Imlikasi otonomi

50
LAPORAN HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DA Y A ALAM Oleh: Eko Sabar Prihatin (Bagian Hukum Tata Negara FH UNDIP) Dibiayai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia T ahun Anggaran 2009 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG T AHUN 2009 HALAMAN PENGESAHAN HASIL PENELITIAN 1. a. Judul Penelitian : OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM 2. Ketua Peneliti : a. Nama Lengkap : Eko Sabar Prihatin,SH,MS  b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Gol./Pangkat/NIP : IVB/Pembina Tk.I/131458541 d. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala e. Jabatan Struktural : - f. Bagian : Hukum Tat a Negara Fakultas Hukum UNDIP 3. Jumlah Peneliti : 11 (sebelas) orang a. Wakil Ketua : Untung Dwi Hananto, SH, MHum  b. Sekretaris : Indarja,SH,M H c. Anggota : Lita T yesta ALW , SH,MHum d. Anggota : Untung Sri Harjanto,SH,MH e. Anggota : Amiek Sumarmi,SH,MHum f. Anggota : Amalia Diamantina,SH, MHum g. Anggota : Fifiana Wisnaeni, SH, MHum h. Anggota : Retno Saraswati, SH, MH um i. T enaga Pendukung : Susilo, SH  j. T enaga Pendukung : Triyono, SH, MH k. T enaga Pendukung : Heru Setiyono, Ssi 4. Lokasi Penelitian : Jawa T engah 5. Lama Penelitian : 2 (dua) bulan 6. Biaya yang diperlukan : Rp. 108.250.000,- (seratus delapan juta dua ratus lima puluh rupiah ) Semarang, 28 Agustus 2009 Mengetahui Dekan Fakultas H ukum UNDI P Ketua Peneliti, Prof. Dr . Arief Hidayat, SH, MS Eko Sabar Prihatin,SH,MS  NIP. 130 937 134 NIP . 131 458 541 KA T A PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas selesainya penelitian dengan judul “OTONOMI DAERAH DANPENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM” ini. Pada kesempatan ini kami tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam bentuk apapaun sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

Transcript of Imlikasi otonomi

Page 1: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 1/50

 

LAPORAN HASIL PENELITIAN

OTONOMI DAERAH DAN

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Oleh:Eko Sabar Prihatin

(Bagian Hukum Tata Negara FH UNDIP)

Dibiayai olehDewan Perwakilan Daerah (DPD)

Republik Indonesia

Tahun Anggaran 2009FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANGTAHUN 2009 HALAMAN PENGESAHAN HASIL PENELITIAN

1. a. Judul Penelitian : OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER 

DAYA ALAM

2. Ketua Peneliti :

a. Nama Lengkap : Eko Sabar Prihatin,SH,MS b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Gol./Pangkat/NIP : IVB/Pembina Tk.I/131458541d. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

e. Jabatan Struktural : -

f. Bagian : Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNDIP3. Jumlah Peneliti : 11 (sebelas) orang

a. Wakil Ketua : Untung Dwi Hananto, SH, MHum

 b. Sekretaris : Indarja,SH,M H

c. Anggota : Lita Tyesta ALW, SH,MHumd. Anggota : Untung Sri Harjanto,SH,MH

e. Anggota : Amiek Sumarmi,SH,MHum

f. Anggota : Amalia Diamantina,SH, MHumg. Anggota : Fifiana Wisnaeni, SH, MHum

h. Anggota : Retno Saraswati, SH, MHum

i. Tenaga Pendukung : Susilo, SH j. Tenaga Pendukung : Triyono, SH, MH

k. Tenaga Pendukung : Heru Setiyono, Ssi

4. Lokasi Penelitian : Jawa Tengah5. Lama Penelitian : 2 (dua) bulan

6. Biaya yang diperlukan : Rp. 108.250.000,- (seratus delapan juta dua ratus lima puluh

rupiah )

Semarang, 28 Agustus 2009Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum UNDIP Ketua Peneliti,

Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS Eko Sabar Prihatin,SH,MS NIP. 130 937 134 NIP. 131 458 541 KATA PENGANTAR 

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas selesainya penelitian dengan judul

“OTONOMI DAERAH DANPENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM” ini.Pada kesempatan ini kami tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak 

yang telah memberikan bantuan dalam bentuk apapaun sehingga penelitian ini dapat

diselesaikan.

Page 2: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 2/50

 

Tim peneliti juga menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna.

Karenanya atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam hasil penelitian ini,

kami mohon maaf dan mengharapkan saran, kritik serta masukan agar hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnyaSemarang, 28 Agsutus 2009

Tim Peneliti

iDAFTAR ISIKATA PENGANTAR …………………………………………………..... ...... i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………...... ii

ABSTRAK ………………………………………………………………….... . ivBAB I PENDAHULUAN ……………………………………………........ 1

A. Latar Belakang Penelitian …………………………………........ 1

B. Rumusan Masalah..…………………………………................... 5C. Tujuan Penelitian …………………………………………… ..... 6

D. Kontribusi Penelitian ………………………………………… ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...... 7

BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………... 16

A. Metode Pendekatan ……………………………………………... 16B. Spefikasi Penelitian ....................................................................... 16

C. Metode Pengumpulan Data …………………………………....... 16D. Metode Penyajian Data ……………………………………......... 17

E. Metode Analisis Data ……………………………………............ 17

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMABAHASAN ………………... 191. Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan

Pembangunan Berkelanjutan .......................................................... 19

2. Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan

Lingkungan Hidup........................................................................... 223. Pengelolaan Sumber Daya Alam ..................................................... 34

4. Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era Otonomi Daerah.............. 47

iiBAB V PENUTUP …………………………………………………… ........ 93A. Kesimpulan …………………………………………………….. 93

B. Saran ………………………………………………………….... 95

DAFTAR PUSTAKAiiiABSTRAK 

Banyak permasalahan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya

 pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebutdapat timbul akibat proses pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek 

lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan

lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada

sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomidaerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya

alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.

Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana,yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek 

lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan daerah, yang

 bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal sepertiketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi

yang tidak ramah lingkungan.

Permasalahannya adalah Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah

Page 3: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 3/50

 

(perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip

 pembangunan berkelanjutan? Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang

 pengelolaan sumber daya alam di daerah? Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan

sumber daya alam dalam proses perijinan? Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dankuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah?

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara

yuridis normatif. Metode yuridis digunakan sehubungan dalam penelitian ini yang ditelitiadalah peraturan hukum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundangan yang berkaitan dengan

 pengelolaan sumber daya alam sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian

yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk 

 pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelolasumber daya alam dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan

 berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada

dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan

 program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan

masyarakat.Kata kunci : otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam

ivBAB IPENDAHULUAN

a. LATAR BELAKANG MASALAH

Otonomi Daerah adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintahdengan rakyat sehingga ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi menjadi terbuka.

Dengan dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat

kebijakan seharusnya, kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah

daerah semakin besar. Otonomi dianggap jauh lebih demokratis dibanding sistem yangterpusat, bahkan lebih menjamin adanya pluralitas (tidak menggunakan pendekatan yang

seragam seperti pada masa orde baru), karena menghindari dominasi suatu kekuasaan

 berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideologi tertentu. Dengan otonomimaka daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kebijakan

sendiri sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, otonomi daerah berarti:a. Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat.

 b. Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat didalam

 pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari.c. Tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan batas ekologi

(bioecoregion).

d. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan

menghancurkan daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati dayadukung.

1e. Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang

 paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaansumber daya alam dan lingkungan hidup.

Agar kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan kekuasaan daerah dapat

memenuhi rasa keadilan, kebutuhan dan keadilan masyarakat setempat, maka pelaksanaan otonomi harus memenuhi prasyarat sebagai berikut :

1) Otonomi bukan hanya menyangkut penyelenggaraan kekuasaan pemerintah atau pun

legislatif, tetapi yang lebih penting lagi adalah merupakan perwujudan kedaulatan

Page 4: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 4/50

 

rakyat. Oleh karena itu, pengalihan kekuasaan dari pemerintahan yang selama ini

terpusat harus menjadi bagian dari proses demokratisasi yang dicirikan oleh adanya

 pengembangan kemampuan (capacity) dan sistem pertanggung-jawaban secara

 politik maupun hukum (tanggung-gugat) secara terbuka oleh para pejabat daerah;serta pengembangan kemampuan dan peluang rakyat setempat dalam melakukan

 pengawasan.

2) Untuk menjamin adanya demokratisasi dan pertanggung-jawaban pemerintah daerahdan DPRD maka sangatlah penting untuk mengubah sistem pemilihan umum.

Pemilihan umum harus dilakukan dengan sistem distrik, sehingga para anggota

DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat akan lebih bertanggung-jawab kepada para pemilihnya dan bukan kepada partai seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, sistem

 pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa/Lurah)

hingga pemerintah yang ada pada unit terkecil harus dilakukan dengan cara pemilihan langsung. Ini akan menghindari munculnya persokongkolan antara partai

atau DPRD dengan kepala daerah, bahkan membuka peluang bagi rakyat untuk 

2mempersoalkan atau menggugat kebijakan pemerintah setempat yang merugikan

kepentingan rakyat.

3) Otonomi yang paling dasar haruslah ada pada tingkat komunitas masyarakat yangterkecil seperti desa atau sejenis. Disini rakyatlah yang memutuskan dalam

 pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Rakyat diberi hak dan jaminan hukum untuk ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di

desanya, misalnya soal penataan ruang atau kawasan, pemberian ijin investasi,

 bahkan hak untuk memperoleh prioritas dalam memanfaatkan atau menikmati hasil pengelolaan sumberdaya alam setempat.

4) Agar otonomi terhindar dari sistem negara di dalam negara, maka pengelolaan

daerah-daerah otonom harus dilandaskan pada konstitusi nasional maupun pada

 peraturan perundangan lainnya yang berlaku secara nasional dan universal yaitu peraturan perundangan yang mengatur lingkungan hidup, hak azasi manusia,

moneter, kebijakan luar negeri, dan pertahanan.

5) Daerah otonom juga harus menghormati hukum internasional yang telah disepakatioleh banyak negara, misalnya konvensi tentang hak-hak buruh; tentang anak-anak 

dan perempuan; tentang keanekaragaman hayati; tentang perdagangan bahan beracun

 berbahaya atau B3 (konvensi Basel); tentang perdagangan satwa (CITES); tentanghak azasi manusia; tentang hak untuk berpindah dan menetap; diskriminasi etnik dan

ras, dan sebagainya.

6) Oleh karena itu, otonomi memerlukan adanya masyarakat sipil (civil society) yangterdiri dari berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat, yang kuat, solid, selalu

 berpikir kritis, dan mampu melakukan kontrol atau pengawasan terhadap

3penyelenggaraan kekuasaan daerah yang berada di tangan eksekutif, legislatif dan

yudikatif.7) Otonomi haruslah mengubah pandangan dan perilaku penyelenggara kekuasaan di

daerah untuk benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Artinya pemerintah benarbenar meletakkan

kepentingan dan suara masyarakat sebagai pijakan dari semuakebijakan publik yang dibuat.

Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa begitu banyak masalah yang terkait

dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses

 pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era

otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin

Page 5: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 5/50

 

 bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan

 bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di

mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam

yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di manamana, yang diikuti dengan

timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang

menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari halhal yang bersifat

lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala

lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam

sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam

 pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal4ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat

dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaikbaiknya agar 

 prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat

terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan

masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.

 b. PERUMUSAN MASALAHBerdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas peneliti merumuskan masalah

 penelitian ini adalah:

1. Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan

 berkelanjutan?

2. Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan

sumber daya alam di daerah?3. Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses

 perijinan?

4. Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi denganinstansi terkait dan stakeholders di daerah?

5c. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk:1. Mengetahui peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam

sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

2. Mengetahui upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah.

3. Mengetahui penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses

 perijinan.

4. Mengetahui upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansiterkait dan stakeholders di daerah.

d. KONTRIBUSI PENELITIAN

a. Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi bahan kajian lebih jauhtentang otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.

 b. Selain hal itu diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk menambah dan

melengkapi ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungantentang otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.

6BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Page 6: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 6/50

 

Pengelolaan sumber daya alam termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan

dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya

 berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem

 pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapankelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat

hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi)

dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan sumber daya alam, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri

sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh

 pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.1. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, dalam bidanglingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah

 pusat kepada daerah:

• Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.

• Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.

• Membangun hubungan interdependensi antar daerah.• Menetapkan pendekatan kewilayahan.

7Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya alam titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional

dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit RPJPN merumuskan program yang

disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itumencakup :

1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam

dan Lingkungan Hidup.

Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yanglengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan

hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi.

Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnyainformasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data

spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat

luas di setiap daerah.2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi

Sumber Daya Alam.

Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan

mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya,

sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien

dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasankawasan konservasi darikerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang

tidak terkendali dan eksploitatif 

83. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran LingkunganHidup.

Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya

mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitaslingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan,

serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya

kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas

Page 7: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 7/50

 

lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan

yang ditetapkan.

4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber 

Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem

hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk 

mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidupyang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya

kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan

didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.

5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam

dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian

 pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan

9pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya

sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian

fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilankeputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.

2. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Penegakan Hukum LingkunganDengan pesatnya pembangunan nasional yang tujuannya meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah

tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikanlandasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan

dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan

lingkungan hidup, sehingga hal ini dapat menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh

karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalamPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas

lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan

 penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan.Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya

 permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan

lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :1. Regulasi Perda tentang Sumber Daya Alam.

2. Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.

3. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan4. Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan

hidup.

105. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan

stakeholders6. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.

7. Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.

8. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.9. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pengelolaan Sumber Daya Alam adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan

yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi

Page 8: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 8/50

 

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi

 penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan

keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan

lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan.

Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindunganterhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).

 Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam UUPLH, maka undang-undang ini

merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam

11penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal inimengingat pengelolaan sumber daya alam memerlukan koordinasi dan keterpaduan

secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen

sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang

 No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang kehutanan, UU No.

26 Th 2007 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan

Gubernur.Mengingat kompleksnya pengelolaan sumber daya alam dan permasalahan yang

 bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan daerah

diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang sejalandengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya,

lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling

memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta

ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan.Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta

 penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk 

mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada

slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa

yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dariwaktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal

12yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah dalam era otonomi

daerah antara lain sebagai berikut.• Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimpahkan

sebagian kewenangan mengelola sumber daya alam di daerah belum mampu

dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam

 pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam, demikian juga ego sektor.Pengelolaan sumber daya alam sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang

satu dengan sektor yang lain, tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan

menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan sumber daya alam) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain

• Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program

dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkankeberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan

hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada

kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program

Page 9: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 9/50

 

 pengelolaan sumber daya alam, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN

yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan sumber daya alam.

• Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan

sumber daya alam selain dana yang memadai juga harus didukung olehsumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum

mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan

sumber daya alam (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.

13• Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi

ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian;

eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat,

aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Faktamenunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan

hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang

semestinya.

• Lemahnya implementasi paraturan perundang-undangan. Peraturan perundangundangan yang berkaitan

dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalamimplementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak 

melaksanakan peraturan perundang-undangan dengan baik, bahkan mencarikelemahan dari peraturan perundang-undangan tersebut untuk dimanfaatkan guna

mencapai tujuannya.

• Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan.Berkaitan dengan implementasi peraturan perundang-undangan adalah sisi

 pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Banyak pelanggaran

yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat

lemah didalam pemberian sanksi hukum.• Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran

akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini,

 perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga14masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun

masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.

• Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat

dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan

dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.

Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang

sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun.

Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerahdaerah otonom yanghampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang

kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin

mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta diatas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang

 berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi

lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal inisangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi,

 banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang

menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang

Page 10: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 10/50

 

mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah

manusia itu sendiri.

15BAB III

METODE PENELITIANA. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis

normatif, yaitu suatu pendekatan secara yuridis yang mendasarkan pada kaidahkaidah hukum publik.B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah secara deskriptif analitis, artinya suatu

cara pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan memamarkankeadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta – fakta yang tampak 

sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis secara objektif.

Deskriptif artinya memberikan gambaran tentang objek yang diteliti, yaitu segalaketentuan dan prosedural yang berhubungan dengan otonomi daerah dan pengelolaan

sumber daya alam. Sedangkan analitis artinya melakukan kajian deduktif, yaitu

kajian yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui

(diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (yang merupakan pengetahuan baru

yang bersifat lebih khusus) terhadap objek penelitian. Analitis ini dilakukan dalamrangka menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

C. Metode Pengumpulan DataUntuk mendapatkan data yang lengkap, diperlukan data yang bersifat primer dan

sekunder.

161. Data Primer Adalah data yang diperoleh melalui penelitian di lapangan dengan cara :

a. Observasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek 

yang diteliti.

 b. Wawancara, yaitu dengan melakukan wawancara langsung secara terpimpin.Dalam hal ini dipersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan sebagai

 pedoman , tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang

disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan.2. Data Sekunder 

adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, dalam arti bahwa data ini

diperoleh dari buku-buku karya ilmiah para sarjana, peraturan perundangundangan, catatan-catatan,arsip-arsip.

D. Metode Penyajian Data

Data Primer dan Data Sekunder yang telah diperoleh selama penelitian disajikandalam bentuk laporan sesuai dengan sifat data itu sendiri.

E. Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis

kualitatif, yaitu data yang diperoleh, dipilih dan disusun secara sistematis untuk kemudian dianalisa secara kualitatif untuk menggambarkan hasil penelitian,

selanjutnya disusun dalam karya ilmiah.

17Data-data yang telah terkumpul diteliti dan dianalisis dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu pola berfikir yang mendasarkan dari suatu fakta yang sifatnya

umum kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus.

18BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DALAM PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

Page 11: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 11/50

 

Pembangunan Berkelanjutan atau sustainable development sebenarnya bukanlah

suatu konsep yang baru di tingkat global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya

masih belum dipahami dengan baik, karena masih banyak menimbulkan kerancuan pada

tingkat kebijakan dan pengaturan serta mempunyai banyak hambatan pada tataranimplementasi atau pelaksanaan.

Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian

sebagai pembangunan yang memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi lingkunganhidup. Dalam pelaksanaannya konsep tersebut sudah menjadi topik pembicaraan dalam

konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang

menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan, menurut Siti Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm telah membahas

masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan

memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development).Dilaksanakannya konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB

untuk menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi, bertepatan

dengan di umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa

Pembangunan Dunia ke–2” (The Second UN Development Decade) yang dimulai pada

tanggal 1 Juni 1970. Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan19tindakan nasional serta Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas

lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demikelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657

(XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian

kepada usaha “melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yangsedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan

nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional. Amanat

inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang

dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep Pembangunan Berkelanjutan.Pengaruh Konferensi Stocholm terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin

dari perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan

terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk diIndonesia. Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disahkan oleh resolusi SU PBB

 No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya Deklarasi PBB tentang

Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam konferensi ini dapatdilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai

“a first step in developing international environment law”.

Bagi Indonesia konsep ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang relatif baru.Menurut Emil Salim, inti pokok dari Pembangunan yang lama tidak mempertimbangkan

lingkungan, dan memandang kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus dibayar.

Walaupun demikian konsep ini sebenarnya sudah dibahas mendahului Konferensi

Stockholm dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di Bandung tanggal 15-18 Mei 19972 sedangkan Konferensi Stockholm

 berlangsung tanggal 15-18 Juni 1972. Menurut Daud Silalahi Seminar Nasional

20Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional 1972 di UNPAD yang bekerjasama dengan BAPPENAS telah mengawali konsep pembangunan yang

 berwawasan lingkungan (ecodevelopment). Menurut pendapatnya pertemuan ini

membawa pengaruh pada pengaturan hukum lingkungan dan pada konsep pembangunandengan masuknya pertimbangan lingkungan dalam setiap keputusan rencana

 pembangunan.

Seminar Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema

Page 12: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 12/50

 

“hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik,

dan hanya dengan lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal”. Otto Sumarwoto

menilai seminar tersebut sebagai suatu tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan

hidup di Indonesia. Karena itu perbincangan tentang pembangunan tentang PembangunanBerkelanjutan sudah dibahas di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, namun

hingga sekarang masih menjadi masalah yang belum dapat diwujudkan secara baik.

Dalam kurun waktu tersebut bangsa Indonesia telah berusaha untuk menjadikanPembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang berkelanjutan bahkan ditambah

dengan berwawasan lingkungan, namun prakteknya menunjukkan lain. Dalam gambaran

tentang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan hidup,Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa Konsep

Pembangunan Berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam

 pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah sebuah harapan yang harus

diwujudkan dan dalam upaya mewujudkannya itu peranan hukum menjadi sangat

relevan.

212. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP .

Istilah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yang kita pergunakan disini merupakan terjemahan dari “sustainable development” yang sangat

 populer dipergunakan di negara-negara Barat. Istilah Pembangunan Berkelanjutan secararesmi dipergunakan dalam Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN, sedangkan

istilah Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan Hidup digunakan

dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu jugadikenal ada istilah lingkungan dan pembangunan, sedang sebelumnya lebih popular 

digunakan istilah Pembangunan yang berwawasan Lingkungan sebagai terjemah dari

Eco-development. Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan

 pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Pertama kali istilah ini muncul dalamWorld Conservation Strategy dari the International Union for the conservation of nature,

lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam bukunya Building a Suistainable Society (1981).

Istilah tersebut kemudian menjadi sangat popular melalui laporan Bruntland, Our Common Future (1987). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang

akhirnya pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, paradigma

Pembangunan Berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia.

Perkembangan kebijakan lingkungan hidup, menurut Koesnadi Hardjasoemantri,

didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment and Development, disingkatWCED. WCED dibentuk PBB memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983

 No. 38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dan dr.

22Mansour Khalid (Sudan), salah satu anggotanya dari Indonesia adalah Prof. Dr. Emil

Salim. Salah satu tugas WCED adalah mengajukan strategi jangka panjang pengembangan lingkunganmenuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya.

WCED telah memberikan laporannya pada tahun 2000 yang diberi judul “Our Common

Future” yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum. Sedangkan Soerjani menambahkan bahwa panitia ini menghasilkan

laporan yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987. Buku ini diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul “Hari Depan Kita Bersama” 1988. Salah satutonggak penting yang di pancangkan oleh panitia ini adalah agar pemahaman tentang

 perlunya wawasan lingkungan dalam Pembangunan di praktekkan di semua sektor dan

terkenal dengan istilah “Sustainable Development”.

Page 13: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 13/50

 

Dalam laporan WCED “Our Common Future” ditemui sebuah rumusan tentang

“Sustainable Development” sebagai berikut: “Suistainable Development is defined as

development that meet the needs of the present without comprosing the ability of future

generations to meet their own needs”. Ada beberapa penekanan yang kita temukan dalamterjemahan rumusan ini. Dalam terjemahan Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan

dan Pembangunan disebutkan “Umat memiliki kemampuan untuk menjadikan

 pembangunan ini berkesinambungan (sustainable) untuk memastikan bahwa Pembangunan ini dapatmemenuhi kebutuhanya” .

Selanjutanya dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan hidup dan

 pembangunan tentang “Hari Depan Kita Bersama” (1988) dikemukakan beberapa penegasan lebih lanjut tentang pembangunan berkelanjutan ini. Dikatakan konsep

 pembangunan yang berkesinabungan memang mengimplikasikan batas - bukan batas

absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi dan organisasi sosial23sekarang ini mengenai sumber daya lingkungan serta oleh kemampuan biosfer menyerap

 pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi era

 baru pertumbuhan ekonomi. Kemudian ditambahkan pula bahwa Pembangunan global

yang berkesinambungan juga mensyaratkan mereka yang hidup lebih mewah untuk 

mengambil gaya hidup dalam batas-batas kemampuan ekologi planet ini dalam hal penggunaan energi, misalnya. Lebih lanjut penduduk yang bertambah cepat dapat

meningkatkan tekanan pada sumber daya dan penyelamatan naiknya taraf hidup, jadi pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat dikejar bila besarnya populasi penduduk 

dan pertumbuhan selaras dengan potensi produktif yang terus berubah dari ekosistem.

Akhirnya pembangunan yang berkelanjutan bukanlah suatu tingkat keselarasan yangtetap, akan tetapi lebih berupa suatu proses dengan pemanfaatan sumber daya, arah

investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang

konsisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. Kami menyadari

 bahwa proses itu tidak mudah. Pilihan-pilihan yang menyakitkan harus dibuat. Jadi dalamanalisis akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan pasti bersandar pada kemauan

 politik.

Dalam menanggapi rumusan Pembangunan Berkelanjutan, Emil Salim dalamterjemahan laporan ke dalam bahasa Indonesia mengemukakan bahwa rumusan

 pembangunan berkelanjutan memuat dua konsep pokok yakni, pertama, konsep

“kebutuhan”, khususnya kebutuhan pokok kaum miskin sedunia, terhadap siapa prioritasutama perlu diberikan; dan kedua, gagasan keterbatasan yang bersumber pada keadaan

teknologi dan organisasi sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk 

memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan. Dengan demikian keprihatinankemiskinan dan ikhtiar menanggapi keterbatasan akibat keadaan teknologi dan organisasi

24sosial menjadi latar belakang pembahasan masalah-masalah lingkungan dan

 pembangunan. Selain hal itu dikemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok 

yang mendasari konsep pembangunan berkelanjutan ini, yaitu :Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di

topang oleh sumber daya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara

 berlanjut,Kedua, sumber daya alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, sehingga

 penggunaannya akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Penurunan itu berarti

 berkurangnya kemampuan sumber daya alam tersebut untuk menopang pembangunansecara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber daya

alam dengan sumber daya manusia.

Ketiga, kualitas lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik 

Page 14: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 14/50

 

kualitas lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain

tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya

tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan, akan

memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.Keempat, pembangunan berkelanjutan menumbuhkan solidaritas transgenerasi, dimana

 pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa

mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkankesejahteraannya.

Pandangan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Ignas Kleden yang antara

lain menyatakan bahwa ada dua hal yang dipertaruhkan disini, yaitu daya dukungsumber-sumber daya tersebut, dan solidaritas transgenerasi; maksudnya adalah

 bagaimana kita mengekang diri untuk tidak merusak sumber-sumber daya yang ada, agar 

25dapat bersikap adil terhadap masa depan umat manusia. Kegagalan kita untuk memelihara daya dukung sumber-sumber daya itu akan menyebabkan kita berdosa karena

telah melakukan sesuatu (sin of commission) sementara kegagalan untuk mewujudkan

solidaritas transgenerasi itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah melalaikan

sesuatu.

Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari berbagaiinterpretasi. Moeljarto Tjokrowinoto misalnya menyebutkan ada interpretasi yang lahir 

dari pemikiran kaum environmentalist dan ada pula interpretasi yang datang dari para pakar lembaga-lembaga donor. Kedua interpretasi pembangunan berkelanjutan tadi

mempunyai implikasi administratif tertentu. Menurut Moeljarto munculnya konsep

 pembangunan berkelanjutan didorong oleh kenyataan tingginya mortality rate proyekproyek  pembangunan di negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak 

menjadikan proyek pembangunan tadi berkembang dengan kekuatan tersendiri.

Dikatakan pula bahwa sustainable development atau pembangunan berkelanjutan ini

mungkin diwujudkan melalui keterkaitan (interlinkages) yang tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis dan kultur. Dikatakan juga bahwa sustainable development bukanlah

suatu situasi harmoni yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan suatu proses perubahan

dimana eksploitasi sumber daya alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan di masa

mendatang.

Pandangan lain diungkapkan Sonny Keraf. Dikemukakannya bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kritik pembangunan di satu pihak tetapi di

 pihak lain adalah suatu teori normatif yang menyodorkan praksis pembangunan yang

 baru sebagai jalan keluar dari kegagalan developmentalisme selama ini.26Sedangkan menurut Mas Achmad Santoso istilah sustainable development

mengandung berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminologi pembangunan

 berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian.

Disamping konsep sustainable development yang berasal dari WCED, muncul pula batasan tentang pembangunan yang didukung oleh Bank Dunia, World Conservation

Society (IUCN) serta IUCN bersama UNEP dan WWF yang antara lain menekankan pada

 perbaikan sosial ekonomi, pelestarian sumber daya alam dan perhatian pada daya dukungsumber daya alam serta keanekaragamannya dalam jangka panjang. Konsep ini

dirumuskan dalam apa yang dinamakan “ Carrying for the Earth: The Strategy for 

Sustainable Living” menggantikan World Conservation Strategy (WCS). Dalamrumusan Carrying for the Earth disingkat CE (1991) perumusan tentang sustainable

development digariskan sebagai berikut:

“improving the quality of human life while living within the carrying capacity of 

Page 15: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 15/50

 

supporting ecosystem. A sustainable economy is the product of sustainable development.

It maintains natural resources base, it can continue to develop by adopting and through

improvement in knowledge, organization, technical efficiency and wisdom”.

Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengakui tentang pentingnya perananhukum untuk menopang terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Menurut Koesnadi

Hardjosoemantri, pertama kali dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan telah

dilakukan upaya untuk menggariskan kerangka hukum yang komprehensif gunamenetapkan pembangunan berkelanjutan. Dalam mengemukakan pentingnya mekanisme

hukum dalam tingkat nasional, regional dan global dalam menetapkan dan melaksanakan

 pembangunan berkelanjutan. CE menyatakan bahwa hukum lingkungan, dalam pengertiannya yang luas, adalah sarana esensial bagi mencapai keberlanjutan.

27Konsep pembangunan berkelanjutan dikembangkan lebih jauh dalam KTT Bumi

yang diselenggarakan di Rio de Jenairo pada tanggal 3-14 Juni 1992, konferensi inimerupakan momentum global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) dan membentuk kemitraan dunia untuk mencapai kehidupan dan kualitas

dunia, yang lebih baik. Konferensi ini menghasilkan banyak keputusan penting antara

lain “The Rio Declaration on Environment and Development” dan agenda 21. Prinsip

 pertama dari Rio Declaration menyatakan bahwa:” human beings are as the center of theconcern for sustainable development. They are entitled to a healthy and productive life in

harmony with nature (manusia merupakan perhatian dari pembangunan berkelanjutan.Mereka berhak untuk mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang

harmonis dengan alam).

Selanjutnya berdasarkan Agenda 21, pada tahun 1992 telah diselenggarakanSidang Umum PBB dan The Economic and Social Council (ECOSOC) yang membentuk 

Commision on Sustainable Development (CSD) yang beranggota 53 negara yang dipilih

oleh ECOSOC dengan memperhatikan kelayakan distribusi geografis. Sekretariat CSD

 berkedudukan di New York dan pertemuan-pertemuan diselenggarakan di New York danGenewa. CSD bertujuan untuk : “ ensure the effective follow-up of UNCED, as well as to

enhance international cooperation and rationalize the intergovermental decision making

capacity for the integration of environment and development issues and to examine the progress of the implementation of agenda 21 at the national, regional and international

levels, fully guided by the principles of the Conference, in other to achive sustainable

development. Dengan demikian sudah ada suatu badan dunia yan menangani pengembangan pembangunan berkelanjutan yang meliputi tatanan nasional, regional dan

global.

28Pertemuan terakhir yang membahas tentang pembangunan berkelanjutan iniadalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan

(2002) sebagai kelanjutan dari KTT Rio de Jenairo. Dalam KTT ini lebih ditegaskan lagi

mengenai perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan tidak 

saja harus dilihat sebagai pembangunan ekonomi semata, akan tetapi harusmemperhatikan dimensi sosial yaitu tentang manusianya sendiri dan alam ciptaan Tuhan

yang dianugrahkan kepada manusia. Melalui pendekatan tersebut maka pembangunan

 berkelanjutan (sustainable development) mempunyai dasar dan landasan yang lebihkokoh untuk diterapkan, hanya saja konsep tersebut masih harus di sosialisasikan secara

lebih luas.

Sebagai tindak lanjut dari seminar pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan nasional (1972) untuk tingkat nasional dan UN conference on the human

and environment (1972) untuk tingkat global pemerintah tidak hanya memasukkan aspek 

lingkungan hidup dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga

Page 16: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 16/50

 

membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan hidup, sejak tahun 1973

aspek lingkungan hidup masuk dalam GBHN. Kemudian pengelolaan lingkungan hidup

dimasukkan ke Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan

 penjabarannya dalam Repelita III. Pada tahun 1978 dibentuk Menteri Negara PengawasanPembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian pada tahun 1982 diubah

menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian

 pada 1992 dirubah menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) sampai sekarang.Kelembagaan ini mempunyai peranan penting dalam memberi landasan aspek lingkungan

 bagi pelaksanaan pembangunan di negara kita.

29Pada tahun 1982 telah diundangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1982 (LN1982 No. 12) tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan hidup

(UULH) secara terpadu dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan

 pelaksanaan pembangun-an dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yangdinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan” Undang-Undang ini mempunyai arti

 penting tersendiri, menurut Siti Sundari Rangkuti UULH ini mengadung berbagai

konsepsi dari pemikiran inovatif dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun

internasional yang mempunyai implikasi terhadap pembinaan hukum lingkungan

Indonesia, sehingga perlu dikajinya perundang-undangan lingkungan modern sebagaisatu sistem keterpaduan.

Dalam Pasal 4 huruf d Undang-Undang ini disebutkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan berwawasan

lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang”. Mengenai pengertian

 pembangunan bewawasan lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 yangmenyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan

terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam

 pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup”. Penjelasan

UULH (TLN.3215) dinyatakan bahwa penggunaan dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana berarti senantiasa memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap

lingkungan serta kemampuan sumber daya alam untuk menopang pembangunan secara

 berkesinambungan. Ketentuan tersebut selain menggunakan istilah “pembangunan berwawasan lingkungan” juga menggunakan istilah “pembangunan berkesinabungan”

istilah yang disebutkan terakhir dapat juga dijadikan acuan istilah sustainable

30development karena kata “berkesinabungan” dan “berkelanjutan “ dalam bahasaIndonesia mempunyai makna yang sama.

Hal lain yang ditegaskan kembali dalam Pasal 3 tentang asas pengelolaan

lingkungan hidup. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa “pengelolaan LingkunganHidup Berazaskan Pelestarian Kemampuan Lingkungan yang serasi dan seimbang untuk 

menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan

manusia. Sedangkan penjelasannya menyatakan bahwa pengertian pelestarian

mengandung makna tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan peningkatan kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang

dapat dicapai kehidupan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, UULH ini

mengandung pengertian bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan hanyalahsatu bagian dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 1 angka 13) atau

sebagai penunjang dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 3).

Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikandengan UU No. 23 Tahun 1997 (LN 1997:68) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPLH). Dalam UUPLH ini tidak lagi diadakan pembedaan antara pembangunan yang

 berwawasan lingkungan dengan pembangunan yang berkesinambungan seperti

Page 17: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 17/50

 

dikemukakan di atas akan tetapi UUPLH ini menggunakan istilah baru lagi yaitu

“Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”.

Konsideran UU No. 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang mengapa kita

harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan LingkunganHidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendaya-gunakan

sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam

UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu31dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup

 berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan

memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Penegasantersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang

 berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pengelolaan SDA sebagai suatu

asset mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam pertimbangan berikutnya (huruf c)ditegaskan bawa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk 

melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi selaras dan

seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup. Dalam pertimbangan ini pengelolaan lingkungan hidup dianggap

sebagai penunjang terhadap pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan.Dalam UUPLH ini diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan

 berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup (Pasal 1 butir 3). Disebutkan dalamketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk 

sumber daya alam ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.

Selanjutnya dalam UUPLH ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas

 pengelolaan lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup”

sebagai suatu sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 yang menyatakan:“pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara,

asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan

 berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusiaIndonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

32Mengenai “asas berkelanjutan” penjelasan UUPLH (TLN 3699) menyatakan “asas

 berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk 

terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan

hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjaditumpuannya dalam meningkatkan pembangunan. Hal ini kemudian ditegaskan dalam

UUD 1945 amandmen ke-4 (2002) yang menambahkan ayat (4) dan (5) terhadap Pasal 33

yang sebelumnya tidak pernah mengalami perubahan yang menyebutkan:

a) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomidengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan

ekonomi nasional. b) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan pasal ini diatur dalam undangundang.

Sejalan dengan pembahasan tersebut juga diadakan perubahan terhadap judul Bab XIV

Undang-Undang Dasar yang melengkapi pasal tersebut dan judul semula “KesejahteraanSosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Dalam konteks ini

tampak ada penonjolan dimensi ekonomi dalam penguasaan sumber daya alam, yang

 perlu mendapat perhatian adalah aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan

Page 18: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 18/50

 

hanya berada dalam dimensi ekonomi belaka tetapi juga dalam dimensi kehidupan

menusia termasuk dimensi sosial budaya, kesejahteraan sosial pada dasarnya juga harus

menonjolkan aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dengan demikian konsep

 pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan sistem hukum lingkungan33pada khususnya. Walaupun penjabarannya dalam pengaturan mengenai pengelolaan

sumber daya alam masih belum begitu tampak secara jelas.

3. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAMPengaturan tentang bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah

dilakukan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Selain Pasal 33 UUD 1945 yang

merupakan ketentuan dasar, ada seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang haltersebut, antara lain Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria,

Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok Kehutanan, kemudian

dicabut dan digantikan dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.Undang-Undang no. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok Pertambangan yang

direncanakan akan diganti dalam waktu dekat, Undang-Undang No. 11 Tahun 1974

Tentang Pengairan, berikut seperangkat ketentuan pelaksanaannya, selain hal itu juga

 peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan yang telah kita sebutkan di atas dan

seperangkat ketetapan MPR yang mengatur tentang hal ini seperti TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945sebagaimana telah dirubah dalam Tahun 2002 berbunyi selengkapnya :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajathidup orang banyak dikuasi Negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

344. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomidengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional.5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam UndangUndang

Pengelolaan sumber daya alam adalah seperti apa yang disebutkan dalam ayat (3)

yaitu melingkupi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.Ketentuan ini kemudian diperluas dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dengan

menambah unsur ruang angkasa sehingga meliputi “ Bumi, air dan ruang angkasa serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang dua hal

yaitu:

1. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai “Hak Menguasai”. Hak ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak 

 penguasaan sumber daya alam di Indonesia.

2. Membebaskan di satu sisi serta memberikan kewajiban di sisi lain kepada negarauntuk mempergunakan sumber daya alam yang ada untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menunjukkan kepada kita bahwarakyatlah yang harus menerima manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di

Indonesia. Secara singkat pasal ini memberikan hak kepada negara untuk mengatur dan

menggunakan sumber daya alam yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, juga

Page 19: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 19/50

 

35membebankan suatu kewajiban kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam

untuk kemakmuran rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara, maka pada sisi

lain adalah merupakan hak bagi rakyat Indonesia untuk mendapat kemakmuran melalui

 pengelolaan sumber daya alam.Pertanyaan yang muncul adalah rakyat Indonesia yang mana yang paling berhak 

untuk mendapatkan kemakmuran dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia? Pada

dasarnya seluruh rakyat Indonesia yang berdiam di seluruh wilayah Negara KesatuanIndonesia pada tingkat atau lapisan manapun mempunyai hak yang sama untuk 

menikmati kemakmuran tersebut, namun kalau kita membicarakan siapa yang lebih

diutamakan tentu saja masyarakat yang berada disekitar sumber daya alam itu beradaharus lebih diutamakan dari mereka yang bertempat tinggal jauh dari sumber daya alam

yang dimaksud.

Hal ini ditegaskan antara lain dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 tetang penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan pembangunan dan

 pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan serta perimbangan keuangan Pusat dan

daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa

keseluruhannya. Dalam pasal ini disebutkan lebih dahulu masyarakat daerah dari bangsa

Indonesia secara keseluruhan. Mengisyaratkan kepada kita bahwa masyarakat setempatharus diberikan prioritas haknya untuk menikmati kemakmuran dalam pemanfaatan

sumber daya alam ketimbang orang-orang yang jauh bertempat dari sumber daya alamdimaksud. Hak ini telah diberi penekanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah

sebagai reaksi dari apa yang selama ini dikenal hegemoni pusat. Orang-orang yang ada di

 pusat lebih banyak menikmati kemakmuran dari pada masyarakat daerah atau masyarakatsetempat. Selain itu kemakmuran dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam bukan

36hanya sekedar menjadi hak dari generasi masa kini saja. Anak cucu kita sebagai generasi

mendatang juga mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran dari

 pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia. Karena itu kemakmuran yang ingindiwujudkan menurut Undang-Undang Dasar adalah bersifat transgeneration dan oleh

karenanya hak untuk mendapat kemakmuran harus berkesinambungan atau berkelanjutan

(sustainable). Karena hal ini sejalan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutandan berwawasan lingkungan .

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan

sumber daya alam dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaanlingkungan hidup. Secara umum dalam Pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa sumber daya

adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam

 baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang inimenentukan:

1. Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah.

2. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah:a) Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan

lingkungan hidup.

 b) Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkunganhidup dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya

genetika.

c) Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atausubyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam

dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.

37d) Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.

Page 20: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 20/50

 

e) Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup

sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan

 peraturan pemerintah.Kemudian dalam Pasal 9 ayat (3) dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan

hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya

alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konsensus sumber daya alam hayatidan eksistensinya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam yang dikaitkan dengan

 pembangunan yang berkelanjutan tampak dengan jelas dalam Undang-Undang No. 41Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pasal 3 dari Undang-Undang ini misalnya menentukan:

“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang

 berkeadilan dan berkelanjutan:a) Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang

 proporsional.

 b) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi

lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya

dan ekonomi yang seimbang dan lestari.c) Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.

d) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaanmasyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga

mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap

akibat perubahan eksternal, dan38e) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Karena itu Undang-Undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan yang

 berkelanjutan atau “sustainable forest management”.

Selanjutnya UU lain yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alamadalah UU No. 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)

Tahun 2005-2025. Dalam Lampiran UU tersebut Bab II Kondisi Umum arah kebijakan

 pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup disebutkan:1. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat

 bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari satu generasi ke generasi lain.

2. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidupdengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan

menerapkan teknologi ramah lingkungan.

3. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintahdaerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan

 pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang

diatur dengan Undang-Undang.

4. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatdengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,

 pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat

lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan Undang-Undang.5. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan,

keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah

kerusakan yang tidak dapat balik.39Lima prinsip ini kemudian dijabarkan lebih jauh dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam gambaran umum mengenai pengelolaan

sumber daya alam dan lingkungan hidup ditegaskan bahwa peran pemerintah dalam

Page 21: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 21/50

 

 perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus dioptimalkan karena sumber 

daya alam sangat penting peranannya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan

negara melalui mekanisme pajak, restribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil serta

 perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah pendayagunaansecara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam

 pengelolaan sumber daya alam dimaksud untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal

dan tetap terjaganya fungsi lingkungan.Ditegaskan lebih jauh dalam UU ini, dengan memperhatikan permasalahan dan

kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang sumber 

daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya:1. Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak 

dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan

memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya.2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan

sumber daya alam dan pencemaran lingkungan .

3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah

dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap.

4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat

global.405. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui

keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasankonservasi baru di wilayah tertentu, dan

7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan

lingkungan global.

