Pandangan Gede Prama tentang Bahasa Indonesia: Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

6
Pandangan Tokoh tentang Bahasa Indonesia Gede Prama: Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar Ditulis oleh Satrio Arismunandar, untuk buku Jagat Bahasa Nasional: Pandangan Tokoh tentang Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama, Oktober 2003. Tim penyusun: Pusat Bahasa Depdiknas dan Koperasi Jurnalis Independen - Koji. Bagi kalangan yang berkecimpung dalam dunia manajemen di Indonesia, nama Gede Prama pasti sudah tak asing lagi. Ia pernah menyebut dirinya ―pengangguran intelek‖ atau ―gelandangan intelek.‖ Padahal, di tahun 1994, ia baru saja pulang dari Inggris dan Perancis, dengan dua gelar master: MA dan MBA. Gede Prama sempat kerja serabutan di Jakarta, sebelum pelan-pelan namanya makin menanjak dan dikenal sebagai salah satu pakar manajemen. Ia bahkan kemudian sempat dipercaya menjadi pimpinan puncak sebuah perusahaan jamu terkemuka, PT. Air Mancur, sebagai President dan Chief Executive Officer. Usianya waktu itu baru 38 tahun, minim pengalaman di bidang industri jamu, dan bukan sanak famili dari sekitar 40 pemilik perusahaan jamu tersebut. Padahal, dalam tradisi budaya perusahaan keluarga di Indonesia, jarang sekali jabatan pemimpin puncak diserahkan ke orang luar. Jabatan itu biasanya diwariskan ke anak, atau setidaknya ke orang yang masih punya ikatan keluarga dengan sang pemilik. Gede Prama, yang lahir di Tajun, Singaraja, Bali pada 2 Maret 1963 ini konon sekarang termasuk pembicara publik dengan honor termahal di Indonesia. Sebagai pembicara terkemuka dalam berbagai pelatihan manajemen, keterampilan berbahasa Indonesia dan berkomunikasi tentu menjadi salah satu modalnya. Anak ketigabelas dari 13 bersaudara ini mengaku mengenal Bahasa Indonesia sejak sekolah di SD. Ia tak punya pengalaman atau kesan khusus tentang guru Bahasa Indonesianya. Waktu itu, ia juga tidak melihat ada yang ekstrem baik atau ekstrem buruk dalam Bahasa Indonesia. ―Datar-datar saja,‖ komentar Gede Prama. Bahasa Indonesianya waktu itu masih sepatah-sepatah. Bisa dimaklumi, karena di kelas I SD dan di lingkungan rumahnya, saat itu bahasa yang biasa digunakan adalah bahasa Bali. ―Nah, sekarang dengan istri pakai bahasa Bali. Tapi, dengan anak-anak, pakai Bahasa Indonesia. Dengan pembantu, juga pakai Bahasa Indonesia,‖ ujarnya.

description

Pandangan Gede Prama tentang berbagai aspek penggunaan Bahasa Indonesia.

Transcript of Pandangan Gede Prama tentang Bahasa Indonesia: Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

Page 1: Pandangan Gede Prama tentang Bahasa Indonesia:  Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

Pandangan Tokoh tentang Bahasa Indonesia

Gede Prama:

Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

Ditulis oleh Satrio Arismunandar, untuk buku Jagat Bahasa Nasional: Pandangan Tokoh tentang Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama, Oktober 2003. Tim penyusun: Pusat Bahasa Depdiknas dan Koperasi Jurnalis Independen - Koji.

Bagi kalangan yang berkecimpung dalam dunia manajemen di Indonesia, nama Gede

Prama pasti sudah tak asing lagi. Ia pernah menyebut dirinya ―pengangguran intelek‖ atau

―gelandangan intelek.‖ Padahal, di tahun 1994, ia baru saja pulang dari Inggris dan Perancis,

dengan dua gelar master: MA dan MBA. Gede Prama sempat kerja serabutan di Jakarta, sebelum

pelan-pelan namanya makin menanjak dan dikenal sebagai salah satu pakar manajemen.

Ia bahkan kemudian sempat dipercaya menjadi pimpinan puncak sebuah perusahaan jamu

terkemuka, PT. Air Mancur, sebagai President dan Chief Executive Officer. Usianya waktu itu

baru 38 tahun, minim pengalaman di bidang industri jamu, dan bukan sanak famili dari sekitar 40

pemilik perusahaan jamu tersebut. Padahal, dalam tradisi budaya perusahaan keluarga di

Indonesia, jarang sekali jabatan pemimpin puncak diserahkan ke orang luar. Jabatan itu biasanya

diwariskan ke anak, atau setidaknya ke orang yang masih punya ikatan keluarga dengan sang

pemilik.

