Pada Tanggal 7 Maret 2015 Lalu
-
Upload
anonymous-1x1x4x -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
Transcript of Pada Tanggal 7 Maret 2015 Lalu
-
8/20/2019 Pada Tanggal 7 Maret 2015 Lalu
1/3
Pada tanggal 7 Maret 2015 lalu, Yogyakarta meluncurkan logo barunya, dimana logo
sebelumnya yaitu “Jogja Never Ending Asia” dirasa sudah terlalu out of date dan tak lagi
merepresentasikan semangat pembangunan kota Jogja di era globalisasi. Sebelumnya,
proses penyusunan logo sempat memanas karena konsep yang dibawakan sebelumnya
lebih jelas dibaca “TOGUA” dibandingkan dengan “JOGJA” namun setelah pemerintah
dan stakeholder lain mengadakan urun rembug logo Jogja, maka lahirlah logo “Jogja
Istimewa” seperti yang bisa kita lihat saat ini dengan menekankan pada 9 bidang
strategis prioritas meliputi: pendidikan, pariwisata, teknologi, ekonomi, energi, pangan,
kesehatan, keterlindungan warga serta tata ruang dan lingkungan. Peremajaan logo
Yogyakarta sebagai ikon kota merupakan salah satu upaya pembangunan kota melalui
city branding. City Branding Semangat untuk membangun citra kota yang khas melalui
city branding lahir atas dampak globalisasi, dimana setiap kota saling bersaing untuk
menjadi lebih baik dan yang terbaik. Jika melihat dari dasar dicetuskanya, pendekatan
pembangunan melalui city branding merupakan upaya yang dilakukan para perencanaa
perkotaan untuk menciptakan kota yang sesuai dengan potensi dan mengakomodasi
penduduk lokalnya sehingga dapat menjadi kota yang layak huni. Namun disisi lain
kebutuhan kota untuk mendukung terciptanya citra kota tersebut memerlukan sumber
dana pembangunan. Salah satu keuntungan city branding adalah tentang bagaimana
sebuah kota bukan lagi dilihat menjadi hanya sekedar lokasi namun lebih menjadi tujuan
destinasi. Bergesernya sifat kekotaan dari yang hanya sekedar bersifat lokasi menjadidestinasi secara langsung akan mengundang wisatawan untuk berkunjung ke kota
tersebut sehingga akan berbanding lurus sebagai sumber pedapatan daerah/kota
melalui pajak (pariwisata). Sifat dan karakteristik dari penduduk dan perlakuannya
terhadap kota dimana mereka tinggal, bekerja dan bermain dapat mempengaruhi
persepsi dari wisatawan dan pengunjung melalui rekomendasi dan keluhan mereka.
Disamping itu keahlian penduduk, dorongan kewirausahaan dan kreativitas dari
penduduk untuk mengemas sebuah kotanya menjadi kota yang nyaman,
menyenangkan, berkarakter dan unik turut mempengaruhi suksesnya upaya citybranding yang juga turut berkontribusi pada kesejahteraan dari wilayah dan kota
tersebut. Walaupun demikian, konsep dari city branding pada akhirnya tidak bisa
menampik kebutuhan dari investasi, karena bagaiamanapun juga city branding
merupakan salah satu upaya untuk menggiatkan roda perekonomian sebuah kota
namun dengan menekankan pada semangat kearifan lokal, karakter dan ciri khas dari
suatu kota yang membuatnya berbeda dengan kota lainnya. City branding menekankan
pola investasi dan ekonomi pada prosesnya, bukan sebagai tujuan akhir. Sehingga dari
proses tersebut dapat membentuk dan melahirkan kota yang manusiawi, layak huni, dan
-
8/20/2019 Pada Tanggal 7 Maret 2015 Lalu
2/3
memiliki daya saing dengan kota-kota lainnya. Dualisme Pembangunan Kota
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencana (IAP) pada tahun 2009,
Yogyakarta pernah terpilih menjadi the most livable city di Indonesia dengan menempati
peringkat pertama dan disusul oleh Manado, Makasar, Surabaya dan Semarang, namun
pada tahun 2014, survey yang juga dilakukan oleh IAP ini tidak lagi menempatkan Kota
Yogyakarta pada peringkat pertama untuk kota layak huni melainkan Kota Balikpapan
disusul Surakarta (Solo), Malang, kemudian barulah Yogyakarta. Menurunnya peringkat
Kota Yogyakarta pada urutan ke 4 di tahun 2014 bukannya tanpa sebab, namun
dikarenakan perkembangannya yang begitu masive dan cepat dalam kurun waktu 6
tahun ini ternyata tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur kota yang memadai.
