PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita....

45
1 PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN M. DAWAM RAHARDJO Sebuah Pengamatan Oleh Tarli Nugroho * Kamis, 28 Oktober 2010, gerimis masih berderai, membuat udara dingin tak segera beranjak dari Kota Gudeg pagi itu. Namun, di sebuah ruangan di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, seorang lelaki tua berambut perak nampaknya mampu menghangatkan suasana. Di hadapan puluhan mahasiswa, peserta dan sejumlah dosen, dengan suara jernih ia menguraikan pemikirannya mengenai agenda kajian ilmu-ilmu sosial profetik, dengan terlebih dahulu memberi latar mengenai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia. 1 Selama lebih dari dua jam ia berbicara dan meladeni diskusi. Seperti biasa, makalah yang disampaikannya lebih dari sepuluh halaman, dan presentasinya hampir tanpa lelucon. Sumber kehangatan perbincangan pagi itu adalah dikarenakan lelaki itu memulai makalahnya dari lontaran pemikiran seorang muda yang kebetulan baru saja lulus dari UIN Sunan Kalijaga. Ada seorang guru besar senior terkemuka berceramah, dan titik pangkal ceramahnya bertolak dari lontaran seorang sarjana muda yang baru saja lulus, agaknya hal itu sangat mengesankan para mahasiswa, dosen, dan peserta lain yang hadir. Bagaimana bisa seorang guru besar senior menulis makalah dari lontaran seorang muda, dan namanya perlu disebut berkali-kali pada makalahnya?! Bagi mereka yang telah mengenal lelaki tua itu, mungkin akan berujar: “Begitulah Dawam!” * Penulis pengantar ini adalah Anggota Dewan Pengurus Mubyarto Institute, Yogyakarta; peneliti di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM; dan dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Sejak akhir 2010 diminta menjadi Asisten Rektor Universitas Proklamasi 45, yang dijabat oleh Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, kini masih menyelesaikan studinya di Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian UGM. Telah menulis sejumlah buku mengenai ekonomi-politik dan ekonomi perdesaan. 1 M. Dawam Rahardjo, “Kemiskinan Pemikiran dalam Kajian Islam di Indonesia: Menuju Ilmu-ilmu Sosial Profetik”. Makalah disampaikan pada Kuliah Umum di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis, 28 Oktober 2010. Makalah tidak diterbitkan.

Transcript of PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita....

Page 1: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

1

PANDANGANHISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN

M. DAWAM RAHARDJOSebuah Pengamatan

Oleh Tarli Nugroho*

Kamis, 28 Oktober 2010, gerimis masih berderai, membuat udara dingintak segera beranjak dari Kota Gudeg pagi itu. Namun, di sebuah ruangan diFakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Universitas Islam Negeri(UIN) Sunan Kalijaga, seorang lelaki tua berambut perak nampaknyamampu menghangatkan suasana. Di hadapan puluhan mahasiswa, pesertadan sejumlah dosen, dengan suara jernih ia menguraikan pemikirannyamengenai agenda kajian ilmu-ilmu sosial profetik, dengan terlebih dahulumemberi latar mengenai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia.1

Selama lebih dari dua jam ia berbicara dan meladeni diskusi. Seperti biasa,makalah yang disampaikannya lebih dari sepuluh halaman, danpresentasinya hampir tanpa lelucon.

Sumber kehangatan perbincangan pagi itu adalah dikarenakan lelaki itumemulai makalahnya dari lontaran pemikiran seorang muda yangkebetulan baru saja lulus dari UIN Sunan Kalijaga. Ada seorang guru besarsenior terkemuka berceramah, dan titik pangkal ceramahnya bertolak darilontaran seorang sarjana muda yang baru saja lulus, agaknya hal itu sangatmengesankan para mahasiswa, dosen, dan peserta lain yang hadir.Bagaimana bisa seorang guru besar senior menulis makalah dari lontaranseorang muda, dan namanya perlu disebut berkali-kali pada makalahnya?!Bagi mereka yang telah mengenal lelaki tua itu, mungkin akan berujar:“Begitulah Dawam!”

*Penulis pengantar ini adalah Anggota Dewan Pengurus Mubyarto Institute, Yogyakarta; peneliti

di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM; dan dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Proklamasi 45Yogyakarta. Sejak akhir 2010 diminta menjadi Asisten Rektor Universitas Proklamasi 45, yangdijabat oleh Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo. Menyelesaikan pendidikan sarjana di JurusanTeknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, kini masih menyelesaikanstudinya di Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian UGM. Telah menulis sejumlah bukumengenai ekonomi-politik dan ekonomi perdesaan.1

M. Dawam Rahardjo, “Kemiskinan Pemikiran dalam Kajian Islam di Indonesia: Menuju Ilmu-ilmuSosial Profetik”. Makalah disampaikan pada Kuliah Umum di Jurusan Sosiologi, Fakultas IlmuSosial dan Humaniora (Fishum) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis, 28 Oktober 2010. Makalahtidak diterbitkan.

Page 2: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

2

Demikianlah. Ya, lelaki tua berambut perak itu adalah MohammadDawam Rahardjo. Di kalangan rekan-rekannya, ia biasa dipanggil MasDawam. Panggilan “Mas” ini bukan hanya monopoli mereka yang hampirseumuran dengannya, melainkan juga dipakai oleh mereka yang jauh lebihmuda darinya, dan dia tidak pernah menunjukkan ekspresi keberatan.Penerimaannya atas panggilan “Mas” oleh mereka yang jauh lebih muda,bahkan jauh lebih muda dari anaknya, barangkali merupakan cermin darisikap egaliter yang dimilikinya. Bagi kita yang hidup di tengah masyarakatdengan ciri feodal sangat kental, dan ciri semacam itu juga masuk menjadibagian dari kehidupan dunia universiternya,2 sikap egaliter sebagaimanayang melekat pada sosok seperti Dawam memang sangat istimewa.

Sang PembahasDalam sebuah karangannya, Kuntowijoyo pernah mengutarakan

kegelisahannya mengenai sejarah kesarjanaan kita yang selalu berjalanterputus-putus, sehingga tak sempat untuk “mengakumulasikan” dirinya.3

Sumber keterputusan itu, menurutnya, salah satunya dikarenakan parasarjana kita masih memelihara keengganan untuk saling mendengar danbelajar. Akibatnya, kerja-kerja di masa yang telah lampau akan selalu silapditenggelamkan waktu, di-nol-kan kembali, karena setiap generasi sarjanayang muncul belakangan lebih suka merayakan kegelisahannya sendiri,tanpa merasa perlu menautkannya dengan pencapaian di kelampauan.4 Dantidak susah untuk menghubungkan kondisi itu dengan, salah satunya,kultur feodal yang ada di perguruan tinggi kita. Kultur dengan kecongkakansenioritas dan egosenstrisme.

Oleh karena itu, makalah Dawam pagi itu memang layak disambuthangat. Terlebih, dalam makalah yang sama, ia tak hanya memberi tempatpada lontaran gagasan seorang anak muda yang masih-sedang membangunriwayat intelektualnya, sebuah sambutan hangat yang di Indonesia langkadiberikan oleh seorang intelektual yang telah mapan dan apalagi seorangguru besar senior, melainkan, pada saat yang bersamaan ia juga membahasdengan seksama gagasan karibnya, Kuntowijoyo—pelontar gagasan ilmusosial profetik, dan memberikan sejumlah ide pengembangan bagi lontaran-lontaran awal yang telah dikemukakan sobatnya itu, sesuatu yang juga sama

2Lihat, misalnya, wawancara dengan Taufik Abdullah, “Masalah Utama Universitas adalah

Kerutinan”, yang dimuat dalam Majalah Prisma, No. 2/VII, Maret 1978, hal. 40-45.3

Kuntowijoyo, “Integrasi Sains Sosial dengan Nilai-nilai Islam: Sebuah Upaya Perintisan”, makalahdalam Seminar “Islam in ASEAN’s Institution of Higher Learning II: Islam & Social Science” diUniversitas Kebangsaan Malaysia, 10-13 November 1990. Dimuat kembali dalam Kuntowijoyo,Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 320-322.4

Bdk. Tarli Nugroho, “Dari Karsa ke Filsafat, Dari Filsafat ke Ilmu: Hidayat Nataatmadja danDekolonisasi Pemikiran”, Kata Pengantar untuk buku Hidayat Nataatmadja, Melampaui Mitos &Logos: Pemikiran ke Arah Ekonomi-Baru (Yogyakarta: LANSKAP, 2007), hal. xxx-xxxi.

Page 3: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

3

langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhirmengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar danbelajar dari sesamanya, sebuah perguruan tinggi besar nasional bahkansampai harus memberikan insentif kepada para dosennya agar maumengutip karya para koleganya satu almamater ketika akan menulis dijurnal ilmiah. Sangat ironis.

Di Indonesia, kebiasaan untuk saling membaca dan menguji, bertukar-tangkap gagasan antar-para sarjana, memang sangat memprihatinkan.Mengenai kenapa hal itu bisa terjadi, ada beberapa kemungkinan yang bisadikemukakan. Pertama, barangkali memang hanya sedikit sarjana Indonesiayang mencoba membangun pemikirannya sendiri, sehingga akhirnya tidakmuncul urgensi untuk saling membaca dan menguji dalam duniakesarjanaan kita. Sudah menjadi kelaziman, bahwa kebanyakan sarjana,termasuk mereka yang menyandang gelar guru besar, lebih sukamemposisikan diri sebagai penjaja pengetahuan-konvensional. Jika merekamenjadi guru, mereka memang hanya mengajar dengan cara delivery ofstocks. Ini menyebabkan sumber perbincangan yang bisa digali menjadilangka, dan diskusi yang ketat menjadi kehilangan alasan untuk dilakukan.

Kedua, minimnya media atau jurnal akademis yang mampu jadireferensi bersama dan yang sekaligus bisa bertahan lama. Sejarah jurnal diIndonesia mirip dengan sejarah pers mahasiswa, dimana yang terakhirdigambarkan oleh Amir Effendi Siregar sebagai sejarah “patah tumbuhhilang berganti”.5 Kelangkaan ini telah menyebabkan minimnya kebiasaanuntuk saling membaca dan menguji pemikiran di kalangan sarjanaIndonesia. Sehingga, gagasan penting apapun (termasuk juga yang “tidak-penting”) yang pernah dihasilkan pada akhirnya akan selalu menguapseiring waktu, atau hanya akan bertahan selama penggagasnya masih hidup.Dan yang lebih fatal dari tidak adanya jurnal akademis yang berwibawa dansanggup bertahan lama tadi adalah tidak munculnya sebentuk peer-grouppada dunia kesarjanaan kita. Pada akhirnya, karena tidak ada peer group,tak pernah ada gagasan yang pernah benar-benar teruji di lingkunganbersangkutan. Gagasan yang pernah dicetuskan hanya akan beredar dikalangan para pendukungnya dan tak akan mendapatkan tanggapan yangberarti dari mereka yang tak menyepakatinya. Pendek kata, tidak terjadidiskusi yang timbal-balik.

Sepanjang usia Republik ini yang hampir tujuh dekade, media yang bisadisebut sebagai jurnal akademis berwibawa dan mampu bertahan lamajumlahnya memang tak lebih dari lima jari tangan. Jika patokannya adalahangka empat puluh tahun, saat ini jurnal yang usianya mampu melampauiangka itu hanya empat. Pertama, adalah Majalah Basis yang terbit diYogyakarta dan pertama kali terbit pada 1951. Hingga kini majalah tersebut

5Lihat Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti (Jakarta:

Karya Unipress, 1983).

Page 4: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

4

masih rutin mengunjungi pembacanya tiap bulan. Kedua, adalah JurnalEkonomi dan Keuangan Indonesia (Economics and Finance in Indonesia),yang diterbitkan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat(LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jurnal ini pertama kaliterbit pada 1952 dan hingga kini masih setia mengunjungi pembacanya.Ketiga, adalah Majalah Analisa yang terbit pada 1971 dan diterbitkan olehCSIS (Center for Strategic and International Studies). Pada 1989, majalah iniberubah namanya menjadi Analisis CSIS.6 Dan keempat, adalah MajalahPrisma, yang nomor perdananya terbit pada November 1971 dan diterbitkanoleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi danSosial), dimana Dawam pernah menjadi bagian darinya, dan bahkanmerupakan salah satu bagian terpentingnya. Meskipun Prisma pernahberhenti terbit selama kurang lebih satu dekade, pada Juni 2009 majalah inikembali mengunjungi pembaca, meski tak lagi setiap bulan seperti dulu,melainkan tinggal setahun tiga kali.7 Meskipun demikian, ketika Prismaterbit kembali, yang mengangkat topik Senjakala Kapitalisme danDemokrasi, redaksi Prisma tidak menghitung tahun yang vakum itu sebagaibagian dari periode terbitnya, sehingga volume terbitnya terhitung 28 (No.1/XXVIII). Dari keempat media itupun, hanya Basis dan Prisma bisadikatakan berstatus sebagai referensi bersama, mengingat oplag danpersebarannya yang memang luas.

Ketiga, kelangkaan itu memang lahir dari kemalasan saja. Kemalasan inigampang kawin-mawin dengan berbagai hal, termasuk dengan feodalismedan egosentrisme yang telah disebut di muka.

Cermin dari langkanya kebiasaan untuk saling membaca dan mengujiini bisa dilihat dari jumlah karya sekunder mengenai pemikiran para sarjanaIndonesia, baik yang terbit dalam bentuk buku maupun artikel. Dari segiobyek, di antara sarjana Indonesia, sejauh ini, yang paling lazim dijadikanobyek studi barangkali adalah Soedjatmoko. Ini bisa dilihat dari jumlahpublikasi yang menuliskan pemikiran Soedjatmoko, baik yang padamulanya dilakukan untuk keperluan akademis (penulisan skripsi, tesis dandisertasi), maupun keperluan lainnya. Selain Soedjatmoko, beberapa sarjanaIndonesia lainnya yang juga sudah lazim dijadikan obyek studi pemikiranadalah Tan Malaka, Mohammad Hatta, Nurcholish Madjid, danKuntowijoyo. Daftarnya, meski masih ada beberapa nama lain, memangsangat sedikit.8

6CSIS 20 Tahun (Jakarta: CSIS, 1991).

7Prisma terakhir kali terbit pada 1998, yang ditandai oleh edisi Prisma No. 1/XXVII, September-

Oktober 1998. Lihat Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru(Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 503-512.8

A. Nashih Luthfi, Amien Tohari dan Tarli Nugroho, Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awalatas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto (Yogyakarta: STPN-Pressdan Sayogyo Institute, 2010), hal. ix-xv.

Page 5: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

5

Tentu, tulisan-tulisan tentang sarjana Indonesia tidak sesedikit itu, jikayang dimaksudkan dengan tulisan tentang sarjana itu adalah tulisanmengenai pribadinya. Setiap kali ada tokoh sarjana berulang tahun,biasanya pada angka antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, telahbanyak terbit buku berisi kumpulan karangan mengenai mereka. Tapi diantara karangan-karangan itu, jika kita periksa kembali, sangat sedikit yangumumnya berusaha memberikan ulasan mendalam terhadap gagasan sangsarjana yang ditulis, apalagi yang disertai dengan kritik yang serius dan taksekadar berisi puja-puji. Hadirnya tulisan yang serba-sedikit itupun masihbelum membatalkan penilaian tentang keengganan saling membaca danmenguji sesama tadi, karena jika diperhatikan kajian-kajian yang pernahada itu umumnya dilakukan oleh generasi yang jauh lebih muda terhadapseniornya yang lebih tua. Artinya, jika dilakukan oleh generasi sarjana yangberbeda, kita masih bisa menemukan sejumlah kecil karangan yangmembesarkan hati. Namun, jika paramaternya diperketat menjaditimbangan antar-sarjana yang segenerasi, yang langka itupun menjadisemakin lamat-lamat. Dan jika parameternya diubah lagi menjadi seorangsarjana senior yang menulis pemikiran juniornya, yang lamat-lamat itupunmusnah sudah. Persis di titik itulah peran kesarjanaan Dawam menjadisangat istimewa.

Dawam, sebagaimana telah disinggung di muka, misalnya, tak seganuntuk membahas pemikiran Kuntowijoyo, intelektual yang segenerasidengannya dan sama-sama bekas anggota Limited Group, sebuah kelompokdiskusi yang mereka dirikan ketika masih sama-sama mahasiswa.9 Makalahyang disebut di bagian awal bukanlah makalah pertama yang ditulis Dawammengenai pemikiran Kunto, dan sepertinya juga bukan yang terakhir.Demikian juga, ia tak sungkan untuk membahas pemikiran Mubyarto, yangmeskipun secara de facto Mubyarto pernah menjadi gurunya ketika masihmenjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM,10 usia mereka sebenarnya takterpaut jauh, yaitu lebih kurang hanya empat tahun. Dalam buku

9Limited Group, atau Lingkaran Diskusi Limited Group, adalah kelompok diskusi yang dibentuk

oleh Dawam dan beranggotakan sejumlah mahasiswa yang di kemudian hari menjadi sarjana-sarjana terkemuka, seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Syafii Maarif, Amien Rais,Kuntowijoyo, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, dan lain-lain. Mereka berkumpul tiap Jumat sore dikediaman Prof. Dr. A. Mukti Ali, di Demangan, Yogyakarta. Mukti Ali, yang kemudian menjadiMenteri Agama dalam Kabinet Pembangunan II (1973-1978), bertindak sebagai mentor bagianak-anak muda ini. Lihat, misalnya, Djohan Effendi, “Intelektual Muslim yang Selalu Gelisah:Kesaksian Seorang Sahabat”, dimuat dalam Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, dan J.H. Lamardy,Demi Toleransi Demi Pluralisme: Esai-esai untuk Merayakan 65 Tahun M. Dawam Rahardjo(Jakarta: Paramadina, 2007), hal. 34.10

Mubyarto (1938-2005) menyelesaikan pendidikan doktornya dari Iowa State University pada1965 dalam usia 27 tahun. Sekembalinya ke Indonesia ia masih sempat bertemu dengan Dawamyang masih berstatus mahasiswa. Dalam wawancara yang dilakukan penulis pengantar ini denganDawam, salah satu mata kuliah yang diambilnya dan diajar oleh Mubyarto adalah ekonometri.

