Our Research Team Members Are Expert Psychiatric Nursing

13
Fitria (2009) yang menyatakan bahwa dalam membantu pasien mengenal halusinasi perawat mencoba menanyakan kepada pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar atau dilihatnya), kapan waktu timbulnya halusinasi,frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan pasien saat halusinasi rnuncul. al ini didukung oleh hasil penelitian !nggriawan (20"0) bahwa dalam membantu pasien mengenal halusinasi adalah menanyakan jenis halusinasi, kapan terjadinya dan menanyakan perasaan yang timbul pada saat halusinasi terjadi. Fitria (2009) yang menyatakan tindakan perawat dalam melatihpasien mengontrol halusinasi adalah pasien diajarkan cara menghardik halusinasi dalam upaya mengendalikan diri terhadap dengan cara menolak halusinasiyang timbul. #asien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya, menganjurkan pasien berinteraksi dengan orang lain, dan melakukan akti$itas terjadwal. al ini didukung oleh hasil penelitian !nggriawan (20"0) bahwa dalam membantu pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi, bercakap%cakap dengan orang dan melakukan akti$itas terjadwal Fitria (2009) mengatakan bahwa tindakan perawat dalam memilih pasien menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program, berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan perawat agar pasien patuhmenggunakan obat dalarn mengontrol halusinasi& jelaskan akibat putus obat, jelaskan efek samping dari obat, cara mendapatkan obat, cara menggunakan obat dengan prinsip ' benar. al ini sejalan dengan hasil penelitian !nggriawan (20"0) bahwa dalam melatih pasien menggunakan obat secara teratur yaitu dengan menjelaskan ' benar cara dalam memanfaatkan obat yaitu benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu dan benar dosis sehingga meminimalkan kemungkinan terjadihal yang tidak diinginkan. eiring dengan teori menurut asir (2009) dalam asir dan *uhith (20""), strategi pelaksanaan komunikasi berperan penting dalam asuhan keperawatan jiwa, dengan alasan komunikasi mampu mendukung stabilitas emosi pasien, karena dengan komunikasi pasien mampu berhumbungan dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan pasien juga butuh penguatan untuk

description

mm

Transcript of Our Research Team Members Are Expert Psychiatric Nursing

Fitria (2009) yang menyatakan bahwa dalam membantu pasien mengenal halusinasi perawat mencoba menanyakan kepada pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar atau dilihatnya), kapan waktu timbulnya halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan pasien saat halusinasi rnuncul.Hal ini didukung oleh hasil penelitian Anggriawan (2010) bahwa dalam membantu pasien mengenal halusinasi adalah menanyakan jenis halusinasi, kapan terjadinya dan menanyakan perasaan yang timbul pada saat halusinasi terjadi.Fitria (2009) yang menyatakan tindakan perawat dalam melatih pasien mengontrol halusinasi adalah pasien diajarkan cara menghardik halusinasi dalam upaya mengendalikan diri terhadap dengan cara menolak halusinasi yang timbul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya, menganjurkan pasien berinteraksi dengan orang lain, dan melakukan aktivitas terjadwal.Hal ini didukung oleh hasil penelitian Anggriawan (2010) bahwa dalam membantu pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang dan melakukan aktivitas terjadwalFitria (2009) mengatakan bahwa tindakan perawat dalam memilih pasien menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program, berikut ini tindakan keperawatan yang dilakukan perawat agar pasien patuh menggunakan obat dalarn mengontrol halusinasi: jelaskan akibat putus obat, jelaskan efek samping dari obat, cara mendapatkan obat, cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Anggriawan (2010) bahwa dalam melatih pasien menggunakan obat secara teratur yaitu dengan menjelaskan 5 benar cara dalam memanfaatkan obat yaitu benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu dan benar dosis sehingga meminimalkan kemungkinan terjadi hal yang tidak diinginkan.Seiring dengan teori menurut Nasir (2009) dalam Nasir dan Muhith (2011), strategi pelaksanaan komunikasi berperan penting dalam asuhan keperawatan jiwa, dengan alasan komunikasi mampu mendukung stabilitas emosi pasien, karena dengan komunikasi pasien mampu berhumbungan dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan pasien juga butuh penguatan untukMulya dkk, Pengaruh Terapi Individu Generalis

