Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus
-
Upload
daoes-mbol -
Category
Documents
-
view
123 -
download
12
Transcript of Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus
Pandangan Teori Hukum Chaos Terhadap Kasus BLBI
A. Pendahuluan
Hukum yang dipahami kebanyakan adalah sebagai suatu sistem yang teratur dalam
kehidupan sosial masyarakat dimana hukum itu berada. Pandangan ini yang terus menerus
digemborkan oleh aliran positivisme hukum. Hukum dipandang sebagai suatu makhluk yang
bebas dari pengaruh dari luar yang mempunyai kepala, badan, tangan dan kaki tertentu yang
membedakannya dari makhluk lain. Mereka (para positivist) tidak pernah melihat bahwa hukum
berasal dari masyarakat sosial. Sedangkan kehidupan sosial pada realitasnya selalu berubah
sebagai akibat dari salinga mempengaruhinya kepentingan-kepentingan individu atau kelompok
dalam masyarakat. Jika kehidupan sosial sebagai akar terbentuknya hukum berubah, maka suatu
hal yang tidak mungkin jika hukum selalu tetap dalam sistemnya dan tidak terpengaruh oleh
perubahan sosial tersebut. Basis sosial yang berubah inilah yang menjadi dasar berpikir bahwa
sebenarnya hukum bukanlah sebuah sistem melainkan pola hubungan yang keos, berubah, dan
asimetris yang kemudian memunculkan teori keos dalam hukum.
B. Teori Chaos Dalam Hukum
Charles Sampford pada akhir tahun 1980-an menulis sebuah buku yang berjudul The
Disorder of Law: A Critique of Legal Theory. Sampford memberikan pandangan baru tentang
apa yang selama ini banyak dipahami oleh teoritis hukum. Ia menjelaskan bahwa teori hukum
tidak hanya muncul atau tidak mesti berasal dari sistem (sesuatu yang sistematis), sebagaimana
pandangan yang menganggap bahwa hukum seslalu bersifat sistemik (teori sistem dalam
hukum), tetapi teori hukum dapt juga muncul dari apa yang disebunya dari situasi keos, sehingga
melahirkan apa yang disebut dengan “teori keos” dalam hukum. Teori hukum muncul dan
dibangun dari sesuatu keadaan atau kondisi masyarakat yang disebut sebagai “Melle”, karena
masyarakat sesungguhnya (realitasnya) selalu berada dalam kondisi keos, bahwa masyarakat 1
selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis.
Masyarakat terus menerus bergerak secara dinamis, hal demikian itu terjadi karena dalam
masyarakat bahnyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan atau kekuasaan
dan saling tarik menarikn dan berbenturan di dalamnya. Oleh karenanya bagaimana mungkin
situasi yang demikian itu dikategorikan sebagai situasi yang serba tertib dan teratur.
Teori Sampford bertolak dari basis sosial hukum yang penuh dengan hubungan bersifat
asismetris yang merupakan ciri khas dari hubungan sosial. Hubungan sosial itu dipersepsikan
secara berbeda oleh para pihak, dengan demikian apa yang di permukaan tampak sebagai tertib
dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian.
Ketidakteraturan dan ketidakpastian disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat
bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relations). Hubungan kekuatan ini tidak selalu
tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat. Maka terdapat kesenjangan antara
hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada kekuatan. Inilah yang menyebabkan
ketidakteraturan itu.
Menurut Sampford adalah tidak mungkin untuk menerima adanya suatu sistem hukum di
tengah-tengah masyarakat yang tidak teratur. Sejak hukum itu berdiri dan berada di tengah-
tengah jaringan hubungan yang demikian itu pula yang diambil alih oleh sejumlah besar
aparatur/birokrat hukum dalam hubungannya satu sama lain dan dalam hubungan mereka dengan
warga negara. Keadaan demikian itulah yang menyebabkan Sampford mengatakan bahwa
hukum itu sesungguhnya penuh dengan ketidakteraturan. Maka teori hukum tidak perlu berupa
teori tentang sistem hukum, melainkan teori tentang ketidakteraturan hukum. Sampford bertanya:
Bagaimana mungkin keadaan yang dalam keyataannya penuh ketidakteraturan itu dalam
positivisme dilihat sebagai sesuatu yang penuh dengan keteraturan? Dengan demikian maka
sebetulnya, keteraturan itu bukan sesuatu yang oleh para positivis “ingin dilihat sebagai ada”.
