Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Transcript of Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Koleksi DokumenProyek Pesisir1997 - 2003
Kutipan: Knight, M. dan S. Tighe, (editor) 2003. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003;Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island,USA. (5 Seri, 30 Buku, 14 CR-ROM).
2
elama lebih dari 30 tahun terakhir, telah terdapat ratusan program —baik internasional,nasional maupun regional— yang diprakarsai oleh pemerintah, serta berbagaiorganisasi dan kelompok masyarakat di seluruh dunia, dalam upaya menatakelolaekosistem pesisir dan laut dunia secara lebih efektif. USAID (The United States Agency
for International Development) merupakan salah satu perintis dalam kerja sama dengan negara-negara berkembang untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem wilayah pesisir sejak tahun 1985.
Berdasarkan pengalamannya tersebut, pada tahun 1996, USAID memprakarsai ProyekPengelolaan Sumberdaya Pesisir (Coastal Resources Management Project—CRMP) atau dikenalsebagai Proyek Pesisir, sebagai bagian dari program Pengelolaan Sumberdaya Alam (NaturalResources Management Program). Program ini direncanakan dan diimplementasikan melalui kerjasama dengan Pemerintah Indonesia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional(BAPPENAS), dan dengan dukungan Coastal Resources Center University of Rhode Island (CRC/URI) di Amerika Serikat. Kemitraan USAID dengan CRC/URI merupakan kerja sama yang amatpenting dalam penyelenggaraan program-program pengelolaan sumberdaya pesisir di berbagainegara yang didukung oleh USAID selama hampir dua dasawarsa. CRC/URI mendisain danmengimplementasikan program-program lapangan jangka panjang yang bertujuan membangunkapasitas menata-kelola wilayah pesisir yang efektif di tingkat lokal dan nasional. Lembaga inijuga melaksanakan analisis dan berbagi pengalaman tentang pembelajaran yang diperoleh daridan melalui proyek-proyek lapangan, lewat program-program pelatihan, publikasi, dan partisipasidi forum-forum internasional.
Ketika CRC/URI memulai aktivitasnya di Indonesia sebagai mitra USAID dalam programpengelolaan sumberdaya pesisirnya (CRMP, atau dikenal dengan Proyek Pesisir), telah adabeberapa program pengelolaan pesisir dan kelautan yang sedang berjalan. Program-programtersebut umumnya merupakan proyek besar, sebagian kecil di antaranya telah mencapai tahapimplementasi. CRC/URI mendisain Proyek Pesisir untuk lebih berorientasi pada implementasidalam mempromosikan pengelolaan wilayah pesisir dan tujuan-tujuan strategis USAID, sepertipengembangan ekonomi dan keamanan pangan, perlindungan kesehatan masyarakat, pencegahankonflik, demokrasi partisipatoris, dan perlindungan kelestarian lingkungan melalui pengelolaansumberdaya pesisir dan air.
Kegiatan Proyek Pesisir menempatkan Indonesia di garis depan pengembangan model baru danpeningkatan informasi baru yang bermanfaat bagi Indonesia sendiri dan negara-negara lain didunia dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir. Sebagai negara keempat terbesar di dunia,dengan kurang lebih 60 persen dari 230 juta penduduknya tinggal di dalam radius 50 kilometerdari pesisir, Indonesia secara sempurna berada pada posisi untuk mempengaruhi danmemformulasikan strategi-strategi pengembangan pengelolaan pesisir negara-negara berkembangdi seluruh dunia. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari17.500 pulau, 81.000 kilometer garis pantai, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 5,8 juta
S
Koleksi Proyek Pesisir–Kata Pengantar
3
ver the past 30 years, there have been hundreds of international, national and sub-national programs initiated by government, organizations and citizen groups thatattempted to more effectively govern the world’s coastal and marine ecosystems.Among these efforts, the U.S. Agency for International Development (USAID) has
been a pioneer since 1985 in working with developing countries to improve the management oftheir coastal ecosystem to benefit coastal people and their environment.
Building on its experience, as part of its Natural Resources Management Program, USAID initi-ated planning for the Indonesia Coastal Resources Management Project (CRMP, or Proyek Pesisir)in 1996. This program was planned and implemented in cooperation with the Government ofIndonesia through its National Development Planning Agency (BAPPENAS) and with the supportof the Coastal Resources Center at the University of Rhode Island (CRC/URI) in the United States.USAID’s partnership with CRC/URI has been central to the delivery of coastal resources manage-ment programs to numerous USAID-supported countries for almost two decades. CRC/URI de-signs and implements long-term field programs that work to build the local and national capacity toeffectively practice coastal governance. It also carries out analyses and shares experiences drawnfrom within and across field projects. These lessons learned are disseminated worldwide throughtraining programs, publications and participation in global forums.
When CRC/URI initiated work in Indonesia as a partner with USAID in its international CoastalResources Management Program, there were numerous marine and coastal programs alreadyongoing. These were typically large planning projects; few projects had moved forward into “on-the-ground” implementation. CRC/URI designed Indonesia’s CRMP to be “implementation ori-ented” in promoting coastal governance and the USAID strategic goals of economic developmentand food security, protection of human health, prevention of conflicts, participatory democracy andenvironmental protection through integrated management of coasts and water resources.
The CRMP put Indonesia in the forefront of developing new models and generating new informa-tion useful in Indonesia, and in other countries around the world, for managing coastal resources.Being the fourth largest country in the world, with approximately 60 percent of its 230 millionpeople living within 50 kilometers of the coast, Indonesia is perfectly positioned to influence andshape the coastal management development strategies of other developing countries around theworld. It is the world’s largest archipelago state, with 17,500 islands, 81,000 kilometers of coast-line, and an Exclusive Economic Zone covering 5.8 million square kilometers of sea –more thanthree times its land area. Indonesia is also the richest country in the world in terms of marine bio-
CRMP/Indonesia Collection–Preface
O
4
kilometer laut persegi -lebih tiga kali luas daratannya. Indonesia menjadi negara terkaya di duniadalam hal keragaman hayati (biodiversity). Sumber daya pesisir dan laut Indonesia memiliki artipenting bagi dunia inernasional, mengingat spesies flora dan fauna yang ditemukan di perairantropis Indonesia lebih banyak daripada kawasan manapun di dunia. Sekitar 24 persen dari produksiekonomi nasional berasal dari industri-industri berbasis wilayah pesisir, termasuk produksi gasdan minyak, penangkapan ikan, pariwisata, dan transportasi. Beragam ekosistem laut dan pesisiryang ada menyediakan sumberdaya lestari bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Hasil-hasillautnya mencukupi lebih dari 60 persen rata-rata kebutuhan bahan protein penduduk secaranasional, dan hampir 90 persen di sebagian desa pesisir. Masyarakat nelayan pedesaan cenderungmenjadi bagian dari kelompok masyarakat termiskin akibat eksploitasi berlebihan, degradasisumberdaya, serta ketidakmampuan dan kegagalan mereka memanfaatkan sumberdaya pesisirsecara berkelanjutan.
Di bawah bimbingan CRC/URI, Proyek Pesisir, yang berkantor pusat di Jakarta, bekerja samaerat dengan para pengguna sumberdaya, masyarakat, industri, LSM, kelompok-kelompok ilmiah,dan seluruh jajaran pemerintahan. Program-program lapangan difokuskan di Sulawesi Utara,Kalimantan Timur, dan Provinsi Lampung (sebelah selatan Sumatera) ditambah Provinsi Papuapada masa akhir proyek. Selain itu, dikembangkan pula pusat pembelajaran pada Pusat KajianSumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) di Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai perguruantinggi yang menjadi mitra implementasi Proyek Pesisir dan merupakan fasil itator dalampengembangan Jaringan Universitas Pesisir Indonesia (INCUNE).
Komponen program CRMP yang begitu banyak dikembangkan dalam 3 (tiga) lingkup strategipencapaian tujuan proyek. Pertama, kerangka kerja yang mendukung upaya-upaya pengelolaanberkelanjutan, telah dikembangkan. Kemudian, ketika proyek-proyek percontohan telah rampung,p en g alam an -p en g alam an d an telad an b ai k d ar i keg iata n -keg ia tan ter seb u td id oku men tasikan dan d ilemb ag akan dalam p emerin tah an, sebagai lembaga yangbertanggung jawab dalam jangka panjang untuk melanjutkan hasil yang sudah ada sekaligusmenambah lokasi baru. Kegiatan ini dilakukan lewat kombinasi perangkat hukum, panduan,dan pelatihan. Kedua, Departemen Kelautan dan Perikanan yang baru berdiri didukung untukmengembangkan peraturan perundangan dan panduan pengelolaan wilayah pesisir nasionaluntuk peng elolaan pesis ir terpadu yang terdesent ralisasi. Pengembangan peraturanperundangan ini dilakukan melalui suatu proses konsultasi publik yang partisipatif, terbuka danmelembaga, yang berupaya mengintegrasikan inisiatif-inisiatif pengelolaan wilayah pesisir secaravertikal dan horisontal. Ketiga, proyek ini mengakui dan berupaya memperkuat peran khas yangdijalankan oleh perguruan tinggi dalam mengisi kesenjangan kapasitas pengelolaan wilayahpesisir.
Strategi-strategi tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip:• Partisipasi luas dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan pemberdayaan mereka
dalam pengambilan keputusan• Koordinasi efektif berbagai sektor, antara masyarakat, dunia usaha, dan LSM pada berbagai
tingkatan• Penitikberatan pada pengelolaan yang terdesentralisasi dan kesesuaian antara pengelolaan/
pengaturan di tingkat lokal dan nasional• Komitmen untuk menciptakan dan memperkuat kapasitas organisasi dan sumberdaya
manusia untuk pengelolaan pesisir terpadu yang berkelanjutan• Pembuatan kebijakan yang lebih baik yang berbasis informasi dan ilmu pengetahuan
Di Sulawesi Utara, fokus awal Proyek Pesisir terletak pada pengembangan praktik-praktik terbaikpengelolaan pesisir terpadu berbasis masyarakat, termasuk pembuatan dan implementasi rencanadaerah perlindungan laut (DPL), daerah perlindungan mangrove (DPM), dan pengelolaan pesisirtingkat desa, serta pemantauan hasil-hasil proyek dan kondisi wilayah pesisir. Untuk melembagakankegiatan-kegiatan yang sukses ini, dan dalam rangka memanfaatkan aturan otonomi daerah yangbaru diberlakukan, Proyek Pesisir membantu penyusunan peraturan pengelolaan wilayah pesisir,baik berupa Peraturan Desa, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten, maupun Perda Provinsi. Selainitu, dikembangkan pula perangkat informasi sebagai alat bagi pengelolaan wilayah pesisir, sepertipembuatan atlas wilayah pesisir. Dalam kurun waktu 18 bulan terakhir, kegiatan perluasan pro-gram (scaling up) juga telah berhasil diimplementasikan di 25 desa pesisir di Kecamatan Likupang
5
diversity. Indonesia’s coastal and marine resources are of international importance with more plantand animal species found in Indonesia’s waters than in any other region of the world. Approxi-mately 24 percent of national economic output is from coastal-based industries such as oil andgas production, fishing, tourism and transportation. Coastal and marine ecosystems provide sub-sistence resources for many Indonesians, with marine products comprising on average more than60 percent of the protein intake by people, and nearly 90 percent in some coastal villages. Ruralcoastal communities tend to be among the poorest because of overexploitation and degradationof resources resulting from their inability to sustainably and successfully plan for and manage theircoastal resources.
Under the guidance of CRC/URI, the Jakarta-based CRMP worked closely with resource users,the community, industry, non-governmental organizations, academic groups and all levels of gov-ernment. Field programs were focused in North Sulawesi, East Kalimantan, and Lampung Prov-ince in South Sumatra, with an additional site in Papua in the last year of the project. In addition, alearning center, the Center for Coastal and Marine Resources Studies, was established at BogorAgricultural Institute, a CRMP implementation partner and facilitator in developing the eleven-member Indonesia Coastal University Network (INCUNE).
The many components of the CRMP program were developed around three strategies for achiev-ing the project’s goals. First, enabling frameworks for sustained management efforts were devel-oped. Then, as pilot projects were completed, experiences and good practices were docu-mented and institutionalized within government, which has the long-term responsibility to bothsustain existing sites and launch additional ones. This was done through a combination of legalinstruments, guidebooks and training. Second, the new Ministry of Marine Affairs and Fisher-ies (MMAF) was supported to develop a national coastal management law and guidelines fordecentralized integrated coastal management (ICM) in a widely participatory, transparent andnow institutionalized public consultative process that attempted to vertically and horizontally inte-grate coastal management initiatives. Finally, the project recognized and worked to strengthenthe unique role that universities play in fi l l ing the capacity gap for coastal management.
The strategies were based on several important principles:• Broad stakeholder partic ipation and empowerment in decision making• Effective coordination among sectors, between public, private and non-governmental entities
across multiple scales• Emphasis on decentralized governance and compatibility between local and national govern-
ance• Commitment to creating and strengthening human and organizational capacity for sustain-
able ICM• Informed and science-based decis ion making
In North Sulawesi, the early CRMP focus was on developing community-based ICM best prac-tices including creating and implementing marine sanctuaries, mangrove sanctuaries and village-level coastal management plans, and monitoring project results and coastal conditions. In order toinstitutionalize the resulting best practices, and to take advantage of new decentralized authori-ties, the CRMP expanded activities to include the development of village, district and provincialcoastal management laws and information tools such as a coastal atlas. In the last 18 months ofthe project, a scaling-up program was successfully implemented that applied community-basedICM lessons learned from four original village pilot sites to Likupang sub-district (kecamatan) with25 coastal villages. By the end of the project, Minahasa district was home to 25 community coralreef sanctuaries, five mangrove sanctuaries and thirteen localized coastal management plans. In
6
Barat dan Timur. Perluasan program ini dilakukan dengan mempraktikkan berbagai hasilpembelajaran mengenai pengelolaan pesisir terpadu berbasis masyarakat dari 4 lokasi percontohanawal (Blongko, Bentenan, Tumbak, dan Talise). Pada akhir proyek, Kabupaten Minahasa telahmemiliki 25 DPL, 5 DPM, dan 13 rencana pengelolaan pesisir tingkat desa yang telah siapdijalankan. Sulawesi Utara juga telah ditetapkan sebagai pusat regional untuk Program KemitraanBahari berbasis perguruan tinggi, yang disponsori oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dandifasilitasi oleh Proyek Pesisir.
Di Kalimantan Timur, fokus dasar Proyek Pesisir adalah pengenalan model pengelolaan pesisirberbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), yang menitikberatkan pada rencana pengelolaan terpaduTeluk Balikpapan dan DAS-nya. Teluk Balikpapan merupakan pintu gerbang bisnis dan industriProvinsi Kalimantan Timur. Rencana Pengelolaaan Teluk Balikpapan (RPTB) berbasis DAS yangbersifat interyurisdiksi ini merupakan yang pertama kalinya di Indonesia dan menghasilkan sebuahmodel untuk dapat diaplikasikan oleh pemerintah daerah lainnya. Rencana pengelolaan tersebut,yang dirampungkan dengan melibatkan partisipasi dan konsultasi masyarakat lokal secara luas,dalam implementasinya telah berhasil menghentikan konversi lahan mangrove untuk budidayaudang di sebuah daerah delta, terbentuknya kelompok kerja (pokja) terpadu antarinstansi untukmasalah erosi dan mangrove, terbentuknya sebuah Organisasi Non Pemerintah (Ornop) berbasismasyarakat yang pro aktif, dan jaringan Ornop yang didanai oleh sektor swasta yang berfokuspada isu-isu masyarakat pesisir. Selain itu, telah terbentuk Badan Pengelola Teluk Balikpapan,yang dipimpin langsung oleh Gubernur Kalimantan Timur berikut 3 Bupati (Penajam Paser Utara,Pasir, dan Kutai Kartanegara), dan Walikota Balikpapan. Seluruh kepala daerah tersebut, bersamadengan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, ikut menandatangani Rencana Pengelolaan TelukBalikpapan tersebut. Rencana Pengelolaan Teluk Balikpapan ini telah mendorong pemerintahdaerah lain untuk memulai program-program serupa. Kalimantan Timur juga telah ditetapkansebagai pusat regional untuk Program Kemitraan Bahari berbasis perguruan tinggi, yang disponsorioleh Departemen Kelautan dan Perikanan, dan difasilitasi oleh Proyek Pesisir.
Di Lampung , kegiatan Proyek Pesisir berfokus pada proses penyusunan rencana dan pengelolaanstrategis provinsi secara partisipatif. Upaya ini menghasilkan Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung,yang untuk pertama kalinya menggambarkan kualitas dan kondisi sumberdaya alam suatu provinsimelalui kombinasi perolehan informasi terkini dan masukan dari 270 stakeholders setempat, serta60 organisasi pemerintah dan non pemerintah. Atlas tersebut menyediakan landasan bagipengembangan sebuah rencana strategis pesisir dan progam di Lampung, dan saranapembelajaran bagi Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, yang telahmenangani program pengelolaan pesisir di Lampung. Sebagai contoh kegiatan pelaksanaan awaltingkat lokal dari Rencana Strategis Pesisir Provinsi Lampung, dua kegiatan berbasis masyarakattelah berhasil diimplementasikan.Satu berlokasi di Pematang Pasir, dengan titik berat pada praktikbudidaya perairan yang berkelanjutan, dan yang lainnya berlokasi di Pulau Sebesi di Teluk Lampung,dengan fokus pada pembentukan dan pengelolaan daerah perlindungan laut (DPL). Model AtlasSumberdaya Pesisir Lampung tersebut belakangan telah direplikasi oleh setidaknya 9 (sembilan)provinsi lainnya di Indonesia dengan menggunakan anggaran provinsi masing-masing.
