Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari...

24
PENGANTAR STUDI HADITS Oleh; M. Nawawi Dari berbagai definisi tentang hadits Nabi saw, dapat disimpulkan bahwa hadits Nabi / hadits Rasul adalah penuturan (periwayatan verbal ) sahabat tentang Rasulullah, baik mengenai perkataan, perbuatan, atau taqrirnya, bahkan juga tentang sifat-sifatnya. Jika kata-kata yang digunakan para sahabat itu merupakan redaksi yang digunakan Nabi, maka dinamakan penuturan dengan makna (riwayat bi al-lafdzi). Apabila yang dituturkan itu merupakan kata-kata (misalnya pidato) Nabi, maka boleh jadi penuturan itu persis kata-kata Nabi, Akan tetapi bisa juga penuturan sahabat itu menggunakan redaksi atau kalimat sahabat sendiri. Penuturan dengan cara yang terahir ini dinamakan riwayat bi al-makna (meskipun yang dituturkan sahabat itu bersumber dari qawlun Nabi). Selanjutnya jika penuturan sahabat tentang perbuatan, taqrir, kebiasaan dan sifat-sifat Nabi, maka tentu periwayatan ini merupakana riwayat bi al-makna., karena para sahabat menceritakan hasil penyaksian /pandangan mata tentang sikap dan perbuatan Rasulullah.

Transcript of Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari...

Page 1: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

PENGANTAR STUDI HADITS

Oleh; M. Nawawi

Dari berbagai definisi tentang hadits Nabi saw, dapat disimpulkan bahwa hadits

Nabi / hadits Rasul adalah penuturan (periwayatan verbal ) sahabat tentang Rasulullah,

baik mengenai perkataan, perbuatan, atau taqrirnya, bahkan juga tentang sifat-sifatnya.

Jika kata-kata yang digunakan para sahabat itu merupakan redaksi yang

digunakan Nabi, maka dinamakan penuturan dengan makna (riwayat bi al-lafdzi).

Apabila yang dituturkan itu merupakan kata-kata (misalnya pidato) Nabi, maka boleh

jadi penuturan itu persis kata-kata Nabi, Akan tetapi bisa juga penuturan sahabat itu

menggunakan redaksi atau kalimat sahabat sendiri. Penuturan dengan cara yang terahir

ini dinamakan riwayat bi al-makna (meskipun yang dituturkan sahabat itu bersumber dari

qawlun Nabi).

Selanjutnya jika penuturan sahabat tentang perbuatan, taqrir, kebiasaan dan sifat-

sifat Nabi, maka tentu periwayatan ini merupakana riwayat bi al-makna., karena para

sahabat menceritakan hasil penyaksian /pandangan mata tentang sikap dan perbuatan

Rasulullah.

Secara umum istilah hadits nabi dengan istilah sunnah Nabi itu identik, tetapi

untuk kepentingan fiqih, sebagian ulama ada yang membedakan. Sebagian ulama

membedakan antara sunnah Rasul dan hadits Rasul. Sunnah adalah perbuatan/Sikap Nabi

yang memiliki nilai hukum, atau dalam ungkapan lain sunnah adalah prbuatan/sikap Nabi

yang dapat digunakan sebagai dalil hukum (termasuk yang tidak dituturkan secara

verbal). Sedangkan hadits merupakan keseluruhan periwayatan (verbal) tetang Nabi

(Rasul), baik yang bernilai hukum maupun tidak.

Perbedaan ini menurut mereka memiliki arti sangat penting , karena sunnah Nabi

(terutama yang bersumber dari perbuatan dan sikap Nabi) , disamping ada yang

Page 2: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

diriwayatakan dengan kata-kata, ada juga yang diriwatkan dengan perbuatan sahabat.

Maksudnya sahabat Nabi di Madinah mengamalkan langsung perbuatan/sikap Rasul,

kemudian dilanjutkan para tabi’in, tanpa ada penjelasan verbal bahwa amal itu

sumbernya dari Nabi.

