Paper Slum Area
-
Upload
mairo-shiroyama -
Category
Documents
-
view
227 -
download
1
description
Transcript of Paper Slum Area
1. PENDAHULUAN
Menurut UN Habitat (2010), jumlah permukiman kumuh di dunia tumbuh
sekitar 10 % setiap tahunnya. Hal ini jika dibiarkan akan menyebabkan permasalahan
yang semakin besar.
PENGERTIAN PERMUKIMAN
Pengertian Permukiman Pemukiman sering disebut perumahan dan atau
sebaliknya. Pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya
adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan
memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana
ligkungannya. Perumahan menitiberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan
land settlement. Sedangkan pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau
kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga
pemukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati
yaitu manusia (human).3 Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling
melengkapi.
PENGERTIAN KUMUH
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah
laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan
kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas
yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan. Menurut kamus ilmu-
ilmu sosial Slum’s diartikan sebagai suatu daerah yang kotor yang bangunan-
bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi daerah slum’s dapat diartikan sebagai
daerah yang ditempati oleh penduduk dengan status ekonomi rendah dan bangunan-
bangunan perumahannya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai perumahan
yang sehat. Slum’s merupakan lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak
layak huni atau tidak memnuhi persyaratan sebagai tempat permukiman (Utomo Is
Hadri, 2000). Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah yang sudah sangat
merosot (kumuh) baik perumahan maupun permukimannya (Herlianto, 1985). Dalam
kamus sosiologi Slum’s yaitu diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus ekonomi
rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi syarat kesehatan. (Sukamto
Soerjono, 1985).
PERMUKIMAN KUMUH
Diana Puspitasari dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Distarkim) Kota
Depok mengatakan, definisi permukiman kumuh berdasarkan karakteristiknya adalah
suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas. Dengan kata
lain memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dan tidak
memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung membahayakan
bagi penghuninya. Menurut Diana, ciri permukiman kumuh merupakan permukiman
dengan tingkat hunian dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi, bangunan tidak
teratur, kualitas rumah yang sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan
sarana dasar seperti air minum, jalan, air limbah dan sampah. Kawasan kumuh adalah
kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat
buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang
berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat,
kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan,
ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR. Parsudi
Suparlan adalah :
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup
secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu
terwujud sebagai :
a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena
itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT
atau sebuah RW.
c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT
atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan
bukan hunian liar.
5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman
kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan
ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di
sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor
informil.
Berdasarkan salah satu ciri diatas, disebutkan bahwa permukiman kumuh
memiliki ciri “kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin”. Penggunaan ruang
tersebut berada pada suatu ruang yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya sehingga
berubah menjadi fungsi permukiman, seperti muncul pada daerah sempadan untuk
kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Keadaan demikian menunjukan bahwa penghuninya
yang kurang mampu untuk membeli atau menyewa rumah di daerah perkotaan dengan
harga lahan/bangunan yang tinggi, sedangkan lahan kosong di daerah perkotaan sudah
tidak ada. Permukiman tersebut muncul dengan sarana dan prasarana yang kurang
memadai, kondisi rumah yang kurang baik dengan kepadatan yang tinggi serta
mengancam kondisi kesehatan penghuni. Dengan begitu, permukiman yang berada
pada kawasan SUTET, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, dan sempadan
situ/danau merupakan kawasan permukiman kumuh.
Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah
perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai
berikut
1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah,
serta memiliki sistem sosial yang rentan.
