P U T U S A N No. 01.K/KPPU/2005hukum.unsrat.ac.id/ma/ma_01_k_kppu_2005.pdf · Memerintahkan...
Transcript of P U T U S A N No. 01.K/KPPU/2005hukum.unsrat.ac.id/ma/ma_01_k_kppu_2005.pdf · Memerintahkan...
Hal. 1 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
P U T U S A N
No. 01.K/KPPU/2005
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara :
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK
INDONESIA, berkedudukan di Jalan Ir.H.Juanda No.36, Jakarta
Pusat, yang diwakili oleh : Dr.Ir.SUTRISNO IWANTONO, MA.,
Ketua KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK
INDONESIA, dan dalam hal ini memberi kuasa kepada
R. KURNIA SYA’RANIE, SH., Direktur Penegakan Hukum pada
Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan kawan-
kawan, berkantor di Jalan Ir.H.Juanda No.36, Jakarta,
Pemohon Kasasi dahulu Termohon ;
m e l a w a n :
PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, TBK., berkedudukan di
Jalan Japati No.1, Bandung, yang diwakili oleh : KRISTIONO,
Direktur Utama PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, TBK., dan
dalam hal ini memberi kuasa kepada STEFANUS HARYANTO,
SH., LLM., Advokat, dan kawan-kawan, berkantor di Chase
Plaza Lt.18, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 21, Jakarta,
Termohon Kasasi dahulu Pemohon ;
Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Termohon Kasasi dahulu sebagai Pemohon telah mengajukan keberatan
terhadap putusan Pemohon Kasasi dahulu sebagai Termohon di muka
persidangan Pengadilan Negeri Bandung pada pokoknya atas dalil-dalil :
bahwa yang menjadi objek keberatan adalah Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU) Nomor : 02/KPPU-I/2004 tanggal
13 Agustus 2004, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa PEMOHON tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) huruf a Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 ;
2. Menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
Hal. 2 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
3. Menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ;
4. Menyatakan bahwa PEMOHON tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 19 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ;
5. Menyatakan bahwa PEMOHON tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 25 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ;
6. Menetapkan pembatalan klausula yang menyatakan bahwa pihak
penyelenggara atau pengelola Warung Telkom hanya boleh menjual jasa
dan atau produk PEMOHON dalam perjanjian kerja sama antara
PEMOHON dengan penyelenggara atau pengelola warung Telkom ;
7. Memerintahkan PEMOHON untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dengan cara (a) meniadakan persyaratan PKS atas pembukaan
akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON
di Wartel ; (b) membuka akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain
selain produk PEMOHON di Warung Telkom ;
bahwa terhadap Putusan tersebut di atas, PEMOHON menerima diktum
Putusan ke-1 (satu), ke-4 (empat), dan ke-5 (lima); namun secara tegas
menyatakan menolak dan berkeberatan terhadap diktum Putusan Termohon di
bawah ini :
1. Diktum ke 2 (dua) yang menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 ;
2. Diktum ke 3 (tiga) yang menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 ;
3. Diktum ke 6 (enam) yang menetapkan pembatalan klausula yang menya-
takan bahwa pihak penyelenggara atau pengelola Warung Telkom hanya
boleh menjual jasa dan atau produk PEMOHON dalam Perjanjian Kerjasama
antara PEMOHON dengan Penyelenggara atau pengelola Warung Telkom ;
4. Diktum ke 7 (tujuh) yang memerintahkan PEMOHON untuk menghentikan
kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dengan cara (a) meniadakan
persyaratan PKS atas pembukaan akses SLI dan atau jasa telepon
internasional lain selain produk PEMOHON di Wartel ; (b) membuka akses
SLI dan atau Jasa telepon internasional lain selain produk PEMOHON di
Warung Telkom ;
Hal. 3 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
bahwa keberatan PEMOHON ini diajukan karena adanya kekeliruan yang
berkaitan dengan fakta-fakta yang menjadi bahan pertimbangan putusan
Termohon, maupun oleh adanya kekeliruan penerapan hukum oleh Termohon
yang akan PEMOHON uraikan dalam permohonan keberatan ini.
bahwa Permohonan Keberatan ini diajukan dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 44 (2) Undang-Undang
No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (Selanjutnya disebut UU No.5/1999), dan karena itu Permohonan
Keberatan ini memenuhi persyaratan dan harus diterima oleh Pengadilan Negeri
Kelas I Bandung.
Penjelasan tentang duduk perkara .
bahwa PEMOHON melakukan kegiatan usaha sebagai Penyelenggara
Jaringan Tetap dan Jasa Telekomunikasi di Indonesia berdasarkan izin dari
Pemerintah RI yang beberapa kali diubah dan diperbaharui, terakhir
berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan R.I. Nomor : KP.162/2004
Tentang Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap dan penyelenggaraan Jasa
Telepon Dasar PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (Bukti. P.1) ;
bahwa berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi khususnya Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan
Telekomunikasi Nomor KM 60/PT.102/MPPT-95 Tahun 1995, PEMOHON
memiliki hak ekskusif (exclusive right) untuk menyelenggarakan jasa
Telekomunikasi lokal menggunakan jaringan tetap sampai dengan tahun 2010
dan jasa Telekomunikasi jarak jauh sampai dengan tahun 2005 (Bukti P2) ;
bahwa berdasarkan KM 6/PT.102/MPPT-95 Tahun 1995, PT.
Indonesian Sattelite Corporation, Tbk (selanjutnya disebut sebagai "PT
INDOSAT") bersama PT Satelit Palapa Indonesia (PT SATELINDO) memiliki
hak eksklusif untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi sambungan
langsung internasional sampai dengan tahun 2005 (Bukti P3) ;
bahwa berdasarkan Pasal 61 UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi yang untuk selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 1999
dinyatakan bahwa : "Jangka waktu hak tertentu yang diberikan Pemerintah
kepada Badan Penyelenggara (PEMOHON) dapat dipersingkat sesuai dengan
kesepakatan antara Pemerintah dengan Badan Penyelenggara (Badan
penyelenggara tersebut adalah PEMOHON dan PT INDOSAT) ;
bahwa berkaitan dengan pengakhiran monopoli, telah diputuskan oleh
Pemerintah melalui Sidang Kabinet Terbatas tanggal 20 November 2003 untuk
Hal. 4 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
mengakhiri hak eksklusif yang dimiliki oleh PEMOHON dan PT INDOSAT
dengan pemberian kompensasi, sebagaimana dituangkan dalam Pengumuman
Menteri Perhubungan No.2 Tahun 2004. (Bukti P.4);
bahwa hingga saat ini, kompensasi sebagaimana dimaksud pada angka
5 di atas, belum diterima oleh PEMOHON, dan dengan demikian PEMOHON
sesungguhnya masih memiliki hak eksklusif dalam Penyelenggaraan jaringan
dan jasa telekomunikasi, khususnya Penyelenggaraan jasa telekomunikasi
menggunakan Jaringan Tetap lokal dan jasa telekomunikasi menggunakan
jaringan jarak jauh ;
bahwa dengan demikian secara de jure PEMOHON masih memiliki hak
eksklusif dalam menjalankan usahanya, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal
50 (a) UU No.5/1999 kalaupun betul bahwa PEMOHON telah melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh ketentuan UU No.5/1999, quod non,
perbuatan-perbuatan tersebut bukanlah suatu pelanggaran terhadap UU
No.5/1999 mengingat perbuatan PEMOHON tersebut adalah pelaksanaan dari
suatu peraturan Perundangan yang berlaku (yaitu Undang-Undang No.3/1989
tentang Telekomunikasi). Berdasarkan ketentuan Pasal 50 (a) UU No.5/1999
yang berbunyi : Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah :
(a) perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku" ; jelas terbukti bahwa PEMOHON
tidak dapat dinyatakan melanggar ketentuan UU No.5/1999 oleh Termohon
mengingat perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh PEMOHON sudah sesuai
dengan ketentuan Pasal 50 (a) UU No.5/1999 tersebut diatas.
bahwa kalaupun digunakan asumsi bahwa pemberian hak eksklusif
(monopoli) kepada PEMOHON memang sudah berakhir dengan adanya
Pengumuman Menteri Perhubungan No.2/2004, quod non, PEMOHON tetap
berpendirian bahwa PEMOHON sama sekali TIDAK MELANGGAR ketentuan
UU No.5/1999 sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Termohon dalam
Perkara No.02/KPPU-I/2004, sehingga PEMOHON sangat berkeberatan
terhadap Putusan Termohon yang mengandung kekeliruan dalam menilai fakta
maupun dalam menerapkan peraturan perundangan yang berlaku ;
bahwa sejak tanggal 25 Juli 2001 PEMOHON mendapat ijin
penyelenggaraan Internet Telepon untuk Keperluan Publik (selanjutnya disebut
ITKP) atau lebih dikenal dengan istilah Voice over Internet Protokol (VoIP)
berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pos dan Telekomunikasi Nomor : 159
Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Internet Telepon Untuk Keperluan
Publik dengan menggunakan kode akses 017 ;
Hal. 5 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
bahwa selain PEMOHON, pada periode yang bersamaan PT. INDOSAT
juga mendapatkan ijin penyelenggaraan ITKP dengan kode akses 016, PT.
Gaharu dengan kode akses 019, PT. Atlasat dengan kode akses 018;
bahwa penyelenggara-penyelenggara ITKP tersebut dapat melayani
jasa telekomunikasi jarak jauh dan telekomunikasi internasional dengan moda
yang berbeda dibandingkan jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) yang
diselenggarakan oleh PEMOHON dan Sambungan Langsung Internasional
(SLI) yang diselenggarakan oleh PT INDOSAT ;
bahwa PT.INDOSAT menyelenggarakan jasa telepon internasional atau
yang dikenal dengan sebutan SLI dengan menggunakan kode akses 001 dan
kode akses 008 ;
bahwa dalam penyelenggaraan SLI-nya, PT INDOSAT menjalin
kerjasama dengan PEMOHON yang dituangkan dalam Perjanjian Interkoneksi
untuk menghubungkan jaringan milik PT.INDOSAT dengan jaringan milik
PEMOHON (Bukti P5) ;
bahwa dalam perjanjian kerja sama tentang Penagihan Jasa
Telekomunikasi Internasional antara PT INDOSAT dan PEMOHON telah
sepakat bahwa untuk aktivasi (pembukaan akses) layanan SLI di sentral telepon
PEMOHON dilakukan atas permintaan dari pelanggan PEMOHON dan PT
INDOSAT dapat mengajukan pendaftaran aktivasi untuk dan atas nama
pelanggan (Bukti. P6). Jadi, berdasarkan Perjanjian antara PEMOHON dengan
PT.INDOSAT yang menganut system “normally closed”, pelanggan harus aktif
meminta agar akses sambungan langsung Internasionalnya dibuka bila hendak
menggunakan jasa PT.INDOSAT ;
bahwa setidak-tidaknya sejak tahun 1989 mulai dikenal
penyelenggaraan warung telekomunikasi (dikenal dengan sebutan wartel)
sebagai salah satu tempat yang dapat digunakan untuk melayani kebutuhan
masyarakat akan jasa telekomunikasi ;
bahwa berdasarkan Keputusan Direksi Nomor 39/HK220/JAS-51/2003
tanggal 17 Juni 2003 tentang Pedoman Pengelolaan Outlet Telkom melalui
Warung TELKOM, PEMOHON menyelenggarakan saluran distribusi internal
jasa telekomunikasi dalam bentuk outlet dengan nama Warung TELKOM (Bukti
P7) ;
bahwa Warung TELKOM diselenggarakan berdasarkan perjanjian
kerjasama antara PEMOHON dengan pengelola Warung TELKOM atas dasar
permohonan baik dari Pengelola Wartel lama yang ingin berubah menjadi
Warung TELKOM maupun dari penyelenggara/pengelola yang sama sekali baru
Hal. 6 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
(Bukti P8) ;
bahwa perbedaan antara Wartel dengan Warung TELKOM pada
pokoknya adalah sebagai berikut : Wartel menyediakan layanan jasa
telekomunikasi produk penyelenggara telekomunikasi manapun, sedangkan
Warung TELKOM yang merupakan outlet PEMOHON hanya menyediakan jasa
telekomunikasi produk PEMOHON ;
Keberatan dan Bantahan terhadap hal-hal yang menj adi dasar
pertimbangan Termohon dalam menjatuhkan Putusannya.
bahwa karena pernyataan atau keterangan atau penjelasan dari para
Saksi dan Saksi Ahli termasuk namun tidak terbatas pada fakta, dugaan, dan
pernyataan yang dijadikan pertimbangan oleh Termohon menjatuhkan
Putusannya tidak pernah dikonfirmasikan oleh Termohon kepada
PEMOHON, maka PEMOHON tidak dapat atau tidak diberi kesempatan untuk
memberikan tanggapan atas pernyataan atau keterangan atau penjelasan
terhadap keterangan para Saksi dan Saksi Ahli yang diajukan oleh Termohon
dimaksud. Oleh karena itu, PEMOHON mengajukan bantahan atas duduk
perkara yang dijadikan pertimbangan oleh Termohon tersebut sebagai berikut :
1.Bahwa PEMOHON membantah Duduk Perkara angka 1.8 yang menyatakan
bahwa TIM dari Termohon menduga PEMOHON telah melakukan tindakan
pemblokiran terhadap SLI kode akses 001 dan 008 milik PT. INDOSAT yang
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.1 Menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 dibeberapa Warung Tele-
komunikasi (Wartel), dan menyediakan layanan Internasional dengan
kode akses 017 (Bagian duduk perkara Putusan Termohon angka 1.8.1) ;
Pernyataan Termohon di atas adalah tidak benar sama sekali.
