PAPER JURNAL ONLINE PERSEPSI BURUH TERHADAP ... KUSUMA WARDANA...PAPER JURNAL ONLINE PERSEPSI BURUH...
Transcript of PAPER JURNAL ONLINE PERSEPSI BURUH TERHADAP ... KUSUMA WARDANA...PAPER JURNAL ONLINE PERSEPSI BURUH...
PAPER JURNAL ONLINE
PERSEPSI BURUH TERHADAP PARTAI POLITIK
(Studi Kasus Persepsi Anggota Serikat Pekerja Nasional Kota Salatiga terhadap
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014 )
Disusun Oleh :
Novandi Kusuma Wardana
D0209061
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
1
PERSEPSI BURUH TERHADAP PARTAI POLITIK
(Studi Kasus Persepsi Buruh Anggota Serikat Pekerja Nasional Kota Salatiga
Terhadap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014)
Novandi Kusuma Wardana
Nuryanto
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
The 4th
Indonesian general election after Orde Baru will be held in April 2014. There
are 15 political parties qualified join this election. Therefore, all the parties
endeavour to make a good communication to persuade the political campaign object
to be their voters. It is because the party which has the highest vote will become the
winner of the general election. In contrast, the citizens lack information about parties
is a serious problem for the parties. It can be seen that the numbers of ‘golput’
(abstainers) increases at every period of election. The number of ‘golput’ in
Indonesian general election in 2009 attained 29.01% of listed voters by KPU. It is
assumpted that most of voters did not believe with the parties and they were
disappointed with them. Furthermore, labour is one of the social groups which has a
large numbers of voters. Therefore, if the communication between labour and parties
does not correspond, it means that political parties as the communicators fail to
delivered their message – especially in terms of industrial decision. On the other
hand, labour through Union Workers is not being involved in the process of making
decision in parliament. Therefore, labour sees the phenomenon as lack of fairness.
Moreover, one of the union workers which has the same problem is SPN in Salatiga,
Central Java. Furthermore, this research is conducted to know about the perception
of SPN Kota Salatiga members which have 2 different views of parties. This research
is exploratory research by exploring the analyzed object to describe, identify, analyze
with other sources (journals, articles, documents, papers, etc) in order to make the
result become more valid. Hopefully, by knowing the labours perception, parties can
make a better communication with union workers as the potential object of campaign.
In addition, labour, through the union workers can build a better view about parties –
how important is the engagement with parties, so that they try to not ignore them.
Keyword: Labour, Election, Parties, Politics, Perception.
2
Pendahuluan
Tahun 2014 menjadi tahun politik bagi Indonesia, karena akan terjadi pesta
politik terbesar yaitu pemilihan umum. KPU telah merilis 15 partai politik (parpol)
yang bersaing memperebutkan kekuasaan politik di Indonesia. Sebagai komunikator
parpol memiliki tugas untuk mampu memobilisasi khalayak untuk memberikan
dukungannya (Cangara, 2009: 275). Maka dari itu strategi komunikasi yang jitu
sebagai sebuah hal yang harus dipenuhi dalam upaya persuasi terhadap rakyat.
Namun jika melihat pada Pemilihan Umum 2009 sebelumnya, partai politik telah
gagal membangun sebuah jalinan komunikasi yang efektif antara masyarakat dengan
parpol. Elit politik gagal dalam menyampaikan pesan politik dan mencari jalan keluar
bagi masalah yang dihadapi bangsa. Alih-alih menggunakan berbagai media dengan
budget yang mahal, strategi komunikasi yang ada justru minim pesan karena anggota
parpol sendiri justru terjebak dalam persaingan dan pertikaian antar parpol daripada
berusaha untuk mencari jalan keluar bagi persoalan bangsa.
Kajian yang dilakukan oleh Dwi Tiyanto, Pawito, Pamela Nilan, dan Sri
Hastjarjo di Surakarta menjelang pemilihan umum legislatif 2009, misalnya,
menemukan kenyataan bahwa masyarakat pada dasarnya merasa kecewa atau tidak
puas terhadap kinerja partai politik dan kinerja elit politik. Ketidakpuasan yang
berkembang dalam masyarakat berkaitan dengan kinerja partai politik terutama
berkenaan dengan terbengkalainya sejumlah fungsi penting partai politik seperti
fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat, rekruitmen kepemimpinan, dan
fungsi sosial (Pawito, 2012: 12).
Ketidakpuasan pun berkembang disalah satu kelompok masyarakat yang
memiliki kekuatan masa yang sangat besar, yaitu kelompok buruh. Kegagalan parpol
sebagai komunikator menyebabkan tingkat kepercayaan buruh semakin turun. Hasil
survei Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) bertajuk “Orientasi Politik Buruh
dalam Pemilu Legislatif 2009” menunjukkan, mayoritas buruh tidak mengetahui
keberadaan partai politik, mayoritas buruh tidak memiliki pengetahuan yang cukup
3
baik terkait visi, misi dan program (platform) partai politik, dan mayoritas buruh
masih menghendaki SB tidak terlibat dalam urusan politik praktis (Launa, 2011: 11).
Keberadaan hasil Konvensi International Labour Organization (ILO) No.87
seharusnya menjadi angin segar bagi serikat buruh untuk meningkatkan kesolidan
serikat pekerja dan memiliki posisi tawar yang lebih kuat terhadap partai politik,
justru sebaliknya keberadaan hasil konvensi tersebut tidak begitu terasa di Indonesia
karena anggota dari serikat pekerja sendiri juga telah memiliki sikap politiknya
sendiri. Memilih menjadi anggota/simpatisan partai, anggota lain memilih untuk tetap
sebagai pengurus serikat pekerja tanpa harus menjadi anggota partai, bahkan sikap
ekstrim lain ditunjukan oleh sejumlah anggota serikat pekerja untuk memilih sikap
apolitis terhadap partai.
