pak edo

14
Permasalahan Agama di Indonesia Apa dan bagaimana masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia? Apa penyebab masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia? Bagaimana solusi menghadapi masalah hubungan antar umat beragama di Idonesia ? jawaban : Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward (1989:5). Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan. Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward (1989:167), setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta yang positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antarmanusia yang bersumber pada agama. Secara normatif-doktriner agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih dan kerukunan. Tetapi kenyataan sosiologis

Transcript of pak edo

Page 1: pak edo

Permasalahan Agama di Indonesia

Apa dan bagaimana masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia?

Apa penyebab masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia?

Bagaimana solusi menghadapi masalah hubungan antar umat beragama di Idonesia ?

jawaban :

Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward (1989:5). Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan.

Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward (1989:167), setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.

Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta yang positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antarmanusia yang  bersumber pada agama.

Secara normatif-doktriner agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih dan kerukunan. Tetapi kenyataan sosiologis memperlihatkan sebaliknya, agama justru dijadikan sumber konflik yang tak kunjung reda, baik konflik intern maupun ekstern,  misalnya  bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba dengan umat Yahudi, umat Kristen penganut

agama Romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama sampai abad ketiga.

Seperti ungkap Syafiq Mughni, ketegangan atau konflik antarumat bergama di Indonesia biasanya berkisar pada tiga wilayah yang berdiri sendiri atau saling terkait: pertama, wilayah ajaran,  kedua wilayah sosial, ketiga wilayah kemanusiaan. Artinya, persoalan kemanusiaan (keadilan, kejujuran, dan ketentraman dsb.) harus memancing respon dari berbagai agama untuk melakukan kerjasama yang baik. Oleh sebab itu, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama di tengah pluralitas  ini adalah dengan memahami ajaran agama masing-masing secara utuh.

Page 2: pak edo

Ketegangan dan kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia selama  ini yang mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, mushalla, dan gereja selalu dikaitkan dengan konflik antarumat beragama. Fenomena di atas menunjukkan kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Oleh sebab itu, persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antarumat beragama.

Menyadari pluralisme agama yang ada di Indonesia, kerukunan hidup antarumat beragama merupakan sesuatu yang harus diperhatikan bagi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Kerukunan hidup antarumat beragama dimaksud adalah kerukunan yang tercipta di antara umat beragama dalam kehidupan sosial tanpa mempersoalkan agama/akidah masing-masing.

Di Indonesia, upaya untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama sudah sejak lama dibina. Sejak tahun 1967 hingga sekarang dialog antaragama gencar dilaksanakan, baik atas prakarsa pemerintah maupun masyarakat beragama itu sendiri. Upaya dialog tersebut kemudian dikenal dengan Musyawarah Antar-Agama, yang melibatkan para pemuka agama di Indonesia. Bahkan masa antara tahun 1972-1977 tercatat pemerintah telah menyelenggarakan dialog yang berlangsung di 21 kota (UQ, 1993, Dian, Th.I). Tetapi bagaimana hasilnya? Mengapa konflik atas nama agama tetap saja berlangsung?

Sekurang-kurangnya menurut Bambang Sugiharto (1998: 29-32), tantangan yang dihadapi setiap agama saat ini ada tiga: pertama, soal disintegrasi dan degradasi moral; kedua, soal pluralisme dan eksklusivisme; ketiga, soal ketidakadilan. Ketiga persoalan tersebut sulit diatasi karena beberapa faktor, di antaranya adalah: karena adanya sikap agresif yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain; adanya konsep kemutlakan Tuhan yang disalahmengertikan; dan adanya kepentingan luar agama (politik, ekonomi) yang turut mengintervensi agama. Tetapi jika faktor di atas dapat diselesaikan, maka tantangan-tantangan tersebut juga dapat dijawab.

Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja (1998: 79) menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan dakwah bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas umat). Sejalan dengan Tanja, Shahab menegaskan (lihat: 1998: 23-24), bahwa ketegangan agama yang terjadi selama ini adalah karena pelaku dakwah (da’i, muballigh, missionaris) adalah orang-orang yang cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan kadang provokatif.

Di sinilah perlunya keterbukaan antarumat beragama melalui dialog-dialog segar dan menyejukkan umat itu sendiri. Dialog yang ditindaklanjuti dengan kerja konkret, kata Victor I. Tanja (246). Bagaimana konsep dialog antarumat beragama itu harus dikemas?

Page 3: pak edo

Praksis dialog agama yang sebenarnya seperti diungkap oleh Ahmad Gaus (1998:295) adalah, dialog yang meleburkan diri pada realitas dan tatanan sosial yang tidak adil dengan sikap kritis. Karena setiap agama  memiliki nilai-nilai kebaikan dan misi penegakan moralitas.

Dengan tegas dikatakan oleh Mudji Sutrisno (1998: 335), bahwa tidak cukup membangun dialog antaragama hanya dengan dialog-dialog logika rasional, namun perlu pula logika psikis. Maka ihktiar dialog logis teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencairan-pencairan psikologis, seperti rasa saling curiga yang selama ini selalu muncul di kalangan umat beragama.