Periwayatan dengan perbuatan (tanpa ada penjelsan kata-kata) pada masa sahabat

dan tabi’in merupakan sesuatu yang sangat mungkin, sebab jarak antara Nabi dengan

generasi sahabat dan tabi’in masih sangat dekat. Sebagai sahabat, mereka sangat

memahami pribadi Rasul, mereka telah melakukan penyerapan nilai-nilai dan kebijakan

yang telah dilakukan Nabi. Oleh karena itu maka prilaku sahabat dapat dinyatakan

sebagai cerminan sunnah Nabi. Akan tetapi lama kelamaan sesudah berselang dua

generasi , periwayatan melalui perbuatan (tanpa riwayat verbal) ini

pertanggungjawabannya sulit dilakukan, karena dihawatirkan terjadia pergeseran

orisinalitas / keaslian sunnah . Oleh karena itu maka sejak generasi ketiga (tabi’-tabi’in)

terdapat ulama’ yang menetapkan bahwa setiap amal/tradisi yang dinyatakan sebagai

sunnah Nabi harus dudukung dengan periwayatan verbal (hadits). Praktik / amaliyah

yang tidak didukung penuturan verbal (hadits) , tidak dapat diterima sebagai sunnah

Rasul. (dan maksimal dianggap sebagai hasil ijtihat para sahabat atau tabi’in). Sejak saat

ini sunnah amaliyah selalu dikaitkan secara ketat dengan hadits, sehingga ahirnya

sunnah nabi menjadi identik dengan hadits Nabi.

Pembagian Hadits Qawli dan Fi’li

Sebagaimana diterangkan di atas bahwa hadits Nabi itu ada yang bersifat qawli

dan fi’li. Hadits qawli adalah penuturan tentang semua ucapan, seperti perintah, larangan

atau pidato Rasul dalam berbagai kesempatan, yang berhubungan dengan tasyri’

(legislasi). Misalnya :

أخبرنا قال الرزاق عبد أخبرنا قال الحنظلي إبراهيم بن إسحاق حدثنا

يقول هريرة أبا سمع أنه منبه بن همام عن الله معمر رسول قال

يتوضأ حتى أحدث من صالة تقبل ال وسلم عليه الله رجل صلى قال

Page 3: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

اخرجه – ضراط أو فساء قال هريرة أبا يا الحدث ما حضرموت من

البخاري

Surat-surat beliau , baik surat perjanjian (misalnya Piagam Madinah atau Hudaibiyah);

atau surat-surat yang beliau tulis untuk para gubernurnya di daerah dan surat-surat

lainnya, juga dianggap sebagai hadits qawli.

Sedang hadits fi’li adalah penuturan para sahabat tentang semua perbuatan

Rasulullah yang ada hubungannya dengan tasyri’, misalnya cara beliau shalat, cara

berwudhu’ dan sebagainya. Termasuk kategori hadits fi’li adalah isyarat beliau yang tidak

diikuti kata-kata. Demikian pula sikap keengganan beliau melakukan sesuatu.. Salah satu

contohnya :

عطاء عن أسلم بن زيد عن سفيان حدثنا قال يوسف بن محمد حدثنا

عباس ابن عن يسار مرة بن وسلم عليه الله صلى النبي توضأ قال

البخاري- مرة اخرجهبن فليح حدثنا قال محمد بن يونس حدثنا قال عيسى بن حسين حدثنا

تميم بن عباد عن حزم بن عمرو بن بكر أبي بن الله عبد عن سليمان

زيد بن الله عبد مرتين عن توضأ وسلم عليه الله صلى النبي أن

البخاري- مرتين الخرجه

Para ulama’ sepakat bahwa hadits qawli meiliki nilai penuh sebagai dalil, artinya

diamalkan sesuai dengan isi kandungan yang dimaksud.

Sedangkan mengenai hadits fi’li , oleh para ulama dibedakan menjadi du

kelompok. Pertama, hadits fi’li yang merupakan penjelasan ayat al-qur’an atau hadits

qawli.. Kedua , hadits fi’li yang bukan merupakan penjelasan terhadap ayat al-qur’an

atau hadits qawli., seperti cara beliau berjalan (agak membungkuk dan cepat), model

rambut beliau yang agak panjang, jenis baju dan tutup kepala yang dikenakan dll..

Page 4: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

Terhadap hadits fi’li kelompok pertama , pada prinsipnya para ulama sepakat

bahwa hukum perbuatan itu sesuai dengan isi kandungan al-qur’an atau hadits qawlinya.

