Pandangan Hujjah Islam Al-Ghozali Ttg TEORI MARIFAT-Zam
-
Upload
fathur-taufik-spdi-stais-lumajang -
Category
Documents
-
view
165 -
download
5
Transcript of Pandangan Hujjah Islam Al-Ghozali Ttg TEORI MARIFAT-Zam
PANDANGAN HUJJAH AL-ISLÂM AL-GHOZÂLI TENTANG TEORI MA’RIFAT
Pendahuluan
Disebutkan dalam sebuah hadits Nabi yang terkenal dengan “Hadits
Jibril”, dari Umar bin Khattab:
1مسلم( )رواه. يرـك فإنه تره لم فإن تراه كأنك ربك اعبد
Artinya: Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu melihat-Nya. Maka jika
kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu
(HR. Muslim).
Dari hadits tersebut, dapat kita fahami bahwa kita dianjurkan untuk
selalu meningkatkan kwalitas ibadah sehingga mencapai derajat ma’rifat.
Begitu sulitnya mencapai ma’rifat, sehingga Rasulullah selanjutnya
menjelaskan bahwa apabila kita tidak bisa mencapai ma’rifat, maka
hendaknya kita melakukan “muraqabah” yaitu merasa diawasi terus oleh
Allah. Dengan muraqabah, kita terus berlatih untuk mencapai ma’rifat
yang hanya dimiliki oleh para Waliyullah.
Pada tatanan obyektifnya, banyak kalangan Muslim tidak
mengetahui tentang ma’rifat dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Karena itulah penulis terkait untuk membahas tentang teori ma’rifat dalam
pandangan Al Ghazali, seorang Sufi terkenal di kalangan Muslimin.
Biografi Al Ghozali
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-
Ghozali, mendapat gelar Hujjatul Islam. ia lahir tahun 450 M. di Thus,
suatu kota kecil di Khurasan (Iran). Nama Al-Ghozali kadang-kadang di
ucapkan Al-Ghozzali (dua z). Kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang
pintal benang, karena pekerjaan ayah Ghozali adalah memintal benang
wol, sedangkan Al-Gozali dengan satu z, diambil dari kata ghazalah, nama
1 Ahmad bin Syekh Hijazy al Fasyny, Syarah Asy Syabarhity alâ Ar baîna Hadith al Nawawiyah, ( Beirut : Dar Al fikr, tt ), 78
-1-
kampung kelahiran Al-Gozali. yang terakhir ini inilah yang banyak
dipakai.2
Pada masa kecilnya ia mencari Ilmu Fiqh di Negerinya sendiri pada
Syekh Ahmad bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada Imam
Abi Nasar Al Ismaili di Negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu
di Negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Al-
Haromain. di sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya
yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok
pada masa itu seperti ilmu mantik (Logika), falasafah dan Fiqh Madzhab
Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan
bahwa Al-Ghozali itu adalah “ Lautan tak bertepi … ”.
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghozali pergi ke Al-Ashar
untuk berkunjung kepada menteri Nizam Al Muluk dari Pemerintahan
Dinasti Sanjuk di Kota Mu’askam. Ia disambut dengan penuh
penghormatan sebagai seorang Ulama’ besar. kemudian dipertemukan
dengan para Alim Ulama’ dan para Ilmuan. Semuanya mengakui akan
ketinggian ilmu yang dimiliki Al-Ghozali. Menteri Nizam Al Muluk
akhirnya melantuk Al-Ghazali pada tahun 484 H. / 1091 M. sebagai Guru
Besar (Profesor) pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di Kota
Bagdad. Al-Ghozali kemudian mengajar di Perguruan Tinggi selama
empat tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik
yang datang dari dekat atau dari tepat yang jauh sampai ia menjauhkan diri
dari keramaian. 3
Pekerjaan itu dilaksanakannya dengan sangat berhasil. Selama di
Bagdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap
pikiran-pikiran golongan bathiniyah, islamiyah, golongan filasafat dan lain
-lain.4
Pada tahun 488 H. Al Ghozali pergi ke Mekkah untuk menunaikan
kewajiban Rukun Islam yang kelima. setelah selesai mengerjakan haji, ia
2 Ahmad Syadali, Filasafat Umum (Bandung: Pustaka Setia) 178.3 Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia) 215.4 Ahmad, Filasafat, 179.
-2-
terus pergi ke Syria (Syam) untuk mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian
melanjutkan perjalannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama.