Di Papua, pada tahun terakhir Proyek Pesisir, sebuah atlas pesisir untuk kawasan Teluk Bintuni -yang disusun berdasarkan penyusunan Atlas Lampung-telah diproduksi Kawasan ini merupakandaerah yang lingkungannya sangat penting, yang tengah berada pada tahap awal aktivitaspembangunan besar-besaran. Teluk Bintuni berlokasi pada sebuah kabupaten baru yang memilikisumberdaya alam melimpah, termasuk cadangan gas alam yang sangat besar, serta merupakandaerah yang diperkirakan memiliki paparan mangrove terbesar di Asia Tenggara. Prosespenyusunan atlas sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bintuni ini dilaksanakan melalui kerja samadengan Ornop lokal, perusahaan minyak BP, dan Universitas Negeri Papua (UNIPA). Kegiatan inimengawali sebuah proses perencanaan partisipatif dan pengelolaan pesisir terpadu, yangmengarah kepada mekanisme-mekanisme perencanaan partisipatif untuk sumberdaya pesisir dikawasan tersebut. Para mitra-mitra lokal telah menunjukkan ketertarikan untuk menggunakanAtlas Teluk Bintuni sebagai rujukan awal (starting point) dalam mengembangkan ‘praktik-praktikterbaik’ mereka sendiri, misalnya pengelolaan pesisir berbasis masyarakat dan pengelolaan telukberbasis DAS bagi Teluk Bintuni.
7
the last few months, due to its significant capacity in coastal management, North Sulawesi wasinaugurated as a founding regional center for the new national university-based Sea PartnershipProgram sponsored by the MMAF and facilitated by the CRMP.
In East Kalimantan, the principal CRMP focus was on introducing a model for watershed-basedcoastal management focusing on developing an integrated coastal management plan for BalikpapanBay and its watershed. Balikpapan Bay is the commercial and industrial hub of East KalimantanProvince. The resulting inter-jurisdictional watershed-based Balikpapan Bay Management Plan(BBMP) was the first of its kind in Indonesia and provides a model for other regional governments.The BBMP, completed with extensive local participation and consultation, has already resulted ina moratorium on shrimp mariculture in one delta region, the creation of mangrove and erosioninterdepartmental working groups, a new proactive community-based NGO and a NGO-networksupported by private sector funding that is focused on coastal community issues. The BBMP alsoresulted in the formation of the Balikpapan Bay Management Council, chaired by the ProvincialGovernor and including the heads of three districts (Panajam Paser Utara, Pasir and KutaiKartengara), the Mayor of the City of Balikpapan and the Minister of Marine Affairs and Fisheries,who were all co-signatories to the BBMP. The BBMP has already stimulated other regional gov-ernments to start on similar programs. In the last few months, East Kalimantan was also inaugu-rated as a founding regional center for the new national university-based Sea Partnership Pro-gram sponsored by the MMAF and facilitated by the CRMP.
In Lampung, the CRMP focused on establishing a participatory provincial strategic planning andmanagement process. This resulted in the ground-breaking Lampung Coastal Resources Atlas,which defines for the first time the extent and condition of the province’s natural resources througha combination of existing information and the input of over 270 local stakeholders and 60 govern-ment and non-government organizations. The atlas provided the foundation for the developmentof a Lampung coastal strategic plan and the program served as a learning site for Bogor Agricul-tural Institute’s Center for Coastal and Marine Resources Studies that has since adopted themanagement of the Lampung coastal program. As a demonstration of early local actions under theLampung Province Coastal Strategic Plan, two community-based initiatives - one in PematangPasir with an emphasis on sustainable aquaculture good practice, and the other on Sebesi Islandin Lampung Bay focused on marine sanctuary development and management - were implemented.The atlas model was later replicated by at least nine other provinces using only provincial govern-ment funds.
In Papua, in the final year of Proyek Pesisir, a coastal atlas based upon the Lampung atlas formatwas produced for Bintuni Bay, an environmentally important area that is in the early stages ofmajor development activities. Bintuni Bay is located within the newly formed Bintuni District that isrich in natural resources, including extensive natural gas reserves, and perhaps the largest con-tiguous stand of mangroves in Southeast Asia. The atlas development process was implementedin cooperation with local NGOs, the petroleum industry (BP) and the University of Papua andbegan a process of participatory planning and integrated coastal management that is leading tomechanisms of participatory planning for the coastal resources in the area. Local partners haveexpressed their interest in using the Bintuni Bay atlas as a starting point for developing their ownset of “best practices” such as community-based coastal management and multi-stakeholder,watershed-based bay management for Bintuni Bay.
8
Pengembangan Universitas merupakan aspek penting dari kegiatan Proyek Pesisir dalammengembangkan pusat keunggulan pengelolaan pesisir melalui sistem Perguruan Tinggi di Indo-nesia, dan memanfaatkan pusat ini untuk membangun kapasitas universitas-universitas lain diIndonesia. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) yang dikembangkan di InstitutPertanian Bogor (IPB) telah dipilih sebagai mira utama, mengingat posisinya sebagai institusipengelolaan sumberdaya alam utama di Indonesia. Selain mengelola Lampung sebagai daerahkajian, PKSPL-IPB mendirikan perpustakaan sebagai referensi pengelolaan pesisir terpadunasional, yang terbuka bagi para mahasiswa dan kalangan profesional, serta menyediakan layananpeminjaman perpustakaan antaruniversitas untuk berbagai perguruan tinggi di Indonesia (situsweb: http://www.indomarine.or.id). PKSPL-IPB telah memprakarsai lokakarya tahunan pembelajaranpengelolaan pesisir terpadu, penerbitan jurnal pesisir nasional, serta bekerja sama dengan ProyekPesisir mengadakan Konferensi Nasional (KONAS) Pengelolaan Pesisir Terpadu, yang kini menjadiajang utama bagi pertukaran informasi dan studi kasus pengelolaan pesisir terpadu di Indonesia.Kegiatan dua tahunan tersebut dihadiri 600 peserta domestik dan internasional. Berdasarkanpengalaman positif dengan IPB dan PKSPL tersebut, telah dibentuk sebuah jaringan universitasyang menangani masalah pengelolaan pesisir yaitu INCUNE (Indonesian Coastal UniversitiesNetwork), yang beranggotakan 11 universitas. Jaringan ini menyatukan universitas-universitas diwilayah pesisir di seluruh Indonesia, yang dibentuk dengan tujuan untuk pertukaran informasi,riset, dan pengembangan kapasitas, dengan PKSPL-IPB berperan sebagai sekretariat. SelainINCUNE, Proyek Pesisir juga memegang peranan penting dalam mengembangkan ProgramKemitraan Bahari (PKB) di Indonesia, mengambil contoh keberhasilan Program Kemitraan Bahari(Sea Grant College Program) di Amerika Serikat. Program ini mencoba mengembangkan kegiatanpenjangkauan, pendidikan, kebijakan, dan riset terapan wilayah pesisir di berbagai universitaspenting di kawasan pesisir Indonesia. Program Kemitraan Bahari menghubungkan universitas didaerah dengan pemerintah setempat melalui isu-isu yang menyentuh kepentingan pemerintahlokal dan masyarakat, serta berupaya mengatasi kesenjangan dalam kapasitas perorangan dankelembagaan di daerah.
Proyek Pesisir mengembangkan usaha-usaha di tingkat nasional untuk memanfaatkan peluang-peluang baru yang muncul, seiring diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah.Pada periode 2000-2003, Proyek Pesisir bekerja sama dengan Departemen Kelautan danPerikanan, BAPPENAS, instansi nasional lainnya, pemerintah daerah, lembaga swadayamasyarakat (LSM), dan perguruan tinggi dalam menyusun rancangan undang-undang pengelolaanwilayah pesisir (RUU PWP). Rancangan undang-undang ini merupakan salah satu rancanganundang-undang yang disusun secara partisipatif dan transparan sepanjang sejarah Indonesia.Saat ini RUU tersebut sedang dipertimbangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU disusunberbasis insentif dan bertujuan untuk mendukung pemerintah daerah, LSM, dan masyarakat lokaldalam memperoleh hak-hak mereka yang berkaitan dengan isu-isu desentralisasi daerah dalampengelolaan pesisir. Dukungan lain yang diberikan Proyek Pesisir kepada Departemen Kelautandan Perikanan adalah upaya mengembangkan kapasitas dari para staf, perencanaan strategis,dan dibentuknya program baru yang bersifat desentralistik seperti Program Kemitraan Bahari.
Koleksi dokumen dan bahan bacaan ini bertujuan untuk mendokumentasikan pengalaman-pengalaman Proyek Pesisir dalam mengelola wilayah pesisir, memberikan kesempatan yang lebihluas kepada publik untuk mengaksesnya, serta untuk mentransfer dokumen tersebut kepada seluruhmitra, rekan kerja, dan sahabat-sahabat Proyek Pesisir di Indonesia. Produk utama dari koleksi iniadalah Pembelajaran dari Dunia Pengelolaan Pesis ir di Indonesia, yang dibuat dalam bentukCompact Disc-Read Only Memory (CD-ROM), berisikan gambaran umum mengenai Proyek Pesisirdan produk-produk penting yang dihasilkannya. Adapun Koleksi Proyek Pesisir ini terbagi kedalam5 tema, yaitu:
• Seri Reformasi Hukum, berisikan pengalaman dan panduan Proyek Pesisir tentang prosespenyusunan rancangan undang-undang/peraturan kabupaten, provinsi, dan nasional yangberbasis masyarakat, serta kebijakan tentang pengelolaan pesisir dan batas laut
• Seri Pengelolaan Wilayah Pesis ir Regional, berisikan pengalaman, panduan, dan rujukanProyek Pesisir mengenai Perencanaan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), profilatlas dan geografis pesisir Lampung, Balikpapan, Sulawesi Utara, dan Papua
9
University development was an important aspect of the CRMP, and the marine center at BogorAgricultural Institute, the premier natural resources management institution in Indonesia, was itsprimary partner, and was used to develop capacity in other universities. In addition to managingthe Lampung site, the Center for Coastal and Marine Resources Studies established a nationalICM reference library that is open to students and professionals, and provides an inter-universitylibrary loan service for other universities in Indonesia (Website: http://www.indomarine.or.id). TheCenter initiated an annual ICM learning workshop, a national peered-reviewed coastal journal andworked with the CRMP to establish a national coastal conference that is now the main venue forexchange of information and case studies on ICM in Indonesia, drawing over 600 Indonesian andinternational participants to its bi-annual meeting. Building from the positive experience with Bogorand its marine center, an Indonesia-wide network of 11 universities (INCUNE) was developed thattied together key coastal universities across the nation for information exchange, academic re-search and capacity development, with the Center for Coastal and Marine Resources Studiesserving as the secretariat. In addition to INCUNE, the CRMP was instrumental in developing thenew Indonesia Sea Partnership Program, modeled after the highly successful U.S. Sea GrantCollege Program, that seeks to develop coastal outreach, education, policy and applied researchactivities in key regional coastal universities. This program, sponsored by MMAF, connects re-gional universities with local governments and other stakeholders through issues that resonatewith local government and citizens, and addresses the gap of human and institutional capacity inthe regions.
National level efforts expanded to take advantage of new opportunities offered by new laws onregional autonomy. From 2000 to 2003, the CRMP worked closely with the Ministry of MarineAffairs and Fisheries, the National Development Planning Agency (BAPPENAS), other nationalagencies, regional government partners, NGOs and universities to develop a new national coastalmanagement law. The National Parliament is now considering this law, developed through one ofthe most participatory and transparent processes of law development in the history of Indonesia.The draft law is incentive-based and focuses on encouraging local governments, NGOs and citi-zens to assume their full range of coastal management authority under decentralization on issuesof local and more-than-local significance. Other support was provided to the MMAF in developingtheir own organization and staff, in strategic planning, and in creating new decentralized programssuch as the Sea Partnership Program.
The collection of CRMP materials and resources contained herein was produced to document andmake accessible to a broader audience the more recent and significant portion of the CRMP’sconsiderable coastal management experience, and especially to facilitate its transfer to our Indo-nesian counterparts, colleagues and friends. The major product is Learning From the World ofCoastal Management in Indonesia , a CD-ROM that provides an overview of the CRMP (ProyekPesisir) and its major products. The collection is organized into five series related to generalthemes. These are:
• Coastal Legal Reform Series, which includes the experience and guidance from the CRMPregarding the development of community-based, district, provincial and national laws and poli-cies on coastal management and on marine boundaries
• Regional Coastal Management Series, which includes the experience, guidance and refer-ences from the CRMP regarding watershed planning and management, and the geographicaland map profiles from Lampung, Balikpapan, North Sulawesi and Papua
10
• Seri Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, berisikan pengalaman dan panduanProyek Pesisir dan desa-desa percontohannya di Sulawesi Utara mengenai keberhasilankegiatan, serta proses pelibatan masyarakat dalam pengelolaan pesisir
• Seri Perguruan Tinggi, berisikan pengalaman, panduan, dan rujukan Proyek Pesisir danPKSPL-IPB mengenai peranan dan keberhasilan perguruan tinggi dalam pengelolaan pesisir
• Seri Pemantauan Pesis ir, berisikan pengalaman, panduan, dan rujukan Proyek Pesisirmengenai pemantauan sumberdaya pesisir oleh masyarakat dan pemangku kepentingan,khususnya pengalaman dari Sulawesi Utara
Kelima seri ini berisikan berbagai Studi Kasus, Buku Panduan, Contoh-contoh , dan Katalogdalam bentuk hardcopy dan softcopy (CD-ROM), tergantung isi setiap topik dan pengalaman dariproyek. Material dari seri-seri ini ditampilkan dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.Sedianya, sebagian besar dokumen akan tersedia baik dalam Bahasa Indonesia maupun Inggris.Namun karena keterbatasan waktu, hingga saat koleksi ini dipublikasikan, belum semua dokumendapat ditampilkan dalam dua bahasa tersebut. Masing-masing dokumen dalam tiap seri berbeda,tetapi fungsinya saling mendukung satu sama lain, yaitu:
• Studi Kasus, mendokumentasikan pengalaman Proyek Pesisir, dibuat secara kronologis padahampir semua kasus, dilengkapi dengan pembahasan dan komentar mengenai proses danalasan terjadinya berbagai hal yang dilakukan. Dokumen ini biasanya berisikan rekomendasi-rekomendasi umum dan pembelajaran, dan sebaiknya menjadi dokumen yang dibaca terlebihdahulu pada tiap seri yang disebutkan di atas, agar pembaca memahami topik yang disampaikan.
• Panduan, memberikan panduan mengenai proses kegiatan kepada para praktisi yang akanmereplikasi atau mengadopsi kegiatan-kegiatan yang berhasil dikembangkan Proyek Pesisir.Mereka akan merujuk pada Studi Kasus dan Contoh-contoh, dan sebaiknya dibaca setelahdokumen Studi Kasus atau Contoh-contoh.
• Contoh-contoh, berisikan pencetakan ulang atau sebuah kompilasi dari material-material terpilihyang dihasilkan atau dikumpulkan oleh proyek untuk suatu daerah tematik tertentu. Dalamdokumen ini terdapat pendahuluan ringkas dari setiap contoh-contoh yang ada serta sumberberikut fungsi dan perannya dalam kelima seri yang ada. Dokumen ini terutama digunakansebagai rujukan bagi para praktisi, serta digunakan bersama-sama dengan dokumen StudiKasus dan Panduan, sehingga hendaknya dibaca setelah dokumen lainnya.
• Katalog, berisikan daftar atau data yang dihasilkan pada daerah tematik dan telah disertakanke dalam CD-ROM .
• CD-ROM, berisikan file elektronik dalam format aslinya, yang berfungsi mendukung dokumen-dokumen lainya seperti diuraikan di atas. Isi CD-ROM tersebut bervariasi tiap seri, dan ditentukanoleh penyunting masing-masing seri, sesuai kebutuhan.
Beberapa dokumen dari Koleksi Dokumen Proyek Pesisir ini dapat diakses melalui internet disitus Coastal Resources Center (http://www.crc.uri.edu), PKSPL-IPB (http://www.indomarine.or.id),dan Proyek Pesisir (http://www.pesisir.or.id).
Pengantar ini tentunya belum memberikan gambaran detil mengenai seluruh kegiatan, pekerjaan,dan produk-produk yang dihasilkan Proyek Pesisir selama tujuh tahun programnya. Karena itu,kami mempersilakan pembaca untuk dapat lebih memahami seluruh komponen dari koleksidokumen ini, sembari berharap bahwa koleksi ini dapat bermanfaat bagi para manajer pesisir,praktisi, ilmuwan, LSM, dan pihak-pihak terkait lainnya dalam meneruskan model-model dankerangka kerja yang telah dikembangkan oleh Proyek Pesisir dan mitra-mitranya. Kami amatoptimis mengenai masa depan pengelolaan pesisir di Indonesia, dan bangga atas kerja samayang baik yang telah terjalin dengan seluruh pihak selama program ini berlangsung. Kami jugagembira dan bangga atas diterbitkannya Koleksi Dokumen Proyek Pesisir ini.
11
• Community-Based Coastal Resource Management Series, which includes the experience,and guidance from the CRMP and its North Sulawesi villages regarding best practices and theprocess for engaging communities in coastal stewardship
• Coastal University Series, which includes the experience, guidance and references from theCRMP and the Center for Coastal and Marine Resources Studies regarding the role and ac-complishments of universities in coastal management
• Coastal Monitoring Series, which includes the experience, guidance and references from theCRMP regarding community and stakeholder monitoring of coastal resources, primarily fromthe North Sulawesi experience
These five series contain various Case Studies, Guidebooks, Examples and Catalogues inhard copy and in CD-ROM format, depending on the content of the topic and experience of theproject. They are reproduced in either the English or Indonesian language. Most of the materials inthis set will ultimately be available in both languages but cross-translation on some documentswas not complete at the time of publishing this set. The individual components serve different, butcomplementary, functions:
• Case Studies document the CRMP experience, chronologically in most cases, with some dis-cussion and comments on how or why things occurred as they did. They usually contain gen-eral recommendations or lessons learned, and should be read first in the series to orient thereader to the topic.
