Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

230
PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGYOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM OLEH Ahmad Sahar NIM. 9841 3893 DI BAWAH BIMBINGAN DRS. SANGKOT SIRAIT, M.Ag. \

Transcript of Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Page 1: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL

DALAM MASYARAKAT MODERN

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGYOGYAKARTA

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

OLEH

Ahmad SaharNIM. 9841 3893

DI BAWAH BIMBINGAN DRS. SANGKOT SIRAIT, M.Ag.

\

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMFAKULTAS TARBIYAHINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA2003

Page 2: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Istilah

Dalam bagian awal ini, penulis mencoba untuk menegaskan beberapa

istilah kunci dalam penulisan skripsi ini. Hal ini dilakukan untuk menghindari

misunderstanding dan misinterpretation terhadap beberapa istilah yang digunakan

dalam judul skripsi ini. Istilah-Istilah yang akan dijelaskan itu meliputi:

a. Pandangan

Pandangan dalam skripsi ini dimaksudkan sebagai pemikiran yang mendasar

dan sistematis.

b. Al-Ghazali

Imam al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih

dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja.1) Dalam sejarah pemikiran Islam al-

Ghazali dikenal sebagai ahli dan praktisi pendidikan, agama, hukum Islam, dan

memiliki keilmuan yang luas mengenai filsafat, tasawuf, kejiwaan, akhlak (moral)

dan spiritualitas Islam.2

c. Emile Durkheim

1) H.M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 63.

2 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan Kesehatan Mental (Jakarta: CV Ruhama,1994) hal.17

Page 3: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Emile Durkheim adalah seorang pemikir dan profesor kelahiran Perancis,

ahli dan praktisi pendidikan, dan filsuf moral yang lahir pada lahir pada tanggal

15 April 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur

Perancis yang agak terpencil dari masyarakat luas.3

d. Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata paedagogia (Yunani) yang berarti pergaulan

dengan anak-anak. Namun kata ini sering diartikan seorang pelayan pada masa

Yunani kuno yang pekerjaaannya mengantar dan menjemput anak sepulang dari

sekolah. Paedagogis berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya

membimbing, memimpin).4 Kemudian makna paedagogos berarti pekerjaan yang

mulia, karena pengertian paedagogog berarti orang yang bertugas membimbing

anak dalam pertumbuhannya kearah berdiri sendiri dan bertanggung jawab.5

Sedangkan pendidikan dalam pandangan etimologi adalah education yang

berasal dari bahasa Latin eex (keluar) dan dudere duc (mengatur, memimpin dan

mengarahkan). Secara harfiah pendidikan berarti mengumpulkan informasi dan

menyampaikan serta menyalurkan kemampuan (bakat).6 Adapun John Dewey

mengartikan pendidikan sebagai suatu proses pembentukan dasar yang bersifat

fundamental yang menyangkut daya pikir (intelektual), maupun daya rasa (emosi)

manusia.7

3 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Terj. Robert MZ Lawang : (Jakarta, Gramedia Cet. Ketiga,1994) hal. 167

4 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidika , Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Karya,1985) hal 1

5 Ibid6 Khursyid Ahmad, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, Terj. AS Robith (Surabaya:

Pustaka Progresif,1992) hal. 13 7 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Bina Aksara,1987) hal. 1

Page 4: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan

manusia untuk membawa anak didik ke tingkat dewasa dalam arti mampu

memikul tanggung jawab moral.8 Selain itu Omar Muhammad Al- Thoumy al-

Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengubah

tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan

masyarakat dan kehidupan alam semesta.9

e. Moral

Moral berasal dari kata Mores yang berarti kebiasaan, adat istiadat.

Sinonim dari kata tersebut adalah etik (Ethos, bahasa Yunani kuno yang berarti

kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir),10 Akhlaq (bahasa Arab,

jamak dari kata Khulq yang berarti tingkah laku atau budi pekerti),11 serta budi

pekerti (bahasa Indonesia). Dagobert D. Runer menjelaskan12 bahwa istilah moral

(Inggris) seringkali digunakan untuk merujuk pada aturan-aturan, tingkah laku,

dan kebiasaan individu atau kelompok. Dengan demikian istilah moral atau akhlak

dapat digunakan untuk menunjukkan arti tingkah laku manusia maupun aturan-

aturan tentang tingkah laku manusia. M. Amin Abdullah misalnya, mengartikan

moral sebagai aturan-aturan normatif yang berlaku dalam masyarakat

tertentu.Lebih lanjut Amin Abdullah membedakan antara moral dan etika dimana

moral merupakan tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai sementara etika

8 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung , 1981) hal. 257

9 Al-Syaibani OMA, Filsafat Pendidikan Islam, Terjemahan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal. 399

10 K. Bertens, Etika (Jakarta:Gramedia, 1994) hal.411 Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka

Setia,1999) hal. 912 Dagobert D. Runer ,Et.Al, Dictionary Of Philosophy , (New Jersey: Littlefield Adam &

Co, 1971) hal. 202

Page 5: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

merupakan studi kritis terhadap moralitas, sehingga moral tidak lain adalah obyek

material dari etika.13

Istilah Moral seringkali digunakan secara silih berganti dengan akhlak.

Berbeda dengan akal yang dipergunakan untuk merujuk suatu kecerdasan, tinggi

rendahnya intelegensia, kecerdikan dan kepandaian. Kata moral atau akhlak acap

kali digunakan untuk menunjukkan suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun

dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai kehidupan.14

Dalam The Advanced of learner’s Dictionary of Current English

dijelaskan tentang pengertian moral dalam empat arti yang saling terkait dan

berhubungan satu sama lain, yaitu:

a) Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar salah (concerning principles

of rigt and wrong)

b) Baik dan Buruk (good and virtuous)

c) Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah (able to

understand the difference between rigt and wrong)

d) Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik (teaching or illustrating

good behaviour).15

Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan baik moral, etika, akhlak,

budi pekerti mempunyai penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas-kualitas

yang baik yang teraplikasi dalam perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari,

13 M. Amin Abdullah, Antara Al- Ghazali Dan Kant: Filsatat Etika Islam, Penerj.. Hamzah (Bandung: Mizan, 2002) hal. 147

14 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999) cet. II hal. 135

15 AS Homby, EV Galerby Dan H. Wakel Field, The The Advanced Of Learner’s Dictionary Of Current English (London: Oxford University Press, 1973) hal. 634

Page 6: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

baik sifat-sifat yang ada dalam dirinya maupun dalam kaitannya dengan

kehidupan bermasyarakat. Walau mempunyai perbedaan, namun moral, etika dan

akhlaq dapat dianggap sama apabila sumber ataupun produk budaya yang

digunakan sesuai.16

Oleh karena itu dalam skripsi ini istilah moral digunakan untuk

menunjukkan aturan-aturan normatif, tata nilai tentang tingkah laku dan juga

tentang sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai

makhluk individu seperti jujur, dapat dipercaya, adil, bertanggung jawab dan lain-

lain, maupun sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan masyarakat,

seperti kejujuran, penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kerukunan,

kesetiakawanan, solidaritas sosial dan sebagainya.

Dengan pengertian diatas maka kajian tentang pendidikan moral bukan

sekedar kajian tentang bagaimana mengajarkan norma moral tentang mana nilai-

nilai keutamaan dan mana nilai-nilai keburukan, namun lebih dari itu merupakan

kajian tentang bagaimana moralitas anak didik dikembangkan untuk mencapai

moralitas yang baik dalam segala situasi kehidupan.

f. Masyarakat Modern

Pengertian Masyarakat modern dalam skripsi ini adalah masyarakat yang

ditandai oleh adanya modernisasi yang memiliki ciri-ciri adanya kemajuan ilmu

pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya rasionalitas dan sekularisasi dan adanya

pergerakan menuju progress.

16 Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum ( Bandung: Alfabeta,1993) hal.209

Page 7: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Modernisasi dalam kajian ini ditandai oleh perubahan-perubahan besar

dibidang sosial, politik, ekonomi, kultural, dan ideologi yang tidak dapat dicerabut

dari konteks historisnya yang terjadi di barat. Bertolak dari sana gelombang

raksasa ini menciptakan perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis

faktor-faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi yang lain.

Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya menyangkut perubahan- perubahan

institusional melainkan juga terjadinya perubahan-perubahan kesadaran pada

manusia. Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik

distansi, individuasi, progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang

menandai manusia modern.17

Dari batasan-batasan yang ada diatas , maka yang dimaksud dengan

PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG

PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN dalam skripsi ini

adalah sebagai pemikiran yang mendasar dan sistematis dari Al-Ghazali maupun

Emile Durkheim berkaitan dengan upaya membantu peserta didik memahami

esensi dan arti penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan segala

potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu dalam perilaku nyata ditengah

kehidupan masyarakat modern yang ditandai oleh adanya modernisasi, yang

memiliki ciri-ciri adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya

rasionalitas dan sekularisasi dan adanya pergerakan menuju progress.

17 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme Dan Modernisasi, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, (Kanisius: Yogyakarta, 2003) hal. 73

Page 8: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

B. Latar Belakang Masalah

Globalisasi sebagai sebuah proses bergerak amat cepat dan meresap

kesegala aspek kehidupan kita baik aspek ekonomi, politik, sosial budaya maupun

pendidikan. Gejala khas dari proses globalisasi ini adalah kemajuan- kemajuan

ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi-informasi dan teknologi transportasi.

Kemajuan-kemajuan teknologi rupanya mempengaruhi begitu kuat struktur –

struktur ekonomi, politik, sosial budaya dan pendidikan sehingga globalisasi

menjadi realita yang tak terelakkan dan menantang. Namun, Globalisasi sebagai

suatu proses bersifat ambivalen.18 Satu sisi membuka peluang besar untuk

perkembangan manusia dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, akan tetapi sisi lain peradaban modern yang semakin dikuasai oleh

budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tampak semakin lepas dari

kendali dan pertimbangan etis.19 Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa

kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akibat globalisasi

tidak selalu sebanding dengan peningkatan di bidang moral.20 Dalam satu sisi

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang membuat manusia lebih

mudah menyelesaikan persoalan hidup, namun disisi lain berdampak negatif

ketika ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai pembebas

manusia, melainkan justru membelenggu dan menguasai manusia.

18 I. Aria Dewanta, Upaya Merumuskan Etika Ekologi Global (Basis No. 01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2003) hal. 20

19 A. Sudiarja, SJ. “Pendahuluan” Dalam Budi Susanto, Et Al. , Nilai-Nilai Etis Dan Kekuasaan Utopis : Panorama Praksis Etika Indonesia Modern (Yogyakarta : Kanisius, 1992) hal.6

20 Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris Dalam Filsafat Moral Immanuel Kant Dalam Jurnal Filsafat Edisi 23 Nopember 1995 ( Yogyakarta:Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada)

Page 9: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Arus Globalisasi ternyata berhasil mendobrak dinding tatanan moral

tradisional berupa adat istiadat dan kebiasaan luhur nenek moyang manusia.21

Wujud nilai-nilai moral berupa penghormatan sesama manusia, tanggung jawab,

kejujuran, kerukunan dan kesetiakawanan lambat laun digeser oleh otonomi

manusia yang mendewakan kebebasan. Malah, ada yang memandang dirinya

sebagai kebebasan, sehingga pihak lain tidak berhak mengaturnya. Kebebasan ini

sering mengkondisikan “homo homini lupus”, manusia yang tidak mengenal

batas-batas hak dan wewenang dalam kehidupan sosial.

Pergeseran peran norma moral khususnya terjadi pada masa revolusi

perancis yang menjadi simbol kebebasan segala zaman. Dalam humanisme baru

ini manusia modern makin meninggalkan nilai-nilai baku. Manusia menjadikan

dirinya sebagai aturan dan cenderung melepaskan diri dari keterikatan normatif

yang dianggap ketinggalan zaman. Manusia mengalami diri sebagai otonomi yang

berkuasa penuh atas dirinya sendiri.22 Ini tercermin dari sikap manusia yang tidak

hanya ingin mengolah alam semesta namun lebih ingin menguasai demi

kepentingan pribadi.

Pandangan hidup yang mengagungkan kebebasan personal umumnya akan

mendorong manusia untuk mendahulukan kepentingan pribadi. Yang diutamakan

adalah kebebasan pribadi, dan hak-hak orang lain dilupakan. Sikap ini seringkali

menjerumuskan manusia ke dalam perbenturan dengan pihak lain dalam

kehidupan sosial. Penyanjung kebebasan seolah-olah tinggal diluar entitas sosial

21William Chang, Pendidikan Nilai-Nilai Moral, Kompas Senin 3 Mei 1999 22 Ibid

Page 10: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

dan tidak berdampingan dengan sesama. Akibatnya, nilai-nilai moral seringkali

diabaikan dalam pandangan hidup ini.

Arus globalisasi memang akan terus merambah kesetiap penjuru dan

sendi-sendi kehidupan. Oleh karena itu yang menjadi persoalan bukanlah

bagaimana menghentikan laju globalisasi, tetapi bagaimana menumbuhkan

kesadaran dan komitmen manusia kepada nilai-nilai moral, sehingga dampak

negatif dari globalisasi dapat dikendalikan. Sebab ketidakpedulian terhadap nilai-

nilai akan mengakibatkan arah dan tujuan perkembangan peradaban manusia

menjadi tidak jelas. Akibat selanjutnya manusia akan terpuruk dalam kehampaan

makna hidup, alienasi yang mencekam, betapapun ia dilingkupi oleh kekayaan

materiil yang melimpah. Noeng Muhadjir menegaskan bahwa masyarakat

manusia dapat survive karena adanya komitmen pada nilai-nilai moral. Bila semua

orang tidak pernah menaati janjinya, tidak acuh pada tanggung jawabnya,

mempermainkan patokan-patokan moralitas, dapat dibayangkan hancurnya

masyarakat manusia.23 Disinilah arti penting pendidikan moral. Dengan

pendidikan, subyek didik dapat dibantu memahami esensi dan arti penting nilai-

nilai moral dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-

nilai moral itu dalam perilaku nyata, baik nilai-nilai ilahi maupun insani.24

Persoalan pendidikan moral memang harus diakui bukanlah persoalan

baru. Banyak ahli pendidikan dalam merumuskan konsep-konsep pendidikannya

telah mengaitkan dan menjadikan moral sebagai bagian tak terpisahkan dari

23Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Raka Sarasin, 1993) hal. 12

24Ibid, hal.13

Page 11: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

sistem pendidikan. Bahkan sering dikatakan bahwa terbentuknya moral yang baik

pada subyek didik merupakan tujuan hakiki dari seluruh proses dan aktifitas

pendidikan. Dalam konteks pendidikan Islam, Muhammad ‘Athiyah al-Ibrasyi

misalnya menegaskan bahwa pendidikan moral merupakan ruh pendidikan

Islam.Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berjiwa budi pekerti dan

akhlak yang bertujuan untuk mencapai akhlak yang sempurna.25 Abdullah Nasih

Ulwan juga menyatakan bahwa pendidikan moral merupakan serangkaian sendi

moral, keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib dilakukan anak didik,

dibiasakan dan diusahakan sejak kecil.26

Masalah moral secara normatif seharusnya sudah implisit dalam setiap

program pendidikan, atau dengan kalimat lain meskipun dalam setiap satuan

pelajaran telah disisipkan “pendidikan moral”, namun konseptualisasi sistem

pendidikan moral secara khusus tetap diperlukan guna memberikan arah atau

panduan kepada pelaku pendidikan dalam menjalankan sistem pendidikan moral.

Dengan demikian kajian tentang konsep pendidikan moral secara spesifik

bukan suatu hal yang mengada-ada dan tumpang tindih (overlapping) dengan

konsep pendidikan secara umum.

Dalam konteks pendidikan Islam, konseptualisasi sistem pendidikan moral

secara filosofis dirasa semakin dibutuhkan, mengingat pemikiran itu dirasa kurang

memadai. Hal ini didasarkan pada kenyataan masih belum jelasnya pemikiran

25 Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami Dan Johar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) hal. 1

26 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam:Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, Terj. Khalilullah Ahmad Masykur (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990) hal. 169

Page 12: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

filosofis, konsep-konsep atau teori-teori pendidikan Islam,27 dihadapkan dengan

perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan adanya pergeseran nilai

yang begitu cepat ditengah-tengah masyarakat seiring perkembangan sains dan

teknologi. Dalam konteks demikian, Islam ditantang untuk mampu memberikan

solusi dan pemikiran alternatif sekaligus sebagai koreksi diri atas kelemahan

kelemahan dari khazanah pemikiran yang dimiliki. Oleh karena itu perlu adanya

kajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh pendidikan, baik Islam maupun non Islam,

tentang pendidikan moral untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan, dan sebagai

bahan pertimbangan dalam mengambil konsep-konsep pendidikan moral yang laik

untuk dihidupkan di masa sekarang dan mendatang. Sehingga memberikan

inovasi-inovasi baru yang sesuai dan berguna bagi pendidikan Islam.

Diantara tokoh pemikir muslim yang banyak mengkaji masalah moral,

jiwa dan pendidikan adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,

atau lebih terkenal dengan panggilan al-Ghazali. Dalam sejarah pemikiran Islam

al-Ghazali dikenal sebagai ahli dan praktisi pendidikan, agama, hukum Islam, dan

memiliki keilmuan yang luas mengenai filsafat, tasawuf, kejiwaan, akhlak (moral)

dan spiritualitas Islam.28

Al-Ghazali banyak mengulas tentang pendidikan akhlak (moral). Hal ini

bisa dilihat dari semua karya-karyanya khususnya dalam Ihya’ Ulumuddin,

Mizan al-‘Amal, Mi’raj al-Salikin dan Ayyuha al-Walad. Pengertian pendidikan

menurut al- Ghazali tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh para

27 Ahmad Syafi’i Ma’arif, “ Masalah Pembaruan Pendidikan Islam”, Dalam Ahmad Busyairi Dan Azharuddin Sahil, Tantangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: LPM UII, 1997) hal. 1

28 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan Kesehatan Mental (Jakarta:CV Ruhama,1994) hal.17

Page 13: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

ahli pendidikan, yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu

masyarakat kepada individu yang ada didalamnya agar kehidupan dapat

berkesinambungan.29 Perbedaan yang ada mungkin terletak pada nilai-nilai yang

diwariskan dalam pendidikan tersebut. Baginya nilai-nilai itu adalah nilai-nilai

keislaman yang berdasarkan atas al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan kehidupan orang-

orang salaf. Adapun pengertian pendidikan dari segi jiwa menurut al- Ghazali

adalah upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs.

Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari

sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan

moral dan sifat terpuji.30

Dengan demikian pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral sejalan

dengan filsafatnya yang religius dan sufistik.31 Amin Abdullah dalam bukunya

Filsafat Etika Islam, antara al-Ghazali dan Kant juga menyatakan bahwa konsepsi

al-Ghazali tentang etika (moral) bercorak mistis.32 Sumber moral adalah wahyu

dan al-Ghazali menolak rasio sebagai prinsip pengarah dalam tindakan etis

manusia. Dalam hal ini peran rasio tidak dibutuhkan secara optimal. Jika

dibutuhkan, itupun hanya bersifat periferal. Al-Ghazali lebih memilih wahyu dan

bahkan menekankan pentingnya pembimbing moral (Mursyid) sebagai pengarah

utama bagi orang-orang pilihan dalam mencapai keutamaan mistis.33

29 Musya Asy’ari (Ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial, Sebuah Bunga Rampai Filsafat (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hal. 68

30 Ibid, Yahya Jaya, hal 3631 Fatiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikn Akhlak Al-Ghazali Terj. Ahmad Hakim

dan Imam Aziz (Jakarta: P3M,1990) hal. 4 32 M. Amin Abdullah, Antara Al- Ghazali Dan Kant: Filsatat Etika Islam, Penerj.

Hamzah (Bandung: Mizan, 2002) hal. 4033 Ibid, hal. 87

Page 14: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Berbeda dengan al-Ghazali, Emile Durkheim seorang ahli dan praktisi

pendidikan, filsuf moral, dalam pemikirannya tentang pendidikan moral lebih

memilih masyarakat sebagai pemilik otoritas moral dalam rangka

mengembangkan dan merealisasikan hakekat diri manusia. Penegasan Durkheim

semacam ini, merujuk pada pendekatan spiritualisme sosiologis, yaitu sebuah

kepercayaan bahwa sifat dan kepentingan dari keseluruhan dan dari masing-

masing individu yang membentuk keseluruhan tidaklah sama.34 Dengan demikian,

kendati masyarakat merupakan gabungan dari unsur individu, tetapi ia tetap

berbeda bahkan membentuk fenomena baru yang bersifat sui generis (unik).

Spiritualitas sosiologis ini betul-betul diterapkan oleh Durkheim melalui

usaha seriusnya untuk memahami masyarakat sebagai sebuah kenyataan organis

yang independen, yang memiliki hukum-hukum perkembangan dan hidupnya

sendiri.35

Hal yang hendak ditegaskan dari pemaparan diatas adalah bahwa

Durkheim cukup piawai meyakinkan kita perihal otoritas moral yang melekat

pada masyarakat. Disatu sisi tersimpan potensi untuk menuntun, “memaksa”

tingkah laku individu yang berada dan bergulat di dalamnya. Di sisi lain

masyarakat dapat dijadikan landasan berpijak bagi kehidupan moral.

Kepiawaian atau keseriusan mempersoalkan moralitas yang didasarkan

pada konsensus sosial, memang menyebabkan kekaburan dalam tulisan-tulisan

34 JG. Peristiany “Pengantar” Dalam Emil Durkheim, Sosiologi Dan Filsafat, Terj. Soedjono Dirdjosisworo ( Jakarta: Erlangga, 1989) hal Vii

35 Ibid, hal. 35

Page 15: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Durkheim antara sebagai teori sosial atau filsafat moral.36 Namun bagaimanapun

juga akhirnya harus diakui bahwa pemikir kelahiran Perancis ini telah

menemukan kerangka epistemologi orisinil mengenai moralitas dan usaha-usaha

membentuknya (pendidikan moral). Durkheim merumuskannya dengan ilmu

moralitas positivistis (Science Positif de la morale).37

Hal lain yang menarik, menurut penilaian Taufik Abdullah , Durkheim

adalah seorang ahli ilmu pengetahuan yang positivistis dan seorang moralis yang

ingin memperbaiki keadaan masyarakat sekaligus tidak ingin kembali ke tatanan

sosial lama.38 Penilaian demikian tentu saja tidak bisa dilepaskan dari bagaimana

Durkheim mengembangkan ilmu pengetahuan rasional tentang fakta moral. Ilmu

pengetahuan sendiri dimaksud Durkheim adalah tentang fakta moral dengan

menekankan penerapan nalar manusia terhadap tatanan moral.

Studi ilmiah tentang moralitas menurut Emile Durkheim pada dasarnya

mengisyaratkan usaha serius untuk mengkaji fenomena kehidupan moral sebagai

fenomena rasional sejalan dengan evolusi peradaban dan pencerahan masyarakat,

konsekuensinya sekularisasi pendidikan moral dapat diterima sebagai keniscayaan

sebab transformasi sejarah memang menuntut demikian. Dengan alasan

argumentatif ini, Durkheim berpendapat bahwa moralitas harus bersifat rasional

dan dibentuk berdasarkan pijakan nalar. Melihat pemikirannya pada moral dan

36Raymond Aron,sebagaimana Dikutip Taufik Abdullah Menyebutkan Durkheim Selaku Contoh Kenaifan Profesional Dalam Taufik Abdullah & A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas ( Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,1980) hal. 3, Sementara Djuretna A. Imam Muhni Mengkategorikan Durkheim Sebagai Filosof Moral Yng Luhur. “ Djuretna Imam Muhni, Moral Dan Religi Menurut Durkheim Dan Henry Bergson ( Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1994 ) hal. 5

37 Ibid, Taufik Abdullah Dan A.C. Van Der Leeden, hal. 9 38 Ibid, hal. 11

Page 16: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pembentukan moral memperlihatkan bahwa Durkheim adalah ahli pendidikan dan

filsuf moral yang beraliran positivis, bercorak rasional, ilmiah dan sekuler.

Namun demikian walaupun kedua tokoh di atas memiliki corak

pandangan, kondisi sosial dan rentang waktu yang berbeda, keduanya juga

memiliki persamaan. Persamaan-persamaan tersebut adalah baik al-Ghazali

maupun Durkheim sangat menekankan urgensi moral dalam kehidupan manusia

dan pembentukannya melalui pendidikan. Persamaan yang lain berkaitan dengan

sumber pendidikan moral. Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim mengakui

adanya otoritas moral tertinggi dalam kehidupan manusia. Otoritas moral

dipahami sebagai sesuatu yang menyimpan pengaruh kuat dengan memaksakan

semua kekuatan moral yang berada diatas individu. Otoritas tersebut memaksa

manusia untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai dengannya, dan menjadi

guiding principle dalam kehidupannya.

Namun demikian sumber yang menjadi otoritas moral antara al-Ghazali

dan Emile Durkheim sangatlah berbeda. Bagi al-Ghazali tidak ada semacam

hukum, tatanan, ataupun struktur dasar yang di dalamnya mampu membangun

tindakan moral. Satu-satunya basis moral yang valid adalah wahyu, sedangkan

rasio manusia tidak bisa dianggap sebagai basis fondasi moral. Moralitas yang

dibangun berdasarkan rasio akan sia-sia.

Sedangkan Emile Durkheim menyebutkan bahwa pemilik otoritas moral

adalah masyarakat dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran

kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral

sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu.

Page 17: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai unsur pengganti agama sebab ia

merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari realitas empiris yang

dapat disentuh melalui penginderaan dan rasio, sementara Tuhan tidak dapat

dijangkau oleh ilmu pengetahuan. Moralitas yang dibangun Durkheim ini adalah

moralitas sekuler dengan menolak agama sebagai sumber otoritas moral.

Durkheim menganggap sumber moralitas haruslah fakta sosial yang dapat dikaji

dan diamati secara empiris dan mengedepankan fungsi rasio manusia.

Persaman yang lain terletak pada metode pendidikan moral yang

digunakan keduanya. Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim dalam penerapan

praktis pendidikan memiliki kecenderungan paradigmatis yang sama. Keduanya

menekankan pendidikan moral sebagai upaya membentuk pribadi yang bermoral.

Keduanya menekankan pada peran sentral guru atau pembimbing moral dengan

konsep teacher centered dalam metode pembelajarannya.

Persamaan kecenderungan al-Ghazali dan Emile Durkheim diatas

berimplikasi pada penerapan yang hampir sama dalam metode pembelajaran

pendidikan moral. Karena bersifat teacher centered maka metode pendidikan

moral keduanya, menekankan peranan sentral guru dalam pendidikan dengan

metode pembiasaan, metode keteladanan dan disiplin.

Melihat paparan diatas dan menyadari bahwa pemikiran kedua tokoh ini, baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim masih dijadikan dirkursus dan memiliki pengaruh cukup besar terhadap masing-masing budaya dan pemikiran, maka penulis merasa perlu untuk meneliti secara kritis dan komparatif sistem pemikiran kedua tokoh dalam pendidikan moral.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Page 18: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

1. Bagaimana pandangan al-Ghazali dan Emile

Durkheim tentang pendidikan moral?

2. Apakah persamaan dan perbedaan pandangan al-

Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral?

3. Bagaimana relevansi pandangan kedua tokoh

tentang pendidikan moral dalam masyarakat modern?

D.Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a) Untuk mengetahui pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang

pendidikan moral.

b) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan al-Ghazali dan

Emile Durkheim tentang pendidikan moral meliputi pengertian pendidikan

moral, sumber pendidikan moral, tujuan pendidikan moral dan metode

pendidikan moral.

c) Untuk mengetahui relevansi pandangan kedua tokoh tentang pendidikan

moral dalam masyarakat modern.

Dengan demikian penelitian ini diharapkan berguna untuk:

a) Memberikan manfaat bagi para pendidik khususnya agar dalam praktek

pendidikannya menekankan kepada pembentukan sikap, perilaku dan

membentuk moral sehingga tujuan pendidikan Agama Islam dapat dicapai.

b) Memberikan masukan dan informasi bagi disiplin ilmu Tarbiyah sehingga

dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berminat.

Page 19: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

c) Sebagai bahan pemikiran untuk penelitian lebih lanjut, misalnya

mengembangkan penelitian dimaksud dengan mengembangkan tokoh lain.

d) Menemukan inovasi baru dalam pendidikan moral.

E. Metode Penelitian

Kajian skripsi ini seluruhnya berdasar atas kajian pustaka atau studi literatur. Oleh karena itu sifat penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Data yang dikumpulkan dan dianalisis seluruhnya berasal dari literatur maupun bahan dokumentasi lain, seperi tulisan di jurnal, maupun media lain yang relevan dan masih dikaji.

Data yang dikumpulkan dalam studi ini adalah dua jenis data yaitu data yang bersifat primer dan data yang bersifat sekunder. Data primer merupakan data yang terkait dengan pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral dalam berbagai karyanya, antara lain: “Ihya’ Ulumuddin”, “Fatihat al-Ulum”, “Mizan al-‘Amal”, “Mi’raj al-Salikin”, “Ayyuha al-Walad”. Adapun data primer dari Durkheim meliputi: “Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan”, Sosiologi dan Filsafat. Sedangkan data yang sekunder merupakan data yang terkait dengan pendidikan moral yang dikemukakan oleh ilmuwan lain. Data sekunder ini digunakan sebagai bahan penunjang dan pelengkap analisis.