2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal
Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah
standar minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki:
a. Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
b. Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha
c. Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan
persampahan)
d. Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun <20% dari
luas persampahan
e. Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi
syarat minimal untuk tempat tinggal
f. Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan
keamanan
g. Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan
ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia dan lingkungannya
Para ahli dan praktisi pembangunan kota melihat bahwa belum berhasilnya
pembangunan permukiman di berbagai kota besar di Indonesia lebih banyak dikaitkan
dengan persoalan urbanisasi ( penduduk miskin), keterbatasan lahan perkotaan dan
kurang tepatnya program-program pembangunan kota. Interaksi ketiganya telah
memunculkan kehidupan masyarakat miskin pendatang dengan fasilitas pemenuhan
kebutuhan dasar yang tidak layak di perkampungan padat penduduk (
permukiman/perkampungan kumuh). Namun sebenarnya akar masalah pemicu
munculnya permukiman kumuh di perkotaan juga berkaitan dengan masalah paradigma
proyek dan pemerataan pembangunan ( Prasojo, 2010).
Bahkan akar masalah permukiman kumuh lebih bersifat kompleks yaitu karena
adanya:
1. Pembiaran ( neglegiance) berkembangnya ruang-ruang marjinal perkotaan;
2. Lemahnya pengelolaan kota;
3. Belum adanya pengenalan terhadap kebutuhan ( housing need assessment)
dan persediaan rumah ( housing stock evaluation) secara utuh dan
partisipatif; dan
4. Belum adanya pengembangan system penyediaan perumahan secara utuh
( housing delivery system) M.J Siregar (2012).
Dengan melihat berbagai faktor penyebab permukiman kumuh tersebut, maka
permasalahan tentang bagaimana pemerintah memperlakukan penduduk miskin
perkotaan dalam proses pembangunan kota sebenarnya merupakan hal yang paling
mendasar untuk didiskusikan. Hal ini karena terkait dengan tanggung jawab utama
pemerintah dalam pelaksanaan fungsi mewujudkan kesejahteraan, ketertiban,
pelayanan publik, dan lainnya di bidang pembangunan permukiman yang harus
mewujudkan kepentingan publik ( masyarakat miskin perkotaan).
2. EKSPLORASI PERMASALAHAN PERMUKIMAN KUMUH
Permukiman kumuh muncul sebagai akibat dari beberapa faktor yang
berlangsung secara terus menerus dan tanpa perencanaan yang benar. Penyebab
terjadinya permukiman kumuh antara lain adalah:
1. Pertumbuhan penduduk (fertilitas)
2. Perpindahan penduduk (urbanisasi)
3. Perkembangan penduduk perkotaan yang tidak selalu dapat diimbangi oleh
kemampuan pelayanan kota
4. Permasalah-permasalahan di daerah perkotaan
5. Kesempatan kerja bagi kaum migran
6. Kebutuhan rumah sebagai tempat bermukim tidak dibarengi dengan
kemampuan ekonomi para calon penghuni
Perkembangan slum area pada suatu kota berdampak langsung terhadap
penduduk perkotaan, dampak tersebut meliputi dampak sosial, ekonomi dan budaya.
Sosial
1. Perkembangan suatu daerah yang tadinya homogen berubah menjadi
heterogen karena terjadinya urbanisasi
2. Menjadi pusat pengangguran, kejahatan, dan penyakit
3. Proses transformasi para migran tidak dapat berlangsung dengan wajar
4. Peningkatan jumlah penduduk miskin kota
Budaya
1. Dipandangan merusak keindahan/citra kota
2. Cultural shock akibat perbedaan buaya yang dibawa para migran dari desa
ke kota
3. Cultural alienation (merasa asing dengan kebiasaan atau kebudayaan kota)
dan cultural lag (perbedaan tingkat kemajuan unsur-unsur kebudayaan)
Ekonomi
1. Mendorong pemerintah untuk membangun rumah susun bagi warga yang
tinggal di daerah kumuh
2. Degradasi tingkat ekonomi penduduk kota yang ditandai oleh semakin
bertambahnya penduduk miskin dan pengangguran di daerah kumuh
3. Kota menjadi semakin padat dan pengaturan ruang semakin rumit
4. Menjadi pendorong kegiatan ekonomi sektor informal
3. STUDI KASUS SLUM AREA
Kibera, Nairobi, Kenya
Kibera merupakan permukiman kumuh terbesar di Kenya. Sebagian besar
penduduknya merupakan pekerja serabutan dengan penghasilan kurang dari 100
Shilling per hari. Mereka ikut serta dalam aktivitas ekonomi kecil seperti seni, dansa,
drama, proyek olahraga, komunitas sosial, dan bisnis berskala kecil lain (CGS
Kibera,2007). Dari laporan UN Habitat 2006, masalah air dan sanitasi merupakan salah
satu pokok masalah utama yang ada di Kibera. Walaupun sudah banyak pembangunan
untuk mengatasi masalah air, sanitasi, dan kesehatan tapi hal tersebut tidak mampu
memberikan perubahan yang signifikan. Daerah tersebut juga kekurangan akses untuk
kesehatan, sekolah, dan listrik.
