p-ISSN 2354-8568benih-bogor.litbang.menlhk.go.id › assets › files › JPTH Vol. 7... ·...

79

Transcript of p-ISSN 2354-8568benih-bogor.litbang.menlhk.go.id › assets › files › JPTH Vol. 7... ·...

p-ISSN 2354-8568 e-ISSN 2527-6565

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

Vol.7 No.1, Agustus 2019

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN adalah publikasi ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Hutan (BP2TPTH). Jurnal ini mempublikasikan hasil-hasil penelitian dari berbagai aspek perbenihan tanaman hutan,

meliputi pembangunan dan pengelolaan sumber benih, biologi reproduksi, ekologi dan biologi benih, teknologi penanganan

benih, teknologi perbanyakan vegetatif, kesehatan benih, teknik persemaian, pengujian mutu benih dan bibit, social, ekonomi

dan kebijakan perbenihan. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan terbit dua kali setahun pada Bulan Agustus dan Desember, dan

telah terakreditasi oleh Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan-Kemenristek Dikti (Nomor akreditasi: 30/E/KPT/2018).

Akreditasi berlaku dari Vol.5 No.2 Desember Tahun 2017 sampai dengan Vol.10 No.1 Desember Tahun 2022.

Penanggung Jawab

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi

Wakil Penanggung Jawab

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Dewan Redaksi Ketua Merangkap Anggota

Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si (Silvikultur) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Anggota

Dr. Dra. Dida Syamsuwida, M.Sc (Silvikultur / Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Dr. Dede J. Sudrajat, S.Hut, MT (Silvikultur / Teknologi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Prof. Riset. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si (Silvikultur) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Prof. Riset. Dr. Ir. Budi Leksono, MP (Pemuliaan) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknogi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Dr. Sri Utami,S.P, M.Si (Silvikultur) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Palembang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Mitra Bestari

Dato’ Dr. Marzalina Hj.Mansor (Genetik) Forest Research Institute Malaysia, Kepong, Malaysia

Dr. Ir. Supriyanto (Fisiologi Pohon) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc.F.Trop (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Ir. Muhdin, M.Sc (Statistika) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Ir. Trimuji Ermayanti (Biotek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indonesia Prof. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Darwo (Biometrika) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, Indonesia Dr.Ir. Nurul Khumaida, M.Si (Silvikultur) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Prof.Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS (Ilmu Agroforestri) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr.Ir. Arum Sekar Wulandari, MS (Mikrobiologi, Kultur Jaringan dan Bioteknologi Hutan) Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Dr. Dede Rohadi (Ilmu Sosial) Center for International Forestry Research, Indonesia

Copyeditor

Ir. Danu, M.Si (Produksi Benih) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Ratna Uli Damayanti, S.Hut, M.Si (Kultur jaringan, Bioteknologi) Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia

Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut, M.Agr., Ph. D (Genetik) Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Layout Editor

Tri Astuti Wisudayati, S.E, M.S.E

Sekretariat Dewan Redaksi

Redaksi Pelaksana Ketua Merangkap Anggota

Endah Nurhidajati, S.E., M.Si

(Kepala Seksi Data Informasi dan Sarana Penelitian)

Anggota

Wahyuni Munasri, A.Md

Diterbitkan oleh

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan,

Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Terbit Pertama kali Agustus 1996 dengan judul Tekno Benih (ISSN 1410-1157), sejak Agustus 2003 berganti judul menjadi Info Benih (ISSN 1693-5314), dan sejak Agustus 2013 berganti judul menjadi

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan (ISSN 2354-8568)

Alamat

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut P0 Box 105 Bogor, Telp./fax : (0251)8327768 Website : benih-bogor.litbang.menlhk.go.id

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

Vol. 7 No. 1, Agustus 2019

DAFTAR ISI

1. PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI

TERHADAP KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea

fragrans (Roxb.) Miq.)

(The Effect of Rooting and Acclimatization Media on the Success of

Acclimatization of Tembesu (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.))

Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan/and Ratna Uli Damayanti ... 1-12

2. BREEDING FOR BETTER GROWTH OF Calliandra calothyrsus Meissn., A

FAST GROWING LEGUME FOR WOOD-ENERGY

(Pemuliaan Perbaikan Pertumbuhan Calliandra calothyrsus Meissn., Tanaman

Cepat Tumbuh Jenis Legum Untuk Kayu Energi)

Rina Laksmi Hendrati and/ dan Siti Husna Nurrohmah ......................................... 13-20

3. PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH

TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT

MINDI (Melia azadarech Linn)

(The Effect of Seed Collection Time and Color Fruit to Germination Capacity

and Growth Seedling Mindi (Melia azadarech Linn))

Nurmawati Siregar dan/and Aam Aminah ................................................................ 21-30

4. TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN Mesua ferrea L. DAN

Swinglea glutinosa (Blanco) Merr.

(Storage Techniques of Recalcitrant Seeds: Mesua ferrea L. and Swinglea

glutinosa (Blanco) Merr.)

Dewi Ayu Lestari .................................................................................................. 31-44

5. PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI

EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON

(Pre Sterilization Effect towards the Success of the Initiation of Sengon Explant

Shoots)

Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan/and Yulianti

Bramasto ................................................................................................................ 45-54

6. PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP

PERKECAMBAHAN BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca

(Miq.) Dandy)

(Effect of Storage Condition and Periods on Seed Germination of Cempaka

Wasian (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy))

Arif Irawan dan/and Hanif Nurul Hidayah ............................................................... 55-65

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.1, Agustus 2019

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*232.326.1 Ganis Citra Purmadewi

1, Arum Sekar Wulandari

1 dan/and Ratna Uli Damayanti

2 (

1) Departemen

Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga, 2)

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan) PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 1-12

Aklimatisasi yaitu suatu upaya mengondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui

kultur jaringan ke lingkungan di luar botol. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh metode

pengakaran dan media aklimatisasi terhadap pertumbuhan planlet tembesu hasil kultur in vitro. Ada

dua percobaan yang dilakukan, yaitu (1) metode pengakaran (in vitro dan ex vitro) dan (2) jenis media

aklimatisasi (pasir 100 persen, cocopeat + sekam padi, pasir + cocopeat, pasir + sekam padi, dan pasir

+ cocopeat + sekam padi). Berdasarkan analisis data yang dilakukan dapat diketahui bahwa perlakuan

pengakaran berpengaruh nyata terhadap peubah pertumbuhan (persentase hidup dan jumlah akar)

pada tahap aklimatisasi tembesu. Persentase hidup planlet pada tahap aklimatisasi yang telah berakar

di dalam botol (in vitro) sebesar 80 persen dan planlet yang belum berakar (ex vitro) sebesar 75

persen, sedangkan pada tahap pasca aklimatisasi persentase hidup mencapai 75 persen untuk

pengakaran in vitro dan 67 persen untuk pengakaran ex vitro. Pengakaran in vitro memberikan

pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pengakaran ex vitro, tetapi tanaman hasil pengakaran ex

vitro lebih tahan terhadap stres. Media yang paling baik untuk aklimatisasi tembesu adalah media

pasir 100 persen.

Kata kunci : media aklimatisasi, pengakaran ex vitro, pengakaran in vitro

UDC/ODC 630*232.138 Rina Laksmi Hendrati and/dan Siti Husna Nurrohmah (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan) BREEDING FOR BETTER GROWTH OF Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING

LEGUME FOR WOOD-ENERGY

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 13-20

Short-rotation woody crops for renewable energy in anticipating decreasing fossil energy resources,

has been a great interest for tropical countries where rain and sunshine are abundant. Calliandra

calothyrsus, a multipurpose tree suitable for energy-wood is a very potential as short-rotation crop.

This nitrogen-fixing species can be utilized as energy-wood by planting once but is able to secure

annual harvest up to 15-20 years from its coppices. Beside that, this species supports earth vegetation

cover for mitigating climate change. This fast growing, high volume and quality species fulfills

requirement for energy needs as renewable wood biomass. In optimizing this role, its genetic

improvement was undertaken during 2011 - 2014 to obtain the best energy-wood individuals in

volume and quality. This study examined the growth-gain by comparing off spring of genetically

improved trees (5 families) selected in 2014 from progeny test in Wonogiri, Central Java, to five (5)

families from the unimproved ones. Significant differences on important growth characters have been

obtained at the age of 4-month plants ready for field plantation. Calliandra’s genetic improvement has

proven to increase the number of leaves, height, diameter and seedling quality up to 23.4 percent,

24.3 percent, 6.7 percent and 20 percent consecutively. More complete materials have been

established as realized genetic-gain trials in 2016. It is expected that similar trends will be realized in

the fields.

Keywords : Calliandra calothyrsus, energy-wood, genetic gain, improvement, plus trees

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.1, Agustus 2019

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630^232.318

Nurmawati Siregar dan/and Aam Aminah (Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan

Tanaman Hutan)

PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH TERHADAP DAYA

BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 21-30

Tanaman mindi (Melia azedarach Linn) merupakan jenis serba guna dan mempunyai prospek yang baik untuk

dikembangkan dalam program hutan tanaman. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan

hutan tanaman adalah penggunaan benih bermutu. Benih yang baik dapat diperoleh dengan memanen buah

yang masak fisiologis. Salah satu indikator yang umum dan sering digunakan untuk menentukan masak

fisiologis buah adalah perubahan warna kulit buah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh masak

fisiologis buah terhadap daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi. Rancangan penelitian yang

digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial, terdiri dari 2 faktor yaitu waktu pengunduhan dan

warna buah. Pengunduhan dilakukan 3 kali dengan selang waktu pengunduhan 10 hari. Warna kulit buah

dibedakan atas warna hijau, kuning dan cokelat. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 50 benih yang diulang

4 kali. Respons pertumbuhan yang diamati adalah: daya berkecambah, persen hidup bibit, tinggi bibit,

diameter bibit, panjang akar, berat kering, ratio tunas dengan akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna

buah berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi. Warna buah kuning dan

cokelat memberikan hasil terbaik untuk daya berkecambah, sedangkan untuk persen tumbuh bibit, tinggi bibit,

panjang akar berat kering dan rasio tunas akar warna buah kuning mempunyai nilai tertinggi. Untuk diameter

bibit warna buah hijau dan kuning lebih baik daripada warna buah yang cokelat. Pengunduhan buah mindi

sebaiknya dilakukan saat buah berwarna kuning pada setiap pengunduhan.

Kata kunci : benih, masak fisiologis, Melia azedarach Linn, pengumpulan

UDC/ODC 630*232.315

Dewi Ayu Lestari (Kebun Raya Purwodadi-Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, LIPI)

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa

(Blanco) Merr.

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 31-44

Mesua ferrea L. dan Swinglea glutinosa (Blanco) Merr. merupakan dua jenis tumbuhan dengan karakter benih

yang bersifat rekalsitran. Benih rekalsitran cenderung memiliki permasalahan pada penyimpanan karena tidak

tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama. Metode penyimpanan yang tepat menjadi sangat diperlukan

dalam usaha konservasi benih rekalsitran. Metode penyimpanan menggunakan 3 perlakuan yaitu media simpan,

waktu simpan dan ruang simpan yang dianalisis menggunakan rancangan faktorial dengan ulangan 2 kali.

Masing-masing kombinasi perlakuan diuji kadar air benih, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan benih.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkecambahan benih M. ferrea mampu dipertahankan hingga sebesar 55

persen― 90 persen jika disimpan dalam media penyimpanan botol kaca bersilika dan ruang penyimpanan di

suhu ruang maupun di dalam freezer, selama 2 bulan penyimpanan. Benih S. glutinosa memiliki persentase

perkecambahan dalam rentang 83,33 persen―93,33 persen setelah disimpan selama 1 bulan dalam suhu ruang,

dibungkus dengan aluminium foil atau dimasukkan ke dalam botol kaca bersilika dan disimpan di bawah suhu

freezer. Berdasarkan hasil pengujian tersebut maka kedua jenis benih yang diuji merupakan benih rekalsitran

yang tidak tahan disimpan dalam jangka waktu lama.

Kata kunci : benih, Mesua ferrea, penyimpanan, rekalsitran, Swinglea glutinosa

JURNAL PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

p-ISSN 2354-8568 Vol.7 No.1, Agustus 2019

e-ISSN 2527-6565

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh di copy tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*168

Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan/and Yulianti Bramasto (Balai Penelitian

dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan)

PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI EKSPLAN

YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON

J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 45-54

Sengon dikenal sebagai produk hutan yang memiliki berbagai manfaat. Permintaan pasar yang tinggi akan

sengon mendorong perlunya upaya budidaya yang berkelanjutan. Kultur jaringan merupakan salah satu metode

perbanyakan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu singkat. Salah satu faktor yang

mendukung keberhasilan perbanyakan adalah kesehatan bahan tanaman. Tujuan penelitian untuk mengetahui

pengaruh perlakuan prasterilisasi terhadap keberhasilan inisiasi organogenesis eksplan pucuk sengon. Metode

penelitian dilakukan dengan penyemprotan Pyraclostrobin 50 g.kg -1

+ Metiram 550 g.kg -1

dengan dosis 2.500

ppm pada bibit sengon di rumah kaca setiap 1 minggu sekali selama 3 bulan. Semua eksplan selanjutnya

ditanam pada media MS. Pengamatan 1 minggu sekali selama 12 minggu, meliputi jumlah kontaminasi

(bakteri, jamur), pencoklatan serta pemunculan tunas, akar, dan kalus. Data dianalisis dengan uji t. Tahapan

selanjutnya adalah multiplikasi dengan perlakuan : 24D 0,1 mM, 24D 0,5 mM, BAP 0,5 mM, BAP 2 mM, K

0,1 mM, K 0,5 mM, TDZ 0,1 mM, TDZ 0,5 mM, dan kontrol. Rancangan penelitian yang digunakan rancangan

acak lengkap (RAL). Data pengamatan multiplikasi dianalisis menggunakan analisis varian satu arah,

selanjutnya diuji dengan Duncan, taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan prasterilisasi

mampu mendukung keberhasilan inisiasi eksplan pucuk sengon, yang dicirikan dengan rendahnya tingkat

kontaminasi, meningkatnya jumlah kalus dan jumlah tunas eksplan. Penambahan kinetin 0,01 mM dalam

media multiplikasi pucuk sengon dapat meningkatkan tunas adventif.

Kata kunci : eksplan, kultur jaringan, Paraserianthes moluccana, planlet

UDC/ODC 630^232.318

Arif Irawan dan/and Hanif Nurul Hidayah (Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado)

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN BENIH

CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) J. Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No.1 p. 55-65

Cempaka wasian (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) merupakan salah satu jenis kayu pertukangan yang

banyak diminati masyarakat di Sulawesi Utara. Pengembangan jenis cempaka wasian terkendala oleh

ketidakmampuan benih untuk dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui kondisi dan periode simpan yang paling sesuai bagi benih cempaka wasian. Penelitian

menggunakan Rancangan Faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap dengan faktor utama adalah kondisi dan

periode simpan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peiode dan ruang simpan memberikan pengaruh terhadap

kadar air benih, laju perkecambahan, dan indeks vigor benih cempaka wasian, namun tidak berpengaruh

terhadap daya berkecambahnya. Kondisi simpan pada ruang AC (suhu 18oC―21

oC; kelembapan 51

persen―61persen) merupakan kondisi yang paling ideal untuk penyimpanan benih cempaka wasian. Benih

cempaka wasian termasuk dalam kategori benih intermediet karena perlakuan periode simpan selama 4 (empat)

minggu tidak memberikan pengaruh terhadap daya berkecambahnya walaupun kadar air benihnya telah

menurun.

Kata kunci : cempaka wasian, kondisi, periode, perkecambahan

PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)

Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti

*Kontribusi penulis: Ganis Citra Purmadewi sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.1-12 1

PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)

(The Effect of Rooting and Acclimatization Media on the Success of Acclimatization of Tembesu

(Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.))

*Ganis Citra Purmadewi

1, Arum Sekar Wulandari

1 dan/and Ratna Uli Damayanti

2

1)

Departemen Silvikultur,Fakultas Kehutanan, Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga, Jl. Meranti, Babakan, Dramaga, Kode Pos 16680, Bogor, Indonesia

2)Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 17 April 2018; Naskah direvisi: 19 September 2018; Naskah diterima: 21 November 2018

ABSTRACT

Acclimatization is an attempt to conditioning the plantlets or micro shoots propagated by tissue culture to the

environment outside the bottle. This study aims to know the effect of rooting and media acclimatization on the

growth of tembesu plantlets in vitro cultures. Two experiments were conducted, these were (1) rooting (in vitro

and ex vitro), and (2) type of acclimatization media ( 100% sand, cocopeat + rice husk, sand + cocopeat , sand,

rice husk, and sand + cocopeat + rice husk). Based on the data analysis rooting significantly affects the

variables growth (percentage of survival and the number of roots) at the acclimatization stage of tembesu.The

percentage of planlets survival in the acclimatization are 80percent for in vitro rooting and 75percent for ex

vitro rooting, while on stage after acclimatization percentage of survival are 75 percent for in vitro rooting and

67 percent for ex vitro rooting. In vitro rooting have a better growth than ex vitro rooting, but the plants grown

from ex vitro rooting are more resistant to stress. The best acclimatization media for tembesu is 100 percent of

sands.

Keywords: acclimatization media, ex vitro rooting, in vitro rooting

ABSTRAK

Aklimatisasi yaitu suatu upaya mengondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui kultur

jaringan ke lingkungan di luar botol. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh metode pengakaran dan

media aklimatisasi terhadap pertumbuhan planlet tembesu hasil kultur in vitro. Ada dua percobaan yang

dilakukan, yaitu (1) metode pengakaran (in vitro dan ex vitro) dan (2) jenis media aklimatisasi (pasir 100 persen,

cocopeat + sekam padi, pasir + cocopeat, pasir + sekam padi, dan pasir + cocopeat + sekam padi). Berdasarkan

analisis data yang dilakukan dapat diketahui bahwa perlakuan pengakaran berpengaruh nyata terhadap peubah

pertumbuhan (persentase hidup dan jumlah akar) pada tahap aklimatisasi tembesu. Persentase hidup planlet pada

tahap aklimatisasi yang telah berakar di dalam botol (in vitro) sebesar 80 persen dan planlet yang belum berakar

(ex vitro) sebesar 75 persen, sedangkan pada tahap pasca aklimatisasi persentase hidup mencapai 75 persen

untuk pengakaran in vitro dan 67 persen untuk pengakaran ex vitro. Pengakaran in vitro memberikan

pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pengakaran ex vitro, tetapi tanaman hasil pengakaran ex vitro lebih

tahan terhadap stres. Media yang paling baik untuk aklimatisasi tembesu adalah media pasir 100 persen.

Kata kunci : media aklimatisasi, pengakaran ex vitro, pengakaran in vitro

I. PENDAHULUAN

Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)

merupakan salah satu jenis dari famili

Gentianaceae yang memiliki wilayah

penyebaran alami sangat luas. Tembesu

tersebar mulai dari Indomalaysia sampai ke

Birmania (Jonville et al., 2008) sedangkan di

Indonesia tembesu tumbuh tersebar secara

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

2

alami di beberapa wilayah seperti Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku,

dan Irian Jaya (Mindawati, Nurohmah &

Akhmad, 2014). Secara ekologi, tembesu

merupakan jenis tanaman pionir yang dapat

tumbuh di areal bekas terbakar dan padang

rumput, sedangkan secara ekonomi kayu

tembesu dapat digunakan untuk kayu

konstruksi bangunan, jembatan, tiang listrik,

dan furniture serta bagian kulit batang dan daun

dari jenis ini dapat digunakan sebagai obat-

obatan (Putra,Manuri,Heriyanto & Sibagariang,

2011).

Sumber utama kayu tembesu saat ini masih

mengandalkan tegakan alam. Akan tetapi,

belum ada upaya budidaya yang dilakukan

masyarakat sehingga populasi tembesu di alam

terus menurun. Perbanyakan tembesu dapat

dilakukan secara generatif maupun vegetatif.

Perbanyakan vegetatif yang dapat dilakukan

salah satunya adalah dengan teknik kultur

jaringan. Salah satu tahap yang menentukan

keberhasilan budidaya tanaman dengan teknik

kultur jaringan adalah aklimatisasi, yaitu suatu

upaya mengondisikan planlet atau tunas mikro

hasil perbanyakan kultur jaringan ke

lingkungan di luar botol atau pembiasaan

tanaman eksplan dari media botol ke media

tanah (Yuliarti, 2010). Syarat media

aklimatisasi secara umum adalah tidak menjadi

sumber penyakit bagi tanaman, memiliki aerasi

dan drainase yang baik, cukup halus, dan dapat

memegang air dengan baik.Media yang dapat

digunakan untuk aklimatisasi contohnya adalah

sekam bakar, cocopeat, serbuk pakis, dan moss

(Sandra, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk

mengkaji pengaruh metode pengakaran dan

jenis media aklimatisasi terhadap keberhasilan

aklimatisasi tembesu hasil kultur in vitro.

II. BAHAN DAN METODE

A. Alat dan Bahan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Februari sampai dengan Oktober 2017.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur

Jaringan dan Rumah Kaca Departemen

Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut

Pertanian Bogor.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah eksplan steril sebanyak 2 botol dari

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Perbenihan Tanaman Hutan (BP2TPTH) Bogor

berumur 3 bulan dan 4 bulan, tissue, plastik

wrap, pasir, cocopeat, sekam padi, dan pupuk

daun. Bahan kimia yang digunakan yaitu

komponen media dasar Murisage and Skoog

(MS), zat pengatur tumbuh (ZPT) berupa 6-

benzylaminopurine (BAP) dan naphthalene

acetic acid (NAA). Bahan sterilan yaitu

fungisida (bahan aktif: benomil 50,4 persen,

bakterisida (bahan aktif: streptomisin sulfat 20

persen), alkohol 70 persen dan aquades steril.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian

ini adalah botol kultur, gelas ukur, labu ukur,

PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)

Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti

3

cawan petri, pipet, sendok pengaduk, gunting,

pinset, skalpel, bunsen, sprayer, pH meter,

timbangan analitik (ketelitian 10-4

), magnetic

stirrer dan hot plate, oven, autoklaf, laminar

air flow cabinet (LAFC), ruang

transfer/subkultur, ruang kultur, pot tray, dan

sungkup.

B. Prosedur Penelitian

1. Sterilisasi alat, bahan, dan lingkungan

kerja

Alat-alat logam (pinset dan skalpel), cawan

petri, botol kultur serta bahan seperti tissue

dibungkus kertas atau plastik disterilkan

menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC selama

15 menit. Alat-alat disimpan dalam oven

dengan suhu 60°C sampai alat tersebut akan

digunakan. Alat logam disterilisasi sesaat

sebelum digunakan dengan dicelupkan ke

dalam alkohol 70 persen lalu dipanaskan di atas

bunsen yang menyala untuk memperkecil

kemungkinan adanya kontaminasi.

Kegiatan multiplikasi dilakukan dalam

LAFC yang sebelumnya telah disemprot

alkohol 70 persen pada permukaan dan

dindingnya. Tangan pekerja disterilisasi dengan

menyemprotkan alkohol 70 persen dan selalu

menggunakan jas laboratorium serta masker di

ruang kultur untuk menghindari kontaminasi

yang berasal dari pekerja.

2. Penyediaan air steril dan pembuatan

media

Air yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan air mineral yang disterilkan dalam

autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit. Air

steril disimpan dalam ruang penyimpanan

kultur. Media yang digunakan dalam kegiatan

multiplikasi tembesu adalah media modifikasi

MS dengan kandungan nitrogen sebesar 60

mmol dan perbandingan NO3:NH4+ = 3:1 (v/v)

(MS N60) ditambah dengan BAP sebanyak 0,1

ppm, sedangkan media yang digunakan pada

tahapan elongasi dan pengakaran in vitro

adalah media ½ MS ditambah dengan arang

aktif 1 g.l-1

(Damayanti et al., 2017). Media

disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu

121°C selama 20 menit, kemudian disimpan

dalam ruang kultur.

3. Multiplikasi, elongasi, dan aklimatisasi

Multiplikasi dilakukan dengan cara

memindahkan seluruh bagian (daun dan tunas)

yang telah dipotong setiap ruasnya ke dalam

media MS N60 ditambah dengan BAP

sebanyak 0,1 ppm (Ardiansyah, 2015).

Elongasi dilakukan pada tunas hasil

multiplikasi yang ditanam dalam media ½ MS

ditambah dengan arang aktif 1 g.l-1

media.

Aklimatisasi dilakukan dalam 2 percobaan,

yaitu percobaan pertama untuk

membandingkan metode pengakaran yang lebih

tepat digunakan pada tahap aklimatisasi

tembesu, serta percobaan kedua untuk

mengkaji jenis media yang paling tepat

digunakan pada tahap aklimatisasi tembesu.

Percobaan 1

Media yang digunakan adalah pasir 100

persen yang telah disterilisasi menggunakan

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

4

autoklaf. Planlet yang dipilih adalah planlet

dengan tinggi lebih dari 2 cm, yang telah

berakar dan yang belum berakar pada tahap

elongasi. Planlet dikeluarkan dari ruang

inkubasi selama 2 hari―3 hari untuk

menyesuaikan kondisi dari ruangan ber-AC.

Planlet dikeluarkan dari botol kultur, kemudian

dicuci dengan air sampai media yang

menempel hilang. Planlet yang telah bersih

direndam dalam larutan bakterisida dan

fungisida masing-masing sebanyak 1 g.l-

1selama 15 menit, kemudian ditanam dalam

media aklimatisasi dan ditutup dengan sungkup

plastik. Wadah aklimatisasi yang digunakan

adalah pot tray dengan 24 kotak tanam, dalam

setiap lubang ditanam 1 eksplan. Percobaan

pertama dilakukan dengan menggunakan

rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu

faktor yaitu metode pengakaran. Metode

pengakaran terdiri atas 2 taraf yaitu pengakaran

di dalam botol (in vitro) dan di luar botol (ex

vitro). Masing-masing perlakuan diulang

sebanyak 4 kali, 1 ulangan terdiri atas 6 planlet.

Percobaan 2

Percobaan kedua dilakukan dengan

tahapan yang hampir sama dengan percobaan

pertama. Planlet yang digunakan adalah planlet

yang belum berakar hasil tahap elongasi.

Planlet yang telah direndam dengan bakterisida

dan fungisida, selanjutnya bagian pangkalnya

direndam menggunakan ZPT NAA 0,5 g.l-1

selama 15 menit. Planlet yang telah direndam

menggunakan NAA selanjutnya ditanam

dengan perlakuan jenis media yaitu:

M1 = pasir 100 persen

M2 = kombinasi cocopeat dan sekam padi

dengan perbandingan 2:1 (v/v)

M3 = kombinasi pasir dan cocopeat dengan

perbandingan 2:1 (v/v)

M4 = kombinasi pasir dan sekam padi dengan

perbandingan 2:1 (v/v)

M5 = kombinasi pasir, cocopeat, dan sekam

padi dengan perbandingan 2:1:1 (v/v).

Percobaan dilakukan menggunakan

rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu

faktor yaitu jenis media aklimatisasi. Jenis

media aklimatisasi terdiri atas 5 taraf dengan

masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6

kali, 1 ulangan terdiri atas 4 planlet.

4. Pemeliharaan

Pot tray ditutup dengan sungkup plastik

dan diletakkan di bawah naungan pinus.

Penyiraman secara langsung dilakukan saat

sebelum penanaman, selanjutnya dilakukan

secara fogging untuk mempertahankan

kelembaban. Pupuk yang digunakan adalah

pupuk daun dengan konsentrasi 2 g.l-1

air.

Pemberian pupuk dilakukan satu minggu sekali

menggunakan handsprayer. Suhu dan

kelembaban diukur setiap hari pada pukul

08.00 WIB―09.00 WIB, 12.00 WIB―13.00

WIB, dan 16.00 WIB―17.00 WIB dengan

suhu lingkungan rata-rata pada penelitian

PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)

Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti

5

adalah 25°C―29

°C dan kelembaban relatif 92

persen. Sungkup dibuka secara bertahap mulai

dari planlet berakar dan disesuaikan dengan

kondisi tanaman (layu atau tidak).

C. Analisis Data

Data yang diperoleh dari pengamatan diuji

dengan analisis ragam (uji F). Perbedaan yang

berpengaruh nyata pada uji F diuji lanjut

dengan menggunakan Duncan Multiple Range

Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5 persen.

Pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan software SAS versi 9.1.3

portable.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Metode Pengakaran. Berdasarkan

pengamatan yang dilakukan selama 12 minggu

aklimatisasi, didapatkan hasil yang kemudian

dianalisis menggunakan analisis ragam

(ANOVA).

Tabel 1 menunjukkan bahwa faktor metode

pengakaran berpengaruh terhadap pertumbuhan

planlet hasil kultur jaringan pada tahap

aklimatisasi terutama pada peubah persentase

hidup dan jumlah akar primer. Persentase hidup

planlet yang telah berakar di dalam botol (in

vitro) sebesar 80 persen sedangkan planlet yang

belum berakar (ex vitro) memiliki persentase

75 persen. Planlet yang hidup hingga akhir

pengamatan seluruhnya telah berakar dan

bertunas. Hal ini menunjukkan bahwa

aklimatisasi tanaman tembesu (baik pengakaran

in vitro atau ex vitro) memiliki keberhasilan

yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya yang hanya mencapai

persentase hidup tertinggi sebesar 53 persen

(Damayanti et al., 2017).

Tabel (Table) 1. Pengaruh pengakaran terhadap persentase hidup, persentase berakar, persentase

bertunas, waktu muncul tunas, jumlah akar, dan panjang akar tembesu (The effect of

rooting on the percentage of survival, percentage of rooting, percentage of

shooting, number of root, and root length of tembesu)

Peubah pengamatan/

Variable of observation

Pengakaran/Rooting

in vitro ex vitro

Persentase hidup (Percentage of survival) (%) 80,00a 75,00

b

Persentase berakar (Percentage of rooting) (%) 100,00a

100,00a

Persentase bertunas (Percentage of shooting) (%) 100,00a

100,00a

Waktu muncul tunas (Time of shooting) (minggu ke-) (week to) 2,95a

3,76a

Jumlah akar (Number of root) 4,90a 2,90

b

Panjang akar (Root length) (cm) 5,55a 4,40

a

Keterangan (Remarks): Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

uji Duncan nilai-p < α (0.05) (Number followed by the same letter in the same row are not

significanly different based on Duncan test at p-value < α (0.05)).

Waktu muncul tunas pada perlakuan

pengakaran secara in vitro dan ex vitro tidak

berbeda nyata. Akan tetapi, berdasarkan rata-

rata waktu muncul tunas, pada planlet hasil

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

6

pengakaran in vitro lebih cepat kemunculan

tunasnya (minggu ke-2 sampai minggu ke-3)

dibandingkan dengan planlet yang belum

berakar (minggu ke-3 sampai minggu ke-4).

Planlet yang dilakukan pengakaran secara ex

vitro mulai muncul akar pada 2 MST, sehingga

waktu munculnya tunas lebih lambat

dibandingkan dengan planlet yang telah berakar

di dalam botol (in vitro).

Pembukaan sungkup dilakukan secara

bertahap setelah seluruh tanaman berakar, yaitu

pada 3 MST. Pada awal pembukaan sungkup,

planlet hanya bertahan sekitar 1 jam kemudian

layu. Sungkup dapat terbuka sepenuhnya saat

planlet berumur 9 MST, akan tetapi planlet

masih membutuhkan naungan hingga akhir

pengamatan.

Gambar (Figure) 1. Pengamatan akar tembesu : (a) perbandingan tunas dan akar pada perlakuan

pengakaran ex vitro dan in vitro, (b) akar adventif pada pengakaran in vitro, dan

(c) akar adventif pada pengakaran ex vitro (Root observation of tembesu : (a)

comparison of roots and shoot of ex vitro and in vitro rooting, (b) adventitious

roots of in vitro rooting, (c) adventitious roots of ex vitro rooting)

Faktor metode pengakaran juga

berpengaruh nyata pada peubah jumlah akar

primer. Akar primer berupa akar adventif yang

dihasilkan pada perlakuan pengakaran secara in

vitro (4,90) lebih banyak dibandingkan dengan

perlakuan pengakaran secara ex vitro (2,90)

(Gambar 1a). Akar adventif adalah akar yang

berkembang dari pangkal batang (Aak, 2010).

Perlakuan pengakaran tidak berpengaruh nyata

pada peubah panjang akar. Planlet hasil

pengakaran secara in vitro memiliki jumlah

akar yang lebih banyak dan akar yang lebih

panjang (Gambar 1b) dibandingkan dengan

planlet hasil pengakaran secara ex vitro

(Gambar 1c). Setelah siap sapih, tanaman hasil

aklimatisasi dipindahkan ke polibag untuk

dipelihara menjadi bibit.

Berdasarkan pengamatan selama 4 minggu

(a)

(b)

(c) 3 cm

In vitro Ex vitro

0.5 cm

0.5 cm

PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)

Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti

7

setelah aklimatisasi, bibit tembesu hasil

pengakaran secara in vitro sudah mampu

bertahan di luar sungkup. Peubah pertumbuhan

yang diamati pada tahap aklimatisasi adalah

persentase hidup, jumlah akar, dan panjang

akar yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel (Table) 2. Pengaruh pengakaran terhadap persentase hidup, jumlah akar, dan panjang akar

tembesu pada tahap pasca aklimatisasi (The effect of rooting on the percentage of

survival, percentage of rooting, percentage of shooting, number of root, and root

length of tembesu at post acclimatization stage)

Peubah pengamatan/Variable of observation Pengakaran/Rooting

in vitro ex vitro

Persentase hidup (Percentage of survival) (%) 75,00a 67,00

b

Jumlah akar (Number of root) 7,30a

5,10b

Panjang akar (Root length) (cm) 6,45a

4,70b

Keterangan (Remarks): Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

uji Duncan nilai-p < α (0.05)(Number followed by the same letter in the same row are not

significanly different based on Duncan test at p-value < α (0.05)).

Berdasarkan data yang dihasilkan pada

Tabel 2, perlakuan waktu pengkaran berbeda

nyata pada peubah persentase hidup, jumlah

akar primer, dan panjang akar. Pengakaran in

vitro memiliki persentase hidup yang lebih

tinggi jika dibandingkan ex vitro. Perlakuan

pengakaran in vitro menghasilkan pertumbuhan

kuantitatif yang lebih baik dibandingkan

pengakaran ex vitro. Pengakaran in vitro juga

memiliki jumlah akar primer lebih banyak dan

akar yang lebih panjang dibandingkan

pengakaran ex vitro.

Media Aklimatisasi. Berdasarkan

pengamatan yang dilakukan selama 3 MST,

didapatkan hasil persentase hidup pada masing-

masing jenis media aklimatisasi yang dapat

dilihat pada Tabel 3. Perlakuan jenis media

pasir 100 persen memiliki persentase hidup

paling tinggi yaitu 42 persen, sedangkan

persentase hidup terendah pada perlakuan jenis

media cocopeat + sekam padi dan pasir + sekam

padi yaitu sebesar 16 persen.

Data pengamatan yang disajikan hanya

persentase hidup sampai planlet berumur 3 MST

karena pada 4 MST sebagian besar planlet mati

disebabkan oleh serangan cendawan dan

bakteri, sebelum planlet berakar dan bertunas.

Pada perlakuan jenis media pasir 100 persen,

planlet yang mati seluruhnya terserang oleh

bakteri dicirikan dengan planlet yang busuk

berlendir dan berbau busuk, sedangkan untuk

perlakuan jenis media yang lainnya, planlet

terserang oleh cendawan, dicirikan dengan

adanya miselium yang berasal dari media

maupun dari planlet tersebut. Hingga akhir

pengamatan percobaan 2 (12 MST) hanya satu

planlet yang masih dalam keadaan segar (daun

berwarna hijau) akan tetapi tidak tumbuh akar

maupun tunas, yaitu pada media cocopeat

ditambah dengan sekam padi.

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

8

Tabel (Table) 3. Pengaruh media aklimatisasi

terhadap persentase hidup

planlet tembesu 3 MST (The

effect of acclimatization

media on the percentage of

survival of tembesu planlet 3

weeks after planting)

Perlakuan (Treatments) Persentase hidup

(Percentage of

survival) (%)

Pasir 100% (sand 100%) 42

Cocopeat dan sekam padi

(cocopeat and rice husk)

16

Pasir dan cocopeat (Sand

and cocopeat)

33

Pasir dan sekam padi (Sand

and rice husk)

16

Pasir, cocopeat, dan sekam

padi (Sand, cocopeat, and

rice husk) 21

B. Pembahasan

Aklimatisasi adalah suatu upaya

mengondisikan planlet atau tunas mikro hasil

perbanyakan melalui kultur jaringan ke

lingkungan di luar botol atau pembiasaan

tanaman eksplan dari media botol ke media

tanah (Yuliarti, 2010). Oleh karena itu,

aklimatisasi memerlukan penanganan khusus,

bahkan diperlukan modifikasi terhadap kondisi

lingkungan terutama suhu, kelembaban, dan

intensitas cahaya. Suhu lingkungan rata-rata

pada penelitian adalah 25°C―29

°C dengan

kelembaban relatif 92 persen sehingga sesuai

untuk aklimatisasi. Menurut Silalahi, (2007)

lingkungan yang sesuai untuk tahap aklimatisasi

adalah lingkungan dengan suhu berkisar antara

27°C―29

°C dan kelembaban tinggi (>85

persen).

Metode Pengakaran. Berdasarkan

pengamatan yang dilakukan selama 12 MST,

perlakuan metode pengakaran berpengaruh

nyata terhadap peubah persentase hidup dan

jumlah akar. Planlet yang hidup hingga akhir

pengamatan seluruhnya telah berakar dan

bertunas. Menurut (Martin, 2002) keberhasilan

dan efektivitas aklimatisasi bergantung pada

persentase pengakaran dan kelangsungan hidup

planlet dalam kondisi lapangan. Oleh karena itu,

walaupun memiliki persentase hidup, persentase

berakar, dan persentase bertunas yang berbeda

nyata, aklimatisasi pada kedua perlakuan dapat

dinyatakan berhasil.

Akar pada perlakuan pengakaran ex vitro

mulai muncul pada 2 MST dan seluruh planlet

telah berakar pada 3 MST. Tunas pada

perlakuan pengakaran secara in vitro lebih cepat

muncul dibandingkan dengan perlakuan

pengakaran secara ex vitro. Hal ini

menunjukkan bahwa pada perlakuan

pengakaran ex vitro, akar terbentuk terlebih

dahulu dibandingkan dengan tunas. Jika tunas

yang tebentuk lebih dahulu, menggambarkan

bahwa pembentukan akar memerlukan senyawa

tumbuh yang mendukung untuk terbentuknya

primordia akar, yaitu hormon auksin yang

dihasilkan pada bagian pucuk tanaman.

Tanaman yang menghasilkan akar terlebih

dahulu menunjukkan bahwa auksin endogen dan

cadangan makanan pada tanaman masih cukup

untuk pembentukan akar (Sparta, Andini &

PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)

Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti

9

Rahman, 2012). Demastiti (2015) menyatakan

bahwa faktor tanaman yang mempengaruhi

keberhasilan hidup dan berakar antara lain

adalah macam bahan stek, kandungan bahan

makanan, umur bahan stek, dan kandungan zat

tumbuh. Cadangan makanan yang dimiliki oleh

tanaman telah mencukupi untuk pertumbuhan

tanaman hingga mampu berakar. Hal ini dapat

terjadi karena planlet tembesu masih

menyisakan daun yang merupakan organ

pembentuk karbohidrat melalui proses

fotosintesis. Selain itu, faktor yang dapat

mempengaruhi kemunculan akar adalah jenis

media pada tahap elongasi. Penambahan arang

aktif pada media ½ MS berperan untuk

merangsang muculnya akar, sehingga ketika

planlet yang belum berakar dipindahkan ke

media aklimatisasi, planlet langsung

membentuk akar dibandingkan dengan

pembentukan tunas.

Aklimatisasi pada percobaan 1 tidak

menggunakan penambahan ZPT auksin,

sehingga berdasarkan pengamatan, kandungan

auksin endogen pada planlet tembesu masih

mampu untuk menginduksi pembentukan akar

adventif. Keberadaan hormon endogen dan

auksin diperlukan dalam pembentukan akar dan

sel lainnya (Qurataayun, 2011). Pemberian

hormon eksogen dilakukan apabila hormon

endogen yang dimiliki oleh tanaman itu sendiri

tidak tercukupi.

Jumlah akar yang dihasilkan pada

pengakaran secara in vitro lebih banyak jika

dibandingkan dengan pengakaran secara ex

vitro. Hal ini disebabkan akar in vitro telah

dihasilkan terlebih dahulu pada media yang

mengandung nutrisi dan kondisi lingkungan

yang telah dimodifikasi dan sesuai untuk

pengakaran, sedangkan pengakaran secara ex

vitro dilakukan bersamaan dengan tahap

aklimatisasi dimana ketersediaan nutrisi media

yang sangat rendah (pasir 100 persen) sehingga

kurang mendukung untuk pertumbuhan akar.

Tanah pasir merupakan tanah yang tidak subur,

kandungan unsur hara rendah dan tidak

produktif untuk pertumbuhan tanaman

(Hanafiah, 2005).

Pemanjangan akar dipengaruhi oleh

kandungan hormon auksin pada tanaman.

Berdasarkan pengamatan pengakaran secara in

vitro (tahap elongasi dan pengakaran) auksin

endogen pada tembesu mampu membentuk

akar, akan tetapi memiliki persentase berakar

yang rendah. Auksin endogen mampu memicu

pembentukan akar pada perlakuan pengakaran

secara ex vitro, tetapi akar tidak

memanjang.Selain itu suplai nutrisi juga

berpengaruh dalam pengakaran. Suplai nutrisi

pada aklimatisasi diberikan dengan

menggunakan pupuk daun 1 g.l-1

Akan tetapi

pemberian pupuk juga belum efektif untuk

meningkatkan panjang akar. Hal ini

menunjukkan bahwa untuk meningkatkan

panjang akar dibutuhkan hormon tambahan dan

tambahan unsur hara dari luar yang dapat

memacu pemanjangan sel (pertambahan

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

10

panjang akar). Menurut penelitian Supriyono

(2008) intensitas pemupukan berpengaruh nyata

terhadap pertambahan volume dan panjang akar.

Akar yang dihasilkan pada pengakaran

secara in vitro maupun ex vitro berupa akar

sekunder. Akar sekunder ini memiliki peran

sebagai pemegang media tanam dan membuat

planlet tetap berdiri dan tidak mudah tumbang.

Hal ini menunjukkan bahwa akar sekunder yang

terbentuk pada planlet memiliki kesamaan peran

seperti akar primer. Akar yang tumbuh pada

aklimatisasi sama dengan akar yang tumbuh

pada stek pucuk tembesu, yaitu akar adventif

yang berbentuk akar sekunder, tetapi memiliki

fungsi sebagai akar primer (Ardiansyah, 2015).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan 1

minggu setelah planlet dipindahkan ke polibag,

seluruh tanaman hasil aklimatisasi tetap hidup.

Akan tetapi, tanaman perlakuan pengakaran in

vitro mengalami kelayuan setelah sungkup

dibuka selama 3 jam, sedangkan tanaman

perlakuan pengakaran ex vitro lebih tahan

terhadap pembukaan sungkup. Tanaman

pengakaran secara ex vitro lebih tahan terhadap

pembukaan sungkup mulai dari tahap

aklimatisasi. Hal ini menunjukkan bahwa

tanaman tembesu pengakaran secara ex vitro

lebih tahan terhadap stres dibandingkan dengan

pengakaran secarain vitro. Secara morfologi

tanaman hasil pengakaran ex vitro tampak kerdil

dan tunasnya pendek, akan tetapi lebih tahan

ketika dipindahkan ke lapangan. Oleh karena

itu, pengakaran secara ex vitro lebih

direkomendasikan untuk produksi skala besar.

Media Aklimatisasi. Berdasarkan

pengamatan yang dilakukan selama 3 MST,

jenis media pasir 100 persen memiliki persen

hidup paling tinggi, sedangkan media

cocopeat+sekam padi dan pasir+sekam padi

memiliki persentase hidup yang paling rendah.

Syarat media aklimatisasi secara umum adalah

tidak menjadi sumber penyakit bagi tanaman,

memiliki aerasi dan drainase yang baik, cukup

halus, dan dapat memegang air dengan baik

(Sandra, 2013).Hal ini menunjukkan bahwa

media pasir yang mempunyai keunggulan dalam

hal tekstur dan aerasi yang baik. Selain itu,

tingkat keberhasilan pembentukan akar lebih

ditentukan oleh sifat fisik media dibandingkan

dengan sifat kimia yang terkandung dalam

media, karena sifat fisik ini berkaitan dengan

ketersediaan air dan adanya kelancaran sirkulasi

udara dalam media yang dibutuhkan dalam

proses pembentukan akar (Sofyan & Muslimin,

2006).

Data pengamatan yang ditampilkan hanya

sampai 3 MST saja, karena setelah 3 MST

sebagian planlet tembesu mengalami kematian,

hanya satu planlet yang hidup pada 12 MST,

tetapi daun kekuningan dan planlet tidak

berakar. Kematian pada planlet tembesu

sebagian besar terjadi karena adanya serangan

cendawan dan bakteri. Bakteri menyerang

planlet yang ditanam pada media pasir 100

PENGARUH METODE PENGAKARAN DAN MEDIA AKLIMATISASI TERHADAP

KEBERHASILAN AKLIMATISASI TEMBESU (Fagraea fragrans (Roxb.) Miq.)

Ganis Citra Purmadewi, Arum Sekar Wulandari dan Ratna Uli Damayanti

11

persen, ditandai dengan pembusukan pada

pangkal batang yang menyentuh media, berbau

seperti kol busuk, serta berlendir. Fungi

menyerang planlet yang ditanam pada media

yang mengandung bahan organik. Hal ini

disebabkan bahan organik dapat menyimpan air,

sehingga mendukung pertumbuhan

mikroorganisme seperti fungi dan bakteri.

Penggunaan media semai yang memiliki

kapasitas penyimpanan air dan kandungan

bahan organik yang tinggi, dapat menimbulkan

kelembaban yang cukup tinggi sehingga rentan

terhadap serangan fungi (Purwanto & Priyanto,

2013).

IV. KESIMPULAN

Perlakuan pengakaran secara in vitro dan ex

vitro pada tahap aklimatisasi berpengaruh nyata

terhadap peubah pertumbuhan yaitu persentase

hidup dan jumlah akar tetapi tidak berpengaruh

nyata terhadap persentase berakar, persentase

bertunas, waktu muncul tunas, dan panjang

akar, sedangkan pada tahap pasca aklimatisasi

kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap

persentase hidup, jumlah akar, dan panjang

akar. Persentase hidup planlet pada tahap

aklimatisasi yang telah berakar di dalam botol

(in vitro) sebesar 80 persen dan planlet yang

belum berakar (ex vitro) sebesar 75 persen,

sedangkan pada tahap pasca aklimatisasi

persentase hidup mencapai 75 persen untuk

pengakaran in vitro dan 67 persen untuk

pengakaran ex vitro. Tanaman tembesu hasil

aklimatisasi pada perlakuan pengakaran in vitro

menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik

dibandingkan perlakuan pengakaran ex vitro.

Pengakaran secara ex vitro dapat dilakukan

tanpa penambahan ZPT. Media aklimatisasi

yang paling baik digunakan adalah media pasir

100 persen. Media yang mengandung bahan

organik, terutama cocopeat, mampu menyimpan

air yang sangat banyak sehingga tidak

direkomendasikan karena mudah terserang oleh

fungi dan bakteri.

Penambahan ZPT auksin perlu dilakukan

pada tahap pengakaran in vitro untuk

mempercepat pengakaran. Pengakaran ex vitro

lebih direkomendasikan untuk produksi bibit

skala besar. Perlu dilakukan penelitian lanjutan

terhadap media aklimatisasi, terutama media

aklimatisasi yang tidak mengandung bahan

organik untuk mengetahui jenis media yang

paling tepat digunakan pada aklimatisasi

tanaman tembesu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis sampaikan kepada

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi

Perbenihan Tanaman Hutan (BP2TPTH) Bogor

atas bantuan sampel kultur steril tembesu

(Fagraea fragrans).

DAFTAR PUSTAKA

Aak. (2010). Seri Budi Daya Jagung. Yogyakarta:

Kanisius.

Ardiansyah, R. (2015). Mikropropagasi tembesu

(Fagraea fragrans Roxb.). Skripsi. Bogor:

Jurnal PerbenihanTanaman Hutan Vo.l 7 No. 1 Agustus 2019:1-12

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

12

Institut Pertanian Bogor.

Damayanti, R.U., Supriyanto, Wulandari, A.S., &

Subandy, B. (2017). Regenerasi tunas adventif

dari eksplan daun tembesu (Fagraea fragrans

Roxb.) melalui teknik kultur jaringan. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 14(1),1–17.

Demastiti, K. (2015). Stek pucuk binuang bini

(Octomeles sumatrana Miq.) dengan perlakuan

media tanam dan pemberian zat pengatur

tumbuh. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

Hanafiah, K. A. (2005). Dasar-Dasar Ilmu Tanah.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jonville, M.C., Capel, M., Michel, F., Luc, A.,

Georges, D., Robert, F., Nadine, A., & Evelyne

O. (2008). Fagraldehyde, a secoiridoid isolated

from Fagraea fragrans. J Nat Prod, 71,2038–

40.

Martin, K.P. (2002). Rapid in vitro multiplication

and ex vitro rooting of Rotula aquatica Lour., a

rare rhoeophytic woody medicinal plant. Plant

Cell Rep, 21,415–20.

Mindawati, N., Nurohmah, H.S., & Akhmad, C.

(2014). Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera.

Bogor: Forda Press.

Purwanto, B.S. & Priyanto, E. (2013). Identifikasi

jamur penyebab penyakit pada stek gemor

(Nothaphoebe coriacea Kosterm). Gelam,

VI(1),7–13.

Putra, C.A.S., Manuri, S., Heriyanto, & Sibagariang,

C. (2011). Pohon-Pohon Hutan Alam Rawa

Gambut Merang. Palembang: MRPP-GIZ.

Qurataayun, R.A. (2011). Respon pemangkasan dan

kemampuan perakaran stek pucuk jabon

(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) dan

longkida (Nauclea orientalis (L.) L.). Skripsi.

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sandra, E. (2013). Cara Mudah Memahami dan

Menguasai Kultur Jaringan Skala Rumah

Tangga. Bogor: IPB Press.

Silalahi, N.A.D.R. (2007). Respon kombinasi iba

dan naa terhadap pertumbuhan akar tanaman

gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) secara in

vitro dan aklimatisasinya. Skripsi. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Sofyan, A. & Muslimin, I. (2006). Pengaruh Asal

Bahan dan Media Terhadap Pertumbuhan Stek

Batang Tembesu (Fagraea fragrans Roxb).” in

Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian

Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumber

daya Hutan. Palembang: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peningkatan Produktivitas

Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Kementrian Kehutanan.

Sparta, A., Andini, M., & Rahman, T. (2012).

pengaruh berbagai panjang stek terhadap

pertumbuhan bibit buah naga (Hylocereus

polyryzus). Retrieved October 23, 2017

(http//bengkulu.litbang.

pertanian.go.id/ind/images/dokumen/hortikultur

a/balaitanamanbuahtropika.pdf).

Supriyono. (2008). Pengaruh macam media dan

intensitas pemupukan terhadap pertumbuhan

bibit tanaman anthurium gelombang cinta

(Anthurium plowmanii). Skripsi. Surakarta:

Universitas Sebelas Maret.

Yuliarti, N. (2010). Kultur Jaringan Tanaman Skala

Rumah Tangga. Yogyakarta: Lily Publisher.

BETTER GROWTH Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING

LEGUME FOR WOOD-ENERGY

Rina Laksmi Hendrati and Siti Husna Nurrohmah

*Author contributions: Rina Laksmi Hendrati is the main contributor of the work and this paper

©2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.13-20 13

BREEDING FOR BETTER GROWTH OF Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST

GROWING LEGUME FOR WOOD-ENERGY

(Pemuliaan Perbaikan Pertumbuhan Calliandra calothyrsus Meissn., Tanaman Cepat Tumbuh

Jenis Legum Untuk Kayu Energi)

*Rina Laksmi Hendrati and/ dan Siti Husna Nurrohmah

Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement Research and Development,

Indonesian Ministry of Environment and Forestry, Jl. Palagan T. Pelajar km 15, Telp: +62-0270-896080,

895954. Fax. +62-0270-896080Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Indonesia

e-mail : [email protected]

Paper submitted: July 6th

of 2018; Paper revised: September 19th of 2018; Paper accepted: 21

st Nopember of 2018

ABSTRAK

Tanaman berkayu rotasi pendek untuk energi terbarukan yang dapat mengantisipasi penurunan energi fosil,

telah menarik minat negara-negara tropis yang memiliki kadar hujan dan sinar matahari yang melimpah.

Calliandra calothyrsus, sejenis pohon multifungsi yang cocok untuk kayu energi sangat potensial sebagai

tanaman rotasi pendek. Tanaman pengikat nitrogen ini mampu menyediakan sumber energi dengan hanya

menanam sekali namun bisa dipanen tahunan hingga 15-20 tahun dari trubusannya. Selain itu, tanaman ini

menunjang penutupan vegetasi untuk mitigasi perubahan iklim. Jenis cepat tumbuh, bervolume dan

berkualitas tinggi merupakan prasyarat sebagai energi biomasa dari kayu. Dalam rangka mengoptimalkan

tujuan ini, pemuliaannya telah dilakukan pada tahun 2011 - 2014 untuk mendapatkan individu terbaik dalam

hal volume dan kualitas. Dalam kajian ini perbaikan pertumbuhan dengan membandingkan anakan-anakan

dari pohon unggul (5 famili) yang diseleksi tahun 2014 dari uji keturunannya di Wonogiri, Jawa Tengah,

terhadap lima (5) famili dari yang tidak dimuliakan, dilakukan. Perbaikan karakter pertumbuhan telah

ditunjukkan sangat nyata berbeda pada tanaman siap tanam di lapangan umur 4 bulan. Pemuliaan

Calliandra telah terbukti meningkatkan jumlah daun, tinggi tanaman, diameter dan kualitas semai hingga

23,4 persen, 24,3 persen, 6,7 persen dan 20 persen secara berturutan. Materi yang lebih komplit telah

ditanam sebagai uji perolehan genetik pada tahun 2016. Diharapkan kecenderungan yang serupa juga akan

dapat diperoleh setelah penanaman di lapangan dilakukan.

Kata Kunci : Calliandra calothyrsus, kayu energi, pohon plus, pemuliaan, perolehan genetik

ABSTRACK

Short-rotation woody crops for renewable energy in anticipating decreasing fossil energy resources, has been

a great interest for tropical countries where rain and sunshine are abundant. Calliandra calothyrsus, a

multipurpose tree suitable for energy-wood is a very potential as short-rotation crop. This nitrogen-fixing

species can be utilized as energy-wood by planting once but is able to secure annual harvest up to 15-20

years from its coppices. Beside that, this species supports earth vegetation cover for mitigating climate

change. This fast growing, high volume and quality species fulfills requirement for energy needs as

renewable wood biomass. In optimizing this role, its genetic improvement was undertaken during 2011 -

2014 to obtain the best energy-wood individuals in volume and quality. This study examined the growth-gain

by comparing off spring of genetically improved trees (5 families) selected in 2014 from progeny test in

Wonogiri, Central Java, to five (5) families from the unimproved ones. Significant differences on important

growth characters have been obtained at the age of 4-month plants ready for field plantation. Calliandra’s

genetic improvement has proven to increase the number of leaves, height, diameter and seedling quality up

to 23.4 percent, 24.3 percent, 6.7 percent and 20 percent consecutively. More complete materials have been

established as realized genetic-gain trials in 2016. It is expected that similar trends will be realized in the

fields.

Keywords: Calliandra calothyrsus, energy-wood, plus trees, genetic gain, improvement

I. INTRODUCTION

Development of short-rotation wood crops

for renewable energy which is expected to

anticipate the running down of fossil energy

resources, has been of great interest especially

in tropical countries where its growth can be

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 13-20

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

14

optimized due to abundance of rain and

sunshine (Openshaw, 2010). Further,

maximum growth can be encouraged by

proper management of water supply, fertilizer,

reduction of plant competitions, and pest and

diseases problems. Nevertheless, the need of

selective breeding that can produce genetically

improved individuals meant for biomass and

quality production is very vital (Zalesny,

Zalesny, McMahon, Berguson & Stanosz,

2009).

