Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00
Transcript of Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL
DALAM MASYARAKAT MODERN
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGYOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
OLEH
Ahmad SaharNIM. 9841 3893
DI BAWAH BIMBINGAN DRS. SANGKOT SIRAIT, M.Ag.
\
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMFAKULTAS TARBIYAHINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA2003
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
Dalam bagian awal ini, penulis mencoba untuk menegaskan beberapa
istilah kunci dalam penulisan skripsi ini. Hal ini dilakukan untuk menghindari
misunderstanding dan misinterpretation terhadap beberapa istilah yang digunakan
dalam judul skripsi ini. Istilah-Istilah yang akan dijelaskan itu meliputi:
a. Pandangan
Pandangan dalam skripsi ini dimaksudkan sebagai pemikiran yang mendasar
dan sistematis.
b. Al-Ghazali
Imam al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih
dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja.1) Dalam sejarah pemikiran Islam al-
Ghazali dikenal sebagai ahli dan praktisi pendidikan, agama, hukum Islam, dan
memiliki keilmuan yang luas mengenai filsafat, tasawuf, kejiwaan, akhlak (moral)
dan spiritualitas Islam.2
c. Emile Durkheim
1) H.M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 63.
2 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan Kesehatan Mental (Jakarta: CV Ruhama,1994) hal.17
Emile Durkheim adalah seorang pemikir dan profesor kelahiran Perancis,
ahli dan praktisi pendidikan, dan filsuf moral yang lahir pada lahir pada tanggal
15 April 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur
Perancis yang agak terpencil dari masyarakat luas.3
d. Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata paedagogia (Yunani) yang berarti pergaulan
dengan anak-anak. Namun kata ini sering diartikan seorang pelayan pada masa
Yunani kuno yang pekerjaaannya mengantar dan menjemput anak sepulang dari
sekolah. Paedagogis berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya
membimbing, memimpin).4 Kemudian makna paedagogos berarti pekerjaan yang
mulia, karena pengertian paedagogog berarti orang yang bertugas membimbing
anak dalam pertumbuhannya kearah berdiri sendiri dan bertanggung jawab.5
Sedangkan pendidikan dalam pandangan etimologi adalah education yang
berasal dari bahasa Latin eex (keluar) dan dudere duc (mengatur, memimpin dan
mengarahkan). Secara harfiah pendidikan berarti mengumpulkan informasi dan
menyampaikan serta menyalurkan kemampuan (bakat).6 Adapun John Dewey
mengartikan pendidikan sebagai suatu proses pembentukan dasar yang bersifat
fundamental yang menyangkut daya pikir (intelektual), maupun daya rasa (emosi)
manusia.7
3 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Terj. Robert MZ Lawang : (Jakarta, Gramedia Cet. Ketiga,1994) hal. 167
4 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidika , Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Karya,1985) hal 1
5 Ibid6 Khursyid Ahmad, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, Terj. AS Robith (Surabaya:
Pustaka Progresif,1992) hal. 13 7 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Bina Aksara,1987) hal. 1
Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan
manusia untuk membawa anak didik ke tingkat dewasa dalam arti mampu
memikul tanggung jawab moral.8 Selain itu Omar Muhammad Al- Thoumy al-
Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengubah
tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat dan kehidupan alam semesta.9
e. Moral
Moral berasal dari kata Mores yang berarti kebiasaan, adat istiadat.
Sinonim dari kata tersebut adalah etik (Ethos, bahasa Yunani kuno yang berarti
kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir),10 Akhlaq (bahasa Arab,
jamak dari kata Khulq yang berarti tingkah laku atau budi pekerti),11 serta budi
pekerti (bahasa Indonesia). Dagobert D. Runer menjelaskan12 bahwa istilah moral
(Inggris) seringkali digunakan untuk merujuk pada aturan-aturan, tingkah laku,
dan kebiasaan individu atau kelompok. Dengan demikian istilah moral atau akhlak
dapat digunakan untuk menunjukkan arti tingkah laku manusia maupun aturan-
aturan tentang tingkah laku manusia. M. Amin Abdullah misalnya, mengartikan
moral sebagai aturan-aturan normatif yang berlaku dalam masyarakat
tertentu.Lebih lanjut Amin Abdullah membedakan antara moral dan etika dimana
moral merupakan tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai sementara etika
8 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung , 1981) hal. 257
9 Al-Syaibani OMA, Filsafat Pendidikan Islam, Terjemahan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal. 399
10 K. Bertens, Etika (Jakarta:Gramedia, 1994) hal.411 Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka
Setia,1999) hal. 912 Dagobert D. Runer ,Et.Al, Dictionary Of Philosophy , (New Jersey: Littlefield Adam &
Co, 1971) hal. 202
merupakan studi kritis terhadap moralitas, sehingga moral tidak lain adalah obyek
material dari etika.13
Istilah Moral seringkali digunakan secara silih berganti dengan akhlak.
Berbeda dengan akal yang dipergunakan untuk merujuk suatu kecerdasan, tinggi
rendahnya intelegensia, kecerdikan dan kepandaian. Kata moral atau akhlak acap
kali digunakan untuk menunjukkan suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun
dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai kehidupan.14
Dalam The Advanced of learner’s Dictionary of Current English
dijelaskan tentang pengertian moral dalam empat arti yang saling terkait dan
berhubungan satu sama lain, yaitu:
a) Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar salah (concerning principles
of rigt and wrong)
b) Baik dan Buruk (good and virtuous)
c) Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah (able to
understand the difference between rigt and wrong)
d) Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik (teaching or illustrating
good behaviour).15
Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan baik moral, etika, akhlak,
budi pekerti mempunyai penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas-kualitas
yang baik yang teraplikasi dalam perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari,
13 M. Amin Abdullah, Antara Al- Ghazali Dan Kant: Filsatat Etika Islam, Penerj.. Hamzah (Bandung: Mizan, 2002) hal. 147
14 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999) cet. II hal. 135
15 AS Homby, EV Galerby Dan H. Wakel Field, The The Advanced Of Learner’s Dictionary Of Current English (London: Oxford University Press, 1973) hal. 634
baik sifat-sifat yang ada dalam dirinya maupun dalam kaitannya dengan
kehidupan bermasyarakat. Walau mempunyai perbedaan, namun moral, etika dan
akhlaq dapat dianggap sama apabila sumber ataupun produk budaya yang
digunakan sesuai.16
Oleh karena itu dalam skripsi ini istilah moral digunakan untuk
menunjukkan aturan-aturan normatif, tata nilai tentang tingkah laku dan juga
tentang sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai
makhluk individu seperti jujur, dapat dipercaya, adil, bertanggung jawab dan lain-
lain, maupun sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan masyarakat,
seperti kejujuran, penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kerukunan,
kesetiakawanan, solidaritas sosial dan sebagainya.
Dengan pengertian diatas maka kajian tentang pendidikan moral bukan
sekedar kajian tentang bagaimana mengajarkan norma moral tentang mana nilai-
nilai keutamaan dan mana nilai-nilai keburukan, namun lebih dari itu merupakan
kajian tentang bagaimana moralitas anak didik dikembangkan untuk mencapai
moralitas yang baik dalam segala situasi kehidupan.
f. Masyarakat Modern
Pengertian Masyarakat modern dalam skripsi ini adalah masyarakat yang
ditandai oleh adanya modernisasi yang memiliki ciri-ciri adanya kemajuan ilmu
pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya rasionalitas dan sekularisasi dan adanya
pergerakan menuju progress.
16 Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum ( Bandung: Alfabeta,1993) hal.209
Modernisasi dalam kajian ini ditandai oleh perubahan-perubahan besar
dibidang sosial, politik, ekonomi, kultural, dan ideologi yang tidak dapat dicerabut
dari konteks historisnya yang terjadi di barat. Bertolak dari sana gelombang
raksasa ini menciptakan perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis
faktor-faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi yang lain.
Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya menyangkut perubahan- perubahan
institusional melainkan juga terjadinya perubahan-perubahan kesadaran pada
manusia. Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik
distansi, individuasi, progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang
menandai manusia modern.17
Dari batasan-batasan yang ada diatas , maka yang dimaksud dengan
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG
PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN dalam skripsi ini
adalah sebagai pemikiran yang mendasar dan sistematis dari Al-Ghazali maupun
Emile Durkheim berkaitan dengan upaya membantu peserta didik memahami
esensi dan arti penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan segala
potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu dalam perilaku nyata ditengah
kehidupan masyarakat modern yang ditandai oleh adanya modernisasi, yang
memiliki ciri-ciri adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya
rasionalitas dan sekularisasi dan adanya pergerakan menuju progress.
17 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme Dan Modernisasi, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, (Kanisius: Yogyakarta, 2003) hal. 73
B. Latar Belakang Masalah
Globalisasi sebagai sebuah proses bergerak amat cepat dan meresap
kesegala aspek kehidupan kita baik aspek ekonomi, politik, sosial budaya maupun
pendidikan. Gejala khas dari proses globalisasi ini adalah kemajuan- kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi-informasi dan teknologi transportasi.
Kemajuan-kemajuan teknologi rupanya mempengaruhi begitu kuat struktur –
struktur ekonomi, politik, sosial budaya dan pendidikan sehingga globalisasi
menjadi realita yang tak terelakkan dan menantang. Namun, Globalisasi sebagai
suatu proses bersifat ambivalen.18 Satu sisi membuka peluang besar untuk
perkembangan manusia dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, akan tetapi sisi lain peradaban modern yang semakin dikuasai oleh
budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tampak semakin lepas dari
kendali dan pertimbangan etis.19 Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akibat globalisasi
tidak selalu sebanding dengan peningkatan di bidang moral.20 Dalam satu sisi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang membuat manusia lebih
mudah menyelesaikan persoalan hidup, namun disisi lain berdampak negatif
ketika ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai pembebas
manusia, melainkan justru membelenggu dan menguasai manusia.
18 I. Aria Dewanta, Upaya Merumuskan Etika Ekologi Global (Basis No. 01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2003) hal. 20
19 A. Sudiarja, SJ. “Pendahuluan” Dalam Budi Susanto, Et Al. , Nilai-Nilai Etis Dan Kekuasaan Utopis : Panorama Praksis Etika Indonesia Modern (Yogyakarta : Kanisius, 1992) hal.6
20 Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris Dalam Filsafat Moral Immanuel Kant Dalam Jurnal Filsafat Edisi 23 Nopember 1995 ( Yogyakarta:Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada)
Arus Globalisasi ternyata berhasil mendobrak dinding tatanan moral
tradisional berupa adat istiadat dan kebiasaan luhur nenek moyang manusia.21
Wujud nilai-nilai moral berupa penghormatan sesama manusia, tanggung jawab,
kejujuran, kerukunan dan kesetiakawanan lambat laun digeser oleh otonomi
manusia yang mendewakan kebebasan. Malah, ada yang memandang dirinya
sebagai kebebasan, sehingga pihak lain tidak berhak mengaturnya. Kebebasan ini
sering mengkondisikan “homo homini lupus”, manusia yang tidak mengenal
batas-batas hak dan wewenang dalam kehidupan sosial.
Pergeseran peran norma moral khususnya terjadi pada masa revolusi
perancis yang menjadi simbol kebebasan segala zaman. Dalam humanisme baru
ini manusia modern makin meninggalkan nilai-nilai baku. Manusia menjadikan
dirinya sebagai aturan dan cenderung melepaskan diri dari keterikatan normatif
yang dianggap ketinggalan zaman. Manusia mengalami diri sebagai otonomi yang
berkuasa penuh atas dirinya sendiri.22 Ini tercermin dari sikap manusia yang tidak
hanya ingin mengolah alam semesta namun lebih ingin menguasai demi
kepentingan pribadi.
Pandangan hidup yang mengagungkan kebebasan personal umumnya akan
mendorong manusia untuk mendahulukan kepentingan pribadi. Yang diutamakan
adalah kebebasan pribadi, dan hak-hak orang lain dilupakan. Sikap ini seringkali
menjerumuskan manusia ke dalam perbenturan dengan pihak lain dalam
kehidupan sosial. Penyanjung kebebasan seolah-olah tinggal diluar entitas sosial
21William Chang, Pendidikan Nilai-Nilai Moral, Kompas Senin 3 Mei 1999 22 Ibid
dan tidak berdampingan dengan sesama. Akibatnya, nilai-nilai moral seringkali
diabaikan dalam pandangan hidup ini.
Arus globalisasi memang akan terus merambah kesetiap penjuru dan
sendi-sendi kehidupan. Oleh karena itu yang menjadi persoalan bukanlah
bagaimana menghentikan laju globalisasi, tetapi bagaimana menumbuhkan
kesadaran dan komitmen manusia kepada nilai-nilai moral, sehingga dampak
negatif dari globalisasi dapat dikendalikan. Sebab ketidakpedulian terhadap nilai-
nilai akan mengakibatkan arah dan tujuan perkembangan peradaban manusia
menjadi tidak jelas. Akibat selanjutnya manusia akan terpuruk dalam kehampaan
makna hidup, alienasi yang mencekam, betapapun ia dilingkupi oleh kekayaan
materiil yang melimpah. Noeng Muhadjir menegaskan bahwa masyarakat
manusia dapat survive karena adanya komitmen pada nilai-nilai moral. Bila semua
orang tidak pernah menaati janjinya, tidak acuh pada tanggung jawabnya,
mempermainkan patokan-patokan moralitas, dapat dibayangkan hancurnya
masyarakat manusia.23 Disinilah arti penting pendidikan moral. Dengan
pendidikan, subyek didik dapat dibantu memahami esensi dan arti penting nilai-
nilai moral dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-
nilai moral itu dalam perilaku nyata, baik nilai-nilai ilahi maupun insani.24
Persoalan pendidikan moral memang harus diakui bukanlah persoalan
baru. Banyak ahli pendidikan dalam merumuskan konsep-konsep pendidikannya
telah mengaitkan dan menjadikan moral sebagai bagian tak terpisahkan dari
23Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Raka Sarasin, 1993) hal. 12
24Ibid, hal.13
sistem pendidikan. Bahkan sering dikatakan bahwa terbentuknya moral yang baik
pada subyek didik merupakan tujuan hakiki dari seluruh proses dan aktifitas
pendidikan. Dalam konteks pendidikan Islam, Muhammad ‘Athiyah al-Ibrasyi
misalnya menegaskan bahwa pendidikan moral merupakan ruh pendidikan
Islam.Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berjiwa budi pekerti dan
akhlak yang bertujuan untuk mencapai akhlak yang sempurna.25 Abdullah Nasih
Ulwan juga menyatakan bahwa pendidikan moral merupakan serangkaian sendi
moral, keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib dilakukan anak didik,
dibiasakan dan diusahakan sejak kecil.26
Masalah moral secara normatif seharusnya sudah implisit dalam setiap
program pendidikan, atau dengan kalimat lain meskipun dalam setiap satuan
pelajaran telah disisipkan “pendidikan moral”, namun konseptualisasi sistem
pendidikan moral secara khusus tetap diperlukan guna memberikan arah atau
panduan kepada pelaku pendidikan dalam menjalankan sistem pendidikan moral.
Dengan demikian kajian tentang konsep pendidikan moral secara spesifik
bukan suatu hal yang mengada-ada dan tumpang tindih (overlapping) dengan
konsep pendidikan secara umum.
Dalam konteks pendidikan Islam, konseptualisasi sistem pendidikan moral
secara filosofis dirasa semakin dibutuhkan, mengingat pemikiran itu dirasa kurang
memadai. Hal ini didasarkan pada kenyataan masih belum jelasnya pemikiran
25 Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami Dan Johar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) hal. 1
26 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam:Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, Terj. Khalilullah Ahmad Masykur (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990) hal. 169
filosofis, konsep-konsep atau teori-teori pendidikan Islam,27 dihadapkan dengan
perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan adanya pergeseran nilai
yang begitu cepat ditengah-tengah masyarakat seiring perkembangan sains dan
teknologi. Dalam konteks demikian, Islam ditantang untuk mampu memberikan
solusi dan pemikiran alternatif sekaligus sebagai koreksi diri atas kelemahan
kelemahan dari khazanah pemikiran yang dimiliki. Oleh karena itu perlu adanya
kajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh pendidikan, baik Islam maupun non Islam,
tentang pendidikan moral untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan, dan sebagai
bahan pertimbangan dalam mengambil konsep-konsep pendidikan moral yang laik
untuk dihidupkan di masa sekarang dan mendatang. Sehingga memberikan
inovasi-inovasi baru yang sesuai dan berguna bagi pendidikan Islam.
Diantara tokoh pemikir muslim yang banyak mengkaji masalah moral,
jiwa dan pendidikan adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,
atau lebih terkenal dengan panggilan al-Ghazali. Dalam sejarah pemikiran Islam
al-Ghazali dikenal sebagai ahli dan praktisi pendidikan, agama, hukum Islam, dan
memiliki keilmuan yang luas mengenai filsafat, tasawuf, kejiwaan, akhlak (moral)
dan spiritualitas Islam.28
Al-Ghazali banyak mengulas tentang pendidikan akhlak (moral). Hal ini
bisa dilihat dari semua karya-karyanya khususnya dalam Ihya’ Ulumuddin,
Mizan al-‘Amal, Mi’raj al-Salikin dan Ayyuha al-Walad. Pengertian pendidikan
menurut al- Ghazali tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh para
27 Ahmad Syafi’i Ma’arif, “ Masalah Pembaruan Pendidikan Islam”, Dalam Ahmad Busyairi Dan Azharuddin Sahil, Tantangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: LPM UII, 1997) hal. 1
28 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan Kesehatan Mental (Jakarta:CV Ruhama,1994) hal.17
ahli pendidikan, yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu
masyarakat kepada individu yang ada didalamnya agar kehidupan dapat
berkesinambungan.29 Perbedaan yang ada mungkin terletak pada nilai-nilai yang
diwariskan dalam pendidikan tersebut. Baginya nilai-nilai itu adalah nilai-nilai
keislaman yang berdasarkan atas al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan kehidupan orang-
orang salaf. Adapun pengertian pendidikan dari segi jiwa menurut al- Ghazali
adalah upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs.
Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari
sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan
moral dan sifat terpuji.30
Dengan demikian pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral sejalan
dengan filsafatnya yang religius dan sufistik.31 Amin Abdullah dalam bukunya
Filsafat Etika Islam, antara al-Ghazali dan Kant juga menyatakan bahwa konsepsi
al-Ghazali tentang etika (moral) bercorak mistis.32 Sumber moral adalah wahyu
dan al-Ghazali menolak rasio sebagai prinsip pengarah dalam tindakan etis
manusia. Dalam hal ini peran rasio tidak dibutuhkan secara optimal. Jika
dibutuhkan, itupun hanya bersifat periferal. Al-Ghazali lebih memilih wahyu dan
bahkan menekankan pentingnya pembimbing moral (Mursyid) sebagai pengarah
utama bagi orang-orang pilihan dalam mencapai keutamaan mistis.33
29 Musya Asy’ari (Ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial, Sebuah Bunga Rampai Filsafat (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hal. 68
30 Ibid, Yahya Jaya, hal 3631 Fatiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikn Akhlak Al-Ghazali Terj. Ahmad Hakim
dan Imam Aziz (Jakarta: P3M,1990) hal. 4 32 M. Amin Abdullah, Antara Al- Ghazali Dan Kant: Filsatat Etika Islam, Penerj.
Hamzah (Bandung: Mizan, 2002) hal. 4033 Ibid, hal. 87
Berbeda dengan al-Ghazali, Emile Durkheim seorang ahli dan praktisi
pendidikan, filsuf moral, dalam pemikirannya tentang pendidikan moral lebih
memilih masyarakat sebagai pemilik otoritas moral dalam rangka
mengembangkan dan merealisasikan hakekat diri manusia. Penegasan Durkheim
semacam ini, merujuk pada pendekatan spiritualisme sosiologis, yaitu sebuah
kepercayaan bahwa sifat dan kepentingan dari keseluruhan dan dari masing-
masing individu yang membentuk keseluruhan tidaklah sama.34 Dengan demikian,
kendati masyarakat merupakan gabungan dari unsur individu, tetapi ia tetap
berbeda bahkan membentuk fenomena baru yang bersifat sui generis (unik).
Spiritualitas sosiologis ini betul-betul diterapkan oleh Durkheim melalui
usaha seriusnya untuk memahami masyarakat sebagai sebuah kenyataan organis
yang independen, yang memiliki hukum-hukum perkembangan dan hidupnya
sendiri.35
Hal yang hendak ditegaskan dari pemaparan diatas adalah bahwa
Durkheim cukup piawai meyakinkan kita perihal otoritas moral yang melekat
pada masyarakat. Disatu sisi tersimpan potensi untuk menuntun, “memaksa”
tingkah laku individu yang berada dan bergulat di dalamnya. Di sisi lain
masyarakat dapat dijadikan landasan berpijak bagi kehidupan moral.
Kepiawaian atau keseriusan mempersoalkan moralitas yang didasarkan
pada konsensus sosial, memang menyebabkan kekaburan dalam tulisan-tulisan
34 JG. Peristiany “Pengantar” Dalam Emil Durkheim, Sosiologi Dan Filsafat, Terj. Soedjono Dirdjosisworo ( Jakarta: Erlangga, 1989) hal Vii
35 Ibid, hal. 35
Durkheim antara sebagai teori sosial atau filsafat moral.36 Namun bagaimanapun
juga akhirnya harus diakui bahwa pemikir kelahiran Perancis ini telah
menemukan kerangka epistemologi orisinil mengenai moralitas dan usaha-usaha
membentuknya (pendidikan moral). Durkheim merumuskannya dengan ilmu
moralitas positivistis (Science Positif de la morale).37
Hal lain yang menarik, menurut penilaian Taufik Abdullah , Durkheim
adalah seorang ahli ilmu pengetahuan yang positivistis dan seorang moralis yang
ingin memperbaiki keadaan masyarakat sekaligus tidak ingin kembali ke tatanan
sosial lama.38 Penilaian demikian tentu saja tidak bisa dilepaskan dari bagaimana
Durkheim mengembangkan ilmu pengetahuan rasional tentang fakta moral. Ilmu
pengetahuan sendiri dimaksud Durkheim adalah tentang fakta moral dengan
menekankan penerapan nalar manusia terhadap tatanan moral.
Studi ilmiah tentang moralitas menurut Emile Durkheim pada dasarnya
mengisyaratkan usaha serius untuk mengkaji fenomena kehidupan moral sebagai
fenomena rasional sejalan dengan evolusi peradaban dan pencerahan masyarakat,
konsekuensinya sekularisasi pendidikan moral dapat diterima sebagai keniscayaan
sebab transformasi sejarah memang menuntut demikian. Dengan alasan
argumentatif ini, Durkheim berpendapat bahwa moralitas harus bersifat rasional
dan dibentuk berdasarkan pijakan nalar. Melihat pemikirannya pada moral dan
36Raymond Aron,sebagaimana Dikutip Taufik Abdullah Menyebutkan Durkheim Selaku Contoh Kenaifan Profesional Dalam Taufik Abdullah & A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas ( Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,1980) hal. 3, Sementara Djuretna A. Imam Muhni Mengkategorikan Durkheim Sebagai Filosof Moral Yng Luhur. “ Djuretna Imam Muhni, Moral Dan Religi Menurut Durkheim Dan Henry Bergson ( Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1994 ) hal. 5
37 Ibid, Taufik Abdullah Dan A.C. Van Der Leeden, hal. 9 38 Ibid, hal. 11
pembentukan moral memperlihatkan bahwa Durkheim adalah ahli pendidikan dan
filsuf moral yang beraliran positivis, bercorak rasional, ilmiah dan sekuler.
Namun demikian walaupun kedua tokoh di atas memiliki corak
pandangan, kondisi sosial dan rentang waktu yang berbeda, keduanya juga
memiliki persamaan. Persamaan-persamaan tersebut adalah baik al-Ghazali
maupun Durkheim sangat menekankan urgensi moral dalam kehidupan manusia
dan pembentukannya melalui pendidikan. Persamaan yang lain berkaitan dengan
sumber pendidikan moral. Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim mengakui
adanya otoritas moral tertinggi dalam kehidupan manusia. Otoritas moral
dipahami sebagai sesuatu yang menyimpan pengaruh kuat dengan memaksakan
semua kekuatan moral yang berada diatas individu. Otoritas tersebut memaksa
manusia untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengannya, dan menjadi
guiding principle dalam kehidupannya.
Namun demikian sumber yang menjadi otoritas moral antara al-Ghazali
dan Emile Durkheim sangatlah berbeda. Bagi al-Ghazali tidak ada semacam
hukum, tatanan, ataupun struktur dasar yang di dalamnya mampu membangun
tindakan moral. Satu-satunya basis moral yang valid adalah wahyu, sedangkan
rasio manusia tidak bisa dianggap sebagai basis fondasi moral. Moralitas yang
dibangun berdasarkan rasio akan sia-sia.
Sedangkan Emile Durkheim menyebutkan bahwa pemilik otoritas moral
adalah masyarakat dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran
kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral
sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu.
Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai unsur pengganti agama sebab ia
merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari realitas empiris yang
dapat disentuh melalui penginderaan dan rasio, sementara Tuhan tidak dapat
dijangkau oleh ilmu pengetahuan. Moralitas yang dibangun Durkheim ini adalah
moralitas sekuler dengan menolak agama sebagai sumber otoritas moral.
Durkheim menganggap sumber moralitas haruslah fakta sosial yang dapat dikaji
dan diamati secara empiris dan mengedepankan fungsi rasio manusia.
Persaman yang lain terletak pada metode pendidikan moral yang
digunakan keduanya. Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim dalam penerapan
praktis pendidikan memiliki kecenderungan paradigmatis yang sama. Keduanya
menekankan pendidikan moral sebagai upaya membentuk pribadi yang bermoral.
Keduanya menekankan pada peran sentral guru atau pembimbing moral dengan
konsep teacher centered dalam metode pembelajarannya.
Persamaan kecenderungan al-Ghazali dan Emile Durkheim diatas
berimplikasi pada penerapan yang hampir sama dalam metode pembelajaran
pendidikan moral. Karena bersifat teacher centered maka metode pendidikan
moral keduanya, menekankan peranan sentral guru dalam pendidikan dengan
metode pembiasaan, metode keteladanan dan disiplin.
Melihat paparan diatas dan menyadari bahwa pemikiran kedua tokoh ini, baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim masih dijadikan dirkursus dan memiliki pengaruh cukup besar terhadap masing-masing budaya dan pemikiran, maka penulis merasa perlu untuk meneliti secara kritis dan komparatif sistem pemikiran kedua tokoh dalam pendidikan moral.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan al-Ghazali dan Emile
Durkheim tentang pendidikan moral?
2. Apakah persamaan dan perbedaan pandangan al-
Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral?
3. Bagaimana relevansi pandangan kedua tokoh
tentang pendidikan moral dalam masyarakat modern?
D.Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Untuk mengetahui pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang
pendidikan moral.
b) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan al-Ghazali dan
Emile Durkheim tentang pendidikan moral meliputi pengertian pendidikan
moral, sumber pendidikan moral, tujuan pendidikan moral dan metode
pendidikan moral.
c) Untuk mengetahui relevansi pandangan kedua tokoh tentang pendidikan
moral dalam masyarakat modern.
Dengan demikian penelitian ini diharapkan berguna untuk:
a) Memberikan manfaat bagi para pendidik khususnya agar dalam praktek
pendidikannya menekankan kepada pembentukan sikap, perilaku dan
membentuk moral sehingga tujuan pendidikan Agama Islam dapat dicapai.
b) Memberikan masukan dan informasi bagi disiplin ilmu Tarbiyah sehingga
dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berminat.
c) Sebagai bahan pemikiran untuk penelitian lebih lanjut, misalnya
mengembangkan penelitian dimaksud dengan mengembangkan tokoh lain.
d) Menemukan inovasi baru dalam pendidikan moral.
E. Metode Penelitian
Kajian skripsi ini seluruhnya berdasar atas kajian pustaka atau studi literatur. Oleh karena itu sifat penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Data yang dikumpulkan dan dianalisis seluruhnya berasal dari literatur maupun bahan dokumentasi lain, seperi tulisan di jurnal, maupun media lain yang relevan dan masih dikaji.
Data yang dikumpulkan dalam studi ini adalah dua jenis data yaitu data yang bersifat primer dan data yang bersifat sekunder. Data primer merupakan data yang terkait dengan pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral dalam berbagai karyanya, antara lain: “Ihya’ Ulumuddin”, “Fatihat al-Ulum”, “Mizan al-‘Amal”, “Mi’raj al-Salikin”, “Ayyuha al-Walad”. Adapun data primer dari Durkheim meliputi: “Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan”, Sosiologi dan Filsafat. Sedangkan data yang sekunder merupakan data yang terkait dengan pendidikan moral yang dikemukakan oleh ilmuwan lain. Data sekunder ini digunakan sebagai bahan penunjang dan pelengkap analisis.