Adapun metode analisis yang digunakan adalah:

a. Metode Historis

Metode historis dimaksudkan untuk menyingkap, menggali dan menelaah

serta menganalisis persoalan-persoalan yang menjadi obyek studi ini dari

kacamata kesejarahan sehingga didapatkan kesimpulan yang obyektif karena

didasari analisis latar belakang peristiwa yang obyektif.39 Metode ini berpijak

pada pendekatan historis yang digunakan bukan untuk menampilkan aspek

kesejarahan pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim secara kronologis dari

waktu ke waktu, tetapi digunakan terfokus pada kajian mengenai biografi al-

39 Nouruzzaman Shidiqi, Pengantar Sejarah Muslim (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983) hal. 21

Page 20: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Ghazali dan Emile Durkheim, pendidikan dan karir intelektualnya. latar belakang

sosio-kultural, latar belakang pemikirannya, karya-karyanya dan hal lain yang

relevan.

b. Metode Deskriptif

Metode deskriptif merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam

rangka representasi obyektif tentang realitas yang terdapat di dalam masalah yang

di teliti.40 Atau dapat juga diartikan sebagai metode yang digunakan untuk

mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan, melacak

dan mensistematisir sedemikian rupa. Selanjutnya dengan keyakinan tertentu

diambilah kesimpulan umum dari bahan-bahan tentang obyek permasalahannya.41

Dalam hubungannya dengan pembahasan penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pemikiran-pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim yang berkait tentang pendidikan moral dari berbagai karyanya.

c. Metode Analisis.

Metode analisis ini digunakan untuk menelaah pemikiran pendidikan

moral al-Ghazali dan Emil Durkheim yang telah dijelaskan dengan metode

deskriptif. Cara yang digunakan adalah analisis isi (content analisis), yaitu

menganalisis konsep dari pemikiran berbagai tulisan yang berkait dengan

pendidikan moral, terutama yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan Emil

Durkheim.

d. Metode Komparatif.

40 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 1985) hal. 63

41 Sutrisno Hadi, Metodologi Research. I, (Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1987) hal. 3

Page 21: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Metode komparatif ini menggunakan logika perbandingan . Komparasi

yang dibuat adalah komparasi fakta-fakta replikatif42. Melalui komparasi

tersebut pemikiran al-Ghazali dan Emil Durkheim tentang pendidikan moral

sebagai fokus kajian penelitian ini dibandingkan, selanjutnya disusun

kategorisasi teoritis43yaitu perbedaan dan persamaan kedua tokoh tersebut

dalam pendidikan moral. Pembandingan ini selanjutnya digunakan untuk

menemukan aktualitas, melacak relevansi, kesejajaran dan bahkan menemukan

kemungkinan pendididikan moral untuk diterapkan pada masa sekarang dan

yang akan datang. Tata pikir yang digunakan adalah tata pikir relevansi yang

menunjuk pada keterhubungan yang bersifat fungsional tertentu dengan

dimensi yang dipertanyakan.44

F. Tinjauan Pustaka

Satu hal yang pasti bahwa pemikiran al-Ghazali ini bukan merupakan yang pertama kali. Kajian tentang tokoh al-Ghazali, telah banyak dilakukan, baik mengenai sejarah hidupnya, karya-karyanya maupun pemikirannya dalam berbagai masalah seperti filsafat, etika, tasawuf, pendidikan, masalah jiwa dan lain-lain. Namun demikian pemikirannya tentang pendidikan moral sejauh pengetahuan penulis, belum tergarap secara spesifik. Pemikiran yang ada biasanya masih bertumpu pada pendidikan secara umum, ataupun pada aspek-aspek lain yang belum tersusun pada bangunan sistem pendidikan moral. Diantara beberapa penulis yang membahas pemikiran al-Ghazali adalah Skripsi Asep Suryana yang membahas “ Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam” yang meliputi pengertian, tujuan, metode dan kurikulum materi pendidikan Islam, Abidin Ibnu Rusn yang mengulas tentang “Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan” yang berisi pandangan al-Ghazali tentang manusia dan ilmu, pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pengertian, subyek didik, kurikulum, metode pendidikan dan Evaluasi pendidikan. Dalam buku ini juga dibahas tentang aktualitas pemikiran al-Ghazali dalam Dunia pendidikan dewasa ini dan juga

42 Fakta-fakta replikatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data-data yang menggambarkan sistem pendidiakn moral menurut al-Ghazali dan Emile Durkheim43 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1989), hal. 113

44 Ibid, hal. 99

Page 22: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Skripsi Moch. Ani Muchlis yang menulis “Komparasi Pemikiran Pendidikan Islam Antara Al-Ghazali Dan Naquib Al-Attas”. Dalam skripsi ini dikomparasikan pemikiran pendidikan keduanya meliputi Pengertian pendidikan, konsep tentang ilmu, konsep tentang manusia, tujuan pendidikan dan sistem pendidikan Islam. Satu-satunya yang mengulas pemikiran pendidikan moral al-Ghazali sepanjang yang penulis ketahui adalah tesis Zainal Abidin Ahmad yang mengulas tentang “Pendidikan Moral Menurut Al-Ghazali” meliputi: tujuan pendidikan moral, materi pendidikan moral, dan metode pendidikan moral. Dalam tesis ini juga dikemukakan kelemahan dan kekuatan dari pemikiran al-Ghazali dan relevansinya dengan masa sekarang.

Sedang Emile Durkheim Sebagai seorang sosiolog yang berkaliber internasional maka banyak cendekiawan yang mencoba menyoroti pemikirannya.. Djuretna A. Imam muhni dalam “Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henry Bergson” telah membahas pemikiran Emile Durkheim tentang bagaimana pentingnya moral dan religi sebagai dasar kesejahteraan dan kebaikan hidup bersama, dalam disertasi ini Djuretna membandingkan kedua tokoh yaitu Emile Durkheim dan Henri Bergson. Disamping itu dalam jurnal filsafat, Djuretna juga membahas tentang pemikiran Emile Durkheim mengenai moralitas ditinjau dari segi filsafat pancasila dengan judul “Pandangan Moral Emile Durkheim Ditinjau Dari Filsafat Pancasila”.

Begitu pula skripsi dengan judul “Relasi Moral dan Masyarakat” yang

ditulis oleh M. Ridwan alumni fakultas Ushuluddin.M. Ridwan membahas esensi

moralitas yang terdiri dari tiga unsur kaitannya dengan dinamika moral dalam

masyarakat yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok dan otonomi. Dan juga

Skripsi karya Fathatur Rahmani dengan judul “Sekolah Sebagai Laboratorium

Pendidikan Dan Pelatihan Moral” yang menfokuskan pembahasan pada

Penggunaan sekolah sebagai laboratorium pendidikan dan pelatihan unsur-unsur

moralitas yang merupakan salah satu pandangan Emile Durkheim dalam

pendidikan moral. Dalam skripsi ini juga dibahas relevansi pandangan Emile

Durkheim dengan pendidikan Islam.

Dari beberapa karya yang telah disebutkan diatas maka dapat dipastikan bahwa studi komparasi tentang pendidikan moral menurut al-Ghazali dan Emile Durkheim belum pernah dibahas. Karena itu dalam skripsi ini penulis

Page 23: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

memfokuskan pada “Pendidikan Moral Dalam Pandangan Al-Ghazali Dan Emile Durkheim Dalam Masyarakat Modern”. Pandangan atau pemikiran al-Ghazali dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral selanjutnya sedapat mungkin akan dikaji secara kritis metodologis untuk mendapatkan jawaban atas persoalan-persoalan yang menjadi sasaran kajian.

G. Kerangka Teoritik

Penulis memandang perlu kiranya melihat hal-hal yang melandasi

munculnya pengertian moral dan teori-teori tentang pendidikan moral, sebagai

pisau analisa untuk membedah dan membandingkan pendidikan moral menurut

al-Ghazali dan Emile Durkheim.

Masalah atau pengertian moral selama ini menjadi bahan perdebatan para

pemikir. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan, kecenderungan,

pengalaman, pengetahuan dan kondisi sosial budaya yang berbeda. Untuk melihat

pengertian tentang moral, banyak teori-teori yang telah dihasilkan oleh para ahli

yang mendasari lahirnya pengertian moral. Diantara teori tersebut antara lain:45

1. Teori Darwin (Survival of the Fittest) kelangsungan hidup bagi yang kuat

dan sempurna. Teori ini berintikan bahwa kehidupan itu bagi mereka yang

kuat.

2. Teori Sosiologi, yang menegaskan bahwa baik bukan nilai mutlaq. Hal

yang baik dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat.

3. Teori Psikoanalisa yang dikemukakan oleh Freud (1856-1939)

menerangkan bahwa semua tingkah laku manusia muncul dari dalam dirinya

dan timbul dari pengendapan pengalaman yang sudah-sudah

45 Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam (Yogyakarta, CV Bina Usaha, 1984) hal. 12

Page 24: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

4. Teori yang menyatakan bahwa moralitas adalah kebiasaan, customs,

tradisi yang dapat berganti-ganti menurut keadaan zaman, ruang dan empiris.

Teori ini dikemukakan oleh David Hume(1711-1776) seorang empiris yang

menyatakan bahwa tindakan dianggap benar jika menimbulkan persetujuan

dari masyarakat. Jadi moral dalam hal ini adalah nilai mayoritas.

5. Teori Idealis, bahwa moral itu mutlak, akan tetapi hanya mengikuti arah

sampai pertengahan jalan , sehingga hasilnya tidak memuaskan.

Melihat dari teori-teori yang ada diatas nampaknya pengertian moral al-

ghazali dianalisis dengan teori Psikoanalisa Freud. Pengertian moral menurut al-

Ghazali adalah suatu keadaan atau bentuk jiwa dari mana timbul perbuatan-

perbuatan yang mudah tanpa fikir dan usaha.46 Psikoanalisa Freud yang juga

melahirkan spirit personality yang muncul dari dalam diri, walaupun sumbernya

berbeda. Bila Freud menggunakan id, ego dan super ego maka Ghazali memakai

istilah qalb, nafs, aql dan ruh.

Sedangkan moral dalam pandangan Emile Durkheim nampaknya lebih

mendekati pandangan David Hume yang menekankan moralitas bersumber dari

apa yang berulang dan ada di masyarakat (moralitas adalah ciptaan sosial), kaidah

moral adalah nilai kolektifitas, dan masyarakat adalah pemilik otoritas moral. 47

Adapun dalam kaitannya dengan pendidikan moral dalam masyarakat

modern ada tiga teori yang menerangkan tentang usaha menumbuhkan dan

46 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Terj. H. Ismail Yakub (Jakarta: CV. Faizan, 1985) Jilid VII

47 Lihat Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Terj. Lukas Ginting ( Jakarta : Erlangga, 1990) hal.x

Page 25: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

mengembangkan moral, yaitu: teori Perkembangan Kognitif, teori Belajar Sosial

dan teori Psiko Analitik.

Yang pertama Teori Perkembangan Kognitif awalnya dikemukakan oleh

John Dewey, dilanjutkan oleh Piaget dan disempurnakan Kohlberg. Menurut teori

ini proses perkembangan moral manusia muncul secara bertahap berurutan

(stepwise sequence) melalui tahapan- tahapan penalaran moral. Teori ini

menekankan untuk terwujudnya moralitas, pendidikan moral hendaknya

mempertimbangkan tahapan penalaran moral anak didik. Teori ini juga

memandang semakin tinggi penalaran moral seseorang semakin tinggi pula

moralitas yang dimilikinya. Tahapan moral yang lebih tinggi tidak akan mungkin

mundur ke tahapan yang selanjutnya. moral.48

Teori yang kedua adalah Teori Belajar Sosial ( Social Learning Theori).

Teori ini bersumber dari ajaran Empirismenya John Locke dan Behaviorismenya

Watson dan Skinner yang memandang hakekat manusia seperti kertas kosong

(blank state) yang siap ditulisi oleh masyarakat. Teori ini memandang sumber

moral adalah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dan untuk membentuk

moral, pendidikan moral hendaknya mempelajari mengenai apa saja yang

seharusnya dikerjakan setiap orang dalam masyarakatnya49.

Teori yang ketiga yaitu teori Psikoanalitik yang bersumber dari ajaran

Freud. Teori ini memandang hakekat manusia sebagai makhluk yang dikendalikan

oleh hati nurani yang sulit dikontrol. Agen-agen masyarakat khususnya orang tua

48 Frans Magnis Suseno, Etika Dasar ; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta, Kanisius, 1994) hal. 34

49 Ibid, hal. 35

Page 26: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

harus turut campur tangan membentuk perilaku anak untuk kebaikan individu dan

masyarakatnya. Pengembangan moral dapat dilakukan melalui belajar penguasaan

diri dan disiplin.50

Dari ketiga teori pendidikan moral yang ada diatas penulis mengunakan

dua teori, yaitu teori Psikoanalitiknya Freud untuk membedah dan menganalisa

pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral dan Teori Belajar Sosial (Social

Learning Theori) untuk membedah dan menganalisa pemikiran pendidikan moral

Emile Durkheim.

H. Sistematika Pembahasan

Secara keseluruhan skripsi ini dibagi menjadi lima Bab

Bab I Pendahuluan terdiri dari sub-sub bab mengenai: penegasan istilah,

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik dan sistematika pembahasan.

Bab II akan difokuskan untuk mengenal lebih dekat al-Ghazali dan Emile

Durkheim yang memuat: biografi al-Ghazali dan Emile Durkheim , keterlibatan

al-Ghazali dan Emile Durkheim dalam dunia pendidikan, latar belakang sosio

politik, latar belakang pemikiran serta karya-karya al-Ghazali dan Emile

Durkheim.

Sedangkan pada Bab III akan dijelaskan mengenai pemikiran al-Ghazali

dan Emile Durkheim tentang pendidikan moral meliputi: pengertian dan hakekat

pendidikan moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidikan moral, materi

50 Ibid, hal. 36

Page 27: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pendidikan moral, metode pendidikan moral dan peran dan kualifikasi pendidik

moral.

Bab IV memuat tentang masyarakat modern meliputi pengertian

masyarakat modern, peradaban masyarakat modern, problem manusia modern

dan moral di era modernitas

Bab V memuat telaah komparasi antara pandangan al-Ghazali dan Emile

Durkheim tentang pendidikan moral meliputi pengertian dan hakekat pendidikan

moral, tujuan pendidikan moral, sumber pendidikan moral, materi pendidikan

moral, metode pendidikan moral dan peran dan kualifikasi pendidik moral.Dalam

bab ini juga memuat relevansi pandangan kedua tokoh tentang pendidikan moral

dalam masyarakat modern

Bab VI berisi kesimpulan dan saran-saran.

Page 28: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

BAB IIMENGENAL LEBIH DEKAT AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM

Biografi Al-Ghazali

1. Al-Ghazali dan Lingkungan Keluarganya

Al-Ghazali dikenal sebagai seorang teolog Muslim, ahli pendidikan, dan

sufi abad pertengahan. Lahir pada 1058 M/450 H di desa Ghazalah, di Thus

(sekarang dekat Meshed),51 sebuah kota di Persia. Sekarang daerah tersebut

termasuk dalam propinsi Khurasan, Iran. Ia meninggal dunia di kampung

halamannya, Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H atau 19

Desember 1111 M pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Thaburan, wilayah

Thus.52)

51) Wilayah Thus sendiri Terdiri dari dua Kotapraja, yaitu Thaburan dan Nawqan, sebuah kota kecil yang sangat cocok, dibangun dengan kokoh, dan merupakan daerah yang padat penduduknya. Wilayah tersebut juga terkenal dengan perairan dan pepohonannya serta kandungan mineral di sekitar daerah barisan pegunungan. Daerah ini juga lebih dikenal sebagai tempat kelahiran beberapa tokoh terkemuka dalam sejarah Islam seperti Wazir Nizam al-Mulk, ‘Umar Khayyam, Shahrastani, Raghib Isfahaniy, Ibnu Tumart, dll. yang hidup sezaman dengan al-Ghazali. Lihat Margaret Smith, al-Ghazali The Mystic (Lahore: Kazi Publication, t.t.), hal. 9. Lihat juga dalam M. ‘Umaruddin, The Ethical Philosophy of al-Ghazali, (Delhi: Publisher & Distributors, 1996), hal. 29.

52) Abu Hamid Al-Ghazali, Jawahirul Qur’an: Permata Ayat-ayat Suci, alih bahasa, Mohammad Luqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal. xi-xv. Lihat Juga dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, alih bahasa, Eva Y.N., dkk., cet. 1, (Bandung: Mizan, 2001), II:111, artikel al-Ghazali.

Page 29: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Imam al-Ghazali ,53) nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih

dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja.54) Al-Ghazali juga populer dengan

sebutan Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama)55), al-Faqih asy-

Syafi’i, dan Bahrun Mugriq.56) Ia juga dijuluki the Spinner yang berarti pemintal

atau penenun.57)

Al-Ghazali hidup pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah II.58) Ia lahir di

tengah-tengah keluarga yang tinggi religiusitasnya. Ayahnya, Muhammad, adalah

seorang penenun dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di

Thus, di luar kesibukannya, ia senantiasa menghadiri majelis-majelis pengajian

yang diselenggarakan para ulama. Al-Ghazali juga mempunyai seorang saudara

laki-laki yang bernama Abu al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin

53) Ada dua macam penulisan al-Ghazali: (1) ditulis dengan “al-Ghazali”, ini berasal dari nama desa atau kampung tempat kelahirannya, yaitu Ghazalah; karena itu sebutannya adalah al-Ghazali (dengan satu ”z”). Dan (2) berasal dari pekerjaannya sehari-hari yang dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya, yaitu menenun dan menjual kain tenunannya yang disebut dengan “Ghazzal”; karena itu panggilannya adalah al-Ghazzali (dengan dua “z”). Lihat dalam Jamil Saliba, Tarikhu al-Falsafah al-‘Arabiyyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Libanoniy, 1973), hal. 333. Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, cet. 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 135. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 28-29.

54) H.M. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 63.

55) Yusuf al-Qardhawi, al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, alih bahasa, Hasan Abrori, cet. 3 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1996), hal. 39.

56) Basyuni Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filsuf Muslim, cet. I, (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997), hal. 79. Lihat juga dalam H.M. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 71.

57) Idris Shah, The Sufis, cet. V, (Southampton: The Camelot Press, 1989), hal. 147.58) Menurut Syalabi sejarah Dinasti ‘Abbasiyah dibagi dalam 3 periode: Periode

pertama, yaitu sejak berdirinya tahun 132-232 H. yang ditandai dengan adanya kekuasaan politik ditangan para Khalifah ‘Abbasiyah; periode kedua, dimulai tahun 232-590 H. yang ditandai oleh tiadanya kekuasaan para khalifah dan berpindah tangan pada 3 dinasti, (1) Sultan-sultan Turki (232-334 H) (2) Bani Buwaihi (334-447 H) (3) Bani Saljuk (447-590 H). dan periode ketiga, sejak berakhirnya kekuasaan Bani Saljuk tahun 590 hingga berakhirnya dinasti ‘Abbasiyah tahun 656 H/1258 M. yang ditandai dengan terpecahnya kerajaan Islam menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Lihat Syalabi, Mausu’ah at-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah al-Islamiyyah, cet. 5 (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misri, 1974), III: 20-21.

Page 30: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Ahmad at-Thusi al-Ghazali yang dikenal dengan julukan Majduddin (w. 520).

Kondisi keluarga yang religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama

besar. Hanya saja saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding

al-Ghazali yang menjadi penulis dan pemikir.59) Ayah al-Ghazali adalah seorang

pencinta ilmu, bercita-cita tinggi, dan seorang muslim yang saleh yang selalu taat

menjalankan agama. Tetapi sayang, ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya

untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya tercapai. Ia meninggal sewaktu

al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad masih kecil.60) Margaret Smith mencatat

bahwa ibu al-Ghazali masih hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan

saudaranya Ahmad sudah menjadi terkenal.61)

Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari pola

hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia sempat

berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad bin

Muhammad ar-Razakani at-Thusi, ahli tasawuf dan Fiqh dari Thus, untuk

memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, Yaitu Muhammad dan

Ahmad, dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya.

Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya

tambahan. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus

untuk bisa memperoleh pakaian, makan, dan pendidikan. Di sinilah awal mula

59) Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), I:404, artikel al-Ghazali.

60) Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, cet. 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 322-323.

61) Margaret Smith, Op.Cit, hal. 55.

Page 31: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai akhir

hayatnya.62)

Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali adalah salah seorang pemikir

besar Islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah seorang pribadi

yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali adalah pakar

ilmu syari’ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai ilmu Fiqh, Ushul

Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Tasawuf, Akhlak, dan sebagainya. Pada tiap-tiap

disiplin ilmu tersebut, Al-Ghazali telah menulisnya secara mendalam, murni dan

bernilai tinggi.

Banyak tokoh yang mengungkapkan pujian dan kekagumannya pada al-

Ghazali. Imamal-Haramain (seorang mantan gurunya) misalnya, ia berkata “Al-

Ghazali adalah lautan tanpa tepi”. Sementara salah seorang muridnya, yaitu Imam

Muhammad bin Yahya berkata, “Imam Al-Ghazali adalah asy-Syafi’i kedua”.

Pujian juga diungkapkan oleh salah seorang ulama sezamannya, yaitu Abu al-

Hasan ‘Abdul Ghafir al-Farisiy, beliau mengatakan, “Imam al-Ghazali adalah

Hujjatul Islam bagi kaum Muslimin, imam dari para imam agama, pribadi yang

tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya,

ucapannya, kecerdasan maupun tabiatnya.”63)

2. Pendidikan dan Karier Intelektual Imam Al-Ghazali

Pendidikan al-Ghazali di masa anak-anak berlangsung dikampung

halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh

62) H.M. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 64. lihat juga dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 404.

63) Yusuf al-Qardhawi, Op.Cit, hal. 39-41.

Page 32: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, seorang sufi yang mendapat wasiat

dari ayahnya untuk mengasuh mereka. Dan kepadanyalah kali pertama al-Ghazali

mempelajari Fiqh. Namun setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh

mereka, mereka dimasukkan ke sebuah madrasah di Thus.

Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya, ia

merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara

kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh

dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma’il bin

Mus’idah al-Isma’iliy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-

Isma’iliy.64)

Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali yang telah berusia 20 tahun

berangkat lagi ke Nisabur pada tahun 470 H. untuk belajar kepada salah seorang

ulama Asy’ariyyah, yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dan

mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478

H. Al-Juwaini lebih dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali belajar

kepadanya dalam bidang Fiqh, ilmu debat, Mantiq, Filsafat, dan ilmu kalam.65)

Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali dengan bekal

kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin

pada madrasah yang didirikan Imam al-Haramain di Nisabur.66)

64) Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 404.65) Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman; Suatu

Pengantar Tentang Tasawuf, alih bahasa, Ahmad Rofi’ Usmani, cet, 2 (Bandung: Pustaka, 1997), hal.148-149. Lihat juga dalam Jamil Saliba, Op. Cit, hal. 334.

66) Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Munqiz min ad-Dlalal (Beirut: al-Maktabah al-Sya’biyyah, t.t.), hal. 21-22. Lihat juga dalam Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit, hal. 34-35.

Page 33: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Disamping itu, al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi,

yaitu ImamYusuf al-Nasaj dan Imam Abu ‘Ali al-Fadl bin Muhammad bin ‘Ali

al-Farmazi at-Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti

Abu Sahal Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al-Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin

‘Ali bin Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad al-

Khuwariy, Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja’i al-Zauzani, al-Hafiz

Abu al-Fityan ‘Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru’asi al-Dahistaniy, dan Nasr bin

Ibrahim al-Maqdisi.

Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi tempat

kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintah Sultan ‘Adud ad-Daulah

Alp Arselan (455 H/1063M-465 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465

H/1072 M-485 H/1092 M) dari Dinasti Salajiqah di al-‘Askar,67) sebuah kota di

Persia. Wazir tersebut bernama Nizam al-Mulk.68) Wazir kagum atas pandangan-

67) Khudri Beik menyebutkan bahwa pemerintahan dinasti Saljuk terbagi menjadi 5 bagian, yaitu: 1) Saljuk Raya/Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwas; 2) Saljuk Kirman; 3) Saljuk Irak dan Kurdistan; 4) Saljuk Syria; 5) Saljuk Rum (Asia kecil). Malik Syah sendiri termasuk sultan dari Saljuk Raya. Para sejarawan juga menyebutkan bahwa keterkaitan antara Dinasti Saljuk dengan Dinasti ‘Abbasiyah lebih disebabkan karena kesamaan ideologi, yang mana keduanya sama-sama menganut faham sunni. Lihat Muh{ammad Khudri Beik, Muh}ad}}arah Tarikh al-Umam al-Islamiyyah, (Mesir.: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1970), II: 44. Lihat juga Syalabi, Op.Cit, hal. 430.

68) Nama aslinya adalah Abu ‘Ali al-Hasan bin ‘Ali bin Ishaq bin al-‘Abbas. Julukannya adalah Nizam al-Mulk Qawam ad-Din at-Tusi. Namun ia lebih dikenal dikalangan umat Islam dengan nama Nizam al-Mulk saja. Ia dikenal sebagai orang yang cinta ilmu dan tokoh pelopor pendidikan Islam model Madrasah yang kemudian ditiru oleh banyak orang. Menurut as-Subki, Nizam al-Mulk mendirikan 9 Madrasah Nizamiyah, yaitu di Bagdad, Nisabur, Balkh, Herat, Isfahan, Basrah, Marwi, Amul Tabaristan, dan Moshul. As-Subki, Tabaqah asy-Syafi’iyah al-Kubra, cet. I, (Mesir: ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syuraka’uh), IV: 313-314. Ia meninggal dibunuh oleh seorang dari golongan Batiniyah atau Hasyasyin atau Isma’iliyyah 10 Ramadhan 485 H setelah sekitar 30 tahun mengabdi kepada dua orang sultan dinasti Saljuk yaitu Alp Arselan dan Malik Syah. Lihat Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan wa Anba, Abna az-Zaman (Beirut: Dar Sadir, t.t.), II: 128-129. lihat juga Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami as-Siyasi wa ad-Dini wa as-S#aqafi wa al-Ijtima’i, cet. 1 (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1967), IV: 31-31. Ia adalah negarawan yang menurut Prof. Philip K. Hitti sebagai salah seorang tokoh politik yang turut menghiasi sejarah perpolitikan umat Islam. Ia juga mendapat gelar Atabek karena kesungguhannya

Page 34: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pandangan al-Ghazali sehingga al-Ghazali diminta untuk mengajar Fiqh asy-

Syafi’iyah di perguruannya, Nizham al-Mulk, di Baghdad, yang lebih dikenal

dengan perguruan atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali mengajar di Baghdad

pada tahun 484 H/1091 M.69) Pada saat inilah al-Ghazali yang pada waktu itu

berusia 34 tahun memperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai

puncak kariernya yang ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda.70)

Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar di Baghdad. Kemudian ia

meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua

kalinya pada tahun 488 H. setelah ia mewakilkan tugasnya kepada saudaranya,

dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang

zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan, dan menyucikan

diri dari dosa selama kurang dari 2 tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun

490 H/1098 M. dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis, Palestina, dan

melanjutkan perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud

untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun. Namun

sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali mendengar kabar kematian Amir

dalam mengabdi kepada negara. Lihat K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1980), hal. 269. Muh}ammad al-Khudri Beik, Muhadarah…., II: 428. Nizam al-Mulk adalah pengarang Siyasat Namah yang merupakan karya besar baik ditinjau dari segi budaya, sosial, dan politik. Lihat Ahmad Kamaluddin Hilmi, As-Salajiqah fi at-Tarikh wa al-Hadarah, cet. 1 (Kuwait: Dar-al-Buh{us al-‘Ilmiyyah, 1975), hal. 44. Siyasat Namah juga dapat dipandang sebagai pedoman politik dan pendidikan dalam pemerintahan yang baik pada masa itu. Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, alih bahasa Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah, cet. 1 (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 114.

69) Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Routledge History of World Philosophies: History of Islamic Philosophy Part I, cet. 1 (London dan New York: Rotledge, 1996), I: 260. Lihat juga dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 404-405.

70) M.M. Sharif, A. History of Muslim Philosophy (Delhi: Low Price Publications, 1961), I: 584.

Page 35: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur menuju tanah suci

Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan diangkat oleh Fakhr

al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari Gubernur Khurasan, Sanjar

yang merupakan salah seorang putra Malik Syah, sebagai Presiden dari perguruan

di Nisabur pada tahun 1105.71) Tidak lama di Nisabur, kemudian ia kembali ke

Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari teologi, tasawuf, serta

madrasah fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali

menghabiskan sisa hidupnya setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan

berpuluh tahun lamanya dan sesudah memperoleh kebenaran yang sejati.72)

3. Latar Belakang Sosial Politik

Situasi Politik

Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari kehidupan politik yang

tidak jarang menumbuhkan benih-benih konflik baik internal maupun eksternal.

Benih-benih konflik yang terjadi di kalangan umat Islam telah muncul secara jelas

sejak masa Khalifah ‘Usman bin ‘Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang

berselisih dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan,73) dan pada saat inilah maka umat

Islam berselisih dalam dua medan: Imamah (politik) dan Ushul (teologi).74) Dalam

medan politik muncul partai dan aliran Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah serta lahir

Daulat Umawiyah yang berpusat di Damaskus (40-132 H) kemudian Daulat

71) Jamil Saliba, Op.Cit, hal. 337-338. Lihat juga dalam Muhammad Lutfi Jum’ah, Tarikh Falasifah al-Islamiyyah fi al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal. 67. Zainal Abidin, Op.Cit, hal. 43-53.