mempertahankan diri melalui komunikasi yang efektif. Menurut Purba (2009) Terapi ini ini juga dapat membentuk kepercayaan pasien dengan perawat, pasien menyadari bahwa yang dialamanyi tidak ada obyeknya dan harus diatasi, dan pasien mampu mengontrol halusinasinya.Menurut analisa peneliti terapi individu dengan pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi berpengaruh terhadap perubahan frekuensi halusinasi pada pasien halusinasi, yang terlihat terjadinya penurunan kejadian halusinasi pada pasien halusinasi di RSJ H.B Saanin Padang.Peneliti menyarankan bagi perawat RS Jiwa H.B Saanin diharapkan menerapkan terapi individu generalis dengan pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi sesuai dengan standar asuhan keperawatan (SAK) yang telah ditetapkan. Selain itu, perlu diadakan sosialisasi SAK agar semua perawat memiliki persamaan persepsi dalam memberikan tindakan keperawatan terhadap pasien.

disekitarnya dan juga lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995). Gangguan ini biasanya berdampak pada kemampuan kognitif dan psikomotor pasien. Terkait dengan tingginya prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi maka sangat dibutuhkan pemberian standar asuhan keperawatan yang tepat dan benar serta maksimal kepada masing-masing pasien gangguan persepsi: halusinasi untuk menghadapi masalahnya dan meminimalkan resiko yang terjadi (Purba, Eka, Mahnum, Hardiyah, 2009).Menurut Carpenito (1996) dikutip olehKeliat (2006), pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Asuhan keperawatan juga menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian menentukan masalah atau diagnosa, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah yang terjadi pada pasien perlu dikaji lebih lanjut tentang gangguan persepsi sensori: halusinasi pada pasien. Seperti, perawat perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadi ha lusinasi, menghi nd ari situa si yangmenyebabkan munculnya halusinasi. Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi (Yosep, 2009). Hal ini menunjukan bahwa pengaruh pelaksanaan standar Asuhan Keperawatan halusinasi akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan psikomotorik pasien dalam mengontrol halusinasinya.Adapun yang menjadi gambaran umum terhadap kemampuan kognitif pasien gangguan persepsi halusinasi adalah pasien mampu mengenali halusinasinya, sedangkan pada kemampuan psikomotor pasien yaitu pasien dapat mengontrol halusinasinya dan pasien dapat mengikuti program pengobatan secara optimal

Pengaruh Terapi Aktivitas Individu : Menghardik Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pendengaran. Penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun semakin mengalami peningkatan. Halusinasi pendengaran merupakan bentuk perilaku yang sering ditemukan dengan pasien gangguan jiwa. Terapi yang digunakan untuk mengontrol halusinasi pendengaran salah satunya adalah terapi aktivitas individu menghardik.Metode penelitian yang digunakan adalah pre eksperimental designs dengan pendekatan one group pre test post test. Tehnik pengambilan sampel adalah total sampling, yaitu sebanyak 7 pasien di ruang Nusa Indah dan Kakak Tua. Metode pengumpulan data menggunakan lembar observasi. Tehnik analisa data paired t test. Penelitian ini menggunakan tabel distribusi frekuensi dan deskriptif narasi didasarkan pada usia, jenis kelamin, lama dirawat dan pendidikan. Hasil penelitian diketahui bahwa setelah pasien diberikan terapi aktivitas individu: menghardik semua responden 100% mampu mengontrol halusinasi pendengaran. Dan Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis statistik adalah thit (2.542) t(5)(0,05) (2,447), artinya ada pengaruh terapi aktivitas individu menghardik terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran. Kesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh terapi aktivitas individu menghardik terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran. Dan diharapkan bagi petugas kesehatan untuk melakukan terapi secara efektif. Nur Halimatus Sadiyah, Anik Yuliati, Eddi Sudjarwo. https://qjournal.id/jurnal/paper/0002300035/Pengaruh-Terapi-Aktivitas-Individu-Menghardik-Terhadap-Kemampuan-Mengontrol-Halusinasi-Pendengaran. 2013