• Guidebooks are “How-to” guidance for practitioners who wish to replicate or adapt the bestpractices developed in the CRMP. They will refer to both the Case Studies and the Examples,so should be read second or third in the series.
• Examples are either exact reprints of key documents, or a compilation of selected materialsproduced by the project for the thematic area. There is a brief introduction before each exampleas to its source and role in the series, but they serve primarily as a reference to the practitioner,to be used with the Case Studies or Guidebooks, and so should be read second or third in theseries.
• Catalogues include either lists or data produced by the project in the thematic area and havebeen included on the CD-ROMs.
• CD-ROMs include the electronic files in their original format that support many of the otherdocuments described above. The content of the CD-ROMs varies from series to series, andwas determined by the individual series editors as relevant.
Several of the documents produced in this collection of the CRMP experiences are also availableon the Internet at either the Coastal Resources Center website (http://www.crc.uri.edu), the BogorAgricultural Institute website (http://www.indomarine.or.id) and the Proyek Pesisir website (http://www.pesisir.or.id).
This preface cannot include a detailed description of all activities, work, products and outcomesthat were achieved during the seven-year CRMP program and reflected in this collection. Weencourage you to become familiar with all the components of the collection, and sincerely hope itproves to be useful to coastal managers, practitioners, scientists, NGOs and others engaged infurthering the best practices and frameworks developed by the USAID/BAPPENAS CRMP and itscounterparts. We are optimistic about the future of coastal management in Indonesia, and havebeen proud to work together during the CRMP, and in the creation of this collection of CRMP(Proyek Pesisir) products.
12
Dalam kesempatan ini, kami ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruhmitra di Indonesia, Amerika Serikat, dan negara-negara lainnya, yang telah memberikan dukungan,komitmen, semangat, dan kerja keras mereka dalam membantu menyukseskan Proyek Pesisir dansegenap kegiatannya selama 7 tahun terakhir. Tanpa partisipasi, keberanian untuk mencoba hal yangbaru, dan kemauan untuk bekerja bahu-membahu -baik dari pihak pemerintah, LSM, universitas,masyarakat, dunia usaha, para ahli, dan lembaga donor-’keluarga besar’ pengelolaan pesisir Indone-sia tentu tidak akan mencapai kemajuan pesat seperti yang ada sekarang ini.
Dr. An ne Patterson Maurice KnightDirektur Chief of PartyKantor Pengelolaan Sumber Daya Alam Proyek PesisirU.S. Agency for International Development/ Coastal Resources CenterIndonesia (USAID) University of Rhode Island
Dr. Widi A. Pratikto Dr. Dedi M.M. RiyadiDirektur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Deputi Menteri Negara PerencanaanDepartemen Kelautan dan Perikanan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENASRepublik Indonesia Bidang Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Hidup
25 Agustus 2003
13
We would like to acknowledge and extend our deepest appreciation to all of our partners in Indo-nesia, the USA and other countries who have contributed their support, commitment, passion andeffort to the success of CRMP and its activities over the last seven years. Without your participa-tion, courage to try something new, and willingness to work together –government, NGOs, univer-sities, communities, private sector, experts and donors– the Indonesian coastal family could nothave grown so much stronger so quickly.
Dr. An ne Patterson Maurice KnightDirector Chief of PartyOffice of Natural Resources Management Indonesia Coastal ResourcesU.S. Agency for International Management ProjectDevelopment/ Indonesia Coastal Resources Center
University of Rhode Island
Dr. Widi A. Pratikto Dr. Dedi M.M. RiyadiDirector General for Coasts and Deputy Minister/Deputy Chairman forSmall Island Affairs Natural Resources and EnvironmentIndonesia Ministry of Marine Affairs Indonesia National Developmentand Fisheries Planning Agency
August 25, 2003
14
DAFTAR KOLEKSI DOKUMEN PROYEK PESISIR 1997 - 2003CONTENT OF CRMP COLLECTION 1997 - 2003
Yang tercetask tebal adalah dokumen yang tersedia sesuai bahasanyaBold print indicates the language of the document
PEMBELAJARAN DARI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DI INDONESIALEARNING FROM THE WORLD OF COASTAL MANAGEMENT IN INDONESIA
1. CD-ROM Latar Belakang Informasi dan Produk-produk Andalan Proyek PesisirCD-ROM Background Information and Principle Products of CRMP
SERI REFORMASI HUKUMCOASTAL LEGAL REFORM SERIES
1. Studi Kasus Penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah PesisirCase Study Developing a National Law on Coastal Management
2. Studi Kasus Penyusunan Perda Minahasa Pengelolaan Sumberdaya WIlayahPesisir Terpadu Berbasis Masyarakat
Case Study Developing a District Law in Minahasa on Community-BasedIntegrated Coastal Management
3. Studi Kasus Batas Wilayah Laut Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka-Belitung
Case Study The Marine Boundary Between the Provinces of South Sumatera andBangka-Bilitung
4. Studi Kasus Konsultasi Publik dalam Penyusunan RUUCase Study A Public Consultation Strategy for Developing National Laws
5. Panduan Penentuan Batas Wilayah Laut Kewenangan Daerah MenurutUndang-Undang No.22/1999
Guidebook Establishing Marine Boundaries under Regional Authority Pursuant toNational Law No. 22/1999
6. Contoh Proses Penyusunan Peraturan Perundangan PengelolaanSumberdaya Wilayah Pesisir
Example The Process of Developing Coastal Resource Management Laws
7. Contoh Dokumen-dokumen Pendukung dari Peraturan PerundanganPengelolaan WIlayah Pesisir
Example Example from Development of Coastal Management Laws
8. CD-ROM Dokumen-dokumen Pilihan dalam Peraturan PerundanganPengelolaan Wilayah Pesisir
CD-ROM Selected Documents from the Development of Coastal ManagementLaws
9. CD-ROM Pengesahan Perda Minahasa Pengelolaan Sumberdaya WilayahPesisir Terpadu Berbasis Masyarakat
CD-ROM Enactment of a District Law in Minahasa on Community-Based Inte-grated Coastal Management
15
SERI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAERAHREGIONAL COASTAL MANAGEMENT SERIES
1. Panduan Penyusunan Atlas Sumberdaya Wilayah PesisirGuidebook Developing A Coastal Resources Atlas
2. Contoh Program Pengelolaan WIlayah Pesisir di LampungExample Lampung Coastal Management Program
3. Contoh Rencana Strategis Pengelolaan Terpadu Teluk Balikpapan dan Peta-peta Pilihan
Example Balikpapan Bay Integrated Management Strategic Plan and Volumeof Maps
4. Contoh Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir PilihanExample Selected Compilation of Coastal Resources Atlases
5. CD-ROM Rencana Strategis Pengelolaan Terpadu Teluk BalikpapanCD-ROM Balikpapan Bay Integrated Management Strategic Plan
6. Katalog Database SIG dari Atlas Lampung (Edisi Terbatas, dengan 2 CD)Catalogue Lampung Atlas GIS Database (Limited Edition, with 2 CDs)
7. Katalog Database SIG dari Atlas Minahasa, Manado dan Bitung (EdisiTerbatas, dengan 2 CD)
Catalogue Minahasa, Manado and Bintung Atlas GIS Database (with 2 CDs)(Limited Edition, with 2 CDs)
8. Katalog Database SIG dari Atlas Teluk Bintuni (Edisi Terbatas, dengan 2 CD)Catalogue Bintuni Bay Atlas GIS Database (Limited Edition,with 2 CDs)
9. Katalog Database SIG dari Teluk Balikpapan (Edisi Terbatas, dengan 1CD)Catalogue Balikpapan Bay GIS Database (Limited Edition, with 1 CDs)
SERI PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR BERBASIS MASYARAKATCOMMUNITY-BASED COASTAL RESOURCES MANAGEMENT SERIES
1. Studi Kasus Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat diSulawesi Utara
Case Study Community Based Coastal Resources Management in North Sulawesi
2. Panduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis MasyarakatGuidebook Community Based Coastal Resources Management
3. Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut BerbasisMasyarakat
Guidebook Developing and Managing Community-Based Marine Sanctuaries
4. Panduan Pembersihan Bintang Laut BerduriGuidebook Crown of Thorns Clean-Ups
5. Contoh Dokumen dari Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir BerbasisMasyarakat di Sulawesi Utara
Example Documents from Community-Based Coastal Resources Managementin North Sulawesi
6. CD-ROM Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis MasyarakatCD-ROM Community-Based Coastal Resources Management
16
SERI PERGURUAN TINGGI KELAUTANCOASTAL UNIVERSITY SERIES
1. Studi Kasus Pengembangan Program Kemitraan Bahari di IndonesiaCase Study Developing the Indonesian Sea Partnership Program
2. Contoh Pencapaian oleh Proyek Pesisir PKSPL-IPB dan INCUNE (1996-2003)Example Proyek Pesisir’s Achievements in Bogor Agricultural Institute’s Center
for Coastal and Marine Resources Studies and the Indonesian CoastalUniversity Network (1996-2003)
3. Contoh Kurikulum dan Agenda Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya WilayahPesisir Terpadu
Example Curriculum and Agenda from Integrated Coastal ResourcesManagement Training
4. Katalog Abstrak “Jurnal Pesisir dan Lautan” (1998-2003)Catalogue Abstracts from “Pesisir dan Lautan Journal” (1998-2003)
5. CD-ROM Dokumen Perguruan Tinggi KelautanCD ROM Coastal University Materials
SERI PEMANTAUAN WILAYAH PESISIRCOASTAL MONITORING SERIES
1. Studi Kasus Pengembangan Program Pemantauan Wilayah Pesisir oleh ParaPemangku Kepentingan di Sulawesi Utara
Case Study Developing a Stakeholder-Operating Coastal Monitoring Program inNorth Sulawesi
2. Panduan Pemantauan Terumbu Karang dalam rangka PengelolaanGuidebook Coral Reef Monitoring for Management (from Philippine Guidebook)
3. Panduan Metode Pemantauan Wilayah Pesisir oleh FORPPELA, jilid 1Guidebook FORPPELA Coastal Monitoring Methods, Version 1
4. Panduan Pemantaun Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan MetodeManta Tow
Guidebook Community-Based Monitoring of Coral Reefs using the Manta TowMethod
5. Contoh Program Pemantauan oleh Para Pemangku Kepentingan di SulawesiUtara Tahun Pertrama, Hasil-hasil FORPPELA 2002 (dengan 1 CD)
Example Year One of North Sulawesi’s Stakeholder-Operated Monitoring Pro-gram, FORPPELA 2002 Results (with 1 CD-ROM)
Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:For more information:
Coastal Resource Center CRMPUniversity of Rhode island Ratu Plaza Building, lt 18Narragansett, Rhode Island 02882, USA Jl. Jenderal Sudirman Kav. 9Phone: 1 401 879 7224 Jakarta 10270, IndonesiaWebsite: http//www.crc.uri.edu Phone: (021) 720 9596
Website: http//www.pesisir.or.id
PanduanPembersihanBintang Laut Berduri
Nicole Fraser, Brian Crawford dan Janny Kusen
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesiaoleh Janny D. Kusen dan J.Johnnes Tulungen
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Nicole Fraser, Brian Crawford dan Janny Kusen
Acuan :Fraser, N., B. Crawford, and. J. Kusen (2000), BEST PRACTICES GUIDE FOR CROWN-OF-THORNS CLEAN-UPS. Proyek Pesisir Special Publication. Coastal ResourcesCenter Coastal Management Report #2225. Coastal Resources Center, University ofRhode Island, Narragansett, Rhode Island. 38 pages.
Kutipan:Fraser, N., B. Crawford dan J. Kusen. 2001. Buku Panduan Pembersihan Bintang LautBerduri. Proyek Pesisir. Publikasi Khusus. University of Rhode Island, CoastalResources Center, Narragansett, Rhode Island, USA. pp 35.
ISBN:
Rincian lebih lanjut publikasi Proyek Pesisir dapat ditemukan pada www.pesis ir.or.idRincian lebih lanjut publikasi NRM dapat ditemukan pada www.nrm.or.idRincian lebih lanjut publikasi Program CRM dapat ditemukan pada www.crc.uri.edu
Dicetak di Jakarta, Indonesia
Dana untuk persiapan dan pencetakan dokumen ini disiapkan oleh USAID sebagai bagian dari Program NaturalResources Management (NRM) USAID/BAPPENAS danUSAID-CRC/URI Coastal Resources Management Program
Proyek Pesisir, CRC/URI CRMP, NRM Secretariat, Ratu Plaza Building 18th FloorJl. Jenderal Sudirman 9. Jakarta Selatan 10270, IndonesiaTel.: (62-21) 720-9596 Fax: (62-21) 720-7844 E-mail: [email protected]
KreditIlustrasi : Mathew D. SquillantePeta : A. SiahaineniaLayout : Yayak M. SaatEditor : Asep Sukmara
1 Pendahuluan1.1 MORFOLOGI 21.2 TINGKAH L AKU DAN CARA MAKAN 21.3 PERTAHANAN DIRI 41.4 SIKLUS HIDUP 61.5 PREDATOR 8
2 Pengelolaan terhadap BLB yang Melimpah2.1 MELIMPAHNYA BLB 92.2 MENENTUKAN ADANYA KEL IMPAHAN BLB 122.3 MEMUTUSKAN KAPAN PEMBERSIHAN DIPERLUKAN 16
3 Pemilihan Cara Kontrol BLB3.1 MENGELUARKAN DAN MEMBAKAR DI PANTAI: CARA YANG DISUKAI 193.2 PENYUNTIKAN DENGAN RACUN 213.3 PAGAR BAWAH AIR 213.4 MEMOTONG-MOTONG 213.5 PROGRAM PEMBERSIHAN BERHADIAH 21
4 Kelompok-kelompok yang Dapat Terlibatdalam Upaya Pembersihan4.1 MASYARAKAT SETEMPAT 234.2 DOSEN DAN MAHASISWA 234.3 PIHAK SWASTA (OPERATOR SELAM DAN RESORT WISATA) 244.4 PETUGAS/PEGAWAI PEMERINTAH 244.5 LSM LINGKUNGAN 24
5 Perencanaan dan Pelaksanaan Pembersihan BLB5.1 MINGGU-MINGGU PERSIAPAN PELAKSANAAN 255.2 SEHARI SEBELUM PELAKSANAAN 265.3 HARI PELAKSANAAN 275.4 HARI-HARI SESUDAH PEMBERSIHAN 27
Tinjauan Prosedur Pembersihan BLB 29Daftar Acuan Bacaan 31Lampiran I, Lembar Survei BLB 32Lampiran II , Daftar Rencana 33Lampiran II I, Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Korban BLB 34Lampiran IV, Crown-ofThorns (COTs) Clean-ups in Indonesia (Factsheet) 35Lampiran V, Pembersihan Bintang Laut Berduri di Indonesia (Selebaran) 35
Daftar Isi
iv
Daftar Gambar
Gambar 1: BLB dan Ekhinodermata lainnya (bintang laut) 1Gambar 2: Skets morfologi BLB 4Gambar 3: Karang Acropora dan non-Acropora 6Gambar 4: Bekas makan BLB pada satu terumbu karang 6Gambar 5: Siklus hidup BLB 8Gambar 6: Beberapa predator BLB 11Gambar 7: Jumlah BLB yang dikeluarkan dari terumbu karang Bentenan-Tumbak 15Gambar 8: Cara pengamatan sebuah tim survei terumbu 20Gambar 9: Sebaran ukuran kelas BLB di dua lokasi di Sulawesi Utara 22Gambar 10:Peralatan yang digunakan untuk pembersihan BLB 27
Daftar Tabel
Tabel 1: Kriteria penentuan tipe-tipe kelimpahan BLB 13Tabel 2: Contoh lembar survei 21
v
ami menyampaikan terima kasih kepada sejumlah individu dan lembaga yang telah
membantu kami dalam upaya pembuatan buku pedoman ini. Khususnya kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada masyarakat dan tokoh masyarakat di Desa
Bentenan dan Desa Tumbak atas partisipasi mereka dalam melanjutkan upaya-upaya
dalam mengurangi akibat dari melimpahnya Bintang Laut Berduri (BLB) atau Crown-of-Thorns
(COTs ) di wilayah terumbu karang dan sekitarnya. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada
berbagai organisasi pemerhati lingkungan seperti Yayasan Kelola dan Asosiasi Penyelaman Ilmiah
Seluruh Indonesia (ASPISIA) untuk bantuannya dalam pembuatan bahan-bahan dan program
pendidikan lingkungan, survei BLB, dan kegiatan nyata pembersihan BLB di Bentenan dan Tumbak.
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada para operator selam yang berasal dari Manado
yang telah berpartisipasi dalam kampanye awal pembersihan BLB, termasuk Blue Banter, Thalassa,
Tasik Ria dan Indo Pacific Divers, begitu juga para mahasiswa dan dosen Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT).
Tak lupa juga kami sampaikan terima kasih atas bantuan dari aparat pemerintah daerah
seperti dari BAPPEDA Sulawesi Utara, BAPPEDA Minahasa dan Kecamatan Belang yang telah
membantu mengkoordinasikan kegiatan pembersihan ini. Kami juga khususnya menyampaikan
rasa terima kasih kami kepada staf Proyek Pesisir yang telah memberikan kontribusi pada buku
pedoman ini dan mengatur pelaksanaan pembersihan, yaitu Christovel Rotinsulu, Lily Kussoy,
Audrie Siahainenia, Maria Dimpudus dan Egmond Ulaen. Kepada Udo Englehardt dari Great
Barier Reef Marine Park Authority yang telah membantu dalam memberikan tinjauan atas data
lapangan awal serta memberikan informasi dan nasehat pada pembersihan BLB ini kami juga
mengucapkan terima kasih. Tanpa partisipasi dari para individu dan lembaga ini, maka pembelajaran
dan pengalaman lapangan mengenai pembersihan BLB, yang merupakan dasar dari buku
pedoman ini, tidak mungkin terjadi.
