Paper

16
ANTI INFLAMASI Radang atau inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh disebabkan adanya respons jaringan terhadap pengaruh- pengaruh merusak baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh. Pengaruh-pengaruh merusak (noksi) dapat berupa noksi fisika, kimia, bakteri. parasit dan sebagainya. Noksi fisika misalnya suhu tinggi, cahaya, sinar X dan radium, juga termasuk benda-benda asing yang tertanam pada jaringan atau sebab lain yang menimbulkan pengaruh merusak. Asam kuat, basa kuat dan racun termasuk noksi kimia. Bakteri patogen antara lain Streptococcus, Staphylococcus dan Pneumococcus. Reaksi radang dapat diamati dari gejala-gejala klinis. Di sekitar jaringan terkena radang terjadi peningkatan panas (kalor), timbul warna kemerah-merahan (rubor) dan pembengkakan (tumor). Kemungkinan disusul perubahan struktur jaringan yang dapat menimbulkan kehilangan fungsi. Kerusakan sel akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, leukotrien dan sebagainya. Histamin terdapat pada semua jaringan juga pada leukosit basofil. Di dalam jaringan, histamin disimpan dalam sel mast dan dibebaskan sebagai hasil interaksi antigen dengan antibodi IgE pada permukaan sel mast, berperanan pada reaksi hipersensitif dan alergi.

description

Paper

Transcript of Paper

Page 1: Paper

ANTI INFLAMASI

Radang atau inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh disebabkan

adanya respons jaringan terhadap pengaruh-pengaruh merusak baik bersifat lokal maupun

yang masuk ke dalam tubuh. Pengaruh-pengaruh merusak (noksi) dapat berupa noksi

fisika, kimia, bakteri. parasit dan sebagainya. Noksi fisika misalnya suhu tinggi, cahaya,

sinar X dan radium, juga termasuk benda-benda asing yang tertanam pada jaringan atau

sebab lain yang menimbulkan pengaruh merusak. Asam kuat, basa kuat dan racun

termasuk noksi kimia. Bakteri patogen antara lain Streptococcus, Staphylococcus dan

Pneumococcus. Reaksi radang dapat diamati dari gejala-gejala klinis. Di sekitar jaringan

terkena radang terjadi peningkatan panas (kalor), timbul warna kemerah-merahan (rubor)

dan pembengkakan (tumor). Kemungkinan disusul perubahan struktur jaringan yang

dapat menimbulkan kehilangan fungsi.

Kerusakan sel akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator atau

substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin,

leukotrien dan sebagainya. Histamin terdapat pada semua jaringan juga pada leukosit

basofil. Di dalam jaringan, histamin disimpan dalam sel mast dan dibebaskan sebagai

hasil interaksi antigen dengan antibodi IgE pada permukaan sel mast, berperanan pada

reaksi hipersensitif dan alergi. Substans tersebut merupakan mediator utusan pertama dari

sedemikian banyak mediator lain, segera muncul dalam beberapa detik. Reseptor-reseptor

histamin adalah H1 dan H2. Stimulasi pada kedua reseptor ini menyebabkan vasodilatasi

pada arterial dan pembuluh darah.

Proses radang dimulai dari respons kardiovaskular pada proses radang tergantung

dari karakteristik dan distribusi noksi. Dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler di

sekitar jaringan yang mengalami pengaruh-pengaruh merusak pada fase akut berlangsung

cepat dimulai 1 sampai 30 menit sejak terjadi perubahan-perubahan pada jaringan dan

berakhir 15 sampai 30 menit dan kadang-kadang sampai 60 menit. Volume darah yang

membawa leukosit ke daerah radang bertambah, dengan gejala klinis di sekitar jaringan

berupa rasa panas dan warna kemerah-merahan (PGE2 dan PGI2). Aliran darah menjadi

lebih lambat leukosit beragregasi di sepanjang dinding pembuluh darah menyebabkan

pembuluh darah kehilangan tekstur. Peningkatan permeabilitas kapiler disebabkan

Page 2: Paper

kontraksi sel-sel endotel sehingga menirnbulkan celah-celah bermembran. Permeabilitas

kapiler ditingkatkan oleh histamin, serotonin, bradikinin, sistim pembekuan dan

komplemen dibawah pengaruh faktor Hageman dan SRS-A. Larutan mediator dapat

mencapai jaringan karena meningkatnya permeabilitas kapiler dengan gejala klinis

berupa udem. Fase radang sub-akut berlangsung lambat, mulai dari beberapa jam sampai

beberapa hari misalnya karena pengaruh noksi bakteri.

Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler masih berlangsung.

Karakteristik paling menonjol adalah infiltrasi fagosit yaitu sel polimorfonuklir dan

monosit ke jaringan. Selain itu aliran darah lambat, pendarahan dan terjadi kerusakan

jaringan yang ekstensif. Proses fagosit mencapai daerah peradangan dinamakan

kemotaktik. Migrasi fagosit diaktivasi oleh salah satu fragmen dari komponen

komplemen, untuk leukosit polimorfonuklir yaitu C3 a. Selain itu LTB4 dan PAF ikut

berperanan. Fagosit bergerak pada permukaan sel endotel, pada ujung depan mengecil

dan memanjang sehingga dapat memasuki antar sel endotel kemudian melarutkan

membran (diapedesis). Fagosit melepaskan diri dari antar sel, masuk ke jaringan dan

berakumulasi (Insel, 1991; Melmon clan Morreli, 1978; Roitt, et al, 1985). Fagosit yang

mula-mula ke luar dari dinding pembuluh darah adalah leukosit polimorfonuklir yang

menyerang dan mencerna bakteri dengan cara fagositosis. Disusul datangnya monosit

(makrofag) sebagai petugas pembersih, mencerna leukosit polimorfonuklir dan sel

jaringan yang telah mati akibat toksin bakteri. Pada radang kronik makrofag juga ikut

mencerna bakteri.

Asam arakidonat merupakan konstituen diet pada manusia, sebagai salah satu

senyawa yang kehadirannya bersama diet asam linoleat. Berawal dari perubahan

fosfolipid menjadi asam arakidonat yang merupakan substrat bagi enzim prostaglandin

endoperoxide synthase (PGHS; COX, cyclooxygenase) menjadi PGG2, dan reduksi

peroxidative PGG2 menjadi PGH2. Selanjutnya sebagai bahan baku prostaglandin,

endoperoxide PGH2 dirubah menjadi berbagai prostaglandin. Saat ini dikenal dua iso-

enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 sebagai enzim "constitutive" merubah

PGH2 menjadi berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan (TXA2) yang

dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun

(macrophage dll), sel endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah

Page 3: Paper

diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan merubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan

dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu COX-2 dikenal sebagai

enzim "inducible". Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang

dapat diinduksi.

Sediaan NSAID yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin

mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya.

Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah

menurut 1). struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-drug

atau bukan) dan sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1 dan COX-

2, apakah selektif COX-1 inhibitor, non-selektif COX inhibitor, preferentially selektif

COX-2 inhibitor dan sangat selektif COX-2 inhibiotr. Khasiat suatu NSAID sangat

ditentukan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin melalui hambatan

aktivitas COX.

Pemilihan NSAID sebagai obat inflamasi karena beberapa pertimbangan antara lain :1. Mula kerja NSAID yang segera (dini)

Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin

cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek NSAID muncul. Diklofenak bila

diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan sempurna akan memberikan mula kerja

yang segera. Contoh sediaan NSAID lain yang juga cepat penyerapannya adalah asam

mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, nimesulide dan lainnya.

Selain itu, kerja suatu NSAID sangat dipengaruhi oleh distribusinya ke cairan

sinovium. Diklofenak yang terdistribusi ke cairan sinovium menunjukkan hubungan

konsentrasi-efek diklofenak. Suatu hal yang perlu menjadi catatan bahwa distribusi

NSAID ke cairan sinovium akan meningkat pada fase inflamasi.

2. Masa kerja AINS yang lama (panjang)

Biasanya, makin panjang waktu paruh NSAID makin lama masa kerja NSAID.

