Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

39
A. Negara Kesatuan Republik Indonesia Wacana tentang federalisme hampir hilang dari permukaan. Tetapi wacana tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak pernah hilang dalam kancah perdebatan tentang negara- bangsa Indonesia dan otonomi daerah. Melalui revisi UU No 22/1999 yang disiapkan Depdagri, pemerintah berupaya kembali memperteguh NKRI sebagai kerangka institusional (yang tidak bisa ditawar) bagi otonomi daerah. Berpijak pada tafsir UUD 1945, pendukung NKRI menegaskan, konsepsi otonomi daerah di Indonesia mengandung nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan, Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat "negara". Kesatuan pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan pemerintah, bahkan dapat dihapus pemerintah lewat proses hukum. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas "urusan" pemerintahan, khususnya yang terkait kepentingan masyarakat setempat. Kebijakan desentralisasi dilakukan pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan pemerintah daerah. KONSEP NKRI yang ditonjolkan dalam naskah revisi UU No 22/1999 tentu membawa implikasi terhadap desain desentralisasi, otonomi daerah, hubungan pusat-daerah hingga akuntabilitas pemda. Bahkan penguatan NKRI cenderung mengarah pada penegasan hierarki, resentralisasi, dan reduksi terhadap makna otonomi

Transcript of Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Page 1: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

A. Negara Kesatuan Republik Indonesia

Wacana tentang federalisme hampir hilang dari permukaan. Tetapi wacana

tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak pernah hilang dalam

kancah perdebatan tentang negara-bangsa Indonesia dan otonomi daerah.

Melalui revisi UU No 22/1999 yang disiapkan Depdagri, pemerintah berupaya

kembali memperteguh NKRI sebagai kerangka institusional (yang tidak bisa ditawar)

bagi otonomi daerah. Berpijak pada tafsir UUD 1945, pendukung NKRI menegaskan,

konsepsi otonomi daerah di Indonesia mengandung nilai unitaris dan nilai

desentralisasi teritorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan, Indonesia tidak

akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat "negara".

Kesatuan pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan pemerintah, bahkan

dapat dihapus pemerintah lewat proses hukum. Desentralisasi dimanifestasikan

dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas "urusan" pemerintahan, khususnya

yang terkait kepentingan masyarakat setempat. Kebijakan desentralisasi dilakukan

pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan pemerintah

daerah.

KONSEP NKRI yang ditonjolkan dalam naskah revisi UU No 22/1999 tentu

membawa implikasi terhadap desain desentralisasi, otonomi daerah, hubungan pusat-

daerah hingga akuntabilitas pemda. Bahkan penguatan NKRI cenderung mengarah

pada penegasan hierarki, resentralisasi, dan reduksi terhadap makna otonomi daerah.

Desentralisasi dan otonomi daerah tidak dipahami sebagai pengakuan terhadap

daerah dan pembagian kekuasaan-kewenangan, tetapi penyerahan wewenang

penanganan urusan pemerintah oleh pemerintah kepada daerah untuk menjadi

urusan otonomi daerah dalam kerangka NKRI. Maka, hak dan kewenangan telah

direduksi hanya menjadi "urusan" yang diserahkan pusat. Desentralisasi juga

direduksi menjadi sekadar pembentukan daerah dan penyelenggaraan otonomi

daerah.

Page 2: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Naskah revisi menegaskan pemilihan kepala daerah secara langsung, tetapi

logika demokrasi yang dibangun menjadi tidak konsisten saat akuntabilitas ditarik ke

atas. Kepala daerah maupun kepala desa tidak bertanggung jawab secara horizontal

maupun ke bawah, tetapi ke atas. Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden

melalui Mendagri, Bupati/Wali Kota bertanggung jawab kepada Mendagri melalui

Gubernur, dan Kepala Desa bertanggung jawab kepada Bupati melalui Camat.

Maka, NKRI mengharuskan desentralisasi dan demokrasi lokal yang terkendali

dan terpusat. Menurut pendukungnya, peneguhan NKRI untuk memelihara integrasi

nasional (persatuan-kesatuan) tanpa diganggu separatisme maupun demokrasi lokal

yang kebablasan.

SEJAUH mana argumen itu bisa dipertanggungjawabkan? Kita harus belajar

pada sejarah dan pengalaman di negeri lain. Bagi saya memperdebatkan dua bentuk

negara (kesatuan versus federal) secara dikotomis, apalagi mendramatisasi NKRI,

tidak relevan lagi. Sejarah membuktikan, sentralisme NKRI untuk tujuan membangun

integrasi nasional justru yang menimbulkan bahaya disintegrasi. Perlawanan daerah

mulai dari Sumbar dan Sulsel, gerakan merdeka Aceh dan Papua, kemerdekaan

Timor Timur, sampai federalisme Riau, merupakan bukti kerapuhan sentralisme NKRI.

Di negara lain, faham negara kesatuan tidak dijadikan sebagai berhala.

