Otopsi Verbal UGM

download Otopsi Verbal UGM

of 9

Transcript of Otopsi Verbal UGM

Working Paper Series No. 9 Juli 2007, First Draft

OTOPSI VERBAL KEMATIAN MATERNAL-PERINATAL STUDI KASUS MENINDAKLANJUTI TEMUAN-TEMUAN LAPANGAN DI PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT

Satria Wibawa Widodo Wirawan Cahya Purnama Mubasysyir Hasanbasri

Katakunci: audit otopsi verbal maternal perinatal audit

-Tidak Untuk DisitasiProgram Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan,Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2007

Satria Wibawa, Widodo Wirawan, Cahya Purnama, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no.9 April 2007 1

st

draft

Maternal Perinatal Mortality Verbal Autopsy In South Pesisir West Sumatera ProvinceSatria Wibawa1, Widodo Wirawan2, Cahya Purnama3, Mubasysyir Hasanbasri4

AbstractBackground: The program of maternal perinatal in Indonesia is firstly starting in the year of 1994, but in the district of South Pesisir the implementation just started in year of 2001. Verbal autopsy in the district of South Pesisir is implementation by nurse and midwife. Since the implementation, verbal autopsy activity was never been evaluated. This research was aimed to obtained information regarding the implementation of verbal autopsy which has implemented by nurse and midwife in the district of South Pesisir. Methods: This research is device research of case study, with qualitative approaches. The research subject was all nurse and midwife who were reported maternal and perinatal mortality and KIA program holder as well as doctor of Primary Heath Care, head of KIA subdivision, head of KIA section, doctor specialist of obstetric and gynecology and the head of IBI in the district level. Data was collected was structured interview instrument through questioner and in-deep interview toward selected respondent with guidance at indepth interview as well as documentation check. Results: The implementation of verbal autopsy was not well implemented as the form of verbal autopsy was not yet filled out based on the started standard. Out of 50 nurse and midwife who had verbal autopsy, only 4% who were completed. Data that was not completely filled out was patients identity (62%) and disease history (66%). Knowledge of nurs and midwife still in the category of middle (not supporting or rejecting). This is caused by Primary Health Care and Health Office who were not having monitoring and supervision activities. Health office was not yet implementing coordination with doctor of obstetric and gynecology specialist of Dr. M. Zein Painan hospital as the expert team. Conclusions: The Implementation of verbal autopsy was not well implemented because the verbal autopsy form was not yet filled out based on the stated standard as program management in Primary Health Care and Health Office run his function is only administrative. Keywords: audit, verbal autopsy, maternal perinatal audit

1 2

District Health Office of South Pesisir, West Sumatera Helth Policy and Service Management Graduate Program, Gadjah Mada University 3 District Health Office of South Pesisir, West Sumatera 4 Helth Policy and Service Management Graduate Program, Gadjah Mada University

Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id

2

Satria Wibawa, Widodo Wirawan, Cahya Purnama, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no.9 April 2007 1