Adapun metode analisis yang digunakan adalah:
a. Metode Historis
Metode historis dimaksudkan untuk menyingkap, menggali dan menelaah
serta menganalisis persoalan-persoalan yang menjadi obyek studi ini dari
kacamata kesejarahan sehingga didapatkan kesimpulan yang obyektif karena
didasari analisis latar belakang peristiwa yang obyektif.39 Metode ini berpijak
pada pendekatan historis yang digunakan bukan untuk menampilkan aspek
kesejarahan pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim secara kronologis dari
waktu ke waktu, tetapi digunakan terfokus pada kajian mengenai biografi al-
39 Nouruzzaman Shidiqi, Pengantar Sejarah Muslim (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983) hal. 21
Ghazali dan Emile Durkheim, pendidikan dan karir intelektualnya. latar belakang
sosio-kultural, latar belakang pemikirannya, karya-karyanya dan hal lain yang
relevan.
b. Metode Deskriptif
Metode deskriptif merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam
rangka representasi obyektif tentang realitas yang terdapat di dalam masalah yang
di teliti.40 Atau dapat juga diartikan sebagai metode yang digunakan untuk
mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan, melacak
dan mensistematisir sedemikian rupa. Selanjutnya dengan keyakinan tertentu
diambilah kesimpulan umum dari bahan-bahan tentang obyek permasalahannya.41
Dalam hubungannya dengan pembahasan penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pemikiran-pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim yang berkait tentang pendidikan moral dari berbagai karyanya.
c. Metode Analisis.
Metode analisis ini digunakan untuk menelaah pemikiran pendidikan
moral al-Ghazali dan Emil Durkheim yang telah dijelaskan dengan metode
deskriptif. Cara yang digunakan adalah analisis isi (content analisis), yaitu
menganalisis konsep dari pemikiran berbagai tulisan yang berkait dengan
pendidikan moral, terutama yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan Emil
Durkheim.
d. Metode Komparatif.
40 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 1985) hal. 63
41 Sutrisno Hadi, Metodologi Research. I, (Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1987) hal. 3
Metode komparatif ini menggunakan logika perbandingan . Komparasi
yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif42. Melalui komparasi
tersebut pemikiran al-Ghazali dan Emil Durkheim tentang pendidikan moral
sebagai fokus kajian penelitian ini dibandingkan, selanjutnya disusun
kategorisasi teoritis43yaitu perbedaan dan persamaan kedua tokoh tersebut
dalam pendidikan moral. Pembandingan ini selanjutnya digunakan untuk
menemukan aktualitas, melacak relevansi, kesejajaran dan bahkan menemukan
kemungkinan pendididikan moral untuk diterapkan pada masa sekarang dan
yang akan datang. Tata pikir yang digunakan adalah tata pikir relevansi yang
menunjuk pada keterhubungan yang bersifat fungsional tertentu dengan
dimensi yang dipertanyakan.44
F. Tinjauan Pustaka
Satu hal yang pasti bahwa pemikiran al-Ghazali ini bukan merupakan yang pertama kali. Kajian tentang tokoh al-Ghazali, telah banyak dilakukan, baik mengenai sejarah hidupnya, karya-karyanya maupun pemikirannya dalam berbagai masalah seperti filsafat, etika, tasawuf, pendidikan, masalah jiwa dan lain-lain. Namun demikian pemikirannya tentang pendidikan moral sejauh pengetahuan penulis, belum tergarap secara spesifik. Pemikiran yang ada biasanya masih bertumpu pada pendidikan secara umum, ataupun pada aspek-aspek lain yang belum tersusun pada bangunan sistem pendidikan moral. Diantara beberapa penulis yang membahas pemikiran al-Ghazali adalah Skripsi Asep Suryana yang membahas “ Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam” yang meliputi pengertian, tujuan, metode dan kurikulum materi pendidikan Islam, Abidin Ibnu Rusn yang mengulas tentang “Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan” yang berisi pandangan al-Ghazali tentang manusia dan ilmu, pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pengertian, subyek didik, kurikulum, metode pendidikan dan Evaluasi pendidikan. Dalam buku ini juga dibahas tentang aktualitas pemikiran al-Ghazali dalam Dunia pendidikan dewasa ini dan juga
42 Fakta-fakta replikatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data-data yang menggambarkan sistem pendidiakn moral menurut al-Ghazali dan Emile Durkheim43 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1989), hal. 113
44 Ibid, hal. 99
Skripsi Moch. Ani Muchlis yang menulis “Komparasi Pemikiran Pendidikan Islam Antara Al-Ghazali Dan Naquib Al-Attas”. Dalam skripsi ini dikomparasikan pemikiran pendidikan keduanya meliputi Pengertian pendidikan, konsep tentang ilmu, konsep tentang manusia, tujuan pendidikan dan sistem pendidikan Islam. Satu-satunya yang mengulas pemikiran pendidikan moral al-Ghazali sepanjang yang penulis ketahui adalah tesis Zainal Abidin Ahmad yang mengulas tentang “Pendidikan Moral Menurut Al-Ghazali” meliputi: tujuan pendidikan moral, materi pendidikan moral, dan metode pendidikan moral. Dalam tesis ini juga dikemukakan kelemahan dan kekuatan dari pemikiran al-Ghazali dan relevansinya dengan masa sekarang.
Sedang Emile Durkheim Sebagai seorang sosiolog yang berkaliber internasional maka banyak cendekiawan yang mencoba menyoroti pemikirannya.. Djuretna A. Imam muhni dalam “Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henry Bergson” telah membahas pemikiran Emile Durkheim tentang bagaimana pentingnya moral dan religi sebagai dasar kesejahteraan dan kebaikan hidup bersama, dalam disertasi ini Djuretna membandingkan kedua tokoh yaitu Emile Durkheim dan Henri Bergson. Disamping itu dalam jurnal filsafat, Djuretna juga membahas tentang pemikiran Emile Durkheim mengenai moralitas ditinjau dari segi filsafat pancasila dengan judul “Pandangan Moral Emile Durkheim Ditinjau Dari Filsafat Pancasila”.
Begitu pula skripsi dengan judul “Relasi Moral dan Masyarakat” yang
ditulis oleh M. Ridwan alumni fakultas Ushuluddin.M. Ridwan membahas esensi
moralitas yang terdiri dari tiga unsur kaitannya dengan dinamika moral dalam
masyarakat yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok dan otonomi. Dan juga
Skripsi karya Fathatur Rahmani dengan judul “Sekolah Sebagai Laboratorium
Pendidikan Dan Pelatihan Moral” yang menfokuskan pembahasan pada
Penggunaan sekolah sebagai laboratorium pendidikan dan pelatihan unsur-unsur
moralitas yang merupakan salah satu pandangan Emile Durkheim dalam
pendidikan moral. Dalam skripsi ini juga dibahas relevansi pandangan Emile
Durkheim dengan pendidikan Islam.
Dari beberapa karya yang telah disebutkan diatas maka dapat dipastikan bahwa studi komparasi tentang pendidikan moral menurut al-Ghazali dan Emile Durkheim belum pernah dibahas. Karena itu dalam skripsi ini penulis
memfokuskan pada “Pendidikan Moral Dalam Pandangan Al-Ghazali Dan Emile Durkheim Dalam Masyarakat Modern”. Pandangan atau pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral selanjutnya sedapat mungkin akan dikaji secara kritis metodologis untuk mendapatkan jawaban atas persoalan-persoalan yang menjadi sasaran kajian.
G. Kerangka Teoritik
Penulis memandang perlu kiranya melihat hal-hal yang melandasi
munculnya pengertian moral dan teori-teori tentang pendidikan moral, sebagai
pisau analisa untuk membedah dan membandingkan pendidikan moral menurut
al-Ghazali dan Emile Durkheim.
Masalah atau pengertian moral selama ini menjadi bahan perdebatan para
pemikir. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan, kecenderungan,
pengalaman, pengetahuan dan kondisi sosial budaya yang berbeda. Untuk melihat
pengertian tentang moral, banyak teori-teori yang telah dihasilkan oleh para ahli
yang mendasari lahirnya pengertian moral. Diantara teori tersebut antara lain:45
1. Teori Darwin (Survival of the Fittest) kelangsungan hidup bagi yang kuat
dan sempurna. Teori ini berintikan bahwa kehidupan itu bagi mereka yang
kuat.
2. Teori Sosiologi, yang menegaskan bahwa baik bukan nilai mutlaq. Hal
yang baik dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat.
3. Teori Psikoanalisa yang dikemukakan oleh Freud (1856-1939)
menerangkan bahwa semua tingkah laku manusia muncul dari dalam dirinya
dan timbul dari pengendapan pengalaman yang sudah-sudah
45 Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam (Yogyakarta, CV Bina Usaha, 1984) hal. 12
4. Teori yang menyatakan bahwa moralitas adalah kebiasaan, customs,
tradisi yang dapat berganti-ganti menurut keadaan zaman, ruang dan empiris.
Teori ini dikemukakan oleh David Hume(1711-1776) seorang empiris yang
menyatakan bahwa tindakan dianggap benar jika menimbulkan persetujuan
dari masyarakat. Jadi moral dalam hal ini adalah nilai mayoritas.
5. Teori Idealis, bahwa moral itu mutlak, akan tetapi hanya mengikuti arah
sampai pertengahan jalan , sehingga hasilnya tidak memuaskan.
Melihat dari teori-teori yang ada diatas nampaknya pengertian moral al-
ghazali dianalisis dengan teori Psikoanalisa Freud. Pengertian moral menurut al-
Ghazali adalah suatu keadaan atau bentuk jiwa dari mana timbul perbuatan-
perbuatan yang mudah tanpa fikir dan usaha.46 Psikoanalisa Freud yang juga
melahirkan spirit personality yang muncul dari dalam diri, walaupun sumbernya
berbeda. Bila Freud menggunakan id, ego dan super ego maka Ghazali memakai
istilah qalb, nafs, aql dan ruh.
Sedangkan moral dalam pandangan Emile Durkheim nampaknya lebih
mendekati pandangan David Hume yang menekankan moralitas bersumber dari
apa yang berulang dan ada di masyarakat (moralitas adalah ciptaan sosial), kaidah
moral adalah nilai kolektifitas, dan masyarakat adalah pemilik otoritas moral. 47
Adapun dalam kaitannya dengan pendidikan moral dalam masyarakat
modern ada tiga teori yang menerangkan tentang usaha menumbuhkan dan
46 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Terj. H. Ismail Yakub (Jakarta: CV. Faizan, 1985) Jilid VII
47 Lihat Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Terj. Lukas Ginting ( Jakarta : Erlangga, 1990) hal.x
mengembangkan moral, yaitu: teori Perkembangan Kognitif, teori Belajar Sosial
dan teori Psiko Analitik.
Yang pertama Teori Perkembangan Kognitif awalnya dikemukakan oleh
John Dewey, dilanjutkan oleh Piaget dan disempurnakan Kohlberg. Menurut teori
ini proses perkembangan moral manusia muncul secara bertahap berurutan
(stepwise sequence) melalui tahapan- tahapan penalaran moral. Teori ini
menekankan untuk terwujudnya moralitas, pendidikan moral hendaknya
mempertimbangkan tahapan penalaran moral anak didik. Teori ini juga
memandang semakin tinggi penalaran moral seseorang semakin tinggi pula
moralitas yang dimilikinya. Tahapan moral yang lebih tinggi tidak akan mungkin
mundur ke tahapan yang selanjutnya. moral.48
Teori yang kedua adalah Teori Belajar Sosial ( Social Learning Theori).
Teori ini bersumber dari ajaran Empirismenya John Locke dan Behaviorismenya
Watson dan Skinner yang memandang hakekat manusia seperti kertas kosong
(blank state) yang siap ditulisi oleh masyarakat. Teori ini memandang sumber
moral adalah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dan untuk membentuk
moral, pendidikan moral hendaknya mempelajari mengenai apa saja yang
seharusnya dikerjakan setiap orang dalam masyarakatnya49.
Teori yang ketiga yaitu teori Psikoanalitik yang bersumber dari ajaran
Freud. Teori ini memandang hakekat manusia sebagai makhluk yang dikendalikan
oleh hati nurani yang sulit dikontrol. Agen-agen masyarakat khususnya orang tua
48 Frans Magnis Suseno, Etika Dasar ; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta, Kanisius, 1994) hal. 34
49 Ibid, hal. 35
harus turut campur tangan membentuk perilaku anak untuk kebaikan individu dan
masyarakatnya. Pengembangan moral dapat dilakukan melalui belajar penguasaan
diri dan disiplin.50
Dari ketiga teori pendidikan moral yang ada diatas penulis mengunakan
dua teori, yaitu teori Psikoanalitiknya Freud untuk membedah dan menganalisa
pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral dan Teori Belajar Sosial (Social
Learning Theori) untuk membedah dan menganalisa pemikiran pendidikan moral
Emile Durkheim.
H. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan skripsi ini dibagi menjadi lima Bab
Bab I Pendahuluan terdiri dari sub-sub bab mengenai: penegasan istilah,
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik dan sistematika pembahasan.
Bab II akan difokuskan untuk mengenal lebih dekat al-Ghazali dan Emile
Durkheim yang memuat: biografi al-Ghazali dan Emile Durkheim , keterlibatan
al-Ghazali dan Emile Durkheim dalam dunia pendidikan, latar belakang sosio
politik, latar belakang pemikiran serta karya-karya al-Ghazali dan Emile
Durkheim.
Sedangkan pada Bab III akan dijelaskan mengenai pemikiran al-Ghazali
dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral meliputi: pengertian dan hakekat
pendidikan moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidikan moral, materi
50 Ibid, hal. 36
pendidikan moral, metode pendidikan moral dan peran dan kualifikasi pendidik
moral.
Bab IV memuat tentang masyarakat modern meliputi pengertian
masyarakat modern, peradaban masyarakat modern, problem manusia modern
dan moral di era modernitas
Bab V memuat telaah komparasi antara pandangan al-Ghazali dan Emile
Durkheim tentang pendidikan moral meliputi pengertian dan hakekat pendidikan
moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidikan moral, materi pendidikan
moral, metode pendidikan moral dan peran dan kualifikasi pendidik moral.Dalam
bab ini juga memuat relevansi pandangan kedua tokoh tentang pendidikan moral
dalam masyarakat modern
Bab VI berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB IIMENGENAL LEBIH DEKAT AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM
Biografi Al-Ghazali
1. Al-Ghazali dan Lingkungan Keluarganya
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang teolog Muslim, ahli pendidikan, dan
sufi abad pertengahan. Lahir pada 1058 M/450 H di desa Ghazalah, di Thus
(sekarang dekat Meshed),51 sebuah kota di Persia. Sekarang daerah tersebut
termasuk dalam propinsi Khurasan, Iran. Ia meninggal dunia di kampung
halamannya, Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H atau 19
Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Thaburan, wilayah
Thus.52)
51) Wilayah Thus sendiri Terdiri dari dua Kotapraja, yaitu Thaburan dan Nawqan, sebuah kota kecil yang sangat cocok, dibangun dengan kokoh, dan merupakan daerah yang padat penduduknya. Wilayah tersebut juga terkenal dengan perairan dan pepohonannya serta kandungan mineral di sekitar daerah barisan pegunungan. Daerah ini juga lebih dikenal sebagai tempat kelahiran beberapa tokoh terkemuka dalam sejarah Islam seperti Wazir Nizam al-Mulk, ‘Umar Khayyam, Shahrastani, Raghib Isfahaniy, Ibnu Tumart, dll. yang hidup sezaman dengan al-Ghazali. Lihat Margaret Smith, al-Ghazali The Mystic (Lahore: Kazi Publication, t.t.), hal. 9. Lihat juga dalam M. ‘Umaruddin, The Ethical Philosophy of al-Ghazali, (Delhi: Publisher & Distributors, 1996), hal. 29.
52) Abu Hamid Al-Ghazali, Jawahirul Qur’an: Permata Ayat-ayat Suci, alih bahasa, Mohammad Luqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal. xi-xv. Lihat Juga dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, alih bahasa, Eva Y.N., dkk., cet. 1, (Bandung: Mizan, 2001), II:111, artikel al-Ghazali.
Imam al-Ghazali ,53) nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih
dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja.54) Al-Ghazali juga populer dengan
sebutan Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama)55), al-Faqih asy-
Syafi’i, dan Bahrun Mugriq.56) Ia juga dijuluki the Spinner yang berarti pemintal
atau penenun.57)
Al-Ghazali hidup pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah II.58) Ia lahir di
tengah-tengah keluarga yang tinggi religiusitasnya. Ayahnya, Muhammad, adalah
seorang penenun dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di
Thus, di luar kesibukannya, ia senantiasa menghadiri majelis-majelis pengajian
yang diselenggarakan para ulama. Al-Ghazali juga mempunyai seorang saudara
laki-laki yang bernama Abu al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin
53) Ada dua macam penulisan al-Ghazali: (1) ditulis dengan “al-Ghazali”, ini berasal dari nama desa atau kampung tempat kelahirannya, yaitu Ghazalah; karena itu sebutannya adalah al-Ghazali (dengan satu ”z”). Dan (2) berasal dari pekerjaannya sehari-hari yang dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya, yaitu menenun dan menjual kain tenunannya yang disebut dengan “Ghazzal”; karena itu panggilannya adalah al-Ghazzali (dengan dua “z”). Lihat dalam Jamil Saliba, Tarikhu al-Falsafah al-‘Arabiyyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Libanoniy, 1973), hal. 333. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, cet. 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 135. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 28-29.
54) H.M. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 63.
55) Yusuf al-Qardhawi, al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, alih bahasa, Hasan Abrori, cet. 3 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1996), hal. 39.
56) Basyuni Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filsuf Muslim, cet. I, (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997), hal. 79. Lihat juga dalam H.M. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 71.
57) Idris Shah, The Sufis, cet. V, (Southampton: The Camelot Press, 1989), hal. 147.58) Menurut Syalabi sejarah Dinasti ‘Abbasiyah dibagi dalam 3 periode: Periode
pertama, yaitu sejak berdirinya tahun 132-232 H. yang ditandai dengan adanya kekuasaan politik ditangan para Khalifah ‘Abbasiyah; periode kedua, dimulai tahun 232-590 H. yang ditandai oleh tiadanya kekuasaan para khalifah dan berpindah tangan pada 3 dinasti, (1) Sultan-sultan Turki (232-334 H) (2) Bani Buwaihi (334-447 H) (3) Bani Saljuk (447-590 H). dan periode ketiga, sejak berakhirnya kekuasaan Bani Saljuk tahun 590 hingga berakhirnya dinasti ‘Abbasiyah tahun 656 H/1258 M. yang ditandai dengan terpecahnya kerajaan Islam menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Lihat Syalabi, Mausu’ah at-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah al-Islamiyyah, cet. 5 (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misri, 1974), III: 20-21.
Ahmad at-Thusi al-Ghazali yang dikenal dengan julukan Majduddin (w. 520).
Kondisi keluarga yang religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama
besar. Hanya saja saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding
al-Ghazali yang menjadi penulis dan pemikir.59) Ayah al-Ghazali adalah seorang
pencinta ilmu, bercita-cita tinggi, dan seorang muslim yang saleh yang selalu taat
menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya
untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya tercapai. Ia meninggal sewaktu
al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad masih kecil.60) Margaret Smith mencatat
bahwa ibu al-Ghazali masih hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan
saudaranya Ahmad sudah menjadi terkenal.61)
Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari pola
hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia sempat
berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad bin
Muhammad ar-Razakani at-Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk
memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, Yaitu Muhammad dan
Ahmad, dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya.
Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya
tambahan. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus
untuk bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan. Di sinilah awal mula
59) Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), I:404, artikel al-Ghazali.
60) Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, cet. 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 322-323.
61) Margaret Smith, Op.Cit, hal. 55.
perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai akhir
hayatnya.62)
Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali adalah salah seorang pemikir
besar Islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah seorang pribadi
yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali adalah pakar
ilmu syari’ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai ilmu Fiqh, Ushul
Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf, Akhlak, dan sebagainya. Pada tiap-tiap
disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali telah menulisnya secara mendalam, murni dan
bernilai tinggi.
Banyak tokoh yang mengungkapkan pujian dan kekagumannya pada al-
Ghazali. Imamal-Haramain (seorang mantan gurunya) misalnya, ia berkata “Al-
Ghazali adalah lautan tanpa tepi”. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam
Muhammad bin Yahya berkata, “Imam Al-Ghazali adalah asy-Syafi’i kedua”.
Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama sezamannya, yaitu Abu al-
Hasan ‘Abdul Ghafir al-Farisiy, beliau mengatakan, “Imam al-Ghazali adalah
Hujjatul Islam bagi kaum Muslimin, imam dari para imam agama, pribadi yang
tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya,
ucapannya, kecerdasan maupun tabiatnya.”63)
2. Pendidikan dan Karier Intelektual Imam Al-Ghazali
Pendidikan al-Ghazali di masa anak-anak berlangsung dikampung
halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh
62) H.M. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 64. lihat juga dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 404.
63) Yusuf al-Qardhawi, Op.Cit, hal. 39-41.
Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, seorang sufi yang mendapat wasiat
dari ayahnya untuk mengasuh mereka. Dan kepadanyalah kali pertama al-Ghazali
mempelajari Fiqh. Namun setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh
mereka, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus.
Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya, ia
merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara
kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh
dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma’il bin
Mus’idah al-Isma’iliy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-
Isma’iliy.64)
Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali yang telah berusia 20 tahun
berangkat lagi ke Nisabur pada tahun 470 H. untuk belajar kepada salah seorang
ulama Asy’ariyyah, yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dan
mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478
H. Al-Juwaini lebih dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali belajar
kepadanya dalam bidang Fiqh, ilmu debat, Mantiq, Filsafat, dan ilmu kalam.65)
Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali dengan bekal
kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin
pada madrasah yang didirikan Imam al-Haramain di Nisabur.66)
64) Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 404.65) Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman; Suatu
Pengantar Tentang Tasawuf, alih bahasa, Ahmad Rofi’ Usmani, cet, 2 (Bandung: Pustaka, 1997), hal.148-149. Lihat juga dalam Jamil Saliba, Op. Cit, hal. 334.
66) Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Munqiz min ad-Dlalal (Beirut: al-Maktabah al-Sya’biyyah, t.t.), hal. 21-22. Lihat juga dalam Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit, hal. 34-35.
Disamping itu, al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi,
yaitu ImamYusuf al-Nasaj dan Imam Abu ‘Ali al-Fadl bin Muhammad bin ‘Ali
al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti
Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al-Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin
‘Ali bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad al-
Khuwariy, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i al-Zauzani, al-Hafiz
Abu al-Fityan ‘Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi al-Dahistaniy, dan Nasr bin
Ibrahim al-Maqdisi.
Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi tempat
kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintah Sultan ‘Adud ad-Daulah
Alp Arselan (455 H/1063M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465
H/1072 M-485 H/1092 M) dari Dinasti Salajiqah di al-‘Askar,67) sebuah kota di
Persia. Wazir tersebut bernama Nizam al-Mulk.68) Wazir kagum atas pandangan-
67) Khudri Beik menyebutkan bahwa pemerintahan dinasti Saljuk terbagi menjadi 5 bagian, yaitu: 1) Saljuk Raya/Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwas; 2) Saljuk Kirman; 3) Saljuk Irak dan Kurdistan; 4) Saljuk Syria; 5) Saljuk Rum (Asia kecil). Malik Syah sendiri termasuk sultan dari Saljuk Raya. Para sejarawan juga menyebutkan bahwa keterkaitan antara Dinasti Saljuk dengan Dinasti ‘Abbasiyah lebih disebabkan karena kesamaan ideologi, yang mana keduanya sama-sama menganut faham sunni. Lihat Muh{ammad Khudri Beik, Muh}ad}}arah Tarikh al-Umam al-Islamiyyah, (Mesir.: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1970), II: 44. Lihat juga Syalabi, Op.Cit, hal. 430.
68) Nama aslinya adalah Abu ‘Ali al-Hasan bin ‘Ali bin Ishaq bin al-‘Abbas. Julukannya adalah Nizam al-Mulk Qawam ad-Din at-Tusi. Namun ia lebih dikenal dikalangan umat Islam dengan nama Nizam al-Mulk saja. Ia dikenal sebagai orang yang cinta ilmu dan tokoh pelopor pendidikan Islam model Madrasah yang kemudian ditiru oleh banyak orang. Menurut as-Subki, Nizam al-Mulk mendirikan 9 Madrasah Nizamiyah, yaitu di Bagdad, Nisabur, Balkh, Herat, Isfahan, Basrah, Marwi, Amul Tabaristan, dan Moshul. As-Subki, Tabaqah asy-Syafi’iyah al-Kubra, cet. I, (Mesir: ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syuraka’uh), IV: 313-314. Ia meninggal dibunuh oleh seorang dari golongan Batiniyah atau Hasyasyin atau Isma’iliyyah 10 Ramadhan 485 H setelah sekitar 30 tahun mengabdi kepada dua orang sultan dinasti Saljuk yaitu Alp Arselan dan Malik Syah. Lihat Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan wa Anba, Abna az-Zaman (Beirut: Dar Sadir, t.t.), II: 128-129. lihat juga Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami as-Siyasi wa ad-Dini wa as-S#aqafi wa al-Ijtima’i, cet. 1 (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1967), IV: 31-31. Ia adalah negarawan yang menurut Prof. Philip K. Hitti sebagai salah seorang tokoh politik yang turut menghiasi sejarah perpolitikan umat Islam. Ia juga mendapat gelar Atabek karena kesungguhannya
pandangan al-Ghazali sehingga al-Ghazali diminta untuk mengajar Fiqh asy-
Syafi’iyah di perguruannya, Nizham al-Mulk, di Baghdad, yang lebih dikenal
dengan perguruan atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali mengajar di Baghdad
pada tahun 484 H/1091 M.69) Pada saat inilah al-Ghazali yang pada waktu itu
berusia 34 tahun memperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai
puncak kariernya yang ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda.70)
Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar di Baghdad. Kemudian ia
meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua
kalinya pada tahun 488 H. setelah ia mewakilkan tugasnya kepada saudaranya,
dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang
zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan, dan menyucikan
diri dari dosa selama kurang dari 2 tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun
490 H/1098 M. dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis, Palestina, dan
melanjutkan perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud
untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun. Namun
sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali mendengar kabar kematian Amir
dalam mengabdi kepada negara. Lihat K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1980), hal. 269. Muh}ammad al-Khudri Beik, Muhadarah…., II: 428. Nizam al-Mulk adalah pengarang Siyasat Namah yang merupakan karya besar baik ditinjau dari segi budaya, sosial, dan politik. Lihat Ahmad Kamaluddin Hilmi, As-Salajiqah fi at-Tarikh wa al-Hadarah, cet. 1 (Kuwait: Dar-al-Buh{us al-‘Ilmiyyah, 1975), hal. 44. Siyasat Namah juga dapat dipandang sebagai pedoman politik dan pendidikan dalam pemerintahan yang baik pada masa itu. Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, alih bahasa Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah, cet. 1 (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 114.
69) Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Routledge History of World Philosophies: History of Islamic Philosophy Part I, cet. 1 (London dan New York: Rotledge, 1996), I: 260. Lihat juga dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 404-405.
70) M.M. Sharif, A. History of Muslim Philosophy (Delhi: Low Price Publications, 1961), I: 584.
tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur menuju tanah suci
Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan diangkat oleh Fakhr
al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari Gubernur Khurasan, Sanjar
yang merupakan salah seorang putra Malik Syah, sebagai Presiden dari perguruan
di Nisabur pada tahun 1105.71) Tidak lama di Nisabur, kemudian ia kembali ke
Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari teologi, tasawuf, serta
madrasah fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali
menghabiskan sisa hidupnya setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan
berpuluh tahun lamanya dan sesudah memperoleh kebenaran yang sejati.72)
3. Latar Belakang Sosial Politik
Situasi Politik
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari kehidupan politik yang
tidak jarang menumbuhkan benih-benih konflik baik internal maupun eksternal.
Benih-benih konflik yang terjadi di kalangan umat Islam telah muncul secara jelas
sejak masa Khalifah ‘Usman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang
berselisih dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan,73) dan pada saat inilah maka umat
Islam berselisih dalam dua medan: Imamah (politik) dan Ushul (teologi).74) Dalam
medan politik muncul partai dan aliran Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah serta lahir
Daulat Umawiyah yang berpusat di Damaskus (40-132 H) kemudian Daulat
71) Jamil Saliba, Op.Cit, hal. 337-338. Lihat juga dalam Muhammad Lutfi Jum’ah, Tarikh Falasifah al-Islamiyyah fi al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal. 67. Zainal Abidin, Op.Cit, hal. 43-53.
