Paper keanekaragaman hayati, bunga edelweiss
-
Upload
muhammad-aprilian-sudrajat -
Category
Documents
-
view
45 -
download
2
Transcript of Paper keanekaragaman hayati, bunga edelweiss
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keaneka
ragaman hayati tertinggi didunia. Di dunia ini tidak ada dua individu yang
benar-benar sama. Setiap individu memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda
sehingga menunjukkan adanya keanekaragaman makhluk hidup di Bumi ini.
Kekhasanan dan tingginya tingkat keanekaragaman makhluk hidup sangat
bermanfaat untuk kelangsungan hidup umat manusia. Keanekaragaman
makhluk hidup yang ada di Bumi ini disebut sebagai keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman hayati (biodiversitas) adalah keanekaragaman organisme
yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu
daerah. Keanekaragaman hayati melingkupi berbagai perbedaan atau variasi
bentuk, penampilan, jumlah, dan sifat-sifat yang terlihat pada berbagai
tingkatan, baik tingkatan gen, tingkatan spesies, maupun tingkatan ekosistem.
Gampangnya, keanekaragaman hayati adalah semua jenis perbedaan antar
mahkluk hidup.
Definisi yang lain menyatakan bahwa biodiversitas sebagai diversitas
kehidupan dalam semua bentuknya, dan pada semua level organisasi. Dalam
semua bentuknya menyatakan bahwa biodiversitas mencakup tumbuhan,
binatang, jamur, bakteri dam mikroorganisme yang lain. Semua level
organisasi menunjukkan bahwa biodiversitas mengacu pada diversitas gen,
speses dan ekosistem. Ada dua faktor penyebab keanekaragaman hayati, yaitu
faktor genetik dan faktor luar. Faktor genetik bersifat relatif konstan atau stabil
pengaruhnya terhadap morfologiorganisme. Sebaliknya, faktor luar relatif
stabil pengaruhnya terhadap morfologi organisme.
Keanekaragaman hayati dapat terbentuk karena adanya keseragaman dan
keanekaragaman untuk sifat atau ciri makhluk hidup. Keanekaragam hayati
dapat terjadi pada berbagai tingkat kehidupan. Saat ini tekanan terhadap
keanekaragaman hayati makin tinggi. Kemajuan teknologi telah mengubah
fungsi berbagai flora dan fauna sebagai hasil hutan. Akibatnya dimasa
mendatang diramalkan degradasi lingkungan makin tinggi. Oleh karena itu
keaekaragaman hayati perlu dilestarikan.
Paper ini akan membahas tentang bunga edelweiss (Anaphalis javanica)
khususnya, karena tanaman ini sudah termasuk langka dan dapat
mempengaruhi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Bunga
Edelweiss (Anaphalis javanica) adalah salah satu yang terkenal di Eropa,
bunga ini merupakan bunga gunung terbaik yang dimiliki oleh keluarga bunga
matahari (Asteraceae). Nama Edelweis berasal dari Jerman, yaitu Edel (berarti
mulia) dan Weiss (artinya putih). Sedangkan nama ilmiahnya, yaitu
Leontopodium berarti "kaki singa", yang berasal dari kata Yunani leon (singa)
dan podion (mungil Pous, kaki).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah tanaman Edelweiss (Anaphalis javanica)?
2. Bagaimana morfologi tanaman Edelweiss (Anaphalis javanica)?
3. Bagaimana penyebaran tanaman Edelweiss (Anaphalis javanica)di dunia
dan Indonesia?
4. Apa saja manfaat yang terkandung dalam tanaman Edelweiss (Anaphalis
javanica)
5. Bagaimana langkah konservasi tanaman Edelweiss (Anaphalis javanica)
agar tidak punah?
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah tanaman Edelweiss (Anaphalis
javanica).
2. Mahasiswa dapan menjelaskan morfologi tanaman Edelweiss (Anaphalis
javanica).
3. Mahasiswa dapan menjelaskan penyebaran tanaman Edelweiss (Anaphalis
javanica)di dunia dan Indonesia.
4. Mahasiswa mengetahui manfaat yang terkandung dalam tanaman
Edelweiss (Anaphalis javanica).
5. Mahasiswa mengetahui dan dapat melakukan langkah konservasi tanaman
Edelweiss (Anaphalis javanica) agar tidak punah.
ISI
A. Sejarah dan informasi Anaphalis javanica
Anaphalis javanica, yang dikenal secara populer sebagai Edelweiss jawa
(Javanese edelweiss) atau Bunga Senduro, adalah tumbuhan endemik zona
alpina/montana di berbagai pegunungan tinggi Nusantara. Tumbuhan ini
dapat mencapai ketinggian 8 meter dan dapat memiliki batang sebesar kaki
manusia walaupun umumnya tidak melebihi 1 meter. Tumbuhan ini sekarang
dikategorikan sebagai langka. Jika tumbuhan ini cabang-cabangnya dibiarkan
tumbuh cukup kokoh, edelweis dapat menjadi tempat bersarang bagi
burung tiung batu licik (Myophonus glaucinus).
