Pandangan Kritis tentang Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional...

355
PANDANGAN KRITIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN) DISERTASI Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dibawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM & H.,M.Sc (CTM).,Sp.A.(K) Untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara Oleh : Rosnidar Sembiring 088101005/ S-3 Hk PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 Universitas Sumatera Utara

description

DISERTTASI oleh Rosnidar Sembiring (Fak Hukum USU, 2013)

Transcript of Pandangan Kritis tentang Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional...

PANDANGAN KRITIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA HAK

ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL

(STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN)

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Dibawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM & H.,M.Sc (CTM).,Sp.A.(K) Untuk Dipertahankan Dihadapan

Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Rosnidar Sembiring 088101005/ S-3 Hk

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PENGESAHAN

(Promosi Doktor) JUDUL DISERTASI : PANDANGAN KRITIS TENTANG PENYELESAIAN

SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN)

NAMA : Rosnidar Sembiring Nomor Pokok : 088101005 PROGRAM : Doktor (S3) Ilmu Hukum

MENYETUJUI :

KOMISI PEMBIMBING

(Prof. Dr. Runtung, SH.,M.HumPromotor

)

(Prof. Dr. Usman Pelly, MA) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN Co-Promotror Co-Promotor

)

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Dekan (Prof. Dr. Suhaidi, SH.,MH) (Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum)

Universitas Sumatera Utara

KOMISI PENGUJI

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum

Prof. Dr. Yulia Mirwati, SH., CN.,MH

Universitas Sumatera Utara

KOMISI PENGUJI

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum

Prof. Dr. Yulia Mirwati, SH., CN.,MH

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR Bismillaahir Rahmaanir Rahiim Alhamdu lillahi Rabbil ‘Aalamiin, Assalamualaikum wr.wb, salam sejahtera dan selamat siang. Puji dan syukur ke hadirat Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-NYA sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian hingga promosi doktor pada hari ini. Semoga karunia yang saya peroleh mendapat ridho Allah swt dan membawa manfaat bagi saya dan keluarga, masyarakat dan almamater saya, Universitas Sumatera Utara. Sebagai insan yang senantiasa memegang budi baik sesama dan rasa syukur kepada Illahi, izinkan saya menyampaikan terimakasih : 1. Kepada Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM)., Sp.A (K), Rektor

Universitas Sumatera Utara, yang telah menerima saya dalam mengikuti program Doktor dalam Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Adat dan fasilitas yang diberikan selama pendidikan hingga mengikuti promosi Doktor pada hari ini. (Kepada Prof.Ir.Zulkifli Nasution, MSc, Ph.D, Pembantu Rektor 1 Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada Prof.Dr.Runtung, SH,M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, saya mengucapkan terimakasih serta penghormatan atas kesempatan, bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada saya selama menjalani pendidikan di Program Doktor, sekaligus atas kesediaan beliau untuk menjadi Promotor dalam disertasi ini. Meskipun kesibukan beliau telah cukup banyak menyita waktu dan tenaga, tetapi beliau masih menyempatkan diri untuk membimbing dan mentransfer ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga sangat membantu penulisan disertasi ini. Pemikiran beliau yang sistematis dan pemeriksaan yang sangat detail, misalnya : masalah penomoran, telah membuka inspirasi penulis untuk menyelesaikan bab demi bab. Untuk semua keikhlasan hati beliau, semoga Allah lah yang membalasnya dengan melimpahkan rakhmat dan hidayah kepada beliau dan keluarga.

3. Kepada Prof.Dr.Suhaidi,SH, M.H., Ketua Program Doktor, saya mengucapkan terimakasih atas keizinan dan fasilitas yang baik di program S3 Ilmu Hukum juga atas motivasi yang selalu diberikan untuk cepat menyelesaikan disertasi ini, rasa terimakasih disampaikan kepada Direktur Sekolah Pascasarjana (SPS) USU, Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang, M.SIE, yang membuka akses untuk mendapatkan dana penelitian Pendidikan Tinggi (Dikti), dan seluruh staf/pegawai administrasi, termasuk yang di Pascasarjana Universitas Sumatera

Universitas Sumatera Utara

Utara; Salamuddin, ST, Juliani, SH, Rafika Suryani, SH, kak Sri Rahayu, SH, Suherman, SE, Fitri Idayani Lintang, SE, Suhendra Sibarani, SH, Isniar Handayani, Johan, SH, Wiwik Kusdianingsih, SE atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU.

4. Kepada Prof.Dr.Tan Kamello, SH,MS, Prof.Dr.Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, dan Prof.Dr.Yulia Mirwati,SH,CN,MH selaku penguji luar komisi, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan dan waktu yang diberikan untuk memberikan penilaian dan saran-saran dalam menyelesaikan disertasi ini. Kepada seluruh staf pengajar program Doktor S3 Ilmu Hukum USU, saya mengucapkan terimakasih atas ilmu pengetahuan, pengalaman dan bantuan yang diberikan kepada saya. Kepada seluruh staf pengajar termasuk Ikatan Staf Pengajar Wanita (ISPW) FH USU yang hadir pada hari ini (Chairul Bariah, SH,M.Hum, Liza Erwina,SH, M.Hum, Zulfi Chairi, SH,M.Hum, Syamsiar Yulia, SH,CN, Latifah, SH, Dra. Zakiah, MPd, Puspa Melati Hasibuan, SH,M.Hum, Maria, SH,M.Hum, Suria Ningsih, SH,M.Hum, Zaidar, SH, M.Hum., Mariati Zendrato, SH.M.Hum, Rafiqoh Lubis, SH.M.Hum, dan lainnya. Khusus kepada adinda Afrita, SH, M.Hum, yang selalu berbagi dalam suka dan duka sehubungan dengan pendidikan yang sedang dijalani, semoga Allah mewujudkan cita-cita adinda dalam waktu yang tidak lama. Dr. Utary Maharani Barus,SH,M.Hum, Dr.Idha Aprilyana Sembiring, SH.M.Hum, Dr.Marlina,SH.M.Hum), seluruh sahabat saya, rekan-rekan di program Doktor Ilmu Hukum USU. Khusus kepada alm.Syamsiar Yulia,SH,CN, yang meninggal pada hari Kamis, 28 Maret 2013, terimakasih kak atas kebersamaan selama ini. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosanya, amin. Secara khusus, saya ingin menyampaikan rasa hormat yang ikhlas kepada bang Hayat,SH karena hati yang tulus dan jujur selalu membimbing dan membela saya, terimakasih bang, semoga Allah tetap memberi kesehatan dan umur yang panjang kepada abang, pak Kalelong Bukit, SH, Zulkifli Sembiring, SH,M.Hum, Amsali Sembiring, SH,M.Hum, Syarifuddin Siba, SH.M.Hum, terutama kepada abanganda Malem Ginting, SH,M.Hum., atas bantuannya, Dt. Syaiful Azam, SH,M.Hum, Azwar Mahyuzar, SH,M.Hum, Mulhadi,SH,M.Hum, Boy dan Eko, dan lainnya. Juga staf administrasi FH USU; Efraim Purba,STh, MTh, Juni Surbakti, SH, MKN, Sadli Damanik, Amd, Sarno,SH, Rosmawaty,SH, Syamsinar,SH, Misyani, Annisa,SE. mengucapkan terimakasih yang tak terhingga atas kerjasama dan dukungan yang saling menguatkan yang terjalin selama ini; Asmadi Lubis, SH, MKN, Sutrisno, SH,MKN, Kompol Bachtiar Marpaung, SH,S.Sos, M.Hum, Marianne Ketaren, SH,MKN, Sutiarnoto, SH, MH, Abul Khair, SH, M.Hum, Asmin Nasution, SH, M.Hum, Megarita, SH,CN,M.Hum, terutama kakanda Dr.Edy Ikhsan, SH,MA yang selalu berdiskusi, berdebat, bertukar informasi (ada beberapa informasi penting yang tidak

Universitas Sumatera Utara

akan pernah saya lupakan dalam hidup ini antara lain informasi agar saya bisa “promosi” pada hari ini). Beliau juga meminjamkan beberapa literatur karena memang sama-sama menulis tentang hukum tanah adat. Terimakasih bang, semoga Allah mengabulkan apa yang menjadi cita-cita abang dan keluarga, amin.

5. Terimakasih yang tulus kepada Prof.Dr.Bismar Nasution,SH,MH dan Prof.Dr.Ningrum Nastasya Sirait, SH,MLI selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi S3 FH USU pada saat saya ditest ujian masuk dan dinyatakan lulus sebagai mahasiswa S3 di awal tahun 2009. Saya meyakinkan beliau berdua bahwa tulisan ini meskipun kajian hukum adat yang terkesan obsolete, tradisional, tapi tetap up to date bahkan kajian ini sedang menjadi persoalan besar yang dihadapi bangsa ini hari ini. Satu jaminan saya bagi Prof.Ningrum waktu itu adalah penguasaan bahasa Simalungun yang saya miliki, karena pernah bersekolah di Pematang Raya, akan menambah kevaliditasan dan keakurasian data nantinya (dan memang sangat membantu selama saya berada di lapangan bersama masyarakat adat, yang masih ada mengenal saya).

6. Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tinggi nya saya ucapkan kepada Prof.Dr.Usman Pelly,MA selaku Kopromotor penulisan disertasi ini. Masukan-masukan dan pemikiran-pemikiran beliau telah cukup banyak memperkaya materi dalam disertasi ini. Beliau terkadang menelepon, menanyakan tentang kesulitan saya dalam menulis disertasi ini dan menyuruh datang untuk mengambil bahan-bahan yang saya butuhkan, yang sudah dipersiapkan. Dengan senang hati diajak berdiskusi dan meminjamkan buku-buku dari perpustakaannya. Untuk semua kebaikan dan bantuan beliau, saya berdoa semoga Allah swt membalas yang lebih baik lagi kepada beliau dan keluarganya. Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS,CN selaku Kopromotor dalam penulisan disertasi ini. Selama bimbingan, saya banyak menerima cucuran ilmu pengetahuan utamanya di bidang “agraria”, beliau juga banyak meminjamkan literatur kepada saya. Motivasi dan nasehat yang tak henti-hentinya, saya peroleh darinya. Satu hal yang tidak mungkin saya lupakan adalah ucapan beliau yang mengatakan : “Ros, ketika orang-orang mendebatkan tentang “hak ulayat”, mereka akan “mencari” kamu karena kamu intens menuliskan tentang itu, jadilah pakar di bidang hak ulayat”, Semoga ucapan yang menjadi doa beliau diijabah oleh Allah Swt. Untuk semua kebaikan dan keikhlasan beliau, hanya kepada Allahlah saya berharap agar Dia memberikan rakhmatNya kepada beliau dan keluarga. Juga para staf beliau : Dr.T.Devi Keizerina,SH,CN,M.Hum, Fatimah, Lisa, Sari, dan lainnya yang banyak membantu saya.

7. Kepada Bapak Dj.Naiborhu (direktur SMAN 3 Pematangsiantar) yang merekomendasikan saya menjadi mahasiswa FH USU lewat jalur PMDK (Pemanduan Minat Dan Ketrampilan) meskipun beliau menyarankan waktu itu

Universitas Sumatera Utara

agar saya memilih FE (Akuntansi) Universitas Indonesia sesuai cita-cita awal saya tapi atas nasihat ayahanda tercinta, saya harus memilih FH USU. Seluruh alumni SMANTIG Pematangsiantar; Prof.Dr.Sunarmi,SH,M.Hum, yang selalu mengingatkan saya tuk memprioritaskan “disertasi” dari yang lain, agar disertasi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, Dr.Hasim Purba,SH,M.Hum, Dra.Hennita Purba,MPd, Junedi Sirait,SH (Anggota DPRD Bogor), Drs.H.Suayatno (Wakil Bupati Bengkalis), Darlainy Nasution,SE, MM, khusus buat kelas 3 IPS4; bu Salmi, Dilla Haryanti Tarigan,SH,MH, Nurlely, Normadiah, Hanum, Massa Hati Silalahi, Rita Elfrida, Wahyu Ilahi, Syawal Naibaho, Dayat, dan lainnya.

8. Kepada kakak Hj.Farida Tarigan yang karena motivasi awal darinya untuk mengambil program S3. Beliau juga seperti “ibu” bagi saya, karena tak lelah dan berharap atas keberhasilan saya. Kepada Hj.Khalida Djalil,SE, teman seperjuangan di masa S1, terimakasih atas doa, bantuan, motivasi kalian berdua. Semoga Allah membalas yang lebih baik bagi hidup dan kehidupan kalian dan keluarga. Kepada ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan FH USU : kak Ros Budiman, kak Hafsah Sulung, kak Ani Husni, kak Ayu Ikhsan, mba Ani Sulaiman, Yunita Hasibuan, kak Lely Armansyah dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan. Semoga silaturakhim di antara kita tetap terpelihara dengan baik.

9. Seluruh guru-guru saya dari SD sampai Perguruan Tinggi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, karena ilmu dan nasehat mereka lah saya bisa berdiri di tempat ini, saat ini, khusus buat Prof.Dr.M Solly Lubis, SH yang sudah saya anggap seperti orang tua saya sendiri. Beliau tidak pernah lelah diajak berdiskusi tentang hak ulayat, masyarakat adat, adakah political will dari Negara dan pemerintah untuk ini? Begitu selalu yang dipertanyakan beliau. Pertanyaan lainnya selalu ditujukan melalui staf administrasi tentang mengapa saya terlambat mengambil program S3, Saya jawab : Pak, 3 tahun lamanya saya disuruh suami untuk “sekolah”, barulah saya mau. Musibah atas sakit menahun dan berpulangnya putri saya yang kedua, alm. Diva, menyisakan luka yang sangat mendalam dan sulit berkonsentrasi waktu itu. Lantas beliau menjawab : sekarang apakah karena suami kamu bersekolah, saya jawab : utamanya, karena Allah, kedua karena niat saya sendiri dan selanjutnya karena keluarga. Terimakasih pak atas motivasinya, semoga impian saya bisa produktif menulis buku seperti bapak, bisa terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama. Saya berharap semoga Allah tetap memberi kesehatan dan lindunganNya buat bapak dan keluarga.

10. Kepada Bpk. H.Tinggi Sembiring, SH beserta mamak Hj.Rossy.S,SH, yang juga menjadi “orang tua” saya. Beliau membantu saya dalam memperoleh beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas dan karenanya diterima menjadi dosen pada FH USU, dan menjadi asisten beliau dalam mata kuliah Hukum Adat, bapak alm.Datuk Usman, SH, alm.Hamzah,SH, Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum, Syafruddin Sulung,SH,MH,DFM, M.Husni,SH,MH dan terimakasih yang tulus

Universitas Sumatera Utara

kepada ibunda Prof.Hj.Rehgena Purba, SH, MS, yang telah memberi dukungan moril mulai dari S2 sampai hari ini.

11. Prof.Dr.Sulistiowati Irianto, MA, (Guru Besar FH UI) yang telah mengikutsertakan saya dalam grup Socio Legal Study dan membantu saya dalam beberapa literatur. Terimakasih ibu, semoga ibu semakin kuat dalam menghadapi hidup ini dan Tuhan selalu memberkati ibu.

12. Kepada Abanganda Dr.Oloan Sitorus, SH,MH (Ketua STPN BPN, Yogyakarta) dan Abdon Nababan (Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta). Beliau berdua ini selalu dengan lapang hati berdiskusi (sampai jauh malam melalui telepon (by phone) tentang apa saja berkaitan dengan disertasi ini dan banyak mengirim bahan-bahan literatur / yang terkait via email. Penulis juga bangga dipertemukan dalam 2 (dua) kali kesempatan menjadi narasumber bersama Abdon Nababan dalam seminar sehari tentang hak ulayat dan masyarakat adat, terutama di lokasi penelitian disertasi ini (kabupaten Simalungun). Juga kepada abanganda Dr. Jaminuddin Marbun, SH.M.Hum (Dekan FH Dharma Agung). Atas bantuan dan motivasinya, semoga Allah membalasnya.

13. Rekan-rekan Ikatan Alumni FH USU angkatan 85 : H.Erwin Adhanto,SH, Erna Herlinda,SH,M.Hum, Bachtiar Sinaga, SH., yang banyak membantu di lapangan, Rita Manurung,SH, Hirim Tiarma Pasaribu,SH (Inggris), M.Joni,SH,MH, Idha Deliana,SH,MH, Yusnawati, SH,CN, Nuriani, SH, Rifka Daulay,SH, Maslem Simarmata,SH, Sujono,SH, Fatimah, SH, MH, dan lainnya yang tidak bisa saya sebut satu per satu.

14. Rekan-rekan Ikatan Alumni PPS Program Ilmu Hukum S2 USU : Dr.Supandi,SH,M.Hum, Dr.Surya Perdana Ginting,SH,MH, Dr.Iman Jauhari,SH,M.Hum, Susilawati,SH,M.Hum, Muskibah,SH,M.Hum (Jambi), Rajin Sitepu, Roswita Sitompul,SH,M.Hum, Rosmalinda Sitorus,SH,M.Hum, dan lain-lain.

15. Prof.Dr.Jan Michelle Otto, Dr.Mr.Adriaan Badneer, dan rekan-rekan dari grup Socio Legal Study : Dr.Asri Wijayanti, SH, MH (Surabaya), yang telah banyak membantu pengiriman bahan-bahan yang terkait dengan disertasi ini dan mengikutsertakan penulis dalam pelatihan penyelesaian sengketa tanah di Universitas Airlangga, Surabaya. Rina Oktoberina,SH,MA (Bandung), Nanda Amalia,SH,M.Hum (Aceh), mba Santi & Tity Wahju Setiawati,SH, M.Hum (Semarang), Imam Koeswayono, SH, MH (Unibraw, Malang), Muktiono,SH, M.Phil (Unibraw, Malang), Fachrizal Afandi,S.Psi (Unibraw, Malang), Fully Handayani,SH,MA (FH UI), Tri Lisiani Prihatina, SH, MA, Phd., Sonya Claudia Siwu,SH,MH,LLM (Unair, Surabaya), dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

16. Kakanda dan Adinda dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam; Nurdin Lubis,SH,MM, Alm.Prof.Hasnil Basri Siregar,SH, Dr.Maiyasyak Johan, SH,MH, Dr. Faisal Akbar Nasution, SH.M.Hum, Ok. Saidin,SH,M.Hum, bang Enda, Erwin Hafiz, SH, Salahuddin, SH,MH/ Nurmalawaty, SH,M.Hum, Sinta

Universitas Sumatera Utara

Uli Pulungan, SH,M.Hum, Marasamin Ritonga, SH, Syafril Warman,SH, Borkat,SH, Ahsanul Fuad Saragih, SH,MA, Afrizon,SH dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu per satu. Tetaplah : “Yakin Usaha Sampai”.

17. Anak-anak saya : Kevin, Hardyles, SH, Reka, Irfan, Yuni, Yuyun, dan lainnya atas perhatian, waktu yang diberikan atas penyelesaian disertasi ini. Khusus kepada tulang/ito Reoko Putra Panjaitan, SH,MKN atas setiap motivasi dan doa agar saya segera menyelesaikan disertasi ini, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian.

18. Terimakasih disampaikan kepada seluruh ibu-ibu komplek Villa Mutiara Johor 1; Bu Srik, Ira, Bunda, bu Ita Jauzi, Henny, kak Erni, bu Lisa, Rani dan lainnya yang telah membantu saya mengontrol anak-anak saya ketika saya tidak ada di rumah, terima kasih atas kekeluargaan yang mendalam dan kebersamaan kita selama ini, semoga Allah memberi rahmatNya kepada kita semua. Khusus kepada bu Santi dan bu Rina yang menggantikan posisi saya mengajar anak-anak saya dalam pelajarannya selama saya studi. Peran dan dedikasi yang tinggi dari kedua ibu ini sangat membantu dalam pelajaran anak saya. Untuk itu, saya dan keluarga mengucapkan terimakasih yang tulus kepada keduanya, semoga apa yang dicita-citakan mereka berdua dikabulkan oleh Allah swt.

19. Terimakasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada bapak alm. MR Djariaman Damanik, (yang meninggal pada hari Minggu, 3 Maret 2013), mantan ketua PT Denpasar, ketua PT Medan. Beliau juga salah seorang anak dari Raja Damanik sedangkan istri beliau, alm. Martha br Saragih, adalah juga salah seorang putri dari Raja Silampuyang. Dengan beliau berdua, penulis selalu berdiskusi, di mana saja (Siantar ataupun

Medan) dan kapan saja (pagi, sore, bahkan malam). Beliau selalu menelephone saya tentang kesulitan saya dan menanyakan sudah sampai sejauh mana, karena dirasa terlalu lama untuk datang ke rumahnya hanya untuk berdiskusi. Terkadang penulis tersipu malu manakala beliau mendatangi saya, di fakultas hanya untuk menyerahkan buku-buku, Acte Consessie, dll, serta menerjemahkan langsung kepada saya bahasa Belandanya. Alasan berbuat demikian karena beliau menyatakan : “tulisan anak sudah merupakan tanggung jawab saya.” Benarlah beliau berdarah biru, beliau adalah anak Raja, (salah seorang Raja Marpitu) yang jiwa, perasaan, hatinya selalu ada di Simalungun meskipun raga ini ada dimana-mana (terkadang di Bali, Medan bahkan di luar negeri). Beliau salah satu pengetua adat di Simalungun meskipun oleh Negara dianggap “tidak” karena tidak berada di wilayah setempat. Ompung, Bapak…maafkan saya bila disertasi yang utuh ini tidak sempat bapak baca, tapi saya yakin bapak melihat dan mengetahuinya. Semoga Tuhan melapangkan jalannya. Terimakasih juga kepada para responden dan narasumber, Camat, Lurah, gamot dan seterusnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Kepada Ayahanda almarhum H.Muhammad Yahya Sembiring dan ibunda Hj.Nursatia br Panjaitan, terimakasih atas kasih sayang, pengertian, semangat, dan selalu mengisi harinya dengan doa-doa yang tulus. Kepada tante saya, Rahmawaty br Panjaitan beserta uda Marpaung, uda Drs.Kondarius Ambarita yang telah menemani

Universitas Sumatera Utara

hari-hari saya selama di lapangan Alm. Tuan Manuel Panjaitan/Alm. Hj. Nurmiah br Sibarani (nek ito/eda), tulang Sahat Panjaitan/D. br Hutajulu, Tulang saya ini adalah popparan ni (keturunan dari) Raja Tuan Nakhoda Pajaitan, yang turut membesarkan dan mendidik saya dari kecil, kakak saya, Hj.Hidayani Sembiring (semoga secepatnya diberi kesembuhan), beserta suami H.Mhd.Djamil dan adik-adik saya Ir.Sry Rezeky Sembiring, T.Ivo Sembiring,S.Psi/Ir. Bambang Sucipto, sepupu saya Ica dan Yul, tante Ida/pa Etek, pak tua, pak tengah, pak uda Indra Sembiring, bibi uda/ bunde Hj. Rukiah Sembiring/ Hj.Ibrahim Lubis, tulang Palit Nasution,SE, MM, atas segala doanya dan seluruh keluarga yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Juga kepada ponakan-ponakanku Tika, Putri, Arif dan lain-lain, semoga kalian bisa mengikuti jejak ‘mama/wak’.

Kepada suami tercinta, Ir.Suhadianto,MT, yang telah dengan sabar menghadapi saya, beliau adalah motivator ulung dan hebat, yang pernah saya kenal, dan anak-anakku tersayang : .Ridho Eko Prasojo, alm Diva Wahyuni, Mhd.Zaman Baskoro. Terimakasih atas kebersamaan kita, kasih sayang, pengertian, dan kesabaran yang merupakan sesuatu yang sangat berarti dalam penyelesaian disertasi ini. Maafkan mama jika selama studi ini bukanlah “ibu yang baik”, karena kurang memperhatikan pelajaran-pelajaran kalian. Untuk itu kepada Allah mama mohon ampun dan kepada kalian mama mohon dimaafkan. Semoga kelak keberhasilan ini menjadi motivasi bagi kalian untuk dapat juga meraihnya kelak dan menjadi anak-anak yang sholeh. Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kegiatan promosi ini, kepada hadirin dan undangan sekalian yang telah meluangkan waktu dan perhatian, saya ucapkan terimakasih dan mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmatNYA kepada kita semua. Wabillahi taufiq wal hidayah, wasalamu’alaikum wr.wb, salam sejahtera dan selamat siang.

Medan, April 2013

Rosnidar Sembiring

Universitas Sumatera Utara

PANDANGAN KRITIS TENTANG PENYELESAIAN

SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL

(STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN)

Rosnidar Sembiring1

Runtung

2

Usman Pelly

3

Muhammad Yamin

4

ABSTRAK

Sengketa atau konflik bukan suatu keadaan yang statis, sengketa bersifat ekspresif, dinamis, dan dialektis. Istilah sengketa atau konflik berasal dari kata dispute atau conflict, kebanyakan di berbagai negara dipakai secara bergantian. Tulisan ini memfokuskan sengketa pertanahan, yang berdasarkan keputusan BPN RI No.34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan adalah : “Perbedaan nilai, kepentingan, pendapat, dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, atau status keputusan tata usaha Negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.”Perkembangan sengketa pertanahan secara kuantitas maupun kualitas selalu mengalami kenaikan, bahkan di seluruh wilayah Indonesia, dari tahun ke tahun, jumlah kasus tanah terus meningkat. Dalam kurun 2 (dua) tahun saja, jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI meningkat 5000% (lima ribu persen). Antara tahun 2005 sampai dengan Agustus 2011, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg) menerima 5.767 berkas kasus sengketa tanah. Kasus ini terbanyak ketiga setelah berkas masalah hukum (9.602) dan berkas masalah ketenagakerjaan (8.474). Wilayah yang tercatat paling sering bersengketa pada tahun 2012 ini adalah Jawa Timur (36 kasus), Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), Jambi (11 kasus), Riau (10 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus), dan sisanya tersebar di provinsi lainnya.

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Guru Besar Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3 Guru Besar Antropologi, Universitas Negeri Medan

4 Guru Besar Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Perumusan permasalahan disertasi ini adalah : 1. Bagaimanakah status hukum hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun dalam

Sistem Hukum Pertanahan Nasional? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa hak atas tanah adat di

kabupaten Simalungun? 3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam hal menyelesaikan sengketa hak atas

tanah adat di kabupaten Simalungun? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian disertasi ini bersifat

penelitian hukum normatif (doctrinal) dan empiris (non-doctrinal) dengan pendekatan socio legal study, jadi diawali dari penelusuran peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya tentang Sistem Hukum Pertanahan Nasional, UU sektoral tentang Sumber Daya Agraria dengan berbagai kritikan terhadapnya kemudian secara empiris tentang perilaku hukum sehingga akhirnya bisa memperoleh faktor penyebab sengketa tanah adat sekaligus upaya penyelesaiannya. Lokasi penelitian, sengketa yang berkaitan dengan hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun juga banyak terjadi, namun ada 4 (empat) kasus besar yang dianalisis dalam tulisan ini yaitu : 1. Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok, kelurahan Parapat,

kecamatan Panei, kabupaten Simalungun. 2. Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang 3. Sengketa Hak Atas Tanah Adat pada Masyarakat Kebun Bangun (Kasus Tanjung

Pinggir), klaim pelepasan eks HGU PTPN III Kebun Bangun, kota Pematangsiantar.

4. Sengketa Hak Atas Tanah Adat antara Masyarakat dan Perkebunan Bandar Betsy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status hukum hak atas tanah adat di

kabupaten Simalungun masih eksis. Terbukti masih adanya masyarakat adat / etnis Simalungun yang diikat oleh faktor territorial (huta) dan genealogis (marga). Masih dijumpai objek hak ulayat (hak partuanon), misalnya : bong-bongan sahuta, parjalangan sahuta, panambuhan sahuta, parsinumbahan, pamelean, dan lainnya yang secara spuradis terdapat di berbagai wilayah Simalungun, masih dipatuhinya hukum adat simalungun, masih ada tetua-tetua adat (keturunan Raja Marpitu). Faktor penyebab timbulnya sengketa hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun : Faktor historis, hukum dan non-hukum. Secara historis pemerintahan Hindia Belanda menerapkan hukum Barat terhadap sistem penguasaan tanah-tanah di Indonesia, hukum barat sebagai acuan sesuai dengan kepentingan penjajah, justru ini melemahkan sendi-sendi hukum adat dan memicu sengketa di antara warga masyarakat, mengenai objek tanah maupun kepemilikannya. Faktor hukum; aturan yang saling kontradiksi, tidak jelas, aparatur hukum yang tidak memahami hukum, dan budaya hukum masyarakat yang tidak patuh, administrasi pertanahan yang kurang baik sehingga dalam penyelesaian sengketa tanah terkadang terjadi tumpang tindih kewenangan. Untuk itu disarankan huta atau marga mempertahankan eksistensi hak partuanon. Karenanya perlu dibentuk “pusat kajian Simalungun” terdiri dari stake holder yaitu : Pemerintah kabupaten Simalungun, DPRD, Akademisi, LSM,

Universitas Sumatera Utara

masyarakat adat setempat, tetua-tetua adat, untuk berdiskusi (secara ilmiah / non-ilmiah) tentang Simalungun atau tentang penyelesaian sengketa hak atas tanah adat, membuat peraturan daerah tentang hak partuanon yang berasaskan hukum adat simalungun (asas, prinsip, lembaga, misal : prinsip habonaron do bona , dan lain-lain) sehingga tercipta hukum yang benar-benar menyentuh (legal empathy) sekaligus melaksanakan reformasi di bidang agraria dengan prinsip think globally but act locally.

Kata kunci : Sengketa, hak atas tanah adat, Sistem hukum pertanahan nasional.

Universitas Sumatera Utara

CRITICAL VIEWS ON THE SETTLEMENT INDIGENOUS LAND DISPUTE IN

LAND NATIONAL LEGAL SYSTEM (STUDY IN DISTRICT OF SIMALUNGUN)

Rosnidar Sembiring5

Runtung

6

Usman Pelly

7

Muhammad Yamin

8

ABSTRACT

Dispute or conflict is not a static situation, the dispute is expressive, dynamic and dialectical. Disputes or conflicts term derived from the word dispute or conflict, mostly in various countries used interchangeably. This paper is focused on land disputes, the decision based on BPN RI 34 Year 2007 regarding Technical Guidelines Handling and Settlement of Land Problems are:

"The difference in values, interests, opinions, and or perception between individuals or legal entity (private or public) on the status or the status of the acquisition and possession and or usage status or utilization of certain parcels of land, or the status of state administrative decisions regarding the acquisition, possession or use of the land or the use of certain. "

The development of land disputes in quantity and quality always increases, even in the whole of Indonesia, from year to year, the number of land cases continues to increase. Within 2 (two) years, the number of reported cases of land by the National Land Agency (BPN) RI increased 5000% (five thousand percent). Between 2005 to August 2011, the Ministry of the State Secretariat (Kemensesneg) received 5767 land dispute case file. The case is the third highest after the file legal matters (9602) and file labor issues (8474). Areas that recorded most often disputed in 2012 was East Java (36 cases), North Sumatra (25 cases), South East Sulawesi (15 cases), Central Java (12 cases), Edinburgh (11 cases), Riau (10 cases) , South Sumatra (9 cases), and the rest scattered in other provinces. Areas that recorded most often disputed in 2012 was East Java (36 cases), North Sumatra (25 cases), South East (15 cases), Central Java (12 cases), Edinburgh (11 cases), Riau (10 cases) , South Sumatra (9 cases), and the rest scattered in other provinces.

5 Lecturer at the Faculty of Law, University of North Sumatra

6 Customary Law Professor at the Faculty of Law, University of North Sumatra

7 Professor of Anthropology, State University of Medan

8 Professor of Agrarian Law at the Faculty of Law, University of North Sumatra

Universitas Sumatera Utara

In accordance with research sites, disputes relating to customary land rights in the District of Simalungun too much going on, but there are 4 (four) major cases analyzed in this paper are: 1. Indigenous Land Rights Dispute in Bangun Dolok Village, Parapat village, Panei

sub, Simalungun district. 2. Indigenous Land Rights Dispute of Peoples of Silampuyang. 3. Indigenous Land Rights Dispute in Kebun Bangun Community (Tanjung Pinggir

Case), claims the release of the concession of Right of Cultivation of PTPN III Kebun Bangun, Pematangsiantar city.

Based on what has been described above, defined some of the problems that this dissertation focused and directed, namely: 1. How is the legal status of customary land rights in the Simalungun district in the

National Land Law System? 2. What factors led to the emergence of customary land rights disputes in the

Simalungun district? 3. How efforts in resolving disputes over customary land rights in the Simalungun

district? The research method used in this dissertation research is normative legal

research (doctrinal) and empirical (non-doctrinal) socio-legal approach to study, so the search begins from the written regulations or other legal materials on the System of National Land Law, Law Sector of Agricultural resources with various criticisms against him then the empirical laws of behavior that could eventually acquire customary land disputes factor once effort to completion.

The results showed that the legal status of customary land rights in the district Simalungun still exist. Evidently still the indigenous / ethnic Simalungun bound by territorial factors (huta) and genealogical (clan). Still objects found customary rights (rights partuanon), for example: bong-bongan sahuta, parjalangan sahuta, panambuhan sahuta, parsinumbahan, pamelean, and others that are found in various spuradis regions in Simalungun, still using Simalungun customary law, there are still indigenous elders (descendant of King Marpitu). Factors causing the customary land rights disputes in the district Simalungun. The historical, legal and non-legal. Historically the Dutch East Indies government to apply the law of the West against the system of land tenure in Indonesia, western law by reference in accordance with the interests of the invaders, it weakens the customary law and trigger disputes among members of the community, the land and the ownership of the object. Legal factors; rules contradict each other, it is not clear, the legal apparatus does not understand the law, and the legal culture of non-compliance, poor land administration resulting in the settlement of land disputes sometimes overlapping authority. It is recommended huta or clan partuanon maintain the existence of rights. Therefore necessary to set up "Simalungun Study Center" consists of stakeholders, namely: Local Simalungun Governments, parliament, academics, NGOs, local indigenous community, indigenous elders, to discuss (in fiction / non-fiction) about Simalungun or disputes about customary land rights, make regulations on the rights partuanon ° Based

Universitas Sumatera Utara

Simalungun customary law (principle, principles, institutions, eg the principle of habonaron do bona, etc.) so as to create laws that really existed (legal empathy) simultaneously implement reforms in the agrarian sector with the principle of think globally but act locally. Keywords: Disputes, indigenous land rights, national land law system.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… i KOMISI PEMBIMBING DAN TIM PENGUJI ………………………. i KATA PENGANTAR ……………………………………………………. ii ABSTRAK ………………………………………………………………... viii ABSTRACT ……………………………………………………………… xi DAFTAR ISI ……………………………………………………………… xiv DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xvii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xviii BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………… 1

A. Latar Belakang ………………………………………………… 1 B. Perumusan Masalah …………………………………………… 30 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 32 D. Manfaat Penelitian …………………………………………… 33 E. Kerangka Teori dan Konsep ………………………………….. 34

1. Kerangka Teori …………………………………………… 34 2. Konsep ……………………………………………………. 52

F. Metode Penelitian ……………………………………………… 59 1. Pendekatan …………………………………………………. 59 2. Jenis, Sifat, dan Teknik Penelitian …………………………. 62

G. Asumsi ………………………………………………………… 66 H. Sistematika Penulisan ………………………………………… 67

BAB II : STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (di Kabupaten Simalungun) …………………………………. 69

A. Deskripsi Tentang Kabupaten Simalungun …………………… 69 1. Tinjauan mengenai historis (sejarah) Simalungun ………… 69 2. Nama Simalungun dalam perdebatan ……………………… 72 3. Masuknya orang Tapanuli ke Simalungun ……………….. 73 4. Pemerintahan Swapraja …………………………………… 79 5. Asal-usul orang Simalungun ……………………………… 84

Universitas Sumatera Utara

6. Filosofi Hidup orang Simalungun ………………………… 90 7. Simalungun dalam Angka …………………………………. 96

B. Sistem Hukum Pertanahan Nasional …………………………… 101 1. Sistem Hukum Tanah Nasional …………………………… 101 2. Konsep Hukum Tanah Nasional …………………………… 112 3. Objek Hukum Tanah Nasional ……………………………. 117 4. Prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasional ………………….. 123

C. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun ………….. 142

1. Hukum Pertanahan di Simalungun ……………………… 142 2. Masyarakat Hukum Adat Simalungun ………………….. 156 3. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun ……… 162 4. Hak Atas Tanah Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional dan Kritikan Terhadapnya …………………… 176 5. Transaksi yang dikenal dalam Hukum Adat …………… 216

BAB III : FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DI KABUPATEN SIMALUNGUN …………… 241

A. Pengertian Sengketa Pertanahan ………………………………… 241 1. Pengertian Sengketa Hukum Atas …………………………… 241 2. Dasar-dasar dan Landasan Penyelesaian Sengketa Pertanahan 242 3. Asas-asas yang harus diperhatikan dalam menyelesaiakan sengketa tanah khususnya adalah asas penguasaan dan pemilikan tanah ……………………………………………… 246

B. Tipologi Sengketa Pertanahan …………………………………… 248 1. Sengketa Pertanahan yang bersifat politis ……………………. 257 2. Sengketa Pertanahan yang beraspek sosial-ekonomis ……….. 261 3. Sengketa Pertanahan yang bersifat keperdataan ……………… 262 4. Sengketa Pertanahan yang bersifat administratif 263

C. Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan ……………… 278 D. Tipologi dan Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan di Kabupaten Simalungun ……………………………………… 290 1. Kasus 1 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok, Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun ………………………………………… 299 2. Kasus 2: Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang 310 3. Kasus 3 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat pada Masyarakat Kebun Bangun (Kasus Tanjung Pinggir), klaim pelepasan eks HGU PTPN III Kebun Bangun, Kota Pemantangsiantar. ……… 334 4. Kasus 4 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat dengan Perkebunan Bandar Betsy ……………………………………… 357

Universitas Sumatera Utara

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DI KABUPATEN SIMALUNGUN …………………………… 377

A. Temuan Desa Tanpa Sengketa Tanah (Desa Sipoldas dan Desa Bangun Das Meriah,Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun) .………………………………………………….. 378 B. Penyelesaian Sengketa Tanah menurut Musyawarah Mufakat (Hukum Adat Simalungun) ……………………………………. 385 C. Penyelesaian Sengketa Melalui Instansi Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Simalungun …………………………………………… 399 D. Penyelesaian Kasus/sengketa hak atas tanah adat melalui litigasi (Badan peradilan) di Kabupaten Simalungun ……………………… 407

1. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun ………………………………………… 407 2. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang …………………………………………………… 414 3. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Kebun Bangun (Kasus Tanjung Pinggir, klaim Pelepasan Eks HGU PTPN-III Kebun Bangun Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara) ……………………………………………….. 421 4. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat dan Konflik tanah yang berkembang antara Masyarakat dengan perkebunan Bandar Betsy ……………………………………… 426

BAB V : PENUTUP ………………………………………………………… 433

A. Kesimpulan ………………………………………………………. 433 B. Saran ……………………………………………………………… 447

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 450

CURICULUIM VITAE ……………………………………………………… 470

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 1 Sengketa Regional Berdasarkan Jenis Sengketa…………………… 5 Tabel 2 Permasalahan Tanah yang diterima oleh Provinsi Sumatera

Utara Tahun 2011.. ……………………………………………… 8 Tabel 3 Luas Daerah Menurut Kecamatan ……………………………… 97 Tabel 4 Banyaknya Nagori (Desa) dan Kelurahan menurut Kecamatan 2009 ………………………………………………… 98 Tabel 5 Permasalahan Pertanaha oleh BPN ……………………………… 255 Tabel 6 Objek/Tanah yang Dituntut oleh Kelompok Tambun Nabolon (ha) 337 Tabel 7 Objek/Tanah yang Dituntut oleh Kelompok Tanjung Pinggir…… 338 Tabel 8 Objek/Tanah yang dituntut oleh Kelompok Kandang Lembu…… 340 Tabel 9 Objek/Tanah yang dituntut oleh Kelompok Gurilla (ha)………… 341 Tabel 10 Luas Wilayah menurut Huta (Dusun) Tahun 2012 ……………… 389 Tabel 11 Luas Wilayah berdasarkan pada jumlah Kepadatan Penduduk per Huta……………………………………………………………. 390 Tabel 12 Banyaknya Penduduk dirinci Menurut Jenis Kelamin…………… 390 Tabel 13 Banyaknya Penduduk Berdasarkan Agama……………………… 391 Tabel 14 Banyaknya Sarana Ibadah Menurut Agama dan Huta Tahun 2009 392 Tabel 15 Banyaknya Jumlah Penduduk berumur 10 Tahun ke atas menurut

status pekerjaannya………………………………………………. 392

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR Nomor Judul Halaman Gambar 1 Harangan 149 Gambar 2 Sappalan 150 Gambar 3 Tanoh rih 150 Gambar 4 Parbalogan 151 Gambar 5 Sawah Lombang 151 Gambar 6 Tanoh reben 152 Gambar 7 Tanoh roba 152 Gambar 8 Bong-bongan sahuta 167 Gambar 9 Parmahanan huda pakon horbou Tuan Damak 168 Gambar 10 Horbangan 169 Gambar 11 Tempat merawat hewan (kuda/kerbau) 169 Gambar 12 Parjalangan Sahuta 170 Gambar 13 Parsinumbahan 171 Gambar 14 Paridian ni Raja 171 Gambar 15 Dalan ni bah 172 Gambar 16 Umbul ni bah 173 Gambar 17 Martokkarang/sopou ni losung 174 Gambar 18 Losung jantan 174 Gambar 19 Losung betina 175

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sengketa yang juga dikenal konflik adalah dua kosa kata yang tidak sama, tetapi sulit untuk dibedakan sehingga di dalam penggunaannya adakalanya dilakukan secara bergantian9

Sengketa adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat, dan atau persepsi antara orang perorangan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu atau status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut penguasaan, pemilikan, dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.

.

Konflik adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu atau status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, serta mengandung aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya.10

Studi kepustakaan menunjukkan bahwa di kalangan ahli sosiologi (termasuk sosiologi hukum) pengkajian lebih terfokus pada istilah konflik (conflict), sedangkan di kalangan ahli antropologi hukum terdapat kecendrungan untuk memfokuskan pada istilah sengketa (dispute).

11

Sengketa bisa terjadi antar individu, antara individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok. Tentang pembagian sengketa ini Roy. J. Lewicki dkk, mengklasifikasikan berdasarkan jumlah atau kelompok manusia yang mengadakan interaksi didalamnya, ke dalam empat bentuk yaitu :

12

1. Intrapersonal or Intrapsychic Conflict, konflik ini terjadi dalam diri individu tersebut. Sumber-sumber konflik dapat meliputi pendapat, pikiran, emosi, penilaian, predisposisi sesuatu. Misalnya seorang karyawan marah pada atasannya

9 Runtung, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Berastagi, disertasi, (Medan : PPS USU, 2002), hal. 74. Istilah sengketa atau konflik yang berasal dari kata dispute atau conflict kebanyakan di berbagai Negara dipakai secara bergantian (pen).

10 http://d5er.wordpress.com/2010/12/21/perbedaan-sengketa-konflik-dan-perkara/

11 Lihat Valerine J.L. Kriekhoff, “Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)”, dalam T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993) hal. 224.

12 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase) (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama ; 2001), hal. 25-26

Universitas Sumatera Utara

(Bos), tetapi dia takut mengutarakannya karena atasan tersebut dapat memberhentikannya. Disini terdapat konflik batin dalam diri si karyawan.

2. Interpersonal Conflict (Konflik antar Individu) adalah konflik yang terjadi di antara majikan dan karyawan, suami-isteri, saudara kandung, atau kawan sekamar.

3. Intragroup Conflict, konflik yang terjadi dalam kelompok kecil di antara team dan anggota panitia dengan keluarga, kelas, kelompok-kelompok persaudaraan, dan perkumpulan mahasiswa-mahasiswi.

4. Intergroup Conflict, konflik yang terjadi antar group, seperti antara serikat-serikat kerja dengan pengelola, perseteruan keluarga, kelompok masyarakat dengan pemerintah yang berkuasa.

Dalam ranah hukum, dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek tertentu. Hal ini terjadi di karenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya13

Berdasarkan Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

.

Sengketa pertanahan adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat, dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.

Dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan,

Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.

Sengketa tanah dapat berupa sengketa hak ulayat, sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan. Walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional. Kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan.

Tabel di bawah membandingkan angka di tingkat nasional dengan hasil di tingkat regional. Tipe Konfl ik Indone Sumatera Jawa/Bali Kalimantanulawe NTB/NTT Maluk

13 Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, (Jakarta Selatan : Margaretha Pustaka, 2012), hal. 48.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1 Sengketa Regional berdasarkan jenis sengketa

Tipe Sengketa Indonesia Sumatera Jawa/ Bali

Kalimantan Sulawesi NTB/ NTT

Maluku/ Papua

Tindak Pidana

16,4% 15,6% 16,0%

10,9% 16,9% 24,2% 18,6%

Sengketa Tanah/ Gedung

13,3% 9,6% 9,2% 14,2% 17,5% 23,3% 19,5%

Perselisihan Keluarga

10,9% 8,3% 11,0%

8,0% 9,8% 17,3% 15,3%

Penyalahgunaan Wewenang

2,8% 1,7% 3,0% 2,4% 2,3% 4,0% 4,8%

KDRT 7,6% 5,1% 6,2% 5,2% 4,1% 13,8% 19,8% Sengketa Pemilu

3,2% 1,3% 4,2% 1,8% 2,0% 2,6% 8,8%

SARA 2,0% 1,2% 1,7% 1,2% 3,4% 1,9% 3,9% Sumber : Asia Foundation (2001), World Bank (2004), UNDP (2007), Justice for All ? An assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia.

Sifat sengketa/ konflik bukan suatu keadaan yang statis. Sengketa bersifat

ekspresif dinamis, dan dialektis.14

Perkembangan sengketa pertanahan, secara kuantitas selalu mengalami kenaikan, penyebabnya antara lain adalah luas tanah yang tetap, sementara jumlah penduduk yang memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhannya selalu bertambah dan adanya akumulasi sengketa kepentingan antara pemilik tanah (perorangan, masyarakat adat, badan hukum swasta, pemerintah) dengan perseorangan atau badan hukum swasta lainnya.

14 M. Yamin, Model Kebijakan Penyelesaian Konflik Tanah, makalah, 26 Juni 2012, hal. 6

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia15

Henry Rustandi Butarbutar juga menuturkan, data itu berdasarkan inventarisasi kasus yang dihimpun dari setiap Kanwil BPN di Indonesia. Tren kasus pertanahan memang meningkat, terutama tanah perkebunan. Sedangkan sengketa yang menyangkut tanah aset negara tidak sebanyak sengketa tanah perkebunan.

, dari tahun ke tahun jumlah kasus tanah terus meningkat. Dalam kurun dua tahun saja, jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia meningkat lima ribu kasus. Menurut Kasubdit Sengketa Pertanahan BPN RI, Henry Rustandi Butarbutar, pada tahun 2007 jumlah laporan sengketa yang masuk hanya 2.615 kasus. Namun pada tahun 2009, jumlahnya melonjak 300 persen menjadi lebih dari tujuh ribu kasus di seluruh Indonesia.

Henry Rustandi Butarbutar mengatakan, sebagian besar sengketa pertanahan itu terjadi antara perusahaan perkebunan, baik PTPN maupun non PTPN, dengan masyarakat16

Senada dengan data BPN di atas, Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kemensesneg, Yoseph Indrajaya, mengatakan masalah pertanahan masih kerap kali disampaikan masyarakat. Sejak tahun 2005, masalah pertanahan yang diadukan cenderung tidak menurun. Antara Januari 2005 hingga Agustus 2011, Kementrian Sekretariat Negara (Kemensesneg) menerima 5.767 berkas kasus sengketa tanah. Kasus ini terbanyak ketiga setelah berkas masalah hukum (9.602) dan berkas masalah ketenagakerjaan (8.474).

. Sengketa itu terjadi karena tanah yang diklaim milik perusahaan perkebunan, diduduki atau digarap oleh warga. Pendudukan itu pun terjadi karena warga menganggap lahan milik perkebunan itu diterlantarkan. Jumlah sengketa tanah yang semakin bertambah tidak selamanya karena ada lahan baru yang diperebutkan. Malah sebaliknya, satu lahan dapat diklaim oleh banyak pihak, sehingga jumlah kasusnya menjadi banyak.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun mencatat bahwa sengketa pertanahan meningkat dari tahun ke tahun. Menurut KPA, sedikitnya sengketa lahan terjadi di atas area seluas 472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga sepanjang 2011. Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas kasus adalah perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infrastruktrur (21 kasus), pertambangan (8 kasus), dan pertambakan (1 kasus). Jumlah total mencapai 163 kasus sengketa/ sengketa tanah dengan korban jiwa sebanyak 22 orang yang tersebar di 25 provinsi.

15 Benhard Limbong, Op Cit. hal 59. 16 Ketika persoalan tanah sampai pada sengketa antara pemerintah dengan rakyat, penguasa/investor

dengan rakyat ujung-ujungnya rakyat tidak pernah menang, terlepas dari menurut hukum itu benar, karena rakyat miskin tidak pernah dapat menunjukkan alat bukti hak atas tanah yang berupa sertifikat. Rakyat miskin hanya dapat mendalilkan bahwa : a. Mereka sudah tinggal di situ bertahun-tahun lamanya, beranak cucu. b. Mereka telah lama mengerjakan lahan di situ untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka c. Kadang-kadang mereka juga ada yang membayar pajak tanah kepada desa. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan

terus—menerus. Janganlah Negara demi kepentingan pihak investor mengorbankan kepentingan rakyat, Negara wajib melindungi rakyatnya, Andi Muttaqien dan kawan-kawan, UU Perkebunan, Wajah Baru Agrarische Wet, (JakSel : Elsam-Sawit Watch-Pilnet, 2012), hal.262.

Universitas Sumatera Utara

Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 106 kasus sengketa tanah dan menewaskan 3 warga.

Adapun wilayah yang tercatat paling sering bersengketa di tahun 2012 ini adalah Jawa Timur (36 kasus), Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), Jambi (11 kasus), Riau (10 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus) dan sisanya tersebar di provinsi lainnya. Bahkan permasalahan tanah yang diterima oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011 adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Permasalahan Tanah yang diterima oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2011 No KABUPATEN/ KOTA JUMLAH

1 Medan 46 2 Binjai 39 3 Langkat 53 4 Deli Serdang 304 5 Serdang Bedagai 17 6 Karo 2 7 Tebing Tinggi 2 8 Batu Bara 8 9 Pematang Siantar 5 10 Simalungun 40 11 Asahan 25 12 Tanjung Balai 6 13 Dairi 2 14 Toba Samosir 4 15 Samosir 1 16 Humbang Hasundutan 5 17 Pakpak Barat 1 18 Tapanuli Utara 2 19 Sibolga 1 20 Tapanuli Tengah 7 21 Tapanuli Selatan 6 22 Padang Sidempuan 4 23 Labuhan Batu 24 24 Labuhan Batu Selatan 17 25 Labuhan Batu Utara 24 26 Mandailing Natal 20 27 Padang Lawas Utara 7 28 Padang Lawas 19 29 Nias 2 30 Nias Selatan 4

Universitas Sumatera Utara

JUMLAH 697 Sumber : Seminar Hukum; Konflik Pertanahan di Sumatera Utara, Balai Raya Tiara

Convention Hall, Medan, 21 April 2012

Sengketa antara hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah dan Negara telah berlangsung sejak lama17. Sebanyak 2.913 kasus sengketa dan perkara pertanahan hingga saat ini masih menunggu penyelesaian melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dari total 7.491 kasus sengketa tanah yang dilaporkan kepada BPN, hingga akhir tahun 2009 baru diselesaikan sebanyak 4.578 kasus18

Banyaknya tuntutan masyarakat terhadap eks HGU PTPN II, III, IV sebagai tanah ulayat dan tanah garapan yang telah diusahai dan dikuasai secara turun temurun menimbulkan konflik horizontal maupun vertikal yang mengarah pada tindakan anarkis.

.

Eks HGU PTPN II seluas + 5.873,06 ha dengan perincian :

1. Keputusan Kepala BPN No : 42/HGU/BPN/2002 tanggal 29 November 2002

seluas 3,366,55 ha terletak di kabupaten Deli Serdang.

2. Keputusan Kepala BPN No : 43/HGU/BPN/2002 tanggal 29 November 2002

seluas 1,210,87 ha terletak di kabupaten Langkat

3. Keputusan Kepala BPN No : 44/HGU/BPN/2002 tanggal 29 November 2002

seluas 238,52 ha terletak di kabupaten Binjai

4. Keputusan Kepala BPN No : 10/HGU/BPN/2002 tanggal 6 Februari 2004 seluas 1.057,12 ha terletak di kabupaten Deli Serdang.

Sampai saat ini permasalahan eks HGU PTPN II sebgaian belum dapat diselesaikan walaupun telah dilakukan Memorandom Of Understanding (MOU) antara BPN Provinsi Sumatera Utara dengan PTPN II untuk melakukan pengukuran ulang terhadap HGU PTPN II yang diberikan perpanjangannya, namun sampai saat ini belum tercapai kesepakatan untuk finalisasi terhadap pelaksanaan MOU tersebut. Dengan kondisi ini dikhawatirkan proses permohonan pelepasan dari Menteri Negara BUMN terhadap Eks HGU dimaksud akan terkendala.19

Eks HGU PTPN III seluas ± 5.987,90 ha terletak pada 7 (tujuh) Kabupaten/kota se Sumatera Utara yang belum mendapat pelepasan asset dari Menteri Negara BUMN RI dengan perincian sebagai berikut :

17 Mochammad Tauhid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Bagian Kedua, (Jakarta: Tjakrawala, 2012), hal.17.

18file:///C:/Documents%20and%20Settings/user/My%20Documents/Sengketa%20tanah/2.913.Sengketa.Tanah.Menunggu.Penyelesaian.htm, diakses tanggal 09 November 2010.

19 Hasbullah Hadi (Ketua Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara), Penanganan Masalah Petanahan di Provinsi Sumatera Utara, makalah, Dialog Publik Hukum Pertanahan di FH USU, 24 Sept 2011, hal.2.

Universitas Sumatera Utara

1. Sk HGU No: 3/HGU/BPN/2005 tanggal 13 Januari 2005 seluas 16,84 ha terletak

di Kabupaten Simalungun.

2. SK HGU No: 147/HGU/BPN-RI/2009 seluas 0,86 ha terletak di Kabupaten

Simalungun.

3. SK HGU No: 92/HGU/BPN-RI/2009 seluas 8,84 ha terletak di Kabupaten

Simalungun

4. SK HGU No: 115/HGU/BPN/2003 seluas 1.051,82 ha terletak di Kabupaten

Labuhan Batu

5. SK HGU No: 117/HGU/BPN/2005 seluas 42,73 ha terletak di Kabupaten

Labuhan Batu

6. SK HGU No: 118/HGU/BPN/2005 seluas 461,12 ha terletak di Kabupaten

Labuhan Batu.

7. SK HGU No: 119/HGU/BPN/2005 seluas 363,25 ha terletak di Kabupaten

Labuhan Batu.

8. SK HGU No: 116/HGU/BPN/2005 seluas 338,10 ha terletak di Kabupaten

Labuhan Batu.

9. SK HGU No: 187/HGU/BPN/2004 seluas 260,74 ha terletak di Kecamatan Siais

Kabupaten Tapanuli Selatan.

10. SK HGU No: 179/HGU/BPN/2004 seluas 215,99 ha terletak di Kecamatan

Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.

11. SK HGU No: 178/HGU/BPN/2004 seluas 10,40 ha terletak di Kecamatan

Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.

Universitas Sumatera Utara

12. SK HGU No: 113/HGU/BPN/2005 seluas 717,38 ha terletak di Kecamatan

Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.

13. SK HGU No: 10/HGU/BPN/2005 seluas 586,44 ha terletak di Pijorkoling

Kabupaten Tapanuli Selatan.

14. SK HGU No: 34/HGU/BPN/2008 seluas 3,19 ha terletak di Kecamatan

Marancar Kabupaten Tapanuli Selatan.

15. SK HGU No: 184/HGU/BPN/2004 seluas 61,42 ha terletak di Kecamatan

Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai.

16. SK HGU No: 181/HGU/BPN/2004 seluas 209,55 ha terletak di Dolok Masihul

Kabupaten Serdang Bedagai.

17. SK HGU No: 2/HGU/BPN/2005 seluas 545,48 ha terletak di Kotarih Kabupaten

Serdang Bedagai.

18. SK HGU No: 91/HGU/BPN/2009 seluas 265,60 ha terletak di Sei Rampah

Kabupaten Serdang Bedagai.

19. SK HGU No: 90/HGU/BPN/2009 seluas 1,65 ha terletak di Bandar Kabupaten

Serdang Bedagai.

20. SK HGU No: 37/HGU/BPN/2009 seluas 1,03 ha terletak di Serba Jadi

Kabupaten Serdang Bedagai.

21. SK HGU No: 9/HGU/BPN/2005 seluas 67,52 ha terletak di BP Mandoge

Kabupaten Asahan.

22. SK HGU No: 21/HGU/BPN/2006 seluas 78,00 ha terletak di Bandar Pulau

Kabupaten Asahan.

Universitas Sumatera Utara

23. SK HGU No: 146/HGU/BPN/2009 seluas 35,49 ha terletak di Buntu Pane

Kabupaten Asahan.

24. SK HGU No: 93/HGU/BPN/2009 seluas 69,34 ha terletak di Air Batu Kabupaten

Asahan.

25. SK HGU No: 35/HGU/BPN/2009 seluas 0,69 ha terletak di Sei Suka Kabupaten

Batubara.

26. SK HGU No: 102/HGU/BPN/2005 seluas 574,53 ha terletak di Kota Pematang

Siantar.20

Artinya jika HGU telah berakhir, akibat hukumnya “tanah” akan kembali kepada Negara (karena hak menguasai Negara), sedangkan asset berupa mesin-mesin, pabrik-pabrik, hasil produksi (jika produktif) harus “diangkat”, dalam arti diselesaikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara BUMN RI.

Eks HGU PTPN IV seluas ± 1.641,94 ha terletak di 6 Kabupaten/kota se-Sumatera Utara yang belum dapat pelepasan asset dari Menteri Negara BUMN RI dengan perincian sebagai berikut : 1. SK HGU No: 14/HGU/BPN/2003 seluas 15,37 ha terletak di Hutabayu Raja

Kabupaten Simalungun.

2. SK HGU No: 15/HGU/BPN/2003 seluas 233,53 terletak di Bosar Maligas

Kabupaten Simalungun

3. SK HGU No: 20/HGU/BPN/2003 seluas 26,01 terletak di Panei Kabupaten

Simalungun

4. SK HGU No: 19/HGU/BPN/2003 seluas 138,29 ha terletak di Panei Tongah

Kabupaten Simalungun.

20 ibid , hal.5

Universitas Sumatera Utara

5. SK HGU No: 21/HGU/BPN/2003 seluas 73,73 ha terletak di Bosar Maligas

Kabupaten Simalungun.

6. SK HGU No: 5/HGU/BPN/2005 seluas 0,77 ha terletak di Hatonduhon

Kabupaten Simalungun.

7. SK HGU No: 12/HGU/BPN/2006 seluas 55,86 terletak di Siantar Kabupaten

Simalungun.

8. SK HGU No: 14/HGU/BPN/2006 seluas 3,11 ha terletak di Jorlang Hataran

Kabupaten Simalungun.

9. SK HGU No: 48/HGU/BPN/2008 seluas 22,17 ha terletak di Gunung Maligas

Kabupaten Simalungun.

10. SK HGU No: 54/HGU/BPN/2008 seluas 386,56 ha terletak di Silau Kahean

Kabupaten Simalungun.

11. SK HGU No: 77/HGU/BPN/2008 seluas 410,46 ha terletak di Sosa dan Huta

Raja Tinggi Kabupaten Tapanuli Selatan.

12. SK HGU No: 180/HGU/BPN/2004 seluas 5,50 ha terletak di Dolok Merawan

Kabupaten Serdang Bedagai.

13. SK HGU No: 40/HGU/BPN/2005 seluas 15,31 ha terletak di Tebing Tinggi dan

Dolok Merawan Kabupaten Serdang Bedagai.

14. SK HGU No: 18/HGU/BPN/2003 seluas 53,32 ha terletak di Air Batu Kabupaten

Asahan.

15. SK HGU No: 15/HGU/BPN/2006 seluas 5,46 ha terletak di Kabupaten Asahan.

Universitas Sumatera Utara

16. SK HGU No: 22/HGU/BPN/2007 seluas 22,83 ha terletak di BP Mandoge

Kabupaten Asahan.

17. SK HGU No: 164/HGU/BPN/2009 seluas 3,31 ha terletak di Galang Kabupaten

Deli Serdang.

18. SK HGU No: 163/HGU/BPN/2009 seluas 3,51 ha terletak di Bangun Purba

Kabupaten Deli Serdang.

19. SK HGU No: 36/HGU/BPN/2009 seluas 0,34 ha terletak di Galang Kabupaten

Deli Serdang.

20. SK HGU No: 17/HGU/BPN/2003 seluas 166,50 ha terletak di Limapuluh

Kabupaten Batubara.

Izin lokasi yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten kepada perusahaan perkebunan seringkali mengabaikan keberadaan penduduk yang telah lama bermukim pada lokasi yang diberikan izin. Kemudian adanya tumpang tindih kepemilikan lahan, diserahkannya ganti rugi/ganti untung/tali asih yang diberikan oleh perusahaan perkebunan kepada masyarakat tidak sesuai dan sering salah sasaran. Selain itu juga, masih banyak perusahaan perkebunan yang menguasai dan mengusahai sebuah lahan dalam kurun waktu yang cukup lama namun belum memiliki Surat Keputusan HGU. Kondisi-kondisi tersebut di atas menimbulkan konflik berkepanjangan dan menimbulkan tindakan-tindakan anarkis seperti pemukulan, penangkapan, pengrusakan tanaman dan lain-lain sehingga akan menggangu keamanan dan kenyamanan berusaha.21

Satuan tugas (Satgas) Mafia Hukum hingga Mei 2010 menerima sebanyak 1670 pengaduan dari masyarakat. Bahkan kasus sengketa tanah menempati peringkat pertama dibandingkan kasus korupsi dan kasus-kasus lainnya.

Sengketa/ sengketa tentu membutuhkan perhatian ekstra. Tidak sedikit, kasus-kasus sengketa tanah tersebut berujung pada bentrokan fisik hingga menyebabkan kematian, karena bermuara pada keadilan, sengketa, dan kemiskinan.

Dalam sebuah diskusi di akhir september tahun 2010, menteri Pertanian RI, Suswono mengatakan bahwa petani padi di Indonesia, kepemilikan sawahnya rata-rata hanya 0,2 hektar. Di beberapa daerah memang ada beberapa petani yang luas

21 i b i d.

Universitas Sumatera Utara

lahannya sampai 50 hektar bahkan ada yang lebih, tetapi jumlahnya hanya sedikit kurang dari 1% sedangkan yang terbanyak antara 0,2 - 0,7 hektar.

Patut diterima jika ribuan petani, nelayan, mahasiswa, perangkat desa, dan warga berunjuk rasa di sejumlah daerah22. Mereka menuntut reforma agraria dan penuntutan kasus pertanahan, reformasi di bidang pertanahan dengan memberikan hak – hak rakyat di bidang pertanahan yang dijamin dalam Undang – Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok pokok Agraria ( UUPA )23

Beberapa sengketa pertanahan yang terjadi yang menarik perhatian publik : .

Kasus di Mesuji, Lampung adalah satu dari sekian banyak kasus pertanahan di Indonesia dimana tak ada bentuk kepedulian pemerintah atau negara untuk melindungi rakyatnya.

Di Jambi, Kamis 12/01-12, sekitar 500 orang petani dari sejumlah daerah menuntut pengakuan hak kelola atas lahan yang saat ini diperebutkan dengan sejumlah perusahaan24

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sekitar 100 orang dari 17 elemen masyarakat dan mahasiswa dalam aksi mereka meminta perampasan tanah milik rakyat oleh penguasa dan pemodal dihentikan

.

25

Sengketa Pertanahan pada dasarnya dapat dilihat, adanya sengketa yang timbul di antara warga masyarakat, sengketa antara warga masyarakat dengan perusahaan perkebunan dan sengketa antara warga masyarakat dengan instansi ataupun lembaga pemerintah

.

26

Untuk menyelesaikan permasalahan dan sengketa pertanahan diperlukan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan sebagai pedomannya.

. Salah satu ciri sengketa pertanahan yang cukup banyak menarik perhatian adalah sengketa yang terkait dengan masalah tanah adat. Sengketa/sengketa tanah adat ini antara lain menyangkut sengketa hak ulayat masyarakat hukum adat maupun sengketa tanah adat hak perseorangan dari warga masyarakat hukum adat, karena pengaturan mengenai apa itu hak ulayat, tanah adat dan masyarakat adat belum tegas.

Penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk kepentingan apapun harus ada landasan haknya dan agar tanah dapat dipergunakan secara baik dan benar perlu ditunjang oleh aturan-aturan hukum di bidang pertanahan.

22 Kompas, Pulihkan Hak Tanah Rakyat, 13 Januari 2012 23 Henry Saragih, juru bicara Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia menjelaskan,

aksi dilakukan serentak di 27 Provinsi se-Indonesia, unjuk rasa dilakukan pada Kamis, 12 Januari 2012 di sejumlah daerah.

24 Sarwadi, Ketua Serikat Petani Indonesia ( SPI ) Jambi: sengketa terjadi hampir di semua Kabupaten di Jambi serta melibatkan petani dan perusahaan. Namun, hingga kini tak satu sengketa pun terselesaikan dengan tuntas. Petani justru sering menjadi korban penganiayaan oleh aparat.

25 Dwitho Frasetiandy, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( WALHI) Kalsel, 2008 s/d sekarang, ada 28 kasus sengketa sosial yang terkait perkebunan sawit di Provinsi itu belum termasuk kasus pertambangan. Modusnya berupa penyerobotan tanah masyarakat oleh penguasa. Mereka mendapat izin dari Kepala Daerah. Di Kabupaten Jember, Jatim, Solidaritas Petani Jember untuk Mesuji & Bima mendesak Pemerintah segera menyelesaikan sengketa agraria antara masyarakat dengan Pengusaha dan Pemerintah.

26 Maria S.W Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, (Jakarta: Kompas, 2008), hal.44.

Universitas Sumatera Utara

Demikian pula yang terjadi di daerah Kabupaten Simalungun, salah satu Kabupaten yang berada di daerah Sumatera Utara, berbatasan dengan : Sebelah Utara : Kabupaten Serdang Bedagai/Deli Serdang. Sebelah Barat : Kabupaten Karo Sebelah Selatan : Kabupaten Toba Samosir Sebelah Timur : Kabupaten Asahan/ Batubara Di Tengah : Kota Pematangsiantar27

Di Kabupaten Simalungun kasus-kasus tanah itu ada yang sudah diselesaikan melalui jalur hukum bahkan sampai kepada tingkat kasasi namun Keputusan Mahkamah Agung (MA) itu belum/tidak dapat dieksekusi sampai saat ini.

.

Berikut beberapa contoh kasus tanah yang terjadi: 1. Penyelesaian sengketa hak atas tanah adat oleh MARI No. 2143 K/PDT/2005

Perkara Kasasi Perdata antara Manatar Sinaga dkk melawan Keturunan Amani

Marhilap di daerah Girsang Simpangan Bolon, kelurahan Parapat, Kabupaten

Simalungun. Tapi sampai hari ini keputusan MA ini belum di eksekusi. Kasus

ini adalah sengketa tanah adat antara masyarakat adat versus masyarakat adat.

2. Kasus Silampuyang yang melibatkan masyarakat versus Perseroan Terbatas

Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Marihat.

3. Kasus Sengketa Bandar Betsy (daerah PTPN– IV Gunung Pamela yang terletak

antara Tebing Tinggi - Pematangsiantar.

4. Kasus Tanjung Pinggir antara Masyarakat Versus Pemerintah Kota

Pematangsiantar.

Kajian atas pandangan kritis mengenai penyelesaian sengketa hak atas tanah adat Simalungun di atas menjadi sangat relevan dengan kondisi saat ini dan sangat aktual untuk diteliti secara mendalam disebabkan beberapa hal: 1. Terbukti bahwa kelompok-kelompok masyarakat terus mengklaim dirinya

sebagai Subjek hak ulayat (masyarakat hukum adat Simalungun). Ini otomatis

27 Simalungun Dalam Angka 2010, kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Simalungun dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Simalungun, hal.3.

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan sengketa untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah adat

mereka bahkan sudah sampai jalur hukum. Ini terbukti dari putusan Pengadilan

Negeri sampai ke tingkat Kasasi walaupun eksekusinya belum/ tidak

dilaksanakan28

2. Sengketa yang berkepanjangan ini belum menemukan solusi hukum yang tepat

untuk paling tidak memperkecil sengketa hak atas tanah adat tersebut, walaupun

menurut adat Simalungun, semula dikenal hak bersama atas tanah yang disebut

hak Partuanon, terkait dengan “rahatan ni huta”

.

29

3. Out put dari kebijakan Pemerintah dan Legislator yang menimbulkan

ketidakpastian hukum dan menjadikan sengketa tanah yang terus-menerus

.

30

Dengan perkataan lain, negara lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi nasional daripada kesejahteraan masyarakat lokal.

.

Sengketa-sengketa dengan wujud negatif, sengketa yang dilakukan dengan pertentangan, demonstrasi, pengambilalihan lahan, secara paksa yang menuju pada tindakan anarkhis bahkan membawa korban nyawa dan harta.

Terjadinya sengketa menyangkut hak atas tanah adat tersebut antara lain disebabkan faktor: 1. Ada perbedaan persepsi antara masyarakat dan negara mengenai hak atas tanah.

Negara berpendapat, bahwa negara yang mempunyai hak menguasai atas tanah

berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.

28 Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Simalungun Nomor 26/Pdt/G/2006/PN Sim.,dan Putusan MARI No.2143 K/PDT/2005.

29 Rahatan Ni huta yaitu hutan yang berdekatan dengan kampung, dimana kayu-kayunya tidak boleh diambil oleh penduduk, kecuali untuk keperluan kampung itu, umpamanya untuk Balai Desa, Lumbung Desa sedangkan untuk perseorangan harus mendapat izin dari Penghulu, tapi bisa juga (saat ini), tempat berkumpulnya warga untuk bermusyawarah.

30 Kasus Tanjung Pinggir, sengketa tanah yang melibatkan kelompok masyarakat penduduk kecamatan Siantar Toba Kota Pematangsiantar dengan PTPN-III Kebun Bangun.

Universitas Sumatera Utara

Sebaliknya Masyarakat Adat berpendapat, bahwa mereka memiliki hak ulayat

atas tanah berdasarkan hukum adat.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 mengatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sementara itu, Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) menyatakan, bahwa hak-hak masyarakat hukum adat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara. Rumusan yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut ternyata menimbulkan perbedaan penafsiran, terutama apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional dan negara, dan siapakah sebenarnya yang tepat menentukan kepentingan nasional dan negara tersebut bagi masyarakat setempat.Sebaliknya masyarakat adat berpendapat, bahwa memiliki hak ulayat atas tanah tersebut sudah sejak lama bahkan sebelum negara Indonesia ada31

Menurut masyarakat adat, hak atas tanah dipandang secara keseluruhan merupakan

.

hak komunal, namun tetap memungkinkan penguasaan tanah

Penjelasan UUPA meskipun dengan gamblang menyatakan bahwa Pasal 3 tidak dimaksudkan untuk mereplikasikan Domeinverklaring pada masa kolonial

secara individual, dengan berbagai syarat dan atas ijin Kepala Adat.

32, gagasan tentang hak menguasai negara membolehkan pemberian hak atas tanah-tanah nirgarapan dan/atau nirhunian yang tidak bersertifikat hak milik kepada pihak lain tanpa persetujuan masyarakat lokal yang berkepentingan dan tanpa mengeluarkan kewajiban hukum untuk membayar kompensasi ‘yang layak’ pada pemegang hak sebelumnya. Hak menguasai ini juga telah digunakan untuk menjustifikasi berlanjutnya pembedaan zaman kolonial antara tanah negara ‘bebas’ dan ‘tidak bebas’. Tanah negara bebas mencakup wilayah Indonesia yang sangat luas. Sementara tanah negara yang ‘tidak bebas’ mencakup sebagian besar tanah nirgarapan dan/atau nirhunian yang tidak bersertifikat hak milik yang berada dalam wilayah yang ditetapkan sebagai milik negara33. Meskipun masyarakat yang mendiami wilayah ini biasanya diperbolehkan untuk tetap tinggal di situ, hak-hak hukum mereka tetap tidak begitu jelas dan pemanfaatan atas tanah itu sering kali sangat terbatas, khususnya di daerah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan (negara). Khususnya karena pembatasan inilah muncul banyak konflik di berbagai penjuru Indonesia34

31 Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2001), hal. 54.

.

32 Lihat UUPA, Penjelasan Umum, Pasal 2. 33 Peter Burns, The myth of adat, Journal of Legal Pluralism, (Leiden: KITLV Press, 1989), hal.19-32. 34 Daniel Fitzpatrick,“Disputes and pluralism in modern Indonesian land law”, Yale Journal of

International Law, (Sydney: The Federation Press, 1997), hal.186.

Universitas Sumatera Utara

Jika terjadi sengketa maka keseimbangan dalam masyarakat akan terganggu sehingga harus dipulihkan pada keadaan semula agar kepentingan manusia kembali terlindungi (restitutio in integrum). Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan adanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat35

Secara filosofis, peraturan ini diperlukan supaya kehidupan bersama bisa diatur dengan baik dan semua orang dapat menikmati ketentraman dan keadilan. Dengan demikian jarak antara hukum dan keadilan tidak jauh. Jika setiap orang menyadari bahwa hukum itu untuk keadilan maka mereka akan dengan rela menaatinya dan tidak akan menganggap hukum sebagai larangan belaka melainkan sebagai cita-cita hidupnya

.

36

2. Kebutuhan pembangunan ekonomi menimbulkan konflik antara negara dan

masyakat adat. Pada masa Orde Baru, sengketa atau konflik yang terjadi terkait

dengan kebijakan pemerintah yang memberikan keleluasaan kepada pemilik

modal dalam melakukan berbagai investasi dengan maksud meningkatkan

pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah

telah menempatkan pemerintah dan swasta sebagai aktor dominan dalam proses

pembangunan yang akhirnya menyebabkan munculnya sengketa atau konflik.

.

3. Adanya anggapan tentang ketiadaan konsepsi perlindungan terhadap penduduk

lokal, terjadi karena tidak ada rumusan atau batasan yang tegas mengenai apa

yang disebut dengan masyarakat hukum adat

35 Sudikno Mertokusumo-I, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996a), hal.3-4.

. Padahal Pasal 3 UUPA telah

menegaskan pengakuan tersebut dengan menyebutkan : “dengan mengingat

ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak

serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan

negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan

Universitas Sumatera Utara

dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Jelaslah

UUPA telah memberikan batasan-batasan yang berlaku untuk seluruh hak yang

sejenis hak ulayat yang terdapat di seluruh Indonesia secara nasional di

samping tentunya ada pembatasan-pembatasan yang khusus yang berlaku di

daerah/wilayah itu sendiri.

Prediksi ke depan mengenai sengketa pertanahan jika tidak ditangani dengan baik, akan melahirkan “revolusi agraria”. Oleh karena itu akar konflik dan sengketa pertanahan bersifat multi-dimensional sehingga tidak bisa dilihat hanya sebagai persoalan agraria atau aspek hukum semata tetapi juga terkait variabel-variabel non hukum. Aspek hukum meliputi antara lain kelemahan regulasi, sertifikasi tanah secara nasional yang baru mencapai 30 persen, pengaturan tata ruang yang tak kunjung tuntas, serta lemahnya penegakan hukum dan HAM. Variabel-variabel non hukum antara lain politik pertanahan, ledakan jumlah penduduk, kemiskinan (ekonomi), tuntutan pembangunan, perkembangan kesadaran hukum dan HAM masyarakat, faktor budaya, adat istiadat (hukum adat), kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, khususnya teknologi informasi.

Sulit dipungkiri bahwa kondisi agraria Indonesia yang mencuat selama ini adalah konflik agraria yang semakin mengeras. Tragedi berdarah akibat konflik agraria yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) datang silih berganti. Sebagian yang menjadi korban adalah komunitas masyarakat adat, dan kaum tani, tak sedikit pula kaum miskin di perkotaan jadi bulan-bulanan penggusuran.

Kasus-kasus sengketa agraria ini mencakup sektor – sektor agraria penting seperti pertambangan dan perkebunan besar, kehutanan, fasilitas umum, konservasi, pertanian, perkotaan, transmigrasi, serta kelautan dan pesisir.

Melihat kompleksitas sengketa agraria, menyadarkan kita bahwa kondisi agraria di era reformasi belumlah berubah signifikan. Ketimpangan penguasaan tanah serta kekayaan alam lainnya, yang dibumbui konflik agraria dengan dimensi pelanggaran hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya, masih menjadi menu sehari-hari yang belum mampu dituntaskan penyelenggara negara.

Sengketa agraria yang diwarnai kekerasan ini seolah menegaskan kembali perlunya pelaksanaan reforma agraria sebagai jawaban kunci atas problem agraria. Gagasan mengenai pembentukan mekanisme dan kelembagaan alternatif yang khusus untuk menyelesaikan konflik agraria terasa semakin relevan.

36 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, ( Yogyakarta: Kanisius,1990), hal.11.

Universitas Sumatera Utara

Akar dari sengketa agraria yang menampilkan wajah ketidakadilan merupakan ekspresi politik agraria yang otoriter sebagai benteng dari politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria gaya Orba ini masih kuat diterapkan dalam rangka mengamankan “pembangunan”. Puncak dari otoritarianisme adalah penggunaan senjata dan alat kekerasan negara (bahkan premanisme) dalam mengusir rakyat dari tanahnya sehingga korban di pihak rakyat berjatuhan.

Mengerasnya sengketa agraria menjadikan problem pokok agraria di Indonesia makin mendesak untuk diselesaikan. Dalam konteks ini, kita perlu reforma agraria untuk memastikan tanah dan kekayaan alam sungguh dikuasai, dikelola, dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kehendak Pemerintah untuk menjalankan reforma agraria, revitalisasi pertanian dan pembangunan pedesaan hendaknya diterjemahkan, salah satunya dalam bentuk mengupayakan secara serius pembentukan dan pembenahan mekanisme serta kelembagaan khusus untuk penyelesaian konflik agraria.

Sebenarnya lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat dengan UUPA, diharapkan hanya ada satu hukum tanah (unifikasi) yang berlaku di seluruh Indonesia dan menghapus dualisme hukum bahkan pluralisme hukum yang berlaku sebelumnya, akibat penerapan Pasal 131 dan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling). Disamping itu juga diharapkan UUPA untuk mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Sebelum lahirnya UUPA, ketentuan Hukum Agraria Pemerintahan Belanda diatur dalam Agrarische Wet 1870 yang tidak memberikan kepastian hukum terhadap hak masyarakat hukum adat yang disebut dengan hak ulayat37. Padahal keberadaan hak ulayat ini diakui didalam Batang Tubuhnya, dapat dilihat pada Pasal 5 UUPA38

Pengakuan hak ulayat tersebut mengakibatkan adanya pembatasan terhadap hak menguasai dari negara. Hal ini juga dapat dilihat dari Penjelasan Umum UUPA bagian II yang menyatakan bahwa: “ ….kekuasaan negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan hukum, sepanjang kenyataannya masih ada…”.

.

UUPA sebagai ketentuan yang mengatur masalah tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menyatakan negara sebagai penguasa atas seluruh wilayah Republik Indonesia. Hak menguasai dari negara ini memberikan wewenang kepadanya (Pasal 2 ayat (2) ) untuk :

37 Yulia Mirwati, Konflik-Konflik Mengenai Tanah Ulayat Dalam Era Reformasi di Daerah Sumatera Barat, disertasi, (Medan: PPS USU, 2002), hal.2.

38 Pasal 5 UUPA: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan kepada persatuan bangsa, sosialisme Indonesia serta dengan peratutan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan peratutan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama”.

Universitas Sumatera Utara

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan, bumi, air dan ruang angkasa tersebut,

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dengan adanya kewenangan dari negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa maka diakui adanya macam-macam hak atas tanah (Pasal 16 UUPA), dan hak atas tanah ulayat (Pasal 3 UUPA), yang mempunyai konsep berbeda dengan pembatasan fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Meskipun UUPA mengakui adanya hak ulayat (Pasal 3), namun dalam prakteknya sering menimbulkan konflik39

Perdebatan mengenai kedudukan hukum adat dalam hukum agraria nasional menimbulkan polemik seperti : bahwa hukum agraria nasional tidak bisa dipertemukan dengan hukum adat karena keduanya saling bertentangan

.

40; bahwa hukum agraria nasional, utamanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) didasarkan pada asas-asas hukum adat 41; bahwa hukum adat sebagai pelengkap bagi hukum agraria nasional42

Perdebatan mengenai pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak mereka atas sumber daya alam juga hukum adat tidak pernah kehabisan relevansi. Ada energi yang membuatnya selalu memiliki relevansi, yakni sengketa.

.

Jadi statemen penelitian ini adalah : pandangan bahwa terjadinya konflik/sengketa hak atas tanah adat karena: 1. Adanya perbedaan persepsi antara masyarakat dan negara mengenai hak atas

tanah43

2. Kebutuhan pembangunan ekonomi menimbulkan konflik antara negara dan

masyarakat adat (adanya politik ekonomi dan politik hukum). Konflik terkait

.

39 Konsep penguasaan Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah menjadi suatu alat yang ampuh menghilangkan kedaulatan masyarakat adat. Berbagai UU (UUPA,UU No.5 Tahun 1967, UU No.11 Tahun 1967), mendasarkan diri pada konsep hak menguasai negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya, Noer Fauzi Rachman, Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya, makalah, Kongres AMAN ke-4, 19 April 2012, Tobelo, Halmahera Utara.

40 Kartohadiprojo dalam Abdurrahman, Kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan Agraria di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1994), hal.11.

41 Hazairin dan Muhammad Koesnoe dalam Rikardo Simarmata , Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, (Jakarta: UNDP, 2006), hal.1.

42 Sudargo Gautama dan Boedi Harsono dalam Rikardo Simarmata, ibid dan “bagi mereka hukum adat yang dimaksud oleh UUPA adalah hukum adat yang telah disaring dan dibersihkan dari unsur feodalisme dan kolonialisme.”

Universitas Sumatera Utara

dengan kebijakan pemerintah yang mempersempit bahkan menghilangkan

kewenangan kelompok masyarakat adat Simalungun.

3. Sehingga dari segi hukum, ada anggapan tiadanya konsep perlindungan hukum

bagi penduduk lokal.

Pengertian “land law” (hukum pertanahan) dengan “agrarian law” (hukum agraria) adalah berbeda meskipun UUPA menyebut hukum agraria tetapi saat ini yang dimunculkan adalah hukum pertanahan44. Untuk lebih memberikan pemahaman kepada kita menurut Wiradi,45

Pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum bersifat rural. Penelusuran ini dimaksudkan oleh Wiradi untuk menjelaskan makna dua istilah yang pemakaiannya hampir bersamaan yaitu antara landreform dan agrarian reform. Ada yang mengatakan bahwa landreform merupakan bagian dari agrarian reform, tetapi juga ada pendapat bahwa kedua istilah ini mengandung arti yang sama.

secara etimologis, kata “agraria” berasal dari bahasa Latin ager yang berarti sebidang tanah, dalam bahasa Inggris acre. Dalam bahasa Latin agrarius berarti yang ada hubungannya dengan tanah.

Indonesia menganut paham pertama yaitu landerform merupakan bagian dari agrarian reform, hal ini berarti bahwa pengertian agararia (agrarian) lebih luas dari pada tanah (land). Selanjutnya, pengertian lain mengenai agraria diberikan oleh Boedi Harsono, satu, “agraria” berasal dari bahasa Latin ager berarti tanah atau sebidang tanah, agrarius berarti Perladangan, persawahan, pertanian, jadi dengan mengutip Black’s Law Dictionary, menurutnya agraria selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian46

43 Sumber utama sengketa adalah apa yang dimaksud dengan hak atas tanah. Erman Rajagukguk, Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal.26.

. Dua, pengertian agraria di lingkungan adminstrasi pemerintahan, “agraria” dipakai dalam arti tanah baik tanah pertanian maupun non-pertanian. Tiga, pengertian “agraria” dalam UUPA yaitu meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bahkan termasuk juga ruang angkasa yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu. Dengan demikian, hukum agraria merupakan

44 M. Yamin Lubis, Kuliah mahasiswa S3 : Politik dan Teori Hukum Agraria, SPS USU, 20 Februari 2010.

45 G.Wiradi, Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, dalam Sediono. M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari masa ke masa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, PT. Gramedia, 1984), hal.312.

46 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Cetakan Kesembilan (Edisi Revisi), (Jakarta: Djambatan, 2003), hal.4-7.

Universitas Sumatera Utara

suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber daya alam yang termasuk pengertian agraria47

Tanah, tentu dipandang sebagai salah satu sumber daya alam namun mengingat lahan pertanahan saat itu tak terukur luasnya maka tanah hanya dapat dikuasai secara ipso facto artinya tanah dipandang dikuasai apabila secara nyata tanah dimaksud ditempati, dimanfaatkan, diusahakan, dan dirawat oleh pemukim dan penggarapnya untuk kesejahteraan manusia. Semakin lahan pertanahan dimaksud ditempati, diolah dan dimanfaatkan secara nyata, maka hak penguasaan atas tanah akan semakin menguat, sebaliknya semakin ditelantarkan maka hak penguasaan atas tanah dimaksud akan semakin mengabur. Jika demikian halnya, hak individual itu kembali tertransformasi menjadi tanah bebas

.

48

, yang menurut konsep hukum adat disebut tanah adat dan ini tetap menjadi polemik yang belum bisa terpecahkan hingga saat ini.

B. Perumusan Masalah

Seperti disebutkan bahwa suatu masalah itu adalah merupakan proses yang mengalami hambatan di dalam mencapai tujuannya, dan hambatan ini hendak diatasi sebagaimana yang akan dicarikan penyelesaiannya ke penelitian lapangan.49

1. Masalah yang dihadapi harus memiliki nilai penelitian.

Sebelum merumuskan masalah dalam penelitian ini, diambil ukuran perumusan masalah pada pandangan teoritis, sebagaimana dikemukakan oleh Kerlinger, bahwa ciri-ciri masalah yang baik adalah :

2. Masalah yang dipilih harus mempunyai fisibilitas.

3. Harus sesuai dengan kualifikasi penelitian.50

Sehingga bila diwujudkan dalam objek yang akan diteliti ini perlu terlebih dahulu dikemukakan indentifikasi yang akan dirumuskan, supaya rumusan permasalahn itu dapat ditangkap sebagaimana yang akan diteliti dan ditelaah serta dianalisis menurut landasan berfikir ilmiah.

Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang dapat membantu penulisan disertasi ini agar lebih fokus dan terarah yakni :

47 Ibid, hal.17. 48 Ade Saptomo, Dibalik Sertifikasi Hak Atas Tanah dalam Perspektif Pluralisme Hukum, makalah

(Padang: Universitas Andalas, 2010), hal.207. 49 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal.109. 50 Maria S.W Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Universitas Gajah

Mada, 1989), hal.9.

Universitas Sumatera Utara

1. Bagaimana status hukum hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun dalam

Sistem Hukum Pertanahan Nasional ?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa hak atas tanah adat di

Kabupaten Simalungun ?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam hal menyelesaikan sengketa hak atas

tanah adat di Kabupaten Simalungun ?

C. Tujuan Penelitian Hak-hak penguasaan atas tanah yaitu berisikan serangkaian wewenang,

kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolok pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Negara yang bersangkutan. Hak-hak penguasaan tanah dapat juga diartikan sebagai “lembaga hukum”, jika belum dihubungkan dengan tanah dan subjek tertentu. Hak-hak penguasaan tanah dapat juga merupakan “hubungan hukum konkret” jika sudah dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang haknya.

Oleh karenanya melalui penelitian ini, tujuan yang akan diperoleh adalah data empirik mengenai : 1. Status hukum hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun dalam Sistem Hukum

Pertanahan Nasional. Jika memang masih eksis, keberadaannya perlu mendapat

pengakuan dan perlindungan hukum, dan jika memang benar-benar tidak eksis

lagi, masyarakat etnis Simalungun harus juga mengakuinya. Jadi tanah dalam

studi ini adalah tentang caranya mengendalikan kepemilikan tanah bagi

perseorangan dan badan hukum agar tidak terjadi kesenjangan dan monopoli

tanah. Sehingga diharapkan tidak akan terjadi seperti yang dilansir harian ibukota,

bahwa ribuan petani, nelayan, mahasiswa, perangkat desa, dan warga (Kompas,

Universitas Sumatera Utara

12-01-12), berujuk rasa di sejumlah daerah. Masyarakat mendesak Pemerintah

memulihkan hak rakyat, terutama terkait hak atas tanah adat, dan merevisi

undang-undang yang merugikan rakyat.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa hak atas tanah adat di

Kabupaten Simalungun.

3. Cara penyelesaian sengketa hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum agraria nasional yang memposisikan hukum adat sebagai sumber utama pengembangannya melalui salah satu prinsip “keanekaragaman dalam kesatuan hukum”.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan : 1. Dapat memberikan masukan kepada Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah /

Kabupaten Simalungun dalam pengaturan tanahnya, termasuk penyelesaian

sengketa tanah.

2. Membuka cakrawala yang lebih luas para pembuat kebijakan untuk

mempertimbangkan banyak sistem hukum yang terkait.

3. Sebagai tempat bekerjasamanya sistem-sistem hukum tersebut.

4. Untuk mengurangi/menghindari sengketa hak atas tanah (adat) dan upaya

menyelesaikan konflik hak atas tanah (adat).

5. Kepada Pemerintah Pusat dalam rangka pembuatan peraturan perundang-

undangan yang mendukung terwujudnya prinsip keanekaragaman dalam

kesatuan hukum agraria. Hasil penelitian ini diharapkan akan menyajikan

penjelasan bagi Pemerintah Pusat bagaimana akibat dari ketidaksinkronan

Universitas Sumatera Utara

peraturan perundang-undangan bidang sumber daya agraria bagi upaya

pemberian kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka (landasan) teori menurut M. Solly Lubis adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan.51

Teori yang akan dijadikan landasan dalam studi ini adalah teori “sistem hukum” dari Lawrence M.Friedman. Sistem hukum dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat tersebut. Menurut Lawrence M. Friedman

52

Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan, aspek sistem yang berada disini kemarin (atau bahkan pada abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem hukum, kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.

, sistem hukum terdiri dari : struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture), ketiga komponen ini akan menentukan berjalannya suatu hukum dalam masyarakat.

Struktur hukum (legal structure) adalah lembaga-lembaga atau instansi yang akan menjalankan proses dalam penegakan hukum, semacam kerangka sistem hukum, ruang lingkup struktur hukum (penegak hukum) sangat luas, karena mencakup mereka secara langsung atau tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum, namun dalam arti sempit, penegak hukum mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pengacara dan lembaga pemasyarakatan.

Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum (legal substance) berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, produk yang dikeluarkan, aturan-aturan baru yang mereka susun dengan kata lain bagian dari budaya hukum itulah yang menyagkut sistem hukum. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi

51 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal.80. 52 Lawrence M. Friedman, American Law, (New York : W.W Norton and Company, 1984), hal.7.

Universitas Sumatera Utara

penentu jalannya proses hukum.53

Jadi penekanannya di sini terletak pada hukum yang hidup (the living law ), bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum ( law books ). Hal ini menuju komponen ketiga dari sistem hukum yaitu budaya hukum.

Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.

Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Bagian dari budaya umum itulah yang menyangkut sistem hukum.

Budaya hukum (legal culture) pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai ini merupakan konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga diikuti, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Nilai-nilai ini lazimnya merupakan pasangan nilai yang mencerminkan dua keadaan yang ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperan dalam penegakan hukum adalah : 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman

2. Nilai jasmaniah (kebendaan) dan nilai rohaniah (keakhlakan)

3. Nilai kelanggengan (konservatisme) dan nilai kebaruan (innovation).

Setiap masyarakat, setiap daerah, setiap kelompok, mempunyai budaya hukum. Mereka memiliki sikap dan pandangan terhadap hukum yang tidak selalu sama. Dengan kata lain ide, pandangan dan sikap masyarakat terhadap hukum dipengaruhi budaya hukum seperti suku etnik, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kebangsaan, pekerjaan dan pendapatan, kedudukan, kepentingan, lingkungan agama. Budaya hukum juga dapat berubah akibat pendidikan, modernisasi, teknologi dan masuknya unsur asing dan berbagai pergerakan pembaharuan seperti pergerakan wanita dan terkandung konsep individualisme.

Bobot keterkaitan penting teori Friedman dengan studi ini terletak pada faktor-faktor berikut : 1. Munculnya perkembangan dan formulasi kebijakan bahan bentuk peraturan dan

penanganan dalam Hukum Tanah Indonesia berlangsung dalam tatanan sosial

yang dipenuhi dengan nilai, harapan-harapan orientasi yang berkembang dalam

masyarakat. Kekuatan-kekuatan tersebut saling menentukan dan mempengaruhi.

53 Eggi Sudjana dan Riyanto, Penegakan Hukum Lingkungan dalam Perspektif Etika Bisnis di Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1999), hal.8.

Universitas Sumatera Utara

2. Reformulasi kebijakan di bidang pertanahan, khususnya pemberian ijin

penggunaan tanah dalam Hukum Tanah Indonesia merupakan puncak

pertarungan, perdebatan semata. Pertarungan dan perdebatan tersebut, bisa jadi

disebabkan oleh perbedaan kepentingan, nilai, orientasi dan harapan dari setiap

kekuatan politik.

3. Persidangan yang dilakukan oleh judikatif dalam Hukum Tanah Indonesia

merefleksikan dua peristiwa sekaligus; hukum dan politik. Kedua unsur tersebut

tercakup dalam konsep Legal Culture. Pilihan ini juga ditopang oleh pemikiran

Frans Magnis Suseno.54

Aliran idealis pada Mazhab Sejarah, yang diwakili oleh von Savigny, memandang hukum tumbuh dan berlaku dalam masyarakat. Hukum ditemukan tidak dibuat (recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke) , hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami pada masyarakat tradisional ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern. Dikatakan juga bahwa undang-undang tidak berlaku atau tidak diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaan sendiri, sebagaimana bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas.

untuk menemukan perasaan masyarakat, maka semua

unsur yang relevan dengan tertib hukum harus diperhitungkan. Unsur-unsur itu

adalah nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup, demikian juga

hubungan sosial. Dalam konteks ini akan kelihatan apa yang adil dan apa yang

tidak.

