P ET A F ILSAFA T ISLAM - okp.uinjkt.ac.id

173

Transcript of P ET A F ILSAFA T ISLAM - okp.uinjkt.ac.id

PETA FILSAFAT ISLAM Perjalanan Filsafat Masya’iyyah Menuju

Hikmah Mutaāliyyah

Kholid Al Walid

PETA FILSAFAT ISLAM

Perjalanan Filsafat Masya’iyyah Menuju Hikmah Mutaāliyyah

Kholid Al Walid

Penyunting:

Egi Sukma Baihaki

Hadi Kharisman

Penata Letak dan Desainer Sampul:

Merpati-design

Penyelia Akhir:

Iman Dega

Cetakan Pertama: Muharram 1442 H/September 2020

Diterbitkan dan diedarkan oleh:

Sadra Press

SADRA INTERNATIONAL INSTITUTE

Gedung Musthafa Lt.4

Web: www.sadrapress.com;

Email: [email protected]

Bekerja sama dengan

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT ISLAM (STFI) SADRA

Gedung Musthafa, Lt. 1-3

Web: www.sadra.ac.id

Jl. Lebak Bulus II No. 2, Cilandak,

Jakarta Selatan, 12430 Indonesia

Telp. (021) 29446469, Fax. (021) 29235221

COPYRIGHT©2020

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

ALL RIGHT RESERVED

Kholid Al Walid

Peta Filsafat Islam xi

KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Allah yang selalu

memberikan limpahan nikmat kesadaran bagi manusia

untuk selalu berpikir dan merenungkan kehidupannya.

Shalawat dan salam semoga selalu teruntaikan

sepanjang zaman, kepada baginda Nabi berserta

keluarganya yang suci.

Filsafat merupakan ilmu yang penting untuk

dipelajari sejak dini. Dalam sejarahnya, filsafat telah

melahirkan banyak tokoh besar yang berpengaruh

dalam peradaban pengetahuan dan pemikiran dunia.

Islam tidak mengesampingkan atau bahkan membenci

filsafat. Justru, keberadaan Filsafat Islam merupakan

cerminan sejarah yang tidak bisa dibantah,

bahwasannya filsafat Islam merupakan ilmu yang

penting untuk dipelajari.

Diskursus dalam filsafat Islam menjadi

perbincangan serius yang selalu didiskusikan lintas

generasi. Filsafat Islam telah mencatatkan sejarahnya

dengan melahirkan tokoh-tokoh filosof dunia seperti

al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ikhwan al-Safa,

Suhrawardi, Ibn Rusyd, Al-Ghazali, hingga Mulla Sadra.

Karya-karya monumental para filosof Islam masih

dikaji dan dipelajari tidak hanya oleh kalangan muslim,

tetapi dikaji juga oleh para cendikiawan barat.

Buku ini akan menghantarkan Anda untuk

mengenal lebih dekat beragam diskursus yang

Kata Pengantar

xii Peta Filsafat Islam

menjadi pembahasan atau perbincangan para filosof

dari beragam aliran, mulai dari Masya’iyyah hingga

aliran Hikmah Muta’aliyyah. Penulis berharap

pembaca ikut tenggelam dan bertamasya dalam

lautan ilmu filsafat Islam. Selamat membaca!

Jakarta, Agustus 2020

Dr Kholid Al Walid, M. Ag

Kholid Al Walid

1 Peta Filsafat Islam

BAGIAN PERTAMA

WUJŪD

Wujūd dalam diskursus atau kajian filsafat merupakan bahasan utama yang menjadi objek pembahasan para filosof. Sebelum membahas lebih jauh tentang wujūd, kita perlu terlebih dahulu mengenal filsafat. Filsafat merupakan ilmu yang sangat penting dalam ranah kehidupan manusia. Filsafat tidak hanya berperan besar dalam cara manusia berpikir dan menganalisa sesuatu atau realita, filsafat pada saat yang sama menjadi media atau jembatan bagi manusia untuk mengenal diri dan eksistensi keberadaan Tuhan. Karena itulah, pada pembahasan awal ini, penulis menghadirkan beberapa peran atau keutamaan filsafat, yaitu:

1. Filsafat merupakan ilmu yang membahas dasar dari segala sesuatu.

Wujūd

Peta Filsafat Islam 2

2. Filsafat mengungkap realitas yang sesungguhnya.

3. Filsafat Islam mengungkap kebenaran keyakinan Islam.

Wujud dalam Filsafat Islam

Dalam konteks Filsafat Islam, filsafat tidak hanya menjadi ilmu yang membahas sesuatu di luar pembahasan ketuhanan, tetapi dalam konteks Filsafat Islam, filsafat berperan besar dalam menjelaskan dan membuktikan keberadaan Tuhan bagi manusia. Oleh sebab itu, Filsafat Islam memiliki beberapa tujuan:

1. Membuktikan wujūd hakiki dan memisahkan dengan selainnya.

2. Membuktikan sebab utama bagi wujūd .

3. Membuktikan beragam keyakinan Islam. 4.

Kebenderangan Makna Wujūd

Wujūd dalam diskursus filsafat menjadi poin penting yang banyak dibicarakan untuk menjelaskan keberadaan Tuhan dan hubungannya dengan eksistensi luar. Pada dasarnya, wujūd dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Makna Wujūd Badīhi dan gamblang dengan dirinya sendiri.

Kholid Al Walid

3 Peta Filsafat Islam

2. Tidak ada yang lebih umum atau lebih khusus dari wujūd sehingga bisa didefinisikan.

3.

Al-Musytarak al-Lafzhi dan Musytarak al-Ma‘nawi

Al-Musytarak al-Lafzhi adalah kesamaan dalam sebutan akan tetapi objek yang dimaksud belum tentu sama. Sedangkan Al-Musytarak al-Ma’nawi adalah kesamaan dalam sebutan dan objek yang dimaksud adalah tunggal.

Argumentasi

1. Wujūd dapat dibagi menjadi wujūd niscaya, wujūd mumkin: wujūd jawhar, wujūd aradh, dan seterusnya. Jelas bahwa pembagian hanya dapat dilakukan pada satunya pembagi.

2. Kalau kita tetapkan keberadaan (wujūdnya) sesuatu kemudian kita ragu apakah dia sebab atau akibat, materi atau non-materi, substansi atau aksiden, dengan kepastian tentang keberadaannya, jika wujūd musytarak lafzhi maka pastilah kita tidak dapat menetapkan satunya makna keberadaan pada objek tersebut.

3. ‘Adam (ketiadaan) merupakan oposisi dari wujūd, jika pada ‘adam tidak terjadi perbedaan, maka pastilah pada wujūd terjadi hal yang sama.

4.

Wujūd

Peta Filsafat Islam 4

Musytarak al-Lafzhi

Terkait dengan Musytarak al-Lafzhi, ada dua pandangan:

1. Musytarak al-Lafzhi secara mutlak.

2. Musytarak al-Lafzhi hanya antara mumkin dengan wājib.

Argumentasi :

Jika makna wujūd satu, maka tidak ada bedanya antara Wājib al-Wujūd dengan Mumkin al-Wujūd karena terjadi kesatuan dimensional antara wājib dan mumkin.

Antara Wujūd dan Mahiyyah

Mahiyyah merupakan Aksiden bagi Wujūd.

1. Kita dapat memisahkan makna wujūd dan makna mahiyyah.

2. Al-Mahiyyah dapat dipahami sebagai bagian tersendiri dari wujūd.

3. Penyandaran mahiyyah pada wujūd merupakan makna aksidensi mahiyyah atas wujūd .

Kholid Al Walid

5 Peta Filsafat Islam

Argumentasi:

1. Wujūd dapat dilepaskan dari mahiyyah. Jika wujūd merupakan bagian atau zat bagi mahiyyah maka hal tersebut mustahil.

2. Penisbahan wujūd atas mahiyyah membutuhkan argumentasi/dasar. Sekiranya wujūd adalah zat atau bagian bagi mahiyyah maka tidak lagi membutuhkan argumentasi utk keberadaannya.

3. Mahiyyah secara zatnya memiliki relasi yang setara antara wujūd dan ‘adam. Jika wujūd adalah zat bagi mahiyyah maka hal tersebut mustahil.

4.

Ashalat al-Wujūd wa I‘tibariyat al-Mahiyyat (Keutamaan Wujūd dan Kerelatifan Mahiyyah)

Pembagian antara wujūd dan mahiyyah pada objek di luar hanya terjadi pada alam pikiran. Sedangkan realitas objek hanyalah satu, sehingga menimbulkan pertanyaan manakah di antara wujūd dengan mahiyyah yang real ?

Ibn Sinā dengan filsafat Paripatetiknya meyakini bahwa yang utama dan real adalah wujūd, sedangkan Syaikh Isyrāq dengan filsafat Iluminasinya menganggap kuiditaslah yang real dan hakiki.

Syaikh Isyrāq mengemukakan argumentasi atas keyakinannya tersebut sebagai berikut: Jika yang

Wujūd

Peta Filsafat Islam 6

utama dan real tersebut adalah wujūd, maka yang mewujūd di luar adalah wujūd. Wujūd tersebut pastilah memiliki atribut kewujūd-an dan sesuatu yang mewujūd pastilah terdapat pada dirinya wujūd, sehingga terjadi regresi (tasalsul) dan hal tersebut pastilah tidak mungkin. Selain alasan yang dikemukakan Syaikh Isyrāq, penolakan terhadap wujūd sebagai realitas yang utama didasarkan bahwa wujūd karena merupakan konsep yang paling umum dibandingkan segala sesuatu, maka wujūd sebenarnya tidak lebih sebagai konsep sekunder (ma‘qul al-Tsāni).

Mullā Sadrā beranggapan bahwa yang benar adalah pandangan Ibn Sinā yang menganggap bahwa wujūd lah yang utama dan real, sedangkan kuiditas hanyalah aksiden atau hanya abstraksi mental.

Argumentasi:

Kuiditas sebagai kuiditas bukanlah sesuatu selain dirinya –berada dalam kesetaraan antara wujūd dan ketiadaan. Ketika kuiditas keluar pada tingkat wujūd bukan dengan perantaraan wujūd pastilah terjadi perubahan substansial pada hakikat kuiditas (inqilab) dan hal tersebut tidak mungkin. Karenanya satu-satunya hakikat yang mengeluarkan kuiditas pada tingkat wujūd adalah wujūd itu sendiri.

Kuiditas sumber perbedaan, setiap kuiditas berbeda dari kuiditas yang lain. Dalam hal ini masing masing tidak memiliki kesatuan yang sama. Jika tidak ada realitas yang menyatukan yang berbeda tersebut

Kholid Al Walid

7 Peta Filsafat Islam

dan menggabungkannya, maka tidak ada proposisi yang dipredikatkan satu kuiditas kepada kuiditas yang lain. Karena itu diperlukan satu realitas dasar untuk menggabungkan berbagai kuiditas tersebut. Realitas tersebut adalah wujūd .

Kuiditas mewujūd dengan wujūd eksternal sehingga memiliki implikasi efek (api membakar, air membasahi) dan pada saat yang sama mewujūd juga pada wujūd mental (zihnī) dan tidak memiliki implikasi efek sebagaimana kuiditas eksternal. Jika yang real dan hakiki adalah kuiditas, pastilah efek yang ditimbulkan sama pada dua keadaan tersebut dan tidak terjadi perbedaan. Fakta menunjukkan sebaliknya sehingga hal tersebut jelas keliru dan karenanya wujūd lah yang utama dan real.

Kuiditas netral dalam keadaannya. Baik antara intensitas dan kelemahan, kepadatan dan ketidakpadatan. Tetapi pada realitas eksternal kita melihat ada yang intens (seperti sebab) dan ada yang lemah (seperti akibat). Jika bukan wujūd yang real dan hakiki, maka perbedaan atribut tersebut kembali kepada kuiditas padahal kuiditas bersifat netral. Jelas wujūd lah yang real dan hakiki.

Sebagai jawaban bagi Syaikh Isyrāq yang menolak keutamaan wujūd, Mullā Sadrā mengemukakan argumen bahwa wujūd mewujūd (secara eksternal) akan tetapi wujūd-nya wujūd dengan zatnya sendiri sehingga tidak menyebabkan regresi.

Wujūd

Peta Filsafat Islam 8

Dengan argumentasi-argumentasi ini, Mullā Sadrā menampilkan pandangan dasarnya tentang Asālat al-Wujūd wa I‘tibāriyyāt al-Māhiyyāt. Pandangan ini menjadi prnsip dasar bagi seluruh jalinan filsafatnya dan hal ini juga jika kita lihat lebih dalam menunjukkan upaya Mullā Sadrā dalam upayanya membersihkan diri Tuhan dari kuiditas, karena baginya Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd haruslah merupakan zat murni yang terlepas dari beragam batasan.

Tasyqīq al-Wujūd (Ambiguitas Wujūd )

Prinsip al-Hikmah al-Muta’aliyyah selanjutnya yang dikemukakan Mullā Sadrā adalah ambiguitas wujūd . Ambiguitas wujūd merupakan gambaran atas wujūd tunggal tetapi memiliki gradasi yang berbeda disebabkan tingkatan kualitas yang ada pada wujūd tersebut. Hal ini menyebabkan wujūd tersebut memiliki dua sifat pada saat yang bersamaan yaitu ketunggalan (univok) dan pluralitas (ekuivok) yang dalam istilah Mullā Sadrā disebut “pluralitas dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam pluralitas (al-Katsrah fi ayni wahdah wa al-Wahdah fi ayni al-Katsrah).”1

Mullā Sadrā menggambarkan bahwa wujūd tidak berbeda pada tingkat substansinya kecuali perbedaan tersebut terjadi pada kualitas kepadatan dan ketidakpadatan, prior dan posterior, tampak dan tersembunyi, karena menurutnya bahwa setiap level pastilah memiliki atribut yang khusus yang dikalangan

Kholid Al Walid

9 Peta Filsafat Islam

filosof dikenal sebagai kuiditas sedangkan dikalangan Sufi dikenal dengan istilah A‘yān al-Tsābitah (entitas-entitas tetap).

Untuk menjelaskan konsepnya ini Mullā Sadrā menggunakan perumpamaan cahaya seperti halnya Syaikh Isyrāq dalam menjelaskan realitas kuiditas. Baginya wujūd seperti halnya level-level cahaya matahari yang merupakan gambaran Tuhan bagi alam materi, bagaimana dia memancarkan dan menampilkan warna-warna pada cermin dan pada saat yang sama cahaya-cahaya tersebut merupakan cahaya dirinya sendiri. Tidaklah terjadi perbedaan diantaranya kecuali pada kepadatan dan ketidakpadatan semata.

Manusia yang terpaku hanya pada cermin dan warna-warna yang ditampilkannya dan terhijab dengannya dari cahaya hakiki dari level-level hakiki yang terpancar turun menurut Mullā Sadrā manusia tersebut tidak mampu memahami realitas cahaya-Nya. Sebagaimana pandangan yang menyatakan bahwa kuiditas adalah persoalan hakiki yang merealisasikan wujūd sedangkan wujūd hanya merupakan persoalan abstraksi mental: bagi manusia yang menyaksikan beragam warna cahaya dan memiliki kesadaran bahwa hal tersebut dimunculkan oleh cermin semata dan warna-warna tersebut pada substansinya adalah cahaya, maka manusia seperti itu dapat memahami cahaya yang sesungguhnya dan jelaslah baginya bahwa yang menampakkan kuiditas dan kepluralannya tidak lain adalah level-level wujūd itu

Wujūd

Peta Filsafat Islam 10

sendiri. Dengan pendekatan ini Mullā Sadrā menyatakan bahwa wujūd merupakan pancaran dari Wujūd Tuhan seperti cahaya memancarkan warna-warna demikian pula Wujūd Muthlaq memancarkan kuiditas-kuiditas yang bersifat imkān yang tidak lain merupakan ragam bentuk makhluk

Ambiguitas wujūd yang dikemukakan Mullā Sadrā ini merupakan konsepsi baru dalam filsafat karena pendahulunya Ibn Sinā sekalipun meyakini bahwa yang utama dan real tidak lain adalah wujūd akan tetapi dalam proses munculnya wujūd imkān tidak mengenal prinsip ambiguitas ini, bagi Ibn Sinā dalam proses penciptaan wujūd imkān sekalipun ada tingkatan Intelek akan tetapi pada saat yang sama wujūd imkān tersebut terikat dalam kesatuan substantif, masing-masing berdiri secara independen Teori Intelek atau Akal Sepuluh pada awalnya dikembangkan oleh al-Farābī dan kemudian diteruskan oleh Ibn Sinā.2

Wujūd terspesifikasi dalam tiga bentuk:

1. Terspesifikasi melalui hakikat wujūd yang sempurna, satu yang asli secara zat dan hadir dengan zatnya sendiri.

2. Terspesifikasi melalui derajat (marātib), tidak keluar dari derajat wujūd .

3. Terspesifikasi melalui penambahan mahiyyah (kuiditas) yang berbeda secara zat sehingga terjadi perbedaan kuiditas.

Kholid Al Walid

11 Peta Filsafat Islam

4.

Hukum Negativa Wujūd

Tidak ada selain wujūd pembuktian bahwa wujūd sebagai yang āshil membatalkan segala kemungkinan adanya sesuatu selain wujūd, batal secara zāti.

Tidak ada dualitas karena wujūd āshil dan murni maka hal tersebut membatalkan adanya sesuatu selain dirinya baik yang bersamanya atau berada di dalamnya. Sebagaimana kaidah “murninya sesuatu tidak plural maupun berulang” karena jika tidak maka akan terjadi perbedaan dengan sesuatu yang selain dirinya di dalam atau diluar dirinya.

Wujūd Bukanlah Substansi (Al-Jawhar) Ataupun Aksiden (Al-Aradh)

Bukanlah substansi karena substansi merupakan mahiyyah yang jika ditemukan di luar maka dirinya tidak bersandar pada sesuatu sedangkan wujūd bukanlah mahiyyah. Bukan pula aksiden karena aksiden bergantung pada substansi sedangkan wujūd ada dengan dirinya sendiri.

Wujūd bukanlah bagian dari sesuatu karena bagian antara lain: Bagian aqliah seperti genus (al-Jins) dan fasl (diferensial): bagian eksternal (khāriji) seperti materi (al-Mādah) dan forma (al-Sūrah): dan bagian ukuran seperti bagian-bagian garis atau jarak.

Wujūd

Peta Filsafat Islam 12

Wujūd Mental

Salah satu pandangan ontologis Mullā Sadrā yang lain adalah Wujūd Mental (Wujūd al-Zihnī). Prinsip wujūd mental ini timbul disebabkan persoalan persepsi terhadap objek, bagaimana objektifitas dapat terjadi. Bagi kebanyakan filosof dikenal bahwa bagi kuiditas di balik wujūd eksternal (wujūd yang terdapat padanya efek keharusan) terdapat wujūd yang lain yang tidak memiliki efek-efek tersebut dan dinamakan sebagai wujūd mental. Api eksternal yang kita saksikan memiliki efek keharusan seperti panas dan membakar, tetapi api yang muncul dalam kesadaran mental tidaklah memiliki efek keharusan sebagaimana wujūd eksternalnya. Api yang hadir dalam mental itulah yang disebut wujūd mental.

Sebagian filosof menganggap wujūd mental yang hadir tersebut merupakan gambaran realitas eksternal seperti halnya sebuah lukisan dan sebagian lainnya bahkan menolak wujūd mental tersebut. Tapi menurut Mullā Sadrā hal demikian jelas tidak mungkin dan akan menyebabkan tidak adanya sesuatu yang dapat kita ketahui. Dan hal ini membawa kembali kepada pandangan Sofistik. Sofis adalah kelompok filsuf muda di Yunani yang berusaha menghancurkan bangunan filsafat Parmenides dan mereka memiliki pandangan skeptik pada realitas. Tokoh utamanya Georgias menyimpulkan tiga hal: 1). Tak satupun yang ada, 2). Jika ada sesuatupun tak ada yang dapat

Kholid Al Walid

13 Peta Filsafat Islam

dipahami, dan 3). Jika sesuatu dapat dipahami, orang tak dapat mengatakan apapun tentangnya.3

Mullā Sadrā mengemukakan beberapa argumen untuk membuktikan keberadaan wujūd mental sebagai berikut :

Jika kita membayangkan sesuatu yang tidak memiliki realitas pada wujūd eksternal, (seperti gunung emas, lautan alkohol, bersatunya dua hal yang bertentangan) sesuatu tersebut menjadi mewujūd dan tidak mungkin wujūd tersebut terjadi pada realitas eksternal, maka pastilah satu tempat yang lain yang disebut mental.

Gambaran sesuatu yang memiliki atribut general (kullī) seperti: Manusia bersifat general, dan hewan bersifat general. Hal ini merupakan isyarat intelek yang tidak mungkin terealisir kecuali hal tersebut betul-betul mewujūd. Ketika tidak mungkin ditemukan bagi sesuatu yang general tersebut pada realitas eksternal maka tidak lain posisinya berada pada realitas Mental.

Kita dapat memisahkan aksiden dari substansi sebagai tempatnya bergantung atau menempel, seperti: warna putih dari dinding. Realitas eksternal sama sekali tidak mungkin menunjukkan keterpisahan dan hal tersebut hanya terjadi pada realitas mental.

Karenanya, menurut Mullā Sadrā tidak mungkin kita dapat menolak wujūd mental ini karena dia betul-betul real dan wujūd. Menolaknya sama dengan

Wujūd

Peta Filsafat Islam 14

menolak hakikat wujūd secara keseluruhan sebagaimana tergelincirnya kaum Sofis. Pembuktian adanya wujūd mental ini memberikan jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi banyak filosof baik ketika menjelaskan persoalan persepsi ataupun epistemologi. Dengan membuktikan wujūd mental, kita dapat bayangkan bahwa Mullā Sadrā pada akhirnya ingin membuktikan bahwa objek syuhūdi adalah real dan wujūd .

Kholid Al Walid

15 Peta Filsafat Islam

Catatan:

1 Mullā Sadrā, Al-Asfar al-Arba‘ah fi Al-Hikmah Al-

Muta‘aliyyah (Beirut: Dar Al-Ihya al-Turats al-Arabi, 1981)

J.I. hal. 79 2 Lihat: Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung :

Mizan, 2005) hal. 110-115. 3 Lihat: Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) hal. 79-87.

Kholid Al Walid

Peta Filsafat Islam xi

KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Allah yang selalu

memberikan limpahan nikmat kesadaran bagi manusia

untuk selalu berpikir dan merenungkan kehidupannya.

Shalawat dan salam semoga selalu teruntaikan

sepanjang zaman, kepada baginda Nabi berserta

keluarganya yang suci.

Filsafat merupakan ilmu yang penting untuk

dipelajari sejak dini. Dalam sejarahnya, filsafat telah

melahirkan banyak tokoh besar yang berpengaruh

dalam peradaban pengetahuan dan pemikiran dunia.

Islam tidak mengesampingkan atau bahkan membenci

filsafat. Justru, keberadaan Filsafat Islam merupakan

cerminan sejarah yang tidak bisa dibantah,

bahwasannya filsafat Islam merupakan ilmu yang

penting untuk dipelajari.

Diskursus dalam filsafat Islam menjadi

perbincangan serius yang selalu didiskusikan lintas

generasi. Filsafat Islam telah mencatatkan sejarahnya

dengan melahirkan tokoh-tokoh filosof dunia seperti

al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ikhwan al-Safa,

Suhrawardi, Ibn Rusyd, Al-Ghazali, hingga Mulla Sadra.

Karya-karya monumental para filosof Islam masih

dikaji dan dipelajari tidak hanya oleh kalangan muslim,

tetapi dikaji juga oleh para cendikiawan barat.

Buku ini akan menghantarkan Anda untuk

mengenal lebih dekat beragam diskursus yang

Kata Pengantar

xii Peta Filsafat Islam

menjadi pembahasan atau perbincangan para filosof

dari beragam aliran, mulai dari Masya’iyyah hingga

aliran Hikmah Muta’aliyyah. Penulis berharap

pembaca ikut tenggelam dan bertamasya dalam

lautan ilmu filsafat Islam. Selamat membaca!

Jakarta, Agustus 2020

Dr Kholid Al Walid, M. Ag

Kholid Al Walid

15 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KEDUA

Al-Syai’mā Lam Yūjad Lam Yajib, AL-SYA’I MĀ LAM YAJIB LAM YŪJAD

“Sesuatu Yang Belum Sampai Pada Tingkat Wajib,

Tidak Akan Terwujud”

Merupakan kaidah yang menggambarkan kemunculan wujūd mumkin dari keadaan aslinya yang berada dalam relasi kesetaraan antara wujūd dan ‘adam, sehingga kita dapat maknai adalah tidak mungkin sesuatu (wujūd al-mumkin) dapat keluar (mewujūd) kecuali setelah sampai pada level wajib.

Al-Syai’mā Lam Yūjad Lam Yajib, Al-Sya’i Mā Lam Yajib Lam Yūjad

Peta Filsafat Islam 16

Mengingat kuiditas/mumkin secara esensial bukanlah sesuatu dan memiliki relasi yang setara antara Wujūd dan ‘Adam. Bagi para filosof kuiditas/mumkin untuk dapat wujūd haruslah memiliki sebab sempurna sehingga wujūd baginya menjadi wajib dalam makna Dharūrah al-Wujūd. Pandangan ini adalah pandangan yang didasarkan pada kaidah :

“al-Tarjīh bilā murājīh muhāl”

(Preferensi without Justification)

Penjelasan kaidah tersebut sebagai berikut :

Segala bentuk yang berada dalam kesetaraan relasi dengan keberadaan atau ketiadaan tentu saja tidak dapat mengeluarkan dirinya sendiri mengingat dirinya bukanlah sesuatu, penyandaran sebab pada ketiadaan adalah mustahil. Prinsip ini disebut sebagai al-tarjīh bilā murājīh.