PEMOHON tidak pernah menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008
di Wartel manapun. Kalaupun dalam praktek ditemukan adanya kesulitan
dalam memperoleh akses ke-001 atau 008, banyak sekali faktor yang
menjadi penyebabnya dan secara teknis telah diuraikan kepada
Termohon oleh Saksi VI tanggal 30 Juni 2004. Namun demikian,
PEMOHON tidak pernah menutup akses SLI 001 maupun 008 dari
SENTRAL jaringan milik PEMOHON.
1.2 Mengubah perjanjian kerjasama dengan Pemilik Wartel bahwa Wartel
hanya dibolehkan menjual produk PEMOHON dan PEMOHON berhak
melakukan bloking/menutup akses layanan milik operator
(penyelenggara) lain dari Wartel (Bagian duduk perkara Putusan
Hal. 7 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
Termohon angka 1.8.2) ;
Pernyataan Termohon di atas tidak benar . PEMOHON tidak pernah
mengubah perjanjian kerjasama dengan Pemilik Wartel (warung
telekomunikasi) yang isinya mengatur wartel hanya dibolehkan menjual
produk PEMOHON. Secara yuridis maupun faktual, PEMOHON tidak
pernah dan tidak berhak melakukan penutupan kode akses SLI 001/008
di warung telekomunikasi (Wartel) sesuai dengan klausula yang terdapat
di dalam perjanjian kerjasama antara PEMOHON dengan pemilik wartel
(Bukti P9).
2. Bahwa PEMOHON membantah pernyataan Saksi 1 tanggal 5 Februari 2004
pada bagian Duduk Perkara Putusan TERMOHON angka 7.2 yang
menyatakan : "untuk layanan telepon internasional penyelenggaranya adalah
PEMOHON dengan layanannya ITKP 017 dan PT INDOSAT dengan
layanannya SLI 001 dan 008". Pernyataan ini adalah pernyataan yang tidak
benar, karena :
2.1 Sesuai dengan perizinan yang ada saat itu, layanan Internasional hanya
diselenggarakan oleh PT INDOSAT secara duopoli bersama PT
SATELINDO (Vide.Bukti P3).
2.2 Layanan ITKP bukanlah layanan telepon Internasional sebagaimana
layanan SLI 001 dan 008. Layanan ITKP tidak hanya diselenggarakan
oleh PEMOHON namun juga diselenggarakan oleh PT INDOSAT, PT
Gaharu, PT Atlasat dan konsorsium PIJ sebagaimana telah PEMOHON
uraikan pada Penjelasan tentang Duduk Perkara yang terurai di atas.
2.3 PEMOHON baru mulai menyelenggarakan layanan telepon internasional
yang setara dengan SLI yang dikelola oleh PT INDOSAT dengan kode
akses 001 dan 008 terhitung sejak bulan Juni 2004, dengan nama
produk Telkom Internasional Call 007 (TIC 007), sedangkan layanan
ITKP 017 bukan layanan Internasional sebagaimana diutarakan oleh
TERMOHON.
Atas pernyataan Saksi 1 tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat
kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut.
3. Bahwa PEMOHON perlu menjelaskan dan atau meluruskan pernyataannya
pada tanggal 12 Februari 2004, sebagaimana dikutip oleh TERMOHON
pada bagian Duduk Perkara Putusan TERMOHON angka 8.14 yang
menyatakan : " bahwa meskipun secara prosedur teknologi dan regulasi
antara ITKP dan SLI berbeda, namun dari sisi konsumen tidak ada
perbedaan antara keduanya, sehingga dari keduanya memang bisa muncul
Hal. 8 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
persaingan".
Dikaitkan dengan pernyataan TERMOHON selanjutnya pada angka 8.17,
yang menyatakan bahwa ITKP 017 membidik pelanggan retail dan yang
sensitive dengan harga, maka keterangan atau pernyataan TERMOHON
pada angka 8.14 tersebut perlu diluruskan, karena antara ITKP dan SLI dari
sisi konsumen sesungguhnya sangat berbeda. Perbedaan dimaksud adalah
perbedaan dari sisi kualitas dimana kualitas SLI jauh lebih baik dari ITKP
dan harga SLI jauh lebih mahal dari pada harga ITKP, sehingga segmen
pasar konsumen yang menggunakan SLI berbeda dengan segmen pasar
konsumen yang menggunakan ITKP. Dengan demikian karena segmen
pasar konsumen antara SLI dan ITKP berbeda, maka sesungguhnya tidak
ada persaingan antara layanan SLI dengan layanan ITKP.
Bahwa antara SLI dengan ITKP bukan layanan yang saling bersaing, diakui
secara tegas oleh TERMOHON yang menyatakan bahwa pesaing SLI 001
milik PT.INDOSAT adalah SLI 007 milik PEMOHON sebagaimana tercantum
pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.4.
Pernyataan TERMOHON tersebut di atas harus diartikan bahwa ITKP 017
termasuk ITKP lainnya bukan sebagai Pesaing SLI 001 dan 008 milik PT
INDOSAT ;
4. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi Ahli I
yang dikemukakan pada tangggal 3 Maret 2004 sebagaimana dikutip
TERMOHON pada Putusan bagian Duduk Perkara angka 17.1 yang
menyatakan : “bahwa fixed line memang selalu monopoli. Yang tidak
monopoli dan gampang untuk tidak monopoli adalah wireless karena entry
dan exit bebas dan orang punya banyak pilihan sedangkan sunk cost-nya
rendah"
Pernyataan fixed line selalu monopoli tersebut adalah tidak benar. Bahwa
fixed line tidak selalu monopoli, bahkan sejak PT. Ratelindo dan PT. Batam
Bintan beroperasi sesungguhnya penyelenggaraan fixed line sudah tidak
monopoli, bahkan PT. INDOSAT sejak 2003 telah memperoleh izin
penyelenggaraan fixed line.
Atas pernyataan Saksi Ahli I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat
kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas
bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di depan
hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di seluruh
dunia.
5. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi Ahli I
Hal. 9 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
pada Duduk Perkara angka 17.5 yang menyatakan : "bahwa permasalahan
blocking muncul setelah adanya kebijakan duopoli, mungkin karena Terlapor
(dalam hal ini PEMOHON) masih belum yakin bahwa dengan adanya
kompetisi Terlapor (dalam hal ini PEMOHON) masih dapat melakukan
bisnisnya".
Pernyataan yang dikemukakan Saksi Ahli I TERMOHON tersebut adalah
tidak benar dan sangat naif, karena permasalahan blocking tidak dapat
begitu saja dikaitkan dengan adanya kebijakan duopoli. Pernyataan ini
sangat tendensius yang mengarah kepada tuduhan bahwa PEMOHON telah
melakukan tindakan blocking tanpa didukung dengan bukti yang cukup.
Bahwa PEMOHON sampai kapanpun tidak pernah meragukan kemampuan
bisnisnya meskipun adanya kompetisi, bahkan PEMOHON sangat yakin
dengan adanya kompetisi pelayanan PEMOHON kepada konsumen akan
semakin membaik ;
Atas pernyataan Saksi I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat
kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas
bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di depan
hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di seluruh
dunia.
6. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi Ahli I pa-
da Duduk Perkara angka 17.6 yang menyatakan : "sebenarnya kebijakan
normaly closed yang diterapkan dengan alasan untuk mengurangi bad debt
adalah terbantahkan dengan ditanggungnya resiko tersebut oleh PT.
INDOSAT”.
Pernyataan yang dikemukakan Saksi Ahli I TERMOHON tersebut adalah di
atas tidak benar sangat tendensius yang cenderung menyalahkan
PEMOHON. PEMOHON tidak pernah menetapkan kebijakan tentang
normally closed. PEMOHON melaksanakan normaly closed semata-mata
untuk melaksanakan perjanjian kerjasama antara PEMOHON dengan PT.
INDOSAT atas keinginan dan permintaan PT. INDOSAT dengan alasan
untuk mengurangi terjadinya bad debt, meskipun apabila terjadi bad debt
menjadi tanggungan PT. INDOSAT sepenuhnya (Vide Bukti P6 ) ;
Atas pernyataan Saksi Ahli I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat
kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas
bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di depan
hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di seluruh
dunia.
Hal. 10 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
9. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi I tanggal
18 Juni 2004 pada duduk perkara angka 23.16 yang menyatakan : "bahwa
wartel adalah layanan publik, sehingga dengan adanya perubahan menjadi
warung TELKOM yang hanya menyediakan produk dari Terlapor
(PEMOHON), maka masyarakat dan pengelola wartel menjadi tidak punya
pilihan".
Pernyataan yang dikemukakan Saksi I tersebut adalah di atas tidak benar,
karena wartel dan warung TELKOM bukan layanan publik yang didirikan
khusus untuk melayani masyarakat secara umum. Dalam telekomunikasi
istilah layanan publik dikenal dengan istilah USO (universal service
obligation) sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 36 Tahun 1999 jo.
Pasal 26 PP 52 Tahun 2000.
Selain itu keberadaan warung TELKOM tidak mengakibatkan masyarakat
dan pengelola wartel menjadi tidak punya pilihan, karena masih banyak
alternatif lain bagi masyarakat, misalnya menggunakan wartel yang
tersambung kepada penyelenggara telekomunikasi lainnya, baik jaringan
tetap maupun seluler (warsel).
Atas pernyataan Saksi I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat
kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas
bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di
depan hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di
seluruh dunia.
10. Bahwa PEMOHON membantah keterangan atau pernyataan Saksi I pada
Duduk Perkara angka 23.17 yang menyatakan : " bahwa indikasi blocking
setelah Terlapor (PEMOHON) memperoleh ijin ITKP 017 sekitar akhir
tahun 2001".
Pernyataan ini sangat menyesatkan dan sangat tendensius yang mengarah
kepada tuduhan bahwa PEMOHON telah melakukan tindakan blocking
tanpa didukung dengan bukti.
Atas pernyataan Saksi I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat
kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut. Hal ini jelas
bertentangan dengan asas 'due process of law' (proses yang adil di
depan hukum) yang merupakan prinsip hukum universal yang dianut di
seluruh dunia.
Keberatan dan Bantahan Terhadap Pertimbangan Hukum TERMOHON.
bahwa pertimbangan TERMOHON yang menyatakan PEMOHON
Hal. 11 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 karena memenuhi
seluruh unsur-unsur yang ada pada Pasal 15 ayat (3) huruf b tersebut adalah
tidak benar atau tidak mempunyai landasan hukum. Setidaknya ada 2 (dua)
unsur yang tidak terpenuhi atau tidak terbukti, yaitu : unsur pelaku usaha
pemasok (Putusan TERMOHON tentang Hukum angka 8.3) dan unsur
perjanjian harga atau potongan harga tertentu (Putusan TERMOHON tentang
Hukum angka 8.2).
1.1 Unsur pelaku usaha pemasok.
1.1.1 Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 menentukan bahwa
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau
potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau
jasa dari pelaku usaha pemasok tidak akan membeli barang dan
atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang
menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok".
Menurut ketentuan tersebut diatas, yang dimaksud dengan pelaku
usaha menurut Pasal 15 Ayat (3) huruf b adalah pelaku usaha yang
melakukan kegiatan memasok;
1.1.2 Bahwa pengertian memasok disini dapat ditemui dalam Penjelasan
dari Pasal 15 Ayat (1) yang menyatakan bahwa "Yang termasuk
dalam pengertian memasok adalah menyediakan pasokan, baik
barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa,
sewa beli dan sewa guna usaha (leasing)".