Pandangan Sampford memperlihatkan ada kebenaran lain selain kebenaran yang selama
ini diklaim oleh paham sistematis dalam hukum yang memandang bahwa keadaan
keos/melle/disorder/asimetris yang didalamnya terkandung pluralitas, transformasi, mutasi,
perbedaan dan keanekaragaman, diversitas, multiplisitas dilihat sebagai hantu yang menakutkan
2
bagi pemikiran hukum sistematis, sesuatu yang selalu dianggap negatif dan merusak, yang
seharusnya tidak perlu diperlakukan seperti itu, karena secara substansial itu akan menghalangi
persepsi tentang apa yang disebut dengan hubungan atau situasi keos tersebut.
Dalam kondisi masyarakat yang tidak teratur tersebut, ada semacama satu kemnngkinan atau
satu peluang yang muncul, yang dapat dikembangkan, apabila para ilmuwan dapat mengambil
hikmah dari situasi keos tersebut (the sense of chaos). Tugas filosof dan para ilmuwan adalah
menangkap pesan, peluang dari kemungkinan baru yang muncul dari situasi yang keos atau
mellee tersebut.
C. Tinjauan Kasus BLBI
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bermula dari kebijakan Bank Indonesia
(BI) yang memberikan fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) pada Desember
1997. Kebijakan yang diambil, agar bank-bank bisa tetap bertahan dan beroperasi akibat masalah
perbankan di masa krisis moneter.
Dibutuhkan total biaya Rp 600 hingga Rp 650 triliun dalam bentuk obligasi dan surat
utang untuk proses restrukturisasi perbankan. Jumlah itu meliputi BLBI (Rp 144,536 triliun),
dana program penjaminan (Rp 53 triliun), dan dana program rekapitalisasi perbankan (Rp 350-
400 triliun).
Untuk menyelesaikan krisis ekonomi, pemerintah Indonesia kemudian meminta bantuan
Dana Moneter Internasional (IMF). Maka pemerintah kemudian menandatangani Letter of Intent
(LoI) dengan IMF pada 15 Januari 1998. Pemerintah juga memberikan jaminan atas deposito
(blanket guarantee) melalui Keppres No. 26/ 1998 pada tanggal 26 Januari 1998. Akibatnya,
selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik menjadi dua kali lipat. Hal ini berarti situasi
rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI melonjak sangat besar.
Sebelumnya, pada tahun 1985 pemerintah pernah mengucurkan ratusan miliar Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) melalui Kredit Pembauran untuk Industri tanpa agunan
3
kepada para pengusaha besar Indonesia. Hingga tahun 1998, dana KLBI yang dikucurkan kepada
para konglomerat tersebut adalah sekitar Rp 100 triliun. Triliunan dana BLBI itu hingga
sekarang sulit dilacak karena Gedung BI di Jl. Thamrin, Jakarta, yang menyimpan dokumen
pengucuran BLBI, hangus terbakar pada Desember 1997. Kemudian Menteri Keuangan J
Sumarlin dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Andrianus Mooy memberlakukan kebijakan Paket
Oktober (Pakto) pada 1988. Paket ini merupakan upaya Iiberalisasi dunia perbankan secara total
dan spektakuler. Dengan Pakto I988 maka siapa pun yang menjadi warga negara Republik
Indonesia boleh mendirikan bank umum hanya dengan menyetor modal sebesar Rp 10 miliar.
Hasilnya, sekitar 200 bank baru lahir dan mayoritas pendirinya adalah para konglomerat
nasional. Sayangnya, para pengusaha besar yang tumbuh dalam iklim Orde Baru itu tidak
memahami fungsi pokok perbankan sebagai lembaga intermediasi yang mengkonversi tabungan
menjadi investasi yang produktif dan bahwa persyaratan pokok bekerjanya bank ialah prudence.
Mereka hanya pandai dalam bidang pemasaran sehingga bank-bank yang baru berdiri tersebut
berhasil meyakinkan para nasabah agar menyimpan uangnya di bank-bank mereka.
Modal Rp 10 miliar tersebut bisa mereka lipatgandakan menjadi dana triliunan rupiah.