Penjelasan Kaidah:

“Kuiditas untuk dapat mewujūd atau meniada tiada membutuhkan sandaran (murājīh) eksternal yang disebut sebagai sebab, tanpa sebab tersebut berdasarkan kaidah tarjīh bilā murājīh adalah mustahil bagi mumkin.”

Relasi antara akibat dan sebab adalah relasi fundamental (dharūri). Dalam kondisi sebab telah sampai pada level sebab sempurna maka wujūd bagi akibat adalah wajib, karenanya bagi tidak ada

Kholid Al Walid

17 Peta Filsafat Islam

kemungkinan lain selain mewujūd. Hal ini tentu saja merupakan kaidah yang berangkat pada prinsip kausalitas.

Awlawiyyah

Pandangan ini berasal dari sebagian teolog1* yang menyatakan bahwa sebab tidak memiliki keharusan dalam mewujūdkan akibat sehingga menyebabkan akibat sampai pada level keharusan (dharūri), akan tetapi wujūd memiliki keutamaan dibandingkan ketiadaan sehingga mencukupi untuk menarik mumkin untuk keluar dari kesetaraan relasinya dan mungkin juga di dalam diri mumkin ada kecenderungan pada salah satu di antara dua keadaan (Wajib dan ‘Adam).

Dalam pandangan ini, relasi antara akibat dengan sebabnya bukanlah relasi keharusan (dharūri) akan tetapi relasi awlawiyyah (keutamaan) dan kita dapat membaginya menjadi dua bagian yaitu: al-Awlawiyyah bi Zat dan al-Awlawiyyah bi Ghairih, pandangan ini didasari bahwa sekiranya adanya keharusan pada keberadaan mungkin maka hal tersebut menyebabkan Tuhan terpaksa dalam tindakan-Nya.

Penolakan Terhadap Awlawiyyat

Sekiranya akibat belum sampai pada level keharusan (dharūri) untuk mewujūd, maka ketiadaan masih terbuka bagi kuiditas tersebut sehingga memungkinkan bagi kuiditas untuk tiada. Jika

Al-Syai’mā Lam Yūjad Lam Yajib, Al-Sya’i Mā Lam Yajib Lam Yūjad

Peta Filsafat Islam 18

kemungkinan ini masih ada, maka kuiditas/mumkin masih dalam relasi kesetaraannya antara ketiadaan dan keberadaan, karenanya awlawiyyat semata tidak mungkin dapat mengeluarkan kuiditas/mumkin untuk dapat mewujūd dan hal tersebut sama saja menerima mungkinnya tarjīh bilā murājīh, padahal tarjīh bilā murājīh muhāl.

Ibn Sina maupun Mullā Sadra memandang prinsip ini sebagai prinsip yang sangat mendasar karena menjadi prinsip bagi banyak pandangan-pandangan filsafat mereka, kita dapat menarik kesimpulan tentang prinsip ini sebagai berikut :

“Kuiditas/mumkin atau segala bentuk mumkin lainnya selama sebabnya belum sampai pada tingkat sempurna maka kuiditas tersebut tidak akan sampai pada tingkat wajib dan sekiranya kuiditas/mumkin belum sampai pada tingkat wajib maka tidak akan pernah wujūd.”

Ihtiyaj al-Imkān ila ‘Illah Hudūtsan wa Baqa’an

Kebutuhan Mumkin pada sebab merupakan keharusan fundamental (Dharurat al-Awlawiyyat). Dasar konsepsi subjek-objek terhadap Kuiditas mencukupi untuk menunjukkan keharusan tersebut.

Kholid Al Walid

19 Peta Filsafat Islam

Kedua konsepsi subjek-objek di atas sudah menunjukkan posisi keluarnya kuiditas dari hakikat esensinya yaitu kesetaraan relasi antara Wujūd dan ‘Adam. Kebutuhan Mumkin pada sebab bukanlah al-Hudūts (baharu) akan tetapi al-Imkān. Hal ini disebabkan kuiditas dalam wujūdnya atau ketiadaan adalah keharusan (dharūri). Karenanya tidak mungkin Kuiditas mewujūd setelah ketiadaannya.

Kuiditas tidak akan wujūd kecuali diwujūdkan oleh sebab, pewujūdan sebab bagi kuiditas hanya terjadi pada saat kuiditas mencapai tingkat wajib dan Kuiditas tidak akan sampai pada tingkat tersebut kecuali dengan ijabnya sebab sedangkan Ijabnya sebab bergantung pada kebutuhan kuiditas pada sebab dan kebutuhan tersebut adalah al-Imkān. Sehingga jelas bahwa al-hudūts adalah tidak mungkin.

Karenanya, kebutuhan terhadap sebab merupakan hakikat al-Imkān bukan al-Hudūts “ al-Mumkin muhtajun ila ‘illatihi baqa’an kama annahu muhtajjun ilaiha hudūtsan” (al-Mumkin membutuhkan sebab secara abadi sebagaimana kebutuhan terhadap sebab pada permulaan.)

Al-Syai’mā Lam Yūjad Lam Yajib, Al-Sya’i Mā Lam Yajib Lam Yūjad

Peta Filsafat Islam 20

Argumentasi I :

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebutuhan mumkin terhadap sebab merupakan kebutuhan zati dari al-Imkān, karenanya dia bersifat permanen bukan hanya dalam kondisi al-hudūts akan tetapi juga pada kondisi al-baqa’.

Argumentasi II :

Akibat merupakan wujūd rābith (penghubung), bergantung secara Zat kepada sebab dan Sebablah yang menghadirkannya (muqawwim laha) dan akibat tidak pernah independen dari sebab karena itu keadaan akibat selalu dalam kondisi butuh terhadap sebab baik dalam keadaan al-Hudūts maupun dalam keadaan al-Baqa’

Sanggahan al-Asy’ari terhadap kebutuhan al-Mumkin kepada sebab bersifat permanen (baqa’an) sebagai berikut:

“Jika kita memperhatikan sebuah rumah, maka orang yang membangun rumah tersebut merupakan sebab bagi kemunculan rumah, rumah sebagai akibat membutuhkan pembuatnya sebagai sebab baginya dalam kepermulaan keberadaan dirinya, akan tetapi setelah terwujūd maka rumah tidak lagi bergantung pada pembuat rumah sebagai sebab kehadiran dirinya”.

Jawaban terhadap al-Asy’ari:

Kholid Al Walid

21 Peta Filsafat Islam

Sebuah kekeliruan yang terjadi pada al-Asy’ari bahwa pembangun rumah bukan sebab keberadaan bagi sebuah bangunan akan tetapi dirinya hanyalah sebab yang menyiapkan (Mu’iddah) sedangkan pembicaraan kita tentang sebab yang dimaksud adalah sebab hakiki. Sementara yang dilakukan oleh pembangun rumah tidak lebih menggumpulkan dan menggabungkan beragam unsur yang beragam gabungan unsur-unsur tersebut menghasilkan bentuk bangunan

Al-Syai’mā Lam Yūjad Lam Yajib, Al-Sya’i Mā Lam Yajib Lam Yūjad

Peta Filsafat Islam 22

Catatan:

1 Al-Fakhrurozi, Mabahits al-Masyriqiyyah (Qom : Cop

Bidor, 1411) J. 2. hal. 131.

Kholid Al Walid

23 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KETIGA

Ahkam Al-Mahiyyah

(Hukum-Hukum Kuiditas)

Kuiditas merupakan jawaban dari pertanyaan apa itu dan dapat menerima beragam pensifatan, baik wujūd atau ketiadaan, satu atau banyak, parsial atau general .

Kuiditas dalam tingkat kuiditasnya bukanlah sesuatu (La maujūdah wa la la maujūdah) sehingga pada tingkat ini, tertolak segala kontradiksi, tertolak sekalipun pada realitasnya di luar menjadi keharusan. Karenanya, Kuiditas dapat dipropoisiskan pada proposisi primer (al-Haml al-Awwali).

Kuiditas dapat dikenali dalam tiga bentuk :

1. Dengan syarat sesuatu

2. Dengan syarat tidak

Ahkam Al-Mahiyyah (Hukum-Hukum Kuiditas)

Peta Filsafat Islam 24

3. Tidak bersyarat sesuatu

Kuiditas dengan syarat sesuatu. Kuiditas dalam bentuk ini disebut Makhluttoh, maksudnya adalah Kuiditas yang didapat dari spesifikasi yang menyertainya sehingga dapat dikonfirmasikan pada generalitas objeknya, seperti : Manusia yang diambil dari spesifikasi Zaid dan dapat dikonfirmasikan pada Zaid.

Kuiditas dengan syarat Tidak. Kuiditas dalam bentuk ini disebut al-Mujaraddah maksudnya adalah Kuiditas yang tidak ada sesuatu bersamanya, kuiditas dalam kontek ini dapat dibagi ke dalam dua kategori :

1. Kuiditas dalam tingkat zatnya bukanlah sesuatu selain dirinya yang setara antara Wujūd dan ‘Adam

2. Kuiditas sebagai kuiditas yang sekiranya di tambahkan spesifikasi baginya maka hal tersebut sebagai tambahan baginya.

Kuiditas yang tidak bersyarat sesuatu. Kuiditas dalam bentuk ini disebut al-Muthlaqqah maksudnya adalah Kuiditas dalam kontek kemutlakannya baik ada qarinah bersamanya ataupun tidak.

Sedangkan Kuiditas yang membagi (al-Maqsam) terhadap ketiga bagian kuiditas disebut sebagai Kuiditas Generalitas alamiah (al-Kulli al-Thabi‘i).

Kholid Al Walid

25 Peta Filsafat Islam

Makna Esensi (Zati) dan Aksiden (‘Ardhi)

Zati merupakan subjek yang membentuk makna (maudhū‘) bagi kuiditas, tidak berada di luar dari makna tersebut bahkan tidak akan terealisir makna tanpa dirinya seperti manusia sebagai subjek bagi Zaid, Amr, atau hewan bagi manusia.

Sedangkan Ardhi merupakan subjek yang berada diluar dari esensi makna dan datang kemudian setelah seluruh esensinya sempurna. Seperti: Tertawa bagi manusia.

Pengertian al-Jins, al-Fasl, dan al-Nau’

Genus (Nau’) merupakan keseluruhan hakikat yang sama diantara bagian-bagian yang majemuk berdasarkan jumlah dalam menjawab pertanyaan apa itu . Seperti: Manusia bagi Zaid, amr dsb.

Species (al-Jins) merupakan keseluruhan hakikat yang sama diantara bagian-bagian yang majemuk berdasarkan hakikat dalam menjawab pertanyaan apa itu. Seperti: Hewan bagi manusia dan Kuda

Diferensial (al-Fasl) : Merupakan bagian spesifik dari kuiditas yang membedakan dari bagian kuiditas yang lain. Seperti: Rasio bagi Manusia,

Dalam definisi lain dapat disebutkan bahwa :

1. Species merupakan genus yang tidak terspesifikasi (al- Mubham)

Ahkam Al-Mahiyyah (Hukum-Hukum Kuiditas)

Peta Filsafat Islam 26

2. Diferensial merupakan genus yang terspesifikasi (al-Muhassalan)

3. Genus merupakan kuiditas sempurna tanpa memandang apakah terspesifikasi atau tidak.

Kuiditas yang terdiri atas beragam genus jika dihadapkan pada beragam pensifatan yang dinisbahkan kepada dirinya merupakan materi sedangkan jika dinisbahkan kepada keseluruhan disebut sebagai Sebab Materi (Illat al-Madiyyah).

Karenanya Materi dan Species pada intinya merupakan kesatuan secara esensial akan tetapi

Kholid Al Walid

27 Peta Filsafat Islam

berbeda dalam penyebutan : Materi yang diambil tanpa syarat (La bi Syart) merupakan species sedangkan species jika diambil berdasarkan syarat tidak (Bi syart la) merupakan materi. Demikian pula Forma jika diambil tanpa syarat merupakan Diferensial dan Diferensial jika diambil dengan syarat tidak merupakan Forma.

Hukum Genus

Kuiditasa genus dalam beragam bagiannya (Ajza’) terwujud dalam wujud yang satu dan kesatuan yang terjadi adalah kesatuan kebersatuan (Ittihadi) dan bukan ketergabungan (Indimami). Segala bentuk

Ahkam Al-Mahiyyah (Hukum-Hukum Kuiditas)

Peta Filsafat Islam 28

Genus yang memiliki banyak objek (Afrad) merupakan Materi sedangkan yang tidak memiliki materi disebut sebagai genus non-material (al-Mujarrad).

General (al-Kulli) dan Parsial (al-juz’i)

Ada pandangan yang beranggapan bahwa generalitas dan Parsialitas terjadi sebagai hasil pencerapan (Idrak). Pencerapan indrawi karenma sangat jelas menyaksikan sesuatu maka sesuatu tertsebut menjadi parsial sedangkan jika yang melakukan pencerapan tersebut adalah akal maka karena lemahnya pencerapan terjadilah generalitas. Filosof menolak hal tersebut karena General merupakan mafhum yang dapat dikonfirmasi pada banyak objek sedangkan parsial adalah mafhum yang hanya dapat dikonfirmasi untuk satu objek. Karenanya, generalitas dan parsialitas keduanya merupakan bagian dari keberadaan quiditas

Personifikasi (Tasyakhus) dan Pensifatan (Tamiz)

Quiditas

Personifikasi terjadi ketika quiditas tersebut tidak dapat dikonfirmasi pada objek yang banyak, seperti : Personifikasi Manusia pada Zaid

Sedangkan pensifatan terjadi ketika pembandingan antara satu quiditas dengan quiditas lainnya, seperti: Pensifatan manusia dengan berakal setelah dibandingkan dengan Singa.

Kholid Al Walid

29 Peta Filsafat Islam

Maqūlat

Secara Etimologi, Maqūlat berasal dari kata Qāla, ketika disebut maqūl berarti telah dikatakan. Dalam Logika (al-Manthiq) berarti Apa yang dikandung (Mahmūl).

Dalam pengertian Kuiditas (al-Mahiyyah) adalah apa yang disebut (Ma Yuqāl) sebagai jawaban dari pertanyaan apa itu. Maksud dari ‘Yang disebut’ (Ma Yuqāl) adalah ‘Apa yang dikandung’ (Ma Yuhmāl).

Dalam pengertian genus ( al-Jins) adalah apa yang disebut (Maqūl) terhadap pluralitas realitas dalam jawaban pertanyaan apa itu. Yang dimaksud ‘Apa yang disebut’ (Maqūl) adalah ‘Apa yang dikandung’ (Mahmūl). Maqūlat dalam istilah Logika dan Filsafat bermakna “Genus yang tidak ada Genus lebih tinggi lagi darinya.”

Ahkam Al-Mahiyyah (Hukum-Hukum Kuiditas)

Peta Filsafat Islam 30

Pembahasan maqūlat pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles dalam kitabnya “Categories” dan juga dalam kitabnya “Thopika”. Di dalam karya-karyanya tersebut Aristoteles mengkategorikan maqūlat pada 10 jenis.

Pembahasan maqūlat ini menjadi pembahasan dalam filsafat terutama setelah para filosof Masyaiyyah menjadikannya sebagai bagian dalam pembahasan filsafat.

Maqūlat pada intinya merupakan kesimpulan dari segala bentuk keberadaan kuiditas. Kuiditas pada umumnya terkomposisi atas genus (al-Jins) dan diferensial (al-Fasl) dan keseluruhan dari bentuk keberadaan kuiditas yang terkomposisi dari genus dan diferensial berada di bawah salah satu maqūlat .

Karakter maqūlat :

1. Tidak terkomposisi/ sederhana (Basith)

2. Antara maqūlat yang satu dengan yang lainnya berbeda (Mubayin) dalam kesederhanaannya.

3. Satu dari kuiditas hanya berada dibawah salah satu maqūlat dan tidak mungkin berada di bawah maqūlat lainnya.

4. Atas dasar karakter ke-3 maka segala yang dapat berada pada beberapa maqūlat bukanlah mafhum kuiditas dan tidak akan pernah berada dalam salah satu di antara maqūlat yang ada.

Kholid Al Walid

31 Peta Filsafat Islam

Seperti ‘Gerakan’. Gerakan dapat dilihat dalam konteks ruang (Harakah al-Makani), kualitas (Harakah al-Kaifi) maupun substansi (Harakah al-Jawhari)

5. Mafhum yang dapat dikonfirmasikan baik pada wujūd niscaya atau wujūd mumkin maka mafhum tersebut bukanlah mafhum kuiditas dan tidak akan pernah berada pada salah satu Maqūlat . Karena wujūd niscaya tidak memiliki kuiditas.

6. Wajib atau Ketiadaan keduanya tidak berada di bawah Maqūlat .

7. Mafhum-mafhum maqūlat kedua (Tsaniyah) seperti: al-Imkān, al-Hudūts, al-Iliyyat, al-Wahdah, al-Katsrah semua jenis tersebut tidak termasuk dalam maqūlat pertama (al-Awwaliyyah).

Ahkam Al-Mahiyyah (Hukum-Hukum Kuiditas)

Peta Filsafat Islam 32

Kholid Al Walid

33 Peta Filsafat Islam

Ahkam Al-Mahiyyah (Hukum-Hukum Kuiditas)

Peta Filsafat Islam 34

Kholid Al Walid

35 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KEEMPAT

Al-‘Illiyyah

(Kausalitas)

Secara eksternal ada beragam bentuk-bentuk wujūd (mawjūdat), apakah ada hubungan satu sama lain di antara bentuk-bentuk wujūd tersebut dan apakah keberadaan dirinya bergantung pada keberadaan yang lain.

Pembicaraan sebelumnya tentang Kuiditas telah mengantarkan kita pada kesimpulan adanya kebutuhan Kuiditas pada sesuatu selain dirinya untuk dapat keluar dari kondisi realitas dirinya.

Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang kemudian disebut sebagai kausalitas (al-‘Illiyyah).

Al-‘Illiyyah (Kausalitas)

Peta Filsafat Islam 36

Argumentasi al-‘Illiyah :

Kuiditas dalam tingkat zatnya tidaklah Ada maupun Tidak ada akan tetapi berada dalam relasi yang setara antara Wujūd dan ‘Adam. Untuk keluar pada salah satu bagian di antara keduanya kuiditas membutuhkan salah satu bagian dari keduanya. Dalam hal ini akal menunjukkan bahwa mustahil bagi ‘Adam atau kuiditas itu sendiri untuk mengeluarkan dirinya dari relasi tersebut. (Tarjīh bilā Murājih Muhallūn) Karena itu sebuah bentuk wujūd (kuiditas) bergantung pada wujūd untuk mewujūd.

Melihat dari argumentasi tersebut nyata bahwa Kausalitas (al-‘Illiyah) merupakan ikatan yang terjadi pada wujūd (Irtibath al-Wujūdi). Karena kuiditas membutuhkan wujūd untuk dapat mewujūd dan kebutuhan tersebut merupakan gambaran dari zatnya yang butuh (faqr) pada wujūd.

Oleh sebab itu, segala sesuatu tidak akan pernah menjadi sesuatu selama kebutuhan tersebut tidak ada, karena itu pula bisa disebutkan Tidak ada kausalitas pada ketiadaan (La ‘Illiyah fi al-’Adam).

Wujūd yang menjadi tempat bergantung tersebut disebut sebagai sebab (al-’Illah ) sedangkan yang bergantung disebut sebagai akibat (al-Ma’lul).

Pembagian Sebab (al-’Illah ) :

1. Sebab Sempurna dan tidak sempurna (al-‘Illah al-Tamah wa al-Naqisah).

Kholid Al Walid

37 Peta Filsafat Islam

2. Sebab Tunggal dan Plural (al-‘Illah Wahīd wa al-Katsīr).

3. Sebab Sederhana dan Terkomposisi (al-‘Illah al-Basīth wa al-Murakab).

4. Sebab Dekat dan Jauh (al-‘Illah al-Qarīb wa al-Ba‘īd).

5. Sebab Internal dan Eksternal (al-‘Illah al-Dākhili wa al-Khāriji).

6. Sebab Hakiki dan Pembentuk (al-‘Illah al-Haqīqi wa al-Mu‘īd).

7.

Sebab Sempurna dan Tidak Sempurna (al-‘Illah al-Tāmmah wa al-Naqīsah)

Sebab sempurna adalah sebab yang kehadirannya mencukupi untuk memunculkan akibat dan akibat tidak membutuhkan sesuatu yang lain kecuali dirinya. Sebab Tidak Sempurna adalah sebab yang dibutuhkan akibat akan tetapi tidak mencukupi untuk menghadirkan akibat tersebut.

Sebab Tunggal dan Plural (al-‘Illah Wahīd wa al-Katsīr)

Sebab Tunggal adalah sebab yang hanya karena dirinya akibat tersebut muncul dan tidak oleh sebab-sebab lainnya. Kadang kala disebut juga (al-‘Illah al-Munhasir).

Al-‘Illiyyah (Kausalitas)

Peta Filsafat Islam 38

Sebab Plural adalah sebab yang banyak bagi akibat yang satu dalam pengertian bahwa akibat tersebut bisa muncul dari beberapa bentuk sebab.

Sebab Sederhana dan Terkomposisi (al-‘Illah al-Basith wa al-Murakab)

Sebab Sederhana dan Terkomposisi bersumber dari bentuk wujūd yang sederhana dan terkomposisi. Bentuk wujūd yang terkomposisi adalah bentuk wujūd yang terbentuk dari beberapa bentuk wujūd sedangkan bentuk wujūd sederhana adalah bentuk wujūd yang tidak terkomposisi oleh bentuk-bentuk wujūd yang lain.

Sebab Dekat dan Jauh (al-‘Illah al-Qarib wa al-Ba‘id)

Sebab Dekat adalah sebab yang langsung pada akibat dan tidak ada perantara antara dirinya dengan akibatnya.

Sebab Jauh adalah sebab yang tidak langsung pada akibat tersebut dan ada perantara di antara keduanya dan semakin banyak perantara maka semakin jauh sebab tersebut.

Sebab Internal dan Eksternal (al-Illah al-Dakhili wa al-Khariji)

Sebab Internal adalah sebab yang bersatu dengan akibat dan selalu ada selama keberadaan

Kholid Al Walid

39 Peta Filsafat Islam

akibat tersebut Sebab jenis ini kadangkala disebut juga sebagai Sebab Pembentuk (‘Illal al-Qawwam), karena dirinya merupakan bagian dari akibat dan menjadi tumpuan bagi kuiditas tersebut.

Sebab Internal terbagi menjadi dua bagian yaitu sebab materi (al-Madi) dan sebab forma (al-Surrah).

1. Sebab Materi :

Species yang terdiri atas Materi dan Forma, karena itu Materi dalam kontek ini merupakan sebab bagi species dan juga merupakan sandaran bagi beragam potensi dan segala sesuatu melalui perantaraan dirinya menjadi potensial.

2. Sebab Forma :

Species yang terdiri atas Materi dan Forma, karena itu Forma dalam konteks ini merupakan sebab bagi species dan merupakan penyebab aktualnya sesuatu.

Sebab Eksternal adalah sebab yang keberadaannya berada di luar akibat dan terbagi menjadi dua bagian :

1. Sebab Pengaktual (al-‘Illah al-Fā‘ili): Merupakan sebab yang memunculkan akibat dan keberadaan akibat berasal darinya.

2. Sebab Tujuan (al-‘Illah al-Gha‘i): Merupakan tujuan yang karena dirinya muncul akibat.

Al-‘Illiyyah (Kausalitas)

Peta Filsafat Islam 40

Kedua sebab ini disebut juga sebagai sebab-sebab Wujūd.

Sebab Hakiki dan Pembentuk (al-‘Illah al-Haqiqi wa al-Mu’id)

Sebab hakiki adalah yang tidak mungkin terpisahkan dari akibat atau akibat tidak mungkin memisahkan dirinya darinya. Karennya akibat ada karena keberadaan sebabnya dan menjadi tidak ada karena ketiadaan sebabnya

Sebab pembentuk adalah sebab yang mungkin terpisahkan dari akibatnya setelah kemunculan akibat, sehingga kemunculan akibat disebabkan oleh sebab akan tetapi ketiadaan sebab tersebut kemudian tidak akan menyebabkan akibat menjadi tiada.

Kholid Al Walid

41 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KELIMA

Diktum al-Wahid

Ada beberapa istilah yang kerap digunakan untuk diktum ini antara lain :

1. al-Asl al-Asīl

2. Asas al-Tawhīd

3. Qā’idah al-Wāhid

4. al-Fayd al-Ilahi

Secara mendasar diktum ini berasal dari kaidah:

“Tidak keluar dari yang satu kecuali satu”

(al-Wāhid la Yasdurū minhu illa al-Wāhid)

Diktum al-Wahid

Peta Filsafat Islam 42

Sebagian besar filosof sebelum Mullā Sadrā telah mencurahkan kajian yang serius dan mendalam dalam persoalan ini, terutama para filosof Muslim, karena prinsip penciptaan ini sangat berkaitan dengan doktrin Tawhid.

Mir Damād menyatakan :

“Induk dari prinsip pemikiran adalah bahwa Yang satu sebagaimana dia satu dalam spesifikasinya tidak keluar darinya kecuali satu. Prinsip demikian ini yang kami gambarkan kepada anda, keluar dari kemurnian intelek yang tercerahkan.”1

Mahdi Astiyani bahkan menulis buku khusus untuk menjelaskan prinsip ini dengan judul Asas al-Tawhid (Tehran : Amir Kabir, 1377) dan Alamah Thabathaba’i menulis buku Risalah al-Tawhid.