Kebanyakan negara yang menganut sistem kesatuan menghadapi kuatnya tantangan

federalisasi atau devolusi. Devolusi telah berkembang menjadi bentuk baru distribusi

kekuasaan secara teritorial, yang menggabungkan antara desentralisasi dan

federalisme asimetris. Di banyak negara kesatuan, sebagian wilayah negara telah

disiapkan menjadi unit federal, tanpa mengubah bentuk negara dan daerah tidak

diubah menjadi negara bagian yang berdaulat. Sebagai contoh adalah devolusi di

Inggris, yang menempatkan Skotlandia, Wales, dan Irlandia menjadi unit federal,

sebagaimana Papua dan Aceh di Indonesia. Cina juga memberikan otonomi khusus

kepada Hongkong. Kasus Italia memperlihatkan, klaim federalisme yang dipromosikan

partai lokal Lega Nord telah mengusung proses inovasi desentralisasi untuk membagi

kekuasaan lebih besar dari pusat kepada daerah.

Page 3: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Lontaran kritik terhadap NKRI bukan berarti harus mengubah negara kesatuan

menjadi negara serikat (federal). Dikotomi kesatuan-federal harus mulai ditinggalkan

karena menghadapi tantangan pertarungan antara sentralisme-otoritarisme versus

desentralisasi-demokrasi. Isu pertarungan antara sentralisme-otoritarisme versus

desentralisasi-demokrasi sebenarnya lebih menonjol ketimbang dikotomi federal-

kesatuan.

Uni Soviet, misalnya, menerapkan sistem federal bergaya sentralistik-otoriter,

yang akhirnya dihancurkan kekuatan desentralisasi-demokrasi dan diikuti dengan

disintegrasi. Fakta ini memperlihatkan, penyebab disintegrasi Soviet bukan sistem

federalnya, tetapi formasi negara yang sentralistik-otoriter. Sementara pergolakan

melawan sentralisme-otoritarian juga meluas di banyak negara kesatuan di Asia, yang

diikuti perluasan desentralisasi-demokrasi. Cina, Korsel, Thailand, dan Filipina

merupakan contoh kasus. Indonesia mengikuti garis yang sama. Artinya, isu utama

bukan dikotomi negara kesatuan-federal atau peneguhan sentralisme melalui negara

kesatuan, tetapi bagaimana rebuilding the nation-state dan memperkuat

desentralisasi-demokrasi.

Pemerintah dan kalangan nasionalis tak perlu membuat fatwa secara dramatis

terhadap negara kesatuan dengan dalih untuk memperkuat integrasi nasional.

Tantangan Indonesia kini adalah bagaimana melakukan pembangunan kembali

terhadap nation-state melalui kontrak sosial baru antara pusat dan kekuatan lokal,

serta memperdalam desentralisasi guna memberi pengakuan terhadap lokalitas,

mengembangkan demokrasi lokal, memperbaiki dan mendekatkan pelayanan publik

kepada masyarakat lokal, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, serta

meningkatkan keadilan pembagian kekuasaan dan kekayaan antara pusat dan

daerah.

Konsepsi desentralisasi itu tentu belajar pada sejarah. Kita tahu, Indonesia

tidak lahir begitu saja sejak pergerakan nasional, sumpah pemuda, proklamasi,

maupun revolusi fisik 1945-1950. Sebelum ada Indonesia telah ada daerah-daerah

kerajaan otonom yang umumnya bergolak menentang kolonialisme.

Page 4: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Pembentukan Indonesia tidak diawali dengan penyatuan, apalagi penundukan,

terhadap daerah-daerah atau penyerahan cek kosong daerah-daerah terhadap RI.

Berbagai daerah yang amat beragam itu telah memberi dukungan penuh pada

pergerakan nasional hingga revolusi fisik mempertahankan Indonesia, dan mereka

secara sukarela bergabung (bersatu) pada Indonesia, yang disatukan oleh

kolonialisme Belanda sebagai musuh bersama (common enemy) dan negara-bangsa

Indonesia sebagai perekat bersama (common denominator). Dengan demikian,

pengorbanan, dukungan, kesukarelaan, kebersamaan, persatuan, dan kontrak sosial

semua daerah bekas jajahan Belanda di Nusantara mempunyai kontribusi besar

terhadap pembentukan RI.

Pemerintah tidak bisa mengabaikan sejarah itu dalam memaknai

desentralisasi. Desentralisasi tak boleh dimaknai berdasar teori-teori modern tentang

relasi antarstruktur pemerintahan. Desentralisasi bukan sekadar pembentukan

wilayah dalam kerangka NKRI, tetapi yang paling dasar adalah pengakuan terhadap

daerah (hak, identitas lokal, budaya, entitas politik, dan sumber daya ekonomi).

Pengakuan ini menjadi dasar pembagian (sharing) kekuasaan-kekayaan secara

seimbang dan adil antara pusat dan daerah.

Kini desentralisasi dan otonomi daerah bisa digunakan sebagai arena untuk

membangun kembali negara-bangsa Indonesia. Upaya besar ini tidak cukup

dilakukan hanya dengan pengelolaan isu-isu administratif (kewenangan, urusan,

keuangan, kepegawaian, pembinaan, pengawasan dan lain-lain), tetapi harus

ditempuh dengan kontrak sosial dan transformasi kultural yang lebih otentik.

Kita harus membuka wacana dalam ruang publik yang lebih dialogis.

Pemerintah harus bersedia belajar bersama dengan daerah dan masyarakat lokal.

Ketika berkuasa, Abdurrachman Wahid sebenarnya telah menempuh langkah-

langkah ini melalui perluasan wacana kritisnya tentang pluralisme, lokalitas, identitas

lokal, persatuan, dan seterusnya. Ke depan, semua wacana ini harus terus

dikembangkan sebagai bagian agenda transformasi kultural, seraya melampaui

(beyond) isu-isu administratif dalam otonomi daerah.