72) M.M. Sharif, Op.Cit, hal. 587. Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit, hal. 52-53.73) Ibnu Khaldun, Kitab al-‘Ibar wa Daiwan al-Mubtada’ wa al-Khabar (Beirut:
Muassasat Jammal li al-Tiba’ah wa al-Nasyar,1979) II: 4.74) Syahrastani , Al-Milal Wa an-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 19-31.
‘Abbasiyah di Baghdad (132-656 H), disamping sisa Daulat Umawiyah di
Spanyol (138-403 H), yang di masa Al-Ghazali sudah terkeping-keping menjadi
kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Tawa’if), dan Daulat Fathimiyyah/Isma’iliyyah
di Mesir (297-567 H) yang hal tersebut menandakan adanya pergeseran doktrin
politik Islam yang hakiki kepada monarkisme yang secara umum lebih
mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi dan diwarnai oleh konflik-konflik
politik berkepanjangan.75)
Tetapi umat Islam sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” (‘Am al-Jama’ah)
yang dipelopori oleh al-Hasan bin ‘Ali, Ibn ‘Abbas, dan Ibn ‘Umar, tidak terbawa
hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari pentas politik
praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal ini membawa
ekses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu “Ulama”
dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh
kemurnian Islam dan obyektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu
dan dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang kemudian disebut Ahl as-
Sunnah Wa al-Jama’ah yang salah satu tokohnya adalah al-Ghazali.
Sepanjang perjalanan Daulat ‘Abbasiyah kompetisi dan konflik
berlangsung antara Bani ‘Abbas dan Syi’ah-Mu’tazilah yang lebih dominan
disebabkan oleh perbedaan faham dan ideologi. Bahkan, krisis politik Dinasti
75) Abul A’la Al-Maududi mengatakan, perubahan sistem kekhilafahan Islam menjadi sistem kerajaan (monarki) menyebabkan terpecahnya kepemimpinan umat Islam menjadi dua, yaitu: 1) pemimpin politik, yaitu yang telah diraih oleh para raja dengan kekuatannya; 2) pemimpin agama, yaitu pemimpin yang tetap dipegang oleh kalangan para sahabat Nabi SAW., para tabi’in dan pengikut-pengikut mereka serta para fuqaha’, ahli-ahli Hadits dan tokoh-tokoh yang baik di kalangan umat. Lih. Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, alih bahasa, Muhammad al-Baqir, cet. VI (Bandung: Mizan, 1996), hal. 261-264.
‘Abbasiyah yang sangat kompleks ini memaksa jatuhnya otoritas eksklusif
Kekhalifahan ‘Abbasiyah ke tangan sultan-sultan yang membagi wilayah
‘Abbasiyah menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen.76) Diantaranya
adalah Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063 M) hingga
akhirnya dapat menguasai kota Baghdad pada tahun 1055 M., tiga tahun sebelum
al-Ghazali lahir,77) sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Bani Buwaihi yang
sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055 M).78)
Maka sejak saat itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang
Sunni dengan corak keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti Saljuk inilah
terutama sejak dipegang oleh Sultan Alp Arselan lalu Malik Syah dengan
wazirnya yang masyhur, Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah mencapai puncak
kejayaannya kembali.79) Namun pada masa Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari
adanya konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran keislaman.80)
76) Pada masa ini Khalifah hanya sekedar menjadi simbol spiritual yang hanya memiliki otoritas moral. Hal ini untuk mempertahankan fiksi historis bahwa kekhalifahan tetap dari suku Arab-Quraisy. Sedang Wazir Khalifah hanya semata-mata mengurus tanah koneksi dan nafkah keluarga Khalifah. Lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa kekuasaan efektif pada masa ini berada ditangan sultan-sultan yang independen. Lihat dalam Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, alih bahasa, Gufron A. Mas’adi, cet. 1. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 223. Akhmad kamaluddin Hilmi, Op.Cit, hal. 159.
77) HM. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 64-65.78) Joesoep Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
hal. 258. Hasan al-Basya, Dirasah fi Tarikh ad-Daulah al-Abbasiyah (Kairo: Dar an-Nahdhah al- Arabiyyah, 1975), hal. 117.
79) Pada masa Dinasti Saljuk ini, Khalifah-Khalifah ‘Abbasiyah diperlakukan secara hormat, tidak seperti pada masa Dinasti Buwayhi yang menganut paham Syi’ah Isna ’Asy’ariyah dimana Khalifah-Khalifah ‘Abbasiyah diperlakukan secara tidak hormat. Hal ini sangatlah wajar karena ada keterkaitan secara ideologis yang mana baik Dinasti ‘Abbasiyah maupun Dinasti Saljuk sama-sama menganut faham Sunny. Tidak hanya sekedar itu, jalinan antara kedua Dinasti inipun dipererat oleh adanya ikatan perkawinan, seperti Khalifah al-Qaim yang mengawini putri saudara Togrel Bek, Khalifah al-Muqtady yang mengawini putri Sultan Alp Arselan (464 H), Khalifah al-Mustazhir yang mengawini putri Sultan Malik Syah, Khalifah al-Mustakfy yang mengawini putri Sultan Muhammad bin Malik Syah. Lihat dalam Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, hal. 306-307. Lihat juga dalam Syalabi, Op.Cit, hal. 437-438. Muhammad Khudri Bek, Op.Cit, hal. 421.
80) Pada masa Sultan Togrel Bek terjadi intimidasi karena perbedaan faham keagamaan yang dilakukan oleh Wazir al-Kunduri anti Syafi’iyah Asy’ariyah. Diantara korbannya adalah al-
Faktor eksternal yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti ‘Abbasiyah
adalah kondisi Dinasti Fathimiy yang menganut Syi’ah Isma’iliyyah di Mesir
yang sedang mengalami kemerosotan menuju keruntuhannya baik karena krisis
ekonomi, politik internal maupun karena desakan negara-negara Murabithin yang
Sunny-Maliky di Afrika Utara hingga sebagian Sudan dan berafiliasi ke
‘Abbasiyah. Sedang ‘Abbasiyah pusat sendiri terus menerus mendesak dari arah
Timur dan Utara. Dengan sendirinya Isma’iliy Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569
H) ikut menyusut.
Namun sepeninggal Malik Syah dan Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah berubah
drastis, yang akan diikuti oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-Ghazali.
Merosotnya otoritas pemerintah disebabkan oleh adanya konflik/perang saudara
yang berkepanjangan di kalangan istana (internal).81) Keadaan ini diperparah lagi
dengan bangkitnya kaum Bathiniyyah/Isma’iliyyah/Ta’limiyyah di Timur yang
melancarkan teror-teror sehingga memakan korban, diantaranya adalah Wazir
Nizham al-Mulk.82)
Dalam situasi seperti ini dunia Kristen Eropa melancarkan Perang Salib di
Timur, sehingga mereka berhasil mengguncang Syria dan mendirikan kerajaan-
Qusyayri yang terpaksa keluar dari Khurasan, kemudian al-Juwayni yang terpaksa mengungsi ke Hijaz selama 4 tahun, mereka baru dipulangkan oleh nizam al-Mulk sesudah al-Kunduri dipenjarakan di Nerv tahun 456 H. Ibn Khaldun, Op.Cit, hal. 467-468.
81) Tahun 1092 M terdapat tiga pesaing dalam perebutan kekuasaan. Mahmud bin Malik Syah yang disokong oleh Wazir pengganti Nizam al-Mulk dan ibundanya melawan Barkiyaruq bin Malik Syah. Pamannya, Tutus, di Suriah juga memutuskan untuk merebut kekuasaan. Namun Mahmud dan Tutus berhasil dikalahkan oleh Barkiyaruq, dan pada Februari 1094 ia resmi dinobatkan oleh Khalifah sebagai Sultan. Namun dua saudaranya yang lain Muhammad dan Sanjar juga menentangnya. Lihat dalam W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, alih bahasa, Hartono Hadikusumo, cet. 1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 249-250.
82) Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, IV hal. 268-279.
kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils, dan Ruha sejak tahun
490 H/1098 M.83)
Sementara itu al-Ghazali masih berkhalwat mencari ’ilmu yaqini di Syam
dan sekitarnya. Ia sendiri menilai masa ini sebagai masa fathrah (vacum dari
pembimbing keagamaan), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu
dilakukan pembaharuan (tajdid) atau “menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama
(Ihya’ ‘Ulum ad-Din). Dapat disimpulkan, pada saat itu al-Ghazali hidup dalam
suasana dan kondisi Islam yang sudah menunjukkan kemerosotan dan
kemunduran dalam beberapa aspeknya.
Situasi Ilmiah dan Sosial Keagamaan
Pada masa al-Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi di bidang
politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial kegamaan. Umat Islam ketika itu
terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-
masing dengan tokoh ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme
kepada umat. Dan terkadang, hal itu juga dilakukan pula oleh pihak penguasa.84)
Fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik
antar golongan mazhab dan aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai
83) Ibid., hal. 243-248.84) Salah satu tujuan didirikannya Madrasah NIZAMIYAH oleh WAZIR NIZAM AL-MULK
adalah untuk menyuburkan MAZHAB dalam masyarakat. Di madrasah ini para tokoh ulama MAZHAB SYAFI’I dan aliran ASY’ARI dengan leluasa mengajarkan doktrin-doktrinnya. Bahkan untuk ini, WAZIR NIZAM AL-MULK mengalokasikan dana sekitar 600.000 dinar per-tahun. Seperti halnya JAMI’ AL-AZHAR di Kairo yang didirikan oleh Dinasti FATHIMIYYAH pada tahun 359 H/970 M. dengan tujuan untuk menyebarkan paham Sekte Syi’ah Isma’iliyyah yang dianut penguasa. Ibid., IV: 424-426. 616-619. Lihat juga dalam AH}MAD KAMALUDDIN HILMI, as-SALAJIQAH…., hal. 223. Madrasah NIZAMIYAH didirikan selain untuk tujuan agama juga untuk tujuan politik, yaitu sebagai sarana propaganda para penguasa pada waktu itu terutama membentuk opini publik Islam SUNNI ortodoks terhadap Islam Syi’ah yang bertentangan dengan aliran yang dianut penguasa. Mehdi Nakosteen, Op.Cit, hal. 50-54.
wilayah penganutnya. Di Khurasan mayoritas penduduk bermazhab Syafi’i, di
Transoksiana didominasi oleh mazhab Hanafi, di Isfahan mazhab Syafi’i bertemu
dengan mazhab Hanbali, di Balkan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab
Hanafi. Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak, mazhab Hanbali lebih
dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab yang satu mengkafirkan
mazhab yang lain, seperti antara mazhab Syafi’i dengan mazhab Hanbali. Konflik
terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy’arisme dengan
Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu’tazilah, antara Hanabilah dengan Syi’ah
dan antara aliran-aliran yang lain.85)
Pada tahun 469 H. terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”,
yaitu konflik fisik antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah, karena pihak
pertama menuduh pihak kedua berpaham “tajsim”; dan konflik ini meminta
korban seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan
Hanabilah dengan Syi’ah; dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara
Hanabilah dan Asy’arisme.86)
Penanaman fanatisme mazhab dan aliran dalam masyarakat tersebut juga
banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama yang
menempati strata tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, di bawah status para
penguasa. Hal ini karena adanya interdependensi antara penguasa dan ulama.
Dengan peran ulama, para penguasa bisa memperoleh semacam legitimasi
terhadap kekuasaannya di mata umat; sebaliknya dengan peran penguasa, para
ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan hidup. Karena 85) HM. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 67.86) Ibn KHALDUN, KITAB AL-‘IBAR…., III: 477.
itu para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa, dan begitu pula
sebaliknya. Di samping itu ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di
Khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas.87) Di
Damaskus pada masa itu, golongan sufi yang hidup di khankah-khankah dianggap
kelompok istimewa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak
menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda, dan mampu
mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah bisa terkabul.
Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Status ini, oleh
sebagian sufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan dan kemuliaan hidup
dengan saran kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.
Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Ghazali
yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya
berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural non-Islami terhadap Islam
yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya, yang pada gilirannya
mengkristal dalam bentuk pelbagai aliran dan paham keagamaan, yang dalam
aspek-aspek tertentu saling bertentangan.88)
87) Pada masa Dinasti Saljuk berkuasa, di Syria, didirikan dua buah khankah yang megah, yaitu AL-QASR DAN AT-TAWAWIS, sebagai tambahan terhadap khankah yang sudah ada yaitu as-Samisatiyah, yang dibangun oleh penguasa sebelumnya.
88) Tidak diragukan lagi bahwa jauh sebelum Islam datang, terdapat pusat ilmu dan peradaban dunia yang besar dan maju, yaitu Yunani, Persia, dan India. Ilmu dan peradaban yang dihasilkan pada giliranya turut mempengaruhi peradaban Islam yang datang kemudian dan merupakan proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan pra Islam yang ada. Pengaruh pemikiran Yunani misalnya, itu tampak dengan jelas pada pokok-pokok pikiran tokoh-tokoh yang disebut filosof Muslim. Pandangan emanasi Al FARABI yang hanya merupakan beberapa contoh dari kerangka pikir yang Yinanian oriented. Lihat dalam JAMIL Saliba, TARIKH…., hal. 14. Musa Asy’arie, dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), hal. 9.
Interdependensi antara penguasa dan para ulama pada masa itu juga
membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama
berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif
untuk pengembangan ilmu, tetapi juga untuk mendapat simpati dari penguasa
yang selalu memantau kemajuan mereka guna direkrut untuk jabatan-jabatan
intelektual yang menggiurkan. Tetapi usaha pengembangan ilmu ini diarahkan
oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama yaitu mengantisipasi pengaruh
pemikiran filsafat dan kalam Mu’tazilah. Memang, filsafat waktu itu tidak hanya
menjadi konsumsi kalangan elit intelektual, tetapi sudah menjadi konsumsi
umum. Bahkan ada sebagian orang yang sudah menerima kebenaran pemikiran
filsafat secara mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama dan
pengamalannya. Adapun Mu’tazilah, selain banyak juga menyerap filsafat
Yunani, juga merupakan aliran yang secara historis banyak menyengsarakan
golongan Ahlussunnah, baik pada masa Dinasti Buwaihi maupun pada masa al-
Kunduri (wazir Sulthan Togrel Bek). Karena itu menurut penilaian pihak
penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl as-Sunnah, filsafat dan
Mu’tazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi dan
masa seperti inilah al-Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir
yang terkemuka dalam sejarah.89)
4. Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali
Kehidupan pemikiran periode al-Ghazali dipenuhi dengan munculnya
berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran, disamping munculnya
89) Ibid., hal. 70.
beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali . Di antaranya Abu ‘Abdillah
al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh
Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430
H.) ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di
Spanyol, al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh
Asy’arisme, dan Hasan as-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah.
Al-Ghazali menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya menjadi
empat aliran populer, yaitu Mutakallimun, para filosof, al-Ta’lim dan para sufi.90
Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun
terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya.
Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan
al-dzauq (intuisi).
Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali yang semula memiliki
kecenderungan rasional yang sangat tinggi – Bisa dilihat dari karya-karyanya
sebelum penyerangannya terhadap Filsafat – mengalami keraguan (syak).
Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam
pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi idealnya,
kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab
menurut Hadits nabi “ Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya, yang membuat
anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orangtuanya.91 Oleh
karenanya ia mencari hakekat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan
90 Al-Ghazali, al Munqidz minal Dhalal, (Kairo: Silsifat al Tsaqofat al Islamiyah, 1961) hal. 13
91 Ibid, hal. 7
keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali
menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakini
kebenarannya.
Bertolak dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, al-Ghazali menduga
bahwa kebenaran hakikat diperoleh dari yang tergolong al-hisriyat (inderawi) dan
al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan aksiomatis).92 Sebab kedua pengetahuan
ini bukan berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya. Ketika ia mengujinya
kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan
bersalah. Kepercayaan al-Ghazali terhadap akal juga goncang karena tidak tahu
apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal. Seperti pengetahuan aksiomatis
yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber pengetahuan
yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis
(Fardhi) saja, dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual.
Al-Ghazali kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional.
Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi, bahwa
pada situasi-situasi tertentu (akhwal ) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai
dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar
(intabahu) dari tidurnya sesudah mati.93 Al-Ghazali menyimpulkan ada situasi
normal dimana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan
intelektual al-Ghazali berakhir pada wilayah tasawuf dimana ia meyakini al-
dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap
92 Ibid, 93 Ibid, hal.10-11
pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh
melalui nur yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati manusia.94
Namun demikian pandangan al-Ghazali yang bernuansa moral juga tidak
terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat kaitannya dengan
pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat, al-Ghazali banyak
dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya, terutama Ibnu Sina, al-Farabi dan
Ibnu Maskawaih. Definisi jiwa (al-nafs) yang ditulisnya dalam kitab Maarijal
Quds dan pembagiannya dalam jiwa vegetatif, jiwa sensitif, dan jiwa manusia
hampir tidak berbeda dengan yang ditulis Ibnu Sina dalam bukunya Al Najal.95
Kesimpulan ini didukung oleh pernyataannya sendiri dalam kitab Tahafut al-
Falasifat bahwa yang dipercaya dalam menukil dan mentashkik filsafat Yunani
adalah al-Farabi dan Ibnu Sina.
Pandangan al-Ghazali yang lain yang berkaitan dengan filsafat Yunani
melalui filosof muslim adalah tentang pokok-pokok keutamaan. Menurut al-
Ghazali inti keutamaan adalah keseimbangan (al-adl) antara daya yang dimiliki
manusia . Inti kebahagiaan menurut al-Ghazali juga sampainya seseorang pada
tingkat kesempurnaan tertinggi yaitu mengetahui hakekat segala sesuatu. Pendapat
yang serupa telah dijumpai pada filosof muslim pendahulunya yaitu Ibnu Sina,
Ibnu Maskawaih dan al-Farabi.96
Sedangkan metode untuk memperbaiki moral antara lain mempunyai
konsep muhasabat al nafs menjelang tidur pada setiap hari, dan dalam beberapa
94 Ibid,95 Sulaiman Dunia, Al Haqiqat Fi Nazli Ulum Al Ijtimaiyat (Kairo: Daar al Ma’arif 1971)
hal. 26096 Muh. Yusuf Musa, Filsafat al Akhlak (Kairo: 1963) hal. 208
hal ia menganjurkan taubikh al nafs (mencerca diri).97 konsep koreksi diri
ternyata dijumpai dalam Pythgorisme, dan konsep mencerca diri ternyata
ditemukan dalam Hermetisme.98Sumber lain yang turut memberikan sumbangan
pemikiran adalah para sufi. Diantaranya adalah Abu Thalib al-Makki, al Junaid al-
Baghdadi, Al Sybli Abu Yazid al- Busthomi dan al Muhasibi.99
Pandangan tasawuf yang didasarkan dari mereka adalah penempatan al-
dzauq diatas akal. Ini diikuti dalam sikapnya membentuk kesempurnaan diri
dengan menggunakan al-faqir (kemiskinan), al-ju’(lapar), al-khumil (lemah), al-
tawakul (berserah diri) sebagai keutamaan dan tingkat ini harus dilalui untuk
mencapai kesempurnaan tertinggi manusia. Dari berbagai hal diatas inilah
pandangan dan konstruk pemikiran al-Ghazali terbentuk.
Karya-Karya Ilmiah
Imam al-Ghazali adalah seorang penulis yang produktif, ia meninggalkan
kita warisan keilmuan yang tiada tara harganya. Disebutkan, ia menyusun kurang
lebih 228 karya. Karya-karyanya tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu
terutama dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan sejarah.100)
Adapun karya-karya Imam Al-Ghazali yang telah ditulisnya
dalam berbagai disiplin ilmu antara lain:
1) Bidang Akhlak dan Tasawuf
a) Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama)
97 Ibid, Ihya Ulumuddin, hal.122 98 M. Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, hal. 6299 Ibid, hal.62-64100) HASAN IBRAHIM HASAN, Op.Cit, hal. 533.
b) Minhaj al-‘Abidin (Jalan Orang-orang Yang Beribadah)
c) Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)
d) Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan)
e) Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak Orang-orang yang
Baik dan Keselamatan dari Kejahatan)
f) Misykah al-Anwar (Sumber Cahaya)
g) Asrar ‘Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama)
h) Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang
Megah dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat)
i) Al-Qurbah ila Allah ‘Azza wa Jalla (Mendekatkan Diri kepada Allah Yang
Maha Mulia dan Maha Agung)
j) Adab al-Sufiyah.
k) Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku)
l) Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaan)
m) Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang Soal-soal Batin)
Bidang Fiqha) Al-Basit (Yang Sederhana)
b) Al-Wasit (Yang Pertengahan)
c) Al-Wajiz (Yang Ringkas)
d) Al-Zari’ah ila Makarim al-Syari’ah (Jalan Menuju Syari’at yang Mulia)
e) Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (Batang Logam Mulia: Uraian
tentang Nasihat kepada Para Raja)
3) Bidang Ushul Fiqh
a) Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (Pilihan yang Tersaring dari Noda-
noda Ushul Fiqh)
b) Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil
(Obat Orang yang Dengki: Penjelasan tentang Hal-hal yang Samar serta Cara-
cara Pengilhatan)
c) Tahzib al-Ushul (Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh)
d) Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh)
e) Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i.
f) Kitab Asas al-Qiyas.
4) Bidang Filsafat dan Logika
a) Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf)
b) Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf)
c) Mizan al-‘Amal (Timbangan Amal)
d) Mi’yar al-‘Ilm fi al-Mantiq.
5) Bidang Teologi dan Ilmu Kalam
a) Al-Iqtisad fi al-I’tiqad (Kesederhanaan dalam Beritikad)
b) Fais}al at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara
Islam dan Kezindikan)
c) Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang Lurus)
d) Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.
6) Bidang Ilmu al-Qur’an
a) Jawahir al-Qur’an (Mutiara-Mutiara al-Qur’an)
b)Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata Takwil dalam Menafsirkan al-
Qur’an).101)
7) Bidang Politika) Al-Mustazhiri, nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-
Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan
Pemerintah Mustazhir yang Legal)
b)Fatihat al-‘Ulum (Pembuka Pengetahuan)
c) Suluk as-Sulthaniyah (Cara Menjalankan Pemerintahan).102)
B. Biografi Emile Durkheim
1. Riwayat Hidup Dan Latar Belakang Pendidikan
Emile Durkheim lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, suatu
perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil
dari masyarakat luas. Dia hidup dalam keluarga Yahudi yang taat. Ayahnya
adalah seorang rabbi atau pendeta Yahudi, begitu pula kakeknya.103 Ibunya adalah
wanita sederhana, ahli sulam-menyulam. Kalau mengikuti kebiasaan tradisional,
seharusnya Durkheim sudah menjadi seorang rabbi.
Namun Durkheim ternyata menyimpang dari kebiasaan ini, salah satunya
mungkin disebabkan suatu pengalaman mistik yang dijalaninya. Bahkan
karena pengaruh seorang guru wanita beragama katolik, ia memeluk agama
Katolik. Pada akhirnya ia justru beralih menjadi seorang agnostic, seorang
101) Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 406. John L. Esposito, Op.Cit, hal. 113. HASAN IBRAHIM HASAN,OP. CIT, hal.533-536.
102) Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit, hal. 74-86.103 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi klasik dan modern I, terj. Robert MZ Lawang :
(Jakarta, Gramedia Cet. Ketiga,1994) Hal. 167
yang menangguhkan eksistensi Tuhan. Durkheim adalah seorang yang aktif
dan patriotis. Dalam berkecamuknya perang tenaganya digunakan untuk
mengobarkan semangat patriotisme membela negara. Bahkan perang juga
merenggut nyawa anak tunggalnya Andre. Akibat terserang sakit jantung dan
kehilangan putra tercintanya, Ia menemui ajal saat menjelang usia 60 tahun
tahun 1917 di Fontaineblau.
2. Pendidikan dan Karir Intelektual Emile DurkheimSetelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, pada tahun 1881 Ia
melanjutkan studinya di Paris, masuk Ecole Normale Superieure. Disinilah ia
belajar dengan sejumlah orang terkenal seperti Henri Bergson, Jean Jaures serta
Pierre Janet.104
Di Ecole Normale Superieur Durkheim termasuk mahasiswa yang kritis. Ia
tidak menyukai kurikulum tradisional dengan metode literer105, yang
pengajarannya bertumpu pada sastra-sastra klasik, termasuk bahasa Latin dan
bahasa Yunani sementara ilmu pengetahuan kontemporer kurang mendapat
prioritas. Padahal keinginannya adalah mendapatkan suatu dasar ilmu
pengetahuan sehingga dapat membantu memberikan landasan bagi rekonstruksi
moral masyarakat.
Di sekolah ini setidaknya terdapat dua orang professor, Fustel de
Coulanges dan Emile Boutroux yang menanamkan pengaruh penting terhadap
104 Lihat Talcott Parson, Kehidupan dan Karya Emile Durkheim dalam Emile Durkheim, Op. Cit, hal. xiv
105 L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah sosiologi,terj. Samekto SS ( Jakarta: Gramedia,1983) hal. 280
Durkheim. Ia akrab dengan Fustel, seorang Historiografi modern Perancis. Dari
Fustel, Durkheim mulai tertarik pada masalah konsensus dan peranan tradisi yang
menjadi sarana instrumental untuk mempertahankan integrasi sosial. Di sekolah
ini pula ia terkesan dengan Boutroux. Ahli filsafat yang memperkenalkannya
tulisan-tulisan August Comte. Suatu perkenalan yang juga membentuk corak
pemikiran Durkheim dalam dunia keilmuan.106
Seusai menyelesaikan studinya, pemikir kelahiran Perancis ini mengajar di
sekolah menengah Atas (Lycees) daerah Paris selama lima tahun. Ia mendapatkan
cuti satu tahun untuk melanjutkan studinya yang dihabiskannya di Jerman. Di
sana ia diperkenalkan dengan laboratorium psikologi,107 dan psikolog
eksperimental bernama Wilhelm Wundt yang merangsangnya menggeluti studi
empiris dan ilmiah menyangkut perilaku manusia.
Ketika berusia 29 tahun, pemberian kuliah dan beberapa artikel yang
ditulisnya membuat dia menjadi seorang ahli ilmu sosial muda yang terpandang.
Terhadap kapasitas prestisius ini, ia dihargai dan diangkat sebagai dosen di
Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Bordeaux.
Kebutuhan untuk mengajar kursus memungkinkan Durkheim mengembangkan
perspektif sosiologi mengenai kepribadian manusia yang dibentuk oleh
masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam sistem pendidikan. Dengan mengajar
kursus, duduk dalam sejumlah komite pendidikan , Durkheim dianggap sebagai
salah satu kekuatan penting dalam sistem pendidikan Perancis.
106 Taufik Abdullah dan AC Vander Leeden (ed), Op.Cit. hal. 4107 A. Gerungan, Psikologi Sosial (Bandung: Eresco cet. Keduabelas,1993) hal. 11
Pada tahun 1896 Durkheim diangkat menjadi professor dalam ilmu sosial.
Dengan prestasi ini memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang intelektual,
sebab ini adalah gelar profesor pertama dalam ilmu sosial Perancis. Dua tahun
kemudian tonggak sejarah penting dicapai ketika ia berhasil mendirikan L’Anee
Sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk disiplin ilmu sosiologi. Jurnal ini
mendapatkan sambutan hangat dan kehadirannya sangat bermanfaat bagi mereka
yang ingin meningkatkan studi ilmiah tentang masyarakat.
Seiring dengan kian melonjaknya pengaruh dan karir akademis Durkheim,
maka pada tahun 1899 ia diminta mengajar ke Universitas Sorbonne. Tujuh
tahun berikutnya ia dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu
pendidikan.
3. Latar Belakang Sosial Politik
Pada abad 18 M ditandai oleh tumbuh suburnya gerakan menuntut
perubahan mendasar dan multi dimensional, di Perancis meletus pergolakan
besar-besaran sebagai akibat lebih lanjut dari percikan api revolusi. Revolusi
Perancis yang pada mulanya dipandang sebagai tonggak sejarah baru dimulainya
perombakan struktur feodal, perjuangan cita-cita kebebasan dan etos
egalitarianisme, ternyata juga membawa dampak politik yang buram
Dibawah pemerintahan Napoleon dimulailah usaha restorasi absolutisme,
yaitu gerakan menghidupkan kembali tatanan sosial lama. Kemudian pada tahun
1870, Perancis dikalahkan Bismarck, Si kanselir besi dari Prusia yang sedang
menyingkirkan hadangan politik dan militer dari proses penyatuan Jerman. Semua
peristiwa ini menyebabkan Perancis terutama pada periode republik ketiga selalu
tidak pernah lepas dari krisis politik. Bersamaan dengan itu krisis Ekonomi tak
bisa diatasi sehingga memperbanyak pengangguran, bunuh diri terjadi dimana-
mana dan korupsi menjadi gejala sosial.
