal

3. Riwayat Sosial Ekonomi

Kesan ekonomi : cukup, biaya kesehatan ditanggung BPJS

5

Page 6: Paraparese Spastik

C. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 30 Januari 2015 di IGD RSUD Ungaran

pukul 9.00 WIB.

a. Status Present

Keadaan Umum : compos mentis

Kesadaran : GCS 3 E4M6V5= 15

Vital Sign :

T : 110/70 mmHg

N : 60 x/menit

RR : 30 x/menit

t : 36,7oC

SaO2 : 99%

TB : ± 155 cm

BB : ± 50 kg

b. Status Internus

Kepala : Mesocephale

Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) pupil isokor (2”/2”),

reflek pupil (+/+) baik, leukoma (+/+)

Hidung : Sekret -/-

Mulut : dalam batas normal

Leher :Kaku kuduk (-), pergerakan bebas

Dada :Hemithorax dextra dan sinistra simetris

Paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung :Bunyi jantung ½ reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen :Tampak datar, supel, bising usus (+) normal, timpani, nyeri

tekan(+) ulu hati

Extremitas :

Superior Inferior

Oedem -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

c. Status Neurologikus

1. N.I ( OLFAKTORIUS) : dalam batas normal

2. N II ( OPTIKUS)

6

Page 7: Paraparese Spastik

tajampenglihatan : dalam batas normal

lapangpenglihatan : dalam batas normal

melihatwarna : dalam batas normal

funduskopi : tidak dilakukan

3. N III ( OKULOMOTORIUS ), N IV (TROKLEARIS ), N VI (ABDUCENS )

Dextra Sinistra

Pergerakan bola mata Dalam bats normal Dalam bats normal

Nistagmus - -

Eksoftalmus - -

Pupil bulat,isokor,ø2 mm bulat,isokor,ø2mm

Reflek cahaya + +

Strabismus - -

Melihat kembar - -

4. N V ( TRIGEMINUS )

Sensibilitas taktil dan nyeri muka : Dalam bats normal

Membuka mulut : Dalam bats normal

Meringis : Dalam bats normal

Menggigit : Dalam bats normal

Reflek kornea : (+)

5. N VII (FACIALIS)

Dextra Sinistra

Mengerutkandahi Dalam bats normal Dalam bats normal

Menutupmata Dalam bats normal Dalam bats normal

Lipatannasolabial Dalam bats normal Dalam bats normal

Menggembungkanpipi Dalam bats normal Dalam bats normal

Memperlihatkangigi Dalam bats normal Dalam bats normal

Mencucukanbibir Dalam bats normal Dalam bats normal

Pengecapan 2/3 anterior Dalam bats normal Dalam bats normal

7

Page 8: Paraparese Spastik

lidah

6. N VIII (VESTIBULOCOCHLEARIS)

Dextra Sinistra

JENTIK JARI Dalam bats normal Dalam bats normal

DETIK ARLOJI Dalam bats normal Dalam bats normal

SUARA BERBISIK Dalam bats normal Dalam bats normal

TES WEBER tidak dilakukan tidak dilakukan

TES RINNE tidak dilakukan tidak dilakukan

TES SCHWABACH tidak dilakukan tidak dilakukan

7. N IX (GLOSSOPHARINGEUS)

Pengecapan 1/3 posterior lidah : dalam batas normal

Sensibilitas faring : tidak dilakukan

8. N X ( VAGUS )

Arkus faring : simetris

Berbicara : dalam batas

normal

Menelan : dalam batas

normal

Nadi : reguler, isi dan

tegangan cukup

9. N XI (ACCESORIUS)

Mengangkat bahu : dalam batas normal

Memalingkan kepala : dalam batas normal

10. N XII (HYPLOGOSSUS)

Pergerakan lidah : dala m batas normal

Tremor lidah : -

Artikulasi : dalam batas normal

Lidah : dalam batas normal

d. AnggotaGerak

1. ANGGOTA GERAK ATAS

8

Page 9: Paraparese Spastik

MOTORIK

Motorik Dextra Sinistra

Pergerakan bebas bebas

Kekuatan 5 5

Tonus normal Normal

Klonus - -

Trofi Eutrofi Eutrofi

SENSIBILITAS

Dextra Sinistra

Taktil Dalam batas normal Dalam batas normal

Nyeri Dalam batas normal Dalam batas normal

Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik Dalam batas normal Dalam batas normal

Lokasi Dalam batas normal Dalam batas normal

REFLEK

Dextra Sinistra

Biceps + N + N

Triceps + N + N

Radius + N + N

Ulna + N + N

Hoffman - -

Trommer - -

2. ANGGOTA GERAK BAWAH

MOTORIK

Motorik Dextra Sinistra

9

Page 10: Paraparese Spastik

Pergerakan terbatas terbatas

Kekuatan 1 1

Tonus hipotonia Hipotonia

Klonus - -

Trofi Eutrofi Eutrofi

SENSIBILITAS

Dextra Sinistra

Taktil Hipestesi setinggi umbilicus (T.X)

Aestesi setinggi lutut (genue) s/d ujung kaki

Hipestesi setinggi umbilicus (T.X)

Aestesi setinggi lutut (genue) s/d ujung kaki

Nyeri Hipestesi setinggi umbilicus (T.X)

Aestesi setinggi lutut (genue) s/d ujung kaki

Hipestesi setinggi umbilicus (T.X)

Aestesi setinggi lutut (genue) s/d ujung kaki

Thermi tidak dilakukan tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik Aestesi aestesi

