Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

20
Pandangan Teori Hukum Chaos Terhadap Kasus BLBI A. Pendahuluan Hukum yang dipahami kebanyakan adalah sebagai suatu sistem yang teratur dalam kehidupan sosial masyarakat dimana hukum itu berada. Pandangan ini yang terus menerus digemborkan oleh aliran positivisme hukum. Hukum dipandang sebagai suatu makhluk yang bebas dari pengaruh dari luar yang mempunyai kepala, badan, tangan dan kaki tertentu yang membedakannya dari makhluk lain. Mereka (para positivist) tidak pernah melihat bahwa hukum berasal dari masyarakat sosial. Sedangkan kehidupan sosial pada realitasnya selalu berubah sebagai akibat dari salinga mempengaruhinya kepentingan-kepentingan individu atau kelompok dalam masyarakat. Jika kehidupan sosial sebagai akar terbentuknya hukum berubah, maka suatu hal yang tidak mungkin jika hukum selalu tetap dalam sistemnya dan tidak terpengaruh oleh perubahan sosial tersebut. Basis sosial yang berubah inilah yang menjadi dasar berpikir bahwa sebenarnya hukum bukanlah sebuah sistem melainkan pola hubungan yang keos, berubah, dan asimetris yang kemudian memunculkan teori keos dalam hukum. B. Teori Chaos Dalam Hukum 1

Transcript of Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

Page 1: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

Pandangan Teori Hukum Chaos Terhadap Kasus BLBI

A. Pendahuluan

Hukum yang dipahami kebanyakan adalah sebagai suatu sistem yang teratur dalam

kehidupan sosial masyarakat dimana hukum itu berada. Pandangan ini yang terus menerus

digemborkan oleh aliran positivisme hukum. Hukum dipandang sebagai suatu makhluk yang

bebas dari pengaruh dari luar yang mempunyai kepala, badan, tangan dan kaki tertentu yang

membedakannya dari makhluk lain. Mereka (para positivist) tidak pernah melihat bahwa hukum

berasal dari masyarakat sosial. Sedangkan kehidupan sosial pada realitasnya selalu berubah

sebagai akibat dari salinga mempengaruhinya kepentingan-kepentingan individu atau kelompok

dalam masyarakat. Jika kehidupan sosial sebagai akar terbentuknya hukum berubah, maka suatu

hal yang tidak mungkin jika hukum selalu tetap dalam sistemnya dan tidak terpengaruh oleh

perubahan sosial tersebut. Basis sosial yang berubah inilah yang menjadi dasar berpikir bahwa

sebenarnya hukum bukanlah sebuah sistem melainkan pola hubungan yang keos, berubah, dan

asimetris yang kemudian memunculkan teori keos dalam hukum.

B.  Teori Chaos Dalam Hukum

Charles Sampford pada akhir tahun 1980-an menulis sebuah buku yang berjudul The

Disorder of Law: A Critique of Legal Theory. Sampford memberikan pandangan baru tentang

apa yang selama ini banyak dipahami oleh teoritis hukum. Ia menjelaskan bahwa teori hukum

tidak hanya muncul atau tidak mesti berasal dari sistem (sesuatu yang sistematis), sebagaimana

pandangan yang menganggap bahwa hukum seslalu bersifat sistemik (teori sistem dalam

hukum), tetapi teori hukum dapt juga muncul dari apa yang disebunya dari situasi keos, sehingga

melahirkan apa yang disebut dengan “teori keos” dalam hukum. Teori hukum muncul dan

dibangun dari sesuatu keadaan atau kondisi masyarakat yang disebut sebagai “Melle”, karena

masyarakat sesungguhnya (realitasnya) selalu berada dalam kondisi keos, bahwa masyarakat 1

Page 2: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis.

Masyarakat terus menerus bergerak secara dinamis, hal demikian itu terjadi karena dalam

masyarakat bahnyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan atau kekuasaan

dan saling tarik menarikn dan berbenturan di dalamnya. Oleh karenanya bagaimana mungkin

situasi yang demikian itu dikategorikan sebagai situasi yang serba tertib dan teratur.