Species grown for sustainable short-

rotation energy plantation is expected to

provide wood biomass supply, great carbon

storage, acceptable fossil fuel substitution,

environment services and economic

improvement for local communities (Dwiyedi

& Khanna, 2014; Murtala, Aliyu & Babagana,

2012; Oliver, Nassar, Lippke & McCarter

2014). Such targeted advantages can also be

found in Calliandra calothyrsus. A series of

breeding program for this species was initiated

in 2010. Plus trees selection was carried out in

2014, covering 10 populations from

throughout Indonesia. The main selection

criteria were volume and quality firewood

energy. Calliandra is a very fast growing

legume species which is able to fix nitrogen

and reach the growth up to 2 m just within 2-3

months in the field. This species has been

widely used as firewood for energy source

particularly by small industries and villagers.

Harvesting Calliandra for energy wood would

only require branches or coppices after being

cut at particular level in order to secure the

main stem to continuously coppicing annually

up to 15-20 years (Hendrati, 2015a; Hendrati

& Nurrohmah, 2016).

Through genetic improvement, tree

growth can be enhanced optimally beside

improving the wood-energy quality, and

consequently obtaining a higher and better

quality biomass compared to the unimproved

ones. It is therefore genetically improved

Calliandra is promising to produce individuals

for maximizing climate change mitigation.

This is because of its abilities like several

other plants in capturing carbon due to its

very fast growing, reducing the use of fossil

fuel since it performs as carbon neutral

renewable energy for substitution, sustaining

land cover due to harvesting only from the

branches and coppices but maintaining the

main trees to keep growing, ameliorating soil

from its ability to fix nitrogen from the

atmosphere, producing green manure from its

easily degraded leaves and also helping

farmers in providing fodder for cattle (Mugwe,

Mgendi, Kungu & Muna, 2009; Rowe,

Hanley, Goulson, Clarke, Doncaster & Taylor,

2011; Tock, Lai, Lee, Tan & Bhatia, 2010;

Zhang, Wang,Wang & Quan, 2009).

This paper discusses about genetic

improvement resulting from Calliandra

BETTER GROWTH Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING

LEGUME FOR WOOD-ENERGY

Rina Laksmi Hendrati and Siti Husna Nurrohmah

15

breeding program. Gain on growth in the

nursery is assessed by comparing

performances of genetically improved

individuals with the unimproved ones. More

complete materials are currently grown in the

field as materials for assessment the realized

gain for growth and quality in the field.

II. MATERIALS AND METHODS

A. Materials

Experiment was carried out in the nursery

belongs to the Centre for Forest Biotechnology

and Tree Improvement Research and

Development Yogyakarta, since September

2015. Improved seeds were collected from

genetically improved individuals from

Seedling Seed Orchard converted from the

progeny test, in Wonogiri Central Java in July

2015.

Improved seeds were collected from

improved individuals that had been selected

from the progeny test which was established in

2012, in Wonogiri Central Java. They are

family number 16, 22, 29, 56 and 58.

Unimproved seeds were the seeds collected

during the breeding program (2011-2014)

from throughout Indonesia but not included in

the progeny test. Those 5 unimproved

individuals consist of family number 365, 372,

374, 376 and 375 which were prepared as

control. All seeds were germinated in October

2015. Seeds were treated by soaking in hot

water (±90ºC) overnight. The next day, the

swollen seeds were spread evenly into sterile

sands in the containers and cover them with

sprinkle of sands over their top before leaving

them to germinate. Transplanting of

germinated seeds was carried out after 1-2

weeks when the first leaves emerged, by

inserting them into polybag 10 cm X 15 cm

containing media of topsoil: compost = 3: 1.

Seedlings of C. calothyrsus were raised up to

4 months, the age that is ready for planting in

the field. Basic equipment used in this

experiment are digital balance, counter,

caliper, long ruler, camera, calculator and

stationary etc.

B. Research Design

A number of 125 seedlings from 5

improved individuals (16, 22, 29, 56 and 58)

were selected randomly from ±250 seedlings

with similar proportion per family, then bulked

and used to represent genetically improved

seedlings. Further, a number of 90 seedlings

from unimproved 5 families (365, 372, 374,

376 and 375) from around 180 seedlings were

selected randomly then bulked and used as

representative of the unimproved ones.

C. Observation and Analyses

Assessments began when seedlings are

ready for field planting which is 4 months.

Comparison between both group, the improved

and unimproved ones, were carried out in

term of growth consisting of height, diameter,

number of leaf and seedling quality. Results of

both groups were compared and tested by

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 13-20

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

16

using T- test to see the differences.

Meanwhile, the gain is calculated as the

increase percentage from the improved

seedlings against the unimproved dones. III. RESULTS AND DISCUSSION

A. Results

Comparison of growth characters between

the selected genotypes and the unimproved

ones, have proven better growth for the

improved than the unimproved ones (Table 1).

All characters of the improved genotypes are

much higher in values than those of the

unimproved one and both groups demonstrate

high significant differences (p <0.0001).

Table (Table) 1. Comparison of growth characters between seedlings from genetically improved

Calliandra and unimproved genotypes (Perbandingan karakter pertumbuhan

antara semai tanaman unggul Calliandra dan yang tidak unggul)

Traits (Perlakuan) Improved

(Unggul)

(n = 125)

Unimproved

(Tidak unggul)

(n = 90)

Gain

(Perolehan)

(%)

Number of leaf (Nomor daun)*** 9.5 7.7 23.4

Height (Tinggi) (cm) *** 62.4 50.2 24.3

Diameter (mm) *** 4.8 4.5 6.7

Seedling Quality (Kualitas bibit) *** 13.8 11.5 20 Remarks (Keterangan ) : *** significant differences (perbedaan nyata) (p<0.0001)

Number of leaves of the seedlings have

increased up to 23.4 percent, while the height

has been better up to 24.3 percent. Diameter, a

character which has a much narrow range in

seedlings than height, indicated less

percentage of improvement which is 6.7

percent. At the nursery level, the results show

that the improved seedlings show seedling

quality value of 20 percent higher than the

unimproved ones. Visual differences in

performances of seedlings representing each of

the two groups can be observed clearly in

Figure 1.

Figure (Gambar) 1. Performances of

Calliandra calothyrsus

seedlings representing

improved (4 on the left) and

unimproved genotypes (4 on

the right) (Penampilan semai

Calliandra calothyrsus yang

mewakili tanaman unggul (4

sebelah kiri) dan genotip yang

tidak unggul (4 sebelah

kanan))

BETTER GROWTH Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING

LEGUME FOR WOOD-ENERGY

Rina Laksmi Hendrati and Siti Husna Nurrohmah

17

B. Discussion

Individuals of the improved genotypes

used in this study were individuals that had

been selected based on volume and best

diameter of the main stem to approach wood

quality (Hendrati, 2015b). Therefore, we

expect that the genetically improved

individuals would have better growth than

those that are not selected. Improvement for

higher volume is considered to be more

advantageous for fast growing woody species

that is meant for energy, because increasing

higher biomass for larger plant will save the

processing cost (Dermibas, 2011). Hence,

genetic improvement is aimed to fulfill this

necessity. Better performances of the

improved genotypes verify the beneficial

improvement and appropriate achievement

obtained from the effects of selections during

the breeding process. Therefore breeding

efforts carried out for this species is worth to

be undertaken.

The growth increment gained from tree

improvement program of Calliandra assessed

at 4 months seedling, has demonstrated

encouraging results. This assessment carried

out in this nursery is expected to reveal

maximum genetic effect and minimum bias

due to the uniform environment at nursery

environment. Each character has shown

different percentages of upgrading after 4

years of breeding process by applying 3 series

of selections based on best volume and bigger

diameter of the main stem (Hendrati, 2015b).

Number of leaves and height are two

characters that developed progressively in

plants during the seedling stage (Pallardy,

2008), so both traits will be projected to

greatly influence its consecutive growth up to

the adult stage. Proliferation number of leaves

will surely enhanced a much more effective

photosynthesis rate than the unimproved ones

(Terashima, Fujita, Inoue, Chow & Oguchi,

2009),

Meanwhile, higher diameter is expected to

affect higher wood biomass quality for energy.

This refers to study on Calliandra which was

analyzed during its breeding process, in which

its diameter have positive relationships with its

wood quality which is the lignin content (r=

0.4, p <0.05) and even more with its calorific

value (r=0.62, p<0.01) (Hendrati, 2015a).

Lignin is important for energy wood especially

when it will be processed for wood pellet,

direct firing and co-firing (Hinchee, Rottmann,

Mullinax & Nehra, 2009), while calorific

value is essential character indicating heat

energy content. Higher diameter resulted from

genetic improvement is expected to be

expressed at more mature age. Together with

height, diameter would form a much better

individuals with higher volume in biomass.

According to SNI 1999 standard (Danu,

Rohadi, D & Nurhasybi, 2006), an increment

of seedling quality values that occurred from

11.5 to 13.8 means reduction from first class

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 13-20

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

18

into the second class. This is due to much

proportion of seedling height compared to its

diameter. While for this species, the

advantage obtained from its genetic

improvement is that it will be shorter in time

to get similar size of seedling in the nursery

ready for field plantation (about 30-40 cm in

height and >4mm in diameter). This will save

the period of around 1-1.5 months, so saving

the cost, if using genetically improved

genotypes.

Selection carried out in this breeding

process has proven to provide advantages with

better individuals in growth. However, this

needs to be tested further in the field where

edaphic variations and interactions with

environment would likely to occur. Therefore,

like any conventional breeding work, field

plantations need to be established by using

similar but more complete genotypes to reveal

the realized gains. This will make evaluations

possible, not only in growth but also in wood-

energy quality.

High genetic gain achieved here, most

likely is generated by variations among

Calliandra populations collected from

throughout Indonesia which was revealed in

the progeny test (Nurtjahjaningsih,

Sulistyawati & Rimbawanto, 2016). This

variation which caused high heritability values

(Hendrati, 2015a) might be influenced by

different growth habitat on its original

population including elevation (Hendrati,

2013).

Take note that, Calliandra was introduced

to Indonesia in 1930 (Nurtjahjaningsih et al.,

2016), since then, this species found scattered

all around Indonesia might have been able to

produce more than 20 generations at particular

locations. Due to the ability to adapt to the

local condition, these populations might form

land races with different genetic structures.

Good land race performers can be generated

from the natural process of selection surviving

those that developing mechanism of adaptation

(Elridge, Davidson, Harwood, & Van Wyk,

1993). These type of origins when included as

genetic materials in the breeding program

might perform better than the others.

IV. CONCLUSIONS

From this study, Calliandra calothyrsus

breeding carried out for four years has

produced much better seedling growth from

selected individuals as compared to those

unimproved ones. Further studies using a more

complete material currently grown in the field

will be used for assessing the true gain in

growth and quality. This is expected to be in

accordance with the seedling performance in

the nursery observed in this study.

ACKNOWLEDGEMENT

Appreciation is addressed to Directors and

staffs of Centre for Forest Biotechnology and

BETTER GROWTH Calliandra calothyrsus Meissn., A FAST GROWING

LEGUME FOR WOOD-ENERGY

Rina Laksmi Hendrati and Siti Husna Nurrohmah

19

Tree Improvement Research and Development

that provide infra structures, funding and

facilitate this research project. My sincere and

deep thanks are also expressed to all of my

team members for their help, patience and

kindness to fulfil and finish all the jobs

required to undertake this research. I am also

deeply grateful to Prof. Dr Budi Leksono for

his meaningful advices.

REFERENCES

Danu, Rohadi, D., & Nurhasybi. (2006). Teknologi

dan standardisasi benih dan bibit dalam

rangka menunjang keberhasilan GERHAN. In

M. Haryono (Ed.), Optimalisasi Peran Iptek

dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas

Hutan dan Lahan. Prosiding Seminar Hasil-

hasil Penelitian; Jambi, 22 Des 2005 (pp. 69–

70). Bogor: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hutan dan Konservasi

Alam.

Dermibas, A. (2011). Competitive liquid biofuels

from biomass. Applied Energy, 88(1), 17–28.

https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2010.07.01

6

Dwiyedi, Edi, P., & Khanna, M. (2014). Wood-

based bioenergy products - land or energy

efficient? Canadian Journal of Forest

Research. Canadian Journal of Forest

Research, 44, 1187–1195.

https://doi.org/dx.doi.org/10.1139/cjfr-2014-

0210

Elridge, K., Davidson, J., Harwood, C., & Van

Wyk, G. (1993). Eucalyptus Domestication

and Breeding. Oxford: Clarendon Press.

Hendrati, R. L. (2013). Hubungan tinggi bebas

cabang Kaliandra (Caliandra

callothyrsus)dengan ketinggian tempat

tumbuh di Indonesi. Wanabenih, 14(1, Juli

2013).

Hendrati, R. L. (2015a). Genetic Improvement of

Calliandra calothyrsusfor Qualified Wood

Energy. In 3rd INAFOR: Forestry research to

support sustainable timber production and

self-sufficiency in food, energy, and water (pp.

535–543). Bogor 21-22 Oktober 2015. Bogor:

Ministry of Environtment and Forestry,

Research, Development and Innovation

Agency.

Hendrati, R. L. (2015b). Sustainable Plantation and

Environment Protection with Genetically

Improved Calliandra to Fulfil Market and

Socio Economic Demands. In Proceeding

International Seminar on Challenges of

Sustainable Forest Plantation Development,

Yogyakarta. Indonesia. 26th Nopember 2015

(pp. 125–135). Centre for Forest

Biotechnology and Tree Improvement.

Hendrati, R.L. & Nurrohmah, S. H. (2016).

Penggunaan Rhizobium dan Mikhorhiza

untuk Pertumbuhan Calliandra callothyrsus

Unggul. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan

Vol. 10 No.2. Desember 2016. pp 71-81.

http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-

litbang/index.php/JPTH/article/view/2392

Hinchee, M., Rottmann, W., Mullinax, L., &

Nehra, N. (2009). Short-rotation woody crops

for bioenergy and biofuels applications. In

Vitro Cellular & Developmental Biology -

Plant., 45(6), 619–629.

https://doi.org/10.1007/s11627-009-9235-5

Mugwe, J., Mgendi, D., Kungu, J., & Muna, M. .

(2009). Maize Yields Response to Application

of Organic and Inorganic Input under On-

station and On-farm Experiments in Central

K. Experimental Agriculture, 45(1 January

2009), 47–59.

Murtala, A. M., Aliyu, B. A., & Babagana, G.

(2012). Biomass Resource as a Source of

Sustainable Energy Production in Developing

Countries. Journal of Applied

Phytotechnology in Environmental Sanitation,

1((2)), 103–112.

Nurtjahjaningsih, I.L.G. Sulistyawati, P., &

Rimbawanto, A. (2016). Struktur Genetik

Calliandra callothyrsus di Indonesia

Menggunakan Penanda Random Amplified

Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal

Pemuliaan Tanaman Hutan, 10(1 Juni 2016),

31–38.

Oliver, C. D., Nassar, N. ., Lippke, B. ., &

McCarter, J. . (2014). Carbon, Fossil Fuel,

and Biodiversity Mitigation With Wood and

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 13-20

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

20

Forests. Journal of Sustainable Forestry, 33,

248–275.

https://doi.org/10.1080/10549811.2013.83938

6

Openshaw, K. (2010). Guest Editorial: Renewable

Energy and Developmen. Journal of Tropical

Forest Science, 22(1), 5–6.

Pallardy, S. G. (2008). Physiology of Woody

Plants. Burlington. USA: Academic Press.

Rowe, R. L., Hanley, M. E., Goulson, D., Clarke,

D. J., Doncaster, C. ., & Taylor, G. (2011).

Potential benefits of commercial willow Short

Rotation Coppice (SRC) for farm-scale plant

and invertebrate communities in the agri-

environment. Biomass and Bioenergy, 35(1

january 2011), 325–336.

https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2010.08.04

6

Terashima, I., Fujita, T., Inoue, T., Chow, W. S., &

Oguchi, R. (2009). Green Light Drives Leaf

Photosynthesis More Efficiently than Red

Light in Strong White Light: Revisiting the

Enigmatic Question of Why Leaves are

Green. Plant and Cell Physiology, 50(14, 1

April 2009), 684–697.

https://doi.org/10.1093/pcp/pcp034

Tock, J., Lai, C., Lee, K., Tan, K., & Bhatia, S.

(2010). Banana biomass as potential

renewable energy resource: A Malaysian case

study. Renewable and Sustainable Energy

Reviews, 14(2, Februari 2010), 798–805.

Zalesny, R. S., Hall, R., Zalesny, J., McMahon, B.,

Berguson, W., & Stanosz, G. (2009). Biomass

and Genotype × Environment Interactions of

Populus Energy Crops in the Midwestern

United States. Bio Energy Research, 2(3),

106–122.

Zhang, Q., Wang, Wang, X., & Quan X. (2009).

Carbon concentration variability of 10

Chinese temperate tree species. Forest

Ecology and Management, 258(5, 20 agustus

2009), 722–727.

PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH

TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)

Aam Aminah dan Nurmawati Siregar

*Kontribusi penulis: Nurmawati Siregar sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.21-30 21

PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH TERHADAP

DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azedarach Linn)

(The Effect of Seed Collection Time and Color Fruit on the Germination

Capacity and Seedling Growth of Mindi (Melia azedarach Linn))

Aam Aminah dan/and *Nurmawati Siregar

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO.BOX 105 Telp/ Fax. 0251-8327768 Kode Pos 16001, Bogor, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 21 November 2016; Naskah direvisi: 7 Juli 2017; Naskah diterima: 1 April 2019

ABSTRACT

Mindi (Melia azedarach Linn) is versatile type and have good prospects to be developed in plantation

programs. One factor that determines the success of the development of this plant is the use of superior

quality seeds. Good seeds can be obtained by harvesting physiologically mature fruits. One common

indicator often used to determine the maturity of fruit physiologically is the changes of fruit color. The main

objective of this research was to determine the effect of seed collection time and fruit color on the

germination capacity and seedling growth of mindi. The experimental design used is Factorial Randomized

Block Design consist of 2 factors: seed collection time and fruit color. Seed collection time consist of 3

times with 10 days collection time interval. The color fruit differed by 3 colors: green, yellow and brown.

Each combination treatment consist of 50 seeds replicated 5 times. Growth responses included germination

capacity, survival seedling percentage, seedling length, diameter, root length, dry weight and shoot/root

ratio. The result showed that the color fruit significantly affected germination capacity and growth of

seedlings. The color of yellow and brown fruit gave the best results for germination’s capacity, while

yellow fruits showed high values of percent of seedlings growth, seedling height, dry weight, root length and

shoots root ratio. The color of green and yellow fruit gave higher seedling diameter, than the color of brown

fruit. The collecting mindi seeds should be done when the fruits are yellow at every collection time. Keywords : collection, Melia azedarach Linn, physiologically mature, seed

ABSTRAK

Tanaman mindi (Melia azedarach Linn) merupakan jenis serba guna dan mempunyai prospek yang baik

untuk dikembangkan dalam program hutan tanaman. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan

pembangunan hutan tanaman adalah penggunaan benih bermutu. Benih yang baik dapat diperoleh dengan

memanen buah yang masak fisiologis. Salah satu indikator yang umum dan sering digunakan untuk

menentukan masak fisiologis buah adalah perubahan warna kulit buah. Penelitian bertujuan untuk

mengetahui pengaruh masak fisiologis buah terhadap daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Faktorial, terdiri dari 2 faktor

yaitu waktu pengunduhan dan warna buah. Pengunduhan dilakukan 3 kali dengan selang waktu

pengunduhan 10 hari. Warna kulit buah dibedakan atas warna hijau, kuning dan cokelat. Setiap kombinasi

perlakuan terdiri dari 50 benih yang diulang 4 kali. Respons pertumbuhan yang diamati adalah: daya

berkecambah, persen hidup bibit, tinggi bibit, diameter bibit, panjang akar, berat kering, ratio tunas dengan

akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna buah berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah dan

pertumbuhan bibit mindi. Warna buah kuning dan cokelat memberikan hasil terbaik untuk daya

berkecambah, sedangkan untuk persen tumbuh bibit, tinggi bibit, panjang akar berat kering dan rasio tunas

akar warna buah kuning mempunyai nilai tertinggi. Untuk diameter bibit warna buah hijau dan kuning lebih

baik daripada warna buah yang cokelat. Pengunduhan buah mindi sebaiknya dilakukan saat buah berwarna

kuning pada setiap pengunduhan. Kata kunci : benih, masak fisiologis, Melia azedarach Linn, pengumpulan

I. PENDAHULUAN

Tanaman mindi (Melia azedarach Linn)

merupakan jenis serba guna karena seluruh

bagian tanaman mulai dari akar, batang, kulit

batang, daun, buah dan biji dapat

dimanfaatkan. Oleh karena itu mindi

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

22

mempunyai prospek yang baik untuk

dikembangkan dalam program hutan tanaman.

Salah satu faktor yang menentukan

keberhasilan pembangunan hutan tanaman

adalah penggunaan benih bermutu yang

unggul secara genetik, fisik dan fisiologis,

tersedia dalam jumlah yang cukup dan tepat

waktu dan mempunyai kemampuan

beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat

tumbuhnya.

Ketersedian benih bermutu dalam jumlah

yang cukup sangat ditentukan oleh musim

berbuah setiap tanaman, sedangkan musim

berbuah setiap jenis tanaman dipengaruhi oleh

iklim. Unsur-unsur iklim terutama temperatur,

kelembaban dan intensitas cahaya matahari

akan mempengaruhi proses pemasakan buah.

Pengunduhan buah pada awal masak fisiologis

kurang tepat karena buah yang dipanen belum

cukup berkembang sebaliknya pengunduhan

buah pada akhir masak fisiologis juga kurang

tepat karena buah yang dipanen dapat

menyebabkan penurunan kualitas benih. Buah

yang dipanen tepat waktu atau pada saat

masak fisiologis akan menghasilkan benih

yang berkualitas lebih baik dibandingkan

dengan buah yang dipanen pada awal dan

akhir masak fisiologis. Masak fisiologis akan

menentukan waktu pengunduhan dan kualitas

buah yang dipanen (Perotti, V. E., Moreno, A.

S., & Podesta, F. E., 2014; Pongener, Sagar,

Pal, Asrey, Sharma & Singh, 2014).

Salah satu indikator yang umum dan

sering digunakan untuk menentukan masak

fisiologis buah adalah perubahan warna kulit

buah, karena indikator ini lebih praktis dan

murah (Utomo, 2007). Masak fisiologis pada

setiap tanaman bervariasi bahkan dalam satu

pohon bervariasi. Beberapa jenis tanaman

mempunyai proses masak fisiologis

berlangsung cepat akan tetapi ada juga yang

berlangsung lambat, ada yang mempunyai

masak fisiologis yang relatif seragam ada yang

tidak seragam (Seymour G. B., Ostergaard L,

Chapman, N. H., Knapp, S., & Martin, C.,

2013).

Jenis-jenis yang mempunyai masak

fisiologisnya tidak seragam, maka

pengunduhan buah tidak dapat dilakukan

serentak atau sekaligus, pengunduhan buah

dilakukan secara bertahap dengan selang

waktu tergantung jenis tanaman.

Pengunduhan dapat dilakukan pada saat buah

yang sudah masak secara fisiologis di atas 60

persen.

Perubahan warna kulit buah mindi dimulai

dari hijau tua, kuning kehijauan, kuning cerah

kuning tua, kuning kecokelatan, cokelat muda,

cokelat tua dan hitam. Masak fisiologis buah

mindi dicirikan dengan buah yang berwarna

kuning cerah, kuning tua dan cokelat muda.

Masak fisiologis mindi berlangsung tidak

serentak oleh karena itu pengunduhan buah

dilakukan secara bertahap.

PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH

TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)

Aam Aminah dan Nurmawati Siregar

23

Berdasarkan hal-hal yang sudah

disampaikan di atas dilakukan penelitian

pengaruh waktu pengunduhan terhadap daya

berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

waktu pengunduhan buah mindi yang tepat.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan mulai bulan April

2013 sampai dengan Nopember 2013.

Penelitian perkecambahan dilakukan di

Laboratorium Balai Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Perbenihan

Tanaman Hutan (BP2TPTH) Bogor, penelitian

bibit dilakukan di Stasiun Penelitian

BP2TPTH Nagrak, Bogor. Bahan yang

digunakan antara lain benih mindi, media

tanah dan pasir, alat yang digunakan antara

lain kaliper, timbangan, ATK.

B. Prosedur Penelitian

1. Pengunduhan buah

Buah diunduh dari tegakan mindi yang

berada di Bogor, Jawa Barat. Dipilih 15

pohon yang sedang berbuah. Pohon yang

dipilih adalah pohon yang buahnya telah

berwarna kuning lebih dari 60 persen.

Pengunduhan buah dilakukan sebanyak 3

(tiga) kali dengan selang waktu pengunduhan

10 hari (sebelum 10 hari jumlah buah yang

berwarna kuning belum mencapai 60 persen).

Pengunduhan pertama dilakukan ketika jumlah

buah kuning di atas 60 persen. Pengunduhan

ke dua dilakukan 10 hari setelah pengunduhan

pertama dan pengunduhan ketiga dilakukan 10

hari setelah pengunduhan ke dua. Buah mindi

yang sudah diunduh dimasukkan karung dan

dibiarkan (diperam) selama lebih kurang 3 hari

kemudian baru diekstraksi (Suita & Megawati,

2009).

2. Seleksi buah dan benih

Buah diseleksi berdasarkan warna kulit

buah yaitu warna hijau, kuning dan cokelat.

Buah diekstraksi, benih dikeringanginkan

selanjutnya dilakukan seleksi benih. Benih

yang dipilih relatif seragam ukurannya, tidak

busuk, dan tidak keriput.

3. Perkecambahan dan pembibitan

Benih ditabur pada bak kecambah dengan

media pasir tanah (1:1). Pengamatan daya

berkecambah dilakukan 2 minggu setelah

penaburan. Penelitian untuk bibit dilakukan

dengan cara: dipilih kecambah yang sudah

memiliki sepasang daun, kemudian disapih ke

dalam polibag ukuran 15 x 20 cm. Media

yang digunakan adalah campuran tanah

dengan kompos (3:1). Rancangan yang

digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

yang disusun secara faktorial. Faktor A adalah

waktu pengunduhan dan faktor B adalah warna

kulit buah. Faktor A terdiri dari 3 tahap yaitu

Pengunduhan I, II dan III. Faktor B terdiri

dari 3 warna kulit buah yaitu warna hijau,

kuning dan cokelat. Ulangan dilakukan 4

(empat) kali. Setiap kombinasi perlakuan

terdiri dari 50 benih /bibit

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

24

Respons yang diamati adalah (1) daya

berkecambah, (2) persen hidup bibit, (3) tinggi

bibit, (4) diameter bibit (5) panjang akar

(diukur akar terpanjang), (6) berat kering dan

(7) rasio tunas dengan akar (RTA).

Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah sapih.

C. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menurut

sidik ragam, apabila hasil analisis uji-F

menunjukkan perbedaan, maka dilanjutkan

dengan Uji Tukey.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Nilai F Hitung (Lampiran 1) menunjukkan

bahwa interaksi waktu pengunduhan dan

warna buah berpengaruh tidak nyata terhadap

semua parameter yang diamati, demikian juga

faktor waktu pengunduhan berpengaruh tidak

nyata terhadap semua parameter yang diamati,

akan tetapi faktor warna buah berpengaruh

nyata terhadap semua parameter yang diamati.

1. Daya berkecambah (%)

Analisis keragaman (Lampiran 1)

menunjukkan bahwa faktor tunggal warna

kulit buah berpengaruh nyata terhadap daya

berkecambah. Warna buah kuning dan cokelat

merupakan warna yang baik untuk

memperoleh daya kecambah yang tinggi

dengan nilai rata-rata berturut-turut 85,73

persen dan 83,80 persen. Uji Tukey pada taraf

5 persen disajikan Tabel 2. Tabel (Table) 2. Pengaruh warna kulit buah terhadap daya berkecambah mindi (%) (The effect of

fruits color to germination capacity of mindi(%))

Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata daya berkecambah

(The average of germination capacity) (%)

Hijau (Green) 75.40 a

Kuning(Yellow) 85.73 b

Cokelat (Brown) 83.80 b

BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 2,33

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada

taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly

diffrerent at 5 %)

2. Persen Hidup bibit (%)

Analisis keragaman (Lampiran 1)

menunjukkan bahwa faktor tunggal warna

kulit buah berpengaruh nyata terhadap persen

hidup bibit mindi. Warna kulit buah kuning

mempunyai persen tumbuh bibit rata-rata

paling tinggi sebesar 99,07 persen. Uji Tukey

pada taraf 5 persen disajikan Tabel 3.