72) M.M. Sharif, Op.Cit, hal. 587. Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit, hal. 52-53.73) Ibnu Khaldun, Kitab al-‘Ibar wa Daiwan al-Mubtada’ wa al-Khabar (Beirut:

Muassasat Jammal li al-Tiba’ah wa al-Nasyar,1979) II: 4.74) Syahrastani , Al-Milal Wa an-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), I: 19-31.

Page 36: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

‘Abbasiyah di Baghdad (132-656 H), disamping sisa Daulat Umawiyah di

Spanyol (138-403 H), yang di masa Al-Ghazali sudah terkeping-keping menjadi

kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Tawa’if), dan Daulat Fathimiyyah/Isma’iliyyah

di Mesir (297-567 H) yang hal tersebut menandakan adanya pergeseran doktrin

politik Islam yang hakiki kepada monarkisme yang secara umum lebih

mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi dan diwarnai oleh konflik-konflik

politik berkepanjangan.75)

Tetapi umat Islam sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” (‘Am al-Jama’ah)

yang dipelopori oleh al-Hasan bin ‘Ali, Ibn ‘Abbas, dan Ibn ‘Umar, tidak terbawa

hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari pentas politik

praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal ini membawa

ekses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu “Ulama”

dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh

kemurnian Islam dan obyektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu

dan dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang kemudian disebut Ahl as-

Sunnah Wa al-Jama’ah yang salah satu tokohnya adalah al-Ghazali.

Sepanjang perjalanan Daulat ‘Abbasiyah kompetisi dan konflik

berlangsung antara Bani ‘Abbas dan Syi’ah-Mu’tazilah yang lebih dominan

disebabkan oleh perbedaan faham dan ideologi. Bahkan, krisis politik Dinasti

75) Abul A’la Al-Maududi mengatakan, perubahan sistem kekhilafahan Islam menjadi sistem kerajaan (monarki) menyebabkan terpecahnya kepemimpinan umat Islam menjadi dua, yaitu: 1) pemimpin politik, yaitu yang telah diraih oleh para raja dengan kekuatannya; 2) pemimpin agama, yaitu pemimpin yang tetap dipegang oleh kalangan para sahabat Nabi SAW., para tabi’in dan pengikut-pengikut mereka serta para fuqaha’, ahli-ahli Hadits dan tokoh-tokoh yang baik di kalangan umat. Lih. Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, alih bahasa, Muhammad al-Baqir, cet. VI (Bandung: Mizan, 1996), hal. 261-264.

Page 37: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

‘Abbasiyah yang sangat kompleks ini memaksa jatuhnya otoritas eksklusif

Kekhalifahan ‘Abbasiyah ke tangan sultan-sultan yang membagi wilayah

‘Abbasiyah menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen.76) Diantaranya

adalah Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063 M) hingga

akhirnya dapat menguasai kota Baghdad pada tahun 1055 M., tiga tahun sebelum

al-Ghazali lahir,77) sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Bani Buwaihi yang

sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055 M).78)

Maka sejak saat itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang

Sunni dengan corak keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti Saljuk inilah

terutama sejak dipegang oleh Sultan Alp Arselan lalu Malik Syah dengan

wazirnya yang masyhur, Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah mencapai puncak

kejayaannya kembali.79) Namun pada masa Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari

adanya konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan aliran keislaman.80)

76) Pada masa ini Khalifah hanya sekedar menjadi simbol spiritual yang hanya memiliki otoritas moral. Hal ini untuk mempertahankan fiksi historis bahwa kekhalifahan tetap dari suku Arab-Quraisy. Sedang Wazir Khalifah hanya semata-mata mengurus tanah koneksi dan nafkah keluarga Khalifah. Lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa kekuasaan efektif pada masa ini berada ditangan sultan-sultan yang independen. Lihat dalam Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, alih bahasa, Gufron A. Mas’adi, cet. 1. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 223. Akhmad kamaluddin Hilmi, Op.Cit, hal. 159.

77) HM. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 64-65.78) Joesoep Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),

hal. 258. Hasan al-Basya, Dirasah fi Tarikh ad-Daulah al-Abbasiyah (Kairo: Dar an-Nahdhah al- Arabiyyah, 1975), hal. 117.

79) Pada masa Dinasti Saljuk ini, Khalifah-Khalifah ‘Abbasiyah diperlakukan secara hormat, tidak seperti pada masa Dinasti Buwayhi yang menganut paham Syi’ah Isna ’Asy’ariyah dimana Khalifah-Khalifah ‘Abbasiyah diperlakukan secara tidak hormat. Hal ini sangatlah wajar karena ada keterkaitan secara ideologis yang mana baik Dinasti ‘Abbasiyah maupun Dinasti Saljuk sama-sama menganut faham Sunny. Tidak hanya sekedar itu, jalinan antara kedua Dinasti inipun dipererat oleh adanya ikatan perkawinan, seperti Khalifah al-Qaim yang mengawini putri saudara Togrel Bek, Khalifah al-Muqtady yang mengawini putri Sultan Alp Arselan (464 H), Khalifah al-Mustazhir yang mengawini putri Sultan Malik Syah, Khalifah al-Mustakfy yang mengawini putri Sultan Muhammad bin Malik Syah. Lihat dalam Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, hal. 306-307. Lihat juga dalam Syalabi, Op.Cit, hal. 437-438. Muhammad Khudri Bek, Op.Cit, hal. 421.

80) Pada masa Sultan Togrel Bek terjadi intimidasi karena perbedaan faham keagamaan yang dilakukan oleh Wazir al-Kunduri anti Syafi’iyah Asy’ariyah. Diantara korbannya adalah al-

Page 38: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Faktor eksternal yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti ‘Abbasiyah

adalah kondisi Dinasti Fathimiy yang menganut Syi’ah Isma’iliyyah di Mesir

yang sedang mengalami kemerosotan menuju keruntuhannya baik karena krisis

ekonomi, politik internal maupun karena desakan negara-negara Murabithin yang

Sunny-Maliky di Afrika Utara hingga sebagian Sudan dan berafiliasi ke

‘Abbasiyah. Sedang ‘Abbasiyah pusat sendiri terus menerus mendesak dari arah

Timur dan Utara. Dengan sendirinya Isma’iliy Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569

H) ikut menyusut.

Namun sepeninggal Malik Syah dan Nizham al-Mulk, ‘Abbasiyah berubah

drastis, yang akan diikuti oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-Ghazali.

Merosotnya otoritas pemerintah disebabkan oleh adanya konflik/perang saudara

yang berkepanjangan di kalangan istana (internal).81) Keadaan ini diperparah lagi

dengan bangkitnya kaum Bathiniyyah/Isma’iliyyah/Ta’limiyyah di Timur yang

melancarkan teror-teror sehingga memakan korban, diantaranya adalah Wazir

Nizham al-Mulk.82)

Dalam situasi seperti ini dunia Kristen Eropa melancarkan Perang Salib di

Timur, sehingga mereka berhasil mengguncang Syria dan mendirikan kerajaan-

Qusyayri yang terpaksa keluar dari Khurasan, kemudian al-Juwayni yang terpaksa mengungsi ke Hijaz selama 4 tahun, mereka baru dipulangkan oleh nizam al-Mulk sesudah al-Kunduri dipenjarakan di Nerv tahun 456 H. Ibn Khaldun, Op.Cit, hal. 467-468.

81) Tahun 1092 M terdapat tiga pesaing dalam perebutan kekuasaan. Mahmud bin Malik Syah yang disokong oleh Wazir pengganti Nizam al-Mulk dan ibundanya melawan Barkiyaruq bin Malik Syah. Pamannya, Tutus, di Suriah juga memutuskan untuk merebut kekuasaan. Namun Mahmud dan Tutus berhasil dikalahkan oleh Barkiyaruq, dan pada Februari 1094 ia resmi dinobatkan oleh Khalifah sebagai Sultan. Namun dua saudaranya yang lain Muhammad dan Sanjar juga menentangnya. Lihat dalam W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, alih bahasa, Hartono Hadikusumo, cet. 1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 249-250.

82) Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, IV hal. 268-279.

Page 39: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils, dan Ruha sejak tahun

490 H/1098 M.83)

Sementara itu al-Ghazali masih berkhalwat mencari ’ilmu yaqini di Syam

dan sekitarnya. Ia sendiri menilai masa ini sebagai masa fathrah (vacum dari

pembimbing keagamaan), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu

dilakukan pembaharuan (tajdid) atau “menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama

(Ihya’ ‘Ulum ad-Din). Dapat disimpulkan, pada saat itu al-Ghazali hidup dalam

suasana dan kondisi Islam yang sudah menunjukkan kemerosotan dan

kemunduran dalam beberapa aspeknya.

Situasi Ilmiah dan Sosial Keagamaan

Pada masa al-Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi di bidang

politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial kegamaan. Umat Islam ketika itu

terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-

masing dengan tokoh ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme

kepada umat. Dan terkadang, hal itu juga dilakukan pula oleh pihak penguasa.84)

Fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik

antar golongan mazhab dan aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai

83) Ibid., hal. 243-248.84) Salah satu tujuan didirikannya Madrasah NIZAMIYAH oleh WAZIR NIZAM AL-MULK

adalah untuk menyuburkan MAZHAB dalam masyarakat. Di madrasah ini para tokoh ulama MAZHAB SYAFI’I dan aliran ASY’ARI dengan leluasa mengajarkan doktrin-doktrinnya. Bahkan untuk ini, WAZIR NIZAM AL-MULK mengalokasikan dana sekitar 600.000 dinar per-tahun. Seperti halnya JAMI’ AL-AZHAR di Kairo yang didirikan oleh Dinasti FATHIMIYYAH pada tahun 359 H/970 M. dengan tujuan untuk menyebarkan paham Sekte Syi’ah Isma’iliyyah yang dianut penguasa. Ibid., IV: 424-426. 616-619. Lihat juga dalam AH}MAD KAMALUDDIN HILMI, as-SALAJIQAH…., hal. 223. Madrasah NIZAMIYAH didirikan selain untuk tujuan agama juga untuk tujuan politik, yaitu sebagai sarana propaganda para penguasa pada waktu itu terutama membentuk opini publik Islam SUNNI ortodoks terhadap Islam Syi’ah yang bertentangan dengan aliran yang dianut penguasa. Mehdi Nakosteen, Op.Cit, hal. 50-54.

Page 40: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

wilayah penganutnya. Di Khurasan mayoritas penduduk bermazhab Syafi’i, di

Transoksiana didominasi oleh mazhab Hanafi, di Isfahan mazhab Syafi’i bertemu

dengan mazhab Hanbali, di Balkan mazhab Syafi’i bertemu dengan mazhab

Hanafi. Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak, mazhab Hanbali lebih

dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab yang satu mengkafirkan

mazhab yang lain, seperti antara mazhab Syafi’i dengan mazhab Hanbali. Konflik

terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy’arisme dengan

Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu’tazilah, antara Hanabilah dengan Syi’ah

dan antara aliran-aliran yang lain.85)

Pada tahun 469 H. terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”,

yaitu konflik fisik antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah, karena pihak

pertama menuduh pihak kedua berpaham “tajsim”; dan konflik ini meminta

korban seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan

Hanabilah dengan Syi’ah; dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara

Hanabilah dan Asy’arisme.86)

Penanaman fanatisme mazhab dan aliran dalam masyarakat tersebut juga

banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama yang

menempati strata tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, di bawah status para

penguasa. Hal ini karena adanya interdependensi antara penguasa dan ulama.

Dengan peran ulama, para penguasa bisa memperoleh semacam legitimasi

terhadap kekuasaannya di mata umat; sebaliknya dengan peran penguasa, para

ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan hidup. Karena 85) HM. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 67.86) Ibn KHALDUN, KITAB AL-‘IBAR…., III: 477.

Page 41: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

itu para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa, dan begitu pula

sebaliknya. Di samping itu ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di

Khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas.87) Di

Damaskus pada masa itu, golongan sufi yang hidup di khankah-khankah dianggap

kelompok istimewa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak

menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda, dan mampu

mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah bisa terkabul.

Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Status ini, oleh

sebagian sufi digunakan untuk mendapatkan kemudahan dan kemuliaan hidup

dengan saran kehidupan sufi yang mereka tonjolkan.

Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Ghazali

yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya

berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural non-Islami terhadap Islam

yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya, yang pada gilirannya

mengkristal dalam bentuk pelbagai aliran dan paham keagamaan, yang dalam

aspek-aspek tertentu saling bertentangan.88)

87) Pada masa Dinasti Saljuk berkuasa, di Syria, didirikan dua buah khankah yang megah, yaitu AL-QASR DAN AT-TAWAWIS, sebagai tambahan terhadap khankah yang sudah ada yaitu as-Samisatiyah, yang dibangun oleh penguasa sebelumnya.

88) Tidak diragukan lagi bahwa jauh sebelum Islam datang, terdapat pusat ilmu dan peradaban dunia yang besar dan maju, yaitu Yunani, Persia, dan India. Ilmu dan peradaban yang dihasilkan pada giliranya turut mempengaruhi peradaban Islam yang datang kemudian dan merupakan proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan pra Islam yang ada. Pengaruh pemikiran Yunani misalnya, itu tampak dengan jelas pada pokok-pokok pikiran tokoh-tokoh yang disebut filosof Muslim. Pandangan emanasi Al FARABI yang hanya merupakan beberapa contoh dari kerangka pikir yang Yinanian oriented. Lihat dalam JAMIL Saliba, TARIKH…., hal. 14. Musa Asy’arie, dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), hal. 9.

Page 42: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Interdependensi antara penguasa dan para ulama pada masa itu juga

membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama

berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif

untuk pengembangan ilmu, tetapi juga untuk mendapat simpati dari penguasa

yang selalu memantau kemajuan mereka guna direkrut untuk jabatan-jabatan

intelektual yang menggiurkan. Tetapi usaha pengembangan ilmu ini diarahkan

oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama yaitu mengantisipasi pengaruh

pemikiran filsafat dan kalam Mu’tazilah. Memang, filsafat waktu itu tidak hanya

menjadi konsumsi kalangan elit intelektual, tetapi sudah menjadi konsumsi

umum. Bahkan ada sebagian orang yang sudah menerima kebenaran pemikiran

filsafat secara mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama dan

pengamalannya. Adapun Mu’tazilah, selain banyak juga menyerap filsafat

Yunani, juga merupakan aliran yang secara historis banyak menyengsarakan

golongan Ahlussunnah, baik pada masa Dinasti Buwaihi maupun pada masa al-

Kunduri (wazir Sulthan Togrel Bek). Karena itu menurut penilaian pihak

penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl as-Sunnah, filsafat dan

Mu’tazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi dan

masa seperti inilah al-Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir

yang terkemuka dalam sejarah.89)

4. Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali

Kehidupan pemikiran periode al-Ghazali dipenuhi dengan munculnya

berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran, disamping munculnya

89) Ibid., hal. 70.

Page 43: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali . Di antaranya Abu ‘Abdillah

al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh

Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430

H.) ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di

Spanyol, al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh

Asy’arisme, dan Hasan as-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah.

Al-Ghazali menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya menjadi

empat aliran populer, yaitu Mutakallimun, para filosof, al-Ta’lim dan para sufi.90

Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun

terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya.

Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan

al-dzauq (intuisi).

Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali yang semula memiliki

kecenderungan rasional yang sangat tinggi – Bisa dilihat dari karya-karyanya

sebelum penyerangannya terhadap Filsafat – mengalami keraguan (syak).

Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam

pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi idealnya,

kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab

menurut Hadits nabi “ Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya, yang membuat

anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orangtuanya.91 Oleh

karenanya ia mencari hakekat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan

90 Al-Ghazali, al Munqidz minal Dhalal, (Kairo: Silsifat al Tsaqofat al Islamiyah, 1961) hal. 13

91 Ibid, hal. 7

Page 44: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali

menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakini

kebenarannya.

Bertolak dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, al-Ghazali menduga

bahwa kebenaran hakikat diperoleh dari yang tergolong al-hisriyat (inderawi) dan

al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan aksiomatis).92 Sebab kedua pengetahuan

ini bukan berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya. Ketika ia mengujinya

kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan

bersalah. Kepercayaan al-Ghazali terhadap akal juga goncang karena tidak tahu

apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal. Seperti pengetahuan aksiomatis

yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber pengetahuan

yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis

(Fardhi) saja, dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual.

Al-Ghazali kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional.

Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi, bahwa

pada situasi-situasi tertentu (akhwal ) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai

dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar

(intabahu) dari tidurnya sesudah mati.93 Al-Ghazali menyimpulkan ada situasi

normal dimana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan

intelektual al-Ghazali berakhir pada wilayah tasawuf dimana ia meyakini al-

dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap

92 Ibid, 93 Ibid, hal.10-11

Page 45: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh

melalui nur yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati manusia.94

Namun demikian pandangan al-Ghazali yang bernuansa moral juga tidak

terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat kaitannya dengan

pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat, al-Ghazali banyak

dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya, terutama Ibnu Sina, al-Farabi dan

Ibnu Maskawaih. Definisi jiwa (al-nafs) yang ditulisnya dalam kitab Maarijal

Quds dan pembagiannya dalam jiwa vegetatif, jiwa sensitif, dan jiwa manusia

hampir tidak berbeda dengan yang ditulis Ibnu Sina dalam bukunya Al Najal.95

Kesimpulan ini didukung oleh pernyataannya sendiri dalam kitab Tahafut al-

Falasifat bahwa yang dipercaya dalam menukil dan mentashkik filsafat Yunani

adalah al-Farabi dan Ibnu Sina.

Pandangan al-Ghazali yang lain yang berkaitan dengan filsafat Yunani

melalui filosof muslim adalah tentang pokok-pokok keutamaan. Menurut al-

Ghazali inti keutamaan adalah keseimbangan (al-adl) antara daya yang dimiliki

manusia . Inti kebahagiaan menurut al-Ghazali juga sampainya seseorang pada

tingkat kesempurnaan tertinggi yaitu mengetahui hakekat segala sesuatu. Pendapat

yang serupa telah dijumpai pada filosof muslim pendahulunya yaitu Ibnu Sina,

Ibnu Maskawaih dan al-Farabi.96

Sedangkan metode untuk memperbaiki moral antara lain mempunyai

konsep muhasabat al nafs menjelang tidur pada setiap hari, dan dalam beberapa

94 Ibid,95 Sulaiman Dunia, Al Haqiqat Fi Nazli Ulum Al Ijtimaiyat (Kairo: Daar al Ma’arif 1971)

hal. 26096 Muh. Yusuf Musa, Filsafat al Akhlak (Kairo: 1963) hal. 208

Page 46: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

hal ia menganjurkan taubikh al nafs (mencerca diri).97 konsep koreksi diri

ternyata dijumpai dalam Pythgorisme, dan konsep mencerca diri ternyata

ditemukan dalam Hermetisme.98Sumber lain yang turut memberikan sumbangan

pemikiran adalah para sufi. Diantaranya adalah Abu Thalib al-Makki, al Junaid al-

Baghdadi, Al Sybli Abu Yazid al- Busthomi dan al Muhasibi.99

Pandangan tasawuf yang didasarkan dari mereka adalah penempatan al-

dzauq diatas akal. Ini diikuti dalam sikapnya membentuk kesempurnaan diri

dengan menggunakan al-faqir (kemiskinan), al-ju’(lapar), al-khumil (lemah), al-

tawakul (berserah diri) sebagai keutamaan dan tingkat ini harus dilalui untuk

mencapai kesempurnaan tertinggi manusia. Dari berbagai hal diatas inilah

pandangan dan konstruk pemikiran al-Ghazali terbentuk.

Karya-Karya Ilmiah

Imam al-Ghazali adalah seorang penulis yang produktif, ia meninggalkan

kita warisan keilmuan yang tiada tara harganya. Disebutkan, ia menyusun kurang

lebih 228 karya. Karya-karyanya tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu

terutama dalam bidang agama, filsafat, tasawuf, dan sejarah.100)

Adapun karya-karya Imam Al-Ghazali yang telah ditulisnya

dalam berbagai disiplin ilmu antara lain:

1) Bidang Akhlak dan Tasawuf

a) Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama)

97 Ibid, Ihya Ulumuddin, hal.122 98 M. Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, hal. 6299 Ibid, hal.62-64100) HASAN IBRAHIM HASAN, Op.Cit, hal. 533.

Page 47: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

b) Minhaj al-‘Abidin (Jalan Orang-orang Yang Beribadah)

c) Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan)

d) Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan)

e) Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak Orang-orang yang

Baik dan Keselamatan dari Kejahatan)

f) Misykah al-Anwar (Sumber Cahaya)

g) Asrar ‘Ilm al-Din (Rahasia Ilmu Agama)

h) Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara yang

Megah dalam Menyingkap Ilmu-ilmu Akhirat)

i) Al-Qurbah ila Allah ‘Azza wa Jalla (Mendekatkan Diri kepada Allah Yang

Maha Mulia dan Maha Agung)

j) Adab al-Sufiyah.

k) Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku)

l) Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaan)

m) Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang Soal-soal Batin)

Bidang Fiqha) Al-Basit (Yang Sederhana)

b) Al-Wasit (Yang Pertengahan)

c) Al-Wajiz (Yang Ringkas)

d) Al-Zari’ah ila Makarim al-Syari’ah (Jalan Menuju Syari’at yang Mulia)

e) Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (Batang Logam Mulia: Uraian

tentang Nasihat kepada Para Raja)

3) Bidang Ushul Fiqh

Page 48: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

a) Al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul (Pilihan yang Tersaring dari Noda-

noda Ushul Fiqh)

b) Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil

(Obat Orang yang Dengki: Penjelasan tentang Hal-hal yang Samar serta Cara-

cara Pengilhatan)

c) Tahzib al-Ushul (Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh)

d) Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh)

e) Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i.

f) Kitab Asas al-Qiyas.

4) Bidang Filsafat dan Logika

a) Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf)

b) Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf)

c) Mizan al-‘Amal (Timbangan Amal)

d) Mi’yar al-‘Ilm fi al-Mantiq.

5) Bidang Teologi dan Ilmu Kalam

a) Al-Iqtisad fi al-I’tiqad (Kesederhanaan dalam Beritikad)

b) Fais}al at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (Garis Pemisah antara

Islam dan Kezindikan)

c) Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang Lurus)

d) Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam.

6) Bidang Ilmu al-Qur’an

a) Jawahir al-Qur’an (Mutiara-Mutiara al-Qur’an)

Page 49: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

b)Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata Takwil dalam Menafsirkan al-

Qur’an).101)

7) Bidang Politika) Al-Mustazhiri, nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa fadhail al-

Mustazhiriyah (Bahayanya Haluan Bathiniyah yang Ilegal dan Kebaikan

Pemerintah Mustazhir yang Legal)

b)Fatihat al-‘Ulum (Pembuka Pengetahuan)

c) Suluk as-Sulthaniyah (Cara Menjalankan Pemerintahan).102)

B. Biografi Emile Durkheim

1. Riwayat Hidup Dan Latar Belakang Pendidikan

Emile Durkheim lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, suatu

perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil

dari masyarakat luas. Dia hidup dalam keluarga Yahudi yang taat. Ayahnya

adalah seorang rabbi atau pendeta Yahudi, begitu pula kakeknya.103 Ibunya adalah

wanita sederhana, ahli sulam-menyulam. Kalau mengikuti kebiasaan tradisional,

seharusnya Durkheim sudah menjadi seorang rabbi.

Namun Durkheim ternyata menyimpang dari kebiasaan ini, salah satunya

mungkin disebabkan suatu pengalaman mistik yang dijalaninya. Bahkan

karena pengaruh seorang guru wanita beragama katolik, ia memeluk agama

Katolik. Pada akhirnya ia justru beralih menjadi seorang agnostic, seorang

101) Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 406. John L. Esposito, Op.Cit, hal. 113. HASAN IBRAHIM HASAN,OP. CIT, hal.533-536.

102) Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit, hal. 74-86.103 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi klasik dan modern I, terj. Robert MZ Lawang :

(Jakarta, Gramedia Cet. Ketiga,1994) Hal. 167

Page 50: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

yang menangguhkan eksistensi Tuhan. Durkheim adalah seorang yang aktif

dan patriotis. Dalam berkecamuknya perang tenaganya digunakan untuk

mengobarkan semangat patriotisme membela negara. Bahkan perang juga

merenggut nyawa anak tunggalnya Andre. Akibat terserang sakit jantung dan

kehilangan putra tercintanya, Ia menemui ajal saat menjelang usia 60 tahun

tahun 1917 di Fontaineblau.

2. Pendidikan dan Karir Intelektual Emile DurkheimSetelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, pada tahun 1881 Ia

melanjutkan studinya di Paris, masuk Ecole Normale Superieure. Disinilah ia

belajar dengan sejumlah orang terkenal seperti Henri Bergson, Jean Jaures serta

Pierre Janet.104

Di Ecole Normale Superieur Durkheim termasuk mahasiswa yang kritis. Ia

tidak menyukai kurikulum tradisional dengan metode literer105, yang

pengajarannya bertumpu pada sastra-sastra klasik, termasuk bahasa Latin dan

bahasa Yunani sementara ilmu pengetahuan kontemporer kurang mendapat

prioritas. Padahal keinginannya adalah mendapatkan suatu dasar ilmu

pengetahuan sehingga dapat membantu memberikan landasan bagi rekonstruksi

moral masyarakat.

Di sekolah ini setidaknya terdapat dua orang professor, Fustel de

Coulanges dan Emile Boutroux yang menanamkan pengaruh penting terhadap

104 Lihat Talcott Parson, Kehidupan dan Karya Emile Durkheim dalam Emile Durkheim, Op. Cit, hal. xiv

105 L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah sosiologi,terj. Samekto SS ( Jakarta: Gramedia,1983) hal. 280

Page 51: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Durkheim. Ia akrab dengan Fustel, seorang Historiografi modern Perancis. Dari

Fustel, Durkheim mulai tertarik pada masalah konsensus dan peranan tradisi yang

menjadi sarana instrumental untuk mempertahankan integrasi sosial. Di sekolah

ini pula ia terkesan dengan Boutroux. Ahli filsafat yang memperkenalkannya

tulisan-tulisan August Comte. Suatu perkenalan yang juga membentuk corak

pemikiran Durkheim dalam dunia keilmuan.106

Seusai menyelesaikan studinya, pemikir kelahiran Perancis ini mengajar di

sekolah menengah Atas (Lycees) daerah Paris selama lima tahun. Ia mendapatkan

cuti satu tahun untuk melanjutkan studinya yang dihabiskannya di Jerman. Di

sana ia diperkenalkan dengan laboratorium psikologi,107 dan psikolog

eksperimental bernama Wilhelm Wundt yang merangsangnya menggeluti studi

empiris dan ilmiah menyangkut perilaku manusia.

Ketika berusia 29 tahun, pemberian kuliah dan beberapa artikel yang

ditulisnya membuat dia menjadi seorang ahli ilmu sosial muda yang terpandang.

Terhadap kapasitas prestisius ini, ia dihargai dan diangkat sebagai dosen di

Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Bordeaux.

Kebutuhan untuk mengajar kursus memungkinkan Durkheim mengembangkan

perspektif sosiologi mengenai kepribadian manusia yang dibentuk oleh

masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam sistem pendidikan. Dengan mengajar

kursus, duduk dalam sejumlah komite pendidikan , Durkheim dianggap sebagai

salah satu kekuatan penting dalam sistem pendidikan Perancis.

106 Taufik Abdullah dan AC Vander Leeden (ed), Op.Cit. hal. 4107 A. Gerungan, Psikologi Sosial (Bandung: Eresco cet. Keduabelas,1993) hal. 11

Page 52: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Pada tahun 1896 Durkheim diangkat menjadi professor dalam ilmu sosial.

Dengan prestasi ini memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang intelektual,

sebab ini adalah gelar profesor pertama dalam ilmu sosial Perancis. Dua tahun

kemudian tonggak sejarah penting dicapai ketika ia berhasil mendirikan L’Anee

Sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk disiplin ilmu sosiologi. Jurnal ini

mendapatkan sambutan hangat dan kehadirannya sangat bermanfaat bagi mereka

yang ingin meningkatkan studi ilmiah tentang masyarakat.

Seiring dengan kian melonjaknya pengaruh dan karir akademis Durkheim,

maka pada tahun 1899 ia diminta mengajar ke Universitas Sorbonne. Tujuh

tahun berikutnya ia dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu

pendidikan.

3. Latar Belakang Sosial Politik

Pada abad 18 M ditandai oleh tumbuh suburnya gerakan menuntut

perubahan mendasar dan multi dimensional, di Perancis meletus pergolakan

besar-besaran sebagai akibat lebih lanjut dari percikan api revolusi. Revolusi

Perancis yang pada mulanya dipandang sebagai tonggak sejarah baru dimulainya

perombakan struktur feodal, perjuangan cita-cita kebebasan dan etos

egalitarianisme, ternyata juga membawa dampak politik yang buram

Dibawah pemerintahan Napoleon dimulailah usaha restorasi absolutisme,

yaitu gerakan menghidupkan kembali tatanan sosial lama. Kemudian pada tahun

1870, Perancis dikalahkan Bismarck, Si kanselir besi dari Prusia yang sedang

menyingkirkan hadangan politik dan militer dari proses penyatuan Jerman. Semua

Page 53: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

peristiwa ini menyebabkan Perancis terutama pada periode republik ketiga selalu

tidak pernah lepas dari krisis politik. Bersamaan dengan itu krisis Ekonomi tak

bisa diatasi sehingga memperbanyak pengangguran, bunuh diri terjadi dimana-

mana dan korupsi menjadi gejala sosial.

