ozaina

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rhinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secaraklinis, mukosa hidung menghasilkan secret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. 2 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menunjukan perbaikan, dilakukan operasi. Biasanya diagnosis rhinitis atrofi secara klinis tidak sulit. Biasanya secret berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia). 2,3 Menurut Boies frekuensi penderita rhinitis atrofi wanita:laki adalah 3:1.Penyakit ini lebih sering mengenai wanita usia 1-35 tahun terutama pada usia 1

description

ozaina

Transcript of ozaina

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rhinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secaraklinis, mukosa hidung menghasilkan secret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.2 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menunjukan perbaikan, dilakukan operasi. Biasanya diagnosis rhinitis atrofi secara klinis tidak sulit. Biasanya secret berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia).2,3Menurut Boies frekuensi penderita rhinitis atrofi wanita:laki adalah 3:1.Penyakit ini lebih sering mengenai wanita usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat social ekonomi rendah dan dilingkungan yang buruk dan dinegara sedang berkembang.2,3Rinitis atrofiatau ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah dari pada di AmerikaSerikat. Menurunnya insidens campak, scarletfever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.3,5

1110

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Hidung

Sadler dalam bukunya mengelompokkan perkembangan hidung pada mudigah bersamaan dengan perkembangan wajah.Pada akhir minggu ke4, mesenkim yang berasal dari Krista neuralis mulai membentuk tonjol-tonjol wajah yaitu (1)tonjolmaksila, yang terletak disebelah lateral stomodeum dan (2)tonjol mandibular pada kaudal stomodeum.Di tepi atas stomodeum, yaitu disebelah ventral vesikel otak terjadi proliferasi mesenkim yang membentuk prominensia frontonasalis, yang dikanan kirinya muncul plak odanasal (olfaktorius) yang merupakan penebalan-penebalan setempat yang berasal dari ectoderm permukaan dibawah pengaruh induksi bagian ventral otak depan.Selama minggu kelima, plakoda hidung tersebut mengalami invaginasi membentuk lubang hidung. Plakoda hidung membentuk suatu rigi jaringan yang masing-masing mengelilingi lubang dan membentuk tonjol hidung lateral dan tonjol hidung medial.Selama dua minggu selanjutnya, ukuran tonjol maksilla terus bertambah besar, dan tumbuh kearah medial sehingga mendesak tonjol hidung medial kearah garis tengah. Selanjutnya celah antara dua tonjol medial dan tonjol maksila tersebut menghilang, Awalnya tonjol maksila dan tonjol hidung terpisah oleh sebuah alur yang dalam yaitu alur nasolakrimal. Ektoderm dilantai alur ini membentuk sebuah tali epitel padat yang melepaskan diri dari ectoderm dibawahnya, Setelah terjadi kanalisasi, tali ini membentuk duktus nasolakrimalis, ujung atasnya melebar membentuk saccuslakrimalis. Setelah lepasnya tali tersebut, tonjol maksila dan tonjol hidung lateral menyatu. Duktus lakrimalis kemudian berjalan dari tepi medial mata menuju kemeatus inferior rongga hidung, tonjolan maksila kemudian membesar sampai membentuk pipi dan maksila.

Hidung terbentuk dari tonjol-tonjol wajah kelima; tonjol frontal membentuk jembatannya, gabungan tonjol-tonjol hidung medial membentuk lengkung cuping dan ujung hidung, dan tonjol lateral membentuksisi-sisinya (alae).

Gambar2.1 aspek frontal wajah pada perkembangan hidung1

2.2 Anatomi Hidung

A. Hidung Luar dan Hidung Dalam

Secara letak, anatomi hidung dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung luar dan hidung dalam. Dilihat dari arah depan, hidung merupakan organ berbentuk pyramida yang terletak pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, sedangkan didalam hidung terbagi menjadi dua oleh sekat hidung (septumnasi). Susunan hidung luar dari atas kebawah meliputi (1)pangkal hidung (bridge) (2) batang hidung atau dorsum, (3)puncak hidung (tip/apeks), (4) alanasi, (5) kolumela dan (6)lubang hidung (naresanterior). Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dan gkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum.Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari (1)tulang hidung (osnasal), (2)prosesus frontalis os maksila, (3)prosesus nasalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari (1)sepasang kartilago nasalis lateralis superior, (2)sepasang nasalis lateralis inferior (kartilagoalamayor), (3)tepi anterior kartilago septu