Teori Sampford bertolak dari basis sosial hukum yang penuh dengan hubungan bersifat

asismetris yang merupakan ciri khas dari hubungan sosial. Hubungan sosial itu dipersepsikan

secara berbeda oleh para pihak, dengan demikian apa yang di permukaan tampak sebagai tertib

dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian.

Ketidakteraturan dan ketidakpastian disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat

bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relations). Hubungan kekuatan ini tidak selalu

tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat. Maka terdapat kesenjangan antara

hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada kekuatan. Inilah yang menyebabkan

ketidakteraturan itu.

Menurut Sampford adalah tidak mungkin untuk menerima adanya suatu sistem hukum di

tengah-tengah masyarakat yang tidak teratur. Sejak hukum itu berdiri dan berada di tengah-

tengah jaringan hubungan yang demikian itu pula yang diambil alih oleh sejumlah besar

aparatur/birokrat hukum dalam hubungannya satu sama lain dan dalam hubungan mereka dengan

warga negara. Keadaan demikian itulah yang menyebabkan Sampford mengatakan bahwa

hukum itu sesungguhnya penuh dengan ketidakteraturan. Maka teori hukum tidak perlu berupa

teori tentang sistem hukum, melainkan teori tentang ketidakteraturan hukum. Sampford bertanya:

Bagaimana mungkin keadaan yang dalam keyataannya penuh ketidakteraturan itu dalam

positivisme dilihat sebagai sesuatu yang penuh dengan keteraturan? Dengan demikian maka

sebetulnya, keteraturan itu bukan sesuatu yang oleh para positivis “ingin dilihat sebagai ada”.

Pandangan Sampford memperlihatkan ada kebenaran lain selain kebenaran yang selama

ini diklaim oleh paham sistematis dalam hukum yang memandang bahwa keadaan

keos/melle/disorder/asimetris yang didalamnya terkandung pluralitas, transformasi, mutasi,

perbedaan dan keanekaragaman, diversitas, multiplisitas dilihat sebagai hantu yang menakutkan

2

Page 3: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

bagi pemikiran hukum sistematis, sesuatu yang selalu dianggap negatif dan merusak, yang

seharusnya tidak perlu diperlakukan seperti itu, karena secara substansial itu akan menghalangi

persepsi tentang apa yang disebut dengan hubungan atau situasi keos tersebut.

Dalam kondisi masyarakat yang tidak teratur tersebut, ada semacama satu kemnngkinan atau

satu peluang yang muncul, yang dapat dikembangkan, apabila para ilmuwan dapat mengambil

hikmah dari situasi keos tersebut (the sense of chaos). Tugas filosof dan para ilmuwan adalah

menangkap pesan, peluang dari kemungkinan baru yang muncul dari situasi yang keos atau

mellee tersebut.

C. Tinjauan Kasus BLBI

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bermula dari kebijakan Bank Indonesia

(BI) yang memberikan fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) pada Desember

1997. Kebijakan yang diambil, agar bank-bank bisa tetap bertahan dan beroperasi akibat masalah

perbankan di masa krisis moneter.

Dibutuhkan total biaya Rp 600 hingga Rp 650 triliun dalam bentuk obligasi dan surat

utang untuk proses restrukturisasi perbankan. Jumlah itu meliputi BLBI (Rp 144,536 triliun),

dana program penjaminan (Rp 53 triliun), dan dana program rekapitalisasi perbankan (Rp 350-

400 triliun).

Untuk menyelesaikan krisis ekonomi, pemerintah Indonesia kemudian meminta bantuan

Dana Moneter Internasional (IMF). Maka pemerintah kemudian menandatangani Letter of Intent

(LoI) dengan IMF pada 15 Januari 1998. Pemerintah juga memberikan jaminan atas deposito

(blanket guarantee) melalui Keppres No. 26/ 1998 pada tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya,

selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik menjadi dua kali lipat. Hal ini berarti situasi

rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.