Pun demikian dengan SPN Kota Salatiga, salah satu serikat pekerja dimana
anggotanya memiliki jalan politik yang terpecah. Partai politik memiliki andil untuk
bertanggung jawab dalam kejadian ini. Keberadaan parpol yang seharusnya sebagai
komunikator politik belum dikatakan berhasil jika melihat produk kebijkan industrial
yang saat yang belum memperbaiki kesejahtaraan buruh. Tidak terlibatkan anggota
buruh dalam upaya perumusan kebijakan menjadikan salah satu contoh
ketidakberhasilan jalinan komunikasi yang diciptakan antara parpol – pengusaha –
dan buruh. Padahal jika diamati jalinan komunikasi yang efektif antara buruh dan
parpol mampu memberikan keuntungan bagi parpol yang mampu menciptakan
significant voters yang bermanfaat untuk partai (Hofmeister & Grabow, 2011: 13).
Melihat fenomena tersebut , upaya menciptakan komunikasi yang efektif antara
parpol dan buruh perlu dilakukan secara holistik. Melihat seluruh level komunikasi
yang diutaran Laswell yaitu dari sisi komunikator, media, komunikan, pesan, dan
dampak yang ditimbulkan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengeksplorasi
bagaimana persepsi (penafsiran) buruh anggota SPN Kota Salatiga terhadap parpol
peserta Pemilu 2014. Buruh sendiri merupakan komunikan dalam komunikasi politik
yang dilakukan dengan parpol. Sebagai komunikator, dengan diketahuinya persepsi
dari buruh setidaknya parpol dapat merumuskan komunikasi yang lebih efektif
4
terhadap kelompok buruh – melihat bahwa kelompok buruh merupakan objek
pemenangan yang signifikan. Namun persepsi bersifat individu, artinya penafsiran
satu buruh dengan yang lain berbeda karena latar belakan hal yang berbeda. Maka
dari itu eksplorasi data dilakukan peneliti terhadap buruh yang memangku
kepentingan (gatekepeer) dalam tubuh SPN Kota Salatiga sebagai representasi dari
anggota serikat Pekerja.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah persepsi anggota Serikat Pekerja Nasional Kota Salatiga terhadap
Partai Politik peserta Pemilihan Umum 2014?
Tujuan
Mengetahui persepsi anggota Serikat Pekerja Nasional Kota Salatiga terhadap
Partai Politik peserta Pemilihan Umum 2014.
Tinjauan Pustaka
1. Persepsi
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan
proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. Persepsi merupakan inti
komunikasi, sedangkan penafsiran (intepretasi) adalah inti persepsi, yang identik
dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi (Mulyana, 2000:
167).
Davidof (1981) mengeemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun
stimulusnya sama, tetapi karena pengalaman tidak sama, kemampuan berpikir
tidak sama, kerangka acuan tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi antar
individu satu dengan individu yang lain tidak sama. Keadaan tersebut
5
memberikan gambaran bahwa persepsi itu memang bersifat individual (Walgito,
2003: 45).
2. Partai Politik
Carl J. Friedrich mendefinisikan tentang partai politik sebagai “sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mepertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pemimpinan partainya
dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil maupun kelas materiil.” (Budiarjo, 1982: 161)
Perlu diterangkan bahwa partai berbeda dengan gerakan (movement). Suatu
gerakan merupakan kelompok-kelompok atau golongan yang ingin mengadakan
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang ingin
menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai
cara-cara politik. Dibanding dengan partai politik, gerakan memiliki tujuan yang
lebih terbatas dan fundamentil sifatnya, dan kad ang-kadang malahan bersifat
ideologi (Budiarjo, 1982: 162)
3. Buruh
Pekerja/buruh menurut pengertian dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Sholihin,
2009). Dalam penelitian ini buruh merupakan partisipan politik yang dijadikan
objek penelitian. Jika diamati khususnya di Indonesia, partisipasi buruh dalam
berpolitik memiliki beragam cara yaitu: pertama buruh terlibat aktif didalam
parpol, kedua buruh menjadi pengawas (watchdog) terhadap parpol, ketiga sikap
apolitis dengan acuh dan tidak mau tau segala sesuatu tentang politik.
Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metode wawancara mendalam (indeepth interview)
sebagai instrumen pengumpulan data primer, kemudian hasil dari temuan data
6
disajikan secara deskriptif berdasarkan kategorisasi yang sebelumnya telah dibuat
peneliti. Sebagai upaya memperkuat validitas data, hasil temuan dianalisis dengan
menggunakan triangulasi sumber – yaitu dengan membandingkan dengan literatur
lain (buku, jurnal, artikel, koran, laporan riset, dsb.)
Pemilihan informan (sample) sebagai sumber data penelitian menggunakan
teknik purposive sampling karena pada hakikatnya informan yang dipilih didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan yang cenderung bersifat “bias kaya informasi”
karena informasi (data) pada umumnya diperoleh dari orang-orang yang diyakini
memang mengetahui persoalan yang diteliti (Pawito, 2007: 88). Pemilihan informan
dilakukan peneliti pada awalnya dengan melakukan beberapa kali observasi secara
langsung ke organisasi, kemudian peneliti melakukan wawancara pengurus inti SPN
Kota Salatiga dan dari situ peneliti diberikan gambaran sejumlah anggota yang
memiliki kapabilitas sebagai informan. Terdapat 9 informan pengurus SPN
(stakehooder) yang dipilih peneliti sebagai narasumber, 6 informan anggota SPN
non-parpol dan 3 informan anggota parpol.
