Paper 5 Iatmi Bor Arah

download Paper 5 Iatmi Bor Arah

of 12

description

iatmi

Transcript of Paper 5 Iatmi Bor Arah

  • JTM Vol. XVIII No. 1/2011

    39

    STUDI KEEFEKTIFAN METODE MOTOR OUTPUT DAN KECENDERUNGAN BHA PADA PEMBORAN BERARAH

    Bonar Tua Halomoan Marbun, Adrianus Andi Prijatno

    Sari Pemboran berarah adalah seni dan pengetahuan untuk membelokkan sumur menuju kearah tertentu untuk mencapai target dibawah permukaan bumi yang telah ditentukan selanjutnya. Seiring dengan semakin meningkatnya biaya pengembangan cadangan maka kebutuhan akan pemboran berarah juga semakin meningkat. Salah satu metode yang paling umum digunakan oleh seorang directional driller untuk memperkirakan inklinasi dan arah yang dihasilkan saat sliding adalah dengan metode motor output (MO). Dalam penelitian ini dibahas mengenai keefektifan dari penggunaan metode motor output dan kecenderungan perilaku BHA pada lima sumur berarah jenis-J di suatu lapangan minyak X. Penelitian dilakukan dengan mengamati dan mengolah data yang disajikan dari slide sheet. Keefektifan dari metode motor output mulai dari build section, tangent section sampai target dari masing-masing sumur akan diamati dan dibahas satu persatu. Kemudian akan dibahas secara menyeluruh sehingga hasil yang didapat dari kelima sumur tersebut akan menghasilkan satu kesimpulan yang dapat menggambarkan keefektifan dari metode motor output serta kecenderungan BHA yang digunakan pada lapangan minyak tersebut. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menghasilkan suatu rekomendasi terhadap penggunaan metode motor output yang dapat dimanfaatkan pada pengeboran di lapangan yang diteliti. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan metode motor output cukup efektif pada lapangan ini, dihasilkan suatu faktor koreksi untuk berbagai TVD yang akan meningkatkan keefektifan dari metode motor output dalam menentukan panjang pipa yang akan di slide untuk menghasilkan DLS yang diinginkan, dan kecenderungan dari BHA yang digunakan adalah menurunnya inklinasi dan arah yang bergeser ke kiri.

    Kata kunci: motor output, pemboran berarah, dog leg severity

    Abstract Directional drilling is art and knowledge to deflect a well to certain point to hit the sub surface target. The need of directional drilling is increasing in line with the increasing cost of exploitation resource. One of the common method that is used by directional driller for predicting inclination and azimuth that will be occurred while sliding is motor output method. The research reported herein will evaluate the effectiveness of motor output method and BHA tendency on five directional J-type wells in field X. This research is evaluating and processing data from slide sheet. The effectiveness of motor output method will be evaluated from build section, tangent section until target for each wells. Then each evaluation will be compared to give one final conclusion which can describe the effectiveness of motor output method and BHA tendency in the researched field. The result from this research will give recommendation in using motor output method for this particular field. The conclusions from this research are the motor output method is effective to be used on this field, the correction factor in various TVD was proposed which can increase the effectiveness of motor output in determining length of drill pipe which needs to be slide to create required DLS, and the BHA tendency is decreasing in inclination and azimuth that going to left.

    Keywords: motor output, directional drilling, dog leg severity

    1) Program Studi Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa No. 10 Bandung 40132, Tel.: +62 22-25-4955, Fax.: 62 22-25-4955, Email : [email protected]

    I. PENDAHULUAN Pemboran berarah adalah seni dan pengetahuan untuk membelokkan lubang sumur menuju kearah tertentu untuk mencapai target dibawah permukaan bumi yang telah ditentukan sebelumnya. Pada awalnya pemboran berarah dimanfaatkan untuk mengkoreksi pembelokan yang terjadi pada sumur vertikal. Namun seiring dengan perkembangannya, pemboran berarah semakin banyak diaplikasikan seperti pada pemboran sidetrack, relief well, horizontal well, pemboran lepas pantai dari satu platform drilling, dan pemboran di mana pemboran vertikal tidak bisa dilakukan karena pengaruh kondisi alam. Seiring dengan semakin meningkatnya biaya pengembangan cadangan maka kebutuhan akan pemboran berarah pun akan semakin meningkat.