Bahwa pengertian memasok sebagaimana diuraikan pada
Penjelasan Pasal 15 Ayat (1) di atas berlaku pula bagi pengertian
memasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3). Hal
tersebut disebabkan dalam Pasal 15 seluruhnya mengatur tentang
perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha dalam /
kegiatan memasok atau pemasokan.
1.1.3 Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 15 ayat (1) dan ketentuan
Pasal 15 Ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 tersebut diatas,
maka secara hukum jelas-jelas PEMOHON tidak memenuhi unsur
sebagai Pelaku Usaha pemasok atau yang menyediakan pasokan,
baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa beli dan
sewa guna usaha (leasing) dengan pengelola Warung TELKOM.
Hal tersebut dikarenakan:
1.1.3.1 Pengelola Warung TELKOM tidak melakukan kegiatan jual
Hal. 12 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
beli, sewa-menyewa, sewa-beli barang dan atau jasa
dengan PEMOHON.
1.1.3.2 PEMOHON bukan sebagai pihak yang memasok (menjual)
barang atau jasa kepada pengelola Warung TELKOM dan
pengelola Warung TELKOM bukan pihak yang menerima
barang atau jasa untuk dijual kembali (resale), karena di
Warung TELKOM tidak ada kegiatan jual beli.
1.1.3.3 Warung TELKOM semata-mata hanya merupakan tempat
untuk menjualkan jasa produk dari PEMOHON;
1.1.3.4 Pengertian menjualkan jasa dimaksud adalah bahwa Wa-
rung TELKOM berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari
PEMOHON (atau dikenal dengan istilah outlet) untuk
melakukan pemasaran jasa Telekomunikasi produk
PEMOHON ;
1.1.3.5 Bahwa Warung TELKOM yang merupakan outlet PEMO-
HON adalah saluran distribusi internal atas produk yang
dihasilkan oleh PEMOHON yang pengelolaannya
diserahkan kepada badan usaha lain yang bertindak
sebagai Pengelola Warung TELKOM ;
1.1.3.6 Bahwa Warung TELKOM sebagai tempat menjualkan, pro-
duk PEMOHON, diakui secara tegas oleh TERMOHON
pada Putusan tentang Hukum Angka 8.3.3, yang
menyatakan bahwa dalam Pasal 1 angka 16 PKS standar
Warung Telkom, diatur bahwa pengelolaan Outlet
PEMOHON adalah pengelolaan tempat untuk menjualkan
serta memberikan pelayanan jasa telekomunikasi produk
PEMOHON" ;
1.1.3.7 Bahwa oleh karena itu PEMOHON keberatan dengan
pernyataan TERMOHON yang jelas-jelas keliru, yaitu
pernyataan yang menyatakan bahwa PEMOHON bertindak
sebagai pemasok jasa telekomunikasi dan pengelola
Warung TELKOM adalah pihak yang menerima jasa
telekomunikasi untuk dijual kembali sebagaimana Putusan
tentang Hukum angka 8.3.4 ;
1.1.4 Bahwa untuk lebih menegaskan keberadaan Warung TELKOM
merupakan outlet PEMOHON untuk menjualkan jasa (saluran
distribusi internal), maka sambungan yang digunakan adalah
Hal. 13 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
sambungan dinas berbayar, artinya tidak perlu membayar biaya
pasang baru dan abonemen tetapi tetap membayar biaya
penggunaan jasa. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 9
Keputusan Direksi PEMOHON No.KD.39 Tahun 2003 yang
menetapkan status sambungan layanan telekomunikasi untuk
Warung TELKOM adalah Dinas Berbayar.
1.1.5 Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka dalam Perjanji-
an PEMOHON dengan pengelola Warung TELKOM tidak terdapat
adanya unsur pelaku usaha pemasok, sehingga dapat
disimpulkan bahwa unsur pelaku usaha pemasok TIDAK terpenuhi.
1.2 Unsur perjanjian harga atau potongan harga.
1.2.1 Bahwa pernyataan TERMOHON dalam kesimpulan pada Angka
8.2.4 atas dasar pertimbangan tentang Hukum angka 8.2.3 dan
angka 8.2.2 yang menyatakan bahwa dibebaskannya biaya pasang
baru dan abonemen terhadap Warung TELKOM sebagai
kompensasi tidak menjual produk penyelenggara telekomunikasi
yang lain sehingga unsur perjanjian harga atau potongan harga
tertentu dalam perjanjian Warung TELKOM menjadi terpenuhi
adalah sangat keliru, sangat dipaksakan dan tidak mempunyai
landasan hukum ;
1.2.2 Bahwa memang benar pada perjanjian PEMOHON dengan pengelo-
la Warung TELKOM, pengelola Warung TELKOM dibebaskan dari
biaya pasang baru dan abonemen sedangkan terhadap pengelola
warung telekomunikasi dikenakan biaya pasang baru dan
abonemen, karena keberadaan Warung TELKOM adalah sebagai
saluran distribusi internal PEMOHON yang diperlakukan sebagai
sambungan dinas berbayar (lihat keberatan PEMOHON butir
1.1.4), dan bukan disebabkan karena kompensasi tidak menjual
produk jasa telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi
lainnya. Sedangkan Wartel adalah sebagai mitra usaha untuk
melakukan kegiatan jual kembali (resale) jasa produk PEMOHON
sehingga sewajarnya dikenakan biaya pasang baru dan abonemen
untuk menyewa sambungan/jaringan milik PEMOHON ;
1.2.3 Bahwa biaya pasang baru dan abonemen bukan merupakan harga
yang harus dibayar oleh pelaku usaha yang akan melakukan
perjanjian kerjasama dengan PEMOHON, karena yang dimaksud
dengan harga dalam perjanjian pengelolaan warung telekomunikasi
Hal. 14 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
dan perjanjian Warung TELKOM adalah harga dari jasa
telekomunikasi yang dijual, antara lain meliputi jasa telepon
domestik (SLJJ dan lokal), jasa telepon internasional, yang dihitung
atas dasar satuan harga pulsa telepon serta air time dari
penyelenggara jaringan bergerak seluler, sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri perhubungan Nomor 46 Tahun 2002 tentang
penyelenggaraan warung telekomunikasi (selanjutnya disebut KM
46 Tahun 2002) ;
1.2.4 Bahwa KM 46 Tahun 2002 mengatur tentang bagian pendapatan
dari tarif dasar wartel yang menjadi hak penyelenggara wartel
meliputi pendapatan domestik sekurang-kurangnya 30 %,
internasional sekurang-kurangnya 8 % dan air time dari
penyelenggara jaringan bergerak seluler sekurang-kurangnya 10 %
sebagai harga yang kemudian harus diacu dalam perjanjian
kerjasama wartel dan sama sekali tidak menyatakan biaya pasang
baru dan abonemen sebagai harga ;
1.2.5 Bahwa sehubungan pernyataan TERMOHON angka 8.2.4 yang
menyatakan unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu
dalam perjanjian Warung TELKOM terpenuhi adalah keliru dan oleh
karenanya PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini untuk mengabaikan
pertimbangan dan pernyataan TERMOHON terkait dengan masalah
unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu dalam
perjanjian Warung TELKOM dimaksud ;
1.2.6 Bahwa berdasarkan penjelasan butir 1.2.2 sampai dengan 1.2.5 di
atas, maka unsur adanya perjanjian harga atau potongan harga
tertentu dalam perjanjian Warung TELKOM tidak terpenuhi ;
1.3 Dengan memperhatikan bahwa perjanjian antara PEMOHON dengan
Pengelola Warung TELKOM tidak memenuhi semua unsur yang terdapat
dalam Pasal 15 Ayat (3) huruf b, maka tidak ada perjanjian yang dilakukan
oleh PEMOHON yang melanggar Pasal 15 Ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun
1999 ;
1.4 Bahwa dengan tidak terpenuhinnya semua unsur Pasal 15 ayat (3) huruf
b UU No.5 Tahun 1999 khususnya unsur pelaku usaha pemasok dan
unsur perjanjian harga atau potongan harga tertentu, deng an ini
PEMOHON secara tegas menolak diktum Putusan TERMOHON yang
menyatakan bahwa PEMOHON telah melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b
Hal. 15 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
UU No.5 Tahun 1999 ;
1.5 Untuk itu PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa
dan mengadili perkara keberatan ini untuk :
1.5.1 Membatalkan putusan TERMOHON pada diktum Putusan Angka 2
yang menyatakan bahwa PEMOHON telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 15 Ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun
1999 ;
1.5.2 Membatalkan dan mencabut diktum ke 6 (enam) putusan TER-
MOHON yang menetapkan pembatalan klausula yang menyatakan
bahwa pihak penyelenggara atau pengelola Warung TELKOM
hanya boleh menjual jasa dan atau produk PEMOHON dalam
perjanjian kerjasama antara PEMOHON dengan Penyelengara atau
pengelola Warung TELKOM ;
2. Bahwa Putusan TERMOHON yang menyatakan bahwa PEMOHON telah
melanggar Pasal 19 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah tidak benar ,
karena kegiatan PEMOHON tidak memenuhi unsur menghalangi pelaku
usaha pesaing maupun menghalangi konsumen untuk melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing.
2.1 Dalam teori mengenai hukum antimonopoli dikenal adanya dua macam
doktrin, yaitu doktrin yang disebut dengan 'illegal per se' dan doktrin
yang disebut dengan 'rule of reason'. Suatu perbuatan atau perjanjian
disebut 'illegal per se' jika perbuatan itu sendiri sudah cukup untuk
membuktikan adanya pelanggaran.Sedangkan 'rule of reason'
memerlukan timbulnya akibat yang dilarang oleh peraturan
perundangan.
2.1.1 Pasal 19 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 menentukan
bahwa "Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat berupa : a). menolak dan
atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, b).
menghalangi konsumen atau pelanggan atau pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya" ;
2.1.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 19 huruf a dan b tersebut di atas
Hal. 16 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
yang secara hukum bersifat "rule of reason", maka pelaku
usaha baru dapat dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran
apabila dapat dibuktikan telah terjadinya monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat sebagai akibat dari tindakan
tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam kasus ini,
FAKTANYA tidak mungkin PEMOHON melakukan praktek
monopoli karena pangsa pasar PEMOHON dalam bisnis
sambungan langsung internasional hanyalah sebesar 10%; ) ;
2.1.3 Bahwa TERMOHON dalam Putusan sebagaimana dimaksud
pada angka 16.3.12 sampai dengan 16.4.11 tidak dapat
membuktikan telah terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat, yang dilakukan oleh
PEMOHON.
2.2 Unsur menghalangi pelaku usaha pesaing.
2.2.1 Bahwa dasar hukum yang diajukan oleh TERMOHON untuk
membuktikan bahwa PEMOHON telah melarang atau
menghalangi pengelola Wartel untuk menjual produk yang
dihasilkan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi lain,
sebagaimana dimaksud dalam Pertimbangan Hukum butir
16.4.10 berupa Surat KADITEL Purwokerto Nomor C.
Tel.213/YN000/ RE4-D35/2003 tanggal 23 Oktober 2003, adalah
TIDAK BENAR.
2.2.1.1 Bahwa surat KADITEL tersebut di atas isinya berupa
pemberitahuan kepada pengelola Warung TELKOM
untuk hanya menjual produk PEMOHON, bukan berisi
pemberitahuan tentang larangan kepada Wartel untuk
menjual produk jasa Telekomunikasi penyelenggara lain
(PT. INDOSAT) (Bukti P11).
2.2.1.2 Bahwa pemberitahuan oleh PEMOHON kepada Pe-
ngelola Warung TELKOM tersebut bukanlah merupakan
perbuatan yang melanggar hukum, karena sesuai
dengan keberadaannya Warung TELKOM adalah
sebagai outlet PEMOHON yang memang hanya menjual
jasa telekomunikasi produk PEMOHON.
2.2.2 Bahwa dalam Pertimbangan TERMOHON tentang Hukum pada
angka 16.4.11., TERMOHON menyatakan bahwa PEMOHON
menghambat PT. INDOSAT untuk mengadakan kegiatan atau
Hal. 17 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
penyediaan jasa telepon di jaringan tetap dengan adanya (i)
kewajiban menunjukan PKS antara pengelola wartel dengan PT.