Tabel (Table)3. Pengaruh warna kulit buah terhadap persentase hidup bibit mindi (%) (The effect of

fruits color to survival seedling percentage of mindi (%))

Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata persen tumbuh bibit

(The average of growth seedling percentage) (%)

Hijau (Green) 94,93 a

Kuning(Yellow) 99,07 b Cokelat (Brown) 96,53 a

BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 2,16

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada

taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly

diffrerent at 5 %)

PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH

TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)

Aam Aminah dan Nurmawati Siregar

25

3. Tinggi Bibit (cm)

Analisis keragaman (Lampiran 1)

menunjukkan bahwa faktor tunggal warna

kulit buah berpengaruh nyata terhadap tinggi

bibit. Warna kulit buah kuning mempunyai

nilai tertinggi untuk rata-rata tinggi bibit

sebesar 13,01 cm. Uji Tukey pada taraf 5

persen disajikan Tabel 4.

Tabel (Table) 4. Pengaruh warna kulit buah terhadap tinggi bibit mindi (cm) (The effect of fruits

color to height of seedling (cm))

Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata tinggi bibit

(The average of height of seedling)(%)

Hijau (Green) 10,95 b

Kuning(Yellow) 13,01 a

Cokelat (Brown) 10,95 b

BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 2,16

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada

taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly

diffrerent at 5 %)

4. Diameter Bibit (mm)

Analisis keragaman (Lampiran 1)

menunjukkan bahwa faktor tunggal warna

kulit buah berpengaruh nyata terhadap

diameter bibit. Warna buah kuning dan hijau

mempunyai nilai rata-rata diameter yang tinggi

berturut-turut sebesar 2,48 mm dan 2,41 mm.

Uji Tukey pada taraf 5 % disajikan Tabel 5.

Tabel (Table)5. Pengaruh warna kulit buah terhadap diameter bibit mindi (mm) (The effect of fruits

color to diameter of seedling mindi (mm))

Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata diameter

(The average of diameter seedling )(mm)

Hijau (Green) 2,41 a

Kuning(Yellow) 2,48 a

Cokelat (Brown) 2,16 b

BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 2,16

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada

taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly

diffrerent at 5 %)

5. Panjang Akar (cm)

Analisis keragaman (Lampiran 1)

menunjukkan bahwa faktor tunggal warna

buah berpengaruh nyata terhadap panjang akar

mindi. Warna buah kuning mempunyai nilai

paling tinggi untuk rata-rata panjang akar bibit

mindi sebesar 13,19 cm. Uji Tukey pada taraf

5 persen disajikan Tabel 6.

Tabel (Table)6. Pengaruh warna kulit buah terhadap panjang akar bibit mindi (cm) (The effect of

seed collection time and fruits color to long root of seedling (cm))

Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata panjang akar bibit

(The average of long roots mindi) (cm)

Hijau (Green) 11,50 b

Kuning(Yellow) 13,19 a

Cokelat (Brown) 11,52 b

BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 0,62

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada

taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly

diffrerent at 5 %)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

26

6. Berat Kering bibit (g)

Analisis keragaman (Lampiran 1)

menunjukkan bahwa faktor tunggal warna

kulit buah berpengaruh nyata terhadap berat

kering bibit. Warna kulit buah kuning

mempunyai nilai rata-rata tertinggi untuk berat

kering bibit sebesar 0,5369 g. Uji Tukey pada

taraf 5 persen disajikan Tabel 7.

Tabel (Table)7. Pengaruh warna buah terhadap berat kering bibit mindi (g) (The effect fruits color

to weeight of seedling mindi (g))

Warna kulit buah (Color of fruits) Rata-rata berat kering bibit

(The average of weight of seedling mindi ) (g)

Hijau (Green) 0,3684 b

Kuning(Yellow) 0,5369 a

Cokelat (Brown) 0,3899 b

BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 0,0278 Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada

taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly

diffrerent at 5 %)

7. Ratio Tunas Dengan akar

Analisis keragaman (Lampiran 1)

menunjukkan bahwa faktor tunggal warna

kulit buah berpengaruh nyata terhadap rasio

tunas dan akar mindi. Pertumbuhan bibit yang

baik mempunyai nilai rasio tunas dengan akar

berada pada kisaran angka 1-3 (Rasyid, 1972).

Jadi berdasarkan warna kulit buah mindi

semua warna kulit baik hijau, kuning dan

cokelat mempunyai nilai yang baik dengan

nilai berturut-turut 1,48, 1,49 dan 1,69. Uji

Tukey pada taraf 5 persen disajikan Tabel 8.

Tabel (Table)8. Pengaruh warna kulit buah terhadap ratio tunas dengan akar bibit mindi (cm) (The

effect fruits color to shoot and root ratio of seedling mindi (cm))

Warna kulit buah

(Color of fruits)

Rata-rata ratio tunas akar

(The average of shoot and root ratio seedling )

Hijau (Green) 1,49 ab

Kuning(Yellow) 1,69 a

Cokelat (Brown) 1,48 b

BNJ (Tukey Test) 0,05 % = 0,20 Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada

taraf 5 % (The numbers follow by the same letter are not significantly

diffrerent at 5 %)

B. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

interaksi antara waktu pengunduhan dan warna

kulit buah berpengaruh tidak nyata terhadap

parameter daya berkecambah, persen hidup

bibit, tinggi bibit, diameter bibit, panjang akar,

dan berat kering akar, namun berpengaruh

nyata terhadap ratio tunas dengan akar

(Lampiran 1). Demikian juga faktor waktu

pengunduhan berpengaruh tidak nyata

terhadap semua parameter yang diamati.

Perlakuan warna buah berpengaruh nyata

terhadap semua parameter yang diamati.

PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH

TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)

Aam Aminah dan Nurmawati Siregar

27

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa buah

yang dipanen pada saat masak fisiologis

(warna kulit buah kuning dan cokelat)

memberikan nilai daya berkecambah yang

lebih baik dibandingkan dengan buah yang di

panen pada saat buah berwarna hijau. Hal ini

mengindikasikan bahwa buah mindi

mengalami masak fisiologis pada saat buah

berwarna kuning dan cokelat. Menurut Surya

(2008) terdapat korelasi yang kuat antara

perubahan warna yang terjadi pada buah yang

matang dengan fase kematangan biji. Benih

dapat berkecambah pada semua tingkat

kemasakan fisiologis, hal ini disebabkan

karena benih yang telah masak fisiologis

mempunyai cadangan makanan yang lebih

sempurna dibandingkan dengan benih yang

kurang atau yang sudah lewat masak fisiologis

(Copeland, 2001).

Buah yang dipanen pada saat masak

fisiologis yang tepat (warna kuning dan

cokelat) mempunyai kualitas fisiologis yang

lebih baik dibandingkan dengan buah yang di

panen tidak tepat waktu (warna buah hijau).

Menurut Schimidt (2000), waktu panen atau

pengunduhan buah akan menentukan kualitas

benih. Buah yang dipanen pada awal maupun

akhir masak fisiologis sering menghasilkan

benih dengan kualitas fisiologis maupun

biokimia yang rendah sehingga menghasilkan

benih yang kurang berkualitas. Beberapa

penelitian terhadap kematangan buah

menegaskan bahwa tingkat kematangan buah

berpengaruh nyata pada perkecambahan biji,

seperti pada jenis Ardisia spp (Normasiwi,

2013).

Proses perkecambahan benih dimulai dari

proses imbibisi (penyerapan air). Menurut

Schimidt (2000) laju penyerapan air sangat

dipengaruhi oleh sifat fisiologis dan biokimia

benih. Buah yang berwarna kuning dan

cokelat memberikan daya berkecambah yang

lebih baik dibanding dengan buah yang

berwarna hijau. Hal ini akan berpengaruh

terhadap pertumbuhan bibit (tinggi bibit,

diameter batang bibit, panjang akar dan berat

kering). Bibit yang berasal benih yang

berwarna kuning dan cokelat akan memiliki

vigor bibit yang lebih baik dibandingkan

dengan bibit yang berasal dari buah dengan

warna kulit hijau. Hal ini akan berpengaruh

terhadap pertumbuhan bibit sehingga

pertumbuhan organ-organ tanaman (tunas,

batang, daun dan akar) akan lebih cepat.

Berbeda dengan hasil penelitian Junaidah,

Sofyan, & Nasrun (2014) yang menyatakan

bahwa benih dari buah tembesu yang berwana

hijau memiliki persen kecambah tertinggi (100

persen). Hal ini memberikan gambaran bahwa

buah tembesu yang muda (berwarna hijau)

memiliki daya vigor yang lebih baik

dibandingkan benih yang berasal dari buah

tembesu yang matang dan tingkat kematangan

buah yang lebih lanjut berpotensi menurunkan

kemampuan benih untuk berkecambah.

Benih-benih yang berkecambah ini akan

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

28

berkembang menjadi bibit-bibit yang

berkualitas dengan pertumbuhan yang baik.

Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses

pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan

pembesaran sel (peningkatan ukuran) pada

tanaman. Pertambahan volume (ukuran)

sering ditentukan dengan cara mengukur

perbesaran ke satu atau dua arah, seperti

panjang dan diameter (Irwansyah, Setiadi,

Wasis, & Mardatin, 2016). Pertumbuhan

tinggi tanaman terjadi akibat adanya

pertumbuhan tunas baru, umumnya dipusatkan

pada bagian apeks (ujung) yang terdapat pada

tunas terminal. Pertambahan diameter

merupakan pertumbuhan sekunder pada

tanaman. Sel parenkim batang yang berada di

antara ikatan pembuluh tanaman mengalami

pertumbuhan menjadi kambium intervasis.

Kambium intervasis membentuk lingkaran

tahun dengan bentuk konsentris. Kambium

yang berada di sebelah dalam jaringan kulit

yang berfungsi sebagai pelindung, terbentuk

akibat ketidakseimbangan antara pembentukan

xilem dan floem yang lebih cepat dari

pertumbuhan kulit batang. Dalam penelitian

ini diameter bibit mindi terbaik adalah bibit

yang berasal dari buah dengan warna kulit

buah kuning dan hijau. Akar berfungsi

sebagai organ utama untuk penyerapan air dan

mineral serta penyimpanan cadangan

makanan. Akar mampu berkembang dengan

baik jika tanaman tumbuh pada lingkungan

yang ideal sehingga potensi pertumbuhan akar

dapat digunakan untuk mengukur dan menilai

kualitas bibit.

Berat kering berkaitan dengan hasil

relokasi dari proses fotosintetis yang disimpan

untuk pembentukan bahan tanaman (Krisman,

Puspita, F., & Saputra, S. I., 2016).

Meningkatnya laju fotosintesis maka CO2

yang diikat dalam proses fotosintesis tersebut

akan lebih banyak dari pada CO2 yang

dilepaskan dalam proses respirasi, sehingga

asimilat yang dihasilkan lebih berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.

Berat kering tanaman merupakan indikator

yang umum digunakan untuk mengetahui baik

atau tidaknya pertumbuhan bibit, karena berat

kering tanaman dapat menggambarkan

efisiensi proses fisiologi di dalam tanaman

(Wulandari & Susanti, 2012). Berat kering

merupakan ukuran pertumbuhan tanaman

karena berat kering mencerminkan akumulasi

senyawa organik yang berhasil disintesis oleh

tanaman (Krisman et al., 2016). Berat kering

tanaman tersebut mencerminkan status hara

dan banyaknya unsur hara yang diserap oleh

tanaman serta laju fotosintetis (Bustami,

Sufardi, & Bakhtiar, 2012). Berat kering juga

berkaitan erat dengan proses metabolisme

dalam tanaman selama pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Pertumbuhan tunas

dan akar yang lebih cepat akan merangsang

pertumbuhan bibit yang lebih cepat.

PENGARUH WAKTU PENGUNDUHAN DAN WARNA KULIT BUAH

TERHADAP DAYA BERKECAMBAH DAN PERTUMBUHAN BIBIT MINDI (Melia azadarech Linn)

Aam Aminah dan Nurmawati Siregar

29

Pertumbuhan merupakan fungsi dari

keefisienan tanaman dalam memproduksi berat

kering, karena berat kering tergantung dari

hasil selisih fotosintetis relatif dan respirasi.

Berat kering terbaik pada penelitian ini adalah

bibit yang berasal dari buah dengan warna

kulit buah kuning dan hijau.

Menurut Darwo & Sugiarti (2008)

kualitas bibit ditentukan oleh nilai rasio tunas

dengan akar (RTA). RTA mempunyai korelasi

dengan penampilan tanaman pada tahap awal

pertumbuhan. Hal tersebut menunjukkan

pentingnya peranan sistem perakaran tanaman

dalam proses adaptasi tanaman, penyerapan

air, dan mengatasi stagnasi tanaman. Nilai

rasio tunas dengan akar ditentukan oleh nilai

pertumbuhan dan perkembangan akar dengan

tunas (Siregar, 2010). Kulit buah mindi yang

berwarna hijau, kuning dan cokelat

memberikan nilai RTA yang baik karena

mempunyai nilai RTA berturut-turut 1,48;

1,49 dan 1,69. Menurut Rasyid (1972),

pertumbuhan bibit yang baik mempunyai nilai

rasio tunas dengan akar berada pada kisaran

angka 1-3. Nilai ini menunjukkan

keseimbangan sehingga bibit tidak tumbuh

abnormal. Kendatipun nilai RTA antara buah

warna hijau, kuning dan cokelat masih berada

dalam kisaran angka 1-3, akan tetapi daya

berkecambah, berat kering ataupun parameter

lainnya menunjukkan buah yang berwarna

kuning lebih baik dari buah yang berwarna

hijau dan cokelat.

IV. KESIMPULAN

Untuk mendapat benih dan bibit yang

berkualitas maka pengunduhan buah mindi

dilakukan pada saat buah berwarna kuning.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

Bapak Almarhum Bapak Zaenudin, Bapak

Aris Ristiana atas bantuan teknis selama

pengamatan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Bustami, Sufardi, & Bakhtiar. (2012). Serapan hara

dan efisiensi pemupukan phosfat serta

pertumbuhan padi varietas lokal. Manajemen

Sumberdaya Lahan, 1(2), 159–170.

Copeland, L. O. M. D. (2001). Priciple of Seed

Science Technology . 4 th Edition. London:

Kluwer Academic Publisher.

Darwo, & Sugiarti. (2008). Pengaruh dosis serbuk

spora cendawan Scleroderma citrinum

Persoon dan komposisi media terhadap

pertumbuhan tusam di persemaian. Jurnal

Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, V(5),

461–472.

Irwansyah, A., Setiadi, Y., Wasis, B., & Mardatin,

N. (2016). Respon pertumbuhan bibit

Gmelina arborea Roxb tehadap penambahan

growth stimulant di Persemaian Permanen

IPB. Jurnal Silvikultur Tropika, 7(2), 75–78.

Junaidah, Sofyan, A., & Nasrun. (2014). Pengaruh

tingkat kemasakan buah terhadap potensi dan

perkecambahan benih tembesu (Fagraea

fragrans Roxb .). Galam, 7(1), 1–7.

Krisman, Puspita, F., & Saputra, S. I. (2016).

Pemberian beberapa dosis trichokompos

ampas tahu terhadap pertumbuhan tanaman

kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di

pembibitan utama. JOM Faperta, 3(1), 1–14.

Normasiwi, S. (2013). Prosiding Ekspose dan

Seminar Pembangunan Kebun Raya Daerah

Membangun Kebun Raya untuk Penyelamatan

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 21-30

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

30

Keanekaragaman Hayati dan Lingkungan

Menuju Ekonomi Hijau. In Tingkat

Kematangan Buah dan Pengaruhnya

terhadap Perkecambahan Ardisia spp. (pp

765-771).

Perotti, VE, Moreno, A. and P. F. (2014).

Physiological aspect of Fruit ripening.

Mitochondrion, 17, 1–6.

Pongener, A., Sagar, V., Pal, R. K., Asrey, R.,

Sharma, R. R., & Singh, S. K. (2014).

Physiological and quality changes during

postharvest ripening of purple passion fruit (

Passiflora edulis Sims ). Fruits, 69(1), 19–30.

https://doi.org/10.1051/fruits/2013097

Rasyid, A. (1972). Teknik persemaian dan

penanaman di Jepang. Report Training Course

Forestry in Japan. Bogor (ID): Lembaga

Penelitian Hutan Bogor.

Schimidt. (2000). Pedoman Penanganan Benih

Benih Hutan Tropis dan Sub Tropis. Jakarta:

Direktorat Jenderal Rehablitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan.

Seymour G. B., Ostergaard L., Chapman N. H.,

Knapp S., & Martin C. (2013). Fruit

development and ripening. Annu. Rev. Plant

Biol. 64, 219–241

Siregar, N. (2010). Pengaruh ukuran benih

terhadap perkecambahan benih pertumbuhan

bibit gmelina ( Gmelina arborea Linn ). Tekno

Hutan Tanaman, 3(1), 1–5.

Suita, E., & Megawati. (2009). Pengaruh ukuran

benih terhadap perkecambahan dan

pertumbuhan bibit mindi (Melia azedarach

L.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 6(1),

1–8.

Surya, M. (2008). Pengaruh tingkat kematangan

buah terhadap perkecambahan biji pada

Pyracantha spp. Buletin Kebun Raya

Indonesia, 11(2), 36–40.

Utomo, B. P. (2008). Fenologi Pembungaan dan

Pembuahan Jarak Pagar (Jatropha curcas

L.). Skripsi. Progam Studi Pemuliaan

Tanaman dan Teknologi Benih, Fakultas

Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Wulandari, A. S., & Susanti, S. (2012). Aplikasi

pupuk daun organik untuk meningkatkan

pertumbuhan bibit jabon (Anthocephalus

cadamba Roxb . Miq .). Jurnal Silvikultur

Tropika, 3(2), 137–142.

Lampiran (Appendix)1. Nilai F hitung pengaruh waktu pengunduhan dan warna kulit buah terhadap

daya berkecambah dan pertumbuhan bibit mindi. (F-value The effect of

seed collection time and color fruit to germination capacity and growth

seedling mindi (Melia azadarech Linn)

Respons yang diamati

(Response observed)

F-hitung (F-value) F-Tabel 5 % (F-table 5%)

A B A x B A B A x B

Daya berkecambah (Germination capacity) 1,02ns

27,10XX 1,23

ns 3,4 3,4 2,78

Persen tumbuh bibit (Growth seedling percentage) 1,42 ns

65,16 XX 0,43 ns

3,4 3,4 2,78

Tinggi bibit( Height of seedling) 0,12 ns

16,59 XX 1,03 ns

3,4 3,4 2,78

Panjang akar (Long roots) 2,37 ns

29,41 XX 1,37 ns

3,4 3,4 2,78

Diameter batang (Diameter of seedling) 0,75 ns

9,08 XX 0,74 ns

3,4 3,4 2,78

Berat Kering (Weight of seedling) 1,62 ns

131,58 XX 1,90 ns

3,4 3,4 2,78

Ratio tunas dengan akar /RTA (Shoot and root ratio

of seedling/RTA)

1,60 ns

4,08 XX 3,00 XX 3,4 3,4 2,78

Keterangan (Remark): A = Faktor waktu pengunduhan (Seed collection time), B = Faktor warna kulit buah (color

fruit), AxB = Interaksi antara faktor A dan B ( Interaction between A and B factors)

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (Blanco) Merr.

Dewi Ayu Lestari

Kontribusi penulis: Dewi Ayu Lestari sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.31-44 31

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea

glutinosa (Blanco) Merr.

(Storage Techniques of Recalcitrant Seeds: Mesua ferrea L. and Swinglea glutinosa (Blanco) Merr.)

Dewi Ayu Lestari

Kebun Raya Purwodadi-Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, LIPI , Jl. Raya Surabaya-

Malang Km.65, Purwodadi, Telp/Fax. 0343-615033, Kode Pos 67163, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 13 Februari 2018; Naskah direvisi: 14 Februari 2019; Naskah diterima: 2 April 2019

ABSTRACT

Mesua ferrea L. and Swinglea glutinosa (Blanco) Merr. are two species of plants with recalcitrant seed

character. Recalcitrant seed have problem with storage, because they cannot stand being stored for long

periods of time. Storage method becomes indispensable in recalcitrant seeds conservation. The storage

methods were using 3 treatments, namely media of storage, storage time and room of storage, analyzed by

using factorial design with 2 replication. Each treatment combination was tested for seed moisture content,

rate of germination and seed germination value. The results showed that the viability of M. ferrea seeds can

be maintained up to 55 percent ―90 percent if they were stored for 2 months, at either room temperature or

freezer temperature put in a glass jar with silica. Seeds of S. glutinosa have germination percent in a range

of 83.33 percent ―93.33 percent after being stored for 1 month at room temperature, wrapped with

aluminium foil, as well as stored under freezer temperature put in a glass bottle containing silica. Based on

this test, both of seed species are recalcitrant because they cannot stored for long time periods.

Keyword: Mesua ferrea, recalcitrant, seed, storage, Swinglea glutinosa

ABSTRAK

Mesua ferrea L. dan Swinglea glutinosa (Blanco) Merr. merupakan dua jenis tumbuhan dengan karakter

benih yang bersifat rekalsitran. Benih rekalsitran cenderung memiliki permasalahan pada penyimpanan

karena tidak tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama. Metode penyimpanan yang tepat menjadi sangat

diperlukan dalam usaha konservasi benih rekalsitran. Metode penyimpanan menggunakan 3 perlakuan yaitu

media simpan, waktu simpan dan ruang simpan yang dianalisis menggunakan rancangan faktorial dengan

ulangan 2 kali. Masing-masing kombinasi perlakuan diuji kadar air benih, kecepatan tumbuh dan nilai

perkecambahan benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkecambahan benih M. ferrea mampu

dipertahankan hingga sebesar 55 persen― 90 persen jika disimpan dalam media penyimpanan botol kaca

bersilika dan ruang penyimpanan di suhu ruang maupun di dalam freezer, selama 2 bulan penyimpanan.

Benih S. glutinosa memiliki persentase perkecambahan dalam rentang 83,33 persen―93,33 persen setelah

disimpan selama 1 bulan dalam suhu ruang, dibungkus dengan aluminium foil atau dimasukkan ke dalam

botol kaca bersilika dan disimpan di bawah suhu freezer. Berdasarkan hasil pengujian tersebut maka kedua

jenis benih yang diuji merupakan benih rekalsitran yang tidak tahan disimpan dalam jangka waktu lama.

Kata kunci : benih, Mesua ferrea, penyimpanan, rekalsitran, Swinglea glutinosa

I. PENDAHULUAN

Mesua ferrea L. merupakan salah satu

anggota dari famili Clusiaceae yang biasa

dikenal dengan nama lokal ‘iron wood tree’

atau nagasari. Keberadaan jenis ini di alam

masih banyak ditemui, namun

pertumbuhannya sangat lambat dan benih

hanya mampu berkecambah pada kondisi

yang lembab (Khan, Bhuyan, & Singh, 2002).

Hal ini menimbulkan permasalahan dalam

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

32

perkecambahannya, karena benih M. ferrea

memiliki daya hidup yang pendek dan rentan

terhadap serangan mikroba. Disamping itu,

pohon baru bisa menghasilkan benih yang

subur setelah berumur 15 tahun―20 tahun

(Saini, Rani, Rani, & Vimala, 2014). Jenis

tumbuhan ini banyak dimanfaatkan untuk

konstruksi bahan bangunan dan kayu bakar

(kayu), pakan ternak (benih), pewarna alami

(bunga), minyak (benih) dan rebusan

bunganya untuk obat tradisional (Orwa,

Mutua, Kindt, Jamdanass, & Anthony, 2009).

Berdasarkan pengukuran secara morfologi,

benih M. ferrea memiliki bentuk obconical

hingga 3-dimension, dengan permukaan benih

gundul (glabrous) dan berwarna coklat tua.

Ukuran benih 2,3 cm x 1,2 cm x 0,74 cm

dengan berat benih sebesar 4,35 g. Menurut

Joshi, Phartyal, Khan, & Arunkumar (2015),

benih dari M. ferrea secara morfologi

berukuran lebar, berbentuk ovoid hingga

globose dengan rata-rata berat benih sebesar

4,76 g dan rata-rata panjang serta lebar benih

sebesar 27,85 mm x 23,10 mm.

Swinglea glutinosa (Blanco) Merr. adalah

salah satu anggota dari famili Rutaceae yang

memiliki nama lokal ‘Tabog’. Merupakan

jenis tumbuhan dengan habitus pohon dengan

ketinggian mencapai 10 m yang banyak

dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan

diekstrak bagian-bagian tumbuhannya untuk

minyak atsiri atau essential oils lainnya

(Jamal & Sulianti, 2008). Jenis tumbuhan ini

dicirikan dengan adanya duri tunggal di

batang serta memiliki bunga yang aromatik.

Benih S. glutinosa yang berasal dari

kelompok jeruk-jerukan memiliki karakter

yang berbentuk ovoid hingga ellipsoid,

permukaan benih berambut (hairy) dan

berwarna putih tulang (krem). Ukuran benih 9

mm x 5,14 mm x 2,29 mm dengan berat benih

sebesar 0,0399 g. Menurut Krueger dan

Navarro (2007), benih S. glutinosa memiliki

permukaan yang berbulu atau berambut

(hairy).

Kedua jenis tumbuhan tersebut

merupakan jenis yang memiliki benih dengan

karakter rekalsitran. Benih rekalsitran

merupakan benih yang memiliki kadar air

tinggi, hanya dapat disimpan dalam jangka

waktu yang pendek (berkisar dari beberapa

hari hingga beberapa bulan, tergantung dari

jenisnya), sangat mudah terhidrasi, tidak

tahan dengan pengeringan yang intensif dan

sensitif terhadap suhu rendah (Berjak &

Pammenter, 2013; Pammenter & Berjak,

2014). Menurut Barbedo, Centeno, &

Figueiredo-Ribeiro (2013), benih rekalsitran

merupakan benih yang berada dalam tahap

belum matang apabila dibandingkan dengan

benih ortodoks. Sehingga usaha untuk

memperpanjang daya simpannya sangat

diperlukan hingga mencapai tahap

pematangan maksimal.

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.

Dewi Ayu Lestari

33

Terkait dengan karakter benih tersebut

maka penyimpanan benih sangat penting,

karena penyimpanan benih yang baik akan

menghasilkan benih yang berkualitas dan

bermutu tinggi. Kondisi penyimpanan benih

yang buruk akan menghasilkan penurunan

kualitas benih, sehingga mempengaruhi

kekuatan benih dan hilangnya viabilitas benih

(Haque, Hossain, & Rahman, 2014). Benih

yang berkualitas akan dipengaruhi oleh faktor

internal maupun eksternal. Faktor tersebut

termasuk media penyimpanan dan kondisi

temperatur atau suhu saat penyimpanan benih.

Kondisi dan periode simpan menjadi faktor

yang penting dan mempengaruhi kualitas

benih serta derajat perubahan biokimia di

dalam benih (Mbogne, Oburi, Emmanuel, &

Godswill, 2015). Upaya karakterisasi dan

observasi metode penyimpanan yang tepat

menjadi salah satu hal yang penting dalam

upaya penyimpanan benih yang bersifat

rekalsitran. Khususnya untuk jenis M. ferrea

dan S. glutinosa. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk menentukan metode

penyimpanannya yang tepat pada benih M.

ferrea dan S. glutinosa.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan

Januari hingga Juli 2015 di Sub Unit Koleksi

Bank Benih dan Rumah Kaca Pembibitan

Kebun Raya Purwodadi, LIPI, Pasuruan, Jawa

Timur. Alat dan bahan yang digunakan

meliputi kertas berwarna putih (ukuran A4)

yang dibentuk seperti amplop, plastik klip

(ukuran ¼ kg), aluminium foil, botol kaca

bersilika, nampan plastik, freezer, kapas,

pasir, termometer ruangan, oven, desikator,

petridish, timbangan digital analitik dan alat

tulis.

Material bahan yang digunakan adalah

benih M. ferrea dan S. glutinosa yang telah

melalui tahapan pemanenan dan pemrosesan

benih hingga benih siap digunakan. Benih M.

ferrea dan S. glutinosa dipanen dari tanaman

koleksi Kebun Raya Purwodadi-LIPI,

Pasuruan yang berlokasi di vak II.E.14 serta

XIV.B.43.