Yogyakarta mulai didera kemacetan yang cukup menjengkelkan, selain itu pula mulai
hilangnya sense of the city karena maraknya pembangunan hotel, apartemen dan mall
juga mulai merebaknya rasa insecure masyakarat akibat ulah dari premanisme,
membuat Kota Yogyakarta tumbuh menjadi cikal bakal kota “beringas” yang mulai
kehilangan jati dirinya dari sifat sederhana, berbudaya, ramah, santun, aman dan
nyaman. Dalam perkembangan kota-kota di Indonesia dewasa ini, city branding lebih
dilihat sebagai city marketing, dimana konsumen dan profit menjadi tujuan utamanya.
Semangat awal untuk menciptakan kota layak huni yang digagas oleh konsep city
branding mulai bergeser pada upaya menciptakan peluang investasi sebesar-besarnya
kepada para investor. Sektor perekonomian digenjot habis-habisan dengan melupakankeseimbangan lingkungan, kearifan lokal dan budaya yang ada. Akibatnya, tata kota jadi
tidak lagi sesuai dengan fungsi dan perencanaan awalnya. Perubahan fungsi lahan dari
yang semula berupa area konservasi dan preservasi atau lahan pertanian menjadi area
komersil berimbas pada menumpuknya pusat kegiatan pada suatu tempat/lokasi yang
bukan menjadi peruntukannya. Hal-hal semacam ini dapat menimbulkan beberapa
permasalahan seperti kemacetan, banjir dan dan juga kekeringan. Perubahan fungsi
dan arah pembangunan Kota Jogja ini menyebabkan ketidak-setujuan warga terhadap
pembangunan yang dianggap hanya berorientasi pada sektor ekonomi semata. Olehkarena itu, munculah slogan-slogan dan sindiran seperti “Jogja ora didol” atau “Jogja
berhati nyaman” menjadi “Jogja berhenti nyaman” yang secara lansung mengindikasikan
bahwa perkembangan Kota Yogyakarta yang saat ini terkesan lebih menekankan pada
pembangunan mall, apartemen dan hotel, tidak lagi berorientasi pada lingkungan dan
kearifan lokal yang kemudian mengganggu rasa keamanan dan kenyamanan warga.
Masyarakat mulai kehilangan sense of the city, citra dan ciri khas sesungguhnya dari
Kota Yogyakarta, mulai “pangling” dan bingung dengan identitas kotanya karena
dirasakan tidak lagi berbeda dengan kota-kota lainnya yang tumbuh pesat dengan
-
8/20/2019 Pada Tanggal 7 Maret 2015 Lalu
3/3
pembangunan yang serba mewah dan bentuk arsitektural yang serba sama. Model
pembangunan semacam ini, jika tidak diantisipasi dan dikawal bersama-sama akan
merubah Kota Yogyakarta menjadi tempat ajang pertempuran politik-ekonomi semata
seperti yang sedang terjadi di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Berdasarkan kondisi
di Kota Yogyakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya, penulis melihat city
branding dapat berakhir menjadi dualisme pembangunan sebuah kota. Di satu sisi dapat
menjadi sumber pemasukan/pendapatan untuk menggiatkan roda perekonomian kota,
namun disisi lain dapat menjadi bumerang pembangunan kota yang semrawut. Pada
akhirnya kita akan dihadapkan pada 2 pilihan, membangun dan mengawal kota menjadi
layak huni (livable) atau malah membiarkannya menjadi kota yang menyengsarakan
(miserable). ---- Referensi: Heryanto, Bambang. 2011. Roh dan Citra Kota: Peran
Perancangan Kota Sebagai Kebijakan Publik. Brilian Internasional: Surabaya Susantono,
Bambang. 2014. Revolusi Transportasi. PT. Gramedia Pusaka Utama: Jakarta Sumber:
http://jogja.tribunnews.com/2012/09/21/renaisans-yogya-tema-sultan-pimpin-diy-2012-
2017 Keith, Dinnie. 2011. City Branding: Theory and Cases. Palgrave Macmillan: United
Kingdom Sumber: http://earoph.info Sumber:
http://jakartapost.com/news/2014/08/12/seven-indonesian-cities-most-livable-survey.html
Budihardjo, Eko. 2014. Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi
“Human Zoo”. PT Kompas Media Nusantara: Jakarta
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wildanarrahman/mengawal-city-branding-
yogyakarta_552fa2e46ea8347c068b45df