Page 6: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

6

Habibienomics,11 misalnya, meskipun pokok telaahnya adalah mengenaipemikiran ekonomi Habibie dalam peta kebijakan ekonomi pembangunanIndonesia, yang ditimbang dengan gagasan Mohammad Hatta, SjafruddinPrawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, dan Widjojo Nitisastro, sarjana-sarjana yang pernah menempati posisi-posisi sentral dalam pengambilankebijaksanaan pembangunan Indonesia, Dawam tetap memasukan gagasanMubyarto, mengenai Ekonomi Pancasila, sebagai sebuah gagasan pentingdalam sawala itu. Meskipun Mubyarto tidak pernah menempati posisisentral dalam pengambilan kebijaksanaan pembangunan Indonesia,12

sebagaimana para teknokrat yang telah disebutkan, namun dalampandangan Dawam, Mubyarto adalah ekonom yang menuliskan gagasannyasecara jelas dan konsisten, terutama dalam kaitannya dengan pembangunanekonomi, sehingga patut dijadikan timbangan dalam setiap perbincanganmengenai ekonomi pembangunan Indonesia.13 Dan itu berbeda, misalnya,dengan Widjojo, yang meskipun memainkan posisi penting dalampengambilan kebijakan ekonomi di masa Orde Baru, namun apa yangsering disebut sebagai “Widjojonomics” pada dasarnya hanya bisa diikutidari produk-produk kebijakan yang dikeluarkannya saja, karena di levelkonsep tidak pernah dituliskan secara jelas, dan kalaupun ada risalah yangbisa dianggap sebagai manifesnya, risalah itupun tidak ditulisnya sendiridan secara khusus. Karangan-karangan Widjojo, misalnya, sangat sulituntuk ditemui.14 Bagi sosok yang menduduki posisi sangat penting, dandianggap sebagai pemimpin dari sekelompok ekonom paling berpengaruhdalam perumusan kebijakan ekonomi di masa Orde Baru,15 kelangkaan initentunya cukup mengherankan. Di antara para anggota—meminjam istilahDavid Ransom— “The Berkeley Mafia”, yang rajin menuliskan pendapat dananalisisnya, dalam berbagai rupa karangan, hanyalah Mohamad Sadli dan

11M. Dawam Rahardjo, Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (Jakarta:

Pustaka Cidesindo, 1997).12

Mubyarto, pada usia yang masih muda, memang pernah menjadi Penasihat MenteriPerdagangan dalam Analisis Harga dan Hubungan-hubungan Harga Hasil-hasil Pertanian danKebijaksanaan Pangan (1968-1971), yang waktu itu dijabat oleh Sumitro Djojohadikusumo. Iajuga pernah menjadi Asisten Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/KetuaBappenas, yang dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita, untuk bidang Peningkatan Pemerataan danPenanggulangan Kemiskinan (1993-1999). Meskipun dua posisi yang pernah didudukinya itucukup penting, namun posisi itu bukanlah posisi yang bersifat struktural dalam lingkunganpemerintahan.13

Ibid., hal. 6.14

Pada 2010, atau jauh setelah Widjojo pensiun, kumpulan karangannya baru diterbitkan. BacaWidjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian WidjojoNitisastro (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010).15

David Ransom, pada 1970, menyebut para ekonom yang berada di bawah koordinasi Widjojoini, yang sebagian besar berasal dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sebagai “TheBerkeley Mafia”. Lihat David Ransom, “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre”, dimuatdalam Majalah Ramparts, Vol. 9/No. 4, October 1970.

Page 7: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

7

Emil Salim. Karangan keduanya mudah dijumpai pada berbagai media, baiksurat kabar, majalah, maupun jurnal-jurnal akademis.

Pada 1986, BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), sebuah jurnalyang diterbitkan oleh Indonesia Project di Australian National University(ANU), menerbitkan serial tulisan bertajuk “Recollections of My Career”yang berisi wawancara dengan sejumlah teknokrat dan pengusaha seniorIndonesia, sebagian besar di antaranya adalah teknokrat ekonomi di masaOrde Baru, mengenai pengalaman mereka dalam mengelola perekonomianIndonesia. Teknokrat pertama yang diwawancara adalah SumitroDjojohadikusumo.16 Wawancara-wawancara itu dilakukan dalam berbagaivariasi oleh Anne Booth, Thee Kian Wie, J.A.C. Mackie, Hal Hill, HowardDick, H.W. Arndt, dan Chris Manning, yang merupakan redaktur-redakturBIES. Teknokrat lainnya yang diwawancara adalah SjafruddinPrawiranegara,17 Sarbini Sumawinata,18 Mohamad Sadli,19 SuhadiMangkusuwondo,20 Emil Salim,21 dan Subroto.22 Dua nama lain yang jugadiwawancara dalam serial artikel di BIES itu adalah SoedarpoSastrosatomo,23 dan Teuku Mohamad Daud.24 Ketika rangkaian ituditerbitkan menjadi buku pada 2003,25 yang disunting oleh Thee Kian Wie,buku itu juga mencakup wawancara dengan Mohammad Saubari26 danAbdoel Raoef Soehoed,27 yang meskipun tajuk artikelnya ketika terbit diBIES bukan “Recollections of My Career”, namun isinya sama-sama diangkatdari wawancara dan berisi refleksi terkait dengan kebijakan ekonomiIndonesia. Baik serial artikel yang telah dimuat BIES, maupun setelahditerbitkan menjadi buku, sama-sama tidak memuat wawancara denganWidjojo. Dalam bagian pendahuluan, Thee menyebut bahwa wawancaradengan Widjojo, dan juga Ali Wardhana, tidak pernah berhasil dilakukan.28

Kelangkaan yang menguntit Widjojo sebagaimana yang telah disebutitupun genap sudah.

Kembali ke Dawam, meskipun dia termasuk sebagai salah satupenggagas Ekonomi Pancasila, dan merupakan salah satu pembicara pada

16BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 22/No. 3, December 1986, hal. 27-39.

17BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 23/No. 3, December 1987, hal. 100-108.

18BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 28/No. 2, August 1992, hal. 43-53.

19BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 29/No. 1, April 1993, hal. 35-51.

20BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 32/No. 1, April 1996, hal. 33-49.

21BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 33/No. 1, April 1997, hal. 45-74.

22BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 34/No. 2, August 1998, hal. 67-92.

23BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 30/No. 1, April 1994, hal. 39-58.

24BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 35/No. 3, December 1999, hal. 41-50.

25Thee Kian Wie (Editor), Recollections: The Indonesian Economy, 1950-1990 (Singapore: ISEAS,

2003).26

BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 23/No. 2, August 1987, hal. 118-121.27

BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 24/No. 2, August 1988, hal. 43-57.28

Thee, Recollections, op. cit., hal. xiv.

Page 8: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

8

Seminar Ekonomi Pancasila yang pertama pada 1980 di Bulaksumur,29

namun dalam setiap karangannya mengenai Ekonomi Pancasila ia selalumenempatkan figur dan pemikiran Mubyarto dalam posisi penting dan takpernah berusaha untuk menonjol-nonjolkan dirinya, meskipun sumbanganDawam pada gagasan Ekonomi Pancasila tak kalah pentingnya. SelainMubyarto, bersama dengan Hidayat Nataatmadja dan juga Sri-Edi Swasono,Dawam memang termasuk ekonom yang terus mengembangkan gagasantersebut, pada berbagai aspeknya. Pada 2004, misalnya, Dawam menulissebuah buku utuh berisi tinjauan filosofis yang teoritis terhadap gagasanEkonomi Pancasila.30 Ia mengkaji aspek ontologis, aksiologis, danepistemologis dari gagasan tersebut. Dawam menulis bahwa EkonomiPancasila merupakan pemikiran ekonomi alternatif, sama seperti halnyaTeori Ketergantungan yang lahir di Amerika Latin. Hanya saja, EkonomiPancasila belum mengalami “internasionalisasi”, meskipun salah satuelemen teorinya, yaitu teori ekonomi dualistis—yang diperkenalkan J.H.Boeke, telah menjadi kosa kata dalam pemikiran ekonomi internasional.31

Pendekatan penting yang dilakukan oleh Dawam dalam kaitannya denganEkonomi Pancasila adalah ia mengemukakan konsep Ekonomi Pancasiladalam rumusan positif, dan bukan dalam kerangka defensif atau counter-concept. Meminjam bahasa Ignas Kleden, lebih mudah merumuskan apayang “bukan” Ekonomi Pancasila—sebuah perspektif counter-concept,daripada menjelaskan “apa itu” Ekonomi Pancasila, yang merupkan ciri darikonsep positif.32 Melalui bukunya tadi, dan beberapa karangannya yanglain,33 Dawam berusaha mengemukakan dan mengelaborasi gagasanEkonomi Pancasila menurut sebuah kerangka konsep positif. Terkaitdengan usahanya tersebut, apa yang telah dikerjakan Dawam kurang lebihserupa dengan sumbangan yang telah diberikan oleh Hidayat Nataatmadja.

29Prosiding seminar tersebut telah diterbitkan dalam Mubyarto dan Boediono (Editor), Ekonomi

Pancasila (Yogyakarta: BPFE, 1981). Ada delapan belas pemakalah dalam seminar tersebut,dimana Dawam termasuk salah satu di antaranya. Namun, dari delapan belas pemakalah itu,hanya Mubyarto, Hidayat Nataatmadja, dan Dawam yang kemudian tercatat terusmengembangkan gagasan tersebut dalam beberapa aspeknya.30

M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur(Yogyakarta: PUSTEP-UGM, 2004).31

Ibid., hal. 4.32

Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 160.33

M. Dawam Rahardjo, “Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila dan Pembangunan EkonomiIndonesia”, dalam Ainur R. Sophiaan (Editor), Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen StrategisPembangunan Masyarakat Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 107-136; “EkonomiPancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu”, makalah disampaikan pada Kuliah EkstrakurikulerEkonomi Pancasila (KEEP) yang diadakan oleh Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM,Januari 2004; dan “Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, Sistem dan Konstitusi”,makalah disampaikan pada acara KEEP, April 2005. Karangan-karangan ini memberikan kerangkayang positif terhadap gagasan Ekonomi Pancasila.

Page 9: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

9

Tak hanya dalam kapasitasnya sebagai seorang sarjana, yangmemberikan dukungan pemikiran, dalam kapasitasnya sebagai tokoh diLP3ES, Dawam juga turut mendukung gagasan itu melalui kerangkakelembagaan, misalnya, melalui penerbitan dua buku mengenai EkonomiPancasila yang ditulis Mubyarto.34 Pendek kata, Dawam tak merasa dirinyamenjadi sub atau menjadi tidak penting ketika sedang membicarakangagasan orang lain, meskipun itu adalah kawannya sendiri dan/atau merekayang lebih muda darinya. Sebagai seorang sarjana ia sama sekali terbebasdari beban-beban egosentrisme semacam itu, sehingga ia bisa leluasamembahas gagasan siapapun secara jernih.

Di Indonesia, keleluasaan sebagaimana yang melekat pada Dawam itubarangkali hanya bisa “ditandingi” oleh Ignas Kleden, yang secara kebetulanpernah bekerja sebagai asistennya di LP3ES.35 Ignas, misalnya, secara seriusdan panjang lebar pernah membahas puisi-puisi yang ditulis Todung MulyaLubis dan Mochtar Pabottingi.36 Todung dan Mochtar bukanlah penyairseperti Joko Pinurbo atau Dorothea Rosa Herliany, yang puisi-puisinya jugapernah dibahas secara panjang lebar oleh Ignas,37 namun itu takmenghalangi seorang Ignas untuk menulis sebuah tinjauan serius yangpanjangnya menakjubkan bagi keduanya. Meski kasus ini terjadi di areakesusastraan, dan bukan di area pemikiran sosial, namun bahasan-bahasansebagaimana yang pernah ditulis Ignas terhadap sejumlah sastrawan atautokoh yang menulis sastra tadi juga berhadapan dengan kelangkaan sejenis.Dunia kesusastraan dan pemikiran kebudayaan Indonesia di akhir abadkedua puluh dan awal abad kedua puluh satu adalah dunia yang miskinpembahas dengan keleluasaan sebagaimana yang masih dimiliki Ignas. Ini,dengan catatan, dengan mengabaikan sejumlah bahasan yang dilakukanoleh para penulis yang lebih muda terhadap karya-karya penulis yang lebihtua. Agaknya, kemiskinan para pembahas, jika melihat apa yang telahterjadi, memang telah menjadi gejala umum.

Lebih jauh terkait dengan posisi dan sumbangan Dawam bagi gagasanEkonomi Pancasila, ada baiknya soal itu disinggung juga dalam pengantar

34Dua buku itu adalah Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (Jakarta: LP3ES,

1987) dan Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988).35

Ignas Kleden pernah menjadi staf dan merupakan salah satu bagian penting dari LP3ES.Penyebutan bahwa Ignas pernah menjadi asisten Dawam merujuk kepada wawancara yangdilakukan oleh penulis pengantar ini pada 19 Maret 2012 dengan Dawam sendiri.36

Ignas Kleden, “Saatnya Membaca Puisi Kembali”, kata pengantar untuk kumpulan sajak TodungMulya Lubis, Sudah Masanya Kita Membaca Puisi Kembali (Jakarta: tanpa penerbit, 1999); IgnasKleden, “Puisi sebagai Medium”, kata pengantar untuk buku kumpulan puisi Mochtar Pabottingi,Dalam Rimba Bayang-bayang (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).37

Ignas Kleden, “Puisi: Membaca Kiasan Badan”, kata pengantar untuk Joko Pinurbo, Di BawahKibaran Sarung (Magelang: Indonesia Tera, 2001). Lihat juga Ignas Kleden, “Dari PenyimpanganSemiotik ke Perlawanan Politik: Sajak-sajak Dorothea Rosa Herliany”, dalam Ignas Kleden, SastraIndonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (Jakarta: Grafiti, 2004), hal. 309-339.

Page 10: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

10

ini. Selama ini, tulisan-tulisan terkait dengan sosok dan pemikiran Dawamsepertinya lebih banyak memotret dan menimbang kiprahnya di bidangpemikiran keagamaan, ilmu sosial, atau sebagai seorang cendekiawan perse, dan langka sekali yang pernah memberi catatan atas kiprahnya di bidangpemikiran ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila.Padahal, sumbangannya terhadap bidang tersebut tidak sedikit. Bahkan,dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila, Dawam terhitung sebagaisalah satu pemikir utamanya.

Ekonomi Pancasila: Antara Ekonomi-Politik dan Politik EkonomiIstilah Ekonomi Pancasila, meskipun sejak 1980 identik dengan figur

Mubyarto, sebenarnya pertama kali diperkenalkan dan dipergunakan olehEmil Salim. Ekonom yang merupakan anggota keluarga The Berkeley Mafiaitu telah mengintroduksi istilah Ekonomi Pancasila sejak 1965. Ini sekaligusmengkoreksi tulisan Mudrajad Kuncoro yang menyebut bahwa istilahEkonomi Pancasila pertama kali digunakan oleh Emil Salim pada 1966, yaitumerujuk tulisannya di Harian Kompas, 30 Juni 1966, bertajuk “SistemEkonomi Pantjasila”.38 Pada tahun itu, Emil Salim paling tidak—sejauh yangbisa ditelusuri—mempublikasikan dua karangan mengenai EkonomiPancasila, yaitu satu dalam bentuk monografi yang diterbitkan olehLEKNAS (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional),39 dan satudalam bentuk bab pada sebuah buku yang juga diterbitkan oleh LEKNASdan secara khusus dipersembahkan kepada para peserta pendidikan diLemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional).40

Pada karangannya yang pertama Emil Salim membahas empat modelsistem ekonomi, yaitu Ekonomi Swasta, Ekonomi Kontrol, EkonomiKolektif, dan Ekonomi Perencanaan Sentral. Pembahasan mengenai model-model sistem dan teori-teori mengenai sistem ekonomi yang dilakukannyaadalah dalam rangka mencari dan merumuskan sistem ekonomi yang sesuaidengan Indonesia. Pada laporannya itu, Emil Salim masih menggunakan

38Lihat Mudrajad Kuncoro, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan (Yogyakarta:

UPP AMP YKPN, 2000; edisi pertama, cetakan kedua), hal. 198. Hingga edisi yang terkini,kekeliruan ini masih belum dikoreksi. Lihat juga Mudrajad Kuncoro, “Sistem Ekonomi Pancasila:Antara Mitos dan Realitas”, dimuat dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (JEBI), Vol.16/No.1/2001, hal. 88-96.39

Emil Salim, Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Lembaga Ekonomi danKemasjarakatan Nasional, 1965). Monografi setebal 94 halaman itu diberi pengantar oleh WidjojoNitisastro, dimana pengantarnya bertiti mangsa 1 Agustus 1965.40

Emil Salim, “Politik dan Ekonomi Pantjasila”, dimuat dalam Widjojo Nitisastro dkk., Masalah-masalah Ekonomi dan Faktor-faktor IPOLSOS (Ideologi, Politik, Sosial) (Jakarta: LEKNAS, 1965),hal. 81-97. Buku ini juga dipengantari oleh Widjojo, dan bertiti mangsa 27 November 1965. SelainEmil Salim, para penyumbang tulisan dalam buku ini adalah Widjojo Nitisastro (yang jugamenuliskan kata pengantar), Ali Wardhana, Fuad Hasan, Selo Soemardjan, Mohammad Sadli,Barli Halim, Bintoro Tjokroamidjojo, Subroto, Soelaiman Soemardi, dan Kartomo Wirjosuhardjo.

Page 11: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

11

istilah “Sistem-Ekonomi Sosialisme Pantjasila”. Baru pada kertas kerja yangditulisnya kemudian, yang sangat menekankan pentingnya pemerintahmemikirkan masalah pembangunan ekonomi untuk mengimbangikeberhasilan Indonesia dalam pembangunan politik, istilah yang digunakanEmil Salim berubah menjadi “Ekonomi Pancasila”.41 Meski telah digunakanpada dua tulisan tadi, istilah Ekonomi Pancasila baru benar-benar“bergaung” setelah Emil Salim menulis sebuah makalah bagi Seminar KAMI,Januari 1966,42 dan sebuah artikel di Harian Kompas pada Juni 1966.43

Artikel pendek itu kemudian disambung lagi pada 1979 oleh sebuah artikelpanjang Emil Salim di Majalah Prisma.44 Beberapa tulisan yang pernahmembahas gagasan Ekonomi Pancasila, seperti tulisan Mudrajad Kuncorosebagaimana telah disebutkan sebelumnya, biasanya paling akhir hanyamerujuk pada tulisan Emil Salim yang dimuat di Kompas—atau dalamSeminar KAMI—ketika menyebut kapan pertama kali istilah itu muncul,dan tidak memperhatikan kalau istilah telah diperkenalkan sejak setahunsebelumnya.

Menarik untuk memperhatikan, ada jeda yang sangat panjang dari sejakpertama kali istilah Ekonomi Pancasila diperkenalkan hingga istilah itukembali dibicarakan. Setelah tulisan-tulisannya pada tahun 1966, EmilSalim baru menggunakan lagi istilah itu pada 1979, melalui tulisanpanjangnya di Prisma. Artinya, ada jeda selama 13 tahun. Tulisan Emilitupun bukan merupakan tulisan pertama mengenai Ekonomi Pancasilapada dekade 1970-an. Sebelumnya, pada 1978, Christianto Wibisono jugamenulis sebuah artikel panjang di Majalah Analisis, berjudul “MenujuSistem Ekonomi Pancasila”.45 Pada awal 1979, tepatnya pada 16 Februari1979, di Jakarta juga telah berdiri Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila(LPEP). Lembaga ini dipimpin oleh Drs. Soerowo Abdulmanap, dan sebagaipenasihatnya adalah Mohammad Hatta, Proklamator kita.46 Pada tahun

41Emil Salim, “Politik dan Ekonomi Pantjasila”, ibid.