Narnun parapemilik bank itu tidak paham bahwa dana tersebut milik masyarakat. Mereka tidak
memahami bahwa laba bank terdiri dari spread yang tipis dan adanya risiko kredit macet besar.
Mereka melakukannya secara sembrono dan tidak melalui etika pengelolaan yang baik. Para
konglomerat itu rnenggunakan dana masyarakat justru untuk memberi kredit kepada dirinya
sendiri dan kelornpok usahanya secara besar-besaran demi membentuk sebuah konglomerasi
bisnis. Karena uang masyarakat yang berhasil dihimpun justru disalurlan pada kelompok usaha
milik sendiri yang disertai mark-up, maka banyak kredit yang macet di tangan para
konglomerat. Tapi karena bank pemberi kredit juga miliknya, maka dengan mudah laporan
keuangan dapat direkayasa sehingga terlihat sehat.
Dalam perjalanannya, bank-bank konglomerat tersebut kalah kliring, tetapi BI
menyelamatkannya melalui fasilitas diskonto. Kemudian mereka kalah kliring lagi, dan kembali
diselamatkan dengan fasilitas diskanto kedua. Ketika terjadi krisis moneter pada 1997, maka
kebobrokan sistem perbankan nasional pun terkuak.
4
Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia memang dapat
memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang rnengalami kesulitan likuiditas (mismatch).
Pada Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank Indonesia hanya Rp 371
rniliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi Bantuan Likuiditas Bank lndonesia (BLBl)
mencapai angka Rp 1,2 triliun. Pada Juli 1997 posisi BLBl rnenjadi Rp 1,4 triliun, dan kemudian
terus mengalami kenaikan, apalagi ketika Kurs bebas diterapkan pada Agustus 1997. Pada waktu
itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar B1 tidak melikuidasi bank selama periode antara
Pemilu 1997 sampai Sidang Unlum MPR Maret 1998. Rapat Direksi Bank Indonesia pada 15
Agustus 1997 menerjemahkan pengarahan presiden tersebut dalam bentuk dispensasi terhadap
sanksi skorsing kliring bagi bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenailan
penyaluran BLBl sebesar Rp 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp 5,2 triliun pada awal
September 1997.
Pada Oktober 1997 posisi BLBl naik menjadi Rp 8,6 triliun sebagai akibat tindale lanjut
Sidang Kabinet Ekuwasbang dan Prodis yang memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank
sehat yang mengalami mismatch. Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank lndonesia
untuk terus menyalurkan bantuan likuiditas. Namun sampai di sini pertumbuhan BLBl selama
empat bulan pertama masa krisis belum menunjukan lonjakan yang sangat fantastis.
Perubahan luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada 1 November
1997. Posisi BLBl naik menjadi Rp 32 triliun hanya dalarn waktu sebulan. Jumlah penerirna
BLBI pun naik dari 13,1 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang
disalurkan sudah mencapai Rp 47,l triliun. Kemudian jajaran direksi BI waktu itu mengirim surat
kepada Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan rencana B1 untuk mengatasi masalah
saldo debet yang dialami perbankan nasional akibat rush. Surat itu antara lain berbunyi: “Sambil
menunggu konsolidasi perbankan dan pulihnya kepercayaan terhadap perhankan, RI kiranya
disetujui akan menganti saldo debet tersebut dengan Surat Berharga Pasar Uang Khusus
(SBPUK), sesuai dengan memo terlampir.” Usulan itu disetujui Presiden Soeharto melalui surat
dari Kantor Sekretariat Negara yang berkualifikasi “rahasia dan sangat rahasia” No.
R-183/M/Sesneg/12/1997. Surat tersebut antara lain menyebutkan: “Maka dengan ini kami
beritahukan bahwa Bapak Presiden menyetujui saran Direksi BI untuk menganti saldo debet
5
bank yang ada harapan sehat-sehat dengan SBPU Khusus sebagaimana dilaporkan dalam surat
Sdr. Gubernur BI. Bapak Presiden menilai langkah tersebut perlu dilakukan untuk menjaga agar
tidak banyak bank tahun sekarang ini yang terpaksa tutup dan dinyatakan hangkrut.”
Isi surat ini pada dasarnya menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga
Pasar Uang lausus (SBIUK). Sebelumnya, pada 9 Desember 1997 direksi Bank Danamon
menemui direksi BI. Hasilnya, Bank Danamon disetujui untuk mendapat SBPUK senilai Rp 6
triliun. Surat dari direksi BI dan surat dari presiden pada waktu itu kiranya menjadi kunci siapa
sebenarnya yang pantas memikul tanggung jawab terhadap kasus dana BLBI.