Situasi politik tersebut meninggalkan kenangan pahit terhadap masyarakat
dan menjadikannya pesimis dan tak lagi menaruh harapan terhadap revolusi
Perancis yang menjanjikan perubahan dan harapan di masa datang. Mereka
memang merindukan tatanan sosial baru, namun pilihan itu kemudian berganti
menjadi bertobat dari individualisme. Mereka bahakan yakin sepenuhnya bahwa
mengabdi pada pemutlakan kebutuhan atau keinginan individual merupakan
kekeliruan besar. Sebaliknya mereka menghimbau agar masyarakat memulihkan
kembali struktur sosial tradisional, struktur dimana kesatuan organis masyarakat,
wewenang pemerintah dan dominasi kolektifitas atas individu menonjol.Efek
negatif ini juga merambah kepada alam kognitif masyarakat. Orang-orang mulai
lebih memperhatikan segi-segi irasioanal kehidupan.108 Latar belakang sosial
seperti ini tentu juga dialami bahkan berpengaruh pada pribadi Durkheim.Bahkan
dalam sepanjang hidupnya Durkheim secara langsung melibatkan diri dalam
berbagai masalah sosial politik yang dihadapi negaranya. Dalam peristiwa
Dreyfus, sebuah peristiwa politik yang mengakibatkan permusuhan komunitas
cendekiawan dengan politisi, Durkheim menentukan sikap berani memihak
Dreyfus.109 Peristiwa ini bermula dari terbongkarnya skandal di markas tentara
108 Efek negatif revolusi Perancis diungkapkan oleh Henry Bergson lewat tulisannya Tentang elan vital yang dianggapnya penuh misteri dan mendorong evolusi dalam kehidupan, Lihat L.Laeyendecker, Op.Cit, hal. 280
109 Taufik Abdullah dan AC. Vander Leeden, Op.Cit, hal.5-6
Perancis dengan hilangnya dokumen penting yang dalam pengusutannya
dilakukan tidak jujur. Dreyfus seorang opsir keturunan Yahudi dituduh sebagai
pelakunya. Ia dibuang ke pulau selatan. Pemeriksaan selanjutnya justru
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Karena itu timbul dilema mestikah dia
direhabilitasi atau ia dibiarkan menjadi korban demi menjaga nama baik angkatan
darat. Dalam perdebatan ini, Durkheim bersama cendekiawan liberal dan progresif
lainnya membela Dreyfus.
Dari sinilah bisa dipahami, mengapa keyakinan Durkheim untuk mengkaji
masalah kohesivitas dan moralitas bersama tak pernah pudar. Namun
penekanannya pada masalah tersebut tidak membawanya larut dalam sikap
konservatif maupun tanggapan negatif sebagaimana ia dipertahankan oleh
sebagian besar masyarakat sezamannya.110 Dia lebih tertarik untuk berusaha
memahami dasar-dasar munculnya keteraturan sosial baru yang sesuai dengan
cita-cita revolusi Perancis. Dia memang melihat dan merasakan kesulitan –
kesulitan akut dalam periode peralihan seperti masyarakat pada umumnya. Namun
begitu dia tetap optimis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hak evolusi
masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral dari proses
penataan sosial yang sedang berjalan. Akhirnya, untuk merealisasikan keyakinan
diatas, dia bertekad mendorong perubahan pendidikan dengan menanamkan
kesadaran dalam diri setiap warga perasaan akan moralitas dan solidaritas
terhadap bangsa sebgai satu keseluruhan.111
4. Latar Belakang Pemikiran110 Doyle Paul Johnson, Op.Cit, hal. 171111 Ibid
Pengaruh pengaruh penting terhadap intelektual Durkheim yang telah
matang datang dari tradisi-tradisi intelektual yang jelas mengandung unsur-unsur
Perancis, disamping juga Jerman dan Inggris. Selain dua professor di Ecole
Normale Superiure yang berperan dalam membentuk pemikirannya , Ia juga
memetik ajaran dari generasi pemikir sebelumnya. Ia menerima inti pernyataan
dari Rene Descartes yang menyatakan bahwa masalah pengetahuan tergantung
dari sudut hubungan antara subyek yang mengetahui dan obyek eksternal yang
diketahui. Berpijak dari ini fakta sosial jelas bersifat empiris. Masyarakat yang
awalnya diasumsikan sebagai fakta sosial harus juga mengatur tindakan mereka
dalam arti tidak saja mengatur lingkungan fisik tetapi juga merumuskan tujuan
dan tolok ukur normatif perilaku dari anggota yang ada didalamnya.
JJ.Rousseau, seorang filosof utama aliran individualisme
demokratis juga mempengaruhi Durkheim melalui sudut pandang
tentang ciri khas kontrak sosial. Meskipun Rosseau menganut
acuan hukum alam dan hak-hak alam yang begitu menonjol,
namun bagaimanapun ia tetap menekankan agar integrasi sosial
dari orang-orang yang dilahirkan bebas ke dalam masyarakat
jangan dikaitkan dengan kedaulatan yang syaratnya memaksa atau
mementingkan identitas alamiah dari kepentingan-kepentingan.
Justru sebaliknya dia mempostulasikan bahwa pemecahan
kepentingan pada tingkat proses tindakan integratif haruslah
berasal dari kemauan otonom.112
Hal inilah yang merupakan gagasan dasar tentang kontrak
sosial, yang menetapkan pemisahan menjadi dua sisi antara
individu dan masyarakat yang sesungguhnya bersifat sosial.113
Teori ini menganggap manusia sebagai individu dilengkapi
seperangkat kepentingan atau hak yang terpisah dari masyarakat
dan berusaha membentuk kebenaran moral pada masyarakat dalam
arti individualistik. Dari kumpulan kebenaran-kebenaran
individualistik itulah kontrak sosial dibentuk dan mendasarkan
moralitas sosial pada kebijaksanaan yakni manusia wajib
mematuhi kewenangan masyarakat demi keselamatan seluruh
kepentingan.
Sebagai pengagum August Comte, Durkheim juga mewarisi
paradigma positivismenya. Dia bahkan disebut sebagai murid yang
ragu-ragu tetapi setia pada August Comte. Tafsiran-tafsiran yang
saling mengisi dari Saint Simon dan Comte mengenai kemunduran
feodalisme dan munculnya bentuk masyarakat modern merupakan
112 Talcott Parson, Kehidupan dan karya Emile Durkheim dalam Emile Durkheim hal. viii113 JJ. Rosseau, Kontrak Sosial, terjemahan Sumardjo (Jakarta : Erlangga, 1986) hal. xvii
landasan utama karya-karya Durkheim. Memang sebagian besar
tema dari karya-karya Emile Durkheim semasa hidupnya
berkenaan dengan usaha mendamaikan antara konsepsi Comte
tentang tahapan positif perkembangan masyarakat dengan dengan
peragaan Saint-Simon tentang ciri-ciri industrialisme.114
Durkheim juga terpengaruh tradisi pemikiran Jerman yang
pernah dihirup ketika melanjutkan studinya. Durkheim menyetujui
Schaffle yang menegaskan adanya perbedaan radikal antara
kehidupan organisme dan kehidupan masyarakat dan masyarakat
merupakan sesuatu yang ideal yang mempunyai sifat-sifat spesifik
tersendiri, yang bisa dipisahkan dari sifat-sifat anggotanya. Dalam
pandangan Schaffle masyarakat bukanlah sekedar kumpulan dari
individu-individu, akan tetapi merupakan benda hidup yang jauh
ada sebelum adanya anggota masyarakat, dan yang mempunyai
jiwa, kepentingan dan takdirnya serta hati nurani kolektif
(conscience collective),115 sehingga peraturan-peraturan moral
masyarakat harus ditaati individu ketika dalam struktur sosial. Jika
Schaffle mengilhami Durkheim, tak ketinggalan Wilhelm Wundt.
114 Anthony Giddens, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber ( Jakarta: UI press, 1985) hal. 81
115 Ibid, hal 83
Salah satu sumbangannya adalah bahwa ia telah menunjukkan hal
yang mendasar dari lembaga agama dan masyarakat.
Ahli psikologi eksperimental ini telah menunjukkan bahwa
agama-agama primitif mengandung dua jenis gejala yang
berhubungan satu sama lain. Suatu rangkaian renungan metafisik
dengan aturan-aturan perilaku dan disiplin moral. Dengan
melekatkan cita-cita untuk menjadi sasaran, maka agama
merupakan suatu kekuatan dalam menciptakan kesatuan sosial.
Durkheim menerima hal ini sebagai dalil umum. Dalam
pandangannya cita-cita tadi mungkin berbeda dalam masyarakat
yang berlainan. Namun orang tetap percaya bahwa tidak pernah
ada manusia yang bersifat ideal bagaimanapun hebatnya dia. Oleh
karena itu cita-cita sesuai dengan kebutuhan yang berakar kuat
dalam sifat manusiawi kita.116
Tapi dalam aspek lain Ia tidak sependapat dengan Wundt.117
Salah satu kritiknya adalah bahwa psikologi ini tidak sepenuhnya
melihat sifat ganda dari pengaruh aturan-aturan moral dan agama.
Padahal kegiatan moral dan aturan moral mempunyai mempunyai
116 JJ. Rosseau, Op.Cit, hal. 87117 Ibid, hal. 88
dua segi, pertama memikat perhatian berkat adanya unsur nilai-
nilai positif. Kedua memiliki ciri khas berkaitan dengan kewajiban
maupun larangan. Mengingat usaha untuk mencapai sasaran moral
tidak selamanya mutlak harus berlandaskan atas cita-cita positif,
kedua segi tersebut merupakan hal pokok agar peraturan moral bisa
berfungsi.
Sedangkan Imanuel kant yang sebenarnya sudah tidak asing
di Perancis, juga memberikan pengaruh yang besar terhadap Emile
Durkheim dalam mendewasakan filsafat moralitasnya. Dalam
aspek pilihan moral, Individu tidak menghasilkan standar –standar
moral dan hanya mengembangklan komitmen untuk masuk ke
dalam, mendukung dan mengkritik situasi sosialnya. Nilai-nilai
akan kesetiaan moralnya tidak lain adalah ungkapan aktual dari
keterikatannya pada kekuatan kolektif, yang tidak saja memiliki
asal-usul sosial tetapi juga memiliki fungsi sosial tempat individu
berada. Pandangan tersebut adalah sebuah versi sosiologis
Durkheim dari Idealisme Imanuel kant.118
Berbeda dengan sebelumnya dimana Durkheim cukup
terpengaruh dengan pemikir Perancis dan jerman, dalam
118 Tom.Campbell, Op.Cit, hal. 176
menelusuri konsepsi-konsepsi dari para pemikir Inggris ia banyak
memberikan tanggapan kritis. Dia menolak dengan tegas
kecenderungan individualisme Herbet Spencer karena hanya
melihat masyarakat sebagai kelanjutan dari individu. Spencer
mengasumsikan masyarakat berawal dari persetujuan kontraktual
antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar
kepentingan individunya. Sebaliknya Durkheim membantah
bahwa kemungkinan persetujuan-persetujuan kontraktual itu
mengandaikan sudah adanya masyarakat. Orang tidak mungkin
menjalin hubungan dengan mereka yang belum memiliki ikatan
sosial yang sama. Sekurang-kurangnya sudah ada konsensus moral
yang berhubungan dengan sifat-sifat kontrak yang mengikat itu.119
Ia juga menolak metode mawas diri dari Hobbes yang
menganjurkan ilmuwan mengambil jarak tanpa prasangka terhadap
kenyataan sosial yang tidak diketahuinya. 120 Menurutnya metode
ini menipu sehingga Durkheim bersikukuh pada pendiriannya
bahwa kenyataan sosial dapat ditemukan tidak dalam kesadaran
119 Doyle Paul Johnson, Op.Cit, hal. 173120 Tom.Campbell, Op. Cit, hal. 167
individu melainkan dalam fakta sosial. Dan berbagai pemikiran
itulah Durkheim membentuk pemikirannya.
5. Karya- Karya IlmiahHampir seluruh tulisan yang dituangkan Emile Durkheim
selalu menyisakan ruang untuk membahas masalah moralitas.
Bagaikan seorang pecinta, pemikir Perancis ini, menurut E.
Bougle, asyik menggeluti dan mengkaji esensi moralitas dan
masyarakat, serta menjelaskan perkembangan moral memberikan
sumbangan dalam mewujudkan cita-cita sosial dalam tindakan
sosial.
Upaya mengembangkan ilmu pengetahuan positif ia
buktikan lewat karyanya, Les Regles De La Methode Sosiologie
(diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Rules Of Sociologi
Method,1964). Buku yang terbit pada tahun 1895 ini sering
dianggap sebagai petunjuk klasik karena menjelaskan dasar-dasar
metodologi dalam disiplin sosiologi.
Dua tahun sebelumnya, tahun 1893 Ia menerbitkan buku De
La Division Du La Travail Social (diterjemahkan dalam bahasa
Inggris The Division Of Labour In Society, 1964). Buku terbitan
pertama ini bertujuan menganalisa kompleksitas pengaruh ataupun
spesialisasi fungsi pembagian kerja ditengah-tengah struktur sosial,
dan perubahan yang diakibatkannya.
Selanjutnya pada tahun 1897 Durkheim menulis buku Le
Suicide (A Studi in Sociology) yang memuat kajian sistematis
seputar bunuh diri. Tiga buah buku yang ditulis diatas ditambah
buku Les Formes Elementaires De La Sociologie Religieuse
( diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Elementary Forms Of
The Religious Life,1964) merupakan buku yang diterbitkan
sebelum ia meninggal. Buku Les Formes Elementaires De La
Sociologie Religieuse ini menyajikan analisa dan uraian deskriptif
tentang kepercayaan-kepercayaan dan ritual agama totemic orang
Arunta di Australia dan menjadi rujukan bagi pengkajian agama
melalui pendekatan sosiologis.
Karya-karya Emile Durkheim yang diterbitkan setelah ia
meninggal adalah:
Education Et Sociologi (1922), Sociologie Et Philosophie
(1924), L’ Education Morale (1925)- Yang Diterjemahkan Dalam
Bahasa Indonesia Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori Dan
Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Le Socialisme : Sa Definition, Ses
Debuts La Doctrine Saint-Simonne ( 1928), L’evolution
Pedagogique En France (1938), Le Cons, De Sociologie: Phisique
Des Moerers Et Du Droit Pragmatisme Et Sociologie (1955),
Montesqieu En Rosseau: For Runners Of Sociology (1965), Dan
Durkheim Essays On Moral And Education (1979).
BAB IIIPANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM
TENTANG PENDIDIKAN MORALA. Pandangan Al-Ghazali
Pengertian Dan Hakikat Pendidikan Moral Untuk memahami pandangan al-Ghazali tentang moral dapat dilacak dari
konsepnya tentang khulq. Al-Ghazali mendefisinikan kata khulq (moral) sebagai
suatu keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan –
perbuatan yang mudah tanpa melalui pemikiran dan usaha.
Adapun untuk menjelaskan pengertian jiwa, Al-Ghazali menggunakan
empat istilah, yaitu al-qalb, al-nafs, al-ruh dan al-aql. Keempat isilah itu menurut
al-Ghazali memiliki persamaan dan perbedaan arti. Perbedaannya terutama bila
ditinjau dari segi fisik dimana al-qalb berarti kalbu jasmani, al-ruh berarti roh
jasmani dan latif, al-nafs berarti hawa nafsu dan al-aql yang mempunyai arti ilmu.
Sedang persamaannya adalah bila ditinjau dari segi ruhaniah keempat hal berarti
jiwa manusia yang bersifat latif rabbani yang merupakan hakikat, diri dan zat
manusia. Oleh karena itu manusia dalam pengertian pertama(fisik) tidak kembali
kepada Allah, namun dalam pengertian kedua (ruhaniah) kembali kepada-Nya.121
Dengan demikian pengertian jiwa menurut Al-Ghazali mencakup
pengertian jiwa dalam arti yang fisik yang berhubungan dengan daya hidup fisik
dan jiwa yang berhubungan dengan hakekat, diri dan zat manusia yang bersifat
rabbani.
Di dalam “Maarif al-Quds”, al-Ghazali menyatakan manusia terdiri atas
substansi yang berdimensi (materi) dan substansi yang tidak berdimensi
(immateri) yang mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.
Al-Ghazali membagi fungsi jiwa manusia dalam tiga tingkatan, al-nafs al-
insaniyyat (jiwa manusia), al-nafs al-nabatiyah (jiwa vegetatif) dan al nafs al-
hayawaniyyat (jiwa sensitif). Al-nafs al nabatiyah (jiwa vegetatif) memiliki daya
makan tumbuh dan berkembang. Al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif) memiliki
daya bergerak, daya tangkap dan daya khayal. Al-nafs al-insaniyyat (jiwa
manusia) memiliki daya akal praktis (al-‘amilat) dan daya akal teoritis 121 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan
kesehatan Mental, (Jakarta : CV. Ruhama, 1994), hal. 37
(al-‘alimat). Daya yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-
daya jiwa sensitif sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal
teoritis.Yang dimaksud dengan akal teoritis adalah akal yang berhubungan dengan
pengetahuan-pengetahuan yang abstrak dan universal.122
Berdasarkan analisis terhadap hakekat jiwa, potensi dan fungsinya, al-
Ghazali berpendapat bahwa moral dan sifat seseorang bergantung kepada jenis
jiwa yang berkuasa atas dirinya. Kalau jiwa yang berkuasa nabbati dan hewani
maka moral dan sifat orang tersebut menyerupai nabbati dan hewani. Akan tetapi
apabila yang berkuasa jiwa insaniyyah maka orang tersebut bermoral seperti insan
kamil.
Namun demikian, ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi al-Ghazali
mengenai moral sama sekali tidaklah berarti ia mengabaikan unsur jasmani
manusia. Ia juga menganggap penting unsur ini karena ruhani sangat memerlukan
jasmani dalam melaksanakan kewajibannya sebagai khalifah. Kehidupan jasmani
yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan ruhani yang baik. Dengan
menghubungkan kehidupan jasmani dengan dunia ia menyatakan bahwa dunia itu
merupakan ladang bagi kehidupan akhirat, maka memelihara, membina
mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan jasmani agar tidak binasa adalah
wajib.
122 Amin Abdullah, Al-Ghazali Dan Kant: Filsafat Etika Islam, penerj. Hamzah, (Bandung: Mizan,2002) hal. 25
Jadi menurut al-Ghazali moral bukanlah perbuatan lahir yang tampak
melainkan suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan
secara wajar mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran 123
Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu perbuatan
moral tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja, namun juga harus dilihat dari
unsur kejiwaannya. Oleh karena itu perbuatan lahir harus dilihat dari motiv dan
tujuan melakukannya
Mengenai pengertian pendidikan menurut al-Ghazali memiliki pengertian
yang sangat luas, tidak hanya menyangkut pendidikan dari segi individu, namun
juga masyarakat dan kejiwaan. Dari segi individu pendidikan baginya berarti
pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sesuai
tuntutan fithrahnya kepada ilmu dan agama. Manusia selalu ingin mengenal zat
yang absolut dan perjuangan terpenting dalam hidupnya adalah pengembangan
sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya 124
Pengertian pendidikan dari segi masyarakat menurut al-Ghazali pada
umumnya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ahli pendidikan
modern yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat
terhadap setiap individu didalamnya agar kehidupan budaya berkesinambungan.
Perbedaannya mungkin terletak pada nilai-nilai yang diwariskan dalam
pendidikan tersebut. Bagi al-Ghazali nilai-nilai yang diwariskan adalah nilai-nilai
123 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filsuf Muslim, (Yogyakarta: al-AminPress,1997) Cet. I hal. 86
124 Musya Asy’ari, Islam Kebebasan Dan Perubahan Sosial ;Sebuah BungaRampaiFilsafat (Jakarta : Sinar Harapan,1984) hal. 79
keislaman yang didasarkan pada al-Qur’an, hadits, atsar dan kehidupan orang-
orang salaf.
Adapun pengertian pendidikan dari segi jiwa menurut al- Ghazali adalah
upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs.
Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari
sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan
moral dan sifat terpuji.125
Jika istilah moral oleh al-Ghazali diartikan sebagai kondisi atau keadaan
jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan tanpa fikir dan usaha, sementara
pendidikan jiwa diartikan sebagai usaha penyucian jiwa maka pendidikan moral
menurut al-Ghazali berarti upaya membentuk manusia yang memiliki jiwa yang
suci, kepribadian yang luhur melalui proses takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tujuan Pendidikan Moral
Untuk dapat melihat tujuan dan orientasi pendidikan moral al-Ghazali,
perlu kiranya menjadikan peta wacana pendidikan moral yang berkembang
sebagai parameter. Bila dianalisis, wacana pendidikan moral yang berkembang
setidaknya dapat dipetakan menjadi lima jenis orientasi atau kecenderungan 126
Pertama, pendidikan moral yang berorientasi pada pembiasaan diri dengan
prinsip-prinsip moral beberapa lama sampai mentradisi. Kedua pendidikan moral
yang berorientasi pada pembentukan kesadaran dan kepekaan moral (Basirah
125 Ibid, Yahya Jaya, hal. 36126 Mahmud Arif, Konsep Pendidikan Moral, Telaah Terhadap Pemikiran Al-Mawardi,
Tesis Pasca sarjana IAIN, (Yogyakarta : IAIN, 1999) hal 50
akhlaqiyah) seseorang sehingga ia mampu membedakan antara perilaku baik dan
perilaku buruk. Ketiga, pendidikan moral yang berorientasi pada pengajaran
prinsip-prinsip moral dengan cara indoktrinasi-imperatif. Keempat orientasi
spiritual-sufistik yang memandang pendidikan moral tidak sekedar dengan tiga
orientasi diatas melainkan lebih dari itu, penyucian diri dari segala kehinaan dan
dorongan –dorongan jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-
keutamaan moral lahir batin (tahalli). Kelima pendidikan moral yang berorientasi
pada pembentukan kesiapan moral, sehingga transfer abilitas pada ragam perilaku
moral dapat terjadi dengan mudah atas kemauan diri sendiri.
Kelima jenis orientasi pendidikan moral diatas dalam praktiknya tidaklah
distingtif-eklusif, melainkan masing-masing mengandung unsur yang tumpang
tindih, hanya saja kadar aksentuasinya yang berbeda sejalan dengan orientasi yang
dianut. Demikian halnya dengan al-Ghazali walaupun pendidikan moralnya
bertujuan untuk penyucian diri dari segala kehinaan dan dorongan –dorongan
jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir
batin (tahalli), namun tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang lain.
Menurutnya moral yang baik yaitu hendaklah seseorang itu bersedia
menghilangkan seluruh kebiasaan- kebiasaan buruk yang telah dijelaskan
perinciannya dengan agama dan dijadikannya sekiranya seseorang itu
membencinya kemudian menjauhinya seperti menjauhi benda-benda yang
menjijikkan. dan hendaklah membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan
menyukainya sehingga memberi kesan dan ia pun merasa nikmat dengannya.127
Hal diatas menggambarkan bahwa untuk menumbuhkan moral yang baik
seseorang harus berlandaskan agama.
Menurut al-Ghazali tujuan dari perbuatan moral adalah kebahagiaan yang
identik dengan kebaikan utama dan kesempurnaan diri 128 Kebahagiaaan menurut
Al-Ghazali terbagi menjadi dua macam : kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan
duniawi. Menurutnya kebahagiaan ukhrawi adalah kebahagiaan yang utama
sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah metamorfosis. Namun demikian apapun
yang kondusif bagi kebahagiaan/ kebaikan utama maka itu merupakan kebaikan
juga129. Bahkan ia menegaskan bahwa kebahagiaan ukhrawi tidak dapat diperoleh
tanpa kebaikan-kebaikan lain yang merupakan sarana untuk meraih tujuan
kebaikan ukhrawi. Kebaikan –kebaikan itu dalam pandangan al-Ghazali
terangkum menjadi empat hal. Yang pertama yaitu empat kebaikan utama:
Hikmah, Syaja’ah, Iffah, dan ‘Aadalah.
Pengertian hikmah (kebijaksanaan ) yaitu keutamaaan kekuatan akal.
Hikmah disini meliputi pengaturan yang baik, kebaikan hati, kebersihan
pemikiran dan kebenaran perkiraan. Yang dimaksud dengan pengaturan yang baik
adalah kebaikan fikiran dalam mengambil sesuatu yang lebih maslahat dan lebih
utama dalam mencapai kebaikan yang agung dan tujuan-tujuan yang mulia dari
hal-hal yang berhubungan dengan diri sendiri. Adapun kebaikan hati adalah
kemampuan membenarkan hukum di kala terjadi kekaburan pendapat dan
127 Al-Ghazali, Neraca Beramal, terjemahan H.A Musthofa, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995) hal. 90
128 Madjid Fakhry, etika Islam… hal. 35129 Al-Ghazali, Op.Cit, hal. 148
berkobarnya perselisihan dalam pendapat. Kemudian yang dinamakan kebersihan
pemikiran adalah kecepatan mengerti tentang sarana –sarana yang menyampaikan
akibat-akibat terpuji. Sedang kebenaran perkiraan adalah sesuainya kebenaran
pada hal-hal yang nyata tanpa bantuan angan-angan.130
Sedangkan syaja’ah (keberanian) maksudnya adalah adanya kekuatan
nafsu marah. Sifat-sifat yang termasuk dalam keutamaan keberanian
adalah :murah hati, besar hati, berani menanggung derita, tidak lekas marah, teguh
hati merasa senang hati terhadap perbuatan-perbuatan yang mulia, bijaksan dan
sopan. Kebalikan dari sifat-sifat yang termasuk keberanian adalah: pemborosan,
menghambur-hamburkan, penakut, bermegah-megahan, menghinakan diri, lekas
marah, sombong, berbuat keji, ujub dan menjadi hina131
Adapun iffah (pemeliharaan diri) maksudnya adalah keutamaan syahwat.
Sifat-sifat yang termasuk dalam iffah yaitu: adanya perassaan malu ( pertengahan
antara tidak berperassaaan malu dengan kelemahan), terlalu malu ( kesedihan dan
kelemahan nafsu akibat sangat malu), toleransi, sabar, murah hati, memiliki
perhitungan, memiliki kesukaan hati, teratur, menjauhi dosa, ramah-tamah
menolong dan lain-lain.132 Sedangkan ‘aadalah ialah suatu kondisi bagi terjadinya
tiga kekuatan diatas secara teratur dan sesuai ketertiban yang semestinya133
Yang kedua kebaikan-kebaikan jasmani seperti kesehatan, kekuatan,
hidup teratur dan panjang umur. Yang ketiga kebaikan-kebaikan eksternal seperti
kekayaan, keluarga, kedudukan sosial, dan kehormatan. Yang keempat kebaikan-
130 Ibid, hal. 112131 Ibid, hal. 114-116132 Ibid, hal. 118133 Ibid, hal. 108
kebaikan Tuhan seperti petunjuk (hidayah), Bimbingan yang lurus (rusyd),
pengarahan (tasdid) dan pertolongan (ta’yid). Sebagian kebaikan ini seperti
halnya kebaikan jiwa sangat esensial bagi kebaikan-kebaikan diatas dalam
berbagai tingkatan.134
Dengan demikian konsep al-Ghazali tentang tujuan moral tidaklah
membedakan antara konsep kebahagiaan (happines) dan kebaikan (virtue), karena
suatu tindakan moral mempunyai tujuan lain diluar kebaikan itu sendiri, maka
konsep al-Ghazali ini dapat dikatakan bersifat teleologis.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan moral
menurut al-Ghazali adalah terbentuknya moral yang baik pada anak didik sesuai
landasan agama. Moral yang baik terstruktur dari hikmah, syaja’ah, iffah dan
‘aadalah. Adapun tujuan akhir dari moral adalah mencapai kebahagiaan utama
yaitu makrifatullah.
Sumber Pendidikan Moral
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan hakiki moral adalah kebahagiaan
ukhrowi. Hal ini mengandung arti adanya keterikatan antara perbuatan moral
dengan eksistensi Tuhan. Al-Ghazali sejak awal telah menempatkan eksistensi
Tuhan sebagai tujuan primernya, sehingga dalam membangun filasafat moralnya
mengacu kepada cinta kepada Allah, makrifatullah dan menjadikan Tuhan sebagai
sumber utama dari nilai-nilai moralnya.
