Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

38
Pangan 2050 Benyamin Lakitan Gurubesar Universitas Sriwijaya dan Sekretaris Menteri Negara Riset dan Teknologi Membahas masalah pangan tahun 2050? Sebagai bagian dari bangsa yang terbiasa merencanakan paling jauh hanya 25 tahun ke depan, awalnya saya merasa jengah ketika diminta ikut berpartisipasi dalam High Level Expert Forum yang diorganisasi FAO Roma. Kegiatan yang direncanakan berlangsung pada 12-13 Oktober 2009 ini membahas tentang "How to Feed the World 2050" Apakah terlalu awal untuk membahas masalah pangan tahun 2050? Sesungguhnya tidak. Mari pertimbangkan bahwa usia harapan hidup penduduk Indonesia pada saat ini adalah 68 tahun. Berarti penduduk Indonesia yang kini berusia 27 tahun — atau lebih muda— dan bayi-bayi yang dilahirkan kemudian akan berhadapan langsung dengan masalah pangan tahun 2050. Ada dua kecenderungan utama yang akan terjadi. Pertama, kebutuhan pangan akan terus bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Kedua, lahan pertanian akan makin menyempit karena dikonversi untuk berbagai kepentingan lain. Diprediksi, populasi Indonesia pada 2025 mencapai 273,1 juta. Jika laju pertumbuhan penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1% per tahun (tahun 2008 masih 1,175%), maka pada 2050 penduduk Indonesia akan lebih dari 340 juta jiwa. Konsekuensinya, produksi pangan nasional perlu secara signifikan ditingkatkan agar kebutuhan domestik dapat dipenuhi. Sebagai contoh, jika konsumsi beras per kapita per tahun masih sekitar 139 kg, maka untuk bisa mandiri, Indonesia harus mampu memproduksi beras 47,26 juta ton atau sekitar 75,62 ton gabah kering giling (GKG). Kemampuan produksi nasional tahun 2008 dilaporkan sekitar 59,88 ton GKG. Peningkatan produksi beras yang signifikan pada 2007 dan 2008 berkaitan erat dengan

Transcript of Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

Page 1: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

Pangan 2050

       

Benyamin Lakitan

Gurubesar Universitas Sriwijaya dan Sekretaris Menteri Negara Riset dan Teknologi 

Membahas masalah pangan tahun 2050? Sebagai bagian dari bangsa yang terbiasa merencanakan paling jauh hanya 25 tahun ke depan, awalnya saya merasa jengah ketika diminta ikut berpartisipasi dalam High Level Expert Forum yang diorganisasi FAO Roma. Kegiatan yang direncanakan berlangsung pada 12-13 Oktober 2009 ini membahas tentang "How to Feed the World 2050"

Apakah terlalu awal untuk membahas masalah pangan tahun 2050? Sesungguhnya tidak. Mari pertimbangkan bahwa usia harapan hidup penduduk Indonesia pada saat ini adalah 68 tahun. Berarti penduduk Indonesia yang kini berusia 27 tahun — atau lebih muda— dan bayi-bayi yang dilahirkan kemudian akan berhadapan langsung dengan masalah pangan tahun 2050.

Ada dua kecenderungan utama yang akan terjadi. Pertama, kebutuhan pangan akan terus bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Kedua, lahan pertanian akan makin menyempit karena dikonversi untuk berbagai kepentingan lain.

Diprediksi, populasi Indonesia pada 2025 mencapai 273,1 juta. Jika laju pertumbuhan penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1% per tahun (tahun 2008 masih 1,175%), maka pada 2050 penduduk Indonesia akan lebih dari 340 juta jiwa. Konsekuensinya, produksi pangan nasional perlu secara signifikan ditingkatkan agar kebutuhan domestik dapat dipenuhi.

Sebagai contoh, jika konsumsi beras per kapita per tahun masih sekitar 139 kg, maka untuk bisa mandiri, Indonesia harus mampu memproduksi beras 47,26 juta ton atau sekitar 75,62 ton gabah kering giling (GKG). Kemampuan produksi nasional tahun 2008 dilaporkan sekitar 59,88 ton GKG.

Peningkatan produksi beras yang signifikan pada 2007 dan 2008 berkaitan erat dengan subsidi besar-besaran yang dilakukan pemerintah. Subsidi pupuk saja mencapai Rp 5,26 trilyun pada 2007 dan meningkat tajam menjadi Rp 15,18 trilyun pada 2008. Akankah Indonesia terus mampu meningkatkan subsidi pupuk dari tahun ke tahun sampai 2050? Kemungkinan tidak.

Upaya meningkatkan produksi pangan di masa yang akan datang tidak akan menjadi lebih gampang, karena lahan subur yang tersedia bakal makin berkurang lantaran dikonversi untuk kepentingan perumahan, industri, perkantoran, dan infrastruktur. Laju konversi lahan pertanian di Indonesia ditaksir 110.000 hektare per  tahun. Laju konversi paling pesat tentu di sekitar kota-kota besar di Pulau Jawa.

Kecenderungan pada saat ini, semakin sedikit tenaga kerja yang akan berkiprah di sektor pertanian, terutama karena pendapatan petani yang tak kunjung membaik. Badan Pusat Statistik (Februari 2009) memublikasikan

Page 2: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

bahwa dari total angkatan kerja, hanya 41,2% yang bekerja di sektor pertanian. Perubahan iklim makin memperbesar kemungkinan gagal panen. Industri minyak nabati (biofuel) juga dapat menjadi pesaing dalam penggunaan bahan baku dan lahan produksi.

Desakan untuk meningkatkan produksi pangan yang dihadapkan dengan berbagai kendala tersebut tentu tak mungkin dapat dipenuhi hanya dengan cara biasa (business as usual). Harus ada terobosan. Komponen utama paket terobosan itu adalah teknologi.

Sebagai negara dengan potensi agraris yang besar, rasanya cukup memalukan kalau Indonesia menggantungkan kebutuhan pangannya pada impor. Sekarang pun, sesungguhnya Indonesia mengimpor banyak jenis bahan pangan, misalnya gandum, jagung, kedelai, daging, dan susu. Walaupun Indonesia adalah negara maritim, kenyataannya garam pun masih diimpor.

Teknologi belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan ketahanan pangan Indonesia. Berdasarkan kajian Avila dan Evenson (2004), total factor productivity (TFP) Indonesia untuk tanaman pangan menurun dari 3,95% (periode 1961-1980) menjadi -0,78% (periode 1981-2001). Dan untuk peternakan, menurun dari 3,08% (1961-1980) menjadi 2,41% (1981-2001). Bandingkan dengan Vietnam yang justru meningkat pada periode yang sama, dari -0,52% menjadi 3,94% untuk tanaman pangan dan 0,22% menjadi 0,76% untuk peternakan.

TFP merupakan variabel untuk mengukur dampak terhadap keluaran (output) total yang tidak disebabkan capital input dan labor input yang digunakan dalam proses produksi. TFP menaksir dampak dari intangible inputs, terutama kontribusi teknologi. Jika nilai TFP negatif, berarti peningkatan inputs tidak menyebabkan peningkatan outputs. Maknanya, selain kontribusi teknologi tidak terdeteksi, proses produksi juga berlangsung secara tidak efisien. Kondisi ini tentu sangat merisaukan.

Teknologi hanya akan memberikan kontribusi jika diadopsi dalam proses produksi pangan. Selanjutnya, untuk berpeluang diadopsi, teknologi yang dikembangkan harus selaras dengan kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi serta sepadan dengan kapasitas teknis, ekonomis, dan sosio-kultural para (calon) penggunanya.

Berdasarkan persoalan utama yang dihadapi Indonesia dalam upaya meningkatkan produksi pangan di masa yang akan datang, ada tiga isu yang sangat membutuhkan kontribusi teknologi, yakni teknologi pengelolaan lahan sub-optimal, teknologi budi daya untuk memperkecil yield gap, dan teknologi untuk mengurangi kehilangan hasil (yield losses).

Teknologi Budi Daya Pada Lahan Sub-optimalLahan pertanian subur di Jawa dan Bali akan terus berkurang karena dikonversi untuk berbagai kepentingan lain. Sebagai contoh, lahan sawah di dua pulau ini diprediksi hanya akan tinggal separuhnya jika laju konversi tidak dikendalikan secara serius.

Menyusutnya lahan subur di Jawa dan Bali harus dikompensasi dengan penyediaan lahan, terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan yang tersedia masih sangat luas. Misalnya, total luas lahan yang secara fisik dapat digunakan untuk sawah ditaksir mencapai 25,4 juta hektare, sedangkan yang telah digunakan baru mencapai sekitar 8 juta hektare.

Namun lahan di luar Jawa-Bali tersebut umumnya merupakan lahan sub-optimal dengan satu atau lebih kendala sifat fisika dan/atau kimia tanahnya. Termasuk keasaman tanah, salinitas akibat intrusi air laut, risiko keracunan pirit, rawan banjir, lapisan gambut tebal, atau miskin hara.

Teknologi perbaikan kualitas lahan perlu dikembangkan untuk mengatasi kendala fisika/kimia lahan ini agar dapat menjadi produktif untuk budi daya padi. Varietas padi (atau komoditas lainnya) yang toleran dan dapat beradaptasi baik pada kondisi spesifik masing-masing jenis lahan sub-optimal perlu disiapkan. Teknik budi daya yang tepat juga perlu diformulasikan.

Teknologi Pengurangan Kesenjangan Hasil (Yield Gap)Sekali lagi, padi dipilih sebagai contoh karena nyaris 80% karbohidrat yang dikonsumsi masyarakat Indonesia berasal dari beras. Banyak varietas padi berpotensi hasil tinggi (high-yielding varieties), inbrida maupun hibrida, yang telah dirilis dan tersedia bagi petani.