INDOSAT (ii) wartel tidak boleh membeli atau mengelola jasa
telepon internasional milik PT INDOSAT adalah tidak benar
karena :
2.2.2.1 PEMOHON tidak pernah melakukan tindakan yang meng-
halangi dan atau menolak pelaku usaha pesaingnya
dalam menjalankan kegiatan usahanya menjual jasa
telekomunikasi di jaringan tetap.
Terbukti sampai saat ini tidak ada pelaku usaha atau
badan usaha yang dihalangi PEMOHON untuk bekerja-
sama dengan PT.INDOSAT dalam menyelenggarakan
wartel yang menggunakan jaringan tetap milik PT.
INDOSAT ;
Bahwa dengan demikian PT. INDOSAT tidak dihambat
oleh PEMOHON untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama yaitu mengadakan perjanjian kerjasama
penyelenggaraan Wartel di jaringan tetap milik PT.
INDOSAT.
2.2.2.2 Bahwa pencantuman syarat pengelola wartel yang akan
menjual jasa SLI 001/008 untuk menunjukkan PKS
langsung dengan PT. INDOSAT sama sekali tidak terkait
dengan kegiatan PT. INDOSAT dalam penyelenggaraan
jasa telepon di jaringan tetap, akan tetapi dimaksudkan
untuk dasar pembagian pendapatan antara Pengelola
Wartel dengan PEMOHON maupun dengan PT.
INDOSAT dalam rangka melaksanakan perjanjian antara
PEMOHON dengan PT. INDOSAT, karena sampai
dengan saat ini penagihan terhadap Wartel dilakukan oleh
PEMOHON, sehingga pembayaran atas bagian
pendapatan PT. INDOSAT yang dihasilkan oleh Wartel
dilakukan oleh PEMOHON. Untuk itu Pengelola Wartel
harus menunjukkan PKS-nya dengan PT. INDOSAT ;
2.2.2.3 PEMOHON tidak pernah sekalipun melarang untuk menju-
al jasa telepon internasional milik PT INDOSAT.
2.2.3 Pada Pertimbangan Hukum TERMOHON pada angka 16.3.13 yang
mendasarkan pada Pasal 19 UU No. 36 Tahun 1999 Tentang
Hal. 18 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
Telekomunikasi berkaitan dengan adanya persyaratan PKS di
Wartel adalah keliru. Karena ketentuan Pasal 19 UU No. 36 Tahun
1999 tersebut di satu pihak tidak mengatur tentang persyaratan
dalam PKS di pihak lain justru dengan adanya persyaratan untuk
menunjukkan adanya PKS antara Pengelola Wartel dengan PT.
INDOSAT tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan
PT. INDOSAT, karena berdasarkan PKS tersebut, PT. INDOSAT
dapat melakukan monitoring terhadap wartel yang memasarkan
produk SLI 001 dan 008, khususnya untuk memudahkan PT.
INDOSAT dalam menentukan wartel-wartel mana saja yang
memperoleh pembagian pendapatan sebesar 8% atas percakapan
internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Keputusan
Menteri Perhubungan No. 46 Tahun 2002 Tentang
Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi (selanjutnya disebut
dengan KM No. 46 Tahun 2002).
2.2.4 Pada Pertimbangan Hukum TERMOHON angka 16.3.17 sampai
dengan 16.3.27 yang menyatakan bahwa KM No. 46 Tahun 2002
yang tidak mewajibkan adanya PKS langsung antara
penyelenggara Wartel dengan penyedia jasa atau jaringan
Telekomunikasi lain tidak dapat dijadikan dasar bagi TERMOHON
untuk menyatakan bahwa kebijakan PEMOHON yang
mensyaratkan adanya PKS langsung dimaksud bertentangan
dengan KM No.46 Tahun 2002. Karena dengan tidak adanya
larangan untuk mempersyaratkan adanya PKS dimaksud. Terlebih
lagi maksud perlunya PKS ini bukan untuk menghalangi pesaing
tetapi untuk kepentingan PT. INDOSAT sebagaimana telah
diuraikan oleh PEMOHON pada angka 2.2.2.2.
2.2.5 Bahwa PEMOHON membantah Pertimbangan TERMOHON pada
Putusan bagian Tentang Hukum angka 10.12 yang menyatakan
bahwa PEMOHON sebagai penyedia jaringan tetap lokal dan jasa
telepon lokal yang telah melakukan perjanjian interkoneksi dengan
PT. INDOSAT sebagai penyedia jasa SLI dan jaringan tetap
sambungan internasional berdasarkan Pasal 19 dan
penjelasannya berkewajiban untuk menjamin konsumen atau
penggunanya untuk :
(i) tetap tersambungnya atau tersedianya jasa SLI 001 atau 008
PT. INDOSAT sebagai pilihan jasa selain 017 atau 007 milik
Hal. 19 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
PEMOHON ;
(ii) kebebasan untuk memilih jenis jasa-jasa telepon internasional
baik yang menggunakan kode akses 001, 008, 017 maupun
kode akses 007 ;
2.2.6 Bahwa PEMOHON membantah pertimbangan Hukum TER-
MOHON pada angka 16.3.19 yang menyatakan bahwa "Jika
suatu penyelenggara jaringan telekomunikasi telah mengadakan
perjanjian interkoneksi dengan penyelenggara jasa
telekomunikasi lain, maka berdasarkan Pasal 19 UU No. 36
Tahun 1999, penyelenggara jaringan itu de jure berkewajiban
menjamin akses pada pelanggannya atau pengguna atau
konsumennya dalam menggunakan penyelenggara jaringan lain
yang telah ter interkoneksi itu tanpa perlu mewajibkan badan
usaha penyelenggara wartel yang hendak menjual jasa telepon
lain mengadakan PKS sendiri dengan penyelenggara jaringan
telekomunikasi lain yang telah ter interkoneksi itu ;
Berdasarkan praktek interkoneksi pertimbangan tentang Hukum
TERMOHON angka 10.12. dan angka 16.3.19 adalah tidak
benar.
2.2.7 Berdasarkan Pasal 1 Angka 16 UU No. 36 Tahun 1999 me-
nentukan bahwa "Interkoneksi adalah keterhubungan antar
jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan teleko-
munikasi yang berbeda". Untuk itu penyelenggara jaringan
membuat kesepakatan atau perjanjian interkoneksi ;
2.2.8 Bahwa antara PEMOHON dengan PT. INDOSAT sudah menan-
datangani Perjanjian Kerjasama tentang Kesepakatan Bersama
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Nomor : PKS
63/HK800/UTA-00/97 tanggal 21 Agustus 1997, namun
perjanjian tersebut bukan perjanjian interkoneksi sebagaimana
dimaksud UU No.36 Tahun 1999, karena (i) Dalam prakteknya,
setiap panggilan internasional baik out going maupun in coming
PT. INDOSAT diwajibkan membayar kepada PEMOHON.
Sedangkan pengertian interkoneksi yang sebenarnya
sebagaimana dimaksud dalam UU No.36 Tahun 1999, setiap
penyelenggara jaringan yang menggunakan jaringan milik
penyelenggara lain wajib membayar kepada penyelenggara lain
dimaksud. Dengan demikian, maka dalam perjanjian tersebut
Hal. 20 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
jelas bahwa PT. INDOSAT bertindak sebagai penyelenggara
jasa telekomunikasi, bukan sebagai penyelenggara jaringan
telekomunikasi (ii) Perjanjian antara PEMOHON dan PT.
INDOSAT tersebut di atas yang dibuat pada tanggal 21 Agustus
1997, belum mengacu kepada UU No. 36 Tahun 1999.
Dengan demikian maka pertimbangan hukum TERMOHON pada
angka 10.12.1 dan 10.12.2 serta 16.3.19 adalah tidak benar dan
sudah sewajarnya untuk dibatalkan.
2.2.9 Berdasarkan dalil-dalil PEMOHON tersebut di alas, maka masa-
lah interkoneksi tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan
jasa telekomunikasi sehingga tidak terkait pula dengan masalah
prefiks number (001,008 atau 007 untuk jasa Sambungan
Langsung Internasional ("SLI") maupun 011 dan 017 untuk jasa
sambungan Langsung Jarak Jauh ("SLJJ"). Oleh karena itu,
pertimbangan hukum TERMOHON Angka 16.3.15 yang
mengaitkan antara interkoneksi dengan kode akses SLI 001 dan
008 milik PT. INDOSAT adalah sangat keliru.
Disamping hal di atas, kode akses 007 sangat tidak relevan
dikaitkan dengan permasalahan yang diangkat oleh
TERMOHON, karena PEMOHON baru menyelenggarakan jasa
telekomunikasi internasional dengan kode akses 007 sejak
tanggal 7 Juni 2004 ;
2.2.10 Untuk itu, PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara keberatan ini untuk
mengesampingkan pertimbangan hukum TERMOHON dimaksud
dan tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
memutus perkara ini.
2.2.11 Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka PEMOHON
membuktikan bahwa tidak ada tindakan atau perbuatan
PEMOHON yang menghalangi konsumen atau pelanggan jasa
Telekomunikasi untuk menggunakan atau memanfaatkan jasa
Telekomunikasi produk pesaing PEMOHON, sehingga
TERMOHON sangat keliru memutuskan bahwa PEMOHON telah
melanggar Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999.
2.2.12 Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan PEMOHON tersebut di
atas, maka sangatlah tidak tepat TERMOHON memerintahkan
PEMOHON (a) untuk meniadakan persyaratan PKS atas
Hal. 21 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
pembukaan akses SLI dan/atau jasa telepon internasional lain
selain produk PEMOHON di Wartel serta (b) membuka akses
SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk
PEMOHON di Warung TELKOM sebagaimana diputuskan dalam
diktum ke 7 (tujuh), dan sepantasnya Keputusan TERMOHON
yang berupa perintah kepada PEMOHON tersebut dibatalkan.
2.2.13 Dengan demikian PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk membatalkan
diktum ke 7 (tujuh) putusan TERMOHON.
2.3 Bahwa pernyataan TERMOHON yang menyatakan PEMOHON telah
memenuhi unsur menghalangi konsumen untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya sehingga PEMOHON
telah melanggar Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999 adalah
pernyataan dan atau keputusan yang tidak benar.
2.3.1 Unsur menghalangi konsumen untuk tidak melakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya tidak terpenuhi, karena
berdasarkan Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999 menentukan
"Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan,
baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat berupa : "menghalangi konsumen atau
pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu" ;
2.3.2 Bahwa pelaku usaha dapat dikatakan melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 19 huruf b UU No.5 Tahun 1999 dimaksud apabila
pelaku usaha tersebut terbukti melakukan perbuatan yang
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya tersebut ;
2.3.3 Bahwa pertimbangan hukum adanya unsur hubungan usaha an-
tara konsumen dengan pelaku usaha pesaing sebagaimana
dikemukakan oleh TERMOHON pada pertimbangan hukum angka
16.7 adalah sebagai berikut :
2.3.3.1 Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU 36 Tahun 1999 yang
dimaksud dengan pengguna adalah pemakai dan
pelanggan.
2.3.3.2 Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU 36 Tahun 1999, yang
Hal. 22 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
dimaksud dengan pelanggan adalah perseorangan,
badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi
berdasarkan kontrak.
2.3.3.3 Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 36 Tahun 1999.
yang dimaksud dengan pemakai adalah perseorangan,
badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi
yang tidak berdasarkan kontrak.
2.3.3.4 Bahwa pertimbangan hukum TERMOHON angka 16.8
yang menyatakan bahwa bagi konsumen atau pengguna
atau pemakai jasa telekomunikasi persyaratan perjanjian
Warung TELKOM yang dikeluarkan PEMOHON ini
menyebabkan konsumen atau pengguna atau pemakai
tidak dapat menggunakan jasa SLI 001 dan 008 yang
dihasilkan oleh PT. INDOSAT yang merupakan pesaing
PEMOHON dalam pasar bersangkutan adalah tidak
benar, karena :
2.3.3.4.1 Bahwa yang dimaksud dengan pengguna jasa
produk PEMOHON adalah terdiri dari pemakai
dan pelanggan. Adapun pelanggan PEMOHON
terdiri dari Residensial, Bisnis dan sosial ;
2.3.3.4.2 Mengingat pengertian pengguna meliputi pela-
nggan dan pemakai sedangkan Warung
TELKOM tidak termasuk didalamnya, maka
persyaratan perjanjian Warung TELKOM yang
berisi ketentuan dan klausula wajibnya
pengelola Warung TELKOM untuk hanya
menjual jasa PEMOHON termasuk didalamnya
ITKP Telkom Global 017 tidak menghalangi
konsumen dalam hal ini pelanggan baik
pelanggan PEMOHON maupun pelanggan PT.