55 Hukum mengikuti jiwa rakyat (volgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku, karena itulah maka hukum merupakan produk budaya suatu bangsa56

54 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1994), hal.112.

55 Lawrence M. Friedman, Legal Theory, (New York: Columbia University, 1967), hal. 211, lihat juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Kanisius, 1986), hal.118.

56 P.Purbacaraka dan M.Chaidir Ali, Disiplin Ilmu Hukum, (Bandung: P.T Citra Aditya, 1990),hal. 20, lihat juga Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, (Yoyakarta: Liberty, 1991), hal.34 dan Kurnia Warman, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: KITLV, 2010), hal.393.

Universitas Sumatera Utara

Pengaruh pemikiran Savigny ini sangat terasa di Indonesia melalui para ahli hukum Belanda, sehingga melahirkan suatu cabang ilmu hukum yang baru yang dikenal sebagai hukum adat, dipelopori oleh van Vollenhoven, Ter Haar dan lain sebagainya.

Jadi jelas membicarakan hukum adat, asas-asasnya, konsepsinya, lembaga-lembaganya, dan norma-normanya tidak terlepas dari membicarakan mazhab sejarah ini.

Hukum oleh Roscoe Pound diyakini sebagai suatu alat untuk membangun masyarakat, dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan antara hukum, dalam artian ketentuan abstrak yang seharusnya berlaku, dengan hukum dalam artian nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai pedoman bertingkah laku57

Perlu disampaikan lebih dahulu konsep-konsep filosofis yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan makna apa yang terdapat di balik hak atas tanah.

.

1. Globalisme Globalisme sebagai suatu konsep filosofis dapat menunjuk kepada suatu proses penyebaran sesuatu ke seluruh penjuru dunia yang dikerjakan oleh suatu kekuatan tertentu. Kekuatan dimaksud mengerjakan suatu proses yang membawa serta warga masyarakat di seluruh penjuru dunia untuk menerima peradaban baru, tidak saja dalam bidang teknologi, tetapi juga bidang ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Dengan begitu ia berisi suatu proses penggantian filsafat yang telah dianut oleh masyarakat tempatan dengan filsafat luar yang terbawa serta dalam arus globalisasi.

2. Individualisme Individuaalisme sebagai konsep filosofis menggerakkan masyarakat di seluruh dunia untuk menerima sebuah proses menuju kemajuan material dengan sebuah taruhan berisiko tinggi yang tak dapat terbagi kepada orang lain. Artinya secara substansial, ada kekuatan yang mengglobalkan suatu ide beserta hasil-hasilnya ke dalam kehidupan materi semua umat manusia.

3. Hedonisme Hedonisme dimaksud diartikan sebagai faham pencapaian kekayaan, kekuatan, ketenaran, dan kekuasaan. Artinya, petualangan kearah perbaikan kehidupan manusia dilakukan dengan tujuan menjadikan hidup mereka serba berkecukupan materi. Fanatisme perjuangan demikian melahirkan sebuah pandangan bahwa tujuan hidup didunia tidak lain adalah mencari kehidupan bergelimang materi. Faham yang menekankan materi demikian ini biasa disebut materialism (materialism), suatu faham yang memacu mereka untuk berjuang keras untuk memperoleh harta kekayaan dalam jumlah sebanyak-banyaknya58

.

57 Mas Soebagio dan Slamet Supriatma, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta : Akademika Presindo, 1988), hal. 69.

58 Ade Saptomo, Dibalik Sertifikasi, makalah, Op. Cit. hal. 209.

Universitas Sumatera Utara

Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari Negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, dimana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain melalui perjanjian dimana satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.59

Lahirnya UUPA maka dualisme hukum tanah yang selama ini terjadi menjadi hapus. Bahagian terbesar dari Hukum Barat atas tanah dengan tegas digugurkan dan dengan tegas pula dinyatakan bahwa Hukum Adatlah sebagai dasar bagi soal-soal agraria.

60

Pengakuan eksistensi hak ulayat hukum adat oleh UUPA merupakan hal yang wajar karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Konsep interaksi antar hukum, menurut pandangan Moores (1987),61

“Positivisme hukum membentuk dasar ideologi hukum modern maka sistem hukumnya sudah pasti pula menerapkan pendekatan yang sentralistis. Peranan negara dalam ranah tatanan normatif sangatlah mendasar, sehingga apa yang sebenarnya kita sebut dengan hukum dalam prakteknya hanyalah hukum yang diproduksi oleh negara, sementara banyak tatanan normatif non negara lainnya berada di luar cakupan defenisi hukum. Dengan kata lain,

jika hukum negara dan hukum lokal berinteraksi di dalam lokal sosial sama (one social field) diduga akan melahirkan empat kemungkinan. Kemungkinan dimaksud diasumsikan sebagai integrasi (integrate), yaitu penggabungan sebagian hukum Negara dan hukum lokal, inkoorporasi (incoorporate) yaitu penggabungan konflik (conflict) yang tidak terjadi penggabungan sama sekali mengingat hukum negara dan hukum lokal dimaksud saling bertentangan, dan menghindar (avoidance) yaitu salah satu hukum menghindari keberlakukan hukum yang lain.

posisi hukum negara sangat sentral, sementara posisi hukum lainnya hanyalah pinggiran. Pada titik ini, positivisme hukum Austinian yang menganggap tidak ada yang melebihi ekspresi kehendak kekuasaan yang berdaulat, mengambil alih posisi”.62

59 Shodiq Tri Yuliadi, “Hukum Tanah dan Tata Guna Tanah, Hak Milik Atas Tanah”, makalah, (Purwokerto: Univ Muhammadiyah, 2010), hal.1.

60 Kosnoe, Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa ini, (Surabaya: Airlangga University Press, 1979), hal.161.

61 Stardford W.Moorse and Gordon R.Woodman, Indigeneous Law and State, (Dordrecht Holland: Faris Publications, 1987), hal.33.

62 Secara umum lihat John Austin, The Province of Yurisrudence Determined and the uses of the study of Yurisprudence, 3rd, (London: weidenfeld and Nicholson, 1968 lihat pula Austin, Lecture on Yurisprudence or the fhilosophy of positive law, (London: John Murray, 1875), hal.14. maksudnya menurut aliran positivisme, “hukum” adalah peraturan yang dibuat oleh “penguasa” (semacam lembaga legislatif/Dewan Perwakilan Rakyat, yang berdaulat), yang bersifat tertulis bahkan terkodifikasi seperti undang-undang jadi bukan hukum yang tidak tertulis seperti Hukum Adat.

Universitas Sumatera Utara

Apapun bentuk kekuasaan itu, bisa dikatakan memiliki personalitas hukum

masing-masing warga negara, dan dalam kenyataannya; memiliki hukum itu sendiri. Namun ini adalah dilema definisi hukum itu sendiri, karena kriteria positivistik seperti itu secara otomatis akan menciptakan batasan yang tidak mungkin diterapkan pada institusi hukum. Kalau validitas hukum hanya berasal dari negara maka semua tradisi normatif, kebiasaan, ajaran agama dan tatanan lainnya yang terdapat di dalam masyarakat tentu akan dianggap berada di luar cakupan hukum.

Kenyataannya, hukum harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki validitas polisentris, validitas hukum tidak hanya terbatas pada tindakan, aturan dan keputusan pengadilan di mana peran negara tidak bisa dihindari (seperti biasa ditemukan dalam logika realisme hukum), tapi harus diperluas agar mencakup norma-norma sosial apapun yang teramati, yang diciptakan dan dipertahankan di dalam sebuah komunitas atau dalam asosiasi apapun di tengah-tengah masyarakat. Kalau masalahnya seperti itu, meski ini adalah fenomena universal, maka hukum bisa diejawantahkan dalam berbagai cara. Inilah yang bisa dipahami dari tokoh-tokoh lama “aliran hukum polisentris” semisal Ehrlich, Malinowski, Gurvitch, Hoebel, Gluckman, Bohannan, Pospisil, dan lain-lain.63

Secara sosiologis, hukum tidak tertulis senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, perlu dicatat asumsi-asumsi sebagai berikut.

Bagi mereka, meski dalam beberapa hal peran negara tidak bisa dihindari, hukum negara bukanlah satu-satunya “fakta normatif” karena di sana ada hukum-hukum lainnya selain hukum negara modern.

1. Hukum tidak tertulis pasti ada karena hukum tertulis tidak akan mungkin

mengatur semua kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dengan hukum.

2. Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial yang cepat, peranan

hukum tidak tertulis lebih menonjol dari hukum tertulis.

3. Yang menjadi masalah adalah mana yang merupakan hukum tidak tertulis yang

dianggap adil.64

Pandangan pluralistik mengenai hukum semacam itu bukannya tidak logis, terutama jika dipandang dari perspektif budaya dan dimensi sosio-antropologis. Pemahaman tentang hukum sebagai institusi budaya dan tradisi memungkinkan munculnya defenisi yang lebih bersifat open-ended, sehingga bisa, yaitu dari negara dan non negara, sakral atau sekuler. Dengan begitu, istilah “hukum” dengan

63 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), hal.7.

64 Rehngena Purba , Hukum Adat dalam Yurisprudensi, Majalah Hukum Nasional No. 2 Tahun 2006, ISSN 0216 – 0227, BPHN, Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 41.

Universitas Sumatera Utara

sendirinya bisa diterapkan kepada bermacam ragam norma sosial yang diproduksi oleh tatanan normatif, dan norma apapun dipertahankan dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat bisa dianggap mencerminkan manifestasi hukum. Akibatnya, kebenaran fenomena hukum tidak hanya dipahami dalam hal keragaman bentuknya, tapi juga keragaman sumbernya. Agama dan adat kebiasaan serta institusi negara sendiri bisa sama-sama diterima sebagai produsen hukum, dan tatanan yang dihasilkannya bisa berdampingan dalam interaksi dan kompetisi satu sama lain. Keadaan seperti ini juga membukakan kemungkinan terjadinya asimilasi dan penggabungan antara elemen-elemen hukum itu melalui berbagai cara. Jadi hukum negara tidak akan bekerja efektif kalau tidak sesuai dengan konteks sosialnya.

Di samping teori “sistem hukum” itu teori yang dipergunakan sebagai alat pendekatan dalam kerangka mencari dan merumuskan penyelesaian sengketa hak atas tanah adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional di Kabupaten Simalungun adalah teori yang dikemukakan oleh Griffith tentang “pluralisme hukum”.65

Pluralisme adalah merupakan ciri hukum dalam masyarakat modern, yaitu adanya hukum negara di satu sisi, dan sisi lain adanya juga berbagai bentuk sistem pengaturan yang beroperasi dalam masyarakat. Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimana hukum yang beraneka ragam itu secara bersama-sama mengatur berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat sehari-hari.

66

Dalam konteks apa orang memilih aturan-aturan tertentu atau gabungan dari berbagai aturan-aturan tertentu dan dalam konteks apa memilih pola dan mekanisme penyelesaian sengketa tertentu. Yang dimaksudkan dengan kemajemukan hukum (legal pluralism) adalah suatu situasi dimana dapat ditemukan dua atau lebih (sistem) hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Sampai saat ini sudah banyak konsep dan atribut mengenai pluralisme hukum yang diajukan oleh para ahli. Para legal pluralist pada masa permulaan (1970 – an) mengajukan konsepsi pluralisme hukum yang meskipun agak bervariasi, namun pada dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama.67 Seperti yang dikemukakan oleh Sally Engle Merry, pluralisme hukum “is generally defined social field”, dan konsep klasik dari Griffith, yang mangacu pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial “By legal pluralism mean the presence in a social field of more than one legal order”.68

Selanjutnya Griffith

69

65 Sulystyowati Irianto, Perempuan diantara Berbagai pilihan hukum (studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta warisan melalui proses penyelesain sengketa), disertasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal.57.

membedakan pula adanya dua macam pluralisme hukum yaitu weak legal pluralism (pluralisme hukum yang lemah), dan strong legal

66 Runtung, disertasi, Op Cit, hal. 25. 67 Ibid, hal.38. 68 Ibid 69 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

pluralism (pluralisme hukum yang kuat). Menurut Griffith pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari sentralisme hukum, karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sedangkan hukum-hukum yang lain disatukan dalam hirarki di bawah hukum negara. Pluralisme hukum yang kuat menurut Giffith merupakan produk dari para ilmuan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua (kelompok) masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain.70 Semua sistem hukum yang ada diakui dalam masyarakat dan beroperasi dalam kerangka hukum formal (sistem Hukum Barat, sistem Hukum Islam, sistem Hukum Adat). Penerapan hukum adat beserta lembaganya diakui selama tidak bertentangan dengan kebijakan publik dan hukum alam 71

Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa secara teoritis Indonesia lebih cenderung menganut weak legal pluralism atau state law pluralism. Dengan catatan bahwa pengakuan dan pengadopsian hukum adat tidak hanya ditempuh melalui perundang-undangan, tetapi juga melalui yurisprundensi.

dalam pengertian sempit ini (state law pluralism), paling tidak dua sistem hukum yang masing-masing bersifat otonom, hidup berdampingan dan berinteraksi dalam peristiwa-peristiwa tertentu, ini ditandai dengan dominasi hukum negara terhadap hukum adat.

72

Pandangan lain adalah teori Semi Autonomous Social Field (SASF) dari Sally Falk Moore.

Griffith memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat, antara lain teori living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif, yang dikontraskan dengan hukum negara.

Sehubungan dengan teorinya tersebut Moore73

“...merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan peraturan-peraturan dan adat kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal di dalam, tapi di lain pihak bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang sosial yang semi otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya, tapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan sosial yang lebih luas yang terdapat dan memang dalam

70 Ibid. 71 J.C Bekker, JMT Labuschagne, LP Vorster, Introduction to legal Pluralism in South Africa, (London:

Butter Worths, 2003), hal.343. 72 Maria S.W Sumardjono, Tanah dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta: Penerbit Buku kompas, 2009), hal.57.

73 Sally Falk Moore, “Hukum dan Perubahan Sosial”, terjemahan Sulistyowati Irianto dkk, dalam T.O Ihromi (Ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal.150.

Universitas Sumatera Utara

kenyataannya mempengaruhi dan menguasainya, kadang-kadang karena dorongan dari dalam, kadang-kadang atas kehendaknya sendiri.” Konsep pluralisme hukum berkembang tidak lagi menonjolkan dikotomi

antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi lain. Pada tahap ini konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada “a variety of interacting, competing normative orders each mutually influencing. The emergence and operation of each other’s rules, processes and institution “74

Frans von Benda-Beckman

75

Pada tahap perkembangan ini (akhir 1990-an) terdapat variasi pandangan, yang ditunjukkan oleh adanya konsep pluralisme hukum yang tidak didasarkan pada mapping yang dibuat sendiri, setiap melihatnya pada tatanan individu yang menjadi subjek dari pluralisme hukum tersebut.

salah seorang ahli yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini. dikatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum. Namun yang lebih pantas adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam lapangan kajian tertentu.

76

“legal pluralisme in general may be defined as the state of affairs in which a category of social relations is within the field of operation of two or more bodies of legal norms. Alternatively, if it is viewed not from above in the process of mapping the legal universe but rather from the perspective of the individual subjek of law, legal pluralism may be said to exist whenever a person is subject to more than one body of law.”

Lihatlah bagaimana Gordon Woodman mengajukan konsepnya.

Jadi sebenarnya bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat

hukum adat terhadap tanah/wilayah yang diambil alih pemerintah (misalnya untuk kawasan hutan atau pertambangan) bisa dilihat sebagai perwujudan dari strong legal pluralism (pluralisme hukum kuat).Pada sisi lainnya, aturan-aturan dari luar masyarakat hukum adat (kebijakan kehutanan, dan lain sebagainya./hukum negara) mencoba memberlakukan diri dalam lapangan sosial tersebut secara bersamaan, sehingga hal ini menggambarkan situasi Semi-Autonomous Social Fields (SASF), yang oleh Falk Moore dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengatur diri sendiri komunitas (self regulating) dalam lapangan sosial tertentu terlihat otonom. Namun, otonominya tidak bersifat total karena masih dipengaruhi oleh aturan atau hukum dari

74 Roderick A. Macdonald Kleinhans,Martha-Marie,”What is a Critical Legal Pluralism”, Canadian Journal of Law and Society,vol 12 no.2/ 1997, hal.25-27

75 Frans Von Benda Beckmann, “Some Comperative Generalizations about the Differential Use of State and Falk Institutions of Dispute Settlemet”, dalam Antony Allot dan Gordon Woodman (ed), People’s Law and State Law. The bellagio Papers, (Dordrecht: Faris Publications, 1990), hal.2.

76 Ibid

Universitas Sumatera Utara

luar lapangan sosial tersebut.77 Persinggungan antar hukum (hukum adat dengan hukum negara) bukan hanya melahirkan kontradiksi atau pertentangan, namun juga melahirkan hubungan inkorporasi (penggabungan sebagian aturan sebuah sistem hukum ke dalam sistem hukum lainnya) dan penghindaran (salah satu sistem hukum menghindari keberlakuan sistem hukum lainnya).78 Terjadinya pengakuan dan legimitasi masing-masing sebagai hukum, tetap melahirkan suatu hukum baru (reflective of law), dengan demikian efektiflah berlakunya hukum itu dalam satu sistem hukum yang memberikan rasa aman bagi semua masyarakat tanpa dirasakan sifat diskriminatifnya,79

“Gunther melihat dan menyebutnya sebagai refleksi baru, berkembang sebagai akibat krisis hukum dalam menampung perkembangan sosial. Sehingga terbentuk integrasi dalam pertentangan bidang-bidang kehidupan yang ada. Lebih lanjut disebutkannya, untuk mencapai integrasi dalam diferensiasi antara kehidupan hukum sosial dengan kehidupan hukum fungsional harus dibiarkan terrefleksi sebagai suatu yang tidak dipertentangkan . ditumbuhkan sebagai bagian atau sub-sub sistem, untuk mengikat satu sistem hukum yang baru. Di sinilah fungsi hukum dapat digunakan sebagai rasionalitas substantif sehingga menimbulkan rasionalitas refleksifnya hukum tersebut. Peranan refleksif ini akan mendamaikan ketegangan yang melekat antara fungsi dan pelaksanaan. Sesuai dengan batas-batas internalnya”

bahkan membentuk satu dedikasi hukum yang tinggi, yakni kesediaan dan kerelaan untuk mematuhi hukum sepenuh hati dari masyarakatnya. Dalam posisi seperti ini,

80

Diharapkan hasil dari refleksi itu akan melahirkan harmonisasi dalam pelaksanaan81. Harmonisasi menunjukkan perhatian seimbang untuk menciptakan koordinasi serta penyesuaian di antara dua posisi yang berbeda. Selanjutnya, kata harmonisasi juga akan membawa penyesuaian dan pencocokan antara dua posisi yang berbeda, karena tidak ada kebutuhan untuk mewujudkan harmonisasi di antara posisi yang sama82

Ada empat alasan mengapa harmonisasi diperlukan,

1. Karena keadaan darurat, 2. Tidak wajar untuk meninggalkan undang-undang yang sudah ada,

77 Ibid 78 Ibid 79 M.Yamin, Perkembangan Hukum Adat di Indonesia: studi mengenai refleksi gadai tanah di

Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, disertasi, (Medan: PPS.USU, 2002), hal.58. 80 Gunter Teubner, Dilemma of law in the Welfare State dalam Yamin, disertasi, ibid. 81 Utari MB, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama Dengan Hukum Perjanjian menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah dan Nasabahnya di Indonesia, disertasi, (Medan: SPS.USU 2006), hal.30-34.

82 Mohammad Hashim Kamali. “Shariah and Civil law”, International Conference on Harmonisation of Shariah and Civil law, Kuala Lumpur 20-21 oktober 2003.

Universitas Sumatera Utara

3. Terdapat dua peraturan perundang-undangan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas,

4. Beberapa aspek dari dua undang-undang yang berbeda mempunyai persamaan dari segi materi dan tata caranya.83

Harmonisasi hukum bisa dicapai dalam tingkatan yang berbeda sedikitnya dengan 3 (tiga) cara84

1. Adalah pengaruh dari aparatur yang ada yang melahirkan pendekatan antara dua

sistem hukum melalui perjanjian yang dibuat atau keputusan yang dikeluarkan di

mana kedua sistem hukum yang berbeda tersebut dapat berjalan secara bersama-

sama.

:

2. Bertambahnya kecenderungan peraturan perundang-undangan nasional yang lahir

sedikit atau banyak secara spontan mendekatkan satu sistem hukum dengan

lainnya berdasarkan analisis perbandingan.

3. Harmonisasi juga bisa dicapai dengan melahirkan satu peraturan perundang-

undangan nasional yang secara efektif menyatukan materi dari 2 (dua) sistem

hukum yang berbeda. Harmonisasi diterapkan untuk bidang-bidang hukum

khusus dan umum dari negara yang memiliki beberapa sistem hukum yang

berbeda dengan tujuan untuk memfasilitasi transaksi-transaksi antara warga

negaranya atau penduduknya85

Pengarang lain telah mendeskripsikan proses harmonisasi sebagai suatu proses yang mana dampak dari suatu tipe transaksi di dalam suatu sistem hukum

83 Muhammad Amanullah,”Approaches To Methodology of Harmonisation: Principles to Be Followed in Harmonisation of Shari’ah and Man-Made Law”, International Conference on Harmonisation of Shari’ah and Civil Law 2, Kuala Lumpur 29-30 Juni 2005, hal.6.

84 Arthur Hartkamp (ed.), Towards an European Civil Code (London: Kluwer Law International, 1998), hal.173-174.

85 Boodman Martin, The myth of Harmonization of Laws, Canadian Report on The Subjektif “Harmonization of Private Law Rules Between Comman and Civil Law Jurisdictions” Presented to the XIIIth International Congress Comparative Law, Montreal Canada, August, 1990, hal.702.

Universitas Sumatera Utara

diletakkan sedekat mungkin terhadap dampak transaksi yang sejenis berdasarkan sistem hukum lain.86

Selanjutnya dikatakan, bahwa harmonisasi menggambarkan suatu konsep yang fleksibel yang mewujudkan serangkaian tindakan yang mungkin beranekaragam sesuai konteks yang mana suatu isu diberlakukan. Dalam suatu konteks, harmonisasi dapat berarti hukum yang relevan dari yurisdiksi yang terlibat dicirikan oleh suatu tingkat yang tinggi kemiripannya dalam prinsip-prinsip dasar akan tetapi ketentuannya tidak detil. Hasilnya adalah bahwa seseorang terbiasa dengan hukum di dalam satu yurisdiksi dapat dengan mudah memahami hukum dari yurisdiksi lain dan menyesuaikannya tanpa kesulitan.

87

Gagasan dasar dari harmonisasi adalah bahwa memungkinkan negara dari juridiksi yang berbeda berinteraksi terutama dalam transaksi yang terjadi secara langsung di antara dua juridiksi.

88 Namun demikian perlu untuk diketahui bahwa ada suatu kondisi di mana harmonisasi tidak perlu dilakukan. Dalam keadaan di mana undang-undang sudah tidak jelas lagi (kabur) maka harmonisasi tidak perlu dilakukan.89

Berdasarkan kondisi di atas, maka teori harmonisasi hukum yang menyatakan bahwa harmonisasi bisa dicapai salah satunya dengan melihat pengaruh dari aparatur yang ada yang melahirkan pendekatan antara dua sistem hukum melalui perjanjian yang dibuat atau keputusan yang dikeluarkan di mana kedua sistem hukum yang berbeda tersebut dapat berjalan secara bersama-sama, dalam konteks di atas merupakan teori yang berkaitan erat untuk melihat telah terjadi suatu harmonisasi pelaksanaan antara hukum adat dan hukum agraria mengenai pertanahan.

Dalam hal penguasaan atau menguasai tanah dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihak`i. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasai secara fisik atas tanah tersebut, tanah tidak dikuasai secara fisik, tapi oleh pihak lain tanpa hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.

Dengan demikian pengertian atau istilah yang dikenal dalam masyarakat umum pada saat ini adalah penguasaan hak bawah dan atas. Penguasaan hak bawah atas tanah adalah penguasan yuridis, artinya mempunyai bukti-bukti kepemilikan

86 Ibid, hal.703. 87 Ibid., hal.703-704. 88 www.ilpf.org/events/jurisdiction/presentations/clifpr.htm. ”UNCITRAL and The Goal of

Harmonization of law, diakses tanggal 2 agustus.and the Goal of Harmonization of Law”.diakses tanggal 2 agustus 2005.

89 Abdul Aziz Bari, “Harmonization of Laws:A Survey of The Issues, Approaches and Methodology Involved”, International Confreence of Harmonisation of Shari’ah and Civil Law 2, International Islamic University Malyasia, Kuala Lumpur, 29-30 June 2005, hal.22.

Universitas Sumatera Utara

berupa sertifikat atau bukti lain. Kemudian juga ada yang dikuasai secara fisik adapula yang tidak dikuasai secara fisik, sedangkan penguasaan hak atas tanah adalah penguasaan fisik, artinya seseorang menggarap atau menguasai tanah secara legal maupun ilegal.

2. Konsep

Konsepsi/konsep adalah merupakan defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis.90

Kritis,

Adapun defenisi operasional dari berbagai istilah tersebut di bawah ini adalah sebagai berikut:

91

1. Adanya keterbukaan dari sistem hukum adat itu sendiri terhadap pengaruh luar.

bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisisan. Pandangan kritis dimaksudkan, berusaha melihat, menemukan kesalahan atau kekeliruan terhadap sistem hukum pertanahan nasional maksudnya hasil penelitian ini menunjukkan, agar hukum adat dan hukum negara bisa bekerja sama dalam pengaturan ‘pertanahan’ dalam rangka pembangunan hukum agraria yang beragam dalam kesatuan, dibutuhkan setidaknya empat kondisi yaitu :

2. Adanya pengakuan dari hukum negara terhadap eksistenssi hukum adat.

3. Adanya kemauan politik dari pemerintah untuk mengakomodasi nilai-nilai yang

terkandung dalam hukum adat dalam pelaksanaan pembangunan.

4. Adanya desentralisasi pengaturan sumber daya agraria.92

Sengketa terjadi karena terdapat situasi dimana satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pada umumnya di dalam kehidupan bermasyarakat ada beberapa cara menyelesaikan konflik yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi).

Penyelesaian melalui jalur pengadilan bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, maka penyelesaian di luar pengadilan justru yang diutamakan adalah perdamaian dalam mengatasi sengketa yang terjadi di antara yang bersengketa dan bukan mencari pihak yang benar atau salah.

90 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Op.Cit., hal.80. 91 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Balai

Pustaka, 2007), hal.601. 92 Kurnia Warman,,Hukum Agraria, op cit, hal.351.

Universitas Sumatera Utara

Penyelesaian sengketa non litigasi atau alternative yang lebih dikenal dengan istilh Alternatif Dispute Resolution (ADR) diatur dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara ini digolongkan dalam media non litigasi yaitu merupakan konsep penyelesaian konflik atau sengketa yang kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan satu solusi terhadap konflik atau sengketa yang bersifat win win solution. ADR dikembangkan oleh para praktisi hukum dan akademisi sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses pada keadilan93

Hak Atas Tanah Adat adalah hak-hak atas tanah menurut hukum adat. Terdapat 2 (dua) jenis hak atas tanah adat : hak komunal yaitu hak persekutuan hukum adat beserta warganya dan hak perseorangan dari para warga persekutuan hukum adat. Hak persekutuan beserta warganya sebutannya bermacam-macam. Istilah lainnya juga adalah hak purba.

.

Di berbagai wilayah di Hindia Belanda terdapat lingkungan berbagai hak purba yang dipisahkan oleh wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian lain terdapat wilayah yang hampir tak ada sebidang pun yang termasuk dalam hak purba.

Di satu tempat hak purba kuat di lain tempat lemah sesuai dengan kemajuan dan kebebasan usaha pertanian penduduknya. Apabila hak purba sudah sangat lemah dengan sendirinya hak perorangan akan berkembang. Rumusannya : hak purba dan hak perorangan berhubungan kembang-kempis, mulur-mungkret, desak-mendesak, batas-membatasi tiada henti. Apabila hak purba kuat maka hak perorangan lemah dan sebaliknya94

Hak atas tanah sebagai suatu hubungan hukum didefinisikan sebagai “hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi” (Pasal 4). Hal itu mengandung arti bahwa hak atas tanah itu di samping memberikan wewenang juga membebankan kewajiban kepada pemegang haknya.

.

95

Hukum tanah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.

96 Hukum tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.97

93 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 4

94 Happy Warsito, Hak-hak Keagrariaan Adat dalam Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Globalisasi, disertasi, (Semarang : Undip, 2005), hal. 124.

95 Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Op.Cit., hal.128. 96 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Op.Cit, hal.16. 97 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak mempunyai buku-buku kepemilikan secara otentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis98

Ciri-ciri Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun temurun masih berada di lokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah sesuai dengan daerah yang ada di Negara Republik Indonesia.

karena seperti kita ketahui hukum adat mencerminkan kultur tradisional dan aspirasi mayoritas rakyatnya . Hukum ini berakar dalam perekonomian subsistensi serta kebijakan paternalistik, kebijakan yang diarahkan pada pertalian kekeluargaan.

Hukum Tanah Adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti otentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrarische eigendom, milik yasan, hak atas druwe atau hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa ahli waris, akte peralihan hak, dan surat segel di bawah tangan, dan bahkan ada yang telah memperoleh sertifikat serta surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia) dan hak-hak lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta masih diakui secara internal maupun eksternal.

Selain hak-hak tersebut di atas masih terdapat hak-hak tanah adat sesuai dengan perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan sebagai berikut: Hak sawah menurut hukum adat Aceh, Hak Atas Tanah di Batak yaitu Hak Atas Huta, Tanah Kesain dan Tanah Merimba, Hak Atas Tanah di Minangkabau, Hak Atas Tanah di Bengkulu, Hak Atas Tanah di Sulawesi Utara, Hak Atas Tanah di Jawa yaitu Tanah Yasan, Tanah Pekulen, Tanah gogolan, Hak Gaduh atas tanah dan Petuk sebagai bukti.

Ciri-ciri tanah hukum adat masa kini adalah tanah-tanah yang dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan masyarakat di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan, sesuai dengan daerah, suku dan budaya hukumnya kemudian secara turun temurun atau telah berpindah tangan kepada orang lain dan mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau dikuasai sendiri dan atau dikuasai orang/badan hukum.

Secara ringkas ciri-ciri tanah hukum adat masa kini ialah: 1. Ada masyarakat, Badan Hukum Pemerintah/Swasta.

2. Masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan.

98 B. F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, (Jakarta: PT. Toko

Universitas Sumatera Utara

3. Turun temurun atau telah berpindah tangan atau dialihkan.

4. Mempunyai bukti pemilikan berupa girik, verponding Indonesia, petuk, ketitir,

sertifikat, fatwa waris, penetapan pengadilan, hibah, akta peralihan, surat di

bawah tangan, dan lain-lain.

5. Menguasai secara fisik, berupa Masjid, Kuil, Gereja, Pura, Candi, danau, patung,

makam, sawah, ladang, hutan, rumah adat, gedung, sungai, gunung dan lain-lain.

Dengan demikian dari 2 (dua) jenis defenisi Hukum Adat, Masa Lampau dan Hukum Adat Masa Kini, menggambarkan adanya perubahan mendasar sebagian besar dalam hukum yang hidup di masyarakat kaitannya dengan kepemilikan tanah dari yang tidak tertulis menjadi tertulis. Maksud penulis di sini sebagian besar adalah karena dimungkinkan bukti kepemilikan atas sebidang tanah tersebut masih dikenal atau dianut tanpa bukti tertulis. Misalnya di daerah Tapanuli Utara (Suku Batak) masih ditemukan bukti pemilikan tanah tersebut hanya disebutkan dalam perkawinan seorang anak perempuan diberikan oleh orang tuanya, misalnya sebidang tanah sawah atau tanah darat kepada si wanita yang dinikahkan tanpa ada tertulis yang disebut “Ulos nasora Buruk”(secara letterlijk artinya ulos yang tidak pernah buruk/rusak tetapi secara faktual maksudnya tanah atau sawah).

Demikian juga apabila seorang wanita yang telah menikah dan mempunyai anak yang datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk beradat, maka anak cucu dari wanita ini dapat juga diberikan semacam harta benda berupa sawah atau tanah darat, yang disebut juga “Ulos Nasora Buruk”. Jadi inilah salah satu penyebab wanita di daerah Tapanuli Utara (Suku Batak) tidak lagi memperoleh harta warisan setelah orang tuanya meninggal. Namun demikian apabila masih ada wanita dari si pewaris belum menikah maka si wanita tersebut juga akan memperoleh bagian dari kakak lelaki tertua dalam keluarganya, setelah ia menikah. Pengertian “Ulos Nasora Buruk” ini adalah pemberian harta benda berupa tanah.

Sistem adalah : sesuatu yang terdiri atas sejumlah unsur atau komponen yang selalu saling memengaruhi dan saling terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.99

St.Munadjat Danusaputro

100

Gunung Agung Tbk, 2005), hal.67.

menyatakan bahwa sistem merupakan satu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya, dengan memiliki tujuan secara pasti.

99 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni,1991), hal.56.

Universitas Sumatera Utara

Hukum adalah suatu gejala yang dari dirinya sendiri menghendaki sistematisasi.101

Jadi hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam mata sistem (sistem hukum pertanahan nasional).

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan

Dalam penelitian ini diawali dengan pendekatan normatif (doctrinal), yaitu pendekatan yang mengacu pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat sekunder. Ini terlihat pada Bab II yang mendeskripsikan status hukum hak atas tanah adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional. Lahirnya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) memberikan harapan baru, angin segar bagi rakyat Indonesia karena akan ada perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah di alam kemerdekaan yang lebih dikenal dengan program land reform (ternyata gagal). Diperparah lagi dengan dilahirkannya UU Sektoral (antara lain UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Minerba) yang mengakibatkan “permasalahan” (seperti sengketa tanah). Penelitian ini mengkritisi (pandangan kritis) terhadap Sistem Hukum Pertanahan Nasional antara lain tentang UU sektoral itu sendiri. Pendekatan berikutnya adalah sejarah102

“Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sesuatu hal sampai menyusun laporannya

(secara historis) tentang kabupaten Simalungun serta Hak Atas Tanah Adat di kabupaten Simalungun, yang masih merupakan hak milik huta maupun hak milik marga.

103

100 St.Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku V: Sektoral jilid 5 (Dalam Pencemaran Lingkungan) Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, (Bandung: Bina Cipta, cetakan kelima,1986), hal.6.

. Oleh karena itu guna mendapatkan hasil yang mempunyai nilai validitas yang tinggi serta dapat

101 Bruggink J.J.H, Rechts Reflecties, Grondbeggripen Uit de Rechtstheorie, Refleksi tentang Hukum, Terjemahan B. Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, cetakan ketiga, 1996), hal.137.

102 Frederick G.Kempin dalam Edy Ikhsan, Pergeseran Hak tanah komunal dalam Pluralisme Hukum dalam Perspektif Socio-legal, disertasi, (Medan:FH USU, 2013), hal.32 mengatakan : ada 6 (enam) sebab kita memerlukan kajian sejarah hukum. Pertama, untuk menunjukkan bahwa hukum yang kita hadapi sekarang ini tidaklah suatu yang unik Persoalan dasar adalah abadi. Umpanya, golongan minoritas selalu lemah bila berhadapan dengan kekuasaan. Kedua, untuk meluruskan kesalahan anachronism yang diterapkan pada sejarah, artinya menerapkan metode, konsep dan nilai sekarang kepada masalah-masalah masa lalu. Mempelajari sejarah, seseorang harus memberikan kritiknya dalam konteks waktu, dan harus berpikir dalam pola pendahulu kita, bukan berdasarkan pikiran kita sekarang. Ketiga, untuk menunjukkan kekuatan ekonomi dan kepentingan-kepentingan komersil dalam pertumbuhan hukum. Ekonomi dan kebutuhan komersil tidak hanya mendorong perubahan hukum, tetapi perubahan hukum kemudian dapat menimbulkan konsekwensi ekonomi dan komersil. Keempat, menunjukkan hukum adalah instrument dari standard etik yang dominan. Pergeseran etik dalam kenyataannya dijalankan oleh hukum, misalnya perbudakan bergeser kepada kebebasan, diskriminasi ke non diskriminasi dll. Kelima, untuk menunjukkan bagaimana sulitnya mengadakan komrpomi antara stabilitas (stability) dan perubahan (change). Dan yang terakhir, sejarah hukum menunjukkan adanya saling ketergantungan antara hak-hak hukum dan prosedur hukum.

103 Cholid Narbuko, H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2002), hal. 1

Universitas Sumatera Utara

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat juga diperlukan untuk memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari dan memahami objek yang diteliti, Sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan yang telah direncanakan.

Di dalam penelitian termasuk penelitian hukum, dikenal berbagai macam atau jenis dan tipe penelitian. Terjadinya perbedaan jenis penelitian itu berdasarkan sudut pandang dan cara meninjaunya, dan pada umumnya suatu penelitian sosial termasuk penelitian hukum dapat ditinjau dari segi sifat, bentuk, tujuan dan penerapan dari sudut disiplin ilmu. Penentuan jenis atau macam penelitian dipandang penting karena ada kaitan erat antara jenis penelitian itu dengan sistematika dan metode serta analisa data yang harus dilakukan untuk setiap penelitian. Hal demikian perlu dilakukan guna mencapai nilai validitas data yang tinggi, baik data yang dikumpulkan maupun hasil akhir penelitian yang dilakukan104

Kemudian dilanjutkan dengan pendekatan yuridis empiris (non doctrinal) dalam melihat bagaimana penetapan/pelaksanaannya melalui suatu penelitian lapangan yang dilakukan secara sosiologis dengan wawancara, observasi sehingga diperoleh kejelasan tentang hal yang diteliti.

.

Data primer dalam rangka untuk melihat perilaku hukum dari praktek penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi.

Sebagai suatu penelitian hukum empiris yang menggunakan data primer, cara penelitian ini dapat juga mengikuti sebagian cara penelitian ilmu sosial. Lahirnya pendekatan penelitian hukum empiris (sosio legal research) merupakan konsekuensi dari ilmu hukum yang memang bersifat terbuka, sehingga interaksi antara ilmu hukum dengan ilmu-ilmu terutama ilmu sosial merupakan suatu keniscayaan105

Metode pendekatan di atas digunakan karena mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berhubungan dengan cara penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi, yang juga mencakup bidang yuridis yaitu peraturan-peraturan perundangan yang mengatur tata cara pelaksanaannya dan penyelesaian sengketa yang timbul.

.

Penyelesaian sengketa hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun diawali dengan Tipologi Sengketa Pertanahannya, faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan sebagaimana tercantum dalam Bab III Studi ini.

2. Jenis, Sifat, dan Teknik Penelitian Penulisan metodologi penelitian disertasi ini menggunakan metode penelitian

kualitatif dengan penelitian yuridis normatif, bahan atau materi penelitian, alat penelitian dan analisis hasil. Penelitian disertasi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan hukum yuridis normatif. Metode penelitian kualitatif dimaksudkan bahwa hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan

104 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1991), hal. 7 105 B.Z. Tamanaha, Realistic Socio Legal Theory : Pragmatizm and a Social Theory of Law, (England :

Clarendon Press Oxford University, 1999), hal. 129.

Universitas Sumatera Utara

angka-angka melainkan data yang dianalisis dilakukan secara mendalam dan holistik.106

Selain hal-hal di atas, juga dilakukan penelitian yang bersifat yuridis empiris. Penelitian hukum normatif (doctrinal) dan yuridis empiris (non-doctrinal) adalah untuk mengetahui atau mengenal tipologi sengketa pertanahan serta faktor-faktor penyebab sengketa hak atas tanah adat dan upaya penyelesaiannya serta kenyataan-kenyataan yang berkembang di lapangan.

Jadi bahan atau materi penelitian disertasi ini diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Oleh karena penelitian ini lebih menekanan sifat kualitatif dan gabungan yuridis normatif serta yuridis empiris, maka bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.107

Data sekunder lainnya adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan berupa Putusan Pengadilan mengenai penyelesaian sengketa hak atas tanah adat, penyelesaian Sengketa Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Simalungun, Penyelesaian Sengketa Tanah secara musyawarah mufakat oleh masyarakat adat kabupaten Simalungun dan dokumen-dokumen consesie.

Dari penelitian lapangan juga diperoleh data primer dari para responden dan informan penelitian yakni tokoh-tokoh adat, camat, lurah yang bertindak sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa tanah tersebut. Penguasaan bahasa daerah, bahasa Simalungun membuat peneliti lebih familiar (akrab) dengan para responden (masyarakat adat Simalungun), sehingga data yang diharapkan benar-benar bisa didapatkan lebih tepat dan akurat.

Lokasi penelitian disertasi ini adalah daerah kabupaten Simalungun, dua desa dari kab.Simalungun atas dan 2 (dua) desa dari kab.Simalungun bawah, karena daerah ini memiliki frekuensi sengketa tanah, tetapi dalam perjalanan proses penelitian ditemukan 2 (dua) desa (nagori) dimana tidak pernah terjadi sengketa tanah.

Dalam rangka penelitian lapangan, ada dua macam wawancara yang dilakukan dengan membedakan karakternya yakni informan dan responden. Informan adalah orang yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan mengenai pandangan dan penyelesaian sengketa hak atas tanah adat.108

Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini dipergunakan teknik non probability sampling yaitu purposive sampling, artinya tidak semua populasi dijadikan sampel melainkan dipilih beberapa subyek penelitian berdasarkan sifat-sifat tertentu dan tujuannya yang berhubungan dengan obyek penelitian.

106 Anton J Kuzel dalam Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Kajian Terhadap Pelaksanaan Jaminan Fidusia dalam Putusan Pengadilan di Sumatera Utara, disertasi, (Medan : PPS USU , 2002), hal.42-43.

107 Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:Rajawali Pers, 1990), hal.39.

108 Djariaman Damanik, salah seorang informan yang selalu berdiskusi tentang apa saja mengenai “Simalungun”. Beliau adalah salah seorang anak dari Raja Damanik, yang beristrikan anak (boru) dari Raja Silampuyang. Djariaman Damanik juga hasil didikan Belanda (Mr in the rechten), mantan ketua PT di Medan dan Denpasar.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan teknik tersebut, diperoleh subjek penelitian yang meliputi para pihak/masyarakat yang terlibat dalam sengketa tanah,Bagian kasus dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan : kantor BPN, Pengadilan Negeri Pematangsiantar, Pengadilan Negeri Simalungun, Camat, Lurah, tokoh-tokoh adat setempat.

Sebagai alat penelitian untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder dipakai studi dokumen, kuesioner dan wawancara. Data primer diperoleh dengan menggunakan alat penelitian berupa kuesioner dan wawancara. Studi dokumen dilakukan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier serta data tentang penyelesaian sengketa. Bahan ataupun dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.

Kuesioner disusun dalam bentuk kombinasi yang bersifat tertutup dan terbuka, yang ditujukan kepada responden penelitian. Caranya daftar kuesioner dikirimkan terlebih dahulu kepada responden dengan tujuan agar pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab dengan benar. Wawancara dilakukan terhadap responden dan informan. Untuk mempermudah mendapatkan data yang mendalam dipersiapkan pedoman wawancara. Melalui wawancara ini dapat dilengkapi dengan kekurangan pengisian kuesioner.

Kegiatan akhir dari penelitian ini adalah melakukan tahap analisis hasil penelitian. Data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, tertier serta didukung oleh data primer dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan yuridis normatif.

Hasil penelitian lapangan dalam wujud angka hanya merupakan data pendukung dari data sekunder yang dituangkan dalam tabel frekuensi. Data kualitatif dianalisis dengan menghubungkan kepada unsur-unsur yuridis dan ditafsirkan dengan menggunakan metode penafsiran ilmu hukum. Dari hasil analisis kualitatif dengan metode yuridis normatif dan dukungan data kuantitatif tersebut, yang kemudian ditafsirkan menurut penafsiran ilmu hukum diharapkan dapat memberikan pemecahan masalah penelitian yang akurat tentang perkembangan penyelesaian sengketa hak atas tanah adat.

G. Asumsi

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan asumsi sebagai berikut di bawah ini : 1. Status hukum hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun mengalami “ancaman

kepunahan” akibat politik hukum, maupun politik ekonomi oleh kebijakan

Pemerintah yang menempatkan pemilik modal kuat sebagai aktor dominan dalam

pembangunan ekonomi.

Universitas Sumatera Utara

2. Fungsi sosial hak milik atas tanah yang dirumuskan dalam teks normatif-

positivistik (ius constitutum) dalam aktualisasinya berubah ke fungsi individual,

maka fungsi sosial sebagai norma positif (ius constitutum) tidak pernah terealisasi

sebagai perilaku aktual dan bahkan memicu lahirnya sengketa, dengan kata lain

“kebijakan” yang dibuat keliru memahami konsep “hak menguasai dari negara”

yang dianut UUPA. Artinya Negara bukan “memiliki” (seperti tafsiran asas

domein verklaring, tetapi hanya mengatur peruntukan penggunaan tanah semata-

mata demi kesejahteraan rakyat/masyarakat Indonesia.

3. Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Kabupaten Simalungun pada umumnya,

disamping penyelesaiannya melalui litigasi tapi juga non litigasi (alternatif).

Namun tidak memberi kepastian hukum karena tidak dituangkan dalam suatu

bukti tertulis (bukti otentik), namun hanya memberikan ganti rugi, dengan dasar

kesepakatan antara kedua belah pihak (musyawarah mufakat).

H. Sistematika Penulisan

Inti dari pengkajian dalam penulisan disertasi ini terpusat pada pandangan kritis tentang penyelesaian sengketa hak atas tanah adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional yang mengambil lokasi di Kabupaten Simalungun.

Dimulai dari Bab I Pendahuluan, yang menguraikan Latar Belakang perlunya pembahasan mengenai penyelesaian sengketa hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun, agar sesuai dengan kualifikasi, penelitian ini dibatasi dalam perumusan masalah, berdasarkan ini pula tergambar Tujuan dan Manfaat Penelitian. Sebagai pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak, digunakan Kerangka Teori dan Konsepsi, kemudian dilanjutkan dengan Asumsi, dan tak lupa menggambarkan Sistematika Penulisan.

Bab. II membahas tentang Status Hukum Hak Atas Tanah Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional (di Kabupaten Simalungun). Dimulai dari mendeskripsikan tentang Kabupaten Simalungun; historisnya, mengapa berdebat mengenai ‘nama Simalungun’, bagaimana masuknya orang Tapanuli ke

Universitas Sumatera Utara

Simalungun, Pemerintahan Swapraja,Asal-usul orang Simalungun, Filosofi hidup orang Simalungun, serta Simalungun Dalam Angka. Juga penting dibahas tentang Sistem Hukum Pertanahan Nasional itu sendiri, mengenai pengertiannya, konsepsinya, objeknya, dan prinsip-prinsipnya serta kritikan terhadap perundang-undangan yang mengatur sumber daya agraria (hak atas tanah adat), masyarakat adat dalam UU Sektoral, misalnya UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Minerba, dan lain-lain. Untuk menjawab permasalahan pertama juga dibahas tentang Hak Atas Tanah Adat di Simalungun itu sendiri, bagaimana gambaran hukum pertanahannya, masyarakat hukum adatnya, transaksi adat yang asih dipraktekkan di lokasi penelitian. Bab III pembahasannya sudah meningkat kepada sejauh mana rupanya Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun. Dalam hal ini dibahas mengenai : Pengertian Sengketa Hukum Atas Tanah, Tipologi sengketa pertanahan secara umum, secara khusus di Kabupaten Simalungun dan faktor penyebab Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun. Bab IV dari gambaran bab-bab sebelumnya, dilampirkan kepada pembahasan tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Kabupaten Simalungun. Baik terhadap sengketa (kasus) yang diselesaikan secara non litigasi (BPN, musyawarah mufakat (hukum adat)), maupun secara litigasi (Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung). Bahkan ditemukan ada 2 desa (Nagori) yang secara empiris tidak (pernah) terjadi sengketa pertanahan. Bab V, merupakan bab penutup dari penelitian ini, dikemukakan Kesimpulan (jawaban atas permasalahan penelitian), dan diakhiri dengan Saran.

Universitas Sumatera Utara

BAB II STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM

PERTANAHAN NASIONAL (di Kabupaten Simalungun)

A. Deskripsi tentang Kabupaten Simalungun 1. Tinjauan mengenai historis (sejarah) Simalungun

Stagnasi penulisan sejarah Simalungun109 disebabkan oleh beberapa hal110 yaitu: a) Minimnya sumber-sumber tertulis yang merupakan rangkaian peristiwa sejarah di Simalungun, sehingga mengalami kesulitan untuk membentangkan, mendeskripsikan, serta menjelaskan peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau itu. b) Di antara sumber tertulis yang ada umumnya dibukukan setelah masuknya era perkebunan111 sehingga era praperkebunan tersebut tidak diketahui, jika pun ada dari segi tradisi tulis, umumnya dilakukan oleh datu atau guru bolon112 dan isinya merupakan mantera-mantera atau pengobatan tradisional. Lain daripada itu manuskrip113 (partikkian) yang ada tidak mengisahkan angka tarikh atau tahun yang jelas, dan pengarang yang anonimus. Sementara itu, sumber-sumber pengelana asing114

109 Nama dan penamaan Simalungun sesungguhnya masih relatif baru. Peta yang dibuat oleh D.B. Hagen (eincompassauf namen) tahun 1883, belum mencantumkan nama Simalungun meskipun wilayah dimaksud adalah Simalungun sekarang. Dalam tradisi Kesultanan Melayu disebut “Batak Dusun” untuk menyebut Simalungun. Demikian pula ketika RMG memulai penginjilannya (1903) disebut “Timor landen”. Pada waktu itu, dikenal Batak Timur yakni orang Batak yang terletak disebelah timur Danau Toba (Negeri Timur). Sebenarnya kurang tepat apabila nama Simalungun sekarang dikaitkan dengan kepribadian orang Simalungun sebagai “Simou-mou malungun” atau meratap, sunyi, sepi, dan tertutup.

, juga tidak menyebutkan nama “Simalungun” secara pasti, walaupun di

110 Asumsi ini tentu saja didasarkan pada minimnya buku-buku standard tentang Simalungun. Demikian pula bahwa, kebanyakan buku tersebut ditulis oleh bukan sejarahwan akademis tetapi oleh sejarahwan non akademis ataupun budayawan. Tulisan yang dihasilkan cenderung untuk konsumsi kerabat (kalangan tertentu) yang kurang dapat dijadikan rujukan dalam pembahasan ilmiah. Namun demikian, sejumlah Theolog sudah banyak mencoba mengurai sejarah masyarakat dan kebudayaan Simalungun dari perspektif theology khususnya Kristen.

111 Kebiasaan bagi orang Belanda adalah mengirimkan ilmuwan khususnya etnolog dan filolog ke daerah yang akan dikuasainya. Masuknya pengusaha perkebunan asing di Sumatera Timur (1862), Simalungun (Sejak 1875) meninggalkan sepenggal noktah tentang Simalungun. Umumnya tulisan tersebut adalah nota penjelasan para penguasa daerah dan pengembangan wilayah perkebunan. Laporan komprehensif tentang Simalungun diperoleh dari J. Tidemann (1922), yakni kontrolir afdeeling Simeoloengen, itupun ditulis dalam kerangka pengetahuan kolonial terhadap sejarah etnis, kebudayaan dan topografis untuk perluasan perkebunan. Dalam kata pengantarnya, Tidemann mengemukakan terimakasih penyambung lidahnya kepada masyarakat yakni Johannes Hutapea khususnya dalam pengumpulan informasi tentang masyarakat Simalungun pada saat itu.

112 Periksa, JE. Saragih, Pustaka Laklak Museum Simalungun No 252, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen P dan K, 1981). Salinan terhadap naskah-naskah Pustaha Simalungun seperti yang dikerjakan oleh Vorhooeve tahun 1938 belum dipublikasikan, demikian pula nota-nota penjelasan daerah Simalungun dalam catatan kolonial belum pernah diterbitkan, dan jikapun diterbitkan masih terlalu singkat, sehingga keadaan ini menambah sulit historiografi Simalungun berdasarkan sumber tertulis.

113 Manuskrip yang ada seperti Parpadanan Na Bolag (PNB), Parmongmong Bandar Syahkuda (PBS), Partikkian Bandar Hanopan (PBH), tidak terdapat klan dan tarikh peristiwa tersebut, demikian pula penulisnya yang anonimus. Lain daripada itu, analisis teks terhadap manuskrip ini belum pernah dilakukan hingga saat ini.

114 Periksa William Marsden, History of Sumatera, (Kuala Lumpur: Oxford University of Press, 1966), John Anderson, Mission to the East Cost of Sumatera, (Kuala Lumpur: Oxford in Asia, 1971). Ma Huan, Ying-Yai Shen-Lan: The Overal Survey of the Ocean Shores 1433, (Cambridge: Hakluyt Society, 1970), Tome Pires, The Summa Oriental of

Universitas Sumatera Utara

kemudian hari wilayah yang dimaksud adalah Simalungun, c) Kebanyakan buku-buku tentang Simalungun pada masa sekarang, baik yang diterbitkan (ber-ISBN) ataupun masih dalam bentuk laporan tesis atau disertasi adalah tinjauan theology (Kristen) sehingga analisis terhadap kesejarahannya masih terbatas pada aspek theologis115, d) Minimnya Sarjana-sarjana penulis sejarah dan sosial berpredikat (master dan doktor116) yang menggeluti dunia kesejarahan ini sehingga literatur sejarah menjadi jarang dijumpai di toko buku, e) Di antara buku-buku yang ada cenderung ditulis untuk keperluan pribadi atau keluarga117 yang dalam pembentangannya kurang menjelaskan kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau juga dari satu wilayah dengan wilayah lainnya, f) Kerancuan daripada sejarah Simalungun sekarang dengan sumber terbatas itu berdampak pada pola penulisan yang mengadopsi penulis awal118 tanpa adanya dialog sumber sehingga makin lama makin terasa biasnya, g) Tradisi menulis yang belum memasyarakat119, dan h) Minimnya penyelidikan lintas disiplin ilmu120

Tomme Pires: An account of the east from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515, (Armando Corteasao, ed) Germany: Lessing Druckerij, Edwin M. Loeb (ed), 1935. Sumatera: Its History and People Singapore: Oxford University, atau juga Anthony Reid (ed) 1995. Witnessses to Sumatera: A Travelers Anthology. Kuala Lumpur: Oxford University. Atau juga WP. Groeneveltd (ed). 1960. Historical Notes on Indonesia and Malay: Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bharata. Kong Yuanzhi. 2007. Cheng Ho Muslim Tionghoa: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Hembing W, Ed). Jakarta: Obor

115 Lihat misalnya.Martin Lukito Sinaga, Identitas Postkolonial Gereja Suku Indonesia: Studi Tentang JW. Saragih, (Yogyakarta: LkiS, 2006), atau Martin Lukito Sinaga dan Juandaharaya Dasuha, Tole den Timorlanden das Evanggelium: Sejarah 100 Tahun Injil di Simalungun, ( Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003) Satu buku yang diterbitkan tentang Simalungun adalah buah karya Arlin Dietrich Jansen. Gonrang Simalungun: Struktur dan Fungsinya dalam Masyarakat Simalungun, (Medan : Bina Media, 2003).

116 Kebanyakan tema-tema penelitian yang ditulis oleh penulis asing tentang Simalungun adalah ekonomi pertanian dan perkebunan serta politik. Masih jarang dijumpai penulis yang mengurai sejarah Simalungun. Lain daripada itu kebanyakan para intelektual (professor, doktor, maupun magister) adalah berlatar belakang ilmu Paedagogis (ilmu pendidikan), Pertanian, Hukum, dan Tehnik, Kesehatan dan Theologi. Sedang dalam bidang ilmu sejarah, anthropologi maupun sosiologi (rumpun ilmu sosial lainnya) terutama yang aktif menulis buku masih jarang. Bilapun ada penulis sejarah cenderung bukan dalam kerangka akademis.

117 Lihat dan periksa buku-buku yang ditulis tentang Simalungun masih terfokus pada riwayat Raja dan Kerajaan, seperti Sejarah Kerajaan Raya, Kerajaan Siantar Sang Na Ualuh Damanik, Kerajaan Purba Pakpak, Kerajaan Panei Purba Dasuha dst, yang ditulis untuk keperluan keluarga. Demikian pula buku biografi atau semacam memoir yang ditulis dengan penjelasan minim tentang Simalungun.

118 Bandingkan dengan pendapat Michael Faucault yang mengemukakan bahwa dalam masyarakat biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda, namun karena penguasa memilih wacana tertentu yang kemudian mendominasi wacana lainnya, maka wacana-wacana lainnya akan terpinggirkan dan termarginalkan. Lihat Michael Faucault, What is an author?. In: Josue Harari (ed), Textual Strategies: Perspectives in Post Structuralis Criticism, (London: Methuen 1979). Maksud daripada pernyataan ini adalah ada-nya semacam fenomena penulisan buku dengan merujuk pada penulis luar Simalungun di mana rujukan tersebut sebenarnya bertentangan dengan keadaan Simalungun dan apalagi dengan penjelasan yang sangat dangkal. Contoh, penulis Simalungun masih saja merujuk bahwa klan dan asal usul orang Simalungun berasal dari Pusuh Buhit, tradisi Raja dan Kerajaan khususnya Raja Maropat adalah bentukan Singamangaraja, Nama dan penamaan Simalungun adalah sebagai (orang) yang ‘Malungun’, ‘Sunyi’, ‘Sepi’, (Sima-sima, Simou dan Malungun) padahal tidak punya dasar sama sekali.

119 Walaupun dengan analisis dan rujukan yang terbatas, beberapa diantaranya telah mencoba menulis seperti Sortaman Saragih, Orang Simalungun, (Jakarta: Citama Vigora, 2007).

120 Berdasarkan diskusi tak resmi dengan Kepala Museum Negeri Sumatera Utara dan Balai Arkeologi Medan, demikian pula tinggalan (artifak) arkeologis yang banyak di temukan di Simalungun, namun penelitian untuk mendapatkan data yang akurat seperti ekskavasi, geomorphologis, carbodanting atas tinggalan tersebut belum pernah dilakukan. Contoh fort of Nagur, Catur Nagur, arca raja yang menunggang Gajah maupun tinggalan

Universitas Sumatera Utara

2. Nama Simalungun dalam perdebatan121

Masih menjadi pertanyaan, darimana asal kata “Simalungun” ?. Sebagai pedoman adalah sebagai berikut :

a. Pendapat dari U. Hamdar (Urich H. Damanik) : Simalungun berasal dari kata : Si-ma-lungun, yaitu bertitik tolak dari pemecahan secara etimologis bahwa Si adalah kata penunjuk, ma adalah awalan, lungun artinya sunyi atau rindu.

b. Pendapat Kasim Sipayung : Simalungun berasal dari Siou-ma-lungun, dengan penjelasan bahwa Siou adalah daerah atau wilayah, ma adalah awalan lungun adalah sunyi atau rindu. Malungun berarti yang sunyi atau yang dirindui. Iou artinya Negeri. Dalam pergaulan sehari-hari kata ini tidak banyak dipakai tetapi dalam Kidung mengandung arti “kasih sayang” dan “kerinduan”, misalnya jika seorang anak meninggal dunia maka ibunya akan meratap dengan kalimat “juppa ma parsirangan”, “madaoh ma pardomuan”, “lahoma tunas mardomu nadaoh, marlangit anak-anak martamoh pulau-pulau” artinya : kinilah kita berpisah, tak akan bertemu lagi (karena) dikau pergi ke “negeri jauh” dengan bumi dan langit yang terasing. Jadi Simalungun berarti daerah tersayang yang (menjadi) sunyi.

c. Pendapat T. Ms. Purbaraya : Simalungun berasal dari kata Silou-ma-lungun, yakni dengan menghubungkan sejarah runtuhnya Kerajaan Silou Tua sebagai lanjutan dari Kerajaan Nagur dan lain-lain yang berhubungan dengan perpindahan penduduk (migra-si) dan wabah penyakit sampar.

d. Pendapat T.B.A. Purba Tambak : Simalungun berasal dari kata : Simou dan Lungun. Simou artinya samar-samar yakni antara nampak dan tidak nampak dengan terang, tetapi jelas ada. Ibarat Sima (kuman) tidak dapat dilihat dengan terang tetapi jelas ada. Lungun artinya sunyi atau lengang, karena wilayah itu dulunya adalah terdiri dari hutan belantara yang sunyi dan lengang dimana penduduknya hampir tidak kelihatan

e. Pendapat D. Kenan Purba : Kata Simalungun berasal dari kata Sima-lungun. Sima artinya sisa, lungun artinya kesedihan, maka Simalungun artinya Sisa dari Kesedihan. Dalam

tradisi megalitik lainnya belum pernah diteliti sehingga belum didapat informasinya. Jika pun ada, masih terbatas pada segi arsitektur seperti yang dilakukan oleh Claire Holt dan Ery Soedewo. Lihat, Buletin Sangkakala, (Medan: Balai Arkeologi. 2005).

121 Pemberian nama Simalungun masih memerlukan penelitian dari ahli bahasa, sejarah dan budaya Simalungun : Bukan Sibalungun, bukan Simelungun, melainkan Simalungun, demikian O.J Sinaga dari Tiga Balata, SIB, 15 Januari 1977 dalam Kenan Purba dan J.D Poerba, Sejarah Simalungun, (Jakarta : Bina Budaya Simalungun, 1995), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

bahasa daerah Simalungun biasa disebut : “Sima-sima ni lungun” yang akhirnya dilafazkan menjadi Simalungun.

Asal kata Simalungun karena itu, berasal dari bahasa Simalungun, “lungun” artinya sunyi/ sepi. Bila penjelasan ini diceritakan di tempat orang lain, maka menurut tata bahasa Simalungun ditambah dengan kata “ma” (malungun), menunjukkan kondisi territorial yang sunyi sepi itu. Dalam perkembangan tata bahasa Simalungun, bila kata sebutan tentang sesuatu benda atau wilayah menjadi nama, biasanya ditambah “si” misalnya : si Anu jika wilayah Simarjarunjung, Simalungun.122

“Malungun” menggambarkan keadaan asli, bahwa tanah yang sangat luas itu masih jarang manusia penghuninya, penuh dengan binatang-binatang buas, tempat burung-burung bersarang. Belum ada jalan manusia, hanya padang belantara (harangan toras/ hutan belukar), sungai (bah), bukit-bukit gunung dan lembah-lembah.

Legenda yang bersifat “mythos”, ada seorang bidadari berasal dari kahyangan, sepanjang hidupnya merasa kesepian (malungun) karena merindukan sesuatu yang tak kunjung datang. Dari segi panorama, nun jauh mata memandang disebut mar-sima-sima artinya sima : lungun menjadi “Simalungun”. Itulah asal mula munculnya istilah/ nama Simalungun.

3. Masuknya orang Tapanuli ke Simalungun

Dimulai pada abad ke 19, kampung halaman Batak Toba sudah mulai sesak akibat pertambahan alamiah, angka kematian mulai menurun, sedang angka kelahiran menjadi meningkat.123 Jumlah penduduk bertambah dengan cepat dan sejalan dengan itu tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, terutama dalam persawahan menjadi masalah yang pelik di daerah Dataran Tinggi Toba124

122 Ibid, hal. 14

. Di berbagai wilayah, luas lahan persawahan yang diusahai penduduk semakin sempit. Pembukaan dan perluasan persawahan baru semakin tidak mungkin karena berbagai hal, diantaranya faktor sumber air dan iklim. Hasil yang diperoleh dari lahan kering pun kurang memuaskan. Berbagai :tantangan” di kampung halaman harus dihadapi. Sementara itu cita-cita untuk selalu mengejar 3H (Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon) tidak pernah padam dalam diri setiap orang. Berbagai keterbatasan yang dihadapi di wilayah sendiri mendorong mereka meninggalkan kampung halamannya. Pada awalnya tidak sedikit dari kaum tani yang bekerja keras membuka hutan dan

123 Ini adalah salah satu dampak positif dari usaha-usaha Zending Jerman di bidang kesehatan

Universitas Sumatera Utara

membangun kampung baru dengan menghadapi tantangan yang berat tanpa memperhitungkan risiko di daerah lain.

Pada tahun 1912 atas kerjasama Pemerintah Hindia Belanda dengan zending Kristen didatangkanlah orang-orang dari Toba, Angkola, dan Mandailing, dengan menjanjikan fasilitas-fasilitas tertentu asal mau membawa rombongan dalam jumlah besar ke Simalungun terutama untuk membuka areal persawahan.

Pada tahun 1920 telah ada orang Toba sebanyak 21.832 orang dan Mandailing sebanyak 4.699 orang yang tersebar di daerah-daerah persawahan di Simalungun. Sesuai dengan janji yang diumbar oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sejalan dengan Politik Devide Et Impera, maka bagi suku-suku pendatang, diangkatlah pimpinan-pimpinan yang diambil dari kalangan mereka sendiri. Untuk memimpin orang-orang Toba diangkatlah Andreas Simangunsong dengan gelar Jaihutan (Raja Ihutan). Demikian juga jabatan-jabatan di pemerintahan seperti Pangulu Balei (Kepala Kantor Raja), Kerani, Guru dan lain-lain banyak yang diberikan kepada suku-suku pendatang tanpa memperhatikan perimbangan dengan penduduk setempat.

Hal ini mendapat tantangan keras dari Raja-raja Simalungun, sehingga akhirnya pada tahun 1921 jabatan Jaihutan, Pangulu dan Kepala Rodi untuk orang-orang Toba dihapuskan.

Selain itu pemerintah Kolonial Belanda memberikan lokasi tanah persawahan bagi orang-orang Jawa, terutama bagi mereka yang telah habis masa kontraknya di perkebunan, maka berdirilah perkampungan orang Jawa di Bandar dan Sidamanik, perkampungan seperti ini disebut Javakolonisasi.

Keseluruhan kegiatan tersebut di atas adalah untuk memperbesar persaingan (tidak jarang jadi permusuhan) antara penduduk setempat dengan para pendatang sesuai dengan kepentingan politik Belanda.

Sesuai dengan sifat orang Simalungun yang suka menyendiri, mudah tersinggung, dan tidak mengenal pertanian sawah, akhirnya mereka mudik ke daerah-daerah yang relatip lebih kurus (kurang subur atau gersang), karena daerah-daerah subur dan yang dapat dijadikan persawahan hampir seluruhnya diduduki orang-orang pendatang.

Dengan kata lain, setelah tersebar berita tentang keadaan Simalungun di Tapanuli, yang dibawa oleh petugas mission, beberapa waktu kemudian telah ada yang memberanikan diri untuk melihat keadaan daerah itu, ada yang naik sampan dari Balige menuju Sungkean Samosir terus ke Parapat dan dari Panahatan melewati hutan terus ke Tigadolok dan sampai ke Siantar setelah empat hari perjalanan. Sesudah melihat keadaan daerah tersebut, mereka memutuskan untuk membuka perkampungan. Untuk menambah tenaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh, beberapa orang disuruh pulang dan sekaligus memberi kabar kepada keluarganya dan teman-teman sekampung agar mereka ikut dalam perjalanan

124 O.H.S Purba dan Elvis F. Purba, Migrasi Batak Toba, di luar Tapanuli Utara : Suatu Deskriptif. (Medan : Monora, 1998), hal. 1

Universitas Sumatera Utara

berikutnya. Demikian pula berita yang diwartakan pekabar Injil melalui majalah mingguan Immanuel sangat cepat tersebar dan menarik perhatian, terutama bagi keluarga yang tidak memiliki lahan yang luas. Sejak itu, beberapa rombongan, sebagian naik sampan dari Balige ke Panahatan terus ke Tigadolok dan sebagian berjalan kaki dari Lumban Julu terus ke Tigadolok dan dari sana menuju arah Siantar. Perjalanan yang melelahkan dengan melewati hutan yang diselang-selingi terik matahari dan hujan tidak menjadi penghambat bagi mereka memasuki daerah Simalungun.

Pada tahun 1904 di Pematang Bandar telah dimulai membuka persawahan yang diprakarsai oleh missioner G.K. Simon. Proyek ini hanya berjalan beberapa lama karena hasilnya sangat sedikit dan akhirnya tutup125

Disamping dorongan dari diri sendiri, missioner Jerman juga mendukung perpindahan sebagian orang Batak Toba ke Simalungun dengan maksud untuk memberi contoh dalam cara bercocok tanam di persawahan dan sekaligus untuk memberi teladan cara hidup Kristiani. Tahun 1905 orang-orang dari Tapanuli sudah makin banyak yang pindah, ada yang menuju Panai, Bandar dan Tanah Jawa. Petani-petani yang sudah membuka perladangan berusaha mengubahnya menjadi persawahan. Pada tahun itu juga petani-petani yang tinggal di dekat Siantar berhasil menggali tali air dari Sungai Bah Biak secara gotong royong dengan berpedoman pada teknologi irigasi yang mereka bawa dari kampung asalnya. Sejak pembukaan tali air tersebut, persawahan mulai ada. Nama tempat persawahan itu pun, yang semula adalah perladangan (juma) berubah menjadi Juma-Saba, yang bermakna perladangan (juma) berubah menjadi persawahan (saba), yaitu di derah Simpang Empat yang sekarang.

. Ketika itu untuk membentuk persawahan sangat sukar karena saluran irigasi belum ada. Oleh karena itu orang Batak Toba kurang berminat tinggal disana.

Dalam beberapa tahun, areal pertanian pangan yang dibuka petani-petani Batak Toba sudah menunjukkan hasil yang lumayan. Keberhasilan tersebut ternyata mendapat perhatian dari pemerintah Kolonial. Mereka mengetahui bahwa petani-petani tersebut sungguh-sungguh mengerjakan lahan pertaniannya dan melihat semangat petani-petani yang datang belakangan membuka lahan pertanian pangan. Sadar akan kesungguhan dan keagresifan petani-petani tersebut, serta sesuai dengan politik mereka, pemerintah kolonial melalui Kontrolir Batubara mengadakan perjanjian dengan raja Bandar, agar orang Batak Toba diberi kesempatan memasuki daerah Bandar dalam rangka membuka persawahan126

Sejak perjanjian tersebut semakin banyak kaum tani dari Tapanuli menuju Bandar, walaupun kemudian hari banyak yang pindah kembali. Tahun 1906 petani-petani dari Toba Holbung, Silindung, dan Humbang datang untuk membuka persawahan. Mula-mula mereka tiba di Bandar Meratur dan dari sana menyebar ke

125 M.Joustra, van Medan Naar Padang En Terugi, (Leiden:S.C van Doesburq, 1915), hal.39 126 Batara Sangti, dkk, Sejarah Batak, (Balige : Karl Sianipar Company,1977), hal.179

Universitas Sumatera Utara

daerah sekitarnya127. Pada tanggal 31 Desember 1906, sudah terdapat sebanyak 94 orang Kristen Batak, terdiri dari 40 laki-laki dewasa, 11 perempuan dewasa dan 43 anak-anak yang datang dari Tapanuli tinggal di Pematang Bandar128. Pada tahun yang sama, di Juma-Saba sudah diadakan kebaktian yang dipimpin oleh evangelis Theopilus Pasaribu129

Tahun 1907 sudah terdapat beberapa keluarga Batak Toba yang datang dari Toba Holbung, Humbang, dan Silindung tinggal di daerah Panai

130. Selain ke daerah Panai, banyak pula yang menuju Siantar, kearah Dolok Merlawan dan daerah lainnya di Simalungun. Sebaliknya perpindahan ke Tanah Jawa ketika itu mendapat hambatan. Mereka tidak diijinkan oleh pemerintah, yaitu kontrolir yang lama memerintah dan mengawasi rakyat di daerah itu131. Pada bulan September 1907 tujuh raja Simalungun menandatangani Korte Verklaring132. Penandatanganan perjanjian tersebut merupakan pengakuan terhadap kedaulatan Belanda di sana dan ketika itu raja-raja tersebut berjanji tidak akan melakukan hubungan-hubungan politik dengan negeri-negeri asing serta setuju untuk mengikuti undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Sejak itulah dirintis perluasan perkebunan di Simalungun133

4. Pemerintahan Swapraja

. Pembukaan perkebunan tersebut membuka kesempatan yang lebih luas lagi bagi kaum terdidik Batak Toba mendapatkan pekerjaan di daerah itu. Dalam kurun waktu 3 Tahun, beberapa daerah di Simalungun sudah dihuni orang-orang Batak Toba.

Sesudah penandatangan Korte Verklaring tahun 1907, sistem pemerintahan di Simalungun sudah berubah, dari kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri berubah menjadi Swapraja yang disebut Landschap berada dalam Onder Afdeling Simalungun di bawah pemerintahan Hindia Belanda.134

Dengan adanya perubahan tersebut maka peranan Harajaan (dewan kerajaan) tidak ada lagi, karena semua kekuasaan telah dipusatkan pada Raja sebagai Kepala Landschap.

Sejak tahun 1904 kerajaan-kerajaan Dolok Silau, Raya, Purba dan Silimakuta termasuk daerah dalam penguasaan Pemerintah Belanda, dikepalai oleh seorang

127 Sihombing, P.T.P., Saratus Taon Huria Kristen Batak Protestan, (Medan : Philemon & Liberty,1961), hal. 56.

128 H.Marbun, Barita Djujur Taon-Laporan Tahunan (1946-1960), (Doloksanggul, Humbang, Bandar, Asahan, D. Serdang, Medan-Atjeh dan Medan TImur), (Medan;Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nomensen,1990) , hal. 77

129 Panitia Jubileum, Buku Sejarah HKB P Pematangsiantar, Pesta Jubileum 75 Taon 29 September 1907-29 September 1982, (Pematangsiantar; Grafina,1982) hal. 16.

130 Sihombing, loc cit 131 A.A Sitompul, Perintis Kekristenan di Sumatera Bagian Utara, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1986),

hal.159 132 Reid, Anthony, The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern

Sumatera. (Kuala Lumpur : Oxford University Press,1979), hal. 101. 133 Liddle, R, William, Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study, (New Haven

: Yale University Press, 1970), hal. 25 134 Kenan Purba & J.D. Poerba, Sejarah Simalungun , op cit, hal. 60

Universitas Sumatera Utara

Controleur bernama V.CJ Westenberg yang berkedudukan di Bangun Purba, sedangkan kerajaan-kerajaan Siantar, Tanah Jawa dan Pane telah terdahulu (sejak akhir tahun 1890) pengaruh Pemerintah Belanda dibawah pimpinan seorang Controleur yang berkedudukan di Labuhan Ruku daerah Batu Bara.135

Pelaksanaan Pemerintahan oleh Belanda dilakukan dengan cara tournee ke Daerah-daerah dan di mana perlu menyelesaikan sesuatu persoalan langsung di lapangan, ataupun para Raja-raja dan pembesar-pembesarnya datang berkumpul untuk berrapat (Harungguan Nabolon). Harungguan Na Bolon pada waktu dalam hubungan ada sesuatu sengketa, maka dijadikan merupakan sidang pengadilan sedangkan penuntut umum (Jaksa) pertama untuk daerah Hukum Saribu Dolok ialah Ingat-dolok Saragih (Tuan Sinasih) dan untuk daerah hukum P.Siantar Jaksa pertama ialah Manase Sitompul.

Hasil penerimaan/pendapatan dari Pemerintah Belanda ialah Candu yang merupakan hadiah mengurangi ketegangan Politik. Pada akhir tahun 1909 daerah Karo disatukan dengan Pemerintahan daerah kerajaan Simalungun di bawah pimpinan Assintent-Resident Westenberg yang berkedudukan di Saribu Dolok (Westenberg sebelumnya conroleur di Bangun Purba). Untuk daerah Simalungun didudukkan seorang Controleur bertempat di P.Siantar dan kemudian Controleur untuk daerah Karo bertempat di Kabanjahe (tahun 1911). Pada tahun 1910 didirikanlah markas Tentera Belanda di Seribu Dolok, tetapi pada pertengahan tahun 1911 dipindahkan ke Sidikalang. Di daerah Simalungun Atas, Politik Pemerintahan tidak begitu pesat perkembangannya, sedangkan di daerah Simalungun Bawah dengan adanya penanaman karet, pertumbuhannya cepat sekali, sehingga kedudukan Assistant – Resident pada tahun 1912 dipindahkan dari Seribu Dolok ke P.Siantar. Demikianlah sejak pertengahan tahun 1920 daerah Simalungun termasuk daerah penanaman modal asing. Sesudah penandatanganan “kontrak pendek” dengan pemerintah Belanda pada tahun 1907, maka kekuasaan Raja-Raja di Simalungun dengan berangsur-angsur menjadi kurang, sekalipun dinamakan pemerintahan itu diserahkan seluas-luasnya mengurus rumah tangganya sendiri. Hanya bayangan nama “Raja” sesungguhnya merupakan “Kepala Adat” dimana kekuasaannya telah dibatasi oleh Pemerintah Belanda. Dengan surat keputusan Pemerintah Belanda Lembaran Negara 1914 No.24 yang pelaksanaannya untuk daerah Simalungun baru disahkan pada tahun 1917, maka berlakulah peraturan-peraturan yang diperbuat oleh pemerintah Belanda mengenai wewenang dari Raja-Raja Simalungun dan pengaturan mengenai peradilannya. Mulai tahun ini dibangun kantor Raja di tiap-tiap kerajaan untuk melaksanakan administrasi Pemerintahan. Pada tiap-tiap kantor diangkat seorang kepala kantor yang dinamakan “penghulu balai” dan bertindak juga selaku jaksa (penuntut Umum) dalam perkara pidana pada Pengadilan Swapraja tingkat “kerapatan urung”. Yaitu pelanggaran denda di antara 20-60 rupiah uang Belanda dan ancaman

135 TBA Purba Tambak, Sejarah Simalungun, (Pematangsiantar:Danau Singkarak,1982), hal.129

Universitas Sumatera Utara

hukuman penjara selama 14 hari sampai 5 bulan dan dalam bidang perkara perdata bertindak selaku panitera yang memutuskan perkara dengan nilai harga 50-100 rupiah uang Belanda.

Onder Afdeling Simalungun dibagi habis dalam 7 Kerajaan, dan Kerajaan dibagi atas beberapa Distrik (semua ada 16 Distrik) dan selanjutnya Distrik dibagi habis dalam beberapa Kampung (huta). Adanya Kerajaan/ Landschap dan Distrik di Simalungun pada waktu itu adalah sebagai berikut : No Landschap Distrik

1 Siantar 1. Siantar 2. Bandar 3. Sidamanik

2 Tanoh Jawa 4. Tanoh Jawa 5. Bosar Maligas 6. Jorlang Hataran 7. Dolog Panribuan 8. Girsang Sipangan Bolon

3 Panei 9. Panei 10. Dolog Batu Nanggar

4 Raya 11. Raya 12. Raya Kahean

5. Dolog Silou 13. Dolog Silou 14. Silou Kahean

6. Purba 15. Purba 7. Silima Kuta 16. Silima Kuta

Dalam hal perubahan kewenangan raja-raja berdasarkan besluit Gubernement tahun 1914 No 24 ditetapkan hak-hak dan wewenang Raja-Raja Simalungun termasuk Peradilan Swapraja/Landraad sebagai pengganti Kerapatan atau Harungguan, tetapi baru mulai berlaku pada tahun 1917. Pada tahun 1917 gedung Kantor para Kepala Landschap (Raja) di Simalungun dibangun dan pada setiap kantor diangkat seorang Pangulu Balei (Kepala Kantor) yang sekaligus merangkap sebagai jaksa pada tingkat Kerapatan Urung. Sedangkan hirarki dan tingkat-tingkat peradilan yang ada di Simalungun waktu itu adalah sebagai berikut : a. Tingkat Huta (Kampung) tugas peradilan dipegang oleh Kepala Kampung

(Pangulu) dibantu oleh beberapa orang pengetua (Partuha Maujana).

Universitas Sumatera Utara

b. Tingkat Parbapaan (gabungan beberapa kampung) peradilan diadakan melalui

Kerapatan Balei yang diketuai oleh Parbapaan dan anggota-anggotanya adalah

para Pangulu yang ada di wilayahnya.

c. Tingkat Landschap (Kerajaan) melalui Kerapatan Urung yang langsung diketuai

oleh Raja (Kepala Landschap) dibantu oleh Pangulu Balei dan beberapa Gamot

Harajaan.

d. Pengadilan Tertinggi di Onder Afdeling Simalungun disebut Kerapatan Na Bolon

yang langsung diketuai oleh Controleur dan anggotanya adalah ke 7 Raja-raja

Simalungun. Tugasnya ialah untuk menyelesaikan perkara atau sengketa di antara

Raja-raja Simalungun. Tetapi hakekatnya kepada Badan tersebut dibebankan juga

tugas-tugas pelaksanaan pengaturan otonomi dan medebewind (tugas perbantuan).

Controleur mempunyai tugas ganda, yaitu sebagai Zelfbestuur (Pemerintah di Daerahnya) dan sebagai Voorzitter (Hakim).

Dalam sistem Swapraja ini Raja-raja merasa kuasanya dikukuhkan, akan tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka telah menjadi alat kolonial. Sebagai bukti, raja-raja sudah ditugaskan memungut belasting (pajak) dan bagi rakyat yang tidak mampu membayar pajak dipaksa untuk melaksanakan pekerjaan Rodi (Kerja Paksa).

5. Asal Usul Orang Simalungun

a. Marga Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu : 1)

2)

Sinaga

3)

Saragih

4)

Damanik

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar (raja-raja yang pernah berkuasa di Simalungun), untuk

Purba

Universitas Sumatera Utara

tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh). Keempat raja itu adalah : Raja Nagur bermarga Damanik Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja Banua Sobou bermarga Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Saragih

Raja Banua Purba bermarga Purba Purba menurut bahasa, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor. Dilihat dari perkembangan marga-marga Dilihat dari perkembangan marga-marga di Simalungun bahwa marga Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba (Sisadapur) hanyalah merupakan marga pokok saja. Hal itu dapat kita lihat dari perkembangan berikutnya berdasarkan hubungan kekerabatan dari raja-raja atau partuanon dahulu, maka di masing-masing kerajaan terdapat tambahan marga-marga yang baru sebagai berikut :

a. Di bekas Kerajaan Purba : Marga Lingga, Silalahi dan Haloho

b. Di bekas Kerajaan Raya : Marga Sipayung, Silalahi, Sinurat dan Sitopu

c. Di bekas Kerajaan Tanoh Jawa : Marga Manurung, Butar-butar, Sirait, Sitorus

dan Margolang.

d. Di bekas Kerajaan Siantar : Marga Dabahu (Naibaho), Dasopang, Dasalak

bahkan dari etnis Melayu, Banjar, dan Sipirok/Mandailing.

e. Di bekas Kerajaan Dolog Silou : Marga Sipayung, Tarigan, Sembiring, Ginting

dan Munthe.

f. Di bekas Kerajaan Panei : Marga Sipayung , Turnip dan Sitio.

Universitas Sumatera Utara

g. Di bekas Kerajaan Silimakuta : Marga Tarigan, Sembiring, Silalahi,

Simanjorang dan Situngkir.136

b. Perkerabatan Simalungun

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” (dari mana asal usul anda?). Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih). Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanon Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.

Adapun perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan

a). Tutur Manorus / Langsung

. Partuturan ini menentukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut :

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri b). Tutur Holmouan / Kelompok

Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun

c). Tutur Natipak / Kehormatan Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.

Menurut penelitian G. Ferrand seorang antropolog dari Amerika menyimpulkan bahwa kedatangan penduduk ke Nusantara terjadi dalam 2 periode. Periode pertama disebut “protomelayu/ proto Simalungun” yang datang sekitar 1000 tahun SM, diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari

136 Kenan Purba & J.D. Poerba, Sejarah Simalungun , op cit, hal. 4-5

Universitas Sumatera Utara

Raja dinasti Damanik, yang diperkirakan menjadi penduduk pertama Nusantara. Pada awalnya protomelayu banyak mendiami pesisir pantai di pulau-pulau Nusantara. Kelompok ini antara lain adalah Batak (termasuk Simalungun), Toraja, Dayak dan Nias.137

Periode kedua datang sekitar tahun 500 SM dan disebut “deuteromelayu / deutero Simalungun”, datang dari suku-suku di sekitar Smalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun. Kelompok ini termasuk orang Jawa, Madura dan Makasar. Kedatangan “deutromelayu” ini mendesak protomelayu sehingga suku “protomelayu” semakin bergerak dan berpindah ke pegunungan di pulau-pulau Nusantara.

Dikisahkan, pada waktu perpindahan gelombang “protomelayu”, ada sekelompok penduduk yang hijrah (pindah) dari India Selatan secara estafet. Awalnya kelompok ini berangkat dari India Selatan menuju Champa (baca : Siam = Thailand sekarang).; Setelah beberapa puluh tahun tinggal di Champa, komunitas ini diserang oleh suku Mongolia dari utara. Kaum pria banyak dibunuh dan wanitanya dikawini para pria Mongolia. Dari hasil perkawinan campuran ini terlahirlah suatu turunan ras baru berkulit sawo matang. Setelah peristiwa serangan tersebut sebagian dari kelompok ini berpindah lagi dan berpencar menuju pulau-pulau di sekitarnya (yakni Indonesia dan Philipina sekarang). Di Nusantara ada kelompok yang menuju Sulawesi dan ada yang menuju Sumatera. Mereka yang mendarat di Sulawesi tersebut, beranak-pinak menjadi suku Toraja. Sementara kelompok yag pindah menuju Sumatera mendarat di Batubahra (Sekarang : Batubara) dan dari sana mulai menyebar ke seluruh pelosok Sumatera bagian Utara. Kelompok inilah yang beranak-pinak menjadi leluhur orang Simalungun (termasuk Batak lainnya).138

Sementara kelompok ketiga berpindah menuju Tagalog (Philipina). Di sana beranak-pinak dan kelak menjadi leluhur orang Philipina. Bukti budaya sebagai fakta otentik hingga kini masih ada ditemui persamaan budaya dalam ketiga kelompok ini. Misalnya pemakaian kain perca putih (simalungun = porsa), yang diikatkan pada kepala seperti slayer pada saat kematian orang tua yang sudah lanjut usia. Juga adanya budaya makan sirih serta meratakan gigi (mangkihir ipon). “Mangkihir ipon” adalah tradisi meratakan gigi dengan cara memotongnya dengan alat kikir. Setelah diratakan, untuk menghilangkan rasa ngilu, gigi dioles dengan getah kayu (Simalungun : saloh) sehingga gigi kelihatan berwarna hitam. Budaya ini ditemukan pada semua kelompok keturunan di atas.

Budaya “mangkihir ipon” di Simalungun masih ditemukan pada saat kedatangan orang Jawa ke Simalungun. Oleh sebab itu dulu orang Simalungun

137 MD.Purba, Museum Simalungun, [(s.l): (s.n), 1978], menjelaskan bahwa Nagur sebagai leluhur Simalungun datang dalam gelombang protomelayu ke Nusantara

138 Penelitian (disertasi) tentang gen yang dilakukan oleh Del tri Munir dosen USU di Leiden menyimpulkan bahwa gen HLA yang terdapat pada Orang Mongolia dan orang Batak, Thailand, Toraja dan Philipina adalah berasal dari induk yang sama

Universitas Sumatera Utara

menyebut orang Jawa dengan sebutan “si bontar ipon” (si gigi putih) karena giginya putih atau tidak hitam sebagaimana gigi orang Simalungun.139

Pada gelombang Proto Simalungun di atas, juga disebutkan bahwa Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.

.

Pustaha Parpandanan Na Bolag (Pustaka Simalungun Kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.140

6. Filosofi Hidup orang Simalungun

Pandangan Religi Tradisional Simalungun Sebelum masuknya agama Islam maupun Kristen di daerah Simalungun, orang Simalungun sudah menganut agama animisme parhabonaron. Keyakinan ini secara umum merupakan warisan Hindu yang tertanam secara turun-temurun. Animisme parhabonaron adalah suatu keyakinan yang mempercayai bahwa semua makhluk (benda) mempunyai kekuatan (power) yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya. Menurut J.Tideman orang Simalungun pada saat itu meyakini semua makhluk, tumbuh-tumbuhan atau benda tertentu mempunyai kekuatan gaib. Dan mereka mempercayai bahwa ada Tuhan pencipta langit dan bumi beserta segala isinya dikenal dengan nama Naibata (dewata). Pemahaman akan Naibata bagi orang Simalungun saat itu adalah sebagai suatu oknum yang maha adil. Selain oknum Naibata orang Simalungun juga menyembah roh-roh bernama Sinumbah dan Simagot. Habonaran Do Bona Ada suatu pemahaman yang sangat kental pada keyakinan leluhur orang Simalungun bahwa Naibata itu maha kuasa, maha adil dan maha benar. Manusia juga dituntut untuk bersikap benar. Segala sesuatu harus didasarkan kepada hal yang benar. Inilah prinsip dasar dari filosofi “Habonaron Do Bona” pada orang Simalungun. Falsafah Habonaron Do Bona merupakan filosofi hidup bagi orang Simalungun. Habonaron Do Bona arti harfiahnya adalah “kebenaran adalah dasar segala sesuatu”. Artinya mereka menganut aliran pemikiran dan kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran, sehingga enak bagi semua pihak. Mereka dituntut senantiasa harus menjaga kejujurannya (kebenaran) di hadapan sesama manusia.

139 G.Ferrand dalam Sortaman Saragih, Orang Simalungun, op cit, hal.23 140 i b i d

Universitas Sumatera Utara

Bersumpah Untuk membuktikan kejujuran, dulu sering dilakukan “bersumpah” atau dalam bahasa Simalungun disebut marbija. Apabila orang lain mencurigai seseorang melakukan kejahatan, maka orang tersebut biasa mengangkat sumpah dengan mempertaruhkan sesuatu yang sangat berharga padanya. Semisal jiwa anaknya. Jika terbukti melakukan kejahatan tersebut maka anaknya akan menjadi tumbal. Dalam marbija ini seseorang harus jujur karena jikalau bersumpah palsu, diyakini tumbal sumpahnya menjadi nyata. Orang tidak berani berdusta hanya untuk menutupi kesalahan sesaat. Di samping marbija, di Simalungun dulu ada suatu cara menguji kejujuran yakni dengan menyerukan atau mengucap “si pittor bilang” kepada Naibata. Artinya biarlah Naibata yang akan membalaskan kepada pelaku kejahatan tersebut. Nilai-nilai falsafah ini terasa sangat positif dalam membentuk keharmonisan hidup dengan sesama. Falsafah ini membimbing manusia untuk hidup dalam kejujuran dan ketentraman. Hal “Habonaron Do Bona” ini juga dijunjung oleh para pemimpin seperti raja-raja yang ada di Simalungun. Raja sendiri tidak bertindak dengan seenaknya. Para orangtua juga selalu menanamkan prinsip hidup “Habonaron Do Bona” kepada anak-cucunya. Harus bijaksana dalam bergaul di tengah masyarakat. Dari filosofi “Habonaron Do Bona”, tercermin prinsip-prinsip hidup yang banyak diungkapkan. Berupa kata-kata nasehat dan prinsip hidup dalam bentuk ungkapan, pepatah, kiasan dan perumpamaan. Secara umum prinsip Habonaron Do Bona menanamkan kehati-hatian, hidup bijaksana, matang dalam berencana sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Menurut MD. Purba sebagai penjabaran Habonaron Do Bona dapat disebutkan dalam 8 nilai kebenaran yang dianut pada saat itu yakni : a. Berpandangan yang benar

Orang Simalungun diajarkan untuk tetap teguh berpandangan yang benar. Jangan ada niat jahat untuk merugikan orang, jangan merugikan orang yang pernah memberikan pertolongan kepadanya, jangan suka mencari-cari kesalahan orang lain. Namun harus juga selalu member arti kepada sesama manusia dan jangan saling memburukkan.

b. Berencana (berniat) yang benar

Habonaron Do Bona mengajarkan orang Simalungun untuk tidak menjadi manusia provokator dan hidup tanpa aturan, tanpa perhitungan dalam segala hal.

c. Berbicara yang benar

Universitas Sumatera Utara

Orang Simalungun selalu diajarkan untuk hidup dengan cara yang benar. Jangan pernah membodohi orang lain sebab bisa merugikan diri sendiri, Jangan terlalu banyak bicara kalau tidak benar adanya.

d. Bekerja (bertindak) yang benar

Orang Simalungun diajarkan untuk melakukan pekerjaan yang benar dan tidak menjadi pekerjaan yang sia-sia. Sekali kebijakan diputuskan, pantang untuk surut melakukannya.

e. Berkehidupan yang benar

Habonaron do Bona mengajarkan sikap kepada orang Simalungun untuk hidup yang benar. Jangan sampai hidup tersisih karena tidak disenangi orang lain, jangan sampai dibenci orang lain.

f. Berusaha (berkarya) yang benar

Orang Simalungun diajarkan untuk hidup dengan pekerjaan yang terencana dan target yang benar. Hidup harus direncanakan supaya dapat mencapai kemajuan. Janganlah hanya hidup tanpa ada kemajuan.

g. Berprinsip yang benar

Orang Simalungun diajarkan Habonaron do Bona untuk hidup dengan prinsip yang benar. Punya pendirian yang teguh dengan prinsip yang benar. Punya pendirian yang teguh dan idealis yang positif. Jangan mudah terpengaruh oleh hal yang tidak baik. Perkembangan agamapun awalnya sangat sulit di Simalungun, tetapi setelah dianut, kian susah untuk mengubah pilihannya (mengganti agama).

h. Berpikiran yang benar

Dalam hal berpikir, Orang Simalungun diajarkan untuk menganut pola pikir yang benar dalam hidup bersama dengan orang lain. Tidak boleh hanya menang sendiri. Harus memikirkan perasaan dan harapan orang lain.