Page 5: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

B. OTONOMI DAERAH

            Salah satu produk reformasi adalah ditetapkannya otonomi daerah (Otda)

melalui penetapan UU Nomor 22/1999 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di

Daerah. Otda tersebut telah dirancang untuk mengoreksi pola pembangunan yang

sentralistik sebagaimana di praktekkan  selama Orde Baru. UU ini juga di rancang

sebagai langkah peningkatan partisipasi dan tanggung  jawab daerah dalam proses

pembangunan di daerahnya sendiri dalam kerangka mewujudkan pembangunan

yang berkeadilan. 

            Hal  menarik yang patut di cermati adalah adanya salah satu  pasal yang

mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan  wilayah perairan laut dalam

skenario Otda. Disebutkan dalam Pasal 10,  bahwa daerah provinsi berwenang

mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah tingkat dua

(Dati II) berwenang mengelola wilayah laut sejauh 4 mil laut. Jenis kewenangan

tersebut mencakup peraturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi

dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk

pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan

hukum. Dengan demikian, jelas bahwa implementasi Otda membawa sejumlah

implikasi terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Pertama, sudah seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta

batas-batas wilayahnya sebagai dasar meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti

penetuan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya.

            Kedua, derah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya

perikanan dan kelautan di daerahnya itu. Ketiga, semakin terbuka peluang bagi

masyarakat lokal (nelayan) untuk terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya.

Page 6: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

I. Batasan Desentralisasi / Otonomi

            Desentralisasi adalah pelaksanaan tugas-tugas pemerintah pusat oleh

pemerintah daerah. Pomeroy dan Berkes (1997) dalam Nikijuluw V.P.H Tahun 2002

mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan, wewenang, dan

tanggung jawab secara sistematis dan rasional dari pemerintah pusat kepada

pemerintahan yang secara vertikal ada di bawahnya atau kepada lembaga lokal dari

pemerintah pusat ke pemerintah provinsi pada kasus negara kesatuan.

Seterusnya, kepada pemerintah daerah atau lokal atau bahkan kepada

organisasi masyarakat. Pendekatan desentralisasi  adalah pemerintah pusat

menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah yang ada di bawahnya

atau instansi pemerintah yang lebih rendah. Oleh karena itu otonomi lokal atau

otonomi daerah merupakan hal yang terpenting dalam proses desentralisasi.

Umumnya, kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat dialihkan kepada

pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan

pemerintah pusat.

            Selain definisi atau batasan desentralisasi tadi, definisi yang khas Indonesia

tercantum dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 (UU 22/99) tentang

Pemerintahan Daerah. Pada Bab 1 tentang Ketentuan  Umum UU ini, paling sedikit,

ada tiga definisi yang menunjukkan penyerahan kekuasaan, wewenang, dan

tanggung jawab pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Ketiga definisi tersebut

adalah :

 

(1)    Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan

pusat kepada Daerah Otonom dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Daerah otonom yang di maksudkan di sini adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu yang berwenang

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.

Page 7: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

 

(2)    Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada

gubernur sebagai wakil pemerintah dan/ atau perangkat pusat di daerah.

 

(3) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah

dan desa, dan dari daerah ke desa, untuk melaksanakan tugas tertentu yang

disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia

dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung

jawabkannya kepada pihak yang menugaskan.

 Kewenangan Pemerintah Pusat dalam Bidang Kelautan

1)     Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi,  pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya alam perairan di wilayah laut di luar

perairan 12 mil, termasuk perairan Nusantara dan dasar lautnya serta

Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan landasan kontinen.

 

2)     Penetapan kebijakan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan

benda berharga dari kapal tenggelam di luar perairan laut 12 mil.

 

3)     Penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi

batas-batas daerah otonom di laut dan batas-batas ketentuan hukum

internasional.

 

4).    Penetapan standar pengelolaan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil.

 

5).    Penegakan hukum di wilayah laut diluar perairan 12 mil dan di dalam

perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta berhubungan dengan

internasional.

Kewenangan  Pemerintah Propinsi dalam Bidang Kelautan

        1)     Penataan dan pengelolaan perairan di wilayah laut Provinsi.

Page 8: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

        

2)    Eksplorasi , eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas

wilayah laut kewenangan Provinsi.

 

3)    Konservasi dan pengelolaan plasma  nutfah spesifik lokasi serta suaka

perikanan di wilayah laut kewenangan Provinsi.

 

4)     Pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada

perairan laut di wilayah laut kewenangan Provinsi.

 

5)     Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan

Provinsi.

 

Terdapat beberapa tantangan berkaitan dengan institusionalisasi Otda untuk

konteks  wilayah laut, antara lain :

a.      Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah

pengembangan pesisir dan laut. Implikasinya, tidak tersedianya instrumen

hukum perbatasan antar provinsi tersebut (RTRW, zonasi) untuk dapat

diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan dapat

menanamkan investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah (Tk I dan II)

dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan

kesejahteraan masyarakat.