Menurut al-Fārābī prinsip ini berasal dari Aristoteles hal tersebut diketahuinya dari Xenon murid dari Aristoteles.2 Hal yang sama termaktub juga dalam kitab Utsulujiyya,3 sedangkan Ibn Rusyd menisbahkan prinsip ini kepada Plato dan Tamistius.4

Penjelasan Diktum al-Wahid

Tuhan sebagai zat sederhana (Basit) tanpa ada unsur lain membentuk diri-Nya selain diri-Nya. Zat yang sederhana seperti ini karena tidak berkomposisi dengan unsur-unsur lain tidaklah mungkin melahirkan satu zat lain yang sekaligus secara horizontal plural,

Kholid Al Walid

43 Peta Filsafat Islam

pluralitas hanya terjadi jika setiap sesuatu memiliki spesifikasi yang berbeda dari selainnya, hal tersebut menunjukkan adanya pluralitas pada wujūd sebelumnya, sedangkan wujūd sebelumnya hanyalah satu.

Jika hal tersebut diterima akan menyebabkan bersatunya unsur-unsur yang saling bertentangan pada wujūd Pertama dan yang demikian jelas tidak mungkin. Karenanya, kemunculan wujūd pertama dari Zat Yang Satu tidak mungkin lebih dari satu dan berikutnya wujūd pertama akan memunculkan wujūd kedua dan seterusnya, semakin jauh dari sumber wujūd semakin terjadi polarisasi dan pada akhirnya akan menyebabkan pluralitas baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Mullā Sadra mengatakan:

“Ini merupakan prinsip yang terhamparkan dan keduanya pernah dijelaskan sebelumnya bahwa intelek yang berfikir yang tidak ada pada pandangannya tabir taklid dan tidak pula pada cerminnya terdapat noda fanatisme dan kegelapan pertentangan untuk menetapkan bahwa Satunya Tuhan adalah murni, demikian pula yang satu sebagaimana dia satu tidaklah keluar dari yang satu dengan spesifikasi tersebut kecuali satu dan tidak pula bentuk plural sebagaimana dia plural keluar dari yang satu sehingga keluar darinya dua sumber yang bertentangan dengan satu dan menjadi satu.

Diktum al-Wahid

Peta Filsafat Islam 44

Selanjutnya sisi-sisi dan spesifikasi menjadi plural maka terbukalah gerbang kebaikan.”5

Perbedaan utama dengan para filosof sebelumnya bahwa Mullā Sadrā mendasarkan diri pada prinsip kesatuan wujūd sedangkan para filosof sebelumnya seperti al-Fārābī dan Ibn Sinā meyakini intelek-intelek yang muncul dari Wajib al-Wujūd merupakan wujūd-wujūd mumkin yang independen.

Argumentasi Diktum Al-Wahid

Argumentasi pertama:

Identitas A pasti berbeda dari identitas B, hal ini menunjukkan bahwa masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Sebab tersebut adalah dua identitas terpisah atau satu identitas yang memiliki dua sifat yang berbeda. Padahal sumber utama wujūd adalah Zat sederhana yang satu secara mutlak sehingga mustahil keluar dua identitas dari Zat tersebut.

Argumentasi kedua:

Identitas sebab A pasti berbeda dari identitas sebab B, perbedaan tersebut baik pada kuiditas ataupun pada wujūd dan keduanya mengharuskan pluralitas sehingga tidak mungkin keduanya disatukan dalam satu identitas mutlak yang tidak ada perbedaan didalamnya. Jika tidak maka akan menyebabkan berlakunya hukum kontradiksi.

Kholid Al Walid

45 Peta Filsafat Islam

Argumentasi ketiga:

Zat yang sederhana yang didalamnya tidak terkomposisi oleh unsur apapun hanya akan mengeluarkan akibat yang satu. Sekiranya akibat yang satu tersebut kita sebut A, maka keluarnya A dari sebab tersebut merupakan keharusan logis dan sekiranya keluar juga dari sebab sederhana tersebut B maka hal tersebut membatalkan keharusan logis akibat A dan pengandaian ini jelas bertentangan dengan logika.

Di antara pemikir muslim yang menolak prinsip ini antara lain al-Fakhr al-Rāzī dan al-Ghazālī. Al-Ghazālī menyatakan bahwa percaya pada prinsip ini adalah “Kegelapan di atas kegelapan”. 6

Al-Ghazālī menolak prinsip ini karena menurutnya prinsip ini bertentangan dengan sifat Kemahakuasaan Allah Ta’ala dan hal tersebut sama dengan tidak percaya bahwa alam semesta yang plural ini merupakan ciptaan Allah.7 Alasan yang sama juga dikemukakan al-Fakhr al-Rāzī.8

Mullā Sadrā menolak argumentasi al-Ghazālī maupun al-Fakhr al-Rāzī karena menurutnya bahwa proses penciptaan yang dilakukan Allah Ta’ala melalui proses kausalitas sedangkan Kemahakuasaan Allah Ta’ala merupakan gambaran dari kemampuan Allah untuk melakukan sesuatu yang mungkin terjadi bukan pada sesuatu yang mustahil terjadi.

Diktum al-Wahid

Peta Filsafat Islam 46

Catatan:

1 Mir Damad, Al-Qabsat (Qom : Chop Bidor, 1373), hal. 232:

"من أمهات الأصول العقلية أن الواحد بما هو واحد لا يصدر عنه من (تلك الحيثية إلا واحدا فلعل هذا الأصل بما تلوناه عليك من فطرايات

)العقل الصريح".2 Lihat : Al-Fārābī, Majmu’ah Rasa’il al-Farābī (Iran : Haydar

Abad, Tp. Tahun), hal. 7. 3 Lihat: Plotinus, Utsulujiyya ( Qom : Intisyarat Bidor, 1413),

hal. 67. 4 Lihat : Ibn Rusyd, Tafsir Ma Ba’da Tabi’ah, (Tehran:

Intisyarat Hekmat, 1377) J. II, hal. 160. 5 Mullā Sadra, Al-Asfār, j. 7 hal. 204:

الأصول الممهدة التي قد مر ذكر هما مما يستقل به العقل النظري "هذه الذي ليس لعينه غشاوة التقليد ولا لمراآته رين العصبية وظلمة العناد لاثبات أن الواحد الحق الصرف وكذا الواحد بما هو واحد لا يصدر عنه

بما هي كثرة ان -من تلك الحيثية الا واحد وان ليس في طباع الكثرةر عن الواحد ان يصدر عنها مبدعان مقابل واحد فواحدا إلى أن تصد

يتكثر الجهات والحيثيات وينفتح باب الخيرات". 6 Al-Ghazālī, Tahafut al Falasifah (Beirut: Dar al-Maktabah

al-Hilal, tth), hal. 132 7 Al-Ghazālī, Tahafut. hal. 120-129. Pernyataan al- Ghazālī

tersebut sebagai berikut: “Hal ini merupakan kekacauan dalam dasar pandangan mereka bahkan tidak tergambarkan berdasarkan prinsip-prinsip mereka bahwa alam semesta ini merupakan ciptaan Allah”

8 Lihat Al-Fakhr al-Razi, Mabahits al-Masyriqiyyah, J.I hal. 466.

Kholid Al Walid

47 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KEENAM

Al-Quwwah wa Al-Fi’il (Potensialitas dan Aktualitas)

Segala yang bersifat baru dalam waktu (Zamani) diawali oleh potensi wujūd. Segala sesuatu yang berada dalam kebaharuan waktu maka pastilah wujūd baginya bersifat potensial, karena sebelum wujūdnya menjadi real maka menjadi kemestian baginya untuk berada pada level bahwa dirinya mewujūd atau tidak mewujūd (mumkin al-wujūd )

al-Quwwah wa al-Fi’il (Potensialitas dan Aktualitas)

Peta Filsafat Islam 48

Argumentasi :

1. Sekiranya potensialitasnya sebagai keniscayaan ketiadaan (Mumtani‘ al-wujūd) maka mustahil terealisasi wujūd baginya, karena keniscayaan ketiadaan memutlakkan ketiadaan baginya. Kita juga dapat menyebut bahwa ketiadaan (al-‘Adam) tidak memiliki potensi sama sekali.

2. Sekiranya potensialitasnya sebagai wujūd niscaya maka hal tersebut juga tidak mungkin karena wujūd niscaya adalah kemutlakan wujūd sehingga tidak mungkin di dalam dirinya tersimpat potensi.

3. Jika bentuk imkān ini mewujūd secara eksternal maka bukanlah dia sebagai substansi yang berdiri dengan zatnya sendiri akan tetapi merupakan aksiden yang berdiri pada sesuatu selain dirinya. Dirinya tersebut disebut sebagai potensi (al-Quwwah) sedangkan tempatnya bergantung disebut sebagai materi (al-Madah).

4. Materi tidak kosong dari aktivitas imkāniyyahnya dan tidak mungkin juga adanya aktivitas diluar imkāniyyah/potensinya mengingat jika hal tersebut terjadi akan terjadi aktualitas yang tidak didahului potensialitas dan hal tersebut mustahil.

5. Jika potensi teraktualisasi maka muncullah bentuk yang baru maka hilanglah aktualitas pertama dan muncul aktualitas kedua yang didalamnya terkandung potensi yang lain.

Kholid Al Walid

49 Peta Filsafat Islam

6. Materi aktualitasnya adalah baharu dan aktualitas sebelumnya menjadi hilang dengan sendirinya karena jika tidak maka akan terjadi sesuatu yang antara aktualitas dan imkāniyyah sesuatu yang berbeda.

Karenanya:

1. Segala sesuatu yang bersifat baharu dalam waktu pastilah memiliki materi yang terkandung potensi wujūdnya.

2. Materi pada bentuk yang baharu terpelihara dalam kesamaannya.

3. Keberadaan sesuatu yang baharu tidak terlepas dari perubahan forma-forma.

4. Potensi selalu mengandung aktualitasnya sedangkan materi mengandung forma baginya dan ketika terjadi perubahan forma-forma maka semuanya terjadi pada materinya.

5. Potensialitas pasti mendahului aktualitas dalam kontek zaman.

al-Quwwah wa al-Fi’il (Potensialitas dan Aktualitas)

Peta Filsafat Islam 50

Kholid Al Walid

51 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KETUJUH

Diktum

Al-Kawn wa Al-Fasad

& Labs Ba’da Labs

Al-Kawn bermakna “terbentuk” (construction), sedangkan al-Fasad bermakna kehancuran (corruption).

Diktum ini bermakna:

“Gerakan yang terjadi pada mawjudat tertentu menyebabkan mawjudat tersebut memiliki forma baru (al-Kawn) dan pada saat yang bersamaan forma yang lama menjadi hancur/hilang (al-Fasad).”

Diktum ini berasal dari para filosof Paripatetik (al-Masya’) mulai dari al-Farābī, Ibn Sina, hingga Ibn Rusyd, bahkan Ibn Rusyd menulis buku dengan judul “Talkhis al-Kawn wa al-Fasad”.

Diktum Al-Kawn wa Al-Fasad & Labs Ba’da Labs

Peta Filsafat Islam 52

Namun demikian, Ibn Sina membatasi bahwa al-Kawn wa al-Fasad hanya terjadi pada tingkat aksiden sedangkan materi dasar bersama (Hayulla Musytarak)/ Substansi (al-Jawhar) tidak mengalami hal tersebut.1

Argumentasi al-Kawn wa al-Fasad

1. Sekiranya tidak terjadi kehancuran pada forma sebelumnya setelah terjadi perubahan forma maka forma tersebut tetap ada pada forma berikutnya itu berarti kita menyatakan satu hal untuk dua objek dan ini berarti bersatunya dua kontradiksi. Seperti forma cair yang telah berubah menjadi forma uap maka tidak mungkin forma uap pada saat yang sama adalah forma cair.

2. Bagaimana mungkin substansi yang satu menampung dua atau lebih aksiden pada saat yang bersamaan.

Penolakan terhadap al-Kawn wa al-Fasad

Mullā Shadrā menolak diktum al-Kawn wa al-Fasad dengan argumentasi sebagai berikut :

1. Jika terjadi al-Kawn wa al-Fasad maka bagaimana mungkin forma yang hancur tersebut dapat kembali muncul dengan asumsi bahwa dia sudah hancur/hilang. Seperti : Cair berubah menjadi Uap kemudian kembali Cair.

Kholid Al Walid

53 Peta Filsafat Islam

2. Substansi menampung beragam aksiden dalam bentuk potensi dan ketika salah satu potensi tersebut mengaktual maka potensi yang lain tetap sehingga ketiak zat Cair menjadi Uap, mak Cair tetap ada pada substansi dalam bentuk potensi (sal-Quwwah) dan hal ini tidak menyebabkan dua hal menjadi satu dalam waktu bersamaan.

3. Oleh karena itu bahwa perubahan forma sebenarnya hanya bersifat memakai pakaian (Talabus) artinya karena faktor tertentu sebagi sebab, pakaian sebagai forma mengaktual akan tetapi ini tidak berarti menghilangkan forma sebelumnya akan tetapi Substansi menyimpannya sebagai potensi (Labs).

4. Bahkan bagi Mullā Shadrā gerakan tidak hanya terjadi pada tingkat aksiden namun gerakan terjadi juga pada tingkat Substansi (al-Jawhar) (kita akan bicarakan lebih spesifik berikutnya).

5. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan baik pada tingkat aksiden maupun substansi bersifat progresif/peningkatan kualitas dalam pandangan Mullā Shadrā .

6. Pandangan Mullā Shadrā ini selanjutnya dikenal dengan istilah al-Labs ba’da Labs.

Catatan:

Diktum Al-Kawn wa Al-Fasad & Labs Ba’da Labs

Peta Filsafat Islam 54

1 Ibn Sina, Al-Syifa al Ilahiyyat (Kairo: Al Haiat al-Ammah

Lisyu’uni al-Muthabi’ Al Imriyah, 1380 H). J. 1, hal. 186.

Kholid Al Walid

55 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KEDELAPAN

Al-harakah

Al-jawharriyyah (Gerakan Trans-Substansial)

Al-Farābī menyatakan gerak merupakan proses perpindahan dari satu titik menuju titik berikutnya dengan menghilangkan titik pertama dan membentuk titik kedua demikian seterusnya.

Ibn Sīnā menggambarkan gerakan sebagai dua proses subjektif dan objektif. Pada proses subjektif terjadinya proses bertahap (tadrij) dari satu titik menuju titik berikutnya melintasi ruang sehingga terjadi gerakan, kondisi ini menurut Ibn Sīnā hanya terjadi secara subjektif pada diri pengamat karena penggabungan titik-titik tersebut menjadi satu bagian yang satu hanyalah terjadi pada persepsi subjek sedangkan objektif adalah wujūdnya objek yang

Al-Harakah al-Jawharriyyah (Gerakan Trans-Substansial)

Peta Filsafat Islam 56

dianggap bergerak dan objek tersebut bersifat permanen yang berada di antara permulaan dan akhir

Mir Damad menolak anggapan Ibn Sīnā bahwa gerak berlaku subjektif dengan mengemukakan pandangan bahwa pada gerak terjadi kontinyuitas secara konstan dan objek mengingat ruang dan waktu merupakan realitas objektif.1

Mullā Sadrā seperti halnya gurunya tersebut menolak pandangan Ibn Sīnā tersebut. Namun, berbeda dengan gurunya, Mullā Sadrā menunjukkan bahwa gerakan bukan hanya sesuatu yang objektif dan kontinum, akan tetapi meliputi substansi. Pada prinsip ini, Mullā Sadrā bertentangan dengan seluruh filosof sebelumnya.

Pandangan umum yang terjadi pada para filosof pra-Mullā Shadrā , termasuk Ibn Sīnā, bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori kuiditas: Kuantitas (Kam), Kualitas (Kayf), Posisi (Wad’) dan Tempat (Ayn). Substansi (Jawhar) dalam pandangan ini bersifat tetap karena hanya terjadi perubahan dan gerakan pada empat kategori tersebut

Keberatan utama jika terjadi perubahan pada substansi adalah ketidakmungkinan melakukan penetapan terhadap sesuatu. Dalam pandangan mereka sesuatu yang dahulu adalah sesuatu yang saat ini dan sesuatu yang saat ini adalah sesuatu yang akan datang.

Kholid Al Walid

57 Peta Filsafat Islam

Seperti pertanyaan murid utama Ibn Sina, Bahmaniyar kepada gurunya Ibn Sīnā: “Mengapa tidak mungkin terjadi gerakan pada substansi ?” jawab Ibn Sīnā “Jika terjadi gerak pada substansi, maka Ibn Sīnā yang lalu bukan lagi Ibn Sīnā yang sekarang”.

Menurut Mullā Sadrā, tidak mungkin gerakan hanya terjadi pada aksiden (al-‘Arad). Hal ini dijelaskan dengan beberapa argumentasi.

Argumentasi I :

Karena aksiden selalu bergantung pada substansi, sehingga jika terjadi gerakan pada aksiden hal tersebut jelas menunjukkan gerakan yang terjadi pada substansi. Jika dapat terjadi (gerakan) pada kuantitas dan kualitas serta bagian-bagiannya yang tidak terbatas diantara keduanya secara potensial dalam arti bahwa wujūd selalu membaharu dalam identitasnya baik pada kuantitas ataupun kualitas. Maka hal tersebut dapat juga terjadi pada substansi formatif: sehingga merupakan hal yang memungkinkan bagi substansi untuk menguat dan menjadi lebih sempurna dalam zatnya sebagai wujūd dengan identitas yang satu secara kontinum.2

Argumentasi II :

Jika pada aksiden terjadi perubahan (gerak), sedangkan dirinya merupakan akibat al-thabai’ dari substansi dan sebab perubahan pasti juga mengalami perubahan karena jika tidak maka terjadi

Al-Harakah al-Jawharriyyah (Gerakan Trans-Substansial)

Peta Filsafat Islam 58

pertentangan antara akibat dengan sebabnya karena perubahan yang terjadi pada akibat.

Argumentasi III :

Aksiden merupakan bagian dari tingkatan wujūd substansi, karenanya apapun yang terjadi pada aksiden pasti juga terjadi pada substansi termasuk perubahan/gerakan yang terjadi pada aksiden maka pasti terjadi juga pada substansi.

Perubahan benda pada tingkat aksiden menunjukkan secara jelas perubahan substansial tersebut :

Pada tingkat aksiden : apel semula berwarna hijau tua kemudian berubah menjadi hijau muda, merah, dan kuning. Pada tingkat Substansial : apel semula buah muda, sedang, ranum, dan busuk.

Gerakan trans-substansial terjadi meliputi segala sesuatu, baik pada jasmaniah maupun juga pada ruhaniah. Manusia menurut Mullā Sadrā awalnya berasal dari materi pertama (Mādah al-Ūla) yang bergabung dengan bentuk (Sūrah), melalui gerakan

Gerakan 1 2 3 4

Aksiden Hijau tua

Hijau muda

Merah Kuning

Substansi Muda Sedang Ranum Busuk

Kholid Al Walid

59 Peta Filsafat Islam

trans-substansial unsur-unsur tersebut mengalami perkembangan dan perubahan, materinya berkembang menjadi gumpalan darah, kemudian janin, bayi, anak-anak, remaja dewasa, tua dan hancur. Sedangkan bentuknya berkembang menjadi Jiwa Bergerak (Nafs al-Mutaharik), kemudian Jiwa Hewan (Nafs al-Haywāniyyāh), dan Jiwa Manusia (Nafs al-Insāniyyāh). Gerakan trans-substansial yang terjadi pada materi menuju kehancuran. Sedangkan Gerakan Trans-Substansial yang terjadi pada jiwa menuju kesempurnaan.

Jawaban Mullā Sadra atas Syubhah Ibn Sīnā:

Menurut Mullā Sadrā, identitas merupakan struktur peristiwa dan tidaklah kemudian menghilangkan objek sebelumnya seperti yang dipahami dalam teori al-Kawn wa al-Fasād akan tetapi yang terjadi melalui gerakan tersebut adalah peningkatan kualitas yang disebutnya dengan istilah al-Labs ba’da Labs (berpakaian setelah berpakaian), menurutnya rangkaian peristiwa dalam gerak tersebut seperti orang yang berpakaian tanpa melepaskan pakaian sebelumnya, terjadi peningkatan kualitas tanpa menghilangkan kualitas sebelumnya hal ini tentu merupakan pandangan baru dan bertentangan dari teori-teori sebelumnya yang pernah ada tentang gerak, sekalipun kemudian Sabzawari sebagai filosof Sadrian memiliki pandangan yang agak berbeda dari Mullā Sadrā.3

Al-Harakah al-Jawharriyyah (Gerakan Trans-Substansial)

Peta Filsafat Islam 60

Teori Mullā Sadrā tentang gerak ini sekilas hampir mirip dengan teori evolusi Darwin hanya saja pada Darwin terjadi lompatan genus dan terbatas pada tingkat materi sedangkan pada Mullā Sadrā bahwa genus tetap hanya meningkat kualitasnya menuju tingkat ruhaniah. Forma-forma mengalami perubahan pada forma yang lebih tinggi, kita dapat menyebutkan bahwa gerak membawa seluruh spesies untuk berkembang dari tingkat yang umum menuju tingkat yang lebih khusus dan kongkrit. Gerakan Trans-Substansial yang digagas Mullā Sadrā ini jelas bertentangan dengan teori Atomisme al-Asy’arī dan al-Fakhr al-Rāzī, jika dalam teori atomisme identitas terbentuk dari atom-atom yang berlainan, bagi Mullā Sadrā identitas terbentuk dari struktur peristiwa dari forma partikular yang melakukan gerak kontinum menuju sebuah forma tertentu.4

Dengan teori al-Harākah al-Jawhariyyāh ini, Mullā Sadrā menunjukkan bahwa alam semesta seluruhnya selalu berada dalam atribut aslinya, yaitu baru (hudūst) dan sesuatu yang baru selalu berada dalam perubahan. Karenanya dalam argumentasi tentang Gerakan, Mullā Sadrā membuktikan bahwa Gerakan berasal dari Zat yang Konstan dan itu adalah Wajib al-Wujūd (Wujūd Niscaya).

Kholid Al Walid

61 Peta Filsafat Islam

Gerakan Al-Harakah

Al-Farābī mendefinisikan gerakan sebagai keluarnya sesuatu dari potensi kepada aktualisasi secara bertahap: perubahan sesuatu secara bertahap: dan kesempurnaan pertama bagi potensi sebagai sebuah potensi. (al-Farābī)

Al-harakah terkait dengan 6 hal:

1. Permulaan (al-Mabda’)

2. Akhir (al-Muntaha)

3. Objek (al-Maudhū‘)

4. Penggerak (al-Fā‘il)

5. Jarak (al-Masafah)

6. Waktu (al-Zaman) 7.

Al-Harakah al-Jawharriyyah (Gerakan Trans-Substansial)

Peta Filsafat Islam 62

Permulaan (al-Mabda’) dan Akhir (al-Muntaha)

Pembagian antara permulaan dan akhir pada gerakan dalam kontek potensi, mengingat jika pembagian kedua jenis ini pada aktualitas maka tidak akan ditemukan permulaan maupun akhir.

Permulaan adalah potensi yang mengawali aktualitas tertentu sedangkan akhir merupakan berhentinya gerakan pada potensi yang lain yang tidak bersamanya aktualitas atau aktualitas yang tidak bersamanya potensi.

Objek (al-Maudhū‘)

Ketika kita menyaksikan perubahan tertentu yang bersifat bertahap (al-Tadriji) maka kita akan melihat adanya zat yang mengikat dalam kesatuan antara aktualitas pertama dengan aktualitas kedua. Tempat tersebut adalah Substansi (al-Jawhar) bagi perubahan tersebut.

Sebagai contoh: forma air berubah menjadi uap, maka sekalipun terjadi perubahan pastilah ada kesatuan yang mengikat di antara keduanya dan itu adalah substansi air. Substansi tersebut merupakan objek (maudhū‘) gerakan.

Penggerak (al-Fā‘il)

Penggerak atau yang menggerakkan merupakan sebuah keharusan bagi gerakan, karena tidak mungkin

Kholid Al Walid

63 Peta Filsafat Islam

gerakan terjadi tanpa penggerak dan penggerak pertama haruslah berasal dari yang tidak bergerak karena akan terjadi kesatuan kontradiksi antara Pelaku (Fā‘il) dan Reseptif (Qabul).

Jarak (al-Masafah)

Jarak gerakan merupakan wujūd bersambung secara kontinum yang berlaku pada objek gerakan.

Hal ini didapat dari proses yang terjadi dari saat sebelum dengan saat sesudahnya dalam wujūd tertentu. Dan ini berada di antara empat kategori : Di mana (al-Ayna) Kualitas (al-Kam) Kuantitas (al-Kam) dan Posisi (al-Wad‘i).

Waktu (al-Zamān)

Perubahan yang terjadi secara bertahap menambah bagian perubahan sehingga kita dapat membaginya dengan bagian demikian seterusnya sehingga kita dapat melakukan pembagian yang lebih banyak.

Bagian kedua terjadi setelah bagian pertama dan pada bagian kedua kita dapoat membagi dua bagian pertama. Bagian pertama mengawali bagian kedua demikian seterusnya. Setiap yang terjadi kita dapat menyebutnya Sekarang (al-‘An) sehingga kita dapat menyebutkan bahwa setiap harakah terdapat zaman tertentu.

Al-Harakah al-Jawharriyyah (Gerakan Trans-Substansial)

Peta Filsafat Islam 64

Dari kondisi ini manusia pada umumnya menarik garis umum terhadap pembagian zaman dengan pembagian gerakan yang bersifat general seperti hari, minggu, bulan, tahun, kurun dan abad.

Sebelum dan sesuadah menunjukkan adanya gerakan yang kontinum dan tidak statis.