Tetapi dalam praktik ternyata tetap terjadi perselisihan pendapat di kalangan sahabat dan

ulama, karena perbedaan penilaian atau karena perbuatan itu dilakukan secara berulang-

ulang dan ada perbedaan. Misalnya cara Nabi Shalat adalah merupakan penjelasan dari

hadits qawli :

أصل رأيتموني كما صلوا

Rasulullah shalat setiap hari berkali-kali melaksanakan shalat, baik fardlu maupun

sunnat, selama bertahun-tahun. Kadang-kadang beliau mengangkat tangan (ketika takbir)

sejajar dengan daun telinga, tetapi kadang pula mngangkat tangan sejajar dengan dada.

Sekali tempo Rasul membaca basmalah dengan memelankan bacaan basmalah, tetapi

kadang menjaherkan (mengeraskan) basmalah. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya

perbedaan pendapat di kalangan para ulama, praktik mana yang harus diikuti. Ada yang

berpendapat bahwa terjadi nasih mansukh, sehingga yang mansukh tidak boleh

dikerjakan lagi. Tetapi ada yang berpendapat bahwa semua contoh Nabi (dengan segala

perbedaan yang ada) boleh dikerjakan mana suka.

Dalam surat al-ma’idah : 6 telah dijelaskan mana saja anggota badan yang mesti

dibasuh dalam berwudlu’. Kemudian Rasulullah menjelaskan dengan tuntunan

kongkritnya melalui contoh perbuatan. Berhubung perbuatan wudlu yang dilakukan

Rasul ini terjadi berulang-ulang selama bertahun-tahun, dan ada perbedaan , maka

dikalangan para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Dalam surat al-maidah : 6 telah

disebut bahwa orang yang berwudlu harus mengusap kepalanya, Dalam hal ini Rasulullah

kadang mengusap seluruh kepala, tetapi sering pula hanya mengusap umbun-umbunnya.

Nah mana contoh Rasul yang lebih afdhal dijadikan penjelas al-qur’an.

Sedangkan untuk hadits fi’li kelompok kedua, di kalangan para ulama terjadi

perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang menganggapnya bernilai sunnat, ada

Page 5: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

yang menganggapnya bernilai mubah. Bahkan ada yang menganggapnya bernilai wajib,

sehingga mesti diikuti. Misalnya makan sepiring secara rame-rame, ada yang

menganggapnya sunnat dan ada pula yang menilai mubah.

Otoritas Hadits Nabi

Islam sebagai ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad saw adalah bersumber

kepada wahyu Allah, yang terbagi atas wahyu yang terbaca (matluw) dan wahyu yang tak

terbaca (ghairu matluw). Wahyu yang terbaca dituangkan dalam al-Qur’an al-Karim yang

bersifat universal. Oleh sebab itu maka pernyataan dan redaksinya banyak yang bersifat

garis besar, sebagai ketentuan dasar yang pokok dan berupa prinsip-perinsip. Itulah

sebabnya maka ajaran ini berlaku sepanjang masa sesuai dengan situasi dan kondisi

zaman yang dihadapi.

Sebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, bahasa dan redaksi yang

dipilihnya banyak yang bersifat mujmal. musykil, khafi, am, mutlaq, atau mitasyabih,

yang masih memerlukan pejelasan , rincian dan contoh pelaksanaan. Penjelasan lebih

rinci terhadap ajaran pokok yang tertuang dalam al-Qur’an ini yang paling otoritatif

adalah oleh Syari (Allah) sendiri melalui wahyu juga, baik yang terbaca atau tidak

terbaca (ghoiru matluw) , yang disampaikan oleh utusan Syari’ (Rasulullah).

Dalam Surat al-Ahzab ayat 21 ditegaskan bahwa kaum muslimin diperintah

menjadikan Rasul sebagai teladan. Al-Qur’an juga meminta Rasul agar memutuskan

persoalan kaum muslimun berdasar wahyu. Dengan demikian maka jelas bahwa otoritas

legislasi Islam adalah al-Qur’an. Akan tetapi meski demikian, al-Qur’an juga menyatakan

bahwa Rasul (Nabi) bertugas sebagai penafsir al-Qur’an, mengumumkan wahyu,

memberi pendidikan moral, mengajarkan al-Qur’an dan hukmah (kearifan). Bahkan lebih

dari itu, al-Quran menegaskan bahwa kepatuhan kepada Rasul merupakan suatu

kewajiban dan bukti keimanan. Atas dasar penjelasan al-Qur’an ini maka dapat

disimpulkan bahwa Rasul dengan petunjuk-petunjuknya, bukan hanya penting bagi kaum

muslimin, tetapi juga sangat berarti bagi al-Qur”an sendiri. Tanpa petunjuk Rasul, al-

Page 6: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

Quran hampir tidak dapat berbunyi dan tidak dapat dipraktikkan secara efektif. Itulah

sebabnya maka ketaatan kepada Rasul memiliki nilai sebanding dengan ketaatan kepada

Allah. Oleh karena itulah ummat islam sejak periode awwal, secara praktis telah sepakat

menerima dan mematuhi ajaran dan petunjuk Rasul.

