Pajak Paper Baru
-
Upload
ayupraditasari -
Category
Documents
-
view
219 -
download
3
description
Transcript of Pajak Paper Baru
PERPAJAKAN II
NORMA PERHITUNGAN
PENGHASILAN NETTO & KREDIT
PAJAK PENGHASILAN
OLEH:
Ni Koming Ayu Praditasari
1306305120
9
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN AJARAN 2014/2015
KATA PENGANTAR
“Om Swastyastu”
Pertama-tama puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang senantiasa selalu melindungi kita di setiap detak jantung, kesehatan, dan kehidupan bagi
kita semua. Karena berkat kasih dan rahmat-Nya lah kiranya juga telah berkenan memberi
petunjuk dan kekuatan kepada penulis sehingga Tugas Individu yang berjudul “Norma
Perhitungan Penghasilan Netto dan Kredit Pajak Penghasilan” dalam bidang studi
Perpajakan II ini dapat kiranya penulis selesaikan sesuai dengan harapan.
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi – materi yang telah kiranya penulis
pelajari sebelumnya. Materi – materi yang telah dipelajari dalam tersebut kiranya juga
bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa dalam mempelajari
bidang studi Perpajakan II ini. Serta mahasiswa juga dapat memahami nilai – nilai dasar yang
direfleksikan dalam berpikir dan bertindak.
Mudah – mudahan dengan adanya dan terciptanya Tugas Individu yang mungkin sangat
kurang dan belum sempurna ini, setiap mahasiswa akan dapat dan mampu dalam menghadapi
masalah – masalah atau kesulitan – kesulitan yang timbul dalam mempelajari bidang studi
Perpajakan II ini. Dan dengan harapan penulis pribadi, semoga mahasiswa juga mampu
berinovasi dan berkreasi dengan potensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa tersebut.
“Om Santih, Santih, Santih, Om”
Penyusun,
Ni Koming Ayu Praditasari
PEMBAHASAN
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETTO
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak orang pribadi boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sehingga
tidak perlu membuat pembukuan tetapi cukup hanya membuat pencatatan.
Penghasilan netto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka
presentase Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengan peredaran bruto atau
penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu tahun. Dalam
menghitung besarnya PPh yang terutang oleh WPOP, sebelum dilakukan penerapan tarif
umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan netto.
Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Boleh Menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
Berikut ketentuan lama WP OP yang boleh menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto sebesar Rp. 4.800.000.000,00 atau lebih dalam 1 tahun wajib
menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto di bawah Rp. 4.800.000.000,00 dalam 1 tahun wajib
menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih
menyelenggarakan Pembukuan.
3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada butir (2) yang tidak
memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha
atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.
Kewajiban Bagi Pengguna Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Berikut ini beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna norma
penghitungan penghasilan neto:
1. Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib
memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang
bersangkutan.
2. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai
dengan ketentuan diatas dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Kewajiban wajib pajak yang menggunakan pembukuan adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan yang ternyata tidak atau
tidak sepenuhnya menyeIenggarakan pembukuan, penghasilan netonya dihitung
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima
puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun
pajak yang bersangkutan.
PENGHASILAN NETTO KARYAWAN YANG TIDAK PUNYA USAHA
Pajak yang dipotong dari penghasilan bulanan para karyawan disebut sebagai Pajak
Penghasilan Pasal 21 (PPH 21). Adapun Skema dari perhitungannya adalah:
Penghasilan Bruto setahun —————————
Pengurang Pengasilan bruto ————————— (-)
Penghasilan netto setahun —————————
Penghasilan tidak kena pajak/PTKP ————————— (-)
Penghasilan Kena pajak —————————
PPh 21 = Tarif x Penghasilan Kena pajak
Penjelasan:
Penghasilan bruto setahun
Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur, termasuk pula Jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian dan jaminan pelayanan kesehatan. Untuk penghasilan bersifat natura
atau kenikmatan lainya dalam nama dan bentuk apapun, yang termasuk dipotong PPH 21
adalah natura yang diberikan oleh:
1. Bukan Wajib pajak;
2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
3. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Pengurang penghasilan bruto
1. Biaya jabatan
Sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun.