Penisbahan satu gerakan dengan gerakan yang lain pada jarak tertentu akan menimbulkan istilah yang disebut dengan cepat dan lambat.

Kholid Al Walid

65 Peta Filsafat Islam

Catatan: 1 Pandangan Mir Damad ini dapat kita lihat pada karyanya

al-Qabsat hal. 183-238. 2 Substansi terbagi ke dalam lima bagian : Materi, Forma,

Fisik, Jiwa dan Rasio. Mulla Sadrā, Al-Asfār, J. 3, hal. 85. 3 Untuk lebih jelas tentang pandangan ini, kita dapat

merujuk pada al-Asfār J. III hal. 437 atau Ghulam Husayn Ibrahi Dinani, Qawaid Kulli Falsafi dar Falsafeye Islomi, (Tehran, Pezuhisgoh,1993) J. 1, hal 87.

4 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Shadrā (Shadr al-Din al-Syirazi) (New York: University of New York Press, 1975), hal. 132

Al-Harakah al-Jawharriyyah (Gerakan Trans-Substansial)

Peta Filsafat Islam 66

Kholid Al Walid

67 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KESEMBILAN

ILMU DAN

JENIS-JENISNYA

Ada dua definisi Ilmu yang biasanya dikemukakan Mullā Shadrā maupun para filosof yang mendasarkan bangunan filsafatnya atas dasar filsafat Al-Hikmat al-Muta’aliyat antara lain : Al-Ilmu ibarat an hudhuru shuratu syai li al-Mudrik (Ilmu merupakan hadirnya gambaran sesuatu pada pencerap) atau Hudhuru Surat al-Syai inda al-Aql (Hadirnya gambaran sesuatu pada akal). Kedua definisi sebenarnya memiliki makna yang sama bahwa ilmu pada intinya adalah gambaran objek pada mental subjek.1

Tashawur dan Tashdiq (Konsepsi dan Konfirmasi)

Ilmu dari segi penilaian dan penetapan hukum dapat di bagi menjadi dua bagian : Tashawur

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 68

(Konsepsi) dan Tashdiq (Konfirmasi). Keduanya berbeda baik dari segi substansi maupun efek yang muncul. Konsepsi merupakan ilmu yang bebas dari segala bentuk penilaian salah dan benar, pada substansinya kita tidak dapat mendegasikan salah atau benar dari konsep-konsep yang hadir pada mental.

Konsepsi sendiri terbagi ke dalam beberapa bagian :

a. Konsepsi yang tidak memiliki relasi dan bersifat independent, seperti konsepsi tentang : Manusia, Hewan dan sebagainya.

b. Konsepsi yang memiliki diferensia (Fashl) seperti : Hewan Rasional.

c. Konsep yang memiliki relasi perintah seperti : Pukullah, pergilah dan sebagainya.

d. Konsepsi yang memiliki relasi berita seperti : Zaid Berdiri, terjadi konsepsi tentang “Zaid” “berdiri” dan relasi diantara keduanya.

Sedangkan “Tashdiq” (Penilaian) adalah ilmu yang didasarkan penilaian salah dan benar terhadap relasi yang terjadi atau mungkin aktualisasinya atau ketidak mungkinan aktualisasinya.

Ilmu Dharūri (Keharusan) dan Iktisabi (Proses)

Ilmu Dharūri (Keharusan) yaitu ilmu yang terhasilkan bukan melalui proses berfikir dan mengkonsepsi akan tetapi hadir secara langsung,

Kholid Al Walid

69 Peta Filsafat Islam

seperti gambaran kita tentang sesuatu, Tidak mungkinnya bergabung dua hal yang bertentangan, Universal lebih luas dari parsial, satu merupakan setengah dari dua dan sebagainya.

Al-Awaliat (Permulaan)

Aksioma yang diperoleh akal tanpa bantuan sesuatu yang eksternal darinya, seperti : Tidak mungkinnya bersatu dua hal yang bertentangan.

Al-Musyahadat (Penyaksian)

Aksioma yang didapat berdasarkan penilaian akal dengan bantuan indra dan tidak cukup hanya engkonsepsian dua bagian dengan relasi di antaranya.

Al-Tajribiat (Eksperimental)

Aksioma yang didapat berdasarkan bantuan eksperimen, seperti :Air menguap ketika dipanaskan, dan sebagainya.

Al-Hadsiat (Analisa)

Aksioma yang didapat berdasarkan aanalisa seperti: Cahaya rembulan berasal dari cahaya matahari.

Al-Fitriat (Fitrah)

Aksioma yang didapat melalui bantuan perantara yang jika perantara tersebut hadir dalam mental maka hadirlah aksioma ini, seperti : Lima setengah dari sepuluh.

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 70

Sedangkan “Iktisabi” (Proses) atau “Nazhari” (Pemikiran), merupakan ilmu yang diperoleh berdasarkan hasil proses berfikir seperti : Rotasi bumi mengelilingi matahari, tingkat getaran gelombang suara dan sebagainya. Iktisabi sendiri terbagi kedalam dua bagian dasar :

1. Al-Tashawur al-Kasbi (Konsepsi Proses), konsepsi yang didasarkan pada dua unsur utama yaitu Had (Batasan Substansial) dan Rasm (Batasan Aksidental).

2. Al-Tashdiq al-Kasbi (Penilaian Proses), penilaian terhadap konsepsi yang didasarkan pada Qiyas (Silogisme) Istiqra’ (Sampling) dan Tamsil (Permisalan)

Ilmu Fi’li (Aktif) dan Infi’ali (Pasif)

Ilmu Aktif yaitu ilmu yang pada dirinya terdapat sebab sempurna yang eksisten di dalam mental dengan eksistensi akibat eksternal, seperti : Ketika seseorang yang memiliki ilmu ini melihat secara eksternal seseorang yang berdiri di atas atap dan dikonsepsikan bahwa dia terjatuh, maka segera segera orang tersebut terjatuh atau membayangkan sendok eksternal menjadi bengkok dan segera sendok tersebut menjadi bengkok.

Ilmu Pasif merupakan kebalikan dari Ilmu aktif yaitu yang tidak memiliki sebab sempurna di dalam dirinya seperti : seorang Arsitek yang menggambarkan

Kholid Al Walid

71 Peta Filsafat Islam

didalam mentalnya sebuah bangunan dan bangunan tersebut hanya terbangun di dalam mentalnya saja tanpa pengaruh eksternal langsung.

Ilmu Kulli (Universal) dan Juz’I (Parsial)

Ilmu Universal yaitu akal tidak membatasi terhadap kebenaran generalisasisanya pada objek yang plural, seperti : Manusia, Hewan dan sebagainya.

Ilmu Parsial yaitu akal membatasi generalisasinya pada objek yang plural, seperti : Ilmu terhadap Muhammad, Zaid, Sapi, Gajah dan sebagainya.

Ilmu Tafshili (Spesifik) dan Ijmali (Umum)

Ilmu Spesifik yaitu ilmu yang berkaitan dengan objek-objek tertentu yang berbeda satu sama lain dalam spesifikasi perbedaannya. Sedangkan Ilmu Ijmali yaitu ilmu yang berkaitan tentang objek-objek yang berbeda dalam sebuah kesatuan.

Ilmu Ilmi (Ilmiah) dan Ilmu Amali (Tindakan)

Ilmu Ilmiah yaitu ilmu yang hanya merupakan konsepsi ilmiah semata dan berkaitan dan memberikan kesempurnaan jiwa bagi manusia seperti: Ilmu Ketuhanan dan yang berkaitan dengannya dan sebagainya.

Ilmu Tindakan yaitu ilmu yang menuntut aktualisasi dalam tindakan seperti : Ilmu tentang

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 72

keadilan yang wajib ditegakkan oleh seorang pemimpin dan sebagainya.

Ilmu Haqiqi (Hakiki) dan I’tibari (Relatif)

Ilmu Hakiki yaitu ilmu yang berkaitan dengan eksistensi dan derajat-derajatnya sedangkan Ilmu Relatif yaitu ilmu yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat relatif dan bergantung pada konsensus.

Ada jenis pembagian ilmu lain yang didasarkan terhadap eksistensi yang sebelumnya pada penjelasan tentang Eksistensi Mental kita sudah membagi objek berdasarkan eksistensinya kedalam dua jenis : eksternal dan mental

Dalam kerangka dua bentuk eksistensi seperti itulah pembagian ini terjadi. Secara khusus Mullā Shadrā memberikan isyarat pembagian tersebut ketika mengomentari pandangan Ibn Sina :

وتقريره على ما يستفاد من كلام الشيخ فى اكثر كتبه هو ان الصور المعقولة قد يستفاد عن الصور الموجودة فى الخارج كما يستفاد من

عقلية السماء وهيأتها واشكالها الخارجية بالحس والرصد صورها الوقد لا يكون صور المعقولة مأخوذة عن المحسوسة بل ربما يكون الامر بالعكس كصورة بيت انشئاها البناء اولا فى ذهنه لقوة خيالية ثم تصير تلك الصورة محركة لاعضائه الى ان يوجدها فى الخارج فليست تلك الصورة ووجودها العلمى ماخوذا من وجودها الخارجى

ارجى تابع لوجودها العلمى وقد مر مباحث دها الخ بل وجو الكيفيات النفسانيه

“Dan pernyataannya yang diperoleh dari Syaikh (Ibn Sina) pada banyak bagian dari kitab-kitabnya

Kholid Al Walid

73 Peta Filsafat Islam

bahwa bentuk eksistensial eksternal seperti yang diperoleh dari langit dan bagian-bagiannya serta bentuk-bentuk eksternalnya melalui indera dan pengamatan atas bentuk rasionalnya dan pada bagian lain bahwa bentuk visual objek yang tercerap tidak berdasarkan indera akan tetapi sebaliknya seperti bentuk visual dari rumah yang akan dibangun, hadir lebih dahulu pada mental karena kemampuan imajinatif dan bentuk visual tersebut memotivasi anggota tubuh untuk melakukan aktivitas sampai pada realisasinya secara eksternal. Tidaklah bentuk visual ilmiah tersebut berasal dari objek eksternal akan tetapi justru eksistensi eksternalnya yang mengikuti.”2

Ilmu Hudhuri dan Husuli

Ada jenis pembagian ilmu lain yang didasarkan terhadap eksistensi yang sebelumnya pada penjelasan tentang Eksistensi Mental kita sudah membagi objek berdasarkan eksistensinya kedalam dua jenis : eksternal dan mental.

“Dan pernyataannya yang diperoleh dari Syaikh (Ibn Sina) pada banyak bagian dari kitab-kitabnya bahwa bentuk eksistensial eksternal seperti yang diperoleh dari langit dan bagian-bagiannya serta bentuk-bentuk eksternalnya melalui indera dan pengamatan atas bentuk rasionalnya dan pada bagian lain bahwa bentuk visual objek yang tercerap tidak berdasarkan indera akan tetapi sebaliknya seperti bentuk visual dari rumah yang

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 74

akan dibangun, hadir lebih dahulu pada mental karena kemampuan imajinatif dan bentuk visual tersebut memotivasi anggota tubuh untuk melakukan aktivitas sampai pada realisasinya secara eksternal. Tidaklah bentuk visual ilmiah tersebut berasal dari objek eksternal akan tetapi justru eksistensi eksternalnya yang mengikuti eksistensi mental sebagaimana yang telah dijelaskan pada persoalan kualitas mental”3

Pembagian yang dilakukan Mullā Shadrā di atas dikategorikan kedalam dua jenis ilmu yaitu : Ilmu Husuli (Korespondensi) dan Ilmu Hudhuri (Kehadiran).

Ilmu Husuli

Ilmu Husuli adalah ilmu atau pengetahuan yang didapat berdasarkan proses korespondensi yang terjadi antara subjek dengan objek eksternal. Antara keduanya terdapat eksistensi independent yang berbeda dan tidak berkaitan satu sama lain. Keduanya memiliki dimensi dan derajat spesifik dalam kemaujudan dirinya dan tidak bergantung satu sama lain atau dapat kita sebutkan tidak adanya hubungan kausalitas di antara keduanya. Ketidak terikatan dua eksistensi tersebut meliputi seluruh hal baik ontologis, epistemologis dan logis

Allamah Thabathaba’i menjelaskan ilmu Husuli sebagai berikut :

حصول العلم لنا ضرورى، وكذلك مفهومه عندنا؛ وإنما نريد فى هذا الفصل معرفة ما هو أظهر خواصه، لنميز بها مصاديقه

Kholid Al Walid

75 Peta Filsafat Islam

وخصوصياتها. فنقول : قد تقدم فى بحث الوجود الذهنى : أن لنا بالامور الخارجة عنا فى الجملة، بمعنى أنها تحصل لنا علما

وتحضر عنجنا بماهياتها، لا بوجوداتها الخارجية التى تترتب عليها . الآثار، فهذا قسم من العلم، ويسمى ))علما حصوليا((

“Kami katakan : Sebagaimana telah dibicarakan pada pembahasan Eksistensi Mental : Bahwa sesungguhnya kita memiliki ilmu terhadap persoalan eksternal yang berada di luar diri kita, bermakna tersampaikan dan terhadirkan pada diri kita dalam bentuk aksidennya dan bukan eksistensi eksternalnya yang memiliki efek, bagian ilmu ini disebut Ilmu Korespondensi.”4

Ilmu Hudhuri (Kehadiran)

Berbeda dengan Ilmu korespondensi bahwa yang hadir pada mental subjek adalah bentuk visual entitas objek tapi pada Ilmu Kehadiran yang hadir pada mental subjek adalah eksistensi objek.

Beberapa ciri utama Ilmu Hudhuri antara lain bahwa :

1. Dia hadir secara eksistensial di dalam diri Subjek. 2. Bukan merupakan konsepsi yang dibentuk dari

silogisme yang terjadi pada mental. 3. Keterlepasan dari dualisme kebenaran dan

kesalahan.

Allamah Thabathaba’i mendeskripsikan Ilmu Hudhuri sebagai berikut :

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 76

ومن العلم : علم الواحد منا بذاته، التى يشير إليها بـ ))أنا((، فانه لا يغفل عن نفسه فى حال من الأحوال؛ سواء فى ذلك الخلاء والملاء،

وليس ذلك بحضور ماهية ذاتنا والنوم واليقظة، وأية حال أخرى.لمفهوم الحاضر فى عندنا حضورا مفهوميا وعلما حصوليا؛ لأن ا

الذهن كيفما فرض لا يأبى الصدق على كثيرين وإنما يتشخص بالوجود الخارجى، وهذا الذى نشاهده من أنفسنا ونعبر عنه بـ ))أنا(( أمر شخصى لذاته لا يقبل الشركة، والتشخص شأن الوجود، فعلمنا بذواتنا إنما هو بحضورها لنا بوجودها الخارجى الذى هو

ية وترتب الآثار؛ وهذا قسم آخر من العلم ويسمى ملاك الشخص . ))العلم الحضورى((

“Dari bagian ilmu : Satu bentuk ilmu pada kita (hadir) dengan esensinya yang di isyaratkan dengan (Aku) karena sesungguhnya dia (Aku) tidak pernah hilang dari diri kita dalam kondisi apapun: baik dalam kesendirian maupun dalam kesibukan, tidur ataupun terjaga, atau keadaan apapun lainnya. Dan yang demikian itu bukanlah hadirnya aksiden esensi (Aku) pada diri kita dalam bentuk hadirnya mafhum dari ilmu korespondensi: karena mafhum yang hadir pada mental bagaimanapun kita gambarkan tidak akan lepas dari relasinya dengan yang plural dan teridentitaskan dalam eksistensi eksternal, dan hal ini yang kita saksikan dari diri kita yang kita sebut dengan (Aku) merupakan identitas yang pada esensinya tidak terkomposisi dan teridentitas dalam dimensi eksistensi, maka kita memiliki ilmu terhadap esensi kita (Aku) dan hadir pada diri kita dengan eksistensi eksternal yang merupakan dasar identitas yang memiliki efek :

Kholid Al Walid

77 Peta Filsafat Islam

dan ini merupakan satu jenis yang lain dari ilmu yang disebut Hudhuri.”5

Meskipun berdasarkan karakteristik diantara ilmu Husuli dengan ilmu Hudhuri kita mendapati perbedaan mendasar, akan tetapi secara substansial menurut para filosof Al-Hikmat al-Muta’aliyat, Ilmu Husuli sebagai ilmu yang didapat berdasarkan proses korespondensi dengan objek eksternal pada prinsipnya kembali dan berasal dari Ilmu Hudhuri, karena pengetahuan yang terhasilkan pada diri subjek merupakan bentuk dari sebuah objek yang hadir di dalam mental subjek, kehadirannya pada alam mental tersebut tidak lain kecuali dalam bentuk eksistensi mental, sehingga persepsi subjek terhadap objek yang masuk merupakan persepsi terhadap eksistensi mental dan hal tersebut merupakan makna ilmu Hudhuri.

Mullā Shadrā mengemukakan argumen sebagai berikut: Objek eksternal merupakan eksistensi eksternal, pencerapan melalui proses korespondensi menyampaikan pada diri subjek bentuk visual dari objek. Bentuk visual bukanlah substansi objek karena substansinya adalah eksistensinya. Jika pengetahuan subjek terhadap objek didasarkan kepada bentuk visual entitas yang hadir sementara bentuk entitas objek bukanlah objek itu sendiri maka subjek tidak memiliki ilmu terhadap objek eksternal tersebut, hal ini akan berujung pada skeptisisme.

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 78

Objek eksternal terikat pada ruang dan waktu serta mengalami proses perubahan dengan perjalanan waktu, akan tetapi pada objek mental yang merupakan bentuk ilmiah dari objek eksternal tidak bergantung pada ruang dan waktu serta bersifat tetap, sehingga kapanpun dan dimanapun ketika subjek menginginkan kehadirannya objek mental tersebut akan hadir pada diri subjek. Hal tersebut membuktikan bahwa objek yang yang hadir pada diri subjek merupakan eksistensi mental dari eksistensi eksternal objek.

Ittihad al-’Aqil wa al-Ma’qul

Sesungguhnya bentuk sesuatu terbagi kedalam dua bagian, yang pertama bentuk material dan kedirian eksistensinya melalui materi, ruang, tempat dan selainnya. Bentuk yang seperti ini yang eksistensinya berdasarkan materi tidak mungkin menjadi objek pengetahuan secara aktual termasuk penginderaan, kecuali secara aksidental. Bentuk berikutnya adalah bentuk yang terlepas dari materi, ruang, dan tempat, baik secara sempurna yaitu objek pengetahuan secara aktual atau tidak sempurna yaitu imajinasi atau penginderaan secara aktual. Dan telah dibenarkan oleh seluruh filosof bahwa objektif objek secara aktual eksistensi dirinya dengan eksistensi bagi subjek merupakan sesuatu yang satu dari dimensi yang satu tanpa perbedaan, demikian pula objek inderawi sebagai hasil penginderaan eksistensi dirinya

Kholid Al Walid

79 Peta Filsafat Islam

dan eksistensi bagi substansi pengindera merupakan sesuatu yang satu tanpa perbedaan dimensi.

Objek aktual tidaklah memiliki eksistensi lain kecuali eksistensi yang secara esensinya merupakan objek yang (eksistensialnya) bukan bagi sesuatu yang lain sedangkan sesuatu objek tidaklah dapat dibayangkan kecuali hanya menjadi objek bagi subjeknya.

Kesatuan yang terjadi diantara subjek, objek dan relasi diantara keduanya adalah kesatuan eksistensial bukan kesatuan sebagaimana kelirunya beberapa filosof Paripatetik dalam memandang bentuk kesatuan tersebut.

Kesatuan yang dimaksud merupakan kesatuan pada eksistensi sederhana (Basith al-Hakiki) yang tidak terkomposisi dari berbagai unsur independent yang membentuk kesatuan. Dalam konteks seperti ini, Ilmu pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang terpisah dari diri subjek. Karena ilmu selain merupakan Kaif al-Nafsani (Kualitas Jiwa) juga merupakan bagian dari Jawhar (Substansi). Kualitas pengetahuan yang berkembang di dalam jiwa subjek pada saat yang sama akan mengembangkan dan meningkatkan kualitas jiwa subjek itu sendiri. Jiwa, karena merupakan substansi entitas bagi eksistensi mumkin dengan sendirinya peningkatan kualitas yang terjadi pada jiwa akan mempengaruhi kualitas eksistensi subjek bahkan membawa subjek pada alam malakut sebagai bagian dari tingkat kesempurnaan manusia

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 80

Argumentasi yang paling utama yang dikemukakan Mullā Sadrā dalam upayanya menegakkan konsep Ittihad al-Âqil wa al-Ma’qul dikenal dengan istilah Burhan al-Tadhayuf (Aksioma Nisbah) untuk menegakkan aksioma ini Mullā Sadrā bersandar pada tiga landasan utama yaitu :

Bentuk-bentuk aktual terbentuk bersamaan dengan teraktualisasinya sesuatu dan terbagi kedalam dua bagian : Pertama, bentuk aktual yang bersandar pada materi, ruang dan waktu. Kedua, bentuk aktual yang tidak terikat terhadap materi, ruang dan waktu serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Bentuk aktual yang bersandar pada materi, ruang dan waktu sama sekali tidak mungkin secara esensial menjadi objek yang tercerap dan jika menjadi objek yang tercerap pastilah berdasarkan aksidennya. Sedangkan bentuk aktual yang tidak terikat pada materi, ruang dan waktu pastilah selalu menjadi objek yang tercerap secara esensial. Karena itu objek cerapan terbagi menjadi dua bagian yang tercerap berdasarkan esensinya yaitu bentuk-bentuk aktual yang non-material bersandar pada alam mental dan yang tercerap berdasarkan aksidennya yaitu bentuk-bentuk nyata (‘Ayni) sesuatu yang berada secara eksternal dan bersandar pada materi.

Para filosof dalam masalah ini bersepakat bahwa eksistensi objek pastilah untuk subjeknya yaitu eksitensi diri bentuk-bentuk objek adalah sesuatu yang eksistensinya hanyalah untuk subjeknya dalam

Kholid Al Walid

81 Peta Filsafat Islam

ibarat yang lain dapat kita sebutkan bahwa bentuk-bentuk objek secara aktual eksistensinya baik sebagai dirinya maupun bagi subjeknya adalah suatu hal yang satu dan tidak berbeda sama sekali.

Bentuk-bentuk yang tidak terikat pada materi dan bersandar pada alam mental pastilah merupakan objek aktual. Baik diluar dirinya terdapat subjek ataupun tidak. Hukum ketercerapan dengan objek aktual yang tercerap tidak mungkin terpisah sama sekali karena identitas dirinya adalah identitas ketercerapan dan hakikat dirinya bukanlah sesuatu selain sebagai objek. Dengan dasar ini objek aktual adalah juga objek esensial.

Dengan dasar ketiga landasan tersebut Mullā Sadrā menerapkan aksioma nisbah sebagai argumentasi utamanya. Dalam aksioma nisbah dua bentuk yang berpasangan haruslah berada pada dimensi yang sama, jika salah satu bagiannya secara aktual maka kesetaraannya haruslah secara aktual dan jika satu bagiannya secara potensial maka kesetaraannyapun haruslah secara potensial. Dalam aksioma ini tidak mungkin seseorang dapat membayangkan satu sisi dan menghilangkan sisi yang lain. Aksioma tersebut berbunyi :

”Nisbah merupakan kesetaraan dalam eksistensi aktual atau potensial” . Berdasarkan hal tersebut menurut Mullā Sadrā , karena objek hadir secara aktual maka pastilah subjeknya hadir secara aktual dan terjadi kesatuan dimensional pada keduanya.6

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 82

Argumentasi lain:

Ilmu sesuatu terhadap sesuatu adalah sampainya objek atau gambaran ilmiah bagi subjek, sampainya sesuatu yaitu sampainya eksistensi dan eksistensinya adalah dirinya. Karenanya ilmu merupakan jati diri objek secara esensial dan sebuah kemestian sampainya objek pada subjek serta kehadiran objek pada subjek merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, baik secara husūli maupun hudūrī.

Tidaklah mungkin masuknya sebuah eksistensi yang berbeda kepada eksistensi lain yang berbeda, karena hal tersebut menyebabkan sesuatu yang satu sekaligus plural. Dan berdasarkan logika hal ini tidak mungkin karena akan menyebabkan Ijtima’ al-Naqidhain (Bersatunya dua pertentangan).

Jika objek tidak menyatu dalam diri subjek, maka dengan apa terliputi objek tersebut ? Apakah dengan esensi yang terpisah dari bentuknya yang meliputi bentuk dirinya ? yang demikian tentulah tidak mungkin.

Ilmu bersifat non material, jika proses pencerapan terjadi pada objek material maka ilmu terhadap objek material tersebut bukanlah objek tersebut. Hal itu berarti ilmu tersebut tidaklah sesuai dengan objek dan subjek sama sekali tidak memiliki ilmu terhadap objek.

Subjek mengetahui esensinya sendiri, sehingga pada saat yang sama merupakan objek. Dengan demikian dirinya sendiri menjadi subjek dan pada saat

Kholid Al Walid

83 Peta Filsafat Islam

yang sama merupakan objek serta proses idraknya pun terjadi di dalam dirinya sendiri.

Tuhan memiliki pengetahuan terhadap dirinya dan ilmu tersebut merupakan zat-Nya sendiri dan prosesnya pun tentulah berada di dalam diri-Nya sendiri. Sedangkan Tuhan adalah eksistensi sederhana yang tidak terkomposisi oleh selain-Nya. Karenanya terjadi Ittihad al-Âqil wa al-Ma’qul di dalam diri Tuhan.