    Proses pemboran berarah dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa peralatan dan teknologi seperti whipstock, jetting bits, dan mud motor dengan bent sub. Mud motor ini dikenal juga sebagai positif displacement motor (PDM). Selain untuk pemboran berarah, PDM juga digunakan pada performance drilling maupun operasi coring. PDM bekerja berdasarkan prinsip Moineau. Di mana secara garis besar, PDM dapat dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu: 1. Dump Sub 2. Power Section 3. Bearing Section

    Sirkulasi fluida pemboran dipompakan kedalam PDM akan memutar rotor terhadap stator yang merupakan bagian dari power section. Putaran dari stator ditransmisikan ke rotating sub yang

  • Bonar Tua Halomoan Marbun, Adrianus Andi Prijatno

    40

    terhubung dengan bit sehingga menyebabkan bit berputar. Bend sub pada motor dapat dibengkokkan sampai suatu sudut tertentu dengan tujuan agar motor dapat membangun sudut. Arah dari bend sub ini dapat diketahui melalui toolface hasil survey MWD. Dengan mengetahui arah toolface, bit yang berputar serta PDM yang tidak lurus, maka seorang directional driller dapat mengarahkan kemana bit akan bergerak sehingga dapat mencapai target yang telah ditentukan sebelumnya.

    Dalam memperkirakan inklinasi dan azimuth yang akan dihasilkan saat sliding, maka directional driller pada umumnya menggunakan metode motor output. Dengan metode ini, seorang directional driller memiliki patokan berapa panjang pipa (drill pipe) perlu di-sliding dan ke arah mana toolface perlu diarahkan agar menghasilkan dog leg severity (DLS) seperti yang diharapkan. Metode ini cukup efektif walaupun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti jenis formasi dan drilling parameter. Pada kenyataannya pada formasi yang sama dan drilling parameter yang sama kadang menghasilkan motor output yang berbeda. Disinilah letak sisi art dari pemboran berarah. Oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisa kecenderungan hasil perhitungan motor output pada suatu lapangan (field) tertentu. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian dilakukan pada 5 sumur (X1-X5)

    yang berada pada lapangan yang sama dimana formasinya relatif sama.

    2. Penelitian dilakukan pada 8-1/2 hole section mulai dari build section sampai dengan tangent section dan target.

    3. BHA yang digunakan sama di mana ada 2 stabilizer yang digunakan (1 stabilizer pada motor dan 1 integral blade stabilizer dibagian atas).

    4. Bit yang digunakan adalah sama, yaitu type 8-1/2 PDC.

    5. Mud motor yang digunakan sama, yaitu 6-3/4 mud motor dengan 6/7 lobe.

    6. Bent sub motor diset pada 1.15 degree. 7. Rotating saat build se ction diasumsikan tidak

    terbentuk sudut. 8. Perhitungan hasil survey dilakukan dengan

    metode minimum curvature.

    II. PEMBORAN BERARAH Proses pemboran merupakan proses tiga dimensi. Mata Bor (Bit) tidak hanya menembus secara vertikal tetapi juga bidang X-Y. Bidang X adalah bidang arah (directional plane) dan bidang Y adalah bidang inklinasi (inclination plane). Derajat yang terbentuk pada bidang X disebut derajat arah (directional degree) sedangkan yang terbentuk pada bidang Y disebut derajat inklinasi (inclination

    degree). Ilustrasi bidang X dan Y dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Bidang arah dan bidang inklinasi (Bourgoyne, et al., 1991)

    2.1 Perhitungan Lintasan Lubang Sumur (Well Trajectory) Metode untuk menentukan posisi lubang yang dibor (well path) adalah dengan melakukan survey menggunakan peralatan survei (survey instrument) untuk mengetahui inklinasi dan arah pada berbagai kedalaman tertentu (station). Gambar 2 menggambarkan posisi lintasan dimana survey diambil pada station A2, A3, dan A4. Pada setiap station ini diukur sudut inklinasi, sudut arah dan juga panjang lintasan (course length) antar station.

    Gambar 2. Ilustrasi 3-D dari lubang sumur dengan menampilkan komponen X,Y,Z dari lintasan sumur

    (Bourgoyne, et al., 1991)

  • Studi Keefektifan Metode Motor Output dan Kecenderungan BHA pada Pemboran Berarah

    41

    Teredapat beberapa metode perhitungan untuk menghitung lintasan dari lubang sumur. Perbedaan utama dari semua metode perhitungan tersebut adalah sebagian menggunakan pendekatan dengan garis lurus (straight line) dan sebagian lainnya menggunakan pendekatan dengan kurva (curve segment). Berikut adalah metode-metode perhitungan:

    1. Metode Tangensial (Tangential Method) Metode ini menggunakan inklinasi dan arah pada survey station A2 (Gambar 2). Dimana diasumsikan sudut konstan sepanjang lintasan yang mendahuluinya DM2 sampai ke A2. Sudut A1 tidak dipertimbangkan. Latitude koordinat utara/selatan, L, dapat dihitung dengan persamaan 1 untuk setiap panjang lintasan DM. Sedangkan untuk timur/barat, M, dapat dihitung dengan persamaan 2:

    = () () (1) = () () (2)

    TVD (true vertical depth) dapat dihitung dengan persamaan berikut:

    = () (3) Untuk menghitung total koordinat utara/selatan dan timur/barat dan TVD,

    = (4) = (5) = (6)

    2. Metode Sudut Rata-Rata (Average Angle Method)

    Metode sudut rata-rata mempertimbangkan sudut rata-rata 1, 1, dan 2, 2 yang melalui panjang lintasan D2 untuk menghitung L2, M2, dan D2. Persamaan-persamaan metode sudut rata-rata adalah sebagai berikut:

    = (7) = (8)

    = (9) = , = , = (10)

    3. Metode Kurva Minimum (Minimum Curvature Method)

    Metode kurva minimum merupakan salah satu metode yang paling umum. Metode ini menggunakan sudut pada A1 dan A2 serta mengasumsikan lubang sumur berbentuk kurva

    melalui panjang lintasan D2 dan bukan berupa garis lurus seperti yang digambarkan pada Gambar 3.

    Ilustrasi panjang lintasan kurva dan dua survey station A1 dan A2 dapat dilihat pada Gambar 4.

    Gambar 3. Faktor rasio kurva minimum, F (Bourgoyne, et al., 1991)

    Gambar 4. Representasi kurva antar survey station A1 dan A2 (Bourgoyne, et al., 1991)

    Metode kurva minimum memperhitungkan perubahan sudut keseluruhan dari pipa bor (drillpipe) antara A1 dan A2. Sudut keseluruhan dapat dirumuskan sebgai berikut: cos = ( ) {()()[1

    21 (11) Dapat dilihat pada Gambar 3, bahwa garis lurus A1B+BA2 bertemu dengan kurva A1Q+QA2 pada posisi A1 dan A2. Sehingga,

    A1Q = OA1/2,

    QA2 = OA2/2,

  • Bonar Tua Halomoan Marbun, Adrianus Andi Prijatno

    42

    A1B = OA1tan (/2),

    BA2 = OA2tan (/2),

    Oleh sebab itu,

    A1B/A1Q=tan (/2)/ (/2)=2/ tan (/2),

    BA2/QA1=tan (/2)/ (/2)=2/ tan (/2).

    Faktor dari garis lurus vs kurva ratio didefinisikan sebagai F, dimana,

    = 2/ (/2) (12) Jika 0.25 radian, maka dapat diset F=1.0. Ketika F sudah diketahui maka koordinat utara/selatan dan koordinat timur/barat beserta TVD dapat dihitung dengan persamaan berikut:

    = /2[() () + () (13)

    = /2[() () + () (14)

    = /2[() + ()] (15) Departure total dan TVD dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

    = , = , = (16) Pada Tabel 1 dapat dilihat perbandingan dari enam metode perhitungan yang berbeda yang menggunakan data hasil dari uji coba lubang sumur (test hole). Metode tangensial tidak lagi digunakan karena besarnya kesalahan untuk M, L, dan D. Perbedaan antara metode sudut rata-rata, metode kurva minimum, dan metode kesetimbangan tangensial (tangential balance) sangat kecil sehingga salah satu metode ini dapat digunakan untuk menghitung lintasan sumur (trajectory).

    Tabel 1. Perbandingan keakuratan beberapa metode perhitungan

    2.2 Dogleg Severity (DLS) Dari Lubang Bor DLS adalah curvature dari lubang bor. Satuan yang umum digunakan adalah per 100 ft dari panjang lubang sumur (0/100 ft). Lubang sumur digambarakan sebagai kurva tiga dimensi yang bertepatan dengan garis tengah dari lubang sumur.

    Station adalah inklinasi survey station seperti yang diukur oleh single- atau multi-shot, ataupun alat MWD. Kedalaman alat biasanya diukur dengan drillstring, Jika jarak antara dua survey station terlalu ekstrim, maka semakin besar dogleg severity-nya.

    DLS pada lubang sumur merupakan gabungan curvature lubang sumur dengan arah dan inklinasi antara semua station yang jaraknya berdekatan. Untuk mengukur secara akurat abrupt dogleg adalah dengan melakukan survey dimana jarak antara survey dekat. Persamaan Wilson menghitung DLS dengan persamaan berikut:

    = 100

    +

    /

    (17)

    = (18) dimana: DLS = dogleg severity (0/100 ft) MD1 = kedalaman station pertama (ft) MD2 = kedalaman station kedua (ft) I1 = inklinasi pada kedalaman station pertama (0) I2 = inklinasi pada kedalaman station kedua (0) Ia = inklinasi rata-rata (0) A1 = arah pada kedalaman station pertama (0) A2 = arah pada kedalaman station kedua (0) Bentuk ringkas dari persamaan diatas adalah sebagai berikut:

    =

    [ + ( )]/ (19) dimana: MD = selisih kedalaman antara dua station (ft) I = perubahan inklinasi (0) A1 = perubahan arah (0) 2.3 Metode dan Alat Untuk Membelokkan Sumur Pada proses membelokkan sumur (kicking off), suatu metode digunakan untuk memaksa mata bor bergerak ke arah yang ingin dituju. Tehnik untuk membelokkan mata bor dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa alat berikut: Whipstock (Gambar 5a). Mud motor dengan bent subs atau bent housing

    (Gambar 5b). Jetting Bits (Gambar 5c).