Situasi politik tersebut meninggalkan kenangan pahit terhadap masyarakat

dan menjadikannya pesimis dan tak lagi menaruh harapan terhadap revolusi

Perancis yang menjanjikan perubahan dan harapan di masa datang. Mereka

memang merindukan tatanan sosial baru, namun pilihan itu kemudian berganti

menjadi bertobat dari individualisme. Mereka bahakan yakin sepenuhnya bahwa

mengabdi pada pemutlakan kebutuhan atau keinginan individual merupakan

kekeliruan besar. Sebaliknya mereka menghimbau agar masyarakat memulihkan

kembali struktur sosial tradisional, struktur dimana kesatuan organis masyarakat,

wewenang pemerintah dan dominasi kolektifitas atas individu menonjol.Efek

negatif ini juga merambah kepada alam kognitif masyarakat. Orang-orang mulai

lebih memperhatikan segi-segi irasioanal kehidupan.108 Latar belakang sosial

seperti ini tentu juga dialami bahkan berpengaruh pada pribadi Durkheim.Bahkan

dalam sepanjang hidupnya Durkheim secara langsung melibatkan diri dalam

berbagai masalah sosial politik yang dihadapi negaranya. Dalam peristiwa

Dreyfus, sebuah peristiwa politik yang mengakibatkan permusuhan komunitas

cendekiawan dengan politisi, Durkheim menentukan sikap berani memihak

Dreyfus.109 Peristiwa ini bermula dari terbongkarnya skandal di markas tentara

108 Efek negatif revolusi Perancis diungkapkan oleh Henry Bergson lewat tulisannya Tentang elan vital yang dianggapnya penuh misteri dan mendorong evolusi dalam kehidupan, Lihat L.Laeyendecker, Op.Cit, hal. 280

109 Taufik Abdullah dan AC. Vander Leeden, Op.Cit, hal.5-6

Page 54: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Perancis dengan hilangnya dokumen penting yang dalam pengusutannya

dilakukan tidak jujur. Dreyfus seorang opsir keturunan Yahudi dituduh sebagai

pelakunya. Ia dibuang ke pulau selatan. Pemeriksaan selanjutnya justru

membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Karena itu timbul dilema mestikah dia

direhabilitasi atau ia dibiarkan menjadi korban demi menjaga nama baik angkatan

darat. Dalam perdebatan ini, Durkheim bersama cendekiawan liberal dan progresif

lainnya membela Dreyfus.

Dari sinilah bisa dipahami, mengapa keyakinan Durkheim untuk mengkaji

masalah kohesivitas dan moralitas bersama tak pernah pudar. Namun

penekanannya pada masalah tersebut tidak membawanya larut dalam sikap

konservatif maupun tanggapan negatif sebagaimana ia dipertahankan oleh

sebagian besar masyarakat sezamannya.110 Dia lebih tertarik untuk berusaha

memahami dasar-dasar munculnya keteraturan sosial baru yang sesuai dengan

cita-cita revolusi Perancis. Dia memang melihat dan merasakan kesulitan –

kesulitan akut dalam periode peralihan seperti masyarakat pada umumnya. Namun

begitu dia tetap optimis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hak evolusi

masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral dari proses

penataan sosial yang sedang berjalan. Akhirnya, untuk merealisasikan keyakinan

diatas, dia bertekad mendorong perubahan pendidikan dengan menanamkan

kesadaran dalam diri setiap warga perasaan akan moralitas dan solidaritas

terhadap bangsa sebgai satu keseluruhan.111

4. Latar Belakang Pemikiran110 Doyle Paul Johnson, Op.Cit, hal. 171111 Ibid

Page 55: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Pengaruh pengaruh penting terhadap intelektual Durkheim yang telah

matang datang dari tradisi-tradisi intelektual yang jelas mengandung unsur-unsur

Perancis, disamping juga Jerman dan Inggris. Selain dua professor di Ecole

Normale Superiure yang berperan dalam membentuk pemikirannya , Ia juga

memetik ajaran dari generasi pemikir sebelumnya. Ia menerima inti pernyataan

dari Rene Descartes yang menyatakan bahwa masalah pengetahuan tergantung

dari sudut hubungan antara subyek yang mengetahui dan obyek eksternal yang

diketahui. Berpijak dari ini fakta sosial jelas bersifat empiris. Masyarakat yang

awalnya diasumsikan sebagai fakta sosial harus juga mengatur tindakan mereka

dalam arti tidak saja mengatur lingkungan fisik tetapi juga merumuskan tujuan

dan tolok ukur normatif perilaku dari anggota yang ada didalamnya.

JJ.Rousseau, seorang filosof utama aliran individualisme

demokratis juga mempengaruhi Durkheim melalui sudut pandang

tentang ciri khas kontrak sosial. Meskipun Rosseau menganut

acuan hukum alam dan hak-hak alam yang begitu menonjol,

namun bagaimanapun ia tetap menekankan agar integrasi sosial

dari orang-orang yang dilahirkan bebas ke dalam masyarakat

jangan dikaitkan dengan kedaulatan yang syaratnya memaksa atau

mementingkan identitas alamiah dari kepentingan-kepentingan.

Justru sebaliknya dia mempostulasikan bahwa pemecahan

Page 56: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

kepentingan pada tingkat proses tindakan integratif haruslah

berasal dari kemauan otonom.112

Hal inilah yang merupakan gagasan dasar tentang kontrak

sosial, yang menetapkan pemisahan menjadi dua sisi antara

individu dan masyarakat yang sesungguhnya bersifat sosial.113

Teori ini menganggap manusia sebagai individu dilengkapi

seperangkat kepentingan atau hak yang terpisah dari masyarakat

dan berusaha membentuk kebenaran moral pada masyarakat dalam

arti individualistik. Dari kumpulan kebenaran-kebenaran

individualistik itulah kontrak sosial dibentuk dan mendasarkan

moralitas sosial pada kebijaksanaan yakni manusia wajib

mematuhi kewenangan masyarakat demi keselamatan seluruh

kepentingan.

Sebagai pengagum August Comte, Durkheim juga mewarisi

paradigma positivismenya. Dia bahkan disebut sebagai murid yang

ragu-ragu tetapi setia pada August Comte. Tafsiran-tafsiran yang

saling mengisi dari Saint Simon dan Comte mengenai kemunduran

feodalisme dan munculnya bentuk masyarakat modern merupakan

112 Talcott Parson, Kehidupan dan karya Emile Durkheim dalam Emile Durkheim hal. viii113 JJ. Rosseau, Kontrak Sosial, terjemahan Sumardjo (Jakarta : Erlangga, 1986) hal. xvii

Page 57: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

landasan utama karya-karya Durkheim. Memang sebagian besar

tema dari karya-karya Emile Durkheim semasa hidupnya

berkenaan dengan usaha mendamaikan antara konsepsi Comte

tentang tahapan positif perkembangan masyarakat dengan dengan

peragaan Saint-Simon tentang ciri-ciri industrialisme.114

Durkheim juga terpengaruh tradisi pemikiran Jerman yang

pernah dihirup ketika melanjutkan studinya. Durkheim menyetujui

Schaffle yang menegaskan adanya perbedaan radikal antara

kehidupan organisme dan kehidupan masyarakat dan masyarakat

merupakan sesuatu yang ideal yang mempunyai sifat-sifat spesifik

tersendiri, yang bisa dipisahkan dari sifat-sifat anggotanya. Dalam

pandangan Schaffle masyarakat bukanlah sekedar kumpulan dari

individu-individu, akan tetapi merupakan benda hidup yang jauh

ada sebelum adanya anggota masyarakat, dan yang mempunyai

jiwa, kepentingan dan takdirnya serta hati nurani kolektif

(conscience collective),115 sehingga peraturan-peraturan moral

masyarakat harus ditaati individu ketika dalam struktur sosial. Jika

Schaffle mengilhami Durkheim, tak ketinggalan Wilhelm Wundt.

114 Anthony Giddens, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber ( Jakarta: UI press, 1985) hal. 81

115 Ibid, hal 83

Page 58: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Salah satu sumbangannya adalah bahwa ia telah menunjukkan hal

yang mendasar dari lembaga agama dan masyarakat.

Ahli psikologi eksperimental ini telah menunjukkan bahwa

agama-agama primitif mengandung dua jenis gejala yang

berhubungan satu sama lain. Suatu rangkaian renungan metafisik

dengan aturan-aturan perilaku dan disiplin moral. Dengan

melekatkan cita-cita untuk menjadi sasaran, maka agama

merupakan suatu kekuatan dalam menciptakan kesatuan sosial.

Durkheim menerima hal ini sebagai dalil umum. Dalam

pandangannya cita-cita tadi mungkin berbeda dalam masyarakat

yang berlainan. Namun orang tetap percaya bahwa tidak pernah

ada manusia yang bersifat ideal bagaimanapun hebatnya dia. Oleh

karena itu cita-cita sesuai dengan kebutuhan yang berakar kuat

dalam sifat manusiawi kita.116

Tapi dalam aspek lain Ia tidak sependapat dengan Wundt.117

Salah satu kritiknya adalah bahwa psikologi ini tidak sepenuhnya

melihat sifat ganda dari pengaruh aturan-aturan moral dan agama.

Padahal kegiatan moral dan aturan moral mempunyai mempunyai

116 JJ. Rosseau, Op.Cit, hal. 87117 Ibid, hal. 88

Page 59: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

dua segi, pertama memikat perhatian berkat adanya unsur nilai-

nilai positif. Kedua memiliki ciri khas berkaitan dengan kewajiban

maupun larangan. Mengingat usaha untuk mencapai sasaran moral

tidak selamanya mutlak harus berlandaskan atas cita-cita positif,

kedua segi tersebut merupakan hal pokok agar peraturan moral bisa

berfungsi.

Sedangkan Imanuel kant yang sebenarnya sudah tidak asing

di Perancis, juga memberikan pengaruh yang besar terhadap Emile

Durkheim dalam mendewasakan filsafat moralitasnya. Dalam

aspek pilihan moral, Individu tidak menghasilkan standar –standar

moral dan hanya mengembangklan komitmen untuk masuk ke

dalam, mendukung dan mengkritik situasi sosialnya. Nilai-nilai

akan kesetiaan moralnya tidak lain adalah ungkapan aktual dari

keterikatannya pada kekuatan kolektif, yang tidak saja memiliki

asal-usul sosial tetapi juga memiliki fungsi sosial tempat individu

berada. Pandangan tersebut adalah sebuah versi sosiologis

Durkheim dari Idealisme Imanuel kant.118

Berbeda dengan sebelumnya dimana Durkheim cukup

terpengaruh dengan pemikir Perancis dan jerman, dalam

118 Tom.Campbell, Op.Cit, hal. 176

Page 60: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

menelusuri konsepsi-konsepsi dari para pemikir Inggris ia banyak

memberikan tanggapan kritis. Dia menolak dengan tegas

kecenderungan individualisme Herbet Spencer karena hanya

melihat masyarakat sebagai kelanjutan dari individu. Spencer

mengasumsikan masyarakat berawal dari persetujuan kontraktual

antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar

kepentingan individunya. Sebaliknya Durkheim membantah

bahwa kemungkinan persetujuan-persetujuan kontraktual itu

mengandaikan sudah adanya masyarakat. Orang tidak mungkin

menjalin hubungan dengan mereka yang belum memiliki ikatan

sosial yang sama. Sekurang-kurangnya sudah ada konsensus moral

yang berhubungan dengan sifat-sifat kontrak yang mengikat itu.119

Ia juga menolak metode mawas diri dari Hobbes yang

menganjurkan ilmuwan mengambil jarak tanpa prasangka terhadap

kenyataan sosial yang tidak diketahuinya. 120 Menurutnya metode

ini menipu sehingga Durkheim bersikukuh pada pendiriannya

bahwa kenyataan sosial dapat ditemukan tidak dalam kesadaran

119 Doyle Paul Johnson, Op.Cit, hal. 173120 Tom.Campbell, Op. Cit, hal. 167

Page 61: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

individu melainkan dalam fakta sosial. Dan berbagai pemikiran

itulah Durkheim membentuk pemikirannya.

5. Karya- Karya IlmiahHampir seluruh tulisan yang dituangkan Emile Durkheim

selalu menyisakan ruang untuk membahas masalah moralitas.

Bagaikan seorang pecinta, pemikir Perancis ini, menurut E.

Bougle, asyik menggeluti dan mengkaji esensi moralitas dan

masyarakat, serta menjelaskan perkembangan moral memberikan

sumbangan dalam mewujudkan cita-cita sosial dalam tindakan

sosial.

Upaya mengembangkan ilmu pengetahuan positif ia

buktikan lewat karyanya, Les Regles De La Methode Sosiologie

(diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Rules Of Sociologi

Method,1964). Buku yang terbit pada tahun 1895 ini sering

dianggap sebagai petunjuk klasik karena menjelaskan dasar-dasar

metodologi dalam disiplin sosiologi.

Dua tahun sebelumnya, tahun 1893 Ia menerbitkan buku De

La Division Du La Travail Social (diterjemahkan dalam bahasa

Inggris The Division Of Labour In Society, 1964). Buku terbitan

pertama ini bertujuan menganalisa kompleksitas pengaruh ataupun

Page 62: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

spesialisasi fungsi pembagian kerja ditengah-tengah struktur sosial,

dan perubahan yang diakibatkannya.

Selanjutnya pada tahun 1897 Durkheim menulis buku Le

Suicide (A Studi in Sociology) yang memuat kajian sistematis

seputar bunuh diri. Tiga buah buku yang ditulis diatas ditambah

buku Les Formes Elementaires De La Sociologie Religieuse

( diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Elementary Forms Of

The Religious Life,1964) merupakan buku yang diterbitkan

sebelum ia meninggal. Buku Les Formes Elementaires De La

Sociologie Religieuse ini menyajikan analisa dan uraian deskriptif

tentang kepercayaan-kepercayaan dan ritual agama totemic orang

Arunta di Australia dan menjadi rujukan bagi pengkajian agama

melalui pendekatan sosiologis.

Karya-karya Emile Durkheim yang diterbitkan setelah ia

meninggal adalah:

Education Et Sociologi (1922), Sociologie Et Philosophie

(1924), L’ Education Morale (1925)- Yang Diterjemahkan Dalam

Bahasa Indonesia Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori Dan

Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Le Socialisme : Sa Definition, Ses

Page 63: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Debuts La Doctrine Saint-Simonne ( 1928), L’evolution

Pedagogique En France (1938), Le Cons, De Sociologie: Phisique

Des Moerers Et Du Droit Pragmatisme Et Sociologie (1955),

Montesqieu En Rosseau: For Runners Of Sociology (1965), Dan

Durkheim Essays On Moral And Education (1979).

BAB IIIPANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM

TENTANG PENDIDIKAN MORALA. Pandangan Al-Ghazali

Pengertian Dan Hakikat Pendidikan Moral Untuk memahami pandangan al-Ghazali tentang moral dapat dilacak dari

konsepnya tentang khulq. Al-Ghazali mendefisinikan kata khulq (moral) sebagai

suatu keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan –

perbuatan yang mudah tanpa melalui pemikiran dan usaha.

Page 64: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Adapun untuk menjelaskan pengertian jiwa, Al-Ghazali menggunakan

empat istilah, yaitu al-qalb, al-nafs, al-ruh dan al-aql. Keempat isilah itu menurut

al-Ghazali memiliki persamaan dan perbedaan arti. Perbedaannya terutama bila

ditinjau dari segi fisik dimana al-qalb berarti kalbu jasmani, al-ruh berarti roh

jasmani dan latif, al-nafs berarti hawa nafsu dan al-aql yang mempunyai arti ilmu.

Sedang persamaannya adalah bila ditinjau dari segi ruhaniah keempat hal berarti

jiwa manusia yang bersifat latif rabbani yang merupakan hakikat, diri dan zat

manusia. Oleh karena itu manusia dalam pengertian pertama(fisik) tidak kembali

kepada Allah, namun dalam pengertian kedua (ruhaniah) kembali kepada-Nya.121

Dengan demikian pengertian jiwa menurut Al-Ghazali mencakup

pengertian jiwa dalam arti yang fisik yang berhubungan dengan daya hidup fisik

dan jiwa yang berhubungan dengan hakekat, diri dan zat manusia yang bersifat

rabbani.

Di dalam “Maarif al-Quds”, al-Ghazali menyatakan manusia terdiri atas

substansi yang berdimensi (materi) dan substansi yang tidak berdimensi

(immateri) yang mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.

Al-Ghazali membagi fungsi jiwa manusia dalam tiga tingkatan, al-nafs al-

insaniyyat (jiwa manusia), al-nafs al-nabatiyah (jiwa vegetatif) dan al nafs al-

hayawaniyyat (jiwa sensitif). Al-nafs al nabatiyah (jiwa vegetatif) memiliki daya

makan tumbuh dan berkembang. Al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif) memiliki

daya bergerak, daya tangkap dan daya khayal. Al-nafs al-insaniyyat (jiwa

manusia) memiliki daya akal praktis (al-‘amilat) dan daya akal teoritis 121 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan

kesehatan Mental, (Jakarta : CV. Ruhama, 1994), hal. 37

Page 65: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

(al-‘alimat). Daya yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-

daya jiwa sensitif sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal

teoritis.Yang dimaksud dengan akal teoritis adalah akal yang berhubungan dengan

pengetahuan-pengetahuan yang abstrak dan universal.122

Berdasarkan analisis terhadap hakekat jiwa, potensi dan fungsinya, al-

Ghazali berpendapat bahwa moral dan sifat seseorang bergantung kepada jenis

jiwa yang berkuasa atas dirinya. Kalau jiwa yang berkuasa nabbati dan hewani

maka moral dan sifat orang tersebut menyerupai nabbati dan hewani. Akan tetapi

apabila yang berkuasa jiwa insaniyyah maka orang tersebut bermoral seperti insan

kamil.

Namun demikian, ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi al-Ghazali

mengenai moral sama sekali tidaklah berarti ia mengabaikan unsur jasmani

manusia. Ia juga menganggap penting unsur ini karena ruhani sangat memerlukan

jasmani dalam melaksanakan kewajibannya sebagai khalifah. Kehidupan jasmani

yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan ruhani yang baik. Dengan

menghubungkan kehidupan jasmani dengan dunia ia menyatakan bahwa dunia itu

merupakan ladang bagi kehidupan akhirat, maka memelihara, membina

mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan jasmani agar tidak binasa adalah

wajib.

122 Amin Abdullah, Al-Ghazali Dan Kant: Filsafat Etika Islam, penerj. Hamzah, (Bandung: Mizan,2002) hal. 25

Page 66: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Jadi menurut al-Ghazali moral bukanlah perbuatan lahir yang tampak

melainkan suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan

secara wajar mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran 123

Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu perbuatan

moral tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja, namun juga harus dilihat dari

unsur kejiwaannya. Oleh karena itu perbuatan lahir harus dilihat dari motiv dan

tujuan melakukannya

Mengenai pengertian pendidikan menurut al-Ghazali memiliki pengertian

yang sangat luas, tidak hanya menyangkut pendidikan dari segi individu, namun

juga masyarakat dan kejiwaan. Dari segi individu pendidikan baginya berarti

pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sesuai

tuntutan fithrahnya kepada ilmu dan agama. Manusia selalu ingin mengenal zat

yang absolut dan perjuangan terpenting dalam hidupnya adalah pengembangan

sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya 124

Pengertian pendidikan dari segi masyarakat menurut al-Ghazali pada

umumnya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ahli pendidikan

modern yang berintikan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat

terhadap setiap individu didalamnya agar kehidupan budaya berkesinambungan.

Perbedaannya mungkin terletak pada nilai-nilai yang diwariskan dalam

pendidikan tersebut. Bagi al-Ghazali nilai-nilai yang diwariskan adalah nilai-nilai

123 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filsuf Muslim, (Yogyakarta: al-AminPress,1997) Cet. I hal. 86

124 Musya Asy’ari, Islam Kebebasan Dan Perubahan Sosial ;Sebuah BungaRampaiFilsafat (Jakarta : Sinar Harapan,1984) hal. 79

Page 67: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

keislaman yang didasarkan pada al-Qur’an, hadits, atsar dan kehidupan orang-

orang salaf.

Adapun pengertian pendidikan dari segi jiwa menurut al- Ghazali adalah

upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs.

Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari

sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan

moral dan sifat terpuji.125

Jika istilah moral oleh al-Ghazali diartikan sebagai kondisi atau keadaan

jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan tanpa fikir dan usaha, sementara

pendidikan jiwa diartikan sebagai usaha penyucian jiwa maka pendidikan moral

menurut al-Ghazali berarti upaya membentuk manusia yang memiliki jiwa yang

suci, kepribadian yang luhur melalui proses takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs

untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tujuan Pendidikan Moral

Untuk dapat melihat tujuan dan orientasi pendidikan moral al-Ghazali,

perlu kiranya menjadikan peta wacana pendidikan moral yang berkembang

sebagai parameter. Bila dianalisis, wacana pendidikan moral yang berkembang

setidaknya dapat dipetakan menjadi lima jenis orientasi atau kecenderungan 126

Pertama, pendidikan moral yang berorientasi pada pembiasaan diri dengan

prinsip-prinsip moral beberapa lama sampai mentradisi. Kedua pendidikan moral

yang berorientasi pada pembentukan kesadaran dan kepekaan moral (Basirah

125 Ibid, Yahya Jaya, hal. 36126 Mahmud Arif, Konsep Pendidikan Moral, Telaah Terhadap Pemikiran Al-Mawardi,

Tesis Pasca sarjana IAIN, (Yogyakarta : IAIN, 1999) hal 50

Page 68: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

akhlaqiyah) seseorang sehingga ia mampu membedakan antara perilaku baik dan

perilaku buruk. Ketiga, pendidikan moral yang berorientasi pada pengajaran

prinsip-prinsip moral dengan cara indoktrinasi-imperatif. Keempat orientasi

spiritual-sufistik yang memandang pendidikan moral tidak sekedar dengan tiga

orientasi diatas melainkan lebih dari itu, penyucian diri dari segala kehinaan dan

dorongan –dorongan jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-

keutamaan moral lahir batin (tahalli). Kelima pendidikan moral yang berorientasi

pada pembentukan kesiapan moral, sehingga transfer abilitas pada ragam perilaku

moral dapat terjadi dengan mudah atas kemauan diri sendiri.

Kelima jenis orientasi pendidikan moral diatas dalam praktiknya tidaklah

distingtif-eklusif, melainkan masing-masing mengandung unsur yang tumpang

tindih, hanya saja kadar aksentuasinya yang berbeda sejalan dengan orientasi yang

dianut. Demikian halnya dengan al-Ghazali walaupun pendidikan moralnya

bertujuan untuk penyucian diri dari segala kehinaan dan dorongan –dorongan

jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir

batin (tahalli), namun tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang lain.

Menurutnya moral yang baik yaitu hendaklah seseorang itu bersedia

menghilangkan seluruh kebiasaan- kebiasaan buruk yang telah dijelaskan

perinciannya dengan agama dan dijadikannya sekiranya seseorang itu

membencinya kemudian menjauhinya seperti menjauhi benda-benda yang

menjijikkan. dan hendaklah membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan

Page 69: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

menyukainya sehingga memberi kesan dan ia pun merasa nikmat dengannya.127

Hal diatas menggambarkan bahwa untuk menumbuhkan moral yang baik

seseorang harus berlandaskan agama.

Menurut al-Ghazali tujuan dari perbuatan moral adalah kebahagiaan yang

identik dengan kebaikan utama dan kesempurnaan diri 128 Kebahagiaaan menurut

Al-Ghazali terbagi menjadi dua macam : kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan

duniawi. Menurutnya kebahagiaan ukhrawi adalah kebahagiaan yang utama

sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah metamorfosis. Namun demikian apapun

yang kondusif bagi kebahagiaan/ kebaikan utama maka itu merupakan kebaikan

juga129. Bahkan ia menegaskan bahwa kebahagiaan ukhrawi tidak dapat diperoleh

tanpa kebaikan-kebaikan lain yang merupakan sarana untuk meraih tujuan

kebaikan ukhrawi. Kebaikan –kebaikan itu dalam pandangan al-Ghazali

terangkum menjadi empat hal. Yang pertama yaitu empat kebaikan utama:

Hikmah, Syaja’ah, Iffah, dan ‘Aadalah.

Pengertian hikmah (kebijaksanaan ) yaitu keutamaaan kekuatan akal.

Hikmah disini meliputi pengaturan yang baik, kebaikan hati, kebersihan

pemikiran dan kebenaran perkiraan. Yang dimaksud dengan pengaturan yang baik

adalah kebaikan fikiran dalam mengambil sesuatu yang lebih maslahat dan lebih

utama dalam mencapai kebaikan yang agung dan tujuan-tujuan yang mulia dari

hal-hal yang berhubungan dengan diri sendiri. Adapun kebaikan hati adalah

kemampuan membenarkan hukum di kala terjadi kekaburan pendapat dan

127 Al-Ghazali, Neraca Beramal, terjemahan H.A Musthofa, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995) hal. 90

128 Madjid Fakhry, etika Islam… hal. 35129 Al-Ghazali, Op.Cit, hal. 148

Page 70: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

berkobarnya perselisihan dalam pendapat. Kemudian yang dinamakan kebersihan

pemikiran adalah kecepatan mengerti tentang sarana –sarana yang menyampaikan

akibat-akibat terpuji. Sedang kebenaran perkiraan adalah sesuainya kebenaran

pada hal-hal yang nyata tanpa bantuan angan-angan.130

Sedangkan syaja’ah (keberanian) maksudnya adalah adanya kekuatan

nafsu marah. Sifat-sifat yang termasuk dalam keutamaan keberanian

adalah :murah hati, besar hati, berani menanggung derita, tidak lekas marah, teguh

hati merasa senang hati terhadap perbuatan-perbuatan yang mulia, bijaksan dan

sopan. Kebalikan dari sifat-sifat yang termasuk keberanian adalah: pemborosan,

menghambur-hamburkan, penakut, bermegah-megahan, menghinakan diri, lekas

marah, sombong, berbuat keji, ujub dan menjadi hina131

Adapun iffah (pemeliharaan diri) maksudnya adalah keutamaan syahwat.

Sifat-sifat yang termasuk dalam iffah yaitu: adanya perassaan malu ( pertengahan

antara tidak berperassaaan malu dengan kelemahan), terlalu malu ( kesedihan dan

kelemahan nafsu akibat sangat malu), toleransi, sabar, murah hati, memiliki

perhitungan, memiliki kesukaan hati, teratur, menjauhi dosa, ramah-tamah

menolong dan lain-lain.132 Sedangkan ‘aadalah ialah suatu kondisi bagi terjadinya

tiga kekuatan diatas secara teratur dan sesuai ketertiban yang semestinya133

Yang kedua kebaikan-kebaikan jasmani seperti kesehatan, kekuatan,

hidup teratur dan panjang umur. Yang ketiga kebaikan-kebaikan eksternal seperti

kekayaan, keluarga, kedudukan sosial, dan kehormatan. Yang keempat kebaikan-

130 Ibid, hal. 112131 Ibid, hal. 114-116132 Ibid, hal. 118133 Ibid, hal. 108

Page 71: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

kebaikan Tuhan seperti petunjuk (hidayah), Bimbingan yang lurus (rusyd),

pengarahan (tasdid) dan pertolongan (ta’yid). Sebagian kebaikan ini seperti

halnya kebaikan jiwa sangat esensial bagi kebaikan-kebaikan diatas dalam

berbagai tingkatan.134

Dengan demikian konsep al-Ghazali tentang tujuan moral tidaklah

membedakan antara konsep kebahagiaan (happines) dan kebaikan (virtue), karena

suatu tindakan moral mempunyai tujuan lain diluar kebaikan itu sendiri, maka

konsep al-Ghazali ini dapat dikatakan bersifat teleologis.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan moral

menurut al-Ghazali adalah terbentuknya moral yang baik pada anak didik sesuai

landasan agama. Moral yang baik terstruktur dari hikmah, syaja’ah, iffah dan

‘aadalah. Adapun tujuan akhir dari moral adalah mencapai kebahagiaan utama

yaitu makrifatullah.

Sumber Pendidikan Moral

Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan hakiki moral adalah kebahagiaan

ukhrowi. Hal ini mengandung arti adanya keterikatan antara perbuatan moral

dengan eksistensi Tuhan. Al-Ghazali sejak awal telah menempatkan eksistensi

Tuhan sebagai tujuan primernya, sehingga dalam membangun filasafat moralnya

mengacu kepada cinta kepada Allah, makrifatullah dan menjadikan Tuhan sebagai

sumber utama dari nilai-nilai moralnya.