Pertama sebelum melakukan pengumpulan data dilapangan, peneliti menyusun
kategorisasi tema yang dituangkan dalam pertanyaan pada interview guide. Setelah
melakukan kategorisasi tema proses pengumpulan menggunakan teknik wawancara
mendalam berlangsung, pertanyaan bersifat terbuka dan memberikan kebebesan
untuk informan untuk menjawab, dan kebebasan peneliti untuk mengembangkan
pertanyaan lebih mendalam dari catatan pada interview guide. Data yang kemudian
terkmumpul kemudian dianalisis menggunkan Model Interaktif Miles dan Haberman
yang melalui empat tahapan, yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data, dan
tahapan keempat adalah tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi (Herdiansyah,
2010: 10)
7
Sajian dan Analisis Data
Komunikasi antara parpol dengan buruh menciptakan penafsiran yang berbeda
diantara anggota SPN Kota Salatiga dalam memaknai partai politik. Perbedaan
pemahaman tersebut menimbulkan perbedaan dalam pengambilan sikap politik.
Buruh didalam tubuh SPN sendiri dibagi menjadi dua kelompok, yaitu para anggota
yang menolak untuk terlibat sebagai anggota partai dan anggota serikat pekerja yang
memilih menjadi anggota parpol.
Perbedaan pandangan (penafsiran) tersebut menjadi aspek yang akan digali
peneliti, bagaimana persepsi buruh non-parpol dan buruh anggota parpol terhadap
partai politik peserta pemilihan umum 2014. Komunikasi yang dilakukan buruh dan
parpol dilakukan melalui beragam cara yaitu melalui diskusi politik, penetapan
kebijakan industrial yang harus dilakukan secara tripartid, dan aksi-aksi demonstrasi
buruh.
Pandangan dari buruh dikaterogisasikan peneliti kedalam dua tema, pertama
adalah pengetahuan secara umum tentang partai politik meliputi definsi, fungsi, janji
partai, dan media. Kedua adalah pandangan mengenai hubungan khsusnya antara
parpol dan buruh.
1. Pandangan Buruh terhadap Partai Politik
Partai Politik dipandang sebagai lembaga yang mewakili masyarakat untuk
menyalurkan aspirasi masyarakat dan kemudian disalurkan ke lembaga eksekutif dan
legislatif. Hal tersebut diutarakan oleh Ibnu Mas’ud dalam pemaparannya:
“Partai politik ya lembaga mewakili masyarakat untuk menyalurkan
aspirasi dalam memilih wakil atau pimpinan baik di kota, provinsi, dan
pusat. Baik itu nanti berkaitan dengan legislatif maupun eksekutif.”
(Wawancara responden 7, Ibnu Mas’ud, Wakil Ketua SPN Kota
Salatiga, 10 November 2013, Salatiga)
Pandangan lain juga dikemukanan oleh Nurgoho Riyanto, politisi partai PDI
Perjuangan yang juga merupkan buruh anggota SPN.
8
“Partai politik adalah lembaga yang mengumpulkan aspirasi dari masyarakat,
lalu kemudian aspirasi masyarakat tersebut dirumuskan dalam tujuan dan
diperjuangkan.” (Wawancara responden 9, Nugroho Riyanto, Divisi Advokasi
SPN Kota Salatiga, 12 November 2013, Salatiga).
Pandangan kedua informan tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Klaus Jurgen
Hedrich (2002) yang dikutip oleh Amanda L.Hoffman yang menyatakan bahwa:
‘[T]hey (Parties) are agents and conductors of political power, mediating between
government and society. They also articulate the political interests of society, which
are later translated into state policies and aims. (Hoffman, 2005: 231)
2. Pandangan Buruh terhadap Fungsi Partai Politik
Selain sebagai sarana pengumpul dan penyalur aspirasi masyarakat, partai politik
juga merupakan organisasi yang memiliki fungsi sebagai legislator (pembuat
kebijakan) dan fungsi kontrol sebagai pengawas jalannya kebijakan oleh eksekutif.
Tega Jatmika memaparkan bahwa:
”....khususnya adalah legislatif dimana disana parpol itulah yang akan
berperan didalam lembaga legislatif, mana salah satu fungsi legislatif,
fungsi pokok legislatif adalah membuat suatu legislasi atau perundang-
undangan yang itu harus dijalankan suatu negara......sekaligus adalah
fungsi kontrol untuk eksekutif lainnya, sehingga sebenarnya
keberadaan partai politik ini adalah salah satu yang sangat penting
bagi suatu negara.” (Wawancara responden 2, Tega Jatmika, Ketua
SPN Kota Salatiga, 26 Oktober 2013, Salatiga)
Fungsi parpol dengan memberikan peranan ke pemerintah juga dipaparkan oleh
Pujo Asril yang mengatakan:
“Fungsi pokok Partai Politik ini adalah dia bagaimana tujuannya
adalah menurut saya adalah bagaimana mereka ini mementingkan
peranan mereka di pemerintahan itu bisa berkuasa didalam arti
berkuasanya sendiri tidak secara makro, atau secara
besar.”(Wawancara responden 4, Pujo Asril, Wakil Ketua DPP SPN
Jateng, 3 November 2013, Salatiga).
