Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari...
Transcript of Otoritas Hadits Nabi - Web viewSebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, ... Dilihat dari...
PENGANTAR STUDI HADITS
Oleh; M. Nawawi
Dari berbagai definisi tentang hadits Nabi saw, dapat disimpulkan bahwa hadits
Nabi / hadits Rasul adalah penuturan (periwayatan verbal ) sahabat tentang Rasulullah,
baik mengenai perkataan, perbuatan, atau taqrirnya, bahkan juga tentang sifat-sifatnya.
Jika kata-kata yang digunakan para sahabat itu merupakan redaksi yang
digunakan Nabi, maka dinamakan penuturan dengan makna (riwayat bi al-lafdzi).
Apabila yang dituturkan itu merupakan kata-kata (misalnya pidato) Nabi, maka boleh
jadi penuturan itu persis kata-kata Nabi, Akan tetapi bisa juga penuturan sahabat itu
menggunakan redaksi atau kalimat sahabat sendiri. Penuturan dengan cara yang terahir
ini dinamakan riwayat bi al-makna (meskipun yang dituturkan sahabat itu bersumber dari
qawlun Nabi).
Selanjutnya jika penuturan sahabat tentang perbuatan, taqrir, kebiasaan dan sifat-
sifat Nabi, maka tentu periwayatan ini merupakana riwayat bi al-makna., karena para
sahabat menceritakan hasil penyaksian /pandangan mata tentang sikap dan perbuatan
Rasulullah.
Secara umum istilah hadits nabi dengan istilah sunnah Nabi itu identik, tetapi
untuk kepentingan fiqih, sebagian ulama ada yang membedakan. Sebagian ulama
membedakan antara sunnah Rasul dan hadits Rasul. Sunnah adalah perbuatan/Sikap Nabi
yang memiliki nilai hukum, atau dalam ungkapan lain sunnah adalah prbuatan/sikap Nabi
yang dapat digunakan sebagai dalil hukum (termasuk yang tidak dituturkan secara
verbal). Sedangkan hadits merupakan keseluruhan periwayatan (verbal) tetang Nabi
(Rasul), baik yang bernilai hukum maupun tidak.
Perbedaan ini menurut mereka memiliki arti sangat penting , karena sunnah Nabi
(terutama yang bersumber dari perbuatan dan sikap Nabi) , disamping ada yang
diriwayatakan dengan kata-kata, ada juga yang diriwatkan dengan perbuatan sahabat.
Maksudnya sahabat Nabi di Madinah mengamalkan langsung perbuatan/sikap Rasul,
kemudian dilanjutkan para tabi’in, tanpa ada penjelasan verbal bahwa amal itu
sumbernya dari Nabi.
Periwayatan dengan perbuatan (tanpa ada penjelsan kata-kata) pada masa sahabat
dan tabi’in merupakan sesuatu yang sangat mungkin, sebab jarak antara Nabi dengan
generasi sahabat dan tabi’in masih sangat dekat. Sebagai sahabat, mereka sangat
memahami pribadi Rasul, mereka telah melakukan penyerapan nilai-nilai dan kebijakan
yang telah dilakukan Nabi. Oleh karena itu maka prilaku sahabat dapat dinyatakan
sebagai cerminan sunnah Nabi. Akan tetapi lama kelamaan sesudah berselang dua
generasi , periwayatan melalui perbuatan (tanpa riwayat verbal) ini
pertanggungjawabannya sulit dilakukan, karena dihawatirkan terjadia pergeseran
orisinalitas / keaslian sunnah . Oleh karena itu maka sejak generasi ketiga (tabi’-tabi’in)
terdapat ulama’ yang menetapkan bahwa setiap amal/tradisi yang dinyatakan sebagai
sunnah Nabi harus dudukung dengan periwayatan verbal (hadits). Praktik / amaliyah
yang tidak didukung penuturan verbal (hadits) , tidak dapat diterima sebagai sunnah
Rasul. (dan maksimal dianggap sebagai hasil ijtihat para sahabat atau tabi’in). Sejak saat
ini sunnah amaliyah selalu dikaitkan secara ketat dengan hadits, sehingga ahirnya
sunnah nabi menjadi identik dengan hadits Nabi.