REFLEK

Dextra Sinistra

Patella + menurun + menurun

Achilles + menurun + menurun

Babinski - -

Chaddock - -

Oppenheim - -

10

Page 11: Paraparese Spastik

Gordon - -

Schaeffer - -

Gonda - -

Bing - -

Rossolimo - -

Mendel-Bechtrew - -

e. Koordinasi, Gait, danKeseimbangan

Cara berjalan : tidak dapat dinilai

Tes Romberg : tidak dapat dinilai

Disdiadokhokinesis : tidak dapat dinilai

Ataksia : tidak dapat dinilai

Rebound phenomenon : tidak dapat dinilai

Dismetria : tidak dapat dinilai

f. Gerakan Abnormal

11

Page 12: Paraparese Spastik

Tremor : -

g. Atetosis : tidak dapat dinilai

h. Vegetatif

Miksi : + normal

Defekasi : + normal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. EKG : normal sinus rhytm

b. Laboratorium

Darah rutin 30 januari 2015

GDS = 216 mg/dl

Hb : 9,9 g/dl

Ht : 28,9 %

Leukosit : 4.700 / µl

Eritrosit : 3,7 juta / µl

Trombosit : 230.000/ µl

Hiung jenis

Granulosit : 73,6 %

Limfosit 20,3 %

Monosit : 6,1 %

Index eritrosit

MCV : 78,2 fl

MCH : 26,7 pg

MCHC 34,2 g/dl

MDW : 12,1 %

Page 13: Paraparese Spastik

Kimia darah 31 januari 2015

Gula darah

GD I = 110

GD II = 170

Kimia ginjal

Ureum = 9 mg/dl

Creatinin = 0.71 mg/dl

Profil lipid

Kolesterol total = 172

mg/dl

HDL = 52 mg/dl

LDL = 110 mg/dl

Trigliserid = 43 mg/dl

Elektrolit

Natrium = 141.3

Kalium = 3.31

Chloride = 108,2

c. Rontgen

Tak tampak kompresi pada v. thorakal yang terlihat

13

Page 14: Paraparese Spastik

Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis

E. RESUME

Keluarga pasien mengeluhkan pasien tiba-tiba kedua kaki tidak bisa digerakkan (8

jam SMRS) dan tidak terasa sama sekali, terdapat riwayat sakit punggung,

kesumutan, nyeri ulu hati dan batuk.

Pada hari kedua perawatan pasien mengalami perbaikan pada kaki kirinya namun

terasa kaku dan nyeri tajam ketika disentuh, dan pasien mengalami diare.

Pasien memiliki riwayat limfadenopati TB dan sudah dioperasi oleh Sp.B 11tahun

yang lalu dan dinyatakan sembuh dari TB. Endoskopi dan pengangkatan massa di

usus 10 tahun yang lalu di Malaysia. Pasien juga mengaku pernah dilakukan

aspirasi dari tulang belakangnya karena keluhan nyeri punggung 6 tahun yang lalu.

5 tahun yang lalu operasi Caesar dan histrektomi.

Pada pemeriksan fisik didapatkan GCS 3 E4M6V5= 15, TD= 110/70 N=60x/m RR

= 30x/menit dan t= 36,5 , ditemukan para parese pada ekstremitas inferor dengan

kekuatan 1/1 , hipotonus, klonus (-) , reflek fisiologis menurun dan tidak ada reflek

patologis.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil EKG dalam batas normal,

peningkatan granulosit, hipokalemia ringan (n 3,5-5,3) , foto vertebra thorakal

dalam batas normal.

F. DIAGNOSA

Diagnosis klinik : paraparese inferior tipe UMN

Diagnosis topik : medulla spinalis setinggi thorakal X kebawah

Diagnosis etiologi : mielitis akut

DD Tumor metastase

Poliomyelitis

Multiple sklerosis

Sindrom guillain barre

G. Terapi

1. Infus RL20 tpm

2. Inj. Ranitidine 1 Ampul/ 8 jam

3. Inj. Metil prednisolone 125 mg / 6 jam

14

Page 15: Paraparese Spastik

Konsul dr Sri Sumarni Sp.S :

4. Inj Meticobalamine 1 Ampul /8 jam

5. Pergabalin 1 x 75 mg

Konsul spesialis penyakit dalam untuk hasil GDS dan pemberian Metil

Prednisolone (dr. Prawita, Sp. PD)

Tidak DM GD I = 110mg/dl GD II = 170 mg/dl

Terapi sesuai TS. Sp.S

6. Monitoring : TTV, Neurofisiologi

7. Edukasi :Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit yang

diderita.

H. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad bonam

Ad Fungsionam : dubia ad bonam

Ad Sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP RUANGANSejak 31 Januari 2016

Tanggal Perjalanan Penyakit TerapiPemeriksaan

Penunjang

31/01/2016 S:

Nyeri punggung dan ulu

hati, kaki tidak bisa

digerakkan

O:

E4V5M6

TD = 120/80 mmHg

RR = 16 x/menit

N = 80 x/menit

T = 36 oC

K RF RP

5 5 n n - -

1 1 ↓ ↓ - -

- Infus RL20 tpm

- Inj. Ranitidine 1 Ampul/

8 jam

- Inj. Metil prednisolone

125 mg / 6 jam

- Inj Meticobalamine 1

Ampul /8 jam

- Pergabalin 1 x 75 mg

Pro RO vertebra

thorakal

Hasil DBN

15

Page 16: Paraparese Spastik

Tonus (-)

Klonus (-)

Hipestesi setinggi

umbilikus

A:

Paraparesis inferior

UMN susp myelitis

01/02/2016 S:

Nyeri punggung , diare

cair 4x, kaki kiri sudah

bias digerakkan sedikit,

kaku dan sakit saat

disentuh

O:

E4V5M6

TD = 140/80 mmHg

RR = 16 x/menit

N = 88 x/menit

T = 36 oC

K RF RP

5 5 n n - -

1 3 ↓ n - -

Tonus (-)

Klonus (-)

Hipestesi setinggi

umbilicus

Kesumutan jika dipegang

setinggi umbilikus

A:

Paraparesis spastik

membaik susp myelitis

- Infus RL20 tpm

- Inj. Ranitidine 1 Ampul/

8 jam

- Inj. Metil prednisolone

125 mg / 8jam

- Inj Meticobalamine 1

Ampul /8 jam

- Pergabalin 1 x 75 mg

- N. diatab 2 tab/bab k/p

- Konsul rehabilitasi medic

IR + gentle ROM

exercise

Hasil lab DR

Hipokalemia

ringan

2/02/2016 S:

Nyeri punggung kaki kiri

sudah bias digerakkan

- Infus RL20 tpm

- Inj. Ranitidine 1 Ampul/

8 jam

16

Page 17: Paraparese Spastik

sedikit, kaku dan sakit

saat disentuh

O:

E4V5M6

TD = 120/80 mmHg

RR = 16 x/menit

N = 88 x/menit

T = 36 oC

K RF RP

5 5 n n - -

1 4 ↓ n - -

Tonus (-)

Klonus (-)

Hipestesi setinggi

umbilicus

Kesumutan jika dipegang

setinggi umbilikus

A:

Paraparesis spastik

membaik susp myelitis

dd metastase spinal

- Inj. Metil prednisolone

125 mg / 8jam

- Inj Meticobalamine 1

Ampul /8 jam

- Pergabalin 1 x 75 mg

- N. diatab 2 tab/bab k/p

- IR + gentle ROM

exercise

03/02/2016 S:

Nyeri punggung kaki kiri

sudah bias digerakkan

lebih baik dari kemarin ,

kaku dan sakit saat

disentuh

O:

E4V5M6

TD = 130/80 mmHg

RR = 16 x/menit

N = 88 x/menit

T = 36 oC

- Infus RL20 tpm

- Inj. Ranitidine 1 Ampul/

8 jam

- Inj. Metil prednisolone

125 mg / 12jam

- Inj Meticobalamine 1

Ampul /8 jam

- Pergabalin 1 x 75 mg

- N. diatab 2 tab/bab k/p

- IR + gentle ROM

exercise

17

Page 18: Paraparese Spastik

K RF RP

5 5 n n - -

1 4 ↓ n - -

Tonus (-)

Klonus (-)

Hipestesi setinggi

umbilicus

Kesumutan sakit jika

dipegang setinggi

umbilikus

A:

susp myelitis

04/02/2016 S:

Nyeri punggung kaki kiri

pusing

O:

E4V5M6

TD = 130/80 mmHg

RR = 16 x/menit

N = 88 x/menit

T = 36 oC

K RF RP

5 5 n n - -

1 4 ↓ n - -

Tonus (-)

Klonus (-)

Hipestesi setinggi

umbilicus

Kesumutan jika dipegang

setinggi umbilikus

A:

- Infus RL20 tpm

- Inj. Ranitidine 1 Ampul/

8 jam

- Inj. Metil prednisolone

125 mg / 24 jam

- Inj Meticobalamine 1

Ampul /8 jam

- Pergabalin 1 x 75 mg

- N. diatab 2 tab/bab k/p

- IR + gentle ROM

exercise

18

Page 19: Paraparese Spastik

susp myelitis

05/02/2016 S:

Nyeri punggung

O:

E4V5M6

TD = 120/70 mmHg

RR = 16 x/menit

N = 88 x/menit

T = 36 oC

K RF RP

5 5 n n - -

2 4 ↓ ↓ - -

Tonus (-)

Klonus (-)

Kesumutan jika disentuh

mulai bawah umbulikus

A:

susp myelitis

- Infus RL20 tpm

- Inj. Ranitidine 1 Ampul/

8 jam

- Inj Meticobalamine 1

Ampul /8 jam

- Pergabalin 1 x 75 mg

- metil prednisolone 2x 8

mg

- IR + gentle ROM

exercise

06/02/2016 S:

Nyeri punggung

O:

E4V5M6

TD = 120/80 mmHg

RR = 16 x/menit

N = 80 x/menit

T = 36 oC

K RF RP

5 5 n n - -

3 4 n n - -

Tonus (-)

Klonus (-)

Hipestesi setinggi

umbilicus, nyeri jika

- RL aff

- Metil prednisolone 2x8

mg

- Mecobalamine 2 x 100

mg

- Pergabalin 75 mg 1-0-0

Obat pulang :

- Metil prednisolone 2x8

mg

- Mecobalamine 2 x 100

mg

- Ranitideine 2x150 mg

- Pergabalin 75 mg 1-0-0

Rencana pulang

nanti sore

19

Page 20: Paraparese Spastik

dipegang

A:

susp myelitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MIELITIS SECARA UMUM

2.1.1.DEFINISI

Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut mielitis. Dalam

Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang mielitis

trumatik, mielitis kompresif dan sebagainya, yaang agak memberikan kejelasan tentang

arti terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya pengetahuan neuropatologi, satu

persatu penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang tergolong benar-benar karena radang

saja yang masih tertinggal.

Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah terminologi

nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis. Tetapi Adams dan Victor

(1985) menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang

menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba.

Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis

dibedakan atas :

1. Akut :

Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa

hari saja.

2. Sub Akut :

Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.

3. Kronik :

Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.

20

Page 21: Paraparese Spastik

Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat, distribusi

proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila

mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang

medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa.

Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis

diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang

baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis

(meninges dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut

pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses

epidural atau granuloma.

Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis misalnya

yang disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Medulla Spinalis

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu

medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran

kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak,

dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari

medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang

dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan.

Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf

servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral

(S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).

Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada

medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla

spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang

antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla

spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis

itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi

21

Page 22: Paraparese Spastik

sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar

dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang

memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda

ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya.

Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari

medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla

spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh

substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama

terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia.

Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson

dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan

menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal

atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan

dalam mengenai informasi yang disampaikannya.

Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan,

dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu

sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian

tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh

cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia

grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu

lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya

neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang

mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot

polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.

Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar

spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla

spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan

medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap

tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk

neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui

akar ventral.

22

Page 23: Paraparese Spastik

Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis

yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen

dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis.

Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen,

yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian

saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak

neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama

lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang

berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan

tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama.

Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus

desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat

perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi

untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran.

Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang

berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif,

yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi

Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:

1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan

terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.

2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron

motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan

mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.