Pemaparan Tega Jatmika dan Pujo Asril diperkuat oleh pernyataan yang dikutip
dari Johnston (2005) yang menyatakan bahwa partai tidak hanya memenangi
9
pemilihan umum, namun lebih dari itu partai juga berkewajiban untuk memobilisasi
gerakan sosial untuk menegakkan demokrasi; dan secara esensial melakukan
negoisasi yang berimbang diantara berbagai pihak di pemerintahan.
3. Disfungsi Partai Politik
Dalam praktiknya partai melakukan disfungsi, atau tidak berjalannya fungsi
partai secara normatif yang justru cenderung ke praktik-praktik yang tidak relevan
dilakukan sebuah parpol. Misalnya fungsi rekruitmen parpol yang seharusnya
digunakan untuk menjaring masyarakat yang memiliki kemampuan politik yang
potensial kemudian dijadikan anggota partai. Namun yang terjadi justru sebaliknya,
yaitu perekrutan preman sebagai anggota parpol seperti yang dipaparkan oleh
Sumanto:
“Kan di masa sekarang kan banyak orang-orang yang dimanfaatkan
partai itu untuk pemengangan, misalnya partai ini merekrut preman
karena istilahnya preman pada waktu seperti ini mereka akan
memanfaatkan parpol .......” (Wawancara responden 6, Sumanto,
Ketua PSP PK.Mulyo SPN Kota Salatiga, 10 November 2013,
Salatiga)
Pandangan dari Sumanto juga diperkuat dengan pernyataan Sholihin (2009)
dalam thesisnya yang berjudul “Perilaku Pemilih Buruh Rokok Dalam Pilkada
Langsung Di Kabupaten Kudus” yang mengatakan bahwa:
Di samping tim sukses yang benar-benar profesional banyak pula “tim
sukses jadi-jadian”, perorangan atau kelompok orang mendatangi
kandidat. Mereka mengaku punya akses sangat kuat terhadap sejumlah
tokoh panutan, melalui tokoh itu tim sukses meyakinkan kandidat, ia
akan mampu mengumpulkan sekian ribu suara, karena kandidat yang
tengah butuh dukungan, tanpa berfikir panjang, menyambut hangat
“bualan manajer tim sukses itu”.
4. Janji Partai Politik
Jika menilik kampanye parpol, janji merupakan sebuah hal yang selalu hadir
dalam proses penyampaian pesan antara parpol dengan khalayak. Hofmeister &
10
Grabow (2011) menyebutnya sebagai “Merchandise” yang diberikan kepada para
pemberi suara. Buruh memandang beberapa janji yang selalu dijadikan andalan
parpol dalam kampanye, salah satunya adalah janji memperjuangkan kepentingan
rakyat. Hal tersebut dipaparkan oleh Muh. Kholidin:
“Janji partai yang paling diingat ya paling-paling ya ingin
memperjuangkan kepentingan rakyat, ya kira-kira seperti
itu.”(Wawancara responden 3, Muh.Kholidin, Ketua PSP Damatex
SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga)
Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Ari Nugroho, politisi PAN yang
juga pengurus SPN Kota Salatiga, yang mengatakan bahwa:
“Janji secara umum ya mensejahteraakan masyarakat pasti dengan
perubahan, dengan kata perubahan karena image masyarakat begitu
melihat proses pemerintahan yang telah berjalan dan melihat lebih
banyak kekurangannya” ”(Wawancara responden 5, Ari Nugroho,
Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga)
Jika diamati pemberian janji oleh parpol kepada masyarakat merupakan sebuah
kewajaran. Namun melihat sistem kepartaian Indonesia yang berasaskan pada
multipartai, proses realisasi janji menjadi rumit karena antar parpol berusaha untuk
membuktikan janji yang sebelumnya saat kampanye disampaikan. Proses pembuktian
menjadi persaingan dan tawar-menawar antar partai karena sistem keanggotan
legislatif yang representatif. Gagalnya pembuktian janji oleh anggota legislatif
diakibatkan karena hasil yang “deadlock” dan gagal untuk menciptakan kebijakan.
(Hoffman, 2005: 233).
5. Disorientasi Janji Parpol
Janji terucap namun praktik terealisasi, begitulah pandangan sejumlah informan
yang memandang parpol tidak dapat menepati janji yang disampaikan saat kampanye.
Salah satunya dipaparkan oleh Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa:
“Misalnya janji memberantas korupsi tapi korupsinya subur, janji
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi yang sejahtera
pengurusnya, ee.. pengurus elit politik kan seperti itu.”(Wawancara
11
responden 7, Ibnu Mas’ud, Wakil Ketua SPN Kota Salatiga, 10
November 2013, Salatiga)
Juga Tega Jatmika Ketua DPC SPN Kota Salatiga pun menanggapi janji yang
diberikan parpol dengan sinis akibat terlalu seringnya janji yang diberikan namun
tidak terealisasi.
“Banyak ya... contohnya bahwa ini adalah demi rakyat, untuk bangsa,
kesehatan gratis, pendidikan gratis, sering to?” (Wawancara responden
2, Tega Jatmika, Ketua SPN Kota Salatiga, 26 Oktober 2013, Salatiga)
Zainudin sebagai koordinator aksi sejumlah serikat buruh saat berunjukrasa
didepan kantor Gubernur Jateng memiliki keseamaan pandangan dengan informan,
yang menganggap bahwa Ganjar (politisi PDIP) yang sebelumnya berjanji akan
mensejahterakan buruh, namun ternyata justru menyengsarakan buruh (Insetyono,
2013: 3).