  • Studi Keefektifan Metode Motor Output dan Kecenderungan BHA pada Pemboran Berarah

    43

    Gambar 5. Tehnik untuk membelokkan sumur (Bourgoyne, et al., 1991)

    Semua metode membelokkan sumur tergantung pada bagaimana memanipulasi pipa bor dengan memutar (rotation) dan mengarahkan turun (downward motion) untuk menghasilkan perubahan posisi mata bor baik pada bidang arah atau bidang inklinasi, maupun keduanya. Gambar 6 mengilustrasikan rangkaian pipa bor (drillstring) dengan sub membelok (deflection sub), tanda panah mengindikasikan arah dari sub yang akan menyebabkan drillstring mengarah kearah tertentu (toolface). Besarnya pembelokan dikendalikan oleh besarnya departure dari garis tengah (center line) dari alat pembelok, seperti besarnya sudut dari whipstock toe, bent sub, dan letak lubang nozzle pada jetting bit.

    Gambar 6. Metode untuk membelokkan lintasan sumur (Bourgoyne, et al., 1991)

    2.4 Survey Directional Baik pada pengeboran lurus maupun berarah, posisi lubang sumur dibawah permukaan harus selalu

    ditentukan seiring dengan berjalannya pemboran. Oleh sebab itu diperlukan alat survey yang mampu mengukur inklinasi dan arah lubang pada berbagai kedalaman sepanjang lintasan sumur. Posisi lubang sumur relatif terhadap lokasi di permukaan dapat dihitung dari hasil survey kumulatif.

    Tujuan dari survey directional adalah: (a) memonitor lintasan sumur sesungguhnya agar target dapat tercapai, (b) mengorientasikan alat untuk membelokkan lubang kearah yang diinginkan ketika mengkoreksi lintasan sumur, (c) memastikan bahwa sumur yang sedang dibor tidak berbahaya akan menabrak sumur lain yang ada didekatnya, (d) menentukan true vertikal depth (TVD) dari berbagai formasi yang ditemui untuk membuat peta geologi yang akurat, (e) menentukan lokasi pasti bottom hole dari sumur,dan (f) mengevaluasi DLS sepanjang lintasan sumur.

    Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan survey directional, maka terdapat beberapa alat survey directional. Beberapa diantaranya adalah magnetic single atau multishot, gyroscopic single atau multishot, dan steeing tools.

    2.5 MWD (Measurement While Drilling) MWD didefinisikan sebagai proses dimana informasi tertentu diukur dekat dengan mata bor dan dikirimkan ke permukaan dimana dalam prosesnya tidak mengganggu operasi normal pemboran. Informasi ini dapat berupa: (a) Data directional (inklinasi, azimuth, toolface); (b) Karakteristik formasi (gamma-ray, log

    resistivity); (c) Drilling parameter (downhole WOB, torque,

    rpm).

    Sensor dipasang pada alat khusus yang terintegrasi dengan BHA. Pada downhole tool ini terdapat transmiter untuk mengirim signal ke permukaan melalui suatu media telemetri. Media telemetri yang umumnya digunakan adalah kolom lumpur didalam rangkaian pipa. Signal dideteksi pada permukaan, diterjemahkan dan diproses untuk menghasilkan informasi yang dibutuhkan dalam format yang mudah dipahami. Kelebihan dari MWD adalah sistem ini dapatt menampilkan apa yang sebenarnya terjadi di downhole secara realtime, baik untuk driller maupun geologis. Beberapa sistem telemetri yang paling umum adalah mud pressure pulse dan elektromagnetik.

    2.6 Bottom Hole Assembly (BHA) BHA didefinisikan sebagai bagian dari drillstring yang mempengaruhi lintasan dari bit dan lubang sumur. Karakteristik fisik dari berbagai macam komponen yang menyusun BHA memiliki efek yang sangat signifikan terhadap bagaimana bit akan membor. Jarak 100-300 ft terbawah dari BHA yang memiliki pengaruh terbesar terhadap bagaimana

  • Bonar Tua Halomoan Marbun, Adrianus Andi Prijatno

    44

    kecenderungan BHA. Jarak ini yang seringkali disebut sebagai active length dari drill string dan terdiri dari drill collar, sub, dan stabilizer.