3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai respon

terhadap stimulus verbal.

4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada

columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau otot-otot

antigravitasi.

23

Page 24: Paraparese Spastik

5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat

aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan

dengan keseimbangan.

6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:

1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan berperan

dalam diskriminasi lokasi.

2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan.

3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.

4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan,

traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan.

5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.

24

Page 25: Paraparese Spastik

Gambar medulla spinalis

25

Page 26: Paraparese Spastik

2.1.3 Klasifikasi

1. Mielitis yang disebabkan oleh virus.

a. Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus

b. Herpes zoster

c. Rabies

d. Virus B

2. Mielitis yang merupakan akibat sekunder akibat sekunder dari penyakit pada

meningens dan medula spinals.

a. Mielitis sifilitika

Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)

Meningomielitis kronik

Sifilis meningovaskular

Meningitis gumatosa termasuk pakimeningitis spinal kronik

b. Mielitis piogenik atau supurativa

Meningomielitis subakut

Abses epidural akut dan granuloma

Abses medula spinalis

c. Mielitis tuberkulosa

Penyakit pott dengan kompresi medula spinalis

Meningomielitis tuberkulosa

Tuberkuloma medula spinalis

d. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural,

meningitis lokalisata atau meningomielitis dan abses.

3. Mielitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.

a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi

b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik

c. Degeneratif atau nekrotik.

2.1.4 Patologi

Mielitis biasanya melibatkan medulla spinalis saja, tetapi bisa juga mielitis

merupakan bagian dari inflamasi serebrispinali yang umum misalnya pada

ensefalomielitis. Pada stadium akut medulla spinalis biasanya membengkak dan pada

potongan melintang bisa menunjukan perdarahan. Gambaran patologi yang penting adalah

26

Page 27: Paraparese Spastik

degenerasi medulla spinalis yang sifatnya destruktif mielin dan musnahnya aksis silinder.

Elemen inflamasi misalnya limfosit dan sel plasma, berada di jaringan medulla spinalis

dan di sekeliling pembuluh darah disertai infiltrasi ke meningen. Pada beberapa bentuk

bisa dijumpai nekroisi yang lengkap dari medulla spinalis, dengan respon fagositik yang

ekstensif dan ploriferasi mesodermal. Sel-sel neuron dalam substansia grisea bisa

mengalami degenerasi berat. Reaksi mesodermal biasanya hebat disertai dengan dilatasi,

proliferasi atau infiltrasi pembuluh darah. Pembentukan parut sel-sel glia didapatkan pada

beberapa bentuk. Kelainan patologik ini bisa terjadi disetipa tingkat : sevikal, torakal, atau

lumbal. Tapi paliing sering terletak di regio torakal karena bagian medulla spinalis ini

paling panjang dan pemasokan darahnya paling jelek.

2.1.5 Gambaran Klinis

1. Motorik

Mielitis merupakan gangguan gerak yang berupa kelumpuhan, disamping gangguan

sensorik dan vegetatif. Onset dan perjalanan gambaran klinisnya sampai tingkat tertentu

dipengaruhi oleh karakter proses patologiknya. Namun untuk menentukan

simtomatologinya yang lebih penting adalah topik patologiknya di medulla spinalis atau

tingkat medulla spinalis disamping intensitas dan luasnya proses patologik.

Jika prose topik mielitasi ada di segmen servikal atau medulla spinalis dapat terjadi

tetraparesis atau tetraplegi yang bersifat spastik atau UMN. Kalo topiknya ada di tingkat

servikal bawah dari medulla spinalis akan menimbulkan tetraparesia atau tetraplegi yang

pada anggota atas bersifat flaksid atau LMN dan pada anggota bawah bersifat spastik atau

UMN. Bila topiknya ada di semen lumbal dan sakral medulla spinalis akan berakibat

sebagai paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat flaksid atau LMN. Namun yang

paling sering topiknya terletak pada segmen torakal sehingga akan menimbulkan

paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat spastik atau UMN. Kelumpuhannya juga

dapat mengambil bentuk monoparesis atau monoplegi yang bersifat flaksid atau LMN jika

topiknya ada dibagian ventral subtansia grisea misalnya poliomielitis. Pada mielitis

dissreminata ataupun pada mielitis transversa parsialis kelumpuhan dapat bersifat tidak

simetris.

27

Page 28: Paraparese Spastik

Riwayat adanya infeksi sebelumnya, yang mengesankan suatu infeksi virus atau bakteri

bisa didapatkan sepertiga penderita, yang paling sering adalah infeksi traktus respiratorus

bagian atas atau suatu penyakit flu dan kadang-kadang berupa gangguan gastrointestinal.

Gejala lainnya demam dengan derajat ringan, ruam atau eksantem, nyeri kepala, kaku

kuduk bisa ada atau tidak. Onset atau awitan penyakit ini dapat berlangsung akut sub akut

atau khronis.

Periode syok spinal dapat berlangsung selama tiga sampai empat minggu. Periode ini

terjadi berhubungan dengan awitan mielitis transversa yang mendadak. Dibawah tingkat

lesinya bersifat flaksid, disertai hilangnya semua jenis sensorik, hilangnya fungsi otonom

dan arefleksia. Tetapi jika ditumpangi suatu infeksi saluran kemi yang berat atau ulkus

dekubitus periode syok spinal akan memanjang.

Pada saat yang sama terjadi paresis atau paralisis kandung kemih dan rektum, suatu

periode syok spinal mula-mula akan timbul retensio urine dan alvi. Pada periode ini dapat

terjadi kemudian suatu over-flow incontinesia. Pada mielitis tranversa dengan toppik di

segmen torakal, setelah periode syok spinal lewat akan terjadi kandung kemih otomatik

atau neurogenik. Fekal inkontinensia kurang sering dijumpai.