Berdasarkan deskripsinya, produktivitas varietas padi unggul tersebut berpotensi untuk mencapai 8-12 ton per hektare, tetapi produktivitas padi nasional pada 2008 hanya sekitar 4,89 ton per hektare. Kesenjangan hasil ini masih sangat tinggi. Pada lahan petani, banyak pakar yakin bahwa produktivitas 6-7 ton per hektare mungkin

Page 3: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

dicapai.

Pengurangan luas lahan subur, selain dikompensasi dengan ekstensifikasi ke lahan-lahan sub-optimal, juga perlu dilakukan dengan perbaikan teknologi budi daya untuk meningkatkan produktivitas lahan yang tidak dikonversi sehingga kesenjangan hasil dapat diperkecil.

Jika dengan perbaikan teknologi budi daya produktivitas dapat ditingkatkan 1 ton per hektare (produktivitas menjadi 5,89 ton per hektare), maka produksi padi nasional akan mencapai 72,6 juta ton. Hampir mencukupi prediksi kebutuhan nasional tahun 2050.

Tapi, jika lahan sawah subur terus menyusut dengan laju konversi seperti sekarang, maka potensi capaian tersebut akan berkurang sekitar 4 juta ton, kecuali jika penyusutan ini bisa dikompensasi dengan keberhasilan pengelolaan lahan sub-optimal di luar Jawa-Bali.

Teknologi Pengurangan Kehilangan Hasil (Yield Loss)Kehilangan hasil tanaman pangan akibat teknologi penanganan panen dan pascapanen yang belum baik untuk padi diperkirakan mencapai 20,4%, terutama pada saat panen dan perontokan gabah, yang ditaksir mencapai 14%.

Jika pengembangan teknologi mampu mengurangi kehilangan hasil secara kumulatif pada seluruh tahap proses penanganan panen dan pascapanen sebesar 5% (melengkapi keberhasilan pengelolaan lahan sub-optimal dan upaya memperkecil yield gap), maka sasaran untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional tahun 2050 lebih mungkin untuk dapat tercapai.

Umumnya, tantangan paling berat bukan dalam mengembangkan teknologi yang secara teknis jitu untuk menghadapi kendala lahan sub-optimal, mengurangi yield gap, maupun mengurangi kehilangan hasil, melainkan justru pada tahap penyempurnaan teknologi yang secara teknis andal ini menjadi teknologi yang secara ekonomi masih menguntungkan untuk diadopsi oleh petani.

Oleh sebab itu, pengembangan teknologi tak boleh setengah hati. Pengembangan teknologi tak boleh juga berhenti setelah separuh jalan. Lebih baik fokus pada tiga kelompok teknologi unggulan yang perlu dituntaskan ini daripada menggarap semua isu tapi tak sampai berakhir pada adopsi oleh pengguna. Selalu diingat bahwa teknologi hanya bermanfaat jika digunakan dalam proses produksi.

Dedikasi dan kesungguhan periset dan akademisi sangat diperlukan. Curiosity-driven reseach yang hanya untuk memenuhi hasrat keingintahuan peneliti perlu diganti dengan goal-oriented research yang fokus untuk mendukung pengembangan tiga kelompok teknologi tersebut.

Jika tidak, beban yang dipikul generasi berikutnya dalam memenuhi kebutuhan pangan akan semakin berat. Jangan dilupakan bahwa generasi mendatang tersebut, tidak lain dan tidak bukan, adalah anak dan cucu kita sendiri. (Majalah Gatra, No.48 Tahun XV, 8 – 14 Oktober 2009/humasristek)

Page 4: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

I.                   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang            Lahan atau tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan atau tanah diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Karena pentingnya peranan lahan atau tanah dalam kehidupan manusia, maka ketersediaannya juga jadi terbatas. Keadaan ini menyebabkan penggunaan tanah yang tumpang tindih, misalnya tanah sawah yang digunakan untuk perkebunan tebu, kolam ikan, atau penggembalaan ternak atau tanah hutan yang digunakan untuk perladangan atau pertanian lahan kering.Kesuburan tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman karena asupan nutrisi bagi tanaman disediakan oleh tanah, salah satu penentu kesuburan tanah ini adalah jenis lahannya. Perbedaan jenis lahan akan turut serta menentukan jumlah nutrisi yang ada di dalamnya. Salah satu jenis lahan ini adalah lahan kering.

Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara (Soebagyo,et al., 2004; Hidayat dan Mulyani, 2005), merupakan potensi yang sangat besar untuk pembangunan pertanian. Namun produktivitasnya umumnya rendah, kecuali sistem pertanian lahan kering dengan tanaman tahunan/ perkebunan. Pada usahatani lahan kering dengan tanaman pangan semusim, produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, 1994). Pengelolaan tanah pada lahan kering ini sangat penting terutama kesuburan tanahnya karena potensi luasannya yang sangat besar.

B.     TujuanTulisan ini diharapkan mampu menyajikan pengetahuan tentang lahan kering serta

pengelolaan kesuburan tanah pada lahan kering sebagai bentuk upaya konservasi pada lahan kering.

II.                TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Lahan KeringIstilah lahan kering digunakan oleh Kelompok Penelitian Agroekosistem (KEPAS, 1986)

sebagai padanan dry land. Uraiannya menyiratkan pengusahaan lahan secara tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan pengertian yang didasarkan:

1.         Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land menurut salah satu takrifnya: (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada 250 mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual (Monkhouse & Small, 1978).

Page 5: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

2.         Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar (bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basa alamiah lain).

3.         Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.Untuk kondisi yang pertama dapat digunakan istilah “daerah kering” atau “kawasan iklim

kering”. Sementara pada kondisi yang kedua dapat dipilih istilah lahan atasan (upland). Kondisi yang ketiga dapat diterapkan istilah “lahan kering”. Jadi, pertanian lahan kering ialah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan, perkebunan dan pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa irigasi tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi lahan

B.     Tanah Mineral Masam dan PenyebarannyaTanah mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah, termasuk

Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols dan spodosol, masing-masing sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi et al, 1996).

Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH- lebih tinggi dari ion H+. Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kejenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida ,dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007). Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari-hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007). Selanjutnya dijelaskan juga oleh Hanafiah (2007) bahwa sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam-asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+.

Jenis tanah masam diantaranya terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisol dibentuk oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi dengan vegetasi klimaksnya hutan rimba. Dalam lingkungan semacam ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta proses pelindian (leaching) terpacu sangat cepat dan kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air infiltrasi dan perkolasi mengambil CO2 hasil mineralisasi bahan organik berupa serasah hutan dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan. Pelapukan masam tanah membebaskan basa dari mineral tanah secara cepat apabila didukung dengan daya lindi yang kuat maka akan terbentuk tanah yang miskin hara dan Al, Fe, serta Mn yang tinggi dapat meracuni tanaman. Persoalan akan bertambah berat jika bahan induk tanah sudah bersifat masam kondisi inilah yang dijumpai di Sumatera. Tanah ultisol memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Page 6: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

1. pH rendah2. Kejenuhan Al, Fe danMn tinggi3. Daya jerap terhadap fosfat kuat

4. Kejenuhan basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal dari bahan induk masam (feksil) atau batuan pasir, Zn cukup namun tereluviasi.

5. Kadar bahan organik rendah dan kadar N rendah6. Daya simpan air terbatas7. Kedalaman efektif terbatas8. Derajat agregasi rendah dan kemantapan agregat lemah baik pada lahan     berlereng maupun datar.

Ultisols (ultimus-selesai) adalah tanah-tanah yang berwarna kuning merah dan telah mengalami pencucian yang sudah lanjut. Dikenal luas sebagai podsolik merah kuning. Tanah-tanah ini mendominasi lahan kering di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Total luas adalah sekitar 45.79 juta ha atau 24.3 % dari lahan Indonesia dan menyebar di KalimantanTimur (10.04 juta ha), IrianJaya (7.62 juta), KalimantanBarat (5.71 juta), Kalimantan Tengah (4.81 juta), dan Riau (2.27 juta ha). Tanah Oxisols (oxide, oksida) adalah tanah-tanah yang telah mengalami pencucian yang intensif dan miskin hara, tinggi kandungan Al dan Fe. Seperti halnya Ultisols, mereka mendominasi lahan kering dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Tanah-tanah ini sudah tua. Total luas tanah ini sekitar 14.11 juta ha atau 7.5% dari total lahan Indonesia dan menyebar di Sumatera Selatan (2.82 juta ha), Irian Jaya (2.41 juta), Kalimantan Tengah (2.06 juta), Kalimantan Barat (1.79 juta), Jambi (1.14 juta), dan Lampung (1.01 juta ha).Spodosol merupakan tanah mineral yang mempunyai horizon spodik, suatu horizon dalam dengan akumulasi bahan organic, dan oksidasi aluminium (Al) dengan atau tanpa oksidasi besi (Fe).. Di Indonesia sendiri penyebaran endapan pasir dan batu pasir kuarsa yang secara geologis sangat luas, terdapat di Kalimantan Tengah, serta setempat-setempat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di pulau lain nampaknya tidak luas penyebaranya dan setempat – setempat terdapat di Sulawesi dan Sumatera. Landform – nya dimasukkan sebagai dataran tektonik. Lanscape luas tanah spodosol seluruhnya diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1 % wilayah dataran Indonesia. Penyebaranya paling luas terdapat di Kalimantan Tengah sekitar 1,51 juta ha, kemudian di Kalimantan Barat 0,42 juta dan Kalimantan Timur 0,15 juta ha. Di Sulawesi Tengah, tengah, selatan dan tenggara dipearkirakan terdapat antara 11-25 ribu ha (Himatan, 2006).