Bagi al-Ghazali kekuasaan Tuhan dan otoritas-Nya lebih absolut daripada

gagasan tentang kemungkinan manusia memahami karya Tuhan melalui inisiatif

134 Amin Abdullah, Op. Cit, hal. 140

Page 72: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

manusia dalam meraih keutamaan-keutamaan puncak. Al-Ghazali menolak

peranan rasio bebas dalam memberikan landasan bagi tindakan moral. Penolakan

tersebut adalah dengan mengontraskan antara rasio dengan wahyu baik dalam

bentuk-bentuk langsung maupun turunannya, juga dengan syara’, teks-teks kitab

suci dan tradisi-tradisi yang dipandang sebagai sumber ahkam.135

Penolakan Al-Ghazali yang demikian tampaknya didasarkan pada

kekhawatirannya yang berlebihan tentang konsekuensi penerimaan hukum-hukum

kausalitas dalam alam dan moralitas yang akan membawa penolakan terhadap

kemahakuasaan Tuhan.136

Tindakan al-Ghazali menyerang dan menolak fungsi rasio dalam memilih

perbuatan etis yang layak tidak berarti bahwa al-Ghazali meninggalkan persoalan

moral tanpa solusi alternatif apapun. Dia bersandar pada wahyu, tetapi masih

membutuhkan perantara dalam menyampaikan ajaran wahyu. Dengan semangat

ingin tahu yang tinggi, al-Ghazali menggantikan fungsi aktif dan kritis rasio

manusia menjadi fungsi yang tidak aktif dan tidak kritis dengan mengajukan suatu

metode baru dalam menanamkan perbuatan etis manusia melalui bimbingan ketat

dari syaikh atau pembimbing moral.137

Peran syaikh dalam pandangan al-Ghazali menjadi sangat menonjol karena

rasio manusia tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya sebagai pembimbing

dalam memilih jenis pilihan moral. Terdapat sisi yang jelas dalam sistem

pemikiran al-Ghazali bahwa aql akan tersesat jika tidak dibimbing secara terus

135 Ibid, hal. 82136 Ibid137 Ibid, hal. 117

Page 73: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

menerus oleh syaikh. Oleh karena itu para murid harus mempercayakan kepada

syaikh mengenai urusan-urusannya ibarat pasien dungu yang harus tunduk kepada

dokter yang pandai. Al-Ghazali mengatakan:

Apapun yang disarankan oleh sang guru kepada murid, yang belakangan

harus tunduk dengan mengesampingkan pendapat pribadinya, karena kesalahan

gurunya (syaikh) adalah lebih bermanfaat baginya daripada putusannya sendiri.

Meskipun benar karena pengalaman akan menampakkan detail-detail yang

barangkali asing, sekalipun begitu akan sangat berguna.138

Dengan demikian sumber pendidikan moral menurut al-Ghazali adalah

wahyu dengan perantara bimbingan yang ketat dari syaikh. Al-Ghazali dengan

demikian meminggirkan rasio atau paling tidak meminimalisir fungsi rasio yang

semestinya dalam landasan etis kehidupan manusia.

Materi Pendidikan Moral

Pandangan al-Ghazali tentang materi pendidikan moral dapat dilacak dari

pendapatnya mengenai jalan untuk mencapai kebaikan sejati. Menurutnya untuk

dapat bermoral baik dan mencapai tujuan moral tidak ada jalan lain kecuali

dengan ilmu dan amal.139 Adapun ilmu dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin”, al-

Ghazali menyebutkan ilmu untuk mencapai kebahagiaan sejati terbagi menjadi

dua:

1. Ilmu Mukasyafah

Yaitu ilmu yang sesuatu daripadanya dituntut menyingkap sesuatu yang

diketahui. Ilmu mukasyafah ini menyangkut masalah-masalah metafisik yang 138 Ibid139 Al-Ghazali, Neraca Beramal, hal. 16

Page 74: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

membicarakannya hanya dengan rumuz dan isyarat atas jalan perumpamaan dan

global.140 Ilmu mukasyafah individu dapat juga dikatakan sebagai sain esoteris

mengenai rahasia-rahasia transenden yang disebutkan dalam al-Qur’an yang tidak

dapat dicapai oleh masyarakat awam. Oleh karena itu manusia harus dicegah

untuk menekuni rahasia-rahasia ini dan sebagai gantinya mereka didorong untuk

mencari subyek-subyek yang dibolehkan hukum Islam.141

2. Ilmu Muamalah

Ilmu Muamalah adalah ilmu yang daripadanya dituntut mengetahui serta

mengamalkannya. Ilmu Muamalah terbagi kepada ilmu lahir yakni ilmu mengenai

amalan anggota badan dan ilmu batin yakni ilmu mengenai amalan-amalan hati.

Ilmu yang berjalan atas anggota- anggota badan menjadi adat dan ibadat.

Sedangkan bagian batin yang berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa

terbagi menjadi tercela dan terpuji.142 Dengan kata lain ilmu Muamalah adalah

ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang

tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah.

Sedangkan dalam kitab “Mizan al-Amal”, al-Ghazali menjelaskan bahwa

ilmu yang dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan sejati dibedakan

menjadi dua macam yaitu: ilmu Nazhari dan ilmu Amali. Ilmu Nazhari terbagi

menjadi bermacam-macam dan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan adat,

negara dan bangsa.143 Namun menurut al-Ghazali yang terpenting dalam kaitannya

140 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, terj. H. Ismail Yakub (Jakarta: CV. Faizan, 1985) juz I, hal. 12

141 S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam, diterjemahkan Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983) hal. 100

142 S. Waqar, Op.Cit, hal. 94143 Ibid, Neraca Beramal, hal. 60

Page 75: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

dengan pembinaan moral adalah ilmu yang dapat menyampaikan kesempurnan

jiwa, sehingga dengan kesempurnaan itu manusia dapat mencapai kebahagiaan.

Tentang ilmu Amali al-Ghazali membagi menjadi tiga macam yaitu:

a. Ilmu Jiwa dengan sifat-sifat dan akhlak, yaitu melatih jiwa dan memerangi

hawa nafsu.

b. Ilmu Jiwa tentang cara mengatur ekonomi , kelurga, anak, pelayan dan

para hamba.

c. Ilmu Tata Negara ( siasat mengatur penduduk negeri).144Diantara ketiga ilmu

tersebut kaitannya dengan pendidikan moral, menurut al-Ghazali yang paling

penting adalah ilmu mensucikan jiwa, ilmu mengatur badan dan memelihara

keadilan sesuai dengan sifat-sifat yang ditentukan.

Sedangkan menurut sumbernya, al-Ghazali membagi ilmu

yang ada menjadi ilmu Syar’iyyah dan ilmu non Syar’iyyah.

Ilmu-ilmu Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang berkenaan

dengan syari’at. Ilmu ini terbagi menjadi empat macam: al-

ushul ( pokok), al-furu’ ( cabang), al-muqaddimah (pengantar)

dan al-mutammimat ( pelengkap).145

Sedangkan ilmu non Syar’iyyah adalah ilmu-ilmu yang

bersumber pada akal, eksperimen, akulturasi. Termasuk

dalam ilmu ini adalah semua ilmu rasional dan filosofis. Ilmu-

144 Ibid, hal. 61-62145 al-Ghazali, Ihya’… juz I , hal. 28

Page 76: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

ilmu ini apabila tidak dilarang dengan tegas oleh syar’i maka

hukumnya adalah mubah.

Fathiyah Hasan Sulaiman menyimpulkan gradasi materi

pendidikan akhlak dari karya-karya Al-Ghazali adalah

sebagai berikut:

1. Urutan pertama: al-Qur’an al-karim dan ilmu-ilmu agama seperti

Fiqh, Sunnah dan Tafsir.

2. Urutan kedua ilmu-ilmu bahasa, seperti ilmu Nahwu, serta artikulasi huruf

dan lafal karena ilmu tersebut melayani agama.

3. Urutan ketiga ilmu yang termasuk kategori ilmu wajib kifayah.

4. Urutan keempat Ilmu yang berkaitan dengan budaya, sejarah serta

sebagian cabang filsafat, seperti matematika, logika dan lain sebagainya.146

Disamping ilmu sarana kedua mencapai kebaikan moral dan tujuan moral

adalah amal. Menurut al-Ghazali amal adalah penyempurna ilmu untuk mencapai

tujuan yang semestinya. Amal dalam konteks ini adalah mengekang nafsu jiwa

mengontrol amarah dan menekankan pertimbanagan sehingga benar-benar tunduk

terhadap akal.147

Metode Pendidikan Moral

Al-Ghazali tidak membahas secara tersendiri tentang metode pendidikan

dalam karya-karya secara mendalam sebagaimana ia membahas tentang pendidik

146 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan , terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz (Jakarta: P3M,1990) hal. 28

147 Madjid Fakhri, Op. Cit, hal. 127

Page 77: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

dan anak didik dan berbagai kewajiban yang melingkupinya. Namun demikian

bukan berarti ia tidak membahasnya dalam pendidikannya. Analisis cermat

terhadap pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan moral akan karya-karyanya

terutama “Ihya’” akan ditemukan beberapa metode pendidikan moral. Dalam

karya monumentalnya ”Ihya’ Ulumuddin” tentang pendidikan moral (al-thuruq

ila tahzib al akhlak), al-Ghazali menggunakan beberapa metode yang dapat

ditempuh dalam pembentukan moral yang baik:

Yang pertama adalah metode pembiasaan. Yakni metode dengan

melatih anak didik untuk membiasakan dirinya pada budi pekerti dan

meninggalkan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan dan latihan. Tentang

metode ini al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika keagamaan tidak mungkin

akan meresap dalam jiwa sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan

baik dan dijauhkan dari kebiasaan yang buruk, atau rajin bertingkah laku terpuji

dan takut bertingkah laku tercela.148 Al-Ghazali sangat menekankan langkah

pembiasaan kepada anak-anak untuk berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral yang

baik.149. Hal ini seperti apa yang dikemukakan :

“ apabila anak itu dibisakan untukmengamalkan apa-apa yang baik, diberi

pendidikan kearah itu pastilah ia akan tumbuh ditas kebikan tadi aibat positifnya ia akan

selamat sentosa di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika ana itu sejak kecil dibiasakan dan

dibiarkan mengerjakan keburukan, begitu saja tanpa diberikan pendidikandn pengajaran,

yakni sebagaiman halnya sesesorang memelihara binatang, mak akibatnya anaki tu akan

148 al-Ghazali , Ihya’, juz 8 hal. 105-109149 M. Athiyah Al-Abrasyi, Al Tarbiyah Al- Islamiyah, terj. H. bustami dan Johar Bahry

(Jakarta, Bulan Bintang,1990) hal. 266-272.

Page 78: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

selalu berakhlak buruk, dan dosanya dibebankan kepada orang yang bertanggung jawab

(orang tua dan guru) memelihara dan mengasuhnya.150

Untuk menopang proses pembentukan kebiasaan bagi anak-anak al-

Ghazali mengemukakan beberapa prinsip yang perlu dilakukan oleh pendidik

yaitu :

a.Penggunaan dorongan atau pujian.

b. Pemberian celaan secara bijaksana.

c.Melarang anak untuk berbuat buruk secara sembunyi-sembunyi.

d. Melarang anak untuk membanggakan apa yang dimilikinya.

e.Mengajari anak untuk bersikap suka memberi dan tidak suka meminta.

Metode yang kedua adalah metode keteladanan.

Dalam rangka membawa manusia menjadi manusiawi, Rasulullah dijadikan Allah dalam pribadinya teladan

yang baik. Demikian halnya dengan guru. Dalam pandangan Al-Ghazali guru adalah pewaris nabi dan subyek pendidikan,

maka haruslah menjadi teladan bagi anak didiknya.

Berkaitan dengan hal tersebut Al-Ghazali memberikan

penjelasan seperti apa yang dikemukakannya:

“ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi

perbuatanya.... Perumpamaan guru yang membimbing murid adalah bagaikan ukiran

dengan tanah liat, atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat

dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya, bagaimana mungkin

bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok. “ 151

150 Al-Ghazali , Ihya’ Ulumuddin, VI hal. 107151 Ibid, hal. 58

Page 79: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Hal diatas menegaskan betapa al-Ghazali sangat menekankan keteladanan

dalam pendidikan moral.

Metode yang ketiga adalah tazkiyah nafs ( metode penyucian diri)

Metode ini merupakan metode yang dikenal dengan metode sufistik.

Dalam kaitannya dengan pembinaan moral, al-Ghazali menganalogikan metode

ini dengan metode pembinaan badan. Untuk menghindarkan badan dari rasa sakit

yaitu dengan menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit badan, demikian

pula denagn jiwa. Untuk menghaindarkan jiwa dari penyakit maka haruslah

menjauhi sumber-sumber yang menjadi penyakit jiwa. Adapun jiwa yang sakit

harus disucikan sebagaimana pengobatan bagi badan yang sakit.

Metode ini terdiri dari dua langkah yaitu takhliyah al-nafs dan tahliyah al-

nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri

dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri

dengan moral dan sifat terpuji.152

Al-Ghazali dalam proses penyucian jiwa menekankan pentingnya seorang

pembimbing moral sebagai panutan penyucian diri, pencerahan, pembersihan

jiwa153. Dalam proses tersebut menurutnya seorang sufi harus memahami tingkat-

tingkat atau kondidsi penyakit jiwa yang dialami oleh murid. Karena itu bagi

seorang guru harus benar-benar mengetahui kondisi jiwanya.154

Mengenai cara pengosongan sifat-sifat tercela dalam rangka penyucian

jiwa, al-Ghazali mengemukakan empat cara:

152 Ibid, Yahya Jaya, hal. 36153Ibid, Ihya, juz 2 hal. 53154 Zaki Mubarok, Akhlak Indal al- Ghazali, (Dar al-Kitab al-Arabiy li al-Tib’ah wa al-

Nasyr,t.t) hal. 139

Page 80: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

1. Menghadap kepada syaikh pembimbing moral yang mampu melihat

aib diri atau penyakit jiwa kemudian mengikuti petunjuknya dalam

bermujahadah.

2. Mencari teman yang jujur agar memperhatikan keadaan-keadan dan

perbuatan diri agar memberitahu mana moral dan perbuatan tercela

yang tidak disenanginya baik yang tampak maupun yang

tersembunyi.

3. Mencari tahu aib diri melalui ucapan-ucapan musuh sebab musuh

selalu mencari aib lawan.

4. Bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat luas sehingga mampu

melihat mana yang baik dan mana perbutan dan moral yang buruk,

kemudian menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai atau

tercela yang dilakukan orang lain.155 Dari keempat cara penyucian

diri, cara pertama merupakan cara yang dianggap sangat penting

bahkan dianggap suatu keharusan oleh al-Ghazali

Peran dan syarat pendidik moral

Pendidik menurut al-Ghazali menempati kedudukan yang sangat mulia

dan peran yang sentral dalam membentuk manusia yang bermoral. Sehubungan

dengan hal tersebut al-Ghazali berkata:

“ Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang

paling mulia penampilannya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan,

155 ? Ibid, hal. 136

Page 81: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat kepada Allah.

156

Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa bahwa profesi

guru adalah profesi yang sangat mulia dan tugas utama

pengajar adalah berusaha membimbing, meningkatkan dan

mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliknya.

Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia

merupakan makhluk mulia. Kesempurnaan manusia itu

terletak pada kesucian hatinya, untuk itu pendidik dalam

perspektif al-Ghazali harus memiliki kesucian jiwa dan

kebersihan hati.

Disamping itu seseorang pendidik dituntut memiliki beberapa

sifat keutamaan yang menjadi kepribadianya. Diantara sifat-

sifat tersebut adalah:

1. Sabar dalam menghadapi berbagai pertanyaan dari murid

2. Senantiasa mengembangkan kasih sayang.

3. Duduk dengan sopan, tidak riya’ dan tidak pamer.

4. Tidak takabur kecuali terhadap orang yang dzalim dengan maksud

mencegah tindakannya.

5. Bersikap tawadlu’ dalam pertemuan ilmiah

156 Al-Ghazali, Ihya’, hal. 14

Page 82: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

6. Sikap dan perbuatannya hendaknya tertuju pada topik persoalan

7. Memiliki sikap bersahabat dengan murid-muridnya.

8. Menyantuni dan tidak membentak-bentak orang bodoh.

9. Berani berkata tidak tahu terhadap masalah yang tidak dikuasainya.

10. Menampilkan hujjah yng benar.

Mohammad Athiyah al-Abrasyi menyebutkan beberapa sifat yang harus

dimiliki seorang guru dalam mengemban tugasnya sebagai berikut: zuhud, tidak

mengutamakan materi, bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih

jiwanya, terhindar dari riya’, dengki, permusuhan dan sifat tercela yang lain,

ikhlas dalam beramal dan bekerja, mencintai murid , memikirkan murid seperti

anaknya sendiri, mengetahui tabiat murid dan menguasai materi pelajaran.157

Dari uraian diatas tampak betapa berat tugas dan tanggung

jawab seorang guru. Berkaitan dengan berat tugas dan

tanggung jawab seorang guru, al-Ghazali lebih lanjut

menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Guru ialah orang tua kedua di depan murid

b. Guru sebagai pewaris ilmu nabi

c. Guru sebagi penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid

d. Guru sebagai sentral figur bagi murid

e. Guru sebagai motivator bagi murid

f. Guru sebagi orang yan memahami tingkat perkembangn intelektual murid

157 Athiyah Al-Abrasyi, Op.Cit, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 137-140.

Page 83: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

g. Guru sebagai teladan bagi murid. 158

Pandangan Emile Durkheim

Pengertian dan hakikat pendidikan moral

Pemikiran pendidikan menurut Emile Durkheim haruslah berorientasi

pada moralitas. Menurut Durkheim pendidikan adalah upaya yang terus menerus

untuk mengisi jiwa anak dengan cara atau jalan melihat, merasa dan bertindak,

dimana upaya itu diterima dan dicapai oleh si anak tidak secara spontan tetapi

bersifat diarahkan. Sejak lahir seorang bayi dilatih (dipaksa) untuk makan, minum

dan tidur pada waktu yang telah ditentukan, disisi lain ia juga dilatih untuk

tenang, bersih dan menurut apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kemudian ia

bertambah besar , kebiasaaan itu tidaklah cukup dengan paksaan saja karena ia

tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat luas, oleh karena itu dia

harus dibimbing dan dibina untuk memikirkan orang lain, memahami lingkungan,

menghormati adat-istiadat, serta merasakan pentingnya suatu karya.159

Pendidikan menurut Durkheim juga merupakan sarana sosial untuk

mencapai tujuan sosial – sarana dengan mana suatu masyarakat menjamin

kelangsungan hidupnya. Pendidikan bukan hanya bertugas mengembangkan

seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan segala kemampuan

tersembunyi pada individu yang mengganggu penampakannya, namun

158 Al- Ghazali, dalam Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) hal.67-75

159 Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi MenurutDurkheim dan Henry Bergson, (Yogyakarta: Kanisius,1994) hal. 30

Page 84: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pendidikan haruslah menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I Homme Un

Etre Nouveau) 160

Moralitas bagi Durkheim tidak bisa dianggap hanya ajaran normatif yang

menyangkut baik dan buruk melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan,

terkait dalam keseluruhan sistem dunia. Moralitas bukan hanya menyangkut

sistem perilaku yang sewajarnya melainkan juga suatu sistem yang didasarkan

pada ketentuan- ketentuan. Dan ketentuan ini adalah sesuatu yang ada di luar diri

pelaku. Karena itu selain bercorak positivis studi tentang moralitas semestinya

juga bersifat rasional dan sekuler.

Seperti telah disinggung, Durkheim sadar bahwa Eropa yang dikenalnya

sedang mengalami proses transformasi. Dengan kecenderungan visi sejarah yang

bersifat evolusionistis ia merasakan pula bahwa dasar konsensus lama telah tidak

memadai. Sistem tradisional, katanya ternyata hanya bisa bertahan karena

keajaiban ekuilibrium (keseimbangan) dan kekuatan kebiasaan. Padahal

sesungguhnya tradisi itu telah lama tidak lagi berpijak pada dasar yang kuat.

Disaat perkembangan ilmu pengetahuan yang makin deras dan disaat

homogenitas alam telah terpecah-pecah maka dasar moral tidak bisa hanya dilihat

sebagai apa yang disebut imanuel kant “kategori imperatif “ –suatu dorongan dari

dalam diri untuk berbuat etis. Bukan dasar yang internal itu yang biasa dipakai

sebagai ukuran melainkan sistem perbuatan yang tampaknya obyektif.

Bagi Durkheim kebenaran haruslah bersifat moralitas dan ilmiah.

Moralitas menurutnya haruslah dilihat sebagai suatu fakta sosial yang 160 Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu Studi, Teori dan Aplikasi Sosiologi

Pendidikan, terj. Lukas Ginting, (Jakarta: Erlangga, 1990) hal. 22

Page 85: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

kehadirannya terlepas dari keinginan subyektif. Fakta moral harus dianggap

sebagai fenomena sosial yang terdiri atas aturan –aturan atau kaidah-kaidah dalam

bertindak yang bisa dikenali dari ciri khas tertentu.

Moral menurut Emile Durkheim juga berhubungan dengan bagian yang

fungsional dari masyarakat. Dan moral terlibat pula dalam proses historis yang

bersifat evolusionistis, berubah sesuai dengan struktur sosial. Lebih lanjut moral

menurut Emile Durkheim meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku dan bisa

juga dalam pengertian wewenang. Pada definisi keteraturan tingkah laku dan

wewenang sebenarnya merupakan dua aspek dari satu hal yaitu disiplin. Dengan

kata lain bahwa disiplin dibentuk dari keteraturan tingkah laku dan wewenang.161

Bagi Durkheim bertindak moral berarti bertindak demi kepentingan orang

lain atau kolektif yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang impersonal, sebab yang

menjadi objek perilaku moral adalah sesuatu yang berada diluar diri seseorang,

atau diluar sejumlah orang dari sejumlah orang yang lain yang disebut

masyarakat. Menurutnya seseorang yang bertindak demi kepentingan dirinya

belum dianggap sebagai suatu tindakan yang bersifat moral, karena tindakan

tersebut tidak bersifat sosial.

Dengan demikian menurut Emile Durkheim pendidikan moral merupakan

suatu aktifitas yang harus dilatih dan mungkin dipaksakan bagi setiap orang sejak

dini untuk menjadikan anak yang baik dan mempunyai tingkat kesadaran

moralitas yang tinggi dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosial. Disamping bersifat

sosial pendidikan moral haruslah bersifat rasional. Durkheim mengacu pada

161 Ibid, hal.x

Page 86: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pendapat –pendapat kaum rasionalis yang menyatakan bahwa tidak ada realita

apapun yang membenarkan seseorang membuat pertimbangan secara mendasar

diluar lingkup penalaran manusia.162

2. Tujuan Pendidikan Moral

Oleh banyak kalangan Durkheim acap disebut sebagai juru

bicara paradigmatik dari mereka yang mengembangkan

konsepsi sosial dalam menyikapi persoalan-persoalan moral.

Sebutan semacam itu agaknya cukup beralasan kalau kita

kaitkan dengan pelbagai pandangan Durkheim yang antara

lain melihat bahwa tujuan-tujuan moral adalah segala sesuatu

yang berobyekkan pada masyarakat, ranah moral akan

berkembang bersamaan dengan ranah sosial, moralitas

dimulai dari keterlibatan seseorang pada masyarakat dan

bukan tindakan –tindakan yang merefleksikan kepentingan

individu semata.163

Dalam teori sosiologi menurut Emile Dukheim, proses

sosialisasi harus dilihat sebagai faktor yang hakiki dari

162 Ibid, hal. 3163 Cheppy Hari Cahyono, Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP

Press,1995) hal 297

Page 87: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pembentukan gagasan, perasaan, hasrat yang lebih tinggi dan

watak. Selain itu teori Emile Durkheim164 menyatakan bahwa:

Manusia baru menjadi manusia, sebab dia hidup di masyarakat.

Seseorang dianggap sebagai makhluk moral karena dia hidup di masyarakat.

Tanpa masyarakat moralitas tidaklah memiliki tujuan, tugas dan akar.

Moralitas diciptakan oleh masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat.

Moralitas sosial tidak selalu sama dengan moralitas konvensional.

Dari pernyataan ini memunculkan pandangan bahwa Emil

Durkheim lebih melihat bahwa makhluk individual adalah

makhluk prasosial, tanpa masyarakat moralitas tidak akan

tercipta dan tujuan tindakan moral adalah masyarakat.

Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat tidak bisa

direduksi hanya sebagai kumpulan individu-individu semata,

melainkan harus dilihat sebagai makhluk baru yang sui

generis, dengan ciri khasnya sendiri yang berbeda dari ciri

khas anggota-anggota, dengan individualitas sendiri yang

tentunya berbeda dengan individualitas pembentuknya.165 Dalil

yang digunakan Durkheim adalah bahwa kombinasi elemen-

elemen dengan cara apapun, menghasilkan sifat-sifat baru

164 Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat Emile Durkheim, terjemahan Soejono D.( Jakarta: Erlangga,1996) hal. 42

165 Durkheim, Pendidikan Moral, hal. 48.

Page 88: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

yang sama sekali berbeda dengan dari sifat masing-masing

elemen pembentuknya. Jadi kombinasi tersebut menjadi

sesuatu yang justru melalui penggabungan-penggabungan

pembentuknya.

Dalam proses penggabungan terjadi kontak dan interaksi antara masing-

masing individu yang melibatkan tindakan, pikiran, maupun perasaan sehingga

melahirkan kesadaran kolektif.166 Dengan demikian masyarakat menjelma menjadi

makhluk moral yang mempunyai ide-ide, tindakan, dan perasaan yang khas yang

tidak pernah menjadi ciri individu bila hidup terpisah-pisah.

Disamping itu jika masyarakat menjadi tujuan tindakan moral ia juga

harus dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan dalam dan pada dirinya, dan

tidak hanya karena berguna bagi individu. Dalam mengikat dirinya dengan

masyarakat setiap orang harus mempunyai kepentingan. Keterikatan hanya

mungkin terealisir bila manusia rela menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sebab

dalam kenyataannya mengaitkan diri dan makhluk lain selalu berarti sampai

tingkat bergabung atau menyatu bersamanya, bahkan siap menggantikan makhluk

tersebut apabila keterikatan memang menuntut pengorbanan.167

Namun bagaimana mungkin keterikatan demikian bisa mengendap dalam

kesadaran individu, jika masyarakat sebagai tujuan moral berada diatas dan

berbeda dengan individu. Apakah kepentingan pribadi harus dikorbankan karena

kepentingan masyarakat. Durkheim mengakui adanya perbedaan antara individu

166 KJ. Veeger, Op.Cit, hal. 145167 Taufik Abdullah, Op.Cit, hal. 198

Page 89: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

dan masyarakat. Namun perbedaan itu menurutnya tidak dapat diletakkan pada

posisi resiprokal dan kedua makhluk tersebut tidak dapat diletakkan dalam posisi

antagonis. Sejalan dengan itu ujarnya tidak benar individu sendirilah yang hanya

mengidentifikasi hakekat dirinya, yang benar justru sebaliknya yaitu ia tidak dapat

sepenuhnya merealisasikan dan menjadi dirinya sendiri kecuali manakala ia telah

melibatkan diri dalam masyarakat.168

Hal serupa juga terjadi pada ilmu pengetahuan. Ia terbentuk dan

berkembang sebagai hasil dari tujuan kolektif. Masyarakatlah yang

membentuknya seraya mendesak para anggotanya untuk terus belajar . Demikian

pula peradaban dilahirkan, dilestarikan, dan diwariskan masyarakat kepada

individu. Peradaban merupakan kumpulan dari segala sesuatu yang dipandang

memiliki nilai tertinggi serta merupakan kongregasi dari nilai-nilai kemanusiaan169

Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang baik, orang harus segera

menyatu dengan sumber utama kehidupan moral dan mental yang mnjadi ciri

manusia yaitu masyarakat. Dari masyarakatlah berasal segala sesuatu yang paling

baik dalam diri manusia. Berawal dari masyarakat pulalah keseluruhan segala

tingkah laku manusia.170

Lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa seseorang hanya akan

bertindak efektif demi kepentingan masyarakat manakala menggabungkan usaha-

usaha individu sehingga tercipta tindakan kolektif. Tindakan ini tidak saja

168 Ibid, hal. 198169 Emile Durkheim, Sosiologi Dan Filsafat, hlm. 57170 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, hal. 50

Page 90: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

memiliki pengaruh lebih luas, melainkan di dalamnya juga terkandung moral yang

lebih tinggi, karena mengejar tujuan yang melampaui kepentingan pribadi.171

Dengan demikian tujuan pendidikan moral menurut Emile Durkheim

adalah upaya membentuk manusia menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I

Homme Un Etre Nouveau yang mempunyai rasa solidaritas tinggi, disiplin untuk

tujuan-tujuan sosial dan menciptakan ekuilibrium masyarakat.

3. Sumber pendidikan moral

Gagasan Emile Durkheim tentang pendidikan lebih difokuskan pada

pendidikan moral yang rasional yang tidak memasukan unsur-unsur agama

didalamnya . Moralitas bukan sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan

melainkan suatu sistem perilaku yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi

kesepakatan bersama. Dalam hal ini moralitas didasarkan pada beberapa unsur

sebagaimana telah dikemukakan oleh Durkheim . Unsur-unsur tersebut adalah

semangat disiplin, ikatan pada kelompok dan otonomi 172

Durkheim menolak sumber moral adalah agama. Hal ini disebabkan

analisa Durkheim bahwa kini peranan Tuhan hanya menjadi pengawal. Sistem

moral tidak diciptakan untuk kepentingan-Nya melainkan demi kepentingan

manusia. Tuhan hanya bercampur tangan dalam membuat moral agar lebih efektif.