42Emil Salim, “Membina Ekonomi Pancasila”. Tulisan ini, bersama dengan seluruh makalah yang

dipresentasikan pada seminar tersebut, dibukukan dalam Seminar KAMI, Jalur Baru SesudahRuntuhnya Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man and the Gun) (Jakarta: Sinar Harapan, 1984,cetakan kedua). Tulisan Emil Salim bisa dilihat di hal. 110-121.43

Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat Harian Kompas, 30 Juni 1966. Tulisan inidimuat kembali dalam buku Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia: Perkembangan Pemikiran 1965-1981 (Jakarta: Gramedia, 1982), hal. 36-38. Buku itu disunting oleh Redaksi Ekonomi HarianKompas sendiri. Tulisan tersebut juga bisa dibaca pada Emil Salim, Kembali ke Jalan Lurus, Esai-esai 1966-1999 (Jakarta: Alvabet, 2000), hal. 3-5.44

Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat dalam Majalah Prisma, No. 5/VIII, Agustus1979, hal. 3-9.45

Christianto Wibisono, “Menuju Sistem Ekonomi Pancasila”, dalam Majalah Analisis, No. 3/VII,1978, hal. 215-240.46

Soal keberadaan lembaga ini terdokumentasikan dalam buku LPEP, Ekonomi Pancasila (Jakarta:Penerbit Mutiara, 1980). Buku diterbitkan sebagai peringatan ulang tahun yang pertama darilembaga tersebut.

Page 12: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

12

1979 itu, selain tulisan Emil Salim, sebelumnya Mubyarto juga telah mulaimenggunakan istilah Ekonomi Pancasila. Di Harian Kompas, 3 Mei 1979,Mubyarto menulis artikel berjudul “Koperasi dan Ekonomi Pancasila”. Dansetelahnya, pada 6 Juli 1979, juga di Harian Kompas, Sunario Waluyomenulis artikel “Pemikiran tentang Ekonomi Pancasila”.

Kalau menyimak lagi sejarah, barangkali dalam sejarah ilmu sosial diIndonesia, tak ada polemik yang lebih besar daripada “Polemik EkonomiPancasila” yang terjadi pada awal 1980-an. Pada 1957 memang sempatterjadi perdebatan penting dalam “Seminar Sedjarah” yang diadakan olehKementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dengan UniversitasGadjah Mada. Namun, perdebatan dalam seminar itu tidak banyakmerembes keluar forum, sehingga tak sampai menjadi polemik.47 Adapun“Polemik Ekonomi Pancasila”, yang terjadi sejak akhir tahun 1980 danberlangsung hampir sepanjang tahun 1981, melibatkan tulisan dan pendapatdari puluhan sarjana, bukan hanya dari lingkungan ilmu ekonomi,melainkan juga dari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, hukum, politik, danlain-lain. Bahkan, polemik tersebut juga telah memancing perhatiansejumlah Indonesianis untuk mengutarakan pendapatnya.48 Sejak 1980hingga 1981, tak kurang digelar 4 seminar penting yang membicarakan topikitu, yang digelar baik di Yogyakarta maupun di Jakarta.

EMPAT SEMINAR EKONOMI PANCASILA, 1980-1981

Tempat/Waktu Tajuk Penyelenggara Para Pembicara

Yogyakarta19 September 1980

SeminarEkonomi Pancasila

Fakultas EkonomiUGM

Ace Partadiredja, BambangRiyanto, Boediono, M. DawamRahardjo, Dibyo Prabowo,Hadori Yunus, Harsono, HidayatNataatmadja, Kadarman, KaptinAdisumarta, Mubyarto,Roekmono Markam, SarinoMangunpranoto, Soediyono,Soetatwo Hadiwigeno, SoetrisnoPH, Sudarsono, Sulistyo

Jakarta19-20 Oktober 1980

SeminarSistem Ekonomi

Pancasila

Lembaga PengkajianEkonomi Pancasila

(LPEP)

Arief Budiman, BambangKrisnamurthi, Mubyarto, Sarbini

Jakarta23-26 Juni 1981

SimposiumSistem Ekonomi

Pancasila

Dewan PertahananKeamanan Nasional

dan DepartemenDalam Negeri Republik

Indonesia

Abdul Rachman Panetto, AdiSasono, Affendi Anwar, ArionoAbdulkadir, BintoroTjokroamidjojo, Boediono,Hidayat Nataatmadja, HindersahWiratmadja, M. Dawam RahardjoMubyarto, Roekmono Markam,Soerjanto Poespowardojo, Sri-Edi

47Lihat buku Seminar Sedjarah, Laporan Lengkap Atjara I dan II tentang Konsepsi Filsafat

Sedjarah Nasional dan Periodisasi Sedjarah Indonesia, Seri 2 (Yogyakarta: UGM, 1958).48

Lihat, misalnya, R. William Liddle, “The Politics of Ekonomi Pancasila: Some Reflections onRecent Debate”, dimuat dalam BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 18/No. 1,March 1982, hal. 96-101; Peter McCawley, “The Economics of Ekonomi Pancasila”, dimuat dalamBIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 18/No. 1, March 1982, hal. 102-109.

Page 13: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

13

Swasono, Sutopo Yuwono,Syamsuddin Mahmud, T.M.H.L.Tobing, Thamrin Nurdin,Wagiono Ismangil

Yogyakarta19 September 1981

Seminar IIEkonomi Pancasila

Fakultas EkonomiUGM

Ahmad Azhar Basyir, Frans Seda,Handjilin, Harsoyono Subyakto,Heidjrachman R., HerqutantoSosronegoro, HidayatNataatmadja, Mubyarto, Pdt.Chris Marantika THN, SamiadjiDjajengminardo, SarinoMangunpranoto , Soehardi Sigit,Soetrisno P. H., Sudarsono,Warsito Singowardono

Sumber: Tarli Nugroho (2010), diolah dari berbagai sumber.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, meski sebagai sebuahistilah Ekonomi Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Emil Salim,dalam perjalanannya istilah tersebut kemudian lebih lekat dengan namaMubyarto. Memang, Mubyarto-lah yang kemudian serius mengembangkangagasan tersebut, baik dalam wilayah keilmuan maupun sebagai identitasbagi praksis kebijakan. Pada 19 September 1980, atas inisiatif Mubyarto pula,gagasan Ekonomi Pancasila untuk pertama kalinya diseminarkan,bertepatan dengan Dies Natalis Fakultas Ekonomi UGM ke-25. Ada 18 orangsarjana yang memberikan sumbangan pemikiran kala itu, dari sudut makroekonomi, mikro ekonomi, teori pembangunan, etika ekonomi dan gagasanmengenai konsep manusia Indonesia untuk menyempurnakan konsephomo oeconomicus. Dawam termasuk ke dalam salah satu pembicara padaseminar tersebut.

Seminar di Yogya tadi ternyata mampu menarik perhatian. WacanaEkonomi Pancasila kemudian direspon oleh pemerintah dalam bentukseminar pula yang diselenggarakan oleh Dewan Pertahanan KeamananNasional (Wanhankamnas) dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada23 hingga 26 Juni 1981, yang prosidingnya kemudian diterbitkan menjadisebuah buku berjudul Wawasan Ekonomi Pancasila (1981).49 Jika seminar diYogya lebih banyak menekankan aspek teoritis keilmuan, maka seminar diJakarta ini terutama mengelaborasi Ekonomi Pancasila sebagai gagasanmengenai sistem ekonomi, dan bukan sebagai teori ekonomi (baru).Beberapa pembicara dari seminar di Yogya juga turut menjadi pembicarapada seminar kedua ini, yaitu Mubyarto, Hidayat Nataatmadja, RoekmonoMarkam, Boediono, dan juga Dawam.

Meski sama-sama menggunakan istilah Ekonomi Pancasila, terdapatperbedaan mendasar antara apa yang dimaksud dengan Ekonomi Pancasilaoleh Emil Salim dengan menurut Mubyarto dan kawan-kawannya, atau“versi Yogya”. Jika Emil Salim menerjemahkan istilah tadi sebagai gagasan

49Abdul Madjid dan Sri-Edi Swasono (eds.), Wawasan Ekonomi Pancasila (Jakarta: UI-Press, 1981)

Page 14: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

14

mengenai sistem perekonomian, atau politik perekonomian, makaMubyarto menggunakannya sebagai sebentuk teori kritis untuk mengkritikteori ekonomi Neoklasik (mainstream economics). Atau, jika diperinci lebihjelas lagi, perbedaan pokok antara gagasan Emil Salim dengan Mubyarto ituterletak pada aspek konseptual dan historis yang melatari kelahiran istilahtadi. Secara historis, gagasan Ekonomi Pancasila Emil Salim adalahmencoba memberi pendasaran terhadap jalan ekonomi yang akan diambiloleh Orde Baru; sementara Ekonomi Pancasila versi Yogya adalah justruhendak memberikan kritik terhadap jalan ekonomi Orde Baru.

Sedangkan jika dilihat secara konseptual, ketika memperkenalkanistilah itu, Emil Salim tidak sedang bertendensi hendak menyusun teoriekonomi baru, atau sistem ekonomi baru, sebagaimana yang terasa kentaldalam Seminar Ekonomi Pancasila di Yogya pada 1980. Emil, sebagaimanabisa diikuti dalam pemikiran-pemikirannya kemudian, tidak pernahmengemukakan pandangan bahwa ada yang keliru dari ilmu ekonomimainstream (neoklasik). Ia selalu berpandangan bahwa ilmu ekonomi ituuniversal. Jika terdapat ketidaksesuaian antara teori ekonomi denganpraktik, maka kekeliruan itu terletak di praktik. Jadi, menurut Emil, tidakada gunanya menyusun teori baru karena memang ilmu ekonomi tidak adayang keliru, hanya penerapannya saja yang mungkin keliru.50

Pandangan itu tentu saja jauh berseberangan dengan pendapatMubyarto dan pendapat para pembicara yang mengemuka dalam Seminar1980. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi pada 1979,Mubyarto, dengan tegas mengemukakan bahwa ilmu ekonomi mainstreamtidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Dalam pandanganMubyarto, teori ekonomi neoklasik (mainstream economics) bukan hanyatidak mampu mendistribusikan kue ekonomi secara merata, sebuahmasalah yang dihadapi perekonomian Indonesia pada 1970-an (dan tetappermanen hingga hari ini), melainkan teori tersebut secara konseptualmemang tidak bersifat mendukung terhadap gagasan keadilan sosial.51

Dengan demikian, dalam pandangan Mubyarto, diperlukan bukan hanyaperubahan kebijakan untuk mendistribusikan kue ekonomi nasional,melainkan diperlukan juga sebuah teori ekonomi baru untukmelakukannya.52 Jadi, nampak benar bahwa perbedaan antara maksudEkonomi Pancasila sebagaimana diuar Emil Salim berlainan secarafundamental dengan yang dibentuk oleh Mubyarto dan kawan-kawannya.

50Baca wawancara Majalah Prisma dengan Emil Salim, “Emi Salim: Bukan Kesalahan Ilmu

Ekonomi”, dalam Majalah Prisma, No. 1/IX, Januari 1980, hal. 56-61.51

Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980).52

Mubyarto, Gagasan dan Metoda Berpikir Tokoh-tokoh Besar Ekonomi dan Penerapannya bagiKemajuan Kemanusiaan (Yogyakarta: BPFE, 1979). Tulisan ini merupakan pidato pengukuhanMubyarto sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada,diucapkan pada 19 Mei 1979.

Page 15: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

15

Tendensi untuk menolak keberlakuan teori ekonomi Barat di Indonesiasejatinya bukanlah merupakan fenomena baru tahun 1980-an. Sejak masakolonial, beberapa sarjana Belanda yang mengkaji perekonomian Hindia,juga telah melemparkan sejumlah keraguan atas kemampuan teori ekonomikonvensional dalam menjelaskan dinamika perekonomian di tanah jajahan.Tesis mengenai “Ekonomi Dualistis” (Dual Economies) sebagaimana yangdiajukan oleh Julius Herman Boeke pada awal abad ke-20, bisa jadimerupakan titik pangkal bagi munculnya gagasan mengenai teori baru bagiilmu ekonomi di Indonesia, yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda.Dalam disertasinya yang ditulis pada 1910, Tropisch-KolonialeStaathuishoudkunde: Het Probleem (Masalah Perekonomian KolonialTropik), Boeke pertama kali mengintrodusir tesis mengenai ekonomidualistis. Dari sudut ekonomi, menurut Boeke, sebuah masyarakat dapatditandai oleh tiga unsur, yaitu semangat sosial (social spirit), bentukorganisasi, dan teknik yang mendominasinya. Ketiga unsur ini salingberkaitan dan dalam kaitannya itu menentukan ciri khas dari masyarakatbersangkutan, yang disebut sebagai sistem sosial. Dalam sebuah masyarakatdimana pada waktu yang bersamaan memiliki dua atau lebih sistem sosial,dan tiap sistem itu berbeda satu sama lain, disebut masyarakat dualistisatau masyarakat plural (plural societies). Ekonomi dualistis merupakanimplikasi dari sistem sosial yang juga bersifat dualistis. Dalamperekonomian yang bersifat dualistis, sebagaimana yang ada di HindiaBelanda, maka diperlukan dua pendekatan ekonomi yang berbeda untukmemahami dua modus perekonomian tadi, dimana teori ekonomi umum(baca: Barat) tidak berlaku bagi sistem sosial yang bersifat khas.

Tesis Boeke tersebut kemudian memancing polemik yang melibatkanbanyak ekonom. Inti polemik terutama berkisar pada persoalan benarkahsistem sosial yang berbeda dengan masyarakat Barat—tempat dimana ilmuekonomi modern lahir dan dibesarkan—memerlukan teori ekonomitersendiri yang berbeda dengan teori umum? Di antara yang terlibat dalampolemik itu adalah Jacob van Gelderen, Dionijs Huibert Burger, dan G.H.van der Kolff. Van Gelderen, dalam tulisannya mengenai perekonomiantropis,53 berpandangan bahwa teori ekonomi umum bukannya tidak berlakusama sekali di Hindia Belanda. Ada keadaan-keadaan yang membuatkenapa sebuah teori kadang berlaku dan kadang tidak, dan itu tidak berartimembatalkan keabsahan teori yang bersangkutan. Sebagai jalan tengah daripandangan Boeke, van Gelderen mengemukakan bahwa di samping teoriekonomi murni, memang perlu pula dikembangkan teori ekonomi praktisatau aplikatif dalam bentuk kebijaksanaan ekonomi atau ekonomi-politik.Lebih jauh, menurut van Gelderen, untuk memahami perekonomian

53J. Van Gelderen, “Voorlezingen over Tropisch Koloniale Staathuishoudkunde” (1927). Risalah ini

pernah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Ilmu Ekonomi Jajahan DaerahKhatulistiwa” (Jakarta: Bhratara, 1981).

Page 16: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

16

Hindia, teori ekonomi umum memang tidak bisa langsung diterapkanbegitu saja, karena ada beberapa faktor yang membuatnya berbeda darikondisi yang diandaikan oleh teori ekonomi umum. Paling tidak ada tigafaktor yang disebut Boeke dan Gelderen dalam kaitannya dengan kondisispesifik Hindia Belanda waktu itu, yaitu pertama, faktor sosial-historisHindia Belanda itu sendiri; kedua adalah faktor geografi ekonomi; danketiga adalah faktor etnologi.

Keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada ilmu ekonomikonvensional semakin hari semakin bersifat terbuka. Tak heran jikakemudian pada bagian awal pidato pengukuhannya, yang dibacakan pada 19September 1978, Roekmono Markam menyebut bahwa tak ada persoalanyang paling menyulitkan para guru besar ekonomi waktu itu selainpersoalan “relevansi”.54 Persoalan yang sama pula yang telah mendorongMubyarto untuk terus berburu “kijang ilmiah” Ekonomi Pancasila. Baginya,keterbatasan yang melekat pada teori ekonomi konvensional tak bisa hanyadisiasati di level kebijakan, melainkan juga harus dicarikan kerangka teoritisbaru penggantinya, sebuah posisi yang jelas jauh berseberangan denganpandangan yang dipegang oleh Emil Salim.

Jika menyimak riwayatnya yang cukup panjang, ditambah dengansejumlah polemik yang pernah menyertainya, gagasan Ekonomi Pancasilasebenarnya bisa dikatakan telah “memiliki sejarah sendiri” dan merupakansalah satu milestone dari pemikiran kaum intelektual Indonesia. Meskipundemikian, Ekonomi Pancasila hingga kini masih merupakan gagasanfragmentaris yang belum tersimpul menjadi sebuah gagasan utuh. Secarateoritis, gagasan keilmuan ekonomi dibangun dari beberapa komponenteori, seperti teori tentang konsep manusia, teori sistem ekonomi, teoriekonomi (murni) dan teori ilmu pengetahuan. Pada Ekonomi Pancasila,komponen-komponen itu belum terlihat padu.

Meski beberapa sarjana terkemuka telah mencoba mengambil tempatuntuk merumuskan lebih jelas gagasan Ekonomi Pancasila, hasilnya masihjauh dari bisa dikatakan selesai. Pada 1985, misalnya, kumpulan ceramahSumitro Djojohadukusumo yang disampaikan melalui TVRI antara bulanSeptember hingga November 1984, dibukukan dan diberi tajuk “EkonomiPancasila”.55 Pada dasarnya Sumitro berusaha mengembangkan gagasanEkonomi Pancasila dari pendekatan normatif dengan menjabarkan sila-siladalam Pancasila. Namun, karena berupa kumpulan naskah ceramah,elaborasi yang bisa dilakukan tidak bersifat mendalam.

Berbeda dengan lazimnya polemik keilmuan yang biasanya hanyahangat di kalangan kesarjanaan, cukup menarik untuk memperhatikan

54Roekmono Markam, Menuju ke Definisi Ekonomi Post-Robbins (Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada, 1978), hal. 1.55

Sumitro Djojohadikusumo, Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila (Jakarta: IKPN-RI[Induk Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia], 1985)

Page 17: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

17

kenapa Polemik Ekonomi Pancasila sampai bisa “mencuri perhatian”pemerintah. Perspektif mengenai pertarungan medan kuasa di ruangpublik barangkali penting untuk menjelaskan hal ini. Secara ringkas bisadisampaikan bahwa salah satu sebab kenapa seminar di Yogya pada 1980“menarik perhatian pemerintah” adalah karena pada saat itu pemerintahsedang berusaha untuk memonopoli tafsir atas Pancasila, sehingga ketikasekelompok sarjana berbicara mengenai Pancasila dalam framing berupakritik terhadap pemerintah, tentu saja itu dianggap sebagai “ancaman” yangserius. Karena sebelumnya Orde Baru telah menjadikan Pancasila sebagaiujung tombak untuk melakukan de-Soekarno-isasi, delegitimasi terhadapanasir-anasir ideologis lama (seperti “sosialisme Indonesia” ataupun“sosialisme” secara umum), maka rezim neo-fasis tersebut tak ingin tombakyang sama kini menikam mereka.