Ketidakpercayaan masyarakat dan ketidakmampuan bank membayar kewajiban-
kewajibannya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi perekonomian Indonesia yang
tengah dilanda badai krisis moneter. Ketika keadaan ekonomi tidak juga membaik, BI sebagai
otoritas moneter justru membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha besar atau
konglomerat. Atas dasar inilah pemerintah yang telanjur menandatangani Letter of Intent
pertama dengan Dana Moneter lnternasional (IMF) pada Januari 1998 mengeluarkan Keppres
No. 24 dan 26/1998. Keppres ini menjamin dana masyarakat di perbankan nasional dan jaminan
atas seluruh kewajiban bank-bank nasional terhadap nasabah serta kreditur internasional.
Peraturan pemerintah tersebut disetujui oleh BI melalui pengucuran dana BLBI kepada 54 bank
nasional sebesar Rp. 164,54 triliun (hingga Januari 1999). Para konglomerat yang menerima
BLBI antara lain Sjamsul NursaIim (BDNI) sebesar Rp 37,040 triliun, Soedono Salim (Bank
Central Asia) Rp 26,596 triliun, Usman Admadjaja (Bank Danamon) Rp 23,050 triliun, Bob
Hasan (Bank Umum Nasional) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (Bank Harapan Sentosa)
Rp 3,866 triliun.
Dana BLBI dikucurkan ke sejumlah bank dalam beragam bentuk. Ada yang dalam
bentuk saldo debet, fasilitas saldo debet, fasilitas dislonto I, fasilitas diskonto II, fasilitas
SBPUK, fasilitas baru diskonto, fasilitas dana talangan valas, maupun fasilitas dana talangan
rupiah. Adapun rincian para penerima BLBI adalah 5 Bank Take-Over (BTO) menerima Rp
57,639 triliun, 10 Bank Beku Operasi (BBO) Rp 57,687 triliun, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha
(BBKU) Rp 17,320 triliun, dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL) Rp 1 1,888 triliun.
6
Celakanya, ternyata Rp 84,5 dan Rp 164,54 triliun dana BLBI yang telah dikucurkan
BI pada saat itu justru diselewengkan oleh para pemilik bank untuk kepentingan bisnis dalam
grup mereka sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak derivatif baru, melakukan eskpansi
kredit, pembukaan cabang baru, bahkan untuk menggoyang nilai rupiah. Bahkan sekitar Rp
144,54 triliun dari dana BLBI malah dialihkan kepada pemerintah (sebagai utang) sehingga
menjadi beban APBN yang hams ditanggung rakyat.
Akibat Keppres No. 24 dan 26 tahun 1998 maka pemerintah terjebak dalam program
rekapitalisasi perbankan nasional sebesar Rp 400 triliun. Tapi karena pemerintah tidak
mempunyai uang sebanyak itu, maka pemerintah akhirnya menerbitkan obligasi (Surat Utang
Negara) yang dibebankan kepada APBN untuk merekap bank pemerintah dan bank swasta yang
tidak sehat serta untuk mengganti dana BLBI. Keseluruhan nilai pokok obligasi yang menjadi
beban APBN tersebut mencapai Rp 650 triliun. Di sisi lain, pada Juli 1998, pemerintah
membayar utang bank swasta nasional sebesar 1 miliar dollar AS kepada bantuan luar negeri
tanpa verifikasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hal ini ditambah lagi dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS)
yang kembali menguntungkan para pengusaha dan konglomerat yang tersangkut BLBI.
Meskipun PKPS akhirnya batal diperpanjang tetapi ha1 ini sudah cukup menunjukkan bahwa
niat memperpanjang PKPS bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan para
pengusaha, konglomerat, dan kepentingan politik penguasa. Pada Maret 1998 Badan Penyebatan
Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI. Langkah ini
diikuti dengan rush lanjutau dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama Maret – April
nilai BLBl melonjak dari Rp 31 triliun menjadi hampir Rp 135 triliun. Selama April – September
1998 saldo negatif bank-bank di bawah BPPN- justeru terus naik.