Bagi al-Ghazali kekuasaan Tuhan dan otoritas-Nya lebih absolut daripada
gagasan tentang kemungkinan manusia memahami karya Tuhan melalui inisiatif
134 Amin Abdullah, Op. Cit, hal. 140
manusia dalam meraih keutamaan-keutamaan puncak. Al-Ghazali menolak
peranan rasio bebas dalam memberikan landasan bagi tindakan moral. Penolakan
tersebut adalah dengan mengontraskan antara rasio dengan wahyu baik dalam
bentuk-bentuk langsung maupun turunannya, juga dengan syara’, teks-teks kitab
suci dan tradisi-tradisi yang dipandang sebagai sumber ahkam.135
Penolakan Al-Ghazali yang demikian tampaknya didasarkan pada
kekhawatirannya yang berlebihan tentang konsekuensi penerimaan hukum-hukum
kausalitas dalam alam dan moralitas yang akan membawa penolakan terhadap
kemahakuasaan Tuhan.136
Tindakan al-Ghazali menyerang dan menolak fungsi rasio dalam memilih
perbuatan etis yang layak tidak berarti bahwa al-Ghazali meninggalkan persoalan
moral tanpa solusi alternatif apapun. Dia bersandar pada wahyu, tetapi masih
membutuhkan perantara dalam menyampaikan ajaran wahyu. Dengan semangat
ingin tahu yang tinggi, al-Ghazali menggantikan fungsi aktif dan kritis rasio
manusia menjadi fungsi yang tidak aktif dan tidak kritis dengan mengajukan suatu
metode baru dalam menanamkan perbuatan etis manusia melalui bimbingan ketat
dari syaikh atau pembimbing moral.137
Peran syaikh dalam pandangan al-Ghazali menjadi sangat menonjol karena
rasio manusia tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya sebagai pembimbing
dalam memilih jenis pilihan moral. Terdapat sisi yang jelas dalam sistem
pemikiran al-Ghazali bahwa aql akan tersesat jika tidak dibimbing secara terus
135 Ibid, hal. 82136 Ibid137 Ibid, hal. 117
menerus oleh syaikh. Oleh karena itu para murid harus mempercayakan kepada
syaikh mengenai urusan-urusannya ibarat pasien dungu yang harus tunduk kepada
dokter yang pandai. Al-Ghazali mengatakan:
Apapun yang disarankan oleh sang guru kepada murid, yang belakangan
harus tunduk dengan mengesampingkan pendapat pribadinya, karena kesalahan
gurunya (syaikh) adalah lebih bermanfaat baginya daripada putusannya sendiri.
Meskipun benar karena pengalaman akan menampakkan detail-detail yang
barangkali asing, sekalipun begitu akan sangat berguna.138
Dengan demikian sumber pendidikan moral menurut al-Ghazali adalah
wahyu dengan perantara bimbingan yang ketat dari syaikh. Al-Ghazali dengan
demikian meminggirkan rasio atau paling tidak meminimalisir fungsi rasio yang
semestinya dalam landasan etis kehidupan manusia.
Materi Pendidikan Moral
Pandangan al-Ghazali tentang materi pendidikan moral dapat dilacak dari
pendapatnya mengenai jalan untuk mencapai kebaikan sejati. Menurutnya untuk
dapat bermoral baik dan mencapai tujuan moral tidak ada jalan lain kecuali
dengan ilmu dan amal.139 Adapun ilmu dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin”, al-
Ghazali menyebutkan ilmu untuk mencapai kebahagiaan sejati terbagi menjadi
dua:
1. Ilmu Mukasyafah
Yaitu ilmu yang sesuatu daripadanya dituntut menyingkap sesuatu yang
diketahui. Ilmu mukasyafah ini menyangkut masalah-masalah metafisik yang 138 Ibid139 Al-Ghazali, Neraca Beramal, hal. 16
membicarakannya hanya dengan rumuz dan isyarat atas jalan perumpamaan dan
global.140 Ilmu mukasyafah individu dapat juga dikatakan sebagai sain esoteris
mengenai rahasia-rahasia transenden yang disebutkan dalam al-Qur’an yang tidak
dapat dicapai oleh masyarakat awam. Oleh karena itu manusia harus dicegah
untuk menekuni rahasia-rahasia ini dan sebagai gantinya mereka didorong untuk
mencari subyek-subyek yang dibolehkan hukum Islam.141
2. Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah ilmu yang daripadanya dituntut mengetahui serta
mengamalkannya. Ilmu Muamalah terbagi kepada ilmu lahir yakni ilmu mengenai
amalan anggota badan dan ilmu batin yakni ilmu mengenai amalan-amalan hati.
Ilmu yang berjalan atas anggota- anggota badan menjadi adat dan ibadat.
Sedangkan bagian batin yang berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa
terbagi menjadi tercela dan terpuji.142 Dengan kata lain ilmu Muamalah adalah
ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang
tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah.
Sedangkan dalam kitab “Mizan al-Amal”, al-Ghazali menjelaskan bahwa
ilmu yang dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan sejati dibedakan
menjadi dua macam yaitu: ilmu Nazhari dan ilmu Amali. Ilmu Nazhari terbagi
menjadi bermacam-macam dan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan adat,
negara dan bangsa.143 Namun menurut al-Ghazali yang terpenting dalam kaitannya
140 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, terj. H. Ismail Yakub (Jakarta: CV. Faizan, 1985) juz I, hal. 12
141 S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam, diterjemahkan Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983) hal. 100
142 S. Waqar, Op.Cit, hal. 94143 Ibid, Neraca Beramal, hal. 60
dengan pembinaan moral adalah ilmu yang dapat menyampaikan kesempurnan
jiwa, sehingga dengan kesempurnaan itu manusia dapat mencapai kebahagiaan.
Tentang ilmu Amali al-Ghazali membagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Ilmu Jiwa dengan sifat-sifat dan akhlak, yaitu melatih jiwa dan memerangi
hawa nafsu.
b. Ilmu Jiwa tentang cara mengatur ekonomi , kelurga, anak, pelayan dan
para hamba.
c. Ilmu Tata Negara ( siasat mengatur penduduk negeri).144Diantara ketiga ilmu
tersebut kaitannya dengan pendidikan moral, menurut al-Ghazali yang paling
penting adalah ilmu mensucikan jiwa, ilmu mengatur badan dan memelihara
keadilan sesuai dengan sifat-sifat yang ditentukan.
Sedangkan menurut sumbernya, al-Ghazali membagi ilmu
yang ada menjadi ilmu Syar’iyyah dan ilmu non Syar’iyyah.
Ilmu-ilmu Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang berkenaan
dengan syari’at. Ilmu ini terbagi menjadi empat macam: al-
ushul ( pokok), al-furu’ ( cabang), al-muqaddimah (pengantar)
dan al-mutammimat ( pelengkap).145
Sedangkan ilmu non Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang
bersumber pada akal, eksperimen, akulturasi. Termasuk
dalam ilmu ini adalah semua ilmu rasional dan filosofis. Ilmu-
144 Ibid, hal. 61-62145 al-Ghazali, Ihya’… juz I , hal. 28
ilmu ini apabila tidak dilarang dengan tegas oleh syar’i maka
hukumnya adalah mubah.
Fathiyah Hasan Sulaiman menyimpulkan gradasi materi
pendidikan akhlak dari karya-karya Al-Ghazali adalah
sebagai berikut:
1. Urutan pertama: al-Qur’an al-karim dan ilmu-ilmu agama seperti
Fiqh, Sunnah dan Tafsir.
2. Urutan kedua ilmu-ilmu bahasa, seperti ilmu Nahwu, serta artikulasi huruf
dan lafal karena ilmu tersebut melayani agama.
3. Urutan ketiga ilmu yang termasuk kategori ilmu wajib kifayah.
4. Urutan keempat Ilmu yang berkaitan dengan budaya, sejarah serta
sebagian cabang filsafat, seperti matematika, logika dan lain sebagainya.146
Disamping ilmu sarana kedua mencapai kebaikan moral dan tujuan moral
adalah amal. Menurut al-Ghazali amal adalah penyempurna ilmu untuk mencapai
tujuan yang semestinya. Amal dalam konteks ini adalah mengekang nafsu jiwa
mengontrol amarah dan menekankan pertimbanagan sehingga benar-benar tunduk
terhadap akal.147
Metode Pendidikan Moral
Al-Ghazali tidak membahas secara tersendiri tentang metode pendidikan
dalam karya-karya secara mendalam sebagaimana ia membahas tentang pendidik
146 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan , terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz (Jakarta: P3M,1990) hal. 28
147 Madjid Fakhri, Op. Cit, hal. 127
dan anak didik dan berbagai kewajiban yang melingkupinya. Namun demikian
bukan berarti ia tidak membahasnya dalam pendidikannya. Analisis cermat
terhadap pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral akan karya-karyanya
terutama “Ihya’” akan ditemukan beberapa metode pendidikan moral. Dalam
karya monumentalnya ”Ihya’ Ulumuddin” tentang pendidikan moral (al-thuruq
ila tahzib al akhlak), al-Ghazali menggunakan beberapa metode yang dapat
ditempuh dalam pembentukan moral yang baik:
Yang pertama adalah metode pembiasaan. Yakni metode dengan
melatih anak didik untuk membiasakan dirinya pada budi pekerti dan
meninggalkan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan dan latihan. Tentang
metode ini al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika keagamaan tidak mungkin
akan meresap dalam jiwa sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan
baik dan dijauhkan dari kebiasaan yang buruk, atau rajin bertingkah laku terpuji
dan takut bertingkah laku tercela.148 Al-Ghazali sangat menekankan langkah
pembiasaan kepada anak-anak untuk berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral yang
baik.149. Hal ini seperti apa yang dikemukakan :
“ apabila anak itu dibisakan untukmengamalkan apa-apa yang baik, diberi
pendidikan kearah itu pastilah ia akan tumbuh ditas kebikan tadi aibat positifnya ia akan
selamat sentosa di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika ana itu sejak kecil dibiasakan dan
dibiarkan mengerjakan keburukan, begitu saja tanpa diberikan pendidikandn pengajaran,
yakni sebagaiman halnya sesesorang memelihara binatang, mak akibatnya anaki tu akan
148 al-Ghazali , Ihya’, juz 8 hal. 105-109149 M. Athiyah Al-Abrasyi, Al Tarbiyah Al- Islamiyah, terj. H. bustami dan Johar Bahry
(Jakarta, Bulan Bintang,1990) hal. 266-272.
selalu berakhlak buruk, dan dosanya dibebankan kepada orang yang bertanggung jawab
(orang tua dan guru) memelihara dan mengasuhnya.150
Untuk menopang proses pembentukan kebiasaan bagi anak-anak al-
Ghazali mengemukakan beberapa prinsip yang perlu dilakukan oleh pendidik
yaitu :
a.Penggunaan dorongan atau pujian.
b. Pemberian celaan secara bijaksana.
c.Melarang anak untuk berbuat buruk secara sembunyi-sembunyi.
d. Melarang anak untuk membanggakan apa yang dimilikinya.
e.Mengajari anak untuk bersikap suka memberi dan tidak suka meminta.
Metode yang kedua adalah metode keteladanan.
Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi, Rasulullah dijadikan Allah dalam pribadinya teladan
yang baik. Demikian halnya dengan guru. Dalam pandangan Al-Ghazali guru adalah pewaris nabi dan subyek pendidikan,
maka haruslah menjadi teladan bagi anak didiknya.
Berkaitan dengan hal tersebut Al-Ghazali memberikan
penjelasan seperti apa yang dikemukakannya:
“ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi
perbuatanya.... Perumpamaan guru yang membimbing murid adalah bagaikan ukiran
dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat
dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin
bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok. “ 151
150 Al-Ghazali , Ihya’ Ulumuddin, VI hal. 107151 Ibid, hal. 58
Hal diatas menegaskan betapa al-Ghazali sangat menekankan keteladanan
dalam pendidikan moral.
Metode yang ketiga adalah tazkiyah nafs ( metode penyucian diri)
Metode ini merupakan metode yang dikenal dengan metode sufistik.
Dalam kaitannya dengan pembinaan moral, al-Ghazali menganalogikan metode
ini dengan metode pembinaan badan. Untuk menghindarkan badan dari rasa sakit
yaitu dengan menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit badan, demikian
pula denagn jiwa. Untuk menghaindarkan jiwa dari penyakit maka haruslah
menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit jiwa. Adapun jiwa yang sakit
harus disucikan sebagaimana pengobatan bagi badan yang sakit.
Metode ini terdiri dari dua langkah yaitu takhliyah al-nafs dan tahliyah al-
nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri
dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri
dengan moral dan sifat terpuji.152
Al-Ghazali dalam proses penyucian jiwa menekankan pentingnya seorang
pembimbing moral sebagai panutan penyucian diri, pencerahan, pembersihan
jiwa153. Dalam proses tersebut menurutnya seorang sufi harus memahami tingkat-
tingkat atau kondidsi penyakit jiwa yang dialami oleh murid. Karena itu bagi
seorang guru harus benar-benar mengetahui kondisi jiwanya.154
Mengenai cara pengosongan sifat-sifat tercela dalam rangka penyucian
jiwa, al-Ghazali mengemukakan empat cara:
152 Ibid, Yahya Jaya, hal. 36153Ibid, Ihya, juz 2 hal. 53154 Zaki Mubarok, Akhlak Indal al- Ghazali, (Dar al-Kitab al-Arabiy li al-Tib’ah wa al-
Nasyr,t.t) hal. 139
1. Menghadap kepada syaikh pembimbing moral yang mampu melihat
aib diri atau penyakit jiwa kemudian mengikuti petunjuknya dalam
bermujahadah.
2. Mencari teman yang jujur agar memperhatikan keadaan-keadan dan
perbuatan diri agar memberitahu mana moral dan perbuatan tercela
yang tidak disenanginya baik yang tampak maupun yang
tersembunyi.
3. Mencari tahu aib diri melalui ucapan-ucapan musuh sebab musuh
selalu mencari aib lawan.
4. Bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat luas sehingga mampu
melihat mana yang baik dan mana perbutan dan moral yang buruk,
kemudian menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai atau
tercela yang dilakukan orang lain.155 Dari keempat cara penyucian
diri, cara pertama merupakan cara yang dianggap sangat penting
bahkan dianggap suatu keharusan oleh al-Ghazali
Peran dan syarat pendidik moral
Pendidik menurut al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat mulia
dan peran yang sentral dalam membentuk manusia yang bermoral. Sehubungan
dengan hal tersebut al-Ghazali berkata:
“ Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang
paling mulia penampilannya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan,
155 ? Ibid, hal. 136
mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat kepada Allah.
156
Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa bahwa profesi
guru adalah profesi yang sangat mulia dan tugas utama
pengajar adalah berusaha membimbing, meningkatkan dan
mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliknya.
Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia
merupakan makhluk mulia. Kesempurnaan manusia itu
terletak pada kesucian hatinya, untuk itu pendidik dalam
perspektif al-Ghazali harus memiliki kesucian jiwa dan
kebersihan hati.
Disamping itu seseorang pendidik dituntut memiliki beberapa
sifat keutamaan yang menjadi kepribadianya. Diantara sifat-
sifat tersebut adalah:
1. Sabar dalam menghadapi berbagai pertanyaan dari murid
2. Senantiasa mengembangkan kasih sayang.
3. Duduk dengan sopan, tidak riya’ dan tidak pamer.
4. Tidak takabur kecuali terhadap orang yang dzalim dengan maksud
mencegah tindakannya.
5. Bersikap tawadlu’ dalam pertemuan ilmiah
156 Al-Ghazali, Ihya’, hal. 14
6. Sikap dan perbuatannya hendaknya tertuju pada topik persoalan
7. Memiliki sikap bersahabat dengan murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak membentak-bentak orang bodoh.
9. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang tidak dikuasainya.
10. Menampilkan hujjah yng benar.
Mohammad Athiyah al-Abrasyi menyebutkan beberapa sifat yang harus
dimiliki seorang guru dalam mengemban tugasnya sebagai berikut: zuhud, tidak
mengutamakan materi, bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih
jiwanya, terhindar dari riya’, dengki, permusuhan dan sifat tercela yang lain,
ikhlas dalam beramal dan bekerja, mencintai murid , memikirkan murid seperti
anaknya sendiri, mengetahui tabiat murid dan menguasai materi pelajaran.157
Dari uraian diatas tampak betapa berat tugas dan tanggung
jawab seorang guru. Berkaitan dengan berat tugas dan
tanggung jawab seorang guru, al-Ghazali lebih lanjut
menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Guru ialah orang tua kedua di depan murid
b. Guru sebagai pewaris ilmu nabi
c. Guru sebagi penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
d. Guru sebagai sentral figur bagi murid
e. Guru sebagai motivator bagi murid
f. Guru sebagi orang yan memahami tingkat perkembangn intelektual murid
157 Athiyah Al-Abrasyi, Op.Cit, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 137-140.
g. Guru sebagai teladan bagi murid. 158
Pandangan Emile Durkheim
Pengertian dan hakikat pendidikan moral
Pemikiran pendidikan menurut Emile Durkheim haruslah berorientasi
pada moralitas. Menurut Durkheim pendidikan adalah upaya yang terus menerus
untuk mengisi jiwa anak dengan cara atau jalan melihat, merasa dan bertindak,
dimana upaya itu diterima dan dicapai oleh si anak tidak secara spontan tetapi
bersifat diarahkan. Sejak lahir seorang bayi dilatih (dipaksa) untuk makan, minum
dan tidur pada waktu yang telah ditentukan, disisi lain ia juga dilatih untuk
tenang, bersih dan menurut apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kemudian ia
bertambah besar , kebiasaaan itu tidaklah cukup dengan paksaan saja karena ia
tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat luas, oleh karena itu dia
harus dibimbing dan dibina untuk memikirkan orang lain, memahami lingkungan,
menghormati adat-istiadat, serta merasakan pentingnya suatu karya.159
Pendidikan menurut Durkheim juga merupakan sarana sosial untuk
mencapai tujuan sosial – sarana dengan mana suatu masyarakat menjamin
kelangsungan hidupnya. Pendidikan bukan hanya bertugas mengembangkan
seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan segala kemampuan
tersembunyi pada individu yang mengganggu penampakannya, namun
158 Al- Ghazali, dalam Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) hal.67-75
159 Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi MenurutDurkheim dan Henry Bergson, (Yogyakarta: Kanisius,1994) hal. 30
pendidikan haruslah menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I Homme Un
Etre Nouveau) 160
Moralitas bagi Durkheim tidak bisa dianggap hanya ajaran normatif yang
menyangkut baik dan buruk melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan,
terkait dalam keseluruhan sistem dunia. Moralitas bukan hanya menyangkut
sistem perilaku yang sewajarnya melainkan juga suatu sistem yang didasarkan
pada ketentuan- ketentuan. Dan ketentuan ini adalah sesuatu yang ada di luar diri
pelaku. Karena itu selain bercorak positivis studi tentang moralitas semestinya
juga bersifat rasional dan sekuler.
Seperti telah disinggung, Durkheim sadar bahwa Eropa yang dikenalnya
sedang mengalami proses transformasi. Dengan kecenderungan visi sejarah yang
bersifat evolusionistis ia merasakan pula bahwa dasar konsensus lama telah tidak
memadai. Sistem tradisional, katanya ternyata hanya bisa bertahan karena
keajaiban ekuilibrium (keseimbangan) dan kekuatan kebiasaan. Padahal
sesungguhnya tradisi itu telah lama tidak lagi berpijak pada dasar yang kuat.
Disaat perkembangan ilmu pengetahuan yang makin deras dan disaat
homogenitas alam telah terpecah-pecah maka dasar moral tidak bisa hanya dilihat
sebagai apa yang disebut imanuel kant “kategori imperatif “ –suatu dorongan dari
dalam diri untuk berbuat etis. Bukan dasar yang internal itu yang biasa dipakai
sebagai ukuran melainkan sistem perbuatan yang tampaknya obyektif.
Bagi Durkheim kebenaran haruslah bersifat moralitas dan ilmiah.
Moralitas menurutnya haruslah dilihat sebagai suatu fakta sosial yang 160 Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu Studi, Teori dan Aplikasi Sosiologi
Pendidikan, terj. Lukas Ginting, (Jakarta: Erlangga, 1990) hal. 22
kehadirannya terlepas dari keinginan subyektif. Fakta moral harus dianggap
sebagai fenomena sosial yang terdiri atas aturan –aturan atau kaidah-kaidah dalam
bertindak yang bisa dikenali dari ciri khas tertentu.
Moral menurut Emile Durkheim juga berhubungan dengan bagian yang
fungsional dari masyarakat. Dan moral terlibat pula dalam proses historis yang
bersifat evolusionistis, berubah sesuai dengan struktur sosial. Lebih lanjut moral
menurut Emile Durkheim meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku dan bisa
juga dalam pengertian wewenang. Pada definisi keteraturan tingkah laku dan
wewenang sebenarnya merupakan dua aspek dari satu hal yaitu disiplin. Dengan
kata lain bahwa disiplin dibentuk dari keteraturan tingkah laku dan wewenang.161
Bagi Durkheim bertindak moral berarti bertindak demi kepentingan orang
lain atau kolektif yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang impersonal, sebab yang
menjadi objek perilaku moral adalah sesuatu yang berada diluar diri seseorang,
atau diluar sejumlah orang dari sejumlah orang yang lain yang disebut
masyarakat. Menurutnya seseorang yang bertindak demi kepentingan dirinya
belum dianggap sebagai suatu tindakan yang bersifat moral, karena tindakan
tersebut tidak bersifat sosial.
Dengan demikian menurut Emile Durkheim pendidikan moral merupakan
suatu aktifitas yang harus dilatih dan mungkin dipaksakan bagi setiap orang sejak
dini untuk menjadikan anak yang baik dan mempunyai tingkat kesadaran
moralitas yang tinggi dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosial. Disamping bersifat
sosial pendidikan moral haruslah bersifat rasional. Durkheim mengacu pada
161 Ibid, hal.x
pendapat –pendapat kaum rasionalis yang menyatakan bahwa tidak ada realita
apapun yang membenarkan seseorang membuat pertimbangan secara mendasar
diluar lingkup penalaran manusia.162
2. Tujuan Pendidikan Moral
Oleh banyak kalangan Durkheim acap disebut sebagai juru
bicara paradigmatik dari mereka yang mengembangkan
konsepsi sosial dalam menyikapi persoalan-persoalan moral.
Sebutan semacam itu agaknya cukup beralasan kalau kita
kaitkan dengan pelbagai pandangan Durkheim yang antara
lain melihat bahwa tujuan-tujuan moral adalah segala sesuatu
yang berobyekkan pada masyarakat, ranah moral akan
berkembang bersamaan dengan ranah sosial, moralitas
dimulai dari keterlibatan seseorang pada masyarakat dan
bukan tindakan –tindakan yang merefleksikan kepentingan
individu semata.163
Dalam teori sosiologi menurut Emile Dukheim, proses
sosialisasi harus dilihat sebagai faktor yang hakiki dari
162 Ibid, hal. 3163 Cheppy Hari Cahyono, Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP
Press,1995) hal 297
pembentukan gagasan, perasaan, hasrat yang lebih tinggi dan
watak. Selain itu teori Emile Durkheim164 menyatakan bahwa:
Manusia baru menjadi manusia, sebab dia hidup di masyarakat.
Seseorang dianggap sebagai makhluk moral karena dia hidup di masyarakat.
Tanpa masyarakat moralitas tidaklah memiliki tujuan, tugas dan akar.
Moralitas diciptakan oleh masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat.
Moralitas sosial tidak selalu sama dengan moralitas konvensional.
Dari pernyataan ini memunculkan pandangan bahwa Emil
Durkheim lebih melihat bahwa makhluk individual adalah
makhluk prasosial, tanpa masyarakat moralitas tidak akan
tercipta dan tujuan tindakan moral adalah masyarakat.
Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat tidak bisa
direduksi hanya sebagai kumpulan individu-individu semata,
melainkan harus dilihat sebagai makhluk baru yang sui
generis, dengan ciri khasnya sendiri yang berbeda dari ciri
khas anggota-anggota, dengan individualitas sendiri yang
tentunya berbeda dengan individualitas pembentuknya.165 Dalil
yang digunakan Durkheim adalah bahwa kombinasi elemen-
elemen dengan cara apapun, menghasilkan sifat-sifat baru
164 Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat Emile Durkheim, terjemahan Soejono D.( Jakarta: Erlangga,1996) hal. 42
165 Durkheim, Pendidikan Moral, hal. 48.
yang sama sekali berbeda dengan dari sifat masing-masing
elemen pembentuknya. Jadi kombinasi tersebut menjadi
sesuatu yang justru melalui penggabungan-penggabungan
pembentuknya.
Dalam proses penggabungan terjadi kontak dan interaksi antara masing-
masing individu yang melibatkan tindakan, pikiran, maupun perasaan sehingga
melahirkan kesadaran kolektif.166 Dengan demikian masyarakat menjelma menjadi
makhluk moral yang mempunyai ide-ide, tindakan, dan perasaan yang khas yang
tidak pernah menjadi ciri individu bila hidup terpisah-pisah.
Disamping itu jika masyarakat menjadi tujuan tindakan moral ia juga
harus dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan dalam dan pada dirinya, dan
tidak hanya karena berguna bagi individu. Dalam mengikat dirinya dengan
masyarakat setiap orang harus mempunyai kepentingan. Keterikatan hanya
mungkin terealisir bila manusia rela menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sebab
dalam kenyataannya mengaitkan diri dan makhluk lain selalu berarti sampai
tingkat bergabung atau menyatu bersamanya, bahkan siap menggantikan makhluk
tersebut apabila keterikatan memang menuntut pengorbanan.167
Namun bagaimana mungkin keterikatan demikian bisa mengendap dalam
kesadaran individu, jika masyarakat sebagai tujuan moral berada diatas dan
berbeda dengan individu. Apakah kepentingan pribadi harus dikorbankan karena
kepentingan masyarakat. Durkheim mengakui adanya perbedaan antara individu
166 KJ. Veeger, Op.Cit, hal. 145167 Taufik Abdullah, Op.Cit, hal. 198
dan masyarakat. Namun perbedaan itu menurutnya tidak dapat diletakkan pada
posisi resiprokal dan kedua makhluk tersebut tidak dapat diletakkan dalam posisi
antagonis. Sejalan dengan itu ujarnya tidak benar individu sendirilah yang hanya
mengidentifikasi hakekat dirinya, yang benar justru sebaliknya yaitu ia tidak dapat
sepenuhnya merealisasikan dan menjadi dirinya sendiri kecuali manakala ia telah
melibatkan diri dalam masyarakat.168
Hal serupa juga terjadi pada ilmu pengetahuan. Ia terbentuk dan
berkembang sebagai hasil dari tujuan kolektif. Masyarakatlah yang
membentuknya seraya mendesak para anggotanya untuk terus belajar . Demikian
pula peradaban dilahirkan, dilestarikan, dan diwariskan masyarakat kepada
individu. Peradaban merupakan kumpulan dari segala sesuatu yang dipandang
memiliki nilai tertinggi serta merupakan kongregasi dari nilai-nilai kemanusiaan169
Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang baik, orang harus segera
menyatu dengan sumber utama kehidupan moral dan mental yang mnjadi ciri
manusia yaitu masyarakat. Dari masyarakatlah berasal segala sesuatu yang paling
baik dalam diri manusia. Berawal dari masyarakat pulalah keseluruhan segala
tingkah laku manusia.170
Lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa seseorang hanya akan
bertindak efektif demi kepentingan masyarakat manakala menggabungkan usaha-
usaha individu sehingga tercipta tindakan kolektif. Tindakan ini tidak saja
168 Ibid, hal. 198169 Emile Durkheim, Sosiologi Dan Filsafat, hlm. 57170 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, hal. 50
memiliki pengaruh lebih luas, melainkan di dalamnya juga terkandung moral yang
lebih tinggi, karena mengejar tujuan yang melampaui kepentingan pribadi.171
Dengan demikian tujuan pendidikan moral menurut Emile Durkheim
adalah upaya membentuk manusia menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I
Homme Un Etre Nouveau yang mempunyai rasa solidaritas tinggi, disiplin untuk
tujuan-tujuan sosial dan menciptakan ekuilibrium masyarakat.
3. Sumber pendidikan moral
Gagasan Emile Durkheim tentang pendidikan lebih difokuskan pada
pendidikan moral yang rasional yang tidak memasukan unsur-unsur agama
didalamnya . Moralitas bukan sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan
melainkan suatu sistem perilaku yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi
kesepakatan bersama. Dalam hal ini moralitas didasarkan pada beberapa unsur
sebagaimana telah dikemukakan oleh Durkheim . Unsur-unsur tersebut adalah
semangat disiplin, ikatan pada kelompok dan otonomi 172
Durkheim menolak sumber moral adalah agama. Hal ini disebabkan
analisa Durkheim bahwa kini peranan Tuhan hanya menjadi pengawal. Sistem
moral tidak diciptakan untuk kepentingan-Nya melainkan demi kepentingan
manusia. Tuhan hanya bercampur tangan dalam membuat moral agar lebih efektif.