Sebelumnya, pada tahun 1985 pemerintah pernah mengucurkan ratusan miliar Kredit

Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) melalui Kredit Pembauran untuk Industri tanpa agunan

3

Page 4: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

kepada para pengusaha besar Indonesia. Hingga tahun 1998, dana KLBI yang dikucurkan kepada

para konglomerat tersebut adalah sekitar Rp 100 triliun. Triliunan dana BLBI itu hingga

sekarang sulit dilacak karena Gedung BI di Jl. Thamrin, Jakarta, yang menyimpan dokumen

pengucuran BLBI, hangus terbakar pada Desember 1997. Kemudian Menteri Keuangan J

Sumarlin dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Andrianus Mooy memberlakukan kebijakan Paket

Oktober (Pakto) pada 1988. Paket ini merupakan upaya Iiberalisasi dunia perbankan secara total

dan spektakuler. Dengan Pakto I988 maka siapa pun yang menjadi warga negara Republik

Indonesia boleh mendirikan bank umum hanya dengan menyetor modal sebesar Rp 10 miliar.

Hasilnya, sekitar 200 bank baru lahir dan mayoritas pendirinya adalah para konglomerat

nasional. Sayangnya, para pengusaha besar yang tumbuh dalam iklim Orde Baru itu tidak

memahami fungsi pokok perbankan sebagai lembaga intermediasi yang mengkonversi tabungan

menjadi investasi yang produktif dan bahwa persyaratan pokok bekerjanya bank ialah prudence.

Mereka hanya pandai dalam bidang pemasaran sehingga bank-bank yang baru berdiri tersebut

berhasil meyakinkan para nasabah agar menyimpan uangnya di bank-bank mereka.

Modal Rp 10 miliar tersebut bisa mereka lipatgandakan menjadi dana triliunan rupiah.

Narnun parapemilik bank itu tidak paham bahwa dana tersebut milik masyarakat. Mereka tidak

memahami bahwa laba bank terdiri dari spread yang tipis dan adanya risiko kredit macet besar.

Mereka melakukannya secara sembrono dan tidak melalui etika pengelolaan yang baik. Para

konglomerat itu rnenggunakan dana masyarakat justru untuk memberi kredit kepada dirinya

sendiri dan kelornpok usahanya secara besar-besaran demi membentuk sebuah konglomerasi

bisnis. Karena uang masyarakat yang berhasil dihimpun justru disalurlan pada kelompok usaha

milik sendiri yang disertai mark-up, maka banyak kredit yang macet di tangan para

konglomerat. Tapi karena bank pemberi kredit juga miliknya, maka dengan mudah laporan

keuangan dapat direkayasa sehingga terlihat sehat.

Dalam perjalanannya, bank-bank konglomerat tersebut kalah kliring, tetapi BI

menyelamatkannya melalui fasilitas diskonto. Kemudian mereka kalah kliring lagi, dan kembali

diselamatkan dengan fasilitas diskanto kedua. Ketika terjadi krisis moneter pada 1997, maka

kebobrokan sistem perbankan nasional pun terkuak.

4

Page 5: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia memang dapat

memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang rnengalami kesulitan likuiditas (mismatch).

Pada Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank Indonesia hanya Rp 371

rniliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi Bantuan Likuiditas Bank lndonesia (BLBl)

mencapai angka Rp 1,2 triliun. Pada Juli 1997 posisi BLBl rnenjadi Rp 1,4 triliun, dan kemudian

terus mengalami kenaikan, apalagi ketika Kurs bebas diterapkan pada Agustus 1997. Pada waktu

itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar B1 tidak melikuidasi bank selama periode antara

Pemilu 1997 sampai Sidang Unlum MPR Maret 1998. Rapat Direksi Bank Indonesia pada 15

Agustus 1997 menerjemahkan pengarahan presiden tersebut dalam bentuk dispensasi terhadap

sanksi skorsing kliring bagi bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenailan

penyaluran BLBl sebesar Rp 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp 5,2 triliun pada awal

September 1997.