Pembagian Hadits Qawli dan Fi’li
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa hadits Nabi itu ada yang bersifat qawli
dan fi’li. Hadits qawli adalah penuturan tentang semua ucapan, seperti perintah, larangan
atau pidato Rasul dalam berbagai kesempatan, yang berhubungan dengan tasyri’
(legislasi). Misalnya :
أخبرنا قال الرزاق عبد أخبرنا قال الحنظلي إبراهيم بن إسحاق حدثنا
يقول هريرة أبا سمع أنه منبه بن همام عن الله معمر رسول قال
يتوضأ حتى أحدث من صالة تقبل ال وسلم عليه الله رجل صلى قال
اخرجه – ضراط أو فساء قال هريرة أبا يا الحدث ما حضرموت من
البخاري
Surat-surat beliau , baik surat perjanjian (misalnya Piagam Madinah atau Hudaibiyah);
atau surat-surat yang beliau tulis untuk para gubernurnya di daerah dan surat-surat
lainnya, juga dianggap sebagai hadits qawli.
Sedang hadits fi’li adalah penuturan para sahabat tentang semua perbuatan
Rasulullah yang ada hubungannya dengan tasyri’, misalnya cara beliau shalat, cara
berwudhu’ dan sebagainya. Termasuk kategori hadits fi’li adalah isyarat beliau yang tidak
diikuti kata-kata. Demikian pula sikap keengganan beliau melakukan sesuatu.. Salah satu
contohnya :
عطاء عن أسلم بن زيد عن سفيان حدثنا قال يوسف بن محمد حدثنا
عباس ابن عن يسار مرة بن وسلم عليه الله صلى النبي توضأ قال
البخاري- مرة اخرجهبن فليح حدثنا قال محمد بن يونس حدثنا قال عيسى بن حسين حدثنا
تميم بن عباد عن حزم بن عمرو بن بكر أبي بن الله عبد عن سليمان
زيد بن الله عبد مرتين عن توضأ وسلم عليه الله صلى النبي أن
البخاري- مرتين الخرجه
Para ulama’ sepakat bahwa hadits qawli meiliki nilai penuh sebagai dalil, artinya
diamalkan sesuai dengan isi kandungan yang dimaksud.
Sedangkan mengenai hadits fi’li , oleh para ulama dibedakan menjadi du
kelompok. Pertama, hadits fi’li yang merupakan penjelasan ayat al-qur’an atau hadits
qawli.. Kedua , hadits fi’li yang bukan merupakan penjelasan terhadap ayat al-qur’an
atau hadits qawli., seperti cara beliau berjalan (agak membungkuk dan cepat), model
rambut beliau yang agak panjang, jenis baju dan tutup kepala yang dikenakan dll..
Terhadap hadits fi’li kelompok pertama , pada prinsipnya para ulama sepakat
bahwa hukum perbuatan itu sesuai dengan isi kandungan al-qur’an atau hadits qawlinya.
Tetapi dalam praktik ternyata tetap terjadi perselisihan pendapat di kalangan sahabat dan
ulama, karena perbedaan penilaian atau karena perbuatan itu dilakukan secara berulang-
ulang dan ada perbedaan. Misalnya cara Nabi Shalat adalah merupakan penjelasan dari
hadits qawli :
أصل رأيتموني كما صلوا
Rasulullah shalat setiap hari berkali-kali melaksanakan shalat, baik fardlu maupun
sunnat, selama bertahun-tahun. Kadang-kadang beliau mengangkat tangan (ketika takbir)
sejajar dengan daun telinga, tetapi kadang pula mngangkat tangan sejajar dengan dada.
Sekali tempo Rasul membaca basmalah dengan memelankan bacaan basmalah, tetapi
kadang menjaherkan (mengeraskan) basmalah. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya
perbedaan pendapat di kalangan para ulama, praktik mana yang harus diikuti. Ada yang
berpendapat bahwa terjadi nasih mansukh, sehingga yang mansukh tidak boleh
dikerjakan lagi. Tetapi ada yang berpendapat bahwa semua contoh Nabi (dengan segala
perbedaan yang ada) boleh dikerjakan mana suka.