C.    Tinjauan Umum Kesuburan TanahSebagai sumberdaya alam untuk budidaya tanaman, tanah mempunyai dua fungsi, yaitu :

(1) sebagai sumber penyedia unsur hara dan air, dan (2) tempat akar berjangkar. Salah satu atau kedua fungsi ini dapat menurun, bahkan hilang. Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produktivitas tanah menurun menjadi Tanah Marginal. Dengan demikian, Tanah Marginal untuk budidaya tanaman merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.

Tanah Marginal dapat terbentuk secara alami dan antropogenik (ulah manusia). Secara alami (pengaruh lingkungan) yang disebabkan proses pembentukan tanah terhambat atau tanah yang terbentuk tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Misalnya, bahan induk yang keras dan asam, kekurangan air, suhu yang dingin/membeku, tergenang dan akumulasi bahan gambut,

Page 7: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

fraksi tanah yang dihasilkan didominasi oleh pasir, pengaruh salinisasi/penggaraman.Tanah Marginal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk secara alami, bukan tanah yang menjadi marginal karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di dunia (Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang tergolong Tanah Marginal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, dan Ultisols. Secara antropogenik adalah karena ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Misalnya, deforestasi dan degradasi hutan, eksploitasi deposit bahan tambang, terungkapnya unsur atau senyawa beracun bagi tanaman, pengeringan ekstrem pada tanah gambut, serta kebakaran. Deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan terjadinya erosi yang dipercepat dan punahnya organisme yang berperan dalam pembentukan tanah . Aliran permukaan yang berasal dari curah hujan akan mengikis lapisan permukaan yang merupakan bagian tersubur dari tanah. Fraksi tanah yang dahulu diangkut adalah yang halus dan ringan yaitu liat dan humus. Kedua fraksi ini sangat berperan dalam menentukan kesuburan tanah, karena merupakan kompleks petukaran ion dan penahan unsur hara. Dalam sedimen yang terangkut pada peristiwa erosi terdapat juga berbagai unsur hara dan bahan organik. Oleh karena itu, tanah yang mengalami erosi akan menurun produktivitasnya menjadi tanah marginal yang kalau erosi selanjutnya tidak dikendalikan, tanah tersebut akan menjadi lahan kritis.

Produktivitas tanah merupakan kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tertentu suatu tanaman dibawah suatu sistem pengelolaan tanah tertentu. Suatu tanah atau lahan dapat menghasilkan suatu produk tanaman yang baik dan menguntungkan maka tanah dikatakan produktif. Produktivitas tanah merupakan perwujudan dari faktor tanah dan non tanah yang mempengaruhi hasil tanaman. Tanah produktif harus mempuyai kesuburan yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Akan tetapi tanah subur tidak selalu berarti produktif. Tanah subur akan produktif jika dikelola dengan tepat, menggunakan jenis tanaman dan teknik pengelolaan yang sesuai.

Kesuburan tanah adalah kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan unsur hara tanaman dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tanaman, dalam bentuk senyawa-senyawa yang dapat dimanfaatkan tanaman dan dalam perimbangan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tertentu dengan didukung oleh faktor pertumbuhan lainnya (Yuwono dan Rosmarkam, 2008).Tanah yang sehat akan memberikan sumbangan yang besar tehadap kualitas tanah. Kualitas tanah dapat sebagai sifat atau atribut inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil observasi tidak langsung, dan sebagai kemampuan tanah untuk menampakkan fungsi-fungsi produktivitas lingkungan dan kesehatan. Winarso (2005) menjelaskan bahwa pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan datang, karena dapat dipakai sebagai alat untuk menilai pengaruh pengelolaan lahan.

III.              PERMASALAHAN KESUBURAN TANAH

Tanah masam di Indonesia memiliki ciri-ciri tekstur lempungan, struktur gumpal, permeabilitas rendah, stabilitas agregat baik, pH rendah, KPK rendah, aras N, P, Ca, Mg sangat rendah, vegetasi alami alang-alang (Imperata cylindrica) dan hutan (Hardjowigeno, 1993), fraksi

Page 8: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

lempung didominasi oleh mineral-mineral bermuatan terubahkan seperti kaolinit, gibsit dan atau goetit (Ismail et al., 1993). Tanah ini di Indonesia terbentuk di daerah yang bercurah hujan tinggi (2500-3000 mm per tahun), topografi berombak hingga berbukit dengan ketinggian 50-350 mm di atas muka air laut, batuan induk granit, abu vulkan atau andesit.

Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting seperti N, P, Ca, dan atau Mg dan Mo .  Lahan kering tergolong suboptimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg. Usaha pertanian di tanah Ultisol akan menghadapi sejumlah permasalahan.Tanah Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan kandungan Al, Fe, dan Mn terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini biasanya miskin unsur hara esensial makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik . Meskipun secara umum tanah Ultisol atau Podsolik Merah Kuning banyak mengandung Al dapat ditukar (Al-dd) (20-70%), namun hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa contoh tanah tersebut mengandung Al-dd relatif rendah (< 20%). Tanah di KP. Kayu Agung, Indralaya, dan Prabumulih Sumatera Selatan, misalnya, mempunyai kejenuhan Al-dd berturut-turut 11,08%, 1,01%, dan 17,26% di Jawa Barat 13,40% dan 11 dari 28 contoh tanah lapisan atas yang berasal dari Lampung Tengah juga memiliki kejenuhanAl-dd yang rendah (Taufiq et al. 2003). Tekstur tanah Ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan lempungan (clayey). Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral silikat tipe 1:1 serta oksida dan hidroksida Fe danAl, sehingga fraksi lempung tergolong beraktivitas rendah dan daya memegang lengas juga rendah. Karena umumnya memiliki kandungan bahan organik rendah dan fraksi lempungnya beraktivitas rendah maka kapasitas tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga rendah, sehingga relatif kurang kuat memegang hara tanaman dan karenanya unsur hara mudah tercuci. Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan terubahkan (variable charge), sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai pH-nya, peningkatan pH akan diikuti oleh peningkatan KTK, lebih mampu mengikat hara K dan tidak mudah tercuci (Subandi, 2007). Di samping itu, kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah (Notohadiprawiro, 2006). Kendala pengembangan lahan Podzolik Merah Kuning beriklim basah dengan topograsi bergelombang cukup kompleks. Kesalahan dalam pengelolaan merupakan penyebab degradasi lahan yang mendasar. Di daerah tropika basah yang topografinya bervariasi dari datar, bergelombang hingga bergunung, erosi tanah merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dominan disamping penyebab lain seperti pencucian hara dan akumulasi unsur-unsur beracun. Lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah didominasi oleh tanah masam PMK dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al, 1994). Oleh karena itu lahan ini tergolong lahan marginal yang tingkat produktivitasnya rendah. Kesuburan tanah ini secara alamiah sangat tergantung pada lapisan atas yang kaya bahan organik tetapi bersifat labil. Kalau lahan ini diolah untuk budidaya, kandungan bahan organik yang memadai, produktivitas lahan cepat pula menurun dan akhirnya menjadi lahan kritis.Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang kritis tidak mampu berproduksi

Page 9: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

secara optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997). Sedangkan pembuatan teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani tidak memiliki cukup biaya. Mineral liat umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997).

IV.             PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH

A.       Konsep LEIA, LEISA dan HEIAAda tiga konsep untuk memperbaiki kesuburan tanah yaitu yang berwawasan lingkungan

atau berkelanjutan adalah Low External Input Agriculture (LEIA) dan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), dan pertanian moderen yang tergantung dengan bahan kimia adalah High External Input Agriculture (HEIA).

LEIA adalah sistem yang memanfaatkan sumberdaya lokal yang sangat intensif dengan sedikit atau sama sekali tidak menggunakan masukan dari luar sehingga tidak terjadi kerusakan sumberdaya alam. Pendauran hara di dalam usahatani dengan sumber-sumber yang berasal dari luar usaha tani. Kegiatan ini berguna untuk menambahkan hara kepada tanah dari luar usaha tani. Bahan-bahan yang digunakan: sampah, kompos, limbah, dan lain-lain. Pendauran hara di dalam usaha tani dengan sumber-sumber yang berasal dari usaha tani itu sendiri. Pendauran ini dapat dilewatkan dengan ternak atau pengembalian sisa-sisa biomassa hasil panen. Cara ini tidak menambahkan hara kepada tanah, tetapi hanya mengembalikan hara yang tidak terangkut ke luar bersama dengan hasil panen . Pendauran hara di dalam petak pertanaman. Kegiatan ini biasanya melibatkan tanaman legum (cover crop) untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan N pada tanaman pokok.

LEISA adalah Pertanian dengan masukan rendah tetapi mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam (tanah, air, tumbuhan dan hewan), manusia (tenaga, pengetahuan dan keterampilan) yang tersedia ditempat dan layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, adil secara sosial dan sesuai dengan budaya lokal. Ciri-ciri sitem ini (a) berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang luar biasa,(b) berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang luar biasa.