Bilamana kita teliti pengarusutamaan tentang rencana pembangunan sebagaimanadisebutkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tersebut khususnya yang berkenaan dengan

 pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup – menggambarkan telah

dimasukkannya perkembangan pemikiran di bidang lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga cukup beralasan bahwa di Indonesia, pembangunan

 berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup telah dilaksanakan walaupun mungkin

 baru sebatas dalam aturan hukum.Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah Tap MPR/IX/2001 tentang

 pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber daya alam Pasal 3 ketetapan ini

menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautandan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Kemudian dalam Pasal 4 ditentukan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan

sumber daya harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:

a) Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. b) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

c) Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam

unifikasi hukum.41d) Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia

e) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat.

f) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,

 peruntukan, penggunaan, pemanfatan dan pemeliharaan sumber daya

Page 22: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 22/50

 

agraria/sumber daya alam.

g) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk 

generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, dengan tetap

memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkunganh) Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi

sosial budaya setempat.

i) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan antar daerahdalam pelaksanaan pembangunan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

 j) Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan

keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.k) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,

daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat) masyarakat dan

individu.l) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan, ditingkat nasional,

daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan

alasan dan pengelolaan sumber daya agraris/sumber daya alam.

Prinsip-prinsip ini memberikan landasan formal pengelolaan sumber daya alam

yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.42Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) ketetapan ini menentukan bahwa arah

kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sosialisasi

kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksudPasal 4 ketetapan ini.

 b) Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui

identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai

 potensi pembangunanc) Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi

sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab

sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologitradisional.

d) Memeperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan

melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber dayaalam tersebut.

e) Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul

selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang gunamenjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip

sebagai mana dimaksud Pasal 14 ketetapan ini.

f) Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber 

daya alam yang berlebihan.43g) Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada

optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan

masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia secara umum sudah mempunyai

landasan formal yang cukup kuat dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang

 berbasis pembangunan berkelanjutan. Namun apakah dalam realitanya memang sudah seperti apa yang ditentukan

dalam ketentuan dimaksud? Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai

 pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup UU No. 17 Tahun 2007 tentang

Page 23: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 23/50

 

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 menentukan : konsep

 pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam

 pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak 

terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu pelestarian alam;ungkapan ini menunjukkan adanya pengakuan dari lembaga negara di Indonesia tentang

masih belum terlaksananya pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya

alam.Konsideran Tap IX/MPR/2001 menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya

agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan

kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Kemudian disebutkan pula bahwa

 peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria

atau sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.Persoalan ini tidak hanya dihadapi di Indonesia akan tetapi juga berlaku secara

global dan proses globalisasi itu sendirilah sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan

44pembangunan berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa proses

globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin

menenggelamkan agenda pembangunan berkelanjutan.Dalam tulisannya, Sonny Keraf menyebutkan ada dua penyebab kegagalan

 penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah satusebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma

tersebut kurang dipahami sebagai prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai

seluruh proses pembangunan. Paradigma ini tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok  politik pembangunan itu sendiri. Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan

dibalik paradigma tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik pembangunan yang

seharusnya menuntut pemerintah dan semua pihak lainnya dalam rencana dan

implementasi pembangunan tidak dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen

moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan

untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukti sebuah konsep tentang pembangunan lingkungan hidup. Paradigma pembangunan

 berkelanjutan juga bukan hanya tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik 

 pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunanitu seharusnya dijalankan. Dalam arti ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan

tersebut tidak dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung di

dalamnya tidak akan terwujud . Alasan kedua, mengapa paradigma itu tidak jalan,khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali

menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de

Janeiro tujuh belas tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi usulan tentang

45pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, selamatujuh belas tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan yang dialami semua negara di

dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja sama, yaitu

 penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala dampak negatifnya bagilingkungan hidup, baik kerusakan sumber daya alam maupun pencemaran lingkungan

hidup.

Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah, menurutMartin Khor, namun muncul juga tanda kebangkitannya kembali sebagai suatu

 paradigma. Keterbatasan dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi

negatif dari sebagian masyarakat yang pada akhirnya mungkin akan berdampak pada

Page 24: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 24/50

 

terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan munculnya kekuatan pro pembangunan

 berkelanjutan dalam pemerintahan di negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka

menjadi lebih sadar akan hak-hak dan tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan

yang ada pada saat ini termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO.World Summit On Sustainable Development - WSSD (Konferensi Dunia tentang

Pembangunan Berkelanjutan) memberikan kesempatan untuk memusatkan kembali

 perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigma-paradigma.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia

 patut di catat penilaian dari D. Pearce & G Atkinson dalam tulisanya “A Measure of Sustainable Development” sebagaimana dikutip oleh Soerjani. Dua penulis ini menilai

 pembangunan Indonesia dinilai masih belum sustainable. Hal ini dengan alasan bahwa

depresiasi sumber daya alam Indonesia besarnya adalah 17% dari GDB, sedangkaninvestasinya hanya 15 %. Pembangunan itu baru dinilai sustainable dalam memanfaatkan

46sumber daya alam itu melalui rekayasa teknologi dan seni, sehingga kalau yang kita

konsumsi nilai tambahnya, sangat mungkin dapat ditabung untuk investasi senilai 17%

atau bahkan lebih. Jadi jelas bahwa kemampuan sumber daya manusia untuk memberi

“nilai tambah” sumber daya pendukung pembangunan melalui penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan kunci apakah pembangunan yang

dilaksanakan itu sustainable berkelanjutan, berkesinambungan atau tidak.Dengan demikian sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang

dilaksanakan di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan

Lingkungan Hidup tetapi masih baru pada tataran das solen dan melalui perangkat hukumdiharapkan dapat diwujudkan pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih

tergantung pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat yuridis, juga politis dan budaya

termasuk kondisi sumber daya manusia yang menjadi pelaksanaanya.

4. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI ERA OTONOMI DAERAHUU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 5

menyebutkan bahwa Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dankepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Konsep dasar dari Otonomi Daerah adalah memberikan wewenang kepada daerah

untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya masing-masing sesuaidengan apa yang mereka kehendaki dan mereka butuhkan, dan pemerintah pusat akan

membantu dan memelihara kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan didaerah

47seperti masalah moneter, pembangunan jalan antar kota dan provinsi, maupun pemeliharaan sistem pengairan yang melintasi berbagai wilayah.

Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat

hukum dengan batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.Tujuan dari Otonomi Daerah adalah :

a. Memberdayakan masyarakat.

 b. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas.c. Meningkatkan peran serta masyarakat.

d. Mengembangkan peran dan fungsi DPRD.

Dalam memahami penggunaan istilah perlu dipahami perbedaan pengertian antaraistilah desentralisasi dan dekonsentrasi. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan

wewenang ke daerah; sedangkan dekonsentrasi sebagai pelimpahan wewenang

 pemerintah pusat kepada daerah otonom yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah

Page 25: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 25/50

 

kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan atau perangkat pusat didaerah.

Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan

yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang

diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah disamping itu

 penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi,

 peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dankeanekaragaman daerah.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan

 pemerintahan yang mencakup kewenangan semua urusan pemerintahan, kecuali urusan48pemerintahan dibidang politk luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan

agama, serta urusan pemerintahan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

(PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan). Disamping itukeleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam

 penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian

dan evaluasi. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) merupakan urusan pemerintahan

yang telah diserahkan ke daerah berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 tersebut.

Pemanfaatan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia sudah berlangsung sejak lama, dan ini adalah sangat manusiawi, yang jadi persoalan adalah

dampak negarif dari kesalahan dalam pengelolaan tersebut. Di Indonesia kerusakan alamdan lingkungan sangat signifikan terjadi sejak orde baru, bahkan sampai era yang disebut

sebagai era reformasi hal ini malah semakin tidak terkendali.

Dalam soal koordinasi pengelolaan sumber daya alam misalnya, kekhawatiranmunculnya ketidakpaduan cukup beralasan. Kekhawatiran ini bukan hanya karena UU

 No. 22 Tahun 1999 tidak tegas dalam soal itu tapi juga dikuatkan oleh pengalaman

semenjak UU tersebut efektif diberlakukan sejak 1 Januari 2001. Hingga UU No. 22

Tahun 1999 direvisi pada tahun 2004 telah dikeluarkan berbagai bentuk peraturan perundangan dan kebijakan yang menampilkan aura ego sektoral yang berujung pada

semakin kacaunya regulasi sumber daya alam. Eksesnya mudah untuk dilihat, yakni

 pengurasan dan pengrusakan terhadap sumberdaya hutan dan laut terus berlanjut tanpamenunjukan tanda-tanda berkurang, apalagi berhenti.

Pengelolaan sumber daya alam selama ini yang telah mendatangkan berbagai

dampak dan permasalahan berawal dari berbagai produk perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam memberikan legitimasi kepada praktek pemanfaatan

49sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan sumber daya alam dan

kepentingan masyarakat daerah. Berbagai Undang-Undang yang mengatur tentangsumber daya alam mempunyai kelemahan substansial antara lain;

• Berorientasi pada ekspolitasi sumber daya alam untuk mengejar keuntungan

ekonomi semata, sehingga lebih berpihak kepada para pengusaha besar.

• Berpusat pada negara, sehingga menggunakan pendekatan kekuasaan secarasentralisitis.

• Bersifat sektoral, sehingga banyak regulasi, kebijakan, kepentingan maupun

 pengelolaan yang tumpang tindih.• Mengabaikan keadilan terhadap masyarakat daerah setempat.

1. Regulasi Peraturan Daerah tentang Sumber Daya Alam.

Desentralisasi adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintahdengan rakyat. Dari sini ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi terbuka. Dengan

dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat peraturan

seharusnya, kontrol terhadap peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintahan daerah

Page 26: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 26/50

 

semakin besar. Namun, pengalaman belakangan ini menunjukkan bahwa kontrol baik 

dari rakyat maupun organisasi non pemerintah di daerah terhadap peraturan perundangundangan yang

muncul sebagai penjabaran UU diatasnya sangat lemah. Sehingga sangat

mungkin, peraturan-peraturan daerah ini justru malah bertolak belakang dari jiwa UU diatasnya tersebut.

Hal-hal di atas terjadi walaupun advokasi kebijakan dan pengorganisasian serta

 pendampingan rakyat telah dilakukan baik bersama ornop maupun oleh rakyat sendiri.Refleksi beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kapasitas dan kualitas

50pengawalan oleh rakyat beserta ornop dalam memulihkan kerusakan sosial dan ekologis

ini masih relatif lemah1

. Pemahaman tentang pokok permasalahan relatif masih tidak 

lengkap. Dalam banyak kasus, metode yang digunakan juga tidak dipahami secara kritis.Akibatnya, seringkali, alih-alih menyelesaikan masalah, justru telah menimbulkan

masalah baru. Bahkan di beberapa wilayah ornop masih sibuk membenahi permasalahan

internal organisasinya. Hal ini diakui memang terjadi, selain faktor tidak seimbangnya

 jumlah ornop yang ada (terlalu sedikit) dengan kerusakan-kerusakan yang harus

dipulihkan. Seharusnya, ornop bersama rakyat memperkuat dirinya dengan mendalamisubstansi permasalahan juga metode untuk resolusi konflik. Selain itu pengorganisasian

harus diperkuat dan sikap kritis dipertajam sehingga peraturan-pearatran daerah yangkeluar dari pemerintahan daerah dapat mencerminkan aspirasi rakyat dan ditujukan untuk 

memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang selama ini terjadi.

Sumber daya alam memang tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, yaitukepentingan negara, kepentingan modal dan kepentingan rakyat. Konflik antar 

kepentingan ini selalu memposisikan rakyat sebagai pihak yang kalah. Agenda

desentralisasi yang dimaksudkan menyerahkan sejumlah kewenangan dari pemerintahan

 pusat ke pemerintahan daerah seharusnya memposisikan rakyat sebagai pelaku utama pengelolaan sumber daya alam. Namun, “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintah

 pusat beralih ke pemerintahan daerah”. Selain landasan undang-undangnya sendiri yang

harus direvisi, political will dari pemerintah daerah dan DPRD belum muncul sertastruktur politik yang ada juga tidak memungkinkan perubahan.

1Zakaria, Yando. 2003. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan

dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat”

51Contoh ;Rekapitulasi Tema Perda di Jawa Tengah 1999-2004 No. Daerah Kategori Jumla

h

Kelembaga

anKeuanga

n

Pajak 

Retribu

siKesehat

an

Tenagakerj

Page 27: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 27/50

 

a

Lainny

a

1 Provinsi Jateng 12 13 6 17 3 4 17 722 Kota Semarang 7 11 8 9 2 1 8 46

3 Kudus 17 14 2 17 0 1 9 60

4 Pekalongan 17 11 5 12 0 1 5 515 Blora 11 7 2 13 1 2 0 36

6 Surakarta 9 14 1 14 2 0 4 44

7 Sragen 23 11 4 28 3 2 11 828 Purbalingga 27 15 2 15 2 3 5 69

9 Kebumen 20 10 1 25 2 1 29 88

10 Wonosobo 34 19 4 26 0 2 38 12311 Cilacap 10 0 6 20 0 1 16 53

Jumlah 187 125 41 196 15 18 142 724

Sumber: Enny Nurbaningsih et al, Dinamika Implementasi Perda, 2006.

Sejalan dengan penyusunan dan pembahasan suatu Raperda Pengelolaan Sumber 

Daya Alam maka dalam proses penyusunan dan pembahasannya memperhatikan aspek demokrasi. Jika selama ini para stakeholders tidak dilibatkan secara optimal maka

sekarang untuk Raperda-PSDA dapat diikutsertakan. Keikutsertaan para stakeholdersyang meliputi antara lain pemerintah daerah, legislatif, kalangan dunia usaha, unsur dari

masyarakat lokal/adat, unsur pencinta lingkungan dan sebagainya akan dapat

memberikan masukan dan pertimbangan yang komprehensif terhadap substansi danmateri Raperda-PSDA.

Dengan demikian proses penyusunan dan pembahasan Raperda secara demokratis

akan melahirkan Raperda yang mampu menampung berbagai kepentingan dari para

stakeholders dan sekaligus akan mengurangi kemungkinan masuknya substansi yang bersifat diskriminatif.

dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung,52Melalui proses penyusunan dan pembahasan yang demokratis diharapkan

Raperda-PSDA yang akan mengatur kegiatan pengelolaan sumber daya alam di daerah

ini dapat mengandung muatan nilai keadilan. Dengan demikian tidak akan ada lagimonopoli dari pihak tertentu dalam pengelolaan SDA. Semua kalangan dunia usaha

diberi kesempatan secara fair untuk ikut serta dalam pengelolaan sesuai aturan main yang

 berlaku. Demikian juga daerah diberi kesempatan secara adil untuk dapat menikmati hasil pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Selanjutnya aspek keadilan ini hendaknya juga meliputi keadilan dalam

kewenangan menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Jadi disamping

kewenangan yang dimiliki pusat hendaknya daerah juga diberikan kewenangan dalammenetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan aspirasi

masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah lebih mengetahui dan

memahami secara dekat dan langsung tentang kondisi daerah dan masyarakatnya.Desentralisasi kewenangan kepada daerah akan membatasi dominasi berlebihan pusat

terhadap daerah.

Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan merupakan suatu prinsip mutlak yang harus dimiliki oleh Raperda-PSDA yang akan disusun. Pengelolaan sumber daya

alam berkelanjutan yang dimaksudkan disini diadaptasi dari definisi pembangunan

 berkelanjutan yang dikeluarkan oleh World Commmision on Environment and

Page 28: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 28/50

 

Development (WCED) dalam Our Common Future yaitu ;

“Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pemenuhan

generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang”.

Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

53Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya

alam yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan dankemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang. Sumber daya

alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana dengan baik sehingga

dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan SDAyang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan hanya demi kepentingan generasi

sekarang.

Melalui prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan darimasa ke masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan potensi

sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi mendatang

tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam yang baik untuk 

diwariskan kepada generasi berikutnya.

Di Indonesia, instrumen hukum yang berkaitan dengan pengelolaan SDA danlingkungan hidup pada masa lalu memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan

substansial seperti berikut:Pertama, berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented)

sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya

alam. Hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan

 pendapatan dan devisa negara;

Kedua, berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented),

sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan patensi-potensi pekonomian masyarakat daerah;

54Ketiga, menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat

 pada negara pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;

Keempat, manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral,

sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi(ecosystem);

Kelima, corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan menyebabkan tidak adanya

koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; danKeenam, tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama

hak-hak masyarakat daerah/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan

 pemanfaatan sumber daya alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagaikelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan

membuat undang-undang baru. seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU No. 24 Tahun 1992 tentangPenataan Ruang yang saat ini telah direvisi, dan (3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, persoalan mendasar dalam

 pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam substansi maupunimplementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemukan kelemahankelemahan seperti

 berikut: Pertama, pemerintah masih mendominasi peran dalam

 penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management);

Page 29: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 29/50

 

kedua, keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemah; ketiga, pendekatan dalam

 pengelolaan sumber daya alam tidak komprehensif; keempat, hak-hak masyarakat

daerah/local atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara

55utuh; kelima, ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alammasih diatur sacara terbatas; keenam, transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada

 publik dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.

Sementara itu, beberapa undang-undang seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1994tentang Pengesahaan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (2) UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak 

Asasi Manusia, mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global

 pengelolaan sumber daya alam antara lain seperti: konservasi dan keberlanjutan fungsi

sumberdaya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaansumberdaya alam, desentralisasi, dan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak 

masyarakat adat/lokal, belum terakomodasi dan terintegrasi dalam undang-undang yang

 berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang telah ada.

Karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam pengaturan mengenai

 pengelolaan sumber daya alam yang berpotesi mengancam kebelanjutan fungsisumberdaya alam dan kelangsungan hidup bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu

agenda nasional yang mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dankeberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi masyarakat,

transparansi dan mendukung proses demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam,

menciptakan koordinasi dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnyagood environmental governance, adalah membentuk peraturan perundang-undangan

 pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, demokratis,

dan berkelanjutan.

56Dengan demikian masalah regulasi peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya alam di daerah sangat berkaitan dengan:

1. Visi dan misi strategi pembangunan daerah tidak terpadu (Political will)

2. Kapasitas Kelembagaan dan Kebijakan “Good Environment Governance” (GEG)Rendah

3. Menguatnya persepsi,sikap dan perilaku Egosentrisme/sektoral

4. Proses pembuatan Kebijakan tidak melibatkan semua elemen masyarakat(stakeholders)

5. Eksploitasi sumber daya alam untuk peningkatan PAD tidak diimbangi upaya

konservasi6. Memaksakan program yang tidak sesuai dengan peruntukan perencanaan tata

ruang dan aspirasi masyarakat.

7. Proses perijinan usaha tidak transparan

8. Munculnya Konflik Kepentingan/antar Daerah9. Lemahnya Penegakan Hukum

10. Alokasi Dana Pengelolaan SDA/LH minim

Dengan memperhatikan aspek demokratis, keadilan dan berkelanjutan dalam penyusunan perda tentang pengelolaan sumber daya alam diharapkan berbagai

 permasalahan yang dialami dan hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam selama ini

dapat diatasi dengan baik dan juga dapat memenuhi kepentingan para stakeholders.572. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam, seharusnya dilakukan

secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada perbaikan 6 (enam) hal,

Page 30: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 30/50

 

yaitu:

a. Lembaga Perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif 

(effective representative system);

 b. Peradilan yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan professional;

c. Aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional dan memiliki integritas yang

kokoh;d. Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control

(public watchdog) dan penekanan (pressure);

e. Desentralisasi dan lembaga perwakilan Daerah yang kuat serta didukung olehlocal civil society yang juga kuat (democratic decentralization);

f. Adanya mekanisme resolusi konflik.

Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan merupakan komitmen kelembagaan ditingkat global, yang tercantum dalam berbagai konvensi yang merupakan tindak lanjut

dari KTT di Rio de Janeiro. Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan

Berkelanjutan sebagai hasil WSSD dinyatakan di antaranya, bahwa Majelis Umum PBB

harus mensahkan pembangunan berkelanjutan sebagai satu unsur kunci dalam

menentukan kerangka kegiatan PBB khususnya untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan yang telah disepakati secara internasional, termasuk yang terdapat pada

Deklarasi Millenium dan harus memberikan arahan politik yang menyeluruh terhadap pelaksanaan Agenda 21 dan pengkajiannya. Rencana tersebut menyatakan pula bahwa

58Commission for Sustainable Development (CSD) harus terus menjadi komisi tingkat

tinggi mengenai pembangunan berkelanjutan dalam sistem PBB dan berfungsi sebagaiforum untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan integrasi ketiga dimensi

 pembangunan berkelanjutan. CSD harus memberikan penekanan yang lebih pada

tindakan-tindakan yang mendukung pelaksanaan pada semua tingkatan, termasuk 

memajukan dan memfasilitasi kemitraan yang melibatkan pemerintah, organisasiinternasional dan para pemangku kepentingan terkait untuk pelaksanaan Agenda 21.

Rencana tersebut di atas menekankan pula perlunya lembaga-lembaga internasional, baik 

di dalam maupun di luar sistem PBB, termasuk lembaga keuangan internasional, WTOdan GEF, untuk memperkuat, dalam mandatnya, usaha kerjasama mereka untuk 

memajukan dukungan kolektif dan efektif bagi pelaksanaan Agenda 21 pada semua

tingkatan.Pembangunan berkelanjutan merupakan pula komitmen regional. Dalam Rencana

Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan dinyatakan bahwa pelaksanaan Agenda

21 dan hasil-hasil KTT harus secara efektif dilakukan pada tingkatan regional dansubregional, melalui komisi-komisi regional dan badan-badan serta lembaga-lembaga

regional dan sub-regional lainnya. Komitmen regional di antaranya dapat dilihat dalam

Asean Environmental Program (ASEP).

Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan tercantum bahwasetiap negara mempunyai tanggung-jawab utama terhadap pembangunan

 berkelanjutannya, dan peran dari kebijakan nasional dan strategi pembangunan sangatlah

 penting. Setiap negara harus memajukan pembangunan berkelanjutan pada tingkatnasional dengan antara lain, memberlakukan dan menegakkan Undang-Undang yang

 jelas dan efektif yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Semua negara harus

59memperkuat lembaga-lembaga pemerintah, termasuk melalui penyediaan infrastrukturinfrastruktur yang diperlukan dan dengan memajukan transparansi, akuntabilitas dan

lembaga-lembaga administrative dan lembaga-lembaga peradilan yang adil.

Dengan pencantumannya dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang

Page 31: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 31/50

 

dimulai dengan GBHN 1993 yang dipengaruhi oleh hasil UNCED pembangunan

 berkelanjutan senantiasa menjadi kebijakan nasional, yang dijabarkan lebih lanjut dalam

 berbagai produk legislative pada tingkat nasional dan tingkat daerah, diantaranya dengan

diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan LingkunganHidup, dimasukkannya ketentuan tentang pembangunan berkelanjutan dalam UU No. 17

Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional , serta Peraturanperaturan

daerahnya masing-masing. Penerapan kebijakan tentang pembangunan berkelanjutan ini dalam praktek menimbulkan deviasi yang cukup jauh, yang diakibatkan

oleh kurang singkronnya peraturan satu dengan yang lainnya dan oleh berbedanya

 persepsi para aparat penegak hukum tentang suatu peraturan. Cukup banyak peraturanyang ketentuan-ketentuannya dapat diinterpretasikan berbeda-beda (multi interpretable)

yang mempengaruhi pelaksanaan yang sering bertubrukan satu dengan yang lainnya.

Penguatan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam membawa kepadakeharusan adanya sinkronisasi pelaksanaan agar terdapat penanganan terpadu dengan

 pendekatan lintas sector dan multi-serta interdisipliner.

Penguatan Kelembagaan Pengolaan sumber daya alam antara lain dilaksanakan

dengan:

a. Mendorong diterapkannya prinsip pembangunan berkelanjutan. b. Meningkatkan “Political Will” dan kapasitas pengelolaan sumber daya

alam.60c. Meningkatkan keterlibatan & tanggung jawab semua pihak (Pemerintah,

dunia usaha dan masyarakat).

d. Pengembangan berbagai kebijakan, norma, standar, pedoman danmelakukan pembinaan dan supervisi.

e. Memperjelas urusan wajib pemerintahan daerah dalam “pengendalian LH”

 berkaitan dengan SPM

f. Pengembangan pendelegasian sebagian kewenangan Pemerintah melaluidekonsentrasi dan tugas pembantuan

g. Pengembangan SDM-LH melalui Diklat.

h. Penataan sarana dan prasarana kerja.i. Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi serta data base

kelembagaan sumber daya alam di Daerah.

 j. Fasilitasi kerjasama antar Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.k. Pembinaan pelaksanaan program pengelolaan sumber daya alam.

Sedangkan kendala dalam penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam

antara lain:a. Fragmentaris – ego sektoral

 b. Inkonsistensi – disharmoni

c. Political will lemah

d. Sumber daya manusia lemahPilar pilar penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dapat

digambarkan sebagai berikut:

613. Penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinanUU No 32/2004 meletakkan otonomi atas dasar lima landasan yaitu:

(1) demokrasi,

(2) partisipasi dan pemberdayaan,(3) persamaan dan keadilan,

(4) pengakuan atas potensi daerah dan perbedaannya,

(5) penguatan parlemen lokal

Page 32: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 32/50

 

Lima landasan tersebut apabila dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam

maka hal tersebut merupakan landasan dalam proses pemberian ijin pengelolaan sumber 

daya alam di era otonomi daerah.

Perijinan pengelolaan sumber daya alam adalah usaha mengoptimalkan sumber daya lokal yang melibatkan pemerintah, legislatif, dunia usaha, akademisi, masyarakat

lokal dan organisasi masyarakat madani (NGO) untuk mengembangkan ekonomi pada

suatu wilayah.Proses perijinan merupakan suatu tahapan yang harus dilalui untuk keluarnya ijin.

Dalam proses perijinan ini diperlukan beberapa dokumen yang terkait.

62Gambaran sekilas dokumen pengelolaan sumber daya alam:a. Feasibility Study untuk memberikan justifikasi ilmiah dalam perumusan Rancangan

Peraturan Perundangan harus berpijak dari isu dan masalah lingkungan hidup yang

dikaji secara obyektif, metodologis, futuristik yang dapat dipertanggungjawabkansecara ilmiah

 b. Menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi penyelenggara kebijakan sesuai

 paradigma Good Environment Governance (GEG)

c. Memberikan ruang aspirasi dan partisipasi semua pemangku kepentingan

(stakeholders) dalam proses perencanaan, perumusan, penetapan dan implementasikebijakan

d. Memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pelakulingkungan dari risiko yang mungkin terjadi akibat kerusakan lingkungan.

21

Pengembangandan Penguatan

Kemitraan

Pengumpulan

DataAnalisis

Data

PemetaanStatus

PEL

PenetapanFaktor 

Pengungkit

IdentifikasiStakeholder 

Penyusunan

Rencana Tin

PenyusunanPengelolaan

SDA

Monitoring danEvaluasi

Pengelolan SDA

TAHAPI

TAHAP

II

Page 33: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 33/50

 

TAHAP

III

TAHAP

IVTAHAP

V

RPJM/DDokumen

Pengelolaan

SDA.LHRKPD

APBD

IJIN PRINSIPIJIN LOKASI

IJIN OPERASI

1.FS

2.AMDAL

RKL/RPL3. AUDIT L

OPERASIONALPENEGAKAN

HUKUM LEMAH

Bagan Proses Perijinan63Kumpulan dokumen yang sangat terkait dengan proses perijinan adalah Analisis

mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Amdal merupakan studi mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh

suatu rencana kegiatan atau usaha / studi ilmiah yang memberikan informasi ada/tidaknya dampak negatif yang merupakan suatu kewajiban untuk terbitnya ijin. Amdal ini

 berkaitan dengan perizinan/ Amdal merupakan bagian dari proses perizinan persepsinya

amdal itu sama dengan keputusan tata usaha negara.Menurut UU No. 23/ 1997 Amdal adalah : Kajian mengenai dampak besar dan

 penting suatu usaha/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang

diperlukan bagi proses terbitnya keputusan tentang penyelenggaraan usaha/ kegiatan.Mengenai peraturan pemerintah yang mengatur tentang Amdal tersebut adalah PP No.

29/ 1986. Kemudian dicabut dengan PP No. 51/ 1993 dan terakhir dicabut lagi dan

diganti dengan PP No. 27/ 1999.Amdal berguna untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan layak 

lingkungan, melalui pengkajian Amdal, sebuah rencana usaha atau kegiatan

 pembangunan diharapkan telah secara optimal meminimalkan kemungkinan dampak 

lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber dayaalam secara efisien. Agar pelaksanaan Amdal berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran

yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan

 pemerintah tentang Amdal secara jelas menegaskan bahwa Amdal adalah salah satusyarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi

Amdal sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.

64Dokumen Amdal terdiri dari :• Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)

• Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)

• Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)

Page 34: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 34/50

 

• Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi

dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan ANDAL.

Dokumen ini dinilai di hadapan Komisi Penilai AMDAL. Setelah disetujui isinya,kegiatan penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL barulah dapat dilaksanakan.

Dokumen ANDAL mengkaji seluruh dampak lingkungan hidup yang

diperkirakan akan terjadi, sesuai dengan lingkup yang telah ditetapkan dalam KAANDAL. Rekomendasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk 

mengantisipasi dampak-dampak yang telah dievaluasi dalam dokumen ANDAL disusun

dalam dokumen RKL dan RPL.Ketiga dokumen ini diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai

Amdal. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan

tersebut layak secara lingkungan atau tidak, dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.