6. Persaingan Parpol di Pemilu 2014
Schattscheneider mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang
berbasis persaingan antar partai politik dan pemilihlah yang menentukan, sebagai
pihak yang berada diluar sistem dan organisasi partai (Firmanzah, 2010: 584).
Sejumlah informan memandang bahwa persaingan antar parpol akan berlangsung
akan berlangsung ketat, seperti yang dipaparkan oleh Sumanto:
“Kalau persaingannya tentunya cukup ketat, tinggal partai mana yanag
bisa mengambil hati dari rakyat seperti itu. Mengambil hati rakyat pun
perlu bukti mas, bukan janji perlu bukti.” (Wawancara responden 6,
Sumanto, Ketua PSP PK.Mulyo SPN Kota Salatiga, 10 November
2013, Salatiga)
Namun ketatnya persaingan tersebut dianggap tidak akan memberikan
perubahan yang signifikan karena mayoritas kontestan yang akan bersaingan
merupakan pemain pada pemilu sebelumnya dimana pada pemilu sebelumnya angka
kepercayaan publik yang dilihat dari jumlah golongan putih (golput) mencapai
12
29,01%. Pandangan tersebut disampaikan oleh Subur rahayu yang mengatakan
bahwa:
“Kalau pemilu 2014 itu saya kira masih sama saja dengan tahun ini
(sebelumnya), karena seseorang yang menjadi tampuk pimpinan di
negara ini yang masih menjadi milik satu partai dan yang lainnya rata-
rata akan digerogoti oleh partainya sendiri.”(Wawancara responden 1,
Subur Rahayu, Sekretaris SPN Kota Salatiga, 17 Oktober 2013,
Salatiga)
Pemaparan Subur Rahayu diperkuat oleh hasil dari pengamatan Litbang
Kompas, dapat diketahui bahwa mayoritas partai akan mengisi wajah lama di dunia
perpolitikan nasional. Lebih dari 80% diisi oleh anggota legislatif 2009 lalu, sisanya
adalah diisi oleh politisi baru. Salah satu contoh misalnya Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Semua anggota Fraksi PKS berjumlah 57 orang atau 100 persen kembali
mencalonkan diri (Yossihara & Damardono, 2013: 52).
7. Kampanye Parpol
BPS pada 2013 membuat laporan bahwa dengan penetrasi mencapai 98 persen,
TV akan menjadi kanal paling penting dalam kampanye untuk merebut suara 173 juta
pemilih pada pemilu 2014. Sehingga parpol dengan kedekatan pada stasiun TV
tertentu sudah pasti akan memanfaatkannya untuk kepentingan meraup suara
(Nugroho, 2013: 58). Sejumlah informan memandang bahwa penggunaan TV masih
akan menjadi media yang paling efektif pada kampanye 2014 nanti, seperti
pemaparan Muh. Kholidin:
Paling efektif menurut kami untuk kampanye partai melalui media
elektronik.” (Wawancara responden 3, Muh.Kholidin, Ketua PSP
Damatex SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga)
Sumanto menekankan pada sisi konten kampanye parpol yang harus diperbaiki.
Menurut Sumanto mengumbar janji saat berkampanye merupakan bumerang bagi
parpol yang justru akan menjadi titik lemah parpol karena tidak dapat membuktikan
janjinya.
13
Sebetulnya tidak usah ditaruh situ, sepertinya itu bumerang lho mas
sebenarnya bagi mereka. Ketika mereka jadi dan mreka jauh, akan
banyak memeprtanyakan, jare cedak karo wong cilik, kata-katamu
besar itu ndak bisa dibuktikan lebih baik dipendam dalam hati,......” (Wawancara responden 6, Sumanto, Ketua PSP PK.Mulyo SPN Kota
Salatiga, 10 November 2013, Salatiga)
Anggota PDIP yang juga menjadi pengurus SPN Kota Salatiga Nurgroho
Riyanto menuturkan bahwa mengakui TV yang masih menjadi sarana efektif dalam
menyampaikan kampanye, namun dia juga menilai kampanye dengan cara langsung
(blusukan) ke masyarakat dianggap lebih menciptakan kedekatan antara masyarakat
dengan tokoh parpol.
“....karena dengan blusukan sendiri tokoh yang diusung parpol itu bisa
langsung bertemu dengan masyarakat, bisa tahu keluh kesahnya, dan
juga blusukan itu kan membuat dekat antara tokoh parpol dengan
masyarakat.”(Wawancara responden 9, Nugroho Riyanto, Ketua Divisi
Advokasi SPN Kota Salatiga, 12 November 2013, Salatiga)
8. Persepsi terhadap Hubungan antara Parpol dan Buruh
Jika melihat pada tatacara pembuatan kebijakan ketenagakerjaan yang
mendasarkan pada aturan tripartid yaitu pelibatan ketiga pihak antara serikat pekerja,
pemerintah sebagai pemangku kekuasaan, dan pengusaha – hubungan antara parpol
dan serikat pekerja berada posisi yang strategis. Keduanya berada pada hubungan
tawar menawar, hubungan industrial yang saling terikait, artinya meskipun buruh
memilih sikap apolitis terhadap parpol namun bagaimanapun hubungan keduanya
tidak dapat berjalan sendiri.