Filosofi dalam budaya adat Kepribadian dan karakter Orang Simalungun juga dapat dilihat dari falsafah adat yang berkembang dalam masyarakat. Tatanan dan manajemen sosial tercermin dalam cara pelaksanaan adat. Secara prinsip, dalam adat Simalungun adalah suatu tatanan kehidupan yang digambarkan dalam “3 sahundulan 5 saodoran”. Tolu sahundulan artinya adalah bahwa dalam masyarakat Simalungun, secara manajemen untuk menentukan suatu keputusan ditentukan oleh kesepakatan dari tiga pihak keluarga. Mereka duduk bareng untuk berembuk dan memutuskan bentuk

Universitas Sumatera Utara

kebijakan yang akan diambil. Ketiga pihak tersebut yakni : Suhut (pihak tuan rumah), tondong (pihak keluarga si istri), boru (pihak keluarga si suami). Aplikasi prinsip adat ini bagi orang Simalungun adalah, setiap orang memiliki ikatan kekeluargaan yang begitu luas dan begitu kuat. Untuk merencanakan sesuatu program kerja, harus terlebih dahulu mengundang dan meminta pendapat dari empat pihak keluarga lain. Di sisi lain hal ini membuat kebijakan yang lamban dan tidak dapat cepat disimpulkan. Prinsip ini terbawa-bawa dalam semua sisi kehidupan orang Simalungun, lebih banyak berembuk dari pada berbuat. Filosofi ayam dalam adat Satu hal yang sangat penting dicermati dalam tatanan adat Simalungun adalah menggunakan “ayam” sebagai makanan adat. Simalungun tidak mengenal ternak babi dalam pelaksanaan adat. Pada zaman dahulu, keluarga raja pada umumnya memakai sapi atau kerbau sebagai makanan adat. Karena dalam acara pesta kerajaan, banyak hadirin. Alasan memilih ayam sebagai makanan ternak karena ada beberapa sifat dan prinsip ayam yang pantas untuk ditiru oleh manusia yakni, mengerami telurnya, melindungi anaknya, dan disiplin terhadap waktu. Selain itu, alasan pemakaian ayam sebagai makanan adat mencerminkan pola hidup Orang Simalungun yang disiplin, rela berkorban demi anak dan selalu melindungi anak. Akan tetapi resiko yang terlalu melindungi anak sering menjadikan orang tua kurang mendidik anak, dan justru dominan membela anak. Konsekwensinya adalah anak menjadi kurang mandiri dan kurang mampu untuk bersaing dengan orang di sekitarnya.141

7. Simalungun dalam Angka

a. Tinjauan mengenai letak geografis daerah Kabupaten Simalungun

Kabupaten Simalungun yang merupakan salah satu Daerah di Propinsi Sumatera Utara, terletak antara: 020360 – 030180 LU , 980320 – 990350

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang/Serdang Bedagai

BT dengan ketinggian 369 meter di atas permukaan laut dengan batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan/Batu Bara

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo

Kabupaten Simalungun yang secara Adminstratif Pemerintahan terdiri dari 31 Kecamatan dengan 345 Desa, 22 Kelurahan dengan perincian sebagai berikut: 4.386,60 km2

(6,12%) dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara.

141 Sortaman Saragih, Orang Simalungun, loc cit

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3 Luas Daerah Menurut Kecamatan.142

No. Kecamatan Sub Regency Luas/Area (Km2) Rasio Terhadap Jumlah/Ratio on Total

1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Silimakuta Pematang Silimahuta P u r b a Haranggaol Horison Dolok Pardamean Sidamanik Pematang Sidamanik Girsang Sipangan Bolon Tanah Jawa Hatonduhan Dolok Panribuan Jorlang Hataran P a n e i Panombeian Panei R a y a Dolok Silau Silau Kahean Raya Kahean Tapian Dolok Dolok Batu Nanggar S i a n t a r Gunung Malela Gunung Maligas Hutabayu Raja Jawa Maraja Bah Jambi Pematang Bandar Bandar Huluan B a n d a r Bandar Masilam Bosar Maligas Ujung Padang

77,50 68,20

172,00 34,50 99,45 83,56

125,19 123,00 213,95 275,80 154,30

92,25 72,30 82,20

335,60 288,45 220,50 226,25 116,90 126,10

79,11 108,97

58,52 156,13

73,72 95,00

102,35 109,18

97,72 294,40 223,50

0,02 0,02 0,04 0,01 0,02 0,02 0,03 0,03 0,05 0,06 0,04 0,02 0,02 0,02 0,08 0,07 0,05 0,05 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,04 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,07 0,05

Kabupaten Simalungun 4.386,60 1,00 Sumber : Buku Rencana Tata Ruang Kabupaten Simalungun (2004-2014)

142 Simalungun Dalam Angka, Op.Cit, hal.6

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4 Banyaknya Nagori (Desa) dan Kelurahan menurut Kecamatan 2009143

No. Kecamatan Sub Regency Nagori Village

Kelurahan Urban

Jumah Total

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Silimakuta Pematang Silimahuta P u r b a Haranggaol Horison Dolok Pardamean Sidamanik Pematang Sidamanik Girsang Sipangan Bolon Tanah Jawa Hatonduhan Dolok Panribuan Jorlang Hataran P a n e i Panombeian Panei R a y a Dolok Silau Silau Kahean Raya Kahean Tapian Dolok Dolok Batu Nanggar S i a n t a r Gunung Malela Gunung Maligas Hutabayu Raja Jawa Maraja Bah Jambi Pematang Bandar Bandar Huluan B a n d a r Bandar Masilam Bosar Maligas Ujung Padang

5 8 9 4 11 12 9 2 19 9 14 9 12 10 17 10 16 10 9 14 17 16 9 12 8 10 10 13 9 16 16

1 - 1 1 - 1 1 3 1 - - 1 1 - 1 - - 1 1 1 - - - 1 - 2 - 2 - 1 1

6 8 10 5 11 13 10 5 20 9 14 10 13 10 18 10 16 11 10 15 17 16 9 13 8 12 10 15 9 17 17

Kabupaten Simalungun 345 22 367 Sumber : BPMN Kab. Simalungun

b. Tinjauan mengenai keadaan iklim Kabupaten Simalungun

Keadaan iklim Kabupaten Simalungun bertemperatur sedang, suhu tertinggi terdapat pada bulan Juni dengan rata-rata 25,90 C. Rata-rata suhu udara tertinggi per tahun adalah 30,00 C dan terendah 21,00

143 Ibid, hal. 21

C.

Universitas Sumatera Utara

Kelembaban udara rata-rata perbulan 84,0% dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Maret yaitu 87% dengan penguapan rata-rata 3,18 mm/hari.

Dalam satu tahun rata-rata terdapat 15 hari hujan dengan hari hujan tertinggi terdapat pada bulan Maret sebanyak 23 hari hujan, kemudian bulan Desember sebanyak 19 hari hujan. Curah hujan terbanyak terdapat pada bulan September sebesar 478 mm.

c. Tinjauan mengenani penduduk di Kabupaten Simalungun

Penduduk Kabupaten Simalungun tahun 2009 sebanyak 859.879 jiwa yang terbagi laki-laki sebanyak 430.913 jiwa dan perempuan 428.966 jiwa dan tersebar di 31 kecamatan, dengan perbandingan penduduk laki-laki dan penduduk perempuan (sex ratio) sebesar 100,45.

Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Bandar yaitu sebesar 67.807 jiwa dan terkecil berada di Kecamatan Haranggaol Horisan yang hanya sebesar 5.883 jiwa.

Kecamatan yang memiliki luas wilayah yang terbesar terdapat di kecamatan Raya dengan luas 335.60 Km dan wilayah terkecil di kecamatan Haranggaol Horisan (34.50 Km), wilayah yang paling padat penduduknya terdapat di kecamatan Bandar Masilam (621.00 jiwa/Km), disusul kecamatan Gunung Maligas (440.00) jiwa/Km) dan Siantar (415.00 jiwa/Km).

d. Tinjauan mengenai pendidikan di Kabupaten Simalungun

Sarana pendidikan yang tersedia di Kabupaten Simalungun untuk tingkat SD s/d SMA baik negeri maupun swasta berjumlah 1.043 sekolah. Ditingkat SD jumlah sekolah negeri sebanyak 806 buah dan sekolah swasta 45 buah, dengan jumlah guru SD Negeri sebanyak 8.576 orang dengan rasio murid terhadap guru sebesar 12, sedangkan untuk SD swasta jumlah guru 400 orang dengan rasio murid terhadap guru yang lebih tinggi dibandingkan dengan SD negeri yakni sebesar 7.

Pada tingkat SMP, jumlah sekolah negeri sebanyak 51 sekolah dan sekolah swasta sebanyak 88 sekolah, dengan jumlah guru untuk SMP negeri sebanyak 1.929 orang dan SMP swasta sebanyak 1.229 orang atau dengan rasio murid terhadap guru masing-masing sebesar 8 baik untuk SMP negeri dan 13 untuk SMP swasta.

Untuk tingkat SMA, jumlah sekolah negeri sebanyak 20 sekolah dengan jumlah guru 768 orang dan rasio murid terhadap guru sebesar 11, sedangkan jumlah sekolah swasta sebanyak 30 sekolah dengan jumlah guru 579 orang dan rasio murid terhadap guru sebesar 13.

Untuk tingkat SMK negeri hanya ada 2 yakni di Kecamatan Raya dengan jumlah guru 70 orang dan murid sebanyak 673 orang dan Kecamatan Bandar

Universitas Sumatera Utara

Masilam dengan jumlah guru 11 orang dan murid sebanyak 61 orang, sementara untuk SMK swasta jumlah sekolah mencapai 27 sekolah dan jumlah guru 427 orang dan murid sebanyak 8.978 orang. B. Sistem Hukum Pertanahan Nasional

1. Sistem Hukum Tanah Nasional

Menurut Ludwig Von Bertalanffy, yang dimaksud sistem adalah complex of

elements in mutual interaction.144 Sejalan dengan Ludwig Von Bertalanffy, Geoffrey

Samuel menyatakan bahwa system is method of comprehending an object, not

through reductionism and causality as such, but through, a global unity interrealtion

between elements.145

hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peratuaan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum.

Sudikono Mertokusumo menyatakan bahwa:

146

Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo147

sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaedah apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain, sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan.

menyatakan bahwa :

Wu Min Aun memberikan ruang lingkup tentang unsur-unsur dalam sistem

hukum yaitu:

144 Ludwig von Bertalanffy, General System Theory, Foundations, Development, applications,( New York: Braziller, 1972), hal. 34.

145Geoffrey Samuel, The Foundations of Legal Reasoning, SA, (Vormgevers: Tilburg, 1994), hal. 124. 146Sudikno Mertokusumo – I, Mengenal Hukum, Op Cit. hal.115. 147Sudikno Mertoksumo-II, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty 2001), hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

In legal system, the most important areas of social organization are the people's attitude to the following : a. political system ; the way society is governed. b. economic system ; the ownership, production and distribution of

society's resources. c. Moral standards ; what constitutes acceptable and unacceptable

behaviour. d. Social intercourse; relationships between people.148

Tiga komponen utama yang dimiliki oleh sistem hukum dikemukakan oleh

Lawrence M Friedman, yaitu Legal Structure, Legal Substance, and Legal Culture.149

1) Struktur hukum merupakan representasi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan undang – undang;

Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian juga

saling berpengaruh satu sama lainnya. B.F. Sihombing menjabarkan struktur hukum,

substansi hukum, dan budaya hukum dalam kaitannya dengan sistem hukum, yaitu:

2) Substansi hukum merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma, dan perilaku masyarakat dalam sistem tersebut;

3) Budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan system hukum. Ke dalam budaya hukum adalah kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), idea tau gagasannya dan harapan-harapannya.150

Riduan Syahrani memberikan pengertian tentang sistem hukum, yaitu : “Suatu

kesatuan peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang

mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain tersusun sedemikian rupa menurut asas-

asasnya, yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.”151

148Wu Min Aun, The Malaysian Legal System, (Longman Malaysia: Selangor Darul Eksan, 1990), hal. xv.

149 Lawrence M Friedman, American Law, Op Cit, hal. 5-6. 150 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan, Op Cit, hal. 32. 151 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, , 1999), hal. 169-

170.

Universitas Sumatera Utara

Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa dalam sistem hukum terdapat unsur-

unsur hukum dimana antara unsur hukum yang satu dengan unsur hukum yang lain

saling berkaitan dan saling berpengaruh serta tidak dapat dipisahkan satu dengan

yang lain, sehingga membentuk suatu pengertian tentang hukum.

Secara yuridis ruang lingkup agraria dimuat dalam UUPA, meliputi bumi, air

dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang

lingkup agraria disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, yaitu "Seluruh bumi, air

dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam

wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuban Yang Maha . Esa adalah bumi, air

dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".

Pengertian Hukum Agraria dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu

keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang

mengatur agraria.152

Agraria terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis terdapat Hukum Adat yang berkaitan dengan agraria.

Kaidah hukum yang tertulis adalah Hukum Agraria.

Berdasarkan ruang lingkupnya, Hukum Agraria bukan merupakan satu

perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang

masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber daya agraria. Boedi Harsono

menyatakan bahwa kelompok bidang hukum dalam Hukum Agraria, yaitu:

a. Hukum Tanah

152 Sudikno Mertokusumo – II,Penemuan Hukum, Op.Cit, hal. 12.

Hukum Tanah mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.

Universitas Sumatera Utara

b. Hukum Air

c. Hukum Air mengatur hak-hak penguasaan atas air. Hukum Pertambangan.

d.

Hukum Pertambangan mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian. Hukum Perikanan

e.

Hukum Perikanan mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air

Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur Dalam- Ruang Angkasa mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur Dalam Ruang Angkasa.

153

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Hukum Agraria pada

dasarnya adalah suatu hukum yang mengatur perihal tanah beserta segala seluk beluk

yang. ada hubungannya dengan pertanahan, misalnya hal perairan, perikanan,

perkebunan, pertambangan, dan sebagainya.154

Dari pendapat Boedi Harsono dan Purnadi Purbacaraka menunjukkan bahwa

dalam Hukum Agraria tidak terdapat satu bidang hukum, melainkan berbagai bidang

hukum yang di dalamnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan.

Bumi sebagai salah satu unsur dari agraria, meliputi permukaan bumi (tanah),

termasuk pula tubuh bumi di bawahnya, serta bagian bumi yang berada di bawah air.

Tanah merupakan pengertian yuridis dari permukaan bumi, sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, sedangkan tanah dalam pengertian hak adalah hak

atas tanah yang mempunyai batas-batas dan berdimensi dua yaitu panjang dan lebar.

Pengertian tanah dalam UUPA ada kesamaan dengan pengertian land dalam

153Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,,op cit, hal. 8. 154Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi – sendi Hukum Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1985), hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 5 National Land Code Malaysia 1965, yaitu :

1. the surface of the earth and all substances forming that surface; 2. the earth below the surface and all substances there in; 3. all vegetation and other natural product, whether or not requiring the

priodical application of labour th their production, and whether on or below the surface;

4. all things attached to the earth or permanently fastened to any thing attached to the earth, wheter on or below the surface; and

Land covered by water

Salah satu bidang dalam Hukum Agraria adalah Hukum Tanah. Effendi

Perangin–angin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-

peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak

penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-

hubungan hukum yang konkrit dengan tanah.155 Pengertian hukum tanah yang lebih

lengkap dikemukan oleh Boedi Harsono, yaitu:

keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada yang tertulis ada pula yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama,yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum yang konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.156

Hukum Tanah sebelum Indonesia merdeka adalah Hukum Tanah Kolonial yang

mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu pada saat yang sama berlaku Hukum Tanah

Barat yang diberlakukan bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Barat, dan

155 Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal.95.

Universitas Sumatera Utara

Hukum .Tanah Adat yang diberlakukan bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum

Adat. Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hukum, Hukum Adat tentang

tanah dijadikan dasar bagi pembentukan Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat

dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat

Indonesia, sehingga Hukum Adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang

istimewa dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional. Supriadi menyatakan bahwa

"Pembangunan Hukum Tanah Nasional secara yuridis formal menjadikan Hukum

Adat menjadi sumber utama, sehingga bahan yang dibutuhkan dalam pembangunan

Hukum Tanah Nasional sumbernya tetap mengacu kepada Hukum Adat, baik berupa

konsepsi, asas-asas, lembaga- lembaga hukum, dan sistem hukumnya.”157

Unsur-unsur Hukum Tanah Nasional yang dimuat dalam UUPA, adalah :

1) Hukum Adat

Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Adat sebagai unsur Hukum

Tanah Nasional disebutkan dalam Pasal 5 UUPA, yaitu

"Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama".

156 Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 31.

Hukum Adat yang menjadi dasar pembentukan Hukum Agraria

Nasional bukan Hukum Adat yang murni, melainkan Hukum Adat dengan

157 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

persyaratan dan pembatasan tertentu yang telah disesuaikan dengan keadaan,

kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Ketentuan lain

dalam UUPA yang menunjukkan bahwa Hukum Adat sebagai unsur dalam

Hukum Tanah Nasional, adalah Pasal 56, yaitu

"Selama Undang-undang mengenai Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan Hukum Adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak atas tanah yang memberi wewenang, sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”.

2) Hukum Barat

Pasal 50 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa "Ketentuan-ketentuan lebih

lanjut mengenai Hak Milik diatur dengan Undang-undang". Untuk mengisi

kekosongan hukum tentang ketentuan Hak Milik ditetapkan oleh Pasal 56

UUPA, yaitu selama Undang-undang tentang Hak Milik belum terbentuk,

maka berlaku ketentuan Hak Milik menurut Hukum Adat setempat.

Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Barat sebagai unsur Hukum

Tanah Nasional disebutkan dalam Dictum Memutuskan UUPA di bawah perkataan

'Dengan Mencabut" Angka 4, yaitu "Buku II Kitab Undangundang Hukum Perdata

Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang berlaku pada

mulai berlakunya Undang-undang ini". Pasal 57 UUPA menyatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

"Selama Undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan- ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937 —190".

Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 UUPA menetapkan bahwa Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dbebani Hak Tanggungan. Selanjutnya dalam Pasal 51 UUPA ditetapkan bahwa "Hak Tanggungan yang 'dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan Undang-undang.

3)

Hypotheek merupakan lembaga jaminan dalam Hukum Barat yang obyeknya

dapat berupa tanah diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Pemberlakuan Hypotheek

yang obyeknya berupa tanah dengan maksud untuk mengisi kekosongan hukum

selama Undang-undang tentang Hak Tanggungan belum terbentuk. Setelah

berlangung selama 36 tahun sejak berlakunya UU PA, yaitu tanggal 24 September

1960, diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda – Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Sejak diundangkan

Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka Hypotheek yang obyeknya berupa tanah

dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, Hypotheek yang obyeknya berupa

tanah berlaku selama 36 tahun sejak diundangkan UUPA.

Hukum Islam

Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Islam sebagai unsur dalam

Hukum Tanah Nasional disebutkan dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu

"Perwakafan tanah Hak Milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan

Pemerintah”.

Universitas Sumatera Utara

Hak atas tanah tidak hanya direncanakan dan dipergunakan untuk

keperluan Negara, tetapi juga dapat direncanakan dan dipergunakan untuk

keperluan keagamaan, peribadatan, pendidikan, dan sosial. Lembaga wakaf

tidak terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Barat, melainkan ada di

dalam Hukum Islam. Dalam wakaf tanah Hak Milik terdapat perbuatan hukum

oleh pemiliknya untuk menyerahkan tanah Hak Milik selama-lamanya guna

kepentingan peribadatan, sosial, dan pendidikan. Dengan wakaf, maka terputus

sudah hubungan hukum untuk selama-lamanya antara pemilik tanah dengan

tanahnya.

Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan Pasal 49 ayat (3)

UUPA adalah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan

Tanah Hak Milik. Perwakafan tanah Hak Milik yang diatur dalam Hukum

Islam dimasukkan menjadi bagian dari Hukum Tanah Nasional melalui,

pendaftaran wakaf tanah Hak Milik kepada Kantor Pertanahan

Antara sistem hukum nasional, sistem hukum tanah nasional, hukum tanah

nasional, dan Hak Pengelolaan mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain.

Keterkaitan itu dapat dijelaskan, yaitu pada mulanya sistem hukum nasional adalah

sistem hukum adat yang bersifat tidak tertulis. Dengan masuknya agama Islam di

Kabupaten/Kota

sebagai tanda bukti pendaftaran wakaf tanah Hak Milik diterbitkan Sertipikat Wakaf

T'anah Hak Milik oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

Universitas Sumatera Utara

Indonesia, masyarakat hukum adat meresap agama Islam ke dalam hukum adatnya.

Selanjutnya dengan masuknya Belanda yang menjajah Indonesia, maka hukum Barat

diberlakukan kepada masyarakat Indonesia. Dengan demikian, sistem hukumnya

adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat. Setelah

Indonesia merdeka berubahlah sistem hukum nasional, yaitu sistem hukum nasional

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Setiap bidang hukum yang

akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber kepada

Pancasila dan Undang -undang Dasar 1945.158 Sistem hukum suatu bangsa - negara

tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai yang terdapat dalam bangsa - negara yang

bersangkutan. Lebih-lebih apabila bangsa - negara itu mempunyai pandangan hidup

yang berbeda dengan bangsa atau negara lain.159 Sistem hukum nasional menurut

Sudikno Mertokusumo, “160

Seluruh peraturan hukum dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai satu sistem hukum, seperti sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat berbagai macam bidang hukum yang masing masing mempunyai sistem sendiri-sendiri, sehingga ada sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara, dan sebagainya. Kemudian dalam sistem hukum perdata (Barat), misalnya terdapat lagi sistem hukum orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan, dan

adalah keseluruhan tata hukum nasional dapat disebut

sistem hukum nasional”. Kemudian masih dikenal sistem hukum perdata, sistem

hukum pidana, sistem hukum tata negara. Selanjutnya dikenal sistem hukum

keluarga, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan. Sejalan dengan pendapat

Sudikno Mertokusumo, Riduan Syahrani mengemukakan bahwa :

158 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum, Op.Cit, hal. 57-64. 159 Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan, Muh. Miftahudin, Politik Pembangunan Hukum Nasional,

(Yogyakarta : UII Press, 1992), hal. 33. 160 Sudikno Mertokusumo I, Mengenal Hukum, Op.Cit., hal. 116.

Universitas Sumatera Utara

sistem hukum pembuktian.161

Dalam sistem hukum nasional, tidak hanya terdapat sistem hukum perdata,

sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara, tetapi juga sistem hukum

internasional, sistem hukum administrasi, dan sistem hukum agraria. Dalam sistem

hukum agraria terdapat sistem hukum tanah, sistem hukum air, sistem hukum

kehutanan, sistem hukum pengairan, sistem pertambangan. Dengan demikian, sistem

hukum tanah nasional merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dalam sistem

hukum tanah nasional yang merupakan bagian dari sistem Hukum Agraria tersebut

terdapat hak penguasaan atas tanah, pendaftaran tanah, pencabutan hak atas tanah,

hak tanggungan, wakaf tanah hak milik, penatagunaan tanah, dan landreform. Dalam

sistem hukum .tanah nasional terdapat hak penguasaan atas tanah, yang di dalamnya

terdapat hak menguasai negara atas tanah, hak atas tanah, dan hak pengelolaan.

Dengan demikian, hak pengelolaan sebagai bagian dari hak penguasaan atas tanah

merupakan unsur, dalam hukum tanah nasional.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sistem Hukum Tanah Nasional, adalah keseluruhan dari unsur-unsur, bagian-bagian, atau elemen-elemen yang merupakan kaedah dari Hukum Tanah Nasional yang berkaitan erat, berinteraksi, atau bekerja sama satu dengan yang lain. Kaedah-kaedah dalam Hukum Tanah Nasional sebagai unsur-unsurnya ada yang berasal dari Hukum Adat tentang tanah, Hukum Islam khususnya dalam wakaf tanah Hak Milik, dan Hukum Barat dalam ketentuan-ketentuan mengenai Hypotheek yang berakhir sejak diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

161 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 170.

Universitas Sumatera Utara

2. Konsep Hukum Tanah Nasional Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang

tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai

hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu162 dengan tanah ulayatnya.

Konsepsi hukum tanah adat adalah konsepsi asli Indonesia yang tertitik tolak dari

keseimbangan antara kepentingan bersama dan kepentingan perseorangan. Oleh

karena itu, dapat juga disebut sebagai konsepsi Pancasila163

Dalam hubungannya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam

keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan

tanah sebagai peninggalan atau pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai

pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya

bukan hanya untuk kepentingan suatu generasi, tetapi untuk generasi berikutnya dari

kelompok masyarakat hukum adat tersebut.

karena memposisikan

manusia dan masyarakatnya dalam posisi yang selaras, serasi, dan seimbang dan tidak

ada pertentangan antara masyarakat dan individu.

164

162 Van Vollenhoven, “Het Adatrecht van Nederlandsh Indie,” jilid 1 Bagian I (Leiden:E.J Brill, 1904-1933), hal.27. Dalam buku ini dikemukakan adanya 19 macam lingkungan hukum adat (rechtskring). Suatu deskripsi yang baik mengenai hubungan masyarakat hukum adat dengan lingkungan tanahnya terjadi di beberapa masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan. Masyarakat hukum adat tersebut merupakan kesatuan – kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Dalam hal ini lihat dalam Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1970).

163 Padmo Wahyono, Bahan – Bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1984), hal. 28-29.

164Arie Sukanti Hutagalung, “Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2003), hal. 15.

Universitas Sumatera Utara

Falsafat hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat mengenai

pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konspesi hukum tanah nasional yang

menurut Boedi Harsono, terwakili dalam satu kata kunci, yaitu komunalistik

religius.165 Konsepsi hukum adat yang bersifat komunalistik religius ini

memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan

Yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah

yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.166

Sifat komunalistik dalam konsepsi hukum tanah nasional tercermin dalam

rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA yang menyebutkan : “ seluruh wilayah Indonesia

adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa

Indonesia”. Sementara itu, sifat religius konsepsi hukum tanah nasional terdapat

dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyebutkan : “ seluruh bumi, air, dan ruang

angkasa termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik

Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa`adalah bumi, air, dan ruang angkasa

bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.167

Konsepsi ini sedikit berbeda dengan hukum adat, yaitu hanya menyangkut

wilayah cakupannya. Dalam hukum adat, tanah

165Ibid., hal. 23.

ulayat merupakan tanah bersama para

166Konsepsi hukum tanah nasional yang bersifat komunalistik religious ini disimpulkan oleh Boedi Harsono, dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPA yang mengatur tanah hak bersama bangsa Indonesia, dihubungkan dangan ketentuan Pasal , Pasal 6, dan Pasal 16 ayat 1 UUPA yang mengatur hak-hak atas tanah. Hal ini berarti bahwa hukum tanah nasional menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum, dan sistem hukum adat. Sunaryo Basuki, Diktat Hukum Agraria Jilid 1 (Jakarta: Universitas Indonesia, 2005), hal. 2. Pembahasan lebih mendalam dapat dibaca dalam Boedi Harsono, “Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungannya dangan TAP MPR RI No.IX/MPR/2001,” (Jakarta: Universitas Trisakti, Maret 2002), hal. 49.

167 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, Op.Cit., Pasal 1

Universitas Sumatera Utara

warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah

nasional, semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama seluruh

rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.168

Dibandingkan dengan konsepsi Hukum Tanah Barat dan Konsepsi Tanah Feodal, konsepsi hukum tanah barat berlandaskan konsepsi liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhannya masing-masing. Keadaan itu menimbulkan paham individualism yang ajarannya memberi tekanan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan pribadi, dimana menurut konsep Burgerlijk Wetboek (BW) dalam sistem hukum Belanda, hak perorangan disebut Hak eigendom sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi.

169 Sebagai hak yang paling sempurna, pemilik Eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja terhadap tanah tersebut, baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain170, artinya sebagian hak orang lain, hak eigendom atas tanah adalah merupakan hak prima yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki kekayaan alam yang diciptakan Tuhan baginya. Konsepsi ini tersirat dalam kalimat kedua dari Declaration Of Independence Amerika Serikat, dinyatakan antara lain : “…that all men are created equal..” dan dikaruniai hak-hak “Life, Liberty and pursuit of happiness.”171 sedangkan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan pada hukum adat jelas merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah Eropa yang didasarkan pada semangat individualisme dan liberalisme172

168Boedi, Sejarah, Op.Cit., hal. 229.

tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang komunal dan religius.

169Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. Ke-31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), Pasal 570. Ketentuan ini sempat berlaku di Indonesia (Hindia Belanda) sebagai daerah jajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka dan terbit UUPA, ketentuan buku II kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. Sementara itu, ketentuan mengenai Hypotheek dicabut berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dangan tanah yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dangan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

170Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2001), hal. 69. 171 Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, (Jakarta Selatan : Republika,

2008), hal.51 172Ternyata konsep individualism liberal tersebut tidak membawa kemakmuran yang merata pada rakyat.

Kemakmuran hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat yaitu yang memiliki tanah dan alat – alat produksi. Maka, timbulah pemikiran baru, yaitu bahwa Negara turut campur tangan dalam kehidupan ekonomi dan sosial yang dikenal konsep welfare state. Seiring dangan itu, muncul pula pemikiran berdasarkan konsepsi komunikasi

Universitas Sumatera Utara

Konsepsi tanah feodal juga tidak sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup

bangsa Indonesia karena hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak milik

raja173. Semua tanah yang terdapat di seluruh wilayah kekuasaan raja adalah milik

sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak lagi menganut

bentuk kerajaan, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ada pada negara

sebagai pengganti kedudukan raja.174

Berdasarkan pembahasan tentang sejumlah konsepsi di atas, tentu tidak

berlebihan jika disimpulkan bahwa konsepsi hukum tanah nasional merupakan

konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Penyempurnaan

terhadap hukum tanah nasional selayaknya dilakukan dengan tetap mempertahankan

konsepsi yang lahir dan digali dari akar budaya nasional tanpa menutup diri dari

perubahan-perubahan yang berlangsung sejak beberapa dasawarsa terakhir seperti era

globalisasi, otonomi daerah, dan hak asasi manusia.

Menurut Arie Sukanti Hutagalung175

dangan kekuasaan absolute pada Negara. Lihat dalam Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 61-78 dan Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), hal. 146-223.

penyempurnaan Hukum Tanah Nasional

juga diperlukan dalam menghadapi era globalisasi, yang dewasa ini sudah terasa

pengaruhnya di bidang kegiatan-kegiatan yang memerlukan penguasaan tanah,

misalnya ada tuntutan untuk lebih dipermudah cara memperoleh tanah yang

diperlukan dunia usaha. Tata cara perolehan tanah kini sudah dipermudah, dengan

173 Seperti misalnya berlaku di Inggris, hak-hak penguasaan atas tanah yang lain bersumber pada hak milik Raja tersebut, dengan sendirinya tidak ada yang setingkat hak milik, Muchtar Wahid, op cit, hal.54.

174Arie Soekanti Hutagalung, Konsepsi,Op.Cit., hal. 31. 175 Arie Soekanti Hutagalung, Pergulatan Pemikiran dan Aneka Gagasan Seputar Hukum Tanah Nasional

(Suatu Pendekatan Multidisipliner), (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2011), hal.108.

Universitas Sumatera Utara

dimungkinkannya perubahan Hak Milik yang sudah bersertifikat menjadi Hak Guna

Bangunan atau Hak Pakai secara langsung. Dalam hal suatu perusahaan yang

berbentuk Perseroan Terbatas memerlukan tanah yang berstatus Hak Milik, tidak lagi

perlu ditempuh tata cara permohonan hak baru berupa Hak Guna Bangunan yang

diawali dengan acara pelepasan Hak Milik tersebut oleh pemiliknya yang

memerlukan waktu dan biaya

Konsepsi komunalistik religius yang telah dianut sejak 24 September 1960, di samping telah teruji hingga saat ini hendaknya perlu juga dilestarikan untuk mewujudkan cita-cita politik Agraria nasional yang tercantum dalam Pasai 33 Undang-Undang Dasar 1945.176

a. Hak Bangsa Indonesia 3. Objek Hukum Tanah Nasional

Dalam Penjelasan UUPA disebutkan bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, juga menjadi hak bangsa Indonesia; jadi tidak semata-mata menjadi hak para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.177

Rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia

adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoesia yang bersatu sebagai bangsa

176 Ibid., hal. 43. 177 Arie Soekanti Hutagalung, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta : Rajawali Pers,

2008), hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

Indonesia.178 Hal ini berarti bahwa tanah di seluruh wilayah Indonesia. adalah hak

bersama dari bangsa Indonesia (beraspek perdata) dan bersifat abadi, yaitu seperti hak

ulayat pada masyarakat hukum adat.179

Dengan demikian, hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur,yaitu sebagai

berikut.

180

- Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti hak

kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat

Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1)

UUPA) Pernyataan ini menunjukkan sifat komunalistik dari konsepsi

Hukum Tanah Nasional.

- Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan

memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama

tersebut.

Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan

kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang termasuk hukum

publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu,

penyelengaraanya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan

pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan kepada negara Republik

Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.181

178 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria,Loc.Cit.

179Ibid. 180Arie Sukanti Hutagalung, Konsepsi, Op.Cit., hal. 17. 181 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Aspek Publik ini tercermin dari adanya kewenangan Negara untuk mengatur

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tugas Kewewenangan ini dilaksanakan

oleh negara berdasarkan hak menguasai negara yang dirumuskan dalam Pasal 2

UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh negara dalam

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.182

Bagian-bagian atau bidang-bidang tanah hak bersama tersebut

Bumi , air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat.

dapat diberikan

kepada orang dan badan hukum dengan dikuasai dalam bentuk hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai.

Pemberian hak tersebut terkait dengan subjek pemegang haknya. Dalam hal ini

menurut undang-undang kewarganegaraan yang dimaksud dengan orang-orang yang

termasuk warga negara Indonesia atau rakyat Indonesia disebut Warga Negara

Indonesia (WNI). Setiap warga negara Indonesia tidak dibedakan menurut asal

keturunannya (asli atau keturunan asing) maupun tidak dibedakan jenis kelaminnya

(pria atau wanita).183

182 Undang-Undang dasar 1945 telah mengalami empat kali amandemen. Namun, pasal 33 Ayat (3) tidak mengalami perubahan. Berdasarkan amandemen ke empat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ditambah menjadi lima ayat. Indonesia, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33.

Ketentuan ini menjadikan setiap warga negara Indonesia yang merupakan

bagian dari bangsa Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh bidang-

183 Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dangan undang-undang sebagai warga negara. Maksud “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Indonesia, undang-undang tentang kewarganegaraan UU No. 12 Tahun 2006, LN No. 63 Tahun 2006, TLN No. 4634, Pasal 2.

Universitas Sumatera Utara

bidang tanah sesuai dengan kebutuhannya.184 Bidang tanah tersebut dapat dimiliki

dalam bentuk hak milik sebagai hak atas tanah yang tertinggi maupun dengan hak-

hak atas tanah lainnya, sesuai dengan keperluan subjek pemegang haknya.

Hak bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan hukum tanah

pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, dan ruang

angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang

merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang bersifat abadi

dan merupakan kekayaan nasional.185 Hak bangsa Indonesia merupakan hak

penguasaan atas tanah yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak penguasan

atas tanah yang lain yaitu hak, menguasai negara dan hak-hak perorangan atas

tanah.186

b. Hak Menguasai Negara

Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa negara adalah organisasi

kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia

membentuk negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap tanah air

Indonesia dan melaksanakan tujuan bangsa Indonesia untuk memajukan

kesejahteraan umum.187

184 Indonesia, Undang-Undang Pokok Pokok Agraria, Op.Cit.,Pasal 9

Untuk melaksanakan tujuan tersebut, negara Republik Indonesia mempunyai

hubungan hukum dengan tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia agar

185Boedi, Sejarah, Op.Cit.,hal. 269. 186Ibid. 187Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, Op.Cit., Pasal 2.

Universitas Sumatera Utara

dapat memimpin dan mengatur tanah-tanah di seluruh wilayah Republik

Indonesia atas nama Bangsa Indonesia melalui peraturan perundang-

undangan, yaitu UUPA dan peraturan pelaksanaannya.188

Negara diberikan kewenangan untuk mengatur tanah dan unsur-unsur sumber

daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. Dalam hal ini negara

berwenang mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan dan penggunaan tanah,

serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia dengan

tujuan agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kewenangan tersebut dilaksanakan negara dalam kedudukannya sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat Indonesia atau berkedudukan sebagai badan penguasa.

Hubungan hukum tersebut dinamakan Hak Menguasai Negara. Hak ini tidak

memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakannya seperti

hak`atas tanah karena sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA.

189

Penguasaan negara atas tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia bersumber

pula pada Hak Bangsa Indonesia yang meliputi kewenangan negara dalam Pasal 2

ayat (2) UUPA, yaitu:

190

a. Mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang-orang

188Ibid. 189 Boedi, Sejarah, Op.Cit.,hal. 270-278.

Universitas Sumatera Utara

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan –

perbuatan hukum yang mengenai bumi ,air, dan ruang angkasa.

Dengan rincian kewenangan mengatur, menentukan, dan menyelenggarakan

berbagai kegiatan dalam Pasal 2 tersebut, oleh UUPA diberikan suatu interpretasi

autentik mengenai hak menguasai dari negara yang dimaksudkan oleh Undang-

Undang Dasar 1945 sebagai hubungan hukum yang bersifat publik semata – mata.

Dengan demikian, tidak akan ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai

dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar tersebut.

PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945 SEBELUM AMANDEMEN SETELAH AMANDEMEN Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan

Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan

Ayat (2) Cabang – cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara

Ayat (2) Cabang – cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara

Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran

Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

190 Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, Loc.Cit

Universitas Sumatera Utara

rakyat. Ayat (4) Perekonomian nasional diselengarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Konsep ini berbeda dengan hubungan hukum yang bersifat kepemilikan antara

negara dengan tanah berdasarkan alas domein verklaring191

Asas domein verklaring yang dipergunakan sebagai dasar dari perundang-

undangan agraria yang berasal dari pemerintah jajahan tidak dikenal dalam UUPA.

Asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas dari

negara yang merdeka dan modern. Berkaitan dengan ini, asas tersebut, yang

dipertegas dalam berbagai "pernyataan domein", yaitu misalnya dalam pasal 1

Agrarisch Besluit (S.1870-118), S.1875-119a, S.1874-94f, S.1888-58 ditinggalkan

dan pernyataan-pernyataan domein itu dicabut. UUPA berpangkal pada

dalam Hukum Tanah

Administrasi Pemerintah Hindia Belanda yang telah dicabut dalam UUPA.

'

191 Ibid, hal 42. Domein verklaring/pernyataan domein dimaksudkan untuk menegaskan bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang memberikan tanah – tanah yang dimaksudkan tersebut kepada pihak lain

pendirian

bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang

Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun

Universitas Sumatera Utara

Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Lebih tepat jika negara, sebagai organisasi

kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa.192

4. Prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasional

Prinsip hukum atau asas hukum yang dalam Bahasa Belanda disebut rechts

beginsel dan dalam Bahasa Inggris disebut principle of law. Henry Campbell

Black memberikan pengertian tentang prinsip adalah “a fundamental truth or

doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis

or origin for others ".193 Bruggink J.J.H menyatakan bahwa asas / prinsip

hukum adalah nilai-nilai yang melandasi norma hukum.194 Selanjutnya

Bruggink J.J.H menyetir pendapat Paul Scholten yang menyatakan bahwa asas

hukum merupakan pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di

belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan perundang-

undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-

ketentuan dan keputusan – keputusan individual. George Whitecross Paton

menyatakan bahwa “A principle is the broad reason, which lies at the base of

rule of law.”195

Ronald Zelfianus Titahelu menyatakan bahwa sebagai nilai dasar, prinsip

adalah Pemerintah. Domein verklaring ini menjadi landasan hukum bagi pemerintah sebagai pemilik tanah. Pemberian tanah dilakukan dangan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima hak.

192Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria, Op.Cit., Penjelasan 193 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, A Bridged Sixt Edition, (Minn : West Publishing,

1991), hal.828. 194 Bruggink, , Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit, hal.121. 195 George Whitecross Paton, A Textbook of Jurisprudance, (Oxford : University Press, 1969), hal. 204.

Universitas Sumatera Utara

hukum memiliki nilai dasar sebagai:196

a. Pokok yang menguasai isi dari setiap hubungan hukum;

b. Pokok yang memberi makna bagi setiap figur hukum;

c. Pokok yang menjadi dasar system penentu nilai (waarde bepalende system) dan

dasar system penentu pengertian.

Menurut Bruggink J.J.H., kaedah hukum dapat dibedakan dalam kedudukannya sebagai kaedah perilaku dan sebagai mata kaedah. Kaedah perilaku adalah kaedah yang ditunjukkan pada perbuatan warga suatu masyarakat tertentu, dalam artian kaedah tersebut memuat perintah perilaku (gedragsvoorschrift), sedangkan mata kaedah dipahami sebagai kaedah yang berkenaan dengan keberadaan dari kaedah perilaku.197 Hal yang senada juga dikemukakan oleh HLA Hart yang membedakan aturan hukum sebagai Primary rules (untuk kaedah perilaku) dan secondary rules (untuk mata kaedah).198 Sebagai kaedah perilaku, aturan hukum di dalamnya akan dapat berisi kaedah yang digolongan sebagai kaedah perintah (gebod), larangan (verbod), pembebasan (vrijstelling, dispensasi), dan izin (toestemming).199

Prinsip hukum merupakan ratio legis dari norma hukum. Satjipto Rahardjo

menyatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum dan ia

merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang

berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada

asas-asas tersebut.

200

196 Ronald Zelfianus Titahelu, Penetapan Asas-asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat Op.Cit, hal. 12. Seperti dikutip Ronald Zelfianus Titahelu. “Penetapan Asas-asas Hukum Umum dalam Pengguanaan Tanah Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat (Suatu Kajian Filosofi dan Teori Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia”, disertasi (Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga, 1993), hal. 92

selanjutnya Satjipto Rahardjo mengutip pendapat dari George

Whitecross Paton, yaitu asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan

melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan

melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Asas hukum ini pula yang membuat

197 Bruggink J.J.H, Rechts Reflecties, Grondbegrippen uit De Rechtstheorie, Op.Cit, hal. 121. 198 Hart HLA, The Concept Of Law, (Oxford : Clarendon Press, 1961), hal. 92. 199Bruggink J.J.H., Op.Cit, hal 100-101.

Universitas Sumatera Utara

hukum itu hidup, tumbuh, dan berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum

itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan belaka, karena asas mengandung

nilai-nilai dan tuntunan-tuntunan etis.201

Brugging J.J.H. menyatakan bahwa prinsip hukum adalah kaedah yang

memuat ukuran (kriteria) nilai. Prinsip hukum berfungsi sebagai mata kaedah

terhadap kaedah perilaku, karena menentukan interpretasi terhadap aturan hukum

dan wilayah penerapan aturan tersebut.

202 Peranan prinsip hukum dalam

kedudukannya sebagai dasar atau pedoman dalam pembentukan aturan hukum

dikemukakan oleh van Eikema Hommes yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo,

yaitu prinsip hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkrit, tetapi

dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.203 Suatu

prinsip hukum berubah menjadi aturan hukum, bukan berarti prinsip hukum itu akan

kehilangan kekuatannya. Prinsip hukum akan tetap hidup sebagai prinsip hukum

walaupun telah melahirkan dan atau terumuskan dalam aturan hukum. Oleh karena

itu, prinsip hukum akan dapat terus melahirkan aturan aturan hukum lainnya.204

Y.Sogar Simamora menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum diperlukan

sebagai dasar dalam pembentukan aturan sekaligus sebagai dasar dalam

memecahkan persoalan hukum yang timbul manakala aturan hukum yang tersedia

200Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 45. 201Ibid. 202Bruggink J.J.H., Op.Cit, hal.123. 203 Sudikno Mertokusumo-II, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Op.Cit, hal. 5. 204George Whitecross Paton, Op.Cit, hal. 85.

Universitas Sumatera Utara

tidak memadai.205 Prinsip hukum atau asas hukum merupakan salah satu obyek

terpenting dalam kajian ilmu hukum. Pembahasan tentang prinsip hukum lazimnya

disandingkan dengan aturan hukum atau kaedah hukum untuk memperoleh

gambaran yang jelas menyangkut perbedaannya.206

Menurut George Whitecross Paton yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo,

Prinsip hukum dalam ilmu

hukum mempunyai peran yang sangat penting, apalagi jika dikaitkan dengan aturan

hukum. Prinsip hukum dan aturan hukum merupakan elemen dari sistem hukum.

Oleh karenanya, antara prinsip hukum dan aturan hukum memiliki keterkaitan yang

erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

207 ada

keterkaitan antara prinsip hukum dan aturan hukum. Beliau menyampaikan ada 2

(dua) hal penting dalam memahami hubungan antara prinsip hukum dan aturan

hukum yaitu pertama, prinsip hukum merupakan landasan yang luas bagi lahirnya

suatu aturan hukum. Aturan-aturan hukum itu pada akhimya dapat dikembalikan pada

prinsip-prinsip hukum tersebut. Ini berarti materi dari aturan hukum itu harus sesuai

dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip hukum yang menjadi dasar lahirnya atau

sumber dari aturan hukum tersebut. Setiap konflik norma yang ada dalam setiap

aturan hukum, penyelesaiannya harus dikembalikan pada prinsip ,

205 Yohanes Sogar Simamora, “Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah”, disertasi, (Surabaya : PPS Unair, 2001), hal. 22.

hukum. Kedua,

prinsip hukum merupakan rario legis, alasan bagi lahirnya suatu aturan hukum.

Prinsip hukum tidak hanya dapat melahirkan satu aturan hukum saja, tapi bisa lebih

206Ibid, hal. 23. 207 Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, Op.Cit. hal. 85.

Universitas Sumatera Utara

dari satu.

Peter Mahmud Marzuki mengemukakan pendapatnya bahwa asas hukum atau

prinsip hukum dapat saja timbul dari pandangan akan kepantasan dalam pergaulan

sosial yang kemudian diadopsi oleh pembuat Undang-undang, sehingga menjadi

aturan hukum, akan tetapi tidak semua asas atau prinsip hukum dapat dituangkan

menjadi aturan hukum.208

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas atau prinsip hukum bukanlah

merupakan peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang

umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang

terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat

diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.

209

Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau

peraturan yang konkret. Ini berarti menunjuk kepada kesamaan-kesamaan yang

terdapat dalam ketentuan- ketentuan konkret itu.210

Dalam kaitannya dengan peran dari prinsip hukum dalam menyelesaikan

persoalan hukum, Yohanes Sogar Simamora menyatakan bahwa aturan hukum

diperlukan untuk menjawab persoalan hukum. Realitas menunjukkan bahwa tidak

setiap persoalan hukum dapat dipecahkan hanya mengandalkan aturan hukum, ada

208 Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, Majalah YURIDIKA, Vol. 18 No. 3, (Surabaya : FH Unair, 2003), hal.193.

209 Sudikno Mertokusumo-I, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Op.Cit, hal. 34. 210Ibid, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

persoalan hukum yang harus ditemukan jawabannya melalui prinsip hukum.211

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya prinsip hukum

dalam kaitannya dengan aturan hukum. Pentingnya prinsip hukum tersebut dalam

hal:

a. pembentukan peraturan perundang-undangan (legal drafting);

b. penyelesaian kasus atau perkara yang penyelesaiannya melalui pengadilan;

c. dalam penyelesaian suatu kasus atau perkara hukum, ternyata tidak dijumpai

adanya aturan hukum. Dalam keadaan ini, prinsip hukum berperan mengisi

kekosongan hukum dengan cara memberikan dasar hukum bagi hakim untuk

memberikan putusan.

UUPA diundangkan pada tanggal 24 September 1960. UUPA mencabut peraturan dan keputusan yang berkaitan dengan agraria yang dibuat oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Muchsin dkk menyatakan bahwa dicabutnya peraturan oleh UUPA dan dinyatakannya Hukum Adat sebagai dasar Hukum Agraria Nasional, adalah dalam rangka mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan hukum tersebut.212

Hukum adat dimaksud UUPA adalah :

Sampai sekarang masih ada orang yang mempermasalahkan dan mempertanyakan hubungan Hukum Adat dengan UUPA, yakni Hukum Adat manakah yang dimaksud oleh UUPA tersebut?

1) Formal : “…bagian dari hukum positif Indonesia yang berlaku sebagai hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis di kalangan orang-orang Indonesia asli yang mengandung ciri-ciri nasional, yaitu…”

2) Materil : “…sifat kemasyarakatan yang berasaskan keseimbangan dan diliputi suasana keagamaan.” 213

211 Yohannes Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak, Op.Cit, hal.23.

212 Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Dalam Prespektif Sejarah, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hal. 50.

213 Dengan pengertian yang demikian, maka apa yang disebut Hukum Adat tidak harus diartikan semata-mata sebagai rangkaian norma-norma hukum saja, akan tetapi meliputi juga :

Universitas Sumatera Utara

Hukum Tanah Nasional diatur dalam UUPA memuat prinsip hukum dan aturan hukum yang menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan di bidang pertanahan dan memutuskan kasus atau perkara di bidang pertanahan.

UUPA sebagai peraturan dasar yang mengatur pokok-pokok keagrariaan dan merupakan landasan Hukum Tanah Nasional tidak memberikan pengertian yang tegas baik mengenai istilah “tanah” maupun istilah “agraria”.214 Untuk mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogianya bersifat holistik, komprehensif, dan mampu menampung hal-hal pokok yang menjadi tujuan pembaruan agraria. Untuk mengoperasionalkan konsep pembaharuan agraria, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Menurut Maria S.W. Sumardjono215

a. menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber-sumber agraria merupakan hak ekonomi setiap orang;

, prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria tersebut adalah:

b. unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat (pluralisme);

c. keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antargenerasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya);

d. fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya; bahwa hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi yang bersangkutan karena haknya dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas;

e. penyelesaian sengketa pertanahan; f. pembagian tanggung jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan

manajemen sumber-sumber agraria; g. transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan; h. landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber-

a. Konsepsi (ajaran, teori) b. Asas-asas (yang merupakan perwujudan dari konsepsi) c. Lembaga –lembaga hukum d. Sistem (tata susunan yang teratur), Arie Sukanti, Pembentukan UUPA dan Pembangunan Hukum

Tanah Nasional, hal.15). 214 Dari ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (4), (5), dan (6) jo Pasal 2 ayat (1) UUPA dapat ditarik

kesimpulan bahwa pengertian Agraria mengandung makna yang luas, yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

215 Maria S.W Sumardjono, Transitional Justice atas Hak Sumber Daya Alam”, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Komnas HAM, 2001), hal.4.

Universitas Sumatera Utara

sumber agraria;

i. usaha-usaha produksi di lapangan agraria; j. pembiayaan program-program pembaruan agraria.

Tidak jauh berbeda dari prinsip-prinsip di atas, ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menetapkan duabelas prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, sebagai berikut: a. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasikan keanekaragaman dalam

unifikasi hukum; d. menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia; e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi

partisipasi rakyat; f. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan,

penggunaan, pernanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam;

g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan, daya dukung lingkungan;

h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;

j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;

k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, Kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;

l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, Kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.

Dimuatnya keduabelas prinsip pembaruan agraria tersebut dalam Ketetapan MPR mengharuskan prinsip-prinsip itu dijadikan acuan dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini membawa konsekuensi terhadap perlunya upaya pengkajian ulang dan harmonisasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan sektoral, yaitu melakukan upaya pencabutan, penggantian, atau penyempurnaan undang-undang

Universitas Sumatera Utara

sektoral di bidang keagrariaan.216

Dalam kaitannya dengan perundang-undangan di bidang agraria, khususnya dalam hal penyusunan RUU Penyempurnaan UUPA, maka seyogianya undang-undang itu mengacu pada prinsip-prinsip

217

a. prinsip kebangsaan; :

b. hubungan hukum antara negara, pemerintah, masyarakat, dan individu dalam kaitannya dengan sumber daya agraria;

c. pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, baik dalam dimensi global, dimensi nasional, maupun dimensi regional;

d. prinsip landreform; e. prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah; f. akomodasi hukum adat (pluralisme dalam unifikasi hukum); g. fungsi sosial dan fungsi ekologis atas sumber daya agraria; h. prinsip keadilan, baik keadilan antargenerasi maupun keadilan gender dalam

perolehan dan pemanfaatan sumber daya agraria; i. pemberlakuan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan sumber

daya agraria. Prinsip-prinsip di atas merupakan reorientasi atas prinsip-prinsip yang

terdapat dalam UUPA selama ini, dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Tap MPR tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan mengacu pada falsafah bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka sinergi yang baik antara prinsip-prinsip UUPA yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria, diharapkan dapat mencapai tujuan penyempurnaan UUPA, yaitu keadilan, efisiensi, serta pelestarian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang berkelanjutan.

Atas dasar prinsip-prinsip pembaruan agraria di atas, maka Pasal 5 Tap MPR No. IX/MPR/2001 menetapkan arah kebijakan pembaruan agraria sebagai berikut. a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;

b. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;

c. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

216 Maria S.W Sumardjono, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, Surat Kabar harian Kompas, Jakarta, 24 September 2001, hal. 2.

217 Maria S.W Sumardjono, Menggagas ulang Penyempurnaan UUPA sebagai Pelaksanaan TAP MPR-RI NO. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Yogyakarta, 21 September.

Universitas Sumatera Utara

pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat;

d. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform;

e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi;

f. mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

Selanjutnya, menurut Maria S.W. Sumardjono218, apabila arah kebijakan pembangunan dipandang sebagai "raga," maka prinsip-prinsip pembaruan agraria perlu diakomodasi sebagai landasan yang akan berfungsi sebagai "jiwa" yang akan menjadi dasar untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pembangunan yang berlandaskan pada konsep pembaruan agraria harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut219

a. Cara pandang dan tindakan berkenaan dengan tanah. Tanah tidak boleh diperlakukan secara eksklusif, tetapi harus dilihat sebagai satu subsistem dari keseluruhan sistem berkenaan dengan penguasaan/pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam dan dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria tersebut di atas. Dengan demikian, dapat dihindarkan tumpang tindih dan inkonsistensi antar peraturan perundang-undangan sektoral. Pembaruan agraria memerlukan reformasi di bidang hukum yang terkait dengan sumber daya agraria/sumber daya alam.

:

b. Karena di masa yang akan datang kesempatan untuk menggantungkan hidup dari sumber-sumber pertanian akan semakin berkurang, maka untuk mendukung pembaruan agraria, pelaksanaan program pembaruan agraria perlu dilengkapi dengan penciptaan sumber pendapatan dan peluang kerja, di samping program pendukung lainnya.

c. Berbagai konflik untuk memperebutkan sumber daya alam antarberbagai kelompok kepentingan akan semakin meningkat, baik dalam skala lokal maupun regional. Perlu diupayakan cara-cara penanggulangannya.

d. Dengan semangat otonomi, perlu meningkatkan tanggung jawab daerah dalam merancang bersama alokasi dan penatagunaan tanah.

e. Untuk mendorong pelaksanaan pembaruan agraria, diperlukan keberadaan suatu lembaga yang berkomitmen dan bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaannya, dengan dukungan pembiayaan yang memadai.

f. Pendekatan, sikap, dan perlakukan terhadap hukum adat dan masyarakat

218 Maria S.W Sumardjono, Arti Strategis Pembaruan Agraria, sebagai landasan pembangunan, makalah pada seminar dan lokakarya nasional Pengelolaan SDA berkelanjutan yang ramah lingkungan dan Pembaruan Agraria untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, (Bandung: ITB-UNPAD, 2001), 14-16 September, hal.9.

219 Ibid, hal.9-10.

Universitas Sumatera Utara

hukum adat. Perlu pendekatan baru dalam menyikapi hukum adat pada saat kini dengan memperhatikan kecenderungan global, nasional, dan lokal dalam upaya mengakomodasi prinsip-prinsip hukum adat ke dalam tatanan hukum positif. Hak masyarakat hukum adat atas tanah milik bersama, hak cipta serta hak-hak lain yang terkait dengan pengetahuan tradisional masyarakat hukum adat yang bersangkutan, harus dihormati dan dilindungi oleh hukum positif.

Pada intinya, keduabelas prinsip pembaruan agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 itu, jika diringkas akan berpangkal pada tiga prinsip utama220

a. prinsip demokratis, dalam dimensi kesetaraan antara pemerintah dengan rakyat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan good governance dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria;

:

b. prinsip keadilan, dalam dimensi filosofis baik keadilan intergenerasi maupun keadilan antargenerasi dalam upaya mengakses sumber daya agraria;

c. prinsip keberlanjutan, dalam dimensi kelestarian fungsi dan manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna.

Ketiga prinsip utama sebagai rangkuman dari dua belas prinsip pembaruan agraria di atas, saling terkait, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Manakala berbicara prinsip demokrasi, maka terkandung di dalamnya makna prinsip keadilan. Manakala berbicara prinsip keadilan, terkandung di dalamnya makna prinsip keberlanjutan.

Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan oleh suatu negara. Sementara itu, dalam pemahaman empiris (procedural democracy), merupakan demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan politik praktis. Keadilan adalah ukuran yang dipakai dalam memperlakukan objek (manusia) di luar diri seseorang. Ukuran tersebut tidak dapat dilepaskan dari arti yang diberikan pada manusia.221 Sementara itu, memahami keberlanjutan dalam kaitannya dengan lingkungan alam akan selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini ada syarat keharusan (necessary condition) bagi keberlanjutan ekonomi yang harus dipenuhi, yaitu bahwa lingkungan alam tempat perekonomian itu berkembang harus dijaga agar terus menerus memberikan manfaatnya.222

Menurut H.S. Dillon

Dengan kegiatan perekonomian yang berkelanjutan dan dilakukan dengan mengacu pada norma-norma yang demokratis, maka keadilan dalam kegiatan ekonomi pun dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

223

220 Maria S.W Sumardjono, Transisional, Op Cit, hal. 7.

, berbicara mengenai demokrasi berarti berbicara mengenai kemerdekaan dan kesetaraan, karena kemerdekaan dan kesetaraan

221 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op Cit, hal.165. 222 Azis Khan, Pengelolaan Sumber Daya Alam: Ruang Kompromi dan Harmonisasi Kepentingan

Ekonomi, Sosial dan Lingkungan: dalam Harijadi Kartidihardjo. dkk., Dibawah satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, (Jakarta: Suara Bebas, cet.I edisi revisi, 2005), hal. 83.

223 H.S. Dillon, Pembaruan Agraria sebagai alat demokrasi HAM, keadilan di Indonesia, makalah pada semiloka Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan, (Bandung, 2001), hal. 4. 14-16 September.

Universitas Sumatera Utara

adalah prinsip dasar demokrasi. Kemerdekaan berarti bebas dari hegemoni politik dan (ketergantungan) ekonomi. Kesetaraan berarti bebas dari diskriminasi atas kesetaraan hak dan peluang, artinya demokrasi bertujuan untuk menegakkan keadilan, yang bermakna diakhirinya segala bentuk diskriminasi terhadap manusia dan alam semesta. Dalam hal ini pengertian demokrasi bukan lagi sekadar berbicara mengenai format demokrasi politik formal, melainkan menurut H.S. Dillon juga mencakup format demokrasi ekonomi untuk peningkatan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Jika diletakkan dalam konteks kehidupan bernegara, maka hal ini berarti membebaskan rakyat dari keterbelengguan, dan menuju penguatan otonomi rakyat di segala bidang (ekonomi, politik, sosial-budaya, dan sebagainya).

Dalam konteks permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini, maka demokrasi harus dapat mengakhiri dan/atau mengoreksi ketidakadilan struktural dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya yang terjadi sebagai warisan pemerintahan orde baru dan hingga kini masih kerap terjadi.

Dari sisi hak asasi manusia, hal di atas merupakan bentuk pelanggaran massal atas hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya terbesar bagi rakyat Indonesia yang termarjinalkan oleh peraturan perundang-undangan dan kebijakan negara di bidang tanah dan sumber daya agraria/alam. Baik dalam Article 25 dari international Convenant on Economic, Social and Cultural Rights yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, maupun dalam Article 47 dari International Convenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, sama-sama menegaskan bahwa:

Nothing in the present convenant shall be interpreted as impairing the inherent rights of all peoples to enjoy and utilize fully and freely their natural wealth and resources.

Atas dasar kedua ketentuan dalam kedua buah konvenan di atas, maka dalam kaitannya dengan aspek hak-hak penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya, pelaksanaan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya tersebut tidak boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak-hak yang melekat pada seluruh masyarakat untuk menikmati secara penuh dan bebas atas kekayaan dan sumber daya alam mereka.

Atas dasar kondisi di atas, tidak mungkin membangun demokrasi dan keadilan tanpa upaya pembaruan agraria sehingga pembaruan agraria merupakan suatu keniscayaan bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia, bahkan bagi negara yang meskipun pemerintahnya mempraktikkan paradigma modernisasi.224

224 Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria: Perjalanan yang belum berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, cet.I, 2001), hal.4.

Jika dipahami bahwa pembaruan agraria merupakan suatu upaya merestrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya, maka ketiga prinsip utama di atas harus menjadi landasan

Universitas Sumatera Utara

segala upaya restrukturisasi. Dalam hal prinsip demokratisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya, hal tersebut ditentukan oleh sejauh mana peran serta masyarakat dapat tumbuh dan berkembang secara adil. Dalam hal ini peran serta masyarakat harus ditafsirkan sebagai hak dasar dari rakyat untuk terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses perumusan kebijakan. Keterlibatan itu dapat dimulai sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tahap pengawasan. Pemahaman demokrasi tidak dapat disederhanakan hanya sebagai mekanisme pengambilan kebijakan saja, lebih dari itu.225

a. Demokrasi itu berkaitan dengan input atau sumber-sumber aspirasi, gagasan, dan potensi. Dari mana aspirasi digali, siapa yang mengontrol sumber daya yang ada yang akan menjadi input proses pembangunan.

b. Demokrasi itu berkaitan dengan proses, yakni tentang bagaimana pengambilan keputusan dilakukan, siapa yang terlibat dan bagaimana proses tersebut dijalankan.

c. Demokrasi juga berkaitan dengan output, artinya bagaimana output dari suatu proses didistribusikan. Siapa yang paling mempunyai akses untuk mengontrol distribusi.

Ketiga pemahaman demokrasi di atas merupakan segi-segi dasar dari proses demokrasi itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan ketiga pemahaman demokrasi tersebut, dapat dilihat misalnya, apakah pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya sudah mencerminkan keadilan, atau bagaimana pola hubungan antara penguasa dengan rakyat dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria.

Demokratisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria tidak mungkin dilaksanakan jika hak-hak masyarakat terutama masyarakat hukum adat dan lokal yang selama ini tertindas, tidak diupayakan untuk dipulihkan. Akses masyarakat terhadap sumber daya agraria harus dibuka lebar untuk mewujudkan keadilan agraria sebagai kata kunci pembaruan agraria.

C. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun

1. Hukum Pertanahan di Simalungun Sebelum Pemerintahan Hindia Belanda menginjakkan kakinya di daerah

Simalungun, mereka sudah punya hubungan politik dengan beberapa kesultanan di daerah Pantai Sumatera Timur, misalkan Kesultanan Deli Serdang, Langkat, Asahan dan Labuhan Batu. Kontrak yang mereka lakukan disebut “kontrak panjang” dan investor-investor asing (Nederland) juga dibawa dalam bidang perkebunan, seperti Deli Maatschapij, penghasil cerutu (tembakau pembungkus cerutu)226

225 Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara: Kajian kritis atas kebijakan otonomi daerah, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Umum, cet.I, 2001), hal.47.

226 Djariaman Damanik, Berpikir Multi Disiplin, Belajar dari Sejarah, (SL:SN ,2006), hal.110

Universitas Sumatera Utara

Kolonel van Dalen (pemimpin marsuse Belanda) mulai memasuki Sibayak, tanah Karo, melalui perbukitan Dairi, sementara Snouck Hurgronje menaklukkan Aceh. Pada pertengahan abad XIX (1860), Pemerintah Hindia Belanda sudah menduduki Sibolga (sebelah Barat daerah Simalungun).

Raja-raja di Simalungun hanya diakui sebagai “pemimpin / partongah”, sebagai primus interparis. Partongah secara turun-temurun diberikan kepada anak laki-laki tertua. Tanggung jawab raja sangat mulia dan besar, padanya ada kharisma (sahala) sehingga semula digelari “Tuhan” (yang disembah). “naniminakan ni Naibata” (yang diminyaki oleh Tuhan). Tahun 1907, dikenal tahun masuknya Belanda ke Simalungun dimana Simalungun dengan Raja Marompatnya, yaitu Kerajaan Siantar, Tanah Jawa, Panei dan Dolog Silau. Pemerintahan Hindia Belanda selalu mengabaikan lembaga raja marompat, tidak diakui, lebih jauh lagi empat kerajaan ini dimekarkannya menjadi tujuh (kerajaan, raja Napitu). Filosofi adat “Habonaran do bona” (veritas est Alpha), artinya kebenaran adalah awal segala sesuatu, maknanya : aturan dalam hidup manusia harus mengacu kepada Yang Maha Kuasa.

Dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya tumbuh dan timbul apa yang disebut “hukum kepatutan” dalam masyarakat Simalungun, menurut paradigma masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Disamping aturan hukum adat berbasiskan kekeluargaan “Tolu Sahundulan Lima Saodoran” ada dan berlaku hukum adat mengenai pertanahan secara sederhana. Dalam masyarakat Simalungun dikenal juga lembaga-lembaga di tingkat bawah (lingkaran daerah territorial paling kecil) yang disebut “huta”, tempat pemukiman yang disebut “parhutaan”. Di sekeliling “Huta” terdapat tanah pertanian penduduk, tanah penggembalaan, hutan lindung, biasanya ada daerah aliran sungai sebagai tempat pemandian/ tapian sekaligus sebagai tempat untuk dijadikan bongbongan (tambak atau kolam pemeliharaan ikan) kebutuhan masyarakat huta.

Jadi ada sejumlah aset kepunyaan dari “Huta” itu untuk dijadikan sumberdaya alam demi eksistensi penduduk desa bersangkutan, tanah pertanian, hutan, aliran sungai yang melintas tanah kepunyaan huta itu, merupakan “tanah ulayat huta” dalam arti luas. Bila huta itu berfungsi sebagai tempat kediaman Partuanon/ Parbapaan, maka huta itu menyandang sebutan “Pamatang”

Jadi “Huta” atau “Pamatang” mempunyai daerah teritorial sendiri yang menjadi landasan hidupnya secara materil demi eksistensinya untuk seterusnya. Jadi dapat dipahami betapa nilai dan harga materil dan sprituil dari lingkungan hidupnya itu bagi masyarakat adat setempat. Boleh disimpulkan itulah hidupnya, tanpa tanah dan air serta hutan bagaimana dapat menghidupi keluarganya? Itulah keseluruhan yang dimilikinya, bila itu sudah tidak ada lagi, maka ia sudah tidak punya akar

Universitas Sumatera Utara

penghidupan di daerahnya sendiri. Suasana inilah yang dijumpai sebelum masuknya pemerintahan penjajahan Belanda ke Simalungun.

Bagaimana sikap pemerintahan penjajahan terhadap keberadaan masyarakat dan hak pertanahannya masa silam.

Dengan singkat dapat dikemukakan227

Pada tahun-tahun 1910-1920an, dikeluarkanlah tanah-perkampungan (tanah-tanah ulayat) dari kekuasaan raja-raja Simalungun yang didudukkan mereka sebagai “domeinheer” tanah-tanah termasuk hak ulayat rakyat/ penduduk asli (otokton) Simalungun.

, bahwa pemerintahan Hindia Belanda benar-benar memarginalkan hukum adat pertanahan di Simalungun dengan memperalat pemerintahan “zelfbestuurders/ swapraja Simalungun”. Semua perilaku kebijaksanaannya, melulu demi kepentingan tuan-tuan dari maskapai-maskapai Belanda atau asing; untuk mencapai tujuannya itu memakai golongan penduduk dari luar daerah ke Simalungun dengan tidak memperdulikan hak-hak pertanahan yang sudah berlaku berabad-abad di Simalungun.

228

Perlu dicatat bahwa ada pertentangan prinsipil antara Pemerintahan Hindia Belanda sebagai penganut dan pencipta “Domein teori” dengan para Sarjana Hukum Adat (van Vollenhoven dan Ter Haar). Disamping perbedaan yang ada, juga ada persamaan, yaitu pendirian bahwa “Alle gronden, zowel bebouwde en onbebouwde behoren aan de gemeente” (semua tanah yang sudah dikerjakan oleh rakyat dan tanah-tanah yang belum digarap rakyat, adalah kepunyaan Gemeente, yang artinya masyarakat keseluruhan).

Penguasa desalah yang mengurus hal-hal/ perkara yang berkenaan dengan tanah atau pertanahan di lingkungan desanya.229

Daftar “Historical Injustices”

230

Di Bidang Politik Pertanahan.

di Daerah Simalungun Tahun 1906/07-1945 Selama Penjajahan Belanda dan Jepang.

a. Memberlakukan “Vorstelijke Domein Verklaring” atas tanah yang sudah maupun

yang belum diolah di lingkungan hak ulayat atau hak Partuanon Urung,

Partuanon Parbapaan, Partuanon Huta.

227 J. Tideman (Assisten-Resident Simalungun dan Karo): “Simeloengoen, Hetland der Timoer-Bataks...”, (Leiden:Van Doesburg, 1922), [(s:a)].

228 Djariaman Damanik, op cit, hal. 114 229 Ibid, hal.115 230 Ibid, hal.116

Universitas Sumatera Utara

b. Memfasilitasi pendatang-pendatang ke daerah Simalungun, dalam rupa pemberian

tanah-tanah subur secara gratis untuk pembukaan sawah-sawah, kepentingan

perkebunan dan perkotaan, tanpa mengindahkan pembinaan atau pengembangan

SDM setempat.

c. Rekrutering pegawai-pegawai pemerintahan Hindia Belanda, perkebunan,

swapraja dari kalangan para pendatang tanpa mempertimbangkan penduduk

setempat yang masih uneducated sedang mereka adalah juga manusia-manusia

yang deserve kemajuan dan kesempatan dalam pembangunan di semua aspek

kehidupan di daerahnya. Dengan singkat, kepentingan penduduk setempat yang

otokton dikesampingkan, melulu mengedepankan kepentingan dan keuntungannya

sendiri sebagai penjajah.

d. Terasa sekali perilaku yang diskriminatif terhadap para pendatang atas penduduk

asli (otokton) dibelakangkan, karena “sesama pendatang” ke daerah Simalungun,

sekaligus memberlakukan politik devide et impera (peristiwa pengangkatan Hoofd

der Tobasche zaken)

e. Sikap dan pendirian RMG pun berjalan paralel dengan Pemerintahan Hindia

Belanda, terhadap penduduk asli Simalungun yang masih “heiden” atau Islam.

f. Orang-orang pendatang, khususnya dari Tapanuli tidak memberlakukan hidup

perantau “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”, kadang-kadang

menunjukkan sikap yang arogan memarginalkan orang-orang Simalungun.

g. Kapan kesenjangan-kesenjangan dan sikap arogansi itu dapat diatasi dan sekaligus

mencegah konflik-konflik yang tidak diinginkan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam buku J. Tideman231

“De grond kon niet als eigendom van het Gouvernement beschouwd worden, zodat geen regeling kon worden getroffen, welke de gemeente het recht gaf titels daarop uit te geven (rekayasa)”.

: “Simeloengoen, Het land der Timoer-Bataks in zijz vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het culturgebied van de Oostkust van Sumatra”:

“De oplossing zal worden gevonden door eene schenking van de grond door het zelfbestuur van Siantar aan het Gouvernement, warrna de grondpolitiek binnen de gemeente in de juiste banen kan worden geleid”.

(Artinya, Tanah tidak bisa dianggap sebagai hak milik, oleh karena itu tidak ada peraturan dapat diterapkan termasuk juga di mana Pemerintah Kodamadya memberikan title “hak atas tanah” tersebut. Penyelesaian akan ditentukan oleh penyerahan oleh Swapraja Siantar kepada Pemerintah, demikian politik tanah di dalam pemerintahan dapat dilaksanakan dalam cara-cara yang benar.) Pertanyaan lain yang timbul232

Apakah istilah “zelfbestuur Siantar” sama dan serupa dengan “Raja Siantar”. Raja Siantar in person dalam Bahasa Belanda disebut “de zelfbestuurder van Siantar”. “Zelfbestuur” berarti “raja dan aparat harajaannya” atau “raja tambah harajaan” (pemerintahan adat). Dalam hal perembugan dan mufakat dengan Harajaan Siantar, mungkin tidak relevan menurut Raja Riahkadim. Raja ini sudah “over het paard ghetild” (diberikan kekuasaan/ wewenang yang berlebih) dan dia pun tinggal tanda-tangan saja. Sungguh menyedihkan. Tapi inilah siasaat pemerintahan Hindia Belanda: memanfaatkan kepolosan raja-raja Simalungun untuk mencapai tujuan politik penjajahannya.

:

Dalam bukunya J. Tideman, mengenai “Grondrechten” (halaman 129 dst) dicatat :

“Persekutuan-persekutuan hukum (Harajaan: Urung/ Partuanon-Parbapaan dan Huta) terbentuk dan didirikan oleh penyandang-penyandang marga yang berkuasa di sesuatu wilayah, dan sekaligus terbentuklah wilayah kekuasaannya (ulayat kekuasaannya/ partuanon atas tanah dan air); yang dikenal dengan nama “rechtgemeenschap” besar dan kecil yang mempunyai hak ulayat atas tanah dan air dalam “rechtgemeenschapkring”-nya. Dan bahwa “rechtgemeenschap-rechtgemeenschap” itu punya “zelfbeschikkingsrecht” atas tanah dan air dalam wilayah yang dikuasainya. Dapat dipahami bahwa ada hubungan khusus antara kaula/ warga dengan tanah dan air dalam lingkungan hak ulayat terkait, dimana yang berwenang adalah “Marga” Harajaan/

231 J.Tideman dalam Djariaman Damanik, Ibid, hal.119 232 I b i d

Universitas Sumatera Utara

Urung/ Partuanon/ Parbapaan, terjelma dalam “marga pamungkah” di wilayah itu. Maka terjadilah “beschikkingsrecht: (Hak Ulayat) dari marga itu. Hak Ulayat dari persekutuan-persekutuan hukum itu diselenggarakan oleh Kepala-kepala persekutuan hukum terkait (Partongah/ Tuan/ Parbapaan).233

Di Simalungun, pada umumnya, para Partuanon mempunyai wewenang yang agak otokratis atas tanah-tanah yang berada dalam hak ulayat Huta/ Urung/ Harajaan, namun persekutuan-persekutuan hukum dan lembaga-lembaga hak ulayatnya tidak pernah punah atau hancur, walaupun sudah berlangsung berabad-abad. a. Kooreman (Indische Gids 1914) mencatat: “Setiap Persekutuan Hukum (PH)

memelihara: batas-batas hak ulayatnya, perangkat pemerintahannya, lembaga-

lembaga adat yang berasal dari hukum kodratnya sendiri termasuk hak ulayatnya

atas hutan belukar (woeste gronden misalnya) dan setiap anggota dari

Persekutuan hukum itu berhak untuk menguasai hutan belukar yang termasuk

hak ulayat Persekutuan masing-masing. Adanya otonomi dari masing-masing

persekutuan hukum dipelihara secara baik/ serasi antara PH yang rendah dan

yang lebih tinggi, dipelihara secara seimbang atas hak-hak ulayat masing-

masing.

b. Dalam Adatrechtbundel IX Pag. 38 disebutkan:

“De zuivere Batakadat kent immers geen andere overheidsrechten (t.a. V. Van de grond, welke berusten bij de stam (marga yang berkuasa) en krachtens het aan deze ontleende gezag, door de atamhoofden worden uitgeoefend”.234

Dari hal-hal di atas dapat disimpulkan, bahwa penjualan (grondverkoop) “pengasingan tanah” dilarang; yang ditolerir hanya “jual gadai” (peminjaman uang

233 I b i d 234 Ibid, hal.120.

Universitas Sumatera Utara

dengan tanah sebagai jaminan), namun dalam praktek sudah menyerupai jual-beli biasa.

Ada berbagai pengertian dalam hukum adat tanah yang harus dibedakan, yaitu: tombak, harangan, galoenggoeng, sampalan, parmahanan, tanoh rih, parhutaan, pamatang, tapian, dalan bah, paranggiran, harangan panumbahan, jerat, pokkalan, parjabuan, parjumaan, parsabahan, parkobunan, harangan larangan, umbul ni bah, pinggiran ni bah, parbalogan, sabah lombang, lombang, reben-reben, dan lain-lain. Istilah-istilah di atas dapat dilihat (masih eksis) di Kabupaten Simalungun235

1) Harangan : Hutan :

Gambar 1 : Harangan 2) Sappalan : Tempat makanan kerbau. Sappalan adalah milik Huta

Sappalan (Sampalan) : Tanah yang berisi rumput-rumputan saja, tidak ada kayu, tempat masyarakat melepaskan kerbaunya, tempat makanan kerbau.

Gambar

2 : Sappalan

3) Tanoh rih : tanah yang berisi lalang-lalang saja

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3 :Tanoh rih 4) Pokkalan : Tempat kaum bapak minum tuak di ladang.

5) Parjabuan : Rumah-rumah yang bertumpuk.

6) Parbalogan : Batas ladang, sempadan.

Gambar 4 : Parbalogan / Parbalokan Tempat berdirinya orang ini ada parit / Parbalokan antara dusun Siloting

dengan Sombul sepanjang 100m dengan lebar 80cm dan kedalamannya 1m, sekarang telah ditutupi semak belukar dan pohon bambu.

7) Sabah Lombang : Sawah yang kiri kanannya jurang.

235 Wawancara yang telah diolah dengan L.Sitopu,S.Kom, dan mendampingi peneliti selama di lapangan.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5 : Sawah Lomba

ng 8) Tano-Reben / Reben-reben : Tanah miring.

Gambar 6 : Tanoh /

Tano Reben

9) Tanah / Tano Roba : Tanah yang sudah ditinggalkan.

Gambar 7 : Tanoh /

Universitas Sumatera Utara

Tano Roba c. Contoh kedua politik pertanahan pemerintahan Kolonial Belanda dijalankan

untuk mengakomodasi eksploitasi “hutan belukar” (woeste gronden) yang

masih banyak dijumpai di daerah Simalungun (Kerajaan Siantar/ Bandar/

Sidamanik/ Tanah Jawa/ Panei) oleh maskapai-maskapai perusahaan asing

(Belanda, Swiss, Belgia, dan lain-lain) yang haus akan tanah untuk

penanaman karet, teh, sisal, kelapa sawit, dan lain-lain. Juga dengan memakai

politik “domein verklaring” atas tanah-tanah di daerah-daerah itu, seolah-olah

Raja/ Partuanon/ Tuan menjadi pemilik (eigenaar) dari tanah-tanah yang

termasuk wilayah Hak Ulayat Urung, Partuanon/ Parbapaan. Oleh Raja atau

Partuanon diadakan perjanjian dengan Perusahaan Perkebunan Besar,

memberikan tanah luas sebagai/ dengan hak Konsesi atau Erfpacht untuk

waktu misalnya 75 tahun, dengan persetujuan Pemerintah Hindia Belanda c.q

Gubernur Jenderal yang berarti bertolak belakang dengan makna “sistem hak

ulayat atau “beschikkingsrecht” dari Urung/ Parbapaan/ Partuanon yang

masih berlaku di kalangan masyarakat Simalungun sejak berabad-abad.236

Pemerintah Hindia Belanda meminjam tangan “Raja Simalungun untuk mencapai tujuan politik kolonialnya, demi kepentingan pengusaha-pengusaha besar asing untuk perkebunan karet, sisal, teh, kelapa sawit, dan lain-lain.

Pada umumnya di daerah Simalungun, rechtsgemeenschappen (masyarakat hukum/persekutuan hukum) diawali dengan pembentukan “Huta” (Pamatang). Baru sesudah itu berkembang menjadi “Oeroeng” (sebagai pemekaran dari huta atau pamatang) oleh suatu marga (yang kemudian menjadi marga yang berkuasa atau yang

236 Ibid, hal.121.

Universitas Sumatera Utara

memerintah di suatu daerah tertentu). Karena faktor-faktor geografis, ditentukanlah batas-batas daerah kekuasaan dari masyarakat hukum adat itu.237

Dengan begitu, terjadilah hubungan yang mantap dan mendalam antara penduduk dan bumi di lingkungan daerah tersebut, terlebih lagi bagi generasi yang lahir kemudian. Hubungan dimaksud bertambah mendalam (ingat di Jerman: “blut und boden” dan di Indonesia “tanah tumpah darahku”). Dalam hubungan itulah, maka terbentuk akar alamiah hak ulayat (beschikkingsrecht) dari Marga tertentu atas daerah dalam lingkungan masyarakat hukumnya (beschikkingsrecht) yang tentu atau dengan sendirinya dilaksanakan (dikelola) oleh kepala persekutuan-persekutuan terkait (partongah/ partuanon/ parbapaan). Pada mulanya, seorang warga cukup memberitahukan kepada kepala persekutuan, bahwa yang bersangkutan ingin membuka ladang pertanian di suatu tempat (dalam lingkungan masyarakat hukumnya). Namun kemudian, dengan pertumbuhan jumlah penduduk, seorang warga harus minta ijin dari kepala persekutuan yang akan menunjuk sebidang lahan untuk dikerjakan si pemohon.

Di daerah Simalungun, para raja, pada awalnya hanya berkedudukan sebagai kepala Urung, sebagaimana telah kita lihat, berhasil menarik kekuasaan yang bersifat otokratis pada dirinya masing-masing dan ini telah berlangsung ratusan tahun. Namun persekutuan-persekutuan hukum dan lembaga-lembaganya (harajaan = bestuur) tetap dapat bertahan dan tidak dapat dihancurkan. Tuan Kooreman (Indische Gids 1914. I)238

Kesimpulan yang diambilnya :

“Tiap persekutuan tetap memiliki (mempertahankan) batas-batas daerahnya, pemerintahan, lembaga-lembaga “harajaan”-nya, yang terlahir dari hukum kodrat hak ulayat atas hutan-hutan belukar (woeste grond) dan tiap warga persekutuan berhak untuk mengelola hutan belukar milik persekutuan hukum, dan seterusnya. Telah kita lihat bagaimana Urung-urung (vazalstaatjes) dapat mempertahankan kedaulatannya (kebebasannya) dari kekuasaan para raja, juga terhadap hak ulayatnya atas tanah dan berbagai lembaga adatnya. Dalam banyak hal para raja itu digambarkan sebagai “despoten” sejati, khususnya terhadap para rakyatnya atau bawahannya yang diakui banyak terjadi. Namun bahwa para raja itu diposisikan sebagai pemilik-pemilik dari tanah belukar/ hutan-hutan, sebagaimana dicatat oleh

237 J.Tideman dalam Djariaman Damanik, Ibid, hal.122. 238 Djariaman Damanik, Ibid, hal. 123.

Universitas Sumatera Utara

Batakspiegel (hal. 28) dan juga “diadvokasi” (betogen) oleh banyak penulis-penulis (van Dijk, hal. 196), menurut pendapat Kooreman, adalah tidak benar sama sekali (J. Tideman). (Perkara tanah Silampuyang dengan Sumatera Rubber/ Marihat, tahun 1919). Van Dijk berkata demikian: bahwa sebenarnya “raja-raja itulah” yang jadi

pemilik dari hutan-hutan (woeste gronden), juga dari semua tanah (alle gronden). Sementara “de Batakspiegel” mengedepankan, bahwa sang raja malah mempunyai hak mencabut hak menguasai sawah dari seseorang, karena alasan kekurangan tanah, dan menyerahkannya kepada orang lain. Mungkin hal-hal serupa itu pernah terjadi, tetapi kejadian serupa itu tergolong sebagai “penyalahgunaan kekuasaan raja”.

Adatrechtbundel IX mencatat dengan singkat dan tegas: Adat Batak asli (murni) tidak mengenal sama sekali hak-hak publik (penguasaan) atas tanah, kecuali yang dimiliki oleh Stam/ Clan/ Marga dan berdasarkan kuasanya itu dilaksanakan oleh “Partongah” (Stamhoofd). Itulah sebabnya, maka setiap kaula atau warga persekutuan hukum adat bebas untuk memilih sebidang tanah di lingkungan hak ulayat persekutuan hukum bagi usaha pertaniannya, sedangkan seorang asing, harus terlebih dahulu meminta ijin dari “Partongah” (kepala persekutuan hukum), dan kemudian membayar sejenis “bunga tanah”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: penjualan tanah dilarang, dan jual gadai tanah hanya dapat ditolerir, namun jual gadai tersebut biasanya berujung pada jual beli tanah. Hak-hak “penduduk asli” sudah demikian menipis, sehingga orang yang menjual tanahnya karena pindah desa, tetap punya hak untuk menebus kembali tanahnya, dengan syarat bahwa ia tetap memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap desa walaupun ia sudah menjadi warga desa lain.

2. Masyarakat Hukum Adat Simalungun Sebelum membicarakan apa yang disebut dengan hak atas tanah adat

(Simalungun) perlu diketahui subjek239

239 Pasal 2 ayat (2) PMNA/KBPN No.5/1999, Kriteria adanya Hak Ulayat maka etnis Simalungun sebagai si Pukkah Huta Pakon si Mada Talun (Pembuka Kampung dan Pemilik Tanah Ulayat, Syamsudin Manan Sinaga, Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Simalungun, Makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat Simalungun, Fakultas Hukum Universitas Simalungun dan Yayasan Pelpem GKPS, Pematangsiantar, 15 Desember 2012.

dari hak tersebut yaitu masyarakat adat (persekutuan hukum adat). Dikenal 2 konsep besar yang sering diterjemahkan sama yaitu Indigenous peoples (pribumi) maupun tribal peoples (suku bangsa). Pada jaman Hindia Belanda terdapat istilah ‘inlanders’ yang diterjemahkan sebagai Bumi Putera berdasarkan Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling, dimuat dalam Staatsblad tahun 1855 Nomor 1 jo 2 yang membagi penduduk Hindia Belanda dalam golongan : Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putera. Penggolongan ini memperbaiki apa yang ada dalam Regelment op het beleid op Regering van Nederland Indie. Golongan pertama

Universitas Sumatera Utara

dan kedua tunduk pada sistem hukum Eropa sedangkan golongan Bumi Putera tunduk pada hukum adat mereka kecuali apabila diinginkan lain. Yang dimaksudkan adalah orang-orang setempat (inlanders, natives, indigenous) yang tunduk pada hukum adat mereka masing-masing.240

Pada awalnya Perserikatan Bangsa Bangsa mengartikan indigenous people sebagai:

“Descendents of those who inhabited in a country or a geographical region at the time when people of different cultures or ethnic region arrived, the new arrival later becoming dominant through conquest, occupation, settlement or other means” Yang dimaksudkan adalah kaum Indian di seluruh kawasan Amerika (dari Kanada sampai Chili), Maori di Selandia Baru, Aborigin di Australia dan suku Sami di Eropa Utara (Nordik). International Labour Organization mengadakan konvensi tentang indigenous people pada 1957, dan yang terakhir diperbaiki pada 1989 yang cakupannya lebi luas dari aspek ketenagakerjaan karena termasuk juga aspek-aspek : anti diskriminasi, perlindungan tradisi dan budaya. Pasal 1 (1.b) Konvensi International Labour Organization Nomor 169 Tahun 1989241

masyarakat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai bangsa pribumi yang penetapannya didasarkan pada asal-usul (keturunan) mereka di antara penduduk lain yang mendiami suatu negara atau suatu wilayah geografis di mana suatu negara terletak, pada waktu terjadi penaklukan atau penjajahan atau penerapan batas-batas Negara yang baru tanpa menilik pada status hukum mereka, dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka.

merumuskan bahwa Indigenous People adalah:

Hal ini diartikan bukan hanya kaum Indian, Maori, Aborigin dan Sami, namun juga tribal groups yang dalam konteks Indonesia termasuk ‘suku terasing’. Demikian juga pendapat dari Amnesti Internasional. Pasal 1 (1.a) Konvensi mengistilahkan tribal people sebagai :

240 Sandra Moniaga, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia:Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional & Masyarakat (Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1998), hal.135. Kosakata masyarakat adat juga merupakan sebutan tandingan terhadap berbagai sebutan yang merendahkan, seperti suku terasing, masyarakat terbelakang, dan perambah hutan, yang digunakan secara resmi oleh pemerintah, Arianto Sangaji, Kritik terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia dalam Jamie S.Davidson, David Henley, Sandra Moniaga, Adat Dalam Politik Indonesia, (Jakarta:KITLV, YOI, 2010), hal.347.

241 Sebutan masyarakat adat cenderung merupakan terjemahan dari indigenous people dan atau tribal people, sesungguhnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang dalam perbincangan internasional. ILO, sebuah badan antar pemerintahan dengan struktur tripartit yang terdiri atas perwakilan pemerintah, pengusaha-pengusaha nasional dan organisasi-organisasi buruh sudah menaruh perhatian dengan isu pekerja asli (indigenous worker) sejak 1920an. Sekitar tiga decade kemudian ILO memperkenalkan perjanjian pertama tentang “indigenous and tribal population” dikenal dengan konvensi ILO 107. Konvensi ini direvisi menjadi konvensi ILO 169 yang dikeluarkan pada tahun 1989 Kingsburry dalam Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniagra, Adat Dalam Politik Indonesia,ibid, hal. 348.

Universitas Sumatera Utara

“mereka yang berdiam di negara-negara merdeka di mana kondisi-kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di negara tersebut, dan yang statusnya diatur seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.”

Dari rumusan ini jelas terdapat warga Indonesia yang dapat dikategorikan baik sebagai indigenous maupun tribal people.242

Menurut peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Petanahan Nasional No.5 Tahun 1999 (PMNA/KBPN No.5 / 1999) tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1, angka (3), “Masyarakat Hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya, sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.”

Ada 4 (empat) elemen yang membentuk masyarakat adat tersebut, yaitu : a. Sekelompok orang yang masih terikat dengan spiritualitas nilai-nilai sikap dan

perilaku tertentu dan yang membedakan mereka sebagai kelompok sosial terhadap kelompok sosial yang lain.

b. Wilayah hidup tertentu yang di dalamnya ada tanah, hutan, laut dan SDA lainnya yang bukan semata-mata diperlakukan sebagai barang produksi sehari-hari (sumber mata pencaharian), tetapi menjadi bagian utuh dari sistem religi dan sosial budaya kelompok sosial tersebut.

c. Praktek-praktek yang berbasis pada pengetahuan (kearifan) tradisional yang terus menerus diperkaya / dikembangkan sesuai kebutuhan keberlanjutan hidup mereka.

d. Aturan dan tata kepengurusan hidup bersama (hukum dan kelembagaan adat) yang berkembang sesuai dengan sistem nilai bersama yang diterima dan berlaku di dalam kelompok sosial tersebut.243

Masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschap, Belanda) oleh pakar-pakar hukum adat Belanda pada umumnya diterima secara umum atau kenyataan di hampir

242 Stephanus Djuweng dan Sandra Moniaga, Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk. Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia? Kata Pengantar Konvensi International Labour Organization 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Berkembang, (Jakarta:ELSAM dan LBBT, 1994), hal.135.

243 Abdon Nababan, Masyarakat Adat Dalam Disain Hubungan Pusat-Daerah : Peluang dan Tantangan untuk mengembalikan otonomi asli komunitas adat, dalam P.Panggabean, Pemberdayaan hak MAHUDAT (Masyarakat Hukum Adat) Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, (Jakarta : Permata Aksara, 2011), hal.55. Pertanyaan Abdon tentang hal ini : lembaga mana yang sah mewakili masyarakat adat? Bagaimana mereka mendapatkan dan mempertahankan keabsahan tersebut? Bagaimana mereka menghasilkan keputusan yang mengikat ke dalam dan ke luar? Apakah pranata adat yang ada saat ini masih menyediakan norma dan mekanisme untuk menangani berbagai permasalahan yang muncul saat ini? Bagaimana keputusan-keputusan ini ditegakkan? Bagaimana posisi dan relasi komunitas adat ini dengan struktur administrasi Negara dan pihak-pihak luar non Negara seperti perusahaan atau Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP).

Universitas Sumatera Utara

seluruh Indonesia. Khususnya di daerah-daerah di mana hukum adat masih berlaku, dalam hal ini di Kabupaten Simalungun244

Sejarah sebelum dan sesudah pemerintahan Belanda berkuasa di Simalungun, kita mengenal Sistem Harajaan dalam pemerintahan (Zelfbesturende Landschappen = Swapraja) Raja Marompat, yang kemudian dimekarkan pada tahun 1907 menjadi Raja Napitu: Siantar, Tanah Jawa, Pane, Dolok Silau, Raya, Poerba, dan Silimakuta.

.

Potret susunan pemerintahan tradisional di kerajaan-kerajaan itu boleh dikatakan sama, sebagai contoh (sifatnya bertingkat dan berlapis):245

Harajaan Siantar dengan pemekarannya : Harajaan Bandar dan Harajaan Sidamanik berasal dari satu leluhur (Partiga-tiga Sipunjung), bermarga Damanik. Dalam hukum adat kedudukannya setaraf, juga mengenai pertanahan berkaitan dengan masyarakat hukum adatnya. Pembagian/ struktur pemerintahan Landschaap Siantar dan Distrik (Partuanon Bandar dan Sidamanik) di samping Siantar Proper, adalah ciptaan Pemerintahan Hindia Belanda dalam rangka uniformisasi/ restrukturisasi pemerintahan swapraja di Simalungun). Menurut hukum adat yang berlaku di Kerajaan Siantar, bertalian dengan “adatrecht-gemeenschappen”, terdapat Masyarakat Hukum adat yang bertingkat atau berlapis:

1. Lapis Atas: Urung Siantar

2. Lapis Tengah: Partuanon (Sipolha, Silampuyang, Dolok Malela, dan lain-lain)

3. Lapis Bawah: Huta (Naga Huta, Siantar)

Urusan pertanahan secara internal, cukup diselesaikan oleh Pemerintahan Huta atau Desa, namun apabila ada urusannya dengan pihak luar (bukan kaula/warga masyarakat hukum adat), maka diurus oleh lapis yang lebih tinggi, misalnya Pemerintahan Partuanon (Lapis Tengah). Bila urusannya tidak terselesaikan oleh Pemerintahan Partuanon, maka akhirnya diangkat persoalannya pada masyarakat hukum adat Lapis Atas, yakni Kepala Urung (Landschaap) atau pemerintahannya. Dengan demikian, ada semacam “check and balances” di antara pemerintahan masyarakat hukum yang berlapis-lapis itu.

Pertanyaan mungkin timbul lagi: “Kenapa di Simalungun terdapat masyarakat hukum yang berlapis itu?” Untuk dapat memberi penjelasan, menurut sejarah

244 Masyarakat Hukum Adat Simalungun adalah warga masyarakat asli Simalungun karena kesamaan tempat tinggal (territorial) dan atau atas dasar keturunan (genealogis) yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat Simalungun, Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat Simalungun, makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat Simalungun”, op cit.