Biaya jabatan dihitung dengan mengalikan 5% dengan jumlah penghasilan bruto,
apabila dalam satu tahun hasil perkalian tersebut melebihi 6.000.000 (atau dalam
satu bulan melebihi 500.000 (6.000.000 / 12 bulan)), maka biaya jabatan yang
diperkenankan hanya 6.000.000 atau 500.000. Sehingga nilai 6.000.000/500.000
tersebut dapat dikatakan sebagai nilai maksimal biaya jabatan.
2. Iuran yang terkait dengan Gaji
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Penghasilan netto
Merupakan angka yang diperoleh dari penghasilan bruto dikurangi dengan pengurang
penghasilan bruto
Penghasilan Tidak Kena Pajak/PTKP
PTKP ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi mereka yang memiliki
penghasilan di bawah jumlah tertentu. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah agar
pajak tidak memberatkan masyarakat, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah.
Jika penghasilan netto berada di bawah PTKP, tentu saja mereka tidak perlu dilakukan
pemotongan PPH 21 atau dengan kata lain tidak dibebani dengan kewajiban membayar
pajak. Besarnya PTKP per tahun Terhitung mulai 1 Januari 2013 pemerintah telah
menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak sebagai berikut :
1. Rp 24.300.000 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri
Wajib Pajak orang pribadi;
2. Rp 2.025.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
3. Rp 2.025.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga
Tarif Pajak
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi pajak orang pribadi dalam
negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00 5%
Rp50.000.000,00 - Rp250.000.000,00 15%
Rp 250.000.000,00 - Rp500.000.000,00 25%
Rp500.000.000,00 ke atas 30%
Perlu diketahui bahwa penggunaan tarif tersebut sifatnya komulatif, tidak langsung
merujuk pada satu tarif.
Jika Tidak Memiliki NPWP, Pemotongan Pajak akan Tebih Tinggi 20%
Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih
tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen)
dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Akan tetapi, jika mendaftarkan untuk memperoleh NPWP pada tahun pajak yang
sama dengan tahun pajak dimana dimulai dipotong PPH 21, maka kelebihan 20%
tersebut dapat diperhitungkan dalam pemotongan PPH 21 pada bulan-bulan selanjutnya
setelah menpunyai NPWP. Dengan kata lain, kelebihan tersebut dapat diibaratkan
sebagai tabungan PPH 21 yang dapat mengurangi PPH 21 pada bulan-bulan setelah
memperoleh NPWP. Akan tetapi, jika mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
pada tahun pajak yang berbeda, maka kelebihan 20% tersebut sudah tidak dapat lagi
diperhitungkan.
Kewajiban melaporkan Pemotongan PPH 21
Bendahara/instansi yang melakukan pemotongan PPH 21 memiliki kewajiban
melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dengan SPT Masa PPH 21 paling lambat
tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pemotongan. Jika terlambat, maka akan
dikenakan sanksi sebesar Rp 100.000 Kewajiban ini dilaksanakan oleh perusahaan dan
biasanya melalui bagian accounting/bendahara. Dalam hal ini, selaku karyawan yang
dipotong PPH 21 tidak memiliki kewajiban melapor setiap bulan. Hanya memiliki
kewajiban melapor SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
PAJAK TERUTANG, KREDIT PAJAK PASAL 21, 22, 23, 24 DAN PASAL 25
Pajak Terutang
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Perpajakan meliputi :
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP (Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan).
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh (Pajak Penghasilan)
2. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM (Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
Kredit Pajak Pasal 21, 22, 23, 24, dan Pasal 25
Untuk mendapatkan pajak yang masih harus dibayar pada suatu tahuh pajak maka
atas pajak yang terhutang perlu dikurangi dengan kredit pajak.
Kredit pajak penghasilan adalah pajak-pajak yang telah dibayar sendiri atau telah
dipotong oleh pihak lain yang berkaitan dengan transaksi antara Wajib Pajak dengan
pihak lain. Yang perlu diperhatikan atas pajak-pajak yang dapat dikreditkan antara lain
seperti berikut ini (Djoko Muljono;2006):
1. PPh yang dapat dikreditkan tersebut berhubingan dengan kegiatan usaha Wajib
Pajak dalam rangkan mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
2. Masa bulan perolehan PPh yang dikreditkan berada pada masa tahun PPh yang
terhutang.