2. Sensoris

pada awitan penyakit dapat timbul parestesi dan nyeri. Parestesi sering digambarkan

seperti rasa tebal, kesemutan, jimpe biasanya dimulai dari ibu jari atau kaki kemudian naik

ke tungkai, badan dan bahkan mencapau anggota gerak atas. Nyeri dirasakan dipunggung

menjalar kebawah ke tungkai atau ke sekeliling badan, (rasa seperti sabuk).

Ganguan sensoris terpenting adalah defisit semua modalitas sensorik dibawah level

tertentu yang merupakan topik dari proses patologik (mielitisanya) dan berpola inervasi

segmental. Modalitas sensorik yang terkena dapat mencakup rasa raba, rasa nyeri, vibrasi

dan propiosepsi.

Ulkus dekubitus timbul akibat hilangnya sensasi, gangguan trofik dan kurang kebersihan.

Tempat predileksi ulkus dekubitus adalah diatas sakrum, tumit dan trokanter mayor. Gejala

lain : priapisme, ilius paralitikus, atrofi testis, ginekomastia, hipotensu, paralisis diafragma.

28

Page 29: Paraparese Spastik

Pada penyakit yang berlangsung lama terjadi perubahan-perubahan metabolik. Ekskresi

protein meningkat dan protein serum menurun. Kalium darah meningkat tapi natrium dan

klorida menurun serta terjadi hiperkalsiuri dan osteoporosis.

Pemeriksaan Liquor Serebro Spinalis (LSS) menunjukan pleiositosis pada 50% penderita.

Jumlah sel-sel LSS meningkat menjadi 20-300 sel (jarang sampai setinggi 1000 sel) per

mm kubik. Jenis selnya adalah mononuklear, poliomorfonuklear atau campuran namun

terutama adalah limfosit. Kadar protein LSS meningkat pada 40% penderita sedangkan

kadar gulukosanya normal. Tes queckensted biasanya menunjukan tidak adanya obstruksi

pada ruang subarakhnoid, kecuali pada keadaan tertentu seperti edema medulla spinalis

yang berat, arakhnoiditis khornis adhevisa dan abses ekstradural.

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi transversal medulla spinalis (meliputi defisit motorik,

sensorik dan vegetatif) disertai dari gejala umum infeksi (yang mendahului atau menyertai

berupa demam, eksantema, dan lain-lain) ditambah dengan bukti tidak adanya blokade

pada aliran LSS.

Diagnosis Bandingan

1. Sindroma Guillain Barre

2. Oklusi aorta abdominalis

3. Multiple sklerosis

2.2. POLIOMIELITIS

2.2.1 Definisi

Poliomielitis anterior akuta (paralisis infantil, penyakit Heinemedin) adalah suatu

penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan mengakibatkan

kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis, batang otak dan dapat pula

mengenai mesensefalon, sereblum, ganglia basal dan motorik korteks serebri.

29

Page 30: Paraparese Spastik

Penyakit ini dilaporkan pada tahun 1840 oleh Jacob Heine lalu kemudian Medin

pada tahun 1890 memberikan dasar epidemiologi penyakit ini. Oleh karena itu dulu

penyakit ini dikenal sebagai penyakit Heine-Medin.

2.2.2 Epidemiologi

Goar (1955) dalam uraian tentang polio di negeri yang sedang berkembang dengan

sanitasi berkesimpulan bahwa epidemi ditemukan 90% pada anak di bawah usia 5 tahun

karena itulah dulu disebut paralisis infantil tapi bukan berarti poliomielitis tidak

diketemukan pada orang dewasa. Penyakit polio jarang didapatkan pada usia di bawah

umur 6 bulan, mungkin karana imunitas pasif yang didapat dari ibu.

2.2.3 Etiologi

Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan famili

pikorna virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil, jadi ia termasuk virus

yang filtrabel. Terdapat 3 tipe virus polio yaitu:

1. Tipe 1 yaitu Brunhilde, yang sering menyebakan paralisis.

2. Tipe 2 yaitu Lanshing

3. Tipe 3 yaitu Leon

Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibodi, tetapi tidak terdapat kekebalan

silang. Virus ini hanya dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau pemberian zat

oksidator yang kuat seperti peroksida, atau kalium permanganat.

2.2.4 Patogenesis

Poliomielitis merupakan penyakit yang sangat menular, virus masuk ke dalam

tubuh melalui saluran orofarings setelah ditularakan melalui cara oral-fekal. Masa inkubasi

biasanya antara 4-17 hari, tapi bisa sampai 5 minggu. Bila virus banyak didapat pada suatu

daerah, maka timbulnya penyakit polio dapat dicetuskan dengan adanya tindakan operasi

30

Page 31: Paraparese Spastik

pada daerah tenggorokan dan mulut seperti misalnya tonsilektomi dan ekstraksi gigi atau

tindakan penyuntikan atau vaksinasi DPT, kehamilan, kerja fisik yang berat atau keletihan.

Setelah masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak (multiplikasi) di jaringan

limfoid tonsil atau pada plak peyer di traktus intestinalis kemudian ia akan menembus

dinding usus dan melalui darah akan tersebar ke seluruh tubuh (viremia).

Viremia ini tidak menimbulkan gejala (asimtomatik) atau hanya sakit ringan saja.

Diduga pada kasus-kasus yang menimbulkan paralisis, virus mencapai sistem saraf secara

langsung melalui darah atau secara retrograd melalui saraf tepi atau saraf simpatetik atau

ganglion sensorik pada tempat ia bermultiplikasi yaitu pada traktus gastrointestinalis atau

jaringan ekstraneural yang lain. Menurut Adams dan Victor (1985) dan Gilroy Dan Meyer

(1979), 95-99% pasien yng terinfeksi virus polio mengalami infeksi subkliik

(asimtomatik), 3% mengalami infeksi sistemik, 1% yang mengalami meningitis aseptik

dan hanya 1% yang mengalami poliomielitis paralitik.

