Pandangan Tentang Buaya Gaib Dalam Perspektif Masyarakat Banjar Di Pinggir Sungai Tabalong
-
Upload
ken-arock-ueto -
Category
Documents
-
view
63 -
download
2
description
Transcript of Pandangan Tentang Buaya Gaib Dalam Perspektif Masyarakat Banjar Di Pinggir Sungai Tabalong
Pemahaman Tentang Buaya Gaib dalam Perspektif Masyarakat Banjar di Pinggir Sungai Tabalong
A. Latar Belakang Masalah
Budaya adalah hasil dari aktifitas akal manusia dalam menghadapi alam
untuk menyesuaikan diri agar bertahan hidup dengan proses yang di namakan
belajar. Budaya dalam konteks kali ini termasuk bentuk religi asli yang muncul
pada era masyarakat primitif atau masyarakat arkhais, tentunya bentuk
kepercayaan semacam ini yang cenderung bersifat politheisme lalu henotheisme,
sedikit atau banyak hingga sekarang masih dipercayai dan ditemukan pada
masyarakat, walaupun dikatakan masyarakat tersebut hidup dalam era modern
yang notabene pemikiran condong lebih rasional jika dibandingkan dengan era
sebelumnya, hal itu juga dipengaruhi agama-agama mapan yang cenderung
bersifat monotheisme. Bentuk budaya tersebut adalah cerminan mentalitas
masyarakat.
Identitas urang banjar adalah beragama Islam, maksudnya Islam sudah
melekat kuat pada urang banjar dengan kata lain bukan urang banjar kalau bukan
penganut agama Islam. Hal semacam ini bisa dilihat pada contoh kasus Islamisasi
orang Dayak Bakumpai yang tidak mau disebut orang Dayak lagi, melainkan
urang banjar. Melekatnya identitas Islam pada urang banjar bisa dikatakan bahwa
mereka adalah penganut Islam yang fanatik, meskipun demikian tetap ada
kepercayaan-kepercayaan pra-islam atau arkhais yang bertentangan dengan ajaran
Islam itu sendiri. Kepercayaan yang semacam itu tentunya masih hidup dan bisa
dilihat ritus-ritusnya.
Satu diantara contoh dari bentuk kepercayaan arkhais tersebut adalah
mempercayai adanya sebuah kekuatan gaib dari buaya yang hidup pada sungai,
kepercayaan semacam ini diyakini oleh masyarakat masyarakat banjar yang hidup
dipinggir Sungai Tabalong. Kepercayaan pada masyarakat ini di ungkapkan
dengan istilah bagaduhan (memelihara), basahabat (bersahabat) atau
menghormati buhaya (buaya) sebagai kekuatan yang diyakini bisa membantu
kehidupan masyarakat sehari-hari. Contoh ritual dari kepercayaan ini adalah
memberi makan atau sesajian buaya setiap bulan, ritus ini bertujuan untuk
menjaga keselamatan pemelihara buaya dan keluarga dari gangguan buaya gaib
yang diyakini bisa mencelakakan hidup. Kontradiksi antara fanatisme Islam pada
masyarakat banjar dengan kepercayaan terhadap buaya tentunya menjadi hal yang
menarik untuk dikaji. Keyakinan kepada buaya gaib dengan ketauhidan Islam bisa
bersatu dalam ritus memberi makan buaya yang diawali dengan membaca do'a
selamat.
Religi adalah sumber nilai dalam sebuah masyarakat, segala aspek
kehidupan masyarakat berpedoman pada ajaran-ajaran religi, tentunya ajaran-
ajaran tersebut menghasilkan nilai yang dianggap kebaikan bagi orang-orang
meyakininya. Ajaran religi tersebut bisa dilihat dari cara masyarakat
mengaplikasikan pantangan dan mensucikan terhadap sesuatu yang dianggap
sacred (sakral), sehingga menghasilkan nilai menghormati dan menjaga terhadap
sesuatu yang dianggap sacred tersebut, hal ini merupakan konsekuensi takut akan
melanggar pantangan dan keinginan menjaga dari gangguan kekuatan sakral yang
bisa membahayakan kehidupan masyarakat pendukung.
Ritus urang banjar yang memberi sesajian terhadap buaya gaib adalah
contoh dari pengaplikasian ajaran religi tersebut, kegiatan ini dilakukan dengan
cara menghanyutkan sesaji ke sungai sebagai tempat tinggal dari buaya gaib, oleh
karena itu sungai merupakan aspek penting dalam pelaksanaan ritus ini, dengan
kata lain masyarakat juga menghormati sungai sebagai tempat tinggal dari buaya
gaib tersebut. Secara tidak langsung ritus ini menghasilkan nilai kepada
masyarakat untuk menjaga keasrian lingkungan sungai.
Kepercayaan masyarakat terhadap buaya gaib juga adalah sebuah identitas
lokal urang banjar yang tinggal dipinggir sungai Tabalong. Ungkapan buhaya
pahuluan atau buhaya kalua seringkali ditujukan kepada anggota masyarakat ini,
hal tersebut menandakan bahwa masyarakat pinggir sungai Tabalong dengan
buaya gaib adalah sebuah satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan, karena
kepercayaan kepada buaya gaib adalah sebuah identitas masyarakat, maka
setidaknya hal tersebut akan menjadi satu diantara unsur solidaritas masyarakat.