Kredit pajak penghasilan dapat dibedakan menjadi seperti berikut ini:
1. Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain
2. Pajak yang dibayar sendiri
3. Surat Tagihan Pajak
1. Pajak yang Dipotong atau Dipungut Pihak Lain
Pajak yang dipungut atau dipotong pihak lain dapat berbentuk seperti PPH
pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, dan PPh pasal 24.
PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 yang dikreditkan bagi Wajib Pajak adalah PPh pasal 21 yang
dipotong atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak sendiri dari pemberi kerja
atau pihak lain, baik dari hubungan sebagia karyawan maupun dalam rangka
pemberian jasa, dan bukan PPh pasal 21 yang dipotong sendiri atas karyawan dari
wajib pajak bersangkutan.
PPh Pasal 22
Objek penghasilan yang harus dikenakan PPh pasal 22 dapat dibedakan
menjadi 3 macam, seperti berikut ini:
1. PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah
Setiap transaksi yang terjadi antara Wajib Pajak dengan bendaharawan
pemerintah yang mengeluarkan dana dari APBN atau APBD, oleh
bendaharawan pemerintah akan dipotong PPh pasal 22 sebesar 1,5%, yang
oleh Wajib Pajak Dapat diperlakukan sebagai kredit pajak.
2. PPh Pasal 22 Impor Barang
Atas pengadaan barang yang dilakuakan Wajib Pajak dari luar pabean
atua luar begeri akan dikenakan PPh pasal 22 impor sebesar 2,5% (yang
menggunakan API) dari nilai impornya dengan menggunakan kurs pajak.
3. PPh Pasal Industri Tertentu; seperti industri kertas, baja dan otomotif
1. PPh Industri Kertas: setiap distributor kertas membeli produk kertas
pada industri kertas sebagai pabrikan, distributor akan dipotong PPh
pasal 22 sebesar 0,1% dari DPP. PPN.
2. PPh Industri Baja: pada setiap pembelian industri baja dari pabrikan,
distributor akan dipotong PPh pasal 22 sebesar 0,3% dari DPP. PPN.
3. PPh Industri Otomotif: setiap pembelian produk otomotif dari pabrikan
atau perusahaan sebagai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk),
APM (Agen Pemegang Merk) serta sebagai importir umum maka
distributor otomotif akan dipotong PPh pasal 22 sebesar 0,45% dari
DPP. PPN.
PPh Pasal 23
PPh pasal 23 terhutang atas berbagai kegiatam pemberian jasa serta sewa seperti
berikut ini:
1. PPh Pasal 23 Jasa Katering: setiap terjadi transaksi yang berkaitan dengan
jasa katering, pihak yang menggunakan jasa akan memotong PPh pasal 23
sebesar 1,5% dari DPP. PPN.
2. PPh Pasal 23 Jasa Kebersihan Lingkungan: setiap terjadi transaksi yang
berkaitan dengan jasa kebersihan lingkungan, pihak yang menggunakan
jasa akan memotong PPh pasal 23 sebesar 3% dari DPP. PPN.
3. PPh Pasal 23 Jasa Pelaksana Kontruksi: setiap terjadi transaksi yang
berkaitan dengan jasa pelaksanaan konstruksi yang nilai kontraknya di atas
Rp 1.000.000.000,00, pihak yang menggunakan jasa akan memotong PPh
pasal 23 sebesar 2% dari DPP PPN.
4. PPh Pasal 23 Jasa Perencana dan Pengawasan Konstruksi: setiap terjadi
transaksi yang berkaitan dengan jasa perencanaan atau pengawasan
konstruksi yang nilai kontruksinya di atas Rp 1.000.000.000,00, pihak yang
menggunakan jasa akan memotong PPh pasal 23 sebesar 4% dari DPP.
PPN.
5. PPh Pasal 23 Jasa Tenaga Ahli: setiap terjadi transaksi dengan jasa tenaga
ahli, pihak yang menggunakan jasa akan memotong PPh pasal 23 sebesar
7,5% dari DPP. PPN. Yang termasuk jasa tenaga ahli diantaranya adalah jasa
dokter, notaris, akuntan, penilai, aktuaris.