2.2.5 Patologi

Pada awalnya, invasi virus menimbulkan reaksi inflamasi dengan kromatolisis

substansia Nissi sel saraf. Perubahan ini diikuti dengan multiplikasi virus dalam SSP lalu

perubahan pada sel saraf ini berkembang dengan cepat diikuti dengan disintegrasi

Nukleus dan kemudian sel neuron mengalami nekrosis atau lisis komplet. Atrofi dan

paralisis akan menetap bila kurang dari 10% neuron pada medula spinalis yang

bersangkutan yang masih baik.

Virus polio mempunyai predileksi pada kornu anterior medula spinalis, batang

otak, serebelum, talamus dan hipotalamus dan area motorik korteks serebri.

2.2.6 Gambaran Klinis

Seperti telah disebutkan di atas sebagian besar (95-99%) kasus poliomielitis

merupakan infeksi subklinis atau asimtomatik, namun infeksi ini telah mampu

menimbulkan kekebalan alami.

31

Page 32: Paraparese Spastik

Kemudian dapat dijumpai pula yang disebut poliomielitis abortif, dalam hal ini

timbul gejala infeksi sistemik ringan karena terjadi viremia. Gejala infeksi sistemik ringan

ini seperti:

Flu ( sakit kepala, demam, malaise, batuk, pilek, mialgia atau faringitis )

Gastroenteritis ( mual, muntah, konstipasi diare, anoreksia )

Semua gejala di atas tidak khas. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila virus

ditemukan pada usapan tenggorokan atau feses.

POLIOMIELITIS PREPARALITIK ATAU NONPARALITIK

Setelah gejala prodormal seperti di atas dialami selama 3-4 hari lalu gejala tadi

akan merada, dan setelah -10 hari penderita merasa lebih enak, timbullah gejala fase

kedua. Bentuk gejala seperti ini disebut difasik. Bentuk ini sering dijumpai pada anak-anak

tapi pada penderita yang berusia lebih dari 15 tahun jarang dijumpai.

Pada fase kedua ini di jumpai gejala seperti fase pertama (prodromal) disertai

dengan gejala neurologik ringan sakit kepala hebat, mialgia bertambah hebat, spasme otot

fleksor paha, nyeri dan kaku pada otot kuduk dan punggung. Pada anak-anak, bila dari

sikap berbaring ia hendak duduk maka kedua lutut akan fleksi sedang kedua lengan dalam

sikap ekstensi pada sendi siku untuk dipakai menunjang kebelakang pada tempat tidur

(tanda tripod). Tanda ini timbul karena adanya spasme pada otot-otot paravertebral, erektor

trunsi sehingga anak tidak dapat melakukan gerak antefleksi kolumna vertebralis waktu

hendak melakukan gerak dari berbaring ke sikap duduk. Disamping itu tanda tripod dapat

pula dijumpai tanda kepala terkulai (Head Drop) yaitu bila penderita yang dalam sikap

berbaring hendak kita tegakkan dengan cara menarik kedua ketiak atau lengan maka

kepala penderita akan terkulai kebelakang (retrofleksi).

POLIOMIELITIS PARALITIK

Secara klasik poliomielitis paralitik dibedahkan atas bentuk spinal, bulbar

(bulbospinal) dan ensefalitik. Paralisis timbul dalam waktu yang sangat cepat (beberapa

jam-48 jam atau lebih lambat (10-12hari). Empat puluh delapan jam setelah suhu kembali

normal, biasanya tidak terdapat lagi progresivitas kelumpuhan. Pola kelumpuhan

32

Page 33: Paraparese Spastik

bervariasi tapi hampir pasti tidak simetris. Ekstremitas inferior lebih sering terkena

poliomielitis menimbulkan lebih berat pada otot-otot proksimal.

Bentuk Bulbar sering menyebabkan kelumpuhan otot pada N.IX dan X sehingga

menimbulkan gangguan menelan dan disfonia. Kelumpuhan otot wajah sering pula

dijumpai, tapi kelumpuhan otot okuler jarang ditemukan. Yang paling berbahaya pada

bentuk bulbar ini adalah pernafasan.

2.2.7 Laboratorium

Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan

tenggorokan, darah, likuor dan fese. Pemeriksaan likuor serebrospinalis menunjukkan

adanya pleositosis, kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit

normal, jumlah sel berkisar antara 10-3000/ mm3 sedangkan tekanan tidak meningkat.

Pada stadium prepalitik atau paralitik dini lebih banyak ditemukan leukosit PMN tapi

setelah 72 jam lebih banyak ditemukan limfosit. Peningkatan jumlah sel mencapai

puncaknya pada minggu pertama kemudian akan kembali normal setelah 2 atau 3 minggu.

Kadar protein berkisar antara 30-120 mg/100 ml pada minggu pertama tapi jarang

melampaui 150 mg/100 ml, kadar protein yang meninggi ini bertahan selama 3-4 minggu.

2.3 MIELITIS TRANSVERSALIS

2.3.1 Definisi

Myelitis Transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh peradangan

di kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen, dari sumsum tulang belakang. Istilah myelitis

mengacu pada radang sumsum tulang belakang; transversal hanya menggambarkan posisi

peradangan, yaitu, di seberang lebar dari sumsum tulang belakang. Serangan peradangan

bisa merusak atau menghancurkan myelin, substansi lemak yang meliputi isolasi sel

serabut saraf. Ini menyebabkan kerusakan sistem saraf yang mengganggu impuls antara

saraf-saraf di sumsum tulang belakang dan seluruh tubuh.

33

Page 34: Paraparese Spastik

Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai

suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik

akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik

dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini

biasanya melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna posterior, dan

funikulus anterior.

Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan

terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi

mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya

band-like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu,

sindrom paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis

transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi

dan potensial menimbulkan kerusakan.

2.3.2 Epidemiologi

Myelitis Transversa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, di kedua jenis

kelamin, dan di semua ras. Faktor predisposisi pada keluarga tidak jelas. Sebuah

puncaknya pada tingkat insiden (jumlah kasus baru per tahun) tampaknya terjadi antara 10

dan 19 tahun dan 30 dan 39 tahun. Meskipun hanya beberapa studi telah meneliti tingkat

insiden, diperkirakan bahwa sekitar 1.400 kasus baru didiagnosis myelitis melintang setiap

tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 33.000 orang Amerika memiliki beberapa jenis

kecacatan akibat gangguan ini. Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya

jika penyebabnya merupakan proses demyelinisasi yang didapat, khususnya sklerosis

multiple. Tidak ada pola yang khusus dari mielitis transversalis berdasarkan seks,

distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam keluarga.