st

draft

LATAR BELAKANG Angka kematian maternal-perinatal di Indonesia sampai saat ini menempati urutan tertinggi di Asia Tenggara. Angka kematian ibu atau AKI tahun 1986 tercatat 450 per 100.000 kelahiran hidup dan 291 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005. Departemen Kesehatan RI menargetkan Indonesia Sehat 2010 untuk pencapaian AKI 125 per 100.000 kelahiran hidup1. AKI dan angka kematian bayi atau AKB di Kabupaten Pesisir Selatan lebih kecil dari angka Nasional. Ini tidak dapat dipercaya 100% karena kemungkinan terdapat kematian yang tidak dilaporkan oleh perawat atau bidan yang menangani persalinan. Ada 5 hal yang menyebabkannya, yaitu: 1). perawat atau bidan merasa takut dipermasalahkan saat pelaksanaan Audit Maternal-Perinatal di Kabupaten, 2). penduduk daerah terpencil melahirkan melalui dukun beranak tak terlatih, 3). kasus kematian di tempat rujukan, 4). perantau melahirkan di rumah orang tuanya, dan 5). melahirkan melalui perawat atau bidan di desa tetangga. Departemen Kesehatan RI menjelaskan bahwa salah satu cara mempercepat penurunan AKI dan AKB ialah dengan meningkatkan mutu pelayanan dan menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan ibu dan perinatal di tingkat pelayanan dasar dan pelayanan rujukan primer, hal ini dilakukan dengan mengembangkan konsep Audit Maternal-Perinatal atau AMP1. Program AMP di Indonesia dimulai tahun 1994 dan di Pesisir Selatan baru dimulai tahun 2001. AMP dilakukan sebanyak 3 kali di tahun tersebut, bertempat di RSUD Dr. Moh Zein Painan, dihadiri oleh direktur, dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan, dokter ahli penyakit anak, dokter puskesmas, perawat dan bidan yang bermasalah dengan kejadian kematian ibu atau perinatal, dan kepala seksi kesehatan ibu dan anak dinas kesehatan kabupaten. AMP tahun 2001 sampai tahun 2005 berdasarkan data Pemantauan Wilayah Setempat-Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Pesisir Selatan, memperlihatkan masalah dalam pelaksanaan otopsi verbal. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi tentang pelaksanaan otopsi verbal oleh perawat dan bidan di Pesisir Selatan. Secara khusus bertujuan mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap mereka tentang otopsi verbal serta mengetahui apakah ada monitoring dan supervisi oleh dinas kesehatan, dokter puskesmas, dan koordinator program KIA puskesmas, serta dalam bentuk apa monitoring dan supervisi tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi kasus kualitatif, mengkaji pelaksanaan pengisian formulir otopsi verbal kematian maternal-perinatal di Pesisir Selatan. Perawat dan bidan yang melaporkan dijadikan subjek penelitian. Wawancara mendalam terhadap dokter dan koordinator program KIA di puskesmas, kepala sub dinas kesehatan keluarga, kepala seksi KIA, dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan, dan ketua Ikatan Bidan Indonesia Kabupaten. Pengumpulan data melalui instrumen wawancara terstruktur berupa kuesioner dan wawancara mendalam terhadap responden terpilih serta penelaahan dokumen.

Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id

3

Satria Wibawa, Widodo Wirawan, Cahya Purnama, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no.9 April 2007 1

st

draft

HASIL DAN PEMBAHASAN Praktik Otopsi Verbal oleh Perawat dan Bidan Petugas dapat langsung menemukan kasus kematian maternal-perinatal atau melalui informasi masyarakat, kader, bahkan rumahsakit. Setiap informasi diikuti oleh otopsi verbal. Hasilnya dikirim ke puskesmas dan diberikan kepada koordinator program KIA puskesmas. Hasil yang tidak lengkap semestinya dikembalikan dan dilakukan pembinaan. Koordinator melakukan kunjungan rumah untuk melengkapi data yang tidak diperoleh dari petugas pembuat otopsi verbal. Pedoman teknis AMP di tingkat kabupaten/kota menjelaskan, otopsi verbal dilakukan paling lambat 7 hari setelah penerimaan informasi, mengingat dalam waktu ini keluarga masih mampu mengingat kejadian sebelum meninggal1. Kemudian dilaporkan kepada dinas kesehatan, paling lambat dalam waktu 1 bulan.Pelaksanaan audit oleh tim ahli AMP RS 9 Dinas Kesehatan lengkap 6 Pimpinan Puskesmas lengkap 5 Monitoring Supervisi tidak ada follow up (administratif) 10b 4c Rujukan Bidan/Perawat 10a Kematian Maternal Perinatal di RS Ket: 1b Tidak lengkap 4a Tidak lengkap 4b Dokter Puskesmas lengkap 3 Koordinator KIA Puskesmas lengkap 2 Pelaksanaan Otopsi Verbal oleh Bidan/Perawat 1a Kematian Maternal Perinatal Kader/Masyarakat 1c Monitoring supervisi 7 tidak ada follow up (administratif) 8

Dinas Kesehatan

= Alur kegiatan seharusnya

Gambar 1. Alur Pelaporan Otopsi Verbal

Formulir otopsi yang telah lengkap ditandatangani bidan atau perawat dan diserahkan kepada dokter puskesmas untuk disimpulkan penyebab kematian maternal-perinatalnya. Dokter semestinya melakukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan data. Hasil penelaahan dokumen terhadap pengisian lembar otopsi verbal kematian maternal-perinatal yang dilakukan oleh perawat/bidan dijelaskan dalam tabel berikut.