Ibn Sina menolak Ittihad al-Âqil wa al-Ma’qul dengan mengemukakan argumentasi sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa jika pandangan ini diterima maka tidak dapat dihindari terjadi perubahan identitas dari objek menjadi subjek atau bersatunya objek yang banyak menjadi sesuatu yang lain seperti yang digambarkan Ibn Sina, jika akal melakukan pencerapan terhadap A kemudian melakukan pencerapan berikutnya terhadap B, jika terjadi kesatuan maka pastilah B menjadi A dan sebaliknya atau menjadi sesuatu yang lain.

Mullā Shadrā dalam menjawab keberatan ini mengemukakan Ittihad yang dimaksud dan menunjukkan bahwa dalam kesatuan eksistensi adalah sangat mungkin bahwa eksistensinya adalah satu dan sederhana akan tetapi banyak objek yang dapat disandarkan kepada dirinya.

Ilmu dan Jenis-jenisnya

Peta Filsafat Islam 84

Catatan:

1 Mullā Shadrā,, Al-Asfar, J. 6, hal. 151 dan, Manthiq Nuwin,

(Tehran : Markaze Tahqiqat, 1365), hal. 25. 2 Mullā Shadrā, Al-Asfar, J.3, hal. 39. 3 Mullā Shadrā, Al-Asfar, J.3, hal. 39. 4 Muhammad Husain Thabathaba’i, Bidayat al-Hikmat,

(Qom : Muasasat Nashr al-Islami, 1415), hal. 138. 5 Thabathaba’i, Bidayatul Hikmah, hal. 139. 6 Mudzhaffar, Al-Mantiq, (Qom : Daftar Tablighat Islomi,

1374) h.57.

Kholid Al Walid

85 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KESEPULUH

ESKATOLOGI

Eskatologi berasal dari kata escaton yang secara harfiah dimaknai doktrin tentang akhir, sebuah doktrin yang membahas tentang keyakinan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia, seperti : kematian, hari kiamat, berakhirnya dunia, kebangkitan kembali, pangadilan akhir, surga-neraka dan lain sebagainya .

Dalam istilah Islam, eskatologi dikenal dengan sebutan Ma’ād, secara khusus al-Taftazāni memaknai Ma’ād sebagai berikut :

“Merupakan sumber atau tempat, dan hakikat kebangkitan adalah kembalinya sesuatu kepada apa yang ada sebelumnya dan yang dimaksud ini adalah kembalinya keberadaan setelah

Eskatologi

Peta Filsafat Islam 86

kehancuran, atau kembalinya bagian-bagian tubuh kepada penyatuan setelah keterpisahan, kepada kehidupan setelah kematian, ruh kepada tubuh setelah terpisah, sedangkan kebangkitan ruhani murni sebagaimana pandangan para filosof bermakna kembalinya ruh kepada asalnya yang nonmaterial dari keterikatan dengan tubuh material dan penggunaan alat-alat fisik atau keterlepasan terhadap kegelapan yang menyelimutinya.”

Diskursus tentang pandangan ini terjadi terutama pada dua wilayah kajian ilmiah Islam, Ilmu Kalam dan Filsafat . Dalam Ilmu Kalam pembicaraan pada umumnya berkisar pada argumentasi tentang kebangkitan, kematian, barzakh, surga-neraka, kebahagiaan dan penderitaan, keabadian di akhirat, kebangkitan jasmani dan syafaat. Sedangkan pada filsafat, pembicaraan tentang kebangkitan meliputi ruang yang lebih luas, bukan hanya dalam persoalan yang telah disebutkan di atas, akan tetapi juga meliputi masalah ruh, jiwa dan jasmani, bentuk keterikatan antara ruh, jiwa dan jasmani, kemustahilan kebangkitan setelah ketiadaan (I’ādah al-Ma’dūm) dan sebagainya

Perbedaan mendasar antara kedua khazanah ilmiah diatas bukan pada topik yang dibicarakan akan tetapi lebih pada metodologi yang melandasi bidang masing-masing. Kalam sebagai sebuah cabang ilmu yang berusaha membuktikan kebenaran doktrin-

Kholid Al Walid

87 Peta Filsafat Islam

doktrin agama dengan menggunakan dasar nash dan sebagian argumentasi rasional yang didasarkan pada logika dan dialog (Jaddal). Sedangkan Filsafat merupakan usaha untuk mengungkap kebenaran dengan menjadikan rasio sebagai pijakan utama dalam pembuktian kebenaran tersebut.

Argumentasi Eskatologi

Filosof muslim khususnya Mullā Sadra dan para filosof pasca-Mullā Sadra merumuskan tujuh dasar argumentasi sebagai bukti adanya kebangkitan dalam alam pasca kehidupan dunia.

Tujuh argumentasi tersebut sebagai berikut:

1. Argumentasi Gerakan dan Tujuan Argumentasi ini berdiri di atas prinsip Gerakan

trans-substansial yang dikemukakan Mullā Sadrā. Susunan logis argumentasi ini sebagai berikut : Alam materi dengan segala apa yang ada di dalamnya baik itu yang ada di langit ataupun yang ada di bumi, mulai dari bebatuan, tumbuh-tumbuhan, binatang hingga manusia merupakan kesatuan hakiki yang berkesesuaian satu sama lain dan kesemuanya melakukan aktivitas gerakan. Gerakan merupakan gambaran dari aktualisasi potensi yaitu dari persiapan khususs menuju kesempurnaan yang khusus. Karenanya tujuan menjadi sebuah keharusan karena tidak mungkin ada gerakan tanpa tujuan dan jika setiap tujuan

Eskatologi

Peta Filsafat Islam 88

yang dihasilkan mengantarkan pada tujuan yang lain maka kita dapat menyimpulkan bahwa dibalik itu semua ada tujuan yang paling akhir atau tujuan hakiki yang ketika subjek yang bergerak tiba pada tujuan hakiki tersebut dia akan menemukan ketenangan dan gerakan berubah menjadi statis.

2. Argumentasi Hikmah.

Argumentasi ini dibangun dengan beberapa premis antara lain : Pertama, Allah SWT adalah Zat Yang Hakim, yang dimaksud bahwa tidak mungkin keluar dari diri Allah SWT tindakan yang tanpa tujuan atau sia-sia. Pada sisi lain Allah SWT adalah Zat Mutlak Yang Maha Sempurna sehingga tidak menuntut atau membutuhkan kesempurnaan yang lain.

Kedua, Perbuatan Allah SWT. di antaranya adalah menciptakan alam semesta termasuk manusia di dalamnya dengan dasar Hikmah Ilahi bahwa setiap makhluk memiliki tujuan yang khusus.

Ketiga, Tujuan akhir dari setiap ciptaan termasuk manusia adalah sampainya pada kesempurnaan yang kekal dan abadi yang semua itu tidak mungkin ada dalam kehidupan dunia ini karenanya haruslah ada kehidupan lain yang berkesesuain dengan tujuan tersebut.

Dari tiga premis tersebut di atas kita dapat menyimpulkan berdasarkan Hikmah Ilahi bahwa di balik kehidupan dunia yang terbatas ini ada

Kholid Al Walid

89 Peta Filsafat Islam

kehidupan lain yang sempurna dan abadi dan merupakan tempat bagi tujuan kehidupan manusia dan semua makhluk terutama manusia pada akhirnya akan mencapai tujuan akhir tersebut.

3. Argumentasi Rahmat

Salah satu sifat utama yang ada pada Allah SWT adalah sifat Rahmat dan sifat ini memiliki makna melepaskan atau mengangkat kebutuhan dari setiap yang membutuhkan dan memberikan kesempurnaan yang sesuai dengan potensi dari setiap wujūd. Pada diri manusia terdapat kebutuhan untuk memiliki kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan dan keabadian, karenanya berdasarkan sifat Rahmat, Allah SWT memberikan kepada manusia kesempurnaan yang sesuai dengan kebutuhan manusia tersebut. Karena Allah SWT adalah Zat Yang Maha Kuasa dan Penguasa Yang Mutlak maka tidak ada yang dapat menghalangi turunnya rahmat tersebut. Kesimpulannya bahwa manusia akan memiliki kehidupan yang abadi.

4. Argumentasi Hakikat

Allah SWT adalah kebenaran murni yang terlepas dari-Nya segala bentuk kekeliruan maupun kesalahan (batil). Untuk dapat melepaskan berbagai kesalahan dan kekeliruan hanyalah dengan terpancarnya hakikat Diri Allah

Eskatologi

Peta Filsafat Islam 90

SWT. Perbedaan dan pertikaian antara kebenaran dan kekeliruan terjadi dan dapat disaksikan dalam alam semesta ini dan wajah hakiki kebenaran tidaklah terpancar di dunia ini, disebabkan bahwa alam ini bukanlah tempat yang memadai bagi terpancarnya kebenaran murni tersebut. Karenanya menjadi kemestian adanya saat atau masa sebagai fase dari terpancarnya kebenaran dan kesalahan menjadi hilang. Hal ini tidak akan mungkin terjadi kecuali dengan hadirnya masa kebenaran yang seluruh hakikat yang ada pada manusia terungkapkan dan seluruh bentuk kebenaran terpancarkan.

5. Argumentasi Keadilan

Allah SWT memiliki sifat Adil yang menunjukkan bahwa Allah SWT sedikitpun tidak akan berbuat kezaliman. Di alam dunia ini kita menyaksikan bahwa perbuatan manusia baik itu perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat tidak mendapatkan balasan atau ganjaran. Karenanya sifat Adil Allah SWT. menunjukkan akan adanya alam pembalasan bagi semua perbuatan tersebut dan alam tersebut tidak lain adalah alam akhirat sebagai tempat terpancarnya keadilan Allah SWT.

6. Argumentasi Transendensi Ruh

Kholid Al Walid

91 Peta Filsafat Islam

Hakikat manusia pada intinya adalah transenden dan non materi. Sebagai bukti untuk itu adalah kesadaran manusia akan dirinya bersifat huduri dan persepsi terhadap segala objek eksternal melalui proses berfikir. Hakikat ternasenden ini dinamakan sebagai ‘Ruh’, berbagai ketentuan materi seperti kematian atau kehancuran tidak berlaku baginya. Karenanya kematian tidak lebih bermakna lepasnya ruh dari kurungan raga dan berpindah pada alam yang lain dan kebangkitan tidaklah bermakna kehidupan kembali ruh akan tetapi keterikatan ruh pada raga yang baru kembali.

7. Argumentasi kerinduan akan Kehidupan Abadi

Merupakan fitrah pada diri manusia adanya kerinduan akan kehidupan abadi. Tanpa adanya wujūd eksternal bagi apa yang dirindukan manusia tersebut adalah satu hal yang bertentangan dengan sifat Hikmah Allah SWT. Kehidupan abadi tidak akan mungkin terjadi di alam dunia ini. Karenanya pastilah ada alam lain yang menjadi tempat bagi kehidupan abadi manusia.

Eskatologi

Peta Filsafat Islam 92

Kholid Al Walid

93 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KESEBELAS

REALITAS JIWA

Pada bab ini akan membahas bukti-bukti argumentasi untuk pembahasan jiwa. Ada beberapa argumentasi, yaitu:

1. Wujūd mumkin yang paling utama dan tidak adanya kesia-siaan dalam penciptaan wujūd mumkin (Imkān al-Asryāf wa ‘Adam Abātsiah Khalq al-Mumkināt).

Mullā Sadrā dengan argumentasi ini ingin menunjukkan bahwa Allah SWT ketika menciptakan makhluk-makhluknya memulai dari penciptaan zat yang paling utama dan paling sempurna. Zat pertama karena kedekatannya dengan sumber penciptaan dan merupakan ciptaan pertama, maka kualitas dirinya menjadi

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 94

tidak terbatas. Zat berikutnya memiliki kesamaan dengan yang pertama dalam kesempurnaan meskipun secara kualitas berada dibawah tingkat yang pertama dan demikian seterusnya sampai pada tingkat yang paling rendah yaitu wujūd mumkin yang berada pada batasan aktualisasi potensi menjadi aktual dan memunculkan bentuk-bentuk kehidupan serta memunculkan efek-efek instinktif yang menuntun makhluk tersebut dalam level kehidupannya untuk terus berlanjut pada tujuan utama kehidupannya.

Wujūd yang berada pada tingkat ini yang mengeluarkan potensi menjadi aksi itulah yang disebut dengan jiwa. Unsur-unsur materi yang terwujūd hanya memiliki potensi reseptif untuk menerima jiwa. Proses aktualisasi potensi menjadi aksi merupakan proses penyempurnaan setiap bentuk wujūd menunjukkan tidak adanya kesia-siaan dari setiap bentuk wujūd dan hal ini hanya mungkin terjadi jika pada wujūd mumkin tersebut terdapat elemen yang menggerakkan aktualisasi dan elemen tersebut tidak lain adalah jiwa.

2. Munculnya efek dari bentuk jasmani ( Sudur al-

Atsār an al-Ajsām). Argumentasi ini di dasarkan pada efek yang

muncul dari forma-forma materi tanpa adanya intervensi luar maupun keinginan untuk menghadirkannya. Sebagai contoh : apa yang terjadi pada indra, bahwa indra mempersepsi apa

Kholid Al Walid

95 Peta Filsafat Islam

yang ada disekitarnya dengan sendirinya, atau gerakan yang terjadi, perkembangan maupun pertumbuhan atau melahirkan jenis yang semisal dengan dirinya. Bagi Mullā Sadrā hal ini tidak mungkin hadir dari materi sekalipun materi pertama, karena materi utama hanyalah sebagai reseptif secara mutlak tanpa adanya kemungkinan baginya untuk melakukan aktivitas apalagi mengeluarkan efek. Karenanya bagi Mullā Sadrā efek-efek yang terjadi pada bentuk materi diatas pastilah berasal dari sesuatu yang lain selain dari materi dan itulah jiwa.

3. Kehidupan adalah Jiwa (al-Hayah hiya al-Nafs)

Argumentasi ketiga yang dikemukakan Mullā Sadrā adalah argumentasi kehidupan. Ketika kita menyaksikan berbagai makhluk memiliki indra dan mempersepsi gambaran sesuatu kita mengetahui bahwa makhluk tersebut hidup. Indra dan kemampuan untuk mempersepsi objek berasal di antara tiga kemungkinan: Pertama, sumber utama yaitu jiwa: Kedua, fisik yang memiliki jiwa: Ketiga, fisik.

Dua kemungkinan terakhir bagi Mullā Sadrā adalah hal yang tidak mungkin dengan dasar argumentasi sebagai berikut : “Keliru, mengingat fisik yang memiliki jiwa tidak lain merupakan penggambaran dari sumber itu sendiri (jiwa)”.1 Sedangkan ketidakmungkinan yang ketiga “Sesungguhnya tidaklah makna dari alam semesta

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 96

ini atau dari jiwa atau dari kehidupan dalam posisinya sebagai kehiduapan adalah sesuatu yang satu, yang demikian ini disebabkan karena makna semesta yang telah disebutkan tidaklah lepas bahwa bentuk tersebut didahului oleh bentuk yang lain sebagai sumber kehidupannya, seperti perahu yang memberikan manfaat tertentu akan tetapi manfaat tersebut sangat bergantung kepada kehadiran bentuk yang lain yaitu pendayung. Dengan demikian bentuk fisik tertentu untuk menghasilkan efek memerlukan bentuk yang lain selain dari dirinya dan demikian terjadi seterusnya. Hal ini jelas bertentangan dengan makna kesempurnaan.”2

Substansial Jiwa (Jawhariyyāt al-Nafs)

Di antara sepuluh kategori (Maqūlat) dalam pembagian kuiditas yang dikemukakan Mullā Sadrā adalah pembagian dasar utama dari kategori tersebut yaitu Substansi dan Aksiden. Substansi merupakan gambaran dari sesuatu yang “Jika ada secara eksternal tidak bergantung pada korpus dan tidak membutuhkannya dalam wujūdnya” (Iza wujiddat fi al-Khārij wujidat la fi Maudhū‘’ mustaghni anha fi wujūdihi) sedangkan Aksiden merupakan gambaran dari jika “Ada secara eksternal keberadaannya bergantung pada korpus dan tidak membutuhkannya dalam wujūdnya” (Iza wujiddat fi al-Khārij wujidat fi Maudhū‘’ mustaghni anha fi wujūdihī).

Kholid Al Walid

97 Peta Filsafat Islam

Keberadaan substansi adalah keberadaan yang independen dalam pengertian bahwa keberadaannya di luar tidaklah menempel atau bergantung kepada keberadaan yang lain bahkan dirinya menjadi korpus bagi keberadaan aksiden, sedangkan genus yang ada di atasnya adalah sesuatu yang tidak mungkin lagi didefinisikan, substansi merupakan bagian tertinggi dari rangkaian genus yang dapat diketahui. Persoalan kemudian apakah jiwa merupakan substansi ataukah masuk dalam kategori aksiden, jika jiwa masuk dalam kategori aksiden maka ada sesuatu yang lain yang menjadi hakikat diri manusia sebagai korpus bagi raga manusia. Beberapa argumentasi berikut memberikan bukti akan substansial jiwa, diantara argumentasi tersebut antara lain :

“Beragam efek yang keluar seperti tumbuh, bergerak dan sebagainya dari beragam makhluk, baik itu tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia bukanlah disebabkan oleh sesuatu yang berada diluar dirinya akan tetapi berasal dari diri makhluk tersebut sendiri. Diri yang dimaksud bukanlah raga materi karena jika demikian maka seluruh raga akan mengeluarkan efek eksternal karenanya bahwa sumber efek tersebut tidak lain adalah jiwa. Segala bentuk yang menjadi korpus dan sandaran bagi sesuatu maka sesuatu tersebut adalah substansi, karenanya jiwa sebagai korpus bagi beragam efek tersebut pastilah substansi.”3

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 98

Mullā Sadrā membuktikan substansial jiwa melalui ilmu huduri. Penjelasan tentang hal tersebut sebagai berikut : Persepsi terhadap sesuatu adalah sampainya forma objek pada diri subjek. Jika subjek mempersepsi dirinya sendiri maka pastilah ketika persepsi tersebut terjadi, dia tidak membutuhkan ruang tertentu (sebagai media bagi munculnya diri sebagai objek persepsi) akan tetapi berdiri pada dirinya sendiri. Jika persepsi terjadi pada ruang tertentu maka forma dirinya tidak akan hadir pada dirinya sendiri akan tetapi hadir pada ruang tersebut karena keberadaan objek yang menempati pasti selalu terikat pada ruang yang ditempati dan ini bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan.

Jiwa dalam kebaharuannya sebagai jasmani dan keabadiannya sebagai ruhani (Nafs al-jasmāniyah al-Hudūts ruhāniyyāh al-Baqā’). Maksud Mullā Sadrā dengan Kebaharuan Jasmani dan Keabadian Jiwa (Jasmāniyah al-Hudūts wa Ruhāniyyāh al-Baqā’) adalah proses terjadinya jiwa yang bersifat baharu dan berasal dari jasmani atau materi dan selanjutnya mengalami proses kesempurnaan melalui gerakan trans-substansial (seperti penjelasan sebelumnya) dan kemudian menyempurna menjadi ruhani dan tetap abadi pada kondisi tersebut.

Mullā Sadrā menyatakan :

“Wajiblah anda ketahui: Sesunguhnya jiwa merupakan forma manusia yang muncul secara fisik dan abadi menjadi ruhani (Jasmāniyah al-

Kholid Al Walid

99 Peta Filsafat Islam

Hudūts ruhāniyah al-Baqā’) sebagaimana yang telah lalu bahwa intelek affektif (‘Aql al-Munfā’īl) merupakan akhir dari makna fisik dan permulaan dari makna ruhani. Sedangkan manusia merupakan jalan penghubung (sirāth al-Mamdūd) di antara dua alam, dia sederhana melalui ruhnya dan terkomposisi melalui fisiknya. Tabi’at fisiknya merupakan yang paling murni diantara forma-forma materi bumi dan jiwanya menempati tingkat yang paling tinggi di antara jiwa yang utama.”4

Untuk membuktikan pandangannya ini Mullā Sadrā mengemukakan berbagai bukti sebagai berikut :

“Setiap yang terlepas dari materi tidak akan bersatu dengannya dan menjadi aksiden yang dekat (‘Aridh al-Qarīb) dengan dasar bahwa sesungguhnya dimensi potensial dan kesiapan kembali kepada persoalan bahwa dirinya secara substansial merupakan potensi semata yang terhasilkan dari forma yang membentuknya (Muqawwāmah) dan tidaklah dirinya melainkan hanyalah bagian dari materi dasar utama (Hayyūlah al-Jurmāniyyah) maka pastilah barangsiapa yang beranggapan bahwa jiwa terlepas dari materi kemudian bergabung bersamanya maka pandangan ini akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi dan nanti akan anda ketahui kekeliruan pandangan reinkarnasi.”5

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 100

“Sekiranya jiwa ada sebelum fisik diciptakan maka jiwa tidak mungkin plural atapun satu. Yang pertama (plural) tidaklah mungkin, karena perbedaan hanya terjadi pada sesuatu yang memiliki batasan spesies (Nau’) baik melalui materi-materinya, aksiden-aksidennya, aktivitas-aktivitasnya atau tujuan-tujuannya atau sebab-sebab yang berpengaruh pada jiwa ini. Sedangkan forma jiwa sekaligus merupakan substansinya karena kesatuannya dalam spesiesnya dan aktivitasnya merupakan hal yang satu, tujuannya tersambung padanya dan menyerupainya maka pluralitasnya hanya akan terjadi baik melalui materi atau sebagaimana dia dalam ketetapannya (identitasnya) seperti tubuh padahal realitasnya jiwa terpisah dari tubuh hal ini jelas inkonsistensi. Sedangkan yang kedua (Satu) karena diterimanya pluralitas setelah kesatuan dari spesifikasi ukuran-ukuran dan aksiden-aksidennya sedangkan jiwa tidaklah demikian.”6

“Jika jiwa diciptakan sebelum tubuh maka jiwa pastilah merupakan akal murni; maka tidaklah mungkin keadaannya berubah ketika dirinya terpisah dari lingkupan alam kesucian (‘ālam al-Quds) dan kemudian dilingkupi berbagai keburukan raga. Atau, jiwa tersebut merupakan jiwa substansial, maka jiwa tersebut hanya vakum sejak azali karena kemustahilannya untuk berpindah; dan tiada kevakuman dalam wujūd.”7

Kholid Al Walid

101 Peta Filsafat Islam

Dualisme Jiwa Dengan Raga

Untuk menunjukkan bahwa antara jiwa dan raga bukanlah sesuatu yang satu secara dimensional Mullā Sadrā mengemukakan beberapa argumentasi dan diantara argumentasi yang disebutnya sebagai argumentasi Arsyiyyāh, Mullā Sadrā menjelaskan sebagai berikut :

Seperti yang diketahui bahwa persepsi merupakan hadirnya objek pada diri subjek. Sekiranya terjadi persepsi pada daya fisik (Tabi’ah al-Jasmaniyyah) sedangkan jiwa merupakan daya fisik, maka yang akan terjadi adalah aksiden berdiri dengan dirinya sendiri dan ini jelas tidak mungkin. Penjelasan untuk hal ini adalah sebagai berikut:

Jika jiwa mempersepsi daya fisik dan daya fisik karena merupakan cara bagaimana merasakan sesuatu merupakan aksiden. Sekiranya jiwa merupakan daya fisik maka yang akan terjadi adalah aksiden berdiri pada dirinya sendiri, ketidak mungkinan hal ini mengingat aksiden jika berada di luar berada pada substansi dan tidak pada dirinya sendiri. Karenanya pastilah bahwa subjek yang mempersepsi bukanlah daya fisik itu sendiri tetapi dia berada pada lokus yang lain. lokus yang dimaksud bukan fisik mutlak karena hal tersebut tidak mungkin karena akan mengakibatkan setiap forma fisik akan dapat melakukan persepsi dan bukan pula bagian dari fisik karena akan menyebabkan seluruh bagian dari fisik dapat melakukan persepsi dan ini bertentangan

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 102

dengan fakta. Karenanya daya yang melakukan persepsi terhadap daya fisik tersebut pastilah selain dari daya fisik itu sendiri dan bukan pula fisik tempat bersandarnya daya fisik. Pastilah sesuatu selain dari keduanya yaitu jiwa.

Dengan argumentasi ini, Mullā Sadrā membuktikan dualisme pada diri manusia dan keduanya memiliki perbedaan secara dimensional, namun demikian dualisme ini bukan sebagaimana yang dipahami Ibn Sina, bahwa jiwa dan raga merupakan dua substansi yang berhubungan sejak awal keberadaan. Mullā Sadrā menolak pola hubungan dua substansi yang diyakini Ibn Sina. Dualisme dalam pengertian Mullā Sadrā di sini, bahwa Jiwa sekalipun berkembang bersama raga pada awalnya namun kemudian menjadi lokus bagi seluruh daya dan potensi, berbeda dengan raga fisik yang hanya bersifat resesif bagi aktualisasi seluruh daya dan potensi tersebut. Mullā Sadrā seringkali menggunakan perumpamaan bagi dualisme jiwa dan raga seperti juru mudi dan perahu.8

Transendensi Jiwa Rasional (Tajarrūd al-Nafs al-Nātiqah)

Di antara persoalan penting yang menjadi bagian pembahasan dalam persoalan jiwa adalah transendensi jiwa rasional. Dalam kontek ini para filosof khususnya Mullā Sadrā ingin menunjukkan bahwa jiwa setelah mengalami perkembangan akibat

Kholid Al Walid

103 Peta Filsafat Islam

gerakan tran-substansial yang terjadi menyebabkan jiwa menjadi substansi yang non-material yang ada pada diri manusia. Hal ini menjadi landasan utama keabadian diri manusia karena perkembangannya yang me-non-materi tersebut dan kemampuan jiwa untuk dapat berpindah dari satu fase kehidupan (Nasy’ah) kepada fase kehidupan yang lain.