2.3.3 Etiologi

34

Page 35: Paraparese Spastik

Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa myelitis. Peradangan

yang menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat diakibatkan oleh

infeksi virus, reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui

pembuluh darah yang terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat

terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa vaksinasi,

termasuk untuk cacar dan rabies serta idiopatik.

Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen infeksi yang

dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella zoster, herpes simpleks,

sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza, echovirus, human immunodeficiency virus

(HIV), hepatitis A, dan rubella. Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media),

dan Mycoplasma pneumonia.

MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES.

Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan

gejala LES yang aktif5.

2.3.4 Patogenesis

Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif akibat virus atau

bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam menyebabkan kerusakan pada saraf

tulang belakang. Meskipun peneliti belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat

bagaimana terjadinya cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem

kekebalan sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi kekebalan tubuh

mungkin bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh, yang

biasanya melindungi tubuh dari organisme asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri,

menyebabkan inflamasi dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam

sumsum tulang belakang

Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa spinal

(kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit pembuluh darah

seperti aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen

dalam jaringan sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang

belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau faktor-faktor lain

35

Page 36: Paraparese Spastik

yang kurang umum. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan saraf

tulang belakang dan membawa sisa metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit

atau diblokir, mereka tidak dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke

jaringan saraf tulang belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum tulang belakang

menjadi kekurangan oksigen, atau iskemik, sel saraf dan serat mungkin mulai memburuk

relative dengan cepat. Kerusakan ini dapat menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang

menyebabkan myelitis transversal. Kebanyakan orang yang mengembangkan kondisi

sebagai akibat dari penyakit vaskular melewati usia 50, punya penyakit jantung, atau baru

saja menjalani operasi dada atau abdominal.

Mielitis transversalis akut post-vaksinasi

Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat

dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T pada nerve

roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di

perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi

menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi

MT9.

MTA Parainfeksi

Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya keluhan

respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah

digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan

cedera yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang

dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang

menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis, dan

mungkin menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen

lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla

spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi

yang kaya system imun, menghindari sistem imun yang berada pada organ lainnya.

Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di

medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT9.

Mimikri molekuler

36

Page 37: Paraparese Spastik

Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf

sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan

menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia

mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di

dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan

pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibodi yang

bereaksi dengan gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah

dibuktikan berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi

saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan autoantibodi

sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9.

Microbial superantigen-mediated inflammation

Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu

dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen merupakan

peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan

berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah diteliti

yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin

piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik

dibandingkan dengan antigen konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen

konvensional, superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-

stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20%

limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu,

superantigen sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang

menyebabkan terbentuknya “lubang” pada limfosit T selama beberapa saat setelah

aktivasi9.

Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun dengan

mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi golongan

selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan

superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki

jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di

sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis

pada tikus eksperimen. Pada manusia, pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan

myelopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang

menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9.

37

Page 38: Paraparese Spastik

Abnormalitas Humoral

Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral,

dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-sel”. Pembentukan

antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau

menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi

dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis9.

2.3.5 Gambaran klinis

Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai beberapa

hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu). Gejala awal

biasanya mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal

seperti membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan

paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia.

Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan defekasi. Banyak pasien juga melaporkan

mengalami kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan

kehilangan nafsu makan. Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa

pasien mungkin juga akan mengalami masalah pernapasan.

Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang

muncul:

(1) kelemahan kaki dan tangan,

(2) nyeri,

(3) perubahan sensorik, dan

(4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih.

Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di kaki mereka,

beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya, orang-orang dengan myelitis

transversal mungkin menyadari bahwa kaki mereka tampak lebih berat dari biasanya.

Perkembangan penyakit selama beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan

penuh dari kaki, yang mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda.

38

Page 39: Paraparese Spastik

Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai setengah

dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau dapat terdiri dari

tajam, sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.

Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah

seperti mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala

mereka. Sampai 80 persen dari mereka yang myelitis transversa memiliki kepekaan yang

meningkat, sehingga pakaian atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan

rasa tidak nyaman atau sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga

mengalami peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suhu yang ekstrem atau panas atau

dingin.

Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia

urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang tidak sempurna atau

konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris

dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis

pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun

perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung

dalam 4-21 hari6

Gangguan pada genitourinary dan gastrointestinal mungkin melibatkan

peningkatan frekuensi dorongan untuk buang air kecil atau buang air besar, inkontinensia,

kesulitan buang air kecil, dan sembelit. Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang

dengan myelitis transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.

2.3.6 Perjalanan penyakit

Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba,

diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas.

Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi

kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan

kandung kemih.

Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya

gejala yang timbul.

39

Page 40: Paraparese Spastik

2.3.7 Diagnosa

Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis baik

karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur diskus

intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain

Barre).

Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati

blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama jenis limfosit,

protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan

sindrom Guillain Barre di mana dijumpai peningkatan kadar protein tanpa disertai

pleositosis. Dan pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta

pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai juga terdapat pada

kedua lengan.

Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan

penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya lesi

parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi lumbal dijumpai blokade aliran likuor

dengan kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel.

Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah.

Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat pada

tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun

kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain

harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari

penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis

Inclusion criteria

1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the

spinal cord

2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)

3) Clearly-defined sensory level

4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or

myelography; CT of spine not adequate)

40

Page 41: Paraparese Spastik

5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or

elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory

kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2

and 7 days after symptom onset meets kriteria

6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if

patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced

from point of awakening)

Exclusion criteria

1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years

2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the

anterior spinal artery

3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM

4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis,

Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue

disorder, etc.)a

5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma,

other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6,

enteroviruses)a

(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa

(b) History of clinically apparent optic neuritisa

AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous

system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus;

HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia

virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis;

SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse

mielitis.

(Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik

kriteria and nosology of acute transverse mielitis. Neurology 2002; 59: 499-5

Diagnosis Banding

Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis

41

Page 42: Paraparese Spastik

Inflamasi Non-Inflamasi

Kompresi

Osteofit

Diskus

Metastasis

trauma

Penyakit Demyelinisasi

sklerosis multiple

optik neuromielitis

ensefalomielitis diseminata akut

mielitis transversalis akut

idiopatik

Tumor Infeksi

Virus: coxsackie, mumps,

varicella, CMV

Tuberculosis

Mikoplasma

Sindrom Paraneolastik Penyakit inflamasi

Lupus eritematosus sistemik

Neurosarkoidosis

(Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute

Transverse Mielitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 29Oktober 2012])

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang

MRI

Evaluasi awal untuk pasien mielopati harus dapat menentukan apakah ada penyebab

struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau spondilolistesis)

atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa

jam setelah presentasi.

42

Page 43: Paraparese Spastik

43

Page 44: Paraparese Spastik

CT-myelografi

Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan struktural,

CT-myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat

menilai medulla spinalis.

Punksi Lumbal

Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan yang

harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun non-inflamasi.

Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus

diperiksa.

Kultur CSF, PCR, titer antibodi

Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren

(pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau penggunaan obat-obat

immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan atau

tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi

infeksi dari MTA. Pada kasus seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan

pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan.

Pemeriksaan Lainnya

Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi

sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau

penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus

dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi

antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan level komplemen.

Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis

Kemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang

Infeksi Serologi darah; kultur, serologi, dan

PCR CSF; Foto Thorax dan

pemeriksaan imaging lainnya dengan

indikasi

Autoimun Sistemik atau Penyakit

Inflamasi

Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan

serologi; Foto Thorax dan Sendi;

pemeriksaan imaging lainnya dengan

44

Page 45: Paraparese Spastik

indikasi

Paraneoplastik Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi

paraneoplastik serum dan CSF

Acquired CNS Demyelinating Disease

(sklerosis multiple, optic neuromielitis)

MRI otak dengan kontras gadolinium;

CSF rutin; pemeriksaan visual evoked

potential; serum NMO-IgG

Post infeksi atau post vaksinasi Anamnesis riwayat infeksi dan

vaksinasi sebelumnya; konfirmasi

serologi adanya infeksi; eksklusi

penyebab lain

(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The New

England Journal of Medicine 2010;363:564-72)

2.3.9 Penatalaksanaan

Immunoterapi inisial

Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat progresivitas dan

menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan

secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien

mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg

metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen

oral dapat digunakan pada kasus pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat

inap. Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang

datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila

terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk

prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara

bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula

diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit.

Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per

hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per

45

Page 46: Paraparese Spastik

hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet

rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu

sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral.

Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal,

insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan

elektrolit8.

Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan

pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati, trombositopenia,

thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan

komplikasi dari tindakan ini8.

Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor

saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor

mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis.

Pada pasien demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan

menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang.

Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125

gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.

Respirasi dan Oropharyngeal Support

Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis

servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular dari

fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea,

penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan

lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi

mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah

atau refleks muntah memerlukan pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah

pemakaian feeding tube diperlukan atau tidak8.

Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi

Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk thrombosis

vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi yang sering

ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan

46

Page 47: Paraparese Spastik

memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus

dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai secepatnya.

Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-aminopyridine oral menunjukkan hasil

yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple

sklerosis, mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian,

studi tentang efek agen ini pada pasien mielitis transversalis belum diteliti secara khusus.

Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila terjadi

hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg sebelum tidur.

Abnormalitas Tonus

Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock), tetapi

biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas tonus),

bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon

adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi

atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan

benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan

korda spinalis.

Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering

menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen 15-

80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin

untuk mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.

Nyeri

Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan

mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri neuropatik), factor

ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari

beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-

obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan

norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik8.

Malaise

Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi

terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized

47

Page 48: Paraparese Spastik

controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple

sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti

dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan

refrakter yang terjadi setelah episode mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana

pasien dengan mielitis belum pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8.

Disfungsi Usus dan Genitourinari

Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis transversalis pada fase akut

karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-

ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung kemih.

Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik (oxybutinin dan

tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa volume urin yang tersisa setelah

miksi berguna untuk menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin

diperlukan untuk menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik

dapat membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan

hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk

mengosongkan kandung kemih. Untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius

dilakukan irigasi dengan antiseptik dan pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis

(trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam).

Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus dicirikan dengan

konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus

inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi

konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian laksan.

Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis transversalis.

Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan

untuk orgasme, atau anorgasmia.

Konsultasi Psikiater

Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada

pasien mielitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti nyeri dan

gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi tunggal atau

dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog.

48

Page 49: Paraparese Spastik

2.3. 10 Prognosis

Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan

pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama

3–6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih

lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu

terapi6.

49

Page 50: Paraparese Spastik

DAFTAR PUSTAKA

1. Christine Weile. 2009. Acute Poliomyelitis. Available from :

http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm.

2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013.

Available

from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/

transverse_myelitis/about-tm/diagnosis.html

3. Hidayat Achmad. Mielitis. November 23rd 2011. Accessed on: 13 August 2013.

Available from:  http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-

andrina1.pdf 

4. Jani Orthoprost. Mielitis. March 6th 2013. Accessed on: 13 August 2013. Available

from:  http://jani-orthoprost.com/mielitis.html

5. Johnson et all. 2001. Transverse Myelitis.Available from :

http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-figures?

secret_password=&autodown=pdf

6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis

Fact Sheet Available from :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis.ht

m

7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare

Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from :

http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html

8. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 .

Jakarta.

9. Victor and Adam. 2000. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th Edition.

McGraw-Hill.

50