Ucapan Terima Kasih
K
vi
erumbu karang di Indonesia dewasa ini sedang mengalami ancaman kerusakan
yang berasal baik dari alam maupun dari aktifitas manusia. Sasaran dari berbagai upaya
penyadaran masyarakat diarahkan pada berbagai upaya untuk mengurangi kerusakan
terumbu karang oleh manusia yang melakukan penangkapan ikan melalui penggunaan
bom dan penggunaan racun, atau dengan pembuangan jangkar. Beberapa penyebab alamiah
kerusakan terumbu karang termasuk taifun, gempa bumi, pasang tsunami, memutihnya karang
karena menaiknya suhu permukaan, dan melimpahn ya Bintang Laut Be rduri (BLB-
COTs).oSementara dampak kerusakan yang disebabkan oleh manusia lebih dapat ditangani dan
dikurangi, namun kerusakan oleh alam masih menjadi masalah besar sampai sekarang ini.
Melimpahnya BLB, kadangkala dapat diatasi dengan adanya upaya intervensi manusia.
Bintang Laut Berduri secara alamiah merupakan organisme yang terdapat di terumbu karang
Indonesia. Makanan utamanya adalah karang, termasuk karang Acropora (karang jari). Akan tetapi
pada waktu tertentu jumlah BLB akan melimpah melebihi jumlah normal. Seperti pada gangguan
biologis lainnya (misalnya, serangan hama belalang pada sawah padi), maka melimpahnya BLB
ini menjadi salah satu penyebab cepatnya kerusakan suatu ekosistim (dalam hal ini terumbu
karang) dalam waktu beberapa bulan saja. Dalam beberapa tahun terakhir, dilaporkan bahwa
melimpahnya BLB telah mengalami peningkatan. Seiring dengan meningkatnya perhatian media
masa dan hasil dari suatu kesadaran masyarakat, maka banyak orang sekarang berkeinginan
untuk menjaga daerah terumbu karang yang sangat rentan tetapi memiliki nilai yang penting baik
secara sosio-ekonomi maupun secara biologi. Dengan adanya perhatian akan tanggung jawab
tersebut, maka kerusakan yang diakibatkan oleh melimpahnya BLB dapat dikurangi melalui
pembersihan BLB tersebut sehingga dapat menjaga kesehatan terumbu karang.
Buku pedoman ini ditulis bagi siapa saja yang peduli dengan adanya serangan BLB melalui
upaya pembersihan BLB tersebut. Dalam tulisan ini juga dijelaskan mengenai biologi BLB sehingga
bagi tim yang berpotensi melakukan pembersihan dapat mengerti apa BLB tersebut di alam, dapat
memandu aktifitas penyuluhan sehingga dapat menjawab berbagai pertanyaan yang berhubungan
dengan BLB tersebut. Selain itu dipersiapkan juga pedoman untuk survei dan wawancara guna
menentukan apakah suatu kawasan terumbu karang pernah mengalami kelimpahan BLB, dan
apakah diperlukan adanya pembersihan BLB atau belum. Buku pedoman ini lebih menitikberatkan
pada pembersihan BLB di Indonesia dengan satu metode atau cara yaitu mengeluarkan BLB
secara fisik dari terumbu karang dan membakarnya atau menimbunnya di pantai. Harus diperhatikan
Sekilas tentang Pedoman ini
T
vii
bahwa setiap area terumbu karang adalah unik/spesifik dan mempunyai kondisi yang berbeda
dan kompleks antara satu area dengan area lainnya. Selain juga harus diperhatikan bahwa setiap
organisasi dan sumberdaya mempunyai kapasitas yang bervariasi. Metode yang rinci dari buku
pedoman praktis ini didasarkan pada pengalaman Proyek Pesisir dalam pembersihan BLB di
Sulawesi Utara. Tim yang berpotensi untuk membersihkan BLB ini nantinya dapat menyesuaikan
atau memodifikasi berbagai rekomendasi yang ada dengan berbagai hal spesifik mereka.
Tujuan dari suatu pembersihan BLB tak lain adalah untuk mengurangi atau menghindari
dampak kerusakan dari melimpahnya BLB pada suatu kawasan terumbu karang. Sebelum
melakukan kegiatan pada suatu area terumbu karang yang mengalami melimpahnya BLB, maka
hal yang penting sekali untuk diketahui bahwa kegiatan ini merupakan suatu kesepakatan jangka
panjang. Setidaknya satu tahun (mungkin lebih) diperlukan untuk melindungi kawasan terumbu
karang dari kerusakan yang disebabkan oleh BLB, serta untuk meyakinkan berhasilnya upaya
pembersihan. Suatu tim yang berpotensi untuk melakukan pembersihan harus mempunyai
kemauan membuat kesepakatan jangka panjang ini, selain berkemampuan mempersiapkan
sumberdaya yang cukup (dana dan sumber daya manusia) untuk menjaga agar program
pembersihan BLB dapat efektif dalam suatu periode yang diperlukan. Stra teg i yang
direkomendasikan dalam buku pedoman ini untuk melakukan pembersihan BLB mengikuti tujuh
langkah sebagai berikut:
1. Menentukan adanya suatu kelimpahan BLB
2. Memutuskan apakah pembersihan diperlukan
3. Membuat perencanaan pembersihan
4. Melaksanakan pembersihan
5. Melakukan survei pasca pembersihan untuk mengetahui dengan pasti efektifitas
pembersihan
6. Mengamati area yang dibersihkan dan melakukan pembersihan lagi bila memang diperlukan
7. Mempublikasikan kegiatan pembersihan serta hasilnya.
Buku pedoman ini tidak dimaksudkan untuk menjadi acuan pada ekologi BLB, kelimpahan,
penelitian atau pembersihan. Buku pedoman ini hanya memberikan suatu informasi dasar, pokok
pikiran dan suatu kerangka dalam pengambilan keputusan serta pengorganisasian pelaksanaan
pembersihan. Untuk itu kami mengharapkan adanya masukan dan bagi pengalaman baru serta
ide-ide dalam pembersihan BLB dari pihak lain. Sebagian ataupun keseluruhan buku pedoman
ini dapat saja diperbanyak bagi tujuan pendidikan, atau bagi individu dan organisasi yang tidak
bisa memperoleh buku aslinya, sepanjang penghargaan atau kredit diberikan pada sumber aslinya.
Berbagai saran dan koreksi bagi kegunaan buku pedoman ini (serta bagaimana agar dapat
diperbaiki pada edisi berikutnya) kami terima dengan senang hati.
1
intang Laut Berduri (BLB) (Acanthaster planci)
adalah organisme yang sering ditemukan di
hamparan terumbu karang Indonesia. BLB
sendiri merupakan organisme yang masuk
dalam kelompok yang sama dengan semua
jenis bintang laut yaitu sub kelas Asteriodea (Gambar 1).
Adapun ciri-ciri utama bintang laut pada umumnya yaitu
mempunyai lima lengan yang terhubungkan pada sebuah pusat
keping tubuh organisme ini dan dikenal akan keunikannya yang
sangat spesifik yaitu kemampuan untuk beregenerasi. Sedangkan BLB
sendiri mempunyai ciri-ciri spesifik lain yang berbeda dibandingkan dengan yang umumnya terdapat
pada bintang laut biasa. Perbedaan ini dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, BLB mempunyai
sejumlah lengan, biasanya sekitar 15 buah, namun bervariasi antara tujuh sampai 23 buah. Padahal
bintang laut lainnya hanya mempunyai lima lengan. Berbagai organ tubuh, alat pencernaan, gonad
(kantung benih), susunan syaraf, dan lainnya terdapat pada setiap lengan yang terlihat pada lima
lipatan lengan yang simetris. BLB juga melewati suatu fase dengan lima lengan, akan tetapi setelah
berkembang memasuki fase dewasa jumlah lengan bertambah sampai mencapai jumlah lengan
dewasa pada umur sekitar enam bulan. Kedua, BLB mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar
dari bintang laut lainnya. BLB dewasa secara khusus atau khas mempunyai diameter tubuh sekitar
30-40cm, dan dapat membesar sampai 70cm. Ketiga, BLB mempunyai duri tubuh (spines) yang
panjang dan mengandung racun, menutupi permukaan tubuh bagian atas. Bintang laut lainnya
juga mempunyai duri tubuh, tapi biasanya pendek dan agak tumpul, sedangkan duri tubuh BLB
panjang, tajam dan seperti tumbak atau panah.
1Pendahuluan
B
2
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
1.1 MORFOLOGI
Pada permukaan tubuh bagian bawah, BLB mempunyai sebuah mulut tengah yang besar
dan sederetan kaki pipa dengan penghisapnya yang tersusun sebagai suatu alur/jalur pada masing-
masing lengan. Pada permukaan tubuh bagian atas terdapat sejumlah susunan atau struktur
yang hanya bisa terlihat dengan pengamatan yang seksama, seperti: sebuah anus, yang terletak
dekat dengan tubuh bagian tengah (disk), sejumlah tonjolan kecil keras yang terletak di sekitar
tubuh bagian luar (madreporites) dan sejumlah pasangan duri tubuh berbentuk seperti jepitan
kecil sekali yang digunakan untuk membersihkan permukaan tubuh bagian atas (pedicellaria).
Juga terdapat apa yang disebut papulae yaitu kantung-kantung kecil berbentuk seperti jari yang
terdapat di bagian permukaan tubuh yang berfungsi sebagai alat untuk bernapas dan sirkulasi air.
Pada bagian ujung lengan-lengan ada struktur-struktur yang sangat sensitif berwarna merah mudah
cerah yang dikelilingi dengan kaki pipa khusus. Ini adalah tentakel-tentakel sensor yang selalu
bergerak untuk mendeteksi adanya sinyal-sinyal kimiawi di air (Gambar 2). Warna tubuh BLB
bervariasi mulai dari kelabu sampai biru, ungu dan merah.
Bila terpotong, umumnya bintang laut biasa akan meregenarasi lengan-lengannya, begitu
juga dengan bagian tubuh lainnya secara cepat. Seringkali, ada dua individu bintang laut yang
berasal dan bertumbuh dari beberapa bagian tubuh satu individu bintang laut. Akan tetapi pada
BLB, kemampuan regenerasi ini terbatas. Pada individu-individu yang rusak maka regenerasi
lengan adalah biasa, begitu juga dengan tubuh yang terbelah dua tepat di bagian tengah akan
bisa bertahan hidup. Tetapi tidak seperti pada bintang laut lainnya, fragmen tubuh BLB dan lengan
yang terpotong tidak akan beregenerasi menjadi individu baru.
1.2 TINGKAH L AKU DAN CARA MAKAN
Karena tubuh BLB adalah radial simetri yaitu susunan tubuh yang terdiri dari keping yang
sama mengelilingi sebuah pusat secara garis lurus (aksis) vertikal, sepeti kelopak pada beberapa
bunga, maka tidak mempunyai bagian depan atau belakang tubuh. Pergerakan tubuh BLB adalah
secara acak atau pada arah tak beraturan sesuai tuntunan pergerakan lengan-lengannya. Ada ratusan
kaki pipa di bagian bawah lengan yang akan menggerakkan binatang ini secara perlahan, biasanya
pada kecepatan 10 cm per menit. Setiap kaki pipa akan bergerak maju dan menempel pada substrat
(karang, batuan atau pasir) dengan penghisapnya. Kemudian kaki pipa akan mengendur agar bisa
menarik tubuh ke depan, kemudian mengerut atau mengendur dan bergerak ke depan lagi.
Seperti bintang laut lainnya, cara makan BLB yaitu dengan menekan lambungnya ke luar
melalui mulut dan mengeluarkannya di luar tubuh, dalam suatu proses yang disebut eversion
(seperti memuntahkan). Pada waktu akan makan maka BLB ini akan menempatkan dirinya pada
suatu substrat karang yang dianggap cocok, mengeluarkan lambungnya, kemudian lambung ini
akan melebar menutupi permukaan karang pada suatu area yang hampir setengah dari diameter
tubuhnya sendiri. Kemudian melalui lambungnya ini akan dikeluarkan enzim-enzim pencernaan
ke dalam jaringan tubuh karang sehingga akan terurai karena proses cerna, setelah itu menyerap
jaringan tubuh yang sudah dicerna bersamaan dengan menarik lambungnya kembali.
Karena cara makan seperti ini memakan waktu cukup lama (berjam-jam), maka BLB makan
hanya sekali atau dua kali sehari, sekalipun banyak sekali karang yang tersedia. Pada umumnya
BLB lebih menyukai jenis karang yang bertumbuh cepat seperti Acropora spp. Akan tetapi bila
Acropora tidak banyak melimpah, mereka akan menggantinya dan memakan lebih banyak pada
3
Gambar 2: Sketsa morfologi Bintang Laut Berduri (BLB)
1 • Pendahuluan
4
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
karang-karang besar dan padat lainnya (massive) (Gambar 3). Oleh karena karang-karang
pembentuk terumbu mempunyai lapisan jaringan tubuh yang tipis pada kerangka tubuh kapur,
maka proses memakannya adalah mengeluarkan jaringan tubuh yang tipis tersebut sebagai
makanannya setelah itu BLB akan meninggalkan area tersebut yang akan terlihat seperti kerangka
putih yang secara kasar menggambarkan besaran atau luasan dari cara makan BLB. Adanya
kerangka putih akibat pemangsaan ini merupakan bukti pertama dari adanya BLB di suatu kawasan
terumbu karang (Gambar 4). Sebagai predator yang efisien, BLB dapat menghabiskan suatu luasan
sekitar l ima sampai 13 m2 karang hidup per tahun (Lassig, 1995). Selama adanya suatu kelimpahan
BLB, maka akan terdapat ratusan bahkan ribuan BLB terkonsentrasi pada suatu area kecil. Sebagai
contoh, di Pulau Haruku, dekat Ambon, tercatat 300 individu BLB pada suatu area seluas 10 m2
(LIPI Ambon, 1998. Komunikasi pribadi). Dengan kepadatan seperti ini, maka akan ada suatu
luasan terumbu karang yang besar dapat dirusak secara cepat.
BLB mengetahui makanannya dengan cara mendeteksi sinyal kimiawi di air (chemoreception).
Mungkin juga dapat mengetahui adanya bintang laut lainnya, serta secara tepat dapat mengetahui
BLB lainnya yang sedang memijah. Adapun bagian tubuh atau organ yang menerima sinyal tersebut
adalah tentakel-tentakel sensor yang terkonsentrasi pada bagian ujung lengan. Tentakel-tentakel ini
akan bergerak dalam alunan yang aktif untuk memandu lengan-lengan bintang laut ini untuk pergerakan.
BLB dapat mengetahui satu dengan yang lainnya pada jarak beberapa meter atau lebih.
Secara khusus, BLB menyembunyikan dirinya di bagian bawah karang selama siang hari,
dan aktif lagi pada malam hari. Tingkah laku ini akan berubah bila BLB berada dalam jumlah yang
banyak sehingga terjadi kompetisi antar BLB untuk mendapatkan makanan dan akan memaksa
mereka untuk mencari makanan baik pada malam maupun siang hari. Dalam keadaan inilah BLB
terkumpul banyak di hamparan terumbu karang. Apa yang membedakan BLB ini dengan predator
karang lainnya (ikan, keong nudibranch, beberapa jenis keong gastropoda lainnya, atau sponji)
adalah adanya karang mati yang luas yang disebabkan oleh pemangsaan BLB selama waktu berada
dalam jumlah dan kepadatan yang tinggi. Tidak ada predator karang yang pernah dilaporkan yang
secara nyata menjadi penyebab rusaknya karang dalam waktu yang pendek selain oleh BLB. Di
Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, lebih dari 80 % karang hidup pada satu kawasan terumbu
karang telah dirusak oleh BLB yang kelimpahannya hanya dalam beberapa bulan saja (Newman,
1998). Selama waktu kelimpahan yang relatif sama, di Guam BLB telah membunuh lebih dari 90 %
terumbu karang pada laju pemanfaatan satu kilometer terumbu tepi per bulan (Chesher, 1969).
1.3 PERTAHANAN DI RI
Dalam upaya melindungi diri selama proses makan yang perlahan, dimana selama proses
itu mereka mudah diserang predator, BLB juga dilengkapi dengan racun. Semua jaringan lunak
BLB berisi substansi kimiawi yang disebut sap onin, surfacant atau substansi yang seperti deterjen
(Birkeland dan Lucas, 1990). Saponin merupakan zat beracun, akan tetapi keberadaannya tidak
untuk meracuni predator yang berusaha untuk memakan mereka, tapi sebenarnya hanya untuk
mencegah atau memperkecil peluang kehadiran predator tersebut. Rasa dari saponin tidak enak
dan dapat menyebabkan gangguan pada luka akibat tusukan duri BLB. Ikan dan predator lainnya
yang berusaha memakan BLB akan merasakan tidak enak, baik oleh rasa tidak enak oleh saponin
maupun oleh tusukan duri tubuh atau keduanya. Luka-luka pada manusia oleh tusukan BLB akan
sangat terasa sakitnya bukan hanya oleh karena tusukan itu sendiri tetapi juga oleh karena adanya
saponin yang berisi racun. Yang lebih parah lagi ialah duri tersebut akan patah dan tertinggal
5
Gambar 3: Karang Acropora dan non-Acropora
Gambar 4: Bekas makan BLB pada satu terumbu karang
1 • Pendahuluan
6
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
dalam tusukan tersebut. Luka-luka yang terasa sangat sakit tersebut kemudian akan diikuti oleh
infeksi dan pembengkakan. Korban akan dengan segera merasa kejang dalam beberapa jam.
Ada beberapa orang justru mengalami muntah-muntah dan reaksi-reaksi alergi.