Dari kenyataan sebagaimana diterangkan di atas, bahwa fungsi petunjuk Rasul

( yang secara verbal dituturkan melalui hadits Nabi) menentukan dan menjelaskan al-

Qur’an, maka berarti al-Qur’an lebih bergantung kepada petunjuk Rasul dari pada

sebaliknya. Maka atas dasar penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadits Nabi

( sebagai laporan verbal tentang penjelasan , petunjuk dan perilaku Nabi) secara

konseptual dan garis besar merupakan hujjah yang memiliki otoritas untuk digunakan

sebagai dalil dan pedoman hidup.

Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian ialah apakah semua hadits sebagai

penuturan sahabat tentang Nabi itu memiliki otoritas yang mengikat kaum muslimin,

padahal hadits Nabi itu ada yang berkaitan dengan gambaran fisik Nabi dan pada saat

yang sama Nabi itu memiliki kapasitas yang beragam,; misalnya sebagai suami, ayah ,

panglima perang, bahkan sebagai seorang manusia (basyar). Untuk menjawab

problimatika ini sebagian ulama mengklasifikasikan hadits menjadu dua bagian sebagai

berikut :

1. Hadits Tasyri yaitu hadits-hadits yang bersifat sebagai penetapan ajaran agama yang

wajib ditaati

2. Hadits irsyadi, yaitu hadits –hadits yang bersifat bukan sebagai penetapan ajaran

agama, boleh ditiru sebagai anjuran.

Dengan kata lain hadits tasyri’ adalah hadits-hadits yang bersumber dari

kerasulan Muhammad saw. sedang hadits irsyadi adalah hadits yang bersumber dari

basyariyah Muhammad. Sebagai gambaran konkrit adalah pendapat Rasul tentang

tawanan Badar, mengawinkan bunga kurma, model pakaian dan masalah pengetahuan

tehnik duniawi lainnya.

Page 7: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

Hubungan al-hadits Dengan al-Qur’an

Berbicara mengenai hubungan hadits dengan al-qur’an, paling tidak ada dua hal

yang mesti diperhatikan; yaitu fungsi hadits terhadap al-qur’an, dan Hadits sebagai

penafsir al-qur’an.

Fungsi hadits terhadap al-qur’an terbagi kedalam dua bidang; yaitu bidang fiqih

dan di luar fiqih. Untuk bidang fiqih hadits berfungsi :

1. konfirmatif / ta’kid. Fungsi yang pertama ini sifatnya hanya bersifat penegasan

kembali atas pelbagai ketentuan yang telah disinggung al-qur’an.

2. Tafsil, semacam petunjuk pelaksanaan dan tehnisnya. Dalam kaitannya dengan

fungsi ini hadits Nabi biasanya hadir sebagai pentafsil ketentuan yang mujmal,

mentakhsis ayat-ayat yang “am (termasuk mengcualikan beberapa ke umuman

ayat), mentaqyid (membatasi) ketentuan yang mutlak, dan sebagainya

3. Tasyri’, semacam ketentuan tambahan. Dalam hal ini hadits bisa menambah

hukum-hukum baru yang belum disebut dalam al-qur’an. Salah satu contohnya

antara lain mengenai jenis makanan (hewan) yang haram dikonsumsi. Dalam

surat al-Baqarah dan surat al-Ma’idah telah secara gamblang dinyatakan jenis

makanan yang diharamkan, tetapi dalam hadits Nabi ada ketentuan tambahan

beberapa jenis binatang. Misalnya binatang buas . Perhatikan ayat dan hadits

berikut:

به ه الل لغير Lهل أ وما الخنزير Lولحم Lوالدم Lالميتة LمL عليك مت حLر

Lم يت ذك ما إال LعL ب الس أكل وما Lطيحة والن LترديةLوالم LوذةLوالموق LنخنقةLوالم

صLب الن على ذLبح يئس وما اليوم فسق Lم ذلك باألزالم تستقسمLوا وأن

Lم لك Lأكملت اليوم واخشون تخشوهLم فال Lم دينك من وا Lكفر ذين ال

اضطLر فمن دينا اإلسالم LمL لك Lورضيت نعمتي Lم عليك Lوأتممت Lم دينك

) رحيم غفLور ه الل فإن إلثم مLتجانف غير مخمصة المائدة) 3في

Page 8: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

فمن ه الل لغير به Lهل أ وما الخنزير ولحم والدم الميتة LمL عليك م حر ما إن

) رحيم غفLور ه الل إن عليه إثم فال عاد وال باغ غير البقرة)173اضطLر

عن الحكم عن شعبة حدثنا أبي حدثنا العنبري معاذ بن الله عبيد حدثنا

عباس ابن عن مهران بن عليه ميمون الله صلى الله رسول نهى قال

الطير من مخلب ذي كل وعن السباع من ناب ذي كل عن و وسلمبهذا شعبة حدثنا حماد بن سهل حدثنا الشاعر بن حجاج حدثني

- مسلم رواه مثله اإلسناد

Jumhur ulama sepakat terhadap ketiga fungsi tersebut, namun dalam praktik

mereka berbeda pendapat. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. perbedaan dalam menetapkan apakah suatu ayat memang memerlukan penjelasan

atau tidak. Sebagian ulama berpendapat bahwa suatu ayat sudah cukup jelas, dan

karena itu tidak memerlukan penjelasan. Sedang ulama lain menganggap sutu

ayat tersebut masih belum jelas . karena itu memerlukan penjelasan, maka harus

dipadu dengan hadits. Salah satu contohnya adalah ayat dalam al-Baqarah dan dan

al-Maidah di atas. Menurut madzhab Maliki ayat di atas cukup jelas dan tidak

perlu di jelaskan lagi. Maka semua hewan selain yang disebut dalam ayat di atas

hukumnya halal. Ulama Syafi’I menganggap ayat di atas memang cukup jelas,

tetapi masih boleh ditambah. Oleh karena itu keterangan hadits Nabi yang

melarang mengkonsumsi binatang buas menjadi ketentuan tambahan yang harus

dipatuhi. Bagi Madzhab Maliki, ketentuan hadits tidak bisa mengalahkan al-

Qur’an, karena itu maka larangan Nabi maksimal hanyalah Makruh.

2. Perbedaan dalam menentukan hadits mana yang menjadi penjelas. Maksudnya

jika para ulama telah sepakat bahwa suatu ayat memerlukan penjelasan , maka

dalam menentukan hadits mana yang dijadikan penjelasan, belum tentu terjadi

Page 9: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

kesepakatan. Salah satu contohnya adalah tentang mengusap kepala ketika

berwudlu. Mereka sepakat bahwa ayat ini memerlukan penjelasan, tetapi

ternyata mereka berbeda pendapat. Sebagian menyatakan bahwa bagian kepala

yang harus diusap adalah keseluruhan, sedang lainnya hanya menetapkan

sebagain kepala saja. Keduanya sama-sama berdasar hadits Nabi.

3. Perbedaan dalam menilai kualitas suatu hadits (maqbul atai tidaknya), sehingga

ada hadits yang oleh sebagian ulama’ dinyatakan memenuhi syarat untuk

diamalkan, sedang menurut ulama lainnya dinyatakan belum memenuhi syarat,

karena itu, maka hadist tersebut diperselisihkan pengamalannya. Contohnya

antara lain adalah hadits tentang qunut subuh.

Sedangkan mengenai fungsi hadits diluar fiqih para ulama tidak memberikan

keterangan yang tegas dan jelas. Di dalam ilmu Kalam dikembangkan pendapat bahwa

nash hadits yang bisa dijadikan dalil aqidah adalah yang bersifat qothi al-wurud., karena

memiliki kekuatan mengikat. Dengan demikian hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai

dalil persoalan aqidah. Akan tetapi jika sekiranya digunakan, maka tidak disalahkan.