Gede Prama, yang lahir di Tajun, Singaraja, Bali pada 2 Maret 1963 ini konon sekarang

termasuk pembicara publik dengan honor termahal di Indonesia. Sebagai pembicara terkemuka

dalam berbagai pelatihan manajemen, keterampilan berbahasa Indonesia dan berkomunikasi tentu

menjadi salah satu modalnya.

Anak ketigabelas dari 13 bersaudara ini mengaku mengenal Bahasa Indonesia sejak

sekolah di SD. Ia tak punya pengalaman atau kesan khusus tentang guru Bahasa Indonesianya.

Waktu itu, ia juga tidak melihat ada yang ekstrem baik atau ekstrem buruk dalam Bahasa

Indonesia. ―Datar-datar saja,‖ komentar Gede Prama.

Bahasa Indonesianya waktu itu masih sepatah-sepatah. Bisa dimaklumi, karena di kelas I

SD dan di lingkungan rumahnya, saat itu bahasa yang biasa digunakan adalah bahasa Bali. ―Nah,

sekarang dengan istri pakai bahasa Bali. Tapi, dengan anak-anak, pakai Bahasa Indonesia. Dengan

pembantu, juga pakai Bahasa Indonesia,‖ ujarnya.

Page 2: Pandangan Gede Prama tentang Bahasa Indonesia:  Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

Bagi Gede Prama, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu. ―Namun, karena sudah terbiasa

dengan Bahasa Indonesia di Jakarta, bahasa Bali saya jadi kagok-kagok. Bahasa Indonesia,

sebagai sebuah sarana berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia, sangatlah membantu!‖

lanjutnya.

Namun, Gede Prama juga mengakui, sebagai sarana keilmuan, penggunaan Bahasa

Indonesia masih terbatas. Hal ini disebabkan masih banyak hal, terutama ide-ide yang

menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Barat lainnya. Kalau ide-ide ini dibahasa-Indonesiakan,

akan hilang atau menurun nuansanya. Hal ini sangat dirasakan Gede Prama dalam aktivitas

profesinya, yang banyak bergelut dalam masalah leadership (kepemimpinan) dan manajemen.

―Kalau sebagai sarana komunikasi biasa dengan orang lain sehari-hari, ndak ada masalah.

Tetapi, begitu Bahasa Indonesia digunakan sebagai representasi ide-ide dari Barat, maknanya akan

menurun. Lebih-lebih, Bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana pengungkapan puitis,‖ kata

Gede Prama, yang kini menjabat President Director di perusahaan Dynamics Consulting.

Lulusan Universitas Lancaster, Inggris dan INSEAR, Perancis ini menuturkan, ―Terkadang

ide kita berupa logika dan rasa. Kalau mau mengungkapkan hal-hal yang berbau puitis dari bahasa

Inggris ke Bahasa Indonesia, itu sulit dialihbahasakan. Buat saya, bisa jadi ndak ketemu padanan

katanya.‖

Kesantunan Berbahasa Menurun

Mengaku bukan pakar bahasa, menurut Gede Prama, setiap bahasa memiliki kelebihannya

masing-masing. Bahasa Indonesia lebih baik untuk sarana pengungkapan keseharian. Tetapi

sebagai sarana pengungkapan ide, terutama ide-ide dari Barat, bahasa Inggris lebih mudah.

Semua itu tergantung tempatnya. Bahasa Inggris hanya mengenal rice, untuk menyebut

beras atau nasi dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal ini, bahasa Inggris lebih miskin daripada

Bahasa Indonesia. Sebaliknya, dalam Bahasa Indonesia hanya ada satu kata untuk

menterjemahkan snow, yaitu salju. Padahal, untuk bangsa Eskimo, ada seratus kata lebih untuk

menyebut salju. ―Mengapa Bahasa Indonesia hanya mengenal satu kata untuk menterjemahkan

snow? Karena dunia kita bukan dunia salju,‖ jelasnya.

Dalam memberikan ceramah di seminar atau pelatihan, Gede Prama menggunakan Bahasa

Indonesia. Meski demikian, dalam beberapa hal yang ia belum yakini terjemahannya, ia

menggunakan bahasa Inggris. ―Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi untuk memperkuat ide.

Dikhawatirkan, (jika dipaksakan dalam Bahasa Indonesia) saya salah dalam menerjemahkan,‖

sambungnya.

Toh Gede Prama pada dasarnya tidak merasakan adanya masalah dengan Bahasa

Indonesia, dalam mengekspresikan ide-ide maupun menguraikan persoalan, di bidang manajemen

dan kepemimpinan yang menjadi keahliannya. Alasannya, kekurangan dalam Bahasa Indonesia

masih bisa ditunjang dengan penggunaan bahasa Inggris. Yang penting, orang bisa mengerti apa

yang ia sampaikan.

Page 3: Pandangan Gede Prama tentang Bahasa Indonesia:  Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

Meski demikian, ia juga mengakui, sekarang ada tren dimana sejumlah kalangan muda dan

orang yang telah mapan lebih senang menggunakan bahasa Inggris. Ada beberapa hal yang

mempengaruhi tren itu, antara lain unsur gengsi. Gede Prama sendiri tetap menempatkan

penyampaian ide di nomor satu, dan gengsi di urutan nomor dua. Baginya, jika terpaksa harus

menggunakan bahasa Inggris, hal itu lebih untuk penguatan ide, bukan untuk gengsi-gengsian.

Jika disampaikan dalam bahasa Inggris, ide itu terasa lebih kaya. Tetapi jika disampaikan

dalam Bahasa Indonesia, Gede Prama meragukan, ide itu akan dipahami secara benar. Ia memberi

contoh ungkapan where the blossom vanish the fruit appear. Kalau dibahasa-Indonesiakan,

ungkapan itu menjadi ―ketika bunganya hilang, buahnya muncul.‖ Padahal bunga dengan blossom

itu berbeda. Bunga diterjemahkan ke bahasa Inggris, bisa menjadi flower atau blossom.

Meski sudah dianggap pakar manajemen, Gede Prama mengaku, ia masih terus belajar

Bahasa Indonesia. Cara belajarnya tidak secara formal, tetapi dengan banyak membaca koran. Ia

juga suka membaca novel dan karya sastra. Namun, yang banyak ia baca adalah novel atau karya

sastra dalam bahasa Inggris, karena dianggapnya memperkaya ide. Ia pernah mencoba membaca

karya sastra yang berbahasa Indonesia atau lokal. ―Tetapi kurang nyambung dengan visi dan ide

saya ke depan. Memang, ada beberapa karya asing yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia,

seperti karya Kahlil Gibran. Itu saya baca,‖ tuturnya.

Saat ini, ada sebagian kalangan yang menyatakan, krisis bangsa tercermin juga dalam krisis

bahasa. Menurut Gede Prama, pernyataan itu –yang lebih menempatkan bahasa sebagai

representasi realita, dan bukan bahasa sebagai media—memang ada benarnya. Ia memberi contoh,

dari segi kesantunan berbahasa, banyak orang sekarang cenderung tidak santun.

―Dulu kalau kita menyebut presiden, di depannya ada bapak. Begitu juga, (kalau

menyebut) menteri, di depannya ada bapak atau ibu. Sekarang ‗kan ndak. Bu Mega dipanggil

orang Mbak. Ada kecenderungan penurunan kesantunan,‖ ujar Gede Prama. Ia membandingkan

dengan masa Orde Baru, yang dianggapnya lebih santun, meski mungkin alasan kesantunan itu

belum jelas: betul-betul karena kesantunan yang tulus, atau takut pada pejabat. Penggunaan bahasa

sekarang, dinilai Gede Prama, lebih vulgar.

Ia menolak, ketika dikatakan bahwa yang dianggapnya ―tidak santun‖ itu mungkin

sebetulnya hanyalah penggunaan bahasa yang lebih lugas. Menurut Gede Prama, ada perbedaan

antara lugas dan vulgar. ―Memang dari segi realita, kita sekarang cenderung kurang santun. Kalau

dulu ada sesuatu yang kurang berkenan, ada kecenderungan penghalusan atau eufemisme.

Konsekuensinya, bahasa menjadi santun. Tetapi, karena zamannya jadi liar, maka bahasanya jadi

vulgar!‖ tegasnya.

Menurut Gede Prama, kecenderungan menurunnya kesantunan berbahasa ini juga terlihat

pada bahasa media massa. Kalau gaya berbahasa dari kalangan anak muda, memang sejak dari

dulu begitu. Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa pop, bahasa yang menuntut perubahan.

―Saya waktu muda juga seperti itu. Katakanlah, seperti lu-gua,‖ sambungnya. Namun ia menolak

mengomentari gaya pejabat berbahasa Indonesia. Kata Gede Prama, ―Saya bukan pengamat

pejabat yang baik.‖

Page 4: Pandangan Gede Prama tentang Bahasa Indonesia:  Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

Belajar bahasa seperti belajar berenang

Banyak orang bilang, Bahasa Indonesia mudah dipelajari. Gede Prama tidak membantah

pendapat itu. Dikatakannya, sebenarnya semua bahasa mudah dipelajari, asalkan cara belajarnya

seperti orang belajar berenang, langsung saja menceburkan diri ke air!

―Contohnya, kalau mau belajar bahasa Inggris, tinggal saja di Inggris selama lima tahun.

Itu pasti bisa. Saya ‗kan belajar Bahasa Indonesia, di samping karena pendidikan, juga karena saya

tinggal di Jakarta. Coba saya tinggal selamanya di Bali, Bahasa Indonesia saya akan bego terus!‖

ujar Gede Prama.

Gede Prama jelas tidak asal bicara, karena yang diutarakannya itu adalah berdasarkan

pengalamannya sendiri. Ketika dulu mencari beasiswa untuk bisa bersekolah ke luar negeri, ia

terus terang mengaku, tidak becus berbahasa Inggris. Ia nekad mendaftar dan belajar bahasa

Inggris sendiri, sampai akhirnya malah dinyatakan sebagai peserta dengan kemampuan bahasa

Inggris terbaik!

Bagaimanapun, Gede Prama menilai, penggunaan Bahasa Indonesia secara umum sekarang

sudah lebih baik daripada dulu. Dulu, banyak nuansa lokalnya. Seperti, orang memakai Bahasa

Indonesia, tetapi menyelipkan bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya dalam pembicaraan. Pada

tahun 1980-an, ketika Gede Prama pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta, ia melihat di

kantor-kantor, banyak orang menggunakan bahasa Jawa. Sekarang, hal semacam itu sudah

menurun.

Kemudian, pembicaraan di berbagai forum publik yang mengandalkan bahasa lokal, juga

menurun. Terakhir, dialek lokal pun makin tak terdengar. ―Seperti, saya orang Bali. Dialek bahasa

saya tidak lagi terlihat, dan saya seperti dianggap bukan orang Bali. Jadi, sekarang seperti ada

proses nasionalisasi dalam berbahasa, dan itu menunjukkan gejala yang semakin baik

dibandingkan dulu,‖ jelasnya.

Ada anggapan di sebagian kalangan bahwa perkembangan Bahasa Indonesia cenderung

lamban. Gede Prama enggan mengomentari pandangan tersebut. Namun, ia memberi contoh

negeri tetangga, Singapura dan Malaysia, yang dianggapnya sangat berani dalam penggunaan

bahasanya. Mereka melokalkan bahasa Inggris. Seperti, bahasa Inggris tire (ban), di Singapura

menjadi tire, dan di Malaysia menjadi tayer.

―Di Indonesia, ada kecenderungan gengsi dalam melokalkan bahasa Inggris. Padahal,

bahasa Inggris ‗kan sekarang menjadi bahasa global. Untuk kata bahasa Inggris yang tidak ada

padanan kata Indonesianya, pakai saja bahasa Inggris yang diindonesiakan. Sehingga, kita dan

anak cucu kita tidak perlu lagi belajar kata yang baru,‖ usul Gede Prama.

Ia menjelaskan, di Malaysia, kata bahasa Inggris tire dilokalkan menjadi tayer, itu akan

memudahkan. Kalau memakai bahasa-bahasa lokal (daerah), nanti perlu diulang lagi dan perlu

belajar lagi. Ini menyulitkan. ―Bahasa pada intinya adalah sarana integrasi. Sehingga, lubang-

lubang yang ada dalam Bahasa Indonesia perlu segera ditutup dengan bahasa Inggris. Saya tidak

melihat itu sebagai pengorbanan, tetapi sebagai sarana integrasi yang lebih cepat,‖ tambah Gede

Prama.

Page 5: Pandangan Gede Prama tentang Bahasa Indonesia:  Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

Dalam kaitan integrasi inilah, ia memandang, peran Bahasa Indonesia sebagai perekat

persatuan antar provinsi dan daerah-daerah, telah semakin baik. ―Dulu, jika kita ke daerah, hanya

sedikit orang yang bisa berbahasa Indonesia. Sekarang, semakin banyak. Bahkan, di tingkat desa

pun, orang sudah banyak mengerti Bahasa Indonesia,‖ lanjutnya. Gede Prama berharap, Bahasa

Indonesia bisa mempertahankan kinerjanya sebagai sarana integrasi nasional.

Hilangnya kolom pembinaan Bahasa Indonesia

Tentang penggunaan Bahasa Indonesia bagi para warga asing yang tinggal atau bekerja di

Indonesia, Gede Prama berpendapat, kepada mereka tidak perlu diwajibkan belajar Bahasa

Indonesia, ataupun mengikuti tes Bahasa Indonesia. Alasannya, Indonesia saat ini bukan bangsa

yang memiliki daya tawar yang tinggi, sehingga tidak perlu memberlakukan syarat ini atau itu.

―Kalau Anda wanita cantik, pakai syarat ini atau itu, bolehlah. Tetapi kalau Anda jelek, dan pakai

syarat ini dan itu, nanti ndak ada orang lain yang berminat!‖ katanya.

Gede Prama menambahkan, saat ini di Indonesia banyak pengangguran. Negeri ini juga

sedang sulit mencari investor, untuk menghidupkan kembali perekonomian yang terpuruk. Jika

dalam kondisi demikian, Indonesia mengeluarkan syarat yang aneh-aneh, itu namanya bunuh diri.

Ia juga tidak melihat prospek Bahasa Indonesia untuk berkembang ke lingkup yang lebih jauh, dari

sekadar bahasa nasional. ―Mungkin limit Bahasa Indonesia hanya di situ,‖ ucapnya.

Tetapi ini bukan berarti Gede Prama tak punya perhatian pada kemajuan Bahasa Indonesia.

Ia, misalnya, menyorot hilangnya kolom-kolom pembinaan Bahasa Indonesia di beberapa koran

nasional utama. Acara pembinaan Bahasa Indonesia di televisi, yang dulu pernah dibawakan oleh

Yus Badudu, menurut pengamatannya, juga sudah tak terlihat lagi.

Tentang apakah penghapusan kolom-kolom pembinaan bahasa itu karena pembinaan

Bahasa Indonesia dianggap sudah tak penting lagi, Gede Prama mengaku, kurang mengerti.

Apakah ini berarti pembinaan bahasa itu menurun? ―Bisa jadi, menurun. Atau, orang sudah

percaya diri menggunakan Bahasa Indonesia, dan tidak perlu pembinaan yang terlalu banyak,‖

sahutnya.

Gede Prama sekarang bisa menikmati posisi sebagai pengguna Bahasa Indonesia yang

efektif. Kebiasaan yang menyenangkan hati dan jiwanya akhir-akhir ini, adalah setiap kali selesai

bermeditasi, ia menemukan rangkaian pemahaman yang layak untuk dibagi ke banyak orang hari

itu. Maka, dituliskannya hikmah tadi ke dalam pesan SMS (short messaging service) yang dikirim

ke puluhan sahabat. Dan, karena keindahan dan hikmah yang tersirat dari pesan tersebut, tidak

sedikit sahabat yang kemudian meneruskannya ke puluhan sahabat yang lain lagi.

Maka, jadilah pesan-pesan SMS yang selalu diawali dengan kata Gede Prama’s message of

the day, sebagai bahan renungan yang ditunggu banyak orang. ―Begitu ada minggu tanpa SMS

terakhir, tidak sedikit sahabat yang mengirimi saya SMS: Mana pesan untuk minggu ini?‖ tutur

Gede Prama. Penggunaan Bahasa Indonesia yang tepat, bagi Gede Prama, ternyata bukan cuma

penting untuk berkomunikasi, tetapi di luar dugaan, juga menyebarkan kebahagiaan pada banyak

orang. ***

Jakarta, Oktober 2003

Page 6: Pandangan Gede Prama tentang Bahasa Indonesia:  Zaman Jadi Liar, Bahasa Jadi Vulgar

Biodata Penulis:

* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (1995-97),

anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)

1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian

Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan

Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan

Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:

E-mail: [email protected]; [email protected]

Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com

Mobile: 081286299061