B. Prosedur Penelitian

1. Ekstraksi benih

Pemanenan buah dilakukan dengan cara

dipetik buahnya. Buah selanjutnya dikupas

untuk mendapatkan benihnya, lalu benih

dicuci dengan air mengalir dan selanjutnya

dijemur atau dikeringanginkan. Tahapan

ekstraksi tersebut dilakukan apabila benih

tidak pecah sendiri dari pohon induknya.

2. Pengujian kadar air benih

Setiap awal perlakuan, masing-masing

kombinasi perlakuan dilakukan pengukuran

kadar air benih dengan menggunakan

metode oven berdasarkan standar prosedur

pengukuran kadar air menurut ISTA

(International Seed Testing Association).

Benih sebanyak 3 g ditimbang (sebagai berat

basah) dan setiap perlakuan diulang

sebanyak 4 kali. Selanjutnya benih dioven

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

34

dengan suhu 108°C selama 18 jam. Benih

yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam

desikator selama 15 menit―20 menit,

kemudian dihitung beratnya sebagai berat

kering (Draper et al., 1985; Lestari, 2013;

Sudrajat, Nurhasybi, & Bramasto, 2015).

Hasil pengukuran dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

2 3KA= 100%

2 1

M Mx

M M

..........................................(1)

Keterangan:

KA = kadar air benih (persen)

M1 = berat wadah dan tutupnya (g)

M2 = berat wadah, tutup dan isinya

sebelum pengeringan (g)

M3 = berat wadah, tutup dan isinya

sesudah pengeringan (g)

3. Pengujian metode penyimpanan benih

Perlakuan metode penyimpanan benih

dilakukan dengan menggunakan rancangan

faktorial dengan 3 faktor yaitu media

simpan, waktu simpan dan ruang simpan.

Media simpan meliputi kertas, plastik,

aluminium foil dan botol kaca bersilika.

Waktu simpan meliputi 0 bulan, 1 bulan dan

2 bulan. Ruang simpan meliputi suhu ruang

(24-25°C) dan freezer (-20°C). Masing-

masing faktor diulang sebanyak 2 kali

dengan jumlah benih untuk masing-masing

kombinasi perlakuan sebanyak 15 benih

(untuk S. glutinosa) dan 10 benih (untuk M.

ferrea). Jumlah ulangan yang terbatas

disebabkan oleh minimnya jumlah benih saat

panen dan waktu panen yang tidak

bersamaan. Benih yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan benih yang dipanen

pada waktu yang bersamaan.

4. Pengujian perkecambahan benih

Benih dari masing-masing perlakuan

yang telah diukur kadar airnya kemudian

disemai dalam media pasir sesuai dengan

kombinasi perlakuannya. Jumlah benih yang

disemai untuk masing-masing kombinasi

perlakuan sebanyak 15 benih (untuk S.

glutinosa) dan 10 benih (untuk M. ferrea)

sebanyak 2 ulangan. Total benih yang

disemai untuk kombinasi perlakuan dengan

media simpan sebanyak 60 benih (untuk S.

glutinosa) dan 40 benih (untuk M. ferrea).

Jumlah media simpan yang digunakan

sebanyak 4 macam sehingga total benih yang

disemai untuk masing-masing perlakuan

waktu tanam sebanyak 240 benih (untuk S.

glutinosa) dan 160 benih (untuk M. ferrea).

Setiap 0, 1 dan 2 bulan setelah penyimpanan

dilakukan penyemaian sebanyak 240 benih

(untuk S. glutinosa) dan 160 benih (untuk M.

ferrea). Benih yang telah disemai disiram

setiap hari. Parameter yang diamati untuk

setiap perlakuan adalah tipe, pola dan

persentase perkecambahan. Persentase

perkecambahan diukur dengan menggunakan

rumus (Sutopo, 2010) sebagai berikut:

jumlah biji yang berkecambahpersentase perkecambahan= 100%

jumlah biji yang disemaix

...(2)

5. Kecepatan tumbuh benih

Kecepatan tumbuh benih (KCT)

merupakan akumulasi kecepatan tumbuh

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.

Dewi Ayu Lestari

35

setiap hari dalam persen per hari. Menurut

Utami (2013), rumus yang digunakan sebagai

berikut:

0

K = ( / )tn

CT N t ................................................. (3)

Keterangan:

N = % kecambah normal setiap waktu

pengamatan

t = waktu pengamatan

tn = waktu akhir pengamatan

6. Nilai perkecambahan benih

Nilai perkecambahan benih merupakan

hasil perkalian antara nilai puncak

perkecambahan (Peak Value; PV) dengan

nilai rata-rata perkecambahan harian (Mean

Daily Germination; MDG). Menurut Payung,

Prihatiningtyas, & Nisa (2012); Wulandari,

Bintoro, & Duryat (2015), nilai puncak

perkecambahan dan nilai rata-rata

perkecambahan harian diperoleh dari rumus

berikut:

hari yang diperlukan untuk mencapainya

% perkecambahan pada TPV= ...(4)

Keterangan:

PV = nilai puncak perkecambahan

T = titik dimana laju perkecambahan

mulai menurun

% perkecambahan pada ZMDG

jumlah hari uji seluruhnya= .............(5)

Keterangan:

MDG = nilai rata-rata perkecambahan

harian

Z = saat perkecambahan terakhir

C. Analisis Data

Data yang diperoleh dari masing-masing

kombinasi perlakuan dianalisis dengan

menggunakan program statistika PAST

ver.1.34 melalui uji ANOVA (α=0,05) dan

dilanjutkan dengan uji Duncan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Benih nagasari (Mesua ferrea L.)

Hasil pengujian kadar air benih M.

ferrea pada berbagai perlakuan media dan

waktu simpan menunjukkan bahwa kadar air

benih M. ferrea mengalami fluktuasi baik

yang disimpan pada suhu ruang maupun

freezer suhu -20°C. Hanya benih yang

disimpan dalam media plastik pada suhu

ruang yang mengalami penurunan kadar air

hingga mencapai nol persen. Sedangkan benih

yang disimpan dalam media lainnya baik pada

suhu ruang maupun freezer mengalami

penurunan kadar air pada 1 bulan

penyimpanan dan kadar air meningkat

kembali pada 2 bulan penyimpanan. Kondisi

tersebut tidak berlaku pada benih yang

disimpan dalam media aluminium foil suhu

freezer karena mengalami peningkatan kadar

air pada 1 bulan penyimpanan dan menurun

pada penyimpanan 2 bulan (Tabel 1).

Perkecambahan benih M. ferrea yang

disimpan pada berbagai perlakuan media dan

waktu simpan menunjukkan bahwa benih

yang disimpan pada suhu ruang mengalami

penurunan perkecambahan benih baik yang

disimpan dalam media kertas, plastik maupun

aluminium foil. Namun perkecambahan benih

masih bertahan hingga 55 persen pada

penyimpanan dalam botol kaca bersilika

selama 2 bulan. Penyimpanan benih M. ferrea

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

36

dalam freezer suhu -20°C mampu

mempertahankan perkecambahan benihnya

hingga 5 persen (media penyimpanan

aluminium foil) selama kurun waktu 2 bulan.

Sedangkan media penyimpanan plastik di

dalam freezer hanya mampu mempertahankan

perkecambahan benih hingga 60 persen

selama satu bulan. Penyimpanan benih M.

ferrea di dalam freezer dengan media simpan

botol kaca bersilika mampu mempertahankan

perkecambahan benih hingga 90 persen

dibandingkan dengan tanpa penyimpanan

(Tabel 1).

Benih rekalsitran akan mengalami

penurunan kadar air seiring dengan lamanya

penyimpanan, yang diikuti dengan penurunan

persentase perkecambahan. Hal ini tidak

berlaku bagi benih M. ferrea dalam penelitian

ini (Tabel 1). Persentase perkecambahan

mengalami penurunan seiring dengan lama

penyimpanan, kecuali pada benih yang

disimpan dalam botol kaca bersilika baik pada

suhu ruang maupun dalam freezer (-20°C).

Kadar air benih M. ferrea pada berbagai

perlakuan penyimpanan menunjukkan bahwa

perlakuan penyimpanan benih pada media

plastik menurunkan kadar air hingga 0 persen

sejak disimpan selama satu bulan. Sedangkan

pada media penyimpanan lainnya memiliki

kadar air yang berkisar antara 5,32 persen –

27,69 persen.

Kecepatan tumbuh dan nilai

perkecambahan benih M. ferrea yang

disimpan dalam semua media pada suhu

ruang maupun suhu freezer (Tabel 1)

menunjukkan adanya penurunan bahkan

hingga mencapai 0 persen etmal-1

pada media

kertas, plastik dan aluminium foil (suhu

ruang). Kecepatan tumbuh benih dalam

penyimpanan botol kaca bersilika sebesar

1,49 persen etmal-1

dan nilai perkecambahan

benih sebesar 3,10 hingga 2 bulan

penyimpanan. Kecepatan tumbuh benih dalam

botol kaca bersilika pada suhu freezer sebesar

2,43 persen etmal-1

dan nilai perkecambahan

benih sebesar 5,99.

Tabel (Table) 1. Persentase perkecambahan, kadar air, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan

benih M. ferrea pada berbagai media dan ruang simpan (Percentage of

germination,water content, rate of germination and seed germination value of M.

ferrea on various media and seed storage)

Media

simpan

(media of

storage)

Ruang simpan

(room of

storage)

Waktu

simpan

(storage

time)

Persentase

perkecambahan

(percentage of

germination)

Kadar air

benih (%)

(seed water

content)

Kecepatan

tumbuh (%

etmal-1

) (rate of

germination)

Nilai

perkecambahan

benih (seed

germination

value) Kertas( paper) Suhu ruang 0 bulan 90 10,85 39,43 6,31

1 bulan 0 8,28 0 0 2 bulan 0 10,04 0 0

Freezer

-20°C

0 bulan 95 22,4 48,84 8,76

1 bulan 0 5,32 0 0

2 bulan 0 9,02 0 0

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.

Dewi Ayu Lestari

37

Plastik (plastic) Suhu ruang 0 bulan 80 15,4 35,51 5,02

1 bulan 0 0 0 0

2 bulan 0 0 0 0

Freezer

-20°C

0 bulan 70 27,97 33,11 4,62

1 bulan 60 24,49 1,62 3,29 2 bulan 0 28,29 0 0

Aluminium foil Suhu ruang 0 bulan 90 13,33 46,49 7,01

1 bulan 0 8,79 0 0

2 bulan 0 10,53 0 0

Freezer

-20°C

0 bulan 75 25,39 34,04 4,26

1 bulan 25 27,02 0,48 0,47

2 bulan 5 15,25 0,14 0,04

Botol kaca bersilika (a

glass jar with

silica)

Suhu ruang 0 bulan 100 11,11 42,59 8,28 1 bulan 100 7,96 2,7 7,96

2 bulan 55 11,04 1,49 3,10

Freezer -20°C

0 bulan 85 27,69 35,16 5,46 1 bulan 85 17,83 2,30 5,44

2 bulan 90 18,37 2,43 5,99

2. Benih Tabog (Swinglea glutinosa

(Blanco) Merr.)

Kadar air benih S. glutinosa berdasarkan

hasil pengujian menunjukkan bahwa terjadi

penurunan kadar air pada benih yang

disimpan dalam semua media yang diuji pada

penyimpanan suhu freezer seiring dengan

lamanya penyimpanan. Namun kadar air

mengalami peningkatan pada benih yang

disimpan dalam media kertas, plastik dan

aluminium foil pada suhu ruang dan

mengalami penurunan pada 2 bulan

penyimpanan hingga mencapai nol persen.

Kadar air benih yang disimpan dalam botol

kaca bersilika pada suhu ruang bernilai nol

persen. Kadar air benih S. glutinosa yang

disimpan dalam plastik pada suhu ruang

selama 1 bulan penyimpanan masih dapat

dipertahankan hingga 37,5 persen (Tabel 2).

Benih S. glutinosa memiliki

perkecambahan benih yang lebih baik

dibandingkan dengan perkecambahan benih

M. ferrea. Perkecambahan benih S. glutinosa

berada dalam kisaran 83,33 persen―93,33

persen pada 1 bulan penyimpanan namun

menurun hingga nol persen pada 2 bulan

penyimpanan dengan berbagai media

penyimpanan dalam suhu ruang.

Perkecambahan benih mengalami kenaikan

pada perlakuan benih yang disimpan dalam

kertas dan botol kaca bersilika di suhu ruang.

Perkecambahan benih yang disimpan dalam

plastik cenderung stabil. Penyimpanan benih

dalam freezer suhu -20°C menurunkan

perkecambahan benih S. glutinosa, terutama

pada perlakuan media simpan plastik dan

kertas hingga 10 persen serta 50 persen.

Media penyimpanan aluminium foil dan botol

kaca bersilika mampu mempertahankan

perkecambahan benih hingga di atas 70

persen (Tabel 2).

Persentase perkecambahan memiliki pola

yang relevan dengan kadar air benih selama

penyimpanan dengan berbagai perlakuan yang

diuji, kecuali pada benih yang disimpan

dalam media plastik dan aluminium foil pada

suhu ruang. Sehingga persentase

perkecambahan benih S. glutinosa

menunjukkan hubungan korelasi dengan

kadar air benihnya (Tabel 2). Benih yang

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

38

disimpan pada media kertas dalam suhu ruang

mengalami peningkatan persentase

perkecambahan benih, seiring dengan

peningkatan kadar air benihnya. Benih yang

disimpan dalam media plastik pada suhu

ruang memiliki persentase perkecambahan

yang tetap pada 1 bulan penyimpanan,

sedangkan kadar air benihnya meningkat. Hal

yang sama juga ditunjukkan oleh benih yang

disimpan dalam media aluminium foil pada

suhu ruang, dimana persentase

perkecambahannya menurun pada 1 bulan

penyimpanan namun kadar airnya meningkat.

Sehingga persentase perkecambahan benih S.

glutinosa yang disimpan dalam media

aluminium foil berbanding terbalik dengan

kadar air benihnya.

Kecepatan tumbuh dan nilai

perkecambahan benih S. glutinosa yang

disimpan dalam semua media pada suhu

ruang maupun suhu freezer menunjukkan

adanya penurunan bahkan hingga mencapai 0

persen etmal-1

pada 2 bulan penyimpanan.

Kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan

benih dalam semua media simpan di suhu

ruang akan mengalami peningkatan pada 1

bulan penyimpanan namun akan kembali

menurun hingga 0 persen etmal-1

pada 2 bulan

penyimpanan. Namun terjadi penurunan

kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan

benih pada penyimpanan suhu freezer (Tabel

2).

Tabel (Table) 2. Persentase perkecambahan, kadar air, kecepatan tumbuh dan nilai perkecambahan

benih S. glutinosa pada berbagai media dan ruang simpan (Percentage of

germination, water content, rate of germination and seed germination value of S.

glutinosa on various media and seed storage)

Media simpan

(media of

storage)

Ruang simpan

(room of

storage)

Waktu simpan

(storage time)

Persentase

perkecambahan

(percentage of

germination)

Kadar air

benih (%)

(seed water

content)

Kecepatan

tumbuh (%

etmal-1) (rate of

germination)

Nilai

perkecambahan

benih (seed

germination value) Kertas (paper) Suhu ruang 0 bulan 86,67 12,5 31,09 7,95

1 bulan 93,33 22,6 55,25 9,76

2 bulan 0 0 0 0

Freezer -20°C

0 bulan 73,33 20,83 26,93 5,18 1 bulan 63,33 6,25 11,31 3,71

2 bulan 0 0 0 0

Plastik (plastic) Suhu ruang 0 bulan 86,67 12,5 34,28 6,50

1 bulan 86,67 37,5 54,35 9,40

2 bulan 0 0 0 0

Freezer

-20°C

0 bulan 96,67 16,67 42,73 9,49

1 bulan 43,33 16,67 19,21 2,77

2 bulan 0 0 0 0

Aluminium foil Suhu ruang 0 bulan 93,33 12,5 34,41 9,49

1 bulan 86,67 14,29 51,7 8,63 2 bulan 0 0 0 0

Freezer

-20°C

0 bulan 93,33 40 33,89 7,75

1 bulan 90 12,5 26,95 7,02

2 bulan 0 0 0 0

Botol kaca

bersilika (a glass

jar with silica)

Suhu ruang 0 bulan 90 25 35,31 8,42

1 bulan 93,33 20 56,17 10,63

2 bulan 0 0 0 0

Freezer

-20°C

0 bulan 90 25 40,46 8,87

1 bulan 83,33 16,67 32,66 6,31 2 bulan 0 0 0 0

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.

Dewi Ayu Lestari

39

Hasil analisis ragam pengaruh kombinasi

perlakuan penyimpanan terhadap

perkecambahan benih ditunjukkan dalam

Tabel 3. Kombinasi perlakuan penyimpanan

tidak memberikan pengaruh yang nyata hanya

terhadap parameter kecepatan tumbuh.

Tabel (Table) 3. Hasil analisis ragam pengaruh kombinasi perlakuan penyimpanan benih M. ferrea

dan S. glutinosa terhadap perkecambahannya (Analysis of variance results from

seed storage treatment combination on M. ferrea and S. glutinosa to its

germination)

Parameter penelitian (research parameter) Fhit F(0,05)

Kadar air benih (seed moisture content) 8,592* 5,595

Perkecambahan benih (seed germination) 9,037* 5,595

Kecepatan tumbuh (rate of germination) 3,254tn

5,595

Nilai perkecambahan benih (seed germination value) 7,259* 5,595

Keterangan (Remarks): * = berbeda nyata pada taraf 5%; tn

= tidak berbda nyata pada taraf 5% (* =

significant at 5% level; tn

= not significant at 5% level)

Kombinasi perlakuan antara media dan

ruang penyimpanan menunjukkan adanya

perbedaan yang signifikan terhadap lama

penyimpanan, baik pada benih M. ferrea

maupun S. glutinosa (Tabel 4). Benih M.

ferrea yang langsung disemai tanpa melalui

proses penyimpanan menunjukkan tidak

adanya perbedaan yang signifikan antar

kombinasi perlakuan. Perbedaan yang

signifikan terjadi pada satu hingga 2 bulan

lama penyimpanan, terutama untuk benih M.

ferrea yang disimpan dalam botol kaca

bersilika baik pada suhu ruang maupun

freezer. Media penyimpanan lainnya seperti

kertas, plastik dan aluminium foil pada

freezer juga memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap perkecambahan benih dari

M. ferrea. Sehingga, kombinasi perlakuan

antara media dan ruang penyimpanan

memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap perkecambahan benih M. ferrea

setelah 2 bulan penyimpanan. Hal yang

berbeda ditunjukkan oleh perkecambahan

benih S. glutinosa. Kombinasi perlakuan

antara media dan ruang penyimpanan hanya

memberikan pengaruh yang signifikan pada

media kertas dan plastik pada ruang

penyimpanan di dalam freezer. Hasil uji

perkecambahan menunjukkan bahwa

penyimpanan benih S. glutinosa disarankan

untuk disimpan pada media penyimpanan

dalam suhu ruang. Tabel (Table) 4. Hasil analisis pada kombinasi perlakuan antara media dan lama penyimpanan

benih M. ferrea dan S. glutinosa (Results of analysis of treatment combination

between media and seed storage time on M. ferrea and S. glutinosa)

Kombinasi perlakuan

benih M. ferrea (treatment

combination of M. ferrea

seeds)

Lama simpan (storage time)

Kombinasi perlakuan benih S. glutinosa

(treatment combination of

S. glutinosa seeds)

Lama simpan (storage time)

0 bulan (0

month)

1 bulan

(1 month)

2 bulan (2

months)

0 bulan

(0 month)

1 bulan

(1 month)

2 bulan (2

months)

Kertas – suhu ruang (paper-room temperature)

90 ab 0 e 0 e Kertas – suhu ruang 86,67 c 93,33 a 0 a

Kertas – freezer (paper-

frezeer)

95 a 0 e 20 c Kertas – freezer 73,33 d 63,33 d 0 a

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

40

Plastik – suhu ruang

(plastic-room

temperature)

80 cd 0 e 0 e Plastik – suhu ruang 86,67 c 86,67 ab 0 a

Plastik – freezer (plastic-freezer)

70 e 60 c 0 e Plastik – freezer 96,67 a 43,33 e 0 a

Aluminium foil – suhu

ruang (aluminium foil – room temperature)

90 ab 0 e 0 e Aluminium foil – suhu

ruang

93,33 a 86,67 ab 0 a

Aluminium foil - freezer 75 e 25 d 5 d Aluminium foil - freezer 93,33 a 90 a 0 a

Botol kaca bersilika –

suhu ruang(a glass jar with silica-room

temperature)

100 a 100 a 55 b Botol kaca bersilika – suhu

ruang

90 ab 93,33 a 0 a

Botol kaca bersilika – freezer (a glass jar with

silica-freezer)

85 c 85 b 90 a Botol kaca bersilika - freezer

90 ab 83,33 bc 0 a

Keterangan (Remarks): Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat

kepercayaan 95 persen menggunakan uji lanjut Duncan. (Values followed by the same letter

are not significantly different at 95 percent confidence level using Duncan test)

Benih M. ferrea memiliki tipe

perkecambahan hipogeal dengan pola

perkecambahan yang serentak (Gambar 1).

Gambar (Figure) 1. Tipe dan pola

perkecambahan benih M. ferrea; (a)

hipogeal, dan (b) pola serentak

(Type and pattern of M. ferrea seed

germination; (a) hypogeal, and (b)

simultaneously pattern)

Sedangkan benih S. glutinosa memiliki tipe

perkecambahan epigeal dengan pola

perkecambahan yang serentak (Gambar 2).

Gambar (Figure) 2. Tipe dan pola

perkecambahan benih S. glutinosa;

(a) epigeal, dan (b) pola serentak

(Type and pattern of S. glutinosa

seed germination; (a) epigeal, and

(b) simultaneously pattern)

Menurut Handayani dan Riswati (2009);

Sutopo (2004), tipe perkecambahan hipogeal

ditunjukkan melalui munculnya radikula

diikuti dengan pemanjangan plumula,

hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan

tanah sedangkan kotiledon tetap tinggal di

dalam kulit benih di bawah permukaan tanah.

Tipe perkecambahan epigeal ditunjukkan

melalui munculnya radikula diikuti dengan

pemanjangan hipokotil secara keseluruhan

dan membawa serta kotiledon dan plumula ke

atas permukaan tanah. Pola perkecambahan

yang serentak ditandai dengan munculnya

kecambah benih secara bersamaan dan tidak

bertahap.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil uji perkecambahan,

benih M. ferrea dengan media dan waktu

simpan yang berbeda menunjukkan bahwa

benih M. ferrea disarankan untuk disimpan

a b

a b

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.

Dewi Ayu Lestari

41

pada media penyimpanan botol kaca bersilika

baik pada suhu ruang maupun di dalam

freezer (-20°C). Persentase perkecambahan

tidak berkorelasi dengan kadar air benih saat

disimpan. Berdasarkan Tabel 1, kadar air

benih masih cukup tinggi namun persentase

perkecambahannya menurun hingga mencapai

nol persen. Hal ini dikarenakan secara

morfologi benih ditumbuhi jamur saat

penyimpanan. Jenis jamur yang tumbuh pada

benih tidak dilakukan identifikasi lebih lanjut.

Penyimpanan benih pada jenis tertentu

digunakan sebagai salah satu cara untuk

mengetahui karakter dari suatu jenis benih

(Joshi et al., 2015).

Benih M. ferrea dapat berkecambah pada

tempat yang memiliki cukup kelembaban

(Khan, Bhuyan, Shankar, & Todaria, 1999;

Khan et al., 2002). Melalui kelembaban yang

cukup, benih akan semakin mudah untuk

berkecambah. Kadar air benih M. ferrea

sebesar 31 persen dengan nilai desikasi

sebesar 1,5 persen dari kadar air, dapat

disimpan pada suhu 5°C dengan kadar air

benih sebesar 6,7 persen (Joshi et al., 2015).

Berdasarkan hasil uji perkecambahan,

benih S. glutinosa dengan media dan waktu

simpan yang berbeda menunjukkan bahwa

benih S. glutinosa disarankan untuk disimpan

pada media penyimpanan kertas, aluminium

foil maupun botol kaca bersilika pada suhu

ruang. Menurut (McCormack, 2004), kadar

air benih yang terlalu tinggi (lebih dari 18

persen) akan menyebabkan benih kehilangan

perkecambahannya. Sehingga

mempertahankan kadar air benih dalam

kondisi yang ideal sangat penting dilakukan.

Menurut Martyn, Seed, Ooi, & Offord (2009),

berbagai masalah yang muncul dalam

mengecambahkan benih dari kelompok

tumbuhan Rutaceae (jeruk-jerukan) adalah

viabilitas benihnya bervariasi dan

perkecambahannya sulit untuk dipahami.

Penelitian perkecambahan pada kelompok

tumbuhan Rutaceae menemui permasalahan

pada produksi benihnya yang rendah dan

tidak serentak serta perkecambahan benihnya

rendah (12 persen―38 persen). Namun hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa

perkecambahan benih dari salah satu anggota

tumbuhan Rutaceae mampu dipertahankan

antara 83,33 persen―93,33 persen pada

penyimpanan suhu ruang (berbagai media

penyimpanan) maupun freezer (media

penyimpanan aluminium foil dan botol kaca

bersilika).

Anto dan Jayaram (2010) menyatakan

bahwa kadar air benih berkorelasi positif

dengan persentase perkecambahannya dimana

benih legume yang kadar airnya berada di

bawah 6,4 persen―6,8 persen akan

menurunkan persentase perkecambahannya.

Kehilangan kadar air benih secara tidak

langsung akan menurunkan persentase

perkecambahan benih, misalkan pada Saraca

asoca (Smitha & Das, 2016). Hanya benih

yang disimpan dalam aluminium foil pada

suhu ruang yang memiliki korelasi positif

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

42

antara kadar air benih dan persentase

perkecambahannya. Benih yang disimpan

dalam botol kaca bersilika memiliki kadar air

yang meningkat (suhu ruang) dan menurun

(suhu freezer), namun menghasilkan

persentase perkecambahan yang stabil atau

konstan.

Terkait dengan sifat benih yang

rekalsitran, benih M. ferrea dan S. glutinosa

sangat rentan terhadap suhu rendah yang akan

mempengaruhi viabilitasnya. Proses

pengeringan (desikasi) juga memberikan

pengaruh yang signifikan bagi viabilitas

masing-masing benih (Berjak & Pammenter,

2001, 2013; Pammenter & Berjak, 2014).

Penyimpanan benih dengan sifat rekalsitran

lebih baik dalam refrigerator dibandingkan

dengan freezer yang memiliki suhu sangat

rendah. Kualitas benih akan tetap baik dengan

cara mengontrol kadar air benihnya selama

proses penyimpanan di dalam refrigerator.

Pradhan dan Badola (2012) menyatakan

bahwa benih Swertia chirayita yang tergolong

dalam benih rekalsitran mengalami penurunan

viabilitasnya ketika disimpan dalam kondisi

penyimpanan dengan suhu -15ºC, namun

viabilitas benihnya tetap terjaga ketika

disimpan di dalam kondisi penyimpanan 4ºC

selama 2 tahun lama simpan.

Perlakuan penyimpanan pada benih M.

ferrea dan S. glutinosa memberikan respon

terhadap penurunan kecepatan tumbuh dan

nilai perkecambahan benih. Hal ini berarti

bahwa media, ruang dan waktu simpan

menurunkan kecepatan tumbuh dan nilai

perkecambahan kedua jenis benih yang diuji.

Kecepatan tumbuh merupakan indeks yang

penting dalam menentukan kualitas

perkecambahan benih. Menurut Li, Kang,

Wu, & Chen (2012), kecepatan tumbuh benih

padi hibrida lebih baik daripada benih padi

non hibrida yang disimpan pada kondisi

penyimpanan yang kering dan dingin. Hal ini

dikarenakan kualitas benih padinya lebih baik

sehingga meningkatkan kecepatan

tumbuhnya. Nilai perkecambahan benih

merupakan persentase benih yang

berkecambah setiap harinya sehingga

berkaitan dengan laju perkecambahan benih

atau daya tumbuh benih (Payung et al., 2012).

Semakin lama benih disimpan maka laju

perkecambahan atau daya tumbuh benih akan

semakin menurun, sehingga nilai

perkecambahan benih juga akan menurun.

IV. KESIMPULAN

Penyimpanan benih M. ferrea disarankan

dalam media botol kaca bersilika baik pada

suhu ruang maupun di dalam freezer (-20°C).