Dalam surat al-ma’idah : 6 telah dijelaskan mana saja anggota badan yang mesti
dibasuh dalam berwudlu’. Kemudian Rasulullah menjelaskan dengan tuntunan
kongkritnya melalui contoh perbuatan. Berhubung perbuatan wudlu yang dilakukan
Rasul ini terjadi berulang-ulang selama bertahun-tahun, dan ada perbedaan , maka
dikalangan para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Dalam surat al-maidah : 6 telah
disebut bahwa orang yang berwudlu harus mengusap kepalanya, Dalam hal ini Rasulullah
kadang mengusap seluruh kepala, tetapi sering pula hanya mengusap umbun-umbunnya.
Nah mana contoh Rasul yang lebih afdhal dijadikan penjelas al-qur’an.
Sedangkan untuk hadits fi’li kelompok kedua, di kalangan para ulama terjadi
perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang menganggapnya bernilai sunnat, ada
yang menganggapnya bernilai mubah. Bahkan ada yang menganggapnya bernilai wajib,
sehingga mesti diikuti. Misalnya makan sepiring secara rame-rame, ada yang
menganggapnya sunnat dan ada pula yang menilai mubah.
Otoritas Hadits Nabi
Islam sebagai ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad saw adalah bersumber
kepada wahyu Allah, yang terbagi atas wahyu yang terbaca (matluw) dan wahyu yang tak
terbaca (ghairu matluw). Wahyu yang terbaca dituangkan dalam al-Qur’an al-Karim yang
bersifat universal. Oleh sebab itu maka pernyataan dan redaksinya banyak yang bersifat
garis besar, sebagai ketentuan dasar yang pokok dan berupa prinsip-perinsip. Itulah
sebabnya maka ajaran ini berlaku sepanjang masa sesuai dengan situasi dan kondisi
zaman yang dihadapi.
Sebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, bahasa dan redaksi yang
dipilihnya banyak yang bersifat mujmal. musykil, khafi, am, mutlaq, atau mitasyabih,
yang masih memerlukan pejelasan , rincian dan contoh pelaksanaan. Penjelasan lebih
rinci terhadap ajaran pokok yang tertuang dalam al-Qur’an ini yang paling otoritatif
adalah oleh Syari (Allah) sendiri melalui wahyu juga, baik yang terbaca atau tidak
terbaca (ghoiru matluw) , yang disampaikan oleh utusan Syari’ (Rasulullah).
Dalam Surat al-Ahzab ayat 21 ditegaskan bahwa kaum muslimin diperintah
menjadikan Rasul sebagai teladan. Al-Qur’an juga meminta Rasul agar memutuskan
persoalan kaum muslimun berdasar wahyu. Dengan demikian maka jelas bahwa otoritas
legislasi Islam adalah al-Qur’an. Akan tetapi meski demikian, al-Qur’an juga menyatakan
bahwa Rasul (Nabi) bertugas sebagai penafsir al-Qur’an, mengumumkan wahyu,
memberi pendidikan moral, mengajarkan al-Qur’an dan hukmah (kearifan). Bahkan lebih
dari itu, al-Quran menegaskan bahwa kepatuhan kepada Rasul merupakan suatu
kewajiban dan bukti keimanan. Atas dasar penjelasan al-Qur’an ini maka dapat
disimpulkan bahwa Rasul dengan petunjuk-petunjuknya, bukan hanya penting bagi kaum
muslimin, tetapi juga sangat berarti bagi al-Qur”an sendiri. Tanpa petunjuk Rasul, al-
Quran hampir tidak dapat berbunyi dan tidak dapat dipraktikkan secara efektif. Itulah
sebabnya maka ketaatan kepada Rasul memiliki nilai sebanding dengan ketaatan kepada
Allah. Oleh karena itulah ummat islam sejak periode awwal, secara praktis telah sepakat
menerima dan mematuhi ajaran dan petunjuk Rasul.