Argumentasi ini berdasarkan prinsip ilmu hudūri dengan penjelasan sebagai berikut: Kita dapat mempersepsi diri kita sendiri dan persepsi tersebut menghasilkan diri kita pada diri kita sendiri dan karena tidak ada sesuatu yang eksternal selain diri kita sendiri maka pastilah hadirnya zat diri kita pada diri kita bersifat huduri yaitu zat jiwa terhasilkan pada zat jiwa itu sendiri dan berdiri pada zatnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan terlepas dari materi.

Argumentasi kedua adalah argumentasi yang disebut Mullā Sadrā dengan argumentasi Arsyiyyah dengan penjelasan sebagai berikut : Jika daya rasional sama seperti halnya daya-daya fisik yang lain dan berada pada dimensi materi maka pada daya ini akan berlaku hukum yang terjadi sebagaimana pada daya-daya fisik yang lain pada saat fisik tersebut mencapai usia tua. Seperti halnya daya-daya fisik menjadi lemah ketika tua demikian yang akan terjadi pada daya rasional akan tetapi kenyataan terjadi sebaliknya. Usia tua tidak menyebabkan lemahnya daya rasional bahkan semakin tua dan dewasa seseorang semakin

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 104

kuat daya rasionalnya karenanya daya rasional bukanlah berada pada raga atau fisiknya akan tetapi pada sesuatu yang non-materi.

Pandangan bahwa jiwa sebagai substansi transenden sebenarnya secara umum dikenal sebagai pengaruh filsafat Plato, hal ini sepertinya seringkali menjadi sasaran kritik, seperti yang dilakukan Fazlur Rahman, namun demikian patut disadari bahwa pandangan Plato dan Mullā Sadrā tentang jiwa sangat berbeda dan dalam pandangan-pandangan filsafat yang dibangun Mullā Sadrā kita melihat pandangan utama bertransformasinya seluruh forma wujūd pada tingkat yang lebih tinggi melalui gerakan trans-substansial yang dikembangkannya, yang pada akhirnya tentu saja melepaskan forma wujūd tertentu dari materi, mengingat materi dalam dalam teori kosmologi Mullā Sadrā menempati level terendah dari level-level wujūd yang diutarakannya.9

Ada beberapa argumentasi lain berkaitan hal ini yang dikemukakan Mullā Sadrā, akan tetapi dua argumentasi di atas sudah memadai untuk membuktikan transedensi jiwa dari raga dan materi.

Tetapnya Jiwa Pasca Kehancuran Raga

Para filosof muslim berpandangan bahwa jiwa akan tetap ada pasca kehancuran raga mengingat bahwa jiwa bersifat transenden dan jiwa tidak bergantung kepada raga kecuali sebagai identitas bagi

Kholid Al Walid

105 Peta Filsafat Islam

dirinya. Keberadaannya justru menjadi lokus bagi keberadaan raga namun tidak sebaliknya. Ibn Sinā menyatakan “Sesungguhnya jiwa tidaklah mengalami kematian dengan kematian raga dan bahkan tidak akan mengalami kehancuran sama sekali.” 10

Pandangan ini tentu menjadi pandangan yang sangat mendasar mengingat kebangkitan hanya bisa terjadi jika jiwa tetap ada. Untuk menjelaskan persoalan ini Mullā Sadrā terlebih dahulu menjelaskan keterikatan jiwa dengan raga. Mullā Sadrā menolak pandangan yang menyatakan bahwa kebersamaan antara jiwa dengan raga hanyalah kebersamaan kebetulan dan diantara keduanya tidak terjadi ikatan fundamental (Zātiyyah). Baginya ikatan diantara keduanya adalah ikatan keharusan (luzūmiyyāh) bukan kebersamaan kesetaraan (Mutadoifayn) dan bukan pula kebersamaan dua akibat untuk satu sebab dalam wujūd.

Keterikatan diantara keduanya tidak lain kecuali kebersamaan keharusan secara utuh seperti antara materi dengan forma. Bagi Mullā Sadrā raga membutuhkan jiwa tidak dalam kekhususannya akan tetapi secara mutlak dalam aktualisasinya sedangkan jiwa membutuhkan raga bukan dari segi hakikat mutlak rasional akan tetapi dari segi keberadaan personalitas dan identitasnya serta kebaharuan kedirian jiwa. Dengan penjelasannya tersebut Mullā Sadrā mendudukkan posisi raga hanyalah sebagai reseptif semata, ketergantungan raga menurutnya

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 106

adalah ketergantungan mutlak yang tidak akan lenyap selama adanya jiwa bersamanya dan tidak akan ada dengan ketiadaan jiwa. 11

Dalam logika Mullā Sadrā adalah tidak mungkin jiwa mengalami kehancuran, karena jika kehancuran dapat terjadi pada jiwa maka pastilah pada jiwa terdapat potensi untuk menerima kehancuran sedangkan potensi tersebut bukanlah substansi jiwa. Sesuatu yang memiliki potensi kehancuran haruslah bersama dengan sesuatu yang hancur dan itu adalah materi sedangkan jiwa adalah substansi yang transenden yang reseptif terhadap forma-forma rasional karena itu menurut Mullā Sadrā adalah tidak mungkin jiwa mengalami kehancuran. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan al-Fārābī, karena menurut al-Fārābī jiwa-jiwa yang tidak mengalami kesempurnaan akan tetap pada tingkatnya sebagai materi bahkan dapat hancur bersama kehancuran materi tersebut.12

Pandangan al-Fārābī yang seperti ini dapat kita lihat dalam pernyataannya sebagai berikut : Sedang para penduduk negeri Jahiliyyah, sesungguhnya jiwa mereka akan tetap dan tidak mengalami penyempurnaan dan untuk tetap ada, membutuhkan materi sebagai keharusan, yaitu tidak tergambarkan padanya (penduduk Jahiliyyah) gambaran dari objek-objek intelek pertama sama sekali. Jika materinya hancur yang selama ini menjadi dasar fundamen keberadaan mereka maka hancur pulalah daya-daya

Kholid Al Walid

107 Peta Filsafat Islam

yang selama ini merupakan personalitas dirinya yang menjadikan dirinya sebagai sebuah identitas. Tinggallah padanya daya-daya yang tersisa dan jika materi ini hancur maka berubahlah dirinya menjadi sesuatu yang lain dengan forma materi tersebut dan berubah dari forma sebelumnya…hingga berubah menjadi materi padat dan tetap sebagai materi padat tersebut sebagai forma akhirnya”.13

Dengan argumentasi ini, Mullā Sadrā ingin menunjukkan bahwa keterikatan yang terjadi diantara keduanya adalah keterikatan keharusan bahwa secara eksternal tidak akan mungkin ada raga tanpa jiwa seperti halnya tidak mungkinnya materi ada tanpa keberadaan forma. Jiwa membutuhkan raga dalam kebaharuan dirinya serta dalam identitasnya. Tanpa raga tentu saja jiwa tidak akan memiliki identitas, akan tetapi keberadaan jiwa selanjutnya tidak lagi bergantung kepada raga akan tetapi ragalah yang bergantung kepada jiwa, seperti halnya antara aksiden dengan substansi, keberadaan aksiden secara eksternal akan selalu bergantung kepada keberadaan substansi tapi tidak sebaliknya

Kehancuran atau kematian raga sama sekali tidak menyebabkan kehancuran atau kematian pada jiwa. Kehancuran atau kematian hanya terjadi pada materi sedangkan jiwa adalah substansi non materi yang terbebas dari ruang dan waktu sehingga terbebas dari kehancuran. Seperti yang dinyatakan juga oleh Khwaja Nasiruddin Tusi “Jiwa hidup melalui zatnya

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 108

sendiri dan menghidupkan selainnya dan segala sesuatu yang hidup karena zatnya mustahil baginya kematian selama-lamanya”.14

Daya-Daya Jiwa

Pada jiwa tumbuh-tumbuhan terdapat tiga daya yaitu: Daya konsumsi yang mengarahkan fisik untuk memiliki bentuk fisik sebagaimana jenisnya. Daya

Kholid Al Walid

109 Peta Filsafat Islam

berkembang yaitu daya yang mengembangkan fisik untuk sempurna dalam tinggi, dalam dan luas sehingga sempurna dalam pertumbuhannya. Daya reproduksi yaitu daya yang mengambil materi yang sama secara potensial dari fisik tempatnya bergantung dan kemudian melakukan aktivitas untuk mengembangkan fisik lain yang berkesesuaian dari segi bentuk, jenis dan perbuatan.

Pada jiwa hewani terbagi menjadi dua daya yaitu penggerak dan persepsi. Penggerak terbagi menjadi dua bagian: Penggerak karena dirinya menjadi penyebab gerakan atau penggerak karena dirinya adalah subjek. Makna penyebab yaitu bahwa dirinya merupakan sebab tujuan dan sebab ini adalah sebab paling utama dari empat sebab. Penyebab tersebut merupakan daya kerinduan (Syawqiyyāh) yang berhubungan dengan daya imajinasi. Dan jika tergambarkan pada dirinya forma yang dituju atau yang datang kepadanya muncullah daya penggerak yang lain untuk menggerakkan dan dalam hal ini terbagi menjadi dua : bagian yang disebut daya syahwat yaitu daya yang muncul karena gerakan yang mendekatinya dari sebab-sebab yang menggambarkan keharusan atau faidah yang mendatangkan kenikmatan dan bagian yang disebut daya emosional (Ghadabiyyāh) yaitu daya yang muncul untuk menolak sesuatu yang digambarkan mendatangkan bahaya atau kerusakan dan daya ini menuntut untuk mengalahkan.

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 110

Sedangkan daya penggerak sebagai subjek yaitu daya yang terbit pada syaraf atau sejenisnya, mengerutkan urat-urat syaraf tersebut menarik tulang-tulang dan syaraf-syaraf serta ikatan-ikatan kepada posisi yang bertentangan dari posisi awalnya.15

Sedangkan daya persepsi terbagi menjadi dua bagian : Daya persepsi yang datang dari luar dan daya persepsi dari dalam. Daya persepsi dari luar adalah indrawi. Daya persepsi dari dalam terbagi menjadi daya persepsi parsial dan daya persepsi general. Daya persepsi parsial dari indra eksternal dan daya persepsi parsial dari indra mental. Indra mental yang hanya persepsi dan indra mental persepsi dan pengendali. Indra mental persepsi terbagi lagi menjadi persepsi terhadap forma parsial dan dan makna parsial. Yang dimaksud forma parsial seperti imajinasi terhadap diri seseorang sedangkan yang dimaksud makna parsial adalah persepsi terhadap A sebagai sahabat sedangkan B adalah musuh:

Pengindra terhadap forma parsial disebut indra bersama (Hissi Musytarāk) dan dia mengumpulkan padanya beragam forma indrawi eksternal sedangkan pengindra makna parsial disebut estimasi (Wahm). Kedua daya ini memiliki perbendaharaan, perbendaharaan indra bersama adalah imajinasi sedangan estimasi adalah pengingat (Hāfizah).

Sedangkan daya pengendali bahwa dirinya mengendalikan objek-objek perbendaharaan pada dua perbendaharaan tersebut dengan cara

Kholid Al Walid

111 Peta Filsafat Islam

mengkomposisikan dan menganalisa. Pengkomposisian seperti manusia dalam rupa burung, gunung zamrud. Daya ini jika menggunakan daya estimasi hewani disebut imajinasi, jika menggunakan daya intelek (Nātiqah) disebut Berfikir (Mufakkirāh).

Pembagian semua ini hanya berlaku untuk fakultas jiwa tumbuh-tumbuhan dan hewan sedangkan pada jiwa manusia bagi Mullā Sadrā tidak dapat terjadi pembagian daya di dalamnya mengingat jiwa manusia hanya melakukan persepsi general dan sesuatu yang general dalam konteks generalitasnya bukanlah sesuatu yang dapat dibagi-bagi.16

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 112

Kholid Al Walid

113 Peta Filsafat Islam

Pembagian ini penting diutarakan di sini mengingat Mullā Sadrā menunjukkan bahwa kualitas manusia didasarkan dominasi daya-daya tersebut dan daya yang mendominasi akan membentuk karakter jiwa sekaligus sebagai dasar pembentuk raga berikutnya. Daya-daya tersebut pada intinya merupakan komposisi yang membentuk jiwa manusia. Mullā Sadrā menggambarkan daya-daya tersebut dalam karakter sebagai berikut :

“Bahwa pada setiap manusia, batinnya bagaikan campuran dari beragam sifat daya, sebagian binatang, sebagian binatang buas, sebagian setan, sebagian malaikat. Sifat yang keluar dari binatang adalah syahwat dan keburukannya adalah rakus, dusta. Dari binatang buas adalah iri hati, permusuhan, kebencian. Dari setan adalah makar, tipu daya, licik, sombong, mencintai kekuasaan. Dari malaikat adalah, pengetahuan, kesucian dan kebersihan. Dasar keseluruhan empat karakter ini terkomposisi pada batin manusia sebagai komposisi yang sangat kuat dan tidak mudah untuk menguraikannya.”17

Patut di ingat bahwa dalam pandangan antropologis Mullā Sadrā bahwa jiwa mengalami proses perkembangan sebagaimana yang telah dibicarakan sebelumnya, namun yang paling mendasar bagi Mullā Sadrā bahwa pandangan ini di dasarkan pada prinsipnya al-Labs ba’da al-Labs, bahwa peningkatan kualitas jiwa pada tahap berikutnya

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 114

tidaklah menghilangkan keberadaan jiwa sebelumnya akan jiwa bertransformasi pada level yang lebih tinggi sekaligus menghimpun level-level sebelumnya. Kita dapat membayangkan sebuah piramida yang terus berkembang naik, dalam perkembangan tersebut kita menyaksikan bahwa piramida tersebut menghimpun elemen yang semakin lama semakin banyak tanpa harus kehilangan forma utamanya yaitu piramida. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, prinsip al-Labs ba’da al-Labs yang dikembangkan Mullā Sadra bertentangan dengan prinsip al-Kawn wa al-Fasad yang dikembangkan filosof Paripatetik, bagi Mullā Sadra dalam proses gerakan tidak ada satu bagian pun yang hilang, akan terus berkembang bersama.

Demikian pula dengan jiwa menurut Mullā Sadrā, jadi ketika jiwa telah berkembang menjadi jiwa rasional, maka pastilah di dalamnya terkandung jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang, hingga menjadi jiwa rasional. Karenanya menurut Mullā Sadrā forma jiwa akan sangat diwarnai oleh pada level mana jiwa tersebut menjadi sangat aktif, sekiranya jiwa tersebut hanya memfokuskan persepsinya pada level jiwa binatang maka ketika terjadi keterpisahan antara jiwa dengan raga melalui proses kematian maka forma binatanglah yang akan muncul sebagai identitas baru manusia tersebut.

Pandangan Mullā Sadrā yang seperti ini jelas sangat berbeda dengan pandangan filosof Paripatetik

Kholid Al Walid

115 Peta Filsafat Islam

sebelumnya, khususnya Ibn Sinā yang menganggap bahwa jiwa spesifik pada setiap identitas dan berbeda satu sama lain. Bahkan pandangan Mullā Sadrā yang seperti ini menurut Fazlur Rahman lebih dekat dengan pandangan para sufi seperti Ibn Arabi dan al-Ghazali atau Syuhrawardi.18

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 116

Catatan:

1 Mullā Sadrā, al-Asfar, J.8 hal. 20. Teks aslinya sebagai

berikut : المبدء لك ذ من المفهوم هو مبدء ذا الجسم كون من المفهوم ليس نه لآ باطل

2 Mullā Sadrā, al-Asfar, J 8 hal. 20-21. Teks aslinya sebagai berikut:

من الحي او النفس من الحي او النفس من و الكون ا هذ من المفهوم ليس نه فا أن يأبى لا المذكور هذاالكون من المفهوم لأن وذلك ,واحدا شيئا حي هو حيت يصدر بحيث السفينه كون مثل هذاالكون للجسم به يتم مبدء بالذات يسبقه فع المنا عنها

,الكون هذا به يتحفق حتى بان الر إلى يجتاج مما ذلك ن فإ ,إليها المنسوبة الكمال من المفهوم بخلاف عليه سابق آخر كون إلى يحتاج الكون فهذا

3 Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Syarh Jilid Hasytum Asfar

Arba’eh, (Qom : Intisyarat Omuzisyi wa Pezuhesyi Imam Khomeini, 1378), hal. 114-115.

4 Mullā Sadrā, Al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manāhij al-Sulūkiyyah (Masyhad : Markaze Nasyr Donesgohi, 1360), hal. 223 (Selanjutnya disebut : Al-Syawahid). Teks aslinya sebagai berikut : الحدوث اللأنسانجسمانية انالنفسالتىهىصورة يجبعليكانتعلم:

قد اذ البقاء, اولروحانية و الجسمانية المعانى آخر المنفعل العقل ان مرالروحانيةفالأنسانصراطممدودبينالعالمينفهوبسيطبروحه,–المعانى

لىمراتب او ونفسه يعالأرضية اصفىالطبا طبيعةجسمه مركببجسمه النفوسالعالية

5 Mullā Sadrā, al-Syawahid, hal. 221. 6 Mullā Sadrā, al-Syawahid, hal. 221. 7 Mullā Sadrā, al-Syawahid, hal. 223. 8 Lihat : Mullā Sadrā, al-Asfar, J.4, hal. 12. 9 Kritik Fazlur Rahman tersebut dapat kita lihat pada

Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Shadra, hal. 263.

Kholid Al Walid

117 Peta Filsafat Islam

10 Hadi Rastgori, Ma’ad az didgohe Hukamo’ va Shadro al-

Muta’lihin syirozi dalam jurnal Kherad nomeh Shadro ( Tehran : Wezarat Farhangge va Omuzes, 1421) Vol. 15 hal. 69. Teks aslinya sebagai berikut :

إنالنفسلاتموتبموتالبدنولاتقبلالفسادأصلا11 Lihat : Mullā Sadrā, al-Asfar, j.8. hal. 382. 12 Lihat : Mullā Sadrā, al-Asfar, j. 8. hal. 388. 13 Lihat : Al-Farābī, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah

(Beirut : Dar al-Masyriq, 2002, hal. 142. 14 Khwaja Nasiruddin al-Tusi, Tahsil al-Muhasal (Qom :

Intisyarat Bidor, 1373), hal. 524. Teks aslinya sebagai berikut : يىبهاغيرهاوكلماكانحياتهلذاتهيستحيلعليه يةبذاتهاويح "والنفسح

ا" الموتدائم 15 Sebab terdiri atas sebab sempurna dan sebab tidak

sempurna. Di antara pembagian sebab tidak sempurna sebagai berikut : Sebab Internal, Sebab Eksternal, Sebab Subjek dan Sebab Tujuan. Lihat : Thabataba’I, Bidayah hal. 86.

16 Lihat : Mullā Sadrā, al-Asfar, j. 8, hal 260 pada pembahasan “Jiwa Berfikir bukanlah fisik dan bukan pula bentuk berukuran dan tidak dapat dilakukan pembagian atasnya”.

17 Mullā Sadrā, al-Asfar, J. 9, hal. 93. 18 Lihat : Ibn Sina, al-Najah (Kairo: Matba’ah al-Sa’adah,

1357 H), hal. 460, Fazlur Rahman, The Philosophy of Mullā Shadrā , hal. 271.

Realitas Jiwa

Peta Filsafat Islam 118

Kholid Al Walid

93 Peta Filsafat Islam

BAGIAN KEDUABELAS

REINKARNASI

Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Dalam konteks kehidupan pasca kematian, ada istilah reinkarnasi yang kerap diidentikan untuk menyebutkan kehidupan kembali jiwa ke alam dunia. Untuk lebih jelasnya, reinkarnasi didefinisikan sebagai berikut:

“Kelahiran kembali jiwa atau diri dalam rangkaian fisik atau penjelmaan yang diluar kebiasaan, yang biasanya (kelahiran tersebut) pada manusia atau binatang di alam semesta akan tetapi kadangkala juga pada beberapa bentuk ruhaniah seperti malaikat, setan, tumbuh-tumbuhan atau astrologis.” 1

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 94

“Perpindahan jiwa – meliputi jiwa manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan- dari raga aktualnya kepada raga selainnya”.2

Konsep reinkarnasi juga diistilahkan: metempsichosis, metensomatis atau juga palingenesis. Konsep ini pada umumnya dianut oleh agama-agama India a.l : Hindu, Budha, Jainis, dan Sikh. Konsep ini sendiri telah ada sejak Mesir Kuno di zaman Fir’aun bahkan di Yunani konsep ini sudah dikenal sejak Pherecydes guru dari Pythagoras (582-507 S.M).3

Al-Fārābī mengatakan:

“Para penduduk kota yang terlepas dari keutamaan, dari sana kebahagiaan mereka dalam kehidupan duniawi terbatas pada pemenuhan kecenderungan-kecenderungan dorongan jasmaniah semata, tidak sekalipun mereka akan terlepas dari kungkungan penjara material bahkan bukan hanya itu jiwa-jiwa mereka bersamaan dengan perubahan materi dari satu bentuk pada bentuk lainnya. Atau secara kontinyu -jika memiliki kemampuan- dalam raga manusia lainnya ber-reinkarnasi atau secara bertahap turun pada tingkat binatang dan terus berada dalam tingkat ini” 4

Jenis-Jenis Reinkarnasi

Pertama: perpindahan jiwa dari satu raga kepada raga yang lain dengan adanya keterikatan antara raga

Kholid Al Walid

95 Peta Filsafat Islam

yang satu dengan lainnya, reinkarnasi jenis ini disebut reinkarnasi Bersambung (Ittisali). Kedua : perpindahan jiwa dari satu raga kepada raga yang lain dengan tanpa keterikatan antara satu dengan lainnya disebut reinkarnasi Terpisah (Infisali). Ketiga : perpindahan jiwa kepada raga astrologis yang terbentuk dari materi duniawi disebut reinkarnasi Penguasaan (Mulki). Keempat: perpindahan raga kepada raga imajinal dan ukhrawi disebut reinkarnasi Kemalaikatan (Malākūti). Kelima : Jika raga berikutnya lebih mulia dan utama dari raga sebelumnya seperti perpindahan jiwa hewan kepada manusia maka reinkarnasi jenis ini disebut reinkarnasi Naik (Su’ūdi). Keenam: jika raga yang kedua secara kualitas lebih rendah dari raga pertama maka jenis reinkarnasi seperti ini disebut reinkarnasi Turun (Nuzūli). 5

Mullā Sadrā menyebutkan:

“Jika jiwa mengalami perpindahan dari raga materi yang berbeda dari sebelumnya, jika pada raga manusia disebut Nasakh, jika pada raga hewan disebut Masakh, jika pada raga tumbuh-tumbuhan disebut Fasakh, jika pada raga materi keras disebut Rasakh.”6

Qutbuddin al-Razi menyebutkan beberapa pandangan mengenai perpindahan jiwa. Pandangan pertama, berasal dari sekelompok kecil dari filosof terdahulu dan disebut sebagai Kelompok Reinkarnasi, mereka berpandangan bahwa jiwa bukan merupakan wujūd ruhani sehingga selalu membutuhkan raga fisik

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 96

sehingga jiwa pasca kematian kembali lagi pada raga yang lain. Dengan dasar pandangan ini, semua jiwa akan terus secara kontinum berpindah dari raga yang satu pada raga yang lain dan pada pandangan ini sama sekali tidak terjadi perbedaan antara jiwa yang telah mencapai kesempurnaan ataupun tidak dan pada sisi ini terjadi perbedaan dengan pandangan kedua.

Pandangan kedua ini dikemukakan oleh kelompok Paripatetik: mulai dari Aristoteles dan pengikutnya hingga para filosof Muslim Paripatetik seperti halnya al-Fārābī bahkan Ibn Sīnā dan para pengikutnya. Pandangan ini berkaitan dengan jiwa yang tidak mencapai kesempurnaan baik pada amal maupun ilmu. Pasca kematian jiwa yang seperti ini akan hilang dan tidak dibangkitkan kembali atau juga masuk pada dunia non-material atau ruhani dan meneruskan kehidupanya, namun pada tingkat ini terjadi persoalan pada reinkarnasi Terpisah (Infisāli) yaitu bahwa tidak terjadinya keterkaitan dengan raga sebelumnya.

Pandangan ketiga “Perpindahan jiwa dari satu raga kepada raga yang lain dalam satu spesies, seperti perpindahan dari raga manusia yang satu kepada raga manusia yang lain”.

Pandangan keempat, “Perpindahan jiwa kepada raga yang berbeda spesies akan tetapi jika raga sebelumnya adalah raga hewan maka raga berikutnya haruslah raga hewan juga”.

Kholid Al Walid

97 Peta Filsafat Islam

Pandangan kelima, Jiwa manusia dapat berpindah kepada raga apa saja bahkan kepada bebatuan. Quthbudin al-Razi menyebutkan bahwa Ikhwan al-Safa cenderung pada pandangan keenam ini, namun setelah melewati itu semua jiwa akan berpindah ke alam astrologis imajinal.

Pandangan ketujuh adalah pandangan yang diyakini Syaykh Isyrāq bahwa jiwa menengah dari hamba-hamba yang mendapatkan kebahagiaan akan berpindah kepada fisik astrologis sedangkan jiwa yang mengalami penderitaan akan berpindah kepada raga binatang. Namun Syaikh Isyrāq menolak perpindahan jiwa manusia ke raga tumbuh-tumbuhan dan bebatuan. Dalam hal ini Syaikh Isyrāq mengutip pandangan Yūzasif seorang filosof India yang mengemukakan dan meyakini pandangan reinkarnasi.7

Argumentasi Penolakan Reinkarnasi

Jiwa selalu berada dalam kondisi aktualisasi potensi selama fase kehidupannya bersama raga. Jiwa berdasarkan amal perbuatannya baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk merupakan aktualitas yang menghasilkan peringkat wujūd. Ketika jiwa telah berada pada aktualitas tertentu maka mustahil baginya untuk kembali lagi pada tingkat potensi murni pada bentuk tersebut, sebagaimana mustahilnya kembalinya binatang yang telah mencapai derajat aktualitasnya sebagai binatang untuk kembali lagi pada awal penciptaannya sebagai nutfah atau ‘alaqah,

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 98

Sehingga bersatu antara potensi dengan aksi pada saat yang sama.