Benih S. glutinosa dengan media dan waktu

simpan yang berbeda disarankan untuk

disimpan dalam berbagai media penyimpanan

(suhu ruang) serta media penyimpanan

aluminium foil dan botol kaca bersilika (suhu

TEHNIK PENYIMPANAN BENIH REKALSITRAN: Mesua ferrea L. DAN Swinglea glutinosa (BLANCO) MERR.

Dewi Ayu Lestari

43

freezer). Mengacu pada hasil penyimpanan

kedua jenis tersebut maka benih M. ferrea dan

S. glutinosa dikategorikan dalam benih

rekalsitran yang tidak tahan disimpan untuk

waktu yang lama.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih pada

Bapak Roif Marsono yang telah membantu

dalam proses pemanenan dan penyiapan

benih, serta Sub Unit Herbarium dalam

penyimpanan benih.

DAFTAR PUSTAKA

Anto, K. B., & Jayaram, K. M. (2010). Effect of

temperature treatment on water content green

pea & soybean. International Journal of

Botany, 6(2), 122–126.

Barbedo, C. J., Centeno, D. D. C., & Figueiredo-

Ribeiro, R. D. C. L. (2013). Do recalcitrant

seeds really exist ? Hoehnea, 40(4), 583–595.

doi:10.1590/S2236-89062013000400001.

Berjak, P., & Pammenter, N. W. (2001). Seed

recalcitrance - Current perspectives. South

African Journal of Botany, 67(2), 79–89.

doi:10.1016/S0254-6299(15)31111-X.

Berjak, P., & Pammenter, N. W. (2013).

Implications of the lack of desiccation

tolerance in recalcitrant seeds. Frontiers in

Plant Science, 4(November), 1–9.

doi:10.3389/fpls.2013.00478.

Draper, S. R., Bass, L. N., Bould, A., Gouling, P.,

Hutin, M. C., Rennie, W. J., Tonkin, J. H. B.

(1985). Seed Science and Technology:

International Rules for Seed Testing. Vol. 13,

No. 2. Switzerland: International Seed

Testing Association.

Handayani, T., & Riswati, M. K. (2009).

Perkecambahan Biji Beberapa Jenis

Tumbuhan Berpotensi. Prosiding Konservasi

Flora Indonesia Dalam Mengatasi Dampak

Pemanasan Global, 240–243.

Haque, S. M. A., Hossain, I., & Rahman, M. A.

(2014). Effect of different storage containers

used for storing seeds and management

practices on seed quality and seed health in

CVL-1 variety. International Journal of

Plant Pathology, 5(2), 28–53.

Jamal, Y., & Sulianti, S. B. (2008). Chemical

constituents of essential oils from three

species of rutaceous family plant. Berita

Biologi, 9(3), 285–290.

Joshi, G., Phartyal, S. S., Khan, M. R., &

Arunkumar, A. N. (2015). Recalcitrant

morphological traits and intermediate storage

behaviour in seeds of Mesua ferrea, a

tropical evergreen species. Seed Science and

Technology, 43(1), 121–126.

doi:10.15258/sst.2015.43.1.13.

Khan, M. L., Bhuyan, P., Shankar, U., & Todaria,

N. P. (1999). Seed germination and seedling

fitness in Mesua ferrea L. in relation to fruit

size and seed number per fruit. Acta

Oecologica, 20(6), 599–606.

doi:10.1016/S1146-609X(99)00101-0.

Khan, M. L., Bhuyan, P., & Singh, N. D. (2002).

Fruit set , seed germination and seedling

growth of Mesua ferrea (Clusiaceae) in

relation to light intensity. Journal of Tropical

Forest Science, 14(1), 35–48.

Krueger, R. R., & Navarro, L. (2007). Citrus

Germplasm Resources. UK: MRM Graphics

Ltd.

Lestari, D. A. (2013). Effect of Material and

Storage Time on Seed Germination of

Parmentiera cereifera Seem. Proceedings of

The 3rd Annual Basic Science International

Conference 2013 (Volume 3), 16.1–16.3.

Li, W., Kang, G., Wu, H., & Chen, L. (2012).

Germination rates of hybrid seeds of rice

(Oryza sativa L) Zhuliangyou 02 with

different treatments of dehydration, storage

and soaking. African Journal of Agricultural

Researcharch, 7(36), 5043–5048.

doi:10.5897/AJAR11.2219.

Martyn, A. J., Seed, L. U., Ooi, M. K. J., &

Offord, C. A. (2009). Seed fill, viability and

germination of NSW species in the family

Rutaceae. Cunninghamia, 11(2), 203–212.

Mbogne, J. T., Oburi, N. W., Emmanuel, Y., &

Godswill, N. N. (2015). Influence of

conditioning and storage materials on the

germination potential of pumpkin (Cucurbita

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 31-44

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

44

spp.) seeds. International Journal of Current

Research in Biosciences and Plant Biology,

2(4), 65–75.

McCormack, J. (2004). Seed processing and

storage: principles and practices of seed

harvesting, processing, and storage. An

organic seed production manual for seed

growers in the Mid-Atlantic and Southern

U.S. Version 1.3. Retrieved from

http://carolinafarmstewards.org/savingoursee

d.shtml.

Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R., Jamdanass, R., &

Anthony, S. (2009). Mesua ferrea Guttiferae

Mesua ferrea. Agroforestree Database:a Tree

Reference and Selection Guide Version 4.0.,

0, 1–5. Retrieved from

http://www.worldagroforestry.org/treedb/AF

TPDFS/Mesua_ferrea.PDF.

Pammenter, N. W., & Berjak, P. (2014).

Physiology of desiccation-sensitive

(recalcitrant) seeds and the implications for

cryopreservation. International Journal of

Plant Sciences, 175(1), 21–28.

doi:10.1086/673302.

Payung, D., Prihatiningtyas, E., & Nisa, S. H.

(2012). Uji daya kecambah benih sengon.

Jurnal Hutan Tropis, 13(2), 132–138.

Pradhan, B. K., & Badola, H. K. (2012). Effect of

storage conditions and storage periods on

seed germination in eleven populations of

Swertia chirayita : A critically endangered

medicinal herb in Himalaya. The Scientific

World Journal, 2012(June), 1–9.

doi:10.1100/2012/128105.

Saini, S., Rani, R., Rani, R., & Vimala, Y. (2014).

In vitro callus induction protocols of Mesua

ferrea (a slow growing medicinal tree) using

two type explants & different concentrations

of PGRs. Annals of Plant Sciences, 3(3),

651–55.

Smitha, D., & Das, M. (2016). Effect of seed

moisture content, temperature and storage

period on seed germination of Saraca asoca -

An endangered medicinal plant. Medicinal

Plants, 8(1), 60–64. doi:10.5958/0975-

6892.2016.00009.5.

Sudrajat, D. J., Nurhasybi, & Bramasto, Y.

(2015). Standar Pengujian dan Mutu Benih

Tanaman Hutan. Bogor: Forda Press.

Sutopo, L. (2004). Teknologi Benih. Malang:

Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.

Sutopo, L. (2010). Teknologi Benih. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Utami, S. (2013). Uji viabilitas dan vigoritas

benih padi lokal ramos adaptif Deli Serdang

dengan berbagai tingkat dosis irradiasi sinar

gamma di persemaian. Agrium, 18(2), 130–

138.

Wulandari, W., Bintoro, A., & Duryat. (2015).

Pengaruh ukuran berat benih terhadap

perkecambahan benih Merbau darat (Intsia

palembanica). Jurnal Sylva Lestari, 3(2), 79–

88.

PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI

EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON

Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto

*Kontribusi penulis: Y.M.M Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi, dan Yulianti Bramasto sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.45-54 45

PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI

EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON

(Pre Sterilization Effect towards the Successful of the Initiation of Sengon Explant Shoots)

*Y.M.M. Anita Nugraheni, *Ratna Uli Damayanti Sianturi dan/and *Yulianti Bramasto

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jalan Pakuan Ciheuleut PO BOX 105 , Telp./Fax. 0251 8327768, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

e-mail: [email protected]

Naskah masuk: 26 Maret 2018; Naskah direvisi: 21 Mei 2018; Naskah diterima: 18 Juni 2019

ABSTRACT

Sengon known as forest product with high market demand. Tissue culture is one multiplication method to get

seeds in large quantities. One factors that support the success of reproduction is the health of the plant

material. The purpose of the study is to determine the influence of pre-sterilization treatments towards the

successful initiation of sengon organogenesis. The research method was done by spraying the seedlings with

Pyraclostrobin 50 g.kg -1

+ Metiram 550 g.kg -1

of 2,500 ppm every week for 3 months. Each explant was

grown on MS medium.The observation was carried out done every 1 week for 12 weeks, including the

amount of contamination (bacteria, fungi), browning and the appearance of buds, roots and callus. Data

were analyzed by t-test. The next stage is multiplication by using treatments of 24D 0.1 mM, 24D 0.5 mM,

BAP 0.5 mM, BAP 2 mM, K 0.1 mM, K 0.5 mM, TDZ 0.1 mM, TDZ 0, 5 mM, and control. Completely

randomized design was used and analyzed by using one way ANOVA, and tested with Duncan for the

differences at 0,05 significant level. The results showed that pra-sterilization treatment was capable of

supporting the successful initiation of sengon shoots characterized by low levels of contamination, increased

number of callus and number of sengon shoots explants. Kinetin 0.01 mM in the multiplication media of

sengon shoots was able to increase the number of adventitious shoots. Keywords : explant, Falcataria moluccana, plantlet, tissue culture

ABSTRAK

Sengon dikenal sebagai produk hutan yang memiliki berbagai manfaat. Permintaan pasar yang tinggi akan

sengon mendorong perlunya upaya budidaya yang berkelanjutan. Kultur jaringan merupakan salah satu

metode perbanyakan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah banyak dengan waktu singkat. Salah satu faktor

yang mendukung keberhasilan perbanyakan adalah kesehatan bahan tanaman. Tujuan penelitian untuk

mengetahui pengaruh perlakuan prasterilisasi terhadap keberhasilan inisiasi organogenesis eksplan pucuk

sengon. Metode penelitian dilakukan dengan penyemprotan Pyraclostrobin 50 g.kg -1

+ Metiram 550 g.kg -1

dengan dosis 2.500 ppm pada bibit sengon di rumah kaca setiap 1 minggu sekali selama 3 bulan. Semua

eksplan selanjutnya ditanam pada media MS. Pengamatan 1 minggu sekali selama 12 minggu, meliputi

jumlah kontaminasi (bakteri, jamur), pencoklatan serta pemunculan tunas, akar, dan kalus. Data dianalisis

dengan uji t. Tahapan selanjutnya adalah multiplikasi dengan perlakuan : 24D 0,1 mM, 24D 0,5 mM, BAP

0,5 mM, BAP 2 mM, K 0,1 mM, K 0,5 mM, TDZ 0,1 mM, TDZ 0,5 mM, dan kontrol. Rancangan penelitian

yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data pengamatan multiplikasi dianalisis menggunakan

analisis varian satu arah, selanjutnya diuji dengan Duncan, taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian

menunjukkan perlakuan prasterilisasi mampu mendukung keberhasilan inisiasi eksplan pucuk sengon, yang

dicirikan dengan rendahnya tingkat kontaminasi, meningkatnya jumlah kalus dan jumlah tunas eksplan.

Penambahan kinetin 0,01 mM dalam media multiplikasi pucuk sengon dapat meningkatkan tunas adventif. Kata kunci : eksplan, kultur jaringan, Falcataria moluccana, planlet

I. PENDAHULUAN

Sengon merupakan salah satu tanaman

penghasil kayu yang sangat diminati di pasar

karena keunggulannya yaitu kayunya mudah

diolah, umumnya ditanam oleh masyarakat di

hutan rakyat, dan digunakan sebagai penaung

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

46

perkebunan kopi maupun kakao (Herliyana,

Putra, & Taniwiryono, 2012). Permintaan

pasar yang tinggi akan sengon mendorong

perlunya upaya budidaya yang berkelanjutan

yaitu melalui penyediaan bibit dalam jumlah

besar, relatif cepat pengadaannya serta harga

yang relatif murah. Perbanyakan

menggunakan biji memiliki kekurangan, salah

satunya adalah perbedaan karakter awal dari

genotipe (Harahap, Siregar, & Husni, 2015).

Perbanyakan sengon secara vegetatif

melalui kultur jaringan dapat menjadi salah

satu pilihan. Perbanyakan dengan benih dapat

menghasilkan anakan tanaman dengan sifat

yang relatif beragam sehingga masih

memerlukan uji lapangan dalam waktu yang

cukup lama untuk mendapatkan keseragaman

sifat unggulnya. Sistem perbanyakan kultur

jaringan melalui organogenesis tunas pucuk

diharapkan mampu memenuhi ketersediaan

bibit sengon yang seragam dalam waktu

singkat dan dengan harga yang relatif murah.

Menurut Yuliani (2001) kultur tunas pucuk

memiliki beberapa keuntungan yaitu frekuensi

organogenesisnya tinggi, tingkat stabilitas

genetiknya relatif tinggi, penggunaan yang

luas pada banyak jenis, terbukti berhasil untuk

propagasi pohon dewasa, dan secara ekonomi

murah.

Materi sumber eksplan yang secara

fisiologis telah lengkap dari daun, batang dan

akar akan meningkatkan persentase

keberhasilan pembentukan planlet pada

perbanyakan kultur jaringan (Putri &

Jayusman, 2012). Selain itu, salah satu faktor

pendukung keberhasilan teknik perbanyakan

melalui kultur jaringan adalah kesehatan

materi genetik, yaitu tidak terserang hama dan

penyakit. Pada tahap awal teknik kultur

jaringan kendala terbanyak adalah bagaimana

mendapatkan eksplan dengan tingkat

kontaminasi bakteri atau fungi yang rendah di

dalam botol kultur. Upaya yang dilakukan

dimulai dari isolasi bahan induk tanaman

sebagai sumber eksplan di dalam rumah kaca

serta perawatan dengan fungisida dan

bakterisida. Pada percobaan ini dilakukan

prasterilisasi tanaman induk dengan pemberian

fungisida dengan kombinasi Pyraclostrobin

dan Metiram. Fungisida ini diketahui mampu

menekan pertumbuhan jamur dan khamir serta

menunjukkan efek tambahan sebagai zat

pengatur tumbuh (Rego, Nascimento, Cabral,

Silva, & Oliveira, 2009;González-Rodríguez et

al., 2011). Tujuan penelitian adalah

mengetahui pengaruh pemberian fungisida

Pyraclostrobin 50 g.kg-1

+ Metiram 550 g.kg-1

terhadap keberhasilan inisiasi eksplan pucuk

sengon.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan di rumah kaca dan

laboratorium Kultur jaringan BP2TPTH Bogor

sejak bulan Pebruari sampai dengan

September 2017. Bahan dan alat yang

PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI

EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON

Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto

47

diperlukan untuk penelitian adalah bibit

sengon asal Cianjur dan Boyolali, media

sekam padi, kompos, tanah, media Murashige

dan Skoog,MS, Pyraclostrobin 50 g.kg-1

+

Metiram 550 g.kg-1

.

B. Prosedur Penelitian

Bibit sengon yang dipilih memiliki rata-

rata tinggi dan diameter yang sama,

diusahakan bibit juga memiliki kualitas yang

baik. Kriteria bibit berkualitas baik yaitu bibit

yang tumbuh normal dan bebas dari hama dan

penyakit (Naemah & Susilawati, 2015).

Selanjutnya bibit dipindahkan pada media

dengan komposisi perbandingan volume tanah

: pupuk kandang : arang sekam : sekam padi =

3 : 2 : 2: 2 (v/v), dan ditanam dalam pot

berdiameter 20 cm. Perlakuan yang digunakan

yaitu disemprot dan tidak disemprot

Pyraclostrobin 50 g.kg-1

+ Metiram 550 g.kg-1

.

Penyemprotan dilakukan setiap 1 minggu

sekali selama 3 bulan. Dosis yang digunakan

untuk sekali siram untuk semua bibit adalah

1.000 ml dengan konsentrasi 2.500 ppm.

Penyemprotan dilakukan menggunakan

sprayer agar merata. Tahapan kegiatan

selanjutnya yang dilakukan yaitu eksplan

diambil dari tunas pucuk dari setiap perlakuan,

selanjutnya dipotong sepanjang 2 cm, semua

daunnya dipotong dan disisakan daun hanya

pada 1 ruas. Eksplan yang diambil dari

perlakuan Pyraclostrobin 50 g.kg-1

+ Metiram

550 g.kg-1

sebanyak 34 buah (terdiri dari

eksplan asal Cianjur sebanyak 17 buah dan

eksplan asal Boyolali 17 buah), sedangkan

eksplan yang diambil dari perlakuan kontrol

sebanyak 17 buah. Jumlah eksplan yang

digunakan hanya sedikit karena keterbatasan

eksplan juvenile yang tersedia di rumah kaca.

sebanyak 17 buah.Masing-masing eksplan

yang telah dibersihkan selanjutnya ditanam

pada media MS di dalam LAF. Selanjutnya

dilakukan pengamatan terhadap kondisi

eksplan serta kontaminasi yang muncul.

Tahapan selanjutnya yang dilakukan

adalah tahapan multiplikasi. Eksplan yang

telah tumbuh menjadi individu baru

selanjutnya disubkultur ke dalam botol-botol

berisi media MS dengan beberapa perlakuan

multiplikasi : 24D 0,1 mM, 24D 0,5 mM, BAP

0,5 mM, BAP 2 mM, K 0,1 mM, K 0,5 mM,

TDZ 0,1 mM, TDZ 0,5 mM, dan kontrol.

Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap

persen hidup, jumlah tunas, jumlah berkalus,

serta kontaminasi yang muncul.

C. Analisis Data

Pengamatan terhadap eksplan dilakukan

setiap 1 minggu sekali sampai 12 minggu,

meliputi kontaminasi (bakteri, jamur, khamir),

browning (pencoklatan), jumlah akar, dan

kalus yang muncul. Pada akhir pengamatan

juga dilakukan penghitungan jumlah tunas

yang tumbuh. Data pengamatan inisiasi yang

telah terkumpul dianalisis menggunakan uji t

student dengan taraf signifikansi 0,05.

Pengamatan terhadap multiplikasi tunas

sengon dilakukan setiap 1 minggu sekali

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

48

sampai 12 minggu, meliputi jumlah yang

hidup, jumlah tunas, kalus yang muncul, serta

kontaminasi yang muncul (bakteri, jamur,

khamir). Rancangan penelitian yang

digunakan adalah rancangan acak lengkap

(RAL). Data pengamatan hasil multiplikasi

dianalisis menggunakan analisis varian satu

arah, selanjutnya diuji dengan Duncan. Taraf

signifikansi 0,05.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil pengamatan selama 12 minggu pada

kultur in vitro tunas pucuk sengon terhadap

beberapa peubah dapat dilihat pada Tabel 1.

Pengaruh perlakuan prasterilisasi pada

tanaman induk sebagai sumber eksplan dengan

penyemprotan fungisida yang berbahan aktif

Pyraclostrobin 50 g.kg-1

+ Metiram 550 g.kg-1

menghasilkan tingkat kontaminasi rendah yang

berbeda nyata terhadap kontrol (α < 0,05).

Pengaruh lain juga terlihat pada inisiasi tunas

aksilar pada eksplan yang menunjukkan bahwa

perlakuan penyemprotan fungisida

memberikan jumlah tunas aksilar yang tumbuh

pada eksplan lebih banyak dibandingkan

dengan kontrol yaitu 1,4 tunas lebih banyak (α

< 0,05). Demikian juga pengaruh pelakuan

pada induksi kalus pada eksplan menunjukkan

berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol

yaitu sebesar 182,7 persen lebih tinggi (α <

0,01). Namun pada peubah jumlah eksplan

yang berakar tidak lebih tinggi dibandingkan

dengan kontrol ( α > 0,05).

Tabel (Table) 1. Pengaruh perlakuan prasterilisasi terhadap jumlah kontaminasi eksplan serta

pemunculan tunas, akar dan kalus (Pre sterilization effect on the number of explan

contamination as well as bud, root and callus appearance)

No Peubah

(Variables)

Kode

(Code)

n

Rataan

(Average)

Ragam

(Varians) P-value

Keterangan

(Remarks)

1 Kontaminasi T0 17 0,41 0,26 0,02 *

(Contamination) T1 34 0,08 0,08

2 Tunas (Bud) T0 17 0,71 0,60 0,04 *

T1 34 1.35 2,05

3 Akar (Root) T0 17 0,24 0,19 0,20 Ns

T1 34 0,41 0,25

4 Kalus (Callus) T0 17 0,29 0,22 0,00 **

T1 34 0,82 0,15

Keterangan (Remarks) : T0 Kontrol; T1 Perlakuan prasterilisasi. Peubah yang menunjukkan tanda

“*“ berbeda nyata pada uji T taraf α : 0.05 dan “**” berbeda nyata pada uji T taraf α 0.01

(T0 Control; T1 Pre-Treatment Treatment. The variables exhibiting "*" are significantly

different in the T tests α: 0.05 and "**" significantly different in the T test α 0.01).

Hasil percobaan menunjukkan adanya

kontaminasi jamur dan bakteri pada eksplan

kultur in vitro. Perlakuan prasterilisasi

tanaman induk sebagai sumber eksplan pada

percobaan ini merupakan suatu usaha awal

yang ditujukan untuk mengurangi potensi

kontaminan yang mungkin terbawa pada

bagian tunas pucuk sebagai eksplan.

PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI

EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON

Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto

49

Kontaminan yang dimaksud dalam percobaan

ini adalah total kontaminasi baik dari jamur

dan bakteri. Pada perlakuan kontrol,

kontaminasi bakteri lebih tinggi (6 eksplan

terkontaminasi) dibandingkan dengan jamur (1

eksplan terkontaminasi). Pada perlakuan

prasterilisasi menunjukkan kontaminasi terjadi

hanya 1 eksplan yaitu kontaminasi bakteri.

Gambar (Figure) 1. Pengaruh perlakuan hormon terhadap jumlah tunas sengon (Effect of hormone

treatment on the number of sengon shoots)

Tabel (Table) 2. Analisis varian jumlah tunas dan kalus yang muncul (Varian analysis of number of

shoot and callus)

Sumber keragaman (Source

of variation)

Db

(df)

Jumlah kuadrat

(Sum square)

Rerata kuadrat

(Mean square)

Nilai P

(P value)

Jumlah tunas (number of

shoot)

8 102.53 12.81 2.49

Kalus (callus) 8 2.08 0.26 0.31

Error 61 262.20 5.14

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

50

Gambar (Figure ) 2. Pertumbuhan tunas sengon dengan perlakuan (a) TDZ 0.1 mM, (b) K 0.1

mM, (c) BAP 2.0 mM (Growth of sengon shoots with treatment (a) TDZ

0.1 mM, (b) K 0.1 mM, (c) BAP 2.0 mM)

B. Pembahasan

Tingkat kontaminasi jamur pada eksplan

sengon yang digunakan dalam penelitian ini

termasuk rendah. Ada dua dugaan terkait hal

tersebut selain dari perlakuan prasterilisasi

yang diberikan, yaitu pengaruh isolasi tanaman

induk di rumah kaca dimana cukup memberi

perlindungan pada tanaman induk dari

perubahan kondisi udara luar dan kedua

dipengaruhi oleh teknik sterilisasi

menggunakan bahan kimia di dalam

laboratorium yang sudah cukup sesuai untuk

eksplan sengon yang digunakan. Namun

demikian, pengaruh prasterilisasi dengan

penyemprotan fungisida di rumah kaca diduga

berpengaruh terhadap rendahnya kontaminasi

bakteri pada perlakuan dibandingkan dengan

kontrol. Walaupun pada percobaan ini

menggunakan fungisida namun terjadi

penekanan pada kontaminasi bakteri pada

eksplan yang digunakan. Hal ini diduga karena

adanya pengaruh ganda senyawa aktif pada

fungisida tersebut yaitu sebagai zat pengatur

tumbuh dan sebagai elicitor. Elicitor memicu

persinyalan sistemik terkait pertahanan

tanaman untuk melawan mikroorganisme,

melalui produksi senyawa metabolit sekunder

seperti fitoaleksin, terpenoid, flavanoid dan

fenolik. Hal ini didukung oleh penelitian

Skandalis et al., (2016) bahwa penggunaan

pyraclostrobin sebagai fungisida kelompok

strobilurin mampu menginduksi ketahanan

tanaman tomat melawan virus dan bakteri

melalui aktivasi awal gen-gen terkait

pertahanan tanaman. Di Kanada,

Pyraclostrobin merupakan salah satu fungisida

yang telah banyak digunakan secara luas

(Bowness et al., 2015).

Menurut Korlina, (2016) dan Lagunas-

Allué et al.(2012) Pyraclostrobin

direkomendasikan untuk pencegahan dan

pengobatan embun tepung dan jamur berbulu

halus pada tanaman buah dan tanaman

merambat.

(a) B

C

(b) B

C

(c) B

C

PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI

EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON

Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto

51

(a) Struktur kimia Pyraclostrobin

(b) Struktur kimia 2,4 –D

Sumber (Source) : Sigma Aldrich (2017)

Gambar (Figure) 3. (a) Struktur kimia Pyraclostrobin dan (b) struktur kimia 2,4 –D (auksin) ((a)

Pyraclostrobin and (b) 2,4 –D chemical structure)

Tabel 1 menunjukkan perbedaan nyata

pada peubah jumlah tunas pada eksplan dan

jumlah eksplan yang berkalus. Hasil tersebut

menunjukkan terdapat pengaruh tambahan

pada tingkat regenerasi eksplan pada

lingkungan in vitro. Hal ini diduga terdapat

fungsi ganda pada bagian struktur kimia

Pyraclostrobin yang mirip dengan struktur

kimia auksin (asam 2,4 diklorofenoksi asetik)

pada dua gugus fungsi rantai cincin jenuh

ganda dengan struktur rantai asam di bagian

lainnya (Gambar 3). Adanya inisiasi

pertumbuhan kalus pada eksplan yang diberi

perlakuan Pyraclostrobin 50 g.kg-1

+ Metiram

550 g.kg-1

diduga karena adanya perbedaan

rasio kandungan sitokinin dan auksin pada

eksplan dimana diketahui media MS yang

digunakan pada penelitian ini tidak diberi

tambahan hormon. Secara teori kondisi dimana

suatu eksplan akan menghasilkan kalus ketika

rasio hormon auksin dan sitokinin dalam

kekuatan yang seimbang dalam mempengaruhi

regenerasi sel. Menurut Rosita, Siregar, &

Kardhinata (2015) salah satu hal yang sangat

penting dalam pertumbuhan tanaman adalah

konsentrasi sitokinin dan auksin yang

seimbang. Pada hasil penelitian juga diperoleh

perbedaan nyata pada jumlah tunas yang

tumbuh pada perlakuan dibandingkan kontrol

(Tabel 1).

Pyraclostrobin merupakan salah satu

fungisida sistemik, rumus senyawanya yaitu

C19H18ClN3O4 (Sigma-Aldrich, 2017).

Fungisida sistemik merupakan fungisida yang

dapat terserap ke dalam jaringan tanaman dan

terdistribusi melalui jaringan xilem.

Pyraclostrobin merupakan senyawa kimia

yang termasuk dalam anggota fungisida

kelompok strobilurin (Krieger, Doull,

Ecobichon, Gammon, Hodgson, Reiter, 2001;

Tsialtas, Theologidou, & Karaoglanidis,

2017). Fungsi fungisida pyraclostrobin

diketahui pada penghambatan respirasi

mitokondria dengan menghalangi transfer

elektron pada rantai respirasi jamur (Kanungo

& Joshi, 2014). Hal ini merusak proses

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

52

biokimia selular yang penting sehingga

mampu menghentikan pertumbuhan jamur

penyebab penyakit cacar daun teh (Krieger,

Doull, Ecobichon, Gammon, Hodgson, Reiter,

& Ross, 2001).

Fungsi Pyraclostrobin sebagai zat

pengatur tumbuh dan elicitor juga diperkuat

oleh penelitian Hasanah (2016), aplikasi

fungisida Pyraclostrobin meningkatkan

aktivitas nitrat reduktase, serapan N, indeks

luas daun, durasi luas daun, aktivitas

fotosintesis total, laju pertumbuhan tanaman,

bobot kering, dan bobot umbi bawang merah

saat panen. Hasil ini menunjukkan bahwa

Pyraclostrobin berfungsi dalam pengendalian

serangan jamur dan sekaligus sebagai elicitor

dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil

tanaman. Fungsi Pyraclostrobin sebagai zat

pengatur tumbuh dan elicitor juga diperkuat

oleh penelitian (Siniwi, Putra, & Respatie,

2017) dimana pada tanaman kakao

(Theobroma cacao L.) yang disemprot dengan

senyawa Pyraclostrobin memiliki kemampuan

yang lebih baik dalam mengakumulasi N

dalam bentuk nitrat pada jaringannya.