Gambar2.2 Hidung luar dan tulang pembentuk hidung3

Rongga hidung atau kavum nasi merupakan daerah yang dimulai dari os internum dibagian anterior sampai kekoana dibagian posterior. Pintu (lubang) masuk rongga hidung dibagian depan disebut nares anterior dan pintu keluar dibagian belakang disebut nares posterior (koana) yang merupakan penghubung rongga hidung dan nasofaring. Kavumnasi dibagi menjadi dua bagian oleh septumnasi dibagian tengahnya. Septumnasi struktur tulang dibagian tengah yang terdiri dari tulang dan tulangrawan. Bagian tulangnya meliputi (1)lamina perpendikularis os etmoid terletak disebelah atas, (2)vomer dan rostrum sfenoid dibagianposterior, (3)kristanasalis os maksila, (4)kristanasalis os palatine, kedua krista merupakan struktur bagian bawah. Bagian tulang rawan meliputi (1) kartilago septum (kuadran gularis) dibagian anterior dan (2)kolumela.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Dinding lateralnya terdiri dari empat buah konka, (1)konka inferior, paling besar dan letaknya paling bawah, (2)konka media, lebih kecil, letaknya tepat diatas konkainferior, (3)konkasuperior, ukurannya lebih kecil lagi dari konka media, letaknya diatas konka media (4)konka suprema merupakan yang terkecil, biasanya rudimenter, jarang ditemukan. Disela-sela konka, terdapat rongga udara sempit yang tidak teratur, yang disebut meatus. Penamaan meatus sesuai dengan konka yang ada diatasnya. Pada meatus inferior bagian anterior, terdapat duktus nasolakrimalis. Hiatus semilunaris pada meatus media merupakan muara sinus anterior (frontalis, maksilaris, dan etmoidalis anterior). Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoidales posterior, sedangkan sinus sfenoidales bermuara di resesus sfenoidalis.

Gambar2.3 lateral hidung tanpa konka3

2.3 Vakularisasi Hidung

Sistem perdarahan hidung bermula dari dua arteri utama yaitu (1)arteri maksilaris interna dan (2) arteri etmoidalis. Sistem drainase vena berawal dari pleksus kavernosus dibawah membran mukosa, lalu melalui vena oftalmika, vena fasialis anterior, dan vena sfenopalatina.Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Dianterior septum kartilaginosa, a.sfenopalatina, a.etmoidanterior,

a.l abialis superior, dan a.palatina mayor beranastomosis menjadi pleksus kiesselbach (littlearea) yang merupakan lokasi epistaksis tersering.

a. karotis internaa.oftalmika

a. etmoidalisanterior &posterior

sinus frontalis ,sinus etmoidalis, atap hidung

Gambar2.4 Skema perdarahan hidung

2.4 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infra troklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain member persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila. Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup ada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.

Gambar2.5 Persarafan Hidung4

2.5 Fisiologi Hidung

Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya. karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.Fungsi fisiologis hidung dan SPN adalah (1)fungsi respirasi: air conditioning, purifikasi udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, (2)fungsi penghidu, (3)fungsi fonasi,(4)fungsi statik dan mekanik, (5)reflek nasal.

Pada fungsi respirasi, vibrissae pada vestibulumnasi, silia serta palut lender membantu filtrasi udara pada inspirasi. Perlu diketahui bahwa anatomi hidung dalam yang ireguler menyebabkan arus balik udara inspirasi yang mengakibatkan penimbunan partikel dalam hidung dan nasofaring, akan tetapi benda asing tersebut akan diekspektorans atau diangkut melalui transportmukosiliar kelambung untuk disterilkan menggunakan asam lambung. Pada fungsi penyesuaian udara atau air conditioning udara yang masuk kehidung akan disesuaikan suhunya dengan suhu tubuh yaitu berkisar 370C oleh pembuluh darah yang ada dibawah epitel, permukaan konka dan septum yang luas ( turbulensi mengenai konka dan septum). Cabang nervus olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum berperan dalam fungsi penghidu hidung. Partikel bau dapat mencapai daerah nervus sensorius tersebut dengan cara difusi dengan palut lendir dan dengan cara menarik nafas dengan kuat. Hidung juga membantu dalam proses pengecapan untuk membedakan asal rasa manis, dan membedakan asam cuka atau asam jawa.Proses bicara merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan paru- paru sebagai sumber tenaga, laring sebagai generator suara, dan struktur kepala dan leher seperti bibir, lidah, gigi dll sebagai artikulator untuk mengubah suara dasar dari laring menjadi pembicaraan yang dapat dimengerti.dan resonansi hidung berperan pula dalam artikulasi, khususnya pada bunyi tertentu seperti m,n,ing.