Pengaruh Terapi Aktivitas Individu : Menghardik Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi PendengaranA. Latar Belakang MasalahGangguan kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat dan sosial di Indonesia dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, hal ini dapat mempengaruhi perkembangan seseorang baik fisik, internal dan emosional untuk tercapainya kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan masyarakat (Sulistyowati, 2007). Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Gangguan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari, 2009).Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO menyatakan tahun 2009, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia yang mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami gangguan jiwa. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan jiwa, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Daerah Asia Tenggara, hampir 1/3 dari penduduk tahun 2011, pernah mengalami gangguan neuropsikiatri dengan tanda-tanda halusinasi dan perilaku kekerasan, sedangkan di Indonesia dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2011, diperkirakan sebanyak 264 jiwa dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan jiwa (Depkes RI, 2011). Suryani (2010) masyarakat Bali mengalami gangguan jiwa setiap tahunnya cenderung bertambah rata-rata 100-150 orang, dengan rata-rata penderita gangguan jiwa sekitar 11.675 orang. Berdasarkan data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali selama tiga bulan terakhir, dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2012, rata-rata jumlah pasien di ruang rawat inap sebanyak 266 orang, 92% (245 orang) diantaranya skizofrenia dan dari 245 orang tersebut, sebanyak 86 orang (35%) dengan halusinasi, 52 orang (21%) dengan menarik diri, sebanyak 38 orang (15%) dengan harga diri rendah dan masalah lainnya sebesar 29%.Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa ringan (neurosa) dan gangguan jiwa berat (psikosis). Psikosis sebagai salah satu bentuk gangguan jiwa merupakan ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau mengenali realitas yang menimbulkan kesukaran dalam kemampuan seseorang untuk berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk psikosis yang sering dijumpai adalah skizofrenia, dengan gejala yang sangat menonjol dan paling sering dijumpai berupa halusinasi (Kaplan dan Sadock, 2003). Pasien skizofrenia diperkirakan lebih dari 90% mengalami halusinasi, yaitu gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Maramis, 2008). Pasien skizofrenia diperkirakan lebih 70% mengalami halusinasi auditorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinasi pengecapan, taktil dan penciuman (Sulistyowati, 2007). Halusinasi yang terjadi pada pasien skizofrenia disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam menghadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol halusinasi. Adanya ancaman terhadap kebutuhan akan menyebabkan seseorang akan berusaha menanggulangi ancaman tersebut dengan mengadakan adaptasi. Kemampuan untuk menghadapi stressor pada pasien gangguan jiwa sangat kurang disertai ketidakmampuan untuk mengadakan adaptasi, maka akan mengakibatkan terjadinya kekambuhan (Maramis, 2008).Berdasarkan survey pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Nopember 2012 sebagian besar pasien halusinasi mengalami gangguan dalam berhubungan dengan orang lain. Menurut Keliat (2010) adanya gangguan dalam berhubungan dengan orang lain akan mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi kepada orang lain. Pasien bila ada masalah cenderung akan memendamnya sendiri dan berusaha mencari solusi pemecahan dengan caranya sendiri, karena berperilaku menarik diri mereka biasanya akan mulai dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya, apabila hal ini terus menerus berlangsung maka pasien akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan stimulus yang dialami.Dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan, pasien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Pasien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap lingkungan (Hawari, 2009). Dalam situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Aktifitas fisik merefleksi isi halusinasi seperti ; perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang (Videbeck, 2008).Penatalaksanaan pasien dengan perilaku halusinasi di RSJ Provinsi Bali selama ini lebih menekankan pada medikasi antipsikotik berupa pemberian obat-obat psikofarmaka dalam perbaikan klinis. Menurut Maramis (2008), medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia dengan gejala penyertanya. Penelitian Maramis (2008) menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis, seperti psikoterapi suportif individual atau kelompok. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan halusinasi diantaranya dengan membantu pasien mengenali halusinasinya, melatih pasien mengontrol halusinasinya, dengan cara: menghardik halusinasi, melatih bercakap-cakap dengan orang lain, melatih pasien beraktivitas secara terjadwal, dan melatih pasien menggunakan obat secara teratur (Keliat, 2010). Tindakan pengobatan (medis) yang dapat dilakukan kepada pasien dengan halusinasi yaitu pengobatan psikofarmaka dan terapi kejang listrik (Maramis, 2008). Salah satu terapi keperawatan jiwa yang dapat mendukung psikoterapi suportif pada pasien gangguan jiwa adalah Terapi Aktivitas Kelompok (TAK). TAK untuk mengatasi halusinasi adalah TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi. TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi adalah suatu bentuk terapi yang mengajarkan dan mempraktikkan kepada individu atau pasien dengan perilaku halusinasi agar mampu mengontrol halusinasinya. TAK stimulasi persepsi halusinasi, terdiri dari 5 sesi, yaitu sesi 1: mengenal halusinasi, sesi 2: mengontrol halusinasi dengan menghardik, sesi 3: mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, sesi 4: mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, dan sesi 5: mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat (Keliat dan Akemat, 2005).Penelitian yang dilakukan Puter (2012), dengan judul penelitian pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi ihalusinasi terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi di Ruang Nakula dan Sahadewa RSJ Provinsi Bali, didapatkan hasil penelitian bahwa ada perbedaan kemampuan pasien mengontrol halusinasi setelah TAK stimulasi persepsi halusinasi pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (p=0,007).Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya, sedangkan mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, dengan membimbing pasien membuat jadwal yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang yang sering kali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami halusinasi bisa dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu (Keliat, 2010).

Dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya. Dimana pasien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya. Dalam situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan, dibutuhkan penanganan halusinasi yang tepat (Hawari 2009, dikutip dari Chaery 2009).

Pada Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi klien diajarkan untuk mengenal halusinasi sebagai sesuatu yang tidak nyata dan mengajarkan cara memutus halusinasi. Cara yang digunakan yaitu: 1) mengenal halusinasi, karena bagi klien halusinasi merupakan hal yang nyata dan dapat dirasakan kehadirannya, tapi dalam hal ini klien harus bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata dengan cara mengorientasikan klien pada realita dengan cara mengetahui dan mengungkapkan: isi halusinasi, waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi, perasaan saat terjadinya halusinasi. Dengan mengenal halusinasi maka kecemasan klien dapat berkurang dan klien dapat membedakan realita dan non realita; 2) memutus halusinasi dengan menghardik. Metode menghardik halusinasi dapat mengajarkan kepada klien untuk bisa mengatakan tidak pada semua perintah halusinasi sehingga klien lebih berani untuk mengabaikan halusinasi yang selama ini mengontrol perilaku klien; 3) memutus halusinasi dengan melakukan kegiatan. Dengan melakukan kegiatan diharapkan klien tidak menyendiri, sehingga halusinasi yang muncul dapat diabaikan

Berdasarkan Tabel 5, analisis statistik deskriptif tersebut diatas, sebelum dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi, diperoleh kemampuan mengontrol halusinasi klien yang kurang adalah 2 orang, cukup sebanyak 31 orang dan baik sebanyak 1 orang, sedangkan sesudah dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi, diperoleh kemampuan mengontrol halusinasi klien yang kurang adalah 1 orang, cukup sebanyak 13 orang dan baik sebanyak 20 orang, perubahan kemampuan mengontrol halusinasi antara sebelum perlakuan dan setelah perlakuan dikarenakan pasien mampu dalam melakukan TAK stimulasi persepsi dengan baik dan mampu mengontrol halusinasi, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan mengontrol halusinasi sesudah dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi

Masih banyaknya pelaksanaan komunikasi terapeutik yang kurang baik kemungkinan karena tingginya volume kerja perawat di ruang rawat inap kelas 3 yang masih ada ketidakseimbangan antara jumlah pasien dan tindakan yang harus diberikan dengan jumlah tenaga perawat yang belum banyak.Pasien dengan halusinasi padaawalnya menunjukkan sikap apatis,menarik diri, mengisolasi diri dan tidakmau berkomunikasi (Keliat & Akemat,2005).

aktivitas mengenal halusinasi, aktivitas mengusir/menghardik halusinasi, aktivitas mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, aktivitas mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, aktivitas mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. Dengan aktivitas yang telah dilakukan tersebut sehingga klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya, serta klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat, klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami sehingga bila klien mampu mengontrol maka frekuensi halusinasinya akan menurun (Keliat,2005).

Peningkatan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi yaitu sebagian klien mampu mengidentifikasi pikiran negatif yang muncul, klien sudah mampu menggunakan tanggapan yang rasional, klien mampu memodifikasi pikiran yang negatif menjadi positif. Peningkatan kemampuan dalam mengontrol halusinasi yang muncul kemampuan dalam mengontrol halusinasi (menghardik, bercakap-cakap, melakukan kegiatan dan minum obat) dan mampu mengidentifikasi pikiran dan perilaku otomatis yang negatif, mampu menggunakan tanggapan yang rasional terhadap pikiran yang negatif, mampu memodifikasi perilaku negatif menjadi positif dengan memberikan token dan mampu menjelaskan pentingnypsikofarma sebesar 100%.Pada pemberian terapi perilaku kognitif memberikan peningkatan kemampuan klien dan respon terhadap stressor pada aspek kognitif, afektif, fisiologis dan sosial. bahwa banyak klien yang merasa yakin akan kesembuhan klien yaitu sebanyak 17 klien (85%). Keyakinan dan gambaran positif seseorang dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stressor. Keyakinan harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik. Kondisi ini klien dengan halusinasi perlu mendapatkan terapi yang lebih advance yaitu terapi perilaku kognitif (Stuart, 2009). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar menunjukkan dukungan sosial dan keyakinan yang positif akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan klien.