245 Djariaman Damanik, Op Cit, hal.128.

Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan atau perkembangan kerajaan Partuanon masing-masing Urung (Landschaap). Misalnya, bagaimana sejarah pembentukan Harajaan Siantar, Bandar dan Sidamanik. Perlu diingat, Harajaan Siantar memiliki sejarah pembentukannya sendiri sejak asal mulanya sampai pada pemekarannya menjadi tiga urung (landschaap): Siantar, Bandar, dan Sidamanik.246

Partuanon Silampuyang yang bermarga Saragih, juga mempunyai sejarah pembentukannya yang khas. Partuanon Silampuyang menurut sejarahnya, lebih dahulu ada atau eksis, sebelum pembentukan atau pendirian Harajaan Siantar, kira-kira akhir abad XV.

Untuk pengetahuan lebih jelas, baik untuk dibaca: “Verhandeling tanah partuanon Silampuyang yang diberikan menjadi erfpacht Perkebunan Marihat oleh Raja Siantar, Tuan Riahkadim (Tuan Waldemar Damanik) pada tahun 1919”.

Pendirian Tuan Silampuyang bahwa, yang berhak menentukan status tanah dalam lingkaran masyarakat Hukum Adat Silampuyang adalah dirinya, bukan Raja Siantar semata-mata, akhirnya diakui atau dibenarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dahulu. Keputusannya : Perkampungan Silampuyang dan tanah-tanah keperluan rakyatnya dikembalikan sebagian kepada Tuan Silampuyang. Pertimbangannya dapat diduga, karena di Kerajaan Siantar berlaku Masyarakat Hukum Adat berlapis. Jadi, berbeda masyarakat hukum adat di Siantar dengan di Tapanuli.

Di Siantar, hampir sama dengan masyarakat hukum adat yang ada di Penyabungan dan di Sipirok, berbeda dengan masyarakat hukum adat di Toba, yang titik sentralnya (heavy-nya) berada di Huta atau Desa.

Dalam perkembangan terakhir, kadang-kadang Huta pun tidak lagi merupakan Masyarakat Hukum Adat di Simalungun. Jadi yang tinggal kemudian adalah Masyarakat Hukum Partuanon (Parbapaan) dan masyarakat Hukum Urung (landschaap) atau Partuanon Banggal.

3. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun Menurut Hukum Adat Simalungun, pada mulanya pemilikan tanah adalah hak

milik Marga yang dikuasai oleh Raja dari salah seorang anak keluarga marga tersebut. Rakyat hanya mempunyai hak pakai (hak massamod) disebut: “Galunggung”.

Hak massamod (Galunggung) bagi rakyat berlaku turun-temurun dan dapat diwariskan, juga dapat dijual. Sebenarnya Kabupaten Simalungun yang penduduknya

246 Ibid, hal.129.

Universitas Sumatera Utara

etnis Batak, berada di Pantai Timur Sumatera Utara ini sangat berbeda dengan daerah Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan maupun Karo247

Penduduk dapat membuka perladangan/persawahan dengan sekuat kemampuannya dengan ketentuan tanaman keras di atas tanah tersebut adalah milik Marga oleh salah seorang Raja dari marga tersebut. Sebagai Pemerintah tertinggi di wilayahnya masing-masing penduduk diwajibkan mendapat persetujuan dari Raja untuk massamod yang baru dan setiap penjualan hak massamod dari rakyat kepada orang lain harus diketahui oleh Raja, untuk itu yang bersangkutan memberikan suatu pertanda berupa hasil dari atau peliharaan atau uang tunai (tidak ada ketentuan).

.

Masyarakat adat Simalungun adalah masyarakat Batak Simalungun di wilayah Kabupaten Simalungun yang berprinsip Tolu Sahundulan Lima Saodoran (kedudukan nan tiga, barisan nan lima, Tondong, Sanina, Suhut, Anak Boru Jabu, Anak Boru Mintori).

Hak bersama atas tanah disebut “rahatan ni huta”. Rahatan ni huta termasuk juga hutan yang berdekatan dengan kampung, dimana kayu-kayunya tidak boleh diambil oleh penduduk kecuali untuk keperluan kampung itu umpamanya untuk balai desa, lumbung desa.248

Pada mulanya ada beberapa fase yang dilalui untuk dapat mengusahakan sebidang tanah yaitu:

a. Fase penebangan kayu

Pada fase ini ditentukan waktunya, kemudian pembakarannya dan pada saat ini melekatlah suatu hak atas pemakaian tanah, yaitu ladang yang disebut “juma tombakan”.

b. Fase dimana ladang yang dipakai untuk tahun kedua, ketiga disebut “gas-gas”.

Gas-gas adalah tanah yang tidak produktif (unsur haranya habis). Gas-gas

kebalikan dari “juma roba” (hutan yang masih perawan, sangat subur karena

belum pernah ditanami).

c. Fase untuk pertama kalinya ditinggalkan gas-gas tadi, disebut “bunga talun”

sedangkan apabila ditinggalkan untuk kedua kalinya disebut “talun”(Tanaman

247 Moshedayan Pakpahan, Tanah Adat di Daerah-Daerah Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 1998), hal.6.

248 Hasil wawancara pra penelitian dengan salah seorang tokoh adat.

Universitas Sumatera Utara

yang tidak ada di suatu tempat tetapi hanya di satu talun). Bunga Talun ada di

daerah Gulting, Sondi Raya.

d. Perladangan yang karena ditinggalkan, tapi masih ada di atasnya tanam-tanaman

muda, disebut “galunggung” (bukit-bukit, perladangan).

Hak memperusahai / memakai atas tanah ini melekat apabila terus-menerus dikerjakan. Dalam waktu 2 (dua) tahun berturut-turut tidak dikerjakan maka hak itu “kembali” kepada Penghulu/Kepala Adat, yang kemudian dapat memberikannya kepada orang lain yang memerlukannya. Sebagai catatan, bahwa tanaman-tanaman keras biasanya tidak boleh ditanami di sini, agar pada waktunya (secara rotasi) dapat kembali berladang ke daerah kawasan hutan perkampungan ini, kecuali di tepi gubuk ladang (sopou juma). Dalam hal perladangan tersebut oleh Penghulu diberikan kepada orang lain, oleh karena pemegang hak pakai semula tidak memerlukannya, maka tanam-tanaman keras tadi (biasanya pohon durian dan petai) oleh si pemakai yang memperoleh kemudian itu, harus membersihkan sekeliling tersebut jelasnya lingkungan tanaman-tanaman itu tidak turut boleh diperladanginya, istilah dalam bahasa Simalungun “i-salagsagi”.

e. Tempat tanaman-tanaman keras disediakan di luar pagar disebut ”partoguh”

atau “bidei” dari perkampungan dan tempat ini disebut “pohon” diberi ganti

kerugian.

f. Hak “Panunggu” atau “Pangayakan” hanya terdapat pada tanah sawah yaitu

tanah sebelah kiri dan kanan sawahnya ditambah bagi orang yang bersawah

paling ujung ialah tanah sebelah hulunya.

g. 1) “Rahatan ni Huta”, hutan yang berdekatan dengan kampung (merupakan hak

bersama atas tanah).

2) “Hak Parjalangan sahuta” yaitu tempat penggembalaan hewan. 3) “Hak bong-bongan sahuta” : kolam tempat mengambil ikan. 4) “Hak Panambunan sahuta” yaitu pekuburan bersama. Adakalanya

pengemuka masyarakat di kampung itu dikuburkan atau menyediakan terlebih dahulu bangunan kuburannya di “pohonnya”. dan cara ini

Universitas Sumatera Utara

dibolehkan, mengingat status tanah “pohon” itu dikerjakan secara turun-temurun. 249

Sekali lagi kalau diurutkan “Hak Tanah” menurut Hukum Adat Simalungun adalah sebagai berikut:

1. Hak Tombakan

2. Hak Gas-gas

3. Hak Bunga Talun

4. Hak Talun

5. Hak Pohon

6. Hak Panunggu

7. 1) Hak Rahatan ni Huta

2) Hak Parjalangan

3) Hak Bong-bongan Sahuta

4) Hak Panambunan Sahuta

Jadi Hak Atas Tanah Adat yang terdiri atas Hak Ulayat dan hak perseorangan atas tanah (adat) di Kabupaten Simalungun masih eksis250

Berikut ini bukti bahwa masih terdapat objek hak ulayat (tanah atau yang dipersamakan dengan tanah,misalnya: tano reben, tano roba, harangan, parmahanan, parjalangan sahuta, parsinumbahan / pamelean, bong-bongan sahuta, dan lain-lain, juga masih terdapat subjek hak ulayat yaitu “huta” dan “marga”, seperti di bawah ini :

, Meskipun dari segi objek (adanya bong-bongan sahuta, tapian, juma na bolak, dan lain-lain). Masyarakat Hukum Adat masih ada tapi “lemah”, ditandai dengan adanya pimpinan adat dalam acara-acara ritual seperti pesta, Hukum Adat Simalungun juga masih dipakai meskipun di sana-sini sudah mengalami pergeseran (pen).

1) Bong-bongan sahuta

249 Jahutar Damanik, Jalannya Hukum Adat Simalungun, (Medan: PD Aslan, 1974), Hal.23. 250 Rosnidar Sembiring, Keberadaan Hak Ulayat di Kabupaten Simalungun, tesis, (Medan : PPS USU,

2001), hal. 16. Bahwa menurut PMNA No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat : Harus ada subjeknya (Masyarakat Hukum Adat), Objeknya (Tanah dan yang dipersamakan dengan Tanah), Hubungan Subjek dan Objek tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 8 : Bong- Bongan Sahuta Bong-Bongan Sahuta adalah kolam ikan bersama, berawal dari Parawangan ni

Horbou ( tempat pemandian kerbau), kemudian melebar terus sehingga menjadi Bong-bongan , oleh warga karena dia hanya mengandalkan air hujan dan pintu keluar air pun tidak ada, maka dimanfaatkan untuk menanam benih ikan sehingga jika tiba masa kemarau panjang, airnya akan menjadi surut, saat itulah warga setempat “mandurung”, mananggok/ mengambil ikan. Saat ini oleh Huta, dibuat sebagai tempat pemancingan ikan, uang pemasukannya dimasukkan menjadi kas desa/Huta. Ini terdapat di Huta Kampung Baru, desa Dolog Huluan, kecamatan Raya dan dusun Baringin Raya, kelurahan Pam.Raya. Luas Bong-bongan itu ± 15 rantai (6000 meter) sedangkan daratannya ± 5 rantai (2000 meter) jadi luas keseluruhan 8000 meter yang merupakan milik Huta

2) Parmahanan

Universitas Sumatera Utara

Gambar 9 : Parmahanan Huda pakon Horbou Tuan Damak Raya. (Parmahanan/penggembalaan kuda dan kerbau milik Tuan Damak/Pangulu Damak). Parmahanan adalah tempat penggembalaan hewan seperti kerbau dan kuda.

Gambar 10 : Horbangan

(Horbangan/Pintu masuk ke Parmahanan). Gambar di atas adalah horbangan/harbangan yaitu pintu masuk ke Parmahanan Damak Nagori Siporkas kecamatan Raya kabupaten Simalungun. Gambar 11 : Tempat merawat hewan (kuda / kerbau). Parmahanan lebih “sistematis”, terawat / rapih daripada Parjalangan Sahuta.

3) Parjala

ngan

Sahuta

Universitas Sumatera Utara

Gambar 12 : Parjalangan Sahuta Parjalangan Sahuta hampir sama dengan Parmahanan : sama-sama tempat

penggembalaan ternak. Hanya bedanya dalam Parmahanan lebih terawat, mempunyai sistem, sedangkan dalam parjalangan sahuta tidak terawat, bebas. Sama-sama memiliki pintu yang disebut “horbangan”. Yang memiliki parjalangan sahuta adalah Huta. Sipukkah horbangan disebut “si jolom horbangan”. Sistem ini diterapkan dalam hukum perkawinan adat, yang membuka pintu adalah “para pemuda”, biasanya diberi sirih/demban. Ini terdapat di daerah/dusun Mappu, Nagori Siporkas, kecamatan Raya.251

4) Parsinumbahan

Gambar 13 : Parsinumbahan / Pamelean

Parsinumbahan adalah tempat penyembahan masyarakat sebelum adanya agama berupa “pohon yang sangat besar”, luasnya ± 4 rantai (5000m), di dalamnya saat ini masih terdapat patung-patung yang disembah dulu, yang disebut “pamelean”. Parsinumbahan (pamelean) ini terdapat di Siloting. Parsinumbahan adalah milik Marga (Saragih Garingging).

5) Paridian ni Raja

251 Observasi dan hasil wawancara dengan Ernawati Br Purba, 27 Januari 2013 di dusun Mappu Nagori Siporkas kec.Raya, Gamotnya bernama Dedy Saragih Garingging (35 tahun), memiliki 6 ekor kerbau yang

Universitas Sumatera Utara

Gambar 14 : Paridian ni Raja Paridian ni Raja Raya (Tuan Rondahaim Saragih Garingging).

Ada 2 (dua) tempat, masing-masing punya pintu masuk untuk laki-laki dan perempuan, beserta umbul ni bah (mata air) dari sebuah batu, terletak di Aman Raya Kelurahan Pematang Raya, kecamatan Raya. Pancurannya sudah diubah semula bentuk bambu sekarang menjadi bentuk pipa besi. Sebagai bukti sejarah, tempat pemandian umum (dalam hal ini meskipun umum, yang berhak masuk hanyalah marga-marga Garingging, karena pemiliknya adalah Marga (Saragih Garingging) (Keturunan Raja Rondahaim) oleh Pemkab Simalungun sudah direnovasi, di atasnya ada Parsinumbahan juga Pamelean yang sudah dibeton. Ketika ada acara besar/acara adat seperti Rondang Bittang, sebelum pembukaan acara tersebut, biasanya Bupati beserta jajarannya “maranggir” (mandi dengan menggunakan air jeruk purut).

Ada yang disebut istilah dalan ni bah : jalan ke pemandian seperti gambar berikut ini;

Gambar 15 : Dalan ni Bah Kemudian Pinggir ni bah : tepian sungai Umbul ni bah : mata air seperti gambar berikut ini ;

berkandang di belakang rumahnya. Dari jam 12.00-17.00 setiap hari “ngangon”/ngurusi kerbaunya, kerbau-kerbau tidak akan dikeluarkan jika di desa tersebut ada “pesta”.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 16 : Umbul ni Bah

Jika musim kemarau, debit airnya tetap sehingga bisa digunakan untuk sumber air penduduk setempat. Airnya sangat jernih seperti air AQUA. Paridian ni Raja Raya ini merupakan hak milik komunal marga (marga Saragih Garingging).

6) Losung

Losung atau lesung adalah tempat menumbuk padi, terletak pada “martokkarang”/sopou/ rumah panggung : inganan ni losung (tempat losung) terdiri dari 4 (empat) tiang tetapi tidak menggunakan paku (hanya dipahat), ada gambar tulisan dari Raja Sulaiman. Atapnya terbuat dari ijuk (arribut) sekarang sudah diganti “seng”. Keempat tiang tersebut terbuat dari kayu pokki (sama seperti kayu pembuatan losung).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 17 : Martokarrang / Sopou : rumah panggung tempat losung berada. Gambar 18 : Losung Jantan.

Losung ini dibentuk / dipahat dari kayu pokki, mempunyai kepala layaknya (menyerupai) manusia. Ini adalah losung berjenis kelamin “jantan”252

Gambar 19 : Losung Betina

kelihatan dari bentuk telinganya yang lebih panjang. Losung-losung ini terletak di huta Sambual desa Nagori Raya Bayu. Di desa ini terdapat 27 kepala keluarga (KK) berjarak 8 km, dengan medan (area) yang sulit dicapai. Losung ini sudah berusia ± 100 tahun lebih terdiri dari 14 (empat belas) lubang (jantan maupun betina), dan terbuat dari kayu pokki. Tinggi losung ± “satohot” (1 lutut).

Ini adalah losung berjenis kelamin betina, mempunyai lubang juga berjumlah 14 (empat belas), yang membedakannya hanya telinga, telinga losung betina lebih pendek sementara telinga losung jantan lebih panjang, sedangkan mata & hidung sama.

252 Wawancara yang sudah diolah bersama Marsen Saragih , 5 Desember 2012.

Universitas Sumatera Utara

Menurut sejarahnya, pembuatan losung dikerjakan di hutan, kayunya adalah kayu pokki, setelah selesai dikerjakan, secara gotong-royong ditarik dengan menggunakan roda oleh masyarakat dan diiring nyanyian “aloi-aloi”. Andalu / alu : alat penumbuk dimiliki oleh masing-masing warga , panjangnya ± 2 atau 3 m. Losung ini mempunyai nilai “magisch” diyakini warga jika ada yang berniat tidak baik, misalnya mencuri maka ia tidak akan bisa keluar dari desa tersebut.

Biasanya yang ditumbuk pada losung tersebut adalah : padi, kopi, bumbu-bumbu masakan jika ada pesta, dan hasil yang ditumbuk pada losung tersebut terasa lebih wangi serta tidak mengurangi kadar gizinya jika dibandingkan dengan jika ditumbuk/digiling dengan menggunakan mesin. Ada kebiasaan (adat) masyarakat setempat, jika ingin memakan daging ayam, maka ayamnya tidak boleh dibawa dari luar (luar desa tersebut), harus ayam dari daerah / huta Sambual, tujuannya untuk mencegah warga dari berbagai penyakit, seperti penyakit flu burung pada hewan. Jika pun dijual, harganya akan lebih mahal, padi atau kopi yang ditumbuk pada losung tersebut daripada jika padi dan kopi itu digiling dengan menggunakan mesin.

4. Hak Atas Tanah Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional a. Hak Atas Tanah Adat dalam UUD RI Tahun 1945 beserta kritikan

terhadapnya : Undang-undang Dasar 1945 meletakkan dasar Politik dan Hukum Tanah

Nasional yang dimuat dalam : 1) Pasal 33 ayat (3)nya yaitu : “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”

Ketentuan ini bersifat imperatif, yaitu mengandung perintah kepada Negara, sehingga tujuan dari penguasaan oleh Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pada tahun 2000, dilakukan amandemen yang kedua terhadap UUD 1945 yang menghasilkan klausul baru mengenai masyarakat adat. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28 I Ayat (3) hasil amandemen yaitu : 2) Pasal 18 B Ayat (2) : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

Universitas Sumatera Utara

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.”

3) Pasal 28 I Ayat (3) : “Identitas budaya dan hak tradisional dihormati selaras

dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Pada awal era Pasca- Soeharto, memang terjadi perubahan mendasar untuk melindungi masyarakat adat. Pasal 18 B ayat (2) Bab VI UUD RI Tahun 1945 yang sudah diamandemen pada tanggal 18 Agustus 2000 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormarti kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Tahun 2001, TAP MPR menyatakan bahwa hak masyarakat tradisional dihormati sebagai hak asasi manusia, akan tetapi , perubahan-perubahan ini belum memberikan arti apa-apa bagi masyarakat adat di lapangan. Dalam berbagai sengketa sumber daya alam, masyarakat selalu kalah, berhadapan dengan perselingkuhan antara pemodal dan aparat Negara253

b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan kritikan terhadap UUPA :

.

Baru pada tanggal 24 September 1960, Pemerintah berhasil membentuk Hukum Tanah Nasional yang dituangkan dalam UUPA, UUPA melaksanakan ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sesuai dengan tujuan di undangkannya UUPA tersebut. Ketentuan mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 UUPA yaitu :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.”

Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, artinya bila kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat masyarakat hukum adat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Hak Milik atas tanah adat (yang asli), karena belum tuntas pengaturannya, belum terlayani persertifikatannya, diragukan kepastiannya karena berdasarkan ada tidaknya sertifikat tanah, pemilik tanah adat digusur

253 Arianto Sangaji, Kritik terhadap gerakan masyakat adat di Indonesia dalam Jamie S. Davidson, op cit, hal 355.

akibat pendatang baru pemegang HGU, HGB atau hak pakai (HP) bahkan hak pengelolaan.

Universitas Sumatera Utara

Polemik UUPA dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (sudah diganti menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

1. Adanya perbedaan pandangan tentang pelimpahan kewenangan bidang agraria/pertanahan kepada daerah. a. Pelimpahan kewenangan berdasar Pasal 2 ayat (1) UUPA 1960, yang

mengatur bahwa hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dilaksanakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Realisasi pelimpahan kewenangan, dalam bentuk medebewind, sebab persoalan agraria pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat.

b. Penyerahan kewenangan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, mengatur bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah dan kota adalah semua kewenangan pemerintah, termasuk bidang pertanahan kecuali yang ditentukan Pasal 7 dan 9.254

2. Pendapat yang menginginkan hanya kewenangan tertentu/terbatas saja yang dilimpahkan pada daerah. Pasal 2 ayat (4) UUPA menegaskan, bahwa hak menguasai negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat

255 apabila diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sedangkan Pasal 11 UU Nomor 22 Tahun 1999 menentukan bahwa semua kewenangan bidang agraria / pertanahan harus diserahkan kepada daerah.256

UUPA sendiri memang mengakui adanya hak ulayat dengan pembatasan mengenai eksitensi dan pelaksanaannya, tetapi UUPA tidak memberi penjelasan tentang hak ulayat itu kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan hukum adat. Juga UUPA tidak memberikan kriteria dan eksistensi hak ulayat.

254 Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyebutkan, dengan diberlakukannya undang-undang ini maka pada prinsipnya seluruh kewenangan berada pada daerah kabupaten dan kota. Penyerahan kewenangan tersebut, tidak perlu dilakukan secara aktif melainkan cukup melalui pengakuan saja.

255 Menilik namanya, objek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja, dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah. Objek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui Undang-Undang sektoral, untuk memenuhi menjawab permasalahn-permasalahan yang belum diatur UUPA, Maria S.W Sumardjono, Kedudukan Hak Ulayat dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, makalah. Materi Kuliah Hukum, hal.1.

256 Yusriyadi, Industrialisasi & Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hal. 179-181.

Universitas Sumatera Utara

Pemberian tempat kepada hukum adat di dalam UUPA dapat ditemukan dalam Pasal 2 Ayat (4), 3, 5, 22 Ayat (1), 56, 58257

Dengan mengakui hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional, berarti mengakui lebih dari satu tatanan hukum tanah, ini menandai adanya konsepsi pluralisme hukum (sesuai dengan kerangka teori yang dipakai dalam disertasi ini). Pluralisme hukum disini bukan merupakan suatu antinomi antar pluralisme hukum dengan unifikasi hukum, melainkan interaksi antara sistem hukum yang saling berbeda mengikuti pendapat. Setelah memahami konsepsi Hak Atas Tanah UUPA, disebut hak atas tanah

.

menentukan penggunaan tanah, bukan penggunaan tanah mengarahkanSecara langsung ataupun tidak langsung alam pikiran hukum barat mempengaruhi rumusan ketentuan-ketentuan dalam UUPA yang merupakan rumusan kompromistis

hak tanah, justru seperti diperintahkan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA.

258 secara lengkap atau sebagian untuk sementara atau selamanya, sehingga meragukan kemurnian UUPA yang secara formal dikatakan Hukum Adat adalah dasar UUPA, sehingga hak atas tanah yang strategis dan terkait dengan banyak aspek, dirumuskan memberi wewenang untuk menggunakan dan menentukan pemanfaatan, rumusan ini berdasarkan Hukum Barat (setidaknya berorientasi kepadanya), bukan berdasarkan dan berorientasi kepada Hukum Adat.259

Hak atas tanah itu berorientasi pada

eigendom yang merupakan hak privat, dimana benda di atas tanah seperti rumah, melekat pada tanah. Maka aspek penggunaan mengikuti aspek penguasaan. Hal itu dalam pelaksanaan UUPA menimbulkan banyak permasalahan hak atas tanah apapun yang bersifat privat menentukan penggunaan tanah yang bersifat publik, sehingga menyebabkan pemanfaatan tanah tidak terarah untuk mewujudkan kemakmuran bersama.260

c. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Secara jelas nampak pada Pasal 9 Ayat (1) : “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”.

257 Yulia Mirasuti, Konflik-konflik Mengenai Tanah Ulayat, op cit, hal. 88. 258 Soedjarwo Soeromihardjo, Mengkritisi Undang-Undang Pokok Agraria, Meretas Jalan Menuju

Penataan Kembali Politik Agraria Nasional, (Jakarta: Cerdas Pustaka, 2009), hal.139, lihat juga AP Parlindungan, Kapita Selekta Hukum Agraria, (Bandung:Alumni, 1981), hal.167, dan perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, ketika UUPA dibicarakan ternyata banyak hal yang dapat diungkapkan bahwa produk Undang-undang itu sebagai suatu kompromi yang maksimal yang dapat dicapai.

259 Menurut Penelitian Soedjarwo Soeromihardjo, pada saat penyusunan UUPA suasana kebatinan masih berpikir Belanda, walaupun sudah ada kehendak untuk meninggalkannya dan berpikir Indonesia.

260 Akibatnya menghasilkan kawasan hutan yang tidak berhutan (jutaan hektar), perkebunan yang tidak merupakan kebun karena tidak diusahakan (jutaan hektar), tanah perkotaan tidak memperhatikan kepentingan lingkungan, tumbuhnya hutan beton ke samping dan ke atas yang akhirnya mengganggu resapan air dan menjadi banjir, juga perubahan iklim (menipisnya lapisan ozon).

Universitas Sumatera Utara

d. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria/ Kepala BPN) No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 1) Dalam Pasal 1 Angka 1, pengertian hak ulayat, yaitu :

“Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertrentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan” UUPA tidak memberikan kriteria khusus mengenai eksistensi hak ulayat itu, namun menurut pandangan dari Mahadi yang menyebut bahwa masyarakat hukum adat inhern dengan adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima, tidak adanya masyarakat hukum adat berarti tidak adanya hak ulayat itu.261

2) Pasal 2 Ayat (1) :

“Pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat”

3) Pasal 2 Ayat (2) : Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : 1). Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum

adatnya sebagai warga bersama satu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menetapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

2). Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup pada warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

3). Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut artinya harus ada subjek (masyarakat hukum adat), objek (tanah atau yang dipersamakan dengan tanah), hukum adat dan hubungannya antara Subjek (hak ulayat/ dan Objek (hak ulayat).

261 A.P. Parlindungan dalam Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2011), hal. 122.

Universitas Sumatera Utara

e. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

1) Dalam Pasal 5 Ayat (3) : “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”

2) Dalam Pasal 6 Ayat (1) : “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.”

3) Dalam Pasal 6 Ayat (2) : “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.

f. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUPK) dan kritikan

terhadap UUPK : 1) Pasal 1 huruf f : “Hutan adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah

masyarakat hukum adat”. 2) Pasal 4 ayat (3) : “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak

masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

3) Dalam Pasal 5 Undang-undang tersebut mengatur tentang status hutan sebagai berikut : 1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari

a). Hutan Negara b). Hutan Hak

2. Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

3. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

4. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.

Artinya hutan adat, hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lain dinyatakan sebagai hutan negara. Menurut Pasal 1 Nomor 4 Undang-undang ini “hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”. Tanah yang tidak dibebani hak atas tanah adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut dengan tanah negara/ tanah bebas. Akibatnya,

Universitas Sumatera Utara

negara dapat memberi tanah bebas itu dengan suatu hak kepada suatu subjek hukum. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap objek hak ulayat, sehingga objek hak ulayat menjadi lenyap. Hal ini menjadi salah satu sebab timbulnya konflik agraria yang berkepanjangan. 4) Pasal 34 : “Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada :

(a) masyarakat hukum adat; (b) lembaga pendidikan; (c) lembaga penelitian; (d) lembaga sosial dan keagamaan”.

5) Pasal 37 ayat (1) : “Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya”.

6) Pasal 37 ayat (2) : “Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya”.

7) Pasal 67 ayat (1) : “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku

dan tidak bertentangan dengan Undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”.

Kemudian diatur kriteria mengenai suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, yaitu jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain :

a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschap); b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati

d. Masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Penetapan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat tersebut sebaiknya diterangkan dalam Peraturan Daerah dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pihak ahli hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, tokoh masyarakat yang bersangkutan, serta instansi dari pihak lain yang terkait.262

262 Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta:LPHI,2005), hal.129

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tidak secara jelas mengakui hak para warga masyarakat hukum adat untuk membuka hutan ulayatnya dan mengusahakan tanah bekas hutan yang dibukanya. Kata-kata yang digunakan adalah hak masyarakat hukum adat untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku, yang secara tegas disebut terbatas pada mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pernyataan dalam Pasal 68 Undang-Undang ini, setiap orang, jadi bukan hanya warga suatu masyarakat hukum adat saja, berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penerapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dinyatakan, bahwa Pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya. Namun demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tidak memberikan solusi mengenai penyelesaian masalah hilangnya hak masyarakat hukum adat263

8) Pasal 67 Ayat (2) : “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

yang hutan ulayatnya selama orde baru diberikan kepada para pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Bahwa dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan oleh pemegang HPH, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas hak ulayat itu “dibekukan”, kenyataannya dihapuskan. Pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya oleh warga masyarakat hukum adat yang ada di belakang rumahnya, yang semula menurut ketentuan hukum adat merupakan haknya, tanpa izin pemegang HPH, menjadi suatu tindak pidana.

9) Pasal 67 Ayat (3) : “Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Proses peminggiran terhadap hak-hak masyarakat lokal diyakini sudah terjadi sejak lama dan secara turun-temurun, dimana mereka telah menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan yang ada di sekitarnya. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, mereka telah turun-temurun menggantungkan hidupnya dari hutan, telah menjadi masyarakat asing di tanah kelahirannya / leluhurnya sendiri. Dampak yang jelas-jelas terjadi pada masyarakat sekitar hutan sekurang-kurangnya dapat berwujud :

263 Disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah. Maria S.W Sumardjono, Harmonisasi kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, makalah, Materi kuliah hukum Sumber Daya Alam, hal.2.

Universitas Sumatera Utara

a. Peminggiran secara ekonomis yang berwujud : masyarakat lapar tanah (tuna kisna) karena 80%264 tidak memiliki tanah dan hanya tergantung pada pekerjaan mencari rencek / kayu bakar yang semakin sulit untuk mengimbangi tingginya harga bahan kebutuhan pokok, langkanya pekerjaan265

b. Peminggiran secara sosial yang berwujud terputusnya akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya, sehingga sering dikeluhkan mahalnya biaya trasnportasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain.

dan terbatasnya keahlian yang memaksa mereka hanya tergantung pada hutan di tengah semakin sulitnya bercocok tanam di tengah hutan. Masyarakat miskin atau kantong-kantong kemiskinan di sekitar kawasan hutan yang terus-menerus bertambah, sedangkan lapangan pekerjaan di sekitar hutan sangat tergantung pada musim menanam, musim tebang, dan lain-lain.

c. Peminggiran secara politis yang berwujud tidak pernah terserapnya aspirasi politik masyarakat dalam kegiatan demokrasi.

d. Peminggiran secara kultural yang berwujud ketertinggalan dari berbagai bentuk informasi ke arah perubahan yang lebih positif.

Dampak langsung berwujud banyaknya kasus penjarahan hutan jati, penguasaan secara massal tanah kawasan hutan Perhutani, pembabatan secara massal tanaman jati muda.266

g. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.

Dalam Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup sub ke 2 : “Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemeliharaan lingkungan hidup melalui pendekatan keagamaan, adat, dan budaya.

h. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Hukum Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat dikeluarkan pada tahun

2001 melalui Ketetapan MPR Republik Indonesia No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pasal 4 TAP MPR No.

264 Subadi, Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan, (Jakarta: PT Prestasi Pustakarya, 2010), hal.134.

265 Pekerjaan menanam dan tebang kayu, hanya bersifat musiman yang tidak bisa dijadikan handalan dalam penopang hidup Rumah tangga yang permanen.

266 Subadi, ibid, hal.135.

Universitas Sumatera Utara

IX/MPR/2001 tersebut menentukan antara lain dalam sub j : “Mengakui, Menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/ sumber daya alam”

Pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat terdapat dalam berbagai peraturan termasuk Peraturan Daerah (PERDA) yang menggunakan landasan hukum yang berkaitan dengan kewenangan pembuatan Perda maupun landasan hukum yang berkaitan dengan materi yang diatur dalam Perda tersebut. Contoh beberapa daerah yang mengatur tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat adalah Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Ulayat Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy : Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat. Daerah yang sedang membuat Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Tobelo, Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Halmahera Utara267

.

i. Undang-undang No. 22/2009 tentang Minyak dan Gas Bumi serta kritikan terhadapnya.

1) Pasal 34 Ayat 1 : “Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

2) Pasal 34 Ayat 2 : “Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara : (a) jual beli, tukar-menukar, ganti-rugi yang layak; (b) pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau

pemakai tanah di atas tanah negara”. 3) Penjelasan Pasal 34 Ayat (2) : “Yang dimaksudkan dengan pengakuan dalam

ketentuan ini adalah pengakuan atas adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat yang bersangkutan”.

Pengaturan perundang-undangan dalam bidang energi dan sumber daya mineral di Indonesia juga mengalami beberapa kali pengaturan. Pertama kali Undang-undang yang mengatur bidang pertambangan adalah Undang-Undang No. 10 Tahun

267 Adonia Ivonne Laturette, Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional, disertasi, (Surabaya : Unair, 2011), hal. 131.

Universitas Sumatera Utara

1959 tentang Pembatalan Hak-hak Pertambangan. Kemudian pada tahun 1961, diundangkan Undang-Undang No. 11 tahun 1961 tentang Tambahan Atas Lampiran Undang-undang No. 10 Tahun 1959, dengan pertimbangan masih ada hal-hal pertambangan yang diberikan sebelum tahun 1949 dan hingga tanggal 25 April 1959 tidak atau belum dikerjakan serta masih termasuk dalam daftar hak-hak pertambangan yang dibatalkan. Kemudian pada tahun 1967 regulasi pertambangan diperkuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sampai sebelum memasuki Tahun 1971, segala bidang usaha pertambangan menggunakan Undang-undang No. 11 Tahun 1967. Barulah pada tahun 1971 dibentuklah Undang-undang yang lebih spesifik yaitu Undang-undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang kemudian dicabut dengan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi268

Kritikan terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 2009/ Undang-undang Minerba ini sebagai pengganti Undang-undang No. 11 Tahun 1967 itu tak ubah seperti ular berganti kulit. Undang-undang ini dinilai sarat dengan kepentingan melindungi perusahaan tambang, pemegang Kontrak Karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, sehingga makin melenggangkan sistem keruk cepat dan jual murah bahan tambang Indonesia.

. Perkembangan terbaru dalam bidang pertambangan mineral dan batubara adalah telah diundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-undang Minerba) yang efektif sejak 12 Januari 2009.

269

Menurut Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), setidaknya ada 6 (enam) masalah yang utama dalam Undang-undang Minerba :

1. Tidak ada peluang untuk melakukan kaji ulang dan negosiasi terhadap

Kontrak Karya

2. Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara ini menguatkan ego sentral, melalui lahirnya Wilayah

Pertambangan

3. Undang-undang ini tidak menempatkan pentingnya menjaga dan

melindungi perairan pesisir laut

268 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum (Yogyakarta : Pusaka Yustisia, 2010), hal. 34.

269 Ibid, hal. 53-54

Universitas Sumatera Utara

4. Undang-undang ini menggunakan pendekatan administratif dalam proses

perijinannya sehingga tidak efektif untuk menangani dampak pencemaran

lingkungan\

5. Mempercepat kerusakan sarana dan prasarana umum karena Undang-

undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

membolehkan untuk dimanfaatkan menjadi Sarana Pertambangan

6. Terjadi Kontradiktif dengan Undang-undang Lingkungan Hidup yang

mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan

gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan270

Menurut hasil survei tahunan konsultan independen Pricewaterhouse Cooper (PwC) terhadap sektor pertambangan Indonesia, Undang-undang Minerba dinilai memperburuk iklim investasi. Hasil ini disampaikan Technical Advisor PwC bidang pertambangan Saeha Winzenried

271

Survei juga menyebutkan Undang-undang Minerba merupakan kemunduran dibandingkan sistem Kontrak Karya dan menghambat perkembangan sektor pertambangan dan peraturan kehutanan, duplikasi dan kontradiksi antara peraturan pemerintah pusat dan daerah serta ketidakadilan divestasi kepemilikan asing dan penutupan tambang dinilai merugikan pebisnis. Banyak proyek dan rencana investasi pertambangan yang dijadwalkan mulai tahun ini tertunda, akibat sistem KK diganti. Kendati industri pertambangan mencatat hal keuangan yang bagus ketika lojakan harga komoditas pada 2007 & 2008, pengeluaran eksplorasi untuk proyek baru sangat rendah. Pemerintah bahkan gagal menarik investasi baru pada masa keemasan harga komoditas sebab masalah yang menghambat investasi baru sulit diselesaikan.

270 Ini menimbulkan masalah bagi masyarakat adat yakni : 1. Hak veto mereka tidak diakui karena hanya memiliki 2 pilihan yakni ganti rugi sepihak atau memperkarakan

ke Pengadilan. Bahkan penduduk lokal beresiko dipidana setahun atau denda Rp. 100 juta jika menghambat kegiatan pertambangan.

2. Kawasan lindung dan hutan adat yang diakui oleh masyarakat hukum adat akan terancam karena alih fungsinya bisa dilaksanakan setelah ada izin dari pemerintah, H.P Panggabean, Inkonsistensi Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, khususnya dalam hal pemberdayaan hak masyarakat Hukum Adat, Seminar MHA, 6 Agustus 2012, Hermina Hall Darma Agung, Medan

271 Hasil Survei PwC, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Perburuk Iklim Investasi Tambang” http : //www.tekmira.esdm.go.id/ currentissues/?p=1759

Universitas Sumatera Utara

Investor pertambangan nasional lebih memilih untuk mengeluarkan biaya tetapi tidak bersedia menanamkan modal, hingga saat ini belum ada jaminan, sebagian besar masalah yang menghambat pertambangan dapat diselesaikan melalui Undang-undang Minerba272

Berikut diuraikan beberapa hal yang bersifat kontroversi setelah diundangkannya UU Minerba :

.

1. Adanya kontradiksi pada Pasal Peralihan Dalam Pasal 169 a UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan :

“Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan dan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/ perjanjian”.

Namun butir b menyebutkan : “Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian

karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan Negara.”

Pada Pasal 169 a, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini akan tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak maupun perjanjian, sementara pada pasal b, disebutkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B harus disesuaikan paling lambat 1 tahun setelah Undang-undang diberlakukan kecuali terkait penerimaan negara. Aturan Peralihan pada hakikatnya memberikan kepastian hukum. Ketentuan tersebut membingungkan, di satu sisi mengakui dan menghormati jangka waktu kontrak/ perjanjian, akan tetapi di sisi lain substansi kontrak/ perjanjian disesuaikan dengan Undang-undang baru, artinya ketentuan peralihan memaksa para pihak untuk mengubah kontrak/ perjanjian

2. Sistem kontrak/ perjanjian diganti dengan sistem perizinan

Hampir semua wilayah yang mengandung batu bara nyaris sudah dibagi habis oleh sejumlah Konglomerasi melalui PKP2B itu.273

272 Ibid

273 H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 2005, hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pasal 35, Usaha pertambangan dilakukan dalam tiga bentuk : a. Izin Usaha Pertambangan (IUP)

b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

c. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

Dalam Pasal 36, IUP terdiri dari 2 tahap : 1) IUP eksplorasi : penyelidikan umum, eksplorasi dan studi

kelayakan.

2) IUP operasi produksi : kegiatan konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

3. Pendapatan Negara dan Daerah

Dalam pasal 129 UU Minerba ditegaskan bahwa : a. Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral

logam dan batubara wajib membayar 4% (empat persen) kepada

pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari

keuntungan bersih sejak berproduksi.

b. Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur sebagai berikut :

1) Pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu

persen)

2) Pemerintah kabupaten/ kota penghasil mendapat bagian

sebesar 2,5% (dua koma lima persen), dan

Universitas Sumatera Utara

3) Pemerintah kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang

sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima

persen)

Dengan adanya ketentuan ini, investor mau tidak mau harus membayar 10% kepada pemerintah dari keuntungan bersih usahanya. Tidak ada peluang negosiasi atas jumlah yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Tentu saja hal ini memberikan keuntungan kepada pemerintah dan sekali lagi memperkuat posisi pemerintah sebagai regulator.

4. Kewajiban reklamasi dan pascatambang

Pasal 100 UU Minerba : 1) Pemegang IUP dna IUPK wajib menyediakan dana jaminan

reklamasi dan dana jaminan pascatambang. 2) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya dapat menerapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.

Artinya pelaku usaha tidak diberi kewajiban tuntas dan tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan masalah lingkungan yang ditimbulkannya.274

Sebenarnya ketentuan ini bermaksud memberikan jaminan perlindungan lingkungan dan ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan usaha pertambangan. Namun adanya klausula bahwa investor wajib memberikan dana jaminan reklamasi dan pascatambang yang dapat digunakan oleh pihak ketiga jika investor tidak melakukan kewajibannya memberikan peluang kepada invenstor untuk bersikap “cuek” (apatis) terhadap kewajiban tersebut

275

274 Pandangan Fraksi PAN mengenai RUU Minerba ; <http : //www.pme-indonesia.com/ opinion/? Id=8>

. Seharusnya kewajiban pemberian dana tersebut disertai dengan sanksi apabila investor tidak melakukan reklamasi dan pascatambang. Dengan ketentuan Pasal 100, akan memungkinkan investor untuk tidak melakukan kewajibannya karena

Universitas Sumatera Utara

pemerintah akan menunjuk pihak ketiga untuk menggantikan investor melakukan kewajibannya.

5. Pasal 91 UU Minerba :

“Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal ini jelas merugikan masyarakat. Dibebaskannya perusahaan tambang dalam menggunakan sarana publik maka yang akan dirugikan bukan hanya masyarakat melainkan pemerintah daerah. Sebagai ilustrasi, seperti di Kalimantan Selatan, jalan yang seharusnya digunakan oleh 8 ribu kendaraan per hari, bias dilewati hingga 9 ribu lebih kendaraan, dan jumlah itu yang paling banyak adalah truk-truk pengangkut batu bara. Sebanyak 27% (dua puluh tujuh persen) jalan-jalan yang dilewati oleh truk batu bara menjadi rusak berat. Belum lagi efek pemakaian jalan tersebut, bisa menimbulkan kecelakan atau infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Artinya Undang-undang ini memberi ruang terhadap keburukan-keburukan, dan yang menanggung biaya adalah masyarakat lokal dan APBD. Hal ini berarti pula UU Minerba tidak punya sensitivitas terhadap masalah.276

j. Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

277

Pasal 35 Ayat (6) : “Dalam hal tanah yang digunakan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, penyelesaiannya dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dengan memerhatikan ketentuan hukum adat setempat.”

275 H.P. Panggabean, Op Cit, hal 11. 276 Nida Sa’adah, “UU Minerba dan BatuBara : Melanggengkan Sistem Keruk Cepat dan Jual Murah

Bahan Tambang Indonesia; <http : // syabab.com/index. php? option = com_concent & view = article & catid = 33% 3Aopini & id = 561% 3 AUU-mineral-dan-batubara-melanggengkan-sistem-keruk-cepat-dan-jual-murah-bahan-tambang-indonesia & itemid = 62>

277 Mahkamah Konstitusi telah menjelaskan, hak menguasai Negara yang tercantum dalam Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 sebagai berikut, dengan Putusan MK dalam pengujian UU Ketenagalistrikan : Bukan dalam makna Negara harus memiliki, melainkan Negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelandaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaa), melakukan pengawasan (toetzichthourdesdaad), Andi Muttaqinh, op cit, hal.266.

Universitas Sumatera Utara

k. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan kritikan terhadapnya : 1) Dalam Pasal 6 Ayat 2 : “Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.”

2) Dalam Pasal 6 Ayat 3 : “Hak Ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”.

Ada 4 (empat) variable yang sangat menentukan guna dipakai untuk melihat keberhasilan dari proyek privatisasi air, yaitu :

1) Jumlah pelanggaran (bertambah atau tidak)

2) Kualitas air (membaik atau memburuk)

3) Sumbangan terhadap PAD (bertambah atau membebani)

4) Tarif

5) Mutu pelayanan (Memuaskan atau menjengkelkan)

Kemudian dapat dilihat dari dampak negatif antara lain : 1) Konflik kepentingan penggunaan air (antar petani, antara petani

dengan perusahaan, antara petani dengan pemerintah)

2) Penurunan kualitas air sungai dari kelimpahan biota air

3) Perubahan pola tanam. Pengeluaran tambahan akibat pompanisasi

karena air irigasi tidak ada atau tidak cukup. Tidak ada tambahan

pendapatan masyarakat atau pendapatan desa.

4) Kecemburuan sosial terhadap masyarakat tertentu (hulu)278

278 Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat, (Semarang : Surya Pena Gemilang Publishing, 2010) hal. 260

Universitas Sumatera Utara

Masalah keadilan timbul dalam situasi yang oleh John Rawls279

1) Masyarakat

disebut “Circum Srance Of Justice (COJ), suatu rumusan yang berasal dari David Hume. Hume sendiri menyebut COJ untuk menggambarkan bahwa keadilan baru merupakan keutamaan yang relevan (relevant virtue) hanya apabila terjadi kelangkaan dan orang-orang tidak spontan tergerak dalam ikatan emosional untuk mengulurkan bantuan. Prinsip keadilan Hume hanya berkaitan dengan situasi empiris transaksi antar individual, sedangkan COJ Rawl, adalah Objective COJ, yaitu “situasi normal sengketa klaim dimana kerjasama antara manusia dan perlu” Oleh Karena itu, pengertian keadilan mengandaikan dua syarat :

2) Situasi kelangkaan wajar

Kita hanya bias membicarakan masyarakat adil jika yang disebut masyarakat itu memang ada. Keadilan selalu berhubungan dengan hak. Keadilan sosial dalam bidang distribusi air akan muncul dan dibutuhkan telah terjadi kelangkaan distribusi air dalam masyarakat.280

l. Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan kritikan terhadapnya :

1) Pasal 9 Ayat (2) : “Dalam hal tanah yang diperlukan adalah tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian hak dimaksud Ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.”

Justru Pasal tersebut di atas wujud pertentangan dengan konstitusi UUD RI Tahun

1945 Pasal 18B ayat (2).

Berdasarkan asas lex spesialis derogate lex generalis, maka UUPA akan dikalahkan oleh UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan itu, karena UUPA merupakan peraturan dasar pokok-pokoknya saja dari Hukum Agraria Nasional bersifat umum, di dalam pasal-pasalnya berisi peraturan-peraturan penggunaan,

279 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial (Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005) hal. 4

280 Suteki, Op Cit, hal. 268.

Universitas Sumatera Utara

penguasaan atas tanah melalui macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara kepada perseorangan/ badan hukum, sedangkan Undang-undang No. 18 Tahun 2004 hanya mengatur pengelolaan perkebunan (bersifat khusus). Hal ini menyebabkan terjadinya disinkronisasi secara horizontal jika berdasarkan lex posteriori derogate lex priori, maka UUPA pun akan dikalahkan oleh Undang-undang No 18 Tahun 2004, karena UUPA lahir lebih dahulu, yaitu tahun 1960, sedangkan Undang-undang Perkebunan lahir tahun 2004.

Secara ideologis filsafati keduanya sama-sama mengacu Pasal 33 ayat 3 UUD RI Tahun 1945, tetapi secara yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan norma281

Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan

memang tidak secara langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi menghilangkan hak-hak warganegara melalui Undang-undang Perkebunan.

Pasal 6 menyatakan : Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas : pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan, kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan/ atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

Penjelasan Pasal 6 ayat 1a : Asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Undang-undang Perkebunan, materi muatan dalam pasal-pasalnya tidak mengandung asas pengayoman terhadap rakyat (miskin), karena dalam kenyataan di lapangan rakyat masyarakat hukum adat justru tersingkir dari akses tanah sebagai sumber kehidupan mereka karena hadirnya investor. Sudah sewajarnya jika perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat sebagai hak-hak tradisional mereka yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bentuk Undang-undang segera dapat diwujudkan agar dengan demikian ketentuan Pasal 18 B UUD 1945 mampu menolong keadaan hak-hak masyarakat hukum adat yang semakin termarginalisasi dan dalam kerangka mempertahankan pluralisme kehidupan berbangsa dan bernegara282

281 Andi Muttaqien, dkk, Wajah Baru, Suhaningsih : Analisis hukum mengenai eksistensi UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dengan permasalahan yang timbul, UU Perkebunan, hal. 271

. Untuk mengatasi persoalan sengketa pemilikan tanah perkebunan yang berhubungan dengan hak ulayat seharusnya negara konsisten dengan penjelasan Pasal 9 Ayat (2) Undang-undang Perkebunan tentang eksistensi masyarakat hukum adat memenuhi 5 (lima) syarat yaitu (a) masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeinschaft), (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangat

282 Jadi bukannya meminggirkan bahkan meniadakan hak atas tanah ulayat, karena tercapainya musyawarah untuk mencapai sepakat mengenai penyerahan tanah ulayat pada pemegang hak baru (investor).

Universitas Sumatera Utara

penguasa adat, (c) ada wilayah hukum adat yang jelas, (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati, dan (e) ada pengukuhan dengan peraturan daerah.283

Syarat ini berbeda dengan Permenag No. 5 Tahun 1999.

Pasal 5 Ayat (1) Permenag No. 5 Tahun 1999 : “Penelitian dan Penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 di oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan instansi-instansi yang mengelola sumberdaya alam. Pasal 5 Ayat (2) menyatakan : “Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan menumbuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah”.

2) Pasal 6 menyatakan : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5

diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan”.

Sebelum dilakukan penelitian tersebut, sulit menentukan siapakah yang melanggar Pasal 21 dan dikenakan pidana Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Perkebunan.284

Frasa “dan/ atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” dalam :

3) Pasal 21 Undang-undang aquo mengandung ketidakpastian hukum : Apakah yakin dengan tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya perkebunan-perkebunan disebut tindakan lainnya tentunya sangat luas dan tidak terbatas.285

m. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Dalam Pasal 6 Ayat (2) : “Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hak adat dan/ atau kearifan lokal serta memerhatikan peran serta masyarakat”.

283 Achmad Sodiki : Putusan MK yang berkenaan dengan sumber agraria, Seminar dan Lokakarya Nasional, Konflik Perkebunan : Mencari Solusi yang berkeadilan dan Mensejahterakan Rakyat Kecil, (Malang : Unibraw, 2012), 24-25 Mei 2012, hal. 19.

284 Pasal 21 dan 47 Undang-Undang Perkebunan 285 Achmad Sodiki, Op Cit, hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

n. Undang-undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan

Dalam Pasal 58 Ayat (3) : “Pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah negara, atau masyarakat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian”.

o. Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 1) Dalam Pasal 1 Angka 33 : Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat

Pesisir yang secara turun-temurun bermukin di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik sosial, dan hukum

2) Dalam Pasal 17 : 1) HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.

2) Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib

mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta

hak lintas damai bagi kapal asing.

3) Dalam Pasal 18 :

HP-3 dapat diberikan kepada : a) Orang perseorangan warga negara Indonesia;

b) Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau

c) Masyarakat Adat

4) Dalam Pasal 21 : (4) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk : 1) Memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan;

Universitas Sumatera Utara

2) Mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat

dan/ atau masyarakat lokal;

3) Memerhatikan hak masyarakat untuk mendapatkan akses ke

sempadan pantai dan muara sungai; serta

4) Melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di

lokasi HP-3.

5) Dalam Pasal 61 :

a) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak

Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan

secara turun-temurun.

b) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan

Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dijadikan

acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

yang berkelanjutan.

Disamping berbagai Undang-Undang tersebut di atas, perlu dicatat bahwa pada tahun 1999, terbit Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan penegasan lebih lanjut dari bentuk pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA. Peraturan Menteri ini seara eksplisit mengemukakan kriteria masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat adat berdasarkan pada keberadaan masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya.

Universitas Sumatera Utara

Hak-hak atas tanah adat berbagai macam dan bertingkat, yang paling tinggi adalah hak menguasai atau hak ulayat.

Hak Ulayat. Hak ini yang merupakan hak terutama dari hak-hak atas tanah adat merupakan sekumpulan hak suatu persekutuan hukum adat yang biasanya merupakan suku, serikat desa atau biasanya hanya sebuah desa yang bersumberdaya dari hak untuk menguasai tanah beserta seluruh isinya dalam lingkungan hidup wilayahnya. Hak ini dikenal sebagai hak purba286. Hak pertuanan287

Hak ini mempunyai beberapa ciri pokok yang dapat dilihat dengan jelas di luar Jawa sebagai berikut

atau hak ulayat (Undang-Undang Pokok Agraria, meminjam istilah Minangkabau). Oleh Van Vollenhoven hak ini disebut sebagai beschikkingsrecht. Di Jawa dan Madura kurang kuat dan tidak lagi mempunyai arti penting.

288

Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah di wilayah kekuasaannya; Orang luar dapat mempergunakan tanah di wilayah tersebut dengan ijin penguasa wilayah tersebut disertai dengan pembayaran kepada persekutuan hukum. Bila tidak dianggap melakukan pelanggaran; Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah tersebut khusus untuk keperluan sendiri. Apabila untuk orang lain dianggap sebagai orang luar, Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di wilayah tersebut, terutama tindakan melawan hukum (delik); Hak ini tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan untuk selamanya; Hak ini juga meliputi tanah yang sudah merupakan milik perseorangan.

:

Hak-hak atas tanah adat terutama hak ulayat sebagai serangkaian wewenang

dan kewajiban suatu persekutuan hukum adat atas lingkungan hidupnya ini meliputi bidang hukum publik seperti pengelolaan lingkungan tersebut maupun hukum perdata seperti kepunyaan bersama atas lingkungan tersebut. Hak ini meliputi semua tanah yang ada di lingkungan hidup tersebut baik yang sudah ada haknya maupun yang belum. Dalam hukum adat tidak dikenal istilah res nullius, benda atau tanah yang tidak ada pemiliknya sama sekali. Hak ulayat ini adalah milik semua anggota persekutuan hukum, bukan orang seorang.

Hak Milik (Inlands Bezitsrecht). Apabila warga persekutuan hukum adat memerlukan tanah untuk kehidupannya mereka dapat pergi ke hutan dalam wilayah

286 M.M. Djojodigoeno, dan R Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middel-Java, (Bandung : Sukamiskin, 1940), hal. 36.

287 Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, terjemahan H.B. Jassin. (Jakarta : Gita Karya, 1963), hal. 236.

288 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, op cit, hal. 2-3.

Universitas Sumatera Utara

lingkungan hidupnya dan membukanya. Perbuatan tersebut dilakukan dengan memenuhi asas religio-magis yaitu hubungan dengan dunia nyata maupun dunia yang tidak kelihatan. Hubungan dengan dunia nyata dilakukan dengan memberitahukannya kepada Kepala Persekutuan Hukum Adatnya.289

Di Jawa dan Madura hak ini disebut dengan hak atas tanah yasan (milik). Hak ini memberikan wewenang untuk memperlakukan suatu benda sebagai kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan. Hak ini meliputi hak untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari benda tersebut dan hak untuk mempergunakannya seolah-olah sang pemegang hak itu pemiliknya. Sehingga dia boleh menjual, menggadaikan atau memberikannya kepada pihak lain.

Hubungan dengan dunia tidak kelihatan dilakukan dengan membuat upacara yang di luar Jawa terutama Sumatera disebut dengan pancung alas guna memulihkan keseimbangan religio-magis. Setelah terbukti intensitas pengerjaannya dalam waktu yang lama tanpa terputus tanah hutan tersebut dapat menjadi hak milik warga yang mengerjakan tanah tersebut.

Hak ini dibatasi oleh beberapa hal. Batas pertama adalah Staatsblad Tahun 1875 Nomor 179 tentang larangan Penjualan Tanah, Staatsblad Tahun 1906 Nomor 83 tentang Peraturan Desa (Inlandse Gemeente Ordonnantie). Yang lain adalah serangkaian kewajiban yaitu kewajiban untuk menghormati hak menguasai desa selama hak milik masih diliputinya; kewajiban menghormati kepentingan pemilik hak lainnya; kewajiban mentaati dan menghormati ketentuan-ketentuan tentang pemilik tanah dalam hukum adat.290

Baik Perseorangan maupun persekutuan hukum dapat menjadi pemegang hak milik. Dengan demikian terdapat hak milik perseorangan dan hak milik komunal. Di luar Jawa dan Madura hak milik ini memberikan wewenang untuk mendapat kenikmatan sepenuhnya atas benda dan mempergunakannya seakan-akan kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan. Hak ini dapat diperoleh dengan : membuka tanah, dan mengajukan permintaan. Kepada para kuli kontrak di Lampung diberikan hak milik setelah tanah dikerjakan selama 10 tahun oleh Residen. Atas tanah domein bebas di ibukota-ibukota daerah dapat diberikan juga hak milik oleh Direktur Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri.

Berdasarkan subjeknya terdapat dua jenis Hak Milik. Yang pertama adalah Hak Milik Perseorangan (Erfelijk Individueel Bezitsrecht). Di Jawa hak ini terdapat di Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah-daerah yang penduduknya berasal dari Madura; dan juga di Madura. Karena banyak tanah dibuka maka untuk mencegah hal yang berlebihan dikeluarkan Ontginnings Ordonnantie (Peraturan Pembukaan Tanah)

289 Happy Warsito, Hak-hak Keagrariaan Adat ,op cit, hal.127. 290 I b i d

Universitas Sumatera Utara

dalam Staatsblad Tahun 1925 No. 649 jo Tahun 1928 No. 340, Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, dan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 423. Untuk luar Jawa dimuat dalam peraturan agraria berlainan. Tanah negara bebas (vrijlands domein) boleh dibuka dengan ijin Gubernur. Dikecualikan adalah: lelaki yang tidak mampu, perempuan, perserikatan desa, badan keagamaan dan badan pemerintah. Apabila pemegang ijin meninggal maka warisnya berhak membuka atau melanjutkan pembukaan tanah. Apabila pemegang ijin tidak memenuhi syarat, ijin dapat dicabut.291

Yang kedua adalah hak milik komunal: sawah desa (Cirebon, Kedu, Tegal, Pekalongan); playangan (Banyumas); sanggan (Bagelen); norowito, sewon, jung, bakon (Jepara); kramanan, ideran, bagen, rojo, kongsen (Rembang). Hak ini bukanlah hak asli bangsa. Perubahan hak milik perseorangan menjadi hak komunal terjadi sewaktu kompeni (Verenigde op Oost Indische Compagnie: VOC) mengadakan rodi (kerja paksa) dan monopoli. Hak ini berkembang terutama karena Tanam Paksa di Jawa dan Madura. Hak ini tidak boleh diasingkan namun boleh dijual atau digadaikan kepada bumiputera sesuai dengan hukum adat.

292

Di Jawa Tengah hak ini bercampur dengan hak milik perseorangan. Hak ini terdapat di Jawa Barat dan luar Jawa dan Madura. Di daerah dengan hak milik komunal terdapat pembagian dengan bagian yang tetap maupun yang diperbarui tiap waktu. Pekarangan rumah selalu merupakan hak milik perseorangan.

Apabila seorang warga desa membuka tanah yang diatasnya terdapat hak komunal maka diperolehnya hak pakai atas tanah tersebut. Hak ini memberikan wewenang untuk mengusahakan, serta memberikannya kepada orang lain, menggadaikan maupun menyewakan baik kepada bumiputera maupun bukan (Pasal 13 Inlands Gementee Ordonnantie, Staatsblaad Tahun 1906 Nomor 83).

Hak semacam ini sering menimbulkan penyalahgunaan yang berupa kecurangan dalam pembagian, kurangnya hasrat untuk mengerjakannya dengan baik atau memperbaikinya karena tiada jaminan untuk dapat mengerjakannya dalam waktu yang lama (diperbarui sewaktu-waktu). Karena itu diadakan kesempatan untuk mengubah (konversi) hak ini menjadi hak milik perseorangan dengan Convertie Besluit, Staatsblad Tahun 1885 Nomor 102. Konversi dilakukan apabila minimal ¾ dari yang berhak memakai tanah menghendaki dan menyetujui cara pembagiannya; tiap orang yang berhak memakai tanah komunal menerima bagian tanah dengan hak milik perorangan; dan tanah bengkok dikeluarkan dari pembagian.293

291 Ibid, hal.128.

Rencana

292 I b i d 293 I b i d

Universitas Sumatera Utara

pembagian diberitahukan kepada Residen yang membentuk Panitia Pemeriksaan. Setelah memeriksa dan mendengar yang berkepentingan kemudian dibuat berita acara. Apabila tidak terdapat keberatan Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten memutuskan perubahan tersebut. Karena ketentuan ini tidak sesuai dengan hukum adat maka jarang dipergunakan. Desa-desa dengan pembagian tetap kembali dengan sistem pembagian berganti.

Selain dengan konversi, terdapat tiga cara untuk mendapatkan hak milik yaitu: pembukaan tanah, pemberian pemerintah, dan pernyataaan peraturan. Pasal 7 Staatsblad Tahun 1870 Nomor 118 menentukan bahwa Gubernur Jenderal menetapkan peraturan pembukaan tanah Bumiputera. Karena itu untuk Jawa Madura dikeluarkan Ontginnings Ordonnantie dalam Staatsblad Tahun 1874 Nomor 179, Staatsblad Tahun 1896 Nomor 44, dan Staatsblad Tahun 1925 Nomor 649, dengan beberapa perubahan. Peraturan ini mulai berlaku di Jawa Barat pada 1929 dengan Staatsblad Tahun 1928 Nomor 538, di Jawa Tengah pada 1931 dengan Staatsblad Tahun 1930 Nomor 428, dan di Jawa Timur pada 1931 dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 115.

Terdapat tiga tujuan peraturan ini. Yang pertama adalah membatalkan penggarapan atau pembukaan tanah; yang kedua untuk mencegah pembukaan daerah dengan mata air yang menghalangi pengairan; dan yang ketiga untuk mengatur hak menguasai (ulayat) desa.294

Ditentukan bahwa untuk membuka tanah diperlukan ijin pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal. Hal ini terjadi cuma-cuma dan tidak dapat dioperkan tanpa persetujuan pemberi. Apabila yang mendapatkannya meninggal maka ahli waris dapat melanjutkan atau memulai pembukaan tanah. Ijin dapat ditolak untuk kepentingan negara atau pihak ketiga. Ijin juga dapat dicabut bila tidak selesai dalam waktu ditentukan atau tidak sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Dalam Pasal 6 ditentukan apabila semua syarat dipenuhi maka pembukaan tanah mendapatkan hak milik.

Untuk luar Jawa Madura diatur dengan Peraturan Agraria (Agrarisch Reglement) : Staatsblad Tahun 1915 Nomor 678, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 497, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 560 untuk karesidenan Sumatra Barat; : Staatsblad Tahun 1918 Nomor 80, : Staatsblad tahun 1919 Nomor 98 untuk karesidenan Manado; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 508; Staatsblad Tahun 1927 Nomor 194, : Staatsblad Tahun 1927 Nomor 451, Staatsblad 1938 Nomor 157, Staatsblad 1938 Nomor 371 untuk karesidenan Bangka dan sekitarnya; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 509, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 394, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 561,

Universitas Sumatera Utara

Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371, Staatsblad Tahun 1939 Nomor 47 untuk karesidenan Bali dan Lombok; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 253, Staatsblad Tahun 1924 Nomor 595, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 392 untuk karesidenan Riau dan sekitarnya; Staatsblad Tahun 1927 Nomor 40, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 195, Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371 untuk karesidenan Tapanuli; Staatbld Tahun 1925 Nomor 353, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 596, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 141, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 286, Statblad Tahun 1927 Nomor 193, Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371 untuk keresidenan Sumatera Selatan.295

Hak Usaha (Mengerjakan dan Menanami)

296

Hak menikmati tanah untuk sementara. Tanah liar atau kosong yang tidak termasuk desa dibuka dengan tidak mendalam dan setelah dipungut hasilnya sekali atau dua kali, ditinggalkan. Hak ini lemah tak dapat dijual, digadaikan atau diwariskan dan akan bebas apabila penggarapan dihentikan.

. Di daerah-daerah dimana hak milik masih dikuasai oleh hak menguasai (ulayat) maka hak usaha ini sama dengan hak milik. Hak ini dapat diwariskan tetapi tidak dapat dijual. Hak ini timbul karena penggarapan tanah yang di bawah raja-raja yang berkuasa mutlak. Apabila raja ini tak ada lagi hak milik bebas timbul. Yang termasuk dalam hak semacam ini adalah : Hak atas tanah penduduk di sebelah barat Sungai Cimanuk yang di dalam Staatsblad Tahun 1912 Nomor 422 disebut sebagai hak erfpacht. Lain dengan hak erfpacht menurut Burgerlijk Wetboek. Selanjutnya Hak memetik berhubungan dengan kebun kopi pemerintah dulu. Dengan Staatsblad Tahun 1910 Nomor 163 mereka yang wajib menanami setelah hapusnya tanam paksa diberi hak memetik atas tanah negara yang atas perintah negara ditanami kopi; Hak para kuli kontrak dari Bagelen atau tempat lain di Jawa atas tanah di Lampung berdasarkan Bijblad Nomor 7535.

Hak pakai atas tanah persekutuan. Tanah persekutuan adalah tanah yang oleh golongan bumiputera dipakai perseorangan, yaitu tanah komunal di Jawa dan Madura maupun tanah bengkok. Hak pakai ini hanya berlangsung selama hidup atau selama menjadi penduduk desa atau selama menjabat.

Hak meramu atau mengumpulkan. Hak ini meliputi wewenang untuk menggali, memburu dan menggembala sebagai akibat dari hak mengusai desa. Semula tidak ada campur tangan pemerintah namun akhirnya dipandang perlu untuk mengeluarkan Staatsblad Tahun 1930 Nomor 38 tentang Pertambangan, Staatsblad Tahun 1931 Nomor 133 tentang Perburuhan dan Staatsblad Tahun 1932 Nomor 17 tentang Cagar Alam. Hak menggembala tersedia bagi tiap penduduk desa yang termasuk dalam desa

294 Ibid, hal.129. 295 I b i d 296 Ibid, hal.131.

Universitas Sumatera Utara

atau di tempat tertentu atas tanah liar atau kosong atau tanah yang baru dipungut hasilnya bila dibiarkan kosong tidak ditanami atau dipagari.297

Hak membagihasilkan. Sering seorang pemilik tanah menyuruh orang lain mengerjakan tanah dengan perjanjian bahwa hasil kotor dari tanah garapan tersebut akan dibagi bersama. Lazim dijumpai di atas tanah dengan hak milik perorangan, hak milik komunal atau bengkok. Biasa disebut ngedol tahunan dengan pembayaran uang ataupun hasil bumi. Penggarap atau pekerja menikmati hasil dari tanah orang lain lalu membayar sejumlah imbalan kepadanya. Jarang terjadi di antara Pribumi.

Hak gadai atas tanah. Gadai adalah perjanjian dimana sebidang tanah oleh pemiliknya diserahkan kepada orang lain untuk dipakai dengan pembayaran sejumlah uang dengan kewajiban mengembalikannya apabila uang telah dibayar kembali atau denga kata lain perjanjian penyerahan tanah untuk dipakai orang lain dengan pembayaran dengan hak untuk menebusnya. Hak ini tidak dapat diwariskan.

5. Transaksi yang dikenal dalam hukum adat a) Transaksi atas Tanah Adat

Dari hak atas tanah adat dapat timbul transaksi hak atas tanah adat. Transaksi dapat langsung yaitu transaksi atas tanah adat secara sempit: tanah dan transaksi yang tidak langsung namun bersangkutan dengan tanah. Terdapat bermacam transaksi tanah, umumnya jual. Sedang Transaksi yang bersangkutan dengan tanah: bagi hasil, sewa, kombinasi dan tanggungan atas tanah. Dari transaksi ini timbul pula hak turunannya. Dalam hukum adat pengertian tanah termasuk juga segala sesuatu yang berada di atas dan di dalamnya.

Jual. Transaksi ini sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat riil di lapangan hukum harta kekayaan dan merupakan perbuatan tunai dan berobjek tanah. Intinya adalah penyerahan benda (sebagai prestasi) bersamaan dengan penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya atau sebagian sebagai kontra prestasi). Banyak istilah untuk perbuatan tersebut (Jual: Indonesia, sade: Jawa)

Menurut hukum tanah transaksi ini dapat mengandung tiga maksud298

297 I b i d

. Pertama, menjual gadai : menggadai (Minang), adol sende (Jawa), ngajual akad/gade (Sunda). Perbuatan ini berupa penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai dengan ketentuan bahwa si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan penebusan kembali. Timbul hak

298 Ibid, hal.133.

Universitas Sumatera Utara

gadai; Kedua, menjual lepas: adol plas, run tumurun, pati bogor (Jawa), menjual jaja (Kalimantan). Penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai tanpa hak menebus kembali. Penyerahan ini berlaku untuk seterusnya/selamanya; Timbul hak milik atas pemilik baru untuk selamanya; dan Ketiga, menjual tahunan: adol oyodan (Jawa). Penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang tunai dengan janji: tanpa perbuatan hukum lagi tanah akan kembali dengan sendirinya kepada pemiliknya sesudah berlalu beberapa tahun/beberapa kali panen (menurut perjanjian). Timbul hak milik untuk sementara. Dalam pengertian tanah termasuk pula perairan misalnya empang/tebat/tambak ikan. Transaksi itu harus dilakukan secara terang agar terjamin/terlindung dalam lalu-lintas hukum bebas khususnya terhadap kemungkinan gugatan/tangkisan pihak ketiga yaitu dilakukan dengan bantuan/kesaksian Kepala Persekutuan Hukum.

Jual Gadai. Hak pembeli gadai untuk menikmati manfaat yang melekat pada hak milik benda gadai dengan pembatasan: tidak boleh menjual lepas tanah gadai kepada pihak lain; tidak boleh menyewakan tanah gadai untuk lebih dari satu musim (jual tahunan). Pembeli boleh mengoper gadai (doorverpanden) atau menggadaikan kembali/dibawah harga (onderverpanden) tanah kepada orang lain jika sangat memerlukan uang karena dia tidak dapat memaksa penjual gadai untuk menebus tanahnya; Membagi hasilkan (belah pinang, paruh hasil tanam, maro dan Penebusan gadai) tergantung dari kehendak penjual gadai. Hak menebus bahkan dapat beralih kepada ahli warisnya. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai. Dalam hal transaksi gadai disusuli dengan penyewaan tanah oleh penjual gadai sendiri dengan janji: jika si penjual (merangkap penyewa) tidak membayar uang sewa maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh pembeli (merangkap penguasa) atas tanah yang kini berfungsi rangkap: objek gadai sekaligus objek sewa.299

Setahu dan seijin penjual gadai sang pembeli gadai dapat mengoperkan gadai kepada pihak ketiga yaitu menyerahkan tanah tersebut kepadanya dengan menerima sejumlah uang tunai. Dengan demikian terjadilah pergantian subjek di dalam perutangan yang sama: hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai semula berubah menjadi hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai yang baru. Tanpa setahu dan seijin penjual gadai sang pembeli gadai dapat

Universitas Sumatera Utara

menggadaikan kembali tanah itu kepada pihak ketiga dengan janji: sewaktu-waktu dia dapat menebus tanah itu dari pihak ketiga tersebut.

Dengan demikian terdapat dua perutangan: antara penjual gadai semula dengan pembeli gadai semula (terang-terangan); serta antara pembeli semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ketiga yang menjadi pembeli gadai baru (sembunyi-sembunyi). Bila suatu waktu penjual gadai semula menebus tanahnya sang pembeli gadai yang semula harus cepat-cepat menebusnya dari pembeli gadai yang baru. Tanah yang menjadi objek transaksi rangkap kembali dengan aman kepada pemiliknya.300

Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria gadai ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 (Undang_undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960) tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Peraturan ini berisi pembatasan terhadap lama waktu menggadaikan tanah dan bermaksud memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam transaksi gadai tanah tersebut. Praktik menunjukkan bahwa hasil yang dinikmati pembeli gadai setiap tahunnya ternyata jauh lebih besar dari bunga yang pantas dari uang pembeli gadai dahulu Pasal 7 nya menentukan bahwa tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada pemilik tanah/penjual gadai tanpa ada kewajiban baginya untuk membayar uang tebusan. Pengembalian tanah itu dilakukan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang terdapat di atasnya selesai dipetik hasilnya.

Untuk gadai yang berlangsung kurang dari 7 tahun sang pemilik dapat memintanya kembali setiap waktu setelah selesai pemetikan tanaman yang ada dengan membayar uang tebusan berdasarkan rumus: (7+1/2) x waktu gadai : 7:2 x uang gadai. Dengan perubahan nilai mata uang. Mahkamah Agung telah menetapkan bahwa resiko dari perubahan nilai uang rupiah ditanggung rata oleh baik penjual gadai maupun pembeli gadai. Penilaian dilakukan menurut harga emas.

Jual Lepas. Perjanjian jual lepas tanah selesai dengan tercapainya persetujuan/persesuaian kehendak (konsensus) diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli di hadapan Kepala Persekutuan Hukum yang berwenang dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Perjanjian ini bersifat riil, hak milik atas tanah berpindah

299 I b i d 300 Ibid, hal.134.

Universitas Sumatera Utara

meskipun formalitas balik nama belum dilakukan (dipandang sebagai bagian dari rangkaian pemindahan hak milik).

Van Vollenhoven301

berpendapat bahwa jual lepas sebidang tanah atau perairan adalah penyerahan benda itu di hadapan orang-orang yang ditunjuk oleh Hukum Adat dengan pembayaran uang pada saat itu atau kemudian (Adatrecht hal 241). Oleh Enthoven dikemukakan bahwa penjualan barang tidak bergerak adalah penyerahan dengan harga tertentu dan bukan merupakan suatu perjanjian yang membentuk kewajiban untuk menyerahkan. Menurut Hukum Indonesia penjualan dan penyerahan adalah satu

302. Sedangkan Ter Haar303

menjelaskan bahwa pada waktu di hadapan Kepala Persekutuan Hukum dinyatakan bahwa saya mengaku telah menyerahkan tanahnya dan telah menerima harganya maka saat itulah hak pembeli tercipta baik hak gadai atau hak milik maupun hak sewa.

Mahkamah Agung dalam keputusan tertanggal 25-9-1957 berpendapat bahwa keterangan jual beli saja belum mengakibatkan pemindahan atau penyerahan hak milik. Keterangan ini harus diikuti pula dengan semacam levering. Sebelumnya hak milik belum berpindah. Menurut pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa walaupun dengan surat Notaris dan surat di bawah tangan serta yang disimpan pada Notaris yang dimaksudkan dalam putusan judex facti di dalamnya disebutkan bahwa para pihak bersangkutan menerangkan menjualbelikan tanahnya belum dapat diterima bahwa sebenarnya telah terjadi pemindahan atau penyerahan hak milik oleh yang dinamakan penjual kepada yang dinamakan pembeli304

Pembicaraan yang mengandung janji (afspraak) saja tidak mengakibatkan kewajiban. Namun janji lisan yang diikuti dengan pembayaran sesuatu (uang atau benda lain) dapat menimbulkan kewajiban hanya untuk berbuat sesuatu missal untuk menjual atau membeli. Pembayaran ini disebut panjar. Tanpa panjar orang tidak merasa terikat. Dengan panjar orang merasa wajib melaksanakan hal yang ditentukan dalam janji. Perjanjian pokok (misal jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian panjar saja. Sesudah diadakan permufakatan serius tentang jual beli tersebut barulah terlaksana

.

301 J.C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlands-Indie, op cit, hal. 241. Juga dalam Iman Sudiyat, op cit, hal. 33.

302 Enthoven, Het Adatrecht der Inlanders in de Jurisprudentie dikutip oleh E.A. Boerenbaker, (Bandung: [s . n], 1935), , dalam Sudiyat, Ibid, hal. 33

303 Ter Haar Bzn, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Op Cit, hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

perjanjian tersebut305

Holleman

. Bila perjanjian pokok tidak terjadi maka terdapat 2 kemungkinan: Apabila dibatalkan oleh pemberi panjar uang/benda sesuatu tersebut tetap pada penerima panjar; Apabila dibatalkan oleh penerima panjar maka sesuatu itu harus dikembalikan, dapat 2 kali nilainya.

306

Jual Tahunan. Dengan transaksi ini pembeli tahunan memperoleh hak untuk: mengolah tanah, menanami dan memetik hasil, dan berbuat dengan tanah seakan-akan miliknya sendiri. Sang pembeli dilarang untuk menjual/menyewakan tanah tanpa seijin pemiliknya. Jual lepas atau jual lagi yang mungkin dilakukan pemilik tidak mengurangi hak pembeli tahunan (koop brekt geen huur: jual tidak menghapus sewa).

menyatakan bahwa janji (afspraak) tidak mengikat hanya menimbulkan kewajiban moral untuk melaksanakannya. Sebelum perjanjian jual beli terjadi calon penjual dapat menjual barang kepada pihak lain dengan harga lebih tinggi. Tampak bahwa perjanjian jual menurut hukum adat adalah konkrit/riil tidak abstrak/konsensual seperti dalam Burgerlijk Wetboek. Dikatakan pula bahwa perjanjian jual beli di dalam Hukum Adat merupakan perbuatan kontan (contante handeling)

Baik jual gadai maupun jual tahunan mungkin juga dilakukan sebagai perjanjian pelunasan hutang (delgingsovereenkomst), hutang dibayar dengan penyerahan tanah untuk sementara. Dengan penyerahan tanah debitur merintis jalan untuk melunasi hutangnya dengan memperhitungkan hasil tanah itu dengan jumlah hutang tersebut.

b) Transaksi yang menyangkut atas Tanah Adat

Hukum Adat mengenal transaksi yang walaupun tidak langsung atas tanah namun bersangkutan dengan tanah. Akan dibahas beberapa di antaranya.

Transaksi bagi hasil, belah pinang, paruh hasil tanam: memperduai (Minang), toyo (Minahasa), tesang (Sulawesi Selatan), maro, mertelu (1:1, 1:2, Jawa Tengah), nengah, jejuron (1:1, 1:2; Priangan).307

304 Ibid, hal 143

Seseorang mempunyai tanah namun tidak ada kesempatan/semangat untuk mengusahakannya sendiri dan ingin memungut hasilnya. Karena itu dibuat transaksi dengan orang lain untuk mengerjakan, menanami dan memberikan sebagian hasil panennya.

305 Bedakan dengan uang muka (voorschot) menurut hukum barat. Ini adalah pembayaran di muka yang sebenarnya dan diperhitungkan dalam transaksi. Tidak memberikan kewajiban moral atau akibat hukum apapun. Apabila tak terjadi transaksi uang muka dikembalikan. Apabila terjadi Transaki uang ini diperhitungkan dalam harga.

306 F.D. Holleman, Het Adatrecht van de Afdelling Tulungagung, (Batavia: Buitenzorg, 1927), hal. 67

Universitas Sumatera Utara

Fungsi transaksi adalah untuk memproduktifkan tanah milik, tanpa pengusahaan sendiri dan memproduktifkan tenaga kerja tanpa tanah milik sendiri. Objeknya adalah tenaga kerja dan tanaman (bukan tanah). Untuk formalnya bantuan Kepala Persekutuan Hukum tidak merupakan syarat sah perjanjian, tidak harus terang cukup dengan kedua pihak saja. Jarang dibuat akad untuk perbuatan hukum tersebut, dan dapat dibuat oleh pemilik tanah, pembeli gadai, pembeli tahunan, pemakai tanah kerabat, pemegang tanah jabatan. Hak pertuanan tidak berlaku terhadap perbuatan hukum tanpa pembatasan terhadap yang membagi hasilkan.

Transaksi ini biasanya disambung dengan lembaga tambahan yang melekat; srama, mesi (Jawa Tengah) berupa pembayaran sekedar uang pada permulaan transaksi. Pembayaran ini mengandung arti persembahan yang disertai dengan permohonan (srama) mengandung pengakuan bahwa seseorang berada di tanah orang lain (mesi), plais (Bali), balango (Sulawesi Selatan) merupakan hubungan di antara pinjaman uang dan bagi hasil. Pemegang/penguasa tanah meminjam uang tanpa bunga dari pembagi hasil dan pembagi hasil tetap boleh memegang hak mengerjakan tanah selama uang pinjaman belum dilunasi. Uang pembagi hasil tidak boleh dituntut kembali tetapi apabila ia dilarang terus mengerjakan tanah peminjam uang seketika dapat dituntut kembali. Terkadang diadakan perhitungan dari hutang dan hasil yang sudah dinikmati sehingga sesudah pemungutan hasil pertahun uang pinjaman dikurangi dengan jumlah tertentu, adakalanya uang pinjaman itu tetap besarnya hingga hutang lunas sekaligus. Mungkin juga pembagi hasil tidak dibolehkan mengerjakan tanah bersangkutan maka ia berhak menuntut ganti rugi dari pemegang tanah bukan tanahnya seperti hak dari transaksi jual.308

Sewa. Dapat diartikan sebagai ijin kepada orang lain untuk mengerjakan atau mendiami tanah di bawah kekuasaannya dengan keharusan membayar sejumlah uang tertentu sebagai uang sewa sesudah tiap bulan, tiap panen atau tiap tahun dengan konsekuensi bahwa sesudah pembayaran itu transaksi dapat diakhiri. Mengasi di Tapanuli Selatan berarti hak sewa tanah maupun hak menikmati. Sewa bumi (Sumatera Selatan) berarti pajak yang harus dibayar oleh orang luar untuk pemungutan hasil dari wilayah lingkungan hak pertuanan. Cukai (Kalimantan) bermaksud pembayaran orang luar untuk pemungutan hasil dari wilayah lingkungan hak pertuanan. Cukai (Kalimantan) bermaksud pembayaran orang luar untuk pemungutan hasil dari wilayah

307 Happy Warsito, Op Cit, hal.136. 308 Ibid, hal.137.

Universitas Sumatera Utara

lingkungan hak pertuanan dan pembayaran dari penyewa tanah. Sewa ewang (Ambon) dimaksudkan sebagai pemberian orang luar untuk memperoleh hak mengumpulkan hasil hutan di lingkungan hak pertuanan Negeri. Ngupetenin (Bali) adalah penyewaan tanah pertanian. Upeti adalah pajak yang harus dibayar oleh orang luar (sewa bumi) berdasarkan hak pertuanan.

Kombinasi bagi hasil, sewa dengan gadai tanah dan sewa tanah dengan pembayaran uang di muka. Transaksi bagi hasil dan sewa sering dikaitkan dengan gadai tanah. Sesudah hak pembeli gadai diletakkan di atas tanah bersangkutan dia memperbolehkan si penjual gadai mengerjakan tanah tersebut selaku pembagi hasil atau penyewanya. Pembeli gadai tidak boleh membuat transaksi jual lepas atas tanah yang dibeli gadai.309

Transaksi pinjam uang dengan tanggungan tanah: tahan (Batak), babaring (Dayak Ngaju), makantah (Bali), tanggungan, jonggolan (Jawa), borroh, borg, borot (tersebar luas). Titik inti perjanjian adalah perjanjian adalah perjanjian selama utang belum lunas tidak akan membuat transaksi tanah atas tanahnya kecuali untuk kepentingan kreditur. Tanah sebagai tanggungan adalah transaksi asesoir pada transaksi pinjam uang selaku transaksi pokok. Tindakan itu merupakan persiapan sewaktu debitur menerima uang pinjaman seketika ditetapkan sebidang tanah pertanian yang bila perlu/dikehendaki akan dipakai sebagai benda pelunas transaksi

Tanah juga tidak boleh dijual tahunan karena itu untuk sementara akan melanggar hak penjual gadai untuk menebusnya. Dia hanya dibenarkan untuk mengoperkan/mengalihkan gadai (doorverpanden) tanah itu kepada orang lain. Dia juga boleh mengijinkan orang lain masuk di tanah tersebut untuk mengerjakan atau mendiami berdasar kontrak yang dapat diputuskan setiap saat. Transaksi tersebut dapat diakhiri dalam waktu pendek. Terdapat kelalaian pada pihak-pihak: pembagi hasil, pemberi bagi hasil, penyewa atau pemberi sewa akan timbul hak menuntut ganti rugi bukan atas tanahnya. Gadai dapat diakhiri berdasarkan aturan gadainya sendiri. Transaksi gabungan ini mirip dengan transaksi pinjam uang dengan tanah sebagai jaminan/tanggungan. Pihak yang satu memberi uang kepada pihak lainnya dan selama uang belum dikembalikan pihak pertama menerima sebagian dari hasil panen tanah pertanian atau pembayaran berasal dari pihak kedua. Transaksi semacam ini dapat pula dilakukan sebagai transaksi uang yang disangkutkan dengan tanah sebagai tanggungan tetapi menurut Hukum Adat transaksi ini merupakan lembaga hukum yang lain. Persewaan tanah dengan pembayaran uang di muka digabungkan dengan memperbolehkan si pemberi sewa menjadi penyewa di tanahnya sendiri mirip dengan persekot atas tanaman atau pinjam uang dengan mengangsur padi (bagi hasil) atau uang (sewa) setiap tahun.

309 I b i d

Universitas Sumatera Utara

(delgingsovereenkomst) dengan demikian transaksi pinjam uang diganti dengan transaksi tanah.

Di Bali dan Batak tanah yang ditunjuk sebagai tanggungan digadaikan kepada yang meminjami uang bila bunganya sudah meningkat sampai taraf tertentu, utang sudah bertambah. Sedang di Jawa gadai sebagai perbuatan hukum sering disusul dengan tanggungan/jaminan (zekerheidstelling). Dan disini sering dilakukan tanpa sepengetahuan Kepala Persekutuan Hukum (tanggungan di bawah tangan, onderhanse zekerheidstelling) dan tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Akibatnya adalah: transaksi jual yang diadakan berakibat beban atas tanah tanggungan selama hutang belum lunas sah menurut hukum dan tanah tanggungan dapat dijual atas dasar vonnis hakim untuk melunasi pinjaman uang lainnya, sedang pemberi hutang dengan tanggungan di bawahtangan tidak mempunyai hak mendahului (voorrecht) terhadap kreditur lainnya.310

Transaksi dengan sepengetahuan Kepala Persekutuan Hukum (Bali dan Batak) berakibat bahwa pemilik tanah tidak dapat dan tidak boleh memindahkan tanah/menggadaikan dengan tiada memanfaatkan hasil tanah untuk mengangsur hutang. Transaksi yang akan diadakan oleh peminjam uang harus diberitahukan kepada pemberi hutang bila debitur lalai. Tanpa pemberitahuan terjadi kecurangan dan penerima tanggungan berhak atas perlindugan hukum. Transaksi tahan (Batak) dan makantah (Bali) memberikan hak mendahului kepada pemberi hutang dengan tanggungan jika tanah dilelang berdasar vonnis hakim. Jurisprudensi dan doktrin di Jawa tidak seragam. Pendaftaran pada kepala dusun tidak/belum merupakan aturan yang menentukan berlakunya transaksi dalam lalu-lintas hukum namun ada yang mengakui hak ini karena pemberitahuan dan pendaftaran oleh Kepala Dusun berakibat hak mendahului yang dapat dilakukan menurut hukum positif bila dengan sukarela para pihak.

Hal ini tidak berarti bahwa tanggungan di bawah tangan tidak berguna hanya tidak dapat dirumuskan suatu norma untuk melindungi penerima ‘tanggungan di bawah tangan’ terhadap pihak ketiga.

Simulatio. Untuk menghindari larangan pengasingan tanah pada zaman Hindia Belanda sering dilakukan simulatio yang merupakan objek tersendiri dalam ajaran umum persetujuan, hukum perjanjian. Sebagai perbuatan/kompleks perbuatan dimana 2 orang/lebih sepakat menimbulkan kesan/semu dunia luar seakan-akan terjadi perjanjian (perbuatan hukum) tertentu sedangkan sesungguhnya sepakat bahwa perjanjian tidak akan berlaku dengan akan mempertahankan berlakunya hubungan hukum yang sudah ada atau akan melaksanakan perjanjian lain. Kadang hal ini untuk merugikan pihak ketiga kadang-kadang tidak. Walaupun sering dilakukan untuk menyembunyikan perjanjian terlarang namun simulatio sendiri tidak dilarang.

310 Ibid, hal.138.

Universitas Sumatera Utara

Biasanya simulatio meliputi seluruh perjanjian tetapi kadang-kdang hanya mengenai salah satu unsur dari perjanjian yang diadakan.

Terdapat dua macam simulatio. Mutlak para pihak menimbulkan kesan seakan-akan mengadakan perjanjian tertentu dan diam-diam bersepakat bahwa dalam hubungan hukum yang telah berlaku tidak akan diadakan perubahan. Misalnya seorang pengusaha terancam pailit. Supaya hartanya tidak disita ia pura-pura menjual hartanya kepada orang lain. Para pihak sepakat bahwa sebenarnya tidak ada jual beli dan peralihan hak sedang si penjual pura-pura tetap memiliki harta tersebut. Pada simulatio Nisbi di belakang perjanjian yang disimulasikan, terdapat perjanjian yang didissimulasikan. Para pihak mengadakan perjanjian jual beli yang sebenarnya adalah hibah.

Simulatio dapat meliputi seluruh perjanjian namun dapat juga hanya tentang salah satu unsur perjanjian misalnya di dalam perjanjian dicantumkan harga yang lebih rendah daripada yang sebenarnya disepakati. Dapat juga bahwa hal ini tak berhubungan dengan esensi kontrak namun dengan pihaknya: kontrak dilakukan antara A dan B, namun sebenarnya antara A dan C. Antara para pihak terdapat asas umum yang berlaku adalah kontrak yang didissimulasikan bukan yang disimulasikan kecuali terdapat hal yang berakibat batalnya kontrak yang tersembunyi. Para pihak tidak terkait kontrak yang disimulasikan karena tidak dikehendaki.

Pada simulatio mutlak tidak terjadi perubahan hubungan hukum para pihak karena hal ini memang tidak dikehendaki. Pada simulatio relatif terdapat azas umum bahwa terdapat kekuatan hukum pada kontrak yang didissimulasikan karena itulah yang dikehendaki. Jadi terdapat persamaan penuh antara kehendak dan pernyataannya. Namun karena hal sebenarnya disembunyikan biasanya terdapat kekurangan yang biasanya adalah tujuan yang tidak dapat dibenarkan dan berakibat batal berdasarkan Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat formal juga dapat menghilangkan kekuatan hukum perjanjian misalnya hibah yang dilakukan dengan kontrak jual beli tanpa akta notaris.

Pihak ketiga dapat menanggapi atas : kontrak yang disimulasikan, kontrak yang didissimulasikan, dan tidak terjadinya perubahan dalam hubungan hukum para pihak. Pada simulatio mutlak pihak ketiga dapat menanggapi kontrak yang disimulasikan dengan menanggapi kesan yang ditimbulkan oleh pernyataan para pihak. Biasanya mereka berkepentingan dengan pendirian bahwa kontrak yang dinyatakan adalah perbuatan semu dan karena itu tidak sah karena tidak berakibat perubahan dalam keadaan hukum para pihak.311

Pada simulatio relatif terbuka tiga kemungkinan : Menanggapi perjanjian yang disimulasikan karena dapat dinyatakan reaksi atas semu yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi mereka yang tampak hanyalah perjanjian

311 Ibid, hal.140.

Universitas Sumatera Utara

yang disimulasikan sehingga terlindung dari janji tersembunyi sesuai dengan Pasal 1873 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian yang menyusul yang diadakan dengan akta/ perbuatan tersendiri yang bertentangan dengan perjanjian semula hanya berkekuatan bukti bagi pihak yang menjadi peserta dalam akta tersebut beserta ahli waris atau mereka yang memperoleh hak, tapi tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap pihak ketiga. Menanggapi perjanjian yang didissimulasikan jika diketahuinya sejak semula atau kemudian. Kebanyakan hal ini dipandang sebagai akibat langsung dari ketentuan Pasal 1873 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa alat bukti yang bertentangan tidak dapat merugikan pihak ketiga sehingga alat bukti tersebut harus menguntungkan bagi pihak ketiga. Menanggapi manipulasi/ tipu daya para pihak dengan menyatakan bahwa perjanjian semu, perjanjian yang tidak dikehendaki para pihak, tidak mempunyai kekuatan hukum. Atau bahwa perjanjian yang didissimulasikan memang dikehendaki terbukti dari pernyataan timbal balik para pihak. Pada perjanjian yang didissimulasikan biasanya terdapat sesuatu yang tidak beres karena justru hal itu diselubungi dengan perbuatan semu karena dengan itu para pihak ingin mencapai tujuan yang tidak dibenarkan hukum. Pihak ketiga dapat berpendirian bahwa hubungan hukum masih seperti semula sebelum adanya perbuatan semu. Perjanjian yang disimulasikan tidak ada karena tidak dikehendaki para pihak. Perjanjian yang didissimulasikan tidak dapat dipaksakan berlakunya bagi pihak ketiga berdasarkan pasal 1873 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa perjanjian tersebut batal baik berdasarkan tujuan atau sifatnya yang tidak dibenarkan hukum.

Gaius312

a. res devini iuris, atau benda-benda yang berhubungan dengan kepentingan

dewa-dewa, hal-hal yang suci, atau hal-hal yang sangat diutamakan;

, seorang ahli hukum klasik Romawi yang menyamakan

hukum alam (natuurrecht) dengan ius gentium (hukum alam sekunder yang

khusus), menempatkan milik perseorangan (eigendom privat) sebagai hukum

alam (its naturale). Karena itu Gaius berbicara bertolak dari pengelompokan

benda-benda, di dalam mana termasuk juga tanah. Ia membagi benda-benda

atas atas dua golongan yaitu :

b. res humani iuris, atau benda – benda yang berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara

kepentingan manusia baik perorangan maupun masyarakat.

Benda-benda yang termasuk res vini iuris umumnya dipandang sebagai

benda-benda yang tidak dimiliki oleh siapapun, baik negara atau maupun pribadi

seperti:

a. res sacrae, yaitu benda-benda yang demi negara ditahbiskan ( disucikan

dengan upacara keagamaan).

b. res religionae, yaitu benda-benda yang dibiarkan untuk menjadi tempat

kediaman para arwah yang telah meningal dunia.

c. res sanetae, yaitu benda khusu yang memiliki arti sangat penting bagi negara

(kota) ; dinding-dinding dan pintu-pintu yang kota merupakan benda yang

sangat khusus dan penting untuk itu.

Sedangkan tanah yang termasuk res humani iuris ialah

5) res publicae, yaitu semua benda yang diperuntukan bagi dinas umum

6) resprivatea, yaitu benda-benda yang diperuntukan dan dimiliki oleh

perseorangan

Pandangan yang menyatakan bahwa negara bukan pemilik tanah, jelas

menunjukkan bahwa yang menjadi pemilik atas tanah adalah manusia alami.

Seperti yang telah dikemukan bahwa Gaius memandang sama hukum alam

dengan hukum alam sekunder khusus (ius gentium) dalam hal ini milik

perseorangan (eigendom privat) merupakan hukum alam (natuurrecht).