Dari kenyataan sebagaimana diterangkan di atas, bahwa fungsi petunjuk Rasul
( yang secara verbal dituturkan melalui hadits Nabi) menentukan dan menjelaskan al-
Qur’an, maka berarti al-Qur’an lebih bergantung kepada petunjuk Rasul dari pada
sebaliknya. Maka atas dasar penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadits Nabi
( sebagai laporan verbal tentang penjelasan , petunjuk dan perilaku Nabi) secara
konseptual dan garis besar merupakan hujjah yang memiliki otoritas untuk digunakan
sebagai dalil dan pedoman hidup.
Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian ialah apakah semua hadits sebagai
penuturan sahabat tentang Nabi itu memiliki otoritas yang mengikat kaum muslimin,
padahal hadits Nabi itu ada yang berkaitan dengan gambaran fisik Nabi dan pada saat
yang sama Nabi itu memiliki kapasitas yang beragam,; misalnya sebagai suami, ayah ,
panglima perang, bahkan sebagai seorang manusia (basyar). Untuk menjawab
problimatika ini sebagian ulama mengklasifikasikan hadits menjadu dua bagian sebagai
berikut :
1. Hadits Tasyri yaitu hadits-hadits yang bersifat sebagai penetapan ajaran agama yang
wajib ditaati
2. Hadits irsyadi, yaitu hadits –hadits yang bersifat bukan sebagai penetapan ajaran
agama, boleh ditiru sebagai anjuran.
Dengan kata lain hadits tasyri’ adalah hadits-hadits yang bersumber dari
kerasulan Muhammad saw. sedang hadits irsyadi adalah hadits yang bersumber dari
basyariyah Muhammad. Sebagai gambaran konkrit adalah pendapat Rasul tentang
tawanan Badar, mengawinkan bunga kurma, model pakaian dan masalah pengetahuan
tehnik duniawi lainnya.
Hubungan al-hadits Dengan al-Qur’an
Berbicara mengenai hubungan hadits dengan al-qur’an, paling tidak ada dua hal
yang mesti diperhatikan; yaitu fungsi hadits terhadap al-qur’an, dan Hadits sebagai
penafsir al-qur’an.
Fungsi hadits terhadap al-qur’an terbagi kedalam dua bidang; yaitu bidang fiqih
dan di luar fiqih. Untuk bidang fiqih hadits berfungsi :
1. konfirmatif / ta’kid. Fungsi yang pertama ini sifatnya hanya bersifat penegasan
kembali atas pelbagai ketentuan yang telah disinggung al-qur’an.
2. Tafsil, semacam petunjuk pelaksanaan dan tehnisnya. Dalam kaitannya dengan
fungsi ini hadits Nabi biasanya hadir sebagai pentafsil ketentuan yang mujmal,
mentakhsis ayat-ayat yang “am (termasuk mengcualikan beberapa ke umuman
ayat), mentaqyid (membatasi) ketentuan yang mutlak, dan sebagainya
3. Tasyri’, semacam ketentuan tambahan. Dalam hal ini hadits bisa menambah
hukum-hukum baru yang belum disebut dalam al-qur’an. Salah satu contohnya
antara lain mengenai jenis makanan (hewan) yang haram dikonsumsi. Dalam
surat al-Baqarah dan surat al-Ma’idah telah secara gamblang dinyatakan jenis
makanan yang diharamkan, tetapi dalam hadits Nabi ada ketentuan tambahan
beberapa jenis binatang. Misalnya binatang buas . Perhatikan ayat dan hadits
berikut:
به ه الل لغير Lهل أ وما الخنزير Lولحم Lوالدم Lالميتة LمL عليك مت حLر
Lم يت ذك ما إال LعL ب الس أكل وما Lطيحة والن LترديةLوالم LوذةLوالموق LنخنقةLوالم
صLب الن على ذLبح يئس وما اليوم فسق Lم ذلك باألزالم تستقسمLوا وأن
Lم لك Lأكملت اليوم واخشون تخشوهLم فال Lم دينك من وا Lكفر ذين ال
اضطLر فمن دينا اإلسالم LمL لك Lورضيت نعمتي Lم عليك Lوأتممت Lم دينك