Hubungan sinergis antara parpol dan serikat pekerja diutarakan oleh Joko Pitoyo
dalam pemaparannya:
“....sebetulnya juga singergis, sekarang ini pun sebetulnya juga buruh
ini banyak yang istilahnya mendaftarkan diri sebagai legislatif, ya
harapannya kalau mereka bisa diusung di legislatif ya harapannya
untuk perjuangan buruh juga,..”(Wawancara responden 8, Joko Pitoyo,
Wakil Ketua PSP PK. Mulyo SPN Kota Salatiga, 3 November 2013,
Salatiga)
14
Namun disisi lain hubungan sinergis antara parpol tidak terjalin dengan baik.
Ketidakterlibatan pihak buruh dalam setiap proses komunikasi politik dalam rangka
penetapan kebijakan industrial menyebabkan hasil kebijakan dipandang berat sebelah
oleh kelompok buruh. Ketidakberadaan buruh dalam penetapan kebijakan
disampaikan oleh Nugroho Riyanto:
“Jadi misalnya pembuatan kebijakan partai seperti kebijakan tentang
upah, lalu kebijakan yang berhubungan dengan ketenaga kerjaan buruh
tidak pernah dilibatkan, makanya kadang kebijakannya berat sebelah”
(Wawancara responden 9, Nugroho Riyanto, Ketua Divisi Advokasi
SPN Kota Salatiga, 12 November 2013, Salatiga)
Ketidak hadiran buruh di parlemen yang notabene memiliki masa yang cukup
banyak dianggap sebagai sebuah kesengajaan, Nugroho Riyanto Memaparkan bahwa:
“....ya harusnya itu buruh punya wakil di dewan sana supaya dapat
memperjuangkan permusan kebijakan yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan. Tapi sampai saat ni nggak ada, tapi juga saya sangsi
sebenarya sepertinya memang buruh sendiri dikondisikan agar
terpecah menjadi banyak kepentingan supaya tidak ada yang bisa
masuk ke dewan sana.” (Wawancara responden 9, Nugroho Riyanto,
Ketua Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 12 November 2013,
Salatiga)
Ketidakhadiran buruh dalam seitiap pengambilan kebijakan yang tidak
memberikan perbaikan kesejahteraan kepada kelompok buruh dalam waktu yang
panjang menciptakan degradasi kepercayaan terhadap parpol yang pada akhirnya
berujung pada pilihan sikap apolitis. Sejumlah informan memandang bahwa parpol
tidak memiliki kuasa dan kemampuan untuk menyelesaikan permasalah di
kesejahteraan di kalangan buruh. Ibnu Mas’ud memaparkan:
“Nggak bakal selesai no kalau masalah UMK diserahkan parpol, ndak
ada yang bisa, kebanyakan orang parpol ndak paham dengan
permasalahan, ndak paham dengan undang-undangnya, ndak paham
dengan apa ya ini kebanyakan mereka ndak tau akar masalahnya
nggak tau undang-undang juga ndak tau..” (Wawancara responden 7,
Ibnu Mas’ud, Wakil Ketua SPN Kota Salatiga, 10 November 2013,
Salatiga)
15
Sikap tersebut menjadi sebuah kewajaran jika dikorelasikan dengan pernyataan
Muh. Kholidin yang menyatakan bahwa perjuangan buruh tidak pernah bersinergi
dengan parpol, memilih berjalan sendiri.
“....karena ketidak percayaannya terhadap partai politik sehingga
buruh perjuangannya ya seperti saat ini, masih berjuang sendiri-
sendiri. Karena janji dari partai politik juga sama saja sih.....” buruh” (Wawancara responden 3, Muh.Kholidin, Ketua PSP Damatex SPN
Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga)
Dari temuan data dapat diamati bahwa hubungan antara parpol dengan serikat
pekerja dalam kasus di tubuh SPN Kota Salatiga tidak berjalan dengan baik.
Keberhasilan proses komunikasi yang dapat diukur dari kemampuan pemahaman dari
komunikan tidak berjalan dengan baik. Buruh sebagai komunikan tidak berhasil
menerima pesan yang dikirimkan oleh parpol sehingga seperti apa yang dikatakan
oleh Muh. Kholidin yaitu buruh memilih perjuangan secara individu tanpa harus
melibatkan partai politik. Ketidakhadiran parpol dalam upaya penyelesaian
permasalahan buruh dipandang sejumlah informan sebagai tidak mampunya parpol
menangani isu-isu ketenagakerjaan seperti penetapan UMK, sistem kerja kontrak,
dsb.
Rumongso (2013) dalam tulisannya di kolom opini Solopos yang berjudul “1001
Wajah Hiperbolis Caleg” mengatakan bahwa kaum buruh juga tidak disentuh secara
personal di kantong-kantong buruh. disilain parpol yang berada pada lembaga
eksekutif tidak mendengarkan masukan buruh dan hanya mestempel rekomendasi
usulan UMK dari bupati/walikota (Insetyonoto, 2013: 3).
Rendahnya tingkat kepercayaan buruh terhadap parpol menjadi sebuah polemik.
Ketidakhadiran sosok parpol sebagai problem solver membuat sejumlah buruh SPN
Kota Salatiga tidak memiliki sosok partai yang ideal menjelang Pemilu 2014
mendatang. Meski sebelumnya SPN sendiri pernah menjajaki kerjasama dengan
parpol (PKS) pada Pemilu 2009 lalu, namun upaya tersebut belum memberikan
dampak signifikan terhadap organisasi itu sendiri. seperti penuturan dari Muh.