    2.7 Gaya yang Bekerja pada Bit Pada mulanya slick assembly yang terdiri dari bit dan drill collar paling umum digunakan. Namun dalam perkembangan selanjutnya multistabilizer BHA menjadi popular dan banyak digunakan untuk pemboran berarah. Pada pemboran berarah drill collar akan kontak dengan bagian bawah (low side) dari lubang. Jika stabilizer tidak digunakan pada BHA maka drill collar akan kontak dengan lubang sumur pada jarak L dari bit. Jarak L adalah tangent length. Collar yang tidak di support dibawah tangent point menghasilkan pendulum efek yang memaksa gaya kesamping pada bit (Gambar 7). Pendulum efek memberikan efek makin kecilnya inklinasi karena berat drill collar. Gaya kesamping maksimum (maximum side force) dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

    =

    (20)

    dimana: F = gaya kesamping maksimum (lb) L = tangent length (ft) Wc = berat per panjang collar (lb/ft) = sudut inklinasi (0)

    Gambar 7. Pendulum efek (Inglis, 1987)

    Gaya kesamping cenderung untuk menurunkan sudut inklinasi dari lubang (negative side force). Ketika diberikan WOB, tangent point akan merendah dan mengurangi gaya kesamping. Bending drill collar pada bit dapat menyebabkan gaya beban axial diaplikasikan untuk menaikkan sudut inklinasi (positive side force). Dengan meningkatnya WOB maka negative side force akan berkurang seiring membesarnya positive side force. Penjumlahan vector dari resultan gaya kesamping dan gaya axial akan menentukan deviasi lubang, namun dalam kenyataannya karakteristik formasi perlu dipertimbangkan. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 8.

    Gambar 8. Beban axial dan resultan gaya kesamping (Inglis, 1987)

    Penembatan stabilizer dalam rangkaian BHA akan besarnya gaya kesamping dan akan mempengaruhi apakah BHA akan menaikkan atau menurunkan sudut. Stabilizer yang diletakkan tepat diatas bit akan bertindak sebagai titik tolak. Sedangkan berat drill collar yang berada diatas stabilizer akan bertindak sebagai dongkrak agar bit menaikan sudut. Seiring dengan semakin jauhnya jarak antara bit dan stabilizer maka gaya ke atas pada bit semakin berkurang.

    2.8 Rotary Assembly Rotary assembly adalah BHA yang digerakkan hanya oleh rotary table pada permukaan, tanpa menggunakan downhole motor. Dengan memperhitungkan letak stabilizer maka rotary assembly dapat didesign untuk membangun (build), menurunkan (drop), dan menjaga (hold) sudut inklinasi.

    Rangkaian untuk membangun sudut (building assembly) umumnya digunakan pada pemboran berarah sesaat setelah awal kick-off telah dilakukan. Satu stabilizer yang diletakkan tepat diatas bit akan menyebabkan terbangunnya sudut karena efek titik tolak. Tambahan stabilizer akan mempengaruhi laju pembentukan sudut untuk menyesuaikan dengan lintasan sumur yang diperlukan. Jika near-bit stabilizer telah undergauge maka gaya kesamping akan berkurang. Rangkaian untuk membangun sudut dapat dilihat pada Gambar 9. Rangkaian A dan B sangat baik digunakan pada formasi yang lembut sampai medium. Undergauge stabilizer pada rangkaian C akan membangun sudut yang lebih kecil. Bila stabilizer kedua semakin didekatkan pada near-bit stabilizer maka kecenderungan untuk membangun sudut akan meningkat. Besarnya WOB juga akan mempengaruhi karakteristik pembentukan sudut.

    Sesaat setelah inklinasi telah terbentuk sesuai dengan susut yang diperlukan, bagian tangential dari sumur akan dibor dengan menggunakan rangkaian penahan sudut (holding assembly).

  • Studi Keefektifan Metode Motor Output dan Kecenderungan BHA pada Pemboran Berarah

    45

    Tujuannya adalah untuk mengurangi kecenderungan dari BHA untuk membangun atau menurunkan sudut. Untuk mengeliminasi kecenderungan ini maka stabilizer perlu diletakkan berdekatan seperti pada rangkaian D di Gambar 9. Undergauge stabilizer pada rangkaian E akan membangun sudut sedikit untuk melawan efek gravitasi. Besarnya WOB tidak mempengaruhi karakteristik rangkain type ini sehingga WOB dapat diset optimum untuk menghasilkan rates of penetration (ROP) maksimum.