Solidaritas tersebut terjadi karena adanya persamaan hal yang diyakini. Jika hal-
hal tersebut tidak diteliti, maka dikhawatirkan identitas lokal akan terlupakan dan
hilang.
Bentuk pemahaman budaya lokal dan agama Islam sejatinya memang
adalah dua hal yang kontradiktif atau saling bertentangan satu sama lain, tetapi
bukan berarti kedua hal yang kontradiktif tersebut tidak bisa bersatu. Sinkretisme
adalah istilah tepat untuk mendeskripsikan dialog antara dua hal yang kontradiktif
tersebut. Menurut KBBI Online sinkretisme adalah paham atau aliran baru yang
merupakan dari perpaduan dari beberapa paham atau aliran yang berbeda untuk
mencari keserasian dan keseimbangan.
Pengertian yang lebih tradisional dielaskan oleh Plutarch (1962:313)
seorang Platonis, dia mengatakan bahwa term sinkretisme digunakan apabila
adanya persatuan dan pertemuan dari pihak dalam (orang-orang Kreta) bersatu
melawan musuh dari luar. M. Wasim Bilal (2008:110-111) menjelaskan bahwa
term dari sinkretisme seringkali digunakan dalam batasan yang kurang jelas, lebih
lanjut dia menjelaskan bahwa sinkretisme bukan aliran, bukan faham dan bukan
ilmu; sinkretisme adalah fenomena yang diberi label; itu saja, menurutnya
sinkretisme adalah satu atau beberapa unsur agama tertentu dipungut dan
diterapkan pada agama lain tanpa merubah agama yang memungut; dalam hal ini
disebabkan relatif sedikitnya unsur yang dipungut dan diterapkan. Fenomena
sinkretisme dicontohkan oleh Clifford Geertz (1981: 6) pada tradisi abangan yang
memadukan unsur Hindu-Islam, terlihat pada upacara slametan.
Agama adalah sebuah sistem budaya, begitu yang diungkapkan Clifford
Geertz (1993). Dia juga menyatakan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu
sistem yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Melalui sistem nilai,
agama akan bisa mengubah suatu tatanan masyarakat. Serupa dengan pernyataan
Geertz. Khadiq (2005:138) yang menyatakan agama sebagai sistem nilai, di dalam
hidup bermasyarakat senantiasa melahirkan atau setidaknya mewarnai
serangkaian norma yang berlaku didalam masyarakat yang bersangkutan. dengan
besarnya peranan agama dalam dalam kehidupan masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa ia merupakan satu modal pembangunan masyarakat yang sangat
tinggi nilainya. Sebagai sistem nilai, agama memiliki arti khusus dalam kehidupan
individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas (Dewi, 2011:1).
Kemampuan otak manusia untuk membentuk gagasan-gagasan dari
konsep-konsep dalam akalnya, menyebabkan ia mampu membayangkan dirinya
sendiri terlepas dari lingkungannnya hal tersebut merupakan dasar dari kesadaran
akan identitas dan kepribadian dirinya (Moeis, 2008;1). Gagasan-gagasan dari
konsep akal manusia tersebut juga akan sama dengan manusia lainnya dalam satu
lingkungan hidup, hingga memunculkan sebuah kesamaan lalu solidaritas, agama
adalah satu diantara yang memunculkan sebuah identitas ini
. Munculnya agama dikarenakan akal tidak bisa memecahkan seluruh
masalah dari setiap aspek kehidupan (Khadiq, 2005:122). Agama dan budaya
senantiasa selalu berdialog, dalam hubungannya dengan budaya, agama berfungsi
memelihara dan menumbuhkan sikap solidaritas sebuah kelompok (Ghazali,
2011:32). Solidaratas tersebut juga akan membentuk sebuah identitas yang kuat
bagi sebuah kelompok, seperti pandangan Emilie Durkheim (2011:154-156) yang
menyatakan bahwa binatang totem (sebagai sesembahan religi dari suku asli
Australia) dipuja karena melambangkan kesatuan atau solidaritas klan mereka.
Kepercayaan masyarakat terhadap buaya gaib berakar dari tradisi akhais,
hingga sekarang kepercayaan tersebut dapat bertahan, dipertahankankan, bahkan
dilestarikan pada era moderen dan era teknologi informasi yang sifatnya global
seperti sekarang, hal ini berdasarkan obeservasi penulis pada tanggal.... , menurut
hasil observasi tersebut disepanjang Sungai Tabalong masih banyak terdapat
tukang tamba yang menggunakan gampiran buaya sebagai sarana mengobati
berbagai macam penyakit (di desa Telaga Itar berjumlah 1 orang dan di desa
Suput berjumlah 2 orang), masyarakat awam yang memelihara buaya gaib (di
desa Tantaringin, desa Batu Pulut dan desa Muara Uya masing-masing berjumlah
1 orang) dan juga masyarakat awam yang mempercayai keberadaan buaya gaib
tersebut. Data-data hasil observasi lapangan diatas menunjukan bahwa masih ada,
bahkan kuatnya kepercayaan terhadap buaya gaib di era sekarang ini.
Masih kuatnya kepercayaan tentang buaya gaib tersebut sampai sekarang
ini bisa jadi membuktikan bahwa masyarakat sulit meninggalkan kepercayaan
lama beserta nilai-nilainya, oleh karena itu