Sekitar 60% penduduk yang berusia kurang dari 21 tahun buta huruf atau semi
buta huruf, sebagian besar hanya mendapatkan pendidikan tingkat dasar. Kurangnya
pekerjaan juga menjadi masalah utama dan mengarah keperilaku sosial yang tidak sehat
seperti alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, dan kriminalitas. Sekitar 80%
penduduknya terinfeksi atau terkena dampak AIDS (Funke, 2008).
Slum Tourism
Slum tourism bertujuan untuk membuka peluang bagi kaum miskin untuk
memperoleh keuntungan secara ekonomi, memberikan mata pencaharian, dan
berpartisipasi dalam mengambil keputusan (Ashley, Roe, and Goodwin, 2001). Slum
tourism juga dapat membantu menggerser fokus pariwisata dari wisata yang berbasis
lingkungan dan wisata berbasis alam liar menjadi berfokus kepada wisata pengentasan
kemiskinan yang akan lebih bermanfaat bagi penduduk miskin dan memiliki dampak
yang lebih kecil terhadap lingkungan. Menurut Rolfers (2009), slum tourism
dikembangkan di negara berkembang pada pertengahan 1990-an. Pokok terpenting dari
wisata ini adalah untuk mengunjungi daerah paling tertinggal di dalam kota.
Sekarang ini, banyak biro wisata profesional yang menjalankan dan memasarkan
wisata ke daerah kumuh. Slum tourism memiliki banyak objek pilihan seperti
Johannesburg dan Cape Town di Afrika Selatan, Calcutta, Mumbai, dan Delhi di India,
dan Rio de Janeiro di Brazil. Biasanya wisata ini memfokuskan untuk menarik wisatawan
asing untuk datang. Diperkirakan 40.000 turis berkunjung di kawasan kumuh De Janeiro
tiap tahunnya, sedangkan di Cape Town sekitar 300.000 (Rolfes, 2009).
Slum Tourism di Kibera
Kibera merupakan permukiman kumuh yang paling banyak dikunjungi di Kenya
(Asudi, 2008). Menurut Mowforth (2008), tujuan dari pengadaan wisata ini adalah untuk
mengurangi permukiman kumuh di Kenya dalam jangka panjang dengan cara
melibatkan masyarakat miskin untuk berpartisipasi secara lebih efektif untuk
mengembangkan pariwisata di Kenya, secara jangka pendek kegiatan ini memberikan
keuntungan finansial untuk masyarakat permukiman kumuh.
Menurut penelitian yang dilakukan, responden dari Kenya Tourism Board (KTB)
menyimpulkan hal yang menarik turis datang berkunjung adalah untuk melihat
kehidupan sehari-hari masyarakat penghuni permukiman kumuh Kibera dan untuk
mengambil foto. Sedangkan responden dari pegawasi Victoria Safaris dan penduduk
Kibera menyimpulkan bahwa turis tertarik akan hiburan yang disuguhkan oleh penduduk
(tarian, nyanyian, drama, dan film) dan mengambil foto-foto.