 

b.     Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang pesisir

dan laut yang terdidik dan terlatih. Sehingga kendala yang di hadapi adalah

kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah

yang ada terhadap pengelolaan di  wilayah pesisir  dan 12 mil laut serta 4 mil

laut yang merupakan kewenangan kabupaten/kota. Sebagai contoh adalah

kesiapan regulasi tentang pemanfaatan lahan peisisir untuk kegiatan

Page 9: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

pembangunan (pariwisata, permukiman dan lain sebagainya), pengaturan

pemanfaatan sumberdaya laut, pengaturan alur pelayaran; dan lain-lainnya.

 

c.     Ketersediaan data dan informasi perikanan sangat terbatas. Dengan

pelaksanaan Otda yang memberikan otonomi terutama kepada kabupaten/kota,

maka tingkat kepatuhan kabupaten/kota untuk mengumpulkan dan megirimkan

data kepada provinsi, yang selanjutnya akan dikirimkan ke pusat,  menjadi

rendah.

 

d.     Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan

teknologi bidang perikanan. Akiibatnya, upaya penerapan ilmu pengetahuan

dan teknologi pengelolaan sumberdaya perikanan/SDL dalam usaha

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum bisa terwujud.

Selain itu bersamaan dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999, pemerintah

juga mengeluarkan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam UU tersebut diatur bagaimanan perimbangan

keuangan antara pusat dan daerah, termasuk di dalamnya keuangan yang berasal

dari kegiatan perikanan di daerah. Pada Pasal 6 ayat 5 dikatakan bahwa

penerimaan negara dari sumberdaya alam.

II. Prospek Otonomi Daerah di Masa Mendatang

Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi,

otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi

Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah,

lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan

masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang

“otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan

Page 10: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat

disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.

Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak

berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah

digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa

pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan

dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah.

UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948

memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah.

Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian

UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung.

Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi daerah yang luas,

nyata dan bertanggungjawab.

Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang

berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah

otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah

yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah

keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup

kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar

negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta

kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang

dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk

Page 11: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata

ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang

dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan

pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada

Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai

tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan

masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan,

pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah

serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :

1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek

demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.

2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan

bertangung jawab.

3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota.

4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga

tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara

Daerah.

5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah

Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada

lagi wilayah administratif.

6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi

badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun

fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam

kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan

pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil

Pemerintah.

Page 12: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari

Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada

Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber

daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang

dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu

segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya

berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kelemahan

yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan dilakukannya

revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.

Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi

Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki bulan kesepuluh

bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi

karena masih dalam proses transisi. Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih

banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan

pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut.

Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung mengkambinghitamkan bahkan

memvonis bahwa UU 22/1999 tersebut keliru.

Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU

22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah

ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap

sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah.

Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan

pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi

berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta

hubungan Pusat dan Daerah.

Page 13: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan

Otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut.

Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai

pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek ideologi,

politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan

pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila

mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan

nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan

sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai

tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima

dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi

Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan

dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia .

Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah

merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah.

Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan

memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan

yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong

tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat

memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai

upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan

kehidupan politik di Daerah.

Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk

pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk

mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan

pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan

terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang

dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan

Page 14: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan

kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat

memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal,

nasional, regional maupun global.

Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan

terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan

budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap

keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan

pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa

lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan

negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat

ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya

khasanah budaya nasional.

Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi Daerah

memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi

Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan

kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap Pusat.

Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat

mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia .

Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi,

politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi

Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan

pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai

prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam

penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.

Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika

berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk

Page 15: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan

suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :

Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah

dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi

kebijakan Otonomi Daerah.

Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi

kebijakan Otonomi Daerah.

Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam

pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.

Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi

Daerah mempunyai prospek yang sanat cerah di masa mendatang. Kita berharap

melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi

Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah

III. Kendala Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Selama hampir seperempat abad kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah. Otonomi Daerah disini diartikan sebagai hak, wewenang

dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah itu sendiri adalah Otonomi Daerah yang

nyata dan bertanggung jawab. Pada hakekatnya Otonomi Daerah disini lebih

merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban Daerah untuk ikut melancarkan

jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang

harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut membawa beberapa dampak bagi

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Diantaranya yang paling menonjol adalah

Page 16: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

dominasi Pusat terhadap Daerah yang menimbulkan besarnya ketergantungan

Daerah terhadap Pusat. Pemerintah Daerah tidak mempunyai keleluasaan dalam

menetapkan program-program pembangunan di daerahnya. Demikian juga dengan

sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan yang diatur oleh Pusat.

Beranjak dari kondisi tersebut timbul keinginan Daerah agar kewenangan

pemerintahan dapat didesentral-isasikan dari Pusat ke Daerah. Akhirnya tanggal 7

Mei 2001 lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah yang menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi Daerah. Otonomi Daerah

disini diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut maka

dimulailah babak baru pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Kebijakan Otonomi

Daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Kota

didasarkan kepada desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan

bertanggung jawab.

Kewenangan Daerah mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan,

kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,

moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah.

Namun demikian lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak serta

merta dapat menyelesaikan permasalahan dominasi kekuasaan Pusat yang dirasakan

Daerah selama ini. Berbagai permasalahanpun muncul sebagai ekses implementasi

kebijaksanaan Otonomi Daerah tersebut. Sebagian pihak menganggap bahwa

kebijaksanaan Otonomi Daerah yang diatur oleh UU 22/1999 adalah kurang tepat,

sehingga perlu segera dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tersebut.