Ketersediaan N dalam bentuk nitrat yang

melimpah dalam jaringan daun secara otomatis

menstimulasi aktivitas enzim nitrat reduktase,

lebih lanjut pemberian Pyraclostrobin pada

konsentrasi 126 ppm menunjukkan aktivitas

nitrat reduktase dalam jaringan daun yang

nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan

kontrol. Enzim nitrat reduktase berfungsi

untuk merubah nitrat menjadi nitrit yang

kemudian setelah melalui serangkaian kerja

enzim lain nitrit ini akan diubah menjadi asam

amino dan protein yang terlibat dalam

metabolisme (Siniwi et al., 2017). Mekanisme

ini diduga memicu terbentuknya asam amino

triptopan sebagai bahan dasar auksin. Salah

satu peran Pyraclostrobin sebagai zat pengatur

tumbuh adalah meningkatkan kemampuan

tanaman dalam mensintesis N dan protein.

Peningkatan tersebut merupakan dampak dari

perbaikan kinerja nitrat reduktase pada

tanaman yang mendapatkan aplikasi

Pyraclostrobin. Sintesis N dan protein yang

tinggi berpotensi memperbaiki mutu produk

tanaman khususnya yang berkaitan dengan

variabel protein, lemak, dan fenolik total

(Siniwi et al., 2017).

Pemberian kinetin 0,01 mM pada media

multiplikasi tunas sengon berpengaruh nyata

terhadap jumlah tunas yang diperoleh

dibandingkan pengaruh ZPT lainnya kecuali

tidiazuron 0,01 dan 0,05 mM (Gambar 1 dan

2). Zat pengatur tumbuh kinetin menunjukkan

aktivitas positif terhadap multiplikasi tunas

adventif sengon pada konsentrasi 0,01

dibandingkan pada konsentrasi 0,05 mM.

Setiap zat pengatur tumbuh memiliki rentang

konsentrasi yang berbeda-beda terhadap

peubah pertumbuhan kultur in vitro. Pada

penelitian ini, kinetin dapat digunakan sebagai

salah satu ZPT untuk multiplikasi tunas

sengon. Namun demikian, kisaran konsentrasi

PENGARUH PRA-STERILISASI TERHADAP KEBERHASILAN INISIASI

EKSPLAN YANG BERASAL DARI PUCUK SENGON

Y.M.M. Anita Nugraheni, Ratna Uli Damayanti Sianturi dan Yulianti Bramasto

53

yang terbaik masih dapat dievaluasi pada

percobaan selanjutnya. Kinetin merupakan

ZPT kelompok sitokinin yang lebih umum

ditemukan pada tanaman secara alami. Pada

perolehan jumlah tunas perlakuan TDZ masih

menunjukkan pengaruh yang hampir sama

dengan kinetin.

IV. KESIMPULAN

Perlakuan prasterilisasi dengan

penyemprotan Pyraclostrobin 50 g.kg-1

+

Metiram 550 g.kg-1

mampu mendukung

keberhasilan inisiasi eksplan pucuk sengon

ditandai dengan rendahnya tingkat

kontaminasi, meningkatnya jumlah kalus serta

meningkatnya jumlah tunas eksplan sengon.

Pemberian kinetin 0,01 mM pada media

multiplikasi tunas sengon mampu

meningkatkan jumlah tunas adventif sengon.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Ir. H.M. Zanzibar M.M., Dr. Dede J. Sudrajat,

S.Hut, M.T., Ir. Danu M.Si., Dra. Dharmawati

Djam’an, Kurniawati Purwaka Putri, S.Hut,

M.Si, Dina Agustina, Wildani Asfari Hanifah,

Suherman, Emuy Supardi, Abay, dan Sutrisno

atas bantuan, saran dan masukannya selama

penelitian di rumah kaca dan di laboratorium

BP2TPTH, serta semua pihak sehingga

terselesaikannya tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bowness, R., Gossen, B. D., Chang, K.-F.,

Goswani, R., Willenborg, C. J., Holtz, M., &

Strelkov, S. E. (2015). Sensitivity of

Mycosphaerella pinodes to Pyraclostrobin

Fungicide. Plant Disease, 100(1), 192–199.

https://doi.org/10.1094/PDIS-03-15-0350-RE

González-Rodríguez, R. M., González-Barreiro,

C., Rial-Otero, R., Regueiro, J., Torrado-

Agrasar, A., Martínez-Carballo, E., &

Cancho-Grande, B. (2011). Influence of new

fungicides - Metiram and pyraclostrobin - On

Saccharomyces cerevisiae yeast growth and

alcoholic fermentation course for wine

production. CYTA - Journal of Food, 9(4),

329–334.

https://doi.org/10.1080/19476337.2011.60413

5

Harahap, P.S., Siregar, L.A.M., & Husni, Y.

(2015). Kajian Awal : Respon Eksplan Nodus

dalam Inisiasi Tunas Mikro Tanaman Karet

(Hevea brasiliensis Muell Arg.) dalam

Medium MS. Agroekoteknologi, 3(2337),

229–237.

Hasanah, U. (2016). Pengaruh Bahan Aktif

Pyraclostrobin terhadap Pertumbuhan dan

Hasil Bawang Merah (Allium cepa L.

Aggregatum group). Universitas Gadjah

Mada.

Herliyana, E.N., Putra, I.K., & Taniwiryono, D.

(2012). Uji Patogenitas Ganoderma terhadap

Bibit Tanaman Sengon ( Paraserienthes

falcataria ( L ) Nielsen ). Jurnal Silvikultur

Tropika, 3(1), 37–43.

Kanungo, M., & Joshi, J. (2014). Impact of

Pyraclostrobin (F-500) on Crop Plants. Plant

Science Today, 1(3), 174–178.

https://doi.org/10.14719/pst.2014.1.3.60

Korlina, E. (2016). Efektifitas Fungisida Berbahan

Aktif Pyraclostrobin 50 g/Kg + Metiram g/Kg

untuk Mengendalikan Penyakit Embun

Tepung ( Podosphaera leucotrica ) pada

Tanaman Apel. Agrovigor, 9(1), 19–23.

Krieger, R., Doull, J., Ecobichon, D., Gammon, D.,

Hodgson, E., Reiter, L., & Ross, J. (2001).

Handbook of Pesticide Toxicology. Academic

Press, London.

Lagunas-Allué, L., Martínez-Soria, M. T., Sanz-

Asensio, J., Salvador, A., Ferronato, C., &

Chovelon, J. M. (2012). Degradation

intermediates and reaction pathway of

pyraclostrobin with TiO2photocatalysis.

Applied Catalysis B: Environmental, 115–

116, 285–293.

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 45-54

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

54

https://doi.org/10.1016/j.apcatb.2011.12.015

Naemah, D., & Susilawati, S. (2015). Identifikasi

Kesehatan Bibit Sengon (Paraserianthes

falcataria L.) di Persemaian. Jurnal Hutan

Tropis, 3(2), 158–165.

Putri, A. I., & Jayusman, D. (2012). Inisiasi Tunas

Aksiler serta Kalus Toona sinensis dan Toona

sureni dengan Sumber Bahan Stek Cabang.

Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 6(3), 167–

180.

Rego, C., Nascimento, T., Cabral, A., Silva, M. J.,

& Oliveira, H. (2009). Control of grapevine

wood fungi in commercial nurseries.

Phytopathologia Mediterranea, 48(1), 128–

135.

https://doi.org/10.14601/phytopathol_mediterr

-2881

Rosita, E., Siregar, L. A. M., & Kardhinata, E. H.

(2015). Pengaruh Jenis Eksplan dan

Komposisi Media terhadap Pembentukan

Tunas Tanaman Karet (Hevea brasiliensis

Muell. Arg.) Secara In Vitro.

Agroekoteknologi, 4(1), 1756–1761.

Sigma-Aldrich. (2017). Chemical Structure

Catalogue. Retrieved from

http://www.sigmaaldrich.com/

Siniwi, R. A., Putra, E. T. S., & Respatie, D. W.

(2017). Pengaruh Konsentrasi Pyraclostrobin

terhadap Kandungan Protein , Lemak dan

Fenolik Total Biji Kakao ( Theobroma cacao

L .) Klon ICCRI 04 dan Scavina 6.

Vegetalika, 6(2), 25–39.

Skandalis, N., Dimopoulou, A., Beri, D., Tzima,

A., Malandraki, I., Theologidis, I., …

Vassilakos, N. (2016). Effect of

Pyraclostrobin Application on Viral and

Bacterial Diseases of Tomato. Plant Disease,

100(7), 1321–1330.

https://doi.org/10.1094/PDIS-10-15-1216-RE

Tsialtas, J. T., Theologidou, G. S., &

Karaoglanidis, G. S. (2017). Effect of

pyraclostrobin on disease control, leaf

physiology, seed yield and quality of

sunflower. Crop Protection, 99, 151–159.

https://doi.org/10.1016/j.cropro.2017.05.022

Yuliani, S. E. (2001). Perbanyakan Sengon

(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) yang

Berasal dari Tanaman Dewasa dengan Teknik

Kultur Jaringan: Pengaruh Prosedur

Sterilisasi dan Zat Pengatur Tumbuh. Skripsi.

Institut Pertanian Bogor.

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN

BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)

Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah

*Kontribusi penulis: Arif Irawan sebagai kontributor utama

© 2019 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2019.7.1.55-65 55

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN

BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)

(Effect of Storage Condition and Periods on Seed Germination of Cempaka Wasian (Magnolia

tsiampaca (Miq.) Dandy))

*Arif Irawan dan/and Hanif Nurul Hidayah Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado

Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Telp. (0431) 7242949, Kode Pos 95119, Kota

Manado, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia

e-mail : [email protected]

Naskah masuk: 2 Juli 2018; Naskah direvisi: 5 Oktober 2018; Naskah diterima: 31 Mei 2019

ABSTRACT

Cempaka wasian (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) is one of the most popular carpentry woods in North

Sulawesi. The development of cempaka wasian species is constrained by the inability of seeds to be stored

for a long period of time. The purpose of this research was to determine the effect of different storage

periods and conditions towards seed germination of cempaka wasian. The experimental design used

completely randomized factorial design with two main factors as follow: storage condition and storage

periods. The results showed that the conditions and storage periods had an effect on seed water content,

germination rate, and seed vigor index of cempaka wasian seeds, but it did not affect the germination

capacity. The storage conditions of air condition room (temperature 18ºC―21ºC, relative humidity

51percent―61 percent) was the most ideal condition for storing cempaka wasian seeds. Cempaka wasian

seeds are included in the category of intermediate seed because the treatment of the storing period for 4

(four) weeks did not affect the germination capacity even though the water content of the seeds has

decreased.

Keywords: condition, germination, Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy, periode

ABSTRAK

Cempaka wasian (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy) merupakan salah satu jenis kayu pertukangan yang

banyak diminati masyarakat di Sulawesi Utara. Pengembangan jenis cempaka wasian terkendala oleh

ketidakmampuan benih untuk dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui kondisi dan periode simpan yang paling sesuai bagi benih cempaka wasian. Penelitian

menggunakan Rancangan Faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap dengan faktor utama adalah kondisi

dan periode simpan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peiode dan ruang simpan memberikan pengaruh

terhadap kadar air benih, laju perkecambahan, dan indeks vigor benih cempaka wasian, namun tidak

berpengaruh terhadap daya berkecambahnya. Kondisi simpan pada ruang AC (suhu 18oC―21

oC;

kelembapan 51 persen―61persen) merupakan kondisi yang paling ideal untuk penyimpanan benih cempaka

wasian. Benih cempaka wasian termasuk dalam kategori benih intermediet karena perlakuan periode simpan

selama 4 (empat) minggu tidak memberikan pengaruh terhadap daya berkecambahnya walaupun kadar air

benihnya telah menurun. Kata kunci : cempaka wasian, kondisi, periode, perkecambahan

I. PENDAHULUAN

Cempaka wasian (Magnolia tsiampaca

(Miq.) Dandy) adalah salah satu jenis

penghasil kayu pertukangan yang banyak

diminati oleh masyarakat di Sulawesi Utara.

Kayunya memiliki banyak peruntukan di

antaranya adalah sebagai bahan furnitur, pintu,

alat musik (kolintang) dan bahan kontruksi

pembuatan rumah adat khas Minahasa (Kinho

& Mahfudz, 2011). Pengembangan cempaka

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

56

wasian sebagai tanaman hutan penghasil kayu

perlu terus ditingkatkan mengingat

kebutuhannya yang terus bertambah. Untuk

menunjang keberhasilan kegiatan penanaman

diperlukan teknik penanganan benih secara

tepat yang disesuaikan dengan

karakteristik/watak benihnya (Yuniarti &

Nurhasybi, 2015). Teknik penanganan benih

adalah semua kegiatan penanganan benih

mulai dari benih dihasilkan sampai benih diuji

dan disimpan agar mutu benih terjamin

(Yuniarti, Nurhasybi & Darwo, 2016).

Benih memiliki daya simpan berbeda

sesuai dengan kondisi fisiologisnya, terdapat

benih yang mampu disimpan dalam waktu

yang lama hingga beberapa tahun dan terdapat

benih yang hanya mampu disimpan dalam

periode pendek. Benih yang dapat disimpan

dalam waktu lama disebut dengan benih

ortodok, benih yang tidak mampu disimpan

dalam waktu lama disebut dengan benih

relaksitran, dan benih yang memiliki sifat di

antara ortodok dan rekalsitran disebut dengan

benih intermediate (toleran pada pengeringan

dengan kadar air lebih rendah dari benih

rekalsitran tetapi tidak serendah benih

ortodok) (Walters, 2015). Benih cempaka

termasuk benih rekalsitran atau tidak dapat

disimpan dalam waktu lama karena

viabilitasnya yang rendah (Kinho & Mahfudz,

2011), namun informasi tersebut perlu dikaji

lebih mendalam dengan menganalisis kadar air

benih dan waktu optimal penyimpanannya

yang hingga saat ini masih belum diketahui.

Agar viabilitas benih dapat terjaga dan

dapat dipertahankan maka kondisi dan teknik

penyimpanan harus tepat sesuai dengan tipe

benih (Siahaan, 2017). Viabilitas benih selama

penyimpanan dipengaruhi oleh faktor internal

dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat

genetik, tumbuh dan vigor, kondisi kulit dan

kadar air benih awal. Faktor eksternal antara

lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan

kelembapan ruang simpan (Copeland &

McDonald, 2002). Teknik penanganan benih

mempengaruhi viabilitas benih (Djamhuri,

Yuniarti & Purwani, 2012). Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui kodisi dan periode

simpan yang paling sesuai bagi benih cempaka

wasian.

II. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Persemaian

Permanen BPDASHL Tondano Kima Atas

yang berada di komplek kantor Balai

Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Manado, Provinsi

Sulawesi Utara pada bulan November

2017―Januari 2018.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan berupa

bak kecambah, plastik sungkup, media pasir

yang telah disterilisasi, kantong plastik kedap

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN

BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)

Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah

57

udara, sprayer, aquades, ruang suhu kamar,

ruang dengan alat pengatur kondisi ruang

(AC), kulkas, hygrometer. alkohol, sarung

tangan, label dan alat tulis. Benih cempaka

wasian yang digunakan berasal dari Kabupaten

Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.

C. Prosedur Penelitian

1. Pengunduhan buah dan ekstraksi benih

Pengunduhan buah dilakukan dengan cara

pemanjatan. Buah yang telah diunduh

selanjutnya diseleksi berdasarkan tingkat

kemasakannya. Buah masak sempurna akan

berwarna merah sedangkan yang belum terlalu

masak berwarna hijau kemerahan. Buah hasil

pengunduhan langsung diekstraksi. Ekstraksi

benih dilakukan dengan menjemur beberapa

saat hingga buah cempaka wasian pecah dan

selanjutnya membersihkan benih dari kulit aril

yang masih menempel dengan merendamnya

terlebih dahulu. Buah yang sudah lumat dicuci

dengan air hingga daging dan kulitnya

terlepas.

2. Prosedur kerja

Faktor-faktor yang diuji dalam penelitian

ini adalah perlakuan kondisi dan periode

simpan benih. Perlakuan-perlakuan tersebut

adalah :

a. Kondisi simpan

M1 = disimpan dalam wadah plastik pada

suhu kamar (suhu 27oC―30

oC;

kelembapan 64 persen―80 persen)

M2 = disimpan dalam wadah plastik pada

ruang AC (suhu 18oC―21

oC;

kelembapan 51persen―61 persen)

M3 = disimpan dalam wadah plastik pada

kulkas (suhu 5oC―10

oC;

kelembapan 42 persen―49 persen)

b. Periode simpan

W1=disimpan selama 1 minggu

W2=disimpan selama 2 minggu

W3=disimpan selama 3 minggu

W4=disimpan selama 4 minggu.

Dalam uji coba ini benih yang digunakan

adalah benih yang telah masak sempurna

(berwarna hitam). Setiap perlakuan terdiri atas

3 ulangan masing – masing sebanyak 50 benih.

Penyimpanan benih cempaka wasian

dilakukan pada suhu kamar, ruang AC dan

kulkas yang dilakukan secara bersamaan.

Benih ditabur setiap minggu hingga 4 (empat)

minggu setelah penyimpanan. Pengamatan

perkecambahan benih dilakukan setiap hari

selama 35 hari.

3. Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati adalah kadar air

benih, daya berkecambah, laju perkecambahan

dan indeks vigor. Perhitungan kadar air benih,

daya berkecambah, laju perkecambahan, dan

indeks vigor menggunakan rumus sebagai

berikut:

a. Kadar air benih

Benih diuji kadar airnya dengan metode

oven suhu 103±2°C selama 17 jam. Pengujian

menggunakan 3 ulangan, masing-masing berat

awal sebelum dioven ±2,3 gram. Kadar air

dinyatakan dalam persen berat dan dihitung

dalam 1 desimal terdekat (ISTA, 2010) dengan

rumus sebagai berikut:

.................(1)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

58

Keterangan :

M1 = berat wadah sebelum dioven (g)

M2 = berat wadah + benih sebelum

dioven(g)

M3 = berat wadah + benih setelah

dioven(g)

b. Daya berkecambah

Daya berkecambah ditentukan dengan

jumlah benih yang sudah berkecambah

normal. Menurut Sadjad et al. (1999), daya

berkecambah menjabarkan parameter

viabilitas potensial dengan rumus:

...(2)

c. Laju perkecambahan

Laju perkecambahan dihitung dengan

menggunakan persamaan (Sutopo, 2010) :

...(3)

Keterangan :

N = Jumlah benih yang berkecambah pada

hari tertentu

T = Jumlah waktu antara awal pengujian

sampai dengan akhir interval tertentu

suatu pengamatan

d. Indeks vigor

Pengamatan indeks vigor dilakukan

terhadap kecambah normal pada hitungan hari

pertama (ISTA, 2010) mengunakan rumus:

...(4)

Keterangan : .

G = Jumlah benih yang berkecambah pada

hari tertentu

D = Waktu yang bersesuaian dengan

jumlah tersebut

n = Jumlah hari pada perhitungan akhir

D. Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis menggunakan

analisis ragam dan apabila berpengaruh nyata,

untuk melihat perbedaan signifikansi antar

perlakuan dilajutkan dengan uji lanjut Duncan

(Duncan’s Multiple Range Test).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil analisis ragam untuk mengetahui

pengaruh perlakuan kondisi dan periode

simpan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel (Table) 1. Analisis ragam pengaruh perlakuan kondisi dan periode simpan benih cempaka

wasian terhadap kadar air benih, daya bekecambah, laju perkecambahan, dan

indeks vigor benih (Analysis of variance the influence treatment of storage

condition and storege periode of M. tsiampaca seed toward seed moisture content,

germination percentage, germination rate, and seed vigor index)

Sumber variasi

(Source of

variation)

db

Kuadrat tengah (Means square)

Kadar air benih (seed

moisture content) Daya berkecambah

(germination percentage)

Laju perkecambahan

(germination rate)

Indeks vigor

benih (seed vigor index)

M 2 8,37** 25,00ns 25,03** 3,01**

W 3 9,51** 70,07ns 13,24** 0,64**

M*W 6 0,47ns 19,51ns 1,22ns 0,20ns

Sisa/galat (Error) 22 0,46 29,55 1,86 0,10

Keterangan (Remarks) : ** = nyata pada tingkat kepercayaan 99%, ns=tidak nyata (** = significantly at

99% level of confidence), M=kondisi ruang simpan (storage condition), W =

periode penyimpanan (storage periods)

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN

BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)

Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah

59

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui

bahwa perlakuan kondisi simpan dan periode

simpan memberikan pengaruh nyata terhadap

parameter kadar air benih, laju perkecambahan

dan indeks vigor benih, sedangkan untuk daya

berkecambah tidak memiliki pengaruh yang

nyata. Selanjutnya interaksi perlakuan tidak

memberikan pengaruh nyata terhadap seluruh

paramater yang diamati. Hasil uji lanjut dan

rata-rata hasil dari perlakuan yang dicobakan

ditampilkan pada Tabel 2 dan 3.

Tabel (Table) 2. Rata-rata kadar air benih, daya berkecambah, laju perkecambahan, dan indeks

vigor benih cempaka wasian akibat perlakuan kondisi simpan (Average of seed

moisture content, germination percentage, germination rate, and seed vigor index

of M. tsiampaca seed due to storage condition)

No Perlakuan

(Treatment)

Kadar air benih (seed

moisture content)

Daya berkecambah

(germination percentage)

Laju perkecambahan

(germination rate)

Indeks vigor benih

(seed vigor index)

1. M1 11,45a 87,83 18,21a 2,62b

2. M2 10,12b 87,83 14,75b 3,45a

3. M3 11,66a 85,33 18,12a 2,53b

Keterangan (Remarks) : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak

berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Figures followed by the same letter on the

same column indicate that there is no significant difference at 95% level of confidence)

M1=disimpan dalam wadah plastik pada suhu kamar; M2=disimpan dalam wadah plastik

pada ruangan AC; M3=disimpan dalam wadah plastik pada kulkas (M1= stored in plastic

containers at room temperature; M2= stored in plastic containers at AC room; M3=

stored in plastic containers at refrigerator)

Tabel (Table) 3. Rata-rata kadar air, daya berkecambah, kecepatan perkecambahan, dan indeks

vigor benih cempaka wasian akibat perlakuan waktu simpan (Average of seed

moisture content, germination percentage, germination rate, and seed vigor index

of M. tsiampaca seed due to storage periode)

No Perlakuan

(Treatment)

Kadar air benih (seed

moisture content)

Daya berkecambah

(germination percentage)

Laju perkecambahan

(germination rate)

Indeks vigor benih

(seed vigor index)

1. W1 12,11a 88,67 19,42a 2,48b

2. W2 11,39b 86,00 16,19b 2,90a

3. W3 11,15b 83,56 15,72b 3,03a

4. W4 9,66c 89,78 16,26b 3,06a

Keterangan (Remarks) : Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak

berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (Figures followed by the same letter on

the same column indicate that there is no significant difference at 95% level of

confidence). W1=peniyimpanan selama 1 minggu; W2=penyimpanan selama 2 minggu;

W3=penyimpanan selama 3 minggu; W4=penyimpanan selama 4 minggu (W1=storage

for 1 week; W2=storage for 2 weekk; W3=storage for 3 week; W4=storage for 4 week).

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui

bahwa kondisi simpan memberikan pengaruh

terhadap kadar air benih cempaka wasian,

namun jika dibandingkan dengan daya

berkecambahnya tidak memberikan nilai yang

berbeda. Kecepatan perkecambahan dan

indeks vigor terbaik ditunjukkan oleh kondisi

simpan benih pada ruang AC. Selanjutnya

periode simpan memberikan pengaruh

terhadap penurunan kadar air benih cempaka

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

60

wasian namun juga tidak memberikan

perbedaan nyata terhadap daya

berkecambahnya. Laju perkecambahan terlama

dan indeks vigor benih terendah ditunjukkan

oleh periode simpan 1 (satu) minggu.

B. Pembahasan

Menurut Raka, Astiningsih, Nyana, dan

Siadi (2012) dalam proses penyimpanan benih,

kadar air benih merupakan faktor kritis yang

berpengaruh terhadap proses penurunan mutu

benih. Kadar air benih merupakan faktor yang

menentukan dalam kemunduran benih

(Yuniarti, Syamsuwida, & Aminah, 2013).

Penurunan daya berkecambah akibat

penurunan kadar air dilaporkan terjadi pada

benih Agathis damara (Djaman, Priadi, &

Sudarmonowati, 2006), Rhizophora apiculata

(Rohandi & Widyani, 2010) dan kemiri sunan

(Reutealis risperma) (Tresniawati, Murniati &

Widajati, 2014). Benih cempaka wasian

memiliki rata-rata kadar air awal sebesar 14,25

persen. Kadar air benih cempaka wasian ini

cenderung lebih rendah jika dibandingkan

dengan benih bambang lanang (Michelia

champaca Linn) yang dilaporkan memiliki

kadar air awal sebesar 22,34 persen (Yuniarti

& Hurhasybi, 2015). Kadar air awal sangat

menentukan daya simpan atau kemampuan

benih untuk disimpan. Prinsip penyimpanan

adalah mengupayakan energi benih untuk

tumbuh tetap optimal dengan meminimalkan

respirasi benih (Suita & Darwo, 2015).

Mahjabin, Bilal dan Abidi (2015)

menjelaskan bahwa selama penyimpanan,

kadar air benih dan suhu bertanggung jawab

terhadap kerusakan benih. Kadar air benih

cempaka wasian dalam penelitian ini

menunjukkan nilai perubahan berdasarkan

kondisi dan periode simpan. Semakin lama

disimpan kadar air benih menunjukkan nilai

yang terus menurun. Selanjutnya kondisi pada

ruang simpan AC juga menunjukkan nilai

kadar air terendah dibandingkan pada kondisi

suhu kamar dan kulkas. Penurunan kadar air

selama penyimpanan merupakan faktor kritis

yang mempengaruhi viabilitas benih (Sukesh

& Chandrashekar, 2013). Jika dilakukan

perbandingan perbedaan nilai kadar air benih

pada benih cempaka wasian akibat perlakuan

kondisi dan periode simpan ini, maka dapat

diketahui bahwa kadar air benih tidak

memberikan pengaruh yang nyata terhadap

daya berkecambahnya. Perkecambahan benih

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti mutu

benih, perlakuan awal, dan kondisi

perkecambahan (Sudrajat & Megawati, 2010).

Perkecambahan dan daya simpan benih

merupakan karakter yang dikendalikan secara

genetik, dipengaruhi oleh kondisi benih

sebelum disimpan dan kondisi lingkungan

penyimpanan (Jyoti & Malik, 2013). Tidak

terdapat hubungan antara kadar air benih

dengan daya berkecambah benih cempaka

wasian ini diduga karena kadar air benih

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN

BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)

Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah

61

cempaka wasian masih berada di atas batas

titik kritis untuk berkecambah. Benih yang

kadar airnya berada di bawah batas titik kritis

kadar air akan mati karena kekeringan (Aji,

Sutriono & Hayati, 2018). Beberapa hasil

penelitian lain yang menyatakan bahwa benih

masih mampu bertahan pada kadar air rendah

antara lain benih kesambi dengan kadar air

bervariasi (7,13 persen―9,17 persen) selama

penyimpan masih memiliki daya berkecambah

cukup baik (44,75 persen―63,50 persen)

(Suita & Ismiati, 2011); benih pulai dengan

kadar air berkisar antara 7,5 persen―9 persen

selama disimpan masih memiliki daya

berkecambah 82 persen (Zanzibar, 2010);

benih jelutung dengan kadar air 10,77

persen―10,97 persen yang disimpan juga

memiliki daya berkecambah hingga 60 persen

(Kartiko & Danu, 2010); benih Manilkara

kauki yang mampu mempertahankan daya

berkecambahnya hingga 60 persen selama

penyimpanan dengan kadar air 8,3 persen

(Suita, Sudrajat, & Kartiana, 2011).