1.4 SIKLUS HI DUP
Pada area-area yang sangat dipengaruhi oleh musim, seperti di Great Barier Reef, Australia,
gonad (organ seksual) akan mulai perkembangannya pada akhir musim dingin (Agustus) dimana
suhu air mulai menaik; kemudian BLB di kawasan tersebut akan memijah pada tengah-musim
panas (Januari). Pemijahan binatang ini jarang sekali diobservasi. BLB akan merangkak sampai
di bagian puncak karang, seperti bagian atas karang bercabang, kemudian dari sana telur dan
sperma akan dilepaskan ke dalam air melalui lubang-lubang (pores) pada permukaan bagian atas
lengan-lengan mereka. Banyak BLB akan memijah secara serentak dalam satu kelompok apabila
mereka terangsang oleh stres atau oleh memijahnya BLB yang lain. Perbedaan fase-fase siklus
hidup BLB terlihat pada Gambar 5.
Ada sekitar 10 juta telur-telur yang kecil (diameter 1,2 mm) bisa dilepaskan oleh seekor
induk betina besar ke dalam kolom air. Adapun sperma yang dilepaskan oleh jantan akan berenang
menuju telur-telur tersebut. Bila setiap telur telah dimasuki oleh sebuah sperma, maka membran
telur akan membesar menjauhi yolk (kuning telur) untuk mencegah masuknya sperma yang lain.
Telur-telur yang telah dibuahi akan menjadi larva planktonik sehingga akan terbawa oleh arus
jauh dari tempatnya dipijah, atau seringkali sampai pada permukaan terumbu karang, atau justeru
terbawa ke laut terbuka menjauhi terumbu karang.
Dalam satu hari saja, telur yang dibuahi tersebut menjadi besar dan menjadi suatu larva
gastrula. Perkembangan BLB sangat kompleks dan mempunyai beberapa tingkatan larva. Sebagai
larva, maka BLB kecil akan berenang dan makan pada perairan laut terbuka dengan menggunakan
organ seperti rambut-rambut kecil yang disebut sil ia (cilia). Karena sebagai perenang yang masih
lemah, larva-larva ini akan terbawa oleh arus sampai ratusan kilometer dari tempatnya dipijahkan.
Setelah beberapa minggu, bila larva tersebut berada di atas hamparan terumbu karang, larva
akan turun melalui kolom air dan menempel pada permukaan substrat yang tertutup alga, seperti
alga koralin. Setelah larva BLB ini menempati suatu tempat, maka warna akan segera berubah
menjadi warna mula-mula yaitu krem, dengan lima lengan sebagai BLB muda, dan biasanya pada
stadia ini besar BLB hanya sekitar 0,7 mm.
Karena masih sangat kecil untuk memakan karang, maka BLB muda ini biasanya makan
alga, dan yang paling disukai adalah alga koralin yang melimpah, sampai sekitar umur enam bulan.
Setelah tujuh bulan, BLB akan membesar sampai sekitar berdiameter 10 mm dan mulai ketambahan
lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa. Sesudah itu mereka akan mulai memakan
polip karang. Pertumbuhan BLB sangat cepat karena dapat mencapai sekitar 5 cm pada tahun
pertama, 20 cm pada tahun kedua, dan 30 cm setelah kira-kira mencapai umur dua tahun.
Sekalipun BLB mencapai matang seksual pada umur dua tahun, hanya setelah tiga tahun
dapat melepaskan telur dan sperma (gametes) yang tinggi. Dalam satu kali memijah betina BLB
dapat menghasilkan lebih dari 20 juta telur. Laju pertumbuhan menjadi menurun setelah matang
seksual, oleh karena energi lebih banyak diambil dari pertumbuhan tubuh untuk menghasilkan
gamet-gamet. Dalam suatu studi laboratorium, ternyata BLB berhenti bertumbuh setelah umur
tiga tahun. Setelah lima tahun, BLB menghentikan perkembangan gonad serta ukuran tubuh akan
berkurang. Umumnya BLB mati sebelum berumur delapan tahun.
7
Gambar 5: Siklus hidup BLB
BLB sangat berbeda dengan bintang lautlainnya dalam kemampuan menghasilkan banyaktelur dan sperma (fekunditas), meskipun avertebratalaut lainnya juga melepaskan jutaan telur. Biasanyaada satu pola mortali tas (kematian) yang sangattinggi dari telur-telur tersebut, begi tu juga padatingkatan perkembangan awal , dan hanya persentaseyang sangat kecil yang dapat bertahan sekalipundalam beberapa minggu. Perlu diketahui bahwatidak semua telur dibuahi . Arus lautan dapatmembawa telur dan sperma menjauh satu denganlainnya. Perlu diketahui juga bahwa BLB yangkepadatan populasinya rendah tidak mampumemperbaiki keberhasi lan pembuahannya.Akhirnya, sekalipun telur-telur sudah dibuahi, adabanyak organisme (pol ip karang, bintang kipas, danikan-ikan terumbu karang) memakan larva BLByang masih planktonik.
Mortal itas atau tingkat kematian larva BLB
sangat tinggi . Akan tetapi, bi la satu betina BLBberhasil memi jah untuk setidaknya tiga atau empatmusim pemijahan, total telur yang dikeluarkan olehinduk ini dapat mencapai 100 juta telur. Untukmengganti di rinya dan satu jantan, maka hanya duaindividu dari satu juta telur tersebut yang perlumencapai dewasa secara seksual, sebesar0.00000002 persen (dua dari 100 juta). Walaupuntingkat bertahan hidup (survival) dari telur hanya0,001 persen (sama dengan tingkat kemampuanmenghasi lkan telur yang tinggi dari binatanginvertebrata laut lainnya) maka akan tetap terjadipopulasi yang melimpah dari bintang laut menjadi1000 individu yang hanya dihasi lkan oleh duaindividu. Tingkat bertahan hidup larva yang akanmenjadi juvenil (rekrutmen larva) merupakan satufaktor kunci dalam menentukan populasi juvenil danBLB dewasa pada suatu terumbu karang.
Apa yang terjadi pada jutaan telur yang dilepaskanoleh setiap induk betina setiap tahun?
1 • Pendahuluan
8
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
1.5 PREDATOR
BLB muda mempunyai suatu bahan kimiawi untuk pertahanan, akan tetapi setelah menjadi
BLB dewasa justru duri-duri beracunnya akan berkurang. Oleh karena itu, BLB tergolong organisme
yang mudah dimangsa oleh organisme yang dapat melokalisir mereka dan terlindung terhadap
pertahanan mereka. Kepiting karang dan beberapa jenis ikan diketahui memangsa BLB juvenil.
Ada beberapa jenis ikan seperti ikan kerapu, ikan trigger dan ikan napoleon yang pernah
diamati memakan BLB dewasa. Ikan-ikan ini menghindar dari duri tubuh yang beracun dengan
cara membalikan BLB sehingga bagian bawah menghadap atas dan mudah dimangsa. Triton
raksasa (Charonia tritonis) dan udang warna (Hymeno cerapicta) juga merupakan predator BLB
(Gambar 6).
Gambar 6: Beberapa predator BLB
9
ebelum mulai membersihkan BLB, perlu ada pertemuan dan pembicaraan dengan
wakil-wakil masyarakat atau kelompok setempat. Perlu juga dilakukan suatu survei
di kawasan terumbu karang di lokasi yang BLB-nya melimpah, sehingga bisa
mempersiapkan informasi yang cukup dalam menentukan apakah terjadi suatu
kelimpahan. Bila memang terjadi, maka kelompok yang ada harus memutuskan
apakah akan mengambil langkah yang perlu atau tidak. Karena tidak semua situasi atau tempat
memerlukan penanganan pembersihan. Bila dalam area tersebut ternyata memenuhi kriteria untuk
dilakukan tindakan pembersihan, maka ditentukanlah cara penanganannya. Metode dengan cara
“mengeluarkan dan membakar” BLB bisa dipertimbangkan sebagai salah satu cara yang tepat
selama ini, karena biayanya murah dan sederhana. Oleh karenanya metode ini direkomendasikan
untuk program-program pembersihan berbasis masyarakat di Indonesia. Setelah suatu
pembersihan dilaksanakan, masih perlu juga dilakukan survei dan pembersihan ulangan secara
kecil-kecilan untuk memonitor dan mempertahankan kesatuan kawasan terumbu karang yang
menjadi target. Bagian ini akan memberikan arahan pada dua langkah awal dalam mengelola
kelimpahan BLB yaitu metode-metode, prosedur dan kriteria untuk menetapkan apakah terjadi
kelimpahan dan juga menetapkan apakah perlu dilakukannya suatu upaya pembersihan atau
tidak.
2.1 MELI MPAHNYA BLB
Kelimpahan atau melimpahnya BLB di suatu kawasan sebenarnya sulit untuk ditetapkan,
karena tiap-tiap- kawasan terumbu karang mempunyai keunikannya sendiri. Ada kawasan terumbu
karang yang dapat mempertahankan sejumlah besar BLB tanpa mengalami kerusakan yang tetap;
sementara kawasan lainnya tidak. Untuk itu ada beberapa penuntun sederhana. Marine Park
Authority (GBRMPA) menggunakan kriteria seperti pada Tabel 1 dalam aktifitas pengelolaan mereka
(Englehardt, 1997).
Sebagai contoh yaitu apa yang terjadi di desa Bentenan dan Tumbak di Sulawesi Utara
yang telah mengalami kelimpahan setempat. Area terumbu yang jumlah BLB-nya dalam kepadatan
tinggi hanya sedikit atau kecil. Akan tetapi, di bagian rataan terumbu lainnya atau pulau-pulau
yang berdekatan keberadaan BLB berada dalam jumlah normal atau tidak terpantau secara lengkap.
Gambar 7 menunjukkan peta wilayah Bentenan-Tumbak dengan jumlah BLB yang telah dikeluarkan
atau dibersihkan serta area yang diduga rataan terumbunya terkontrol.
2Pengelolaan terhadapBLB yang Melimpah
S
10
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Selama kelimpahannya, BLB akan secara bersama-sama mengelompok sambil memangsa
karang hidup, meninggalkan suatu hamparan makam putih dari karang mati. Setelah beberapa
minggu atau beberapa bulan hamparan karang mati ini akan tertutup oleh alga coklat. BLB akhirnya
akan mati kelaparan bila telah memangsa semua karang hidup. Sesudah kelimpahan BLB yang
sangat besar di Guam, terumbu disana memerlukan waktu 10 tahun untuk bisa hidup kembali
(Chesher, 1969). Sedangkan di Kepulauan Ryukyu Jepang, kelimpahan BLB berlangsung antara
1967 - 1987, sehingga terumbu karang rusak total setelah 20 tahun (Yamaguchi, 1987).
Penyebab sesungguhnya dari kelimpahan BLB sampai sekarang belum diketahui, meskipun
telah banyak hipotesis yang diberikan. Kelimpahan BLB sebenarnya terjadi secara alamiah.
Penelitian para ilmuwan menduga bahwa kemungkinan kelimpahan BLB berhubungan dengan
kegiatan manusia. Hal ini dihubungkan dengan penangkapan yang berlebihan terhadap predator
BLB, seperti ikan napoleon dan keong triton. Alasan ini bisa saja diterima.
Ada teori yang lebih mudah diterima yaitu melimpahnya BLB disebabkan karena
meningkatnya laju daya tahan larva dan juvenil BLB, sekalipun karena alasan yang belum diketahui.
Begitu juga adanya dugaan terhadap aktifitas manusia seperti banyaknya pemanfaatan pestisida
dan pupuk yang digunakan dalam pertanian. Sungai yang berdekatan dengan areal pertanian
akan membawa bahan-bahan kimiawi ini ke area terumbu karang yang membuat suatu kondisi
lingkungan yang memungkinkan terhadap perkembangan larva. Berbagai faktor alam dapat juga
meningkatkan daya tahan larva. Diketahui juga bahwa naiknya suhu air dan menurunnya salinitas
(kadar garam) selama pemijahan yaitu sebelum larva turun ke substrat, dapat meningkatkan
kemampuan daya tahan binatang tersebut.
Akan menjadi lebih efektif bila yang dikelola itu adalah penyebab kelimpahan daripada
pengelolaan kelimpahan itu sendiri. Namun hal ini masih belum memungkinkan sampai
penyebabnya diketahui. Oleh karenanya upaya pengawasan sementara ini diperlukan guna
melindungi berbagai kawasan terumbu karang, terutama di kawasan yang penting secara biologis
dan sosial-ekonomi (mis. kawasan terumbu karang sebagai tempat pembesaran untuk jenis-jenis
ikan bernilai penting, daya tarik pariwisata, atau tempat yang tinggi keanekaragamn hayatinya).
Adapun tujuan dari setiap program pengawasan harus dilakukan untuk mengurangi atau mencegah
dampak dari kelimpahan BLB ini terhadap komunitas karang. Karena terumbu karang disusun
oleh berbagai organisme yang secara relatif pertumbuhannya lamban, maka untuk bisa tertutup
kembali (recovery) dengan karang hidup setelah kelimpahan BLB ini, membutuhkan waktu bertahun-
tahun lamanya.
Adapun kelimpahan yang kronis disebabkan oleh berulangnya kenaikan pertambahan larva
BLB yang sebenarnya bukan disebabkan oleh aktifitas organisme dewasa secara individu. Oleh
karenanya, sebaiknya BLB diangkat atau dikeluarkan sebanyak-banyaknya, sekalipun tidak semua,
Tabel 1: Kri teria penentuan tipe-tipe kelimpahan BLB
Tipe Kel impahan Kr iter ia
Tidak terjadi < 30 ind. per ha terumbu
Baru terjadi Kepadatan individu muda tinggi, sepertinya untuk bertahan
dan mencapai kematangan
Kelimpahan setempat Kepadatan populasi BLB tinggi pada sebagian terumbu,
Tetapi masih dalam jumlah sedikit di terumbu lainnya
Kelimpahan aktif > 30 ind. dewasa per ha terumbu
11
dengan cara pembersihan. Ada beberapa individu yang bisa terlepas di alam tetapi tidak apa-apa.
Karena tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah populasi sampai di bawah jumlah kelimpahan.
Dengan berkurangnya BLB akan mengurangi ancaman rusaknya terumbu karang dan bisa
memberikan kesempatan untuk rehabilitasi kawasan terumbu karang yang sudah rusak.
Gambar 7: Jumlah BLB yang berhasil dikeluarkan dari terumbu karang Bentenan-Tumbak
Setiap organisme dalam suatu ekosistem
mempunyai satu peran. Hanya bila ekosistem tersebut
dalam keadaan tidak berimbang, bi lamana disi tu
suatu organisme terlalu sedikit atau terlalu banyak,
barulah ki ta bisa bertindak. BLB secara alamiah
merupakan organisme yang terdapat di terumbu
karang. Dalam kepadatan rendah, BLB membantu
untuk menyeimbangkan karang bertumbuh-cepat
yaitu jenis Acropora sehingga bisa memberi ruang
Kenapa tidak diambil atau dibersihkan saja setiapBLB yang ditemukan di terumbu karang?
bagi karang massive (padat berukuran besar) yang
berkembang lamban. Sehingga BLB pada tingkat
populasi normal sebenarnya dapat membantu untuk
menjaga keanekaragaman di terumbu karang. BLB
juga merupakan mangsa dari organisme lainnya di
terumbu karang. Mengeluarkan semua BLB juga
berarti mengambil atau mengeluarkan mereka
sebagai makanan dari ikan-ikan tertentu, tri ton dan
udang.
2 • Pengelolaan terhadap BLB yang Melimpah
12
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
2.2 MENENTUKAN ADANYA KELIMPAHAN BLB
Untuk menentukan apakah dalam suatu kawasan terumbu karang terjadi suatu kelimpahan
BLB, maka hal penting pertama yang harus dilakukan adalah survei BLB. Sekalipun pada beberapa
kawasan tertentu BLB masih menunjukkan suatu siklus populasi yang tidak merusak terumbu
karang. Akan tetapi pada tempat dimana kelimpahannya baru terjadi, atau adanya kelimpahan di
berbagai tempat, serta adanya kelimpahan aktif (lih. Tabel 1) dapat merupakan indikasi perlunya
suatu upaya pembersihan. Carilah informasi kepada orang-orang dari masyarakat sekitar yang
sering memanfaatkan kawasan terumbu karang yang berpotensi terancam. Penduduk setempat
biasanya mempunyai pengetahuan lokal, yang dapat memperjelas kriteria yang berhubungan
dengan keberadaan populasi BLB. Hasil pembicaraan dengan masyarakat tersebut sebaiknya
diikuti dengan survei di kawasan terumbu karang yang dicurigai terjadi melimpahnya BLB tersebut.
Wawancara dengan masyarakatSuatu wawancara/percakapan dengan anggota masyarakat tentang ciri-ciri kepadatan BLB
dalam kawasan terumbu mereka merupakan informasi yang cukup menentukan. Banyak
masyarakat yang berdiam di wilayah pesisir mempunyai pengetahuan yang turun temurun
(tradisional) atau sejarah pengalaman nyata tentang suatu kawasan terumbu karang dimana sehari
survei tidak dapat menjawab informasi ini. Adalah sangat penting untuk melibatkan penduduk
yang selalu melakukan pengamatan langsung pada kawasan terumbu karang (mis. pemanah
ikan, pengumpul ikan hias), terutama mereka yang memiliki pengalaman bertahun-tahun. Dalam
wawancara sebaiknya secara hati-hati menghilangkan pertanyaan yang mengarah pada jawaban
sesuai kemauan kita sendiri. Wawancara lisan secara informal dengan beberapa orang penentu
(orang kunci) atau kelompok kecil masyarakat (dua atau tiga orang) biasanya bisa lebih berhasil.
Berbagai pertanyaan untuk menanyakan kepada para pengguna (user) terumbu karang
atau para tua-tua kampung adalah sebagai berikut:
• Apakah ada BLB di kawasan terumbu? Bila ada apakah mereka dalam jumlah besar atau
hanya setempat-setempat?