) رحيم غفLور ه الل فإن إلثم مLتجانف غير مخمصة المائدة) 3في
فمن ه الل لغير به Lهل أ وما الخنزير ولحم والدم الميتة LمL عليك م حر ما إن
) رحيم غفLور ه الل إن عليه إثم فال عاد وال باغ غير البقرة)173اضطLر
عن الحكم عن شعبة حدثنا أبي حدثنا العنبري معاذ بن الله عبيد حدثنا
عباس ابن عن مهران بن عليه ميمون الله صلى الله رسول نهى قال
الطير من مخلب ذي كل وعن السباع من ناب ذي كل عن و وسلمبهذا شعبة حدثنا حماد بن سهل حدثنا الشاعر بن حجاج حدثني
- مسلم رواه مثله اإلسناد
Jumhur ulama sepakat terhadap ketiga fungsi tersebut, namun dalam praktik
mereka berbeda pendapat. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. perbedaan dalam menetapkan apakah suatu ayat memang memerlukan penjelasan
atau tidak. Sebagian ulama berpendapat bahwa suatu ayat sudah cukup jelas, dan
karena itu tidak memerlukan penjelasan. Sedang ulama lain menganggap sutu
ayat tersebut masih belum jelas . karena itu memerlukan penjelasan, maka harus
dipadu dengan hadits. Salah satu contohnya adalah ayat dalam al-Baqarah dan dan
al-Maidah di atas. Menurut madzhab Maliki ayat di atas cukup jelas dan tidak
perlu di jelaskan lagi. Maka semua hewan selain yang disebut dalam ayat di atas
hukumnya halal. Ulama Syafi’I menganggap ayat di atas memang cukup jelas,
tetapi masih boleh ditambah. Oleh karena itu keterangan hadits Nabi yang
melarang mengkonsumsi binatang buas menjadi ketentuan tambahan yang harus
dipatuhi. Bagi Madzhab Maliki, ketentuan hadits tidak bisa mengalahkan al-
Qur’an, karena itu maka larangan Nabi maksimal hanyalah Makruh.
2. Perbedaan dalam menentukan hadits mana yang menjadi penjelas. Maksudnya
jika para ulama telah sepakat bahwa suatu ayat memerlukan penjelasan , maka
dalam menentukan hadits mana yang dijadikan penjelasan, belum tentu terjadi
kesepakatan. Salah satu contohnya adalah tentang mengusap kepala ketika
berwudlu. Mereka sepakat bahwa ayat ini memerlukan penjelasan, tetapi
ternyata mereka berbeda pendapat. Sebagian menyatakan bahwa bagian kepala
yang harus diusap adalah keseluruhan, sedang lainnya hanya menetapkan
sebagain kepala saja. Keduanya sama-sama berdasar hadits Nabi.
3. Perbedaan dalam menilai kualitas suatu hadits (maqbul atai tidaknya), sehingga
ada hadits yang oleh sebagian ulama’ dinyatakan memenuhi syarat untuk
diamalkan, sedang menurut ulama lainnya dinyatakan belum memenuhi syarat,
karena itu, maka hadist tersebut diperselisihkan pengamalannya. Contohnya
antara lain adalah hadits tentang qunut subuh.
Sedangkan mengenai fungsi hadits diluar fiqih para ulama tidak memberikan
keterangan yang tegas dan jelas. Di dalam ilmu Kalam dikembangkan pendapat bahwa
nash hadits yang bisa dijadikan dalil aqidah adalah yang bersifat qothi al-wurud., karena
memiliki kekuatan mengikat. Dengan demikian hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai
dalil persoalan aqidah. Akan tetapi jika sekiranya digunakan, maka tidak disalahkan.
Demikian pula hadits yang berkaitan dengan pengetahuan tehnis (misalnya
tentang tehnonologi atau kedokteran), Hadist hadits tentang persoalan tehnis ini tidak
mengikat, sebab kondisi zaman Nabi dengan perkembangan kaum muslimin tidak
otomatis sama. . Namun begitu jika dicoba untuk digunakan (diamalkan) juga tidak
disalahkan.