Kholidin:
16
“Itu kerjasama nasional, dulu pernah tapi gagal artinya tidak ada
satupun dari SPN yang lolos menjadi anggota dewan dari PKS, karena
terjadi miss komunikasi antara MOU yang ada di pusat dan daerah
tidak nyambung, dipusat ngomong begini-begini, tapi didaerah tidak.” (Wawancara responden 3, Muh.Kholidin, Ketua PSP Damatex SPN
Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga)
Gagalnya usaha kerjasama politik SPN dengan parpol bukan tanpa sebab.
Kegagalan kerjasama dengan PKS merupakan salah satu bentuk, dimana visi anggota
dalam berorganisasi mulai pecah. Ketidakhadiran parpol untuk menuntaskan
permasalahan ketenagakerjaan karena partai lebih sibuk terjebak dengan persaingan
antar parpol sehingga abai dengan komunikasi yang seharusnya terjalin dengan
kontinu dan tanggungjawab parpol pemegang amanat kekuasaan pun terbengkalai.
Maka menjadi sebuah kewajaran jika buruh memilih jalan politiknya untuk ikut
bergabung ke berbagai partai yang dapat memberikan keuntungan “pribadi”, bukan
keuntungan serikat pekerja.
Buruh SPN yang juga anggota PDIP Nugroho Riyanto menuturkan bahwa
setidaknya saat ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan partai yang
cukup ideal dipilih untuk buruh. paparan dari Nugroho pun juga diperkuat oleh
pemaparan dari Ari Nugroho yang juga merupakan politisi PAN.
“Saya melihat yang ideal saat ini PDIP, bukan karena saya sekarang
senang dengan PDIP, kalau saya lihat saat ini gerakan mesin partainya
berjalan dengan baik....” (Wawancara responden 5, Ari Nugroho,
Divisi Advokasi SPN Kota Salatiga, 3 November 2013, Salatiga)
Pandangan kedua informan diperkuat oleh pernyataaan Juliari P. Batubara
politisi partai PDIP saat Rakernas, PDIP sudah menyepakati untuk memperjuangkan
upah buruh hingga ke ukuran layak dan menolak upah murah karena akan banyak
pihak juga rugi kalau sampai buruh mogok terus-terusan, karena akan mengganggu
stabilitas ekonomi (Haryono, 2013).
Peneliti melihat beragamnya pilihan politik buruh didalam satu atap organisasi
menjadi sebuah kewajaran jika menilik latar belakang hubungan serikat pekerja
17
dengan parpol yang tidak terjalin denagn baik. Upaya komunikasi yang efektif belum
tercipta namun perlu diupayakan melihat kedua pihak berada pada posisi strategis,
pilihan apolitis menambah permasalah baru bagi parpol karena sejatinya keberhasilan
sebuah demokrasi dilihat dari jumlah partisipasi masyarakat didalamnya, sayang
parpol hingga saat ini belum benar-benar menjadikan serikat buruh yang memiliki
basis masa yang sangat besar sebagai potential voters.
Kesimpulan
Dari Hasil analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan beberapa
kesimpulan dari persepsi buruh SPN Kota Salatiga terhadap parpol peserta Pemilu
2014, yaitu:
1. Buruh memandang bahwa fungsi pokok dari partai politik adalah sebagai
lembaga yang mampu mengumpulkan dan menyalurkan aspirasi rakyat. Yang
kemudian dari aspirasi rakyat tersebut parpol yang berada pada posisi
eksekutif maupun legislatif mampu menciptakan kebijakan yang dapat
menyelesaikan permasalahan publik.
2. Parpol memiliki peranan penting sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
sebagai pembuat kebijakan dan memainkan peranan dalam roda pemerintahan
sebagai eksekutif (pelaksana kebijakan). Parpol juga memiliki fungsi
rekruitmen, yaitu proses melalu mana partai mencari anggota baru dan
mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Dalam praktiknya fungsi rekruitmen mengalami disfungsi, pelibatan anggota
masyarakat belum sesuai harapan. Anggota masyarakat yang direkrut justru
merupakan anggota “jadi-jadian” – yang artinya kelompok masyarakat
(contoh: preman) yang dilibatkan dalam parpol namun justru hanya mengeruk
sumber daya parpol, mengaku memiliki basis masa dan kemampuan politik
yang mumpuni namun kenyataannya tidak.
18
3. Dalam periode kampanye, parpol seringkali (atau selalu) mengutarakan janji
yang akan direalisasikan saat sukses memenangi pemilu. Janji-janji seperti
berusaha mensejahterakan rakyat, berjuang demi rakyat, pendidikan gratis,
hingga kesehatan gratis menjadi sebuah trend yang diandalkan oleh para
kontestan. Namun jika melihat kenyataannya pernyataan janji justru menjadi
blunder jika melihat pada pemilu 2009 lalu dimana angka non-partisipasi
warga mencapai sepertiga dari seluruh pemilik hak suara. Keberadaan parpol
setelah menduduki kursi legislatif justru tidak dimanfaatkan dengan baik –
sebaliknya banyak anggota parpol yang berdalih berjuang dengan rakyat
namun justru berusaha mencari keuntungan material untuk golongannya dan
tersandung kasus-kasus hukum seperti tindak pidana korupsi.
4. Penggunaan TV masih dianggap sebagai media penyampai pesan yang paling
efektif karena sifatnya yang mampu menjangkau masyarakat luas, meskipun
budget yang harus dikeluarkan sangat besar. TV sendiri memilik tingkat
penetrasi mencapai 98 persen, tingkat penetrasinya yang tinggi dan dianggap
sebagai upaya persuasif yang terbaik maka TV akan menjadi kanal paling
penting dalam kampanye untuk merebut suara 173 juta pemilih pada pemilu
2014. Selain itu parpol disuguhi dengan model kampanye personal yang
dikenal dengan istilah “blusukan”. Kampanye secara blusukan merupakan
salah satu media kampanye yang cukup efektif karena lebih mampu
menciptakan kedekatan antara khalayak dengan parpol.