Di sini beribadat di masjid Al Umawi pada suatu sudut hingga terkenal
sampai sekarang dengan nama Al Ghozaliyah. pada saat itulah ia sangat
terkenal yaitu Ihya Ulmuddin. Al Ghozali tinggal di Damaskus itu kurang
lebih selama 10 tahun, dimana ia hidup dengan amat sederhana,
berpakaian seadanya, menyedikitkan makan minum, mengunjungi masjid-
masjid.
Setelah penulisan Ihya Ulum al Din selesai, ia kembali ke Baghdad,
kemudian mengadakan majelis pengajaran dan menerangkan isi dan
maksud dari kitabnya itu. Tetapi karena ada desakan dari Penguasa yaitu
Muhammad penguasa waktu itu. Al Ghozali diminta kembali ke Naisabur
dan mengajar di Perguruan Nizamiyah. pekerjakaan ini hanya berlangsung
dua tahun. untuk akhirnya kembali ke kampung asalnya, Thus. Di
kampunya Al Ghozali mendirikan sebuah sekolah yang berada di samping
rumahnya, untuk belajar para Fuqaha dan para Mutashawwifin (Ahli
Tasawuf ). Ia membagi waktunya guna membaca Al-Qur’an, mengadakan
pertemuan dengan para Fuqaha dan ahli Tasawuf, memberikan pelajaran
bagi orang yang ingin mengembilnya dan memperbanyak ibadah (sholat).
Di kota Thus inilah beliau akhirnya meninggal pada hari senin tanggal 14
Jumadil akhir 505 H./ 1111 M.
Sesaat sebelum meninggal beliau sempat mengucapkan kata-kata
yang juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosuf Inggris, yaitu: “Ku takkan
arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang
sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah
bibir umat manusia di masa yang akan datang”.5
Pengertian Ma’rifah
االلهية األمور بترتب والعلم الربوبية أسرار على الطالعا الموجودات بكل المحيطة
5 Mustofa, Filsafat, 216.
-3-
Bagi Al-Ghozali, Ma’rifah ialah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan- peraturan Tuhan tentang segala yang ada.6
Ma’rifat adalah mengenal akan ketuhanan dari pada Jamal-Nya,
Jalal-Nya dengan kasyaf yang tidak memerlukan dalil, yaitu mengenal
Tuhan dengan Muyahadah selama-lamanya.7
Seterusnya Al-Ghozali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai
Ma’rifah tentang Tuhan, yaitu Arif, tidak akan mengatakan Ya Allah (ا
karena memanggil Tuhan dengan kata-kata (يارب) atau ya Robb ( لله
seperti ini menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang
duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.
Kata Al-Ghozali :
جليسه ينادى جليسا رأيت وهلMa’rifah bagi Al-Ghozali ialah juga “ memandang kepada wajah
Allah SWT ”. ( تعالى الله وجه الى النظر ).
Tetapi bagi Al-Ghozali, ma’rifah terlebih dahulu dalam tertib dari
pada mahabbah, kerena mahabbah timbul dari ma’rifah. Dan mahabbah
baginya bukan mahabbah sebagaimana yang di ucapkan oleh Rabiah.
Tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik
kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada
manusia, yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan dan lain-lain.
Menurut Al-Ghozali, ma’rifah dan mahabbah inilah setinggi-tinggi
tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh
dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pada pengetahuan yang diperoleh
dengan akal.8
6 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam ( Jakarta: Bualn Bintang, 1999), 76
7 Mustofa A-Fatani, Sufi dan Wali Allah, terj. Abdun (Bandung: Husain, 1985), 13.8 Harun, Falsafat, 77.
-4-
Alat-alat untuk memperoleh Ma’rifat
Alat untuk memperoleh ma’rifah, oleh kaum sufi di sebut sir (سر ) .
Menurut al-Qusyairi ada tiga alat dalam tubuh manusia yang di
peergunakan sufi dalam hubungan mereka dengan Tuhan. Qalb (قلب)
untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, ruh (روح) untuk mencintai Tuhan,
dan sir ( untuk melihat tuhan. Sir lebih halus dari ruh, dan ruh lebih (سر>
halus dari qalb. Qolb tidak sama dengan jantung atau heart dalam bahasa
inggris, karena qalb, selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk
berfikir. Perbedaan qalb dengan “aql (عقل), ialah bahwa “aql tak bisa
memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang tuhan, sedang qolb bisa
mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya tuhan,
bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Kelihatannya sir bertempat di ruh
dan ruh bertempat di qolb dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi
dari Allah kalau qolb dan ruh telah suci sesuci-sucinya dan kosong
sekosong-kosongnya, tidak berisi apapun.9
10 pintu dipergunakan untuk mencapai Ilmul Yaqin. Sebagai dasar
lima pintu lahir yaitu pendengaran, penglihatan, perasaan lidah, perasaan
kulit dan penciuman hidung, bernama panca indra.