Table 1. Pelaksanaan Otopsi Verbal oleh Perawat/bidanObservasi Dokumen terisi lengkap Tepat waktu Pengisian sesuai standar n 4 38 3 Ya % 8 76 6 Tidak N % 46 92 12 24 47 94

Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id

4

Satria Wibawa, Widodo Wirawan, Cahya Purnama, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no.9 April 2007 1

st

draft

Tabel 1 menunjukkan hanya 8% perawat dan bidan yang mengisi dokumen otopsi verbal secara lengkap, petugas yang melakukan secara tepat waktu sebesar 76%, dan sisanya melakukan otopsi verbal sesuai standar kelengkapan pencatatan dan ketepatan waktu hanya 6%. Kelengkapan dokumen merupakan salah satu standar pelaksanaan otopsi verbal di tingkat kabupaten kota. Penelaahan terhadap dokumen otopsi verbal mendapatkan hasil kelengkapan pengisian lembar otopsi dari 50 perawat/bidan, disajikan dalam tabel 2.

Table 2. Pengisian Lembar Kuesioner oleh Perawat/bidanObservasi Dokumen terisi lengkap Identitas pasien Riwayat penyakit Tanggal pelaksanaan Kesimpulan penyebab kematian Tandatangan perawat/bidan Tandatangan dokter Ya n 19 17 41 40 49 43 % 38 34 82 80 98 86 Tidak n % 31 62 33 66 9 18 10 20 1 2 7 14

Penelaahan menemukan hanya 38% perawat dan bidan yang mengisi identitas pasien secara lengkap. Mereka yang mengisi riwayat penyakit sebanyak 34% dan yang mengisi tanggal pelaksanaan otopsi verbal sebanyak 82%. Ada 80% petugas yang mengisi kesimpulan penyebab kematian. Lembaran kuesioner yang ditandatangani oleh perawat dan bidan sebanyak 98% sedangkan yang ditandatangani dokter puskesmas sebesar 86%. Keterlambatan pelaporan otopsi verbal salah satunya dipengaruhi oleh ketakutan perawat dan bidan untuk disalahkan karena menganggap atas kesalahan mereka maka terjadi kematian. Dinas kesehatan mengambil kebijakan untuk tidak menyalahkan mereka sebaliknya harus memberikan pembinaan kepada mereka. Pembinaan dilakukan oleh koordinator program KIA dan dokter puskesmas. Keterlambatan pelaporan kematian maternal-perinatal juga dipengaruhi oleh keadaan geografis. Bidan-bidan yang bertugas di daerah sangat terpencil sulit menyegerakan pelaporan kepada bidan koordinator di puskesmas karena hambatan transportasi dan sebaliknya bidan koordinator juga tidak dapat segera melakukan kunjungan. Pelaksana Otopsi Verbal. Perawat dan bidan pelaksana otopsi verbal sejumlah 51 orang, satu orang diekslusi karena telah pensiun dan sudah pindah tempat sehingga jumlah mereka yang diamati menjadi 50 orang. Latar belakang responden sebagian besar berpendidikan D1 kebidanan sebesar 68%, sedang mereka yang berpendidikan D3 kebidanan hanya 18%, sisanya berpendidikan Sekolah Perawat Kesehatan sebesar 14%. Mayoritas petugas bersatus sebagai bidan desa kontrak. Tiga puluh delapan persen berstatus PTT dan bidan puskesmas berstatus Pegawai Negeri Sipil sebesar 30%. Responden yang telah mengikuti pelatihan otopsi verbal kematian balita hanya 10% karena kenyataannya pelatihan ini hanya diberikan kepada dokter puskesmas dan koordinator program. Pelatihan untuk bidan desa belum dilakukan. Koordinator program diharapkan menyampaikan pengetahuan dan keterampilannya kepada bidan-bidan lain yang bertugas di wilayah kerja puskesmasnya. Pengetahuan dan sikap responden diukur melalui kuesioner. Perawat dan bidan yang mempunyai nilai baik sebesar 96%. Nilai rata-rata menunjukkan

Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id

5

Satria Wibawa, Widodo Wirawan, Cahya Purnama, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no.9 April 2007 1

st

draft

pengetahuan responden dalam kategori tinggi. Terdapat juga 4% responden yang tergolong kategori sedang. Nilai sikap petugas terhadap otopsi verbal kategori sedang. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pengetahuan petugas otopsi verbal di Kabupaten Pesisis Selatan sudah baik, sedang sikap dan perilaku dalam pelaksanaan masih mencukupi. Peranan Puskesmas dan Dinas Kesehatan Dana pelaksanaan otopsi verbal di Dinas Kesehatan Pesisir Selatan bersumber dari Dana Alokasi Umum atau DAU. Sedangkan puskesmas tidak mempunyai sumber dana untuk program otopsi verbal dan pengembangannya. Seorang kepala puskesmas berpikir untuk menggunakan dana kapitasi gakin untuk kegiatan tersebut. Selama ini dokter dan koordinator KIA menggunakan mobil ambulan untuk ke lapangan. Formulir untuk pelaksanaan otopsi awalnya disediakan oleh dinas kesehatan. Perkembangan berikutnya, bidan harus menggandakan sendiri untuk membuat laporan. Tahun 2006 terdapat 2 jenis formulir pelaporan otopsi verbal, yaitu untuk kematian maternal-perinatal dari program KIA dan untuk kematian balita dari program Pemberantasan Penyakit Menular-P2M. Selain itu diskusi kasus secara formal jarang dilakukan oleh perawat atau bidan dengan koordinator program KIA maupun dokter puskesmas. Dinas kesehatan melakukan melakukan kegiatan pengawasan, pembinaan dan evaluasi program otopsi verbal kematian maternal-perinatal. Pengawasan ialah mengelola laporan hasil otopsi dari puskesmas dan melakukan kunjungan ke puskesmas bila terjadi kasus. Tujuan kunjungan ialah memastikan diagnosis oleh bidan dalam otopsi verbal, meskipun setiap laporan telah ditandatangani dokter puskesmas. Pengelolaan laporan kematian maternal-perinatal belum terkoordinasi secara baik. Laporan dari bidan tidak sampai ke tangan tim AMP rumahsakit sebagai tim ahli yang dilibatkan dalam kegiatan evaluasi. Sehingga kegiatan AMP dilakukan hanya pada kasus rujukan. Koordinasi antarbidang juga lemah karena pada tahun 2006 Dinas Kesehatan Pesisir Selatan juga meluncurkan program otopsi verbal untuk kematian balita yang diselenggarakan oleh bidang P2M. Program otopsi verbal kematian balita berisi kegiatan pelatihan, penyediaan format pelaporan, dan penyediaan dana kunjungan otopsi verbal untuk maksimal 9 kali kunjungan bagi setiap koordinator KIA. Bidan mendapatkan biaya transportasi sebesar Rp. 20.000 ketika melakukan kunjungan otopsi verbal balita, sedangkan untuk kunjungan otopsi verbal maternal-perinatal, bidan tidak mendapatkannya. Bagaimana Temuan-temuan Otopsi Ditindaklanjuti? Penelaahan dokumen hasil otopsi verbal menemukan bahwa program otopsi verbal kematian maternal-perinatal di Kabupaten Pesisir Selatan belum optimal. Hal ini ditunjukkan dari kelengkapan pengisian laporan oleh pelaksana, hanya 4% saja yang mengisi scara lengkap. Bagian terbanyak yang tidak terisi lengkap ialah identitas pasien sebesar 62% dan riwayat penyakit sebesar 66%. Dokumen dianggap terisi lengkap apabila semua item-item pada lembar kuesioner terisi seluruhnya tanpa ada satupun yang kosong. Kuesioner otopsi verbal berisi tentang identitas pasien, riwayat penyakit, tanggal menerima laporan kematian, tanggal pelaksanaan otopsi verbal, kesimpulan yang memuat tentang sebab kematian, serta tandatangan perawat atau bidan pencatat dan tandatangan

Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id

6

Satria Wibawa, Widodo Wirawan, Cahya Purnama, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no.9 April 2007 1