Tentang fungsi hadits sebagai tafsir al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Para ulama cenderung melihat al-qur’an sebagai satu kesatuan, dan hadits sebagai
suatu kesatuan pula . Maksudnya ayat al-qur’an itu bisa ditafsiri oleh hadits mana
saja yang cocok, tanpa memperhatikan waktu turunnya.. Para ulama cenderung
merasa tidak penting memperhatikan dan menjelaskan apakah hadits yang
digunakan menafsirkan ayat itu diucapkan (dilakukan) nabi setelah turunnya ayat
bersangkutan atau sebelumnya.. Dengan kata lain para ulama tidak keberatan
menggunakan hadits yang lebih awal dari turunnya ayat. Contohnya antara lain
tentang hukuman zina mukhson
2. Semua ulama sepakat bahwa keberadaan hadits (karena dzanni al-wurud) lebih
rendah dibawah al-qur’an (qath’I al-wurud). Sungguhmpun demikian sebagian
ulama dibawah kepeloporan Imam al-Syafi’I, berpendapat bahwa sunnah (hadita)
tidak boleh dinaskh oleh al-qur’an. Sekiranya sebuah sunnah Rasul dinaskh oleh
al-qur’an, maka (menurut al-Syafi’I ) harus ada sunnah baru yang berfungsi
menjelaskan ayat tersebut. Dengan demikian , maka sunnah baru inilah yang
menasakh sunnah yang lama. Contohnya adalah perpindahan qiblat dari masjid al-
Aqsha ke masjid al-Haram. Dengan alasan ini Imam al-Syafii menentang
penasekhan hadits-hadits tentang rajam dengan ayat والزاني Sekiranya . … الزانية
hukuman rajam dihapus tentu ada pratik atau penjelasan Rasul. Selama tidak
keterangan apapun dari Nabi, maka hadits tidak bisa dinasekh oleh al-qur’an.
Otentisitas Hadits Nabi
Sekiranya hadits Nabi telah tertulis secara sistematis pada zaman Nabi tentu
persoalannya tidak sekompleks yang kita rasakan. Sebenarnya tidak sedikit para sahabat
yang telah menulis hadits , namun sifatnya hanya untuk kepentingan pribadi. Periwayatan
hadits pada umumnya (saat itu) dilakukan melalui hafalan dan ingatan. Hal ini terjadi
karena beberapa faktor :
a. bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada masa
Utsman saja hanya terdiri dari empat copy. Untuk itu menulis hadits yang jumlahnya
sanghat banyak tentu mengalami banyak hambatan.
b. Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga dihawatirkan
terjadi percampuran dengan al-qur’an
c. Tradisi saat itu memngharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan,
Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan ) akan dinilai
kurang sempurna;
d. Pendokumentasian al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding hadits
Pembukuan hadits secara resmi baru dilakukan pada abad II H. pada masa
pemerintahan Umar bin Abd Aziz (99-101 H) Namun penulisan secara sistematis dan
secara besatr-besaran baru terjadi pada abad III H. Di antara tokohnya adalah Imam
Bukhari ( 194 – 256 H) dan Imam Muslim ( w.261 H) Penilisan ini dianggap selesai pada
ahir abad IV H.
Oleh karena jarak antara masa Rasul dengan masa penulisan secara resmi dan
massal , relatif jauh , maka peran sanad (mata rantai perawi) yang menghubungkan
dengan para penulis hadits secara resmi (mukharrij), menempati posisi yang amat
penting. Karena itu harus menjadi perhatian serius. Dilihat dari sudut ilmu sejarah , sanad
dalam hal ini berfungsi sebagai sumber sejarah. Para sahabat Nabi sebagai perowi
pertama merupakan sumber primer, sedang para prerawi generasi berikutnya merupakan
sumber skunder. Keabsahan suatu hadits tergantung kepada validitas dan kebenaran
sumber tersebut. Oleh karena demikian pentingnya kedudukan sanad hadits , maka ia
disebut sebagai الدين Separuh lainnya terletak pada kebenaran. نصف matan hadits.
Kritik terhadap sanad disebut sebagai kritik eksternal, الخارجي sedang kritik النقد
matan disebut dengan istilah kritik internal. الداخلي Sebuah berita, khabar, atau . النقد
periwayatan yang dinyatakan sebagai hadits Nabi harus memiliki sanad, tanpa sanad
maka khabar itu tidak bisa disebut sebagai hadits Nabi.
