Pancasila Dan Uud 1945 Dalam Kurun
-
Upload
kewin-harahap -
Category
Documents
-
view
194 -
download
13
Transcript of Pancasila Dan Uud 1945 Dalam Kurun
PANCASILA DAN UUD 1945 DALAM KURUN ORDE BARU DAN REFORMASI
A. Pendahuluan
Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idil bangsa Indonesia yang
menjadi pedoman untuk mencapai cita-cita bangsa, dewasa ini dalam zaman
reformasi telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi
selama lebih dari lima puluh tahun. Namun sebaliknya sakralisasi dan
penggunaan berlebihan dari ideologi Negara dalam format politik orde baru
banyak menuai kritik dan protes terhadap pancasila.
Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat
Negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan
manipulasi poliltik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan
tegaknyakekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi Negara Pancasila.
Dengan kata lain Pancasila tidak lagi dijadikan Pandangan hidup bangsa dan
Negara Indonesia.
Sejarah implementasi pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus
bukan dalam pengertian keabsahan substansialnya, tetapi dalam konteks
implementasinya. Tantangan terhadap pancasila sebagai kristalisasi pandangan
politik berbangsa dan bernegara bukan hanya bersal dari faktor domestik, tetapi
juga dunia internasional.
Pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, kini
zaman globalisasi begitu cepat menjangkiti negara-negara di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme,
serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan
cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa meminggirkan pancasila dan
dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan
kepribadian bangsa.
1
Implementasi pancasila dalam kehidupam bermasyarakat pada hakikatmya
merupakan suatu realisasi praksis untuk mencapai tujuan bangsa.
B. Pancasila dan UUD Pada Masa Orde Baru
1. Pancasila dan UUD dalam Perspektif Orde Baru
Orde baru merupakan konsep yang dipergunakan untuk menyebut
suatu kurun waktu pemerintahan yang ditandai dengan keinginan
melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Karena
telah terbukti bahwa pemberontakan G 30 S yang didalangi oleh PKI maka
rakyat menghendaki dan menuntut PKI dibubarkan. Namun pada waktu itu
pimpinan negara tidak mau memenuhi tuntutan rakyat sehingga timbul
"situasi konflik "antara rakyat satu pihak dan Presiden dilain pihak. Keadaan
dibidang politik, ekonomi, dan keamanan semakin tidak terkendali, oleh
karena itu rakyat dengan dipelopori oleh pemuda/mahasiswa menyampaikan
tuntutannya yaitu Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) yaitu:1
a. Bubarkan PKI.
b. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI.
c. Turunkan harga-harga / perbaikan ekonomi.
Gerakan TRITURA semakin meningkat sehingga Presiden
mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 kepada Letnan Jenderal TNI
Soeharto, dengan lahirnya SUPERSEMAR oleh rakyat dianggap sebagai
lahirnya Orde Baru. Dengan berlandaskan pada Surat Perintah 11 Maret 1966,
pengemban SUPERSEMAR pada tanggal 12 Maret 1966 membubarkan PKI
dan ormas-ormasnya jadi dengan demikian tanggal 19 Maret 1966 dinyatakan
sebagai titik awal Orde baru. Dalam masa ini telah dapat berhasil
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal pembentukan lembaga-
lembaga Negara dan lain-lain, namun perkembangan lebih lanjut Orde Baru 1Sastrapetadja, Pancasila sebagai Prinsip Humanisasi Masyarakat:Kontekstualisasi dan
Implementasi Pancasila,(Yogyakarta: Penerbit Lima, 2007), hlm. 210.
2
didalam melaksanakan kekuasaan negara/pemerintah, sejalan dengan proses
yang dihadapi ternyata terjadi penyimpangan-penyimpangan yang terlihat
kepada pelaksanaan kekuasaan pemerintah mengarah otoriter. Dari
pemerintah otoriter ini muncul terjadinya konflik horisontal maupun vertikal
yang diakhiri oleh lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998,
kemudian beralih kepada Pemerintah beraliran Reformasi.
Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul
berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah
menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan.
Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa
yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya
sebagai alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto.2
Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat
diperlukan orde baru sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat
otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila oleh rezim orde baru kemudian
ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat
otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai
doktrin komprehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan
legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang berkuasa. dalam diri
masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya upaya indroktinisasi
tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pengkultusan Pancasila
sampai dengan Penataran P4.
Upaya pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde
baru guna memperoleh kontrol sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945.
Pemerintah orde baru menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu
yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan 2Agus Wahyudi,Ideologi Pancasila: Doktrin Yang Komprehensif Atau Konsepsi Politis,
(Yogyakarta: Pusat Studi UGM, 2004), hlm. 3.
3
implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai
landasan konstitusi berada di tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga
tercermin dari penetapan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober
sebagai peringatan atas kegagalan G 30 S/PKI dalam upayanya menggantikan
Pancasila dengan ideologi komunis.3
Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran
bangsa Indonesia yang sangat plural kemudian diseragamkan. Uniformitas
menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral.
Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan
secara intensif. Sebagai pucaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial
politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya
dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang
mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila
sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan,
tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan
berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai
pelaku tindak kriminal atau subversif.
2. Sosialisasi Pancasila melalui Penataran P4
Pada era Orde Baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap
Pancasila, pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai
Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat. Siswa,
mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk
melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga
dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional 3Sugeng Bayu Wahyono, Agama, Humanisme, dan Relevansi Pancasila, (Jakarta: Kebijakan
Publik, 2011), Edisi 2. hlm.7.
4
akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Selain sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran juga disampaikan
pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar 1945 dan Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi tanggung jawab
dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (BP7).4
Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi
generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah
dikemas dalam penataran P4, ternyata justru mematikan hati nurani generasi
muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama
disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan
keteladanan yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu
mengucapkan kata-kata Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya
masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan.
Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin
serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena
masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat)
tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain
Pancasila hanya digunakan sebagai slogan yang menunjukkan kesetiaan semu
terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.5
C. Pancasila dan UUD 1945 Pada Masa Reformasi
4Sugeng Bayu Wahyono, Op.cit., hlm. 20. 5Ibid., hlm. 24.
5
Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil
presiden BJ Habibie. Pengunduran diri ini ialah dampak dari ketidakpuasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu yang
juga disusul dengan krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia
melemah. Ketidakpuasan masyarakat ini dituangkan melalui demonstrasi besar-
besaran yang dilakukan oleh berbagai organisasi aksi mahasiswa di berbagai
wilayah Indonesia.
Tragedi Trisakti adalah salah satu tragedi puncak jatuhnya rezim Soeharto.
Tragedi Trisakti yang meletus pada tanggal 12 Mei 1998 memicu Kerusuhan Mei
1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh
Indonesia. Di bawah tekanan yang besar baik dari dalam maupun dari luar negeri,
akhirnya kekuasaan Soeharto dapat ditumbangkan, ia akhirnya memilih
mengundurkan diri dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama 32 tahun.
Menurut Panitia Lima (Bung Hatta, Subardjo, Maramis, Sunarjo,
Pringgodigdo) Pancasila dapat dipahami bukan hanya dengan membaca teksnya,
melainkan dengan mempelajari terjadinya teks itu. Fleksibilitas Pancasila yang
akan mampu membingkai nasionalisme menjadi aset penting bagi kehidupan era
ini, sebab anekaragam sosial dan kemajemukan budaya (agama, suku, geografis,
pengalaman sejarah) dan kehidupan paradoks butuh ''kesadaran bersama yang
baru secara rohaniah'' sebagai bangsa.6
Jika mencermati keberadaan Pancasila dalam kehidupan politik yang
banyak mengalami perubahan konstitusional dan rezim kekuasaan (1945 - 1978)
Pancasila selalu dipertahankan. Menurut Yamin (1959), hal demikian
memperlihatkan Pancasila mengandung kenyataan yang hidup dan tumbuh dalam
6Astrid S. Susanto Sunario, Pancasila (untuk Abad ke-21), (Jakarta: Ditjen Dikti, 2000), hlm. 10-11.
6
sanubari orang per orang dalam masyarakat, sehingga Pancasila selalu
dipertahankan oleh rakyat Indonesia yang mendukung tiap-tiap negara nasional
yang lahir di atas bumi tumpah darah Indonesia. Dengan Pancasila rakyat
Indonesia telah bersatu dalam revolusi dan dalam perjuangan sejak hari
proklamasi. Pancasila merupakan kristalisasi daripada intisari perjuangan
kemerdekaan nasional di abad ke-20.7
Fleksibilitas Pancasila yang akan mampu membingkai nasionalisme
menjadi sebagai aset penting bagi kehidupan era ini, sebab anekaragam sosial dan
kemajemukan budaya (agama, suku, geografis, pengalaman sejarah) dan
kehidupan paradoks butuh ''kesadaran bersama yang baru secara rohaniah''
sebagai bangsa.8
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan
mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti
pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam
melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan
vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama
dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian
bangsa ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus
tetap menjadi dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti
globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat
penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan
segregasi sosial dan konflik komunalisme yang masih rawan. Kelihatannya, yang
diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih 7Sugimin Raharjo, Sejarah Perjungan Bangsa Indonesia, (Semarang: Bintang Jaya Group,
1998), hlm. 89. 8Astrid S. Susanto Sunario, Op.cit., hlm. 15.
7
konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara.
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan reformasi sebagai upaya
memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal, terutama yang
berkaitan dengan dampak politik, ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan.
Para elite politik cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna
meraih kekuasaan sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi
perbenturan kepentingan politik. Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat
tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Banyaknya korban jiwa dari anak-
anak bangsa dan rakyat kecil yang tidak berdosa merupakan dampak dari
benturan kepentingan politik. Tragedi “amuk masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, serta daerah-
daerah lainnya merupakan bukti mahalnya sebuah perubahan. Dari peristiwa-
peristiwa tersebut, nampak sekali bahwa bangsa Indonesia sudah berada di
ambang krisis degradasi moral dan ancaman disintegrasi.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak
berpihak kepada kepentingan rakyat. Sektor riil sudah tidak berdaya sebagaimana
dapat dilihat dari banyaknya perusahaan maupun perbankan yang gulung tikar
dan dengan sendirinya akan diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Jumlah pengangguran yang tinggi terus bertambah seiring dengan PHK sejumlah
tenaga kerja potensial. Masyarakat kecil benar-benar menjerit karena tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini diperparah dengan
naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, serta harga bahan kebutuhan
pokok lainnya. Upaya pemerintah untuk mengurangi beban masyarakat dengan
menyediakan dana sosial belum dapat dikatakan efektif karena masih banyak terjadi
penyimpangan dalam proses penyalurannya. Ironisnya kalangan elite politik dan
pelaku politik seakan tidak peduli den bergaming akan jeritan kemanusiaan tersebut.
8
Di balik keterpurukan tersebut, bangsa Indonesia masih memiliki suatu
keyakinan bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan
masyarakat akan menjadi lebih baik. Apakah yang dasar keyakinan tersebut? Ada
beberapa kenyataan yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia dalam
memperbaiki kehidupannya, seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang berakar
pada pandangan hidup bangsa Indonesia; (2) adanya kekayaan yang belum
dikelola secara optimal; (3) adanya kemauan politik untuk memberantas korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN).9
UUD 1945 pada masa era globalisasi yang ditandai oleh reformasi
berawal dari ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN kemudian
disusul oleh Tap-Tap MPR yang lain. Dari segi pengembangan hukum terlihat
pada Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan
peraturan perundangan. Sejak adanya perubahan / amandemen UUD 1945 yang
pertama tersirat materi muatan konstitusi hanya diatur dalam UUD 1945
kemudian amandemen tersebut sampai perubahan keempat, secara lengkap proses
amandemen pasal-pasal dimaksud dapat diperhatikan pada lampiran. Di dalam era
reformasi ini Pancasila tetap dipertahankan sebagai Dasar Negara dan Pancasila
sebagai idiologi nasional yang merupakan cita-cita dari tujuan negara. Di dalam
pengembangan lebih lanjut bahwa Pancasila sebagai paradigma yaitu merupakan
pola pikir atau kerangka berpikir, disini menunjukkan bahwa pembukaan UUD
1945 memiliki peranan penting yang menjadi satu kesatuan bersama UUD 1945.
Menyangkut perubahan/amandemen UUD 1945 dimaksud diantaranya adalah
untuk menghadapi perkembangan yang begitu cepat terjadi di dunia ini.
Beberapa persoalan menarik yang perlu dikaji sehubungan dengan
gerakan reformasi, diantaranya Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD 195
sebagai landasan Konstitusional, serta seluruh peraturan perundang – undangan
yang berlaku. Namun demikian, beberapa persoalan yang segera ditata sesuai
9Rahman Supraja, Pancasila, (Cirebon: Swagati Press, 2008), hlm. 21
9
dengan cita – cita reformasi, diantaranya menata hubungan tata kerja antara
Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara. Yaitu mengembalikan
kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat sehingga tugas – tugas kenegaraan dapat berjalan dengan lebih
baik. Dengan demikian, dengan ada tidak adanya amandemen bukanlah jaminan
bagi terwujudnya pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa di samping itu
kenyataannya menunjukkan bahwa sebagai bangsa yang mengaku memiliki sikap
jujur, kesatria, dan terbuka belum mampu merealisasikan sikap itu dalam
kehidupan nyata. Jika sikap ini dapat di kedepankan maka segala persoalan yang
di hadapi bangsa Indonesia dapat dipecahkan tanpa menimbulkan kerugian bagi
anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu, jauhkan sikap emosional dan
kedepankan sikap rasional, logis, dan kritis dalam memecahkan segala persoalan
yang sedang dihadapi. Kesemuanya itu merupakan konsekuensi logis dari
dinamika pelaksanaan UUD 1945. artinya, UUD 1945 tidak harus dilaksanakan
secara kaku, tetapi secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan Perkembangan
masyarakat.10
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat
Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai masalah. Pada
era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila
secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya
sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan arus
demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak
tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi negara yang seharusnya
menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para
negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi
membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI
mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam
10Ibid.,
10
NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa
reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila
tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian
masyarakat menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan
bangsanya sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa
yang dikenal dengan ”subversi asing”, yakni kita saling menghancurkan negara
sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing. Di dalam pendidikan
formal, Pancasila tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib.
D. Kesimpulan
Kecenderungan orde baru dalam memandang Pancasila sebagai doktrin
yang komprehensif terlihat pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai
dan norma dan karena itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara
terpusat. Pada akhirnya, pandangan tersebut bermuara pada keadaan yang disebut
dengan perfeksionisme negara. Negara perfeksionis adalah negara yang merasa
tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya, dan kemudian
melakukan usaha-usaha sistematis agar ‘kebenaran’ yang dipahami negara itu
dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Sehingga formulasi kebenaran yang
kemudian muncul adalah sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan
dengan kehendak penguasa.
Di era reformasi, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan
mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti
pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam
melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan
11
vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama
dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Raharjo, Sugimin. Sejarah Perjungan Bangsa Indonesia, Semarang: Bintang Jaya Group, 1998.
12
Sastrapetadja. Pancasila sebagai Prinsip Humanisasi Masyarakat: Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila, Yogyakarta: Penerbit Lima, 2007.
Supraja, Rahman. Pancasila, Cirebon: Swagati Press, 2008.
Susanto Sunario, Astrid S. . Pancasila (untuk Abad ke-21), Jakarta: Ditjen Dikti, 2000.
Wahyono, Sugeng Bayu. Agama, Humanisme, dan Relevansi Pancasila, Jakarta: Kebijakan Publik, 2011, Edisi 2.
Wahyudi, Agus. Ideologi Pancasila: Doktrin Yang Komprehensif Atau Konsepsi Politis, Yogyakarta: Pusat Studi UGM, 2004.
13