Sejak saat itulah kewajiban manusia sebagian besar menjadi bebas dari gagasan
religius sehingga ia tidak lagi merupakan landasan pijak bagi perkembangan
moral.173
171 Taufik Abdulah, Op.Cit, hal. 47172 Ibid173 Ibid, hal 5
Tahapan perkembangan diatas memperlihatkan betapa moralitas pada
awalnya tidak dibangun sama sekali dengan melepaskan konsepsi teologis
manapun. Namun demikian pertalian yang sejak semula memadukan dan
mengikat kedua sistem tersebut semakin lama semakin longgar. Maka usaha
melepaskan ikatan tersebut secara definitif berarti mengakui arus sejarah. Persis
pada titik inilah proses sekularisasi moral merupakan kenyataan yang mau tidak
mau harus diterima. Durkheim menyadari bahwa upaya menjadikan proses yang
dimaksud tidak akan hanya cukup dengan mengajarkan moralitas warisan leluhur
seraya menghindarkan segala kebutuhan untuk menemukan kembali jalan menuju
gagasan religius. Lebih dari itu diperlukan transformasi menyeluruh174
Mengapa transformasi menyeluruh ditekankan, hal ini
disebabkan karena sistem kepercayaan dan moralitas telah
menjadi satu dalam sejarah selama berabad-abad. Kedua
sistem tersebut terjalin erat bahkan sebelum hubungan
keduanya disa dikenal, serta pemisahan antara keduanya bisa
diwujudkan. Baik kepercayaan maupun moral haruslah
ditopang pada landasan yang sama yaitu Tuhan. Dia adalah
pusat religius tertinggi serta jaminan tata nilai moral tertinggi.
Inilah sebabnya mengapa perpaduan ini menjadikan agama
dan moral sama-sama memiliki unsur kewajiban. Orang
174 Ibid. hal 6
bahkan dengan mudah melihat bahwa beberapa elemen dari
kedua sistem tersebut saling mendekati satu sama lain,
sehingga membentuk hanya sebuah sistem. Gagasan moral
tertentu menyatu dengan gagasan religius sedemikian rupa
sehingga tidak dapat dibedakan lagi.
Oleh karena itu apabila dalam merasionalisasikan moralitas, seseorang
semata-mata berusaha mencabut apa saja yang dianggap bersifat moral tanpa
mencari unsur penggantinya, hal ini merupakan yang bersangkutan sekaligus
mencabut semua elemen yang sebetulnya adalah moral itu sendiri. Upaya mencari
jalan keluar metodis dari masalah ini sebagaimana ditawarkan Durkheim dapat
dilakukan dengan mencari tepat pada jantung konsepsi religius, hakekat realitas
moral yang terkubur dan tersembunyi di dalamnya.175
Jadi seseorang harus melepaskan gagasan religius namun pada saat yang
sama harus menemukan unsur-unsur moral, menentukan sifatnya dan
mengungkapkannya dalam bahasa rasional. Dalam hal ini kecenderungan
Durkheim adalah menggantinya dengan masyarakat, dengan catatan masyarakat
dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu
dalam membentuk otoritas moral sehingga memanifestasikan dirinya dalam
aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan masyarakat
sebagai unsur pengganti sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul
175 Ibid
berakar dari realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan
rasional sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan.176
Demikianlah gambaran dari upaya Durkheim menggagas realitas moralitas
sekuler yang ingin mendasarkan moral pada masyarakat dan sebaliknya menolak
agama sebagai titik pijak moral. Konsepsi tentang moralitas sekuler ini sekaligus
dijadikan alasan untuk mengkritik anggapan banyak orang yang melihat moralitas
tidak mungkin digeluti oleh nalar manusia, karena di dalamnya memuat sifat
mistis177 dan Durkheim juga menggunakan ini sebagai landasan untuk menolak
persepsi kaum empiris utilitarian yang disatu pihak menawarkan gagasan rasional
tentang moralitas namun menolak sifat-sifatnya yang sui generis dan mereduksi
ide-ide menjadi ide-ide teknik ekonomi.178
Terlepas dari itu semua, pandangan Durkheim mengenai sumber dan
prinsip-prinsip moral membentangkan kombinasi elemen-elemen yang berbeda.
dan sebagian lainnya, memberikan tekanan pada satu elemen dan tidak pada
elemen yang lain. dan itulah yang barangkali yang menjadi alasan mengapa
Durkheim acap kali dilukiskan sebagai sosok yang begitu perhatian pada norma-
norma moral dan tindakan-tindakan yang bersifat wajib, lebih lagi kalau melihat
kecenderungannya terakhir yang begitu besar perhatiannya pada ide-ide moral.179
Prinsip-prinsip moral kata Durkheim harus berfungsi sebagai penunjuk
dan asas kehidupan moaral yang dapat dan harus dijelaskan kepada peserta didik
melalui proses pendidikan moral. Mengingat prinsip-prinsip pendidikan moral
176 Ibid, hal. 235177 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, hal 87 178 Emile Durkheim, Sosiologi Dan Filsafat, hal. 66179 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, hal. 79
adalah jantung bagi pendidikan moral maka prinsip-prinsip moral itu harus
diajarkan sedemikian rupa sehingga peserta didik akan merasa terpanggil untuk
melaksanakan dengan mengetahui landasan-landasan atau pertimbangan-
pertimbangannya.
4. Metode pendidikan moral
Bagaimana membangun unsur-unsur moralitas pada anak.? pertama dalam
mengembangkan unsur-unsur moralitas pada anak adalah, dengan metode
pembiasaan (membangun disiplin). Untuk mebangun disiplin ada dua unsur yang
terkait di dalamnya yaitu keinginan adanya keteraturan dan keinginan tidak
berlebihan serta penguasaan diri. Pada usia dini anak harus dapat dididik untuk
membiasakannya dengan keteraturan. Dengan kata lain disiplin merupakan cara
untuk merangsang kemauan anak dalam proses pembelajaran. Anak harus dilatih
menaati kaidah peraturan, maka ia harus bisa merasakan adanya sesuatu yang
patut dihormati yaitu otoritas moral yang ditanamkan pada anak.
Kedua, metode hukuman dan penghargaan.
Hukuman diperlukan untuk lebih menaati kaidah peraturan dan
menyampaikan kepada anak tentang otoritas yang inheren, sehingga mereka
mematuhi peraturan tersebut secara spontan dan mempunyai rasa hormat terhadap
peraturan. Memang dengan adanya hukuman tidak menjamin segala sesuatu
berjalan baik, namun hukuman itu diharapkan sekurang-kurangnya dapat
mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan
dalam mencapai disiplin dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Menghukum bukan berarti membuat orang lain menderita secara jasmani
dan ruhani, karena hal ini bertentangan dengan tujuan moral dalam pendidikan
yaitu menghargai martabat manusia. Hukuman hanya simbol 180 yang gamblang
dari keadaan batin. Oleh karena itu hukuman tidak diperbolehkan diberikan dalam
dosis terlalu berat, sebaiknya dilakukan dengan sangat bijaksana, karena
pengaruhnya akan terasa dan meningkat kalau diterapkan secara bijaksana.
Ketiga, adalah penggunaan lingkungan sekolah dalam menumbuhkan
solidaritas pada anak.
Untuk membentuk unsur moralitas kedua, ikatan terhadap kelompok sosial
maka Emile Durkheim mengambil sekolah sebagai sarana pelatihan anak untuk
selalu merasa dirinya berada di lingkungan masyarakat luas sehingga mempunyai
solidaritas tinggi terhadap orang lain dan lebih percaya terhadap apa yang dia
lakukannya..
Lingkungan sekolah yang terdiri dari berbagai murid yang melakukan
aktifitas bersama, dapat dijadikan sarana yang tepat untuk menanamkan kepada
anak kebiasaaan kebiasaan hidup berkelompok, kebutuhan untuk terikat dengan
kekuatan-kekuatan kolektif. Dalam proses pembelajaran terkadang bahkan sering
dilakukan metode pemberian tugas secara kelompok untuk lebih melatih anak
menghargai pendapat orang lain.
180 Ibid, hal. 27
Keempat, adalah metode keteladanan
Dalam pendidikan moral Emile Durkheim, keteladanan yang ditunjukkan
oleh seorang pendidik merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap
berhasil tidaknya pendidikan moral. Menurutnya pendidik adalah agen moral
masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam pembentukan moral dan
pengalihan budaya.181 Pendekatan sosialisasi moral dalam pendidikan Emile
Durkheim menyatakan bahwa murid atau siswa dapat mempelajari nilai-nilai
moral dan perilaku apabila pendidik mampu mengajarkan secara aktif nilai-nilai
moral tersebut. Menurut Bennet (penganut pandangan Durkheim) para penganut
Emile Durkheim percaya tentang proses pengajaran moral dapat difasilitasi
dengan cara menjelaskan tentang bagaimana para pengajar mampu
mengajarkannya dengan memberikan contoh-contoh karakter dan perilaku
personalnya.
Tentang penggunaan metode pendidikan moral banyak tokoh yang
memandang bahwa metode pembiasaan dan keteladanan adalah hal yang sangat
penting dalam rangka membentuk anak didik mempunyai moralitas yang baik.
Abdullah Nasih Ulwan misalnya, menyebutkan ada lima metode dalam
pendidikan moral yang diharapkan dapat mempersiapkan anak baik secara moral,
mental, spiritual, maupun memiliki ethos sosial. Diantara metode yang
dirumuskan Nasih ulwan tersebut adalah:
a) Pendidikan dengan keteladanan
b) Pendidikan dengan adat kebiasaan
181 Ibid, hal.xii
c) Pendidikan dengan nasehat
d) Pendidikan dengan perhatian dan pengawasan
e) Pendidikan dengan hukuman.182
Metode yang lain juga disampaikan oleh Athiyah al-Abrasyi bahwa dalam
memberikan pendidikan moral itu tidak terlepas dari keteladanan para guru, selain
itu juga metode yang menjadi perhatiannya adalah pendidikan moral baik secara
langsung maupun tidak langsung yaitu bagaimana guru dapat mensugesti anak
didik.183
Zakiah Daradjat juga menyampaikan bahwa untuk membentuk moral yang
baik ada beberapa metode yakni metode pembiasaan dan pengulangan terhadap
apa yang dianggap baik, metode kebebasan yakni anak didik diberi otonomi
dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, setelah anak didik
diberi pelajaran.184
5. Materi pendidikan moral
Materi pendidikan moral menurut Emile Durkheim bukan suatu materi
yang harus dicantumkan dalam kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal
ini merupakan kurikulum tersembunyi ( hidden curiculum).185 Jadi setiap guru
harus memberikan contoh yang baik kepada anak didik, baik dari segi tingkah
laku, sikap, pengetahuan saling menghormati dan lain sebagainya. Di dalam
182 A. Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta: Pustaka Aman, 1999) Jilid II hal. 303
183 Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit, hal. 97 184 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1977) hal 22185 Istilah kurikulum tersembunyi (hidden curiculum) berasal dari Phlilp Jackson ,
maksudnya adalah tingkah laku, sikap, cara bicara, dan perlakuan guru terhadap murid-muridnya menyampaikan pesan –pesan moral tertentu yang tidak ada dalam kurikulum eksplisit.
sebuah sekolah tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral tidaklah terletak
pada kegiatan intra kurikuler akan tetapi pada pengajar.
Selanjutnya dengan hidden curiculum seorang pengajar harus memiliki
pandangan atau sikap yang terbuka dan tegas tentang segala sesuatu yang
berkenaan dengan benar dan salah, serta membiasakannya siswa bertingkah laku
prososial di lingkungan sekolah. selain itu masyarakat juga harus bisa
disosialisikan secara efektif untuk menunjukkan karakter moral prososialnya dan
perilaku sosialnya melalui ekspose bebas.186
Segi lain yang paling menonjol mengenai materi pendidikan moral
menurut pandangan Emile Durkheim adalah tidak adanya daftar panjang tentang
aturan-aturan yang harus ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui pelbagai
artikelnya nampaknya Durkheim tidak mengedapankan isi materi tertentu yang
diaplikasikan dalam sebuah kurikulum pendidikan moral. Materi pendidikan
moral tidak harus memuat aturan panjang yang harus didikte akan tetapi lebih
menekankan prosedur-prosedur dan pendekatan– pendekatan yang ada kaitannya
dengan situasi-situasi moral.187 Materi pendidikan moral lebih bersumber pada
norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
6. Peran dan syarat pendidik moral
Masalah pendidik moral agaknya cukup menempati peran yang sentral dalam sistem pemikiran Durkheim. Hal
ini dapat kita buktikan dari berbagai pandangannya tentang filsafat sosial, epistemologi dan sosiologi. Bagi Durkheim
belajar adalah satu proses dimana peserta didik akan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga dapat tumbuh selaras dengan
posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya. Untuk dapat menjadi pribadi
186 John Snarey, Moral Education Emile Durkheim Dan Moral Sozialisation Dalam Marvin C, Alkind (Ed) , Encyclopedi Of Educational Research (New York, Macmillan Publishing Company, 1992) Vol. 3 Hal. 856
187 Hary Chepy cahyono, Op.Cit, hal. 328
berpengetahuan dan bermoral, tidak ada kekuatan lain yang mampu membentuk dan mempengaruhinya kecuali
masyarakat. Guru adalah agen masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam peralihan budaya . Tugas guru adalah
menciptakan suatu makhluk sosial, suatu makhluk yang bermoral.188
Posisi guru yang begitu sentral, dengan tugas dan kekuasaannya yang
demikian besar, sudah pada tempatnya kalau didayagunakan secara optimal.
Namun untuk lebih efektif dan efisien, kata Durkheim, guru harus memiliki
beberapa kualitas pokok Kualitas yang pertama adalah apa yang disebut dengan
otoritas moral.
Guru pendidikan moral harus menjadi simbol dan sekaligus menjadi
contoh bagi anak didik baik dalam upaya menjadikan dirinya sebagai lambang
idola anak didiknya maupun pemenuhan tugas sehari-hari dalam mewujudkan
tertib dan efisiensi. Oleh karena itu guru harus dibekali dengan otoritas moral,
karena tanpa otoritas seorang guru pendidikan moral tiadak akan mungkin dapat
mengajar atau mengembangkan peserta didik ke arah sifat-sifat yang dibutuhkan
bagi kehidupan moral.
Kualitas pokok yang kedua adalah totalitas dalam berusaha. Mengajar
bukanlah sekedar mentransmisikan fakta atau berita kecil yang terisolasi, akan
tetapi mengajar lebih merupakan aktivitas organis dan sintesis. Dalam mengajar,
kata Durkheim perlu diperhatikan totalitas kepribadian peserta didik
Demikianlah pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim mengenai
pendidikan moral, meliputi konsep dan hakekat pendidikan moral, tujuan
pendidikan moral, sumber pendidiakn moral, materi pendidikan moral, metode
pendidikan moral, serta peran dan syarat pendidik moral.
188 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, hal. xiii
BAB IV
KOMPLEKSITAS ERA MODERN
A. Pengertian Dan Ciri Masyarakat Modern
Menurut Daniele Lerner, Modernisasi adalah istilah yang baru untuk satu
proses yang panjang –proses perubahan sosial- dimana masyarakat yang kurang
berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih
berkembang.189
Berbagai pendapat tentang modernisasi telah dibahas banyak ahli dengan
sudut pandang yang berbeda-beda. Sbagaimana yang dikemukakan dalam buku
M. Rusli Karim, Light and killer misalnya, mengartikan modernisasi sebagai
perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan
masyarakat tradisional kearah masyarakat industrialisasi dan urbanisasi. Atau
seperti ditegaskan Zanden bahwa Modernisasi merupakan proses dimana suatu
masyarakat beralih dari pengaturan sosial dan ekonomi tradisional atau pra-
indurstrial ke masyarakat yang industrial.190
Adapun sudut pandang modernisasi revolusioner yang dikemukakakn oleh
Robinson mendasarkan pada tiga asumsi pokok. Pertama, sebagai hasil sejumlah
189 Daniel Lerner dalam International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 9 dan 10, (New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1968,) hal. 386
190 M. Rusli Karim, Agama, Modernisasi & Sekularisasi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994) hal.23
perubahan filosofis, perluasan dibalik pendekatan ilmiah barat terhadap dunia
alamiah dan sosial dan dari bangkitnya teknologi sampai pada tahap tertentu.
Kedua, sebagai hasil, maka revolusi dalam abad dua puluh menjadi sama dengan
modernisasi politik, ekonomi, sikap dan kemasyarakatan. Ketiga, modernisasi
memerlukan waktu untuk mentransformasikan masyarakat tradisional.191
Dalam tradisi sosiologi, modernisasi dilihat sebagai suatu proses
diferensiasi pelbagai bidang kehidupan. Secara keseluruhan konsep modernisasi
umumnya dianggap mencakup pembedaan kehidupan ke dalam tiga fase
perkembangan : zaman primitif, zaman religio methaphysical dan zaman modern.
Pembedaan ini sebenarnya bisa dilacak dari konsepsi Comte tentang fase
perkembangan masyarakat. Tahap-tahap tersebut dianggap memperlihatkan
pembedaan fase-fase kemampuan abstraksi pemikiran dan sistem pengetahuan
yang dihasilkan.192
Sedangkan menurut pandangan dikotomik modern-tradisional, Assaf
Husasin memerinci kedua masyarakat tersebut menjadi masyarakat seperti dalam
tabel berikut ;193
Karakteristik masyarakat modern-tradisional
Masyarakat tradisional Masyarakat Modern
Status askriptif
Peranan- peranan yang tersebar
Nilai-nilai partikularistik
Status Prestasi
Peranan-peranan spesifik
Nilai-nilai Universalistik
191 Ibid, hal. 24192 Hikmat Budiman, Pembunuhan Yang Selalu Gagal ; Modernisme Dan Rasionalitas
Menurut Daniel Bell, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hal. 37193 M. Rusli Karim, Op.Cit, hal.26
Orientasi kolektif
Afektifitas
Orientasi diri sendiri
Netralitas afektif
Hal yang sama juga dikemukakan oleh M. Francis Abraham, walaupun
dengan karakteristikyang berbeda seperti dalam tabel berikut ;194
Evolusi Masyarakat
Tradisional Transisi Masyarakat
Berpindah-pindah
Teknologi primitif
Sumber tenaga yang
hidup
Pembagian kerja
sederhana
Swasembada unit sosial
Produksi primer
Tradisi suci
Organisasi komunal
Solidaritas mekanik
Sistem status
berdasarkan keturunan
Semangat Gotong
Dualisme struktural yang
memungkinkan adanya
bajak lembu dan pesawat
terbang
-
Kombinasi sumber tenaga
serata perubahan budaya,
munculnya norma
modernitas
Industrialisasi
Urbanisasi
Mobilisasi politik
Rekayasa sosial
--
--
--
--
Industri
Teknologi Maju
Teknologi maju
sumber tenaga yang tak
hidup
pembagian kerja
berdasarkan fungsi
interdependensi sosial
Produksi sekunder
Sekularisme
Birokrasi impersonal
Solidarsitas organik
Mengutamakan prestasi
Urbanisasi
194 M. Francis Abraham, Modernisasi di Dunia ketiga, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991) hal. 13
royong
Sedangkan menurut Alex Inkeles dan David Smith modernisasi
memerlukan perubahan dari cara berpikir dan perasaan, yaitu perubahan dalam
keseluruhan sikap terhadap problem kehidupan, masyarakat dan alam
semesta.Dalam bukunya Becoming Modern 195 sebagaimana dikutip oleh Arief
Budiman, mengulas tentang apa yang disebut dengan manusia modern. Kedua
tokoh ini menyajikan tujuh ciri khas manusia modern seperti berikut :
Kesiapannya terhadap pengalaman baru dan keterbukaannya untuk menerima
inovasi dan perubahan.
Ia harus mampu membentuk atau menangani (Holding) opini berkenaan
dengan sejumlah besar masalah dan isu yang timbul baik dilingkungannya
maupun di luarnya.
Ia menunjukkan sikap yang lebih sadar terhadap berbagai sikap dan opini
dilingkungannya daripada menutup diri terhadap kenyataan diluar dirinya.
Berorientasi kepada masa sekarang dan mendatang daripada masa lalu.
Ia percaya bahwa manusia dapat belajar untuk menguasai lingkungan untuk
memajukan tujuannya sendiri bukan tunduk kepada lingkungan.
Ia yakin bahwa bahwa dunia ini dapat dikalkulasikan, bahwa orang dan
lembaga-lembaga lain disekitarnya dapat tergantung padanya untuk
memenuhi dan menemukan kewajiban dan tanggung jawab.
Ia sangat percaya terhadap keadilan distributif.
195 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga , (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000) Hal. 34
Kedua tokoh ini melakukan pengujian terhadap konsep-konsepnya dalam
penelitian empiris yang meliputi penduduk di enam negara berkembang. Dari
penelitiannya tentang pembentukan manusia modern mereka menyatakan ada tiga
hal untuk merubah menjadi manusia modern yaitu : pendidikan, pengalaman kerja
dan pengenalan terhadap media massa. Pendapat ini mendukung pendapat Daniel
Lerner yang menekankan pentingnya media massa sebagai lembaga yang
mendorong proses modernisasi.196
Adapun H.A.R. Tilaar menjelaskan adanya beberapa teori tentang modernisasi 197:
1. Teori Historis
Menurut teori historis mengenai modernisasi, maka yang dipakai ialah
masyarakat maju atau masyarakat barat. Oleh sebab itu modernisasi diartikan
sebagai westernisasi. Menurut Samuel Eisenstadt, pengertian ini memang
telah muncul sejak abad ke 17 –19 di Eropa pada masa Aufklarung dengan
rasionalismenya. Konsep ini merambat dari Eropa dan Amerika Utara ke Asia
pada abad ke-20. Menurut penglihatan More, modernisasi merupakan
transformasi total dari masyarakat pra-modern menuju masyarakat modern,
yaitu suatu masyarakat yang telah berkembang teknologinya serta organisasi
sosial yang mendukungnya. Inilah yang dijadikan kriteria dari negara ekonomi
maju dengan politik yang sudah mapan. Seolah-olah hanya negara Industri
maju di Eropa dan Amerika Utara-lah yang mempunyai hak dijadikan acuan
suatu masyarakat modern.
196 Ibid, hal 35197 H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan , Pengantar Pedagogik
Transformatif Untuk Indonesia, ( PT Grasindo , Jakarta, 2002) hal. 16
2. Teori Relativisme
Berbeda dengan teori historis mengenai modernisme, mak teori relativisme
tidak menjadikan Eropa dan Amerika Utara sebagai episentrum masyarakat
modern. Menurut teori ini episentrum dari modernisasi adalah berpindah-
pindah. Mungkin manusia maju pertama di dunia ini ada dilembah sungai
Indhus (Idia), di daerah sungai Yang Tse (China), dan di daerah lembah
sungai Nil. Kemudian pusat modernisasi berpindah lagi ke Yunani- Romawi
dan kemudian berpindah lagi ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Bahkan
dewasa ini ada yang beranggapan bahwa episentrum masyarakat modern akan
berpindah ke kawasan pasifik.
3. Teori Analitik
Teori ini melihat tingkat modernisasi masyarakat dari berbagai aspek, yaitu
aspek ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, stratifikasi, mobilisasi sosial
dan agama. Suatu masyarakat modern dalam bidang ekonomi antara lain
ditandai dengan penerapan tehnologi berdasarkan ilmu pengetahuan dalam
pengembangan kehidupan ekonominya. Dalam bidang pertanian terjadi
perubahan dari pertanian subsintensi menjadi pertanian komersial. Demikian
pula tenaga yang dipakai, bukan tenaga manusia atau binatang melainkan
tenaga mesin. Dalam bidang pendidikan masyarakatnya mempunyai perhatian
yang besar terhadap pemberantasan buta huruf. Dalam kehidupan keluarga
terjadi hubungan anggota keluarga yang lebih longgar. Stratifikasi dan
mobilisasi sosial lebih jelas dan cepat dan didasarkan pada kemampuan
perorangan atau bukan karena keturunan. Dalam bidang agama terjadi suatu
proses sekularisasi. Demikianlah beberapa teori tentang modernisasi
Melihat beberapa teori diatas modernisasi seolah
diinterpretasikan untuk menjelaskan perubahan-perubahan
besar dibidang sosial, politik, ekonomi, kultural, dan ideologi
yang tidak dapat dicerabut dari konteks historisnya yang terjadi
di barat. Bertolak dari sana gelombang raksasa ini menciptakan
perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis faktor-
faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi
yang lain. Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya
perubahan –perubahan institusional melainkan juga terjadinya
perubahan-perubahan kesadaran pada manusia.
Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik
distansi, individuasi, progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang
menandai manusia modern.198 Dengan menempatkan pada kelima proses ini,
pertama-tama manusia modern dapat dipahami sebagai makhluk yang tersentak
dari keterpukauannya terhadap alam, sehingga mental partisipasi yang
membenamkan manusia ke dalam proses-proses kosmos menjadi sikap distansi,
manusia mengalami keretakan dari kosmosnya. Proses menjadi sadar ini merayap
melahirkan proses desakralisasi dan berlanjut pada tercerai berainya pranata-
198 F. Budi Hardiman , Melampaui Positivisme Dan Modernisasi, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) hal. 73
pranata sosial dari simbol-simbol religius lewat proses sekularisasi. Dari
dukungan entitas –entitas kolektifnya muncullah individu yang bereksistensi
melalui proses individuasi. Manusia bukan lagi menghuni ruang sosio-mistis,
melainkan muncul melampaui masyarakat dan roda tradisinya. Di hadapan
manusia alternatif-alternatif dapat diciptakan. Manusia menghayati sejarahnya
sebagai perubahan-perubahan unik yang mengarah kepada progress. Seluruhnya
ini pada gilirannya akan membentuk kesadaran manusia yang fundamental yang
mengalihkan kemampuan naluriahnya kearah rasio lewat proses rasionalisasi.199
Dengan kenyataan diatas nampak bahwa modernisasi merupakan peralihan dari
situasi yang lebih primer, partisipatif, determinatif, dan tertutup ke situasi yang
lebih sekunder, distantif, kreatif dan terbuka. Dalam pengertian ini modernisasi
dipahami sebagai proses pembebasan, suatu proses yang bergerak menuju
penyempurnaannya
B. Peradaban Masyarakat Modern
Tiga belas tahun yang lalu John Naisbitt dan Patricia Abuderbe dalam
“Mega Trends 2000 "-nya memprediksikan bahwa umat manusia di dunia ini akan
memasuki pintu gerbang abad 21200. Dalam memasuki dasawarsa baru ini trend
terpenting yang akan menaungi dan mempengaruhi kehidupan manusia adalah:
1) Boom Ekonomi global
2) Rennaisans dalam seni
3) Munculnya sosialisme pasar bebas
199 Ibid 200 John Naisbitt dan Patricia Abuderbee, Mega Trends 2000, Sepuluh Arah Baru Untuk
Tahun 1990-An, (Jakarta : Binarupa Aksara, 2000) hal. 4
4) Gaya hidup global dan nasionalisme kultural
5) Penswastaan negara kesejahteraan
6) Kebangkitan tepi pasifik
7) Dasa warsa wanita dalam kepemimpinan
8) Abad Biologi
9) Kebangkitan agama milenium baru
10) Kesejahteraan individu
Perubahan di dalam semua segi kehidupan manusia sebagaimana yang
dilontarkan futuris terkenal ini tentunya akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi. Terjadinya perubahan tersebut oleh karena sumber kekuatan dan
kemakmuran suatu masyarakat atau negara bukan lagi ditentukan oleh luasnya
wilayah maupun kekayaan sumber daya alamnya namun diakibatkan adanya
penguasaan dan pemanfaatan ilmu penegtahuan dan tehnologi . Dalam peradaban
baru ini terdapat tiga kekuatan yang dominan: 1) Ilmu pengetahuan 2) Tehnologi
sebagai penerapan ilmu pengetahuan, 3) Informasi.201
Penggunaan rasio sebagai pra syarat masyarakat modern melahirkan ilmu,
pengetahuan dan teknologi. Magnis-Suseno202 mencirikan peradaban masyarakat
modern sebagai berikut:1) Masyarakat modern pertama-tama adalah masyarakat
yang berdasarkan industrialisasi. Industrialisasi menjadi darah daging masyarakat
modern. Industrialisasi menjadi format dasar yang bukan hanya bidang ekonomi,
melainkan seluruh kehidupan masyarakat, penghayatannya, way of life nya dan
201 HAR Tilaar, Op.Cit, hal 24202 Frans Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai IlmuKritis, (Yogyakarta: Kanisius , 1991) hal.