Dari segi kuantitas sanad , hadits dibedakan menjadi mutawatir dan ahad (masyhur,
aziz dan gharib). Hadit mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan orang banyak mulai
pada thabaqat (generasi) pertama sampai pada para Mukharrij, sehingga bisa dijakini
bahwa periwayatan itu tidak mungkin bohong. Maka oleh karena kekuatan (kebenaran)
sumber (sanad) nya, hadits mutawatir disejajarkan dengan al-quran sebagai dalil yang
qath’I al-wurud. Dengan persyaratan sanad yang cukup ketat tersebut diyakini , bahwa
jumlah hadits mutawatir hanya sedikit.
Sedang hadits ahad adalah hadits yang sebagian atau keselutuhan sanadnya belum
mencapai jumlah mutawatir. Karena itu masik mungkin mengandung kekliruan. Dan
keberadaannya dinamakan dzanni al-wurud. Artinya kuat dugaan berasal dari Rasul ,
namun tetap ada kemungkinan mengandung kekeliruan. Oleh karena itu penelitian
terhadap sanad dan rawi hadits menjadi amat penting.
Dari segi kualitas, kebenaran hadits mutawatir tidak perlu diragukan lagi.
Sedangkan hadits ahad dibedakan kedalam hadits shahih, hasan dan dha’if. Para ulama
berpendapat bahwa hadits sahih dan hasan bisa dijadikan dalil bidang hukum. Sedangkan
hadits yang dhaif, menurut sebagain ulama , masih bisa ditolerir penggunaannya
(hususnya di bidang keutamaan amal) dengan beberapa syarat: 1). Tidak terlalu lemah,
yakni tidak sampai pada tingkat mungkar atau maudlu’; 2) memiliki beberapa jalur sanad,
sehingga walaupun kesemuanya dhaif, dianggap saling memperkuat; 3) masalah yang
diatur oleh hadits tersebut bukan masalah pokok, tapi masalah perbuatan sunnat atau
makruh ( Fadlo’il al-a’mal).
Dalam kaitannya dengan keabsahan suatu hadits (yang berstatus ahad) perlu digaris
bawahi beberapa hal sebagai berikut :
1. Kaidah ketentuan kualitas hadits (shahih, hasan, dhaif) merupakan produk ijtihad para
ulama, dan pada masing masing ulama masih terdapat perbedaan, baik dalam
menentukan persyaratan pokok, maupun dalam menetapkan persyaratan tambahan.
Oleh karena itu dalam menetapkan penilaian terhadap kualitas perawi dan hadits,
belum bisa dihindari adanya perbedaan pendapat. Imam al-Syafii cenderung
menganggap sahih dan maqbul terhadap hadits ahad yang sanadnya sambung dan
perawinya orang baik. Tetapi Imam malik masih menambahkan syarat lagi bahwa isi
(matan) hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan amal (praktik) yang berlaku di
Madinah
2. Hadits Nabi telah diamalkan sejak Rasulullah masih hidup, kemudian diturunkan
kepada generasi berikutnya secara lisan dan terpencar-pencar. Artinya setelah Rasul
wafat, para sahabat berpencar keberbagai wilayah dan masing-masing menbawa
hadits , kemudian hadits ini diturunkan kepada orang-orang diwilayah masing-masing
(beluim bisa disampaikan secara lintas wilayah).Oleh karena itu hadits yang populer
di suatu daerah, belum tentu populer di daerah lain.
Sementara itu usaha pembukuan secara sistematis dan massal serta kritis, baru
dilaksanakan pada abad ke III H.sampai abad IV H., padahal ijtihad yang dilakukan
para ulama sudah dimulai pada abad ke II H.(sebelum semua hadits selkesai
dibukukan) . Karena itu ada hadits yang sebenarnya populeh di suatu tempat , bisa
jadi luput dan tidak dipakai oleh ulama di kawasan lain. Maka dengan terbukukannya
hampir seluruh hadits Nabi, selayaknya antara pendapat para ulama’ madzhab
didialogkan dengan hadits hadits yang telah diteliti para Mukharrij.