Secara alami eksistensi manusia senantiasa disertai dengan hak-hak yang

312 Seperti dikutip Ronald Zelfianus Titahelu. “Penetapan Asas-asas Hukum Umum ,op cit, hal. 92

Universitas Sumatera Utara

secara alami melekat padanya,termasuk hak untuk memiliki. Bagi Gaius milik

perseorangan ini adalah alami, dan karena itu bersifat asasi. Walaupun ada

pembatasan berupa penggunaan hak milik yang merugikan orang lain maka

Thomas Aquino (1225-1274) salah seorang penganut aliran hukum alam dari

aliran Skolastik pada pertengahan (400-1500) di Eropa Barat, melihat milik

perseorangan sebagai hak yang tidak bertentangan dengan hukum alam:

b. Sesuatu hal yang akan diperlakukan lebih teratur, apabila pemeliharaan dari

pada sesuatu hal itu diserahkan pada masing-masing orang itu sendiri, sebab

apabila semua orang diserahi pemeliharaaan semua hal tanpa diadakan

perbedaaan akan timbul kekacauan.

a. Setiap Orang lebih suka memperoleh sesuatu hal yang akan menjadi miliknya

sendiri, dari pada sesuatu hal yang menjadi milik bersama atau milik orang

banyak. Sebab setiap orang menghindarkan pekerjaan yang itu menjadi tugas

orang banyak seperti apabila banyak pelayan.

c. Di antara orang-orang akan ada perdamaian yang disebabkan karena setiap

itu puas dengan apa yang menjadi miliknya. Itu sebabnya mengapa dapat

dilihat bahwa diantara mereka .yang memiliki suatu hal bersama-sama lebih

sering timbul pertentangan-pertentangan.313

Hubungan yang terjalin, lahir melalui tindakan manusia atas tanah yang berkendak menjalin pertalian dengan tanah baik secara perseorangan (individu), keluarga maupun kelompok. Hubungan dilahirkan karena

313 Imam Soetiknjo, Undang-undang Pokok Agraria, Sekelumit Sejarah, Departemen Dalam Negeri. (Jakarta: Direktorat Jenderal Agraria,1985), hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

adanya suasana bathin yaitu rasa cocok atau tidak cocok. Sedangkan hak dilahirkan berdasarkan kenyataaan penguasaaan yaitu tetap atau sementaranya penguasaan oleh orang atau kelompok tertentu atas tanah yang diakuinya. Karena itu hubungan bersifat tetap dan langgeng atau abadi sedangkan hak bersifat semu karena dapat berubah- ubah.314

Hakekat dari hubungan magis itu adalah merupakan pernyataan yang

bersifat menegaskan bahwa telah terjalin pertalian atau ikatan nyata antara

manusia dengan tanah dengan alam roh yang menguasai tanah. Hal ini bermakna

bahwa roh-roh yang menguasai tanah secara gaib berhak dan berkewajiban untuk

menduduki dan mengusahakan tanah dengan sebaik-baiknya agar tanah bisa

mengeluarkan hasil yang menyenangkan semua pihak yang berkepentingan. Maka

anti dan makna hubungan magis itu, pertama-tama adalah bahwa tanah digunakan

untuk jaminan kehidupan jasmani dan rohani manusia maupun roh-roh yang

menduduki dan menguasai tanah.

Menurut Ter Haar, Kuat dan langgeng dinyatakan sebagai sama dengan

satu hubungan hukum (rechtsbetrekking). Dengan demikian, upacara ritual yang

lazim dilakukan pada saaat orang melakukan hubungan dengan tanah oleh Ter

Haar tidak di pandang semata-mata sebagai suatu upacara mistik akan tetapi suatu

dialog antara manusia dengan tanah dan alam roh dalam rangka mengadakan

jalinan hubungan hukum yaitu hubungan yang melahirkan hak dan kewajiban

diantara kedua belah pihak.

Untuk dapat dikatakan mempunyai hubungan dan hak-hak perorangan

314 Herman Soesangobeng, Kontektualisme filosofi Adat Tentang Tanah dan Penerapannya setelah UU No.5/1960 serta advokasi Pertanahan di Indonesia, makalah (Bandung: Akatiga), 21 Pebruari 1998, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

atas tanah haruslah memenuhi tiga syarat pokok yakni tempat tinggal, kedudukan

sebagai warga persekutuan dan intensitas penguasaaan serta pengolahan tanah315

artinya hanya rnereka yang bertempat tinggal dalam lingkungan ulayatlah yang

berhak memiliki hubungan dan hak perorangan yang kuat, baik secara individu,

keluarga maupun kelompok. Begitu pula hanya warga persekutuanlah yang yang

memiliki hak serta hubungan yang kuat terhadap tanah yang berada dalam

lingkungan tanah ulayat. Selanjutnya tentang syarat ketiga yaitu intensitas

penguasaan dan pengolahan tanah, artinya tanah yang secara terus menerus

diusahakan dan diolah sehingga memberikan hasil dan manfaat. Syarat ini

merupakan petunjuk bagi adanya sifat "menguncup mengembangnya" hubungan

ulayat dengan hak perorangan. Dengan diusahakan tanah secara terus menerus

dan hubungan penguasaan maupun pengolahan oleh seseorang ataupun keluarga

atas tanah, maka hubungan hak perorangan berkembang menjadi kuat dan penuh

sedangkan hubungan kewenangan ulayat mengucup dan menjadi bertambah

lemah begitupun sebaliknya.Meskipun demikian, hubungan kekuasaan dan

kewenangan ulayat, masih tetap meliputi dan menguasai hak perorangan yang

bersangkutan. Karena itu, bilamana ketiga syarat tersebut dibaikan, maka

hubungan hak perorangan atas tanah menjadi munguncup dan melemah atau

lenyap, tetapi sebaliknya hubungan kekuasaan ulayat pun menjadi berkembang

dan terpulihkan tanpa halangan apapun.316

315Ibid, hal. 29.

316 Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Op Cit, hal. 51.

Universitas Sumatera Utara

Atas dasar hubungan kewenangan dan kekuasaan ulayat maka

dikembangkan hak-hak perorangan maupun masyarakat atas tanah. Hak dan

kewenangan masyarakat atas tanah dapat dipilahkan menjadi tiga yaitu:

1. untuk mengatur dan menetapkan peruntukan serta penggunaan tanah

2. untuk mengendalikan penyimpangan atas peruntukan dan penggunaan tanah.

3. untuk memberikan tanah yang ditelantarkan kepada warga masyarakat lainnya

yang diakui berhak.

Sedangkan hak – hak perorangan yang dapat lahir ada empat yaitu:

1. Hak untuk mengambil hasil hutan serta pengairan dalam lingkungan ulayat

2. Hak untuk menanam dan memiliki bangunan atas tanah ulayat

3. Hak untuk membuka tanah dan hutan

4. Hak untuk mengalihkan hak atas tanah serta bangunan dan tanaman

diatasnya.

Adapun kedudukan hak penguasaan/ hak perorangan adalah merupakan

hak yang diciptakan berdasarkan kekuasaan masyarakat (ulayat). Hak ini tidak

bersifat abadi dan dikat oleh kekuasaan masyarakat. Ikatan mana bisa menjadi

kuat atau melemah bergantung pada lamanya penguasaan dan intensitas

pengolahan atas tanahnya. Lamanya waktu penguasaan itu biasanya dibuktikan

dengan adanya kewenangan meneruskan hak penguasaan berupa mewariskan

tanah kepada generasi penerus.

Universitas Sumatera Utara

Ter Haar317

Pemberian hak-hak perorangan atas tanah yang dibebankan diatas hak

ulayat, oleh Ter Haar dilihat sebagai suatu perbuatan hukum sepihak dari

masyarakat terhadap hak ulayatnya. Perbuatan sepihak itu dilihatnya sebagai

memberi hak perorangan atas tanah ulayat yang dihisap dari hak ulayat. Oleh

karenanya perbuatan itu dilihat sebagai suatu perbuatan mengalihkan hak, suatu

"transaksi" hak atas tanah,yaitu hak ulayat ke hak perorangan. Dengan istilahnya

Ter Haar itu di sebut sebagai Grondtransaktie.

memberikan istilah hukum atas hubungan tersebut yang

disebutnya erfelijk individueele bezitsrecht (hak penguasaan. perorangan yang

diwariskan) dan diterjemahkan oleh S. Poesponoto menjadi "hak milik

perorangan turun-temurun" sehingga dapat dipersamakan dengan hak milik yang

sering di sebut sebagai "hak milik adat"

318

Untuk melaksanakan hak memakai dan memanfaatkan tanah ulayat, hak-

hak perorangan yang membebani tanah ulayat tetap tunduk pada asas hukum

tanah adat yang pertama dan utama yaitu : "didalam pemakaian dan pemanfaatan

tanah ulayat atas dasar hak perorangan, kekuasaan masyarakat yang bersumber

pada hak ulayatnya tidak hilang atau tersisihkan oleh hak-hak perorangan yang

membebaninya. Segala macam hak perorangan atas tanah ulayat tetap hanya

menumpang saja di atas hak ulayat" dengan asas ini berarti bahwa setiap macam

hak perorangan yang ada diatas tanah ualayat, tetap berada dalam pengaruh dan

317Ibid, hal. 55

Universitas Sumatera Utara

pengawasan masyarakat sebagai pelaksana hak ulayat.

Dengan demikian setiap waktu masyarakat dapat mencampuri dalam

urusan pemakaian dan pemanfaatan hak perorangan yang bersangkutan bila

dalam pemakaian atau pemanfaatan hak perorangan oleh yang bersangkutan ada

hal-hal yang tidak sesuai atau berlawanan dengan prinsip-prinsip pemberian hak

perorangan tersebut.

Dalam sistem Hukum Adat, hak-hak pemakai dan pemanfaatan atas

tanah ulayat ada bermacam-macam. Berdasar pada pemakaian dan pemanfaatan,

ada hak-hak sebagai berikut:319

1)

2) hak kampung dan halaman

3) hak sawah, ladang atau empang

4) hak hutan

5) hak tanah kuburan hak mengambil hasil

6) 7)

hak tanah lapang

8) hak tanah keramat dan tanah ibadah

Di dalam hukum tanah Adat ada berbagai macam hak perorangan atas

tanah yang kekuatan dan isinya berbeda-beda. Macam-macam hak perorangan

atas tanah dilihat dari kualitasnya masing-masing yang berlainan itu, dalam

pokoknya ada tiga macam yaitu

hak pasar

1. hak milik : menyangkut penguasaan atas tanah danga sifatnya yang kuat

dan terbanyak isi muatannya

318 Moh Koesnoe, Kapita Selekta Hukum Adat Suatu Pemikiran Baru, (Jakarta: varia Peradilan Ikatan Hakim Indonesia, 2002), hal.110

319 I b i d

Universitas Sumatera Utara

2. hak pakai : hak yang isinya terbatas pada pemakaian tanah saja

3. hak ambil hasil : hak yang pada dasarnya tidak mengenai tanahnya, tetapi

hanya atas apa yang ada diatasnya.320

Hak ulayat masih sangat kuat dan besar pengaruhnya atas hak perorangan. Pengaruh hak ulayat atas hak perorangan tidak pernah lenyap sama sekali sebab hak ulayat tetap meliputi dan mempengaruhinya sehinggga pada saat hak itu diabaikan, maka kekuasaaan hak ulayat berlaku kembali secara penuh.

320Ibid

Universitas Sumatera Utara

BAB III FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA HAK ATAS TANAH

ADAT DI KABUPATEN SIMALUNGUN A. Pengertian Sengketa Pertanahan

1. Pengertian Sengketa Hukum Atas Tanah

Timbulnya sengketa hukum adalah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Akan tetapi dari alasan-alasan tersebut di atas, sebenarnya tujuannya akan berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah sengketa, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari sifat/masalah yang diajukan sehingga prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan.

Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara lain : a. Masalah/persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai

pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum

ada haknya.

b. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar

pemberian hak (perdata).

c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang

kurang/tidak benar.

d. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat

strategis).

Masalah berbeda dengan “sengketa”. Suatu masalah dapat bersifat teknis semata-mata yang penyelesaiannya cukup berupa petunjuk-petunjuk teknis/instruksi dinas yang biasanya merupakan cara pemecahan apabila sesuatu aparat pelaksanaan menemukan kesulitan teknis peraturan. Ini adalah fungsi dari Bimbingan Teknis, akan tetapi apabila yang mengajukan usul tersebut seorang warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh karena suatu penetapan seorang pejabat, misalnya : Seorang

Universitas Sumatera Utara

pemohon hak milik ternyata hanya dikabulkan dengan Hak Guna Bangunan atau hak lain, maka ini adalah tugas Pelayanan Masyarakat yang merupakan fungsi penyelesaian sengketa hukum/masalah hak-hak atas tanah.

2. Dasar-dasar dan Landasan Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Sebagaimana diketahui Undang-undang Pokok Agraria (undang-undang No.5 Tahun 1960 LN.Tahun 1960 No.104) di dalam Pasal 2 (dua), mengenai Hak Menguasai Negara atas Tanah telah diuraikan bahwa kewenangan-kewenangan dari negara tersebut adalah berupa : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan buni, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dari wewenang tersebut di atas, walaupun secara tegas-tegas tidak diatur, akan tetapi wewenang untuk memberikan sesuatu hak atas tanah adalah Negara Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia yang dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Direktur Jenderal Agraria.

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 kemudian menegaskan kembali wewenang tersebut dimana di dalam penjelasan mengenai Uitwijzing Procedure (Stb.1872 NO.118) mengenai penetapan hak atas tanah oleh Pengadilan Negeri dinyatakan tidak berlaku lagi.

Akibat dari keadaan di atas, maka lengkaplah wewenang pemberian hak tersebut dilakukan oleh pemerintah, sehingga setiap perselisihan maupun persengketaan hak atas tanah merupakan pula sebagian dari tugas pemerintah di dalam fungsi administrasi.

Sesuai dengan maksud dan tujuan Undang-undang Pokok Agraria, khususnya mengenai usaha-usaha meletakkan dasar-dasar dalam rangka mengadakan kepastian hukum atas tanah sebagaimana diatur dalam pasal 19, 23, 32 dan 38 yang menghendaki agar pemerintah menyelenggarakan Pendaftaran Tanah yang bersifat “rechts kadaster” dengan asas bahwa penguasaan saja terhadap suatu bidang tanah belum merupakan jaminan bahwa orang tersebut atas tanahnya (nemo plus yuris).

Penggunaan lembaga rechtsverwerking sebagai instrumen penguat sistem negatif, sifatnya paradoksal dengan asas hukum umum nemo plus yuris. Lembaga itu

Universitas Sumatera Utara

jelas tidak dapat menyelaraskan kedua kepentingan yang saling berhadapan, dan jika diberlakukan secara imperatief akan melanggar hak asasi pemilik yang sebenarnya.321

Kritikannya : Proses interaksi sosial dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah dapat

menjadi peluang timbulnya hubungan emosional antara aparat dan pemohon hak yang menyebabkan penyimpangan aturan sehingga dapat melahirkan produk pendaftaran cacat hukum.

Faktor lingkungan strategis, terefleksikan dalam berbagai kondisi seperti belum tertibnya administrasi pemilikan tanah pada sasaran pemerintahan tingkat desa/ kelurahan sehingga basis data pemilikan tanah, maupun data pemilikan tanah objek pajak hasil bumi pada institusi perpajakan.

Tingkat kesadaran hukum masyarakat di bidang pertanahan relatif masih rendah, sangat berpengaruh bagi efektifitas penyelenggaraan pendaftaran tanah, dan proses pendaftaran tanah memerlukan informasi dan kesaksian masyarakat.322

Dari hal-hal tersebut di atas, maka bukan suatu hal yang mustahil, terbuka kemungkinan timbulnya perselisihan/persengketaan hak baik materiil maupun secara formal.

Beberapa ketentuan peraturan yang dapat digunakan sebagai landasan operasional dari fungsi penyelesaian sengketa hukum atas tanah yaitu antara lain Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 (LN.Tahun 1961 No.28) pasal 29 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1972 (Pasal 12 dan 14) serta Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.72 Tahun 1981 jo.No.133 Tahun 1978.

Di samping terdapat beberapa petunjuk teknis mengenai penanganan sengketa antara lain beberapa Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria tanggal 4 Juli 1968 No.DDA 8/4/7/1968 ditegaskan kembali melalui Surat Edaran tanggal 14 Oktober 1981 No.Btu.10/271/10.81 mengenai penanganan perkara di Pengadilan dan Surat Edaran tanggal 21 Maret 1974 No.BA.3/219/3/74 mengenai kebijaksanaan terhadap proses penelitian, permohonan dan gugatan terhadap surat keputusan pemberian hak.

Dari hal-hal tersebut di atas, maka penyelesaian sengketa hukum yang merupakan sebagian dari tugas-tugas yang harus dipikul oleh Direktur Jenderal Agraria. Direktorat Pengurusan Hak-Hak Tanah, bukan hanya sekedar kewajiban melainkan sudah merupakan kebutuhan teknis bagi aparatnya yang memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh melalui cara-cara, prosedur dan pola yang konsisten.

3. Asas-asas yang harus diperhatikan dalam menyelesaiakan sengketa

tanah khususnya adalah asas penguasaan dan pemilikan tanah

321 Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, op cit, hal. 178-179 322 Ibid, hal 181-182.

Universitas Sumatera Utara

Asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan dan pemilikan tanah dan perlindungan yang diberikan oleh Hukum Tanah Nasional kita kepada para pemegang hak atas tanah, sebagai hukumnya suatu “negara yang berdasarkan atas hukum”, seperti yang ditegaskan dalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, adalah : a. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan

apapun,harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah

Nasional kita;

b. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya, tidak

dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (Undang-undang Nomor

51/Prp tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Izin yang Berhak atau

Kuasanya);

c. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang

disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh Hukum terhadap

gangguan oleh siapapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh

pihak penguasa/pemerintah sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan

hukumnya;

d. Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi

gangguan yang ada :

1) Gangguan oleh sesama anggota masyarakat : gugatan perdata melalui

Pengadilan Umum atau meminta perlindungan Bupati/Walikotamadya sebagai

yang diatur oleh UU No. 51/Prp/1960 di atas;

2) Gangguan oleh Pengusaha: gugatan melalui Pengadilan Umum atau

Pengadilan Tata Usaha Negara;

Universitas Sumatera Utara

3) Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan

apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang

dikehendaki seseorang, haruslah melalui musyawarah untuk mencapai

kesepakatan bersama. Baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak

yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak

pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya;

4) Bahwa sehubungan dengan apa yang tersebut diatas, dalam keadaan biasa,

untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan

dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya

untuk menyerahkan tanah kepunyaanya dan atau menerima imbalan yang

tidak disetujuinya;

5) Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan

diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, yang tidak mungkin

menggunakan tanah yang lain, dapat dilakukan pengambilannya secara paksa.

Dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya. Kemungkinan

dibuka oleh Undang-undang 20/1961 yang disebut di atas, dengan

menggunakan apa yang disebut acara pencabutan hak;

6) Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan

bersama maupun melalui pencabutan hak, pihak yang empunya tanah berhak

memperoleh imbalan atau ganti kerugian;

7) Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut haruslah

sedemikian rupa hingga bekas yang empunya tanah tidak mengalami

Universitas Sumatera Utara

kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun pada tingkat ekonominya. Ini

merupakan suatu asas Universal, yang dinyatakan secara tegas dalam

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah 39/1973 tentang Acara Penetapan

Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-

hak Atas Tanah dan benda-benda lain yang ada diatasnya. Pernyataan dalam

PP tersebut menunjukkan, bahwa dalam usaha memperoleh tanah untuk

penyelenggaraan kepentingan umum pun berlaku asas tersebut. Dalam

penentuan imbalan sebagai pengganti kerugian tidak ada perbedaan ukuran,

apakah tanah yang bersangkutan diperlukan bagi penyelenggaraan

kepentingan umum atau bukan.

B. Tipologi Sengketa Pertanahan

Tipologi sengketa pertanahan yang terjadi terkait dengan “hak atas tanah” menurut Hukum Adat versus “hak menguasai negara, hak-hak atas tanah menurut UUPA maupun dengan hak atas kawasan hutan”.

Sengketa adalah perbedaan pendapat mengenai323

1. Keabsahan suatu hak; :

2. Pemberian hak atas tanah;

3. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti

haknya, antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun pihak-pihak yang

berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.

Sedangkan pihak-pihak yang berkepentingan adalah pihak-pihak yang merasa

323 Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 77-82.

Universitas Sumatera Utara

mempunyai hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu atau pihak lain

yang kepentingannya terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut.

Masalah yang paling mendasar yang dihadapi di bidang pertanahan adalah suatu kenyataan bahwa persediaan tanah yang selalu terbatas, sedangkan kebutuhan manusia akan tanah selalu meningkat.

Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan tanah, adalah : 1. Pertumbuhan penduduk, 2. Meningkatnya kebutuhan penduduk akan ruang sebagai akibat peningkatan

kualitas hidup, 3. Meningkatnya fungsi kota terhadap daerah sekitarnya, 4. Terbatasnya persediaan tanah yang langsung dapat dikuasai atau

dimanfaatkan, 5. Meningkatnya pembangunan324

.

Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu:

1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah di areal kehutanan, perkebunan, dan lain-lain,

2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform, 3. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan

dan, 4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah325

.

Dari aspek substansinya, sengketa pertanahan dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut:

1. Sengketa tanah yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah, yaitu jual beli, tukar-menukar, hibah, lelang dan pewarisan.

2. Sengketa tanah yang berkaitan dengan hak atas tanah sebagai jaminan utang.

3. Sengketa tanah yang berkaitan dengan sewa-menyewa tanah 4. Sengketa tanah yang berkaitan dengan hak atas tanah yang bersifat

sementara, yaitu hak gadai (gadai tanah), hak usaha bagi hasil (perjanjian bagi hasil), hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.

5. Sengketa tanah yang berkaitan dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah.

6. Sengketa tanah yang berkaitan dengan hak ulayat.

324 Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Dalam Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal.8.

325 Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, op cit , hal. 170.

Universitas Sumatera Utara

7. Sengketa tanah yang berkaitan dengan pengambilan tanah hak untuk kepentingan Pemerintah maupun Perusahaan swasta

8. Sengketa tanah yang berkaitan dengan status hak atas tanah yang ada di kawasan perkebunan, kehutanan, pengairan atau pertambangan.

Tipologi Sengketa menyangkut : a. Sengketa Penguasaan dan Pemilikan b. Sengketa Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah c. Sengketa Batas Bidang Tanah d. Sengketa Ganti Rugi Eks Tanah Partikelir e. Sengketa Tanah Ulayat f. Sengketa Tanah Obyek Land Reform g. Sengketa Tanah eks Tanah Swaparja (Kesultanan) h. Sengketa Kawasan i. Sengketa Pewarisan j. Sengketa Tumpang Tindih Perijinan Penggunaan dan Pemanfaatan k. Sengketa Alokasi dan Pemanfaatan Ruang l. Sengketa Pelaksanaan Putusan Pengadilan m. Sengketa Tanah Nasionalisasi Badan Hukum Belanda n. Sengketa Tanah Eks Milik Belanda (Perorangan dan Badan Hukum) o. Sengketa Tanah Aset Bekas Milik Asing / Cina Terlarang p. Sengketa Tanah Konversi Eks Hak Barat326

Pihak – Pihak Yang Bersengketa : a. Orang dengan orang b. Perorangan dengan Badan Hukum c. Perorangan dengan Instansi Pemerintah d. Perorangan dalam Kekerabatan e. Perorangan dengan Masyarakat / Adat f. Masyarakat Adat dengan Masyarakat Adat g. Masyarakat dengan Masyarakat h. Masyarakat dengan Badan Hukum i. Masyarakat dengan Instansi Pemerintah j. Badan Hukum dengan Badan Hukum k. Badan Hukum dengan Instansi Pemerintah l. Badan Hukum dengan Masyarakat Adat m. Instansi Pemerintah dengan Masyarakat Adat n. Instansi Pemerintah dengan Instansi Pemerintah327

326 Yamin, Model Kebijakan Penyelesaian Konflik Tanah, op cit, 26 Juni 2012, hal. 41 327 i b i d

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hasil analisa terhadap permasalahan pertanahan, tipologi sengketa pertanahan, pada umumnya berkaitan dengan HGU di Sumatera Utara dapat dipaparkan sebagai berikut328

a. Sengketa penguasaan dan pemilikan tanah-tanah perkebunan, ditandai dengan tuntutan rakyat atas tanah bekas garapan pada areal perkebunan dengan dasar bukti alas hak yang diterbitkan pejabat terdahulu, yang diikuti dengan pendudukan dan penggarapan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati Hak Guna Usaha, baik yang masih berlaku maupun yang akan/ sudah berakhir haknya.

:

b. Sengketa prosedur penetapan hak dan pendaftaran tanah, ditandai dengan proses penelitian tanah oleh Panitia B yang menemukan adanya tuntutan/ garapan masyarakat dan juga penggarapan tanah pada areal perkebunan, namun karena tuntutan/ garapan tersebut tidak ditemukan dasar alas hak yang kuat, maka diterbitkan keputusan penetapan haknya dengan ketentuan apabila masih ada penggarapan di lapangan agar diselesaikan oleh penerima hak, kenyataannya, penggarap belum diselesaikan lalu diterbitkan sertifikat HGU-nya, belakangan masyarakat kembali mengajukan tuntutan.

c. Sengketa batas/ letak bidang tanah, ditandai dengan adanya hasil pengukuran secara fotogrametris di masa lalu, setelah dilakukan pengukuran secara teristris pada batas bidang tanah yang sama, maka ditemukan kelebihan luas, masyarakat menganggap tanah kelebihan luas tersebut adalah tanah rakyat.

d. Sengketa tanah ulayat, ditandai dengan tuntutan masyarakat/ organisasi adat etnis tertentu dengan mengklaim seluruh tanah perkebunan merupakan tanah hak tradisional etnisnya yang dahulu diberikan pengetua adat/ Sultan kepada perusahaan perkebunan asing dengan akta perjanjian/ konsesi.

e. Sengketa Obyek landreform, hal ini ditandai dengan setiap pengeluaran tanah perkebunan ditegaskan menjadi obyek landreform, akibat pendistribusian di masa lalu, kembali dipermasalahkan mengenai subyek dan obyek landreform.

f. Sengketa pelaksanaan putusan pengadilan ditandai dengan adanya putusan pengadilan dengan pihak yang berperkara antar warga/ kelompok masyarakat di atas tanah perkebunan yang dalam proses pemeriksaannya tidak mengikutsertakan perusahaan perkebunan sebagai salah satu pihak.

Sengketa pertanahan yang sudah dan sedang berlangsung dan mungkin tetap

akan berlangsung bila tidak dicarikan jalan keluarnya yang obyektif, dapat

dikelompokan menjadi beberapa pola atau tipologi.

328 Kanwil BPN Provsu, Seminar Hukum Konflik Pertanahan di Sumatera Utara, DPC IKADIN

Universitas Sumatera Utara

Berbagai jenis sengketa yang pernah atau sedang ditangani oleh Badan

Pertanahan Nasional (BPN), antara lain adalah sebagai berikut :

a. Sengketa di atas tanah perkebunan. Para pihak adalah masyarakat (termasuk masyarakat adat) vs Badan Hukum (PTPN/perkebunan swasta) dengan tuntutan pembatalan HGU, pengembalian tanah dan ganti rugi kerugian.

b. Sengketa di atas tanah yang termasuk kawasan hutan. Para pihak adalah masyarakat (termasuk masyarakat adat) vs instansi kehutanan dengan tuntutan permohonan hak atas tanah yang masih terdaftar sebagai kawasan hutan atau tuntutan pengembalian tanah masyarakat adat.

c. Sengketa di atas tanah yang telah dibebaskan oleh pengembang untuk perumahan/perkantoran/kawasan industri, dan lain-lain. Para pihak adalah masyarakat vs pengembang dengan tuntutan pembatalan Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama pengembang.

d. Sengketa di atas tanah obyek landreform. Para pihak adalah penggarap bukan penerima redistribusi vs penerima redistribusi obyek landreform atau penggarap bukan penerima redistribusi vs badan hukum.

e. Berbagai sengketa di atas tanah bekas tanah partikelir ex UU No. 1/1958. Para pihak adalah ahli waris bekas pemilik tanah partikelir vs pengembang atau ahli waris bekas pemilik tanah partikelir vs masyarakat dengan tuntutan pembatalan HGB pengembang atau pengendalian tanah.

f. Sengketa di atas tanah bekas hak barat. Para pihak adalah masyarakat vs masyarakat dengan tuntutan pembatalan hak asal konversi hak barat.

g. Sengketa di atas tanah yang dikuasai oleh ABRI (TNI AD, TNI AL, TNI AU). Para pihak adalah masyarakat vs pihak TNI dengan tuntutan pengembalian tanah dan pemberian hak kepada masyarakat, bila TNI memerlukannya agar memberikan ganti kerugian kepada masyarakat.

h. Sengketa antara masyarakat dengan PT KAI, PT Pelindo, dan lain-lain, dengan tuntutan pemberian hak atas tanah kepada masyarakat.

i. Sengketa-sengketa lain terkait dengan pendaftaran tanah yang berasal dari tumpang tindih girik dan eigendom, tumpang tindih girik, dan konflik yang berasal dari pelaksanaan putusan pengadilan.329

Di samping tipologi sengketa tersebut di atas, pernah disusun pola sengketa agraria oleh KPA, yang ruang lingkupnya lebih luas dibandingkan dengan tanah, sebagai berikut :

a. Sengketa agraria karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan dieksloitasi secara massif.

MEDAN, Balai Raya Tiara Convention Hall- Medan, 21 April 2012 329 Maria S.W Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi,op cit, hal.109.

Universitas Sumatera Utara

b. Sengketa agraria akibat program swasembada beras yang pada praktiknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah, serta konflik-konflik yang bersumber pada keharusan petani untuk menggunakan bibit-bibit unggul maupun masukan-masukan non organik seperti pestisida, pupuk urea dan sebagainya.

c. Sengketa agraria di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan penerbitan HGU maupun karena pembangunan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan program sejenisnya seperti, Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).

d. Sengketa akibat penggusuran-penggusuran di atas lahan yang hendak dimanfaatkan untuk industri pariwisata, real estate, kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik dan sebagainya.

e. Sengketa agraria akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan.

f. Sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional atau hutan lindung, dan sebagainya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan.

g. Sengketa akibat penutupan akses masyarakat untuk memanfaatkan sumber-sumber agraria nontanah (perairan, udara, dan isi perut bumi) dan menggantikannya dengan hak-hak pemanfaatan terbatas untuk sekelompok kecil orang atau perusahaan tertentu meskipun sumber-sumber agraria tersebut berada dalam kawasan yang selama ini menjadi bagian dari kawasan tenurial lokal dari masyarakat setempat atau merupakan kawasan bebas.330

Dalam perkembangannya, berdasarkan data yang terekam oleh Resource Center KPA tahun 2001, macam atau jenis sengketa berdasarkan peruntukannya sebagai akibat putusan pejabat publik adalah sebagai berikut :

Badan Pertanahan Nasional (BPN) membagi permasalahan pertanahan dalam

8 (delapan) kelompok besar, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 5 Permasalahan Pertanahan oleh BPN

No. Jenis Sengketa Jumlah %

1. Perkebunan 344 19,6

2. Sarana Umum/Fasilitas Perkotaan 243 13,9

3. Perumahan/Kota Baru 232 13,2

4. Kehutanan Produksi 141 8,0

5. Kawasan Industri/Pabrik 115 6,6

6. Bendungan/Pengairan 77 4,4

7. Turisme/Hotel/Resort 73 4,2

8. Pertambangan 59 3,4

9. Sarana Militer 47 2,7

10. Kehutanan Konservasi/Lindung 44 2,5

11. Pertambakan 36 2,1

12. Sarana Pemerintah 33 1,9

13. Perairan 20 1,1

14 Transmigrasi 11 0,6

15. Lain-lain 278 15,9

Jumlah Seluruh Sengketa 1.753 100

Sumber : Diolah dari Data Base Konflik Agraria KPA, entry due to Dec 30,

2001

a. Masalah/sengketa tanah perkebunan. b. Masalah penggarapan tanah kawasan hutan oleh masyarakat. c. Masalah yang berkaitan dengan putusan pengadilan oleh pihak yang kalah. d. Masalah permohonan pendaftaran yang berkaitan dengan tumpang tindih

hak sengketa batas.

330 Dianto Bachriadi, Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Lembaga Peradilan yang Independen, dalam Usulan Revisi UUPA, (Jakarta: KRHN-KPA,1998), hal.110.

Universitas Sumatera Utara

e. Masalah berkaitan dengan pendudukan tanah/atau tuntutan ganti rugi masyarakat atas tanah-tanah yang telah dibebaskan oleh pihak swasta untuk berbagi kegiatan.

f. Masalah yang berkaitan dengan klaim sebagai tanah ulayat. g. Masalah yang berkaitan dengan tukar menukar tanah bengkok desa yang

telah menjadi kelurahan. h. Masalah-masalah lainnya, seperti sengketa dari pemanfaatan lahan tidur dan

tanah terlantar.331

Secara garis besar, tipologi sengketa pertanahan dapat dipilah menjadi lima kelompok, yakni : a. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan atau pendudukan rakyat atas areal

perkebunan, kehutanan, dan tanah-tanah yang dikuasai BUMN, ABRI (TNI AD,

TNI AL, TNI AU);

b. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform;

c. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk

pembangunan;

d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;

e. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.

Tanpa mengurangi arti penting kelima pola sengketa pertanahan tersebut di atas, diperlukan perhatian berkenaan dengan sengketa tanah ulayat karena dinamika perkembangannya yang diawali dengan terbitnya UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak ulayat sebagai salah satu wujud hak-hak adat dihormati dan dilindungi oleh berbagai konvensi internasional maupun berbagai peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup nasional maupun regional.

Pengakuan dan penghormatan atas tanah ulayat, dalam peraturan perundang-undengan dalam lingkup nasional, regional maupun lokal, dapat diduga akan menimbulkan peluang terjadinya sengketa berkenaan dengan tanah ulayat baik antara masyarakat adat maupun antara masyarakat adat dengan pihak-pihak yang akan memanfaatkan tanah ulayat yang bersangkutan. Oleh karena itu, perhatian

331 Badan Pertanahan Nasional, 2003.

Universitas Sumatera Utara

secukupnya harus diberikan terhadap jalan keluar untuk menyelesaikan atau paling tidak meminimalkan sengketa berkenaan dengan tanah ulayat tersebut.

Sengketa pertanahan yang timbul dewasa ini, pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok sebagai berikut :

1). Sengketa pertanahan yang bersifat politis Sengketa pertanahan yang bersifat politis biasanya ditandai dari hal-hal

sebagai berikut : 1). Melibatkan masyarakat banyak. 2). Menimbulkan keresahan dan kerawanan masyarakat. 3). Menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban. 4). Menimbulkan ketidak-percayaan kepada pemerintah/ penyelenggara Negara. 5). Mengganggu penyelenggaraan pembangunan nasional, serta menimbulkan

bahaya disintegrasi bangsa. Sengketa yang bersifat politis ini biasanya tidak didasarkan pada alasan-

alasan hukum melainkan dengan memanfaatkan isu-isu populis sehingga terbentuk opini masyarakat yang mengarah pada ketidak-percayaan masyarakat kepada pemerintah. Keadaan seperti ini lebih lanjut akan melahirkan gangguan-gangguan sosial, politik, ekonomi maupun keamanan. Meskipun demikian sengketa-sengketa yang tidak bersifat politis pun apabila tidak ditangani secara adil dapat berkembang menjadi sengketa yang bersifat politis.

Sengketa yang bersifat politis tersebut antara lain disebabkan : 1). Eksploitasi dan dramatisasi ketimpangan-ketimpangan keadaan penguasaan dan

pemilikan tanah di dalam masyarakat, dan 2). Tuntutan keadilan dan keberpihakan pada golongan ekonomi lemah.

Manifestasi dari bentuk sengketa yang bersifat politis di atas, dilakukan dalam bentuk unjuk rasa, penekanan-penekanan kepada institusi pemerintah dengan melalui institusi yang dirasakan dapat menyalurkan aspirasi masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat, lembaga perwakilan rakyat, Komisi Nasional HAM, Komisi Ombudsman bahkan sampai ke lembaga kepresidenan.

Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang bersifat strategis antara lain : 1). Tuntutan pengembalian tanah (reclaiming action) sebagai akibat pengambilan

tanah pada jaman pemerintahan kolonial. 2). Tuntutan pengembalian tanah garapan yang kini dikuasai pihak lain. 3). Penyerobotan tanah-tanah perkebunan. 4). Pendudukan tanah-tanah asset instansi pemerintah. 5). Tuntutan pemberian hak atas tanah bekas tanah partikelir yang diduduki rakyat. 6). Tuntutan pengembalian tanah atau tuntutan ganti rugi sebagai akibat kebijakan

pembebasan tanah untuk pembangunan di masa lalu. 7). Tuntutan penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat atas tanah ulayat di

wilayahnya.

Universitas Sumatera Utara

8). Tuntutan pengembalian tanah yang dikuasai rakyat dalam skala besar yang diambilalih oleh pihak tertentu.

9). Tuntutan redistribusi tanah yang terkena obyek landreform. 10). Tuntutan atas proses perolehan hak tanah yang tidak mempertimbangkan

ketersediaan tanah bagi masyarakat atau kepentingan masyarakat disekitarnya. 11). Tuntutan pengembalian tanah yang penggunaannya tidak sesuai dengan ijin

lokasi. 12). Masalah tanah milik warganegara Belanda yang terkena ketentuan Undang-

undang No. 3 Tahun 1960. 13). Masalah tanah milik organisasi terlarang. 14). Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari kegiatan pengadaan tanah

untuk pembangunan dalam skala besar. 15). Dan sebagainya.

Terhadap bentuk sengketa pertanahan yang bersifat strategis pada sub bab 5), sengketa tanah bekas milik partikelir.

Banyak terjadi sengketa atas tanah bekas milik partikelir seperti di Kabupaten Simalungun. Sengketa-sengketa yang terjadi itu adalah akibat terjadinya mutasi (pergantian) penguasa tanahnya yang tidak diikuti dengan penyelesaian administratif, bahkan sering terjadi pemegang hak semula sudah tidak diketahui lagi. Dari segi administrasi pajak dapat terjadi terhadap sebidang tanah yang sudah berkali-kali mengalami perubahan obyek pajak, tetapi dari segi hukum belum terjadi pergantian pemegang haknya sebagaimana diatur dalam PP No.10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diubah dengan PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Masalah ini mengakibatkan tidak adanya suatu kepastian dari segi hukum.

Hal yang sama juga sering terjadi terhadap tanah-tanah yang melebihi batas luas maksimum dan tanah-tanah “absentee” yang didistribusikan tahun 1960, yang ternyata baru dilakukan pembayaran ganti-ruginya sejak tahun 1980.

Berdasarkan UU No.1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah partikelir dan diikuti dengan pembayaran ganti-rugi kepada pemiliknya terlalu lama sejak dikelurkannya UU tsb, yaitu baru sekitar th 1980 (sampai saat ini). Jangka waktu tersebut terlalu lama mengendapkan masalah ganti-rugi yang akibatnya belakangan ini juga masih dirasakan dan erat kaitannya dengan perubahan harga tanah yang dalam waktu yang begitu lama itu.

Akibat dari kondisi yang disebutkan di muka adalah terjadinya komplikasi yang akhirnya menimbulkan sering terjadinya manipulasi dalam bidang pertanahan antara lain munculnya sertifikat palsu, sertifikat aspal (asli tapi palsu), dan sertifikat ganda. Ketiga jenis manipulasi tersebut telah banyak terjadi di masyarakat, padahal sertifikat tanah adalah bukti hak atau alat pembuktian pemilikannya, sehingga merupakan dokumen yang sangat bernilai. Pemalsuan-pemalsuan semacam itu

Universitas Sumatera Utara

sebenarnya sudah masuk ke wilayah perbuatan kriminal seperti halnya juga terhadap pemalsuan uang, paspor atau ijazah.332

2). Sengketa pertanahan beraspek sosial-ekonomis

Masalah ini timbul sebagai akibat ketimpangan dan kecemburuan sosial dalam pemilikan tanah antara masyarakat dengan pemilik tanah luas (perusahaan). Adanya ketimpangan tersebut secara tajam dapat mendorong aksi masyarakat untuk menyerobot tanah yang bukan miliknya. Hal ini disebabkan kebutuhan masyarakat akan tanah untuk mendukung penghidupannya. Penyerobotan juga sering terjadi pada tanah-tanah kosong atau tanah-tanah yang terlantar.

Faktor-faktor pendorong timbulnya penyerobotan tanah disamping adanya kesenjangan sosial-ekonomi juga karena pihak pemilik tanah yang tidak memperhatikan kewajibannya. Berdasarkan ketentuan dasarnya, setiap pemegang hak dibebani dengan kewajiban-kewajiban tertentu yang haris dilaksanakan antara lain : a. Mengusahakan tanahnya secara aktif.

b. Menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah.

c. Menjaga batas-batas tanah.

d. Mengusahakan tanahnya sesuai dengan peruntukannya.

Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut dapat mengundang masuknya pihak-pihak yang tidak berhak untuk menguasai tanah dimaksud. Hal ini akan menyebabkan terjadinya sengketa antara pemilik tanah dengan pihak-pihak yang menguasai secara tidak berhak tersebut.

Sengketa tersebut tidak hanya disebabkan kurang adanya pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah, melainkan dapat juga disebabkan kurang tersedianya lapangan kerja. Sementara kebutuhan dalam kehidupan sosial menuntut untuk dipenuhi, maka pendudukan tanah secara tidak sah merupakan keterpaksaan yang dilakukan.

3) Sengketa pertanahan yang bersifat keperdataan

Sengketa ini berkaitan dengan hak-hak keperdataan, baik oleh subyek hak maupun oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap obyek haknya (tanah). Adapun yang menjadi pokok permasalahan berkaitan dengan kepastian hak atas tanahnya.

Sebagaimana diketahui bahwa proses penetapan suatu hak atas tanah, termasuk penerbitan surat keputusan dan sertifikatnya, sangat tergantung pada data fisik dan data yuridis yang disampaikan pihak yang menerima hak kepada Badan Pertanahan Nasional. Apabila data yang disampaikan mengandung kelemahan-kelemahan, maka

332Soni Harsono : Pokok-pokok Kebijaksanaan Bidang Pertanahan dalam Pembangunan Nasional, dalam Analisis CSIS, hal. 94.

Universitas Sumatera Utara

demikian pula kualitas kepastian hukum mengenai hak atas tanah akan mengandung kelemahan yang pada suatu saat dapat dibatalkan apabila terbukti cacat administrasi maupun cacat hukum.

Sistem publikasi pendaftaran tanah di Indonesia yang menganut stelsel negatif yang bertendens positif, tidak memungkinkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum secara mutlak. Jaminan kepastian hukum dimaksud hanya ada apabila data fisik dan dan data yuridis yang tercantum di dalam buku tanah, sertifikat dan daftar-daftar isian lainnya, sesuai dengan kenyataannya di lapangan. Oleh karena itu, suatu hak atas tanah masih terbuka untuk dibatalkan, baik berdasarkan putusan badan peradilan maupun berdasarkan kenyataan yang sebenarnya di lapangan. Dengan demikian maka keabsahan atas hak sebagai dasar penetapan suatu hak tanah sangat penting dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum.

Meskipun menganut stelsel negatif, tidak berarti dalam memproses suatu hak, Badan Pertanahan Nasional bersikap pasif. Dalam rangka pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik, proses penerbitan hak selalu dilakukan dengan standar ketelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu dengan jalan dilakukan penelitian riwayat tanah, penetapan batas secara contradictoire delimitatie, diumumkan serta dibukanya kesempatan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan keberatan.

4) Sengketa pertanahan yang bersifat administratif

Administrasi atau administrasi negara (sebagaimana diuraikan Prajudi Atmosudirdjo), dalam Ilmu Hukum pada hakikatnya adalah sebagai aparatur negara yang digerakkan oleh pemerintah guna menyelenggarakan Undang-undang, kebijaksanaan-kebijaksanaan, kehendak-kehendak dari pemerintah yang berfungsi dan bergerak melalui proses tata kerja penyelenggaraan atau proses teknis.

Perbuatan administrasi negara dalam menyelenggarakan kehendak pemerintah

yang dimaksud adalah :

1) Perbuatan Administrasi Negara

Kegiatan-kegiatan administrasi negara tersebut dapat berupa perbuatan-perbuatan administrasi biasa (non-yuridis) atau perbuatan-perbuatan hukum administrasi (yuridis) yang secara langsung menciptakan akibat-akibat hukum. Selanjutnya disini yang dibicarakan hanya terbatas kepada perbuatan-perbuatan hukum (rechtshandeling) administrasi saja, yaitu yang berupa : a) Penetapan

b) Rencana (plan)

c) Norma Jabaran (concreete normgiving)

Universitas Sumatera Utara

d) Legislasi semu (pseudo wetgiving)

Dimana biasanya orang awam sehari-hari menyebut keempat macam hukum tersebut dengan istilah “keputusan pemerintah” saja. ad. a) Penetapan (beschiking)

Penetapan adalah merupakan perbuatan hukum sepihak yang bersifat

administrasi negara yang dilakukan oleh pejabat atau instansi yang berwenang dan

berwajib khusus untuk itu.

Penetapan yang dimaksud disini terbatas pengertiannya, hanya kepada

penetapan yang dibuat oleh badan administrasi negara, oleh karena badan yudikatif

(pengadilan) maupun legislatif juga mengeluarkan penetapan-penetapan misalnya

Penetapan Waris, Wali dan sebagainya.

Secara formil maka bentuk penetapan ini biasanya disusun secara tertulis di

dalam wujud Surat Keputusan (SK/SKEP). Suatu penetapan atau keputusan

administrasi negara dilihat dari segi isi/amarnya, dapat bersifat negatif yaitu apabila

berisi penolakan terhadap suatu permohonan, atau yang bersifat positif yaitu yang

biasanya mengandung hal-hal yang menguntungkan.

Penetapan ini adalah berupa : (1) Penetapan yang menciptakan keadaan hukum baru yang terbatas kepada suatu

objek tertentu saja. (Misalnya Penetapan Menteri yang menegaskan status

daripada tanah partikulir UU No. 1 Tahun 1958, menjadi tanah negara).

(2) Penetapan yang menciptakan keadaan hukum (rechtstoestand) baru secara

umum (misalnya penetapan berlakunya undang-undang suatu wilayah)

Universitas Sumatera Utara

(3) Penetapan yang membentuk/menciptakan atau membubarkan suatu badan

hukum (misalnya Keputusan Menteri yang menetapkan badan-badan hukum

tertentu saja yang dapat berusaha di bidang real estate, penunjukkan badan

hukum tertentu yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, PP No. 38 Tahun

1963).

(4) Penetapan yang membebani kewajiban tertentu kepada suatu badan,

perorangan (misalnya Surat Keputusan yang mewajibkan untuk membayar

sejumlah uang pemasukan dalam rangka pemberian hak-Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 1 tahun 1975, Surat Keputusan kesediaan Pemerintah

untuk membayar sejumlah ganti rugi atas tanah yang telah ditegaskan terkena

Undang-undang No. 1 Tahun 1958).

(5) Penetapan yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan,

perusahaan atau perorangan yang biasanya berbentuk :

(a) Dispensasi : yaitu penetapan yang bersifat declaratoir yang menyatakan suatu peraturan tidak berlaku terhadap kasus yang dimohon, misalnya Surat Keputusan untuk memberikan keringanan/ pembebasan uang pemasukan.

(b) Izin (vergunning): yaitu yang merupakan dispensasi dari suatu Larangan

peraturan pemohon memenuhi syarat-syarat untuk

izin untuk menggunakan tanah/menguasai sebidang

tanah.

(c) Lisensi sama dengan izin yang biasanya diberikan untuk usaha-usaha

yang bersifat komersial.

Universitas Sumatera Utara

(d) Konsepsi : suatu penetapan yang di dalamnya terkandung

dispensasi, izin-izin, lisensi-lisensi dan lain

sebagainya dalam suatu paket. Konsensi ini tidak

mudah diberikan oleh karena erat hubungannya

dengan kelestarian dan pemeliharaan lingkungan

hidup, misalnya konsensi pertambangan, konsensi

hutan dan lain sebagainya.

ad.b) Rencana (plan)

Rencana adalah merupakan suatu perbuatan hukum sepihak dari administrasi

negara yang menciptakan hubungan hukum antara penguasa dan warga masyarakat

yaitu berupa seperangkat tindakan-tindakan terpadu dengan tujuan agar tercipta suatu

keadaan yang tertib apabila tindakan tersebut nanti direalisasi. Tindakan-tindakan

tersebut misalnya suatu perizinan mendirikan bangunan serta penggunaan tanah di

suatu kawasan.

Asas hukum dari suatu rencana adalah bahwa semua pihak/warga masyarakat

yang terkena rencana, wajib diajak musyawarah sekurangkurangnya didengarkan

pendapatnya atau lebih kurang lagi mereka mengetahui apa yang

ditentukan/dimaksudkan oleh pemerintah terhadap tanah/kawasan di sekitar tanahnya

(asas legitimasi). Seorang pemilik tanah tidak hanya harus mengetahui, tapi

sebaiknya juga mengerti mengapa pemerintah menetapkan peruntukkanya, yang

lazim kita ketahui adalah misalnya rencana tata kota, rencana penggunaan tanah (land

use plan), rencana tata wilayah dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

ad.c) Norma jabaran (concreete normgiving)

Norma jabaran adalah suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) administrasi

negara dengan maksud agar suatu ketentuan undang-undang mempunyai isi yang konkret

dan praktis guna diterapkan menurut keadaan, waktu dan tempat.

Norma jabaran bukan merupakan penetapan (beschikking), melainkan sarana

agar suatu ketentuan umum perundang-undengan dapat diterapkan dalam praktek.

Contoh yang menonjol dalam penjabaran ini adalah dalam bentuk Surat

Edaran (SE) atau surat Instruksi Dinas (SID). Oleh karena merupakan suatu

perbuatan hukum, maka akibatnya adalah mengikat kepada pihak yang bersangkutan,

badan administrasi negara sendiri dan mempunyai sangsi hukum.

ad.d) Legislasi Semu

Legislasi semu adalah penciptaan hukum oleh pejabat administrasi negara yang

berwenang yang dimaksudkan sebagai garis-garis pedoman kebijaksanaan (policy)

untuk menjalankan suatu ketentuan undang-undang.

Disebut “semu” di sini oleh karena undang-undang adalah merupakan produk

dari badan legislatif, sedangkan policy pelaksanaannya ketentuan undang-undang ini

adalah dipunyai oleh administrasi negara, maka oleh karena itu disebut juga dengan

Hukum Bayangan dari undang-undang yang bersangkutan.

Legislasi semu hanya mengikat langsung kepada pelaksananya (para pejabat)

berdasarkan instruksi atau perintah atasan (dari sifatnya adalah intern) walaupun

secara tidak langsung, mengikat juga warga masyarakat yang berkepentingan.

Universitas Sumatera Utara

Atas hal tersebut di atas, maka hakim pengadilan tidak terikat pada ketentuan

legislasi tersebut, oleh karena aturan-aturan tersebut bukan merupakan hukum

(contohnya adalah pedoman pelaksana P3MB, Instruksi Pedoman Pelaksanaan

KEPPRES No. 32 Tahun 1979 dan lain-lain).

Dari uraian di atas sebenarnya kewenangan administrasi negara untuk

membuat peraturan tersebut adalah :

a). Undang menjabarkan secara normatif ketentuan-ketentuan undang-undang menjadi peraturan-peraturan.

b). Interpretasi (penafsiran) pasal-pasal undang-undang yang dijadikan peraturan atau instruksi dinas.

c). Penetapan/penciptaan kondisi nyata untuk membuat ketetnuan-ketentuan undang-undang agar dapat direalisasikan (menjadi operasional).

2) Penetapan-penetapan yang Mengakibatkan Timbulnya Sengketa

Penetapan-penetapan yang sering menyebabkan sengketa pada umumnya adalah perbuatan (hukum) administrasi yang mengandung kekurangan (kesalahan, kekeliruan, keterlambatan, keganjilan, keanehan dan lain-lain sebagainya) di dalam penetapannya.

Jika dikaitkan dengan teori “Sistem Hukum” dari Lawrence M.Friedman, tiga komponen utama yang dimiliki sistem hukum adalah legal structure, legal substance and legal culture. Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama lainnya.333

Penetapan adalah merupakan perbuatan hukum sepihak yang bersifat administrasi negara yang dilakukan oleh pejabat atau instansi yang berwenang dan berwajib khusus untuk itu. Penetapan biasanya berbentuk : dispensasi, izin (vergunning), lisensi, konsepsi.

Pejabat tertinggi dalam suatu lembaga pemerintah misalnya, bertanggung jawab hanya kepada presiden, dan ini memungkinkan tumbulnya celah bahwa mereka tidak bertanggungjawab kepada rakyat. Sebagai akibatnya maka 334

1. Pengambil keputusan mengutamakan politik

2. Kebijakan dan aturan yang dibuat meletakkan rakyat tidak dalam prioritas 3. Tingginya kemungkinan intervensi dalam pengambilan keputusan

333 Lawrence M.Friedman, American Law,op cit, hal 5-6. 334 Harkristuti, Harkrisnowo : Paradigma Peningkatan Daya Saing dalam Kerangka Good Governance,

makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan tingkat II Angkatan III yang disampaikan oleh Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, 2 Oktober 2009.

Universitas Sumatera Utara

4. Pemilihan tidak berdasar meritocracy 5. Tingginya kemungkinan perubahan kebijakan dari satu pimpinan ke pimpinan

lain, yang merugikan konsistensi dan kesinambungan suatu program. 6. Peraturan kebijaksanaan (policy rules, beleidsregel) yang lebih bersumber

pada kebebasan bertindak (Freis Ermessen) yang seringkali tidak mengindahkan asas umum penyelenggaraan administrasi Negara yang baik dan wajar (The General Principles of Good Administration)

Oleh karenanya tidak keras apabila seperti di daerah Kabupaten Simalungun, sering terjadi perubahan peruntukan yang semula fasilitas umum (fasum) atau fasilitas sosial (fasos) berubah menjadi perumahan atau perkantoran, dan lainnya yang sifatnya komersil. Contoh lain : Gedung SMA Negeri No.4 Pematangsiantar akan diambilalih menjadi “swalayan” yang menimbulkan konflik berkepanjangan ditandai dengan adanya demonstrasi yang mengakibatkan kekerasan (± tahun 2009) Karenanya, paling tidak terdapat 4 (empat) hal yang harus dihasilkan atau dipenuhi oleh suatu sistem hukum :

1. Sistem hukum secara umum harus dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan masyarakat atas sistem tersebut.

2. Harus dapat menyediakan skema normatif, walaupun fungsi penyelesaian sengketa tersebut tidak semata-mata menjadi monopoli sistem hukum, paling tidak harus dapat menyediakan mekanisme itu dimana orang dapat membawa kasusnya untuk diselesaikan

3. Sebagai kontrol sosial, aparatur hukum : polisi, hakim harus menegakkan hukum. Sistem hukum harus menyediakan panduan normatif bagi aparatur hukum dalam penegakan hukum

4. Harus bisa sebagai instrumen perubahan tatanan sosial atau rekayasa sosial.335

Faktor-faktor yang menjadi penyebab antara lain adalah terlalu luasnya tugas

pemerintah, peraturan-peraturan pelaksanaan (juklak) yang tidak atau kurang jelas,

kurangnya pedoman yang diberikan serta kurangnya pengetahuan teknis aparat

pelaksana dan lain-lain kiranya tidak perlu dibahas lagi di sini.

335 ibid, hal 161

Universitas Sumatera Utara

Dari banyaknya perbuatan-perbuatan hukum yang mengandung kekurangan

tersebut tidak seluruhnya dipersoalkan masyarakat, oleh karena mungkin

sikap/perilaku masyarakat kita sebagian besar masih menganut sikap pasif (sikap

menerima nasib, pasrah bongkokan dan lain sebagainya).

Perbuatan hukum administrasi yang mengandung kekurangan tersebut

bentuknya bermacam-macam, yang dapat digolongkan sebagai berikut :

a). Perbuatan hukum tersebut dilakukan di bawah wewenangnya, akan tetapi tidak mengindahkan cara-cara atau bentuk-bentuk yang ditentukan oleh peraturan/ketentuan dasarnya (proseduril).

b). Perbuatan hukum tersebut dilakukan di bawah wewenangnya, serta sesuai dengan tata cara dan bentuk yang ditentukan oleh peraturan (proseduril) akan tetapi isinya bertentangan dengan hukum/melanggar moral/etika/tata susila.

c). Perbuatan hukum tersebut dilakukan di bawah wewenangnya dan menurut prosedur, akan tetapi keputusan yang diambil mengandung unsur-unsur paksaan, penipuan, kekhilafan serta pengaruh negatif dari pihak ketiga.

d). Perbuatan hukum tersebut dilakukan di bawah wewenangnya dan menurut prosedur, akan tetapi hanya memutuskan sebagian saja dari seluruh urusan.

e). Perbuatan hukum tersebut dilakukan di bawah wewenangnya dan menurut prosedur, akan tetapi ditambah syarat-syarat yang ternyata syarat-syarat tersebut bukan termasuk wewenangnya (detournement depouvoir), misalnya ijin mendirikan bangunan disertai syarat, ijin tersebut diberikan apabila permohon mau menyerahkan tanahnya secara cuma-cuma untuk pelebaran jalan.

f). Perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ administrasi tersebut tidak jelas wewenangnya, baik mengenai materi atau urusan yang diputuskan.

Bagaimana daya berlaku hukum (validitas) dari suatu perbuatan (hukum administrasi) yang mengandung kekurangan, sehingga keputusan yang diambil itu mempunyai cacad.

Pada prinsipnya, setiap tindakan hukum administrasi walaupun dilakukan di bawah wewenangnya, akan tetapi apabila mengandung kekurangan adalah tidak sah. Ini adalah di dalam hubungannya dengan azas kepastian hukum (rechszekerheid) dan kewibawaan pemerintah (weting gezag).

Apakah terhadap keputusan yang demikian tidak dapat diminta koreksi atau peninjauan kembali sehubungan dengan cacad atau kekurangan yang dikandungnya. Kita harus melihat dari dua hal, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1) Apakah terhadap perbuatan hukum administrasi tersebut dapat dimintakan

banding kepada instansi atasan dengan tata cara atau prosedur yang telah

ditentukan.

2) Terhadap keadaan tersebut menurut peraturan tidak terbuka kemungkinan untuk

mengadakan banding/protes.

Namun demikian bilamana menurut peraturan dapat dilakukan banding, akan tetapi walaupun keputusan tersebut mengandung kekurangan, ia tetap berlaku sah selama tidak ada pengaduan atau permintaan banding sampai jangka waktu tertentu Kadaluwarsa).

Sebaliknya apabila terhadap perbuatan hukum tersebut tidak dimungkinkan

banding, maka organ adiministrasi yang bersangkutan, dapat sewaktu-waktu menarik

kembali/meninjau kembali, tindakan hukum administrasi dengan disertai pembayaran

ganti rugi kepada masyarakat yang bersangkutan, dengan catatan apabila ternyata

kekeliruan tersebut terletak pada organ/pejabat administrasi itu sendiri dan bilamana

karena tidak baik dari warga masyarakat yang bersangkutan.

Bilamana kasus terlalu berat dipandang dari segi hukum, maka persoalannya

dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk meminta keputusan hakim.

Hal tersebut di atas dapat kita bandingkan dengan stelsel positif atau negatif di

dalam sistem administrasi pendaftaran tanah yang dianut oleh Undang-undang Pokok

Agraria.

Penanganan Sengketa Hukum Administrasi Dari penetapan-penetapan yang mengandung kekurangan sebagaimana telah

diuraikan di atas, menurut materinya dapat di golongkan bahwa kekurangan-kekurangan yang menyebabkan penetapan tersebut mengandung cacad, pada dasarnya adalah merupakan akibatnya adanya : 1) Penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan peraturan yang bersifat administrasi

Universitas Sumatera Utara

Penyelesaian sengketa yang paling baik sebenarnya adalah dengan melalui proses pengadilan. Selama ini di dalam praktek menurut yurisprudensi, maka Pengadilan Negeri dapat menyatakan dirinya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara/sengketa administrasi sepanjang Peradilan Tata Usaha Negara belum berlaku/diatur dalam undang-undang.

2) Penyimpangan-penyimpangan yang bersifat pidana

Penyimpangan-penyimpangan yang demikian ini ada, apabila ternyata dari perbuatan hukum administrasi yang dilakukan oleh pejabat tersebut, mengandung aspek pidana (kejahatan/pelanggaran jabatan) sebagaimana diatur dalam ketentuan, baik KUHP umum maupun khusus, misalnya perbuatan-perbuatan pidana tersebut berbentuk penggelapan akta-akta surat-surat sehingga mengakibatkan penetapan yang tidak benar (pasal 417 KUHP).

3) Penyimpanan karena tidak diindahkannya ketentuan perdata yaitu, perbuatan

hukum administrasi yang menimbulkan kerugian warga masyarakat di dalam

berbagai bentuk yang mana dapat nilai dengan uang.

Ketentuan yang digunakan sebagai dasar gugatan pada umumnya adalah pasal-pasal 1365 BW (KUHP) mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigedaad) yang dalam hal ini dilakukan oleh penguasa.

Biasanya apabila suatu gugatan terbukti menurut hukum, maka tuntutan yang

dikabulkan hanya terbatas kepada perbuatan hukum administrasi saja yang

dinyatakan tidak sah.

Jadi penanganan sengketa hukum administrasi lazimnya dilakukan melalui:

1) Badan Pengadilan Administrasi (murni)

Di Indonesia yang ada dan diakui resmi adalah Badan Majelis Pertimbangan (MPP) yaitu yang menangani sengketa di bidang perpajakan antara warga dan pemerintah.

2) Badan Pengadilan Administrasi (semu)

Badan pengadilan ini menangani perkara-perkara yang diproses sebagimana pengadilan biasa, akan tetapi pejabat-pejabat administrasi negara tidak berstatus sebagai hakim walaupun hukum acaranya mirip seperti pada hakim pengadilan biasa.

Universitas Sumatera Utara

Contoh : P4P, P4D (Panitia penyelesaian Perselisihan Perburuhan Tingkat

Pusat/Daerah). Mahkamah Pelayaran dan lain-lain.

3) Panitia atau Team Khusus

Penanganan sengketa dengan cara pembentukan Panitia/Team Khusus ini sering dilakukan oleh administrasi untuk memenuhi proses penyelesaian yang cepat dan bersifat melindungi pihak warga masyarakat. Syarat-syaratnya terhadap pembentukan Panitia/Team Khusus ini adalah harus

dengan :

a) Ada instruksi yang tegas antara tugas, wewenang dan kewajiban serta

tanggung jawab panitia/team tersebut.

b) Prosedur penyelesaian yang harus ditempuh.

c) Sanksi-sanksi hukum apabila panitia/team tidak menjalankan tugas

sebagaimana mestinya.

d) Ada penampungan dan tindak lanjut akibat dari keputusan panitia/team.

4) Pejabat atau Instansi Atasan

Penyelesaian suatu masalah/sengketa, kasusnya ditangani langsung oleh pejabat/organ administrasi yang bersangkutan dan secara sportif serta spontan melakukan koreksi terhadap kekeliruaan atau kekurangan yagn terjadi atas suatu penetapan. Akan tetapi sering terjadi pejabat yang bersangkutan tidak berani melakukan ralat terhadap putusannya dan mempersilahkan warga yang bersangkutan mengajukan kepada instansi/pejabat yang bersangkutan.

5) Pengadilan/Hakim Perdata

Apabila kepada administrasi tidak dapat diminta penyelesaian atas suatu sengketa yang diajukan, maka warga negara yang bersangkutan dapat menggugat negara atau aparatnya ke Pengadilan Negeri/Perdata.

Dengan berdasarkan azas bahwa hakim tidak boleh menolak untuk

memeriksa/memutus perkara dengan alasan bahwa ia tidak mengetahui peraturannya,

Universitas Sumatera Utara

maka sangat terbuka kemungkinan penyelesaian sengketa mempergunakan proses di

Pengadilan Negeri. Dalam hal sebagaimana apabila terhadap sesuatu penetapan

adminsitrasi (beschiking) dapat dinyatakan perbuatan melawan hukum oleh perdata.

Menurut yurisprudensi, agar sesuatu penetapan (beschikking) dapat

dinyatakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige) apabila :

a. Penetapan tersebut dilakukan secara tidak/kurang mengindahkan undang-udnang

atau dilakukan secara bertentangan dengan undang-undang.

b. Penetapan tersebut dilakukan dengan menyalahi wewenang atau menyimpang

dari tugas pemberian wewenang.

c. Penetapan tersebut dilakukan dengan sewenang-wenang (ceroboh, tidak

mengindahkan data dan fakta dan lain-lain).

Hakim perdata tidak dapat menguji secara penuh terhadap suatu penetapan kebijaksanaan administrasi negara, oleh karena administrasi negara memiliki “fries ermessen” yaitu kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pertimbangan sendiri dianggap paling baik, sesuai dengan tujuannya (doelmatigeheid) sepanjang dilakukan dalam batas-batas wajar.

Sengketa pertanahan yang bersifat administratif disebabkan adanya kesalahan atau kekeliruan penetapan hak dan pendaftarannya. Hal ini antara lain disebabkan : 1). Kekeliruan penerapan peraturan, 2). Kekeliruan penetapan subyek hak, 3). Kekeliruan obyek hak, 4). Kekeliruan status hak, 5). Masalah prioritas penerima hak tanah, 6). Kekeliruan penetapan letak, luas, dan batas 7). Dan sebagainya

Sengketa ini pada umumnya bersumber pada kesalahan, kekeliruan, maupun kekurangcermatan penetapan hak oleh pejabat administrasi (Badan Pertanahan Nasional). Oleh karena itu penyelesaiannya dapat dilakukan secara administratif pula, dalam bentuk pembatalan, ralat atau perbaikan keputusan oleh pejabat administrasi yang disengketakan.

Universitas Sumatera Utara

Seringkali penyelesaian sengketa secara administratif tersebut kurang memuaskan para pihak, sehingga oleh yang bersangkutan diajukan ke badan peradilan.

Permasalahan atau sengketa pertanahan menjadi salah satu dari kebijakan bidang pertanahan yang memperoleh perhatian yang sungguh. Sebagaimana disinyalir oleh MPR bahwa pengelolaan pertanahan selama ini masih belum dapat menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi (konsiderans Menimbang huruf (e) Tap MPR No. IX/ MPR/ 2001). Oleh karena itu arah kebijakan pembaruan agrarian meliputi pula penyelesaian sengketa pertanahan.

C. Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan

Timbulnya sengketa pertanahan secara umum disebabkan : 1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal, domestik maupun

internasional.

Ini menyebabkan masalah kesenjangan sosial. Pengambilalihan dan pengelolaan kebun seringkali diikuti pula dengan segala budaya kebun yang dibangun oleh pemilik kebun lama, yaitu semata-mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Tetapi kurang memperhatikan masyarakat sekelilingnya. Ini tercermin dari masih adanya indikasi besarnya gaji antara pucuk pimpinan kebun dengan buruh seperti langit dan bumi. Kebun lalu menjadi tempat yang eksklusif dari lingkungan sekitarnya. Kebun lalu menjadi semacam “enqlave” kemewahan di tengah-tengah kemiskinan rakyat di sekitar kebun. Akibatnya tidak ada rasa memiliki masyarakat di sekitar kebun terhadap keamanan dan lestarinya perkebunan tersebut. Penyakit yang dihadapi oleh hukum : penyebab sertifikat yang dipermasalahkan adalah aparat pelaksana/ pemohon hak, juga lingkungan strategis seperti pemilikan tanah menurut adat yang jenis serta kriterianya belum diterapkan, serta kultur masyarakat yang majemuk. Kondisi psikologis dan sosiologis seorang aparat yang terefleksi dalam wujud kemampuan dan integritas serta komitmen, menentukan kualitas hasil kerja dan kinerjanya di sisi lain, aspek-aspek psikologis dari pemohon hak tanah, antara lain sifat jujur, rasa tanggung jawab, taat hukum. Kebun dianggap kurang bermanfaat bagi rakyat sekitarnya, sehingga rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan melanggar hukum, misalnya ada bagian tertentu dari areal kebun yang sengaja tidak ditanami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air (bebouwhihj clausul), pemilik kebun sudah dianggap menelantarkan tanah dan hal ini menjadi alasan untuk menduduki tanah secara paksa.

2. Watak otoriternya negara dalam penyelesaian kasus agraria.336

336 Menyangkut Masyarakat Adat, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan :

a. Masyarakat adat selalu pada posisi minoritas dalam kehidupan politik suatu Negara.

Universitas Sumatera Utara

3. Berubahnya strategi dan orientasi pembangunan sumber-sumber daya agraria yang

dimulai dari strategi agraria yang populis (membangun masyarakat sosialis)

menjadi strategi agraria yang kapitalistik dan diintegrasikannya masyarakat

Indonesia sebagai bagian dari sebuah perkembangan kapitalisme internasional.

Proses kehilangan tanah (dislandowning process) yang terjadi karena kebutuhan lahan untuk industri baik untuk pabrik maupun perumahan dan lapangan golf serta bentuk konversi peruntukan tanah lainnya terus berlanjut hingga sekarang337 Akibatnya lapar tanah akan semakin akut akan terjadi penanaman sampai ke puncak-puncak gunung yang akan dengan susah payang dibendung oleh Pemerintah, demikian ramalam E.de Vries.338

Sengketa pertanahan di Sumatera Utara mempunyai karakteristik tersendiri dengan daerah lain. Penyebab terjadinya sengketa dan konflik pertanahan antara lain faktor klasik, faktor yuridis-teknis, faktor politik, faktor historis, faktor reformasi, faktor spekulasi dan faktor instansi lain.

a. Faktor klasik adalah berhubungan dengan terbatasnya ketersediaan tanah sedang kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk semakin meningkat sehingga kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat, ketimpangan antara peningkatan kebutuhan manusia dengan keterbatasan ketersediaan akan tanah sering menimbulkan benturan kepentingan di tengah-tengah masyarakat ditambah dengan adanya gejala “lapar tanah” yang menyebabkan banyak kelompok menduduki tanah orang lain tanpa hak, yang pada gilirannya menimbulkan konflik dengan melibatkan massa yang besar.

b. Faktor yuridis-teknis berkaitan dengan belum terdaftarnya seluruh bidang tanah yang ada, misalnya untuk Sumatera Utara, bidang tanah yang terdaftar sampai dengan data tahun 2006 baru sekitar 20,16%, sehingga belum tercipta kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena belum terciptanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, maka timbullah gejala penguasaan dan pengusahaan atas bidang-bidang

b. Penyelenggaraan Negara umumnya memiliki pandangan yang terlalu disederhanakan terhadap persoalan dengan berbagai heteregonitas dan keberagaman budaya.

c. Tuntutan otonomi yang muncul dari kelompok-kelompok yang di-subordinasi dalam struktur kekuasaan d. Konflik itu semakin intensif dan mengeras ketika Negara semakin otoriter, yang meminimalkan perbedaan

(pluralistis itu). e. Dominasi satu etnis dalam masyarakat multietnis dalam praktek kekuasaan f. Terjadi “kolonialisme domestik”, penjajahan oleh bangsa sendiri, Abdon Nababan, Kekuatan masyarakat adat

nusantara dalam konteks berbangsa dan bernegara di Negara kesatuan republik Indonesia, makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat SImalungun”, loc cit.

337 Achmad Sodiki, Empat Puluh Tahun Masalah Dasar Hukum Agraria, Pidato Penyuluhan, 17 Juni 2000, hal. 4.

338 E. De. Vries, Masalah-masalah Petani Jawa, terjemahan Ny. P.S Kusuma Sutjo, (Jakarta Bhratara, 1972), hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

tanah oleh pihak-pihak tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, seperti pendudukan atau pengklaiman atas suatu bidang tanah oleh seseorang/ kelompok orang yang belum tentu berhak atas tanah yang bersangkutan.

c. Faktor politik terkait juga dengan permasalahan pertanahan yang muncul dari keadaan yang disebabkan oleh belum terciptanya kepastian hukum tersebut juga adanya keterlibatan pihak Pemerintah Daerah dan DPRD setempat untuk menangani sengketa dan konflik pertanahan dengan menerbitkan kebijakan yang cenderung memihak masyarakat, sebab yang terjadi kemudian adalah benturan kepentingan antara pihak masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang tidak jarang diikuti dengan kepentingan lain di luar ketentuan hukum, seperti kepentingan politik dan juga tidak tertutup kemungkinan dengan melibatkan kepentingan lain seperti ekonomi, sosial dan budaya, dan hankam339

d. Faktor historis.

340

Dipihak lain perusahaan perkebunan Belanda mengalami perkembangan penguasaan tanahnya sejak masa pendudukan Jepang yang mentolerir penggarapan rakyat pada areal perkebunan kemudian berlanjut pada zaman kemerdekaan dan berlangsung sampai tahun 1980-an. Oleh karena penggarapan terus berlangsung, Pemerintah menerbitkan ordonantie Onrechmatige Occupatie van Gronden (Stb. 1948-10), namun penggarapan tetap tidak dapat dibendung, sehingga Pemerintah mengambil kebijakan membentuk Tim Khusus yang hasilnya mengeluarkan sebagian areal perkebunan guna dibagikan kepada rakyat

, berkaitan dengan sejarah perkebunan di daerah Simalungun ini khususnya, Sumatera Utara pada umumnya yang pada mulanya tanah-tanah yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan perkebunan adalah bekas hak konsesi yang diberikan oleh para Raja (Raja Silampuyang, Raja Siantar) kepada Pengusaha Perkebunan Eropah (Belanda, Inggris). Berdasarkan akar sejarah tersebut, maka marak tuntutan dari Kerajaan Silampuyang dan daerah lain seperti Serdang serta masyarakat/ organisasi adat Melayu yang mengklaim seluruh tanah bekas perkebunan milik Belanda seluas 250.000 Ha yang terbentang antara Sei Ular (Kabupaten Deli Serdang) dan Sei Wampu (Kabupaten Langkat) disebut sebagai tanah adat/ ulayat etnisnya dan menuntut dikembalikan kepada mereka. Pembukaan areal baru HGU seringkali memunculkan masalah reclaiming yakni tuntutan kembalinya hak adat kepada pemegang HGU. Seringkali memang batas tanah ulayat dan tanah negara bebas tidak jelas, sebagaimana apa yang terjadi pada masyarakat Hindia Belanda (Stb 1937-560). Ketidakpedulian terhadap kehidupan masyarakat adat hanyalah akan menuai badai sengketa di kemudian hari.

339 Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Provinsi Sumatera Utara, Makalah pada Kuliah Bedah Kasus Hukum pada Fakultas Hukum UNPAB Medan, 27-6-2003, hal. 1.

340 Kebijaksanaan Negara masa lalu. Eksistensi Hukum Adat dalam Pasal 131 IS tetap saja tidak melindungi hak-hak adat, seperti hak ulayat, sehingga timbul sengketa batas antara wilayah hukum adat dengan wilayah konsesi perkebunan. Pemerintah dianggap melanggar wilayah hukum adat (hak ulayat), Karl J.Pelzer, Planters against Peasant, Martinus Nijhoff,1982, memberikan gambaran bagaimana pengusahaan perkebunan (ordeneming) yang dirintis Niewhuin-huis di Sumatera Utara memperoleh tanah konsesi dari Sultan Deli yang menjadi melanggar hak ulayat rakyat sehingga menimbulkan pemberontakan.

Universitas Sumatera Utara

diikuti dengan pemberian kartu tanda penggarapan. Tanah yang dibagikan tersebut tidak diikuti dengan pendaftaran tanahnya, belakangan dengan berbekal kartu garapan yang lama, rakyat mengklaim tanah-tanah garapannya diambil alih kembali oleh perusahaan perkebunan, sehingga dituntut kembali melalui Pemerintah.

e. Faktor reformasi, dalam hal ini sengketa dan konflik pertanahan pada areal perkebunan kembali mencuat ke permukaan seiring dengan era reformasi, pada saat itu akibat dari krisis ekonomi telah mengakibatkan badan hukum yang menguasai/ memiliki tanah perkebunan belum dapat mempergunakan lahannya sesuai dengan peruntukannya, sedangkan di sisi lain bertambahnya penduduk serta berkurangnya kesempatan kerja pada sektor-sektor industri juga diikuti dengan timbulnya gejala “lapar tanah” di kalangan masyarakat yang tidak mempunyai lahan, ditambah lagi statemen Presiden RI Abdurahman Wahid (Gus Dur) ketika itu yang menyatakan sebanyak 40% areal PTPN akan dibagikan kepada rakyat karena PTPN banyak merampas tanah rakyat, maka terjadilah pendudukan dan penggarapan di atas tanah pihak lain dan kemudian diajukan penuntutan kembali (reclaiming action) atas tanah-tanah perkebunan yang didasarkan berbagai alasan, seperti : 1) Mengklaim semua tanah perkebunan sebagai bagian dari tanah hak ulayat

etnisnya; 2) Mengaku bahwa dahulu pernah mempunyai hak atas tanah perkebunan tetapi

dikuasai kembali oleh pihak perkebunan (tanahnya dilindungi undang-undang); 3) Menuntut ganti kerugian dari perusahaan perkebunan karena tanah masyarakat

masuk ke dalam areal perkebunan; 4) Alasan ekonomi sekedar memenuhi kebutuhan hidup; 5) Berspekulasi dengan menggarap tanah untuk mencari untung341

Kritikan terhadap “Negara” (RI) .

Memperhatikan semakin maraknya sengketa pertanahan yang terjadi di negeri tercinta Indonesia ini, Negara telah melakukan “pembiaran” terjadinya sengketa dimana-mana sampai memakan korban (bisa Pemerintah, swasta atau perseorangan) hanya berorientasi kepada keberuntungan (laba).

Sepanjang sejarahnya di Indonesia dan hasil studi yang dilakukan oleh banyak peneliti dan pengamat terkait dengan sengketa pertanahan, ada asumsi yang menyebutkan “Negaralah” sesungguhnya yang menjadi sumber sengketa agraria karena Negara telah gagal menjadi mediator dan fasilitator pada saat terjadinya pelepasan tanah, bahkan secara sistematis dan terencana berada di belakang pengusaha pada saat pelepasan tanah dengan menggunakan aparat bersenjata.342

341 Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Sengketa Pertanahan dan Upaya Penyelesaiaannya di Provinsi Sumatera Utara, Makalah yang disampaikan kepada Kepala BPN RI pada saat kunjungan kerja ke Sumatera Utara tanggal 12 November 2006, hal. 3.

342 Afrizal, berdasarkan studi menunjukkan, Negara merupakan faktor penting penyebab konflik agraria sementara solusi konflik ini sangat tergantung pula kepada Negara, Afrizal bertolak dari studi Bachniadi, Lucas, Ruwiastuti, Fauzi, Stanley, Hafid, Nuh dan Collins, Sakai.

Universitas Sumatera Utara

Bukti sebagai akar permasalahan bermula dari tindakan negara dalam sengketa agraria adalah :

Di Riau, sengketa pertanahan antara Suku Sakai (penghuni sah rimba raya) dengan PT Arara Abadi, anak perusahaan Sinar Mas Grup. Karena tanah Riau yang kaya minyak, suku Sakai yang harus menanggung penderitaan terusir dari tanah leluhurnya. Dalam hal ini Negara membantu PT Arara Abadi pada tahun 1990 untuk melakukan pencaplokan atas tanah seluas 8000 ha untuk dijadikan sebagai kebun kayu ekaliptus dan akasia.343

Di Papua, Kasus pengambilalihan tanah milik suku Komoro dan beberapa suku lainnya oleh PT Freeport Indonesia.

Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), sebanyak 30 orang dikabarkan menjadi korban tewas dan sengketa lahan di Mesuji, Sumatera (2008-2011), 7 (tujuh) orang tewas344

Dalam bidang kehutanan, Abdon Nababan, Sekretaris Jendral (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjelaskan : “Negara dengan seenaknya menganggap hutan adat sebagai hutan negara yang kemudian dijadikan areal pertambangan atau pembukaan lahan kelapa sawit.”

dalam pertikaian antara warga, petugas pengamanan internal PT Sumber Wangi Alam (SWA) di Mesuji, pada Kamis 21 April 2011, sekitar pukul 12.00 WIB.

Pemerintah justru membuat peraturan bahwa Tanah itu adalah milik Negara dan diperuntukkan bagi kelancaran pembangunan dalam beberapa aspek kehidupan, salah satunya adalah penanaman modal asing yang mendiami tanah tersebut.

Terjadinya penyebab sengketa pertanahan yang melahirkan protes yang berkepanjangan adalah karena Negara sudah gagal memberikan perlindungan kepada rakyat dan gagal menjadi pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan bukan sebaliknya melakukan persekongkolan dengan pengusaha untuk merampas hak rakyat atas tanah mereka. Sejarah persengketaan di bidang agraria akan terus berlanjut sepanjang negara tidak bisa membuat sebuah kebijakan yang berpihak kepada rakyat dengan melakukan perombakan hukum agraria secara revolusioner dan total bukan parsial yang sebenarnya cenderung hanya menguntungkan kalangan elit negeri ini dan para pengusaha.

Kajian yang dilakukan Tim Penyusunan RUU Pengelolaan SA mencatat 5 (lima) karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral, sebagai-berikut :

343 Konsep tanah ulayat dalam suku Sakai tidak diakui Negara kepemilikannya sebagai milik komunitas lokal (Kompas 15 Desember 2007).

344 5 (lima) korban tewas dari pihak PT. SWA, 2 (dua) orang petani adalah warga sungai Sodung. Kelima korban dari PT SWA itu adalah : Hambali bin M. Tohrir (Asisten Manager PT SWA), Hardi bin Rusan (Asisten Manager PT SWA), Sabar bin Ruswat (Satpam), Saimun dan Agus Manto, 2 (dua) warga : Safei bin Mukmindah dan Dewa alias Macah, ibid.

Universitas Sumatera Utara

1. Orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan

SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui

peningkatan pendapatan dan devisa Negara.

2. Lebih berpihak pada pemodal besar

3. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara

sehingga bercorak sentralistik

4. Pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antar

sektor yang lemah.

5. Tidak mengatur perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) secara

aproporsional.

Akibat keberadaan berbagai Undang-undang Sektoral yang inkonsisten dan tumpang tindih itu adalah koordinasi yang lemah di tingkat pusat antara pusat dan daerah serta antar daerah, kerusakan dan kemunduran kualitas SDA. Ketidakadilan berupa terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada akses terhadap SDA petani, masyarakat adat, dan lain-lain, serta timbulnya konflik berkenaan dengan SDA.

Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan LandReform.345

Pengertian mengenai land reform dapat diketahui dari beberapa definisi buatan tentang land reform. Salah satu denifisi land reform sebagai berikut

346

Is a revolution which reforms the social system, a whole series of political, economic, and cultural revolutions, destroying the old and establishing the new, with devision of the land as the central element. Division of the land is a result the peasant masses attain through political and economic strunggle; it is aresult of peasant disctatorship; it is “the land returning to it’s original owner’, it is the peasants seizing the landlords, land by revolutionary methods.

:

Terjemahan :

345 Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui pengadilan khusus Pertanahan, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hal.189

346 Emoise, Edwin, Landreform in China and North Vietnam, (London:The University of North Carolina Press, 1983), hal. 27

Universitas Sumatera Utara

Reformasi Tanah adalah revolusi yang mereformasi sistem sosial, keseluruhan revolusi politis, ekonomi dan budaya, menghancurkan yang lama dan menetapkan yang baru, dengan pembagian tanah sebagai unsure pusatnya. Pembagian tanah adalah sebagai hasil dari pencapaian massa petani melalui pergulatan politik dan ekonomi yang berupa hasil dari kediktatoran petani; berupa “tanah kembali ke pemilik asalnya”, berupa para petani menyita para tuan tanah dengan cara metode revolusioner. Dalam Laporan Ketiga atas “Progress of Land Reform”, PBB menyebutkan

bahwa347

Land Reform as an integrated of measures designed to eliminate obstracles to economic and social development arising out of defects in the agrarian structure.

:

Terjemahan : Reformasi Tanah sebagai suatu tindakan terpadu yang dirancang untuk menghilangkan hambatan terhadap pembangunan sosial dan ekonomi yang timbul sebagai akibat dari kesalahan dalam struktur agraria.

Di dalam land reform terkandung unsur-unsur sebagai berikut :348

1. Adanya pembagian tanah dan perombakan sistem persewaan tanah;

2. Merupakan upaya memberikan pemerataan dalam penghasilan dan kekayaan; 3. Merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui suatu

implementasi dari peraturan Pemerintah serta aktivitas legal dari program umum.

Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengatur pemilikan/ penguasaan tanah dengan sebaik-baiknya melalui perangkat perundang-undangan yang telah ditetapkan. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan Land Reform tidaklah berjalan mulus. Tidak sedikit warga masyarakat yang menentang kebijakan pembatasan kepemilikan tanah tersebut, karena rasa adil yang dirasakan dan diperjuangkan oleh Pemerintah bersama dengan sejumlah petani tidaklah sama dengan keadilan yang dirasakan pemilik tanah. Pemilik tanah tersebut memperoleh tanah tersebut dari hasil jerih payahnya, tentu tidak rela tanah miliknya itu diambil alih oleh pihak lain. Apalagi program landreform ditumpangi penguasa yang merangkap pengusaha kayu.

Sebagai kebijakan politik pemerintah, landreform bertujuan untuk merombak struktur penguasaan tanah secara feodal ini tidak dapat dikembangkan dengan mulus karena adanya pemanfaatan oleh PKI untuk menggoyang stabilitas persatuan dan kesatuan RI sehingga muncul persepsi UUPA merupakan produk PKI.

347 Boedi Harsono, Sengketa Tanah Dewasa ini, akar permasalahan dan Penanggulangannya, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyelesaiannya”, di Jakarta 20 Agustus 2003, hal. 4-5

348 Inayatullah, Landreform, APDAC Publication, Kuala Lumpur, 1980, hal.3.

Universitas Sumatera Utara

Semasa Orde Baru, kebijkan politik ekonomi, justru menimbulkan ketimpangan dan ketidakmerataan penguasaan tanah. Hal ini dibuktikan dengan adanya penguasaan tanah berskala besar oleh sejumlah perusahaan dan pemilik modal besar. D. Tipologi dan Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan di

Kabupaten Simalungun Semenjak zaman Pemerintahan Hindia Belanda secara empirik terjadi konflik

(kepentingan) antara pihak perkebunan (Negara dan swasta) di satu pihak dan pedesaan di Simalungun & sekitarnya di pihak lain. Rakyat pedesaan di sekitar perkebunan menuntut pengembalian sebagian areal perkebunan produktif yang sempadan / berdekatan dengan tanah pedesaan mereka349

Berbagai alasan dipakai rakyat pedesaan dalam menuntut hak-haknya, antara lain kekurangan lahan pertanian mereka, sebagai sumber penghidupan satu-satunya. Mereka merujuk kepada hak-hak historis rakyat otokton kerajaan-kerajaan Simalungun tempo doeloe, di mana dalam Perjanjian Erfpacht/konsesi atas tanah ulayat Partuanon dahulu, ada klausul, bahwa bila rakyat/penduduk berkembang dan bertambah jumlahnya, maka ada kemungkinan pengembalian tanah perkebunan kepada ulayat Partuanon, demi penghidupan dan eksistensi masyarakat desa.

.

Pada tahun 1930350

Masyarakat desa di Simalungun sebagian besar masih menggantungkan penghidupannya dari hasil-hasil pertanian tradisional. Persoalan timbul, bagaimana supaya masyarakat ini diberdayakan untuk mencari penghidupan di bidang atau sektor perekonomian yang lain, atau bagaimana supaya teknik dan metode pertanian dapat lebih diintensifkan. Jadi mereka tidak semata-mata “landhonger” (haus akan tanah) dalam iklim reformasi, tapi mereka menginginkan kualitas penghidupan yang lebih layak.

, ada tuntutan/permohonan seorang Partuanon (Tuan Silampuyang) kepada pemerintahan kolonial Belanda di Bogor. Tuan Silampuyang berhasil untuk menerima kembali sebagian dari tanah ulayatnya dari Perkebunan Marihat waktu itu. Sebab, sesuai dengan prinsip dan pandangan hidup masyarakat desa pada umumnya di Indonesia, juga di lingkungan masyarakat Simalungun, “tanah dan air yang masuk dalam hak ulayat Partuanon, adalah untuk menegakkan eksistensi dari masyarakat hukum itu sendiri”.

Sekelumit sejarah hubungan antara Perkebunan Besar dengan rakyat Pedesaan:

349 Pembukaan tanah perkebunan besar pada masa Hindia Belanda selalu menimbulkan sengketa antara pengusaha/onderneming dengan rakyat.Hal ini disebabkan tanah perkebunan baru berada dalam kawasan hutan yang dikuasai oleh rakyat dengan hak-hak adat.Domein verklaring telah melitigimasi Negara/pemerintah untuk memiliki tanah-tanah yang kemungkinan besar berada dalam kawasan hak ulayat Pribumi kerapkali dituduh telah melanggar hak erfacht, yang dirumuskan dalam bentuk tuduhan memakai tanah tanpa izin atau secara liar (wilde ocupatie).Terhadap hal-hal yang demikian,pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan Ordonantie tanggal 7 Oktober 1937, Achmad Sodiki, Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat,makalah, Focus Group UKP-PPP 28 Pebruari 2012,hal.1.

350 Hasil wawancara dengan masyarakat setempat (Silampuyang) yang telah diolah.

Universitas Sumatera Utara

1. Zaman kolonial Belanda : kepentingan rakyat sekitar perkebunan “subordinated”

kepada kepentingan perkebunan maskape-maskape. Semua kegiatan berorientasi

kepada kepentingan kolonial.

2. Zaman kemerdekaan Indonesia sampai ke regim Orde Baru, masa transisi, bahwa

kepentingan rakyat banyak dikedepankan, sebab rakyat Indonesia bukan saja yang

hidup di lingkungan perkebunan, tapi keseluruhannya sama; rakyat pedesaan dan

komunitas perkebunan sama (equal) pentingnya, namun “fokusnya” masih pada

masyarakat perkebunan sebagai faktor penting dalam memperoleh devisa Negara

oleh konglomerat.

Sengketa pertanahan dalam hal penerapan UUPA (khusus pelaksanaan pendaftaran tanah) juga terjadi. Padahal dalam PP 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah351

Pendaftaran tanah diperlukan bagi pemegang hak atas tanah karena dengan demikian akan lebih mudah untuk dapat membuktikan hak atas tanahnya dan bagi pihak lainnya dapat memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang mungkin menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan,

jo Permenag No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

352

351 Pembuktian Hak Lama ( Pasal 24 ) PP Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

tetapi belum lengkapnya informasi mengenai status penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (present land tenure and present land use), akan dapat menghambat

(1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat:

a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;

b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

352 Tunggal Hadi dalam Yulia Mirwati, Konflik-konflik, op cit, hal 107.

Universitas Sumatera Utara

pelaksanaan cita-cita hukum pertanahan yang jelas dirintis sejak Indonesia merdeka.353

Kritikan terhadap sistem pendaftaran tanah sebagai suatu sub sistem hukum tanah nasionalis, secara substansi masih mengalami berbagai kelemahan baik terkait dengan hukum adat yang pluralistik sebagai sumber utama peraturan pelaksanaan yang belum sepenuhnya diatur serta kondisi pemilikan tanah yang belum diadministrasikan secara tertib. Kondisi dimaksud meliputi berbagai aspek yang dapat dikemukakan antara lain :

1. Masih adanya kekurangan hukum, di mana undang-undang hak milik atas

tanah dan peraturan pemerintah tentang terjadinya hak milik menurut hukum

adat, serta jenis-jenis tanah hak milik adat sebagaimana diamanatkan UUPA

belum diterapkan.

2. Terdapat konflik norma antara nilai dasar yang diatur dalam Pasal 56 UUPA

tidak diimplementasikan sepenuhnya dalam peraturan konversi hak-hak

lama yang merupakan nilai implementatif. Secara normatif, adanya penyakit

hukum dan konflik norma yang terdapat antara nilai fundamental dengan

nilai implementatif, berimplikasi timbulnya kesenjangan implementasi

dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, terutama konversi tanah-tanah

bekas hak adat.

3. Hukum Adat yang pluralistik maka berpotensi menimbulkan kesenjangan

substansi, terlebih dengan banyaknya jenis dan sebutan tanah hak milik

menurut adat di masing-masing daerah wilayah adat.

4. Secara juridis dogmatik sistem publikasi negatif, mengandung kelemahan

dimana sertifikat sebagai produk pendaftaran tanah menghasilkan kepastian

353 Parlindungan dalam Yulia Mirwati, ibid.

Universitas Sumatera Utara

hukum & relatif karena terbuka untuk dibatalkan jika ada pihak lain dapat

membuktikan sebagai pemilik sebenarnya.

Permenag No.5 Tahun 1999 pada hakikatnya, memberikan kesempatan bagi pemegang hak atas tanah ulayat (adat) melakukan perbuatan pemberian hak baru atas tanah, yang akan berwujud dengan hak pakai dan hak bangunan, dengan pembatasan jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu yang diberikan terhadap hak pakai dan hak guna usaha khusus keperluan pertanian dan keperluan lain, maka hak tersebut hapus kembali kepada hak ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 4 ayat (2)). Berdasarkan data lapangan didapatkan Daftar Permasalahan Sengketa Konflik Pertanahan Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Sejak Tahun 2009 s/d 2012 sebagai berikut354

354 Observasi dan wawancara dengan H. Badrus Salim (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun) dan Heru Pramono (Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara Pertanahan), 9 – 14 April 2012

:

Universitas Sumatera Utara

No A. Subjek B. Obyek

A. POKOK PERMASALAHAN B. TIPOLOGI C. FAKTOR-FAKTOR

PENYEBAB

Kronologis Permasalahan

1 A. Forum Tani Sejahtera Indonesia dengan Partomuan Marga Damanik dan PTPN IV Kebun Bah Butong seluas +40 Ha

B. Tanah tersebut seluas +40ha menurut pengakuan masyarakat telah diusahai sejak tahun 1971 oleh Masyarakat/ Forum Tani Sejahtera Indonesia

A. Sengekata lahan PTPN IV yang belum di usahai, dikerjakan oleh Masyarakat/ Forum Tani Sejahtera Indonesia kemudian Partomuan Marga Damanik mengaku tanah leluhurnya.