Sejak saat itulah kewajiban manusia sebagian besar menjadi bebas dari gagasan

religius sehingga ia tidak lagi merupakan landasan pijak bagi perkembangan

moral.173

171 Taufik Abdulah, Op.Cit, hal. 47172 Ibid173 Ibid, hal 5

Page 91: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Tahapan perkembangan diatas memperlihatkan betapa moralitas pada

awalnya tidak dibangun sama sekali dengan melepaskan konsepsi teologis

manapun. Namun demikian pertalian yang sejak semula memadukan dan

mengikat kedua sistem tersebut semakin lama semakin longgar. Maka usaha

melepaskan ikatan tersebut secara definitif berarti mengakui arus sejarah. Persis

pada titik inilah proses sekularisasi moral merupakan kenyataan yang mau tidak

mau harus diterima. Durkheim menyadari bahwa upaya menjadikan proses yang

dimaksud tidak akan hanya cukup dengan mengajarkan moralitas warisan leluhur

seraya menghindarkan segala kebutuhan untuk menemukan kembali jalan menuju

gagasan religius. Lebih dari itu diperlukan transformasi menyeluruh174

Mengapa transformasi menyeluruh ditekankan, hal ini

disebabkan karena sistem kepercayaan dan moralitas telah

menjadi satu dalam sejarah selama berabad-abad. Kedua

sistem tersebut terjalin erat bahkan sebelum hubungan

keduanya disa dikenal, serta pemisahan antara keduanya bisa

diwujudkan. Baik kepercayaan maupun moral haruslah

ditopang pada landasan yang sama yaitu Tuhan. Dia adalah

pusat religius tertinggi serta jaminan tata nilai moral tertinggi.

Inilah sebabnya mengapa perpaduan ini menjadikan agama

dan moral sama-sama memiliki unsur kewajiban. Orang

174 Ibid. hal 6

Page 92: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

bahkan dengan mudah melihat bahwa beberapa elemen dari

kedua sistem tersebut saling mendekati satu sama lain,

sehingga membentuk hanya sebuah sistem. Gagasan moral

tertentu menyatu dengan gagasan religius sedemikian rupa

sehingga tidak dapat dibedakan lagi.

Oleh karena itu apabila dalam merasionalisasikan moralitas, seseorang

semata-mata berusaha mencabut apa saja yang dianggap bersifat moral tanpa

mencari unsur penggantinya, hal ini merupakan yang bersangkutan sekaligus

mencabut semua elemen yang sebetulnya adalah moral itu sendiri. Upaya mencari

jalan keluar metodis dari masalah ini sebagaimana ditawarkan Durkheim dapat

dilakukan dengan mencari tepat pada jantung konsepsi religius, hakekat realitas

moral yang terkubur dan tersembunyi di dalamnya.175

Jadi seseorang harus melepaskan gagasan religius namun pada saat yang

sama harus menemukan unsur-unsur moral, menentukan sifatnya dan

mengungkapkannya dalam bahasa rasional. Dalam hal ini kecenderungan

Durkheim adalah menggantinya dengan masyarakat, dengan catatan masyarakat

dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik dan diinginkan oleh individu

dalam membentuk otoritas moral sehingga memanifestasikan dirinya dalam

aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan masyarakat

sebagai unsur pengganti sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul

175 Ibid

Page 93: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

berakar dari realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan

rasional sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan.176

Demikianlah gambaran dari upaya Durkheim menggagas realitas moralitas

sekuler yang ingin mendasarkan moral pada masyarakat dan sebaliknya menolak

agama sebagai titik pijak moral. Konsepsi tentang moralitas sekuler ini sekaligus

dijadikan alasan untuk mengkritik anggapan banyak orang yang melihat moralitas

tidak mungkin digeluti oleh nalar manusia, karena di dalamnya memuat sifat

mistis177 dan Durkheim juga menggunakan ini sebagai landasan untuk menolak

persepsi kaum empiris utilitarian yang disatu pihak menawarkan gagasan rasional

tentang moralitas namun menolak sifat-sifatnya yang sui generis dan mereduksi

ide-ide menjadi ide-ide teknik ekonomi.178

Terlepas dari itu semua, pandangan Durkheim mengenai sumber dan

prinsip-prinsip moral membentangkan kombinasi elemen-elemen yang berbeda.

dan sebagian lainnya, memberikan tekanan pada satu elemen dan tidak pada

elemen yang lain. dan itulah yang barangkali yang menjadi alasan mengapa

Durkheim acap kali dilukiskan sebagai sosok yang begitu perhatian pada norma-

norma moral dan tindakan-tindakan yang bersifat wajib, lebih lagi kalau melihat

kecenderungannya terakhir yang begitu besar perhatiannya pada ide-ide moral.179

Prinsip-prinsip moral kata Durkheim harus berfungsi sebagai penunjuk

dan asas kehidupan moaral yang dapat dan harus dijelaskan kepada peserta didik

melalui proses pendidikan moral. Mengingat prinsip-prinsip pendidikan moral

176 Ibid, hal. 235177 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, hal 87 178 Emile Durkheim, Sosiologi Dan Filsafat, hal. 66179 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, hal. 79

Page 94: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

adalah jantung bagi pendidikan moral maka prinsip-prinsip moral itu harus

diajarkan sedemikian rupa sehingga peserta didik akan merasa terpanggil untuk

melaksanakan dengan mengetahui landasan-landasan atau pertimbangan-

pertimbangannya.

4. Metode pendidikan moral

Bagaimana membangun unsur-unsur moralitas pada anak.? pertama dalam

mengembangkan unsur-unsur moralitas pada anak adalah, dengan metode

pembiasaan (membangun disiplin). Untuk mebangun disiplin ada dua unsur yang

terkait di dalamnya yaitu keinginan adanya keteraturan dan keinginan tidak

berlebihan serta penguasaan diri. Pada usia dini anak harus dapat dididik untuk

membiasakannya dengan keteraturan. Dengan kata lain disiplin merupakan cara

untuk merangsang kemauan anak dalam proses pembelajaran. Anak harus dilatih

menaati kaidah peraturan, maka ia harus bisa merasakan adanya sesuatu yang

patut dihormati yaitu otoritas moral yang ditanamkan pada anak.

Kedua, metode hukuman dan penghargaan.

Hukuman diperlukan untuk lebih menaati kaidah peraturan dan

menyampaikan kepada anak tentang otoritas yang inheren, sehingga mereka

mematuhi peraturan tersebut secara spontan dan mempunyai rasa hormat terhadap

peraturan. Memang dengan adanya hukuman tidak menjamin segala sesuatu

berjalan baik, namun hukuman itu diharapkan sekurang-kurangnya dapat

Page 95: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan

dalam mencapai disiplin dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Menghukum bukan berarti membuat orang lain menderita secara jasmani

dan ruhani, karena hal ini bertentangan dengan tujuan moral dalam pendidikan

yaitu menghargai martabat manusia. Hukuman hanya simbol 180 yang gamblang

dari keadaan batin. Oleh karena itu hukuman tidak diperbolehkan diberikan dalam

dosis terlalu berat, sebaiknya dilakukan dengan sangat bijaksana, karena

pengaruhnya akan terasa dan meningkat kalau diterapkan secara bijaksana.

Ketiga, adalah penggunaan lingkungan sekolah dalam menumbuhkan

solidaritas pada anak.

Untuk membentuk unsur moralitas kedua, ikatan terhadap kelompok sosial

maka Emile Durkheim mengambil sekolah sebagai sarana pelatihan anak untuk

selalu merasa dirinya berada di lingkungan masyarakat luas sehingga mempunyai

solidaritas tinggi terhadap orang lain dan lebih percaya terhadap apa yang dia

lakukannya..

Lingkungan sekolah yang terdiri dari berbagai murid yang melakukan

aktifitas bersama, dapat dijadikan sarana yang tepat untuk menanamkan kepada

anak kebiasaaan kebiasaan hidup berkelompok, kebutuhan untuk terikat dengan

kekuatan-kekuatan kolektif. Dalam proses pembelajaran terkadang bahkan sering

dilakukan metode pemberian tugas secara kelompok untuk lebih melatih anak

menghargai pendapat orang lain.

180 Ibid, hal. 27

Page 96: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Keempat, adalah metode keteladanan

Dalam pendidikan moral Emile Durkheim, keteladanan yang ditunjukkan

oleh seorang pendidik merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap

berhasil tidaknya pendidikan moral. Menurutnya pendidik adalah agen moral

masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam pembentukan moral dan

pengalihan budaya.181 Pendekatan sosialisasi moral dalam pendidikan Emile

Durkheim menyatakan bahwa murid atau siswa dapat mempelajari nilai-nilai

moral dan perilaku apabila pendidik mampu mengajarkan secara aktif nilai-nilai

moral tersebut. Menurut Bennet (penganut pandangan Durkheim) para penganut

Emile Durkheim percaya tentang proses pengajaran moral dapat difasilitasi

dengan cara menjelaskan tentang bagaimana para pengajar mampu

mengajarkannya dengan memberikan contoh-contoh karakter dan perilaku

personalnya.

Tentang penggunaan metode pendidikan moral banyak tokoh yang

memandang bahwa metode pembiasaan dan keteladanan adalah hal yang sangat

penting dalam rangka membentuk anak didik mempunyai moralitas yang baik.

Abdullah Nasih Ulwan misalnya, menyebutkan ada lima metode dalam

pendidikan moral yang diharapkan dapat mempersiapkan anak baik secara moral,

mental, spiritual, maupun memiliki ethos sosial. Diantara metode yang

dirumuskan Nasih ulwan tersebut adalah:

a) Pendidikan dengan keteladanan

b) Pendidikan dengan adat kebiasaan

181 Ibid, hal.xii

Page 97: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

c) Pendidikan dengan nasehat

d) Pendidikan dengan perhatian dan pengawasan

e) Pendidikan dengan hukuman.182

Metode yang lain juga disampaikan oleh Athiyah al-Abrasyi bahwa dalam

memberikan pendidikan moral itu tidak terlepas dari keteladanan para guru, selain

itu juga metode yang menjadi perhatiannya adalah pendidikan moral baik secara

langsung maupun tidak langsung yaitu bagaimana guru dapat mensugesti anak

didik.183

Zakiah Daradjat juga menyampaikan bahwa untuk membentuk moral yang

baik ada beberapa metode yakni metode pembiasaan dan pengulangan terhadap

apa yang dianggap baik, metode kebebasan yakni anak didik diberi otonomi

dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, setelah anak didik

diberi pelajaran.184

5. Materi pendidikan moral

Materi pendidikan moral menurut Emile Durkheim bukan suatu materi

yang harus dicantumkan dalam kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal

ini merupakan kurikulum tersembunyi ( hidden curiculum).185 Jadi setiap guru

harus memberikan contoh yang baik kepada anak didik, baik dari segi tingkah

laku, sikap, pengetahuan saling menghormati dan lain sebagainya. Di dalam

182 A. Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta: Pustaka Aman, 1999) Jilid II hal. 303

183 Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit, hal. 97 184 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,

1977) hal 22185 Istilah kurikulum tersembunyi (hidden curiculum) berasal dari Phlilp Jackson ,

maksudnya adalah tingkah laku, sikap, cara bicara, dan perlakuan guru terhadap murid-muridnya menyampaikan pesan –pesan moral tertentu yang tidak ada dalam kurikulum eksplisit.

Page 98: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

sebuah sekolah tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral tidaklah terletak

pada kegiatan intra kurikuler akan tetapi pada pengajar.

Selanjutnya dengan hidden curiculum seorang pengajar harus memiliki

pandangan atau sikap yang terbuka dan tegas tentang segala sesuatu yang

berkenaan dengan benar dan salah, serta membiasakannya siswa bertingkah laku

prososial di lingkungan sekolah. selain itu masyarakat juga harus bisa

disosialisikan secara efektif untuk menunjukkan karakter moral prososialnya dan

perilaku sosialnya melalui ekspose bebas.186

Segi lain yang paling menonjol mengenai materi pendidikan moral

menurut pandangan Emile Durkheim adalah tidak adanya daftar panjang tentang

aturan-aturan yang harus ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui pelbagai

artikelnya nampaknya Durkheim tidak mengedapankan isi materi tertentu yang

diaplikasikan dalam sebuah kurikulum pendidikan moral. Materi pendidikan

moral tidak harus memuat aturan panjang yang harus didikte akan tetapi lebih

menekankan prosedur-prosedur dan pendekatan– pendekatan yang ada kaitannya

dengan situasi-situasi moral.187 Materi pendidikan moral lebih bersumber pada

norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.

6. Peran dan syarat pendidik moral

Masalah pendidik moral agaknya cukup menempati peran yang sentral dalam sistem pemikiran Durkheim. Hal

ini dapat kita buktikan dari berbagai pandangannya tentang filsafat sosial, epistemologi dan sosiologi. Bagi Durkheim

belajar adalah satu proses dimana peserta didik akan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga dapat tumbuh selaras dengan

posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya. Untuk dapat menjadi pribadi

186 John Snarey, Moral Education Emile Durkheim Dan Moral Sozialisation Dalam Marvin C, Alkind (Ed) , Encyclopedi Of Educational Research (New York, Macmillan Publishing Company, 1992) Vol. 3 Hal. 856

187 Hary Chepy cahyono, Op.Cit, hal. 328

Page 99: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

berpengetahuan dan bermoral, tidak ada kekuatan lain yang mampu membentuk dan mempengaruhinya kecuali

masyarakat. Guru adalah agen masyarakat, mata rantai yang sangat penting dalam peralihan budaya . Tugas guru adalah

menciptakan suatu makhluk sosial, suatu makhluk yang bermoral.188

Posisi guru yang begitu sentral, dengan tugas dan kekuasaannya yang

demikian besar, sudah pada tempatnya kalau didayagunakan secara optimal.

Namun untuk lebih efektif dan efisien, kata Durkheim, guru harus memiliki

beberapa kualitas pokok Kualitas yang pertama adalah apa yang disebut dengan

otoritas moral.

Guru pendidikan moral harus menjadi simbol dan sekaligus menjadi

contoh bagi anak didik baik dalam upaya menjadikan dirinya sebagai lambang

idola anak didiknya maupun pemenuhan tugas sehari-hari dalam mewujudkan

tertib dan efisiensi. Oleh karena itu guru harus dibekali dengan otoritas moral,

karena tanpa otoritas seorang guru pendidikan moral tiadak akan mungkin dapat

mengajar atau mengembangkan peserta didik ke arah sifat-sifat yang dibutuhkan

bagi kehidupan moral.

Kualitas pokok yang kedua adalah totalitas dalam berusaha. Mengajar

bukanlah sekedar mentransmisikan fakta atau berita kecil yang terisolasi, akan

tetapi mengajar lebih merupakan aktivitas organis dan sintesis. Dalam mengajar,

kata Durkheim perlu diperhatikan totalitas kepribadian peserta didik

Demikianlah pandangan al-Ghazali dan Emile Durkheim mengenai

pendidikan moral, meliputi konsep dan hakekat pendidikan moral, tujuan

pendidikan moral, sumber pendidiakn moral, materi pendidikan moral, metode

pendidikan moral, serta peran dan syarat pendidik moral.

188 Emile Durkheim, Pendidikan Moral, hal. xiii

Page 100: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

BAB IV

KOMPLEKSITAS ERA MODERN

A. Pengertian Dan Ciri Masyarakat Modern

Menurut Daniele Lerner, Modernisasi adalah istilah yang baru untuk satu

proses yang panjang –proses perubahan sosial- dimana masyarakat yang kurang

berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih

berkembang.189

Berbagai pendapat tentang modernisasi telah dibahas banyak ahli dengan

sudut pandang yang berbeda-beda. Sbagaimana yang dikemukakan dalam buku

M. Rusli Karim, Light and killer misalnya, mengartikan modernisasi sebagai

perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan

masyarakat tradisional kearah masyarakat industrialisasi dan urbanisasi. Atau

seperti ditegaskan Zanden bahwa Modernisasi merupakan proses dimana suatu

masyarakat beralih dari pengaturan sosial dan ekonomi tradisional atau pra-

indurstrial ke masyarakat yang industrial.190

Adapun sudut pandang modernisasi revolusioner yang dikemukakakn oleh

Robinson mendasarkan pada tiga asumsi pokok. Pertama, sebagai hasil sejumlah

189 Daniel Lerner dalam International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 9 dan 10, (New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1968,) hal. 386

190 M. Rusli Karim, Agama, Modernisasi & Sekularisasi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994) hal.23

Page 101: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

perubahan filosofis, perluasan dibalik pendekatan ilmiah barat terhadap dunia

alamiah dan sosial dan dari bangkitnya teknologi sampai pada tahap tertentu.

Kedua, sebagai hasil, maka revolusi dalam abad dua puluh menjadi sama dengan

modernisasi politik, ekonomi, sikap dan kemasyarakatan. Ketiga, modernisasi

memerlukan waktu untuk mentransformasikan masyarakat tradisional.191

Dalam tradisi sosiologi, modernisasi dilihat sebagai suatu proses

diferensiasi pelbagai bidang kehidupan. Secara keseluruhan konsep modernisasi

umumnya dianggap mencakup pembedaan kehidupan ke dalam tiga fase

perkembangan : zaman primitif, zaman religio methaphysical dan zaman modern.

Pembedaan ini sebenarnya bisa dilacak dari konsepsi Comte tentang fase

perkembangan masyarakat. Tahap-tahap tersebut dianggap memperlihatkan

pembedaan fase-fase kemampuan abstraksi pemikiran dan sistem pengetahuan

yang dihasilkan.192

Sedangkan menurut pandangan dikotomik modern-tradisional, Assaf

Husasin memerinci kedua masyarakat tersebut menjadi masyarakat seperti dalam

tabel berikut ;193

Karakteristik masyarakat modern-tradisional

Masyarakat tradisional Masyarakat Modern

Status askriptif

Peranan- peranan yang tersebar

Nilai-nilai partikularistik

Status Prestasi

Peranan-peranan spesifik

Nilai-nilai Universalistik

191 Ibid, hal. 24192 Hikmat Budiman, Pembunuhan Yang Selalu Gagal ; Modernisme Dan Rasionalitas

Menurut Daniel Bell, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hal. 37193 M. Rusli Karim, Op.Cit, hal.26

Page 102: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Orientasi kolektif

Afektifitas

Orientasi diri sendiri

Netralitas afektif

Hal yang sama juga dikemukakan oleh M. Francis Abraham, walaupun

dengan karakteristikyang berbeda seperti dalam tabel berikut ;194

Evolusi Masyarakat

Tradisional Transisi Masyarakat

Berpindah-pindah

Teknologi primitif

Sumber tenaga yang

hidup

Pembagian kerja

sederhana

Swasembada unit sosial

Produksi primer

Tradisi suci

Organisasi komunal

Solidaritas mekanik

Sistem status

berdasarkan keturunan

Semangat Gotong

Dualisme struktural yang

memungkinkan adanya

bajak lembu dan pesawat

terbang

-

Kombinasi sumber tenaga

serata perubahan budaya,

munculnya norma

modernitas

Industrialisasi

Urbanisasi

Mobilisasi politik

Rekayasa sosial

--

--

--

--

Industri

Teknologi Maju

Teknologi maju

sumber tenaga yang tak

hidup

pembagian kerja

berdasarkan fungsi

interdependensi sosial

Produksi sekunder

Sekularisme

Birokrasi impersonal

Solidarsitas organik

Mengutamakan prestasi

Urbanisasi

194 M. Francis Abraham, Modernisasi di Dunia ketiga, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991) hal. 13

Page 103: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

royong

Sedangkan menurut Alex Inkeles dan David Smith modernisasi

memerlukan perubahan dari cara berpikir dan perasaan, yaitu perubahan dalam

keseluruhan sikap terhadap problem kehidupan, masyarakat dan alam

semesta.Dalam bukunya Becoming Modern 195 sebagaimana dikutip oleh Arief

Budiman, mengulas tentang apa yang disebut dengan manusia modern. Kedua

tokoh ini menyajikan tujuh ciri khas manusia modern seperti berikut :

Kesiapannya terhadap pengalaman baru dan keterbukaannya untuk menerima

inovasi dan perubahan.

Ia harus mampu membentuk atau menangani (Holding) opini berkenaan

dengan sejumlah besar masalah dan isu yang timbul baik dilingkungannya

maupun di luarnya.

Ia menunjukkan sikap yang lebih sadar terhadap berbagai sikap dan opini

dilingkungannya daripada menutup diri terhadap kenyataan diluar dirinya.

Berorientasi kepada masa sekarang dan mendatang daripada masa lalu.

Ia percaya bahwa manusia dapat belajar untuk menguasai lingkungan untuk

memajukan tujuannya sendiri bukan tunduk kepada lingkungan.

Ia yakin bahwa bahwa dunia ini dapat dikalkulasikan, bahwa orang dan

lembaga-lembaga lain disekitarnya dapat tergantung padanya untuk

memenuhi dan menemukan kewajiban dan tanggung jawab.

Ia sangat percaya terhadap keadilan distributif.

195 Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga , (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000) Hal. 34

Page 104: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Kedua tokoh ini melakukan pengujian terhadap konsep-konsepnya dalam

penelitian empiris yang meliputi penduduk di enam negara berkembang. Dari

penelitiannya tentang pembentukan manusia modern mereka menyatakan ada tiga

hal untuk merubah menjadi manusia modern yaitu : pendidikan, pengalaman kerja

dan pengenalan terhadap media massa. Pendapat ini mendukung pendapat Daniel

Lerner yang menekankan pentingnya media massa sebagai lembaga yang

mendorong proses modernisasi.196

Adapun H.A.R. Tilaar menjelaskan adanya beberapa teori tentang modernisasi 197:

1. Teori Historis

Menurut teori historis mengenai modernisasi, maka yang dipakai ialah

masyarakat maju atau masyarakat barat. Oleh sebab itu modernisasi diartikan

sebagai westernisasi. Menurut Samuel Eisenstadt, pengertian ini memang

telah muncul sejak abad ke 17 –19 di Eropa pada masa Aufklarung dengan

rasionalismenya. Konsep ini merambat dari Eropa dan Amerika Utara ke Asia

pada abad ke-20. Menurut penglihatan More, modernisasi merupakan

transformasi total dari masyarakat pra-modern menuju masyarakat modern,

yaitu suatu masyarakat yang telah berkembang teknologinya serta organisasi

sosial yang mendukungnya. Inilah yang dijadikan kriteria dari negara ekonomi

maju dengan politik yang sudah mapan. Seolah-olah hanya negara Industri

maju di Eropa dan Amerika Utara-lah yang mempunyai hak dijadikan acuan

suatu masyarakat modern.

196 Ibid, hal 35197 H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan , Pengantar Pedagogik

Transformatif Untuk Indonesia, ( PT Grasindo , Jakarta, 2002) hal. 16

Page 105: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

2. Teori Relativisme

Berbeda dengan teori historis mengenai modernisme, mak teori relativisme

tidak menjadikan Eropa dan Amerika Utara sebagai episentrum masyarakat

modern. Menurut teori ini episentrum dari modernisasi adalah berpindah-

pindah. Mungkin manusia maju pertama di dunia ini ada dilembah sungai

Indhus (Idia), di daerah sungai Yang Tse (China), dan di daerah lembah

sungai Nil. Kemudian pusat modernisasi berpindah lagi ke Yunani- Romawi

dan kemudian berpindah lagi ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Bahkan

dewasa ini ada yang beranggapan bahwa episentrum masyarakat modern akan

berpindah ke kawasan pasifik.

3. Teori Analitik

Teori ini melihat tingkat modernisasi masyarakat dari berbagai aspek, yaitu

aspek ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, stratifikasi, mobilisasi sosial

dan agama. Suatu masyarakat modern dalam bidang ekonomi antara lain

ditandai dengan penerapan tehnologi berdasarkan ilmu pengetahuan dalam

pengembangan kehidupan ekonominya. Dalam bidang pertanian terjadi

perubahan dari pertanian subsintensi menjadi pertanian komersial. Demikian

pula tenaga yang dipakai, bukan tenaga manusia atau binatang melainkan

tenaga mesin. Dalam bidang pendidikan masyarakatnya mempunyai perhatian

yang besar terhadap pemberantasan buta huruf. Dalam kehidupan keluarga

terjadi hubungan anggota keluarga yang lebih longgar. Stratifikasi dan

mobilisasi sosial lebih jelas dan cepat dan didasarkan pada kemampuan

Page 106: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

perorangan atau bukan karena keturunan. Dalam bidang agama terjadi suatu

proses sekularisasi. Demikianlah beberapa teori tentang modernisasi

Melihat beberapa teori diatas modernisasi seolah

diinterpretasikan untuk menjelaskan perubahan-perubahan

besar dibidang sosial, politik, ekonomi, kultural, dan ideologi

yang tidak dapat dicerabut dari konteks historisnya yang terjadi

di barat. Bertolak dari sana gelombang raksasa ini menciptakan

perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis faktor-

faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi

yang lain. Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya

perubahan –perubahan institusional melainkan juga terjadinya

perubahan-perubahan kesadaran pada manusia.

Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik

distansi, individuasi, progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang

menandai manusia modern.198 Dengan menempatkan pada kelima proses ini,

pertama-tama manusia modern dapat dipahami sebagai makhluk yang tersentak

dari keterpukauannya terhadap alam, sehingga mental partisipasi yang

membenamkan manusia ke dalam proses-proses kosmos menjadi sikap distansi,

manusia mengalami keretakan dari kosmosnya. Proses menjadi sadar ini merayap

melahirkan proses desakralisasi dan berlanjut pada tercerai berainya pranata-

198 F. Budi Hardiman , Melampaui Positivisme Dan Modernisasi, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) hal. 73

Page 107: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pranata sosial dari simbol-simbol religius lewat proses sekularisasi. Dari

dukungan entitas –entitas kolektifnya muncullah individu yang bereksistensi

melalui proses individuasi. Manusia bukan lagi menghuni ruang sosio-mistis,

melainkan muncul melampaui masyarakat dan roda tradisinya. Di hadapan

manusia alternatif-alternatif dapat diciptakan. Manusia menghayati sejarahnya

sebagai perubahan-perubahan unik yang mengarah kepada progress. Seluruhnya

ini pada gilirannya akan membentuk kesadaran manusia yang fundamental yang

mengalihkan kemampuan naluriahnya kearah rasio lewat proses rasionalisasi.199

Dengan kenyataan diatas nampak bahwa modernisasi merupakan peralihan dari

situasi yang lebih primer, partisipatif, determinatif, dan tertutup ke situasi yang

lebih sekunder, distantif, kreatif dan terbuka. Dalam pengertian ini modernisasi

dipahami sebagai proses pembebasan, suatu proses yang bergerak menuju

penyempurnaannya

B. Peradaban Masyarakat Modern

Tiga belas tahun yang lalu John Naisbitt dan Patricia Abuderbe dalam

“Mega Trends 2000 "-nya memprediksikan bahwa umat manusia di dunia ini akan

memasuki pintu gerbang abad 21200. Dalam memasuki dasawarsa baru ini trend

terpenting yang akan menaungi dan mempengaruhi kehidupan manusia adalah:

1) Boom Ekonomi global

2) Rennaisans dalam seni

3) Munculnya sosialisme pasar bebas

199 Ibid 200 John Naisbitt dan Patricia Abuderbee, Mega Trends 2000, Sepuluh Arah Baru Untuk

Tahun 1990-An, (Jakarta : Binarupa Aksara, 2000) hal. 4

Page 108: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

4) Gaya hidup global dan nasionalisme kultural

5) Penswastaan negara kesejahteraan

6) Kebangkitan tepi pasifik

7) Dasa warsa wanita dalam kepemimpinan

8) Abad Biologi

9) Kebangkitan agama milenium baru

10) Kesejahteraan individu

Perubahan di dalam semua segi kehidupan manusia sebagaimana yang

dilontarkan futuris terkenal ini tentunya akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan

dan tehnologi. Terjadinya perubahan tersebut oleh karena sumber kekuatan dan

kemakmuran suatu masyarakat atau negara bukan lagi ditentukan oleh luasnya

wilayah maupun kekayaan sumber daya alamnya namun diakibatkan adanya

penguasaan dan pemanfaatan ilmu penegtahuan dan tehnologi . Dalam peradaban

baru ini terdapat tiga kekuatan yang dominan: 1) Ilmu pengetahuan 2) Tehnologi

sebagai penerapan ilmu pengetahuan, 3) Informasi.201

Penggunaan rasio sebagai pra syarat masyarakat modern melahirkan ilmu,

pengetahuan dan teknologi. Magnis-Suseno202 mencirikan peradaban masyarakat

modern sebagai berikut:1) Masyarakat modern pertama-tama adalah masyarakat

yang berdasarkan industrialisasi. Industrialisasi menjadi darah daging masyarakat

modern. Industrialisasi menjadi format dasar yang bukan hanya bidang ekonomi,

melainkan seluruh kehidupan masyarakat, penghayatannya, way of life nya dan

201 HAR Tilaar, Op.Cit, hal 24202 Frans Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai IlmuKritis, (Yogyakarta: Kanisius , 1991) hal.

56

Page 109: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

sebagainya. 2) Implikasi dari industrialisasi adalah perubahan total dan mendalam

dalam gaya hidup manusia. Perubahan itu menyangkut semua bidang kehidupan

dan yang paling mencolok adalah penciptaan jalur-jalur komunikasi lokal,

regional dan global yang amat padat dan cepat. Sarana lalu lintas mengalami

perkembangan revolusioner dan manusia difasilitasi mesin-mesin yang

mempermudah pekerjaan. 3) Industrialisasi tingkat pertama yang sudah dilalui

oleh negara-negara industri. Teknologi merupakan ilmu baru, yakni ilmu yang

secara khusus meneliti kekuatan-kekuatan alam dengan maksud untuk

memanfaatkannya bagi produksi industrial. Gelombang pasca-industri kiranya

akan melahirkan masyarakat informasi. 4) Masyarakat modern adalah masyarakat

yang kecuali dalam keadaan darurat dan luar biasa tidak mengalami

ketergantungan pada alam. Muncul kesan bahwa dengan otonomi rasionya apa

saja bisa diciptakan manusia, seolah semua masalah dapat dipecahkan.