Dokumen Amdal harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau

kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting dan belum memiliki kepastian

 pengelolaan lingkungannya. Kewajiban menyusun dokumen Amdal didasarkan atas

kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, sehingga tidak semua jenis kegiatan yangmembutuhkan ijin perlu menyusun Amdal.

65Kriteria kewajiban Amdal pada dasarnya mencakup :- potensi kegiatan menimbulkan dampak penting;

- tidak pastinya ketersediaan pengelolaan lingkungan dalam mengontrol dampak 

 penting tersebut.Dalam penyusunan studi Amdal, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk 

menyusunkan Amdal. Penyusun dokumen Amdal diharapkan telah memiliki sertifikat

Penyusun Amdal (lulus kursus AMDAL B) dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar 

minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000. Berbagai pedoman penyusunan yang lebih rinci dan spesifik menurut

tipe kegiatan maupun ekosistem yang berlaku juga diatur dalam berbagai Keputusan

Kepala Bapedal.Pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam Amdal adalah Komisi

Penilai, pemrakarsa, masyarakat terkena dampak, dan pemberi Ijin.

Komisi Penilai Amdal; Komisi Penilai Amdal adalah komisi yang bertugas menilaidokumen Amdal. Di tingkat pusat berkedudukan di Bapedal, di tingkat Propinsi

 berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat

Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidupKabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat

yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan

komposisi keanggotaan Komisi Penilai Amdal ini diatur dalam Keputusan Menteri

 Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai Amdal di propinsidan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.

Pemrakarsa; pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas

suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.66Warga Masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga

masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut

akan menjadi kelompok yang banyak diuntungkan (beneficiary groups), dan kelompok yang banyak dirugikan (at-risk groups). Lingkup warga masyarakat yang terkena

dampak ini dibatasi sebagai berada dalam ruang dampak rencana usaha dan atau kegiatan

tersebut.

Page 35: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 35/50

 

Pemberi Ijin; adalah pejabat yang berwenang membuat keputusan tata usaha negara.

Kegiatan yang tidak wajib menyusun Amdal tetap harus melaksanakan upaya

 pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL)

Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; serangkaiankegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa suatu

rencana usaha/kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun Amdal; yaitu kegiatan yang

diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak penting.Pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan terdiri dari

dua kategori, yaitu :

- harus melewati suatu kajian lingkungan terlebih dulu yang disebut Dokumen UKLUPL;- tidak perlu melewati kajian lingkungan dalam Dokumen UKL-UPL.

Ada beberapa kegiatan yang walaupun tidak akan menimbulkan dampak penting

tetap membutuhkan identifikasi dampak terlebih dulu sebelum dapat dipastikan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungannya. Identifikasi dampak ini

dibutuhkan karena ada kombinasi antara frekuensi kegiatan yang tinggi dengan intensitas

dampak yang tinggi sehingga menyebabkan munculnya ketidakpastian pengelolaan

dampak yang perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait lainnya.

67Kajian lingkungan yang dibutuhkan dikenal dengan nama Dokumen UpayaPengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

Dokumen ini berisi uraian singkat dari proses identifikasi dampak yang dilakukan secarasistematis, dan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan

dilaksanakan.

Kegiatan-kegiatan tidak berdampak penting yang frekuensi kegiatan danintensitas dampaknya relatif rendah sehingga tidak ada lagi ketidakpastian masalah

 pengelolaan dampaknya tidak perlu menyusun Dokumen UKL - UPL, dan dapat

langsung melakukan berbagai upaya pengelolaan dan upaya pemantauan lingkungan yang

sesuai dengan standar dan norma yang berlaku.Amdal adalah perangkat wajib yang penggunaannya diharapkan komplemen

dengan perangkat-perangkat lainnya.

Kaitannya dengan dokumen lingkungan wajib lainnya; ada beberapa dokumenlingkungan maupun kajian lingkungan yang sifatnya diwajibkan. Pada dasarnya,

dokumen-dokumen lingkungan wajib seperti ini sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang

satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali ada kondisi-kondisikhusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Kepala Bapedal.

Dokumen-dokumen lingkungan wajib tersebut adalah Dokumen UKL-UPL, Audit

Lingkungan Wajib, Revisi RKL-RPL, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang ditetapkanoleh Kepala Bapedal.

Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan menyusun UKL-UPL tidak lagi diwajibkan

menyusun Amdal; kegiatan berjalan yang diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak 

membutuhkan Amdal baru; pengubahan kegiatan yang hanya membutuhkan penyesuaianRKL-RPL tidak perlu menyusun Amdal lagi.

68Kaitannya dengan dokumen lingkungan sukarela yang dikenal; penyusunan

dokumen lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib Amdal tidak secaraotomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen Amdal. Walau

demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa

karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungansekaligus dapat "menambal" ketidaksempurnaan dokumen Amdal.

Dokumen-dokumen lingkungan yang sifatnya sukarela ini sangat bermacam-macam dan

terbukti amat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan

Page 36: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 36/50

 

 perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit

Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumendokumen yang

dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan

macam-macam lainnya.Prosedur AMDAL di Indonesia terdiri dari :

• Proses penapisan (screening) wajib AMDAL

• Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat• Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL

• Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL

Proses penapisan; atau kerap juga disebut proses seleksi wajib AMDAL, yaitumenentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat; berdasarkan Keputusan Kepala

BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannyaselama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang

diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum

menyusun KA-ANDAL.

69Proses penilaian KA-ANDAL; setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukan

dokumen kepada Komisi Penilai Amdal untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lamawaktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan

 penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.Proses penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; penyusunan ANDAL,

RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati

(hasil penilaian Komisi Amdal). Setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukandokumen kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama

waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan

 penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Sebagaimana disebutkan diatas, prosedur Amdal pada dasarnya terbagi dalam 4 bagian. Hal-hal yang harus diperhatikan dengan seksama oleh penyusun Amdal adalah:

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat; walaupun tata cara pengumuman dan

konsultasi masyarakat tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam Keputusan KepalaBapedal Nomor 08/2000, pemrakarsa/penyusun Amdal bebas mengadopsi berbagai

teknik dan metodologi pengumuman dan konsultasi masyarakat yang telah dikenal,

selama tidak melanggar ketentuan minimal yang telah ditetapkan. Proses pengumumandiharapkan memperhatikan keunikan bahasa dan pola komunikasi setempat yang efektif;

dan proses konsultasi masyarakat harus memperhatikan pola dan struktur sosial budaya

setempat.World Bank, ADB, dan beberapa negara di dunia seperti Kanada menerapkan aturan

khusus pelaksanaan pengumuman dan konsultasi masyarakat dalam proses penyusunan

Environmental Assessment yang bisa dijadikan referensi. Diharapkan dalam waktu dekat

70akan diterbitkan pedoman pelaksanaan konsultasi masyarakat dalam Amdal yang khasIndonesia.

Proses penyusunan dokumen KA-ANDAL; secara garis besar, hal terpenting yang perlu

terangkum dengan baik dalam KA-ANDAL adalah hasil konsultasi masyarakat danmasukan dari masyarakat. Hal-hal tersebut menentukan proses pelingkupan dan

 penentuan isu pokok dari potensi dampak di lokasi rencana kegiatan tersebut. Hasil

 pelingkupan adalah kunci dari KA-ANDAL, dimana hasil konsultasi dengan masyarakatserta masukan masyarakat yang diberikan selama masa pengumuman menjadi sumber 

informasi utama proses pelingkupan tersebut.

Pedoman pelaksanaan pelingkupan diatur dalam Keputusan Menteri Negara

Page 37: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 37/50

 

Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 1992, walaupun sangat

disarankan untuk menggunakan referensi lain yang ada untuk menyempurnakan dan

melengkapi proses pelaksanaan tersebut.

Proses penilaian KA-ANDAL; tahap pengajuan dokumen KA-ANDAL dapat dilaluidengan cepat selama memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Telah memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam

lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/20002. Menyampaikan 1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai

Amdal yang berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan

3. Mempersiapkan dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak   jumlah yang ditetapkan sekretariat

4. Memastikan kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai Amdal

Proses penyusunan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL; penyusunan dokumen ANDAL,RKL, dan RPL perlu mencermati kekhasan aspek, teknis kegiatan, dan ekosistem rencana

71kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, pedoman penyusunan yang diatur dalam Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000 tidak cukup. Berbagai pedoman

yang secara khusus membahas metodologi penyusunan ANDAL dari aspek sosial,

kesehatan masyarakat, valuasi ekonomi; dari tipe kegiatan seperti pemukiman terpadu;dan dari tipe ekosistem seperti lahan basah dan kepulauan, telah diterbitkan dalam bentuk 

Keputusan Kepala Bapedal. Sangat disarankan untuk melihat referensi-referensiinternasional lainnya dalam memperkaya penyusunan dokumen tersebut.

Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; tahap pengajuan dokumen ANDAL, RKL,

dan RPL dapat dilalui dengan cepat selama memperhatikan hal-hal sebagai berikut :1. Telah memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam

lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000

2. Menyampaikan 1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai

Amdal yang berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan3. Mempersiapkan dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak 

  jumlah yang ditetapkan sekretariat

4. Memastikan waktu pertemuan dengan tim teknis5. Merangkum masukan dari tim teknis sebagai bekal dalam menghadapi Komisi

Penilai Amdal

6. Memastikan kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai AmdalIstilah revisi RKL dan RPL tidak dikenal dalam prosedur resmi Amdal. Namun

demikian istilah ini sering disebut/dipergunakan untuk situasi perbaikan isi dokumen

RKL dan RPL saja untuk menyesuaikan atas perubahan pola pengelolaan dan pemantauan lingkungan dari suatu kegiatan yang telah beroperasi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai revisi RKL dan RPL adalah :

72• Revisi RKL dan RPL bukan merupakan prosedur umum bagi sebuah kegiatan yang

membutuhkan perubahan atas pola pengelolaan dan pemantauan lingkungannya.Penerapannya bersifat kasuistik.

• Revisi RKL dan RPL tidak selalu harus dinilai di Komisi Penilai AMDAL.

Penilaian dilakukan apabila ada situasi khusus yang menyebabkan perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan kegiatan tersebut wajib dikomunikasikan

kepada seluruh pihak yang terkait.

• Penyempurnaan RKL dan RPL harus selalu dilakukan secara otomatis oleh pemrakarsa sendiri untuk memperbaiki kinerja pengelolaan lingkungannya.

Penyempurnaan yang bersifat sukarela ini tidak usah diproses secara formal apabila

memang tidak ada perubahan detail kegiatan yang berarti.

Page 38: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 38/50

 

• Perubahan detail kegiatan pada dasarnya berimplikasi pada penyusunan AMDAL

 baru. Keputusan untuk hanya mengubah RKL dan RPLnya saja harus diambil

setelah yakin bahwa studi AMDAL yang lama memang dianggap telah

mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak baru akibat perubahan kegiatan.4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan

stakeholders

Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan PeraturanPemerintah Nomor 38 Tahun 2007, maka kewenangan Pemerintahan Daerah dalam

 pengelolaan sumber daya alam sangat beragam. Dengan demikian penyelenggaraan

 pengelolaan sumber daya alam pada era otonomi daerah menemui beberapa kendala,khususnya untuk pengelolaan sumber daya alam lintas kabupaten/propinsi, karena

73hambatan koordinasi dan integrasi program dalam pengelolaan sumber daya alam antar 

kabupaten/kota propinsi. Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kotadalam pengelolaan sumber daya alam hanya terbatas pada pertimbangan teknis dalam

 penyusunan rencana pengelolaan, dan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam

skala provinsi / kabupaten / kota. Penetapan pengelolaan sumber daya alam prioritas dan

 penyusunan rencana pengelolaan sumber daya alam terpadu masih ditangani oleh

Pemerintah Pusat. Padahal, pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secaraterpadu dan menyeluruh dan harus dipandang sebagai satu sistem yang utuh dari hulu

sampai hilir, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di daerah pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Mengingat hal tersebut, perlu adanya pembagian peran yang tepat dan selaras baik 

antar wilayah kabupaten/kota dalam propinsi (vertikal) maupun antar institusi dalamkabupaten/kota (horisontal) secara harmonis.

Beberapa sektor atau departemen secara kelembagaan terkait dengan pengelolaan

sumber daya alam antara lain adalah kehutanan, pertambangan, pekerjaan umum,

lingkungan hidup, pertanian dan pertanahan. Sampai saat ini konsep yang mapan dan jelas tentang pengelolaan sumber daya alam secara nasional belum dapat diwujudkan,

karena sifatnya masih bersifat sektoral sehingga pengelolaan sumber daya alam belum

merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana semua kepentingan sektor dapatterakomodasi dan tidak menimbulkan konflik. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar sektor 

dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam. Namun, pengaturan mengenai koordinasitersebut dapat ditemukan di sejumlah peraturan perundangan-undangan yang lain.

74Dalam pengelolaan sumber daya alam perlu adanya koordinasi antar sektor 

terkait. Koordinasi tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam satu kerjasama yangoperasional sifatnya, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan kebijakan. Koordinasi

dalam kerjasama operasional dan kebijakan diharapkan akan menjamin terjadinya

sinkronisasi pengelolaan sumber daya alam, Dengan adanya koordinasi dalam

 penyusunan kebijakan diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang sistematis dan tidak  berbenturan satu dengan yang lain.

Masalah koordinasi dalam pengelolaan sumber daya alam juga tidak hanya

menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja sama yang bersifat operasional tetapi jugamasalah koordinasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Dua hal ini

memang tidak menjamin terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antar berbagai lembaga

yang memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai sumber daya alam, namun berdasarkan aturan yang berlaku maka koordinasi dalam penyusunan peraturan

 perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam akan menghasilkan suatu

 peraturan yang sistematis dan tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam kaitannya

Page 39: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 39/50

 

dengan otonomi daerah, ternyata UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sama sekali tidak mengatur masalah koordinasi antar sektor dalam rangka pengelolaan

sumber daya alam.

Pengaturan mengenai koordinasi tersebut dapat ditemukan dalam sejumlah peraturan dan kebijakan di sektor lain. Sektor dimaksudkan sebagai lingkungan kegiatan

atau dapat juga disebut sebagai ruang lingkup pekerjaan suatu departemen atau

kementerian tertentu.75a. Koordinasi Kelembagaan Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Alam

Beberapa departemen maupun sektor yang secara kelembagaan terkait erat dengan pengelolaan sumber daya alam, antara lain adalah kehutanan, lingkungan hidup,

kimpraswil (pemukiman dan prasarana wilayah), kelautan dan pesisir, pertanahan,

 pertambangan, pertanian dan perkebunan. Koordinasi pengelolaan sumber daya alamantar departemen/sektor seharusnya dilakukan sejak proses perencanaan, pembahasan

sampai pada penetapan peraturan atau kebijakan.