    Pada pemboran berarah, hanya sumur type S yang membutuhkan rangkaian untuk menurunkan sudut (droping assembly). Aplikasi lainnya adalah pada saat inklinasi yang terbentuk melebihi dari lintasan yang seharusnya. Untuk menurunkan sudut, paling baik dilakukan pada formasi yang lunak karena pada formasi yang keras respond terhadap rangkaian pendulum sangat lambat. Rangkaian F dan G pada Gambar 9 mengilustrasikan rangkaian untuk menurunkan sudut. Rangkaian ini akan lebih efektif pada lubang dengan sudut yang tinggi. Jika sudut tidak menurun maka WOB dapat dikurangi walaupun ini berarti juga menurunnya ROP.

    Gambar 9. Rangkaian rotary assembly (Petroleum Engineering and Development Studies Volume 2

    Directional Drilling, 1987)

    III. ANALISIS DATA 3.1 BHA, Bit dan PDM Berdasarkan data lapangan yang diperoleh, urutan rangkaian BHA (Gambar 10) yang digunakan untuk pemboran lubang section 8-1/2 adalah sebagai berikut:

    1. 8-1/2 Polycrystalline Diamond Bit (PDC) 2. 6-3/4 Mud motor dengan 6/7 lobe- 5.0 stage

    dengan 8 stabilizer 3. 6-3/4 Float sub +Float valve

    4. 7-7/8 Integral blade stabilizer 5. 6-3/4 NMDC 6. 6-3/4 PWD Sub 7. 6-3/4 Hang-Off Collar 8. 14 5 Heavy Weight Drill pipe 9. 6-1/2 Drilling Jar 10. 16 5 Heavy Weight Drill pipe

    Gambar 10. Rangkaian BHA

    8-1/2 PDC bit yang digunakan (Gambar 11) adalah type thermostable PDC cutter yang memiliki lapisan unik thermostable PDC yang lebih tahan 200% terhadap panas dan 400% lebih tahan terhadap abrasi dibandingkan dengan PDC biasa. Lapisan thermostable secara dramatis meningkatkan daya tahan terhadap abrasi, hal ini dilakukan dengan tetap menjaga ketajaman dan kekuatan dari ujung-ujung cutter.

    Spesifikasi dari bit ini adalah sebagai berikut: Panjang bit = 0,73 ft Connection = 4-1/2 API Regular Pin

  • Bonar Tua Halomoan Marbun, Adrianus Andi Prijatno

    46

    Make-up torque = 20.000 ft-lbs Diameter = 8,5 in. TFA = 0,752 in2 Jumlah blade = 5 Panjang gauge = 2,5 in. Gauge geometry = straight Min WOB = 4 klbs Max WOB = 34 klbs Pressure drop = 700 2.000 psi Jumlah Nozzle = 5

    Gambar 11. PDC bit

    Gambar 12 mengilustrasikan mud motor yang digunakan. Mud motor yang digunakan memiliki ukuran 6-3/4 dengan Lobe 6:7 dan 5,0 stage.

    Gambar 12. PDM

    Data dimensi motor:

    Panjang bit box ke stabilizer (A) = 2,14 ft/0,652 m

    Panjang bit box ke bend (B) = 6,11 ft/1,862 m Panjang keseluruhan motor (C) = 25,31 ft/7,716

    m Berat = 2.218 lb/990 kg Bend range = 0-3 degree Ukuran bit = 8-1/2 9-7/8 in. Koneksi Bit = 4-1/2 in. REG Box Koneksi Top = 4-1/2 in. IF Box

    Data performance motor:

    Flow rate = 300 600 gpm/1.136 2.272 lpm Kecepatan bit (free running) = 87 174 RPM Revolutions = 0,29 rev./gallon / 0,08 rev./liter Operating torque maksimum = 5.956 ft.lb/

    8.075 Nm Operating HP maksimum = 197,3 hp/147,1 kW WOB maksimum = 50.000 lb/22.680 kg Differential Pressure maksimu = 715 psi/4930

    kPa

    Bit pressure range = 200 1.200 psi / 1.379 8.274 kPa

    Gambar 13. Performance Chart untuk 6-3/4 motor

    Performance chart (Gambar 13) menggambarkan hubungan antara operating differential pressure dengan output RPM dan output torque. Motor sedapat mungkin harus dijaga beroperasi pada normal operating differential pressure (Zona warna hijau), hal ini akan menghasilkan torque, RPM dan horsepower yang akan mengoptimalkan performance motor. Bila operating differential pressure motor berada pada zona merah maka motor akan mengalami stall (berhenti berputar).

    Gambar 14. Expected DLS Chart untuk 6-3/4

    motor

    Gambar 14 digunakan untuk memperkirakan DLS yang akan terjadi dengan suatu settingan motor bend tertentu untuk 6-3/4 motor dan diameter lubang sumur yang dibor 8-1/2. Pada zona yang dibatasi dengan garis titik-titik hijau merupakan zona aman dimana rotating dengan 80-100 RPM

  • Studi Keefektifan Metode Motor Output dan Kecenderungan BHA pada Pemboran Berarah

    47

    masih diperbolehkan tanpa ada potensi failure motor (twist off).