Kendala-kendala yang dihadapi dalam mengimplemen-tasikan kebijaksanaan

Otonomi Daerah tersebut secara umum dapat kita klasifikasikan dari beberapa aspek

Page 17: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

antara lain; aspek politik, aspek regulasi, aspek kelembagaan, aspek aparatur

pemerintahan baik Pusat maupun Daerah dan aspek masyarakat.

Dari segi aspek politik kebijaksanaan Otonomi Daerah sebenarnya sudah

mendapat dukungan secara nasional dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999. Namun demikian dalam perjalanan pelaksanaan UU tersebut

sepertinya kurang mendapat perhatian dan dukungan politik di tingkat nasional. Hal ini

terlihat dari belum dilakukannya penyesuaian beberapa Undang-Undang yang tidak

sejalan dengan kebijaksanaan Otonomi Daerah. Mengingat kebijaksanaan Otonomi

Daerah ini menyangkut seluruh aspek kehidupan dan penyelenggaraan pemerintahan

maka sudah seharusnya UU 22/1999 dijadikan acuan bagi Undang-Undang lainnya.

Sebagai tindak lanjut dari aspek politik tersebut adalah aspek regulasi atau

peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 22/1999 sebagai regulasi

induk kebijaksanaan Otonom Daerah yang diamanatkan pasal 18 UUD 1945 tentu

harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden serta

peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk mengatur lebih lanjut tentang

kewenangan antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota telah diterbitkan Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah

Otonom, dimana PP tersebut memberikan kejelasan dari batasan kewenangan Pusat,

Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Namun demikian regulasi implementasi kebijaksanaan Otonomi Daerah

tersebut masih sangat terbatas, padahal masih sangat banyak hal yang harus segera

diatur dengan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden. Disamping itu juga

terdapat inkonsistensi Pemerintah Pusat dalam mengeluarkan regulasi bagi

pelaksanaan kebijaksanaan Otonomi Daerah tersebut, seperti Keputusan Presiden

Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan.

Keppres tersebut menganulir kewenangan di bidang pertanahan yang sudah menjadi

kewenangan Daerah dengan mengembalikannya menjadi kewenangan Pusat.

Page 18: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Dari aspek kelembagaan untuk mengimplementasikan kebijaksanaan Otonomi

Daerah mengharuskan adanya restrukturisasi kelembagaan pemerintahan baik di

Pusat maupun Daerah. Secara bertahap hal ini telah dilakukan antara lain dengan

melakukan peleburan terhadap instansi vertikal yang berada di Daerah menjadi

Perangkat Daerah serta pelimpahan pegawai negeri sipil Pusat ke Daerah. Namun

demikian dalam pelaksanaannya masih mengalami kendala yang disebabkan antara

lain perbedaan persepsi dalam menafsirkan regulasi yang ada. Sehingga timbulnya

ekses seperti pembentukan dan pemekaran organisasi Perangkat Daerah tanpa

memperhatikan kapasitas dan kondisi Daerah setempat. Hal ini juga mengakibatkan

timbulnya pembengkakan kebutuhan belanja pegawai.

Kendala berikut dalam implementasi kebijaksanaan Otonomi Daerah adalah

terbatasnya kapasitas sumber daya manusia aparatur baik di Pusat dan Daerah.

Keterbatasan kapasitas ini menimbulkan perbedaan persepsi dalam menafsirkan dan

memahami konsep dan semangat Otonomi Daerah. Kondisi ini akan menghambat

percepatan implementasi kebijaksanaan Otonomi Daerah. Sebagian di antaranya

merasa takut akan kehilangan kekuasaan dan sebaliknya sebagian lagi kebablasan

dalam menerapkan Otonomi Daerah. Kondisi SDM aparatur tersebut sebenarnya

tidak terlepas dari sistem kerja dan regulasi yang berlaku selama ini, sehingga

mengakibatkan mereka seperti kehilangan kreatifitas dan inovasi dalam

melaksanakan tugasnya.

Sedangkan dari aspek masyarakat sendiri kendala yang tampak adalah kondisi

masyarakat yang sudah cukup lama terabaikan. Berbagai program pemerintah

selama ini sebagian kurang menyentuh kepentingan masyarakat karena direncanakan

secara top down . Sehingga kebijaksanaan Otonomi Daerah tersebut disambut secara

beragam oleh masyarakat. Walaupun tanggapan masyarakat cukup beragam, namun

secara umum masyarakat cukup antusias dalam menymabut kebijaksanaan Otonomi

Daerah. Hanya saja sebagian kurang yakin apakah Pusat sudah spenuh hati dalam

mengimplementasikan kebijaksanaan ini.

Page 19: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Dari pengalaman melaksanakan kebijaksanaan Otonomi Daerah semenjak

Januari 2001 dapat disimpulkan beberapa kendala yaitu antara lain :

a. Belum memadainya regulasi atau peraturan pelaksanaan kebijakan Otonomi

Daerah

b. Terdapatnya inkonsistensi pemerintah pusat dalam melaksanakan

kebijaksanaan Otonomi Daerah

c. Belum terdapatnya persamaan persepsi dalam menafsirkan kebijakan Otonomi

Daerah dar berbagai kalangan

d. Terbatasnya kemampuan SDM dalam melaksanakan kebijakan Otonomi

Daerah.