Belakangan uang ratusan triliun yang mengalir ke bank-bank tersebut macet, sejumlah
bank tidak mampu membayar kembali utangnya. Penyebabnya, dana yang dikhususkan untuk
penyehatan perbankan justru mengalir ke perusahaan-perusahaan konglomerat dan sejumlah
bank yang bermasalah itu adalah milik konglomerat yang bersangkutan juga. Akibatnya, dana
7
perbankan dari bank sentral hanya menjadi akal-akalan pebisnis besar untuk mendanai usahanya
sendiri.
Pemerintah kemudian bermaksud menarik kembali dana BLBI dan memberikan beberapa
cara penyelesaian utang BLBl untuk para debitor. Pemerintah memberikan beberapa alternatif
penyelesaian masalah BLBI untuk para mantan pemilik bank yang disesuaikan dengan kondisi
keuangan mereka masing-masing.
Cara-cara penyelesaian itu adalah:
1. Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) bagi debitur atau obligor yang
mempunyai cukup perusahaan untuk membayar utang-utangnya.
2. Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) untuk mereka yang nilai
perusahaannya tidak cukup untuk membayar utang, dan pembayaran kekurangannya
harus dilakukan dengan jaminan pribadi.
3. Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-Akta Pengakuan Utang (PKPS-APU) yang
dibuat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian kewajiban yang harus ditanggung oleh
pemilik saham pengendali atas kerugian bank mereka akibat praktik perbankan yang
tidak wajar serta pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Penyelesaian
ini tidak melalui penyerahan aset.
BPPN menjadi pihak yang mengurus masalah tersebut. Selama periode Juni-September
1998 BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA (Master of Settlement
Acquisition Agreement) yang kemudian ditandatangani pada 21 September 1998. Isinya adalah
ketentuan bahwa Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) bertambah menjadi Rp 52,7
triliun. Sayangnya, data tersebut diaudit bukan oleh auditor independen melainkan dihitung
sendiri. Langkah-langkah tersebut di kemudian hari terbukti tidak efektif karena pars
konglomerat. ingkar janji dan tidak mengembalikan danaBLB1. Di sisi lain, penyelesaian
melalui prosedur MSAA dan MRA juga tidak kunjung usai. Penyerahan aset oleh obligor baru
mulai dilakulan pada 1999. Aset tersebut kemudian dihitung oleh lembaga yang ditunjuk BPPN
yaitu Lehman Brothers. Hasilnya, total nilai aset adalah Rp 52,6 triliun yang lemudian
8
dibayarkan beserta uang tunai sebesar Rp 100 miliar. Berdasarkan MSAA, setelah aset
itudiserahkan mala utang pun dianggap lunas. Pada masa inilah RPPN membuat. kesepakatan
akhir yang memuat release und discharge dengan BDNI (Mei 1999) dan BCA (Juni/Juli 1999).
Namun urusannya tidak selesai sampai di situ. Pada 1999, BPK mengaudit ulang
sejumlah bank yang ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan sedang berada dalam
penanganan BPPN. Hasilnya, uang negara yang disalurkan dalam bentuk BLBl adalah Rp 49,189
triliun. Anehnya dalam MSAA, disepakati bahwa jumlah JKPS yang harus dibayarkan adalah Rp
28,408 triliun.
Pemerintah lalu menuntut para obligor untuk menyelesailan dana yang diselewengkan itu
dengan dua cara. Pertama, obligor membayar tunai sebesar Rp 1 triliun, Kedua, obligor juga
menyerahkan aset senilai Rp 27,495 triliun. Jadi total pengembalian adalah Rp 28,495 triliun.
Namun ketika setahun kernudian aset-aset tersebut diaudit ulang oleh Price Waterhouse Cooper
(PWC), terlihat bahwa nilainya menurun menjadi Rp 1,441 triliun (5,2 persen). Dan ketika pada
2000 aset tersebut dijual sebagian, jumlahnya sedikit meningkat menjadi Rp 1,819 triliun.