Kewenangan departemen maupun sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya

alam diatur dalam Keputusan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,

Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen atau tupoksi (Tugas, Pokok dan Fungsi)Departemen, termasuk tupoksi 6 departemen yang berhubungan langsung dengan

 pengelolaan sumber daya alam. Keenam departemen tersebut adalah:1. dalam negeri;

2. energi dan sumberdaya mineral (ESDM);

3. pertanian;4. kehutanan;

5. kelautan dan perikanan (DKP), serta

6. kimpraswil.

Selain departemen, terdapat juga Menteri Negara (Menneg) yang diatur dalamKeppres tersendiri. Dari sepuluh Menneg yang diatur dalam Keppres ini ada dua Meneg

yang terkait langsung dengan pengelolaan sumber daya alam yakni Menneg Lingkungan

Hidup (LH) dan Menneg Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.76Pengaturan koordinasi antar departemen/sektor dalam menyusun peraturan perundangundangan dapat

ditemukan dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 18 ayat (1) UU ini mengatakan bahwa rancanganundang undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan

lembaga pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung

 jawabnya. Lebih jauh dikatakan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapankonsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh

menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

Oleh Keppres No. 102 Tahun 2001 tugas koordinasi tersebut dilimpahkan kepada

Menteri Kehakiman dan HAM, yang sekarang berganti nama menjadi Menteri Hukumdan HAM. Tetapi metode, definisi, maksud dan tujuan koordinasi tidak diuraikan secara

 jelas dalam Keppres ini.

Sebelum UU No. 10 Tahun 2004 lahir, aturan mengenai proses penyusunan peraturan per-UU-an terdapat dalam Keppres 188 Tahun 1998 Tentang Tata Cara

Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Keppres ini juga menyinggung-nyinggung

 perihal harmonisasi antar departemen/sektor. Namun, Keppres ini tidak menegaskan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan sarana menuju koordinasi.

Dengan begitu, sampai saat ini tak satupun peraturan perundangan yang secara terangterangan mengatur 

koordinasi antar departemen/sektor dalam rangka penyusunan

Page 40: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 40/50

 

 peraturan per-UU-an. Departemen/sektor masih berpegangan pada tupoksi -nya masingmasing. Sehingga

departemen/sektor tidak melakukan inovasi dalam rangka koordinasi

karena takut akan menyalahi peraturan perundang-undangan.

77b. Koordinasi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya AlamUraian berikut ini akan menyajikan koordinasi dalam tingkat yang operasional

dengan memperhatikan dua faktor, yakni kebijakan yang dikeluarkan dan penegakan

hukum. Keduanya dilihat karena mempunyai andil besar dalam membentuk sistem pemerintahan yang terpadu dan terintegrasi.

1. Koordinasi Kelembagaan dalam Merumuskan Kebijakan Operasional

Dalam melakukan koordinasi antar departemen/sektor ada dua hal yang menjadi poin penting yakni lembaga yang melakukan koordinasi dan cara atau metode melakukan

koordinasi.

Untuk menjembatani koordinasi dan sinkronisasi antar sektor dalam pembuatankebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu ketentuan yang termuat dalam Keppres

 No. 100 tahun 2001 Tentang Tugas Pokok dan Fungsi Menteri Koordinator. Menurut

Keppres ini, Menteri Koordinator (Menko) mempunyai tupoksi membantu Presiden

dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan

serta pelaksanaannya di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara. Saat initerdapat 3 Menko yakni:

1) Menko Bidang Politik dan Keamanan disingkat Menko Polkam;2) Menko Bidang Perekonomian disingkat Menko Ekuin; dan

3) Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat disingkat Menko Kesra.

Masing-masing Menko membawahi sejumlah departemen/sektor. Menko Polkammempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar 

 Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri

78Negara Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara,

Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, danPimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Dari sekian departemen/sektor/lembaga yang

 berada di bawah Menko ini, tak satupun yang tupoksinya terkait langsung dengan sumber 

daya alam. Menko Perekonomian sendiri mempunyai kewenangan mengkoordinasikanMenteri Keuangan, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri

Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan,

Menakertrans, Menteri Kimpraswil, Menteri Negara Percepatan Pembangunan KawasanTimur Indonesia, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Negara Koperasi dan

Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negaradan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Dari sekian sektor/lembaga yang

disebutkan di atas, departemen/sektor yang tupoksinya terkait langsung dengan sumber 

daya alam adalah Pertanian, ESDM, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Permukiman

dan Prasarana Wilayah, dan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.Sedangkan Menko Kesra mempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri

Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri

 Negara Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Negara Lingkungan Hidup, MenegPemberdayaan Perempuan dan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Departemen/

Sektor yang tupoksi-nya terkait langsung dengan sumber daya alam adalah Kementerian

 Negara Lingkungan Hidup. Dengan begitu, secara keseluruhan, departemen/sektor yangterkait dengan pengelolaan sumber daya alam adalah Pertanian, ESDM, Kehutanan,

Kelautan dan Perikanan, Permukiman dan Prasarana Wilayah, Percepatan Pembangunan

Kawasan Timur Indonesia dan Lingkungan Hidup.

Page 41: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 41/50

 

79Menurut Pasal 30 Keppres No. 100 Tahun 2001 ada empat cara untuk melakukan

koordinasi yakni:

1) rapat koordinasi Menko atau rapat koordinasi gabungan antar Menko,

2) rapat-rapat kelompok kerja yang dibentuk oleh Menko sesuai dengan kebutuhan,3) forum-forum koordinasi yang sudah ada sesuai dengan ketentuan peraturan

 perundang-undangan yang berlaku, dan

4) konsultasi langsung dengan para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah NonDepartemen, dan pimpinan lembaga lain yang terkait.

Khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, tidak semua

kebijakan departemen/sektor dikoordinasikan oleh Menko untuk disinkronkan dengandepartemen/sektor lainnya. Pasal 2 Keppres No 100 Tahun 2001 hanya menyebut

“kebijakan tertentu dalam bidang pemerintahan negara”. Tetapi kebijakan tertentu itu

tidak diuraikan lebih lanjut dalam Keppres ini.Dalam rangka melaksanakan ketentuan UU atau Peraturan Pemerintah,

departemen/sektor menerbitkan Keputusan atau Peraturan Menteri. Karena sifatnya

sebagai kebijakan maka secara formal beberapa dari Keputusan, peraturan menteri

ataupun kebijakan lain yang lebih rendah tidak begitu patuh dengan beberapa kaidah

 perundang-undangan seperti lex superior derogat legi inferiori (hukum yangkedudukannya lebih tinggi membatalkan hukum yang kedudukannya lebih rendah), lex

specialis derogat legi generali (hukum yang berlaku khusus membatalkan hukum yang berlaku umum) maupun lex posterior derogat legi inferior (hukum yang berlaku

kemudian membatalkan hukum yang ada sebelumnya). Selain itu, secara material

 banyaknya kebijakan yang bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi dan juga bertentangan dengan kebijakan lainnya disebabkan karena masing-masing departemen/

80sektor merasa perlu untuk membuat kebijakan tentang suatu masalah yang sama tetapi

 justru tidak saling mendukung. Misalnya, Keputusan Menhutbun No 317/KPTS-II/1999

Tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal HutanProduksi dengan Permen Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman

Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat mempunyai pengaturan yang sama tentang

Masyarakat Adat tetapi bertentangan satu sama lain. Dalam Keputusan Menhutbundikatakan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat pada suatu wilayah tertentu

dinyatakan dan ditentukan atas Keputusan Bupati sementara hal yang sama oleh Permen

Agraria dikatakan bahwa keberadaan masyarakat adat ditentukan oleh Peraturan Daerah.Di sini terjadi perbedaan mengenai bentuk formal atas pengaturan mengenai keberadaan

masyarakat adat di daerah. Keputusan Menhutbun menghendaki wadah pengaturannya

dalam bentuk Keputusan Bupati yang umumnya dipakai untuk pengaturan materi yang bersifat konkrit, terikat dengan ruang dan waktu tertentu. Sedangkan peraturan daerah

cenderung merupakan ketentuan yang bersifat lebih umum dan abstrak sehingga perlu

diterjemahkan lebih lanjut lewat ketetapan. Tetapi selain hal itu, perbedaan mendasar 

antara Keputusan Bupati dengan Perda adalah pada kekuatannya dalam relasi hierarkhis peraturan perundang-undangan. Keputusan Bupati adalah tindakan hukum bersegi satu

atau sepihak dari pejabat administrasi (Bupati) sehingga pencabutannya merupakan

kewenangan sepihak bupati. Sedangkan peraturan daerah merupakan ketentuan yangdibentuk dengan melibatkan DPRD, Pemda dan masyarakat. Sehingga kelahirannya

melibatkan banyak pihak. Karena itu pencabutannya juga merupakan keputusan yang

harus melibatkan banya pihak. Dengan demikian kedudukan perda jauh lebih kuatdaripada Keputusan Bupati.

81Selain koordinasi antar departemen yang umumnya berbentuk kebijakan,

koordinasi pengelolaan sumber daya alam juga dilakukan di dalam internal departemen.

Page 42: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 42/50

 

Departemen Kehutanan misalnya, mencanangkan jangka waktu 20 sampai 30 tahun ke

depan sebagai era rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam. Untuk itu Dephut telah

menetapkan lima kebijakan prioritas yaitu:

(1) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan;(2) pemberantasan illegal logging;

(3) penanggulangan kebakaran hutan;

(4) restrukturisasi sektor kehutanan;(5) penguatan desentralisasi kehutanan.

Tetapi Dephut dan Departemen ESDM baru-baru ini mengajukan Perpu No. 1

Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang pada prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU Nomor 41 tahun 1999, yaitu Pasal 83 (a)

dan pasal 83 (b). Pasal 83 (a) mengatakan bahwa semua perizinan atau perjanjian di

 bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU Nomor 41 tahun 1999tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian

tersebut. Tetapi, dalam Perpu ini penambangan yang dimaksud bukan berada pada

wilayah hutan produksi atau hutan pemanfaatan lainnya tetapi hutan kawasan lindung

yang secara substantif jelas berseberangan dengan undang-undang yang juga mengatur 

soal hutan yakni UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayatidan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

termasuk UU No 41 Tahun 1999. Selain hal itu, perpu tersebut juga berseberangandengan visi dan misi Dephut sendiri. Menindaklanjuti Perpu ini telah dikeluarkan

Keppres No. 41 Tahun 2004 yang member ijin bagi 13 perusahaan terkait untuk 

82melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Isi Keppres ini jelas-jelas bertentangan dengan sejumlah UU yang kedudukannya berada di atasnya.

2. Koordinasi Dalam Penegakan Hukum

Koordinasi dalam hal penegakan hukum umumnya ditemukan pada ketentuan

yang mengatur mengenai penyidikan. Boleh dibilang, seluruh UU yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya alam, memiliki bab mengenai ini. Ambil contoh pada

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya

Air dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penyidik yang dimaksud oleh berbagai UU tersebut adalah penyidik dari kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS). Pelanggaran terhadap UU Perikanan dapat disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri

Sipil, Perwira TNI AL dan pejabat polisi.Meskipun dalam penegakan hukum atas pengelolaan sumber daya alam,

kepolisian dapat bekerja sama dengan sektor yang bersangkutan sebagaimana dijabarkan

dalam keempat undang undang di atas, dalam beberapa kasus, polisi justru sering berseberangan dengan sektor terkait. Dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat oleh

tailing hasil limbah tambang emas PT Newmont Minahasa Raya telah terjadi perbedaan

 pendapat antara Menneg LH dengan Mabes Polri. Kompas mencatat pernyataan Menneg

LH Nabiel Makarim yang menegaskan bahwa hasil penelitian yang dilakukan TimKementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa air di perairan Teluk Buyat,

Minahasa Sulawesi Utara, maupun ikan yang ada di perairan tersebut tidak tercemar. Hal

ini berseberangan dengan hasil penelitian Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor)Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang secara tegas menyebutkan bahwa

 pencemaran Teluk Buyat melebihi baku mutu.

83Dalam penegakan hukum yang menyangkut masalah penebangan liar (illegallogging) juga terjadi miskoordinasi antara Departemen Perindustrian, Departemen

Kehutanan dan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Di Kaltim misalnya, Kompas

mencatat bahwa industri kayu Malaysia sangat membutuhkan kayu dari Kalimantan yang

Page 43: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 43/50

 

umumnya diperoleh lewat penyelundupan dan pencurian kayu. Tetapi, Departemen

Perindustrian belum melakukan tindakan apapun untuk mencegah mengalirnya kayukayu dari

 penebangan liar di Kalimantan ke industri-industri pengolahan kayu di

Malaysia. Bahkan ada dugaan, bahwa maraknya illegal logging tidak terlepas darikebijakan instansi tertentu yang mengizinkan masuknya alat-alat berat seperti traktor dan

 buldoser ke daerah perbatasan. Dugaan ini jelas ditujukan ke departemen perindustrian.

Di sisi lain, Dep Kehutanan baru sampai pada rencana mengeluarkan Perpu TentangPemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon Dalam Hutan Secara Illegal. Disini

tidak terlihat adanya titik temu antara beberapa lembaga tersebut yang diharapkan

menunjang penegakan hukum.Konsep otonomi daerah yang terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah sebetulnya

 bukan desentralisasi secara total. Dua konsep lain yang juga dilaksanakan bersamaan

dengan desentralisasi tersebut yakni dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh UU No.32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan

oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

 pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7).

Sedangkan dekonsetrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada

Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu(Pasal 1 angka 8). Adapun tugas pembantuan didefenisikan sebagai penugasan dari

Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa dari pemerintah Provinsi kepada84kabupaten/kota dan/atau Desa serta dari kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan

tugas tertentu (Pasal 1 angka 9). Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

 berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada bagian lain dikatakan bahwa pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah

 provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan begitu desentralisasi tidak hanya berada dalam ruang lingkup kabupaten/kota tetapi juga provinsi. Dalam soal

 pembagian kewenangan pemerintahan, UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa

 pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurussendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:

(a) politik luar negeri,(b) pertahanan,

(c) keamanan,

(d) yustisi,(e) moneter dan fiskal nasional, dan

(f) agama.

Secara tersirat, Undang-Undang ini menyerahkan kewenangan urusan

 pengelolaan sumber daya alam kepada daerah sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalamPasal 17 yang mengatur hubungan pemanfaatan sumber daya alam antara pusat-daerah.

