Panduan_CTL_split_3

4

Click here to load reader

Transcript of Panduan_CTL_split_3

Page 1: Panduan_CTL_split_3

4 Pembelajaran Kontekstual

benaran pernyataan pihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi pendapat dapat berkembang.

Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memind-ahkan pengetahuan kepada peserta didik yang belajar. Dengan paham konstruk-tivisme, peserta didik diharapkan dapat membangun pemahaman sendiri dari pengalaman/pengetahuan terdahulu (asimilasi). Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna (akomodasi).

Pandangan pembelajaran yang lain yaitu pandangan pembelajaran penemuan adalah suatu pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memaha-mi struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Teori belajar Bruner hampir serupa dengan teori Piaget, Bruner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak mengikuti tiga tahap representasi yang berurutan, yaitu: a) enaktif, segala perhatian anak tergantung pada responnya; b) ikonik, pola berpikir anak tergantung pada organ-isasi sensoriknya dan c) simbolik, anak telah memiliki pengertian yang utuh tentang sesuatu hal sehingga anak telah mampu mengutarakan pendapatnya dengan bahasa. Implikasi teori Bruner dalam proses pembelajaran adalah menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah. Dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur ide-nya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dalam benaknya. Bruner yakin pentingnya siswa terlibat di dalam pembelajaran dan dia meyakini bahwa pembelaja-ran yang terjadi sebenarnya melalui penemuan pribadi.

Selain pandangan-pandangan di atas Bandura mengemukakan teori pembela-jaran sosial (social learnig theory), yaitu bahwa tingkah laku manusia bukan semata – mata bersifat refleks atau otomatis, melainkan juga merupakan akibat dari reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif. Menu-rut bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan (imita-tion) maupun penyajian contoh perilaku (modelling). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang model bagi peserta didik untuk menirukan perilaku membaca puisi atau menggunakan termometer.

C. PILAR-PILAR PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Pembelajaran kontekstual memiliki tujuh pilar. Menurut The Washington

State Consortium for Contextual Teaching and Learning (2001), pilar-pilar tersebut sebagai berikut:

Page 2: Panduan_CTL_split_3

5BAB I. Apa dan Mengapa Pembelajaran Kontekstual?

1. Menemukan (Inquiry)Menemukan atau inkuiri merupakan

bagian inti dari pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengin-gat seperangkat fakta, tetapi merupakan hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada keg-iatan menemukan, apapun materi yang diajar-kannya.

Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri):

• mengamati,• merumuskan masalah,• mengumpulkan data,• menganalisis dan menyajikan hasil, dan• mengkomunikasikan hasil.

2. Bertanya (Questioning)Dalam pembelajaran kontekstual, bertanya merupakan strategi utama. Bagi

guru, bertanya merupakan kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan me-nilai kemampuan berpikir peserta didik. Bagi peserta didik, bertanya merupakan bagian penting dalam menggali informasi, mengkonfirmasikan yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum mereka ketahui. Dengan kata lain, bertanya dalam pembelajaran kontekstual berfungsi untuk

(1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis,(2) mengecek pemahaman peserta didik,(3) membangkitkan respon kepada peserta didik,(4) mengetahui sejauhmana keingintahuan peserta didik,(5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui peserta didik,(6) memfokuskan perhatian peserta didik pada sesuatu yang dikehendaki guru, (7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari peserta didik, dan(8) menyegarkan kembali pengetahuan peserta didik.