Adapun sumber-sumber peradaban masyarakat modern adalah203: pertama,

kapitalisme dan revolusi industri. Pelbagai bentuk ekonomi kapitalis sudah

dikenal sejak sebelum abad ke 17 yang ditandai munculnya kota-kota

pelabuhan.Tetapi kapitalisme dalam arti khas sebagai suatu sistem yang

merevolusikan perekonomian lahir di Eropa Barat dan Utara (Inggris, Belanda,

Belgia,Perancis) dalam abad ke 17. Hakekat kapitalisme adalah bahwa tujuan

produksi bukanlah konsumsi melainkan penambahan modal. Kapitalisme bersifat

dinamis, sebab selalu berusaha memperluas produksi guna menguasai pasaran.

203 Ibid, hal 58

Page 110: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Sumber peradaban masyarakat modern kedua, adalah munculnya

subyektivitas modern. Dengan subyektivitas dimaksudkan bahwa manusia, dalam

memandang alam, sesama dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia

dalam subyektivitasnya, dengan kesadarannya, serta keunikannya menjadi titik

acuan realitas. Subyektivitas dalam konteks ini mengacu pada Hegel dan Sartre.

Menurut Hegel (1770-1832) manusia itu bukan substansi, melainkan subyek.

Substansi disini dimaksud sebagai kepadatan kebendaan, sebagai sesuatu yang

berada di dunia ibarat sebongkah batu di tengah sawah. Sedangkan subyek adalah

pusat kesadaran, kesadaran akan kesadaran pusat yang secara kritis melawankan

diri terhadap realitas dan dunia. Manusia tidak sekedar hadir dalam dunia,

melainkan hadir dengan sadar, dengan berpikir, dengan berefleksi serta

mengambil jarak secara kritis dan bebas204. Ketiga, rasionalisme. Dengan

rasionalisme dimaksud tuntutan agar semua klaim dan wewenang

dipertanggungjawabkan secara argumentatif, tanpa pengandaian kepercayaan, jadi

dapat diuniversalkan. Sedangkan Segi-segi rasionalisme205: pertama adalah

kepercayaan terhadap kekuatan akal budi manusia. Segala hal harus dimengerti

secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar, dan sebuah

klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan secara

rasional. Kedua, Penolakan tradisi, dogma dan otoritas di luar pemikiran rasional.

Dalam bidang sosial politik, misalnya, rasionalisme menuntut kepemimpinan

rasional. Pada bidang agama, klaim dogma tidak dapat begitu saja ditetapkan oleh

otoritas religius. Ketiga, Rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu, 204 Ibid, hal 59205 Ibid, hal 60

Page 111: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pengetahuan dan teknologi, yakni pengamatan dan eksperimen serta bertumpu

pada dalil-dalil ilmiah. Keempat Rasionalisme membawa serta sekularisme.

Sekularisme ialah suatu pandangan dasar dan sikap hidup yang dengan tajam

membedakan antara Tuhan dan dunia sebagai sesuatu yang duniawi saja.

Sekularisme juga menghilangkan unsur-unsur gaib dan keramat.

Disisi budaya Dengan kian merebak dan canggihnya teknologi media,

memungkinkan sebuah masyarakat menyaksikan bentuk-bentuk kehidupan dan

sistem kepercayaan lain yang berbeda. Sebuah masyarakat juga menyaksikan

masyarakat lain dalam macam-macam gaya hidup, orientasi keagamaan yang

berlainan, ragam etnis-suku bangsa, perbedaan bahasa dan sebagainya. Bahkan,

bukan itu saja, globalisasi seperti yang diungkapkan Anthony Giddens juga

merupakan efek jarak jauh (time-space distanciation). Maksudnya, apa yang

terjadi pada satu belahan bumi, bisa terjadi efek pada belahan bumi yang lain.

Misalnya, teror bom di Bali dengan serta merta mempengaruhi dunia kehidupan

masyarakat di belahan bumi lainnya.206 Pada intinya, kehidupan masyarakat

modern saat ini dihadapkan pada pluralitas kebudayaan yang saling

mempengaruhi, yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Saling pengaruh di antara ragam kebudayaan ini, jika tidak dikelola

dengan baik, akan menimbulkan konflik yang hebat, berkepanjangan dan susah

dihentikan.Seperti yang disinyalir oleh Samuel Huntington, garis-garis batas

dalam dunia mutakhir (dunia era pasca-Perang Dingin) tidak berasal dari politik

atau ideologi, melainkan kebudayaan. Dalam karyanya yang kontroversial ‘The 206 Eko Wijayanto, Etika Global untuk masyarakat Global, dalam Kompas, 20 januari,

2003

Page 112: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Clash of Civilization" (1993), Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok

masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan

tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban207.

C. PROBLEM MANUSIA MODERNModernitas sesungguhnya merupakan pilihan hidup yang niscaya dalam

setiap babakan sejarah peradaban umat manusia baik pada masa Yunani kuno, era kejayaan Islam sampai pada masa modern Barat dewasa ini. Tetapi karena modernitas sebagai ide pokok kemajuan (progres) tidak lepas dari ambisi-ambisi berlebihan dari manusia sendiri sebagai pelaku utamanya yang kemudian bertemu dengan situasi-situasi sosial yang tidak selalu vakum dari permasalahan maka pada akhirnya modernitas menampilkan dua wajah yang ambivalen. Satu sisi wajah baik yang positip dan di sisi lain wajah buruk yang negatif. Manusia sebagai aktor dengan segala macam kemajuan yang dicapainya dan segala ambisinya, tetap sebagai sumbu segala persoalan dibalik fenomena modernitas yang berwajah ganda tersebut.

Dunia modern yang banyak menyajikan kisah-kisah agung tentang

kemajuan, kisah sukses secara materi, karya ilmu pengetahuan serta tehnologi,

agaknya tidak memberikan bekal hidup yang kokoh sehingga orang modern

tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya.

Fenomena modernisme, yang diyakini sebagai pilihan tepat membebaskan

manusia dari situasi ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan,

meski dalam arti terbatas menunjukkan kemajuan yang cukup spektakuler, tetapi

juga menyisakan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks. Penggunaan rasio

yang melahirkan kemajuan IPTEK merupakan embrio ekspansi wilayah,

imperialisme. Modernisme, dengan demikian, disamping menawarkan

kemudahan-kemudahan bagi manusia, juga memproduksi model-model belenggu

baru yang jauh lebih dahsyat. Peter L. Berger mengisyaratkan bahwa modernisme

207. Hungtinton, Samuel P, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terjemahan: M. Sadat Ismail, (Yogyakarta: Penerbit Qalam: 1996) hal. 283

Page 113: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

yang dicirikan oleh kemajuan IPTEK tidak lebih dari ideologi yang menutup-

nutupi kenyataan imperialisme, eksploitasi, dan ketergantungan.208

Justifikasi pernyataan Berger ialah kenyataan lahirnya korelasi a-simetris

antara bangsa barat yang menguasai dan mendominasi IPTEK dengan seperangkat

nilai budayanya dengan bangsa Timur yang diberi atribut: underdeveloped

countries atau eufemismenya, developing countries. Korelasi serupa inilah yang

oleh Galtung dikatakan merupakan awal kekerasan, yakni situasi manusia

dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya

berada di bawah realisasi potensial. Hal ini oleh Simon Weil digambarkan secara

ekstrim: kekerasan adalah tindakan yang mereduksi seseorang atau kelompok

menjadi barang. Tindakan terakhir dari reduksi itu ialah pembunuhan, yakni

mereduksi seseorang menjadi mayat. 209

Suatu hal yang menentukan berkembangnya modernisme adalah peralihan

filsafat dasar dari theosentris kepada antroposentris. Yang pertama dimaksudkan

bahwa Tuhan menjadi sentra pemikiran kefilsafatan sementara yang terakhir

manusia menjadi pusatnya. Dengan Theosentris manusia mengarahakan orientasi

dan dasar hidupnya bagi kepenuhan hidup kerohaniahan untuk mencapai

keselamatan jiwa, sementara yang terakhir manusia berusaha menggapai

kelimpahan dan kenikmatan ketubuhan secara sporadis dan temporer.

Problem modernitas yang dialami dunia kemanusiaan dewasa ini boleh

jadi memang bukan semata-mata karena manusia bersifat rasional seperti yang

208 Berger, L, Peter, Pikiran Kembara, (Yogyakarta: Kanisius,1992) hal. 14209 Mochtar Lubis (peny.), Menggapai Dunia Damai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1988) hal. 48

Page 114: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

didengungkan oleh zaman modern. Namun rasionalitas yang merupakan elemen

intrinsik yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk Tuhan yang terbaik, telah

bergeser menjadi rasionalisme, dan manusia menjadi serba organik, sehingga

potensi-potensi alamiah manusia seperti hati nurani dan perasaan menjadi

marginal dalam struktur perilaku dan kehidupan manusia. Rasionalitas manusia

modern juga telah melahirkan ambisi-ambisi manusia yang serba eksploitatif dan

tidak jarang mengabaikan kebajikan-kebajikan dan kearifan-kearifan karena

pilihan rasional yang bersifat instrumental.210

Hal ini juga menjadi keprihatinan dari Hokheimer yang menyebutkan bahwa

masyarakat modern ditandai dengan telah terbenamnya akal budi obyektif

digantikan dengan akal budi instumental. Akal budi semata-mata menjadi alat

dan memang bisa diperalat untuk mendukung dan melestarikan sistem yang

ada. Karena hanya menjadi alat maka akal budi kehilangan otonominya,

kehilangan sifat kritisnya.211

Pengertian akal budi instrumentalis ini berkembang subur dalam tradisi

Empirisme dengan ajarannya tentang self-preservation, dimana akal budi

hanya dipakai sebagai alat untuk memperhitungkan segala kemungkinan

tercapainya tujuan dalam arti subyektif, yakni tujuan yang berguna bagi

kepentingan subyek untuk mempertahankan dirinya.

210 Haedar Nashir, Agama dan Krisis manusia modern, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) cet. II hal.vii

211 Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern Oleh Max Horkheimer Dalam Rangka Sekolah Fankfurt, ( Jakarta : PT Gramedia, 1983) hal.97

Page 115: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Lawan dari akal budi instrumentalis adalah akal budi obyektif. Akal budi

semacam ini tidak hanya ada dalam arti subyektif- tidak hanya ada dalam diri

individu-tapi juga dalam arti obyektif, artinya akal ini ada dalam dunia

obyektif diluar individu. Jadi sifatnya universal. Meliputi seluruh manusia

dalam hubungannya satu sama lain. Berada dalam alam dan semua

pertwujudannya.212

Gejala sekularisasi yang tumbuh bersamaan dengan rasionalisasi yang naif

dalam prakteknya dapat mekar bersama dengan nilai-nilai kebendaan, seperti

materialisme, hedonisme dan budaya inderawi lainnya. Dalam budaya modern

barat yang dibangun atas faham humanisme- antroposentris, fenomena budaya

inderawi itu merupakan suatu pola bagi kebudayaaan untuk menggumuli dan

memecahkan persoalan-persoalan hidup secara nyata, telah secara langsung

maupun tidak langsung telah menjauhkan manusia dari pertalian ketuhanan.

Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern dengan skala

kehidupan masyarakat yang mengggambarkan kemunduran (regresi) sebagai

lawan dari kemajuan (progress) sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantahkan.

Setidaknya terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam

kehidupan masyarakat. Pertama berlangsung dalam level pribadi (individu) yang

berkaitan dengan motif, persepsi termasuk didalamnya status dan peran. Kedua

berkaitan dengan norma yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang

harus menjadi patokan-patokan perilaku yang oleh Durkheim disebut kehidupan

tanpa acuan norma.

212 Ibid, hal. 98

Page 116: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa dibalik modernisasi yang

diagungkan manusia sesungguhnya tersimpan gejala yang dinamakan The Agony

of Modernisasi.( azab dan sengsara modernisasi). Gejala ini tercermin dengan

semakin meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan

menjamurnya tindak kekerasan dalam kehidupan.213

Sedangkan Syahrin Harahap menyimpulkan tentang dampak negatif

peradaban modern yang dialami manusia modern antara lain:214

1) Kemiskinan nilai-nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai

implikasi dengan materi dianggap sebagai tindakan irasional.

2) Sebagian manusia seakan-akan mengalami kejatuhan dari makhluk

spiritual menjadi makhluk material yang menyebabkan nafsu hayawaniyah

menjadi pemandu dalam kehidupan.

3) Peran agama digeser menjadi urusan akhirat dan urusan privat.

4) Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan dan tulisan, tetapi tidak hadir

dalam perilaku dan tindakan.

5) Munculnya individualistik.

6) Terjadinya frustasi eksistensisl dengan ciri:

a. Hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, bersenag-senang mencari

kenikmatan yang tercermin dengan perilku yang berlebihan.

b. Kehampaan eksistensi diri, hidup serba hampa.

c. Neurosis neogenik yaitu perasaan hidup tanpa arti, tanpa tujuan

213 Dadang Hawari, Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Mental (Jakarta : Dana bakti Prima Yasa, 1996) hal. 2

214 Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Di Era Globalisasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998) hal. xi- xii

Page 117: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

d. Terjadinya ketegangan ketegangan di desa maupun kota, antar

kaya-miskin maupun konsumerisme dan kelaparan.

Dari beberapa hal diatas tampaklah bahwa modernisme meminggirkan

pertimbangan-pertimbangan etis sehingga menggusur nilai-nilai kemanusiaan.

Harkat dan martabat manusia ditundukkan di bawah hasrat pemilikan harta dan

kesenangan sesaat. Manusia tidak lagi dipandang sebagai suatu realitas sui generis

dan khas, yang lebih tinggi, unik dan absolut terhadap alam semesta. Jauh

daripada memberi arti (signifikasi) kepada realitas ekstern, sebaliknya realitas itu

sendirilah yang secara total menentukan kondisi manusia.

D. MORAL DALAM KANCAH MODERNITASMasyarakat modern yang ditandai dengan kapitalisme dan rasionalisasi

hubungan sosial, dewasa ini menghadapi persoalan yang pelik terkait jatidiri

(identitas) sosial. Masyarakat yang atomistik, impersonal dan penuh persaingan

dalam dunia pasar dan kapitalisme, membuat orang tidak lagi menemukan jatidiri

individualnya dalam jatidiri sosial. Dalam masyarakat tersebut jatidiri seseorang

menjadi abstrak dan berdasarkan pilihan bebasnya sendiri. Kesadaran bahwa

seseorang menjadi warga komunitas, sehingga berbuat baik terhadap seluruh

anggota komunitas secara keseluruhan , telah menipis bahkan cenderung

menghilang.215

Moralitas publik tidak lagi dapat didasarkan atas kesadaran untuk

mengejar keutamaaan hidup bagi manusia, karena mana yang disebut baik dan

mana yang disebut buruk semakin sulit diperoleh kata sepakat. Apa yang secara

215 Ross Poole, Moralitas Dan Modernitas; Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme, terjemahan F.B Hardiman, (Yogyakart: Kanisiuis, 1993)

Page 118: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

tradisional dijadikan dasar material, obyektif, dan rasional untuk hidup bermoral,

yakni kodrat manusia yang secara ontologis terarah pada Yang baik, kini mulai

dipertanyakan karena dianggap tidak sesuai dengan tuntutan kebebasan

eksistensial manusia. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan

dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang

menjamin kebebasan individu dalam hubungan kontraknya dengan individu yang

lain.216

Seiring dengan peralihan dari masyarakat tradisional yang relatif

homogen, ke masyarakat global yang pluralistik, terjadilah krisis legitimasi yang

luar biasa di dalam masyarakat global tersebut. Krisis legitimasi dalam pengertian

bahwa tatanan legitimasi masyarakat tradisional sebuah tatanan masyarakat yang

didasarkan pada sebuah sistem kepercayaan atau agama mulai kehilangan

validitasnya. Hal-hal diatas pada gilirannya akan memunculkan tendensi

perlawanan jika sebuah masyarakat coba diatur dengan dan oleh aturan

masyarakat lain. Akan lebih kacau lagi jika setiap kelompok masyarakat

memaksakan sistem kepercayaannya sebagai yang "paling benar"untuk mengatur

masyarakat dunia.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah visi besar untuk mengawal

perkembangan masyarakat global saat ini dan di masa depan. Seorang teolog

besar abad ini, hans kung, mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global.

Dalam karyanya yang berjudul “A Global Ethics For Global Politics And

216 Haedar Nashir, Op.Cit, hal 8

Page 119: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Economics”, Hans Kung menyatakan217 tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah

etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai

sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang

dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan

dogmatis ateis.Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung,

konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental (nilai-

nilai universal) yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam

agama,bentuk-bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan

sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik. Sebuah

konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar pada beberapa

tuntutan fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran, keadilan,

kemanusiaan, dan semacamnya.

Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak

bersifat subjektif (monologal). Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak

bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang

dipikirkan sendiri. Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap

klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi

hubungan-hubungan sosial .218 Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti

yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif (dialogal). Melalui dialog yang

bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat

217 Hans Kung, A Global Ethics For Global Politics And Economics, diterjemahkan Ali Noer Zaman, Etika Ekonomi-Politik Global, ( Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002) hal. 162

218 FB Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Kanisius, 1993) hal. 65

Page 120: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam

konflik-konflik dan kekacauan.

Namun, harus juga disadari bahwa etika global ini bukanlah obat mujarab

yang langsung memberikan solusi bagi persoalan dunia. Setidaknya, etika global

memberi tuntutan dan dasar moral bagi individu maupun tatanan global yang

lebih baik. Hans Kung juga tidak naif, bahwa tuntutan etika global ini bukan main

sulitnya untuk mahkluk rasional sekalipun. Tetapi, menurut dia, harus ada

tuntutan semacam itu dalam dialog yang riil dalam masyarakat global.kalau tidak,

dialog akan jatuh pada perspektif etnosentris, entah agama, ras, bangsa, dan

kelompok-kelompok kepentingan. Jadi, etika global dalam masyarakat global

merupakan sesuatu yang niscaya.219

BAB V

PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG

PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN

A. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Pandangan Al-Ghazali dan Emile DurkheimTentang Pendidikan Moral

Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim sangat menekankan urgensi moral dalam kehidupan manusia dan keduanya juga menekankan pentingnya mentransmisikan moral melalui pendidikan. Namun demikan analisis secara mendalam terhadap pandangan al-Ghazali maupun Emile

Durkheim tentang pendidikan moral, seperti yang tercantum

219 Frans Magnis, Op.Cit, hal. 98

Page 121: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

dalam bab III akan menemukan banyak hal lain yang memiliki titik-titik persamaan dan perbedaan.

a. Konsep Dan Hakekat Pendidikan Moral.

Pendidikan moral al-Ghazali lebih bertumpu pada sisi kejiwaan anak didik.

Ini terlihat dari pandangannya tentang konsep moral. Baginya moral adalah suatu

keadaan atau bentuk jiwa yang menjadi sumber timbulnya perbuatan –perbuatan

yang mudah tanpa melalui pemikiran dan usaha. Hal ini pada gilirannya akan

memunculkan pendidikan moral yang lebih mengembangkan spirit personality,

dimana pendidikan lebih mengarah pada pembentukan insan purna yang saleh,

mempunyai kepribadian yang baik, kesucian jiwa dengan adanya unsur moral

hikmah, syaja’ah, iffah, dan ‘aadalah dalam dirinya, dalam rangka pendekatan

diri kepada Allah.

Berbeda dengan pendidikan moral yang dikembangkan oleh Emile

Durkheim yang bersifat sosial. Hal ini terlihat dari pandangan Durkheim tentang

moral. Bahwa moral merupakan suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas dari

keinginan subyektif. Fakta moral harus dianggap sebagai fenomena sosial yang

terdiri atas aturan– aturan atau kaidah-kaidah dalam bertindak yang bisa dikenali

dari ciri khas tertentu seperti munculnya disiplin, keterikatan kepada kelompok

dan otonomi.

Dengan demikian pendidikan moral dalam pandangan Durkheim lebih

mengarah kepada spirit society, dimana pendidikan bukan hanya bertugas

mengembangkan seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan

segala kemampuan tersembunyi pada individu yang mengganggu

Page 122: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

penampakannya. Pendidikan menurut Durkheim merupakan sarana sosial untuk

mencapai tujuan sosial – sarana dengan mana suatu masyarakat menjamin

kelangsungan hidupnya.

Perbedaan hakikat pendidikan moral dari al-Ghazali dan Emile Durkheim tersebut boleh jadi diakibatkan titik pijak awal yang berbeda dan kondisi sosial politik masyarakat pada zaman yang berbeda. al-Ghazali, sebagai seorang sufi dan menekuni filsafat mengorientasikan penelitianya pada hakekat manusia meliputi hati nurani dan al-dzauq yang ada dalam diri manusia, sehingga pendidikan moralnya lebih berbasiskan psikologi, moral manusia berpangkal dari diri dan pendidikan moral merupakan tuntunan mistik pada jiwa untuk selalu berusaha mencari kehidupan akhirat. Sementara Emile Durkheim berangkat dari seorang sosiolog yang melakukan penyelidikan terhadap persoalan moral yang dihadapi bangsanya. Ia tumbuh di tengah kondisi masyarakat Perancis yang carut-marut akibat kegagalan revolusi Perancis. Kegagalan dalam politik yang dialami Perancis berimbas dalam nilai-nilai moral dalam masyarakat. Masyarakat mengalami anomie (keadaaan tanpa acuan moral). Nilai-nilai moral untuk membela bangsa dan tujuan sosial semakin pudar. Sehingga memunculkan pandangan Durkheim bahwa pendidikan moral harus memberikan kontribusi positif dalam menata masyarakat dan bangsanya.

b. Tujuan Pendidikan Moral

Menurut al-Ghazali tujuan dari perbuatan moral adalah kebahagiaan yang

identik dengan kebaikan utama dan kesempurnan diri. Kebahagiaaan menurut Al-

Ghazali terbagi menjadi dua macam : kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan

duniawi. Menurutnya kebahagiaan ukhrawi adalah kebahagiaan yang utama

sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah metamorfosis.

Orientasi dan tujuan pendidikan moral al-Ghazali mengkristal pada upaya

terbentuknya insan kamil menuju pendekatan diri kepada Allah, karena pada

hakekatnya manusia diciptakan sebagai hamba Allah. Akan tetapi konsep

pendidikan moral al-Ghazali pada hakekatnya juga tidak melupakan kehidupan

dunia sama sekali. Kehidupan dunia adalah sisi lain dari peran manusia dalam

proses pendekatan diri kepada Allah. Pandangan ini berdiri atas prinsip karena

manusia juga diciptakan sebagai khalifah Allah yang bertanggung jawab atas

lestari dan harmonisnya alam.

Page 123: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Namun demikian dalam ternyata dalam pendidikan moralnya, al-Ghazali

tidak mengulas lebih lanjut tentang sisi-sisi pembentukan moral anak didik dalam

kaitannya dengan hubungan dengan masyarakat. Ini artinya bahwa pendidikan

moral al-Ghazali lebih menitik beratkan pada pembentukan moral individu yang

baik secara individual.

Berbeda dengan orientasi pendidikan moral yang diungkapkan oleh Durkheim, yang lebih menitikberatkan pada terbentuknya masyarakat yang harmonis dan terciptanya struktur-struktur sosial yang baik dalam masyarakat, melalui munculnya kesadaran kolektif sehingga tercipta ekuilibrium sosial dalam masyarakat. Menurutnya individu yang baik adalah individu yang mematuhi kaidah, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat serta mampu bertindak demi tujuan sosial dan masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam pendidikan moral Emile Durkheim, kepribadian anak didik dalam rangka penanaman sifat-sifat baik bagi dirinya dan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan diri kurang begitu tergarap dengan baik.

Dari perbedaan diatas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan moral Al-

Ghazali lebih komprehensif yakni memuat tugas manusia baik sebagai hamba

Allah maupun khalifah fil ardh, menghargai sisi-sisi kemanusiaan dari individu

sebagai bagian dari proses individuasi. Adapun tujuan pendidikan moral Emile

Durkheim lebih bercorak humanisme- antroposentris. Sehingga hasil konklusi

yakni pendidikan moral yang diarahkan pada pembentukan pribadi yang

mempunyai kesalehan spiritual dalam hubungannya dengan Allah maupun

kesalehan sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia merupakan sesuatu

yang niscaya.

c. Sumber Pendidikan Moral

Baik al-Ghazali maupun Emile Durkheim mengakui adanya otoritas moral tertinggi dalam kehidupan manusia. Otoritas moral dipahami sebagai sesuatu yang menyimpan pengaruh kuat dengan memaksakan semua kekuatan moral

yang berada diatas individu. Otoritas tersebut memaksa manusia untuk bertindak dan bertingkah laku sesuai

Page 124: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

dengannya, dan menjadi guiding principle dalam kehidupannya.

Namun demikian sumber yang menjadi otoritas moral antara al-Ghazali dan Emile Durkheim sangatlah berbeda.

Bagi al-Ghazali tidak ada semacam hukum, tatanan, ataupun struktur dasar yang didalamnya mampu membangun tindakan

moral. Satu-satunya basis moral yang valid adalah wahyu. Rasio manusia tidak bisa dianggap sebagai fondasi moral. Moralitas yang dibangun berdasarkan rasio akan sia-sia.

Dengan mengatakan hal ini, al-Ghazali mengabaikan aspek penting dalam wacana moral bahwa subyek atau pelaku

tindakan moral adalah manusia. Disamping itu al-Ghazali lupa bahwa agama pada dasarnya dibuat demi kesejahteraan

manusia, bukan untuk kesejahteraan dan keuntungan Tuhan. Penolakan terhadap fungsi rasio, dengan bersandarkan wahyu dan anugerah Tuhan untuk mengetahui tindakan moral yang sesungguhnya dan menawarkan suatu metode baru melalui bimbingan syaikh secara ketat. Pandangan al-Ghazali yang

demikian memunculkan apa yang disebut etika religius.Sedangkan Emile Durkheim menyebutkan bahwa

pemilik otoritas moral adalah masyarakat dengan catatan masyarakat dipahami sebagai kesadaran kolektif yang baik

dan diinginkan oleh individu dalam membentuk otoritas moral, sehingga memanifestasikan dirinya dalam aturan-aturan imperatif bagi individu. Durkheim menunjukkan

masyarakat sebagai unsur pengganti agama sebab ia merupakan makhluk moral yang betul-betul berakar dari

realitas empiris yang dapat disentuh melalui penginderaan dan rasio, sementara Tuhan tidak dapat dijangkau oleh ilmu

pengetahuan. Moralitas yang dibangun Durkheim ini dengan demikian adalah moralitas sekuler dengan menolak agama

sebagai sumber otoritas moral. Durkheim menganggap sumber moralitas haruslah fakta sosial yang dapat dikaji dan diamati secara empiris dengan mengedepankan fungsi rasio

manusia. Dengan demikian terdapat perbedaan yang mendasar

antara Al-Ghazali dan Emile Durkheim dimana Al-Ghazali membangun moralitasnya berlandaskan wahyu sehingga

Page 125: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

bercorak etika religius, sementara Durkheim menolak landasan moral dari agama, Sumber pendidikan moralnya

adalah masyarakat dengan berlandaskan rasio dan fakta sosial dalam masyarakat sehingga bercorak rasional, ilmiah dan

sekuler. d. Materi Pendidikan Moral

Banyak pakar pendidikan moral, filsuf moral sampai sekarang ini masih

berseberangan dalam menyikapi muatan pendidikan moral. Pendidikan moral

harus mengajarkan isi (content) ataukah proses. Sebagian Filsuf, pendidik, dan

pakar-pakar pendidikan moral tetap berpegang pada satu pandangan bahwa

pendidikan moral haruslah mengajarkan isi moral tertentu atau paling tidak,

pelbagai pandangan dasar tentang moral. Tegasnya pendidikan moral harus

mampu mentransmisikan ideologi moral. Sementara sebagian filsuf, pendidik dan

pakar pendidikan moral yang lain berpendapat berbeda.Mereka lebih menekankan

pada proses. melihat keragaman dalam menyikapi hakikat moralitas, sebagai

konsekuensi logis dari kehidupan modern, pendidikan moral harus berorientasi

kepada upaya mengajarkan proses moralitas. Pendidikan moral harus lebih

berorientasi kepada upaya pengembangan peserta didik dalam

mengoperasionalkan proses umum utamanya dalam menyikapi persoalan moral.

Melihat pandangan keduanya seperti dikemukakan diatas, penulis melihat

materi pendidikan moral Al-Ghazali lebih bertumpu kepada pandangan bahwa

pendidikan moral haruslah mengajarkan isi moral tertentu atau paling tidak,

pelbagai pandangan dasar tentang moral. Tegasnya pendidikan moral harus

mampu mentransmisikan ideologi moral yang bersumber pada nilai-nilai yang

Page 126: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

bersumber dari agama. Nilai-nilai tersebut sedapat mungkin menjadi acuan dalam

perilaku sehari-hari.