Hasil audit ulang BPI< terhadap dana BLBl pada Agustus 2000 kembali menunjukkan
perbedaan. Menurut BPK, jumlah dana BLBl yang diselewengkan adalah Rp 138,4 triliun dari
total dana Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana
BLBl yang diterima oIeh 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Pada 26 April 2004, pemerintah melalui BPPN rnemberikan Surat Keterangan Lunas
kepada sejumlah obligor yang telah menyerahkan aset perusahaannya. Pada tahun ini pula BPPN
dibubarkan. Ironisnya, masalah kian bertambah ketika BPK melakukan audit ulang pada 2006
terhadap aset-aset para obligor yang diserahkan pada negara melalui BPPN. Hasil penghitungan
oleh BPk menunjukkan bahwa dana yang diterima oleh BPPN hanya sebesar Rp 1,9 triliun. Di
sinilah negara rnengalami kerugian yang sangat besar. Pada 2007, sisa aset yang dijual nilainya
sebanyak Rp 640 miliar ( 3,2 persen) sehingga total pengembalian uang negara sebanyak Rp
3,459 triliun.
9
Para penerima dana BLBl itu antara lain: Achmad Febby Fadillah (Bank Citra Hasta
Dana Manungal), Adinda Sardjana (Bank Tata Internasional), Adisaputra Januardy dan James
Januardy (Bank Namura Yasonta), Agus Anwar (Bank Pelita), Aloysius lndarto (Bank Dewa
Rutji), dan yang lainnya sejumlah 74 orang.
Beberapa dari mereka sudah membayar utang BLBI, beberapa lainnya dianggap korupsi
dan kabur ke luar negeri. Sisanya sedang dalam proses mencicil utang tersebut. Holding sebesar
PT Bakrie & Brothers Tbk yang menanggung utang BLBI hingga 1 miliar dollar AS atau selutar
Rp 10 triliun sudah melunasinya walau akibatnya saham keluarga Balvie tinggal 2,5 persen.
Utang Bob Hasan sebesar Rp 5,3 triliun juga kelar. Begitu pula dengan Liem Sioe Liong (Rp
52,7 triliun), Siti Hardijanti Rulmana, lbrahim Risjad, dan Usman Admadjaja. Kejaksaan Agung
sudah memberilan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) kepada Hasjim
Djojohadikusumo (Bank Depan Sejahtera), The Ning lGng (Bank Dana Hutama), Hokiarto
(Bank Hokindo), dan Sukamdani Gitosardjono (Bank Dagang Industri). SP3 juga diberikan
kepada Sjamsul Nursalim sehingga memancing polemik luas di berbagai kalangan. Sjamsul
dituduh bertanggung jawab atas penyaluran kredit bank miliknya yaitu BDNI kepada grup
usalranya sendiri melebihi ketentuan. Saat kasusnya diproses di kejaksaan, Sjamsul sudah lebih
dulu merantau ke Singapura dengan alasan berobat. Dia memang punya masalah dengan
jantungnya. Dia lalu bersedia menyerahkan aset-aset miliknya untuk melunasi utang-utang BDNI
yang ditanggung penierintah. Dia pun menerima surat pelunasan, dan karenanya Jaksa Agung
(waktu itu) Marzulu Darusman menerbitkan SP3.
Namun berbagai pola penyelesaian utang BLBI tak berlangsung mulus. Beberapa
pengusaha terpaksa dibawa ke pengadilan, termasuk Samadikun Hartono (Bank Modern) yang
diadili di Pengadilan Negeri Jalarta Selatan. Utangnya ke BPPN sebesar Rp 6.5 triliun, dan
Samadikun ban1 melunasi Rp 68,5 miliar dari penjualan asetnya. Dia tak mau menyerahkan aset
yang lain. Pengadilan negeri membebaskannya, tapi Mahkamah Agung memvonisnya empat
tahun penjara. Samadikun Hartono lalu menghilang. Beberapa koruptor BLBI lainnya juga
kabur. Misalnva Dambang Sutrisno dan Andrian Kilu Ariawan (Bank Surya), juga Agus Anwar
(Bank Pelita dan Bank Istimarat).
10
D. Analisis
Latar belakang kasus BLBI menunjukkan sebuah kenyataan bahwa kehidupan sosial selalu
berubah. Faktor utama perubahan ini adalah krisis moneter di akhir tahun 1997 yang
menimbulkan kondisi keuangan negara anjlok dan kondisi perbankan memburuk. Kondisi inilah
yang dimaksudkan Sampford sebagai situasi keos atau kacau. Hukum yang berdasarkan pada
kehidupan sosial berdiri diantara kekacauan tersebut. Dengan demikian maka benarlah apa yang
dikatakan Sampfor bahwa Teori hukum muncul dan dibangun dari sesuatu keadaan atau kondisi
masyarakat yang disebut sebagai “Melle”(Chaos, Keos, Kacau), karena masyarakat
sesungguhnya (realitasnya) selalu berada dalam kondisi keos, bahwa masyarakat selalu berada
pada jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis. Berdasarkan
realitas seperti itulah maka teori hukum muncul.