Pada kenyataannya, tak kurang dari Soeharto sendiri ikut bicaramengenai Polemik Ekonomi Pancasila, dan komentarnya membuat orangtak lagi berani mengatakan selainnya. Dalam sebuah wawancara, Mubyartomengatakan bahwa sejak Soeharto ikut berkomentar mengenai EkonomiPancasila, dan itu dengan sejumlah tuduhan negatif, maka banyak di antarakawan-kawannya yang kemudian tiarap, tak lagi berani ngomong mengenaigagasan itu.56 Apa yang dilakukan oleh para pelopor Seminar EkonomiPancasila 1980, dari sudut pandang pemerintah, adalah mereka sedangmerongrong otoritas tunggal yang bisa menafsir Pancasila, yaitu pemerintahsendiri. Tak heran, meski sempat ramai diperbincangkan sepanjang tahun1981, gagasan Ekonomi Pancasila kemudian seperti balon kempes. Itulahyang kemudian membuat kenapa gagasan tersebut hanya identik dengannama Mubyarto.

Namun, meski intensi perbincangan versi Yogya adalah mencobamengelaborasi gagasan Ekonomi Pancasila sebagai ilmu (ekonomi politik),yang berbeda dengan versi Emil Salim dan juga versi seminar di Jakartayang lebih tertarik untuk membincangkan Ekonomi Pancasila sebagaisistem ekonomi (politik ekonomi), namun dalam kenyataannya Mubyarto,yang setelah 1980-an menanggung gagasan itu hampir seorang diri, tidakbanyak melakukan pencapaian berarti dalam pengembangan EkonomiPancasila sebagai ilmu. Karangan-karangan Mubyarto yang terbit setelah itudan hingga akhir hayatnya justru lebih banyak mengembangkan gagasan itusebagai politik ekonomi atau sistem ekonomi.57 Di sinilah pemikiran

56Wawancara Tarli Nugroho (bersama Indarti Yuni Astuti, Karlina, dan Fauzul A. Muhammad)

dengan Mubyarto. Wawancara dilakukan pada medio April 2003. Wawancara ini sebagian telahditerbitkan di Jurnal Balairung, No. 37/Th. XVIII, 2004, hal. 115-127, dengan tajuk “Mubyarto:Ilmu Ekonomi yang Kita Ajarkan Keliru”.57

Lihat, misalnya, Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988);Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: AdiyaMedia, 1999); dan Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta: BPFE, 2000). Bandingkan buku-bukuini dengan buku yang bisa disebut sebagai magnum opus-nya, yaitu Mubyarto, Ilmu Ekonomi,

Page 18: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

18

Dawam, dan sebelumnya Hidayat Nataatmadja, memainkan perananpenting dalam menambal aspek-aspek mendasar yang tidak sempatdikerjakan atau dipikirkan Mubyarto. Dan itu semua terkait dengan filsafat.

Manusia Pancasila dan Insan KamilIlmu ekonomi tidak bisa menurunkan dirinya dari undang-undang,

sekalipun itu adalah undang undang dasar. Persoalan ini sepertinya kurangdisadari oleh Mubyarto. Itu nampak dari karangannya sewaktu menjawabkritik Arief Budiman terhadap gagasan Ekonomi Pancasila.58 Pokok kritikArief Budiman terhadap gagasan Ekonomi Pancasila adalah bahwa gagasanitu tidak mengandung filsafat manusia yang jelas. Hal itu berbeda, demikianArief, misalnya dengan kapitalisme atau sosialisme. Kapitalisme, misalnya,memiliki filsafat manusia yang jelas, yakni bahwa manusia pada dasarnyaegoistis, dikemudikan oleh kepentingan dirinya sendiri. Sementarasosialisme, sebagaimana halnya yang dirumuskan oleh Marx, menjelaskanbahwa hakikat manusia berubah sepanjang sejarah tergantung kepadasistem sosial yang melingkupinya. Karena itu, dalam Marxisme, revolusisosial lebih penting daripada revolusi individual, karena perubahan sosialbisa mengubah manusia-manusia yang hidup di dalam sistem tersebut.59

Dan sejauh yang dibaca oleh Arief, penjelasan serupa itu tidakditemukannya pada gagasan Ekonomi Pancasila.

Atas kritik tersebut Mubyarto sayangnya hanya memberikan jawabanpendek, yaitu bahwa jika Arief Budiman tidak termasuk orang yangmenyangsikan filsafat Pancasila, maka Arief harusnya cukup memahamibahwa Pancasila sudah mengandung filsafat tentang manusia, yang dalam

Ilmu Sosial dan Keadilan: Analisa Trans-Disiplin dalam Rangka Mendalami Sistem EkonomiPancasila (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980). Apa yang dibahas dalam buku tahun 1980tersebut, meski menggunakan kata “sistem”, menyangkut sebuah persoalan mendasar dalamwacana ilmu sosial, yaitu soal metodologi. Bukan hanya mendasar, persoalan tersebut jugatermasuk langka dibicarakan, terutama di lingkungan ilmu ekonomi. Dalam bukunya Mubyartomenyebut bahwa hingga buku itu ditulis (1980), di Amerika, misalnya, satu-satunya bukumengenai metodologi ekonomi yang bisa disebut adalah karangan Robert Ferber dan P.J.Verdoorn, Research Methods in Economics and Business (1962). Bahkan hingga saat ini, tak hanyadi Indonesia, hanya sedikit saja sarjana ilmu sosial—terlebih lagi para ekonom—yang tertarikuntuk membicarakan persoalan tersebut secara serius. Hal lain yang membuat kenapa karya itubisa dianggap sebagai sumbangan terpenting Mubyarto adalah karena apa yang diulasnya telahmemberikan jalan keluar bagi pengembangan ilmu sosial sehingga tidak terjerat pada kerangkapositivistik dan monodisipliner. Uraian mengenai hal ini lihat Tarli Nugroho, “Mubyarto dan IlmuEkonomi yang Membumi”, dalam A. Nashih Luthfi, Amien Tohari dan Tarli Nugroho, PemikiranAgraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, danMubyarto (Yogyakarta: STPN-Press dan Sayogyo Institute, 2010), terutama hal. 237-247.58

Arief Budiman, “Sebuah Kritik terhadap ‘Sistem Ekonomi Pancasila’ Mubyarto”, dimuat diHarian Kompas, 10 Juni 1981. Tulisan tersebut ditanggapi oleh Mubyarto, “Skeptisisme AriefBudiman”, dimuat di Harian Kompas, 20 Juni 1981.59

Arief Budiman, ibid.

Page 19: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

19

hal ini adalah manusia Indonesia.60 Jawaban ini tentu saja problematis,untuk tidak mengatakannya sebagai “bermasalah”. Memang, karenagagasan Ekonomi Pancasila identik dengan Mubyarto, pada masa itusejumlah kritik terhadap gagasan itupun kemudian menyasar secaralangsung terhadap figur Mubyarto. Dan itu sepertinya cukup melelahkanMubyarto, sehingga tidak semua kritik akhirnya bisa dijawab denganpantas.

Apa yang disodorkan oleh Mubyarto sebagai jawaban atas kritik AriefBudiman memang sama sekali tidak memadai. Pangkalnya adalah bahwaapa yang disebut oleh Mubyarto sebagai “filsafat Pancasila” itu tidak jelasalamatnya. Maksudnya: filsafat Pancasila menurut siapa?

Dalam soal mengenai Pancasila ini banyak sarjana Indonesia memangmudah tergelincir. Sebagai contoh, apakah, misalnya, filsafat Pancasila adadengan sendirinya seiring “lahirnya” Pancasila?! Bahwa Pancasila lahir darisebuah proses berfilsafat, sepertinya tak ada yang tidak sepakat dengan itu.Tapi rumusan Pancasila yang lima, baik ketika pertama kali dipidatokanSoekarno, maupun setelah “diperbaiki” oleh Panitia Kecil (yang jugadipimpin Soekarno),61 apakah bisa disebut sebagai “filsafat itu sendiri”?!

Pada titik ini, di antara mereka yang bisa disebut sebagai penggagasEkonomi Pancasila, hanya dua orang yang bisa disebut sebagai telahberusaha menjawab pertanyan tersebut dengan benar, yaitu HidayatNataatmadja dan Dawam Rahardjo. Apa yang dimaksud dengan telahmenjawab pertanyaan itu dengan benar adalah bahwa, sebagaimana telahdisinggung di muka, keduanya sama-sama berusaha menjawabnya darisudut pandang filsafat dengan mengemukakan sebuah jawaban yang jugabersifat uraian filsafat. Menarik untuk memperhatikan bahwa baik Hidayatmaupun Dawam sama-sama memulainya dari perspektif keislaman.Bedanya, Hidayat telah berusaha menjawab pertanyaan itu sejak akhir 1970-an,62 yaitu dengan berusaha untuk menguraikan apa dan bagaimana posisiPancasila dalam dunia pemikiran Indonesia, lalu kemudian merumuskansebuah filsafat ilmu yang bersesuaian dengannya sebagai dasar pijakan bagigagasan-gagasan keilmuan yang lahir kemudian, seperti Ekonomi Pancasila;maka Dawam memulainya sejak 1984 melalui sejumlah pengkajian terhadapaksiologi dari wacana Ekonomi Islam yang kemudian dijadikan pembandingolehnya ketika membahas gagasan Ekonomi Pancasila.

60Mubyarto, “Skeptisisme…”, op. cit.

61Panitia yang dipimpin Soekarno itu beranggotakan Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno

Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasjim, danMuhammad Yamin. Lihat Mohammad Hatta, dkk., Uraian Pancasila: Dilengkapi dengan DokumenLahirnya Pancasila 1 Juni 1945 (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980), hal. 101.62

Lihat, misalnya, Hidayat Nataatmadja, Landasan Filsafat Ilmu Pengetahuan Keperiadaan(1978), manuskrip lebih dari tiga ratus halaman, tidak diterbitkan; Landasan Filsafat IlmuPengetahuan Keperiadaan (1979, volume lanjutan), manuskrip setebal 93 halaman, juga tidakditerbitkan.

Page 20: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

20

Dalam pandangan Hidayat, Indonesia adalah wujud dari karsa yangbernama Pancasila. Karsa adalah kata kunci untuk memahami tafsirfilosofis Hidayat atas Pancasila. Maksudnya, sebagai karsa, Pancasilamerupakan imperatif bagi bangsa Indonesia. Ia, sebagaimana pengertianliterernya, adalah kehendak dari akal budi yang harus dikerjakan. Padaarena politik, secara minimal Pancasila telah dikerjakan denganmembebaskan diri dari penjajahan fisik, dan semestinya begitu pula denganarena-arena lain. Sebagai sarjana, Hidayat merasa bahwa bagiannya adalahmenerjemahkan karsa itu ke dalam ruang lingkup pekerjaannya, yaitu duniakeilmuan dan filsafat dengan berusaha membebaskan diri dari “penjajahanakal budi”. Dalam medan tempur itulah, menurut Hidayat, seharusnya parasarjana menerjunkan dirinya untuk menegakkan karsa Pancasila.63

Berkaitan dengan polemik Ekonomi Pancasila, Hidayat sepakat bahwamustahil ilmu Ekonomi Pancasila bisa dilahirkan lewat proses derivasi sila-sila Pancasila. Menurutnya, metode semacam itu bersifat naif dan tidakdikenal dalam dunia keilmuan. Kalaupun misalnya suatu ketika dia pernahmengatakan tentang derivasi ilmu ekonomi dari Pancasila, Hidayatmenegaskan, yang dimaksudkannya tentu saja adalah bukan “mengambilPancasila terus dimasukkan komputer untuk diolah menjadi rumus-rumusekonomi”.64 Itu adalah disposisi-literik yang dangkal. Menurutnya,kalaupun terma derivasi itu pernah dikemukakannya, atau juga olehMubyarto dan Dawam, terma itu semata-mata dipakai tak ubahnyasebagaimana yang dimaksud oleh pernyataan bahwa “ekonomi liberal ataukapitalisme merupakan derivasi dari Revolusi Perancis”, atau “ilmu ekonomiMarxian merupakan derivat dari Manifesto Komunis”. Dalam pengertiansejenis itulah penggunaan kata “derivasi” dimaksudkannya.

Jika kita membuka lagi album sejarah, secara keilmuan, baik ilmuekonomi liberal-kapitalis maupun ekonomi Marxian memang sama-samatidak dibangun dengan menderivasi semboyan Revolusi Perancis ataupunfasal-fasal Manifesto Komunis. Sebagai ilmu, keduanya merupakan anakkandung filsafat, yaitu filsafat liberal dan filsafat materialisme-historis. Danjika berbicara soal filsafat, tentunya sangat jelas bahwa semboyan RevolusiPerancis (liberte, egalite, fraternite) tidak bisa dianggap sebagai filsafat(dalam pengertian ilmu). Begitu juga dengan Manifesto Komunis. Baiksemboyan Revolusi Perancis ataupun Manifesto Komunis sekadarpernyataan kehendak, karsa, bukan filsafat.

Demikian pula halnya dengan Pancasila. Sebagai karsa, Pancasila jugatak ada bedanya dengan semboyan Revolusi Perancis atau ManifestoKomunis. Dari konsep populis itu, meskipun ia adalah produk dari sebuahproses berfilsafat, kita tak bisa langsung mentransfernya, atau melompatbegitu saja ke dalam konsep ilmiah. Pada titik inilah kerja kesarjanaan

63Hidayat Nataatmadja, Ilmu Humanika (Bandung: Risalah, 1984)., hal. 245.

64Ibid., hal. 241.

Page 21: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

21

harus dimulai, yaitu menyusun sistem filsafat yang sesuai dengan karsaPancasila. Baru dari sistem filsafat inilah kemudian kita bisa memilikipegangan untuk membangun ilmu, menegakkan karsa Pancasila di duniailmiah. Tanpa sebuah rumusan filsafat baru, karsa menegakkan Pancasila didunia ilmiah mustahil bisa diwujudkan.65

Hingga hari ini, Pancasila tetap lebih banyak dibicarakan hanya sebataskedudukannya sebagai akta politik, atau fakta historis dari kebudayaanmasyarakat kita. Pada posisi demikian, kita tidak bisa mengharapkanPancasila dapat memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar keberhalaanatau kekeramatan dirinya, sebagaimana yang dikonstruksi pada masa OrdeBaru. Dan Hidayat menyadari sepenuhnya bentuk ketersanderaan sejarahsemacam itu.66 Pada titik inilah pemaknaan filosofis Hidayat atas hakikatIndonesia menemukan konteks penjelasnya. Menurutnya, karena bukandengan Wittgenstein kita bisa menerangkan karsa Pancasila, atau denganNietzsche kita akan menjelaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, inilah ruangbagi kerja kesarjanaan itu. Tanpa kerja kesarjanaan, yaitu menstransferPancasila dari pengertian populis ke dalam pengertian profesionalkeilmuan, maka kita akan selalu bergulat dengan salah kaprah tadi: ibaratterus-menerus mempelajari kucing dengan ilmu kuda, atau main caturdengan memakai aturan bridge.67 Wujud kerja kesarjanaan itu menurutHidayat tiada lain adalah membangun filsafat ilmu pengetahuan yangberlandaskan pada ikrar Pancasila. Hingga akhir hayatnya, Hidayat masihbersetia dengan usaha yang telah dirintisnya bersama Mubyarto danDawam untuk mengembangkan wawasan keilmuan Ekonomi Pancasila.68

Kembali ke soal filsafat Pancasila dan filsafat manusia menurutEkonomi Pancasila, menurut uraian tadi, menjadi jelas bahwa apa yangdimaksud dengan filsafat Pancasila sebenarnya pengakajiannya masih

65Tarli Nugroho, “Kebudayaan dan Absennya Kerja Kesarjanaan”, dimuat di Majalah Kabare

Kagama, No. 169/XXXVII, November 2008.66

Hidajat Nataatmadja, Membangun Ilmu Pengetahuan Berlandaskan Ideologi [Al Bayyinah](Bandung: Iqra, 1983), hal. 3.67

Nataatmadja, Ilmu Humanika, op.cit., hal. 16, 218-19, 246.68

Sumbangan Hidayat itu tersimpan pada buku-bukunya yang telah diterbitkan, seperti HidayatNataatmadja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama dalam Dunia Ilmiah (Bandung: Iqra, 1982); KrisisGlobal Ilmu Pengetahuan dan Penyembuhannya (Bandung: Iqra, 1982); Membangun IlmuPengetahuan Berlandaskan Ideologi (Bandung: Iqra, 1983); Pemikiran ke Arah EkonomiHumanistik: Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi (Yogyakarta: PLP2M, 1984); IlmuHumanika (Bandung: Risalah, 1984); Hanacaraka Ilmu dan Alfabet Perjuangan (Malang: YP2LPM,1985); Krisis Manusia Modern (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994); dan Melampaui Mitos dan Logos:Pemikiran ke Arah Ekonomi-Baru (Yogyakarta: LANSKAP, 2007). Selain buku-buku yang telahdisebut ini, Hidayat masih menulis belasan buku lainnya, tapi dengan intensi berupa dekonstruksiterhadap wacana keislaman. Di luar buku-buku yang telah terbit tadi, pemikiran Hidayat terkaitdengan gagasan filsafat ilmu yang bersesuaian dengan aksiologi Pancasila masih tersimpan dalamsejumlah manuskrip dengan tebal ribuan halaman yang belum pernah diterbitkan. Terkaitsumbangan Hidayat terhadap gagasan Ekonomi Pancasila, lihat Tarli Nugroho, “Dari Karsa keFilsafat…”, op. cit.

Page 22: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

22

belum berjalan jauh. Gagasan untuk melakukan penyelidikan ilmiahterhadap Pancasila, misalnya, memang telah lama diperintahkan oleh SenatUniversitas Gadjah Mada untuk dilembagakan di perguruan tinggitersebut.69 Namun, selain dari karya-karya Notonagoro, sangat sulitmenemukan bahwa penyelidikan itu telah benar-benar diselenggarakan. Itumasih belum ditambahi catatan bahwa apa yang sudah dilakukan olehNotonagoro pun lebih merupakan sebuah elaborasi filsafat hukum daripadaelaborasi filsafat sebagai sebuah pemikiran. Dan hasil itu akan menjadisemakin sempit lagi sebenarnya kalau memperhatikan bahwa elaborasifilsafat yang dikerjakan oleh Notonagoro pun cakupannya sangat cekak,yaitu di soal kedudukan Pancasila dalam hukum dan tata negaraIndonesia.70 Kemajuan yang bisa dikatakan signifikan sebenarnya barudicapai beberapa tahun setelah polemik Ekonomi Pancasila berakhir, yaituketika Forum Diskusi Filsafat UGM menyelenggarakan Seminar “Pancasilasebagai Orientasi Pengembangan Ilmu” pada 3-4 September 1986.71 Adadelapan pemakalah dan lima penanggap pada seminar tersebut, yangmelibatkan nama-nama seperti Daoed Joesoef, Teuku Jacob, Anton Bakker,Kuntowijoyo, Satjipto Rahardjo, A.M.W. Pranarka, Dick Hartoko, danMubyarto. Beberapa makalah penting yang bisa disebut misalnya adalahmilik Daoed Joesoef (Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan), AntonBakker (Ilmu-ilmu Sosial yang Menempatkan Manusia sebagai Subyek),Kuntowijoyo (Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan HumanioraIndonesia) dan Mubyarto (Sistem Ekonomi Pancasila dan Implikasinyaterhadap Teori Ekonomika). Makalah-makalah tersebut, terutama yangditulis Bakker dan Kuntowijoyo, merupakan bahan penting yang perludikembangkan lebih jauh, terutama dalam kaitannya untuk menguraikanfilsafat manusia dalam filsafat Pancasila. Tapi bahkan hingga sejauh itu,nampak jelas bahwa kerja kesarjanaan terkait dengan proyek pemikiranfilsafat Pancasila memang masih lebih banyak berupa kehendak kesarjanaandan belum banyak menghasilkan tindakan dan hasil kesarjanaan.