56
sebagainya. 2) Implikasi dari industrialisasi adalah perubahan total dan mendalam
dalam gaya hidup manusia. Perubahan itu menyangkut semua bidang kehidupan
dan yang paling mencolok adalah penciptaan jalur-jalur komunikasi lokal,
regional dan global yang amat padat dan cepat. Sarana lalu lintas mengalami
perkembangan revolusioner dan manusia difasilitasi mesin-mesin yang
mempermudah pekerjaan. 3) Industrialisasi tingkat pertama yang sudah dilalui
oleh negara-negara industri. Teknologi merupakan ilmu baru, yakni ilmu yang
secara khusus meneliti kekuatan-kekuatan alam dengan maksud untuk
memanfaatkannya bagi produksi industrial. Gelombang pasca-industri kiranya
akan melahirkan masyarakat informasi. 4) Masyarakat modern adalah masyarakat
yang kecuali dalam keadaan darurat dan luar biasa tidak mengalami
ketergantungan pada alam. Muncul kesan bahwa dengan otonomi rasionya apa
saja bisa diciptakan manusia, seolah semua masalah dapat dipecahkan.
Adapun sumber-sumber peradaban masyarakat modern adalah203: pertama,
kapitalisme dan revolusi industri. Pelbagai bentuk ekonomi kapitalis sudah
dikenal sejak sebelum abad ke 17 yang ditandai munculnya kota-kota
pelabuhan.Tetapi kapitalisme dalam arti khas sebagai suatu sistem yang
merevolusikan perekonomian lahir di Eropa Barat dan Utara (Inggris, Belanda,
Belgia,Perancis) dalam abad ke 17. Hakekat kapitalisme adalah bahwa tujuan
produksi bukanlah konsumsi melainkan penambahan modal. Kapitalisme bersifat
dinamis, sebab selalu berusaha memperluas produksi guna menguasai pasaran.
203 Ibid, hal 58
Sumber peradaban masyarakat modern kedua, adalah munculnya
subyektivitas modern. Dengan subyektivitas dimaksudkan bahwa manusia, dalam
memandang alam, sesama dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia
dalam subyektivitasnya, dengan kesadarannya, serta keunikannya menjadi titik
acuan realitas. Subyektivitas dalam konteks ini mengacu pada Hegel dan Sartre.
Menurut Hegel (1770-1832) manusia itu bukan substansi, melainkan subyek.
Substansi disini dimaksud sebagai kepadatan kebendaan, sebagai sesuatu yang
berada di dunia ibarat sebongkah batu di tengah sawah. Sedangkan subyek adalah
pusat kesadaran, kesadaran akan kesadaran pusat yang secara kritis melawankan
diri terhadap realitas dan dunia. Manusia tidak sekedar hadir dalam dunia,
melainkan hadir dengan sadar, dengan berpikir, dengan berefleksi serta
mengambil jarak secara kritis dan bebas204. Ketiga, rasionalisme. Dengan
rasionalisme dimaksud tuntutan agar semua klaim dan wewenang
dipertanggungjawabkan secara argumentatif, tanpa pengandaian kepercayaan, jadi
dapat diuniversalkan. Sedangkan Segi-segi rasionalisme205: pertama adalah
kepercayaan terhadap kekuatan akal budi manusia. Segala hal harus dimengerti
secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar, dan sebuah
klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Kedua, Penolakan tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran rasional.
Dalam bidang sosial politik, misalnya, rasionalisme menuntut kepemimpinan
rasional. Pada bidang agama, klaim dogma tidak dapat begitu saja ditetapkan oleh
otoritas religius. Ketiga, Rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu, 204 Ibid, hal 59205 Ibid, hal 60
pengetahuan dan teknologi, yakni pengamatan dan eksperimen serta bertumpu
pada dalil-dalil ilmiah. Keempat Rasionalisme membawa serta sekularisme.
Sekularisme ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam
membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja.
Sekularisme juga menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat.
Disisi budaya Dengan kian merebak dan canggihnya teknologi media,
memungkinkan sebuah masyarakat menyaksikan bentuk-bentuk kehidupan dan
sistem kepercayaan lain yang berbeda. Sebuah masyarakat juga menyaksikan
masyarakat lain dalam macam-macam gaya hidup, orientasi keagamaan yang
berlainan, ragam etnis-suku bangsa, perbedaan bahasa dan sebagainya. Bahkan,
bukan itu saja, globalisasi seperti yang diungkapkan Anthony Giddens juga
merupakan efek jarak jauh (time-space distanciation). Maksudnya, apa yang
terjadi pada satu belahan bumi, bisa terjadi efek pada belahan bumi yang lain.
Misalnya, teror bom di Bali dengan serta merta mempengaruhi dunia kehidupan
masyarakat di belahan bumi lainnya.206 Pada intinya, kehidupan masyarakat
modern saat ini dihadapkan pada pluralitas kebudayaan yang saling
mempengaruhi, yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Saling pengaruh di antara ragam kebudayaan ini, jika tidak dikelola
dengan baik, akan menimbulkan konflik yang hebat, berkepanjangan dan susah
dihentikan.Seperti yang disinyalir oleh Samuel Huntington, garis-garis batas
dalam dunia mutakhir (dunia era pasca-Perang Dingin) tidak berasal dari politik
atau ideologi, melainkan kebudayaan. Dalam karyanya yang kontroversial ‘The 206 Eko Wijayanto, Etika Global untuk masyarakat Global, dalam Kompas, 20 januari,
2003
Clash of Civilization" (1993), Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok
masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan
tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban207.
C. PROBLEM MANUSIA MODERNModernitas sesungguhnya merupakan pilihan hidup yang niscaya dalam
setiap babakan sejarah peradaban umat manusia baik pada masa Yunani kuno, era kejayaan Islam sampai pada masa modern Barat dewasa ini. Tetapi karena modernitas sebagai ide pokok kemajuan (progres) tidak lepas dari ambisi-ambisi berlebihan dari manusia sendiri sebagai pelaku utamanya yang kemudian bertemu dengan situasi-situasi sosial yang tidak selalu vakum dari permasalahan maka pada akhirnya modernitas menampilkan dua wajah yang ambivalen. Satu sisi wajah baik yang positip dan di sisi lain wajah buruk yang negatif. Manusia sebagai aktor dengan segala macam kemajuan yang dicapainya dan segala ambisinya, tetap sebagai sumbu segala persoalan dibalik fenomena modernitas yang berwajah ganda tersebut.
Dunia modern yang banyak menyajikan kisah-kisah agung tentang
kemajuan, kisah sukses secara materi, karya ilmu pengetahuan serta tehnologi,
agaknya tidak memberikan bekal hidup yang kokoh sehingga orang modern
tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya.
Fenomena modernisme, yang diyakini sebagai pilihan tepat membebaskan
manusia dari situasi ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan,
meski dalam arti terbatas menunjukkan kemajuan yang cukup spektakuler, tetapi
juga menyisakan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks. Penggunaan rasio
yang melahirkan kemajuan IPTEK merupakan embrio ekspansi wilayah,
imperialisme. Modernisme, dengan demikian, disamping menawarkan
kemudahan-kemudahan bagi manusia, juga memproduksi model-model belenggu
baru yang jauh lebih dahsyat. Peter L. Berger mengisyaratkan bahwa modernisme
207. Hungtinton, Samuel P, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terjemahan: M. Sadat Ismail, (Yogyakarta: Penerbit Qalam: 1996) hal. 283
yang dicirikan oleh kemajuan IPTEK tidak lebih dari ideologi yang menutup-
nutupi kenyataan imperialisme, eksploitasi, dan ketergantungan.208
Justifikasi pernyataan Berger ialah kenyataan lahirnya korelasi a-simetris
antara bangsa barat yang menguasai dan mendominasi IPTEK dengan seperangkat
nilai budayanya dengan bangsa Timur yang diberi atribut: underdeveloped
countries atau eufemismenya, developing countries. Korelasi serupa inilah yang
oleh Galtung dikatakan merupakan awal kekerasan, yakni situasi manusia
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya
berada di bawah realisasi potensial. Hal ini oleh Simon Weil digambarkan secara
ekstrim: kekerasan adalah tindakan yang mereduksi seseorang atau kelompok
menjadi barang. Tindakan terakhir dari reduksi itu ialah pembunuhan, yakni
mereduksi seseorang menjadi mayat. 209
Suatu hal yang menentukan berkembangnya modernisme adalah peralihan
filsafat dasar dari theosentris kepada antroposentris. Yang pertama dimaksudkan
bahwa Tuhan menjadi sentra pemikiran kefilsafatan sementara yang terakhir
manusia menjadi pusatnya. Dengan Theosentris manusia mengarahakan orientasi
dan dasar hidupnya bagi kepenuhan hidup kerohaniahan untuk mencapai
keselamatan jiwa, sementara yang terakhir manusia berusaha menggapai
kelimpahan dan kenikmatan ketubuhan secara sporadis dan temporer.
Problem modernitas yang dialami dunia kemanusiaan dewasa ini boleh
jadi memang bukan semata-mata karena manusia bersifat rasional seperti yang
208 Berger, L, Peter, Pikiran Kembara, (Yogyakarta: Kanisius,1992) hal. 14209 Mochtar Lubis (peny.), Menggapai Dunia Damai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1988) hal. 48
didengungkan oleh zaman modern. Namun rasionalitas yang merupakan elemen
intrinsik yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk Tuhan yang terbaik, telah
bergeser menjadi rasionalisme, dan manusia menjadi serba organik, sehingga
potensi-potensi alamiah manusia seperti hati nurani dan perasaan menjadi
marginal dalam struktur perilaku dan kehidupan manusia. Rasionalitas manusia
modern juga telah melahirkan ambisi-ambisi manusia yang serba eksploitatif dan
tidak jarang mengabaikan kebajikan-kebajikan dan kearifan-kearifan karena
pilihan rasional yang bersifat instrumental.210
Hal ini juga menjadi keprihatinan dari Hokheimer yang menyebutkan bahwa
masyarakat modern ditandai dengan telah terbenamnya akal budi obyektif
digantikan dengan akal budi instumental. Akal budi semata-mata menjadi alat
dan memang bisa diperalat untuk mendukung dan melestarikan sistem yang
ada. Karena hanya menjadi alat maka akal budi kehilangan otonominya,
kehilangan sifat kritisnya.211
Pengertian akal budi instrumentalis ini berkembang subur dalam tradisi
Empirisme dengan ajarannya tentang self-preservation, dimana akal budi
hanya dipakai sebagai alat untuk memperhitungkan segala kemungkinan
tercapainya tujuan dalam arti subyektif, yakni tujuan yang berguna bagi
kepentingan subyek untuk mempertahankan dirinya.
210 Haedar Nashir, Agama dan Krisis manusia modern, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) cet. II hal.vii
211 Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern Oleh Max Horkheimer Dalam Rangka Sekolah Fankfurt, ( Jakarta : PT Gramedia, 1983) hal.97
Lawan dari akal budi instrumentalis adalah akal budi obyektif. Akal budi
semacam ini tidak hanya ada dalam arti subyektif- tidak hanya ada dalam diri
individu-tapi juga dalam arti obyektif, artinya akal ini ada dalam dunia
obyektif diluar individu. Jadi sifatnya universal. Meliputi seluruh manusia
dalam hubungannya satu sama lain. Berada dalam alam dan semua
pertwujudannya.212
Gejala sekularisasi yang tumbuh bersamaan dengan rasionalisasi yang naif
dalam prakteknya dapat mekar bersama dengan nilai-nilai kebendaan, seperti
materialisme, hedonisme dan budaya inderawi lainnya. Dalam budaya modern
barat yang dibangun atas faham humanisme- antroposentris, fenomena budaya
inderawi itu merupakan suatu pola bagi kebudayaaan untuk menggumuli dan
memecahkan persoalan-persoalan hidup secara nyata, telah secara langsung
maupun tidak langsung telah menjauhkan manusia dari pertalian ketuhanan.
Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern dengan skala
kehidupan masyarakat yang mengggambarkan kemunduran (regresi) sebagai
lawan dari kemajuan (progress) sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantahkan.
Setidaknya terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat. Pertama berlangsung dalam level pribadi (individu) yang
berkaitan dengan motif, persepsi termasuk didalamnya status dan peran. Kedua
berkaitan dengan norma yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang
harus menjadi patokan-patokan perilaku yang oleh Durkheim disebut kehidupan
tanpa acuan norma.
212 Ibid, hal. 98
Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa dibalik modernisasi yang
diagungkan manusia sesungguhnya tersimpan gejala yang dinamakan The Agony
of Modernisasi.( azab dan sengsara modernisasi). Gejala ini tercermin dengan
semakin meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan
menjamurnya tindak kekerasan dalam kehidupan.213
Sedangkan Syahrin Harahap menyimpulkan tentang dampak negatif
peradaban modern yang dialami manusia modern antara lain:214
1) Kemiskinan nilai-nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai
implikasi dengan materi dianggap sebagai tindakan irasional.
2) Sebagian manusia seakan-akan mengalami kejatuhan dari makhluk
spiritual menjadi makhluk material yang menyebabkan nafsu hayawaniyah
menjadi pemandu dalam kehidupan.
3) Peran agama digeser menjadi urusan akhirat dan urusan privat.
4) Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan dan tulisan, tetapi tidak hadir
dalam perilaku dan tindakan.
5) Munculnya individualistik.
6) Terjadinya frustasi eksistensisl dengan ciri:
a. Hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, bersenag-senang mencari
kenikmatan yang tercermin dengan perilku yang berlebihan.
b. Kehampaan eksistensi diri, hidup serba hampa.
c. Neurosis neogenik yaitu perasaan hidup tanpa arti, tanpa tujuan
213 Dadang Hawari, Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Mental (Jakarta : Dana bakti Prima Yasa, 1996) hal. 2
214 Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Di Era Globalisasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998) hal. xi- xii
d. Terjadinya ketegangan ketegangan di desa maupun kota, antar
kaya-miskin maupun konsumerisme dan kelaparan.
Dari beberapa hal diatas tampaklah bahwa modernisme meminggirkan
pertimbangan-pertimbangan etis sehingga menggusur nilai-nilai kemanusiaan.
Harkat dan martabat manusia ditundukkan di bawah hasrat pemilikan harta dan
kesenangan sesaat. Manusia tidak lagi dipandang sebagai suatu realitas sui generis
dan khas, yang lebih tinggi, unik dan absolut terhadap alam semesta. Jauh
daripada memberi arti (signifikasi) kepada realitas ekstern, sebaliknya realitas itu
sendirilah yang secara total menentukan kondisi manusia.
D. MORAL DALAM KANCAH MODERNITASMasyarakat modern yang ditandai dengan kapitalisme dan rasionalisasi
hubungan sosial, dewasa ini menghadapi persoalan yang pelik terkait jatidiri
(identitas) sosial. Masyarakat yang atomistik, impersonal dan penuh persaingan
dalam dunia pasar dan kapitalisme, membuat orang tidak lagi menemukan jatidiri
individualnya dalam jatidiri sosial. Dalam masyarakat tersebut jatidiri seseorang
menjadi abstrak dan berdasarkan pilihan bebasnya sendiri. Kesadaran bahwa
seseorang menjadi warga komunitas, sehingga berbuat baik terhadap seluruh
anggota komunitas secara keseluruhan , telah menipis bahkan cenderung
menghilang.215
Moralitas publik tidak lagi dapat didasarkan atas kesadaran untuk
mengejar keutamaaan hidup bagi manusia, karena mana yang disebut baik dan
mana yang disebut buruk semakin sulit diperoleh kata sepakat. Apa yang secara
215 Ross Poole, Moralitas Dan Modernitas; Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme, terjemahan F.B Hardiman, (Yogyakart: Kanisiuis, 1993)
tradisional dijadikan dasar material, obyektif, dan rasional untuk hidup bermoral,
yakni kodrat manusia yang secara ontologis terarah pada Yang baik, kini mulai
dipertanyakan karena dianggap tidak sesuai dengan tuntutan kebebasan
eksistensial manusia. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan
dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang
menjamin kebebasan individu dalam hubungan kontraknya dengan individu yang
lain.216
Seiring dengan peralihan dari masyarakat tradisional yang relatif
homogen, ke masyarakat global yang pluralistik, terjadilah krisis legitimasi yang
luar biasa di dalam masyarakat global tersebut. Krisis legitimasi dalam pengertian
bahwa tatanan legitimasi masyarakat tradisional sebuah tatanan masyarakat yang
didasarkan pada sebuah sistem kepercayaan atau agama mulai kehilangan
validitasnya. Hal-hal diatas pada gilirannya akan memunculkan tendensi
perlawanan jika sebuah masyarakat coba diatur dengan dan oleh aturan
masyarakat lain. Akan lebih kacau lagi jika setiap kelompok masyarakat
memaksakan sistem kepercayaannya sebagai yang "paling benar"untuk mengatur
masyarakat dunia.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah visi besar untuk mengawal
perkembangan masyarakat global saat ini dan di masa depan. Seorang teolog
besar abad ini, hans kung, mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global.
Dalam karyanya yang berjudul “A Global Ethics For Global Politics And
216 Haedar Nashir, Op.Cit, hal 8
Economics”, Hans Kung menyatakan217 tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah
etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai
sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang
dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan
dogmatis ateis.Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung,
konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental (nilai-
nilai universal) yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam
agama,bentuk-bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan
sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik. Sebuah
konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar pada beberapa
tuntutan fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran, keadilan,
kemanusiaan, dan semacamnya.
Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak
bersifat subjektif (monologal). Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak
bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang
dipikirkan sendiri. Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap
klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi
hubungan-hubungan sosial .218 Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti
yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif (dialogal). Melalui dialog yang
bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat
217 Hans Kung, A Global Ethics For Global Politics And Economics, diterjemahkan Ali Noer Zaman, Etika Ekonomi-Politik Global, ( Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002) hal. 162
218 FB Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Kanisius, 1993) hal. 65
dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam
konflik-konflik dan kekacauan.
Namun, harus juga disadari bahwa etika global ini bukanlah obat mujarab
yang langsung memberikan solusi bagi persoalan dunia. Setidaknya, etika global
memberi tuntutan dan dasar moral bagi individu maupun tatanan global yang
lebih baik. Hans Kung juga tidak naif, bahwa tuntutan etika global ini bukan main
sulitnya untuk mahkluk rasional sekalipun. Tetapi, menurut dia, harus ada
tuntutan semacam itu dalam dialog yang riil dalam masyarakat global.kalau tidak,
dialog akan jatuh pada perspektif etnosentris, entah agama, ras, bangsa, dan
kelompok-kelompok kepentingan. Jadi, etika global dalam masyarakat global
merupakan sesuatu yang niscaya.219
BAB V
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG
PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN
A. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Pandangan Al-Ghazali dan Emile DurkheimTentang Pendidikan Moral
Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim sangat menekankan urgensi moral dalam kehidupan manusia dan keduanya juga menekankan pentingnya mentransmisikan moral melalui pendidikan. Namun demikan analisis secara mendalam terhadap pandangan al-Ghazali maupun Emile
Durkheim tentang pendidikan moral, seperti yang tercantum
219 Frans Magnis, Op.Cit, hal. 98
dalam bab III akan menemukan banyak hal lain yang memiliki titik-titik persamaan dan perbedaan.
a. Konsep Dan Hakekat Pendidikan Moral.
Pendidikan moral al-Ghazali lebih bertumpu pada sisi kejiwaan anak didik.
Ini terlihat dari pandangannya tentang konsep moral. Baginya moral adalah suatu
keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan –perbuatan
yang mudah tanpa melalui pemikiran dan usaha. Hal ini pada gilirannya akan
memunculkan pendidikan moral yang lebih mengembangkan spirit personality,
dimana pendidikan lebih mengarah pada pembentukan insan purna yang saleh,
mempunyai kepribadian yang baik, kesucian jiwa dengan adanya unsur moral
hikmah, syaja’ah, iffah, dan ‘aadalah dalam dirinya, dalam rangka pendekatan
diri kepada Allah.
Berbeda dengan pendidikan moral yang dikembangkan oleh Emile
Durkheim yang bersifat sosial. Hal ini terlihat dari pandangan Durkheim tentang
moral. Bahwa moral merupakan suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari
keinginan subyektif. Fakta moral harus dianggap sebagai fenomena sosial yang
terdiri atas aturan– aturan atau kaidah-kaidah dalam bertindak yang bisa dikenali
dari ciri khas tertentu seperti munculnya disiplin, keterikatan kepada kelompok
dan otonomi.
Dengan demikian pendidikan moral dalam pandangan Durkheim lebih
mengarah kepada spirit society, dimana pendidikan bukan hanya bertugas
mengembangkan seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan
segala kemampuan tersembunyi pada individu yang mengganggu
penampakannya. Pendidikan menurut Durkheim merupakan sarana sosial untuk
mencapai tujuan sosial – sarana dengan mana suatu masyarakat menjamin
kelangsungan hidupnya.
Perbedaan hakikat pendidikan moral dari al-Ghazali dan Emile Durkheim tersebut boleh jadi diakibatkan titik pijak awal yang berbeda dan kondisi sosial politik masyarakat pada zaman yang berbeda. al-Ghazali, sebagai seorang sufi dan menekuni filsafat mengorientasikan penelitianya pada hakekat manusia meliputi hati nurani dan al-dzauq yang ada dalam diri manusia, sehingga pendidikan moralnya lebih berbasiskan psikologi, moral manusia berpangkal dari diri dan pendidikan moral merupakan tuntunan mistik pada jiwa untuk selalu berusaha mencari kehidupan akhirat. Sementara Emile Durkheim berangkat dari seorang sosiolog yang melakukan penyelidikan terhadap persoalan moral yang dihadapi bangsanya. Ia tumbuh di tengah kondisi masyarakat Perancis yang carut-marut akibat kegagalan revolusi Perancis. Kegagalan dalam politik yang dialami Perancis berimbas dalam nilai-nilai moral dalam masyarakat. Masyarakat mengalami anomie (keadaaan tanpa acuan moral). Nilai-nilai moral untuk membela bangsa dan tujuan sosial semakin pudar. Sehingga memunculkan pandangan Durkheim bahwa pendidikan moral harus memberikan kontribusi positif dalam menata masyarakat dan bangsanya.
b. Tujuan Pendidikan Moral
Menurut al-Ghazali tujuan dari perbuatan moral adalah kebahagiaan yang
identik dengan kebaikan utama dan kesempurnan diri. Kebahagiaaan menurut Al-
Ghazali terbagi menjadi dua macam : kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan
duniawi. Menurutnya kebahagiaan ukhrawi adalah kebahagiaan yang utama
sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah metamorfosis.
Orientasi dan tujuan pendidikan moral al-Ghazali mengkristal pada upaya
terbentuknya insan kamil menuju pendekatan diri kepada Allah, karena pada
hakekatnya manusia diciptakan sebagai hamba Allah. Akan tetapi konsep
pendidikan moral al-Ghazali pada hakekatnya juga tidak melupakan kehidupan
dunia sama sekali. Kehidupan dunia adalah sisi lain dari peran manusia dalam
proses pendekatan diri kepada Allah. Pandangan ini berdiri atas prinsip karena
manusia juga diciptakan sebagai khalifah Allah yang bertanggung jawab atas
lestari dan harmonisnya alam.
Namun demikian dalam ternyata dalam pendidikan moralnya, al-Ghazali
tidak mengulas lebih lanjut tentang sisi-sisi pembentukan moral anak didik dalam
kaitannya dengan hubungan dengan masyarakat. Ini artinya bahwa pendidikan
moral al-Ghazali lebih menitik beratkan pada pembentukan moral individu yang
baik secara individual.
Berbeda dengan orientasi pendidikan moral yang diungkapkan oleh Durkheim, yang lebih menitikberatkan pada terbentuknya masyarakat yang harmonis dan terciptanya struktur-struktur sosial yang baik dalam masyarakat, melalui munculnya kesadaran kolektif sehingga tercipta ekuilibrium sosial dalam masyarakat. Menurutnya individu yang baik adalah individu yang mematuhi kaidah, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat serta mampu bertindak demi tujuan sosial dan masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam pendidikan moral Emile Durkheim, kepribadian anak didik dalam rangka penanaman sifat-sifat baik bagi dirinya dan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan diri kurang begitu tergarap dengan baik.
Dari perbedaan diatas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan moral Al-
Ghazali lebih komprehensif yakni memuat tugas manusia baik sebagai hamba
Allah maupun khalifah fil ardh, menghargai sisi-sisi kemanusiaan dari individu
sebagai bagian dari proses individuasi. Adapun tujuan pendidikan moral Emile
Durkheim lebih bercorak humanisme- antroposentris. Sehingga hasil konklusi
yakni pendidikan moral yang diarahkan pada pembentukan pribadi yang
mempunyai kesalehan spiritual dalam hubungannya dengan Allah maupun
kesalehan sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia merupakan sesuatu
yang niscaya.
c. Sumber Pendidikan Moral
Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim mengakui adanya otoritas moral tertinggi dalam kehidupan manusia. Otoritas moral dipahami sebagai sesuatu yang menyimpan pengaruh kuat dengan memaksakan semua kekuatan moral
yang berada diatas individu. Otoritas tersebut memaksa manusia untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai
dengannya, dan menjadi guiding principle dalam kehidupannya.
Namun demikian sumber yang menjadi otoritas moral antara al-Ghazali dan Emile Durkheim sangatlah berbeda.
Bagi al-Ghazali tidak ada semacam hukum, tatanan, ataupun struktur dasar yang didalamnya mampu membangun tindakan
moral. Satu-satunya basis moral yang valid adalah wahyu. Rasio manusia tidak bisa dianggap sebagai fondasi moral. Moralitas yang dibangun berdasarkan rasio akan sia-sia.
Dengan mengatakan hal ini, al-Ghazali mengabaikan aspek penting dalam wacana moral bahwa subyek atau pelaku
tindakan moral adalah manusia. Disamping itu al-Ghazali lupa bahwa agama pada dasarnya dibuat demi kesejahteraan
manusia, bukan untuk kesejahteraan dan keuntungan Tuhan. Penolakan terhadap fungsi rasio, dengan bersandarkan wahyu dan anugerah Tuhan untuk mengetahui tindakan moral yang sesungguhnya dan menawarkan suatu metode baru melalui bimbingan syaikh secara ketat. Pandangan al-Ghazali yang
demikian memunculkan apa yang disebut etika religius.Sedangkan Emile Durkheim menyebutkan bahwa
pemilik otoritas moral adalah masyarakat dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik
dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral, sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan
masyarakat sebagai unsur pengganti agama sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari
realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan rasio, sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu
pengetahuan. Moralitas yang dibangun Durkheim ini dengan demikian adalah moralitas sekuler dengan menolak agama
sebagai sumber otoritas moral. Durkheim menganggap sumber moralitas haruslah fakta sosial yang dapat dikaji dan diamati secara empiris dengan mengedepankan fungsi rasio
manusia. Dengan demikian terdapat perbedaan yang mendasar
antara Al-Ghazali dan Emile Durkheim dimana Al-Ghazali membangun moralitasnya berlandaskan wahyu sehingga
bercorak etika religius, sementara Durkheim menolak landasan moral dari agama, Sumber pendidikan moralnya
adalah masyarakat dengan berlandaskan rasio dan fakta sosial dalam masyarakat sehingga bercorak rasional, ilmiah dan
sekuler. d. Materi Pendidikan Moral
Banyak pakar pendidikan moral, filsuf moral sampai sekarang ini masih
berseberangan dalam menyikapi muatan pendidikan moral. Pendidikan moral
harus mengajarkan isi (content) ataukah proses. Sebagian Filsuf, pendidik, dan
pakar-pakar pendidikan moral tetap berpegang pada satu pandangan bahwa
pendidikan moral haruslah mengajarkan isi moral tertentu atau paling tidak,
pelbagai pandangan dasar tentang moral. Tegasnya pendidikan moral harus
mampu mentransmisikan ideologi moral. Sementara sebagian filsuf, pendidik dan
pakar pendidikan moral yang lain berpendapat berbeda.Mereka lebih menekankan
pada proses. melihat keragaman dalam menyikapi hakikat moralitas, sebagai
konsekuensi logis dari kehidupan modern, pendidikan moral harus berorientasi
kepada upaya mengajarkan proses moralitas. Pendidikan moral harus lebih
berorientasi kepada upaya pengembangan peserta didik dalam
mengoperasionalkan proses umum utamanya dalam menyikapi persoalan moral.
Melihat pandangan keduanya seperti dikemukakan diatas, penulis melihat
materi pendidikan moral Al-Ghazali lebih bertumpu kepada pandangan bahwa
pendidikan moral haruslah mengajarkan isi moral tertentu atau paling tidak,
pelbagai pandangan dasar tentang moral. Tegasnya pendidikan moral harus
mampu mentransmisikan ideologi moral yang bersumber pada nilai-nilai yang
bersumber dari agama. Nilai-nilai tersebut sedapat mungkin menjadi acuan dalam
perilaku sehari-hari.