Pada Oktober 1997 posisi BLBl naik menjadi Rp 8,6 triliun sebagai akibat tindale lanjut

Sidang Kabinet Ekuwasbang dan Prodis yang memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank

sehat yang mengalami mismatch. Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank lndonesia

untuk terus menyalurkan bantuan likuiditas. Namun sampai di sini pertumbuhan BLBl selama

empat bulan pertama masa krisis belum menunjukan lonjakan yang sangat fantastis.

Perubahan luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada 1 November

1997. Posisi BLBl naik menjadi Rp 32 triliun hanya dalarn waktu sebulan. Jumlah penerirna

BLBI pun naik dari 13,1 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang

disalurkan sudah mencapai Rp 47,l triliun. Kemudian jajaran direksi BI waktu itu mengirim surat

kepada Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan rencana B1 untuk mengatasi masalah

saldo debet yang dialami perbankan nasional akibat rush. Surat itu antara lain berbunyi: “Sambil

menunggu konsolidasi perbankan dan pulihnya kepercayaan terhadap perhankan, RI kiranya

disetujui akan menganti saldo debet tersebut dengan Surat Berharga Pasar Uang Khusus

(SBPUK), sesuai dengan memo terlampir.” Usulan itu disetujui Presiden Soeharto melalui surat

dari Kantor Sekretariat Negara yang berkualifikasi “rahasia dan sangat rahasia” No.

R-183/M/Sesneg/12/1997. Surat tersebut antara lain menyebutkan: “Maka dengan ini kami

beritahukan bahwa Bapak Presiden menyetujui saran Direksi BI untuk menganti saldo debet

5

Page 6: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

bank yang ada harapan sehat-sehat dengan SBPU Khusus sebagaimana dilaporkan dalam surat

Sdr. Gubernur BI. Bapak Presiden menilai langkah tersebut perlu dilakukan untuk menjaga agar

tidak banyak bank tahun sekarang ini yang terpaksa tutup dan dinyatakan hangkrut.”

Isi surat ini pada dasarnya menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga

Pasar Uang lausus (SBIUK). Sebelumnya, pada 9 Desember 1997 direksi Bank Danamon

menemui direksi BI. Hasilnya, Bank Danamon disetujui untuk mendapat SBPUK senilai Rp 6

triliun. Surat dari direksi BI dan surat dari presiden pada waktu itu kiranya menjadi kunci siapa

sebenarnya yang pantas memikul tanggung jawab terhadap kasus dana BLBI.

Ketidakpercayaan masyarakat dan ketidakmampuan bank membayar kewajiban-

kewajibannya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi perekonomian Indonesia yang

tengah dilanda badai krisis moneter. Ketika keadaan ekonomi tidak juga membaik, BI sebagai

otoritas moneter justru membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha besar atau

konglomerat. Atas dasar inilah pemerintah yang telanjur menandatangani Letter of Intent

pertama dengan Dana Moneter lnternasional (IMF) pada Januari 1998 mengeluarkan Keppres

No. 24 dan 26/1998. Keppres ini menjamin dana masyarakat di perbankan nasional dan jaminan

atas seluruh kewajiban bank-bank nasional terhadap nasabah serta kreditur internasional.

Peraturan pemerintah tersebut disetujui oleh BI melalui pengucuran dana BLBI kepada 54 bank

nasional sebesar Rp. 164,54 triliun (hingga Januari 1999). Para konglomerat yang menerima

BLBI antara lain Sjamsul NursaIim (BDNI) sebesar Rp 37,040 triliun, Soedono Salim (Bank

Central Asia) Rp 26,596 triliun, Usman Admadjaja (Bank Danamon) Rp 23,050 triliun, Bob

Hasan (Bank Umum Nasional) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (Bank Harapan Sentosa)

Rp 3,866 triliun.