5. Parpol dan serikat pekerja memiliki hubungan industrial yang sangat strategis.
Dengan adanya aturan bipartit kebijakan harus dilakukan dengan melibatkan
tiga pihak yaitu pengusaha, parpol yang berada di legislatif, dan serikat
pekerja. Namun posisi strategis ini belum dapat menciptakan jalinan
komunikasi yang efektif antara parpol dan buruh. ketidakhadiran buruh di
parlemen misalnya menyebabkan posisi tawar buruh semakin berat, yang
akhirnya pada kebijakan ketenagakerjaan yang tidak sesuai harapan buruh.
Kondisi tersebut terus berlangsung yang kemudian tercipta ketidakpercayaan
19
buruh terhadap parpol yang akhirnya memandang parpol bukanlah kelompok
yang mampu menyelesaikan permasalahan dibidang ketenagakerjaan. Buruh
memilih untuk berjalan sendiri, memperbaiki kesejahteraan kelompok buruh
tanpa melibatkan partai politik.
Saran
Persepsi buruh dilatarbelakangi oleh faktor eksternal yang salahsatunya dalam
konteks ini adalah partai politik. Tingginya tingkat disfungsi partai politik dan tidak
terealisasikan janji yang dikemukakan oleh parpol menyebabkan tingkat kepercayaan
buruh terhadap parpol terus menurun. Rendahnya tingkat kepercayaan buruh terhadap
parpol menciptakan sikap skeptisme yang berujung pada sikap apolitis yang enggan
terlibat dalam segala urusan parpol – padahal posisi antara parpol dan serikat pekerja
sangat strategis. Maka dari itu parpol perlu menciptakan positioning ulang image
yang telah tercipta di benak khalayak, khsusnya terhadap kelompok buruh. Parpol
perlu menciptakan komunikasi yang lebih efektif terhadap kelompok buruh,
terciptanya hubungan yang harmonis antara keduanya dapat dipandang sebagai upaya
parpol menciptakan potential voters dikalangan buruh – dimana memiliki jumlah
masa yang sangat besar.
Komunikasi yang dijalin parpol melalui kampanye atau dengan cara lain perlu
mempertimbangkan pemilihan media. Meskipun penggunaan media TV dianggap
masih paling efektif dimana tingginya tingkat penetrasi dan jangkauan khalayak,
namun perlu dipikirkan ulang untuk mencoba mengkolaborasikan dengan model
kampanye “blusukan” yang lebih memiliki sifat lebih personal dan mampu
menciptakan kedekatan dengan masyarakat. Juga partai perlu mempertimbangkan
penyampaian janji saat kamapanye, partai perlu mengukur kemampuan, melihat
benar-benar hasil artikulasi dan secara jeli menyeleksi kebutuhan yang benar-benar
dibutuhkan yang nantinya dikemas dalam janji politik sehingga tidak menimbulkan
blunder parpol, dimana tidak dapat membuktikan janji yang diberikan.
20
Buruh SPN Kota Salatiga perlu merapatkan barisan, beragam pilihan
berpolitik yang diambil buruh anggota SPN Kota Salatiga perlu disatukan dalam satu
visi. Dengan penyeragaman pandangan buruh diharapkan mampu menciptakan
gerakan politik yang kuat dan kompak sehingga posisi tawar buruh semakin kuat
meskipun saat ini belum berkesempatan untuk menempatkan perwakilan buruh di
kursi legislatif.
Daftar Pustaka
Budiarjo, M. (1982). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia.
Cangara, H. (2009). KOMUNIKASI POLITIK : Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Hofmeister, W., & Grabow, K. (2011). Political Parties : Function and Organisation
in Democratic societis. Singapore: Konrad Adenauer Stiftung.
Mulyana, D. (2000). ILMU KOMUNIKASI : Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pawito. (2012). Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 2009 dan Media Massa : Jalan
menuju Peningkatan Kualitas Demokrasi. Surakarta: UNS Press.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT.LKis Pelangi.
Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: PT. Andi.
Hoffman, A. L. (2005). Political parties, electoral systems and democracy: A croos-
national analysis. European Journal of Research , 231.
Launa. (2011). BURUH & POLITIK : Tantangan dan Peluang Buruh Indonesia
Pasca Demokrasi. Journal Sosial Demokrasi Vol.10 .
Sholihin, M. (2009). Perilaku Pemilih Buruh Rokok Dalam Pilkada Langsung Di
Kabupaten Kudus. Semarang: Universitas Diponegoro.
Insetyonoto. (2013). Buruh Tuding Gubernur Ngapusi. Solo: Harian Solopos Edisi 20
November 2013.
Yossihara, A., & Damardono, H. (2013). Wajah Lama di Periode Baru. Jakarta:
Harian Kompas Edisi 25 Oktober 2013.
Nugroho, Y. (2013). Media, Kuasa, dan "Res Republica. Jakarta: Harian Kompas
Edisi 25 November 2013.
Rumongso. (2013). 1.001 Wajah Hiperbolis Caleg. Solo: Harian Solopos Edisi 20
November 2013.
Haryono, Y. (2013, November 25). Upah Buruh, PDIP Dukung Beleid Gubernur
Jateng. Diakses pada 3 Desember 2013, dari Krjogja.com