Masalah kerukunan umat beragama dan antarumat beragama   sangat penting untuk terus dibina, sebab akhir-akhir ini kerusuhan di berbagai daerah yang melibatkan umat beragama, terus bergejolak, meskipun pemicunya sangat kompleks menyangkut soal ekonomi dan politik. Tetapi jika ajaran agama dipahami secara benar, sesungguhnya tidak akan terjadi kerusuhan tersebut, sebab setiap agama mengajarkan kerukunan dan cinta kasih, menyerukan kebajikan dan mencegah kemungkaran atau dalam bahasa al-Qur’an disebut amar ma’ruf nahi munkar.

Sudah saatnya umat beragama mengkaji ajaran agamanya secara benar dan kritis, tidak terjebak pada persoalan-persoalan yang formalistik dan bersifat simbol belaka. Sementara substansi ajarannya yang penuh perhatian terhadap persoalan kemanusiaan dan akhlaq- karimah seperti: keadilan, kejujuran dan kedermawanan terabaikan.

Apalagi jika kemudian agama direduksi nilainya dengan menempatkan posisi agama sebagai alat legitimasi aktivitas politik dan kekuasaan. Pada saat seperti ini  agama tinggal sebuah simbol kekuasaan yang kehilangan makna substansialnya. Oleh sebab itu, umat beragama perlu merenungi kembali persoalan ini. Bagaimana agama bisa menjadi kekuatan moral dan spirit umat untuk melakukan aksi yang selalu bermanfaat  bagi orang lain, bukan sebaliknya merusak tatanan  sosial. Kiranya kita perlu merenungi hadis Nabi yang berbunyi: Khair an-nas anfa’uhum li an-nas, sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Jika kita perhatikan kitab suci, sebetulnya musuh agama adalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Kalau masih ada ketidakadilan dan ketimpangan sosial di muka bumi ini maka menjadi tanggung jawab semua umat beragama. Karena pada dasarnya semua agama tidak menghendaki segala macam bentuk kejahatan. Di sinilah letak kebenaran universal agama itu. Semua ajaran agama menghendaki wujud kebaikan di masyarakat dan menentang semua bentuk kezaliman.

Dalam pandangan Islam, orang yang masih membiarkan ketimpangan sosial (tidak peduli orang miskin, anak yatim dan orang yang terlantar dan tertindas) maka disebut sebagai pendusta  dan penghianat agama (baca: QS. Al-Ma’un). Musuh agama juga orang yang mengakumulasi kekayaan yang tak ada kemanfaatan bagi orang lain (lihat:QS. Al-Humazah). Oleh sebab itu, bisa dipahami ketika nabi Muhammad pertama kali menyiarkan agama ditentang mati-matian oleh kafir Quraisy saat itu karena dianggap menghalang-halangi praktek akumulasi dan monopoli kekayaan para konglomerat Arab saat itu.

Page 4: pak edo

Agar agama tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin  cepat. Tantangan-tantangan itu menurut Laurens (1998) antara lain: pluralisme, sekularisme, individualisme, “fundamentalisme” dan hedonisme. Tetapi pluralisme agama bisa menjadi  bagian khazanah jika dipahami sebagai anugerah Tuhan, dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan antar umat beragama itu sendiri demi terwujudnya  kemakmuran dunia. Jika pluralisme agama menemukan satu wadah teologi yang sama, maka agama akan lebih mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapai baik sekarang maupun mendatang.

 

 

 

 

 

A. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental

Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.

Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.

Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.

Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras

Page 5: pak edo

Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.

B. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama

Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.

Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.

A. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental

Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.

Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.

Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.

Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.1458

Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.

B. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama

Page 6: pak edo

Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.

Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.

Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.

C. Perbedaan Tingkat Kebudayaan

Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern.

Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.

Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.

D. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama

Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.

Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.

Page 7: pak edo

RATUSAN warga di Kelurahan dan Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon, menolak pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan dan kegiatan kebaktian yang dilaksanakan jemaat di gereja tersebut, Minggu (16/10/2011).

Aksi tersebut nyaris ricuh, namun polisi yang datang ke lokasi berhasil mencegah kericuhan tersebut, seperti diberitakan Republika.

Sejak jam 08.00, ratusan warga RW 01 Pekalipan dan RW 02 Karangmoncol itu berkumpul di samping GBI Pekiringan. Mereka memasang spanduk yang berisi penolakan kebaktian dan pembangunan gereja di lingkungan mereka.

Koordinator Ardiansyah mengatakan gereja sudah berdiri sejak sepuluh tahun lalu di bekas ruko di lingkungan mereka. Menurut dia, pembangunan gereja yang dipimpin oleh Samuel Susijanto tersebut tidak mendapat izin dari warga. "Sudah sepuluh tahun ini kami bersabar dengan adanya kegiatan itu," ujar Ardiansyah.

Namun, kesabaran warga ternyata hanya dianggap angin lalu oleh pihak gereja. Buktinya, mereka malah berencana membangun sebuah gereja secara permanen di sebelah ruko tersebut. "Karena itu kami menolak," tegas Ardiansyah.

Ardiansyah menambahkan, selain tak mendapat izin warga, pembangunan gereja tersebut juga tidak mengantongi restu dari pemerintah setempat. Bahkan Walikota Cirebon, Subardi, telah mengeluarkan SK No 452.2/1478-Adm.Kesra tertanggal 26 September 2011 yang berisi penghentian kegiatan dan pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pekiringan.

Namun, SK wali kota tidak menghentikan rencana pembangunan gereja tersebut. Utusan dari Kementerian Agama Kota Cirebon telah meminta agar kebaktian dihentikan. Hal tersebut juga sudah sesuai dengan keputusan bersama antara Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dengan wali kota Cirebon.

Page 8: pak edo

Keributan di antara kedua belah pihak akhirnya bisa ditenangkan saat Wakapolres Cirebon Kota, Kompol Didit Eko, datang. Dia meminta semua pihak untuk menaati aturan yang berlaku. Kepada pengurus gereja, Didit meminta agar semua aturan ditaati. Sedangkan kepada masyarakat, dia meminta agar tidak bertindak anarkis.

Setelah berdialog, kesepakatan akhirnya tercapai. Dalam kesepakatan tersebut, kebaktian tetap diizinkan pada Minggu 16 Oktober sampai jam 18.00 WIB. Namun, kebaktian tak boleh lagi dilakukan di gereja tersebut pada Minggu depan.

Tidak carikan tempat pengganti

Salah seorang pengurus gereja, Dedi Suwardi, mengatakan jika memang dilarang, maka Pemkot Cirebon harus mencarikan tempat ganti agar mereka dapat tetap beribadah. Apalagi jemaat gereja tersebut mencapai 600 orang dan biasa melakukan misa sebanyak tiga kali setiap minggunya. "Tolong carikan dulu tempat pengganti," kata Dedi.

Sebelumnya, Kamis (06/10/2011) diadakan pertemuan di Gedung Adipura Kencana antara Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon, unsur muspida dan tokoh agama yang menghasilkan keputusan untuk menghentikan sementara aktivitas peribadatan di GBI Pekiringan dan Gedung Gratis.

Tokoh Katolik, Romo Johanes Mulyadi mengungkapkan, aktivitas peribadatan di kedua tempat tersebut dihentikan sementara sampai menunggu kejelasan penggunaan gedung. Aktivitas peribadatan di Gratia akan dilanjutkan bila seluruh persyaratan sebagai tempat ibadah telah dipenuhi. Jika persyaratan sudah dipenuhi maka peribadatan akan berjalan lagi.

Peruntukan Gratia yang semula sebagai gedung pertemuan bisa saja berubah fungsi menjadi tempat peribadatan. "Intinya dari semua ini, kami ingin dan sangat mengharapkan hidup rukun, saling menghormati serta menghargai ibadah masing-masing agama,"katanya kepada kabar cirebon.

Selanjutnya ia menyambut baik adanya pertemuan semacam itu, sehingga ketika ada persoalan-persoalan yang tidak diketahui dan kemudian mencuat bisa diselesaikan dengan baik."Ketika ada kekurangan atau hal-hal yang harus diselesaikan maka kita bicarakan di forum pertemuan seperti ini. Kita cari solusinya bersama sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atau terpojokkan," tandasnya.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB), Uzer Solihin menjelaskan, pada dasarnya pihak FKUB maupun pemerintah memberikan kebebasan kepada siapapun untuk beribadah sesuai kepercayaannya masing-masing. Dirinya tidak memandang sebelah mata keberadaan tempat ibadah yang satu dengan lainnya.

Namun, menurut Uzer yang juga ketua majelis ulama indonesia (MUI) Cirebon ini, pihaknya meminta agar semua pelaksanaan peribadatan harus dilakukan sesaui dengan tempatnya. Hal itu

Page 9: pak edo

sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

"Jangan sampai melakukan ibadah tidak pada tempatnya. Ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak kita harapkan. Kalau memang dalam permohonan izin kepada pemerintah hanya sebagai gedung pertemuan, jangan kemudian dijadikan tempat peribadatan yang akhirnya mengundang kemarahan warga sekitar," terang Uzer.

Ia meminta agar siapapun yang ingin mendirikan tempat peribadatan harus menempuh mekanisme sesuai dengan prosedurnya, yakni melalui rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama, kemudian memiliki jemaat minimal 90 orang serta ada persetujuan dari 60 warga setempat. Dengan begitu, proses peribadatan dapat berjalan lancar dan tenang serta tidak memunculkan konflik yang akhirnya merugikan banyak pihak.

Wali Kota Cirebon, Subardi yang hadir dalam kesempatan itu mempersilakan semua pihak, baik gereja maupun gedung Gratia, mengadakan peribadatan selama tidak menyalahi aturan. "Kalau kemudian Gedung Gratia akan dijadikan sebagai tempat peribadatan maka izin yang sebelumnya memperuntukkan sebagai gedung pertemuan harus diubah menjadi gereja," pungkasnya.

C. Perbedaan Tingkat Kebudayaan

Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern.

Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.

Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.

D. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama

Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.

Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam

Page 10: pak edo

yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.