Demikian pula hadits yang berkaitan dengan pengetahuan tehnis (misalnya

tentang tehnonologi atau kedokteran), Hadist hadits tentang persoalan tehnis ini tidak

mengikat, sebab kondisi zaman Nabi dengan perkembangan kaum muslimin tidak

otomatis sama. . Namun begitu jika dicoba untuk digunakan (diamalkan) juga tidak

disalahkan.

Tentang fungsi hadits sebagai tafsir al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Para ulama cenderung melihat al-qur’an sebagai satu kesatuan, dan hadits sebagai

suatu kesatuan pula . Maksudnya ayat al-qur’an itu bisa ditafsiri oleh hadits mana

saja yang cocok, tanpa memperhatikan waktu turunnya.. Para ulama cenderung

merasa tidak penting memperhatikan dan menjelaskan apakah hadits yang

digunakan menafsirkan ayat itu diucapkan (dilakukan) nabi setelah turunnya ayat

bersangkutan atau sebelumnya.. Dengan kata lain para ulama tidak keberatan

Page 10: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

menggunakan hadits yang lebih awal dari turunnya ayat. Contohnya antara lain

tentang hukuman zina mukhson

2. Semua ulama sepakat bahwa keberadaan hadits (karena dzanni al-wurud) lebih

rendah dibawah al-qur’an (qath’I al-wurud). Sungguhmpun demikian sebagian

ulama dibawah kepeloporan Imam al-Syafi’I, berpendapat bahwa sunnah (hadita)

tidak boleh dinaskh oleh al-qur’an. Sekiranya sebuah sunnah Rasul dinaskh oleh

al-qur’an, maka (menurut al-Syafi’I ) harus ada sunnah baru yang berfungsi

menjelaskan ayat tersebut. Dengan demikian , maka sunnah baru inilah yang

menasakh sunnah yang lama. Contohnya adalah perpindahan qiblat dari masjid al-

Aqsha ke masjid al-Haram. Dengan alasan ini Imam al-Syafii menentang

penasekhan hadits-hadits tentang rajam dengan ayat والزاني Sekiranya . … الزانية

hukuman rajam dihapus tentu ada pratik atau penjelasan Rasul. Selama tidak

keterangan apapun dari Nabi, maka hadits tidak bisa dinasekh oleh al-qur’an.

Otentisitas Hadits Nabi

Sekiranya hadits Nabi telah tertulis secara sistematis pada zaman Nabi tentu

persoalannya tidak sekompleks yang kita rasakan. Sebenarnya tidak sedikit para sahabat

yang telah menulis hadits , namun sifatnya hanya untuk kepentingan pribadi. Periwayatan

hadits pada umumnya (saat itu) dilakukan melalui hafalan dan ingatan. Hal ini terjadi

karena beberapa faktor :

a. bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada masa

Utsman saja hanya terdiri dari empat copy. Untuk itu menulis hadits yang jumlahnya

sanghat banyak tentu mengalami banyak hambatan.

b. Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga dihawatirkan

terjadi percampuran dengan al-qur’an

c. Tradisi saat itu memngharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan,

Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan ) akan dinilai

kurang sempurna;

Page 11: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

d. Pendokumentasian al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding hadits

Pembukuan hadits secara resmi baru dilakukan pada abad II H. pada masa

pemerintahan Umar bin Abd Aziz (99-101 H) Namun penulisan secara sistematis dan

secara besatr-besaran baru terjadi pada abad III H. Di antara tokohnya adalah Imam

Bukhari ( 194 – 256 H) dan Imam Muslim ( w.261 H) Penilisan ini dianggap selesai pada

ahir abad IV H.

Oleh karena jarak antara masa Rasul dengan masa penulisan secara resmi dan

massal , relatif jauh , maka peran sanad (mata rantai perawi) yang menghubungkan

dengan para penulis hadits secara resmi (mukharrij), menempati posisi yang amat

penting. Karena itu harus menjadi perhatian serius. Dilihat dari sudut ilmu sejarah , sanad

dalam hal ini berfungsi sebagai sumber sejarah. Para sahabat Nabi sebagai perowi

pertama merupakan sumber primer, sedang para prerawi generasi berikutnya merupakan

sumber skunder. Keabsahan suatu hadits tergantung kepada validitas dan kebenaran

sumber tersebut. Oleh karena demikian pentingnya kedudukan sanad hadits , maka ia

disebut sebagai الدين Separuh lainnya terletak pada kebenaran. نصف matan hadits.