Adapun pandangan pendidikan moral Durkheim tidak merupakan daftar-
daftar urutan tentang kebaikan moral yang harus diajarkan kepada peserta didik.
namun merupakan kurikulum yang tersembunyi (hidden curiculum), yang proses
penanaman nilai-nilai moralnya sangat bergantung dari peranan guru dan
masyarakat. Materi pendidikan moral lebih bersumber pada norma-norma, kaidah-
kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
e. Metode Pendidikan Moral
Metode pendidikan moral yang dikemukakan al-Ghazali dan Emile
Durkheim dalam penerapan praktis pendidikan memiliki kecenderungan
paradigmatis yang sama. Keduanya menekankan pendidikan moral sebagai upaya
membentuk pribadi yang bermoral. Keduanya menekankan pada peran sentral
guru atau pembimbing moral dengan konsep teacher centered yang lebih
menekankan pendidik yang otoritatif dalam metode pembelajarannya.
Persamaan kecenderungan al-Ghazali dan Emile Durkheim diatas
berimplikasi pada penerapan yang hampir sama dalam metode pembelajaran yang
dibangunnya. Karena bersifat teacher centered maka metode pendidikan moral
mereka lebih menekankan peran sentral guru seperti: metode pembiasaan, metode
keteladanan dan disiplin
Namun ada hal yang berbeda dimana sebagai seorang sufi al-Ghazali juga
menggunakan metode tazkiyah an-nafs yakni dengan penyucian jiwa melalui
bimbingan yang ketat dari syaikh yang tidak dimiliki oleh Emile Durkheim ,
sedangkan Durkheim menggunakan metode penerapan hukuman dan
penggunaan sekolah dan keterikatan pada kelompok.
f. Posisi Dan syarat Pendidik Moral
Guru (pendidik moral) dalam pandangan al-Ghazali maupun Emile
Durkheim memiliki peran sentral sebagai subyek yang cukup menentukan
berhasil tidaknya pendidikan moral. Hal ini berkaitan dengan konsep teacher
centered dalam pendidikan moral mereka. Konsep seperti ini memandang anak
didik sebagai obyek yang pasif sehingga pengajaran moral yang berlangsung
merupan transfer dan transmisi dari guru
Namun begitu terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara al-Ghazali
dan Emile Durkheim berkaitan dengan kualifikasi seorang pendidik moral.
Menurut al-Ghazali seorang pendidik moral haruslah mencerminkan sifat-sifat
baik dalam dirinya, mampu mengamalkan ilmu dan amal dan juga berfungsi
sebagai waratsatul anbiya’ di bumi. Konsep demikian menganggap bahwa peran
dan tugas guru tidak hanya mempersiapkan anak didik bermoral baik dalam
kehidupan dunia semata, namun juga mempersiapkannya menghadapi kehidupan
akhirat kelak.
Adapun Emile Durkheim dalam pandangannya tentang pendidik moral
lebih mendasarkan pada kecakapan dan kewenangan profesional, menjadikan
dirinya sebagai simbol idola dan teladan bagi peserta didiknya. Kualifikasi yang
ditekankan kepada pendidik tidak mendasarkan pada moral yang baik kepada
Tuhan namun hanyalah kepribadian sosial sebagai mata rantai masyarakat dalam
mencapai tujuan sosialnya .
Relevansi Pendidikan Moral Al-Ghazali dan Emile Durkheim Dalam
Masyarakat Modern
Agama dalam masyarakat modern saat ini dihadapkan kepada berbagai
permasalahan sekaligus tantangan sebagai akibat langsung maupun tidak langsung
dari perubahan dalam skala besar (wide scale of change) yang melanda hampir
seluruh sektor kehidupan manusia. Diantara masalah atau tantangan tersebut
adalah runtuhnya moralitas manusia. Ketidakpedulian terhadap nilai-nilai moral
akan mengakibatkan arah dan tujuan perkembangan peradaban manusia menjadi
tidak jelas.
Adalah tanggungjawab agama untuk menjaga dan menumbuhkan
kesadaran serta komitmen manusia kepada nilai-nilai moral, sehingga dampak
negatif dari globalisasi dapat dikendalikan. Agama melalui pendidikan moral
dapat membantu anak didik memahami esensi dan arti penting nilai-nilai moral
dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu
dalam perilaku nyata.
Urgensi pendidikan moral ini mendapat perhatian yang besar baik oleh al-
Ghazali maupun Durkheim yang berpandangan bahwa pendidikan moral
merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan moralitas
dapat ditransmisikan kepada manusia melalui pendidikan.
Namun demikian Pendidikan moral yang ada, baik yang dilakukan
lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga keagamaan kurang berdaya dalam
mengatasi dampak negatif dari globalisasi (globalization). Kegagalan-kegagalan
pendidikan tersebut antara lain diakibatkan pada lemahnya sisi metodologi,
perbedaan orientasi antara kebaikan Individu dan sosial ( moral publik versus
moral privat) maupun landasan epistemologi pendidikan moral.
Dari sisi metodologi, pendidikan moral yang ada selama ini lebih bercorak
doktriner sehingga tidak memberi kesempatan dan ruang yang cukup kepada
kepada peserta didik untuk mengunyah ajaran-ajaran moral tersebut secara lebih
kritis. Di samping itu pendidikan moral selama ini juga cenderung lebih
mengandalkan metode yang bersifat teacher centered dan sebagai konsekuensinya
peserta didik dipandang sebagai obyek pasif, yang senantiasa tunduk. Bahkan
dianggap sebagai sosok yang perlu diasah dan dibentuk. Model-model pendidikan
semacam ini lebih mengarah kepada proses transfer dan transmisi. Metode ini
banyak digagas oleh al-Ghazali dan Emile Durkheim.
Namun demikian bukan berarti bahwa metodologi al-Ghazali dan Emile
Durkheim tidak berguna sama sekali. Metode teacher centered sebagaimana
digagas oleh al-Ghazali dan Emile Durkheim yang menekankan adanya
keteladanan oleh guru dalam konteks kekinian memiliki relevansi dan sangat
dibutuhkan. Persoalan tiadanya keteladanan juga memiliki andil bagi kegagalan
pendidikan moral selama ini. Oleh karena itu pendidikan moral haruslah
mengembangkan aspek keteladanan bukan sekedar seruan, ajakan, imbauan,
perintah apalagi pemaksaan. Pendidikan moral juga harus berlangsung secara
dialogis, kritis bukan dogmatis maupun doktriner.
Kedua, Kelemahan pendidikan moral saat ini adalah tidak adanya
integrasi orientasi pendidikan moral secara menyeluruh. Fragmentasi Orientasi
pendidikan moral ini terlihat dari pendapat al-Ghazali dan Durkheim. Orientasi
pendidikan moral al- Ghazali misalnya hanya menekankan pembentukan individu
yang baik dengan munculnya kesucian jiwa untuk mendekatkan diri kepada
Allah, namun ia terpisah dari realitas sosialnya. Sedang Durkheim berpendapat
pendidikan moral berorientasi pada pengabdian manusia pada tujuan sosial dan
masyarakat, dan meninggalkan unsur eksistensi individu.
Orientasi pendidikan moral al-Ghazali yang menekankan kesalehan
individual memiliki relevensi dimasa modern seperti sekarang ini dimana manusia
mengalami krisis identitas diri, kehampaan makna hidup dan sangat
membutuhkan tuntunan dalam dirinya. Namun disisi lain kesalehan individual itu
membentuk individu yang kurang peduli dengan realitas sosial masyarakat.
Demikian halnya orientasi pendidikan moral Durkheim yang
menekankan pada kesadaran kolektif. Ini menjadi penting jika dikaitkan dengan
kecenderungan masyarakat modern saat ini yang lebih mengagungkan
individualisme dan mengabaikan tujuan dari tatanan sosial masyarakat yang telah
ada.
Sebagaimana diketahui, dewasa ini pengagungan terhadap individualisme
meninggalkan problem serius dalam masyarakat, meskipun harus diakui bahwa
individualisme membuka kebebasan bagi manusia sehingga kreatifitas dan inovasi
dapat tumbuh subur, namun perlu diingat pada saat yang sama individualisme
membawa benih-benih kegetiran. Pertama manusia dengan sikap
individualistiknya cenderung menuntut kebebasan tanpa batas. Atau sepenuhnya
akibatnya peraturan-peraturan normatif terabaikan. Kedua manusia kurang peduli
terhadap kepentingan sosial karena lebih sibuk dengan kepentingannya sendiri.
Louis Leahy bahkan menyebutkan aliran pemikiran modern menganggap manusia
hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Gejala demikian semakin mengakar seiring berdentumnya gelombang
modernisasi. Modernisasi yang pada awalnya dianggap sebagai pembawa
kemajuan dan perkembangan manusia membawa efek ikutan yang
membahayakan. Akibat paling buruk adalah menyusutnya kebudayaan yang
berlangsung dalam kehidupan manusia di berbagai bidang dan tempat. Dengan
demikian hampir sebagian orang kehilangan makna dan pegangan hidup
Ditengah-tengah realitas seperti ini tradisi lama disisihkan dan dianggap
usang, sementara nilai-nilai baru tidak kunjung memberikan kebaikan. Pada
gilirannya hal ini menyebabkan rusaknya tatanan sosial, sehingga kebersamaan
yang kohesif pudar bersamaan dengan tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan
individu dalam kehidupan bersama. Jati diri individu menjadi abstrak dan hanya
berdasar pilihan bebasnya sendiri. Kesadaran bahwa seseorang menjadi warga
komunitas dan berbuat baik bagi komunitas secara keseluruhan adalah baik untuk
diri telah menipis. Bahkan cenderung menghilang.220 Individualisme dengan
sendirinya meletakkan individu diatas kolektifitas, sebaliknya norma-norma tidak
memiliki otoritas yng cukup kuat dalam mengukuhkan kesadaran diri. Persis pada
titik inilah manusia kembali kehilangan guiding principle dalam menentukan arah
kehidupan. Inilah kondisi yang disebut Durkheim sebagai anomie (keadaan
220 Ross Poole, Moralitas Dan Modernitas; Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme, terjemahan F.B Hardiman, (Yogyakart: Kanisiuis, 1993) hal. xiv-xv
hampa moral). Disisi lain orientasi hanya terhadap pencapain tujuan masyarakat
semata akan menimbulkan problem serius dalam peneguhan keunikan dan
kepribadian individu. Apalagi bila individu tersebut kurang dibekali nilai-nilai
agama. Ia akan terombang-ambing ditengah masyarakat. Apa yang dinggap
masyarakat baik akan diikutinya dan apa yang dianggap masyarakat buruk akan
ditinggalkannya. Padahal dalam masyarakat modern seperti sekarang tidak semua
yang baik menurut masyarakat, baik bagi individu. Oleh karena itu hasil sintesis
antara orientasi pendidikan al-ghazali dan emile Durkheim dalam wujud integrasi
orientasi tujuan mereka menjadi sangat penting dalam masyarakat modern.
Ketiga berkaitan dengan landasan epistemologi. Pendidikan moral dengan
transfer dogma-dogma sebagai otoritas moral yang sangat meminggirkan akal
pikiran dalam mengunyah dan menginternalisasikan aturan-aturan dan tata moral
dan menggantikannya dengan bimbingan secara ketat syaikh seperti yang
dikemukakan al-Ghazali, akan meminggirkan fungsi kritis dari akal manusia
dalam memamahami realitas. Adalah sangat naif jika pada era modern seperti
sekarang ini peran akal pikiran manusia dipinggirkan. Kegelisahan anak muda era
modern mencari spiritualitas baru jangan-jangan disebabkan penyempitan
ventilasi ruang gerak akal pikiran untuk merumuskan etika keagamaan mereka
sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Sekat-sekat budaya, batas-batas wilayah,
semakin transparan sehingga akal pikiran tidak mungkin tidak terpengaruh
gelombang budaya dan ilmu. Ini tidak relevan dengan semangat rasionalisme yang
diusung oleh masyarakat modern. Demikian halnya pendidikan moral Emile
Durkheim yang mendewakan akal dan sumber moral adalah sesuatu yanga dapat
diindera secara empiris seperti apa yang ada dalam masyarakat. Hal ini akan
mengakibatkan manusia kehilangan nilai-nilai moral yang lahir dari fithrah
dirinya dan diganti dengan munculnya akal instrumentalis yang serba materi.
Bagaimanapun harus disadari bahwa manusia tidak hanya dibekali potensi akal
semata namun juga perasaan dan hati nurani yang juga sangat berguna dalam
memberikan tuntunan dalam mencari nilai-nilai moral bagi kehidupan.
Melihat dari hal diatas maka landasan pendidikan moral sudah seharusnya
memberikan porsi yang seimbang terhadap akal manusia dalam menterjemahkan
nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Bukan seperti Durkheim yang lebih
mengunggulkan rasio dan menolak agama yang berakibat hilangnya nilai-nilai
transenden dalam kehidupan, ataupun al-Ghazali yang menekankan peran wahyu
secara total dengan meminggirkan rasio. Sehingga etika keagamaan menjadi kaku,
rigid dan puritan. Namun haruslah ada keseimbangan dalam keduanya.
Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pendidikan moral diletakkan
diatas unsur-unsur nilai agama yang paling mendasar yang dipahami secara
komprehensif dari tinjauan berbagai perspektif, termasuk telaah historis yang
merupakan hasil refleksi sosio-kultural kekinian. Dengan pertimbangan yang sarat
nilai tersebut pendidikan moral akan selalu terbuka terhadap kritik untuk terus
melakukan transformasi.
Diantara komponen- komponen nilai yang secara sistemik mengakar
dalam agama dan lebih mencerminkan karakter inklusif dan universal adalah
sistem nilai kultural, sitem nilai sosial, sistem nilai psikologis, sistem nilai tingkah
laku manusia yang memuat interelasi dan interkomunikasi dengan sesamanya.221
Dengan demikian seharusnya dalam pendidikan moral terkandung nilai-nilai
humanitarianisme-transendental yang bisa dijadikan sandaran civil ethics yang
mampu menggugah kesadaran intrinsik manusia akan adanya pertanggung
jawaban moral dalam menunaikan amanahnya masing-masing sebagai abdi dari
sang Khalik. Dan aspek transenden222 yang merupakan unsur eksistensial yang ada
dalam setiap diri manusia sebagai human being yang selalu berusaha melewati
batas kemanusiaannya atau apa yang disebut transendensi diri menuju kasalehan
ritual dan kesalehan sosial.
Pendidikan moral juga harus mempunyai visi etis bagi kehidupan
masyarakat, berusaha mengantisipasi dampak perubahan sosial dari akibat
revolusi industri dan merebaknya kapitalisme yang berakibat adanya kesenjangan
antara yang publik dan yang privat sehingga memudarkan tanggung jawab publik
dari warga karena kuatnya dorongan pemuasan kepentingan pribadi. Sehingga
pendidikan moral mampu melahirkan sentimen moral dan sikap saling
menyayangi sesama.
Visi etis moralitas mengandung arti bahwa setiap masyarakat mempunyai
suatu kearifan moralitas alamiah yang lahir dari persamaan-persamaan hak asasi
manusia dan persaman dalam menunaikan kewajiban-kewajiban moral, yang
221 HM. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996) hal 140-141222 Transendensi dalam pandangan Marcel adalah langkah-langkah partisipatif untuk
mencapai pemenuhan diri yaitu kemampuan untuk bisa naik dari bentuk pengalaman tertentu, prarefleksi yaitu eksistensi menuju bentuk pengalaman yang semakin murni. Lihat Mathias Hariyadi, Membina Hubungan Antara Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi, persekutuan dan cinta menurut Gabriel Marcel, (Yogyakarta: Kanisius, 1994) hal. 90
darinya individu dan masyarakat bersepakat menciptakan kontrak sosial dalam
mengabsahkan formasi-formasi sosial yang eksis menjamin kohesi sosial.
Akhirnya terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya pendidikan
moral yang dikemukakan oleh Al-Ghazali maupun Durkheim setidaknya
memberikan wawasan baru, ide-ide inovatif dan kontribusi masyarakat modern.
Bukan untuk menghentikan laju globalisasi dalam masyarakat modern, tetapi
untuk menumbuhkan kesadaran dan komitmen manusia kepada nilai-nilai moral,
sehingga dampak negatif dari globalisasi dapat dikendalikan.
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan :
1. Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan moral bercorak individual dan
religius. Tujuan pendidikan moral dalam pandangan al-Ghazali adalah
membentuk manusia yang suci jiwanya dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah. Sumber pendidikan moral al-Ghazali adalah wahyu dan melalui bimbingan
secara ketat dari syaikh sehingga kurang mengoptimalkan fungsi akal. Materi
pendidikan moral al-Ghazali meliputi ilmu dan amal. Metode pendidikan al-
Ghazali adalah: metode pembiasaan, metode keteladanan dan metode tazkiyah an-
nafs (penyucian jiwa) melalui takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-
nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat
tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan
sifat terpuji. Mengenai peran dan Syarat pendidik moral al-Ghazali menekankan
bahwa pembimbing moral adalah warastatul anbiya’ dengan konsep teacher
centered.
2. Pandangan Emile Durkheim tentang pendidikan moral bercorak sosial, rasional
dan sekuler. Pendidikan Moral menurut Emile Durkheim adalah sarana sosial
untuk mewujudkan tujuan sosial. Sehingga tujuan pendidikan moral adalah
terciptanya solidaritas sosial dan ekuilibrium sosial dalam masyarakat. Otoritas
pembuat moral dalam pandangan Durkheim adalah masyarakat dengan
menggantikan peran agama.Materi pendidikan moral Emile Durkheim merupakan
kurikulum yang tersembunyi (hidden curiculum). Emile Durkheim menekankan
metode pendidikan moralnya dengan disiplin, pembiasaan, penggunaan sekolah
sebagai keterikatan dalam kelompok dan metode keteladanan. Mengenai peran
dan posisi guru, Durkheim menggunakan konsep teacher centered dimana peran
dan posisi guru sebagai mata rantai dan agen moral dari masyarakat sangatlah
penting.
3. Baik al-Ghazali dan Emile Durkheim mengakui adanya otoritas moral yang
tertinggi sebagai prinsip pengarah (guiding principle) dalam kehidupan manusia.
Keduanya juga mengakui bahwa sumber moral adalah partikular. Metodologi
pendidikannya mengembangkan konsep teacher centered dan menekankan arti
penting metode keteladanan dalam membentuk moral yang baik. Perbedaan antara
keduanya terletak pada konsep dan hakekat pendidikan moral, al-Ghazali lebih
bercorak individualis dan durkheim bercorak sosialis. Hal ini berakibat pada
perbedaan tujuan pendidikan moral. Disisi epistemologi yang otoritas moral
keduanya pun berbeda, al-Ghazali menekankan kepada wahyu sedangkan
Durkheim menekankan pada masyarakat. Materi pendidikan moral keduanya juga
berbeda al-Ghazali menekankan materi yang terapliksikan dalam program
pengajaran, sedangkan Durkheim menggunakan hidden curiculum.
4. Urgensi pendidikan moral yang mendapat perhatian besar baik oleh al-Ghazali
maupun Durkheim yang berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan
faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, pendidikan merupakan
saran dalam mentransformasikannya adalah sangat relevan dengan masyarakat
modern yang mengalami krisis kemanusiaan, kehampaan makna hidup maupun
disorientasi dalam kehidupannya. Metode keteladanan pun masih diaggap cukup
relevan dalam pendidikan moral. Namun demikian konsep pendidikan yang
bercorak teacher centered dianggap kurang relevan dengan masyarakat modern.
Konsep pendidikan semacam ini kurang menghargai potensi dan bakat yang
terkandung dalam diri anak didik. Disisi lain Orientasi pendidikan moral Al-
Ghazali dengan menekankan pada wilayah individu semata akan akan melahirkan
manusia yang lepas dari realitas sosialnya. Sementara orientasi pendidikan moral
Emile Durkheim yang hanya menekankan pembentukan masyarakat yang baik
akan melahirkan kurangnya penghargaan pada eksisitensi manusia. Oleh karena
itu, integrasi orientasi pendidikan moral keduanya merupakan amunisi yang cukup
ampuh dalam menanggulangi krisis manusia modern, menuju terbentuknya
kesalehan individual dan kesalehan sosial.
B. SARAN-SARAN
Bertitik tolak dari penelitian yang ada maka penulis memberikan saran untuk proses pendidikan ke depan:
1. Bahwa sudah saatnya pendidikan moral diajarkan secara sistematis dalam
lembaga pendidikan formal baik secara eksplisit, ataupun implisit dalam
setiap program pengajaran agama.
2. Proses yang berlangsung dalam pendidikan moral
hendaknya bersifat dialogis dan transformatif, serta menempatkan peserta
didik sebagai subjek sehingga memberikan ruang kepada peserta didik
untuk mendayagunakan segala potensinya mencapai kedewasaan berpikir
dan kematangan bertindak.
3. Bagi pendidik Disamping dituntut menampilkan
dirinya sebagai teladan, juga harus mampu menyampaikan secara arif nilai-
nilai moral, mampu menjadi fasilitator dan sekaligus sebagai katalisator
dalam instropeksi moral.
4. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
sangat jauh dari kesempurnaan sehingga pembaca diharapkan melakukan
penelitian lebih lanjut dalam mempertajam kajian yang ada baik dengan
membandingkan tokoh lain ataupun field research sehingga memberikan
sumbangn positif bagi sistem pendidikan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Atiyah al-Abrasyi, Muhammad, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj. H. Bustami dan Johar Bahry), Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Amin Abdullah, Antara al- Ghazali dan Kant: Filsatat Etika Islam, (Penerj. Hamzah, Bandung: Mizan, 2002.
7Al-Ghazali, Muhammad, Ihya’ Ulumuddin, (terj. H. Ismail Yakub), Jakarta: CV.Faizan, 1985.
---------, Jawahirul Qur’an: Permata Ayat-ayat Suci, (alih bahasa : Mohammad Luqman Hakiem), Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
----------, al Munqidz minal Dhalal, Kairo : Silsifat al Tsaqofat al Islamiyah, 1961.
A. Sudiarja SJ, “Pendahuluan” dalam Budi Susanto, et al. , Nilai-Nilai Etis Dan Kekuasaan Utopis : Panorama Praksis Etika Indonesia Modern, Yogyakarta : Kanisius, 1992.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Masalah Pembaruan Pendidikan Islam, dalam Ahmad Busyairi dan Sahil, Azharuddin,Tantangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: LPM UII, 1997.
Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman; Suatu Pengantar Tentang Tasawuf, (alih bahasa, Ahmad Rofi’), cet. II, Bandung : Pustaka, 1997.
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (alih bahasa : al-Baqir), cet. IV, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Syaibani OMA, Filsafat pendidikan Islam, (terjemahan Hasan Langgulung), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, cet. VI, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung: Eresco cet. XII, 1993.
AS Homby, EV Galerby dan H. Wakel field, The The Advanced of learner’s Dictionary of current English, London, Oxford University Press, 1973.
Basyuni Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filsuf Muslim, cet. I, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997.
Chang, William, Pendidikan Nilai-nilai Moral, Kompas Senin 3 Mei 1999.
Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi Menurut Durkheim Dan Henry Bergson, Yogyakarta : Pustaka Filsafat, 1994.
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (terj. Lukas Ginting), Jakarta : Erlangga, 1990.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dadang Hawari, Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Mental, Jakarta : Dana bakti Prima Yasa, 1996.
Dagobert D. Runer,et.al, Dictionary Of Philosophy, New Jersey, littlefield Adam & co, 1971.
Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant dalam Jurnal Filsafat edisi 23 Nopember 1995, Yogyakarta : Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada.
Eko Wijayanto, Etika Global untuk masyarakat Global, dalam Kompas, 20 Januari, 2003.
Esposito, John L, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, (alih bahasa, Eva Y.N), dkk., cet. I, Bandung: Mizan, 2001.
F. Budi Hardiman , Melampaui Positivisme Dan Modernisasi, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, Yogyakarta : Kanisius, 2003.
---------, Kritik Ideologi, Pertautan pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Frans Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Kanisius,1991.
---------, Etika Dasar ; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta : Kanisius, 1994.
Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, Yogyakarta : CV Bina Usaha, 1984.
Giddens, Anthony, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber, Jakarta : UI press, 1985.
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1985.
Hasan Sulaiman, Fatiyah, Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali, (terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz), Jakarta: P3M,1990.
H.M. Zurkani Jahja, Teologi : Pendekatan Metodologi, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Berger, Peter L., Pikiran Kembara, Yogyakarta : Kanisius, 1992.
H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan pendidikan , pengantar pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta : PT Grasindo, 2002.
Hikmat Budiman, Pembunuhan yang selalu Gagal ; Modernisme dan Rasionlitas Menurut Daniel Bell, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Hasan al-Basya, Dirasah fi Tarikh al Daulah al-‘Abbasiyah, Kairo : Dar al Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1975.
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara,1987.
Mochtar Lubis, (peny.), Menggapai Dunia Damai, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Haedar Nashir, Krisis Manusia Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. II, 1999.
Hungtinton, samuel P., Benturan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia, (terj. M. Sadat Ismail), Yogyakarta: Penerbit Qalam: 1996.
Kung, Hans, Etika Ekonomi-Politik Global, (terj. Ali Noer Zaman), Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002.
.I. Aria Dewanta, Upaya Merumuskan Etika Ekologi Global, Basis No. 01-02
Tahun ke-52, Januari-Februari 2003.
Ibnu Khaldun, Kitab al-‘Ibar wa Daiwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, Beirut : Muassasat Jammal li al-Tiba’ah wa al-Nasyar, 1979.
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (alih bahasa : A. Mas’adi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, 1999.
Inkeless And Smith, Dalam Dr. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga , Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Joesoep Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1977. Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern I, (terj. Robert MZ
Lawang), Jakarta : Gramedia Cet.,1994.
John Snarey, Moral Education Emile Durkheim Dan Moral Sozialisation dalam Marvin C, Alkind (ed) , Encyclopedi of educational research (new York, Macmillan Publishing Company, 1992) vol. 3.
Khursyid Ahmad, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, (terj. AS Robith), Surabaya : Pustaka progresif,1992.
K. Bertens, Etika, Jakarta : Gramedia, 1994.
Light and Keller, Sociology dan Zenden, The Social experience dalam M. Rusli Karim, Agama, Modernisasi & Sekularisasi, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1994.
L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (terj. Samekto SS), Jakarta: Gramedia,1983.
Margaret Smith, Al-Ghazali The Mystic, Lahore: Kazi Publication, t.t.
M. ‘Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazali, Delhi: Publisher & Distributors, 1996.
Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum, Bandung : Alfabeta,1993.
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (alih bahasa Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah), cet. I, Surabaya : Risalah Gusti, 1996.
Musya Asy’ari, Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial, Sebuah Bunga Rampai Filsafat, Jakarta : Sinar Harapan, 1984.
Musa Asy’arie, dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.
Mahmud Arif, Konsep Pendidikan Moral : Telaah Terhadap Pemikiran al-Mawardi, Tesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1990.
M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Delhi: Low Price Publications, 1961.
M. Francis Abraham, Modernisasi di Dunia ketiga, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.
Naisbitt, John Dan Abuderbe, Patricia, Mega Trends 2000, Sepuluh Arah Baru
Untuk Tahun 1990-an, Jakarta : Binarupa Aksara, 2000.
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta: Raka Sarasin, 1993.
----------, Metodologi Penelitian kualitatif, Yogyakarta : Raka Sarasin, 1989.
Nasih Ulwan, Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam : Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, (terj. Khalilullah Ahmad Masykur), Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990.
Nouruzzaman Shidiqi, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983.
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan , Teoritis Dan Praktis, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,1985.
Peristiany, J.G, “pengantar” dalam Emil Durkheim, Sosiologi dan Filsafat, (terj. Soedjono Dirdjosisworo), Jakarta: Erlangga, 1989.
Rosseau, JJ, Kontrak Sosial, (terj. Sumardjo), Jakarta : Erlangga, 1986.
Ross Poole, Moralitas Dan Modernitas; Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme, (terj. F.B Hardiman), Yogyakarta : Kanisius, 1993.
S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam, (terj. Anas Mahyudin), Bandung: Pustaka, 1983.
Sulaiman Dunia, Al Haqiqat Fi Nazli Ulum Al Ijtimaiyat, (Kairo, Daar al Ma’arif 1971.
Seyyed Hossein dan Oliver Leaman, Routledge History of World Philosophies: History of Islamic Philosophy, Part I, London dan New York: Rotledge, 1996.
Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah al-Islamiyah, Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Musri, cet. V, 1974.
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Jakarta : PT Gramedia, 1983.
Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Di Era Globalisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1998.
Sutrisno Hadi, Metodologi research I, Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1987.
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981.
Taufik Abdullah & Van Der Leeden, A.C., Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,1980.
Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin Dalam Perspektif Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia,1999.
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (alih bahasa, Hartono Hadikusumo), cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta : CV Ruhama, 1994.
Yusuf al Qardawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, (alih bahasa : Abrori), cet. III, Surabaya : Pustaka Progressif, 1996.
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1975.