2.6 Sistem Mukosiliar Hidung

Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucousblanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membran basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media, dan lapisan kelenjar profunda.

Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat dibelakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apekssel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitive yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mucus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi didaerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septumnasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi.

11Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel, bentuknya panjang dibungkus oleh membrane sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6m dengan diameter 0,3m. Struktur silia terbentuk dari dua mikro tubulus sentral tunggal yang dikelilingi Sembilan pasang mikro tubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap siliater tanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel.Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba kesalahsatu arah (activestroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recoverystroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1:3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.Gerak silia terjadi karena mikro tubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada dilengan dinein yang menghubungkan mikro tubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastic yang diduga neksin.Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2m dan diameternya 0,1m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membransel, yang menambah luas permukaan sel. Mikroviliaini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan kedalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik disbanding dengan sel epitel gepeng.

12

Palut lender merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisanya itu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sollayer) yang disebut lapisan perisiliar.Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Keduaa dalah lapisan superfisial yang lebih kental (gellayer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superficial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya.Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi didalam cairan ini. Lapisan superficial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada suhu dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan peri siliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura1994).

A. Membrana Basalis

Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membrane rangkap dibawah epitel. Dibawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin.

B. Lamina Propia

Lamina propria merupakan lapisan dibawah membran basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf.Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semubersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium masing- masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.

C. Transportasi MukosiliarTransportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir kearah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearan cemukosiliar.Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulinA (IgA), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya kearah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya kearah faring.Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mucus dalam hidung umumnya kebelakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis kedalam celah-celahini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda diberbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6segmen posterior, sekitar 1 hingga 20mm/menit.Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior didekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tubaeustachius akan dialirkan kearah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sphenoid akan bergabung diresesuss fenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.

2.7 Rinitis Atrofi

A. Definisi

Rhinitis atrofi merupakan penyakit kronik nonspesifik yang ditandai dengan mukosa dan konka yang atrofi, kelainan mukosa yang menyebabkan terbentuknya krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk. Rinitis atrofi memiliki banyak istilah lain seperti Rhinitis sika, Rhinitis kering, sindrom hidung terbuka dan ozaena. Gambar 2.6 Rhinitis Atrofi

B. Epidemiologi

Insidensi terjadinya rhinitis atrofi sudah berkurang pada abad terakhir, dicurigai akibat meningkatnya penggunaan antibiotik pada kasus infeksi kronis nasal. Selain menyerang manusia, rhinitis atrofi juga sering menyerang babi dan sapi.Prevalensi terjadinya Rhinitis atrofi primer tinggi pada daerah yang kering, jarang hujan seperti pada gurun-gurun diArab Saudi. Studi melaporkan bahwa Rinitis atrofi banyak ditemui dari pada orang asia, Hispanics dan afrika-amerika.Pada satu studi dilaporkan bahwa 69.6% penderita berasal dari rural area dan 43.5% merupakan pekerja pabrik. Rhinitis atrofi banyak menyerang orang dengan sosial ekonomi rendah, dan higienis yang buruk. Angka kejadian enam kali lebih sering pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.

Penyebab dari rhinitis atrofi primer masih belum jelas diketahui, tetapi infeksi bakteri kronik pada hidung dann asal sering dikatakan sebagai penyebab terjadinya Rhinitis alergi primer. Dari hasil pemeriksaan sediaan apus nasal, ditemukan Klebsiella Ozaenae (paling banyak), Coccobacillus of Perez, Coccobacillus of Loewenberg, Pseudomonas Aeruginosa, dll. Defisiensi FE,Defisiensi vitamin A,kelainan hormonal,penyakit kolagendan kelainan autoimun juga sering dikaitkan dengan terjadinya kasus Rinitis atrofi.Rhinitis atrofi sekunde rmerupakan Rhinitis atrofi yang terjadi setelah ada kondisi fisik yang terjadi sebelumnya, seperti trauma, infeksi, postoperation, dalam terapi radiasi dan lainnya.