Prinsip dasar LEISA adalah menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme di dalam tanah (soil regenerator), mengoptimalkan ketersediaan dan menyeimbangkan aliran unsur hara, khususnya melalui penambatan Nitrogen, pendaur ulangan unsur hara dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap, meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara dan air dengan pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi, saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumberdaya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungisonal tinggi . Beberapa aplikasi praktisnya adalah seperti di bawah ini:

a)    pemakaian pupuk organik dan anorganikSumber pupuk organik dapat berasal dari kotoran hewan, bahan tanaman dan limbah,

misalnya ; pupuk kandang, hijauan tanaman rerumputan, semak ,perdu dan pohon, limbah

Page 10: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

pertanaman dan limbah agroindustri. Tanah yang dibenahi dengan pupuk organik mempunyai struktur yang baik dan sifat menahan air yang lebih besar dari pada tanah yang kandungan bahan orgaiknya rendah.

Pada umumnya pupuk organik mengandung hara makro yang rendah, tetapi mengandung hara mikro yang cukup sangat diperlukan oleh tanaman, sebagai bahan pembenah tanah pupuk organik dapat mencegah erosi, mencegah pengerakan permukaan tanah (crusting)dan retakan tanah, mempertahankan kelengasan tanah . Karekteristik yang dimiliki oleh pupuk organik adalah :

1. Kandungan hara rendah. Kandungan hara pupuk organik pada umumnya rendah tetapi bervariasi tergantung jenis bahan dasarnya.

2. Ketersediaan unsur hara lambat. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikrobia tanah untuk dirubah dari bentuk organik komplek yang tidak dapat dimanfaatkan tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik yang sederhana yang dapat diabsorpsi oleh tanaman.

3. Penggunaan pupuk organik sebaiknya harus diikuti dengan pupuk anorganik yang lebih cepat tersedia untuk menutupi kekurangan hara dari pupuk organik . Pupuk kandang merupakan hasil samping yang cukup penting dari budidaya hewan peliharaan baik unggas maupun non unggas, terdiri dari kotoran padat dan cair dari hewan ternak yang bercampur sisa makanan, dapat menambah unsur hara dalam tanah .

Pemberian pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya unsur hara, juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah yang dapat dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan agregat, bobot volume, total ruang pori, plastisitas dan daya pegang air. Kandungan unsur hara pupuk kandang akan berbeda dengan berbedanya jenis dan wujud bahan pupuk kandang .

Pemupukan yang dianjurkan pada budidaya tanaman jagung , untuk pupuk organik ( pupuk kandang / kompos ) 20 ton / ha. Sedangkan untuk pupuk an organik : Urea 300 kg / ha, TSP 100 kg / ha, KCI 50 kg / ha. Pupuk dasar diberikan sebelum tanam atau bersamaan tanam sejumlah 20 ton / ha pupuk organic, 100 kg / ha Urea, 100 kg TSP, dan 50 kg / ha KCl dengan membuat larikan atau ditugalkan kemudian ditutup kembali dengan tanah dengan jarak 10 cm dari garis tanam / lubang tanam. Pupuk susulan diberikan 3 minggu setelah tanam berupa Urea 100 kg / ha, diteruskan pupuk susulan kedua pada tanaman berumur 5 minggu sejumlah 100 kg Urea / ha (Dinas Pertanian Jember,2007). Hasil penelitian Mayadewi (2007) pupuk kandang ayam meningkatkan pertumbuhan hasil tanaman jagung manis sebesar 47,03% bila dokombinasikan dengan jarak tanam 50 x 40 cm.

Barus (2005) menjelaskan bahwa efisiensi penggunan pupuk dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian uji tanah untuk suatu sistem hara-tanah-tanaman. Pada dasarnya tahapan kegiatan uji tanah meliputi ; (1) Pengambilan contoh tanah yang mewakili lokasi berdasarkan hasil survey terdahulu, (2) Analisa kimia tanah di laboratorium dengan metode yang tepat dan teruji, (3) Interpretasi hasil analisis dan (4) Rekomendasi pemupukan. Hasil penelitian Hasanudin et al (2007) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang pada berbagai dosis mampu menurunkan Al-dd sekaligus meningkatkan pH tanah walaupun peningkatan pH tanah tidak sedrastis penurunan Al-dd. Peningkatan pH diikuti dengan peningkatan P tersedia tanah .

Pemberian bahan organik pada tanah masam dapat meningkatkan serapan P dan hasil tanaman jagung karena setelah bahan organik terdecomposisi akan menghasilkan beberapa unsur hara seperti N, P dan K serta menghasilkan asam humat dan fulvat yang memegang peranan

Page 11: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

penting dalam pengikatan Fe dan Al yang larut dalam tanah sehingga ketersediaan P akan meningkat (Hasanudin, 2003).

Seperti halnya pupuk organik, pemakaian pupuk anorganik hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimum hara tertentu seperti N, P, dan K, sehingga diberkan pada takaran yang rendah. Pupuk N (urea) untuk tanaman legum diperlukan sebagi stater sehingga diberikan pada saat tanam dengan takaran 15-20 kg/ha, sedangkan untuk tanaman non legum takarannya lebih tinggi. Pemakaian pupuk P (P-alam) minimal 60 kg P/ha untuk dua musim tanam, demikian pula pupuk KCl dengan takaran 60-90 kg/ha. Takaran pupuk anorganik secara tepat perlu diteliti lebih lanjut. Pemupukan P juga memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Fosfor berperan pada berbagai aktivitas metabolisme tanaman dan merupakan komponen klorofil. Sebagian besar hara P dari pupuk P yang diberikan difiksasi di dalam tanah sehingga hanya 10-20% pupuk P yang diberikan diserap tanaman. Oleh sebab itu pemberian yang terus menerus dalam jumlah berlebih akan terakumulasi dalam tanah dan dapat merubah status P tanah dari rendah ke tinggi sehingga tanaman tidak lagi tanggap terhadap pemupukan P (Barus, 2005). Pemberian pupuk P yaitu pupuk SP36 dan pupuk Rock fosfat mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung terlihat darai parameter tinggi tanaman 10 dan 17 hari setelah tanam serta kadar P trubus (Arimurti et al , 2006).

b)   pemberian pupuk hayatiMikrobia tanah yang menguntungkan dapat dikategorikan sebagai biofertilizer atau

pupuk hayati. Menurut Yuwono (2006) secara garis besar fungsi menguntungkan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa :1. Penyedia hara2. Peningkat ketersediaan hara3. Pengontrol organisme pengganggu tanaman4. Pengurai bahan organik dan pembentuk humus5. Pemantap agregat tanah6. Perombak persenyawaan agrokimia

Beberapa mikroorganisme tanah seperti Rhizobium, Azospirillum dan Azootobacter, Mikoriza, Bakteri pelarut fosfat, bila dimanfaatkan secara tepat dalam system pertanian akan membawa pengaruh yang positif baik bagi ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman, lingkungan edapik, maupun upaya pengendalian beberapa jenis penyakit. Sehingga akan dapat diperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal dan hasil panen yang lebih sehat. Mikroorganisme tersebut sering disebut sebagai biofertilizer atau pupuk hayati (Sutanto, 2002).

Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri pelarut fospat dapat meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah dan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P serta dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Penggunaan pupuk hayati berupa inokulan bakteri fospat dengan tanpa pemberian pupuk TSP dapat meningkatkan hasil jagung yang setara dengan pemberian TSP (Prihartini, 2003). Hasil penelitian Arimurti et al (2006) pada perlakuan bakteri pelarut fosfat (BPF) mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada tanah masam, yang tampak pada parameter tinggi tanaman 10 dan 45 HST, berat basah trubus, berat kering trubus, berat basah akar, berat kering akar, luas daun serta kadar P trubus. Pemberian BPF P. putida sama baiknya dengan P. Aeruginosa atau gabungan keduanya dalam meningkatkan tinggi tanaman 10 dan 45 HST. Untuk meningkatkan berat basah, berat kering trubus dan akar paling baik menggunakan P. putida. Asosiasi simbiotik anatara jamur dan sistem perakaran tanaman tinggi diistilahkan dengan mikoriza.

Page 12: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

Dalam fenomena ini jamur menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa menimbulkan nekrosis sebagaimana biasa terjadi pada infeksi jamur patogen, dan mendapat pasokan nutrisi secara teratur dari tanaman. Asosiasi ini akan dapat meningkatan ketersediaan hara P dan lainnya serta meningkatkan serapannya. MVA membantu pertumbuhan tanaman dengan memperbaiki ketersediaan hara fosfor dan melindungi perakaran dari serangan patogen (Hadiyanto dan Hairiyah, 2007).

Hasil penelitian Hasanudin dan Gonggo (2004) menjelaskan pemberian inokulasi mikrobia pelarut fosfat 15 ml tanaman-1 dan inokulasi mikoriza 20 g tanaman-1 dapat meningkatkan serapan P dan hasil jagung. Rhizobium yang berasosiasi dengan tanaman legum mampu menfiksasi 100-300 Kg N/Ha dalam satu musim tanam dan meninggalkan sejumlah N untuk tanaman berikutnya. Permasalahan yang perlu diperhatikan adalah efisiesnsi inokulan Rhizobium untuk tanaman tertentu. Rhizobium mampu mencukupi 80% kebutuhan nitrogen tanaman legum dan meningkatkan produksi antara 10-25%. Tanggapan tanaman sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah dan efektifitas populasi asli (Sutanto, 2002).

Kenaikan hasil tanaman setelah diinokulasi Azotobacter terjadi pada tanaman jagung, cantel, padi, bawang putih, tomat, terong dan kubis. Apabila Azotobacter dan Azospirillum diinokulasi secara bersama-sama, maka Azospirillum lebih efektif dalam meningkatkan hasil tanaman. Azospirillum menyebabkan kenaikan hasil cukup besar pada tanaman jagung, gandum dan cantel (Sutanto, 2002).