• Apakah anda melihat adanya perubahan populasi atau jumlah individu BLB, sepanjang tahun ini,
lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun lalu? Bila benar, bisakah menjelaskannya secara rinci?
• Menurut pendapat anda, apa yang akan terjadi bila ada banyak BLB di terumbu karang?
• Apakah ada kawasan terumbu yang lebih banyak BLB-nya daripada yang lain? Bila ada, kawasan
manakah itu?
• Apakah akhir-akhir ini terjadi perubahan kondisi terumbu karang? Bila ya, menurut anda apakah
penyebab terjadinya perubahan tersebut?
Bila masyarakat merasa bahwa BLB merupakan salah satu isu penting, mintalah pada
mereka (terutama para pengguna kawasan terumbu) untuk menggambar sebuah peta kawasan
terumbu karang mereka dengan menunjukkan lokasi-lokasi mana saja yang terdapat BLB dalam
jumlah besar. Hal ini akan membantu untuk dapat menunjukkan dengan tepat kawasan yang
mengalami kelimpahan untuk disurvei secara berenang.
Bila menurut masyarakat, meningkatnya jumlah BLB terlihat seperti suatu siklus yang belum
dalam jumlah besar, tidak ada tanda-tanda perubahan pada kondisi karang yang berhubungan dengan
populasi BLB yang besar, dan karang secara relatif sehat, maka kawasan terumbu karang tersebut
mungkin saja masih dapat menopang sejumlah besar tertentu BLB (30-50 BLB per ha), karenanya
tidak membutuhkan pembersihan. Di beberapa kawasan Laut Merah bagian Sudan diketahui
13
mempunyai sejumlah besar BLB, akan tetapi tutupan karang dan berbagai indikator tingkat kesehatan
karang lainnya tidak mengalami penurunan. Para peneliti dan nelayan percaya bahwa populasi BLB
ini dapat dikontrol oleh sejumlah besar ikan-ikan predator (Ormond dkk. 1990). Meskipun demikian,
sebuah survei terumbu karang tetap bermanfaat untuk lebih memantapkan persepsi masyarakat.
Terumbu karang bisa saja mulai mengalami pertambahan jumlah BLB tidak seperti biasanya sehingga
populasinya mulai melampaui dari cerita seperti yang dilaporkan masyarakat. Keputusan untuk
melakukan pembersihan sebaiknya dilakukan secara hati-hati, tanpa tergesa-gesa. Keputusan dapat
diambil dengan menentukan adanya pemantauan daerah terumbu karang setiap beberapa bulan,
sampai dipastikan bahwa suatu intervensi (dalam hal ini kegiatan pembersihan) diperlukan.
Bila serangan BLB terjadi sekali, tanpa adanya sejarah serangan atau perilaku BLB
sebelumnya, maka terumbu karang menjadi potensial terancam. Mewawancarai masyarakat dalam
konteks persiapan terhadap terjadinya kelimpahan BLB akan membantu sebagai informasi berimbang
bagi survei terumbu karang agar bisa didapatkan suatu keputusan dengan alasan yang tepat.
Survei Terumbu KarangSuatu kawasan terumbu karang yang dicurigai mengalami peningkatan jumlah BLB sebaiknya
diteliti atau disurvei dengan melakukan pengamatan secara visual melalui suatu kawasan transek
sepanjang 100 m atau lebih. Dalam survei ini, maka sebuah tim yang terdiri dari tiga orang perenang
(menggunakan masker) berenang secara terpisah sekitar tiga meter, sejajar garis pantai. Setiap anggota
survei bertanggung jawab mengamati wilayah selebar tiga meter (Gambar 8). Pengamatan atau
pencarian dalam survei ini harus secara seksama, memeriksa sampai di bagian bawah karang dan
celah-celah, dan terutama di dalam atau sekitar tempat karang yang memutih yang merupakan tanda
tempat makan BLB. Bila sebuah transek tidak dapat dilakukan, maka suatu pendugaan luas kawasan
yang akan dikontrol dapat dilakukan ditambah catatan dari waktu yang diberikan untuk melihat ada
tidaknya BLB, dianggap cukup. Adalah penting untuk mencatat nama tempat dan letak atau posisi
(lebih baik lagi kalau ada posisi lintang dan bujur) kawasan terumbu tesebut untuk melengkapi catatan.
Untuk banyak tempat di Indonesia, BLB secara relatif terdapat pada daerah yang dangkal; seperti di
Sulawesi Utara, pada umumnya terdapat pada kedalaman kurang dari tiga meter.
Manta Tow merupakan metoda umum lainnya yang digunakan untuk memantau populasi BLB.
Manta Tow adalah suatu metoda survei yang caranya adalah seorang perenang yang menggunakan
snorkel (membawa sebuah papan kayu dengan alat tulis untuk catatan bawah air) ditarik secara perlahan
dengan sebuah perahu. Untuk hal ini silahkan membaca panduan tentang prosedur Manta Tow dari
Australian Institute of Marine Science (AIMS) (English dkk. 1994) atau Buku Panduan Pemantauan
Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat (Sukmara dkk. 2001). Dengan survei Manta Tow, peneliti ditarik
di belakang sebuah perahu pada suatu kecepatan yang sedikit lebih cepat dari kemampuan berenang
seseorang atau seperti langkah kaki saja. Metode ini idealnya cocok bagi pencatatan dalam kawasan
terumbu karang yang luas sekalipun untuk itu peneliti tidak boleh meninggalkan tali penarik serta harus
tetap mengamati kawasan terumbu karang tersebut. Oleh karenanya dengan Manta Tow ini cenderung
memberikan estimasi yang tidak tepat akan keberadaan populasi BLB. Oleh karenanya survei sambil
berenang lebih memberikan akurasi estimasi karena dengan cara ini dapat mencari BLB sampai pada
lubang-lubang tempat habitat mereka; seperti di bawah karang dan di dalam celah-celah.
Adapun peralatan yang diperlukan untuk survei berupa alat tulis bawah air, peralatan snorkeling,
kompas atau GPS (Global Positioning System) untuk menetapkan posisi, jam dan peta kawasan.
Sebuah tim survei tidak perlu terdiri dari penyelam/peneliti. Anggota tim bisa saja dari para pemanah
ikan, kolektor ikan akuarium, atau siapa saja dari masyarakat yang dapat berenang dan tahu tentang
terumbu karang merupakan mitra yang tepat untuk suatu survei BLB.
2 • Pengelolaan terhadap BLB yang Melimpah
14
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Gambar 8: Cara pengamatan sebuah tim survei terumbu
15
Peralatan SCUBA dan penyelam SCUBA tidak terlalu perlu, kecuali populasi BLB telah
menempati kedalaman lebih dari empat meter. Di Sulawesi Utara, tim survei dengan snorkeling
dari Proyek Pesisir beserta anggota masyarakat (pria dan wanita) telah mampu mencatat data
BLB dan bisa dibandingkan dengan tim yang menggunakan SCUBA yang melakukan survei di
kawasan yang sama. Memang bisa juga menggunakan tim gabungan berupa sebagian penyelam
SCUBA dan sebagiannya lagi menggunakan peralatan snorkeling. Yang menggunakan snorkel
menunjuk adanya BLB sedangkan penyelam SCUBA membawa tongkat pengukur dan alat tulis
bawah air. Untuk itu tim snorkel memerlukan kaki katak (fins) untuk menjaga agar tetap dengan
tim SCUBA. Tabel 2 menunjukkan satu contoh dari sebuah lembar survei dengan catatan data
lapangan (Lampiran I adalah lembar survei yang kosong sehingga bisa digandakan). Bagi BLB
yang terlihat, maka seperti data berikut ini yang dicatat di dalam kertas bawah air, dan dikopi ke
dalam sehelai lembar survei:
• Ukuran (diameter dalam cm)
• Kedalaman waktu ditemukan
• Substrat yang berasosiasi (tipe karang, pasir, kerikil, dan lain-lain)
• Asosiasi dalam kelompok atau organisme tunggal.
Ukuran tubuh akan memberikan pendugaan umur BLB sekalipun agak kasar. Analisis data
anda dengan menyusun suatu diagram frekuensi-ukuran seperti yang terlihat pada Gambar 9. Bawalah
itu keperhitungan data yang sudah terkumpul lainnya (substrat, asosiasi, dan formasi komunitas) untuk
membantu menentukan seberapa berat kemungkinan tejadinya peledakan populasi. Apakah satu
kelompok-ukuran BLB lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan lainnya. Kalau seperti itu maka
dugalah umur BLB dengan menggunakan ukuran. Bila semuanya secara kasar menunjukkan kesamaan
dalam kelompok-ukuran (sama kelompok-umur), maka itu mengindikasikan adanya keberhasilan
rekrutmen (peledakan individu-individu baru) pada suatu waktu tertentu. Sebagai contoh, pada umur
tiga tahun seekor BLB biasanya mencapai ukuran diameter tubuh sekitar 35-40 cm bila mendapat
makanan yang cukup. Biasanya, dalam suatu keadaan melimpahnya populasi, satu kelompok-umur
akan mendominasi ukuran lainnya. Hal ini bisa menunjukkan bahwa adanya keberhasilan rekrutmen
bibit muda (larva) pada suatu waktu yang menyebabkan melimpahnya populasi sekarang ini.
Tabel 2: Contoh lembar survei
Lok asi : Teluk Sompini, Desa Tumbak, Sulawesi Utara Tanggal : 14 Mei, 1998
Penel i ti : Chris Rotinsulu
Jumlah Ukuran Kedalaman Tempat tinggal untuk Pengelompokanorganisme (cm) (m) menempel/melekat (substrat) (Asosiasi)
1 34 3 Karang (hidup) Sendiri-sendiri
2 42 2 Karang kerikil Kelompok
3 34 2 Karang kerikil Kelompok
4
5
6
7
2 • Pengelolaan terhadap BLB yang Melimpah
16
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Kedalaman dimana BLB ditemukan itu amat penting, karena ada dugan bahwa melimpahnya
populasi dimulai pada perairan dalam dan bergerak ke perairan dangkal. Sebenarnya berbagai
substrat yang berasosiasi dapat juga memberikan ide adanya intensitas suatu pelimpahan populasi.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya. BLB lebih menyenangi makan karang Acropora; sedangkan
bila binatang-binatang ini menggantikan menunya dengan jenis karang lainnya yang bertumbuh
sangat lambat, seperti karang padat, bisa diduga bahwa mereka tidak memangsa habis Acropra
di daerah tersebut dan mengganti mangsa mereka. Bila BLB ditemukan di kerakal (batuan yang
ukurannya lebih besar dari kerikil) atau pasir waktu siang hari, diduga terjadi perubahan tingkah
laku makan, dimana makanan mulai berkurang sehingga BLB ini mencari tempat lain yang lebih
tersedia makanannya dan berusaha untuk mendapatkan karang hidup lebih banyak lagi. Pola
pengumpulan individu juga menggambarkan tingkat kelimpahan populasi, sedangkan BLB yang
hidup menyendiri lebih tidak berbahaya.
Tidak ada dari kriteria ini secara sendiri-sendiri menunjukkan adanya suatu kelimpahan populasi
selain kalau kriteria ini muncul bersama-sama. Sebagai contoh, temuan BLB di salah satu lokasi
Gambar 9: Sebaran kelompok-ukuran BLB di dua lokasi di Sulawesi Utara
(A) Distribusi ukuran BLB dari Pulau Punten. Populasi disini rata-rata berumur dua tahun dengan
kelompok-ukuran 30 - 35 cm.
(B) Distribusi ukuran BLB dari Teluk Sompini. Populasi disini rata-rata berumur empat tahun dan
lebih tua dengan kelompok-ukuran median sekitar 40-45 cm.
17
Proyek Pesisir di Teluk Sompini yang pernah mengalami pengumpulan individu-individu BLB dalam
jumlah yang besar, dan semuanya dalam ukuran kelas-umur yang sama, selain itu mereka hanya
terkumpul pada karang Acropora saja. Oleh karenanya, untuk menginterpretasi data survei di kawasan
terumbu karang memerlukan masukan tambahan dari wawancara dengan masyarakat seperti yang
dijelaskan di atas.
2.3 MEMUTUSKAN KAPAN PEM BERSI HAN DI PERLUKAN
Bila informasi dari survei kawasan terumbu karang dan wawancara masyarakat menunjukkan
adanya kelimpahan populasi, maka ada beberapa kriteria lainnya yang harus dipertimbangkan
sebelum diputuskan apakah pembersihan sebaiknya dilakukan. Untuk menjamin keberhasilan
pelaksanaan pembersihan BLB, maka pengalaman dari berbagai tempat di dunia yang
mengindikasikan beberapa kondisi berikut ini perlu juga dipadukan:
• Kerusakan terumbu karang oleh BLB atau oleh kegiatan manusia tidak terlalu meluas.
• Kawasan terumbu karang yang dimonitor tidak terlalu luas. Lima hektar dapat dikelola; lebih
200 ha mungkin terlalu luas untuk dikelola
• Jumlah populasi BLB tidak terlalu banyak untuk menjaga efektifitas pengontrolan
• Pembersihan yang secepat mungkin dapat dilaksanakan segera setelah ditemukan adanya
kelimpahan populasi.
Bila tutupan karang terlalu rendah, atau suatu kawasan yang telah mengalami beberapa
kali degradasi (penurunan kualitas) dari berbagai faktor lainnya selain kasus BLB (pemboman
ikan, sedimentasi berat), mungkin saja tidak terlalu bermanfaat dilakukan pembersihan BLB. Dalam
kasus seperti ini, sepertinya sudah terlambat untuk mempertahankan terumbu karang dari
kerusakan oleh BLB, mungkin saja BLB bukan penyebab utama terjadinya perubahan di kawasan
terumbu karang tersebut. Juga, pembersihan BLB tidak terlalu perlu dihubungkan dengan luasan
tutupan karang, mungkin saja ada faktor lain yang justeru bisa mencegahnya. Bila suatu kawasan
terumbu karang terlalu luas, sulit sekali untuk berhasilnya suatu kampanye pembersihan serta
menjaga kelangsungan upaya tersebut selama beberapa tahun. Pembersihan BLB adalah suatu
kegiatan atau proyek yang memerlukan pekerjaan yang intensif dan memerlukan sebuah konsensus
sampai sekitar tiga tahun untuk memonitor serta melaksanakan pembersihan lagi secara kecil-
kecilan. Adalah penting untuk tetap melanjutkan program ini selama suatu periode tertentu guna
memantapkan kesuksesan pelaksanaan.
Penting juga untuk dipertimbangkan apakah suatu kawasan dalam kondisi cukup sehat
atau tidak untuk menetapkan adanya kegiatan pembersihan. Lebih baik lagi kalau berbagai upaya
tersebut difokuskan pada kawasan kecil tapi dalam kondisi karang yang sehat yang bernilai bagi
masyarakat pesisir untuk pariwisata, perikanan, dan mencegah erosi, atau karena mereka
mempunyai peranan keanekaragaman hayati yang unik. Kawasan seperti ini sebaiknya mendapat
prioritas untuk diadakan pembersihan.
Sesudah usia dua tahun, BLB mulai memakan karang, dan dengan mudah terlihat pada
tempat terbuka. Kecepatan BLB dapat merusak sebuah kawasan terumbu setelah mereka mencapai
ukuran memakan karang adalah alasan pentingnya dilakukan upaya atau respons yang cepat.
Pada awal usia tiga tahun, organisme ini mencapai kematangan seksual, dan hanya melepaskan
sedikit telur dan sperma. Setelah tiga tahun, BLB mulai memijah dalam jumlah yang besar dan
dapat mulai mencapai atau malah menulari kawasan lainnya. Karena hasil pemijahan mereka
2 • Pengelolaan terhadap BLB yang Melimpah
18
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
akan dibawa arus sepanjang pantai. Kesempatan yang paling baik dan terbuka bagi BLB untuk
menulari kawasan lainnya adalah pada umur dua dan tiga tahun. Keterlambatan pembersihan
yang menyebabkan BLB mencapai ukuran besar akan meningkatkan ancaman bahaya yang bisa
mematikan kawasan terumbu yang luas sebelum operasi pembersihan dimulai. Untuk selanjutnya
akan meningkatkan ancaman bahaya pada kawasan yang berdekatan, yang bisa tertulari pada
waktu mereka memijah. Oleh karenanya sangat penting ada aksi sesegera mungkin. Beberapa
bulan saja terlambat bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan.
Membongkar (mengganggu) suatu ekosistem
yang kompleks seperti terumbu karang bisa
menyebabkan terjadinya sederetan dampak yang
tidak dikehendaki . Ada dua alasan yang selalu diacu
untuk membiarkan populasi BLB, sekal ipun mereka
berada pada tingkat mel impah, yai tu :
1. Mel impahnya BLB bisa sebenarnya membantu
menjaga keanekaragaman spesies karang.
2. Bi la terlalu banyak BLB yang dikeluarkan, bisa
saja mengganggu keseimbangan.
Relung ekologi yang disebabkan oleh
pengambi lan BLB dapat menurunkan kompetisi
makanan dan mengakibatkan adanya kehadiran terus
menerus BLB dari beberapa individu dewasa yang
tinggi fekunditasnya. Akhirnya jumlah larva BLB
akan meningkat dan dengan laju daya tahan yang
tetap maka populasi BLB akan kembali pada tingkat
mel impah lagi atau menjadi lebih buruk (Bi rkeland
and Lucas, 1990)
Pada setiap kawasan tertentu, ki ta harus
menetapkan pertama-tama apakah pembersihan yang
akan di lakukan bisa mencapai tujuan untuk
menyelamatkan terumbu karang, dan apakah
penyelamatan terumbu karang yang dimaksud akan
berhasil mencapai tujuan.
Sebuah contoh program pembersihan BLB yang
tidak mencapai tujuan menyelamatkan terumbu
karang terjadi di Jepang. Sesudah pembersihan BLB,
justeru jumlah BLB kembal i pada tingkat melimpah
lagi dan pada beberapa tempat justru meningkat.