Hubungan antara kadar air benih cempaka

wasian dan daya berkecambah yang telah

ditunjukkan di atas merupakan sebuah indikasi

bahwa benih cempaka wasian dapat

dikategorikan pada benih semi rekalsitran

(intermediet). Hal ini dapat dilihat dari

kandungan kadar awal benih yang tidak

telampau tinggi (14,24 persen) dan daya

berkecambahnya masih tetap stabil pada saat

kadar airnya dibawah 10 persen. Seperti yang

disampaikan oleh Schmidt (2000) bahwa suatu

grup jenis yang dapat dikeringkan sampai

kadar air cukup rendah sesuai klasifikasi

ortodok, tetapi peka pada suhu rendah sebagai

ciri benih rekalsitran disebut intermediet.

Penyimpanan benih cempaka wasian dalam

kulkas menghasilkan daya berkecambah yang

cenderung lebih rendah jika dibandingkan

daya berkecambah benih dengan penyimpanan

suhu kamar dan ruangan AC.

Nilai daya berkecambah, laju

perkecambahan benih dan indeks vigor dari

benih cempaka wasian dalam penelitian ini

yang semakin meningkat seiring dengan

bertambahnya periode penyimpanan

(penurunan kadar air benih) juga memperkuat

adanya indikasi bahwa benih cempaka wasian

termasuk dalam kategori benih intermediet.

Suita dan Ismiati (2008) menyampaikan

bahwa benih kesambi dapat diduga termasuk

ke dalam benih dengan kategori semi

rekalsitran (intermediet) karena benih kesambi

setelah dilakukan pengeringan hingga kadar

air bervariasi 7 persen―8 persen, daya

berkecambah dan kecepatan berkecambahnya

meningkat. Laju perkecambahan menunjukkan

kecepatan benih pada saat berkecambah

(Siahaan, 2017). Peubah vigor benih

merupakan indikator kekuatan tumbuh dan

daya simpan benih (Yuniarti, Zanzibar,

Megawati, & Leksono, 2014). Menurut Artola,

Santos, Garca, Aeda, dan Carrillo (2003) vigor

yang rendah akan menghasilkan pohon yang

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

62

buruk, sehingga untuk penanaman seharusnya

bibit yang digunakan berasal dari benih

dengan vigor tinggi. Yuniarti, Zanzibar,

Megawati dan Leksono (2016) menyatakan

bahwa vigor daya simpan dapat meningkatkan

daya berberkecambah sebesar 12 persen dan

mempercepat kecepatan berkecambah sebesar

0,84 persen per etmal. Pada benih cempaka

wasian hasil uji coba ini juga diketahui

memiliki nilai indeks vigor yang masih tinggi.

Selanjutnya peningkatan laju

perkecambahan seiring dengan waktu simpan

benih mengindikasikan bahwa benih cempaka

wasian mempunyai dormansi endogen

(penurunan kadar air terjadi pemasakan benih).

Menurut Sutopo (2002) dormansi endogen

biasa juga disebut sebagai after ripening

(setiap perubahan pada kondisi fisiologis benih

selama penyimpanan yang mengubah benih

menjadi mampu berkecambah). Proses

pemasakan benih (after ripening) berfungsi

untuk menyempurnakan perkembangan

embrio benih sehingga dapat berkecambah

lebih baik (Suita & Ismiati, 2011). Beberapa

benih yang juga mengalami proses after

ripening di antaranya adalah benih malapari

(Murniati, 2013), tanjung (Suita, 2006), kepuh

(Sudrajat, Nurhasybi, & Syamsuwida, 2011)

dan kesambi (Suita dan Ismiati, 2008).

Selanjutnya Thapliyal dan Tewari (2011) juga

menambahkan bahwa penyimpanan benih

(after ripening) mampu meningkatkan indeks

vigor 5 kali lebih besar daripada benih segar.

Peningkatan ini menunjukkan bahwa embrio

yang tidak aktif pada saat buah dari pohonnya

akan berkembang dan dewasa pada

penyimpanan.

Nurisma, Agustiansyah dan Kamal (2015)

menyatakan bahwa suhu ruang simpan

berperan dalam mempertahankan viabilitas

benih selama penyimpanan, yang dipengaruhi

oleh kadar air benih, suhu dan kelembapan

nisbi ruangan. Suhu yang terlalu rendah

(kulkas) serta suhu kamar diduga menghambat

proses pemasakan benih cempaka wasian,

sehingga mengurangi laju perkecambahan

benih. Menurut Rahayu dan Widajati (2007)

yang melakukan penelitian terhadap benih

caisin, kondisi ruang simpan kulkas yang

memiliki suhu di sekitar titik beku

menyebabkan pematahan after ripening.

Sedangkan suhu kamar memiliki suhu yang

fluktuatif sehingga juga diduga memberikan

pengaruh terhadap proses pemasakan benih

cempaka wasian. Ruang AC merupakan

kondisi yang paling ideal dalam proses after

ripening benih cempaka wasian, hal ini karena

ruang AC dapat mempertahankan viabilitas

benih yang lebih lama karena suhu dan

kelembapan udara yang konstan atau tidak

terjadi fluktuasi (Schmidt, 2000). Ruang AC

juga memiliki kelebihan lainnya yaitu pada

ruang AC aktifitas serangga dan jamur pada

proses perkecambahan dapat terhambat karena

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN

BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)

Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah

63

suhu yang rendah sehingga penyimpanan pada

kondisi ini dapat mencegah kerusakan benih

akibat metabolisme serangga dan jamur (Suita

dan Darwo, 2015). Beberapa benih yang juga

memiliki karakteristik mampu bertahan baik

jika disimpan pada ruangan AC antara lain

benih kayu bawang (Yuniarti, Nurhasybi, dan

Darwo, 2016), Jelutung rawa (Kartiko &

Danu, 2010) dan eboni (Yuniarti,

Syamsuwida, dan Aminah, 2013). Pada

dasarnya prinsip yang digunakan untuk

meningkatkan daya simpan benih intermediet

adalah dengan menurunkan kadar air hingga

batas tertentu yang aman untuk disimpan (di

atas kadar air kritisnya) (Sudrajat et al.,

2017).

IV. KESIMPULAN

Kondisi dan ruang simpan memberikan

pengaruh terhadap kadar air benih, laju

perkecambahan, dan indeks vigor benih

cempaka wasian, namun tidak berpengaruh

terhadap daya berkecambahnya. Kondisi

simpan pada ruang AC merupakan kondisi

yang paling ideal untuk penyimpanan benih

cempaka wasian. Benih cempaka wasian

termasuk dalam kategori benih intermediet

karena perlakuan periode simpan selama 4

(empat) minggu tidak memberikan pengaruh

terhadap daya berkecambahnya walaupun

kadar air benihnya telah menurun.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan

kepada Kepala BP2LHK Manado, Ir. Dodi

Garnadi, M.Si, Manajer dan Sekertaris

Persemaian Permanen BPDASHL Tondano

Kima Atas, Rudy Dapi, SP dan Prayitno,

S.Hut serta petugas persemaian Eky Kaeng

dan Opa.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, I.M.L., Sutriono, R., & Hayati, M.. (2018).

Pengaruh media simpan dan lama

penyimpanan terhadap viabilitas benih dan

pertumbuhan semai mahoni (Swietenia

mahagoni (L) Jacq). Jurnal Belantara, 1(1),

23–29.

Artola, A., Santos, D.L., Garca, G., Aeda, C., &

Carrillo, G. (2003). A seed vigour test for

birdsfoot trefoil (Lotus corniculatos L.). Seed

Science and Technology, 31(3), 753–757.

Copeland, L, O & McDonald, M, B. (2002).

Principles of Seed Sciences and Technology

(Fourth Edi). Massachusetts: Kluwer

Academic Publisher.

Djaman, D.F., Priadi, D & Sudarmonowati, E.

(2006). Penyimpanan Benih Damar (Agathis

damara Salisb.) dalam Nitrogen Cair .

Biodiversitas, 7(2),164-167.

Djamhuri, E., Yuniarti, N., & Purwani, H.D.

(2012). Viabilitas benih dan pertumbuhan

awal bibit akasia krasikarpa (Acacia

crassicarpa A. Cunn. Ex Benth.) dari lima

sumber benih di Indonesia. Jurnal Silvikultur

Tropika, 3(3),187-195.

ISTA. (2010). International rules for seed testing:

Edition 2010. The International Seed Testing

Association. Bassersdorf. Switzerland.

Jyoti, & Malik, C.P. (2013). Seed deterioration: A

review. International Journal of Life Sciences

Biotechnology and Pharma Research, 2(3),

374-385

Kartiko H.D.P., & Danu. (2010). Jelutung (Dyera

spp..) Atlas Ebnih Jilid 1. Balai Penelitian

Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.

Bogor.

Kinho, J. & Mahfudz. (2011). Prospek

Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara.

Manado: Balai Penelitian Kehutanan

Manado.

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan Vol.7 No 1 Agustus 2019: 55-65

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

64

Mahjabin., Bilal, S., & Abidi, A.B. (2015).

Physiological and Biochemical Changes

During Seed Deterioration: A Review.

International Journal of Recent Scientific

Research, 6(4) : 3416-3422.

Murniati, E. 2013. Fisiologi Perkecambahan dan

Dormansi Benih (Dasar Ilmu dan Teknologi

Benih). IPB Press

Nurisma, I., Agustiansyah & Kamal, M. (2015).

Pengaruh jenis kemasan dan suhu ruang

simpan terhadap viabilitas benih sorgum

(Sorghum bicolor [L.] Moench). Jurnal

Penelitian Pertanian Terapan, 15(3), 183–

190.

Rahayu, E., & Widajati, E. (2007). Pengaruh

kemasan, kondisi ruang simpan dan periode

simpan terhadap viabilitas benih caisin

(Brassica chinensis L.). Buletin Agronomi,

35(3), 191-196.

Raka, I.G.N., Astiningsih, A.A.M., Nyana, I.D.N.,

& Siadi, I.K. (2012). Pengaruh dry heat

treatment terhadap daya simpan benih cabai

rawit (Capsicum frutescens l.). Jurnal Agric.

Sci. And Biotechnol, 1(1), 1-11.

Rohandi, A & Widyani, N. (2010). Dampak

Penurunan Kadar Air Terhadap Respon

Fisiologis dan Biokimia Propagul Rhizophora

apiculata BI. Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 7(4), 170-179

Rustam, E., Suharsi, T,K., Suhartanto, M,R., &

Sudrajat, D,J. (2017). Daya simpan benih

jabon putih (Neolamarckia cadamba (Roxb.)

Bosser) berdasarkan populasi dan

karakteristik benih. Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 14(1):19-34.

Sadjad, S., Muniarti, E., & Ilyas, S. (1999).

Parameter pengujian vigor benih komparatif

ke simulatif. Jakarta: PT. Grasindo.

Schmidt, L. (2000). Pedoman penanganan benih

tanaman hutan tropis dan sub tropis.

Diektorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial. Departemen Khutanan.

Jakarta.

Siahaan, F, A. (2017). Pengaruh kondisi dan

periode simpan terhadap perkecambahan

benih kesambi (Schleichera oleosa (Lour.)

Merr). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan,

5(1), 1–11.

Sudrajat, D.J., & Megawati. (2010). Keragaman

morfologi dan respon perlakuan pro

perkecambahan benih dari lima populasi

sawo kecik (Manilkara kauki (LL.) Duabard).

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(2), 67–

76.

Sudrajat, D.J., Nurhasybi., & Syamsuwida, D.

(2011). Teknologi untuk memperbaiki

perkecambahan benih kepuh (Sterculia

foetida Linn). Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 8(5), 301–314.

Sudrajat, D.J., Yuniarti, N., Nurhasybi.,

Syamsuwida, D., Danu., Pramono, A.A., &

Putri, K,P. (2017). Karakteristik dan prinsip

penanganan benih tanaman hutan berwatak

intermediet dan rekalsitran. Bunga rampai.

IPB Press,

Suita, E. (2006). Pengaruh penurunan kadar air

terhadap daya kecambah dan kecepatan

berkecambah tanjung (Mimusops elengi L.).

Prosiding Seminar Benih Untuk Rakyat

Menghasilkan dan Menggunakan Benih

Bermutu Secara Mandiri. Publikasi

Khusus,5(6), 103-108.

Suita, E., & Darwo. (2015). Teknik penyimpanan

benih manglid (Manglieta glauca BL). Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 12(2), 129–137.

Suita, E., & Ismiati, E. (2008). Pengaruh

penurunan kadar air terhadap perkecambahan

benih kesambi (Schleichera oleosa Merr).

Info benih, 12(2)

Suita, E., & Ismiati, E. (2011). Pengaruh ruang,

wadah dan periode simpan terhadap

perkecambahan benih kesambi (Schleichera

oleosa Merr). Jurnal Pemuliaan Tanaman

Hutan, 5(2), 63–72.

Suita, E., Sudrajat, D.J., & Kartiana, E. (2011).

Pengaruh Penurunan Kadar Air Benih dan

Periode Simpan terhadap Daya Berkecambah

Benih Sawo Kecik (Manilkara kauki) Balai

Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.

Tidak diterbitkan.

Sukesh & Chandrashekar, K,R.. (2013). Effect of

Temperature on Viability and Biochemical

Changes During Storage of Recalcitarant

Seeds of Vatica chinensis L. International

Journal of Botany, 9(3), 73-79.

Sutopo, L. (2002). Teknologi Benih. Jakarta: PT.

PENGARUH KONDISI DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP PERKECAMBAHAN

BENIH CEMPAKA WASIAN (Magnolia tsiampaca (Miq.) Dandy)

Arif Irawan dan Hanif Nurul Hidayah

65

Raja Grafindo Persada.

Tresniawati, C., Murniati, E., & Widajati, E.

(2014). Perubahan Fisik, Fisiologi dan

Biokimia Selama Pemasakan Benih dan Studi

Rekalsitransi Benih Kemiri Sunan. J. Agron.

Indonesia 42 (1), 74–79.

Thapliyal, M., & Tewari, R. (2011). Seed

germination response to pretreatments and

storage behaviour in Schleichera oleosa

(Lour.) Oken – Indian lac tree. Forests Trees

and Livelihoods, 20, 295-300

Walters, C. (2015). Orthodoxy, recalcitrance and

inbetween: describing variation in seed

storage characteristics using threshold

responses to water loss. Planta, 242(2), 397–

406.

Yuniarti, N., & Nurhasybi. (2015). Perubahan

viabilitas dan biokimia Benih bambang

lanang (Michelia champaca Linn.) pada

berbagai tingkat pengeringan dan metode

penyimpanan. Jurnal Perbenihan Tanaman

Hutan, 3(1), 36–48.

Yuniarti, N., Nurhasybi, & Darwo. (2016).

Karakteristik benih kayu bawang

(Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs)

berdasarkan tingkat pengeringan dan ruang

penyimpanan. Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 13(2), 105–112.

Yuniarti, N., Syamsuwida, D., & Aminah, A.

(2013). Dampak perubahan fisiologi dan

biokimia benih eboni (Diospyros celebica

Bakh.) selama penyimpanan. Jurnal

Penelitian Hutan Tanaman, 10(2), 65–71.

Yuniarti, N., Zanzibar, M., Megawati., &

Leksono, B. (2014). Perbandingan vigoritas

benih Acacia mangium hasil pemiliaan dan

yang belum dimuliakan. Jurnal Penelitian

Kehutanan Wallacea, 3(1), 57–64.

Yuniarti, N., Zanzibar, M., Megawati., & Lekono,

B. (2016). Daya vigoritas benih Acacia

crassicarpa A.Cunn.Ex Benth dari beberapa

sumber benih. Jurnal Penelitian Hutan

Tanaman, 13(2), 121–132.

Zanzibar, M. (2010). Pulai (Alstonia scholaris (L)

R Br). Atlas benih tanaman hutan indonesia.

Jilid I. Publikasi khusus 4 (3) Desember 2010

(Cetakan Ketiga). Balai Penelitian Teknologi

Perbenihan. Bogor.

JUDUL

Penulis

© 2017 BPTPTH All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license.doi: //doi.org/10.20886/bptpth.2017.5.2.95-102 95

Times New Roman 9, italic, huruf kecil

Times New Roman 8, Bold, huruf kapital

JUDUL

( Title)

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2, dan/and Penulis Ketiga3

1)Institusi asal penulis 2)Institusi asal penulis 3)Institusi asal penulis

Alamat; Telp/Fax, Kota, Negara

e-mail: salah satu penulis sebagai koresponden

Naskah masuk: ....; Naskah direvisi: ...........; Naskah diterima: ..........(diisi oleh sekretariat redaksi)

ABSTRACT

Abstract should be written in Indonesia and English using Time New Roman font, size 11 pt, italic, single space. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe

content of the paper it should contain background, objective, paragraph and should be no more than 200 words

in English.

Keyword: 3-5 keywords

ABSTRAK

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 11 pt, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang

utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan,

metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan

persamaan matematika dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 250 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Kata kunci : 3-5 kata kunci

I. PENDAHULUAN

Pendahuluan mencakup hal-hal berikut ini: Latar Belakang, berisi uraian permasalahan dan

alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan dirumuskan secara jelas, penjelasan

ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitan dengan pencapaian luaran yang

telah ditetepkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin

dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran

menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian.

Hasil yang dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk

kegiatan penelitian lanjutan).

Kosong satu spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Kosong satu spasi tunggal

Kosong 1 (satu )spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Commented [U1]: Times New Roman 12, bold, centered, huruf kapital, spasi tunggal, maksimum dua baris, ≤ 15kata

Commented [U2]: Times New Roman 12, italic, centered, huruf kecil diawali huruf kapital tiap kata, spasi tunggal,tanda buka dan tutup kurung

Commented [U3]: Times New Roman 11, tegak, centered, huruf kecil,spasi tunggal, tanda 1) 2) dst digunakan hanya jika penulis satu dengan yang lainnya berbeda asal instasi, jika masih satu instansi tidak perlu menggunakan tanda 1) 2) dst

Commented [U4]: Times New Roman11, huruf kapital, italic,bold

Commented [U5]: Times New Roman 11, spasi tunggal, italic, apabila ada nama ilmiah menjadi tegak & underline

Commented [U6]: Times New roman 11, bold, italic, urutkan sesuai abjad

Commented [U7]: Times New Roman 11,huruf kapital,tegak, bold

Commented [U8]: Times New Roman 11, bold, tegak, urutkan sesuai abjad

Commented [U9]: Times New Roman 12, tegak, bold, centered

Commented [U10]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75 cm

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

96

II. BAHAN DAN METODE

Metode Penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional,

empiris dan sistematis. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah.

Menggunakan tolak ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode

penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Jika metode merupakan kutipan

harus dicantumkan dalam referansi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau

standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dengan disajikan dalam tabel..

Untuk Bab dan Sub Bab secara konsisten ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:

A. Bahan dan Alat

Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan

lokasi penelitian, waktu penelitian.

B. Prosedur Penelitian

Mengemukakan tahapan kerja dan beberapa pengujian yang dilakukan. Pelaksanaan penelitian

disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Untuk Sub Sub Bab secara konsisten

ditulis rata di batas kiri tulisan, sebagaimana berikut:

1. Penyiapan contoh kerja

2. Pengujian perkecambahan benih standar di laboratorium

Untuk Sub Sub Sub Bab secara konsisten ditulis, sebagaimana berikut:

a. Indeks perkecambahan (Gi)

b. Uji tetrazolium

C. Analisis Data

Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan

penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya.

Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang benar. Judul, keterangan tabel

dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring atau sebaliknya.

Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna

atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk

grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang

Kosong 2 (dua) spasi tunggal

Commented [U11]: Times New Roman12, tegak bold, centered

Commented [U12]: Times New Roman 12, spasi 1,5 fist line 0,75 cm

Commented [U13]: Times New Roman 12, bold, huruf kecil, awal huruf besar kecuali kata hubung

Commented [U14]: Times New Roman 12, huruf kecil semua, hanya awal kalimat huruf besar, bold

Commented [U15]: Times New Roman 12, huruf kecil semua, hanya awal kalimat huruf besar

JUDUL

Penulis

97

berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus

dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran harus dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode

harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini.

Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.

TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia

dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt dan berjarak satu spasi di

bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 12 pt, rata kiri dan ditempatkan di

atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka (1, 2, ......). Apabila tabel memiliki lajur/kolom

cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada

lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel.

Keterangan (Remarks) dan sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel ditulis dengan Times New

Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi. Tabel diletakkan segera setelah disebutkan dalam

naskah.

GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam

putih atau arsir), masing-masing harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam

bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari

setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom. Apabila gambar cukup besar, bisa

digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan huruf Times New Roman ukuran

12 pt dan berjarak satu spasi rata kiri dan ditempatkan di bagian bawah, seperti pada contoh di

bawah. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.

Tabel (Table) 1. Hasil uji beda Duncan pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air polong,

kadar air benih dan daya berkecambah sengon laut (The results of Duncan test of

the effect drying treatment on the pod, seed moisture content and germination

percentage of sengon laut)

Perlakuan pengeringan(Drying treatment)

Kadar air

polong(Pod

moisture content

%

Kadar air

benih(Seed

moisture content)

%

Daya

berkecambah/%

(Germination percentage)

%

Kontrol (Control) (7,76 + 0,13 )a (7,93 + 0,36) a (77,00+4,36) Penjemuran 1 hari (Sun drying for 1 day) (7,78+0,65) a (7,95 + 0,29) a (78,66+ 4,16)

Penjemuran 2 hari (Sun drying for 2 days) (5,72+ 0,69) b (5,98 + 0,10) b (73,66 + 1,53)

Penjemuran 3 hari (Sun drying for 3 days) (5,52 + 0,47 ) b (5,77 + 0,09) b (76,00 + 1,00)

Penjemuran 4 hari (Sun drying for 4 days) (5,53+0,19) b (5,77 + 0,19) b (77,33+2,31) Penjemuran 5 hari (Sun drying for 5 days) (5,53 + 0,23) b (5,59 + 0,51) b (78,66+ 1,53)

Alat pengering 4 jam (Seed drier for 4 hours) (7,70+ 0,09) a (7,94 + 0,05) a (76,33+9,07)

Alat pengering 8 jam (Seed drier for 8 hours) (7,43 + 0,35) a (7,52 +0,03) a (81,66+3,21)

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

98

Alat pengering 12 jam (Seed drierfor 12 hours) (7,46+ 0,14) a (7,56 + 0,11) a (74,44+ 3,21)

Alat pengering 16 jam (Seed drier for 16 hours) (7,47 + 0,41) a (7,49+ 0,29) a (79,00+ 6,24)

Alat pengering 20 jam (Seed drier for 20 hours) (7,51+ 0,44) a (7,56 + 0,12) a (77,66 + 6,81)

Alat pengering 24 jam (Seed drier for 24 hours) (7,52 + 0,42) a (7,53 + 0,21) a (78,00+ 7,21) Alat pengering 28 jam (Seed drier for 28 hours) (7,44 + 0,11) a (7,59 + 0,08) a (77,33+ 4,04)

Alat pengering 32 jam (Seed drier for 32 hours) (5,73 + 0,38) b (6,04 +0,03) b (78,66+ 4,62)

Alat pengering 36 jam (Seed drier for 36 hours) (5,79+ 0,16) b (6,05+ 0,07) b (78,66+ 3,06) Alat pengering 40 jam (Seed drier for 40 hours) (5,75+ 0,43) b (6,11+0,14) b (77,00+ 1,53)

Alat pengering 44 jam (Seed drier for 44 hours) (5,77+ 0,45) b (6,07 + 0,09) b (77,66+ 4,62)

Alat pengering 48 jam (Seed drier for 48 hours) (5,74+ 0,69) b (6,09 +0,11) b (76,66+ 9,07)

Rata-rata (average) 6,70 6,79 77,50

SD 0,95 0,89 4,44

Nilai F hitung (F test) 25,48** 74,14** 0,39

Keterangan (Remarks): Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada

selang kepercayaan 99% (Values followed by the same letters on the same colm are not

significantly different : a > b > c < d, etc.P = 99%). ** berbeda sangat nyata pada selang

kepercayaan 99% (significant effect, P = 99%)

Gambar (Figure) 1. Pengaruh skarifikasi benih terhadap waktu berkecambah, kecepatan

berkecambah dan daya berkecambah pada benih kayu kuku (Effect of seed scarification to

germination time, germination speed and germination rate of P. mooniana seeds)

B. Pembahasan

Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat

menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan

hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan

penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan

tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi.

Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya. Simbol/lambang

ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus

dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata

Kosong 1 (satu) spasi tunggal

JUDUL

Penulis

99

singkatannya.

Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simestris pada kolom.

Nomor persamaan diletakkan diujung kanan dalam tanda kurung dan penomoran dilakukan secara

berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan

nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk

singkatan, seperti persamaan berikut.

).................................................(1)

Keterangan:

Gt = persen kecambah hari ke-n

Tt = hari uji perkecambahan

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan memuat hasil yang telah dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga

konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Saran dapat dikemukakan untuk

dipertimbangkan pembaca.

UCAPAN TERIMA KASIH

Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian

tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak- pihak yang telah membantu, baik berperan secara

finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan

pilihan (opsional).

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah. Format penulisan Daftar

Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style. Referensi terdiri dari

acuan primer dan/atau acuan skunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung

merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer

dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional

terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertai, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook), termasuk

dalam sumber acuan sekunder. Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus

dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).

Pustaka minimal 15,80% dari pustaka merupakan acuan primer, dan 80% dari acuan primer

Commented [A16]: Times New Roman12, spasi 1

Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan

Vol.5 No 2 Desember 2017: 95-102

p-ISSN : 2354-8568

e-ISSN : 2527-6565

100

merupakan publikasi 10 tahun terakhir. Pengelolaan pustaka dalam Jurnal Perbenihan Tanaman

Hutan menggunakan aplikasi software Mendeley, untuk itu disarankan agar penulis menggunakan

software yang sama. Jarak antar pustaka (after spacing) adalah 6 pt. Inden (hanging) pada baris

kedua dengan jarak 0,75 cm. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet nama

pengarang. Penulisan situasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi

seperti Mendeley. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA style:

1. Paper dalam jurnal

a. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis)

Bonner, F. T. (1998). Testing tree seeds for vigor: A review. Seed Tehcnology, 20(1), 5–17.

b. Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis)

Vieira, R. D., Paiva, A. J. A., & Perecin, D. (1999). Electrical conductivity and field performance of soybean

seeds. Seed Technology, 21, 15–24.

2. Buku

Chakraverty, A., & Singh, R. (2001). Postharvest Technology Cereals, Pulses, Fruit, and Vegetables. New

Hampshire (US): Science Publishers, Inc.

3. Prosiding

Gill, N. S., & Delouche, J. (1973). Proceedings of the Association of Official Seed Analysts 63. In

Deterioration of seed corn during storage. (pp. 35–50).

4. Makalah Seminar dan Lokakarya

DBPTH. (2014). Lokakarya penyusunan Standar Mutu Benih dan Mutu Bibit Tanarnan Hutan. In Kebijakan

pengujian benih. Solo, 4-7 November 2014: Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta.

5. Skripsi, tesis dan disertasi

Sudrajat, D. J. (2014). Keragaman populasi, uji provenansi dan adaptasi jabon (Neolamarckia cadamba

(Roxb.) Bosser). Disertasi. Sekolah Pascasrjana. Bogor: Insitut Pertanian Bogor.

6. Laporan penelitian

Aminah, A., & Budiman, B. (2009). Teknik penanganan benih kranji (Pongamia pinnata) sebagai sumber energi terbarukan. Laporan Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor

(ID): Kementerian Kehutanan.

7. Artikel dari internet

Graham, P., Reedman, L., Rodriguez, L., Raison, J., Braid, A., Haritos, V., Adams, P. (2011). Sustainable aviation fuels road map: Data assumptions and modelling, (May), 1–104. Retrieved from

http://www.csiro.au/en/Outcomes/Energy/Powering-Transport/Sustainable-Aviation-Fuels.aspx#

CATATAN:

1. Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dapat diakses di http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/BPTPTH.

2. Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mmx 297 mm) dengan margin atas 2,5 cm,

margin bawah 2,5 cm, margin kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom

dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk

lampiran Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, kata kunci dan daftar Pustaka font 11.

Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style,

sebagai berikut :

JUDUL

Penulis

101

· Karya dengan dua pengarang. ....seperti yang dilakukan oleh Gill dan Delouche (1973)..... atau (Gill & Delouche, 1973)

· Karya tiga sampai lima pengarang. (Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornel, Sun, Berry, & Harlow (1993) menjelaskan... Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued...

· Enam pengarang atau lebih. Harris et al. (2001) mengasumsikan... atau (Harris et al., 2001)

3. Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka : Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan.

4. Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis wajib Authorship Ethical Statement dan Copyright Agreement Form.