Bagian-bagian edelweis sering dipetik dan dibawa turun dari gunung
untuk alasan-alasan estetis dan spiritual, atau sekedar kenang-kenangan oleh
para pendaki. Pada bulan Februari hingga Oktober 1988, terdapat 636 batang
yang tercatat telah diambil dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
yang merupakan salah satu tempat perlindungan terakhir tumbuhan ini.
Dalam batas tertentu dan sepanjang hanya potongan-potongan kecil yang
dipetik, tekanan ini dapat ditoleransi. Di Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru, tumbuhan ini dinyatakan punah.
Sayangnya keserakahan serta harapan-harapan yang salah telah
mengorbankan banyak populasi, terutama populasi yang terletak di jalan-jalan
setapak. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa edelweis dapat
diperbanyak dengan mudah melalui pemotongan cabang-cabangnya. Oleh
karena itu potongan-potongan itu mungkin dapat dijual kepada pengunjung
untuk mengurangi tekanan terhadap populasi liar.
B. Daerah Persebaran Geografis Anaphalis javanica
Bunga Edelweiss banyak ditemukan di daerah Alpen, Jerman, Swiss,
Austria, Italia, dan Perancis. Bunga Edelweiss cukup langka di alam liar dan,
di banyak daerah, yang dianggap terancam di beberapa negara. Edelweiss
adalah tanaman dilindungi di banyak negara, termasuk Mongolia, Bulgaria,
Kroasia, Swiss (sejak 1878), Perancis, Norwegia, India (wilayah Zanskar),
Italia, Serbia, Malaysia (Dalam Genting dan Cameron Highlands),
Indonesia (Di Gunung Semeru), Jerman, Spanyol (Ordesa Taman Nasional),
Polandia dan Slovakia (Tatra Taman Nasional), Slovenia (di Gorizia dan
Gradisca sejak 1896, di Carniola sejak 1898), Austria (sejak 1886)
dan Rumania (sejak 1933). Di Indonesia banyak ditemukan di daerah
pegunungan di Jawa, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Lombok.
C. Morfologi Anaphalis javanica
Klasifikasi Ilmiah
Edelweis merupakan tumbuhan pelopor bagi tanah vulkanik muda di
hutan pegunungan serta mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya di
atas tanah yang tandus, karena mampu membentuk mikoriza dengan jamur
tanah tertentu yang secara efektif memperluas kawasan yang dijangkau oleh
akar-akarnya dan meningkatkan efisiensi dalam mencari zat hara. Bunga-
bunganya sangat disukai oleh serangga, lebih dari 300 jenis serangga seperti
kutu, tirip, kupu-kupu, lalat, tabuhan dan lebah terlihat mengunjunginya.
Edelweiss Jawa Edelweiss Eropa
Kerajaan Plantae
Divisi Magnoliophyta
Kelas Magnoliopsida
Ordo Asterales
Famili Asteraceae
Bangsa Gnaphalieae
Genus Anaphalis Leontopodium
Spesies A.javanica L.alpinum
Nama Binomial Anaphalis javanica Leontopodium alpinum
Bunga edelweiss yang menyukai sinar matahari penuh ini dalam ukuran
dewasa dapat mencapai 8 meter tingginya, tapi pada umumnya hanya
mencapai tinggi kurang dari satu meter. Daun dan bunganya ditutupi bulu-
bulu putih seperti wool, untuk daun berbentu tombak. Tangkai bunga
edelweiss dapat tumbuh dari ukuran 3-20 cm menjadi 40 cm. Masing-masing
bunga terdiri dari 5-6 kepala bunga kuning kecil (5mm), dikelilingi oleh
daun-daun muda menjadi bentuk bintang. Bunga ini akan berkembang antara
bulan Juli-September. Tumbuhan ini penyebarannya bervariasi, akan tetapi
lebih sering dijumpai di daerah berbatu dengan ketinggian 2000-2900 m.
Tumbuhan ini tidak beracun, bahkan sering dipakai dalam pengobatan
tradional untuk mengobati perut dan pernafasan. Bulu-bulu tebal yang
muncul merupakan adaptasi dari ketinggian tempat, dan melindungi
tumbuhan dari dingin, kering, dan dari radiasi UV. Bunga edelweiss
umumnya terlihat antara bulan April – Agustus, dimana pada sekitar akhir
Juli – Agustus merupakan fase mekar terbaiknya.
D. Manfaat Anaphalis javanica
Ekstrak dari bunga edelweiss dapat dijadikan obat sejak peradaban kuno
untuk mengatasi berbagai penyakit seperti diare, disentri, TBC dan difteri.
Karena bunga tersebut memiliki kandungan anti-oksidan yang cukup banyak,
yaitu anti-mikroba yang dapat membunuh jamur dan bakteri dan memiliki
sifat anti-inflamasi atau radang. Ekstrak dari bunga tersebut juga memiliki
sifat pelindung yang sangatlah baik bagi keremajaan sel-sel dalam kulit dan
melindungi kulit agar tetap kelihatan muda dan segar dengan menghancurkan
radikal bebas yang berbahaya bagi kesehatan kulit. Bunga edelweiss bisa
dijadikan teh yang dapat mengobati sirkulasi yang buruk, batuk, difteri dan
kanker payudara. Bisa juga dijadikan salep sebagai perlindungan kulit dari
sinar UV, meredakan rasa sakit karena rematik dan menyembuhkan luka.