Selanjutnya dijelaskan juga oleh Tim Peneliti Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2008) bahwa pemakaian pupuk hayati pada lahan kering masam sebaiknya yang telah terbukti dapat menjalankan fungsi ekologis, merupakan mikroba hasil seleksi yang benar-benar unggul dalam membantu pertumbuhan tanaman. Pupuk hayati meliputi bakteri penambat N, mikroba pelarut fosfat, dan cendawan mikoriza arbuskula. Bakteri penambat N2. Bakteri ini mencakup bakteri yang membentuk bintil akar, bersimbiose dengan tanaman legum, dan bakteri penambat N yang hidup bebas di dalam tanah. Oleh karena itu, budi daya tanaman legum (kacang-kacangan) dapat menggunakan Rhizobium spp. Namun, perlu diperhatikan bahwa hubungan antara tanaman legum dan Rhizobium bersifat sangat spesifik, artinya satu spesies Rhizobium hanya dapat bersimbiose dengan spesies legum tertentu. Oleh karena itu, penggunaan Rhizobium sp. harus disesuaikan dengan spesies legum yang akan dibudidayakan. Bakteri penambat N yang hidup bebas seperti Azotobacter, Azospirillum, dan Beijerinckia dapat digunakan pada tanaman dari famili Gramineae (rumput-rumputan) seperti padi, jagung, dan sorgum.

Pupuk hayati lainnya adalah yang mengandung mikroba pelarut fosfat. Mikroba ini ada yang hidup bebas di dalam tanah atau hidup di daerah perakaran (rhizobakteri). Mikroba tersebut dapat menghasilkan senyawa organik yang dapat melarutkan P-tanah, sehingga ketersediaan P bagi tanaman meningkat dan mengurangi takaran penggunaan pupuk P.

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA). CMA merupakan suatu bentuk asosiasi cendawan dengan akar tanaman tingkat tinggi. Kemampuan asosiasi tanaman- CMA ini memungkinkan tanaman memperoleh hara dan air yang cukup pada kondisi lingkungan yang miskin unsur hara dan kering, perlindungan terhadap patogen tanah maupun unsur beracun, dan secara tidak langsung melalui perbaikan struktur tanah. Hal ini dimungkinkan karena CMA mempunyai kemampuan menyerap hara dan air lebih tinggi dibanding akar tanaman.

Keunggulan kemampuan CMA dalam pengambilan hara, terutama hara yang bersifat tidak mobil seperti P, Zn, dan Cu, disebabkan CMA memiliki struktur hifa yang mampu

Page 13: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

menjelajah daerah di antara partikel tanah, melampaui jarak yang dapat dicapai akar (rambut akar), kecepatan translokasi hara enam kali kecepatan rambut akar, dan nilai ambang batas konsentrasi hara yang dapat diserap CMA lebih rendah (setengah ambang batas konsentrasi hara yang dapat diserap akar). CMA secara tidak langsung juga dapat meningkatkan ketersediaan P-tanah melalui produksi enzim fosfatase oleh akartanaman. CMA juga berperan dalam membantu pemenuhan kebutuhan air pada saat kekeringan karena bertambahnya luas permukaan penyerapan air oleh hifa eksternal. Satu spesies CMA dapat berasosiasi dengan berbagai tanaman sehingga satu macam CMA dapat digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Pada saat ini telah dihasilkan berbagai inokulan CMA,umumnya dari spesies Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora.

HEIA adalah merupakan sistem pertanian yang menggunakan masukan dari luar (secara berlebihan). Umumnya berupa bahan-bahan agrokimia konvensional yang memang disengaja dibuat untuk input produksi. Sistem ini sangat tergantung senyawa kimia sintetis (pupuk, pestisida, zat pengatur tumbuh). Dapat berpengaruh buruk pada keseimbangan lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satu contohnya adalah dengan pengapuran. Secara ringkas pengapuran dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.         Salah satu kegiatan reklamasi lahan untuk memperbaiki atau memulihkan kembali tanah –tanah yang tidak subur agar secara optimal dapat mendukung pertumbuhan tanaman adalah dengan penambahan amelioran seperti pemberian kapur pertanian. Secara tidak langsung kapur dapat mengurangi keracunan Al, meningkatkan ketersediaan P, meningkatkan pH tanah dan secara langsung kapur dapat meningkatkan ketersediaan hara Ca.

2.         Pengapuran ditekankan kepada penggunaan kapur biasa CaCO3, seterusnya tanah masih perlu terus dipupuk. Pengapuran hendaknya dipandang hanya untuk menetralisasikan tanah secara cepat dan seterusnya jangan tergantung lagi pada banyaknya kapur, walaupun kualitas lahan cepat menurun kembali. Kapur dapat menetralisir Al melalui ion OH- membentuk Al(OH)3 tidak aktif yang dihasilkan dari pelepasan CO3

2- yang selanjutnya Al menjadi tidak larut dan Al-dd semakin berkurang (Hasanudin et al, 2007). Selanjutnya dijelaskan juga bahwa untuk meningkatkan pH tanah dari 4,6 menjadi 5,8 diperlukan dosis kapur 2x Al-dd.

3.         Kapur berfungsi memantapkan stabilitas tanah, tetapi daya kerjanya lebih cepat dari pada kerja bahan organik. Kelemahannya adalah bila tanah berkualitas rendah, yang ditandai dengan tingkat kesuburan rendah, maka dengan pengapuran saja hanya memungkinkan pertumbuhan tanaman yang normal. Sebaliknya penggunaan bahan organik tanpa didahului dengan pengapuran menghasilkan pemantapan stabilitas tanah secara lambat, tetapi dampak positifnya berlangsung jangka panjang. Oleh karena itu pengapuran pada tanah masam sebaiknya diikuti dengan pemberian pupuk organik agar stabilitas tanah terjaga dan pertumbuhan serta produksi tanaman akan terjamin (Kuswandi,1993).

B.       Konsep Mekanik dan VegetatifPemakaian tiga konsep di atas tadi ternyata hanya terbatas pada pengelolaan kesuburan

tanah secara kimia, sementara secara fisik sebenarnya di lahan kering ila dihadapkan pada kondisi tanah dengan slope tertentu serta berada pada daerah dengan intensitas hujan tinggi, maka secara teknik pengolahan tanah yang dilakukan harus berprinsip peningkatan kesuburan tanah dan adanya pelaksanaan konservasi tanah dan air.

Pada prinsipnya untuk meningkatkan atau mempertahankan kemampuan tanah dapat dilakukan teknik pengelolaan tanah secara mekanik dan vegetatif. Secara mekanik pembuatan teras misalnya teras gulud, teras bangku atau teras individu dan pembuatan saluran drainase.

Page 14: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

Sedangkan secara vegetatif adalah penerapan pola tanam yang menutup permukaan tanah sepanjang tahun baik dengan hijauan maupun vegetasi misalnya dengan pergiliran tanaman , tumpang sari atau penanaman budidaya lorong.

Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud menurut Sinukaban (1994):(1) Teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%.(2)  Pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat menurut arah  kontur. Pada tanah yang permeabilitasnya rendah, guludan dibuat miring terhadap kontur, tidak lebih dari 1% ke arah saluran pembuangan. Hal ini ditujukan agar air yang tidak segera terinfiltrasi ke dalam tanah dapat tersalurkan ke luar ladang dengan kecepatan rendah. Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga.              Pada usahatani lahan kering, fungsi utama teras bangku adalah: (1) memperlambat aliran permukaan; (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak sampai merusak; (3) meningkatkan laju infiltrasi; dan (4) mempermudah pengolahan tanah. Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olah datar, membentuk sudut 0o dengan bidang horizontal), miring ke dalam/goler kampak (bidang olah miring beberapa derajat ke arah yang berlawanan dengan lereng asli), dan miring keluar (bidang olah miring ke arah lereng asli). Teras biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah tadah hujan, lahan tegalan, dan berbagai sistem wanatani. Teras individu adalah teras yang dibuat pada setiap individu tanaman, terutama tanaman tahunan. Jenis teras ini biasa dibangun di areal perkebunan atau pertanaman buah-buahan.              Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi (Rahim, 2006).              Pergiliran tanaman atau tanam berurutan adalah sistem bercocok tanam dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah selama satu tahun; tanaman musim kedua ditanam sebelum panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan menjaga agar permukaan tanah selalu tertutup tanaman. Selain itu, sistem ini juga dimaksudkan untuk mempercepat penanaman tanaman pada musim kedua, sehingga masih mendapatkan air hujan dengan jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya. Tanam bersisipan atau tumpang sari adalah sistem penanaman lebih dari satu macam tanaman pada lahan yang sama secara simultan, dengan umur tanaman yang relatif sama dan diatur dalam barisan atau kumpulan barisan secara berselang-seling seperi: padi gogo + jagung - jagung + kacang tanah. Pada musim pertama di awal musim hujan, padi gogo ditanam secara tumpang sari dengan jagung. Menambah tanaman penguat teras,tanaman yang memenuhi syarat sebagai penguat teras adalah:

Page 15: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

a. Mempunyai sistem perakaran intensif, sehingga mampu mengikat air.b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama.c. Bermanfaat dalam menyuburkan tanah maupun sebagai penghasil makanan      ternak.              Tanaman penguat teras yang dianjurkan ditanam antara lain lamtorogung, gamal, akasia, kaliandra, rumput gajah dan rumput benggala. Salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah, mempertinggi kemampuan tanah dalam menyerap air yaitu dengan menggunakan pupuk organik berupa pupuk hijau atau pupuk kandang serta penggunaan sisa-sisa tanaman yang diletakkan di atas tanah sebagai serasah (mulsa) sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah. Dengan cara ini penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga air tanah tetap tersedia bagi tumbuhnya tanaman. Teknologi yang diintroduksikan ke lahan kering masam DAS bagian hulu haruslah teknologi yang mampu mengendalikan erosi, mudah dilaksanakan, murah dan dapat diterima oleh petani. Salah satu teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman lorong atau Alley cropping. Anonimous (2009) menjelaskan bahwa alley cropping merupakan salah satu sistem agroforestry yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan diantara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak (Kang et al., 1986). Tanaman pagar dipangkas secara periodik selama pertanaman untuk menghindari naungan dan mengurangi kompetisi hara dengan tanaman pangan/semusim. Leucaena leucocephala yang pertama diuji dalam sistem Alley cropping ini dan menyusul kemudian Glinsidia sepium.              Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif mengendalikan erosi. Di Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak 69%, yang terdiri atas 48% disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8% disebabkan oleh perubahan profil tanah dan 4% oleh penanaman secara kontur.              Di Indonesia sistem ini sudah diyakini efektif mengendalikan erosi dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman serta dapat diadopsi oleh petani di lahan kering. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa Alley cropping sangat efektif dalam mengendalikan erosi.              Efektivitas pengendalian erosi tersebut sangat tergantung kepada jenis tanaman pagar yang digunakan, jarak antara tanaman pagar dan pada saat awal, kemiringan lahan. Efektivitas pengendalian erosi dapat mencapai >95% dibanding apabila tidak menggunakan Alley cropping. Alegre dan Rao (1995) menunjukkan bahwa Alley cropping menahan kehilangan tanah 93% dan air 83% dibandingkan dengan pertanaman tunggal semusin.              Efektivitas pengendalian erosi ini selain karena hal yang telah disebutkan diatas juga karena terbentuknya teras secara alami dan perlahan-lahan setinggi 25-30 cm pada dasar tanaman pagar. Rendahnya erosi disebabkan oleh hasil pangkasan yang sukar melapuk yang berfungsi sebagai mulsa, sehingga tanah terlindung dari air hujan dan pemadatan tanah karena ulah pekerja selama operasi di lapangan. Barisan tanaman pagar menurunkan kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan pada air untuk berinfiltrasi. Selanjutnya tanaman pagar menyebabkan air tanah selalu berkurang untuk kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau sehingga sistem ini menyerap lebih banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya menurunkan erosi. Selain efektif mengendalikan erosi, Alley cropping juga ternyata dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Sistem ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu menurunkan BD (bulk density) dan meningkatkan konduktivitas hidraulik tanah.              Hasil penelitian Agas et al. (1997) tentang sifat-sifat tanah dan air di bawah Alley cropping pada tanah oxilos miring menunjukkan bahwa pada umumnya sifat-sifat tanah tidak

Page 16: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

dipengaruhi oleh jenis legum/taman pagar, tetapi dipengaruhi oleh posisi dalam lorong. Lebih dekat pada barisan tanaman pagar, mempengaruhi distribusi air. Air tersedia pada kedalaman 10-15 cm adalah 0,16 ; 0,13 dan 0,08 m3 masing-masing pada bagin bawah, tengah dan atas dari lorong. Transmisivitas air menurun dari 0,49 mm/detik pada bagian bawah menjadi 0,12 mm/detik pada bagian atas dari lorong. Kandungan air tanah dan tekanan air tanah menurun pada bagian lorong yang dekat pada tanaman pagar. Hal ini akan menyebabkan kompetisi air antara tanaman pagar dengan tanaman pangan pada lorong. Selain perbaikan sifat fisik tanah, penelitian-penelitian terdahulu juga memperlihatkan bahwa Alley cropping dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah.

V.                PENUTUPA.       Kesimpulan1.      Lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial, dominasi tanah pada lahan

ini adalah tanah mineral masam yang terdapat pada iklim tropik adalah jenis tanah ultisol, oxisols dan spodosol serta inseptisol . Karekteristik tanah mineral masam adalah pH rendah , bahan organik rendah dan kahat unsur hara makro maupun mikro serta tingginya kandungan Al dan Fe.

2. Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting seperti N, P, Ca, dan atau Mg dan Mo.

3. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi tanah masam guna mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman adalah dengan konsep LEIA, LEISA dan HEIA. Selain ketiga konsep tersebut konsep mekanik dan vegetatif merupakan tindakan konservasi tanah dan air .

B.       SaranSebagai salah satu sumberdaya lahan yang potensial, maka sangat diperlukan berbagai

inovasi untuk mengelola lahan kering sebagai upaya konservasi, karena semakin tingginya konversi lahan pertanian subur telah memaksa pertanian bergeser kepada pemanfaatan lahan marginal yang salah satunya lahan kering.

                   

Page 17: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

DAFTAR PUSTAKA

Arimurti,S, Setyati,D dan Mujib,M. 2006. Efettivitas bakteri pelarut fosfat dan pupuk P terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays) pada tanah masam. Universitas Jember Jurusan FMIPA .

Arief, A. Dan Irman. 1997. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbangtan Deptan. Hal. 1665-1675.

Anonimous.2009.Budidaya Lorong. Bebas banjir 2025.files.wordpress.com (diakses Mei 2009)

Barus,J. 2005. Respon tanaman padi terhadap pemupukan P pada tingkat status hara P tanah yang berbeda. Jurnal Akta Agrosia . 8(2): 52-55.

Dinas Pertanian Jember. 2007. Budidaya Tanaman Jagung. http://warintek.bantul.go.id (diakses 8 April 2009).

Hasanudin.Ganggo,B.2004. Pemanfaatan Mikrobia Pelarut Fospat dan Mikoriza untuk Perbaikan Fospor tersedia,Serapan Fospor Tanah Ultisol dan Hasil Jagung.Universitas Bengkulu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia . 4(2) : 97-103.

Hasanudin. 2003. Peningkatan ketersediaan dan serapan N dan P serta hasil tanaman jagung melalui inokulasi mikoriza, azotobacter dan bahan organic pada ultisol. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 5(2): 83-89.

Hasanudin, Mitriani dan Barchia F.2007. Pengaruh pengapuran dan pupuk kandang terhadap ketersediaan hara P pada timbunan tanah pasca tambang batubara. Jurnal Akta Agrosia . Edisi khusus No 1: 1-4. 

Handayanto, E., Hairiyah,K .2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. 273 p.

Hanafiah,AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Edisi 2. Raja Gravindo Persada.Jakarta . pp 139-165.

Himatan. 2006. Pembentukan dan Profil Tanah. Himpunan Ilmu Tanah Universitas Padjajaran. Hiatan06.files.wordpress.com (di akses Mei 2009).

Hakim, N., G. Ismail., Mardinus dan H. Muchtar. 1997. Perbaikan Lahan Kritis dengan Rotasi Tanaman dalam Budidaya Lorong. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan. Deptan. Hal. 1656-1664.

Page 18: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

Ismail, H.., J. Shamshuddin & S.R. Syed Oman. 1993. Allevation of SoilAcidity in Ultisol and Oxisol for Corn Growth. Plant & Soil 151: 55- 65.

Kang, B.T., G.G. Wilson, & T.L. Lawson. 1986. Alley cropping. IITA. Ibadan, Nigeria. 22 h.KEPAS. 1986. Agro-ecosistem daerah kering di Nusa Tenggara Timur. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Jakarta. xxviii + 119 h

Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Kanisus Yogyakarta.Edisi 1.

Mayadewi, NA. 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan gulma dan hasil jagung manis. Jurnal Agritrop. 28(4): 163-169. 

Monkhouse, F., & J. Small. 1978. Dictionary of the natural environment. Edward Arnold (publ.) Ltd Laondon. 320 h.

Notohadiprawiro,T. 2006. Ultisol, Fakta dan Implikasi Pertaniannya. Buletin Pusat Penelitian Marihat .No.6. 2006.

Nursyamsi, D. 2006. Kebutuhan hara kalium tanaman kedelai di tanah ultisol. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 6(2) : 71-81.

Prihartin.2003. Mikroorganisme Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Fospat.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimak.Bogor

Partohardjono, S., I.G. Ismail., Subandi., M.O. Adnyana dan D.A. Darmawan. 1994. Peranan Sistem Usahatani Terpadu dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Berbagai Agroekosistem. Prosiding Simposium Panelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan Deptan. Hal 143-182.

Rahim, ES. 2006. Pengendalian Erosi Tanah.Edisi 3. Bumi Aksara Jakarta.pp 91-106.

Sutanto,R..2002.Penerapan Pertanian Organik.Edisi 3 . Kanisus Jakarta.

Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi. Faperta IPB. Bogor.

Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan. Iptek Tanaman Pangan 2(1) :12 -25.

Sukmana, S. 1994. Budidaya lahan kering ditinjau dari konservasi tanah. Prosiding Penanganan Lahan Kering Marginal melalui Pola Usahatani Terpadu di Jambi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hlm 18-29.

Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Hal. 21-66 dalam Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Taufiq,A., H. Kuntyastuti, Sudaryono,A.G.Manshuri, Suryantini, Triwardani, dan C. Prahoro. 2003. Perbaikan dan peningkatan efisiensi produksi kedelai di lahan keringmasam. Laporan teknis Balai PenelitianTanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (tidak dipublikasi).

Page 19: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

Tim Peneliti Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Pemanfaatan Biota Tanah untuk keberlanjutan produktivitas pertanian lahan kering masam. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2):157-163.

Yuwono,N. W.2006. Pupuk Hayati . UGM.Yogyakarta.