Dana BLBI dikucurkan ke sejumlah bank dalam beragam bentuk. Ada yang dalam

bentuk saldo debet, fasilitas saldo debet, fasilitas dislonto I, fasilitas diskonto II, fasilitas

SBPUK, fasilitas baru diskonto, fasilitas dana talangan valas, maupun fasilitas dana talangan

rupiah. Adapun rincian para penerima BLBI adalah 5 Bank Take-Over (BTO) menerima Rp

57,639 triliun, 10 Bank Beku Operasi (BBO) Rp 57,687 triliun, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha

(BBKU) Rp 17,320 triliun, dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL) Rp 1 1,888 triliun.

6

Page 7: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

Celakanya, ternyata Rp 84,5 dan Rp 164,54 triliun dana BLBI yang telah dikucurkan

BI pada saat itu justru diselewengkan oleh para pemilik bank untuk kepentingan bisnis dalam

grup mereka sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak derivatif baru, melakukan eskpansi

kredit, pembukaan cabang baru, bahkan untuk menggoyang nilai rupiah. Bahkan sekitar Rp

144,54 triliun dari dana BLBI malah dialihkan kepada pemerintah (sebagai utang) sehingga

menjadi beban APBN yang hams ditanggung rakyat.

Akibat Keppres No. 24 dan 26 tahun 1998 maka pemerintah terjebak dalam program

rekapitalisasi perbankan nasional sebesar Rp 400 triliun. Tapi karena pemerintah tidak

mempunyai uang sebanyak itu, maka pemerintah akhirnya menerbitkan obligasi (Surat Utang

Negara) yang dibebankan kepada APBN untuk merekap bank pemerintah dan bank swasta yang

tidak sehat serta untuk mengganti dana BLBI. Keseluruhan nilai pokok obligasi yang menjadi

beban APBN tersebut mencapai Rp 650 triliun. Di sisi lain, pada Juli 1998, pemerintah

membayar utang bank swasta nasional sebesar 1 miliar dollar AS kepada bantuan luar negeri

tanpa verifikasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Hal ini ditambah lagi dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS)

yang kembali menguntungkan para pengusaha dan konglomerat yang tersangkut BLBI.

Meskipun PKPS akhirnya batal diperpanjang tetapi ha1 ini sudah cukup menunjukkan bahwa

niat memperpanjang PKPS bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan para

pengusaha, konglomerat, dan kepentingan politik penguasa. Pada Maret 1998 Badan Penyebatan

Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI. Langkah ini

diikuti dengan rush lanjutau dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama Maret – April

nilai BLBl melonjak dari Rp 31 triliun menjadi hampir Rp 135 triliun. Selama April – September

1998  saldo negatif bank-bank di bawah BPPN- justeru terus naik.

Belakangan uang ratusan triliun yang mengalir ke bank-bank tersebut macet, sejumlah

bank tidak mampu membayar kembali utangnya. Penyebabnya, dana yang dikhususkan untuk

penyehatan perbankan justru mengalir ke perusahaan-perusahaan konglomerat dan sejumlah

bank yang bermasalah itu adalah milik konglomerat yang bersangkutan juga. Akibatnya, dana

7

Page 8: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

perbankan dari bank sentral hanya menjadi akal-akalan pebisnis besar untuk mendanai usahanya

sendiri.

Pemerintah kemudian bermaksud menarik kembali dana BLBI dan memberikan beberapa

cara penyelesaian utang BLBl untuk para debitor. Pemerintah memberikan beberapa alternatif

penyelesaian masalah BLBI untuk para mantan pemilik bank yang disesuaikan dengan kondisi

keuangan mereka masing-masing.

Cara-cara penyelesaian itu adalah:

1. Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) bagi debitur atau obligor yang

mempunyai cukup perusahaan untuk membayar utang-utangnya.

2. Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) untuk mereka yang nilai

perusahaannya tidak cukup untuk membayar utang, dan pembayaran kekurangannya

harus dilakukan dengan jaminan pribadi.

3. Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-Akta Pengakuan Utang (PKPS-APU) yang

dibuat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian kewajiban yang harus ditanggung oleh

pemilik saham pengendali atas kerugian bank mereka akibat praktik perbankan yang

tidak wajar serta pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Penyelesaian

ini tidak melalui penyerahan aset.

BPPN menjadi pihak yang mengurus masalah tersebut. Selama periode Juni-September

1998 BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA (Master of Settlement

Acquisition Agreement) yang kemudian ditandatangani pada 21 September 1998. Isinya adalah

ketentuan bahwa Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) bertambah menjadi Rp 52,7

triliun. Sayangnya, data tersebut diaudit bukan oleh auditor independen melainkan dihitung

sendiri. Langkah-langkah tersebut di kemudian hari terbukti tidak efektif karena pars

konglomerat. ingkar janji dan tidak mengembalikan danaBLB1. Di sisi lain, penyelesaian

melalui prosedur MSAA dan MRA juga tidak kunjung usai. Penyerahan aset oleh obligor baru

mulai dilakulan pada 1999. Aset tersebut kemudian dihitung oleh lembaga yang ditunjuk BPPN

yaitu Lehman Brothers. Hasilnya, total nilai aset adalah Rp 52,6 triliun yang lemudian

8

Page 9: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

dibayarkan beserta uang tunai sebesar Rp 100 miliar. Berdasarkan MSAA, setelah aset

itudiserahkan mala utang pun dianggap lunas. Pada masa inilah RPPN membuat. kesepakatan

akhir yang memuat release und discharge dengan BDNI (Mei 1999) dan BCA (Juni/Juli 1999).

Namun urusannya tidak selesai sampai di situ. Pada 1999, BPK mengaudit ulang

sejumlah bank yang ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan sedang berada dalam

penanganan BPPN. Hasilnya, uang negara yang disalurkan dalam bentuk BLBl adalah Rp 49,189

triliun. Anehnya dalam MSAA, disepakati bahwa jumlah JKPS yang harus dibayarkan adalah Rp

28,408 triliun.

Pemerintah lalu menuntut para obligor untuk menyelesailan dana yang diselewengkan itu

dengan dua cara. Pertama, obligor membayar tunai sebesar Rp 1 triliun, Kedua, obligor juga

menyerahkan aset senilai Rp 27,495 triliun. Jadi total pengembalian adalah Rp 28,495 triliun.

Namun ketika setahun kernudian aset-aset tersebut diaudit ulang oleh Price Waterhouse Cooper

(PWC), terlihat bahwa nilainya menurun menjadi Rp 1,441 triliun (5,2 persen). Dan ketika pada

2000 aset tersebut dijual sebagian, jumlahnya sedikit meningkat menjadi Rp 1,819 triliun.

Hasil audit ulang BPI< terhadap dana BLBl pada Agustus 2000 kembali menunjukkan

perbedaan. Menurut BPK, jumlah dana BLBl yang diselewengkan adalah Rp 138,4 triliun dari

total dana Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana

BLBl yang diterima oIeh 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.

Pada 26 April 2004, pemerintah melalui BPPN rnemberikan Surat Keterangan Lunas

kepada sejumlah obligor yang telah menyerahkan aset perusahaannya. Pada tahun ini pula BPPN

dibubarkan. Ironisnya, masalah kian bertambah ketika BPK melakukan audit ulang pada 2006

terhadap aset-aset para obligor yang diserahkan pada negara melalui BPPN. Hasil penghitungan

oleh BPk menunjukkan bahwa dana yang diterima oleh BPPN hanya sebesar Rp 1,9 triliun. Di

sinilah negara rnengalami kerugian yang sangat besar. Pada 2007, sisa aset yang dijual nilainya

sebanyak Rp 640 miliar ( 3,2 persen) sehingga total pengembalian uang negara sebanyak Rp

3,459 triliun.