C. Karena tanah tidak diusahai oleh PTPN IV dalam waktu lama, kurang jelas apa masalahnya

- Lahan kepunyaan PTPN IV yang tidak dipergunakan dalam waktu lama, yang kurang jelas alasannya kemudian dikerjakan oleh Masyarakat/ Forum Tani Sejahtera dan di atas tanah telah berdiri beberapa bangunan rumah semi permanen milik warga Masyarakat Forum Tani Sejahtera Indonesia

2 A. Sertifikat Hak Milik No. 5 An. Ramlan Zeek, dibebani Hipotik Bank Danamon dan Surat Tanahnya di agunkan ke koperasi.

B. Sebuah tanah dan rumah terletak di Desa Margo Mulyo, Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun.

A. Pemilik Sertifikat Hak Milik No. 5 mengagunkan tanahnya ke Bank Danamon dan Koperasi.

C.Ramlan Zeek mengagunkan tanahnya di 2 (dua) tempat (Bank Danamon dan Koperasi) dengan agunan 1 (satu) bidang tanah/ rumah.

- Sertifikat Hak Milik No. 5 Ramlan Zeek di agunkan ke Bank Danamon

- Kemudian Surat Keterangan Kepala Desa di Agunkan ke Koperasi, dengan bidang tanah yang sama (Hak Milik No. 5 An. Ramlan Zeek

3 A. Masalah Sengketa A. Sengketa pemilikan - Bahwa Ingotan Diana

Universitas Sumatera Utara

Kepemilikan antara Ingotan Diana Sinamo (Istri Tamat Ginting Jawak) dengan Ina Br Sinaga.

B. Tanah yang berukuran lebar 5M Panjang 20M (100M2

tanah.

) yang terletak di Karang Lau Cimba

C. Karena salah satu pihak

menyewakan rumah tersebut pada orang lain kemudian yang berbatasan mengaku tanah tersebut kepunyaannya.

Sinamo menguasai tanah tersebut berdasarkan Surat Penyerahan Tanggal 12-01-1970 yang diperoleh suami Ingotan Diana Sinamo (Istri Tamat Ginting Jawak) dari Keliling Ginting tanah tersebut berukuran lebar 5M Panjang 20M (100M2

- Kemudian diterbitkan Surat Penyerahan Hak Warisan Sebidang Tanah Tanggal 2 Oktober 2009 No. Reg 593/62/2020/2009, Pangulu Rambung Merah, berdasarkan Surat Pernyataan Ahli Waris tanggal 2 Oktober 2009

) terletak di Karang Lau Cimba.

4 A. Masalah tanah atas nama Saut Budi Tuah Damanik. Desa Sipolha Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun.

B. Hak Milik Nomor 18/ Sipolha dan Hak Milik Nomor 20/ Sipolha

A. Sengketa tanda batas. C. Karena selama ini pihak

pemegang Hak Milik No. 18 tidak menguasai sendiri tanah tersebut.

- Bahwa Sertifikat Hak Milik Nomor 18 dan 20/ Sipolha telah berkurang luasnya di lapangan/ di lokasi masing-masing sertifikat tersebut.

5 A. PTPN IV dengan Masyarakat Mekar Mulia.

A. Sengketa batas tanah antara HGU dengan Hak Milik No. 41/ Mekar

- Di dalam HGU No. 7 PTPN IV kebun Balimbingan di duga

Universitas Sumatera Utara

Permasalahan tanah masyarakat di areal PTPN IV Kebun Balimbingan.

B. Sertifikat Hak Milik No. 41/ Makar Mulia yang letaknya di lembah/ jurang desa/ Nagori Mekar Mulia, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun

Mulia. C. Sertifikat Hak Milik No.

41 berada di lembah Kebun PTPN IV.

terdapat Hak Milik No. 41 An Sutarno Tanggal 5 Nopember 2002 seluas 9.180 M2 yang letaknya di Desa/ nagori Mekar Mulia, Kecamatan Tanah jawa, Kabupaten Simalungun

6 A. Sdr. Kemin dkk (155 kk) dengan PTPN III/ Kebun Bandar Betsy luas tanah 115 Ha.

B. Bekas HGU No. 1/ Kebun Bandar Betsy telah berakhir haknya tanggal 31 Desember 2005 luas tanah 5.348,9

A. Sengketa kepemilikan atas tanah.

C. Kelompok Kemin dkk,

menguasai tanah tersebut sejak tahun 1943 sampai 1968 kemudian PTPN menduduki tanah tersebut dari tahun 1968 s/d 2000, sedang Kemin dkk menduduki kembali sejak tahun 2000 sampai sekarang.

- Bahwa tanah seluas 215 Ha tersebut menurut pengakuan Kemin dkk dikuasai sejak 1943 s/d 1968, pada tahun 1965 keluar SK Panitia Landreform Tanggal 2 Maret 1965 dan pada tahun 1968 s/d 2000 di kuasai oleh Kebun PTPN III Bandar Betsy dari tahun 2000 s/d saat ini dikuasai/ diusahai oleh Kemin dkk seluas 115 Ha untuk tanah pertanian

7 A. Sdri. Halimah Sinaga dan Murjimah Sinaga Jalan Pematang No. 7A Pematang Siantar.

B. Sertifikat Hak Milik No. 1171 seluas 1.985 M2

A. HM 1171 dan HM 1759 sebagian di duduki oleh orang lain tanpa seizin pemilik tanah.

dan HM

C. Karena tanah tersebut

disewakan kepada orang lain untuk ditanami tanaman ubi kayu

- Bahwa tanah Hak Milik dan No sebahagian di garap orang +35 M2 dan 15 M2 untuk rumah dan kedai kopi.

Universitas Sumatera Utara

No. 1759 seluas 420 M2

sedang pemilik tidak bertempat tinggal di luar tanah tersebut.

letak tanah Jalan Mata Air Desa/ Nagori Rambung Merah sekarang Pematang Simalungun

8 A. Sdr. Ade Silalahi dan Sdr. Pahala Sihombing, Ketua dan Sekretaris LSM ALIANSI TANNAS.

B. Penerbitan beberapa Sertifikat Hak Milik yang letaknya di Nagori Buntu Bayu, Kecamatan Hatonduhan (tanah EX HTI) seluas 340.70 Ha

A. Tentang Penerbitan Hak Milik Tahun 2007 sebanyak 42 Sertifikat dan Tanggal 6 Maret 2009 sebanyak 42 Sertifikat di lokasi EX HTI.

C. Karena masyarakat yang

menerima pembagian tanah tersebut atas penunjukan Panitia Pembagian Tanah tidak jelas letak maupun batas-batasnya dilapangan..

- Bahwa Panitia Pembagian Tanah EX HTI memberikan persil-persil kepada Kelompok Tani di Buntu Bayu, Kecamatan Hatonduhan kemudian BPN Kabupaten Simalungun berdasarkan pembagian tersebut menerbitkan sertifikat sesuai dengan peraturan yang berlaku sedang sebahagian dari Kelompok Masyarakat ada yang keberatan atas pembagian tersebut.

9 A. Kelompok Tani Makmur An. Damril dkk (sebanyak 33 kk) Desa Bandar Betsy II, Kecamatan Bandar Huluan, Kabupaten Simalungun atas tanah seluas +10 Ha (seluruhnya seluas 17,2 Ha).

B. Bekas HGU No. 1/

A. Tanah yang sejak dulu dikuasai oleh Kelompok Tani Makmur kemudian sebagian dari luas tanah tersebut dikuasai oleh Kebun Bandar Betsy An. PTPN III

C. Karena pada tahun 2003 patok tanda batas HGU No. 1/ Kebun Bandar Betsy berada di luar tanah yang dikuasai masyarakat, kemudian

- Bahwa Masyarakat Kelompok Tani Makmur telah menguasai tanah tersebut sebelum ada HGU Kebun Bandar Betsy yang letak tanah masyarakat berdampingan dengan Kebun Bandar Betsy luas nya +17,2 Ha kemudian di tahun

Universitas Sumatera Utara

Kebun Bandar Betsy telah berakhir haknya tanggal 31 Desember 2005 luas tanah 5.348,9

pada tahun 2006 patok berada di dalam areal tanah yang dikuasai oleh Kelompok Tani Makmur.

2011 sebahagian disuguh hati oleh Kebun Bandar Betsy seluas +7,2 Ha sedang di areal sisa seluas 10 Ha terdapat patok tanda batas Kebun Bandar Betsy yang dulunya berada di luas areal Kebun Kelompok Tani Makmur

Dari hasil penelitian lapangan, telah ditemukan sengketa hak atas tanah adat,

baik menyangkut hak Partuanon (hak ulayat, hak komunal atas tanah dari masyarakat hukum adat) maupun hak perorangan yang memang berasal dari hak atas tanah adat. Ada 4 (empat) kasus besar sengketa hak atas tanah adat yang akan diuraikan berdasarkan tipologi dan faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan tersebut, dan 1 sengketa tanah yang berasal dari hak atas tanah adat (hak perseorangan) yang diselesaikan menurut musyawarah mufakat (mengambil asas, konsepsi, lembaga hukum adat Simalungun). Kasus 1 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok Kelurahan

Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun Bahwa pada tahun 2003 Pengadilan Negeri Simalungun memeriksa dan

mengadili perkara perdata antara “Keturunan Ama Ni Marhilap Sinaga (Amal Sinaga, Salamat Sinaga, dan Jhon Sinaga), Keturunan Sijua Sinaga (Efendi Sinaga), melawan Manatar Sinaga dan kawan-kawan (sebanyak 36 orang).

Bahwa semasa hidupnya Op, Buttu Pasir adalah Raja yang membuka (Sipukka) Kerajaan (Harajaan) Buttu Pasir yang saat ini terdiri dari 5 (lima) kampung (Huta), yaitu kampung Buttu Pasir (sebagai pusat Kerajaan), Kampung Tiga Rihit, kampung Lumban Tongatonga, Kampung Parmanukan, Kampung Bangun Dolok.

Bahwa semasa hidupnya keturunan Op. Buttu Pasir yaitu Amani Marhilap Sinaga ada membuka Kampung (Sipukka Hutta) yang merupakan bahagian dari kerajaan Op. Buttu Pasir, yaitu kampung Bangun Dolok (sekarang merupakan anak kampung Bangun Dolok)

Bahwa semasa hidupnya keturunan Op. Buttu Pasir adalah Raja yang membuka (Sipukka) Kerajaan (Harajaon) Buttu Pasir yang saat ini terdiri dari 5 (lima) kampung (Huta), yaitu Kampung Buttu Pasir (sebagai pusat kerajaan), Kampung Tiga Rihit, Kampung Lumban Tongatonga, Kampung Parmanukan, Kampung Bangun Dolok.

Bahwa semasa hidupnya keturunan Op. Buttu Pasir yaitu Ama Ni Marhilap Sinaga ada membuka Kampung (Sipukka Huta) yang merupakan bahagian dari Kerajaan Op. Buttu Pasir, yaitu Kampung Bangun Dolok (sekarang merupakan anak

Universitas Sumatera Utara

Kampung Bangun Dolok) karena Ama Ni Marhilap adalah keturunan Raja Buttu Pasir, maka ia berhak untuk membuka Kampung di atas Kerajaan Buttu Pasir dan Kampung Bangun Dolok, luasnya lebih kurang 3 ha (tiga hektar) yang terletak di Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon kabupaten Simalungun dengan batas-batas sebagai berikut

a. Sebelah Utara berbatas dengan Tanah Negara

b. Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan

c. Sebelah Timur berbatas dengan Lajangan Bangun Raja

d. Sebelah Barat berbatas dengan Ladang Pinus

Bahwa keturunan Op. Buttu Pasir lainnya, anak kedua dari Ama Ni Marhilap yaitu Siharajaon Sinaga (Jungil) ada membuka Kampung (Sipukka Huta) bahagian dari kerajaan Op. Buttu Pasir, yaitu yang disebut Bangun Raja (sekarang merupakan anak Kampung Bangun Dolok) karena Siharajaon adalah Keturunan Op. Buttu Pasir, maka ianya berhak untuk membuka Kampung di atas Kerajaan Buttu Pasir dan bangun Raja luasnya 15 ha (lima belas hektar) yang terletak di Bangun Dolok kelurahan Parapat kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun dengan batas-batas sebagai berikut.

a. Sebelah Utara berbatas dengan Tanah Negara

b. Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan

c. Sebelah Timur berbatas dengan Jurang

d. Sebelah Barat berbatas dengan Bangun Dolok, Ladang Pinus

Bahwa dibukanya kampung Bangun Dolok oleh Ama Ni Marhilap dan Kampung Bangun Raja oleh Siharajaon maka kedua kampung tersebut mempunyai tanah tempat pengembalaan ternak (Lajangan) di atas Kerajaan Buttu Pasir dan terletak di Bangun Dolok kelurahan Parapat kecamatan Girsang Sipangan Bolon kabupaten Simalungun dan sebahagian dari Lajangan tersebut seluas telah disewakan Raja Usia kepada Tuan Lemes dan Tuan Houninge;

Bahwa sisa Lajangan seluas + 3ha yang masih dipergunakan oleh kedua Kampung tersebut mempunyai batas-batas sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatas dengan Bangun Dolok, Bangun Raja

b. Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan

c. Sebelah Timur berbatas dengan Jurang

Universitas Sumatera Utara

d. Sebelah Barat berbatas dengan Bangun Dolok, Ladang Pinus

Bahwa pada zaman sebelum kemerdekaan Kampung Bangun Dolok telah didaftar kepada pemerintahan Belanda sebagai Tanah milik dari Ama Ni Marhilap dan pendaftaran tersebut meliputi Bangun Dolok, Bangun Raja dan Lajangan sebagaimana disebutkan diatas.

Bahwa pada saat Kampung Bangun Dolok yang dibuka Ama Ni Marhilap terbakar maka Ama Ni Marhilap pindah ke Kampung Tiga Rihit dan meninggalkan Kampung Bangun Dolok (anak kampung Bangun Dolok sekarang) ditinggalkan dalam keadaan kosong dan masyarakat yang ada di atasnya juga ikut berpindah dan sebahagian besar pindah ke Bangun Raja355

Bahwa saat Siharajaon yang membuka Kampung Bangun Raja meninggal dunia dan tidak meninggalkan keturunan, maka saudaranya yaitu bernama Marhilap dan Sijua yang juga anak dari Ama Ni Marhilap pindah dari Kampung Tiga Rihit ke Bangun Raja untuk meneruskan Kampung Bangun Raja.

.

Bahwa setelah Indonesia merdeka maka Pemerintah Indonesia mendata kembali tanah-tanah yang ada di Wilayah Indonesia dan ketiga tanah sebagaimana disebutkan di atas yaitu Kampung Bangun Dolok, Kampung Bangun Raja, dan Lajangan didata kembali dan sejak saat itu dinamakan Kampung Bangun Dolok sampai sekarang.

Bahwa ketiga bahagian tanah tersebut yaitu Kampung Bangun Dolok, Kampung Bangun Raja, dan Lajangan sekarang disebut kampung Bangun Dolok seluas + ha 20 (dua puluh hektar) merupakan satu kesatuan hak dari Ama Ni Marhilap dan semasa hidupnya Ama Ni Marhilap ada memberikan dengan seijin dan sepengetahuannya kepada masyarakat untuk menempati dan mengusahai tanah terperkara dan hal tersebut berlanjut sampai sekarang, dan saat ini di Bangun Dolok ada tinggal keturunan langsung Ama Ni Marhilap dan mempunyai rumah dan mengusahai ladang dan juga keturunan masyarakat yang telah diberikan tempat oleh Ama Ni Marhilap.

Bahwa masyarakat yang menempati tanah tersebut haruslah seijin dan sepengetahuan oleh Ama Ni Marhilap dan mereka hanya diberikan ijin untuk menempati dan mengusahai dan bukannya memiliki dan saat ini tergugat I, II, III, s/d XXXVI mengusahai bahagian-bahagian tanah terperkara.

Bahwa di atas tanah terperkara penggugat I dan II ada mempunyai ladang, saudara penggugat I dan penggugat II, yaitu M. Japaya Sinaga mempunya ladang, Marben Sinaga mempunyai ladang dan Hemat Sinaga mempunyai Ladang.

Bahwa di atas tanah terperkara penggugat IV ada mempunyai ladang dan saudara penggugat IV yitu Na Risma Br. Sirait mempunyai Ladang, Marolop Sinaga mempunyai ladang dan Jaden Sinaga mempunyai rumah dan ladang.

Bahwa keturunan langsung Ama Ni Marhilap yaitu cucunya bernama Hati Sinaga, semasa hidupnya sempat menjabat sebagai Gamot Bangun Raja (sekarang

355 Hasil wawancara yang telah diolah dengan 3 orang tokoh adat di Desa Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun, Tanggal 3 Mei 2011

Universitas Sumatera Utara

merupakan anak Kampung Bangun Dolok), hal tersebut terjadi karena Hati Sinaga merupakan keturunan langsung dari Pembuka Kampung (Sipukka Huta) Bangun Dolok;

Bahwa sepengetahuan Penggugat-penggugat, tanah terperkara merupakan satu kesatuan yang dibuka (dipukka) oleh Ama Ni Marhilap dan keturunannya dan tidak ada orang lain yang membuka (mamukka) kampung di tanah terperkara baik keturunan Op. Buttu Pasir yang selain dari Ama Ni Marhilap apalagi yang bukan keturunan Op. Buttu Pasir;

Bahwa sudah menjadi hukum tidak tertulis, dimana Raja-raja kerajaan lain tidak bisa membuka kampung di bahagian tanah milik orang lain dan juga keturunan istri kedua (imbang) tidak bisa membuka kampung.

Bahwa ternyata Tergugat I dan II telah mengklaim sebahagian tanah terperkara sebagai hak dari bapak dan kakek tergugat I dan II.

Bahwa oleh karena keturunan Ama Ni Marhilap yaitu Penggugat-penggugat dan saudara-saudara Penggugat-penggugat tidak pernah mengetahui adanya sipukka huta kampung lain selain Ama Ni Marhilap dan keturunannya atas tanah terperkara, oleh karena itu pengakuan Tergugat I bahwa kakek Tergugat I dan pengakuan Tergugat II sebagai Pembuka Kampung (Sipukka Huta) yang merupakan kesatuan dari tanah terperkara telah merugikan kepada penggugat-penggugat, saudara-saudara penggugat dan juga keturunan Ama Ni Marhilap lainnya selaku keturunan langsung dari Ama Ni Marhilap.

Bahwa setelah penggugat-penggugat selaku keturunan langsung dari sipukka huta Bangun Dolok yaitu Ama Ni Marhilap mengetahui adanya klaim tergugat I dan II atas tanah terperkara, maka Penggugat I dan II dengan keluarga Penggugat I dan II telah berulangkali mencoba mencari jalan keluar untuk penyelesaian masalah tersebut secara baik-baik dan kekeluargaan akan tetapi hingga dimajukannya gugatan itu ke Pengadilan Negeri Simalungun Tergugat I dan II tidak menunjukkan itikad baiknya agar permasalahan ini dapat segera terselesaikan.

Bahwa pada tanggal 22 Juli 2003 dilangsungkan pertemuan yang membahas sengketa kepemilikan hak atas tanah di Bangun Dolok yang diadakan di kantor kelurahan Parapat (Tergugat III);

Bahwa yang hadir pada saat itu antara lain Amal Sinaga (Penggugat I), Saritua Sinaga dan Jhon Sinaga (Penggugat III), Tergugat II, Tergugat III, M.J Sinaga (Tergugat IX), Jori Sinaga dan Jaudin Sinaga, dan juga Tergugat III selaku Lurah Parapat.

Bahwa dalam pertemuan tersebut356

356 Sperti yang diungkapkan pada wawancara dengan masyarakat adat Desa Bangun Dolok yang dikumpulkan di rumah keluarga Hotlem Ambarita pada tanggal 04 Mei 2011

Penggugat I dan III merasa heran karena Tergugat III tidak mengundang penetua-penetua Kampung (Raja-raja Bius Silima Tali Harajaon Parapat) yang berada di sekitar Bangun Dolok dan juga keturunan Raja Sijua, akan tetapi yng hadir adalah orang-orang yang menguntungkan Tergugat I dan II dan pada dasarnya mereka tidak mengetahui sejarah Bangun Dolok, sehingga

Universitas Sumatera Utara

perbuatan Tergugat III yang tidak mengundang seluruh Penetua Kampung di Parapat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum karena pendapat yang disampaikan dalam pertemuan tersebut hanya sepihak tanpa didukung fakta, bukti dan pernyataan penetua kampung lainnya;

Bahwa atas pertemuan tersebut Tergugat III telah mengeluarkan Notulen Rapat bertanggal 22 Juli 2003.

Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi Medan357

Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tanggal 6 Juli 2004 No. 35/Pdt. G/2003/PN. Sim, mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian dan menyatakan dalam hukum bahwa pembuka kampung (sipukka huta) tanah terperkara, Bangun Dolok sekarang adalah Amani Marhilap dan keturunannya.

, Penggugat (Amani Marhilap) mengajukan “ banding” adalah sebagai berikut :

Keputusan Mahkamah Agung358

Bahwa Posita gugatan, Penggugat ternyata tidak menyebutkan secara jelas tentang luas dan batas-batas objek sengketa sehingga akan menyulitkan eksekusi di kemudian hari apabila telah ada Putusan yang berkekuatan hukum tetap atas obyek sengketa, lagi pula pemeriksaan setempat yang dilaksanakan oleh yudex facti Pengadilan Negeri juga tidak menghasilkan suatu kejelasan tentang luas dari batas-batas objek sengketa a quo;

Di samping itu masih terdapat beberapa orang yang menguasai bagian-bagian dari objek sengketa tidak diikutsertakan sebagai Tergugat dalam perkara ini sehingga apabila pemeriksaan materi perkara ini dilanjutkan tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan suatu pemeriksaan perkara yang tidak tuntas. Demikianlah konflik hak atas tanah adat itu masih terus berlangsung meskipun keputusan MARI (Mahkamah Agung Republik Indonesia) sudah ada namun belum bisa dieksekusi. Berdasarkan wawancara kondisi di lapangan “sangat mencekam”359

Perlu dijelaskan Op. Buttu Pasir kawin dengan 2 orang perempuan yaitu : 1. Boru Sijabat anaknya : Ama Ni Buttu Pasir keturunan Ama Ni Buttu Pasir

Op. Salajambar keturunan Op.Salajambar : Si Raja Hataon, Op.Jaunian,

Ama Ni marhilap, jika digambarkan dengan skema sebagai berikut :

357 Putusan No : 297/PDT/2004/PT.MDN 358 Putusan MA Nomor : 2143K/PDT/2005; Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.

297/PDT/2004 PT MDN tanggal 5 April 2005 yang membatalkan Putusan PN Simalungun No. 37/PDT.G/2003/PN Sim.6-07-2004.

359 Mereka; pihak Penggugat dan Tergugat masih memiliki tanah di lokasi yang dipersengketakan tetapi saling tidak berani untuk mengusahai akibat takut jika kembali terjadi pertikaian yang bisa mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara

“penganiayaan” bahkan lebih dari itu, akibat belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Agung RI, wawancara dengan masyarakat adat Desa Bangun Dolok, ibid

Op Buttu Pasir kawin dengan boru Sijabat

Ama Ni Buttu Pasir

Op. Salajambar

Si Raja Hataon Op. Jauniah Ama Ni Marhilap

Marhilap Siharajaon Sijua

Nagatua Sinaga

Saritua Sinaga

Duri Sinaga

Ramot br Sinaga

Hati Sinaga

Dasing Sinaga

Mula Sinaga

Sopia Mana Mina Johanna Martuhan

Marihgan Sinaga

Matio Sinag

Marbun

Amal Sinaga

M. Jayapaya Sinaga

Oris Marolop Joden Efendi

Hemat Sinaga

John Sinaga

Universitas Sumatera Utara

2. Kawin dengan boru Rumahorbo, keturunannya :

a. Op.Bungaindar.

b. Op.Tomas.

c. Op.Hapal.

a. Tipologi sengketa pertanahan dalam kasus 1 (satu) diatas adalah :

1) Sengketa di atas merupakan sengketa perdata berkenaan dengan masalah

tanah.

2) Sengketa tanah yang berkaitan dengan hak ulayat/ hak Partuanon yang

mempermasalahkan tentang “sipukka huta”.

3) Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

4) Sengketa Penetapan Hak

Pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus di atas keturunan Ama Ni Marhilap Sinaga (sekelompok masyarakat adat) dengan keturunan Sijua Sinaga (sekelompok masyarakat adat). Meskipun sebenarnya kedua kelompok tersebut (Ama Ni Marhilap Sinaga) vs Manatar Sinaga adalah keturunan dari sipukkah huta (Op. Buttu Pasir).

b. Faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan dalam kasus 1 (satu) diatas: 1) Faktor klasik, berhubungan dengan terbatasnya ketersediaan tanah sedang

kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk semakin meningkat

sehingga kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat, ketimpangan antara

peningkatan kebutuhan manusia dengan keterbatasan ketersediaan akan tanah

sering menimbulkan benturan kepentingan di tengah-tengah masyarakat

ditambah dengan adanya gejala “lapar tanah” yang menyebabkan banyak

kelompok menduduki tanah orang lain tanpa hak, yang pada gilirannya

menimbulkan konflik dengan melibatkan massa yang besar.

Universitas Sumatera Utara

2) Faktor Yuridis-Teknis berkaitan dengan belum terdaftarnya bidang tanah yang

ada.

3) Faktor Politik juga terkait, yaitu dengan permasalahan permasalahan

pertanahan yang mengandung keterlibatan pihak Pemerintah Daerah360

4) Faktor Historis, yang berkaitan dengan sejarah hak Partuanon, dimana si

pukkah huta (yang membuka kampung) Kerajaan Buttu Pasir adalah Op.

Buttu Pasir.

dan

DPRD setempat dengan alasan kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya.

Kasus 2 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang.

Sebelum menguraikan sengketanya sendiri ada baiknya menguraikan fakta historis Kerajaan Silampuyang.

Sejarah singkat silsilah keturunan Tuan Djaingat Saragih, pemegang hak partuanon (ulayat) Silampuyang, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara :

Sekitar tahun 1700-an, raja (bestuur) pertama Kerajaan Silampuyang membuka hutan untuk dijadikan lokasi perkampungan di daerah yang banyak ditumbuhi tanaman “lampuyang” (sejenis tanaman yang berkhasiat untuk obat-obatan tradisional), di sekitar tempat lokasi perkampungan Huta Bagasan yang sekarang. Nama “Pamungkah Huta” (pamatang) Silampuyang adalah Tuan Tunjang Langit marga Saragih. Batas-batas daerah Tuan Silampuyang : dibuatnya di sebelah Timur: (saat ini) Andarasih, di Barat: Bakaran Batu, sebelah Selatan: Bah Hilang dan di Utara: Bah Biak.

Kekuasaan Tuan Tunjang Langit berkembang pesat dengan bertumbuhnya beberapa kampung di lingkungan wilayah kekuasaannya yang cukup luas itu.

Pemerintah Kolonial Belanda pada awalnya berjaya membuka kebun tembakau (Deli Tobacco) di Deli Serdang dan ingin memperluas sayapnya (memperluas areal perkebunan besarnya) ke wilayah Simalungun, Sumatera Timur, dan mengambil lokasi Bah Jambi sebagai pusat pengembangannya (Kantor Pusat).

Yang pertama-tama diliriknya adalah wilayah Partuanon Silampuyang, yang sangat menjanjikan itu. Raja-raja di Simalungun, khususnya Raja Sang Naualuh Damanik, Raja Siantar (18..-1906) menolak dan mengadakan perlawanan terhadap perluasan perkebunan mascape Belanda. Namun Belanda berhasil mematahkan

360 Menurut pengakuan warga dan bukti fotokopi Surat yang bersifat rahasia, beberapa kavlingan tanah pada objek perkara tersebut adalah milik para pejabat (termasuk pejabat Provinsi tingkat I Sumatera Utara)

Universitas Sumatera Utara

perlawanan raja-raja Simalungun dan merampas seluruh wilayah Simalungun (penaklukan Belanda atas raja-raja Simalungun, melalui penandatanganan Akta “Korte Verklaring” oleh raja-raja Simalungun tahun 1904 dan 1907).

Raja Sang Naualuh yang menolak “Perjanjian Pendek/ Korte Verklaring” diasingkan pada tahun 1906 ke Pulau Bengkalis. Dengan cara-cara demikian, Pemerintah Hindia Belanda merasa berhak merampas seluruh wilayah Simalungun (termasuk daerah Partuanon Silampuyang).

Pada waktu itu, wilayah Silampuyang dikuasai oleh generasi ke 6 (Dinasti ke-6), yaitu Tuan Djaingat Saragih. Tuan ini, yang merasa sangat dirugikan oleh Belanda, berangkat ke Batavia dan Bogor untuk memperjuangkan pengembalian tanah leluhurnya kepada Pemerintah Pusat Hindia Belanda (Gubernur Jenderal). Setelah mengatasi berbagai rintangan, Tuan Djaingat Saragih berhasil (memenangkan perkaranya) untuk sebagian. Sekembalinya dari Batavia, tanah yang diperjuangkannya sudah diusahai oleh Maskape Perkebunan Belanda. Tuan Silampuyang meminta kembali seluruh tanah Harajaan Silampuyang, namun tuan kebun (Pemerintah Daerah Sumatera Timur) licik, membujuknya dengan kesepakatan kedua belah pihak yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila keturunan Tuan Silampuyang dan rakyat yang dipimpinnya bertambah, maka tanah perkebunan tersebut harus dikembalikan kepada Tuan Silampuyang setelah tujuh puluh tahun kemudian.” Sementara itu, Tuan Djaingat Saragih telah memindahkan pusat

pemerintahannya dari Huta Bagasan ke Pematang Silampuyang bagian atas. Dan Belanda, akibat krisis yang makin genting (Malese, 1920-an) semakin menekan rakyat.

Tuan Djaingat Saragih meninggal dunia pada tahun 1930, dan digantikan oleh adik kandungnya Tuan Djoriammat Saragih sebagai Tuan Silampuyang, menunggu anak kandungnya, yaitu Tuan Simon Saragih menjadi akil baligh.

Pada saat dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 1945, Belanda angkat kaki dari Indonesia, tanah perkebunan punya hak Partuanon Silampuyang diambil alih oleh Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) sampai sekarang.

Pada tahun 1969, ahli waris Tuan Silampuyang meminta tanah leluhurnya kepada Perusahaan Perkebunan Negara (PPN); sesuai dengan perjanjian melalui DPR-GR (saat itu), PPN VII (sekarang PTPN-IV) sudah bersedia melepaskan 234 Hektar tanah Tuan Silampuyang. Namun oleh Panitia Pembagian (1970), menyelewengkan pembagian tanah tersebut dengan mengikutsertakan warga yang bukan ahli waris serta rakyat Tuan Silampuyang.

Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ahli waris Tuan Silampuyang dan masyarakat Silampuyang mengadakan musyawarah dan sepakat untuk membentuk Kepanitiaan, yang bernama: Panitia Pengembalian Tanah Pinjaman Perkebunan PTPN-IV dari Tuan Silampuyang (PPTPP)361

361 Djariaman Damanik, Op Cit, hal. 83-84.

.

Universitas Sumatera Utara

Kedudukan (status) Partuanon Silampuyang setelah penandatanganan “Korte Verklaring” (Perjanjian Pendek) antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Partuanon/ Parbapaan (pemangku harajaan dan adat) wilayah Siantar di Siantar, pada tanggal 16 Oktober 1907. Bahwa, substansi Berita Acara Persidangan, yang dihadiri oleh Contreleur J.L. O’Brien dan Harajaan Pematang Bandar, Parbapaan Bandar, Parbapaan Siantar Proper, Parbapaan Sidamanik dan partuanon-partuanon dari Harajaan Siantar, Sidamanik dan Bandar, semuanya berjumlah 39 orang, dapat dipakai sebagai “entry point”, sebab naskah dokumen itu diakui oleh Pihak Pemerintahan Hindia Belanda (G.G.N.I Van Heutz), Partuanon-partuanon dan Parbapaan-parbapaan dari ketiga kerajaan itu (Siantar Proper, Bandar dan Sidamanik).

Dari sekian banyak yang hadir dan mengetahui serta menyetujui isi naskah itu, terdapat nama “Si Djaingat Toean van Silampuyang”. Yang berarti bahwa Tuan Djaingat diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Harajaan Siantar Proper, Bandar dan Sidamanik, sebagai suatu daerah Partuanon, yang punya daerah kekuasaan (ulayat) sendiri atas tanahnya (kampung halaman, tanah pertanian dan hutan serta air yang berada dalam batas-batas daerahnya).

Jadi daerah Partuanon Silampuyang merupakan suatu masyarakat hukum yang berdiri sendiri (otonom luas ) atau berdaulat atas wilayah kekuasaannya. Jadi semua campur tangan atas “barang” (tanah, hutan, perkampungan, air dan lain-lain) dalam wilayah partuanon-nya harus memperoleh persetujuannya.

Status Harajaan Siantar Proper, dapat dikatakan sebagai koordinator saja dari sekian banyak Partuanon dan Parbapaan untuk memudahkan Pemerintah Hindia Belanda me-manage daerah koloninya. Struktur organisasi pemerintahan, sebagaimana kita jumpai sekarang di Kecamatan Siantar, sangat berbeda dengan struktur atau bagan organisasi pemeritahan Harajaan tempo doeloe (semacam “statenbond” dalam arti tradisional, dimana “Partongah” berkedudukan sebagai “primus interparis” di antara para Partuanon dan Parbapaan yang ada) khususnya menghadapai intervensi dari luar (asing)362

Soal benar atau tidaknya eksistensi Hak Partuanon/ Ulayat Tanah Silampuyang

.

363

a. Penuturan dari generasi ke generasi di kalangan keluarga besar Raja-raja Siantar, Bandar dan Sidamanik menegaskan bahwa Partuanon Silampuyang sudah ada sebelum hadirnya Kerajaan Siantar pada abad ke-15. Kerajaan Siantar “martondong bona/ mataniari” terhadap Tuan Silampuyang. Artinya calon-calon permaisuri/ Puang Bolon/ Puang Poso bagi Raja-raja Siantar/ Sidamanik/ Bandar berasal dari Partuanon Silampuyang.

.

b. J. Tideman dalam bukunya “Simeloengoen, Hetland der Timoer-Bataks” Leiden 1922, juga menulis tentang hubungan antara raja-raja Siantar dengan Partuanon Silampuyang.

362 Ibid, hal. 90-91. 363 Ibid, hal. 102.

Universitas Sumatera Utara

c. Dalam perjanjian pendek atau Korte Verklaring yang dibuat oleh Belanda dan pembesar-pembesar adat di Kerajaan Siantar, Bandar, dan Sidamanik, antara sekian banyak Partuanon yang hadir dalam pertemuan khusus itu, tercantum nama Tuan Djaingat/ Tuan van Silampuyang (Oktober 1907). Dari ungkapan-ungkapan di atas sudah dapat dipastikan bahwa Partuanon Silampuyang eksis, demikian juga dengan hak Partuanon Ulayat (beschikkingskring) atas tanah adat, dengan batas-batasnya yang jelas. Secara kebetulan lokasi Partuanon Silampuyang berada di tengah-tengah tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Siantar, Tanah Jawa, dan Panei. Menurut penuturan lisan orang-orang tua, Partuanon Silampuyang sering berfungsi (sesuai letak geografis daerahnya) sebagai penengah yang tidak berpihak, bila kadang kala terjadi konflik di antara raja-raja tersebut. Di daerah itu ada sebidang lahan pertanian yang terkenal dengan nama “Sitanggal Gupak” yang artinya sebagai “daerah netral” dimana, siapapun tidak diperkenankan berkelahi/ bersengketa di sana, kira-kira fungsinya seperti “Negara Swiss” di Benua Eropa. Bagaimanakan batas-batas daerah Partuanon Silampuyang dahulu dapat di-trace di peta-peta lama yang tersimpan di Arsip Nasional Jakarta. Cukup sampai disini masalah eksistensi Partuanon Silampuyang dan daerah Partuanonnya (hak ulayat) atas tanah Silampuyang. 1) Masalah Rakyat Silampuyang, Siapakah yang dapat didefinisikan sebagai

rakyat Silampuyang? Tentu yang berdiam/ berdomisili di daerah (huta dan

dusun) Silampuyang secara menetap. Dahulu digunakan istilah Simalungun

“Par Silampuyang” itulah “simada talun Silampuyang” sebagai warga atau

kaula Silampuyang, sebagai anggota masyarakat hukum tradisional.

Sebagaimana kita ketahui ada hubungan mendasar (batin/ kodrat) antara

warga masyarakat hukum tertentu dengan tanah leluhurnya dari generasi ke

generasi.

2) Bagaimana sampai tanah Partuanon Silampuyang jatuh ke tangan Perkebunan

(PTPN-IV) Bah Jambi?

Keadaan ini mempunyai latar belakang sejarah yang panjang : a) Berawal dari ketertarikan perkebunan asing menginvestasikan modalnya

di Simalungun. Setelah hampir semua raja-raja di Simalungun

Universitas Sumatera Utara

menandatangani “Korte Verklaring” (perjanjian pendek) antara tahun

1904-1907, maka daerah Simalungun mendapat giliran untuk pembukaan

perkebunan luas oleh orang-orang asing. Pembukaan kebun karet pertama

adalah di Kerajaan Bandar, kemudian menyusul di Kerajaan Siantar,

Tanah Jawa dan Panei. Menurut catatan J. Tideman dalam bukunya yang

terkenal itu,

(1) Pada tahun 1908, Kebun Siantar Estate mulai mengelola kebun karet

di sekitar Kota Siantar.

(2) Pada tahun 1919, Marihat Sumatera Plantage, dengan kebun karet,

mulai beroperasi di daerah Partuanon Silampuyang.

(3) Sampai tahun 1921, di daerah Simalungun sudah ada 14 perkebunan

teh, 20 kebun karet, 2 kebun sisal dan 10 kebun aneka tanaman.

(4) Titik puncak penetrasi perkebunan asing ke daerah Simalungun adalah

pada tanggal 1 Juli 1920 dimana pemerintah Hindia Belanda

menetapkan Simalungun menjadi bagian dari Cultuurgebied Oostkust

van Sumatra (Simalungun dimasukkan menjadi bagian dari daerah

kultur perkebunan asing), yang berarti kepentingan perkebunan asing

dinomorsatukan, sedang kepentingan rakyat raja-raja tradisional

dinomorduakan. Inilah politik kolonial murni yang telah dialami oleh

daerah dan rakyat Simalungun mulai tahun 1920 sampai tahun 1943

(masuknya pemerintahan militer Jepang ke Sumatera Timur).

Universitas Sumatera Utara

Sehubungan dengan peristiwa perusakan tanaman perkebunan PTPN-IV Bah Jambi oleh rakyat ada beberapa hasil wawancara yang menggambarkan sengketa tanah Silampuyang tersebut364

a) Siapakah rakyat yang melakukan perusakan pohon-pohon kelapa sawit milik PTPN itu? Apakah mereka warga/ kaula Huta Pamatang Silampuyang? Ataukah mereka orang luar yang haus akan tanah untuk menambah tanah pekarangan, ladang, sawahnya yang sudah ada?

:

b) Apa dasar/ motif perusakan yang mereka lakukan? Katanya tanah-tanah itu diserobot oleh perkebunan? Bukankah perkebunan sudah memiliki HGU (hak guna usaha) atas tanah sengketa itu? Mungkinkah mereka sama sekali tidak tahu atau paham tentang sejarah tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan perkebunan. Misalnya perjanjian kontrak erfacht dahulu, nasionalisasi perkebunan teh oleh pemerintah Indonesia, penerbitan hak guna usaha oleh Pemerintah Indonesia sebagai “vrij landsdomein”.

c) Perlu men-discover perjanjian erfpacht antara Raja-Siantar dengan Marihat Rubber Plantation Coy pada kira-kira tahun 1918.

d) Perlu peta batas-batas tanah Silampuyang/ batas-batas perkebunan. e) Pendataan rakyat penggarapan secara rinci dan penduduk Silampuyang

proper (hak pemilikan tanah). f) Apakah perjanjian atau pernyataan DPR-GR untuk memberikan lahan

perkebunan kepada rakyat Silampuyang seluas 225 hektar. Adakah suatu “triparty” perjanjian antara DPRGR-Pemerintah-Rakyat? Bagaimana isi/ substansinya? Bagaimana pelaksanaannya dilapangan? Pas op : pengalaman dahulu, ada Penghulu Alip Damanik janji kepada keluarga T. Silampuyang? Waspadalah terhadap manipulator-manipulator! Mengatasnamakan nama Tuan Silampuyang (bukan raja Silampuyang).

g) Perlu klarifikasi : Jangan ada yang teraniaya! Nama baik Tuan Silampuyang! Keturunan Tuan Silampuyang yang merasa dirugikan namanya, dapat menggugat mereka yang menyalahgunakan nama Tuan Silampuyang untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Masyarakat Huta Bagasan, Desa Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten

Simalungun (85 orang) yang diwakili kuasa hukum Sitor Situmorang,SH,MH dkk melawan - PTPN IV

- Pemerintah RI cq BPN RI cq BPN Sumatera Utara cq BPN Kabupaten

Simalungun

364 Hasil wawancara yang telah diolah.

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Huta Bagasan, Desa Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun (85 orang) yang diwakili kuasa hukum Advokat dari Law Office Sitor Situmorang dan partners sebagai Penggugat, melawan :

Isunya sebagai berikut :

1. PT Perkebunan Nusantara IV (dahulu PTP VII) Medan, sebagai Tergugat I

2. Pemerintah RI BPN RI cq dan BPN Kanwil Propinsi Sumatera Utara cq BPN

Kabupaten Simalungun selanjutnya sebagai Tergugat II.

Objek gugatan adalah tanah Cadangan Perluasan Perkampungan dan Pertanian Huta Bagasan Nagori Silampuyang yang terletak di Huta Bagasan Desa Silampuyang Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara seluas 225 ha dengan batas-batas sebagai berikut365

Sebelah Utara : dimulai dari Patok I memanjang sampai Patok II sampai Patok III dibatasi dengan Tanah Sawah Pak Supar areal perkebunan Kelapa Sawit Afdeling II PTPN IV Jalan Desa Silampuyang dan Sungai Bah Arabi,

:

Sebelah Timur : dimulai dari Patok III sampai Patok IV dibatasi dengan Sungai Bah Arabi, areal perkebunan Kelapa Sawit Afdeling II PTPN IV areal Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III PTPN IV dan Sungai Bah Hilang (dikenal masyarakat Waliman sebagai daerah Sitahuak)

Sebelah Selatan : dimulai dari Patok IV sampai daerah irigasi (DAM) dibatasi dengan Sungai Bah Hilang, Tanah Pak Bero, Tanah Pak Untung, Tanah Pak Waliman, Tanah Pak Tamin, Tanah Pak Sairin, Tanah Pak Suratman, Tanah Pak Purba, Tanah Pak Amron Batubara, Tanah Pak Hermanto, Tanah Pak Saliwon, Tanah Pak Satia Girsang, Tanah Pak Ginting, Tanah Pak Mangatar Saragih, Tanah Pak Sarpen, Tanah Pak Salmon, Tanah Asam Damanik, Tanah Pak Kasiran, Tanah Alm. Pak Torik Situmorang, Tanah Pak Syarifuddin Manurung dan Tanah Pak Asam Damanik,

Sebelah Barat : dimulai dari daerah irigasi (DAM) sampai Patok I dibatasi dengan Tanah Alm. Pak Amat Lontong, Tanah Pak Zaiman, Tanah Pak Manan, Rumah Pak Jimin, Tanah Pak Narsim dan Tanah Pak Turino.

Selanjutnya disebut TANAH OBJEK GUGATAN366

365 Putusan Pengadilan Tinggi No. 264/PDT/2007/PT-MDN, hal. 2 366

Putusan Nomor 26/Pdt/G/2006/P.N Sim, hal. 2

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Huta Bagasan Desa Silampuyang Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara merupakan pemilik yang sah (mempunyai hak milik bersama atas objek gugatan)367

Bahwa tanah kampung dan tanah cadangan pertanian Huta Bagasan diatas telah dikuasai oleh Orang Tua Para Penggugat seluas 9.9 ha dan sisanya 225 ha yang dalam gugatan ini disebut sebagai tanah objek gugatan telah dikuasai oleh Tergugat I dengan cara meminjam dari Orang Tua Para Penggugat melalui Tuan Silampuyang yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai Penghulu (Kepala Desa) pada zaman itu.

Bahwa dalam akta/surat peminjaman tanah objek gugatan antara Tuan Silampuyang yang mewakili kepentingan Para Penggugat dengan Tergugat dinyatakan bahwa tanah tersebut (obyek gugatan) akan dikembalikan secara beangsur-angsur setelah perkembangan penduduk ternyata membutuhkannya, sebagaimana juga hasil penelitian bagian A. DPRGR membutuhkannya, sebagaimana juga hasil penelitian Surat Laporan Bagaian A. DPRGR Kabupaten Simalungun tentang tuntutan Pengembalian Tanah Cadangan Perluasan Perkampungan Huta Bagasan Kecamatan Siantar dari PNP-VII Perkebunan Marihat tertanggal 4 juni 1970.368

Bahwa apa yang disepakati dalam Perjanjian antara Tuan Silampuyang dengan Tergugat I ini tidak pernah dipatuhi atau direalisasikan oleh Tergugat I hingga surat gugatan ini diajukan atau dengan kata lain bahwa tanah yang merupakan obyek gugatan aquo belum pernah dikembalikan oleh pihak Tergugat I kepada Orang Tua Para Penggugat.

Bahwa sejak tahun 1969369

Bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DPRGR Kabupaten Simalungun telah dibuktikan melalui peninjauan langsung ke lokasi letak obyek tanah

Bagian A DPRGR Kabupaten Simalungun telah mengadakan penelitian berdasarkan tuntutan Para Penggugat agar tanah obyek gugatan dikembalikan kepada Para Penggugat, dimana sebelumnya juga Para Penggugat telah menyampaikan tuntutan secara langsung kepada kepada Tergugat I tetapi tidak pernah ditanggapi bahkan Tergugat I menggunakan kekerasan untuk mencegah tindakan Para Penggugat tersebut, maka berdasarkan keterangan yang diminta oleh Bagian A DPRGR dari Tergugat I, bahwa Tergugat I telah mengakui bahwa benar Tuan Silampuyang telah meminjamkan tanah obyek gugatan kepada Tergugat I, akan tetapi akta/surat Perjanjian Peminjaman tersebut telah hilang dan tidak ada di berkas/arsip Tergugat I lagi.

367 Berkenaan dengan itu Orang Tua Para Penggugat telah memiliki tanah obyek gugatan sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia, dan hal tersebut telah diakui secara tegas oleh Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu sebagaimana yang disebutkan secara tegas dalam terjemahan Surat Keputusan dari daftar Surat Keputusan Gouvernour der Oostkust van Sumatera No. 273/B/E.3 tanggal 30 Agustus 1928, dimana dinyatakan dalam surat tersebut bahwa luas tanah kampung dan tanah cadangan pertanian Huta Bagasan Nagori Silampuyang adalah 234, 9 ha, ibid hal. 3.

368 Hasil wawancara yang telah diolah dengan Abdiaman Damanik, Ketua Panitera PN Simalungun, tanggal 4 April 2011.

369 Wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Pematangsiantar pada tanggal 1 April 2011.

Universitas Sumatera Utara

gugatan dan melalui keterangan-keterangan baik dari pihak Penggugat (mayarakat Huta Bagasan Silampuyang), Pihak Tergugat serta pihak-pihak yang berkompeten lainnya, didapat kesimpulan bahwa semua pihak membenarkan bahwa obyek tanah gugatan adalah tanah hak milik Masyarakat Huta Bagasan Silampuyang (Para Penggugat) yang dipinjamkan ke pihak Tergugat I (PNP IV, sekarang PTPN IV). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Surat Kesimpulan hasil Penelitian/Peninjauan Panitia Khusus DPRGR Kabupaten Simalungun tentang tuntutan pengembalian tanah cadangan perkampungan untuk perluasan Huta Bagasan Kecamatan Siantar dari PNP VII Perkebunan Marihat.

Bahwa selanjutnya sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bagian A DPRGR Kabupaten Simalungun tersebut, DPRGR Kabupaten Simalungun mengeluarkan sebuah resolusi yang berisi desakan kepada Pemerintah Kepala Daerah Kabupaten Simalungun agar tanah pinjaman yang berasal dari cadangan Perkampungan Huta Bagasan Silampuyang (tanah obyek gugatan) segera dikembalikan oleh Pihak Tergugat I untuk dibagikan kepada penduduk kampung (dalam hal ini Para Penggugat). Hal ini tertuang dalam Resolusi DPRGR Kabupaten Simalungun nomor 1/dprgr/70-71 tanggal 16 juni 1970 perihal Resolusi Dewan tentang Perluasan Areal Perkampungan Desa Huta Bagasan Kecamatan Siantar.370

Bahwa apa kemudian sebagai usaha untuk merealisasikan Resolusi DPRGR Kabupaten Simalungun ini,

371 DPRGR Kabupaten Simalungun mengeluarkan Surat Keputusan DPRGR Kabupaten Simalungun No. 25/dprgr/70-71 perihal Resolusi Dewan tentang Perluasan Areal Perkampungan Desa Huta Bagasan Kecamatan Siantar yang memutuskan antara lain tentang batas waktu realisasi Resolusi DPRGR tersebut selambat-lambatnya akhir Juni 1971, dan biaya pengurus dibebankan kepada Tergugat I dan Anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun dan juga Perintah agar diambil tindakan pengamanan terhadap tanah sengketa (tanah objek gugatan) yang menjadi keputusan dalam Resolusi DPRGR sebagaimana disebutkan di atas tidak pernah dilaksanakan oleh Kepala Daerah Kabupaten Simalungun maupun oleh Tergugat I tanpa sebab yang jelas. Hal ini jelas-jelas menunjukkan bahwa Tergugat I tidak mempunyai iktikad baik dan bersikap sangat arogan karena tidak mematuhi isi dari Resolusi wakil rakyat tersebut yang jelas-jelas juga bersumber dari keterangannya sendiri, mengingat juga Perjanjian antara Tuan Silampuyang dengan Pihak Tergugat I yang mewajibkan Pihak Tergugat I untuk mengembalikan Tanah obyek gugatan kepada Para Penggugat.372

Bahwa dalam perkembangannya masyarakat (Para Penggugat) tetap melakukan usaha-usaha dalam rangka pengembalian tanah obyek gugatan karena memang tanah obyek gugatan adalah hak milik sendiri dan telah mendapat pengakuan dan dukungan dari DPRGR Kabupaten Simalungun, tetapi usaha tersebut selalu mendapat perlawanan dari Pihak Tergugat I yang dilakukan dengan tekanan-tekanan

370 Ibid 371 Ibid 372 Wawancara dengan masyarakat Silampuyang pada tanggal 6 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara

yang mengarah pada tindakan kekerasan. Adapun usaha yang dilakukan adalah seperti menanami tanaman palawija diantara pohon kelapa sawit, hal ini dilakukan masyarakat (Para Penggugat) tak terlepas juga dari tekanan ekonomi karena lahan untuk pertanian sudah sangat sempit akibat bertambahnya populasi warga masyarakat (Para Penggugat).

Bahwa dalam usaha untuk merebut kembali haknya atas tanah obyek gugatan, Para Penggugat telah membentuk sebuah panitia dengan nama Panitia Pengembalian Tanah Cadangan Perluasan Perkampungan dan Pertanian Huta Bagasan Nagori Silampuyang yang berkedudukan di Desa Silampuyang Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun. Melalui Panitia ini Para Penggugat telah melakukan upaya-upaya baik barupa tuntutan langsung ataupun permohonan melalui surat kepada lembaga-lembaga Pemerintahan yang berkompeten yang pada intinya memohon agar tanah obyek gugatan dapat segera dikembalikan kepada Para Penggugat. Adapun jawaban atas surat Panitia tersebut secara umum mendukung upaya Panitia bahkan menyarankan agar tanah obyek gugatan segera dikembalikan kepada Para Penggugat.373

Bahwa sesuai dengan surat Gubernur Provinsi Sumatera Utara No. 593/8960 tanggal 16 Juni 2001 yang dikeluarkan berdasarkan adanya tuntutan masyarakat (Para Penggugat) atas tanah obyek gugatan di lokasi PTPN IV (Tergugat I). Dalam surat tersebut Gubernur meminta kepada Kakanwil BPN

374

Bahwa Para Penggugat telah melaporkan permasalahan aquo dan memohon kepada DPR-RI agar tanah obyek gugatan dikembalikan kepada Para Penggugat. Menanggapi hal tersebut DPR-RI mengeluarkan surat No. PW/006/3962/DPR RI/2001 tanggal 13 Agustus 2001, yang intinya meminta kepada Gubernur Sumatera Utara untuk menyelesaikan permasalahan aquo.

Provinsi Sumatera Utara (Tergugat II) untuk menunda proses perpanjangan HGU PTPN IV (Tergugat I) menunggu adanya penyelesaian masalah tuntutan masyarakat (Para Penggugat) tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Gubernur sangat mendukung adanya penyelesaian pengembalian tanah obyek gugatan kepada masyarakat (Para Penggugat), namun sampai saat ini belum jelas realisasi dari permintaan Gubernur tersebut.

Bahwa sesuai dengan surat Bupati Simalungun No.620/11581-Tapem, tanggal 29 November 2001 yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Sumatera Utara, yang pada intinya antara lain menyampaikan Kesimpulan hasil kerja tim Penertiban Permasalahan Tanah Kabupaten Simalungun sebagaimana dikutip yaitu : “agar tanah permasalahan seluas 225 Ha dalam waktu yang relatif singkat dapat diselesaikan oleh Pemerintah Atasan dan dikembalikan kepada masyarakat yang berhak sebelum HGU berakhir 31 Desember 2006”. Selanjutnya dalam surat tersebut Bupati Simalungun375

373 Ibid

menyarankan agar tanah seluas 225 Ha (tanah obyek gugatan)

374 Wawancara dengan Ketua Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Simalungun, 7 April 2011 (wawancara dilakukan pra penelitian ke daerah Silampuyang).

375 Wawancara dengan B. Sinaga, Staf Kantor Bupati Simalungun pada tanggal 8 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara

tersebut dikeluarkan dari HGU PTPN IV (Tergugat I) untuk selanjutnya diserahkan kepada masyarakat yang berhak (Para Penggugat).376

Bahwa selanjutnya Bupati Simalungun kembali menyarankan kepada Gubernur Sumatera Utara dan kepada Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara (Tergugat II) melalui Surat No. 593/1762-Tapem, tanggal 22 februari 2006, supaya tanah seluas 225 Ha (obyek gugatan) dikeluarkan dari HGU PTPN IV untuk diserahkan kepada masyarakat yang berhak (Para Penggugat).

Bahwa berdasarkan surat Bupati Simalungun sebagaimana disebutkan di atas, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Sekretariat Daerah Provinsi melalui surat No. 593/1780/2006 tanggal 28 Maret 2006, telah meminta secara tegas kepada Kakanwil Provinsi Sumatera Utara (Tergugat II) agar menindaklanjuti surat Bupati tersebut dan tidak memproses perpanjangan HGU PTPN IV atas tanah seluas 225 Ha (tanah obyek gugatan) yang merupakan tuntutan masyarakat Desa Silampuyang (Para Penggugat).

Bahwa saran-saran, pertimbangan atau permintaan dari Bupati Simalungun dan Gubernur Sumatera Utara sebagaimana dikemukakan di atas yang ditunjukan kepad Tergugat II tidak pernah dilaksanakan secara tegas dan konkrit, justru Tergugat II masih memproses permohonan perpanjangan HGU No. 1/Silampuyang, hal mana diketahui dari surat BPN Kanwil Provinsi Sumatera Utara No. 570-878 tanggal 5 Juni 2006 yang menyatakan bahwa permohonan perpanjangan HGU Nomor 1/Silampuyang telah diteruskan kepada BPN Pusat c.q Deputi Bidang Pengkajian dan Hukum Pertanahan. Kenyataan ini jelas-jelas merupakan tindakan arogan dari Tergugat II yang sama sekali tidak menggubris tuntutan Penggugat dan saran-saran dari Pemerintah aquo.377

Bahwa tanggapan-tanggapan atau jawaban atas surat Para Penggugat yang disampaikan melalui Panitia telah diketahui oleh Para Penggugat bahwa tanah obyek gugatan telah masuk dalam bagian Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 1/Silampuyang yang diterbitkan oleh Tergugat II pada tanggal 11 Desember 1981 atas nama pemegang hak yaitu PTPN IV (Tergugat I). Hal ini sesuai dengan surat Bupati Simalungun no. 620/11581/Tapem tanggal 29 Nopember 2001 dan surat Bupati Simalungun no. 593/1762/Tapem tanggal 22 Februari 2006 kemudian juga dalam surat Tergugat II No. 000/364/4-60 tanggal 6 April 2006. Bahwa kenyataan ini sungguh mengejutkan Para Penggugat, karena bagaimana mungkin obyek gugatan tersebut masuk dalam sertifikat HGU milik Tergugat I, karena selama ini Tergugat I adalah sebagai pihak yang meminjam obyek gugatan dari Tuan Silampuyang yang mengatasnamakan rakyatnya (Para Penggugat), tetapi kenyatannya justru sebalikya dan menjadi pertanyaan mengapa diterbitkan HGU sementara nyata-nyata obyek gugatan adalah hak milik Para Penggugat dari DPRGR telah memerintahkan Tergugat I untuk mengembalikan tanah obyek gugatan aquo sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam surat gugatan ini? Tindakan Tergugat I jelas sangat

376 Ibid. 377 Wawancara dengan masyarakat Silampuyang, 10 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara

arogan karena tidak mematuhi apa yang telah diputuskan oleh sebuah lembaga wakil rakyat yang merupakan bagian dari pemerintahan, DPRGR Kabupaten Simalungun. Para penggugat belum pernah mengalihkan hak miliknya kepada pihak manapun sehingga perbuatan Tergugat I adalah merupakan perbuatan melawan hukum, dan akibat dari perbuatan ini Para Penggugat telah menderita kerugian baik secara materil maupun inmateril, karena Tergugat I telah mengambil hak milik Para Penggugat secara melawan hukum, oleh karena itu harus dinyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan Melawan Hukum. Karenanya sertifikat HGU Nomor 1/Silampuyang harus pula dinyatakan produk yang cacat hukum.

Bahwa berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I sebagaimana dijelaskan di atas, maka Tergugat I harus dihukum untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh Para Penggugat terhitung sejak batas waktu pengembalian tanah obyek gugatan sebagaimana diperintahkan oleh DPR-GR Kabupaten Simalungun dalam Surat Keputusan Nomor 25/dprg/70-71 tanggal 17 Maret 1971 perihal Resolusi Dewan tentang Perluasan Areal Perkampungan Desa Huta Bagasan Kecamatan Siantar yaitu paling lambat akhir Juni 1971. Masyarakat Huta Bagasan Silampuyang (Para Penggugat) telah cukup lama menderita karena tidak memiliki lagi lahan untuk bertani, yang notabene adalah sumber mata pencaharian utama Para Penggugat, sementara Tergugat I telah cukup lama menikmati hasil dari tanah obyek gugatan yang selama ini dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit oleh Tergugat I.378

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka sangat patut Tergugat I dihukum untuk membayar ganti kerugian materil kepada para Penggugat dengan pertimbangan hasil rata-rata yang didapat oleh Para Penggugat apabila obyek gugatan dikelola untuk penghidupannya adalah sebesar Rp. 2.000.000/bulan (dua juta rupiah perbulan) dikalikan dengan 225 Ha dan dikalikan lagi dengan lamanya waktu penguasaan Tergugat I terhitung sejak bulan Juli 1971 sampai dengan bulan Juli 2006 yaitu selama 35 tahun atau 420 bulan, maka total ganti kerugian materil yang harus dibayar oleh Tergugat I adalah sebesar Rp. 189.000.000.000 (seratus delapan puluh milyar rupiah). Kemudian karena selama memperjuangkan haknya, Penggugat telah banyak menderita secara moril akibat tekanan-tekanan, intimidasi dan kekerasan yang diterima, untuk itu Tergugat I juga harus dihukum untuk membayar kerugian inmateril sebesar Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah).

Bahwa untuk memaksa Tergugat I dan demi terlaksananya isi putusan yang akan diputuskan oleh Majelis Hakim maka sudah selayaknya Majelis Hakim menghukum Tergugat I untuk membayar uang paksa (dwangsom) apabila lalai dalam melaksanakan isi putusan dari gugatan ini sebesar Rp. 100.000.000/hari (seratus juta rupiah perhari).

Bahwa untuk menjaga atau menghindari kerugian yang lebih besar dikemudian hari dan agar gugatan Para Penggugat tidak sia-sia maka sangat berdasar

378 Hasil wawancara yang telah diolah dan observasi di lapangan.

Universitas Sumatera Utara

menurut hukum Para Penggugat memohon agar Pengadilan Negeri Simalungun meletakkan sita jaminan terhadap : 1. Areal HGU 1/Silampuyang atas nama Tergugat I yang terletak di Pematang

Siantar, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara,

2. Tanah dan bangunan permanen milik Tergugat I, kantor yang terletak dan

setempat dikenal oleh umum di Jalan Suprapto Nomor 2 Medan Sumatera Utara.

a. Tipologi sengketa pertanahan dalam kasus 2 (dua) di atas adalah menyangkut : 1) Sengketa tanah yang berkaitan dengan Hak Partuanon (ulayat) Silampuyang.

2) Sengketa tanah yang berkaitan dengan status hak atas tanah (tanah yang ada di

kawasan perkebunan).

3) Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

4) Sengketa Penetapan Hak

5) Sengketa Tanah eks Tanah Swapraja

Adapun pihak-pihak yang bersengketa adalah : 1) Masyarakat Adat

2) Perkebunan

b. Faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan dalam kasus 2 (dua) ini adalah: 1) Faktor Historis

Berkaitan dengan sejarah perkebunan di daerah ini yang pada mulanya tanah-tanah yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan perkebunan adalah bekas hak konsesi yang diberikan oleh para Raja (dalam hal ini Tuan Djaingot Saragih, Tuan Silampuyang) kepada Pengusaha Perkebunan Eropah (Belanda). Berdasarkan akar sejarah tersebut, maka marak tuntutan dari masyarakat adat Silampuyang terhadap tanah perkebunan di wilayah tersebut, sebagai tanah ulayat etnisnya dan menuntut dikembalikan kepada mereka. Dipihak lain perusahaan perkebunan Belanda mengalami perkembangan penguasaan tanahnya sejak masa pendudukan Jepang yang mentolerir penggarapan rakyat pada areal perkebunan kemudian berlanjut pada zaman kemerdekaan dan berlangsung sampai tahun 1980-an. Oleh karena penggarapan terus berlangsung, Pemerintah menerbitkan ordonantie

Universitas Sumatera Utara

Onrechmatige Occupatie van Gronden (Stb. 1948-10), namun penggarapan tetap tidak dapat dibendung, sehingga Pemerintah mengambil kebijakan membentuk Tim Khusus yang hasilnya mengeluarkan sebagian areal perkebunan guna dibagikan kepada rakyat diikuti dengan pemberian kartu tanda penggarapan. Tanah yang dibagikan tersebut tidak diikuti dengan pendaftaran tanahnya, belakangan dengan berbekal kartu garapan yang lama, rakyat mengklaim tanah-tanah garapannya diambil alih kembali oleh perusahaan perkebunan, sehingga dituntut kembali melalui Pemerintah.

2) Faktor Reformasi Dalam hal ini sengketa dan konflik pertanahan pada areal perkebunan kembali mencuat ke permukaan seiring dengan era reformasi, pada saat itu akibat dari krisis ekonomi telah mengakibatkan badan hukum yang menguasai/ memiliki tanah perkebunan belum dapat mempergunakan lahannya sesuai dengan peruntukannya, sedangkan di sisi lain bertambahnya penduduk serta berkurangnya kesempatan kerja pada sektor-sektor industri juga diikuti dengan timbulnya gejala “lapar tanah” di kalangan masyarakat yang tidak mempunyai lahan, ditambah lagi statemen Presiden RI Abdurahman Wahid (Gus Dur) ketika itu yang menyatakan sebanyak 40% areal PTPN akan dibagikan kepada rakyat karena PTPN banyak merampas tanah rakyat, maka terjadilah pendudukan dan penggarapan di atas tanah pihak lain dan kemudian diajukan penuntutan kembali (reclaiming action) atas tanah-tanah perkebunan yang didasarkan berbagai alasan, seperti : a) Mengklaim semua tanah perkebunan sebagai bagian dari tanah hak ulayat

etnisnya; b) Mengaku bahwa dahulu pernah mempunyai hak atas tanah perkebunan

tetapi dikuasai kembali oleh pihak perkebunan (tanahnya dilindungi undang-undang);

c) Menuntut ganti kerugian dari perusahaan perkebunan karena tanah masyarakat masuk ke dalam areal perkebunan;

d) Alasan ekonomi sekedar memenuhi kebutuhan hidup; e) Berspekulasi dengan menggarap tanah untuk mencari untung379

3) Faktor Politik .

Titik puncak penetrasi perkebunan asing ke daerah Simalungun adalah pada tanggal 1 Juli 1920 dimana pemerintah Hindia Belanda menetapkan Simalungun menjadi bagian dari Cultuurgebied Oostkust van Sumatra (Simalungun dimasukkan menjadi bagian dari daerah kultur perkebunan asing), yang berarti kepentingan perkebunan asing dinomorsatukan, sedang kepentingan rakyat raja-raja tradisional dinomorduakan. Inilah politik kolonial

379 Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Sengketa Pertanahan dan Upaya Penyelesaiaannya di Provinsi Sumatera Utara, Makalah yang disampaikan kepada Kepala BPN RI pada saat kunjungan kerja ke Sumatera Utara tanggal 12 November 2006,op cit, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

murni yang telah dialami oleh daerah dan rakyat Simalungun mulai tahun 1920 sampai tahun 1943 (masuknya pemerintahan militer Jepang ke Sumatera Timur).

Kasus. 3. Sengketa Hak Atas Tanah Adat pada masyarakat Kebun Bangun (Kasus Tanjung Pinggir), Klaim pelepasan eks HGU PTPN III Kebun Bangun Kota Pematang Siantar.

Sengketa tanah bermula dari areal PTPN-III Kebun Bangun tidak kondusif

lagi dikelola untuk peruntukannya oleh PTPN-III disebabkan karena lahan tersebut telah digarap secara liar oleh masyarakat.

Kondisi eksisting lahan tersebut telah menimbulkan berbagai sengketa horizontal karena menjadi perebutan/saling mengklaim status tanah antar sesama penggarap yang dikuatirkan pada efek jangka panjang akan menimbulkan sengketa vertikal.

Berdasarkan data, terdapat beberapa subyek, yakni pihak-pihak yang bersengketa.

Subyek yang menuntut pengembalian tanah yang saat ini dikuasai dan diusahai PTPN-III Kebun Bangun di Afdeling VIII-IX (dahulu dikenal dengan nama Afdeling Martoba), adalah : Kelompok masyarakat Tambun Nabolon (Kestiono dkk.)380

a. Kelompok masyarakat Tanjung Pinggir/Pondok Sayur (Musiman dkk)

b. Kelompok masyarakat Kandang Lembu/Pondok Sayur (Manatar Sitorus dkk)

c. Kelompok Masyarakat Gurilla (Jansen Purba Dasuha dkk)

d. Drs. Djapadang Damanik

e. Johana Wijaya/Riduan Aritonang

f. Ramijan

g. Suardi

h. Batara Siahaan

i. Piten Silalahi

380 Usulan Pelepasan eks HGU PTPN III Kebun Bangun Kota Pematangsiantar yang disusun oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar, 2008, hal.18.

Universitas Sumatera Utara

Subyek yang dituntut mengembalikan tanah dimaksud adalah PTPN-III, yakni yang menguasai dan mengusahai tanah. Obyek a. Obyek yang dituntut oleh Kelompok Masyarakat Tambun Nabolon adalah

tanah di blok 28, 29, dan 30 seluas 51,52 Ha, dengan rincian sbb:

1) Blok 28 seluas 10 Ha

2) Blok 29 seluas 20 Ha

3) Blok 30 seluas 21,52 Ha

b. Obyek yang dituntut oleh Kelompok Masyarakat Tanjung Pinggir adalah

tanah di blok 31, 37, dan 43 seluas 108,39 Ha, dengan rincian sbb:

1) Blok 31 seluas 28,87 Ha

2) Blok 37 seluas 41,46 Ha

3) Blok 43 seluas 37,96 Ha

c. Obyek yang dituntut oleh Kelompok Kandang Lembu adalah tanah di blok

44,45,46 dan 47 seluas 76,72 Ha, dengan rincian sbb:

1) Blok 44/45 seluas 38,85 Ha

2) Blok 46/47 seluas 41,87 Ha

d. Obyek yang dituntut oleh Kelompok Penggarap Gurilla adalah tanah di blok

37,38,39 dan 40 seluas 81,49 Ha dengan rincian sbb:

1) Blok 37 seluas 5,81 Ha

2) Blok 38 seluas 4,78 Ha

3) Blok 39 seluas 28,66 Ha

4) Blok 40 seluas 42,69 Ha

Universitas Sumatera Utara

e. Obyek yang dituntut oleh Drs. Djapadang Damanik adalah tanah di Blok

46/47 seluas 65 rante (2,6 Ha).

f. Obyek yang dituntut oleh Batara Siahaan adalah tanah di blok 47 seluas ± 4

Ha

g. Obyek yang dituntut oleh Piten Silalahi adalah tanah di blok 46 seluas 35

rante (1,4 Ha).

h. Berdasarkan pernyataan dari Sdr. Kestiono (anggota Sub Tim dari masyarakat

Tambun Nabolon), tuntutan Suardi dan Ramijan bergabung dengan tuntutan

Kelompok Masyarakat Tambun Nabolon.

i. Obyek yang dituntut oleh Johana Wijaya berdasarkan Surat Kuasa tanggal 8

Oktober 1998 adalah tanah di eks blok 37,46,47,42,41,29, dan 30 (luas tidak

tercantum). Dalam surat Riduan Aritonang (kuasa Johana Wijaya) kepada

ketua DPRD KotaMadya Pematangsiantar tanggal 25 Maret 2002, obyek yang

dituntut menjadi tidak jelas. Dalam surat tersebut, Riduan Aritonang

mempertanyakan (1) Masalah ganti rugi tanah garapan seluas 256,65 Ha, (2)

Masalah garapan yang telah dikeluarkan dari areal Konsesi Kebun Simbolon,

dan (3) Masalah HGU Talup Kondot Nomor 1 September 1989.

Beberapa tuntutan masyarakat yaitu :381

a) Tuntutan Kelompok Tambun Nabolon

381 Wawancara dengan Soleh, Staf Pemko Pematangsiantar, pada tanggal 4 Juli 2011.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6 Objek / Tanah yang dituntut oleh Kelompok Tambun Nabolon

Blok Luas Awal

Diusahai PTP Pra SKLR

Garapan Rakyat

Pra SKLR

Rencana Wens-areal

Garapan Rakyat

Diberikan ke PTP

(SKLR 69)

Sisa Garapan Rakyat

Dikuasai PTP

Pasca SKLR

Diusahakan PTP (HGU)

Luas yang dituntut

Kel.Tam-bun

Nabolon 28 30,19 0 30,19 30,19 10 20,19 10 8,32 10 29 27,59 0 27,59 27,59 20 7,59 20 14,22 20 30 24,52 0 24,52 24,52 21,52 3 21,52 18,21 21,52

82,3 0 82,3 82,3 51,52 30,78 51,52 40,75 51,52 Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun b) Tuntutan Kelompok Masyarakat Tanjung Pinggir (Pondok Sayur)

Obyek yang dituntut oleh Kelompok Tanjung Pinggir terletak di blok 31,37 dan 43 seluas 108,39 Ha. Luas awal blok-blok tersebut adalah 97,29 Ha. Menurut data dari Kebun Bangun382

Pada tanggal 16 Juli 1969, PNP-IV Perkebunan Simbolon mengajukan rencana Wens-areal (daerah sekitarnya) kepada Panitia Landreform Kabupaten Simalungun. Rencana Wens-areal tersebut dimaksudkan untuk penambahan areal penanaman karet supaya mencapai minimal 1.500 Ha untuk dapat didirikan sebuah pabrik.

, sebelum terbit keputusan Panitia Landreform tahun 1969, luas blok-blok tersebut yang telah diusahai oleh PNP-IV adalah 58,97, sehingga sisa garapan rakyat adalah seluas 28,32 Ha.

Rencana pengembalian tanah garapan rakyat dalam Rencana Wens-areal tersebut adalah 28,32 Ha di blok 31, dan 10 Ha di blok 37. Luas tanah yang dikembalikan kepada PNP-IV berdasarkan keputusan Panitia Landreform Kabupaten Simalungun tahun 1969 adalah seluas 28,32 Ha di blok 31. Luas 10 Ha di blok 37 yang diminta perkebunan, tidak disetujui oleh Panitia Landreform. Berdasarkan keputusan Panitia Landreform tersebut pengembalian tanah kepada pihak PNP-IV dilakukan dengan pemberian ganti rugi. Luas yang diusahai PTP-IV setelah keputusan Panitia Landreform adalah 87,29 Ha. Setelah di HGU-kan pada tahun 1989, luasnya menjadi 97,29 Ha, termasuk 10 Ha di blok 37 yang tidak dikembalikan kepada perkebunan.

Tabel 7 Obyek/Tanah yang dituntut oleh Kelompok Tanjung Pinggir

Blok Luas Awal

Diusahai PTP Pra SKLR

Garapan

Rakyat Pra

SKLR

Rencana Wens-areal

Garapan Rakyat

Diberikan ke PTP (SKLR

69)

Sisa Garapa

n Rakyat

Dikuasai PTP Pasca SKLR

Diusai PTP

(HGU)

Luas yang Dituntut

Kel.Kandang Lembu

382 Wawancara dengan warga Kebun Bangun pada 13 Juli 2011

Universitas Sumatera Utara

31 28,32 0 28,32 28,32 28,32 0 28,32 28,32 28,87 37 26,8 16,8 10 10 0 10 16,8 26,8 41,46 43 42,17 42,17 0 0 0 0 42,17 42,17 37,96 97,29 58,97 38,32 28,32 28,32 10 87,29 97,29 108,39

Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun c. Tuntutan Kelompok Kandang Lembu / Pondok Sayur Obyek yang dituntut oleh kelompok Kandang Lembu terletak di blok 44,45,46, dan 47, seluas 76,72 Ha. Luas awal blok-blok tersebut adalah 93,82 Ha. Menurut data dari Kebun Bangun, sebelum terbit keputusan Panitia Landreform tahun 1969, luas blok-blok tersebut yang telah diusahai oleh PNP-IV adalah 41,67 Ha, yang ditanami karet tahun 1963 (blok 44) dan tahun 1967 (blok 45), sehingga sisa garapan rakyat adalah seluas 52,51 Ha. Pada tanggal 16 Juli 1969, PNP-IV Perkebunan Simbolon mengajukan Rencana Wens-areal kepada Panitia Landreform Kabupaten Simalungun. Rencana Wens-areal tersebut dimaksudkan untuk penambahan areal penanaman karet supaya mencapai minimal 1.500 Ha untuk dapat didirikan sebuah pabrik. Rencana pengembalian tanah garapan rakyat kepada perkebunan dalam Rencana Wens-areal tersebut adalah 52,51 Ha dengan rincian : 4,26 Ha di blok 44 : 14,88 Ha di blok 46, dan 33,01 Ha di blok 47. Luas tanah yang dikembalikan kepada PNP-IV berdasarkan keputusan Panitia Landreform Kabupaten Simalungun tahun 1969 adalah seluas 30 di blok 47 Pengembalian tanah tersebut, sesuai keputusan Panitia Landreform, dilakukan dengan pemberian ganti rugi. Luas yang diusahai PTP-IV adalah 69,49 Ha dan telah di HGU-kan pada tahun 1989.

Tabel 8 Obyek/Tanah yang dituntut oleh Kelompok Kandang Lembu

Blok Luas Awal

Diusahai PTP Pra SKLR

Garapan

Rakyat Pra

SKLR

Rencana Wens-

areal

Garapan Rakyat

Diberikan ke PTP (SKLR

69)

Sisa Garapa

n Rakyat

Dikuasai PTP Pasca SKLR

Diusai PTP

(HGU)

Luas yang Dituntut

Kel.Kandang Lembu

44 25,41 21,15 4,26 4,26 0 4,26 21,15 14,82 34,85 45 20,52 20,52 0 0 0 0 20,52 16,22 46 14,88 0 14,88 14,88 0 14,88 0 10,4 41,87 47 33,01 0 33,01 33,01 30 3,01 30 28,05

93,82 41,67 52,51 52,51 30 22,15 71,67 69,49 76,72 Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun

Universitas Sumatera Utara

d.Tuntutan Kelompok Gurilla383

Obyek yang dituntut oleh Kelompok Gurilla terletak di blok 37,38,39 dan 40, seluas 81,94 Ha. Luas awal blok-blok tersebut adalah 168,98 Ha. Menurut data dari Kebun Bangun, sebelum terbitnya SK Panitia Landreform tahun 1969, seluas 137,79 Ha telah diusahai oleh pihak PNP.

Namun luas 137,79 Ha tersebut dinyatakan tidak benar oleh wakil masyarakat/Kelompok Gurilla (Jansen Purba Dasuha). Sebelum tahun 1969, sekitar 37 Ha lahan garapan rakyat diserobot perkebunan, tanpa melalui suatu prosedur hukum (Jansen Purba Dasuha menyebutnya dengan nama Peristiwa tahun 1966). Berkas-berkas pemeriksaan pihak kepolisian dan pengadilan tahun 1963, menurut Kelompok Gurilla, merupakan salah satu bukti bahwa sebelum keputusan Panitia Landreform, masyarakat sudah memiliki tanah garapan di blok-blok tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 1969, PNP-IV Perkebunan Simbolon mengajukan Rencana Wens-areal kepada Panitia Landreform Kabupaten Simalungun. Rencana Wens-areal tersebut dimaksudkan untuk penambahan areal penanaman karet, supaya mencapai minimal 1.500 Ha untuk dapat didirikan sebuah pabrik. Rencana pengembalian tanah garapan rakyat dalam Rencana Wens-areal tersebut adalah 31,19 Ha dengan rincian : 10 Ha di blok 37 dan 21,19 Ha di blok 40. Realisasi Rencana Wens-areal tersebut berdasarkan keputusan Panitia Landreform Kabupaten Simalungun tahun 1969 adalah seluas 15 Ha di blok 40. Luas yang diusahai PNP-IV adalah 168,98 Ha (keseluruhan luas awal blok-blok tersebut) dan telah di HGU-kan pada tahun 1989.

Tabel 9 Obyek/ Tanah yang dituntut oleh Kelompok Gurilla

Blok Luas Awal

Diusahai PNP Pra

SKLR

Garapan

Rakyat Pra

SKLR

Rencana Wens-

areal

Garapan Rakyat

Diberikan ke PNP (SKLR

69)

Sisa Garapa

n Rakyat

Dikuasai PNP Pasca SKLR

Diusai PNP

(HGU)

Luas yang

Dituntut Kelompok Gurilla

37 26,8 16,8 10 10 - 10 16,8 26,8 5,81 38 36,47 36,47 - - - - 36,47 36,47 4,73 39 63,02 63,02 - - - - 63,02 63,02 28,66 40 42,69 21,5 21,19 21,19 15 6,19 36,5 42,69 42,69

168,98 137,79 31,19 31,19 15 16,19 152,79 168,98 81,94 Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun e. Tuntutan Anggota Masyarakat Perorangan

383 Hasil wawancara yang telah diolah dengan Kelompok Gurilla dan Staff PTP IV, 14 Juli 2011.

Universitas Sumatera Utara

Tuntutan anggota masyarakat yang memasukkan data/ berkas secara perorangan sebagian besar tidak dapat dipertimbangkan. Namun demikian, apabila ada yang memiliki hak historis penguasaan tanah, akan diinventarisir lebih lanjut.

Riwayat tanah dan kronologis Eks. Tanah HGU PTPN-III Kebun Bangun yang dipersengketakan384

Riwayat Tanah

Afdeling (Afd) Martoba adalah sebagian dan berkas konsesi perkebunan Simbolon (3.858.52 Ha) adalah sebagian dari eks Perusahaan Horison & Crossfield (Inggris)

Sejak Jepang masuk di Indonesia tahun 1942 perkebunan tersebut ditinggalkan oleh pengelolanya menjadi tanah terlantar dan sebagian digarap oleh masyarakat.

Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 42 HGU DA So tanggal 9 Juli 1980, Pemerintah menegaskan bahwa bekas Hak Konsesi atas tanah Perkebunan Simbolon telah hapus menurut hukum sejak tanggal 3 September 1957 dan dengan demikian tanah Perkebunan tersebut kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1956 tentang Penguasaan dan atau pengusahannya diserahkan kepada Perusahaan Negara.

Pada Tahun 1958, perkebunan tersebut terkena Nasionalisasi dengan Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1959 pengelolaannya diserahkan kepada BUMN, terakhir kepada PTP-IV Pamela (sekarang PTPN III).

Berdasarkan tahun penanaman karet, Afd Martoba telah diusahai PTP-IV sejak tahun 1959 (di blok 35 dan sebagian blok 39). Kemudian berturut-turut tahun 1960, 1963, 1964, 1965, 1966, 1967, 1970, 1971 pada blok-blok lainnya di areal HGU PTPN III

Tahun 1968, sempat diterbitkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Ketua Panitia Landreorm Daerah Kabupaten Simalungun Nomor P/II/10/LR/68 PP Tanggal 26 Februari 1968 yang menyatakan tanah tersebut menjadi objek Landreform. Akan tetapi 21 bulan kemudian keputusan tersebut dicabut dengan keputusan Nomor P/II/10/LR69 PP tanggal 27 November 1969 antara lain karena adanya permohonan PTP-IV agar sebagian tanah garapan rakyat diblok-blok tertentu diberikan kepada PTP-IV untuk perluasan tanaman karet.

Sebelum Keputusan Panitia Landreform tahun 1969 tersebut tanah yang diusahai PTP-IV hanya seluas 1 292.12 Ha dan 3 858.52 Ha luas bekas konsesi Perkebunan Simbolon seluruhnya selebihnya yakni 2 556.40 Ha telah digarap rakyat perluasan kota.

Khusus di Afd Martoba, luas yang diusahai PTP IV sebelum adanya Keputusan Panitia Landreform tahun 1969 tersebut adalah 408,41 Ha (dan luas awal 1 356.62 Ha) selebihnya (seluas 948.24 Ha) adalah garapan rakyat Perluasan Kota.

384 Usulan Pelepasan Eks HGU PTPN III Kebun Bangun Kota Pematang Siantar. Op Cit, hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

Badan Pekerja Panitia Landreform Daerah Kabupaten Simalungun yang meninjau garapan rakyat tersebut menyatakan ada yang sudah menjadi sawah dan sebahagian merupakan tanah kering yang diusahakan untuk perladangan penanaman tanaman keras, tanaman muda, serta perumahan, dan ada juga yang tidak diusahakan secara efisien.

Berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah/ Ketua Panitia Landreform Daerah Kabupaten Simalungun Nomor I/II/10/LR/69/PP, sebaagian tanah garapan penduduk tersebut dikembalikan kepada pihak PTP-IV Kebun Simbolon yaitu seluas 256.65 Ha termasuk didalamnya di Afd Martoba seluas 124.84 Ha.

Pengembalian tanah garapan ini kepada pihak PTP-IV dilakukan dengan cara mengganti rugi tanaman petani yang berada diatas tanah garapan.

Garapan penduduk yang tersisa adalah 2 566,40.256.65 dan 2 309.75Ha, dikeluarkan dari konsesi Perkebunan Simbolon dan dinyatakan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Di Afd. Martoba garapan penduduk yang tersisa adalah 823.37 Ha (sama dengan luas semula 948.23 Ha dikurangi 124.84 Ha).

Tahun 1980 dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 42 HGU DA 80 tanggal 9 Juli 1980. Pemerintah memberikan HGU kepada PTP-IV seluas 1 540 Ha untuk usaha Perkebunan dengan tanaman karet, termasuk, termasuk didalamnya tanah di Afd Martoba seluas 573 Ha.

Sejak 18 Mei 1987. Afd Martoba yang sebelumnya termasuk wilayah Kabupaten Simalungun beralih menjadi Kota Pematang Siantar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1986.

Kondisi yang terjadi pada Areal eks PTPN-III 1) PWSPK Tanjung Pinggir

Berdasarkan surat Persatuan Wirid Sosial Penanggulangan Kemalangan (PWSPK) Tanjung Pinggir, sekitar tahun 1901 Belanda telah menyediakan sarana dan prasarana (seperti jalan, perumahan, rumah sakit, rumah ibadah, pendidikan dan kuburan) untuk kerja perkebunan Horizontal and Crosfield waktu itu pada tahun 1952. Horizontal and Crosfield tutup dan eks karyawan dapat mengusahai 2 hektar lahan kebun per KK, sementara itu, lokasi kuburan yang masih kosong pada waktu itu diusahai oleh masyarakat sekitar. Pada tahun 1956, tanah garapan masyarakat dipinjam oleh NV Tani Muha, Dalam perjalanan waktu, perkebunan tersebut telah beberapa kali berganti nama, hingga pada tahun 1976 bangunan bangunan mesjid tersebut dirubuhkan dan dibangun mesjid yang baru dan sebuah Taman Pendidikan Islam (TPI) yang masih dikelola oleh PTPN-III.

Tanah pekuburan (2 hektar) bangunan mesjid dan TPI (3 hektar) tersebut diminta PWSPK menjadi milik rakyat. Permohonannya adalah agar lokasi kuburan dan lokasi mesjid beserta TPI disertifikasi untuk umum.

Kesimpulan : Berdasarkan hasil pembahasan oleh Tim Pemerintah Kota Pematang

Siantar bahwa permohonan tersebut belum dapat dipenuhi, karena statusnya masih Eks Lahan PTPN-III Kebun Bangun.

Universitas Sumatera Utara

2) Forum Tani Sejahtera Indonesia (FUTASI) Alas hak yang disebutkan dalam surat Futasi adalah UUPA No. 5 Tahun

1960, Peraturan Pemerintah nomor 224 tahun 1961, Tap MPR Nomor IX tahun 2001. Keputusan Presiden nomor 34 Tahun 2003 dan Inpres Nomor M Sesneg/5/2005.

Permohonan kelompok ini adalah agar Pemko Pematangsiantar turut serta dalam menjalankan reforma agraria sejati dan agar Pemko Pematangsiantar dapat membuat penyelesaian masalah lahan eks PTPN-III Bangun di Kelurahan Gurilla Kelompok ini juga menyertakan nama-nama penggarap (1.025 orang) f. Sengketa Antar Masyarakat Penggarap

Sejak terjadinya penggarapan oleh Masyarakat/ Kelompok Masyarakat di areal HGU PTPN-III Kebun Bangun terhitung sejak Desember 1998, sengketa yang terjadi di areal tersebut tidak hanya menimbulkan sengketa vertikal yaitu antara masyarakat/ kelompok masyarakat dengan pihak perkebunan, akan tetapi sudah sampai pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan yaitu dengan timbulnya sengketa horizontal yaitu dengan munculnya pertikaian antar sesama masyarakat penggarap.

Masyarakat/ Kelompok masyarakat yang terlibat pada kondisi sekarang telah berjuang dengan segala cara dan mengorbankan biaya yang cukup besar untuk legitimasi atas tanah yang digarap. Hal ini terbukti dengan adanya upaya kelompok-kelompok penggarap yang secara resmi dan terbuka mengklaim bahwa tanah yang mereka garap mempunyai latar belakang yang sah bahwa tanah tersebut adalah hak mereka, kondisi ini semakin diperkuat dengan tindakan yang tidak terkendali dengan cara : 1) Penebangan terhadap tanaman produktif milik PTPN-III 2) Menguasai dan mengusahakan tanah eks PTPN-III menjadi areal pertanian

dan lokasi usaha masyarakat 3) Mendirikan bangunan perumahan mulai dari rumah sederhana, semi

permanen, dan bahkan rumah permanen 4) Memindahkantangankan (menjual) tanah garapan kepada pihak ketiga 5) Saling mengklaim hak tanah antar sesama penggarap dengan cara kekerasan

yang menimbulkan pertengkaran/ penganiayaan 6). Melakukan pengrusakan, pembakaran rumah, yang berada di tanah garapan

oleh sesama penggarap. Hasil Pertemuan Unsur Muspida Kota Pematangsiantar Menyikapi

Permasalahan Penggarap Tanah Eks PTPN-III Kebun Bangun Berdasarkan rapat yang dilaksanakan oleh Unsur Muspida Plus Kota

Pematangsiantar beserta Instansi terkait berdasarkan surat undangan Walikota Pematangsiantar No. 005/4670/VII/2007 tanggal 24 Juli 2007 di simpulkan beberapa hal untuk menjadi perhatian dan penegasan sehubungan dengan

Universitas Sumatera Utara

penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat kelompok masyarakat terhadap tanah Eks HGU PTPN-III Kebun Bangun yaitu : 1) Dalam amar putusan Mahkamah Agung Nomor 515 K/PDT/2003 tanggal 3

Februari 2005 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 199/PDT/2002/PT-MDN tanggal 2 Agustus 2002 menyatakan bahwa Saudara Kasmen Sinaga dan Kawan-kawan dalam hal ini sebagai pemohon kasasi, dahulu para penggugat/ para terbanding bukan sebagai pemilik hak atas tanah yang terletak di blok 28, 29, 30, 31, 37, 46, dan 47.

2) Untuk itu perlu diadakan sosialisasi kepada penggarap dan kelompok-kelompok penggarap melalui mass media baik cetak maupun elektronik dan pertemuan-pertemuan lainnya.

3) Kepada camat dan lurah tidak diperkenankan mensahkan atau menandatangani surat-surat atau dokumen-dokumen apapun yang menyangkut tanah eks HGU PTP-III Kebun Bangun sebelum ada putusan yang pasti terhadap kepemilikan tanah tersebut.

4) Dihimbau kepada seluruh elemen masyarakat terutama yang berada di tanah Eks HGU PTP-III Kebun Bangun agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban bersama serta kekondusifan di wilayah dimaksud Sehubungan dengan kondisi di atas untuk menghindari terjadinya konflik

yang berkepanjangan sehingga menimbulkan efek domino antar masyarakat/ kelompok masyarakat secara luas sangat dibutuhkan sikap yang tegas dari pihak BUMN untuk menyerahkan hak pengelolaan tanah Eks HGU PTPN-III kepada Pemerintah Kota Pematangsiantar. Dengan demikian Pemerintah Kota Pematangsiantar dapat sedini mungkin mengantisipasi terjadinya pertikaian/ konflik secara berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat/ kelompok masyarakat penggarap khusus dan masyarakat luas umumnya.

Demikian riwayat tanah dan kronologis sengketa tanah HGU PTPN-III Kebun Bangun

a. Tipologi sengketa pertanahan dalam kasus 3 (tiga) di atas adalah :

1. Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

2. Sengketa Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah

3. Sengketa Ganti Rugi Eks Tanah Partikelir

4. Sengketa Tanah Ulayat

5. Sengketa Tanah Nasionalisasi Badan Hukum Perkebunan Belanda

Pihak-pihak yang bersengketa 1. Kelompok Masyarakat dengan Perkebunan

Universitas Sumatera Utara

2. Kelompok Masyarakat dengan Perkebunan dan Pemerintah

3. Orang dengan orang (Penggarap dengan Penggarap)

b. Faktor Penyebab terjadinya sengketa pertanahan dalam kasus 3 (tiga) ini

adalah :

Faktor historis yang berkaitan dengan sejarah perkebunan di daerah ini, dapat dilihat seperti sengketa tanah Kebun Bangun, yang mengklaim pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun. Pada umumnya sengketa masyarakat dengan perkebunan memiliki sejarah yang panjang.385

Ini juga sekaligus kritikan terhadap UU perkebunan itu sendiri

Penangkapan dan pemenjaraan terhadap petani ataupun masyarakat yang tinggal bersebelahan dengan wilayah-wilayah perkebunan merupakan hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Hal ini diakibatkan adanya sengketa perebutan wilayah perkebunan antara petani ataupun masyarakat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengambilalih atau mengklaim wilayah tersebut. Sengketa perkebunan ini juga tidak bisa dilepaskan dari proses dan tahapan pembangunan perkebunan oleh perusahaan perkebunan. Sengketa ini biasanya terjadi dalam tiga tahapan pembangunan perkebunan, yaitu :386

1) Periode permulaan pembangunan perkebunan;

2) Periode saat perusahaan mulai berproduksi;

3) Periode saat kembali menguatnya aksi-aksi menuntut pengembalian

tanah paska kejatuhan Suharto 1998.

Periode permulaan pembangunan perkebunan Pada periode ini, perusahaan mulai melakukan pengukuran ulang atas lahan-lahan yang dikuasakan kepada mereka dan sekaligus meminta aparat keamanan melakukan pengusiran atas lahan-lahan yang masih ditempati atau ditanami oleh penduduk. Pada periode ini pula diketahui para penduduk lokal dengan berbekal surat keterangan

385 Nurhasan Ismail & Nyoman Nurjaya, Wajah Baru UU Perkebunan : Agrarische Wet, (Jakarta Selatan : ELSAM, Sawit Watch-Pilnet,2012), hal.41

386 Lengkapnya lihat Pelanggaran hak asasi manusia di kawasan perkebunan kelapa sawit PT PP Lonsum Tbk-Sumatera Utara, Kertas Posisi No.1/2010, ELSAM, ibid.

Universitas Sumatera Utara

tentang hak mengolah atas bidang-bidang tanah, melakukan perlawanan atas upaya-upaya pengambilalihan lahan-lahan dari pihak perusahaan. Periode kedua adalah saat perusahaan mulai berproduksi Periode ini dimulai ketika perusahaan memasuki proses produksi. Perusahaan mulai melakukan konversi tanaman kebun lama ke kelapa sawit387

Periode terakhir adalah periode dimana perusahaan terus melakukan peningkatan produksi, penjajagan pencarian investor baru, serta perpanjangan HGU dan perluasan lahan. Pada periode ini, aksi-aksi menuntut pengembalian lahan oleh penduduk semakin membesar, terutama sejalan dengan gelombang reformasi setelah kejatuhan rezim Suharto Mei 1998. Dalam beberapa kasus, para petani melakukan aksi reclaiming atas kebun-kebun perusahaan karena proses penyelesaian kasus sengketa mereka berjalan lambat. Pada periode inilah biasanya penangkapan dan kriminalisasi terhadap petani/masyarakat terjadi. Padahal upaya-upaya yang dilakukan masyarakat/petani ini merupakan bentuk ekspresi dalam upayanya mempertahankan hak dan salah satu bentuk komunikasi masyarakat (adat) dalam mencoba mengkomunikasikan hak mereka yang dinilainya telah dirampas oleh negara yang berkelindan dengan kelompok kapitalis.