C. Patologi Rhinitis Atrofi

Rhinitis atrofi mempunyai gejala yang khas yaitu dengan adanya perubahan atrofi pada seluruh bagian hidung, dr.Benhard fraenkel pada tahun1876 menyatakan adanya trias Rhinitis atrofi meliputi, bau, krusta, dan atrofi nasal.Histopatologi Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya perubahan epitel respirasi normal menjadi epitel kubus atau epitel gepeng skuamosa betingkat (metaplasia), dengan atau tanpa keratinisasi. Atrofi pada silia, mukosa dan kelenjar submukosa, dimana mukosa menjadi pucat, tampak lengket, terdapat sekret yang mongering membentuk krusta berwarna hijau kekuningan dan scabs. Bau yang tercium merupakan akibat dari terjadinya infeksi sekunder.Keluhanan osmia terjadi karena proses atrofi juga mengenai epitel olfaktorius, sel saraf bipolar dan serat saraf, ditambah dengan insufisiensinya udara untuk mencapai area olfaktorius karena adanya krusta yang menghalangi.Rhinitis atrofi dibagi menjadi dua jenis. Rhinitis Atrofi tipe satu, merupakan tipe yang sering terjadi, dimana ditemukannya endarteritisobliterans, periarteritis, dan fibrosis periarteria terminal arteriol akibat dari infeksi kronik dengan infiltrate eselplasma. Rhinitis atrofi tipe satu ini berespon baik terhadap efek vasodilator terapi estrogen. Rhinitis atrofi tipe dua,lebih jarang ditemui. Pada tipe ini, Sel endotel pada kapiler yang berdilatasi memiliki sitoplasma yang berlebih, dan menunjukkan adanya resorpsi tulang melalui ditemukannya alkalinefosfatase. Rhinitis atrofi tipe dua tidak berespon baik terhadap terapi estrogen.

D. Anamnesa

Keluhan yang paling sering dikeluhkan pasien adalah adanya perasaan hidung yang tersumbat dikarenakan adanya bluntingeffect, dan krusta yang besar yang mengahalangi aliran udara.Keluhan lain yang juga sering dikeluhkan pasien adalah bau busuk yang dikeluhkan orang sekitar, yang membuat pasien jadi memiliki masalah sosial, pasien sendiri tidak dapat mencium bau busuk tersebut ,karena pasien mengalami anosmia.Pusing, secret purulen, krusta kehijauan berbau busuk yang terlepas dan menyebabkan pendarahan hidung, dll.

E. Pemeriksaan Fisik

Pada 100% kasus ditemui(1)krusta, disusul dengan (2)kavum nasi yang lapang dan tidak ditemuinya konka inferior (atrofi) pada rhinoskopi anterior (62% parsial, 37%total, atrofi konka media pada 57% kasus, adanya (3)secret pada 52% kasus, dan (4)perforasi septum yang hanya ditemui pada 10% kasus.

F. Pemeriksaan PenunjangPada foto rontgen ditemukan (1) penebalan mukoperiostal pada SPN, (2) hipo plasia sinus maksilaris, (3) pembesaran kavum nasi dengan erosi dan bowing pada dinding lateral (4) resorpsi tulang dan atrofi mukosa konka inferior dan konka media. Posisi foto yang dapat digunakan posisi Waters AP, Caldwell dan Lateral.

Gambar 2.8 Gambaran radiologi7

G. Mikrobiologi

Ditemuinya kuman Klebsiella Ozaena, Pseudomonas Aeroginosa dan lainnya seperti yang tertera di etiologi pada hasil kultur bakteri.

H. Biopsi (Histopatologi)Mukosa NormalRinitis Atrofi

Epitel kolumnar bertingkat semuMetaplasia skuamosa

Terdapat kelenjar serosa dan kelenjarmukusAtrofi kelenjar mucus

Absensi silia

Endarteritisobliterans

Tabel 2.1 Perbandingan Biopsy Mukosa Normal Dan RhinitisAtrofi

I. Diagnosa

1. DiagnosaKerja

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis (trias rhinitis atrofi), pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Feserum, Mantouxtest, pemeriksaan histopatologi dan testserologi (VDRLtest dan Wassermantest) untuk menyingkirkan sifilis. Diagnosis Banding: Rhinitiskronik tbc, rhinitis skroniklepra, rhinitis kronik sifilis dan rhinitis sika.

2. Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari rhinitis atrofi adalah(1) Rhinitis kronik tbc(2) Rhinitis kronik lepra (3) Rhinitis kronik sifilis (4) Sinusitis.