9

Page 10: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

Para penerima dana BLBl itu antara lain: Achmad Febby Fadillah (Bank Citra Hasta

Dana Manungal), Adinda Sardjana (Bank Tata Internasional), Adisaputra Januardy dan James

Januardy (Bank Namura Yasonta), Agus Anwar (Bank Pelita), Aloysius lndarto (Bank Dewa

Rutji), dan yang lainnya sejumlah 74 orang.

Beberapa dari mereka sudah membayar utang BLBI, beberapa lainnya dianggap korupsi

dan kabur ke luar negeri. Sisanya sedang dalam proses mencicil utang tersebut. Holding sebesar

PT Bakrie & Brothers Tbk yang menanggung utang BLBI hingga 1 miliar dollar AS atau selutar

Rp 10 triliun sudah melunasinya walau akibatnya saham keluarga Balvie tinggal 2,5 persen.

Utang Bob Hasan sebesar Rp 5,3 triliun juga kelar. Begitu pula dengan Liem Sioe Liong (Rp

52,7 triliun), Siti Hardijanti Rulmana, lbrahim Risjad, dan Usman Admadjaja. Kejaksaan Agung

sudah memberilan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) kepada Hasjim

Djojohadikusumo (Bank Depan Sejahtera), The Ning lGng (Bank Dana Hutama), Hokiarto

(Bank Hokindo), dan Sukamdani Gitosardjono (Bank Dagang Industri). SP3 juga diberikan

kepada Sjamsul Nursalim sehingga memancing polemik luas di berbagai kalangan. Sjamsul

dituduh bertanggung jawab atas penyaluran kredit bank miliknya yaitu BDNI kepada grup

usalranya sendiri melebihi ketentuan. Saat kasusnya diproses di kejaksaan, Sjamsul sudah lebih

dulu merantau ke Singapura dengan alasan berobat. Dia memang punya masalah dengan

jantungnya. Dia lalu bersedia menyerahkan aset-aset miliknya untuk melunasi utang-utang BDNI

yang ditanggung penierintah. Dia pun menerima surat pelunasan, dan karenanya Jaksa Agung

(waktu itu) Marzulu Darusman menerbitkan SP3.

Namun berbagai pola penyelesaian utang BLBI tak berlangsung mulus. Beberapa

pengusaha terpaksa dibawa ke pengadilan, termasuk Samadikun Hartono (Bank Modern) yang

diadili di Pengadilan Negeri Jalarta Selatan. Utangnya ke BPPN sebesar Rp 6.5 triliun, dan

Samadikun ban1 melunasi Rp 68,5 miliar dari penjualan asetnya. Dia tak mau menyerahkan aset

yang lain. Pengadilan negeri membebaskannya, tapi Mahkamah Agung memvonisnya empat

tahun penjara. Samadikun Hartono lalu menghilang. Beberapa koruptor BLBI lainnya juga

kabur. Misalnva Dambang Sutrisno dan Andrian Kilu Ariawan (Bank Surya), juga Agus Anwar

(Bank Pelita dan Bank Istimarat).

10

Page 11: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

D. Analisis

Latar belakang kasus BLBI menunjukkan sebuah kenyataan bahwa kehidupan sosial selalu

berubah. Faktor utama perubahan ini adalah krisis moneter di akhir tahun 1997 yang

menimbulkan kondisi keuangan negara anjlok dan kondisi perbankan memburuk. Kondisi inilah

yang dimaksudkan Sampford sebagai situasi keos atau kacau. Hukum yang berdasarkan pada

kehidupan sosial berdiri diantara kekacauan tersebut. Dengan demikian maka benarlah apa yang

dikatakan Sampfor bahwa Teori hukum muncul dan dibangun dari sesuatu keadaan atau kondisi

masyarakat yang disebut sebagai “Melle”(Chaos, Keos, Kacau), karena masyarakat

sesungguhnya (realitasnya) selalu berada dalam kondisi keos, bahwa masyarakat selalu berada

pada jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis. Berdasarkan

realitas seperti itulah maka teori hukum muncul.