; pemeliharaan kebun; produksi bibit kelapa sawit, dan memetik buah sawit. Pada periode ini para penduduk mulai kembali melakukan aksi-aksi menuntut pengembalian lahan-lahan mereka yang dirampas oleh perusahaan.

388 Terlebih kepercayaan petani akan jaminan subsistensi mulai menurun dan petani tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan. Keadaan inilah yang memicu timbulnya protes dan kekerasan sebagai manifestasi dari ketidakpuasan petani akibat hubungan eksploitatif yang dirasakan tidak adil.389

Sementara perusahaan perkebunan menilai apa yang dilakukan masyarakat/petani merupakan suatu tindakan yang merugikan perusahaan dan “berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.

390

387 Konversi kebun teh manjadi kelapa sawit di Nagori Bah Bolon Tongah, Nagori Simpang Raya, Nagori Janggar Leto, kecamatan Panei yang saat ini jika turun hujan agak deras/lebat, daerah itu menjadi banjir yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

388 Keterangan Ahli, Hermansyah, berkenaan dengan Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 26 Mei 2011

389 Sichmen Pandiangan, Bentuk-bentuk Perlawanan Petani terhadap Negara, Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Volume 5 No.3 hal. 302-323.

390 Persoalan ini yang kemudian direspon dan ditindaklanjuti Pemerintah dan DPR dengan memasukkannya sebagai salah satu perbuatan yang dilarang. Rasionalitas dari “dilarangnya” perbuatan ini adalah murni kepentingan Negara yang berkelindan kepentingan perusahaan. Penetapan sebagai perbuatan yang dilarang ini disebut sebagai Mala in Prohibita, yaitu penetapan perbuatan pidana dengan dasar kepentingan Negara untuk mengatur bagaimana warganegaranya harus berperilaku dengan menetapkan sebuah perilaku melalui hukum pidana. Dalam konteks inilah berbagai macam pertimbangan, seperti pertimbangan ekonomi, politik, dan lain sebagainya masuk dalam hukum pidana.

Universitas Sumatera Utara

Sebagian besar kasus-kasus yang terjadi dalam sengketa perkebunan juga menunjukkan adanya pola yang konsisten dalam penerapan instrument hukum pidana terhadap masyarakat/petani yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan. Pertama, dalam beberapa kasus sengketa perkebunan, penggunaan hukum pidana biasanya dilakukan pada saat-saat dimana proses penyelesaian secara damai antara dua belah pihak tidak terjadi. Walaupun pada umumnya bahwa penyelesaian yang dimaksud adalah selalu pihak masyarakat yang menderita kerugian. Kedua, dalam praktiknya masyarakat dan petani selalu sengaja dipancing untuk melakukan kekerasan atau paling tidak membalas dengan kekerasan. Metode pancingan ini biasanya kerap dilakukan oleh para preman atau sipil yang dipersenjatai oleh perusahaan (intimidasi atau terror) atau oleh perusahaan dengan berbagai cara, misalnya dengan cara menghancurkan tanaman milik masyarakat, pembuatan pagar dan batas lahan yang sengaja memprovokasi masyarakat sekitar, pelarangan masuk ke areal perkebunan bagi pengembala atau pencari kayu bakar, dan lain sebagainya. Masyarakat yang membalas atas peristiwa tersebut kemudian ditangkap dan dipidana.391

Ketiga, kriminalisasi selalu dilakukan sebagai shock therapy bagi masyarakat yang menyuarakan hak-haknya dan menentang perusahaan perkebunan. Tak jarang ketika kelompok-kelompok tani, masyarakat yang mencari dukungan bagi pembebasan lahan perkebunan mereka sudah terkonsolidasi, maka ancaman kriminalisasi dilakukan oleh perusahaan perkebunan. Dengan melakukan penangkapan-penangkapan, konsolidasi petani bisa dilemahkan.

392 Keempat, dalam proses awal penggunaan instrumen pidana. Pihak pelapor biasanya adalah wakil dari perusahaan perkebunan yang bersengketa dengan masyarakat. Atau penangkapan di tempat, dalam hal terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat petani, baik di ruang publik atau di areal lahan sengketa. Sedangkan laporan-laporan dari petani atas perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh pihak perusahaan perkebunan atau oleh orang-orang sewaan perusahaan perkebunan justru jarang ditanggapi atau tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian.393

Sebelum tahun 2004, instrumen hukum pidana yang paling sering dijadikan rujukan untuk mempidana petani dan masyarakat dalam sengketa perkebunan adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun, setelah dilahirkannya Undang-undang No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, maka pasal-pasal pidana dalam undang-undang tersebut menjadi primadona baru bagi para perusahaan perkebunan dan Polisi

391 Misalnya dalam kasus yang terjadi antara masyarakat desa Karang Mendapo, Sarolangun, Jambi dengan PT. Krisna Duta Agroindo (PT.KDA)

392 Misalnya dalam kasus Pargulaan, 11 orang pengurus Badan Perjuangan Masyarakat Pargulaan (BPMP) dikriminalisasi dan diajukan ke Pengadilan oleh PT. PP Lonsum. Demikian juga dengan pemimpin dan anggota Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) Desa Soso, Blitar yang diajukan ke Pengadilan karena dianggap menggangu jalannya usaha perkebunan PT.Kismo Handayani, hampir sama dengan kasus Bandar Betsy a.n Kemin dkk.

393 Hal ini bisa dari kasus yang terjadi antara masyarakat desa Karang Mendapo, Sarolangun, Jambi dengan PT. KDA dan kasus masyrakat adat Jelai Kendawangan Ketapang melawan PT. Bangun Nusa Mandiri

Universitas Sumatera Utara

untuk melakukan kriminalisasi terhadap petani atau masyarakat. Sebagian besar perlawanan petani / masyarakat memang dapat dilumpuhkan dengan menggunakan instrumen pidana yang terdapat dalam UU Perkebunan ini.394

Faktor penyebab timbulnya sengketa hak atas tanah adat selain faktor historis seperti yang diuraikan di atas, di Kabupaten Simalungun juga dikarenakan faktor klasik yang berhubungan dengan terbatasnya ketersediaan tanah dibanding luasnya kebutuhan manusia akan tanah, ini ditandai dengan terjadinya :

1) Migrasi yang terlalu besar dari berbagai daerah (utamanya dari Jawa yang biasa

disebut “transmigrasi”). Lama kelamaan menjadikan mereka “landhonger”, lapar

tanah. Secara historis, karena kebaikan hati Raja-raja di Simalungun,

“randkolonisasi” ini yaitu orang-orang, buruh-buruh meninggalkan negerinya dan

meminta tanah kepada Raja, dan Raja pun mengabulkan permintaan mereka (oleh

prinsip Tolu Sahundulan Lima Saodoran, mereka inilah salah satu kelompok

“saodoran” tersebut.

Secara kuantitas manusia, termasuk randkolonisasi tadi bertambah/ meningkat terus sementara ketersediaan tanah sangat terbatas. Mereka mencari dan terus mencari tanah yang tidak pasti sampai akhirnya mereka mendirikan tempat tinggal di pinggiran sungai, rel-rel Kereta Api, di daerah sutet dan lain-lain. Mereka datang, tumbuh dan berkembang terus berebutan sehingga menimbulkan konflik bahkan sengketa hak atas tanah.

2) Hukum dan peraturan-peraturan terlalu banyak (dilahirkan, dibentuk) sehingga

membingungkan rakyat. Aparatur hukum saja pun tidak/ belum memahami

hukum apalagi Hukum Adat Simalungun mengenai pertanahan jarang atau

bahkan tidak pernah diadakan sosialisasi mengenai hukum dan peraturan-

peraturan secara umum, Hukum Tanah secara khusus.

3) Materi hukum kurang bahkan tidak menyentuh “legal empati395

394 Nurhasan Ismail & Nyoman Nurjaya, UU Perkebunan, op cit, hal 41.

”, secara riil

(faktual), who other people, rasa keadilan masyarakat setempat sesuai asal-usul

Universitas Sumatera Utara

kesejarahan yang mereka miliki (seperti masyarakat Simalungun yang mengenal

kampung, menjadi Parbapaan/ Partuanon, Partuanon menjadi Kerajaan/ Urung).

Nagori, menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 10 Tahun 2000 Tentang Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Nagori di Kabupaten Simalungun Pasal 1 angka e396

Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten.

adalah :

Pasal 1 angka f, huta adalah : Bagian wilayah dalam Nagori yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan Pemerintahan Nagori. Pasal 1 angka j, Maujana Nagori adalah : Badan Perwakilan yang terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Nagori yang berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Nagori, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Nagori.

4) Bahwa di Kabupaten Simalungun masih ada masyarakat adatnya, hukum adatnya,

tokoh adatnya (bahkan sebagai pelaku sejarah), lembaga adat dan lain-lain.

Walaupun “kecil” dan “lemah” tapi bukan berarti “tidak ada”, terhapus397

Faktor Yuridis teknis berkaitan dengan banyaknya bidang tanah yang belum terdaftar. Faktor politik yang menyebabkan belum terciptanya kepastian hukum tersebut.

. Jadi

harus diakui, ini juga menjadi salah satu pemicu konflik bahkan sengketa (hak

atas tanah adat).

Kasus 4. Sengketa Hak Atas Tanah Adat antara Masyarakat dengan Perkebunan Bandar Betsy

Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, menjadikan persoalan tanah sebagai pokok permasalahan utama mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan

395 Istilah yang lahir dari perkembangan diskusi dengan Djariaman Damanik. 396 Jo Pasal 1 e Perda Kabupaten Simalungun No. 18 Tahun 2000 Tentang Peraturan Nagori di

Kabupaten Simalungun 397 Ibarat pepatah kita sering jatuh karena kerikil, batu-batu kecil (bukan batu besar bukan?)

Universitas Sumatera Utara

tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa (conssesie)398

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, situasi penggarapan di atas tanah perkebunan semakin tak terkendali sehingga terjadi sengketa pertanahan antara masyarakat dengan perkebunan. Keadaan ini juga berlanjut sampai terbentuknya Negara Sumatera Timur yang diprakarsai Belanda tahun 1947.

.

Pemerintah Sumatera Timur berusaha untuk menertibkan kembali tanh-tanah perkebunan dari pendudukan oleh masyarakat (Occupatie) dengan memberlakukan Ordonansie onrechmatige occupatie van gronden. (Ord. 8 Juni 1948, S.1948-110). Ordonansi ini hanya berlaku di Sumatera Timur, kalau dilanggar oleh para penghuni liar baru, mereka akan menjadi sasaran pengusiran segera dan dan dikenakan penjara selama tiga bulan atau denda sebesar lima ratus rupiah399. Dan pada saat itu, Kementerian Dalam Negeri juga mengeluarkan Surat Edaran No.A.2.30/10/37 (Bijblad 15242) yang menganjurkan agar penyelesaian okupasi tanah erfacht tersebut dilakukan melalui jalan perundingan atau damai. Namun kedua peraturan tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan penggarapan tanah yang dilakukan oleh Masyarakat. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai terjadinya perjanjian KMB400

Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia (RIS) menyatakan bahwa mengenai pendudukan (occupatie) tanah perkebunan milik Belanda oleh masyarakat tidak dapat dikembalikan begitu saja kepada pihak perkebunan. Keadaan ini berlanjut sampai pembatalan perjanjian KMB,sejak itu penggarapan di atas tanah perkebunan tidak dapat diselesaikan.

.

Berawal dari judul tulisan di sebuah koran daerah pada tanggal 13 Desember 2010 “DPRDSU desak BPN dibubarkan, kasus tanah kembalikan ke Dirjen Agraria401

Bahwa komisi A DPRD Sumut mendesak pemerintah pusat segera membubarkan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Karena dianggap sebagai “penyebab” dalam menuntaskan kasus-kasus tanah di daerah Simalungun, sebab dari 500-an lebih kasus “perselisihan tanah yang mencuat” ke permukaan, tidak ada yang bisa diselesaikan, artinya hanya 1% yang bisa diselesaikan.

.

Dengan membubarkan BPN dan mengembalikan soal pengurusan tanah ke Dirjen Agraria di bawah naungan Mendagri, sehingga soal penyelesaian tanah di Propinsi berada di tangan Gubernur dan Kabupaten/ Kota yakni Bupati/ Walikota yang dianggap lebih menguasai masalah tanah di wilayahnya masing-masing.

Dari sejumlah kasus-kasus tanah yang disampaikan ke DPRD Sumut402

398 Syafrudin Kalo dalam Arie Sukanti Hutagalung, Pergulatan Pemikiran, Op.Cit, hal. 192

, mayoritas menyangkut silang sengketa antara pengusaha dengan rakyat, Pemerintah dengan

399 Karl Pelzer, Planters against Peasant, op.cit, hal. 28 400 Ibid, hal 197 401 Sinar Indonesia Baru, 13 Desember 2010

Universitas Sumatera Utara

rakyat, perkebunan (PTPN) dengan masyarakat seperti Perkebunan Bandar Betsy ini. Sudah puluhan tahun sengketa tanah perkebunan ini berlangsung dan tak kunjung selesai.

Perkebunan Bandar Betsy dimasukkan dalam daerah PTP-IV Gunung Pamela yang terletak antara Tebing Tinggi-Pematang Siantar sebelah kiri pasar hitam ±15 km dari pinggir jalan besar, sebelah kiri menuju Pematang Siantar. Perkebunan ini sekarang termasuk dalam PTP-III. Rakyat yang mendiami kampung-kampung sekitar areal perkebunan sejak tahun 1947, sebagian besar terdiri dari suku Jawa yang merupakan basis dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat (PR) merupakan ormas dari PKI. Mereka telah menggarap areal perkebunan sejak zaman Jepang (1943). Setelah perkebunan Bandar Betsy dinasionalisasi pada tahun 1957, pihak PPN telah melakukan pembersihan areal perkebunan dari penggarap dengan sistem ganti kerugian atas dasar musyawarah, walaupun tanah itu telah diganti rugi oleh pihak PPN, namun anggota-anggota BTI/PR tidak mau mematuhi bahkan sering mengganggu petugas-petugas PPN yang sedang bekerja403

Pada tahun 1960, untuk memenuhi kebutuhan pangan yang mendesak bagi masyarakat pada waktu itu, Pemerintah Daerah Tingkat II Kab. Simalungun, menugasi aparat/instansi terkait, antara lain : PU, Pengairan, agar memberikan petunjuk teknis, penggalian sumber air, pencetakan sawah. Sebagai tindak lanjutnya, Bupati KDH Tingkat II Kab. Simalungun, mengeluarkan izin pembukaan tali air petunjuk teknis, penggalian sumber air dan pencetakan sawah, Nomor I/1963 tanggal 14 januari 1963.

.

404

Pada tahun1963 terjadi peristiwa di Afd. II A Blok 38. Tanah-tanah yang sudah diganti rugi oleh PPN kembali digarap oleh BTI/PR.

Selanjutnya pada tahun 1965, Bupati Simalungun selaku Ketua Panitia Landreform TK II Simalungun mengeluarkan dua Surat Keputusan : 1. Surat Keputusan Panitia Landreform Daerah Tingkat II Kabupaten Simalungun,

No. 4/II/10/LR/PP, 2 Maret 1965, tentang Pelepasan Tanah Garapan Dari Pihak

Perkebunan kepada Masyarakat Petani yang berlokasi di Afd. 8, 31, 39, 40 dan

41, sejumlah 2.107 ha.

402 Masyarakat kerap melakukan demonstrasi ke lembaga legislatif menuntut segera diselesaikan kasus tanah yang menimpa masyarakat

403 Nas Sebayang dalam Syafruddin Kalo, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN II dan PTPN III di Sumatera Utara, disertasi, (Medan: PPS USU, 2003), hal. 275.

404 Ibid, dan lihat juga Laporan Kronologis dan Upaya Penyelesaian Masalah Tanah Garapan Petani Bandar Betsy II, Kec. P. Bandar Kab. Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, Kesatuan Organisasi Reformasi Keadilan Rakyat (KOREKER), yang ditandatangani oleh Drs. B.P. Tamba, tanpa tanggal dan tahun.

Universitas Sumatera Utara

2. Surat Panitia Landreform Daerah Tingkat II Kabupaten Simalungun, No.

2/II/10/LR/65/PP, 31 Maret 1965, tentang Pelepasan Tanah Garapan dari pihak

Perkebunan, kepada Masyarakat Petani yang berlokasi di Afd. 37, sejumlah 306

ha.

Kedua SK Panitia Landreform tersebut, memutuskan untuk mengeluarkan areal kebun Bandar Betsy seluas ± 2.413 ha. Berdasarkan kedua SK Panitia Landreform tersebut, petani penggarap Bandar Betsy menuntut agar pihak perkebunan mengeluarkan areal tersebut dari Hak Guna Usaha Kebun Bandar Betsy untuk petani penggarap. Kedua SK panitia Landreform tersebut di atas, ditanggapi oleh pihak PPN Karet IV Perkebunan Bandar Betsy (sekarang PTPN-III) yaitu dengan surat yang ditujukan kepada Ketua Panitia Landreform Tk. II Pematang-Siantar, No. BBY/X/1078/1965 tertanggal 4 Maret 1965, yang ditandatangani oleh Administratur Kebun Bandar Betsy, Soebekti, SH meminta agar areal perkebunan seluas 1.808 ha dikembalikan kepada pihak perkebunan.405

SK Panitia Landreform Dati II Kabupaten Simalungun No. 4/II/10/LR/PP tanggal 2 Maret 1965 dan No. 2/II/10/LR/65/PP tanggal 31 Maret 1965, yang menimbulkan masalah antara Pemerintah Daerah Dati II Kabupaten Simalungun dan pihak perkebunan serta masyarakat penggarap, maka Panitia Landreform Pusat menegur Panitia Landreform Dati II Kabupaten Simalungun dengan Surat No. 27/PLP/1966 tanggal 03 April 1966 dengan menyatakan :

Permohonan tersebut dibicarakan antara pihak pemerintah dengan pihak perkebunan dan masyarakat penggarap.

“Dalam menentukan tanah-tanah perkebunan negara sebagai objek Landreform, hendaknya diperhatikan kepentingan pihak perkebunan negara, yang pada hakekatnya juga adalah kepentingan negara dan rakyat, dan dalam pelaksanaannya agar didengar pendapat dari Inspektorat Perkebunan, PPN dan Administratur Perkebunan yang bersangkutan serta perlu ada pertimbangan berdasarkan Pasal 1 ayat (d) PP No. 224 Tahun 1961.” Kedua SK Panitia Landreform tersebut, ternyata belum mendapatkan

pengesahan dari Panitia Landreform Pusat, maka dengan sendirinya kedua SK Landreform Dati II Kabupaten Simalungun tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibatnya tanah yang menjadi objek Landreform tersebut harus dikembalikan kepada pihak PPN-IV Kebun Bandar Betsy.

Secara yuridis formal, untuk dapat ditegaskan sebagai tanah yang menjadi objek Landreform, hendaknya Panitia Landreform Dati II yang bersangkutan sesudah mengadakan musyawarah dengan pihak-pihak yang bersangkutan mengajukan usul-

405 Lihat, Surat PPN Karet IV Perkebunan Bandar Betsy tertanggal 04 Maret 1965.

Universitas Sumatera Utara

usulnya kepada Panitia Landreform Pusat dengan disertai pertimbangan dari Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. Di samping itu menurut PP 224 Tahun 1961 Pasal 1 mengatur mengenai tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka pelaksanaan Landreform sebagai berikut : a. Tanah-tanah selebihnya dari atas maximum sebagai dimaksudkan dalam Undang-

Undang No. 56 Prp Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena

pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut.

b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal

di luar daerah, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (5)

c. Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada negara

sebagai yang dimaksudkan dalam Diktum keempat huruf A Undang-Undang

Pokok Agraria.

d. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih

lanjut oleh Menteri Agraria.

Dua SK Panitia Landreform Dati II Kabupaten Simalungun, cacat hukum karena tidak memenuhi prosedur, yaitu tidak memperhatikan kepentingan pihak perkebunan negara dan rakyat, tidak mendengar pendapat dari Inspektorat Perkebunan dan Administratur Perkebunan yang bersangkutan serta tidak memperhatikan PP No. 224 Tahun 1961, khusus mengenai tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara lebih lanjut akan diatur oleh Menteri Agraria. Dua kebijakan tersebut telah menimbulkan sengketa antara Pemerintah Dati II Kab. Simalungun, perkebunan dan rakyat penggarap. Pergantian pemerintahan pada tahun 1966 dari pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto, persoalan sengketa penguasaan tanah antara masyarakat penggarap dan perkebunan tidak berakhir, malah menunjukkan kecenderungan meningkat. Pemerintahan Soeharto yang menggunakan kekuatan represif dalam menyelesaikan berbagai persoalan segera menerapkan konsep pendekatan kekuasaan dalam menangani masalah sengketa ini. Tahun 1966, Direktur PPN Karet IV, memohon kepada Menteri Agraria agar SK No. 2/II/10/LR/65/PP dan No. 4/II/10/LR/BP Tahun 1965 tersebut dibatalkan. Permohonan Adm. Bandar Betsy dan Direktur PPN Karet IV (sekarang PTPN-III), sampai saat ini tidak ditanggapi. Dengan demikian 2 SK Landreform tersebut, tetap sebagai keadaan semula. Para petani penggarap menganggap kedua SK Panitia Landreform itu,

Universitas Sumatera Utara

tetap berlaku, berarti sengketa antara pihak petani penggarap dengan pihak perkebunan belum dapat diselesaikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, tanggal 22 Juli 1968 diadakan musyawarah dengan kesepakatan bahwa pihak perkebunan menyanggupi pembuatan tali air, membayar ganti rugi tanaman Rp.4.000/ha s/d Rp.6.000/ha dan 380 ha termasuk pando/perengan diserahkan kepada masyarakat petani penggarap. Kesepakatan tersebut tidak ada realisasinya dari pihak perkebunan. Kemudian pada tanggal 22 Oktober 1968, diadakan musyawarah kembali, yaitu untuk mencapai kesepakatan pembuatan tali air dengan memakai talang. Pihak perkebunan pada waktu itu telah membuat kontrak pada pihak III. Pihak perkebunan menyatakan agar tanah terlebih dahulu dikosongkan baru dapat dicairkan dana dari PPN. Dengan ketentuan pihak PPN membayarkan berupa panjar Rp.720.000 sebagai uang angkut barang, tetapi tidak ada realisasinya. Selanjutnya pada tanggal 5 Agustus 1969, diadakan musyawarah kembali dengan kesepakatan yang isinya : 1. Pembayaran uang angkut barang harus dibayarkan Pihak Perkebunan dengan

tepat waktu

2. Pembuatan talang yang dikontrakkan pihak Perkebunan, penyerahannya harus

kepada PU. Tk. II Kab. Simalungun

3. Jika pembayaran uang angkut barang dan penyelesaian pembuatan talang tidak

dipenuhi Pihak Perkebunan, maka batallah segala keputusan musyawarah yang

sudah disepakati dan kembali kepada keputusan Panitia Landreform Tk. II Kab.

Simalungun.

Ketiga musyawarah tersebut di atas tidak ada realisasinya dari pihak perkebunan, maka pada tanggal 8 Agustus 1969, Bupati KDH Tk. II dan selaku Ketua Panitia Landreform Tk. II Kab. Simalungun, mengeluarkan surat keputusan pernyataan Standfast, terhadap tanah sengketa. Selanjutnya dibentuk Tim Pemeriksa ke lapangan pada lokasi tanah sengketa. Tim terdiri dari Pihak Perkebunan, Muspika Kecamatan Pematang Bandar, dan Pihak Penggarap, untuk mengadakan registrasi jumlah anggota petani penggarap. Pada waktu itu terdiri dari 75 kepala keluarga, dan dua belas (12) lembar kartu anggota. Hasil registrasi tersebut telah ditandatangani oleh masing-masing anggota Tim. Namun hal ini juga tidak dapat menyelesaikan permasalahan.

Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Tim Terpadu Kantor Gubernur KDH Tk. I Sumatera Utara, untuk menyelesaikan permasalahan tanah garapan masyarakat dengan pihak perkebunan.

Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal 20 Oktober 1999, diadakan rapat di Kantor Bupati Simalungun yaitu, untuk menindaklanjuti penyelesaian permasalahan tanah garapan dengan adanya tiga alternatif sebagai berikut : 1. Alternatif I, tuntutan Djaiman Nainggolan 1200 ha – 168 ha – 89 ha

2. Alternatif II, dari Pihak Perkebunan atas usul Adm, Bandar Betsy, 326, 5 ha

(256,5 ha – 70 ha) – 168 ha = 158,5 ha

3. Alternatif III, dari Pemda 326,5 ha + 89 ha pando/perengan.

Dalam hal ini, pihak perkebunan tidak dapat menerima sehingga, permasalahan belum juga dapat diselesaikan. Berdasarkan hal tersebut, Bupati Simalungun membuat surat kepada Menneg Penanaman Modal dan Perkebunan BUMN, tanggal 25 Oktober 1999 dan 6 Desember 1999. Disamping itu ada surat dukungan dari Gubernur Sumatera Utara tanggal 5 Nopember 1999.

Undangan untuk pertemuan tanggal 13 Februari 2000, disampaikan kepada instansi terkait, termasuk yang mewakili dari Kantor Menneg Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN. Gubernur Sumatera Utara dengan suratnya No. 593/2361 tanggal 24 Februari 2000, menyampaikan hasil pertemuan, dengan kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa harus dilakukan dengan “Win-Win Solution” yaitu 943 hektar dikeluarkan dari areal perkebunan, untuk masyarakat penggarap, biaya ukur tanggungan PTPN-III dan jangan mempermasalahkan tanaman yang ada di areal yang akan diserahkan.

Pada tanggal 13 Maret 2000, 3 April 2000, dan 26 April 2000, kuasa dari masyarakat penggarap menjumpai Deputi Agro Industri yang isinya : a) Deputi membantu dan tidak merugikan masyarakat penggarap

b) Deputi akan membuat penyelesaiannya yang merupakan percontohan

c) Deputi hanya sebatas mengusulkan, keputusan terakhir berada di tangan

Menteri.

Setelah berlangsung tiga bulan lamanya, Surat Gubernur Sumatera Utara tersebut disampaikan kepada Menneg Penanaman Modal, dan Pembinaan BUMN dengan PTPN-III tidak ditanggapi. Selanjutnya pada tanggal 3 Juni 2000, kuasa dari masyarakat penggarap, akhirnya memohon kepada Komisi IX DPR-RI sebagai berikut : a) Merekomendasikan kepada Menneg Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN,

agar menyelesaikan permasalahan tanah garapan Petani Bandar Betsy, mengacu

Universitas Sumatera Utara

kepada Surat Gubernur No. 593/2361 tanggal 24 Februari 2000. Cara yang

ditempuh itu sudah merupakan solusi yang terbaik “Win-win Solution” yaitu,

disetujui untuk masyarakat penggarap 943 ha dari tanah yang dipermasalahkan

sejumlah 2245 ha.

b) Rekomendasi dari Komisi IX DPR-RI tersebut, yang pada gilirannya akan

melahirkan Surat Persetujuan Menneg Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN.

c) Surat usulan tersebut, masyarakat penggarap mengharapkan agar berupa utusan

dari Komisi IX DPR-RI berkenan menyampaikannya kepada Bapak Gubernur

Sumatera Utara di Medan, dan disaksikan instansi terkait.

Areal yang sudah diduduki penggarap Bandar Betsy yaitu : 1. Afdeling I seluas = 8 ha

2. Afdeling IV seluas = 2 ha

3. Afdeling V seluas = 2,40 ha

4. Afdeling VI, VII, VIII seluas = 83,35 ha406

Areal yang diduduki oleh kelompok Suharji Cs yang terletak di Afdeling VI, VII seluas = 202 ha. Sedangkan areal yang diduduki oleh penggarap yang berasal dari desa Bandar Silo, Bandar Pulo, Bandar Manis dan Ujung Pait terdiri dari 150 orang penggarap, telah menduduki 297,75 ha.

Berdasarkan data yang dapat dihimpun, maka sengketa antara pihak petani penggarap dengan pihak perkebunan Bandar Betsy (PTPN-III) sampai saat ini, belum ada penyelesaian yang tuntas. Sebagai tindak lanjutnya, turunlah instansi terkait ke lapangan, untuk melakukan pemeriksaan tanaman, dan tenaga masyarakat yang sudah membersihkan areal tersebut. Keputusan instansi terkait pada waktu, agar pihak perkebunan membayar ganti rugi tanaman dan upah pembersihan areal kepada masyarakat petani. Namun pihak perkebunan, tidak memenuhi apa yang telah disepakati.

406 Laporan Kronologis dan upaya penyelesaian masalah tanah garapan petani Bandar Betsy II, Kecamatan P. Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara, dari Kesatuan Organisasi Reformasi Keadilan Rakyat (KOREKER) oleh kuasanya Drs. B.P. Tamba dalam Syarifuddin Kalo, disertasi, Op.Cit, hal 272.

Universitas Sumatera Utara

Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Surat Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. S-328/M.PM-PBUMN/2000 tanggal 23 Agustus 2000 yang ditujukan kepada Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, atas arahan Presiden dapat mempertimbangkan untuk melepaskan 40 % (empat puluh persen) dari tanah HGU PTP Nusantara III seluas 943 ha untuk diserahkan kepada Gubernur/KDH Tingkat I Sumatera Utara dan mengenai kebijaksanaan final tentang pendistribusiannya kepada masyarakat (penggarap) agar diserahkan menjadi tanggung jawab Gubernur/KDH Tingkat I Sumatera Utara. Namun berhubung masalah sengketa tanah perkebunan belum diatur dalam suatu petunjuk pelaksanaan sebagai kebijaksanaan nasional dan masalah sengketa tanah juga terjadi pada areal PTPN yang lain, maka masalah ini perlu dibicarakan pada Rakor Ekuin dengan mengikutsertakan Menteri Perkebunan, Badan Pertanahan Nasional, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, BPKP dan instansi terkait lain yang diperlukan.407

Surat Menteri Negara/Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN tersebut di atas ditindaklanjuti Kordinator Bidang Perekonomian Indonesia. Dengan suratnya No. S.07/D.VU.M.EKON/02/2001 tanggal 6 Februari 2001, yang ditujukan kepada Direktur Jenderal BUMN Departemen Keuangan, Menko Perekonomian mengusulkan agar penyelesaian masalah tanah perlu dilihat kasus per kasus dan tidak digeneralisir secara nasional misalnya diberikan 40 % dari luas tanah yang dituntut. Luas tanah yang dituntut masyarakat penggarap dan akan dilepaskan oleh PTPN-III (Maksimal 943 ha) dihitung berdasarkan kesepakatan dan kalkulasi yang diusulkan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan aspek legalitasnya.

408

Dalam perkembangan selanjutnya, 22 Maret 2011 Advokat dan Penasehat Hukum A. Tumanggor, SH dan Associates selaku kuasa hukum Kelompok Tani Kemin dkk menyusul pengaduan dan menyampaikan permohonan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa masyarakat Desa Bandar Betsy Kec. Huluan, Kab. Simalungun dengan

jumlah kelompok tani 155 KK dan telah menguasai dan mengusahai tanah

garapan 115 ha seharusnya 215 ha dan telah menanami Kelapa Sawit tanaman

tua dan muda Eks. PTP Nusantara III (Persero) yang telah keluar dari luas

5.348,9 ha. Telah keluar dari HGU PTP 3 yang telah disetujui oleh DPR RI dan

407 Lihat, Surat Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. 5-328/M.PM-328/M.PM-PBUMN/2000, tanggal 23 Agustus 2000

408 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Pusat baik Pemerintah Gubernur Sumatera Utara dan DPR Sumatera

Utara serta Bupati Simalungun dan DPRD Kab. Simalungun.

2. Bahwa di atas PTP 3 HGU No. 1 Tahun 1989 telah berakhir tanggal 31 Desember

2005 maka tanah tersebut telah beralih menjadi tanah negara RI dengan ketentuan

Undang-Undang Pokok Agraria kelompok tani penggarap KEMIN DKK secara

hukum adalah pemilik HAK yang dilindungi undang-undang

3. Bahwa Eks PTP 3 tidak memiliki alas HAK lagi, maka tidak berhak lagi

melakukan pelakuan pidana terhadap kelompok tani KEMIN DKK

4. Bahwa berakhirnya HGU No. 1 Tahun 1989 telah mengajukan permohonan

kepada BPN RI direkomendasikan oleh BPN Kanwil Sumatera Utara tepatnya

pada tahun 2004 namun sampai saat ini sudah 7 (tujuh) tahun lamanya tidak ada

perpanjangan HGU milik PTP 3.

5. Bahwa kelompok tani penggarap KEMIN DKK telah beberapa kali melakukan

pertemuan dengan Pemerintah Daerah Kab. Simalungun dan PTP 3 Persero

bahwa tanah 5.348,9 ha telah keluar dari PTP 3 dan akan dibagikan kepada

masyarakat. Dan kami Kelompok Tani KEMIN DKK telah menyampaikan

berkas-berkas kependudukan dan persyaratan yang lengkap, sesuai dengan

pengumuman surat kabar namun lamban Bupati Simalungun menerbitkan Surat

Keterangan Tanah tersebut kepada kami, maka dengan hormat Bapak Bupati

Simalungun dan instansi terkait saat ini kami mohonkan dengan hormat

menerbitkan surat kepemilikan tanah tersebut untuk tidak terjadi lagi hal-hal yang

timbul dikemudian hari.

Universitas Sumatera Utara

6. Bahwa perlu kami sampaikan Bapak Instansi Pemerintah dan terkait dan terutama

kepada Bapak Bupati Simalungun dan kepada Bapak Ketua DPRD Simalungun

kami tidak ikut serta melakukan unjuk rasa seperti kelompom KOREKER yang

berulang kali kami baca akhir-akhir ini di Surat Kabar Pematangsiantar. Kami

cukup menyampaikan hak-hak kami secara tertib, tertulis dengan melalui kuasa

hukum kami, dan keyakinan kami sepenuhnya Instansi Pemerintah tersebut, kami

yakin bijaksana menindak lanjuti hak-hak kami dari Pemerintah Daerah baik pun

Pemerintah Pusat dan akan disetujui oleh PTP III Nusantara III Bandar Betsy

7. Bahwa terjadinya peristiwa pidana terhadap klien kami, Kelompok Tani KEMIN

dkk diduga adalah rekayasa peristiwa PERDATA dijadikan peristiwa PIDANA,

kami mohonkan Bapak Bupati Simalungun dan Bapak DPRD Simalungun dapat

merekomendasi kepada Bapak Ketua MA RI ub. Bapak Ketua Majelis dan

anggota Majelis MA RI mengadili perkara ini untuk dibebaskan dari segala

hukuman PIDANA

8) Bahwa tentang kejadian saksi-saksi ahli di persidangan dihadirkan jasa penuntut hukum dalam perkara ini tidak dapat membuktikan pengrusakan tanaman karet milik PTP III Bandar Betsy, Kec. Bandar Huluan Kab. Simalungun yang dilakukan para terdakwa KEMIN DKK. Bahwa bukti-bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dipersidangkan Pengadilan Negeri Simalungun untuk membuktikan kesalahan para terdakwa KEMIN dkk. Ternyata tidak ada satupun bukti yang mendukung kesalahan para terdakwa KEMIN dkk, sebab bukti yang mendukung bahwa para terdakwa KEMIN dkk yang menguasai dan menguasai dan mengusahai lahan Eks PTPN III Bandar Betsy adalah sertifikat HGU No. 1 Tahun 1989, yang telah berakhir tanggal 31 Desember 2005, maka pengaduan PTPN III Bandar Betsy adalah salah alamat karena tidak berhak mengadukan kepada para terdakwa karena lahan yang dikuasai para terdakwa bukan milik PTPN III Bandar Betsy melainkan tanah tersebut sudah kembali kepada masyarakat atau Eks. PTPN III Bandar Betsy dan

Universitas Sumatera Utara

para terdakwa KEMIN DKK berhak untuk menguasai dan mengusahai lahan Eks PTPN III Bandar Betsy tersebut.

9) Tentang Pengurasakan tanaman karet milik Eks. PTPN III Bandar Betsy tidak terbukti secara Hukum. - Bahwa barang bukti yang diajukan di depan persidangan dalam perkara ini

adalah Nihil yang tidak dapat dibuktikan Jaksa Penuntut Umum dalam surat

Dakwaannya karena tidak benar ada pengurasakan Tanaman Karet milik Eks.

PTPN III Bandar Betsy demikian juga saksi-saksi baik yang saksi

memberatkan maupun saksi ahli dan saksi meringankan maupun bukti-bukti

dalam perkara tidak dapat menerangkan tanaman karet yang dirusak para

terdakwa KEMIN dkk.

10) Bahwa nampaknya Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dalam suratnya No. S-744/MBU/2008 tanggal 7 September 2008, telah mengeluarkan rekomendasi agar HGU milik PTPN III seluas ± 32.219.17 Ha supaya diperpanjang HGU nya dari areal seluas 31.219.17 Ha termasuk di dalamnya Kebun Bandar Betsy seluas 5.348,9 Ga dan juga Kanwil BPN Sumatera Utara telah mengusulkan Perpanjangan HGU kebun Bandar Betsy seluas 5.348,9 Ha kepada Badan Pertanahan Nasional sesuai Surat No. 10/PTT/KR/2008/A, tanggal 10 Oktober 2008.

11) Bahwa setelah kedua surat instansi tidak menyetujui lahan Eks. PTP III Bandar Betsy dibagikan kepada masyarakat penggarap didukung pula Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dengan Surat Kuasa Khusus Direksi PTP III No. 3.11/SKKL/03/2010, tanggal 11 Maret 2010, dan tinggal Kepala Badan Pertanahan Nasional Pusat sampai saat ini belum memberikan jawaban/tanggapan atas ke-2 Surat tersebut.

12) Bahwa dari kacamata hukum walaupun Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara belum mencabut HGU No. 1 Tahun 1989 dengan ketentuan apabila usaha atau pohon karet milik Eks. PTP III masih produktif namun kenyataannya tanaman karet di lahan Eks, PTP III yang dikuasai Penggarap tidak ada.

13) Bahwa apabila HGU telah berakhir dalam jangka 1 (satu) tahun maka Hak Eks. PTP III Bandar Betsy hapus karena hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat 2 dan Hapus karena jangka waktunya telah berakhir sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 Jo. Pasal 34 sub a UU. No. 5 Tahun 1960.

Universitas Sumatera Utara

14) Bahwa ketentuan pada point 13, inilah yang belum dipahami Eks. PTP III Bandar Betsy termasuk Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang mengaku-ngaku kuasa Hukum Direksi PTP III.

15) Bahwa di pihak PTP III Bandar Betsy tetap berusaha melaksanakan aktifitas pembersihan di areal Eks. PTP III Bandar Betsy dan akan menanami dan melakukan pemeliharaan tanaman dengan cara merusak tanaman masyarakat penggarap tanpa mengindahkan Hukum, pada hal tidak menyadari PTP III Bandar Betsy tidak memiliki alas Hak berupa HGU dan tetap ngotot dan mengaku sebagai pemiliki atas Eks. HGU yang telah berakhir atau hapus karena hukum atau berakhir karena jangka waktunya telah berakhir.

16) Bahwa selanjutnya masyarakat penggarap yang mengatasnamakan Kelompok Tani Bandar Rejo yang dikoordinis KEMIN DKK, telah dijadikan terdakwa dan 3 (tiga) orang anggotanya dan perkara pidananya telah diputus oleh Pengadilan Negeri Simalungun dan hukuman masing-masing selama 1 tahun 6 bulan dan telah dikuatkan Pengadilan Tinggi Medan, dengan dasar pemidanaan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004, tentang perkebunan, “bersama-sama melakukan pengrusakan kebun dan menguasai tanpa izin” namun Pengaduan PTP III Bandar Betsy baru bulan Oktober 2008, setelah HGU No. 1 Tahun 1989, berakhir tanggal 31 Desember 2005 dan saat ini perkara tersebut di tingkat Kasasi untuk lebih jelasnya dapat kami lampirkan Memori Kasasi KEMIN dkk.

a. Tipologi Sengketa Pertanahan dalam Kasus 4 (empat) ini adalah :

1) Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

2) Sengketa tanah objek Land Reform

3) Sengketa Kawasan

4) Sengketa tanah nasionalisasi badan hukum belanda

Pihak-pihak yang bersengketa 1) Masyarakat Dengan Perkebunan

2) Masyarakat dengan Instansi Pemerintah

b. Faktor Penyebab terjadinya sengketa pertanahan dalam kasus ini adalah

1) Adanya kesenjangan sosial antara masyarakat sekeliling dengan pihak

perkebunan. Masyarakat sekitar perkebunan merasa tidak memiliki tanah yang

Universitas Sumatera Utara

bisa digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sehingga masyarakat

memberanikan diri menduduki/ menggarap tanah-tanah perkebunan.

2) Adanya sengketa hak yang sudah lama tak terselesaikan (akut). Masyarakat

merasa sebelumnya telah memiliki tanah yang diambil secara paksa oleh

pihak perkebunan sehingga masyarakat menuntut agar tanahnya

dikembalikan, yakni pemahaman tentang kepemilikan tanah secara faktual

dan yuridis atau sering disebut sebagai kepemilikan ipso facto dan ipso jure

3) Adanya sikap-sikap perkebunan yang kurang melaksanakan bina lingkungan

di sekitar perkebunan. Masyarakat menduduki/ menggarap tanah-tanah

perkebunan yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah perkebunan.

4) Adanya faktor eksternal yang mendorong masyarakat memberanikan diri

meminta, menduduki, menggarap tanah-tanah perkebunan Faktor ini banyak

dipicu oleh kondisi sosial politik dan ekonomi serta perubahan rezim yang

sangat mendasar dari sentralistik yang otoriter menjadi desentralistik yang

lebih domokratis.

5) Fenomena sengketa di atas bisa dipandang sebagai proses sosiasi. Sosiasi bisa

menciptakan asosiasi, yaitu para individu yang berkumpul sebagai kesatuan

kelompok masyarakat. Sebaliknya, sosiasi juga bisa melahirkan disasosiasi

yaitu para individu mengalami interaksi saling bermusuhan karena adanya

feeling of holistility secara alamiah.409

409 Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan isu-isu konflik kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2009), hal.47.

Universitas Sumatera Utara

6) Simmel menyatakan: “The actually dissociating elements are the causes of the

conflict-hatred and envy, want and desire’’ (Unsur-unsur yang sesungguhnya

dari disasosiasi adalah sebab-sebab konflik-kebencian dan kecemburuan,

keinginan dan nafsu).410

410 George Simmel, The Sociology of Conflict, (America: Journal of Sociology,1903), hal.409.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT

DI KABUPATEN SIMALUNGUN Penyelesaian sengketa adalah suatu proses dengan mekanismenya yang secara khusus dimaksudkan menyelesaikan perbedaan bentuk-bentuk kegiatan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Peradilan adat adalah mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan hukum adat atas pelanggaran terhadap hak-hak adat dan hukum adat.411

M.Yamin Lubis menambahkan

412 hal yang paling mendasar untuk menuntaskan persoalan tanah menurut UUPA adalah menggunakan logika agraria413

Jika hukum adat masih ada (tentang pertanahan) juga harus tunduk kepada UUPA (sebagai payung hukum), karena tanah mengandung makna luas. Tanah (land), di dalamnya ada hak (right and use of right). Jadi di dalamnya ada urusan hak dan urusan peruntukkan dari hak tersebut.

. Jangan dibawa ke ranah politik, bawalah ke ranah hukum, karena tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan dan kepastian).

Keputusan Presiden No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan Pasal 2 (dua) tegas disebut : Sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Kewenangan yang dimaksud antara lain : a. Pemberian izin lokasi

b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan

c. Penyelesaian sengketa tanah garapan

d. Penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan

e. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee

f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, dan lainnya

411 Kedua defenisi di atas, penyelesaian sengketa dan peradilan adat adalah defenisi yang dibuat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, diskusi publik tentang Masyarakat Adat, dimana penulis sebagai salah satu narasumber, Hermina Hall, Universitas Darma Agung, 11 Desember 2012.

412 M.Yamin, Logika Agraria menuntaskan Persoalan Tanah, kolom Opini dalam harian Waspada, 2 Oktober 2012.

Universitas Sumatera Utara

Ini semakin menegaskan kewenangan ada pada daerah, sehingga seharusnya tidak lagi membuat persoalan tanah tidak bisa diselesaikan. Pemerintah daerah harus punya nyali mengambil urusan ini.

a. Temuan Desa Tanpa Sengketa Tanah (Desa Sipoldas dan Desa Bangun Das

Meriah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun)

Berdasarkan penelitian di lapangan414

Jarak ke ibukota kecamatan ± 5 km, lama jarak tempuh ke ibukota kecamatan dengan kendaraan bermotor ± 10 menit, jarak ke ibukota Kabupaten ± 17 km, lama jarak tempuh ke ibukota Kabupaten dengan kendaraan bermotor ± 30 menit (0,5 jam).

ditemukan 2 desa yang tidak pernah terjadi sengketa karena persoalan tanah (tanah adat). Desa itu bernama “Sipoldas”, yang wilayahnya berbatasan dengan sebelah Utara dengan Desa Bangun Das Meriah, sebelah Selatan dengan desa Mekar Sari Raya, sebelah Timur dengan desa Simpang Raya Darma dan sebelah Barat dengan desa Bangun Rakyat. Desa ini terletak di Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.

415

Sipukka Huta (yang membuka) daerah itu bermarga Omp. Jomma Sinaga, semula disebut “tanah parhutaan”, luasnya ± 10 km persegi dan tidak memiliki hutan lagi. Omp. Joman Sinaga sebagai si pukka huta memiliki istri boru Purba dan 3 orang anak : 2 orang beragama Islam (Omp. Pendi Sinaga dan Omp. Tori Sinaga), dan 1 orang beragama Kristen (Omp. Tampson Sinaga). Jika digambarkan sebagai berikut :

413 Logika Agraria : menerapkan hukum agraria berdasarkan filosofi agraria yakni memanfaatkan penggabungan logika berpikir agraria dengan agraria in action, sesuai landasan berpikir kewawasannusantaraan, ibid.

414 Wawancara dengan Harmal Sinaga ,Lurah Desa Sipoldas, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, 14 Juli 2012

415 Laporan Profil Desa dan Kelurahan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan, Depdagri Dirjend Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Tahun 2011

Omp. Jomma Sinaga

Omp. Pendi.

Omp. Tori.

Omp.Tampson.

Petta Sinaga

Kamarruddin

Harmal

Universitas Sumatera Utara

Dari gambaran di atas, jelas terlihat jika Lurah Desa tersebut (Harmal Sinaga) adalah keturunan langsung si Pukka Huta. Berdasarkan penelitian dan hasil wawancara, tidak pernah terjadi sengketa di bidang pertanahan di desa itu. Jika ada permasalahan atau persoalan yang harus dipecahkan biasanya musyawarah akan dilaksanakan di rumah Gijang (rumah Bolon) yang harus dihadiri oleh Punguan (kumpulan) “Sinaga si tolu ompung” (Sinaga, si 3 nenek : keturunan dari Omp. Pendi. S, Omp. Turi. S dan Omp. Tampson.S) Di sana juga dijumpai kolam bersama yang luasnya ± 8 rante (1 rante = 20x20 m), di mana induknya ikan, tetap dibiarkan dan biasanya 1 kali setahun panen. Masih ditemukan transaksi yang hanya dikenal dalam hukum adat, transaksi dua pihak atau tindakan antar warga yang dilakukan secara adat, antara lain “marbolah pinang” (perjanjian bagi hasil secara adat), dimana pihak yang satu menyerahkan sawahnya untuk dipakai atau diusahakan kepada pihak lain yang menanami padi dengan perjanjian jika panen si pemilik tanah atau sawah akan menerima 5 kaleng padi (biasanya luas sawah itu ± 1 rantai). Setiap setahun sekali, diadakan “marlappet-lappet”, memasak lapet atau lepat416

Setiap 3 tahun sekali, biasanya jatuh pada bulan Juni, diadakan “manjolo tangiang” (meminta doa), berdoa bersama sambil “manortor” (menari tradisional, tari Simalungun seperti Serma dengan-dengan, Sitalasari, dan lainnya), disusul makan bersama untuk keselamatan desa dan warganya. Kalau dahulu acara ini diadakan di Baringin (di bawah pohon Beringin) namun saat ini diadakan di Tanah Lapangan.

jika “turun bibit”, menabur benih ke sawah atau ladang. Lepat tadi akan dibagikan kepada semua anak yang hadir sambil berdoa agar panennya tadi berhasil. Karena anak-anak dianggap masih suci, putih, tidak berdosa (Habonaron, memiliki kebenaran).

Biasanya warga asli penduduk maupun pendatang yang meninggalkan desa itu karena mengikuti anaknya yang sudah berhasil ataupun alasan anaknya sekolah ke tempat lain (ke luar) desa atau daerah tersebut. Desa lain yang tanpa sengketa tanah adalah Desa Gunung Meriah, sekarang bernama desa Bangun Das Mariah , Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun. Semula bernama “Desa Gunung Meriah” merupakan pemekaran dari desa Sipoldas. Nagori Bangun dari nama “Bangun Jawa” (Simpang Raya) Das dari nama “Sipoldas

Mariah dari nama “Gunung Mariah”, yang wilayahnya berbatasan dengan sebelah Utara desa Sigodang, sebelah Selatan desa Sipoldas, sebelah Timur desa Simpang Raya Dasma dan sebelah Barat desa Bangun Rakyat. Luas pemukiman ± 8 ha/m².

” (das artinya sampai, sihol artinya rindu)

416 Lepat/Lapet : sejenis kue basah, makanan yang bahannya terdiri dari ubi (singkong) campur gula merah dan kelapa, ubinya diparut sampai lembut, diadon bersama bahan yang tadi, dibuat dalam daun, kecil-kecil lalu dikukus sampai matang.

Universitas Sumatera Utara

Jarak ke ibukota kecamatan 8 km, lama jarak tempuh ke ibukota kecamatan dengan kendaraan bermotor ± 15 menit (¼ jam), lama jarak tempuh ke ibukota Kabupaten dengan kendaraan bermotor 30 menit (0,5 jam).417

Tanah adatnya bernama Parhutaon berasal dari hasil “panriahan” artinya musyawarah – mufakat.

Pangulu I (pertama) adalah bernama Indano Sinaga, II (kedua) bermarga Purba, III (ketiga) bermarga Sijabat. Pangulu tadinya diangkat oleh “Partuanon”. Sipukka huta desa Gunung Mariah adalah Tuan Nagodang (Raja Panei). Desa tersebut dikelilingi paret (2 lapis). Masih dijumpai parmahan horbo, penggembala ternak/kerbau. Di desa ini tidak ditemukan sawah, mata pencaharian warga adalah bertani kopi robusta. Di kedua desa (Sipoldas & Bangun Das Mariah), jika datang “pendatang” ingin tinggal di sini, diterima warga melalui kepala adatnya, Maujana Nagori dengan cara menyerahkan sirih (sekarang bersama uang), istilahnya “marbatu demban”, dengan tidak kawin dengan perempuan warga itu. Kalau pendatang tadi mengawini perempuan warga desa tersebut, disebut “sonduk hela” , otomatis diberi tempat tinggal. Pemberian tanah atau tempat tinggal tersebut harus dimusyawarahkan terlebih dahulu (riah / marrapot), bertempat di gereja atau “kuburan”. Di desa Bangun Das Mariah, meskipun warganya mayoritas beragama Kristen namun ada larangan memelihara hewan babi meskipun di dalam kandang. mengingat susunan rumah yang sangat rapat (muka, belakang, samping adalah rumah). Kalaupun ada hewan babi itu dikandang di ladang. Berdasarkan penelitian ditemukan Surat Perjanjian Desa Tahun 1955 yang masih diberlakukan sampai saat ini. Perjanjian ini mengenai perjanjian dan batas perkampungan, yang kembali diperbaharui, secara musyawarah resmi pada tanggap 25 Januari 1986. Demikian bunyinya :

Kami yang bertanda tangan di bawah ini atas nama pengetua dan tokoh masyarakat juga segenap masyarakat Gunung Meriah Desa Sipoldas Kecamata Panei, mengadakan musyawarah Perjanjian tentang perluasan areal perkampungan sebagai berikut : Luas Tanah perkampungan tersebut kira-kira 3 ha atau 75 rante (15.000 m), watas-watasnya : • Sebelah Timur : Bandar Simpang Raya • Sebelah Barat : Ladang kopi • Sebelah Selatan : Bandar Simpang Raya • Sebelah Utara : Tanah makam (wakaf) Kami atas nama masyarakat Gunung Meriah memusyawarahkan isi perjanjian itu sebagai berikut :

417 Laporan Profil Desa, Desa Bangun Das Mariah, ibid.

Universitas Sumatera Utara

1) Setiap masyarakat Gunung Meriah bebas mendirikan rumah di atas areal perluasan tanah tersebut.

2) Setiap masyarakat dalam watas perkampungan hanya dapat memakai hak pakai.

3) Masyarakat tidak boleh membuat tapak cadangan perumahan untuk keturunan

4) Setiap masyarakat yang akan mendirikan rumah harus dimufakatkan kepada : a. Sipukkah Huta b. STM Sayur Matua c. Pengetua Kampung dan disyahkan oleh Gamot.

5) Setiap mendirikan rumah pada suatu tempat yang ditunjuk pertapakannya gugur haknya

6) Setiap orang meninggalkan pertapakan dari dalam perkampungan haknya gugur kecuali masih ada rumah di atas tapaknya itupun hanya dibenarkan selama satu tahun

, apabila tidak dikerjakan dalam satu bulan, tanpa kecuali

7) Tidak diperbolehkan menjadi wakaf di dalam areal perkampungan tersebut

8) Pada dasarnya seluruh penduduk kampung tersebut tidak dibenarkan menanam tanaman keras kecuali yang telah ada, itupun kalau ada mendirikan rumah wajib dibongkar seluas pertapakan rumah tersebut tanpa imbalan jasa.

9) Kalau ada orang pendatang mau mendirikan rumah di areal tersebut (tanpa kaitan keluarga) harus lebih dahulu mufakat dengan pengetua kampung dan membayar imbalan jasa kepada Desa, dengan perincian sebagai berikut : a) Pengusaha : 30% b) STM Sayur Matua : 50% c) Sipukkah Huta : 10% d) Gamot : 10%

dari harga imbalan tersebut Demikianlah Surat Perjanjian kami ini diperbuat secara musyawarah untuk disadari dan dilaksanakan sebagaimana mestinya sampai ke hari-hari yang akan datang. Surat ini berlaku sejak tanggal 20 April 1955. Sebelumnya kami atas nama masyarakat mengucapkan banyak terimakasih dan perjanjian ini dipelihara terus-menerus sebaik-baiknya, ketua Musyawarah Dariaman Saragih.418

418 Surat Perjanjian tentang perluasan areal perkampungan, 20 april 1955

Universitas Sumatera Utara

Surat perjanjian ini sudah jelas maknanya dan jika dikaitkan dengan 6 (enam) ciri-ciri hak ulayat oleh Van Vollen Hoven, maknanya sama. Yang jelas isi surat perjanjian ini sampai hari ini masih berlaku, tidak ada yang “memiliki” (diperkuat dengan surat) tanah di kedua desa tersebut, tidak seorang Camat pun mau menerbitkannya karena berdasarkan kesepakatan semua masyarakat yang ada di situ, mereka sampai saat ini hanya “memakai”, sesuai dengan perjanjian semula dengan Raja setempat. Jika dianalisis, mengapa 2 (dua) desa ini cenderung, tidak ada (tidak terjadi) sengketa

hak atas tanah (adat) ada beberapa argumentasi :

1) Masyarakat adatnya yang diikat oleh kedua faktor pengikat (campuran)

genealogis dan territorial pada dasarnya adalah bersifat homogen.

2) Karena itu pula hidup dan kehidupan (lebensraum) masyarakat tersebut

berdasarkan (masih menerapkan) Hukum Adat Simalungun

3) Yang memimpin huta (nagori) lurah sampai ke tingkat camat dari beberapa

generasi adalah “generasi sipukkah huta (yang membuka huta) dan

masyarakat sekitarnya juga masih keluarga dari sipukkah huta.

4) Asas komunaal yang “rigid”, yang masih dimiliki oleh masyarakat setempat

serta diikat dengan ritual kepercayaan dalam adat419

Kedua desa (nagori) itu juga belum terkontaminasi oleh kehadiran pihak ke-3

(ketiga) yang menjadikan perubahan seperti :

serta ketauladanan

kepemimpinan yang dimiliki “si pemangku adat” membuktikan penegakan

hukum (law enforcement) berjalan secara konsisten sehingga masyarakatnya

menyadari melanggar hukum adat (Sim-pen) adalah melanggar

“kepercayaan”, dan meyakini akan menerima sanksi (adat) jika dilakukan

pelanggaran terhadapnya, sehingga sudah merupakan “ritual sosial”.

a. Sistem ekonomi kapitalis membuyarkan sifat ketauladanan

b. Norma adat bergeser

c. Pemerintah (Pemerintah setempat) tidak cepat menemukan “formula baru”

419 Diskusi dengan Usman Pely, bimbingan, 05 November 2012, Medan.

Universitas Sumatera Utara

Karena seperti kita ketahui ikatan moral yang tinggi dalam social capital, jaringan

sosial yang kuat memiliki sifat komunaal, moral sosial dan saling percaya, sehingga

akhirnya tidak mudah “diprovokasi”, disulut sebelum benar-benar terbukti dengan

nyata, karena ini alasan mutlak mengapa sengketa tidak terjadi.

B. Penyelesaian Sengketa Tanah menurut Musyawarah Mufakat (Hukum

Adat Simalungun)

Berdasarkan penelitian di lapangan420

Sebelum diuraikan sengketa dan penyelesaiannya ada baiknya mendeskripsikan lokasi penelitian ini.

, di Kelurahan Sipolha Horison Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun, dimana Camat sebagai mediator (Camat Soluter pada waktu itu : Ronald Siharmada Banjarnahor).

Kecamatan Pematang Sidamanik : Ibu Kota Kecamatan : Sait Buttu Saribu Luas Wilayah Kecamatan : 91,02 km2 – 91,02 x 100 = 9,102

Jarak ke ibukota Kabupaten : +40 km

Ketinggian di atas permukaan air laut : 800m

Jumlah Penduduk : Laki-laki (533), Perempuan (546), WNI (1.079) Kecamatan Pematang Sidamanik ini terdiri dari beberapa kelurahan/ Nagori: 1. Sait Buttu Saribu 6. Sipahoras

2. Pematang Sidamanik 7. Pematang Tambun Raya

3. Sarimattin 8. Simantin

4. Bandar Manik 9. Sipolha

5. Jorlang Huluan 10. Gorak

Kejadian Permasalahan pada tahun 2009421

Bahwa pada tahun 1980-an (20 tahun sebelum sengketa itu bergulir berkisar pada tahun 1987), Jenderal Muller Damanik yang bermukim di Jakarta (orang tua pak Muller) ada membuat “surat pernyataan” agar tanahnya yang terletak di Kelurahan Sipolha seluas lebih kurang 1 hektar “dijaga” si “Damanik”.

420 Wawancara dengan Ronald Samuel Tambun, camat Pematang Sidamanik dan Bahrum Harahap, serta Hotman Purba, Kasi Pemerintahan, yang ketika kasus di atas bergulir beliau menjabat sebagai Kasi Umum dan Perlengkapan, 16 April 2012

421 Hasil wawancara yang diolah karena tidak didapatkan bukti tertulis

Universitas Sumatera Utara

Tanah yang merupakan “lahan perladangan” itu ditanami kemiri dan palawija (tanaman muda). Setelah lebih 20 tahun diusahai si “Damanik” tersebut Muller (pernah menjabat Rektor USI, Universitas Simalungun), anak kandung almarhum Jenderal Muller yang memberi “kuasa menjaga” itu meminta haknya atas tanah sengketa tersebut dikembalikan padanya.

Sengketa merebak apalagi si “Damanik422

Oleh Camat, sebagai mediator dikumpulkanlah seluruh warga termasuk tokoh adat, pangatua adat dengan jalan musyawarah mufakat, Si Damanik mengakui kekeliruannya dan mengembalikan tanah itu kepada Muller. Muller juga memberikan uang sejumlah Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) dengan mengingat bahwa si Damanik telah menikmati hasil tanah yang di usahai nya selama 20 tahun lebih. Oleh Muller tanah itu sudah ditanami kelapa sawit.

” tersebut sudah membuat “Surat Pernyataan” yang disaksikan sekeliling warga: saksi batas (tidak dikuatkan oleh pihak pemerintah) yang menyatakan bahwa “dialah” pemilik tanah yang dipersengketakan tersebut.

Sengketa ini menunjukkan betapa UUPA pada hakikatnya, tidak mengenal daluwarsa untuk memperoleh hak milik, namun sering terjadi di masyarakat bahwa jika tanah dikuasai secara fisik 20 tahun itu, tanah dianggapnya sebagai hak miliknya. Pernyataan seperti ini adalah kesalahan besar dalam memaknai hukum agraria. Namun, sengketa di atas membuktikan, yang terjadi di masyarakat asal 20 tahun diperlakukannya tanah itu sebagai miliknya. Padahal posisi 20 tahun tersebut hanya bermakna bahwa yang menguasai tanpa ada keberatan dari pihak lain tadi bermakna bahwa dia diberi wewenang untuk mengajukan hak milik di atas tanah tersebut, bukan sebagai pemilik tadi. Sedangkan penguasaan fisik selama 20 tahun saja masih harus ada syaratnya, seperti : tidak ada keberatan dan tidak dipersoalkan oleh pihak manapun.423

Sengketa tanah lain yang sudah diputus oleh Pengadilan namun setelahnya dirasa kurang adil lalu diselesaikan kembali secara musyawarah mufakat melalui lurah sebagai mediator

424

Ini terjadi di Huta (Dusun) Sait Buttu Saribu. Arti nama huta (dusun) Sait Buttu Saribu adalah : Sait artinya mudah-mudahan, Buttu artinya ke atas jadi makna dari Sait Buttu Saribu semoga warganya jadi orang yang berpangkat

425

Nagori Sait Buttu Saribu merupakan salah satu dari 9 Nagori dan 1 Kelurahan di Kecamatan Pamatang Sidamanik. Secara Geografis Nagori Sait Buttu Saribu

422 Jend. Muller Damanik memiliki adik perempuan boru Damanik kawin dengan Siregar (misalnya) dan memiliki anak perempuan boru Siregar kawin dengan Damanik, Damanik yang terakhir inilah yang menjaga (mengusahai) tanah tersebut. Jadi masih ada kaitan saudara.

423 M.Yamin, Tanah Dalam Perspektif Hukum Agraria Indonesia, dalam Rehngena Purba, Spirit Hukum, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2012). Hal.47.

424 Hasil wawancara dengan Wagimin Silalahi, mantan Lurah Kelurahan Sait Buttu Saribu Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, 19 April 2012.

425 Ibid

Universitas Sumatera Utara

terletak antara 80,050 BT, 02,580

a. Sebelah Timur berbatas dengan Nagori Sarimattin yang meliputi Perkebunan

PTPN 4 Kebun Tobasari.

LU dengan luas wilayah +1347 Ha atau 30% dari Luas Kecamatan Pamatang Sidamanik 13.654 Ha. Berada pada ketinggian rata-rata 800m diatas permukaan laut. Nagori Sait Buttu Saribu merupakan daerah yang strategis yang berbatasan dengan :

b. Sebelah Selatan berbatas dengan Nagori Bandar Manik

c. Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Dolok Pardamean

d. Sebelah Utara berbatas dengan Kecamatan Dolok Pardamean

Adapun luas wilayah menurut penggunaan tanah adalah Hak Guna Usaha (HGU) PT. Perkebunan PTPN IV Kebun Tobasari seluas 391 Ha, Tanah Perkampungan seluas 956 Ha. Dengan demikian lebih dari 60% wilayah Nagori Sait Buttu Saribu merupakan lahan Tobasari yang pada saat ini ditanami Kebun Teh. Sementara itu 70% merupakan tanah perkampungan dan perladangan masyarakat, Sedangkan luas wilayah berdasarkan pada jumlah kepadatan penduduk per Huta adalah sebagai berikut :

Tabel 10 Luas wilayah menurut Huta (Dusun) Tahun 2012

Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun

No Huta (Dusun) Luas (Ha) Rasio terhadap Total Luas Nagori (%)

1 2 3 4 1 Sait Buttu 108 - 2 Manik Saribu 203 - 3 Gunung Mulia 167 - 4 Gorbus 104 - 5 Afd. B. Tobasari 287 - 6 Afd. D. Tobasari 280 - 7 Manik Huluan 198 -

Jumlah 1347

Universitas Sumatera Utara

Tabel 11

Luas wilayah berdasarkan pada jumlah kepadatan penduduk per Huta

No Huta (Dusun) Luas (Ha) Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk

1 2 3 4 5 1 Sait Buttu 108 2094 - 2 Manik Saribu 203 802 - 3 Gunung Mulia 167 232 - 4 Gorbus 104 192 - 5 Afd. B. Tobasari 287 564 - 6 Afd. D. Tobasari 280 482 - 7 Manik Huluan 198 677 -

Jumlah 1347 5043 Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun

Penduduk Nagori Sait Buttu Saribu Tahun 2011 tercatat sebanyak 5043 Jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2364 Jiwa dan Perempuan sebanyak 2679 Jiwa dengan perincian sebagai berikut :

Tabel 12 Banyaknya penduduk dirinci menurut jenis kelamin dan Huta tahun 2009

No Huta (Dusun) Laki-laki Perempuan Jumlah 1 2 3 4 5 1 Sait Buttu 1012 1082 2094 2 Manik Saribu 390 412 802 3 Gunung Mulia 105 127 232 4 Gorbus 87 105 192 5 Afd. B. Tobasari 269 295 564 6 Afd. D. Tobasari 229 253 482 7 Manik Huluan 272 405 677 Jumlah 2364 2679 5043

Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun Dengan kepadatan penduduk rata-rata 268 jiwa per KM2

Penduduk Nagori Sait Buttu Saribu secara Etnologi merupakan penduduk yang heterogen yang terdiri dari berbagai etnis yaitu : Simalungun, Jawa, Batak Toba, Batak Karo, Mandailing, Melayu, Minangkabau dan Cina. Kondisi ini mencerminkan

. Penduduk tersebut terhimpun dalam 550 Kepala Keluarga, dengan demikian setiap keluarga rata-rata dari 5 jiwa.

Universitas Sumatera Utara

pula pada budaya dan kemajemukan agama, oleh sebab itu penduduk Nagori Sait Buttu Saribu terkenal sebagai penduduk yang agamis yang terdiri dari :

e. Agama Islam : 2816 jiwa

f. Agama Kristen Protestan/ Katolik : 2227 jiwa

g. Lain-lain : 5043 jiwa

Dengan rincian per Huta sebagai berikut : Tabel 13

Banyaknya penduduk berdasarkan agama No Huta (Dusun) Islam Protestan/ Katolik Lain-lain 1 2 3 4 5 1 Sait Buttu 1567 527 2094 2 Mannik Saribu 117 755 802 3 Gunung Mulia 8 224 232 4 Gorbus 8 184 192 5 Afd. B. Tobasari 295 269 564 6 Afd. D. Tobasari 257 225 482 7 Manik Huluan 634 43 677 Jumlah 2816 2227 5043

Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun Untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dimaksud di

Nagori Sait Buttu Saribu terdapat sejumlah tempat ibadah yang terdiri dari 5 Unit Mesjid dan 6 Unit Gereja.

Adapun rincian per Huta adalah sebagai berikut : Tabel 14

Banyaknya sarana ibadah menurut agama dan Huta tahun 2009 No Huta (Dusun) Mesjid Langgar/

Mushollah Gereja

1 2 3 4 5 1 Sait Buttu 1 - 2 2 Manik Saribu 1 - 2 3 Gunung Mulia - - - 4 Gorbus - - - 5 Afd. B. Tobasari 1 - 1 6 Afd. D. Tobasari 1 - 1 7 Manik Huluan 1 - - Jumlah 5 - 6

Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun

Universitas Sumatera Utara

Tabel 15

Banyaknya jumlah Penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut status

pekerjaannya adalah sebagai berikut:

No Huta (Dusun) Bekerja Tidak Bekerja Jumlah 1 2 3 4 5 1 Sait Buttu 1205 859 2094 2 Manik Saribu 309 476 802 3 Gunung Mulia 102 125 232 4 Gorbus 84 101 192 5 Afd. B. Tobasari 304 254 564 6 Afd. D. Tobasari 207 272 482 7 Manik Huluan 307 367 677 Jumlah 2578 2454 5043

Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun Batas Wilayah Nagori menurut Penggunaannya. h. Ladang/ Tegalan 150ha

i. Perkebunan

a. Perkebunan Rakyat 176 ha

b. Perkebunan Negara 557 ha

c. Perkebunan Swasta 0 ha

Organisasi Kelembagaan Pemerintahan di Nagori Sait Buttu Saribu terdiri dari 7 (tujuh) Huta. Dengan diberlakukannya Surat Keputusan Bupati Simalungun Nomor : 141/3623/Pemdes, tanggal 1 April 2000 tentang Penyesuaian Sebutan/ Peristilahan

Nama Desa-desa, Kepala Desa, Perangkat Desa, Dusun, Badan Perwakilan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan Desa di Kabupaten Simalungun maka sebutan nama Desa, Kepala Desa dan seterusnya sebagaimana dikatakan diatas disesuaikan dengan kondisi sosial budaya dan adat istiadat masyarakat sehingga sebutan :

a. Desa menjadi Nagori

b. Kepala Desa menjadi Pangulu

c. Dusun menjadi Huta

d. Kepala Dusun menjadi Gamot

Universitas Sumatera Utara

e. Badan Perwakilan Desa menjadi Maujana Nagori

f. Rukun Warga menjadi Urung/ lorong

g. Perangkat Desa menjadi Tungkat Nagori

Adapun Huta yang berada di Nagori Sait Buttu Saribu yaitu :426

1) Sait Buttu Nama Gamot Setu

2) Manik Saribu Nama Gamot Jakop Damanik

3) Gunung Mulia Nama Gamot Walden Siadari

4) Gorbus Nama Gamot Gindo Sitio

5) Afd. B. Tobasari Nama Gamot Untung

6) Afd. D. Tobasari Nama Gamot Sukirman

7) Manik Huluan Nama Gamot Kirno

Sehubungan dengan pertikaian perbatasan Manikhuluan dan Simandjoloi pada tanggal 20 November 1970427

Manikhuluan diwakili oleh Moraida Naibaho dan dari Simanjoloi diwakili oleh Sapmaurung Damanik.

.

Kepala kampung Pematang Sidamanik meminta penjelasan dari Moraida Naibaho, dalam hal ini Moraida Naibaho menunjukkan dua orang saksi yaitu : 1. Djaudin Saragih umur 65 tahun penduduk Simandjoloi

2. Horalim Saragih umur 65 tahun penduduk Simandjoloi

Menurut Djaudin Saragih, pada tahun 1934 Tuan Sidamanik, almarhum Ramahadin telah menunjuk perbatasan a. Dari sebelah Utara/ Tabusan : 1 buah kayu yang besar

b. Dari sebelah Selatan : Serumpun bambu yang hidup sampai sekarang

426 Buku Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelaksanaan Pembangunan dan Pembinaan Kehidupan Masyarakat di Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, 2012

427 Berdasarkan hasil wawancara dengan Wagimin Silalahi, sengketa (pertikaian) ini sudah diputus PN Simalungun (walaupun datanya tidak ada pada beliau lagi), 21 April 2012.

Universitas Sumatera Utara

Keterangan Horalim Saragih sama dengan keterangan Djaudin Saragih. Kemudian Kepala Kampung bertanya kepada Sapmaurung Damanik. Menurut Sapmaurung Damanik, pada tahun 1944/2044 Tuan Sidamanik almarhum memberi 1 (satu) peta tanah perbatasan Manikhuluan dengan Simandjoloi yang bertanda “MERAH” tanah kampung Manikhuluan sebelah Selatan, tanah Kampung Simandjoloi sebelah Utara dan Sapmaurung Damanik meminta supaya nama kampungnya di dalam daerah pertikaian tersebut dinamakan “Siandjur”

Untuk mendapatkan data yang akurat, Lurah turun ke lokasi (lapangan), sehingga pada tanggal 14 Desember 1970 jam 10.00 WIB Kepala Kampung turun ke lapangan beserta : 1. Sabirin Damanik Gamot Parmahanan

2. Djaudin Saragih penduduk Simandjoloi

3. Horalim Saragih penduduk Simandjoloi

4. Sapmaurung Damanik penduduk Simandjoloi

5. Moraida Naibaho penduduk Manikhuluan

Bahwa peta yang dipegang Sapmaurung Damanik kurang meyakinkan karena beberapa hal a. Peta tersebut dibuat tidak ada skala

b. Sangat bertentangan dengan Peta pada tahun 1934 yang dipegang Moraida

Naibaho (penghunjukan Tuan Sidamanik Alm).

c. Oleh Kepala Kampung memerintahkan kepada Sapmaurung untuk memanggil si

Pembuat Peta (Pejabat Tuan Sidamanik almarhum yang masih hidup)

Pada tanggal 19 Desember 1970 dibuat surat Pernyataan oleh Tambatan Purba, 57 Tahun, Staff NV Perusahaan Perkembangan dan Pertanian Kebun Jeruk, alamat di Tebing Tinggi. Ketika ia bekerja di Kantor Tuan Sidamanik, Ramahadi Damanik sebagai pegawai tidak pernah membuat/ mengeluarkan sertifikat (Peta mengenai perbatasan kampung Simandjoloi dengan kampung Manikhuluan), yang menyatakan batas sebagai berikut : garis lurus dari Timur ke Barat, yang dibuatnya atas nama Tuan Sidamanik tersebut di atas.

Jika ada orang/ oknum yang memperlihatkan Peta Penyerahan Tanah yang ada di Simandjoloi dan Manikhuluan yang sekarang dipegang oleh Saudara Sapmaurung Damanik, maka surat itu adalah “palsu” karena beliau tidak pernah membuatnya dan menandatanganinya.

Universitas Sumatera Utara

Hasil musyawarah dan mufakat dengan berbagai pihak yang terkait pada tanggal 27 Januari 1971428

1) Batas tersebut sebenarnya sudah ada

, sehubungan surat Kepala Kampung tanggal 20 November 1970 mengenai pertikaian batas antara Simandjoloi Kampung Gunung Bosar dan Manik Huluan Pematang Sidamanik, dan surat pengaduan penduduk Manikhuluan kepada Musda Kecamatan Sidamanik tanggal 28 Desember 1970 sebagai berikut :

2) Menurut data lapangan bukti pohon enau dan bambu tidak ada keberatan

3) Untuk mempertegas batas yang sudah ada oleh Musda Kecamatan Sidamanik

atas Instruksi Bupati KDH Kabupaten Simalungun dengan menanam pohon

lindung

4) Kepada kedua aparat Pemerintahan Desa diperintahkan untuk membuat batas

yang permanen dengan merk “Batas ManikHuluan Kampung Pematang

Sidamanik dan Simandjoloi Kampung Gunung Bosar)

Tapi oleh masyarakat setempat tidak dibenarkan karena untuk merubah nama “Huta” harus dengan seluruh Pengetua Adat disahkan Kepala Kampung dan mendapat Izin serta pengesahan dari Bupati KDH Kabupaten Simalungun dan DPRD-GR nya.

Perkembangan berikutnya, pada tanggal 6 Agustus 2007 Risman Naibaho dan lain-lain (7 orang anak kandung dari Moraida Naibaho) memberi pernyataan bahwa benar Moraida Naibaho (bapak mereka) menyerahkan sebidang tanah darat kepada Mayor CPM Raja Tagor Damanik seluas 2 ha dengan batas sebagai berikut :

a. Sebelah Timur berbatasan dengan tanah Nurdin Damanik dan Simiin b. Sebelah Barat berbatasan dengan tanah Moraida Naibaho c. Sebelah Utara berbatasan dengan tanah Moraida Naibaho d. Sebelah Selatan berbatasan dengan tanah kehutanan/ Indo Rayon Penyerahan tersebut diadakan pada tahun 1971 dengan secara kekeluargaan.

Sengketa ini menunjukkan, sebenarnya, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya peran hukum adat cukup signifikan dalam penyelesaian permasalahan dalam masyarakat. Karena sifatnya yang komunal dan religio-magis, hukum adat mengutamakan keseimbangan dalam masyarakat, baik itu keseimbangan antara hak dan kewajiban antar individu maupun keseimbangan antara manusia dan alamnya.

428 Berita acara oleh B. Simarmata, Camat Kecamatan Sidamanik, Dj. Barus (Lettu CZI Nrp. 252143), dan PTP 64 Sidamanik, Ali Kumbang (Aiptu), dan Sek 20503 Sidamanik, Briptu G. Sinaga (Kamtibmas Kampung Pematang Sidamanik)

Universitas Sumatera Utara

Karena sifat-sifat itu pula hukum adat akan dengan mudah menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat, sebab kepatuhan masyarakat terhadap sesuatu yang religious akan lebih kuat dibandingkan kepatuhan kepada hal-hal lain. Hukum Adat menjadi sebuah sistem hukum yang mengedepankan penyelesaian sengketa atau persoalan masyarakat dengan asas kerukunan atau keseimbangan masyarakat itu sendiri. Apabila hukum modern lebih mengedepankan penyelesaian sengketa di pengadilan dengan biaya mahal dan berbelit, sedangkan hukum adat cukup mempertemukan pihak yang bersengketa dan dilanjutkan telaah menurut hukum adat oleh para tetua adat, lalu diputuskan. Perkara dengan hukum adat semacam ini sangat cepat, murah dan efisien. Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa secara litigasi yang lama dan mahal, kadangkala putusan yang dikeluarkan itu pun jauh dari keadilan karena hakim memutus dengan subjektif dan tidak jarang memihak dan berat sebelah. Selain itu hukum yang ditetapkan juga berasal/diimpor dari hukum asing, hukum kolonial yang “obsoleteel and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Sistem hukum ini jelas tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsive terhadap kebutuhan sosial masa kini. Runtung429

i. Menjaga keharmonisan dan pemulihan relasi antara masyarakat adat

setempat.

menyebutkan bahwa tujuan dari upaya yang dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa adat setempat adalah :

ii. Proses penyelesaian sengketa adat dapat menghemat waktu dan biaya

dari pihak yang bersengketa.

iii. Untuk mencegah dan menghindari keputusan-keputusan yang bersifat

memihak dan sewenang-wenang yang dapat merugikan salah satu pihak

yang bersengketa.

iv. Menjaga, memajukan dan melestarikan adat-istiadat dan hukum adat

yang hidup.

429 Sunarmi, Mengelola Kearifan Lokal Menuju Hukum Yang Berkeadilan Dalam Putusan Lembaga Adat, dalam Rehngena Purba, ibid, hal.31.

Universitas Sumatera Utara

v. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat serta mendamaikan

perselisihan masyarakat.

C. Penyelesaian Sengketa Melalui Instansi Badan Pertanahan Nasional

Kabupaten Simalungun

Suatu sengketa hak atas tanah itu timbul adalah karena adanya pengaduan/ keberatan dari orang/ Badan Hukum. 1. Pengaduan/ Keberatan dari Masyarakat

Pengaduan tersebut diajukan karena para pihak yang bersangkutan ingin mendapatkan penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari pejabat yang berwenang untuk itu. Adapun sengketa hak atas tanah adalah meliputi beberapa macam antara lain mengenai status tanah, siapa-siapa yang berhak, bantahan terhadap bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak atau pendaftaran dalam buku tanah dan sebagainya.

2. Penelitian dan Pengumpulan data. Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini dengan mengadakan penelitian terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka BPN akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke para Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Selanjutnya setelah lengkap data yang diperlukan, kemudian diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur kewenangan dan penerapan hukumnya.

3. Pelayanan Secara Musyawarah Terhadap sengketa hak atas tanah yang disampaikan ke BPN untuk dimintakan penyelesaian, apabila biasa dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah penyelesaian melalui cara ini seringkali BPN diminta sebagai mediator didalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Dalam hal tercapai penyelesaian secara musyawarah seperti ini, harus pula disertai dengan bukti tertulis sejak permulaan, yaitu dari Surat Pemberitahuan untuk para pihak, Berita Acara Rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam Akta Pernyataan Perdamaian yang bila perlu dihadapan Notaris sehinggga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Tipologi Sengketa Pertanahan di Kabupaten Simalungun pada Bab sebelumnya maka Upaya Penanganannya adalah sebagai berikut :

No A. Subjek B. Obyek

Kronologis Permasalahan

Upaya Penanganan

1 A. Forum Tani Sejahtera Indonesia dengan Partomuan Marga Damanik dan PTPN IV Kebun Bah Butong seluas 40ha

B. Tanah tersebut seluas 40ha menurut pengakuan masyarakat telah diusahai sejak tahun 1971 oleh Masyarakat/ Forum Tani Sejahtera Indonesia

Lahan kepunyaan PTPN IV yang tidak dipergunakan dalam waktu lama, yang kurang jelas alasannya kemudian dikerjakan oleh Masyarakat/ Forum Tani Sejahtera dan di atas tanah telah berdiri beberapa rumah semi permanen milik warga Masyarakat Forum Tani Sejahtera Indonesia

8) Surat Forum Tani Sejahtera Indonesia (FUTASI) No 117/03/FUTASI/2010 tanggal 3 April 2010. Hal bantuan dalam penyelesaian sengketa tanah antara petani dengan keturunan Partomuan Marga Damanik.

9) Surat Sekretariat Negara Bidang Penguasaan No. 13.3485/SetNeg/D-5/06/2006 tanggal 6 Juni 2010

10) Disarankan kepada PTPN IV untuk melakukan pengukuran pengembalian batas Kebun Bah Butong ke Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara

11) Dilakukan gelar perkara dan mediasi

2 A. Sertifikat Hak Milik No. 5 An. Ramlan Zeek, dibebani Hipotik Bank Danamon dan Surat Tanahnya di agunkan ke koperasi. B. Sebuah tanah dan rumah terletak di Desa Margo Mulyo, Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun.

- Sertifikat Hak Milik No. 5 Ramlan Zeek di agunkan ke Bank Danamon

- Kemudian Surat Keterangan Kepala Desa di Agunkan ke Koperasi, dengan bidang tanah yang sama (Hak Milik No. 5 An. Ramlan Zeek)

- Mengadakan penelitian lapang dan Administrasi pada tanggal 29 Oktober 2010 dan tanggal 1 Nopember 2010

- Pihak pemilik sertifikat Hak Milik No. 5 An Ramlan Zeek sudah tidak berada di tempat kediamannya.

- Telah dilakukan gelar perkara di Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun

3 A. Masalah Sengketa Kepemilikan antara Ingotan Diana Sinamo (Istri Tamat Ginting Jawak) dengan Ina Br Sinaga.

- Bahwa Ingotan Diana Sinamo menguasai tanah tersebut berdasarkan Surat Penyerahan Tanggal 12-01-

- Bahwa akibat tidak dipanggilnya sebagai batasnya, maka ukuran sertipikat itu lebih dari patok

Universitas Sumatera Utara

B. Tanah yang berukuran lebar 5M Panjang 20M (100M2

1970 yang diperoleh suami Ingotan Diana Sinamo (IStri Tamat Ginting Jawak) dari Keliling Ginting tanah tersebut berukuran lebar 5M Panjang 20M (100M

) yang terletak di Karang Lau Cimba

2

- Kemudian diterbitkan Surat Penyerahan Hak Warisan Sebidang Tanah Tanggal 2 Oktober 2009 No. Reg 593/62/2020/2009, Pangulu Rambung Merah, berdasarkan Surat Pernyataan Ahli Waris tanggal 2 Oktober 2009

) terletak di Karang Lau Cimba.

yang ada sehingga ukuran tanah itu masuk ke tanah Armen Gutom seluas 1,6M dari patok dan sebagai informasi parit yang berbatasan dengan Armen Gultom sudah pernah dipindah.

- Telah dilakukan gelar perkara mediasi dengan memanggil para pihak.

4 A. Masalah tanah atas nama Saut Budi Tuah Damanik. Desa Sipolha Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun.

B. Hak Milik Nomor 18/ Sipolha dan Hak Milik Nomor 20/ Sipolha

- Bahwa Sertifikat Hak Milik Nomor 18 dan 20/ Sipolha telah berkurang luasnya di lapangan/ di lokasi masing-masing sertifikat tersebut.

- Para pemilik Sertifikat Hak Milik Nomor 18 dan 20/ Sipolha telah mengadukan hal tersebut ke kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun dan sudah dilakukan Penelitian Data Yuridis yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun dan direncanakan untuk melakukan peninjauan lapangan ke lokasi tanah dimaksud

5 A. PTPN IV dengan Masyarakat Mekar Mulia. Permasalahan tanah masyarakat di areal PTPN IV Kebun Balimbingan.

B. Sertifikat Hak Milik No. 41/ Makar Mulia yang letaknya di lembah/ jurang desa/ Nagori Mekar Mulia, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun

- Di dalam HGU No. 7 PTPN IV kebun Balimbingan di duga terdapat Hak Milik No. 41 An Sutarno Tanggal 5 Nopember 2002 seluas 9.180 M2

- Telah dilakukan cek Lapangan Sertifikat Hak Milik No. 41/ Makar Mulia yang letaknya di lembah/ Jurang Desa/ Nagori Mekar Mulia, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun di duga posisi Hak Milik No. 41/ Mekar Mulia berada di dalam HGU No. 7 Kebun Balimbingan.

yang letaknya di Desa/ nagori Mekar Mulia, Kecamatan Tanah jawa, Kabupaten Simalungun.

Universitas Sumatera Utara

- Disarankan untuk pengukuran pengembalian batas atas tanah yang di persengketakan ke Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara di Medan

6 A. Sdr. Kemin dkk (155 kk) dengan PTPN III/ Kebun Bandar Betsy luas tanah 115 Ha.

B. Bekas HGU No. 1/ Kebun Bandar Betsy telah berakhir haknya tanggal 31 Desember 2005 luas tanah 5.348,9

- Bahwa tanah seluas 215 Ha tersebut menurut pengakuan Kemin dkk dikuasai sejak 1943 s/d 1968, pada tahun 1965 keluar SK Panitia Landreform Tanggal 2 Maret 1965 dan pada tahun 1968 s/d 2000 di kuasai oleh Kebun PTPN III Bandar Betsy dari tahun 2000 s/d saat ini dikuasai/ diusahai oleh Kemin dkk seluas 115 Ha untuk tanah pertanian

- Sdr. Kemin dkk sebanyak 155 kk telah melaporkan hal tersebut kepada Menteri Sekretariat Negara RI, Komnas HAM Indonesia, BPN RI, Menteri Negara BUMN, KPK RI, Gubernur SU, BPN Prov SU, Bupati Simalungun, dan BPN Kab. Simalungun.

- BPN Simalungun telah melakukan peninjauan lapangan di lokasi tanah seluas 115 Ha tersebut tanggal 15 Februari 2012

7 A. Sdri. Halimah Sinaga dan Murjimah Sinaga Jalan Pematang No. 7A Pematang Siantar.

B. Sertifikat Hak Milik No. 1171 seluas 1.985 M2 dan HM No. 1759 seluas 420 M2

- Bahwa tanah Hak Milik dan No sebahagian di garap orang 35 M

letak tanah Jalan Mata Air Desa/ Nagori Rambung Merah sekarang Pematang Simalungun

2 dan 15 M2

- Direncanakan peninjauan lapangan oleh BPN Kabupaten Simalungun di lokasi sengketa tersebut.

untuk rumah dan kedai kopi. - Pihak Halimah Sinaga Cs

membuat pengaduan ke Polres Simalungun

8 A. Sdr. Ade Silalahi dan Sdr. Pahala Sihombing, Ketua dan Sekretaris LSM ALIANSI TANNAS.

B. Penerbitan beberapa Sertifikat Hak Milik yang letaknya di Nagori Buntu Bayu, Kecamatan Hatonduhan (tanah EX HTI) seluas 340.70 Ha

- Bahwa Panitia Pembagian Tanah EX HTI memberikan persil-persil kepada Kelompok Tani di Buntu Bayu, Kecamatan Hatonduhan kemudian BPN Kabupaten Simalungun berdasarkan pembagian tersebut menerbitkan sertifikat sesuai dengan peraturan yang berlaku sedang sebahagian dari Kelompok Masyarakat ada

- Surat dari LSM TANNAS Maret 2012 maka direncanakan peninjauan lapangan oleh BPN Kabupaten Simalungun untuk mengetahui lokasi dan permasalahan yang ada di lapangan.

- LSM TANNAS membuat pengaduan ke Polda SU di Medan.

Universitas Sumatera Utara

yang keberatan atas pembagian tersebut.

9 A. Kelompok Tani Makmur An. Damril dkk (sebanyak 33 kk) Desa Bandar Betsy II, Kecamatan Bandar Huluan, Kabupaten Simalungun atas tanah seluas 10 Ha (seluruhnya seluas 17,2 Ha).

B. Bekas HGU No. 1/ Kebun Bandar Betsy telah berakhir haknya tanggal 31 Desember 2005 luas tanah 5.348,9

- Bahwa Masyarakat Kelompok Tani Makmur telah menguasai tanah tersebut sebelum ada HGU Kebun Bandar Betsy yang letak tanah masyarakat berdampingan dengan Kebun Bandar Betsy luas nya 17,2 Ha kemudian di tahun 2011 sebahagian disuguh hati oleh Kebun Bandar Betsy seluas 7,2 Ha sedang di areal sisa seluas 10 Ha terdapat patok tanda batas Kebun Bandar Betsy yang dulunya berada di luas areal Kebun Kelompok Tani Makmur

- Surat Kelompok Tani Makmur tanggal 12 Maret 2012, maka direncanakan BPN Kabupaten Simalungun akan melakukan peninjauan Lapangan dan penelitian untuk mengetahui permasalahan tersebut.

Sumber : BPN Kabupaten Simalungun.

Dari upaya penanganan sengketa pertanahan di atas, BPN Simalungun menempuh mekanisme penyelesaian sengketa sebagai berikut : 1. Bila ditemukan cacat administratif karena adanya kekeliruan data awal, maka

koreksi administratif dilakukan oleh BPN

(sengketa 1 dan 2; mengadakan penelitian lapangan dan administrasi, pihak PTPN IV disarankan melakukan pengukuran pengembalian batas kebun Bah Butong ke Kanwil BPN Sumatera Utara)

2. Bila kedua belah pihak saling terbuka, diusahakan musyawarah yang difasilitasi

oleh BPN.

(Sengketa 1,2,3 dilakukan gelar perkara dan mediasi dengan memanggil para

pihak)

Universitas Sumatera Utara

3. Bila sengketa melibatkan instansi sektoral, diupayakan koordinasi antar sektor.

(Sengketa 8,9 yang melibatkan sektor Perkebunan (Bandar Betsy), tanah ex HTI

di Nagori Buntu Bayu (Kec. Hatonduhan), dan pihak LSM)

4. Bila semua usaha telah menemui kegagalan, utamanya bila objek sengketa

berkenaan dengan masalah “hak”, yang berkaitan dengan kebenaran material,

maka upaya terakhir adalah melalui Pengadilan.

Berkenaan dengan mekanisme penyelesaian sengketa tersebut di atas430

Upaya penyelesaian berupa koreksi administratif oleh BPN pada umumnya dilakukan dalam bentuk pembatalan Surat Keputusan Perubahan Hak Atas Tanah atau sertifikat hak atas tanah, baik karena dijumpai adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanah atau karena melaksanakan putusan pengadilan.

, terdapat berbagai hambatan yang perlu disampaikan sebagai catatan.

Sebagai instansi yang bertanggungjawab untuk urusan pelayanan administratif, BPN tidak berwenang untuk melakukan uji materiil dalam rangka menemukan kebenaran terhadap sengketa berkenaan dengan kebenaran data yuridis dan/atau data fisik, namun seringkali pihak yang bersengketa kurang memahami perbedaan kewenangan BPN yang termasuk dalam lingkup hukum administrasi dan kewenangan melakukan uji materiil yang merupakan kewenangan badan peradilan.

Kekurangpahaman ini seringkali menyebabkan banyaknya kasus/sengketa yang masuk ke BPN dan setelah diteliti ternyata penyelesaiannya tidak menjadi wewenang BPN atau tindakan yang diharapkan dari BPN tidak dapat serta merta dilakukan karena misalnya, telah ditangani oleh pengadilan dan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. D. Penyelesaian Kasus/sengketa hak atas tanah adat melalui litigasi (Badan

peradilan) di Kabupaten Simalungun 1. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok

Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten

Simalungun.

430 Maria, Tanah, op cit, hal.113-114.

Universitas Sumatera Utara

a. Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.37/Pdt.G/2003/PN.

Simalungun tanggal 23 Juli 2004

b. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.297/PDT/2004/PT.MDN, tanggal

27 April 2005

c. Putusan Mahkamah Agung RI No.2143 K/PDT/2005, tanggal 05

November 2009.

Kasus Posisi : Keturunan Amani Marhilap Sinaga lawan Manatar Sinaga dkk (Perdata) Argumentasi Hukum para pihakKerajaan (Harajaon) Buttu Pasir dibuka oleh Raja yang bernama Op.Butu Pasir

:

Harajaon Buttu Pasir terdiri dari 5 (lima) Kampung (huta) yaitu : a. Kampung Buttu Pasir (sebagai pusat kerajaan)

b. Kampung Tiga Rihit

c. Kampung Lumban Tongatonga

d. Kampung Parmanukan

e. Kampung Bangun Dolok

Sedangkan Kampung ke-5, Kampung Bangun Dolok (sekarang merupakan anak kampung Bangun Dolok) dibuka oleh keturunan Op. Buttu Pasir yaitu Ama Ni Marhilap Sinaga. Kampung Bangun Dolok ini merupakan bahagian dari kerajaan Op. Buttu Pasir.

Kampung Bangun Dolok, luasnya ± 3 ha yang terletak di Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun dengan batas-batas sebagai berikut :

1) Sebelah Utara berbatas dengan Tanah Negara

2) Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan

3) Sebelah Timur berbatas dengan Lajangan, Bangun Raja

4) Sebelah Barat berbatas dengan ladang Pinus.