Sebaiknya suatu NSAID bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga barangkali

cukup diberikan satu kali dalam satu minggu. Salah satu derivate oxicam (meloxicam)

memiliki waktu paruh sekitar 20 jam, membuat sediaan ini layak untuk diberikan sekali

sehari. Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh NSAID (misalnya t ½ piroxicam =

50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin mudah terjadi akumulasi (penumpukan)

Page 4: Paper

NSAID di dalam tubuh penderita. Apa bila NSAID tersebut diberikan lebih sering, sudah

tentu sebagai akibatnya makin mudah terjadi efek toksik NSAID dengan segala resiko.

Upaya untuk memperpanjang masa kerja NSAID dengan waktu paruh singkat

(misalnya ibuprofen dan diklofenak) dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi

sediaan lepas lambat. Sediaan lepas lambat memiliki kelebihan dalam hal tidak adanya

perubahan waktu paruh sediaan, dengan kata lain secara farmakologis lebih aman

daripada NSAID dengan waktu paruh panjang.

Suatu hal yang perlu dicatat adalah apabila suatu sediaan NSAID telah terdistribusi ke

sinovium biasanya akan memberikan waktu paruh yang lebih panjang daripada yang ada

di plasma.

3. Bahan aktif AINS bukan rasemik Dalam pengembangan analgetika NSAID dari derivate asam propionate akan selalu

dalam bentuk racemik, campuran S-enantiomer dan R-enantiomer. Dari banyak kajian

diketahui bahwa bentuk S-enantiomer memiliki aktivitas biologic NSAID yang nyata

dibandingkan bentuk R-enantiomer, misalnya pada ketorolac dan ketoprofen. Dengan

kata lain setiap kali dokter meresepkan ketoprofen sebagai NSAID pilihan untuk

penderitanya berarti dokter menyuruh penderita menghabiskan separuh dari dana

pengobatan untuk bahan obat yang kurang berkhasiat R-enantiomer ketoprofen.

4. Bahan aktif AINS bukan prodrug.

Ada beberapa AINS, misalnya sulindac dan nabumeton, baru akan berkhasiat

sebagai analgetik antiinflamasi apabila AINS tersebut dimetabolisme lebih dahulu dari

bahan yang tidak aktif menjadi metabolit yang aktif.

5. Efek samping AINS yang minimal

Dalam penanggulangan rasa sakit dan gejala inflamasi lainnya pada seorang penderita,

kesempatan untuk mengetahui apakah penderita rawan efek samping OAINS sangat

terbatas. Namun harus mempertimbangkan apakah kualitas hidup penderita setelah

mendapat AINS lebih baik dari pada tidak mendapat pengobatan. AINS memiliki

berbagai efek yang merugikan, termasuk efeknya pada saluran cerna dan ginjal, namun

kejadian efek samping ini berbeda diantara AINS yang ada dipasaran. Perbedaan ini

sering menjadi factor utama dalam pemilihan AINS oleh para dokter.

Page 5: Paper

6. Memberikan interaksi yang minimal

Umumnya semua sediaan AINS akan berikatan kuat dengan protein plasma. Hal

ini akan memberikan dampak tertentu dalam hal interaksinya dengan obat-obatan lain

yang membutuhkan albumin sebagai protein plasma (Lelo, 2001). Interaksi obat antara

AINS dengan beraneka ragam jenis obat selalu memberikan efek yang tak

menguntungkan pada penderita misalnya penggabungan AINS dengan ACE-inhibitor

dapat mengundang terjadinya sinkop. Sementara interaksi AINS terhadap penyakit

penyerta juga dapat berakibat fatal, misalnya penggunaan AINS pada penderita payah

jantung (Lelo, 2001).

7. Mekanisme kerja multifactor

Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan semata-mata

akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin. Berbagai mediator inflamasi lain

(misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-alfa dan interleukin) turut serta dilepaskan dan

berperan serta dalam mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta, suatu

proinflammatory cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2. Sebaliknya,

bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan PGE2 dengan

cepat.