Yuwono NW dan Rosmarkam A. 2008. Ilmu Kesuburan Tanah. Edisi 4. Yogyakarta. pp 23 -32.

Yulianti, N. 2007. Reaksi Tanah .Jurnal Hijau.2(5) : 23 – 43.

II. Permasalahan Pada Tanah Mineral Masam

Tanah masam di Indonesia memiliki ciri-ciri tekstur lempungan, struktur gumpal, permeabilitas rendah, stabilitas agregat baik, pH rendah, KPK rendah, aras N, P, Ca, Mg sangat rendah, vegetasi alami alang-alang (Imperata cylindrica) dan hutan (Hardjowigeno, 1993), fraksi lempung didominasi oleh mineral-mineral bermuatan terubahkan seperti kaolinit, gibsit dan atau goetit (Ismail et al., 1993). Tanah ini di Indonesia terbentuk di daerah yang bercurah hujan tinggi (2500-3000 mm per tahun), topografi berombak hingga berbukit dengan ketinggian 50-350 mm di atas muka air laut, batuan induk granit, abu vulkan atau andesit .

Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting seperti N, P, Ca, dan atau Mg dan Mo . Upaya untuk mengatasi persoalan kesuburan tanah-tanah masam adalah dengan mengkombinasikan antara praktek usaha tani dengan penerapan bioteknologi tanah yang menekankan pada komponen mengamankan suplai N di dalam sistem tanah-tanaman dengan pengayaan fiksasi N2 secara biologis (Notohadiprawiro, 1990). Teknologi ini mencakup segala upaya untuk memanipulasi jasad renik dalam tanah dan proses metabolik mereka untuk mengoptimumkan produktivitas pertanaman.

Lahan kering tergolong suboptimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg. Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam.

Usaha pertanian di tanah Ultisol akan menghadapi sejumlah permasalahan.Tanah Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan kandunganAl, Fe, dan Mn terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini biasanya miskin unsur hara esensial makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik . Meskipun secara umum tanah Ultisol atau Podsolik Merah Kuning banyak mengandung Al dapat ditukar (Al-dd) (20-70%), namun hasil penelitianmenunjukkan bahwa beberapa contoh tanah tersebut mengandung Al-dd relatif rendah (< 20%).

Tanah di KP. Kayu Agung, Indralaya, dan Prabumulih Sumatera Selatan, misalnya, mempunyai kejenuhan Al-dd berturut-turut 11,08%, 1,01%, dan 17,26% di Jawa Barat 13,40% dan 11 dari 28 contoh tanah lapisan atas yang berasal dari Lampung Tengah jugamemiliki kejenuhanAl-dd

Page 20: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

yang rendah (Taufiq et al. 2003).

Tekstur tanah ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan lempungan (clayey). Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral silikat tipe 1:1 serta oksida dan hidroksida Fe danAl, sehingga fraksi lempung tergolong beraktivitas rendah dan dayamemegang lengas juga rendah. Karena umumnya memiliki kandungan bahan organik rendah dan fraksi lempungnya beraktivitas rendah maka kapasitas tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga rendah, sehingga relatif kurang kuatmemegang hara tanaman dan karenanya unsur haramudah tercuci. Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan terubahkan (variable charge), sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai pH-nya, peningkatan pH akan diikuti oleh peningkatan KTK, lebih mampu mengikat hara K dan tidak mudah tercuci (Subandi, 2007).

Memperhatikan permasalahan yang dihadapi pada lahan kering masam seperti yang disebutkan di depan, maka dalam pengelolaannya untuk pertanaman, secara teknis, terdapat dua pendekatan pokok yakni pemilihan jenis komoditas atau varietas yang adaptif serta perbaikan kesuburan tanah dengan ameliorasi dan pemupukan.

Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara (Soebagyo,et al., 2004; Hidayat dan Mulyani, 2005). Salah satu ordo tanah yang cukup luas penyebarannya adalah Ultisols. Ditinjau dari luasnya, Ultisol mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan lahan ini menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala sifat fisik tanah yang sering dijumpai antara lain adalah kemantapan agregat yang rendah, tanah mudah menjadi padat dan permeabilitas tanah yang lambat.

Pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang/menyimpan air yang rendah, tetapi kadar Al dan Mn tinggi. Oleh karena itu, kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kadar bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Di samping itu, kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Kendala pengembangan lahan Podzolik Merah Kuning beriklim basah dengan topograsi bergelombang cukup kompleks. Kesalahan dalam pengelolaan merupakan penyebab degradasi lahan yang mendasar. Di daerah tropika basah yang topografinya bervariasi dari datar, bergelombang hingga bergunung, erosi tanah merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dominan disamping penyebab lain seperti pencucian hara dan akumulasi unsur-unsur beracun.

Lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah didominasi oleh tanah masam PMK

Page 21: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al, 1994). Oleh karena itu lahan ini tergolong lahan marginal yang tingkat produktivitasnya rendah. Kesuburan tanah ini secara alamiah sangat tergantung pada lapisan atas yang kaya bahan organik tetapi bersifat labil. Kalau lahan ini diolah untuk budidaya, kandungan bahan organik yang memadai, produktivitas lahan cepat pula menurun dan akhirnya menjadi lahan kritis.

Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang krits tidak mampu berproduksi secara optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997). Sedangkan pembuatan teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani tidak memiliki cukup biaya.

Sifat kimia dan fisika tanah PMK yang jelek merupakan kendala misalnya tanah yang bereaksi masam sampai sangat masam. Kandungan dan kejenuhan aluminiumnya tinggi yang dapat meracuni tanaman dan daya fiksasi yang tinggi terhadap Phospor.

Kandungan bahan organik, KTK dan kejenuhan basahnya umumnya rendah. Mineral liat umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997). Dampak langsung dari wilayah yang mengalami erosi adalah terjadinya suatu areal yang secara bertahap menjadi tandus dengan konsekuensi penduduk yang tinggal disekitarnya akan menjadi miskin (Pandang dan Subandi, 1997).

Mineral Kaolin telah lama dikenal akan reaktivitasnya terhadap fosfat, karena kaolin merupakan mineral lempung yang merajai terutama pada tanah-tanah mineral masam seperti Ultisols, Alfisols dan Oxisols maka reaktivitasnya terhadap fosfat perlu dipertimbangkan sebagai landasan pengelolaan P pada tanah-tanah ini. Wild (1950) melakukan penelitian tentang reaksi fosfat dengan lempung alumino-silikat dan berkesimpulan bahwa montmorillonit dan kaolinit menjerap P dalam jumlah yang hampir sama apabila ukuran partikelnya serupa. Ia mengusulkan dua mekanisme retensi P oleh mineral-mineral lempung, yaitu pertukaran ion fosfat dengan gugus hidroksil pada lapisan gibbsite dan/atau sebagai anion tertukarkan yang mengimbangi muatan positif hasil protonasi ion. Muljadi et al. (1966) berkesimpulan bahwa isotherm retensi P adalah sama untuk kaolinit, gibbsite dan pseudoboehmite, perbedaannya adalah pada jumlah tapak retensi.

Oksida-oksida besi dan aluminium maupun lempung aluminosilikat, yang merupakan komponen utama fraksi lempung tanah-tanah mineral masam, mampu menjerap P. Meskipun demikian perlu disadari bahwa terdapat perbedaan kekuatan ikatan retensi yang bersumber pada perbedaan sifat ikatan antara anion fosfat dengan oksida-oksida besi dan lempung alumino silikat. Perbedaan ini akan menimbulkan perilaku dan tanggapan yang berbeda terhadap perlakuan pemberian fosfat ke dalam tanah sebagai pupuk. Dalam hubungan ini nisbah antara oksida besi dan lempung silikat perlu dipertimbangkan sebagai dasar pengelolaan P terutama pada tanah-tanah mineral masam. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kemampuan retensi P dari kaolin dan oksida-oksida besi yang diperoleh dari tanah-tanah mineral masam di Indonesia.

Tanaman kedelai mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan di tanah Ultisol asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Umumnya tanah tersebut

Page 22: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

mempunyai pH yang sangat masam hingga agak masam, yaitu sekitar 4.1-5.5, jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong rendah hingga sedang dengan komplek adsorpsi didominasi oleh Al, dan hanya sedikit mengandung kation Ca dan Mg. Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) lapisan atas tanah umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al., 2000).

Kekahatan kalium merupakan kendala yang sangat penting dan sering terjadi di tanah Ultisol. Masalah tersebut erat kaitannya dengan bahan induk tanah yang miskin K, hara kalium yang mudah tercuci karena KTK tanah rendah, dan curah hujan yang tinggi di daerah tropika basah sehingga K banyak yang tercuci. Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di tanah masam dapat dilakukan melalui pengelolaan tanaman yang sesuai dan manipulasi tanah yang tepat. Pemupukan kalium memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produksi kedelai di tanah Ultisol. Hara kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak setelah N dan P (Nursyamsi,2006)

Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:

Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, (3) Teknologi Pupuk Hayati, dan (4) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

TANAH MARJINALMENGAMATI TANAH DI LAPANGAN

Tanah merupakan suatu system yang sangat kompleks yang dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu fisik, kimiawi dan biologis. Tanah yang dengan istilah lain disebut pedosfera yang berada di atas permukaan bumi ini merupakan hasil perpaduan dari beberapa bagian penyusun kerak bumi, yaitu litosfera, biosfera, hidrosfera dan atmosfera. Apabila diperhatikan lebih seksama, tanah bukanlah terdiri dari benda padat yang pejal melainkan ternyata tersusun dari empat bagian penyusun tanah, yaitu bahan mineral (anorganik), bahan-bahan organik atau sisa tanaman dan hewan, air tanah dan udara tanah.