6. PPh Pasal 23 Jasa Lainnya: yang termasuk jasa lainnya seperti jasa
manajemen, jasa perancang interior, jasa perancang iklan, perancang mesin,
jasa perawatan mesin, perawatan kendaraan dan sangat banyak jenis jasa
lainnya yang tidak termasuk dalam kategori jasa yang telah dibahaw di atas.
Maka setiap terjadi traksaksi yang berkaitan dengan jasa lainnya tersebut,
pihak yang menggunakan jasa akan memotong PPh pasal 23 sebesar 6%
dari DPP. PPN.
7. PPh Pasal 23 Sewa Angkutan Darat: yang termasuk dalam kriteria sewa
angkutan darat adalah:
1. Sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang
disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu baik secara harian,
mingguan maupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau
tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan WP
badan atau orang pribagi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh 23
sehingga mengakibatkan masyarakat umum tidak dapat lagi
menumpang kendaraan umum yang bersangkutan.
2. Sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus
wisata dan milik orang pribadi yang bukan merupakan kendaraan
angkutan umum yang disewakan kepada WP badan atau WP orang
pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 23.
3. Sewa kendaraan berupa truk, mobil derek, taksi milik perusahaan/orang
pribadi yang disewa atau dicarter oleh suatu perusahaan angkutan untuk
keperluan operasi udaha angkutan darat atau untuk keperluan lain.
Setiap transaksi yang berkaitan dengan sewa angkutan darat, pihak
yang menyewa akan memotong PPh pasal 23 sebesar 3% dari DPP. PPN.
8. PPh Pasal 23 Sewa Penggunaan Harta Lainnya: termasuk sewa penggunaan
harta lainnya misalnya sewa mesin, sewa peralatan, sewa kapal, dan berbagai
jenis sewa barang lainnya. Setiap terjadi transaksi yang berkaitan dengan
sewa harta lainnya tersebut, pihak yang menyewa akan memotong PPh 23
sebesar 6% dari DPP. PPN.
PPh Pasal 24
PPh pasal 24 adalah PPh yang diakui atas pajak yang telah dikenakan atas
penghasilan di luar negeri yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan dalam
menghasilkan, merawat dan menjaga penghasilan di Indonesia.
PPh pasal 24 perhitungan, dihitung sesuai perbandingan antara penghasilan
dair luar negeri dengan total penghasilan total penghasilan yang dikalikan PPh
terhutang atas total penghasilan tersebut.
PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan adlah jumlah yang lebih kecil antara
perbandingan antaea PPh pasal 24 yang dikenakan/dipotong di luar negeri dengan
2. Kredit Pajak yang Dibayar Sendiri
Pajak yang dibayar sendiri ileh Wajib Pajak yang dapat dikreditkan adalah PPh
pasal 25 dan Fiskal Luar Negeri.
PPh Pasal 25
PPh pasal 25 adalah uang muka PPh yang akan diperhitungkan atas PPh yang
terhutang di akhir tahun. Besarnya PPh pasal 25 dihitung dengan cara sebagai
berikut:
1. Setelah SPT Tahunan Dilaporkan
Setelah SPT Tahunan dilaporkan maka besarnya PPh pasal 25 dihitung
dari PPh yang terhutang dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut
dibagi 12 (dua belas).
Besarnya PPh yang terhutang didapat dari penghasilan uang teratur
yaitu dari penghasilan pokok perusahaan termasuk penghasilan karena selisih
kurs, sedangkan penghasilan lainnya dianggap bukan penghasilan teratur.
2. Sebelum SPT Tahunan Dilaporkan
Sebelum SPT Tahunan dilaporkan oleh Wajib Pajak, besarnya PPh
pasal 25 yang harus dibayar adalah sama dengan angsuran PPh pasal 25 tahun
sebelumnya.