Universitas Sumatera Utara

Kemudian, keturunan Op. Buttu Pasir lainnya, anak kedua dari Ama Ni Marhilap yaitu Siharajaon Sinaga (Jungil) ada membuka kampung (si Pukka Huta) bahagian dari kerajaan Op. Buttu Pasir, yaitu yang disebut Bangun Raja (sekarang merupakan anak kampung Bangun Dolok) karena Siharajaon adalah keturunan Op. Buttu Pasir, maka ianya berhak untuk membuka kampung di atas kerajaan Buttu Pasir dan Bangun Raja luasnya ± 15 ha yang terletak di Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun, dengan batas-batas sebagai berikut:

1) Sebelah Utara berbatas dengan Tanah Negara 2) Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan 3) Sebelah Timur berbatas dengan Jurang

4) Sebelah Barat berbatas dengan Bangun Dolok, Ladang Pinus.

Bahwa dibukanya kampung Bangun Dolok oleh Ama Ni Marhilap dan kampung Bangun Raja oleh Siharajaon maka kedua kampung tersebut mempunyai tanah tempat pengembalaan ternak (Lajangan) diatas kerajaan Buttu Pasir dan terletak di Bangun Dolok kelurahan Parapat kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun, dan sebahagian dari lajangan tersebut telah disewakan Raja Usia kepada Tuan Lemes dan Tuan Houninge :

Bahwa sisa lajangan seluas ± 3 ha yang masih dipergunakan oleh kedua kampung tersebut mempunyai batas-batas sebagai berikut:

1) Sebelah Utara berbatas dengan Bangun Dolok, Bangun Raja

2) Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan

3) Sebelah Timur berbatas dengan Jurang

4) Sebelah Barat berbatas dengan Bangun Dolok, Ladang Pinus.

Bahwa pada zaman sebelum kemerdekaan kampung Bangun Dolok telah didaftar kepada pemerintahan Belanda sebagai tanah milik dari Ama Ni Marhilap dan pendaftaran tersebut meliputi Bangun Dolok, Bangun Raja dan Lajangan sebagaimana disebutkan diatas;

Bahwa pada saat Kampung Bangun Dolok yang dibuka Ama Ni Marhilap terbakar maka Ama ni Marhilap pindah ke kampong Tiga Rihit dan meninggalkan kampung Bangun Dolok (anak kampung Bangun Dolok sekarang), ditinggalkan dalam keadaan kosong dan masyarakat yang ada di atas nya juga ikut berpindah dan sebahagian besar pindah ke Bangun Raja.

Bahwa saat Siharajaon yang membuka kampung Bangun Raja meninggal dunia dan tidak meningalkan keturunan, maka saudaranya yaitu bernama Marhilap

Universitas Sumatera Utara

dan Sijua yang juga anak dari Ama Ni Marhilap pindah dari kampung Tiga Rihit ke Bangun Raja untuk meneruskan kampung Bangun Raja.

Bahwa setelah Indonesia merdeka maka pemerintah Indonesia mendata kembali tanah-tanah yang ada di wilayah Indonesia dan ketiga tanah sebagaimana disebutkan di atas yaitu kampung Bangun Dolok, kampung Bangun Raja dan Lajangan di data kembali dan sejak saat itu dinamakan Kampung Bangun Dolok sampai sekarang.

Bahwa masyarakat yang menempati tanah tersebut haruslah seijin dan sepengetahuan oleh Ama Ni Marhilap dan mereka hanya diberikan ijin untuk menempati dan mengusahai dan bukannya memiliki, dan saat ini Tergugat I sd XXXVI (36 orang) Manatar Sinaga dkk mengusahai bagian-bagian tanah terperkara.

Bahwa di atas tanah terperkara Penggugat I (Amal Sinaga) dan II (Salamat Sinaga) ada mempunyai ladang, saudara Penggugat I dan II, yaitu M.Japaya Sinaga mempunyai ladang, Marben Sinaga mempunyai rumah dan ladang, Matio Sinaga mempunyai ladang dan Hemat Sinaga mempunyai ladang.

Bahwa di atas tanah terperkara Penggugat IV (Efendi Sinaga) ada mempunyai ladang dan saudara Penggugat IV yaitu Na Risma Br.Sirait mempunyai ladang, Marolop Sinaga mempunyai ladang dan Joden Sinaga mempunyai rumah dan ladang.

Bahwa keturunan langsung Ama Ni Marhilap yaitu cucunya bernama Hati Sinaga semasa hidupnya sempat menjabat sebagai Gamot Bangun Raja (sekarang merupakan anak kampung Bangun Dolok), hal tersebut terjadi karena Hati Sinaga merupakan keturunan langsung dari Pembuka Kampung (Sipukka Huta) Bangun Dolok.

Bahwa sepengetahuan Penggugat-penggugat, tanah terperkara merupakan satu kesatuan yang dibuka (dipukka) oleh Ama Ni Marhilap dan keturunannya dan tidak ada orang lain yang membuka (mamukka) kampung di tanah terperkara baik keturunan Op. Buttu Pasir yang lain selain dari Ama Ni Marhilap apalagi yang bukan keturunan Op. Buttu Pasir.

Majelis Hakim PN Simalungun, pada hari Selasa, tanggal 6 Juli 2004 yang terdiri dari B.Sitanggang, SH. (Ketua Majelis), Sunggul Simanuntak, SH, dan Barita Sinaga, SH. (Anggora), member pertimbangan, sebagai berikut :

Pertimbangan dan Putusan Hakim

a. Tentang gugatan Kurang Pihak (Exceptio Plurium Litis Consorsium) memberi

pertimbangan : meskipun tidak dengan secara eksplisit disebutkan bahwa objek

perkara adalah harta warisan namun jika dikaitkan dengan replik Penggugat-

penggugat, dengan tegas mengutip Yurisprudensi MARI No.439 K/Sip/1968,

tertanggal 8 Januari 1969, kaidah hukumnya menyebutkan : tuntutan tentang

Universitas Sumatera Utara

pengembalian barang warisan dari tangan pihak ketiga tidak perlu diajukan

oleh semua ahli waris

Oleh Pengadilan, ini tidak berlaku mutlak, namun hanya kasuistis. Penggugat mendalilkan objek perkara dibuka (dipukka oleh Amani Marhilap untuk Kampung Bangun Dolok, Siharajaon Sinaga (Jungil) untuk Kambung Bangun Raja, maka seharusnya Penggugat-penggugat harus mengikutsertakan seluruh ahli waris dari kedua orang tersebut.

b. Tentang Gugatan Kabur (Exceptio Obscuur Libelium)

Untuk dapat melaksanakan eksekusi menyangkut sebidang tanah, harus memenuhi persyaratan minimal, yaitu adanya luas (ukuran panjang lebar) dan batas objek eksekusi yang jelas. Penggugat hanya menyebut luas ± 3 ha (kampung Bangun Dolok, ± 15 ha (kampong Bangun Raya), ± 3 ha (Lajangan atau penggembalaan).

c. Tentang gugatan salah alamat

1) Tidak mengikutsertakan Rumah Ibadah (Gereja Methodist) dan Vihara

(Buddha) yang ada di atas objek perkara, sama halnya dengan tidak

mengikutsertakan semua ahli waris.

2) Bukan Lurah, yang seharusnya digugat melainkan Pemerintah

Kabupaten Simalungun (Bupati Simalungun) karena Lurah adalah

perangkat daerah (UU 22/99), harus diajukan ke PTUN dengan alasan

bahwa notulen rapat tersebut adalah surat berharga adalah pernyataan

yang keliru dan harus ditolak, karena objek gugatan di PTUN bukanlah

surat berharga, melainkan adalah Penetapan Tertulis

Dengan demikian menghukum Penggugat-penggugat membayar Ongkos Perkara. Putusan ini membuat Penggugat (Amani Marhilap) mengajukan banding.

(UU no 5/1986).

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan, pada hari Selasa, tanggal 5 April 2005 yang terdiri dari Salem Manalu, SH (Ketua), Jesminar Idroes,SH dan Soekardi,SH (anggota) memutuskan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Sipukka Huta, pembuka kampung adalah Ama Ni Marhilap dan keturunannya bernama Siharajaon Sinaga, karena itu keturunan langsungnya berhak atas tanah tersebut. Artinya Pengadilan Tinggi Medan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Simalungun di atas. Putusan Pengadilan Tinggi ini, yang memenangkan Amani Marhilap membuat Manatar Sinaga mengajukan kasasi. Majelis Hakim Agung, yang terdiri dari H.Abdul Kadir Mappong, SH., ketua muda yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai ketua Majelis, Dr.H.Abdurrahman,SH,MH dan H.M Zaharuddin Utama,SH (Anggora), Selasa, 26 Februari 2008

a. Bahwa posita gugatan Penggugat ternyata tidak menyebutkan secara jelas

tentang luas dan batas-batas objek sengketa sehingga akan menyulitkan eksekusi

di kemudian hari apabila telah ada putusan yang berkekuatan tetap atas objek

sengketa.

Pertimbangan dan Putusan Hakim

b. Masih terdapat beberapa orang yang menguasai bagian-bagian dari objek

sengketa tidak diikutsertakan sebagai Tergugat, sehingga tidak menutup

kemungkinan akan menghasilkan suatu pemeriksaan perkara yang tidak tuntas.

Atas pertimbangan itu, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan No.297/PDT/2004/Pengadilan Tinggi Medan/5 April 2005 (yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.37/Pdt.G/2003 tanggal 6 Juli 2004, sehingga memenangkan Manatar Sinaga dkk.

2. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang Kasus : Perbuatan Melawan Hukum Putusan Nomor : 26/Pdt/G/2006/Pengadilan Negeri Simalungun Pihak yang berperkara : Masyarakat Huta Bagasan, Desa Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun (85 orang) yang diwakili kuasa hukum Sitor Situmorang,SH,MH dkk melawan

a. PTPN IV

b. Pemerintah RI cq BPN RI cq BPN Sumatera Utara cq BPN Kabupaten

Simalungun

Isunya sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Huta Bagasan, Desa Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun (85 orang) yang diwakili kuasa hukum Advokat dari Law Office Sitor Situmorang dan partners sebagai Penggugat, melawan :

a. PT Perkebunan Nusantara IV (dahulu PTP VII) Medan, sebagai Tergugat I

b. Pemerintah RI BPN RI cq dan BPN Kanwil Propinsi Sumatera Utara cq

BPN Kabupaten Simalungun selanjutnya sebagai Tergugat II.

Objek gugatan adalah tanah Cadangan Perluasan Perkampungan dan Pertanian Huta Bagasan Nagori Silampuyang yang terletak di Huta Bagasan Desa Silampuyang Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara seluas 225 ha dengan batas-batas sebagai berikut431

Sebelah Utara : dimulai dari Patok I memanjang sampai Patok II sampai Patok III dibatasi dengan Tanah Sawah Pak Supar areal perkebunan Kelapa Sawit Afdeling II PTPN IV Jalan Desa Silampuyang dan Sungai Bah Arabi,

:

Sebelah Timur : dimulai dari Patok III sampai Patok IV dibatasi dengan Sungai Bah Arabi, areal perkebunan Kelapa Sawit Afdeling II PTPN IV areal Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III PTPN IV dan Sungai Bah Hilang (dikenal masyarakat Waliman sebagai daerah Sitahuak)

Sebelah Selatan : dimulai dari Patok IV sampai daerah irigasi (DAM) dibatasi dengan Sungai Bah Hilang, Tanah Pak Bero, Tanah Pak Untung, Tanah Pak Waliman, Tanah Pak Tamin, Tanah Pak Sairin, Tanah Pak Suratman, Tanah Pak Purba, Tanah Pak Amron Batubara, Tanah Pak Hermanto, Tanah Pak Saliwon, Tanah Pak Satia Girsang, Tanah Pak Ginting, Tanah Pak Mangatar Saragih, Tanah Pak Sarpen, Tanah Pak Salmon, Tanah Asam Damanik, Tanah Pak Kasiran, Tanah Alm. Pak Torik Situmorang, Tanah Pak Syarifuddin Manurung dan Tanah Pak Asam Damanik,

Sebelah Barat : dimulai dari daerah irigasi (DAM) sampai Patok I dibatasi dengan Tanah Alm. Pak Amat Lontong, Tanah Pak Zaiman, Tanah Pak Manan, Rumah Pak Jimin, Tanah Pak Narsim dan Tanah Pak Turino.

Selanjutnya disebut TANAH OBJEK GUGATAN432

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, pada hari Selasa, tanggal 13 Maret 2007 yang terdiri dari L.Sipayung,SH (ketua majelis), Mangapul Manalu,SH dan Muhammad Hibrian,SH (Hakim Anggota) memberi penimbangan sebagai berikut:

Pertimbangan dan Putusan Hakim

431 Putusan Pengadilan Tinggi No. 264/PDT/2007/PT-MDN, hal. 2 432 Putusan Nomor 26/Pdt/G/2006/P.N Sim, hal. 2

Universitas Sumatera Utara

a. Tentang tempat kedudukan hukum pengajuan gugatan berbeda dengan apa

dimaksud dalam surat kuasa yang telah dilegalisir.

Setelah mempelajari isi Surat Kuasa Khusus tanggal 23 Agustus 2006 tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud dalam penulisan Pengadilan Negeri Siantar tersebut adalah Pengadilan Negeri Simalungun, sebab dalam isi surat kuasa khusus tersebut disebutkan bahwa tanah terperkara terletak di Nagori Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, sesuai dengan asas berperkara terhadap barang tidak bergerak harus diajukan di Pengadilan Negeri dimana benda tersebut terletak (Asas forum rei sitae) Penulisan kata di Pengadilan Negeri Siantar, menurut kemat Majelis Hakim “clerical error” (kesalahan redaksional) yang tidak harus menimbulkan gugatan kabur atau batal, karena gugatan justru diajukan oleh para penggugat di Pengadilan Negeri Simalungun bukan di Pengadilan Negeri Siantar, sebab tidak ada Pengadilan Negeri yang bernama Siantar.

b. Tentang Gugatan Penggugat tidak jelas atau kabur (obscuur libel)

Pencantuman nama-nama Para Penggugat sebanyak 85 orang lengkap dengan tempat tinggal domisili sebagaimana dalam Surat Kuasa Khusus tanggal 23 Agustus 2006, Menurut Majelis Hakim sudah memenuhi syarat formal subjek hukum suatu gugatan, karena sepanjang pemeriksaan persidangan diperoleh fakta hukum bahwa 85 orang yang disebut dalam Surat Kuasa Khusus tersebut, benar bertempat tinggal di Huta Bagasan dan benar telah memberikan kuasa kepada kuasa Para Penggugat untuk mewakili kepentingan mereka dalam perkara perdata di persidangan dan tidak dapat kekeliruan subjek hukum (error in persona), dalam surat gugatan aquo. Posita gugatan dengan petitum gugatan tidak saling mendukung atau bertentangan, maka gugatan menjadi kabur (obscuur libel) sehingga oleh karenanya gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam Posita gugatan disebutkan atas hak kepemilikan Para Penggugat atas tanah objek perkara berdasarkan terjemahan SK dari daftar SK Gouvenour der Oost Kust van Sumatera No.273/B/E.3, 30 Agustus 1928, 234, 4 ha sedangkan dalam Petitum gugatan bukti-bukti Surat Penggugat P1 sampai dengan P24, tidak ada yang mendukung tentang adanya hak milik penggugat sebanyak 85 orang tersebut. Sehingga Majelis Hakim memutuskan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvanhelijke Voklaard) dan menghukumnya membayar biaya perkara. Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan yang terdiri dari

I.AJLuhulima,SH.MH (Ketua), Elsa Mutiara Napitupulu,SH dan Aspar Siagian,SH (Anggota), pada hari Senin, 11 Februari 2008 dengan Putusan No.264/PDT/2007/Pengadilan Tinggi Medan (19 September 2007) mengadili :

Universitas Sumatera Utara

menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tanggal 13 Maret 2007 No.26/Pdt.G/2006/Pengadilan Negeri Simalungun, karena putusannya sudah tepat dan benar menurut hukum. Dari kasus ini dapat diidentifikasi sengketa ini adalah : Awalnya sengketa hak ulayat (hak Partuanon Silampuyang) antara rakyat Silampuyang dengan Perkebunan. Peralihan hak-hak perkebunan asing dahulu kepada PTPN-IV. Faktor Penyebab Sengketa Pertanahan adalah : faktor historis, bahwa pada tahun 1975, DPR-GR berjanji untuk memberikan lahan perkebunan seluas 225 Ha kepada rakyat. Apakah ini sudah disetujui pihak perkebunan? Dimana lokasinya, kepada siapa dijanjikan DPR-GR itu, bagaimana realisasinya, siapa saja rakyat yang menerima janji tersebut ? Dalam Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) yang dibuat oleh Belanda dan pembesar-pembesar adat di Kerajaan Siantar, Bandar, dan Sidamanik, antara sekian banyak Partuanon yang hadir dalam pertemuan khusus itu, tercantum nama Tuan Djaingat/ Tuan van Silampuyang (Oktober 1907)433

Juga penyebabnya adalah faktor politik ;

Titik puncak penetrasi perkebunan asing ke daerah Simalungun adalah pada tanggal 1 Juli 1920 dimana pemerintah Hindia Belanda menetapkan Simalungun menjadi bagian dari Cultuurgebied Oostkust van Sumatra (Simalungun dimasukkan menjadi bagian dari daerah kultur perkebunan asing), yang berarti kepentingan perkebunan asing dinomorsatukan, sedang kepentingan rakyat raja-raja tradisional dinomorduakan. Inilah politik kolonial murni yang telah dialami oleh daerah dan rakyat Simalungun mulai tahun 1920 sampai tahun 1943 (masuknya pemerintahan militer Jepang ke Sumatera Timur). Upaya penyelesaiannya terhadap faktor historis : Terhadap penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan yang timbul karena faktor historis, terutama dengan adanya tuntutan rakyat (Silampuyang) untuk pengembalian seluruh tanah perkebunan yang diklaim sebagai tanah ulayatnya, secara yuridis, tidak dapat dipenuhi, karena unsur-unsur dari ada tidaknya hak ulayat sebagaimana diatur dalam PMNA/ Ka BPN Nomor 5 tahun 1999 yakni adanya subyek, obyek dan tatanan hukum, sama sekali tidak terpenuhi lagi, kecuali diterbitkan aturan hukum yang dapat mengakomodir tuntutan masyarakat/ organisasi adat Silampuyang tersebut. Demikian juga terhadap tuntutan masyarakat yang didasarkan pada alas hak berupa bukti garapan di masa lalu yang dituangkan baik dalam kartu penggarap maupun putusan pejabat terdahulu, tidak demikian saja dapat dipenuhi karena harus terlebih dahulu dilakukan penelusuran jejak sejarahnya dan juga dicari data pembandingnya. Apalagi dalam beberapa kasus banyak ditemukan indikasi pemalsuan dokumen dan selama ini tidak pernah dilakukan penelitian yang diikuti dengan tindakan tegas apabila terbukti dilakukan tindak pidana pemalsuan dokumen.

433 Djariaman Damanik, Berpikir, Op Cit, hal. 102.

Universitas Sumatera Utara

Terhadap penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan yang timbul karena faktor politik dilakukan dengan cara kompromi dengan mengakomodir kepentingan di luar kepentingan hukum, dengan maksud penyelesaian masalah tersebut dapat menciptakan stabilitas atau sekedar mengurangi benturan kepentingan dalam masyarakat pada masa itu, sehingga masalah pertanahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara tuntas, karena tujuan penyelesaian dimaksud bukan dalam rangka kepastian hukum dan menuntaskan permasalahan, tetapi hanya untuk tujuan “aman” di lingkungan kekuasaannya434

Penyelesaian masalah pertanahan yang dilakukan secara politik sering ditemukan dalam penanganan masalah pertanahan yang terjadi pada areal perkebunan, misalnya pemberian legalisasi kepada para penggarap di masa lalu telah menjadi pendorong dilakukannya penjarahan tanah perkebunan oleh masyarakat dengan berbagai alasan

. Misalnya saja Pemerintah mengakomodir tuntutan masyarakat yang menggunakan alas hak yang pernah diterbitkan Pemerintah di masa lalu tanpa melakukan penegakan hukum secara konsekwen, padahal ada indikasi kelompok masyarakat melakukan memanipulasi dokumen, namun tidak ada tindakan hukum secara tegas.

435, sehingga tidak jarang dengan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah melalui pendekatan politik dalam menyelesaikan masalah pertanahan justru menjadi pemicu terjadinya masalah pertanahan baru dan keadaan ketidakpastian hukum, selanjutnya dapat berdampak pada terganggunya stabilitas di Daerah bahkan stabilitas Nasional436

.

3. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Kebun Bangun (Kasus Tanjung Pinggir, klaim Pelepasan Eks HGU PTPN-III Kebun Bangun Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara).

KasusPutusan No.40/Pdt.G/2001/PN.Sim, Putusan No.199/PDT/2002/PT.MDN, Putusan MA RI No.515 K /Pdt/2003, diputuskan Kamis , 3 Februari 2005.

:

Sengketa tanah antara masyarakat penduduk Kecamatan Siantar Martoba Kota Pematang Siantar dengan PTPN –III Kebun Bangun.

Kasus Posisi

Dasar Permohonan Pelepasan

434 Muhammad Yamin, Paradigma Reformasi Peraturan Perundang-undangan Pertanahan/ Agraria, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Serta Kelembagaan, opini pada Harian Analisa Medan, terbitan tanggal 23 Maret 2005, hal. 6.

435 Junaidi D Kamal, Konflik Tanah Perkebunan Hambat Investasi Sumut, Harian Waspada Medan, 18 Januari 2005, hal. 14.

436 Terganggunya stabilitas nasional akibat adanya masalah pertanahan yang tidak diselesaikan melalui penegakan hukum dan terlalu dipengaruhi oleh faktor politik terbukti dengan turunnya Kabinet Wilopo Tahun 1953 yang disebabkan tidak tuntasnya masalah pembagian tanah garapan pada areal perkebunan di Sumatera Utara (Karl. J. Felzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 107.

Universitas Sumatera Utara

a. Tuntutan Pengembangan wilayah Kota Pematangsiantar sesuai dengan Visi dan

Misi Walikota Pematangsiantar Tahun 2006 -2010 untuk menjadikan Kota

Pematangsiantar sebagai Kota yang “Mandiri” menjadi prioritas yang mendesak

dalam rangka mengakomodir pesatnya pembangunan dalam berbagai sektor

melalui perluasan areal perkotaan.

b. Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar No.7 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar, bahwa arahan pemanfaatan areal PTPN-

III Kebun Bangun seluas ± 700 Ha yang berada di Kecamatan Siantar Martoba

Kota Pematangsiantar yaitu untuk Perumahan, Perkantoran dan jasa serta

Fasilitas Umum lainnya.

c. Bahwa areal PTPN-III Kebun Bangun yang seluas ± 700 Ha, dimana seluas

573,41 Ha tidak lagi diperpanjang HGU-nya berdasarkan Surat Keputusan

Kepala BPN No 102/HGU/BPN/2005 Tanggal 8 Juli 2005

Syarat Pelepasan Asset a. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN No 102/HGU/BPN/2005 Tanggal 8

Juli 2005 bahwa sebahagian yang termasuk dalam Rencana Umum Tata Ruang

Wilayah (RUTRW) Kota Pematangsiantar seluas 573,41 Ha tidak diperpanjang

lagi HGU-nya yang langsung dikuasai oleh negara dan selanjutnya tanah

tersebut dapat dimohon dengan sesuatu hak sesuai dengan RUTRW setempat.

(Hal ini telah diakomodir dengan dikeluarkannya Perda Kota Pematangsiantar

No.7 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar

Universitas Sumatera Utara

yang menegaskan bahwa peruntukan areal PTPN-lll kebun Bangun adalah untuk

Perumahan, Perkantoran dan jasa serta Fasilitas Umum lainnya)

b. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, setelah

memperoleh izin pelepasan asset dari menteri yang berwenang (Pada

DiktumKedua Keputusan BPN No 102/HGU/BPN/2005 Tanggal 8 Juli 2005)

(Hal ini telah diakomodir setelah Pemerintah Kota Pematangsiantar beberapa kali

menyurati Kementerian Negara BUMN dengan Nomor Surat : No 590/5974

Tanggal 6 Oktober 2005, No 591/6292 Tanggal 18 Oktober 2005, No

590/5431/VII/2006 Tanggal 25 Juli 2006,No 590/1082 Tanggal 14 Februari2007

dan NO 591/4246/Vll/2007.

Permasalahan Yang Dihadapi a. Tahun 1998 masyarakat menuntut pengembalian tanah mereka yang telah

dinasionalisasikan oleh negara dengan memasang spanduk-spanduk dan plang di

atas areal HGU, dan akibat hal tersebut Adm Kebun Bangun memohon bantuan

untuk pengamanan kepada Walikota dan Kapolres Simalungun, dan sebagai

tindak lanjutnya dibentuklah Tim Terpadu Propinsi.

b. Tahun 1999 dilakukanlah rapat terpadu di Kantor Gubernur oleh Tim Terpadu

dan oleh DPRD Kota Pematangsiantar juga melakukan dengar pendapat dengan

pihak Kebun Bangun.

c. Tahun 2000 dibentuk Tim Penanganan Masalah Pertanahan, dan Tahun 2001

oleh Tim Penanganan Masalah Pertanahan dibentuk lagi sub Tim l dan hasil

rapat Sub Tim l memberikan rekomendasi antara lain mengakomodir tuntutan

Universitas Sumatera Utara

masyarakat sepanjang memiliki alas hak dan bukti-bukti yang kuat atas tanah

tersebut. Namun masyarakat tidak menerima dan menuntut terus agar areal

dikembalikan kepada mereka, dan oleh Muspida Plus areal tersebut dinyatakan

stanvast. Setelah dinyatakan standvast masyarakat penggarap melakukan

perlawanan hukum dengan menuntut ke Pengadilan Tinggi.

d. Tahun 2002 Pemerintah Kota Pematangsiantar membentuk Sub Tim ll yang

melibatkan lebih banyak unsur masyarakat dengan hasil mengeluarkan

rekomendasi antara lain mengakomodir tuntutan masyarakat sepanjang memiliki

alas hak dan bukti-bukti yang kuat atas areal tersebut, namun masyarakat tetap

tidak menerima dan terus melakukan kegiatan penggarapan dan bahkan

menimbulkan konflik horizontal.

e. Tahun 2003 masyarakat penggarap melakukan banding ke Mahkamah Agung

dengan No. 515 K/Pdt/2003,dan oleh Mahkamah Agung pada Tanggal 3

Februari 2005 standvast yang dibuat oleh Muspida Plus dicabut. Dengan

dicabutnya standvast tersebut, masyarakat menggangap bahwa areal tersebut

menjadi hak mereka.

f. Tanggal 24 Juli 2007 Muspida Kota Pematangsiantar mengadakan pertemuan

dengan mengeluarkan kesimpulan bahwa masyarakat penggarap bukan sebagai

pemilik hak atas tanah; perlu diadakan sosialisasi kepada kelompok-kelompok

penggarap melalui mass media maupun pertemuan-pertemuan langsung, agar

Camat dan lurah tidak mensahkan atau menandatangani dokumen-dokumen yang

menyangkut tanah garapan sebelum ada putusan yang sah atas kepemilikan

Universitas Sumatera Utara

tanah; dan dihimbau kepada seluruh elemen masyarakat yang berada di areal

tanah garapan untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun pada hari Senin tanggal 18 Februari 2002 yang terdiri dari D.D Siahaan,SH (Ketua), R.Simorangkir,SH dan D.G Tobing,SH (Anggota) mengadili perkara perdata pada tingkat I antara Kasmen Sinaga dkk (26) melawan

Pertimbangan dan Putusan Hakim

a. Pemerintah RI cq Mendagri (Jakarta) cq Gubernur Sumatera Utara cq

Walikota Pematang Siantar

b. Pemerintah RI cq Mendagri (Jakarta) cq Gubernur Sumatera Utara cq

Walikota Pematang Siantar cq Sekda Pematang Siantar

c. Pemerintah Kodam I/BB dan lainnya

Mengabulkan sebagian gugatan Penggugat dan menyatakan standvaast terhadap objek sengketa yang terletak di blok 28,29,30,31,37,46 dan 47. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan yang terdiri dari Amir Syarifuddin Harahap,SH (Ketua), Achmad Dahlan,SH dan Roosdiana AR,SH (Anggota), tanggal 12 Juni 2002 menguatkan

Mahkamah Agung oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Prof.Dr.H.Muchsin,SH (Ketua), Prof.Dr.Valerine.Jl.Kriethoff, SH,MA dan Andar Purba,SH (Anggota).

putusan Pengadilan Negeri (Tingkat I) sebelumnya.

4. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat dan Sengketa tanah yang berkembang antara Masyarakat dengan perkebunan Bandar Betsy

Perkebunan Bandar Betsy dimasukkan dalam daerah PTPN-IV Gunung Pamela yang terletak antara Tebing Tinggi-Pematang Siantar sebelah kiri pasar hitam ±15 km dari pinggir jalan besar, sebelah kiri menuju Pematang Siantar. Perkebunan ini sekarang termasuk dalam PTPN-III. Rakyat yang mendiami kampung-kampung sekitar areal perkebunan sejak tahun 1947, sebagian besar terdiri dari suku Jawa yang merupakan basis dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat (PR) merupakan ormas dari PKI. Orang-orang ini telah menggarap areal perkebunan sejak zaman Jepang (1943). Setelah perkebunan Bandar Betsy dinasionalisasi pada tahun 1957, pihak PPN telah melakukan pembersihan areal perkebunan dari penggarap dengan sistem ganti kerugian atas dasar musyawarah, walaupun tanah itu telah

Universitas Sumatera Utara

diganti rugi oleh pihak PPN, namun anggota-anggota BTI/PR tidak mau mematuhi bahkan sering mengganggu petugas-petugas PPN yang sedang bekerja437

.

Upaya penyelesaiannya : Dalam penyelesaian sengketa pertanahan (hak atas tanah adat) dan sengketa

pertanahan di Kabupaten Simalungun mempunyai 3 (tiga) model438

a). Kepentingan adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber

sengketa. Artinya, dua pihak punya kebutuhan dan keinginan yang sama terhadap

objek yang disengketakan, misalnya tanah, barang, uang, jasa layanan, dan lain-

lain.

. Disebut

demikian karena model ini memperhatikan faktor kepentingan (interest), kekuasaan

(power), dan hak (right) yang menjadi sumber sengketa antara dua pihak. Yang

dimaksud dengan:

b). Kekuasaan adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber sengketa.

Artinya dua pihak punya kebutuhan dan keinginan yang sama untuk memperoleh

status dan peran sehingga memiliki hak dan kewenangan tertentu yang dominan.

c). Hak adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber sengketa.

Artinya, dua pihak punya kebutuhan dan keinginan yang sama untuk memperoleh

tuntutannya,karena masing-masing merasa bahwa tuntutan itu berkaitan dengan

kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab.

Model ini mengisyaratkan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa adalah memenuhi kebutuhan semua pihak yang bersengketa: kepentingan, kekuasan, dan hak. Oleh karena itu, menurut model ini, penyelesaian sengketa pun

437 Nas Sebayang dalam Syafruddin Kalo, Masyarakat dan Perkebunan, op cit, hal. 275. 438 Para pemerhati konflik juga mengajukan model tiga faktor, lihat Alo Liliweri, Prasangka & konflik,

komunikasi Lintas budaya Masyarakat Multikultur, (Yogyakarta, LKiS, 2005), hal. 309.

Universitas Sumatera Utara

harus dilakukan dengan metode dan teknik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan itu. Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa sebagaimana dianjurkan model ini tidaklah mudah. Ingat bahwa pemberian tanah, barang, uang, jasa, dalam rangka memenuhi kepentingan dua pihak ternyata bersifat sementara. Saat semua tanah, barang dan jasa telah diterima (kepentingan dipenuhi), maka sengketa merendah. Tapi jika persediaan tanah, barang dan jasa menipis, maka sengketa muncul kembali.

Pilihan penyelesaian sengketa berikutnya adalah memberikan besaran kekuasaan kepada pihak-pihak yang terlibat sengketa, sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelbagai riset menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa dengan memberikan kekuasaan kepada seorang karena dialah yang seharusnya memegang kekuasaan dan yang paling berwenang pun tidak menyelesaikan masalah. Betapa sering, setelah diberi kekuasaan, orang menyalahgunakan kekuasaan itu untuk menindas orang lain yang menjadi oposannya.

Pilihan penyelesaian sengketa lainnya dari model ini adalah memberikan hak kepada pihak-pihak yang terlibat sengketa, sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelbagai riset menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa dengan memberikan hak kepada seorang karena dialah yang seharusnya memegang hak, tidak menyelesaikan masalah. Betapa sering, setelah diberi hak, seseorang menyalahgunakan haknya untuk menindas orang lain yang menjadi oposannya.439

Menurut sejarah, Kabupaten Simalungun terdiri dari multi etnis yaitu: Batak Toba, Batak Mandailing, Jawa (yang asalnya dari kuli kontrak). Kembali ke masa kolonial, setelah tersebar berita tentang keadaan Simalungun di Tapanuli, yang dibawa petugas mission, beberapa waktu kemudian telah ada yang memberanikan diri untuk melihat keadaan daerah itu ada yang naik sampan dari Balige menuju Sungkean Samosir terus ke Prapat (ingat kasus Amani marhilap di Desa Bangun Dolok Kelurahan Prapat) dari Panahatan melewati hutan terus ke Tiga dolok dan sampai ke Siantar setelah 4 hari perjalanan. Sesudah melihat keadaan daerah tersebut

440

Pada awalnya orang Batak Toba tersebut membuka hutan yang dianggap subur dan lebih mudah dikerjakan untuk bahan pertanian. Padi dan ubi tanam di lahan kering yang baru dibuka yang dikenal dengan ‘’Juma’’. Lama-kelamaan juma itu berubah menjadi persawahan yang disebut ‘’ juma sabah’’

, orang-orang Batak Toba itu memutuskan untuk membuka perkampungan. Pekabar Injil melalui majalah mingguan Immanuel yang sangat tersebar dan menarik perhatian, terutama bagi keluarga yang tidak memilik lahan yang luas.

Pada tahun 1907, tujuh Raja Simalungun menandatangani ‘’korte verklaring’’.441 Penandatanganan perjanjian tersebut merupakan pengakuan terhadap kedaulatan Belanda disana dan sejak itulah perluasan perkebunan di Simalungun442

439 Ibid.

.

440 O.H.S Purba & Elvis F Purba, Migran Batak Toba, ,op.cit , hal. 5. 441,Anthony Reid, The Blood of the people: op cit., hal.101. 442 R. Willliam Liddle, Ethnicity, Party and National Integration: an Indonesian case study, (USA: Yale

University Press, 1970), hal. 25 dan lihat juga Karl Pelzer, Planters and Peasent, op cit, hal. 55

Universitas Sumatera Utara

Perkembangan perkebunan-perkebunan asing di Sumatera Timur lambat laun menimbulkan kesulitan, terutama dalam hal pangan. Untuk melipatgandakan hasil pertanian pangan, salah satu cara yang ditempuh oleh Belanda ialah mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat,443

Demikianlah akhirnya rakyat terus mengharapkan penyelesaian yang adil dalam kenyataan didambakannya itu menjadi putus asa untuk memperoleh penyelesaian hukum.

(ingat dengan kasus Silampuyang).

444 Diperparah lagi karena penyelesaian hukum selalu berpihak kepada kelompok tertentu yang tak pernah iba melihat nasib rakyat.445

Proses Pengadilan selalu menghasilkan penyelesaian yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang (a winner) dan yang lain sebagai yang kalah (a loser).

Rakyat akhirnya menunggu dan mengharapkan sampai turun ratu adil yang pernah di dengarnya dapat menyelesaikan masalah pertanahan.

Sebenarnya kondisi yang demikian itu memunculkan cara-cara yang dilakukan oleh pemilik modal perkebunan dalam rangka mempertahankan status perkebunannya. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh pihak pemilik modal agar masyarakat tidak melakukan tindakan meminta kembali hak garapan mereka antara lain:446

a. Pendekatan legal formal (formal administratif): Tanah-tanah yang disengketakan petani umumnya tidak memiliki kelengkapan surat menyurat sebagai bukti kepemilikan, sehingga tanah-tanah tersebut gampang dianggap sebagai tanah negara.

b. Pendekatan kepada tokoh masyarakat. Upaya mempertahankan tanah-tanah perkebunan dilakukan dengan cara pendekatan secara ‘’khusus’’ kepada tokoh-tokoh masyarakat, seperti ketua adat, tokoh agama, tokoh-tokoh formal desa, dan sebagainya, tanpa sepengetahuan rakyat setempat. Biasanya apabila tokoh-tokoh tersebut sudah ditaklukan proses penguasaan mutlak terhadap rakyat akan sangat mudah. Secara historis ini dapat dilihat dari konflik tanah masyarakat Silampuyang.

c. Pendekatan politik pecah belah. Politik pecah belah bukan hanya monopoli penguasa kolonialis yang sangat terkenal dengan politik devide et impera-nya, tetapi juga dipergunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menguasai tanah-tanah milik petani. Masyarakat atau petani pemilik tanah diadu domba dengan sesamanya, misalnya dengan mengadakan pendekatan-pendekatan tertentu kepada kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda kepentingan.

443 Tideman, Simeloengon: Het land der, Op Cit, hal.186-187. 444 Proses Pengadilan bersifat “adversonal” atau berlangsung atas dasar saling permusuhan atau

Pertikaian antara para pihak 445 M Yamin & Rahim, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press,

2004), hal. 192. 446 Kutipan tersebut dikembangkan dari pandangan Bachriadi, Dalam Jurnal penelitian dinamika Petani,

No. 35 tahun X edisi Juli-Agustus 1999, PSDAL-LP3ES.

Universitas Sumatera Utara

d. Pendekatan manipulasi, pemalsuan dan diskriminasi. Proses manipulatif yang sering dipergunakan untuk menguasai tanah-tanah rakyat atau petani, misalnya dengan menerbitkan akta/sertifikat atas nama pejabat tertentu,seperti yang terjadi di Bangun Dolok.

e. Pendekatan isolasi wilayah dan akses. Secara geografis biasanya tanah-tanah petani yang akan dikuasai diisolasi, misalnya dengan cara menutup jalan menuju lokasi. Sehingga secara geografis wilayah tersebut sulit ditembus, yang mengakibatkan akses masyarakat atau petani ke dunia luar terputus.

f. Pendekatan dengan menggunakan cap buruk atau stigma-stigma. Cara ini dialamatkan kepada masyarakat yang tanahnya telah dikuasai. Misalnya, masyarakat yang menuntut hak garapan dianggap pengikut aliran sesat, pengacau keamanan,anti pembangunan. Orang yang anti pembangunan dianngap anti Pancasila , dan itu berarti orang tersebut dianggap PKI. Cap buruk lainnya misalnya, penyerobot tanah negara, penghuni liar, dan sebagainya. Rakyat atau petani yang diberi stigma-stigma seperti itu akan merasa ketakutan, dan dengan begitu akan lebih mudah dilakukan penguasaan lahan perkebunan tersebut. (Kasus Bandar Betsy).

Bahwa dari berbagai permasalahan tersebut tak satupun yang mendapat

penyelesaian yang tuntas bahkan sering penyelesaian yang dilakukan tidak dilaksanakan dengan penyelesaian hukum atau sering hanya diselesaikan secara politis, bahkan dengan penyelesaian yang sifatnya sementara saja, sehingga tetap menjadi atau menyimpan masalah.447 Ini dapat dibuktikan dari beberapa kasus konflik tanah yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya yang sampai hari ini belumlah tuntas meskipun sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Begitu pula yang menyangkut konflik (sengketa) hak atas tanah perkebunan seperti yang terjadi di Perkebunan Bandar Betsy. Ini diakibatkan oleh sejumlah ketimpangan dan tidak keselarasan. Ketimpangan itu antara lain: ketimpangan soal sturuktur kepemilikan tanah, ketimpangan dalam penggunaan tanah dan ketimpangan dalam persepsi serta konsepsi mengenai kepemilikan tanah.448

447 M. Yamin & Abd. Rahim Lubis, Beberapa masalah aktual Hukum agraria, Loc,Cit. 448 Sholih Mu’adi, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan, (Jakarta:Prestasi Pustaka

Publisher, 2010), hal. 48.

Universitas Sumatera Utara

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. a. Tentang status hukum hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional. Sebenarnya hak atas tanah adat sudah ada sejak dahulu kala. Ini dapat dibuktikan dari 19 (sembilan belas) lingkaran hukum oleh van Vollenhoven yang disebutnya “rechtskring”, salah satunya Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias. Batak (Tapanuli, Karo, Simalungun). Tapanuli mengenal hak ulayat (golat) secara otomatis Simalungun pastilah mengenal hak ulayat (hak Partuanon). Karena etnis Simalungun yang berdiam di Kabupaten Simalungun maupun di daerah-daerah lain, memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Simalungun sebagai etnis yang paling tua di daerah Sumatera Timur, sudah ada sejak abad ke-7, bahkan sebelumnya. Sebagai etnis yang sudah lebih kurang 50 (lima puluh) generasi mendiami kabupaten Simalungun, etnis Simalungun ini masih memiliki hak-hak atas tanah adat (yang dipersamakan dengan tanah). Ini dapat dibuktikan di beberapa daerah di kabupaten Simalungun masih ada : 1) Bong-bongan sahuta (kolam ikan bersama) di Huta Kampung Baru,

desa Dolog Huluan, kecamatan Raya dan dusun Baringin Raya, kelurahan Pematang Raya dan merupakan milik “huta”

2) Parmahanan (tempat penggembalaan kuda dan kerbau) Damak Nagori Siporkas kecamatan Raya, kabupaten Simalungun, milik “marga” (Saragih Garingging).

3) Parjalangan Sahuta (hampir sama dengan Parmahanan), bedanya parmahanan lebih terawat, mempunyai sistem, sedangkan dalam parjalangan sahuta tidak terawat, bersifat bebas. Ini juga adalah milik “huta”.

4) Parsinumbahan : tempat penyembahan masyarakat adat Simalungun sebelum adanya / masuknya “agama”, di dalammya terdapat “pamelean” yaitu patung-patung yang disembah. Ini terdapat di Siloting, tidak ada yang berani masuk (karena takut) kecuali datu

Universitas Sumatera Utara

(dukun, paranormal), karena diyakini bersifat magisch. Parsinumbahan adalah milik Marga (Saragih Garingging).

5) Paridian ni Raja : tempat pemandian Raja (Tuan Rondahaim Saragih Garingging), pada zaman doeloe. Di sini dikenal umbul ni bah (mata air), dalan ni bah (jalan ke tempat pemandian), pinggir ni bah : tepian sungai. Terdapat 2 (dua) tempat untuk laki-laki dan perempuan. Paridian ni Raja ini terdapat di Aman Raya, kelurahan Pamatang Raya, kecamatan Raya. Ini adalah milik “marga” (Saragih Garingging) & keturunan Raja Rondahaim (na bajan).

6) Losung / lesung adalah alat untuk menumbuk padi, kopi, bumbu-bumbu jika ada pesta. Losung ini dibentuk / dipahat dari kayu pokki, mempunyai kepala layaknya seperti manusia. Losung ini juga ada 2 (dua) jenis : losung yang berjenis kelamin jantan dan betina, secara fisik bedanya dapat dilihat dari bentuk telinganya, losung jantan, telinganya lebih panjang daripada losung betina, sedangkan mata dan hidungnya sama. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, losung ini mempunyai nilai magisch, ini terdapat di huta Sambual desa Nagori Raya Bayu, dan merupakan milik “huta”.

Nagori adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dalam

Sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Huta adalah

bagian wilayah dalam Nagori yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan

Pemerintahan Nagori. Maujana Nagori adalah Badan Perwakilan yang terdiri

dari pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Nagori yang berfungsi mengayomi

adat-istiadat, membuat peraturan Nagori, menampung dan menyalurkan aspirasi

masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

Pemerintahan Nagori. Hak Partuanon (semacam hak ulayat) di Simalungun

masih eksis sesuai kriteria yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) PMNA/KBPN

No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Hukum Adat, dimana etnis Simalungun sebagai si Pukkah Huta

Pakon si Mada Talun (Pembuka Kampung dan Pemilik Tanah Adat) tetap

mempunyai Hak Atas Tanah Adat Simalungun karena :

1) Masih terdapat masyarakat hukum adat Simalungun, sebagai subjek hak

ulayat, yang memegang teguh, mentaati dan terikat pada Hukum Adat

Simalungun dalam kehidupannya sehari-hari, Hukum Adat sebagai Living

Law, masih diberlakukan dalam masyarakat Simalungun sebagaimana dimuat

dalam buku “Adatni Simalungun” yang diterbitkan oleh Presidium Partuha

Maujana Simalungun tahun 2008, sebagai Lembaga Pemangku adat dan

cendekiawan Simalungun tertinggi.

2) Masih terdapat tanah ulayat atau sebutan lain yang sejenis yang di Simalungun

disebut Galunggung, Bombongan, Parmahanan, Juma na Bolak, Juma Sabah,

Talun dan lain-lain. Itu semua masih ada dan tersebar secara sporadis di

Nagori-nagori maupun Huta-huta di Kabupaten Simalungun.

3) Penggunaan tanah-tanah adat di Simalungun itu diatur oleh pengetua-pengetua

adat dari masyarakat hukum adat setempat dan tergabung dalam Perkumpulan

Partuha Maujana Simalungun (PMS), di mana pengaturan itu bertujuan

antara lain untuk menjaga kelestarian lingkungan demi kesejahteraan bersama

masyarakat hukum adat tersebut.

b. Beberapa kritikan terhadap Hak Atas Tanah Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional, dalam hal ini kritikan juga terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang sumber daya agraria (UU Sektoral) :

1). Kritikan terhadap UUD RI Tahun 1945

Universitas Sumatera Utara

Meskipun pada tanggal 18 Agustus 2000, Pasal 18 B ayat (2) Bab VI UUD RI Tahun 1945 (sudah diamandemen) yang menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, namun perubahan-perubahan ini belum memberi arti apa-apa bagi masyarakat, karena secara empiris, dalam berbagai sengketa sumber daya agraria, masyarakat selalu kalah. Dan Negara hanya mengakui dan menghormati hak ulayat dan subjek hak ulayat dengan disertai persyaratan dan sama sekali tidak menyinggung objek hak ulayat, yaitu tanah ulayat / hutan ulayat.

2). Kritikan terhadap UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) Sistem pendaftaran tanah sebagai sub sistem hukum tanah nasional mengandung kelemahan dikarenakan : (a) Belum ada Undang-undang dan atau Peraturan Pemerintah yang

diamanatkan UUPA yang mengatur tentang hak milik atas tanah dan terjadinya hak milik menurut hukum adat, serta jenis-jenis tanah hak milik adat.

(b) Terjadi konflik nilai dasar (norma) antara nilai fundamental (Pasal 56 UUPA tentang eksistensi hukum adat dalam UUPA) dengan nilai implementatif (konversi tanah-tanah bekas adat), berimplikasi kepada penyelenggaraan pendaftaran tanah.

(c) Terjadi kesenjangan substansi akibat banyaknya jenis dan sebutan tanah hak milik menurut adat di masing-masing daerah wilayah adat.

(d) Secara yuridis dogmatik, sistem publikasi negatif mengandung kelemahan karena “sertifikat” menghasilkan kepastian hukum yang relatif, sebab masih terbuka untuk dibatalkan jika ada pihak lain dapat membuktikan sebagai pemilik sebenarnya.

UUPA memang mengakui hak ulayat dengan pembatasan mengenai eksistensi dan pelaksanaannya, tetapi UUPA tidak memberi penjelasan mengenai kriteria hak ulayat.

Pasal 3 UUPA hanya mengakui hak ulayat dan subjek hak ulayat dengan disertai persyaratan yang ketat. Pasal ini juga sama sekali tidak menyinggung objek hak ulayat. Bahkan dalam Penjelasan Umum Nomor II/3 dapat disimpulkan tanah ulayat dinyatakan sebagai tanah Negara.

3). Kritikan terhadap UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUPK) Pasal 5 UU No.41 Tahun 1999 menyatakan, hutan adat / hutan ulayat adalah hutan negara. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap hutan ulayat yang merupakan objek hak ulayat. Pengingkaran terhadap objek hak ulayat ini, menjadi salah satu sebab timbulnya sengketa agraria yang

Universitas Sumatera Utara

berkepanjangan. Oleh karena itu, agar sengketa agraria dapat dikurangi, maka hutan ulayat harus diakui sebagai objek hak ulayat dan tidak dinyatakan sebagai hutan Negara.

Dinyatakan, bahwa Pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya, namun UUPK tidak member solusi mengenai penyelesaian masalah hilangnya hak masyarakat hukum adat, yang hutan ulayatnya selama masa orde baru diberikan kepada pengusaha pemegang HPH, karena itu areal hutan yang sedang dikerjakan, pelaksanaan hak rakyat memungut hasil hutan dibekukan, kenyataannya “dihapuskan”. 4) Kritikan terhadap UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara (UU Minerba) sebagai pengganti UU No.11 Tahun 1967, UU ini tak ubah seperti ular berganti kulit. UU ini dinilai sarat dengan kepentingan melindungi perusahaan tambang, pemegang Kontrak Karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, sehingga makin melanggengkan sistem keruk cepat dan jual murah bahan tambang Indonesia.

Ada 6 (enam) masalah yang utama dalam Undang-undang Minerba : (a) Tidak ada peluang untuk melakukan kaji ulang dan negosiasi

terhadap Kontrak Karya (b) Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara ini menguatkan ego sentral, melalui lahirnya Wilayah Pertambangan

(c) Undang-undang ini tidak menempatkan pentingnya menjaga dan melindungi perairan pesisir laut

(d) Undang-undang ini menggunakan pendekatan administratif dalam proses perijinannya sehingga tidak efektif untuk menangani dampak pencemaran lingkungan\

(e) Mempercepat kerusakan sarana dan prasarana umum karena Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membolehkan untuk dimanfaatkan menjadi Sarana Pertambangan

(f) Terjadi Kontradiktif dengan Undang-undang Lingkungan Hidup yang mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan

5). Kritikan terhadap UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Universitas Sumatera Utara

Ada 4 (empat) variable yang sangat menentukan guna dipakai untuk melihat keberhasilan dari proyek privatisasi air, yaitu : (a) Jumlah pelanggaran (bertambah atau tidak) (b) Kualitas air (membaik atau memburuk) (c) Sumbangan terhadap PAD (bertambah atau membebani) (d) Tarif (e) Mutu pelayanan (Memuaskan atau menjengkelkan) Kemudian dapat dilihat dari dampak negatif antara lain : (1) Konflik kepentingan penggunaan air (antar petani, antara petani

dengan perusahaan, antara petani dengan pemerintah) (2) Penurunan kualitas air sungai dari kelimpahan biota air (3) Perubahan pola tanam. Pengeluaran tambahan akibat pompanisasi

karena air irigasi tidak ada atau tidak cukup. Tidak ada tambahan pendapatan masyarakat atau pendapatan desa.

(4) Kecemburuan sosial terhadap masyarakat tertentu (hulu) 6) Kritikan terhadap UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Berdasarkan asas lex specialis derogate lex generalis (asas yang menyatakan bahwa ketentuan khusus mengalahkan ketentuan yang umum), UUPA akan dikalahkan oleh UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan itu, kemudian asas lex posteriori derogate lex priori (Asas yang menyatakan ketentuan yang baru akan mengalahkan ketentuan yang lama), UUPA juga akan dikalahkan oleh UU Perkebunan, karena UU lebih dulu lahir (1960) sedangkan UU Perkebunan lahir tahun 2004. Pasal 21 UUP mengantung ketidakpastian hukum, apakah yakin dengan tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya perkebunan-perkebunan disebut tindakan lainnya tentunya sangat luas dan tidak terbatas.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa hak atas tanah adat di

Kabupaten Simalungun secara general sebagai berikut :

a. Administrasi pertanahan di masa lalu yang kurang tertib. Penguasaan &

kepemilikan tanah di masa lalu (hak atas tanah adat) seringkali tidak

Universitas Sumatera Utara

didukung bukti-bukti administrasi, sehingga data fisiknya berbeda dengan

data administrasi & data yuridisnya.

b. Peraturan perundang-undangan yang saling tumpang-tindih sering terlihat

saling bertentangan, sehingga menimbulkan konflik

c. Penetapan hukum pertanahan yang kurang konsisten, timbul konflik

kewenangan/kepentingan. Tidak ada supremasi hukum (keterbukaan &

keberpihakan pada kepentingan rakyat).

d. Law enforcement belum dilaksanakan secara konsekwen. Untuk

menghindari merajarelanya pendudukan tanah, pemalsuan surat-surat bukti

penguasaan tanah, penyerobotan tanah perkebunan, dan sebagainya.

Sengketa pertanahan terjadi sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga sekarang ini. Pada jaman penjajahan, konflik pertanahan terjadi karena perbedaan kepentingan antara penjajah dengan kaum yang dijajah (pribumi), sehingga berimbas pada sengketa hukum, yaitu dengan berlakunya dualisme hukum pertanahan. Akan tetapi di era kemerdekaan, reformasi sekarang ini, sengketa pertanahan muncul karena pertentangan kepentingan masyarakat dengan perkebunan (Kasus Bandar Betsy), masyarakat dengan Pemerintah (Kasus Tanjung Pinggir), masyarakat dengan masyarakat (Kasus Amani Marhilap dan kawan-kawan), perorangan dan kelompok masyarakat, kepentingan umum dan kepentingan perorangan dan kelompok masyarakat. Artinya bila dikategorikan kepada :

1) Faktor Hukum :

(a) Aturan hukum, dalam hal ini terjadi sengketa disebabkan aturan

kurang jelas, bahkan karena banyak aturan hukum yang sudah tidak

ditaati oleh masyarakat.

(b) Pemahaman hukum masyarakat, akhir-akhir ini terhadap hak ulayat

dan masyarakat adat semakin meningkat, sehingga masyarakat

Universitas Sumatera Utara

menuntut pengembalian hak-hak mereka terkadang dengan cara yang

frontal, sehingga menimbulkan sengketa.

2) Faktor non-Hukum

(a) Ekonomi

(b) Pendidikan

(c) Budaya Masyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat secara

rigid sehingga dapat memicu sengketa tanah.

b. Faktor konflik yang lain terkait dengan satu ideologi yang memandu integrasi ekonomi secara global, yakni ideologi fundamentalisme pasar, yakni satu ideologi yang selama ini telah mendorong banyak negara berkembang jatuh dalam jurang kebangkrutan ekonomi dan mengalami kerusakan sosial dan ekologis yang sulit untuk terpulihkan, contoh Kabupaten Simalungun, akibat konversi teh menjadi sawit. Tragisnya lagi negara-negara yang telah mengalami kebangkrutan ekonomi, kerusakan sosial dan ekologis, termasuk Indonesia, Kabupaten Simalungun khususnya,seperti desa Nagori Bah Bolon Tongah, Nagori Simpang Raya, Nagori Janggar Leto, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, setiap hujan deras mengalami banjir parah, yang sebelumnya, ini tidak pernah terjadi, tidak berusaha ke luar dari jebakan-jebakan ekonomi yang disarankan oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), sebagai pelaku utama dari ideologi fundamentalisme pasar.

c. Faktor penafsiran yang salah terhadap konsep otonomi daerah di tingkat komunitas telah menciptakan elit-elit kampung, Otonomi Daerah seharusnya memperhatikan demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah, bukan penguasa yang kuat terhadap yang lemah. Aparatur penegak hukum sendiri tidak memahami hukum dan peraturan antara lain hukum pertanahan.

d. Faktor sejarah, sejarah penguasaan tanah oleh perusahaan perkebunan yang

terjadi di Kabupaten Simalungun menorehkan sejarah kelam dalam kehidupan

petani penggarap tanah. Adanya migrasi yang terlalu besar mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara

masyarakat menjadi “landhonger” (lapar/ haus akan tanah). Beberapa

periodisasi sejarah menunjukan waktu dan proses pengambilan tanah dari

petani berbeda-beda. 3 Masa itu adalah setelah keluarnya Agrarische Wet,

masa nasionalisasi, dan masa setelah 1965. Beragam kondisi turut

menyebabkan berhasil tidaknya pengambilalihan kembali tanah-tanah garapan

petani dari perkebunan. Faktor-faktor itu adalah gerakan petani yang

terorganisir sistem pengelolaan perkebunan, dan kondisi politik lokal.

Berikut ini kronologis Masyarakat Hukum Adat Simalungun secara historis

1) Pra Kemerdekaan :

a) Masa Kerajaan Mardua

b) Masa Kerajaan Maropat

c) Masa Kerajaan Marpitu

2) Pasca Kemerdekaan :

Setelah Indonesia merdeka, maka terjadilah peralihan hak atas perkebunan

di Simalungun, yang sebelumnya diusahai oleh pekebun Eropa (Belanda),

lalu beralih kepada Negara. Artinya, bahwa yang beralih adalah hak para

pekebun asing kepada pemerintah Indonesia (P to G) yang sekarang

dikuasai oleh PT. Perkebunan Negara yang ebrada di bawah Kementrian

Badan Usaha Milik Negara RI. Sedangkan tanahnya (yang berasal dari

tanah leluhur dan merupakan Tanah ulayat Simalungun) tetap menjadi tanah

hak-hak tradisional etnis Simalungun. Sekarang tanah ulayat yang dijadikan

perkebunan tersebut telah beralih menjadi tanah Hak Guna Usaha yang

Universitas Sumatera Utara

diberikan oleh Negara kepada pihak perkebunan. Namun demikian,

kewajiban-kewajiban ketika pekebun Belanda membayar hasil tanah atau

“uang sewa” kepada masyarakat Simalungun melalui pemimpinnya,

seharusnya pembayaran tersebut tetap diteruskan oleh Pemerintah kepada

etnis Simalungun (G to P) setelah Indonesia merdeka, baik dalam bentuk

uang dan atau bentuk kompensasi lain secara adil dan bijaksana.

Pembayaran tersebut sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap

etnis Simalungun.

3. Upaya yang dilakukan dalam hal menyelesaikan sengketa hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun adalah : a. Penyelesaian di Luar Pengadilan

1) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Simalungun telah menangani sengketa pertanahan menurut Peraturan Kepala BPN No. 3 tahun 2011 yang meliputi : a) Pelayanan pengaduan dan informasi kasus pertanahan

- diajukan secara tertulis - dicatat/ registrasi dan diberikan Surat Tanda Penerimaan Pengaduan

b) Pengkajian Kasus Pertanahan - pengkajian akar dan riwayat sengketa - dilakukan telaahan hukum berdasarkan data yuridis dan data fisik

c) Penanganan kasus pertanahan - penelitian/ pengolahan data pengaduan - penelitian lapangan - penyelenggaraan gelar kasus - penyusunan risalah pengolahan data - penyiapan berita acara - monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa

2). Camat maupun lurah sebagai mediator. Dalam penyelesaian sengketa tanah di wilayah masing-masing, bertindak selaku mediator adalah lurah/camat. Di Nagori Sait Buttu Saribu, sebuah desa di Kecamatan Pamatang Sidamanik Kabupaten Simalungun, terdapat beberapa sengketa tanah (termasuk menyangkut hak atas tanah adat) yang diselesaikan menurut musyawarah mufakat, bahkan ada kasus yang sudah diputuskan PN Simalungun diselesaikan kembali secara musyawarah mufakat dan Camat Kecamatan Pematang Sidamanik telah menyelesaikan

Universitas Sumatera Utara

Sengketa Tanah di Kelurahan/Nagori Sipolha Horison (ibukota kecamatan), menurut Hukum Adat Simalungun yang harus melibatkan pengetua adat.

b. Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan Beberapa sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten Simalungun melibatkan masyarakat (adat) versus masyarakat (adat) seperti kasus yang terjadi di Desa Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun, masyarakat (adat) versus Perusahaan Perkebunan (kasus sengketa tanah Silampuyang), masyarakat versus Perusahaan Perkebunan dan Pemerintahan (Sengketa Pertanahan Bandar Betsy), masyarakat dengan Pemerintah (Kasus Tanjung Pinggir). Meskipun sudah ada putusan Mahkamah Agung (Seperti dalam kasus di Kelurahan Parapat) namun eksekusinya dalam praktek tidak dapat dilaksanakan.

B. Saran 1. a. Mengenai status hukum Hak Atas Tanah Adat di kabupaten Simalungun

yang masih “eksis”, hendaknya keberadaannya dipertahankan oleh huta maupun marga, oleh karenanya perlu dibentuk “Pusat Kajian Simalungun”, sebagai wadah/forum untuk berdiskusi secara ilmiah maupun non-ilmiah, mengumpulkan data (buku, jurnal, laporan, dan lain-lain tentang historis Simalungun yang selama ini berserak-serak). Badan ini terdiri dari stakeholder yaitu unsur Pemerintah (Pemerintah Kabupaten Simalungun), DPRD, Perguruan Tinggi (Akademisi), Masyarakat Adat Setempat, Pengetua Adat (Pangatua, keturunan raja Marpitu), LSM Pemerhati Rakyat, dan unsur-unsur yang terkait, yang bersifat independen sebagai penengah (partongah) atau semacam “arbitrary council” (dewan penengah) yang juga berfungsi menengahi semua persoalan mengenai tanah di Simalungun, seperti antara rakyat pedesaan dan pihak perkebunan, dan lain-lain.

b. Mengenai kritikan tentang status Hak Atas Tanah Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional (UU Sektoral tentang Sumber Daya Agraria) maka dalam beberapa putusan Mahkamah Agung, asas rechtverwerking ditetapkan, namun dalam realitas hukum umumnya diperlakukan secara fakultatief oleh hakim dalam proses peradilan. dengan demikian, untuk mengatasi kepastian hukum sebagai konsekuensi penggunaan sistem negatif, maka lembaga rechtverwerking perlu disertai title insurance sehingga suatu sistem asuransi pendaftaran hak, mampu memenuhi rasa keadilan dengan menyelaraskan kepentingan pemilik tanah terdaftar dengan pemilik tanah sebenarnya.

2. Setelah mengetahui tentang faktor-faktor penyebab sengketa Hak Atas Tanah Adat di kabupaten Simalungun, maka perlu : Membentuk peraturan daerah tentang Hak Ulayat (hak partuanon) di Kabupaten Simalungun sekaligus a. Melakukan perubahan kebijakan dan hukum positif (Law Reform) tentang

pengelolaan sumber daya alam yang lebih mengakomodir kelembagaan dan

Universitas Sumatera Utara

hukum masyarakat adat, sehingga diharapkan akan lahirlah hukum yang substansinya menyentuh “legal emphaty” masyarakat setempat

b. Bahwa perlu meninjau kembali hukum lokal serta memposisikannya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani

3. Untuk mengusahakan penciptaan infrastruktur produksi pengetahuan yang dapat membantu memahami kondisi struktur agraria, sengketa agraria, kerusakan lingkungan yang terjadi. Juga memahami pengetahuan dan manajemen kelola sumber daya alam oleh masyarakat, maka perlu usaha dari para akademisi dan peneliti, pemikir yang berada di Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga penelitian maupun organisasi non- pemerintah. Sulit dibayangkan suatu desain pelaksanaan reforma agraria itu tanpa adanya pengetahuan interdisipliner yang seharusnya dimiliki oleh semaua pihak dan tanpa kelompok intelektual yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor critical mass).

4. Dalam upaya menyelesaikan sengketa Hak Atas Tanah Adat di kabupaten Simalungun, perlu : a. Mengambil langkah dan tindakan nyata untuk menghentikan segala

bentuk penggusuran yang menghancurkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

b. Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan di Kabupaten Simalungun yang sampai saat ini tidak pernah selesai, maka disarankan pada Pemerintah untuk melakukan reformasi agraria, salah satunya sesuai dengan Sila II (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan IV (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratanp/perwakilan) Pancasila, perlu diterbitkan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (yang memang sudah dirancangkan/ RUU oleh Badan Legislatif maupun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA Buku : Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Agraria di

Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1994. Ali, M.Chaidir dan P.Purbacaraka Disiplin Ilmu Hukum, Bandung: P.T Citra Aditya,

1990, Anthony Reid, The Blood of the people: Revolution and the end of traditional rule in

Northern Sumatera, (Kuala Lumpur: Oxpord University Press. 1979). Anderson, John, Mission to the East Cost of Sumatera, Kuala Lumpur: Oxford in

Asia, 1971. Aun, Wu Min, The Malaysian Legal System, Malaysia : Selangor Darul Eksan, 1990. Austin, John, The Province of Yurisprudence Determined and uses of the study of

Yurisprudence, 3rd, London : Weidenfeld and Nicholson, 1968. ___________, Lecture on Yurisprudence or the fhilosophy of positive law, London:

John Murray, 1875. Bachriadi, Dianto, Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Lembaga Peradilan

yang Independen, dalam Usulan Revisi UUPA, Jakarta : KPHN-KPA, 1998. Barus, Utari Maharani, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama Dengan

Hukum Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah dan Nasabahnya di Indonesia, Medan: SPS.USU,2006.

Basuki, Sunaryo, Diktat Hukum Agraria, Jilid 1, Jakarta : Universitas Indonesia,

2005. Bekker, J.C, JMT Labuschagne, LP Vorster, Introduction to legal Pluralism in South

Africa, London: Butter Worths,2003. Bertalanffly, Ludwig Van, General System Theory, New York : Braziller, 1972. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, A Bridged Sixt Edition, St. Paul

Minn : West Publishing, 1991. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Terjemahan B. Arief Sidharta, Bandung: Citra

Aditya Bakti, cetakan ketiga, 1996.

Universitas Sumatera Utara

Damanik, Djariaman, Berpikir Multidisiplin Belajar dari Sejarah, [s.l] : [s.n], 2006. Damanik, Jahutar, Jalannya Hukum Adat Simalungun, Medan: PD Aslan, 1974. Danusaputro,St.Munadjat, Hukum Lingkungan Buku V: Sektoral jilid 5 (Dalam

Pencemaran Lingkungan) Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Bandung: Bina Cipta, cetakan kelima,1986.

Edwin, Emoisse, Landreform in China and North Vietnam, London : The University

of North Carolina Press, 1983. Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi;

Mediasi; Konsiliasi dan Arbitrase, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Enthoven, Het Adatrecht der Inlanders iin de Jurisprudentie, Bandung: [s.n], 1935. Faucault, Michael, What is an author ? Textual Strategies : Perspectives in Post

Structuralis Criticsm, London : Methuen, 1979. Felzer,J.Karl, Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani,

Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1991. Friedmann, Legal Theory, New York : Columbia University, 1967. , American Law, New York : W.W Norton and Company, 1984. Groeneveltd (ed) W.P, Historical Notes on Indonesia and Malay: Complied from

Chinese Sources, Jakarta: Bharata, 1960. Halim, Ridwan, Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta:Ghalia

Indonesia, 1985. Harsono, Boedi, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam

Hubungannya dengan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, Jakarta:Universitas Trisakti,2002.

____________, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2003. Harsono, Soni, Pokok-pokok Kebijaksanaan Bidang Pertanahan dalam Pembangunan

Nasional, Analisis CSIS, [s.l] : [s.n], [s.a].

Universitas Sumatera Utara

Hart, HLA, The Concept of Law, Oxford : Clarendon Press, 1961. Hartkamp, Arthur (ed.), Towards an European Civil Code London: Kluwer Law

International, 1998. Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:

Alumni,1991. Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tinta Mas, 1970. Holleman, F.D, Het Adatrecht van de Afdelling Tulungagung, Batavia : Buitenzorg,

1927. Huan, Ma, Ying Yai Shen-Lan : The Overall Survey Of the Ocean Shores, 1433,

Cambridge:Hakluyt Society, 1970. Hujibers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : Kanisius, 1990. Hutagalung, Arie Soekanti, Konsepsi yang mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah

Nasional (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria FH UI), Depok : FH UI Press, 2003.

______________________, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,

Jakarta:LPHI, 2005. _______________, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Jakarta :

Rajawali Pers, 2008. _______________, Pergulatan Pemikiran dan Aneka Gagasan Seputar Hukum Tanah

Nasional (Suatu Pendekatan Multidisipliner), Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2011.

Ihromi, Tapi Omas, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 1993. Ikhsan, Edy, Pergeseran Hak Tanah Komunal dalam Pluralisme Hukum dalam

Perspektif Socio Legal, disertasi, Medan : FH-USU, 2013. Irianto, Sulystyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum (Studi mengenai

strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta warisan melalui proses penyelesaian sengketa), disertasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Universitas Sumatera Utara

Jansen, Arlin Dietrich, Gonrang Simalungun : Struktur dan Fungsinya dalam

Masyarakat Simalungun, Medan : Bina Media, 2003. Joustra, Mivan Medan Naar Padang En Terugi, Leiden: S.C van Doesburq, 1915 Jubileum, Panitia, Buku Sejarah HKBP Pematangsiantar, Pesta Jubileum 75 Taon 29

September 1907 – 29 September 1982, Pematangsiantar:Grafina, 1982. Kalo, Syafruddin, Masyarakat dan Perkebunan : Studi Mengenai Sengketa

Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN-III di Sumatera Utara, disertasi, Medan : PPS USU, 2003.

Kamello, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Kajian Terhadap

Pelaksanaan Jaminan Fidusia dalam Putusan Pengadilan di Sumatera Utara, disertasi, Medan : PPS-USU. 2002.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional, Balai Pustaka, 2007. Kartidihardjo, Harijadi dkk, Azis Khan (Pengelolaan Sumber Daya Alam : Ruang

Kompromi dan Harmonisasi Kepentingan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Dibawah satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam), Jakarta: Suara Bebas, cet.I edisi revisi, 2005.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Sandra Moniaga : Hak Asasi

Manusia:Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional & Masyarakat Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1998.

Koesnoe, Catatan-Catatan terhadap Hukum Adat dewasa ini, Surabaya : Airlangga

University Press, 1979. ___________, Prinsip-prinsp Hukum Adat tentang Tanah, Surabaya : Penerbit

Ubraha Press, 2000. ___________, Kapita Selekta Hukum Adat Suatu Pemikiran Baru, Jakarta : Varia

Peradilan Ikatan Hakim Indonesia, 2002 Koeswahyono, Imam, Muchsin dan Soimin, Hukum Agraria Dalam Perspektif

Sejarah, Bandung : Refika Aditama, 2007. Lapera, Tim, Otonomi Pemberian Negara : Kajian Kritis atas Kebijakan Otonomi

Daerah, Yogyakarta : Lapera Pustaka Umum, cet I, 2001.

Universitas Sumatera Utara

Laturette, Adonia Ivonne, Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional, disertasi,

Surabaya : Universitas Airlangga, 2011. Liddle, R. William, Ethnicity, Party and National Integration : an Indonesian Case

Study, USA : Yale University Press, 1970. Liliweri, Alo, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur, Yogyakarta : Lkis, 2005. Limbong, Bernhard, Konflik Pertanahan, Jakarta Selatan: Margaretha Pustaka, 2012. Loeb, M, Edwin, Sumatera: Its History and People, Singapore: Oxford University,

1935. Lubis, Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994. Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan

Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta : Putaka Alvabet, 2008. Mamudji, Sri dan Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta : Rajawali Pers, 1990. Marbun, H. Barita DjujurTaon, Laporan Tahunan (1946-1960), (Dologsanggul,

Humbang, Banabur, Asahan, Deli Serdang, Medan, Atjeh dan Medan Timur, Medan : LP Universitas HKBP Nomensen, 1990.

Marsden, William, History of Sumatera, Kuala Lumpur : Oxford University of Press,

1966. Mertokusumo, Sudikno II, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta :

Liberty, 1981. Mertokusumo, Sudikno I, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

1996a, 2002. Mirwati, Yulia, Konflik-Konflik Mengenai Tanah Ulayat Dalam Era Reformasi di

Daerah Sumatera Barat, disertasi, Medan: PPS USU, 2002 Moniaga, Sandra dan Stephanus Djuweng, Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk,

Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia? Kata Pengantar Konvensi Internasional Labour Organization sebagai mengenai Bangsa Pribumi dan

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Adat di Negara-negara Berkembang, Jakarta : ELSAM dan IBBI, 1994.

Moniaga, Sandra, dkk, Ada dalam Politik Indonesia, Arianto Sangaji : Kritik

terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia, dalam Jamie. S. Davidson, dkk, Jakarta : KITLV, YOI, 2010.

Moore Sally Falk, Hukum dan Perubahan Sosial, terjemahan Sulystyowati Irianto

dkk, dalam T. O Ihromi (Ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993.

Mu’adi, Sholih, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan, Jakarta :

Prestasi Pustaka Publisher, 2010. Muqoddas, Moh. Busyro, Politik Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta : UII

Press, 1992. Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung : Alumni,

1991. __________, Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Dalam Praktek, Bandung:

Mandar Maju, 1997. __________, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Bandung : Mandar Maju, 2007. Muttaqien, Andi, dkk, Wajah Baru, Suhariningsih : Analisis Hukum Mengenai

Eksistensi Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Narbuko, Cholid, H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara,

2002. Nurjaya, Nyoman F Nurhasan Ismail, Wajah Baru UU Perkebunan:Agrarische Wet,

Jakarta Selatan :ELSAM, Sawit Watch-Pilnet, 2012. Panggabean, P. Pemberdayaan Hak MAHUDAT (Masyarakat Hukum Adat)

Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, Jakarta : Permata Aksara, 2011. Pakpahan, Moshedayan, Tanah Adat di Daerah-Daerah Indonesia, Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 1998. Parlindungan, AP, Kapita Selekta Hukum Agraria, Bandung : Alumni, 1981.

Universitas Sumatera Utara

______________, Komentar atas UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1991. Paton, George Whitecross, A Textbook of Jurisprudence, Oxford : University Press,

1969. Pelzer, Kant, Planters and Peasent, Colonial Policy and The Agration Stuggle in East

Sumatera 1863-1947, (is Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1978). ___________, Planters Against Peasonts The Agrarian Struggle in East Sumatera

1947-1959, (Sengketa Agraria, Penguasa Perkebunan Melawan Petani, Terjemahan Bosco Carvallo, Jakarta: Sinar Harapan, 1991.

Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang

Praktisi Hukum, Jakarta : Rajawali, 1989. Pires, Tome, The Summa Oriental of Tomme Pires, An account of the East from the

Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515, Germany : Lessing Druck Erij, 1935.

Poerba, J.D dan Kenan Purba, Sejarah Simalungun, Jakarta:Bina Budaya

Simalungun, 1995. Purba, Elvis F. & O.H.S. Purba, Migran Batak Toba, di luar Tapanuli Utara Suatu

Deskripsi, Medan : CV Monora, 1998. Purba, MD, Museum Simalungun, [(s.l) : (s.n), 1978]. Purba, Rehngena, Spirit Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000. Rahim & M.Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan : Pustaka

Bangsa Press, 2004. Rajagukguk, Erman, Hukum dan Masyarakat, Jakarta : Bina Aksara, 1983. Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional,

Surabaya: Airlangga University Press, 1996. Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial (Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas),

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005. Reid, Anthony, The Blood of The People : Revolution and the end of Traditional

Rule in North Sumatera, Kuala Lumpur : Oxpord University Press, 1979.

Universitas Sumatera Utara

_____________, Witnessess to Sumatera: A Travelers Anthology, Kuala Lumpur:

Oxford University, 1995. Riyanto dan Eggi Sudjana, Penegakan Hukum Lingkungan dalam Perspektif Etika

Bisnis di Indonesia, cetakan pertama, Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 1999.

Ruchiyat, Eddy, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Baru, Bandung : Alumni,

1999. Runtung, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi

Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi, disertasi, Medan: PPS USU,2002.

Salim, HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2005. Samuel, Geoffrey, The Foundation of Legal Reasoning, SA, Vormgevers: Tilburg,

1994. Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige : Kant Sianipar Company, 1977. Saragih, Bintan, dan Moh. Kusnardi, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama,

2000. Saragih, J.E, Pustaka Laklak Museum Simalungun No. 252, Jakarta : Proyek

Pengembangan Media Kebudayaan Departemen P & K, 1981. Saragih, Sortaman, Orang Simalungun, Jakarta : Citama Vigora, 2007. Syarief, Elza, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan,

Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. Sembiring, N.Sulaiman dan Mas Achmad Sentosa, Pengadilan Masyarakat dan

Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Jakarta:ICEL,1997. Sembiring, Rosnidar, Keberadaan Hak Ulayat di Kabupaten Simalungun, Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2011. Setiady, Tholib, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung : Alfabeta, 2008. Sihombing, B. F, Evolusi Kebijakan Pertahanan dalam Hukum Tanah Indonesia,

Jakarta : PT Toko Gunung Agung Tbk, 2005.

Universitas Sumatera Utara

Sihombing, PTP Seratus Taon Huria Kristen Batak Protestan, Medan : Philemon &

Liberty, 1961. Simalungun Dalam Angka, Pematangsiantar : Badan Pusat Statistik Kabupaten

Simalungun dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Simalungun, 2010.

Simamora, Yogar Sogar, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa

oleh Pemerintah, disertasi, Surabaya : PPS Unair, 2001. Simarmata, Rikardo, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia,

Jakarta : UNDP, 2006. Sinaga, Martin Lukito, dan Juandaharaya Dasuha, Tole den Timorlanden das

Evanggelium, Sejarah 100 Tahun Injil di Simalungun, Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003.

Sitompul, A.A, Perintis Kekristenan di Sumatera Bagian Utara, Jakarta : BPK

Gunung Mulia, 1986. Sinaga, Martin Lukito, Identitas Postkolonial Gereja Suku Indonesia, Yogyakarta :

LKiS, 2006. Slaats, Sejarah Hukum Agraria, [s.l] : [s.n], 1992. Soedewo, Ery dan Claire Holt, Buletin Sangkakala, Medan : Arkeologi, 2005. Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty, 2000. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1984, 1986. Soemitro, Ronny Hanitjo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1990. Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, terjemahan HB

Jusrin, Jakarta : Gita Karya, 1963. Soeromihardjo, Soedjarwo, Mengkritisi Undang-undang Pokok Agraria, Meretas

Jalan Menuju Penataan Kembali Politik Agraria Nasional, Jakarta : Cerdas Pustaka, 2009.

Universitas Sumatera Utara

Soetiknjo, Imam, Undang-undang Pokok Agraria Sekelumit Sejarah Departemen Dalam Negeri, Jakarta : Dirjend Agraria, 1985.

__________, Politik Hukum Agraria Nasional, Yogyakarta : Gajah Mada University

Press, 1994. Subadi, Pengusaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan, Jakarta : PT Prestasi

Pustakarya, 2010. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 2001. Sudiyat, Iman, Asas-Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Yoyakarta: Liberty, 1991. Sudrajat, Nandang, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia menurut Hukum,

Yogyakarta : Pusaka Yustisia, 2010. Sumardjono, Maria S.W, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta :

Universitas Gajahmada, 1989. , Kebijakan Pertahanan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta:

Kompas, 2001. ___________, Transitional Justice atas Hak Sumber Daya Alam”, dalam Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: Komnas HAM, 2001.

____________, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Kompas, 2008. ____________, Tanah dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarata:

Penerbit Buku kompas, 2009. Sunarmi, Mengelola Kearifan Lokal Menuju Hukum Yang Berkeadilan dalam

Putusan Lembaga Adat, dalam Rehgena Purba, Spirit Hukum, Jakarta:PT.Raja Grafindo, 2012.

Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007. Supriatma, Slamet dan Mas Soebagio, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar ke

Filsafat Hukum, Jakarta, Akademika Pressindo, 1988. Susan, Novri, Pengantar Sosiologi Konflik dan isu-isu Konflik Kontemporer, Jakarta

: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Universitas Sumatera Utara

Suseno, Frans Magnis, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarata: Gramedia, 1994.

Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro-rakyat, Semarang : Surya Pena

Gemilang Publishing, 2010. Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti,

1999. Tamanaha, B. Z, Realistic Sosio Legal Theory: Pragmatizm and a Social Theory of

low, England: Clarendon Press Oxford University, 1999. Tambak, TBA Purba, Sejarah Simalungun, Pematangsiantar : Danau Singkarak,

1982. Thalib, Sajuti, Hubunngan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau,

Padang: Bina Aksara,1985. Tideman, Simaloengoen : Het Land der Timor-Bataks in zijn Vroeger Isolatieen zijn

outwikkeling tot eerdeel van het eulmurgebied van de Ostleurst van Sumatera, Leiden : van Doesburg, 1922.

Tirtawinata, R dan M.M Djojodigoeno, Het Adatprivaatrecht van Middel-Java,

Bandung : Sukamiskin, 1940. Titahelu, Ronald Zelfianus, Penetapan Asas-asas Hukum Umum dalam Penggunaan

Tanah untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat ( Suatu Kajian Filosofi dan Teoritik Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia ), disertasi, Surabaya : PPS Unair, 1993.

Tjitrosudibio, R dan R.Subekti, Burgelijk Wetboek Cetakan ke-31, Jakarta:Pradnya

Paramita, 2001. ___________, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983. Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2003. Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun Kota Pematangsiantar, Pemko

Pematangsiantar, 2008. Vollenhoven van, Het Adatrecht van Nederlandsh Indie, Jilid 1 Bagian I, Leiden: E. J

Brill,1904 – 1933.

Universitas Sumatera Utara

Vries, E. De, Masalah-masalah Petani Jawa, terjemahan Ny. P.S. Kusuma Sutjo,

Jakarta : Bhratara, 1972. Wahid, Muchtar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta

Selatan : Republika, 2008. Wahyono, Padmo, Bahan-bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila,

Jakarta : Aksara Baru, 1984. Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1991. Warman, Kurnia, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta: KITLV,

2010. Warsito, Happy, Hak-hak Keagrariaan Adat dalam Politik Hukum Agraria Indonesia

di Era Globalisasi, disertasi, Semarang: Universitas Diponegoro, 2005 William, Liddle. R, Ethnicity, Party and National Integration, An Indonesian Case

Study, New Heaven, Yale University Press, 1970. Wiradi, G, Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, dalam Sediono. M. P.

Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari masa ke masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, PT. Gramedia1984.

Wiradi, Gunawan, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta :

Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 2001. Woodman, Gordon. R and Stardford w.Moorse, Indigeneous Law and Strate,

Dordrecht Holland: Faris Publications, 1987. ___________(ed) dan Antony Allot, People’s Law and State Law, The Bellagio

Papers, Dordrecht:Faris Publication, 1990. Yamin, M. Perkembangan Hukum Adat di Indonesia: studi mengenai refleksi gadai

tanah di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, disertasi, Medan: PPS.USU, 2002.

Yuanzhi, Kong, Cheng Ho Muslim Tiong Hoa: Misteri Perjalanan Muhibah di

Nusantara, Jakarta: Obor, 2007.

Universitas Sumatera Utara

Yusriadi, Industrialisasi & Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, Yogyakarta : Genta Publishing, 2010.

Undang-undang : Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA) No.5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Universitas Sumatera Utara

TAP MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Hukum Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 10 Tahun 2000 Tentang Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Nagori di Kabupaten Simalungun. Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 18 Tahun 2000 Tentang Peraturan Nagori di Kabupaten Simalungun. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan, Depdagri Dirjend Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Tahun 2011 Jurnal : Bachriadi, Jurnal Penelitian, Dinamika Petani No. 35 Tahun Edisi Juli-Agustus 1999, PSDAL – LP3ES. Burns, Peter, The myth of adat ,Journal of Legal Pluralism Leiden: KITLV Press, 1989. Fitzpatrick, Daniel “Disputes and pluralism in modern Indonesian land law”, Yale Journal of International Law, Sydney The Federation Press, 1997. Kleinhans, Roderick A. Macdonald, Martha-Marier, “What is a Critical Legal Pluralism”, Canadian Journal of Law and Society, vol 12 no.2/ 1997. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaedah Hukum Ratusan Perkara Dalam Yurisprudensi MARI 1969-2001, Jakarta : MARI, 2002. Marzuki, Peter Mahmud, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Majalah YURIDIKAL, Vol.18, No.3, Surabaya : FH Unair. Pandiangan, Sichmen, Bentuk-bentuk Perlawanan Petani Terhadap Negara, jurnal Pemberdayaan Komunitas, Volume 5 no.3 Purba, Rehgena, “Hukum Adat Dalam Yurisprudensi”, Majalah Hukum Nasional No.2 Tahun 2006,ISSN 0126-0227, Jakarta : BPHN, 2006. Sangkakala, Buletin, Penyelesaian Sengketa Tanah, Medan: Balai Arkeologi, 2005. Simmel, George, The Sociology of Conflict, America : Journal of Sociology, 1903.

Universitas Sumatera Utara

Soedewo, Ery dan Claire Holt, Fort Of Nagur, Buletin Sangkakala, Medan : Balai Arkeologi, 2005. Sumardjono, Maria S.W, Arti Strategis Pembaruan Agraria, sebagai landasan pembangunan, makalah pada seminar dan lokakarya nasional Pengelolaan SDA berkelanjutan yang ramah lingkungan dan Pembaruan Agraria untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, Bandung: ITB-UNPAD, tanggal 14-16 September 2001. The Myth of Adat, 28 Journal of Legal Pluralism. Wibowo, Basuki Rekso, Studi beberapa Modul Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Majalah Hukum Yazid, T. M Luthfi, Penyelesaian Sengketa melalui ADR, Jurnal Hukum Lingkugan Tahun III No. 1/ 1996. Pro Justitia, Tahun xiv, No.4 Oktober 1996. Makalah : Amanullah, Muhammad, “Approaches To Methodology of Harmonisation: Principles to Be Followed in Harmonisation of Shari’ah and Man-Made Law”, International Conference on Harmonisation of Shari’ah and Civil Law 2, Kuala Lumpur 29-30 juni 2005. Bachriadi, Dianto, Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Lembaga Peradilan yang Independen, Kertas Posisi KPA No.02,1998. Badan Pertanahan Nasional, Kakanwil, Provsu, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Provsu, makalah pada kuliah Bedah Kasus Fakultas Hukum Universitas Panca Budi Medan, 27 Juni 2003. ________________, Sengketa Pertanahan dan Upaya Penyelesaiannya di Provsu, makalah yang disampaikan kepada Kepala BPN RI pada saat kunjungan kerja ke Sumatera Utara, 12 November 2006. ________________, Seminar Hukum Konflik Pertanahan di Sumatera Utara, DPC IKADIN, Medan, Balai Raya Tiara Convention Hall, 21 April 2012 Bari, Abdul Aziz, “Harmonization of Laws:A Survey of The Issues, Approaches and Methodology Involved”, International Confreence of Harmonisation of Shari’ah and Civil Law 2, International Islamic University Malyasia, Kuala Lumpur, 29-30 June 2005.

Universitas Sumatera Utara

Dillon, H.S., Pembaruan Agraria sebagai alat demokrasi HAM, keadilan di Indonesia, makalah pada semiloka Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan Bandung, 2001, hal.4., 14-16 September. Diskusi Publik tentang Masyarakat Adat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bekerjasama dengan FH Universitas Dharma Agung, Hermina Hall, 11 Desember 2012. Hadi, Hasbullah, Penanganan Masalah Pertanahan di Provinsi Sumatera Utara, makalah, Dialog Publik Hukum Pertanahan di FH USU, 24 September 2011. Harkrisnowo, Harkristuti, Paradigma Peningkatan Daya Saing dalam Kerangka Good Government, makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II Angkata III yang disampaikan oleh Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, 2 Oktober 2009. Harsono, Boedi, Sengketa Tanah Dewasa Ini, Akar Permasalahan dan Penanggulangannya, makalah disajikan dalam seminar nasional : “sengketa tanah, permasalahan dan penyelesaiaanny di Jakarta 20 Agustus 2003.” Hermansyah, Permohonan Pengujian UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan terhadap UUD RI tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi RI, 26 Mei 2011. Inayatullah, Landreform, APDAC Publication, Kuala Lumpur, 1980. Kamali, Mohammad Hashim. “Shariah and Civil law”, International Conference on Harmonisation of Shariah and Civil law, Kuala Lumpur 20-21 oktober 2003. Martin, Boodman, The myth of Harmonization of Laws, Canadian Report on The Subjektof “Harmonization of Private Law Rules Between Comman and Civil Law Jurisdictions” Presented to the XIIIth International Congress Comparative Law, Montreal Canada, August, 1990. Panggabean, H.P, Inkonsistensi UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba Khususnya dalam hal pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, seminar, 6 Agustus 2012, Hermina Hall Darma Agung Medan. Rahmadi, Takdir, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Konteks Masyarakat Indonesia Masa kini, Seminar Sehari Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam kasus-kasus tanah, perburuhan, dan lingkungan, Studi dan Advokasi Masyarakat bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, Jakarta, 11 Agustus 1994.

Universitas Sumatera Utara

Rahman, Noer Fauzi, Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya, makalah, kongres AMAN IV, 19 April 2012, Tobello Halmahera Utara. Saptomo, Ade, “Dibalik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum”, Padang : Universitas Andalas, 2010. Sembiring, Rosnidar, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat, Seminar, 11 Desember 2012, Hermina Hall Darma Agung Medan. _________________, Keberadaan Hak Partuanon bagi Etnis Masyarakat Simalungun, Makalah pada Seminar Menguak Hak Ulayat Simalugun, 15 Desember 2012, Yayasan Pelpem GKPS dan Fakultas Hukum Universitas Simalungun. Seminar Hukum : Konflik Pertanahan di Sumatera Utara, Balai Raya Tiara Convention Hall, Medan, 21 April 2012. Sinaga, Syamsudin Manan, Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Simalungun, Makalah pada Seminar Menguak Hak Ulayat Simalugun, 15 Desember 2012, Yayasan Pelpem GKPS dan Fakultas Hukum Universitas Simalungun. Sodiki Achmad, 40 Tahun Masalah Dasar Hukum Agraria, Pidato Penyuluhan, 17 Juni 2000. _____________, Putusan MK yang berkenaan dengan Sumber Agraria, Seminar dan Lokakarya Nasional, Konflik Perkebunan : Mencari solusi yang berkeadilan dan mensejahterakan rakyat kecil, Malang : Universitas Brawijaya, 24-25 Mei 2012. _____________, Kebijakan Pertanahan dalam Penataan Hak Guna Usaha untuk sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, makalah, Fokus Grup UKP-PPP, 28 Februari 2012. Soesangobeng, Herman, Kontekstualisasi Filosofi Adat Tentang Tanah dan Penerapannya setelah UU No.5 tahun 1960 serta Advokasi Pertanahan di Indonesia, Bandung : Akatiga, 21 Februari 1998. Sumardjono, Maria SW, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Kompas 2001. , Arti Strategis Pembaruan Agraria, sebagai landasan pembangunan, makalah pada seminar dan workshop nasional. Pengelolaan SDA berkelanjutan yang ramah banyak dan pembaruan agar untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, Bandung : ITB-UNPAD, 14-16 September

Universitas Sumatera Utara

____________, Menggagas ulang Penyempurnaan UUPA sebagai Pelaksanaan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Yogyakarta, 21 September. ____________, Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, Makalah, Materi Kuliah Hukum Sumber Daya Alam. Titahelu, Ronald. Z, Azas-azas Penguasaan Tanah Ulayat Dalam Sistem Hukum Nasional, Naskah Akademik Perda Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, 2008. Yuliadi, Shodiq Tri, “Hukum Tanah dan Tata Guna Tanah, Hak Milik Atas Tanah”, Purwokerto : Universitas Muhammadiyah, 2010. Yamin, M, Model Kebijakan Penyelesaian Konflik Tanah, 26 Juni 2012 Internet: www.ilpf.org/events/jurisdiction/presentations/clifpr.htm. ”UNCITRAL and The Goal of Harmonization of law, diakses tanggal 2 agustus.and the Goal of Harmonization of Law”.diakses tanggal 2 agustus 2005. file:///C:/Documents%20and%20Settings/user/My%20Documents/Sengketa%20tanah/2.913.Sengketa.Tanah.Menunggu.Penyelesaian.htm, diakses tanggal 09 November 2010. http : //d5er. wordpress.com/2010/12/21/perbedaan-sengketa-konflik-dan-perkara/ http : //www.tekmira.esdm.go.id/ currentissues/?p=1759. http : //www.pme-indonesia.com/ opinion/? ID=8> http : // syabab.com/index.php? option = com_ concent & view = article & catid = 33% 3Aopini & id = 561% 3 AUU-mineral-dan-batubara-melanggengkan-sistem-keruk-cepat-dan-jual-murah-bahan-tambang-indonesia & itemid = 62>. Putusan : Putusan MA No.383K/Sip/1971. Putusan No.37/PDT.G/2003/PN.SIM.

Universitas Sumatera Utara

Putusan MARI No. 2143 K/PDT/2005. Yurisprudensi, 10 Januari 1985 No. 365, K/ Pdt/ 1984. Putusan No.297/Pdt./2004/PT. MDN Putusan PN Simalungun No. 26/PDT/2006. Putusan PT No.264/PDT/2007. Surat/Surat Kabar : Analisa Medan, 23 Maret 2005, M.Yamin:Paradigma Reformasi Peraturan Perundang-undangan Pertanahan/Agraria Penyelesaian Sengketa Pertanahan serta kelembagaan. Buku Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelaksanaan Pembangunan dan Pembinaan Kehidupan Masyarakat di Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun 2012. SK Gouvernour deer Oostkust van Sumatera No. 273/B/E. 3 tanggal 30 Agustus 1928. Surat Perjanjian tentang Perluasan awal perkampungan, 20 April 1955. Surat PPN Karet IV Perkebunan Bandar Betsy tertanggal 04 Maret 1965. Surat Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No.5-378/M.PM-328/M.PM-BUMN/2000, tanggal 23 Agustus 2000. Kertas Posisi No.1/2010, ELSAM, Pelanggaran HAM di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT PP Lonsum Tbk-Sumatera Utara. Kompas, 24 September 2001, Maria S.W. Sumardjono, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi. Kompas, 19 Juni 2004. Kompas, Pulihkan Hak Tanah Rakyat, 13 Januari 2012 Sinar Indonesia Baru, 15 Januari 1977. Sinar Indonesia Baru, 13 Desember 2010.

Universitas Sumatera Utara

Kompas, 15 Desember 2007, Konsep Tanah Ulayat Dalam Suku Sakai tidak diakui Negara kepemilikannya sebagai milik Komunitas Lokal. Kompas, 18 September 2011, Acara Konsultasi AMAN di Lapangan Merdeka Kecamatan Sabang, Kabupaten Luwu Utara, Sekitar 600 Km ke arah Utara Kota Makassar. Kompas, Senin, 19 September 2011, Mendesak Pendataan Tanah Adat. Kompas, Jumat, 13 Januari 2012, Pulihkan Hak Tanah Rakyat. Laporan Profil Desa, Desa Bangun Das Mariah, kecamatan Panei, kabupaten Simalungun. Muhammad Yamin, Paradigma Reformasi Peraturan Perundang-undangan Pertanahan/ Agraria, Penyelesaian Sengketa Pertanahan serta Kelembagaan, opini, Analisa, 23 Maret 2005. Waspada, 18 Januari 2005, Junaidi D.Kamal, Konflik Tanah Perkebunan Hambat Investasi Sumut. Waspada, 2 Oktober 2012, M.Yamin, Logika Agraria menuntaskan Persoalan Tanah.

Universitas Sumatera Utara