Tidaklah mungkin terjadi jiwa yang telah terpisah dari raga kembali dan masuk kedalam raga manusia yang lain. Karena raga yang baharu memunculkan jiwa yang baharu bersamanya, maka (jika terjadi reinkarnasi) akan terjadi pada raga yang baharu jiwa yang lain sehingga menyebabkan seorang manusia memiliki dua jiwa sekaligus. Sekalipun ada jiwa yang lain pada sebuah raga maka jiwa tersebut tidak berfungsi bersamanya dan tidak juga memunculkan manfaat bagi raga maka pastilah jiwa tersebut bukanlah jiwa dirinya karena jiwa di dalam raga tidaklah menempati hanya satu bagian tertentu saja atau menempel sebagai zat bagi bagian tertentu dari raga akan tetapi jiwa merupakan pengendali dan terfungsikan melalui raga materi.

Jiwa memiliki keterikatan substantif dengan raga, komposisi keduanya adalah komposisi kesatuan alamiah, sekalipun satu dengan yang lainnya secara substantif memiliki gerakan trans-substansial. Jiwa pada awal kehadirannya merupakan potensi dalam segala keadaannya begitu pula dengan raga. Keduanya secara bersama keluar dari potensi kepada aktualitas dan derajat potensi dan aksi pada setiap bagian jiwa tertentu dihadapan keadaan raga yang khusus selama keterikatan dengan raga tersebut. Jiwa selalu berada dalam kondisi aktualisasi potensi selama fase kehidupannya bersama raga. Jiwa berdasarkan

Kholid Al Walid

99 Peta Filsafat Islam

amal perbuatannya baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk merupakan aktualitas yang menghasilkan peringkat wujūd.

Ketika jiwa telah berada pada aktualitas tertentu maka mustahil baginya untuk kembali lagi pada tingkat potensi murni pada bentuk tersebut, sebagaimana mustahilnya kembalinya binatang yang telah mencapai derajat aktualitasnya sebagai binatang untuk kembali lagi pada awal penciptaannya sebagai nutfah atau ‘alaqah, karena gerakan trans-substansial secara substantif terjadi dan tidak mungkin berbalik, baik itu dipaksakan, alamiah, keinginan ataupun ketidak sengajaan

Sekiranya keterikatan jiwa berpindah kepada raga lain yang masih dalam bentuk janin misalnya atau selainnya maka akan mengakibatkan yang satu wujūdnya sebagai potensi sedangkan yang lain dalam wujūdnya secara aktual dengan bahasa yang lain suatu bentuk yang satu pada saat yang sama potensi tapi pada saat yang sama adalah aktual, dan ini jelas tidak mungkin karena komposisi diantara keduanya adalah kesatuan alamiah. Pada komposisi alamiah mustahil terjadi pada dua hal yang menyatu satu bagiannya adalah potensi dan yang lain aktual.

Dasar Prinsip Tasykik al-Wujūd

Setiap yang terkomposisi alamiah tersusun dari materi dan forma, baik itu jiwa maupun raga, baik itu

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 100

raga binatang, atau raga alami lainnya ataupun jenis lain dari kebersatuan tidak akan mungkin terjadi bahwa yang satu bagian menjadi hilang dan satu lainnya tetap sebagai unsur materi dan forma karena hubungan antara materi dengan forma adalah hubungan kekurangan maka keberadaan setiap materi pastilah bersama dengan formanya yang keluar dari potensi menjadi aktual, demikian pula dengan forma dari segi substansi dan zatnya sebagai sebuah forma pastilah mengandung materi sebagai identitas dan kekhususan bagi kondisi dan aktivitasnya secara khusus. Jika salah satu dari materi terbentuk maka keterbentukannya tersebut pastilah terbentuk dengan terbentuknya forma bersamanya dalam satu dimensi, sekiranya materi tersebut hancur maka hancur pulalah formanya, karena forma dari sesuatu adalah pelengkap dan penyempurnanya, maka wujūd sesuatu yang kurang sebagai sesuatu yang kurang adalah mustahil karena kesempurnaan sesuatu adalah pendiri dan penyebabnya demikian pula kesempurnaan sesuatu jika hilang kesempurnaannya maka hilang pula sesuatu tersebut.

Jiwa setelah keterpisahannya dari raga terjadi fase keterpisahan. Masa keterpisahannya dari raga pertama bukanlah masa perpindahannya pada raga berikutnya dan diantara keduanya ada fase yang memisahkannya sehingga di antara kedua raga tersebut terjadi kevakuman dari pengendalian dan pengelolaan, kevakuman tersebut adalah mustahil sehingga menyebabkan reinkarnasipun mustahil.

Kholid Al Walid

101 Peta Filsafat Islam

Jiwa manusia adalah sesuatu yang baharu melalui kebaharuan pencampuran manusia melalui tingkat nutfah, janin hingga mencapai derajat manusia. Pada saat yang sama manusia tersebut telah melalui proses penyempurnaan alami melewati derajat tumbuh-tumbuhan, hewan yang terhasilkan pada setiap bagian dari materi, forma, raga dan jiwa. Penyempurnaan nutfah manusia haruslah dalam proses perubahan ciptaan mulai dari bebatuan, tumbuh-tumbuhan, binatang kemudian manusia dan tidak sebagaimana pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa kejadian terjadi pasca kehancuran dan kehancuran terjadi pasca kejadian (al-Kawn wa al-Fasād). Terbentuknya dari satu forma kepada forma yang lain yang berbeda wujūd (Mutabā’inah al-wujūd).

Yang seperti ini keliru mengingat ketidakmungkinan perubahan subjek alami yang melakukan pengendalian terhadap materi menjadi subjek alami yang lain sehingga menjadikan dua subjek dalam satu tempat dalam proses perbuatan yang dilakukan, sebagaimana kemustahilan perpindahan aktivitas alami dari salah satu subjek alami kepada yang lainnya demikian pula kemustahilan yang terjadi pada perpindahan subjek yang satu dari perbuatan alami kepada perbuatan alami yang tidak berkaitan dengan yang pertama tanpa kesatuan dimensional diantara keduanya dan hal tersebut adalah makna reinkarnasi dengan logika seperti ini maka reinkarnasi adalah keliru.

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 102

Argumentasi kelima adalah argumentasi yang paling kuat yang dikemukakan Mullā Sadrā, namun argumentasi ini membutuhkan beberapa premis antara lain : Pertama, Keterikatan jiwa dengan raga adalah keterikatan fundamental (Zātī) . Kedua, Komposisi jiwa dan raga adalah komposisi alami. Ketiga, Komposisi jiwa dan raga adalah komposisi kesatuan. Keempat, Pada saat melakukan persepsi , jiwa dalam identitasnya sebagai yang non-materi melakukan aktivitas tersebut , namun hubungan jiwa dengan raga tetap terpelihara. Kelima, Dalam fase-fase perkembangannya, jiwa bersamaan dengan keluarnya raga dari potensi menjadi aktual, tetap melakukan aktivitas spesifiknya dan ketika terjadi kematian – raga tidak lagi dapat melakukan aktivitasnya- jiwa berkembang pada tingkat kesempurnaan aktualitassnya dan ini menyebabkan keterputusan hubungan antara jiwa dengan raga.

Selain keterikatan fundamental (Zātī) ada lagi keterikatan Aksidensial (‘Arādi) perbedaan keduanya jika pada keterikatan zati kita tidak dapat memisahkan di antara keduanya, menghilangkan yang satu berarti juga menghilangkan yang lain, sedangkan pada keterikatan Aksidensial tidak berarti menghilangkan yang satu akan menghilangkan yang lain, seperti halnya warna yang menempel pada satu materi, jika warnanya kita hilangkan dari materi tersebut, maka materi tetap sebagai mana adanya. Prinsip ini di dasarkan bahwa jiwa merupakan hasil dari kebaharuan fisik, yaitu pada awalnya jiwa tidak lain

Kholid Al Walid

103 Peta Filsafat Islam

raga itu sendiri yang kemudian setelah terjadi gerakan trans-substansial berkembang menjadi jiwa.

Komposisi alami adalah komposisi yang terjadi secara alami mulai dari awal keberadaannya dalam sebuah komposisi yang satu dan tanpa adanya intervensi yang menyebabkan terjadinya komposisi tersebut, perkembangan keduanya berasal dari sesuatu yang satu dan membentuk satu identitas. Berbeda halnya pada komposisi buatan (Sana’i) pada komposisi ini terjadi intervensi dari luar yang menyatukan unsur-unsur menjadi satu komposisi.

Komposisi kesatuan adalah komposisi yang keduanya pada hakikatnya adalah satu dan tidak dibentuk dari dua unsur yang berbeda satu sama lain dan membentuk satu kesatuan seperti halnya komposisi H2O yang terkomposisi dari dua unsur independent membentuk kesatuan, akan tetapi seperti komposisi yang terjadi antara forma dan materi. Ini merupakan komposisi hakiki dan kesatuan yang didasarkan pada prinsip kesatuan wujūd. Namun perbedaan utama dengan kesatuan antara forma dan materi kedua-duanya materi sedangkan raga dan jiwa adalah yang satu materi sedangkan yang lain setelah terjadi gerakan trans-substansial mengalami perkembangan menjadi nonmateri.

Dapat dianalogikan seperti halnya buah dengan pohonnya, ketika buah tersebut terlepas dari keterikatannya dengan phon yang selama ini menjadi tempat tumbuh dan bergantung ia memulai

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 104

aktivitasnya sendiri dan pohonpun demikian. Jiwapun demikian ia membutuhkan raga untuk tumbuh dan berkembang dan ketika jiwa dalam perkembangannya tidak lagi membutuhkan raga maka ia akan melepaskan diri raga dan memulai aktivitasnya sendiri.

Dengan lima pendahuluan ini, Mullā Sadrā menolak konsep reinkarnasi, menurutnya jika jiwa pasca kematiannya berpindah pada raga lain yang terpisah dan bebeda dengan raga sebelumnya, perpindahan ini baik dengan tanpa membawa aktualitas raga sebelumnya dan berkesesuaian dengan aktualitas raga kedua atau jiwa dengan tetap menjaga aktualitasnya dalam kehidupan sebelumnya mengalami perpindahan pada raga kedua. Akan tetapi menurut Mullā Sadrā kedua pengandaian kaidah bersyarat yang berkesinambungan di atas keliru. Kekeliruan tersebut dipicu oleh dasar pijakan utama yang menyatakan jika jiwa terlepas dari beragam aktualitas sebelumnya yang pernah ada kemudian kembali lagi pada tingkat potensial maka pertama bahwa perubahan ini adalah perubahan kemunduran dan seluruh pengetahuan baik filsafat maupun sains menolak hal ini. Kedua, tidak bisa dikatakan bahwa personalitas berikutnya setelah berpindahnya jiwa dari raga pertama pada raga kedua adalah personalitas diri sebelumnya.8

Akan tetapi, persoalan yang patut di cermati dan menuntut penjelasan Mullā Sadrā berkaitan dengan penolakannya terhadap reinkarnasi ada dua hal,

Kholid Al Walid

105 Peta Filsafat Islam

pertama, berkaitan dengan konsep Ruj’ah dan kedua, berkaitan dengan peritiwa kembalinya Uzair dari kematian setelah seratus tahun.9

Seperti yang telah diketahui bahwa Mullā Sadrā adalah penganut mazhab Syi’ah Imāmiyyah Itsna Asyariyyah (Syiah 12 Imam). Diantara doktrin teologis mazhab Syi’ah adalah keyakinan akan al-Ruj’ah dan yang dimaksud dengan al-Ruj’ah sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Mufid adalah : “Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menghidupkan sekelompok orang dari ummat Muhammad Saw setelah kematian mereka sebelum hari kiamat. Mazhab ini khusus mazhab keluarga Muhammad Saw…Sesungguhnya ruj’ah terjadi bagi mereka yang memiliki puncak keimanan dan puncak kemunafikan dari ummat ini.” 10

Pandangan al-Ruj’ah ini didasarkan pada ayat al-Qur’an:

“Pada hari Kami kumpulkan dari setiap ummat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka Kami bagi-bagi.”11

Menurut Ja’far Subhani, ayat tersebut menunjukkan pengumpulan sekelompok orang padahal jika yang dimaksud pengumpulan pada hari kiamat maka seluruh manusia akan dikumpulkan secara bersama tidak sebagiannya saja, karenanya bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum hari kiamat tiba.12

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 106

Prinsip Eskatologi

Prinsip pertama: Pada hakikatnya setiap Pengada merupakan dasar bagi keberadaan (mawjudiyyāh) sedangkan kuiditas mengikutinya : bahwa hakikat setiap sesuatu itu adalah menyangkut orientasi kewujūdan khasnya itu sendiri tanpa kuiditasnya. Hal ini didasari pada pandangan dasar Mullā Sadrā keutamaan Wujūd (Asālat al-Wujūd) dan prinsip ini berbeda dengan pandangan para filosof sebelumnya yang beranggapan bahwa wujūd masuk dalam kategori kedua (Ma’qūlat al-Tsāniyyah) dan bersifat sekunder. Baginya wujūd merupakan esensi murni (Huwiyyāt ‘ayniyyāt) yang tidak tergapai oleh mental dan juga tidak dapat diisyaratkan kecuali melalui pengetahuan ma’rifat kesaksian (‘Irfān Syuhūdi).

Prinsip kedua: personalitas sesuatu dan karakteristiknya adalah wujūd khasnya itu sendiri: wujūd dan personalitas bersatu secara fundamental (Zātī) dan berbeda secara konseptual (mafhūm) dan identitas (ism). Apa yang dinamakan aksiden personal sesungguhnya hanya merupakan kelaziman-kelaziman kuiditas personal wujūd semata bukan sebagai jati diri dan personalitasnya akan tetapi hanya sebagai pengganti dalam aksiden sehingga dapat terjadi perubahan dari satu bentuk (Hād) pada bentuk (Hād) yang lain pada sebagian besar bagiannya atau secara keseluruhan akan tetapi identitas personalitasnya tetaplah dirinya.

Kholid Al Walid

107 Peta Filsafat Islam

Prinsip ketiga: sesungguhnya tabiat wujūd itu menerima kepadatan (syiddat) dan menerima ketidak padatan (du’f) pada dirinya yang sederhana (basitat): diri yang tidak terkomposisi baik secara eksternal maupun secara mental. Tidaklah terjadi perbedaan diantara kuantitas wujūd dengan karateristik klasifikatif substansinya atau di antara aksiden atau personalitas tambahan atau prinsip tabiat wujūd tersebut, perbedaannya hanya terjadi pada tingkat individu dan satuan-satuannya: dalam kepadatan dan ketidakpadatan: kepermulaan dan keberakhiran serta dalam kemuliaan dan kehinaan secara subtantif, kecuali bahwa pandangan general dapat dibenarkan dan terambil dari perbedaan tersebut bagi substansinya yang disebut sebagai kuiditas (Māhiyyah) berbeda berdasarkan zat baik dalam genus, diferensial, aksiden. Oleh karena itu menurut Sadrā dikatakan: “Wujūd itu berbeda jenis-jenisnya dan bahwa martabat-martabat yang paling padat dan paling tidak padat itu merupakan jenis-jenis yang berbeda-beda”.

Prinsip keempat: sesungguhnya wujūd itu menerima kememadatan (isytidād) dan kemengembangan (tada’uf): artinya wujūd itu menerima gerak memadat: bahwa substansi dalam kesubstantifannya atau wujūd substantifnya menerima perubahan fundamental (istihālat al-Zātiyyāh). Telah terbuktikan bahwa bagian-bagian dari satu gerak kontinum dan batas-batasnya itu tidaklah ada secara aktual dalam sifat keberbedaan akan tetapi

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 108

wujūd keseluruhan itu pada prinsipnya mewujūd dalam wujūd yang satu. Oleh karena itu, kuiditas-kuiditas yang menjadi lawan dari martabat-martabat wujūd tersebut tidaklah kemaujudannya itu secara aktual dan spesifik akan tetapi kemaujudannya bersifat global, seperti pada bagian-bagian batasan.

Prinsip kelima: sesungguhnya setiap (wujūd) komposisi itu identitasnya terletak pada formanya bukan pada materinya: sebuah ranjang disebut ranjang pada formanya bukan pada materinya: sebuah pedang disebut pedang karena ketajamannya, bukan karena bajanya: hewan disebut hewan karena jiwanya bukan karena raganya. Materi merupakan pembawa potensi sesuatu dan kontengensinya : ia merupakan tempat terjadinya gerak, seperti jika kita bayangkan satu bentuk tanpa mengikutkan materinya akan tergambar secara keseluruhan bentuk sesuatu tersebut. Dengan kata lain, menurut Sadrā, nisbah materi kepada forma adalah laksana nisbah kekurangan pada kesempurnaan : kekurangan membutuhkan kesempurnaan, tapi kesempurnaan tidak memerlukan kekurangan. Demikian pula pada diferensial akhir pada kuiditas yang terkomposisi dari genus (Jīns) dan diferensial (Faāl), seperti berbicara / berfikir (Nātiq) sebagai ciri manusia merupakan prinsip fundamen genus.

Seperti juga pendefinisian batasan karena dikategorikan sebagai batas karena memang dirinya terbatas. Bagi Mullā Sadrā kuiditas memiliki komposisi

Kholid Al Walid

109 Peta Filsafat Islam

yang tersatukan oleh kesatuan alami (Thabi’iyyah) yang genus (Jins) dan Diferensial (Fasl) dibentuk oleh unsur-unsurnya yang terdiri dari materi dan forma. Menurut Mullā Sadrā Kuiditas memiliki dua sisi. Sisi pertama didasarkan pada pluralitas dan spesifikasinya. Sisi kedua didasarkan pada generalitas dan kesatuannya. Sementara menurut Mullā Sadrā jika kita ingin menyaksikan aspek wujūdnya yang spesifik dan kita ingin melakukan pembatasan terhadapnya maka menjadi keharusan bagi kita untuk menghadirkan seluruh makna yang mencakup keseluruhan bagiannya dan jika kita menyaksikan dari sisi wujūdnya yang satu – hal tersebut merupakan forma kesempurnaannya- dan kita ingin melakukan pembatasan terhadapnya,

Padahal pembatasan hanya dapat terjadi pada sesuatu yang memiliki bagian-bagian sedangkan forma yang sederhana tidak memiliki bagian baik diluar maupun di alam mental. Pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan melalui karakteristiknya (lawāzim) sekalipun karakteristik tersebut tidak seperti umumnya karakteristik yang mewujūd tanpa adanya wujūd yang menjadi gambaran karakteristik tersebut (Malzūm).

Akan tetapi dirinya secara keseluruhan dapat dilihat sebagai forma sederhana dan sempurna yang dipahami langsung dari zatnya sendiri tanpa adanya sesuatu yang meliputinya. Wujūd menurut Mullā Sadrā tidaklah berada di dalam kuiditas karena dirinya tidak

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 110

memiliki kuiditas kecuali jati dirinya sendiri, sebagaimana sebelumnya bahwa forma sempurna bagi sesuatu merupakan wujūd murni yang berbeda dalam rangkaian kewujūdan – telah dijelaskan sebelumnya bahwa wujūd tidaklah memiliki batasan – akan tetapi definisi didasarkan pada permisalan karakteristik tersebut tidak berarti lebih rendah atau kurang dari definisi yang dibangun oleh genus dan diferensial karena genus dan diferensial bersatu didalamnya dan terambil dari fundamen tersebut.

Mullā Sadrā setelah menjelaskan pendefinisian dalam pola yang digambarkannya tersebut bersandar pada pernyataan Ibn Sinā dalam Hikmah al-Masyriqiyyāh : Sesungguhnya sesuatu yang sederhana terbatasi melalui karakteristik-karakteristik yang menyampaikan mental pada kesadaran tentang sumber munculnya karakteristik-karakteristik tersebut (Malzūmat) dan definisi melaluinya tidaklah lebih lemah dari definisi melalui pembatasan.13

Demikian juga pendefinisian potensi terhadap pengaktualnya. Menurut Mullā Sadrā, manusia memiliki dua wujūd : wujūd spesifik dan wujūd general: wujūd spesifiknya sesungguhnya terealisir melalui materi substantif dan forma kontinum kuantiti (Miqdāri) dan forma merupakan sumber perkembangan, pertumbuhan merupakan sumber indrawi dan gerakan yang bebas (Ikhtiyāri) dan selainnya juga merupakan sumber berfikir / berbicara (Nātiqah) sehingga dapat dikatakan dalam batasannya

Kholid Al Walid

111 Peta Filsafat Islam

bahwa dirinya merupakan substansi yang reseptif terhadap sisi-sisi, pertumbuhan, pengindraan dan gerakan yang bebas dan ini merupakan bagian-bagian yang tersusun dalam wujūd terunggulkan dalam keutamaan dan kesempurnaan dan setiap kali tersusun atas keutamaan yang khusus (Aqdam al-Akhas) maka menjadi keharusan tercapainya tingkat akhir keutamaan dalam bentuk yang lebih halus dan sederhana sedangkan wujūd generalnya terealisir melalui jiwa inteleknya (Nātiqah) yang terdapat didalamnya seluruh makna ini dalam bentuk yang lebih sederhana dan lebih tinggi.

Prinsip keenam, sesungguhnya bahwa kesatuan personal pada setiap sesuatu itu adalah wujūdnya itu sendiri dan tidaklah dalam satu derajat dan kualitas seperti halnya wujūd tidak dalam tingkat yang satu. Oleh karena itu, kesatuan personal pada tingkat ukuran-ukuran kontinumnya merupakan kontinyuitas dan kepadatannya itu sendiri : pada tingkat temporalitas dan kebertahapannya adalah kebaharuannnya dan keaktualisasiannya : pada tingkat kuantitas adalah multiplikasi aktualnya: pada fisik alami adalah kepluralannya secara potensial. Oleh karena itu, satu raga mustahil akan menjadi korpus bagi banyak sifat yang saling berbeda, seperti pada saat yang sama ia adalah hitam ia juga adalah putih, pada saat ia manis pada saat itu juga ia pahit atau pada saat yang sama ia mengalami kenikmatan tapi pada saat yang sama ia mengalami kesakitan .

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 112

Hal demikian itu terjadi karena kekurangan wujūdnya dan sempitnya ruang untuk banyak persoalan yang berbeda-beda. Korpus penglihatan pada tubuh manusia bukanlah korpus bagi pendengaran, begitupun seperti korpus penciuman bukanlah korpus bagi rasa. Adapun substansi jiwa, bersama keunikannya itu didalamnya terkandung gambar hitam dan putih dan kontradiksi-kontradiksi yang lainnya.

Karenanya bagi Mullā Sadrā setiap kali seseorang meningkat abstraksi dan substansinya dan memadat potensi dan kesempurnaannya, maka pengetahuannya tentang sesuatu akan menjadi lebih komprehensif dan rekonsilianya bagi kontradiksi-kontradiksi menjadi lebih sempurna: ia mengalami gradasi kesempurnaan sehingga dirinya memadai untuk gerak wujūd keseluruhannya. Dengan menyandarkan diri pada pendapat Ibn Sinā bahwa orang tersebut dapat berubah menjadi seorang manusia yang berpengetahuan rasional (‘aliman ma’qūlan), dapat menerima pengetahuan indrawi dan dapat memberi kesaksian atas kebaikan muthlaq (al-hasan al-muthlaq dan al-khayr al-muthlaq), keindahan mutlak: ia menyatu dengannya dan menjadi manifestasinya, tercermin dalam perilakunya dan menjadi substansinya.14

Sehingga menurut Mullā Sadrā, apakah seseorang melakukan persepsi terhadap objek-objek pengetahuan indrawi, imajinatif dan rasional, atau

Kholid Al Walid

113 Peta Filsafat Islam

orang-orang yang melakukan objek-objek tindak alami, hewani dan insani pada dasarnya jiwa orang itu sendirilah yang mengaturnya. Jiwa memiliki kemampuan untuk turun ketingkat indra dan alat-alat alamiah sebagaimana juga pada pada saat yang sama ia memiliki kemampuan untuk naik ke tingkat akal aktif dan akal yang lebih tinggi.

Hal demikian dapat terjadi menurut Mullā Sadrā karena keluasan wujūdnya dan keterang-benderangan cahayanya yang menebar kesekeliling dan sekitarnya maka zatnya terbentuk dalam berbagai ragam fase kehidupan (Nasy’ah) dan ukuran serta turun dengan perintah Allah pada tingkat potensi dan bagian fisik dan sekiranya turun pada materi yang halus atau fisik maka hukumnya adalah potensi dan jika ia kembali pada fundamen dan substansinya pada saat kesempurnaanya maka keseluruhannya dalam kesatuannya. 15

Melalui prinsip ini, menurut Mullā Sadrā, jelas bahwa sesuatu yang terkait pada materi pada satu masa dapat menjadi non-materi pada masa yang lain. Namun, kesimpulan demikian berbeda dengan kesimpulan yang terkenal dari kaum Paripatetik yang berpendapat bahwa modus wujūd korelatif dan merdeka itu tidak dapat berkumpul pada sesuatu yang satu. Kritik Mullā Sadrā atas pendapat Paripatetik tersebut, bahwa pendapat demikian tidak didasarkan pada argumentasi kecuali jika yang dimaksud pada saat dan dimensi yang bersamaan.