INDOSAT untuk menggunakan jasa SLI 001
dan atau 008, karena khusus untuk pelanggan
yang akan menggunakan jasa SLI 001 atau 008
tidak perlu menggunakan Warung TELKOM,
karena dapat langsung mengakses dari terminal
Hal. 23 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
milik pelanggan sendiri. Hal ini diakui juga oleh
TERMOHON sebagaimana dinyatakan dalam
pertimbangan hukum TERMOHON angka
16.3.11 bahwa tidak terbukti adanya halangan
bagi pelanggan residential, bisnis untuk
menggunakan jasa SLI 001 dan atau 008.
2.3.3.5 Bahwa keberadaan Wartel yang sambungan
telekomunikasinya menggunakan jaringan
telekomunikasi tetap milik PEMOHON tetap
dipertahankan. PEMOHON tidak pernah
melakukan tindakan yang menghambat dan
atau menghalangi konsumen atau pengguna
jasa telekomunikasi untuk memanfaatkan atau
membeli jasa telekomunikasi produk penye-
lenggara lain (PT. INDOSAT), karena di wartel
tersebut konsumen masih dapat menggunakan
jasa telekomunikasi produk penyelenggara jasa
telekomunikasi lain (misalnya produk SLI 001
atau 008 milik PT. INDOSAT).
2.3.4 Dengan demikian terbukti bahwa dengan adanya persya-
ratan atau klausula perjanjian Warung TELKOM tidak
mengakibatkan konsumen (pelanggan dan pemakai)
terhalangi untuk menggunakan jasa SLI 001 dan atau 008
milik PT. INDOSAT.
2.3.5 Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka PEMOHON
membuktikan bahwa tidak ada tindakan atau perbuatan
PEMOHON yang menghalangi konsumen (pelanggan dan
pemakai) jasa Telekomunikasi untuk menggunakan atau
memanfaatkan jasa Telekomunikasi produk pesaing
PEMOHON, sehingga TERMOHON sangat keliru
memutuskan bahwa PEMOHON telah melanggar Pasal 19
huruf b UU No.5 Tahun 1999.
2.3.6 Sehubungan dengan hal itu PEMOHON memohon kepada
Majelis Hakim untuk membatalkan Putusan TERMOHON
sebagaimana dimaksud dalam Diktum ke 3 (tiga) yang
menyatakan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf b UU No. 5
Hal. 24 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
Tahun 1999.
3. PEMOHON membantah pertimbangan TERMOHON mengenai penurunan
trafic out going dan pendapatan SLI PT. INDOSAT.
bahwa pertimbangan TERMOHON pada bagian Tentang Hukum
angka 1.3.6 dan angka 1.4.8 yang menyatakan bahwa sejak
dikeluarkannya produk PEMOHON berupa ITKP 017 mengakibatkan
penurunan trafic out going dan pendapatan SLI 001 dan 008 milik PT.
INDOSAT dari jaringan tetap PEMOHON adalah sangat prematur dan
mengada-ada, karena tidak didukung dengan bukti-bukti yang cukup.
Apabila pernyataan ini didasarkan pada keterangan saksi I sebagaimana
tercantum pada bagian Duduk Perkara angka 23.6, maka PEMOHON
dengan tegas menolak pertimbangan TERMOHON dimaksud. Atas
pernyataan Saksi Ahli I tersebut, PEMOHON tidak pernah mendapat
kesempatan melakukan konfirmasi atas kesaksian tersebut.
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon
kepada Pengadilan Negeri Bandung agar memberikan putusan sebagai
berikut :
1. MENGABULKAN seluruh Permohonan Keberatan PEMOHON ;
2. Membatalkan diktum ke 2 (dua) Putusan TERMOHON yang menyata-
kan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 15 Ayat (3) huruf b UU No.5 Tahun 1999 ;
3. Membatalkan diktum ke 3 (tiga) Putusan TERMOHON yang menyata-
kan bahwa PEMOHON terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 19 huruf a dan b UU No.5 Tahun 1999 ;
4. Membatalkan diktum ke 6 (enam) Putusan TERMOHON yang menetap-
kan pembatalan klausula yang menyatakan bahwa pihak
penyelenggara atau pengelola Warung TELKOM hanya boleh menjual
jasa dan atau produk PEMOHON dalam Perjanjian Kerja Sama antara
PEMOHON dengan Penyelenggara atau Pengelola Warung TELKOM ;
5. Membatalkan Diktum ke 7 (tujuh) atas Putusan TERMOHON yang me-
merintahkan PEMOHON untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan
usaha tidak sehat dengan cara (a) Meniadakan persyaratan PKS atas
pembukaan akses SLI dan atau jasa telepon international lain selain
produk PEMOHON di Wartel. (b) Membuka akses SLI dan atau jasa
telepon internasional lain selain produk PEMOHON di Warung
TELKOM.
Hal. 25 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
Dan dengan mengadili sendiri memutuskan :
1. PEMOHON TIDAK TERBUKTI telah melakukan pelanggaran apapun
terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ;
2. Perjanjian antara PEMOHON dan Pengelola Warung Telkom adalah
sah dan mengikat para pihak serta tidak bertentangan dengan
ketentuan UU No.5 Tahun 1999 ;
3. Perjanjian antara PEMOHON dan Pengelola Wartel adalah sah dan
mengikat para pihak serta tidak bertentangan dengan ketentuan UU
No.5 Tahun 1999 ;
4. Menghukum TERMOHON untuk membayar seluruh biaya yang timbul
dalam perkara ini ;
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka PEMOHON memohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut Pengadilan
Negeri Bandung telah mengambil putusan, yaitu putusan
No. 256/PDT/G/2004/PN.BDG. tanggal 08 November 2004 yang amarnya
sebagai berikut :
M E N G A D I L I
- Menerima permohonan keberatan dari Pemohon PT.Telekomunikasi Indonesia
Tbk ;
- Membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indo-
nesia (KPPU) tanggal 13 Agustus 2004 Nomor : 02/KPPU-1/2004 ;
M E N G A D I L I S E N D I R I
1. Mengabulkan Permohonan Keberatan Pemohon untuk sebagian ;
2. Menyatakan Pemohon Keberatan yaitu PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk,
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, membatalkan oleh karena itu :
Diktum ke-2 (dua), ke-3 (tiga), ke-6 (enam) dan ke-7 (tujuh) PUTUSAN
KPPU – Tanggal 13 Agustus 2004 Nomor : 02/KPPU-I/2004 ;
3. Menghukum Termohon KPPU membayar biaya perkara sebesar Rp.144.000.
4. Menolak permohonan keberatan Pemohon untuk selain dan selebihnya ;
Menimbang, bahwa sesudah putusan Pengadilan Negeri ini
diberitahukan kepada Termohon pada tanggal 14 Desember 2004 kemudian
terhadapnya oleh Termohon (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan
surat kuasa khusus tanggal 15 Desember 2004 ) diajukan permohonan kasasi
Hal. 26 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
secara lisan pada tanggal 24 Desember 2004 sebagaimana ternyata dari akte
permohonan kasasi No. 74/Pdt/Ks/2004/PN.BDG. yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Negeri Bandung, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi
yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
tersebut pada tanggal 04 Januari 2005 ;
bahwa setelah itu oleh Pemohon yang pada tanggal 05 Januari 2005
telah diberitahu tentang memori kasasi dari Termohon diajukan jawaban
memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung pada
tanggal 18 Januari 2005 ;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang,
maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi/Termohon dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
I. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
disebutkan antara lain bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
tingkat kasasi membatalkan putusan dari semua lingkungan peradilan
karena salah menerapkan hukum yang berlaku dan lalai memen uhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perund ang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
II. Bahwa Putusan Judex Facti yang dimohonkan kasasi tidak hanya salah
dalam menerapkan hukum yang berlaku, tetapi juga sama sekali tidak
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh undang-undang. Hal tersebut
terbukti dari uraian dan fakta hukum sebagai berikut :
A. TENTANG PROSEDURAL .
Pertimbangan Berlebihan Dan Menguntungkan Pihak Termohon Kasasi.
Bahwa permohonan keberatan terhadap Putusan KPPU yang diajukan
oleh PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi dalam hal prosedural
sebenarnya hanya dan hanya menuntut dan atau mempersoalkan dalam
hal PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi menganggap diriny a
tidak diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atas
pernyataan, atau keterangan para saksi dan ahli dimana menurut
pendapat PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi hal tersebut
bertentangan dengan asas due process of law. Substansi tersebut itulah
Hal. 27 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
yang menjadi dasar tuntutan PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi
dalam hal prosedural (vide, halaman 7 sampai dengan 12 angka 1
sampai dengan 10 Memori Keberatan PEMOHON Keberatan).
Permasalahannya adalah mengapa dan atas dasar apa pertimbangan
hukum Judex Facti sama sekali tidak mempertimbangkan dasar tuntutan
PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi tersebut, tetapi justru
memberikan pertimbangan hukum lain yang sama sekali tidak dijadikan
dasar tuntutan PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi dalam
keberatannya, yaitu tentang keabsahan prosedur tata cara pemeriksaan
perkara yang dilakukan Termohon Keberatan/Pemohon Kasasi (vide,
halaman 76 alinea 1 Putusan Judex Facti).
Fakta hukum tersebut membuktikan bahwa Judex Facti telah melakukan
penyimpangan dan atau melebihi dari apa yang dituntut yang lebih
menguntungkan bagi pihak PEMOHON Keberatan/Termohon Kasasi.
Menurut kaidah hukum yurisprudensi Mahkamah Agung RI
No. 399 K/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970, putusan yang demikian itu
harus dibatalkan.
Selanjutnya, berkaitan dengan pertimbangan Judex Facti mengenai
prosedural yang dilakukan oleh Termohon Keberatan/PEMOHON Kasasi,
maka PEMOHON Kasasi akan menjelaskan bahwa pertimbangan Judex
Facti tersebut jelas salah dalam penerapan hukumnya. Hal tersebut
didasarkan pada alasan hukum sebagai berikut :
1. Mengenai Majelis Komisi.
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 76 sampai
dengan halaman 80 yang pada pokoknya menyatakan, pemeriksaan
lanjutan atas perkara larangan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat (Perkara KPPU No.02/KPPU-1/2004) yang
dilakukan bukan oleh Majelis Komisi (karena dilakukan oleh 2 orang
anggota komisi) merupakan pemeriksaan perkara yang mengandung
cacad prosedural sehingga merupakan pemeriksaan yang tidak sah
karena mengandung cacad yuridis dan hal itu merupakan salah satu
alasan batalnya putusan.
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut salah dan berlebihan
dengan alasan sebagai berikut :
1.1. Bahwa kelengkapan anggota Majelis Komisi telah disyaratkan dan
diharuskan hanya pada saat pengambilan keputusan
sebagaimana diatur dalam Penjelasan ketentuan Pasal 43 UU
Hal. 28 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
No.5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Pengambilan
keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan
dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi.
Kemudian, hal tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal 7 ayat
(2) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 Tentang Komisi
pengawas Persaingan usaha yang menyatakan : “Pengambilan
keputusan Komisi dilakukan dalam sidang majelis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang beranggotakan sekurang-kurangnya
3 (tiga) orang anggota Majelis.
1.2. Bahwa meskipun demikian, apabila jumlah Majelis Komisi dalam
proses pemeriksaan lanjutan tidak lengkap, maka hal tersebut
ditawarkan kepada pihak yang diperiksa apakah keberatan atau
tidak apabila pemeriksaan dilanjutkan.
Dalam perkara a quo, pihak yang diperiksa (dalam ha l ini
Termohon Kasasi) tidak pernah menyatakan keberatann ya
sehingga pemeriksaan lanjutan tetap dilakukan sebag aimana
tercantum dalam berkas perkara a quo.
2. Mengenai Risalah Permintaan Keterangan Instansi Pemerintah.
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 80 sampai
dengan halaman 83 yang pada pokoknya menyatakan bahwa
Putusan KPPU No.02/KPPU-I/2004 yang telah mengambil
keterangan yang tidak berdasarkan berita acara pemeriksaan atau
berita acara pemeriksaan lanjutan maka putusan tersebut terbukti
pula telah mengandung cacad yuridis dalam pembuatan atau
penyusunannya.