st

draft

dokter puskesmas. Pengisian data yang kurang lengkap menunjukkan otopsi verbal yang dilakukan kurang akurat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan otopsi verbal oleh perawat/bidan di Pesisir Selatan hanya untuk sekedar kelengkapan syarat administrasi sedang otopsi verbal sendiri belum dikerjakan sesuai standar. Perawat/bidan dalam melaksanakan otopsi verbal hanya bersifat normatif untuk memenuhi kebijakan yang telah digariskan oleh dinas kesehatan bahwa setiap kematian maternal-perinatal harus dilakukan otopsi verbalnya. Hal serupa juga dilakukan oleh penanggung jawab otopsi verbal di Dinas Kesehatan Pesisir Selatan. Perawat/Bidan pelaksana otopsi sudah mempunyai pengetahuan tentang otopsi verbal secara baik. Notoatmojo menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari mengetahui setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu2. Pengetahuan petugas pelaksana otopsi bukan berasal dari pelatihan, tapi didapat lebih banyak dari pertemuan informal baik dalam organisasi profesi seperti saat pertemuan Ikatan Bidan Indonesia Kabupaten atau saat pertemuan di puskesmas. Sub Dinas Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Pesisir Selatan belum pernah melakukan pelatihan otopsi verbal kematian maternalperinatal. Hasil penelitian Budimulyati tentang evaluasi pelaksanaan audit maternal-perinatal di dinas-dinas kesehatan daerah tingkat II di Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa pengetahuan bidan terhadap pelaksanaan audit maternal dan perinatal sebagian besar dalam kategori baik4. Pengetahuan yang baik tidak tercermin dalam sikap dan perilaku, terbukti dengan sikap dan perilaku petugas otopsi yang termasuk dalam kategori sedang. Robbin menjelaskan bahwa sikap merupakan pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan mengenai objek, orang atau peristiwa3. Rasa takut bersalah atau disalahkan dalam melakukan otopsi verbal menyebabkan sikap bidan terhadap otopsi verbal dalam kategori sedang. Pelaksanaan otopsi verbal belum sesuai standar disebabkan salah satunya oleh kontrol petugas puskesmas yang lemah. Padahal dokter maupun koordinator program KIA merupakan sumber daya manusia puskesmas yang menjaga proses otopsi verbal agar berjalan sesuai standar. Hasil penelaahan dokumen menunjukkan bahwa beberapa kasus yang dilaporkan ke dinas tidak ditandatangani oleh dokter. Kasus lain yang muncul ialah diagnosis dan kesimpulan tidak diisi, walaupun telah ditandatangani oleh dokter. Hal ini menunjukkan bahwa dokter puskesmas belum melakukan tugasnya secara baik berupa monitoring kelengkapan data. Monitoring merupakan upaya untuk mengamati pelayanan dan cakupan program yang dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan1. Monitoring dipergunakan oleh pelaksana program untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak diperkirakan pada saat perencanaan dibuat, dan hasilnya dapat dipakai untuk melakukan perbaikan. Koordinator program KIA dan dokter sebagai supervisi di lapangan semestinya memberikan teguran kepada bidan pelaksana yang tidak melakukan pengisian formulir otopsi verbal sesuai prosedur. Mardijanto pada Evaluasi Program Manajemen Terpadu Balita Sakit di Kabupaten Pekalongan mendapatkan bahwa diperlukan monitoring dan supervisi secara rutin dari pimpinan puskesmas dan kabupaten5. Pengisian kuesioner otopsi verbal yang tidak lengkap ini menyebabkan dinas kesehatan, khususnya seksi KIA mengambil kebijakan untuk mengirim

Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id

7

Satria Wibawa, Widodo Wirawan, Cahya Purnama, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no.9 April 2007 1