    Data slide sheet merupakan data yang berisi berbagai drilling parameter selama kegiatan pemboran berarah. Data ini antara lain meliputi: Start - end Depth, Start-end time, Sliding atau rotating, WOB, ROP, flow rate, SPP On-Off, data survey (depth, inklinasi,azimuth), jenis formasi dan DLS.

    3.2 Persamaan Untuk Analisa Sumur Perhitungan yang digunakan dalam menganalisa sumur X1-X5 adalah sebagai berikut: 1. Build Up Rate (BUR) BUR dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: =

    (21)

    dimana: BUR = Build up rate (deg/100 ft) L = Jarak dari bit hingga bagian tengah top stabilizer Data yang diperoleh dari motor handbook adalah sebagai berikut: BUR saat drilling orienting adalah 7 deg / 100

    ft BUR saat drilling rotating adalah 0 deg / 100 ft

    2. True Vertical Depth (TVD) TVD dihitung dengan menggunakan metode minimum curvature sebagai berikut: Rasio faktor (F) dicari dengan rumus =

    (22)

    Kemudian dengan nilai F dapat dihitung TVD untuk menghitung TVD: =

    ( ) (23) dimana: F = Rasio Faktor = DLS (degree/100ft) TVD = Perubahan panjang Vertikal 3. Dog Leg Severity (DLS) DLS dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini: (

    ) =

    [ + ( )]/

    (24) dimana: MD = selisih kedalaman antara dua station (ft) I = perubahan inklinasi (0) A = perubahan arah (0) 4. DLS build DLS build dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini: (

    ) =

    (25)

    dimana: MD = selisih kedalaman antara dua station (ft) I = perubahan inklinasi (0)

    5. DLS turn DLS turn dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini: (

    ) =

    (26)

    dimana, MD = selisih kedalaman antara dua station (ft) A = perubahan arah (0)

    6. Motor Output (MO) Motor output didefinisikan sebagai kemampuan motor untuk membuat DLS jika di sliding sepanjang 1 stand ( 1stand = 60 ft) =

    (27)

    dimana: MO = Motor output DLS = Dog Leg Severity (degree/100 ft) S = Panjang pipa yang di sliding (ft) L = Panjang 1 stand drill pipe 3.3 Hasil Perhitungan Sumur X1-X5 Hasil perhitungan dan pengolahan data disajikan dalam grafik-grafik pada Gambanr 16 sampai 20.

    Gambar 16. Grafik DLS vs TVD dan DLSf vs TVD

    pada sumur X1

  • Bonar Tua Halomoan Marbun, Adrianus Andi Prijatno

    48

    Gambar 17. Grafik DLS vs TVD dan DLSf vs TVD

    pada sumur X2

    Gambar 18. Grafik DLS vs TVD dan DLSf vs TVD

    pada sumur X3

    Gambar 19. Grafik DLS vs TVD dan DLSf vs TVD

    pada sumur X4

  • Studi Keefektifan Metode Motor Output dan Kecenderungan BHA pada Pemboran Berarah

    49

    Gambar 20. Grafik DLS vs TVD dan DLSf vs TVD

    pada sumur X5

    Berdasarkan hasil studi, dilakukan analisa terhadap kelima sumur sebagai berikut:

    1. Pada kelima sumur yang diteliti (Sumur X1-X5) dilakukan drilling orienting dengan menggunakan metode motor output. Drilling orienting ini dilakukan baik pada saat build section maupun saat koreksi di tangent section.

    2. Perhitungan motor output digunakan untuk memprediksikan panjang drill pipe yang harus di sliding pada stand berikutnya. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa perhitungan motor output cukup efektif dalam penentuan panjang drill pipe yang akan di slide pada stand berikutnya untuk mendapatkan DLS tertentu dengan deviasi maksimum adalah 2.84 degree.

    3. DLS maximum rata-rata yang diperoleh adalah 4,78 degree/100 ft dimana hasil ini lebih rendah dibandingkan data dari build up rate hasil perhitungan yaitu sebesar 6,96 degree/100 ft maupun dari spesifikasi motor handbook sebesar 6,00 degree/100 ft.