Bahwa atas hal tersebut Judex Facti juga memberikan pertimbangan
yang menyatakan bahwa menurut ketentuan Pasal 22 (koreksi,
seharusnya Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999) dalam memutuskan telah
terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang, Majelis Komisi
harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang diperoleh dalam
pemeriksaan dan penyidikan, sehingga pemeriksaan untuk meminta
keterangan dari Pemerintah, apabila hal itu dimaksudkan untuk
mendapatkan bukti dan bahan pertimbangan Putusan Majelis Komisi
harus didasarkan pada adanya pemeriksaan lanjutan yang hasilnya
dituangkan dalam sebuah Berita Acara Pemeriksaan dan bukan
dituangkan dalam risalah pertemuan yang tidak jelas dasar
Hal. 29 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
hukumnya (vide, halaman 81 alinea 4 Putusan Judex Facti).
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut salah bahkan berlebihan
karena alasan-alasan sebagai berikut :
2.1. Bahwa dalam memutuskan perkara, Majelis Komisi (dalam hal
ini PEMOHON Kasasi) selalu berdasarkan alat bukti
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999
yang meliputi : keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan
atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha ,
sehingga tidak semata-mata hanya didasarkan pada keterangan
yang termuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya
disebut BAP) saja.
2.2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 36 huruf h UU No.5 Tahun
1999, menetapkan bahwa Komisi berwenang :
“meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya
dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku
usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini “
2.3. Bahwa selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 17 huruf f
Keputusan KPPU No. 05/KPPU/KEP/IX/2000 Tentang Tata
Cara Penyampaian Laporan dan penanganan Dugaan
Pelanggaran Terhadap UU No.5 Tahun 1999, menetapkan
bahwa Majelis Komisi berwenang :
“meminta keterangan dari instansi Pemerintah berkaitan dengan
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Terlapor"
2.4. Bahwa secara hukum sebenarnya masalah bentuk penuangan
(risalah atau berita acara) bukanlah merupakan hal yang
penting untuk dipersoalkan karena secara substansi mempunyai
esensi yang sama.
Secara substansial, permintaan keterangan pemerintah dalam
perkara a quo bertujuan untuk mencari bukti petunjuk guna
menjelaskan kebijakan atau regulasi yang merupakan peraturan
perundangan yang telah dikeluarkannya.
2.5. Bahwa oleh karena itu, proses meminta keterangan dari
pemerintah bukanlah acara pemeriksaan sebagaimana
dilakukan terhadap para saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan UU No.5
Tahun 1999 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f UU
No.5 Tahun 1999 sehingga cukup dituangkan dalam bentuk
Hal. 30 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
risalah dan bukan dalam bentuk berita acara pemeriksaan.
2.6. Bahwa kemudian Judex Facti menyatakan bahwa risalah
tersebut tidak jelas dasar hukumnya guna dijadikan alat bukti
adalah merupakan pertimbangan hukum yang salah (dalam
menerapkan hukum) dan berlebihan serta mengabaikan
kewenangan PEMOHON Kasasi sebagaimana tertuang dalam
Pasal 36 huruf i UU No.5 Tahun 1999 yang menyebutkan
bahwa PEMOHON Kasasi berwenang mendapatkan,
meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau ala t bukti
lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.
3. Mengenai Penyumpahan Saksi.
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 83 sampai
dengan halaman 88 yang pada pokoknya menyatakan bahwa
Termohon Kasasi telah diperlakukan tidak sama di depan hukum yaitu
tidak diberi kesempatan yang sama untuk membela hak-haknya di
depan hukum, dengan tidak disumpahnya seluruh saksi yang
diajukannya guna membantah keterangan saksi yang
memberatkannya maupun apa yang dituduhkan kepadanya.
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah dan tidak
sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya terjadi. Hal tersebut
didasarkan atas alasan sebagai berikut :
3.1. Bahwa dalam pemeriksaan pendahuluan perkara a quo yang
dilakukan Tim Pemeriksa adalah meminta keterangan terhadap
pihak-pihak yang dianggap mengetahui dan atau patut diduga
mengetahui terjadinya pelanggaran UU No.5 Tahun 1999. Oleh
karena masih bersifat meminta keterangan maka
penyumpahan bukan merupakan suatu yang diharuskan dalam
tahap ini.
3.2. Bahwa apalagi keterangan-keterangan saksi dalam peme-
riksaan pendahuluan tersebut, diperiksa lagi dalam
pemeriksaan lanjutan yang sudah pasti dilakukan
penyumpahan terlebih dahulu.
3.3. Bahwa setiap saksi selalu dilakukan penyumpahan terlebih da-
hulu dalam pemeriksaan lanjutan. Hal yang sama juga
dilakukan dalam pemeriksaan terhadap saksi Arief Yahya dan
saksi I Nyoman G. Wirya.
Dari hal tersebut nampak sangat jelas dan terbukti bahwa
Hal. 31 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
Judex Facti tidak teliti dan tidak membacanya secar a
lengkap Berkas Perkara a quo (dalam hal ini BAP yang
bersangkutan).
3.4. Bahwa seandainya quad non ada satu saksi yang menurut
pendapat Judex Facti tidak dilakukan penyumpahan, bukan
berarti serta merta keterangannya dapat dikesampingkan atau
dibuang begitu saja. Apalagi menurut Pasal 42 huruf d UU
No.5 tahun 1999, keterangan saksi tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai bukti petunjuk karena yang penting
dan prinsip adalah keterangan saksi yang bersangkutan telah
bersesuaian dengan bukti-bukti lainnya yang terkait.
3.5. Bahwa selain daripada itu, untuk mendapatkan bukti-bukti
adanya pelanggaran UU No.5 Tahun 1999, PEMOHON Kasasi
dapat melakukan penyelidikan (vide, Pasal 36 huruf c UU No.5
Tahun 1999). PEMOHON kasasi juga mempunyai
kewenangan untuk mendapatkan, meneliti dan menilai surat,
dokumen atau alat bukti lainnya (vide, Pasal 36 huruf i UU No.5
Tahun 1999).
3.6. Bahwa dengan demikian, jelas terbukti bahwa Judex Facti
telah salah dalam menerapkan hukum dan memberikan
pertimbangan hukum yang tidak sesuai dengan fakta
hukum yang sebenarnya terjadi serta mengabaikan
kewenangan PEMOHON Kasasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 36 huruf c dan huruf i UU No.5 Tahun 1999.
B. TENTANG SUBSTANSI PERKARA
1. Pelanggaran Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No .5 Tahun 1999.
Bahwa sebelum PEMOHON Kasasi membahas mengenai unsur pelaku
usaha pemasok dan unsur perjanjian harga atau potongan harga,
terlebih dahulu PEMOHON Kasasi membahas hal yang sangat prinsip
dan fundamental yang mutlak harus dipertimbangkan oleh Judex Juris
adalah bahwa dalam menilai ada tidaknya pelanggaran Pasal 15 ayat
(3) huruf b, Judex Facti hanya mengacu pada :
- Keputusan Direksi Termohon Kasasi Nomor KD 39/HK.220/JAS-
51/2003 tentang Pedoman Pengelolaan Outlet Telkom melalui
Warung Telkom tertanggal 17 Juni 2003 (selanjutnya disebut KD
39/Warung Telkom) dan ;
- Keputusan Direksi Termohon Kasasi Nomor KD 40/HK.220/JAS-
Hal. 32 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
51/2003 tentang pedoman Penyelenggaraan Kemitraan Warung
Telekomunikasi (Wartel) tertanggal 17 Juni 2003 (selanjutnya
disebut KD 40/Wartel).
Hal tersebut terbukti dari pertimbangan Judex Facti pada halaman 92
alinea 5 yang menyatakan :
“menimbang, bahwa untuk menilai dan mempertimbangkan hal di atas,
Majelis akan meneliti 2 (dua) surat bukti utama dalam perkara a quo
yaitu : Keputusan Direksi PT. Telkom/Termohon Kasasi Nomor KD
39/HK.220/ JAS-51/2003 tentang Pedoman Pengelolaan Outlet Telkom
melalui Warung Telkom tertanggal 17 Juni 2003 dan Keputusan Direksi
PT. Telkom / Termohon Kasasi Nomor KD 40/HK.220/JAS-51/2003
tentang Pedoman Penyelenggaraan Kemitraan Warung Telkom
(Wartel) tertanggal 17 Juni 2003"
Judex Facti telah menempatkan kedua keputusan direksi tersebut
sebagai satu-satunya landasan dan satu-satunya pembenaran
untuk menilai ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon
Kasasi atas UU No.5 Tahun 1999.
Padahal justru seharusnya Judex Facti menilai dan atau
mempertimbangkan terlebih dahulu apakah keputusan direksi tersebut
bertentangan atau tidak dengan UU No.5 Tahun 1999.
Bahwa oleh karena itu, pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah
dalam menerapkan hukum dan tidak obyektif karena selain hanya
mengacu pada 1 (satu) alat bukti saja, hal tersebut diperkuat oleh
alasan-alasan sebagai berikut :
a. Bahwa keputusan direksi tersebut jelas merupakan produk yang
dikeluarkan oleh Termohon Kasasi secara sepihak guna melindungi
kepentingan bisnis Termohon Kasasi saja, sehingga secara
otomatis konsekuensinya, pertimbangan hukum yang hanya
mengacu pada ketentuan tersebut pasti juga tidak tepat, tidak
obyektif dan anti persaingan ;
b. Bahwa secara prinsip sebenarnya kedua keputusan direksi tersebut
mengatur hal yang sama, namun Termohon Kasasi memberikan
perlakuan yang berbeda yang menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat. Hal tersebut terbukti dari hal-hal sebagai berikut :
- bahwa secara prinsip sebenarnya tidak ada perbedaan antara
Warung Telkom dengan Warung Telekomunikasi (Wartel) pada
umumnya ;
Hal. 33 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
- bahwa peraturan perundang-undangan yang berlakupun hanya
mengenal adanya 1 (satu) Warung Telekomunikasi yaitu
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 Kepmen
Perhubungan No. 46 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan
Warung Telekomunikasi (selanjutnya disebut KM No. 46 Tahun
2002) yang menyatakan :
“Warung Telekomunikasi yang selanjutnya disebut Wartel adalah
tempat yang disediakan untuk pelayanan jasa telekomunikasi
untuk umum yang ditunggu baik bersifat sementara maupun
tetap"
Ketentuan tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 52
Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
(selanjutnya disebut PP No. 52 Tahun 2000 ) yang hanya
mengatur 1 (satu) Warung Telekomunikasi yaitu sebagaimana
dimaksud dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf a PP No. 52
Tahun 2000 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa salah satu
contoh penyelenggaraan jasa telepon dasar penyelenggaraan
warung telekomunikasi.
Dengan demikian jelas terbukti bahwa peraturan peru ndang-
undangan yang berlaku jelas tidak mengenal adanya
pembedaan antara Warung Telekomunikasi dan Warung
Telkom.
- bahwa kemudian Termohon Kasasi membuat kebijakan yang
membedakan hal tersebut dengan menciptakan Warung Telkom
(melalui KD 39/Warung Telkom) jelas bertentangan dan tidak
mempunyai dasar hukum.
Kemudian dipergunakannya dalil bahwa Warung Telkom
merupakan usaha/bisnis perpanjangan tangan dari Termohon
keberatan (vide, halaman 93 alinea 4 Putusan Judex Facti),
maka dalil atau pertimbangan tersebut merupakan
pertimbangan yang salah (tanpa dasar hukum) karena secara
prinsip antara pengelola Warung Telkom dengan Termohon
Kasasi bukan dalam satu badan hukum yang sama (merupakan
badan hukum yang berbeda) bahkan resiko kerugian usaha tetap
ditanggung masing-masing.
- bahwa terlebih lagi, KD 39/Warung Telkom tersebut memuat
substansi yang melanggar UU No.5 Tahun 1999, karena secara
Hal. 34 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
prinsip telah membatasi produk yang dijual Warung Telkom atau
dengan kata lain melarang pengelola Warung Telkom untuk
menjual produk dari pelaku usaha pesaing (barrier to entry).
- bahwa selain itu, Termohon Keberatan juga menciptakan
diskriminasi dimana untuk Warung Telkom dibebaskan dari biaya
abonemen bulanan sedang untuk Warung Telekomunikasi tetap
dikenakan biaya abonemen bulanan (vide, Pasal 9 KD
39/Warung Telkom dan Pasal 8 KD 40/Wartel).
Bahwa dengan demikian jelas terbukti Judex Facti telah salah
dalam pertimbangan hukum yang fundamental tersebut
sehingga sudah barang tentu pertimbangan hukum-
pertimbangan hukum selanjutnya menjadi salah dan ti dak
sesuai dengan hukum persaingan usaha.