E. Langkah Konservasi Anaphalis javanica
Sangat disayangkan karena sampai sekarang belum ada keseriusan
pemerintah dalam menangani masalah kelangkan tanaman Anaphalis
javanica ini, pemerintah selama ini haya mengeluarkan kebijakan dan hanya
membuka cagar alam tanpa adanya perawatan khusus pada tanaman ini
sehingga sampai sekarang masih saja ada oknum yang tidak bertanggung
jawab seenaknya mengambil tanaman ini untuk kepentingan pribadi mereka.
Namun kita tetap dapat mencegah kepunahan spesies ini dengan cara gencar
melakukan publikasi bahwa tanaman ini sedang di ambang kepunahan
sehingga akan semakin banyak orang sadar untuk ikut melestarikan habitat
dan juga tanaman ini. Langkah lain yang dapat ditempuh adalah dengan cara
melakukan stek batang dalam proses perbanyakan tanaman ini agar tidak
terjadi kepunahan.
F. Gambar Anaphalis javanica
KESIMPULAN
Anaphalis javanica, yang dikenal secara populer sebagai Edelweiss jawa
(Javanese edelweiss) atau Bunga Senduro, adalah tumbuhan endemik zona
alpina/montana di berbagai pegunungan tinggi Nusantara. Bunga Edelweiss
banyak ditemukan di daerah Alpen, Jerman, Swiss, Austria, Italia, dan
Perancis. Bunga Edelweiss cukup langka di alam liar dan, di banyak daerah,
yang dianggap terancam di beberapa negara. Di Indonesia banyak ditemukan
di daerah pegunungan di Jawa, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan
Lombok.
Bunga edelweiss yang menyukai sinar matahari penuh ini dalam ukuran
dewasa dapat mencapai 8 meter tingginya, tapi pada umumnya hanya
mencapai tinggi kurang dari satu meter. Daun dan bunganya ditutupi bulu-
bulu putih seperti wool, untuk daun berbentu tombak. Tangkai bunga
edelweiss dapat tumbuh dari ukuran 3-20 cm menjadi 40 cm. Masing-masing
bunga terdiri dari 5-6 kepala bunga kuning kecil (5mm), dikelilingi oleh
daun-daun muda menjadi bentuk bintang. Bunga ini akan berkembang antara
bulan Juli-September. Tumbuhan ini penyebarannya bervariasi, akan tetapi
lebih sering dijumpai di daerah berbatu dengan ketinggian 2000-2900 m.
Ekstrak dari bunga edelweiss dapat dijadikan obat sejak peradaban kuno
untuk mengatasi berbagai penyakit seperti diare, disentri, TBC dan difteri.
Karena bunga tersebut memiliki kandungan anti-oksidan yang cukup banyak,
yaitu anti-mikroba yang dapat membunuh jamur dan bakteri dan memiliki
sifat anti-inflamasi atau radang. Ekstrak dari bunga tersebut juga memiliki
sifat pelindung yang sangatlah baik bagi keremajaan sel-sel dalam kulit dan
melindungi kulit agar tetap kelihatan muda dan segar dengan menghancurkan
radikal bebas yang berbahaya bagi kesehatan kulit.
Kita dapat mencegah kepunahan spesies ini dengan cara gencar
melakukan publikasi bahwa tanaman ini sedang di ambang kepunahan
sehingga akan semakin banyak orang sadar untuk ikut melestarikan habitat
dan juga tanaman ini. Langkah lain yang dapat ditempuh adalah dengan cara
melakukan stek batang dalam proses perbanyakan tanaman ini agar tidak
terjadi kepunahan.
DAFTAR PUSTAKA
Aliadi, A., A.M.Z. Efrizal,dan Dj. Edje. 1990. Kemungkinan Penangkaran Edelweis (Anaphalis javanica (Bl.) Boerl.) dengan Stek Batang (Possibilities of Cultivating Edelweis with Stem Cuttings).Media Konservasi. 3 (1): 37-45.
Backshall, S,. Leffman, D,. Reader, L,. dan Stedman, H. 2005. The Rough Guide To Indonesia. United Kingdom: Rough Guide.
Rahalus, M., Kumaunang, M., Wuntu, A., dan Pontoh, J. Barcode DNA Edelweis(Anaphalis javanica) Berdasarkan Gen matK. Jurnal MIPA Unsrat Online. 4 (2): 131-136.
Sastrapradja, S., Adisoemarto, S,. dan Rifai, M. 1992. Khazanah Flora dan Fauna Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Whitten, T., Whitten, J., and Cubbit, G. 1992. Wild Indonesia: The Wildlife and Scenery of the Indonesian Archipelago. United Kingdom: New Holland.