Surat jawaban presiden terhadap surat direksi BI yang berkualifikasi “rahasia dan sangat

rahasia” No. R-183/M/Sesneg/12/1997 menunjukkan bahwa hukum itu berdiri dan berada di

tengah-tengah jaringan hubungan sosial yang keos itu diambil alih oleh sejumlah besar

aparatur/birokrat hukum dalam hal ini presiden dan direksi BI. Padahal menurut peraturan

perbankan pada waktu itu bahwa bank-bank yang sudah mengalami saldo debet harus segera

dibekukan aktifitasnya. Tetapi dengan adanya surat ini bank-bank tersebut masih bisa beroperasi

dengan bantuan untuk penutupan saldo debet tersebut. Dengan demikian maka dalam hal ini

presiden merupakan pengendali hukum di tengah-tengah kekacauan sosial. Hal yang sama juga

pada Keppres No. 24 dan 26/1998 yang menjamin dana masyarakat di perbankan nasional dan

jaminan atas seluruh kewajiban bank-bank nasional terhadap nasabah serta kreditur internasional

yang diikuti dengan pengucuran dana BLBI kepada 54 bank nasional sebesar Rp. 164,54 triliun

(hingga Januari 1999).

Pertemuan direksi Bank Danamon dengan direksi BI pada 9 Desember 1997 yang

menghasilkan disetujuinya Bank Danamon untuk mendapat SBPUK senilai Rp 6 triliun,

menunjukkan pula bahwa adanya hubungan antar kekuatan (power relations) antara konglomerat

bank dan direktur BI serta presiden. Hal ini menyebabkan ketidakteraturan dan ketidakpastian

hukum.

11

Page 12: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

Pengucuran dana BLBI yang direncanakan akan dilunasi oleh semua bank-bank penerima

pada kenyataannya jauh dari prediksi semula dengan mangkirnya sebagian besar pemilik bank

untuk melunasinya dengan berbagai alasan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat terus menerus

bergerak secara dinamis, baik dikarenakan hal yang memang benar-benar terjadi pada bank

sehingga kesulitan untuk mengembalikan dana tersebut, walaupun dikarenakan adanya itikad

tidak baik dari pemilik bank untuk tidak mengembalikan dana bantuan itu. Hal demikian itu

terjadi karena dalam masyarakat perbankan banyak sekali faktor kekuatan atau kekuasaan dan

saling tarik menarik dan berbenturan di dalamnya antara pemerintah, pemilik bank dan

masyarakat. Dengan demikian maka bagaimana mungkin situasi yang demikian itu dikategorikan

sebagai situasi yang serba tertib dan teratur. Ini merupakan situasi yang kacau atau keos.

Pernyataan Sampford selanjutnya adalah bahwa apa yang di permukaan tampak sebagai tertib

dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian. Pada saat diluncurkannya dan

BLBI terlihat bahwa pemerintah dan BI mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengucurkan

dana tersebut dan seolah-olah merupakan keputusan terbaik untuk menanggulangi keterpurukan

perbankan, namun setelah terbukti bahwa justeru kebijakan tersebut menjadi sebab kerugian

negara terbesar sepanjang sejarah. Ini membuktikan bahwa walaupun kebijakan tersebut terlihat

tertib dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian yang melahirkan celah-celah

terjadinya penyelewengan-penyelewengan oleh para pemilik bank.

12

Page 13: Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus

DAFTAR PUSTAKA

“Kasus BLBI sampai Kapan Akan Berakhir?”, www.kompas.com.

http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/hukum/hukum13.html

Ojte Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka

Kembali) (Bandung: PT. Reflika Aditama), Cet. Ke-3, 2007

Rahardjo, Stjipto, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah pada Seminar

Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000,

hal. 15-17.

Sampford, Charles, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, 1989.

Sri Setiawati, http://opiniindonesia.com/opini.

Tim Redaksi Pustaka Timur, Kasus BLBI Tragedi Korupsi Terbesar di Indonesia (Yogyakarta:

Pustaka Timur), 2007.

13