Kendala-kendala tersebut akan dapat diatasi, jika semua komponen

bangsa turut memberikan dukungannya. Memvonis bahwa UU 22/1999 harus

segera direvisi merupakan suatu langkah yang kurang tepat. Hendaknya dilakukan

monitoring dan evaluasi yang komprehensif terhadap pelaksanaan kebijaksanaan

Otonomi Daerah tersebut. Mengingat waktu pelaksanaan UU 22/1999 yang kurang

dari satu tahun, kiranya akan lebih baik jika diupayakan dulu mengoptimalkan

implementasi kebijaksanaan Otonomi Daerah tersebut.

IV. Format Otonomi Daerah dan Dampaknya Terhadap Anggaran Pembangunan

Daerah

Jika kita membicarakan otonomi daerah maka hal ini tidak akan terlepas dari

membicarakan desentralisasi. Otonomi daerah sebenarnya bukanlah merupakan

barang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di republik tercinta ini.

Bahkan semenjak masa pemerintahan kolonial Belanda sudah dikenal adanya

otonomi daerah diantaranya sebagai diatur dalam Wethoundende Decentralisatie van

het Bestuur in Nederlandsch Indie yang lebih dikenal dengan Decentralisatie Wet

Page 20: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

1903. Kemudian semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai

sekarang telah banyak undang-undang yang mengatur otonomi daerah tersebut,

diantaranya ; UU 1/1945, UU 22/1948, UU NIT 44/1950, UU 1/1957, Penpres 6/1959,

UU 18/1965, UU 5/1974 dan terakhir denganUU.22/1999.

Lebih dari dua dekade penyelenggaraan pemerintahan daerah di bawah UU

No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggunakan azas

dekonsentrasi, desentralisasi dan pembantuan. Pada masa itu dilak-sanakan prinsip

otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Otonomi daerah dipahami

sebagai hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun demikian otonomi daerah tersebut lebih mengarah kepada kewajiban

dibandingkan sebagai hak. Urusan-urusan yang menjadi urusan rumah tangga daerah

ditentukan oleh pusat bukan oleh daerah sendiri, sehingga urusan yang diserahkan

tersebut lebih menekankan kepada kewajiban daripada hak.

Sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU 5/1974 tersebut

ketergantungan daerah kepada pusat sangat besar. Daerah yang seharusnya

diberdayakan untuk mengurus rumah tangganya sendiri pada kenyataannya sangat

tergantung kepada juklak, juknis dan berbagai panduan lainnya yang dikeluarkan oleh

pusat. Sehingga boleh dikatakan pelaksanaan otonomi daerah selama ini ibarat

kepala dilepas tapi ekor dipegang .

Dalam rangka pemberdayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi

masyarakatnya maka pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU 22/1999 telah

membawa angin segar. Lahirnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah

memberikan kewenangan yang sangat luas bagi daerah dalam seluruh bidang

pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan bidang agama. UU 22/1999

menyatakan bahwa otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 21: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Selanjutnya ke depan kita berharap pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU

22/1999 ini akan dapat meningkatkan kapasitas daerah dalam mengatur dan

mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakatnya. Karena daerah lebih memahami

kondisi dan karakter daerah serta masyarakatnya maka setiap kebijakan yang diambil

tentu akan lebih menyentuh kepentingan dan sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.

Dengan kewenangan yang dimilikinya daerah akan lebih leluasa dalam menyusun

dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan

pelayanan kepada masyarakat.

Pelaksanaan pembangunan daerah tentu saja tidak terlepas dari ketersediaan

dana untuk pembiayaannya. Pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan daerah

dituangkan dalam anggaran pembangunan. Selama ini anggaran pembangunan

daerah terbagi atas anggaran pembangunan yang termasuk dalam APBD dan

anggaran pembangunan yang dikelola oleh instansi vertikal di daerah.

Anggaran pembangunan daerah pada umumnya bersumber dari bantuan

pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Bantuan pembangunan yang

diberikan oleh pusat kepada daerah terdiri atas bantuan umum dan bantuan khusus.

Bantuan umum pada prinsipnya merupakan dana yang diserahkan penggunaannya

kepada daerah dalam rangka pembangunan daerah, sedangkan bantuan khusus

penggunaannya ditetapkan oleh pemerintah melalui Inpres.

Dalam pelaksanaan bantuan umum tersebut pada kenyataannya pemerintah

pusat memberlakukan dua ketentuan yaitu diarahkan dan ditetapkan. Ditetapkan

maksudnya penggunaan dana tersebut telah ditetapkan khusus oleh pemerintah

pusat sehingga daerah hanya melaksanakan sesuai ketetapan tersebut. Sedangkan

pada penggunaan yang diarahkan, pusat menetapkan ketentuan dan batasan yang

harus diikuti daerah dalam penggunaan dana tersebut.

Kalau kita perhatikan kondisi tersebut secara seksama sebenarnya selama ini

program pembangunan daerah lebih banyak ditentukan oleh pusat daripada daerah

sendiri. Perencanaan pembangunan yang disusun daerah harus berada dalam

Page 22: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

ketentuan atau batas-batas yang digariskan pusat. Batasan-batasan yang diberikan

oleh pusat tersebut kadang-kadang berbenturan dengan kepentingan dan kebutuhan

daerah sehingga dapat menyebabkan program pembangunan yang disusun tidak

menyentuh kebutuhan daerah dan masyarakat.