Beberapa peneli ti menduga bahwa pelaksanaan
pembersihan terlambat mengatasi krisis. Tidak
terlalu jelas apakah pengambi lan BLB terlalu
banyak atau terlalu sediki t, atau adanya beberapa
faktor penyebab berlangsungnya pelimpahan terus
menerus. Apapun yang dijelaskan, populasi BLB
tetap pada tingkatan pelimpahan dan terumbu karang
di Kepulauan Ryukyu rusak (Yamaguchi , 1987).
Mengapa kita t idak sewaktu-waktu membersihkanBLB, padahal ada pelimpahan yang terjadi”
19
i Indonesia, pilihan yang direkomendasikan untuk berbagai upaya pembersihan skala
kecil yang berbasis masyarakat (setidaknya 5000 BLB di kawasan tersebut yang
akan dibersihkan) adalah mengeluarkan dengan tangan dan membakarnya di pinggir
pantai. Pilihan kontrol lainnya yang sudah digunakan di berbagai tempat di dunia
untuk kawasan kecil adalah penyuntikan racun, penggunaan pagar bawah air atau
memotong-motong BLB.
3.1 MENGEL UARKAN DAN MEMBAKAR DI PANTAI:CARA YANG DISUKAI
Suatu metoda yang menggunakan tenaga yang banyak, tetapi biaya rendah, yaitu
mengeluarkan dan membakarnya di tepi pantai adalah efisien untuk pembersihan BLB di perairan
dangkal. Perenang snorkel dan penyelam ditugaskan pada kawasan tertentu untuk mengangkat
dan mengumpulkan sebanyak mungkin BLB dengan menggunakan panah dan penjepit. Bila BLB
ditemukan di perairan dangkal, bisa saja dilakukan sambil jalan atau berdiri di kawasan karang
sambil mengeluarkan BLB. Semua peserta harus diingatkan agar mengurangi setiap kemungkinan
perusakan terumbu karang waktu mengambil BLB. Juga, sebaiknya set iap partisipan
mempersiapkan alat pelindung, dan harus ditekankan pada mereka bahwa mengambil langsung
dengan tangan bisa mengakibatkan luka-luka kena tusukan BLB. Di beberapa tempat tertentu
bisa menggunakan alat penangkap ikan seperti senapan jubi, mata panah (panah dari senapan
jubi), atau ganculi (alat pengait yang dipakai untuk tripang laut) yang cukup baik untuk mendapatkan
BLB dari celah-celah batu karang. Para peserta dapat juga membuat sendiri alat untuk pembersih.
Panjang alat yang baik adalah kurang dari satu meter. Alat yang mempunyai pegangan sangat
membantu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya insiden korban kena tusuk duri BLB. Panah
atau jubi yang terbuat dari logam/besi yang mempunyai pegangan, atau tangkai bambu, yang
runcing atau ditajamkan pada salah satu ujungnya, juga bisa dimanfaatkan dengan baik (Gambar
10). Beberapa keranjang yang sering digunakan untuk mengangkut ikan, seperti jamala atau jaring
ikan, juga bisa digunakan untuk mengangkut BLB dalam air, baik untuk diangkut ke perahu atau
diangkut ke pantai.
3Pemilihan Cara Kontrol BLB
D
20
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Gambar 10: Peralatan yang digunakan untuk pembersihan BLB
21
Setelah semua BLB hasil pembersihan telah dikumpulkan, maka semua partisipan kembali
ke pantai. Adapun cara memusnahkan BLB yang terkumpul biasanya dilakukan dengan membakar
mereka di darat ataupun di pantai. Dalam pembakaran BLB harus terbakar habis agar tidak akan
berkontaminasi dengan laut lagi, dan harus dalam lubang yang cukup dalam agar duri-duri mereka
tidak mudah muncul ke permukaan, karena beresiko melukai manusia (khususnya anak-anak)
atau binatang yang menggali-gali pasir. Bila mengalami stres/tekanan (misal; terpanah waktu
pembersihan), maka BLB berusaha untuk memijah sebagai upaya terakhir mempertahankan diri.
Oleh karenanya, penting sekali untuk mengeluarkan BLB secepat mungkin dari dalam air dan
meletakkan mereka dalam perahu. Bila memungkinkan, cegahlah sebisa mungkin untuk
memasukkan kembali BLB ke dalam air, karena mereka bisa melepaskan gamet (telur dan sperma)
dalam upaya perlawanan mereka waktu stres oleh pembersihan.
3.2 PENYUNTI KAN DENGAN RACUN
Cara ini telah digunakan pada beberapa kawasan skala besar, waktu pembersihan BLB oleh
GBRMPA (Great Barrier Reef Marine Park Authority) yang didanai pemerintah. Sekarang ini,
direkomendasikan menggunakan sodium bisulfat (asam kering), Na(SO4)2, karena dipandang efektif,
relatif murah, mudah didapatkan di mana-mana dan menyebabkan kerusakan yang sedikit di
lingkungan bila ditangani secara benar (Lassig, 1995). Racun tersebut disuntikkan dengan
menggunakan penyuntik plastik atau memakai sebuah DuPont Velpar Spot Gun. Menggunakan
penyuntik dengan jarum yang panjang memperkecil atau menghindari risiko penyuntik tertusuk duri
BLB. Begitu juga dengan tabung penampung yang besar mempunyai kelebihan yaitu dapat
mengurangi waktu para penyuntik untuk pengisian tabung kembali. Adapun campurannya adalah
setiap liter air laut dicampur dengan bubuk sodium bisulfat sebanyak 140 gram. Karena racun tersebut
tidak berwarna maka bisa ditambahkan dengan pewarna makanan untuk menegaskan lagi bahwa
penyuntikan bekerja dengan baik. Racun lainnya yang sering digunakan adalah copper sulfat (CuSO),
formalin, larutan konsentrat aqua ammonia, dan asam hidroklorik (hydrochloric acid). Beberapa di
antaranya tidak seefektif asam kering, karena bahan-bahan tersebut justeru bisa merusak alat injeksi,
dan amat berbahaya bagi penyuntik bila terjadi sesuatu kecelakaan/kesalahan.
3.3 PAGAR BAWAH AIR
Karena beberapa kawasan mudah sekali terjadi kelimpahan BLB secara berulang-ulang,
maka beberapa tim pembersih BLB berupaya membangun pagar bawah air untuk menjaga agar
individu dewasa tidak bermigrasi ke lokasi yang baru saja dibersihkan, dan juga untuk mengurangi
perlunya pengambilan secara berulang-ulang. Pagar-pagar ini digunakan hanya untuk menjaga
agar individu dewasa tidak keluar kemana-mana; akan tetapi pagar tidak bisa menghentikan
pergerakan bibit muda (larva) BLB. Pagar-pagar bisa juga mengurangi nilai estetika suatu kawasan
terumbu karang. Ini merupakan suatu pilihan yang mahal yang bisa berfungsi baik di kawasan
kecil, dan tidak lebih besar dari satu hektar.
3 • Pemilihan Cara Kontrol BLB
22
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
3.4 MEMOTONG-MOTONG
Memotong-motong tubuh BLB menjadi sejumlah potongan-potongan merupakan cara pertama
yang pernah dicobakan; akan tetapi cara ini kemudian dihentikan karena pertimbangan bahwa
potongan-potongan tersebut bisa beregenerasi, justeru menghasilkan pelimpahan yang besar. Akhir-
akhir ini, para ilmuwan memiliki pemahaman yang berbeda-beda akan kemanjuran cara ini. BLB
dipotong menjadi empat bagian atau sebagian besar bagian tengah tubuhnya dikeluarkan. Cara ini
cukup memakan waktu, mengharuskan partisipan penyelam SCUBA, dan berpeluang besar
mengalami luka karena duri-duri.
3.5 PROGRAM PEMBERSIHAN BERHADIAH
Di beberapa lokasi, seperti di Australia, berbagai program berhadiah telah ditempuh. Melalui
program berhadiah, maka setiap penyelam atau perenang snorkel diberi bayaran untuk setiap
BLB yang mereka keluarkan dari kawasan terumbu karang. Seperti pada setiap upaya perikanan,
hal ini menciptakan permintaan pasar bagi BLB dan adanya insentif bagi setiap orang yang
mengumpulkan mereka, sekalipun binatang tersebut tidak untuk dimakan atau digunakan untuk
hal lain, hanya dengan menguburnya di tepi pantai. Suatu program berhadiah tentu saja
membutuhkan sebuah sumber pendanaan, untuk pembayaran hadiah bagi setiap individu BLB
yang terkumpul. Ini juga memerlukan sistim administrasi untuk memeriksa jumlah yang dikoleksi
serta melakukan pembayaran bagi para pengumpul. Program berhadiah ini juga harus memilih
sebuah cara kontrol lainnya yang disukai, seperti cara mengeluarkan dan menguburnya di tepi
pantai. Di kawasan-kawasan yang jumlah penganggur dan orang miskin tinggi, maka instansi
pemerintah atau resort-resort pariwisata dapat mempertimbangkan untuk suatu program berhadiah
seperti itu. Bagaimanapun juga, cara ini mempunyai kekurangan atau kerugian-kerugian, dan
harus dikelola seara hati-hati untuk meyakinkan keberhasilannya. Sedangkan insentif dalam
pengumpulan BLB menjadi urusan keuangan, dan tidak terlalu perlu dalam pengembangan
pertimbangan lingkungan bagi kolektor atau masyarakat setempat (lokal). Hal lainnya yang perlu
diperhatikan yaitu, para pengumpul akan menjadikan target lokasi yang mempunyai gangguan
dan kepadatan yang tinggi, sehingga mereka dapat mengumpulkan BLB dalam waktu yang singkat
selama mereka di sana. Selain itu, tidak semua kawasan terumbu karang dengan BLB yang tinggi
merupakan prioritas atau sekalipun lokasi pembersihan yang terburuk, karena kawasan tersebut
sudah terlanjur rusak. Juga, sekali kepadatan BLB berkurang dengan apa saja, para pengumpul
bisa pindah pada kawasan yang lebih berat gangguannya untuk memaksimalkan keuntungan.
Tinggalkan kawasan yang hanya dibersihkan beberapa tempat dan mengarahlah pada populasi
yang telah marak kembali.
23
ila anda memilih untuk menggunakan cara mengeluarkan dan membakar BLB di pantai,
maka tim pembersih akan memerlukan banyak orang. Pada dua upaya pembersihan
di Sulawesi Utara, kegiatan pertama menggunakan 250 orang, dan yang kedua
menggunakan 120 orang. Tenaga sukarela yang potensial datang dari berbagai
kalangan, dan semuanya menyatu dalam satu komitmen yaitu untuk melindungi
terumbu karang Indonesia. Adanya aktifitas pembersihan ini dapat melibatkan berbagai stakeholder,
dan menciptakan kebersamaan antar berbagai kelompok masyarakat. Pembersihan BLB yang
dilakukan oleh Proyek Pesisir yang pertama kali yaitu dalam skala besar dan telah diupayakan
melibatkan sebanyak mungkin stakeholder (mahasiswa, pegawai pemerintah, kelompok penyelam
lokal, wisatawan dan penduduk desa). Sedangkan pembersihan berikutnya dikonsentrasikan pada
penduduk desa saja, karena mereka kemudian yang mempersiapkan pengerahan pelaksanaan
secara keseluruhan.
4.1 MASYARAKAT SETEMPAT
Tergantung pada kondisi terumbu karang yang baik untuk mata pencaharian mereka,
penduduk setempat merupakan orang-orang yang penting untuk terlibat dalam kegiatan ini. Banyak
anggota masyarakat mempunyai pengetahuan setempat tentang kondisi rataan terumbu dan
mereka senang sekali untuk membagi kelebihan mereka tersebut. Mereka juga bisa mempersiapkan
perahu dan peralatan lainnya untuk membantu meringankan biaya.
4.2 DOSEN DAN M AHASISWA
Para dosen dan mahasiswa dari perguruan tinggi setempat terutama yang dari bidang
perikanan dan ilmu kelautan atau biologi, juga merupakan pilihan kelompok atau peserta yang
bisa diterima. Mereka bisa lebih mudah dilatih serta lebih mudah tertarik mengenai perlindungan
lingkungan laut. Ini merupakan kesempatan yang baik bagi mereka untuk mendapat suatu
pengalaman lapangan yang positif dan proaktif dengan hasil yang nyata.
4Kelompok-kelompok yang Dapat
Terlibat dalam Upaya Pembersihan
B
24
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
4.3 PIHAK SWASTA (OPERATOR SELAM DAN RESORT WISATA)
Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan yang bisa dinikmati oleh banyak wisatawan
alam, oleh karena bisa saja banyak operator selam ingin berpartisipasi, terutama apabila suatu
kegiatan pembersihan dilaksanakan di kawasan terumbu karang yang sering dikunjungi wisatawan,
selain itu hal ini penting untuk mempertahankan bisnis mereka. Wisatawan selam menghendaki
terumbu karang yang baik kondisinya serta kaya akan karang hidup dan ikan-ikan karang. Terumbu
karang yang rusak atau mati dan ditutupi oleh alga hanya akan menarik sedikit ikan dan juga
sedikit wisatawan. Dalam kegiatan ini operator selam harus menyediakan peralatan mereka sendiri,
dan dapat juga menyewakan alat mereka dihari pembersihan pada partisipan lainnya yang
membutuhkan.
4.4 PETUGAS/PEGAWAI PEMERINTAH
Pegawai atau petugas pemerintah daerah baik dari tingkat desa sampai tingkat provinsi
dapat juga diundang untuk turut serta dalam kegiatan ini, bila memungkinkan. Keikutsertaan mereka
akan membawa suasana resmi dalam pelaksanaan tersebut, hal ini dapat membantu mendidik
beberapa pengambil keputusan dan para pengelola sumberdaya tentang ancaman terhadap
terumbu karang. Instansi yang kiranya bisa terlibat dan membantu dalam upaya pembersihan
seperti : Kantor Konservasi Sumber Daya Alam, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, Kantor
Lingkungan Hidup, Dinas Pariwisata, Angkatan Laut, atau Polisi Air. Tidak menutup kemungkinan
juga untuk mengundang pegawai atau petugas lainnya dari provinsi, kabupaten, kecamatan atau
tingkat desa, khususnya Kepala Desa.
4.5 LSM LINGKUNGAN
Adanya suatu kesatuan tekad yang kokoh dalam menjaga dan melindungi terumbu karang di
Indonesia membuat LSM lingkungan sangat penting untuk bergabung, karena biasanya mereka
mewakili sekelompok masyarakat yang saling terkait dengan kelompok lainya. Sedangkan beberapa
LSM lainnya harus didorong untuk berpartisipasi pada setiap upaya pembersihan.
Penggabungan dan kemitraan justeru kadang-kadang dapat membuat suatu pilihan yang
sulit dalam upaya pembersihan. Kelompok-kelompok yang berbeda dapat mengelompokkan
berbagai sumber daya mereka sendiri, seperti: peralatan, anggota kelompok, makanan,
keterampilan, pendanaan, dan ulasan media. Para peserta akan terlihat banyak sekali, sekalipun
tidak masalah dengan ukuran besarnya upaya peserta pembersihan, karena akan membantu
sekali bila ada penyelam dan perenang snorkel sebanyak mungkin bekerja di air, ditambah lagi
dengan partisipan di pantai. Walaupun jumlah sukarelawan pada hari pembersihan melampaui
dugaan tidak jadi masalah, yang penting pembagian tugas dapat dilaksanakan atau dibagi
sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
25
roses suatu upaya pembersihan memerlukan persiapan beberapa minggu atau
beberapa bulan untuk tindak lanjutnya. Bila didapatkan adanya populasi BLB pada
ukuran individu lebih besar dari 30 cm, mungkin saja individu tersebut sudah berumur
tiga tahun, dan memijah dalam jumlah yang besar (lebih 20 juta telur per betinanya). Upaya
untuk mengeluarkan populasi yang sudah matang (siap memijah) sebelum mereka memijah
benar-benar dapat menurunkan kelimpahan populasi BLB. Sekali perlakuan terhadap kelimpahan
BLB dapat teridentifikasi, maka adanya tindakan sesegera mungkin merupakan hal penting dalam
keberhasilan setiap upaya pembersihan. Tindakan cepat inilah yang dapat menghindarkan
penurunan kualitas (degradasi) terumbu karang di waktu mendatang, sehingga memberikan
kesempatan pada kawasan tersebut untuk memperbaiki tutupan karang yang ada. Oleh karenanya
suatu kombinasi dari perencanaan dan aksi atau tindakan yang cepat merupakan kunci keberhasilan
kegiatan ini.
5.1 MINGGU-MINGGU PERSIAPAN PELAKSANAAN
Pada masyarakat yang berdekatan dengan kawasan yang mengalami ancaman melimpahnya
BLB, perlu dilakukan suatu kegiatan pendidikan lingkungan hidup tentang pentingnya terumbu karang
yang difokuskan khusus pada keberadaan BLB dan upaya pembersihannya. Selebaran atau pamflet
(fact sheet) tentang BLB (lih. Lampiran - Appendices - IV dan V) dapat disebarluaskan bagi para
peserta dalam suatu pertemuan untuk nantinya bisa mereka bagi-bagikan pada anggota keluarga
yang lain. Sebaiknya kepada masyarakat juga ditanyakan jika mereka mau melakukan pembersihan
BLB, dan membiarkan mereka sendiri yang akan memutuskannya. Bila mereka mendukung untuk
melakukan pembersihan, maka harus ditentukan kapan hari atau waktu yang tepat. Yang penting
dalam hal ini adalah mengecek pasang-surut dan jadwal kegiatan para nelayan setempat untuk
menjaga kemungkinan bertabrakannya acara yang direncanakan dengan kegiatan lainnya. Setelah
waktu ditetapkan, semua peserta atau partisipan harus diundang kemudian menghubungi media
masa setempat, terutama surat kabar lokal atau stasion televisi. Lampiran II dapat digunakan untuk
membantu perencanaan aktifitas tersebut. Pembersihan BLB adalah kegiatan yang positif oleh
karenanya dapat diikuti oleh sejumlah besar peserta untuk menunjukkan komitmen mereka dalam
melindungi terumbu karang, begitu juga dengan ulasan media masa yang diharapkan akan
meningkatkan perhatian masyarakat terhadap adanya ancaman pada kawasan terumbu karang. Ini
merupakan berita yang benar-benar sempurna!