Kritik terhadap sanad disebut sebagai kritik eksternal, الخارجي sedang kritik النقد

matan disebut dengan istilah kritik internal. الداخلي Sebuah berita, khabar, atau . النقد

periwayatan yang dinyatakan sebagai hadits Nabi harus memiliki sanad, tanpa sanad

maka khabar itu tidak bisa disebut sebagai hadits Nabi.

Dari segi kuantitas sanad , hadits dibedakan menjadi mutawatir dan ahad (masyhur,

aziz dan gharib). Hadit mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan orang banyak mulai

pada thabaqat (generasi) pertama sampai pada para Mukharrij, sehingga bisa dijakini

bahwa periwayatan itu tidak mungkin bohong. Maka oleh karena kekuatan (kebenaran)

sumber (sanad) nya, hadits mutawatir disejajarkan dengan al-quran sebagai dalil yang

qath’I al-wurud. Dengan persyaratan sanad yang cukup ketat tersebut diyakini , bahwa

jumlah hadits mutawatir hanya sedikit.

Page 12: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

Sedang hadits ahad adalah hadits yang sebagian atau keselutuhan sanadnya belum

mencapai jumlah mutawatir. Karena itu masik mungkin mengandung kekliruan. Dan

keberadaannya dinamakan dzanni al-wurud. Artinya kuat dugaan berasal dari Rasul ,

namun tetap ada kemungkinan mengandung kekeliruan. Oleh karena itu penelitian

terhadap sanad dan rawi hadits menjadi amat penting.

Dari segi kualitas, kebenaran hadits mutawatir tidak perlu diragukan lagi.

Sedangkan hadits ahad dibedakan kedalam hadits shahih, hasan dan dha’if. Para ulama

berpendapat bahwa hadits sahih dan hasan bisa dijadikan dalil bidang hukum. Sedangkan

hadits yang dhaif, menurut sebagain ulama , masih bisa ditolerir penggunaannya

(hususnya di bidang keutamaan amal) dengan beberapa syarat: 1). Tidak terlalu lemah,

yakni tidak sampai pada tingkat mungkar atau maudlu’; 2) memiliki beberapa jalur sanad,

sehingga walaupun kesemuanya dhaif, dianggap saling memperkuat; 3) masalah yang

diatur oleh hadits tersebut bukan masalah pokok, tapi masalah perbuatan sunnat atau

makruh ( Fadlo’il al-a’mal).

Dalam kaitannya dengan keabsahan suatu hadits (yang berstatus ahad) perlu digaris

bawahi beberapa hal sebagai berikut :

1. Kaidah ketentuan kualitas hadits (shahih, hasan, dhaif) merupakan produk ijtihad para

ulama, dan pada masing masing ulama masih terdapat perbedaan, baik dalam

menentukan persyaratan pokok, maupun dalam menetapkan persyaratan tambahan.

Oleh karena itu dalam menetapkan penilaian terhadap kualitas perawi dan hadits,

belum bisa dihindari adanya perbedaan pendapat. Imam al-Syafii cenderung

menganggap sahih dan maqbul terhadap hadits ahad yang sanadnya sambung dan

perawinya orang baik. Tetapi Imam malik masih menambahkan syarat lagi bahwa isi

(matan) hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan amal (praktik) yang berlaku di

Madinah

2. Hadits Nabi telah diamalkan sejak Rasulullah masih hidup, kemudian diturunkan

kepada generasi berikutnya secara lisan dan terpencar-pencar. Artinya setelah Rasul

wafat, para sahabat berpencar keberbagai wilayah dan masing-masing menbawa

Page 13: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

hadits , kemudian hadits ini diturunkan kepada orang-orang diwilayah masing-masing

(beluim bisa disampaikan secara lintas wilayah).Oleh karena itu hadits yang populer

di suatu daerah, belum tentu populer di daerah lain.

Sementara itu usaha pembukuan secara sistematis dan massal serta kritis, baru

dilaksanakan pada abad ke III H.sampai abad IV H., padahal ijtihad yang dilakukan

para ulama sudah dimulai pada abad ke II H.(sebelum semua hadits selkesai

dibukukan) . Karena itu ada hadits yang sebenarnya populeh di suatu tempat , bisa

jadi luput dan tidak dipakai oleh ulama di kawasan lain. Maka dengan terbukukannya

hampir seluruh hadits Nabi, selayaknya antara pendapat para ulama’ madzhab

didialogkan dengan hadits hadits yang telah diteliti para Mukharrij.