Asam asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-inflammatory

drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid, non-narkotik. Kerja utama asam

asetilsaIisilat dan kebanyakan obat antiradang nonsteroid lainnya sebagai penghambat

enzim siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa

endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat semua

senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis rostaglandin akan terhenti.

Asam asetilsalisilat (salisilat) tidak menghambat metabolisme asam arakidonat

melalui alur lipoksigenase. Penghambatan enzim siklooksigenase kemungkinan akan

menambah pembentukan leukotrien pada alur lipoksigenase. Kemungkinan ini dapat

terjadi disebabkan bertambahnya sejumlah asam arakidonat dari yang seharusnya

dibutuhkan enzim lipoksigenase. Selain sebagai penghambat sintesis prostaglandin dari

berbagai model eksperimen yang telah dicoba kepada manusia untuk tujuan terapeutik,

NSAID ternyata menunjukkan berbagai kerja lain sebagai antiradang

Page 6: Paper

Obat antiradang nonsteroid menurut struktur kimia dengan beberapa pengecualian

dapat dibagi dalarn delapan golongan. (1) Turunan asam salisilat: asam asetilsalisilat,

diflunisal. (2) Turunan pirazolon: fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin, arninopirin, (3)

Turunan para-aminofenol: fenasetin. (4) Indometasin dan senyawa yang masih

berhubungan: indometasin dan sulindak. (5) Turunan asam propionat: ibuprofen,

naproksen, fenoprofen, ketoprofen, flurbiprofen. (6) Turunan asam antranilat : asam

flufenamat, asam mafenamat. (7) Obat antiradang yang tidak mempunyai penggolongan

tertentu: tolmetin, piroksikam, diklofenak, etodolak, nebumeton, senyawa emas. (8) Obat

pirro (gout), kolkisin, alopurinol. Selain sebagai penghambat sintesis prostaglandin,

beberapa contoh kerja lain NSAID adalah sebagai berikut.

Fenilbutason (reumatoid artritis, pirai akut, sinovitis, ankilosing spondilitis dan

osteoartritis), mirip asam asetilsalisilat yaitu uncouple oksidatif fosforilasi, interaksi

dengan protein selular, menghambat pembebasan histamin, menghambat sintesis

mukopolisakarida, menstabilkan membran lisosomal dan mengurangi respons terhadap

enzim lisosomal. Indometasin (reumatoid dan beberapa tipe artritis termasuk pirai akut),

menghambat motilitas leukosit polimorfonuklir, uncouple oksidatif fosforilasi dan

menghambat sintesis mukopolisakarida. Turunan asam propionat (reumatoid artritis,

osteoartritis dan ankilosing spondilitis), beberapa diantaranya dapat menghambat migrasi

dan fungsi leukosit, khususnya naproksen sangat potensial. Ketoprofen dapat

menstabilkan membran lisosomal dan aksi antagonis terhadap bradikinin. Piroksikam

(reumatoid artritis, osteoartritis), menghambat aktiviasi neutrofil. Diklofenak (rheumatoid

artritis, osteoartritis dan ankilosing spondilitis), mengurangi konsentrasi intraselular asam

arakidonat bebas pada leukosit.

NSAID yang khusus bekerja sebagai obat pirai, bukan sebagai penghambat

sintesis prostaglandin. Kolkisin misalnya terutama diduga bekerja sebagai penghambat

fungsi mikrotubule. Kerja lain adalah berinterferensi dengan aktivitas kalikrein,

mencegah pembebasan histarnin in vitro dan menghambat respirasi selular dan motilitas

leukosit polimorfonuklir.

Biosintesis eikosanoid ditingkatkan oleh hormon, autakoid dan beberapa substansi

melalui interaksi reseptor membran plasma yang membentuk coupling guanin nukleotid

dengan protein G pengikat. Pembentukan coupling diaktivasi oleh fosfolipase C,

Page 7: Paper

fosfolipase A2 atau meningkatnya konsentrasi Ca2+ di sitosolik yang dapat mengaktifkan

ke dua enzim tersebut. Stimuli fisik dipercaya sebagai penyebab meningkatkan Ca2+ yang

berasal dari kerusakan membran sel sehingga mengakibatkan aktifnya fosfolipase A2.