st

draft

petugasnya ke tempat kejadian kasus. Tujuannya ialah memastikan diagnosis yang dilakukan bidan dalam otopsi verbal, walau setiap laporan otopsi verbal telah ditandatangani dokter puskesmas. Kegiatan kunjungan menjadi tidak efektif dan efisien karena hasil kunjungan tidak ditindaklanjuti dengan memperbaiki laporan yang tidak lengkap tersebut. Penelaahan dokumen menunjukan bahwa walaupun dinas kesehatan sudah turun ke lapangan untuk memeriksa kebenaran lembar kuesioner otopsi, tapi tetap tidak diperbaiki juga kesalahan atau ketidaklengkapannya. Dalam manajemen mutu, proses menjadi fokus perhatian karena harus dikendalikan agar dapat mempertahankan keunggulan atau meningkatkan kinerja total dari suatu proses. Gaspersz menyebutkan salah satu ciri dari sistem pengendalian kualitas yaitu terdapat aktivitas yang berorientasi pada tindakan untuk mencegah kerusakan produk karena kesalahan dan kelalaian dalam proses produksi6. Upaya pengendalian kualitas merupakan tindakan preventif dalam manajemen mutu . Pertemuan AMP di RSUD dr. M. Zein Painan merupakan salah satu bentuk monitoring dan evaluasi oleh pihak manajemen otopsi verbal di Kabupaten. Pertemuan ini mengundang koordinator program KIA dan pimpinan puskesmas serta bidan desa yang mempunyai kasus kematian maternal-perinatal dan dihadirkan pula tim ahli dari rumahsakit. Kebijakan dinas merangkul rumahsakit untuk melakukan AMP akan lebih berdaya guna bila data yang digunakan ialah data dari petugas pelaksana. Mereka dapat melaporkan kasusnya, kemudian ditanggapi oleh tim ahli, sehingga pembinaan dapat tepat sasaran. Rekomendasi oleh tim ahli juga dapat segera ditindaklanjuti. PENUTUP Kesimpulan. Meski memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang positif, perawat dan bidan hanya melaksanakan otopsi verbal secara parsial. Keengganan mengerjakan kegiatan secara penuh berkaitan dengan tindak lanjut yang kurang di tingkat atas. Dinas kesehatan maupun dokter dan koordinator program KIA puskesmas mengadakan monitoring dan supervisi setengah hati. Kebijakan yang diterapkan di tingkat kabupaten maupun puskesmas ialah menginstruksikan kepada perawat dan bidan bahwa setiap ada kematian maternal-perinatal harus dilakukan otopsi verbal. Kebijakan pembentukan organisasi AMP tidak diikuti dengan koordinasi antara dinas kesehatan dan tim ahli serta koordinasi lintas program dalam lingkungan dinas kesehatan, sehingga AMP tidak tepat sasaran. Selain itu juga muncul program otopsi verbal untuk balita yang diselenggarakan oleh bidang P2M. Dana rutin merupakan hambatan utama dalam pelaksanaan otopsi verbal. Terjadi penggunaan dana yang tidak jelas di tingkat puskesmas, seperti dana untuk pelaksanaan otopsi verbal ke tempat pasien, untuk kegiatan pertemuan di puskesmas, kegiatan monitoring dan supervisi bagi dokter dan koordinator program KIA, serta untuk kegiatan pelatihan yang dibutuhkan. Saran. Sebagai sebuah lembaga pengendali, dinas kesehatan harus merumuskan kembali prosedur tetap yang lebih baik. Dinas sebaiknya meningkatkan koordinasi dengan tim ahli RSUD dr. M. Zein Painan melalui pelaporan kematian di sana untuk kepentingan informasi bagi puskesmas agar otopsi verbal segera dilakukan petugas. Hal ini bertujuan juga supaya pembahasan tim ahli AMP lebih difokuskan pada kasus kematian maternal-

Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id

8

Satria Wibawa, Widodo Wirawan, Cahya Purnama, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no.9 April 2007 1

st

draft

perinatal primer, bukan kasus rujukan. Dinas kesehatan sebaiknya membuat sistem regulasi yang jelas tentang dana bagi puskesmas untuk kegiatan otopsi verbal kematian maternal dan perinatal. Dinas kesehatan perlu memiliki pencatatan dan pelaporan satu pintu sehingga dapat dilakukan tindak lanjut yang utuh. Dinas mengikuti persoalan-persoalan di lapangan dan melakukan penghargaan bagi pelaksanaan yang positif. Hal terpenting ialah dinas dan puskesmas bekerja sama mencari jalan agar bisa menindaklanjuti temuan. Bupati sebagai pelindung organisasi AMP perlu dilibatkan lebih banyak. Keterlibatan ini memungkinkan input dana untuk kebutuhan pelaksanaan otopsi dan tindak lanjutnya dapat diusahakan. DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI (2003), Pedoman Teknis Audit Maternal-perinatal di Tingkat Kabupaten/Kota, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik dan Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta. 2. Notoatmojo, S. (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan I, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. 3. Robbin. (2003), Perilaku Organisasi, Jilid I, Edisi Indonesia, Penerbit Indeks, Gramedia Grup, Jakarta. 4. Budimulyati, R. (1998), Evaluasi Pelaksanaan Audit Maternal-perinatal di Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II Kabupaten se-Jawa Tengah Tahun 1997. 5. Mardijanto, D. (2005), Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit di Kabupaten Pekalongan, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol.8/No.1/ Maret/2005, Halaman. 49 54. 6. Gaspersz, V. (2003). Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM http://lrc-kmpk.ugm.ac.id

9