Untuk kesempurnaan perkakas yang lima pada lahir ini, disokong
oleh lima perkataan yang bathin, yaitu akal, fikiran, kehendak, angan-
angan dan nafsu.
Kedua-duanya (lahir dan bathin) bertali-tali. Misalnya orang sakit
merasai benar-benar, bahwa kopi-susu itu pahit, tetapi akalnya tidak mau
menerima walaupun lidahnya percaya sungguh akan kepahitannya. Kata
mata kita matahari itu kecil saja, kata timbangan akal dan fikiran lebih
besar dari bumi. Dari pertarungan yang tidak berhenti-henti ini timbullah
keyakinan. Dia sebagai kayu besar yang tumbuh dalam hati sanubari,
dahannya ialah amal dan buahnya ialah ganjaran.10
9 Ibid, 7510 Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), 39.
-5-
Ma’rifah Sebagai Jalan untuk Dekat Kepada Allah.
Al Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan
mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia tidak
hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rihani.
Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa dan haji, kita
dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghozali semua amal ibadah yang
wajib itu merupakan pangkal dari segal jalan pembersihan rohani.
Al-Ghozali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada
kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarub) terhadap Tuhan.
Sesuai dengan prinsip islam, Al Ghozali menganggap Tuhan sebagai
pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaiakan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia samasekali tidak
cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan
sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu
pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal
keburukan sama sekali.
Al-Ghozali, sesuai dengan prinsip islam, mengakui bahwa kebaikan
terbesar di mana - mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allah itu, Al-Ghozali
memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani.
Di antaranya yang terpenting ialah muraqabah, yakni merasa diawasi terus
oleh Tuhan, dan almuhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut Al-Ghozali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu
kepuasan dan kebahagian (lazzat dan sa’adah). Kepuasan adalah apabila
kita mengatahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui
kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.
Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui
kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang
dinamakan ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit
juga, dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin ( musyahadatul-
-6-
qalbi). Apabila sampai kepada penyaksian itu, manusia akan merasakan
suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan.
Al-Ghozali menyatakan dengan terus terang bahwa ia telah beberapa
kali mengalami sendiri penyaksian itu.11
Untuk berada dekat pada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan
panjang yang berisi stasiun-stasiun, yang disebut مقامات ( Maqamat )
dalam istilah arab, atau stages dan stations dalam istilah Inggris. Buku –
buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama
tentang stasiun- stasiun ini.
Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulum al-Din memberikan:
Tobat – sabar – kefakiran – zuhud – tawakal – cinta – ma’rifat –
kerelaan.12
Cara-cara mencapai ma’rifat
Lepaskan ikatan tipuan dunia, tetapkan tujuan ialah akhirat,
berdasarkan himmah mengjadap Allah dengan suluk. Kalahkan nafsu
dengan latihan bathin (riadhah) dan dengan pejuangan (mujahadah), maka
tersingkaplah hijaab dan terbukalah kasysyaf, maka sampailah kepada
musyahadatul qalb yang menghilangkan ragu dann haasilnya
makrifatullaah, seteelah ini adalah Waliyullah yang selalu mendapat
ilham.13
Sebab-sebab tertutupnya hati dari ma’rifat
Hati ada empat macam:
1. Hati yang bersih di dalamnya pelita yang bersinar, maka itu hatinya
orang mukmin.
2. Hati yang tertutup maka itu hatinya orang kafir.
3. Hati yang terbalik maka itu hati orang munafik, dia mengetahui
kemudian mengingkari dan dia melihat kemudian buta.
11 Mustofa, Filsafat, 240.12 Harun, Falsafat, 6013 Barmawi Umari, Sistimatik Tasawuf. (Solo: Ramadhani, 1991), 145.
-7-
4. Hati yang terkandung didalamnya iman dan nifak.
Ketika ia menang dari keduanya, maka perumpamaan iman di
dalamnya bagaikan sayur-mayur yang terdapat air yang baik, dan
perumpamaan nifak di dalamnya bagaikan tikar yang terdapat di dalamnya
muntah darah…14
Al-Ghazali dalam menjelaskan ma’rifat tidak hanya menjelaskan
cara-cara untuk mencapainya saja. Namun disamping itu juga menjelaskan
tentang sebab-sebab tertutupnya hati dari ma’rifat (mengetahui hakekat).
Menurut beliau karena lima hal, yaitu :
- Adanya kelemahan dalam hati itu sendiri, semisal hati anak kecil.