Surat jawaban presiden terhadap surat direksi BI yang berkualifikasi “rahasia dan sangat
rahasia” No. R-183/M/Sesneg/12/1997 menunjukkan bahwa hukum itu berdiri dan berada di
tengah-tengah jaringan hubungan sosial yang keos itu diambil alih oleh sejumlah besar
aparatur/birokrat hukum dalam hal ini presiden dan direksi BI. Padahal menurut peraturan
perbankan pada waktu itu bahwa bank-bank yang sudah mengalami saldo debet harus segera
dibekukan aktifitasnya. Tetapi dengan adanya surat ini bank-bank tersebut masih bisa beroperasi
dengan bantuan untuk penutupan saldo debet tersebut. Dengan demikian maka dalam hal ini
presiden merupakan pengendali hukum di tengah-tengah kekacauan sosial. Hal yang sama juga
pada Keppres No. 24 dan 26/1998 yang menjamin dana masyarakat di perbankan nasional dan
jaminan atas seluruh kewajiban bank-bank nasional terhadap nasabah serta kreditur internasional
yang diikuti dengan pengucuran dana BLBI kepada 54 bank nasional sebesar Rp. 164,54 triliun
(hingga Januari 1999).
Pertemuan direksi Bank Danamon dengan direksi BI pada 9 Desember 1997 yang
menghasilkan disetujuinya Bank Danamon untuk mendapat SBPUK senilai Rp 6 triliun,
menunjukkan pula bahwa adanya hubungan antar kekuatan (power relations) antara konglomerat
bank dan direktur BI serta presiden. Hal ini menyebabkan ketidakteraturan dan ketidakpastian
hukum.
11
Pengucuran dana BLBI yang direncanakan akan dilunasi oleh semua bank-bank penerima
pada kenyataannya jauh dari prediksi semula dengan mangkirnya sebagian besar pemilik bank
untuk melunasinya dengan berbagai alasan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat terus menerus
bergerak secara dinamis, baik dikarenakan hal yang memang benar-benar terjadi pada bank
sehingga kesulitan untuk mengembalikan dana tersebut, walaupun dikarenakan adanya itikad
tidak baik dari pemilik bank untuk tidak mengembalikan dana bantuan itu. Hal demikian itu
terjadi karena dalam masyarakat perbankan banyak sekali faktor kekuatan atau kekuasaan dan
saling tarik menarik dan berbenturan di dalamnya antara pemerintah, pemilik bank dan
masyarakat. Dengan demikian maka bagaimana mungkin situasi yang demikian itu dikategorikan
sebagai situasi yang serba tertib dan teratur. Ini merupakan situasi yang kacau atau keos.
Pernyataan Sampford selanjutnya adalah bahwa apa yang di permukaan tampak sebagai tertib
dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian. Pada saat diluncurkannya dan
BLBI terlihat bahwa pemerintah dan BI mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengucurkan
dana tersebut dan seolah-olah merupakan keputusan terbaik untuk menanggulangi keterpurukan
perbankan, namun setelah terbukti bahwa justeru kebijakan tersebut menjadi sebab kerugian
negara terbesar sepanjang sejarah. Ini membuktikan bahwa walaupun kebijakan tersebut terlihat
tertib dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian yang melahirkan celah-celah
terjadinya penyelewengan-penyelewengan oleh para pemilik bank.
12
DAFTAR PUSTAKA
“Kasus BLBI sampai Kapan Akan Berakhir?”, www.kompas.com.
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/hukum/hukum13.html
Ojte Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka
Kembali) (Bandung: PT. Reflika Aditama), Cet. Ke-3, 2007
Rahardjo, Stjipto, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah pada Seminar
Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000,
hal. 15-17.
Sampford, Charles, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, 1989.
Sri Setiawati, http://opiniindonesia.com/opini.
Tim Redaksi Pustaka Timur, Kasus BLBI Tragedi Korupsi Terbesar di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Timur), 2007.
13