Sebagai sarjana dengan ketertarikan kuat pada filsafat, Dawam sangatmemahami kritik yang disampaikan oleh Arief Budiman terhadap EkonomiPancasila, dan ia menyadari bahwa kritik tersebut sebenarnya adalahpanggilan untuk melakukan kerja kesarjanaan yang lebih serius lagi, yaitu

69Notonagoro, Berita Pikiran Ilmiah tentang Kemungkinan Djalan Keluar dari Kesulitan mengenai

Pantjasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia (Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, 1959),hal. 5.70

Hal ini tercermin pada buku-buku Notonagoro. Lihat, misalnya, Notonagoro, Pantjasila DasarFilsafat Negara Republik Indonesia (Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, 1962); Beberapa Halmengenai Falsafah Pancasila (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1982 [1967]); dan Pancasila secaraIlmiah Populer (Jakarta: Bina Aksara, 1983).71

Prosiding seminar itu diterbitkan menjadi Soeroso H. Prawirohardjo, Anton Bakker dan SlametSoetrisno (Editor), Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu (Yogyakarta: KedaulatanRakyat, 1987).

Page 23: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

23

untuk mencari dan merumuskan pendasaran filosofis atas gagasan EkonomiPancasila, dimana uraian mengenai filsafat manusia nantinya bisa diuraikandi dalamnya.72 Ia sendiri melanjutkan usaha itu dengan bertitik tolak darikajiannya mengenai Ekonomi Islam yang mulai intens dilakukannya sejak1984.73 Menurut pengakuannya, sejak awal 1980-an perhatiannya terhadapkajian keislaman memang menggeliat kembali, termasuk minatnya untukmelakukan kajian Al Quran,74 yang belakangan menghasilkan bukuEnsiklopedi Al Quran (1996) yang menakjubkan itu.75 Minat itu membesar,secara pribadi, selain karena faktor umur, akunya, juga dikarenakanketerlibatannya yang semakin intens dengan berbagai lembaga keagamaan.Sedangkan secara intelektual, hal itu terbit karena dorongan kesadaranbahwa ia hingga sejauh itu merasa masih terlalu sedikit dalam mempelajarisumber agama, yaitu Al Quran, sementara di sisi lain pengalaman danpetualangannya dalam dunia ilmu pengetahuan, penelitian empiris, danpengembangan masyarakat bisa dikatakan telah sangat memuaskannya.76

Dengan kata lain, Dawam melihat wacana keagamaan menawarkan sebuahtantangan baru. Apalagi, perkembangan pemikiran keislaman memangsedang menggeliat sejak akhir dekade 1970-an. Di bidang ekonomi,misalnya, telah berkembang sebuah gerakan intelektualisme baru yangdipicu oleh kalangan sarjana muslim yang bersekolah di Barat. Sebelumnya,pada 1968, misalnya, telah diselenggarakan The Third East Coast RegionalConference yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Muslim ASdan Kanada. Pada forum itu Abdul Hamid Ahmad Sulaiman mengajukanpemikiran tentang the theory of the economic of Islam, yang disebutnyasebagai “ekonomi tauhid dan persaudaraan”. Meski tidak terlontar secaraeksplisit, nampak bahwa pemikiran-pemikiran yang dikemukakan dalamforum tersebut bercorak sosialis, setidak-tidaknya berusaha untuk mencarialternatif terhadap sistem kapitalisme melalui penggalian nilai-nilaikeislaman.77 Dan puncaknya adalah pada 1976 ketika diselenggarakan FirstInternational Conference on Islamic Economics di Mekah oleh King AbdulAziz University. Dalam konferensi tersebut Muhammad Nejatullah Siddiqi

72Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila, op. cit.

73Lihat M. Dawam Rahardjo, “Sekapur Sirih tentang Aksiologi Ekonomi Islam”, kata pengantar

untuk terjemahan buku Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami(Bandung: Mizan, 1985), hal. 11-25. Karangan ini bisa disebut sebagai karangan pertama yangbersifat mendalam terkait wacana Ekonomi Islam.74

M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Jakarta: PSAPMuhammadiyah, 2005), lihat bagian pengantar.75

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci(Jakarta: Paramadina & Ulumul Qur’an, 1996). Buku yang disunting oleh Budhy Munawar-Rachman ini berasal dari artikel-artikel Dawam yang ditulis untuk rubrik “Ensiklopedi Al Quran” diJurnal Ulumul Qur’an.76

Rahardjo, Paradigma Al Quran, op. cit., hal. 1.77

M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam (Bandung: Mizan,1987), hal. 15, 64, 96-98; Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999), hal. 164.

Page 24: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

24

menyajikan hasil penelitian kepustakaan yang—menurut Dawam—mengesankan, karena memuat bibliografi tujuh ratus buku dan artikelterpenting mengenai Ekonomi Islam.78 Semua itu menjadi latar belakangintelektual kenapa Dawam kemudian semakin intens dengan wacanaEkonomi Islam. Sebagaimana bisa diamati dari rangkaian tulisannyakemudian, keterlibatan Dawam dalam wacana dan sawala Ekonomi Islamtidak membuatnya meninggalkan Ekonomi Pancasila dan pekerjaan-pekerjaan rumah yang menyertainya. Petualangannya itu kemudian justrumemperkaya sumbangsihnya bagi gagasan Ekonomi Pancasila, sebuahpengakuan yang juga diberikan oleh Mubyarto.79

Dalam pandangan Dawam, jika hendak menjadi ilmu, maka gagasanEkonomi Pancasila harus dikembangkan dengan memperhatikan tigakerangka dasar filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi, dimanaDawam juga mengusulkan sejumlah agenda terkait dengan kerangka-kerangka tersebut. Pertama, ontologi atau keperiadaan, yaitu identifikasiatau penggambaran mengenai kondisi dan permasalahan ekonomiIndonesia. Melalui kerangka ini, perlu dipelajari, demikian Dawam,misalnya, apa original condition atau state of nature dari perekonomianIndonesia, sehingga dari situ dapat diketahui apa urgensi dari gagasanEkonomi Pancasila. Kedua, epistemologi, yaitu tentang cara pemahamandan pemecahan masalah. Terkait dengan masalah ini, Dawam mengusulkanagar pertama-tama dipelajari apa yang kini populer disebut sebagaipenelitian “filsafat Nusantara”. Namun, studi yang pertama kali harusdilakukan adalah studi sosiologi-antropologi, dan baru kemudian penelitianfilsafat. Dan ketiga adalah aksiologi, yang berisi proses perumusan hasil,tujuan dan nilai guna dari pengetahuan baru itu.80 Melalui kerangka tadi,Dawam kemudian menyimpulkan bahwa pengembangan gagasan EkonomiPancasila selama ini hanya berkutat di soal aksiologi saja, yang memangbersifat normatif. Akibatnya, gagasan Ekonomi Pancasila sering disebutoleh para pengkritiknya sebagai hanya berisi “daftar keinginan” belaka.81

Dalam kaitannya dengan ontologi, menurut Dawam sudah banyak riset-riset empiris yang sebenarnya telah dilakukan, yang jika ditarik benangmerahnya kesemuanya pasti berujung pada simpul mengenai corak dualistisdari perekonomian Indonesia. Namun, corak dualistis yang pertama kalidikemukakan Boeke ini sebenarnya berada pada level social formation,

78Rahardjo, Perspektif, ibid.

79Lihat kata pengantar Mubyarto bagi buku Dawam, Ekonomi Pancasila, loc. cit., hal. iii-iv.

80Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila, op. cit. Bandingkan dengan M. Dawam Rahardjo,

“Ekonomi Islam: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi”, makalah disampaikan pada “Workshop onRedesign Kurikulum Program Studi Ekonomi Syariah” di IAIN Sunan Ampel Surabaya, 27Desember 2011. Makalah tidak diterbitkan.81

Kritik ini misalnya disampaikan oleh Arief Budiman dan Nono Anwar Makarim. Lihat AriefBudiman, “Sebuah Kritik”, op. cit. dan wawancara Prisma dengan Nono Anwar Makarim, “HariDepan Ekonomi Pancasila”, yang dimuat di Prisma, No. 2/Th. XI, Februari 1982, hal. 52-55.

Page 25: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

25

sementara pada level modes of production, coraknya adalah plural, atauyang disebut Furnivall sebagai ekonomi majemuk (plural economy).82 Itulahoriginal condition dari perekonomian Indonesia modern. Daripenelusurannya terhadap pemikiran-pemikiran Ekonomi Pancasila sejakistilah itu pertama kali diperkenalkan, ia berpandangan bahwa terdapatpersambungan yang koheren antara original condition perekonomianIndonesia modern tadi dengan latar belakang gagasan Ekonomi Pancasila.83

Sementara itu, persoalan mendasar terkait dengan aspek epistemologi darigagasan Ekonomi Pancasila ada dua. Pertama, pada bagaimanamerumuskan pemikiran filsafat Pancasila dan kemudian merumuskanfilsafat ekonomi yang bersesuaian dengan filsafat tersebut. Kedua, padabagaimana merumuskan teori ekonomi (theory building) dari berbagaipemikiran yang telah berkembang. Apa yang dimaksud sebagai teoriekonomi di sini adalah teori murni (theoritical discourse).

Sekali lagi, analisis-analisis ini pada mulanya merupakan analisis yangdikemukakan ketika Dawam mencoba menimbang gagasan Ekonomi Islam.Atau, dengan kata lain, Dawam menjadikan pergulatan pemikiran dalamsawala Ekonomi Islam sebagai bahan sekaligus pembanding bagiperumusan gagasan Ekonomi Pancasila. Oleh karenanya tidakmengherankan jika dalam hampir setiap pembahasannya mengenaiEkonomi Islam ia juga selalu menautkannya dengan gagasan EkonomiPancasila.84 Secara ontologis, demikian penegasan Dawam, pengembanganpemikiran Ekonomi Islam mestinya dilakukan dengan memperhatikankonteks Indonesia.85

Menarik untuk memperhatikan bahwa baik Hidayat maupun Dawamsama-sama menjadikan telaah mengenai manusia sebagai salah satu titiksentral dalam proyek pemikiran masing-masing. Apa yang disebut “FilsafatIlmu Pengetahuan Keperiadaan”, misalnya, sebuah proyek gagasan yangdikerjakan Hidayat sejak dekade 1970-an, pada dasarnya merupakanlandasan bagi sebuah gagasan lanjutan yang disebutnya sebagai “IlmuHumanika”, yaitu “landasan ‘Newtonian’ untuk ilmu-ilmu sosial”. Maksudlandasan Newtonian adalah ia merupakan general theory yangmempersatukan ilmu-ilmu manusia fakultatif yang terpecah-pecah(ekonomi, sosiologi, dll.), seperti halnya mekanika Newton yang telah

82J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk (Jakarta: Freedom Institute,

2009 [1938]). Bdk. M. Dawam Rahardjo dan Tarli Nugroho, Rancangan Studi Pemikiran EkonomiPancasila, 1965-2010, konsep penelitian (2010), tidak diterbitkan.83

Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila, op. cit., terutama Bab 3.84

Periksa, misalnya, Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah, loc. cit., terutama bagian pengantar;Islam dan Transformasi, loc. cit., hal. 155-172; “Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila”, op. cit.;“Membaca Al Fatihah dalam Perspektif Ekonomi Kerakyatan”, makalah tahun 2011, tidakditerbitkan; dan “Ekonomi Islam: Ontologi”, op. cit.85

Rahardjo, “Ekonomi Islam: Ontologi”, ibid., hal. 10.

Page 26: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

26

berhasil mempersatukan ilmu-ilmu kebendaan.86 Dalam Ilmu Humanikaitulah, demikian klaim Hidayat, terdapat rumusan filsafat manusiasebagaimana yang dikehendaki oleh Ekonomi Pancasila, manusia dalampengertiannya yang bulat-utuh, tidak terpecah-pecah sebagai homooeconomicus, homo socius, atau—apalagi—homo homini lupus. Pokok-pokok yang diungkapkan sebagai prinsip dasar dalam teori HumanikaHidayat adalah model manusia, teori etika, teori kesadaran, teorikreativitas, teori kebahagiaan kreatif, rukun paritas, prinsip keunikansistem kedirian, serta prinsip hirarki sistem kedirian.87

Adapun Dawam, seperti halnya Jean Charles Léonard de Sismondi,pemikir ekonomi dari Perancis pada zaman klasik, berpandangan bahwaobyek kajian ekonomi bukanlah kekayaan (wealth), melainkan manusia.Pemihakan Dawam yang kuat terhadap ekonomi rakyat, baik yang bersifatkeilmuan (sumbangan pemikiran) maupun yang bersifat praksis, padadasarnya bertolak dari pandangan tadi. Persis pada titik itu pula kita harusmemposisikan tulisan pengantarnya bagi terjemahan buku Syed NawabHaider Naqvi88 sebagai risalah penting dalam kaitan dengan pandangannyamengenai soal manusia. Bukan hanya karena pengantar itu menguraikanbanyak hal mengenai filsafat manusia, baik yang diuraikan Naqvi maupunyang diyakini Dawam sendiri, melainkan karena risalah itu sepertinyabersambung ke beberapa karya Dawam berikutnya. Pada 1985, misalnya,tahun yang sama dengan terbitnya terjemahan buku Naqvi tadi, terbit jugabuku Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam, yang disunting olehDawam dan berisi karangannya bersama sejumlah sarjana Indonesialainnya.89 Dan, pada 1990, sebagai hasil dari ketidakpuasannya terhadapkarya Naqvi yang pernah dipengantarinya, ia menulis sendiri sebuah bukumengenai etika dalam ilmu ekonomi, yang juga menyebut soal Ekonomi

86Perkataan “mempersatukan” tidak diartikan sebagai menghapus keberadaan ilmu-ilmu

kemanusiaan fakultatif. Perkataan itu dimaksudkan untuk memberikan parameter yang samaterhadap hakikat dan eksistensi manusia, sebagaimana Newton telah mempersatukan ilmu-ilmukebendaan dengan memberikan parameter empiris cgs (centi, gram, dan second, yang bersifatobyektif) bagi geometri Euclidean yang sebelumnya bersifat metafisis (subyektif). Hidayatmembedakan perkataan humanika atau humanistik yang dipakainya dengan konsep humanisme.Jika humanisme merupakan bentuk supremasi kemanusiaan, aku-tanpa-dunia, sebagai lanjutandisapihnya ilmu pengetahuan dari agama, maka konsep humanistiknya Hidayat merupakanperengkuhan kembali Tuhan dan maujud. Tentu saja, meski membalikan tatanan yang kiniberlaku, gagasan ini tidak bisa disebut revivalis, sebab Hidayat tidak membalikan tatanan kembalikepada struktur sebagaimana yang telah dibongkar oleh Pencerahan, melainkan kepada sebuahstrukturasi baru. Lihat Tarli Nugroho, “Dari Karsa ke Filsafat”, op. cit.87

Nataatmadja, Karsa, op.cit., hal. 106. Lihat juga, Nataatmadja, Pemikiran ke Arah EkonomiHumanistik, op. cit.88

Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi, op. cit.89

M. Dawam Rahardjo, Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam (Jakarta: Grafiti, 1985).Selain Dawam, buku ini berisi tulisan dari Djohan Effendi, Azyumardi Azra, Iqbal AbdurraufSaimima, Arief Mudatsir, Bachtiar Effendy, Hari Zamharir, Ahmad Rifa’i Hasan, Fahcry Ali,Hadimulyo, dan Komaruddin Hidayat.

Page 27: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

27

Pancasila di dalamnya.90 Salah satu kritik Dawam terhadap Naqvi adalahbahwa dalam usahanya untuk mentransformasikan manusia ekonomi(economic man) agar sesuai dengan etika Islam, pada akhirnya pemikiranNaqvi berkesudahan pada konsep negara, yang dalam hal ini adalah konsepnegara kesejahteraan menurut Islam.91 Jadi, negara diposisikan sebagaieksternalisasi dari nilai-nilai Islam setiap individu yang memiliki kualitassebagai khalifah. Atau, dengan kata lain, negara adalah hasil transformasidari kualitas kekhalifahan manusia.

Dalam pandangan Dawam, eksternalisasi itu mestinya mewujud padakonsep pemerintahan, dan bukannya negara. Sebab, negara dalam zamanmodern ini telah menjelma menjadi kekuasaan yang totaliter, baik dalamwujud capitalist state maupun socialist state. Dan di Dunia Ketiga, negarajuga telah direalisasikan dalam bentuk rejim-rejim pembangunan yang—sekali lagi—bersifat otoriter.92 Oleh karena itu, transformasi konsep khalifahmenjadi konsep khilafah—dalam pengertian “negara”—perlu dipikirkanulang untuk dikoreksi, sehingga tidak terjerumus ke dalam model “NegaraIslam” a la Al Maududi. Pandangan ini menjelaskan bagaimana posisiDawam dan pemikirannya, baik dalam gagasan Ekonomi Pancasilamaupun—sebagaimana yang akan dibahas kemudian—dalam pemikiranilmu sosial secara umum, termasuk mempengaruhi preferensinya dalamgerakan pemberdayaan.

Sebagaimana halnya Naqvi, Dawam menyepakati bahwa di satu sisimanusia adalah mahluk teomorfis, yaitu mahluk yang memiliki inteligensiauntuk memahami Yang Mutlak dan memiliki kehendak sehingga dapatmemilih jalan Tuhan; namun di sisi lain manusia juga memiliki kehendak-bebas (free will).93 Pandangan ini, dalam sawala Ekonomi Pancasila pada1981, juga telah dikemukakan oleh Sarino Mangunpranoto, tokoh seniorpada masa itu yang menjadi salah satu pendukung Ekonomi Pancasila.94

Sebagai mahluk teomorfis, demikian interpretasi Dawam, manusia terikatpada nilai-nilai moral keagamaan, terutama nilai-nilainya yang bersifatuniversal; sedangkan sebagai mahluk yang memiliki kehendak bebas,manusia terikat pada lingkungan sosialnya, atau terikat pada matriksbudaya dari tempat ia berada. Berpijak pada itu, sebagai sebuah ilmu makaEkonomi Islam mestinya adalah ekonomi moral dan ekonomi sosialsekaligus. Seperti halnya Hidayat yang berpandangan bahwa ilmupengetahuan paling purba mengenai manusia adalah agama, Dawam jugaberpandangan bahwa penjelasan mengenai manusia dan filsafat manusia

90M. Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990).

91Rahardjo, “Sekapur Sirih”, op. cit., hal. 22-23.

92Ibid., hal. 24.

93Rahardjo, “Sekapur Sirih”, loc. cit., hal. 13.

94Sarino Mangunpranoto, “Alam Pikir Ekonomi dalam Filsafat Pancasila”, dimuat pada Harian

Kompas, 7 Juli 1981.