J. Penatalaksanaan

Sesuai etiologi yang paling tersering yaitu klabsiella ozaena dapat diberikan yaitu :Obat tetes hidung dalam (setelah krusta diangkat) :-Glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa-Ostradiol dalam minyak Arachis 10.000 u/ml-Kemisetin antiozaena solution dan streptomisin 1g + NaCl 30ml 3x1 masing2 3 tetesVit APreparat FeAntibiotik gol kuinolon

1. KonservatifDiberikan antibiotic spectrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman. Terapi secara paliatif dapat dilakukan dengan melakukan irigasi atau cuci hidung untuk menghilangkan bau dan membersihkan krusta.Nasalirrigation & douches, dengan komposisi 28.4g sodium bicarbonate (disolusikrusta), 28.4g sodiumdiborate (antiseptik, bertindak sebagai bakterisidal dalam asam dan membantu untuk membuffer bicarbonate), 56.7 sodium chloride (untuk membua tlarutan menjadi isotonik). Satu sendok teh campuran diatas dicampur dengan 280ml air hangat-luke, dapat digunakan sebagai douches pada kavumnasi untuk membersihkan krusta menggunakan disposibe l10atau20cc. Dapat diulang3-4kali sehari. Saat prosedur berlangsung, pasien diminta untuk terus mengucapkan K,K,K untuk menutup nasofaringea listhmus, sehingga resiko aspirasi jadi semakin kecil.Larutan dihirup kedalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut. Berdasarkan studi di California, penggunaan hipertonik salinpulsasi nasal irigasi selama tiga sampai enam minggu menunjukkan perubahan yang signifikan pada gejala-gejala tersebut. Jika sukar mendapatkan larutan diatas dapat dilakukan juga dengan menggunakan 100cc air hangat, satu sendok makan betadine (15cc), atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air hangat .Dapat diberikan juga vitaminA 3X50.000unit dan preparat FE selama dua minggu.Tetes hidung glukosa-gliserin juga dapat diadministrasikan setelah melakukan douches. Glukosa diharapkan dapat menghambat infeksi saprofitik, dan bakteri proteolitik, serta meningkat kan pertumbuhan florakomensal. Gliserin disisilain membantu sebagai lubrikan dan agen higroskopik. Efek samping dari gliserin dapat menyebab kaniritasi. Pada Rhinitis Atrofi tipe satu dapat diberikan, estradiol dalam minyak arachis dalam bentuk obat tetes dan semprot (100.000 unit/ml).Perlu diperhatikan, penggunaan dekongestan merupakan kontraindikasi pada rhinitis atrofi karena dapat memperburuk keadaan.2. PembedahanPrinsip pembedahan pada rhinitis atrofi dibagi dalam empat kelompok besar:(1) Mengurangi ukuran dari kavumnasi, untuk mengurangi turbulensi udara dalam kavumnasi dan mencegah pengeringan mukosa serta produksi krusta.(2) Menginduksi regenerasi mukosa normal nasal dengan cara penyempitan rongga hidung sebagian atau total, dengan implantasi dan dilakukan selama dua tahun.(3) Meningkatkan lubrikasi pada mukosa nasal yang kering.(4) Improvisasi vaskularisasi pada kavum nasi.

Pembedahan dengan tujuan mengurangi ukuran dari kavumnasi pertamakali dilakukan oleh Lautenschlager, dengan cara menarik dinding lateral nasal kearah medial, atau dinding medial dari antrum maksilaris dengan metode Caldwell- Luc. Tindakan ini sering disebut jugarekalibrasifosanasalis. Menginduksi regenerasi mukosa nasal dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti MetodeYoung, disusul dengan Modifikasi Sinha, Modifikasi Gadre, Ghoshs vestibuloplasty,dan lainya saling berkaitan dengan metode young. Induksi lubrikasi pada kavumnasal yang kering dapat dilakukan dengan metode Wiitmack, dimana dilakukan implantasi duktus stensenke antrum maksilaris. Injeksi ganglion stellate dilakukan dengan tujuan adanya improvisasi vaskularisasik avumnasi.

K. Prognosis

Prognosis rhinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas penyakitnya, jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit didiagnosa pada tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi antimicrobial yang adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat mengembalikan fungsi hidung kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala klinis yang parah, tetap dicoba dengan terapi medikamentosa, dan jika tidak berhasil perlu dipikirkan untuk melakukan tindakan bedah.

BAB IIIKESIMPULAN

Rhinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka.Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu sepsis klebsiela, yang sering Klebsiela Ozaena, kemudian Stapfilokokus, dan Pseudomonas Aeruginosa, defisiensiFe, defisiensi vitaminA, sinusitis kronik, kelainan hormonal dan penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya nafas berbau (sementara pasien sendiri menderitaa nosmia), ingus kental hijau, krustahijau, gangguan penciuman, sakit kepala dan hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT ditentukan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi,secret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau.Terapi belum ada yang baku yang ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan gejala, hanya dapat dilakukan secara konservatif ataupun operatif saja20