Selain itu, keterampilan bertanya peserta didik dalam proses pembelajaran di dalam kelas sebaiknya dilatihkan guru untuk memberi kesempatan kepada peserta didik berpikir kreatif, yaitu menuntut peserta didik untuk mengemukakan gagasan-nya sendiri. Jenis pertanyaan yang dilatihkan untuk diajukan peserta didik sangat ber-

Gambar 1.1. Peserta didik membangun konsep adaptasi pada tumbuhan air

Page 3: Panduan_CTL_split_3

6 Pembelajaran Kontekstual

Gambar 1.2. Pemodelan oleh peserta didik

pengaruh terhadap perkembangan keterampilan berpikir peserta didik. Pertanyaan tersebut bukan hanya untuk memfokuskan peserta didik pada kegiatan, tetapi juga untuk menggali potensi belajar mereka. Pertanyaan yang memicu peserta didik untuk berpikir analitis, evaluatif, dan kreatif dapat mendorong peserta didik untuk menjadi pemikir yang kritis, kreatif, dan inovatif. Untuk itu, guru dapat melatihkan berbagai keterampilan bertanya jenis berikut.

a. Bertanya untuk klarifikasi dan konfirmasi.Bertanya untuk klarifikasi dan konfirmasi adalah bertanya yang disampai-

kan kepada orang lain untuk tujuan mengukuhkan dan memperjelas persoalan yang sebelumnya telah diketahui.

b. Bertanya untuk menggali informasiBertanya untuk menggali informasi biasanya menggunakan 5W +1H (what

-apa- menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan isi atau pembahasan; who -sia-pa- menanyakan orang-orang atau pihak yang terlibat; why --mengapa- menan-yakan sebab atau alasan terjadinya sesuatu; when –kapan- menanyakan waktu terjadinya sebuah peristiwa; where ‘di mana’- menanyakan tempat berlangsung-nya suatu peristiwa; dan how ‘bagaimana’_ menanyakan cara atau proses).

3. Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme (constructivism) meru-pakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan diban-gun oleh peserta didik sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas ke konteks lain dari yang sempit (terbatas) sampai yang lebih luas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, kon-sep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, melainkan secara bermakna harus dibangun (dikonstruk) melalui pengalaman nyata.

Peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan ses-uatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan berbagai gagasan karena guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan yang diperlukan peserta didik. Pemerolehan pengetahuan melalui proses mengkonstruk sangat memungkinkan pengetahuan tersebut menjadi milik peserta didik sendiri dan dapat bertahan lebih lama.

Page 4: Panduan_CTL_split_3

7BAB I. Apa dan Mengapa Pembelajaran Kontekstual?

Atas dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Peseta didik dikondisikan untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik bukan pada guru.

Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan objektiv-isme yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam filosofi konstruktivisme, “strategi menemukan atau membangun pengetahuan” lebih diutamakan dibanding-kan dengan seberapa banyak hasil pengetahuan yang diperoleh dan diingat oleh pe-serta didik. Untuk itu, tugas guru yang sangat penting adalah memfasilitasi proses menemukan dan membangun pengetahuan tersebut dengan cara:

(1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi peserta didik,(2) memberi kesempatan peserta didik menemukan dan menerapkan gagasan

sendiri, dan(3) menunjukkan adanya berbagai macam strategi dalam memperoleh pengetahuan

yang dapat disesuaikan dengan gaya belajar masing-masing peserta didik.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Gambar 1.3. Peserta didik belajar dalam kelompok

Konsep masyarakat belajar (learn-ing community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antarteman atau antarkel-ompok. Dari teman yang sudah tahu ke-pada yang belum tahu atau dari kelom-pok yang sudah tahu kepada kelompok yang belum tahu. Masyarakat belajar da-pat ditemukan di berbagai situasi belajar, misalnya di keluarga, di kelas, di sekolah, di masyarakat.

Dalam kelas pembelajaran kontekstual, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Peserta didik dibagi dalam kelom-pok-kelompok yang anggotanya heterogen. Ini untuk melatihkan keberagaman. Yang pandai mengasah kecerdasannya dengan cara mengajari yang lemah, yang sudah tahu membantu yang belum tahu sebagai bentuk kepedulian, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok peserta didik bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keang-gotaan ataupun jumlahnya, bahkan bisa melibatkan peserta didik dari kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ‘ahli’ ke kelas.