Page 28: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

28

memang harus melibatkan agama, sehingga pasti terdapat banyak titiksinggung antara gagasan Ekonomi Islam dengan gagasan EkonomiPancasila, karena mestinya pandangan tentang manusia menurut Pancasilamendapat pengaruh dari agama-agama yang berkembang di Indonesia,termasuk Islam. Sayangnya, dari tulisan-tulisan Dawam yang telah terbit,soal kedudukan konseptual dari Ekonomi Islam dalam kaitannya denganEkonomi Pancasila ini belum sangat detail diuraikan, meski dalam sejumlahforum dan perbincangan ia berjanji untuk segera menuliskannya secaralebih utuh dan sistematis.

Ringkasnya, sebagaimana yang juga akan diuraikan kemudian,sumbangan utama Dawam dalam kaitannya dengan soal filsafat manusiabagi Ekonomi Pancasila bukanlah risalah filsafat manusia itu sendiri,sebagaimana yang misalnya dihasilkan Hidayat, melainkan padainterpretasinya bahwa “khilafah”, sebagai ekstensi dari konsep “khalifah”,adalah gagasan tentang masyarakat, atau tentang tatanan (order). Dalampemikiran ekonomi, domain pemikiran Dawam ini sebangun denganpemikiran Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics). Lembaga,sebagaimana yang melekat pada istilah Ekonomi Kelembagaan, tidakmerujuk kepada konsep tentang “organisasi”, melainkan merujuk kepadakonsep “aturan main” (rules of the game). Definisi kelembagaan, secarateoritis, memang mencakup dua demarkasi penting, yaitu (1) norma dankonvensi (norm and conventions), serta (2) aturan main (rules of thegame).95 Merujuk pada istilah yang pernah digunakan dalam perdebatanantara Wilopo dan Widjojo Nitisastro yang terjadi pada 1955 tentangkedudukan koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia, lembaga adalahgagasan tentang bangun (aturan main), dan bukan tentang bangunan(organisasi).96 Interpretasi itu sekaligus menjelaskan keberpihakan Dawamyang sangat menonjol terhadap ideologi kerakyatan, bukan hanya di bidangekonomi, tapi juga di wilayah sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh karenaitu, berbeda dengan Mubyarto yang misalnya menerjemahkan istilahEkonomi Rakyat menjadi People’s Economy,97 Dawam lebih sukamenyebutnya dengan istilah Civil Economy.98 Bisa dipahami pula kenapa

95Bustanul Arifin, Ekonomi Kelembagaan Pangan (Jakarta: LP3ES, 2005), hal. 13-15. Lihat juga

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi (Malang: Bayumedia,2008), hal. 33-36.96

Mengenai distingsi antara dua istilah itu, lihat kembali tulisan Wilopo, “Suatu Tafsiran terhadapAyat 1 Pasal 38 daripada UUD Sementara”, dan tulisan Widjojo Nitisastro, “Suatu Tafsiranterhadap Ayat 1 Pasal 38 daripada UUD Sementara (Tanggapan terhadap Tulisan Wilopo)”, yangdimuat dalam Sri-Edi Swasono (Editor), Membangun Sistem Ekonomi Nasional: Sistem Ekonomidan Demokrasi Ekonomi (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 23-47.97

Lihat, misalnya, Mubyarto, Policy Reform for the People’s Economy (Yogyakarta: Aditya Media,1999).98

M. Dawam Rahardjo, “Menuju Ekonomi Kesejahteraan Islam”, makalah ditulis 2011, tidakditerbitkan; “Menuju Bank Sosial Islam”, makalah ditulis 2012, tidak diterbitkan; dan “PaguyubanSDI, Ekonomi Syariah dan Koperasi”, makalah ditulis 2012, tidak diterbitkan.

Page 29: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

29

dalam kaitannya dengan demokrasi, Dawam misalnya pernahmengutarakan gagasan untuk menghidupkan kembali konsep negara kota(city state) dengan negara desa untuk diterapkan di Indonesia.99 Kita tahu,tarik-menarik antara gagasan demokrasi-liberal dengan gagasan negaraintegralistik di Indonesia sangat kuat, seperti halnya tarikan antarakecenderungan sentralistik dan desentralistik.

Dalam pandangan Dawam, konsep negara integralistik berkembang dilingkungan masyarakat pedesaan, yang membentuk negara patrimonial.Sedangkan konsep negara demokrasi memang berkembang di lingkunganborjuis perkotaan. Oleh karena itu dalam negara kebangsaan modern selaluada tarik-menarik antara konsep negara kota yang secara sederhana bisadikatakan sebagai berciri republik-demokratis, urban, dan merupakannegara kesatuan, dengan negara desa yang integralistik dan mempunyaicorak pedesaan serta bersifat desentralistik. Jika kecenderungan sentralisasimengarah kepada negara kesatuan, maka kecenderungan desentralisasimengarah kepada negara federalistik. Tesis dan anti-tesis ini sebenarnyabisa dicarikan sintesisnya, yaitu dengan menerapkan sistem demokrasi yangplural. Misalnya, praktik demokrasi liberal mestinya tidak diterapkan padaunit pemerintahan seperti di desa, melainkan cukup diterapkan pada levelseperti kabupaten atau provinsi. Paling tidak ada dua urgensi kenapa hal ituperlu dilakukan. Pertama, itu perlu dilakukan untuk meminimalkansegregasi politik yang merupakan konsekuensi dari demokrasi liberal. Dankedua, itu dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesempatan yang lebihlapang untuk membangun serta mengkonstruksi institusi sosial dan tidakterlalu disibukan oleh kompetisi politik di berbagai level pemerintahan.

Sebagaimana disebut dalam makalahnya, Dawam sepertinya memangsangat terinspirasi pada model demokrasi sebagaimana terlembaga diAmerika. Dalam konteks Amerika, berlaku teori negara dan masyarakat(state and civil society), dimana negara adalah wilayah atau ruang publikpolitik, sedangkan civil society adalah wilayah sosial budaya yang steril daripolitik dan relatif bersifat independen. Batas antara wilayah politik danwilayah sosial budaya itu adalah kabupaten (county). Karena itu cabangpartai politik yang paling bawah adanya di kabupaten.100 Meskidimaksudkan untuk tujuan yang berbeda, desain semacam ini mirip denganmodel massa mengambang (floating mass) yang pernah dipraktikkan OrdeBaru. Jika di Amerika hal itu dimaksudkan untuk menjaga agar institusisosial tetap bekerja tanpa banyak terpengaruh kegaduhan politik, makapada Orde Baru itu dilakukan untuk mengamankan politik dominasi olehnegara. Melalui pandangan-pandangan tersebut nampak bahwa intensiperhatian Dawam memang lebih banyak kepada soal masyarakat daripada

99M. Dawam Rahardjo, “Negara dan Dinamika Politik Lokal”, makalah disampaikan pada Seminar

Internasional yang diselenggarakan Perkumpulan PERCIK, di Salatiga, 26 Juli 2011.100

Ibid.

Page 30: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

30

negara, tapi bukan dalam arti ia kemudian mengabaikan posisi atau fungsinegara. Visi kemasyarakatan ini sangat kuat terdeteksi, umpamanya, ketikakita membaca bukunya mengenai masyarakat sipil (civil society) ataumasyarakat madani.101 Dalam buku itu terurai secara lebih jelas bagaimanatafsir keagamaannya terhadap posisi masyarakat dan negara. Intinya,Dawam bukanlah seorang Hegelian yang menganut prinsip idealisasinegara.

Sebagaimana diuraikan sendiri oleh Dawam dalam buku tersebut,secara garis besar terdapat dua perspektif utama dalam mendefinisikankonsep civil society. Pertama adalah perspektif non-Hegelian, yang lahirlebih dulu sebelum perspektif Hegelian. Dalam perspektif ini belum munculdistingsi antara konsep masyarakat dengan negara, sebab negara, ataupemerintahan, dianggap sebagai bagian dari civil society. Bahkan, civilsociety itulah yang telah melahirkan negara—atau negara kota (city state) dimasa lalu. Terhitung sebagai pemikir dalam perspektif ini adalah Cicero,yang pertama kali memperkenalkan konsep civil society, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Adam Smith. Pada perkembangannya, setelahmuncul dualitas masyarakat dan negara, perspektif ini berkembang menjadisebentuk idealisasi atas masyarakat. Kedua, perspektif Hegelian, yangdisampaikan oleh Hegel dan diikuti oleh Marx dan Engels. Dalampandangan Hegel, civil society bukan satu-satunya institusi yang dibentukmelalui perjanjian kemasyarakatan (social contract). Civil society hanyalahperkumpulan sukarela antar-individu untuk membentuk burgerlischegesselschaft, atau masyarakat borjuis, dimana masyarakat yang terbentukitu hanyalah merupakan bagian dari tatanan politik (political order) yanglebih luas. Di sini, Hegel tak lagi memberikan pengertian civil societysebagai masyarakat politik, melainkan sudah dan sekadar menjadimasyarakat ekonomi, karena yang menjadi masyarakat politik adalahnegara. Pandangan ini kemudian berkembang menjadi idealisasi atasnegara. Jadi, meski pandangan Hegel sama dengan pandangan para pemikirsebelumnya, seperti Locke dan Rousseau, dalam hal bahwa civil societyadalah sebuah masyarakat yang telah keluar atau meninggalkan keadaanalaminya (state of nature), namun Hegel berpendapat bahwa civil societyadalah arena persaingan dari kepentingan individu-individu penyokongnya,yang pada akhirnya persaingan itu akan menghancurkan dirinya sendiri. Disitulah negara hadir untuk mengatur. Berbeda dengan Hegel, Marx meskiberpandangan sama dalam kaitannya dengan civil society yang akanmenghancurkan dirinya sendiri, namun ia tidak mengidealisasikan negara.Negara, dalam pandangan Marx, hanyalah badan pekerja kelas borjuis juga,

101M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial

(Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999).

Page 31: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

31

sehingga idealisasinya adalah negara juga harus lenyap (withering away ofthe state), dimana nantinya yang tersisa hanyalah masyarakat tanpa kelas.102

Pada perjalanannya, apa yang dimaksud sebagai civil societymengerucut pada pengertian suatu tatanan, peraturan dan kelembagaansosial ekonomi yang berada di luar negara, atau dengan kata lain sebuahkonsep yang mengadopsi distingsi sebagaimana yang diperkenalkan Hegel.Distingsi itu, dalam pandangan Dawam, juga dikenal dalam pemikiranIslam, yaitu melalui distingsi al ummah dengan al madinah. Konsep yangpertama merujuk kepada pengertian masyarakat, sementara konsep yangkedua merujuk kepada lembaga politiknya, yaitu negara.103 Berhadapandengan distingsi masyarakat dan negara tersebut, sebagaimana telahdisebut, Dawam bukanlah penganut Hegelian, yang menganut prinsipidealisasi negara. Ia berkecenderungan untuk menilai bahwa yang primerdari masyarakat dan negara adalah masyarakat, meskipun ia mengakuibahwa kecenderungan di negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia,pada umumnya menganggap bahwa negara adalah primer, alias bersifatHegelian. Bagi Dawam, kenyataan bahwa negara dianggap primer dikalangan masyarakat Indonesia sebenarnya agak ganjil, karena secarahistoris, sebagaimana halnya di Barat, dalam konteks Indonesia pun civilsociety sebenarnya lahir lebih dulu daripada negara. Jauh sebelumIndonesia sebagai negara lahir dan memproklamirkan dirinya, pertama-tama telah terbentuk civil society, sebagaimana direpresentasikan olehmunculnya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan kebangsaan padaawal abad kedua puluh.104 Menarik untuk memperhatikan, sebagaimanaakar-akar pandangan non-Hegelian soal civil society, pandangan yangmendudukkan negara sebagai bagian dari masyarakat pada hari inimerupakan representasi dari pandangan liberal. Dalam pandangan liberal,negara dianggap sebagai bagian dari masyarakat, sebagaimana bisa dilihatdalam proses terbentuknya civil society dan negara modern di Eropa Baratdan Amerika Utara, dimana negara telah “disingkirkan” dari arena politikdan kenegaraan. Meskipun dalam konteks negara modern, termasuk dinegara liberal sendiri, masyarakat secara hukum dianggap sebagai bagiandari negara, namun latar belakang pandangan liberal tadi telah membuatnegara terdesak dalam kerangka minimal state.105

Sampai di sini, kalau melihat kembali ke belakang, menarik untukmencermati bahwa pergumulan Dawam dengan konsep mengenai manusia,bisa dikatakan telah memberi kita sebuah penjelasan terhadap posisi

102Ibid., hal. 137-157.

103Ibid., hal. 154.

104Ibid., hal. 156-157. Bdk. Clifford Geertz (Editor), Old Societies and New States: The Quest for

Modernity in Asia and Africa (New York: The Free Press, 1965); dan Benedict R. O’G Anderson,“Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dimuatdalam The Journal of Asian Studies, Vol. XLII/No. 3, May 1983, hal. 477-496.105

Rahardjo, Masyarakat Madani, loc. cit., hal. 154.

Page 32: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

32

pemikirannya hari ini. Paling tidak ada dua catatan penting yang bisa ditulisterkait hal ini. Pertama, interpretasinya yang mengemukakan bahwa konsepkhilafah—sebagai ekstensi dari konsep khalifah—pada dasarnya adalahgagasan tentang masyarakat, atau gagasan tentang tatanan (order), telahmendudukkan Dawam pada posisi sebagai seorang intelektual-ideologpembela gagasan kerakyatan. Jika ditilik, posisi ini tidak hanya terkaitdengan kedudukannya sebagai ekonom—yang membela gagasan ekonomirakyat (civil economy), kelompok yang selalu termarjinalkan, melainkanjuga bisa menjelaskan bagaimana posisinya dalam wacana kebebasanberagama. Pembelaannya terhadap kaum minoritas, terutama dalamkaitannya dengan soal kebebasan beragama, sangat boleh jadi lebih banyakdipengaruhi oleh intensinya terhadap soal kerakyatan ini daripada alasanlainnya. Ia tak segan berhadapan dengan pendapat resmi negara, ataulembaga keagamaan yang bernaung di bawah lindungan negara, ketikamembela kelompok minoritas yang sedang memperjuangkan hak-haknya.Intensi kerakyatan ini pula yang kemudian membuat Dawam lekat denganciri humanis, atau tepatnya—meminjam istilah yang dipakainya sendiriketika menjelaskan pemikiran Ali Syariati—humanis relijius.106 Dari sudutpandang kerakyatan ini, secara metodik pemikiran Dawam terjaga padakerangka historis yang bersifat aktual dan tidak doktriner, sebuah posisiyang pastinya akan sangat berlainan jika ia memilih interpretasi sebaliknya,yaitu khilafah sebagai negara, sebagaimana halnya yang dianut Al Maududi.Dengan interpretasi kerakyatannya, pemikiran Dawam selalu bergerakbersama dengan dinamika sejarah.

Kedua, sebagai konsekuensi dari interpretasinya tadi, dan merujukkepada genealogi gagasan civil society sebagaimana yang telah dipaparkansebelumnya, tidak sulit untuk menafis bahwa Dawam memang adalahseorang “liberal”. Dalam kamus ilmu sosial, sebagaimana telah disebutsebelumnya, pandangan yang mendudukkan negara sebagai bagian darimasyarakat pada hari ini merupakan representasi dari pandangan liberal.Dan dengan pengertian itu, tak bisa dimungkiri Dawam adalah seorang“liberal”. Hanya saja, dengan kerangka berpikir historis yang digunakannya,Dawam luput untuk bisa dituduh sebagai seorang liberal yang doktriner.Apalagi, sebagaimana sering dikemukakannya pada berbagai kesempatan, iahanya liberal dalam hal tafsir keagamaan. Dan pengakuan itupun masihdiberi catatan kalau ia mengaku memiliki pengertian sendiri terhadap apayang dimaksud dengan liberal itu. Artinya, per definisi, label liberal yangmelekat pada diri Dawam sebenarnya bersifat relatif. Sebagai ekonom,dengan intensinya terhadap gagasan ekonomi rakyat (civil economy),Dawam lebih merupakan seorang populis daripada liberal. Dan, meskipundi satu sisi ia cenderung berpandangan bahwa masyarakat adalah primer

106M. Dawam Rahardjo, “Dari Iqbal hingga Nasr”, dalam Rahardjo (Editor), Insan Kamil, loc. cit.,

hal. 6.

Page 33: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

33

daripada negara, namun di sisi lain, dalam berbagai tulisannya, Dawamsering memberikan ulasan bahwa gagasan negara integralistik sebagaimanayang diuraikan Soepomo sebenarnya memiliki konteks yang bisa diterima.107

Karena interpretasinya terhadap berbagai gagasan selalu bersifat historis,maka berbagai label yang mungki disematkan kepadanyapun selalu menjadirelatif.

Pandangan Historis-StrukturalBuku yang sedang berada di tangan pembaca ini merupakan kumpulan

karangan Dawam yang pernah dimuat di Prisma dalam rentang hampir 25tahun, antara medio 1972 hingga pertengahan dekade 1990-an. Karangan-karangan ini pada mulanya berasal dari berbagai bentuk, mulai dari artikelpanjang yang mengulas topik-topik utama yang diangkat Prisma, resensibuku, hingga esai. Sayangnya, satu karangan Dawam yang dimuat dalamedisi Prisma yang terbit pasca-mati suri, tidak turut dimuat dalam bukuini.108 Karangan-karangan yang dimuat dalam buku ini sebagian besarsebenarnya pernah dibukukan atau dimuat dalam buku-buku Dawam yangpernah terbit sebelumnya, seperti Esei-Esei Ekonomi Politik (1983),Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (1984),Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (1987), serta PerspektifDeklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam (1987).109 Empat buku tersebut,selain berisi kumpulan karangan Dawam di Prisma, juga berisi karangan-karangan dari sejumlah media lain, seperti Majalah Optimis, MajalahWawasan, dan lain-lain. Namun, penerbitan kembali karangan-karangan inimenjadi satu buku tetap memberikan nilai penting, selain untukmendokumentasikan karangan-karangan Dawam yang tercecer, jugadikarenakan karangan-karangan ini pada mulanya disiarkan oleh Prisma,sebuah media yang pernah sangat mewarnai dunia kesarjanaan di Indonesiadimana Dawam pernah menjadi bagian penting darinya. Dawam danPrisma memang adalah ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Dankedua sisi itu kini hadir dalam buku ini.

Pertanyaannya, bagaimana kita membaca buku ini? Dan, apa yang bisakita baca dari buku ini? Mungkin itu yang mengemuka di benak pembacaketika berhadapan dengan buku ini, yang oleh penyuntingnya diredaksimenjadi enam bagian—mewakili topik-topik besar yang dibicarakanDawam, dimana masing-masing bagian terdiri dari sejumlah karangan.

107Lihat kembali, misalnya, Rahardjo, “Negara dan Dinamika Politik Lokal”, op. cit.

108M. Dawam Rahardjo, “Menuju Kemandirian Ekonomi Indonesia”, dimuat di Prisma No.

2/XXVIII, Oktober 2009, hal. 40-49.109

Selengkapnya, lihat M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1983);Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Jakarta: UI-Press, 1984); danPerekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES, 1987).