Adapun pandangan pendidikan moral Durkheim tidak merupakan daftar-

daftar urutan tentang kebaikan moral yang harus diajarkan kepada peserta didik.

namun merupakan kurikulum yang tersembunyi (hidden curiculum), yang proses

penanaman nilai-nilai moralnya sangat bergantung dari peranan guru dan

masyarakat. Materi pendidikan moral lebih bersumber pada norma-norma, kaidah-

kaidah yang berlaku dalam masyarakat.

e. Metode Pendidikan Moral

Metode pendidikan moral yang dikemukakan al-Ghazali dan Emile

Durkheim dalam penerapan praktis pendidikan memiliki kecenderungan

paradigmatis yang sama. Keduanya menekankan pendidikan moral sebagai upaya

membentuk pribadi yang bermoral. Keduanya menekankan pada peran sentral

guru atau pembimbing moral dengan konsep teacher centered yang lebih

menekankan pendidik yang otoritatif dalam metode pembelajarannya.

Persamaan kecenderungan al-Ghazali dan Emile Durkheim diatas

berimplikasi pada penerapan yang hampir sama dalam metode pembelajaran yang

dibangunnya. Karena bersifat teacher centered maka metode pendidikan moral

mereka lebih menekankan peran sentral guru seperti: metode pembiasaan, metode

keteladanan dan disiplin

Namun ada hal yang berbeda dimana sebagai seorang sufi al-Ghazali juga

menggunakan metode tazkiyah an-nafs yakni dengan penyucian jiwa melalui

bimbingan yang ketat dari syaikh yang tidak dimiliki oleh Emile Durkheim ,

Page 127: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

sedangkan Durkheim menggunakan metode penerapan hukuman dan

penggunaan sekolah dan keterikatan pada kelompok.

f. Posisi Dan syarat Pendidik Moral

Guru (pendidik moral) dalam pandangan al-Ghazali maupun Emile

Durkheim memiliki peran sentral sebagai subyek yang cukup menentukan

berhasil tidaknya pendidikan moral. Hal ini berkaitan dengan konsep teacher

centered dalam pendidikan moral mereka. Konsep seperti ini memandang anak

didik sebagai obyek yang pasif sehingga pengajaran moral yang berlangsung

merupan transfer dan transmisi dari guru

Namun begitu terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara al-Ghazali

dan Emile Durkheim berkaitan dengan kualifikasi seorang pendidik moral.

Menurut al-Ghazali seorang pendidik moral haruslah mencerminkan sifat-sifat

baik dalam dirinya, mampu mengamalkan ilmu dan amal dan juga berfungsi

sebagai waratsatul anbiya’ di bumi. Konsep demikian menganggap bahwa peran

dan tugas guru tidak hanya mempersiapkan anak didik bermoral baik dalam

kehidupan dunia semata, namun juga mempersiapkannya menghadapi kehidupan

akhirat kelak.

Adapun Emile Durkheim dalam pandangannya tentang pendidik moral

lebih mendasarkan pada kecakapan dan kewenangan profesional, menjadikan

dirinya sebagai simbol idola dan teladan bagi peserta didiknya. Kualifikasi yang

ditekankan kepada pendidik tidak mendasarkan pada moral yang baik kepada

Tuhan namun hanyalah kepribadian sosial sebagai mata rantai masyarakat dalam

mencapai tujuan sosialnya .

Page 128: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Relevansi Pendidikan Moral Al-Ghazali dan Emile Durkheim Dalam

Masyarakat Modern

Agama dalam masyarakat modern saat ini dihadapkan kepada berbagai

permasalahan sekaligus tantangan sebagai akibat langsung maupun tidak langsung

dari perubahan dalam skala besar (wide scale of change) yang melanda hampir

seluruh sektor kehidupan manusia. Diantara masalah atau tantangan tersebut

adalah runtuhnya moralitas manusia. Ketidakpedulian terhadap nilai-nilai moral

akan mengakibatkan arah dan tujuan perkembangan peradaban manusia menjadi

tidak jelas.

Adalah tanggungjawab agama untuk menjaga dan menumbuhkan

kesadaran serta komitmen manusia kepada nilai-nilai moral, sehingga dampak

negatif dari globalisasi dapat dikendalikan. Agama melalui pendidikan moral

dapat membantu anak didik memahami esensi dan arti penting nilai-nilai moral

dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu

dalam perilaku nyata.

Urgensi pendidikan moral ini mendapat perhatian yang besar baik oleh al-

Ghazali maupun Durkheim yang berpandangan bahwa pendidikan moral

merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan moralitas

dapat ditransmisikan kepada manusia melalui pendidikan.

Namun demikian Pendidikan moral yang ada, baik yang dilakukan

lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga keagamaan kurang berdaya dalam

mengatasi dampak negatif dari globalisasi (globalization). Kegagalan-kegagalan

Page 129: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pendidikan tersebut antara lain diakibatkan pada lemahnya sisi metodologi,

perbedaan orientasi antara kebaikan Individu dan sosial ( moral publik versus

moral privat) maupun landasan epistemologi pendidikan moral.

Dari sisi metodologi, pendidikan moral yang ada selama ini lebih bercorak

doktriner sehingga tidak memberi kesempatan dan ruang yang cukup kepada

kepada peserta didik untuk mengunyah ajaran-ajaran moral tersebut secara lebih

kritis. Di samping itu pendidikan moral selama ini juga cenderung lebih

mengandalkan metode yang bersifat teacher centered dan sebagai konsekuensinya

peserta didik dipandang sebagai obyek pasif, yang senantiasa tunduk. Bahkan

dianggap sebagai sosok yang perlu diasah dan dibentuk. Model-model pendidikan

semacam ini lebih mengarah kepada proses transfer dan transmisi. Metode ini

banyak digagas oleh al-Ghazali dan Emile Durkheim.

Namun demikian bukan berarti bahwa metodologi al-Ghazali dan Emile

Durkheim tidak berguna sama sekali. Metode teacher centered sebagaimana

digagas oleh al-Ghazali dan Emile Durkheim yang menekankan adanya

keteladanan oleh guru dalam konteks kekinian memiliki relevansi dan sangat

dibutuhkan. Persoalan tiadanya keteladanan juga memiliki andil bagi kegagalan

pendidikan moral selama ini. Oleh karena itu pendidikan moral haruslah

mengembangkan aspek keteladanan bukan sekedar seruan, ajakan, imbauan,

perintah apalagi pemaksaan. Pendidikan moral juga harus berlangsung secara

dialogis, kritis bukan dogmatis maupun doktriner.

Kedua, Kelemahan pendidikan moral saat ini adalah tidak adanya

integrasi orientasi pendidikan moral secara menyeluruh. Fragmentasi Orientasi

Page 130: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

pendidikan moral ini terlihat dari pendapat al-Ghazali dan Durkheim. Orientasi

pendidikan moral al- Ghazali misalnya hanya menekankan pembentukan individu

yang baik dengan munculnya kesucian jiwa untuk mendekatkan diri kepada

Allah, namun ia terpisah dari realitas sosialnya. Sedang Durkheim berpendapat

pendidikan moral berorientasi pada pengabdian manusia pada tujuan sosial dan

masyarakat, dan meninggalkan unsur eksistensi individu.

Orientasi pendidikan moral al-Ghazali yang menekankan kesalehan

individual memiliki relevensi dimasa modern seperti sekarang ini dimana manusia

mengalami krisis identitas diri, kehampaan makna hidup dan sangat

membutuhkan tuntunan dalam dirinya. Namun disisi lain kesalehan individual itu

membentuk individu yang kurang peduli dengan realitas sosial masyarakat.

Demikian halnya orientasi pendidikan moral Durkheim yang

menekankan pada kesadaran kolektif. Ini menjadi penting jika dikaitkan dengan

kecenderungan masyarakat modern saat ini yang lebih mengagungkan

individualisme dan mengabaikan tujuan dari tatanan sosial masyarakat yang telah

ada.

Sebagaimana diketahui, dewasa ini pengagungan terhadap individualisme

meninggalkan problem serius dalam masyarakat, meskipun harus diakui bahwa

individualisme membuka kebebasan bagi manusia sehingga kreatifitas dan inovasi

dapat tumbuh subur, namun perlu diingat pada saat yang sama individualisme

membawa benih-benih kegetiran. Pertama manusia dengan sikap

individualistiknya cenderung menuntut kebebasan tanpa batas. Atau sepenuhnya

akibatnya peraturan-peraturan normatif terabaikan. Kedua manusia kurang peduli

Page 131: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

terhadap kepentingan sosial karena lebih sibuk dengan kepentingannya sendiri.

Louis Leahy bahkan menyebutkan aliran pemikiran modern menganggap manusia

hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Gejala demikian semakin mengakar seiring berdentumnya gelombang

modernisasi. Modernisasi yang pada awalnya dianggap sebagai pembawa

kemajuan dan perkembangan manusia membawa efek ikutan yang

membahayakan. Akibat paling buruk adalah menyusutnya kebudayaan yang

berlangsung dalam kehidupan manusia di berbagai bidang dan tempat. Dengan

demikian hampir sebagian orang kehilangan makna dan pegangan hidup

Ditengah-tengah realitas seperti ini tradisi lama disisihkan dan dianggap

usang, sementara nilai-nilai baru tidak kunjung memberikan kebaikan. Pada

gilirannya hal ini menyebabkan rusaknya tatanan sosial, sehingga kebersamaan

yang kohesif pudar bersamaan dengan tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan

individu dalam kehidupan bersama. Jati diri individu menjadi abstrak dan hanya

berdasar pilihan bebasnya sendiri. Kesadaran bahwa seseorang menjadi warga

komunitas dan berbuat baik bagi komunitas secara keseluruhan adalah baik untuk

diri telah menipis. Bahkan cenderung menghilang.220 Individualisme dengan

sendirinya meletakkan individu diatas kolektifitas, sebaliknya norma-norma tidak

memiliki otoritas yng cukup kuat dalam mengukuhkan kesadaran diri. Persis pada

titik inilah manusia kembali kehilangan guiding principle dalam menentukan arah

kehidupan. Inilah kondisi yang disebut Durkheim sebagai anomie (keadaan

220 Ross Poole, Moralitas Dan Modernitas; Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme, terjemahan F.B Hardiman, (Yogyakart: Kanisiuis, 1993) hal. xiv-xv

Page 132: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

hampa moral). Disisi lain orientasi hanya terhadap pencapain tujuan masyarakat

semata akan menimbulkan problem serius dalam peneguhan keunikan dan

kepribadian individu. Apalagi bila individu tersebut kurang dibekali nilai-nilai

agama. Ia akan terombang-ambing ditengah masyarakat. Apa yang dinggap

masyarakat baik akan diikutinya dan apa yang dianggap masyarakat buruk akan

ditinggalkannya. Padahal dalam masyarakat modern seperti sekarang tidak semua

yang baik menurut masyarakat, baik bagi individu. Oleh karena itu hasil sintesis

antara orientasi pendidikan al-ghazali dan emile Durkheim dalam wujud integrasi

orientasi tujuan mereka menjadi sangat penting dalam masyarakat modern.

Ketiga berkaitan dengan landasan epistemologi. Pendidikan moral dengan

transfer dogma-dogma sebagai otoritas moral yang sangat meminggirkan akal

pikiran dalam mengunyah dan menginternalisasikan aturan-aturan dan tata moral

dan menggantikannya dengan bimbingan secara ketat syaikh seperti yang

dikemukakan al-Ghazali, akan meminggirkan fungsi kritis dari akal manusia

dalam memamahami realitas. Adalah sangat naif jika pada era modern seperti

sekarang ini peran akal pikiran manusia dipinggirkan. Kegelisahan anak muda era

modern mencari spiritualitas baru jangan-jangan disebabkan penyempitan

ventilasi ruang gerak akal pikiran untuk merumuskan etika keagamaan mereka

sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Sekat-sekat budaya, batas-batas wilayah,

semakin transparan sehingga akal pikiran tidak mungkin tidak terpengaruh

gelombang budaya dan ilmu. Ini tidak relevan dengan semangat rasionalisme yang

diusung oleh masyarakat modern. Demikian halnya pendidikan moral Emile

Durkheim yang mendewakan akal dan sumber moral adalah sesuatu yanga dapat

Page 133: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

diindera secara empiris seperti apa yang ada dalam masyarakat. Hal ini akan

mengakibatkan manusia kehilangan nilai-nilai moral yang lahir dari fithrah

dirinya dan diganti dengan munculnya akal instrumentalis yang serba materi.

Bagaimanapun harus disadari bahwa manusia tidak hanya dibekali potensi akal

semata namun juga perasaan dan hati nurani yang juga sangat berguna dalam

memberikan tuntunan dalam mencari nilai-nilai moral bagi kehidupan.

Melihat dari hal diatas maka landasan pendidikan moral sudah seharusnya

memberikan porsi yang seimbang terhadap akal manusia dalam menterjemahkan

nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Bukan seperti Durkheim yang lebih

mengunggulkan rasio dan menolak agama yang berakibat hilangnya nilai-nilai

transenden dalam kehidupan, ataupun al-Ghazali yang menekankan peran wahyu

secara total dengan meminggirkan rasio. Sehingga etika keagamaan menjadi kaku,

rigid dan puritan. Namun haruslah ada keseimbangan dalam keduanya.

Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pendidikan moral diletakkan

diatas unsur-unsur nilai agama yang paling mendasar yang dipahami secara

komprehensif dari tinjauan berbagai perspektif, termasuk telaah historis yang

merupakan hasil refleksi sosio-kultural kekinian. Dengan pertimbangan yang sarat

nilai tersebut pendidikan moral akan selalu terbuka terhadap kritik untuk terus

melakukan transformasi.

Diantara komponen- komponen nilai yang secara sistemik mengakar

dalam agama dan lebih mencerminkan karakter inklusif dan universal adalah

sistem nilai kultural, sitem nilai sosial, sistem nilai psikologis, sistem nilai tingkah

Page 134: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

laku manusia yang memuat interelasi dan interkomunikasi dengan sesamanya.221

Dengan demikian seharusnya dalam pendidikan moral terkandung nilai-nilai

humanitarianisme-transendental yang bisa dijadikan sandaran civil ethics yang

mampu menggugah kesadaran intrinsik manusia akan adanya pertanggung

jawaban moral dalam menunaikan amanahnya masing-masing sebagai abdi dari

sang Khalik. Dan aspek transenden222 yang merupakan unsur eksistensial yang ada

dalam setiap diri manusia sebagai human being yang selalu berusaha melewati

batas kemanusiaannya atau apa yang disebut transendensi diri menuju kasalehan

ritual dan kesalehan sosial.

Pendidikan moral juga harus mempunyai visi etis bagi kehidupan

masyarakat, berusaha mengantisipasi dampak perubahan sosial dari akibat

revolusi industri dan merebaknya kapitalisme yang berakibat adanya kesenjangan

antara yang publik dan yang privat sehingga memudarkan tanggung jawab publik

dari warga karena kuatnya dorongan pemuasan kepentingan pribadi. Sehingga

pendidikan moral mampu melahirkan sentimen moral dan sikap saling

menyayangi sesama.

Visi etis moralitas mengandung arti bahwa setiap masyarakat mempunyai

suatu kearifan moralitas alamiah yang lahir dari persamaan-persamaan hak asasi

manusia dan persaman dalam menunaikan kewajiban-kewajiban moral, yang

221 HM. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996) hal 140-141222 Transendensi dalam pandangan Marcel adalah langkah-langkah partisipatif untuk

mencapai pemenuhan diri yaitu kemampuan untuk bisa naik dari bentuk pengalaman tertentu, prarefleksi yaitu eksistensi menuju bentuk pengalaman yang semakin murni. Lihat Mathias Hariyadi, Membina Hubungan Antara Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi, persekutuan dan cinta menurut Gabriel Marcel, (Yogyakarta: Kanisius, 1994) hal. 90

Page 135: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

darinya individu dan masyarakat bersepakat menciptakan kontrak sosial dalam

mengabsahkan formasi-formasi sosial yang eksis menjamin kohesi sosial.

Akhirnya terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya pendidikan

moral yang dikemukakan oleh Al-Ghazali maupun Durkheim setidaknya

memberikan wawasan baru, ide-ide inovatif dan kontribusi masyarakat modern.

Bukan untuk menghentikan laju globalisasi dalam masyarakat modern, tetapi

untuk menumbuhkan kesadaran dan komitmen manusia kepada nilai-nilai moral,

sehingga dampak negatif dari globalisasi dapat dikendalikan.

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan :

1. Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan moral bercorak individual dan

religius. Tujuan pendidikan moral dalam pandangan al-Ghazali adalah

membentuk manusia yang suci jiwanya dalam rangka mendekatkan diri kepada

Allah. Sumber pendidikan moral al-Ghazali adalah wahyu dan melalui bimbingan

secara ketat dari syaikh sehingga kurang mengoptimalkan fungsi akal. Materi

pendidikan moral al-Ghazali meliputi ilmu dan amal. Metode pendidikan al-

Ghazali adalah: metode pembiasaan, metode keteladanan dan metode tazkiyah an-

nafs (penyucian jiwa) melalui takhliyah al-nafs dan tahliyah al-nafs. Takhliyah al-

Page 136: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat

tercela. Sedangkan tahliyah al-nafs merupakan penghiasan diri dengan moral dan

sifat terpuji. Mengenai peran dan Syarat pendidik moral al-Ghazali menekankan

bahwa pembimbing moral adalah warastatul anbiya’ dengan konsep teacher

centered.

2. Pandangan Emile Durkheim tentang pendidikan moral bercorak sosial, rasional

dan sekuler. Pendidikan Moral menurut Emile Durkheim adalah sarana sosial

untuk mewujudkan tujuan sosial. Sehingga tujuan pendidikan moral adalah

terciptanya solidaritas sosial dan ekuilibrium sosial dalam masyarakat. Otoritas

pembuat moral dalam pandangan Durkheim adalah masyarakat dengan

menggantikan peran agama.Materi pendidikan moral Emile Durkheim merupakan

kurikulum yang tersembunyi (hidden curiculum). Emile Durkheim menekankan

metode pendidikan moralnya dengan disiplin, pembiasaan, penggunaan sekolah

sebagai keterikatan dalam kelompok dan metode keteladanan. Mengenai peran

dan posisi guru, Durkheim menggunakan konsep teacher centered dimana peran

dan posisi guru sebagai mata rantai dan agen moral dari masyarakat sangatlah

penting.

3. Baik al-Ghazali dan Emile Durkheim mengakui adanya otoritas moral yang

tertinggi sebagai prinsip pengarah (guiding principle) dalam kehidupan manusia.

Keduanya juga mengakui bahwa sumber moral adalah partikular. Metodologi

pendidikannya mengembangkan konsep teacher centered dan menekankan arti

penting metode keteladanan dalam membentuk moral yang baik. Perbedaan antara

keduanya terletak pada konsep dan hakekat pendidikan moral, al-Ghazali lebih

Page 137: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

bercorak individualis dan durkheim bercorak sosialis. Hal ini berakibat pada

perbedaan tujuan pendidikan moral. Disisi epistemologi yang otoritas moral

keduanya pun berbeda, al-Ghazali menekankan kepada wahyu sedangkan

Durkheim menekankan pada masyarakat. Materi pendidikan moral keduanya juga

berbeda al-Ghazali menekankan materi yang terapliksikan dalam program

pengajaran, sedangkan Durkheim menggunakan hidden curiculum.

4. Urgensi pendidikan moral yang mendapat perhatian besar baik oleh al-Ghazali

maupun Durkheim yang berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan

faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, pendidikan merupakan

saran dalam mentransformasikannya adalah sangat relevan dengan masyarakat

modern yang mengalami krisis kemanusiaan, kehampaan makna hidup maupun

disorientasi dalam kehidupannya. Metode keteladanan pun masih diaggap cukup

relevan dalam pendidikan moral. Namun demikian konsep pendidikan yang

bercorak teacher centered dianggap kurang relevan dengan masyarakat modern.

Konsep pendidikan semacam ini kurang menghargai potensi dan bakat yang

terkandung dalam diri anak didik. Disisi lain Orientasi pendidikan moral Al-

Ghazali dengan menekankan pada wilayah individu semata akan akan melahirkan

manusia yang lepas dari realitas sosialnya. Sementara orientasi pendidikan moral

Emile Durkheim yang hanya menekankan pembentukan masyarakat yang baik

akan melahirkan kurangnya penghargaan pada eksisitensi manusia. Oleh karena

itu, integrasi orientasi pendidikan moral keduanya merupakan amunisi yang cukup

ampuh dalam menanggulangi krisis manusia modern, menuju terbentuknya

kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Page 138: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

B. SARAN-SARAN

Bertitik tolak dari penelitian yang ada maka penulis memberikan saran untuk proses pendidikan ke depan:

1. Bahwa sudah saatnya pendidikan moral diajarkan secara sistematis dalam

lembaga pendidikan formal baik secara eksplisit, ataupun implisit dalam

setiap program pengajaran agama.

2. Proses yang berlangsung dalam pendidikan moral

hendaknya bersifat dialogis dan transformatif, serta menempatkan peserta

didik sebagai subjek sehingga memberikan ruang kepada peserta didik

untuk mendayagunakan segala potensinya mencapai kedewasaan berpikir

dan kematangan bertindak.

3. Bagi pendidik Disamping dituntut menampilkan

dirinya sebagai teladan, juga harus mampu menyampaikan secara arif nilai-

nilai moral, mampu menjadi fasilitator dan sekaligus sebagai katalisator

dalam instropeksi moral.

4. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini

sangat jauh dari kesempurnaan sehingga pembaca diharapkan melakukan

penelitian lebih lanjut dalam mempertajam kajian yang ada baik dengan

membandingkan tokoh lain ataupun field research sehingga memberikan

sumbangn positif bagi sistem pendidikan moral.

Page 139: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

DAFTAR PUSTAKA

Atiyah al-Abrasyi, Muhammad, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj. H. Bustami dan Johar Bahry), Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Amin Abdullah, Antara al- Ghazali dan Kant: Filsatat Etika Islam, (Penerj. Hamzah, Bandung: Mizan, 2002.

7Al-Ghazali, Muhammad, Ihya’ Ulumuddin, (terj. H. Ismail Yakub), Jakarta: CV.Faizan, 1985.

---------, Jawahirul Qur’an: Permata Ayat-ayat Suci, (alih bahasa : Mohammad Luqman Hakiem), Surabaya : Risalah Gusti, 1995.

----------, al Munqidz minal Dhalal, Kairo : Silsifat al Tsaqofat al Islamiyah, 1961.

A. Sudiarja SJ, “Pendahuluan” dalam Budi Susanto, et al. , Nilai-Nilai Etis Dan Kekuasaan Utopis : Panorama Praksis Etika Indonesia Modern, Yogyakarta : Kanisius, 1992.

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Masalah Pembaruan Pendidikan Islam, dalam Ahmad Busyairi dan Sahil, Azharuddin,Tantangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: LPM UII, 1997.

Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman; Suatu Pengantar Tentang Tasawuf, (alih bahasa, Ahmad Rofi’), cet. II, Bandung : Pustaka, 1997.

Page 140: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (alih bahasa : al-Baqir), cet. IV, Bandung: Mizan, 1996.

Al-Syaibani OMA, Filsafat pendidikan Islam, (terjemahan Hasan Langgulung), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, cet. VI, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung: Eresco cet. XII, 1993.

AS Homby, EV Galerby dan H. Wakel field, The The Advanced of learner’s Dictionary of current English, London, Oxford University Press, 1973.

Basyuni Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filsuf Muslim, cet. I, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997.

Chang, William, Pendidikan Nilai-nilai Moral, Kompas Senin 3 Mei 1999.

Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi Menurut Durkheim Dan Henry Bergson, Yogyakarta : Pustaka Filsafat, 1994.

Durkheim, Emile, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (terj. Lukas Ginting), Jakarta : Erlangga, 1990.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Dadang Hawari, Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Mental, Jakarta : Dana bakti Prima Yasa, 1996.

Dagobert D. Runer,et.al, Dictionary Of Philosophy, New Jersey, littlefield Adam & co, 1971.

Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant dalam Jurnal Filsafat edisi 23 Nopember 1995, Yogyakarta : Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada.

Eko Wijayanto, Etika Global untuk masyarakat Global, dalam Kompas, 20 Januari, 2003.

Page 141: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Esposito, John L, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, (alih bahasa, Eva Y.N), dkk., cet. I, Bandung: Mizan, 2001.

F. Budi Hardiman , Melampaui Positivisme Dan Modernisasi, Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, Yogyakarta : Kanisius, 2003.

---------, Kritik Ideologi, Pertautan pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta : Kanisius, 1993.

Frans Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Kanisius,1991.

---------, Etika Dasar ; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta : Kanisius, 1994.

Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, Yogyakarta : CV Bina Usaha, 1984.

Giddens, Anthony, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber, Jakarta : UI press, 1985.

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1985.

Hasan Sulaiman, Fatiyah, Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali, (terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz), Jakarta: P3M,1990.

H.M. Zurkani Jahja, Teologi : Pendekatan Metodologi, cet. I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.

Berger, Peter L., Pikiran Kembara, Yogyakarta : Kanisius, 1992.

H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan pendidikan , pengantar pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta : PT Grasindo, 2002.

Hikmat Budiman, Pembunuhan yang selalu Gagal ; Modernisme dan Rasionlitas Menurut Daniel Bell, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.

Hasan al-Basya, Dirasah fi Tarikh al Daulah al-‘Abbasiyah, Kairo : Dar al Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1975.

H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara,1987.

Mochtar Lubis, (peny.), Menggapai Dunia Damai, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988.

Page 142: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Haedar Nashir, Krisis Manusia Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. II, 1999.

Hungtinton, samuel P., Benturan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia, (terj. M. Sadat Ismail), Yogyakarta: Penerbit Qalam: 1996.

Kung, Hans, Etika Ekonomi-Politik Global, (terj. Ali Noer Zaman), Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002.

.I. Aria Dewanta, Upaya Merumuskan Etika Ekologi Global, Basis No. 01-02

Tahun ke-52, Januari-Februari 2003.

Ibnu Khaldun, Kitab al-‘Ibar wa Daiwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, Beirut : Muassasat Jammal li al-Tiba’ah wa al-Nasyar, 1979.

Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (alih bahasa : A. Mas’adi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, 1999.

Inkeless And Smith, Dalam Dr. Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga , Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Joesoep Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1977. Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern I, (terj. Robert MZ

Lawang), Jakarta : Gramedia Cet.,1994.

John Snarey, Moral Education Emile Durkheim Dan Moral Sozialisation dalam Marvin C, Alkind (ed) , Encyclopedi of educational research (new York, Macmillan Publishing Company, 1992) vol. 3.

Khursyid Ahmad, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, (terj. AS Robith), Surabaya : Pustaka progresif,1992.

K. Bertens, Etika, Jakarta : Gramedia, 1994.

Light and Keller, Sociology dan Zenden, The Social experience dalam M. Rusli Karim, Agama, Modernisasi & Sekularisasi, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1994.

L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (terj. Samekto SS), Jakarta: Gramedia,1983.

Margaret Smith, Al-Ghazali The Mystic, Lahore: Kazi Publication, t.t.

Page 143: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

M. ‘Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazali, Delhi: Publisher & Distributors, 1996.

Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum, Bandung : Alfabeta,1993.

Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (alih bahasa Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah), cet. I, Surabaya : Risalah Gusti, 1996.

Musya Asy’ari, Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial, Sebuah Bunga Rampai Filsafat, Jakarta : Sinar Harapan, 1984.

Musa Asy’arie, dkk., Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.

Mahmud Arif, Konsep Pendidikan Moral : Telaah Terhadap Pemikiran al-Mawardi, Tesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1990.

M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Delhi: Low Price Publications, 1961.

M. Francis Abraham, Modernisasi di Dunia ketiga, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.

Naisbitt, John Dan Abuderbe, Patricia, Mega Trends 2000, Sepuluh Arah Baru

Untuk Tahun 1990-an, Jakarta : Binarupa Aksara, 2000.

Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta: Raka Sarasin, 1993.

----------, Metodologi Penelitian kualitatif, Yogyakarta : Raka Sarasin, 1989.

Nasih Ulwan, Abdullah, Pendidikan Anak Menurut Islam : Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, (terj. Khalilullah Ahmad Masykur), Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990.

Nouruzzaman Shidiqi, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983.

Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan , Teoritis Dan Praktis, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,1985.

Peristiany, J.G, “pengantar” dalam Emil Durkheim, Sosiologi dan Filsafat, (terj. Soedjono Dirdjosisworo), Jakarta: Erlangga, 1989.

Page 144: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Rosseau, JJ, Kontrak Sosial, (terj. Sumardjo), Jakarta : Erlangga, 1986.

Ross Poole, Moralitas Dan Modernitas; Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme, (terj. F.B Hardiman), Yogyakarta : Kanisius, 1993.

S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam, (terj. Anas Mahyudin), Bandung: Pustaka, 1983.

Sulaiman Dunia, Al Haqiqat Fi Nazli Ulum Al Ijtimaiyat, (Kairo, Daar al Ma’arif 1971.

Seyyed Hossein dan Oliver Leaman, Routledge History of World Philosophies: History of Islamic Philosophy, Part I, London dan New York: Rotledge, 1996.

Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah al-Islamiyah, Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Musri, cet. V, 1974.

Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Jakarta : PT Gramedia, 1983.

Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Di Era Globalisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1998.

Sutrisno Hadi, Metodologi research I, Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1987.

Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981.

Taufik Abdullah & Van Der Leeden, A.C., Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,1980.

Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin Dalam Perspektif Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia,1999.

W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (alih bahasa, Hartono Hadikusumo), cet. I, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta : CV Ruhama, 1994.

Yusuf al Qardawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, (alih bahasa : Abrori), cet. III, Surabaya : Pustaka Progressif, 1996.

Page 145: Otonomi Dan Kebiasaan Manusia Dalam Pemikiran Soedjatmiko-00

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1975.