Fosfolipase A2 kemudian menghindrolisis ikatan sn-2 dari senyawa ester membran

fosfolipid dan dibebaskannya asam arakidonat. Kerja obat antiradang glukokortikoid

menghambat enzim fosfolipase A2 secara tidak langsung dengan menginduksi sintesis

protein G/lipokortin G.. Analog dengan glukokortikoid, asam asetilsalisilat dapat

menghambat fosfolipase C tetapi tidak memberikan hasil yang berarti terhadap

pembebasan asam arakidonat.

Selain menghambat pembebasan asam arakidonat yang mengakibatkan

terhambatnya sintesis prostaglandin dan leukotrien, glukokortikoid juga menghambat

PAF, tumor nekrosis faktor (TNF) clan interleukin-1 (IL-1). IL-1 mempunyai peranan

penting pada aksi radang antara lain menstimulasi PGE2 dan kolagenase, mengaktivasi

limfosit T, menstimulasi proliferasi fibroblast, kemotraktan leukosit dan menyebabkan

neurofilia. Glukokortikoid juga menghambat pembentukan aktivator plasminogen oleh

neutrofil.

Glukokortikoid bersifat paliatif, digunakan untuk menekan berbagai gejala klinis

pada proses radang yang disebabkan dilatasi kapiler, udem, migrasi leukosit, aktivitas

fagosit dan sebagainya. Selain itu glukokortikoid dapat mencegah terjadinya perubahan-

perubahan lanjutan seperti proliferasi kapiler, fibroblast dan kolagen. Glukokortikoid juga

dapat diberikan sebagai imunosupresan untuk menekan gejala klinis pada reaksi imun.

Pada penyakit yang disebabkan infeksi bakteri glukokortikoid hanya diberikan bersama

antibiotika atau khemoterapeutika. Sebagai antiradang glukokortikoid digunakan pada

penyakit reumatik (demam reumatik akut dengan karditis, artritis reumatoid, poliartritis,

osteo- artritis serta kolagenosis), reaksi alergi, udem otak, tumor ganas, radang pada kulit,

mata, telinga dan sebagainya. Termasuk obat antiradang golongan glukokortikoid antara

lain: kortison hidrokortison, prednison, prednisolon, triamsinolon, betametason,

deksametason dan sebagainya

Kalium diklofenak adalah suatu zat anti inflamasi non steroid dan mengandung

garam kalium dari diklofenak. Pada kalium diklofenak, ion sodium dari sodium

Page 8: Paper

diklofenak diganti dengan ion kalium. Zat aktifnya adalah sama dengan sodium

diklofenak. Obat ini mempunyai efek analgesik dan antiinflamasi. Tablet kalium

diklofenak memiliki mula kerja yang cepat. Penghambatan biosintesa prostaglandin, yang

telah dibuktikan pada beberapa percobaan, mempunyai hubungan penting dengan

mekanisme kerja kalium diklofenak. Prostaglandin mempunyai peranan penting sebagai

penyebab dari inflamasi, nyeri dan demam. Pada percobaan-percobaan klinis Kalium

Diklofenak juga menunjukkan efek analgesik yang nyata pada nyeri sedang dan berat.

Dengan adanya inflamasi yang disebabkan oleh trauma atau setelah operasi, kalium

diklofenak mengurangi nyeri spontan dan nyeri pada waktu bergerak serta bengkak dan

luka dengan edema. Kalium diklofenak secara in vitro tidak menekan biosintesa

proteoglikan di dalam tulang rawan pada konsentrasi setara dengan konsentrasi yang

dicapai pada manusia.

Page 9: Paper

P A P E RF A R M A K O L O G I

A N T I I N F L A M A S I

Disusun Oleh :

Nama : Febtiana Nuridati

NIM : K 100 070 042

Kelompok : B. I. 1

LABORATORIUM KIMIA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2008

Page 10: Paper