Keempat bagian penyusun tanah tersebut bergabung satu sama lain membentuk suatu system yang kompleks, yaitu tanah, yang merupakan media yang baik bagi perakaran tanaman, sebagai gudang unsur hara dan sanggup menyediakan air serta udara bagi keperluan tanaman. Jumlah dan macam bahan penyusun tanah tersebut dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain di permukaan bumi ini sehingga dapat dibedakan satu jenis tanah dengan jenis tanah lainnya. Hal inilah yang merupakan dasar dari klasifikasi tanah.

Page 23: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

Membedakan sifat tanah yang berbeda-beda, misalnya ada yang berwarna merah, hitam, kelabu, ada yang bertekstur pasir, debu, liat dan sebagainya merupakan cara yang sangat sederhana untuk melakukan klasifikasi tanah. Dengan cara ini maka tanah-tanah dengan sifat yang sama dimasukkan ke dalam satu kelas yang sama. Pengklasifikasian tanah secara sederhana pun dapat dilakukan dengan memilah-milah tanah subur, dan tanah kurang subur (tanah marginal). Tanah yang subur, umumnya adalah tanah-tanah yang berasal dari gunung berapi atau bahan alluvial baru sedangkan tanah marginal adalah tanah-tanah yang kurang baik dan belum diusahakan.

TANAH MARJINALDi Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan

basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2003). Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya.

Tanah marginal atau “suboptimal” merupakan tanah yang potensial untuk pertanian, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman hutan. Secara alami, kesuburantanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi tanah yang masam, cadangan hara rendah, basa-basa dapat tukar dan kejenuhan basa rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi. Namun, Krantz (1958) mengemukakan bahwa penilaian produktivitas suatu lahan bukan hanya berdasarkan kesuburan alami (natural fertility), tetapi juga respons tanah dan tanaman terhadap aplikasi teknologi pengelolaan lahan yang diterapkan. Melalui perbaikan teknologi pengelolaanlahan, produktivitas suatu lahan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan dengan kondisi kesuburan tanahnya yang secara alami rendah. Namun, dalam beberapa decade terakhir, penilaian kesuburan tanah justru didasarkan pada kesuburan alami (natural fertility). Dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah pada awal tahun 1960-an yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Tanah, yang sekarang berubah nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), penilaian kelas kemampuan wilayah hanya didasarkan pada kualitas atau karakteristik tanah secara alami (virgin soil). Namun, sejak tahun 1970-an, penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dari dua arah, yaitu berdasarkan kondisi teknologi yang diterapkan saat ini (actual suitability) dan kondisi teknologi dengan perbaikan disesuaikan dengan kualitas dan karakteristik lahannya (potential suitability).

Tanah marginal lahan kering di Kalimantan terbentuk dari batuan sedimen masam, yang dicirikan oleh cadangan hara yang tergolong sangat rendah. Batuan sedimen masam adalah batuan permukaan (eksogen) yang menempati volume 5% kerak bumi (daratan dan lautan). Batuan ini menjadi penting karena menutup hingga 75% permukaan bumi (Faucult dan Raqult 1984). Sifat batuan sedimen masam bervariasi karena pembentukannya bergantung pada sifat

Page 24: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

alami bahan pembentuknya, proses atau model pengendapan, dan kondisi lingkungan daerah pengendapan.

Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, penyebaran tanah dari batuan sedimen masam di Indonesia mencapai 40,10% atau 75,48 juta ha (Puslittanak 2000). Di Kalimantan, diperkirakan penyebaran tanah ini mencapai luas 30,15 juta ha atau 57,22% dari luas pulau, dengan jenis tanah utama terdiri atas Ultisols, sedikit Inceptisols, dan Oxisols (Subagyo et al. 2000). Tanah ini sebagian besar digunakan untuk tanaman perkebunan, antara lain karet, kelapa sawit, lada, kopi, dan hutan tanaman industri. Berdasarkan data BPS (2004), luas lahan perkebunan di Kalimantan mencapai 4,83 juta ha, sehingga perluasan areal pertanian pada tanah ini masih mungkin dilakukan.Tulisan ini membahas tanah marginal lahan kering dari batuan sedimen masam di Kalimantan, yang meliputi penyebaran, karakteristik tanah, dan potensinya untuk pertanian. Wilayah Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia dan Brunei Darussalam, sebagian besar merupakan lahan marginal yang perlu segera dimanfaatkan dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan.

PENYEBARAN TANAH MARGINAL DI KALIMANTANSecara fisiografis, tanah marginal dari batuan sedimen masam menyebar

padalandform tektonik, yaitu suatu landform yang terbentuk sebagai akibat adanya proses-proses geomorfik dari dalam (endogen/hipogen) atau dari luar (eksogen/ epigen), antara lain berupa proses angkatan, lipatan, patahan, dan atau gabungannya (Marsoedi et al. 1997).Relief atau lereng yang terbentuk pada

landform ini sangat terkait dengan proses-proses geomorfik dan atau sifat litologinya (struktural). Gambar 1 memperlihatkan bentang alam lahan marginal di Provinsi Kalimantan Selatan. Landform dan relief yang terbentuk sebagai akibat deformasi kulit bumi oleh proses angkatan dan patahan dapat membentuk wilayah tinggi yang relative datar dengan areal cukup luas, yang disebut plateau, lebih kecil (mesa), atau sangat kecil (bute). Bahan yang terangkat umumnya berupa batu pasir, seperti yang dijumpai di Kalimantan Barat (Suharta dan Suratman 2004). Pengangkatan yang tidak terlalu tinggi umumnya membentuk teras angkatan dengan relief datar. Bentukan landform sebagai akibat proses angkatan, lipatan, dan patahan karena adanya pemiringan yang berlereng curam (> 35%) disebut hogback, sedangkan yang berlereng landai (< 35%) disebut cuesta. Kedua sublandform tersebut wilayahnya merupakan perbukitan atau pegunungan. Bentukan landform ini banyak dijumpai di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Suharta et al. 1998; Hikmatullah et al. 2000).

Patahan tunggal di wilayah perbukitan atau pegunungan akan membentuk blok memanjang terangkat yang disebut horst atau berupa pelembahan yaitu graben. Wilayah yang terbentuk karena proses pelipatan dari strata batuan membentuk punggung antiklin dengan reliefberbukit, dan depresi sinklin dengan relief datar, atau membentuk perbukitan paralel. Wilayah dengan relief datar hingga bergelombang yang terbentuk sebagai akibat proses pendataran atauerosi yang kuat dan cukup lama, membentuk wilayah tua yang nyaris datar yang disebut peneplain.

Page 25: Pangan 2050 Dan Lahan Sub Optimal

CADANGAN HARA TANAHKesuburan tanah alami sangat bergantung pada komposisi mineral bahan induk tanah

atau cadangan hara tanah. Semakin tinggi cadangan hara tanah, semakin tinggi pula tingkat kesuburan tanahnya. Cadangan hara di dalam tanah sangat bergantung pada komposisi, jumlah, dan jenis mineralnya. Tanah marginal dari batuan sedimen masam mempunyai cadangan mineral atau cadangan hara yang rendah.

 Berdasarkan derajat pelapukannya, jenis mineral di dalam tanah dapatdibedakan dalam dua grup utama, yaitu mineral resisten atau mineral yang tahan terhadap pelapukan dan mineral yang tergolong mudah lapuk. Mineral yang tahan terhadap pelapukan antara lainadalah kuarsa (SiO2), dan tergolong mineral miskin hara. Karena sifatnya yang sukar melapuk, kuarsa banyak dijumpai pada tanah yang telah mengalamipelapukan lanjut atau pada tanah yang terbentuk dari bahan induk yang mengandung kuarsa tinggi, seperti batu pasirkuarsa. Mineral mudah lapuk yang kaya unsur hara adalah muskovit, biotit, ilit, ortoklas, dan sanidin sebagai sumber K; anortit dan albit sebagai sumber Na dan K; amfibol, hiperstin, augit, dan olivine sebagai sumber Ca, Mg, dan Fe; serta apatit sebagai sumber P dan Ca (Mohr et al. 1972). Setiap batuan induk tanah mempunyai komposisi atau jenis mineraltertentu sehingga proses pelapukannya akan melepas unsur-unsur hara tersebutyang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh tanah

SIFAT FISIK TANAHTanah marginal dicirikan oleh teksturtanah yang bervariasi dari pasir hingga liat.

Hal  tersebut dikarenakan batuan sedimen masam di Kalimantan terbentuk dari dua macam bahan induk tanah, yaitu batu pasir yang bertekstur kasar dan batu liat atau batu lanau yang bertekstur halus. Hasil penelitian Suharta (2007) di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa fraksipasir, debu maupun liat sangat bervariasi, baik pada lapisan atas maupun lapisan. hal yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Prasetyo et al. (2001) di Kalimantan Timur danYatno et al. (2000) di Kalimantan Selatan. Adanya keragaman tekstur tanah yang cukup besar pada tanah marginal dari batuan sedimen masam akan sangat memengaruhi sifat fisik, kimia, maupun sifat mineraloginya sehingga memerlukan kehati-hatian dalam pengelolaan tanahnya. Tanah bertekstur kasar dicirikan oleh kemampuan meretensi air dan hara yang rendah sehingga tanah rawan kekeringan pada musim kemarau dan pencucian hara atau basa-basa dapat tukar secara intensif pada musim hujan. Sebaliknya, tanah bertekstur halus umumnya dicirikan oleh permeabilitas tanah yang lambat.