Berdasar uraian di atas rasanya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa di depan kita
masih terbuka lapangan yang amat luas untuk melakukan kajian pengembangan
pemikiran di bidang hadits.
HADIST SHAHIH
Ulama’ hadits dari kalangan Mutaqaddimin (ulama’ hadits sampai abad III H),
sebenarnya belum mendefinisikan secara eksplisit (sharih) tentang hadits Shahih. Mereka
pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang keriteria hadist atau berita yang
dapat dipegangi. Imam al-Syafi’I misalnya telah menetapkan keriteria hadits yang dapat
dijadikan sebagai hujjah sebagai berikut :
1. diriwayatkan oleh oleh para perawi yang
a. Dapat dipercaya pengamalan agamanya ;
b. dikenal sebagai orang yang jujur;
c. memahami dengan baik hadist yang diriwayatkannya;
d. mengetahui perubahan makna hadits apabila terjadi perubahan lafadnya;
e. mampu menyampaikan hadits secara lafdzi. Artinya tidak meriwayatkan hadits
secara makna;
f. terpelihara hafalannya, bila ia mereriwayatkan secara hafalan, dan
terpeliharacatatannya bila ia meriwayatkan melalui kitabnya;
g. apabila hadits yang diriwayatkan, juga diriwayatkan oleh orang lain, maka bunyi
hadits itu tidak berbeda;
h. terhindar dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis).
2. rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi,
Definisi hadits shahih baru dirumuskan secara eksplisit oleh para ulama’ hadits
Muta’akhirin (ulama hadist yang hidup sejak abad IV H). Sungguhpun demikian, pada
umumnya definisi yang dibuat tersebut tetap mengacu kepada keriteria yang telah
ditetapkan oleh ulama’ Mutaqaddimin. Salah satu contohnya adalah definisi yang
dirumuskan oleh Ibnu Shalah (wafat 643 H) sebagai berikut :
Yaitu hadist yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi) , diriwayatjkan
oleh perawi yang adil dan dlabit sampai akhir sanad, tidah terdapat kejanggalan
(syudzudz) dan tidak cacat (‘illat)
Para ulama’ pada umumnya sepakat dengan definisi ini, akan tetapi hal ini tidak
berarti telah terjadi ijma’. Ibnu Katsir misalnya berpendapat bahwa hadits shahih bukan
hanya yang sanadnya bersambung kepada Nabi saja , melainkan juga yang benrsambung
hanya sampai pada tingkat sahabat, atau lainnya. Sekalipun demukian Ibnu Katsir
mengakui bahwa pendapat yang diikuti pada umumnya adalah pendapat Ibnu Shalah.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pengertian hadits shahih
adalah :Hadits yang bersambung sanadnya , diriwayatkan oleh orang yang adil dan
dlabit, serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat.
Pengertian ini telah mencakup persyaratan kesahihan sanad dan matan sekaligus.
Keriteria yang mengharuskan persambungan sanad, dan seluruh perawinya harus adil
serta dlabit adalah keriteria kesahihan sanad. Sedangkan keriteria keterhindaran dari
syudzudz dan illat, selain untuk keriteria kesahihan sanad, juga sekaligus sebagai
keriteria kesahihan matan. Atas dasar keriteria ini maka para ulama’ hadits pada
umumnya menyatakan bahwa hadits yang sanadnya shahih belum tentu matannya juga
shahih. Demikian pula sebaliknya , matan yang shahih belum tentu sanadnya shahih.
Jadi kesahihan hadits tidak hanya ditentukan oleh kesahihan sanad saja, melainkan juga
ditentukan oleh kesahihan matan. Itulah sebabnya, maka dalam menguji kesahihan seatu
hadits diperlukan keritik sanad dan juga kritik matan.
Keriteria atau persyaratan kesahihan hadits sebagaimana tersebut oleh para ulama
dinyatakan juga sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsur di atas masih
memiliki persyaratan-persyaratan husus. Misalnya apa saja persyaratan atau kereteria
tentang adil, dlabit dll. Keriteria-keriteria khusus tersebut oleh para ulama dinamakan
sebagai kaidah minor.
Disusun Oleh:
M. Nawawi