Page 34: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

34

Sekilas, berhadapan dengan buku ini kita memang seperti berhadapandengan prisma: ia membiaskan berbagai spektrum pemikiran yang dimilikipenulisnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah cara untuk bisamembalikan berbagai spektrum itu sehingga kita hanya menangkapseberkas sinar saja, yaitu bagaimana postur pemikiran Dawam sebenarnya.Mereka yang bermaksud mengetahui postur pemikiran Dawam mungkinakan lebih jelas mendapatkan gambaran jika membaca buku iniberdasarkan urutan siar karangan aslinya, dan bukan sebagaimana yangtelah dikelompokan oleh penyunting.

Karangan pertama, yang terbit pada Februari 1972, berjudul“Kedudukan dan Peranan Sektor Kehutanan dalam Pembangunan DaerahKalimantan Timur”. Karangan itu dimuat dalam Prisma edisi kedua, yangterbit tiga bulan setelah edisi perkenalannya diedarkan pada November1971. Ketika awal terbit, Prisma memang beredar dua bulan sekali. Ituberlangsung hingga tahun penerbitan yang keempat, yaitu hingga akhirtahun 1975, karena mulai Januari 1976, melalui penerbitan Prisma No. 1/V,majalah itu resmi mengubah jadwal terbitnya menjadi satu bulan sekali.110

Karangan awal Dawam itu diangkat dari hasil penelitian yangdikerjakan oleh LP3ES tentang Feasibility Study Industrialisasi Kayu diKalimantan Timur. Penelitian tersebut merupakan penelitian kedua yangdikerjakan Dawam sejak bergabung dengan LP3ES pada 1971. Penelitianpertama yang dikerjakannya ketika awal bergabung adalah penelitianmengenai kewirausahaan yang mengambil tempat di Medan dan Surabaya.111

Kalau kita perhatikan, dari sembilan karangan Dawam yang diterbitkanPrisma hingga 1979, kecuali tiga karangan, yaitu “Tapak Raksasa: KoperasiMembawa Lampu ke Pedesaan” (Prisma, No. 6/VII, Juli 1978),“Perkembangan Teori Pembangunan Ekonomi 1965-1977” (Prisma, No.9/VII, Oktober 1978), dan “Model Pembangunan Cina: Eksperimen Sosialisdi Dunia Ketiga” (Prisma, No. 5/VIII, Mei 1979), enam karangan lainnyasemuanya diangkat Dawam dari penelitian-penelitian yang dikerjakannya diLP3ES.

Antara 1971 hingga 1979, dalam posisi sebagai staf peneliti, laluKoordinator Program Pendidikan dan Latihan LP3ES, dan kemudian sebagaiWakil Direktur LP3ES, Dawam memang terlibat dalam sejumlah proyek danpenelitian, seperti Survei Perencanaan Daerah Kalimantan Timur, SurveiWilayah Banten, Survei Industri Kecil dan Kerajinan Rakyat di Madura,Workshop Koordinasi dan Kerjasama Peningkatan Ekspor Kerajinan Rakyat(sebagai project officer), Proyek Pesantren (sebagai koordinator), dan lain-lain. Bisa kita lihat, karangan-karangannya yang terbit antara 1972 hingga

110Baca Pengantar Redaksi yang ditulis Ismid Hadad di Prisma, No. 1/V, Januari 1976, hal. 2.

111Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo, 29 Maret 2012. Informasi lain terkait dengan

penelitian-penelitian dan proyek-proyek yang dikerjakan Dawam di LP3ES didapatkan darisejumlah tulisan profil yang menyertai karangan-karangannya di Prisma.

Page 35: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

35

1979 pada dasarnya merupakan diseminasi dari hasil-hasil penelitian sertakegiatan yang dikerjakannya di LP3ES. Karangan-karangan seperti “ProspekEkspor Barang-barang Kerajinan Rakyat” (Prisma, No. 4/I, Juni 1972), “Kyai,Pesantren dan Desa: Suatu Gambaran Awal” (Prisma, No. 4/II, Agustus1973), “Fungsi Wilayah Pembangunan: Sebuah Kasus Observasi DaerahBanten” (Prisma, No. 3/IV, Juni 1975), “Peranan Industri Kecil dalamPembangunan” (Prisma, No. 12/V, Desember 1976), dan “Teknologi TepatGuna bagi Industri Pedesaan” (Prisma, No. 6/VIII, Juni 1979), berisideskripsi, analisis, serta kesimpulan-kesimpulan yang diolah daripenelitian-penelitian tadi.

Sebagaimana telah disebutkan, pada periode tersebut ada tiga karanganDawam yang tidak berhubungan dengan penelitian atau kegiatan yangdikerjakannya di LP3ES. Dua dari tiga karangan itu merupakan tulisanresensi, dan satunya, yaitu “Model Pembangunan Cina: Eksperimen Sosialisdi Dunia Ketiga” (Prisma, No. 5/VIII, Mei 1979), adalah sebuah karanganyang murni bersifat tinjauan pustaka. Bisa dikatakan, sebelum pertengahan1979, karangan-karangan Dawam merupakan hasil survei yang bersifatmikro dan empiris, lengkap dengan sejumlah data statistik primer danolahan. Baru, sejak 1979 dan hingga karangan terakhir yang dimuat di bukuini, fokus perhatian dan obyek tulisan Dawam kemudian beranjak kepadatopik-topik yang bersifat makro dan teoritis, baik terkait masalah ekonomimaupun masalah sosial lainnya.

Perkembangan atau perubahan kecenderungan itu diakui juga olehDawam. Menurutnya, pada dasarnya ia adalah seorang penggiatpengembangan masyarakat, yang pada mulanya berkutat dengan hal-halpraktis. Apa yang ditulisnya sejak 1979 dan kemudian, disebutnyamerupakan hasil refleksi atas pengalamannya bergelut dengan persoalan-persoalan mikro lapangan tadi. Perubahan topik kajian itu juga terkaitdengan semakin luasnya pergaulan yang dilakoninya, terutama sejakmenjadi Wakil Direktur dan kemudian Direktur LP3ES. Sejak itu, akunya,minatnya terhadap politik semakin tumbuh, terutama terhadap politikpembangunan, yang memang bersifat makro.112 Pada dekade 1980-an,lingkup pergaulan Dawam memang kian luas. Bersama dengan sejumlahrekannya, seperti Adi Sasono, Sritua Arief, dan Arief Budiman, Dawamberjaringan dengan barisan cendekiawan kiri Asia Tenggara, seperti MartinKhor, Chandra Muzaffar, Husin Ali, Jomo K. Sundaram, dan lain-lain.Pergaulan internasional itu juga berpengaruh terhadap topik-topik yangditulisnya. Artikel “Pembangunan dan Kekerasan Struktural: Agenda RisetPerdamaian” (Prisma, No. 3/X, Maret 1981), misalnya, merupakan buah dariperkenalan Dawam dengan Yoshikazu Sakamoto, seorang tokoh risetperdamaian (peace research) dari Jepang, yang dari perkenalan itukemudian membawanya bisa berkenalan secara langsung dengan para

112Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo, 29 Maret 2012.

Page 36: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

36

pemikir besar semacam Ivan Illich, Andre Gunder Frank, dan sejumlahekonom Amerika Latin penggagas Teori Ketergantungan.113

Namun, meskipun ruang lingkup karangan-karangan Dawam kemudianmenjadi lebih bersifat makro, latar belakangnya sebagai aktivispemberdayaan masyarakat, yang selalu dituntut untuk menyusun konsep-konsep aplikatif yang bisa bekerja (workable), membuat karangan-karangannya tetap (meski tidak selalu) menyertakan pembicaraanmengenai “model-model”, yaitu perihal bagaimana gagasan makro yangditulisnya bisa diterjemahkan ke dalam level yang lebih mikro, atauminimal selalu diakhiri oleh rumusan mengenai agenda kerja, terutamaketika topik-topik yang dibicarakannya adalah mengenai masalah-masalahpembangunan. Meminjam ungkapan Sajogyo yang terkenal, karangan-karangan Dawam pada dasarnya seolah ingin-selalu menunaikan tugas:“dari praktik ke teori, dan ke praktik yang berteori”.114 Beban untukmenyampaikan model-model yang aplikatif dan bisa bekerja itu tetapmenghantui Dawam bahkan hingga kini. Memang, ketika ia murni hanyamembicarakan teori atau pemikiran, intensi itu tidak selalu nampak.

Secara umum, sejak akhir 1970-an hingga akhir 1980-an, corak tulisan-tulisan Dawam di Prisma lebih banyak bersifat teoritis, atau berupa tinjauankritis terkait dengan berbagai (terutama) teori pembangunan. Artikelseperti “Peta Bumi Ilmu Ekonomi Modern: Antara Retorika dan Paradigma”(Prisma, No. 1/IX, Januari 1980), atau “Kritik terhadap Marxisme danMarxisme sebagai Kritik terhadap Pembangunan Kapitalis” (Prisma, No.12/X, Desember 1981), merupakan contoh karangan-karangan Dawamdengan konten teori yang gempal. Bisa dikatakan ini merupakan periodeemas pengembaran intelektual Dawam di belantara ilmu sosial danekonomi, karena pada masa sesudahnya, terutama setelah ia “pensiun” dariPrisma dan kemudian sibuk dengan Jurnal Ulumul Qur’an, perhatiannyakemudian lebih banyak tersedot untuk menulis “Ensiklopedi Al Quran”,sebuah rubrik di jurnal tersebut. Meski masih menggunakan ilmu-ilmusosial sebagai perangkat menulis, intensinya lebih banyak disalurkan untukmenulis berbagai masalah sosial keagamaan, tak lagi mengenai soal-soalpembangunan. Namun demikian, sejauh jejak yang ditinggalkannya hinggakarangan di Prisma edisi pertengahan 1990-an, fokus tulisan Dawamsebenarnya kembali mengerucut. Jika sebelumnya dia lebih banyakmembicarakan pembangunan dalam konteks yang luas, maka dipenghujung 1980-an, ia kembali banyak membicarakan aspek-aspek mikrodari pembangunan, atau segi-segi khusus dari pembangunan, seperti soalkoperasi, BUMN, pajak, dan soal pangan.

113Ibid.

114Sayogyo, Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Yogyakarta: Cindelaras,

2006), lihat bagian pertama, bab dua. Lihat juga bagian pendahuluan buku ini yang ditulis FrancisWahono, “Teori Terbentuk karena Aksi”, hal. 1-11.

Page 37: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

37

Bagaimana kita membaca pikiran Dawam dalam buku ini?Terutama sejak tulisannya mengenai perkembangan teori

pembangunan ekonomi, Dawam konsisten menggunakan pendekatanhistoris dalam karangan-karangannya. Entah disengaja atau tidak,karangannya yang berjudul “Pendekatan Historis Struktural: MenemukanFormat Pembangunan” (Prisma, No. 10/XV, Oktober 1986), bisa dianggapsebagai pengukuhan sekaligus penjelasan terhadap metode yangdigunakannya tersebut. Dalam tulisan tersebut Dawam menguraikan bahwapenerapan suatu teori dalam ilmu-ilmu sosial untuk menganalisa sejarahbisa mempersenjatai ilmu sejarah dengan analisis yang lebih tajam. Hanyasaja, di pihak lain, usaha untuk mendukung sebuah teori dengan fakta-faktasejarah dapat membawa orang pada generalisasi yang terlampau jauh danpada akhirnya meluputkannya dari fakta-fakta lain.115 Ia kemudian panjanglebar menguraikan problematisasi historisisme sebagaimana dikemukakanPopper,116 dimana penggunaan historisisme dalam ilmu-ilmu sosial seringdipergunakan untuk memelihara atau membantu pandangan politiktotalitarianisme. Namun demikian, sebagaimana juga dicatat Dawam,Popper mengecualikan penggunaan historisisme dalam ilmu ekonomisebagai pendekatan yang akan mengalami kegagalan sebagaimanakemungkinan yang lazim dialami oleh ilmu-ilmu sosial lain. MunculnyaTeori Ketergantungan, yang pertama kali dicetuskan oleh Raul Prebisch,seorang strukturalis, membuktikan bahwa penggunaan pendekatan historisdalam ilmu ekonomi memang mampu untuk menghindar dari bahayahistorisisme. Dari latar belakang inilah Dawam kemudian mengukuhkanmodel pendekatannya sebagai bersifat “historis-struktural”. Menurutnya,model pendekatan ini memiliki beberapa nilai penting. Pertama,pendekatan historis-struktural dapat menghasilkan pemikiran yang tidakutopis-normatif, melainkan lebih bersifat empiris-faktual. Kedua,pendekatan ini bisa memperluas wawasan yang sering tampak sempit ketikaorang hanya menggunakan model-model abstrak dan artifisial, sebagaimanayang misalnya banyak digunakan oleh ilmu ekonomi konvensional. Ketiga,pendekatan ini bisa menghasilkan bahan-bahan yang lebih relevan bagiperencanaan pembangunan, karena pendekatan ini memperhatikandinamika yang berlangsung di masyarakat. Keempat, karena bersifathistoris-struktural, pendekatan ini bisa menghindarkan kita dari gagasantentang sebuah “lompatan kuantum”, yang dalam pengalaman banyaknegara sering dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menerapkanmanajemen pembangunan yang totaliter.117

115M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Historis Struktural: Menemukan Format Pembangunan”,

dimuat di Prisma, No. 10/XV, Oktober 1986, lihat hal. 4.116

Karl R. Popper, Gagalnya Historisisme (Jakarta: LP3ES, 1985).117

Rahardjo, “Pendekatan Historis Struktural”, loc. cit., hal. 11.

Page 38: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

38

Sebelum tulisan tentang historis-struktural itu terbit, dalam beberapakarangannya yang terbit lebih dulu Dawam sebenarnya telah menunjukkan“ketertarikannya” untuk menguraikan pentingnya pendekatan sejarah,bukan hanya bagi ilmu ekonomi, melainkan juga bagi tafsir keagamaan.Kalau membaca lagi karangannya dalam buku Insan Kamil (1985), ianampak sekali terkesan dengan pendekatan yang digunakan oleh Iqbaldalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran, yaitu dengan cara meletakkan tafsiritu dalam konteks sejarah. Misalnya, ketika Iqbal menyebut bahwa Adambukanlah tokoh sejarah, melainkan simbol manusia, dan pengusiran Adamoleh Allah bukanlah “kejatuhan Adam dari jannah”, Dawam menganggapbahwa meskipun Iqbal tidak menganggap sosok Adam sebagai historis, tapimelalui penafsiran tersebut Iqbal sebenarnya sedang melakukan suatupendekatan historis tentang manusia.118 Maksudnya, peristiwa pengusiranAdam dari jannah itu merupakan simbol dari “kebangkitan” manusia darikeadaan primitif yang terkungkung dalam selera naluriah menuju kepadakesadaran akan hadirnya sebuah pribadi. Melalui tafsir itu, demikianDawam, Iqbal sebenarnya sedang membangun teori tentang khudi, yaituteori tentang kepribadian manusia, dimana melalui kepribadiannyamanusia sebenarnya mampu mengubah sejarah.119

Begitu juga dengan kata pengantar yang ditulisnya untuk buku Naqvi.Dalam karangan tersebut, Dawam umpamanya menulis bahwa ayat-ayat AlQuran terdiri dari pernyataan-pernyataan yang bersifat positif dan juganormatif. Kedua model pernyataan ini membutuhkan penyelidikan lebihlanjut, yang bersifat empiris, sehingga bisa terungkap mengenai apa yangsesungguhnya hendak diterangkan oleh ayat-ayat tersebut. Di bagian akhirpengantarnya, terkait dengan pilihan “statisme” yang dipilih Naqvi untukmenegakkan etika Islam, Dawam menyebut bahwa konklusi itu merupakanproduk dari lompatan logika, dan lompatan itu terjadi karena Naqvi tidakmelakukan penelitian historis untuk menguraikan gagasannya.120

Setelah karangan yang muncul di Prisma pada 1986 itu, penjelasantentang pendekatan historis-struktural kembali disebut Dawam dalam bukuParadigma Al Quran (2005). Ketika menjelaskan berbagai metode tafsir AlQuran yang dipelajarinya, Dawam tak luput menyebut “teori” yangdikemukakan oleh Ahmad Wahib, sohibnya di Limited Group. Menurutpendapat Wahib, sumber Islam itu sebenarnya bukan Al Quran dan Sunah,melainkan sejarah Nabi SAW sendiri, dimana Al Quran dan Sunahmerupakan bagian inti dari sejarah tersebut.121 Bagi Dawam, pendekatan ituadalah contoh dari pendekatan historis, dan jika dilengkapi menjadi

118M. Dawam Rahardjo, “Dari Iqbal hingga ke Nasr”, dalam Rahardjo (Editor), Insan Kamil, loc.

cit., hal. 3.119

Ibid.120

Rahardjo, “Sekapur Sirih”, loc. cit., hal. 19 dan 25.121

Rahardjo, Paradigma Al Quran, loc. cit., hal. 11.

Page 39: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

39

pendekatan historis-struktural, esensi ajaral Al Quran yang bersifatmenyegala ruang dan waktu bisa lebih terang ditemukan, karena dinamikasejarah terbawa serta di dalam tafsir.

Sebagai ekonom, Dawam memang konsisten menggunakanpendekatannya itu. Di Indonesia, sepertinya hanya sedikit ekonom yangtertarik untuk menggunakan pendekatan sejarah. Selain Dawam, ekonomlain yang intens menggunakan pendekatan sejarah adalah Thee Kian Wiedan Mubyarto. Khusus untuk Thee, bahkan hingga hari ini ekonom LIPI(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tersebut masih merupakan satu-satunya ekonom Indonesia yang otorisasinya dalam studi sejarah jugadiakui oleh para sejarawan profesional. Pengakuan otorisasi keilmuan Theedi bidang sejarah misalnya dibuktikan oleh sebuah buku yangdipersembahkan sejumlah sejarawan (dan ekonom) untuk memperingatiulang tahunnya yang ke-75. Buku yang disunting oleh J. Thomas Lindbladdan Bambang Purwanto itu, selain berisi karangan kedua penyunting, jugaberisi sumbangan karangan dari Howard Dick, Henk Schulte Nordholt,Anne Booth, Arjen P. Taselaar, Alexander Claver, Vincent Houben, dansejumlah sejarawan Indonesia lain.122 Pengakuan itu memang layak, karenasejak menulis disertasi, Thee memang benar-benar telah menulis sejarahperekonomian. Ia menyelesaikan disertasinya, Plantation Agriculture andExport Growth: An Economic History of East Sumatera, 1863-1942, pada 1969.Disertasi tersebut ditulisnya di University of Wisconsin, Madison.

Pendekatan sejarah juga melekat pada karangan-karangan Mubyarto.Bahkan, pidato pengukuhan Mubyarto, yang dibacakan pada 19 Mei 1979,juga menggunakan pendekatan tersebut.123 Untuk menguji hipotesis-hipotesis yang diajukannya dalam pidato tersebut, Mubyarto menggunakanpendekatan sejarah. Dan ketika pidato itu diucapkan, Mubyarto mengakuibahwa model pendekatan sejarah relatif sangat jarang digunakan oleh paraekonom modern. Dan kondisi semacam itu sebenarnya tidak banyakberubah hingga hari ini.

Demikian pula halnya di kalangan para sejarawan, hanya terdapatsedikit sekali sejarawan yang menekuni kajian sejarah ekonomi. Di antarayang sedikit itu misalnya adalah Soegijanto Padmo.124 Pada tulisan epilog

122Pengakuan otorisasi keilmuan Thee di bidang sejarah misalnya dibuktikan oleh sebuah buku

yang dipersembahkan sejumlah sejarawan untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-75, yaituMerajut Sejarah Ekonomi Indonesia: Essays in Honour of Thee Kian Wie 75 Years Birthday(Yogyakarta: Ombak, 2010), yang disunting oleh J. Thomas Lindblad dan Bambang Purwanto.Selain kedua penyunting, mereka yang menyumbang karangan untuk buku tersebut adalahHoward Dick, Henk Schulte Nordholt, Anne Booth, Arjen P. Taselaar, Alexander Claver, VincentHouben, dan sejumlah sejarawan Indonesia. Buku itu dipersembahkan oleh Jurusan Sejarah UGMdan Universitas Leiden serta Institut Sejarah Indonesia (INSI).123

Mubyarto, Gagasan dan Metoda Berpikir, op. cit.124

Lihat, misalnya, Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia(Yogyakarta: Aditya Media, 2004); ‘Land Reform’ dan Gerakan Protes Petani Klaten, 1959-1965

Page 40: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

40

yang ditulis Thee untuk terjemahan buku New Challenges in the ModernEconomic History of Indonesia, ia menulis bahwa antara dekade 1950-anhingga 1980-an, para sarjana Indonesia memang mengalami priode“keterlelapan” (hibernation) dari studi sejarah ekonomi. Baru, meskijumlahnya kecil, pada dekade 1980-an sejumlah sejarawan yang hampirsemuanya didikan Universitas Gadjah Mada, terlibat kembali dalam studisejarah ekonomi. Hanya saja, Thee menyesalkan, hingga studi yang ia buatpada 1979, para ekonom Indonesia secara umum belum menunjukkanminat yang tinggi untuk mengkaji sejarah ekonomi.125 Kenyataan mengenaihanya sedikit ekonom yang menggunakan pendekatan sejarah dalamanalisis-analisisnya, serta sedikitnya jumlah sejarawan yang menggelutikajian sejarah perekonomian, keduanya sama-sama menggambarkan faktaihwal betapa miskinnya kehadiran perspektif sejarah dalam menilaibagaimana wajah ilmu ekonomi serta praktik perekonomian di Indonesia.Miskinnya kehadiran perspektif sejarah ini, dalam kacamata yang lebih luas,bisa dijadikan salah satu keterangan kenapa para ekonom di Indonesiakemudian lebih suka terjebak dalam pragmatisme, yaitu lebih tertarikuntuk terlibat dalam day to day problem, atau pemecahan masalah ekonomisehari-hari yang bersifat temporer dan jangka pendek, daripada terlibatdalam persoalan teoritis keilmuan yang bersifat strategis. Ciri pragmatismeini pula yang diangkat Dawam ketika membacakan pidato pengukuhannyasebagai guru besar ilmu ekonomi di Universitas Muhammadiyah Malang,yang pemaparannya juga menggunakan pendekatan sejarah.126 Selain buku-buku yang telah disebut, karya lain yang membuktikan konsistensi Dawamdalam hal pendekatan sejarah bisa dilihat terutama dari buku-buku sepertiHabibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (1997); EkonomiPancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur (2004); NalarEkonomi Politik Indonesia (2011); Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius:Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (2011);

(Yogyakarta: Media Pressindo, 2000); The Cultivation of Vorstenlands Tobacco in SurakartaResidency and Besuki Tobacco in Besuki Residency and Its Impact on the Peasant Economy andSociety, 1860-1960 (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), dan; Tembakau: Kajian Sosial Ekonomi(Yogyakarta: P3PK-UGM, 1991, ditulis dengan Edhi Jatmiko). Di Jurusan Sejarah UGM, SoegijantoPadmo adalah guru besar terakhir yang berkonsentrasi dalam kajian sejarah ekonomi.Sepeninggalnya (ia meninggal 16 Desember 2007), belum ada lagi yang intens mengkaji sejarahekonomi. Bambang Purwanto, sejarawan dari generasi yang lebih muda dari Soegijanto Padmo,dan juga merupakan guru besar di Jurusan Sejarah UGM, meskipun disertasi doktornya mengenaisejarah ekonomi, kemudian lebih banyak tertarik mengkaji historiografi. Bdk. Tarli Nugroho,“Mubyarto dan Ilmu Ekonomi yang Membumi”, op. cit.125

Thee Kian Wie, “Minat yang Muncul Kembali terhadap Sejarah Ekonomi di Indonesia”, dalam J.Thomas Lindblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru (Jakarta:LP3ES, 2000), hal. 429.126

M. Dawam Rahardjo, Pragmatisme dan Utopia: Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia(Jakarta: LP3ES, 1992).

Page 41: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

41

dan M. Dawam Rahardjo, dkk., Bank Indonesia dalam Kilasan SejarahBangsa (1995).127

Pemikiran Perancis yang ArsitektonikAda banyak cara untuk mengkategorikan pemikiran. Cara yang paling

sederhana adalah dengan label kiri, kanan, dan tengah. Namun, kategorisasiitu terlalu sederhana, tak lagi bisa mewakili kompleksitas dunia pemikiranyang terus berkembang. Johan Galtung, sebagai upaya untuk mencandrakompleksitas pemikiran dalam teori pembangunan, ia menyusun taksonomimenggunakan identitas warna, yaitu aliran biru, aliran merah, aliran hijau,aliran pink (campuran dari biru, merah, dan hijau), aliran kuning (campuranbiru dan merah), serta aliran campuran (dari hijau, pink, dan kuning).128

Dasar yang digunakan untuk menyusun taksonomi berdasarkan warna ituadalah matriks budaya, faktor yang sebenarnya juga telah diperhatikan olehpemikir ekonomi seperti Adam Smith, namun kemudian ditinggalkan olehpara pemikir sesudahnya yang lebih suka menggunakan berbagaipendekatan abstrak-kuantitatif. Untuk memperjelas taksonomi yang dibuatGaltung, sebut saja misalnya ekonomi Smithian, sebuah istilah yangdigunakan Galtung untuk menyebut aliran ekonomi mainstream. Matriksbudaya dari ekonomi Smithian adalah individualisme-vertikalitas-monetisasi-ekspansi. Kapitalisme, demikian menurut Galtung, sebenarnyahanya berhubungan dengan satu aspek saja dari matriks tadi, yaitu hanyaterkait aspek moneter. Sehingga, kapitalisme tidak tepat dijadikan labelrepresentasi, karena kerangka yang lebih besarnya sebenarnya adalahekonomi Smithian tadi. Dalam taksonomi warna, ekonomi Smithian olehGaltung disimbolkan dengan warna biru.

Tapi kategorisasi itu kaitannya dengan teori, atau pemikiran. Lantas,bagaimana seandainya kita ingin mengkategorisasikan juga sangpemikirnya? Jelasnya, setelah semua uraian panjang lebar mengenaipemikiran Dawam terdahulu, bagaimana pada akhirnya kita bisa melihatDawam?

Sepertinya menarik untuk memperhatikan pertimbangan yangdigunakan oleh Kees Bertens ketika ia menyusun buku Filsafat BaratKontemporer (2006), terutama dalam cara bagaimana ia menempatkan ataumengurutkan pembahasan mengenai filsafat Inggris, Jerman dan Perancis.

127Selain buku-buku yang telah disebut dalam catatan kaki sebelumnya, identitas lengkap buku-

buku yang menandai penggunaan pendekatan sejarah oleh Dawam lainnya adalah M. DawamRahardjo, Nalar Ekonomi Politik Indonesia (Bogor: IPB Press, 2011); M. Dawam Rahardjo,Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik SjafruddinPrawiranegara (Bandung: Mizan, 2011); dan M. Dawam Rahardjo, dkk., Bank Indonesia dalamKilasan Sejarah Bangsa (Jakarta: LP3ES, 1995).128

Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization(London: Sage Publications, 1996), lihat bagian tiga, bab dua.

Page 42: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

42

Dalam bukunya, yang terdiri dari dua jilid itu, Bertens menempatkanpembahasan mengenai filsafat Inggris di bagian awal, disusul kemudianoleh filsafat Jerman, dan terakhir adalah filsafat Perancis. Pada babpendahuluan ia menjelaskan bahwa pengurutan sebagaimana yangdipilihnya itu berangkat dari pembacaan bahwa tradisi filsafat dan bahasabersifat saling kait-mengait. Dari sisi bahasa, pada abad ke-18 bahasaPerancis memang merupakan bahasa filosofis dan bahasa ini berada padamasa keemasannya. Bahkan di Jerman, bahasa Perancis pada masa itudigunakan sebagai bahasa utama kaum terpelajar. Namun, sejakpertengahan abad ke-18 bahasa Jerman berkembang pesat sebagai bahasafilosofis, dan pada abad ke-19 malah menjadi bahasa filosofis yangterpenting di Eropa. Dominasi Amerika dalam percaturan internasional,terutama sejak Perang Dunia II, kemudian membuat bahasa Inggris menjadibahasa paling penting pada abad ke-20.129

Jika dilihat dari corak pemikirannya, filsafat Inggris sangat menaruhminat pada fakta-fakta, tidak menyukai pendekatan spekulatif, dantentunya anti-metafisika. Model penguraiannya bersifat analisis, bukansintesis. Pendek kata, corak filsafat Inggris yang khas adalah empirismenya,dimana mereka gemar menautkan filsafat dengan ilmu pengetahuan.Sementara itu, filsafat Jerman, yang relatif lebih muda jika dibandingkandengan filsafat Inggris dan Perancis, kemudaannya itu tak menghalanginyauntuk memiliki corak khas. Filsafat Jerman adalah ladang subur bagipemikiran spekulatif, yang oleh karenanya memiliki orientasi kuat padametafisika. Jika filsafat Inggris bersifat analisis, maka filsafat Jerman bersifatsintesis, sehingga cenderung pada metode dialektis. Produk otentik darifilsafat Jerman adalah idealisme. Di Jerman, setiap pemikiran dituntutuntuk berangkat dari sebuah penelitian yang mendalam dan dasariah,dimana di luar itu pemikiran akan dianggap dangkal dan rendah. Tidakmengherankan karena adanya tuntutan itu maka karya-karya pemikiranyang lahir di Jerman hadir dalam bentuk buku-buku tebal yang sulit untukdibaca. Adapun filsafat Perancis, yang tradisinya sudah terbentuk sejakabad ke-16, ditandai oleh kecermatan dan kejelasannya, dimana para filsufsangat berambisi untuk mencapai sofistikasi penjelasan sebagaimana yangdiuraikan oleh ilmu pengetahuan. Identitas yang melekat pada filsafatPerancis adalah rasionalisme dan spiritualisme.130 Kekuatan filsafat Peranciskadang tidak terletak pada otentisitas gagasannya, dimana sumber gagasanitu kadang mereka dapatkan dari filsafat Jerman, melainkan padakecermatannya dalam membahas segala konsekuensi yang mungkin darigagasan-gagasan yang ada sehingga akhirnya berkembang menjadipembahasan mendalam yang tersendiri. Itu pula yang membuat Bertensmenempatkan pembahasan atas filsafat Perancis di belakang filsafat Jerman.

129Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 10.

130Ibid., hal. 14-15.

Page 43: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

43

Seandainya corak-corak filsafat atas dasar bahasa dan nasionalitas itubisa dipinjam sebagai “model” untuk menimbang sosok Dawam, maka adabanyak ciri dari pemikiran Dawam yang sebenarnya tersebar pada tigamodel tadi. Namun, karena ciri dialektis dalam karya-karyanya, yangmembuatnya selalu bisa menyusun sintesis atas teori-teori yang dibahasnya,ia tidak mungkin dianggap sama dengan “model Inggris”. Ciri dialektis ini,yang merupakan konsekuensi logis dari pendekatan historis-struktural yangdipergunakannya ketika membahas berbagai hal, telah membuatnyabersifat terbuka terhadap berbagai teori. Oleh Didin Damanhuri,keterbukaan terhadap berbagai teori itu membuat pemikiran Dawamdisebutnya sebagai bersifat eklektik.131 Penilaian itu tentunya kurang tepat,karena ciri eklektik itu sebenarnya hanya merupakan konsekuensi daripendekatan historis-struktural yang digunakan Dawam, jadi bukanmerupakan pendekatan itu sendiri. Atau, itu adalah konsekuensi darimetode, tapi bukan metode itu sendiri.

Sementara itu, untuk bisa disebut sebagai satu model dengan corakpemikiran Jerman, kita sulit menemukan keberanian berpikir spekulatifpada karya-karya Dawam. Meskipun secara teknis ia menuliskanpemikirannya dalam “model Jerman”, yaitu tulisan-tulisan tebal danmendalam, yang menunjukkan keseriusannya dalam membahas setiappersoalan, minimnya unsur spekulatif dan intensi terhadap metafisikamembuat pemikiran Dawam tidak bisa dimasukan sebagai semodel dengancorak pemikiran Jerman.

Barangkali, sekali lagi ini hanya sekadar usaha untuk menyederhanakansekaligus meringkus prisma pemikiran Dawam yang luas itu, corakpemikiran Dawam sepertinya lebih bersesuaian dengan “model Perancis”.Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapatini. Pertama, dalam posisinya sebagai seorang pembahas, jangkauanbahasan yang diberikan oleh Dawam atas gagasan-gagasan yang telah lebihdulu diutarakan oleh koleganya, misalnya, seringkali jauh lebih kompleksdan lengkap daripada gagasan awalnya, termasuk mencakup elaborasi dariberbagai konsekuensi logis yang dalam gagasan awal tidak diperhatikan.Dalam kaitannya dengan gagasan Ekonomi Pancasila, misalnya, sulit untukditampik jika hingga hari ini gagasan itu lebih lekat pada figur Mubyarto.Namun, kontribusi Dawam terhadap gagasan Ekonomi Pancasila, terutamamelalui pendekatan filsafat yang disumbangkannya, dan berbagaikomparasi yang dilakukannya untuk melegitimasi bahwa pencarian teoridan paradigma baru pembangunan bukan hanya terjadi di Indonesia,melainkan juga dilakukan di Tanzania, Srilanka, India, dan tentu saja

131Didin S. Damanhuri, “Ekonomi Politik M. Dawam Rahardjo: Analisis Ekonomi berbasis Kondisi

Historis Sosial, Politik, dan Budaya Bangsa Indonesia”, tulisan kata pengantar bagi buku M.Dawam Rahardjo, Nalar Ekonomi Politik Indonesia, op. cit., hal. vi.

Page 44: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

44

Amerika Latin,132 membuat sumbangan Dawam tak menjadi hanya catatankaki, melainkan sebuah kontribusi besar tersendiri. Seperti halnya corakfilsafat Perancis yang kadang meneruskan gagasan-gagasan yang telahdilahirkan filsafat Jerman, namun dengan pembahasan yang jauh lebihcermat dan problematisasi yang lebih rumit dan lebih matang, makademikian juga sejumlah pemikiran Dawam.

Kedua, sebagaimana halnya di Perancis dimana filsafat sangatmemasyarakat dan terlibat dalam urusan-urusan publik, maka pemikiranDawam juga terlibat dalam berbagai persoalan keseharian. Dawam bukanhanya memiliki karangan-karangan panjang yang berlarat-larat, namun jugaesai-esai atau kolom-kolom pendek yang jumlahnya tak sedikit, baik yangdipublikasikan di surat kabar harian, mingguan, maupun majalah.Karangan-karangan pendek ini, yang sayangnya hingga kini belumtersentuh dan dibukukan, menunjukkan keterlibatannya yang intensterhadap masalah-masalah keseharian. Dan sebagai seorang pemikir, meskimenulis kolom pendek, karangan Dawam selalu penuh rujukan. Tulisan-tulisan pendeknya kadang merupakan terusan dari karangan-karanganpanjangnya, atau juga sebaliknya, karangan-karangan panjangnyamerupakan terusan dari beberapa persoalan yang pada mulanya diutarakandalam bentuk kolom.

Dan ketiga, juga sebagaimana halnya di Perancis dimana filsafat bertautdengan kesusastraan, yang ditandai oleh banyaknya filosof Perancis yangdiakui sebagai sastrawan besar, seperti Bergson, Camus, dan Sartre, makapertautan itu juga hadir pada diri Dawam. Sejak masih mahasiswa Dawambukan hanya telah terbiasa menulis kolom, melainkan juga telah banyakmenulis cerpen dan menerjemahkan sejumlah cerpen berbahasa asing kedalam bahasa Indonesia. Jadi, selain memiliki alat ekspresi berupa kolomatau karangan ilmiah, gagasan-gagasan Dawam juga kadang disampaikanmelalui sastra, dalam hal ini cerpen. Kalau membaca sejumlah cerpennyayang lahir belakangan, sastra secara sengaja memang digunakan olehDawam sebagai media untuk menyampaikan gagasan, terutama gagasankeagamaannya.133

Paling tidak, tiga alasan itu cukup untuk menggambarkan bahwaDawam adalah pemikir “model Perancis”. Namun, karena secara teknis iajuga memiliki ketahanan yang mengagumkan untuk menuliskangagasannya secara panjang lebar, yang selintas akan mengingatkan kitapada pemikir “model Jerman”, bolehlah kita menyebutnya sebagai “pemikirmodel Perancis yang arsitektonik”. Gagasan-gagasan tebal yang ditulisorang Jerman, karena tendensi kelengkapannya, membuatnya bersifatarsitektonik. Karangan-karangan Dawam memiliki juga ciri itu. Tak heran,

132Lihat, misalnya, M. Dawam Rahardjo, “Pengalaman Pembangunan Dasawarsa 1970-an:

Menuju Strategi Alternatif”, dimuat di Prisma, No. 11/IX, November 1980, hal. 54-55.133

Lihat, misalnya, M. Dawam Rahardjo, Anjing yang Masuk Surga (Yogyakarta: Jalasutra, 2008).

Page 45: PANDANGAN HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN · PDF file3 langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar

45

salah satu makalah terbarunya mengenai Ekonomi Islam bertajuk “KonsepArsitektur Ilmu Ekonomi Islam”. Makalah itu bukan sekadar mengambiljudul “arsitektur”, karena di dalamnya Dawam memang benar-benarmengemukakan gagasannya menganai bagaimana sebenarnya bangungagasan Ekonomi Islam, lengkap dengan sejumlah modelnya.134

Akhir kata, karena buku yang kini berada di tangan pembaca iniditerbitkan dalam rangka untuk memperingati hari ulang tahun penulisnyayang ke-70, ada baiknya pengantar ini ditutup dengan sebuah ucapan:Selamat ulang tahun, Pak Dawam! Teruslah menulis, seperti mentari yangselalu menyambangi kami tiap pagi, agar arsitektur pemikiranmu semakinutuh.

Yogyakarta, 1 April 2012

Tarli Nugroho

134M. Dawam Rahardjo, “Konsep Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam dan Pengembangannya pada

Perguruan Tinggi di Indonesia”, makalah disampaikan pada Workshop Nasional Arsitektur IlmuEkonomi Islam, yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah, 28 Februari 2012.