    4. Faktor koreksi MO untuk setiap range TVD tertentu (range TVD per 500 ft) didapat dari selisih MO prediksi dan MO aktual pada berbagai TVD (Tabel 2). Faktor koreksi MO yang diperoleh dapat diterapkan pada semua sumur penelitian. Tabel 2. Faktor koreksi MO untuk setiap range

    TVD

    5. Dari perbandingan grafik DLS dan DLSf vs TVD dengan menggunakan data awal dan setelah menggunakan faktor koreksi maka dapat terlihat metode perhitungan motor output dalam penentuan panjang drill pipe yang di slide menjadi lebih efisien setelah menggunakan faktor koreksi, dengan demikian persamaan yang digunakan untuk adalah sebagai berikut:

    = + 100 dimana, S = Panjang pipa yang akan di slide X = Faktor koreksi untuk berbagai range TVD DLSf = DLS forecast (yang diperkirakan) MO = Motor Output

    6. Pemboran pada formasi yang sama dengan menggunakan drilling parameter yang sama memberikan hasil DLS yang berbeda-beda. Diperlukan data formasi yang lebih mendalam untuk mengamati pengaruh formasi terhadap metode motor output pada pemboran berarah.

    7. Kecenderungan perilaku BHA saat rotating adalah inklinasi yang menurun dengan penurunan rata-rata sebesar 0,91 degree/100 ft serta azimuth yang bergeser kekiri sebesar 0,35 degree/100 ft pada WOB 8-10 klbs, RPM 65-80, dan flow 520-525 GPM.

    8. Dari penelitian ini diketahui bahwa semakin kecil WOB dan RPM maka semakin besar penurunan inklinasi dan azimuth semakin bergeser ke kiri. Sedangkan flow tidak tampak terlalu berpengaruh terhadap inklinasi dan azimuth.

    IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 1. Perhitungan motor output cukup efektif dalam

    penentuan panjang drill pipe yang akan di slide pada stand berikutnya untuk mendapatkan DLS tertentu dengan deviasi maksimum adalah 2.84 derajat. Persamaan dengan faktor koreksi yang digunakan adalah sebagai berikut:

    = + 100 dimana, S = Panjang pipa yang akan di slide X = Faktor koreksi untuk berbagai range

    TVD DLSf = DLS forecast (yang diperkirakan) MO = Motor Output

    2. DLS maximum rata-rata yang diperoleh adalah 4,78 derajat/100 ft dimana hasil ini lebih rendah dibandingkan data dari build up rate hasil perhitungan BHA dan data dari spesifikasi motor handbook.

    3. Faktor koreksi MO yang diperoleh dari penelitian dan pengolahan data dari lapangan yang diteliti adalah sebagai berikut:

  • Bonar Tua Halomoan Marbun, Adrianus Andi Prijatno

    50

    TVD (ft) Faktor Koreksi (X) 1000-1500 0.85 1500-2000 -0.15 2000-2500 0.10 2500-3000 -0.90 3000-3500 0.64 3500-4000 -0.96 4000-4500 0.88

    4. Penelitian ini dilakukan pada satu lapangan

    minyak, lapangan X, sehingga faktor koreksi yang dihasilkan dari penelitian ini hanya berlaku untuk lapangan yang diteliti saja.

    5. Kecenderungan perilaku BHA yang digunakan pada Lapangan X saat rotating adalah inklinasi yang menurun dan azimuth yang bergerak ke arah kiri.

    6. Drilling parameter mempengaruhi perilaku BHA, dimana semakin kecil WOB dan RPM maka semakin besar penurunan inklinasi dan azimuth semakin bergeser ke kiri. Sedangkan flow tidak tampak terlalu berpengaruh terhadap inklinasi dan azimuth.

    7. Faktor formasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penelitian ini maupun pada pemboran berarah pada umumnya.

    4.2 Saran 1. Untuk memperkuat hasil penelitian dan

    membuktikan keefektifan faktor koreksi MO

    maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap metode motor output pada sumur-sumur lain dalam lapangan yang sama maupun sumur-sumur dari lapangan yang berbeda.

    2. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang pengaruh formasi terhadap pemboran berarah dan pengaruhnya terhadap keefektifan metode motor output.

    DAFTAR PUSTAKA 1. Bourgoyne, A.T., Millheim, K.K., Chenevert,

    M.E., Young, F.S., 1991. Applied Drilling Engineering, Society of Petroleum Engineer, United States of America.

    2. Inglis, T.A., 1987. Petroleum Engineering and Development Studies Volume 2 Directional Drilling, Graham & Trotman, Inc., United States of America.

    3. Mitchell, B., 1995. Advance Oilwell Drilling Engineer, Mitchell Engineering, United States of America.

    4. Mills, P.G., 1926. Deviated Drilling, Peter G. Mills Consultant Services, United States of America.

    5. Short, J.A., 1993. Introduction to Directional and Horizontal Drilling, PennWell Publishing Company, Tulsa.

    6. Sperry-Sun, 1993. Sperry Drill: Technical Information Handbook, Sperry Sun Drilling Services, Inc., United States of America.