Selanjutnya berkaitkan dengan unsur-unsur Pasal 15 ayat (3) huruf
b UU No.5 Tahun 1999 yang dilanggar oleh Termohon Kasasi, maka
Pemohon Kasasi akan menjelaskan secara rinci sebagai berikut :
1.1 Unsur Pelaku Usaha Pemasok.
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 93
sampai dengan halaman 94 yang pada pokoknya menyatakan
bahwa berdasarkan isi Pasal 1 angka b sampai dengan 10, KD
39/Warung TELKOM, Majelis berkesimpulan bahwa hubungan
hukum antara PT. Telkom dengan Pengelola Warung Telkom,
bukanlah hubungan antara penjual dengan pembeli barang
atau jasa karena sebagai pengelola outlet Telkom, pengelola
tidak membeli produk dari Telkom melainkan mengelola
tempat, mengelola penjualan serta mengelola pelayanan jasa
telekomunikasi produk Telkom.
Bahwa selanjutnya, pertimbangan hukum Judex Facti pada
halaman 94 sampai dengan halaman 95 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa Majelis berpendapat bahwa hubungan
hukum PT. Telkom dengan Mitra Penyelenggara Wartel adalah
hubungan jual beli produk PT. Telkom yang mana PT. Telkom
berperan sebagai penyedia/pemasok jasa telekomunikasi bagi
Mitra Penyelenggara Wartel dan Mitra Penyelenggara Wartel
sebagai penerima/pembeli jasa telekomunikasi dari PT.
Telkom.
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah dalam
Hal. 35 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
menerapkan hukum dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.1.1 Bahwa sebagaimana dijelaskan sebelumnya, secara
prinsip sebenarnya tidak ada perbedaan antara Warung
Telkom dengan Warung Telekomunikasi (Wartel) pada
umumnya.
1.1.2 Bahwa kesalahan pertimbangan Judex Facti tersebut
dikarenakan acuan yang digunakannya (yaitu hanya
pada kedua keputusan direksi tersebut di atas) padahal
hubungan jual beli jelas dinyatakan dalam Penjelasan
Pasal 14 ayat (1) huruf a PP No. 52 Tahun 2000 dengan
menguraikan bahwa penyelenggaraan jasa telepon
dasar adalah penyelenggaraan telepon “telegrap" teleks
dan faksimil. Penyelenggaraan jasa telepon dasar dapat
dilakukan secara jual kembali. Penyelenggaraan jasa
jual kembali jasa telepon dasar adalah
penyelenggaraan jasa yang atas dasar kesepakatan
usaha menjual kembali jasa telepon dasar. Contohnya
antara lain penyelenggaraan warung telekomunikasi.
1.1.3 Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut jelas terbukti
bahwa produk yang dijual belikan/jual kembali, baik
pada Warung Telkom maupun Warung Telekomunikasi
(karena memang keduanya sama) adalah jasa telepon
dasar sehingga yang dipasok adalah jasa layanan
telekomunikasi berupa jasa telepon dasar dan atau jasa
multimedia termasuk didalamnya telkom global-017
(sebagaimana diatur juga dalam pasal 7 ayat (1) KD
40/Wartel).
1.1.4 Bahwa selanjutnya, pasokan jasa tersebut dijual kembali
oleh Warung Telkom dan Warung Telekomunikasi
(Wartel) kepada konsumen. Kemudian, atas pasokan
yang diterima, Warung Telkom dan Warung
Telekomunikasi (Wartel) membayar harga jasa sebesar
70% dari tarif jasa telekomunikasi yang berlaku.
1.1.5 Bahwa dengan demikian, jelas terbukti bahwa hu-
bungan jual beli tetap terdapat pada Warung
Telkom/Warung Telekomunikasi dimana pemasokan
jasa dipasok oleh Termohon Kasasi ;
Hal. 36 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
1.2 Unsur Perjanjian Harga Atau potongan Harga .
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 95
sampai dengan halaman 98 yang pada pokoknya berisi
bahwa Majelis berpendapat bahwa baik dalam KD 40/Wartel
maupun KD 39/Warung Telkom tidak ditentukan adanya
perjanjian harga atau potongan harga tertentu, atas produk
jasa telekomunikasi Pemohon/Termohon Kasasi”.
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah. Hal
tersebut didasarkan atas alasan sebagai berikut :
1.2.1 Bahwa Judex Facti hanya memahami pengertian harga
tersebut secara sempit padahal yang dimaksud
dengan harga dalam konteks hukum persaingan
adalah semua komponen yang mempengaruhi
pembayaran atas suatu barang dan atau jasa
tertentu.
1.2.2 Bahwa oleh karena itu, komponen biaya untuk pasang
baru dan biaya abonemen bulanan adalah termasuk
komponen harga.
1.2.3 Bahwa biaya yang harus dibayarkan oleh Warung
Telkom atas pasokan yang diterima dari Termohon
Kasasi menjadi lebih kecil dari biaya yang harus
dibayarkan oleh Warung Telekomunikasi (Wartel) ; Hal
tersebut dikarenakan Warung Telkom tidak perlu
membayar biaya abonemen bulanan, padahal
abonemen tersebut jelas merupakan komponen harga
yang seharusnya dibayar kepada Termohon Kasasi.
Hal tersebut terbukti dari ketentuan Termohon Kasasi
sebagai berikut :
Pasal 8 KD 40/Wartel yang menetapkan :
"Status sambungan layanan telekomunikasi untuk
Wartel adalah sambungan telekomunikasi pelanggan
biasa dan dikenakan biaya pasang baru serta
abonemen bulanan dengan klasifikasi pelanggan
bisnis” ;
sementara, Pasal 9 KD 39/Warung Telkom menetap-
kan:
"status sambungan layanan telekomunikasi untuk
Hal. 37 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
Warung Telkom adalah Dinas Berbayar sehingga
tidak dikenakan biaya pasang baru dan abonemen
bulanan” ;
(vide, angka 7.2.1 halaman 49 Putusan Pemohon Kasasi)
2. Pelanggaran Pasal 19 huruf a dan b UU No.5 Ta hun 1999 .
Unsur Menghalangi Pelaku Usaha Lain dan Unsur Me nghalangi
Konsumen Pelaku Usaha Pesaingnya.
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 101 sampai
dengan halaman 106 yang pada pokoknya berisi bahwa Majelis
berpendapat bahwa baik dalam KD 40/Wartel maupun KD 39/Warung
Telkom serta PKS Standar Pemohon lainnya, tidaklah menghalangi
PT. Indosat selaku pelaku usaha pesaing Pemohon untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama yaitu sambungan internasional pada pasar
bersangkutan”.
Bahwa disamping itu, pertimbangan Judex Facti juga dinyatakan
bahwa Majelis berpendapat bahwa Warung Telkom sebagai outlet
yang hanya memasarkan produk Pemohon bukanlah satu-satunya
tempat/pasar untuk menjual produk-produk PT. Indosat yaitu SLI
001/008 (vide, halaman 105 alinea 4 Putusan Judex Facti).
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah. Hal tersebut
didasarkan atas alasan sebagai berikut :
2.1.1 Bahwa Judex Facti masih memberikan pengertian yang
berbeda antara Warung Telkom dan Warung Telekomunikasi
(Wartel), padahal sebagaimana diuraikan dan dijelaskan
sebelumnya tersebut di atas oleh Pemohon Kasasi, bahwa
tidak ada pembedaan antara Warung Telkom dan Warung
Telekomunikasi (Wartel), sehingga seharusnya tidak boleh
ada klausul yang mensyaratkan adanya batasan bahwa
Warung Telkom hanya menjual produk dari Termohon Kasasi
atau melarang menjual produk pelaku usaha lain.
2.1.2 Bahwa persyaratan tersebut jelas merupakan upaya meng-
halangi yang dilakukan Termohon Kasasi dengan tidak
diberikan kesempatan bagi pelaku usaha pesaingnya untuk
menjual produknya di Warung Telkom ; Hal tersebut terbukti
dengan adanya kebijakan Termohon Kasasi melalui KD
39/Warung Telkom dan perjanjian kerja sama pelaksanaan-
nya.
Hal. 38 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
2.1.3 Bahwa berkaitan dengan pertimbangan Judex Facti yang me-
nyatakan pesaing Termohon Kasasi (Indosat) masih dapat
memasarkan produk SLI selain di Warung Telkom, maka
pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah dalam
menerapkan hukum. Hal tersebut terbukti dari uraian sebagai
berikut :
2.1.3.1 Bahwa mengenai hal tersebut tidak menjadi masalah
manakala dilakukan oleh pelaku usaha keciI atau
pelaku usaha yang masih memiliki pangsa pasar
yang kecil (atau belum signifikan).
2.1.3.2 Bahwa ternyata Judex Facti tidak pernah memper-
timbangkan adanya penguasaan essential fasilities
dan market power yang dimiliki Termohon Kasasi,
dimana Termohon Kasasi menguasai kurang lebih
95 % (sembilan puluh lima persen) jaringan lokal di
Indonesia yang merupakan essential facilities dalam
penyelenggaraan SLI, karena sangat mustahil dan
tidak mungkin apabila Wartel maupun Warung
Telkom menggunakan layanan SLI tanpa memakai
fasilitas jaringan lokal terlebih dahulu.
2.1.3.3 Bahwa penjualan produk SLI sebagian besar dila-
kukan melalui jaringan lokal yang dikuasai Pemohon
Keberatan.
2.1.3.4 Bahwa sebagian dari jaringan lokal yang digunakan
oleh konsumen untuk menggunakan jasa SLl adalah
jaringan Wartel dan Warung Telkom.
2.1.3.5 Bahwa tindakan menghalangi pelaku usaha lain yang
dilakukan oleh Pemohon Keberatan sangat terbukti
jelas dengan adanya suatu grand design
implementasi Warung Telkom dimana secara
kebijakan dibuat untuk hanya menjual jasa dan atau
produk Pemohon Keberatan saja dan apabila
Pengelola Warung Telkom melakukan kerja sama
dengan operator lain, termasuk menggunakan
produk dan atau jasa operator lain dalam bentuk
apapun di lokasi outlet Warung Telkom, maka
PKSnya dapat diputus sepihak oleh Pemohon
Hal. 39 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
Keberatan tanpa adanya tuntutan dari Pengelola.
2.1.3.6 Bahwa selain itu, dampak dari hal tersebut jelas me-
nyebabkan pelaku usaha lain (dalam hal ini operator
lain) terhalang karena tidak dapat menjual produknya
di Warung Telkom.
2.1.3.7 Bahwa dampak tersebut jelas juga dialami oleh
konsumen karena konsumen menjadi kehilangan hak
untuk memilih jasa dan atau produk telekomunikasi
yang akan digunakannya. Bahkan hal tersebut jelas
bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 Undang-
Undang 36 Tahun 1999 yang menyatakan
"mewajibkan setiap operator untuk menyediakan
interkoneksi antar operator”, tetapi oleh Pemohon
Keberatan/Termohon Kasasi justru dihambat.
2.1.3.8 Bahwa dengan demikian jelas terbukti tindakan Ter-
mohon Kasasi menghambat operator lain tersebut
memang telah dirancang sejak awal melalui
kebijakan pendirian Warung Telkom dengan cara
melarang menjual jasa dan atau produk dari operator
lain.
Hal tersebut sama sekali tidak dipertimbangka n oleh
Judex Facti dan justru membuat pertimbangan yang
salah (dalam menerapkan hukum) karena hanya
mengacu pada keputusan direksi Termohon Kasasi saja
dan mengabaikan prinsip-prinsip hukum persaingan
usaha.
3. Mengenai Hak Eksklusif dan Pengecualian.
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti pada halaman 112 sampai
dengan halaman 116 yang pada pokoknya menyatakan bahwa
"Majelis berpendirian sejauh KD 39/Warung Telkom dan KD 40/Wartel
serta PKS Standar Telkom lainnya bertujuan melaksanakan hak
eksklusifnya yang tertera dalam UU No.3 Tahun 1989 jo Keputusan
Menteri Parpostel Nomor 60/PT/102/MPPT-95 Tahun 1995, maka
perbuatan dan perjanjian tersebut termasuk yang dikecualikan oleh
Pasal 50 huruf a UU No.5 Tahun 1999” ;
Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut jelas salah, karena baik
secara de facto terlebih lagi secara de jure, hak ekslusif sudah tidak
Hal. 40 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
dimiliki lagi oleh Pemohon Keberatan/Termohon Kasasi dengan
alasan sebagai berikut :
3.1 Bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi sebenarnya sangat jelas mendukung
terciptanya persaingan usaha yang sehat dengan mengatur
upaya penghentian hak eksklsusif (vide, Pasal 61 ayat (2) UU
No. 36 Tahun 1999).