- Noda-noda maksiat yang biasa menutupi kebersihan hati.
- Adanya sesuatu yang menyibukkan hati sehingga terlupakan
hakekat ilmu, meskipun hati tersebut telah bersih. Semisal sibuk
dengan mencari penghidupan.
- Adanya hijab yang timbul dari keyakinan masa lampau karena
pengaruh sejak kecil.
- Tidak mengetahui cara untuk bisa mencapai hakekat.15
Sehubungan dengan hal ini, Al-Ghazali menjelaskan tentang pintu
masuknya setan pada hati manusia, sehingga manusia tidak bisa mencapai
ma’rifat, sbb:
- Marah, karena marah dapat menghilangkan akal.
- Syahwat yaitu keinginan-keinginan kuat untuk mengumpulkan
harta, makanan, mencapai suatu kedudukan, dan lawan jenis.
- Hasad
- Prasangka buruk terhadap orang lain.
- Tama’ atau rakus.
- Terburu-buru (Ajalah)
- Fanatik buta
- Bakhil.16
14 Saad, Abdul Barro’, Tazkiyatun Nafs, (Solo:Pustaka Mantiq, 1996), 49.15 Ahmad Al-Sharbasi, Al-Ghazali wa Al Tasawuf Al Islami, (tt: Dar Al HIlal, tt), 174.
-8-
Analisa Penulis
Pada halaman 3 disebutkan bahwa Al-Ghozali berkata ma’rif
terlebih dahulu dalam tertib dari pada mahabbah, karena mahabbah timbul
dari ma’rifah. Sedangkan di halaman 6 disebutkan dalam mengamat
menurut Al-Ghozali bahwa cinta (mahabbah) mendahului makrifah
Secara sepintas, kedua pernyataan ini mengandung kontradiksi untuk
memahaminya, perlu menganalisanya lebih mendalam. Menurut penulis,
cinta dan kepatuhan laksana api dan cahayanya. Cinta kepada Allah akan
membawa kita pada kepatuhan padanya, yang pada akhirnya
mengantarkan kita pada tingkat makrifat. Kemakrifatan yang kontinyu
akan membuat kita mengetahui tentang rahasia-rahasia Allah dan kita pun
akan semakin dekat kepada Allah. Dengan demikian akan timbul cinta
yang lebih mendalam yang berbeda dengan cinta sebelumnya. Dengan
demikian, cinta sebelum makrifat berbeda dengan cinta sesudah makrifat.
Para sufi berbeda-beda pendapat dalam menyusun station unutk
dekat dengan Allah, karena para sufi memiliki pengalaman yang berbeda-
beda dalam menempuh jalan unutk dekat dengan Allah.
16 Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum Al Din. (Semarang: Toha Putera, tt), 30.
-9-
KESIMPULAN
1. Makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan. Tentang segala yang ada.
2. Alat-alat untuk memperoleh makrifah adalah qolb, ruh dan
sir.
3. Jalan yang harus dilalui untuk sekat dengan Allah adalah
taubat – sabar – kefakiran – zuhud – tawakkal – cinta – ma’rifat
kerelaan.
4. Cara mencapai makrifat adalah lepaskan ikatan tipuan
dunia, tetapkan tujuan akhirat, menghadap Allah dengan suluk.
Kalahkan nafsu dengan riadhah dan mujahadah.
5. Untuk mengetahui sebab-sebab tertutupnya hati dari
makrifat harus mengetahui pula pintu masuknya setan pada hati
manusia.
-10-
DAFTAR ISI
Al Fasyny, Ahmad bin Syekh Hijazy. Syarah Asy Syabarhîty ala Ar baîna Hadith al Nawawiyah. Beirut : Dar Al fikr, tt.
Al Fathani, Musthafa. Sufi dan Wali Allah. Teri Abdur Rahman Zain. Bandung : Husaini, 1985.
Al-Gazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya Ulum Al Din, Semarang: Toha Putera. Tt, 30.
Al Sarbasih, Ahmad. Al Ghazali wa Al Tasawuf Al Islami, tt: Dar Al Hilal, tt, 174.
Hamka. Tasauf Modern . jakarta : Pustaka Panjimas, 1987.
Mustofa, Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1999.
Saad, Abdul Barro’. Tazkitayul Nafs. ter. Muqimuddin Sholeh. Solo: Pustaka Mantiq, 1996.
Syadzali, Ahmad. Filasafat Umum. Bandun: Pustaka Setia, 1999.
Umari, Barmawi. Sistimatik Tasawuf. Solo: Ramadhani, 1991.
-11-