Disamping hal di atas pengalokasian anggaran pembangunan sektoral di

daerah yang dikelola oleh instansi vertikal sering tumpah tindih dengan program

pembangunan daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah. Hal ini tentu saja

merupakan pemborosan anggaran pembangunan.

Melalui kewenangan yang diberikan oleh UU 22/1999 kepada daerah dalam

penyelenggaraan otonomi daerah maka berbagai kelemahan dalam penyusunan dan

pengelolaan anggaran pembangunan daerah diharapkan dapat disempurnakan.

Dengan kewenangan yang dimilikinya daerah dapat menyusun perencanaan

pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan aspirasi masyarakat.

Perencanaan pembangunan tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan

kemampuan daerah.

Anggaran pembangunan yang disusun dengan memperhatikan keseimbangan

antara kebutuhan dan kemampuan daerah tentu akan lebih efektif dibandingkan

dengan anggaran pembangunan yang disusun dengan prinsip keseragaman antar

daerah. Anggaran pembangunan tersebut diharapkan dapat mengatasi terjadinya

pemborosan sebagai akibat program pembangunan yang tumpang tindih.

Secara ideal, jika pengelola keuangan daerah yang bersumber dari PAD, dana

perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang sah merupakan

kewenangan daerah maka penggunaannya untuk anggaran pembangunan akan lebih

efektif. Pengalokasian dana tersebut ke dalam anggaran pembangunan tentu harus

berdasarkan pengkajian dan pertimbangan yang matang. Mustahil daerah akan

mengalokasikan sejumlah dana tanpa melalui perencanaan yang matang, karena hal

ini dapat menjadi pemborosan baik keuangan daerah.

Page 23: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Dalam tahap awal pelaksanaan otonomi daerah banyak daerah yang

mengalami shock akibat terbatasnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang dapat

dialokasikan untuk anggaran pembangunan karena sebagian besar dana tersebut

terserap untuk anggaran belanja rutin. Hal ini antara lain karena selama ini dalam

penyusunan anggaran pembangunan dan anggaran rutin dalam APBD sudah ada

pedoman dan panduan dari pusat, sedangkan sekarang sepenuhnya menjadi

kewenangan daerah. Disamping itu jajaran instansi vertikal yang dulu menerima

anggaran pembangunan dari DIP APBN, setelah sekarang dilebur menjadi perangkat

daerah tidak lagi mengelola dana yang sama tetapi mengelola dana yang bersumber

dari APBD.

Tahun-tahun awal pelaksanaan otonomi daerah merupakan masa-masa yang

berat dan penuh tantangan bagi sebagain besar daerah dalam menyusun dan

mengelola anggaran pembangunan tersebut. Namun demikian kita harus yakin bahwa

hal ini akan dapat disempurnakan secara bertahap sehingga pada saatnya nanti

sejalan dengan peningkatan kapasitas SDM, keuangan, dan kelembagaan, daerah

akan mampu menyusun dan mengelola anggaran pembangunan sebagaimana yang

diharapkan.

Salah satu tujuan pembangunan daerah adalah untuk memacu pertumbuhan

ekonomi daerah. Sedangkan pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai alat ukur bagi

keberhasilan pembangunan. Peningkatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi

selanjutnya akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan yang dilaksanakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi

daerah tersebut harus memperhatikan antara lain; kondisi ekonomi masyarakat yang

ada, potensi sumber daya alam dan manusia, dan infrastruktur yang tersedia. Dengan

mempertimbangkan aspek-aspek tersebut selanjutnya disusun perencanan

pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana telah dibahas di depan dengan kewenangan yang dimiliki daerah

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri

Page 24: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

berdasarkan aspirasi masyarakat dimungkin daerah untuk menyusun perencanaan

dan melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah.

Pembangunan daerah yang dilaksanakan tersebut tentu akan membawa prospek baik

bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Akhirnya untuk mencapai hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas dan

partisipasi dari para stakeholders di daerah serta keseriusan dan kerelaan pusat

mmeberikan pembinaan dan dukungan. Tanpa keterlibatan para stakeholders dan

dukungan pusat tersebut akan sulit bagi daerah dalam melaksanakan pembangunan

menuju terwujudnya pertumbuhan ekonomi daerah.

Page 25: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

C. PEMBERIAN OTONOMI KHUSUS KEPADA SUATU DAERAH DI INDONESIA

Dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh pemerintah Indonesia terhadap

wilayah Daerah Istimewah Aceh agar mempunyai hak membangun sendiri daerahnya

tanpa campur tangan pemerintah menimbulkan kecemburuan sosial terhadap

berbagai daerah lainnya di Indonesia misalnya Papua dan Maluku. Kebijakan

pemerintah untuk membarkan D.I.Aceh mengembangkan daerahnya secara mandiri

itu disebabkan atau merupakan perjanjian yang dibuat pemerintah Indonesia dengan

pemerintah aceh yang dahulu disebut GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki

Findlandia. Perjanjian ini dbuat agar pihak GAM mau berdamai dengan pemerintah

Indonesia dan membatalkan usahanya untuk mendirikan negara sendiri dan berpisah

dari negara kesatuan republik Indonesia.