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 114

Prinsip Ketujuh, kuiditas raga dan personalitasnya adalah karena jiwanya bukan karena raga fisiknya, Zaid misalnya, merupakan Zaid karena jiwanya bukan karena fisiknya. Untuk itu, raga seseorang itu bertahan sejauh bertahannya jiwa: sekalipun bagian-bagian fisiknya, atau berubah pula kebiasaannya baik menyangkut posisional, kuantitatif, kualitatif, dan kapannya, seperti yang terjadi pada sepanjang umurnya. Demikian juga analoginya, jika forma alamiahnya berubah menjadi formal imajinal, seperti terjadi di alam mimpi, alam kubur, alam barzakh hingga hari kebangkitan manusia tersebut, Identitas diri manusia tersebut dengan beragam perubahan dan transformasi tetap saja satu, yaitu dirinya sendiri. Hal itu terjadi karena gerak kontinum yang unik dan gradatif (‘ala sabīl al-ittisāl al-wahdāniy al-tadrījī).

Pembicaraannya bukan pada substansi secara spesifik dan batas-batas substansi yang aktual pada gerakan trans-substansial akan tetapi pada sesuatu yang berlangsung dan tetap dan itu tidak lain adalah jiwa karena jiwa merupakan forma sempurna pada diri manusia dan jiwalah yang menjadi kuiditas dan zatnya yang sesungguhnya, sebagai korpus berkumpulnya zat dan hakikatnya, sumber bagi potensi dan alat-alatnya, dasar kemunculan sisi-sisi dan bagian-bagiannya serta penjaga baginya sepanjang alam fisik dan kemudian merubahnya secara gradatif menjadi bagian-bagian ruhani dan demikian seterusnya hingga menjadi akal yang sederhana Sederhana yang dimaksud adalah tidak adanya komposisi unsur-unsur

Kholid Al Walid

115 Peta Filsafat Islam

yang menjadi penunjang terbentuknya dirinya, karena puncak ruhani adalah hilangnya seluruh batasan.

Jika sampai pada kesempurnaan alam akal dengan ketetapan takdir dan tarikan Ilahiah jika tidak maka pada batas dimana terjadinya keterputusan pada dirinya karena sebab-sebab keterputusan yang terjadi padanya karena telah sampai pada tingkat kesempurnaan akhir dan hal ini membutuhkan penjelasan yang cukup panjang : jika kita bertanya tentang Zaid ketika anak-anak, muda dan tuanya maka jawaban yang akan muncul positif dan negatif karena didasarkan pada dua hal, pertama fisik dalam makna dirinya dan jiwanya merupakan persoalan yang telah dihasilkan (Muhassāl).

Kedua fisik dalam makna genusnya adalah persoalan yang tidak jelas : Fisik dalam makna yang pertama merupakan bagian dari diri Zaid dan bukan merupakan predikat baginya sedangkan pada makna fisik yang kedua merupakan predikat bagi Zaid dan bersatu bersamanya. Sedangkan jika ditanya pada Zaid muda apakah Zaid kanak-kanak adalah dirinya dan kelak akan menjadi tua maka jawabnya pastilah positif bahwa kesemuanya adalah dirinya, karena perubahan materi tidaklah merusak terhadap tetapnya komposisi secara keseluruhan karena materi diketahui tidak dalam modus spesifik dan penetapan akan tetapi dalam modus genus dan ketidakjelasan (Ibhām) sebagaimana penjelasan lalu.16

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 116

Tentang pembahasan kuiditas mutlak dan kuiditas yang terambil melalui pensyaratan transendensi (al-Ma’khūz bi syarti al-tajrīd) dan perbandingan perbedaan diantara keduanya adalah perbedaan di antara diferensial dengan forma dan antara aksidensi dengan aksiden serta pada setiap bentuk tersebut merupakan predikat atas sesuatu didasarkan yang pertama dan bukanlah predikat atasnya atas dasar yang kedua.

Prinsip kedelapan, Daya imajinatif merupakan substansi yang berdiri tidak pada korpus raga atau pada anggota raganya: ia juga tidak mewujūd pada orientasi alam fisik: ia transenden, terlepas dari alam ini dan berada di alam substansi, yaitu alam antara alam akal diferensial (al-mufraqāt al-aqliyyāh) dan alam fisik material (‘alam al-tab’iyyāt al-mādiyyāt).

Prinsip kesembilan, sesungguhnya forma-forma imajinatif itu, bahkan gambar-gambar intelek, bukanlah kondisi terletak pada korpus jiwa, juga bukan ditempat lain, melainkan terjadi melalui jiwa secara aktual pada subjek (bi al-fa’īl). Bukan secara pasif (Maqbūl) pada objek (bi al-qābil), demikian penglihatan menurut kita bukanlah seperti halnya pantulan bayangan cermin dan selainnya seperti pandangan para saintis tidak pula seperti cahaya pada pandangan matematikawan serta tidak pula tambahan pengetahuan yang berada dalam korpus jiwa yang kemudian muncul pada forma eksternal ketika terpenuhinya seluruh persyaratan yang

Kholid Al Walid

117 Peta Filsafat Islam

dibutuhkan sebagaimana yang diduga para Iluminasi (Isyraqiyyūn).

Bagi Mullā Sadrā seluruh pandangan ini keliru temasuk pandangan al-Fārābī yang dikemukakannya pada kitab al-Jam’ bayna al-ra’yayn. Mullā Sadrā mengembangkan argumentasi untuk membantah hal tersebut, bahwa menutunya selama jiwa itu melekat pada badan maka penglihatannya –bahkan pengindraannya—bersifat mutlak, bukan imajinasinya. Sebab, yang pertama (pengindraan) jiwa itu memerlukan materi eksternal dan syarat-syarat khusus, sedangkan pada yang kedua (imajinasi) jiwa tidak membutuhkannya. Sedangkan ketika jiwa telah terpisah dari raga maka tidak lagi tinggal perbedaan antara imajinasi dan pengindraan karena daya imajinasi sebagai khazanah indra telah menguat dan keluar dari kelemahan raga sehingga kelemahan dan keterbatasan raga telah menghilang. Kekeliruan-kekeliruan pandangan tersebut dikemukakan Mullā Sadrā ketika membicarakan teori Ittihad al-‘Aqil wa Al-Ma’qūl. 17

Bahkan menurut Mullā Sadrā daya-daya imajinatif itu selanjutnya menyatu dan kembali kepada sumber bersamanya, sehingga jiwa beraktivitas melalui daya imajinasinya seperti aktivitasnya dengan daya-daya lainnya. Karenanya apa yang disaksikan mata imajinatifnya adalah apa yang disaksikannya melalui mata indrawinya: kekuatan, pengetahuan dan syahwatnya menjadi satu. Oleh karena itu

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 118

kemampuan, pengetahuan, dan syahwatnya merupakan sesuatu yang satu.18

Pengetahuannya terhadap objek-objek yang menjadi kehendaknya adalah kekuasaanya itu sendiri dan penghadirannya padanya dapat dilakukan olehnya. Bahkan, menurut Mullā Sadrā apa yang ada di surga nantinya tidak lain adalah apa-apa yang dikehendaki jiwa (Syahwat al-nafs) dan berdasarkan keinginannya. Untuk hal ini Mullā Sadrā mengutip firman Allah SWT : “Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan ” : “Di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap dipandang mata.” 19

Prinsip kesepuluh, sesungguhnya forma-forma yang memiliki ukuran, bentuk dan gerak kosmik, sebagaimana yang terhasilkan oleh subjek melalui kesertaan materi yang bersifat reseptif sesuai dengan potensialitas-potensialitas yang dimilikinya, demikian juga dapat terhasilkan dari dimensi subjek dan daya inteleknya tanpa penyertaan materi. Yang termasuk dalam konteks seperti ini adalah planet-planet dan bintang-bintang dari dasar utama akal melalui jalan penciptaan hanya dengan membayangkan forma-forma (Tasawurāt).

Alasannya, karena sebelum fisik pertama (al-Ajsām awwaliyyāh) tidak ada materi-materi yang mendahuluinya. Dalam hal ini seperti forma-forma imajiner yang muncul dari jiwa melalui daya penggambaran (al-Musawirrah) dari materi-materi

Kholid Al Walid

119 Peta Filsafat Islam

atau bentuk-bentuk yang sangat besar melampaui planet-planet eksternal secara general demikian pula penggambaran sahara atau gurun yang sangat luas, gunung yang sangat tinggi, negeri, perkebunan, pepohonan yang belum pernah diciptakan sebelumnya, sesungguhnya hal yang seperti ini tidaklah bergantung pada materi otak dan tidak juga pada keadaan daya imajinasi sebagaimana sebagian berargumentasi dengannya, tidak pula pada alam imajinal general seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya akan tetapi pada korpus jiwa, alam dan wilayahnya yang berada diluar alam materi (‘Alam al-Hayyūlāni) ini.

Sebagaimana yang pernah disinggung sebelumnya bahwa forma-forma yang digambarkan oleh jiwa melalui daya penggambaran dan tersaksikan melalui penyaksian imajinasinya memiliki wujūd yang jelas bukan pada alam ini, jika tidak maka pastilah dapat disaksikan oleh setiap pemilik indra yang sehat. Jadi forma-forma tersebut berada pada alam yang lain yang tersembunyi dari alam ini dan tidak berbeda dengan apa yang disaksikan jiwa melalui daya indrawinya kecuali hanya ketiadaan konsistensinya dan kelemahan substansinya karena sibuknya jiwa.20

Pengaruh yang seringkali melingkupi kesadaran intelek manusia pada umumnya berasal dari aktivitas eksternal sekiranya pengaruh eksternal tersebut hilang kemudian terjadi upaya pengerahan daya hewani dan fisikal dalam aktivitas imajinasi sehingga

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 120

tergambarkan beragam forma fisik dalam rangkaian wujūd maka efeknya akan lebih kuat dibandingkan efek yang dihasilkan indra material sebagaimana yang dikisahkan para ahli karamah dan keajaiban diluar hal yang alami .

Jika keadaan jiwa dalam penggambaran sesuatu dalam bentuk yang seperti ini dan hal tersebut terjadi di dunia ini yang masih terikat dengan raga fisik maka dapat dibayangkan kemampuan daya imajinatif setelah terputus hubungan dengan dunia ini secara keseluruhan, disertai menguatnya seluruh daya dan aktivitasnya, maka seluruh jiwa manusia yang terpisah dari dunia dan termasuk dari kelompok yang selamat dari berbagai penyakit ruhaniah, keburukan akhlak dan karakter yang hina yang menghalangi dirinya untuk kembali pada sumber asalanya, maka dirinya akan berada pada alam yang khusus dengan segala apa yang diinginkannya dan diharapkannya, yang demikian masih berada pada tingkat yang rendah dari tingkatan-tingkatan kebahagiaan. Menurut Mullā Sadrā setiap yang berada pada tingkat ini mereka memiliki surga yang datarannya sebagaimana dataran langit-langit. Sedangkan kedudukan para Abrār dan Muqarrabīn berada jauh diatas tingkat dan kualitas ini hingga tak terbayangkan.

Prinsip Kesebelas, sesungguhnya jenis-jenis alam dan fase kehidupan (Nasy‘ah) dengan kuantitasnya yang tak terbatas dapat dibagi ke dalam tiga bagian : pertama, alam yang paling rendah yaitu alam forma

Kholid Al Walid

121 Peta Filsafat Islam

fisikal merupakan alam kehancuran. Ditengahnya berada alam forma intelek indrawi yang terlepas dari materi dan mengandung kemungkinan-kemungkinan dan potensi-potensi serta reseptif terhadap berbagai kontradiksi dan yang paling tinggi adalah alam forma rasional dan ideal-ilahiah. Jiwa manusia memiliki kekhususan dalam rangkaian keberadaan yaitu memiliki ketiga alam tersebut bersama kontinyuitas identitasnya

Seorang manusia dari awal masa kanak-kanaknya berada dalam alam material dan dia merupakan manusia fisik (Insan Basyari), kemudian mengalami perubahan dalam wujūd dengan semakin murni dan semakin halus secara gradual dalam transformasi substansinya hingga sampai dirinya pada tingkat akhir jiwa dan dia merupakan manusia ruhaniah ukhrawi (Insan Nafsāni Ukhrawi) sehingga memadai untuk bangkit dan muncul kembali dalam raga ruhani, ini adalah manusia kedua. Kemudian bertransorfmasi dari semesta ini secara gradual hingga sampai pada alam intelek atau alam akal dan masuk kategori manusia intelek (Insan ‘Akli) dan dia memiliki raga intelek dia merupakan bentuk manusia ketiga sebagaimana yang telah dijelaskan Mu‘ālim al-Falsafah al-Ilahiyyah dalam kitabnya Utsūlujiya. Yang dimaksud Mullā Sadrā Muallim al-Falsafah al-Ilahiyyah disini adalah Plotinus. Mullā Sadrā dalam kitabnya al-Asfar menyebutkan dua tokoh yang berbeda, pertama Muallim al-Falsafah, maka yang dimaksud adalah Aristoteles dan Mu‘allim al-Falsafah al-Ilahiyyah yaitu Plotinus. Sayangnya Sayyid

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 122

Radi yang memberikan catatan kaki pada kitab al-Asfar tidak menyadari hal ini.

Transformasi dan perubahan ini yang terjadi pada diri seseorang dalam perjalanannya menuju al-Haqq melalui tujuan yang jauh hanya terjadi pada diri manusia : sekalipun segala sesuatu berorientasi kepada keagungan Ilahiah akan tetapi yang melalui sirat al-Mustaqīm hingga berakhir pada batas akhir akhirat tidak akan terjadi kecuali pada manusia dari keseluruhan apa yang ada dalam alam semesta ini: kemudian menjadi kemestian bagi selainnya jika kita gambarkan perjalanannya menuju alam kesucian (Hadrat al-Qudsīyyāh) terjadi transformasi dari genusnya menjadi genus yang lain melalui kejadian dan kehancuran (Kawn wa al-Fasād).

Pertama yang dicapai adalah menjadi manusia kemudian darinya menuju alam kesucian dan melewati ketiga tingkat kehidupan tersebut secara sistemik untuk dapat kembali naik menuju Allah SWT. Menurut Mullā Sadrā, hal ini merupakan kebalikan dari perjalanan kepermulaan turun dari Allah SWT akan tetapi dalam dimensi yang lain: Rangkaian kepermulaan dimulai melalui fase tanpa waktu dan gerak dan rangkaian kembali adalah rangkaian yang melalui fase waktu dan gerak. Hal ini seperti yang telah digambarkan sebelumnya tentang kurva naik dan kurva turun. Bagi Mullā Sadrā bahwa ada alam yang mendahului kemunculan manusia dalam kebaharuan sebagai identitas materi dan argumen ini

Kholid Al Walid

123 Peta Filsafat Islam

menguatkan apa yang diungkapkan Plato bahwa “Jiwa manusia merupakan bentuk akal yang sudah ada sebelum kemunculan fisik yang baharu”.21

Mullā Sadrā setelah memberikan bukti argumentasi rasionalnya merujukkan pandangannya ini dengan prinsip nash “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka” Serta pernyataan para Imam yang mengindikasikan bahwa ruh para Nabi dan Kekasih Allah telah diciptakan terlebih dahulu sebagai tanah dari tempat yang tinggi (‘Illiyyīn) sebelum diciptakan langit dan bumi sekalipun fisik mereka diciptakan bukan dari tanah tersebut seperti halnya para pengikut mereka. Hati dan fisik para munafiq merupakan makhluk yang diciptakan dari tanah yang buruk (Sijjīn) demikian pula manusia telah ada pada alam sebelum alam (dunia) ini. 22

Bagi Mullā Sadrā setiap manusia memiliki fitrah yang selalu berorientasi kepada akhirat secara gradatif dan kembali pada tujuan yang diharapkannya dimulai dengan wujūd duniawi materinya menuju wujūd forma ukhrawi. Perbandingan antara dunia dengan akhirat adalah seperti perbandingan antara kekurangan dengan kesempurnaan seperti juga antara anak-anak dan dewasa. Dari sini wujūd ini membutuhkan perjalanan menuju liang lahat sebagai tempat dan proses pengembangan fisik hingga ketika ia sampai pada puncak substansinya keluarlah dari wujūd duniawi ini menuju wujūd ukhrawi dan bersiap-siap

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 124

untuk keluar dari alam ini menuju alam yang dijanjikan (Min hadza dar ila dar al-Qarār), Sebagai tempat akhir perjalanan kesempurnaan duniawi.

Sampai batas ini bahwa dari keberadaan jiwa dan keterlepasan forma substansial yang dikenal dengan Peniupan Forma (Nafakh al-Sūri), menyebabkan kematian fisik dan keluar dari bentuk kehidupan ini yang di dalamnya berkumpul mukmin dan kafir, Muwahid, Musyrik dan Atheis yaitu tidak ada keselarasan diantara kesempurnaan wujūd yang sama sekali tidak membutuhkan materi fisik dengan penderitaan dan penghukuman melalui neraka jahanam dan penanggungan azab yang pedih bahkan bahkan justru menguatkannya.

Hal ini terjadi menurut Mullā Sadrā karena kuatnya intensitas wujūd yang menyebabkan keluarnya jiwa dari lilitan dan pakaian materi dan hal itu akan menyebabkan persepsi maksimal bagi para pesakitan dan penderita karena beragam keburukan dan kejelekan ruhaniah yang dibiarkan bahkan dipelihara ketika kehidupannya di dunia sebagi efek dari kelemahan jiwa dan tertutupnya mata batin : Ketika tersingkapnya hijab munculah azab. Jiwa sebelum seluruh batasan-batasan fisik hancur tidak akan sampai ke sisi Allah dan tidak berhak atas maqam disisi Allah (Indiyyāh).

Menurut Mullā Sadrā kematian merupakan tingkat pertama dari tingkatan akhirat dan akhir dari tingkatan dunia, manusia setelah keluar dari dunia

Kholid Al Walid

125 Peta Filsafat Islam

akan terpenjara pada sebagian Barzakh yang merupakan antara di antara dua alam yaitu dunia dan akhirat dan berada di dalamnya dalam waktu yang panjang maupun sebentar, adakalanya naik secara cepat baik melalui cahaya ma’rifah, kekuatan ketaatan, tarikan ruhaniah atau melalui syafa’at oleh para pemberi syafa’at dan pemberi syafa’at yang utama adalah Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Mullā Sadrā dengan sebelas prinsip ini menegaskan bahwa kebangkitan akan terjadi dan manusia akan dibangkitkan kembali dengan jiwa dan raganya yang raga tersebut bukanlah sesuatu bentuk fisik eksternal akan tetapi terbentuk dan berasal dari jiwanya sendiri. Bagi Mullā Sadrā kekeliruan pemikiran tentang eskatologi yang dikemukakan para pemikir Islam sebelumnya terletak pada prinsip ini. Setiap daya pada intinya menuntut kesempurnaan dan manusia dengan seluruh daya yang dimilikinya haruslah melakukan usaha penyempurnaan tersebut. Penyempurnaan setiap daya tidak lain adalah upaya manusia untuk kembali pada asal sumber dirinya dan melalui gerakan trans-subtsansial telah terbuktikan bahwa apapun bentuk wujūd melakukan gerakan trans-substansial sebagai upaya penyempurnaan tersebut.

Sekiranya manusia mengarahkan dirinya untuk wujūd yang lebih tinggi dan berusaha melepaskan beragam ikatan materi pada dirinya maka hal tersebut

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 126

menghasilkan efek bagi jiwanya untuk naik pada kualitas yang lebih utama akan tetapi jika tidak, maka manusia tersebut akan turun bahkan pada tingkat yang paling buruk. Menurut Mullā Sadrā orang yang merenungkan dengan seksama sepuluh prinsip tidak akan memiliki keraguan dalam persoalan eskatologi dan kebangkitan jiwa dan raga. Dan Mullā Sadrā menyatakan bahwa raga dengan kediriannya akan dibangkitkan kembali pada hari kiamat melalui forma fisik, tersingkap baginya rahasia kebangkitan yang meliputi seluruh jiwa dan raga dengan kedirian dan identitasnya. Sebagian menyebutkan kekeliruan Mullā Sadrā tapi sebagian lainnya menyebutkan kesalahan dalam pencetakan naskah.

Mullā Sadrā menggambarkan bahwa sesungguhnya yang dibangkitkan pada hari kiamat tidak lain adalah raga dengan kediriannya dan bukanlah raga yang lain yang tersusun dari unsur yang berbeda sebagaimana pandangan pemikir muslim atau raga Imajinal sebagaimana yang diyakini oleh pengikut Ilmunasi. Bagi Mullā Sadrā, setiap daya dari daya-daya jiwa dan selainnya memiliki kesempurnaan khusus dan kenikmatan serta penderitaan yang berkaitan dengannya. Atas dasar tindakan atau perbuatan yang dilakukannya merupakan keharusan baginya mendapatkan ganjaran material dan balasan sebagaimana yang seringkali diungkapkan oleh para filosof (Hukamā’) dalam penetapan tujuan materi terhadap seluruh sumber dan potensi baik yang tinggi maupun rendah.

Kholid Al Walid

127 Peta Filsafat Islam

Mullā Sadrā menggambarkan bahwa sesungguhnya yang dibangkitkan pada hari kiamat tidak lain adalah raga dengan kediriannya dan bukanlah raga yang lain yang tersusun dari unsur yang berbeda sebagaimana pandangan pemikir muslim atau raga Imajinal sebagaimana yang diyakini oleh pengikut Ilmunasi. Bagi Mullā Sadrā, setiap daya dari daya-daya jiwa dan selainnya memiliki kesempurnaan khusus dan kenikmatan serta penderitaan yang berkaitan dengannya. Atas dasar tindakan atau perbuatan yang dilakukannya merupakan keharusan baginya mendapatkan ganjaran material dan balasan sebagaimana yang seringkali diungkapkan oleh para filosof (Hukamā’) dalam penetapan tujuan materi terhadap seluruh sumber dan potensi baik yang tinggi maupun rendah.

Aktualisasi hal ini memunculkan keyakinan terhadap keharusan kembalinya segala sesuatu (kepada-Nya) dan tidak akan ada kekeliruan pada tindakan-Nya. Menurut Mullā Sadrā Inilah yang diinginkan filsafat dalam pembuktian terhadap kebenaran janji-janji Allah dan seluruh bentuk ciptaan akan selalu berorientasi pada tujuan yang dituntutnya serta kebangkitan setiap segala sesuatu pada apa yang sesuai dengan diri dan jenisnya.23

Mullā Sadrā dalam hal ini secara khusus mengerahkan perhatiannya untuk membuktikan pandangan utamanya ini dan hal ini merupakan sebuah keunggulan Mullā Sadrā yang patut dipuji

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 128

dibandingkan para pemikir muslim sebelumnya. Dalam upayanya ini Mullā Sadrā mengerahkan hampir seluruh prinsip filsafatnya, terlihat keseriusan Mullā Sadrā untuk menyelesaikan persoalan utama eskatologi yang terjadi dalam diskursus pemikiran islam bahkan terkesan bahwa pemikiran filsafat Mullā Sadrā sepertinya ditujukan untuk menyelesaikan persoalan ini, mengingat mulai dari jilid delapan dan sembilan Mullā Sadrā telah mencurahkan kajian terhadap persoalan eskatologi.

Kholid Al Walid

129 Peta Filsafat Islam

Catatan:

1 Mercia Eliade, Encyclopedia of Religion (USA : MacMilan

Library Refrence) Vol. 11-12. hal. 265. 2 Kyosamsaki, Rozee, hal. 232. 3 Lihat : Mercia Eliade, Encyclopedia of Religion, hal. 265-

269. 4 “al-Madinah al-Fadilah” 5 Mullā Hadi Sabziwari, Asrar al-Hikām (Qom : Intisyarat

Bidor, 1374), hal. 291. 6 Mullā Sadrā, al-Asfār, j. 9 hal. 4 7 Qutbuddin al-Razi, Syarh Hikmah al-Isyrāq hal. 479. 8 Lihat : Kyosamsaki, Rozee, hal 241-242. 9 Lihat QS 2 : 259. 10 Syaikh Mufid dalam Ja’far Subhani, al-Ilahiyat (Qom :

Muasasa Nasr al-Islami, 1416) hal. 613. 11 QS 27: 83. 12 Ja’far Subhani, al-Ilahiyat . hal. 614. 13 Lihat: Mullā Sadrā, al-Asfar, j.9 hal 187-188. 14 Lihat: Ibn Sina, al-Syifa, al-Ilahiyat, J.I hal. 65, Lihat juga:

Mullā Sadrā, al-Asfar j.9 hal. 187-188 15 Mullā Sadrā, al-Asfar. j.9 hal. 187-188. 16 Penjelasan tentang ini ada pada al-Ahkam al-Māhiyah

pada al-Asfar J.IV hal. 229 17 Lihat, Mullā Sadrā, al-Asfar. J. III hal. 313 18 Mullā Sadrā, al-Asfar. J. III hal. 313 19 Lihat : Mullā Sadrā, al-Asfar. J.9 hal. 192. 20 Mullā Sadrā, al-Asfar, j.8 hal. 270. 21 Mullā Sadrā, al-Asfar, j.9 hal. 195. Teks aslinya sebagai

berikut : نسانية كونا عقليا قبل حدوت البدن"لإ"النفس ا

Reinkarnasi: Perjalanan Jiwa Pasca Kematian

Peta Filsafat Islam 130

22 QS 7 : 172. Yang dimaksudkan Mullā Sadra para Imam

disini tidak lain adalah 12 Imam Syi’ah. 23 Mullā Sadrā, al-Asfar, j.9 hal.197