Berdasar uraian di atas rasanya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa di depan kita

masih terbuka lapangan yang amat luas untuk melakukan kajian pengembangan

pemikiran di bidang hadits.

HADIST SHAHIH

Ulama’ hadits dari kalangan Mutaqaddimin (ulama’ hadits sampai abad III H),

sebenarnya belum mendefinisikan secara eksplisit (sharih) tentang hadits Shahih. Mereka

pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang keriteria hadist atau berita yang

dapat dipegangi. Imam al-Syafi’I misalnya telah menetapkan keriteria hadits yang dapat

dijadikan sebagai hujjah sebagai berikut :

1. diriwayatkan oleh oleh para perawi yang

a. Dapat dipercaya pengamalan agamanya ;

b. dikenal sebagai orang yang jujur;

c. memahami dengan baik hadist yang diriwayatkannya;

d. mengetahui perubahan makna hadits apabila terjadi perubahan lafadnya;

e. mampu menyampaikan hadits secara lafdzi. Artinya tidak meriwayatkan hadits

secara makna;

f. terpelihara hafalannya, bila ia mereriwayatkan secara hafalan, dan

terpeliharacatatannya bila ia meriwayatkan melalui kitabnya;

Page 14: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

g. apabila hadits yang diriwayatkan, juga diriwayatkan oleh orang lain, maka bunyi

hadits itu tidak berbeda;

h. terhindar dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis).

2. rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi,

Definisi hadits shahih baru dirumuskan secara eksplisit oleh para ulama’ hadits

Muta’akhirin (ulama hadist yang hidup sejak abad IV H). Sungguhpun demikian, pada

umumnya definisi yang dibuat tersebut tetap mengacu kepada keriteria yang telah

ditetapkan oleh ulama’ Mutaqaddimin. Salah satu contohnya adalah definisi yang

dirumuskan oleh Ibnu Shalah (wafat 643 H) sebagai berikut :

Yaitu hadist yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi) , diriwayatjkan

oleh perawi yang adil dan dlabit sampai akhir sanad, tidah terdapat kejanggalan

(syudzudz) dan tidak cacat (‘illat)

Para ulama’ pada umumnya sepakat dengan definisi ini, akan tetapi hal ini tidak

berarti telah terjadi ijma’. Ibnu Katsir misalnya berpendapat bahwa hadits shahih bukan

hanya yang sanadnya bersambung kepada Nabi saja , melainkan juga yang benrsambung

hanya sampai pada tingkat sahabat, atau lainnya. Sekalipun demukian Ibnu Katsir

mengakui bahwa pendapat yang diikuti pada umumnya adalah pendapat Ibnu Shalah.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pengertian hadits shahih

adalah :Hadits yang bersambung sanadnya , diriwayatkan oleh orang yang adil dan

dlabit, serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat.

Pengertian ini telah mencakup persyaratan kesahihan sanad dan matan sekaligus.

Keriteria yang mengharuskan persambungan sanad, dan seluruh perawinya harus adil

serta dlabit adalah keriteria kesahihan sanad. Sedangkan keriteria keterhindaran dari

syudzudz dan illat, selain untuk keriteria kesahihan sanad, juga sekaligus sebagai

keriteria kesahihan matan. Atas dasar keriteria ini maka para ulama’ hadits pada

umumnya menyatakan bahwa hadits yang sanadnya shahih belum tentu matannya juga

shahih. Demikian pula sebaliknya , matan yang shahih belum tentu sanadnya shahih.

Page 15: Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari sudut ilmu sejarah , ... Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits

Jadi kesahihan hadits tidak hanya ditentukan oleh kesahihan sanad saja, melainkan juga

ditentukan oleh kesahihan matan. Itulah sebabnya, maka dalam menguji kesahihan seatu

hadits diperlukan keritik sanad dan juga kritik matan.

Keriteria atau persyaratan kesahihan hadits sebagaimana tersebut oleh para ulama

dinyatakan juga sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsur di atas masih

memiliki persyaratan-persyaratan husus. Misalnya apa saja persyaratan atau kereteria

tentang adil, dlabit dll. Keriteria-keriteria khusus tersebut oleh para ulama dinamakan

sebagai kaidah minor.

Disusun Oleh:

M. Nawawi