Bahkan dalam hal pengelolaan laut, pemerintah pusat menyerahkan urusan pemerintahan

tersebut kepada pemerintah daerah (pemda) secara utuh. Tetapi relasi pusat-daerahtersebut disertai dengan catatan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi

85berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan

keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. UU ini juga mengatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan

antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar 

 pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem

Page 44: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 44/50

 

 pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan harus memperhatikan keserasian

hubungan antara susunan pemerintahan. Terminologi “keserasian” dalam konteks ini

tidak begitu jelas, seperti apa dan bagaimana. Jika diinterpretasikan secara administratif 

maka otonomi seluas-luasnya tetap dalam kerangka kewenangan administrasi pusatdaerah, provinsi-kabupaten, dan kabupaten-desa.

Dengan melihat bingkai pembagian penyelenggaran pemerintahan seperti itu UU

ini potensial mengembalikan bandul kewenangan pengelolaan sumber daya alam ke pusat(resentralisasi). Pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang berkaitan dengan daerah

dijabarkan dengan mengatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya

alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi:(a) pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi

kewenangan daerah;

(b) kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber dayalainnya antar pemerintahan daerah; dan

(c) pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber 

daya lainnya.

Selain dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengaturan desentralisasi juga terdapat

dalam sejumlah Undang-Undang yang mengatur mengenai pengelolaan sumber dayaalam maupun pada sejumlah kebijakan. Instrumen kebijakan seringkali dipakai untuk 

86mendesetralisasikan pemberian izin seperti ijin peruntukan sumber daya alam, maupunkewenangan mengurus dan mengatur pengelolaan sumberdaya alam.

c. Kewenangan Mengatur dan Mengurus Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh

DaerahSejak berlakunya Otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 hingga

direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004, ada beberapa undang-undang yang berhubungan

dengan pengelolaan sumberdaya alam yang tampil dengan semangat otonomi daerah.

Beberapa diantaranya adalah UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, dan UU Perikanan.Pada ketiga UU ini ada perbedaan yang cukup mendasar mengenai kewenangan daerah

dalam pengelolaan sumberdaya alam. Secara umum, ada dua jenis kewenangan yang

diserahkan kepada pemerintah daerah, yakni:(1) kewenangan teknis pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan ini erat kaitannya

dengan kebijakan berupa ijin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan

 pengusahaan sumber daya alam di daerah; dan(2) kewenangan mengatur dan mengurus sumber daya alam yang merupakan satu

kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/

 pengelolaan, pemulihannya (konservasi), maupun kelembagaan, administrasi dan penegakan hukum.

Dalam UU Sumber Daya Air dua jenis kewenangan ini dinyatakan secara detail

(Pasal 16 sampai 18). UU Sumberdaya Air memberikan kewenangan dan tanggung jawab

daerah atas pengelolaan sumberdaya air yakni dalam hal menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air, menetapkan pola pengelolaan sumber daya air, menetapkan

rencana pengelolaan sumber daya air, menetapkan dan mengelola kawasan lindung

87sumber air, melaksanakan pengelolaan sumber daya air, mengatur, menetapkan danmemberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air, membentuk 

dewan sumber daya air, memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air dan

menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. Dengan cara seperti itu, UU

Sumber Daya Air secara lengkap menguraikan tentang kewenangan baik yang sifatnya

substantif maupun teknis. Kewenangan teknis terutama menyangkut pengaturan,

Page 45: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 45/50

 

 penetapan, pemberian izin, penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air 

serta pembentukan dewan sumberdaya air sedangkan kewenangan substantif adalah

delapan kewenangan lainnya yang secara singkat dapat dikatakan sebagai kewenangan

otonomi pengelolaan sumber daya alam.Berbeda dengan UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan menyerahkan pengaturan

soal penyerahan kewenangan kepada daerah melalui Peraturan Pemerintah (Pasal 66).

Adalah PP No 32 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana PengelolaanHutan, pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengatur lebih jauh

dan detail soal penyerahan kewenangan tersebut. Oleh PP ini, desentralisasi tersebut

 berlaku pada kewenangan dalam bentuk perijinan untuk usaha pemanfaatan kawasan(Pasal 37), pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu (Pasal 38), dan usaha

 pemanfaatan jasa lingkungan (Pasal 39). Ketiga izin di atas bisa diberikan oleh Gubernur,

Bupati dan Walikota. Sekalipun begitu, daerah tidak mempunyai kewenangan mengurusdan mengatur hutan secara otonom. Dengan demikian, kewenangan daerah hanya

merupakan kewenangan perijinan.

Dalam bidang pertanahan, salah satu kebijakan desentralisasi bisa ditemukan pada

Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres

88ini mengatakan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahandilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat 1). Kewenangan dimaksud

meliputi:(a) pemberian ijin lokasi;

(b) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

(c) penyelesaian sengketa tanah garapan;(d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;

(e) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan

maksimum dan tanah absentee;

(f) penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;(g) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;

(h) pemberian ijin membuka tanah;

(i) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.Dari kewenangan-kewenangan yang didesentralisasikan ini beberapa diantaranya

adalah kewenangan yang sifatnya teknis dan operasional yang mengatur soal ijin dan

kebijakan-kebijakan administratif pertanahan. Tetapi di samping kewenangan administratif langkah majudalam Keppres ini adalah kewenangan yang sifatnya mengatur dan

mengurus yakni perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota dan

kewenangan land reform yang menyangkut redistribusi tanah, pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong serta penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.

UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menyebut tentang

desentralisasi pengelolaan Minyak dan Gas Bumi ke daerah. UU ini hanya mengatakan

 bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Huluwajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan

89Pajak yang terdiri dari pajak-pajak; bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;

 pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam hal ini daerah hanya mempunyai kewenanganuntuk menarik retribusi dari pengelolaan Minyak dan Gas yang ada di wilayahnya.

Pengelolaan minyak dan gas bumi secara keseluruhan belum didesentralisasikan. Salah

satu alasan karena kedua sumber daya tersebut masih dikontrol ketat dalam kewenanganBUMN Pertamina yang memiliki pengaturan otonom, terlepas dari daerah. Selain hutan,

air dan tanah, pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui,

yang secara eksplisit mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah adalah Panas

Page 46: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 46/50

 

Bumi. Pengaturan mengenai Panas Bumi ditemukan pada UU No. 27 Tahun 2003 tentang

Panas Bumi. UU ini menyebutkan bahwa Kewenangan kabupaten/kota dalam

 pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi:

(a) pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan PanasBumi di kabupaten/kota;

(b) pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;

(c) pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;(d) pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di kabupaten/kota;

(e) inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di

kabupaten/kota;(f) pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di

kabupaten/kota.

Dalam ketentuan ini secara tersurat ditegaskan bahwa daerah mempunyaikewenangan untuk membuat peraturan pengelolaan panas bumi sendiri. Perkembangan

ini merupakan langkah maju karena dalam beberapa Undang-Undang lainnya

kewenangan membuat aturan sendiri tidak disebutkan secara tegas.

90Dalam UU Perkebunan, desentralisasi juga diatur dalam beberapa hal, diantaranya

menyangkut perencanaan perkebunan. Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaannasional, provinsi, kabupaten/kota. Perencanaan perkebunan tersebut dilakukan oleh

 pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.UU ini mengedepankan kepentingan masyararakat dan bukan struktur administrasi

 pemerintahan sebagai dasar perencanaan. Sehingga, perkebunan dapat diharapkan

mewakili kepentingan masyarakat daerah ketimbang mengabdi kepada kewenangan pusat. Tetapi segera terlihat bahwa kebutuhan masyarakat kemudian dibatasi oleh

 beberapa patokan semisal kepentingan pasar.

UU Perikanan baru yang merevisi UU No. 9 Tahun 1985, juga mengatur soal

desentralisasi tetapi dengan sangat terbatas dan lagipula bertentangan dengan UUPemerintahan Daerah. UU ini menyebutkan bahwa penyerahan sebagian urusan

 perikanan maupun penarikan kembali kepada pemerintah daerah ditetapkan dengan PP

(Pasal 65 ayat 1). Selanjutnya dikatakan kemungkinan pemberian urusan tugas pembantuan di bidang perikanan kepada daerah. Tentu saja norma semacam itu

 bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang secara tegas mengatakan bahwa

daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber dayadi wilayah laut (Pasal 18). Pembagian kewenangan pengelolaan laut juga diatur sangat

 jelas. Kewenangan daerah meliputi:

(a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;(b) pengaturan administratif;

(c) pengaturan tata ruang;

(d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;91(e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

(f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Dengan demikian dalam desentralisasi pengelolaan sumber daya alam ada berbagai bentuk dan jenis desentralisasi yang telah dijabarkan. Masing-masing

 pengelolaan sumber daya alam diatur tersendiri dan berdiri sendiri yang sekaligus

menentukan jenis desentralisasi dan sejauh mana desentralisasi dalam UU No. 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah itu direalisasikan. Pengaturan yang sendiri-sendiri

itulah yang seringkali membedakan ukuran desentralisasi antara satu departemen/sektor 

dengan departemen/sektor lainnya.

Page 47: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 47/50

 

92BAB V

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:1. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya

alam yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan

dan kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang.Sumber daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana

dengan baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun

kuantitasnya. Sedangkan sumber daya alam yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan hanya demi kepentingan generasi sekarang. Melalui

 prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari masa ke

masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan potensisumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi

mendatang tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam

yang baik untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Dengan memperhatikan

aspek demokratis, keadilan dan berkelanjutan dalam penyusunan Perda tentang

 pengelolaan sumber daya alam diharapkan berbagai permasalahan yang dialamidan hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam selama ini dapat diatasi dengan

 baik dan juga dapat memenuhi kepentingan para stakeholders.2. Di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan

sumber daya alam baik yang sudah ada maupun yang sedang disusun belum

93cukup memadai atau masih minim dalam memasukkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

3. Upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di

daerah sudah cukup memadai walaupun masih ada beberapa kendala yang perlu

dieliminasi.4. Penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan sudah

cukup baik secara prosedural, walaupun secara substansial masih perlu

 peningkatan fungsi dokumen tersebut, yaitu tidak hanya sekedar sebagai syaratkeluarnya ijin.

5. Dalam mengelola sumber daya alam koordinasi antar departemen/sektor tidak 

hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja bersama yang operasionalsifatnya tetapi juga koordinasi dalam pembuatan peraturan. Dua hal ini memang

tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang

memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya alam,tetapi secara normatif koordinasi dalam penyusunan peraturan perundangan

diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sistematis

dan tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam kaitannya dengan otonomi

daerah, UU No. 32 Tahun 2004 sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar departemen/sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya alam. Karenanya

diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi

terkait dan stakeholders di daerah.94a. Saran

1. Perlunya pendekatan yang tidak fragmentaris dan ego sektoral dalam pengelolaan

sumber daya alam di daerah2. Perlunya konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undang

mulai dari UU, PP sampai Perda di bidang pengelolaan sumber daya alam di

daerah

Page 48: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 48/50

 

95DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum

 Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum NasionalDepartemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 juli

2003

Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era PerdaganganBebas, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000)

ALW, Lita Tyesta. Proses Penyusunan Perda Tentang Pengelolaan Sumber Daya

Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerahdan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip

 bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Ali, Achmad, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta : Yarsif Watampone, 1998)

Anu Lounela dan Yando Zakaria (eds), Berebut Tanah dalam Beberapa Kajian

Berperspektif Kampus dan Kampung, Insist Press, Jurnal Antropologi

Universitas Indonesia dan Karsa, 2002.

Danusaputro, Munadjat, Hukum Lingkungan I : Umum, (Jakarta : Binacipta, 1985)Hadisoeprapto, Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

1999.Hadi, Sudharto P. Koordinasi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era

Otonomi Daerah, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema

Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakanoleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Perlindungan Lingkungan (Konservasi Sumber 

Daya Hayati dan Ekosistemnya), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,

1991 ______________________, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,

1986 ______________________, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 1990 Hidayat, Arief. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Bahan

Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah danPengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip

 bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Jogjakarta, 2003.Husein, M Harun, Lingkungan Hidup, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992)

M. Arief Nurdu’a dan Nursyam B. Sudharsono, Aspek Hukum Penyelesaian Masalah

Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, (Semarang : Satya

Wacana,1991)Mahfud, Mohammad, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan

Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997.Rahardjo, Satjipto, Hukum dalam Perpsektif Sosial, (Bandung : Alumni, 1981)

Rangkuti, Siti Sundari Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,

Surabaya, Airlangga University Press, 1996Salim, Emil, Pola Pembangunan Berkelanjutan dalam Hari Depan Kita Bersama,

(Jakarta : PT. Gramedia, 1988 )

Samekto, FX. Aji. Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Upaya

Page 49: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 49/50

 

Memformulasikan Pengaturan Sumber Daya Alam, Bahan Focus Group

Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber 

Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD

RI, Semarang 1 Agustus 2009Soemantri, Koesnadi Harja, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press, 1987)

Santoso, Edi, Penerapan Dokumen Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam ProsesPerijinan, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi

Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH

Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009Susanto, I.S, Kejahatan Korporasi, (Semarang : Badan Penerbit Undip, 1995)

Santosa, Mas Achmad, Hak Gugat Organisasi Lingkungan, (Jakarta: ICEL,1997)

 _________________ , Good Governance dan Hukum Lingkungan, (Jakarta : ICEL,2001) Setianto, Benny D. Meng-Governance-kan Pengawas, Bahan Focus Group

Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber 

Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD

RI, Semarang 1 Agustus 2009

Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta :Djambatan, 1991)

Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan I dalam Penegakan Hukum LingkunganIndonesia, (Bandung, Alumni, 1996)

Suparni, Niniek, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan,

(Jakarta : Sinar Grafika, 1992)Sembiring, Sulaiman, Hukum dan Advokasi Lingkungan, (Jakarta : ICEL, 1998)

Soesilo, R., RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor : Politea, 1995)

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1985)Soemitro, Ronny Hanitijo, Perspektif Sosial Dalam Pemahaman Masalah-Masalah

Sosial, (Semarang, Agung Press, 1989)

Steni Bernadinus. Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi Masyarakat DalamPengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah,

http://www.huma.or.id

Tobing, M.L, Ikhtisar Hukum Lingkungan Hidup, (Jakarta : Erlangga, 1985)Turtiantoro. Sosialisasi peraturan dan pengetahuan pengelolaan sumber daya alam

di daerah, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi

Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FHUndip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Wijoyo, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya : Airlangga

University Press,1999)

Zaidun, M., Pengendalian dampak Lingkungan Melalui Pendekatan Pemberdayaanmasyarakat, (Semarang : Makalah, 1995)

Zakaria, Yando. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang

disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan UlangRelasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat

 Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok 

Barat, Nusa Tenggara Barat.2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Page 50: Imlikasi otonomi

5/14/2018 Imlikasi otonomi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/imlikasi-otonomi 50/50

 

UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman

UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

UU No 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi

UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan