Pajak Parpol

7
Aspek Perpajakan Partai Politik Sebuah partai politik walaupun secara harfiah dalam aktivitasnya lebih bersifat sebagai non profit oriented organization, tetap tidak serta merta bisa melepaskan diri dari kewajiban perpajakan. Pertanyaan muncul, “Jika partai politik itu bukanlah sebuah unit usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba, apakah bisa dipajaki?”. Pertanyaan tersebut bisa dijawab dan ditelaah dari sudut pandang yang bermacam-macam, tetapi yang jelas di dalam kegiatan partai politik tersebut, baik yang berkaitan dengan bidang politik maupun non politik, terdapat potensi pajak yang besar untuk dikumpulkan. Partai Politik Sebagai Subjek Pajak Partai Politik dalam sudut pandang perpajakan tidak lebih kedudukannya terhadap jenis organisasi lainnya. Partai Politik dalam kesehariannya, niscaya akan bersentuhan dengan berbagai jenis kegiatan yang mengandung nilai ekonomis yang mana atas kegiatan tersebut menurut Undang-Undang Perpajakan terutang pajaknya. Oleh karena itu, penting bagi kita terlebih dahulu untuk menetapkan status Partai Politik ini apakah termasuk sebagai subjek pajak atau bukan. Sebagaimana diketahui, Subjek Pajak dalam UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan) terdiri atas Badan, Orang Pribadi dan BUT (Bentuk Usaha Tetap). Apabila subjek pajak ini dalam kegiatannya bersentuhan dengan objek pajak, maka saat itulah ia terutang pajaknya dan secara otomatis dikatakan dia telah menjadi Wajib Pajak. Hal ini penting untuk diketahui karena ada juga subjek pajak yang tidak serta merta bisa menjadi Wajib Pajak karena tidak ada pajak terutang atas kegiatannya, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 3 UU KUP. Lebih lanjut, didalam Pasal 1 ayat 3 UU KUP disebutkan bahwa “Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,

description

penting

Transcript of Pajak Parpol

Aspek Perpajakan Partai Politik

Sebuah partai politik walaupun secara harfiah dalam aktivitasnya lebih bersifat sebagai non profit oriented organization, tetap tidak serta merta bisa melepaskan diri dari kewajiban perpajakan. Pertanyaan muncul, Jika partai politik itu bukanlah sebuah unit usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba, apakah bisa dipajaki?. Pertanyaan tersebut bisa dijawab dan ditelaah dari sudut pandang yang bermacam-macam, tetapi yang jelas di dalam kegiatan partai politik tersebut, baik yang berkaitan dengan bidang politik maupun non politik, terdapat potensi pajak yang besar untuk dikumpulkan.

Partai Politik Sebagai Subjek PajakPartai Politik dalam sudut pandang perpajakan tidak lebih kedudukannya terhadap jenis organisasi lainnya. Partai Politik dalam kesehariannya, niscaya akan bersentuhan dengan berbagai jenis kegiatan yang mengandung nilai ekonomis yang mana atas kegiatan tersebut menurut Undang-Undang Perpajakan terutang pajaknya. Oleh karena itu, penting bagi kita terlebih dahulu untuk menetapkan status Partai Politik ini apakah termasuk sebagai subjek pajak atau bukan.

Sebagaimana diketahui, Subjek Pajak dalam UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan) terdiri atas Badan, Orang Pribadi dan BUT (Bentuk Usaha Tetap). Apabila subjek pajak ini dalam kegiatannya bersentuhan dengan objek pajak, maka saat itulah ia terutang pajaknya dan secara otomatis dikatakan dia telah menjadi Wajib Pajak. Hal ini penting untuk diketahui karena ada juga subjek pajak yang tidak serta merta bisa menjadi Wajib Pajak karena tidak ada pajak terutang atas kegiatannya, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 3 UU KUP.

Lebih lanjut, didalam Pasal 1 ayat 3 UU KUP disebutkan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Berdasarkan aturan di atas, dapat kita pahami, bahwa ketentuan perpajakan suatu subjek pajak badan cukup luas, apapun bentuk hukum, sifat, ataupun kepemilikannya serta tidak melihat apakah ia melakukan kegiatan usaha ataupun tidak melakukan usaha.

Pajak Penghasilan Partai PolitikBerdasarkan laporan keuangan yang pernah dirilis oleh sebuah partai politik, diketahui bahwa setidaknya terdapat beberapa jenis penghasilan yang diterima oleh partai politik, yaitu; iuran anggota, sumbangan tidak terikat, bantuan pemerintah. Secara sekilas, ketiga jenis penghasilan tersebut dapat dikatakan unik dan berbeda dari bentuk umum penghasilan sehingga diperlukan sebuah pemahaman yang komprehesif dalam memandangnya.

Karena sifat uniknya tersebut, maka kita harus jelas dahulu dalam mengartikan sebuah penghasilan. Standar Akuntansi Keuangan sebagaimana tertulis dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan mendefinisikan penghasilan sebagai Kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukkan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Selanjutnya ilmu kebijakan publik dengan pakarnya Robert M. Haig dan Henry C. Simons mengartikan penghasilan sebagai, The money value of the net increase to an individuals power to consume during a period, equal to the amount actually consumed during the period plus net additions to wealth. UU Perpajakan sendiri juga telah mengatur definisi dari Penghasilan ini. Di dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, menyebutkan penghasilan adalah Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Dari pengertian diatas, jika kita pahami secara sangat mendalam maka dapat dirumuskan secara garis besar bahwa penghasilan tersebut kurang lebih adalah jumlah semua biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi, dan/atau operasi, dan/atau pembayaran utang, ditambah dengan jumlah pertumbuhan kekayaan dari si empunya penghasilan sehingga atasnya mendapatkan kenaikan manfaat ekonomis di dalam periode tertentu. Khusus untuk UU Pajak Penghasilan ditambahkan kriteria berikutnya, yaitu sumbernya bisa berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dapat kita lihat bahwa UU PPh menganut pengertian penghasilan yang luas karena tidak membatasi nama dan bentuk apa penghasilan. Sepanjang suatu tambahan ekonomis tersebut tidak berada pada Pasal 4 ayat 3 UU PPh, maka apapun bentuk dan definisinya adalah objek pajak. Sehingga apabila ditemukan sebuah bentuk dan definisi yang tidak berada pada Pasal 4 ayat 1 UU PPh, tidak serta merta bukan merupakan objek PPh. Pemahaman yang seperti ini bisa dikatakan sebagai negative list UU PPh.

Dengan berpijak kepada kerangka teoritis ini, maka kita sudah bisa mendifinisikan apa arti dari iuran anggota, sumbangan tidak terikat, bantuan pemerintah dari sudut pandang ketentuan perpajakan tentunya.

Iuran Anggota PartaiIuran Anggota adalah jumlah yang dikeluarkan oleh anggota partai karena statusnya sebagai sebagai anggota dari Partai Politik dalam jumlah dan berdasarkan ketentuan tertentu. Iuran Anggota ini bersifat wajib, dan biasanya digunakan untuk dana operasional Partai Politik. Beberapa Partai Politik melakukan kebijakan dengan cara memotong penghasilan anggotanya yang berada di DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi, dan DPRRI secara bulanan. Penulis tidak mengetahui apakah seorang anggota partai yang tidak mempunyai kedudukan di legislatif juga mengeluarkan iuran kepada Partai Politiknya.

Jika merujuk kepada Pasal 4 UU PPh, tidak ditemukan satu point yang menjelaskan tentang Iuran Anggota Partai Politik. Adapun UU PPh hanya menjelaskan sencara rinci tentang iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana yang terdapat di dalam point O. Tetapi hal ini berbeda dengan bahasan iuran yang kita maksud. Politikus bukan sebuah pekerjaan bebas dan mereka juga tidak bergabung dengan Partai Politik karena sifat pekerjaan yang sama. Walaupun tidak termasuk dalam point yang ada di Pasal 4 ayat 1 UU PPh, sekaligus tidak termasuk dalam point yang ada di Pasal 4 ayat 3 UU PPh, akan tetapi karena kita menyandarkan pada konsep negative list UU PPh, maka Iuran Anggota ini adalah benar bentuk dari penghasilan bagi Partai Politik dan atasnya terutang pajak penghasilan.

Atas beberapa individu yang terdaftar sebagai anggota partai politik yang dianggap sebagai pemilik partai politik tersebut karena merupakan pendiri, penyumbang modal terbesar, ataupun berperan sebagai sosok ideologis dari platform partai yang bersangkutan, jika ia mengeluarkan uang dalam jumlah yang berbeda, cenderung lebih besar dengan iuran anggota partai, maka atas jumlah yang dibayarkannya tersebut tetap merupakan penghasilan bagi partai politik dan atasnya juga terutang pajak penghasilan.

Sumbangan Tidak TerikatSumbangan tidak terikat ini biasanya berasal dari simpatisan non anggota partai. Mereka terutama adalah masyarakat umum ataupun pengusaha. Alasan untuk menyumbang beraneka ragam, baik itu alasan ideologis atau bisnis.

Di dalam Pasal 4 ayat 3 UU PPh diketahui bahwa bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya penjelasan UU PPh memberikan contoh hubungan usaha antara pihak yang memberi dan menerima dapat terjadi, misalnya PT. A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi PT. B. Apabila PT. B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT. A, sumbangan bahan baku yang diterima PT. A merupakan objek pajak, karena masih dalam kerangka hubungan usaha.

Terkait dengan sumbangan dari simpatisan Partai Politik, antara penyumbang dengan partai politik ternyata tidak terikat hubungan kerja, hubungan usaha, ataupun hubungan kepemilikan, sehingga semua jumlah sumbangan yang diberikan bukanlah objek pajak penghasilan.

Bantuan PemerintahBantuan pemerintah tidak pernah menjadi objek pajak penghasilan karena murni merupakan sebuah bentuk lain dari sumbangan.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Partai PolitikDalam konsep dasar PPN, pihak yang wajib memungut pajak terutang adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Untuk mendapatkan status sebagai PKP ini setidaknya Wajib Pajak tersebut harus melakukan kegiatan penyerahan barang dan jasa yang mekanismenya diatur dalam aturan tertentu. Adapun Partai Politik tidak menyediakan/menyerahkan barang dan jasa apapun terkait keberadaannya karena memang tidak didirikan untuk itu. Atas dasar itulah dapat disimpulkan bahwa partai politik tidak bisa menjadi PKP dan tidak berhak untuk mengadministrasikan PPN.

Mekanisme Perpajakan Partai PolitikPajak Pertambahan NilaiKarena partai politik tidak mengadministrasikan PPN dan hanya dikenakan PPh, maka partai politik tersebut tidak melaporkan SPT Masa PPN. Adapun PPN yang dikenakan kepadanya karena aktivitas ekonomisnya tidak bisa dikreditkan dan PKP Penjual dalam hal ini tidak memungut PPN tersebut.

Pajak Penghasilan

Jelas bahwa partai politik wajib melaporkan SPT Tahunan PPh Badan dengan mengakui iurang anggota partai sebagai penghasilan yang terutang pajak. Adapun sumbangan simpatisan dan bantuan pemerintah walaupun bersifat sebagai penghasilan tetapi tidak terutang pajak.

Selain itu, partai politik juga berhak untuk mengkreditkan pajak terutang yang dipotong atau dipungut lewat mekanisme withholding. Lantas, pajak withholding apakah yang berlaku atas kegiatan partai politik ini?

Berikut adalah jenis kegiatan yang dilakukan Partai Politik beserta jenis pajak yang terutang didalamnya:

NoNama KegiatanJenis Pajak Terutang

1Menyewa sebuah bangunan sebagai tempat domisiliPPh Final Pasal 4 ayat 2

2Menggaji Karyawan sebagai tenaga kebersihan, atau PPh Pasal 21

3Kerjasama dengan perusahaan penyedia tenaga kebersihanPPh Pasal 23

4Mencetak/Membeli atribut kampanye, seperti kaos, spanduk, booklet, dllPPN

5Menyewa atribut kampanye, seperti truk, tenda, gedung, dllPPh Pasal 23

6Membayar konsultan politik (organisasi)PPh Pasal 23

7Membayar konsultan politik (perorangan)PPh Pasal 21

8Membayar surveyor dalam rangka survey politikPPh Pasal 23

9Merekrut tenaga lepas (honorer) sbg saksi pemiluPPh Pasal 21

10Menyewa artis dll PPh Pasal 21

Kesimpulan

Adalah fakta bahwa sebagian besar Partai Politik nyaris belum melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan benar, dengan motif dan alasan tertentu. Beberapa diantara mereka bahkan buta terhadap ketentuan perpajakan. Sebagian besar dari itu berpendapat bahwa lembaga/badan nirlaba tidak pantas kena pajak. Adapun bagi mereka yang mengerti tentang perpajakan banyak berlindung di balik alasan bahwa penghasilan yang diterima oleh Partai Politik bukanlah objek pajak karena termasuk dalam kriteria sumbangan. Oleh karena itu diperlukan niat baik dan sosialiasi yang menyeluruh dari berbagai stakeholder perpajakan di Indonesia (Ditjen Pajak, Konsultan Pajak, IAI, Kementerian Keuangan, Presiden RI) untuk mengawasi dan mengarahkan Partai Politik ini agar segera comply (taat) pada ketentuan perpajakan yang berlaku, mengingat potensi rupiah yang bisa dikumpulkan karena aktivitas Partai Politik tersebut sangat besar.

Tidak ada yang salah dengan politik, karena sebenarnya tujuan politik itu adalah baik. Dan sebaik-baik tujuan berpolitik adalah menggapai Indonesia yang sejahtera, yang salah satunya bisa dicapai dengan melaksanakan hak dan kewajiban di bidang perpajakan dengan benar.

http://randimilza.blogspot.com/2014/04/aspek-perpajakan-partai-politik.html