5Perencanaan dan Pelaksanaan
Pembersihan BLB
P
26
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Pada akhirnya diperlukan peralatan untuk pengambilan BLB dan penelitian yang harus
dipersiapkan, yang khusus seperti:
• Panahan/jubi (panjang satu meter, satu untuk setiap perenang)
• Keranjang (beberapa untuk tiap perahu, sebaiknya dasar keranjang yang terbuat dari jaring)
• Penjepit (dari bambu atau penjepit ikan bakar, adalah baik untuk mengangkut BLB ke dan dari
keranjang)
• Papan ukur (satu untuk setiap lokasi atau tim perahu)
• Buku catatan
• Pensil
• Alat tulis/kertas bawah air untuk survei sebelum dan sesudah pembersihan
• Alat-alat untuk snorkeling (masker, snorkel dan fins)
Selain itu sejumlah perahu harus dipersiapkan sesuai jumlah dugaan partisipan. Untuk
keamanan, perahu jangan kelebihan penumpang/partisipannya. Hanya mereka yang kompeten
sebaiknya diij inkan untuk mengumpul BLB, sedangkan yang bukan perenang sebaiknya membantu
di perahu atau di pantai saja.
5.2 SEHARI SEBEL UM PELAKSANAAN
Sehari sebelum pelaksanaan pembersihan, sebaiknya dilakukan survei pengkajian yang
cepat, mengumpulkan informasi yang sama seperti pada survei awal, sehingga akan menyesuaikan
dengan setiap perubahan yang terjadi di kawasan terumbu karang. Hal ini akan membantu dalam
menentukan dimana harus mengarahkan para peserta pembersihan. Misalnya, bila BLB padat di
suatu area tentu saja akan memerlukan perahu lebih banyak.
Di hari atau malam sebelum pelaksanaan pembersihan sebaiknya dilakukan pertemuan
atau rapat orientasi bagi semua peserta. Hal ini penting untuk mengingatkan lagi kepada para
peserta tentang apa BLB itu, bagaimana mencari mereka, dan bagaimana menghindarkan dari
kemungkinan terluka, begitu juga menyangkut prosedur P3K (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan). Penting untuk ditekanan agar mereka memberi perhatian agar dapat memperkecil
kerusakan terumbu karang saat mengeluarkan BLB. Juga menjelaskan kembali jadwal dan prosedur
kegiatan untuk esok hari. Juga daftar tim untuk setiap perahu agar bisa mengurangi kebingungan
akan jumlah di setiap perahu dihari berikutnya. Bagi kegiatan pembersihan yang dilaksanakan
oleh masyarakat, kepala dusun dapat membantu dengan menyiapkan sebuah perahu bagi setiap
tim dusun di setiap lokasi pembersihan. Setiap perahu sebaiknya terdiri dari :
• Seorang jurumudi perahu
• Seorang wakil tim survei yang dapat menunjukkan lokasi target yang memiliki BLB pada waktu
survei beberapa hari sebelumnya
• Pembantu sukarela di perahu untuk menangani BLB, yaitu mengangkutnya dari keranjang
pengumpul ke keranjang di perahu
• Penyelam atau perenang snorkel sukarela untuk mencari BLB di terumbu, memanah mereka
dan membawanya ke perahu.
27
5.3 HARI PELAKSANAAN
Sebelum naik ke perahu untuk pembersihan, maka perlu dilakukan lagi orientasi singkat
atau terakhir di pantai untuk mengingatkan lagi kepada para peserta agar tidak merusak terumbu
karang, selain itu untuk menetapkan persetujuan waktu kembali bagi semua perahu. Kemudian
perlu juga dilakukan pengecekan terakhir terhadap semua peralatan untuk meyakinkan bahwa
semua tim mempuyai peralatan panah atau pengait dan keranjang yang cukup. Ketua tim dan
para jurumudi harus saling mengkorfirmasi lagi akan lokasi yang telah disetujui.
Di darat, ada seseorang yang berperan sebagai seorang perawat untuk mempersiapkan
P3K bagi kemungkinan terjadinya korban oleh tusukan BLB, atau duri yang tertinggal di kulit, atau
duri yang tertanam. Karena kadang-kadang dalam suasana gembira, orang-orang lupa akan bahaya
dan hanya ingin terlibat dalam kegiatan saja. Padahal bila ada korban luka bisa serius dan
memerlukan pertolongan medis. (Lih. Lampiran III untuk sebuah penjelasan akan P3K bagi korban
oleh BLB).
Sebelum pembakaran dan penguburan BLB yang terkumpul di pantai, perlu dilakukan
pengumpulan data seperti jumlah total BLB yang dikeluarkan dan diameter tiap individu, di setiap
lokasi terumbu karang. Hasil yang didapat dari data kelompok-ukuran adalah penting untuk
pekerjaan monitoring diwaktu mendatang. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ukuran
merupakan suatu perkiraan sementara (kasar) dari struktur-umur populasi BLB, misalnya apakah
mereka telah mencapai ukuran tahap pemijahan atau belum, dan apakah ada kisaran umur
berganda dari populasi BLB di terumbu karang. Beberapa program pembersihan lainnya juga
dapat mengumpulkan data untuk tujuan penelitian yang lebih meluas (extensif) dengan cara
menimbang BLB yang terkumpul atau mengeluarkan duri-duri mereka untuk studi atau pengamatan
struktur-umur populasi serta adanya alasan yang memungkinkan untuk melimpahnya populasi.
Ucapan terima kasih kepada masyarakat dan semua peserta sukarelawan jangan sampai
dilupakan. Bilamana semua telah kembali ke pantai dan jumlah total serta ukuran BLB telah diukur,
maka adanya semacam acara kecil untuk lebih memperkenalkan dan menghargai setiap peserta
merupakan akhir pekerjaan yang baik. Sebaiknya juga disediakan minuman (air putih, teh atau
soft drink) dan, bila memungkinkan, juga makanan atau snack . Pemikiran untuk acara penghargaan
ini termasuk pemberian hadiah (untuk pengumpulan BLB terbesar, dan/atau pengumpul terbanyak
atau tersedikit), memberikan sertifikat peserta, ataupun memberikan T-shirts. Pada akhirnya, hasil
kegiatan pembersihan ini (jumlah total yang dibersihkan dari setiap area terumbu) harus dicatat
dan dilaporkan kepada semua peserta, juga bagi setiap perwakilan media masa harus diberikan
laporan secara lengkap.
5.4 HARI-HARI SESUDAH PEMBERSI HAN
Seminggu kemudian merupakan waktu untuk survei sesudah pembersihan. Kumpulkanlah
data yang sama seperti pada survei awal, untuk pekerjaan monitoring yang nantinya akan
membantu pendokumentasian hasil-hasil pembersihan. Hal ini sebaliknya, akan membantu
menentukan bila dan kapan dirasakan perlu untuk kembali melakukan pembersihan. Contohnya
di Sulawesi Utara, tim BLB menunggu dua bulan (dari Februari sampai April) antara dalam
melakukan pembersihan. Data yang didapatkan bagi maksud penelitian memerlukan analisis,
penulisan dan publikasi. Masyarakat lokal harus mengetahui hasil penelitian tersebut, seperti
distribusi kelompok-umur, dan apakah survei setelah pembersihan mengindikasikan kemungkinan
5 • Perencanaan dan Pelaksanaan Pembersihan BLB
28
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
diperlukan pembersihan tambahan. Oleh karenanya diperlukan kegiatan lagi setelah monitoring
untuk setidaknya suatu periode enam bulan sampai satu tahun, sekalipun pasca survei memberikan
indikasi tidak perlu adanya tambahan pembersihan. Bila sumber daya tersedia, maka melanjutkan
pembersihan dengan masyarakat melalui tambahan berbagai progam pendidikan lingkungan yang
informal tentang ekologi terumbu karang dan BLB juga akan cukup membantu. Bila masyarakat
tertarik dan mau, maka sebuah kelompok masyarakat lokal dapat dilatih untuk melakukan Manta
Tow dan survei menggunakan perenang snorkel. Melalui proses ini maka masyarakat dapat
mengambil tanggung jawab untuk monitoring terumbu karang mereka, atau untuk melakukan
tambahan aktifitas pembersihan jika diperlukan, dan bisa saja akan mendapatkan dukungan dan
bantuan dari berbagai sumber bila ancaman BLB muncul kembali.
29
TINJAUAN PROSEDUR PEMBERSIHAN BLB
1. Menetapkan apakah BL B melimpah atau t idak. Lakukanlah wawancara dengan
masyarakat dan survei terumbu pada area yang dicurigai mengalam pelimpahan. Analisis
informasi tersebut dan tetapkan bila jumlah BLB telah menunjukkan tingkatan melimpah.
2 Menetapkan perlunya suatu pembersihan. Tetapkanlah bahwa pengaruhnya terhadap
kawasan terumbu karang adalah cukup penting untuk dilaksanakannya pembersihan.
Kajilah dengan baik apakah pelaksanaan ini akan cocok dengan kriteria suatu kesuksesan
pembersihan. Pertimbangkanlah apakah berbagai sumber dan komitmen memungkinkan
untuk melakukan suatu pembersihan jangka panjang serta kampanye di kawasan tersebut.
3. Merencanakan pembersihan. Daftarkanlah para sukarelawan dari masyarakat lokal,
begitu juga dengan para mahasiswa dan operator selam. Tetapkanlah waktunya dan
persiapkan rencana kegiatannya. Organisirlah peralatan yang diperlukan, perahu,
pertemuan pers, acara-acara, makanan, dan logistik lainnya. Berilah penekanan akan
keamanan di air dan di pantai.
4. Melaksanakan pembersihan. Lakukanlah suatu survei awal sehari sebelum pelaksanaan
pembersihan. Lakukanlah aktifitas pendidikan lingkungan mengenai BLB dan ekologi
terumbu karang. Aturlah tim pembersihan dan bawalah mereka ke area terumbu karang
secepat mungkin. Catatlah data dalam ukuran, jumlah dan lokasi BLB yang dikumpul.
Aturlah BLB yang terkumpul dengan tepat dan aman. Perkenalkan dan berikan penghargaan
akan semua upaya yang terlibat dalam pembersihan melalui suatu acara formal.
5. Melakukan pasca survei. Kembalilah di kawasan terumbu karang yang baru dilaksanakan
pembersihan untuk melakukan pasca survei untuk melihat dan mengukur tingkat efektifitas
pembersihan, dan apakah perlu dilakukan lagi suatu pembersihan. Bagilah hasil analisis
data pembersihan tersebut kepada masyarakat setempat.
6. Memonitor kawasan tersebut dan melakukan pembersihan bila diperlukan. Bila
pembersihan pertama dirasa tidak cukup, maka aturlah pembersihan berikutnya. Sekalipun
kawasan tersebut telah bersih, lanjutkanlah monitoring untuk setidaknya enam bulan
atau satu tahun untuk meyakinkan bahwa populasi BLB telah kembali normal. Doronglah
masyarakat untuk membentuk kelompok monitoring karang dan BLB sendiri, dan bentuklah
pengurus lokal untuk monitoring terumbu karang mereka.
7. Mengumumkan kegiatan pembersihan ini dan mempublikasikan hasilnya. Informasi
mengenai BLB di Indonesia masih sangat terbatas. Informasi dari lokasi dan dinamika
populasi BLB adalah penting untuk masyarakat ilmiah dalam mendapatkan pengertian
yang lebih baik lagi mengenai pelimpahan BLB di Indonesia. Sebagai tambahan,
pendokumentasian hasil ini akan memberikan inspirasi kelompok lainnya untuk melakukan
pembersihan yang sama di kawasan lain dalam negeri yang mungkin mengalami
pelimpahan BLB ini.
5 • Perencanaan dan Pelaksanaan Pembersihan BLB
30
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
BERTINDAKLAH SEGERA
Bila diputuskan bahwa pembersihan perlu dilakukan, maka lakukanlah sesegera mungkin
dalam rangka mengamankan terumbu karang sebelum dirusak oleh BLB.
TEKANKAN PADA KEAMANAN PELAKSANAAN
Hati-hatilah dengan duri BLB. Janganlah merusak karang waktu mengeluarkan BLB. Harus
dipertegas agar melakukan prosedur snorkeling dan penyelaman secara aman.
31
Birkeland, C. and J.S. Lucas. 1990. Acanthaster planci: Major Management Problem of CoralReefs. CRC Press. Boca Raton, Fl. Pp. 257.
Cheser, R.H. 1969. Destruction of Pacific Corals by the Sea Star Acanthaster planci. Science. Vol.165, pp. 280.
Englehardt, U. 1997. Crown-of-Thorns Starfish on the Great Barrier Reef: THE FACTS. (Update,March 1997).
English, S. and C. Wilkenson, V. Baker.1994. Survey Manual for Tropical Marine Rsources. ASEAN-Australia Living Coastal Resources Project. Australian Institute of Marine Science.
Lassig, B. 1995. Controlling Crown-of-Thorns Starfish. Great Barrier Reef Marine Park Authority.Townsville, Queensland, Australia. pp. 15.
Newman, H. 1998. A Thorny Issue: Crown-of-Thorns Controversy. Asian Diver. Vol. 6, No. 5, pp.34-38.
Ormond et al. 1990. Conference on the Mathematical Modeling of COTs Populations. AustralianInstitute of Marine Science. Townsville.
Pearson, R.G. 1975. Coral Reefs, Unpredictable Climate Factors and Acanthaster. In: Crown-ofThorns Starfish Seminar Proceedings. Australia Government Publication Service. Canberra.pp. 131.
Raymond, Robert. 1986. Starfish Wars: Coral Death and Crown-of-Thorns. MacMillan Co. ofAustralia. Melbourne. pp. 217
Sukmara, A., A.J. Siahainenia dan C. Rotinsulu. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu KarangBerbasis-Masyarakat dengan Metode Manta Tow. Proyek Pesisir. Publikasi Khusus.University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett, Rhode Island, USA.pp 56.
TVRI. 1998. Pembersihan Bintang Laut Berduri di Bentenan-Tumbak. Lautku Cintaku. ProduksiKerjasama TVRI Manado dan Proyek Pesisir. (Video).
Yamaguchi, M. 1973. Early Life Histories of Coral Reef Asteroids, With Special Reference toAcanthaster planci (L.). Biology and Geology of Coral Reefs. Vol. 2. Jones, O.A. and R.Endean (Eds.). Academic Press. New York. pp. 369.
Yamaguchi, M. 1987. Acanthaster planci Infestation of Reefs and Coral Assemblages in Japan: ARetrospective Analysis of Control Efforts. Coral Reefs. Vol. 5. pp. 277-288.
Daftar Acuan Bacaan
32
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Lampiran I
LEMBAR SURVEI BLB
Lokasi: Waktu:
Surveyor :
No. Organisme Ukuran (cm) Kedalaman (m) Substrat Asosiasi
33
Lampiran II
Daftar Rencana
Apa Siapa Kapan
Aktifitas atau tugas Yang bertanggung jawab Kelengkapan/perencanaan waktu
34
Panduan Pembersihan Bintang Laut Berduri
Lampiran III
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Korban BLB
Isi alat pengobatan:
1. Pinset 5. Perban has 8. Plester berperekat
2. Alkohol isopropil 6. Plester obat 9. Yodium
3. Ammonia (berbagai ukuran) 10.Tablet acetaminophen
4. Kain has 7. Q-tips
Perlakuan
Perlakuan b agi luka ringan selama pembersihan BLB. Penyelam, perenang snorkel dan peserta
pembersihan BLB lainnya bisa mengalami berbagai macam luka. Yang paling banyak seperti
kena karang atau kena ujung dari panahan, masih ringan dan hanya memerlukan penanganan
P3K yang ringan saja. Luka ringan, lecet-lecet, tergores, dan lain-lain, dapat terjadi baik pada
waktu dalam air, maupun pada saat sudah tiba di pantai. Bila ada beberapa luka terjadi, maka
sebaiknya dicuci pelan-pelan dengan mengguakan alkohol atau hydrogen peroxide yang diikuti
dengan air bersih; yodium bisa juga sebagai pilihan lainnya. Setelah itu, bungkuslah luka-luka
dengan kain steril, seperti kain has, dan bungkus dengan plester obat, atau lebih aman juga
dengan plester berperekat.
Pengobatan tradisional bagi korban yang tertusuk duri BLB. Penduduk lokal di desa Tumbak
Sulawesi Utara mempunyai cara tradisional untuk pengobatan bagi korban yang tertusuk duri
BLB. Disarankan agar cara pengobatan tradisional seperti ini dicatat dan ditambahkan pada
penjelasan pengobatan tersebut di atas. Cara pengobatannya sebagai berikut: bila duri BLB tertusuk
dan tertinggal, maka balikkan badan BLB dan tekan bagian tubuh yang terkena duri (tangan, kaki,
dan lain-lain) ke bagian bawah tubuh BLB. Biarkan kaki pipa BLB melekat pada bagian tubuh kita
yang terkena duri dan biarkan bagian yang terkena pengaruh tusukan tersebut menekan BLB
untuk beberapa menit. Masyarakat setempat percaya bahwa kaki pipa BLB akan menghisap kembali
semua racun yang ada di bagian tersebut dan dalam kaki pipa tersebut terdapat semacam kelenjar
atau larutan yang bisa menetralisir racun. Bagi pengetahuan kita, kepercayaan tradisional atau
teori ini belum diuji atau diperjelas dengan ilmu kedokteran barat.