3. Setelah Diterbitkan Surat Keputusan
Surat keputusan yang mengubah besarnya angsuran PPh pasal 25 antara
lain:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Surat Ketetapan Pajak Lebiah Bayar (SKPLB)
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Tambahan (SKPLBT)
5. Surat Keputusan Keberatan/Banding
Fiskal Luar Negeri
Bagi wajib pajak yang akan bepergian ke luar negeri diharuskan membayar
pajak yang lebih dikenal dengan fiskal luar negeri sebesar Rp 1.000.000,00 bagi
yang mempergunakan pesawat dan Rp 500.000,00 bagi yang mempergunakan
kapal laut. Pembayaran pajak Fiskal Luar Negeri dapat dilakuakan oleh:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi: orang pribadi yang terdaftar sebagia Wajib Pajak
dapat mengkreditka Fiskal Luar negeri yang telah dibayarnya.
2. Wajib Pajak Pemberi Kerja (Badan atau Prang Pribadi): apabila kepergian
orang pribadi tersebut ditanggung pemberi kerja maka kredit atas Fiskal Luar
Negeri tersebut dpaat dilakukan oleh pemberi kerja dengan cara
mencantumakan NPWP pemberi kerja tersebut pada formulir fiskal luar
negeri.
Fiskal luar negeri dapat dikreditkan apabila tujuan kepergian ke luar negeri adalah
sehubungan dengan kepergian usaha dari Wajib Pajak dan tidka termasuk
keluarganya.
3. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak (STP) diterbitkan oleh fiscus apabila Wajib Pajak tidak
atau kurang melakukan pembayaran angsuran PPh pasal 25. Besarnya STP adalah
sesuai dengan kekurangan besarnya angsuran setiap bulannya ditambah dengan
sanksi 2% per bulan, dihitung sejak bulan mulai terlambat sampai dengan bulan
diterbitkannya STP dan untuk satu tahun pajak STP dapat diterbitkan lebih dari
satu kali STP.
Surat Tagihan Pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar pokok STP, atau
tidak termasuk bunyanya, biak STP tersebut sudah dibayar oleh WP atau belum
dibayar.
PPH YANG MASIH HARUS DIBAYAR (PASAL 29/28 A) DAN ANGSURAN PPH
PASAL 25 TAHUN BERJALAN
1. Pelunasan Pajak Penghasilan Pada Akhir Tahun Pajak
Pada akhir tahun pajak, atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung Pajak
Penghasilan yang terutang. Pajak Penghasilan yang harus dilunasi pada akhir tahun
pajak dihitung dengan cara : Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan (yang merupakan objek pajak) selama tahun pajak yang bersangkutan
dikurangi dengan Kredit Pajak yaitu Pajak Penghasilan yang dilunasi dalam tahun
pajak berjalan baik yang dibayar sendiri maupun yang dipotong atau dipungut oleh
pihak lain. Hasil penghitungan Pajak Penghasilan pada akhir tahun tersebut, dapat
mengakibatkan kurang bayar atau lebih bayar, sebagai berikut :
1. Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka setelah
dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah
diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya. (Pasal 28 A UU
PPh).
2. Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari
kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka kekurangan
pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal 25 bulan
ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim maka
kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal
25 Maret setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak
sama dengan tahun takwim, misalnya mulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30
Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal
25 September. (Pasal 29 UU PPh).
2. Cara menghitung besarnya PPh Pasal 25
Angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu
dikurangi dengan :
1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
pasal 23,serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22.
2. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
3. Hal- Hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menyesuaikan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan,apabila :
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu
yang ditentukan
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
DAFTAR PUSTAKA
Lumbantoruan, Sophar. 2005. Akuntansi Pajak. Jakarta: PT. Gramedia.
Mardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta.
Muljono, Djoko. 2006. Akuntansi Pajak. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Resmi, Siti. 2009. Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.
Sugiono, Arief dan Untung Edy. 2008. Panduan Praktis Dasar Analisa Laporan Keuangan.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).
Waluyo. 2010. Akuntansi Pajak, Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.
http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=131 (diakses tanggal 26 Oktober
2014)
http://www.pajak.go.id/content/norma-penghitungan (diakses tanggal 26 Oktober 2014)
http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-norma-perhitungan-penghasilan-netto (diakses tanggal
26 Oktober 2014)
http://www.wibowopajak.com/2012/02/pengertian-pajak-yang-terutang.html (diakses tanggal
26 Oktober 2014)