I. Otonomi Daerah yang Terjadi di Aceh

Jika dirunut, salah satu isu sentral yang mencuat, terkait negara kesatuan.

Saat itu ada pendapat, hasil perundingan Helsinki akan menjadi jalan kemerdekaan

bagi Aceh. Contoh yang sering dikemukakan, hasil perundingan Helsinki tidak

eksplisit menyebut UUD 1945 dan NKRI

Kecemasan itu menjadi catatan khusus penyusun RUU PA sehingga perlu

tepat dirumuskan posisi Aceh dalam NKRI. Hasil rumusan RUU PA terbaca dalam

Pasal 1 angka 1: "Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan

masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI

berdasar UUD 1945". Pasal 1 angka 4 RUU PA menguatkan rumusan itu,

"Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI

berdasar UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

dilaksanakan Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh

sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing".

Page 26: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

Jika dibaca cermat, rumusan Pasal 1 angka 1 dan angka 4 RUU PA

merupakan titik temu antara prinsip negara kesatuan dan hasil perundingan Helsinki.

Frasa terbuka "bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat"

dikunci dengan frasa "sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan

prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945".

Tidak hanya terbatas pada meletakkan otonomi khusus Aceh dalam NKRI,

Pasal 7 Ayat (1) RUU PA menggariskan, Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota

berwenang mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat. Dalam hal ini, kewenangan

pusat meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,

pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan bidang agama.

Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran otonomi khusus akan

meruntuhkan NKRI. Apalagi, UUD 1945 melandasi pelaksanaan prinsip desentralisasi

yang tidak simetris (asymetrical decentralization) antara satu daerah dan daerah lain.

Prinsip itu ditemukan dalam Pasal 18 UUD 1945.

Berdasarkan penjelasan itu, isu luruhnya bangunan NKRI dalam RUU PA tidak

relevan. Yang jauh lebih rumit, keberatan dan penolakan terhadap RUU PA dari

sejumlah kalangan Tanah Rencong. Misalnya, aktivis Sentra Informasi Referendum

Aceh (SIRA) menilai RUU PA memangkas kewenangan Aceh terutama terkait

pembagian sumber daya alam dan migas (Kompas, 12/7). Bahkan, karena Jakarta

dianggap belum ikhlas memberi kewenangan kepada daerah, Jaringan Demokrasi

Aceh (JDA) menolak pengesahan RUU PA dan akan mempersoalkan hal itu melalui

mekanisme hak uji materiil.

Masalah itu bisa menjadi kian rumit karena beberapa substansi RUU PA

dipersoalkan sejumlah petinggi GAM. Misalnya, penggantian istilah "persetujuan"

menjadi "pertimbangan" dalam rencana persetujuan internasional dan pembentukan

UU oleh DPR, terkait pemerintahan Aceh. Tidak hanya itu, peluang pemerintah pusat

Page 27: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan urusan yang dilaksanakan Pemerintah Aceh bisa mereduksi kekhususan

Aceh (Koran Tempo, 12/07).

Dari beberapa keberatan itu, catatan GAM perlu disikapi serius. Penyikapan itu

tidak terlepas dari posisi RUU PA saat ini yang tidak mungkin diubah. Yang paling

masuk akal dilakukan, meski tidak disebut dengan istilah "persetujuan", DPR harus

memerhatikan sungguh-sungguh tiap "pertimbangan" Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

(DPRA). Jika itu bisa dilakukan, penggantian istilah "persetujuan" menjadi

"pertimbangan" tentu tidak akan menjadi penghambat dalam meneruskan proses

rekonsiliasi di Aceh.

Yang perlu disadari, saat perundingan Helsinki, perumusan naskah MOU

hanya berlangsung antara GAM-Pemerintah RI. Namun, ketika hasil perundingan

harus dituangkan dalam bentuk UU, kepentingan politik DPR menjadi faktor penting

yang harus dipertimbangkan GAM. Artinya, jika ada sebagian kecil hasil perundingan

Helsinki tidak terakomodasi dalam RUU PA, jangan dijadikan alasan untuk merusak

suasana damai yang telah terbangun.

Dalam situasi seperti sekarang, semua pihak harus saling mengerti dan

menerima. Misalnya, bagi semua elemen di Aceh, penyelesaian RUU PA harus

dijadikan kesempatan untuk menggenjot segala aspek pembangunan guna

menciptakan kesejahteraan masyarakat. Apalagi, sebagian materi RUU PA akan

dielaborasi lebih jauh dalam qanun. Kegagalan dalam merumuskan qanun amat

potensial menghancurkan sejumlah lompatan besar yang ada dalam RUU PA.

Sementara itu, pemerintah pusat tidak boleh lagi menggunakan kekuasaan

(seperti di daerah lain) untuk mereduksi sifat kekhususan yang diberikan kepada

Aceh. Tindakan represif terhadap qanun mesti dihindari. Jika pusat keberatan dengan

substansi qanun, sebaiknya dilakukan upaya nonrepresif. Bagaimanapun, dengan

tetap mengedepankan tindakan represif, penilaian bahwa pemerintah pusat tidak

ikhlas dan berupaya mereduksi kekhususan Aceh sulit untuk dihindari. Jika semua

Page 28: Paper Nkri Dan Otonomi Daerah politik

pihak bisa saling memahami, RUU PA benar-benar akan menjadi fajar baru bagi

otonomi khusus di Aceh.