Selanjutnya, implementasi dari ketentuan tersebut salah satunya
dilakukan dan dibuktikan dengan adanya pengumuman Menteri
Perhubungan Nomor 2 Tahun 2004 yang menuangkan terkait
dengan hasil Sidang Kabinet Terbatas tanggal 20 November
2003 dimana telah diputuskan untuk mengakhiri hak eksklusif
yang dimiliki oleh Pemohon Keberatan/Termohon Kasasi dan
PT. Indosat.
3.2 Bahwa berkaitan dengan pemberian kompensasi, maka menurut
Pemohon Kasasi hal tersebut jelas berbeda konteks dan tidak
relevan karena secara de jure regulasi dan kebijakan pemerintah
telah memutuskan pengakhiran hak eksklusif. Masalah
pembayaran kompensasi merupakan hal yang berbeda dan tidak
urgensif karena terkait dengan kemampuan pemerintah dan
kondisi keuangan negara yang belum memungkinkan, sehingga
jelas tidak dapat dijadikan alasan untuk menghambat penegakan
hukum persaingan usaha.
3.3 Bahwa selain penjelasan mengenai pengakhiran hak eksklusif
tersebut, dalam ketentuan Pasal 10 Bagian Ketiga UU No. 36
Tahun 1999 telah secara tegas mengatur korelasinya dengan
UU No.5 Tahun 1999 dengan memberikan penegasan sebagai
berikut:
(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara
penyelenggara telekomunikasi ;
(2) Larangan sebagaimana dimaksud ayat (1) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (yang
dimaksud adalah UU No. 5 Tahun 1999).
3.4 Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, telah membuktikan bah-
wa UU No. 36 Tahun 1999 jelas mendukung adanya persaingan
Hal. 41 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
usaha yang sehat.
3.5 Bahwa oleh karena itu, pertimbangan hukum Judex Facti yang
menyatakan perbuatan dan atau perjanjian Termohon Kasasi
dikecualikan karena melaksanakan peraturan perundang-
undangan adalah salah dan tidak sesuai dengan UU No. 36
Tahun 1999.
Berkaitan dengan memori kasasi angka 3, Pemohon Kasasi
mohon agar Judex Juris memberikan perhatiannya agar tidak
menjadi dan menimbulkan preseden buruk bagi penegak an UU
No. 36 Tahun 1999 dan UU No.5 Tahun 1999.
Sebagai penutup, Pemohon Kasasi perlu menyampaikan pula bahwa
sebenarnya strong point penegakan hukum persaingan adalah perubahan
perilaku dari pelaku usaha yang telah melakukan pelanggaran UU No.5
Tahun 1999. Hal tersebut justru tidak pernah ditunjukkan oleh Termohon
Kasasi. Oleh karena itu, Pemohon Kasasi menyampaikan 2 (dua) hal yang
perlu mendapatkan perhatian Judex Juris sebagai lembaga tertinggi dalam
penegakan hukum persaingan di Indonesia. Kedua hal tersebut adalah :
1. Pemohon Keberatan ingin mempertahankan status qu o.
Bahwa Termohon Kasasi jelas menunjukkan dan membuktikan semangat
atau keinginannya yang anti persaingan serta ingin mempertahankan
status quo dengan menarik kembali ke dalam pemahaman industri
telekomunikasi era lampau yang monopolis.
Dengan berlakunya UU No.5 Tahun 1999, hal tersebut tidak sesuai lagi
karena semangat dan keinginan Termohon Kasasi dapat menghambat
terciptanya persaingan usaha yang sehat di bidang industri telekomunikasi
yang saat ini telah jelas dapat dinikmati oleh masyarakat.
2. Kebijakan Warung Telkom.
Bahwa kebijakan Termohon Kasasi yang melarang produk atau jasa
operator lain dijual di Warung Telkom, jelas merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, terlebih
lagi dilakukan oleh Termohon Kasasi yang jelas menguasai essential
facilities dengan menguasai kurang lebih 95 % (sembilan puluh persen)
jaringan lokal sehingga jelas menghambat masyarakat untuk melakukan
akses secara bebas.
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
Hal. 42 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
mengenai alasan ad A :
bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti
telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. bahwa Pasal 38 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 mengatur tentang Tata Cara Penanganan Perkara oleh KPPU, karena
itu objek pemeriksaan Judex Facti adalah putusan KPPU yang diambil
berdasarkan tata cara dalam ketentuan undang-undang tersebut.
2. bahwa tidak ada suatu ketentuan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999
yang mengatur tentang bagaimana seharusnya bentuk suatu pemeriksaan
yang dilakukan oleh KPPU, sehingga risalah pertemuan yang mencatat
keterangan saksi, ahli ataupun keterangan pihak-pihak lain (termasuk
keterangan Pelaku Usaha), dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
putusan KPPU ;
3. bahwa putusan KPPU, menurut Pasal 43 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka
untuk umum, dan sesuai dengan Penjelasan Pasal 43 ayat (3) Undang-
Undang yang sama, pengambilan putusan oleh KPPU dilakukan dalam
suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 orang
anggota Komisi ;
4. bahwa mengenai saksi-saksi, sebagaimana yang telah dipertimbangkan oleh
Judex Facti dalam putusannya halaman 87, seyogianya dipertimbangkan
oleh Judex Facti setelah memasuki pemeriksaan pokok perkara dalam
menilai apakah keterangan saksi-saksi tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian, dan bukannya sebagai salah satu alasan prosedural untuk
membatalkan putusan KPPU ;
5. bahwa dengan demikian putusan Judex Facti harus dibatalkan dan Mah-
kamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan pertimbangan
sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa Termohon Kasasi/Pelaku Usaha berkeberatan atas
putusan KPPU No.02/KPPU-I/2004 tanggal 13 Agustus 2004 sepanjang
mengenai amar putusan yang berbunyi :
- Menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ;
- Menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ;
- Menetapkan pembatalan klausula yang menyatakan bahwa pihak penye-
lenggara atau pengelola warung Telkom hanya boleh menjual jasa dan atau
Hal. 43 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
produk Terlapor dalam perjanjian kerja sama antara Terlapor dengan
penyelenggara atau pengelola warung Telkom ;
- Memerintahkan Terlapor untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dengan cara (a) meniadakan persyaratan PKS atas pembukaan
akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain produk Terlapor di
wartel (b) membuka akses SLI dan atau jasa telepon internasional lain selain
produk Terlapor di warung Telkom ;
bahwa yang dimaksud dengan Terlapor dalam putusan KPPU tersebut
adalah Pelaku Usaha (kini Termohon Kasasi) ;
Menimbang, bahwa pertimbangan dan putusan KPPU tidak bertentangan
dengan undang-undang dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. bahwa hak eksklusif yang diberikan kepada Termohon Kasasi / Pemohon
untuk menyelenggarakan jaringan jasa telekomunikasi lokal maupun jarak
jauh telah berakhir berdasarkan Pengumuman Menteri Perhubungan No.2
Tahun 2004 (bukti P4) dengan pemberian kompensasi kepada Pemohon ;
2. bahwa meskipun pembayaran kompensasi tersebut belum diterima oleh
Pemohon, tidaklah berarti bahwa hak eksklusif tersebut tetap melekat.
Masalah hak eksklusif atau hak monopoli tidak dapat dikaitkan dengan
belum terlaksananya pembayaran kompensasi ;
bahwa pembayaran kompensasi dapat diajukan kepada Pemerintah cq
Menteri Perhubungan secara terpisah melalui jalur yang telah ditentukan ;
3. bahwa dengan berakhirnya hak eksklusif, maka perjanjian-perjanjian yang
dilakukan oleh Pemohon yang bertujuan sebagai pelaksanaan hak eksklusif
juga berakhir dan tidak lagi termasuk hal-hal yang dikecualikan seperti yang
diatur dalam pasal 50 huruf e Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ;
4. bahwa benar Pemohon telah mendapat ijin menyelenggarakan Internet
Telepon untuk keperluan publik atau Voice over internet Protokol (Vo.I.P),
berdasarkan Surat Keputusan Dirjen dan Telekomunikasi N0.159 Tahun
2001 dengan menggunakan kode akses 017 ;
5. bahwa sebagai tindak lanjut dari ijin tersebut, maka Pemohon berdasarkan
Keputusan Direksi No.39/HK 220/JAS : 51/2003 tanggal 17 Juni 2003, telah
menyelenggarakan saluran distribusi internal jasa telekomunikasi dalam
bentuk surat pembukaan outlet dengan nama Warung Telpon (bukti P7).
Pengadaan warung telpon tersebut dapat diperoleh oleh pemohon baru,
maupun dari wartel-wartel lainnya yang sudah ada terlebih dahulu, penyedia
layanan jasa telekomuinikasi dari produk-produk lainnya ;
Hal. 44 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
6. bahwa warung-warung telpon yang menyediakan jasa layanan teleko-
munikasi yang hanya membuka akses milik Pemohon saja, tidak perlu
membayar biaya pemasangan dan biaya abonemen bulanan. Kemudahan-
kemudahan/fasilitas-fasilitas ini tidak diberikan pada wartel penyedia jasa
layanan telekomunikasi lainnya dari produk manapun juga ;
7. bahwa Pemohon telah menutup/memblokir akses layanan telekomunikasi
lainnya selain dari pada 017 milik Pemohon, sehingga hanya outlet-outlet
Warung Telpon bentukan Pemohon dengan kode akses 017 saja yang jalan,
sedangkan wartel-wartel penyedia layanan telekomunikasi lainnya tidak
jalan, karena salurannya diblokir / dipersulit.
Hal ini berdasarkan bukti-bukti yang diajukan :
- Pengaduan wartel-wartel dari beberapa kota.
- Pengaduan dari pelanggan-pelanggan perusahaan-perusahaan besar yang
menggunakan jasa telekomunikasi lainnya.
- Hasil uji coba sendiri dari tim penyidik KPPU.
- Adanya perjanjian kerja sama antara outlet-outlet Warung Telpon dengan PT.
Telkom bahwa mereka hanya dapat membuka layanan internasional dengan
kode akses 017 saja.
- Tertutupnya akses saluran lain dari pada 017 telah dibuktikan oleh survey
dari Tim Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi dan PT. Indosat,
dimana saluran telpon lainnya dialihkan ke 017 denga harga/rate yang
ditentukan.
- Karena perbuatan Termohon Kasasi/PT. Telkom telah terbukti melakukan
pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 khususnya pasal 19 huruf a
dan b.
- Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegi-
atan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
- Menghalangi konsumen atau pelanggan atau pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : KOMISI PENGAWAS
PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA tersebut dan membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Bandung No. 256/PDT/G/2004/PN.BDG. tanggal 08
November 2004 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan
amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini ;
Hal. 45 dari 45 hal. Put. No.01.K/KPPU/2005
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi berada di pihak yang kalah,
maka ia harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam dua tingkat peradilan ;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan ;
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung
No.256/PDT/G/2004/PN.BDG. tanggal 08 November 2004 ;
MENGADILI SENDIRI :
Menolak permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan : PT.
TELEKOMUNIKASI INDONESIA Tbk. tersebut ;
Menghukum Termohon Kasasi/Pemohon untuk membayar biaya perkara
dalam dua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar
Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari SENIN tanggal 15 JANUARI 2007 oleh Marianna Sutadi, SH.,
Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Majelis, Susanti Adi Nugroho, SH.,MH., dan Dr.H.Harifin A.Tumpa, SH.,MH.,
Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim
Anggota tersebut dan dibantu oleh Nani Indrawati, SH.,M.Hum., Panitera
Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak ;
Hakim-Hakim Anggota Ketua ttd./ Susanti Adi Nugroho, SH.,MH. ttd./ ttd./ Dr.H.Harifin A.Tumpa, SH.,MH. Marianna Sutadi, SH. Panitera Pengganti ttd./ Nani Indrawati, SH., MHum. Biaya-Biaya : 1.M e t e r a i ……………… Rp. 6.000,- 2.R e d a k s i …………….. Rp. 1.000,- Untuk Salinan 3.Administrasi kasasi…….. Rp.493.000,- MAHKAMAH AGUNG RI J u m l a h …………… Rp. 500.000,- an. Panitera =========PANITERA MUDA PERDATA KHUSUS
H.PARWOTO WIGNJOSUMARTO, SH.
NIP.040018142